ANALISIS GENETIK DAN MOLEKULER ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN
KISMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah berdasarkan Karakter Morfo-fisiologi Daun” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007
Kisman NIM A361030061
ABSTRACT KISMAN. Genetic and Molecular Analyses of Soybean Adaptation to Low Light Intensity based on Leaf Morpho-physiological Characters. Supervised by DIDY SOPANDIE, SOBIR, TRIKOESOEMANINGTYAS, and NURUL KHUMAIDA In order to increase soybean production in Indonesia, developing soybean as intercrop under estate crops or agroforestry systems are required. The main problem, however, is low light intensity due to neighbour shade. Therefore, low light intensity tolerance genotypes or varieties of soybean are needed. Development of new low light intensity tolerance varieties of soybean, however, is still very slow. The reason is that very little understanding on the comprehensive mechanism of soybean tolerance to low light intensity condition in such of the aspect of morpho-physiology, genetics, and molecular. The main objective of this study was to obtain the comprehensive knowledge on the mechanism of adaptation through morpho-physiological, genetic and molecular approaches to strengthen the breeding efforts in developing new low light intensity tolerance variety of soybean. This study was comprised in four topics of research. (1) Response of leaf morpho-physiological characters, conducted using two tolerant genotypes (Ceneng, Pangrango) and two sensitive genotypes (Godek, Slamet) under various treatments of light intensity. (2) Genetic analysis of adaptation of soybean to low light intensity based on leaf morpho-physiological characters, conducted using tolerant genotype of Ceneng and sensitive genotype of Godek under 50% shade. (3) Analysis of full length sequence of low light intensity adaptation related genes (JJ3), conducted using bioinformatics tools. (4) Analysis of gene expression of the low light intensity adaptation related genes, carried out using the method of RT-PCR to the tolerant genotype of Ceneng and sensitive genotype of Godek under various treatments of light intensity. The results of this study revealed that: leaf morpho-physiological characters (leaf area, specific leaf weight, chlorophyll content) were highly correlated to adaptation of soybean to low light intensity. The character of leaf area might be used as selection criterion for improvement of adaptation of soybean to low light intensity since additively heritable, high broad sense heritability, and highly positive correlated to yield. Full length sequence of JJ3 with the size of 841 bp on nucleotides homologue to gene psaD photosystem I (PSI) subunit. The genes of JJ3, CAB, phyB, and ATHB-2 could not be used for DNA genome marker because they were expressed in both shade tolerance and sensitive genotypes of soybean. Increase of leaf area to efficiently light capture was assumed to be controlled and related to the genes corresponding with phyB. The character of chlorophyll content is not appropriate marker for selection of soybean lines since the genes controlling the character were isoepistatic mode of action. The character, however, could be used to screen the tolerant or sensitive genotypes for parental candidates. Keywords: soybean, low light intensity, genetic analyses, molecular analyses, morphological characters, physiological characters
RINGKASAN KISMAN. Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah berdasarkan Karakter Morfo-fisiologi Daun. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, SOBIR, TRIKOESOEMANINGTYAS, dan NURUL KHUMAIDA Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain merupakan alternatif andalan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional yang masih sangat rendah. Kendala utama pengembangan kedelai sebagai tanaman sela adalah intensitas cahaya rendah akibat naungan. Untuk itu diperlukan genotipe atau varietas baru kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Sejauh ini upaya pemuliaan untuk mendapatkan genotipe atau varietas baru toleran intensitas cahaya rendah masih belum berkembang dengan baik karena belum tersedianya informasi lengkap mekanisme adaptasi di bidang morfo-fisiologi, genetik, dan molekuler bagi perakitan varietas toleran naungan. Untuk mendukung upaya perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah, diperlukan pengetahuan komprehensif tentang mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah baik dari aspek morfo-fisiologi, genetika dan molekuler. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman komprehensif tentang mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui pendekatan morfo-fisiologi, genetik dan molekuler yang dibutuhkan bagi perakitan varietas untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (i) memperoleh karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, (ii) melakukan pendugaan parameter genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan morfo-fisiologi daun, (iii) melakukan karakterisasi sekuen lengkap, gen yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3), dan (iv) memperoleh informasi pola ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3, CAB, phyB, dan ATHB) Penelitian dilakukan dalam empat percobaan: (1) respon karakter morfofisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, (2) analisis genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan morfo-fisiologi daun, (3) analisis sekuen lengkap gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3), dan (4) analisis ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Percobaan respon morfo-fisiologi daun dilakukan dengan rancangan petak terpisah, tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas faktor genotipe dan intensitas cahaya rendah. Faktor genotipe terdiri atas dua genotipe toleran (Ceneng, Pangrango) dan dua genotipe peka (Godek, Slamet). Faktor intensitas cahaya rendah terdiri atas: L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50% (setelah tanaman berumur 21 HST), L2 = 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 21 HST), L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100% (setelah tanaman berumur 18 HST), dan L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 15 HST). Karakter morfo-fisiologi daun yang menjadi penciri adaptasi
kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dilanjutkan dengan analisis genetik menggunakan tetua toleran Ceneng, tetua peka Godek, populasi F1 persilangan Ceneng x Godek, dan populasi F2 hasil selfing F1. Populasi tersebut ditanam di bawah paranet 50% dan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan 2 ulangan. Analisis genetik karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah meliputi: pendugaan koefisien korelasi, heritabilitas arti luas, jumlah gen (effective factor), dan aksi gen. Analisis molekuler untuk analisis sekuen lengkap gen terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan menggunakan jasa bioinformatika, sedangkan analisis ekspresi JJ3, CAB, phyB, dan ATHB yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan menggunakan metode RT-PCR terhadap genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek yang diberikan beberapa perlakuan intensitas cahaya: cahaya penuh (kontrol), lima hari naungan menggunakan paranet 50%, dan lima hari gelap total. Analisis respon morfo-fisiologi daun menunjukkan bahwa kedelai toleran naungan memiliki daun lebih luas dan lebih tipis dibanding kedelai peka naungan pada kondisi intensitas cahaya rendah. Pada kondisi intensitas cahaya rendah, kedelai toleran naungan memiliki kandungan klorofil lebih tinggi dan rasio klorofil a/b lebih rendah dibanding genotipe peka. Karakter morfo-fisiologi daun (luas daun, bobot daun spesifik, kandungan klorofil, rasio klorofil a/b) dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Analisis genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan morfo-fisiologi daun menunjukkan bahwa: adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah terkait erat dengan karakter morfo-fisiologi daun seperti luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. Karakter hasil dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (68%). Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masingmasing dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (78%, 84%, 86%). Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (70%). Analisis sekuen lengkap gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3) menunjukkan bahwa: sekuen lengkap cDNA JJ3 memiliki coding sequence (CDS) dengan panjang 633 bp yang menghasilkan 210 asam amino, memiliki 136 asam amino spesifik dan terkonservasi mulai dari asam amino ke 77 sampai ke 210 yang homolog dengan protein PsaD PSI subunit, fungsinya terkait dengan transport elektron fotosintesis pada pusat reaksi fotosistem I. cDNA JJ3 yang diperoleh pada tanaman kedelai mempunyai fungsi yang sama dengan gen psaD yang terdapat pada tanaman tembakau kayu (Nicotiana sylvestris), padi (Oryza sativa), tomat (Lycopersicon esculentum), barley (Hordeum vulgare), bayam (Spinacia oleracea), Arabidopsis (Arabidopsis thaliana), dan kentang (Solanum tuberosum). Sekuen lengkap cDNA JJ3 telah terdaftar pada public database di GenBank dengan nama gmpsaD dengan nomor aksesi EF628505.
Analisis ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah menunjukkan bahwa: pada kedelai toleran naungan, ekspresi JJ3, phyB, dan ATHB-2 dapat dideteksi pada kondisi intensitas cahaya rendah, akan tetapi pada genotipe peka naungan kurang terdeteksi bahkan ada yang tidak terdeteksi. Pada kedelai toleran naungan, gen CAB-3 terekspresi cukup kuat pada kondisi naungan 50%, akan tetapi pada kedelai peka naungan terekspresi lemah. Pola ekspresi JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2 terutama pada kedelai toleran dapat menjelaskan secara molekuler mekanisme penghindaran (avoidance) dan toleransi (tolerance) adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Pada kondisi naungan 50%, ekspresi gen CAB-3 dan phyB berpotensi dijadikan sebagai marka untuk skrining kedelai toleran naungan. Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakter morfofisiologi daun (luas daun, bobot daun spesifik, kandungan klorofil) terkait erat dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Karakter luas daun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam pengembangan kedelai toleran naungan karena secara genetik karakter tersebut dikendalikan oleh gen dengan aksi aditif, mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tinggi, dan berkorelasi tinggi dengan hasil. Sekuen lengkap cDNA JJ3 yang memiliki panjang 841 basa nukleotida homolog dengan gen psaD fotosistem I (PSI) subunit. JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2 terekspresi pada genotipe toleran maupun genotipe peka naungan, sehingga gen-gen tersebut pada tingkat DNA genom tidak dapat dijadikan sebagai marka untuk membedakan genotipe toleran dan genotipe peka. Peningkatan luas daun untuk penangkapan cahaya yang efisien merupakan bentuk mekanisme avoidance yang diduga terkait dengan peningkatan ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan fitokrom-B (phyB). Karakter kandungan klorofil tidak efektif dijadikan sebagai marka untuk seleksi galur karena gen-gen yang mengendalikannya bersifat isoepistasis, akan tetapi karakter tersebut dapat digunakan untuk skrining genotipe toleran atau peka untuk calon tetua. Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa kedelai Ceneng dapat dianjurkan dalam pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI) yang masih berumur 2-3 tahun, atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim yang berpotensi menaungi. Dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, karakter luas daun dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi. Seleksi menggunakan marka molekuler atau MAS sebaiknya dikembangkan dari gen-gen yang terkait dengan penangkapan cahaya melalui teknik CAPS (cleavage amplified polymorphic sequence) atau SCAR (sequence characterized amplified region). Diperlukan analisis kandungan gibberellin dan aspek molekulernya untuk dapat lebih memahami mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Selain itu diperlukan analisis molekuler gen-gen penting lain seperti CAO yang mengubah klorofil a menjadi klorofil b yang berperan dalam mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Diperlukan juga pengamatan terhadap kemungkinan perubahan kualitas cahaya di bawah paranet maupun di sekitar kanopi tanaman kedelai. Kata kunci: kedelai, adaptasi, intensitas cahaya rendah, analisis genetik, analisis molekuler, karakter morfo-fisiologi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS GENETIK DAN MOLEKULER ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN
KISMAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Utut Widyastuti S, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S 2. Dr. Ir. Novianti Sunarlim
Judul Disertasi
: Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah Berdasarkan Karakter Morfofisiologi Daun
Nama
: Kisman
NIM
: A361030061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Ketua
Dr. Ir. Sobir, M.Si. Anggota
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 05 Juni 2007
Tanggal Lulus: …………………………
Makin memperkuat keimanan dan keyakinan saya bahwa Allah menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini, dari hal yang paling kecil hingga yang paling dahsyat, semua dalam segala keberaturan, keseimbangan, dan saling bermakna satu sama lain.
AL-QUR’AN: Surat FUSHSHILAT ayat 53 ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa AlQur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”.
Surat AL AN’AAM ayat 99 ”Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang korma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman”.
Surat AR RAHMAN ayat 33-34 ”Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.
Kupersembahkan kepada: Kedua orang-tuaku, Istri dan anak-anakku, Guru-guruku, Persada Indonesia
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penelitian serta penulisan disertasi yang berjudul “Analisis Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah berdasarkan Karakter Morfo-fisiologi Daun”. Dalam penyelesaian disertasi ini penulis banyak mendapat bimbingan, arahan, dan koreksi kostruktif terutama dari komisi pembimbing. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan perhargaan yang sebesarnya dan setulusnya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr (Ketua), Dr. Ir. Sobir, MSi, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc, dan Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi (masing-masing Anggota). Penelitian disertasi ini sebagian besar didanai oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) 2004-2006, karenanya penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr selaku Ketua Peneliti HPTP dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi (masing-masing sebagai Anggota Peneliti) yang telah bersedia menerima penulis bergabung dalam penelitian HPTP. Secara khusus penulis juga ingin sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Tetsuo Takano yang telah mengijinkan dan memberikan fasilitas kepada penulis untuk melakukan sebagian penelitian molekuler di lab Tolerance Mechanism, ANESC, Universitas Tokyo. Terima kasih juga kepada rekan-rekan selama bersama-sama di HPTP: Dr. Ir. La Muhuria, MS; Ir. Imam Widodo, MS; Desta Wirnas, SP, MSi; Ir. Kartika Ning Tyas, MSi; dan Tri Lestari, SP, MSi atas kebersamaan dan kerjasama yang baik. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada: 1. Dirjen Dikti yang telah memberikan beasiswa melalui program Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP) ADB Loan No 1792-INO. 2. Rektor Universitas Mataram yang telah memberikan izin tugas belajar. 3. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang telah memberikan kesempatan dan dorongan untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB. 4. Staf pengajar di Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang telah bersama-sama bekerja keras menyusun proposal untuk mendapatkan dana TPSDP Loan No 1792-INO. 5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Ketua Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk melanjutkan studi di IPB, begitu juga saran dan masukan konstruktif yang diberikan kepada penulis sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. 6. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya MSc (selaku penguji luar komisi pada ujian komprehensif), Ibu Dr. Ir. Utut Widiastuti S. MSi (selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup), Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. dan Dr. Ir. Novianti Sunarlim (selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka) yang dengan sangat cermat telah memberikan saran dan masukan konstruktif sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. 7. Kepala beserta staf dan teknisi lab Research Group on Crop Improvement (RGCI) (Yudi, Bambang); lab Ekofisiologi Tanaman (Joko), lab Biorin PAU
8. 9. 10. 11. 12.
(Mulya, Pepy, Firdaus, dan rekan-rekan) atas kerjasama dan kebersamaan serta bantuan yang diberikan. Kepala dan staf Kebun Percobaan Balai Besar Bioteksnologi dan Sumberdaya Genetik Cikemeuh Cimanggu (Drajat, Pur, dan rekan-rekan) atas kerjasama dan bantuan yang diberikan. Ayahanda H. Makbul (alm) dan Ibunda Inaq Gadung dan Inaq Siun(alm), ayah dan ibu mertua H. Mohammad Ali (alm) dan Hj. Halimah (alm) atas kasih sayang dan doanya. Saudara-saudara tercinta di Kawo, di Kelayu dan di Mataram atas segala dorongan dan doa. Istri tercinta Ir. Hj. Ulayati Ali dan anak-anak tersayang Febrian Humaidi Sukmana, Suprayanti Martia Dewi, dan Muhammad Halim Suhartawan atas segala doa, dorongan, dan kesabaran serta kebersamaan dalam penantian. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan disertasi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Amin Amin Ya Rabbal Alamin.
Bogor, Juli 2007 Kisman
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Kawo, Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada 31 Desember 1961, merupakan putra ketiga dengan enam bersaudara dari ayahanda Tarap alias Amaq Siun alias H. Makbul (alm) dan ibunda Tiasih alias Inaq Gadung. Pada 1 Mei 1985 penulis menikah dengan Ir. Hj. Ulayati Ali dan dikaruniai tiga anak yaitu Febrian Humaidi Sukmana, Suprayanti Martia Dewi, dan Muhammad Halim Suhartawan. Pada 1981 penulis sebagai mahasiswa S1 di Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan menyelesaikan studi pada Oktober 1986. Mulai Juli 1996 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Departemen Plant Sciences Fakultas Pertanian Universitas Saskatchewan Kanada dan selesai pada Oktober 1998. Selanjutnya, sejak Agustus 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan gelar Doktor pada Juni 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dalam bentuk bantuan proyek TPSDP ADB Loan No. 1792INO. Penulis adalah staf pengajar pada Program Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram di provinsi Nusa Tenggara Barat mulai tahun 1988 sampai sekarang. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Pemuliaan Indonesia (Peripi) dan Perhimpunan Bioinformatika Indonesia (PBI). Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini yang telah dipublikasikan antara lain: Fisiologi dan Molekuler Efisiensi Penggunaan Intensitas Cahaya Rendah pada Kedelai Toleran Naungan telah dipresentasikan pada Kongres III dan Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia di Universitas Brawijaya Malang pada 12-13 Agustus 2005. Respon Molekuler Tanaman Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah: Analisis Ekspresi Gen ATHB dan CAB telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman pada 2 Agustus 2006 di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor di Bogor. Artikel yang berjudul Analisis Ekspresi Gen-gen yang Terkait ‘Shade Avoidance’ pada Kedelai Toleran Naungan telah diterbitkan pada jurnal AGROTEKSOS vol. 16 no 3 Oktober 2006 dan Karakter Morfo-fisiologi Daun, Penciri Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah diterbitkan pada jurnal BULETIN AGRONOMI vol. XXXV no. 2 Agustus 2007 (in press).
DAFTAR SINGKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM DISERTASI A2 ATHB bb BDS BLAST BNT bp CAB cDNA CDS cm DAP DNA dNTP EDTA F1 F2 g GSP h2 h2bs ha hp HST kb kg LI LiCl M mg ml mM mRNA MST N2 NCBI o C ORF p P1 P2 phyB poly-A PSI PSII
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
uji normalitas Anderson-Darling gen Arabidopsis thaliana homeobox berat basah daun berat daun spesifik Basic Local Aligment Search Tool beda nyata terkecil base pair gen chlorophyll a/b binding protein complementary deoxyribonucleic acid coding sequence centi meter days after planting deoxyribonucleic acid deoxynucleotide-5’-triphosphate ethylen diamine tetra acetic acid generasi pertama hasil persilangan generasi kedua selfing gram gene specific primer heritabilitas heritabilitas arti luas hektar nisbah potensi hari setelah tanam kilo base kilo gram low irradiance, intesitas cahaya rendah lithium chloride molar mili gram mili liter mili molar messenger RNA minggu setelah tanam nitrogen National Center for Biotechnology Information degree celcius open reading frame probabilitas tetua 1 tetua 2 gen phytochrome B poly-adenine photosystem I photosystem II
r R : FR RACE RACE-PCR RNA RNase H rpm RT-M-MLV RT-PCR SDS TAE TE U μg μl μM σ2 σF1 σF2 χ2
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
koefesien korelasi red : far red Rapid Amplification of cDNA Ends Rapid Amplification of cDNA Ends-PCR ribonucleic acid ribonuclease inhibitor rotation per minute Reverse Transcriptase - Moloney-Murine Leukimia Virus Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction sodium dodecyl sulphate tris acetate EDTA tris EDTA unit mikro gram mikro liter mikro molar varians standar deviasi generasi F1 standar deviasi generasi F2 chi square
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………........
xvii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xix
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………........
xxi
1. PENDAHULUAN………………………………………………..........
1
Latar Belakang …………………………………………………......... Rumusan Masalah ................................................................................ Tujuan Penelitian ………………………………………………......... Manfaat Penelitian ............................................................................... Hipotesis............................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................
1 4 5 5 5 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………............. Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah ………….......... PAR dan Fotosintesis ……………………………………......... Pembentukan Klorofil..…………………………………........... Pengaruh Intensitas Cahaya Rendah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman …………………………………………… Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah .. Perubahan Anatomi dan Morfologi ………..….………............ Perubahan Kandungan Klorofil Daun …….....……….............. Perubahan Fisiologi dan Biokimia …………….………........... Perubahan Struktur Kloroplas ................................................... Struktur Kloroplas dan Mekanisme Transport Elektron…..………… Struktur Kloroplas……………………………………………. Mekanisme Transport Elektron………………………………. Fotosistem II (PSII)……………………………………........... Fotosistem I (PSI) ……………………………………………. Gen-gen Fotosintesis yang Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah …………………………………................ Gen-gen Fotosintetik Inti …..……………………………......... Gen-gen Fotosintetik Kloroplas …………………………......... Prinsip Kontrol Redoks pada Ekspresi Gen Fotosintetik …….. Ekspresi Gen-gen Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah ……………………………………. Analisis Genetik Adaptasi Tanaman……………………………….... Pendugaan Jumlah Gen Pengendali…………………………... Aksi Gen………………………………………………………. Pendugaan Nilai Heritabilitas…………………………………. 3. RESPON KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN, PENCIRI ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH................................................................................................
8 8 8 10 13 14 16 16 17 18 19 19 21 22 25 29 29 30 30 35 37 37 39 42
44
xiv
Abstrak ................................................................................................. Abstract ................................................................................................ PENDAHULUAN................................................................................ Latar Belakang................................................................................ Tujuan ................ ........................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Bahan Tanaman .............................................................................. Persiapan Tanaman ........................................................................ Pengamatan .................................................................................... Analisis Data .................................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. Luas Daun dan Bobot Daun Spesifik ............................................. Kandungan Klorofil Daun .............................................................. KESIMPULAN .................................................................................... 4.
5.
ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN................................................................. Abstrak ................................................................................................. Abstract ................................................................................................ PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang................................................................................ Tujuan ............................................................................................ BAHAN DAN METODE .................................................................... Bahan Tanaman .............................................................................. Pengamatan .................................................................................... Analisis Data .................................................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. Hasil dan Morfo-fisiologi Daun pada Tetua Toleran dan Peka Naungan.......................................................................................... Korelasi Karakter Morfo-fisiologi Daun dengan Hasil pada Populasi F2...................................................................................... Pola Pewarisan Sifat Adaptasi Kedelai berdasarkan Morfofisiologi Daun.................................................................................. Pendugaan Jumlah Gen dan Tipe Aksi Gen Pengendali Adaptasi.. Pendugaan Nilai Heritabilitas Arti Luas......................................... KESIMPULAN..................................................................................... ANALISIS SEKUEN LENGKAP GEN YANG TERKAIT ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH……………………………………………………………… Abstrak ................................................................................................. Abstract ................................................................................................ PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................ BAHAN DAN METODE .................................................................... Bahan .............................................................................................
44 45 46 46 48 48 48 48 49 50 50 50 55 64
65 65 66 67 67 68 69 69 69 70 75 75 76 78 83 86 89
90 90 91 92 92 94 94 94
xv
Analisis Sekuen Lengkap cDNA JJ3.............................................. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. Sekuen Lengkap (full length) JJ3.................................................. Analisis struktur sekuen lengkap JJ3……………………………. Analisis Homologi Sekuen Lengkap JJ3....................................... KESIMPULAN ....................................................................................
95 95 95 96 100 106
6. ANALISIS EKSPRESI GEN-GEN YANG TERKAIT ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH............. Abstrak ................................................................................................. Abstract ................................................................................................ PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................ BAHAN DAN METODE .................................................................... Bahan Tanaman............................................................................... Analisis Ekspresi Gen..................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. Analisis Ekspresi JJ3 dan CAB-3.................................................... Analisis Ekspresi Gen phyB dan ATHB-2………………………... KESIMPULAN.....................................................................................
107 107 108 109 109 110 111 111 111 114 115 119 121
7. PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………...
122
8. KESIMPULAN DAN SARAN.………………………...……………...
129
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...
131
LAMPIRAN ……………………………………………………………….
144
xvi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Diskripsi subunit protein pada fotosistem 1 (PSI) ……..…………....
27
2. Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio............
40
3. Rata-rata luas daun (cm2) dari berbagai intensitas cahaya rendah pada masing-masing genotipe kedelai………….................................
52
4. Respon bobot daun spesifik (mg/cm2) masing-masing genotipe kedelai pada berbagai perlakuan intensitas cahaya ............................
54
5. Repon kandungan klorofil a genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya.................................................................
56
6. Repon kandungan klorofil b genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya ..………………………………………..
58
7. Repon kandungan klorofil total dan rasio klorofil a/b genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya ..……………
59
8. Repon kandungan rasio klorofil a/b genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya …..…………………………...
61
9. Nisbah fenotipe karakter yang terkait adaptasi terhadap suatu cekaman yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi bersegregasi F2 …………………........................................................
74
10. Keragaan karakter hasil dan morfo-fisiologi daun tetua toleran (Ceneng) dan peka (Godek) pada kondisi naungan 50%....................
75
11. Koefesien korelasi fenotipik karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F2 hasil persilangan tetua toleran Ceneng dengan tetua peka (Godek) ………………………………………………….
76
12. Nilai rata-rata fenotipe, kemenjuluran (skewness), nilai normalitas, dan probabilitas karakter morfo-fisiologi pada populasi F2…………
79
13. Pendugaan jumlah gen minor (effective factor) dan tipe aksi gen yang mengendalikan karakter-karakter dengan pola sebaran kontinu dan mengikuti kurva normal pada populasi F2……………………....
83
14. Pendugaan jumlah gen mayor dan tipe aksi gen yang mengendalikan karakter-karakter klorofil pada populasi F2 ………..
85
xvii
15. Nilai duga heritabilitas arti luas karakter-karakter yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah….……...
87
16. Matriks tingkat homologi (%) sekuen lengkap basa nukleotida dan asam amino JJ3 dengan tanaman lain……………………………….
101
17. Tingkat homologi cDNA JJ3 dengan gen psaD beberapa spesies tanaman lain menggunakan domain terkonservasi sekuen basa nukleotida dan asam amino………………………………………….
102
18. Diskripsi GSP (gene specific primer) yang digunakan untuk analisis ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah …………………………………………….
113
xviii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Bagan alir penelitian ………………………………………………..
7
2. Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR) …………………
9
3. Lintasan reaksi pembentukan klorofil a dan klorofil b yang melibatkan gen-gen fotosintesis (A) dan struktur kimia klorofil a dan klorofil b (B)……………………………………………………
11
4. Model mekanisme penghindaran (avoidance) (A) dan mekanisme toleransi (tolerance) (B) untuk adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah……………………………………………………….
15
5. Skema bangun kloroplas. Kloroplas merupakan organel semiotonom pada sel tanaman. …………………………………………..
20
6. Skema rantai transport elektron fotosintetik pada PS II dan PS I…...
21
7. Diagram skematik pusat reaksi PSII ..................................................
24
8. Struktur keseluruhan PSI……………………………………………
28
9. Model redox control pada ekspresi gen fotosintesis pada bakteri, alga dan tanaman tingkat tinggi………………………......................
33
10. Model sintesis, prosesing, transport, dan protein PSII intrinsik dan ekstrinsik ……………………………………………………………
36
11. Histogram rata-rata luas daun genotipe kedelai pada masing-masing intensitas cahaya rendah…………………………………………….
51
12. Histogram rata-rata bobot daun spesifik (BDS) genotipe kedelai pada masing-masing perlakuan intensitas cahaya. …………………
53
13. Histogram rata-rata klorofil a genotipe kedelai pada masing-masing perlakuan intensitas cahaya ..………………………………………. 14. Histogram rata-rata klorofil b genotipe kedelai pada masing-masing perlakuan intensitas cahaya..……………………………………….. 15. Histogram rata-rata klorofil total genotipe kedelai pada masingmasing perlakuan intensitas cahaya.…………………………......….
56 58
59
16. Histogram rata-rata rasio klorofil a/b genotipe kedelai pada masing-
xix
masing perlakuan intensitas cahaya…………………………………
60
17. Histogram fenotipe karakter hasil per tanaman pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………….
79
18. Histogram fenotipe karakter luas daun pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………………….
80
19. Histogram fenotipe karakter bobot daun spesifik pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………….
80
20. Histogram fenotipe karakter klorofil a pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………………….
81
21. Histogram fenotipe karakter klorofil b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………………….
81
22. Histogram fenotipe karakter klorofil total pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding………………………………….
82
23. Histogram fenotipe karakter rasio klorofil a/b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding…………………………
82
24. (A). Sekuen lengkap basa nukleotida JJ3 hasil pemanjangan menggunakan metode PCR-RACE. (B). Asam amino hasil translasi dari sekuen lengkap basa nukleotida JJ3...........................................
96
25. (A) Estimasi struktur sekuen lengkap JJ3, (B) Prediksi sekuen pengkodean, CDS lengkap, dan (C) prediksi sekuen peptida, (D) domain terkonservasi (conserved domain) berwarna merah dan yang tidak terkonservasi (domain beragam) berwarna hitam……….
97
26. Open reading frame (ORF) atau coding sequence dari sekuen lengkap JJ3. Sekuen yang ditulis dengan huruf kecil merupakan CDS JJ3 dan huruf kapital merupakan deduksi asam amino.............
98
27. Sebagian hasil pensejajaran (multi-alignment) sekuen basa nukleotida cDNA JJ3 dengan spesies tanaman lain menggunakan progran clustalW. …………………………………………………...
103
28. Hasil pensejajaran sekuen lengkap asam amino cDNA JJ3 dengan tanaman tingkat tinggi lain. ………………………………………...
104
29. Filogenetik cDNA JJ3 dengan gen psaD pada beberapa tanaman berdasarkan urutan asam amino……………………………………..
105
30. Pola ekspresi JJ3 dan CAB-3 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan peka naungan (Godek) (A) serta kuantifikasi ekspresi
xx
masing-masing gen (B). Hasil elektroforesis 1% agarose. Gen ßactin sebagai internal standar (house keeping gene)………………...
115
31. Pola ekspresi gen PhyB dan ATHB-2 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan peka naungan (Godek) (A) serta kuantifikasi ekspresi masing-masing gen (B). Hasil elektroforesis 1% agarose. Gen ßactin sebagai internal standar (house keeping gene)………………...
119
xxi
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Kandungan klorofil (mg/g berat basah sampel) ......………………...
144
2.
Penampilan warna daun beberapa genotipe kedelai pada berbagai intensitas cahaya rendah……………………………………………..
145
3.
Diskripsi varietas Pangrango………………………………………..
146
4.
Diskripsi varietas Pangrango..…………………………....................
147
5.
Sekuen lengkap gen JJ3 di database publik di GenBank……………
148
xxii
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting di Indonesia karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Kebutuhan kedelai di dalam negeri terus meningkat setiap tahun (sekitar 2 juta ton) seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan pentingnya produk berbahan baku kedelai. Di lain pihak, produksi kedelai nasional cenderung stagnan, sekitar 730 ribu ton per tahun. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional, pemerintah mengimpor sekitar 60 persen atau sekitar 700 ribu ton per tahun pada tahun 1998 bahkan meningkat mencapai rata-rata 1,2 juta ton per tahun sejak 2000 – 2004 (Badan Litbang Deptan 2005). Berbagai upaya pemerintah seperti program kedelai mandiri (prokema), gema palagung, dan program lainnya ternyata belum mampu meningkatkan produksi kedelai nasional. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut maka pemerintah mencanangkan Program Swasembada Kedelai 2008 melalui peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi produksi dan juga melalui perluasan areal tanam. Peningkatan produksi kedelai nasional melalui perluasan areal tanam memiliki potensi yang cukup besar, antara lain melalui penggunaan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) melalui program agroforestri, atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya. Kendala utama pengembangan kedelai di bawah tegakan atau sistem tumpangsari tersebut adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan. Menurut Asadi dan Arsyad (1995); Asadi et al. (1997), intensitas cahaya berkurang hingga mencapai 75% di bawah tegakan tanaman perkebunan dan 33% di bawah tumpangsari dengan jagung atau sorgum. Tanaman kedelai memerlukan radiasi matahari yang optimum (sekitar 0.3 - 0.8 kal/cm2/menit setara 431-1152 kal/cm2/hari) dengan spektrum atau panjang gelombang berkisar 400-700 nm (disebut photosynthetically active radiation, PAR) untuk mendapatkan hasil bersih fotosintat yang tinggi (Kassam 1978; Salisbury dan Ross 1992). Selain berperan dominan pada proses fotosintesis, cahaya juga berfungsi sebagai
pengendali, pemicu, dan modulator respon morfogenesis khususnya pada tahap awal pertumbuhan tanaman (McNellis dan Deng 1995). Anderson (2000) juga menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh di lingkungan bercekaman tersebut sulit mengekspresikan potensial genetiknya secara utuh untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi secara maksimum. Dilaporkan bahwa hasil kedelai menurun rata-rata 30-60% pada kondisi cekaman naungan. Handayani (2003) juga melaporkan bahwa akibat cekaman naungan 50%, hasil per hektar tanaman kedelai menurun 10 - 40%. Oleh karena itu diperlukan upaya pemuliaan untuk memperoleh genotipe atau varietas unggul baru kedelai yang mampu beradaptasi pada lingkungan bercekaman intensitas cahaya rendah. Berbagai upaya pendekatan ke arah perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah sudah mulai dirintis sejak tahun 2001 oleh Kelompok Penelitian untuk Perbaikan Tanaman (Research Group for Crop Improvement, RGCI) IPB melalui kajian aspek fisiologi, pemuliaan, dan molekuler (Sopandie et al. 2002, 2003a; Khumaida 2002; Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Kegiatan pemuliaan kedelai toleran naungan dimulai dengan pembentukan 12 populasi bersegregasi dengan metode restricted bulk hasil persilangan dialel lengkap dari empat tetua terpilih (Ceneng, Pangrango, Godek, Slamet). Analisis genetik karakter agronomi yang terkait adaptasi kedelai terhadap naungan sudah dilaporkan (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Seleksi terhadap karakter-karakter yang berkontribusi terhadap sifat adaptasi akan lebih efektif apabila didasari oleh hasil analisis genetik seperti pendugaan jumlah dan aksi gen serta daya waris gengen yang mengendalikan karakter-karakter tersebut (Poehlman dan Sleper 1995; Roy 2000). Karakter daun merupakan karakter yang terlibat langsung dalam proses penerimaan, pengiriman signal cahaya sampai proses fotosintesis. Namun informasi genetik untuk aspek fisiologi dan morfologi daun yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah masih sangat terbatas. Aspek fisiologi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah sudah mulai dipelajari melalui respon spesifik pada berbagai tingkatan seperti adanya perubahan anatomi, morfologi, fisiologi, biokimia sampai tingkat molekuler dan sudah banyak dilaporkan (Sopandie et al. 2001; Khumaida 2002; Murchie et al. 2002; Alves de Alvarenga 2003; Juraimi et al. 2004). Pada tanaman padi gogo
2
dilaporkan bahwa beberapa karakter anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia (klorofil, karoten, karbohidrat, enzim rubisko) terkait erat dengan efisiensi fotosintesis. Selain itu terdapat perbedaan yang jelas antara genotipe toleran dan peka dalam mekanisme adaptasinya terhadap naungan (Sopandie et al. 2001, 2003a, 2003b; Khumaida 2002; Soverda 2002). Pada tanaman kedelai, karakter fotosintetik daun seperti kandungan klorofil a, b dan rasio klorofil a/b serta luas daun merupakan karakter penting bagi adaptasi kedelai terhadap naungan (Sopandie et al. 2002 dan 2006; Khumaida 2002; Handayani 2003; Jufri 2006). Penurunan rasio klorofil a/b sebagai bentuk aklimatisasi fotosintesis terhadap intensitas cahaya rendah juga telah dilaporkan pada kacang kapri (Leong dan Anderson 1984), bayam (Lindahl et al. 1995), barley (de la Torre dan Burkey 1999), gandum (Behera dan Choudhury 2001), dan Arabidopsis (Bailey et al. 2001). Dari aspek molekuler, gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya masih belum banyak dilaporkan namun sudah mulai dirintis oleh Dr Nurul Khumaida. Khumaida (2002) berhasil mengidentifikasi sembilan kandidat gen yang terkait erat dengan karakter adaptasi kedelai terhadap naungan dan tiga fragment cDNA diantaranya (E3, JJ3, dan EE2) terindikasi merupakan kandidat gen fotosintetik yang terkait erat dengan gen yang mengkode protein kompleks membran tilakoid yaitu berturut-turut fotosistem II (PSII), fotosistem I (PSI), dan sitokrom. Fragmen cDNA JJ3 yang terkait protein kompleks PSI telah berhasil diperoleh sekuen lengkapnya (Sopandie et al. 2005) dengan menggunakan metode RACE (Rapid Amplification of cDNA Ends). Dengan demikian tahap berikutnya adalah karakterisasi, konfirmasi fungsi dan analisis pola ekspresinya bagi keperluan mempelajari mekanisme adaptasi dan pemuliaan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Pola ekspresi gen bermanfaat untuk dapat mengetahui apakah gen tersebut termasuk gen dengan respon umum (regulated genes atau functional genes) ataukah gen pengendali stres spesifik (regulatory genes). Pada kondisi stres cahaya rendah, ekspresi gen dengan respon umum (regulated genes) meningkat pada genotipe toleran maupun genotipe peka. Gen tersebut tidak dapat digunakan untuk membedakan genotipe toleran atau peka, sedangkan gen pengendali stres
3
spesifik (regulatory genes) ekspresinya lebih tinggi pada genotipe toleran dari pada genotipe peka. Gen-gen regulator ini sangat penting karena dapat berfungsi sebagai ‘master switches’ yang mengaktifkan program pengiriman signal stres (signal transduction) sehingga dapat meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman kedelai terhadap cekaman naungan. Pola ekspresi beberapa gen fotosintetik pada berbagai kondisi cahaya telah banyak dilaporkan antara lain gen chlorophyll a/b binding protein (CAB), chalcone synthase (CHS) dan ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase small subunit (rbcS) ketiganya merupakan light-regulated genes yang bersifat upregulated pada tanaman tomat (Peters et al. 1998), gen chlorophyll a oxygenase (CAO) yang mengkatalisis konversi klorofil a menjadi klorofil b, gen CHLD yang mengkode enzim biosintesis klorofil pada ganggang hijau Dunaliella salina (Masuda et al. 2002), gen phytochrome B (phyB) dan gen Arabidopsis thaliana homeobox (ATHB) yang terlibat dalam mekanisme avoidance (Ziemienowicz dan Gabrys 2003; Vandenbussche 2005). Pola ekspresi gen-gen fotosintetik tersebut pada tanaman kedelai dalam kondisi cekaman intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Informasi genomik yang berbasis RNA ini bermanfaat untuk mempelajari mekanisme fisiologi dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
Rumusan Masalah Pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tanaman perkebunan, hutan tanaman industri, atau tumpangsari dengan tanaman pangan lain, merupakan salah satu bentuk terobosan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional dan mengurangi ketergantungan impor yang terus meningkat setiap tahun. Akan tetapi kendala utama pengembangan kedelai di lingkungan tersebut adalah faktor intensitas cahaya rendah akibat naungan. Untuk itu diperlukan genotipe atau varietas baru kedelai yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Sejauh ini upaya pemuliaan untuk mendapatkan genotipe atau varietas baru toleran intensitas cahaya rendah masih belum berkembang dengan baik karena belum tersedianya informasi lengkap di bidang fisiologi, genetika, dan molekuler bagi perakitan varietas toleran naungan. Oleh karena itu penelitian ke arah
4
pencarian karakter terutama karakter morfologi dan fisiologi daun, genetika adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan karakter morfofisiologi daun, dan molekuler gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah mutlak diperlukan.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman komprehensif tentang mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui pendekatan morfo-fisiologi, genetik dan molekuler yang dibutuhkan bagi perakitan varietas untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memperoleh karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. 2. Melakukan pendugaan parameter genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan morfo-fisiologi daun. 3. Melakukan karakterisasi sekuen lengkap, gen yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3). 4. Memperoleh informasi pola ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (JJ3, CAB, phyB, dan ATHB).
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai pedoman dasar dalam program pemuliaan atau perbaikan tanaman kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Selain itu diharapkan juga sebagai pedoman dalam pengembangan teknik budidaya untuk memperbaiki karakter kedelai sehingga mampu beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah seperti di bawah tegakan tanaman perkebunan, hutan industri, atau tumpangsari dengan tanaman semusim lain.
Hipotesis Agar penelitian ini dapat dilaksanakan lebih terarah, maka diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut:
5
1. Kedelai genotipe toleran dan genotipe peka naungan memiliki karakter morfologi dan fisiologi daun sebagai penciri adaptasi yang berbeda terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. 2. Karakter morfo-fisiofologi daun, karakter penciri kedelai toleran dan peka cahaya rendah, dikendalikan oleh gen minor dan gen major. 3. Gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah memiliki tingkat homologi yang tinggi dengan gen-gen yang terkait adaptasi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah pada tanaman lain. 4. Terdapat perbedaan pola ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka telah dilakukan empat rangkaian percobaan. Percobaan 1, Respon Morfo-fisiologi Daun, Penciri Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Percobaan 2, Analisis Genetik Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah berdasarkan Karakter Morfo-fisiologi Daun. Percobaan 3, Analisis Sekuen Lengkap Gen yang Terkait Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Percobaan 4, Analisis Pola Ekspresi Gen-gen yang Terkait Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Secara skematis, bagan alir atau tahapan penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.
