ANALISIS HIDROLOGI MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI SUB DAS CILEBAK KABUPATEN BANDUNG
MAWARDAH NUR HANIFIYANI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hidrologi Menggunakan Model SWAT di Sub DAS Cilebak Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2015 Mawardah Nur Hanifiyani NIM E14100039
ABSTRAK MAWARDAH NUR HANIFIYANI. Analisis Hidrologi Menggunakan Model SWAT di Sub DAS Cilebak Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh NANA MULYANA ARIFJAYA. Sub DAS Cilebak merupakan bagian hulu DAS Citarum terletak di Kabupaten Bandung dengan luas 420.89 ha. Tutupan lahan pada Sub DAS Cilebak berupa ladang (169.18 ha), semak belukar (137.08 ha), hutan (50.25 ha), pemukiman (38.08 ha), sawah (24.80), dan kebun campuran (1.50 ha). Jenis tanah Sub DAS Cilebak terdiri atas asosisasi andosol coklat dan regosol coklat (359.71 ha) dan jenis latosol coklat tua kemerahan (61.17 ha). Kombinasi tutupan lahan, jenis tanah, dan iklim menyebabkan kompleksitas kondisi hidrologi di Sub DAS Cilebak. Hal ini menyebabkan perlunya penggunaan model dalam kegiatan pengelolaan DAS. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model yang dapat menduga kondisi hidrologi. SWAT menggunakan masukan berupa tutupan lahan dan peta tanah skala 1:250 000, serta data iklim harian. Kalibrasi harian tahun 2009 menunjukkan R2 sebesar 0.50 dan NSE sebesar 0.42 serta R2 sebesar 0.60 dan NSE sebesar 0.40 untuk validasi pada tahun 2010 yang masuk kategori memuaskan. Hasil analisa neraca air menunjukkan rasio evapotranspirasi aktual terhadap curah hujan sebesar 0.51 (590.9 mm tahun-1), perkolasi 0.24 (285.7 mm tahun-1), aliran bawah tanah 0.17 (193.3 mm tahun-1), aliran lateral 0.16 (190.8 mm tahun-1), dan aliran permukaan 0.06 (66.2 mm tahun-1). Aliran bawah tanah akan kembali menjadi debit dalam 178 hari 4 jam 48 menit, menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan hujan untuk menjadi debit adalah 6 bulan. Tutupan lahan berupa semak belukar 3.9 mm dan hutan 5.5 mm merupakan tutupan lahan dengan limpasan permukaan terendah. Hutan merupakan penyumbang aliran lateral paling tinggi yaitu sebesar 67.6 mm. Kata kunci: analisis hidrologi, neraca air, Sub DAS Cilebak, SWAT ABSTRACT MAWARDAH NUR HANIFIYANI. Hydrology Analysis Using SWAT Model in Cilebak Sub Watershed Bandung Regency. Supervised by NANA MULYANA ARIFJAYA. Cilebak Sub Watershed is part of upper Citarum Watershed located at Bandung Regency, with area 420.89 Ha. Cilebak Sub Watershed land cover consist of agricultural crops (169.18 ha), bushes (137.08 ha), forest (50.25 ha), residential (38.08 ha), paddy field (24.80), and mixed crops (1.50 ha). Soil types consist of brown andosol and brown regosol association (359.71 ha), and dark brown latosol (61.17 ha). Combination between land use, soil, and climate caused complexity of watershed distribution at the watershed. This mean to predict hydrology need modelling. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) is a model that could predict hydrology condition. Inputs of SWAT consisted of land cover and soil map 1:250 000, and daily climate. Calibration in 2009 shows the value of R2 0.50 and NSE 0.42, and validation in 2010 R2 0.60 and NSE 0.40 which is satisfactory. Water balance in Cilebak Sub Watershed shows ratio rainfall with actual evapotranspiration 0.51 (590.9 mm year-1), percolation 0.24 (285.7 mm year-1), groundwater 0.17 (193.3 mm year-1), lateral flow 0.16 (190.8 mm year-1), and ratio of surface run-off 0.06 (66.2 mm year-1). Ratio between maksimum and minimum flow is 53.17 that mean hydrology condition in Cilebak Sub Watershed was satisfactory. Groundwater flows to stream in 178 days 4 hours 48 minutes, shows that rainfall will flow to river in 6 months. The lowest value of surface run-off happened in bushes 3.9 mm and forest 5.5 mm. Forest was the biggest supplier of lateral flow for 67.6 mm. Keywords: Cilebak Sub Watershed, hydrology analysis, SWAT, water balance
ANALISIS HIDROLOGI MENGGUNAKAN MODEL SWAT DI SUB DAS CILEBAK KABUPATEN BANDUNG
MAWARDAH NUR HANIFIYANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dimulai sejak Agustus 2014 ini berjudul Analisis Hidrologi Menggunakan Model SWAT di Sub DAS Cilebak Kabupaten Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi dalam pengelolaan DAS di Sub DAS Cilebak. Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Nana Mulyana Arifjaya, MSi selaku dosen pembimbing. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Mas Ardiyanto yang telah membantu penulis dalam proses pengolahan data, Bapak Cecep Firman dari BPDAS Citarum-Ciliwung, dan Imania Annisa Rahma, SSi yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Eddy Setyo Mudjajanto dan Ibu Siti Ridhayani yang telah memberikan doa serta dukungannya, serta keluarga besar MNH 47, dan temanteman di laboratorium hidrologi hutan atas dukungan dan semangatnya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan ataupun saran yang dapat mendukung perbaikan skripsi ini.
