BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang parameter genetik adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah berdasarkan karakter morfofisiologi daun. Bahan genetik yang digunakan adalah tetua toleran (Ceneng), tetua peka (Godek) masing-masing 22 tanaman sampel, populasi F1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 21 tanaman, dan 114 tanaman populasi F2. Populasi tersebut ditanam di bawah paranet 50% dan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan 2 ulangan. Analisis genetik karakter-karakter morfologi dan fisiologi daun yang terkait adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah meliputi: pendugaan koefisien korelasi, heritabilitas arti luas, jumlah gen (effective factor), dan aksi gen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. Karakter hasil dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (68%). Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masing-masing dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (78%, 84%, 86%). Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (70%). _________ Kata kunci: kedelai, karakter morfologi daun, analisis genetik, heritabilitas, aksi gen
GENETIC ANALYSIS OF ADAPTATION OF SOYBEAN TO LOW LIGHT INTENSITY BASED ON LEAF MORPHOPHYSIOLOGICAL CHARACTERS Abstract This study was aimed to obtain the valuable genetic information of adaptation of soybean to low light intensity based on leaf morpho-physiological characters. Genetic materials used in this study consisted of 22 plants each of low irradiance (LI)-tolerant genotype (Ceneng) and LI-sensitive genotype (Godek); 21 plants of F1 (Ceneng x Godek); and 114 plants of F2 populations (derived from F1). These populations were planted under shading of paranet 50%, each population was arranged based on randomized block design with two replicates. Analisis of genetic parameters of soybean adaptation involved of estimation of phenotypic correlation, heritability (broad sense), number of gen (effective factor), and gen action. Results of this study showed that: adaptation of soybean to low light intensity was characterized by yield per plant highly correlated with leaf morphophysiological characters such as leaf area, specific leaf weight, and chlorophyll content. Adaptation of soybean to low light stress based on characters of yield per plant was highly heritable (68% of broad sense), controlled by at least 6 effective factors with partial dominant mode of action. Characters of leaf area and specific leaf weight were highly (68% of broad sense) and moderately (48% of broad sense) heritable, controlled by at least 4 and 5 minor genes (effective factors) respectively with additive mode of action. Adaptation based on leaf physiological characters (chlorophyll contents) were highly heritable (70% - 86% of broad sense), controlled by at least two major genes in epistatic mode of action. __________ Key words: soybean, leaf morphologycal character, genetic analysis, heritability, gene action
66
PENDAHULUAN Latar Belakang Kendala utama pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan agroforestri, atau tumpang sari dengan tanaman pangan lain adalah rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan. Pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah, tanaman memerlukan sifat adaptasi tertentu untuk mampu bertahan hidup, berkembang dan berproduksi dengan baik (Mohr dan Schooper 1995). Oleh karena itu diperlukan upaya perbaikan genetik adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman untuk adaptasi kedelai terhadap naungan dengan tujuan untuk mendapatkan genotipe yang toleran dengan produktivitas tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah sudah dimulai dengan pembentukan 12 populasi bersegregasi dengan metode bulk terbatas (restricted bulk) hasil persilangan dialel lengkap dari empat tetua terpilih (masing-masing dua tetua toleran dan tetua peka) (Trikoesoemaningtyas et al. 2003). Dalam setiap tahapan seleksi untuk mendapatkan genotipe toleran, karakter hasil merupakan kriteria seleksi yang utama meskipun perolehan kemajuan genetik (genetic advance) tidak cukup besar seperti yang diharapkan (Fehr 1987; Roy 2000). Hal ini karena karakter hasil umumnya dipengaruhi oleh banyak gen (poligenik) dengan nilai heritabilitas yang rendah (Wallace et al. 1993). Wallace et al. (1993); Chahal dan Gosal (2002) menyarankan agar seleksi terhadap hasil hendaknya disertai dengan seleksi secara simultan dengan komponen agronomi, morfologi, atau fisiologi lain yang terkait dan dikendalikan secara genetik. Dalam hal ini, daun sebagai organ utama tanaman yang berperan secara langsung dalam aktivitas fotosintesis dan menentukan kapasitas fotosintetik optimum melalui berbagai bentuk mekanisme adaptasi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah menjadi sangat penting. Beberapa karakter morfologi dan fisiologi daun yang dapat dijadikan sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah antara lain: kandungan klorofil (klorofil a, b, dan total), rasio klorofil a/b, luas daun dan bobot daun spesifik (hasil Percobaan 1). Hasil penelitian sebelumnya juga
67
menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat dijadikan sebagai marka fisiologi dalam seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah (Handayani 2003). Sopandie et al. (2003b); Khumaida (2002) melaporkan bahwa tanaman yang toleran naungan mempunyai daun yang lebih lebar dan tipis, kandungan klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dari pada tanaman peka. Perubahan karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut merupakan bentuk mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah (Evans dan Poorter 2001; Kim et al. 2005; Jufri 2006; Muhuria 2007). Dengan demikian karakter morfo-fisiologi daun dapat memberikan andil besar dalam perbaikan adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah. Penggunaan karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi atau kriteria seleksi untuk perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah perlu didukung oleh pengetahuan mengenai parameter genetik, seperti koefesien korelasi genotipik, nilai heritabilitas, dan jumlah gen (effective factor) yang mengendalikan karakter tersebut. Menurut Grami et al. (1977) parameter genetik bermanfaat di dalam merumuskan program pemuliaan yang akan digunakan dan mengetahui kemajuan genetik hasil seleksi. Poehlman dan Sleper (1995); Roy (2000) juga menyatakan seleksi terhadap karakter yang berkontribusi terhadap sifat adaptasi tanaman akan lebih efektif apabila didasari oleh informasi genetik seperti pendugaan heritabilitas, jumlah dan tipe aksi gen pengendali. Sejauh ini, informasi tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Informasi ini penting agar karakter morfo-fisiologi daun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi terhadap karakter sekunder akan lebih efektif apabila karakter tersebut memiliki hubungan genetik kuat dengan karakter primer dan memiliki nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibanding karakter primer (Roy 2000).
