ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PEMBUDIDAYA DAN NONPEMBUDIDAYA IKAN DI KABUPATEN BOGOR
NOORMA BUNGA ANIRI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga Pembudidaya dan Nonpembudidaya Ikan di Kabupaten Bogor adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2008
Noorma Bunga Aniri NRP A54104024
iii
RINGKASAN NOORMA BUNGA ANIRI. Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga Pembudidaya dan Nonpembudidaya Ikan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARTOYO. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di kabupaten Bogor. Tujuan khusus penelitian ini adalah; (1) mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor; (2) mengidentifikasi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di kabupaten Bogor; (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di kabupaten Bogor; (4) menganalisis strategi untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di kabupaten Bogor. Desain penelitian adalah cross-sectional study dan dilaksanakan pada bulan Januari 2008 berlokasi di Kecamatan Ciseeng. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dua desa yang mewakili dua kelompok keluarga. Desa Parigi Mekar mewakili kelompok keluarga pembudidaya ikan dan desa Ciseeng untuk keluarga nonpembudidaya ikan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 70 orang yang terdiri dari 40 responden pembudidaya ikan dan 30 responden nonpembudidaya ikan. Pemilihan responden pembudidaya ikan dilakukan secara purposive, sedangkan untuk keluarga nonpembudidaya ikan dilakukan secara acak pada tingkat rukun tetangga (RT). Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Data ini meliputi karakteristik demografi, ekonomi, sosial budaya, pengeluaran keluarga serta indikator tingkat kesejahteraan BKKBN dan sosiometrik. Data sekunder adalah karakteristik lokasi yang diperoleh dari data monografi desa dan Kantor Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Secara umum karakteristik keluarga yang terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga dan istri, pendidikan kepala keluarga dan istri, pendapatan dan pengeluaran perkapita antara keluarga kelompok budidaya dan non budidaya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan berdasarkan uji beda t. Perbedaan yang sangat signifikan terdapat pada aset keluarga kedua kelompok tersebut. Berdasarkan indikator Biro Pusat Statistik (BPS) dan Sosiometrik, sebagian besar keluarga pada kedua kelompok berada pada kategori sejahtera. Sedangkan menurut indikator BKKBN sebanyak 42,5% dan 56,7% dari keluarga kelompok budidaya dan non budidaya dikategorikan miskin. Berdasarkan indikator Sosiometrk sebagian besar responden dinyatakan sejahtera. Sensitivitas dan spesitivitas indikator BKKBN dengan benchmark indikator BPS adalah sebesar 77,8 dan 55,7. sedangkan untuk indikator Sosiometrik adalah sebesar 66,7 dan 96,7. Terdapat hubungan yang signifikan antara indikator Sosiometrik dengan indikator BPS. Berdasarkan hasil regresi logistik jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga berpengaruh secara nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga berdasarkan ketiga indikator dan indikator gabungan. Usia kepala keluarga yang lebih tua mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga. Semakin lama pendidikan baik kepala keluarga maupun
iv
istri juga mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, demikian pula dengan aset keluarga. Strategi peningkatan kesejahteraan keluarga yang sesuai dengan permasalahan dan faktor yang berpengaruh nyata adalah dengan melalui peningkatan pendapatan keluarga. Peningkatan pendapatan keluarga akan meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengumpulkan aset keluarga yang lebih banyak lagi. Upaya peningkatan pendapatan keluarga dapat dicapai dengan peningkatan tingkat pendidikan dan ketrampilan kepala keluarga dan generasi penerusnya untuk dapat memotong rantai kemiskinan dan mewujudkan tujuan MDGs. Perlu suatu strategi untuk meningkatkan minat dan akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi. Upaya perbaikan akses dan minat diperlukan untuk meningkatkan keterjangkauan pendidikan lanjut Program Keluarga Harapan merupakan langkah awal yang baik dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia. Program ini mempunyai nilai tambah yaitu pemberdayaan masyarakat. Peserta tidak hanya memperoleh bantuan berupa uang tunai tetapi peserta juga diberdayakan untuk meningkatkan kualitasnya sehingga nantinya dalam jangka panjang dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dengan usaha sendiri. Keywords: kesejahteraan, kemiskinan, indikator kemiskinan
ABSTRACT NOORMA BUNGA ANIRI. A54104024. Factor Affecting Family Welfare Analysis of Aquaculturist and non Aquaculturist Family in Bogor Regency. Supervised by Hartoyo. The objective of the research was to analyze factor that affecting the family welfare in both family and strategies to overcome poverty among them. A cross sectional survey involved 70 purposive samples in two selected villages, Parigi Mekar and Ciseeng. Both group have the same characteristic in general, but there is a significant differences (p<0,05) on family assets between aquaculturist and non aquaculturist family. The study used three methods to indicate family welfare, those are BPS (expenditure per capita compared to poverty line), BKKBN (six qualitative indicator), and Sosio Metrics Matrix (eight qualitative indicator). The result of the study indicated that prevalence of poor family in aquaculture group was vary from 2,5% (BPS methods) to 42,5% (BKKBN methods), prevalence of poor family in non aquaculture group was vary from 20% (Socio Metrics Matrix methods) to 56,7% (BKKBN methods). By using BPS methods as a benchmark, BKKBN methods has a high sensitivity but low spesitivity, while Socio Metrics Matrix methods has a low sensitivity but high spesitivity. The result of the logistic regression analysis indicated that the number of family member and family income significantly influencing family welfare based on all welfare indicator. BKKBN also indicated that family welfare influenced by wife education. Poverty reduction is the one of main priority of goverment development strategies. Increasing family income is one way to improving family welfare. Accescibility improvement for achieving the higher education level is a key to poverty reduction strategy in the next generation. Keywords : welfare, poverty, poverty indicator
v
ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN KELUARGA PEMBUDIDAYA DAN NONPEMBUDIDAYA IKAN DI KABUPATEN BOGOR
NOORMA BUNGA ANIRI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
vi
Judul
: Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Keluarga Pembudidaya Nonpembudidaya Ikan di Kabupaten Bogor
Nama Mahasiswa
: Noorma Bunga Aniri
Nomor Pokok
: A54104024
Disetujui
Dosen Pembimbing
Dr.Ir.Hartoyo, MSc. NIP. 131669952
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian IPB
Prof. Dr.Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131124019
Tanggal lulus:
Tingkat dan
vii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas izin dan inayah-Nya dalam penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga Pembudidaya dan Nonpembudidaya Ikan di Kabupaten Bogor” sehingga dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian setelah penulis menyelesaikan studi pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis dibantu oleh berbagai pihak dalam menyelesaikan penelitian ini, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Hartoyo, MSc selaku dosen pembimbing atas kesediaan dan kesabaran beliau membimbing penulis dan memberikan saran demi kesempurnaan karya ilmiah. 2. Ibu Ir. Retnaningsih, Msi selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas saran dan masukan untuk penyempurnaan karya ilmiah penulis. 3. Seluruh staf pengajar dan komisi pendidikan Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. 4. Kelompok tani ikan Telaga Biru, Bapak Edi dan anggotanya yang telah memberikan data yang sangat berguna bagi penelitian penulis, Ketua RT dan RW Desa Ciseeng dan Parigi Mekar yang telah memberikan informasi dalam penelitian penulis. 5. Bapak dan Ibuku yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material dan do’a yang tulus untuk penyelesaian studi ini. It’s for you mom and dad. 6. Keluarga Paklik Hari di Nunukan, Kalimantan Timur dan keluarga besar Pacitan atas doa dan motivasinya dalam penyelesaian skripsi penulis. 7. Teman-teman Gamasakers 41 semuanya atas kebersamaan dan kenangan yang diberikan selama masa perkuliahan. 8. Bagus Zulfikhal Muthi yang telah banyak membantu dalam proses pengambilan data dan penyelesaian tugas akhir penulis. 9. Keluarga besar Pondok Ginastri (Nayu, Agus, Ari, Melisa, Yeyet, Apen, Gita, Sinta, Irma, Nisa, Ochie, Lesty dll) atas kebersamaan dan kekeluargaan yang terjalin selama penulis menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. 10. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang telah membantu kelancaran penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini.
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur pada tanggal 16 Oktober 1986. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Moh. Djumhuri,SH. dan Sriani. Pendidikan dasar ditempuh penulis di Sekolah Dasar Negeri Jenangan 1, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo dan ditamatkan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Ponorogo dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Ponorogo masing-masing pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menyelesaikan studinya penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus. Penulis aktif menjadi anggota beberapa organisasi kemahasiswaan antara lain sebagai staf Departemen of Education Forum for Scientific Studies (FORCES), staf Kajian Strategis Himpunan Mahasiswa Peminat Gizi Pertanian (HIMAGITA), anggota International Association of Agriculture and Related Science (IAAS) dan beberapa organisasi lainnya. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan beberapa acara antara lain divisi acara Food and Nutrition Competition, ketua panitia Forum Diskusi Pangan dan Gizi (Forsi Pagi), divisi humas Seminar Control Yourself from 3 Hypers dan beberapa kepanitiaan lainnya. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan penanganan anak pasca korban gempa di Klaten, Jawa Tengah pada bulan Juni 2006 sebagai relawan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen bersama dengan Departemen Gizi Masyarakat IPB.
ix
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA....................................................................................................... iv DAFTAR TABEL............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xiv PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 Latar Belakang.................................................................................... 1 Perumusan Masalah........................................................................... 4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 Kegunaan Penelitian........................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6 Millenium Development Goals ............................................................ 6 Kesejahteraan dan Kemiskinan .......................................................... 7 Indikator Kesejahteraan...................................................................... 10 Indikator Biro Pusat Statistik ........................................................ 11 Indikator BKKBN........................................................................... 11 Indikator Sosio Metrics Matrix....................................................... 12 Penanggulangan Kemiskinan ............................................................. 13 Karakteristik Keluarga......................................................................... 15 Budidaya Perairan .............................................................................. 17 KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 19 METODE PENELITIAN .................................................................................. 22 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .............................................. 22 Jenis dan Cara Pengumpulan Data.................................................... 22 Pengolahan dan Analisis Data............................................................ 22 Definisi Operasional............................................................................ 25 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 28 Karakteristik Lokasi............................................................................. 28 Karakteristik Keluarga Responden ..................................................... 29 Jumlah Anggota Keluarga ............................................................ 29 Usia Kepala Keluarga dan Istri ..................................................... 30 Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri........................................... 31 Pekerjaan Kepala Keluarga Responden....................................... 33 Pendapatan Keluarga Responden................................................ 34 Aset Keluarga Responden............................................................ 36 Tingkat Kesejahteraan Keluarga Responden ..................................... 38 Indikator BPS................................................................................ 38 Indikator BKKBN........................................................................... 41 Indikator Sosiometrik .................................................................... 44 Indikator Gabungan ...................................................................... 46 Tingkat Akurasi Indikator BPS, BKKBN, Sosiometrik, dan Indikator Gabungan ...................................................................... 48 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan................. 51
x
Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BPS ........................................................... 51 Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BKKBN ...................................................... 54 Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator Sosiometrik ............................................... 55 Faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator Gabungan ................................................. 57 Strategi Peningkatan Kesejahteraan .................................................. 59 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 69 Kesimpulan ......................................................................................... 69 Saran .................................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72 LAMPIRAN ..................................................................................................... 76
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Batas miskin, jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia 1996-2007.................................................................................2
2
Social Metrics Matrix Indicator...................................................................12
3
Penentuan Indeks Sensitivitas dan Spesitivitas Indikator Kemiskinan ................................................................................................24
4
Sebaran keluarga responden berdasarkan jumlah anggota keluarga.....................................................................................................29
5
Sebaran keluarga responden berdasarkan tipe keluarga..........................30
6
Sebaran keluarga berdasarkan usia kepala keluarga ...............................30
7
Sebaran keluarga berdasarkan usia istri ...................................................31
8
Sebaran keluarga berdasarkan tingkat dan lamanya pendidikan kepala keluarga .........................................................................................32
9
Sebaran keluarga berdasarkan lama pendidikan istri ...............................32
10
Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan kepala keluarga ......................33
11
Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan perkapita..............................34
12
Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran per kapita ...........................36
13
Sebaran keluarga berdasarkan perbandingan pendapatan dan pengeluaran per kapita..............................................................................36
14
Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset keluarga ......................37
15
Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan dengan indikator BPS.............................................................................................39
16
Keragaan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga responden..................................................................................................40
17
Sebaran keluarga berdasarkan persentase pengeluaran pangan ............41
18
Pengelompokan keluarga berdasarkan tingkatan kesejahteraan BKKBN ......................................................................................................42
19
Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan dengan indikator alasan ekonomi...........................................................................43
20
Sebaran keluarga miskin berdasarkan indikator ALEK .............................43
21
Sebaran keluarga berdasarkan kesejahteraan dengan indikator sosiometrik ................................................................................................44
22
Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan BPS, BKKBN dan sosiometrik ............................................................................47
23
Sebaran keluarga berdasarkan kemiskinan dengan indikator gabungan...................................................................................................47
xii
24
Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan BKKBN, sosiometrik, dan indikator gabungan dengan BPS sebagai benchmark .................................................................................................48
25
Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut BPS .............................................................................................53
26
Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut BKKBN ........................................................................................55
27
Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut Sosiometrik..................................................................................56
28
Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut indikator gabungan......................................................................57
29
Koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga terhadap tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BPS, BKKBN, Sosiometrik dan Gabungan .......................................................................59
30
Cut off point pendapatan berdasarkan jumlah anggota keluarga ..............63
31
Cut off point jumlah anggota keluarga berdasarkan pendapatan ..............64
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran global pengurangan kemiskinan ........................... 6
2
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga .................. 21
3
Siklus kemiskinan .................................................................................. 61
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Pengkategorian keluarga sejahtera BKKBN............................................. 77
2
Hasil uji beda t .......................................................................................... 79
3
Sebaran keluarga berdasarkan delapan aspek indikator sosiometrk ....... 80
4
Hasil uji korelasi antar variabel dan antara variabel dengan indikator kemiskinan............................................................................................... 82
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu fenomena sosial yang tidak hanya ditemukan di negara berkembang seperti Indonesia tetapi sudah menjadi sebuah permasalahan global seluruh masyarakat dunia. Salah satu wujud dari kepedulian dunia terhadap masalah kemiskinan adalah adanya Millenium Development Goals (MDGs) yang telah disekapati dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Global pada bulan September tahun 2000 yang kemudian menghasilkan Millennium Declaration. Millenium Declaration merupakan suatu inisiatif global yang bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dunia menjadi setengahnya pada tahun 2015 (UNDP 2002). MDGs mempunyai delapan tujuan dan 18 target yang harus dicapai oleh Negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju. Berdasarkan HDR 2005 terdapat puluhan negara yang gagal dalam mencapai satu target MDGs. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah kesenjangan yang terjadi pada tingkat global dan di dalam negara. Upaya pengentasan kemiskinan tidak akan efektif tanpa pemahaman yang benar oleh pembuat kebijakan (Laila 2006). Penghapusan kemiskinan telah lama menjadi salah satu prioritas utama dari strategi pembangunan di Indonesia sejak awal dekade 1970-an. Strategi ini diarahkan untuk memperbaiki pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari seluruh penduduk baik dari aspek kebutuhan pangan, papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Untuk itu kajian untuk memahami masalah-masalah kemiskinan dan berbagai dimensinya sangat diperlukan untuk mengevaluasi secara seksama implikasi kebijaksanaan dari strategi pengentasan kemiskinan di masa datang (Irawan & Romdiati 2000) Kemiskinan merupakan sesuatu yang bersifat kompleks dan multidimensi. Kompleks artinya faktor sebab akibat kemiskinan saling mempengaruhi sehingga membentuk sebuah lingkaran setan (Sumodiningrat, Santoso dan Marwan 1999). Pengentasan kemiskinan dilakukan dalam rangka memutuskan lingkaran setan tersebut. Program pengentasan kemiskinan tidak hanya dilakukan dari satu titik saja melainkan secara menyeluruh karena kemiskinan merupakan sebuah siklus (Khomsan 2002). Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin dari tahun 2001
2
sampai tahun 2007 meskipun penurunannya kurang signifikan dan terjadi fluktuasi selama periode tersebut. Perkembangan kondisi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Batas miskin, jumlah, dan persentase penduduk miskin1 di Indonesia tahun 1996-2007 Tahun
Batas miskin (Rupiah) Kota Desa
19963
42.032
31.366
9.6
24.9
34.5
13.6
19.9
17.7
2
96.959
72.780
17.6
31.9
49.5
21.9
25.7
24.2
3
92.409
74.272
15.7
32.7
48.4
19.5
26.1
23.5
4
89.845
69.420
12.4
25.1
37.5
15.1
20.2
18.2
5
91.632
73.648
12.3
26.4
38.7
14.6
22.38
19.14
6
100.011
80.382
8.6
29.3
37.9
9.79
24.84
18.41
7
130.499
96.512
13.3
25.1
38.4
14.46
21.1
18.20
8
138.803
105.888
12.2
25.1
37.3
13.57
20.23
17.42
8
143.455
108.725
11.3
24.8
36.1
12.13
20.11
16.66
8
2005
150.799
117.259
12.4
22.7
36.1
11.37
19.51
15.97
2006
174.290
130.584
14.5
24.8
30.3
13.47
21.81
17.75
2007
187.492
146.837
13.6
23.6
37.2
12.52
20.37
16.58
1997
1998 1999 2000 2001
2002 2003
2004
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) Kota Desa Kota+Desa
Persentase Penduduk miskin (%) Kota Desa Kota+Desa
Keterangan : 1 Berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi tahun yang bersangkutan. 2 Hasil Susenas Desember 1998. 3 Hasil Susenas Februari (reguler). 4 Hasil Susenas Agustus 1999. 5 Hasil estimasi termasuk NAD dan Maluku. 6 Hasil estimasi termasuk NAD dan Maluku. 7 Termasuk estimasi empat provinsi (NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua) yang tidak terkena sampel modul konsumsi 2002. 8 Hasil Susenas Februari (panel) modul konsumsi. 9 Hasil Susenas maret (panel) modul konsumsi
Sumber : BPS 2007c,d
Peningkatkan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan perlu dihindari dengan melakukan upaya peningkatan kesejahteraan yang sering diistilahkan sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Upaya Indonesia dalam pengentasan kemiskinan terlihat dari beberapa lembaga pemerintah maupun swasta yang mempunyai konsentrasi dalam penanganan kemiskinan. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan berbagai program lainnya.
3
Upaya peningkatan kesejahteraan yang baik harus memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi kemiskinan tersebut. Pemahaman yang baik terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab kemiskinan sangat dibutuhkan, sehingga dapat dilakukan entry point untuk melakukan intervensi program pengentasan kemiskinan. Strategi peningkatan kesejahteraan keluarga yang baik diharapkan mampu untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap kemiskinan. Sebagian besar petani di Indonesia hanyalah petani yang mempunyai lahan kecil maupun buruh tani yang mengerjakan lahan milik juragan. Untuk itu kesejahteraan petani di Indonesia masih rendah. Salah satu sub sektor pertanian yang sedang berkembang adalah budidaya ikan. Sektor ini memerlukan modal yang tidak sedikit, baik dalam bentuk materi maupun non materi. Keluarga dengan mata pencaharian utama sebagai petani ikan tidak dengan mudah mempunyai penghasilan yang tetap untuk biaya hidup seharihari. Banyak kendala yang harus mereka hadapi antara lain modal dan kondisi lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup ikan tersebut. Produktivitas pembudidaya ikan diperkirakan akan semakin menurun sejalan dengan menurunnya mutual dan kualitas air akibat meningkatnya penggunaan dan pencemaran
air.
