ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) (Kasus: Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: VANI PRAVITA YULIANI I34060738
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT VANI PRAVITA YULIANI. THE GENDER ANALYSIS IN PERFORMING OF PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH). Case: Subdistrict of Balumbang Jaya, District of West Bogor, Subprovince of Bogor, Province of West Java (Suppervised by NURAINI W. PRASODJO).
This research essentially to see and understand (1) performing of PKH; (2) relevance among desicion making type for allocation to lent fund program with benefit effectiveness program; (3) whatever factor that regard decision making type for allocation to lent fund program; and (4) relevance among associate role and availibility of health facility and education with benefit effectiveness program. The method of this research is using random sampling to decide the sample and use qualitative approach with in-depth interview and observation. Decision making type for allocation to lent fund program regard benefit effectiveness program. Education and state zoom works to constitute factor that regards decision making type for allocation to lent fund program. Associate role and availibility of health facility and eduacation regard benefit effectiveness program.
Keywords: gender, PKH, desicion making type, benefit effectiveness program, education and state zoom works, associate role, availibility of health facility and education.
ii
RINGKASAN VANI PRAVITA YULIANI. ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH). Kasus: Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO).
Studi ini bertujuan untuk mengkaji (1) pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya; (2) hubungan antara tipe pengambilan keputusan Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH; (3) faktor apa saja yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH; serta (4) hubungan antara peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui metode survey (Singarimbun, 1989) dengan populasi semua RTSM peserta PKH dan sampel diambil secara acak untuk setiap kategori peserta. Adapun dalam pendekatan kualitatif, digunakan teknik wawancara mendalam dan observasi. Data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer merupakan semua variabel bebas dan tidak bebas yang tercantum pada Bagan Kerangka Pemikiran serta berbagai informasi mengenai pelaksanaan PKH yang didapatkan dari responden dan informan. Sementara itu, data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi dokumentasi tentang gambaran umum kelurahan yang menjadi lokasi penelitian serta dokumentasi dari internet dan Dinas Sosial Kota Bogor. Penelitian dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, yaitu minggu ke-3 Februari hingga minggu ke-3 Maret 2010. Populasi pada penelitian ini adalah 93 RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya. Sementara itu, sampel penelitian berjumlah 29 RTSM.
iii
Data primer yang telah terkumpul diedit serta diolah ke dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Sementara itu, tahapan analisis data kualitatif berupa klasifikasi data dari catatan lapangan. Pelaksanaan PKH dapat ditinjau dari lima aspek. Aspek-aspek tersebut terdiri atas (1) kelembagaan PKH, (2) peran pendamping, (3) ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan, (4) ketersediaan fasilitas/pelayanan pendidikan, serta (5) Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM). Ada tiga pihak yang berperan dalam pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya, yaitu (1) Unit Pelaksana PKH (UPPKH) pusat (Departemen Sosial), (2) UPPKH kota (Dinas Sosial Kota Bogor), dan UPPKH kecamatan (PA dan BI selaku pendamping). Peran pendamping sendiri meliputi (1) kegiatan persiapan program, (2) tugas rutin, serta (3) kegiatan persiapan sebelum masa pencairan dana. Sementara itu, ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan mencakup jarak serta aksesibilitas kedua pelayanan tersebut. Adapun SPM PKH, berpusat di Dinas Sosial Kota Bogor. Dalam penelitian ini, ternyata efektivitas manfaat PKH di Kelurahan Balumbang Jaya cenderung “tinggi”. Studi ini menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan yang ”setara”, efektivitas manfaat PKH menjadi cenderung ”tinggi”. Sementara itu, pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan “didominasi oleh salah satu pihak”, efektivitas manfaat PKH cenderung ”rendah”. Pada penelitian ini, “dominasi oleh salah satu pihak” mengarah kepada “dominasi isteri” dalam setiap keputusan terkait penggunaan dana bantuan PKH. Tujuan ke-3 penelitian ini adalah mengkaji faktor apa saja yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Rasio tingkat pendidikan dan kontribusi ekonomi dalam rumah tangga (yang dilihat dari status bekerja) merupakan dua variabel yang diduga mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM tersebut. Studi “Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini menunjukkan bahwa rasio tingkat pendidikan RTSM mempengaruhi tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH. Pada rumah tangga dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi”, cenderung ada “kesetaraan” dalam kontrol RTSM responden terhadap
iv
penggunaan dana PKH. Namun, pada RTSM yang memiliki tipe rasio tingkat pendidikan “suami dan isteri sama-sama rendah”, cenderung ada “dominasi oleh isteri” dalam kontrol RTSM terhadap alokasi dana PKH. Dalam hal ini, di lokasi penelitian tidak ditemukan RTSM responden yang memiliki rasio tingkat pendidikan sama-sama tinggi antara suami dan isteri. Berkenaan dengan variabel status bekerja, kontribusi ekonomi dalam rumah tangga mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pada RTSM dengan tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, cenderung terjadi ”kesetaraan” untuk pengambilan keputusan RTSM terkait alokasi dana PKH. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe “salah satu pihak berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH cenderung ”didominasi oleh isteri”. Selain faktor tipe pengambilan keputusan RTSM, efektivitas manfaat PKH juga dipengaruhi oleh tiga hal lain, yaitu peran pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan di Kelurahan Balumbang Jaya. PA dan BI sebagai pendamping PKH di Kelurahan Balumbang Jaya telah melaksanakan peran dengan baik. Jarak dan kondisi fasilitas kesehatan serta pendidikan pun telah mampu memenuhi kebutuhan RTSM responden peserta PKH. Dalam penelitian ini, penulis memberikan dua rekomendasi utama. Pertama untuk jangka pendek (terkait dengan pelaksanaan PKH), pemerintah seharusnya memetakan calon RTSM peserta PKH. Dana bantuan PKH sebaiknya diberikan kepada RTSM yang pengambilan keputusannya dalam rumah tangga “setara”. “Kesetaraan” ini menentukan pemilihan prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi. Adapun rekomendasi kedua (untuk jangka panjang), pemerintah tetap harus melakukan penyadaran kesetaraan gender kepada RTSM. “Kesetaraan” pada pembuatan keputusan ini diperlukan agar suami−isteri dapat bermitra dalam setiap program pembangunan.
v
ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) (Kasus: Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: VANI PRAVITA YULIANI I34060738
Skripsi Sebagai Bahan Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Vani Pravita Yuliani
NRP
: I34060738
Program Studi
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Analisis Gender dalam Program Keluarga Harapan (PKH) (Kasus: Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS NIP: 19630531 199103 2 002 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adi Wibowo, MS NIP: 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus: __________________________________ vii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) (KASUS: KELURAHAN BALUMBANG JAYA, KECAMATAN BOGOR BARAT, KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBANAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juni 2010
Vani Pravita Yuliani I34060738
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu pada 30 Juli 1988 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Dhoni Sukardono dan Silvana Siregar. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 24 Jakarta Timur pada tahun 2000. Setelah itu, penulis menempuh pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 216 Jakarta Pusat dan lulus tahun 2003. Pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 68 Jakarta Pusat dan lulus pada tahun 2006. Setelah tamat SMU, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengambil Major Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Adapun Minor yang penulis pilih adalah Ilmu Konsumen.
ix
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan dan rakhmat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul ”Analisis Gender dalam Program Keluarga Harapan (PKH) (Kasus: Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)”. Tujuan Skripsi ini adalah mengkaji (1) pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya; (2) hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH; (3) faktor apa saja yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH; serta (4) hubungan antara peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH. Terdapat sejumlah pihak yang berperan dalam penulisan Skripsi ini. Oleh karena itu, perkenankan penulis untuk berterima kasih kepada: 1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing Skripsi, yang telah begitu sabar dalam memberikan bimbingan dan nasihat. 2. Dra. Winati Wigna, MDS yang telah bersedia untuk menjadi penguji utama dan memberikan banyak masukan bagi penyempurnaan Skripsi ini. 3. Martua Sihaloho, SP., MSi. selaku dosen penguji dari Departemen Sains KPM, yang telah memberikan masukan untuk Skripsi ini. 4. Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku dosen pembimbing Studi Pustaka. 5. Dr. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen pembimbing akademik atas kesabaran dan bimbingannya. 6. Papa Dhoni Sukardono, Mama Silvana Siregar, serta adik-adik (Sari, Rizky, dan Faisal) atas doa dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi tepat waktu. 7. Dr. Sonny Suwarsono atas doa, dukungan, dan bantuan selama penulis mengalami masa-masa sulit. 8. Yanuar Hotmatua Simamora, S. Si., atas kasih sayang, kesabaran, bantuan, dukungan, dan nasihat selama ini. 9. Dinas Sosial Kota Bogor dan Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kecamatan Bogor Barat.
x
10. Seluruh responden dan informan penelitian di Kelurahan Balumbang Jaya. 11. Ibu Zulfa Ariany, Ibu Arta, dan Mbak Dina dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Mbak Ayu dari Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) atas bantuan dalam memberikan informasi berkenaan dengan kependudukan dan gender. 12. Teman-teman sesama mahasiswa akselerasi KPM 43: Sita, Vio, Nadra, Ayu, Ega, Arif, Mian, Indra, Noval, Riri, Yuni, Annisa, Aji, Lingga, Adha, Ika, dan Nadia atas dukungan dan semangat selama menyelesaikan Studi Pustaka dan Skripsi. 13. Teman-teman KPM 43 yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan mendengarkan keluh kesah penulis: Asri, Aliyatur, Dewi, Maulani, Yuli, Ratna Fadillah, Nirmala, Nova, Dya, teman-teman kontrakan, Selly, Rizman, dan semua KPM 43. 14. Kakak-kakak KPM 42: Tubagus, Gilang, Ika Puspita, Furqon, Liza, dan Novi atas dukungan serta pengalaman yang diberikan kepada penulis dalam menyusun Studi Pustaka dan Skripsi. 15. Sahabat-sahabat di Kos Regina: Kak Vivin, Citra, dan Deka. 16. Civitas akademis Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan pengajaran yang terbaik, juga kepada seluruh staf penunjang (khususnya Mbak Maria dan Mbak Ica) yang telah membantu segala administrasi selama perkuliahan. 17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari kekurangan yang ada pada Skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat guna perbaikan mutu Karya Ilmiah ini.
Bogor, Februari 2010
Penulis
xi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................. xii DAFTAR TABEL..................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR................................................................................. xvi
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah............................................................................. 6 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 7 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................ 8
BAB II. PENDEKATAN TEORITIS...................................................... 9 2.1
Program Keluarga Harapan (PKH).................................................... 9 2.1.1
Kelembagaan PKH................................................................ 9
2.1.2
Komponen Pendamping........................................................ 11
2.1.3
Komponen Pelayanan Kesehatan.......................................... 15
2.1.4
Komponen Pelayanan Pendidikan........................................ 17
2.1.5
Komponen Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM)............... 17
2.2 Gender dan Pembangunan.................................................................. 20 2.2.1 Konsep Gender....................................................................... 20 2.2.2 Perspektif-Perspektif Feminisme............................................ 22 2.2.3 Ragam Kebijakan Pembangunan Gender............................... 24 2.3 Kaitan antara Perspektif Feminisme dan Kebijakan Pembangunan Gender dengan PKH........................................................................... 26 2.4 Teori Pengambilan Keputusan............................................................ 27 2.5 Hasil Penelitian yang Berorientasi Gender......................................... 28 2.6 Kerangka Pemikiran............................................................................ 33 2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional Variabel........................... 35
xii
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN.............................................. 39 3.1 Metode Penelitian.............................................................................. 39 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................. 41 3.3 Pemilihan Subjek Penelitian.............................................................. 42 3.4 Metode Analisis Data........................................................................ 43
BAB IV. GAMBARAN UMUM KELURAHAN BALUMBANG JAYA........................................................................................
44
4.1 Keadaan Umum Kelurahan Balumbang Jaya................................... 44 4.1.1
Kondisi Geografis............................................................... 44
4.1.2
Sumberdaya Alam (SDA)................................................... 45
4.1.3
Kondisi Demografi.............................................................. 46
4.2 Karakteristik RTSM Responden....................................................... 49 4.2.1
Status Bekerja (Aspek Ekonomi) Suami−Isteri................... 49
4.2.2
Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri............................... 54
4.2.3
Kriteria RTSM Penerima PKH............................................ 55
BAB V. PELAKSANAAN PKH DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA............................................................................................ 57 5.1 Kelembagaan PKH............................................................................. 57 5.2 Peran Pendamping.............................................................................. 59 5.3 Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan...................................... 63 5.4 Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Pendidikan..................................... 63 5.5 Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM)................................................ 64
BAB VI. ANALISIS EFEKTIVITAS MANFAAT PKH....................... 66 6.1 Efektivitas Manfaat PKH.................................................................... 66 6.1.1 Definisi dan Ukuran Efektivitas Manfaat PKH dalam Penelitian................................................................................. 66 6.1.2 Efektivitas Manfaat PKH RTSM Responden di Kelurahan Balumbang Jaya...................................................................... 69
xiii
6.2 Analisis Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH..................................................................................................... 69 6.2.1 Definisi dan Tipe Pengambilan Keputusan Rumah Tangga.... 70 6.2.2 Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH dengan Efektivitas Manfaat PKH.. 71 6.3 Analisis Faktor Pengaruh pada Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH................................................. 77 6.3.1 Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri.................................. 77 6.3.2 Status Bekerja Suami−Isteri.................................................... 82 6.4 Analisis Kualitatif Terhadap Efektivitas Manfaat PKH RTSM Responden di Kelurahan Balumbang Jaya......................................... 89 6.4.1 Peran Pendamping.................................................................. 89 6.4.2 Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan............................................................................. 98
BAB VII. PENUTUP............................................................................. 102 7.1 Kesimpulan...................................................................................... 102 7.2 Saran................................................................................................ 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009............................................................................. 46 Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Menurut Kelompok Umur Tahun 2009................................................ 46 Tabel 3. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009..................................................................... 47 Tabel 4. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009..................................................................... 49 Tabel 5. Jumlah RTSM Responden Menurut Status Bekerja Suami− Isteri........................................................................................ 50 Tabel 6. Jumlah RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri......................................................... 55 Tabel 7. Distribusi RTSM Responden Menurut Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH” dan Efektivitas Manfaat PKH………………………………………………………… 76 Tabel 8. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH”………………………………………
81
Tabel 9. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Status Bekerja Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH”………………………………………………… 86
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1. Struktur Organisasi Kelembagaan PKH......................... 10 Gambar 2. Matriks Perbedaan antara WID dengan GAD................ 26 Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian....................................... 38 Gambar 4. Matriks Jenis Data, Sumber Data, dan Instrumen yang Digunakan....................................................................... 40
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk
terbesar di dunia. Jumlah penduduk Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Sensus penduduk mencatat jumlah penduduk Indonesia berturut-turut sejak tahun 2000, 2005, 2008, sampai 2009, yaitu 205,8 juta jiwa, 213,3 juta jiwa, 228,5 juta jiwa, hingga 231,3 juta jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS, 2000, 2005, 2008, dan 2009). Layaknya negara berkembang, Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan (Gustina, 2008). Kemiskinan memang merupakan fenomena yang dihadapi oleh hampir semua negara berkembang terutama yang memiliki penduduk dalam jumlah besar. Mengacu kepada strategi nasional penanggulangan kemiskinan, kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang (baik laki-laki maupun perempuan) tidak terpenuhi hak-hak dasarnya dalam mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN, 2004– 2009). Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, serta kondisi lingkungan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 36,14 juta jiwa dengan distribusi menurut jenis kelamin kepala rumah tangga yang dikepalai oleh lakilaki (RMKL) sebesar 91,62 persen dan sebesar 8,38 persen yang dikepalai oleh perempuan (RMKP) (BPS, 2004). Pada tahun 2007, data RMKL dan RMKP berubah menjadi RMKL sebesar 90,59 persen dan RMKP 9,41 persen (BPS, 2007). Data Kependudukan Tahun 2004 dan 2007 ini memperlihatkan naiknya jumlah RMKP miskin. Untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sebenarnya ada beberapa program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, seperti pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, serta gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
2
(Gustina, 2008). Saat ini, pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS, masyarakat sasaran diharapkan dapat terlibat pada berbagai kegiatan. Ternyata, berbagai program intervensi tersebut cenderung tidak efektif (berhasil) dalam menanggulangi kemiskinan.
Hal ini karena,
program
dilaksanakan tanpa koordinasi yang baik dan mengesampingkan peran penting Pemerintah Daerah (Pemda). Padahal, daerah merupakan terminal titik koordinasi bertemunya aspirasi dari bawah (masyarakat) dan kebijakan dari atas (pemerintah pusat). Selain itu, masyarakat cenderung ditempatkan sebagai objek program dan hanya kaum laki-laki yang hampir selalu dilibatkan atau dijadikan sebagai sasaran (peserta) utama (Gustina, 2008). Pada dasarnya, pembangunan ditujukan untuk kesejahteraan seluruh penduduk tanpa membedakan suku, agama, asal, dan jenis kelamin (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Menneg PP dan BPS, 2007). Disinyalir bahwa pembangunan yang dilaksanakan masih bermuatan diskriminasi antara laki-laki dengan perempuan. Pembangunan yang dilakukan di segala bidang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Dengan kata lain, terdapat ketimpangan gender dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah Indonesia memang mengakui adanya ketimpangan gender yang ditunjukkan oleh masih relatif rendahnya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Mugniesyah, 2009)1. Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lama hidup, pengetahuan, dan standar hidup yang layak (BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan United Nations Development Programme/UNDP, 2001). Dimensi tersebut diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan, serta pendapatan per kapita yang telah disesuaikan menjadi kemampuan daya beli.
1 “Panduan Turun Lapang Mata Kuliah Pendidikan Orang Dewasa (POD)” (Bogor, 2009). Bahan Ajar Mata Kuliah POD, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
3
Pembangunan
manusia
di
Indonesia
selama
periode
1999–2006
menunjukkan peningkatan (Menneg PP dan BPS, 2007). Pada tahun 1999, angka IPM sebesar 64,3 dan meningkat menjadi 70,1 di tahun 2006. Kenaikan ini merupakan dampak semakin baiknya kinerja perekonomian Indonesia selama tujuh tahun terakhir. Menurut UNDP dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) Tahun 2006, IPM Indonesia menempati urutan ke108 dari 177 negara. Urutan ini masih lebih baik daripada lima negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (109), Kamboja (129), Myanmar (130), Laos (133), dan Timor Timur (142). Tidak hanya IPM yang meningkat, tapi juga IPG Indonesia selama kurun waktu 1999–2006. Indeks ini merupakan IPM yang disesuaikan untuk menggambarkan ketimpangan gender. Makin besar ketimpangan maka semakin rendah IPG suatu negara terhadap IPM-nya. Di tahun 1999, IPG mencapai 55,9 dan meningkat menjadi 65,7 pada tahun 2006 (Menneg PP dan BPS, 2007). Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan IPM dalam jangka waktu yang sama. Sebenarnya, pemerintah mendukung penyetaraan dan persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Pancasila, UndangUndang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU), dan peraturan tentang hak azasi manusia (HAM), yang dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) (Mugniesyah dan Fadhilah, 2001). Selain itu, dalam perjalanan pembangunan Indonesia, sumberdaya manusia (SDM) dinyatakan sebagai sumberdaya insani pembangunan yang partisipasinya sangat diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan nasional. Sejarah mencatat bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan dinyatakan ”netral”. Jika menyangkut SDM (baik dalam konteks individu, keluarga, rumah tangga, masyarakat, maupun negara), secara implisit mencakup laki-laki dan perempuan. Kebijakan pembangunan yang netral justru menimbulkan ketidakadilan gender yang menghambat terwujudnya peningkatan kualitas SDM. Berdasarkan kondisi ini, pemerintah kemudian berkomiten untuk memperbaiki kualitas SDM, yang dimulai dengan menegaskan besarnya peran keluarga sebagai tempat utama membangun SDM yang kokoh (Gunarsa dalam
4
Fitasari, 2004). Untuk membuktikan komitmen tersebut, pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia bersama dengan 188 negara menandatangani Millenium Development Goals (MDGs) dimana beberapa butir pentingnya adalah kesetaraan serta
pemberdayaan
perempuan,
menghilangkan
kesenjangan
gender,
meningkatkan kesehatan ibu, dan menurunkan angka kematian bayi (Menneg PP dan BPS, 2007). Indonesia sendiri, untuk daerah perkotaan, jumlah penduduk laki-laki yang mengeluh sakit pada tahun 2004, 2005, dan 2006 sebesar 48,98 persen, 49,16 persen, serta 49,15 persen (Menneg PP, 2007). Sementara itu, penduduk perempuan yang mengeluh sakit pada ketiga tahun tersebut adalah 51,02 persen, 50,84 persen, dan 50,82 persen. Adapun di daerah perdesaan, jumlah penduduk laki-laki yang mengeluh sakit di tahun 2004–2006 sebesar 48,92 persen, 49,24 persen, dan 49,12 persen, sedangkan perempuan sebanyak 51,08 persen, 50,76 persen, serta 50,88 persen. Fakta ini memperlihatkan tingkat kesehatan perempuan di perkotaan dan perdesaan dalam periode 2004–2006 lebih rendah daripada lakilaki. Di samping itu, dalam rentang tahun 2000–2005, jumlah balita yang berstatus gizi kurang dan buruk meningkat dari masing-masing 7,53 persen menjadi 8,80 persen serta 17,13 persen menjadi 19,24 persen. Dalam bidang pendidikan, jumlah penduduk laki-laki yang tidak/belum pernah sekolah pada periode 2004–2006 sebesar 4,90 persen, 5,00 persen, dan 4,80 persen; masih sekolah sebanyak 20,10 persen, 19,60 persen, dan 19,70 persen; serta tidak sekolah lagi sebesar 75,00 persen, 75,50 persen, dan 75,50 persen. Adapun jumlah penduduk perempuan yang tidak/belum pernah sekolah dalam periode yang sama sebesar 10,90 persen, 10,70 persen, dan 10,00 persen; masih sekolah sebesar 18,40 persen, 18,10 persen, serta 18,30 persen; dan tidak sekolah lagi sebanyak 70,70 persen, 71,20 persen, serta 72,10 persen. Data-data ini menunjukkan tingginya jumlah perempuan yang tidak/belum pernah sekolah dan rendahnya jumlah perempuan yang masih sekolah dibandingkan dengan lakilaki. Untuk mendukung pencapaian MDGs, pemerintah membuat beberapa kebijakan nasional, salah satunya adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun
2000
tentang
Pengarusutamaan
Gender
(PUG).
Instruksi
ini
5
mengamanatkan pengintegrasian potensi, masalah, serta kebutuhan laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program pembangunan (Bappenas dan Menneg PP, 2007). Salah satu program yang diakui oleh
pemerintah
sebagai
program
pendukung
pencapaian
MDGs
dan
memperhatikan masalah kesetaraan gender adalah Program Keluarga Harapan (PKH) (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Program ini dicanangkan pada 23 Juli 2007 dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan tertentu. Tujuan utama PKH adalah mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM terutama pada kelompok masyarakat sangat miskin. Untuk saat ini, komponen PKH difokuskan pada sektor kesehatan dan pendidikan, karena keduanya dianggap sebagai inti peningkatan kualitas hidup masyarakat (Buku Kerja Pendamping PKH, 2008). Sejauh ini, pelaksanaan PKH pada berbagai daerah di Indonesia belum diketahui tingkat keberhasilannya2. Namun, salah satu wilayah yang sejauh ini dianggap ”berhasil” adalah Jakarta Utara (Kecamatan Cilincing, Tanjung Priuk, Pademangan, Koja, Penjaringan, dan Kelapa Gading) di mana terjadi pengurangan jumlah RTSM penerima PKH. Pada tahun 2008, dana bantuan diberikan kepada 7.247 RTSM, sedangkan di tahun 2009 hanya diberikan kepada 7.027 RTSM. Walau penurunan jumlah tidak terjadi secara signifikan, hal tersebut membuktikan program ini bisa membantu warga sangat miskin. Dengan kata lain, terdapat 3,04% RTSM yang telah berhasil mengatasi masalah kesehatan (ibu, bayi, dan balita) serta pendidikan (anak usia SD dan SMP). Keberhasilan ini juga didukung oleh peran para pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan terdekat di wilayah tersebut. Daerah perkotaan lainnya yang juga menjadi tempat pelaksanaan PKH adalah Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat). Di kota ini, angka harapan hidup penduduk dalam periode 2005–2007 menunjukkan peningkatan yang tidak besar, 2 Akmal Towel, “Penerima Bantuan PKH Menurun”, repository.usu.ac.id/bitstream, 2009, diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21.00.
6
yakni dari 68 tahun menjadi 69 tahun (Menneg PP dan BPS, 2007). Angka melek huruf juga memperlihatkan sedikit kenaikan, yaitu dari 98,60 persen pada tahun 2005 menjadi 98,70 persen di tahun 2006 serta bertahan pada posisi 98,70 persen di tahun 2007. Adapun rata-rata lama sekolah memperlihatkan angka yang tetap dalam rentang waktu 2005–2007, yakni 10 tahun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa PKH merupakan salah satu program yang diakui oleh pemerintah sebagai program pendukung pencapaian MDGs dan memperhatikan masalah kesetaraan gender, penelitian ”Analisis Gender dalam PKH” menarik untuk dilakukan. Hal ini guna mengetahui (1) bagaimana relasi gender dalam alokasi dana bantuan di tingkat rumah tangga dan dikaitkan dengan efektivitas manfaat PKH; (2) faktor apa saja yang mempengaruhi relasi gender, serta (3) bagaimana hubungan antara peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan efektivitas tersebut.
1.2
Perumusan Masalah Secara umum, program pemerintah yang berkaitan dengan rumah tangga
bertujuan untuk membebaskan suatu rumah tangga dari belenggu kemiskinan. Pemerintah memberikan bantuan, misalnya uang, namun sumberdaya ini diberikan menurut prosedur yang berlaku. Jika peserta program tidak mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan baik, bantuan akan diberhentikan. Secara khusus, PKH dimaksudkan untuk membangun suatu sistem perlindungan sosial bagi RTSM. Karena, setidaknya ada lima komponen MDGs yang akan terbantu oleh PKH, yakni (1) pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, (2) pendidikan dasar, (3) kesetaraan gender, (4) pengurangan angka kematian bayi dan balita, serta (5) pengurangan kematian ibu melahirkan (Departemen Komunikasi dan Informatika/Depkominfo, 2007)3. Sementara itu, sesuai dengan Inpres No. 9 Tahun 2000, setiap program pembangunan memang harus mengintegrasikan aspirasi, permasalahan, kebutuhan, dan pengetahuan
3
19.30.
“Program Keluarga Harapan (PKH)”, www.depkominfo.go.id, 2007, diakses pada 2 Juli 2009 pukul
7
perempuan serta laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program4. Berdasarkan faktor MDGs dan Inpres No. 9 tersebut, penulis berasumsi bahwa relasi gender dapat mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Relasi gender yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan diantara suami−isteri dalam RTSM peserta PKH. Adapun efektivitas manfaat menunjukkan tingkat keberhasilan program, yang dilihat dari alokasi (penggunaan/pengeluaran) dana bantuan di tingkat rumah tangga. Adapun faktor yang sering diasumsikan berpengaruh terhadap relasi gender adalah tingkat pendidikan dan status bekerja suami−isteri. Selain itu, peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan juga diduga berpengaruh terhadap efektivitas manfaat PKH. Secara
ringkas,
masalah-masalah
tersebut
disusun
dalam
urutan
pertanyaan penelitian (questions research) sebagai berikut: 1. Bagaimana PKH dilaksanakan? 2. Bagaimana hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH? 3. Apa saja faktor yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH? 4. Bagaimana
hubungan
antara
peran
pendamping
serta
ketersediaan
fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH?
1.3
Tujuan Penelitian Beberapa sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini, diantaranya
mengetahui: 1. Pelaksanaan PKH. 2. Hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH.
4 Siti Amanah, “Pengarusutamaan Gender (PUG)” (Bogor, 2008), hal. 1. Bahan Ajar Mata Kuliah Gender dan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
8
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. 4. Hubungan antara peran pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan dengan efektivitas manfaat PKH.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti (khususnya) dan
masyarakat (umumnya) untuk menambah wawasan tentang analisis gender dalam program pemerintah terutama pada PKH. Peneliti juga mengharapkan hasil penelitian ini bisa menyumbangkan pengetahuan baru di bidang akademis yang memiliki kaitan dengan gender dan pembangunan.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Program Keluarga Harapan (PKH) Ada lima aspek PKH yang perlu diketahui guna mendapatkan pemahaman
yang utuh mengenai program ini (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Aspek-aspek tersebut adalah (1) kelembagaan PKH, (2) komponen pendamping, (3) komponen pelayanan kesehatan, (4) komponen pelayanan pendidikan, dan (5) Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM).
2.1.1 Kelembagaan PKH Program ini bukan kelanjutan Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang merupakan salah satu crash programme untuk mengatasi dampak kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). ”Keluarga Harapan” merupakan program yang bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran RTSM (jangka pendek) serta memutus rantai kemiskinan antargenerasi melalui pendidikan anak, imunisasi bayi lima tahun (balita), pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil, dan perbaikan gizi (jangka panjang). Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh RTSM saat melakukan registrasi. Syarat-syarat tersebut, yaitu (1) memiliki anak usia sekolah 6–18 tahun, tapi belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun; (2) memiliki anak usia 0–5 tahun; serta (3) terdapat ibu yang sedang hamil/nifas. Dengan kata lain, RTSM yang terpilih harus menandatangani persetujuan bahwa akan (1) menyekolahkan anak usia 6–18 tahun, tapi belum menyelesaikan wajib belajar 9 tahun; (2) membawa anak usia 0–5 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH; dan (3) ibu hamil harus memeriksakan kesehatan diri serta janin ke fasilitas kesehatan. Adapun bantuan tetap per RTSM/tahun adalah 200 ribu rupiah. Program Keluarga Harapan (PKH) dilaksanakan oleh Unit Pelaksana PKH (UPPKH) pusat, kabupaten/kota, dan pendamping PKH. Peran yang dijalankan oleh setiap pelaksana adalah:
10
1. UPPKH pusat: merancang serta mengelola persiapan dan pelaksanaan program, melakukan pengawasan terhadap perkembangan di tingkat daerah, dan menyediakan bantuan yang dibutuhkan. 2. UPPKH kabupaten/kota: melaksanakan program dan memastikan alur informasi yang diterima dari kecamatan ke pusat dapat berjalan dengan baik. Unit ini juga mengelola serta mengawasi kinerja pendamping. 3. Pendamping: aktor kunci yang menjembatani antara para penerima manfaat (peserta PKH) dengan berbagai pihak yang terlibat di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Pendamping juga melakukan sosialisasi serta pengawasan terhadap peserta dalam menjalankan komitmen.
Departemen Sosial (Depsos)
Tim Pengendali PKH
UPPKH Pusat
Tim Pengarah Pusat
PT Pos
Tim Teknis Pusat
Pusat
Tim Koordinasi Teknis Provinsi Dinas Sosial
Tim Koordinasi Teknis Kabupaten/Kota
Provinsi
Kab./Kota Kantor Pos Kabupaten/Kota
UPPKH Kabupaten/Kota Kecamatan Pendamping PKH
Keterangan:
Kantor/Petugas Pos
garis koordinasi ---------- garis komando
Gambar 1. Struktur Organisasi.