6
Bahan Kegenetikan Perlakuan Intensitas Cahaya Rendah (ICR) 2
1 Analisis Respon Karakter Daun, Penciri Adaptasi ICR
Luas Daun, BDS, Klorofil
Analisis Genetik Karakter Daun, Penciri Adaptasi ICR
Luas Daun, BDS, Klorofil
3
4
Analisis Sekuen Lengkap Gen Terkait Adaptasi ICR
Sekuen Lengkap cDNA JJ3 (Sopandie et al. 2005)
Ekspresi Gen-gen Terkait Adaptasi ICR
RNA Total
RT-PCR
Karakterisasi
cDNA
Karakter Penciri Adaptasi
Jumlah Gen, Aksi Gen, Heritabilitas
Pendekatan Morfo-fisiologi
Gen-gen Terkait ICR
Pendekatan Genetik
Pola Ekspresi Gen Terkait Naungan
Pendekatan Molekuler
Mekanisme Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah yang Dibutuhkan bagi Pemuliaan Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah Gambar 1 Bagan alir penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Fotosintesis pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Photosynthetically Active Radiation (PAR) dan Fotosintesis Cahaya matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan di atas bumi ini, karena semua mahluk hidup seperti tumbuhan, hewan, bakteri, ganggang, langsung atau tidak langsung tergantung dari fotosintesis. Organisme fotosintetik menggunakan energi cahaya untuk mensintesis makromolekul (karbohidrat, asam amino, dan asam lemak) yang pada gilirannya digunakan oleh organisme lain sebagai material dasar untuk proses metabolisme. Spektrum cahaya yang dibutuhkan tanaman berkisar antara panjang gelombang 400-700 nm, yang biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR). Energi cahaya dikonversi ke molekul berenergi tinggi (ATP) dan NADPH, terjadi di dalam pigmen atau kompleks protein yang menempel pada membran tilakoid yang terletak pada kloroplas. Pigmen tanaman yang meliputi klorofil a, klorofil b, dan karotenoid termasuk xantofil menyerap PAR terbaik pada panjang gelombang tertentu (Gambar 2). Klorofil a menyerap cahaya tertinggi pada kisaran panjang gelombang 420 nm dan 660 nm. Klorofil b menyerap cahaya paling efektif pada panjang gelombang 440 nm dan 640 nm, sedangkan karotenoid termasuk xantofil mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang 425 dan 470 nm. Menurut Salisbury dan Ross (1992); Grant (1997), cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek akan menghasilkan energi foton yang lebih besar dari pada cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang. Dengan demikian klorofil a menyerap energi foton lebih besar dari pada klorofil b. Photosynthetically Active Radiation (PAR) dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan kisaran panjang gelombang yang diserap pigmen tanaman yaitu panjang gelombang aktifitas tinggi (400-500 nm) kelompok cahaya biru, dan panjang gelombang aktif rendah (600-700 nm) kelompok cahaya merah (respon fitokrom).
Kelompok
radiasi
tersebut
aktif
untuk
proses
fotosintesis,
fotomorfogenesis, dan biosintesis klorofil. Cahaya biru aktif untuk fototropisme, pembukaan stomata, dan biosintesis klorofil. Cahaya merah (respon fitokrom)
aktif untuk induksi fotoperiodisitas pembungaan, perkembangan kloroplas (tidak termasuk sintesis klorofil), penuaan (senescence) daun dan absisi daun. Kelompok cahaya hijau dengan panjang gelombang 500-600 nm tergolong tidak aktif untuk fotosintesis. Cahaya merah jauh (far-red) dengan panjang gelombang 700-800 nm juga tidak aktif untuk fotosintesis akan tetapi banyak mempengaruhi fotomorfogenesis (Grant 1997).
Ungu
Biru
Hijau
Kuning
Jingga
Merah
Klorofil a Klorofil b Serapan
Karotenoid
400
450
500
550 600 Panjang gelombang (nm)
650
700
Gambar 2 Spektrum cahaya yang dapat diserap oleh pigmen tanaman, biasa disebut photosynthetically active radiation (PAR) (Salisbury dan Ross 1992) Fotosintesis dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yang terpisah: (i) reaksi terang, dimana energi radiasi (hv) diserap dan digunakan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi ATP dan NADPH; (ii) reaksi gelap, meliputi reduksi biokimia CO2 menjadi gula menggunakan senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan pada reaksi terang; dan (iii) suplai CO2 dari udara ke tempat reduksi di kloroplas (Jones 1992). Secara umum proses fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan hasil asimilat oleh sink, dan pengaruh lingkungan seperti kandungan hara, kelembaban, suhu, dan cahaya. Dalam kondisi tanpa stres, intensitas radiasi merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis (Sinclair dan Torie 1989).
9
Tanaman yang memiliki efisiensi fotokimia yang lebih besar pada cahaya rendah akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan berhasil dalam berkompetisi pada vegetasi yang rapat atau pada kondisi yang ternaungi (Lawlor 1987). Aklimatisasi fotosintetik pada kondisi cahaya rendah memiliki karakteristik tertentu. Sebagai contoh daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil (Evans 1987) dan akumulasi karbohidrat yang rendah (Makino et al. 1985). Tanaman naungan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah a/b lebih rendah pada tanaman cahaya penuh karena mempunyai kompleks pemanen cahaya yang meningkat (Lawlor 1987). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor eletron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui kedua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun cahaya penuh dibandingkan tanaman naungan. Cyt b6f yang merupakan bagian transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones 1992).
Pembentukan Klorofil Klorofil dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan fotosintesis daun. Prekursor dalam pembentukan senyawa pigmen klorofil adalah senyawa intermidiate, glutamat, yang mengalami deaminasi menghasilkan α-ketoglutarat, kemudian direduksi menjadi γ,δ-dioxovalerate dan mengalami transaminasi menjadi asam δ–amino-laevulinat (ALA); sintesis ini memerlukan ATP dan NADPH (Malkin dan Niyogi 2000). Pelepasan air dari asam amino-laevulinat menghasilkan porphobilinogen yang mengandung struktur cincin pyrrole. Selanjutnya terjadi reaksi pelepasan NH3 dan CO2 kemudian membentuk protoporphyrinogen. Penambahan Mg2+ dan adenosylmethionine pada protoporphyrin menghasilkan Mg-protoporphyrin monomethylester. Mg pada klorofil berfungsi sebagai pengatur penyerapan spektrum. Mg-protoporphyrin monomethylester mengalami dehidrasi dan reduksi menghasilkan protochlorophylide. Penambahan H+ menghasilkan chlorophyllide a menjadi klorofil a, proses ini sangat dipengaruhi oleh cahaya (Lawlor 1987).
10
A
Glutamat
Protoporfirin IX CHL D, CHL I, CHL H
Mg-adenosylmethionine
Mg-protoporfirin monometilester H2O
CDR
-4H
Protoklorofilide a DVR
Klorofilide a POR cahaya -6H
Geranyl-geranyl pyrophosphate
Klorofil a CAO
Klorofil b B
Gambar 3 Lintasan reaksi pembentukan klorofil a dan klorofil b yang melibatkan gen-gen fotosintesis (A) dan struktur kimia klorofil a dan klorofil b (B) (Malkin dan Niyogi 2000; Nagata et al. 2005)
11
Klorofil b merupakan bentuk khusus dari klorofil a. Pembentukan klorofil b membutuhkan O2 dan NADPH2 dengan bantuan enzim chlorophyll a oxygenase (CAO). Pigmen klorofil menyusun sekitar 4% bobot kering kloroplas, dan klorofil b berjumlah sekitar 1/3 dari klorofil a (Hall dan Rao 1999). Klorofil a berperan sentral untuk menyerap dan menyalurkan energi cahaya ke pusat reaksi untuk mengeksitasi elektron. Klorofil b berfungsi sebagai pigmen antena. Cahaya ditangkap oleh klorofil b yang tergabung dalam kompleks pemanen cahaya (LHC) kemudian segera ditransfer ke klorofil a dan pigmen antena lain yang berdekatan dengan pusat reaksi. Dalam pembentukan klorofil terdapat paling kurang 3 lintasan reaksi yang dikendalikan oleh gen-gen inti yaitu: lintasan reaksi antara protoporfirin 9 dan protoklorofilide yang melibatkan gen-gen CHLD, CHLI, CHLH, CDR, perubahan protoklorofilide menjadi klorofilide yang melibatkan gen-gen seperti VDR, POR, dan lintasan sintesis klorofil b yang melibatkan gen CAO (Malkin dan Niyogi 2000; Masuda et al. 2002; Nagata et al. 2005; Heyes et al. 2006). Reaksi-reaksi yang terlibat dalam lintasan pembentukan klorofil dan kendali gen-gen inti serta struktur kimia klorofil a dan b disajikan pada Gambar 3. Klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H72O6N4Mg) dapat dibedakan dengan adanya gugus metil (CH3) pada klorofil a dan gugus aldehid (CHO) pada klorofil b. Klorofil biasanya mengalami degradasi atau terurai seiring dengan penuaan daun, dan sebagian besar nitrogennya diabsorpsi kembali oleh tanaman. Klorofil terdapat pada membran tilakoid pada kloroplas. Kloroplas terdapat di dalam sitoplasma dan mengandung DNA, RNA, ribosom dan ensim sendiri (Salisbury dan Ross 1992). Pigmen yang menyerap cahaya pada membran tilakoid tersusun di dalam suatu rangkaian fungsional yang disebut fotosistem. Fotosistem ini mengandung 200-300 molekul klorofil dan sekitar 40 molekul karotenoid. Kelompok pigmen ini menyerap cahaya dengan panjang gelombang 400-700 nm, dan semua molekul pigmen pada fotosistem disebut pigmen tetap cahaya atau ‘antena’. Besaran kuantitas pigmen pada fotosistem ini menentukan ukuran antena (antena size) ( Taiz dan Zeiger 2002).
12
Klorofil a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi energi kimia. Sedangkan klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi dari karotenoid ke klorofil a (Salisbury dan Ross 1992).
Pengaruh Intensitas Cahaya Rendah terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bagi tanaman, cahaya sangat besar peranannya dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan (Taiz dan Zeiger 2002; Salisbury dan Ross 1992). Kedelai termasuk tanaman C3, yang mempunyai tingkat fotorespirasi yang lebih tinggi yang mengakibatkan hasil bersih fotosintesisnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanaman C4. Baharsyah et al. (1993) menyatakan bahwa radiasi matahari akan mencapai titik jenuh antara 0.1-0,6 kal/cm2/menit. Hasil bersih dari proses fotosintesis pada radiasi penuh (1,4-1,7 kal/cm2/menit) adalah sebesar 15-35 mg CO2/dm2 luas daun/jam. Pada kedelai, radiasi matahari optimum untuk fotosistesis maksimal pada kondisi laboratorium berkisar 0,3-0,8 kal/cm2/menit (432-1152 kal/cm2/hari) (Kassam 1978; Salisbury dan Ross 1992). Nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan intensitas cahaya di bawah tegakan karet (Chozin et al. 1999). Studi yang telah dilakukan untuk tanaman padi gogo sebagai tanaman sela pada perkebunan karet menunjukkan, rata-rata nilai intensitas cahaya pada areal terbuka sebesar 398,4 kal/cm2/hari. Nilai rata-rata intensitas cahaya dibawah tegakan karet umur 1, 2, 3 dan 4 tahun berturut-turut sebesar 326.7; 237.6; 109.2 dan 38.2 kal/cm2/hari. Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan naungan paranet 25%, nilai di bawah tegakan karet umur 3 tahun setara dengan naungan paranet 50 %, dan untuk umur 4 tahun sudah melebihi naungan paranet 75 % (Chozin et al. 1999; Haris 1999). Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap penurunan pertumbuhan dan produksi tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman telah terdokumentasikan cukup baik pada tanaman
13
padi gogo (Watanabe et al. 1993; Jiao et al. 1993; Chozin et al. 1999; Sulistyono et al. 1999; Lautt et al. 2000; Sopandie at al. 2003b dan 2003c). Akan tetapi informasi serupa pada tanaman kedelai belum banyak diperoleh. Penelitian Baharsyah (1980) pada kedelai menunjukkan bahwa penurunan cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan hasil biji. Naungan 60 % pada saat awal pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji dan kadar protein biji. Asadi et al. (1997) menunjukkan bahwa penurunan hasil biji kedelai (28 galur) yang diuji di bawah naungan 33 % berkisar 2-45 % dibandingkan dengan tanpa naungan
Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantung kepada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya. Hale dan Orchut (1987) menjelaskan bahwa adaptasi terhadap naungan pada dasarnya dapat melalui dua cara, yaitu melalui: (a) peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit, dan (b) pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan. Levitt (1980) membuat hipotesis bahwa adaptasi terhadap naungan dicapai melalui: (a) mekanisme penghindaran (avoidance) yang berkaitan dengan respon perubahan anatomi dan morfologi daun untuk peningkatan penangkapan cahaya dan fotosintesis yang efisien (Gambar 4A), serta (b) mekanisme toleransi (tolerance) yang berkaitan penurunan titik konpensasi cahaya serta respirasi yang efisien (Gambar 4B). Penghindaran defisit cahaya dilakukan dengan mengurangi kutikula, lilin, dan bulu daun serta meniadakan pigmen antosianin (Levitt 1980). Pada mekanisme toleransi, asimilasi bersih CO2 nol terjadi pada titik kompensasi cahaya (LCP) yaitu cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO2 aktual sama dengan kecepatan evolusi O2 respirasi. Tanaman
naungan
ditandai
dengan
rendahnya
LCP
sehingga
dapat
mengakumulasi produk fotosintat pada tingkat cahaya yang rendah dibanding tanaman cahaya penuh. Selain itu tanaman naungan juga memperlihatkan kejenuhan cahaya pada level intensitas cahaya rendah.
14
(A)
Peningkatan efisiensi penangkapan cahaya Peningkatan area penangkapan cahaya
Peningkatan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik
Peningkatan proporsi area fotosintetik (daun)
Refleksi avoidance
Transmisi avoidance
”waste” absorbsi Avoidance
Hilangnya kutikula, lilin dan rambut pada permukaan daun
Hilangnya pigmen non- kloroplas (Antosianin)
Peningkatan kandungan kloroplas
Peningkatan kandungan pigmen per kloroplas
Peningkatan kandungan kloroplas per sel mesofil
Kloroplas kandungan kloroplas dalam sel epidermis
(B) Toleransi defisit cahaya Penurunan LCP
Penurunan kecepatan respirasi di bawah LCP
Penghindaran kerusakan sistem fotosintetik
Menghindari penurunan akivitas enzim
Menghindari kerusakan pigmen
Penurunan kecepatan respirasi mendekati LCP
Menurunkan substrat respirasi
Menurunkan sistem respiratory: mitokondria & enzim
Gambar 4 Model mekanisme penghindaran (avoidance) (A) dan mekanisme toleransi (tolerance) (B) untuk adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah (Levitt 1980)
15
Perubahan anatomi dan morfologi. Dari sudut anatomi dan morfologi, karakter yang mengalami perubahan terhadap intensitas cahaya rendah telah dijelaskan oleh Bjorkman (1981), Anderson (1986), Evans (1988) dan Anderson et al. (1995). Intensitas cahaya akan mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil (Vogelmann dan Martin 1993). Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar dari pada daun yang ditanam pada areal terbuka, yang disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan, terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibanding genotipe peka, menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b). Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman dikotil termasuk kedelai mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk menggunakan cara menghindari naungan (shade avoidance) (Morelli dan Ruberti 2002). Perubahan kandungan klorofil daun. Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan, degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini tergantung pada cahaya, sehingga apabila tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas (Richter et al. 1990). Kekuatan melawan degradasi ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al. 1992). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka (Chowdury et al. 1994; Sulistyono et al. 1999; Sopandie et al. 2003b). Hal yang senada juga dijumpai pada kedelai toleran naungan (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a). Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi, yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada LHC II. Membesarnya antena untuk fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya. Walaupun
16
kandungan klorofil tinggi, rendahnya laju fotosintesis sering dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan rendahnya aktivitas Ribulose bifosfat (RuBP) (Murty dan Sahu 1987). Selain itu, walaupun kandungan klorofil meningkat namun terjadi penurunan klorofil per luas area karena daun menjadi lebih tipis (Nilsen dan Orcutt 1996). Perubahan fisiologi dan biokimia. Hubungan antara enzim rubisco dan fotosintesis telah diketahui dengan sangat baik (Makino et al. 1984; Evans 1987); jumlahnya pada daun secara relatif merefleksikan 20-30 % dari total N daun. Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu di antaranya adalah perubahan kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya. Rubisco adalah enzim yang memegang peranan penting dalam fotosintesis, yaitu yang mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya rendah (naungan) menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco (Portis 1992, Bruggeman dan Danborn 1993). Diperkirakan genotipe kedelai toleran naungan akan memiliki aktivitas rubisco yang lebih tinggi dan kandungan N terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan yang peka pada kondisi naungan, seperti dilaporkan pada padi gogo (Sopandie et al. 2003b). Hubungan antara cekaman intensitas cahaya rendah dengan penurunan karbohidrat dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pengurangan fotosintat pada intensitas cahaya rendah dapat dihubungkan dengan tingginya resistensi stomata dan sel-sel mesofil terhadap pertukaran CO2. Pada kondisi cahaya rendah aktivitas karboksilase dan RuBP menurun (Thorne dan Koller 1974). Reaksi pembentukan pati dikatalisis oleh enzim ADP-glukosa pyrofosforilase yang mengatur aliran karbon, dimana enzim ini diatur secara alosterik oleh produk dari siklus PCR. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan rendahnya pembentukan 3-PGA, yang menyebabkan hambatan kerja enzim ADP-glukosa pyrofosfatase karena adanya Pi yang berinteraksi dengan 3-PGA. Soverda (2002) menunjukkan bahwa cekaman intensitas cahaya rendah menurunkan aktivitas PGA kinase, penurunan yang lebih kecil dijumpai pada genotipe padi gogo yang toleran naungan dibandingkan genotipe yang peka. Thorne dan Koller (1974) menunjukkan bahwa pemberian naungan menyebabkan penurunan kandungan pati pada daun kedelai, sementara sukrosa
17
mengalami kenaikan, selanjutnya perimbangan antara pati dan sukrosa tersebut berubah kembali seperti semula setelah perlakuan naungan dihentikan. Pada intensitas cahaya rendah terjadi gangguan translokasi karbohidrat. Pada kondisi ini gula total (sebagian besar gula non reduksi dan pati) secara nyata menurun pada seluruh bagian tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang menyebabkan sintesis protein terganggu dan ketersediaan karbohidrat menjadi rendah dan tingkat kehampaan menjadi tinggi. Penelitian Lautt et al. (2000) pada padi gogo menunjukkan bahwa galur toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % saat vegetatif aktif. Kenaikan sukrosa pada saat vegetatif aktif hanya terjadi pada galur yang toleran, sejalan dengan peningkatan aktivitas enzim SPS (sukrosa fosfat sintase). Perubahan struktur kloroplas. Intensitas cahaya tinggi maupun intensitas cahaya rendah merupakan faktor stres yang dapat merusak dan mempengaruhi struktur dan fungsi kloroplas (Mostowska 1997). Menurut Biswal (1997b) dan Mostowska (1997), perubahan struktur dan fungsi kloroplas akibat stres cahaya terjadi pada level komposisi pigmen, struktur organisasi tilakoid, reaksi fotokimia, dan efisiensi fiksasi CO2. Selain itu juga penurunan bahkan kehilangan pigmen fotosintesis, perbedaan respon Chla dan Chlb, dan perubahan dalam komposisi karotinoid, terutama perubahan komposisi komponen siklus xanthophyll. Stress tersebut menyebabkan perubahan struktur kloroplas (secara umum) dan kompleks transport elektron (secara khusus). Perubahan pigmen dan struktur membran tilakoid diikuti oleh perubahan laju reaksi fotokimia yang terkait dengan PSI dan PSII dan juga aktivitas enzim dalam siklus Calvin (Biswal 1997b). Bagian kloroplas yang paling peka terhadap stres cahaya adalah PSII dan diidentifikasi sebagai sasaran utama kerusakan akibat stres cahaya. Kerusakan fotosintetik karena kelebihan cahaya merupakan sindrom stres cahaya tinggi (fotoinhibisi). Tanaman atau kloroplas yang menerima cahaya tinggi dalam waktu lama menyebabkan foto-oksidasi pigmen atau foto-destruksi kloroplas. Fotosistem ini diketahui terkait dengan berbagai mekanisme adaptasi sehingga telah
18
dilaporkan sebagai suatu komponen kunci selama pengiriman signal stres untuk adaptasi kloroplas (Biswal 1997b; Mostowska 1997). Pengaruh stres cahaya rendah terhadap perubahan kloroplas juga sudah dilaporkan. Intensitas cahaya rendah terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Hal ini sering menyebabkan warna daun lebih hijau, karena posisi kloroplas yang terkonsentrasi pada permukaan daun. Intensitas cahaya rendah menyebabkan terjadi peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya matahari tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Regulasi jangka pendek ini termasuk pada saat transisi dan penyesuaian fotosistem stoikiometrik pada fosforilasi protein tilakoid (Allen 1995), regulasi untuk efisiensi PS II (Horton et al. 1996), serta perubahan aktivitas rubisco (Salvucci dan Ogren 1996). Perubahan jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan fungsi organ fotosintesis. Sangat menarik untuk dipelajari perubahan struktur kloroplas pada genotipe kedelai toleran dan peka dalam kondisi intensitas cahaya rendah dalam periode pendek dan panjang. Hipotesis yang dapat diajukan adalah genotipe toleran akan memiliki struktur kloroplas dan komponen (grana, jumlah tilakoid pada grana, stroma, stack membrane, ukuran kloroplas) yang normal dibandingkan dengan yang peka.
Struktur Kloroplas dan Mekanisme Transport Elektron Struktur Kloroplas Kloroplas terdiri atas dua komponen utama (Gambar 5), (a) lamellar network, disebut tilakoid, dan (b) stroma matrix dengan berbagai enzim yang terkait
dengan
siklus
Calvin
seperti
Rubisco
(ribulose
bisphosphat
carboxylase/oxygenase). Terdapat juga beberapa kopy DNA sirkular dan semua
19
komponen transkripsi dan translasi, dan enzim-enzim untuk sintesis lipid, porphyrin, terpenoid, quinoid dan senyawa aromatik lain. Struktur membran tilakoid beragam dari yang sederhana pada bakteri sampai yang paling kompleks pada kloroplas tanaman tingkat tinggi. Membran tilakoid, yang diklasifikasikan ke dalam grana dan lamella stroma, terdiri atas pigmen-pigmen fotosintesis seperti klorofil a, klorofil b, karoten, dan xantofil. Pigmen-pigmen tersebut berasosiasi dengan protein spesifik yang terikat membran (specific membrane-bound protein) dan membentuk gabungan pigmen guna mengoptimalkan penyerapan energi cahaya (foton) (Biswal dan Biswal 1999).
Gambar 5 Skema bangun kloroplas. Kloroplas merupakan organel semi-otonom pada sel tanaman. Energi cahaya dirubah menjadi energi kimia di membran tilakoid. Fiksasi CO2 berlangsung di stroma. Tumpukan grana lebih besar pada daun yang ternaungi dari pada daun penuh cahaya (Biswal dan Biswal 1999). Kompleks protein membran yang terlibat dalam reaksi cahaya tidak tersebar merata di seluruh membran tilakoid. Menurut Critchley (1997), fotosistem II (PSII) dan kompleks pemanen cahaya II (light harvesting complex II) terkonsentrasi di grana, sedangan fotosistem I (PSI) dan ATP-sintase sebagian besar di stroma. Kompleks cytochrome b6 f hampir sama jumlahnya di kedua daerah tilakoid tersebut.
20
Mekanisme Transport Elektron Menurut Critchley (1997) dan Biswal dan Biswal (1999), reaksi cahaya yang terjadi pada membran tilakoid dikendalikan oleh dua fotosistem (PSII dan PSI) yang dihubungkan oleh suatu intersistem rantai transport elektron (Gambar 6). Reaksi cahaya merupakan reaksi fotokimia yang menghasilkan NADPH dan ATP serta membebaskan O2 dari molekul air. Produk reaksi cahaya selanjutnya digunakan reaksi gelap melalui siklus Calvin untuk pembentukan gula.
Gambar 6 Skema rantai transport elektron fotosintetik pada PS II dan PS I (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Secara skematis lintasan elektron yang terjadi pada pusat reaksi membentuk formasi huruf Z sehingga disebut skema Z. Dalam rangkain proses transport elektron dilibatkan sekurangnya 4 kompleks protein utama, yaitu: sistem cahaya II (PSII), kompleks sitokrom b6f, sistem cahaya I (PSI) dan kompleks ATP sintase. Keempat kompleks protein ini terletak di dalam membran tilakoid. PSII berfungsi mengoksidasi air menjadi oksigen dengan melepaskan proton ke lumen (bagian dalam tilakoid). Kompleks sitokrom b6f menerima elektron dari PSII kemudian mengirim elektron tersebut ke PSI dengan disertai pemompaan proton dari stroma ke lumen. PSI mereduksi NADP+ menjadi NADPH di dalam stroma dengan bantuan feredoksin dan enzim Flavoprotein-NADP reduktase (FNR). Kompleks
21
ATP sintase memproduksi ATP dengan memanfaatkan energi yang diperoleh dari proton (H+) yang kembali berdifusi dari lumen ke stroma (Critchley 1997). Secara detail, rangkaian transport elektron dapat dijelaskan sebagai berikut: Cahaya (hv) yang diterima fotosistem II (PSII) menyebabkan terjadinya pemisahan muatan pada pusat reaksi sehingga terbentuk pasangan radikal (P680+Pheo-). P680+ melepas satu elektron dari residu tyrosin di dalam protein D1 kemudian direduksi kembali oleh elektron dari kelompok manganese yang mengoksidasi air dan melepaskan proton (H+) dan O2 ke lumen. Pheo- mereduksi quinone yang masih terikat (QA) dan menggerakkan elektron ke quinone kedua (QB) untuk membentuk semi quinone (QB-). Selanjutnya, QB direduksi menjadi quinol dan membutuhkan dua H+ dari stroma dan mendifusikan ke tempat ikatannya menjadi plastoquinol (PQH2). PQH2 dioksidasi di dalam siklus Q oleh sitokrom kompleks b6f yang mereduksi plastosianin (PC) dan melepaskan proton ke lumen (Biswal dan Biswal 1999; Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Pada fotosistem I (PSI) penyerapan cahaya menyebabkan pemisahan muatan antara P700 dan penerima elektron A0 (klorofil). Elektron tersebut bergerak melalui filoquinon (A1) dan sejumlah pusat Fe-S (Fx, FA dan FB) ke Fe-S protein ferredoksin terlarut (Fdx). Fdx-NADP+ reduktase (FNR) NADP+ mereduksi menjadi NADPH dengan elektron dari Fdx dan dari H+ stroma. P700+ direduksi kembali dengan elektron yang berasal dari plastosianin (PC). Translokasi H+ dari lumen ke stroma menghasilkan proton motif force yang menyebabkan fosforilasi ADP menjadi ATP oleh ATP sintase (CF0 CF1) (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Secara ringkas, energi matahari digunakan untuk mengoksidasi air untuk menghasilkan proton, elektron dan oksigen. Elektron dikonversi ke NADPH. H+ dari oksidasi air dan siklus Q digunakan untuk mensintesis ATP. Selanjutnya NADPH dan ATP yang terbentuk digunakan untuk asimilasi CO2 menjadi karbohidrat pada siklus Calvin-Benson (Surpin et al. 2002; Andersson et al. 2003). Fotosistem II (PSII). Fotosistem II (PSII) merupakan kompleks multiprotein yang terdapat pada membran tilakoid kloroplas selain PSI, Cyt b6f, dan ATPase. Semua proses fotokimia termasuk transport elektron dari air sampai
22
plastoquinon (PQ) dimediasi oleh PSII (Trebst 1995; Kulandaivelu dan Lingakumar 2000). Biswal dan Biswal (1999) menyebut PSII sebagai kompleks multi-subunit yang terdiri atas lebih dari 25 jenis protein berbeda. Beberapa di antara protein tersebut terletak intrinsik dan protein yang lainnya ekstrinsik serta dikode oleh genom plastida dan genom inti. Protein intrinsik seperti D1 dan D2 serta komponen nonprotein seperti Chl a dimer (P680), 2 Chl a monomer, 2 pheophytin (pheo), quinon A (QA), dan quinon B (QB), dan Fe nonheme, menyusun kompleks inti (core complex) PSII. Kompleks inti tersebut berhubungan dengan kluster Mn (4 Mn) dan antena pemanen cahaya (lightharvesting antenna) seperti CP47 dan CP43 (Whitelegge 1997; Biswal dan Biswal 1999). Beberapa protein ekstrinsik, seperti protein 33-kDa penstabil Mn (Mnstabilizing protein) bergabung dengan fotosistem pada sisi lumen. P680 bertindak sebagai donor elektron dan pheo sebagai akseptor elektron. Fotokimia atau reaksi cahaya PSII dimulai dengan pemisahan muatan yang menghasilkan pasangan radikal P680+ Pheo-. Menurut Whitelegge (1997), aktifitas PSII dapat dibagi menjadi 3 domain fungsional. Fungsi pemanen cahaya dengan sejumlah protein intrinsik (CP43 dan CP47) adalah mentransfer energi dari kompleks antena ke pusat reaksi fotosintesis. Pusat reaksi mengandung residu tyrosin (Yz) yang merupakan donor sekunder, kemudian menerima elektron dari domain ketiga, oxygen-evolving complex (OEC), dengan empat elektron. Inti dari OEC adalah kluster Mn tetranuclear yang terkait erat dengan pusat reaksi dan distabilkan oleh sejumlah protein ekstrinsik termasuk ion Ca2+. Komponen transport elektron sisi donor (donor-side) PSII terdiri atas oxygen-evolving complex (OEC) dengan kluster Mn. Fungsi Mn adalah mengakumulasi muatan positif dari evolusi O2. Kluster Mn terkait erat dengan protein D1 dan D2. Sejumlah asam amino pada protein tersebut merupakan ligan untuk mengikat logam. Ion seperti Ca2+ dilaporkan memodulasi struktur OEC yang berperan dalam penguraian molekul H2O (Biswal dan Biswal 1999). Protein yang mengikat Chl a/b, seperti LHCII, terkait dengan PSII. Secara fungsional LHCII dibentuk pada saat unit monomer bergabung pada PSII dalam bentuk trimer. Susunan komponen struktural PSII ditunjukkan seperti pada Gambar 7.
23
Gambar 7 Diagram skematik pusat reaksi PSII (PSII RC). PSII RC terdiri atas core heterodimer yang tersusun dari protein D1 dan D2. Lhcb1-6 merupakan protein antena pemanen cahaya. CP43 dan CP47 adalah protein yang terikat PSII RC, berperan sangat penting dalam mempertahankan struktur dan fungsi PSII. QA dan QB adalah molekul quinon yang terikat berturut-turut dengan protein D1 dan D2. H, I, W merupakan protein minor terkait dengan kompleks PSII (Kulandaivelu dan Lingakumar 2000; Luciński dan Jackowski 2006). Sistem pemanen cahaya PSII (LHCII) terdiri atas protein produk 6 gen Lhcb (Lhcb1-6) yang dirangkai menjadi 4 jenis kompleks: LHCIIa, LHCIIb, LHCIIc, dan LHCIId (Luciński dan Jackowski 2006). LHCIIb merupakan kompleks trimerik yang mengikat sekitar 60% klorofil PSII. LHCIIa, LHCIIc dan LHCIId merupakan kompleks monomerik yang diketahui berturut-turut sebagai CP29, CP26, dan CP24 (Janson 1999). Data terkini menunjukkan bahwa CP29 dan CP26 berperan dalam sistem pemanen cahaya dan dissipasi energi dalam proses fotosintesis (Andersson et al. 2001). Dalam percobaannya menggunakan alga hijau, Nishigaki et al. (2000) melaporkan, sel yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah memiliki bentuk pemanen cahaya LHC II dan LHC I, sedangkan pada intensitas cahaya tinggi memiliki bentuk LHCII, LHC H1 dan LHC H2. LHCI dan LHC HI menjaga efisiensi transfer energi dari Chlb dan lutein ke Chla. LHC H2 menunjukkan rasio
24
Chla/b tinggi. Chlb dan lutein tidak dapat mentransfer secara lengkap energi eksitasi ke Chla pada LHC H2. Peranan PSII dalam transport elektron dalam proses fotosintesis agak khusus karena membawa fungsi evolusi oksigen (oxygen-evolving complex, OEC) yang merepresentasikan permulaan rantai elektron fotosintetik yang efektif. Lintasan transfer eletron pada PSII adalah sebagai berikut: H2O merupakan sumber elektron untuk PSII; Oksidasi H2O di dalam kluster Mn (M) terjadi sebagai ekstraksi 4 elektron dari 2 molekul air, diistilahkan ‘oxygen clock’ yang dikontrol oleh satu elektron dari P680. Transport elektron dari M-Z-P-I- sampai QA meliputi satu elektron saja. Akan tetapi, transfer elektron terakhir dalam PSII terjadi 2 reduksi elekrton dari QB menjadi anion semiquinon (QB-) kemudian menjadi quinol tereduksi penuh (QB--). Plastoquinol menjadi protonasi dan meninggalkan PSII-binding site. Plastoquinon kemudian berikatan dengan QBbinding site, dan proses transfer elektron diulangi seperti semula (Critchley 1997). Menurut Critchley (1999), terdapat dua fungsi PSII dalam fotosintesis. Yang pertama adalah dalam pemanenan energi cahaya untuk mengontrol transport elektron. Air merupakan donor untuk transport elektron yang mereduksi NADP melalui PSI. Yang kedua, PSII berperan menjaga gradien pH di dalam membran tilakoid, yang diperlukan untuk sintesis ATP. Fotosistem I (PSI). Fotosistem I merupakan kompleks pigmen protein yang mengandung multisubunit yang terletak pada membran tilakoid, yang dapat memfotoreduksikan ferredoxin dengan elektron yang berasal dari fotosistem II (PSII) melalui pembawa elektron, plastosianin (PC). Secara singkat PSI merupakan oksidoreduktase plastosianin:ferredoxin yang dikendalikan cahaya (Hiyama 1997). PSI berfungsi pada separo kedua dari rantai transfer elektron dan menggunakan cahaya matahari untuk mentransfer elektron dari plastosianin ke NADP+ (Webber et al. 1997). Pada tanaman, PSI terdiri atas dua moietie: pusat reaksi dan kompleks pemanenan cahaya I (LHCI). Pusat reaksi terdiri atas 11 subunit, dengan nomenklatur (PsaA to PsaF and PsaI to PsaM) yang berasal dari gen psaA to psaF and psaI to psaM. Sebagian besar dari subunit tersebut merupakan membrane-integral.
25
Subunit besar PsaA dan PsaB heterodimer merupakan inti (core) dari PSI, mengatur hampir seluruh kofaktor sistem tranfer elektron dan sistem antena. PsaA-PsaB heterodimer mengikat pasangan klorofil spesifik P700 (dua molekul filloquinon, satu kluster Fe-S, dan sejumlah molekul klorofil a pemanen cahaya). Pada subunit tersebut terjadi pemisahan muatan yang dikendalikan oleh cahaya, dan juga meliputi akspetor elektron yang penting A0 (klorofil a), A1 (filloquinon) dan FX (suatu kluster Fe4-S4). Selain itu, heterodimer mengkoordinasikan sekitar 80 klorofil yang berfungsi sebagai antena pemanen cahaya intrinsik (Nelson dan Ben-Shem 2002; Jordan et al. 2001). Komponen terminal dari rantai transfer elektron pada PSI yaitu dua kluster Fe4-S4 (FA dan FB) yang terikat pada PsaC. Sisanya adalah subunit yang berperan serta di dalam penempatan (docking) ferredoxin yaitu (PsaC, PsaE dan PsaD) dan plastosianin (yaitu PsaF), asosiasi dengan LHCI (PsaK, PsaG, PsaJ dan PsaF), docking LHCII (PsaI, PsaH dan PsaL), dan menjaga integritas dan kestabilan kompleks, dan mungkin beberapa fungsi lainnya (Scheller et al. 2001). Kompleks pemanen cahaya (LHCI) pada PSI merupakan antena membran pemanen cahaya periferal ekstrinsik, dan antena ini dibentuk dari susunan modular dari empat macam protein yang mengandung klorofil pemanen cahaya (Lhca1–Lhca4). Keempat protein tersebut bergabung menjadi dua dimer yang docking pada sisi PsaF dari pusat reaksi (Ben-Shem et al. 2003). Pada PSI terdapat juga donor elektron (plastosianin) dan penerima elektron (ferredoxin) yang memberikan struktur yang lebih lengkap tentang mekanisme transfer elektron pada fotosistem I. Plastosianin menerima elektron dari sitokrom b6f, kemudian secara langsung memberikan elektron ke P700. Ferredoxin merupakan protein Fe-S, menerima elektron dari PSI, dan membentuk kompleks dengan enzim flavoprotein (ferredoxin : NADP oxidoreductase, FNR) yang mereduksi NADP menjadi NADPH. Pada kondisi tertentu ferredoxin terreduksi dan memberikan elektron secara langsung kepada kompleks cytochrome b6f dan memfasilitasi pembentukan ATP melalui fosforilasi siklik (Nelson dan Ben-Shem 2004). Pada S. elongatus, PSI memiliki 3 subunit stroma kecil: PsaC, PsaD, dan PsaE dengan BM masing-masing 8.7, 15.2, and 8.3 kDa (Tabel 1). Ketiga subunit
26
tersebut merupakan subunit ekstrinsik, non-membrane-integral, menutupi permukaan stroma, melebar melebih daerah membran integral (Gambar 8). PsaD dan PsaE dikode gen fotosintetik inti, sedangkan PsaC dikode gen kloroplas (Klukas et al. 1999; Kraub dan Saenger 2001).
Tabel 1 Diskripsi subunit protein pada fotosistem 1 (PSI) (Hiyama 1997; Webber et al. 1997; Kraub dan Saenger 2001) Nama Subunit protein PsaA
Berat Nama Lokasi Molekul Gen (kDa) 83 psaA Intrinsik
PsaB
83
psaB
PsaC
9
psaC
PsaD
15
psaD
PsaE
8
psaE
PsaF
15
psaF
PsaI
4
psaI
PsaJ
5
psaJ
PsaK
8
psaK
PsaL
16
psaL
PsaM
3
psaM
Asal gen
Keterangan
Kloroplas Mengikat rantai transfer elektron intrinsik membran dan mayoritas kofaktor antena core bersama-sama dengan PsaB Intrinsik Kloroplas Mengikat rantai transfer elektron intrinsik membran dan mayoritas kofaktor antena core bersama-sama dengan PsaA Stromal Kloroplas Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, mengikat kluster Fe-S, FA dan FB Stromal Inti Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, diperlukan untuk stabilitas PSI, docking ferredoxin / flavodoxin. Stromal Inti Terletak pada permukaan Ekstrinsik stroma, terlibat pada docking ferredoxin / flavodoxin dan aliran elektron siklik. Intrinsik Inti Terlibat dalam docking plastocyanin / cytochrome c6 Intrinsik Kloroplas Menstabilkan PsaL pada kompleks PS I Intrinsik Kloroplas Menstabilkan PsaF pada kompleks PS I Intrinsik Inti Terkait erat dengan PsaA pada pusat reaksi PSI Intrinsik Inti Bertanggung jawab untuk trimerisasi PSI Intrinsik Kloroplas Fungsi belum diketahui
27
PsaD mengandung satu -helix pendek, Da, yang berdekatan dengan PsaC yang dikeliling oleh -sheet, yang terdiri atas paling kurang tiga -strands (gugus) yang relatif panjang. Satu gugus PsaD menutup dan membungkus PsaC, yang lain terletak di permukaan stroma, tidak berhubungan dengan subunit yang lain, berfungsi menjaga stabilitas peran PsaD terhadp PsaC. Pada tanaman, PsaD mempunyai gugus N yang terlibat dalam pengikatan subunit stroma lain, dan ini menunjukkan pentingnya PsaD dalam menjaga kestabilan stroma pada tanaman (Klukas et al. 1999). Kruip et al. (1997) juga melaporkan, PsaD diperlukan untuk menstabilkan PsaC, dan subunit yang mengarah ke sitoplasma dari PSI. PsaD merupakan ‘master’ subunit yang menstabilkan keseluruhan gabungan PsaC/D/E pada fotosistem I. Dengan demikian, subunit PsaD berperan penting dalam kelangsungan transfer elektron yang berlangsung pada PSI (Klukas et al. 1999).