Rendahnya
produktivitas
pembudidaya
menyebabkan
rendahnya keuntungan yang diperoleh sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan rumah tangga pembudidaya. Produktivitas pembudidaya juga dapat menurun akibat kegagalan dalam mengatasi masalah teknis budidaya ikan seperti penyakit, pakan dan benih (Effendi 2004). Penurunan
produktivitas
menyebabkan
menurunnya
kemampuan
terhadap pemenuhan kebutuhan. Hal ini berakibat meningkatnya resiko keluarga pembudidaya ikan masuk dalam garis kemiskinan yang sangat fluktuatif. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik melakukan penelitian mengenai tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya ikan dan membandingkannya dengan keluarga nonpembudidaya ikan serta menganalisis strategi untuk peningkatan kesejahteraan keluarga.
4
Perumusan Masalah Pemahaman mengenai penyebab kemiskinan menjadi salah satu hal utama yang harus dimiliki oleh pemegang keputusan. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang apa dan mengapa terjadi kemiskinan, strategi pengentasan kemiskinan yang dirumuskan tidak akan dapat bekerja dan memenuhi target yang diinginkan. Penyebab kemiskinan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain dapat sama juga dapat berbeda, sehingga dibutuhkan suatu identifikasi masalah untuk mempermudah mengidentifikasi solusi penyelesaian. Hingga
saat
ini
untuk
menentukan
masalah
kemiskinan
masih
mengandalkan data dari dua sumber yaitu data BPS dan BKKBN. Teknik pengambilan data BPS menggunakan metode sampling sehingga menjadi sulit untuk
ditetapkan
letak
warga
atau
keluarga
miskin
berada.
BKKBN
mengandalkan petugas lapang yang turun langsung ke lapangan tetapi data juga masih sulit digunakan karena data yang diperoleh hanya spesifik untuk kepentingan BKKBN. Upaya peningkatan kesejahteraan penduduk sangat diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan terutama di tingkat masyarakat yang bekerja di bidang menengah ke bawah, salah satunya adalah pembudidaya ikan. Pembudidaya ikan merupakan kelompok yang rawan untuk mengalami kemiskinan. Resiko dalam usaha budidaya ikan cukup besar sehingga resiko untuk menjadi rugi juga menjadi besar, hal ini akan brpengaruh kepada kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Untuk itu sebelum suatu strategi penanggulangan dibentuk perlu diketahui bagaimana karakteristik sosial ekonomi keluarga pembudidaya ikan dan bagaimana jika dibandingkan dengan keluarga nonpembudidaya ikan? Bagaimana pula tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya
dan
nonpembudidaya
bagaimana
ikan?
Apa
bila
saja
dibandingkan
faktor
yang
dengan
mempengaruhi
keluarga tingkat
kesejahteraan kedua jenis keluarga tersebut? Sehingga dapat dibuat suatu strategi yang dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor.
5
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Menganalisis faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. 2. Mengidentifikasi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. 4. Menganalisis strategi untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Kabupaten khususnya mengenai tingkat kesejahteraan aktual pada keluarga pembudidaya ikan dan nonpembudidaya ikan di Kecamatan Ciseeng, analisis spesitivitas dan sensitivitas diharapkan memberi masukan kepada Biro Pusat Statistik dan BKKBN untuk lebih membenahi indikator kemiskinan dan kesejahteraan. Hal ini diupayakan untuk memperoleh data kemiskinan yang akurat demi ketepatan sasaran program pengentasan kemiskinan dan mencapai tujuan MDGs. Analisis faktor-faktor penyebab kemiskinan diharapkan dapat memberi masukan solusi pemecahan masalah yang tepat berdasarkan pada penyebabnya.
6
TINJAUAN PUSTAKA Millenium Development Goals Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
sebagai
Tujuan
Pembangunan
Milenium
(TPM).
Tujuan
Pembangunan Milenium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000 silam. Majelis Umum PBB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration) (BAPPENAS 2007). Kerangka global dalam pengurangan kemiskinan digambarkan dalam MDGs (Millenium Development Goals). MDGs terdiri dari delapan tujuan yaitu (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan, (2) mencapai tingkat pendidikan dasar, (3)
mempromosikan
kesamaan
gender
dan
pemberdayaan
wanita,
(4)
menurunkan angka kematian bayi, (5) memperbaiki saran kesehatan ibu dan anak, (6) memberantas AIDS, HIV, malaria, dan penyakit lainnya (7) meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan (8) kerjasama global untuk pembangunan yang berkelanjutan (UNDP 2002). Menurut Islam (2002) kerangka pemikiran global dalam pengurangan jumlah kemiskinan diinterpretasikan ke dalam Gambar 1 :
MDGs : tujuan penurunan jumlah penduduk
Distribusi pertumbuhan/pekerjaan
ketidakcukupan pendapatan/konsumsi MDGs : sasaran
Kerawanan kurangnya kemampuan
Aksi publik dalam penyediaan kebutuhan dasar dan pertumbuhan
KEMISKINAN kurangnya suara dan perwakilan
Perlindungan sosial dan pertumbuhan
Pemberdayaan penduduk miskin/reformasi pemerintah/dialog sosial dan hak-hak buruh/ konsolidasi demokratis
Gambar 1 Kerangka pemikiran global pengurangan kemiskinan
7
Delapan tujuan MDGs tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam 18 target dan 48 indikator. Salah satu target yang akan dicapai adalah untuk mengurangi angka kemiskinan sampai setengahnya pada tahun 2015. Indikator kemiskinan yang digunakan adalah pendapatan atau konsumsi penduduk di bawah $1 per hari (UNDP 2002). Kesejahteraan Keluarga dan Kemiskinan Kesejahteraan menggambarkan kepuasan seseorang karena kegiatan konsumsi dari pendapatan yang diperoleh. Kepuasan yang diperoleh bersifat relatif tergantung jumlah pendapatan yang diperoleh. Konsep kesejahteraan menurut Sawidak (1985) adalah kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi merupakan kesejahteraan yang bersifat lahiriah sehingga bersifat nyata (tangible) dan dapat diukur (measurable). Pengukuran dapat dilakukan terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan dan kebutuhan yang bersifat kebendaan lainnya. Konsep
kesejahteraan
ekonomi
dapat
memberikan
ruang
untuk
diperdebatkan karena mengabaikan aspek batiniah dari keluarga. Syarief dan Hartoyo (1993) menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan di atas standar minimum belum tentu sejahtera dan pendapatan di bawah standar minimum tidak selamanya tidak sejahtera. Keluarga yang memiliki pendapatan di atas standar minimum dapat merasa tidak sejahtera karena tidak puas dengan apa yang diperolehnya, merasa stress, dan dituntut oleh pekerjaan. Keluarga yang berpendapatan di bawah standar hidup minimum bisa merasa sejahtera karena selalu bersyukur atas karunia yang diberikan serta merasa cukup serta hidupnya selaras alam. Seseorang yang dikatakan tidak sejahtera sama dengan masuk dalam kategori miskin. Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun aspek struktural. Terdapat empat masalah pokok yang menjadi penyebab kemiskinan yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of cappabilities), kurangnya jaminan (low level-security), dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik, sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voiceslessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam segala bidang (Mulyadi 2005). Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi
8
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki, dan perempuan dalam menjalani kehidupan secara bermartabat (Puspitawati 2007). Permasalahan kemiskinan secara garis besar disebabkan oleh kegagalan pemenuhan hak-hak dasar, lemahnya
penanganan
masalah
kependudukan,
ketidaksetaraan,
dan
ketidakadilan gender, dan adanya kesenjangan antar daerah. Menurut Krisnamurthi (2006), kemiskinan merupakan suatu keadaan ketika seseorang merasa kehilangan harga diri dan kemartabatan, terpaksa menerima hinaan dan perlakuan kasar, serta tidak dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan. Gejala kemiskinan di pedesaan Jawa bermula dari faktor tekanan pendapatan yang tidak terimbangi oleh perkembangan teknologi pertanian dan kemajuan institusi ekonomi pedesaan (Marzali 2003). Menurut Sudaryanto dan Rusastra (2006), dimensi kemiskinan secara intertemporal mengalami perubahan dengan mempertimbangkan aspek non ekonomi masyarakat miskin. Sedikitnya terdapat sembilan dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan perumahan), 2) aksesibilitas ekonomi yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi), 3) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, 4) rentan terhadap goncangan faktor eksternal yang bersifat individual maupun massal, 5) rendahnya kualitas sumber daya manusia dan penguasaan sumber daya alam, 6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, 7) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, 8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental, dan 9) ketidakmampuan dan ketidakberuntungan secara sosial. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2005 memperlihatkan bahwa 16 persen dari penduduk Indonesia atau 39 juta orang Indonesia berada di bawah angka kemiskinan. Angka ini merupakan angka nasional, sedangkan di daerah angkanya sangat bervariasi. Untuk tujuan pembangunan lainnya, yaitu tujuan pembangunan kedua tentang pendidikan dasar untuk semua, keberhasilan yang dicapai cukup signifikan (Hatta 2007). Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong
9
miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya, sedangkan kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya (Anonymous 2007). Selain itu menurut Sumardjan, Alfian dan Tea (1984) juga terdapat kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang dialami oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Menurut Zikrullah (2007) kemiskinan dalam pengertian konvensional pada umumnya merupakan komunitas yang mempunyai pendapatan berada di bawah satu garis kemiskinan tertentu. Oleh karena itu sering sekali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan komunitas tersebut.
Pengalaman
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
pendekatan
permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Hal ini disebabkan karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Menurut Max-Neef et. Al dalam Zikrullah (2007) sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu sebagai berikut: 1. Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal. 2. Kemiskinan
perlindungan,
lingkungan
buruk
(sanitasi,
sarana
pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah. 3. Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan. 4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas. 5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi. 6. Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas.
10
Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Indikator Biro Pusat Statistik (BPS) Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data pengeluaran pangan dan non pangan. Komoditas pangan yang terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa (Rusmana 2006). Garis kemiskinan untuk Kabupaten Bogor menurut BPS tahun 2006 adalah sebesar Rp. 183.067/Kapita/Bulan (BPS 2007a). Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan tahun 2007 adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2007. Jumlah sampel diperbesar dari 10.000 RT menjadi 68.000 RT supaya data kemiskinan dapat disajikan sampai tingkat provinsi. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Biro Pusat Statistik pada tahun 1976 melalui SUSENAS telah menyusun komposisi kebutuhan dasar pangan dan non pangan. Komposisi tersebut dijadikan indikator untuk mengukur pengeluaran per kapita di daerah kota dan desa. Komoditas pangan terdiri dari padi-padian dan hasil-hasilnya, umbi-umbian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasilnya, daging, telur, susu dan hasil-hasil dari susu,
sayur-sayuran,
kacang-kacangan,
buah-buahan,
konsumsi
lainnya,
makanan yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol, tembakau dan sirih. Sedangkan komoditas non pangan adalah perumahan, bahan bakar, penerangan, air, barang-barang dan jasa-jasa, pakaian, alas kaki dan tutup
11
kepala, barang-barang yang tahan lama, keperluan pesta dan upacara (Rusmana 2006). Pendataan yang dilakukan BPS telah sangat membantu memahami kondisi kemiskinan yang terjadi. BPS tampaknya menjadi satu-satunya instansi yang memiliki kemampuan untuk melakukan pendataan tersebut, walaupun masih terdapat berbagai kelemahan dan kemungkinan penyempurnaan baik dalam metode maupun pengolahan dan interpretasi datanya (Krisnamurthi 2006). Indikator Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pengukuran
tingkat
kesejahteraan
yang
ditentukan
oleh
BKKBN
berdasarkan pada konsep keluarga sejahtera. Keluarga sejahtera dibagi menjadi lima tahap yaitu keluarga pra sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II), keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III plus) (BKKBN 2003). Kebutuhan hidup setiap tahapan keluarga diterjemahkan dalam kriteria-kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut meliputi kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keluarga berencana (KB), interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, transportasi, menabung, memperoleh informasi, dan berperan aktif dalam kegiatan masyarakat (Raharto dan Romdiati 2000). Keluarga PS I adalah keluarga yang belum memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan, dan kesehatan. KS I adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. KS II keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimalnya dapat pula memnuhi kebutuhan
psikologisnya,
tetapi
belum
dapat
memenuhi
kebutuhan
pengembangan seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. KS III adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
dan
sosial
psikologisnya,
dapat
memenuhi
kebutuhan
pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya. KS III plus adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya, kebutuhan sosial psikologisnya, kebutuhan pengembangannya serta secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial, dan aktif mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat (BKKBN 2003).
12
Penentuan indikator keluarga miskin di tingkat desa dan kelurahan menggunakan indikator-indikator yang bersifat ekonomi. Menurut indikator alasan ekonomi keluarga miskin terdiri keluarga pra sejahtera alasan ekonomi dan keluarga pra sejahtera I alasan ekonomi. Keluarga yang tidak dapat memenuhi salah satu dari enam indikator penentu kemiskinan alasan ekonomi digolongan keluarga miskin (BKKBN 2003). Indikator kemiskinan alasan ekonomi adalah sebagai berikut. 1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan ≥ 2 kali sehari. 2. Anggota
keluarga
memiliki
pakaian
yang
berbeda
untuk
di
rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian. 3. Bagian lantai terluas bukan dari tanah. 4. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telur. 5. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. 6. Luas lantai paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni Indikator Social Metrics Matrix Indikator Social Metrics Matrix adalah pengklasifikasian keluarga sejahtera berdasarkan 8 aspek utama yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, buta huruf, dan kerawanan dalam keluarga tersebut. Pengklasifikasian indikator dilakukan dengan pemberian skor berdasarkan kondisi aktual yang dialami keluarga (skor dari 1 sampai 4). Skor masing-masing aspek dijumlahkan dan diperoleh klasifikasi dengan kisaran 8-15 : tidak miskin,16-23 : miskin, 24-32 : sangat miskin. Kondisi aktual keluarga sesuai dengan masing-masing aspek disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Social Metrics Matrix Indicator Indikator Ketahanan Pangan
1 Keluarga selalu mempunyai pangan dalam jumlah yang cukup dan jenis yang diinginkan
Pendidikan
Keluarga dapat mendukung pendidikan untuk anak sampai
2 Keluarga selalu mempunyai pangan dalam jumlah yang cukup tetapi tidak selalu jenis yang diinginkan Keluarga dapat mendukung pendidikan untuk anak
3 Keluarga terkadang tidak mempunyai pangan dalam jumlah yang cukup untuk konsumsi
4 Keluarga sering tidak mempunyai pangan dalam jumlah yang cukup untuk konsumsi
Keluarga dapat mendukung pendidikan anak sampai
Keluarga tidak dapat mendukung pendidikan
13
Indikator
1 pendidikan tinggi dan universitas
Pelayanan kesehatan
Keluarga selalu mampu untuk memperoleh obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan.
Peralatan rumah tangga
Keluarga mempunyai seluruh perlengkapan modern termasuk pompa air, listrik, septic tank dan telephon. Klien selalu terlibat dalam aktivitas masyarakat.
Modal sosial
Pemberdayaan
Klien selalu merasa dihormati
Kemampuan baca tulis
Klien dapat membaca, menulis dan berhitung dasar Keluarga tidak mempunyai kerawanan (balita, lansia, anggota keluarga berpenyakit kronis)
Kerawanan
2 sampai pendidikan menengah Keluarga biasanya mampu untuk memperoleh obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan Keluarga mempunyai 3 dari 4 perlengkapan
3 tingkat dasar
Klien terkadang terlibat dalam aktivitas masyarakat. Klien terkadang merasa dihormati Klien dapat melakukan 2 dari 3
Klien jarang terlibat dalam aktivitas masyarakat.
Klien tidak pernah terlibat dalam aktivitas masyarakat.
Klien jarang merasa dihormati
Klien tidak pernah merasa dihormati
Klien dapat melakukan 1 kemampuan
Klien tidak bias ketiganya
Keluarga mempunyai 2 kerawanan
Keluarga mempunyai 3 kerawanan
Keluarga mempunyai satu kerawanan
Keluarga kadang tidak mampu untuk memperoleh obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan Keluarga mempunyai 2 dari 4 perlengkapan
4 untuk anak meskipun pada tingkat dasar Keluarga tidak pernah mampu untuk memperoleh obat-obatan dan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan Keluarga mempunyai 1 perlengkapan atau tidak sama sekali.
Penanggulangan Kemiskinan Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dibedakan atas strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Strategi jangka pendek seperti subsidi harga makanan dan proyek-proyek padat karya hanya memberikan dampak terbesar khususnya pada mereka yang tingkat kesejahteraannya turun karena pengaruh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok atau disebut dengan transient poverty, sedangkan strategi jangka panjang adalah pertumbuhan ekonomi yang stabil dan sehat yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, membiayai investasi pembangunan SDM dan memperbaiki tingkat
14
pendapatan penduduk. Kesemuanya ini dapat mengatasi kemiskinan struktural, karena pertumbuhan ekonomi dan perbaikan indikator-indikator social dan kemiskinan saling berkorelasi (Irawan 2000) Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga programprogram pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal (Ritonga 2006). Program pengentasan kemiskinan lain yang pernah dilakukan di Indonesia adalah pemberian bantuan langsung tunai. Departemen Komunikasi dan Informatika (2005) dalam Rusmana (2006) telah mensosialisasikan empat belas kriteria keluarga miskin dalam penanggulangan masalah kemisikinan melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), 14 indikator tersebut adalah sebagai berikut : 1. Luas lantai bengunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bamboo/rumbai/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
15
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas (Ritonga 2006). Upaya pengentasan kemiskinan biasanya ditujukan kepada sasaran penduduk miskin atau penduduk kurang mampu tanpa mengambil sasaran keluarga secara utuh. Upaya pengentasan
kemiskinan tidak boleh hanya
terpaku pada kepala keluarga yang kebetulan miskin, tetapi harus dengan seksama diarahkan pada keluarga muda yang kurang mampu serta anak-anak mereka yang masih bersekolah (Suyono 2003).