Unit Pelaksana PKH (UPPKH) pusat adalah pelaksana program yang berada di bawah kendali Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial. Unit ini bertugas untuk merancang serta mengelola persiapan dan pelaksanaan program, mengawasi perkembangan di tingkat daerah, dan
11
menyediakan bantuan yang dibutuhkan. Adapun orang-orang yang bekerja di UPPKH pusat terdiri atas pegawai Departemen Sosial, tim asistensi, tenaga ahli, praktisi/narasumber yang ahli di bidangnya, serta tenaga pendukung (operator komputer dan technical support). Unit Pelaksana PKH (UPPKH) daerah merupakan pelaksana program yang memantau semua kegiatan PKH di tingkat provinsi serta memastikan apakah komitmen daerah yang terkait dengan PKH telah dilaksanakan. Tim koordinasi PKH di tingkat daerah mencakup tim koordinasi provinsi dan kabupaten/kota. Unit Pelaksana PKH (UPPKH) kabupaten/kota sebagai pelaksana program bertugas untuk mempersiapkan dan memenuhi tanggung jawab kabupaten/kota dalam melaksanakan PKH serta mengelola dan mengawasi kinerja pendamping. Unit ini merupakan kunci kesuksesan pelaksanaan PKH dan saluran informasi terpenting antara UPPKH kecamatan dengan pusat serta tim koordinasi provinsi dengan kabupaten/kota. Unit Pelaksana PKH (UPPKH) kecamatan dibentuk di setiap kecamatan yang terdapat peserta PKH. Unit Pelaksana ini dikenal sebagai ujung tombak program, karena berhubungan langsung dengan peserta PKH, yakni melakukan kunjungan ke RTSM. Personel UPPKH kecamatan terdiri atas para pendamping program yang berkoordinasi dengan camat dan bertanggungjawab kepada UPPKH kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan PKH, terdapat tim koordinasi yang membantu kelancaran program di tingkat provinsi. Selain itu, ada pula PT Pos yang bertugas untuk menyampaikan informasi berupa undangan pertemuan, perubahan data, pengaduan, dan sebagainya, serta bantuan ke tangan peserta PKH. Untuk lembaga di luar struktur yang berperan penting dalam pelaksanaan PKH, terdapat fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan di setiap kecamatan di mana PKH dilaksanakan.
2.1.2 Komponen Pendamping Pendamping adalah pelaksana PKH di tingkat kecamatan. Peran pendamping dibutuhkan guna membantu masyarakat miskin untuk mendapatkan hak serta mendampingi dalam melaksanakan kewajiban sebagai peserta PKH. Hal
12
ini karena, sebagian besar orang miskin tidak memiliki kekuatan dalam memperjuangkan hak. Selain itu, UPPKH kabupaten/kota tidak mampu melakukan tugas di seluruh tingkat kecamatan pada waktu bersamaan. Kondisi ini mengakibatkan pendamping mendapatkan julukan ”mata dan telinga bagi program”. Pendamping (secara kelembagaan) nantinya harus melaporkan seluruh kegiatan dan permasalahan ke UPPKH kabupaten/kota. Jumlah pendamping disesuaikan dengan banyaknya peserta PKH di setiap kecamatan. Masing-masing pendamping mendampingi ±375 RTSM peserta PKH dimana setiap 3–4 pendamping dikelola oleh satu koordinator. Lokasi tempat kerja (kantor) pendamping terletak di UPPKH kecamatan yang berada di kantor camat atau kantor yang dekat dengan PT Pos. Pada dasarnya, pendamping menghabiskan sebagian besar waktu di lapangan, yakni mengadakan pertemuan dengan ketua kelompok, berdiskusi dengan pelayan kesehatan dan pendidikan, mengunjungi pemuka daerah, serta bertemu dengan peserta PKH. Ada beberapa tugas persiapan program yang harus dilakukan oleh pendamping. Tugas-tugas tersebut, antara lain: 1. Menyelenggarakan
pertemuan
awal
dengan
seluruh
peserta
PKH;
menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum. 2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas 20−25 orang untuk mempermudah tugas pendampingan. 3. Memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH. 4. Membantu
peserta
dalam
mengisi
Formulir
Klarifikasi
Data
dan
menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota. 5. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah. Pendamping tidak hanya bertanggungjawab dalam fase persiapan, tapi juga memiliki beberapa tugas rutin. Tugas-tugas itu, yakni: 1. Menerima pemutakhiran data peserta PKH dan mengirimkan Formulir Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota.
13
2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota. 3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen. 4. Melaksanakan pertemuan dengan semua peserta setiap enam bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya. 5. Berkoordinasi dengan aparat setempat serta pemberi pelayanan pendidikan dan kesehatan. 6. Melakukan pertemuan bulanan dengan ketua kelompok serta pelayan kesehatan dan pendidikan di lokasi pelayanan terkait. 7. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan). Tahapan pertama yang dilakukan pendamping, yaitu mengadakan pertemuan terbuka dengan calon peserta PKH. Dalam pertemuan itu, dilakukan kegiatan sosialisasi mengenai manfaat program dan bagaimana berpartisipasi dalam program. Selanjutnya, dibentuk kelompok yang terdiri atas ±25 orang. Kelompok ini kemudian memilih ketua sebagai koordinator dan menetapkan jadwal pertemuan rutin untuk berdiskusi bersama dalam menjalankan program. Pada pertemuan awal ini, juga dilakukan pemeriksaan formulir yang digunakan sebagai alat verifikasi keikutsertaan, antara lain pemeriksaan akta lahir anak (dan membantu pengadaannya, jika belum tersedia), penyusunan jadwal kunjungan, dan sebagainya. Pasca pertemuan awal, pendamping UPPKH kecamatan melakukan pelaporan ke UPPKH kabupaten/kota. Pendamping UPPKH kecamatan nantinya memfasilitasi pertemuan awal peserta PKH ke Puskesmas setempat dan mendaftarkan anak dari peserta PKH yang belum bersekolah. Pada saat pencairan dana, pendamping UPPKH kecamatan memiliki tugas utama, yakni melakukan pengawasan dan pengamatan. Persiapan yang harus dilakukan pendamping sebelum pencairan tersebut, yaitu: a. Memberikan/membagikan kartu peserta kepada ketua kelompok PKH, yang kemudian dibagikan kepada seluruh anggota kelompok PKH. Selain itu, diingatkan kepada peserta bahwa kartu wajib dibawa dan tidak boleh hilang ketika pengambilan dana berlangsung.
14
b. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH. c. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok PKH dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh orang yang tepat. Saat berlangsungnya pencairan dana, mungkin banyak kendala yang terjadi. Oleh karena itu, pendamping berhak untuk membatalkan transaksi, berkoordinasi dengan kantor pos setempat, dan melaporkan kepada UPPKH daerah/pusat untuk ditindaklanjuti. Pada dasarnya, kegiatan pendampingan merupakan tugas utama setiap pendamping UPPKH kecamatan. Pendampingan dilakukan guna memperlancar jalannya program dan memastikan peserta PKH melaksanakan kewajiban. Kegiatan-kegiatan pendampingan berupa: a. Pertemuan
bulanan
dengan
ketua
kelompok
yang
bertujuan
untuk
mensosialisasikan informasi PKH, memonitoring kondisi kelompok, dan mendeteksi masalah yang ada agar dapat diselesaikan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat, serta sebagai forum diskusi interaktif dimana ketua kelompok dapat menyampaikan ide terkait PKH. b. Kunjungan bulanan ke penyedia layanan kesehatan dan pendidikan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh UPPKH daerah, yang bertempat di sekolah atau Puskesmas. c. “Temu Komunitas” merupakan media berbagi pengetahuan antarpelaksana program, yang dikemas dalam bentuk presentasi dan diskusi yang menghasilkan keluaran pengetahuan baru dan inovasi untuk mengembangkan program agar lebih efektif dan efesien. d. Pendampingan rutin yang dilakukan pada hari Senin sampai Kamis, yaitu kunjungan ke unit pelayanan kesehatan dan pendidikan serta mengunjungi peserta PKH untuk membantu menyelesaikan tugas atau kewajiban sebagai peserta (membantu mencarikan dan mendaftarkan agar bisa bersekolah, memfasilitasi pengaduan peserta). e. Melakukan konsolidasi di kalangan pendamping untuk mengevaluasi kegiatan pendampingan dan berdiskusi agar dapat meningkatkan kapasitas diri.
15
Pendamping (dalam praktiknya) disupervisi oleh UPPKH daerah sehingga penilaian kinerjanya dipantau berdasarkan format yang dibuat oleh UPPKH pusat. Hal ini berarti bahwa pemberian penghargaan dan sanksi akan diajukan oleh UPPKH daerah untuk ditindaklanjuti oleh UPPKH pusat. Pendamping yang dianggap “berprestasi” akan diberikan penghargaan berdasarkan penilaian kinerja yang dilaksanakan secara rutin (minimal) enam bulan sekali. Penghargaan yang diberikan berupa kesempatan meningkatkan kapasitas diri dalam pengembangan karir, antara lain (1) pelatihan, (2) kunjungan, (3) pengakuan prestasi (sertifikasi), dan (4) perpanjangan kontrak kerja. Adapun bentuk pelanggaran yang akan mendapatkan sanksi, diantaranya: 1. Tidak hadir dalam melaksanakan tugas sebanyak-banyaknya tiga kali secara berturut-turut tanpa alasan yang kuat. 2. Mengabaikan tugas sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. 3. Menghilangkan atau menyalahgunakan aset negara. 4. Melakukan tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 5. Memalsukan data. 6. Membocorkan rahasia atau menyebarkan dokumen tanpa seizin yang berhak. 7. Melakukan perbuatan tercela yang melanggar norma agama, adat setempat, dan sebagainya. 8. Menunda, menahan, dan memotong dana bantuan. Untuk pelanggaran yang dilakukan, pendamping tentu akan menerima sanksi. Berbagai sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran berupa (1) teguran secara lisan dan/atau tertulis oleh UPPKH daerah, (2) pemberhentian (pemutusan) kontrak kerja, (3) penggantian barang inventaris PKH, (4) pernyataan “minta maaf” yang disampaikan oleh pendamping kepada khalayak umum, bahkan (5) ancaman pidana.
2.1.3 Komponen Pelayanan Kesehatan Komponen kesehatan dalam PKH dikembangkan untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak. Tenaga kesehatan yang kompeten dibutuhkan guna (1) membimbing peserta PKH dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan (Puskesmas), (2) melakukan verifikasi apakah peserta PKH telah memenuhi
16
komitmen, seperti memeriksakan kehamilan, dan (3) melayani peserta PKH, diantaranya memberikan kesempatan untuk memeriksakan kesehatan. Peserta yang menerima bantuan komponen kesehatan terdiri atas (1) ibu hamil, (2) ibu nifas, dan (3) anak usia 0–5 tahun. Bantuan tunai akan dibayarkan kepada peserta PKH setiap tiga bulan melalui kantor pos terdekat dengan total dana bantuan 800 ribu rupiah. Dana tahap I diberikan, jika peserta menghadiri pertemuan awal yang dikoordinir oleh UPPKH kecamatan dan telah mengunjungi Puskesmas atau Posyandu. Bantuan tahap triwulan berikutnya dibayarkan, bila anggota PKH telah memenuhi komitmen. Bukti bahwa peserta PKH telah memenuhi komitmen adalah hasil verifikasi oleh petugas kesehatan. Sementara itu, kewajiban peserta PKH meliputi (1) menghadiri pertemuan awal, (2) melakukan kunjungan awal ke Posyandu, dan (3) mematuhi komitmen untuk mengunjungi Pemberi Pelayanan Kesehatan. Ada berbagai fasilitas kesehatan yang dapat diakses oleh peserta PKH. Lembaga-lembaga kesehatan tersebut, diantaranya: 1. Puskesmas: diharapkan untuk mampu memberikan paket layanan kesehatan. 2. Puskesmas Pembantu (Pustu) dan Puskesmas Keliling (Pusling): memberikan pelayanan bagi ibu hamil dan bayi yang baru lahir. 3. Polindes (Pondok Bersalin Desa): pelayanan kesehatan dasar bagi ibu hamil, pertolongan persalinan, dan bayi yang baru lahir. 4. Posyandu: dikelola oleh para kader kesehatan Puskesmas; diharapkan untuk memberikan pelayanan antenatal, perkembangan bayi, serta penyuluhan kesehatan. 5. Bidan desa: pemeriksaan ibu hamil dan memberikan pertolongan pertama pada kasus gawat darurat yang menimpa ibu hamil. Pemberi Pelayanan Kesehatan juga memiliki hak dan kewajiban. Hak-hak yang akan diterima sesuai dengan apa yang diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Adapun beberapa kewajiban Pemberi Pelayanan Kesehatan berupa (1) menetapkan jadwal kunjungan, (2) menghadiri pertemuan awal, (3) memberikan pelayanan kesehatan, dan (4) memverifikasi komitmen peserta PKH.
17
2.1.4 Komponen Pelayanan Pendidikan Sasaran dari adanya aspek pendidikan dalam PKH adalah meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar (wajib belajar 9 tahun) dan mengurangi angka pekerja anak. Untuk itu, syarat penerima bantuan PKH komponen pendidikan, yakni RTSM yang memiliki anak usia 6–15 atau sampai 18 tahun, namun belum menyelesaikan pendidikan dasar. Besarnya bantuan disesuaikan dengan kondisi anak yang dimiliki oleh RTSM. Artinya, dana bantuan untuk anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) adalah 400 ribu rupiah, sedangkan bagi anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 800 ribu rupiah. Bantuan tunai tahap I diberikan kepada peserta, bila telah menghadiri pertemuan awal yang dikoordinasi oleh UPPKH kecamatan dan anak-anak dari RTSM peserta PKH sudah terdaftar di lembaga pendidikan tertentu. Dana triwulan berikutnya akan dibayarkan, jika anak-anak dari keluarga peserta PKH telah memenuhi komitmen pendidikan, yakni 85% kehadiran di kelas/kelompok belajar. Ada beberapa lembaga pendidikan formal yang dapat diakses oleh anak dari RTSM peserta PKH, seperti (1) SD, (2) Madrasah Ibtidaiyah (MI), (3) SMP/SMP Terbuka, dan (4) Pesantren Salafiyah. Di samping itu, lembagalembaga pendidikan nonformal yang bisa dimanfaatkan oleh peserta PKH meliputi (1) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), (2) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), serta Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Berbagai lembaga ini memiliki peran yang hampir sama seperti Pemberi Pelayanan Kesehatan, yakni menerima pendaftaran anak peserta PKH di satuan pendidikan, memberikan pelayanan pendidikan, dan melakukan verifikasi kehadiran anak keluarga penerima bantuan PKH di setiap kelas/kelompok belajar.
2.1.5 Komponen Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM) Pelaksanaan suatu program tidak pernah berjalan sempurna. Oleh karena itu, PKH merancang suatu SPM yang berfungsi untuk mengakomodasi segala jenis pengaduan yang terkait dengan pelaksanaannya. Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM) berada di tiap unit pengelola PKH kabupaten/kota. Prinsipprinsip yang ditekankan dalam menangani pengaduan, yakni (1) transparan dan
18
sederhana, (2) cepat dan akurat, (3) melalui kelembagaan secara berjenjang, (4) menempuh jalur hukum, bila tidak dapat diselesaikan oleh UPPKH pusat, serta (5) menjamin kerahasiaan pelapor. Adapun keterlibatan unsur-unsur di luar pelaksana program, seperti perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dapat berupa kontrol sosial. Tujuannya adalah memastikan adanya pengawasan yang memadai terhadap berbagai bentuk penyimpangan baik dalam penyaluran dan pemanfaatan bantuan tunai maupun tidak dipenuhinya komitmen-komitmen oleh semua pihak (peserta, pelaksana, dan penanggung jawab PKH). Penyampaian pengaduan dapat dilakukan secara langsung atau pun tidak. Penyampaian secara langsung dilakukan dengan cara: 1. Melaporkan kepada ketua kelompok peserta PKH, pendamping PKH yang bertugas
di
daerah
terdekat
dengan
pelapor,
dan
kantor
UPPKH
kabupaten/kota baik dengan mendatangi petugas SPM maupun melalui telepon/fax/email/surat. 2. Mengisi Formulir Pengaduan dimana formulir ini dapat diperoleh dari pendamping PKH, kantor pos, kantor UPPKH, sekolah, dan Puskesmas. Formulir Pengaduan memuat data pelapor dan jenis pengaduan. Jika diperlukan, pendamping dapat membantu peserta dan masyarakat umum dalam mengisi formulir serta meneruskannya ke UPPKH kabupaten/kota. Sementara itu, pengaduan secara tidak langsung juga dapat dilakukan melalui beberapa cara. Teknis pengaduan tidak langsung tersebut disampaikan melalui (1) forum diskusi/musyawarah desa; (2) hasil penelitian perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan organisasi kemasyarakatan; (3) aparat pengawas fungsional serta penegak hukum; (4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); serta (5) media massa. Semua bagian (staf) yang bertugas dalam SPM, nantinya harus mendokumentasikan dan melaporkan seluruh pengaduan, saran, dan proses penanganan yang mencakup (1) tindakan yang diambil, (2) pihak yang menginformasikan, serta (3) tindak lanjut yang dibutuhkan dalam proses penyelesaian. Pendamping sendiri harus memberikan laporan bulanan mengenai seluruh pengaduan, termasuk hasil pengaduan yang telah ditangani, kepada
19
UPPKH kabupaten/kota. Unit ini selanjutnya memberikan laporan kepada UPPKH pusat, penyedia pelayanan, dan tim koordinasi PKH kabupaten/kota. Unit Pelaksana PKH (UPPKH) pusat akan melaporkan hasil pemantauan pengaduan dan pengaduan yang telah ditangani kepada tim koordinasi teknis pusat. Laporan pengaduan mencakup informasi mengenai (1) kategori jenis pengaduan yang diterima; (2) tanggal pengaduan; (3) nama, alamat, dan nomor peserta PKH pelapor; (4) identitas lengkap pendamping/staf UPPKH yang menangani pengaduan; (5) langkah-langkah yang diambil untuk menyelidiki pengaduan (dilengkapi dengan fotokopi dokumen yang dibutuhkan); dan (6) status pengaduan (penerimaan, di bawah penyelidikan, direkomendasikan untuk ditindaklanjuti, atau telah diselesaikan). Semua dokumen yang terkait dengan SPM terbuka untuk masyarakat umum. Namun, hal ini diatur oleh UPPKH pusat dan kabupaten/kota untuk mencegah kesimpangsiuran informasi. Beberapa hal yang harus disiapkan oleh petugas SPM, diantaranya: 1. Bahan bagi penyebarluasan hasil-hasil penyelesaian pengaduan yang telah dilakukan, yang memuat informasi (a) jumlah pengaduan dan jumlah kasus yang telah selesai ditangani, (b) jumlah kasus yang diteruskan kepada aparat pengawas fungsional dan aparat penegak hukum, serta (c) proses dan hasil penyelesaian pengaduan yang dirinci ke dalam tindak korektif yang sudah dilakukan (perbaikan teknis, masih dalam proses penyelidikan, sanksi administratif, pengembalian dana, putusan hakim, dan sebagainya). 2. Leaflet dan poster bagi penyebarluasan informasi mengenai PKH: a. Leaflet memuat penjelasan tentang fungsi SPM, keberadaan dan alamat pengaduan, tindak lanjut penanganan, hak-hak pengadu, dan peran serta masyarakat. Leaflet disebarluaskan kepada pihak pemerintah dan nonpemerintah serta masyarakat luas sampai ke tingkat desa/kelurahan. b. Poster yang ditempelkan di berbagai tempat umum sampai ke tingkat desa/kelurahan. Berdasarkan berbagai penjelasan pada paragraf-paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya peserta PKH yang bisa melakukan pelaporan kepada SPM, tapi juga masyarakat umum, media, LSM, dan sebagainya. Hal ini
20
dimaksudkan untuk menjaga agar pengelola program selalu mendapatkan informasi
mengenai
semua
permasalahan.
Penyelesaian
masalah
secara
transparan, terbuka, dan partisipatif sangat berguna bagi pelaksanaan, perbaikan, serta akuntabilitas program.
2.2
Gender dan Pembangunan Penulis memaparkan beberapa hasil penelitian tentang hubungan antara
relasi gender dengan efektivitas manfaat program. Namun, sebelumnya penulis terlebih dulu menjelaskan gender dan pembangunan. Komponen gender dan pembangunan ini berupa (1) konsep gender dimana di dalamnya terdapat definisi relasi gender, (2) perspektif-perspektif feminisme, dan (3) ragam kebijakan pembangunan gender.
2.2.1 Konsep Gender Sejak sepuluh tahun terakhir, kata gender memasuki perbendaharaan di setiap diskursi serta tulisan tentang perubahan sosial dan pembangunan di Dunia Ketiga (Fakih, 1996). Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) adalah pensifatan (pembagian) dua jenis kelamin manusia, yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Manusia berjenis kelamin laki-laki adalah orang yang berpenis dan memproduksi sperma; perempuan memiliki rahim, vagina, dan alat menyusui. Gender sendiri merupakan berbagai sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Perempuan dikenal sebagai orang yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan; laki-laki kuat, rasional, jantan, serta perkasa. Berdasarkan hal tersebut, terdapat peran gender bagi laki-laki dan perempuan, diantaranya laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Perbedaan ini melahirkan beberapa manifestasi ketidakadilan gender, terutama terhadap perempuan, antara lain (1) marjinalisasi (penyingkiran), seperti proses pemiskinan ekonomi; (2) subordinasi (penomorduaan) terutama dalam bidang politik; (3) stereotipe (penandaan tertentu/pelabelan negatif); (4) beban kerja (jumlah dan curahan waktu kerja); serta (5) tindak kekerasan (violence), contohnya pemerkosaan, pemukulan,
21
penyiksaan alat kelamin (genital mutilation), kekerasan terselubung (molestation), dan sebagainya. Perbedaan konsep antara gender dengan jenis kelamin diungkapkan pula oleh Mosse (1996). Jenis kelamin merupakan pemberian (given) dan tidak bisa dirubah. Sementara itu, gender adalah perbedaan sifat dan peran antara laki-laki dengan perempuan, yang dibentuk melalui proses sosialisasi dalam keluarga serta masyarakat. Peran gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan berbagai aktivitas, tugas, serta tanggung jawab tertentu sebagai peranan perempuan dan laki-laki (Mugniesyah, 2007). Selanjutnya, Moser mengemukakan tiga peranan gender (triple roles), yaitu (1) produktif (dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran, seperti bekerja di sektor formal dan informal), (2) reproduktif (tugas-tugas domestik, misalnya mengasuh anak, memasak), serta (3) peranan
pengelolaan
masyarakat/kegiatan
sosial
(volunter)
dan
politik
(kekuasaan/status). Dalam peranan produktif, dapat terlihat relasi gender yang diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang tampak pada lingkup gagasan, praktik, dan representasi, yang meliputi pembagian kerja, peranan, serta alokasi sumberdaya. Relasi gender seharusnya bersifat adil (gender equity), yakni memberikan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan berbagai kebutuhan serta mencakup perlakuan setara atau berbeda, tapi dalam koridor pertimbangan kesamaan hak, kewajiban, kesempatan, dan manfaat. Adapun kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan laki-laki dan perempuan bebas mengembangkan kemampuan personal serta membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh seperangkat stereotipe, prasangka, dan peranan gender yang kaku. Berdasarkan konsep gender dan jenis kelamin yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa gender adalah diferensiasi (pembedaan) peranan dan posisi (status) antara perempuan dengan laki-laki yang tidak didasarkan atas perbedaan biologis, tapi dibentuk secara sosial dan budaya.
22
2.2.2 Perspektif-Perspektif Feminisme Pembicaraan seputar gender tidak dapat dipisahkan dari istilah feminisme. Istilah ini merujuk kepada suatu gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya mengalami ketidakberuntungan dibandingkan dengan laki-laki serta harus ada upaya mengakhiri ketimpangan ini (Fakih, 1996). Masih menurut Fakih (1996), secara sederhana aliran feminisme dipengaruhi oleh dua kelompok besar perspektif (cara pandang), yaitu status quo (fungsionalisme struktural) dan konflik. Perspektif fungsionalisme struktural dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons, yang berasumsi bahwa (1) masyarakat sebagai sistem, (2) harmoni dan integrasi dianggap ”fungsional” (diupayakan), (3) konflik sebagai disfungsi (dihindarkan), serta (4) cenderung mempertahankan status quo. Pengaruh paradigma ini dijumpai pada pemikiran feminisme liberal yang berasumsi bahwa (1) freedom dan equality berakar pada rasionalitas serta pemisahan antara dunia privat dengan publik dan (2) perempuan adalah makhluk rasional. Kesalahan (sebab ketimpangan gender) terletak pada perempuan itu sendiri yang irrasional (berpegang teguh pada nilai tradisional) dan ada korelasi positif antara partisipasi dalam produksi dengan status perempuan. Salah satu pengaruh feminisme ini dapat dilihat pada teori modernisasi dan Program Global Women in Development (WID). Pelibatan dalam industrialisasi dan program pembangunan dianggap sebagai cara meningkatkan status perempuan dan akhirnya mengurangi ketidakberuntungan perempuan. Adapun perspektif konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif bagi perspektif fungsionalisme struktural. Perspektif konflik berasumsi bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) termasuk dalam pola hubungan laki-laki dan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dijadikan sebagai senjata untuk mengabsahkan kekuasaan pihak yang bersaing via konflik. Perspektif konflik ini mempengaruhi gerakan feminisme radikal. Menurut perspektif ini, penyebab ketimpangan gender berakar pada jenis kelamin laki-laki dan ideologi patriarkinya. Penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti dalam hubungan seksual, merupakan bentuk paling dasar penindasan perempuan (Jaggar dalam Fakih, 1996). Ideologi patriarki merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior
23
dan previllage ekonomi (Einstein, 1979). Golongan feminisme radikal mengambil bentuk perjuangan ”ideologi maskulinitas” (persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki) dimana paham mereka adalah ”the personal is political” (yang pribadi bersifat politis). Paham ini dimaksudkan bahwa hal yang paling personal dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan tidak terlepas dari masalah kekuasaan (kontrol) di tingkat masyarakat. Oleh karena itu, perjuangan untuk menghapuskan subordinasi laki-laki terhadap perempuan tidak hanya di luar rumah, tapi juga dimulai sejak dalam rumah. Namun, feminis radikal mendapatkan beberapa kritik berupa (1) dianggap sebagai ahistoris (tidak melihat perbedaan diantara perempuan itu sendiri), (2) kurang peka terhadap perkembangan kapitalisme, dan (3) tidak memberikan penjelasan mengapa lakilaki harus mendominasi perempuan. Kelompok kedua yang merupakan penganut perspektif konflik adalah Feminisme Marxis. Mereka menganggap penindasan perempuan merupakan bagian penindasan kelas pada hubungan produksi (”eksploitasi pulang ke rumah”, ”reproduksi buruh murah”, serta ”upah rendah” dan ”penciptaan buruh cadangan”). Sistem kapitalisme menjadikan laki-laki sebagai pengontrol produksi dan perempuan direduksi menjadi bagian property belaka. Asumsi ini mengisyaratkan penindasan perempuan merupakan kelanjutan sistem eksploitatif yang bersifat struktural (bukan sistem patriarki dan jenis kelamin). Perubahan status perempuan terjadi hanya melalui revolusi sosialis (pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional) dan penghapusan pekerjaan domestik (rumah tangga). Penganut ketiga dari aliran konflik, yaitu feminisme sosialis. Feminis ini melakukan sintesis antara metode historis materialis Marx dan Engels dengan gagasan kaum feminis radikal. Teori kapitalis patriarki yang diungkapkan oleh Zillah Eisenstein melihat ketidakadilan bukan karena kegiatan produksi dan reproduksi, melainkan manifestasi ketidakadilan gender yang merupakan konstruksi sosial. Pada kelas menengah, bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan terjadi melalui kontrol seksual (masalah harta) dan tenaga kerja, sedangkan dalam kelas bawah terjadi beban kerja perempuan. Feminis sosialis ternyata mendapatkan kritik yang berupa (1) terlalu terpaku pada proses kerja dan
24
eksploitasi tenaga kerja sehingga melupakan pembentukan seksualitas dan kekerasan seksual yang tidak berhubungan dengan kebutuhan kapitalisme serta (2) sulit membuktikan bagaimana kapitalisme membentuk patriarki. Berbeda dengan Fakih, Megawangi (2001) mengungkapkan teori struktural fungsional dan sosial konflik berdasarkan sudut pandang keluarga. Struktural fungsional adalah teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga. Talcott Parsons dan Bales (Megawangi, 2001) membagi dua peran orang tua, yaitu (1) instrumental (dilakukan oleh suami/bapak; peran mencari nafkah) dan (2) emosional/ekspresif (dilakukan oleh istri/ibu; pemberi cinta). Suami diharapkan untuk berada di luar rumah (bekerja) dan istri di dalam rumah guna memberikan kedamaian keluarga. Sementara itu, teori sosial konflik merupakan kritikan terhadap struktural fungsional. Teori yang dikembangkan oleh Karl Marx ini menginginkan suatu sistem masyarakat yang sama rata (tanpa ada kelas-kelas) khususnya menyangkut pola hubungan laki-laki dan perempuan. 2.2.3 Ragam Kebijakan Pembangunan Gender5 Ragam pendekatan kajian gender, yang digunakan sejak 1950 hingga kini, dapat dikelompokkan ke dalam Women in Development (WID), Women and Development (WAD), serta Gender and Development (GAD). Berbagai pendekatan yang tergolong WID (equity approach, poverty approach, dan efficiency approach) merupakan solusi yang umumnya ditawarkan oleh kaum feminis liberal. Women in Development berarti terintegrasinya perempuan dalam pelaksanaan dan proses pembangunan. Ketertinggalan perempuan dalam pembangunan disebabkan oleh tidak dilibatkannya perempuan, karena berbagai faktor baik alasan klasik (peran subordinat) maupun yang terkait dengan nilainilai sosial–budaya. Pendekatan WID berpijak dari dua sasaran, yakni (1) pentingnya prinsip egalitarian (kepercayaan bahwa semua orang sederajat) dan (2) menitikberatkan pada pengadaan program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi perempuan di sektor produksi. Pendekatan ini menyediakan program intervensi untuk meningkatkan taraf hidup keluarga 5 Winati Wigna, “Pendekatan WID, WAD, dan GAD” (Bogor, 2008), hal. 1–5. Bahan Ajar Mata Kuliah Gender dan Pembangunan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
25
(pendidikan, keterampilan, kesehatan) serta kebijakan yang bisa meningkatkan kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Asumsi ”akar masalah keterbelakangan kaum perempuan terletak pada perempuan itu sendiri” menjadi perlakuan mainstreaming dalam menyelesaikan masalah umum perempuan. Berbagai program yang diterapkan untuk pelaksanaan pendekatan WID merupakan kebijakan yang dapat menghasilkan pendapatan bagi perempuan. Perempuan diberikan kesempatan belajar mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi
guna
meningkatkan
kemampuan
intelektual
dan
keterampilannya (kognitif, afektif, serta psikomotorik yang menunjang sektor produktif/publik). Hal ini diharapkan mampu memberikan nilai plus bagi perempuan dalam menambah pendapatan keluarga. Setelah WID terimplementasi, wacana beralih kepada bagaimana hubungan (keterkaitan) antara perempuan dengan proses pembangunan. Dalam pendekatan WAD, tidak dibahas letak kedudukan laki-laki dan perempuan, karena telah ada pemahaman bahwa keduanya memiliki kedudukan, kesempatan, dan peran yang sejajar. Pada beberapa negara berkembang, peran laki-laki dan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi secara struktur internasional. Pendekatan ini tampaknya lebih kritis daripada WID, tapi kurang mampu menjawab hubungan patriarki yang terjadi dalam corak produksi masyarakat. Solusi WAD akan berhasil menaikkan peran perempuan, jika ditunjang oleh struktur politik (nasional dan internasional) yang lebih stabil dan merata. Implementasi WAD dititikberatkan pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan oleh perempuan. Gender and Development (GAD) yang muncul pada dekade 1980-an lebih berorientasi pada bagaimana hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan dalam proses pembangunan. Pendekatan ini lahir dari teori bahwa sektor produksi dan reproduksi merupakan kausalitas penindasan terhadap kaum perempuan. Secara garis besar, kebijakan-kebijakan pembangunan untuk perempuan sering diklasifikasikan dalam dua pendekatan umum WID dan GAD. Pendekatan GAD menempatkan posisi perempuan dalam konstruksi sosial gender serta pemberian peran tertentu pada perempuan dan laki-laki. Laki-laki berperan serta dalam memperjuangkan berbagai kepentingan perempuan. Hal ini yang disebut
26
“hubungan gender”. Di Indonesia, peran perempuan bagi pembangunan bangsa tersirat dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, GAD menempatkan perempuan sebagai agent of change (agen perubahan). Pendekatan yang secara implementatif cenderung menekankan adanya komitmen pada perubahan struktural ini memerlukan dukungan sosio–budaya masyarakat dalam politik nasional yang menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Di bawah ini merupakan matriks yang memperlihatkan perbedaan antara WID dengan GAD.