A
B
Gambar 8 Struktur keseluruhan PSI. A. Simulasi permukaan gundukan stroma PSI. PsaC diberi warna kuning, PsaD warna merah, PsaE warna biru, dan subunit membran-integral warna putih. PsaC terletak di pusat monomer, diapit oleh PsaD dan PsaE. PsaD terletak lebih dekat dengan trimer, sedangkan PsaE terletak dekat dengan periferal. B. gambaran samping, sejajar dengan membran, terhadap susunan PSI, termasuk subunit ekstrinsik PsaE, PsaC dan PsaD stroma (Kruip et al. 1997; Klukas et al. 1999; Kraub dan Saenger 2001)
28
Gen-gen Fotosintesis yang Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Fotosintesis terjadi pada kloroplas yang di dalamnya terdapat sistem membran tilakoid yang terorganisir dengan baik dan melibatkan semua komponen aparatus fotosintetik yang dikode gen inti dan gen kloroplas untuk penangkapan cahaya dan pembentukan struktur pemanenan fotosintetik yang optimal (Allen dan Forsberg 2001; Pfannschmidt 2003). Gen kloroplas terdapat pada genom kecil yang disebut plastome, yang mengandung 100-120 kelompok gen yang relatif stabil (Race 1999). Kloroplas juga mengandung komponen yang lengkap untuk mengekspresikan informasi genetik (Stern 1997), meskipun sebagian besar protein kloroplas dikode di inti (Abdallah 2000) dan harus diimpor secara posttranslasional ke kloroplas melalui komponen import yang terletak di amplop kloroplas (Jarvis dan Soll 2001). Stern (1997) melaporkan bahwa protein yang terletak pada dan/atau dekat dengan pusat reaksi fotosintesis dikode di plastome, sementara protein periferal dikode di inti. Gen-gen inti mengatur jumlah ion dan asam amino tertentu pada sitoplasma, yang dapat mempengaruhi kemampuan plastida untuk tumbuh dan berkembang. Pada tahapan berikut, perkembangan dan diferensiasi plastida memerlukan enzim, enzim subunit, yang dikendalikan gen inti. Gen-gen inti ini mempengaruhi taraf transkrip gen kloroplas, transkripsi dan translasi gen kloroplas, dan stabilitas protein produk gen plastida. Semua gen inti tersebut dapat membantu memadukan aktivitas genom inti dan genom kloroplas (Hatchel 1997).
Gen-gen Fotosintetik Inti Gen-gen inti yang mengkode protein komponen PSI antara lain psaD, psaE, psaF, psaK, psaL, psaN, psaO, psaX, psaY, dan petF yang mengkode ferredoxin (Fd), petE mengkode plastosianin (PC), petH mengkode ferredoxin:NADP oksidoreduktase (FNR) (Hiyama 1997). Gen-gen lain yang terkait cahaya yang terlibat dalam fotosintesis antara lain rbcS yang mengkode mRNA dan protein sub unit kecil ribosom, lhcb, chlorophyll a/b binding protein (CAB), chalcone synthase (CHS) (Peters et al. 1998), chlorophyll a oxygenase (CAO), gen yang mengkode enzim biosintesis klorofil seperti CHLD, DVR (Masuda et al. 2002),
29
dan gen-gen yang terkait dengan kualitas cahaya seperti gen fitokrom (phy), DET2 (de-etiolated-2) (Ziemienowicz dan Gabrys 2003), por, Apx (Pfannschmidt 2003). Menurut Steindler et al. (1999), gen ATHB-2 mengkode protein homeodomain-leucine zipper yang diinduksi dengan cepat dan kuat oleh adanya perubahan rasio cahaya merah (R) : merah jauh (FR) yang terjadi selama siang hari di bawah naungan kanopi dan menginduksi respon shade avoidance tanaman.
Gen-gen Fotosintesis Kloroplas Gen fotosintesis kloroplas merupakan kelompok gen kloroplas yang terlibat dalam fotosintesis. Gen kloroplas (plastida) berbentuk sirkuler, disebut plastome, dengan ukuran 120-217 kb. Genom kloroplas terdiri atas 2 kelompok, daerah large single copy (LSC) dan small single copy (SSC) dengan 2 inverted repeats (IR) yang dapat menyandi sekitar 140 protein selain 30 protein dalam proses fotosintesis (Hachtel 1997; Joshi 1997; Tyagi et al. 2000). Gen kloroplas terutama menyandi komponen protein dari empat kelompok kompleks protein yang terdapat pada membran tilakoid yaitu: 6 gen untuk protein PSI (psaA-C,I,J,M; produk P700 Chla apoprotein A1, P700 apoprotein Chla A2, protein 9kDa), 12 gen untuk protein PSII (psbA-F,H-N; produk pusat reaksi protein D1, D2, apoprotein Chla 47kDa CP47, apoprotein Chla 43kDa CP43, cyt b559 8kDa, cyt b559 4kDa), 6 gen untuk cyt b6/f (petA-B,D,G; produk cytochrome f, cytochrome b6), dan 6 gen untuk ATPase (atpA-B, atpE-I; produk subunit CF1 alpha, CF1 beta), dan gen yang mengkode subunit besar Rubisco (rbcL) (Hachtel 1997; Joshi 1997; Tyagi et al. 2000).
Prinsip Kontrol Redoks pada Ekspresi Gen Fotosintetik Proses transduksi tanaman terhadap adanya cekaman faktor luar mencakup tiga proses pokok, yaitu: stress perception, transduction of stress signal, dan final response. Terhadap stres lingkungan, tanaman dapat merasakan, mengenali signal stres, dan menggunakan signal tersebut sebagai isyarat (cue) untuk membentuk perubahan-perubahan spesifik pada berbagai tingkatan sebagai bentuk adaptasinya, seperti perubahan struktur morfologi, fisiologi (physiological
30
behavior), modifikasi lintasan biokimia, dan ekspresi gen-gen spesifik (stressspecific gene expression) (Biswal dan Biswal 1999). Mekanisme tanaman untuk dapat mengenali dan merasakan suatu signal stres kemudian merubah signal tersebut menjadi respon biokimia (biochemical response) masih belum begitu jelas. Akan tetapi, penerimaan (perception) tanaman terhadap signal stres dan interaksi awal dengan sel dapat diketahui dengan adanya berbagai perubahan fisik seperti perubahan volume sel, struktur biomembran, keseimbangan ion, total kandungan dan komposisi solut, atau perubahan terhadap interaksi protein-ligan (Biswal dan Biswal 1999). Membran sel yang terdiri atas protein dan lipid bilayer merupakan tempat terjadinya proses persepsi signal stres. Seperti membran plasma, membran kloroplas tidak hanya tersusun oleh lipid dan protein tetapi juga ion-ion dan berbagai macam reseptor yang dapat mengenali signal intrinsik maupun signal dari lingkungan. Perubahan struktur lipid dan/atau kompleks lipoprotein akibat stres (stress-induced changes) tersebut selanjutnya dikirim (transmitted) ke berbagai jenis respon seluler melalui perubahan biokimia yang sesuai untuk mengembangkan mekanisme adaptasi guna mengimbangi pengaruh cekaman tersebut. Signal stres dapat menyebabkan terjadinya perubahan di dalam fluiditas membran dan memicu serangkaian perubahan-perubahan, termasuk ekspresi gengen yang berperan terhadap adaptasi stres (Murata dan Loss 1997). Stres cahaya rendah misalnya, sebagaimana yang dilaporkan pada padi gogo, menyebabkan proses metabolisme terganggu, yang berimplikasi pada menurunnya laju fotosintesis dan sintetis karbohidrat (Chaturvedi dan Ingram 1989; Vijayalaksmi et al. 1991; Murty et al. 1992; Jiao et al. 1993; Watanabe et al. 1993; Yeo et al. 1994). Pengaruh tercepat dari cekaman intensitas cahaya rendah adalah penurunan kandungan karbohidrat, terutama fruktosa dan sukrosa (Kephart et al. 1992; Chaturvedi et al. 1994) yang diikuti dengan berbagai perubahan dari proses metabolisme pada tanaman. Terhadap ekspresi gen, cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling penting pada organisme fotosintetik. Fotosintesis memberikan signal yang penting terhadap ekspresi gen dengan kontrol cahaya melalui perubahan pada status reduksi/oksidasi (redoks) dari molekul signaling. Perubahan pada status
31
redoks seperti itu diinduksi oleh perubahan kualitas dan kuantitas cahaya yang diterima. Mekanisme signal redoks memungkinkan fotosintesis mengadakan perubahan pada struktur aparatus fotosintesis melalui kontrol umpan balik ekspresi gen fotosintesis, dan mekanisme signal ini disebut ’kontrol redoks’ (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002; Pfannschmidt 2003). Reaksi redoks merupakan reaksi kimia yang meliputi transfer elektron atau atom hidrogen antar molekul. Reduksi merupakan perolehan satu atau lebih elektron atau atom hidrogen oleh akseptor elektron. Oksidasi merupakan kehilangan satu atau lebih elektron atau atom hidrogen pada suatu donor elektron. Status redoks artinya status oksidasi atau reduksi dari suatu molekul tertentu. Kontrol redoks dari setiap fenomena biologi dapat diuraikan sebagai ketergantungan suatu respon molekuler terhadap status redoks dari satu atau lebih molekul penyusunnya. Banyak proses metabolisme di dalam sel melakukan reaksi redoks sehingga terjadi berbagai respon biologi dan ini dilaporkan sebagai kontrol redoks (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002). Secara sederhana, untuk mengklasifikasi perbedaan tipe kontrol redoks adalah dengan menentukan posisi parameter controlling pertama di dalam rantai transduksi signal antara stimulus lingkungan dengan respon molekuler. Pada sel hidup, rantai transduksi signal ini meliputi persepsi rangsangan lingkungan baik melalui satu atau beberapa reseptor, proses transduksi signal melalui rantai molekul transduksi yang sesuai, yang pada akhirnya respon molekuer yang menyebabkan sel-sel mampu melakukan aklimatisasi terhadap perubahan lingkungan (Gambar 9). Berdasarkan posisi parameter kontrol di dalam rantai transduksi signal, kontrol redoks dibedakan menjadi kontrol redoks persepsional dan kontrol redoks transduksional. Kontrol redoks persepsional, terjadi apabila faktor lingkungan (misal, cahaya) itu sendiri menginduksi signal redoks di dalam sistem sensor persepsi. Kontrol redoks transduksional, terjadi apabila persepsi dari faktor lingkungan (misal cahaya) menghasilkan perubahan status redoks dari molekul-molekul terkait yang ada di sistem sensor (phytochrome family, dan blue light photoreceptor, PSII, PSI). Pada organisme fotoautotropik, aparatus fotosintetik dapat berfungsi sebagai sistem sensor dan berfungsi sebagai fotoreseptor (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003).
32
B
P
Gambar 9 Model kontrol redoks (redox control) terhadap ekspresi gen fotosintesis pada tanaman tingkat tinggi. (A) Skema tahapan proses signaling di dalam sel tanaman. (B) Skema tahapan kontrol redoks terhadap ekspresi gen fotosintesis. Kotak dengan huruf P menunjukkan sistem sensor dari perceptional redox control; kotak dengan huruf T menggambarkan komponen transductional redox control. Garis panah tebal menunjukkan lintasan signaling yang dikontrol redoks. Rantai tranport elektron dari kloroplas digambarkan secara sistematik sesuai dengan skema Hill– Bendall Z dan aliran elektron ditampilkan dengan panah yang menghubungkan antar komponen (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002). Regulasi redoks oleh faktor lingkungan ‘cahaya’ sangat umum di antara organisme fotosintetik pada tanaman tingkat tinggi. Hasil penelitian dilaporkan bahwa perubahan pencahayaan (kualitas atau kuantitas cahaya) digunakan untuk mempengaruhi transport elektron pada membran tilakoid in vivo, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan status redoks komponen fotosintetik. Penelitian dengan perubahan kualitas cahaya umumnya melibatkan kondisi cahaya rendah. Pada kloroplas tanaman yang mengalami kondisi tersebut, gen-gen fotosintetik plastid saja yang terpengaruh. Sebaliknya, perubahan kuantitas cahaya
33
secara predominan menunjukkan adanya pengaruh redoks persepsional terhadap gen fotosintetik inti. Dari kedua kasus tersebut, terindikasi bahwa sensor redoks yang paling memungkinkan adalah PQ-pool dan/atau kompleks cyt b6f. Pada tanaman tingkat tinggi, Sinapsis alba, pencahayaan yang lama dengan perubahan kualitas cahaya menyebabkan penyesuaian jumlah molekul (stoikiometri) fotosistem melalui variasi densitas PSI dan PSII secara simultan. Kuantitas cahaya juga berpengaruh terhadap ekspresi gen-gen fotosintetik inti. Ekspresi gen Lhcb (yang mengkode chlorophyll-binding protein dari kompleks pemanen cahaya PSII, LHCII) pada alga bersel satu, D. tertiolecta, dapat dirangsang oleh PQ-pool teroksidasi (melalui switch dari intensitas cahaya tinggi ke rendah) (Pfannschmidt et al. 2001; Surpin et al. 2002; Pfannschmidt 2003). Pengetahuan terkini menunjukkan bahwa komponen redoks menginisiasi lintasan signaling yang cukup penting, yang akhirnya meregulasi ekspresi gen-gen fotosintesis. Akan tetapi pada level molekuler, ada dua pertanyaan mendasar yang masih krusial, bagaimana signal redoks itu ditransduksi ke gen target, dan apakah berbagai pengaruh redoks yang diamati pada sistem in vivo dan in vitro menunjukkan network signaling redoks yang terintegrasi. Pfannschmidt et al. (2001) meringkas berbagai hasil penelitian sebelumnya dan menyatakan bahwa signal redoks ditransfer keluar dari membran tilakoid melalui dua cara yaitu: signal redoks utama dari PQ-pool dimediasi melalui kompleks cyt b6f, dan transduksi signal redoks PQ/cyt b6f melalui kinase yang terkait dengan tilakoid. Kedua, status redoks dari PQ diterima oleh membran yang terikat, dua komponen sensor kinase, yang mentransfer signal tersebut sampai adanya respon molekuler, yang pada gilirannya mempengaruhi ekspresi gen. Metabolisme kloroplas dan fotosintesis berkontribusi terhadap signal kloroplas yang menentukan ekspresi gen. Perbedaan kontrol redoks gen fotosintesis kloroplas dan inti adalah signal redoks yang menuju inti terdiri atas 80-120 signal (tergantung jumlah kloroplas pada sel yang bersangkutan), sedangkan kontrol redoks di dalam kloroplas merupakan spesifik kloroplas, sehingga ekspresi gen fotosintesis inti menggambarkan respon terhadap rata-rata dari seluruh signal tersebut. Signal redoks kloroplas yang ke inti mengandung informasi yang sifatnya lebih umum tentang kapasitas fotosintesis sel, sedangkan
34
signal redoks di dalam kloroplas menghasilkan kontrol ekspresi gen tergantung situasi spesifik di dalam masing-masing kloroplas (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). Pada kondisi intensitas cahaya rendah, status redoks PQ-pool tergantung secara langsung pada transport elektron. Peran fisiologi yang utama adalah untuk meredistribusikan ketidakseimbangan energi eksitasi antara kedua fotosistem (PSI dan PSII) untuk menghasilkan flux elektron yang efisien, meskipun pada hasil foton yang terbatas, dengan cara aktifasi keragaman fisiologi atau mekanisme ekspresi gen (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003).
Ekspresi Gen-gen Terkait Adaptasi Tanaman terhadap Intensitas Cahaya Rendah Fotosintesis merupakan reseptor untuk informasi lingkungan yang mengontrol ekspresi gen-gen yang dikode inti dan plastida yang mengkode komponen-komponen yang diperlukan untuk proses fotosintesis yang efisien. Beberapa data mengenai kontrol redoks terhadap ekspresi gen fotosintesis konsisten dan mengindikasikan fotosintesis berperan penting sebagai regulator metabolisme tanaman dan juga ekspresi gen (Pfannschmidt et al. 2001; Pfannschmidt 2003). Sebagaimana diketahui bahwa gen-gen inti diregulasi pada level transkripsi dan gen-gen kloroplas diregulasi pada level post-transkripsi. Akan tetapi, banyak penelitian menunjukkan bahwa ekspresi gen pada organisme hidup cukup kompleks dan banyak dipengaruhi berbagai faktor dalam dan luar tanaman. Ekspresi gen meliputi beberapa tahapan, dimulai dengan transkripsi gen atau operon menjadi pre-mRNA (hnRNA) yang kemudian diproses menjadi molekul mRNA matang oleh mekanisme yang meliputi splicing dan editing. Ukuran pool molekul mRNA selanjutnya tergantung pada stabilitas mRNA. Terakhir, untuk memperoleh polipeptida fungsional, mRNA dikirim ke poliribosom untuk translasi menjadi protein. Sebagian besar tahapan ekspresi gen ini diregulasi oleh inti dan kloroplas. Cahaya mengaktifkan ekspresi gen inti maupun kloroplas dan juga prosesing subunit protein untuk pembentukan protein kompleks. Cahaya bekerja
35
pada level post-transkripsi di dalam kloroplas, sementara secara langsung mengontrol laju transkripsi selama ekspresi gen inti. Sensor tanaman menerima cahaya putih (400-700 nm), UV dan merah jauh (far-red). Terdapat paling kurang 3 fotoreseptor yang terlibat dalam penerimaan cahaya, yaitu a) reseptor fitokrom, reseptor cahaya merah/merah-jauh, b) reseptor cahaya biru/UV-A dan/atau UV-B, dan c) protochlorophyllide, dengan kapasitas penerimaan cahaya merah. Signal cahaya diterima oleh fotoreseptor dan ditransmisi secara bertahap (cascade) untuk mengontrol perubahan transkripsi atau post-transkripsi. Transduksi signal yang menghubungkan penerimaan cahaya oleh fotoreseptor dan ekspresi gen masih belum jelas, kecuali elemen regulatory cahaya pada daerah promoter yang menerima signal yang diproses fotoreseptor untuk aktivitas gen (Biswal 1997a, Tyagi et al. 2000). Misalnya promoter rbcS pada kacang kapri (Pisum sativum) dengan sekuens -35 bp sampai -2 bp yang mencakup TATA box dijumpai menginduksi ekspresi gen light-regulated dan positif regulatory elemen (PRE) yang dijumpai pada daerah upstream promoternya.
Gambar 10 Model sintesis, prosesing, transport, dan protein PSII intrinsik dan ekstrinsik (Biswal 1997a).
36
Intensitas dan kualitas cahaya juga mempengaruhi tingkat transkripsi dan mRNA. Di antara panjang gelombang, cahaya merah/merah-jauh yang bekerja melalui fitokrom dan cahaya biru melalui kriptokrom tampaknya paling penting yang mengkode beberapa gen kloroplas (Tyagi et al. 2000). Empat subunit protein intrinsik yang penting dari kompleks PSII, seperti D1, D2, cyt b556, CP43, dan CP47 dikode oleh gen kloroplas, disintesis di kloroplas, diproses di membran, dan ditransfer di dalam tilakoid dari lamela stroma ke daerah tumpukan grana, dimana protein tersebut diinsersi dengan protein lain dan komponen nonprotein untuk membentuk hasil akhir. Sebaliknya, protein ekstrensik dengan berat molekul 33, 23, dan 18 kDa dikode oleh gen inti, disintesis di sitoplasma sebagai prekursor dengan berat molekul tinggi, diproses, dan ditransfer melalui membran kloroplas dan membran tilakoid. Terakhir, protein mencapai lumen dan bergabung dengan protein intrinsik (Gambar 10) (Biswal 1997a; Rochaix 2001).
Analisis Genetik Adaptasi Tanaman Pendugaan Jumlah Gen Pengendali Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dapat berupa sifat kualitatif atau kuantitatif. Sifat kualitatif dikendalikan oleh gen mayor dan memiliki ragam diskret (diskontinu) yang dapat dipisahkan secara jelas menjadi kelas-kelas tertentu. Sifat kualitatif dikendalikan satu atau beberapa gen yang ekspresinya tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sifat kuantitatif memiliki ragam terusan (kontinu), dikendalikan oleh banyak gen minor yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Allard 1960; Fehr 1987). Untuk menduga apakah suatu karakter dikendalikan oleh gen sederhana (gen mayor), poligenik (gen minor) atau keduanya sekaligus dapat dilakukan melalui pengamatan sebaran frekuensi karakter yang diamati pada populasi bersegregasi (F2). Sebaran frekuensi F2 yang diskret menunjukkan bahwa karakter yang diamati dikendalikan oleh gen mayor (gen sederhana). Sebaran terusan (kontinu) satu puncak dan menyebar normal menunjukkan gen pengendali adalah gen minor. Apabila membentuk sebaran terusan dengan dua puncak atau lebih,
37
karakter yang diamati dikendalikan oleh beberapa gen mayor dan gen minor sekaligus (Fehr 1987). Analisis genetik untuk karakter yang dikendalikan oleh gen mayor dilakukan dengan analisis genetika Mendel, yaitu dengan membandingkan nisbah fenotipe hasil pengamatan pada populasi F2 terhadap nisbah Mendel atau nisbah fenotipe tertentu sebagai simpangan nisbah Mendel dengan uji Chi-Kuadrat (Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk keperluan tersebut fenotipe pada populasi F2 dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding. Melalui cara pendekatan ini diperoleh dugaan jumlah gen dan aksi gen yang bersegregasi untuk karakter yang diamati. Menurut Allard (1960); Burns (1976), karakter kualitatif dicirikan oleh adanya ragam diskret (diskontinu) pada kurva sebaran frekuensi dengan munculnya kembali ragam kedua tetua di dalam generasi bersegregasi (F2) dan salah satu tetua mempunyai pengaruh dominansi penuh dalam generasi F1. Karakter kuantitatif secara umum dicirikan oleh adanya varian kontinu pada kurva sebaran frekuensi di dalam generasi bersegregasi (F2) dengan varian F2 yang lebih besar dari varian F1. Untuk mengetahui sebaran frekuensi dari populasi yang diuji, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas sebaran frekuensi F2 menggunakan metode Shapiro dan Wilk (1965). Apabila sebaran frekuensi F2 menunjukkan sebaran dengan satu puncak dan menyebar normal, maka karakter yang diuji dikendalikan oleh banyak gen minor (poligenik). Pendugaan jumlah gen yang bersegregasi dilakukan dengan menggunakan beberapa rumus, salah satunya adalah rumus Castle (1921) dalam Roy (2000), sebagai berikut.
n =
( p1 − p 2 ) 2 8 ( σ 2 F 2 − σ 2 F1 )
dimana, n = jumlah gen pengendali; p1 = rata-rata tetua 1; p2 = rata-rata tetua 2; σ2F1 = varians populasi F1; σ2F2 = varians populasi F2. Apabila sebaran frekuensi F2 menunjukkan tidak mengikuti sebaran normal, maka kemungkinan karakter tersebut dikendalikan oleh gen minor dan gen mayor.
38
Jumlah gen mayor dihitung dengan membandingkan sebaran frekuensi fenotipik hasil
pengamatan
(observation)
dengan
nisbah
harapan
(expectation)
menggunakan uji Chi-Kuadrat (χ2) (Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk pendugaan jumlah dan aksi gen, fenotipe pada populasi F2 terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu sesuai dengan jumlah kelas dalam nisbah pembanding (Fehr 1987; Crowder 1993). Pengelompokan fenotipe berdasarkan kelas-kelas pembanding dalam analisis genetika Mendel adalah sebagai berikut: 2 kelas: peka (1,2), toleran (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas: peka (1,2), moderat (3,4,5), toleran (6,7,8,9); 4 kelas: peka (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), toleran (7,8,9). Untuk menguji kesesuaian nilai pengamatan dengan nilai harapan digunakan Uji Chi-square (χ2):
X
2
( Oi − Ei ) 2 = ∑ Ei
dimana χ2 merupakan nilai chi-square hitung; i = 1,2,3,….n; Oi = nilai pengamatan; Ei = nilai yang diharapkan dalam kelas ke i. Apabila nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, maka tidak ada beda nyata, berarti sebaran fenotipik pada populasi F2 mengikuti nisbah Mendel atau nisbah fenotipik tertentu. Aksi Gen Konsep umum cara kerja gen atau aksi gen adalah salah satu dari dominansi atau resesif. Alel dapat menunjukkan karakternya secara lengkap atau sama sekali tidak terlihat dalam fenotipe. Konsep ini merupakan konsep atau teori Mendel, dengan asumsi: setiap sifat hanya ditentukan oleh satu lokus, alel dalam setiap lokus bersegregasi bebas (independent assortment) dari lokus lain, dan gen-gen tersebut
merupakan
gen
inti.
Akan
tetapi,
beberapa
hasil
penelitian
mengungkapkan terdapat banyak aksi dan interaksi gen yang berbeda-beda membuat pola segregasi yang berbeda dengan yang didapatkan Mendel. Tipe aksi gen dikelompokkan menjadi dua kategori interaksi umum yaitu intralokus dan interlokus (Welsh 1991; Yusuf 2001).
39
Interaksi intralokus atau alelik. Interaksi intralokus atau yang dikenal dengan alelik yaitu interaksi antar alel pada lokus yang sama, misalnya alel dominan menutup pengaruh dari alel resesif (Crowder 1988). Ada tiga macam interaksi intralokus yaitu, dominansi, tidak ada dominansi (aditif), dan dominansi berlebih (overdominan). Dominansi, sama dengan yang dimaksud Mendel bahwa dari persilangan dua tetua homozigot dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 3:1. Tidak ada dominansi (aditif), fenotipe heterozigot terletak tepat di antara dua tetua homozigot, dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 1:2:1. Variasi interaksi ini dapat terjadi bilamana fenotipe heterozigot mendekati salah satu nilai tetuanya. Keadaan ini disebut dominansi tidak sempurna atau dominansi sebagian atau dominansi parsial. Dominansi berlebih (overdominan), fenotipe heterozigot terletak di luar kedua tetuanya, dihasilkan perbandingan segregasi fenotipe pada generasi F2 yaitu 1:1:2 (Welsh 1991; Crowder 1993). Aksi gen intralokus ini dapat didekati dengan menghitung derajat dominansi melalui rumus nisbah potensi (hp) seperti yang diajukan Petr dan Frey (1966), sebagai berikut.
hp =
F − MP HP − MP
dimana hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi gen, F = rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP = nilai tengah kedua tetua Selanjutnya berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi atau aksi gen diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 2 Klasifikasi derajat dominansi berdasarkan nilai potensi rasio (Petr dan Frey 1966) Kisaran nilai hp 0,00 < hp ≤ 0,25
Derajat dominansi Linier aditif, tidak ada dominansi
0,25 < hp ≤ 0,75
Dominan parsial, tidak sempurna
0,75 < hp ≤ 1,25
Dominan lengkap, sempurna
Hp >1,25
Dominan berlebih, overdominan
40
Interaksi interlokus atau non-alelik. Interaksi interlokus atau disebut juga non alelik yaitu interaksi antar alel pada lokus yang berbeda. Sama halnya dengan sistem intralokus, pada interlokus juga terdapat bermacam-macam interaksi alel antar lokus sehingga merubah pola distribusi F2. Untuk dua pasang gen yang memisah secara bebas tanpa adanya interaksi, nisbah fenotipik F2 yang diharapkan adalah 9:3:3:1. Ekspresi sifat satu alel dapat berubah karena kehadiran atau ketidakhadiran salah satu alel atau lebih pada lokus yang berbeda. Proses ini disebut epistasis yang dapat berlangsung apabila paling sedikit terdapat dua lokus yang mengendalikan satu karakter (Welsh 1991; Crowder 1993). Yusuf (2001) membagi interaksi interlokus (epistasis) menjadi tiga macam yaitu epistasis komplementasi, modifikasi, dan duplikasi. Epistasis komplementasi terjadi karena munculnya hasil ekspresi suatu gen yang memerlukan kehadiran alel tertentu pada lokus yang lain. Terdapat dua kasus nisbah yang termasuk epistasis komplementasi yaitu epistasis duplikasi resesif dan epistasis resesif. Epistasis duplikasi resesif atau aksi gen pelengkap yaitu bentuk epistasis dimana munculnya suatu produk memerlukan kehadiran alel dominan pada dua lokus. Distribusi frekuensi pada generasi bersegregasi F2 adalah 9:7. Epistasis resesif atau modifikasi aksi gen yaitu bentuk epistasis dimana faktor resesif homozigot pada suatu lokus bersifat epistasis terhadap faktor dominan pada lokus lain. Distribusi frekuensi fenotipik pada generasi F2 adalah 9:3:4 (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001). Epistasis modifikasi merupakan bentuk epistasis dimana kegiatan satu gen pada suatu lokus menekan atau merubah hasil kerja gen pada lokus yang lain. Terdapat tiga bentuk epistasis modifikasi yaitu epistasis dominan dan resesif, epistasis dominan, dan kasus segregasi F2 nisbah 7:6:3. Epistasis dominan dan resesif disebut juga epistasis penghambat (inhibitor) yaitu kehadiran suatu alel dominan pada lokus akan menghambat pengaruh alel dominan lain. Pada generasi F2 distribusi fenotipik adalah 13:3. Epistasis dominan (aksi gen menyelubung) yaitu bentuk epistasis dimana kedua lokus menghasilkan produk yang berbeda, produk dari salah satu lokus tersebut menutupi pemunculan dari produk yang lain. Distribusi frekuensi pada generasi bersegregasi F2 adalah 12:3:1. Kasus nisbah 7:6:3 muncul karena adanya satu gen yang mencegah ekspresi gen yang lain,
41
dimana terdapat perbedaan derajat penekanan antara homozigot dominan dengan homozigot resesif (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001). Epistasis duplikasi yaitu bentuk epistasis yang berlangsung karena dua gen memproduksi bahan yang sama dan menghasilkan fenotipe yang sama. Bentuk interaksi ini disebut juga duplikasi epistasis dominan (isoepistasis) yaitu bentuk epistasis dimana alel dominan pada satu lokus dapat bersifat lebih dominan terhadap alel yang resesif homozigot pada lokus yang lain. Distribusi frekuensi fenotipik pada F2 adalah 15:1 (Welsh 1991; Crowder 1993; Yusuf 2001).
Pendugaan Nilai Heritabilitas Salah satu parameter genetik dalam pemuliaan tanaman yang berfungsi untuk mengetahui hubungan genetik antara tetua dengan turunan serta efisiensi seleksi relatif untuk beberapa karakter adalah heritabilitas (Allard 1960). Heritabilitas terdiri atas dua tipe yaitu: heritabilitas arti luas (broad sense
heritability) yang dihitung sebagai nisbah varians total genetik, yang meliputi varians dominan, aditif dan epistasis, terhadap varians fenotipik. Heritabilitas arti sempit (narrow sense hetitability) sebagai nisbah varians genetik aditif terhadap varians fenotipik yang menggambarkan seberapa besar suatu karakter mewaris kepada generasi berikutnya. Nilai heritabilitas arti sempit biasanya lebih kecil dari pada nilai heritabilitas arti luas, dan lebih menggambarkan pada kemajuan genetik suatu karakter yang diperoleh dari hasil seleksi (Fehr 1987). Pendugaan nilai heritabilitas arti luas dapat dilakukan melalui komponen varians, regresi tetua - keturunan, pendugaan varians lingkungan secara tidak langsung, dan melalui besarnya perbaikan genetik atau respon seleksi (Fehr 1987). Pendugaan nilai heritabilitas melalui pendugaan varians lingkungan secara tidak langsung dengan melibatkan ragam kedua tetua, generasi F1 dan generasi F2 dengan rumus seperti yang dikemukakan Warner (1952) dalam Fehr (1987). Pendugaan nilai heritabilitas arti sempit dapat dihitung dengan melibatkan varians F2 dari persilangan antar tetua dan F2 dari populasi yang dikembangkan dari backcross (Fehr 1987; Roy 2000). McWhirter (1979) menggolongkan nilai heritabilitas rendah apabila h2 < 20%, nilai heritabilitas sedang apabila 20% < h2 < 50%, dan nilai heritabilitas
42
tinggi apabila h2 > 50%. Terdapat beberapa asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sehingga diperoleh nilai duga heritabilitas yang tidak bias, yaitu: tidak ada interaksi non alelik, tidak ada interaksi antara genetik dengan lingkungan, tidak ada pautan antar gen, dan varians lingkungan populasi F2 dan backcross adalah sama.
43
BAB III RESPON KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN, PENCIRI ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon beberapa karakter morfologi dan fisiologi daun yang menjadi penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas faktor genotipe dan intensitas cahaya rendah. Faktor genotipe terdiri atas dua genotipe toleran (Ceneng dan Pangrango) dan dua genotipe peka (Godek dan Slamet). Faktor intensitas cahaya rendah terdiri atas: L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50% (setelah tanaman berumur 21 HST), L2 = 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 21 HST), L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100% (setelah tanaman berumur 18 HST), dan L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 15 HST). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi intensitas cahaya rendah, genotipe toleran menunjukkan ukuran daun lebih luas, bobot daun spesifik lebih rendah (lebih tipis), kandungan klorofil lebih tinggi, dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dibanding genotipe peka, sehingga karakter morfofisiologi daun tersebut dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Kata kunci: kedelai, penciri, karakter morfologi daun, intensitas cahaya rendah, genotipe toleran
RESPONSE OF LEAF MORPHO-PHYSIOLOGICAL CHARACTERS, MARKERS FOR ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY Abstract The objective of this study was to know the response of leaf morphophysiological characters as markers for adaptation of soybean to low light intensity. This research was conducted in two factors (genotype and low light intensity) and was arranged using split plot design with three replicates. Genotype factor consisted Ceneng, Pangrango (low irradiance tolerant genotypes), Godek and Slamet (low irradiance sensitive genotypes). Factors of low light intensity consisted of L0 = under fully sun light (control), L1 = 5 days under 50% shading (exposed at 21 days after planting, DAP), L2 = 5 days under dark condition (exposed at 21 DAP), L3 = 3 days 50% shading + 5 days sun light (exposed at 18 DAP), L4 = 3 days 50% shading + 3 days sun light + 5 day dark (exposed at 15 DAP). Results of this study showed that: under low light intensity, soybean of LItolerant genotypes possessed wider and thiner leaves than LI-sensitive genotypes, chlorophyll content was higher and ratio of chlorophyll a/b was lower for LItolerant genotypes than LI-sensitive genotypes, therefore the leaf morphophysiological characters of soybean might be used as markers for adaptation of soybean to low light intensity. Key words: soybean, marker, leaf morphological character, low light intensity, tolerant genotype.
45
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain merupakan alternatif andalan untuk meningkatkan produksi kedelai nasional yang masih sangat rendah. Kendala utama pengembangan kedelai sebagai tanaman sela adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan. Rata-rata intensitas cahaya berkurang 25-75% di bawah tanaman karet yang berumur 2-4 tahun (Chozin et al. 1999), sedangkan di bawah tumpangsari dengan jagung berkurang 33% (Asadi et al. 1997) dari rata-rata intensitas cahaya di lingkungan terbuka 800 kal/cm2/hari. Menurut Handayani (2003), akibat cekaman naungan 50%, hasil per hektar tanaman kedelai menurun 10 - 40%. Oleh karena itu maka diperlukan genotipe atau varietas baru kedelai yang mampu beradaptasi pada lingkungan tercekam naungan. Agar mampu beradaptasi pada lingkungan intensitas cahaya rendah, tanaman mengalami berbagai perubahan pada tingkat molekuler, biokimia, anatomi, morfologi, fisiologi, dan agronomi. Perubahan-perubahan karakter adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah tersebut oleh Levitt (1980) dikelompokkan ke dalam bentuk mekanisme penghindaran (avoidance) dan mekanisme ketenggangan (tolerance). Bentuk adaptasi tersebut dapat dipelajari melalui respon spesifik pada berbagai tingkatan seperti adanya perubahan anatomi, morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler (Sopandie et al. 2001; Khumaida 2002; Murchie et al. 2002; Alves de Alvarenga 2003; Juraimi et al. 2004). Pada tanaman padi gogo, dilaporkan bahwa beberapa karakter anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia (klorofil, karoten, karbohidrat, enzim rubisko) terkait erat dengan efisiensi fotosintesis. Selain itu terdapat perbedaan yang jelas antara genotipe toleran dan peka dalam mekanisme adaptasinya terhadap naungan (Sopandie et al. 2001, 2003a, 2003b; Khumaida 2002; Soverda 2002). Akan tetapi untuk tanaman kedelai, penggolongan genotipe toleran dan genotipe peka naungan masih terbatas pada tingkat produksi. Beberapa karakter daun yang terkait erat dengan sifat adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah antara lain: kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total dan rasio klorofil a/b, luas daun
46
dan ketebalan daun (Khumaida 2002; Lautt 2003; Handayani 2003; Sopandie et al. 2003b; Jufri 2006). Evans dan Poorter (2001); Ballare (1999) menggolongkan respon tanaman yang tumbuh di bawah naungan menjadi: respon aklimatisasi (shade acclimation response) yang memaksimalkan pemanenan cahaya melalui peningkatan luas atau pengurangan bobot spesifik daun dan meningkatkan klorofil b atau menurunkan rasio klorofil a/b melalui peningkatan jumlah kloroplas per sel dan/atau per satuan luas daun (Walter et al. 1999). Aklimatisasi kloroplas ini (kadang-kadang disebut ’shade tolerance’) meliputi perubahan susunan aparatus fotosintesis di dalam kloroplas. Peningkatan absorpsi cahaya dipacu oleh peningkatan jumlah kloroplas per unit luas daun dan dengan peningkatan konsentrasi klorofil pada kloroplas (Khumaida 2002). Respon aklimatisasi terhadap tingkat intensitas penyinaran (photoacclimation) dilakukan dengan menyesuaikan ukuran antena klorofil yang terkait dengan masing-masing fotosistem (Melis 1991). Tanaman yang tumbuh pada kondisi intensitas cahaya rendah, fotosistem mengandung jumlah klorofil b yang relatif lebih tinggi, mempunyai kompleks pemanen cahaya klorofil a-b (LHC) yang lebih besar, dan rasio LHC-PS core yang lebih tinggi. Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa penurunan rasio klorofil a/b melalui peningkatan klorofil b, terkait dengan peningkatan protein pemanen cahaya klorofil a/b pada fotosistem II (LHCII). Pengaturan ukuran antena klorofil yang tergantung intensitas cahaya tersebut merupakan respon kopensasi tanaman yang bersifat dinamis. Dilaporkan pula ketika sel Dunaliella salina yang teraklimasi pada intensitas cahaya tinggi dipindahkan ke kondisi intensitas cahaya rendah, maka seketika itu terjadi peningkatan ukuran antena klorofil yang disertai peningkatan sel klorofil, apoprotein LHC dan penurunan rasio klorofil a/b sebagaimana terakumulasinya klorofil b (Neidhardt et al. 1998). Respon menghindar (shade avoidance response) dengan memaksimalkan penangkapan cahaya dengan cara perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien. Daun tanaman yang ternaungi lebih tipis namun luas permukaan daun menjadi lebih lebar. Selain itu mekanisme toleransi (shade tolerance response) melalui penurunan titik kompensasi cahaya (LCP) atau penurunan respirasi di bawah LCP
47
yang terdiri atas beberapa mekanisme antara lain mencegah aktifitas enzim atau mencegah kerusakan pigmen, atau menurunkan sistem respirasi. Menurut Morelli dan Ruberti (2002), tanaman Angiospermae mempunyai kapasitas yang lebih banyak untuk menghindari naungan (shade avoidance). Respon shade avoidance yang paling dramatis adalah stimulasi pertumbuhan memanjang yang cepat dan bersifat dapat balik (reversible). Pada tanaman dikotil, pertumbuhan memanjang sering kali terkait dengan penurunan perkembangan daun, penguatan dominan apikal, dan pengurangan percabangan. Selain itu, percepatan pembungaan dan pengurangan sumber untuk penyimpanan dan reproduksi. Ini terkait dengan biji yang berkurang, perkembangan buah yang berkurang dan sering kali kemampuan perkecambahan dari biji yang dihasilkan juga berkurang.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon beberapa karakter morfologi dan fisiologi daun dan menentukan karakter-karakter yang dapat digunakan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan genetik yang digunakan adalah genotipe toleran (Ceneng, Pangrango) dan genotipe peka (Godek, Slamet) (Sopandie et al. 2002). Diskripsi varietas Pangrango dan varietas Slamet disajikan pada Lampiran 3 dan 4.
Persiapan Tanaman Persiapan tanaman dilakukan di Kebun Percobaan Balai Besar Bioteknologi Tanaman dan Sumberdaya Genetik, Cikeumeuh, Bogor mulai Agustus – Oktober 2005. Tanah yang sudah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 dimasukkan ke dalam polibag berdiameter 15 cm. Tiap polibag berisi 8 kg
48
tanah dan ditanam 3-4 benih kedelai kemudian dibiarkan dua tanaman sehat per polibag. Sebelum ditanami, tiap polibag ditaburi sekitar 0.03 g Furadan 3G. Pemupukan 0.3 g urea, 1 g SP-36, dan 1 g KCl tiap polibag setara 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha diberikan setelah bibit berumur satu minggu setelah tanam. Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan petak terpisah dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah genotipe kedelai terdiri atas dua genotipe toleran naungan (Ceneng, Pangrango) dan dua genotipe peka naungan (Godek,Slamet). Faktor kedua adalah intensitas cahaya yang terdiri atas: L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan (setelah tanaman berumur 21 HST), L2 = 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 21 HST), L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100% (setelah tanaman berumur 18 HST), dan L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total (setelah tanaman berumur 15 HST). Sebelum diberikan perlakuan cahaya, bibit kedelai semua genotipe yang ditanam pada polibag berdiameter 15 cm tersebut diletakkan pada kondisi cahaya penuh. Kondisi naungan buatan 50% dibuat dengan memasang paranet hitam 50% pada semua sisi rangka naungan yang berukuran 20 x 10 meter dengan tinggi sungkupan 2 meter. Kondisi gelap total dibuat dengan menggunakan ruangan yang tertutup rapat tanpa cahaya.