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang parameter genetik karakter morfo-fisiologi daun sebagai karakter penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah
68
BAHAN DAN METODE Bahan Tanaman Bahan genetik yang digunakan adalah kedelai toleran naungan Ceneng (P1) dan peka naungan Godek (P2), keduanya merupakan genotipe lokal (Sopandie et al. 2002) masing-masing sebanyak 22 tanaman, F1 hasil persilangan Ceneng x Godek sebanyak 21 tanaman, dan F2 hasil selfing populasi F1 sebanyak 114 tanaman. Penanaman di bawah naungan paranet 50% dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Cimanggu, Bogor mulai Agustus – November 2005. Pengolahan tanah di bawah paranet 50% dilakukan dengan cara dibajak dua kali menggunakan traktor. Pada pengolahan tanah kedua diberikan pupuk kandang 20 ton/ha secara merata. Sebelum penanaman, lubang tanam ditaburi Carbofuran 3G. Selanjutnya sebanyak masing-masing 2 benih kedelai dari populasi P1, P2, F1, dan F2 ditanam pada setiap lubang tanam pada masing-masing petak dengan jarak tanam 30 x 15 cm. Petak percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan. Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur satu minggu setelah tanam (MST) dengan mengganti tanaman yang kurang sehat atau mati. Pemupukan dilakukan pada umur tanaman 1 MST dengan dosis 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha. Pemeliharaan tanaman seperti penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan setiap tiga minggu sekali atau apabila diperlukan.
Pengamatan Karakter yang diamati terdiri atas karakter morfo-fisiologi daun dan hasil per tanaman. Karakter morfo-fisiologi daun yang diamati meliputi: luas daun, bobot daun spesifik (BDS), kandungan klorofil (klorofil a, klorofil b, klorofil total) and rasio klorofil a/b. Pengambilan sampel daun dari setiap individu tanaman dilakukan pada umur tanaman 5 MST. Sampel daun yang diamati adalah daun trifoliat ketiga dan keempat dari ujung atas batang utama yang telah berkembang sempurna. Pengukuran kandungan klorofil dan antosianin dilakukan di lab RGCI (Research Group on Crop Improvement) Fakultas Pertanian IPB. Analisis
69
kandungan klorofil a, b, dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang digunakan Richardson et al. (2002) yang merupakan perbaikan metode yang digunakan Arnon (1949) (lihat Lampiran 1). Pengukuran luas daun dan bobot daun spesifik (BDS) dilakukan di lab Ekofisiologi Faperta IPB. Luas daun trifoliat diamati dengan menggunakan leaf area meter, sedangkan BDS yang mengindikasikan ketebalan daun, dihitung dengan cara membagi berat kering daun dengan luas daun. Pengukuran hasil biji per tanaman dilakukan dengan cara memanen masingmasing individu tanaman setelah polong kering berwarna coklat kehitaman kemudian dibijikan dan ditimbang bobot kering biji per tanaman setelah biji mencapai kadar air sekitar 11%.
Analisis Data Keragaan hasil dan morfo-fisiologi daun pada tetua. Untuk mengetahui apakah kedua genotipe tetua yang digunakan (Ceneng, genotipe toleran naungan; Godek, genotipe peka naungan) memiliki karakter hasil dan morfo-fisiologi daun yang berbeda nyata, dilakukan uji t terhadap masing-masing karakter pada masing-masing genotipe tersebut. Karakter yang berbeda dari kedua tetua akan dilanjutkan pada analisis parameter genetik berikutnya. Korelasi karakter morfo-fisiologi daun dengan hasil pada populasi F2. Untuk mengetahui karakter-karakter morfo-fisiologi daun yang terkait erat dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, maka dilakukan analisis korelasi Pearson antara karakter morfo-fisiologi dengan karakter hasil (referensi adaptasi) pada populasi segregasi F2 (Wallace et al. 1993; Grami et al. 1977). Koefesien korelasi fenotipik yang menunjukkan hubungan antara dua peubah dihitung menggunakan rumus (Steel et al. 1997; Roy 2000) atau menggunakan fungsi korelasi pada program Minitab Release 13.