Bogor, April 2015 Mawardah Nur Hanifiyani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
METODE
2
Lokasi dan Waktu Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Kondisi Umum Sub DAS Cilebak
4
Iklim
7
Aplikasi Model SWAT
8
Kalibrasi dan Validasi Model
10
Analisa Hidrologi Sub DAS Cilebak
14
KESIMPULAN DAN SARAN
18
Kesimpulan
18
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
19
RIWAYAT HIDUP
20
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Data yang digunakan dalam penelitian Penutupan lahan pada Sub DAS Cilebak Jenis tanah pada Sub DAS Cilebak Kelas lereng pada Sub DAS Cilebak Kelas URH dominan pada Sub DAS Cilebak Parameter kalibrasi Komponen neraca air dan rasio terhadap curah hujan
2 5 6 7 9 11 16
DAFTAR GAMBAR Peta tutupan lahan Sub DAS Cilebak Peta tanah Sub DAS Cilebak Peta kelas lereng Sub DAS Cilebak Grafik curah hujan rata-rata bulanan 2008-2012 Grafik regresi linier debit observasi dan debit simulasi setelah kalibrasi tahun 2009 6 Grafik perbandingan debit observasi dan debit simulasi setelah kalibrasi tahun 2009 7 Grafik perbandingan debit observasi dan debit simulasi setelah validasi tahun 2010 8 Grafik neraca air bulanan pada Sub DAS Cilebak 9 Hasil simulasi neraca air pada SWAT Check 10 Grafik sebaran limpasan pada Sub DAS Cilebak 11 Sebaran neraca air pada tiap tutupan lahan
1 2 3 4 5
5 6 7 8 10 13 14 14 15 17 18
PENDAHULUAN Latar Belakang Sub DAS Cilebak merupakan bagian dari hulu Sub DAS Citarum yang terletak di Kecamatan, Pacet, Kabupaten Bandung. Savitri (2007) menyebutkan bahwa Sub DAS Citarum Hulu memiliki potensi banjir setiap tahunnya terutama pada daerah cekungan Bandung yang merupakan tempat bertemunya sungai Cikapundung, sungai Cisangkuy, sungai Citarik, dan sungai Cirasea. Pada April 2015 banjir melanda tiga kecamatan pada Citarum Hulu yaitu pada Kecamatan Bojongsoang, Dayeuhkolot, dan Baleendah dengan kedalaman sekitar satu meter akibat meluapnya Sungai Cikapundung dan Sungai Cisangkuy (Mulia 2015). Hal ini mengindikasikan penurunan kondisi hidrologi pada Citarum Hulu. Penelitian di Sub DAS Cilebak pada debit ekstrim April 2004, rasio antara Qmaks/Qmin adalah 89.86 turut mengindikasikan adanya penurunan fungsi resapan (Hermiawati 2006). Pada DAS yang baik fluktuasi antara debit sungai di musim penghujan dan kemarau kecil karena curah hujan dapat diserap ke dalam tanah. Untuk melakukan pendugaan terhadap kondisi hidrologi pada suatu DAS diperlukan penggunaan model hidrologi. Salah satu model hidrologi yang dapat digunakan adalah SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Model ini merupakan model hidrologi yang dapat dijalankan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (Fohrer et al. 2001). SWAT merupakan sebuah model yang dikembangkan untuk USDA ARS (US Departement of Agriculture-Agricultural Research Service) dan merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management System (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management System (GLEAMS); dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC) (Gasman et al. 2007). Penelitian terdahulu pada Sub DAS Citarum Hulu menunjukkan bahwa model SWAT mampu mewakilkan debit observasi dengan nilai NSE sebesar 0.773 dan R2 sebesar 0.771 (Rahman 2013).
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah ssebagai berikut, 1. Mengetahui kondisi hidrologi pada Sub DAS Cilebak. 2. Menghitung besarnya neraca air pada Sub DAS Cilebak.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kondisi hidrologi, serta sebaran neraca air yang terjadi pada Sub DAS Cilebak sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pengelolaan DAS.
2
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cilebak, Desa Nagrak, Kecamatan Pacet, Bandung, Jawa Barat yang terletak di koordinat 7o5’55”-7o8’51.4”LS dan 107o43’23”-107o44’3.5”BT. Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data dilakukan pada bulan Agustus – Desember 2014.
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data-data spasial dan data sekunder yang disajikan dalam Tabel 1. Dalam penelitian ini data iklim yang digunakan berupa parameter radiasi surya, temperatur maksimum, dan minimum, kecepatan angin, dan kelembaban. Tabel 1 Data yang digunakan dalam penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
8
Jenis data DEM (Digital Elevation Model) Peta batas Sub DAS Cilebak Peta jaringan sungai Peta penggunaan lahan tahun 2010 Peta jenis tanah tahun 1993 Data iklim 20082012 Data debit sungai harian tahun 20082010 Data curah hujan harian stasiun Cilebak-cirasea tahun 2008-2012
Resolusi/ skala 30 m 1:50 000 1:50 000 1:250 000 1:250 000 -
Sumber http://dds.cr.usgs.gov/srtm/version2_1/SRT M3/Eurasia BPDAS Citarum-Ciliwung BPDAS Citarum-Ciliwung Badan Planologi Kehutanan 2010 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor Global weather database BPDAS Citarum-Ciliwung
BPDAS Citarum - Ciliwung -
Alat Alat yang digunakan untuk melakukan pengoperasian model SWAT adalah seperangkat laptop yang dilengkapi dengan perangkat lunak Arc GIS 9.3 yang telah dilengkapi extension ArcSWAT 2009. Program SUFI2 (Sequential Uncertainty Fitting version 2) yang terdapat pada perangkat lunak SWAT-CUP (Soil and Water Assessment Tool-Calibration and Uncertainty Programs) untuk
3 melakukan kalibrasi dan validasi. Program lain yang dibutuhkan adalah SWAT check, dan Microsoft office.
Prosedur Analisis Data Simulasi Model SWAT Proses analisis SWAT dilakukan dengan melaksanakan empat tahap, yaitu deliniasi DAS, pembentukan Hydrology Response Unit (HRU) atau Unit Respon Hidrologi (URH), input data iklim, dan simulasi SWAT. Pembentukan URH dilakukan dengan metode threshold. Pada penelitian ambang batas yang digunakan adalah 2% untuk landuse, 0% untuk tanah, dan 2% untuk kelerengan. Setelah data URH terbentuk maka kegiatan analisis data dapat dilanjutkan ke tahap simulasi. Proses simulasi dilakukan selama tiga tahun yaitu dari tahun 2008 hingga tahun 2010, dengan periode warming up yang digunakan adalah pada tahun 2008. Persamaan neraca air yang digunakan dalam model dihitung dengan menggunakan rumus (Neitsch et al. 2005). ∑
a
-
- -
-
................................ (1)
Keterangan: SWt : Kandungan akhir air tanah (mm) SW0 : Kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm) Rday : Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm) Qsurf : Jumlah limpasan permukaan pada hari ke-i (mm) Ea : Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm) WSeep : Jumlah air yang memasuki zona tak jenuh pada profil tanah hari ke-i (mm) Qgw : Jumlah aliran dasar (base flow) pada hari ke-i (mm) Metode yang digunakan dalam menghitung besarnya limpasan pada SWAT adalah metode SCS-CN. Pada metode SWAT untuk menghitung limpasan digunakan rumus (Neitsch et al. 2005) a
(
a
- .2
2
.8 )
.............................................................................. (2)
Dimana Qsurf adalah adalah jumlah aliran permukaan pada hari ke-i (mm). Rday adalah jumlah curah hujan pada hari ke-i (mm). S adalah parameter retensi (mm). Kalibrasi dan Validasi Kalibrasi dan pengujian model bertujuan agar output model yang digunakan hasilnya mendekati dengan output di lapangan. Proses kalibrasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SUFI2.SWAT-CUP (Sequential Uncertainty Fitting version 2. Soil and Water Assessment Tool-Calibration and Uncertainty
4 Programs). Kalibrasi dilakukan terhadap nilai debit dengan cara membandingkan hasil yang didapatkan dari model dengan debit observasinya. Proses validasi dilakukan secara manual dengan melakukan uji statistika yaitu dengan menguji nilai R2 dan Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE). Proses kalibrasi dilakukan selama satu tahun, yaitu dari tahun 2009, sementara untuk validasinya digunakan data Januari - Juli 2010. Nilai R2 digunakan untuk menunjukkan tingkat kesesuaian antara debit observasi dan terhitung. Nilai R2 berkisar antara 0 hingga 1, dimana nilai 0 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara debit terukur dan debit terhitung sementara nilai 1 menunjukkan data debit terhitung bernilai sama dengan data observasi (Krause et al. 2005). Sementara nilai NSE ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara data dan model atau menilai daya prediksi/akurasi antara model dan data. Suatu model akan semakin sesuai dengan debit terukur apabila nilainya semakin mendekati 1 (Jeong et al. 2010). Dalam penelitian ini nilai R2 yang digunakan yang bernilai lebih besar sama dengan 0.5. Sementara untuk NSE nilai model dikatakan memuaskan apabila memiliki nilai antara 0.35 – 0.75 (Junaidi 2009). Untuk mengetahui nilai R2 digunakan rumus: 2
-̅
∑ 1( -̅
∑
2
)
-̅
∑
-̅
2 2
...................................................... (4)
Keterangan: Qobs,i : Debit hasil pengukuran (m3 det-1) Qcal,i : Debit hasil kalibrasi model SWAT (m3 det-1) Ǭobs,i : Debit hasil pengukuran rata-rata (m3 det-1) Ǭcal,i : Debit hasil simulasi model SWAT rata-rata (m3 det-1) Perhitungan nilai NSE menggunakan rumus: 1-
∑ 1
-
∑ 1
-̅
2 2
.................................................................... (5)
Keterangan: NSE : Koefisien Nash-Sutcliffe Qobs,i : Debit hasil pengukuran (m3 det-1) Qcal,i : Debit hasil kalibrasi model SWAT (m3 det-1) Ǭcal,i : Debit hasil simulasi model SWAT rata-rata (m3 det-1)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Sub DAS Cilebak Tutupan lahan Sub DAS Cilebak sebagian besar berupa tegalan dengan persentase sebesar 40.20%. Pada umumnya tanaman yang diusahakan adalah singkong dan kacang tanah yang ditanam dengan sistem tumpang sari atau bergilir, sementara teknik konservasi yang dilakukan hanya berupa penanaman dengan sistem guludan atau teras bangku tradisional. Tutupan lahan dengan persentase
5 terbesar kedua adalah semak belukar dengan persentase sebesar 32.57%. Keberadaan semak belukar ini terbentuk akibat ladang ataupun tutupan lahan lain yang terabaikan. Data beserta peta dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1.