Pengamatan Karakter morfo-fisiologi daun yang diamati meliputi: luas daun trifoliat, bobot daun spesifik (BDS), kandungan klorofil a, klorofil b, dan rasio klorofil a/b. Sampel daun adalah daun yang telah membuka sempurna (daun kedua dan ketiga dari pucuk ) dipanen secara bersamaan dari semua perlakuan pada umur tanaman 26 HST. Pengamatan luas daun trifoliat dilakukan menggunakan leaf area meter, sedangkan bobot daun spesifik yang mengindikasikan ketebalan daun dihitung dengan cara membagi berat kering daun dengan luas daun, dilakukan di lab Ekofisiologi Fakultas Pertanian IPB. Analisis kandungan klorofil dan antosianin dilakukan di lab RGCI Fakultas Pertanian IPB. Analisis kandungan klorofil dilakukan mengikuti prosedur
49
Richardson et al. (2002) yang merupakan perbaikan metode Arnon (1949) (lihat Lampiran 1).
Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan prosedur Anova dilanjutkan dengan uji BNT dengan taraf nyata 5%. Analisis dilakukan menggunakan program SAS versi 8.0 dan Minitab versi 13.30.
HASIL DAN PEMBAHASAN Luas Daun dan Bobot Daun Spesifik Daun merupakan organ fotosintetik utama bagi tanaman yang secara langsung terlibat dalam proses penangkapan cahaya dan perubahan energi cahaya menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. Pada kondisi lingkungan cahaya kurang, diperlukan morfologi daun yang lebih lebar untuk dapat menangkap cahaya sebanyak mungkin dan daun yang lebih tipis sehingga cahaya yang direfleksikan serendah mungkin. Selain itu diperlukan pigmen pemanen cahaya seperti kandungan klorofil terutama klorofil b yang lebih tinggi sehingga lebih banyak cahaya yang dapat diserap oleh tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata respon karakter morfo-fisiologi daun yang diamati pada masing-masing genotipe dan intensitas cahaya rendah. Luas daun. Pada kondisi intensitas cahaya rendah, kedelai genotipe toleran memiliki daun yang lebih luas dibanding genotipe peka. Pada Gambar 11, terlihat bahwa pada kondisi 5 hari naungan 50% (L1), genotipe toleran Ceneng dan Pangrango memiliki rata-rata luas daun yang lebih tinggi (14.4 cm2) dibandingkan dengan genotipe peka Slamet dan Godek (± 12.1 cm2). Genotipe peka Godek menunjukkan rata-rata luas daun terendah sementara tertinggi ditunjukkan pada genotipe Ceneng pada semua kondisi intensitas cahaya rendah: yaitu pada kondisi 5 hari gelap total (L2), 3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3), dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya + 5 hari gelap (L4). Genotipe peka Slamet
50
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan genotipe toleran kecuali pada 5 hari naungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Lestari (2005); Tyas (2006); Jufri (2006); Muhuria (2007).
L u a s D a u n (c m 2 )
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
a
a a
a a
a a a
Cahaya (Kontrol)
a b
b
a a
a b
c a a
5 hr Naung
Ceneng
b ab
5 hr Gelap
Pangrango
3Naung+5Chy
Godek
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 11 Histogram rata-rata luas daun genotipe kedelai pada masing-masing perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. Peningkatan
dan
penurunan
luas
daun
masing-masing
genotipe
dibandingkan kontrol pada masing-masing intensitas cahaya rendah disajikan pada Tabel 3. Peningkatan luas daun tertinggi terjadi pada genotipe toleran Ceneng hingga mencapai 43% lebih tinggi dari kontrol yang terjadi pada perlakuan on/of 3 hari naungan + 5 hari cahaya + 5 hari gelap (L4), kemudian diikuti Pangrango, Slamet dan yang paling rendah terjadi pada genotipe Godek (hanya 20% lebih tinggi dari kontrol). Secara keseluruhan, peningkatan luas daun pada genotipe Ceneng lebih tinggi sekitar 25% dibanding genotipe Godek pada kondisi intensitas cahaya rendah. Pada kondisi 5 hari gelap total (L2) dimana tidak ada cahaya sama sekali yang diterima tanaman selama periode tersebut menyebabkan pertambahan luas daun semua genotipe terhambat sehingga rata-rata luas daun pada masing-masing genotipe lebih kecil dibanding pada kondisi cahaya penuh (kontrol). Rata-rata luas daun yang paling rendah selama kondisi lima hari gelap terjadi pada genotipe peka Godek (sekitar 31% lebih rendah dibanding kontrol) diikuti berturut-turut
51
oleh Slamet, Pangrango dan yang paling sedikit penurunannya adalah genotipe toleran Ceneng (sekitar 18% dibanding kontrol). Fenomena ini juga menjadi salah satu bukti bahwa genotipe Ceneng memiliki kemampuan lebih untuk beradaptasi pada kondisi cekaman termasuk cekaman berat lima hari gelap total sekalipun. Tabel 3. Rata-rata luas daun (cm2) dari berbagai perlakuan intensitas cahaya pada masing-masing genotipe kedelai Genotipe Ceneng
L0 11.593 c
Pangrango
11.817 b
Godek
10.617 b
Slamet
11.740 c
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 14.364 b 9.549 d 16.080 a (124) (82) (139) 14.430 a 9.080 c 15.944 a (122) (77) (135) 11.220 b 7.300 c 12.903 a (106) (69) (122) 13.067 b 8.497 d 15.977 a (111) (72) (136)
L4 16.590 a (143) 16.457 a (139) 12.777 a (120) 16.073 a (137)
BNT 5% 0.950 2.075 1.202 1.232
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
Kedelai yang diberikan 3 hari naungan kemudian diberikan cahaya penuh (perlakuan recovery) (L3) atau setelah itu diberikan lagi kondisi gelap (perlakuan on/of) (L4) menunjukkan rata-rata luas daun yang lebih tinggi dibanding jika diberikan naungan 50% selama 5 hari (L1) atau gelap lima hari (L2) bahkan jika ditanam penuh cahaya terus menerus (kontrol) (L0). Fenomena ini terjadi pada semua genotipe yang diuji. Diduga bahwa pemberian kondisi naungan sebelum diberikan kondisi cahaya penuh dapat memicu terjadinya biosintesis hormon endogeneous tertentu seperti gibberellin yang berfungsi dalam pembesaran dan pembelahan sel jaringan daun sehingga daun menjadi lebih lebar (Taiz dan Zeiger 2002; Bultynck dan Lambers 2004). Selanjutnya pemberian cahaya penuh dalam waktu 3-5 hari tanaman memanfaatkan daun lebar tersebut untuk mendorong aktivitas fotosintesis normal sehingga menghasilkan energi yang lebih banyak untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Morelli dan Ruberti (2002) selama terjadi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB.
52
Respon peningkatan luas daun pada kedelai juga dilaporkan peneliti sebelumnya (Sopandie et al. 2003b; Handayani 2003; Lestari 2005; Jufri 2006; Tyas 2006; Muhuria 2007) pada tanaman kedelai dan Lautt (2003); Khumaida (2002). Peningkatan luas daun ini merupakan salah satu mekanisme untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya, sekaligus memelihara keseimbangan penggunaan fotosintat (Taiz dan Zeiger 2002). Bobot daun spesifik (BDS). Ada kecenderungan bahwa rata-rata bobot daun spesifik (rasio bobot kering daun dengan luas daun, mg/cm2) yang mencerminkan ketebalan daun lebih tinggi pada genotipe peka dibanding genotipe toleran. Perbedaan yang nyata hanya terjadi pada kondisi 5 hari naungan 50% (L1) yaitu sekitar 2.6 mg/cm2 pada genotipe toleran dan sekitar 3.2 mg/cm2 pada genotipe peka. Genotipe peka Godek cenderung memiliki bobot daun spesifik paling tinggi, sedangkan yang paling rendah adalah genotipe toleran Ceneng (Gambar 12).
6
2
B D S (m g /cm )
5
a
a
a a a
a
4
a a b b
3
a
a a
a a a a
a
a a
2 1 0 Cahaya (Kontrol)
5 hr Naung
Ceneng
5 hr Gelap
Pangrango
3Naung+5Chy
Godek
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 12 Histogram rata-rata bobot daun spesifik (BDS) genotipe kedelai pada masing-masing perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. Peningkatan bobot spesifik daun pada masing-masing genotipe tertinggi pada kondisi cahaya penuh (kontrol, L0) dan kondisi 3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3), diikuti 5 hari naungan 50% (L1) dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya
53
+ 5 hari gelap (L4), dan terrendah pada kondisi 5 hari gelap total (L2). Penurunan bobot daun spesifik pada genotipe toleran cenderung lebih besar dibanding genotipe peka, artinya daun genotipe toleran lebih tipis dari pada genotipe peka (Tabel 4). Penurunan bobot daun spesifik terjadi pada semua genotipe. Penurunan yang nyata terjadi pada kondisi 5 hari naungan (L1), 5 hari gelap (L2) dan on/of gelap (L4) dengan penurunan bobot daun spesifik sekitar 30-40% dibanding kontrol. Tabel 4 Respon bobot daun spesifik (mg/cm2) masing-masing genotipe kedelai pada berbagai perlakuan intensitas cahaya Genotipe Ceneng
L0 4.053 a
Pangrango
4.217 a
Godek
4.126 a
Slamet
4.420 a
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 2.548 bc 2.404 c 3.988 a (63) (59) (98) 2.590 c 2.618 c 4.125 a (61) (62) (98) 3.121 b 2.542 c 4.369 a (76) (62) (106) 3.217 b 2.505 c 4.049 a (73) (57) (99)
L4 2.827 (70) 3.225 (76) 3.223 (78) 3.104 (70)
b
BNT 5% 0.418
b
0.357
b
0.460
b
0.523
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
Dari hasil pengamatan luas daun dan bobot daun spesifik (BDS) genotipe toleran terutama Ceneng memiliki daun yang lebih lebar dan lebih tipis dibanding genotipe peka terutama Godek. Daun yang lebar dan tipis memungkinkan penangkapan cahaya lebih banyak dan diteruskan ke bagian daun yang lebih bawah dengan cepat sehingga kegiatan fotosintesis berlangsung optimal. Sebagaimana yang dilaporkan Muhuria (2007), laju fotosintesis dan laju transport elektron lebih tinggi pada genotipe toleran Ceneng dibanding genotipe peka Godek pada kondisi naungan 50%. Dengan demikian genotipe toleran Ceneng lebih mampu beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah dibanding genotipe peka Godek. Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b; Muhuria 2007), terjadi pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibanding
54
genotipe peka, menyebabkan daun menjadi lebih tipis. Perubahan karakter tersebut diduga merupakan bentuk mekanisme penghindaran terhadap cahaya rendah. Weston et al. (2000); Evans dan Poorter (2001) juga menjelaskan respon menghindar (shade avoidance response) tanaman yang mengalami cekaman intensitas cahaya rendah dilakukan dengan memaksimalkan penangkapan cahaya dengan cara perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis yang efisien, yaitu daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dan lebih luas sehingga jaringan pemanen cahaya menjadi lebih lebar. Taiz dan Zeiger (2002) juga menjelaskan, daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Lapisan palisade dapat berubah sesuai kondisi cahaya, yang menyebabkan tanaman menjadi efisien dalam menyimpan energi cahaya untuk perkembangannya.
Kandungan Klorofil Daun Rata-rata kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) dan rasio klorofil a/b serta perubahan yang terjadi pada berbagai kondisi cekaman intensitas cahaya rendah disajikan pada Gambar 13-17 dan Tabel 5-8. Kandungan klorofil a. Terlihat pada Gambar 13 bahwa rata-rata kandungan klorofil a pada genotipe toleran Ceneng dan Pangrango lebih tinggi dan berbeda nyata dengan genotipe peka Godek dan Slamet. Perbedaan yang nyata terjadi pada semua kondisi cahaya baik pada kondisi cahaya penuh maupun pada kondisi intensitas cahaya rendah. Selama lima hari naungan 50%, kandungan klorofil a tidak mengalami perubahan dibanding pada kondisi cahaya penuh, akan tetapi peningkatan sekitar 15% pada genotipe toleran terjadi pada kondisi recovery (L3) yaitu setelah diberikan naungan selama tiga hari kemudian di berikan cahaya penuh. Pada kondisi L3 genotipe peka juga mengalami peningkatan kandungan klorofil a (Tabel 5). Penurunan klorofil a yang nyata sekitar 50% terjadi pada kondisi cekaman gelap yaitu gelap total selama 5 hari (L2) dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya + 5 hari gelap (L4) yaitu terjadi pada genotipe toleran Ceneng dan Pangrango. Penurunan yang cukup besar terjadi pada genotipe peka Godek dan Slamet (rata-rata 70% dari kontrol) pada kedua perlakuan tersebut (L2 dan L4).
55
Diduga pada kondisi gelap tersebut klorofil a pada genotipa peka mengalami degradasi karena tidak adanya energi cahaya yang diterima.
K lo ro fil a (m g /g b b )
2.5 2.0
a a
a ab
b b
a a b b
b b
1.5
a b a b
1.0
d
0.5
d
c
c
0.0 Cahaya (Kontrol)
5 hr Naung
Ceneng
Pangrango
5 hr Gelap
Godek
3Naung+5Chy
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 13 Histogram rata-rata klorofil a genotipe kedelai pada masing-masing
perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.
Tabel 5 Repon kandungan klorofil a (mg/g berat basah daun) genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya Genotipe Ceneng
L0 1.650 b
Pangrango 1.580 b Godek
1.446 b
Slamet
1.457 b
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 1.656 b 0.850 d 1.898 a (100) (51) (115) 1.601 b 0.805 d 1.785 a (101) (51) (113) 1.480 b 0.377 d 1.583 a (102) (26) (109) 1.472 b 0.520 d 1.586 a (101) (36) (109)
L4 1.119 (68) 0.996 (63) 0.479 (33) 0.678 (47)
c
BNT 5% 0.098
c
0.161
c
0.057
c
0.078
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
Respon kandungan klorofil a pada masing-masing genotipe tersebut terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya rendah memiliki pola yang sama yaitu tertinggi pada kondisi recovery 3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3) disusul
56
berturut-turut pada 5 hari naungan 50% (L1), L0, L4 dan terrendah pada kondisi 5 hari gelap total (L2). Tinggi rendahnya kandungan klorofil a dapat mempengaruhi tinggi rendahnya jumlah cahaya yang dapat diteruskan dalam proses fotosintesis. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), klorofil a memiliki peran sentral untuk menyerap dan menyalurkan energi cahaya ke pusat reaksi untuk mengeksitasi elekron. Kandungan klorofil b. Perbedaan yang nyata antara genotipe toleran dan genotipe peka selama pemberian intensitas cahaya rendah juga terjadi pada kandungan klorofil b (Gambar 14). Rata-rata kandungan klorofil b genotipe toleran Ceneng dan Pangrango lebih tinggi dan berbeda nyata dengan genotipe peka Godek dan Slamet pada kondisi lima hari naungan (L1), 5 hari gelap total (L2), 3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3) dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya + 5 hari gelap (L4). Peningkatan klorofil b yang nyata terjadi pada kondisi 5 hari naungan (L1) dan kondisi recovery (L3) pada semua genotipe (Tabel 6). Peningkatan klorofil b pada toleran Ceneng dan Pangrango lebih besar dari pada genotipe peka Godek dan Slamet. Pada kondisi L1, peningkatan klorofil b pada genotipe toleran sekitar 46% di atas kontrol dan pada genotipe peka sekitar 17%. Pada kondisi L3 klorofil b meningkat sekitar 13% pada genotipe toleran dan sekitar 9% pada genotipe peka. Sebaliknya penurunan klorofil b terjadi pada kondisi gelap total yaitu pada perlakuan 5 hari gelap total (L2) dan on/of gelap (L4), namun penurunan nyata hanya terjadi pada genotipe peka Godek dan Slamet. Penurunan kandungan klorofil b pada genotipe torelan sebasar 15% dari kontrol, namun penurunan yang cukup besar terjadi pada genotipe peka (sekitar 40-50% dari kontrol). Kandungan klorofil b genotipe toleran Ceneng dan Pangrango meningkat cukup besar dibanding genotipe peka Godek dan Slamet pada kondisi 5 hari naungan 50% (L1) dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya penuh (L3). Penurunan klorofil b pada kondisi gelap total (L2 dan L4) terjadi cukup besar pada genotipe peka terutama Godek dibanding genotipe toleran Ceneng dan Pangrango (Tabel 6). Tingginya klorofil b pada kondisi naungan tersebut merupakan salah satu strategi tanaman kedelai untuk menangkap cahaya yang lebih banyak sebagaimana fungsi klorofil b sebagai pigmen antena. Menurut Taiz dan Zeiger
57
(2002), klorofil b berperan sebagai pigmen antena yang berfungsi menangkap energi cahaya secara langsung. Dengan demikian, semakin banyak jumlah kandungan klorofil b pada kondisi naungan tersebut semakin banyak cahaya yang dapat ditangkap dan diteruskan melalui klorofil a ke pusat reaksi.
a
1.0 0.9 Klorofil b (mg/g bb)
0.7 0.6 0.5
a
b
0.8
a
c a a
b b
c
a a
a b
a a
0.4
b c
0.3
c d
0.2 0.1 0.0 Cahaya (Kontrol)
5 hr Naung Ceneng
5 hr Gelap Pangrango
Godek
3Naung+5Chy
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 14 Histogram rata-rata klorofil b genotipe kedelai pada masing-masing
perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. Tabel 6 Repon kandungan klorofil b (mg/g berat basah daun) genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya Genotipe Ceneng
L0 0.490 c
Pangrango 0.491 b Godek
0.475 b
Slamet
0.464 b
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 0.881 a 0.428 c 0.759 b (180) (87) (155) 0.743 a 0.420 c 0.718 a (151) (86) (146) 0.550 a 0.225 c 0.526 ab (116) (47) (111) 0.508 a 0.283 d 0.527 a (109) (61) (114)
L4 0.450 (92) 0.414 (84) 0.273 (57) 0.379 (82)
c
BNT 5% 0.064
c
0.033
c
0.054
c
0.036
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
Kandungan klorofil total. Rata-rata kandungan klorofil total yang merupakan gabungan kandungan klorofil a dan b pada masing-masing genotipe
58
terhadap berbagai intensitas cahaya rendah menunjukkan pola peningkatan dan penurunan yang sama dengan yang ditunjukkan pada kandungan klorofil a maupun klorofil b. Pada Gambar 15 terlihat bahwa genotipe toleran Ceneng dan Pangrango memiliki kandungan klorofil total lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek dan Slamet pada semua kondisi intesitas cahaya rendah termasuk pada kondisi cahaya penuh. a
3.0
K lo ro fil T o ta l (m g /g B B )
a 2.5
a
a
b
b
c c
c c
b b
2.0
a b
a b
1.5
c
c
1.0
d
d 0.5 0.0 Cahaya (Kontrol)
5 hr Naung
Ceneng
5 hr Gelap
Pangrango
Godek
3Naung+5Chy
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 15 Histogram rata-rata klorofil total genotipe kedelai pada masing-masing
perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.
Tabel 7 Repon kandungan klorofil total (mg/g berat basah daun) genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya Genotipe Ceneng
L0 2.140 b
Pangrango 2.071 c Godek
1.921 b
Slamet
1.920 b
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 2.536 a 1.278 d 2.656 a (119) (60) (124) 2.343 b 1.224 d 2.502 a (113) (59) (121) 2.030 a 0.601 d 2.108 a (106) (31) (110) 1.979 b 0.803 d 2.112 a (103) (42) (110)
L4 1.484 (69) 1.334 (64) 0.708 (37) 0.994 (52)
c
BNT 5% 0.134
d
0.157
c
0.079
c
0.074
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
59
Peningkatan yang nyata terhadap kandungan klorofil total terjadi pada kondisi naungan (L1 dan L3), sedangkan penurunan terjadi pada kondisi gelap (L2 dan L4) (Tabel 7). Peningkatan klorofil total terhadap kontrol lebih besar terjadi pada genotipe toleran dibanding genotipe peka. Penurunan klorofil total yang cukup besar terjadi pada genotipe peka Godek dan Slamet dibanding genotipe toleran Ceneng dan Pangrango. Rasio klorofil a/b. Pada Gambar 16 terlihat bahwa pada kondisi 5 hari naungan (L1) dan 3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3) genotipe toleran Ceneng dan Pangrango memiliki rasio klorofil a/b lebih rendah dibanding genotipe peka Godek dan Slamet. Sebaliknya, pada kondisi 5 hari gelap (L2) dan 3 hari naungan + 3 hari cahaya + 5 hari gelap (L4) genotipe toleran Ceneng dan Pangrango lebih tinggi dari pada genotipe peka Godek dan Slamet. Rendahnya rasio klorofil a/b genotipe toleran pada kondisi naungan terjadi karena adanya peningkatan klorofil b yang lebih besar dibanding peningkatan klorofil a. Sebaliknya pada kondisi gelap (L2 dan L4), rasio klorofil a/b pada genotipe toleran lebih tinggi dari pada genotipe peka. Hal ini karena pada genotipe toleran penurunan kandungan klorofil a maupun klorofil b pada kondisi gelap tidak sebesar pada genotipe peka. Pada genotipe peka selama kondisi gelap diduga terjadi degradasi klorofil a maupun b, dimana terlihat daun menguning dan layu sementara pada genotipe toleran daun masih terlihat hijau (lihat Lampiran 2). 4.0
Rasio Klorofil a/b
3.5
a a
a a
3.0 2.5
a a
a a b
b
2.0
b b
a a b b
a a b ab
1.5 1.0 0.5 0.0 Cahaya (Kontrol)
5 hr Naung
Ceneng
5 hr Gelap
Pangrango
Godek
3Naung+5Chy
3Naung+3Chy+5Glp
Slamet
Gambar 16 Histogram rata-rata rasio klorofil a/b genotipe kedelai pada masingmasing perlakuan intensitas cahaya. Histogram dilengkapi standar deviasi dari 3 ulangan. Histogram pada masing-masing perlakuan cahaya yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%.
60
Terjadi penurunan rasio klorofil a/b pada semua genotipe baik toleran maupun genotipe peka pada kondisi intensitas cahaya rendah (Tabel 8). Pada genotipe toleran Ceneng dan Pangrango, penurunan yang cukup besar terjadi pada kondisi 5 hari naungan (L1) dan 5 hari gelap (L2) sekitar 40% terhadap kontrol. Pada kondisi on/of gelap (L4) genotipe toleran mampu mempertahankan kandungan klorofil a maupun klorofil b tetap tinggi. Pada genotipe peka Godek dan Slamet penurunan yang cukup besar terjadi pada kondisi gelap baik pada kondisi gelap langsung 5 hari gelap (L2) maupun on/of gelap 3 hari naungan + 5 hari cahaya + 5 hari gelap (L4). Diduga genotipe peka tidak mampu mempertahankan degradasi klorofi a maupun b pada kondisi gelap tersebut.
Tabel 8 Repon rasio klorofil a/b genotipe kedelai terhadap berbagai perlakuan intensitas cahaya Genotipe Ceneng
L0 3.377 a
Pangrango 3.232 a Godek
3.043 a
Slamet
3.140 a
Perlakuan Intensitas Cahaya L1 L2 L3 1.885 c 1.985 c 2.502 b (56) (59) (74) 2.155 bc 1.916 c 2.488 b (67) (59) (77) 2.705 b 1.680 c 3.014 ab (89) (55) (99) 2.904 a 1.844 b 3.022 a (92) (59) (96)
L4 2.489 (74) 2.407 (74) 1.759 (58) 1.794 (57)
b
BNT 5% 0.191
b
0.387
c
0.328
b
0.303
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%. L0 = cahaya 100% (kontrol), L1 = 5 hari naungan 50%, L2 = 5 hari gelap total, L3 = 3 hari naungan 50% + 5 hari cahaya 100%, L4 = 3 hari naungan 50% + 3 hari cahaya 100% + 5 hari gelap total. Angka di dalam kurung merupakan persentase nilai rata-rata terhadap kontrol.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Khumaida (2002); Handayani (2003); Lautt (2003); Lestari (2005), Tyas (2006); Jufri (2006); Sopandie et al. (2006); Muhuria (2007) bahwa pada kondisi cekaman cahaya rendah, genotipe toleran memiliki kandungan klorofil yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dari pada genotipe peka. Hidema et al. (1992) melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah pada tanaman padi menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b. Dilaporkan pula oleh Neidhardt et al. (1998), ketika sel D. Salina dipindahkan ke kondisi intensitas cahaya rendah (LL), maka seketika itu terjadi peningkatan ukuran
61
antena klorofil yang disertai peningkatan sel klorofil, apoprotein LHC dan penurunan rasio klorofil a/b akibat terakumulainya klorofil b. Peningkatan klorofil b terkait dengan peningkatan light harvesting chlorophyll a/b protein fotosistem II (LHCIIb). LHCIIb merupakan kompleks trimerik yang mengikat sekitar 60% klorofil PSII. Karena sebagian besar klorofil b merupakan komponen pemanenan cahaya dari PSII, maka perubahan rasio klorofil a/b mencerminkan perubahan pada jumlah kompleks pemanen cahaya (LHC) pada PSII dan PSI. Hal senada juga banyak dibahas oleh Walter dan Horton (1995); Bailey et al. (2004) tentang aklimatisasi Arabidopsis terhadap cahaya tinggi dan rendah. Hal senada juga dilaporkan Khumaida (2002) bahwa genotipe kedelai toleran naungan memiliki kapasitas penangkapan cahaya yang lebih besar dari pada genotipe peka karena memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengkonversi klorofil a menjadi klorofil b. Park et al. (1996) menyatakan bahwa PSII merupakan kompleks aparatus fotosintetik yang paling peka (vulnerable) terhadap stres cahaya. Perilaku PSII sangat ditentukan oleh dosis foton atau intensitas cahaya yang diterima. Respon klorofil terhadap intensitas cahaya rendah penting mengingat klorofil a dan klorofil b merupakan komponen kompleks antena periferal kloroplas yang ditentukan oleh kondisi cahaya yang diterima sebagai bentuk atau mekanisme adaptasi tanaman. Hidema et al. (1992) menyatakan bahwa peningkatan antenna size untuk PSII dapat meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya. Ketika tanaman mendapatkan intensitas cahaya rendah, maka kloroplas akan bergerak ke permukaan luar untuk memaksimalkan absorpsi cahaya. Cahaya yang diterima selanjutnya digunakan untuk proses fotosintesis. Menurut Salisbury dan Ross (1992), intensitas cahaya rendah terbukti mempengaruhi orientasi kloroplas tanaman. Pada intensitas cahaya rendah, kloroplas akan mengumpul pada dua bagian, yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya. Hal ini menyebabkan warna daun pada tanaman ternaungi lebih hijau dari yang mendapat cahaya penuh. Park et al. (1996) juga menyatakan hal yang sama bahwa sebagai respon tanaman terhadap intensitas cahaya dan arah datangnya cahaya adalah berpindahnya kloroplas di dalam sel ke dinding sel daun. Intensitas cahaya rendah
62
menyebabkan terjadi peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana (stack granum), seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Hal yang sama juga dilaporkan dari hasil penelitian pada tanaman Arabidopsis (Weston et al. 2000) dan wortel (Daucus carota) (Sato-Naro et al. 2004). Walters et al. (1999) menyebut aklimatisasi kloroplas ini sebagai mekanisme toleransi terhadap naungan ‘shade tolerance’. Linchtenthaler dan Burkart (1999) juga mendiskripsikan kloroplas daun tanaman yang ternaungi sebagai berikut: jumlah tilakoid yang lebih besar per kloroplas, stack grana yang lebih besar, tingkat stacking grana yang lebih tinggi, tilakoid yang tertekan (appressed), jumlah LHCP yang banyak, rasio klorofil a/b yang rendah, tidak mengandung pati, sedikit plastoglobuli yang berukuran kecil, jumlah kolofil total yang lebih besar per kloroplas. Selama lima hari gelap total, baik pada perlakuan langsung gelap (L2) atau on/of naungan/cahaya/gelap (L4), kandungan klorofil (klorofil a, b, total) jauh lebih tinggi pada genotipe toleran dibanding genotipe peka. Hal senada juga dilaporkan oleh Khumaida (2002); Sopandie et al. (2003a). Pada padi gogo toleran juga dilaporkan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding genotipe peka (Sopandie et al. 2003b). Fenomena ini diduga merupakan cerminan kekuatan melawan degradasi klorofil dan ini sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut 1987) dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas. Kondisi gelap total merupakan faktor umum yang menjadi pemicu (induser) dari fenomena senesen. Senesen dicirikan dengan daun menjadi kuning atau pucat, terjadi degradasi chlorophyll a/b binding protein (CAB), total klorofil dan protein yang berkurang, dan umumnya perkembangannya terhenti pada kondisi gelap (Weaver dan Amasino 2001). Tyas (2006) dalam penelitiannya menggunakan TEM (transmission electron microscope) melaporkan bahwa kloroplas kedelai peka naungan ‘Godek’ mengalami degradasi membran yang lebih parah pada kondisi gelap dibanding genotipe toleran ‘Ceneng’. Pemberian kondisi lima hari gelap ini terlihat sangat efektif untuk menapis genotipe toleran dan genotipe peka intensitas cahaya rendah. Hasil ini sesuai dengan yang direkomendasikan Sopandie et al. (2003c) pada penelitian ‘efektivitas uji cepat
63
ruang gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo’ bahwa uji cepat ruang gelap ini merupakan metode penyaringan genotipe toleran dan peka yang cukup efektif.
KESIMPULAN Pada kondisi intensitas cahaya rendah, genotipe toleran menunjukkan ukuran daun lebih luas, bobot daun spesifik lebih rendah (lebih tipis), kandungan klorofil lebih tinggi, dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dibanding genotipe peka, sehingga karakter morfo-fisiologi daun tersebut dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
64
BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan karakter morfofisiologi daun. Bahan genetik yang digunakan adalah tetua toleran (Ceneng), tetua peka (Godek) masing-masing 22 tanaman sampel, populasi F1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 21 tanaman, dan 114 tanaman populasi F2. Populasi tersebut ditanam di bawah paranet 50% dan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan 2 ulangan. Analisis genetik karakter-karakter morfologi dan fisiologi daun yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah meliputi: pendugaan koefisien korelasi, heritabilitas arti luas, jumlah gen (effective factor), dan aksi gen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. Karakter hasil dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (68%). Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masing-masing dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (78%, 84%, 86%). Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (70%). _________ Kata kunci: kedelai, karakter morfologi daun, analisis genetik, heritabilitas, aksi gen
GENETIC ANALYSIS OF ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY BASED ON LEAF MORPHOPHYSIOLOGICAL CHARACTERS Abstract This study was aimed to obtain the valuable genetic information of adaptation of soybean to low light intensity based on leaf morpho-physiological characters. Genetic materials used in this study consisted of 22 plants each of low irradiance (LI)-tolerant genotype (Ceneng) and LI-sensitive genotype (Godek); 21 plants of F1 (Ceneng x Godek); and 114 plants of F2 populations (derived from F1). These populations were planted under shading of paranet 50%, each population was arranged based on randomized block design with two replicates. Analisis of genetic parameters of soybean adaptation involved of estimation of phenotypic correlation, heritability (broad sense), number of gen (effective factor), and gen action. Results of this study showed that: adaptation of soybean to low light intensity was characterized by yield per plant highly correlated with leaf morphophysiological characters such as leaf area, specific leaf weight, and chlorophyll content. Adaptation of soybean to low light stress based on characters of yield per plant was highly heritable (68% of broad sense), controlled by at least 6 effective factors with partial dominant mode of action. Characters of leaf area and specific leaf weight were highly (68% of broad sense) and moderately (48% of broad sense) heritable, controlled by at least 4 and 5 minor genes (effective factors) respectively with additive mode of action. Adaptation based on leaf physiological characters (chlorophyll contents) were highly heritable (70% - 86% of broad sense), controlled by at least two major genes in epistatic mode of action. __________ Key words: soybean, leaf morphologycal character, genetic analysis, heritability, gene action
66
PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala utama pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan. Pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah, tanaman memerlukan sifat adaptasi tertentu untuk mampu bertahan hidup, berkembang dan berproduksi dengan baik (Mohr dan Schooper 1995). Oleh karena itu diperlukan upaya perbaikan genetik adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman untuk adaptasi kedelai terhadap naungan dengan tujuan untuk mendapatkan genotipe yang toleran dengan produktivitas tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah sudah dimulai dengan pembentukan 12 populasi bersegregasi dengan metode bulk terbatas (restricted bulk) hasil persilangan dialel lengkap dari empat tetua terpilih (masing-masing dua tetua toleran dan tetua peka) (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam setiap tahapan seleksi untuk mendapatkan genotipe toleran, karakter hasil merupakan kriteria seleksi yang utama meskipun perolehan kemajuan genetik (genetic advance) tidak cukup besar seperti yang diharapkan (Fehr 1987; Roy 2000). Hal ini karena karakter hasil umumnya dipengaruhi oleh banyak gen (poligenik) dengan nilai heritabilitas yang rendah (Wallace et al. 1993). Wallace et al. (1993); Chahal dan Gosal (2002) menyarankan agar seleksi terhadap hasil hendaknya disertai dengan seleksi secara simultan dengan komponen agronomi, morfologi, atau fisiologi lain yang terkait dan dikendalikan secara genetik. Dalam hal ini, daun sebagai organ utama tanaman yang berperan secara langsung dalam aktivitas fotosintesis dan menentukan kapasitas fotosintetik optimum melalui berbagai bentuk mekanisme adaptasi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah menjadi sangat penting. Beberapa karakter morfologi dan fisiologi daun yang dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah antara lain: kandungan klorofil (klorofil a, b, dan total), rasio klorofil a/b, luas daun dan bobot daun spesifik (hasil Percobaan 1). Hasil penelitian sebelumnya juga
67
menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat dijadikan sebagai marka fisiologi dalam seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (Handayani 2003). Sopandie et al. (2003b); Khumaida (2002) melaporkan bahwa tanaman yang toleran naungan mempunyai daun yang lebih lebar dan tipis, kandungan klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dari pada tanaman peka. Perubahan karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut merupakan bentuk mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah (Evans dan Poorter 2001; Kim et al. 2005; Jufri 2006; Muhuria 2007). Dengan demikian karakter morfo-fisiologi daun dapat memberikan andil besar dalam perbaikan adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah. Penggunaan karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi atau kriteria seleksi untuk perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah perlu didukung oleh pengetahuan mengenai parameter genetik, seperti koefesien korelasi genotipik, nilai heritabilitas, dan jumlah gen (effective factor) yang mengendalikan karakter tersebut. Menurut Grami et al. (1977) parameter genetik bermanfaat di dalam merumuskan program pemuliaan yang akan digunakan dan mengetahui kemajuan genetik hasil seleksi. Poehlman dan Sleper (1995); Roy (2000) juga menyatakan seleksi terhadap karakter yang berkontribusi terhadap sifat adaptasi tanaman akan lebih efektif apabila didasari oleh informasi genetik seperti pendugaan heritabilitas, jumlah dan tipe aksi gen pengendali. Sejauh ini, informasi tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Informasi ini penting agar karakter morfo-fisiologi daun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi terhadap karakter sekunder akan lebih efektif apabila karakter tersebut memiliki hubungan genetik kuat dengan karakter primer dan memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibanding karakter primer (Roy 2000).
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai karakter penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah
68
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan genetik yang digunakan adalah kedelai toleran naungan Ceneng (P1) dan peka naungan Godek (P2), keduanya merupakan genotipe lokal (Sopandie et al. 2002) masing-masing sebanyak 22 tanaman, F1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 21 tanaman, dan F2 hasil selfing populasi F1 sebanyak 114 tanaman. Penanaman di bawah naungan paranet 50% dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Cimanggu, Bogor mulai Agustus – November 2005. Pengolahan tanah di bawah paranet 50% dilakukan dengan cara dibajak dua kali menggunakan traktor. Pada pengolahan tanah kedua diberikan pupuk kandang 20 ton/ha secara merata. Sebelum penanaman, lubang tanam ditaburi Carbofuran 3G. Selanjutnya sebanyak masing-masing 2 benih kedelai dari populasi P1, P2, F1, dan F2 ditanam pada setiap lubang tanam pada masing-masing petak dengan jarak tanam 30 x 15 cm. Petak percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan. Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur satu minggu setelah tanam (MST) dengan mengganti tanaman yang kurang sehat atau mati. Pemupukan dilakukan pada umur tanaman 1 MST dengan dosis 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha. Pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan setiap tiga minggu sekali atau apabila diperlukan.
Pengamatan Karakter yang diamati terdiri atas karakter morfo-fisiologi daun dan hasil per tanaman. Karakter morfo-fisiologi daun yang diamati meliputi: luas daun, bobot daun spesifik (BDS), kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) and rasio klorofil a/b. Pengambilan sampel daun dari setiap individu tanaman dilakukan pada umur tanaman 5 MST. Sampel daun yang diamati adalah daun trifoliat ketiga dan keempat dari ujung atas batang utama yang telah berkembang sempurna. Pengukuran kandungan klorofil dan antosianin dilakukan di lab RGCI (Research Group on Crop Improvement) Fakultas Pertanian IPB. Analisis
69
kandungan klorofil a, b, dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang digunakan Richardson et al. (2002) yang merupakan perbaikan metode yang digunakan Arnon (1949) (lihat Lampiran 1). Pengukuran luas daun dan bobot daun spesifik (BDS) dilakukan di lab Ekofisiologi Faperta IPB. Luas daun trifoliat diamati dengan menggunakan leaf area meter, sedangkan BDS yang mengindikasikan ketebalan daun, dihitung dengan cara membagi berat kering daun dengan luas daun. Pengukuran hasil biji per tanaman dilakukan dengan cara memanen masingmasing individu tanaman setelah polong kering berwarna coklat kehitaman kemudian dibijikan dan ditimbang bobot kering biji per tanaman setelah biji mencapai kadar air sekitar 11%.
Analisis Data Keragaan hasil dan morfo-fisiologi daun pada tetua. Untuk mengetahui apakah kedua genotipe tetua yang digunakan (Ceneng, genotipe toleran naungan; Godek, genotipe peka naungan) memiliki karakter hasil dan morfo-fisiologi daun yang berbeda nyata, dilakukan uji t terhadap masing-masing karakter pada masing-masing genotipe tersebut. Karakter yang berbeda dari kedua tetua akan dilanjutkan pada analisis parameter genetik berikutnya. Korelasi karakter morfo-fisiologi daun dengan hasil pada populasi F2. Untuk mengetahui karakter-karakter morfo-fisiologi daun yang terkait erat dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, maka dilakukan analisis korelasi Pearson antara karakter morfo-fisiologi dengan karakter hasil (referensi adaptasi) pada populasi segregasi F2 (Wallace et al. 1993; Grami et al. 1977). Koefesien korelasi fenotipik yang menunjukkan hubungan antara dua peubah dihitung menggunakan rumus (Steel et al. 1997; Roy 2000) atau menggunakan fungsi korelasi pada program Minitab Release 13.
r (x, y) =
∑ ( x − x )( y −
y) / n − 1
( σ x )( σ 2 y ) 2
70
Karakter-karakter yang terkait erat dengan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah adalah karakter-karakter yang memiliki koefesien korelasi tinggi dan nyata terhadap hasil. Pengujian sebaran fenotipe F2. Untuk melakukan pendugaan jumlah gen masing-masing karakter yang diamati, terlebih dahulu ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti kurva normal atau tidak. Analisis sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun dilakukan dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan program Minitab Release 13. Hasil analisis deskriptif selain menunjukkan tingkat kemenjuluran (skewness dan kurtosis) juga pengujian normalitas menggunakan model Anderson-Darling. Selanjutnya untuk mengetahui kecenderungan posisi sebaran populasi F2 dengan kedua tetua dan populasi F1, dilakukan analisis dengan menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973) yaitu dengan cara data pengamatan masingmasing karakter dari seluruh individu tanaman F2 dikelompokkan menjadi 9 kelas (jumlah tanaman kurang dari 250 tanaman) dengan interval tertentu. Selanjutnya data dianalisis menggunakan program Minitab Release 13. Pendugaan jumlah gen. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif seperti tingkat kemenjuluran dan uji normalitas serta histogram masing-masing karakter yang diuji, selanjutnya ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti sebaran normal atau tidak. Apabila suatu karakter memiliki nilai uji normalitas (A2) dengan nilai probabilitas p > 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal. Apabila nilai probabilitas p ≤ 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dengan sebaran tidak mengikuti kurva normal. Karakter dengan sebaran kontinu dan mengikuti kurva normal menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen minor. Karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal menunjukkan karakter tersebut selain dipengaruhi oleh gen minor juga dipengaruhi oleh satu atau dua gen mayor (Chandraratna 1964; Fehr 1987; Crowder 1993). Menurut Chandraratna (1964) apabila dalam suatu karakter kuantitatif ikut serta pengaruh gen mayor dengan arah dominansi yang sama, maka akan terlihat adanya kemenjuluran puncak (peak skewness) sebaran frekuensi. Apabila gen mayor mempunyai dominansi sendiri-sendiri maka akan
71
terlihat adanya bentuk sebaran frekuensi dengan puncak lebih dari satu (bimodal atau trimodal) pada generasi F2. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F2 mengikuti sebaran normal dihitung menggunakan rumus Castle (1921) dalam Roy (2000) sebagai berikut:
( p1 − p 2 ) 2 n = 8 ( σ 2 F 2 − σ 2 F1 ) dimana, n = jumlah gen; p1 = rata-rata tetua 1; p2 = rata-rata tetua 2; σ2F1 = varians populasi F1; σ2F2 = varians populasi F2. Selanjutnya pendugaan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut dihitung berdasarkan rumus pendugaan nilai nisbah potensi (hp) yang digunakan Petr dan Frey (1966) sebagai berikut:
hp =
F − MP HP − MP
dimana hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi gen, F = rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP = nilai tengah kedua tetua Berdasarkan nilai potensi rasio (hp), derajat dominansi atau aksi gen yang mengendalikan karakter kuantitatif diklasifikasikan sebagai berikut (Petr dan Frey 1966): aditif, tidak ada dominansi apabila 0.00 < hp ≤ 0.25; dominan parsial atau dominan tidak sempurna apabila 0.25 < hp ≤ 0.75; dominan penuh atau dominan sempurna apabila 0.75 < hp ≤ 1.25; dan dominan berlebih atau over-dominan apabila hp >1.25. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F2 yang tidak mengikuti sebaran normal dihitung melalui pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan membandingkan nisbah sebaran frekuensi fenotipik hasil pengamatan dengan nisbah harapan atau nisbah hipotetik menggunakan uji Chi-kuadrat (χ2) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993).