Gambar 2. Matriks Perbedaan antara WID dengan GAD WID GAD Pandangan bahwa sumber Pendekatan Pandangan bahwa sumber permasalahan adalah permasalahan ada pada perempuan pembangunan Perempuan Fokus Pola relasi laki-laki dan perempuan Tidak berperansertanya Masalah Ketidaksejajaran hubungan perempuan (separuh kekuasaan (kaya–miskin, sumberdaya produktif) perempuan–lelaki) dalam pembangunan mengakibatkan pembangunan berjalan secara tidak adil Pembangunan yang lebih Tujuan Pembangunan yang adil dan efisien dan efektif berkesinambungan dengan perempuan dan laki-laki sebagai pegambil keputusan Mengintegrasikan Pemecahan Memperkuat (empower) perempuan dalam perempuan yang pembangunan terpinggir/marjinal Mengubah pola-pola hubungan yang tidak sejajar Proyek terpadu untuk Strategi Menangani kebutuhan meningkatkan praktis dan strategis lakiproduktivitas, pendapatan, laki, perempuan, dan dan keterampilan golongan ekonomi lemah perempuan Sumber: Canadian Council for International Cooperation 1991, Two Halves Make a Whole, Ottawa, hal. 76.
2.3
Kaitan
antara
Perspektif
Feminisme
dan
Ragam
Kebijakan
Pembangunan Gender dengan PKH Menurut penulis, program ini secara implisit dipengaruhi oleh pemikiran feminisme liberal. Program tidak melihat kemungkinan adanya hubungan antara aspek kekuasaan dengan kepatuhan sosial serta mengabaikan faktor paksaan dan
27
konflik dari segala bentuk kekuasaan. Pokok persoalan perempuan bukan terletak pada struktur dan sistem, melainkan perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah (melalui PKH) menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam dunia yang penuh persaingan bebas. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan implementasi pendekatan WID, karena mengintegrasikan perempuan dalam program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan. Program ini tidak mempersoalkan pola relasi antara perempuan dengan laki-laki. Dalam hal ini, yang terpenting adalah membawa (melibatkan) perempuan ke dalam program pembangunan guna meningkatkan status perempuan.
2.4
Teori Pengambilan Keputusan Kekuasaan yang dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil
keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga bisa tersebar dengan sama nilainya (equally) atau tidak sama nilainya, khususnya antara suami dan isteri, sedangkan pembagian kerja menunjuk kepada pola peranan yang ada dalam keluarga dimana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu (Pudjiwati, 1985). Kombinasi dari kedua aspek itu (kekuasaan dan pembagian kerja), menurut Blood dan Wolfe dalam Pudjiwati (1985), adalah hal yang paling mendasar dalam keluarga, yang dipengaruhi pula oleh posisi keluarga di lingkungan atau masyarakatnya. Pudjiwati (1985) mengungkapkan peranan perempuan di dalam dan luar rumah tangga sebagai pengambil keputusan pada berbagai bidang kehidupan cukup bervariasi. Bentuk-bentuk peranan ini berupa (1) keputusan oleh perempuan sendiri sebagai isteri; (2) tidak oleh isteri, artinya oleh suami sendiri; (3) suami dan isteri bersama-sama dengan pengaruh istri paling besar atau suami terbesar; serta (4) bersama–setara (kesalingtergantungan suami dan isteri). Suatu hubungan antara pria dan wanita yang menunjukkan adanya distribusi kekuasaan antara pria dan wanita yang seimbang (balanced power), tapi ada kesalingtergantungan yang kuat antara pria dan wanita. Dalam hal penguasaan terhadap sumber-sumber yang penting, baik pria maupun wanita, tidak ada hubungan yang saling mendominir. Sementara itu, suatu hubungan antara pria dan
28
wanita yang menunjukkan hierarki dalam kekuasaan, artinya bahwa distribusi kekuasaan antara pria dan wanita tidak seimbang. Dalam hal ini, salah satu pihak atau jenis kelamin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain dan mendominasinya (Rogers, 1978 dalam Pudjiwati, 1985).
2.5
Hasil Penelitian yang Berorientasi Gender ”Studi Gender dalam Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
(PLTMH) bagi Rumah Tangga Miskin” yang dilakukan oleh Purwaningtyas (2008) bertujuan untuk (1) menganalisis akses, kontrol, manfaat, dan partisipasi kepala anggota rumah tangga miskin, perempuan dan laki-laki, dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pencapaian tujuan program di Desa Cinta Mekar dan (2) mengetahui ketercapaian pemenuhan kebutuhan praktis serta strategis gender oleh program PLTMH di Desa Cinta Mekar khususnya di kalangan rumah tangga miskin yang menjadi target sasaran program. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi tingkat akses serta kontrol Rumah Tangga Miskin yang Dikepalai oleh Laki-Laki (RMKL) dan Rumah Tangga Miskin yang Dikepalai oleh Perempuan (RMKP) terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan hasil Program PLTMH adalah tingkat pendidikan formal dan status bekerja. Dalam studi ini, ditemukan hasil bahwa ada beberapa rumah tangga pada RMKL yang memiliki tingkat pendidikan rendah justru memiliki tingkat akses dan kontrol terhadap program PLTMH cenderung tinggi. Namun, secara umum tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat akses dan kontrol. Hal ini karena, tingkat pendidikan RMKL dan RMKP secara umum homogen sehingga tidak dapat dilakukan analisis hubungan. Adapun untuk status bekerja, diketahui bahwa sebagian besar dari RMKL dan RMKP penerima program PLTMH memiliki status pekerjaan tergolong sedang, diantaranya bekerja sebagai buruh tani dan pekerja tak tetap atau buruh serabutan. Secara umum, disimpulkan bahwa tingkat akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap program PLTMH tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan pada RMKL dan RMKP. Dengan kata lain, tidak ada hubungan antara status dengan akses dan kontrol program PLTMH.
29
Penelitian lainnya yang berkenaan dengan gender dan pembangunan adalah ”Perempuan Pedagang Antarpulau dalam Keterlibatan Pengambilan Keputusan pada Keluarga Bugis (Studi Kasus Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan)”, yang dilakukan oleh Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006). Tujuan studi ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis (1) keterlibatan perempuan pedagang antarpulau dalam pengambilan keputusan pada keluarga Bugis di Kecamatan Sibulue serta (2) pembagian kerja dalam keluarga perempuan pedagang antarpulau pada keluarga Bugis di Kecamatan Sibulue. Ada beberapa hasil yang ditemukan dalam riset ini. Sepuluh keluarga yang diteliti menunjukkan bahwa istri memang masih memiliki peranan yang cukup besar dalam sektor domestik terutama berkenaan dengan pengeluaran kebutuhan pokok. Secara umum, patriarki tidak menjadi suatu konsep yang berlangsung pada tatanan hubungan gender dalam keluarga para perempuan pedagang antarpulau. Faktor ekonomi dan gengsi sosial merupakan aspek yang sangat mendukung terjadinya aktivitas kegiatan perempuan pedagang antarpulau pada keluarga Bugis. Hal ini akhirnya mengubah tatanan hubungan gender khususnya dalam hal pengambilan keputusan. Terkait dengan tingkat pendidikan dan status bekerja suami−isteri, terdapat beberapa hasil yang diperoleh dalam studi ini. Pada kasus Ibu HM, suami masih dominan pada pengambilan keputusan. Hanya pada wilayah pendidikan anak, pembelian alat rumah tangga, dan keberangkatan berdagang terjadi pengambilan keputusan secara seimbang. Dominasi suami disebabkan oleh tingkat pendidikan suami yang lebih tinggi daripada isteri dan rendahnya tingkat ketergantungan suami terhadap penghasilan Ibu HM. Sebaliknya, pada keluarga Ibu HP justru terjadi dominasi isteri dalam pengambilan keputusan. Keputusan seimbang terjadi hanya pada wilayah keputusan untuk pergi berdagang dan partisipasi dalam kegiatan desa. Dominasi isteri ini karena, tingkat pendidikan isteri lebih tinggi daripada suami dan sumbangan ekonomi isteri dalam keluarga lebih besar daripada suami. Sebuah perbedaan mendasar dapat ditangkap dari hasil penelitianpenelitian di atas. Pada riset pertama, tingkat pendidikan dan status bekerja
30
suami−isteri tidak mempengaruhi akses dan kontrol RMKL dan RMKP terhadap perencanaan, pelaksanaan, serta pemanfaatan hasil Program PLTMH. Sementara itu, penelitian yang terkhir menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan status bekerja suami−isteri dengan relasi gender (proses pengambilan keputusan). Artinya bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan ketergantungan ekonomi yang lebih rendah dari pasangannya mengakibatkan salah satu pihak cenderung mendominasi pengambilan keputusan rumah tangga. Selain kedua hasil penelitian di atas, penulis memaparkan pula hasil riset terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Namun, terlebih dulu dijelaskan mengenai sumberdaya pribadi (personal resources) bagi hubungan perempuan dan laki-laki pada rumah tangga. Berbagai aspek berupa pendidikan (formal dan informal), pengalaman, keterampilan, serta kekayaan (tanah, ternak, rumah, dan sebagainya) merupakan sumberdaya pribadi (Pudjiwati, 1985). Personal resources yang berbeda antara perempuan dengan laki-laki akan membentuk apa yang disebut sebagai keluarga dan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Dari beberapa kasus di kedua desa penelitian, Desa A di Sukabumi dan Desa B di Sumedang, terlihat bahwa sumberdaya pribadi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Sebagai contoh, Ibu X berumur 35 tahun, berasal dari keluarga petani, memiliki pendidikan sampai dengan kelas IV SD. Setelah menikah kurang lebih 12 tahun dengan seseorang dari Angkatan Bersenjata dan selama itu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain (mengikuti tugas suami), Ibu X akhirnya bercerai. Hal ini karena, Ibu X tidak sanggup dengan kebiasaan suami yang menikah lagi. Ibu X mengorbankan jaminan relatif dari gaji suami dan kembali ke desa. Tidak lama kemudian, Ibu X menikah dengan Bapak O yang merupakan teman SD dan ternyata tidak tamat sekolah. Setelah menikah, hubungan antara Ibu X dengan Bapak O dapat dikatakan ”agak setara” (bersama-sama mengelola usaha tani). Dengan persetujuan suami, sebagian dari hasil tanah dibelikan perhiasan sebagai tabungan, jika kekurangan biaya untuk mengolah tanah. Untuk keperluan pembelian alat-alat pacul dan lainlain, tanpa berunding, suami memiliki wewenang untuk langsung membelinya.
31
Dalam hal makanan atau konsumsi selain hasil sendiri, memerlukan beberapa hal yang harus dibeli. Isteri memiliki wewenang melakukannya tanpa berunding (berupa ikan asin, ikan basah, telur, kopi, gula, dan sebagainya). Ibu X selanjutnya mempengaruhi suami untuk melakukan perbaikan (pembaharuan) baik dalam lingkungan rumah maupun usaha tani (memakai pupuk, obat, memelihara bebek, kelinci, dan sebagainya). Dengan persetujuan isteri, Bapak O menggunakan sebagian hasil tanahnya untuk berjualan beras di pasar dengan cara membeli padi lalu digilingkan ke pabrik penggilingan (huller) yang ada di desa. Pada suatu saat, usaha itu menemui kegagalan. Bapak O memutuskan untuk menjual tanah sebagai modal. Tapi, Ibu X tidak setuju karena tanah merupakan tumpuan harapan keluarga. Tanpa memberitahukan suami, Ibu X memutuskan untuk pergi ke luar desa mengunjungi anaknya serta membawa ”kitir” tanah milik keluarga yang dibutuhkan oleh suami. Dengan demikian, jual beli tidak terlaksana karena tidak ada kitirnya. Berdasarkan kasus tersebut, tampak nyata bahwa sangat penting pengaruh pendidikan formal dan pengalaman baik yang diperoleh dari pernikahan terdahulu maupun pengetahuan dalam kehidupan di luar desa dari Ibu X sebagai isteri. Pendidikan formal lebih rendah dari suami, tapi pengalaman memperkaya pribadi Ibu
X.
Hubungan
suami−isteri
mencerminkan
adanya
saling
pengaruh−mempengaruhi (ketergantungan). Namun, jika perlu (karena akan membahayakan keluarga), Ibu X mampu mengambil keputusan tertentu. Secara keseluruhan, pada kedua desa penelitian, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan memperlihatkan beberapa kondisi (Pudjiwati, 1985). Berbagai kondisi tersebut adalah: 1.
Dari kelima macam bentuk keputusan yang disoroti di bidang produksi rumah tangga (pembelian sarana, penanaman dan penggunaan modal, pengupahan buruh, penjualan dan cara penjualan hasil), peranan perempuan cukup nyata, terlebih bagi perempuan dari rumah tangga petani, yaitu khususnya dari lapisan mampu untuk Desa A dan untuk semua lapisan di Desa B. Ada kecenderungan bahwa pola pengambilan keputusan bersama paling banyak ditemukan di kedua desa itu. Di desa yang memiliki ciri-ciri semi urban (A), paling banyak ditemukan bentuk keputusan bersama−setara,
32
sedangkan bentuk keputusan bersama dengan pengaruh suami lebih besar adalah yang paling umun di Desa B yang rural−pertanian. Dalam hal ini, ada kecenderungan bahwa ikatan yang lebih kuat pada tanah (pertanian) lebih menonjolkan peranan pria. 2.
Dalam hal pengeluaran pangan rumah tangga untuk kebutuhan pokok, yaitu meliputi pos makanan (termasuk menu dan distribusi makanan) serta bukan makanan (terdiri atas pos perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, alatalat rumah tangga), jelas tampak peranan perempuan terbesar dalam bentuk keputusan oleh isteri sendiri, disusul oleh bentuk keputusan bersama dengan pengaruh isteri paling besar, di bidang pengeluaran untuk makanan. Hal ini nampak pada semua lapisan perempuan. Hanya pada perempuan lapisan tidak mampu masih cukup penting juga peranan laki-laki dalam aspek tersebut, khususnya yang meliputi pengeluaran untuk pembelian sumber protein hewani (daging dan sebagainya).
3.
Dalam proses reproduksi, khususnya yang meliputi masalah memiliki anak dan membesarkan anak, keputusan mengenai banyaknya anak nampaknya hampir mutlak merupakan keputusan bersama yang setara untuk kedua desa itu, kecuali pada lapisan yang mampu ditemukan pula pola proporsi kasuskasus yang terbesar menunjukkan keputusan ”isteri dominan” atau ”suami dominan” (lebih-lebih pada masyarakat B).
4.
Dalam kegiatan sosial yang meliputi selamatan, gotong-royong, pengajian, arisan, serta kegiatan kooperatif lainnya, lebih banyak kasus dengan pola pengambilan keputusan bersama antarsuami dengan isteri di kedua desa itu, kecuali pada lapisan mampu nampak peranan perempuan yang lebih besar (khususnya dalam kegiatan pengajian dan usaha kooperatif). Bahkan dalam hal ini, ditemukan pula bentuk keputusan oleh isteri sendiri. Dalam hal arisan, terdapat variasi dari pola pengambilan keputusan bersama, bersama−setara, bersama dengan isteri dominan, dan bersama dengan suami dominan.
5.
Pola pengambilan keputusan rumah tangga untuk turut bergiat dalam lembaga-lembaga formal di tingkat desa (PKK) dan berbagai lembaga informal di tingkat kampung (perkumpulan kematian, pengajian, perelek,
33
usaha kooperatif) menunjukkan bentuk keputusan bersama dengan isteri dominan, bersama−setara, sampai mengarah kepada pola bersama dengan suami dominan. 6.
Melihat keikutsertaan perempuan dalam berbagai grup dan lembaga sosial, khususnya
di
tingkat
kampung,
keikutsertaan
perempuan
dalam
kepengurusan (baik di tingkat kampung maupun desa) masih sangat terbatas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa peranan perempuan hampir tidak tampak.
2.6
Kerangka Pemikiran Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa PKH merupakan salah
satu program yang diakui oleh pemerintah sebagai program pendukung pencapaian MDGs dan memperhatikan masalah kesetaraan gender, penelitian ”Analisis Gender dalam PKH” menarik untuk dilakukan. Hal ini guna mengetahui (1) bagaimana relasi gender dalam alokasi dana bantuan di tingkat rumah tangga dan dikaitkan dengan efektivitas manfaat PKH, (2) faktor apa saja yang mempengaruhi relasi gender, serta (3) bagaimana hubungan antara peran pendamping dan ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan efektivitas tersebut. Relasi gender dalam penelitian ini mengarah kepada proses pengambilan keputusan diantara suami−isteri mengenai alokasi dana bantuan PKH. Pada dasarnya, ada empat bentuk pengambilan keputusan dalam rumah tangga (Pudjiwati, 1985), yaitu (1) keputusan oleh perempuan sendiri sebagai isteri; (2) tidak oleh isteri, artinya oleh suami sendiri; (3) suami dan isteri bersama-sama dengan pengaruh isteri paling besar atau suami terbesar; serta (4) bersama–setara (kesalingtergantungan suami dan isteri). Sementara itu, dalam hal pengeluaran pangan rumah tangga untuk kebutuhan pokok yang meliputi pos makanan (menu dan distribusi makanan) serta bukan makanan (perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, alat-alat rumah tangga), biasanya tampak peranan perempuan terbesar dalam bentuk keputusan oleh isteri sendiri dan disusul oleh bentuk keputusan bersama dengan pengaruh isteri paling besar. Pada penelitian ini, karena dana PKH ditujukan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan rumah tangga, proses pengambilan keputusan yang
34
diasumsikan terdiri atas dua bentuk. Tipe-tipe tersebut berupa (1) dominasi oleh isteri dan (2) setara. Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH ini ditempatkan sebagai variabel (peubah) bebas (independent variable) yang mempengaruhi Efektivitas Manfaat PKH (dependent variable). Efektivitas tersebut merupakan tingkat keberhasilan program dalam membantu pemenuhan kebutuhan kesehatan serta pendidikan RTSM, yang dilihat dari alokasi dana PKH di tingkat rumah tangga. Karena kebutuhan kesehatan dan pendidikan berada di wilayah kekuasaan isteri, dominasi oleh isteri terhadap alokasi dana PKH diasumsikan mampu menjadikan manfaat PKH cenderung efektif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa suami juga merupakan bagian dari rumah tangga (orang tua si Anak). Untuk itu, perlu dilihat pula bagaimana peran suami dalam proses pengalokasian dana PKH. Saat suami−isteri telah setara (bertukar pikiran, berdiskusi, dan memutuskan bersama), penulis menduga manfaat PKH dapat menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Efektivitas Manfaat PKH dibedakan menjadi efektivitas (1) rendah dan (2) tinggi. Penelitian Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006), seperti yang telah dipaparkan pada subbab sebelumnya, menempatkan tingkat pendidikan dan status bekerja suami−isteri sebagai faktor yang mempengaruhi (independent variable) proses pengambilan keputusan. Mengacu kepada hal ini, penulis ingin menganalisis apakah Tingkat Pendidikan dan Status Bekerja tersebut juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dalam hal ini adalah Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH. Penulis berasumsi bahwa
tingkat
pendidikan
RTSM
responden
yang
sama-sama
rendah
mengakibatkan belum terdedahnya pikiran RTSM akan kesetaraan gender sehingga pengambilan keputusan cenderung didominasi oleh salah satu pihak. Namun, jika tingkat pendidikan salah satu pihak saja sudah lebih tinggi daripada pasangannya, dapat terjadi kesetaraan dalam bermitra diantara suami−isteri. Adapun dalam hal Status Bekerja, ada sebuah hasil yang ditemukan pada penelitian Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006). Ketergantungan ekonomi yang lebih rendah dari pasangannya mengakibatkan salah satu pihak cenderung mendominasi pengambilan keputusan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini, penulis mengasumsikan bahwa pengambilan keputusan terkait alokasi dana PKH
35
cenderung setara, bila suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga. Hal ini karena, keduanya merasa sebagai pencari nafkah sehingga sama-sama berhak untuk mengambil setiap keputusan rumah tangga termasuk yang berhubungan dengan penggunaan dana bantuan PKH. Tapi, pengambilan keputusan ini didominasi oleh salah satu pihak, jika hanya salah satu pihak tersebut yang berkontribusi dalam rumah tangga. Program Keluarga Harapan (PKH) sendiri menyebutkan bahwa Peran Pendamping dan Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan serta Pendidikan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan program ini. Oleh karena itu, dalam studi ini, penulis menempatkan ketiga faktor tersebut dalam Bagan Kerangka Pemikiran. Hal ini guna mengetahui sejauh mana pengaruh Peran Pendamping dan Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan serta Pendidikan terhadap Efektivitas Manfaat PKH di lokasi penelitian.
2.7
Definisi Konsep dan Definisi Operasional Variabel 1. Rasio Tingkat Pendidikan RTSM adalah perbandingan lama (tahun) pendidikan yang ditempuh oleh suami−isteri di bangku sekolah; dibedakan ke dalam kategori (1) isteri rendah−suami rendah (samasama tamatan SD) dan (2) salah satu pihak lebih tinggi (tingkat pendidikan isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, serta SMP−SD). 2. Status Bekerja RTSM adalah situasi bekerja yang dialami oleh suami−isteri dalam kaitannya dengan ada–tidaknya dukungan tenaga kerja lain, yang dibedakan ke dalam kategori (1) salah satu pihak berkontribusi dalam rumah tangga (isteri tidak bekerja−suami bekerja dan isteri bekerja−suami tidak bekerja) serta (2) suami−isteri samasama berkontribusi dalam rumah tangga. 3. Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH adalah siapa diantara suami dan isteri yang memiliki kekuasaan (kontrol) dalam segala keputusan mengenai pengeluaran/penggunaan dana PKH; dibedakan ke dalam kategori (1) dominasi oleh isteri dan (2) setara (isteri dan suami sama-sama berkuasa/kesalingtergantungan). Dalam
36
penelitian ini, ada sejumlah item (jenis) kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Berbagai item itu diberikan keterangan ”didominasi oleh isteri” atau ”setara”, yang tentunya dilakukan berdasarkan jawaban RTSM responden. Selanjutnya, dihitung berapa item yang ”didominasi oleh isteri” dan ”setara”. Jumlah terbesar menunjukkan Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH. 4. Peran Pendamping PKH adalah tugas dan kegiatan para pendamping yang berpengaruh pada pelaksanaan program serta efektivitas manfaat PKH, yang dilihat menurut persepsi RTSM responden dan kedua pendamping di kelurahan penelitian. 5. Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan di Kelurahan adalah jumlah dan jarak fasilitas kesehatan (Puskesmas/Posyandu) di kelurahan tempat berlangsungnya PKH serta aksesibilitas RTSM responden terhadap fasilitas tersebut. 6. Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Pendidikan di Kelurahan adalah jumlah serta jarak lembaga pendidikan formal dan nonformal di kelurahan tempat berlangsungnya PKH. Selain itu, dikaji pula aksesibilitas RTSM responden terhadap fasilitas pendidikan tersebut. 7. Efektivitas Manfaat PKH adalah tingkat keberhasilan PKH dalam membantu pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM, yang dilihat dari alokasi dana bantuan PKH oleh RTSM responden, yang dibedakan ke dalam kategori: (1) Peserta komponen pendidikan: (1) tinggi, jika >90 persen dari dana PKH digunakan untuk kebutuhan sekolah anak dan (2) rendah, jika dana PKH yang digunakan untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen. Kebutuhan sekolah anak terdiri atas (a) uang pangkal, (b) Lembar Kerja Siswa (LKS), (c) seragam/sepatu/tas, (d) alat tulis (buku/pensil/penghapus/penggaris/pulpen), (e) uang jajan, (f) uang bayaran SPP, (g) bayaran ekstrakulikuler, dan (h) iuran/sumbangan ke sekolah.
37
(2) Peserta komponen gabungan (kesehatan dan pendidikan): (1) tinggi, jika skor kesehatan sama dengan dua dan >90 persen dari dana PKH digunakan untuk kebutuhan sekolah anak serta (2) rendah, bila skor kesehatan sama dengan dua dan dana PKH yang digunakan untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen. Kebutuhan kesehatan dan sekolah anak terdiri atas (a) balita ditimbang badannya, (b) mendapatkan vitamin A 200.000 IU 2 kali/tahun, (c) uang pangkal, (d) Lembar Kerja Siswa (LKS), (e) seragam/sepatu/tas,
(f)
alat
tulis
(buku/pensil/penghapus/penggaris/pulpen), (g) uang jajan, (h) uang bayaran SPP, (i) bayaran ekstrakulikuler, dan (j) iuran/sumbangan ke sekolah. Skor dua komponen kesehatan merupakan kondisi dimana balita (1) ditimbang berat badannya dan (2) mendapatkan vitamin A 200.000
IU
2
kali/tahun.
38
Rasio Tingkat Pendidikan RTSM
Faktor Internal RTSM Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH
Efektivitas Manfaat PKH 1. Rendah 2. Tinggi Faktor Eksternal RTSM
Status Bekerja RTSM
Keterangan:
1. Peran Pendamping PKH 2. Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan di Kelurahan 3. Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Pendidikan di Kelurahan
hubungan pengaruh yang diuji secara kuantitatif hubungan pengaruh yang dideskripsikan secara kualitatif
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan (teknik pengumpulan data)
kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui metode survey (Singarimbun, 1989) dengan populasi semua RTSM peserta PKH dan sampel diambil secara acak untuk setiap kategori peserta. Cara survei dilakukan untuk mendapatkan data (1) tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH, (2) efektivitas manfaat PKH, (3) rasio tingkat pendidikan, serta (4) status bekerja RTSM. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Adapun dalam pendekatan kualitatif, digunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi (pengamatan). Pendekatan ini dilakukan guna mendapatkan informasi pelaksanaan PKH, peran pendamping, serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kuesioner terstruktur dan pedoman wawancara mendalam ditampilkan pada Lampiran 2 a–f. Data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer merupakan semua variabel bebas dan tidak bebas yang tercantum pada Gambar 3 serta berbagai informasi mengenai pelaksanaan PKH yang didapatkan dari responden dan informan. Adapun data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi dokumentasi tentang gambaran umum kelurahan yang menjadi lokasi penelitian serta dokumentasi dari internet dan Dinas Sosial Kota Bogor (UPPKH kota).
40
Berikut ini merupakan jenis data, sumber data, dan instrumen yang digunakan dalam studi ini.
Gambar 4. Matriks Jenis Data, Sumber Data, dan Instrumen yang Digunakan No. Jenis Data Sumber Data Instrumen 1. Identitas RTSM Isteri Kuesioner untuk isteri terutama: Panduan wawancara a. tingkat pendidikan untuk isteri suami−isteri b. status bekerja suami−isteri c. jumlah anak perempuan dan/atau laki-laki usia 6–18 tahun yang masih bersekolah dengan dana bantuan PKH 2. Tipe pengambil Isteri dan suami Kuesioner untuk isteri keputusan RTSM untuk dan suami alokasi dana PKH, yang terkait dengan: a. manfaat pendidikan b. manfaat kesehatan 3. a. Rincian sumber dan Isteri atau suami Kuesioner untuk isteri jumlah pendapatan atau suami RTSM periode Februari 2009– Februari 2010 b. Rincian jumlah pengeluaran RTSM (terutama untuk pangan, pendidikan, dan kesehatan) sehari yang lalu, sebulan yang lalu, serta setahun ini yang masingmasing dalam periode Februari 2009–Februari 2010 4. Peran (tugas`dan Isteri Kuesioner untuk isteri kegiatan) pendamping 5. Ketersediaan Isteri Kuesioner untuk isteri fasilitas/pelayanan pendidikan di kelurahan
41
No.
Jenis Data
Sumber Data
Instrumen
6.
Ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan di kelurahan
Isteri
Kuesioner untuk isteri
7.
Akses perempuan dan laki-laki anggota RTSM terhadap manfaat pendidikan Akses perempuan dan laki-laki anggota RTSM terhadap manfaat kesehatan Gambaran umum kelurahan penelitian Kriteria RTSM peserta PKH
Isteri
Kuesioner untuk isteri Panduan wawancara untuk isteri
Isteri
Kuesioner untuk isteri Panduan wawancara untuk isteri
Data monografi
Panduan wawancara untuk petugas kelurahan Panduan wawancara untuk isteri Panduan wawancara untuk Dinas Sosial Kota Bogor Kuesioner untuk pendamping Panduan wawancara untuk pendamping
8.
9. 10.
11.
3.2
Isteri Dinas Sosial Kota Bogor
Pelaksanaan PKH di Pendamping PKH di kelurahan penelitian: kelurahan penelitian a. kelembagaan b. kegiatan pendampingan secara umum dan khususnya terkait dengan responden c. fasilitas/pelayanan pendidikan secara umum dan khususnya terkait dengan responden d. fasilitas/pelayanan kesehatan secara umum dan terutama terkait dengan responden e. Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM)
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja dengan pertimbangan terdapat PKH yang dilaksanakan pada periode penelitian, yakni
42
Februari 2009 sampai dengan Februari 2010. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, yaitu minggu ke-3 Februari hingga minggu ke-3 Maret 2010.
3.3
Pemilihan Subjek Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah 93 RTSM peserta PKH di Kelurahan
Balumbang Jaya. Sementara itu, sampel penelitian berjumlah 29 RTSM yang dipilih secara (metode sampling) acak untuk setiap kategori peserta. Adapun tahapan metode ini berupa: 1. Pada kerangka sampling, setiap peserta diberikan keterangan apakah termasuk ke dalam penerima dana bantuan pendidikan, kesehatan, atau keduanya. Hal ini agar didapatkan responden yang mencakup semua komponen PKH. 2. Hasil tahap I adalah teridentifikasi bahwa terdapat 54 RTSM penerima bantuan komponen pendidikan, 1 RTSM peserta komponen kesehatan, dan 38 RTSM penerima dana bantuan komponen gabungan (pendidikan serta kesehatan). 3. Memilih 54 per 93 bagian (dengan pembulatan) dari seluruh RTSM tipe pendidikan dan 38 per 93 bagian (dengan pembulatan) dari semua RTSM tipe gabungan. 4. Hasil tahap ke-3 adalah 17 RTSM responden komponen pendidikan serta 12 RTSM responden komponen gabungan. 5. Membuat lipatan kertas berukuran kecil sebanyak 54 buah yang merupakan RTSM komponen pendidikan dan 38 buah yang merupakan RTSM komponen gabungan dimana setiap lipatan kertas bertuliskan nomor barcode RTSM. 6. Memasukkan lipatan-lipatan kertas ke dalam dua gelas terpisah yang telah diberikan label ”pendidikan” dan ”gabungan”. 7. Mengocok gelas berlabel ”pendidikan” sebanyak 17 kali dan yang berlabel ”gabungan” sebanyak 12 kali. Setiap kali mengocok harus keluar satu lipatan kertas. 8. Didapatkanlah siapa saja 17 RTSM responden komponen pendidikan dan 12 RTSM responden komponen gabungan. Responden RTSM terdiri atas isteri dan suami, sedangkan di tingkat pendamping adalah dua orang pendamping PKH di Kelurahan Balumbang Jaya.