Kode SWAT FRSE RNGB URLD AGRR SESB RICE Jumlah
Tabel 2 Penutupan lahan pada Sub DAS Cilebak Luas Penutupan lahan Ha % Hutan 50.25 11.94 Semak belukar 137.08 32.57 Pemukiman 38.08 9.05 Ladang 169.18 40.20 Kebun campuran 1.50 0.36 Sawah 24.80 5.89 420.89 100.00
Gambar 1 Peta tutupan lahan Sub DAS Cilebak Jenis tanah di Sub DAS Cilebak berdasarkan peta tanah skala 1:250 000 yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor didominasi oleh jenis tanah asosisasi andosol coklat dan regosol coklat dan jenis latosol coklat tua kemerahan (Tabel 3). Tanah jenis asiosiasi andosol coklat dan regosol coklat merupakan jenis tanah dengan umur tanah muda hingga dewasa dimana profil tanah mulai lengkap. Tanah latosol coklat tua kemerahan biasanya merupakan tanah tua yang telah mengalami pencucian. Jenis tanah asosisasi andosol coklat dan regosol coklat memiliki kelas hidrologi tanah B, sementara latosol coklat tua kemerahan memiliki kelas
6 hidrologi tanah C. Kelas hidrologi tanah B merupakan tanah lempung berpasir, sementara kelas hidrologi tanah C biasanya merupakan tanah lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah berkadar liat tinggi (Arsyad 2006). Hal ini terlihat dari persentase tekstur tanah latosol coklat tua kemerahan yang memiliki persentase kadar liat tertinggi sebesar 47.17%. Tabel 3 Jenis tanah pada Sub DAS Cilebak Jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Latosol Coklat Tua Kemerahan Jumlah
Luas %
Tekstur (%) Debu Pasir Liat
359.71
85.47
49.70
35.30
15.05
61.17 420.89
14.53 39.38 100.00
13.45
47.17
Ha
Gambar 2 Peta tanah Sub DAS Cilebak Klasifikasi kelas kelerengan pada Sub DAS Cilebak dilakukan dengan menggunakan DEM resolusi 30 m. Kelas kelerengan pada Sub DAS Cilebak tersebar pada seluruh kelas kerengan. Sub DAS Cilebak didominasi oleh kelas kelerengan 15%-25% dengan persentase luas sebesar 29.49% yang termasuk ke dalam kelas lereng agak curam, diikuti oleh kelas kerengan 25%-40% dengan persentase sebesar 24.67%. Hasil klasifikasi juga menunjukkan bahwa wilayah Sub DAS Cilebak rata-rata berada pada kelas kelerengan agak curam hingga sangat curam dengan kelas kelerengan antara 15% hingga di atas 40%. Nilai ini menunjukkan bahwa Sub DAS Cilebak berada pada wilayah perbukitan dan
7 gunung yang memiliki kelerengan semakin curam pada selatan Sub DAS Cilebak. Kelerengan yang semakin curam ini membuat wilayah Sub DAS Cilebak rentan terhadap tingginya limpasan. Berdasarkan klasifikasi kelas kerengan datar hanya memiliki proporsi sebesar 6.53%. Secara detail pembagaian kelas lereng beserta luasannya ditampilkan dalam Tabel 4.
Keterangan Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Jumlah
Tabel 4 Kelas lereng pada Sub DAS Cilebak Luas Kelas lereng Ha 27.47 0-8% 71.52 8-15% 124.14 15-25% 103.83 25-40% 93.94 >40% 420.89
% 6.53 16.99 29.49 24.67 22.32 100.00
Gambar 3 Peta kelas lereng Sub DAS Cilebak
Iklim Pada tahun 2008-2012 Sub DAS Cilebak memiliki rata-rata curah hujan sebesar 1324.13 mm/tahun (Gambar 4) berdasarkan data pengamatan stasiun curah hujan Cilebak-Cirasea. Selama periode ini curah hujan rata-rata tertinggi terdapat pada bulan November dan bulan Desember. Curah hujan tertinggi terdapat Desember 2012 dengan dengan curah hujan sebesar 312.90 mm,
8 sementara curah hujan terendah sebesar 0 mm yang terjadi pada pada bulan Juli tahun 2008, 2009, 2012, serta bulan Agustus pada tahun 2009 dan 2012. Berdasarkan klasifikasi iklim oleh scmidt-ferguson tahun 2008-2012 iklim pada Sub DAS Cilebak termasuk kategori iklim C yaitu agak basah dengan 8 bulan basah dan 3 bulan kering. 250
Curah Hujan(mm)
200 150 100 50 0 Jan
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Bulan
Ags Sep Okt Nov Des
Gambar 4 Grafik curah hujan rata-rata bulanan 2008-2012 Berdasarkan data yang didapat dari global weather suhu maksimum ratarata pad Sub DAS Cilebak adalah sebesar 23.92 oC, sementara suhu minimum rata-ratanya adalah sebesar 16.38 oC. Data iklim lainnya yang didapatkan dari global weather adalah data kelembaban nisbi rata-rata yaitu sebesar 90.41%, ratarata kecepatan angin sebesar 1.27 m s-1, dan rata-rata radiasi matahari sebesar 10.59 MJ m-2.