72
Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam 2, 3 atau 4 kelas toleransi sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas interval sesuai sebaran frekuensi fenotipik populasi F2 seperti ditentukan sebelumnya menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973). Untuk pengelompokan 2 kelas toleransi (P, peka : T, toleran), kelompok peka terdiri atas kelas interval (1,2) dan kelompok toleran terdiri atas kelas interval (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas tolerasi (P, peka : M, moderat : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,2), moderat (3,4,5), dan toleran (6,7,8,9); 4 kelas toleransi (P, peka : AP, agak peka : AT, agak toleran : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), dan toleran (7,8,9). Pengujian kesesuaian nisbah pengamatan dengan nisbah harapan dilakukan menggunakan Uji Chi-kuadrat (χ2) dengan rumus sebagai berikut:
X
2
( Oi − Ei ) 2 = ∑ Ei
dimana χ2 merupakan nilai chi-square hitung; i = 1,2,3,….n; Oi = nilai pengamatan; Ei = nilai yang diharapkan dalam kelas ke i. Apabila nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, berarti sebaran fenotipik pada populasi F2 mengikuti nisbah harapan fenotipik tertentu. Untuk keperluan analisis genetik, batas kesesuaian uji χ2 dianggap cukup apabila digunakan batas peluang (p) = 0.20. Beberapa nisbah fenotipe hipotetik yang biasa digunakan terkait dengan pendugaan jumlah gen mayor, disajikan pada Tabel 9. Pendugaan nilai heritabilitas arti luas. Untuk mengetahui apakah karakter yang terkait adaptasi intensitas cahaya rendah lebih banyak ditentukan oleh ragam genetik atau lingkungan, maka dilakukan pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) dengan melibatkan ragam tetua (P1, P1), F1 dan F2 dengan rumus seperti yang dikemukakan Warner (1952) dalam Fehr (1987). Nilai heritabilitas tersebut oleh McWhirter (1979) digolongkan menjadi nilai heritabilitas tinggi apabila h2 > 50%, nilai heritabilitas sedang apabila 20% < h2 < 50%, dan heritabilitas rendah apabila h2 < 20%. Karakter dengan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa karakter tersebut dipengaruhi lebih banyak oleh faktor
73
genetik, sementara karakter dengan nilai heritabilitas rendah menunjukkan bahwa keragaan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor genetik.
h
2
bs
=
σ 2 F2 −
3
( σ 2 F1 )( σ 2 P1 )( σ 2 P2 )
σ 2 F2
x 100
dimana, h2bs = nilai heritabilitas arti luas; σ2F1 = ragam populasi F1; σ2F2 = ragam populasi F2 sama dengan ragam fenotipik; σ2P1 = ragam populasi tetua 1; dan σ2P2 = ragam populasi tetua 2; 3 (σ 2 F1 )(σ 2 P1 )(σ 2 P2 ) merupakan nilai duga ragam lingkungan secara tidak langsung. Ragam total genotipik (ragam aditif + ragam dominan + ragam epistasis) merupakan ragam fenotipik dikurangi ragam lingkungan.
Tabel 9 Nisbah fenotipe karakter yang terkait adaptasi terhadap suatu cekaman yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi bersegregasi F2 (Fehr 1987; Crowder 1993) Jumlah gen dan tipe aksi gen berdasarkan nisbah T AT Satu (1) pasang gen: a. Dominan penuh 3 b. Resesif 1 c. Tidak ada dominansi 1 2 Dua (2) pasang gen: a. Tidak ada epistasis 9 3 b. Resesif epistasis: aa epistatik terhadap B dan b 9 3 c. Dominan epistasis: A epistatik terhadap B dan b 12 d. Dominan dan resesif epistasis, A epistatik terhadap B 13 dan b; bb epistatik terhadap aa e. Resesif ganda (duplikat resesif epistasis): aa epistatik 9 terhadap B dan b; bb epistatik terhadap A dan a f. Isoepistasis: duplikat dominan epistasis. A epistatik 15 terhadap B; B epistatik terhadap A dan a g. Semiepistatis (interaksi duplikat) 9 6 h. Interaksi kompleks 10 3 Tiga (3) pasang gen (epistasis kompleks) a 37 b. 45 c 55 d 27 9 Keterangan: T = toleran, AT = agak toleran, AP = agak peka, P = peka
AP
P
-
1 3 1
3 3 -
1 4 1 3
-
7
-
1
-
1 3
9
27 19 9 19
74
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Morfo-fisiologi Daun pada Tetua Toleran dan Peka Naungan
Untuk mengetahui perbedaan keragaan nilai tengah beberapa karakter yang diamati pada kedua tetua, telah dilakukan uji t. Karakter-karakter yang berbeda nyata pada kedua tetua tersebut dilanjutkan dengan analisis parameter genetik. Keragaan dan hasil uji t nilai tengah karakter morfo-fisiologi daun yang diamati seperti hasil biji per tanaman, luas daun, bobot spesifik daun (tebal daun), kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b pada tetua toleran (Ceneng) dan tetua peka (Godek) pada kondisi lingkungan naungan 50% disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Keragaan karakter hasil dan morfo-fisiologi daun tetua toleran (Ceneng) dan peka (Godek) pada kondisi naungan 50% Karakter yang diamati Hasil per tanaman (g) Luas daun (cm2) Bobot spesifik daun (mg/cm2) Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Klorofil total (mg/g) Rasio klorofil a/b ** sangat berbeda nyata dengan uji t
Nilai tengah Ceneng Godek (P1) (P2) 7.842 a 4.223 b 41.193 a 31.286 b 1.743 b 2.059 a 2.099 a 1.706 b 1.072 a 0.728 b 3.170 a 2.433 b 1.967 b 2.366 a
Nilai t test 20.35** 16.29** -10.20** 14.13** 14.26** 17.23** -6.70**
Pada Tabel 10 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar kedua tetua toleran dan peka naungan pada semua karakter yang diamati berdasarkan uji t. Rata-rata hasil per tanaman tetua toleran (Ceneng) lebih tinggi dari pada tetua peka (Godek). Pada tetua toleran, rata-rata luas daun lebih tinggi, kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total juga lebih tinggi, sedangkan bobot spesifik daun dan rasio klorofil a/b lebih rendah dari pada tetua peka. Perbedaan keragaan genotipe Ceneng (tetua toleran) terhadap genotipe Godek (tetua peka naungan) pada karakter tersebut juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sopandie et al. 2002, 2006; Khumaida 2002; Handayani 2003; Lestari 2005; Tyas 2006; Jufri
75
2006; Muhuria 2007). Berdasarkan hasil uji t tersebut tetua Ceneng dan Godek masing-masing konsisten sebagai tetua toleran dan tetua peka naungan. Adanya perbedaan dasar genetik yang jelas antar kedua tetua yang digunakan diperlukan untuk memperoleh kemajuan seleksi yang baik.
Korelasi Karakter Morfo-fisiologi Daun dengan Hasil pada Populasi F2
Koefesien korelasi fenotipik atau koefesien korelasi total menggambarkan derajat hubungan atau kedekatan hubungan linier antar dua karakter atau dua peubah (Roy 2000). Batas nilai koefesien korelasi adalah -1 ≤ r ≤ 1, artinya apabila nilai r mendekati 1 atau -1 maka kedua karakter memiliki hubungan positif atau negatif yang sangat kuat, sedangkan apabila nilai r = 0.0 maka kedua karakter tidak mempunyai hubungan atau dikatakan sebagai karakter bebas. Informasi korelasi ini penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman terutama dalam melakukan seleksi sifat-sifat baik (desired characters). Dalam seleksi genotipe kedelai yang adaptif pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah dimana karakter hasil merupakan karakter utama (primer) maka karakter yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil merupakan karakter penting yang dapat digunakan sebagai karakter sekunder dalam seleksi tidak langsung (inderect selection). Tabel 11 Koefisien korelasi fenotipik karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F2 dari persilangan tetua toleran Ceneng dengan tetua peka (Godek) Karakter Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Rasio klorofil a/b
Hasil per tanaman 0.75** -0.68** 0.70** 0.71** 0.73** -0.59**
Luas daun
-0.82** 0.49** 0.59** 0.56** -0.54**
Bobot daun spesifik
-0.40** -0.55** -0.50** 0.51**
Klorofil a
Klorofil b
Klorofil total
0.85** 0.96** -0.65**
0.96** -0.94**
-0.83**
Keterangan: ** sangat nyata Hasil analisis korelasi fenotipik antar karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F2 pada kondisi naungan (Tabel 11) menunjukkan bahwa
76
karakter yang memiliki nilai koefesien korelasi tinggi dan nyata adalah luas daun (0.75), bobot spesifik daun (-0.68); kandungan klorofil a (0.70), klorofil b (0.71), klorofil total (0.73), dan rasio klorofil a/b (-0.59). Hasil penelitian ini senada dengan yang dilaporkan Handayani (2003) dan Muhuria (2007). Nilai koefesien korelasi yang positif dan nyata antara karakter kandungan klorofil dan luas daun dengan karakter hasil biji per tanaman pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah mengindikasikan bahwa karakter tersebut memberikan kontribusi yang besar pada keragaan hasil. Artinya bahwa apabila terjadi peningkatan karakaterkarakter tersebut maka akan diikuti peningkatan hasil tanaman. Dengan demikian untuk mendapatkan genotipe kedelai dengan hasil yang tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah diperlukan genotipe dengan kandungan klorofil terutama klorofil b yang tinggi, morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui peningkatan kandungan klorofil terutama klorofil b dan morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis untuk memaksimalkan penangkapan cahaya. Hasil penelitian ini penting bagi program perbaikan hasil kedelai pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah melalui seleksi tidak langsung. Sebagaimana yang diuraikan Pandini et al. (2002) bahwa perbaikan hasil dapat dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap karakter yang terkait erat dengan hasil. Hasil percobaan ini juga mendukung hasil percobaan sebelumnya mengenai respon karakter morfo-fisiologi daun bahwa kandungan klorofil yang tinggi dengan daun yang lebar dan tipis pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah ditunjukkan oleh genotipe toleran naungan. Nilai koefesien korelasi negatif dan nyata antara rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun dengan hasil biji per tanaman menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun (tebal daun) maka akan diikuti peningkatan hasil biji per tanaman. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui penurunan rasio klorofil a/b dan morfologi daun yang lebih tipis. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan yang dilaporkan Handayani (2003); Jufri (2006); Muhuria (2007).
77
Rasio klorofil a/b yang rendah menunjukkan rata-rata klorofil b lebih besar dari pada rata-rata klorofil a. Fenomena ini mencerminkan bahwa klorofil b sebagai salah satu pigmen antena pemanen cahaya berperan cukup penting di dalam meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Hidema et al. (1992) pada tanaman padi bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi. Hal ini karena pada kondisi cahaya rendah, kloroplas lebih banyak terdapat pada permukaan sel mesofil daun. Hal yang sama juga dilaporkan Khumaida (2002), Handayani (2003), Jufri (2006), dan Muhuria (2007) pada tanaman kedelai dan Lautt (2003) pada tanaman padi gogo. Secara umum mereka melaporkan bahwa pada kondisi cekaman cahaya rendah, genotipe toleran memiliki kandungan klorofil b yang lebih tinggi, rasio klorofil a/b yang lebih rendah, dan morfologi daun yang lebih tipis dari pada genotipe peka. Hasil uji korelasi tersebut juga memberikan informasi bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dapat melalui peningkatan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan luas daun, serta melalui penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun. Selanjutnya, berdasarkan uji korelasi tersebut karakter-karakter yang berkorelasi tinggi dan nyata dilanjutkan dengan analisis parameter genetik untuk mempelajari pola pewarisan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
Pola Pewarisan Sifat Adaptasi Kedelai berdasarkan Morfo-fisiologi Daun Pengujian sebaran fenotipe F2. Untuk mengetahui apakah sebaran fenotipe
karakter morfo-fisiologi daun penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah mengikuti kurva normal atau tidak, telah dilakukan analisis statistik deskriptif sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun pada populasi memisah (F2) termasuk sifat kemenjuluran (skewness dan kurtosis), dan uji normalitas menggunakan program Minitab versi 13.30 (Lampiran 4). Secara ringkas hasil analisis statistik deskriptif disajikan pada Tabel 12, sedangkan histogram masingmasing karakter dengan kurva normal sebagai pembanding disajikan pada Gambar 17 - 24.
78
Tabel 12 Nilai rata-rata fenotipe, kemenjuluran (skewness), nilai normalitas dan probabilitas karakter morfo-fisiologi pada populasi F2 Karakter Hasil per tanaman (g) Luas daun (cm2) Bobot daun spesifik (mg/cm2) Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Klorofil total (mg/g) Rasio klorofil a/b
Ratarata 6.053 36.620 1.795
StDev
Skewness
Kurtosis
1.495 3.620 0.216
-0.176 -0.100 -0.075
-0.632 -0.564 -0.720
Nilai A2 0.503 0.325 0.614
2.030 1.003 3.033 2.069
0.160 0.171 0.318 0.260
-0.492 -0.493 -0.609 0.953
0.209 -0.203 0.047 0.933
1.162** 0.005 1.139** 0.005 1.822** 0.000 1.892** 0.000
Nilai Prob. 0.201 0.519 0.108
Keterangan: A2 = nilai statistik uji normalitas Anderson-Darling; ** berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 95%
Histogram of F2-Hasil per Tanaman, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
9.5
F2-Hasil per Tanaman
Gambar 17 Histogram fenotipe karakter hasil per tanaman pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
79
Histogram of F2-Luas Daun, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 30
35
40
45
F2-Luas Daun
Gambar 18 Histogram fenotipe karakter luas daun pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Bobot Daun Spesifik, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
F2-Bobot Daun Spesifik
Gambar 19 Histogram fenotipe karakter bobot daun spesifik pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
80
Histogram of F2-Klorofil a, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 1.55
1.65
1.75
1.85
1.95
2.05
2.15
2.25
2.35
2.45
F2-Klorofil a
Gambar 20 Histogram fenotipe karakter klorofil a pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Klorofil b, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
F2-Klorofil b
Gambar 21 Histogram fenotipe karakter klorofil b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
81
Histogram of F2-Klorofil Total, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 2.2
2.7
3.2
3.7
F2-Klorofil Total
Gambar 22 Histogram fenotipe karakter klorofil total pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Rasio Klorofil a/b, with Normal Curve 30
Frequency
20
10
0 1.5
2.0
2.5
3.0
F2-Rasio Klorofil a/b
Gambar 23 Histogram fenotipe karakter rasio klorofil a/b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
82
Berdasarkan Tabel 12 dan Gambar 17- 23, diketahui bahwa sebaran fenotipe karakter hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik pada populasi F2 bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal sebagaimana nilai uji statistik normalitas (A2) yang tidak berbeda (p >0.10). Dengan demikian, karakter-karakter tersebut dikendalikan banyak gen minor (poligenik) dengan pengaruh total gen minor lebih besar dari pengaruh lingkungan tetapi pengaruh per satuan gen lebih kecil dari pengaruh lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan yang dilaporkan Handayani (2003) dimana karakter hasil dan luas daun merupakan karakter adaptasi kedelai terhadap naungan yang dikendalikan banyak gen minor. Sebaran finotipe karakter kandungan klorofil bersifat kontinu dan tidak mengikuti kurva normal sebagaimana ditunjukkan dengan nilai uji normalitas (A2) yang sangat berbeda nyata (p<0.01). Dengan demikian, karakter kandungan klorofil dikendalikan oleh gen minor tetapi terdapat satu atau dua gen mayor.
Pendugaan Jumlah Gen dan Tipe Aksi Gen Pengendali Adaptasi Jumlah gen minor. Pendugaan jumlah gen minor atau effective factor atau
‘quantitative trait loci (QTL)’ (Grami et al. 1977; Roy 2000) yang mengendalikan adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran fenotipe mengikuti kurva normal seperti hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik dihitung menggunakan rumus Castle (1921) dalam Roy (2000), dan tipe aksi gen dianalisis menggunakan rumus potensi rasio (hp) (Petr dan Frey 1966). Tabel 13 Pendugaan jumlah gen minor (effective factor) dan tipe aksi yang mengendalikan karakter-karakter dengan pola sebaran kontinu dan mengikuiti kurva normal pada populasi F2 Karakter Hasil biji per tanaman Luas daun Bobot spesifik daun
Jumlah effective factor 6 4 5
Potensi rasio (hp) 0.45 0.23 0.14
Tipe aksi gen Dominan parsial Aditif Aditif
Hasil pendugaan jumlah gen minor dan tipe aksinya terhadap karakter tersebut menunjukkan bahwa keragaan karakter hasil biji pertanaman, luas daun,
83
dan bobot daun spesifik masing-masing melibatkan sekurang-kurangnya 6, 4, dan 5 effective factor, dengan tipe aksi berturut-turut adalah dominan parsial, aditif, dan aditif (dengan nilai hp berturut-turut 0.45, 0.22, dan 0.14) (Tabel 13). Faktor efektif (effective factor) yang diduga terlibat dalam ekspresi karakter hasil biji per tanaman antara lain gen-gen yang mengendalikan kandungan klorofil maupun morfologi daun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh koefesien korelasi yang tinggi antara karakter hasil dengan kandungan klorofil dan morfologi daun. Selain itu, faktor komponen hasil seperti jumlah polong isi, jumlah biji per polong, dan jumlah cabang produktif juga mempengaruhi fenotipe hasil per tanaman (Handayani 2003; Muhuria 2007). Handayani (2003) dan Muhuria (2007) dalam penelitian sidik lintas pada tanaman kedelai juga melaporkan bahwa pada kondisi cahaya rendah, kandungan klorofil dan luas daun berkontribusi secara tidak langsung terhadap hasil biji per tanaman melalui karakter jumlah polong berisi. Pada karakter morfologi daun seperti luas daun dan bobot daun spesifik, diketahui sekurang-kurangnya ada empat sampai lima effective factor dengan aksi aditif. Faktor-faktor yang diduga terlibat mempengaruhi morfologi daun antara lain lapisan palisade (Khumaida 2002; Muhuria 2007), sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002), hormon gibberellin dan auksin (Taiz dan Zeiger 2002). Hasil penelitian Muhuria (2007) menunjukkan bahwa pada kondisi naungan lapisan palisade kedelai toleran lebih tipis dibanding kedelai peka. Demikian pula yang dilaporkan Khumaida (2002) pada tanaman padi gogo. Menurut Morelli dan Ruberti (2002); Taiz dan Zeiger (2002); Bultynck dan Lambers (2004), selama tanaman dalam kondisi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB. Biosintesis hormon endogeneous gibberellin berfungsi dalam pembesaran dan pembelahan sel jaringan daun sehingga daun menjadi lebih lebar. Jumlah gen mayor. Pendugaan jumlah gen mayor yang mengendalikan
adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b dilakukan menggunakan pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan cara membandingkan nisbah frekuensi fenotipik karakter F2 hasil
84
pengamatan dengan nisbah fenotipik harapan atau nisbah hipotetik dengan uji chikuadrat (χ2) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu (2, 3 dan 4 kelas) sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas sesuai sebaran frekuensi fenotipik pada populasi F2. Pengelompokan 2 kelas (peka, toleran) adalah peka (1,2) dan toleran (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas (peka, moderat, toleran) adalah peka (1,2), moderat (3,4,5), toleran (6,7,8,9); 4 kelas (peka, agak peka, agak toleran, toleran) adalah peka (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), toleran (7,8,9). Model pendugaan ini selain untuk menduga jumlah gen juga dapat menduga tipe aksi gen yang bersegregasi. Hasil analisis genetika Mendel dengan menggunakan rumus chi-kuadrat (Tabel 14) menunjukkan bahwa pengelompokan skor yang sesuai dengan nisbah harapan adalah pengelompokan skor dalam 2 kelas (T:P). Nisbah sebaran frekuensi fenotipik tingkat toleransi populasi F2 atas dasar karakter klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan antosianin nisbah 15 toleran :1 peka dikendalikan oleh dua gen mayor dengan aksi gen isoepistasis (epistasis dominan ganda), sedangkan rasio klorofil a/b sesuai dengan nisbah 13 toleran : 3 peka, dikendalikan dua gen dengan aksi gen dominan resesif epistasis. Tabel 14 Pendugaan jumlah gen mayor dan tipe aksi gen yang mengendalikan karakter-karakter klorofil pada populasi F2 Karakter
Kelas
Frekuensi Fenotipe F2 O E
Nisbah
χ2 hit
Prob.
Jml gen
Tipe aksi gen
Klorofil a
2(T:P)
105:9
107:7
15:1
0.082
0.604
2
IE
Klorofil b
2(T:P)
103:11
107:7
15:1
0.965
0.326
2
IE
Klorofil total
2(T:P)
104:10
107:7
15:1
0.572
0.449
2
IE
Rasio klorofil a/b
2(T:P)
96:18
93:21
13:3
0.278
0.598
2
DRE
Keterangan: T = toleran; P = peka; O = observasi; E = ekspektasi; IE = isoepistasis; DRE = dominan & resesif epistasis
85
Nisbah fenotipik 15:1 berarti bahwa tingkat toleransi dikendalikan oleh dua gen yang bersifat dominan epistatik dengan tipe aksi gen isoepistasis (Crowder 1993) atau epistasis dominan ganda (Fehr 1987; Yusuf 2001). Menurut Crowder (1993), aksi gen isoepistasis terjadi apabila dua gen berperanan sama dan mengatur sifat yang sama. Keberadaan salah satu gen dominan dapat mengganti gen dominan lain untuk menampilkan sifat toleran. Hal yang sama juga dijelaskan Yusuf (2001), bahwa isoepistasis atau interaksi duplikasi terjadi akibat dua gen memproduksi bahan yang sama dan memproduksi fenotipe yang sama. Estimasi nisbah fenotipik 15 toleran : 1 peka pada populasi F2 hasil persilangan Ceneng (toleran) x Godek (peka) dapat dijelaskan sebagai berikut. Sifat toleransi dikendalikan oleh pasangan alel dominan-resesif yang terdapat pada dua gen yang berbeda lokus. Sifat toleran akan muncul apabila terdapat alel dominan di salah satu atau kedua lokus. Sebagai contoh, alel-alel pada kedua lokus adalah A, a, B, dan b. Semua tanaman yang bergenotipe A_ atau B_ akan menampilkan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah, sedangkan tanaman yang bergenotipe aabb menampakkan sifat peka. Dengan demikian pada populasi F2 terdapat nisbah 15 toleran : 1 peka. Nisbah fenotipik 13:3 atas dasar karakter rasio klorofil a/b mengindikasikan adanya dua gen yang bekerja secara dominan dan resesif epistasis, yaitu terjadi interaksi dua gen dimana satu gen dominan pada satu lokus dan homosigot resesif pada lokus yang lain maka akan bersifat epistasis, dengan kata lain apabila terdapat salah satu gen tersebut maka akan menyebabkan tanaman menjadi toleran. Yusuf (2001) juga menjelaskan bahwa penyimpangan nisbah Mendel menjadi 13:3 karena adanya interaksi modifikasi yaitu aksi salah satu gen pada suatu lokus menekan atau merubah hasil kerja gen pada lokus yang berbeda.
Pendugaan Nilai Heritabilitas Arti Luas
Diketahui ada dua macam pendugaan nilai heritabilitas, yaitu pendugaan nilai heritabilitas arti sempit (h2ns) dan arti luas (h2bs). Pendugaan nilai h2ns dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam aditif atau ragam lingkungan. Apabila nilai h2ns tinggi berarti pewarisan sifat banyak dipengaruhi oleh ragam aditif (ragam kuantitatif) (Poespodarsono 1988).
86
Dalam rangka perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, pendugaan nilai heritabilitas arti sempit menjadi lebih penting karena mencerminkan nilai tambah pada sifat yang dikendalikan gen aditif. Semakin tinggi nilai heritabilitas arti sempit, semakin besar pengaruh gen aditif yang berarti semakin besar pula nilai tambah pada perbaikan sifat yang diinginkan. Pada penelitian ini hanya pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) saja yang dapat dilakukan karena keterbatasan populasi dasar yang tersedia. Pendugaan nilai h2bs dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam lingkungan. Apabila nilai h2bs tinggi berarti pewarisan sifat lebih banyak dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam genetik total dan sedikit pengaruh ragam lingkungan (Fehr 1987; Roy 2000). Tabel 15 Nilai duga heritabilitas arti luas karakter-karakter yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah Karakter Hasil per tanaman Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Rasio klorofil a/b
Ragam (σ2) populasi P2 F1 P1 Ceneng Godek CxG 0.523 0.351 1.956 3.401 3.862 9.555 0.030 0.011 0.041 0.008 0.007 0.003 0.004 0.006 0.004 0.015 0.021 0.009 0.014 0.039 0.016
F2 CxG 2.235 13.104 0.047 0.026 0.029 0.101 0.068
h2 bs (%) 68 63 48 78 84 86 70
Nilai heritabilitas arti luas dari semua karakter hasil per tanaman dan morfofisiologi daun yang menjadi penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah tergolong tinggi kecuali bobot daun spesifik yang tergolong sedang (berdasarkan penggolongan nilai heritabilitas sesuai Halloran et al. 1979). Nilai h2bs untuk karakter hasil, luas daun, bobot daun spesifik, klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b berturut-turut adalah 68%, 63%, 48%, 78%, 84%, 86%, dan 70% (Tabel 15). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Handayani 2003; Muhuria 2007). Nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter hasil, luas daun, kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa pewarisan karakter tersebut ditentukan oleh ragam
87
genetik yang besar dengan sedikit pengaruh ragam lingkungan. Dalam hal ini ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan (σ2D), ragam aditif (σ2A), dan ragam epistasis (σ2I) (Fehr 1987; Nyquist 1991; Roy 2000). Agar nilai h2bs bermakna bagi program pemuliaan untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah maka harus dilengkapi dengan analisis tipe aksi gen yang mengendalikan sifat tersebut. Apabila h2bs tinggi dan aksi gen dominan atau epistasis maka ragam aditifnya menjadi kecil, kemajuan genetik akan sulit dicapai. Apabila nilai h2bs tinggi dan tipe aksi gen pengendali adalah aditif, maka karakter tersebut potensial untuk diperbaiki atau dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah karena karakter tersebut lebih respon terhadap seleksi. Pada karakter dengan heritabilitas arti luas tinggi dengan aksi gen aditif tidak memerlukan populasi yang besar, seleksi dapat dilakukan pada generasi awal, dapat menggunakan seleksi individu atau seleksi massa. Karakter dengan nilai heritabilitas sedang seperti bobot daun spesifik (48%), diperlukan seleksi dengan jumlah populasi seleksi yang lebih besar, dilakukan pada generasi lanjut, menggunakan seleksi pedigri, sib atau uji progeni (Roy 2000). Dalam usaha perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, informasi aksi gen ini penting untuk melengkapi pengetahuan tentang nilai heritabilitas arti luas yang sudah ada. Aksi gen dominan parsial dan aditif pada karakter hasil per tanaman dan luas daun dengan nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (68%) pada masing-masing karakter tersebut mengindikasikan bahwa ragam genetik yang menentukan pewarisan sifat lebih banyak ditentukan ragam aditif. Persilangan antara dua tetua dengan latar belakang genetik terhadap karakter berbeda maka penyatuan gen dari kedua tetua tersebut akan memberikan nilai tambah pada karakter tersebut sehingga dapat diharapkan kemajuan genetik yang tinggi (Poespodarsono 1988). Menurut Allard (1960) ragam aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Aksi gen aditif merupakan komponen penting sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu respon populasi terhadap seleksi.
88
Selama ini perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah hanya menggunakan karakter hasil per tanaman saja. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa karakter luas daun memenuhi persyaratan sebagai karakter sekunder dan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi menggunakan kriteria seleksi luas daun dapat dilakukan pada generasi awal sehingga mempercepat kemajuan seleksi. Aksi gen isoepistasis pada karakter fisiologi daun seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa ragam genetik total yang tinggi pada pewarisan karakter tersebut (nilai heritabilitas arti luas yang tinggi) lebih banyak ditentukan oleh ragam interaksi atau ragam epistasis. Pewarisan karakter dengan tindak gen epistasis seperti ini tidak banyak bermanfat bagi kegiatan pemuliaan karena tidak banyak menghasilkan kemajuan genetik dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
KESIMPULAN 1. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. 2. Karakter hasil biji per tanaman dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (68%). 3. Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). 4. Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masingmasing dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (78%, 84%, 86%). 5. Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (70%).
89
BAB V ANALISIS SEKUEN LENGKAP GEN YANG TERKAIT ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi sekuen lengkap JJ3 yang merupakan salah satu kandidat gen yang telah berhasil diisolasi dari tanaman kedelai yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Karakterisasi sekuen lengkap mencakup analisis struktur sekuen lengkap, analisis kerangka translasi atau sekuen pengkode, analisis tingkat homologi, dan analisis domain protein yang dikode JJ3. Kegiatan karakterisasi dilakukan menggunakan jasa bioinformatika dan beberapa program pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: sekuen lengkap cDNA JJ3 yang terkait dengan mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah memiliki coding sequence (CDS) 633 bp dengan 210 asam amino deduksi tersusun atas 136 asam amino terkonservasi dan 77 asam amino beragam. cDNA JJ3 yang diperoleh pada tanaman kedelai mempunyai fungsi yang sama dengan gen psaD yang terdapat pada tanaman tembakau kayu (Nicotiana sylvestris), padi (Oryza sativa), tomat (Lycopersicon esculentum), barley (Hordeum vulgare), bayam (Spinacia oleracea), Arabidopsis (Arabidopsis thaliana), dan kentang (Solanum tuberosum). Kata kunci: sekuen lengkap, gen, sekuen pengkodean (CDS), homolog, basa nukleotida.
ANALYSIS OF FULL LENGTH SEQUENCE OF GENE RELATED TO ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY Abstract The aim of this study was to characterise full length sequence of JJ3, a cDNA corresponding to adaptation of soybean to low light intensity, obtain from soybean leaves under low light intensity. Characterization of the full length sequence of JJ3 was carried out using bioinformatics tools, in the aspects of analyses of prediction of sequence structure, open reading frame (ORF) or coding sequence, homology, and domain analysis of protein JJ3. The results of this study showed that: full length sequence of JJ3, a gene related to mechanism of adaptation of soybean to low light intensity, consisted of 633 bp nucleotides coding sequence was constituted of conserved domain (136 amino acids) and 77 varied domains (77 amino acids). JJ3 isolated from low irradiance tolerant soybean leaves have the same function with psaD from wood tobacco (Nicotiana sylvestris), rice (Oryza sativa), Spinach (Spinacia oleracea), tomato (Lycopersicon esculentum), barley (Hordeum vulgare), Arabidoposis (Arabidopsis thaliana), and potato (Solanum tuberosum). __________
Key words: full length sequence, gene, coding sequence (CDS), homolog, nucleotide.
91
PENDAHULUAN Latar Belakang Organisme fotosintetik, termasuk tanaman kedelai, yang dikembangkan pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah seperti di bawah tegakan perkebunan karet atau tumpang sari dengan tanaman lain yang berpotensi menaungi, hendaknya mampu mengembangkan berbagai perubahan atau mekanisme baik pada tingkat morfologi, fisiologi sampai tingkat molekuler sehingga mampu beraklimatisasi dalam kondisi lingkungan cahaya terbatas. Pada tingkat molekuler, kemampuan tanaman untuk beradaptasi pada lingkungan intensitas cahaya rendah tergantung dari ada tidaknya gen yang mengendalikan karakter-karakter yang terkait dengan kemampuan tanaman untuk memanfaatkan intensitas cahaya yang terbatas secara efisien untuk melangsungkan proses fotosintesis maksimum. Hasil penelitian sebelumnya tentang ‘analisis genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah’ (Percobaan 2) dilaporkan bahwa adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah yang terkait dengan proses fotosintesis dikendalikan sekurang-kurangnya oleh dua gen mayor untuk karakter kualitatif seperti kandungan klorofil dan oleh banyak gen untuk karakter kuantitatif seperti hasil dan morfologi daun. Handayani (2003) juga melaporkan bahwa terdapat banyak gen yang mengendalikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Menurut Allen dan Forsberg (2001); Pfannschmidt (2003); Fey et al. (2005), gen-gen fotosintesis yang berperan kunci dalam proses adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah berasal dari inti (gen fotosintetik inti) dan ada juga yang berasal dari kloroplas (gen fotosintetik kloroplas). Gen-gen tersebut sangat menentukan kelangsungan proses fotosintesis termasuk transfer elektron di dalam pusat reaksi fotosistem I dan II. Terdapat 10 gen-gen fotosintetik inti yang mengkode protein komponen PSI, salah satunya adalah gen psaD (Hiyama 1997). Gen fotosintetik kloroplas terutama menyandi komponen protein dari 4 kelompok kompleks protein yang terdapat pada membran tilakoid yaitu: 6 gen untuk protein PSI (psaA-C,I,J,M), 12 gen untuk protein PSII (psbA-F,H-N), 6 gen untuk cyt
92
b6/f (petA-B,D,G), dan 6 gen untuk ATPase (atpA-B, atpE-I), serta gen yang mengkode subunit besar Rubisco (rbcL) (Hachtel 1997; Joshi 1997; Tyagi et al. 2000). Sistem kerja gen-gen fotosintetik baik yang berasal dari inti maupun kloroplas umumnya dikontrol oleh status redoks yang tergantung dari aliran elektron fotosintetik di dalam fotosistem. Komponen dari rantai transpor elektron fotosintetik tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan apabila mendapat stres lingkungan seperti intensitas cahaya rendah. Signal redoks seperti ini berfungsi sebagai parameter signaling yang mengontrol ekspresi gen fotosintetik kloroplas dan inti dan berperan penting di dalam koordinasi dari kedua kompartmen genetik tersebut (Fey et al. 2005). Perubahan intensitas cahaya yang diterima tanaman dapat mempengaruhi transport elektron fotosintetik dan dapat mengurangi efisiensi fotosintesis dengan cepat. Pada kondisi stres seperti ini, respon aklimatisasi dapat mempertahankan aliran elektron fotosintetik, dengan demikian fiksasi energi netto sebanyak mungkin dapat berlangsung terus. Di dalam PSI, terminal kofaktor transfer elektron bekerja berangkai seperti kabel elektron yang menghubungkan elektron dari tempat awal pemisahan muatan yang terletak di dalam membran ke ferredoksin yang merupakan akseptor elektron solubel yang terletak di dalam subunit PsaD pada permukaan stroma membran tilakoid. Dengan demikian keberadaan subunit PsaD, protein ekstrinsik yang terletak periferal di sisi stroma, menjadi sangat penting. Menurut Lagoutte et al. (2001) subunit PsaD PSI yang dikode gen psaD berperan kunci dalam stabilitas transpor elektron fotosintetik di dalam kompleks PSI karena merupakan tempat docking ferredoxin (Fd). Beberapa kajian tentang PsaD subunit PSI sudah dilaporkan sebelumnya antara lain analisis in vivo PsaD pada tanaman jagung (Heck et al. 1999), bentuk isoformis PsaD sub unit pada tanaman tembakau (Obokata et al. 1993), tingkat homologi dan struktur gen psaD dari beberapa tanaman seperti mentimun (Cucumis sativus), barley (Hordeum vulgare), tomat (Lycopersicum esculentum), tembakau kayu (Nicotiana sylvestris), dan bayam (Spinacia oleracea) (Hiyama 1997). Pada tanaman kedelai, penelitian tentang gen psaD dan gen-gen fotosintetik lain masih sangat terbatas.
93
Khumaida (2002) telah memulai kajian molekuler adaptasi kedelai terhadap cekaman naungan dengan melaporkan bahwa terdapat tiga fragmen cDNA yaitu JJ3, EE2, dan E3 yang merupakan kandidat gen fotosintetik yang positif terkait erat dengan gen yang mengkode protein kompleks membran tilakoid berturutturut fotosistem I (PS-I), sitokrom, dan fotosistem II (PS-II). Kandidat gen JJ3 yang terkait dengan fotosistem I tersebut menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut karena homolog dengan psaD, gen yang mengkode protein PsaD pada subunit PSI. Selanjutnya, fragmen cDNA JJ3 yang berukuran 261 bp basa nukleotida tersebut berhasil dibuat sekuen lengkapnya (full length sequence) menjadi 841 bp (Sopandie et al. 2005). Sejauh ini karakterisasi, konfirmasi fungsi dan analisis pola ekspresi sekuen lengkap cDNA JJ3 tersebut terkait dengan mekanisme molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum dilakukan. Diharapkan sekuen lengkap cDNA JJ3 tersebut juga dapat didaftarkan di GenBank melalui situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov) untuk dapat diakses oleh pengguna di seluruh dunia. Dengan semakin banyak gen-gen yang diperoleh yang terkait dengan kemampuan tanaman beradaptasi pada lingkungan cekaman intensitas cahaya rendah, maka semakin banyak tersedia materi genetika dan molekuler yang dapat digunakan, dan akan semakin mempermudah dan mempercepat perbaikan adaptasi tanaman terhadap lingkungan cekaman tersebut.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi sekuen lengkap cDNA JJ3 yang diisolasi dari tanaman kedelai toleran naungan, dan selanjutnya dilakukan pendaftaran di database GenBank sebagai coding sequence lengkap (complete CDS) baru yang diisolasi dari tanaman kedelai toleran naungan.
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan adalah sekuen lengkap (full length) cDNA JJ3 yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya (Sopandie et al. 2005).
94
Analisis Sekuen Lengkap cDNA JJ3 Analisis sekuen lengkap (full length) cDNA JJ3 dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut. Deduksi asam amino sekuen lengkap cDNA JJ3 menggunakan
program
translasi
(www.expasy.ch/tools/dna.html).
Analisis
tingkat homologi urutan basa nukleotida dan deduksi asam amino sekuen lengkap cDNA JJ3 dengan database gen di GenBank menggunakan program BLAST (Basic Local Aligment Search Tool) (www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST) dan program progam clustalW (http://www.ebi.ac.uk/clustalW/index.html). Analisis kerangka translasi (ORF) atau sekuen pengkodean (CDS) dan domain terkonservasi
(conserved
region)
(www.ncbi.nlm.nih.gov/gorf/gorf.html)
menggunakan dan
program program
ORF
Finder
GeneScanW
(http://genes.mit.edu/GENSCANS.html). Analisis kedekatan hubungan dan kekerabatan JJ3 dengan gen homolog dari berbagai tanaman menggunakan program phylodraw. Domain sekuen lengkap cDNA JJ3 ditentukan dengan program motif scan (www.expasy.ch/prosite). Analisis hidrofobisitas dilakukan menggunakan program BioEdit versi 7.0.0 (Hall 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN Sekuen Lengkap (Full Length) JJ3 Sekuen lengkap JJ3 yang berukuran 841 bp terdiri atas 232 adenin (a), 234 sitosin (c), 192 guanin (g) dan 183 timin (t) seperti yang disajikan pada Gambar 24. Sekuen lengkap ini merupakan hasil penggabungan sekuen-sekuen parsial hasil pemanjangan 5’-RACE dan 3’-RACE. Dengan membandingkan sekuen lengkap tersebutt dengan data fragmen sebelum pemanjangan dengan RACE, maka terdapat penambahan sejumlah 485 basa nukleotida ke arah ujung 5’ dan sekitar 73 bp ke arah ujung 3’. Hasil translasi sekuen lengkap cDNA JJ3 menggunakan program translasi (www.expasy.ch/tools/dna.html) diperoleh asam amino sejumlah 284 asam amino dengan empat asam amino start codon (Met) dan dua stop codon (*). Start codon tersebut tidak berada persis di awal sekuen begitu juga stop codon tidak di akhir sekuen.