Karakteristik Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga merupakan total dari anggota yang terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, mertua dan lainnya yang tinggal dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi barang dan jasa (Sumarwan 2004). Menurut Iskandar (2007) jumlah anggota keluarga yang kecil akan menyebabkan beban keluarga berkurang sehingga tanggungan kelurga menjadi lebih kecil. Keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga
16
kecil mempunyai peluang sejahtera lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. Usia Kepala Keluarga dan Ibu Usia keluarga menentukan tingkat kesejahteraan suatu keluarga. Semakin lama usia keluarga kemungkinan sejahtera keluarga tersebut akan lebih tinggi. Hasil penelitian Iskandar (2007) menyatakan bahwa umur suami yang muda (produktif) mempunyai peluang untuk sejahtera sebanyak 0,928 kali lebih tinggi dibandingkan dengan umur suami yang sudah tua (tidak produktif). Umur isteri yang tua mempunyai peluang untuk sejahtera sebanyak 1,077 kali lebih tinggi dibandingkan umur istri muda. Pendidikan Pendidikan adalah karakteristik penting dalam menentukan pekerjaan dan pendapatan seseorang. Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah (Sumarwan 2004). Rendahnya tingkat pendidikan dapat menyebabkan terbatasnya akses kepala keluarga pada kegiatan produktif, dengan kata lain kepala keluarga mempunyai peluang sangat kecil untuk bekerja di sektor pekerjaan yang produktif. Pendapatan dan Pekerjaan Pendapatan dalam ekonomi diartikan sebagai aliran barang ekonomi yang berasal dari proses produksi pada waktu tertentu (Fitzsimmons dan Williams 1973). Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya untuk mencari nafkah (Sumarwan 2004). Pendapatan yang diterima oleh keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan yang diperoleh dari masing-masing anggota keluarga, dengan pendapatan tersebut keluarga memenuhi kegiatan konsumsinya. Menurut Sumarwan
(2004)
pendapatan
yang
diterima
seseorang
berdasarkan
penjumlahan dari gaji pokok, tunjangan, bonus, serta pendapatan lainnya. Menurut Sawidak (1985) faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah besarnya penghasilan dari non usaha tani, pengeluaran untuk benih, pengeluaran obat-obatan, pengeluaran tenaga kerja, produktivitas lahan, luas garapan, ukuran keluarga, daerah asal dan tingkat pendidikan. Bagaimanapun tingginya tingkat pendapatan yang diperoleh suatu kepala keluarga, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan banyak ditentukan oleh distribusi pendapatan perkapita. Sehingga kesejahteraan ditentukan oleh besarnya total
17
pendapatan yang diterima anggota keluarga dan banyaknya anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Terdapatnya anggota keluarga lain yang tidak bekerja menyebabkan peningkatan beban ketergantungan (dependency ratio). Besarnya anggota keluarga mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan perkapita dan besarnya konsumsi keluarga. Aset Keluarga Aset adalah salah satu sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset keluarga dapat berupa uang maupun non uang. Aset merupakan sumberdaya keluarga tersedia yang dapat digunakan untuk membiayai keperluan yang tak terduga dalam jumlah yang besar. Menurut Iskandar (2007) keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan pemilik yang mempunyai aset terbatas. Terkadang pendapatan, aset (kekayaan) dan modal sulit untuk dibedakan satu sama lain. Aset dan modal merupakan simpanan atau akumulasi dari pendapatan yang diterima dalam jangka waktu tertentu (Fitzsimmons dan Williams 1973). Budidaya Perairan Sektor perikanan dibedakan menjadi budidaya dan penangkapan ikan. Budidaya ikan dalam pola kerjanya menyerupai pertanian atau peternakan daripada penangkapan ikan (Mulyadi 2005). Budidaya perairan merupakan kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (Effendi 2004). Organisme akuatik meliputi kelompok ikan, udang, hewan bercangkang, ekinodermata dan alga. Secara garis besar kegiatan budidaya perairan terdiri dari on farm dan off farm. Kegiatan on farm terdiri dari pembenihan dan pembesaran, sedangkan kegiatan off farm antara lain meliputi penanganan saran dan prasarana produksi, penanganan hasil panen, distribusi hasil dan pemasaran (Effendi 2004). Budidaya ikan merupakan salah satu jenis usaha dari budidaya perairan. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah sentra budidaya perairan di Jawa Barat. Perairan budidaya meliputi kolam air tawar, kolam air payau dan sawah, terutama dijumpai di pulau Jawa. Menurut Eidman, R.J.Basmi dan A.M.Hanafiah (1974) beberapa ciri yang menjadi masalah bagi pengusaha maupun masyarakat antara lain:
18
1. Petani kekurangan modal untuk dapat berusaha secara efektif. Kekurangan modal ini menyebabkan para petani tidak memperoleh hasil yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk pembentukan modal tabungan. 2. Kemampuan kerja (skill) petani masih rendah. Kurangnya ketrampilan dan pengetahuan dalam mengusahakan sumber-sumber ikan secara efisien dan cara pengolahan hasil yang bermutu tinggi menyebabkan hasil usahanya tidak mempunyai nilai pada tarif yang tinggi, serta 3. Alat dan perlengkapan mengalami kekurangan. Selain itu ciri dari perikanan perairan budidaya adalah sebagai berikut 1. Rural agraris, artinya perikanan budidaya ini dapat dilaksanakan di desa-desa di seluruh tanah air yang cukup air. Mengingat perhubungan antara desa dengan kota-kota besar kurang lancar maka penyaluran ikan ke kota besarpun kurang lancar. 2. Open field system, perairan terletak di sekitar desa atau dikelilingi desa petani. Sifat ini dipandang dari sudut ekonomi perusahaan kurang rasional (tidak menguntungkan), apalagi kalau perairan yang dimiliki atau dikerjakan petani letaknya terpencar dan jauh dari petani. 3. Luas garapan tiap petani ikan kecil. Hal ini menyebabkan jumlah ikan sedikit sehingga menimbulkan masalah sulitnya pengumpulan hasil untuk proses distribusi selanjutnya. 4. Usaha tani perikanan hanya dijadikan pekerjaan sambilan. Menurut Effendi (2004) kegiatan budidaya ikan di Indonesia dipengaruhi dan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi budaya (sosekbud) masyarakat. Interaksi antara budidaya ikan dan sosekbud telah melahirkan suatu kultur masyarakat sesuai dengan sistem budidaya perairan yang diterapkan di masyarakat tersebut sehingga dikenal komunitas masyarakat pembudidaya ikan kolam, seperti di Parung, Lamongan, masyarakat pembudidaya ikan hias di Sawangan, Bogor dan komunitas lainnya.
19
KERANGKA PEMIKIRAN Kemiskinan merupakan suatu masalah global yang selalu menarik untuk diamati dan disimak dari berbagai aspek sosial, ekonomi, psikologi, dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, dan lemahnya dalam mengantisipasi peluang. Aspek psikologis berhubungan dengan rendahnya rasa percaya diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berhubungan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan serta lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan. Indikator kemiskinan secara garis besar dapat dilihat berdasarkan faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Kedua indikator tersebut berbeda dalam menilai kemiskinan tetapi pada dasarnya akan mengarah pada hasil yang sama yaitu angka kemiskinan suatu penduduk di suatu wilayah. Pemerintah negara Indonesia
umumnya
menggunakan
dua
indikator
untuk
melihat
angka
kemiskinan di Indonesia. Indikator tersebut adalah indikator yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan indikator dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Indikator BPS mengukur angka kemiskinan menggunakan analisis tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. BPS mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup standar minimum yang meliputi kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Inti dari indikator BPS adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Berbeda dengan indikator BPS, BKKBN lebih melihat dari faktor non ekonomi yaitu kesejahteraan dibandingkan sisi kemiskinan. Pendataan keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Indikator kesejahteraan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator Sosio Metrics Matrics yang akan dibandingkan dengan benchmark indikator BPS untuk menguji sensitivitas dan spesivisitasnya. Indikator Socio Metrics Matrics menggunakan item pertanyaan yang lebih sedikit, hanya delapan pertanyaan yang mewakili masingmasing aspek penilaian. Tingkat kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan keluarga. Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti
20
pengaruhnya dengan kesejahteraan keluarga pada penelitian ini adalah jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga dan istri, tingkat pendidikan (lamanya bangku sekolah yang pernah dilalui) kepala keluarga dan istri, jumlah pekerjaan kepala keluarga, pendapatan serta aset keluarga. Karakteristik lingkungan yang diteliti hubungannya dengan kesejahteraan keluarga adalah sumberdaya alam dan lingkungan dimana keluarga tersebut bermukim. Tingkat kesejahteraan responden akan dibandingkan berdasarkan pengkategorian pekerjaan yaitu pembudidaya ikan dan nonpembudidaya ikan. Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.
21 Karakteristik keluarga
JAK
Usia Kepala Keluarga dan istri
Tingkat Pendidikan
Karakteristik lingkungan
Pekerjaan & Pendapatan
Lokasi
Aset Keluarga
KESEJAHTERAAN KELUARGA
-
Tingkat Kesejahteraan Indikator BPS Indikator BKKBN Socio Metrics Matrics
Keluarga pembudidaya ikan
Keluarga nonpembudidaya ikan
Gambar 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga
Lingkungan Tempat Tinggal
22
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah non experimental yang bersifat cross sectional survei dimana informasi dikumpulkan pada satu titik dengan tujuan menggambarkan karakteristik sampel populasi, pembedaan antar grup atau hubungan antar variabel. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor pada bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Februari 2008. Penelitian dilakukan dengan cara membandingkan tingkat kemiskinan keluarga pembudidaya ikan dengan nonpembudidaya ikan di Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan lokasi tempat tinggal keluarga pembudidaya ikan serta anjuran dari pemerintah desa setempat, selanjutnya pemilihan responden dilakukan secara acak pada tingkat RT. Desa Parigi Mekar mewakili kelompok pembudidaya ikan karena pekerjaan sebagian masyarakat di desa ini adalah sebagai pembudidaya ikan. Kelompok non pembudidaya diwakili oleh Desa Ciseeng yang mempunyai sedikit penduduk yang bekerja di sektor perikanan sebagai pembudidaya ikan . Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik demografi, ekonomi, sosial budaya, pengeluaran keluarga, pendapatan keluarga, dan jawaban responden berdasarkan pertanyaan beberapa indikator kemiskinan yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Responden berjumlah 70 keluarga yang terdiri dari masing-masing 40 keluarga pembudidaya dan 30 keluarga nonpembudidaya ikan. Responden merupakan anggota keluarga baik kepala keluarga maupun istri. Data sekunder yang digunakan berupa karakteristik wilayah dan lainya diperoleh dari kantor Kecamatan Ciseeng, kantor desa responden, dan kantor Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor.
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel for Windows 2003 dan dilanjutkan dengan analisis dengan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 13,0 for Windows. Proses pengolahan data melalui tahapan entry (memasukkan data ke Microsoft
23
Excel for Windows), editing, cleaning, dan analyzing dengan menggunakan program SPSS. Analisis data yang digunakan untuk menjawab masing-masing tujuan adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Identifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga menggunakan statistika deskriptif untuk lebih memberi makna terhadap data. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik keluarga pembudidaya ikan dengan nonpembudidaya ikan digunakan t test dan chi square test. 2. Mengidentifikasi
tingkat
kesejahteraan
keluarga
pembudidaya
dan
nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Identifikasi tingkat kesejahteraan keluarga menggunakan indikator BPS, BKKBN dan Sosio Metrics Matrics. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kesejahteraan dengan masing-masing indikator digunakan Chi-Square test. Indikator BPS menyatakan penduduk yang mempunyai pendapatan per kapita per
bulan
di
bawah
garis
kemiskinan
Kabupaten
Bogor
(Rp.183.067/kap/bulan) sebagai penduduk miskin. BKKBN melihat penduduk miskin berdasarkan pemenuhan terhadap enam indikator alasan ekonomi dan indikator
alasan
non
ekonomi.
Indikator
Socio
Metrics
Matrix
mengklasifikasikan berdasarkan hasil penjumlahan skor yang diperoleh kisaran sebagai berikut: 8-15 : tidak miskin, 16-23 : miskin, 24-32 : sangat miskin. Tingkat
akurasi
indikator
dinilai
berdasarkan
kemampuan
mengklasifikasikan keluarga miskin. Validasi prosedur pengukuran kemiskinan dengan menggunakan indikator BKKBN dan Socio Metrics Matrics dengan indikator BPS sebagai benchmark dilakukan dengan menggunakan uji kepekaan (sensitivitas) dan kekhususan (spesitivitas). Sensitivitas merupakan suatu
ukuran
kekuatan
pengujian
untuk
mengenali
(mengidentifikasi)
kemiskinan suatu keluarga. Spesitivitas adalah suatu ukuran kekuatan pengujian untuk mengeluarkan kasus-kasus non kemiskinan. Jenis pengujian untuk mengetahui sensitivitas dan spesitivitas dari suatu benchmark BPS dan dibandingkan dengan pengujian BKKBN dan indikator Socio Metrics Matrics dilakukan dengan membuat tabulasi silang dalam mendeteksi
kemiskinan
yang
akan
menggambarkan
sensitivitas
dan
24
spesifisitas dan misklasifikasi. Analisis tingkat kesejahteraan keluarga dengan kedua metode dan mengukur akurasi metode pengukuran tersebut dalam mengukur nilai sensitivitas dan spesitivitas secara tepat dipaparkan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 Penentuan Indeks Sensitivitas dan Spesitivisitas Indikator Kemiskinan Pengujian pengesahan benchmark (validating test) Miskin
Pengujian baru
Tidak miskin
Positif
Positif sejati (PS)
Positif palsu (PP)
Negatif
Negatif palsu (NP)
Negatif sejati (NS)
Total
Total dengan
Total tanpa
kemiskinan (PS + NP)
kemiskinan (PP+NP)
=
PS PS + NP
Kekhususan (spesitivitas) =
NS NS + PP
Kepekaan (sensitivitas)
Belum ada batasan yang jelas untuk spesitivitas maupun sensitivitas tapi pada umumnya dikatakan sensitif atau spesifik apabila nilainya lebih dari 75. Oleh karena itu nilai yang paling baik sebagai cut off point dari validitas apabila nilai dari jumlah sensitivitas dan spesitivitas lebih besar dari sama dengan 150. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga dari berbagai faktor digunakan regresi logistik. Berikut formula regresi logistik yang digunakan
eα + β1 x1 + β 2 x 2 + β 3 x3 + β 4 x 4 + β 5 x5 + β 6 x6 + β 7 x7 + β 8 x8 + β 9 x9 + ε P( y ) = 1 + eα + β1 x1 + β 2 x 2 + β 3 x3 + β 4 x 4 + β 5 x5 + β 6 x6 + β 7 x7 + β 8 x8 + β 9 x9 + ε Dimana : P(y) = peluang tingkat kesejahteraan (0=miskin; 1=tidak miskin) α = konstanta β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8, β9= koefisien regresi x1 = jumlah anggota keluarga x2 = usia kepala keluarga x3 = usia istri x4 = lama pendidikan kepala keluarga x5 = lama pendidikan istri
25
x6 = pendapatan keluarga x7 = jumlah pekerjaan kepala keluarga x8 = aset keluarga x9 = lokasi tempat tinggal keluarga e = eksponen (2.71828) ε = galat (error) 4. Menganalisis strategi untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di Kabupaten Bogor. Strategi peningkatan kesejahteraan diperoleh melalui hasil analisis data yang telah dilakukan. Strategi dibuat berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga serta kesesuaian dengan karakteristik sosial ekonomi responden. Definisi Operasional 1. Pembudidaya ikan adalah orang yang bekerja melakukan kegiatan usaha budidaya ikan baik sebagai usaha utama maupun usaha sampingan. 2. Keluarga Nonpembudidaya ikan adalah keluarga yang satupun anggota keluarga tidak bekerja di sektor budidaya ikan. 3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, suami istri dan anak, ayah dan anaknya, atau ibu dengan anaknya. 4. Tingkat kesejahteraan adalah kondisi suatu keluarga yang mencerminkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan baik di bidang ekonomi maupun non ekonomi. Pengukuran tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini menggunakan indikator BPS, BKKBN dan Socio Metrics Matrix. 5. Jumlah anggota keluarga adalah total dari anggota yang terdiri dari suami, istri, anak, orang tua, mertua dan lainnya yang tinggal dalam satu rumah. Cut off point ukuran keluarga ini adalah keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (> 7 orang). 6. Usia kepala keluarga adalah waktu hidup yang telah dilalui kepala keluarga yang dihitung dari tahun kelahiran. 7. Usia istri adalah waktu hidup yang telah dilalui istri kepala keluarga yang dihitung dari tahun kelahiran. 8. Pendidikan adalah lamanya bangku sekolah yang pernah dilalui. Tingkat pendidikan diklasifikasikan dalam tidak sekolah (0), Sekolah Dasar (1-6), Sekolah Menengah Pertama (7-9), Sekolah Menengah Atas (10-12), Perguruan Tinggi (13-16).
26
9. Pendapatan adalah total uang yang diterima keluarga dari seluruh anggota yang bekerja dan memperoleh upah baik melelui pekerjaan utama maupun sampingan yang dihitung dalam rupiah perbulan. 10. Pengeluaran adalah banyaknya uang (rupiah) yang dikeluarkan untuk keperluan konsumsi pangan dan non pangan. 11. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencari pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan. 12. Aset keluarga adalah total kekayaan baik barang bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki keluarga dan nilainya dalam waktu sekarang dihitung ke dalam bentuk uang. 13. Tingkat Kesejahteraan adalah kondisi keluarga yang mencerminkan kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan non ekonomi. Tingkat kesejahteraan diukur menggunakan indikator BPS, BKKBN dan Sosio Metrics Matrix. 14. Kemiskinan adalah ketidakmampuan suatu individu untuk memenuhi kebutuhan dasar baik pangan maupun non pangan. 15. Indikator Kemiskinan BPS adalah pengklasifikasian keluarga miskin berdasarkan pendapatan yaitu Rp. 183.067/kapita/bulan untuk Kabupaten Bogor. 16. Indikator kesejahteraan BKKBN adalah pengklasifikasian keluarga pra sejahtera (Pra KS) dan keluarga Sejahtera I (KS I) serta indikator kemiskinan berdasarkan alasan ekonomi dari enam indikator. 17. Indikator Socio Metrics Matrix adalah pengklasifikasian keluarga miskin berdasarkan 8 aspek utama yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, buta huruf, dan kerawanan dalam keluarga tersebut. Penggolongan miskin berdasarkan hasil total yang diperoleh dengan angka sebagai berikut: 8-15 : tidak miskin,16-23 : miskin, 24-32 : sangat miskin. 18. Indikator
gabungan
adalah
pengklasifikasifikasian
keluarga
miskin
berdasarkan gabungan indkator BPS, BKKBN dan Sosiometrik. Keluarga yang dikategorikan miskin oleh minimal dua indikator dinyatakan sebagai keluarga yang benar-benar miskin, keluarga yang dikategorikan miskin oleh kurang dari dua indikator dinyatakan sebagai keluarga tidak miskin.
27
19. Sensitivitas adalah kemampuan suatu alat ukur pengujian untuk mengenali (mengidentifikasi) kemiskinan suatu keluarga (keluarga contoh yang benarbenar miskin). 20. Spesitivitas adalah suatu ukuran kekuatan pengujian untuk mengeluarkan kasus-kasus non kemiskinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lokasi Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara dan secara geografis mempunyai luas 2.301,95 km2 dan terletak antara 6.19o – 6.47o LS dan 106o1’ – 107o103’ BT. Ibukota Kabupaten
Bogor
terletak
di
Cibinong.
Berdasarkan
data
dari
Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial, pada tahun 2006 Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desa/kelurahan, 3.516 Rukun Warga (RW) dan 13.603 Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk muda, hal ini akan mengakibatkan semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Kecamatan Ciseeng merupakan salah satu wilayah administrasi dari Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk 83.703 jiwa dan kepadatan 2.275 jiwa/km2. Kecamatan Ciseeng mempunyai luas wilayah 36,79 km2 dan terdiri dari 10 desa yaitu Babakan, Cibeteung Muara, Cibeteung Udik, Cibentang, Cihowe, Ciseeng, Karihkil, Kuripan, Parigi Mekar dan Putat Nutug (BPS 2007b). Lokasi penelitian dilaksanakan di dua desa yang berada di Kecamatan Ciseeng yaitu desa Ciseeng dan desa Parigi Mekar. Desa Ciseeng mempunyai luas wilayah seluas 205.442 hektar dengan batasan wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Cihowe
Sebelah Selatan
: Desa Parigi Mekar
Sebelah Timur
: Desa Bojong Indah
Sebelah Barat
: Desa Cibentang.
Desa Ciseeng dibagi menjadi 4 RW dan 17 RT. Jumlah penduduk Desa Ciseeng sebanyak 6.804 jiwa yang terdiri dari 3.551 jiwa penduduk laki-laki dan 3.253 jiwa penduduk perempuan serta terdiri dari 1571 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Desa Parigi Mekar mempunyai luas wilayah 184.78 hektar dengan batasan wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Ciseeng
Sebelah Selatan
: Desa Babakan
Sebelah Timur
: Desa Ciseeng
Sebelah Barat
: Desa Bojong Sempi.
Penduduk Desa Parigi Mekar terdiri dari 1650 KK yang meliputi 3.941 penduduk laki-laki dan 3.495 jiwa penduduk perempuan dengan total penduduk 7.436 jiwa.