Aplikasi Model SWAT Deliniasi Sub DAS Analisis SWAT dilakukan dengan membagi wilayah Sub DAS ke dalam bagian Sub-Sub DAS. Dalam penelitian ini Sub-Sub DAS yang terbentuk adalah sebanyak 1 Sub-Sub DAS. Deliniasi Sub DAS Cilebak dilakukan dengan menggunakan DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 30 m. Hasil deliniasi dengan menggunakan model SWAT menunjukkan luasan wilayah Sub DAS Cilebak yang terbentuk adalah 420.89 Ha dengan elevasi rata-rata sebesar 1215.60 m dpl. Pembentukan URH (Unit Respon Hidrologi) Proses analisa selanjutnya dilakukan dengan melakukan pembentukan URH (Unit Respon Hidrologi). Unit respon hidrologi ini merupakan kelompok lahan yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan lahan yang unik. Pada penutupan lahan nilai threshold yang digunakan adalah 2%, nilai ini
9 dipilih karena pada Sub DAS Cilebak terdapat tutupan lahan yang memiliki luas tutupan lahan dengan luasan yang kecil. Pada jenis tanah threshold yang digunakan adalah 0%. Penentuan 0% pada jenis tanah dikarenakan luasan daerah penelitian yang tidak terlalu besar dan variasi jenis tanah yang tidak terlalu beragam, sementara pada kelerengan threshold yang digunakan adalah sebesar 2%. Hal ini dikarenakan cukup beragamnya kelas kelerengan yang ada pada Sub DAS Cilebak. Dari hasil penentuan threshold ini didapatkan 29 URH. Dari 29 URH ini, URH dengan kombinasi penutupan lahan berupa ladang dengan jenis tanah Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat pada kelas kelerengan agak curam merupakan URH dominan dengan luas sebesar 78.75 Ha dan menutupi wilayah Sub DAS Cilebak sebesar 18.71%. Kombinasi URH dengan luasan terkecil dihasilkan oleh kombinasi dengan tutupan lahan berupa ladang dengan jenis tanah latosol coklat tua kemerahan pada kelerengan curam. URH dominan yang terdapat pad Sub DAS Cilebak disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kelas URH dominan pada Sub DAS Cilebak ID 18 4 6 15 16 1 2 7 12 17
Unit Respon Hidrologi (URH) Tutupan lahan Jenis tanah Kelas lereng Asosiasi andosol coklat Ladang Agak curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Semak Sangat curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Semak Curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Ladang Landai dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Ladang Curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Hutan Curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Hutan Sangat curam dan regosol coklat Asosiasi andosol coklat Semak Agak curam dan regosol coklat Latosol coklat tua Pemukiman Landai kemerahan Asosiasi andosol coklat Ladang Datar dan regosol coklat
Luas Ha
%
78.75
18.71
75.56
17.95
41.12
9.77
38.08
9.05
36.07
8.57
24.57
5.84
18.38
4.37
17.03
4.05
14.55
3.46
9.86
2.34
Berdasarkan hasil analisa URH tutupan lahan berupa ladang, jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, dan kelas kelerengan agak curam merupakan URH yang paling dominan pada Sub DAS Cilebak. Hal ini menunjukkan bahwa pada Sub DAS Cilebak sebagian besar wilayahnya masih didominasi berupa areal yang ditanami oleh vegetasi. Pada URH kombinasi antara semak belukar jenis tanah asosiasi andosol coklat dan regosol coklat yang berada pada kelerengan sangat curam merupakan URH dengan persentase terbesar kedua pada Sub DAS Cilebak, sementara pada
10 kelerengan dan jenis tanah yang sama tutupan lahan berupa hutan hanya memiliki peresentase sebesar 5.84% pada wilayah Sub DAS Cilebak. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penggunaan lahan yang tidak tepat pada Sub DAS Cilebak. Wilayah dengan kelerengan >40% merupakan wilayah yang termasuk kategori kelas kelerengan sangat curam, sehingga wilayah seperti ini merupakan wilayah dengan potensi terjadinya limpasan dan erosi yang besar apabila tidak dilakukan pemilihan tutupan lahan dan pola konservasi yang tepat.
Kalibrasi dan Validasi Model Simulasi dilakukan tahun 2008 hingga Juli 2010, dengan data tahun 2008 digunakan sebagai data warming up dari model. Proses warming up ini dilakukan untuk memantapkan kondisi base flow (aliran dasar) pada simulasi hingga kondisi keseimbangan dalam proses hidrologi tercapai (Wahdani 2011). Berdasarkan hasil uji R2 diketahui bahwa nilai korelasi antara debit observasi dan debit simulasi harian pada Sub DAS Cilebak di tahun 2009 adalah sebesar 0.20 dengan nilai NSE sebesar -0.39. Nilai ini menunjukkan bahwa data debit observasi lebih mewakili dibandingkan data hasil simulasi sehingga model perlu dilakukan kalibrasi. Kalibrasi Model Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan data hasil observasi dengan data hasil simulasi. Proses kalibrasi ini dilakukan agar data hasil simulasi dapat mewakili data observasi sehingga diperoleh tingkat ketidakpastian yang minimal anatara debit terukur dan debit model. Perbandingan dilakukan dengan menggunakan R2 dan NSE. Berdasarkan Arnold et al. (2012) kedua metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan dalam proses kalibrasi. 0.45
R2 = 0.50 NSE = 0.42
Debit Simulasi (m3 s-1)
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2
0.15 0.1 0.05 0 0
0.1
0.2 0.3 Debit Observasi (m3 s-1)
0.4
0.5
Gambar 5 Grafik regresi linier debit observasi dan debit simulasi setelah kalibrasi tahun 2009 Berdasarkan hasil simulasi nilai perbandingan antara R2 dan NSE pada simulasi harian menunjukkan nilai R2 sebesar 0.20 dengan nilai NSE sebesar -0.39. Nilai ini masih jauh dari hasil yang diharapkan sehingga model perlu dikalibrasi