43
Adapun informan dalam penelitian ini, yaitu petugas kelurahan penelitian dan pegawai Dinas Sosial Kota Bogor masing-masing berjumlah satu orang.
3.4
Metode Analisis Data Data primer yang telah terkumpul diedit serta diolah ke dalam bentuk tabel
frekuensi dan tabulasi silang. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan hasil tentang diterima–tidaknya hipotesis penelitian. Hasil pengolahan data ini akan dianalisis menurut konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian. Sementara itu, tahapan analisis data kualitatif berupa klasifikasi data dari catatan lapangan. Analisis semacam ini diperlukan guna mengetahui ada–tidaknya hubungan antarvariabel seperti yang terdapat dalam kerangka pemikiran (Gambar 3) dan hipotesis penelitian.
BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN BALUMBANG JAYA
4.1
Keadaan Umum Kelurahan Balumbang Jaya Dalam subbab ini, dipaparkan tiga kelompok karakteristik Kelurahan
Balumbang Jaya. Karakteristik tersebut dilihat dari (1) kondisi geografis, (2) sumberdaya alam (SDA), serta (3) kondisi demografi Kelurahan Balumbang Jaya.
4.1.1 Kondisi Geografis Kelurahan
Balumbang
Jaya
berada
dalam
wilayah
administratif
Kecamatan Bogor Barat. Secara geografis, kelurahan ini terletak pada 106,48o Bujur Timur (BT) dan 60,36o Lintang Selatan (LS). Ketinggiannya adalah 200 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan curah hujan 2,5 mili meter kubik (mm3). Kelurahan Balumbang Jaya memiliki luas total 123.373 hektar (ha) serta terdiri atas 38 Rukun Tetangga (RT) dan 12 Rukun Warga (RW). Dalam hal batas wilayah, Kelurahan Balumbang Jaya berbatasan dengan satu desa dan tiga kelurahan lainnya. Batas wilayah Kelurahan Balumbang Jaya tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Margajaya. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Babakan. 4. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bubulak. Adapun jarak kantor Kelurahan Balumbang Jaya ke Ibu Kota Kecamatan Bogor Barat, Ibu Kota Bogor, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, dan Ibu Kota Negara adalah: 1. Ibu Kota Kecamatan Bogor Barat
6 kilo meter (km).
2. Ibu Kota Bogor
12 km.
3. Ibu Kota Provinsi Jawa Barat 4. Ibu Kota Negara
120 km. 60 km.
Berkenaan dengan akses kendaraan menuju Kantor Kelurahan Balumbang Jaya, lokasi ini dapat ditempuh dengan menaiki tiga kali kendaraan umum dari Kota Bogor. Pertama, angkutan umum bernomor 03. Setelah berhenti di Terminal
45
Laladon atau pun Bubulak, masyarakat yang ingin mengunjungi kantor kelurahan dapat menaiki angkutan umum dengan rute Kampus Dalam. Kendaraan ini berhenti di pangkalan angkutan umum yang dekat dengan Kampus IPB Dramaga. Selanjutnya, masyarakat dapat menggunakan jasa ojek dengan tarif Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah). Kantor Kelurahan Balumbang Jaya terletak di tengah pemukiman warga.
4.1.2 Sumberdaya Alam (SDA) Di Kelurahan Balumbang Jaya, ada empat jenis peruntukkan (penggunaan) lahan. Penggunaan itu meliputi pemanfaatan lahan untuk (1) perumahan (pemukiman) dan pekarangan, (2) jalan, (3) sawah, dan (4) perkebunan. Pemanfaatan lahan untuk kawasan perumahan dan pekarangan menempati persentase terbesar, yaitu sekitar 66 persen. Disusul oleh penggunaan lahan untuk prasarana jalan, yakni lebih kurang 15 persen. Penggunaan lahan bagi keperluan pertanian (sawah) dan perkebunan memiliki jumlah yang relatif kecil, yaitu masing-masing sekitar 15 persen dan 2 persen. Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa Kelurahan Balumbang Jaya yang dulunya cukup terkenal sebagai kawasan pertanian, kini justru memiliki lahan sawah dan perkebunan yang relatif sedikit. Jumlah penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan sangat dibutuhkannya lahan untuk perumahan. Sawah dan perkebunan pun dikonversi menjadi perumahan penduduk. Selain itu, cukup banyak pula yang dibangun menjadi kos-kosan mahasiswa. Selanjutnya, baik penduduk asli Kelurahan Balumbang Jaya maupun pendatang (misalnya, mahasiswa) tentu membutuhkan prasarana jalan yang kondisinya baik. Hal ini guna mendukung kegiatan sehari-hari warga dan memudahkan akses orang luar untuk masuk ke wilayah Kelurahan Balumbang Jaya. Maka, semakin berkuranglah sawah dan perkebunan karena makin banyak yang dialihfungsikan menjadi prasarana jalan.
46
Tabel berikut ini merupakan jumlah dan persentase penggunaan lahan di Kelurahan Balumbang Jaya.
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Lahan/Penggunaan Luas (ha) Persentase (%) Perumahan/Pemukiman dan Pekarangan 82,277 66,68 Sawah 18,596 15,07 Jalan 19,5 15,80 Perkebunan 3 2,43 Total 123,373 100 Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.
4.1.3 Kondisi Demografi Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya sampai akhir bulan Desember tahun 2009 tercatat sebanyak 9.455 jiwa. Jumlah ini terdiri atas 4.943 orang laki-laki dan 4.512 jiwa perempuan. Berdasarkan angka ini, kepadatan penduduk di Kelurahan Balumbang Jaya dicatat mencapai 756 jiwa/km dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.518. Di bawah ini adalah tabel yang memperlihatkan jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Balumbang Jaya menurut kelompok usia.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kelurahan Balumbang Jaya Menurut Kelompok Umur Tahun 2009 Kelompok Usia (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 0–4 613 6,48 5–9 902 9,53 10–14 899 9,50 15–19 823 8,70 20–24 930 9,83 25–29 1.177 12,40 30–34 965 10,20 35–39 819 8,66 40–44 616 6,51 45–49 512 5,41 50–54 358 3,78 55–59 271 2,86 60–64 222 2.34
65-69 Total
139 9.455
1,47 100
Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.
Berdasarkan data monografi ini, terlihat bahwa mayoritas warga di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan penduduk usia produktif. Penduduk usia
47
25−29 tahun memiliki jumlah terbesar dengan persentase sekitar 12 persen. Persentase terbesar kedua ditempati oleh penduduk dengan usia produktif 30−34 tahun, yaitu lebih kurang 10 persen. Berbicara mengenai agama, mayoritas penduduk Kelurahan Balumbang Jaya beragama Islam, yakni sebanyak 9.368 orang (99,07 persen). Selain itu, terdapat penduduk yang beragama Kristen (0,65 persen), Katolik (0,24 persen), dan Hindu (0,021 persen). Kehidupan beragama yang harmonis sangat diterapkan di wilayah Kelurahan Balumbang Jaya. Jika ada acara atau kegiatan di kelurahan ini (agama, pernikahan, kerja bakti, dan sebagainya), anggota masyarakat saling membantu. Aspek demografi berikutnya di Kelurahan Balumbang Jaya, yang sangat erat dengan kondisi SDA, adalah mata pencaharian penduduk. Sebagaimana yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, sawah dan perkebunan sebagian besar telah dikonversi menjadi kawasan perumahan dan pekarangan serta prasarana jalan. Hal ini berarti bahwa telah terjadi penyempitan lahan pertanian dimana penyempitan itu mengakibatkan para petani kehilangan mata pencaharian. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Kelurahan Balumbang Jaya tidak lagi memiliki pekerjaan. Banyaknya penduduk yang menganggur tersebut lebih kurang 25 persen.
Tabel 3. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Petani 432 7,18 Wiraswasta/Pedagang 1.062 17,67 Buruh 1.241 20,65 Swasta/BUMN/BUMD 839 13,96 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 96 0,16 TNI/Polri 10 0,16 Pensiunan 523 8,70 Tidak bekerja 1.506 25,06 Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.
Masih dalam hal mata pencaharian, jumlah terbesar kedua ditempati oleh penduduk yang berprofesi sebagai buruh dengan persentase sekitar 20 persen. Di Kelurahan Balumbang Jaya, orang-orang yang telah kehilangan pekerjaan pada sektor pertanian, terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau pun yang tidak
48
memiliki sumberdaya pribadi yang tinggi (pendidikan, keterampilan, dan modal) memilih bekerja sebagai seorang buruh. Sebagian besar buruh di Kelurahan Balumbang Jaya merupakan buruh bangunan dan pengangkut pasir. Jenis pekerjaan ini dilakoni oleh kaum laki-laki, sedangkan buruh perempuan bekerja sebagai tukang cuci dan Pembantu Rumah Tangga (PRT). Berbeda dengan buruh laki-laki yang cenderung bekerja serabutan (tidak tentu/pasti waktu dan penghasilannya), kondisi buruh perempuan lebih baik (pekerjaan rutin dan menerima bayaran per bulan). Buruh cuci di Kelurahan Balumbang Jaya sebagian besar bekerja di Asrama IPB, sedangkan PRT bekerja di kos-kosan atau pun perumahan di sekitar kelurahan tersebut. Selain
pengangguran dan
buruh,
jenis pekerjaan
lainnya
yang
mendominasi di Kelurahan Balumbang Jaya adalah pedagang (±17 persen). Sebagian besar penduduk yang memiliki profesi seperti ini bukanlah pedagang besar. Dengan kata lain, pedagang skala mikro (kecil). Ada yang berjualan gorengan (pisang, ubi, tahu, tempe, dan sebagainya), sayur (kangkung dan bayam), atau pun makanan ringan (cemilan) di sekolah-sekolah. Menurut pengakuan salah seorang penduduk yang berprofesi sebagai pedagang seperti ini, penghasilan yang diterima tidak pantas disebut “keuntungan” (laba). Jumlahnya yang sangat kecil hanya dianggap sebagai uang jajan sehari-hari, bahkan lebih banyak terpakai lagi seluruhnya untuk membeli bahan baku (salah satunya tepung). Aspek demografi terakhir yang dibahas adalah tingkat pendidikan. Penduduk
di
Kelurahan
Balumbang
Jaya
rata-rata
merupakan
lulusan
SD/Sederajat. Kondisi ekonomi yang sangat serba kekurangan mengakibatkan sebagian besar penduduk di kelurahan tersebut tidak dapat mengakses fasilitas pendidikan. Beruntung sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah mengadakan Program
Bantuan
Operasional
Sekolah
(BOS).
Sekolah-sekolah
negeri
membebaskan biaya pangkal (uang gedung) dan bulanan (SPP) untuk para muridnya. Bagi para orang tua di Kelurahan Balumbang Jaya, program ini sangat membantu meringankan beban rumah tangga terkait dengan anggaran untuk kebutuhan pendidikan anak-anak. Walaupun masih harus membayar uang buku
49
dan seragam, setidaknya program ini telah membantu dalam meringankan setengah beban rumah tangga miskin di kelurahan tersebut. Terkait dengan kebutuhan pendidikan, salah satu hal yang berpegaruh adalah ketersediaan fasilitas pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, Kelurahan Balumbang Jaya memiliki gedung SD sebanyak 3 buah, sedangkan gedung SLTP ada 1 buah. Adapun jumlah gedung Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kelurahan Balumbang Jaya masingmasing adalah 1 buah.
Tabel 4. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Tamatan SD/ Sederajat 1.683 49,70 Tamatan SLTP/ Sederajat 610 18,20 Tamatan SLTA/ Sederajat 986 29,12 Tamatan Akademi/D1–D3 46 1,35 Tamatan Perguruan Tinggi/S1–S2 60 1,77 Total 3.385 100 Sumber: Data Monografi Kelurahan Balumbang Jaya.
4.2
Karakteristik RTSM Responden Ciri-ciri khas rumah tangga responden juga dilihat dari tiga komponen.
Komponen itu berupa (1) status bekerja/aspek ekonomi suami−isteri, (2) rasio tingkat pendidikan suami−isteri, dan (3) kriteria RTSM penerima PKH menurut RTSM responden sendiri.
4.2.1 Status Bekerja (Aspek Ekonomi) Suami−Isteri Kategori pada status bekerja RTSM responden terdiri atas dua klasifikasi, yaitu (1) salah satu pihak berkontribusi dalam rumah tangga (isteri tidak bekerja−suami bekerja dan isteri bekerja−suami tidak bekerja) serta (2) suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga. Di bawah ini adalah tabel yang menunjukkan jumlah RTSM responden menurut status bekerja suami−isteri.
50
Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan jumlah dan persentase RTSM responden berdasarkan kontribusi ekonomi suami−isteri dalam rumah tangga yang dilihat dari status bekerja.
Tabel 5. Jumlah RTSM Responden Menurut Status Bekerja Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Status Bekerja Jumlah RTSM Persentase (%) Isteri Tidak Bekerja−Suami 11 37,93 Bekerja Isteri Bekerja−Suami Tidak 5 17,24 Bekerja Suami−Isteri Sama-Sama 13 44,83 Bekerja Total 29 100
Pada Tabel 5, terlihat bahwa RTSM responden didominasi oleh rumah tangga dengan tipe “suami−isteri sama-sama bekerja”. Rumah tangga ini, dalam periode Februari 2009 hingga Februari 2010, memiliki pekerjaan produktif (menghasilkan uang). Alasan mengapa isteri bekerja adalah ingin membantu suami. Isteri tidak mendapatkan tekanan atau paksaan dari siapa pun untuk bekerja. Kaum isteri dari RTSM dengan tipe “suami−isteri sama-sama bekerja” tidak setuju terhadap anggapan ”hanya laki-laki atau suami yang pantas dan mampu melakukan kerja produktif”. Salah satu RTSM responden memberikan tanggapan mengenai hal ini, yaitu: “Wah, enggak ah Neng, enggak setuju! (Tertawa). Kerja apa aja, selagi halal, badan juga masih sehat, kenapa enggak?? Malah kan bisa punya duit buat keluarga juga”. (RTSM 6: BR; 39 tahun; membuka usaha warung)
Jumlah terbesar kedua ditempati oleh RTSM responden dengan tipe ”hanya suami yang bekerja”. Dalam rumah tangga ini, kaum isteri tidak bekerja secara produktif. Oleh karena, isteri beranggapan ”seorang perempuan lebih baik berada di rumah, mengurus suami dan anak, serta mengatur rumah tangga”. BM (RTSM 7; 46 tahun) menuturkan:
51
“Mau jaga anak aja. Dia sih enggak pernah minta saya buat gimana-gimana. Emang sayanya yang mau di rumah. Ngurus suami, beres-beres rumah, sama ngejaga anak-anak. Makanya ada PKH gini, ya kebantu. Kan dulu mah semuanya harus dari uang suami, tapi sekarang dibantu sama PKH buat kebutuhan anak sekolah. […]”.
Tipe lain yang ditemukan pada RTSM responden dalam rentang waktu Februari 2009 hingga Februari 2010 adalah rumah tangga dimana hanya isteri yang bekerja. BE (RTSM 2; 44 tahun) yang bekerja sebagai buruh cuci di Asrama IPB Dramaga berkata bahwa suami beliau menganggur sejak tahun 2007. Namun, sebelum suami menganggur, BE memang telah bekerja sebagai buruh cuci. Suami BE pada awalnya bekerja di salah satu toko, tapi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berikut penuturan BE:
“Bapak nganggur, Neng. Udah tiga tahunan. Dulu kerja sama orang, kena PHK. Ya udah, enggak dapet kerja lagi. Cuma bantu-bantu Ibu aja sekarang. […]”.
Menurut BE, tidak semua kebutuhan sekolah anak dan rumah tangga dapat terpenuhi dari penghasilan beliau atau pun dana bantuan PKH. Namun, masih menurut beliau, PKH membantu dalam meringankan setengah beban rumah tangga. Di bawah ini adalah ungkapan beliau mengenai hal tersebut:
“Maunya Ibu dari dulu. Kalau mau nurutin enaknya sih, ya di rumah aja. Kayak yang orang kaya, Neng. Istrinya di rumah, cuma tinggal nerima duit. Tapi, kita kan bukan orang kaya. Kalau Ibu di rumah, bapak juga dulu tiap bulannya kecil banget dapetnya, jadi gimana buat makan sama sekolahnya anak-anak?? Kayak gini deh. Ini aja masih susah. PKH Alhamdulillah ngebantu setengahnya. Tapi, kan kebutuhan mah makin banyak, makin mahal”.
Sama seperti RTSM 2 di atas, BE (RTSM 4; 50 tahun), BH (RTSM 13; 54 tahun), BS (RTSM 30; 31 tahun), dan BA (RTSM 25; 42 tahun) hanya bekerja sendiri. Suami BE, PK (83 tahun), sakit sejak beberapa tahun lalu. Begitu pula dengan suami BH dan suami BS, yang masing-masing mengalami sakit batu ginjal dan paru-paru sejak lebih kurang dua tahun silam. Suami BA sendiri, PS (52 tahun), terkena PHK sejak tahun 2006. Berbeda dengan BE (RTSM 2), BE
52
(RTSM 4), BH, dan BS yang memang telah memiliki pekerjaan produktif sebelum suami terkena PHK atau sakit, BA baru bekerja sejak PS di-PHK. Jenis pekerjaan RTSM responden cenderung homogen, yaitu buruh bangunan dan buruh pencari pasir (suami) serta buruh cuci dan Pembantu Rumah Tangga/PRT (isteri). Sebagai seorang buruh, penghasilan yang diterima oleh kaum suami tentu tidak menentu. Hal ini bergantung pada ada−tidaknya ‘panggilan’ kerja. Berbeda dengan suami, kaum isteri menerima penghasilan setiap bulan (gaji) dari pekerjaan sebagai tukang cuci atau PRT. Kondisi ini dapat dilihat pada salah satu RTSM responden, yaitu BM (55 tahun) dan PS (60 tahun). BM bekerja sebagai buruh cuci pada salah satu rumah yang ada di sebuah kawasan perumahan, sedangkan PS merupakan seorang pencari pasir. Pendapatan BM tiap bulan adalah Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). PS sendiri dalam periode Februari 2009 sampai Februari 2010 mendapatkan tiga kali ‘panggilan’ kerja dan menerima upah Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dalam jangka waktu tersebut. Salah seorang anak perempuan dari pasangan suami−isteri ini juga bekerja dan menerima gaji. Namun, jumlahnya yang sedikit membuat BM dan PS tidak pernah menuntut apa pun dari gaji tersebut. Berikut ini merupakan penuturan BM (RTSM 1):
“Ibu dua setengah tiap bulan, itu emang cuma kerja di satu rumah aja. Kalau bapak, kan tahun kemaren mah ada tiga kali kerjaan. Dapet enem ratus semuanya. Sama yang PKH doang. Gajinya Isna mah enggak pernah Ibu sama bapak minta-minta. Kita malah kasian, Neng. Uangnya sedikit, jadi ya udah buat dia aja. Baik, Neng. Sayang sama orang tua […]”.
Berbeda dengan pasangan suami−isteri di atas, BN (39 tahun) dan PD (40 tahun) masing-masing bekerja sebagai buruh cuci di Asrama IPB Dramaga dan penjual sayur. Pendapatan BN sebesar Rp. 300.000,00/bulan (tiga ratus ribu rupiah per bulan), sementara itu PD bisa membawa pulang uang tiap bulan lebih kurang Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah). Berikut ini adalah penjelasan yang diungkapkan oleh BN (RTSM 14):
53
“Iya! (Tertawa). Enggak sampe’ gede-gede kok jumlahnya. Di bawah lima puluh lah. Yaaaa, emmmm, tulis aja tiga puluan Teh. (Tertawa). Kalau Ibu sih, Alhamdulillah agak gede’ an dikit. Tiga ratus lah tiap bulan. […]”.
Ada pula salah satu RTSM responden yang bekerja sebagai penjual gorengan. Namun, jualan tersebut tidak dijajakan sendiri. BE (50 tahun) merasakan kondisi fisik yang lemah, selain itu suami beliau (PK, 83 tahun) menderita sakit sejak beberapa tahun lalu. Hal-hal ini yang mengakibatkan BE menitipkan dagangan kepada orang lain untuk dijual. Berikut ini ungkapan beliau (RTSM 4):
“(Tertawa), iya enggak apa-apa. Ya kan cuma lima hari jualan aja setiap minggu. Kadang dapet sepuluh, dua limaan, ya kadang dua tiga. Ya seringnya antara dua puluan lebih dikit lah. Ya sok atuh, diitung aja sebulan mah Ibu dapet berapa, kecil! (Tertawa). […]”.
Berdasarkan penuturan di atas, dapat disimpulkan bahwa penghasilan yang diterima oleh BE lebih kurang Rp. 400.000,00/bulan (empat ratus ribu rupiah tiap bulan). Menurut BE, jumlah ini bukan keuntungan yang sebenarnya. Tapi, hanya sebatas balik modal. Uang tersebut tidak benar-benar dapat menopang kehidupan rumah tangga. Hal ini karena sebagian besar dari jumlah tersebut digunakan kembali untuk membeli bahan dagangan. Rumah tangga responden lainnya, BR (34 tahun) dan PA (44 tahun), masing-masing bekerja sebagai buruh cuci di sekitar tempat tinggal beliau dan tukang servis alat elektronik (kipas angin, radio, televisi). Jika sang Istri menerima pendapatan Rp. 350.000,00/bulan (tiga ratus lima puluh ribu rupiah per bulan), PA bisa memperoleh Rp. 200.000,00/bulan (dua ratus ribu rupiah tiap bulan). Hal ini diutarakan oleh BR (RTSM 6):
“[…] dikit. Suami mah sebulan bisa dua ratus ribu. Kalau saya, yaaaa lebih seratus lima puluh lah! (Tertawa). Udah sih, sama yang uang PKH aja”.
Adapun pasangan BI (29 tahun) dan PM (28 tahun) yang masing-masing memiliki pekerjaan sebagai cleaning service di Kampus IPB Dramaga dan buruh bangunan, sang Istri berpenghasilan Rp. 200.000,00/bulan (dua ratus ribu rupiah tiap
54
bulan). Sementara itu, PM mendapatkan tiga kali ‘panggilan’ kerja dalam periode Februari 2009 sampai dengan Februari 2010 sehingga penghasilan beliau sebesar Rp. 900.000,00 (sembilan ratus ribu rupiah) selama rentang waktu tersebut. Berikut penuturan pasangan suami−isteri ini (RTSM 29):
(BI) “Sebulannya kecil, Neng. Cuma dua ratus”. (PM) “Saya Alhamdulillah tahun kemaren ada tiga kali panggilan kerja. Sebulan dapetnya seratus, jadi bisa ada sembilan ratus lah tahun kemaren. Sekarang aja nih, lagi sepi panggilan. (Tertawa)”.
Rumah tangga responden bernomor 28 (dua puluh delapan), BS dan PS, masing-masing bekerja sebagai buruh cuci dan supir pribadi (terkadang supir mobil bak). Pekerjaan sebagai supir dilakukan oleh PS hanya jika ada ‘panggilan’ kerja. Bila tidak ada, sang Istri yang akan bekerja. Hal tersebut berarti bahwa RTSM ini tidak menerima penghasilan setiap bulan. Pendapatan yang diterima oleh PS sekali ‘panggilan’ kerja adalah Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah), sedangkan sang Istri mendapatkan Rp. 55.000,00/kerja (lima puluh lima ribu rupiah per satu kali mencuci). Di bawah ini merupakan penjelasan BS dan PS:
(PS)“Bapak cuma yaaa tiga puluan, kecil ya Neng? (Tertawa)”. (BS) “Ibu Alhamdulillah gede’ an dikit, tapi dikiiiiiit aja. Cuma sekitar lima-lima sekali nyuci. Enggak tentu, kadang sebulan enggak kerja si Bapak, jadi Ibu yang nyuci. Kalo’ bapak kerja, ya Ibu enggak. Kan jaga si Ade’ kecil. Sama dapet dari PKH. Enggak ada lagi. Emang cuman ini, Neng”.
4.2.2 Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri Ada dua kategori yang menjadi karakteristik rasio jenjang pendidikan RTSM responden. Variasi nilai tersebut, antara lain (1) isteri rendah−suami rendah (sama-sama tamatan SD) dan (2) salah satu pihak lebih tinggi (tingkat pendidikan isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, serta SMP−SD).
55
Berikut ini tabel yang memperlihatkan jumlah RTSM responden berdasarkan tingkat pendidikan suami−isteri.
Tabel 6. Jumlah RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri Kelurahan Balumbang Jaya Tahun 2009 Rasio Tingkat Pendidikan Jumlah RTSM Persentase (%) Isteri Rendah−Suami 23 79,31 Rendah Isteri Rendah−Suami 1 3,45 Sedang Isteri Rendah−Suami 3 10,34 Tinggi Isteri Sedang−Suami 2 6,90 Rendah Total 29 100
Hampir semua RTSM responden berpendapat bahwa pendidikan memiliki peranan penting baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Rumah tangga responden merasa sangat rugi dengan jenjang sekolah formal yang pernah dikenyam. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan pasangan suami−isteri tersebut, dua diantaranya, sulit mengakses jenis pekerjaan produktif yang bergaji tinggi serta kesulitan untuk memberikan pengajaran kepada anak dalam hal mata pelajaran sekolah. Namun, hampir seluruh RTSM responden juga lebih memilih anak laki-laki untuk disekolahkan, jika dana yang dimiliki sangat terbatas. Alasan yang dikemukakan, tentu saja, karena anak laki-laki dianggap akan menjadi seorang kepala rumah tangga. Untuk bisa memasuki dunia kerja yang layak, si Anak harus mengenyam pendidikan yang tinggi pula. Sementara itu, anak perempuan masih bisa diajarkan memasak dan mengurus rumah. Berikut penuturan salah satu RTSM responden:
“Sama aja sih. Tapi, kalau perempuan kan masih bisa diajarin masak. Jadi, kalau enggak ada duit, ya udah diajarin masak aja”. (RTSM 8: BR; tamatan SD)
4.2.3 Kriteria RTSM Penerima PKH Semua RTSM responden memiliki kesamaan pendapat mengenai siapa yang berhak untuk menjadi peserta PKH. Berbagai kriteria tersebut adalah memiliki rumah yang kurang baik kondisinya, suami−isteri bekerja sebagai buruh,
56
memiliki anak balita/ibu hamil/ibu melahirkan dan/atau anak usia sekolah, serta mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hampir semua rumah RTSM responden memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tanpa teras dan pagar, beratapkan seng, dindingnya terbuat dari triplek, dan lantai berupa semen. Di dalam rumah, bagian depan merupakan ruang tamu dan terdapat paling banyak dua kamar tidur. Sementara itu, pada bagian belakang rumah, terdapat dapur dan kamar mandi. Rumah-rumah tersebut berukuran sangat sederhana. Adapun kepemilikan barang elektronik, hampir seluruh RTSM responden telah dan hanya memiliki satu buah televisi.
BAB V PELAKSANAAN PKH DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA
5.1
Kelembagaan PKH Pemilihan rumah tangga untuk menjadi peserta PKH dilakukan
berdasarkan kriteria BPS. Ada 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin yang nantinya berhak untuk menjadi penerima bantuan PKH, yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester. 4. Tidak punya fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar memasak sehari-hari adalah kayu bakar/minyak tanah/arang. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas/Poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,00/bulan (enam ratus ribu per bulan). 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, yaitu tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), seperti sepeda motor (kredit/nonkredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Di Kelurahan Balumbang Jaya sendiri, hampir semua rumah RTSM responden memiliki ciri-ciri yang sama. Rata-rata rumah tersebut tidak memiliki teras dan pagar, beratapkan seng, dindingnya terbuat dari triplek, dan lantai
58
berupa semen. Di dalam rumah, bagian depan merupakan ruang tamu dan terdapat paling banyak dua kamar tidur. Sementara itu, pada bagian belakang rumah, terdapat dapur dan kamar mandi. Rumah-rumah tersebut berukuran sangat sederhana. Adapun kepemilikan barang elektronik, hampir seluruh RTSM responden telah dan hanya memiliki satu buah televisi. Ada tiga ketentuan utama yang harus dipenuhi oleh RTSM saat melakukan registrasi. Adapun ketentuan tersebut, yaitu (1) memiliki anak usia sekolah 6–18 tahun, tapi belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun; (2) memiliki anak usia 0–5 tahun; serta (3) terdapat ibu yang sedang hamil/nifas. Bantuan tetap per RTSM/tahun adalah 200 ribu rupiah. Dana bantuan minimum per RTSM sebesar 600 ribu rupiah dan maksimum 2,2 juta rupiah. Jika suatu RTSM mendapatkan uang komponen pendidikan SD dan SLTP masing-masing sebesar 400 ribu rupiah dan 800 ribu rupiah dengan dana tetap 200 ribu rupiah maka total bantuan PKH yang diterima adalah 2,2 juta rupiah. Dana ini akan dibagi dalam tiga kali pencairan. Program Keluarga Harapan (PKH) dilaksanakan oleh UPPKH pusat, kabupaten/kota, dan pendamping. Peran yang dijalankan oleh setiap pelaksana adalah: 1. Unit Pelaksana Pusat: merancang serta mengelola persiapan dan pelaksanaan program. Selain itu, UPPKH pusat melakukan pengawasan terhadap perkembangan di tingkat daerah dan menyediakan bantuan yang dibutuhkan. 2. Unit Pelaksana Kabupaten/Kota: melaksanakan program dan memastikan alur informasi yang diterima dari kecamatan ke pusat dapat berjalan dengan baik. Unit ini juga mengelola serta mengawasi kinerja pendamping. 3. Pendamping: aktor kunci yang menjembatani antara para penerima manfaat (peserta PKH) dengan berbagai pihak yang terlibat di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan PKH, terdapat tim koordinasi yang membantu kelancaran program di tingkat provinsi. Ada pula PT Pos yang bertugas untuk menyampaikan informasi berupa (1) undangan pertemuan pertama kali dengan RTSM peserta, (2) pengaduan masyarakat umum tentang PKH, dan (3) bantuan ke tangan peserta (memfasilitasi tempat berlangsungnya pencairan dana). Di
59
samping itu, pihak di luar struktur yang berperan penting dalam pelaksanaan PKH, yakni lembaga pelayanan kesehatan dan pendidikan di setiap kecamatan di mana PKH dilaksanakan.