29
Karakteristik Keluarga Responden Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga menggambarkan besarnya beban yang harus ditanggung oleh suatu keluarga. Keluarga merupakan sejumlah orang yang tinggal dalam satu atap dan makan dari dapur yang sama. BKKBN mengelompokkan besarnya keluarga ke dalam tiga kategori yaitu keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga lebih kecil dari 5 orang, keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih besar dari 7 orang. Jumlah anggota keluarga responden pembudidaya ikan dan nonpembudidaya berkisar pada 2-12 orang, secara lengkap pengelompokan jumlah anggota keluarga disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Sebaran keluarga responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga (jiwa) ≤4 5-7 >7 Total Rata-rata±SD
Kelompok budidaya n % 16 40,0 22 55,0 2 5,0 40 100,0 5±1,5
Kelompok nonbudidaya n % 8 26,7 19 63,3 3 10,0 30 100,0 5±1,9
Total n 24 41 5 70
% 34,3 58,6 7,1 100,0 5±1,7
Rata-rata jumlah anggota keluarga responden pembudidaya dan nonpembudidaya adalah 5 orang. Lebih dari setengah responden pembudidaya ikan (55 %) dan keluarga nonpembudidaya ikan (63,3 %) mempunyai jumlah anggota keluarga pada kategori sedang (5-7 orang). Hanya sebanyak 7,1% dari total responden yang hidup dalam keluarga besar baik berupa keluarga inti maupun keluarga luas. Jumlah anggota keluarga yang kecil akan menyebabkan beban keluarga berkurang sehingga tanggungan keluarga menjadi kecil (Hatmadji dan Anwar (1993) dalam Iskandar (2007). Berdasarkan hasil uji beda t (p>0,05) tidak terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah anggota keluarga pembudidaya dengan nonpembudidaya ikan. Anggota keluarga yang terdiri keluarga inti dan keluarga luas. Beberapa keluarga luas mempunyai anggota yang terdiri dari beberapa keluarga inti, tetapi masing-masing keluarga inti mempunyai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah sendiri. Selain itu ada pula keluarga luas yang terdiri dari cucu yang nantinya akan menambah tanggungan keluarga karena belum mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tabel 5 menggambarkan kategori keluarga responden berdasarkan anggota keluarga.
30
Tabel 5 Sebaran keluarga responden berdasarkan tipe keluarga Tipe keluarga Inti Luas Total
Kelompok budidaya N % 32 80,0 8 20,0 40 100,0
Kelompok Nonbudidaya n % 18 60,0 12 40,0 30 100,0
Total n 50 20 70
% 71,4 28,6 100,0
Sebagian besar keluarga pembudidaya ikan merupakan keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, sedangkan pada keluarga nonpembudidaya lebih dari setengah responden terdiri dari keluarga luas. Keluarga luas yang tinggal bersama responden tidak hanya terdiri dari generasi atas yaitu kakek atau nenek saja tetapi juga dari satu generasi yaitu keponakan atau saudara lain dan juga generasi ke bawah yaitu cucu. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tipe keluarga pada keluarga pembudidaya ikan dan nonpembudidaya ikan berdasarkan uji khi kuadrat (p>0,05). Usia Kepala Keluarga dan Istri Berdasarkan Papalia dan Olds (1981) pengelompokan umur manusia dewasa berdasarkan tahap perkembangannya dibagi ke dalam tiga kategori yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun) dan dewasa lanjut (>65 tahun). Usia kepala keluarga berada pada kisaran 23-77 tahun. Seperti terlihat pada Tabel 6 sebagian kepala keluarga kelompok budidaya masuk ke dalam kategori dewasa muda dan hanya 2,5% yang masuk ke dalam kategori dewasa lanjut. Lebih dari separuh (53,3%) kepala keluarga kelompok nonbudidaya tergolong dewasa muda dan sepersepuluh bagiannya masuk ke dalam golongan dewasa lanjut. Berdasarkan hasil uji beda t tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia kepala keluarga kelompok budidaya dan kelompok nonbudidaya. Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan usia kepala keluarga Kategori umur 18-40 41-65 >65 Total Rata-rata±SD
N 20 19 1 40
Kelompok budidaya % 50,0 47,5 2,5 100,0 41,9±11,1
Kelompok nonbudidaya n % 16 53,3 11 36,7 3 10,0 30 100,0 45,4±13,6
Total n 36 30 4 70
% 51,4 42,9 5,7 100,0 43,4±12,3
31
Usia istri kepala keluarga berada pada kisaran 18-69 tahun. Persentase istri kepala keluarga pada masing-masing kelompok keluarga disajikan dalam tabel 7. Proporsi terbesar usia istri responden terdapat pada kelompok dewasa awal (71,4%) hal ini menggambarkan kebanyakan kepala keluarga mempunyai istri dengan tingkatan umur yang tidak berbeda jauh atau sedikit di bawahnya. Berdasarkan uji beda t tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara usia istri responden kelompok budidaya dan kelompok nonbudidaya. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan usia istri Kategori umur 18-40 41-65 >65 Total Rata-rata±SD
n 29 11 0 40
Kelompok budidaya % 72,5 27,5 0,0 100,0 35,9±10,1
Kelompok nonbudidaya n % 21 70,0 7 23,3 2 6,7 30 100,0 39,5±13,1
Total n 50 18 2 70
% 71,4 25,7 2,9 100,0 37,4±11,6
Pendidikan Kepala Keluarga Tingkat pendidikan secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir kepala keluarga. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang pernah dilalui maka akan semakin tinggi pula motivasi yang akan terlihat pada perilaku untuk mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu. Tingkat pendidikan keluarga juga berpengaruh pada keputusan yang akan dibuatnya untuk menentukan tingkat pendidikan anak selanjutnya. Lebih dari separuh kepala keluarga responden mengeyam pendidikan pada tingkatan sekolah dasar baik yang sampai tamat atau tidak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya. Berdasarkan Tabel 8 tidak terdapat kepala keluarga yang tidak mengeyam bangku pendidikan sama sekali. Seperti terlihat pada tabel 9 sebanyak 27,5% kepala keluarga responden kelompok budidaya ikan dan 26,7% dari kelompok nonbudidaya menempuh pendidikan SMP/sederajat. Hanya 5% pada kelompok budidaya dan 6,7% kepala keluarga responden yang melanjutkan pendidikannya sampai pada tingkat perguruan tinggi.
32
Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat keluarga Kelompok Lamanya pendidikan budidaya kepala keluarga (tahun) n % Tidak sekolah (0) 0 0,0 SD (1-6) 22 55,0 SMP/sederajat (7-9) 11 27,5 SMA/sederajat (10-12) 5 12,5 PT (13-16) 2 5,0 Total 40 100,0 Rata-rata±SD 7,6±3,4
dan lamanya pendidikan kepala Kelompok nonbudidaya n % 0 0,0 15 50,0 8 26,7 5 16,7 2 6,7 30 100,0 7,5±3,7
Total n 0 37 19 10 4 70
% 0,0 52,9 27,1 14,3 5,7 100,0 7,5±3,5
Tingkat pendidikan seseorang berperan dalam pengambilan resiko. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka keberanian dia untuk mengambil resiko cenderung lebih tinggi. Berdasarkan hasil hasil uji beda t tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat dan lama pendidikan kepala keluarga antara keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan. Pendidikan istri mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan keluarga. Tabel 10 menunjukkan sebaran keluarga berdasarkan lama pendidikan istri. Sebanyak 2,5% istri kepala keluarga kelompok budidaya dan 3,3% pada kelompok nonbudidaya yang tidak mengeyam bangku pendidikan sama sekali, tetapi lebih dari separuh responden telah mengeyam bangku pendidikan sedikitnya pada tingkatan sekolah dasar baik sampai tamat atau tidak menamatkan tingkatan sekolah dasar. Bahkan sebanyak 7,5% istri responden pada kelompok pembudidaya telah melanjutkan pendidikan sampai pada tingkatan perguruan tinggi. Tabel 9 Sebaran keluarga berdasarkan lama pendidikan istri Lamanya pendidikan kepala keluarga (tahun) Tidak sekolah (0) SD (1-6) SMP/sederajat (7-9) SMA/sederajat (10-12) PT (13-16) Total Rata-rata±SD
Kelompok budidaya n % 1 2,5 24 60,0 6 15,0 6 15,0 3 7,5 40 100,0 7,4±3,7
Kelompok nonbudidaya n % 1 3,3 22 73,3 2 6,7 5 16,7 0 0,0 30 100,0 6,1±3,2
Total n % 2 2,9 46 65,7 8 11,4 11 15,7 3 4,3 70 100,0 6,8±3,6
Hasil uji beda t menunjukkan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan antara lama pendidikan pada istri responden kelompok pembudidaya dengan kelompok nonpembudidaya. Berdasarkan rata-rata lama pendidikan yang
33
ditempuh oleh kepala keluarga dan istri dapat dilihat kecenderungan kepala keluarga mempunyai rata-rata lama pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan istri.
Pekerjaan Kepala Keluarga Responden Status pekerjaan akan menunjukkan kelas sosial seseorang. Pekerjaan yang dilakukan orang tua, baik ayah atau ibu akan menentukan kelas sosial (Sumarwan 2004). Pekerjaan akan menentukan sejumlah pendapatan yang akan diterima seorang individu dan keluarganya. Semakin banyak pekerjaan maka kemungkinan untuk memperoleh pendapatan semakin besar. Hal ini tergantung kepada jenis dan tingkatan pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan kepala keluarga responden disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan pekerjaan kepala keluarga Pekerjaan Utama Pembudidaya ikan Buruh non tani PNS Jasa Pedagang/wirausaha Pegawai swasta Total Sambilan Tidak ada Pembudidaya ikan Jasa Pedagang/wirausaha Total
Kelompok budidaya n %
Kelompok Nonbudidaya n %
n
%
27 2 2 4 4 1 40
67,5 5,0 5,0 10,0 10,0 2,5 100,0
0 7 2 12 9 0 30
0,0 23,3 6,7 40,0 30,0 0,0 100,0
26 9 4 16 12 1 70
38,5 12,9 5,7 22,8 18,5 1,4 100,0
15 13 2 10 40
37,5 32,5 5,0 25,0 100,0
24 0 5 1 30
80,0 0,0 16,7 3,3 100,0
39 13 7 11 70
55,7 18,6 10,0 15,7 100,0
Total
Persentase pekerjaan kepala keluarga responden berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 67,5% kepala keluarga responden pembudidaya ikan bekerja sebagai petani ikan sedangkan 32,5% sisanya menjadikan petani ikan sebagai pekerjaan sampingan setelah pekerjaan utama mereka. Sementara itu pada kepala keluarga responden kelompok nonbudidaya tidak ada satupun yang bekerja di sektor pertanian. Sebanyak 40,0% yang merupakan proporsi terbesar keluarga nonpembudidaya bekerja di bidang jasa, sisanya bekerja sebagai buruh non tani dan pedagang. Lebih dari separuh (55,7%) responden tidak memiliki pekerjaan sambilan. Bidang jasa, perdagangan
34
dan honorer adalah usaha sampingan lain yang dilakukan oleh responden. Usaha sampingan ini yang nantinya ikut mempengaruhi pendapatan keluarga dan selanjutnya mempengaruhi pada kepemilikan aset keluarga.
Pendapatan Keluarga Responden Tingkat kesejahteraan keluarga secara nyata dapat diukur dari tingkat pendapatan yang dibandingkan dengan kebutuhan minimum untuk hidup layak. Faktor
yang
mempengaruhi
pendapatan
petani
ikan
adalah
besarnya
penghasilan dari non usaha tani, pengeluaran untuk benih, pengeluaran obatobatan, pengeluaran tenaga kerja, produktivitas lahan, luas garapan, ukuran keluarga dan tingkat pendidikan. Pendapatan dari usaha non tani sangat penting karena merupakan hal yang utama dalam pertumbuhan total pendapatan masyarakat petani (Alderman dan Garcia 1993). Bagaimanapun tingginya tingkat pendapatan yang diperoleh suatu kepala keluarga, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan banyak ditentukan oleh distribusi pendapatan perkapita. Sehingga kesejahteraan ditentukan oleh besarnya total pendapatan yang diterima anggota keluarga
dan
Terdapatnya
banyaknya anggota
anggota
keluarga
lain
keluarga yang
yang tidak
menjadi bekerja
tanggungan. menyebabkan
peningkatan beban ketergantungan (dependency ratio). Besarnya anggota keluarga mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan perkapita dan besarnya konsumsi keluarga (Sawidak 1985). Tabel 11 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan per kapita/bulan Kategori Pendapatan (Rp/kap/bln) 80,000-99,999 100,000-149,999 150,000-199,999 200,000-299,999 300,000-499,999 >500,000 Total Rata-rata±SD
Kelompok budidaya N % 0 0 1 2,5 7 17,5 11 27,5 8 20 13 32,5 40 100 498649.6 ± 503846.2
Kelompok Nonbudidaya n % 4 13,3 6 20 2 6,7 5 16,7 9 30 4 13,3 30 100 341541.7 ± 356294.9
Total n % 4 5,7 7 10 9 12,9 16 22,9 17 24,3 17 24,3 70 100 431317.6 ± 450525.7
Seperti dapat dilihat pada Tabel 11 bahwa masih terdapat 5,7% pada responden kelompok nonpembudidaya yang mempunyai pendapatan per kapita per
bulan
dalam
kisaran
Rp.80.000–Rp.99.999.
Hanya
2.5%
keluarga
pembudidaya yang masuk kategori pendapatan per kapita perbulan pada kisaran
35
100.000-199.999, sedangkan pada kelompok non perikanan sebanyak 20%. Sebanyak 32,5% keluarga responden kelompok ikan yang mempunyai pendapatan
per
kapita
lebih
besar
dari
Rp.500.000,
pada
kelompok
nonpembudidaya pendapatan per kapita lebih dari Rp.500.000 hanya dimiliki oleh sebanyak 13,3% keluarga responden. Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan perkapita pada keluarga kelompok pembudidaya ikan lebih besar dibandingkan pada keluarga nonpembudidaya. Lebih besarnya rata-rata pendapatan per kapita pada kelompok pembudidaya disebabkan oleh lebih banyaknya kepala keluarga pembudidaya yang mempunyai pekerjaan lebih dari satu seperti terlihat pada Tabel 11. Pekerjaan sambilan yang dimiliki beberapa diantaranya memang untuk menambah pendapatan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan, tetapi beberapa pekerjaan sampingan dilakukan untuk memberdayakan aset yang dimiliki. Berdasarkan hasil uji beda t tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga dan pendapatan perkapita pada keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya ikan di kecamatan Ciseeng. Pendapatan keluarga diperoleh dari hasil pekerjaan yang telah dilakukan untuk mencari nafkah. Menurut Sumarwan (2004) pendapatan yang diterima seseorang berdasarkan penjumlahan dari gaji pokok, tunjangan, bonus serta pendapatan lainnya. Pendapatan yang diterima oleh keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan yang diperoleh dari masing-masing anggota keluarga,
dengan
pendapatan
tersebut
keluarga
memenuhi
kegiatan
konsumsinya. Kegiatan konsumsi suatu keluarga yang mengeluarkan uang disebut
sebagai
pengeluaran
keluarga.
Pengeluaran
keluarga
meliputi
pengeluaran seluruh anggota keluarga yang tinggal dan makan dari dapur yang sama. Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dilihat dari pengeluaran per kapita nya. Pengeluaran perkapita diperoleh dari pembagian pengeluaran total keluarga dengan jumlah anggota keluarga. Pengeluaran per kapita keluarga responden pada kedua kelompok mempunyai persentase yang berbeda pada setiap kategori. Analisis dengan uji beda t menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara pengeluaran
per
kapita
keluarga
responden
kelompok
budidaya
dan
nonpembudidaya, tetapi pengeluaran per kapita mempunyai korelasi yang signifikan dengan pendapatan perkapita.
36
Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran per kapita keluarga Kategori pengeluaran 100,000-149,999 150,000-199,999 200,000-299,999 300,000-499,999 >500,000 Total Rata-rata±SD
Kelompok budidaya
Kelompok nonbudidaya
Total
n
%
n
%
n
%
0 3 7 20 10 40
0,0 7,5 17,5 50,0 25,0 100,0
5 3 7 10 5 30
16,7 10,0 23,3 33,3 16,7 100,0
5 6 14 30 15 70
7,1 8,6 20,0 42,9 21,4 100,0
419639±169547,9 342711,7±250152,1 386670,1±209805,5
Terdapatnya perbedaan persentase responden pada tingkatan kategori dalam pengeluaran per kapita dengan pendapatan perkapita menunjukkan terdapatnya keluarga responden yang mempunyai pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan demikian pula sebaliknya. Sebanyak 45% dan 43,3% pada kelompok budidaya dan nonbudidaya yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar dari sama dengan pengeluaran per kapita (Tabel 13). Sedangkan lebih dari separuh responden total (55%) yang mempunyai pendapatan lebih kecil dari pengeluaran. Hal ini menunjukkan lebih besarnya pengeluaran per kapita dibandingkan dengan kemampuannya. Lebih besarnya pengeluaran per kapita salah satunya disebabkan oleh adanya penghitungan konsumsi yang diperoleh dari hasil kebun sendiri atau dari pemberian orang lain ke dalam bentuk uang. Tabel 13 Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran per kapita Kelompok budidaya Kategori n % Pendapatan≥pengeluaran 18 45,0 Pendapatan
perbandingan pendapatan dan Kelompok nonbudidaya n % 13 43,3 17 56,7 30 100,0
Total n 31 39 70
% 44,3 55,7 100,0
Aset Keluarga Responden Aset adalah salah satu sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Aset keluarga dapat berupa uang maupun non uang. Aset merupakan sumberdaya keluarga tersedia yang dapat digunakan untuk membiayai keperluan yang tak terduga dalam jumlah yang besar. Berdasarkan hasil penelitian sebagian responden tinggal di rumah sendiri (80%) dan terdapat sebanyak
37
18.6% yang masih tinggal di rumah orang tua dan sisanya menyewa rumah sebagai tempat tinggal keluarga. Aset keluarga responden secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 14 berikut. Tabel 14 Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset Kelompok Kelompok Kepemilikan aset budidaya Nonbudidaya n % n % Kepemilikan rumah Sendiri 33 82,5 23 76,7 Orang tua 7 17,5 6 20,0 Kontrak 0 0,0 1 3,3 Total 40 100,0 30 100,0 Kendaraan Mobil 2 5,0 1 3,3 Motor 25 62,5 10 33,3 Sepeda 25 62,5 20 66,7 Barang berharga Tanah 39 97,5 29 96,7 Kebun 15 37,5 1 3,3 Kolam 39 97,5 0 0,0 Emas 14 35,0 5 16,7 Sawah 1 2,5 0 0,0 Kios 1 2,5 0 0,0 Kambing 1 2,5 0 0,0 Elektronik TV 36 90,0 29 96,7 Radio 25 62,5 9 30,0 Kulkas 15 37,5 8 26,7 VCD 22 55,0 11 36,7 Hand Phone 14 35,0 3 10,0 Kipas angin 8 20,0 11 36,7 Mesin cuci 2 5,0 1 3,3 Dispenser 0 0,0 3 10,0 Sound system 1 2,5 3 10,0 Magic com 1 2,5 0 0,0 Mesin jahit 1 2,5 0 0,0 Komputer 1 2,5 2 6,7 Tabungan Tabungan 20 50,0 7 23,3 keluarga Dipinjam orang 9 22,5 4 13,3
n
Total %
56 13 1 70
80,0 18,6 1,4 100,0
3 35 45
4.3 50,0 64.3
68 16 39 19 1 1 1
97,1 22,9 55,7 27,1 1,4 1,4 1,4
65 34 23 33 17 19 3 3 4 1 1 3
92,9 48,6 32,9 47,1 24,3 27,1 4,3 4,3 5,7 1,4 1,4 4,3
27 13
38,6 18,6
Kendaraan sebagai alat transportasi tidak dimiliki oleh semua responden. Hal ini dikarenakan tingkat mobilitas responden di daerah ini terutama bagi keluarga nonpembudidaya ikan masih rendah. Hanya 4.3% dari total responden yang mempunyai mobil, tetapi sebagian responden sudah memiliki motor dan sepeda. Sebagian besar keluarga responden pembudidaya ikan mempunyai aset
38
tanah dan kolam, sedangkan keluarga nonpembudidaya mempunyai tanah saja. Responden hanya sedikit yang menginvestasikan hartanya dalam bentuk emas, terbukti dengan hanya 27.1% dari total responden yang memiliki aset barang berharga berupa emas. Barang elektronik berupa televisi sudah dimiliki oleh hampir semua responden, tetapi barang elektronik lain seperti VCD, handphone, komputer dan lainnya hanya dimiliki oleh sebagian kecil responden saja. Hanya sebesar 38.6 % dari responden yang memiliki aset berupa tabungan, padahal tabungan merupakan suatu penyangga yang membantu keluarga dalam ketidaktentuan pendapatan dan kebutuhan (Alderman dan Garcia 1993). Rata-rata nilai total aset yang dimiliki adalah sebesar Rp. 119.856.871 yang sebagian besar terdiri dari rumah dan tanah. Rata-rata total aset pada kelompok budidaya adalah sebesar Rp.163.129.500 ± 204.152.615 dan rata-rata pada kelompok nonbudidaya adalah Rp.62.160.033± 69.291.779. Berdasarkan hasil uji beda t (p<0,05) terdapat perbedaan yang signifikan antara total aset keluarga pada keluarga pembudidaya dengan keluarga nonpembudidaya ikan di Kecamatan Ciseeng. Aset total terdiri dari penjumlahan aset kendaraan, barang berharga, alat elektronik dan tabungan yang nilainya diperkiran ke dalam bentuk uang pada waktu sekarang. Berdasarkan hasil uji beda t terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p<0,01) terhadap jumlah aset barang berharga pada responden
kelompok
budidaya
dan
kelompok
nonbudidaya.