r (x, y) =
∑ ( x − x )( y −
y) / n − 1
( σ x )( σ 2 y ) 2
70
Karakter-karakter yang terkait erat dengan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah adalah karakter-karakter yang memiliki koefesien korelasi tinggi dan nyata terhadap hasil. Pengujian sebaran fenotipe F2. Untuk melakukan pendugaan jumlah gen masing-masing karakter yang diamati, terlebih dahulu ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti kurva normal atau tidak. Analisis sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun dilakukan dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan program Minitab Release 13. Hasil analisis deskriptif selain menunjukkan tingkat kemenjuluran (skewness dan kurtosis) juga pengujian normalitas menggunakan model Anderson-Darling. Selanjutnya untuk mengetahui kecenderungan posisi sebaran populasi F2 dengan kedua tetua dan populasi F1, dilakukan analisis dengan menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973) yaitu dengan cara data pengamatan masingmasing karakter dari seluruh individu tanaman F2 dikelompokkan menjadi 9 kelas (jumlah tanaman kurang dari 250 tanaman) dengan interval tertentu. Selanjutnya data dianalisis menggunakan program Minitab Release 13. Pendugaan jumlah gen. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif seperti tingkat kemenjuluran dan uji normalitas serta histogram masing-masing karakter yang diuji, selanjutnya ditentukan apakah sebaran fenotipe karakter tersebut mengikuti sebaran normal atau tidak. Apabila suatu karakter memiliki nilai uji normalitas (A2) dengan nilai probabilitas p > 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal. Apabila nilai probabilitas p ≤ 0.05 maka sebaran fenotipe karakter tersebut bersifat kontinu dengan sebaran tidak mengikuti kurva normal. Karakter dengan sebaran kontinu dan mengikuti kurva normal menunjukkan bahwa karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh gen-gen minor. Karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal menunjukkan karakter tersebut selain dipengaruhi oleh gen minor juga dipengaruhi oleh satu atau dua gen mayor (Chandraratna 1964; Fehr 1987; Crowder 1993). Menurut Chandraratna (1964) apabila dalam suatu karakter kuantitatif ikut serta pengaruh gen mayor dengan arah dominansi yang sama, maka akan terlihat adanya kemenjuluran puncak (peak skewness) sebaran frekuensi. Apabila gen mayor mempunyai dominansi sendiri-sendiri maka akan
71
terlihat adanya bentuk sebaran frekuensi dengan puncak lebih dari satu (bimodal atau trimodal) pada generasi F2. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F2 mengikuti sebaran normal dihitung menggunakan rumus Castle (1921) dalam Roy (2000) sebagai berikut:
( p1 − p 2 ) 2 n = 8 ( σ 2 F 2 − σ 2 F1 ) dimana, n = jumlah gen; p1 = rata-rata tetua 1; p2 = rata-rata tetua 2; σ2F1 = varians populasi F1; σ2F2 = varians populasi F2. Selanjutnya pendugaan aksi gen yang mengendalikan karakter tersebut dihitung berdasarkan rumus pendugaan nilai nisbah potensi (hp) yang digunakan Petr dan Frey (1966) sebagai berikut:
hp =
F − MP HP − MP
dimana hp = nilai nisbah potensi atau derajat dominansi gen, F = rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP = nilai tengah kedua tetua Berdasarkan nilai potensi rasio (hp), derajat dominansi atau aksi gen yang mengendalikan karakter kuantitatif diklasifikasikan sebagai berikut (Petr dan Frey 1966): aditif, tidak ada dominansi apabila 0.00 < hp ≤ 0.25; dominan parsial atau dominan tidak sempurna apabila 0.25 < hp ≤ 0.75; dominan penuh atau dominan sempurna apabila 0.75 < hp ≤ 1.25; dan dominan berlebih atau over-dominan apabila hp >1.25. Pendugaan jumlah gen yang mengendalikan karakter dengan sebaran fenotipe F2 yang tidak mengikuti sebaran normal dihitung melalui pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan membandingkan nisbah sebaran frekuensi fenotipik hasil pengamatan dengan nisbah harapan atau nisbah hipotetik menggunakan uji Chi-kuadrat (χ2) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993).
72
Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam 2, 3 atau 4 kelas toleransi sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas interval sesuai sebaran frekuensi fenotipik populasi F2 seperti ditentukan sebelumnya menggunakan kaidah Sturge (Nasoetion dan Barizi 1973). Untuk pengelompokan 2 kelas toleransi (P, peka : T, toleran), kelompok peka terdiri atas kelas interval (1,2) dan kelompok toleran terdiri atas kelas interval (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas tolerasi (P, peka : M, moderat : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,2), moderat (3,4,5), dan toleran (6,7,8,9); 4 kelas toleransi (P, peka : AP, agak peka : AT, agak toleran : T, toleran), kelompok peka terdiri atas (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), dan toleran (7,8,9). Pengujian kesesuaian nisbah pengamatan dengan nisbah harapan dilakukan menggunakan Uji Chi-kuadrat (χ2) dengan rumus sebagai berikut:
X
2
( Oi − Ei ) 2 = ∑ Ei
dimana χ2 merupakan nilai chi-square hitung; i = 1,2,3,….n; Oi = nilai pengamatan; Ei = nilai yang diharapkan dalam kelas ke i. Apabila nilai χ2 hitung lebih kecil dari χ2 tabel, berarti sebaran fenotipik pada populasi F2 mengikuti nisbah harapan fenotipik tertentu. Untuk keperluan analisis genetik, batas kesesuaian uji χ2 dianggap cukup apabila digunakan batas peluang (p) = 0.20. Beberapa nisbah fenotipe hipotetik yang biasa digunakan terkait dengan pendugaan jumlah gen mayor, disajikan pada Tabel 9. Pendugaan nilai heritabilitas arti luas. Untuk mengetahui apakah karakter yang terkait adaptasi intensitas cahaya rendah lebih banyak ditentukan oleh ragam genetik atau lingkungan, maka dilakukan pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) dengan melibatkan ragam tetua (P1, P1), F1 dan F2 dengan rumus seperti yang dikemukakan Warner (1952) dalam Fehr (1987). Nilai heritabilitas tersebut oleh McWhirter (1979) digolongkan menjadi nilai heritabilitas tinggi apabila h2 > 50%, nilai heritabilitas sedang apabila 20% < h2 < 50%, dan heritabilitas rendah apabila h2 < 20%. Karakter dengan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa karakter tersebut dipengaruhi lebih banyak oleh faktor
73
genetik, sementara karakter dengan nilai heritabilitas rendah menunjukkan bahwa keragaan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor genetik.
h
2
bs
=
σ 2 F2 −
3
( σ 2 F1 )( σ 2 P1 )( σ 2 P2 )
σ 2 F2
x 100
dimana, h2bs = nilai heritabilitas arti luas; σ2F1 = ragam populasi F1; σ2F2 = ragam populasi F2 sama dengan ragam fenotipik; σ2P1 = ragam populasi tetua 1; dan σ2P2 = ragam populasi tetua 2; 3 (σ 2 F1 )(σ 2 P1 )(σ 2 P2 ) merupakan nilai duga ragam lingkungan secara tidak langsung. Ragam total genotipik (ragam aditif + ragam dominan + ragam epistasis) merupakan ragam fenotipik dikurangi ragam lingkungan.