95
A. BASE COUNT 232 a 234 c 192 g 183 t 1 gcaagcagtggtatcaacgcagagtggccattacggccggggaacacttgtattatctca 61 agcaaccatggcaatggcaacccaagcctctctcttaaccccacccctctccggtctcaa 121 agccagcgaccgcgcctccgtgccatggaagcaaaactccagcctctccttctccagccc 181 gaagcccctcaagttctccagaacaatcagagcagcagccgccgacgagaccacagaggc 241 accagcaaaagtagaggctgcaccggtcgggttcaccccaccagaacttgacccaaacac 301 cccttccccgatcttcgggggcagcaccggcgggctcctgcgcaaggcacaggtggagga 361 gttttatgtcattacgtgggactcacccaaagaacagatctttgaaatgcccactggcgg 421 cgccgctatcatgagggagggtcctaaccttctcaagttggccaggaaggagcagtgctt 481 ggctcttgggactaggctcaggtccaagtacaagatcaagtaccagttctacagggtctt 541 ccctaatggggaggttcagtatttgcaccctaaggatggtgtttaccctgagaaggtcaa 601 cgccggacgccaaggggtgggtcaaaacttcaggtctattggtaagaatgttagtcctat 661 tgaggtcaagttcactggcaagcagccctatgatttgtgagcacacaactctatcttcat 721 catcatcatcccccgtgcttcctttatatgctatatattctcatgtgatatcatgtacct 781 attgtcaattttattatgccacaaatattgctaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa 841 a B. 284 asam X X X X Q A A S L L T P K P L K F S P P E L D P T W D S P K E Q C L A L H P K D G V E V K F T G F S C D I M
amino V V S P L S R T I N T P E Q I G T R Y P E K Q P Y L L
T G R S F L K Y S
Q L A P E R V D I
S K A I M S N L L
G A A F P K A * L
H S A G T Y G A C
Y D D G G K R H H
G R E S G I Q N K
R A T T A K G S Y
G S T G A Y V I C
T V E G I Q G F *
L P A L M F Q I K
V W P L R Y N I K
L K A R E R F I K
S Q K K G V R I K
Q N V A P F S P K
A S E Q N P I R K
T S A V L N G A K
M L A E L G K S K
A S P E K E N F K
M F V F L V V I
A S G Y A Q S C
T S F V R Y P Y
Q P T I K L I I
Gambar 24 (A). Sekuen lengkap basa nukleotida JJ3 hasil pemanjangan menggunakan metode PCR-RACE. (B). Asam amino hasil translasi dari sekuen lengkap basa nukleotida JJ3. Analisis Struktur Sekuen Lengkap JJ3 Estimasi struktur sekuen lengkap JJ3 dilakukan dengan menggunakan program GeneScanW (http://genes.mit.edu/GENSCANS.html) dengan hasil seperti pada Gambar 25. Tampak bahwa sekuen lengkap JJ3 terdiri atas sekuen pengkode (coding sequence, CDS) lengkap yang merupakan ekson tunggal (single exon) dengan panjang 633 bp dimulai dari nukleotida nomor 68 sampai 700 dengan nilai probabilitas cukup tinggi (85%). Panjang poly-Adenin (polyA) adalah 6 bp dimulai dari nukleotida nomor 813 sampai 818. Sekuen full length ini tidak memiliki intron karena merupakan sekuen cDNA. Peptida yang dihasilkan CDS JJ3 tersusun atas 210 asam amino. Pada coding sequence tersebut terdapat domain terkonservasi (asam amino 78 sampai 210) dan domain tidak terkonservasi beragam yang terletak pada asam amino 1 sampai 77 seperti pada Gambar 25.
96
Hasil GENSCANW sekuen cDNA JJ3 A. Prediksi struktur gen/exon: Gn.Ex ----1.01 1.02
Type ---Sngl PlyA
S .Begin ...End .Len Fr Ph I/Ac Do/T CodRg P.... Tscr.. - ------ ------ ---- -- -- ---- ---- ----- ----- -----+ 68 700 633 1 0 106 53 397 0.848 33.89 + 813 818 6 -0.45
B. Prediksi coding sequence, CDS: 633 bp atggcaatggcaacccaagcctctctcttaaccccacccctctccggtctcaaagccagcga ccgcgcctccgtgccatggaagcaaaactccagcctctccttctccagcccgaagcccctca agttctccagaacaatcagagcagcagccgccgacgagaccacagaggcaccagcaaaagta gaggctgcaccggtcgggttcaccccaccagaacttgacccaaacaccccttccccgatctt cgggggcagcaccggcgggctcctgcgcaaggcacaggtggaggagttttatgtcattacgt gggactcacccaaagaacagatctttgaaatgcccactggcggcgccgctatcatgagggag ggtcctaaccttctcaagttggccaggaaggagcagtgcttggctcttgggactaggctcag gtccaagtacaagatcaagtaccagttctacagggtcttccctaatggggaggttcagtatt tgcaccctaaggatggtgtttaccctgagaaggtcaacgccggacgccaaggggtgggtcaa aacttcaggtctattggtaagaatgttagtcctattgaggtcaagttcactggcaagcagcc ctatgatttgtga C. Prediksi sekuen peptida: 210 asam amino MAMATQASLLTPPLSGLKASDRASVPWKQNSSLSFSSPKPLKFSRTIRAAAADETTEAPAKV EAAPVGFTPPELDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWDSPKEQIFEMPTGGAAIMRE GPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKIKYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPEKVNAGRQGVGQ NFRSIGKNVSPIEVKFTGKQPYDL D
Gambar 25 (A) Estimasi struktur sekuen lengkap JJ3, (B) Prediksi sekuen pengkodean, CDS lengkap, dan (C) prediksi sekuen peptida, (D) domain terkonservasi (conserved domain) berwarna merah dan yang tidak terkonservasi (domain beragam) berwarna hitam. Untuk mengetahui fungsi dari sekuen lengkap JJ3 yang diperoleh maka perlu dilakukan analisis bagian yang bisa dibaca dalam proses translasi (open reading frame, ORF) atau sekuen pengkodean (Coding sequence, CDS) yang merupakan bagian yang ditranslasikan membentuk protein fungsional. Hasil analisis menggunakan program ORF Finder (www.ncbi.nlm.nih.gov/gorf/gorf. html) menunjukkan bahwa terdapat sekuen pengkodean (coding sequence, CDS)
97
atau open reading frame (ORF) dan domain terkonservasi (putative conserved domain) sekuen lengkap JJ3 seperti pada Gambar 26.
Gcaagcagtggtatcaacgcagagtggccattacggccggggaacacttgtattatctcaa gcaacc
68 atggcaatggcaacccaagcctctctcttaaccccacccctctcc M A M A T Q A S L L T P P L S 113 ggtctcaaagccagcgaccgcgcctccgtgccatggaagcaaaac G L K A S D R A S V P W K Q N 158 tccagcctctccttctccagcccgaagcccctcaagttctccaga S S L S F S S P K P L K F S R 203 acaatcagagcagcagccgccgacgagaccacagaggcaccagca T I R A A A A D E T T E A P A 248 aaagtagaggctgcaccggtcgggttcaccccaccagaacttgac K V E A A P V G F T P P E L D 293 ccaaacaccccttccccgatcttcgggggcagcaccggcgggctc P N T P S P I F G G S T G G L 338 ctgcgcaaggcacaggtggaggagttttatgtcattacgtgggac L R K A Q V E E F Y V I T W D 383 tcacccaaagaacagatctttgaaatgcccactggcggcgccgct S P K E Q I F E M P T G G A A 428 atcatgagggagggtcctaaccttctcaagttggccaggaaggag I M R E G P N L L K L A R K E 473 cagtgcttggctcttgggactaggctcaggtccaagtacaagatc Q C L A L G T R L R S K Y K I 518 aagtaccagttctacagggtcttccctaatggggaggttcagtat K Y Q F Y R V F P N G E V Q Y 563 ttgcaccctaaggatggtgtttaccctgagaaggtcaacgccgga L H P K D G V Y P E K V N A G 608 cgccaaggggtgggtcaaaacttcaggtctattggtaagaatgtt R Q G V G Q N F R S I G K N V 653 agtcctattgaggtcaagttcactggcaagcagccctatgatttg S P I E V K F T G K Q P Y D L 698 tga 700 * gcacacaactctatcttcatcatcatcatcccccgtgcttcctttatatgctatatattct catgtgatatcatgtacctattgtcaattttattatgccacaaatattgctaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Gambar 26 Open reading frame (ORF) atau coding sequence dari sekuen lengkap JJ3. Sekuen yang ditulis dengan huruf kecil merupakan CDS JJ3 dan huruf kapital merupakan deduksi asam amino.
Hasil analisis menunjukkan bahwa salah satu segmen dari sekuen lengkap JJ3 memiliki salah satu daerah pengkodean (coding region) lengkap yang merupakan kerangka translasi atau open reading frame (ORF) lengkap dengan coding sequence (CDS) yang menghasilkan protein PsaD photosystem I (PS-I) subunit, protein ekstrinsik yang terletak di bagian sisi stroma pada membran
98
tilakoid kloroplas. Protein PsaD tersebut tersusun atas 210 asam amino yang diawali dengan start codon atg (Met) dan diakhiri dengan stop codon tga (Gambar 26). PsaD merupakan protein ekstrinsik PSI subunit yang terletak pada sisi stromal pada membran tilakoid (Xia et al. 1998), fungsinya terlibat dalam transpor elektron dalam transduksi signal cahaya. Analisis fungsi dari protein PsaD menunjukkan bahwa protein berberat molekul rendah tersebut terkait dengan transport elektron dalam fotosintesis. Protein PsaD yang dikode JJ3 tersebut terletak di bagian luar (periferal) sisi stroma membran tilakoid pada fotosistem I (PSI). Hasil kajian bioinformatika tentang struktur tiga dimensi protein PsaD menunjukkan bahwa PsaD terkait dengan dengan tiga subunit lain (PsaC dan PsaE) dalam menstabilkan docking feredoksin yang berperan penting dalam transport elektron selama proses fotosintesis berlangsung (Klukas et al. 1999). Lagoutte et al (2001) dalam penelitiannya menggunakan cyanobacterium Synechocystis sp PCC 6803, melaporkan bahwa subunit PsaD fotosistem I (PSI) mempunyai peranan penting di dalam stabilitas kompleks PSI dan merupakan bagian dari tempat docking ferredoxin (Fd). Fotosistem I (PSI) merupakan kompleks multisubunit yang menempel pada membran tilakoid yang mampu memfoto-induksikan transfer elektron menjadi akseptor elektron yaitu ferredoxin (Fd) yang bersifat dapat larut. PSI terdiri atas 11 subunit, baik yang bersifat integral seperti yang mengikat sentral kofaktor menjadi transfer elektron, maupun yang bersifat periferal seperti PsaD subunits. Lagoutte et al. (2001) menduga bahwa subunit PsaD periferal mempunyai beberapa fungsi yang berbeda pada kompleks PSI. yang pertama berperan penting secara struktural dalam melengkapi kompleks PSI menjadi subunit yang dikode inti pertama dari kompleks yang disintesa dengan iluminasi atau pencahayaan. Polipeptida ini berinteraksi dengan banyak subunit berbeda. Fungsi secara struktural dari PsaD adalah mendukung sekitar 70% dari pemanjangan dan pelebaran rantai polipeptida. Juga terdapat sekuen dasar yang kuat pada bagian tengah dari PsaD yang menjaga stabilitas hubungan PsaD dengan core PSI. Fungsi yang lain dari PsaD adalah memberikan sekuen spesifik untuk mengarahkan dan menempatkan (guiding and docking) elektrostatik feredoksin (Fd) pada PSI.
99
Menurut Jiao et al. (2004), protein fotosistem tipe I (PSI) seperti PsaD juga berfungsi sebagai oksidoreduktase dari plastocyanin : ferredoxin yang mengkatalisis transfer elektron dari plastocyanin terreduksi ke ferredoxin teroksidasi di dalam rantai transport elektron pada membran tilakoid. PSI menghasilkan ATP dan NADPH dan juga berfungsi untuk meregulasi metabolisme karbon dan nitrogen di dalam kloroplas. Selanjutnya ekspresi gengen fotosintesis di dalam inti maupun kloroplas berikut prosesing subunit protein untuk pembentukan kompleks protein (PSI, PSII) diaktivasi oleh cahaya. (Biswal 1997; Tyagi et al. 2000).
Analisis Homologi Sekuen Lengkap JJ3 Analisis homologi basa nukleotida atau asam amino sekuen lengkap cDNA JJ3 dengan gen psaD tanaman lain yang tersimpan di database DNA di GenBank dilakukan dengan menggunakan program BLAST (Basic Local Aligment Search Tool) melalui situs (www.ncbi.nlm.nih. gov/BLAST2). Hasil program BLAST ditampilkan dalam bentuk skoring dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, disertai dengan persentase identitas JJ3 dengan gen psaD tanaman lain. Semakin tinggi skor dan persentase identitas maka tingkat homologi sekuen lengkap JJ3 dengan gen psaD semakin tinggi. Dengan menggunakan Local aligment dapat diketahui daerah terkonservasi (conserved region) yang merupakan domain utama suatu gen. Program BLAST merupakan alat bioinformatika yang cukup penting untuk menentukan identitas suatu sekuen yang belum diketahui dengan menganalisis tingkat homologinya dengan gen lain di GenBank yang telah dikarakterisasi (Mount 2001). Seperti yang dilaporkan sebelumnya (Khumaida 2002) bahwa fragmen JJ3 homolog dengan gen psaD pada fotosistem I subunit II. Oleh karena itu pensejajaran sekuen lengkap dilakukan terhadap sekuen DNA yang terkait dengan gen psaD dan memiliki skor BLAST di atas skor 100 sampai tertinggi. Hasil analisis pensejajaran menggunakan program ClustalW (http://www.ebi.ac.uk/ clustalW/index.html) (Tabel 16) mencerminkan tingkat kesamaan seluruh basa nukleotida atau asam amino dari sekuen lengkap JJ3 yang diperoleh termasuk bagian yang berada diluar sekuen pengkodean (coding sequence) atau daerah
100
terkonservasi (conserved region). Diperoleh bahwa sekuen lengkap JJ3 memiliki tingkat homologi yang cukup tinggi baik berdasarkan homologi sekuen basa nukleotida maupun homologi sekuen asam amino. Tingkat homologi tertinggi berdasarkan sekuen lengkap basa nukleotida ditunjukkan pada tanaman padi (Oryza sativa) (XM48378) (73) kemudian beberapa tanaman lain seperti pada tembakau kayu (Nicotiana sylvestris) (Q70PN9) (65%), bayam dan Arabidopsis. Tingkat homologi sekuen lengkap asam amino JJ3 tertinggi (81%) dengan tembakau kayu (Nicotiana sylvestris) (P29302) dan kentang (Solanum tuberosum) (Q70PN9) kemudian tomat dan bayam. Tabel 16 Matriks tingkat homologi (%) sekuen lengkap basa nukleotida dan asam amino JJ3 dengan tanaman lain A.. amino
JJ3
Tembakau kayu
Padi
Barley
Arabidopsis
Kentang
Tomat
Bayam
Nukleotida JJ3 81 69 69 71 80 79 76 Tembakau 73 68 73 92 91 73 65 Padi 53 84 67 79 77 70 73 38 85 66 73 70 68 Barley 54 Arabidopsis 56 53 48 73 73 73 60 77 55 42 69 98 74 Kentang 59 73 54 37 70 91 74 Tomat 57 Bayam 66 56 53 69 63 66 62 Keterangan: Persentase di bagian bawah diagonal adalah tingkat kesamaan basa nulkeotida sekuen lengkap JJ3, dan bagian atas diagonal adalah tingkat kesamaan berdasarkan asam amino.
Hasil pensejajaran menggunakan BLAST terhadap bagian terkonservasi (conserved domain), tingkat homologi cDNA JJ3 dengan tanaman lain baik berdasarkan sekuen DNA atau asam amino menunjukkan tingkat homologi yang lebih tinggi dibanding hasil pensejajaran berdasarkan sekuen lengkap (Tabel 17). Tingkat homologi tertinggi cDNA JJ3 adalah dengan gen psaD pada tanaman tembakau kayu (Nicotiana sylvestris) (X60008) yaitu 83% berdasarkan sekuen nukleotida dan dengan tanaman yang sama tembakau kayu (Nicotiana sylvestris) (P29302) yaitu 96% berdasarkan sekuen asam amino.
101
Tabel 17 Tingkat homologi cDNA JJ3 dengan gen psaD beberapa spesies tanaman lain menggunakan domain terkonservasi sekuen basa nukleotida dan asam amino Spesies tanaman
Tembakau kayu Nicotiana sp
Basa nukleotida JJ3 No. Aksesi Homologi (%)
Asam amino JJ3 No. HomoAksesi logi (%)
Fungsi gen
X60008
340/407 (83)
P29302
56/58 (96)
Gen psaDa PSI-D2
Padi Oryza sativa
AY224449
262/317 (82)
XM48378 3
53/58 (91)
Pusat reaksi PSI subunit II
Bayam Spinacia sp
X14017
165/199 (82)
P12353
53/58 (91)
Pusat reaksi PSI protein 20 kDA (psaD)
Barley Hordeum sp
M98254
247/302 (81)
P36213
53/58 (91)
Fotosistem I subunit PSI-D (PsaD)
Tomat Lycopersicon sp
M21344
310/389 (79)
P12372
55/58 (93)
Pusat reaksi PSI subunit II (gen psaD)
Arabidopsis Arabidopsis sp
AJ245906
312/392 (79)
Q9SA56
51/58 (88)
Gen psaD untuk subunit II
Kentang Solanum sp
AJ556864
323/407 (79)
Q70PN9
51/58 (88)
Pusat reaksi PSI subunit PSI-D (PsaD)
Hasil pensejajaran ganda atau multiple aligment menggunakan program clustalW (http://www.ebi.ac.uk/clustalW/index.html) menunjukkan bahwa cDNA JJ3 memiliki elemen konsensus yang cukup tinggi baik berdasarkan basa nukleotida maupun asam amino seperti disajikan pada Gambar 27 dan 28. Elemen konsensus atau daerah terkonservasi (consensus element atau conserved region) merupakan bagian, elemen atau sekuen basa nukleotida atau asam amino yang sama atau paling sering muncul pada bagian fungsional suatu gen tertentu (Khal 2001). Adanya elemen yang tidak terkonservasi menunjukkan bahwa pada organisme tersebut telah terjadi mutasi dalam bentuk penambahan, pengurangan, atau pertukaran elemen.
102
JJ3 Tembakau Padi Bayam Barley Tomat Arabidopsis kentang
AACACCCCTTCCCCGATCTTCGGGGGCAGCACCGGCGGGCTCCTGCGCAAGGCACAGGTG AACACACCTTCCCCAATCTTCGGTGGCAGCACCGGTGGGCTTCTCCGCAAGGCCCAAGTT AACACGCCGTCCCCGATCTTCGGCGGGAGCACGGGGGGACTCCTCCGGAAGGCGCAGGTG ACACTCCCTCCCCCATCTTTGCTGGAAGCACAGGTGGGCTATTGAGGAAGGCACAAGTAA TCCACGCCGTCCCCGATCTTCGGCGGCAGCACCGGCGGGCTGCTCCGCAAGGCCCAGGTC AACACACCCTCCCCAATCTTCGGTGGCAGCACCGGTGGGCTTCTTCGCAAAGCCCAAGTG AACACACCGTCTCCGATCTTCGCTGGAAGCACCGGTGGTCTTCTACGTAAAGCGCAAGTG AACACACCTTCCCCAATCTTCGGTGGCAGCACTGGTGGGCTTCTTCGCAAAGCCCAAGTA *** ** ** ** ***** * ** ***** ** ** ** * * ** ** ** **
355 811 267 354 312 323 282 316
JJ3 Tembakau Padi Bayam Barley Tomat Arabidopsis kentang
GAGGAGTTTTATGTCATTACGTGGGACTCACCCAAAGAACAGATCTTTGAAATGCCCACT GAGGAGTTTTACGTAATTACTTGGGAATCACCTAAAGAACAGATCTTTGAGATGCCAACT GAGGAGTTCTACGTCATCACATGGACGTCGCCCAAGGAGCAGGTGTTCGAGATGCCCACG GAGGAGTTTTACGTGATAACATGGGAATCACCAAAAGAGCAAATATTCGAGATGCCAACA GAGGAGTTTTACGTCATCACCTGGACCTCCCCCAAGGAGCAGGTCTTCGAGATGCCCACC GAAGAATTCTACGTCATCACATGGGAATCACCAAAGGAACAGATCTTTGAGATGCCAACA GAAGAGTTCTACGTTATCACGTGGAACTCACCGAAAGAACAGATCTTTGAGATGCCGACA GAAGAATTCTACGTCATCACATGGGAATCACCAAAGGAACAGATCTTCGAGATGCCAACA ** ** ** ** ** ** ** *** ** ** ** ** ** * ** ** ***** **
415 871 327 414 372 383 342 376
JJ3 Tembakau Padi Bayam Barley Tomat Arabidopsis kentang
GGCGGCGCCGCTATCATGAGGGAGGGTCCTAACCTTCTCAAGTTGGCCAGGAAGGAGCAG GGTGGTGCAGCTATTATGAGGGAAGGTGCTAATTTGCTGAAATTGGCGAGGAAAGAGCAG GGCGGCGCCGCCATCATGCGCGAGGGCCCCAACCTGCTGAAGCTGGCCAGGAAGGAGCAG GGAGGAGCAGCAATAATGAGGGAAGGACCAAACTTGCTAAAATTAGCACGTAAAGAGCAA GGCGGCGCCGCCATCATGCGCGAGGGCCCCAACCTCCTCAAGCTCGCCCGCAAGGAGCAG GGTGGTGCTGCTATAATGAGACAAGGACCAAATTTGTTGAAATTGGCAAGGAAAGAACAG GGAGGAGCAGCGATCATGAGAGAAGGTCCGAATCTTCTGAAGCTAGCGAGGAAAGAGCAG GGTGGTGCTGCTATAATGAGAGAAGGACCCAATTTGTTGAAATTGGCCAGGAAAGAACAG ** ** ** ** ** *** * * ** * ** * * ** * ** * ** ** **
475 931 387 474 432 443 402 436
Gambar 27 Sebagian hasil pensejajaran (multi-alignment) sekuen basa nukleotida cDNA JJ3 dengan spesies tanaman lain menggunakan progran clustalW. Tanda aktris (*) menunjukkan nukleotida terkonservasi. Hasil pensejajaran ganda (multiple aligment) sekuen asam amino cDNA JJ3 dengan tanaman lain, menunjukkan bagian konsensus atau conserved region yang lebih tinggi dari pada hasil pensejajaran sekuen basa nukleotida (Gambar 27). Hal ini karena beberapa kodon atau triplet yang memiliki basa nukleotida berbeda dapat membentuk asam amino yang sama, misalnya valin (V) oleh triplet GTT, GTC, GTG atau GTA (Dale dan von Schantz 2002). Hasil ini juga membuktikan bahwa JJ3 yang diisolasi dari kedelai toleran merupakan cDNA yang homolog dengan gen psaD yang merupakan conserved domain mengkode protein PsaD PSI subunit. Meskipun demikian, ada beberapa asam amino cDNA JJ3 yang berbeda, misalnya dengan tembakau kayu seperti arginin (R) yang menggantikan posisi glutamin (Q) atau alanin (A) yang menggantikan prolin (P) pada padi dan barley. Adanya perbedaan ini diduga karena adanya mutasi.
103
JJ3 Nicotiana Oryza Spinacia Hordeum Lycopersicon Arabidopsis Solanum
MAMATQAS-LLTP-PLSGLKASDR-ASVPWKQNSSLSFSSPKPLKFSRTIRAAAADETTE MAMATQAS-LFTP-ALSAPKS-----SAPWKQ-SLASFS-PKQLKSTVSAPRPIRAMAEE MAMATQAS-AAKCHLL-AAWAP--------AKPRSSTLSMPTS-RAPTSLRAAAED-QPA MAMATQAT-LFSPSSLSSAKPIDTRLTTSFKQPSAVTFA-SKPASRHHSIRAAAAAEGKA MAMATQAS-AATRHLITAAWSPS-------AKPRPATLAMPSSARGPAPLFAAAPD-TPA MAMATQAS-LFTP-PLSVPKST----TAPWKQ-SLVSFSTPKQLKSTVSVTRPIRAMAEE --MATQAAGIFSP-AITTTTS------AVKKLHLFSSSHRPKSLSFTKTAIRAEKTESSS MAMATQAS-LFTP-ALSVPKS-----TAPWKQ-SLLSFSTPKQLKSTVSVTRPIRAMAEE *****: . : . : .. . .
57 51 48 58 51 53 51 52
JJ3 Nicotiana Oryza Spinacia Hordeum Lycopersicon Arabidopsis Solanum
AP--AKVEAAPVGFTPPELDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWDSPKEQIFEMP A--ATKEAEAPVGFTPPQLDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWESPKEQIFEMP AAATEEKKPAPAGFVPPQLDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWTSPKEQVFEMP AA-ATETKEAPKGFTPPELDPNTPSPIFAGSTGGLLRKAQVEEFYVITWESPKEQIFEMP PAAPP-AEPAPAGFVPPQLDPSTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWTSPKEQVFEMP APAATEEKPAPAGFTPPQLDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWESPKEQIFEMP AA--PAVKEAPVGFTPPQLDPNTPSPIFAGSTGGLLRKAQVEEFYVITWNSPKEQIFEMP APAATEEKPAPAGFTPPQLDPNTPSPIFGGSTGGLLRKAQVEEFYVITWESPKEQIFEMP ** ** **:***.******.******************** *****:****
115 109 108 117 110 113 109 112
JJ3 Nicotiana Oryza Spinacia Hordeum Lycopersicon Arabidopsis Solanum
TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKIKYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGANLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKINYRFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKINYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKIKYQFYRVFPSGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGNRLRSKYKIAYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMRQGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKINYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKITYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE TGGAAIMREGPNLLKLARKEQCLALGTRLRSKYKINYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPE ********:*.***************.******** *:******.***************
175 169 168 177 170 173 169 172
JJ3 Nicotiana Oryza Spinacia Hordeum Lycopersicon Arabidopsis Solanum
KVNAGRQGVGQNFRSIGKNVSPIEVKFTGKQPYDL KVNAGRQGVGQNFRSIGKNKSPIEVKFTGKQVYDL KVNAGRQGVGQNFRSIGKNVSPIEVKFTGKNVFDI KVNPGRQGVGLNMRSIGKNVSPIEVKFTGKQPYDL KVNAGRQGVGQNFRSIGKNVSPIEVKFTGKNSFDI KVNPGREGVGQNFRSIGKNKSAIEVKFTGKQVYDI KANPGREGVGLNMRSIGKNVSPIEVKFTGKQSYDL KVNPGREGVGQNFRSIGKNKSAIEVKFTGKQVYDI *.*.**:*** *:****** *.********: :*:
210 204 203 212 205 208 204 207
Gambar 28 Hasil pensejajaran sekuen lengkap asam amino cDNA JJ3 dengan tanaman tingkat tinggi lain. Tanda aktris (*) menunjukkan daerah konsensus, (:) menunjukkan bagian yang di dalamnya mempunyai ukuran dan hidrofobisitas yang sama, dan (.) menunjukkan bagian atau kolom dimana ukuran atau hidrofobisitasnya tidak pernah berubah (preserved) selama proses evolusi.
Pada Gambar 28 selain dapat diketahui daerah terkonservasi dan daerah beragam, juga dapat diketahui posisi yang memiliki profil hidrofobisitas yang tidak pernah berubah selama proses evolusi atau memiliki profil yang sama. Berdasarkan hasil pensejajaran di atas dapat dinyatakan bahwa JJ3 yang diisolasi dari kedelai toleran naungan memiliki tingkat kesamaan nukleotida yang cukup tinggi (sekitar 80%) begitu juga dengan sekuen asam amino (sekitar 95%) dengan gen psaD pada tanaman tembakau kayu (Nicotiana sylvestris), kentang (Solanum tuberosum), tomat (Lycopersicon esculentum), bayam (Spinacia
104
oleracea), Arabidopsis (Arabidopsis thaliana), barley (Hordeum vulgare), dan padi (Oryza sativa). Tingkat homologi ini lebih besar dari yang dilaporkan sebelumnya (Hiyama 1997). Tanaman-tanaman tersebut berpotensi untuk dikembangkan di daerah dengan kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah karena memiliki gen psaD. Hasil analisis pensejajaran di atas juga didukung oleh hasil analisis kekerabatan menggunakan urutan asam amino seperti pada Gambar 29. terlihat bahwa, cDNA JJ3 lebih dekat dengan gen psaD pada tanaman tembakau kayu, tanaman tomat, kentang, mentimun, bayam, Arabidopsis, padi dan barley.
Gambar 29 Filogenetik cDNA JJ3 dengan gen psaD pada beberapa tanaman berdasarkan urutan asam amino Tingkat homologi dan kekerabatan yang tinggi mengindikasikan bahwa mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan erat dengan efisiensi proses elektron transport pada reaksi cahaya yang terjadi di dalam membran tilakoid. Dengan kata lain, keberadaan cDNA JJ3 akan meningkatkan laju transpor elektron fotosintetik sehingga dalam kondisi kurang cahaya pun fiksasi energi dari fotosintesis berjalan dengan normal. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Muhuria (2007) bahwa laju transport elektron pada genotipe toleran naungan (Ceneng) lebih tinggi dibanding genotipe peka naungan (Godek). Khumaida (2002) mendapatkan adanya korelasi yang
105
positif antara struktur membran tilakoid dengan ekspresi gen lhcp pada kedelai yang tahan naungan. Beberapa genotipe tanaman yang toleran naungan telah dilaporkan antara lain pada tanaman padi gogo (Sopandie et al. 2001, 2003b, 2003c, 2006; Khumaida 2002) dan Arabidopsis (Carabelli et al. 1996; Franklin et al. 2003; Vandenbussche et al. 2005). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa JJ3 merupakan kandidat gen fotosintetik inti, homolog dengan gen psaD yang bekerja di dalam pusat reaksi PSI subunit untuk mengkode protein PsaD fotosistem I subunit II. Menurut Hiyama (1997), gen psaD merupakan gen fotosintetik inti yang mengkode protein PsaD yang ditransfer ke kloroplas. JJ3 telah terdaftar di database di GenBank dengan nomor aksesi EF628505 sebagai kandidat gen yang menyandi PsaD pada tanaman kedelai (Lampiran 5).
KESIMPULAN 1. Sekuen lengkap cDNA JJ3, kandidat gen yang terkait dengan mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, memiliki coding sequence (CDS) 633 bp dengan 210 asam amino deduksi tersusun atas 136 asam amino terkonservasi dan 77 asam amino beragam. 2. Sekuen CDS JJ3 homolog dengan PsaD PSI subunit, fungsinya terkait dengan transport elektron fotosintesis pada pusat reaksi PSI. 3. cDNA JJ3 homolog dengan gen psaD pada tanaman tembakau liar, padi, barley, Arabidopsis, kentang, tomat, dan bayam.
106
BAB VI ANALISIS EKSPRESI GEN-GEN YANG TERKAIT ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pola ekspresi JJ3, CAB, phyB, dan ATHB yang terkait adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Tanaman kedelai genotipe toleran Ceneng dan genotipe peka Godek yang telah berumur 21 HST pada kondisi cahaya penuh, diberikan berbagai perlakuan intensitas cahaya rendah yaitu: cahaya penuh (kontrol), lima hari naungan menggunakan paranet 50%, dan lima hari gelap total. Isolasi RNA total dari daun sampel dilakukan dengan menggunakan metode TRIzol (Invitrogen) dan pembentukan utas pertama (first strand) cDNA dilakukan dengan menggunakan metode Reverse Transcriptase Moloney Murine Leukemia Virus (RT-M-MLV) (RNase H-) (Takara Bio Inc). Analisis ekspresi gen dilaksanakan dengan menggunakan RT-PCR. Sebagai kontrol internal digunakan ß-actin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pada kedelai toleran naungan, ekspresi JJ3, phyB, dan ATHB-2 dapat dideteksi pada kondisi intensitas cahaya rendah, akan tetapi pada genotipe peka naungan JJ3 dan phyB kurang terdeteksi pada kondisi naungan sedangkan ATHB-2 tidak terdeteksi pada kondisi gelap menggunakan metode RT-PCR. Pada kedelai toleran naungan, ekspresi gen CAB-3 terdeteksi kuat pada kondisi naungan 50%, akan tetapi pada kedelai peka naungan kurang terdeteksi. Pola ekspresi JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2 menunjukkan bahwa adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah secara molekuler melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan toleransi (tolerance). Pada kondisi naungan 50%, ekspresi gen CAB-3 dan phyB berpotensi dijadikan sebagai marka untuk skrining kedelai toleran naungan. ____________ Kata-kata kunci: ekspresi gen, gen regulator, gen fungsional, RT-PCR, marka molekuler
ANALYSIS OF GENE EXPRESSIONS RELATED TO ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY Abstract The main purpose of this study was to get the information on the expression patterns of JJ3, CAB-3 phyB, and ATHB-2 on soybean under shade conditions. Twenty one day old plants of soybean genotypes, Ceneng (shade tolerant) and Godek (shade sensitive), were exposed to three levels of light intensity: fully sun light (control), 5 days shading (paranet 50%), and 5 days dark. Total RNA was extracted using TRIzol method (Invitrogen) and first strand cDNA synthesis was carried out by using Reverse Transcriptase Moloney Murine Leukemia Virus (RTM-MLV) (RNase H-) method (Takara Bio Inc). Gene expression analysis was done using two step format RT-PCR. ß-actin was used as an internal control for the gene expression analyses. Results of the study showed that expressions of JJ3, phyB, and ATHB-2 under low light intensity were detected at the LI-tolerant genotype (Ceneng), whereas JJ3 and phyB were less detected at the LI-sensitive genotype (Godek) under 50% shading and ATHB-2 was not detected under dark condition using RT-PCR method. Gene expression of CAB-3 at the LI-tolerant genotype was highly detected under 50% shade condition, but no expression was shown at the LI-sensitive genotype. The pattern of gene expression of JJ3, CAB-3, phyB, ATHB-2 indicated that molecular mechanism of adaptation of soybean to low light intensity occurred through mechanism of avoidance and tolerance. Under 50% shading, gene expression of CAB-3 and phyB could be potentially used as marker to screen for shading tolerant genotypes of soybean. ___________ Key words: gene expression, regulatory gene, functional gene, RT-PCR, molecular marker
108
PENDAHULUAN Latar Belakang Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan penting yang selain sebagai sumber energi, juga signal cahaya membantu tanaman menerima informasi tentang lingkungan sekelilingnya. Proses tanaman mengenali cekaman intensitas cahaya rendah mencakup empat proses pokok, yaitu: signal stres diterima (stress perception), diinterpretasi (signal interpretation), ditransduksi (transduction of stress signal), dan direspon (final response). Tanaman menerima signal stres, mengenali signal stres dengan benar, dan menggunakan signal tersebut sebagai isyarat (cue) untuk membentuk perubahan-perubahan spesifik pada berbagai tingkatan sebagai bentuk adaptasi tanaman, seperti perubahan struktur morfologi, fisiologi, modifikasi lintasan biokimia, dan ekspresi gen-gen spesifik (stressspecific gene expression) (Biswal dan Biswal 1999). Gen fotosintetik yang terkait dengan adaptasi tanaman terhadap naungan, antara lain gen phytochrome (phy) yang meregulasi dua fenomena utama adaptasi tanaman terhadap lingkungan cahaya, yaitu proximity perception yang berhubungan dengan respon penghindaran (shade avoidance) dan photoperiodic perception yang berhubungan dengan induksi pembungaan. Gen phyB mengkode apoprotein fitokrom B (PHYB), fitokrom stabil, yang bersifat sebagai fotoreseptor intensitas cahaya rendah dengan rasio R:FR rendah sebagai indikator naungan (Ballare, 1999). PHYB yang menerima cahaya pada kondisi naungan langsung memicu perubahan morfologi dan anatomi seperti merangsang pertumbuhan panjang hipokotil dan petiole, daun mengarah ke atas (hyponasty), penurunan perkembangan daun, pengurangan percabangan, percepatan pembungaan dan pengurangan sumber cadangan untuk disimpan dan reproduksi (Ballare 1999; Morelli dan Ruberti 2002). Selain fitokrom B (phyB), terdapat juga beberapa gen yang terkait dengan adaptasi tanaman terhadap naungan, antara lain gen ATHB (Arabidopsis thaliana homeobox) gen yang terkait shade avoidance (perubahan morfologi dan anatomi tanaman), dan CAB (chlorophyll a/b binding protein) gen yang terlibat pembentukan protein kompleks pemanen cahaya, CHS (chalchone synthase) gen
109
yang terlibat pembentukan antosianin, CAO (chlorophyll a oxygenase) gen yang terlibat dalam konversi klorofil a menjadi klorofil b, CHLD gen yang mengkode enzim biosintesis (Ma et al. 2001; Lu et al. 2002). Pada tanaman kedelai, analisis pola ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi naungan tersebut belum banyak dilaporkan. Namun demikian, informasi gen-gen tersebut telah tersedia di database GenBank setelah berhasil diisolasi dan diidentifikasi. Pada tanaman model Arabidopsis thaliana, ekspresi beberapa gen yang terkait naungan sudah banyak dipublikasikan. Carabelli et al. (1996); Franklin et al. (2003); Vandenbussche et al. (2005) melaporkan peran kerja fitokrom B (phyB) sebagai fotoreseptor aktif dan terkait dengan peningkatan ekspresi gen ATHB-2 yang diinduksi oleh rasio R:FR rendah (analogi naungan). Steindler et al. (1999) dan Devlin et al. (2003) memperkuat keterlibatan ATHB sebagai shade upregulated homeodomain transcription factor pada respon adaptasi terhadap naungan. Escoubas et al. (1995) melaporkan bahwa ekspresi gen CAB dipengaruhi oleh intensitas cahaya rendah pada level transkripsi melalui sistem signaling yang dihasilkan oleh status redoks dari pool plastoquinon PSII. cDNA JJ3 merupakan kandidat gen yang telah diketahui sekuen lengkapnya yang diisolasi dari tanaman kedelai (Sopandie et al. 2005) dan memiliki coding sequence yang mengkode protein PsaD, suatu protein periferal yang fungsinya sangat penting pada proses transport elektron pada PSI (hasil Percobaan 3). Akan tetapi analisis pola ekspresinya sampai sekarang belum diketahui. Keberhasilan memperoleh informasi pola ekspresi gen-gen tersebut penting untuk memahami mekanisme molekuler adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah, sekaligus mendapatkan gen ’master switch’ yang dapat mengaktifkan program pengiriman signal cekaman intensitas cahaya rendah sehingga dapat meningkatkan kemampuan adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah .
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
110
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Genotipe kedelai yang digunakan adalah genotipe Ceneng (toleran naungan) dan genotipe Godek (peka naungan) (Sopandie et al. 2002), keduanya merupakan genotipe lokal yang homozigot homogenus.