Keluarga
pembudidaya ikan cenderung mempunyai lahan yang lebih banyak untuk melangsungkan usaha budidaya ikan. Aset inilah yang memberikan kesempatan pada kelompok budidaya untuk mempunyai pekerjaan ganda yang akan ikut meningkatkan pendapatan keluarga. Tingkat Kesejahteraan Keluarga Responden Indikator Biro Pusat Statistik Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan yang diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Garis kemiskinan dengan pendekatan keluarga sangat sensitif terhadap faktor harga, penentuan standar minimum kebutuhan dasar, pemilihan jenis paket komoditi, imputansi komponen bukan makanan serta disparitas dan karakteristik wilayah (Irawan 2000). Garis kemiskinan di setiap
39
daerah berbeda berdasarkan lokasi dan indeks harga konsumen yang berlaku di daerah tersebut. Garis kemiskinan kabupaten Bogor menurut BPS tahun 2006 adalah sebesar Rp.183.067/kapita/bulan. Nilai ini direvisi setiap tiga tahun sekali karena penentuan standar untuk garis kemiskinan selalu dinamis dari waktu ke waktu sebagai akibat kenaikan indeks harga konsumen baik untuk makanan maupun non makanan (Irawan dan Romdiati 2000). Garis kemiskinan pada tahun tertentu dapat diukur juga dengan menggunakan laju inflasi. Hal ini disebabkan karena inflasi terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga barang dan jasa. Pengukuran garis kemiskinan pada tahun tertentu ini bertujuan untuk mengetahui garis kemiskinan aktual saat ini. Berikut kondisi kesejahteraan keluarga pembudidaya dan nonpembudidaya berdasarkan garis kemiskinan BPS kabupaten Bogor. Tabel 15 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan dengan indikator BPS Kategori Miskin Tidak miskin Total
Kelompok budidaya n % 1 2,5 39 97,5 40 100,0
Kelompok nonbudidaya n % 8 26,7 22 73,3 30 100,0
n 9 61 70
Total % 12,9 87,1 100,0
p value 0,003
Berdasarkan indikator BPS hanya terdapat 2,5% keluarga responden pembudidaya ikan yang masuk kategori miskin dan sebanyak 26,7% keluarga responden nonpembudidaya yang berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga secara keseluruhan responden terdapat 12,9% yang masuk ke dalam kategori miskin BPS. Terdapat perbedaan yang nyata antara status kemiskinan di kelompok pembudidaya dan nonpembudidaya. Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. BPS menggunakan indikator pengeluaran ini untuk menilai tingkat kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan makan porsi pengeluaran untuk makanan akan bergeser ke pengeluaran bukan makanan. Pergeseran pada pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi (BPS 2005). Rata-rata pengeluaran total keluarga responden pembudidaya ikan lebih besar dibandingkan dengan keluarga nonpembudidaya ikan. Persentase
40
pengeluaran untuk makanan baik pada keluarga pembudidaya maupun nonpembudidaya masih lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran non makanan. Berdasarkan uji beda t tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengeluaran untuk makanan, pengeluaran non makanan dan pengeluaran total. Tabel 16 Keragaan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga responden Kategori 1 Makanan Pokok Pangan Hewani Kacang-kacangan Sayuran Buah-buahan Bumbu-bumbuan Rokok Uang jajan Total pengeluaran pangan
Pembudidaya
Nonpembudidaya
Rata-rata
Rp
%
Rp
%
Rp
%
2
3
4
5
6
7
304228 243502 61363 86650 35550 87120 153375 254375
14,8 11,9 3,0 4,2 1,7 4,3 7,5 12,4
270010 236136 65097 75117 46300 110353 182133 183333
14,8 13,0 3,6 4,1 2,5 6,1 10,0 10,1
287119 239819 63230 80883 40925 98737 167754 218854
14,8 12,4 3,3 4,2 2,1 5,1 8,7 11,3
1226162
59,8
1168480
64,2
1197321
61,9
Kesehatan Bahan Bakar Pendidikan Pakaian Kerukunan Perumahan Pajak Transportasi Pengeluaran lainlain
61353 139705 61165 70402 107917 38025 40908 115150
3,0 6,8 3,0 3,4 5,3 1,9 2,0 5,6
85889 140580 37767 72047 110500 14870 18477 84356
4,7 7,7 2,1 4,0 6,1 0,8 1,0 4,6
73621 140143 49466 71224 109208 26448 29693 99753
3,8 7,2 2,6 3,7 5,6 1,4 1,5 5,2
188250
9,2
87117
4,8
137683
7,1
Total non pangan
822874
40,2
651602
35,8
737238
38,1
Total Pengeluaran
2049036
100
1820081
100
1934558
100,0
Persentase pengeluaran pangan dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan, dimana keluarga dengan persentase pangan yang lebih besar dari 60% maka keluarga tersebut masuk ke dalam kategori miskin, tetapi apabila persentase pengeluaran pangan keluarga tersebut kurang dari 60% masuk ke dalam kategori tidak miskin. Sebaran keluarga miskin berdasarkan persentase pengeluaran untuk pangan dan non pangan disajikan dalam tabel 17.
41
Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan persentase pengeluaran pangan Kategori Miskin Tidak miskin Total
Kelompok budidaya n % 26 65,0 14 35,0 40 100,00
Kelompok nonbudidaya n % 19 63,3 11 36,7 30 100,00
Total n 45 25 70
% 64,3 35,7 100.0
Berdasarkan persentase pengeluaran pangan dan non pangan keluarga responden, sebanyak 65% responden dari keluarga pembudidaya ikan yang masuk dalam kategori miskin sedangkan keluarga nonpembudidaya yang masuk ke dalam kategori miskin sebanyak 63.3%, sehingga lebih dari separuh responden (64,3%) masuk ke dalam kategori keluarga miskin berdasarkan persentase pengeluaran pangan. Menurut Irawan & Romdiati (2000) estimasi kemiskinan menggunakan standar BPS perlu diteliti dengan seksama karena dua faktor. Faktor pertama adalah bahwa standar minimum pengeluaran konsumsi (garis kemiskinan) selalu didefinisikan secara dinamis. Sehingga standar ini direvisi setiap tiga tahun sekali untuk menyesuaikan dengan dinamika pola konsumsi dari golongan atau kelas terbawah yang mempunyai tingkat kesejahteraan masih dibawah standar hidup untuk mencukupi kebutuhan secara normatif. Faktor kedua adalah bahwa insiden kemiskinan sangat sensitif terhadap fluktuasi harga-harga komoditi dasar. Ketika harga naik, garis kemiskinan ikut meningkat sebagai akibat dari peningkatan biaya yang harus dibayar golongan bawah untuk memenuhi standar minimum kebutuhan untuk makanan dan bukan makanan. Indikator Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menentukan keluarga miskin berdasarkan indikator-indikator ekonomi dan non-ekonomi, termasuk pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, perencanaan keluarga, hubungan antar anggota keluarga, transportasi, uang tabungan, informasi dan peran-peran sosial (Raharto dan Romdiati 2000). Data BKKBN memberikan ukuran yang lebih langsung tentang keluarga miskin pada tingkat nasional dan tingkat administratif yang lebih rendah (desa) karena di setiap desa terdapat petugas khusus untuk mencacah setiap warga desanya. BKKBN menggolongkan tingkatan kesejahteraan keluarga berdasarkan lima tingkatan yaitu keluarga Pra Sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I),
42
keluarga sejahtera II (KS II), keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III plus). Keluarga dengan kategori Prasejahtera dan sejahtera I digolongkan sebagai keluarga miskin. Berdasarkan hasil pendataan, hanya sebesar 30% responden yang masuk kedalam tingkatan keluarga prasejahtera. Keluarga pra sejahtera merupakan keluarga yang tidak dapat memenuhi
salah satu dari kebutuhan
dasar untuk hidup seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Lebih dari sebagian responden (64,3 %) masuk dalam kategori keluarga sejahtera I. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menurut BKKBN sebagian besar responden (94,3 %) merupakan keluarga tidak sejahtera. Tabel 18 Pengelompokan responden berdasarkan tingkatan kesejahteraan BKKBN Kategori PS KS I KS II KS III KS III plus Total
Pembudidaya ikan n % 12 30,0 26 65,0 1 2,5 0 0,0 1 2,5 40 100
Nonpembudidaya n % 9 30,0 19 63,4 1 3,3 1 3,3 0 0,0 30 100
Total n
% 21 45 2 1 1 70
30,0 64,3 3,0 1,4 1,4 100
Ukuran BKKBN mengenai keluarga miskin mencakup indikator ekonomi dan bukan ekonomi tetapi sulit untuk mengindikasikan secara langsung keluarga miskin berdasarkan alasan ekonomi. Beberapa indikator bukan ekonomi sulit untuk diukur, seperti kebutuhan psikologis dan sosial. Misalnya sangat sulit untuk mengukur variabel agama (menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing anggota keluarga) dalam ukuran kemiskinan. Kesulitan lain dalam mengidentifikasi keluarga miskin menurut BKKBN berkaitan dengan pengumpulan data dalam yang melibatkan petugas dalam jumlah besar dengan variasi pemahaman dan intepretasi dari masing-masing indikator (Raharto dan Romdiati 2000). Berdasarkan penggolongan tingkat kesejahteraan keluarga dengan menggunakan indikator alasan ekonomi (ALEK) diperoleh sebanyak 42,5% keluarga pembudidaya ikan yang masuk ke dalam kategori miskin dan sebanyak 56,7% dari keluarga nonpembudidaya yang masuk ke dalam kategori miskin. Tidak terdapat perbedaan nyata tingkat kesejahteraan pada kelompok budidaya
43
dan nonbudidaya ikan. Sebaran tingkat kesejahteraan keluarga berdasarkan indikator ALEK disajikan dalam Tabel 19 berikut. Tabel 19 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan dengan indikator alasan ekonomi BKKBN Kelompok Kelompok Total budidaya nonbudidaya Kategori p value n % n % n % Miskin 17 42,5 17 56,7 34 48,6 0,241 Tidak miskin 23 57,5 13 43,3 36 51,4 Total 40 100,0 30 100,0 70 100,0 Penilaian tingkat kesejahteraan menurut BKKBN berdasarkan alasan ekonomi terdiri dari enam indikator yaitu : 1. Umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. 2. Anggota
keluarga
memiliki
pakaian
yang
berbeda
untuk
di
rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian. 3. Bagian lantai terluas bukan dari tanah. 4. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telur. 5. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru. 6. Luas lantai paling kurang delapan meter persegi untuk tiap penghuni. Tabel 20 Sebaran keluarga miskin berdasarkan indikator ALEK keluarga miskin Kelompok Kelompok No. Indikator alasan ekonomi Total budidaya nonbudidaya n % n % n % 1 Anggota keluarga tidak mampu 0 0,0 0 0,0 0 0,0 untuk makan minimal 2 kali sehari 2 Anggota keluarga tidak mempunyai pakaian yang berbeda 1 4,0 3 11,5 4 7,8 untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian 3 Bagian yang terluas dari lantai dari 5 20,0 2 7,7 7 13,7 tanah 4 Kurang dari sekali seminggu 13 52,0 16 61,5 29 56,9 makan daging/telur/ikan 5 Setahun terakhir anggota keluarga 4 16,0 1 3,8 5 9,8 tidak memperoleh satu stel pakaian baru 6 Luas lantai kurang dari 8m2 untuk 2 8,0 4 15,4 6 11,8 setiap anggota keluarga 25 100,0 26 100,0 51 100,0 Total
44
Tabel 20 menunjukkan bahwa seluruh keluarga miskin mampu untuk menyediakan makanan pokok bagi seluruh anggota keluarganya minimal sehari dua kali, tetapi lebih dari separuh responden (56,9%) belum memenuhi aspek gizi.
Hal
ini
terlihat
dari
ketidakmampuan
untuk
menyediakan
lauk
daging/telur/ikan seminggu sekali. Hanya sebagian kecil (7,8%) dari keluarga miskin yang tidak mempunyai pakaian berbeda untuk setiap aktivitas mereka. Sebanyak 9,8% dari keluarga miskin yang tidak mampu membeli baju baru minimal setahun sekali. Kebutuhan papan (perumahan) relatif mampu dipenuhi, hal ini dapat dilihat dari hanya 11,8% keluarga miskin yang luas rumahnya kurang dari 8m2/orang dan hanya 13,7% saja yang luas lantai rumahnya berasal dari tanah. Indikator Socio Metrics Matrix Indikator Socio Metrics Matrix (sosiometrik) mengklasifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan 8 aspek utama yaitu ketahanan pangan, pendidikan, pelayanan kesehatan, perumahan, modal sosial, pemberdayaan, buta huruf, dan kerawanan dalam keluarga tersebut. Sebagian besar responden masuk ke dalam kategori sejahtera dan hanya 11,4% dari keluarga responden yang dikategorikan keluarga miskin berdasarkan indikator sosiometrik. Hanya 5% keluarga dari kelompok budidaya yang masuk ke dalam kategori miskin berdasarkan indikator sosiometrik. Seperlima bagian keluarga kelompok nonpembudidaya masuk ke dalam kategori miskin. Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat kesejahteraan dengan indikator sosiometrik Kelompok Kelompok budidaya nonbudidaya Total Kategori n % n % n % Miskin 2 5,0 6 20,0 8 11,4 Tidak miskin 38 95,0 24 80,0 62 88,6 Total 40 100,0 30 100,0 70 100,0 Indikator
sosiometrik
melihat
tingkat
kesejahteraan
berdasarkan
kemampuan keluarga untuk memenuhi delapan aspek pemenuhan kebutuhan. Beberapa
aspek
melihat
kemampuan
keluarga
berdasarkan
frekuensi
pemenuhan kebutuhan keluarga. Aspek lain juga melihat sejumlah keterlibatan anggota keluarga (Lampiran 3).
45
Aspek ketahanan pangan keluarga dilihat berdasarkan kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan dan keinginan terhadap bahan makanan tertentu. Sebanyak 51,4% responden merasa bahwa keluarga mereka selalu mempunyai bahan pangan yang cukup dan mampu memenuhi jenis makanan yang diinginkan keluarga. Tetapi masih terdapat sebanyak 5,7% responden yang merasa sering mengalami kekurangan pangan dalam upaya mencukupi kebutuhan pangan harian. Aspek pendidikan dinilai berdasarkan kemampuan keluarga untuk mencapai tingkatan tertinggi pendidikan anggota keluarganya. Empat puluh persen dari responden secara keseluruhan menyatakan bahwa keluarga mampu untuk mendukung pendidikan anak sampai pada tingkatan universitas. Lebih dari sebagian responden merasa bahwa mereka mampu untuk mendukung pendidikan anak sampai tingkat menengah dan sisanya (4,3%) hanya mampu mendukung biaya pendidikan anak hanya sampai level sekolah dasar saja. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang penilaian indikator pendidikan terjadi kesulitan untuk membedakan kemampuan dan harapan keluarga. Banyak kepala keluarga yang menginginkan anaknya untuk mencapai tingkat pendidikan paling tinggi tetapi kemampuan untuk mencapainya belum dapat ditentukan saat ini karena usia anak masih dini. Kemampuan anggota keluarga untuk dapat menjangkau pelayanan kesehatan merupakan salah satu dari delapan aspek yang dinilai dalam indikator sosiometrik. Berdasarkan hasil pengamatan sebagian besar keluarga responden selalu mampu untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dan obatobatan jika anggota keluarga mereka sakit, dan hanya 11,4% saja yang biasanya dapat memenuhi pelayanan kesehatan dan obat. Sejumlah peralatan modern yang dimiliki keluarga merupakan salah satu aspek yang dinilai berdasarkan indikator sosiometrik. Kepemilikan alat modern ini terdiri dari peralatan air (jet pump), listrik, sanitasi (septic tank) dan telephone. Sebanyak 41,4% responden memiliki keempat peralatan ini tetapi masih terdapat 10% responden yang tidak mempunyai keempat peralatan ini. Aspek modal sosial dinilai berdasarkan frekuensi keterlibatan responden terhadap kegiatan masyarakat di lingkungannya. Tidak ada satu responden pun yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, sedangkan responden yang selalu terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan adalah sebanyak 34,3%.
46
Aspek pemberdayaan (empowerment) dilihat dari persepsi responden terhadap perlakuan tetangga. Hampir seluruh responden menyatakan bahwa keluarga mereka selalu merasa dihormati hak-hak nya oleh tetangga. Indikator sosiometrik juga melihat kemiskinan berdasarkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Sebagian besar responden (82,9%) mampu untuk melakukan kegiatan menulis, membaca dan menghitung (ketiganya). Kerawanan keluarga dilihat berdasarkan ada tidaknya resiko kerawanan dalam keluarga tersebut. Resiko kerawanan dilihat dari adanya balita gizi buruk, lansia ataupun anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang kronis. Tidak terdapat responden yang keluarganya berada pada kondisi sangat rawan (mempunyai tiga resiko). Sebagian dari responden mempunyai satu kerawanan dari ketiga resiko tersebut. Menurut Suryahadi dan Sumarto (2003), kerawanan terhadap kemiskinan dapat menyerang siapa saja dan dapat disebabkan oleh berbagai kejadian seperti gagal panen, kehilangan pekerjaan, pengeluaran tak terduga, sakit, dan resiko lain dalam hidup. Secara garis besar indikator sosiometrik lebih mudah dalam penghitungan jumlah keluarga miskin, tetapi beberapa aspek dalam indikator sosiometrik masih menimbulkan kerancuan yang disebabkan karena tidak adanya pengkategorian yang jelas dalam frekuensi selalu sering, kadang-kadang dan lainnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan persepsi antar responden satu dengan responden yang lain. Indikator Gabungan Indikator gabungan merupakan pengkategorian dengan menggunakan ketiga indikator (BPS, BKKBN dan Sosiometrik). Sehingga terdapat kriteria baru yaitu dianggap miskin oleh ketiganya, dianggap miskin oleh dua indikator saja, dianggap miskin oleh satu indikator saja atau tidak miskin berdasarkan ketiganya. Terdapat 5.7% dari keluarga keseluruhan yang dikategorikan miskin oleh ketiga indikator tersebut, dan sebanyak 8,7% dikategorikan miskin oleh kombinasi dua indikator. Sebanyak 38,6% dari total responden dikategorikan miskin oleh satu indikator saja. Tetapi sebanyak 47,1% dari total keluarga responden dikategorikan tidak miskin (sejahtera) berdasarkan ketiga indikator tersebut.