Tabel 9 Nisbah fenotipe karakter yang terkait adaptasi terhadap suatu cekaman yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi bersegregasi F2 (Fehr 1987; Crowder 1993) Jumlah gen dan tipe aksi gen berdasarkan nisbah T AT Satu (1) pasang gen: a. Dominan penuh 3 b. Resesif 1 c. Tidak ada dominansi 1 2 Dua (2) pasang gen: a. Tidak ada epistasis 9 3 b. Resesif epistasis: aa epistatik terhadap B dan b 9 3 c. Dominan epistasis: A epistatik terhadap B dan b 12 d. Dominan dan resesif epistasis, A epistatik terhadap B 13 dan b; bb epistatik terhadap aa e. Resesif ganda (duplikat resesif epistasis): aa epistatik 9 terhadap B dan b; bb epistatik terhadap A dan a f. Isoepistasis: duplikat dominan epistasis. A epistatik 15 terhadap B; B epistatik terhadap A dan a g. Semiepistatis (interaksi duplikat) 9 6 h. Interaksi kompleks 10 3 Tiga (3) pasang gen (epistasis kompleks) a 37 b. 45 c 55 d 27 9 Keterangan: T = toleran, AT = agak toleran, AP = agak peka, P = peka
AP
P
-
1 3 1
3 3 -
1 4 1 3
-
7
-
1
-
1 3
9
27 19 9 19
74
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Morfo-fisiologi Daun pada Tetua Toleran dan Peka Naungan
Untuk mengetahui perbedaan keragaan nilai tengah beberapa karakter yang diamati pada kedua tetua, telah dilakukan uji t. Karakter-karakter yang berbeda nyata pada kedua tetua tersebut dilanjutkan dengan analisis parameter genetik. Keragaan dan hasil uji t nilai tengah karakter morfo-fisiologi daun yang diamati seperti hasil biji per tanaman, luas daun, bobot spesifik daun (tebal daun), kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b pada tetua toleran (Ceneng) dan tetua peka (Godek) pada kondisi lingkungan naungan 50% disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Keragaan karakter hasil dan morfo-fisiologi daun tetua toleran (Ceneng) dan peka (Godek) pada kondisi naungan 50% Karakter yang diamati Hasil per tanaman (g) Luas daun (cm2) Bobot spesifik daun (mg/cm2) Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Klorofil total (mg/g) Rasio klorofil a/b ** sangat berbeda nyata dengan uji t
Nilai tengah Ceneng Godek (P1) (P2) 7.842 a 4.223 b 41.193 a 31.286 b 1.743 b 2.059 a 2.099 a 1.706 b 1.072 a 0.728 b 3.170 a 2.433 b 1.967 b 2.366 a
Nilai t test 20.35** 16.29** -10.20** 14.13** 14.26** 17.23** -6.70**
Pada Tabel 10 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar kedua tetua toleran dan peka naungan pada semua karakter yang diamati berdasarkan uji t. Rata-rata hasil per tanaman tetua toleran (Ceneng) lebih tinggi dari pada tetua peka (Godek). Pada tetua toleran, rata-rata luas daun lebih tinggi, kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total juga lebih tinggi, sedangkan bobot spesifik daun dan rasio klorofil a/b lebih rendah dari pada tetua peka. Perbedaan keragaan genotipe Ceneng (tetua toleran) terhadap genotipe Godek (tetua peka naungan) pada karakter tersebut juga dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sopandie et al. 2002, 2006; Khumaida 2002; Handayani 2003; Lestari 2005; Tyas 2006; Jufri
75
2006; Muhuria 2007). Berdasarkan hasil uji t tersebut tetua Ceneng dan Godek masing-masing konsisten sebagai tetua toleran dan tetua peka naungan. Adanya perbedaan dasar genetik yang jelas antar kedua tetua yang digunakan diperlukan untuk memperoleh kemajuan seleksi yang baik.
Korelasi Karakter Morfo-fisiologi Daun dengan Hasil pada Populasi F2
Koefesien korelasi fenotipik atau koefesien korelasi total menggambarkan derajat hubungan atau kedekatan hubungan linier antar dua karakter atau dua peubah (Roy 2000). Batas nilai koefesien korelasi adalah -1 ≤ r ≤ 1, artinya apabila nilai r mendekati 1 atau -1 maka kedua karakter memiliki hubungan positif atau negatif yang sangat kuat, sedangkan apabila nilai r = 0.0 maka kedua karakter tidak mempunyai hubungan atau dikatakan sebagai karakter bebas. Informasi korelasi ini penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman terutama dalam melakukan seleksi sifat-sifat baik (desired characters). Dalam seleksi genotipe kedelai yang adaptif pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah dimana karakter hasil merupakan karakter utama (primer) maka karakter yang memiliki keeratan hubungan dengan hasil merupakan karakter penting yang dapat digunakan sebagai karakter sekunder dalam seleksi tidak langsung (inderect selection). Tabel 11 Koefisien korelasi fenotipik karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F2 dari persilangan tetua toleran Ceneng dengan tetua peka (Godek) Karakter Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Rasio klorofil a/b
Hasil per tanaman 0.75** -0.68** 0.70** 0.71** 0.73** -0.59**
Luas daun
-0.82** 0.49** 0.59** 0.56** -0.54**
Bobot daun spesifik
-0.40** -0.55** -0.50** 0.51**
Klorofil a
Klorofil b
Klorofil total
0.85** 0.96** -0.65**
0.96** -0.94**
-0.83**
Keterangan: ** sangat nyata Hasil analisis korelasi fenotipik antar karakter morfo-fisiologi daun dan hasil pada populasi F2 pada kondisi naungan (Tabel 11) menunjukkan bahwa
76
karakter yang memiliki nilai koefesien korelasi tinggi dan nyata adalah luas daun (0.75), bobot spesifik daun (-0.68); kandungan klorofil a (0.70), klorofil b (0.71), klorofil total (0.73), dan rasio klorofil a/b (-0.59). Hasil penelitian ini senada dengan yang dilaporkan Handayani (2003) dan Muhuria (2007). Nilai koefesien korelasi yang positif dan nyata antara karakter kandungan klorofil dan luas daun dengan karakter hasil biji per tanaman pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah mengindikasikan bahwa karakter tersebut memberikan kontribusi yang besar pada keragaan hasil. Artinya bahwa apabila terjadi peningkatan karakaterkarakter tersebut maka akan diikuti peningkatan hasil tanaman. Dengan demikian untuk mendapatkan genotipe kedelai dengan hasil yang tinggi pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah diperlukan genotipe dengan kandungan klorofil