5.2
Peran Pendamping Pendamping merupakan pelaksana PKH di tingkat kecamatan, yang
memiliki peran inti sebagai perpanjangan tangan antara RTSM dengan pemerintah dalam memperoleh hak. Oleh karena itu, pendamping mendapatkan julukan ”mata dan telinga bagi program” (melihat kondisi di lapangan dan mendengarkan keluhan RTSM). Di Kelurahan Balumbang Jaya, terdapat dua orang pendamping (PA dan BI) yang membantu RTSM dalam mengakses fasilitas kesehatan serta pendidikan. PA sendiri merupakan koordinator pendamping di Kecamatan Bogor Barat. Kedua pendamping ini mengurus 93 RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya yang meliputi daerah Babakan Lebak, Babakan Lio, dan Sawah Baru. Tugas-tugas persiapan program yang dilakukan oleh pendamping, antara lain: 1. Menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum. Para peserta dan kedua pendamping PKH berkumpul di kantor desa. Pendamping menjelaskan apa itu PKH, mengapa RTSM tersebut bisa menjadi peserta PKH, dan semua kewajiban serta hak para peserta. Selain itu, banyak anggota masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya yang merasa tidak mampu memprotes mengapa rumah tangga mereka tidak menjadi peserta PKH. Para pendamping berkata bahwa mereka tidak ikut andil dalam mendata rumah tangga yang dianggap sebagai RTSM. Kedua pendamping hanya menerima data RTSM dan menjalankan tugas pendampingan. 2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas lima belas hingga dua puluh lima orang serta memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH. Pemilihan ketua dilakukan melalui dinamika kelompok, salah satunya mengadakan games, untuk menemukan seorang yang aktif, mudah bergaul, dan bertanggungjawab yang pantas dijadikan sebagai mother leader. Di Babakan Lebak, Babakan Lio, dan Sawah Baru, setiap RW beranggotakan
60
lima belas hingga dua puluh orang ibu-ibu peserta PKH. Hal ini untuk memudahkan kegiatan pendampingan. 3. Membantu
peserta
dalam
mengisi
Formulir
Klarifikasi
Data
dan
menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota. Hampir semua anggota setiap kelompok tidak memahami arti pertanyaanpertanyaan yang ada di dalam Formulir Klarifikasi. Hal ini mengapa kedua pendamping merasa perlu untuk menuntun para peserta. Sementara itu, Surat Persetujuan berisikan pernyataan setuju atau tidak si Ibu untuk membawa anak ke Posyandu dan/atau menyekolahkan anak. 4. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah. Pendamping memperkenalkan peserta kepada petugas kesehatan (dokter dan/atau bidan) serta pendidikan (kepala sekolah dan guru). Pendamping akan mengecek apakah si Ibu benar-benar membawa anaknya ke Posyandu atau tidak serta apakah si Anak benar-benar sekolah atau tidak. Anak sekolah harus hadir minimal 85 persen di kelas. Pendamping juga memiliki beberapa tugas rutin. Ada lima aspek tugas rutin yang harus dilakukan pendamping, diantaranya: 1. Menerima
pemutakhiran
data
peserta
dan
mengirimkan
Formulir
Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota. Formulir Pemutakhiran berfungsi sebagai alat untuk mendata ulang kondisi terakhir (terbaru) RTSM peserta. Kondisi ini menyangkut apakah si Ibu sedang hamil atau tidak, apakah ada anak bayi atau balita dalam rumah tangga peserta, apakah anak usia sekolah benar-benar masih bersekolah atau tidak, dan sebagainya. Para pendamping akan mendatangi setiap RTSM peserta untuk mendampingi RTSM dalam mengisi formulir tersebut. 2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota. Prosedur pengaduan biasanya dari ketua kelompok dan/atau ibu ke pendamping. Jika tidak terselesaikan, akan diteruskan kepada koordinator pendamping bahkan UPPKH kota. Di Babakan Lebak RW 05, pernah ada
61
seorang ibu peserta PKH yang memiliki masalah kandungan sehingga beliau harus menjalani operasi sesar. Pada awalnya, Puskesmas SB tidak mau menerima karena beliau dianggap ”miskin” dan tidak sanggup membayar uang muka. Beliau mengadukan masalah ini kepada kedua pendamping. PA dan BI pun mengurus masalah ini ke Puskesmas yang bersangkutan. Akhirnya, si Ibu mendapatkan fasilitas operasi gratis. Namun, untuk obatobatan, beliau tetap harus membayar sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Adapula kasus yang dialami oleh BR yang dimintai uang pangkal, padahal sekolah tersebut termasuk ke dalam daftar sekolah yang menerima dana BOS. Sedangkan, di Babakan Lebak RW 06, masalah bersumber dari seorang kader Posyandu. Tanpa alasan yang jelas, beliau meminta uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) kepada semua peserta RW 06. Beruntung penarikan uang hanya berlangsung sekali, karena kedua pendamping segera menyelesaikan masalah ini. 3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen. Pada awal pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya (tahun 2007), ada beberapa RTSM yang tidak menyekolahkan anaknya. Ada pula yang lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki saja. Namun, kedua masalah ini dapat teratasi dengan sanksi tegas yang diberikan oleh pendamping kepada RTSM tersebut. Akhirnya, peserta yang bermasalah itu kini dapat kembali menjadi anggota PKH (nomor barcode peserta diaktifkan kembali). 4. Melaksanakan pertemuan dengan ketua kelompok, ketua dan peserta, dan penyedia layanan kesehatan serta pendidikan masing-masing sebulan sekali, tiga bulan sekali, dan setiap bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya. Di Kelurahan Balumbang Jaya, pertemuan dengan ketua kelompok dilaksanakan setiap bulan. Pendamping akan memantau apakah anggota si Ketua telah memenuhi kewajiban atau belum serta menanyakan apakah ada keluhan atau tidak. Pendamping juga memberikan sejumlah informasi terkait PKH. Pertemuan dengan ketua dan peserta dilaksanakan setiap enam bulan. Namun, pada hari kerja, kedua pendamping sering berkunjung ke anggota, ketua, sekolah, dan Posyandu. Hal ini dilakukan guna memantau apakah
62
peserta dan pelayan pendidikan serta kesehatan benar-benar memenuhi komitmen atau tidak. 5. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan). Pendamping menunjukkan hasil kegiatan pendampingan. Petugas kesehatan dan pendidikan pun memberikan laporan perkembangan peserta. Hasil yang ditunjukkan oleh ketiga pihak ini dievaluasi bersama dengan UPPKH daerah. Saat
pencairan
dana,
pendamping
melakukan
pengawasan
dan
pengamatan. Persiapan yang harus dilakukan pendamping sebelum pencairan dana, yaitu: 1. Memberikan kartu peserta kepada ketua kelompok, yang kemudian dibagikan ke seluruh anggota. Kartu peserta biasanya diberikan kepada setiap ketua kelompok seminggu sebelum pencairan dana dan ketua langsung membagikannya kepada semua anggota. 2. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH. Hal ini terkait dengan kesiapan kantor dan petugas pos untuk membantu UPPKH kecamatan dalam melakukan pencairan dana. 3. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok maksimal dua minggu sebelumnya dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh anggota RTSM yang namanya tercantum sebagai peserta. Di Kelurahan Balumbang Jaya, PA dan BI akan mendatangi setiap mother leader satu/dua minggu sebelum pencairan dana dan kembali lagi tiga/empat hari sebelum pencairan itu. Dalam pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya, sejauh ini belum ada pelanggaran yang dilakukan oleh kedua pendamping. Artinya, para pendamping tersebut melaksanakan semua tugas dan kegiatan pendampingan dengan baik.
63
5.3
Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan Ada beberapa alasan mengapa fasilitas atau pelayanan kesehatan sangat
dibutuhkan dalam pelaksanaan PKH. Tenaga kesehatan (dokter, bidan) dibutuhkan guna (1) membimbing peserta PKH dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan, (2) melakukan verifikasi apakah peserta telah memenuhi komitmen, dan (3) memberikan kesempatan untuk memeriksakan kesehatan. Di Kelurahan Balumbang Jaya, hanya ada satu RTSM penerima dana bantuan komponen kesehatan pada periode Februari 2009 hingga Februari 2010. Peserta ini, karena memiliki anak balita, mendapatkan bantuan sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) yang terbagi ke dalam tiga kali pencairan. Bantuan tunai dibayarkan setiap tiga bulan melalui Kantor Pos Semeru. Dana tahap I diberikan, karena peserta telah menghadiri pertemuan awal. Bantuan tahap triwulan berikutnya dibayarkan, karena sudah memenuhi komitmen, yaitu mengunjungi Pemberi Pelayanan Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan, penimbangan, dan pemberian vitamin kepada anak. Fasilitas kesehatan yang didatangi oleh peserta di Babakan Lebak RW 05 adalah Posyandu Dahlia, sedangkan RTSM yang bertempat tinggal di Babakan Lio RW 10 dan 11 masingmasing mendatangi Posyandu Anggrek dan Posyandu Cingcalo. Untuk RTSM yang bertempat tinggal di Sawah Baru RW 12, Balita diperiksa di Posyandu Cingcalo. Ada dua alasan mengapa RTSM memeriksakan anak balita di PosyanduPosyandu tersebut. Pertama, baik Posyandu Dahlia, Anggrek, maupun Cingcalo, ketiganya terletak di setiap RW. Dengan kata lain, tiap RW memang memiliki satu Posyandu. Alasan kedua adalah ketiga Posyandu mempunyai jarak yang dekat dengan rumah peserta PKH sehingga dapat diakses hanya dengan berjalan kaki.
5.4
Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Pendidikan Bantuan bagi yang memiliki anak usia SD dan SMP masing-masing
sebesar 400 ribu rupiah serta 800 ribu rupiah. Bantuan tunai tahap I diberikan kepada peserta, bila telah menghadiri pertemuan awal yang dikoordinasi oleh UPPKH kecamatan dan anak-anak dari RTSM peserta PKH sudah terdaftar di
64
lembaga pendidikan tertentu, namun kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan. Dana triwulan berikutnya akan dibayarkan, jika anak-anak dari keluarga peserta PKH telah memenuhi komitmen, yakni 85 persen kehadiran di kelas. Di Kelurahan Balumbang Jaya, ada 54 RTSM penerima bantuan komponen pendidikan. Jumlah ini merupakan mayoritas dan disusul oleh penerima dana gabungan (pendidikan dan kesehatan). Lembaga pendidikan formal yang dapat diakses oleh anak dari RTSM peserta PKH di kelurahan ini, antara lain SDN Balungbang Jaya (Jalan Babakan Lebak RW 06), SDN 4 Dramaga (Kelurahan Balumbang Jaya), SMP Sejahtera (Jalan Babakan Lebak RW 06), SMP 1 Dramaga (Jalan Babakan Dramaga), SMP Kornita (Jalan Dramaga), dan SMPN Terbuka 1 Dramaga (Jalan Babakan Dramaga). Layaknya fasilitas kesehatan, terdapat latar belakang mengapa RTSM menyekolahkan anak di berbagai lembaga pendidikan tersebut. Lembaga pendidikan ini dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau menaiki angkot sebanyak satu kali.
5.5
Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM) Sistem Pengaduan di Kota Bogor belum melibatkan perguruan tinggi dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengawas. Dalam periode 2007 hingga 2010, kendala yang ditemukan di Kelurahan Balumbang Jaya adalah (1) ada RTSM yang tidak menyekolahkan anak, (2) ada peserta yang lebih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki, dan (3) keluhan dari beberapa rumah tangga, karena merasa tidak diikutsertakan sebagai peserta PKH. Untuk masalah point 1 dan 2, kedua hal tersebut terjadi hanya saat awal implementasi program. Masalah ini telah berhasil diselesaikan antara pendamping dengan RTSM yang bersangkutan. Terkait dengan masalah point ke-3, penyampaian keluhan dilakukan langsung kepada kedua pendamping. Para pendamping kemudian melaporkan masalah ini ke Dinas Sosial Kota Bogor. Dinas Sosial lalu membawa keluhan ini kepada UPPKH pusat. Jawaban yang didapatkan adalah data para peserta akan diperbaharui pada tahun 2010.
65
Para pendamping dan Dinas Sosial Kota Bogor memang tidak memiliki wewenang dalam menentukan siapa saja RTSM yang berhak untuk menjadi peserta PKH. Dengan kata lain, proses penentuan (pemilihan) RTSM peserta PKH dilakukan oleh UPPKH pusat (Departemen Sosial). Departemen Sosial memetakan siapa saja RTSM yang berhak untuk menjadi peserta PKH berdasarkan hasil sensus penduduk. Data-data tersebut kemudian diberikan kepada UPPKH kota/kabupaten. Dalam penelitian ini, UPPKH kota yang dimaksud adalah Dinas Sosial Kota Bogor. Selanjutnya, Dinas Sosial tersebut menyampaikan hasil keputusan Departemen Sosial mengenai lokasi kerja pendamping di lapangan dan data RTSM peserta PKH di lokasi tersebut.
BAB VI ANALISIS EFEKTIVITAS MANFAAT PKH
6.1
Efektivitas Manfaat PKH Dalam subbab ini, dipaparkan dua hal utama. Beberapa hal yang
berhubungan dengan efektivitas manfaat PKH tersebut adalah (1) definisi dan ukuran efektivitas manfaat PKH dalam penelitian serta (2) efektivitas manfaat PKH RTSM responden di Kelurahan Balumbang Jaya.
6.1.1 Definisi dan Ukuran Efektivitas Manfaat PKH dalam Penelitian Pada Subbab Perumusan Masalah, telah disebutkan bahwa salah satu tujuan Studi “Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini adalah mengkaji hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH. Sebelum membahas bagaimana hubungan tersebut, perlu dibahas terlebih dulu mengenai definisi dan ukuran efektivitas manfaat PKH yang digunakan dalam penelitian ini. Efektivitas manfaat PKH mengacu kepada tingkat keberhasilan program dalam membantu proses pemenuhan kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM, yang dilihat dari alokasi dana bantuan PKH oleh RTSM responden di Kelurahan Balumbang Jaya. Dengan kata lain, seberapa banyak jumlah (rupiah) yang dikeluarkan dari dana PKH dalam rumah tangga dan hal tersebut yang mengindikasikan seberapa tinggi tingkat ketercapaian pemenuhan kebutuhan kesehatan. Selanjutnya, tingkat ketercapaian pemenuhan kebutuhan kesehatan RTSM ini menunjukkan seberapa jauh (tingkat) keberhasilan PKH dalam membantu proses pemenuhan kebutuhan kesehatan. Kebutuhan kesehatan RTSM responden peserta PKH mencakup kesehatan bagi bayi, balita, dan ibu hamil/melahirkan/yang berada dalam masa nifas. Aspek apa saja yang harus terpenuhi telah tertuang (diatur) dalam juklak PKH (Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan, 2008). Komponen kesehatan bagi bayi dan balita yang harus terpenuhi adalah (1) ditimbang berat badannya dan (2) mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam rentang waktu satu tahun. Sementara itu, kebutuhan kesehatan bagi ibu
67
hamil/melahirkan/yang berada dalam masa nifas adalah (1) diperiksa kesehatan diri dan janin, (2) mendapatkan vitamin, (3) dibantu persalinannya oleh tenaga medis, (4) mendapatkan obat-obatan terutama jika sedang sakit, serta (4) diperiksa kesehatannya sesuai dengan kondisi yang dialami (apakah sedang dalam masa kehamilan, akan mengalami proses persalinan, atau sedang berada dalam masa nifas). Adapun kebutuhan pendidikan RTSM, meliputi keperluan pendidikan untuk anak usia sekolah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan anak usia sekolah adalah orang-orang yang berusia 6−18 tahun yang belum dan harus mengikuti (menamatkan) proses wajib belajar 9 tahun. Item (jenis) kebutuhan pendidikan apa saja yang harus dipenuhi oleh RTSM responden tidak tertuang dalam juklak Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Pendidikan (2008). Oleh karena itu, penulis merinci sendiri item apa saja yang pada umumnya menjadi kebutuhan pendidikan (sekolah) anak. Berbagai jenis kebutuhan itu, antara lain (1) uang pangkal, (2) Lembar Kerja Siswa (LKS), (3) seragam/sepatu/tas, (4) alat tulis (buku/pensil/penghapus/penggaris/pulpen), (5) uang jajan, (6) uang bayaran SPP, (7) bayaran ekstrakulikuler, dan (8) iuran/sumbangan ke sekolah. Terkait dengan ukuran efektivitas manfaat PKH, penulis mengkategorikan ukuran tersebut ke dalam dua kelompok. Jenis-jenis ukuran efektivitas manfaat PKH yang digunakan dalam studi ini berupa efektivitas (1) rendah serta (2) tinggi. Sebelum membahas kedua jenis efektivitas ini, perlu diketahui bahwa ada dua tipe RTSM responden yang ditemukan dalam penelitian ini. Ada RTSM responden yang hanya mendapatkan dana bantuan PKH untuk kebutuhan pendidikan (RTSM responden komponen pendidikan) dan terdapat pula RTSM yang memperoleh dana untuk keperluan kesehatan serta pendidikan (RTSM responden komponen gabungan). Rumah tangga responden komponen pendidikan hanya memiliki anak usia sekolah, sedangkan RTSM komponen gabungan tentunya memiliki anak usia sekolah dan anak bayi/balita. Dana bantuan PKH diberikan berdasarkan kondisi RTSM responden. Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anak usia SD diberikan dana sebesar Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah). Rumah tangga responden peserta PKH yang memiliki anak usia SMP diberikan uang bantuan Rp.
68
800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). Sementara itu, RTSM responden yang memiliki anak bayi/balita diberikan bantuan sebesar Rp. 800.000,00 (delapan ratus ribu rupiah). Setiap RTSM peserta PKH, baik rumah tangga komponen pendidikan maupun gabungan, mendapatkan dana bantuan tetap dari pemerintah sebanyak Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ada dua ukuran efektivitas manfaat PKH bagi RTSM responden komponen pendidikan. Pertama, efektivitas rendah. Rumah tangga peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas rendah, jika penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 (kurang dari/sama dengan sembilan puluh) persen. Kedua, efektivitas tinggi. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, bila pemanfaatan dana PKH untuk keperluan pendidikan anak >90 (lebih besar dari sembilan puluh) persen. Berkenaan dengan ukuran efektivitas manfaat PKH bagi RTSM responden komponen gabungan, terdapat dua ukuran pula. Pertama, efektivitas rendah. Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas rendah, apabila skor kesehatan sama dengan 2 (dua) dan penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen. Kedua, efektivitas tinggi. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, jika skor kesehatan sama dengan 2 serta penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak >90 persen. Dalam penelitian ini, semua bayi/balita pada RTSM responden komponen gabungan memang ditimbang berat badannya dan mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam periode satu tahun. Hal ini mengapa skor kesehatan RTSM tersebut bernilai dua. Pada kedua jenis RTSM responden, terdapat persamaan yang dilakukan oleh penulis dalam proses penghitungan alokasi dana PKH untuk menentukan tingkat efektivitas manfaat PKH. Setiap item kebutuhan diberikan keterangan berupa harga, yang tentunya dilakukan berdasarkan jawaban RTSM responden. Harga-harga itu kemudian dijumlah (ditotal). Hasilnya dibagi dengan jumlah dana PKH yang diterima. Selanjutnya, hasil tersebut dikali dengan 100% (seratus persen).
69
6.1.2 Efektivitas
Manfaat
PKH
RTSM
Responden
di
Kelurahan
Balumbang Jaya Terkait dengan alokasi dana PKH dalam rumah tangga, penulis menemukan sebuah hasil yang menunjukkan bagaimana efektivitas manfaat PKH RTSM responden. Efektivitas manfaat PKH di Kelurahan Balumbang Jaya ternyata cenderung “tinggi”. Ada sekitar 75 persen RTSM responden yang termasuk ke dalam kategori ini. Sisanya, lebih kurang 24 persen, merupakan rumah tangga responden yang berada dalam kelompok efektivitas “rendah”. Pada RTSM responden komponen pendidikan, terlihat dua hal utama Pertama, rumah tangga responden komponen pendidikan dikategorikan efektivitas “tinggi”, karena penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak >90 persen. Kedua, RTSM peserta PKH memiliki efektivitas “rendah”, karena pemanfaatan dana bantuan PKH untuk kebutuhan pendidikan anak ≤90 persen. Ada dua hal utama pula yang terlihat pada RTSM responden komponen gabungan. Pertama, efektivitas “tinggi”. Rumah tangga responden dikategorikan seperti ini, karena skor kesehatan sama dengan 2 serta penggunaan dana PKH bagi keperluan sekolah anak >90 persen. Kedua, efektivitas “rendah”. Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) peserta PKH dikatakan memiliki efektivitas “rendah”, karena skor kesehatan sama dengan 2 dan penggunaan dana bantuan PKH untuk kebutuhan sekolah anak ≤90 persen. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini, semua bayi/balita pada RTSM responden komponen gabungan memang ditimbang berat badannya dan mendapatkan vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali dalam periode satu tahun. Hal ini mengapa skor kesehatan RTSM tersebut bernilai dua.
6.2
Analisis Tipe Pengambilan Keputusan RTSM untuk Alokasi Dana PKH Pada subbab ini, dipaparkan mengenai dua hal yang sangat erat kaitannya
dengan tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pertama, definisi dan tipe pengambilan keputusan rumah tangga. Kedua, hubungan antara tipe pengambilan keputusan RTSM responden untuk alokasi dana PKH dengan efektivitas manfaat PKH.
70
6.2.1 Definisi dan Tipe Pengambilan Keputusan Rumah Tangga Proses pengambilan keputusan berkaitan erat dengan kekuasaan dan pembagian kerja. Hal ini karena, kekuasaan sendiri dinyatakan sebagai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan keluarga (Pudjiwati, 1985). Pengambilan keputusan ini bisa tersebar dengan sama nilainya (equally) atau tidak sama nilainya (khususnya antara suami dan isteri). Adapun pembagian kerja, merujuk kepada pola peranan yang ada dalam keluarga dimana khususnya suami dan isteri melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Kombinasi dari kedua aspek itu (kekuasaan dan pembagian kerja), menurut Blood dan Wolfe dalam Pudjiwati (1985), adalah hal yang paling mendasar dalam keluarga, yang dipengaruhi pula oleh posisi keluarga di lingkungan atau masyarakatnya. Pudjiwati (1985) mengungkapkan peranan perempuan di dalam dan luar rumah tangga sebagai pengambil keputusan pada berbagai bidang kehidupan cukup bervariasi. Bentuk-bentuk peranan ini berupa (1) keputusan oleh perempuan sendiri sebagai isteri; (2) tidak oleh isteri, artinya oleh suami sendiri; (3) suami dan isteri bersama-sama dengan pengaruh isteri paling besar atau suami terbesar; serta (4) bersama–setara (kesalingtergantungan suami dan isteri). Ada kondisi dimana suatu hubungan antara pria dan wanita menunjukkan distribusi
kekuasaan
yang
seimbang
(balanced
power),
tapi
ada
kesalingtergantungan yang kuat antara pria dan wanita. Dalam hal ini, tidak ada hubungan yang saling mendominir. Sementara itu, terdapat pula hubungan antara pria dengan wanita yang menunjukkan hierarki dalam kekuasaan. Artinya bahwa distribusi kekuasaan antara pria dan wanita tidak seimbang. Untuk hal ini, salah satu pihak atau jenis kelamin memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain dan mendominasinya (Rogers, 1978 dalam Pudjiwati, 1985). Berkaitan dengan penelitian ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini, tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH diartikan sebagai siapa diantara suami dan isteri yang memiliki kekuasaan (kontrol) dalam segala keputusan mengenai pengeluaran/penggunaan dana PKH. Karena dana PKH ditujukan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan rumah tangga, dimana kedua kebutuhan itu merupakan wilayah domain isteri, proses
71
pengambilan keputusan yang diasumsikan dalam penelitian ini terdiri atas (1) dominasi oleh isteri dan (2) setara. Ada sejumlah item kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Berbagai item itu diberikan keterangan ”didominasi oleh isteri” atau ”setara”, yang tentunya dilakukan berdasarkan jawaban RTSM responden. Selanjutnya, dihitung berapa item yang ”didominasi oleh isteri” dan ”setara”. Jumlah terbesar menunjukkan tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Karena kebutuhan kesehatan dan pendidikan berada di wilayah kekuasaan isteri, dominasi oleh isteri terhadap alokasi dana PKH diasumsikan mampu menjadikan manfaat PKH cenderung efektif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa suami juga merupakan bagian dari rumah tangga (orang tua si Anak). Untuk itu, perlu dilihat pula bagaimana peran suami dalam proses pengalokasian dana PKH. Saat suami−isteri telah setara (bertukar pikiran, berdiskusi, dan memutuskan bersama), penulis menduga manfaat PKH dapat menjadi lebih efektif.
6.2.2 Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH dengan Efektivitas Manfaat PKH Studi ini menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan yang “setara”, efektivitas manfaat PKH cenderung “tinggi”. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe pengambilan keputusan “didominasi oleh salah satu pihak”, efektivitas manfaat PKH cenderung “rendah”. Dalam penelitian ini, “dominasi oleh salah satu pihak” mengarah kepada “dominasi isteri” pada setiap pilihan (keputusan) terkait dengan penggunaan/pemanfaatan dana bantuan PKH. Sebagai contoh tipe pengambilan keputusan yang “setara”, efektivitas manfaat PKH yang “tinggi” terjadi karena suami−isteri berdiskusi dan menyepakati bersama bagaimana alokasi dana. Mulai dari kebutuhan (anak) apa saja yang harus dibeli hingga pemilihan harganya. Ada kebutuhan yang harganya telah ditentukan oleh pihak sekolah sehingga tidak dapat ditawar (LKS dan renovasi sekolah). Pada periode Februari 2009 sampai dengan Februari 2010, LKS dibeli sebanyak dua kali dimana harganya adalah Rp. 40.000,00 (empat
72
puluh ribu rupiah) setiap kali pembelian. Hal ini berarti bahwa dalam periode tersebut, pembelian LKS menghabiskan dana sebesar Rp. 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah). Renovasi sekolah sendiri dimintai uang sebanyak Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah) dan biaya ini hanya dikeluarkan satu kali selama periode Februari 2009 hingga Februari 2010. Selanjutnya, uang saku anak menghabiskan dana lebih kurang Rp. 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) selama satu tahun. Anak tersebut yang meminta uang sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah) tiap hari sekolah. Buku tulis sebanyak satu pak selama satu tahun menelan biaya sekitar Rp. 180.000,00 (seratus delapan puluh ribu rupiah), sedangkan pensil Rp. 120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah). Harga buku dan pensil memang ditentukan oleh penjual, namun RTSM responden mencari buku dan pensil dengan harga yang lebih murah. Infaq Jumat selama periode Februari 2009 hingga Februari 2010 rata-rata sebesar Rp. 48.000,00 (empat puluh delapan ribu rupiah). Adapun biaya rekreasi (ekstrakulikuler) anak selama periode tersebut lebih kurang Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah). Berdasarkan rincian penggunaan dana bantuan PKH tersebut, terlihat bahwa pada jangka waktu Februari 2009 sampai dengan Februari 2010, lebih dari 90 persen dana PKH digunakan untuk kebutuhan pendidikan anak. Di bawah ini merupakan ungkapan RTSM bernomor 28 (dua puluh delapan), yaitu BS dan PS:
(BS)“Kalo’ yang PKH, ya bener-bener untuk Balia sama Surya. LKS aja empat puluh dua semester, harga mati dari sananya, sekolah Neng. Kalau uang jajan, sepakatnya Ibu sama bapak sama si Balia juga, cuma lima ribu tiap hari. […]”. (PS) “Buku tulis satu paknya lima belas ribu tiap bulan. Infaq Jum’ at seribu tiap nyumbangnya. Kita juga orang susah, tapi ya enggak apa-apah nyumbang dikit. Anak juga setuju. Susu si Bontot tiap minggu dua puluh ribu, Neng! Sepakat beli yang murah aja, tapi juga yang cocok. Kuat bangeeeeeet nyusu’ nya! Udah gitu, yang repotnya, enggak bisa sembarangan susu. Mencret-mencret. Aduuuuuuh, repot Neng si kecil! (Tertawa). Terus ada renopasi sekolah, dimintain tiga puluh. Pas Ibu sama bapak ada rejeki, ya udah. Lagian kita juga yang malu kalau sekolaan anak jelek. Apalagi ya?? Ituh, apah, emmm renang! Kan anak suka minta di ahir bulan. Bapak atau ibu aja yang nganter, bayar dua puluh ribu. Dari sana harganya, Neng. Enggak semuanya masuk ah, bayarnya enggak kuat! (Tertawa). Sama pensil langsung beli satu pak, pokoknya tiap bulan sepuluh ribuan”.
73
Ada beberapa alasan mengapa RTSM membuat keputusan secara bersamasama. Secara ringkas, berbagai latar belakang itu adalah (1) ingin saling menghargai, (2) menghindari tindakan boros, (3) menghormati hak anak, serta (4) adanya opini bahwa antara suami dengan isteri memang harus ada keterbukaan dan kata sepakat bersama. Kebersamaan dalam pembuatan berbagai keputusan rumah tangga, termasuk terhadap alokasi dana PKH, dipercaya dapat mengakibatkan setiap pilihan yang diambil menjadi tepat sasaran dan tepat guna. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan BS dan PS, yaitu:
(BS) “Berdua, Neng. Sebelum beli kan ngomog-ngomong dulu. Baru sepakatnya gimana, jadi sama-sama setuju dari awal. Disepakati supaya enggak boros, sepakat beli yang murah ajah”. (PS) “(Tertawa), si Eneng bisa’ ajah! Alhamdulillah enggak ada.. Karna sama-sama mau saling ngobrol, terbuka, setujunya apah, jadi enggak rahasia-rahasiaan. Enggak ada yang mau menang sendiri. (Tertawa)”.