47
Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kemiskinan dengan indikator BPS, BKKBN dan Sosiometrik Kelompok Kelompok Total budidaya nonbudidaya Kategori n % n % n % Miskin ketiganya (3M) 1 2.5 3 10.0 4 5.7 Miskin dua kategori (2M) 0 0.0 6 20.0 6 8.7 Miskin satu kategori (1M) 17 42.5 10 33.3 27 38.6 Tidak miskin ketiganya 22 55.0 11 36.7 33 47.1 (TM) Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Keluarga yang dikategorikan 3M dan 2M dinyatakan sebagai keluarga yang benar-benar miskin. Sedangkan responden dengan kategori 1M dan TM dikategorikan sebagai yang tidak miskin. Hasil pengkategorian tidak miskin dan miskin yang baru disajikan dalam Tabel 23 . Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan kategori kemiskinan dengan indikator gabungan Kelompok Kelompok budidaya Total Kategori nonbudidaya n % n % n % Miskin 1 2,5 9 30,0 10 14,3 Tidak miskin 39 97,5 21 70,0 60 85,7 Total 40 100,0 30 100,0 70 100,0 Sebagian besar responden (85,7%) masuk kedalam kategori tidak miskin. Pengkategorian gabungan ini bertujuan untuk mengetahui kesahihan hasil uji validitas dengan benchmark indikator BPS, sehingga dapat disarankan apakah gabungan dan modifikasi dari ketiga indikator kesejahteraan ini dapat dikembangkan untuk hasil yang lebih akurat. Penggunaan secara bersamaan dengan menghitung masing-masing indikator (BPS, BKKBN, dan sosiometrik akan memakan banyak waktu atau dalam kata lain tidak efisien). Sehingga penggunaan indikator gabungan ini tidak disarankan, hanya saja pengembangan dan pengkajian aspek-aspek yang terdapat dalam masing-masing indikator dapat digunakan untuk membuat suatu indikator baru yang menggabungkan aspekaspek yang ada dalam ketiga indikator (BPS, BKKBN dan Sosiometrik).
48
Tingkat Akurasi Indikator BPS, BKKBN, Sosiometrik dan Indikator Gabungan Kemampuan suatu indikator baru untuk menilai suatu permasalahan perlu diuji dahulu tingkat akurasinya dengan menggunakan pengukuran yang telah dilakukan dan diakui sebagai standar. Tingkat akurasi suatu indikator diuji dengan suatu indikator standar dan dipercaya yang disebut sebagai benchmark dalam hal ini adalah indikator BPS. Hasil uji perbandingan akan menghasilkan empat kriteria yaitu (1) positif sejati, yaitu sama-sama miskin untuk kedua indikator, (2) positif palsu, yaitu tidak miskin berdasarkan indikator bechmark, tetapi miskin berdasarkan indikator baru, (3) negatif palsu, yaitu miskin berdasarkan indikator benchmark, tetapi tidak miskin berdasarkan indikator baru, (4) negatif sejatif, yaitu tidak miskin berdasarkan kedua indikator. Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan BKKBN dan sosiometrik dengan BPS sebagai benchmark disajikan pada Tabel 24 berikut. Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan indikator kesejahteraan sosiometrik, dan indikator gabungan dengan BPS benchmark Kriteria Kemiskinan BPS Status tidak Indikator kesejahteraan miskin total miskin n % n % n % Miskin 7 77,8 27 44,3 34 48,6 BKKBN Tidak miskin 2 22,2 34 55,7 36 51,4 Total 9 100,0 61 100,0 70 100,0 Miskin 6 66,7 2 3,3 8 11,4 Sosiometrik Tidak miskin 3 33,3 59 96,7 62 88,6 Total 9 100,0 61 100,0 70 100,0 Miskin 9 100,0 1 1,6 10 14,3 Indikator Tidak miskin 0 0,00 60 98,4 60 85,7 gabungan Total 9 100,0 61 100,0 70 100,0
BKKBN, sebagai
p-value
0,060
0,000
0,000
Berdasarkan hasil pengujian pada responden dengan menggunakan beberapa indikator kesejahteraan dapat dilihat bahwa kategori miskin pada indikator BKKBN (48,6%) lebih tinggi dibandingkan dengan indikator sosiometrik (11,4%). Kategori positif sejati untuk indikator BKKBN berdasarkan indikator BPS sebagai benchmark adalah sebesar 77,8%, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang miskin menurut BPS juga dikategorikan miskin berdasarkan indikator BKKBN. Tetapi sebanyak 44,3% responden yang tidak miskin berdasarkan BPS dikategorikan miskin berdasarkan BKKBN. Terdapat sebanyak 55,7% dari responden yang sama-sama dikategorikan tidak miskin menurut BPS dan BKKBN.
49
Berdasarkan hasil pengujian sebanyak 66,7% responden miskin berdasarkan kriteria BPS yang dikategorikan miskin juga oleh indikator sosiometrik, dan 96,7% responden yang dikategorikan tidak miskin oleh kedua indikator BPS dan Sosiometrik. Indikator gabungan dari ketiga indikator mengkategorikan
seluruh
responden
yang
miskin
menurut
BPS
pada
pengkategorian yang sama. Hanya terdapat sebanyak 1,6% responden yang tidak miskin menurut indikator BPS dikategorikan sebagai responden miskin. Berdasarkan analisis khi kuadrat, indikator BKKBN tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan indikator BPS (p>0,05), tetapi hubungan yang signifikan terjadi pada taraf error 10% (p<0,1). Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara indikator sosiometrik dengan indikator BKKBN (p<0,05). Kemampuan indikator baru untuk mengidentifikasikan kasus kemiskinan dan non kemiskinan dinyatakan sebagai sensitivitas dan spesitivitas. Penghitungan sensitivitas dan spesitivitas indikator BKKBN, Sosiometrik dan indikator gabungan adalah sebagai berikut. Indikator BKKBN Kepekaan (sensitivitas) Kekhususan (spesitivitas)
7 x100 = 77.8 7+2 34 = x100 = 55.7 34 + 27
=
Indikator Sosiometrik Kepekaan (sensitivitas) Kekhususan (spesitivitas)
6 x100 = 66.7 6+3 59 = x100 = 96.7 59 + 2
=
Indikator Gabungan Kepekaan (sensitivitas) Kekhususan (spesitivitas)
9 x100 = 100 9+0 60 = x100 = 98.4 60 + 1
=
Indeks sensitivitas BKKBN cukup tinggi sebesar 77,8 sedangkan indeks spesitivitasnya hanya 55,7. Hal ini dapat terjadi karena kemungkinan garis kemiskinan yang digunakan indikator BPS terlalu rendah atau penilaian dengan menggunakan indikator BKKBN terlalu rinci dan sebagian digunakan untuk kepentingan khusus dari BKKBN yaitu sejalan dengan visinya membentuk
50
keluarga berkualitas, sedangkan penghitungan kemiskinan dengan indikator BPS biasanya digunakan untuk perencanaan yang lebih makro. Menurut Cahyat (2004) dari sisi akurasi, survei BPS memiliki kaidahkaidah statistik yang harus dijalankan dalam survei dan pengolahan data dibandingkan
dengan
pendataan
BKKBN
yang
dilakukan
dengan
cara
sederhana. Secara metodologi statistik, model tingkat konsumsi BPS pasti lebih dapat dipertanggungjawabkan. Namun metodologi bukan satu-satunya faktor yang menjamin akurasi, karena masih banyak faktor lain seperti tingkat disiplin, komitmen serta kejujuran dari orang-orang yang terlibat di dalam survei. Cahyat (2004) juga mengungkapkan bahwa berdasarkan sisi fleksibilitas standar, model BPS lebih fleksibel dalam penilaian. BKKBN mengharuskan orang untuk makan telur atau daging atau ikan paling kurang sekali dalam seminggu, padahal mungkin ada orang yang sangat mampu untuk membeli komoditas makanan tersebut, tapi karena alasan kepercayaan atau kesehatan mereka tidak mau makan. Hal tersebut tidak dipedulikan dalam model BPS, asalkan tingkat konsumsinya lebih besar dari garis kemiskinan, maka pada dasarnya orang tersebut mampu untuk mendapatkannya, bahwa kemudian ternyata
orang
tersebut
menghabiskan
lebih
dari
setengah
konsumsi
makanannya untuk rokok maka itu bukan persoalan kemampuan melainkan persoalan pola konsumsi. Indikator sosiometrik mempunyai indeks sensitivititas yang lebih rendah dibandingkan dengan indikator BKKBN yaitu sebesar 66,7. tetapi indikator sosiometrik
mempunyai
indeks
spesitivitas
yang
tinggi
(96,7).
Hal
ini
menunjukkkan bahwa indikator sosiometrik kurang sensitif untuk melihat kasus kemiskinan tetapi
spesifik untuk mengeluarkan kasus non kemiskinan.
Berdasarkan pengalaman di lapang penggunaan indikator sosiometrik rentan terhadap kesalahan bias. Karena beberapa penggolongan dilakukan dengan menggunakan frekuensi seperti selalu, kadang-kadang dan lainnya yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara responden satu dengan responden yang lain. Indikator gabungan memiliki angka spesitivitas mencapai 100, sehingga semua keluarga yang dikategorikan miskin oleh BPS juga dikategorikan sama. Indeks spesitivitasnya juga sangat tinggi yaitu 98,4. Berdasarkan pengalaman di lapang, penilaian tingkat kesejahteraan dengan menggunakan ketiga indikator tersebut mempunyai keunikan dan kesulitan masing-masing. Berdasarkan penelitian dapat dinyatakan bahwa
51
indikator BPS yang masih memegang akurasi tertinggi. BPS menilai tingkat kesejahteraan secara riil dengan kemampuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang dilihat dari pengeluaran perkapita dari masing-masing keluarga responden. Meskipun dalam pencatatannya dimungkinkan ada beberapa pengeluaran kecil yang terlupakan dalam pencatatan. Tetapi secara garis besar hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai estimasi tingkat kesejahteraan aktual. Indikator BKKBN lebih banyak melihat pada aspek kehidupan secara umum pada berbagai aspek, sehingga dapat dimungkinkan seseorang tidak mampu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari tetapi dia dapat masuk ke dalam kategori sejahtera karena keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat, atau karena ketaatan dalam melaksanakan kegiatan agama. BKKBN lebih melihat kesejahteraan dalam sejahtera dalam arti kepuasan pribadi terhadap kehidupan yang dijalani dan pencapaian keluarga terhadap beberapa aspek dalam indikator. Indikator Sosiometrik melihat kesejahteraan berdasarkan kemampuan dalam pemenuhan delapan aspek kebutuhan utama. Indikator ini relatif lebih mudah dalam penggunaan dan penentuan responden yang sejahtera dan miskin. Selain itu indikator sosiometrik mempunyai nilai sensitivitas dan spesitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan indikator BKKBN, tetapi beberapa aspek yang diteliti menggunakan parameter frekuensi seperti selalu, sering dan kadangkadang yang tidak disebutkan dengan jelas periodenya. Hal ini menimbulkan perbedaan persepsi antar responden juga para pelaku survei. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Faktor-faktor yang diteliti pengaruhnya terhadap kesejahteraan dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga yang terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia kepala keluarga, usia istri, lama pendidikan kepala keluarga, lama pendidikan istri, jumlah pekerjaan kepala keluarga, pendapatan per kapita dan total aset keluarga serta karakteristik lokasi tempat tinggal keluarga. Berdasarkan hasil korelasi Pearson terdapat dua variabel yang hubungannya sangat dekat (korelasi>0,70) sehingga untuk pengujian regresi selanjutnya digunakan salah satu saja. Variabel yang berkorelasi positif tersebut adalah usia kepala keluarga dan usia istri, sehingga diwakili usia kepala keluarga saja dalam analisis selanjutnya. Variabel yang mempunyai korelasi tinggi dengan keempat indikator kesejahteraan juga disingkirkan untuk mencegah hilangnya pengaruh variabel
52
lain akibat dominansi variabel tersebut. Tidak terdapat variabel yang tingkat korelasinya sangat tinggi (>0,8) sehingga tidak ada lagi variabel yang akan dihilangkan pada uji selanjutnya. Sehingga persamaan regresi yang digunakan sebagai berikut:
eα + β1 x1 + β 2 x 2 + β 4 x 4 + β 5 x5 + β 6 x6 + β 7 x7 + β 8 x8 + β 9 x9 + ε P ( x) = 1 + eα + β1 x1 + β 2 x 2 + β 4 x 4 + β 5 x5 + β 6 x6 + β 7 x7 + β 8 x8 + β 9 x9 + ε dimana : P(X) = peluang tingkat kesejahteraan (0=miskin; 1=tidak miskin) α = konstanta β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8, β9= koefisien regresi x1 = jumlah anggota keluarga x2 = usia kepala keluarga x4 = lama pendidikan kepala keluarga x5 = lama pendidikan istri x6 = pendapatan keluarga x7 = jumlah pekerjaan kepala keluarga x8 = aset keluarga x9 = lokasi tempat tinggal keluarga e = eksponen (2.71828) ε = galat (error) Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan berdasarkan Indikator Biro Pusat Statistik Berdasarkan hasil analisis faktor yang paling berpengaruh terhadap determinan kesejahteraan menurut kriteria BPS adalah pendapatan keluarga dan diikuti oleh jumlah anggota keluarga. Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, semakin meningkat pula kesejahteraan keluarga. Peluang sejahtera pada keluarga dengan pendapatan tinggi adalah 1,008 dibandingkan dengan keluarga yang berpendapatan rendah. BPS menggunakan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan
dasar
sebagai
indikasi
utama
dalam
menilai
kesejahteraan, sehingga pendapatanlah yang menjadi titik utama dalam tingkat kesejahteraan berdasarkan versi BPS. Jumlah pekerjaan kepala keluarga dikelompokkan menjadi dua yaitu kepala keluarga dengan pekerjaan tunggal (hanya terdapat satu pekerjaan utama) dan kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan sampingan diluar pekerjaan utama. Berdasarkan indikator BPS pekerjaan tunggal lebih cenderung meningkatkan kesejahteraan. Hal ini dapat disebabkan karena pendapatan tunggal pada kepala keluarga responden hasilnya lebih besar dibanding kepala keluarga responden dengan pekerjaan ganda. Pekerjaan sambilan yang
53
dilakukan kepala keluarga responden cenderung berkontribusi kecil terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Lokasi tempat tinggal keluarga tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan, tetapi keluarga yang tinggal di Desa Parigi Mekar mempunyai kecenderungan lebih sejahtera dibandingkan keluarga di Desa Ciseeng dengan koefisien regresi 4,459. Hal ini dikarenakan sumberdaya alam yang terdapat di Desa Parigi Mekar lebih mendukung dalam upaya peningkatan pendapatan keluarga penduduk baik sebagai usaha utama maupun usaha sampingan. Desa Parigi Mekar mempunyai beberapa danau atau yang disebut sebagai empang sebagai pusat kegiatan budidaya ikan warganya. Tabel 25 Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut BPS Indikator (0=Tidak sejahtera; 1=Sejahtera)
Variabel Jumlah pekerjaan kepala keluarga (0=ganda, 1=tunggal) Lokasi (0=parigi mekar, 1= ciseeng) Jumlah anggota keluarga Usia kepala keluarga Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Aset keluarga Pendapatan
β 5,576 -4,459 -1,776 0,141 0,890 0,516 0,106 0,008 R2 = 0.800 P Value = 0.000
Sig.
Exp (B)
0,269
263,965
0,319 0,062* 0,165 0,142 0,362 0,111 0,049**
0,012 0,169 1,151 2,434 1,675 1,111 1,008
Ket : * p<0,10; **p<(0,05); ***p<(0,025)
Hasil regresi logistik menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap semakin menurunnya tingkat kesejahteraan keluarga menurut indikator BPS. Keluarga dengan jumlah anggota lebih kecil berpeluang sejahtera 5,92 kali dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga lebih besar. BPS menganggap jumlah anggota keluarga yang besar sebagai penambahan beban keluarga sehingga akan meningkatkan rasio ketergantungan (dependency ratio), apalagi jika tidak diikuti dengan penambahan pendapatan keluarga. Usia kepala keluarga mempunyai kecenderungan terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga. Demikian pula dengan usia istri, karena usia kepala keluarga dan usia istri pada responden ini mempunyai koefisien korelasi yang tinggi. Namun berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Semakin dewasa usia seseorang maka pengalaman dan ketrampilan
54
yang dimiliki semakin matang sehingga produktivitas diperkirakan akan semakin meningkat sampai pada titik tertentu (puncak produktivitas). Peningkatan produktivitas akan diikuti dengan peningkatan pendapatan yang berdampak pada peningkatan aset keluarga. Aset akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia kepala keluarga sehingga diikuti pula dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Pendidikan merupakan salah satu aset utama yang dapat menentukan keberhasilan seseorang nantinya. Semakin tinggi tingkat pendidikan baik kepala keluarga maupun istri mempunyai kecenderungan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pendidikan merupakan dasar keberhasilan dan kesuksesan (Kiyosaki 2004). Aset keluarga merupakan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga baik dari hasil warisan keluarga maupun dari hasil kerja keras sendiri. Semakin banyak aset yang dimiliki keluarga maka peluang sejahtera semakin meningkat dengan koefisien regresi 0,106. Aset keluarga salah satunya diperoleh dari akumulasi pendapatan keluarga yang disisihkan dari kegiatan konsumsi. Pendapatan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi berpeluang lebih sejahtera 1,008 kali dibanding dengan keluarga yang berpendapatan rendah. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan berdasarkan Indikator Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Seperti BPS, indikator BKKBN menyatakan bahwa jumlah pekerjaan tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Lokasi tempat tinggal keluarga di Desa Ciseeng mempunyai kecenderungan lebih sejahtera dibandingkan keluarga yang tinggal di Desa Parigi Mekar. Hal ini disebabkan Ciseeng lebih dekat dengan pusat kecamatan, sehingga akses untuk pemenuhan terhadap berbagai pelayanan umum seperti kesehatan, peribadatan dan lainnya lebh dekat. Beberapa indikator BKKBN menggambarkan kemiskinan berdasarkan kemampuan untuk memenuhi akses transportasi dan pelayanan kesehatan seperti mantri, dokter atau puskesmas yang secara umum terletak di pusat kecamatan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga peluang sejahtera keluarga akan menjadi lebih kecil. Keluarga dengan jumlah anggota yang besar meningkatkan pengeluaran keluarga dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehingga dibutuhkan peningkatan pendapatan keluarga. Tanpa ada peningkatan pendapatan keluarga maka keluarga mempunyai potensi besar untuk masuk ke
55
dalam kategori keluarga miskin. Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kesejahteraan keluarga menurut indikator BKKBN. Keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi mempunyai peluang sejahtera 1,001 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai tingkat pendapatan lebih rendah. Lama pendidikan ibu menurut indikator BKKBN mempunyai pengaruh yang nyata (p<0.1) terhadap tingkat kesejahteraan. Hal ini disebabkan karena BKKBN menggunakan indikator jumlah dan frekuensi pangan keluarga dalam seminggu yang biasanya pemilihan menu keluarga ditentukan oleh ibu. Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kecenderungan sejahtera 1,243 kali dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendidikan ibu yang lebih rendah. Tabel 26 Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut BKKBN Indikator (0=Tidak sejahtera; 1=Sejahtera)
Variabel
β
Jumlah pekerjaan kepala keluarga (0=ganda, 1=tunggal) Lokasi (0=parigi mekar, 1= ciseeng) Jumlah anggota keluarga Usia kepala keluarga Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Aset keluarga Pendapatan
0,488
0,030 -0,255 0,000 0,043 0,218 0,000 0,001 R2 = 0,452 P value = 0,000
Sig.