terutama klorofil b yang tinggi, morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui peningkatan kandungan klorofil terutama klorofil b dan morfologi daun yang lebih luas dan lebih tipis untuk memaksimalkan penangkapan cahaya. Hasil penelitian ini penting bagi program perbaikan hasil kedelai pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah melalui seleksi tidak langsung. Sebagaimana yang diuraikan Pandini et al. (2002) bahwa perbaikan hasil dapat dilakukan dengan melakukan seleksi terhadap karakter yang terkait erat dengan hasil. Hasil percobaan ini juga mendukung hasil percobaan sebelumnya mengenai respon karakter morfo-fisiologi daun bahwa kandungan klorofil yang tinggi dengan daun yang lebar dan tipis pada kondisi lingkungan intensitas cahaya rendah ditunjukkan oleh genotipe toleran naungan. Nilai koefesien korelasi negatif dan nyata antara rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun dengan hasil biji per tanaman menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun (tebal daun) maka akan diikuti peningkatan hasil biji per tanaman. Informasi ini memberikan gambaran bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah terjadi melalui penurunan rasio klorofil a/b dan morfologi daun yang lebih tipis. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan yang dilaporkan Handayani (2003); Jufri (2006); Muhuria (2007).
77
Rasio klorofil a/b yang rendah menunjukkan rata-rata klorofil b lebih besar dari pada rata-rata klorofil a. Fenomena ini mencerminkan bahwa klorofil b sebagai salah satu pigmen antena pemanen cahaya berperan cukup penting di dalam meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Hidema et al. (1992) pada tanaman padi bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b, karena adanya peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi. Hal ini karena pada kondisi cahaya rendah, kloroplas lebih banyak terdapat pada permukaan sel mesofil daun. Hal yang sama juga dilaporkan Khumaida (2002), Handayani (2003), Jufri (2006), dan Muhuria (2007) pada tanaman kedelai dan Lautt (2003) pada tanaman padi gogo. Secara umum mereka melaporkan bahwa pada kondisi cekaman cahaya rendah, genotipe toleran memiliki kandungan klorofil b yang lebih tinggi, rasio klorofil a/b yang lebih rendah, dan morfologi daun yang lebih tipis dari pada genotipe peka. Hasil uji korelasi tersebut juga memberikan informasi bahwa mekanisme adaptasi kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dapat melalui peningkatan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan luas daun, serta melalui penurunan rasio klorofil a/b dan bobot spesifik daun. Selanjutnya, berdasarkan uji korelasi tersebut karakter-karakter yang berkorelasi tinggi dan nyata dilanjutkan dengan analisis parameter genetik untuk mempelajari pola pewarisan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
Pola Pewarisan Sifat Adaptasi Kedelai berdasarkan Morfo-fisiologi Daun Pengujian sebaran fenotipe F2. Untuk mengetahui apakah sebaran fenotipe
karakter morfo-fisiologi daun penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah mengikuti kurva normal atau tidak, telah dilakukan analisis statistik deskriptif sebaran fenotipe karakter morfo-fisiologi daun pada populasi memisah (F2) termasuk sifat kemenjuluran (skewness dan kurtosis), dan uji normalitas menggunakan program Minitab versi 13.30 (Lampiran 4). Secara ringkas hasil analisis statistik deskriptif disajikan pada Tabel 12, sedangkan histogram masingmasing karakter dengan kurva normal sebagai pembanding disajikan pada Gambar 17 - 24.
78
Tabel 12 Nilai rata-rata fenotipe, kemenjuluran (skewness), nilai normalitas dan probabilitas karakter morfo-fisiologi pada populasi F2 Karakter Hasil per tanaman (g) Luas daun (cm2) Bobot daun spesifik (mg/cm2) Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Klorofil total (mg/g) Rasio klorofil a/b
Ratarata 6.053 36.620 1.795
StDev
Skewness
Kurtosis
1.495 3.620 0.216
-0.176 -0.100 -0.075
-0.632 -0.564 -0.720
Nilai A2 0.503 0.325 0.614
2.030 1.003 3.033 2.069
0.160 0.171 0.318 0.260
-0.492 -0.493 -0.609 0.953
0.209 -0.203 0.047 0.933
1.162** 0.005 1.139** 0.005 1.822** 0.000 1.892** 0.000
Nilai Prob. 0.201 0.519 0.108
Keterangan: A2 = nilai statistik uji normalitas Anderson-Darling; ** berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 95%
Histogram of F2-Hasil per Tanaman, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
9.5
F2-Hasil per Tanaman
Gambar 17 Histogram fenotipe karakter hasil per tanaman pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
79
Histogram of F2-Luas Daun, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 30
35
40
45
F2-Luas Daun
Gambar 18 Histogram fenotipe karakter luas daun pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Bobot Daun Spesifik, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
F2-Bobot Daun Spesifik
Gambar 19 Histogram fenotipe karakter bobot daun spesifik pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
80
Histogram of F2-Klorofil a, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 1.55
1.65
1.75
1.85
1.95
2.05
2.15
2.25
2.35
2.45
F2-Klorofil a
Gambar 20 Histogram fenotipe karakter klorofil a pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Klorofil b, with Normal Curve
Frequency
15
10
5
0 0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
F2-Klorofil b
Gambar 21 Histogram fenotipe karakter klorofil b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
81
Histogram of F2-Klorofil Total, with Normal Curve
Frequency
20
10
0 2.2
2.7
3.2
3.7
F2-Klorofil Total
Gambar 22 Histogram fenotipe karakter klorofil total pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
Histogram of F2-Rasio Klorofil a/b, with Normal Curve 30
Frequency
20
10
0 1.5
2.0
2.5
3.0
F2-Rasio Klorofil a/b
Gambar 23 Histogram fenotipe karakter rasio klorofil a/b pada populasi F2 dengan kurva normal sebagai pembanding.