11 kembali dengan menyesuaikan parameter-parameter yang ada. Proses pemilihan selang parameter yang akan digunakan dalam proses kalibrasi dilakukan dengan metode trial and error guna mendapatakan kombinasi parameter yang optimal. Hasil kalibrasi Sub DAS Cilebak periode bulanan (Gambar 5) menunjukkan data R2 dan NSE sebesar 0.50 dan 0.42. Nilai ini masuk ke dalam katagori memuaskan (Junaidi 2009) sehingga model SWAT dapat dikatakan mampu mewakili debit observasi. Hasil ini diperoleh setelah melakukan 600 iterasi dengan simulasi terbaik terdapat pada simulasi ke-262. Proses kalibrasi ini dilakukan dengan melakukan penyesuaian 14 parameter nilai yang digunakan dalam proses kalibrasi disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Parameter kalibrasi Fitted value Satuan No Parameter 1 V_ALPHA_BF.gw 0.69925 hari 2 V_GW_DELAY.gw 178.166672 hari 3
V_GWQMN.gw
49.391666 mm
4
V_GW_REVAP.gw
0.08495 -
5
V_REVAPMN.gw
78.833336 mm
6
V_RCHRG_DP.gw
7
V_SOL_AWC.sol
8
V_SOL_K.sol
9
V_SOL_BD.sol
10
V_ESCO.hru
11 12
V_OV_N.hru V_SURLAG.bsn
0.634375 18.038334 hari
13
V_CH_K2.rte
41.958336 mm jam-1
14
V_CH_N2.rte
0.055833 0.2915 mm mm-1 4.316667 mm jam-1 1.72225 g cm-3 0.042917 -
0.2685 -
Keterangan Faktor alpha aliran dasar Masa jeda air tanah ke sungai Kedalaman minimal dari akuifer dangkal yang dibutuhkan Koefisien evaporasi dari zona perakaran Batas kedalaman air di akuifer dangkal Fraksi perkolasi akuifer dalam Kapasitas air tersedia di dalam tanah Konduktivitas hidrolik tanah dalam keadaan jenuh Kerapatan jenis tanah Faktor pergantian evaporasi tanah Nilai koefisien manning Koefisien jeda aliran permukaan Konduktivitas hidrolik pada saluran utama Nilai kekasaran manning pada saluran utama
Berdasarkan data di Tabel 6 terdapat lima jenis data input yang disesuaikan yaitu data aliran bawah tanah (.gw), data input tanah (.sol), data input HRU (.hru), data input penelusuran air atau basin (.bsn), dan data input saluran utama (.rte). Dari kelima data input ini dipilih parameter yang sesuai pada wilayah lokasi penelitian. Pada data input aliran bawah tanah, parameter yang digunakan adalah data Alpha_BF, Gw_Delay, GWQMN, Gw_REVAP, REVAPMN, dan RCHRG_DP. Parameter Alpha BF menunjukkan respon aliran baseflow terhadap infiltrasi (recharge). Nilai yang berkisar antara 0.1-0.3 menandakan respon yang lambat untuk waktu pengisian kembali, sementara respon pengisian yang cepat memiliki rentang nilai 0.9-1 (Neitsch et al. 2011). Nilai Alpha_BF pada Sub DAS Cilebak adalah 0.69 artinya Sub DAS Cilebak memiliki respon aliran baseflow yang tidak
12 terlalu cepat. GW_Delay atau waktu jeda air bawah tanah adalah parameter yang menunjukkan lamanya waktu air mengalir pada profil tanah dan zona jenuh (aquifer) sebelum akhirnya keluar kembali. Hasil kalibrasi menunjukkan nilai waktu jeda air bawah tanah adalah sebesar 178.17 hari artinya air akan keluar kembali menjadi debit dalam 178 hari 4 jam 48 menit. Bulan kering pada Sub DAS Cilebak terjadi selama 3 bulan yaitu selama 90 hari. Hal ini menunjukkan bahwa sungai di Sub DAS Cilebak merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun karena aliran bawah tanah mampu dipasok sebelum tenggang masa jeda waktu aliran bawah tanah. GWQMN merupakan nilai parameter yang menunjukkan batas kedalaman minimal dari akuifer dangkal untuk memungkinkan terjadinya aliran bawah tanah. Pada kalibrasi nilai GWQMN yang didapat adalah sebesar 49.39 mm. Parameter GW_REVAP adalah koefisien evaporasi air tanah. Pada saat keadaan kering air dapat terdifusi ke daerah perakaran, nilai GW_REVAP menunjukkan kemampuan pergerakan air menuju daerah perakaran pada keadaan tersebut. Nilai yang mendekati 0 menandakan pergerakan air semakin terbatas, sementara nilai yang mendekati 1 menandakan pergerakan mendekati nilai evapotranspirasi potensial. Hasil kalibrasi menunjukkan nilai GW_REVAP sebesar 0.08 yang menandakan pergerakan air yang terbatas menuju zona perakaran. REVAPMN merupakan nilai yang menunjukkan ambang batas kedalaman minimal dari akuifer dangkal untuk memungkinkan terjadinya perkolasi ke akuifer dalam. Perkolasi akan terjadi apabila nilai kedalaman akuifer dangkal sama atau lebih dari nilai REVAPMN. Hasil kalibrasi menunjukkan perkolasi dapat terjadi apabila kedalaman akuifer dangkal sebesar 78.83 mm. RCHRG_DP merupakan parameter yang menunjukan besarnya perkolasi dari daerah perakaran yang mengisi akuifer dalam. Nilai RCHRG_DP hasil kalibrasi adalah 0.05. Data input parameter tanah yang digunakan dalam kalibrasi adalah SOL_AWC, SOL_K, dan SOL_BD. SOL_AWC adalah kapasitas tanah dalam menampung air. Nilai ini menunjukkan banyaknya air yang tersedia dan bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil kalibrasi menunjukkan banyaknya air tersedia sebesar 0.29 mm mm-1. SOL_K merupakan nilai konduktivitas hidrolik dari tanah. Nilai ini menunjukkan kemampuan tanah berinfiltrasi pada saat kedaan jenuh. Nilai SOL_K yang didapatkan dari hasil kalibrasi adalah sebesar 4.32 mm jam-1. SOL_BD adalah kerapatan jenis tanah, nilai kalibrasi dari SOL_BD adalah sebesar 1.72 g cm-3. Kalibrasi juga dilakukan menggunakan parameter HRU, parameter yang digunakan adalah ESCO, OV_N. ESCO merupakan koefisien kebutuhan air yang diambil dari lapisan tanah paling bawah untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah sebagai efek dari adanya kapilaritas dan rekahan (Yustika 2013). Nilai ESCO yang dihasilkan dari kalibrasi adalah sebesar 0.04. OV_N adalah nilai koefisien manning yang menunjukkan kekasaran permukaan pada tutupan lahan tertentu. Nilai OV_N yang didapatkan dari hasil kalibrasi adalah sebesar 0.63. Pada input penelusuran air atau basin parameter yang digunakan adalah SURLAG. SURLAG adalah koefisien waktu jeda aliran permukaan. Koefisien waktu jeda aliran atau SURLAG pada Sub DAS Cilebak adalah sebesar 18.04 hari, artinya selang waktu dari saat hujan hingga terjadi puncak aliran permukaan adalah 18 hari 57 menit 36 detik.