Analisis Ekspresi Gen Analisis ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap cekaman naungan dilakukan dengan menggunakan metode Reverse Transcription-PCR (RT-PCR) sebagaimana yang digunakan Oh et al. (2000) pada tanaman Arabidopsis, dengan tahapan kegiatan sebagai berikut. Persiapan bahan isolasi RNA. Penanaman kedelai genotipe toleran (Ceneng) dan peka (Godek) dilakukan di Kebun Percobaan BALITBIOGEN, Cimanggu, Bogor pada Agustus 2005. Tanaman yang telah berumur 21 hari pada kondisi cahaya penuh kemudian diberikan perlakuan intensitas cahaya rendah sebagai berikut: (1) Cahaya penuh (Kontrol), (2) 5 hari naungan 50% menggunakan paranet, dan (3) 5 hari gelap total. Sampel daun yang telah membuka sempurna (daun 2 dan 3) dipanen dan dipertahankan tetap dalam kondisi jaringan segar dengan cara langsung dibenamkan dalam larutan N2 cair dikering bekukan (freeze dried) menggunakan freeze drier. Isolasi RNA total. Isolasi RNA total sampel daun genotipe toleran (Ceneng) dan peka (Godek) dilakukan di lab Tolerance Mechanism ANESC di Universitas Tokyo pada bulan September – Oktober 2005 menggunakan metode TRIzol (Invitrogen) dengan prosedur baku perusahaan yang dimodifikasi, sebagai berikut. Satu gram sampel daun trifoliat muda yang telah dihancurkan sampai halus dalam nitrogen cair dimasukkan ke dalam tabung falcon 50 ml yang berisi 5 ml TRIzol reagent. Sampel tersebut dihomogenkan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan 1 ml kloroform, kemudian diinkubasi di atas es selama 15 menit. Pemisahan dilakukan dengan disentrifius
111
10.000 rpm pada suhu 4 oC selama 20 menit, dan fase atas diambil kemudian dipindahkan ke tabung baru. Presipitasi dilakukan dengan penambahan 1 x volume isopropanol dingin, kemudian disentrifius 10.000 rpm pada suhu 4 oC selama 10 menit. Fase cair dibuang dan diperoleh pelet RNA total. Selanjutnya pelet RNA total ditambahkan dengan 2 ml 4M LiCl kemudian disentrifius 3.000 x g pada suhu 4oC selama 10 menit. Pelet RNA yang diperoleh diencerkan lagi dengan cara dilarutkan ke dalam 0.67 ml buffer Tris-EDTA-SDS dan 0.67 ml kloroform, lalu disentrifius 15.000 rpm pada suhu ruang selama 5 menit. Fase atas dipindahkan ke eppendorf baru steril, ditambahkan 67 μl 0,2M sodium acetat pH 5,0 dan 0.67 ml isopropanol, kemudian disentrifius 15.000 rpm pada suhu 4oC selama 15 menit. Fase cair dibuang dan diperoleh pelet RNA total. Pelet RNA total yang diperoleh dikeringkan secepatnya kemudian diencerkan dalam 15 - 25 μl milliQ. Pengujian kuantitas RNA menggunakan spektrofotometer, sedangkan kualitas RNA total dilakukan menggunakan elektroforesis 0.8% gel agarose dengan marka RNA 23S 16S ribosomal. RNA total yang diperoleh dijadikan sebagai template untuk sintesis first strand cDNA menggunakan RT-M-MLV. Sintesis first strand cDNA. Pembentukan cDNA dari RNA total dilakukan di lab Mekanisme Toleransi ANESC di Universitas Tokyo pada bulan September sampai Oktober 2005 menggunakan metode Reverse Transcriptase Moloney Murine Leukemia Virus (RT-M-MLV) (Takara Bio Inc) sesuai dengan prosedur baku, sebagai berikut. Sepuluh μl RNA mix yang terdiri atas 5μg RNA dari masing-masing perlakuan cahaya, 300 pmol primer oligo (dT) dan milliQ diinkubasikan pada suhu 70oC selama 5 menit kemudian didinginkan di atas es selama 2 menit. Campuran RNA template tersebut ditambahkan dengan reaction mix hingga volume 20 μl yang terdiri atas 4 μl 5x RTase M-MLV buffer, 1 μl 10mM dNTP mix, 20 unit RNase inhibitor, 200 unit RTase M-MLV (RNase H-) dan 3 μl milliQ. Campuran RNA total mix diinkubasi pada 42 oC selama 60 menit, kemudian dipanaskan 70 oC selama 10 menit, didinginkan di atas es selama 2 menit dan selanjutnya disimpan pada suhu -20 oC. Perancangan primer spesifik (GSP). Sekuen nukleotida gen target yang digunakan adalah sekuen cDNA atau coding sequence (CDS) lengkap atau parsial
112
dari tanaman yang sama (kedelai) yang dapat diperoleh di database di GenBank melalui situs www.ncbi.nlm.nih.gov. Pasangan primer spesifik ATHB dan CAB didesain menggunakan program Primer3 yang dapat diakses bebas lewat internet, melalui situs www.genome.wi.mit.edu/cgi-bin/primer/primer3.cgi/cgi. Begitu juga internal standard (ß-actin), salah satu house keeping gene (Lu et al. 2002; Nicot et al. 2005). Sedangkan primer spesifik phyB dibuat dari sekuen konsensus (conserved regions) dari CDS lengkap beberapa spesies tanaman berbeda menggunakan program BLAST (www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST) dan ClustalW (www.ebi.ac. uk/clustalw/). Tabel 18 Diskripsi GSP (gene specific primer) yang digunakan untuk analisis ekspresi gen-gen yang terkait adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah Gen
Sekuen Primer Spesifik (‘5 – 3’)
JJ3
F: GCAACCCAAGCCTCTCTCTT R: CCTGAAGTTTTGACCCACCC F: GAGGGTCAGCATGAGGAAGA R: CCAGGCATTGTTGTTGACTG F: GACTCTCCAAAGATCAGTC R: CCGCGAGTCTAAGATCTGGG F: GGGCTCCTCATGGTTGTC R: GATGCTTCGCACCACCCC F: GAAGCACCTCTCAACCCAAA R: GACATCTGAAACGCTCAGCA
CAB-3 ATHB-2 phyB ß-Actin
GC (%) 55 55 55 50 55 60 61 67 55 55
Tm (oC) 62 62 62 60 56 64 58 60 60 60
Produk (bp) 600
Sumber gen / No.aksesi EF628505 (Full length JJ3)
600
U39475
600
X68146
600
Bagian terkonservasi
712
AF049106
Analisis pola ekspresi gen. Analisis pola ekspresi JJ3, phyB, ATHB-2, dan CAB-3 dilakukan di lab RGCI (Research Group on Crop Improvement) Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB mulai November 2005 dengan menggunakan reaksi RT-PCR, yaitu PCR dengan templat cDNA (sistem 2 langkah). PCR dilaksanakan dengan menggunakan volume reaksi 30 μl yang mengandung 1 μl cDNA (sebagai template), 3 μl 10x buffer PCR, 3 μl 2.5 mM dNTP mix, masing-masing 2 μl primer GSP forward dan GSP reverse, 1 U Ex Taq polimerase, dan milliQ (Takara, Japan). Reaksi PCR pertama dengan satu siklus yaitu 94oC selama 2 menit, 55-60oC selama 1 menit, dan 72oC selama 1 menit, dan kedua dengan 34 siklus denaturasi 94oC selama 1 menit, annealing 5560oC selama 1 menit, dan pemanjangan 72oC selama 1 menit, diikuti pemanjangan akhir 72oC selama 7 menit. Produk PCR selanjutnya dielektroforesis
113
dengan 1% gel agarose untuk mendapatkan pola ekspresi masing-masing gen, dengan kontrol internal ß-actin.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik utama tanaman yang tumbuh pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah terjadinya penurunan kapasitas fotosintetik secara drastis. Penurunan kapasitas fotosintetik tanaman akibat intensitas cahaya rendah bervariasi antar jenis tanaman maupun antar genotipe tanaman. Kemampuan tanaman memperkecil penurunan kapasitas fotosintetik tersebut melalui perubahan morfologi, anatomi, lintasan biokimia, hingga perubahan pada tingkat molekuler merupakan bentuk respon atau mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Pada tingkat molekuler, respon atau mekanisme ini terkait langsung dengan ekspresi gen-gen yang meregulasi karakter fotosintetik tersebut baik pada tahap transkripsional maupun post transkripsional. Penelitian tentang ekspresi gen-gen yang terkait fotosintesis pada kedelai toleran dan peka naungan sangat penting untuk mengetahui sistim regulasi yang terjadi dalam penurunan kapasitas fotosintetik antara genotipe toleran dan peka sehingga dapat diketahui perbedaan mekanisme adaptasi masing-masing genotipe terhadap intensitas cahaya rendah. Beberapa gen pada tanaman yang terkait dengan penerimaan cahaya dan karakter fotosintesis antara lain gen phytochrome famili (phyB, phyA), chlorophyll a/b binding protein (CAB-3), dan Arabidopsis thaliana homeobox (ATHB-2). Sebelum uji ekspresi gen-gen fotosintesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian ekspresi gen ß-Actin untuk mengetahui keberadaan dan keseragaman jumlah cDNA masing-masing sampel yang akan dianalisis. ß-Actin merupakan salah satu gen yang berfungsi sebagai kontrol internal yang merupakan salah satu house keeping gene. Ekspresi gen ß-Actin tidak dipengaruhi oleh kondisi luar (faktor lingkungan, seperti cahaya) maupun kondisi dalam (faktor dalam sel atau jaringan baik spasial maupun temporal) (Lu et al. 2002; Nicot et al. 2005). Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 30 dan 31, ß-Actin terekspresi relatif sama pada semua kondisi cahaya baik pada kondisi cahaya penuh, naungan
114
maupun gelap total baik pada genotipe toleran Ceneng maupun pada genotipe peka Godek.
Analisis Ekspresi JJ3 dan CAB-3 Pola ekspresi JJ3 dan CAB-3 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan peka (Godek) dapat dilihat pada Gambar 30.
A Ceneng (Toleran) --------------------------------Cahaya Naungan Gelap kontrol 5 hari 5 hari
B Godek (Peka) -------------------------------Cahaya Naungan Gelap kontrol 5 hari 5 hari
JJ3
600 bp
CAB-3
656 bp
ß-Actin
712 bp
Gambar 30 Pola ekspresi JJ3 dan CAB-3 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan peka naungan (Godek). Hasil elektroforesis 1% agarose. Gen ßactin sebagai kontrol internal (house keeping gene).
JJ3 dan gen CAB-3 keduanya merupakan gen inti yang bekerja pada pusat reaksi fotosistem dalam proses fotosintesis tanaman yaitu berturut-turut pada fotosistem I (PSI) (Klukas et al. 1999) dan fotosistem II (PSII) (Escoubas et al. 1995). Kedua gen tersebut juga bekerja dipengaruhi oleh status reduksi oksidasi pada pusat reaksi fotosistem (Escoubas et al. 1995; Nelson dan Ben-Shem 2004). cDNA JJ3. cDNA JJ3 merupakan kandidat gen yang homolog dengan gen psaD yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari daun kedelai toleran naungan (Ceneng) (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2005). Pada Percobaan 3, cDNA JJ3 telah berhasil dikarakterisasi dimana cDNA JJ3 dengan panjang sekuen nukleotida 841 bp, mempunyai kesamaan (homologi) yang tinggi (80% basa nukleotida dan 90% asam amino) dengan gen psaD yang mengkode protein PsaD
115
PSI subunit pada tanaman tembakau kayu (Nicotiana sylvestris), padi (Oryza sativa),
bayam (Spinacia oleracea),
barley
(Hordeum
vulgare), tomat
(Lycopersicon esculentum), Arabidopsis (Arabidopsis thaliana), dan kentang (Solanum tuberosum). Pola ekspresi cDNA JJ3 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan genotipe peka (Godek) pada kondisi intensitas cahaya rendah disajikan pada Gambar 30. Pada kondisi cahaya penuh (kontrol) JJ3 tidak terekspresi, kemudian terekspresi setelah tanaman diberikan kondisi naungan 50% dan gelap total selama lima hari baik pada genotipe toleran Ceneng maupun pada genotipe peka Godek. Ekspresi JJ3 pada kondisi lima hari gelap total lebih kuat pada genotipe toleran Ceneng dibanding pada genotipe peka Godek. Ekspresi JJ3 yang terdeteksi kuat pada kedelai toleran pada kondisi gelap merupakan indikasi kuat bahwa JJ3 merupakan salah satu kandidat gen yang terkait erat dengan mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Hal ini terkait dengan peran JJ3 yang homolog dengan gen psaD yang menyandi protein PsaD PSI subunit yang berperan penting meningkatkan stabilitas pusat reaksi fotosistem I (PSI) dan penempatan akseptor elektron ferredoksin selama proses fotosintesis berlangsung. Pola ekspresi JJ3 tersebut juga menjadi indikasi yang kuat adanya transport elektron yang terjadi di dalam pusat reaksi PSI yang terinduksi oleh cahaya rendah. Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian yang dilaporkan Muhuria (2007) bahwa laju transport elektron lebih tinggi pada genotipe toleran naungan (Ceneng) dibanding genotipe peka naungan (Godek). Nelson dan Ben-Shem (2004) menyatakan di dalam PSI terdapat donor elektron (plastosianin) dan penerima elektron (ferredoksin) yang memberikan struktur yang lebih lengkap tentang mekanisme transfer elektron pada fotosistem I. Plastosianin menerima elektron dari sitokrom b6f, kemudian secara langsung memberikan elektron ke P700. Ferredoksin merupakan protein Fe-S, menerima elektron dari PSI, dan membentuk kompleks dengan enzim flavoprotein (ferredoksin:NADP oksidoreduktase, FNR) yang mereduksi NADP menjadi NADPH. Pada kondisi tertentu ferredoksin tereduksi dan memberikan elektron
116
secara langsung kepada kompleks cytochrome b6f dan memfasilitasi pembentukan ATP melalui fosforilasi siklik. Dengan demikian keberadaan JJ3 pada kondisi stress intensitas cahaya rendah menjadi salah satu gen yang menyebabkan genotipe Ceneng lebih adaptif pada kondisi intensitas cahaya rendah. Gen CAB-3. Gen CAB-3 mengkode kompleks protein pemanen cahaya yang mengikat klorofil a/b (chlorophyll a/b binding protein) yang terdapat pada PSII. Protein LHCII PSII atau CAB mengikat 150-200 molekul klorofil, 50 molekul klorofil berhubungan dengan PSII dan sekitar 70-80% energi cahaya pada PSII diperoleh pada antena LHCII (CAB). Rasio klorofil a/b pada protein CAB adalah 1.4 artinya kandungan klorofil a lebih besar dari pada klorofil b. Pola ekspresi gen CAB-3 berbeda dengan gen JJ3. Gen CAB-3 terekspresi pada kondisi cahaya penuh dan kondisi naungan dan menjadi tidak terekspresi pada kondisi lima hari gelap total pada genotipe toleran Ceneng, sedangkan pada genotipe peka Godek hanya terekspresi pada kondisi cahaya penuh (Gambar 30). Hal yang sama dilaporkan Carabelli et al. (1996) dan Lu et al. (2002) bahwa ekspresi gen CAB menurun drastis pada tanaman barley yang diberi kondisi gelap selama dua hari karena adanya degradasi kompleks protein CAB menyebabkan status redoks semakin menurun pada fososistem II (PSII). Transkrip gen CAB menjadi meningkat nyata setelah diberikan cahaya. Degenhardt dan Tobin (1996) juga melaporkan hal yang senada bahwa ekspresi gen CAB diinduksi oleh cahaya dan ekspresinya menjadi rendah pada kondisi gelap. Selain itu, tidak terekspresinya gen CAB pada kondisi gelap baik pada genotipe toleran maupun peka diduga karena sistem kerja promotor gen CAB yang dipengaruhi oleh jumlah foton atau intensitas cahaya yang dapat diserap oleh daun tanaman. Lu et al. (2002) melaporkan bahwa ekspresi gen CAB ditentukan sistem kerja promoter yang diinduksi oleh cahaya dan terhambat pada kondisi gelap. Selain itu, menurunnya ekspresi gen CAB pada kondisi defisit cahaya juga diduga karena status redoks yang semakin menurun pada fososistem II (PSII). Menurut Escoubas et al. (1995), transkrip gen CAB, yang mengkode protein kompleks pemanen cahaya (chlorophyll a/b binding protein) yang terkait PSII (LHCIIs) dipengaruhi oleh reaksi redoks dari PQ-pool. Dunford dan Falkowski (1997) juga menjelaskan bahwa ekspresi gen yang terjadi akibat induksi stres cahaya, terkait
117
dengan perubahan kuantitatif komponen tilakoid dan stroma kloroplas. Hasil penelitian gen CAB yang merupakan gen inti menunjukkan bahwa intensitas cahaya rendah mempengaruhi gen CAB pada level transkripsi melalui sistem signaling redoks dari pool plastoquinon PSII. Tidak terekspresinya gen CAB-3 pada kondisi gelap total juga diduga karena teroksidasinya PQ pool pada PSII sehingga mengurangi akstifitas fosforilasi protein kinase (PKC) sebagai sarana korespondensi membran dan ini akan menghambat transduksi signal ke inti sehingga gen CAB menjadi tidak terekspresi. Laporan yang menarik tentang hal ini disampaikan oleh Dunford dan Falkowski (1997) bahwa ada keterkaitan antara sistem stress-induced signaling yang dihasilkan dari perubahan reaksi fotokimia dan perubahan ekspresi gen inti, sebagai respon adaptasi dari organel fotosintesis. Signal dari perubahan intensitas cahaya tidak hanya mempengaruhi level LHC PSII, tetapi variasi intensitas cahaya juga dapat meningkatkan atau menurunkan ekspresi gen untuk sintesis protein fotosistem. Akibat intensitas cahaya rendah, sebagian besar pool plastoquinon pada PSII berada dalam bentuk teroksidasi sehingga aktifitas enzim protein kinase dalam reaksi fosforilasi sangat lemah dan selanjutnya mematikan lintasan pengiriman signal ke inti. Terdapat perbedaan ekspresi gen CAB-3 pada kondisi lima hari naungan 50% pada genotipe toleran dan peka naungan. Pada genotipe toleran Ceneng, gen CAB-3 terekspresi cukup kuat sedangkan pada genotipe peka hampir tidak terekspresi. Hal ini terkait dengan pengaturan ukuran antena (antena size adjustment) klorofil a dan klorofil b dan terutama klorofil b yang mengalami peningkatan yang cukup besar atau rendahnya rasio klorofil a/b pada genotipe toleran pada kondisi naungan 50% dibanding genotipe peka (hasil Percobaan 1). Menurut Anderson (1986); Melis (1991), organisme fotosintesis akan melakukan aklimatisasi terhadap tingkat radiasi (photoaclimation) dengan cara mengatur ukuran antena klorofil yang terkait dengan fotosistem. Tanaman pada kondisi intensitas cahaya rendah, fotosistem yang mengandung klorofil b dalam jumlah yang relatif banyak, mempunyai kompleks pemanen cahaya klorofil a-b (LHC) yang besar dan rasio LHC/fotosistem yang tinggi. Sebaliknya, tanaman pada intensitas cahaya tinggi, fotosistem mengandung klorofil b yang relatif
118
rendah, antena LHC yang kecil, dan rasio LHC : fotosistem yang rendah (Larsson et al. 1987). Andersson (2003) menambahkan bahwa perbedaan ukuran dan komposisi antena mempengaruhi kandungan klorofil daun secara kuantitatif dan kualitatif. Pada intensitas cahaya tinggi kandungan klorofil per luas daun lebih tinggi dan karena antena luar yang lebih kecil maka rasio klorofil a/b lebih tinggi (klorofil b hanya terdapat pada antena luar saja).
Analisis Ekspresi Gen phyB dan ATHB-2 Gen phyB dan gen ATHB-2 merupakan gen-gen yang meregulasi perubahan morfologi dan anatomi terutama organ daun pada mekanisme penghindaran (avoidance) tanaman dalam kondisi stres inensitas cahaya rendah (Quail 2002; Gyula 2003). Ekspresi gen phyB dan gen ATHB-2 tersebut dapat dilihat pada Gambar 31. Gen phyB. Ekspresi gen phyB (phytocrome B) pada kedelai genotipe toleran berbeda dengan genotipe peka. Pada kedelai toleran, ekspresi gen phyB terdeteksi cukup kuat pada kondisi intensitas cahaya rendah. Sebaliknya pada genotipe peka ekspresinya hampir tidak terdeteksi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Pada kondisi cahaya penuh, ekspresi gen phyB pada genotipe toleran terdeteksi rendah namun pada genotipe peka terjadi overekspresi.
A Ceneng (Toleran) --------------------------------Cahaya Naungan Gelap kontrol 5 hari 5 hari
B Godek (Peka) -------------------------------Cahaya Naungan Gelap kontrol 5 hari 5 hari
phyB
656bp
ATHB-2
600 bp
ß-actin Gambar 31 Pola ekspresi gen PhyB dan ATHB-2 pada kedelai toleran naungan (Ceneng) dan peka naungan (Godek). Hasil elektroforesis 1% agarose. Gen ß-actin sebagai internal standar (house keeping gene).
119
Ekspresi gen phyB pada hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa fitokrom B (phyB) merupakan fotoreseptor yang berperan kunci pada kemampuan kedelai untuk beradaptasi pada cekaman intensitas cahaya rendah. Menurut Gyula (2003) dan Quail (2002), phyB meregulasi transkripsi gen-gen yang memiliki Gbox terkait cahaya (light-responsive G-box) dengan cara berinteraksi langsung dengan phytochrome interacting factor (PIF) atau PIF-like (PIL) protein, seperti gen ATHB-2, dan selanjutnya gen ATHB-2 menstimulasi respon shade avoidance pada tanaman. Hasil penelitian pada tanaman Arabidopsis sp menunjukkan bahwa fungsi phyB terkait dengan mekanisme adapatasi terhadap kondisi naungan (McNellis dan Deng 1995; Howell 1998). Sistem kerja phyB yang dapat memicu kerja gen GA3 yang mengkode biosintesis gibberellin dapat mempercapat pembesaran dan pembelahan sel pada daun sehingga daun menjadi lebih luas (mekanisme avoidance) (Taiz dan Zeiger 2002; Bultynck dan Lambers 2004). Fenomena ekspresi gen phyB pada penelitian ini menarik karena dapat mengindikasikan terjadinya perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Padahal hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan tidak terjadi perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Keterbatasan alat menyebabkan pengukuran perubahan kualitas cahaya di bawah paranet tidak diamati. Beberapa hal yang dapat mengubah kualitas cahaya yang diterima tanaman adalah karena adanya posisi daun yang saling menutupi dengan daun tanaman tetangga karena jumlah tanaman per polibag relatif banyak antara 3 sampai 5 tanaman. Gen ATHB-2. Ekspresi gen ATHB-2 pada kondisi intensitas cahaya rendah terdeteksi cukup kuat pada genotipe toleran namun pada genotipe peka hanya terekspresi cukup kuat pada kondisi naungan saja (Gambar 31). Pola ekspresi gen ATHB-2 hampir sama dengan pola ekspresi gen phyB pada kondisi cahaya rendah. Fenomena ini menunjukkan adanya keterkaitan sistem kerja di antara kedua gen. Menurut Carabelli et al. (1996) ekspresi ATHB-2 diinduksi oleh rasio R:FR rendah, ciri cekaman lingkungan cahaya di bawah naungan kanopi, melalui kerja fitokrom terutaman fitokrom B (phyB). Devlin et al (2003) juga menyebut ATHB2 sebagai shade up-regulated homeodomain transcription factor. Hal ini senada
120
dengan yang dilaporkan Steidler et al. (1999); Devlin et al. (2003) pada tanaman muda Arabidopsis bahwa intensitas ekspresi gen ATHB-2, gen yang mengkode protein homeodomain-leucine-zipper (HD-Zip), meningkat pada kondisi naungan dengan rasio R:FR rendah, sebaliknya menurun drastis setelah dipindahkan pada kondisi cahaya penuh. Keterlibatan ATHB-2 pada respon shade avoidance telah dibuktikan oleh Morelli dan Ruberti (2002) pada tanaman Arabidopsis transgenik. Morelli dan Ruberti (2002) berhasil mengidentifikasi dua gen shade avoidance, ATHB (homeodomain-leucine zipper transcription factor) yaitu ATHB-2 dan ATHB-4 yang diregulasi oleh perubahan kualitas cahaya. ATHB-2 dan ATHB-4 merupakan anggota protein Arabidopsis yang dikarakterisasi oleh keberadaan homeodomain-leucine zipper motif (HD-Zip) yang bisa bekerja sebagai regulator positif atau regulator negatif. Keterlibatan ATHB-2 pada respon shade avoidance juga diperkuat oleh hasil penelitian Steindler et al. (1999).
KESIMPULAN 1. Pada kedelai toleran naungan, ekspresi JJ3, phyB, dan ATHB-2 dapat dideteksi pada kondisi intensitas cahaya rendah, akan tetapi pada genotipe peka naungan ekspresi JJ3 dan phyB kurang terdeteksi, sedangkan ATHB-2 tidak terdeteksi pada kondisi gelap dengan menggunakan metode RT-PCR. 2. Pada kedelai toleran naungan, ekspresi gen CAB-3 terdeteksi kuat pada kondisi naungan 50%, akan tetapi pada kedelai peka naungan kurang terdeteksi. 3. Pola ekspresi JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2 menunjukkan bahwa adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah secara molekuler melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan toleransi (tolerance). 4. Pada kondisi naungan 50%, ekspresi gen CAB-3 dan phyB berpotensi dijadikan sebagai marka untuk skrining kedelai toleran naungan.
121
BAB VII PEMBAHASAN UMUM Pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela atau tumpangsari dengan tanaman perkebunan atau hutan tanaman industri atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya menuntut tersedianya genotipe atau varietas baru kedelai yang mampu beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah akibat faktor naungan. Padahal tanaman kedelai termasuk kelompok tanaman yang memerlukan intensitas cahaya penuh untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya (McNellis dan Deng 1995). Oleh karena itu, diperlukan usaha ke arah perbaikan adaptasi atau pembentukan varietas baru kedelai yang mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Keberhasilan usaha tersebut sangat ditentukan pemahaman yang komprehensif tentang mekanisme adaptasi. Pada penelitian ini dikaji aspek fisiologi, genetika dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Kemampuan tanaman kedelai untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah dilakukan melalui mekanisme penghindaran (avoidance) dan mekanisme toleransi (tolerance) (Levitt 1980). Mekanisme penghindaran dilakukan tanaman melalui perubahan atau adaptasi pada tingkat anatomi dan morfologi terutama organ daun untuk efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleransi dilakukan tanaman melalui penggunaan cahaya yang efisien melalui perubahan pada level biokimia dan fisiologi termasuk perubahan kandungan pigmen kloroplas seperti klorofil, laju transport elektron, laju fotosintesis, dan lain-lain (Levitt 1980; Evans dan Poorter 2001). Dari aspek morfo-fisiologi daun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan beradaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah terjadi melalui peningkatan luas daun, penurunan tebal daun (bobot daun spesifik), dan peningkatan kandungan klorofil terutama klorofil b. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng yang ditanam pada kondisi naungan 50% baik dalam waktu singkat (perlakuan lima hari di bawah paranet 50%, Percobaan 1) maupun jangka panjang (penanaman sampai panen di bawah paranet 50%, Percobaan 2) mampu melakukan perubahan
(adjustment) anatomi dan morfologi daun yang lebih cepat sehingga membentuk daun yang lebih luas dan bobot daun spesifik atau tebal daun yang lebih tipis dibanding genotipe peka Godek. Hal ini mengindikasikan bahwa genotipe toleran memiliki kemampuan merespon signal defisit cahaya lebih baik dari pada genotipe peka. Kemampuan tersebut dimungkinkan karena genotipe toleran Ceneng memiliki gen-gen tertentu yang berfungsi meregulasi sistem atau perubahan pada level biokimia, fisiologi, anatomi sampai morfologi. Hasil analisis ekspresi gen pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ekspresi gen phyB dan gen ATHB-2 yang cukup kuat pada genotipe toleran Ceneng pada kondisi intensitas cahaya rendah (5 hari naungan dan 5 hari gelap) dibanding pada genotipe peka Godek. Fenomena ekspresi gen phyB pada penelitian ini menarik karena mengindikasikan terjadinya perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Padahal hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan tidak terjadi perubahan kualitas cahaya di bawah paranet. Beberapa hal yang diduga dapat merubah kualitas cahaya yang diterima tanaman adalah karena adanya posisi daun yang saling menutupi dengan daun tanaman tetangga pada masing-masing polibag. Sebagaimana yang dilaporkan Vandenbussche et al. (2005), peran kerja fitokrom B (phyB) sebagai fotoreseptor aktif diinduksi oleh kualitas cahaya yaitu rasio R:FR rendah akibat naungan daun atau kanopi tetangga. Ekspresi gen phyB dan gen ATHB-2 pada penelitian ini memberikan bukti bahwa fitokrom B (PHYB) merupakan fotoreseptor yang berperan kunci pada kemampuan kedelai untuk beradaptasi pada cekaman intensitas cahaya rendah. Menurut Gyula (2003) dan Quail (2002), phyB meregulasi transkripsi gen-gen yang memiliki G-box terkait cahaya (light-responsive G-box) dengan cara berinteraksi langsung dengan phytochrome interacting factor (PIF) atau PIF-like (PIL) protein, seperti gen ATHB-2, dan selanjutnya gen ATHB-2 menstimulasi respon shade avoidance pada tanaman. Hasil penelitian pada tanaman Arabidopsis sp menunjukkan bahwa fungsi phyB terkait dengan mekanisme adapatasi terhadap kondisi naungan (McNellis dan Deng 1995; Howell 1998). Sistem kerja phyB juga dapat memicu biosintesis gibberellin sehingga meningkatkan kandungan gibberellin pada daun yang dapat mempercepat
123
pembesaran dan pembelahan sel pada daun sehingga daun menjadi lebih luas (Taiz dan Zeiger 2002; Bultynck dan Lambers 2004). Menurut Morelli dan Ruberti (2002) pada kondisi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB. Peran gen phyB dan ATHB2 di dalam perubahan morfologi dan anatomi daun pada kondisi cahaya rendah telah dilaporkan sebelumnya. Selain gen phyB, ATHB2, juga gen ANGUSTIFOLIA dan ROTUNDIFOLIA3 (Tsuge et al. 1996; Ballare 1999; Franklin et al. 2003; Devlin et al. 2003; Vandenbussche et al. 2005;). Dilaporkan bahwa pada kondisi naungan gen phyB akan menginduksi kerja gen ATHB2 untuk bersama-sama memicu perubahan morfologi dan anatomi daun menjadi lebih lebar dan lebih tipis sehingga lebih banyak menangkap cahaya dan
mengurangi
refleksi
cahaya.
Gen
ANGUSTIFOLIA
dan
gen
ROTUNDIFOLIA3 menurut Tsuge et al. (1996); Steindler et al. (1999) masingmasing berfungsi meregulasi perluasan sel pada sisi lebar daun dan pada sisi panjang daun. Daun yang lebih luas dan lebih tipis pada genotipe toleran Ceneng memungkinkan jumlah cahaya yang dapat ditangkap menjadi lebih banyak karena bidang tangkapan yang lebih luas. Akibat menipisnya daun, distribusi kloroplas menjadi lebih merata sehingga kandungan klorofil terutama klorofil b (pigmen antena) menjadi meningkat. Dengan demikian, jumlah cahaya yang intersep dengan bidang permukaan daun menjadi lebih banyak, jumlah cahaya yang diteruskan ke kompleks protein semakin banyak, dan jumlah cahaya yang dilewatkan atau ditransmisi menjadi lebih sedikit. Hal ini menyebabkan genotipe Ceneng dan Pangrango memiliki kemampuan beradaptasi lebih tinggi dibanding genotipe Godek. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan beberapa peneliti sebelumnya (Lestari 2005; Tyas 2006; Sopandie et al. 2006; Muhuria 2007). Peningkatan luas daun dan berkurangnya tebal daun pada genotipe Ceneng karena adanya pengurangan lapisan palisade pada sel mesofil daun (Horton 2000; Khumaida 2002; Kim et al. 2005; Muhuria 2007). Perubahan morfologi dan anatomi ini merupakan bentuk mekanisme penghindaran (avoidance) tanaman kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah sehingga memungkinkan
124
terjadinya efisiensi penangkapan cahaya (light captured efficiency), yaitu dapat menangkap cahaya lebih banyak dan diteruskan ke bagian daun yang lebih bawah dengan cepat sehingga kegiatan fotosintesis berlangsung maksimal (Levitt 1980; Hale dan Orchut 1987; Evans dan Poorter 2001). Bentuk mekanisme melalui daun yang lebih lebar dan lebih tipis juga terjadi pada tanaman padi gogo (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a, 2003b). Peningkatan luas daun dan penurunan tebal daun diikuti dengan peningkatan kandungan klorofil daun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe toleran Ceneng memiliki kandungan klorofil (klorofil a, b, total) terutama klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dibanding genotipe peka Godek pada kondisi naungan 50%. Hal ini terkait dengan tingginya ekspresi gen CAB-3 yang mengkode protein kompleks yang mengikat klorofil a/b (CAB) atau protein komplek pemanen cahaya di dalam PSII pada kondisi 5 hari naungan. Peningkatan transkrip RNA gen CAB-3 pada genotipe toleran pada kondisi naungan berarti peningkatan protein enzim chlorophyll a/b binding protein (CAB) yang berarti pula pigmen pemanen cahaya terutama klorofil b juga meningkat. Kandungan klorofil b yang lebih besar dibanding klorofil a pada kondisi naungan pada genotipe toleran Ceneng menyebabkan rasio klorofil a/b menjadi rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Khumaida 2002; Lestari 2005; Tyas 2006; Jufri 2006; Sopandie et al. 2006; Muhuria 2007). Tingginya kandungan klorofil pada genotipe toleran Ceneng dan Pangrango pada kondisi intensitas cahaya rendah terjadi karena kloroplas bergerak ke permukaan luar daun secara merata, akumulasi pada kedua sisi dinding sel, untuk memaksimalkan penyerapan cahaya. Menurut Salisbury dan Ross (1992); Park et al. (1996), intensitas cahaya rendah menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah kloroplas per sel, volume kloroplas dan membran tilakoid serta grana. Peningkatan kandungan klorofil ini merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi yang digunakan genotipe toleran (Ceneng) untuk beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Peningkatan kandungan klorofil ini memungkinkan tanaman melakukan panenan cahaya lebih banyak pada kondisi cahaya rendah karena memiliki ukuran antena (antena size) yang lebih besar.
125
Semakin banyak energi cahaya yang ditangkap klorofil b, semakin banyak yang diteruskan ke kompleks protein utama pusat reaksi (PSII dan PSI) melalui klorofil a sehingga terjadi perubahan status redoks, dan pada gilirannya laju transport elektron, laju fotosintesis, dan aktivitas enzim fotosintesis semakin meningkat. Sebagaimana yang dilaporkan Muhuria (2007) laju transport elektron, laju fotosintesis, dan aktivitas enzim fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek. Salah satu kandidat gen yang terkait dengan laju transport elektron dan telah berhasil diisolasi dari genotipe toleran Ceneng adalah cDNA JJ3 (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2005). Sekuen lengkap cDNA tersebut setelah dilakukan karakterisasi pada Percobaan 3 menunjukkan bahwa JJ3 homolog dengan gen psaD yang mengkode protein PsaD PSI subunit yang berperan penting dalam pengaturan efisiensi transport elektron yang diinduksi cahaya rendah. Saat ini gen JJ3 telah terdaftar di public database di GenBank dengan nomor aksesi EF628505. Hasil analisis ekspresi cDNA JJ3 pada penelitian ini menunjukkan cDNA JJ3 terekspresi cukup kuat pada genotipe toleran Ceneng pada kondisi intensitas cahaya rendah. Fenomena ini semakin memperkuat dugaan bahwa kemampuan adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah dari kedelai toleran Ceneng, salah satunya adalah karena peran JJ3 dalam efisiensi transpor elektron pada PSI yang diinduksi intensitas cahaya rendah. cDNA JJ3 homolog dengan gen psaD PSI subunit. Tingginya tingkat homologi ini mengindikasikan bahwa mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan erat dengan efisiensi proses transport elektron pada pusat reaksi yang terjadi di dalam membran tilakoid. Dengan kata lain, keberadaan JJ3 pada genotipe toleran Ceneng akan meningkatkan laju transpor elektron fotosintetik sehingga dalam kondisi kurang cahaya pun fiksasi energi dari fotosintesis berjalan dengan normal. Hal ini dibuktikan pada uji ekspresi JJ3 pada tanaman kedelai toleran naungan Ceneng dalam berbagai kondisi intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cDNA JJ3 masih terekspresi dengan semakin menurunnya intensitas cahaya. Ini mengindikasikan bahwa pada genotipe toleran Ceneng, proses transport elektron pada kondisi intensitas cahaya rendah masih berjalan
126
normal dan berimplikasi fotosintesis juga berjalan normal. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Muhuria (2007) bahwa pada kondisi naungan 50% laju transport elektron dan laju fotosintesis pada genotipe toleran Ceneng lebih tinggi dibanding genotipe peka Godek. Transport elektron dan laju fotosintesis yang lebih tinggi pada pada genotipe toleran juga dimungkinkan karena memiliki struktur dan volume kloroplas yang lebih berkembang dengan tilakoid dan grana yang lebih banyak (Khumaida 2002; Tyas 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh gen-gen yang dianalisis (JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2) merupakan gen fungsional yang dapat mengendalikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Ekspresi gengen tersebut dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme adaptasi. Pada tingkat DNA genom, gen-gen tersebut berpotensi untuk dijadikan sebagai penanda genetik dalam seleksi (MAS) adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui pengembangan SCAR marker (sequence characterized amplified region) atau CAPS marker (cleavage amplified polymorphic sequence) (Sobir, komunikasi pribadi). Teknik SCAR marker dilakukan dengan mendisain primer spesifik pada daerah yang berbeda (unconserved region) sehingga akan terekspresi pada genotipe toleran sedangkan pada genotipe peka tidak terekspresi. Teknik CAPS marker dimungkinkan adanya pemotongan DNA yang berbeda oleh enzim restriksi sehingga membentuk polimorfism yang dapat membedakan genotipe toleran dan peka. Karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut memungkinkan untuk dapat dijadikan sebagai marka adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Karakter morfologi daun yang berpotensi menjadi kriteria seleksi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah adalah karakter luas daun. Hasil penelitian ini menunjukkan luas daun memiliki koefesien korelasi yang tinggi dengan hasil, nilai duga heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi dengan tipe aksi aditif. Menurut Nyquist (1991) apabila suatu karakter memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi dengan tipe aksi gen aditif maka karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi. Dengan demikian selain karakter hasil per tanaman, karakter luas daun dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi sekaligus
127
sebagai kriteria seleksi dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa karakter fisiologi daun seperti kandungan klorofil (klorofil a, b dan total) memiliki nilai koefesien korelasi dengan hasil yang tinggi, nilai heritabilitas arti luas yang tinggi, dikendalikan oleh dua gen mayor dengan tipe aksi gen duplikat dominan epistasis (isoepistasis). Nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa pewarisan karakter tersebut ditentukan oleh ragam genetik yang besar dengan sedikit pengaruh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Muhuria (2007). Dalam hal ini ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan (σ2D), ragam aditif (σ2A), dan ragam epistasis (σ2I) (Fehr 1987; Roy 2000). Kasus pada karakter fisiologi daun ini menarik karena yang selama ini telah banyak dipublikasikan merupakan karakter yang dianggap baik untuk dijadikan kriteria seleksi ternyata sebaliknya tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi karena pengaruh ragam epistasis. Oleh karena itu untuk menghindari nilai bias dari heritabilitas arti luas harus disertai dengan analisis tindak gennya. Informasi genetik karakter fisiologi yang diperoleh pada penelitian ini mencerminkan sekurang-kurangnya dua gen dominan yang meregulasi karakter kandungan klorofil tersebut. Gen-gen mayor tersebut yang terlibat dalam mekanisme toleransi perlu dilanjutkan pada level molekuler untuk melihat pola ekspresi gen-gen tersebut. Selain untuk mempelajari mekanisme adaptasi dari aspek molekuler, analisis ekspresi gen-gen fotosintetik atau non fotosintetik yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah tersebut penting dilakukan untuk mengetahui apakah gen-gen pengendali tersebut dapat dijadikan sebagai marka adaptasi atau tidak.
128
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakter morfo-fisiologi daun (luas daun, bobot daun spesifik, kandungan klorofil) terkait erat dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. 2. Karakter luas daun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam pengembangan kedelai toleran naungan karena secara genetik karakter tersebut dikendalikan oleh gen dengan aksi aditif, mempunyai nilai heritabilitas arti luas yang tinggi, dan berkorelasi tinggi dengan hasil. 3. Sekuen lengkap cDNA JJ3 yang memiliki panjang 841 basa nukleotida homolog dengan gen psaD fotosistem I (PSI) subunit. 4. JJ3, CAB-3, phyB, dan ATHB-2 terekspresi pada genotipe toleran maupun genotipe peka naungan, sehingga gen-gen tersebut pada tingkat DNA genom tidak dapat dijadikan sebagai marka untuk membedakan genotipe toleran dan genotipe peka. 5. Peningkatan luas daun untuk penangkapan cahaya yang efisien merupakan bentuk mekanisme avoidance yang diduga terkait dengan peningkatan ekspresi gen-gen yang berhubungan dengan fitokrom-B (phyB). 6. Karakter kandungan klorofil tidak efektif dijadikan sebagai marka untuk seleksi galur karena gen-gen yang mengendalikannya bersifat isoepistasis, akan tetapi karakter tersebut dapat digunakan untuk skrining genotipe toleran atau peka untuk calon tetua.
Saran 1. Kedelai Ceneng dapat digunakan sebagai tetua untuk memperoleh varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Selain itu dapat dianjurkan sebagai tanaman sela di bawah tegakan perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI) yang masih berumur 2-3 tahun, atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim yang berpotensi menaungi.
2. Dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, karakter luas daun dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria seleksi. 3. Seleksi menggunakan marka molekuler atau MAS sebaiknya dikembangkan dari gen-gen yang terkait dengan penangkapan cahaya melalui teknik CAPS (cleavage
amplified
polymorphic
sequence)
atau
SCAR
(sequence
characterized amplified region). 4. Diperlukan analisis kandungan gibberellin dan aspek molekulernya untuk dapat lebih memahami mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah 5. Diperlukan analisis molekuler gen-gen penting lain seperti CAO yang mengubah klorofil a menjadi klorofil b yang berperan dalam mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. 6. Diperlukan pengamatan terhadap kemungkinan perubahan kualitas cahaya di bawah paranet maupun di sekitar kanopi tanaman kedelai.