82
Berdasarkan Tabel 12 dan Gambar 17- 23, diketahui bahwa sebaran fenotipe karakter hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik pada populasi F2 bersifat kontinu dan mengikuti kurva normal sebagaimana nilai uji statistik normalitas (A2) yang tidak berbeda (p >0.10). Dengan demikian, karakter-karakter tersebut dikendalikan banyak gen minor (poligenik) dengan pengaruh total gen minor lebih besar dari pengaruh lingkungan tetapi pengaruh per satuan gen lebih kecil dari pengaruh lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan yang dilaporkan Handayani (2003) dimana karakter hasil dan luas daun merupakan karakter adaptasi kedelai terhadap naungan yang dikendalikan banyak gen minor. Sebaran finotipe karakter kandungan klorofil bersifat kontinu dan tidak mengikuti kurva normal sebagaimana ditunjukkan dengan nilai uji normalitas (A2) yang sangat berbeda nyata (p<0.01). Dengan demikian, karakter kandungan klorofil dikendalikan oleh gen minor tetapi terdapat satu atau dua gen mayor.
Pendugaan Jumlah Gen dan Tipe Aksi Gen Pengendali Adaptasi Jumlah gen minor. Pendugaan jumlah gen minor atau effective factor atau
‘quantitative trait loci (QTL)’ (Grami et al. 1977; Roy 2000) yang mengendalikan adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran fenotipe mengikuti kurva normal seperti hasil biji per tanaman, luas daun, dan bobot daun spesifik dihitung menggunakan rumus Castle (1921) dalam Roy (2000), dan tipe aksi gen dianalisis menggunakan rumus potensi rasio (hp) (Petr dan Frey 1966). Tabel 13 Pendugaan jumlah gen minor (effective factor) dan tipe aksi yang mengendalikan karakter-karakter dengan pola sebaran kontinu dan mengikuiti kurva normal pada populasi F2 Karakter Hasil biji per tanaman Luas daun Bobot spesifik daun
Jumlah effective factor 6 4 5
Potensi rasio (hp) 0.45 0.23 0.14
Tipe aksi gen Dominan parsial Aditif Aditif
Hasil pendugaan jumlah gen minor dan tipe aksinya terhadap karakter tersebut menunjukkan bahwa keragaan karakter hasil biji pertanaman, luas daun,
83
dan bobot daun spesifik masing-masing melibatkan sekurang-kurangnya 6, 4, dan 5 effective factor, dengan tipe aksi berturut-turut adalah dominan parsial, aditif, dan aditif (dengan nilai hp berturut-turut 0.45, 0.22, dan 0.14) (Tabel 13). Faktor efektif (effective factor) yang diduga terlibat dalam ekspresi karakter hasil biji per tanaman antara lain gen-gen yang mengendalikan kandungan klorofil maupun morfologi daun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh koefesien korelasi yang tinggi antara karakter hasil dengan kandungan klorofil dan morfologi daun. Selain itu, faktor komponen hasil seperti jumlah polong isi, jumlah biji per polong, dan jumlah cabang produktif juga mempengaruhi fenotipe hasil per tanaman (Handayani 2003; Muhuria 2007). Handayani (2003) dan Muhuria (2007) dalam penelitian sidik lintas pada tanaman kedelai juga melaporkan bahwa pada kondisi cahaya rendah, kandungan klorofil dan luas daun berkontribusi secara tidak langsung terhadap hasil biji per tanaman melalui karakter jumlah polong berisi. Pada karakter morfologi daun seperti luas daun dan bobot daun spesifik, diketahui sekurang-kurangnya ada empat sampai lima effective factor dengan aksi aditif. Faktor-faktor yang diduga terlibat mempengaruhi morfologi daun antara lain lapisan palisade (Khumaida 2002; Muhuria 2007), sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002), hormon gibberellin dan auksin (Taiz dan Zeiger 2002). Hasil penelitian Muhuria (2007) menunjukkan bahwa pada kondisi naungan lapisan palisade kedelai toleran lebih tipis dibanding kedelai peka. Demikian pula yang dilaporkan Khumaida (2002) pada tanaman padi gogo. Menurut Morelli dan Ruberti (2002); Taiz dan Zeiger (2002); Bultynck dan Lambers (2004), selama tanaman dalam kondisi naungan, biosintesis asam gibberellin dan auksin menjadi meningkat terkait dengan regulasi sistem fitokrom dan ATHB. Biosintesis hormon endogeneous gibberellin berfungsi dalam pembesaran dan pembelahan sel jaringan daun sehingga daun menjadi lebih lebar. Jumlah gen mayor. Pendugaan jumlah gen mayor yang mengendalikan
adaptasi berdasarkan karakter dengan sebaran kontinu tetapi tidak mengikuti kurva normal seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b dilakukan menggunakan pendekatan analisis genetika Mendel yaitu dengan cara membandingkan nisbah frekuensi fenotipik karakter F2 hasil