Exp (B)
0,497
1,628
0,967 0,210 0,992 0,737 0,071* 0,940 0,010**
1,031 0,775 1,000 1,044 1,243 1,000 1,001
Ket : * p<0,10; **p<(0,05); ***p<(0,025)
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan berdasarkan Indikator Sosiometrik Semakin banyak pekerjaan kepala keluarga mempunyai kecenderungan meningkatkan
kesejahteraan
keluarga
berdasarkan
indikator
sosiometrik.
Namun, uji statistik menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan antara peranan jumlah pekerjaan terhadap kesejahteraan keluarga. Pekerjaan sampingan memberikan pendapatan tambahan bagi keluarga yang nantinya dapat meningkatkan kesejahteraannya.
56
Tabel 27 Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut Sosiometrik Indikator (0=Tidak sejahtera; 1=Sejahtera)
Variabel Jumlah pekerjaan kepala keluarga (0=ganda, 1=tunggal) Lokasi (0=parigi mekar, 1= ciseeng) Jumlah anggota keluarga Usia kepala keluarga Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Aset keluarga Pendapatan
β
Sig.
Exp (B)
-0,162
0,906
0,851
0,895 0,081* 0,796 0,183 0,359 0,414 0,074*
0,838 0,549 1,009 1,408 1,249 1,018 1,003
-0,177 -0,600 0,009 0,342 0,222 0,018 0,003 R2 = 0,504 P value = 0,008
Ket : * p<0,10; **p<(0,05); ***p<(0,025)
Indikator sosiometrik menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga dan pendapatan
mempunyai
pengaruh
yang
signifikan
terhadap
tingkat
kesejahteraan keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga akan menurunkan peluang sejahtera. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga semakin kecil akan berpeluang 1,82 kali lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga semakin besar. Lama pendidikan kepala keluarga dan istri yang semakin tinggi juga mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan meningkatkan ketrampilan dan kesempatan memperoleh pekerjaan yang baik. Hal ini dapat nerpengaruh pada peningkatan kesejahteraan keluarga. Meskipun indikator sosiometrik tidak melihat tingkat kesejahteraan berdasarkan pendapatan secara langsung, tetapi indikator sosiometrik ini melihat dari kemampuan keluarga untuk menjangkau beberapa aspek kebutuhannya. Sehingga secara tidak langsung pendapatan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap
tingkat
kesejahteraan
keluarganya.
Semakin
tinggi
pendapatan keluarga maka peluang sejahtera keluarga akan lebih besar. Usia kepala keluarga, lama pendidikan kepala keluarga dan istri serta aset yang semakin tinggi cenderung meningkatkan peluang kesejahteraan.
57
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan berdasarkan Indikator Gabungan Jumlah pekerjaan kepala keluarga menurut indikator BPS, BKKBN dan indikator gabungan mempunyai nilai koefisien regresi positif, hal ini berarti bahwa pekerjaan tunggal yang dilakukan oleh kepala keluarga akan berpengaruh pada semakin peningkatan kesejahteraan keluarga. Hal ini dimungkinkan karena indikator ini menganggap bahwa dengan semakin banyaknya jumlah pekerjaan KK menyebabkan peran serta kepala keluarga terhadap aktivitas masyarakat rendah. Sehingga mempengaruhi pada pengkategorian tingkat kesejahteraan. Sedangkan menurut indikator sosiometrik justru sebaliknya, hal ini disebabkan karena pekerjaan tambahan kepala keluarga dianggap sebagai sarana untuk menambah pendapatan. Tabel 28 Faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga menurut Indikator Gabungan Indikator (0=Tidak sejahtera; 1=Sejahtera)
Variabel Jumlah pekerjaan kepala keluarga (0=ganda, 1=tunggal) Lokasi (0=parigi mekar, 1= ciseeng) Jumlah anggota keluarga Usia kepala keluarga Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Aset keluarga Pendapatan
β
Sig.
Exp (B)
3,674
0,241
39,391
-3,463 -1,193 0,005 0,553 0,127 0,071 0,006 R2 = 0,758 P value = 0.000
0,246 0,060* 0,916 0,221 0,688 0,165 0,022**
0,031 0,303 1,005 1,739 1,135 1,073 1,006
Ket : * p<0,10; **p<(0,05); ***p<(0,025)
Lokasi tempat tinggal di Desa Parigi Mekar menurut indikator BPS, sosiometrik dan indikator gabungan berpengaruh terhadap peningkatan tingkat kesejahteraan responden hal ini dikarenakan di desa tersebut terdapat sumberdaya alam yang berupa empang (kolam) untuk kegiatan budidaya ikan. Sedangkan menurut indikator BKKBN justru sebaliknya, dengan adanya kolam akan membuat penduduk sekitar hanya bergantung kepada sumberdaya alam yang ada saja dan tidak berusaha untuk lebih maju lagi. Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak berpengaruh secara signifikan (p<0,1) kepada semakin rendahnya tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BPS, Sosiometrik dan indikator gabungan dengan odds ratio masingmasing 0,169, 0,549, dan 0,303. Hal ini berarti bahwa peluang sejahtera pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga kecil berdasarkan indikator BPS
58
adalah 5,9 kali lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang lebih besar. Menurut indikator Sosiometrik nilai peluang ini adalah sebesar 1,8 kali dan sebesar 3,3 kali berdasarkan indikator gabungan. Menurut BKKBN pengaruh ini tidak signifikan tetapi terdapat kecenderungan ke arah yang sama bahwa besarnya jumlah anggota keluarga mengakibatkan meningkatnya beban yang harus ditanggung oleh keluarga dalam pemenuhan kebutuhannya. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga besar lebih rentan menjadi miskin dibanding dengan keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga sedikit. Hal ini disebabkan keluarga besar membutuhkan pendapatan yang lebih banyak sejalan dengan peningkatan ukuran keluarga (Zastrow 2000). Untuk itu pemerintah mencanangkan program keluarga berencana dimana satu keluarga terdiri dari dua anak saja. Hal ini berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Pertumbuhan penduduk saat ini masih berada pada laju 1,3% per tahun, angka ini masih perlu diturunkan lagi menjadi 1,1% pertahun (Nazara 2007). Masih tingginya laju pertumbuhan penduduk ini mengimplikasikan bahwa program keluarga berencana belum memenuhi sasaran. Semakin tinggi usia kepala keluarga mempunyai kecenderungan ikut meningkatkan kesejahteraan meskipun kontribusinya sangat kecil terutama menurut indikator BKKBN. Usia kepala keluarga yang semakin dewasa meningkatkan ketrampilan dan pengalaman kerja yang telah diperolehnya. Lama pendidikan kepala keluarga dan istri yang semakin tinggi juga menentukan semakin tingginya tingkat kesejahteraan keluarga berdasarkan keempat kriteria indikator. Semakin tinggi tingkat pendidikan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan status ekonomi keluarga. Lama pendidikan ibu berpengaruh nyata (p<0,1) terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga menurut BKKBN dengan odds ratio 1,243. Menurut BKKBN ibu biasanya mempunyai peran utama dalam menentukan konsumsi serta produktivitas keluarga. Secara lengkap koefisien regresi disajikan pada Tabel 29 berikut.
59
Tabel 29 Koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga terhadap tingkat kesejahteraan berdasarkan indikator BPS, BKKBN, Sosiometrik dan Gabungan Variabel Jumlah pekerjaan kepala keluarga (0=tunggal, 1=ganda) Lokasi (0=parigi mekar, 1= ciseeng) Jumlah anggota keluarga Usia kepala keluarga Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan ibu Aset keluarga Pendapatan Konstanta R2 P value
BPS 5,576
BKKBN 0,488
Sosiometrik -0,162
Gabungan 3,674
-4,459
0,030
-0,177
-3,463
-1,776* 0,141 0,890
-0,255 0,000 0,043
-0,600* 0,009 0,342
-1,193* 0,005 0,553
0,516 0,106 0,008** -14,736 0,800 0,000
0,218* 0,000 0,001*** -2,576 0,452 0,000
0,222 0,018 0,003* -1,941 0,504 0,008
0,127 0,071 0,006*** -4,819 0,758 0,000
Ket : * p<0,10; **p<(0,05); ***p<(0,025)
Menurut Williamson et,al (1975) dalam Zastrow (2000) resiko kemiskinan menurun
dengan
meningkatnya
tingkat
pendidikan.
Pencapaian
tingkat
pendidikan kurang dari sembilan tahun merupakan suatu alat prediksi kemiskinan yang baik. Meskipun sekolah lanjut bukan jaminan bahwa seseorang akan memperoleh upah yagn cukup untuk menghindar dari kemiskinan, tetapi secara umum tidak ada lulusan perguruan tinggi yang hidup dalam kondisi kemiskinan (Zastrow 2000). Aset keluarga dan pendapatan yang semakin tinggi berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan keluarga. Pendapatan yang tinggi memungkinkan semua kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Aset yang tinggi dapat digunakan untuk
pemenuhan
kebutuhan
keluarga
yang
tak
terduga
atau
sudah
direncanakan dalam jangka panjang. Pendapatan berpengaruh nyata pada taraf p<0.025 menurut indikator BKKBN dan indikator gabungan dengan odd ratio 1,001 dan 1,006, tetapi berdasarkan indikator BPS p<0.05 dan berdasarkan indikator Sosiometrik pendapatan berpengaruh nyata pada taraf p<0.1 saja. Strategi Peningkatan Kesejahteraan Penghapusan kemiskinan telah lama menjadi salah satu prioritas utama dari
strategi
pembangunan
di
Indonesia.
Strategi
ini
diarahkan
untuk
memperbaiki pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dari seluruh penduduk, baik dari aspek kebutuhan pangan, papan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Strategi penanggulangan kemiskinan terdiri atas strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Sebelum merumuskan suatu strategi peningkatan
60
kesejahteraan hal yang perlu diperhatikan adalah targeting yang tepat. Targeting ini dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja yang akan menjadi sasaran dari strategi ini nantinya. Penentuan sasaran harus jelas cara dan penggunaan indikatornya. Dimensi permasalahan kemiskinan sangat luas sehingga dibutuhkan suatu kebijakan menyeluruh serta terukur pencapaiannya. Mengatasi masalah kemiskinan pada akhirnya tidak hanya soal mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin, melainkan lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan
penduduk
miskin.
Penanggulangan
kemiskinan
harus
dilaksanakan secara menyeluruh, menyangkut multi-sektor, multi-pelaku, dan multi-waktu (BAPPENAS 2007). Berdasarkan
hasil
regresi
logistik
terhadap
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat kesejahteraan responden, indikator BPS, BKKBN dan Sosiometrik menyatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh nyata dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Seseorang dengan pendapatan yang lebih tinggi mempunyai kemungkinan sejahtera yang lebih besar. Pendapatan diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan. Pendapatan merupakan akses utama untuk memperoleh uang yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup baik pangan maupun non pangan. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana untuk memperoleh tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan yang tinggi diperoleh dari pekerjaan yang produktif dan bernilai tinggi. Pekerjaan yang seperti itu membutuhkan kemampuan dan skill yang tinggi pula. Kemiskinan merupakan sebuah mata rantai yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Keterbatasan pada satu kondisi akan menyebabkan terjadinya keterbatasan lain dan seterusnya. Penduduk miskin dengan pekerjaan yang kurang menjanjikan akibat kemampuan dan skill yang kurang akan menghasilkan pendapatan dengan tingkat yang rendah pula. Pendapatan yang rendah akan menyebabkan keterbatasan akses pada aspek lainnya seperti tergambar pada siklus kemiskinan (Gambar 3), sehingga dibutuhkan suatu upaya untuk memotong rantai kemiskinan. Strategi jangka pendek untuk meningkatkan pendapatan keluarga adalah dengan memberikan bantuan langsung kepada keluarga dalam bentuk dana segar. Pemerintah pernah melakukan program jangka pendek ini dengan pemberian bantuan yang disebut dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
61
Strategi ini kurang dapat meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan, disebabkan penerima bantuan justru akan merasa tidak perlu untuk bekerja lebih keras lagi dalam meningkatkan pendapatan keluarganya karena sudah mendapat bantuan pemerintah. Padahal harapan pemerintah dengan pemberian subsidi ini diharapkan terjadi peningkatan motivasi dan kreativitas kerja. Menurut Yusuf (2006) program pemberian BLT tidak efektif untuk meredam kemiskinan. salah satu alasan yang menyebabkan rendahnya efektivitas BLT ini adalah jumlahnya yang terlalu seragam padahal orang miskin perkotaan lebih rentan dibandingkan kemiskinan di pedesaan. Untuk itu diperlukan strategi lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan. Kesehatan dan vitalitas rendah
Kurangnya motivasi Pendidikan rendah
Kurang makanan bergizi
Ketrampilan rendah
Uang sedikit
Kurangnya kesempatan
Sumber daya manusia rendah
Pekerjaan tingkat rendah
Kualitas perumahan dan jasa pemerintah rendah Kurangnya harapan dan aspirasi
Pendapatan rendah
Gambar 3 Siklus kemiskinan
Setelah program BLT dianggap tidak efektif, pemerintah meluncurkan suatu program baru yang dikenal dengan nama Program Keluarga Harapan (PKH) atau yang biasa dikenal dengan Bantuan Tunai Bersyarat (BTB) atau Conditional Cash Transfer (CCT). Program Keluarga Harapan merupakan sebuah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Keluarga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah
ditetapkan.
pengeluaran
Program
keluarga
ini
keluarga
bertujuan sangat
membantu miskin
mengurangi
dalam
jangka
beban pendek.
Menurut Depkominfo (2008), PKH bukan kelanjutan dari BLT. PKH lebih dimaksudkan kepada upaya membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat miskin. Pelaksanaan di Indonesia diharapakan akan membantu
62
penduduk termiskin, bagian masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan dari siapapun juga. Pelaksanaan PKH secara berkesinambungan setidaknya hingga tahun 2015 akan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs). Data BPS 2007 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,7 juta atau 16,58% dari total penduduk. Melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dan berbagai program penanggulangan kemiskinan lainnya, diharapkan angka kemiskinan pada akhir 2009 dapat diturunkan menjadi 18,8 juta atau 8,2% dari total penduduk. Tujuan umum PKH adalah untuk meningkatkan jangkauan atau aksesibilitas
masyarakat
tidak
mampu
terhadap
pelayanan,
khususnya
pendidikan dan kesehatan. Untuk jangka pendek, melalui pemberian bantuan tunai kepada RTSM, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Untuk jangka panjang, melalui kewajiban yang ditentukan, diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku terhadap perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil serta tingkat pendidikan RTSM tersebut sehingga rantai kemiskinan keluarga tersebut dapat diputus. Depkominfo juga menyatakan bahwa dengan program PKH secara tidak langsung lima tujuan MDGs dapat tercapai yaitu (1) Pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, (2) Pendidikan Dasar, (3) Kesetaraan Gender, (4) Pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan (5) Pengurangan kematian ibu melahirkan. Peserta program PKH mempunyai berbagai kewajiban yang harus dijalankan. Kewajiban (conditionalities) yang harus dilaksanakan oleh keluarga sangat miskin peserta PKH terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Kewajiban berkaitan dengan upaya peningkatan status kesehatan Ibu hamil dan anak, serta tingkat pendidikan anak dari keluarga keluarga sangat miskin. Kewajiban yang harus dilaksanakan peserta program PKH adalah: 1. Bagi ibu keluarga sangat miskin yang dalam keadaan hamil pada waktu pendaftaran, diwajibkan untuk datang ke puskesmas dan mengikuti pelayanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil sesuai dengan protokol Departemen Kesehatan 2. Bagi keluarga sangat miskin yang mempunyai anak usia 0-6 tahun, wajib membawa anaknya ke puskesmas untuk mengikuti pelayanan kesehatan anak sesuai protokol Departemen Kesehatan
63
3. Bagi mereka yang mempunyai anak usia sekolah 7-15 tahun, wajib mengikuti pendidikan dengan jumlah kehadiran minimal 85% serta memperoleh pelayanan pendidikan sesuai dengan protokol Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Efektivitas Program Keluarga Harapan dapat dicapai dengan sistem manajemen yang baik. Penentuan sasaran program secara tepat menjadi salah satu kunci kesuksesan program. Penggunaan indikator dalam targeting harus disamakan untuk menyeragamkan persepsi kemiskinan/sasaran program pada seluruh pihak yang berkaitan. Supaya pelaksanaan program dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dibutuhkan staf khusus yang bertanggung jawab dalam pengawasan/pemantauan pelaksanaan program. Peserta program harus
benar-benar
memenuhi
persyaratan
yang
diajukan
untuk
dapat
memperoleh bantuan. Jika persyaratan tidak dapat dipenuhi maka bantuan dapat dihentikan. Hal ini sebagai langkah untuk menyukseskan program sesuai dengan rencana yang telah disusun pada awal program. Penentuan sasaran keluarga miskin dapat dipermudah dengan melihat jumlah anggota keluarga dan pendapatan secara langsung. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan keluarga. Cut off point untuk melihat kemiskinan di Desa Ciseeng dan Desa Parigi Mekar dilihat berdasarkan maksimal jumlah anggota keluarga pada tingkat pendapatan tertentu dan tingkat pendapatan keluarga dengan jumlah anggota keluarga tertentu. Tabel 30 Cut off point pendapatan berdasarkan jumlah anggota keluarga Lokasi
Desa Ciseeng
Desa Parigi Mekar
Jumlah anggota keluarga (orang) 2 3 4 5 6 7 8 2 3 4 5 6 7 8
Cut off pendapatan (Rp) 430.256 629.089 827.922 1.026.755 1.225.588 1.424.421 1.623.254 146.424 345.254 544.084 742.914 941.744 1.140.574 1.339.404
64
Cut off pendapatan pada Desa Ciseeng berbeda dengan Desa Parigi Mekar, karena lokasi keluarga mempengaruhi sumber daya alam yang terdapat pada keluarga tersebut. Keluarga dengan jumlah anggota dua orang di Desa Ciseeng
minimal
harus
mempunyai
pendapatan
sebesar
Rp.