Adapun pada RTSM responden yang bertipe pengambilan keputusan “didominasi oleh salah satu pihak” dan efektivitas manfaat PKH yang “rendah”, dapat dilihat dari kondisi salah satu RTSM responden. Pada RTSM dengan tipe pengambilan keputusan yang “didominasi oleh salah satu pihak” ini, pengeluaran untuk makan sehari-hari sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah), uang saku anak tertua (SMP) sebanyak Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah), dan uang saku anak SD sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah). Kebutuhan yang benar-benar menyentuh keperluan pendidikan adalah uang saku anak. Jumlah uang saku anak tertua dalam satu tahun (Februari 2009 sampai dengan Februari 2010) rata-rata sebesar Rp. 720.000,00 (tujuh ratus dua puluh ribu rupiah), sedangkan untuk anak SD sebanyak Rp. 240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah). Berdasarkan rincian alokasi dana PKH tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari Rp. 1.400.000,00 (satu juta empat ratus ribu rupiah) dana yang diterima, hanya terpakai Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Sisa dana ini adalah Rp. 440.000,00 (empat ratus empat puluh ribu rupiah). Dengan kata lain, tidak lebih dari 90 persen bantuan PKH yang benar-benar digunakan untuk
74
kebutuhan pendidikan anak. Berikut penuturan RTSM responden yang bertipe efektivitas “rendah” tersebut:
“Paling banyak sepuluh ribu. Jajannya Andi kayaknya tiga ribu tiap hari, ade’ nya seribu aja. […]”. (RTSM 3: BA; 38 tahun)
Masih terkait dengan tipe pengambilan keputusan seputar alokasi dana PKH yang “didominasi oleh isteri”, RTSM responden lainnya memberikan keterangan. Berikut ini ungkapan RTSM nomor 30 (tiga puluh):
“Ibu! Bapak enggak tau berapanya, buat apa aja, pokoknya apa-apa Ibu aja sendiri. Ibu sih ngasih tau berapanya, buat apa aja. Tapi, yaaa cuma gitu aja, enggak ada tanggepan apa-apa. Padahal, kadang kan kita butuh juga buat bareng-bareng. Ya kadang kan suka bingung duit mau diapain, dibeliin apa. Jadinya, ya gitu. Ibu sih sekiranya aja, ni duit mau diapain, apa ya yang lagi dibutuhin buat dibeli. Habiiis, kata suami, itu kan urusan isteri. Ya emang bener sih. Kalau Ibu sih, ya udah lah. Emang takdirnya gitu, ya Ibu jalanin aja. Sebaik-baiknya lah ngatur duit untuk keperluan rumah tangga. Kalau yang PKH, ya untuk kebutuhan anak-anak. Tapi, ya itu, kadang suka bingung. Ya gimana sih?? Karena, apa-apa sendiri. Pasti ada bingungnya. Coba kalau bareng, ada temen nanya, ngobrol sama suami gituh, pasti kan lebih enak”. (BS, 31 tahun)
Ungkapan BS menyiratkan sebuah makna terkait dengan permasalahan gender. Penuturan BS memperlihatkan bahwa peran gender dimana isteri dianggap sebagai kaum yang lebih pantas dan mampu mengatur uang, mengurus suami dan rumah tangga, merawat anak, serta mengatur pangan rumah tangga ternyata telah melekat sangat kuat dalam individu kaum perempuan. Oleh karena itu, isteri berusaha untuk mengatur sebaik-baiknya alokasi dana PKH agar kebutuhan kesehatan dan pendidikan anak bisa terpenuhi. Tapi, tidak dapat dipungkiri bahwa isteri membutuhkan suami sebagai teman berdiskusi. Karena kebutuhan akan bertukar pikiran ini tidak terpenuhi, isteri sekiranya saja (menggunakan pikiran dan naluri sendiri) dalam mengalokasikan dana bantuan PKH. Hal ini yang kemudian mengakibatkan efektivitas manfaat PKH menjadi cenderung “rendah”. Walaupun komponen kesehatan yang disebutkan dalam juklak PKH (2008) hanya mencakup penimbangan berat badan bayi/balita serta pemberian
75
vitamin A 200.000 IU, ternyata ada beberapa RTSM responden yang memanfaatkan dana bantuan PKH untuk membeli susu bayi/balita. Secara formal, berdasarkan juklak tersebut, RTSM ini dinyatakan memiliki efektivitas manfaat PKH yang cenderung “rendah”. Tapi, secara informal, rumah tangga responden peserta PKH tersebut dapat masuk ke dalam kategori RTSM dengan tipe efektivitas manfaat PKH yang cenderung “tinggi”. Hal ini karena, susu sebenarnya juga merupakan kebutuhan kesehatan sehingga RTSM yang membeli susu untuk bayi/balitanya (sekali pun tidak ada item tersebut dalam juklak) tidak bisa dipersalahkan. Kenyataan ini harus dijadikan sebagai bahan koreksi (evaluasi) bagi Departemen Sosial selaku UPPKH pusat. Artinya bahwa juklak PKH harus diperbaharui salah satunya dengan menuliskan secara rinci (jelas) apa saja item yang menjadi kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM. Hal ini tentunya sangat berguna dalam proses pengalokasian dana bantuan PKH di tingkat rumah tangga. Baik RTSM tipe efektivitas “rendah” maupun “tinggi”, jika memiliki sisa dana PKH maka uang itu digunakan untuk kebutuhan pangan rumah tangga. Hal ini karena, RTSM responden merupakan rumah tangga yang memang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh RTSM 10, BM (53 tahun):
“Emang enggak bisa semua keperluannya anak-anak kebantu sama PKH. Tapi, ya Ibu sama bapak sih maklum. Kan katanya duit pemerintah juga enggak banyak ya Neng? Belum bisa menuhin semua kebutuhan penduduknya, gitu. (Tertawa). Tapi, ya Alhamdulillah kebantu sama PKH. Alhamdulillah. Hari gini siapa sih yang mau ngasih uang gratis?? Yaaaaa, kalau ada sisa uang sih, yang dari PKH maksudnya, ya dipake’ nya buat makan. Aduh Neng, gimana mau yang lain-lain?? Buat makan sama sekolah anak aja susah. Jadi, ya dua itu dulu aja yang kita utamain mah”.
Berdasarkan pernyataan BM ini, terlihat bahwa dana bantuan PKH benarbenar membantu RTSM responden dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Banyaknya kebutuhan dan harga yang mahal mengakibatkan tidak semua kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan mengandalkan bantuan PKH. Namun, seluruh RTSM responden merasa bahwa dana PKH membantu
76
meringankan setengah beban rumah tangga sangat miskin. Rumah tangga responden cenderung patuh dalam penggunaan dana PKH, karena para orang tua ingin anak-anak bisa menikmati manfaat kesehatan dan pendidikan. Pemanfaatan sisa dana PKH cenderung ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Bukan karena RTSM responden tidak peduli terhadap keperluan kesehatan dan pendidikan, tapi rumah tangga tersebut memang selama ini sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan bagaimana penyebaran jumlah rumah tangga responden menurut tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH dan efektivitas manfaat PKH.
Tabel 7. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH” dan Efektivitas Manfaat PKH Efektivitas Manfaat Dominasi oleh Isteri Setara Semua Tipe PKH Pengambilan Keputusan Rendah 6 1 7 (26,09) (16,67) (24,14) Tinggi 17 5 22 (73,91) (83,33) (75,86) 23 6 29 (100) (100) (100) Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).
Jumlah RTSM responden memperlihatkan distribusi sebagai berikut: 1. Pada tipe efektivitas manfaat PKH yang “tinggi”, penyebaran terbesar jumlah RTSM responden berada dijenis kategori pengambilan keputusan seputar alokasi dana PKH yang “setara”, yaitu sekitar 83 persen rumah tangga. 2. Untuk tipe efektivitas manfaat PKH yang “rendah”, penyebaran terbesar jumlah RTSM responden berada dijenis kategori pengambilan keputusan terkait alokasi dana PKH yang “didominasi oleh isteri”, yaitu sekitar 26 persen rumah tangga.
77
6.3
Analisis Faktor Pengaruh pada Tipe Pengambilan Keputusan RTSM Responden untuk Alokasi Dana PKH Dalam penelitian ini, ada dua faktor yang diasumsikan mempengaruhi tipe
pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Faktor-faktor tersebut berupa (1) rasio tingkat pendidikan dan (2) status bekerja suami−isteri.
6.3.1 Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri Studi “Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini menunjukkan bahwa rasio tingkat pendidikan suami−isteri mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pada rumah tangga dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi”, cenderung ada “kesetaraan” dalam kontrol RTSM responden terhadap penggunaan dana PKH. Namun, pada RTSM yang memiliki tipe rasio tingkat pendidikan “suami dan isteri sama-sama rendah”, cenderung terdapat “dominasi oleh isteri” dalam kontrol RTSM terhadap alokasi dana PKH. Dalam hal ini, di lokasi penelitian tidak ditemukan RTSM responden yang memiliki tingkat pendidikan sama-sama tinggi antara suami dan isteri. Adapun pada RTSM responden dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi (isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, dan SMP−SD)”, pengambilan keputusan cenderung “setara”. Kondisi ini menunjukkan isteri dan suami sama-sama berperan dalam mengatur alokasi dana PKH serta tidak ada salah satu pihak yang berpengaruh paling besar. Tingkat pendidikan yang “semakin tinggi” mengakibatkan cara berpikir RTSM responden berubah, yakni cenderung memahami kesetaraan. Walaupun tidak secara tersurat menyebutkan kesetaraan, berbagai alasan rumah tangga responden menunjukkan adanya kesadaran untuk menjunjung kebebasan suami−isteri dalam membuat keputusan seputar alokasi dana PKH. Secara ringkas, alasan mengapa RTSM responden membuat keputusan secara bersama-sama adalah (1) ingin saling menghargai, (2) menghindari tindakan boros, (3) menghormati hak anak, serta (4) adanya opini bahwa antara suami dengan isteri memang harus ada keterbukaan dan kata sepakat bersama. Berbagai alasan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan “salah satu pihak
78
yang lebih tinggi” telah mengakibatkan pemikiran RTSM responden tersebut lebih terbuka untuk memahami pentingnya saling menghargai, keterbukaan, dan bertukar pikiran. Isteri memang dianggap lebih telaten mengatur uang. Namun, suami juga dianggap sebagai orang tua si Anak, yang berhak untuk mengambil keputusan dalam hal bagaimana penggunaan dana PKH. Berkenaan dengan hal ini, RTSM responden nomor 28 (dua puluh delapan), BS (SD) dan PS (SMA) mengungkapkan:
(BS)“Berdua, Neng. Sebelum beli kan ngomong-ngomong dulu. Baru sepakatnya gimana, jadi sama-sama setuju dari awal. Disepakati supaya enggak boros, sepakat beli yang murah ajah”. (PS)“(Tertawa), si Eneng bisa’ ajah! Alhamdulillah enggak ada. Karna sama-sama mau saling ngobrol, terbuka, setujunya apah, jadi enggak rahasia-rahasiaan. Enggak ada yang mau menang sendiri. (Tertawa)”.
Masih terkait dengan rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi” dan tipe pengambilan keputusan seputar alokasi dana bantuan PKH yang “setara”, RTSM responden lainnya memberikan keterangan. Di bawah ini merupakan penuturan rumah tangga nomor 15 (lima belas):
“Kayak tadi, rembukan bareng, Neng. Emang sih, biasanya urusan duit sama rumah sama anak jadi urusannya ibu-ibu. Tapi, Bapak mah enggak mau, enggak setuju ajah. Apa ya?? Iyyaaa, Bapak juga kan orang tuanya anak-anak. Ya kan anak punya kita berdua, suami−isteri maksudnya, jadi ya segalanya ditanggung bareng. Emang seharusnya gitu sih yang namanya rumah tangga, apa-apa bareng. Kecuali urusan dapur, itu mah biarin isteri aja. Emmm, kayaknya lebih pantes gitu masak-masak kalau isteri mah. Tapi, yang lainnya, ya kita bareng. Emang PKH pas di kantor pos, ya yang ngambil, si Ibu. Tapi, ngeiniinnya, ngaturnya, ya kita bareng. Kadang urusan duit bisa jadi masalah, mau dibeliin apa, lagi butuh apa enggak barang itu. Kalau bareng ngaturnya, ya kan jadi lebih enak. Kalau si Ibu bingung, nanya ke Bapak. Kalau Bapak bingung, nanya ke Ibu. Jadi, enak kalau barengbareng. Kalau gimana-gimana kan enggak saling nyalahin juga. Yaaa, kan ditanggung bareng. (PS, tamatan SMA)
Pada jawaban PS, dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan suami yang “tinggi” mengakibatkan kepedulian terhadap segala urusan rumah tangga termasuk bagaimana pengalokasian dana bantuan PKH. PS tidak setuju, kecuali
79
dalam hal pangan, akan dominasi isteri terhadap segala urusan dan keputusan rumah tangga. Menurut PS, suami−isteri sama-sama merupakan bagian dari rumah tangga sehingga semua keputusan rumah tangga harus dibuat dan dipertanggungjawabkan bersama. Selain itu, PS beranggapan bahwa diri beliau juga merupakan orang tua dari si Anak sehingga berhak pula untuk mengatur alokasi dana PKH. Kondisi pada RTSM responden nomor 28 dan 15 tersebut memperlihatkan bahwa jenjang pendidikan sekolah formal yang “tinggi” telah membuka pemahaman suami akan kesetaraan gender. “Hanya perempuan yang pantas atau mampu mengatur uang dan rumah tangga” merupakan peran yang dibentuk oleh sosial−budaya. Tugas seperti ini bukan suatu kodrat (pemberian Tuhan yang tidak bisa dirubah atau dihilangkan) yang melekat dalam diri kaum perempuan. Sementara itu, rasio tingkat pendidikan “suami−isteri yang sama-sama rendah (SD)” mengakibatkan pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH cenderung “didominasi oleh isteri”. “Dominasi isteri” terhadap alokasi dana PKH
merupakan
situasi
dimana
suami
dan
isteri
sama-sama
mengontrol/mengatur/memiliki kekuasaan dalam penggunaan bantuan, tapi sebagian besar power berada ditangan isteri. Dapat pula dikatakan bahwa isteri memiliki pengaruh paling besar dalam segala keputusan yang berkaitan dengan alokasi dana PKH. Rumah tangga responden tersebut tidak paham bahwa laki-laki dan perempuan sebenarnya bebas membuat berbagai pilihan termasuk terhadap alokasi dana PKH.
Jenjang pendidikan yang “rendah” mengakibatkan
suami−isteri cenderung patuh kepada berbagai sifat dan peran laki-laki serta perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Suami−isteri mengikuti ‘aturan masyarakat’ yang menganggap seorang perempuan lebih pantas, mampu, dan telaten (cermat) dalam mengatur uang (termasuk dana PKH), merawat anak, serta mengurus suami dan rumah tangga daripada kaum laki-laki. Selain itu, PKH yang menyebutkan “peserta PKH adalah kaum isteri” telah menimbulkan anggapan bahwa isteri memiliki hak sepenuhnya terhadap dana program. Tingkat pendidikan yang “rendah” mengakibatkan RTSM responden cenderung tidak peka akan pentingnya kesetaraan gender yang
80
sebenarnya harus diterapkan mulai dari lingkungan terkecil, yaitu rumah tangga. Berkenaan dengan tingkat pendidikan yang “rendah” dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH yang cenderung “didominasi oleh isteri”, salah satu RTSM responden menuturkan:
“Ibu, Neng. Apa-apa mah Ibu dari dulu. Kan Ibu istri, kata si Bapak juga gitu. Jadi, urusan sekolah anak-anak, keperluan sehari-hari mereka, apalagi urusan dapur, ya Ibu semua dari dulu. Dari awal pas udah jadi suami−istri mah gitu, Neng”. (RTSM 13: BH; 54 tahun)
Berdasarkan penuturan RTSM responden nomor 13 (tiga belas) tersebut, terlihat bahwa isteri harus mengurus keperluan sekolah anak (pendaftaran, pembelian seragam dan alat tulis, pembayaran uang bulanan/SPP), kebutuhan anak sehari-hari (makan, uang saku), dan pangan rumah tangga (uang belanja, bahan makanan yang harus dibeli, memasak). Menurut suami, isteri harus mengurus anak, suami, dan rumah tangga, karena hal ini memang tugas seorang perempuan. Isteri pun menyetujui peran tersebut. Sementara itu, RTSM responden lain memberikan keterangan:
“Iya, Ibu. Kan sama PKH-nya disuruhnya juga gitu. […]”. (RTSM 7: BM; 46 tahun)
Berkaitan dengan keterangan BM, PKH sebenarnya tidak menyebutkan siapa (suami atau isteri) yang harus menyimpan dan mengatur alokasi dana bantuan. Program ini hanya menyebutkan bahwa isteri merupakan penerima bantuan dengan harapan dana akan benar-benar digunakan untuk keperluan kesehatan (ibu, bayi, dan balita) serta pendidikan (SD dan SMP). Artinya, uang bantuan PKH diberikan kepada kaum isteri dari setiap RTSM yang terpilih sebagai peserta. Jika isteri tidak ada (meninggal dunia, bekerja dan tidak tinggal di rumah, bercerai serta anak diasuh oleh suami), dana akan diserahkan kepada wanita dewasa (tujuh belas tahun dan memiliki Kartu Tanda Penduduk/KTP) dalam RTSM peserta. Apabila wanita dewasa pun tidak ada maka bantuan akan diberikan kepada suami atau anak yang bersangkutan.
81
Menurut penulis, Program Keluarga Harapan (PKH) secara implisit dipengaruhi oleh pemikiran feminisme liberal, karena tidak melihat kemungkinan adanya hubungan antara aspek kekuasaan dengan kepatuhan sosial serta mengabaikan faktor paksaan dan konflik dari segala bentuk kekuasaan. Pemerintah, melalui PKH, menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam dunia yang penuh dengan persaingan bebas. Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan implementasi pendekatan WID, oleh karena mengintegrasikan perempuan ke dalam program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup keluarga, seperti pendidikan dan kesehatan. Program ini tidak mempersoalkan pola relasi antara perempuan dengan laki-laki, karena yang terpenting adalah membawa (melibatkan) perempuan ke dalam program pembangunan guna meningkatkan status perempuan. Program yang dicanangkan oleh pemerintah pada umumnya dianggap hanya menyentuh kaum laki-laki. Pelibatan isteri sebagai peserta PKH dimaksudkan untuk memberikan keadilan perlakuan bagi perempuan. Isteri dianggap memiliki kewajiban dan hak untuk terlibat dalam pembangunan, salah satunya, melalui ranah kesehatan serta pendidikan (Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, 2008). Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan penyebaran jumlah RTSM responden menurut rasio tingkat pendidikan suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan mengenai penggunaan dana bantuan PKH.
Tabel 8. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Rasio Tingkat Pendidikan Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH” Tipe Pengambilan Tingkat Tingkat Pendidikan Semua Rasio Keputusan Pendidikan Isteri Salah Satu Pihak Tingkat Pendidikan = Suami Lebih Tinggi Dominasi oleh 20 3 23 Isteri (86,96) (50) (79,31) Setara 3 3 6 (13,04) (50) (20,69) 23 6 29 (100) (100) (100) Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).
82
Penyebaran jumlah RTSM responden berdasarkan rasio tingkat pendidikan suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH memperlihatkan kondisi: 1. “Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH sebagian besar terjadi pada RTSM responden dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi (isteri tidak sama dengan suami/SD−SMP, SD−SMA, dan SMP−SD)”. Jumlah RTSM responden yang memiliki rasio jenjang pendidikan dan tipe pengambilan keputusan seperti ini, yaitu lebih kurang 50 persen. 2. “Dominasi oleh isteri” sebagian besar terjadi pada RTSM dengan tipe rasio jenjang pendidikan “isteri dan suami sama-sama rendah (SD)”, yakni sekitar 86 persen RTSM responden.
6.3.2 Status Bekerja Suami−Isteri Pada penelitian ini, status bekerja ternyata mempengaruhi tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Pada RTSM dengan tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, cenderung terjadi ”kesetaraan” untuk pengambilan keputusan RTSM terkait alokasi dana PKH. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH cenderung ”didominasi oleh isteri”. Pada RTSM responden yang memiliki tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, “kesetaraan” dalam kontrol terhadap alokasi dana PKH terjadi karena keduanya merasa sebagai pencari nafkah sehingga samasama berhak untuk menentukan pilihan yang berkenaan dengan alokasi bantuan PKH. Selain itu, RTSM responden beranggapan bahwa pasangan suami−isteri memang harus selalu bersama-sama dalam setiap keputusan rumah tangga. Kecuali untuk urusan pangan (bahan makanan yang harus dibeli dan dimasak, jumlah uang belanja, kegiatan memasak), hal ini mutlak merupakan tanggung jawab isteri saja. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu RTSM responden, yaitu:
83
“Emang sih duit PKH ngebantu banget kita yang orang miskin. Tapi, enggak semuanya keperluan sekolah anak bisa kebeli. Ya kan harga makin mahal, kebutuhannya juga makin banyak. Karna kita berdua kerja, jadi duit gajinya digabung, gitu. Tapi, yang PKH dipake’ dulu buat keperluan anak sekolah. Kalau kurang, ya ngambil dari duitnya Ibu sama bapak. Tapi, sama-sama tau buat apanya aja. Enggak pernah kita mah sendiri. Sebelum nikah, kita kan emang maunya apaapa bareng. Kalau nanti punya duit, enggak punya duit, kalo nanti punya anak gimana, mau beli apa aja, pokoknya apa pun bareng. Tapi, kalau urusan makanan sama belanja ke pasar sama masaknya di dapur, yaaa itu Ibu aja! (Tertawa). Lagian, ya kan enggak ada yang lebih hebat. Kan ini mah suami−isteri. Jadi, ya emang harus rukun. Sama-sama kita mah dari SD ajah. Enggak ada Ibu lebih pinter ngatur duitnya, bapak lebih pinter, enggak ada gitu-gitu. Sama-sama oon, jadi ya ngatur bareng supaya enggak repot. Duit kan emang suka bikin pusing! (Tertawa). Bapak juga ngatur yang PKH tea’. Kan dia juga ngasih duit ke Ibu kalau pas ada kerjaan. Tapi, kalau Ibu ada duit, enggak ngasih ke bapak! (Tertawa). Ya udah, Ibu yang megang semuanya. Tapi, keluarnya buat apa, ya ngeiniinnya bareng. Apa aja buat anak sekolah, bukunya gimana, seragamnya, jajannya, ya gitu lah”. (RTSM 6: BR; 39 tahun)
Masih tentang “kesetaraan”, RTSM responden lainnya beranggapan bahwa karena “suami−isteri sama-sama bekerja” maka keduanya berhak untuk mengambil setiap keputusan rumah tangga, kecuali dalam hal pangan, termasuk yang berkaitan dengan alokasi bantuan PKH. Selain itu, menurut RTSM responden, apa pun keputusan dalam rumah tangga mutlak sebagai tanggung jawab pasangan suami−isteri. Apalagi dana PKH memang ditujukan untuk keperluan kesehatan dan pendidikan anak dimana anak sendiri merupakan milik kedua orang tua. Hal ini berarti bahwa suami−isteri harus mau dan mampu mengatur alokasi bantuan tersebut agar anak benar-benar merasakan manfaat kesehatan serta pendidikan. Ada pula ketakutan RTSM akan terjadinya ketidakefektivan manfaat PKH, jika suami−isteri tidak bertukar pikiran dan mencapai kata sepakat bersama. Terkait dengan kondisi “suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga” dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH yang “setara”, RTSM responden berikut ini menuturkan:
84
“Kalau bapak mah terserah aja ya Pak, Ibu kerja atau enggak? (Tertawa). Yang penting kan anak-anak keurus. Tapi, Ibunya emang mau kerja. Ngebantu suami cari duit. Dua-duanya kerja ajah kan masih susah. Gimana kalau cuma bapak?? Bapak kan kalau ada panggilan ngeburuh, baru kerja. Seriiiiiing banget ya Pak, Bapak nyari. Tapi, ya itu Neng. Kalau emang lagi enggak ada, ya mau gimana?? Enaknya sama-sama kerja sih, ya makin nambah duit buat keperluan rumah tangga. Ibu juga, kalau mau beli bedak, enggak minta-minta sama suami kan?! (Tertawa). Ya kalau barengan kerja, kan enggak ada yang paling ngerasa gimanaaaaaa gitu! Kayak yang disentron-sinetron itu, Neng. Kalau suami aja yang kerja, kayaknya belagu banget. Bisa semena-mena sama isteri. Tapi, kalau isterinya juga kerja, apalagi gajinya lebih gede (tertawa), enggak bisa macem-macem suaminya. Tapi, Alhamdulillah keluarga Ibu enggak gimana-gimanaaa gitu. Ya iya gaji Ibu lebih gede, tapi Ibu mah enggak nginjek-nginjek suami. Kan kalau bapak ada duit habis kerja, ngasih juga ke Ibu. Berarti, bapak juga kan tanggung jawab ke keluarga. Makanya, kita sih sama-sama aja. Duitnya mau dipakai buat apa, yang PKH dikeluarinnya buat apa aja, cari yang harga berapa kira-kira buat keperluan anak sekolah, keperluan di rumah juga, ya sama-sama tau. Sama-sama nentuin berapa, apa aja, gimanagimananya. Lagian, ngeri salah kalau sendirian aja. Kita kan butuh temen saling tanya, ngasih saran. Emang yang PKH sih, yang ngambil mah Ibu di kantor POS. Tapi, yang namanya Ibu sama bapak kan samasama orang tuanya anak. Ya buat dia, sekolahnya, si Adeknya juga, ya sama-sama Ibu sama bapak ngaturnya. Lebih bagusan gitu kayaknya, jadi sama-sama tau. Namanya berumah tangga, ya tanggung jawab bersama suami dan isteri. Palingan itu aja sih Neng, kalau udah urusan masak. Nah, itu baru bapak enggak ikut-ikutan. Ya kayaknya, kalau yang begituan mah, Ibu aja. (Tertawa)”. (RTSM 22: BS; 38 tahun)
Sementara itu, pada RTSM responden dengan tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga (isteri tidak bekerja−suami bekerja dan isteri bekerja−suami tidak bekerja)”, alasan mengapa pengambilan keputusan terhadap alokasi dana PKH “didominasi oleh isteri” adalah suami tidak berperan sebagai pencari nafkah sehingga tidak mengedepankan ego untuk mengatur penggunaan bantuan tersebut. Selain itu, ada nilai budaya dimana isteri dianggap lebih telaten mengatur uang (termasuk dana PKH), merawat anak, serta mengurus suami dan rumah tangga. Di bawah ini merupakan penuturan beberapa RTSM responden mengenai “dominasi isteri” pada pengambilan keputusan terhadap alokasi dana bantuan PKH:
85
“Bapak nurut aja ya, Pak? Mungkin karena enggak kerja, makanya enggak berani nuntut! (Tertawa). PKH mah lebih banyak Ibu yang nentuin buat apa-apanya aja”. (RTSM 25: BA; 42 tahun; isteri bekerja−suami tidak bekerja) ”Yang PKH mah, biarin aja urusan si Ibu. (Tertawa). Ya kan istri emang kayak gitu mestinya. Ngurus uang, keperluannya anak, ngurus rumah, sama ngurus saya suaminya! (Tertawa). Apa aja lah. Mau PKH atau duit-duit yang lain, urusan rumah, ya semuanya ibu aja. Kan, emmmm apa ya?? Apa sih?? Emmm, ya pokoknya ibu-ibu emang udah dari sananya harus gitu. Ya saya sih tau berapa dapet PKH-nya, buat apa aja, saya juga ngasih ke Ibu kan kalau dapet duit dari kerjaan. Tapi, enggak seriweh ibu-ibu, gitu maksudnya. Ya karna kan, suami mah enggak diharusin kayak gitu. Pokoknya udah aja, kerjaan istri lah ngurus uang, suami, anak, rumah, beberes, gitu-gitu lah pokoknya. (Tertawa)”. (RTSM 9: PA; 36 tahun; isteri tidak bekerja−suami bekerja) “Ibu juga atuh. Bapak Alhamdulillah enggak pernah enggak ngasih pas dulu ada kerja. Sekarang juga, walaupun enggak kerja gini, enggak pernah ngatur-ngatur duit harus dipegang siapa, buat apa aja, berapa harganya. Ya kan ibu-ibu mah emang kerjaannya gini, ngurus duit, anak, suami. Laki-laki kan enggak mau repot sama yang ginian, emang kerjaannya perempuan ini mah. […]”. (RTSM 2: BE; 44 tahun; isteri bekerja−suami tidak bekerja)
Tingkat pendidikan suami−isteri responden yang cenderung “rendah” mengakibatkan belum terbukanya pemikiran RTSM akan pentingnya kesetaraan gender. Rumah tangga responden cenderung melanggengkan peran yang dibentuk oleh lingkungan sosial−budaya, yang membagi tugas berbeda untuk kaum lakilaki dan perempuan. Urusan rumah tangga, yaitu merawat anak, mengurus suami dan rumah, mengatur uang (termasuk dana PKH), serta mengambil keputusan berkenaan dengan pangan rumah tangga, semuanya dianggap sebagai tanggung jawab kaum isteri. Selain karena bukan kodrat laki-laki untuk melakukan berbagai peran tersebut, kegiatan suami dalam mencari nafkah dianggap sebagai tanggung jawab yang berat. Hal ini turut mendukung alasan mengapa kaum laki-laki tidak perlu terlalu dilibatkan pada tugas merawat anak, mengurus rumah, mengatur uang (termasuk dana PKH), dan mengambil keputusan mengenai pangan rumah tangga.
86
Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan penyebaran jumlah RTSM responden menurut status bekerja suami−isteri dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH.
Tabel 9. Distribusi RTSM Responden Berdasarkan Status Bekerja Suami−Isteri dan Tipe Pengambilan Keputusan “Alokasi Dana PKH” Tipe Salah Satu Pihak Keduanya Semua Status Pengambilan Berkontribusi Berkontribusi Bekerja Keputusan Dominasi oleh 16 7 23 Isteri (100) (53,85) (79,31) Setara 0 6 6 (0) (46,15) (20,69) 16 13 29 (100) (100) (100) Keterangan: angka di dalam kurung menunjukkan persentase (%).
Penyebaran jumlah RTSM responden berdasarkan kontribusi dalam rumah tangga (yang dilihat dari status bekerja) dan tipe pengambilan keputusan untuk alokasi dana bantuan PKH memperlihatkan kondisi: 1. “Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH sebagian besar terjadi pada RTSM responden yang memiliki tipe “suami−isteri samasama berkontribusi dalam rumah tangga”. Ada sekitar 46 persen RTSM dengan tipe status bekerja dan pengambilan keputusan seperti ini. 2. “Dominasi oleh isteri” sebagian besar terjadi pada RTSM dengan tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yakni 100 persen RTSM responden. Terkait dengan penelitian ini, merujuk kepada teori pengambilan keputusan (Pudjiwati, 1985), disebutkan bahwa berbagai aspek berupa pendidikan (formal dan informal), pengalaman, keterampilan, serta kekayaan (tanah, ternak, rumah, dan sebagainya) merupakan sumberdaya pribadi. Personal resources yang berbeda antara perempuan dengan laki-laki akan membentuk apa yang disebut sebagai keluarga dan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Penelitian ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya” ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006) dimana tingkat pendidikan dan kontribusi ekonomi dalam rumah
87
tangga (yang dilihat dari status bekerja) ternyata mempengaruhi relasi gender antara suami−isteri. Hanya sedikit perbedaan yang terdapat antara penelitian ”Analisis Gender dalam PKH” ini dengan riset Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006). Pada riset ”Analisis Gender dalam PKH”, ditemukan hasil bahwa pada rumah tangga dengan tipe rasio tingkat pendidikan “salah satu pihak lebih tinggi”, cenderung ada “kesetaraan” dalam kontrol RTSM responden terhadap penggunaan dana PKH. Namun, pada RTSM yang memiliki tipe rasio tingkat pendidikan “suami dan isteri sama-sama rendah”, cenderung terdapat “dominasi oleh isteri” dalam kontrol RTSM terhadap alokasi dana PKH. Adapun untuk variabel status bekerja, pada RTSM dengan tipe ”suami−isteri sama-sama berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, cenderung terjadi ”kesetaraan” untuk pengambilan keputusan RTSM terkait alokasi dana PKH. Sementara itu, pada RTSM responden yang memiliki tipe “salah satu pihak yang berkontribusi dalam rumah tangga”, yang dilihat dari status bekerja, pengambilan keputusan untuk alokasi dana PKH cenderung ”didominasi oleh isteri”. Adapun dalam riset Amiruddin dan Muhammad Syukur (2006), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan ketergantungan ekonomi yang lebih rendah dari pasangannya
mengakibatkan
salah
satu
pihak
cenderung
mendominasi
pengambilan keputusan rumah tangga. Sementara itu, hasil penelitian terkait proses pengambilan keputusan rumah tangga (Pudjiwati, 1985) juga menunjukkan adanya pengaruh antara tingkat pendidikan dengan pengambilan keputusan. Dari beberapa kasus di kedua desa penelitian, Desa A di Sukabumi dan Desa B di Sumedang, terlihat bahwa sumberdaya pribadi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hubungan suami−isteri. Sebagai contoh, Ibu X berumur 35 tahun, berasal dari keluarga petani, memiliki pendidikan sampai dengan kelas IV SD. Setelah menikah kurang lebih 12 tahun dengan seseorang dari Angkatan Bersenjata dan selama itu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain (mengikuti tugas suami), Ibu X akhirnya bercerai. Hal ini karena, Ibu X tidak sanggup dengan kebiasaan suami yang menikah lagi. Ibu X mengorbankan jaminan relatif dari gaji suami dan kembali ke desa. Tidak lama kemudian, Ibu X
88
menikah dengan Bapak O yang merupakan teman SD dan ternyata tidak tamat sekolah. Setelah menikah, hubungan antara Ibu X dengan Bapak O dapat dikatakan ”agak setara” (bersama-sama mengelola usaha tani). Dengan persetujuan suami, sebagian dari hasil tanah dibelikan perhiasan sebagai tabungan, jika kekurangan biaya untuk mengolah tanah. Untuk keperluan pembelian alat-alat pacul dan lainlain, tanpa berunding, suami memiliki wewenang untuk langsung membelinya. Dalam hal makanan atau konsumsi selain hasil sendiri, memerlukan beberapa hal yang harus dibeli. Isteri memiliki wewenang melakukannya tanpa berunding (berupa ikan asin, ikan basah, telur, kopi, gula, dan sebagainya). Ibu X selanjutnya mempengaruhi suami untuk melakukan perbaikan (pembaharuan) baik dalam lingkungan rumah maupun usaha tani (memakai pupuk, obat, memelihara bebek, kelinci, dan sebagainya). Dengan persetujuan isteri, Bapak O menggunakan sebagian hasil tanahnya untuk berjualan beras di pasar dengan cara membeli padi lalu digilingkan ke pabrik penggilingan (huller) yang ada di desa. Pada suatu saat, usaha itu menemui kegagalan. Bapak O memutuskan untuk menjual tanah sebagai modal. Tapi, Ibu X tidak setuju karena tanah merupakan tumpuan harapan keluarga. Tanpa memberitahukan suami, Ibu X memutuskan untuk pergi ke luar desa mengunjungi anaknya serta membawa ”kitir” tanah milik keluarga yang dibutuhkan oleh suami. Dengan demikian, jual beli tidak terlaksana karena tidak ada kitirnya. Berdasarkan kasus tersebut, tampak nyata bahwa sangat penting pengaruh pendidikan formal dan pengalaman baik yang diperoleh dari pernikahan terdahulu maupun pengetahuan dalam kehidupan di luar desa dari Ibu X sebagai isteri. Pendidikan formal Ibu X memang lebih rendah dari suami, tapi pengalaman telah memperkaya pribadi Ibu X. Kondisi ini mengakibatkan hubungan suami−isteri cenderung ada saling pengaruh−mempengaruhi (ketergantungan). Namun, pada saat tertentu, Ibu X mampu mengambil keputusan yang bersifat menyelamatkan kondisi keluarga. ”Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan pada RTSM responden dengan tipe rasio ”tingkat pendidikan isteri yang lebih rendah dari suami” ini senada dengan hasil riset ”Analisis Gender dalam PKH di Kelurahan Balumbang Jaya”.