84
pengamatan dengan nisbah fenotipik harapan atau nisbah hipotetik dengan uji chikuadrat (χ2) (Allard 1960; Fehr 1987; Crowder 1993). Untuk keperluan analisis tersebut maka setiap karakter dikelompokkan ke dalam kelas-kelas tertentu (2, 3 dan 4 kelas) sesuai dengan jumlah nisbah harapan. Pengelompokan tersebut didasarkan atas 9 kelas sesuai sebaran frekuensi fenotipik pada populasi F2. Pengelompokan 2 kelas (peka, toleran) adalah peka (1,2) dan toleran (3,4,5,6,7,8,9); 3 kelas (peka, moderat, toleran) adalah peka (1,2), moderat (3,4,5), toleran (6,7,8,9); 4 kelas (peka, agak peka, agak toleran, toleran) adalah peka (1,2), agak peka (3,4), agak toleran (5,6), toleran (7,8,9). Model pendugaan ini selain untuk menduga jumlah gen juga dapat menduga tipe aksi gen yang bersegregasi. Hasil analisis genetika Mendel dengan menggunakan rumus chi-kuadrat (Tabel 14) menunjukkan bahwa pengelompokan skor yang sesuai dengan nisbah harapan adalah pengelompokan skor dalam 2 kelas (T:P). Nisbah sebaran frekuensi fenotipik tingkat toleransi populasi F2 atas dasar karakter klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan antosianin nisbah 15 toleran :1 peka dikendalikan oleh dua gen mayor dengan aksi gen isoepistasis (epistasis dominan ganda), sedangkan rasio klorofil a/b sesuai dengan nisbah 13 toleran : 3 peka, dikendalikan dua gen dengan aksi gen dominan resesif epistasis. Tabel 14 Pendugaan jumlah gen mayor dan tipe aksi gen yang mengendalikan karakter-karakter klorofil pada populasi F2 Karakter
Kelas
Frekuensi Fenotipe F2 O E
Nisbah
χ2 hit
Prob.
Jml gen
Tipe aksi gen
Klorofil a
2(T:P)
105:9
107:7
15:1
0.082
0.604
2
IE
Klorofil b
2(T:P)
103:11
107:7
15:1
0.965
0.326
2
IE
Klorofil total
2(T:P)
104:10
107:7
15:1
0.572
0.449
2
IE
Rasio klorofil a/b
2(T:P)
96:18
93:21
13:3
0.278
0.598
2
DRE
Keterangan: T = toleran; P = peka; O = observasi; E = ekspektasi; IE = isoepistasis; DRE = dominan & resesif epistasis
85
Nisbah fenotipik 15:1 berarti bahwa tingkat toleransi dikendalikan oleh dua gen yang bersifat dominan epistatik dengan tipe aksi gen isoepistasis (Crowder 1993) atau epistasis dominan ganda (Fehr 1987; Yusuf 2001). Menurut Crowder (1993), aksi gen isoepistasis terjadi apabila dua gen berperanan sama dan mengatur sifat yang sama. Keberadaan salah satu gen dominan dapat mengganti gen dominan lain untuk menampilkan sifat toleran. Hal yang sama juga dijelaskan Yusuf (2001), bahwa isoepistasis atau interaksi duplikasi terjadi akibat dua gen memproduksi bahan yang sama dan memproduksi fenotipe yang sama. Estimasi nisbah fenotipik 15 toleran : 1 peka pada populasi F2 hasil persilangan Ceneng (toleran) x Godek (peka) dapat dijelaskan sebagai berikut. Sifat toleransi dikendalikan oleh pasangan alel dominan-resesif yang terdapat pada dua gen yang berbeda lokus. Sifat toleran akan muncul apabila terdapat alel dominan di salah satu atau kedua lokus. Sebagai contoh, alel-alel pada kedua lokus adalah A, a, B, dan b. Semua tanaman yang bergenotipe A_ atau B_ akan menampilkan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah, sedangkan tanaman yang bergenotipe aabb menampakkan sifat peka. Dengan demikian pada populasi F2 terdapat nisbah 15 toleran : 1 peka. Nisbah fenotipik 13:3 atas dasar karakter rasio klorofil a/b mengindikasikan adanya dua gen yang bekerja secara dominan dan resesif epistasis, yaitu terjadi interaksi dua gen dimana satu gen dominan pada satu lokus dan homosigot resesif pada lokus yang lain maka akan bersifat epistasis, dengan kata lain apabila terdapat salah satu gen tersebut maka akan menyebabkan tanaman menjadi toleran. Yusuf (2001) juga menjelaskan bahwa penyimpangan nisbah Mendel menjadi 13:3 karena adanya interaksi modifikasi yaitu aksi salah satu gen pada suatu lokus menekan atau merubah hasil kerja gen pada lokus yang berbeda.
Pendugaan Nilai Heritabilitas Arti Luas
Diketahui ada dua macam pendugaan nilai heritabilitas, yaitu pendugaan nilai heritabilitas arti sempit (h2ns) dan arti luas (h2bs). Pendugaan nilai h2ns dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam aditif atau ragam lingkungan. Apabila nilai h2ns tinggi berarti pewarisan sifat banyak dipengaruhi oleh ragam aditif (ragam kuantitatif) (Poespodarsono 1988).