13 CH_K2, dan CH_N2 adalah parameter yang termasuk ke dalam input saluran utama. CH_K2 adalah konduktivitas hidraulik pada jaringan sungai utama. Nilai kalibrasi dari CH_K2 adalah 41.95. CH_N2 adalah nilai koefisien manning atau nilai kekasaran dari jaringan sungai utama. Nilai CH_N2 yang didapatkan untuk Sub DAS Cilebak adalah sebesar 0.27. 0.8
0 20
0.6 40
0.5 0.4
60
0.3
80
0.2 100
0.1 0
Curah hujan (mm)
Debit (m3 s-1)
0.7
120
Curah hujan
Debit observasi
Debit simulasi
Gambar 6 Grafik perbandingan debit observasi dan debit simulasi setelah kalibrasi tahun 2009 Dari hasil kalibrasi dapat dilihat bahwa debit tertinggi terjadi pada tanggal 26 Desember 2009 dengan debit sebesar 0.46 m3 s-1 dan curah hujan sebesar 30.7 mm. Dapat dilihat bahwa curah hujan yang besar tidak langsung menaikkan besarnya debit yang terjadi. Hal ini dapat terlihat pada curah hujan tertinggi pada tanggal 24 Desember 2012 dengan curah hujan sebesar 50.3 mm hanya menghasilkan debit sebesar 0.20 m3 s-1, sebaliknya pada 1 Juni 2009 dengan curah hujan sebesar 0 mm debit observasi yang terjadi cukup tinggi yaitu sebesar 0.26 m3 s-1. Hal ini menunjukkan bahwa parameter GW_Delay yaitu selama 178 hari 4 jam 48 menit sangat dominan pengaruhnya terhadap debit pada Sub DAS Cilebak. Validasi Model Dalam proses pemodelan diperlukan tahapan validasi. Tahapan ini merupakan proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ketidakpastian yang dimiliki oleh sutu model dalam memprediksi suatu proses hidrologi (Indarto 2012). Kegiatan validasi biasanya dilakukan di luar periode data yang digunakan untuk kalibrasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah model telah konsisten atau dapat digunakan di luar tahun yang telah dikalibrasi. Validasi Sub DAS Cilebak dilakukan pada Januari hingga Juli 2010 (Gambar 7). Hasil validasi periode bulanan untuk Sub DAS Cilebak menunjukkan nilai 2 R 0.60 dan NSE sebesar 0.40. Dari hasil validasai dapat dilihat bahwa nilai R2 validasi mengalami peningkatan dari hasil kalibrasi, sementara nilai NSE mengalami penurunan. Pada grafik dapat dilihat bahwa secara garis besar debit simulasi memiliki nilai yang lebih besar daripada debit observasinya. Perbedaan ini menyebabkan turunnya nilai NSE yang merupakan nilai yang mengindikasikan seberapa baik perpotongan antara debit observasi dan debit simulasi pada garis 1:1
14 (Moriasi et al. 2007). Hal ini berbeda dengan nilai R2 yang mengalami peningkatan. Peningkatan nilai NSE ini dikarenakan tutupan lahan yang digunakan pada tahap simulasi adalah peta tutupan lahan tahun 2010 sehingga debit simulasi dan debit observasi cenderung memiliki pola yang sama. Akan tetapi, baik nilai NSE dan R2 masih berada pada kriteria memuaskan (Junaidi 2009) sehingga model masih dapat digunakan. Berdasarkan hasil validasi pada Januari hingga Juli 2010 dapat dilihat bahwa debit terbesar terjadi pada 19 Maret 2010 dengan debit observasi sebesar 1.60 m3 s-1 dan curah hujan 33.10 mm. 3.5
0.00 10.00
2.5 2
20.00
1.5
30.00
1 40.00
0.5 0 1/1/2010
Curah hujan (mm)
Debit (m3 s-1)
3
50.00 2/1/2010 3/1/2010
4/1/2010 5/1/2010
Curah Hujan
Debit simuasi
6/1/2010 7/1/2010 Debit observasi
Gambar 7 Grafik perbandingan debit observasi dan debit simulasi setelah validasi tahun 2010
Analisa Hidrologi Sub DAS Cilebak Analisa neraca air sangatlah penting untuk mengetahui upaya-upaya pengelolaan DAS. Terbatasnya data hidrologi yang ada menjadikan pemakaian model hidrologi penting guna melengkapi data-data tersebut. Dalam analisa neraca air penting untuk diketahui input berserta keluaran yang ada dari suatu DAS. Input dari neraca air pada daerah tropis adalah data curah hujan, sementara output pada neraca air yang dimaksudkan adalah berupa limpasan permukaan, perkolasi, aliran bawah tanah, evapotranpirasi, dan aliran lateral. Model SWAT merupakan salah satu pemodelan yang mampu mensimulasikan limpasan permukaan, infiltrasi, evapotranspirasi, aliran lateral, dan perkolasi untuk akuifer dangkal dan dalam (Abbaspour et al. 2009). 160
0 100
120 100
200
80 300
60 40
400
20 0
500 Jan Feb Mar Curah hujan Aliran permukaan
Apr
Mei
Jun Jul Ags Sep Evapotranspirasi Aliran bawah tanah
Okt
Nov Des Perkolasi Aliran lateral
Gambar 8 Grafik neraca air bulanan pada Sub DAS Cilebak
Curah hujan (mm)
Output (mm)
140
15 Hasil simulasi SWAT menunjukkan bahwa sebagian besar aliran air menjadi evapotranspirasi sebesar 590.93 mm, perkolasi sebesar 285.70 mm, aliran bawah tanah sebesar 193.25 mm, aliran lateral sebesar 190.77 mm, dan limpasan permukaan yang hanya sebesar 66.23 mm (Gambar 8). Rasio antara evapotranspirasi dan curah hujan memiliki nilai sebesar 0.51 dan rasio antara limpasan dan curah hujan memiliki rasio sebesar 0.22, sementara sebesar 0.24 masuk ke dalam tanah melalui perkolasi. Rendahnya limpasan permukaan yang terjadi dibandingkan dengan evapotranspirasi dan aliran yang masuk ke dalam tanah disebabkan oleh penggunaah tutupan lahan yang didominasi oleh ladang dan semak belukar (Hermiawati 2006)
Gambar 9 Hasil simulasi neraca air pada SWAT Check Hasil analisis neraca air Sub DAS Cilebak menunjukkan komponen hidrologi yang mendominasi adalah evapotranspirasi aktual (Gambar 9). Evapotranspirasi tertinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 72.23 mm dan evapotranspirasi paling rendah terjadi pada bulan September sebesar 28.51 mm. Menurunnya nilai evapotranspirasi dikarenakan kecilnya kandungan air tanah pada bulan September dimana bulan tersebut merupakan akhir musim kemarau dimana kandungan air tanah cenderung menurun. Perkolasi merupakan komponen neraca air dominan kedua pada Sub DAS Cilebak. Besarnya nilai perkolasi dipengaruhi oleh curah hujan yang turun pada
16 Sub DAS. Hal ini dapat dilihat dari grafik dimana nilai perkolasi cenderung rendah pada musim kemarau dan kembali meningkat pada bulan Desember. Nilai perkolasi paling besar terjadi pada bulan April yaitu sebesar 75.91 mm. Aliran bawah tanah pada grafik terlihat dipengaruhi oleh curah hujan. Hal ini menunjukkan bahwa aliran bawah tanah memiliki repon yang cukup cepat terhadap besarnya curah hujan yang masuk. Respon aliran bawah tanah terhadap curah hujan yang terinfiltrasi dapat dilihat dari cukup besarnya nilai faktor Alpha_BF pada tahap kalibrasi yaitu sebesar 0.69. Pada gambar 8 juga terlihat bahwa pada musim kemarau aliran bawah tanah memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan limpasan yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau Sub DAS Cilebak masih memiliki cadangan air. Sahayana (2010) menyebutkan pada penelitian di Sub DAS Cilebak dengan menggunakan tank model yang dilakukan pada bulan Januari 2009 hingga Juli 2010 menunjukkan bahwa Sub DAS Cilebak memiliki surplus air. Aliran lateral terjadi dikarenakan naiknya tinggi muka air yang ada ke area yang lebih transmissive. Aliran lateral hasil simulasi sebesar 190.77 mm dengan rasio terhadap curah hujan sebesar 0.16. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya aliran lateral menurut Weiler et al. (2005) adalah kedalaman tanah, topografi, dan elevasi. Aliran permukaan yang terjadi pada Sub DAS Cilebak merupakan komponen neraca air yang terendah sebesar 66.23 mm dengan rasio terhadap curah hujan hanya 0.06. Kecilnya nilai limpasan ini dikarenakan SURLAG pada Sub DAS Cilebak terjadi selama 18 hari 57 menit 36 detik, menunjukkan Sub DAS Cilebak memiliki waktu yang lama untuk terjadinya aliran puncak. Rasio antara debit maksimum dan debit minimum juga mengalami penurunan menjadi 53.17. Nilai ini berdasarkan SK Menhut No.52/KPTS-II/2001 menunjukkan DAS dalam kondisi sedang. Faktor lainnya yang mempengaruhi rendahnya limpasan yang terjadi pada Sub DAS Cilebak adalah jenis tanahnya yang didominasi oleh asosiasi andosol coklat dan regosol coklat yang memiliki kelas hidrologi tanah B yang cukup baik dalam meresapkan air. Dari grafik, aliran permukaan dipengaruhi oleh besar kecilnya curah hujan yang terjadi. Aliran permukaan menurun pada bulan Juni dan kembali meningkat pada bulan Oktober. Aliran permukaan paling tinggi terjadi bulan April dengan curah hujan tertinggi sebesar 187.30 mm dan aliran permukaan sebesar 23.77 mm, serta pada bulan Desember dengan curah hujan 216.90 mm dan aliran permukaan 22.85 mm. Pada periode harian limpasan tertinggi terjadi pada 6 April 2009 yaitu sebesar 11.5 mm dengan curah hujan 36 mm. Tingginya aliran permukaan pada bulan April dan Desember menunjukkan bahwa pada bulan-bulan tersebut rentan terjadi banjir. Tabel 7 Komponen neraca air dan rasio terhadap curah hujan Komponen neraca air Evapotranspirasi aktual Perkolasi Aliran permukaan Aliran bawah tanah Aliran lateral
Rata-rata (mm) 590.93 285.70 66.23 193.25 190.77
Rasio terhadap curah hujan 0.51 0.24 0.06 0.17 0.16
17
15% 42%
Aliran permukaan
43%
Aliran bawah tanah Aliran lateral
Gambar 10 Grafik sebaran limpasan pada Sub DAS Cilebak Dalam Mori et al. (2003) disebutkan bahwa sungai mengumpulkan tiga jenis limpasan yaitu limpasan permukaan (surface run-off), aliran lateral (lateralflow), dan air tanah (groundwater run-off). Limpasan permukaan dan aliran lateral dapat dikeompokkan sebagai limpasan langsung (direct run-off) sementara air tanah dikelompokkan sebagai aliran dasar (base flow). Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa aliran sungai sebagian besar disumbangkan oleh aliran bawah tanah yaitu sebesar 43% dari keseluruhan limpasan pada Sub DAS Cilebak. Selanjutnya diikuti oleh aliran lateral sebesar 42% dan aliran permukaan menyumbangkan hanya sebesar 15%. Dari perbandingan ini dapat dilihat bahwa aliran bawah tanah pada Sub DAS Cilebak merupakan penyumbang paling dominan. Tingginya sumbangan aliran bawah tanah pada Sub DAS Cilebak menunjukkan bahwa besar kecilnya debit sangat dipengaruhi oleh keadaan air bawah tanahnya. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dari penyesuai parameter pada tahap kalibrasi dengan nilai GW_Delay selama 178 hari 4 jam 48 menit yang menunjukkan bahwa untuk menjadi debit di sungai, curah hujan memerlukan waktu sekitar enam bulan. Dengan bulan kering yang terjadi hanya selama tiga bulan menunjukkan bahwa aliran bawah tanah dapat terus menyumbangkan debit ke sungai. Apabila dilihat dari pola penutupan lahannya dari gambar 11 dapat dilihat bahwa aliran lateral paling tinggi terjadi pada hutan 67.61 mm. Tingginya aliran lateral pada hutan disebabkan karena tutupan lahan berupa hutan sebagian besar berada kelas curam hingga sangat curam. Besarnya kelas kelerengan ini membuat aliran lateral pada hutan menjadi dominan. Hal ini menunjukkan bahwa pada Sub DAS Cilebak aliran lateral sangat dipengaruhi oleh faktor kelerengannya. Perkolasi paling tinggi terjadi pada tutupan lahan berupa pemukiman 251.48 mm. Aliran bawah tanah paling tinggi terjadi pada pemukiman 170.90 mm. Tingginya aliran perkolasi dan aliran bawah tanah pada tutupan lahan berupa pemukiman dikarenakan wilayah pemukiman pada Sub DAS Cilebak merupakan pemukiman dengan kepadatan rendah dengan jalan yang masih berupa tanah. Akan tetapi, dengan luasan yang hanya 38.08 Ha pemukiman mampu menyumbangkan limpasan sebesar 73.20 mm, yang merupakan nilai limpsan kedua tertinggi dari 5 tutupan lahan pada grafik. Hal ini menunjukkan perlu adanya perbaikan resapan pada daerah pemukiman.
18 Pada kelima tutupan lahan ini (Gambar 11) dapat dilihat bahwa Sub DAS Cilebak memiliki limpasan permukaan yang lebih rendah dibandingkan komponen neraca air lainnya. Limpasan tertinggi terdapat pada tutupan lahan berupa ladang sebesar 110.60 mm, sementara limpasan terendah terdapat pada tutupan lahan berupa semak belukar 3.91 mm dan hutan 5.45 mm. Hal ini menunjukkan bahwa tutupan lahan berupa hutan merupakan tutupan lahan yang efektif dalam menurunkan jumlah limpasan. Pada semak belukar rendahnya limpasan yang terjadi dikarenakan kondisi semak belukar yang rapat sehingga curah hujan yang jatuh ditahan oleh kanopi dari semak belukar tersebut. Tingginya limpasan yang masih terjadi pada tutupan lahan berupa ladang menunjukkan perlunya perbaikan terhadap usaha konservasi tanah dan air. Pada tutupan lahan berupa ladang tingkat evapotranspirasi aktual yang terjadi cukup dominan (411.45 mm) dibandingkan tutupan lahan lainnya. Tipe iklim Sub DAS Cilebak yang termasuk ke dalam kategori iklim C dengan 8 bulan basah dan 3 bulan kering menyebabkan tingginya evapotranspirasi. Sehingga pada tutupan lahan berupa ladang perlu dilakukan pengaplikasian mulsa untuk menghindari kehilangan air berlebihan akibat evapotranspirasi. 100% 90% Persentase neraca air
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Ladang
Pemukiman
Hutan
Evapotranspirasi
Perkolasi
Aliran lateral
Aliran bawah tanah
Sawah
Semak belukar
Limpasan permukaan
Gambar 11 Sebaran neraca air pada tiap tutupan lahan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan model SWAT dapat dilakukan untuk menganalisa kondisi hidrologi Sub DAS Cilebak. Hal ini ditunjukkan dengan hasil kalibrasi bulanan debit simulasi dan observasi dengan R2 sebesar 0.50 dan NSE sebesar 0.42 dan R2 sebesar 0.60 dan NSE sebesar 0.40 untuk validasi yang termasuk kategori memuaskan. Hasil analisa neraca air menunjukkan rasio evapotranspirasi aktual
19 terhadap curah hujan sebesar 0.51 (590.9 mm tahun-1), perkolasi terhadap curah hujan 0.24 (285.7 mm tahun-1), aliran bawah tanah terhadap curah hujan 0.17 (193.3 mm tahun-1), aliran lateral terhadap curah hujan 0.16 (190.8 mm tahun-1), dan aliran permukaan terhadap curah hujan sebesar 0.06 (66.2 mm tahun-1). Rasio antara debit maksimum dan debit minimum pada Sub DAS Cilebak adalah 53.17 menunjukkan kondisi Sub DAS Cilebak berada pada kondisi sedang. Aliran bawah tanah akan kembali menjadi debit dalam 178 hari 4 jam 48 menit, menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan hujan untuk menjadi debit adalah 6 bulan. Tutupan lahan
berupa semak belukar 3.9 mm dan hutan 5.5 mm merupakan tutupan lahan dengan limpasan permukaan terendah. Hutan merupakan penyumbang aliran lateral paling tinggi yaitu sebesar 67.6 mm.