89
6.4
Analisis Kualitatif Terhadap Efektivitas Manfaat PKH RTSM Responden di Kelurahan Balumbang Jaya Selain faktor tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH,
efektivitas manfaat PKH juga dipengaruhi oleh tiga hal lain. Faktor-faktor tersebut, yaitu (1) peran (tugas dan kegiatan) pendamping, (2) ketersediaan fasilitas/pelayanan
kesehatan,
serta
(3)
ketersediaan
fasilitas/pelayanan
pendidikan.
6.4.1 Peran Pendamping Semua RTSM responden mengungkapkan bahwa kedua pendamping di Kelurahan Balumbang Jaya selalu mengingatkan rumah tangga responden tentang hak dan kewajiban peserta PKH. Hal ini sangat membantu RTSM responden dalam berperilaku yang terkait dengan alokasi dana bantuan PKH. Dengan kata lain, bantuan PKH memang digunakan oleh RTSM responden untuk keperluan kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan kesehatan di sini merupakan keperluan kesehatan bagi bayi/balita serta ibu hamil/melahirkan/yang sedang dalam masa nifas. Sementara itu, kebutuhan pendidikan mencakup manfaat pendidikan yang harus didapatkan oleh anak usia sekolah (6 hingga 18 tahun, namun belum menyelesaikan sekolah/wajib belajar 9 tahun). Para pendamping PKH memiliki tiga peran utama yang berupa tugas (1) persiapan program, (2) rutin, dan (3) persiapan sebelum pencairan dana. Dalam Buku Kerja Pendamping (2008), disebutkan bahwa ketiga peran tersebut berupa: (1) Tugas-tugas persiapan program, yaitu: 1. Menyelenggarakan pertemuan awal dengan seluruh peserta PKH; menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum. 2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas dua puluh hingga dua puluh lima orang untuk mempermudah tugas pendampingan. 3. Memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH. 4. Membantu peserta dalam mengisi Formulir Klarifikasi Data dan menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota.
90
5. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah. (2) Tugas-tugas rutin, yakni: 1. Menerima pemutakhiran data peserta PKH dan mengirimkan Formulir Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota. 2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota. 3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen. 4. Melaksanakan pertemuan dengan semua peserta setiap enam bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya. 5. Berkoordinasi dengan aparat setempat serta pemberi pelayanan pendidikan dan kesehatan. 6. Melakukan pertemuan bulanan dengan ketua kelompok serta pelayan kesehatan dan pendidikan di lokasi pelayanan terkait. 7. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan). (3) Berbagai tugas persiapan sebelum pencairan dana, yaitu: 1. Memberikan/membagikan kartu peserta kepada ketua kelompok PKH, yang kemudian dibagikan kepada seluruh anggota kelompok PKH. Selain itu, diingatkan kepada peserta bahwa kartu wajib dibawa dan tidak boleh hilang ketika pengambilan dana berlangsung. 2. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH. 3. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok PKH dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh orang yang tepat. Di Kelurahan Balumbang Jaya, peran PA dan BI dalam kegiatan persiapan program terlihat nyata. Tugas-tugas persiapan program yang dilakukan oleh kedua pendamping itu, diantaranya:
91
1. Menginformasikan program kepada RTSM peserta PKH dan masyarakat umum: PA dan BI selaku pendamping berkata bahwa para peserta dan kedua pendamping PKH berkumpul di kantor desa. PA dan BI kemudian menjelaskan apa itu PKH, mengapa RTSM bisa menjadi peserta PKH, dan semua kewajiban serta hak para peserta. Pada awal implementasi program ini, menurut PA dan BI, banyak anggota masyarakat Kelurahan Balumbang Jaya yang merasa tidak mampu memprotes mengapa rumah tangga mereka tidak menjadi peserta PKH. Para pendamping berkata bahwa mereka tidak ikut andil dalam mendata rumah tangga yang dianggap sebagai RTSM. Kedua pendamping hanya menerima data RTSM dan menjalankan tugas pendampingan. Adapun jawaban yang diberikan oleh Departemen Sosial selaku UPPKH pusat adalah data peserta PKH akan diperbaharui pada tahun 2010 berdasarkan hasil sensus penduduk di tahun tersebut. Kembali kepada kewajiban dan hak peserta PKH, RTSM responden menuturkan kewajiban serta hak itu dalam pelaksanaan PKH. Beberapa kewajiban RTSM peserta PKH adalah (a) memeriksakan bayi/balita ke Posyandu dan (b) menyekolahkan anak. Adapun hak-hak sebagai peserta, yakni (a) mendapatkan dana bantuan PKH sesuai dengan kondisi RTSM (apakah memiliki bayi/balita atau anak usia sekolah), (b) menyampaikan keluhan/permasalahan kepada PA dan BI (jika ada), dan (c) mendapatkan pengajaran bagi anak usia sekolah serta pelayanan kesehatan untuk bayi/balita. 2. Membagi peserta ke dalam kelompok yang terdiri atas lima belas hingga dua puluh lima orang serta memfasilitasi pemilihan ketua kelompok peserta PKH: Menurut PA dan BI, pemilihan ketua dilakukan melalui dinamika kelompok. Hal ini dilakukan untuk menemukan seseorang yang aktif, mudah bergaul, dan bertanggungjawab yang pantas dijadikan sebagai mother leader bagi kelompok RTSM peserta PKH di tingkat RW. Di Babakan Lebak, Babakan Lio, dan Sawah Baru, setiap RW beranggotakan lima belas hingga dua puluh orang ibu-ibu peserta PKH. Pembagian para peserta ke dalam beberapa kelompok bertujuan untuk memudahkan kegiatan pendampingan.
92
Sementara itu, RTSM responden tidak memahami arti dinamika kelompok. Rumah tangga responden mengenal cara pemilihan ketua kelompok dengan sebutan games (permainan). 3. Membantu
peserta
dalam
mengisi
Formulir
Klarifikasi
Data
dan
menandatangani Surat Persetujuan serta mengirimkan formulir itu ke UPPKH kabupaten/kota: Sebenarnya, inti dari Formulir Klarifikasi Data adalah alat (borang) yang berfungsi sebagai petunjuk bagaimana kondisi RTSM. Dengan kata lain, apakah telah sesuai dengan data yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada para pendamping. Dalam formulir tersebut, menurut PA dan BI, hendak dipastikan lagi semua anggota RTSM, memiliki berapa anak, jumlah anak bayi/balita/usia sekolah, apakah si Ibu sedang hamil atau tidak, dan sebagainya. Namun, berdasarkan ungkapan RTSM responden sendiri, hampir semua anggota dari setiap kelompok RTSM peserta PKH tidak memahami arti pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam Formulir Klarifikasi. Alasan klise yang sering diutarakan oleh RTSM adalah takut salah, jika harus membaca dan mengisi sendiri. Hal ini yang mengakibatkan kedua pendamping merasa perlu untuk menuntun para peserta dalam mengisi formulir tersebut. Sementara itu, menurut persepsi PA, BI, serta RTSM responden, Surat Persetujuan berisikan pernyataan setuju atau tidak si Ibu terkait dengan kewajiban dalam memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan. Jika si Ibu sedang hamil/akan melahirkan/dalam masa nifas maka wajib dibawa ke Puskesmas (periksa kesehatan/mengalami tindakan medis). Selain itu, anak usia bayi dan balita juga harus diperiksa kesehatannya dan diberikan vitamin di Posyandu. Berkaitan dengan kebutuhan pendidikan, si Ibu harus menentukan apakah setuju atau tidak untuk menyekolahkan anaknya. 4. Mengkoordinasi pelaksanaan kunjungan awal ke Puskesmas dan pendaftaran sekolah: Diakui oleh PA, BI, dan RTSM responden, bagi RTSM peserta komponen kesehatan, pendamping memperkenalkan peserta kepada petugas kesehatan (dokter dan/atau bidan). Pendamping akan bekerja sama dengan
93
petugas medis dalam mengecek (mengontrol) apakah si Ibu benar-benar membawa anaknya ke Posyandu/tidak serta apakah si Ibu telah memeriksakan kesehatan diri dan janin ke Puskesmas. Sementara itu, untuk RTSM peserta komponen pendidikan, para pendamping memperkenalkan peserta kepada Pemberi Pelayanan Pendidikan (kepala sekolah dan guru). Seperti halnya komponen kesehatan, pendamping berkoordinasi dengan kepala sekolah dan guru dalam memantau apakah si Anak benar-benar sekolah atau tidak. Anak sekolah harus hadir minimal 85 persen di kelas. Peran pendamping juga terlihat nyata dalam tugas-tugas rutin. Beberapa tugas rutin yang dilakukan, yaitu: 1. Menerima
pemutakhiran
data
peserta
dan
mengirimkan
Formulir
Pemutakhiran itu ke UPPKH kabupaten/kota: Seperti yang diungkapkan oleh kedua pendamping dan RTSM responden, Formulir Pemutakhiran berfungsi sebagai alat untuk mendata ulang kondisi terakhir (terbaru) RTSM peserta. Kondisi ini menyangkut apakah si Ibu sedang hamil atau tidak, apakah ada anak bayi atau balita dalam rumah tangga peserta, apakah anak usia sekolah benar-benar masih bersekolah atau tidak, dan sebagainya. PA dan BI akan mendatangi setiap RTSM peserta untuk mendampingi RTSM dalam mengisi formulir tersebut. Namun, bagi peserta yang mampu mengisi sendiri, PA dan BI tentu tidak mendampingi. Formulir Pemutakhiran yang telah diisi oleh peserta dapat diantarkan kepada pendamping di kantor pos atau pendamping sendiri yang akan mengambilnya di rumah RTSM peserta. Selanjutnya, formulir itu dibawa ke Dinas Sosial Kota Bogor. Oleh tim teknisi, data-data dalam formulir akan dipindahkan ke dalam komputer (input data). Data ini diperlukan guna mengontrol apakah RTSM tersebut masih berhak untuk menerima dana atau nomor barcode harus dinon-aktifkan sementara selama peserta tidak memenuhi syarat penerima dana bantuan PKH.
94
2. Menerima pengaduan dari ketua kelompok dan/atau peserta PKH serta menindaklanjutinya sesuai dengan kebijakan UPPKH kabupaten/kota: Prosedur pengaduan biasanya dari ketua kelompok dan/atau ibu ke pendamping. Jika tidak terselesaikan, akan diteruskan kepada koordinator pendamping bahkan UPPKH kota. Di Babakan Lebak RW 05, pernah ada seorang ibu peserta PKH yang memiliki masalah kandungan sehingga beliau harus menjalani operasi sesar. Pada awalnya, Puskesmas SB tidak mau menerima karena beliau dianggap ”miskin” dan tidak sanggup membayar uang muka. Beliau mengadukan masalah ini kepada kedua pendamping. PA dan BI pun mengurus masalah ini ke Puskesmas yang bersangkutan. Para pendamping berusa keras untuk meyakinkan pihak Puskesmas bahwa si Ibu benar-benar berasal dari keluarga sangat miskin. Pendamping menunjukkan berbagai bukti, seperti Surat Keterangan Miskin dan Surat Keterangan sebagai RTSM Peserta PKH. Pihak Puskesmas SB kemudian meminta maaf kepada ibu yang bersangkutan sambil berkali-kali menjelaskan mengapa prosedur di Puskesmas tersebut seperti itu. Akhirnya, si Ibu mendapatkan fasilitas operasi gratis. Namun, untuk obat-obatan, beliau tetap harus membayar sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Dalam hal ini, si Ibu mendapatkan bantuan dari para tetangga yang kondisinya lebih mampu. Ada pula kasus yang dialami oleh BR yang dimintai uang pangkal, padahal sekolah tersebut termasuk ke dalam daftar sekolah yang menerima dana BOS. Para pendamping, PA dan BI, mendatangi sekolah tersebut dan secara tegas menegur apa yang telah dilakukan. Walaupun sempat berkelit, si Oknum pelaku pemerasan akhirnya mengakui kesalahannya karena takut kasus ini akan dibawa ke pihak kepolisian. Di Babakan Lebak RW 06, masalah bersumber dari seorang kader Posyandu. Tanpa alasan yang jelas, beliau meminta uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) kepada semua peserta PKH RW 06. Beruntung penarikan uang hanya berlangsung sekali, karena kedua pendamping segera menyelesaikan masalah ini. Kader tersebut meminta maaf
95
kepada kedua pendamping dan para peserta PKH RW 06. Beliau juga bersedia untuk mengembalikan uang para peserta. 3. Mengunjungi peserta PKH yang tidak memenuhi komitmen: Menurut PA dan BI, pada awal pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang
Jaya
(tahun
2007),
ada
beberapa
RTSM
yang
tidak
menyekolahkan anaknya. Alasannya adalah si Anak harus bekerja (membantu orang tua), seperti membawa pakaian dari rumah ke asrama setiap pagi. Ada pula anak yang memang malas sekolah. Akhirnya, orang tua pasrah dan menggunakan uang PKH untuk kebutuhan yang lain (pangan dan membeli barang-barang rumah tangga). Di samping itu, ada juga RTSM peserta PKH yang lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki saja. Alasannya, anak laki-laki akan menjadi kepala keluarga (pencari nafkah). Untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, si Anak tentu harus menempuh pendidikan formal. Sementara itu, anak perempuan lebih baik mengerjakan pekerjaan lain yang menurut RTSM merupakan kodrat, yaitu memasak dan mengurus rumah. Beruntung karena kedua masalah ini dapat teratasi dengan sanksi tegas yang diberikan oleh pendamping kepada RTSM tersebut. Akhirnya, peserta yang bermasalah itu kini dapat kembali menjadi anggota PKH (nomor barcode peserta diaktifkan kembali). Pada tahun 2009 hingga 2010 ini, menurut pengakuan kedua pendamping dan RTSM responden, belum ada pelanggaran yang dilakukan oleh RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya. 4. Melaksanakan pertemuan dengan ketua kelompok, ketua dan peserta, dan penyedia layanan kesehatan serta pendidikan masing-masing sebulan sekali, tiga bulan sekali, dan setiap bulan untuk resosialisasi program beserta kemajuan/perubahannya: Di Kelurahan Balumbang Jaya, pertemuan dengan ketua kelompok dilaksanakan setiap bulan. Pendamping akan memantau apakah anggota si Ketua telah memenuhi kewajiban atau belum. PA dan BI juga menanyakan apakah ada keluhan atau tidak. Tidak lupa pendamping memberikan sejumlah informasi terkait PKH.
96
Pertemuan dengan ketua dan peserta dilaksanakan setiap enam bulan. Dalam kegiatan ini, PA dan BI selaku pendamping di Kelurahan Balumbang Jaya memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk bertanya, menyampaikan informasi tertentu, dan mengutarakan masalah/keluhan. Pada hari kerja, sebagaimana yang diakui oleh RTSM responden dan kedua pendamping, PA dan BI sering berkunjung ke anggota, ketua, sekolah, dan Posyandu. Hal ini dilakukan guna memantau apakah peserta dan pelayan pendidikan serta kesehatan benar-benar memenuhi komitmen/tidak. Selain itu, kegiatan ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh PA dan BI bagi peserta yang ingin menyampaikan keluh kesah. Mungkin masalah tersebut tidak sempat diutarakan pada saat perkumpulan rutin, karena malu dengan peserta lainnya. PA dan BI juga menjadikan kesempatan ini sebagai peluang untuk mengenal secara mendalam para peserta PKH, salah satunya yang terkait dengan karakter peserta. 5. Mengadakan pertemuan triwulan dan tiap semester dengan seluruh pelaksana kegiatan (UPPKH daerah, pendamping, dan pelayan kesehatan serta pendidikan): Menurut PA dan BI, kegiatan ini merupakan ajang bagi para pendamping untuk menunjukkan hasil kegiatan pendampingan. Hasil-hasil ini, diantaranya kondisi terakhir RTSM peserta, perkembangan kesehatan ibu/bayi/balita, bagaimana tingkat kehadiran dan prestasi anak peserta PKH di sekolah, dan sebagainya. Petugas kesehatan dan pendidikan pun memberikan laporan perkembangan peserta. Hasil yang ditunjukkan oleh ketiga pihak ini dievaluasi bersama dengan UPPKH daerah. Selanjutnya, diputuskanlah apa saja yang harus dilakukan terhadap para peserta. Saat pengamatan.
pencairan
dana,
pendamping
melakukan
Persiapan sebelum pencairan dana
pendamping, yaitu:
pengawasan
dan
yang harus dilakukan
97
1. Memberikan kartu peserta kepada ketua kelompok, yang kemudian dibagikan ke seluruh anggota: Kartu peserta biasanya diberikan kepada setiap ketua kelompok seminggu
sebelum
pencairan
dana.
Setelah
itu,
ketua
langsung
membagikannya kepada semua anggota. PA dan BI tidak lupa mengingatkan para ketua untuk menginformasikan kepada peserta bahwa kartu PKH tidak boleh hilang dan harus dibawa saat masa pencairan dana yang diselenggarakan di kantor pos. 2. Berkoordinasi dengan kantor pos untuk meminta jadwal pembayaran dan data peserta PKH: Menurut PA dan BI, hal ini terkait dengan kesiapan kantor dan petugas pos untuk membantu UPPKH kecamatan dalam melakukan pencairan dana. Ruang di dalam kantor pos ditata sedemikian rupa, seperti menyiapkan tempat (loket) penandatanganan Kartu Pencairan Dana, loket mengantre, tempat pengambilan uang, dan lain-lain. Selama masa pencairan dana, ruang dalam Kantor Pos Semeru dibagi menjadi dua tempat. Tempat pertama merupakan ruang bagi orang yang ingin menggunakan jasa kantor pos (mengirim surat, membayar rekening listrik, dan sebagainya), sedangkan tempat kedua adalah ruang bagi RTSM peserta PKH. 3. Menginformasikan jadwal pencairan dana ke setiap ketua kelompok maksimal dua minggu sebelumnya dan memastikan pengambilan dana dilakukan oleh anggota RTSM yang namanya tercantum sebagai peserta: Di Kelurahan Balumbang Jaya, PA dan BI akan mendatangi setiap mother leader satu/dua minggu sebelum pencairan dana dan kembali lagi tiga/empat hari sebelum pencairan itu. Selanjutnya, informasi kapan pencairan dana akan diteruskan kepada RTSM peserta PKH. Para ketua juga tidak lupa untuk mengingatkan peserta bahwa dana harus diambil oleh peserta sendiri (orang yang namanya tercantum dalam kartu peserta PKH). Jika tidak bisa, sehari sebelum pencairan dana, peserta harus menginformasikan kepada PA dan BI mengenai siapa wakil yang akan menghadiri pencairan dana. Hal ini dilakukan guna mencegah jatuhnya uang bantuan PKH ke tangan pihak lain yang tidak bertanggungjawab.
98
Walaupun komponen kesehatan yang disebutkan dalam juklak PKH (2008) hanya mencakup penimbangan berat badan bayi/balita serta pemberian vitamin A 200.000 IU, ternyata ada beberapa RTSM responden yang memanfaatkan dana bantuan PKH untuk membeli susu bayi/balita. Secara formal, berdasarkan juklak tersebut, RTSM ini dinyatakan memiliki efektivitas manfaat PKH yang cenderung “rendah”. Tapi, secara informal, rumah tangga responden peserta PKH tersebut dapat masuk ke dalam kategori RTSM dengan tipe efektivitas manfaat PKH yang cenderung “tinggi”. Hal ini karena, susu sebenarnya juga merupakan kebutuhan kesehatan sehingga RTSM yang membeli susu untuk bayi/balitanya (sekali pun tidak ada item tersebut dalam juklak) tidak bisa dipersalahkan. Kenyataan ini harus dijadikan sebagai bahan koreksi (evaluasi) bagi Departemen Sosial selaku UPPKH pusat. Artinya bahwa juklak PKH harus diperbaharui salah satunya dengan menuliskan secara rinci (jelas) apa saja item yang menjadi kebutuhan kesehatan dan pendidikan RTSM. Hal ini tentunya sangat berguna dalam proses pengalokasian dana bantuan PKH di tingkat rumah tangga. Pada pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya ini, kedua pendamping ternyata telah mengarahkan semua RTSM peserta PKH sejak awal implementasi program. PA dan BI mengakui bahwa mereka sebagai pendamping telah menghimbau RTSM peserta PKH untuk memanfaatkan dana bantuan dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah membelanjakan uang bantuan komponen kesehatan untuk membeli susu bayi/balita. Rumah tangga responden pun mengakui bahwa PA dan BI benar-benar membantu RTSM dalam menjalankan komitmen sebagai peserta PKH.
6.4.2 Ketersediaan Fasilitas/Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan Faktor berikutnya yang mempengaruhi efektivitas manfaat PKH adalah ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan yang didatangi oleh peserta di Babakan Lebak RW 05 adalah Posyandu Dahlia, sedangkan RTSM yang bertempat tinggal di Babakan Lio RW 10 dan 11 masing-masing mendatangi Posyandu Anggrek dan Posyandu Cingcalo. Untuk RTSM yang bertempat tinggal
99
di Sawah Baru RW 12, balita diperiksa di Posyandu Cingcalo. Selama penelitian ini, tidak ditemukan RTSM responden yang sedang hamil/akan melahirkan/dalam masa nifas. Ada tiga alasan mengapa RTSM memeriksakan anak balita di PosyanduPosyandu tersebut. Pertama, baik Posyandu Dahlia, Anggrek, maupun Cingcalo, ketiganya terletak di setiap RW. Dengan kata lain, tiap RW memang memiliki satu Posyandu. Alasan kedua adalah ketiga Posyandu mempunyai jarak yang dekat dengan rumah peserta PKH sehingga dapat diakses hanya dengan berjalan kaki. Selain kedua alasan tersebut, faktor terakhir mengapa ketersediaan fasilitas atau pelayanan kesehatan di Kelurahan Balumbang Jaya ini mempengaruhi efektivitas manfaat PKH adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh semua Posyandu tersebut. Dalam setiap kegiatan pemeriksaan kesehatan bayi/balita, tidak dipungut biaya apa pun. Pemberian vitamin A sebanyak dua kali dalam setahun juga dilakukan tanpa biaya (gratis). Posyandu justru memberikan makanan gratis kepada bayi/balita, seperti bubur kacang hijau, bubur ayam, dan biskuit bayi. Faktor terakhir yang mempengaruhi efektivitas manfaat PKH, yaitu ketersediaan fasilitas/pelayanan pendidikan. Lembaga pendidikan formal yang dapat diakses oleh anak dari RTSM peserta PKH di kelurahan ini terdiri atas 2 buah gedung Sekolah Dasar (SD) dan 4 gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP). Keenam sekolah tersebut adalah: 1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Balumbang Jaya: Sekolah ini terletak di Jalan Babakan Lebak RW 06. Karena adanya program BOS oleh pemerintah, sekolah ini bebas biaya (uang) gedung dan SPP. Namun, tetap ada biaya untuk seragam, alat tulis, kegiatan ekstrakulikuler, dan pembelian Lembar Kerja Siswa (LKS). Khusus LKS, besarnya biaya ditentukan oleh pihak sekolah, yaitu Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah). Dalam setahun, LKS ini menelan dana sebesar Rp. 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah).
100
2. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Dramaga: Sekolah ini berada di Kelurahan Balumbang Jaya. Sama seperti SDN Balumbang Jaya, sekolah ini tidak membebankan uang gedung dan SPP kepada para muridnya. Tapi, tetap ada anggaran dana untuk keperluan lain. Harga LKS pun sama seperti harga di SDN Balumbang Jaya. 3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sejahtera: Sekolah ini beralamat di Jalan Babakan Lebak RW 06. Sekolah ini adalah lembaga pendidikan formal milik swasta (nonpemerintah) sehingga dikenakan biaya gedung dan SPP bagi para siswanya. Uang gedung dikenakan tarif sebesar Rp. 650.000,00 (enam ratus lima puluh ribu rupiah), sedangkan SPP dikenakan biaya Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Adapun harga LKS adalah Rp. 98.000,00 (sembilan puluh delapan ribu rupiah) sehingga dalam satu tahun LKS ini menelan biaya Rp. 196.000,00 (seratus sembilan puluh enam ribu rupiah). 4. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Dramaga: Terletak di Jalan Babakan Dramaga. Sekolah negeri ini membebaskan uang gedung dan SPP kepada para siswanya. Adapun harga LKS yang harus dibayar dalam satu tahun sebesar Rp. 32.000,00 (tiga puluh dua ribu rupiah). 5. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kornita: Berada di Jalan Dramaga. Uang pangkal yang dibebankan kepada para siswanya sebesar Rp. 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), sementara itu SPP dikenakan biaya Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Untuk LKS, harga yang harus dibayar oleh para siswa dalam satu tahun (dua semester), yakni Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). 6. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Terbuka 1 Dramaga: Lembaga pendidikan formal yang berada di Jalan Babakan Dramaga. Sekolah ini, sesuai dengan namanya “Sekolah Terbuka”, memberikan uang kepada para siswanya. Namun, uang itu tidak diberikan langsung ke tangan siswa. Dana tersebut langsung digunakan untuk uang gedung, SPP, dan LKS. Khusus seragam, biaya ditanggung sendiri oleh para siswa. Seperti halnya fasilitas kesehatan, terdapat latar belakang mengapa RTSM menyekolahkan anak di berbagai lembaga pendidikan tersebut. Untuk SDN
101
Balumbang Jaya dan SDN 4 Dramaga, keduanya dapat ditempuh oleh anak peserta PKH dengan hanya berjalan kaki atau menaiki angkutan umum sebanyak satu kali. Selain itu, menurut para orang tua, kedua sekolah tersebut mampu memberikan pengajaran (baik materi maupun moral) yang memang seharusnya diterima oleh anak-anak. Sekolah juga tidak pernah membeda-bedakan antara anak peserta PKH dengan anak yang bukan peserta PKH. Alasan terakhir adalah kedua lembaga pendidikan itu tidak memungut biaya yang macam-macam selain uang LKS. Bagi anak peserta PKH yang bersekolah di SMP Sejahtera dan SMP Kornita, ada alasan tersendiri mengapa anak tersebut menempuh pendidikan di kedua sekolah itu. Nilai akhir anak itu, sewaktu masa kelulusan SD, tidak mencukupi untuk memasuki sekolah negeri. Akhirnya, para orang tua menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan swasta yang dekat dengan rumah. Selain itu, kedua sekolah ini tidak pernah memungut biaya yang bersifat memeras RTSM. Terkait dengan anak peserta PKH yang menempuh pendidikan di SMP 1 Dramaga dan SMPN Terbuka 1 Dramaga, ada alasan utama mengapa anak-anak tersebut bersekolah di sana. Tentu saja karena nilai akhir sewaktu kelulusan SD mencukupi untuk memasuki sekolah negeri. Apalagi kedua sekolah itu dapat ditempuh dengan hanya berjalan kaki atau menaiki angkutan umum sebanyak satu kali. Sekolah pun membebaskan biaya gedung dan SPP serta tidak memungut biaya yang sifatnya sangat memberatkan RTSM peserta PKH. Berdasarkan hasil yang ditemukan di lokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa peran pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan mempengaruhi efektivitas manfaat PKH. Semua RTSM responden menuturkan bahwa PA dan BI selaku pendamping di Kelurahan Balumbang Jaya selalu melaksanakan setiap tugas dan kegiatan pendampingan dengan baik. Kuantitas dan kualitas fasilitas/pelayanan kesehatan serta pendidikan di kelurahan ini pun mampu memenuhi kebutuhan RTSM. Ketiga hal ini yang turut mendorong RTSM responden untuk menggunakan dana bantuan PKH sebaik mungkin sehingga sekitar 75 persen rumah tangga merupakan RTSM yang memiliki efektivitas manfaat PKH yang cenderung “tinggi”.
BAB VII PENUTUP
7.1
Kesimpulan Sejauh ini, pelaksanaan PKH pada berbagai daerah di Indonesia belum
diketahui tingkat keberhasilannya6. Namun, salah satu wilayah yang sejauh ini dianggap ”berhasil” adalah Jakarta Utara (Kecamatan Cilincing, Tanjung Priuk, Pademangan, Koja, Penjaringan, dan Kelapa Gading) di mana terjadi pengurangan jumlah RTSM penerima PKH. Pada tahun 2008, dana bantuan diberikan kepada 7.247 RTSM, sedangkan di tahun 2009 hanya diberikan kepada 7.027 RTSM. Walau penurunan jumlah tidak terjadi secara signifikan, hal tersebut membuktikan program ini bisa membantu warga sangat miskin. Dengan kata lain, terdapat 3,04% RTSM yang telah berhasil mengatasi masalah kesehatan (ibu, bayi, dan balita) serta pendidikan (anak usia SD dan SMP). Keberhasilan ini juga didukung oleh peran para pendamping serta ketersediaan fasilitas/pelayanan kesehatan dan pendidikan terdekat di wilayah tersebut. Untuk pelaksanaan PKH di Kelurahan Balumbang Jaya sendiri, berdasarkan hasil penelitian penulis, program ini dapat dikatakan ”berhasil”. Ada sekitar 75 persen RTSM responden yang memiliki efektivitas manfaat PKH yang ”tinggi”. Pelaksanaan PKH sebenarnya dilihat dari lima aspek, yaitu (1) kelembagaan PKH, (2) peran pendamping, (3) ketersediaan fasilitas atau pelayanan kesehatan, (4) ketersediaan fasilitas atau pelayanan pendidikan, serta (5) Sistem Pengaduan Masyarakat (SPM). Namun, selain dipengaruhi oleh peran pendamping serta ketersediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan, faktor utama yang mempengaruhi efektivitas manfaat PKH adalah tipe pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. ”Kesetaraan” dalam pengambilan keputusan mengakibatkan efektivitas manfaat PKH menjadi cenderung ”tinggi”. Tipe pengambilan keputusan yang ”setara” ini ternyata dipengaruhi oleh rasio tingkat pendidikan dan kontribusi ekonomi RTSM yang dilihat dari status bekerja. Jika ”salah satu pihak saja telah memiliki tingkat pendidikan yang lebih 6 Akmal Towel, “Penerima Bantuan PKH Menurun”, repository.usu.ac.id/bitstream, 2009, diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21.00.