130
DAFTAR PUSTAKA Abdallah F. 2000. A prediction of the size and evolutionary origin of the proteome of chloroplasts of Arabidopsis. Trends Plant Sci 5:141–142. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: John Wiley and Sons. Inc. Allen JF, Forsberg J. 2001. Molecular recognition in thylakoid structure and function. Trends Plant Sci 6:317–326. Allen JF. 1995. Thilakoid protein phosphorilation, state 1-state 2 transition and photosytem stoichiomtry adjustment : redox control at multiple levels of gene expression. Plant Physiol 93:196-205. Alves de Alvarenga A, Castro M de E, Junior E de CLJ, Magalhaes MM. 2003. Effects of different light levels on the initial growth and photosyntesis of Croton urucurana Baill. in Southeastern Brazil. R Arvore Vicosa-MG 27:53-57. Anderson JM, Chow WS, Park YI. 1995. The grand design of photosynthesis acclimation of the photosynthetic apparatus to environmental cues. Photosynthesis Res 46:129-139. Anderson JM. 1986. Photoregulation of composition, function and structure of thylakoid membranes. Annu Rev Plant Physiol 33:93-136. Anderson JM. 2000. Strategies of photosynthetic adaptations and acclimation. Di dalam: Yunus M, Pathre U, Mohanty P, editor. Probing Photosynthesis. Mechanisms, Regulation and Adaptation. London: Taylor & Francis. hlm 284-291. Andersson J, Mentworth M, Walters RG, Howards CA, Ruban AV, Horton P, Janson S. 2003. Absence of the Lhcb1 and Lhcb2 proteins of the light harvesting complex of photosystem II – effects on photosynthesis, grana stacking and fitness. Plant J 35:350-361. Andersson J, Walters RG, Horton P, Janson S. 2001. Antisense inhibition the photosynthetic antenna proteins CP29 and CP26: implications for the mechanism of protective energy dissipation. Plant Cell 13:1193-1204. Andersson J. 2003. Dissecting the photosytem II light-harvesting antenna (disertation). Sweden: Umea University. Arnon DI. 1949. Cooper enzymes in isolated chloroplast, polyphenol oxidase in Beta vulgaris. Plant Physiol 24:1-15. Asadi B, Arsyad DM, Zahara H, Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan. Buletin Agrobio 1:15-20. Asadi B, Arsyad DM. 1995. ”Pangrango” a new soybean variety for intercropping with maize. Food Legume Coarse Grain. Network Newsletter 33:15-18. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Lima Komoditas; Beras, Jagung, Kedelai, Gula, dan Daging Sapi. Jakarta: Balitbangtan Deptan. Baharsyah JS, Suhardi D, Las I. 1993. Hubungan iklim dengan pertumbuhan kedelai. Di dalam: Somaatmadja S, Ismunadji M, Sumarno, Syam M, Manurung SO, Yuswadi, editor. Kedelai. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman. hlm 87-102.
Baharsyah JS. 1980. Pengaruh naungan pada berbagai tahap perkembangan dan populasi tanaman terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr.). [disertasi], Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bailey S, Horton P, Walter RG. 2004. Acclimation of Arabidopsis thaliana to the light environment: the relationship between photosynthetic function and chloroplast composition. Planta 218:793-802. Bailey S, Walter RG, Horton P. 2001. Acclimation of Arabidopsis thaliana to the light environment, the existense of separate low light and high light responses. Planta 213:794-801. Ballare CL. 1999. Keeping up with the neighbours: phytochrome sensing and other signalling mechanisms. Trends Plant Sci 4:97-102. Behera RK, Choudhury NK. 2001. Photosynthetic characteristics of chloroplast of primary wheat leaves grown under different irradiance. Photosynthesis 39:11-15. Ben-Shem A, Frolow F, Nelson N. 2003. The crystal structure of plant photosystem I. Nature 426:630–635. Biswal B, Biswal UC. 1999. Photosynthesis under stress: stress signals and adaptive response of chloroplast. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Plant and Crop Stress. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 315-336. Biswal B. 1997a. Chloroplast metabolism during leaf greening and degreening. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 71-81. Biswal B. 1997b. Chloroplast, pigments, and molecular responses of photosiynthesis under stress. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 877-885. Bjorkman O. 1981. Responses of different quantum flux densities. Di dalam: Lange OL, Nobel PS, Osmond CB, Ziegler H, editor. Physiological Plant Ecology. I. Responses to the physical environment. Encycl Plant Physiol New Series. Vol 12A. Berlin:Springer-Verlag. hlm 57-107. Bruggeman W, Danborn B. 1993. Longterm chilling of young tomato plants under low light. III. Leaf development as reflected by photosynthesis parameters. Plant Cell Physiol 73:507-510 Bultynck L, Lambers H. 2004. Effects of applied gibberellic acid and paclobutrazol on leaf expansion and biomass allocation in two Aegilops species with contrasting leaf elongation rates. Physiologia Plantarum 122:143–151. Burns GW. 1976. The Science of Genetics: An Introduction to Heredity. Ed ke-3. New York: Macmillan Publ. Co. Inc. Burton GW. 1951. Quantitative inheritance in pearl millet (Pennisetum glaucum). Agron J 43:409-417. Carabelli M, Morelli G, Whitelam G, Ruberti I. 1996. Twilight-zone and canopy shade induction of the Athb-2 homeobox gene in green plants. Proc Natl Acad Sci USA 93: 3530–3535. Castle WE. 1921. An improved method of estimating the number of genetic factors concerned in case of blending inheritance. Sci 54:223.
132
Chahal GS, Gosal SS. 2003. Principles and Procedures of Plant Breeding. Biotechnological and Conventional Approaches. New Delhi: Narosa Publishing House. Chaturvedi GS, Ingram KT. 1989. Growth and yield of lowland rice in response to shade and drainage. Philippine J. Crop Sci 14:61-67. Chaturvedi GS, Ram PC, Singh AK, Ram P, Ingram KT, Singh BB, Singh RK, Singh VP. 1994. Carbohydtrate status of rainfed lowland rices in relation to submergence, drought and shade tolerance. Di dalam: Lucknow VP, editor. Physiology of Stress Tolerance in Rice. India-IRRI Philippines. hlm 104122. Chowdury PK, Thangraj M, Jayapargasam. 1994. Biochemical changes in lowirradiance tolerant and susceptable rice cultivars. Biol Plantarum 36:237242. Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumajo S, Sumarno. 1999. Physiology and Genetic of Uplanad Rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Tem Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. Claverie J-M, Notredame C. 2003. Bioinformatics for Dummies. Indiana: Wiley Publishing, Inc. Critchley C. 1997. The structure and function of photosystem II. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 231-240. Crowder LV. 1993. Genetika Tumbuhan. Terjemahan Lilik K dan Soetarso. Cetakan ke 4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dale JW, von Schantz M. 2002. From Genes to Genomes. Concepts and Applications of DNA Technology. New York: John Wiley & Sons. de la Torre WR, Burkey KO. 1999. Acclimation of barley to changes in light intensity: photosynthetic electron transport activity and components. Photosynthesis Res 24:117-125. Degenhardt J, Tobin EM. 1996. A DNA binding activity for one of two closely defined phytochrome regulatory elements in an Lhcb promoter is more abundant in etiolated than in green plants. Plant Cell 8: 31-41 Devlin PF, Yanovsky MJ, and Kay SA. 2003. A genomic analysis of the shade avoidance response in Arabidopsis. Plant Physiol 133:1617-1629. dos Santos. 2004. Basic bioinformatic applications for microbiologists. Braunschweig: GBF. Dunford DG, Falkowski PG. 1997. Chloroplast redox regulation of nuclear gen transcription during photoacclimation. Photosynth Res 53:229-241. Escoubas J-M, Lomas M, Laroche J, and Falkowski PG. 1995. Plant Biology Light intensity regulation of cab gene transcription is signaled by the redox state of the plastoquinone pool. Proc Natl Acad Sci 92:10237-10241. Escoubas J-M, Lomast M, Laroche J, Falkowski PG. 1995. Light intensity regulation of cab gene transcription is signaled by the redox state of the plastoquinone pool. Proc Natl Acad Sci USA 92:10237-10241. Evans JR, Poorter H. 2001. Photosynthetic acclimation of plants to growth irradiance: the relative importance of specific leaf area and nitrogen partitioning in maximizing carbon gain. Plant Cell Environ 24:755-767.
133
Evans JR. 1987. The relationship between electron transport components and photosynthetic capacity in pea leaves grown at different irradiances. Aust J Plant Physiol 15:93-106. Evans JR. 1988. Aclimation by the thylakoid membranes to growth irradiance and partitioning of nitrogen between soluble and thylakoid protein. Aust J Plant Physiol 15:93-106. Fehr WR. 1987. Principle of Cultivar Development. Theory and Technique. Vol. 1. New York: MacMillan Pub. Co. Fey V, Wagner R, Bräutigam K, Pfannschmidt T. 2005. Photosynthetic redox control of nuclear gene expression. J Exp Bot 56:1491-1498. Franklin KA, Praekelt U, Stoddart WM, Billingham OE, Halliday KJ, Whitelam GC. 2003. Phytochromes B, D, and E act redundantly to control multiple physiological responses in Arabidopsis. Plant Physiol 131:1340–1346. Garczarek L, Hess WR, Holtzendorff J, van der Staay GWM, Partensky F. 2000. Multiplication of antenna genes as a major adaptation to low light in a marine prokaryote. PNAS Early Edition 1- 4 Grami B, Baker RJ, Stefansson BR. 1977. Genetics of protein and oil content in summer rape: heritability, number of effective factors, and correlations. Can J Plant Sci 57:937-943. Grant RH. 1997. Partitioning of biologically active radiation in plant canopies. Int J Biometeorol 40:26-40. Gyula N, Schafer E, Nagy F. 2003. Light perception and signalling in higher plants. Curr Opin Plant Biol 6:446-452. Hachtel W. 1997. DNA and gene expression in photosynthetic plastids (chloroplasts). Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 331-348. Hale MG, Orchut DM. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. New York: John Wiley and Sons. Hall DO, Rao KK. 1987. Photosynthesis. Studies in Biology. Cambridge: University Press. Hall TA. 1999. BieEdit: a user friendly biological sequence alignment editor and analysis pogram for Window 95/98/NT. Nucl Acids Symp Ser 41:95-98. Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB. 1979. Plant Breeding. Brisbane: Australian Vice-Chancellors Committee. Handayani T. 2003. Pola pewarisan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai (Glycine max L. Merr) dengan penciri spesifik karakter anatomi, morfologi dan molekuler [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Haris A. 1999. Karakteristik iklim mikro dan respon tanaman padi gogo pada pola tanam sela dengan tanaman karet [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heck DA, Miles D, Chitnis PR. 1999. Characterization of two photosynthetic mutants of maize. Plant Physiol 120:1129–1136. Hidema J, Makino A, Kurita Y, Mae T, Ohjima K. 1992. Changes in the level of chlorophyll a/b protein of PSII in rice leaves agent under different irradiances from full expansion through senescense. Plant Cell Physiol 33: 1209-1214.
134
Hiyama T. 1997. Fotosystem I: Structures and Functions. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 195-218. Horton P, Ruban AV, Walters RG. 1996. Regulation of light harvesting in green plants. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 47:655-684 Horton P. 2000. Prospects for crop improvement through the genetic manipulation of photosynthesis: morphological and biochemical aspects of light capture. J Exp Bot 51:475-485. Howell SH. 1998. Molecular Genetics of Plant Development. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Hudson GS, Evan JR, Caemmerer SV, Arvidson YBC, Andrews TJ. 1992. Reduction of ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase content by antisense RNA reduces photosynthesis in transegenic tobacco plants. Plant Physiol 98:294-302. Jansson S. 1999. A guide to the Lhc genes and their relatives in Arabidopsis. Trends Plant Sci 4: 236-240. Jarvis P, Soll J. 2001. Toc, Tic, and chloroplast protein import. Biochim Biophys Acta 1541:64–79. Jiao DM, Tong HY, Zhang JX. 1993. Identification of photosynthetic characteristics adapted to wide range of light intensities in rice varieties. Chinese J Rice Sci 7:243-246. Jones HG. 1992. Plant and Microclimate. A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiol. 2nd edition. Cambridge University Press. Jordan P. 2001. Three-dimensional structure of cyanobacterial photosystem I at 2.5 Å resolution. Nature 411:909–917. Joshi AK. 1997. Genetic factors affecting photosinthesis. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. New York: Marcel Dekker, Inc. hlm 751-762. Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Juraimi AS, Drennan DSH, Anuar N. 2004. The effects of shading on the growth, development and partitioning of biomass in bermudagrass (Cynodon dactylon (L.) Pers). J Biol Sci 4:756-762. Kahl G. 2001. The Dictionary of Gene Technology. Ed ke-2. New York: WileyVCH. Kassam AH. 1978. Agro-climatic suitability assesment of rainfed crops in African by growing period zones. FAO Kephart KD, Buxton DR, Taylor SE. 1992. Growth of C3 and C4 perenial grasses in reduced irradiance. Crop Sci 32:1033-1038. Khumaida N, Sopandie D, Takano T. 2001. Adaptability of soybean to shade stress: Expression of photosynthetic genes in soybean genotypes. Di dalam: Proceeding of the 1st Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo University, February 21-23, 2001. Khumaida N. 2002. Studies on adaptability of soybean and upland rice to shade stress [dissertation]. Tokyo: The University of Tokyo.
135
Kim Gyung-Tae, Yano S, Kozuka T, Tsukaya H. 2005. Photomorphogenesis of leaves: shade-avoidance and differentiation of sun and shade leaves. Photochem Photobiol Sci 4:170-174. Klukas O, Schubert Wolf-Dieter, Jordan P, Krauß N, Fromme P, Witt HT, Saenger W. 1999. Photosystem I, an improved model of the stromal subunits PsaC, PsaD, and PsaE. J Biol Chem 274: 7351-7360. Krapp A, Chaves MM, David MM, Rodriguez ML, Pereira JS, Stitt M. 1994. Decreased ribulose-1,5-bisphosphate carboxylase/oxygenase in transgenic tobacco transformed with "antisense" rbcS. VIII. Impact on photosynthesis and growth in tobacco growing under extreme high irradiance and high temperature. Plant Cell Environ 17:945-953. Kraub N, Saenger W. 2001. Photosystem I. Encyclopedia Of Life Sciences. Nature Publishing Group / www.els.net. Kruip J, Chitnis PR, Lagoutte B, Ro¨gner M, Boekema EJ. 1997. Structural organization of the major subunits in cyanobacterial photosystem 1. Localization of subunits PsaC, -D, -E, -F, AND –J. J Biol Chem 272:17061– 17069. Kulandaevilu G, Lingakumar K. 2000. Molecular targets of UV-B radiation in the photosynthetic membranes. Di dalam: Yunus M, Pathre U, Mohanty P, editor. Probing Photosynthesis. Mechanisms, Regulation and Adaptation. London: Taylor & Francis. hlm 364-377. Lagoutte B, Hanley J, Bottin H. 2001. Multiple functions for the C terminus of the PsaD subunit in the cyanobacterial photosystem I complex. Plant Physiol 126:307-316. Larsson UK, Anderson JM. 1987. Variation in relative content of the pheripheral and inner light-harvesting chlorophyll a/b-protein complex (LHC-II) subpopulations during thylakoid light adaptation and development. Biochem Biophys Acta 894:69-75. Lautt BS, Chozin MA, Sopandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan Patisukrosa dan aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7:31-34. Lautt BS. 2003. Fisiologi toleransi padi gogo terhadap naungan: tinjauan karakteristik fotosintesis dan respirasi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lawlor DW. 1987. Photosynthesis: Metabolism, Control and Physiology. Singapore: Longman Singapore Publisher Ltd. Leong TY, Anderson JM. 1984. Adaptation of the thylakoid membranes of pea chloroplasts to light intensity II. Study on the distribution of chlorophyllprotein complexes. Photosynthesis Res 5:105-115. Lestari T. 2005. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui pendekatan analisis isozim [thesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Levitt J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress. Ed ke-2. New York: Academic Press. Li S, Showalter AM. 1996. Cloning and developmental/stress-regulated expression of a gene encoding a tomato arabinogalactan protein. Plant Mol Biol 32:641–652.
136
Li Y, Yan H, Zhou B, Kawabata S, Sakiyama R. 1999. Role of Chalcone Synthase and Dihydroflavonol Reductase in Light Dependent Accumulation of Anthocyanins in 'Toyonoka' Strawberry Fruits. www.paper.edu.cn Lichtenthaler HK, Burkart S. 1999. Photosynthesis and high light stress. Bulg J Plant Physiol 25:3-16. Lindahl M, Yang DH, Anderson B. 1995. Regulatory proteolysis of the major light harvesting chlorophyll a/b binding protein of photosynthesis II by a light induced membrane associated enzymatic system. Eur J Biochem 231:503-509. Lodato P, Alcaíno J, Barahona S, Retamales P, Jiménez A, Cifuentes V. 2004. Study of the expression of carotenoid biosynthesis genes in wild-type and deregulated strains of Xanthophyllomyces dendrorhous (Ex. Phaffia rhodozyma). Biol Res 37:83-93. Lu C, Koroleva OA, Farrar JF, Gallagher J, Pollock CJ, Tomos AD, 2002. Rubisco Small Subunit, Chlorophyll a/b-binding protein and sucrose:fructan-6-fructosyl transferase gene expression and sugar status in single barley leaf cells in situ. cell type specificity and induction by light. Plant Physiol 130:1335-1348. Luciński R, Jackowski G. 2006. The structure, functions and degradation of pigment-binding proteins of photosystem II. Acta Biochimica Polonica 53: 693-708 Lynn D. 2005. Introduction to Bioinfomatics. International Livestock Research Institute, Kenya. http://www.binf.org/ILRI2005/ Ma L, Li J, Qu L, Hager J, Chen Z, Zhao H, Deng XW. 2001. Light control of Arabidopsis development entails coordinated regulation of genome expression and cellular pathways. Plant Cell 13: 2589-2607 Makino A, Mae T, Ohira K. 1984. Relation between nitrogen and riboluse-1,5bisphosphate carboxylase in rice leaves from emergence through senescene. Plant Cell Physiol 25:249-437. Makino A, Mae T, Ohira K. 1985. Photosynthesis and riboluse-1,5 bisphosphate carboxylase/oxygenase in rice leaves from emergence through senescence. Quantitative analysis by carboxylation/oxygenation and regeneration of ribulose-1,5 bisphosphate. Planta 166:414-420 Malkin R, Niyogi K. 2000. Photosynthesis. Di dalam Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL, editor. Biochemistry & Molecular Biology of Plants. Rockville, Maryland: American Society of Plant Physiologists. hlm 568-628. Masuda T, Tanaka A, Melis A. 2002. Chlorophyll antenna size adjustments by irradiance in Dunaliella salina involve coordinate regulation of chlorophyll a oxygenase (CAO) and Lhcb gene expression. Proceed 2002 U.S. DOE Hydrogen Program Review Maxwell KL, Joanne LM, Rachel ML, Howard G, Peter H. 1999. Chloroplast acclimation in leaves Guzmania monostachia in response to high light. Plant Physiol 121:89-95 McNellis TW, Deng X-W. 1995. Light control of seedling morphogenetic pattern. Plant Cell 7:1749-1761. McWhirter KS. 1979. Breeding of Cross-Pollinated crops. Di dalam: Halloran GM, Knight R, McWhirter KS, Sparrow DHB, editor. Plant Breeding. Australian Vice-Chancellors Committee Brisbane. 255p
137
Melis A. 1991. Dynamics of photosynthetic membrane composition and function. Biochim Biophys Acta 1058: 87-106 Mohr H, Scoopfer. 1995. Plant Physiology. Translated by Gudrun and DW Lawlor. Springer. Morelli G, Ruberti I. 2002. Light and shade in the photocontrol of Arabidopsis growth. Trends Plant Sci, 7:399-404. Mostowska A. 1997. Enviornmental factors affecting chloroplasts. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. Marcel Dekker, Inc. New York. hlm 407-424. Mount DW. 2001. Bioinformatics: Sequence and Genome Analysis. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Muhuria L. 2007. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Murata N, Loss DA. 1997. Membrane fluidity and temperature perception. Plant Physiol 115:875-879 Murchie EH, Hubbart S, Chen Y, Peng S, Horton P. 2002. Acclimation of rice photosynthesis to irradiance under field conditions. Plant Physiol 130:19992010 Murty KS, Dey SK, Swain P, Baig MJ. 1992. Low light adapted restorers of different maturity durations for hybrid rice breeding. Int Rice Res Newsletter 17:6-7. Murty KS, Suhu G. 1987. Impact of low light stress on growth and yield of rice. Di dalam: Dey SK, Baig MJ, editor. Weather and Rice. Proceeding International workshop on impact of weather parameters on growth and yield of rice. IRRI. Los Banos. Phillippines. hlm 94-100. Nagata N, Tanaka R, Satoh S, Tanaka A. 2005. Identification of vinyl reductase gene for chlorophyll synthesis in Arabidopsis thaliana and implications for the evolution of Prochlorococcus species. Plant Cell 17:233-240 Nasoetion AH, Barizi. 1973. Metode Statistika untuk penarikan kesimpulan. Departemen Statistika dan Komputasi. Fakultas Pertanian IPB. Neidhardt J, Benemann JR, Zhang L, Melis A. 1998. Photosystem II repair and chloroplast recovery from irradiance stress: relationship between chronic photoinhibition, light-harvesting chlorophyll antenna size and photosynthetic productivity in Dunaliella salina (green algae). Photosynth Res 56:175-184. Nelson N, Ben-Shem A. 2002. Photosystem I reaction center: past and future. Photosyth. Res. 73:193–206 Nelson N, Ben-Shem A. 2004. The complex architecture of oxygenic photosynthesis. Molecular Cell Biol, 5:1-12 Nicot N, Hausman J-F, Hoffmann L, Evers D. 2005. Housekeeping gene selection for real-time RT-PCR normalization in potato during biotic and abiotic stress. J Exp Bot, 56:2907-2914. Nilsen ET, Orcutt DM. 1996. The physiology of Plant Under Stress. Abiotic Factors. John Wiley & Sons. Inc, New York. Niquist WE. 1991. Estimation of heritability and prediction of selection response in plant populations. Critical Reviews in Plant Sciences, 10:235-322.
138
Obokata J, Mikami K, Hayashida N, Nakamura M, Sugiura M. 1993. Molecular Heterogeneity of Photosystem I (psaD, psaE, psaF, psaH, and psaL Are All Present in Isoforms in Nicotiana spp. Plant Physiol. 120: 1129–1136 Oh SK, Han KH, Ryu SB, Kang H. 2000. Molecular Cloning, Expression, and Functional Analysis of a cis-Prenyltransferase from Arabidopsis thaliana. J Biol Chem 275:18482–18488 Okada K, Yasunori I, Kazuhiko S, Tadahiko M, Sakae K. 1992. Effect of light on degradation of chlorophyll and proteins during senescence of detaches rice leaves. Plant Cell Physiol 33:1183-1191. Ouellette AJA, Barry BA. 2002. Tandem mass spectrometric identification of spinach Photosystem II light-harvesting components. Photosynthesis Research 72: 159–173 Pandini F, Vello NA, de Almeida Lopes AC. 2002. Heterosis in soybeans for seed yield components and associated traits. Brazilian Archives Biology and Technology 45:401-412 Park Y-I, Chow WS, Anderson JM. 1996. Chloroplast movement in the shade plant Trandescantia albiflora helps protect photosystem II against light stress. Plant Physiol. 111:867-875 Pattanayaka, GK, Biswal AK, Reddy VS, Tripathy BC. 2005. Light-dependent regulation of chlorophyll b biosynthesis in chlorophyllide a oxygenase overexpressing tobacco plants. Biochem and Biophysic Res Commun 326: 466–471 Peters JL, Szell M, Kendrick RE. 1998. The expression of light-regulated genes in the high-pigment-1 mutant of tomato. Plant Physiol 117:797-807. Petr FC, Fery KJ. 1966. Genotypic correlation, dominance, and heritability of quantitative characters in oats. Crop Sci 6:259-262 Pfannschmidt T, Allen JF, Oelmüller R. 2001. Principles of redox control in photosynthesis gene expression. Physiol Plant 112: 1-9 Pfannschmidt T. 2003. Chloroplast redox signals: how photosynthesis controls its own genes. TRENDS in Plant Sci, 8: 33-41 Poehlman JM, Sleper DA. 1995. Breeding Field Crops. 4th edition. Iowa State University Press. 494p. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Portis AR. 1992. Regulation of ribulose1,5 bisphosphate carboxylase/oxygenase activity. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 43:415-437 Portis AR. 1995. The regulation of rubisco by rubisco activase. J Exp Bot 46:1285-1291. Quail PH. 2002. Photosensory perception and signalling in plant cells: new paradigms? Current Opinion Cell Biol, 14:180-188. Race HL. 1999. Why have organelles retained genomes? Trends Genet. 15:364– 370 Richardson, AD, Duigan SP, Berlyn GP. 2002. An evaluation of noninvasive methods to estimate foliar chlorophyll content. New Phytol. 153:185–194. Richter M, Ruhle W, Wild A. 1990. Studies on the mechanism of photosystem II photoinhibition. II. The involement of toxic oxygen species. Photosynth. Res. 24:237-243.
139
Rochaix JD. 2001. Post-transcriptional control of chloroplast gene expression. From RNA to photosynthetic complex. Plant Physiol 125:142–144. Roy D. 2000. Plant Breeding. Analysis and Exploitation of Variation. Narosa Publishing House. New Delhi. 701p Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. 4th edition. Wadsworth Pub. Co Salvucci ME, Ogren WL. 1996. The mechanism of rubisco activase: in sight from studies of the properties and the structure of the enzyme. Photosynthetic Res 47:1-11 Sato-Nara K, Demura T, Fukuda H. Expression of photosynthesis-related genes and their regulation by light during somatic embryogenesis in Daucus carota. Planta. 219: 23–31 Scheller HV, Jensen PE, Haldrup A, Lunde C, Knoetzel J. 2001. Role of subunits in eukaryotic photosystem I. Biochim. Biophys. Acta, 1507:41–60. Shapiro SS, Wilk MB. 1965. An analysis of variance test for normality (complete sample). Biometrika 52:591-611 Sinclair TRR, Torie. 1989. Leaf nitrogen, photosynthesis and crop radiation use efficiency. Crop Sci 29:90-98. Sopandie D, Chozin MA, Khumaida N, Takano T. 2001. Differential shading tolerance of upland rice genotypes related to rubisco activity and its gene expression. Di dalam: Proceeding of the 1st Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo University, February 21-23, 2001. Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumajo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003b. Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10:71-75. Sopandie D, Chozin MA, Tjitrosemito S, Sahardi. 2003c. Keefektifan uji cepat ruang gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10:91-95. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Handayani T, Jufri A, Takano T. 2003a. Adaptability of soybean to shade stress: Identification of morphological responses. Di dalam: Proceeding of the 2nd Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo University, Tokyo, February 15-16, 2003. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2005. Fisiologi, genetik, dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: Pengembangan varietas unggul kedelai sebagai tanaman sela. Laporan th II Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP Angkatan II Tahun 2004-2006. Dirjen Dikti Depdiknas. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Sulistyono E, Heryani N. 2002. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela: Fisiologi dan pemuliaan untuk toleransi terhadap naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sopandie D. 2006. Perspektif Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan Di Lahan Marjinal. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 16 September 2006. Soverda N. 2002. Karakteristik fisiologi fotosintesis dan pewarisan sifat toleran naungan pada padi gogo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
140
Staub JM, Deng XW. 1996. Light signal transduction in plants. Photochem Photobiol 64: 897-905 Steindler C, Matteucci A, Sessa G, Weimar T, Ohgishi M, Aoyama T, Morelli G, Ruberti1 I. 1999. Shade avoidance responses are mediated by the ATHB-2 HD-Zip protein, a negative regulator of gene expression. Development 126:4235-4245 Stern DB. 1997, Transcription and translation in chloroplasts. Trends Plant Sci. 2:308–315 Sulistyono E, Sopandie D, Chozin MA, Suwarno. 1999. Adaptasi padi gogo terhadap naungan: Pendekatan Morfologi dan Fisiologi. Comm Ag 4:62-68 Surpin M, Larkin RM, Chory J. 2002. Signal transduction between the chloroplast and the nucleus. Plant Cell, s323-s338 Susek RE, Chory J. 1992. A tale of two genomes: Role of a chloroplast signal in coordinating nuclear and plastid genome expression. Aust J Plant Physiol 19:387-399 Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Sinauer Associates, Inc., Pub. Sunderland, Massachusetts Tanaka R, Koshino Y, Sawa S, Ishiguro S, Okada K, dan Tanaka A. 2001. Overexpression of chlorophyllide a oxygenase (CAO) enlarges the antenna size of photosystem II in Arabidopsis thaliana. Plant J 26:365– 373 Taylor WC. 1989. Regulatory interactions between nuclear and plastid genomes. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 40:211-233 Thorne JH, Koller HR. 1974. Influence of assimilate demand on photosynthesis, diffusive resistance, translocation, and carbohydrate level of soybean leaves. Plant physiol 54:201-2-7 Ting CS, Rocap G, King J, Chisholm SW. 2002. Cyanobacterial photosynthesis in the oceans: the origins and significance of divergent light-harvesting strategies.Trends Microbiol 10:134-142 Trebst A. 1995. Dinamics in photosystem II structure and function. P3-16. Di dalam: Schulze E-D, Caldwell MM, editor. Ecophysyiology of Photosynthesis. Springer.New York. Trikoesoemaningtyas, Sopandie D, Takano T. 2003. Genetic and breeding of soybean for adaptation to shade stress. Di dalam: Proceeding of the 2nd Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo University, Tokyo, February 15-16, 2003 Tyagi AK, Dhingra A, Raghuvanshi. 2000. Light-regulated expression of photosynthesis-related genes. Di dalam: Yunus M, Pathre U, Mohanty P. editor. Probing Photosynthesis. Mechanisms, regulation and adaptation. Taylor & Francis. London. hlm 324-341. Tyas KN. 2006. Adaptasi kdelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi penangkapan cahaya. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Vandenbussche F, Pierik R, Millenaar FF, Voesenek LACJ, Van Der Straeten D. 2005. Reaching out of the shade. Current Opinion in Plant Biol, 8:462–468
141
Vander Loo FE, Salvuchi ME. 1996. Activation of ribulose-1,5 bisphosphate carboxylase/oxygenase (rubisco) involves Rubisco activase. Biochem 35:8143-8148 Vijayalaksmi C, Radhakrishnann R, Nagarajam M, Rajendram C. 1991. Effect of solar radiation deficit on rice productivity. J Agron Crop Sci 167:184-187 Vogelmann TC, Martin G. 1993. The functional significance of palisade tissue: Penetration of directional versus diffuse light. Plant Cell Environ 16:65-72 Wallace DH, Baudoin JP, Beaver J, Coyne DP, Halseth DE, Masaya PN, Munger HM, Myers JR, Silbernagel M, Yourstone KS, Zobel RW. 1993. Improving efficiency of breeding for higher crop yield. Theo Appl Genet, 86:27-40. Walter RG, Horton P. 1994. Acclimation of Arabidopsis thaliana to the light environment: Changes in composition of photosynthetic apparatus. Planta, 195:248-256 Walter RG, Horton P. 1995. Acclimation of Arabidopsis thaliana to the light environment: regulation of chloroplast composition. Planta, 197:475-481 Walter RG, Rogers JJM, Shephard F, Horton P. 1999. Acclimation of Arabidopsis thaliana to the light environment: the role of photoreseptors. Planta, 209:517-527 Warner JN. 1952. A method for estimating heritability. Agron.J. 44:427-430 Watanabe N, Fuji C, Shirota M, Furuta Y. 1993. Changes in chlorophyll, thyllakoid proteins and photosynthetic adaptation to sun and shade environments in diploid and tetraploid Oryza eicingeri Peter. Plant Physio. Biochem 31:469-474 Weaver LM, Amasino RM 2001. Senescence is induced in individually darkened Arabidopsis leaves, but inhibited in whole darkened plants. Plant Physiol. 127:876-886 Webb MR, Melis A. 1995. Chloroplast response in Dunaliella salina to irradiance stress: effect on thylakoid membrane protein assembly and function. Plant Physiol 107: 885-893. Webber AN, Lee H, Bingham SE. 1997. Structure and function of fotosystem I: a molecular approach. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. Marcel Dekker, Inc. New York. hlm 219-230. Welsh JR. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Terjemahan Mogea JP. Penerbit Erlangga Jakarta. 224h Weston E, Thorogood K, Vinti G, Lopez-Juez E. 2000. Light quantity controls leaf-cell and chloroplast development in Arabidopsis thaliana wild type and blue-light-perception mutants. Planta, 211:807-815 Whitelegge JP. 1997. Covalent modification of photosystem II reaction center polypeptides. P241-256. Di dalam: Pessarakli, editor. Hand Book of Photosinthesis. Marcel Dekker, Inc. New York Xia Z, Broadhurst RW, Laue ED, Bryant DA, Golbeck JH, Bendall DS, 1998. Structure and properties in solution of PsaD, an extrinsic polypeptide of photosystem I. Europ J Biochem. 255: 309-316 Yeo AR. 1994. Physiology Criteria in Screening and Breeeding. Di dalam: Yeo AR, Howers TJ, editor. Soil Mineral Stresses: Approach to Crop Improvement. Springer-Verlag. Berlin. Yusuf M. 2001. Genetika I Struktur & Ekspresi Gen. CV. Sagung Seto, Jakarta. 300h
142
Ziemienowicz A, Gabrys H. 2003. From light to genes: phytochromes shuttle into and out of the nucleus. The ELS gazette. E-magazene of the European Life Scientist Organization, issue 13:1-5 Zou JW, Sun MX, Yang HY. 2002. Single-Embryo RT-PCR Assay to Study Gene Expression Dynamics During Embryogenesis in Arabidopsis thaliana. Plant Mol Biol Reporter 20: 19–26
143
Lampiran 1 Analisis Kandungan klorofil (mg/g berat basah sampel).
Analisis kandungan klorofil a, b, dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang digunakan Richardson et al. (2002) yang merupakan perbaikan metode yang digunakan Arnon (1949) sebagai berikut: - Disiapkan tiga disk sampel daun segar atau 100 mg berat basah, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 4.5 ml dimethyl sulfoxide (DMSO). - Sampel tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 65oC selama 45 menit, dihindari penguapan untuk mencegah berkurangnya volume ekstrak. - Setelah dingin, larutan ekstrak diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm dan 663 nm. - Kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total dihitung menggunakan rumus Arnon (1949) kemudian dikonversikan menjadi kandungan klorofil daun (mg klorofil/g berat basah sampel), sebagai berikut.
Klorofil A =
(12 .7 A 663 − 2 .69 A 645 ) Volume Berat
Klorofil B =
Klorofil
( 22 . 9 A 645 − 4 . 68 A 663 ) Volume Berat
Total
=
( 20 . 2 A 645 + 8 . 02 A 663 ) Volume Berat
dimana: volume = volume larutan ekstrak DMSO yang digunakan, dan berat = berat basah sampel daun (gram).
144
Lampiran 2 Penampilan warna daun beberapa genotipe kedelai pada berbagai intensitas cahaya rendah Genotipe kedelai
Intensitas cahaya rendah Ceneng
Godek
Pangrango
Slamet
Cahaya penuh (L0)
5 hari naungan (L1)
5 hari gelap total (L2)
3 hari naungan + 5 hari cahaya (L3) 3 hari naungan + 3 hari cahaya + 5 hari gelap total (L4)
145
Lampiran 3 Diskripsi varietas Pangrango Nomor galur : B8306-4-4 Asal : Persilangan varietas local Lampung x Davros (1983) Warna hipokotil : Ungu Warna bunga : Ungu Warna biji : Kuning Warna hilum biji : Coklat Warna kulit polong masak : Coklat Warna bulu : Coklat Tipe tumbuh : Diterminate Tinggi tanaman : ± 65 cm Jumlah cabang : 3-4 batang Umur mulai berbunga : ± 40 hari Umur polong masak : ± 88 hari Bentuk biji : Bulat – agak bulat Bobot 100 biji : ± 10 gram Ukuran biji : Sedang Kandungan lemak : ± 18% Kandungan protein : ± 39% Hasil pada tumpangsari dengan jagung tertinggi : ± 2.0 ton/ha rata-rata : ± 1.4 ton/ha Ketahanan terhadap penyakit : Tahan karat daun Pemulia : Asadi, Darman M. Arsyad, Sumarno, Hafni Zahara, dan Nurwita Dewi Tahun di lepas : 1995
146
Lampiran 4 Diskripsi varietas Slamet Nomor asal : T33 (UNSOED) Asal : Hasil persilangan Dempo x Wilis Warna hipokotil : Ungu Warna epikotil : Ungu Warna daun : Hijau Warna biji : Kuning Warna kulit polong masak : Coklat Warna bulu : Coklat Tipe tumbuh : Diterminate Tinggi tanaman : ± 65 cm Umur mulai berbunga : ± 37 hari setelah tanam Umur polong masak : ± 87 hari setelah tanam Kerabahan : Tahan Bobot 100 biji : ± 12.5 gram Kandungan lemak : ± 15% Kandungan protein : ± 34% Rata-rata hasil : ± 2.26 ton/ha Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan terhadap penyakit karat daun Keterangan : Sesuai untuk tanah masam Pemulia : Sunarto, Noor Farid, dan Suwarto Tahun di lepas : 1995
147
Lampiran 5 Sekuen lengkap gen JJ3 di database publik di GenBank LOCUS DEFINITION
EF628505 800 bp mRNA linear PLN 29-MAY-2007 Glycine max photosystem I subunit PsaD (psaD) mRNA, complete cds; chloroplast. ACCESSION EF628505 VERSION EF628505 KEYWORDS . SOURCE chloroplast Glycine max (soybean) ORGANISM Glycine max Eukaryota; Viridiplantae; Streptophyta; Embryophyta; Tracheophyta; Spermatophyta; Magnoliophyta; eudicotyledons; core eudicotyledons; rosids; eurosids I; Fabales; Fabaceae; Papilionoideae; Phaseoleae; Glycine. REFERENCE 1 (bases 1 to 800) AUTHORS Khumaida,N., Sopandie,D. and Takano,T. TITLE Shade tolerance-related gene on soybean (Glycine max): homolog to psaD gene of PSI subunit JOURNAL Unpublished REFERENCE 2 (bases 1 to 800) AUTHORS Khumaida,N., Sopandie,D. and Takano,T. TITLE Direct Submission JOURNAL Submitted (21-MAY-2007) Agronomy and Horticulture, Faculty Of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor, West Java 16680, Indonesia FEATURES Location/Qualifiers source 1..800 /organism="Glycine max" /organelle="plastid:chloroplast" /mol_type="mRNA" /db_xref="taxon:3847" gene 1..800 /gene="psaD" /note="gmpsaD" CDS 27..659 /gene="psaD" /note="PS-1 subunit; transport electron PSI; PsaD protein" /codon_start=1 /transl_table=11 /product="photosystem I subunit PsaD" /translation="MAMATQASLLTPPLSGLKASDRASVPWKQNSSLSF SSPKPLKFSRTIRAAAADETTEAPAKVEAAPVGFTPPELDPNTPSPIF GGSTGGLLRKAQVEEFYVITWDSPKEQIFEMPTGGAAIMREGPNLLKL ARKEQCLALGTRLRSKYKIKYQFYRVFPNGEVQYLHPKDGVYPEKVNA GRQGVGQNFRSIGKNVSPIEVKFTGKQPYDL" ORIGIN 1 gaacacttgt attatctcaa gcaaccatgg caatggcaac ccaagcctct ctcttaaccc 61 cacccctctc cggtctcaaa gccagcgacc gcgcctccgt gccatggaag caaaactcca 121 gcctctcctt ctccagcccg aagcccctca agttctccag aacaatcaga gcagcagccg 181 ccgacgagac cacagaggca ccagcaaaag tagaggctgc accggtcggg ttcaccccac 241 cagaacttga cccaaacacc ccttccccga tcttcggggg cagcaccggc gggctcctgc 301 gcaaggcaca ggtggaggag ttttatgtca ttacgtggga ctcacccaaa gaacagatct 361 ttgaaatgcc cactggcggc gccgctatca tgagggaggg tcctaacctt ctcaagttgg 421 ccaggaagga gcagtgcttg gctcttggga ctaggctcag gtccaagtac aagatcaagt 481 accagttcta cagggtcttc cctaatgggg aggttcagta tttgcaccct aaggatggtg 541 tttaccctga gaaggtcaac gccggacgcc aaggggtggg tcaaaacttc aggtctattg 601 gtaagaatgt tagtcctatt gaggtcaagt tcactggcaa gcagccctat gatttgtgag 661 cacacaactc tatcttcatc atcatcatcc cccgtgcttc ctttatatgc tatatattct 721 catgtgatat catgtaccta ttgtcaattt tattatgcca caaatattgc taaaaaaaaa 781 aaaaaaaaaa aaaaaaaaaa //
148