Saran Pada pemukiman perlu memperkecil tingkat limpasan permukaan, salah satunya adalah memperbesar resapan dengan pembuatan sumur resapan. Tutupan lahan berupa ladang juga perlu dilakukan perbaikan dengan pengaplikasian mulsa untuk menghindari kehilangan air berlebih akibat evapotranspirasi.
DAFTAR PUSTAKA Abbaspour KC, Faramarzi M, Ghasemi SS, dan Yang Hong. 2009. Assessing the Impact of Climate Change on Water Resources in Iran. Water Resources Research. 45(W10434): 1-16. doi:10.1029/2008WR007615. Arnold JG, Moriasi DN, Gassman PW, Abbaspour KC, White MJ, Srinivasan R, Santhi C, Harmel RD, Griensven V, Van Liew MW, et al. 2012. SWAT: Model Use, Calibration, and Validation. American Society of Agricultural and Biological Engineers. 55(4):1491-1508. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Fohrer N, Eckhardt K, Haverkamp S, Frede HG. 2001. Applying the SWAT Model as a Decision Support Tool for Land Use Concepts in Peripheral Regions in Germany. Di dalam: Stott DE, Mohtar RH dan Steinhardt GC, editor. Sustaining the Global Farm. 10th International Soil Conservation Organization Meeting; 1999 Mei 24-29; West Lafayette, Amerika Serikat. Amerika Serikat (US): 994-999. Gassman PW, Reyes MR, Green CH, Arnold JG. 2007. The Soil And Water Assessment Tool: Historical Development Applications, And Future Research Directions. American Society of Agricultural and Biological Engineers. 50(4): 1211-1250. Hermiawati L. 2006. Analisis Perbandingan Pendugaan Erosi Menggunakan Metode USLE dan Unit SPAS Pada Model DAS Mikro (Studi Kasus Pada DTA Cilebak, Sub DAS Citarum Hulu) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Indarto. 2012. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
20 Jeong J, Kannan N, Arnold J, Glick R, Gosselink L, Srinivasan R. 2010. Development and Integration of Sub-hourly Rainfall–Runoff Modeling Capability Within a Watershed Model. Water Resource Management. 24(15): 4505-4527. Junaidi E. 2009. Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Krause P, Boyle DP, dan Basel FB. 2005. Comparison of Different Efficiency Criteria for Hydrological Model Assessment. Advances in Geosciences. 5: 89-97. Mori K, et al. 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Taulu L, penerjemah; Sosrodarsono S, Takeda K, editor. Jakarta (ID): PT Pradnya Paramita. Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Binger RL, Harmel RD, Veith T. 2007. Model Evaluation Guidelines for Systematic Quantification of Accuracy in Watershed Simulations. Trans. ASABE. 50(3): 885-900. Mulia P. 2015 Apr 8. Banjir, Tiga Kecamatan di Bandung Terendam. Tempo [internet]. [diunduh 2015 Apr 9]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/ news/2015/04/05/058655458/Banjir-Tiga-Kecamatan-di-BandungTerendam. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, William JR. 2005. Soil and Water Assessment Tool Theoretical Documentation Version 2005. Texas (US): Agricultural Research Service US. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, William JR. 2011. Soil and Water Assesment Tool Input/Output File Documentation Version 2009. Texas (US): Agricultural Research Service US. Rakhman Adi. 2013. Analisis Resiko Iklim di DAS Citarum Hulu Akibat Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sahayana CR. 2011. Pendugaan Neraca Air, Erosi, dan Sedimentasi Menggunakan Aplikasi Tank Model Dan Metode MUSLE Di Sub DAS Cilebak Kabupaten Bandung. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Savitri A. 2007. Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahdani DK. 2011. Perkiraan Debit Sungai dan Sedimentasi dengan Model MWSWAT di Sub-DAS Citarum Hulu, Provinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Weiler M, Mcdonnell JJ, Van Meerveld IT, dan Uchida Taro. 2005. Encyclopedia of Hydrological Sciences. MG Anderson, editor. West Sussex (UK): John Wiley & Sons, Ltd.
21
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Oktober 1992 dari ayah Eddy Setyo Mudjajanto dan Ibu Siti Ridhayani. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Papandayan 1 Bogor pada tahun 2002, SMP Negeri 1 Bogor pada tahun 2005 dan pada tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan SMA dari SMA Negeri 3 Bogor. Pada tahun 2010 penulis diterima masuk Departemen Manajemen Hutan – Fakultas Kehutanan IPB melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Hidrologi Hutan dan Pengelolaan Ekosistem Hutan dan Daerah Aliran Sungai tahun akademik 2014. Selain itu penulis juga aktif sebagai reporter Koran Kampus IPB pada 2010-2011, Divisi HRD International Forestry Students Association (IFSA) periode 2011-2012, dan Bendahara Forest Management Student Club (FMSC) periode 2012-2013. Penulis juga aktif berpatisipasi dalam berbagai kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2011 penulis juga terdaftar sebagai panitia South East Asia Forest Youth Meeting yang diadakan oleh IFSA IPB. Pada tahun yang sama penulis juga terdaftar menjadi panita Seminar Nasional Lokakarya Kehutanan Indonesia. Pada tahun 2012 penulis juga terdaftar sebagai panitia kegiatan Ecological Social Mapping yang diadakan oleh FMSC. Pada tahun 2014 penulis bersama tim “C g ” jug berhasil menjadi salah satu finalis dalam lomba Indonesia Risk Intelligence Challenge Trophy (RICT) 2014-The Risk Intelligent Future yang diselenggarakan oleh Deloitte. Pada bulan Januari 2012 penulis mengikuti kegiatan magang di Hutan pendidikan Gunung Walat. Pada bulan Juli 2012 penulis juga telah melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat. Pada tahun 2013 penulis juga telah melaksanakan kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Pada bulan Maret–April 2014 penulis telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT FORTUNA CIPTA SEJAHTERA, Kalimantan Tengah.