103
tinggi dari pasangannya” maka cenderung ada ”kesetaraan” dalam pengambilan keputusan RTSM untuk alokasi dana PKH. Apalagi pada RTSM responden yang ”keduanya berkontribusi dalam rumah tangga”, semakin ada ”kesetaraan” saat pengambilan setiap keputusan terkait alokasi bantuan PKH.
7.2
Saran Rekomendasi yang penulis berikan terkait pelaksanaan PKH di Kelurahan
Balumbang Jaya mencakup saran jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, melihat bahwa efektivitas manfaat PKH cenderung “tinggi” jika pengambilan keputusan dilakukan secara “bersama-sama oleh suami−isteri (setara)”, pemerintah perlu menyeleksi lebih ketat calon RTSM peserta PKH. Dengan kata lain, pemerintah harus memetakan RTSM peserta PKH. Pemerintah harus terlebih dulu membuat berbagai indikator kesetaraan gender. Pemerintah, melalui Dinas Sosial atau pun UPPKH kecamatan, kemudian mengadakan pertemuan intensif dengan calon RTSM peserta PKH agar diperoleh suatu hasil yang menunjukkan apakah calon RTSM peserta tersebut merupakan RTSM dengan tipe “setara” atau “didominasi oleh salah satu pihak” dalam segala keputusan rumah tangga. Penentuan “setara” atau “ada dominasi” tentunya dilakukan berdasarkan berbagai indikator kesetaraan gender yang telah dibuat sebelumnya. Karena efektivitas manfaat PKH cenderung “tinggi” pada RTSM responden dengan tipe pengambilan keputusan “setara”, bila dana pemerintah terbatas, sebaiknya bantuan PKH diberikan kepada RTSM yang memiliki tipe relasi gender “setara”. Adapun untuk jangka panjang, melihat bahwa “kesetaraan” dapat terwujud dengan adanya tingkat pendidikan yang “tinggi”, RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya harus diberikan penyadaran “kesetaraan gender”. Pemerintah harus memotivasi kesadaran masyarakat akan pentingnya kebebasan suami dan isteri dalam membuat berbagai pilihan (keputusan) rumah tangga termasuk mengenai alokasi dana PKH. Dengan kata lain, “kesetaraan” pada proses pengambilan keputusan sangat diperlukan agar suami−isteri dapat bermitra dengan baik dalam setiap program pembangunan. Walaupun komponen bantuan PKH tersebut meliputi aspek pendidikan anak serta kesehatan ibu, bayi, dan
104
balita, kaum suami juga merupakan bagian dari sebuah rumah tangga. Untuk itu, sosialisasi “kesetaraan gender” harus dilakukan kepada suami dan isteri. Alasan penting lainnya yang harus dikemukakan saat sosialisasi “kesetaraan gender”, selain karena suami−isteri sama-sama berkewajiban dan memiliki hak dalam rumah tangga, “kesetaraan” tersebut dapat mengakibatkan efektivitas manfaat PKH menjadi cenderung “tinggi”. Kegiatan bertukar pikiran diantara suami−isteri bisa memudahkan RTSM dalam mengambil setiap keputusan mengenai alokasi dana PKH, seperti keperluan sekolah anak apa saja yang harus dibeli, pemilihan harga dan tempat pembelian, berapa banyak barang yang harus dibeli, dan sebagainya. Peran kedua orang tua diharapkan bisa meningkatkan efektivitas manfaat PKH sehingga ibu, bayi, dan balita serta anak usia sekolah dapat benar-benar menikmati manfaat program. Selain itu, diharapkan bahwa “kesetaraan” ini dapat tercipta tidak hanya pada pengambilan keputusan terkait alokasi dana PKH, tapi juga dalam semua keputusan rumah tangga. Berkenaan dengan kontribusi ekonomi dalam rumah tangga, pemerintah sebaiknya mengajarkan berbagai keterampilan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan RTSM peserta PKH di Kelurahan Balumbang Jaya. Pemerintah juga sebaiknya membangun dunia usaha yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik RTSM peserta PKH di wilayah tersebut. Namun, baik keterampilan maupun dunia usaha ini, harus benar-benar melibatkan RTSM peserta sehingga memancing motivasi untuk mandiri. Saat pasangan “suami−isteri telah sama-sama berkontribusi (menyumbangkan pendapatan) dalam rumah tangga”, pengambilan keputusan terhadap alokasi dana PKH dan keputusan lainnya dapat menjadi cenderung “setara”. Hal ini karena, suami−isteri merasa sebagai pencari nafkah sehingga tidak ada salah satu pihak yang mengedepankan ego untuk mengontrol alokasi dana dalam rumah tangga termasuk uang bantuan PKH.
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin dan Muhammad Syukur. 2006. Laporan Penelitian: Perempuan Pedagang Antarpulau dalam Keterlibatan Pengambilan Keputusan pada Keluarga Bugis (Studi Kasus di Kecamatan Sibulue, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan) dalam www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/074/j74_08.pdf. Makasar: Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fitasari, Wiska. 2004. Skripsi: Strategi Keluarga dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Gizi Balita, dan Tingkat Kepuasan Keluarga. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Gustina, Indah. 2008. Tesis: Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di Kecamatan Medan Maimun dalam repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7102/1/057024035.pdf. Medan: Universitas Sumatera Utara Megawangi, Ratna. 2001. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan Momsen, Janet Henshall. 2007. Gender and Development. New York: Routledge Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Editor: Mansour Fakih. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar Mugniesyah, Sugiah dan Pamela Fadhilah. 2001. Analisis Gender dalam Pembangunan Pertanian (Aplikasi Gender Analysis Pathway–GAP). Jakarta: CIDA, Bappenas, dan WSP II Mugniesyah, Sugiah. 2007. ”Gender, Lingkungan, dan Pembangunan Berkelanjutan” dalam Ekologi Manusia. Editor: Soeryo Adiwibowo. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Prasodjo, Nuraini W. 1987. Skripsi: Modernitas Pandangan Kewiraswastaan Pedagang Kaki Lima (Studi Kasus Terhadap Pedagang Kaki Lima Suku Jawa dan Minangkabau di Wilayah Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta).
Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Purwaningtyas, Erna Safitri. 2008. Skripsi: Studi Gender dalam Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) bagi Rumah Tangga Miskin (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat). Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Rachmawati, Ary. 2010. Skripsi: Strategi Koping dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Sajogyo, Pudjiwati. 1985. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: Rajawali Singarimbun, M. dan Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S
Wahyuni, E. S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Departemen IlmuIlmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Wahyuni, E. S. dan Pudji Muljono. 2007 (a). Berpikir dan Menulis Ilmiah (KPM 200). Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor _____________________________. 2007 (b). Metode Penelitian Sosial (KPM 398). Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor ________________. 2000–2007. ”Katalog Badan Pusat Statistik (BPS): Sensus Penduduk”. BPS __________________. 2001. Laporan Pembangunan Manusia 2001. Menuju Konsensus Baru. Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. Jakarta: BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan United Nations Development Programme (UNDP) __________________. 2004. ”Revitalisasi Pertanian, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004–2009”. Bappenas Republik Indonesia
_________________. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Pusat Pendidikan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan. Bandung: Anggota IKAPI M2S __________________. 2007. Profil Gender Nasional Tahun 2006. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) __________________. 2007. Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2006. Menneg PP dan BPS __________________. 2007. Gender Analysis Pathway (GAP). Menneg PP dan Bappenas __________________. 2008. Buku Kerja Pendamping, Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan, Pedoman Operasional Kelembagaan PKH, Pedoman Operasional Sistem Pengaduan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial Republik Indonesia
Lampiran 1. Data Fasilitas Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2009 Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat
1
327105001100171 Maemunah
01
11
Babakan Lio
Karmila Gunawan
Nama Fasilitas Pendidikan/Kesehatan SMP Sejahtera 4 SMP Sejahtera 4
2
327105001100131 Enih
01
06
Babakan Lebak
Ajaiselamet
SDN Balungbang Jaya 2
Jalan Balebak
4
3
327105001100190 Anah
01
12
Sawah Baru
M. Andi Marlina
SMPN 1 Terbuka Dramaga SDN 4 Dramaga
Jalan SBJ Situgede Balungbang Jaya
9 4
4
327105001100133 Enah
02
06
Babakan Lebak
Suryana
SMP Negeri 1 Terbuka Dramaga Jalan SBJ Situgede
8
5
327105001100113 Darminah
03
05
Babakan Lebak
Asruq Kumbara Muyudo Mugiawan
SMP Sejahtera 4 SMP Sejahtera 5
Babakan Lebak Babakan Lebak
8 7
6
327105001100109 Rokayah
01
05
Babakan Lebak
Rini Riana Septian Duaji
SMP Negeri 2 Dramaga SDN Balungbang Jaya 2
Jalan Babakan Dramaga, Kab. Bogor 16680 Jalan Balebak
7 2
7
327105001100126 Mardiah
04
05
Babakan Lebak
Nuryesi
SDN Balungbang Jaya 1
Jalan Swadaya I
5
8
327105001100127 Rasiti
04
05
Babakan Lebak
Supriyatna
SDN Balungbang Jaya 2
Jalan Balebak
3
9
327105001100152 Acih
02
08
Babakan Lio
M. Maulana
SDN Balungbang Jaya 2
Jalan Balebak
6
10
327105001100163 Marnah
03
09
Babakan Lio
Yuriska Rini Edward SA
SMPN 1 Dramaga SDN Balungbang Jaya I
Jalan Babakan Dramaga Kab. Bogor Jalan Swadaya 1
7 2
11
327105001100129 Hasanah
01
06
Babakan Lebak
Siti Nurisah
SMP Negeri 1 Dramaga
Jalan Babakan Dramaga, Kab. Bogor
8
12
327105001100176 Emi Kurnia
03
11
Babakan Lio
Devi Nuraeni
SMP Negeri 1 Dramaga
Jalan Babakan Dramaga, Kab. Bogor
9
13
327105001100115 Hindun
03
05
Babakan Lebak
Asep Sunandar
SDN Balumbang Jaya 1
Jalan Swadaya I
6
14
327105001100137 Nengsih
02
06
Babakan Lebak
Risna Drajat
SDN Balungbang Jaya 2
Jalan Balebak
1
15
327105001100122 Ratna Sari
03
05
Babakan Lebak
Rindi Purnama Anton Sabarta
SMP Negeri 1 Dramaga SDN Balungbang Jaya 1
Babakan Dramaga, Kab Bogor Jalan Swadaya I
9 1
16
327105001100204 Siti Asmawati
02
12
Sawah Baru
Santi Marisa
SDN Dramaga 4
Balungbang Jaya
4
17
327105001100195 Mulyati
01
12
Sawah Baru
Rahayu
SDN Balungbang Jaya 1
Jalan Swadaya I
5
18
327105001100112 Nina Kastini
02
05
KP Babakan Lebak Rashid Kustiawan
Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Balebak RW 05
19
327105001100173 Rokayah
01
11
Babakan Lio
No
No. PKH
Nama Pengurus
RT
RW
Alamat
Nama Anggota
Aceng Supriatna M. Rafli Renaldi Herdiansyah
20
327105001100170 Aah
02
10
Babakan Lio
Vijai Aldi Siti Bunga Apriliani
Alamat Fasilitas Pendidikan/Kesehatan
Kelas
Babakan Lebak Babakan Lebak
7 9
4
SMP Kornita Posyandu Cingcalo 02 Kel.Balungbang Jaya SMPN 1 Dramaga
Dermaga
8
Jl. Babakan Dramaga Kab. Bogor
7
SMP Sejahtera 4 Posyandu Anggrek, Kel. Balungbang Jaya
Babakan Lebak
9
Sawah Baru RW 12
RW 10 Balumbang Jaya
Umur
5
5
21
327105001100121 Agustina
03
05
Babakan Lebak
Surtika M. Suherdin
SMP Sejahtera 4 SDN Balungbang Jaya 1 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Babakan Lebak Jalan Swadaya I
SMP Sejahtera 4 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Babakan Lebak
SMP Negeri 1 Dramaga Kab. Bogor SDN Balungbang Jaya 1 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Babakan Dramaga, Kab. Bogor
8
Jalan Swadaya I Balebak RW 05
3
SMP Sejahtera 4 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Babakan Lebak
7
Aulia Syafira Amanda Nur S M. Ilham Firdaus
SMPN 1 Terbuka Dramaga SDN Dramaga 4 Posyandu Cingcalo 02 Kel. Balungbang Jaya
Jl. SBJ Situ Gede Balungbang Jaya Sawah Baru RW 12
7 2
Rizki Pratama
SDN Balungbang Jaya 2 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
Jalan Swadaya I
3
SDN Balungbang Jaya 1 Posyandu Cingcalo 02, Kel. Balungbang Jaya
Jalan Swadaya I
Septiani 22
327105001100111 Sati
02
05
Babakan Lebak
Yanah M. Rifansyah
23
327105001100119 Romlah
03
05
Babakan Lebak
M. Andrian M. Riki Anwari Andini
24
327105001100116 Siti Aisah
03
05
Babakan Lebak
Ardiansyah Ahmad Pauzi
25
26
327105001100194 Ayumah
327105001100110 Siti Herlina
01
12
01
05
Sawah Baru
Babakan Lebak
Cahya Mi'raj 27
327105001100198 Ocah Hodijah
02
12
Sawah Baru
Anto Hardiansyah Novi Yanti
28
327105001100114 Sumiyati
03
05
Babakan Lebak
Surya Pratana A Balia Nur Fitri
29
327105001100193 Icah
1
12 Sawah Baru
Imbar Pirnanda Syaebah Rianjani
30
327105001100120 Saripah
03
05
Babakan Lebak
Bima Pratama Marsela Padila Fahri Ramadhan
Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya SDN Balungbang Jaya 1 SMP Sejahtera 4 Posyandu Cingcalo 02 Kel. Balungbang Jaya SDN Balungbang Jaya 1 Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya Posyandu Dahlia, Kel. Balungbang Jaya
7 3
Balebak RW 05
3 7
Balebak RW 05
1
4
Balebak RW 05
4
2
Balebak RW 05
1 3 4
Sawah Baru RW 12
Balebak RW 05 Jalan Swadaya I
1 3 7
Sawah Baru RW 12
Jalan Swadaya I Balebak RW 05
2
2 5
Balebak RW 05
3
Balebak RW 05
0
No. Responden/Nama : 2/Bu Enih Tipe RTSM
: Pendidikan (SD)
Tanggal Wawancara : Rabu, 3 Maret 2010 Lokasi Wawancara
: Rumah Bu Enih (Babakan Lebak No.
RT 01 RW 06)
Bu Enih yang bekerja sebagai buruh cuci di Asrama Puteri IPB Dramaga berusia 44 tahun dan merupakan tamatan SD. Suami Bu Enih berusia 50 tahun, juga tamatan SD, dan menganggur sejak tiga tahun silam.
Bapak nganggur, Neng. Udah tiga tahunan. Dulu kerja sama orang, kena PHK. Ya udah, enggak dapet kerja lagi. Cuma bantu-bantu Ibu aja sekarang. Kalau Endang, kerja di tempat serpis kayak tipi, kulkas, bagian kasirnya gitu. Ya tempat yang biasa sih. Ibu juga enggak pernah nuntut harus dikasih ke Ibu duitnya. Kan dia juga dapetnya kecil, udah habis buat makan di sana sama ongkos”.
Bu Enih hanya memiliki dua orang anak. Anak pertama, Endang, berusia 24 tahun, lulusan SMA, dan bekerja sebagai pegawai di salah satu tempat servis alat-alat elektronik. Adapun anak kedua, Ajai Selamet, berusia 9 tahun dan masih duduk di bangku kelas 4 SDN Balungbang Jaya 2 (Jalan Swadaya I). Rumah tangga ini menerima dana PKH sebesar Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) yang terdiri atas Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dana tetap pemerintah dan Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) bantuan untuk anak SD. Suami Bu Enih tidak bisa mengikuti sesi wawancara ini karena sedang pergi mencari kerja sejak pagi. Keterangan: 1. S
: Saya.
2. BE : Bu Enih.
S
: “Bu. Kan Ibu cuma punya satu orang anak yang masih harus sekolah, Ajai. Pemerintah juga kan ada program yang namanya wajib belajar sampai SMP. Nah, yang dulunya mengharuskan atau nyuruh Ajai buat sekolah paling enggak sampai SMP, siapa? Bapak atau Ibu yang mengharuskan atau nyuruh kayak gitu?”
BE : “Ibu kayaknya yang paling cerewet mah! Hehehe. Ibu mah dari dulu sendiri. Habiiiiiis, bapak mah apa-apa Ibu. Enggak mau tau gimanagimananya. Tau beres aja. Tapi, tetep kasih duit ke Ibu kok pas dulu kerja, hehehehe. Enggak pernah tuh nyuruh anak buat sekolah. Dari dulu kan, kita emang orang susah. Jadi, kata bapak, ya kalau ada duit, yaaa sekolah. Kalau enggak ada, yaaa mau diapain lagi?? Yang penting, buat makan di rumah ada. Enggak mau ribet gitu, Neng. Sayang sih sama anak-anak, kan ngasih juga kalau ada duit. Tapi, kalau yang nyuruh, ya Ibu. Dari pas anak lahir, enggak pernah bilang tuh. Misalnya, nanti kalau gede disekolahin. Enggak! Yang penting, anak-anak harus dikasih makan. Kalau nanti ternyata ada duitnya, ya disekolahin. Kalau ternyata masih enggak ada juga, misalnya enggak cukup gitu, yaaaa terpaksa enggak sekolah. Ya mungkin emang gitu kali ya, beda sama Ibu? Hehehe. Ibu-ibu kan biasanya mah lebih peka, ngerasa, lebih telaten mikirnya, ngurusnya, jadi sama Ibu mah anak harus sekolah! Mau sampai SD juga kalau enggak ada dana, yang penting usaha dulu sama sekolah dulu! Daripada enggak bener-bener sekolah??” S
: “Bapak enggak pernah ngomong dari dulu, kalau anak harus sekolah paling enggak sampai SMP kalau emang, maaf ya Buu, enggak ada dana?”
BE : “Enggak. Terserah Ibu sama anak-anak, Neng. Dulu mah cuma bilang gini. Kalau ada duit, ya disekolahin. Tapi, kalau anaknya enggak mau, ya jangan dipaksa. Kan dulu mah pernah ada anak tetangga yang suka nangis kalau ke sekolah. Udah gitu, dimarahin juga, harus sekolah! Bapak enggak mau kayak gitu. Apalagi kalau emang duitnya cuma bisa buat makan sehari-hari aja, ya udah bener-bener enggak sekolah. Tapi, kalau ibu-ibu kan lebih bisa ngerasa’ ya, Neng? Jadi, lebih pokal, gituh! Hehe. Anak harus sekolah!” S
: “Ibu kan cuma punya satu orang anak nih yang masih harus sekolah dan kebetulan anaknya laki-laki. Kalau misalnya, ini misalnya aja ya Bu, cerita’ nya, gituh lah. Misalnya, Ibu juga punya anak perempuan yang masih harus sekolah. Misalnya lagi nih, ini enggak beneran PKH kayak gini, cuma misalnya aja. Misalnya, PKH nyuruh Ibu sama bapak buat milih. Anak perempuan atau anak laki-laki yang namanya mau Ibu sama bapak masukin jadi peserta PKH supaya bisa nerima duit buat sekolah.
Misalnya, Ibu sama bapak enggak boleh milih dua-duanya karena duit pemerintah cuma cukup buat satu anak aja. Nah, Ibu bakal milih anak perempuan aja atau anak laki-laki aja yang namanya dimasukin jadi peserta PKH supaya nerima uang yang buat sekolah?” BE : “Mungkin dari apa tuh, emmmm Depsos ya?? Ya, si Ajai ajah yang masuk. Kan kakaknya udah enggak belasan tahun. Kalau ada anak perempuan juga, yaaaa dua-duanya harus sekolah. Kalau emang enggak bisa, perempuan aja yang ngalah kalau uang Ibu terbatas. Biarin lelakinya yang sekolah, yang cewe’ teh masak, nyuci, gitu-gitu lah”. S
: “Ajay kenapa sekolah di SDN Balungbang Jaya 2, Bu?”
BE : “Jaraknya sih yang bikin kita setuju anak di sana. Kan satu RW, Neng. Lagian kan negri, dana BOS juga. Lumayan lah enggak bayar yang SPP sama uang pangkalan itu, Neng”. S
: “Kalau dulu pas pertama kali PKH dateng, kan ada tandatangan surat ya? Siapa yang nandatanganin surat-surat gitu? Ibu atau bapak?”
BE : “Ibu. Kan PKH emang untuk ibunya, suaminya mah enggak. Semuanya ibu-ibu. Tandatangan, setuju apa enggaknya, ke kantor ngambil duit”. S
: “Emmmm, mohon maaf niy Bu. Kayak yang saya bilang tadi di awal. Enggak ada maksud apa-apa, bener-bener nanya buat sekeripsi ini aja. Emmmm, kalau dari nyuci, Ibu teh dapet berapa?”
BE : “Iya, enggak apa-apa. Yaaa, sebulan bisa lima ratus. Bapak mah bantubantu Ibu ajah, ngejemur pakean! Hehehehe”. S
: “Selain dari PKH sama gajinya Ibu, dapet dari mana lagi?”
BE : “Wiiiih, enggak ada! Hehe. Anak yang gede kan enggak banyak dapetnya tiap bulan. Ya buat beli keperluan dia juga, namanya juga udah gede. Dikit aja kalau ada rejeki ngasihnya. Bukan Ibu yang mau, emang dianya yang ngasih. Enggak seberapa, Neng”. S
: “Uang PKH, siapa yang megang? Yang nyimpennya, gituh? Kan kalau yang ngambil di kantor pos mah Ibu. Nah, pas di rumah, siapa yang nyimpen?”
BE : “Ibu juga atuh. Bapak Alhamdulillah enggak pernah enggak ngasih pas dulu ada kerja. Sekarang juga, walaupun enggak kerja gini, enggak pernah ngatur-ngatur duit harus dipegang siapa, buat apa aja, berapa harganya. Yak an ibu-ibu mah emang kerjaannya gini, ngurus duit, anak, suami. Laki-laki kan enggak mau repot sama yang ginian, emang
kerjaannya perempuan ini mah kan. Yang penting katanya, buat makan sehari-hari ada. Kalau Ibu juga, ngeluarinnya paling buat makan, beli sabun cuci, bayar bukunya Anjai. Gitu-gitu aja lah, Neng. Jajannya juga cuma dua ribu tiap hari sekolah. Mau yang lebih, alah. Duit dari mana?? Yang PKH kan juga harus buat bukunya. Itu yang dua semester aja, satu semesternya udah ada dua puluan lah. Setahun dua kali, udah empat puluan. Seragam sama sepatu, semuanya enem puluan. Untungnya baru dua kali beli pas taun kemaren mah. Kalau beli buku, pensil, penghapus, sama ngaji, yaaa bisa tiap bulan. Ngaji kan dua belasan. Yang buku tiga limaan lah. Cari yang termurah, jadi pas nawar bisa tambah murah! Hehehe”. S
: “Yang ngatur, yang nentuin kalau duit yang harus keluar segini, buat apa aja, itu siapa? Ibu atau bapak?”
BE : “Ibu semua. Bapak tinggal tau jadinya kayak gimana. Pokoknya, percaya sama istrinya! Hehe. Tapi, sering bingung juga Ibu. Kadang kan kita butuh temen ngobrol juga. Kadang kan ada ragu mau ngeluarin berapa, buat keperluan apaaaa misalnya. Tapi, ya mungkin gitu si Bapak. Ya udah aja, udah jadi suami. Ya diterima aja! Hehe”. S
: “Emmmm, sehari yang lau, buat belanja sayur, lauk, habis berapa Bu?”
BE : “Hehe. Berapa ya?? Yaaa, emmm, dua puluan lah. Dapet beras raskin sih”. S
: “Emmmm, kalau tahun lalu. Mohon maaf nih, Bu. Emmm, buat Lebaran, habisnya berapa?”
BE : “Waduh! Hehe. Lebaran biar enggak ada duit, ya dipunya-punyain. Biar cuma sepuluh ribu juga! Hehe. Yaaa, gitu aja lah Neng”. S
: “Ibu masih inget enggak pas pertama kali dapet surat dari Departemen Sosial, Depsos? Yang ngasih tau kalau Ibu tuh masuk jadi peserta PKH”.
BE : “Aduh, inget sih. Tapi, habis itunya ngapain, udah lupa! Hehe. Kayaknya sempet dikasih tau inponya tentang PKH itu apa, kenapa Ibu bisa dapet, kenapa ada yang enggak dapet. Sama pemilihan ketua ya? Kayaknya Pak Asep sama Bu Isti yang milih. Gimana ya dulu?? Pokoknya, habis itu kan ngisi yang nama-nama anggota keluarga itu, baru dianterin ke sekolah. Yaaa, nginpoin gituh kalau ini teh anggotanya PKH”. S
: “Waktu pemilihan ketua kelompok, siapa yang kepilih?”
BE : “Bu Nengsih. Ibu-ibu sih setuju aja. Oh iya! Kayak ada permainan gitu. Diliat siapa yang cepet tanggap, yang sportip, yang tanggung jawab. Kan kita mah enggak dibilangin kalau mau dipilih. Tau-tau habis main, ya kepilih aja, terus disetujuin sama ibu-ibu. Kita mah anggotanya berapa ya?? Kayaknya sih lima belas lebih dikit deh, lupa Ibu”. S
: “Waktu yang ngisi nama-nama anggota itu, dikerjain sendiri atau dibantuin sama pendamping?”
BE : “Dikasih tau dulu artinya setiap pertanyaan teh apa, harus caranya gimana ngisinya. Ibu-ibu kan pada takut salah gitu”. S
: “Pernah ada keluhan enggak Bu dari ibu-ibu?”
BE : “Yang itu, Neng. Emmm, bu RT yang mampu. Tapi, kan pendamping kan enggak bisa ngapa-ngapain. Kan datanya dari pusat. Ibu sih enggak ada masalah apa-apa, baik-baik aja”. S
: “Kalau pertemuan sama ibu-ibu, ada enggak? Ngebahas apaaa gitu?”
BE : “Kayaknya yang dua kali setahun itu. Kan kalau yang tiap bulan mah, yang sama ketua-ketua doang. Ya cocokin data yang didapet dari Posyandu sama sekolah. Nanya ada masalah apa enggak. Ngasih tau inpo apa. Senin sampe’ Jumat kan juga ke sini, ke sekolah, ke Posyandu. Enggak ngumpul yang bareng-bareng, tapi dateng aja, gituh! Hehe. Pernah ngebahas yang kadernya marah-marah, ujung-ujungnya minta duit. Tapi, udah diselesaian sama Pak Asep sama Bu Isti. Sama itu, Neng. Ngasih tau pencairan. Kan Pak Asep biasanya yang dateng ke tempatnya Bu Nengsih, seminggu atau dua minggu sebelum ngambil duitnya lah. Sekalian ngasih kartu. Terus, Bu Nengsih yang ngasih tau ke ibu-ibu sekalian ngasih kartu yang dari pendamping ke kita-kita. Harus dibawa kartunya”. S
: “Kalau di sekolah, dikasih apa aja Bu? Kan gratis SPP sama uang pangkal. Ada gratisan lagi enggak atau malah disuruh bayar macemmacem yang nyusahin Ibu sama bapak?”
BE : “Ya cuma BOS aja, Neng. Kalau ditanya mah, semuanya pasti maunya gratis. Tapi, kan katanya uang pemerintah juga enggak cukup kalau ngebayarin semua biaya hidupnya rakyatnya, gituh. Jadi, ya enggak apaapa kita bayar yang buku. Yang penting kan, SPP sama uang bangunan gratis. Apalagi ada PKH. Bisa bener-bener buat anak sekolah. Pokoknya, enggak ada lah pungutan apa-apa juga, yang udah wajar aja selama ini
mah. Alhamdulillah kebantu setengahnya sama PKH. Buat bukunya, seragam, jajan, ngaji, malah sebenernya masih kurang. Tapi, kan emang jatah dari pemerintahnya segini. Enggak boleh ah banyak ngeluh. Dikasih aja udah sukur, ini mah bener-bener ngebantu”. S
: “Menurut Ibu, sekolah itu penting enggak sih buat anak-anak Ibu?”
BE : “Iya lah! Ibu sama Bapak yang udah SD aja masih susah gini dapet kerja yang bagus, gimana kalau enggak sekolah?? Kan kalau orang tua yang beneran sayang ke anak mah, pasti berjuang mati-matian supaya anak sekolah. Kalau sekolah tinggi, bisa cari kerja, punya duit sendiri. Apalagi Anjai laki-laki. Kalau perempuan, ya sekolah juga mesti. Tapi, kan sama Alloh mah udah ditakdirinnya jadi istri. Kalau terpaksa enggak sekolah, yaaa bisa ikut suami. Kalau anak laki-laki?? Justru dia yang bakal diikutin sama istrinya. Mau engak mau harus sekolah. Gimana bisa kerja kalau enggak sekolah?? Yang sekolah aja kerjaannya belum tentu dapet yang bagus kan??” S
: “Ibu teh bekerja karena maunya Ibu dari dulu atau karena bapak kena PHK?”
BE : “Maunya Ibu dari dulu. Kalau mau nurutin enaknya sih, ya di rumah aja. Kayak yang orang kaya, Neng. Istrinya di rumah, cuma tinggal nerima duit. Tapi, kita kan bukan orang kaya. Kalau Ibu di rumah, bapak juga dulu tiap bulannya kecil banget dapetnya, jadi gimana buat makan sama sekolahnya anak-anak?? Kayak gini deh. Ini aja masih susah. PKH Alhamdulillah ngebantu setengahnya. Tapi, kan kebutuhan mah makin banyak, makin mahal”. S
: “Ibu, mohon maaf. Ini rumah sendiri atau warisan orang tua?”
BE : “Sendiri, Neng. Yaaa, begini lah”. S
: “Kalau, emmmm mohon maaf niy Bu. Kayak tivi, kulkas, mesin cuci. Mohon maaf, ada enggak di sini?”
BE : “Enggak, hehe. Cuma ada kipas angin sama radio bahela! Hehe. Ngejemur mah tuh di halaman rumah. Dimuat-muatin aja. Cuma ini aja hartanya, kursi sama meja kayu, hehehe”. Rumah berukuran kecil dan ada halaman kecil untuk menjemur pakaian.
Atap bilik, dinding bilik, dan lantai semen. Di dalam rumah, bagian depan adalah ruang tamu dan tiga kamar tidur. Bagian belakang merupakan dapur dan kamar mandi.