86
Dalam rangka perbaikan sifat adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, pendugaan nilai heritabilitas arti sempit menjadi lebih penting karena mencerminkan nilai tambah pada sifat yang dikendalikan gen aditif. Semakin tinggi nilai heritabilitas arti sempit, semakin besar pengaruh gen aditif yang berarti semakin besar pula nilai tambah pada perbaikan sifat yang diinginkan. Pada penelitian ini hanya pendugaan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) saja yang dapat dilakukan karena keterbatasan populasi dasar yang tersedia. Pendugaan nilai h2bs dimaksudkan untuk mengetahui pewarisan suatu sifat dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam lingkungan. Apabila nilai h2bs tinggi berarti pewarisan sifat lebih banyak dipengaruhi oleh ragam genetik atau ragam genetik total dan sedikit pengaruh ragam lingkungan (Fehr 1987; Roy 2000). Tabel 15 Nilai duga heritabilitas arti luas karakter-karakter yang terkait dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah Karakter Hasil per tanaman Luas daun Bobot daun spesifik Klorofil a Klorofil b Klorofil total Rasio klorofil a/b
Ragam (σ2) populasi P2 F1 P1 Ceneng Godek CxG 0.523 0.351 1.956 3.401 3.862 9.555 0.030 0.011 0.041 0.008 0.007 0.003 0.004 0.006 0.004 0.015 0.021 0.009 0.014 0.039 0.016
F2 CxG 2.235 13.104 0.047 0.026 0.029 0.101 0.068
h2 bs (%) 68 63 48 78 84 86 70
Nilai heritabilitas arti luas dari semua karakter hasil per tanaman dan morfofisiologi daun yang menjadi penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah tergolong tinggi kecuali bobot daun spesifik yang tergolong sedang (berdasarkan penggolongan nilai heritabilitas sesuai Halloran et al. 1979). Nilai h2bs untuk karakter hasil, luas daun, bobot daun spesifik, klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b berturut-turut adalah 68%, 63%, 48%, 78%, 84%, 86%, dan 70% (Tabel 15). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Handayani 2003; Muhuria 2007). Nilai duga heritabilitas arti luas yang tinggi pada karakter hasil, luas daun, kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa pewarisan karakter tersebut ditentukan oleh ragam
87
genetik yang besar dengan sedikit pengaruh ragam lingkungan. Dalam hal ini ragam genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan (σ2D), ragam aditif (σ2A), dan ragam epistasis (σ2I) (Fehr 1987; Nyquist 1991; Roy 2000). Agar nilai h2bs bermakna bagi program pemuliaan untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah maka harus dilengkapi dengan analisis tipe aksi gen yang mengendalikan sifat tersebut. Apabila h2bs tinggi dan aksi gen dominan atau epistasis maka ragam aditifnya menjadi kecil, kemajuan genetik akan sulit dicapai. Apabila nilai h2bs tinggi dan tipe aksi gen pengendali adalah aditif, maka karakter tersebut potensial untuk diperbaiki atau dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah karena karakter tersebut lebih respon terhadap seleksi. Pada karakter dengan heritabilitas arti luas tinggi dengan aksi gen aditif tidak memerlukan populasi yang besar, seleksi dapat dilakukan pada generasi awal, dapat menggunakan seleksi individu atau seleksi massa. Karakter dengan nilai heritabilitas sedang seperti bobot daun spesifik (48%), diperlukan seleksi dengan jumlah populasi seleksi yang lebih besar, dilakukan pada generasi lanjut, menggunakan seleksi pedigri, sib atau uji progeni (Roy 2000). Dalam usaha perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah, informasi aksi gen ini penting untuk melengkapi pengetahuan tentang nilai heritabilitas arti luas yang sudah ada. Aksi gen dominan parsial dan aditif pada karakter hasil per tanaman dan luas daun dengan nilai heritabilitas arti luas yang tinggi (68%) pada masing-masing karakter tersebut mengindikasikan bahwa ragam genetik yang menentukan pewarisan sifat lebih banyak ditentukan ragam aditif. Persilangan antara dua tetua dengan latar belakang genetik terhadap karakter berbeda maka penyatuan gen dari kedua tetua tersebut akan memberikan nilai tambah pada karakter tersebut sehingga dapat diharapkan kemajuan genetik yang tinggi (Poespodarsono 1988). Menurut Allard (1960) ragam aditif merupakan aksi gen yang responsif terhadap seleksi. Aksi gen aditif merupakan komponen penting sifat genetik yang dapat diamati dari populasi serta penentu respon populasi terhadap seleksi.
88
Selama ini perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah hanya menggunakan karakter hasil per tanaman saja. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa karakter luas daun memenuhi persyaratan sebagai karakter sekunder dan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Seleksi menggunakan kriteria seleksi luas daun dapat dilakukan pada generasi awal sehingga mempercepat kemajuan seleksi. Aksi gen isoepistasis pada karakter fisiologi daun seperti kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total, dan rasio klorofil a/b mengindikasikan bahwa ragam genetik total yang tinggi pada pewarisan karakter tersebut (nilai heritabilitas arti luas yang tinggi) lebih banyak ditentukan oleh ragam interaksi atau ragam epistasis. Pewarisan karakter dengan tindak gen epistasis seperti ini tidak banyak bermanfat bagi kegiatan pemuliaan karena tidak banyak menghasilkan kemajuan genetik dalam perbaikan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah.
KESIMPULAN 1. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah dicirikan dengan karakter hasil biji per tanaman yang terkait erat dengan karakter luas daun, bobot daun spesifik, dan kandungan klorofil. 2. Karakter hasil biji per tanaman dikendalikan sekurang-kurangnya 6 gen minor, aksi gen dominan parsial, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (68%). 3. Karakter luas daun dan bobot daun spesifik masing-masing dikendalikan sekurang-kurangnya 4 dan 5 gen minor, aksi gen aditif, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi dan sedang (63%, 48%). 4. Adaptasi berdasarkan karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total masingmasing dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen isoepistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (78%, 84%, 86%). 5. Adaptasi berdasarkan karakter rasio klorofil a/b dikendalikan 2 gen mayor, aksi gen dominan dan resesif epistasis, dan nilai heritabilitas arti luas (h2bs) tinggi (70%).
89