430.256
(selengkapnya disajikan dalam Tabel 30). Keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga dua orang dengan tingkat pendapatan dibawah cut off, dikategorikan keluarga miskin sehingga layak untuk diberi intervensi program pengentasan kemiskinan. Penambahan jumlah anggota keluarga diikuti dengan peningkatan jumlah pendapatan keluarga minimal untuk hidup sejahtera, tetapi proporsi pendapatan per kapita untuk setiap peningkatan jumlah anggota keluarga akan menjadi semakin lebih kecil. Hal ini dikarenakan dengan penambahan jumlah anggota keluarga dua kali misalnya tidak langsung sematamata menggandakan cut off point, standar hidup untuk dua orang akan berbeda dengan standar hidup untuk tiga orang dalam keluarga. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga dua orang di Desa Parigi Mekar minimal harus mempunyai pendapatan keluarga sebesar Rp.146.424. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan cut off point di Desa Ciseeng, hal ini disebabkan oleh terdapatnya sumberdaya alam di Desa Parigi Mekar, sehingga dengan tingkat pendapatan yang lebih kecil keluarga dapat memenuhi kebutuhannya dari sumberdaya alam (misalnya dengan konsumsi ikan dari danau). Akan tetapi dengan semakin meningkatnya jumlah anggota keluarga, proporsi pendapatan per kapita akan semakin besar dikarenakan jumlah sumberdaya alam terbatas sehingga dibutuhkan pendapatan tambahan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Penentuan cut off
kemiskinan juga dapat
dilihat berdasarkan jumlah anggota keluarga seharusnya pada tingkatan pendapatan tertentu. Cut off selengkapnya disajikan dalam Tabel 31. Tabel 31 Cut off point jumlah anggota keluarga berdasarkan tingkat pendapatan Lokasi Desa Ciseeng Desa Parigi Mekar
Pendapatan Keluarga (Rp) 600.000 1.250.000 2.000.000 600.000 1.250.000 2.000.000
Cut off Jumlah anggota keluarga (orang) 2 6 9 4 7 11
Berdasarkan Tabel 31 dapat dilihat bahwa keluarga dengan tingkat pendapatan Rp.600.000 di Desa Ciseeng dikatakan sejahtera dengan jumlah
65
anggota keluarga dua orang. Apabila dengan tingkat pendapatan tersebut jumlah anggota keluarga lebih dari satu maka keluarga dapat dijadikan sebagai sasaran intervensi. Hal ini berarti Upah Minimum Regional (UMR) yang sebesar Rp. 516.840,. untuk Kabupaten Bogor hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan dua orang saja di Desa Ciseeng. Selain itu garis kemiskinan yang digunakan BPS untuk mengidentifikasi keluarga miskin (Rp.183.067/kapita/bulan) terlalu rendah untuk digunakan sebagai cut off point kemiskinan. Keluarga dengan tingkat pendapatan Rp.600.000 di Desa Parigi Mekar dapat menanggung beban jumlah anggota keluarga yang lebih besar (4 orang), hal ini dapat disebabkan seperti alasan diatas bahwa sumber daya alam di Parigi dapat mendukung dalam pemenuhan kebutuhan keluarga sehingga hanya sedikit diperlukan tambahan pendapatan untuk dapat sejahtera. Akan tetapi dengan semakin banyak jumlah anggota keluarga diperlukan proporsi penambahan pendapatan yang lebih besar. Penentuan cut off atau garis kemiskinan antar lokasi sasaran perlu diperhatikan. Karena garis kemiskinan antar lokasi satu dengan lainnya tidak bisa disamaratakan begitu saja. Perlu diperhatikan beberapa potensi daerah masingmasing yang dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga baik pangan maupun non pangan. Selain dengan targeting yang tepat dan akurat Program Keluarga Harapan dapat mencapai tujuan jika terdapat kerjasama dan koordinasi antar departemen dan pihak terkait baik pusat maupun daerah (Alatas 2007). Selain itu dalam prakteknya PKH harus mampu secara jelas mengidentifikasi siapa penerima program, target yang ingin dicapai, seberapa besar nilai transfer, sehingga ketika diimplementasikan, program ini secara langsung mendorong koordinasi di antara institusi pemerintah yang menguasai perencanaan pada umumnya, sektor kesehatan dan pendidikan (Nazara 2007). Program seperti ini telah dilakukan dan sukses di negara lain yaitu Meksiko dan beberapa negara Amerika Latin lainnya. Permasalahan yang sering timbul dalam program pemberdayaan masyarakat adalah ketergantungan terhadap program pemerintah. Program bantuan tunai seperti PKH ini haruslah mempunyai batasan yang jelas. Harus terdapat suatu sistem yang dapat mengakhiri kepesertaan suatu keluarga dalam PKH
jika
keluarga
tersebut
sudah
dianggap
keluar
dari
kemiskinan.
Ketergantungan pada program pemerintah dapat dihindari dengan dua hal,
66
pertama bahwa besarnya bantuan harus minimal, sehingga tidak memberikan insentif bagi kelompok non miskin untuk mengambilnya dengan keharusan mengikuti seluruh persyaratan yang diberikan. Kedua adalah karakteristik keluarga yang menjadi penerima bantuan haruslah benar-benar miskin, sehingga memungkinkan adanya keluarga yang keluar dari kelompok tersebut (Nazara 2007). PKH kemiskinan
merupakan di
Indonesia.
langkah
awal
Program
ini
yang
baik
dalam
mempunyai
nilai
pengentasan tambah
yaitu
pemberdayaan masyarakat. Peserta tidak hanya memperoleh bantuan berupa uang tunai tetapi peserta juga diberdayakan untuk meningkatkan kualitasnya sehingga nantinya dalam jangka panjang dapat keluar dari lingkaran kemiskinan dengan usaha sendiri. Selain itu PKH juga memperhatikan kepada keluarga muda yang kurang mampu serta anak-anak mereka yang masih bersekolah sehingga upaya penanggulangan kemiskinan lebih mencapai sasaran secara utuh. Peluncuran Program Keluarga Harapan ini dapat lebih mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan secara lebih efektif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan merupakan instrumen yang mempunyai potensi besar dalam upaya menurunkan perbedaan pendapatan dan meningkatkan produktivitas serta memberikan pendapatan kepada golongan ekonomi bawah (Radwan 1995). Radwan juga menegaskan bahwa peningkatan kemampuan baca tulis dan pendidikan dasar meningkatkan kemampuan ekonomi bawah dalam beberapa jalan. Menurut ekonomi pedesaan, perbaikan pendidikan telah menunjukkan peningkatan produktivitas dalam pertanian pedesaan
karena
petani
yang
berpendidikan
lebih
mempunyai
rasa
keingintahuan yang tinggi akan teknik produksi dan inovasi baru. Secara umum pendidikan juga meningkatkan kemampuan petani untuk merespon aktivitas pertanian dan non pertanian. Berdasarkan ekonomi perkotaan perbaikan akses ke pendidikan lebih lanjut dan pelatihan merupakan kunci bagi penduduk miskin untuk keluar dari rantai kemiskinan menuju ketrampilan yang lebih tinggi dan pendapatan yang lebih baik. Akses menuju pendidikan lebih lanjut dan ketrampilan yang tinggi juga membutuhkan suatu pengorbanan. Penduduk miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah akan mengalami kesulitan untuk mengakses biaya pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rata-rata
67
lama pendidikan kepala keluarga responden hanya 7,5 tahun, hal ini menunjukkan bahwa program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah selama 9 tahun tidak dapat dilaksanakan. Rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga responden ini disebabkan oleh akses yang rendah terhadap pendidikan lanjut. Berdasarkan Laporan Pencapaian MDGs, Jawa Barat menjadi satusatunya wilayah di Pulau Jawa yang pencapaian Angka Partisipasi Murni (APM) SMP/MTs-nya rendah pada 2006 yaitu sebesar 62,1% di bawah rata-rata APM nasional 65,2%. Akses yang rendah terhadap pendidikan lanjut ini dapat berpengaruh terhadap minat untuk mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Rendahnya minat ini dapat disebabkan oleh ketidakberanian untuk berharap yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan beberapa anak dari responden ternyata tidak berkeinginan untuk melanjutkan bangku sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka lebih memilih untuk berhenti setelah lulus bahkan ada yang tidak lulus dari jenjang Sekolah Menengah Pertama. Anak-anak tersebut lebih memilih untuk membantu usaha orang tuanya di lahan masing-masing. Orang tua mereka juga tidak memaksakan mereka untuk melanjutkan sekolahnya, justru sedikit bersenang hati karena sedikit mengurangi pengeluaran untuk pendidikan. Akses yang rendah diikuti dengan minat yang rendah ini merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan yang multidimensional Rendahnya akses dan minat terhadap pendidikan lanjut ini harus dapat diberantas. Perlu suatu strategi untuk meningkatkan minat dan akses masyarakat terhadap
pendidikan
tinggi.
Upaya
perbaikan
akses
diperlukan
untuk
meningkatkan keterjangkauan pendidikan lanjut. Perbaikan akses meliputi akses keluarga untuk memenuhi biaya pendidikan lanjut yang lebih mahal serta akses menuju tempat pendidikan itu sendiri. Ketersediaan sekolah lanjut pada tingkat desa juga harus ditingkatkan, sarana transportasi menuju tempat pendidikan juga harus diperbaiki. Pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dari masyarakat miksin merupakan salah satu cara untuk meningkatkan akses dan minat terhadap pendidikan. Pendidikan lanjut yang gratis merupakan salah satu strategi peningkatan aksesibilitas penduduk miskin terhadap pendidikan lanjut. Program pemerintah dalam bidang pendidikan dengan pemberian dana bantuan BOS (Biaya Operasional Sekolah) merupakan langkah awal yang baik sebagai strategi untuk meningkatkan akses dan minat masyarakat terhadap pendidikan.
68
Penyediaan BOS buku untuk jenjang pendidikan dasar dimulai sejak tahun 2006. Pemenuhan buku pelajaran dilakukan secara bertahap. BOS buku ini secara tidak langsung mengurangi beban orangtua untuk menyekolahkan anak dan lebih lanjut diharapkan dapat menurunkan angka putus sekolah dan meningkatkan partisipasi sekolah. Strategi yang diperlukan untuk meningkatkan minat adalah dengan peningkatan motivasi generasi mudanya untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pembentukan perkumpulan antara generasi muda sangat diajurkan untuk saling berbagi informasi dan inovasi baru baik dalam bidang khusus maupun umum. Kurangnya motivasi ini kemungkinan disebabkan oleh angka kesakitan yang tinggi, dimana hampir separuh dari keluarga responden pernah menderita sakit dalam sebulan terakhir. Dibutuhkan makanan yang bergizi untuk
meningkatkan vitalitas dan tingkat kesehatan masyarakat.
Keluarga dengan tingkat pendapatan rendah akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan asupan gizi seimbang sehingga bantuan dari pemerintah dibutuhkan sebagai strategi jangka pendek. Program peningkatan kesejahteraan harus melibatkan kerjasama antara pemberi dan penerima bantuan demi kesuksesan program bersama dan dalam mewujudkan tujuan Millenium Development Goals.
69
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian lebih dari separuh responden mempunyai jumlah anggota keluarga lebih besar dari empat (keluarga sedang). Proporsi terbesar (42,9%) dari responden berusia kurang dari 35 tahun. Pendidikan responden baik kepala keluarga maupun istri sebagian besar hanya berada pada tingkat pendidikan dasar. Sebanyak 44,3% kepala keluarga responden mempunyai pekerjaan sampingan. Perbedaan yang signifikan terdapat pada karakteristik keluarga responden yang berupa aset total keluarga. Keluarga pembudidaya
ikan
cenderung
mempunyai
aset
yang
lebih
besar
dibandingkan keluarga nonpembudidaya ikan. 2. Tingkat kesejahteraan pembudidaya ikan cenderung lebih tinggi dbandingkan dengan keluarga nonpembudidaya. Berdasarkan indikator BPS hanya 2,5% keluarga pembudidaya yang miskin. Indikator BKKBN menyatakan bahwa sebanyak 51,4% responden dinyatakan sejahtera. Berdasarkan indikator Sosiometrik sebagian besar responden dinyatakan sejahtera. Indeks sensitivitas indikator BKKBN cukup tinggi yaitu 77,8, sedangkan indeks spesitivitasnya hanya 55,7. Indeks sensitivitas dan spesitivitas indikator Sosiometrik cenderung lebih tinggi yaitu 66,7 dan 96,7. 3. Indikator BPS dan Sosiometrik menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang semakin kecil berpeluang sejahtera 5,9 kali dan 1,8 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jumlah anggota keluarga yang lebih besar berdasarkan indikator BPS dan Sosiometrik. Lama pendidikan ibu berpengaruh nyata menurut indikator BKKBN. Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh yang nyata berdasarkan ketiga indikator. Semakin besar tingkat pendapatan keluarga akan semakin meningkatkan peluang kesejahteraan keluarga. 4. Pendapatan merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan. Usaha peningkatan kesejahteraan dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan pemberian bantuan langsung. Efektivititas upaya ini dapat dicapai dengan adanya persyaratan tertentu bagi keluarga penerima bantuan. Hal ini sebagai upaya pencegahan kesalahan dalam pemakaian dana bantuan. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan
70
merupakan instrumen yang mempunyai potensi besar dalam upaya menurunkan perbedaan pendapatan dan meningkatkan produktivitas serta memberikan pendapatan kepada golongan ekonomi bawah dalam jangka panjang. Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu upaya yang berpotensi sebagai pemotong rantai kemiskinan. peningkatan akses dan minat penduduk miskin terhadap pendidikan lanjut merupakan salah satu upaya jangka penjang untuk memotong rantai kemiskinan. Penentuan garis kemiskinan dalam targeting harus diperhatikan untuk kesuksesan program pengentasan kemiskinan.
Saran Penggunaan indikator dalam menetapkan sasaran untuk strategi pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan mempunyai peranan yang sangat penting. Kesalahan dalam menentukan kondisi aktual akan menyebabkan salah sasaran dan tidak suksesnya program pemberantasan kemiskinan. Untuk itu diperlukan suatu indikator yang mudah, cepat dan akurat untuk dapat melakukan targeting dengan baik. Besarnya cut off/garis kemiskinan antara wilayah satu dengan yang lain berbeda karena potensi masing-masing daerah dalam membantu pemenuhan kebutuhan keluarga di luar pendapatan juga berbeda. Sehingga dalam penentuan standar kemiskinan antara wilayah satu dengan yang lain
juga harus memperhatikan hal-hal lain yang dapat
membantu pemenuhan kebutuhan keluarga misalnya sumberdaya alam. Rendahnya permasalahan
spesitifitas
sosial
dalam
indikator
BKKBN
masyarakat,
dapat
khususnya
menjadi
suatu
dalam
upaya
pemberantasan kemiskinan. Kesalahan dalam mendeteksi penduduk yang benar-benar miskin akan menyebabkan kesalahan sasaran program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Data kemiskinan secara nasional menggunakan kriteria BPS, tetapi pada tingkat desa pendataan menggunakan indikator BKKBN dari data PLKB. Indikator sosiometrik merupakan salah satu alternatif untuk penentuan keluarga miskin dikarenakan nilai sensitivitas dan spesitivitasnya yang cukup tinggi berdasarkan benchmark indikator BPS. Penggunaan indikator sosiometrik dalam pelaksanaan selanjutnya diperlukan
suatu acuan frekuensi yang jelas
pada beberapa aspek pertanyaan yang digunakan untuk lebih menyamakan persepsi dan memperoleh hasil yang lebih akurat.
71
Peningkatan jumlah anggota keluarga dapat menurunkan kemampuan keluarga untuk sejahtera. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia yang masih tinggi mengimplikasikan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Sehingga program Keluarga Berencana perlu digalakkan lagi untuk meredam laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan menuju keluarga sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA Alderman, H. dan Garcia, M. 1993. Poverty, Household, Food Security, and Nutrition in Rural Pakistan. Research Report 96. Washington D,C.: International Food Policy Research Institute. Anonymous. 2007. Memahami kemiskinan. www.google.com. [27 September 2007].
[terhubung
berkala].
BAPPENAS. 2007. Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. BPS. 2005. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ____. 2007a. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006. Buku 2: Kabupaten. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ____. 2007b. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor: Biro Pusat Statistik Kabupaten Bogor. ____, 2007c. Statistik Indonesia. Statistical Yearbook of Indonesia 2007. Jakarta: Biro Pusat Statistik. ____. 2007d. Tingkat kemiskinan di Indonesia 2007. Berita Resmi Statistik. No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007. [terhubung berkala]. www.bps.go.id [27 September 2007]. BKKBN. 2003. Menyusuri Liku-Liku Pendataan Keluarga : Apa dan Bagaimana?. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Cahyat, A. 2004. Bagaimana kemiskinan diukur? Berbagai model Penghitungan Kemiskinan Indonesia di Indonesia. [terhubung berkala]. Governance Brief edisi November. No.2 www.cifor.com. [27 September 2007]. Depkominfo. 2008. Program Keluarga Harapan. http://www.depkominfo.go.id. [23 April 2008]
[terhubung
berkala].
Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Jakarta: Penebar Swadaya. Eidman, R. Johan Basmi. A.M.Hanafiah. 1974. Ekonomi Perikanan. Bogor:IPB Press. Fitzsimmons, C. dan Williams,F. 1973. The Family Economi. Nature and Management of Resources. Michigan.USA: Edward Brother Inc. Hatta, M. 2007. MDGs upaya untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyat. [terhubung berkala]. http://www.menkokesra.go.id. [27 September 2007].
73
Ibrahim, H. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Lembata, NTT. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Irawan, P.B. 2000. Analisis sensitivitas pada pengukuran kemiskinan. Fenomena kemiskinan sementara selama krisis ekonomi di Indonesia. Di dalam Seta, A.K et al. Editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Tanggal 29 Februari-2 Maret 2000. Hal 243-258. Jakarta: LIPI. _________ dan Romdiati,H. 2000. Dampak krisis ekonomi dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Di dalam Seta, A.K et al. Editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Tanggal 29 Februari-2 Maret 2000. Hal 193-244. Jakarta: LIPI. Iskandar, A. 2007. Analisis Kesejahteraan dan Manajemen Sumberdaya Keluarga di Kota dan Kabupaten Bogor. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Islam, I. 2002. Formulating a Strategic Approach to Poverty Reduction. From global framework to an Indonesian Agenda. Jakarta: United Nation Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR). Khomsan, A. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kiyosaki, R.T. 2004. Rich Dad, Poor Dad. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Krisnamurthi, B. 2006. Penanggulangan dan Pengurangan Kemiskinan. Di dalam Yoyoh Indaryanti. editor. 22 Tahun Studi Pembangunan. Pengurangan Kemiskinan, Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian (hlm 172201). Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB. Laila, N. 2006. MDGs dan Masalah Kemiskinan di Indonesia. Pascasarjana FKM Universitas Indonesia. [terhubung berkala]. htpp://www.google.com. [27 September 2007. Marzali, A. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nazara, S. 2007. Bantuan Tunai Bersayarat (Conditional Cash Transfer/CCT) bagi Upaya Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Warta Demografi. Tahun 37. No.3, 2007. ______, 2007. Isu-isu Terkini Kependudukan Juli-September 2007. Jakarta: Warta Demografi. Tahun 37. No.3, 2007. Papalia, D.E dan Olds,S.W. 1981. Human Development. Second edition. New York: Mc.Graw-Hill Book Company.
74
Puspitawati, H. 2007. The Relationship between Family System and Economic System. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Radwan, S.1995. Challenges and Scope for an Employment Intensive Growth Strategy. Di dalam: Von Braun J, editor. Employment for Poverty Reduction and Food Security. Washington D.C: International Food Policy Research Institute. Raharto, A.& Romdiati, H. 2000. Identifikasi Rumahtangga Miskin. Di dalam Seta, A.K et al. Editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Tanggal 29 Februari-2 Maret 2000. Hal 259-284. Jakarta: LIPI. Ritonga, H. 2006. Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?.[terhubung berkala]. http://www.duniaesai.com. [27 September 2007. Rusmana. 2006. Kajian Indeks BPS tentang Kemiskinan. www.depsos.com. [27 September 2007. Sawidak, M.A. 1985. Analisa tingkat kesejahteraan ekonomi petani transmigran di delta Kupang propinsi Sumatra Selatan.[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sudaryanto, T & Rusastra W. 2006. Kebijakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian 25(4). 115-122. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kemiskinan. Sumardjan, S., Alfian, Tea, M.G. 1984. Kemiskinan Struktural. Suatu Bunga Rampai. Cetakan 2. Jakarta: PT. Sangkala Pulsar. Sumardjo. 2006. Kilas balik. kiprah PSP IPB dalam pembangunan di Indonesia. Di dalam Yoyoh Indaryanti. editor. 22 Tahun Studi Pembangunan.Pengurangan Kemiskinan, Pembangunan Agribisnis dan Revitalisasi Pertanian (hlm 103-133). Bogor: Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan-LPPM IPB. Sumarwan, U. 2004. Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sumodiningrat,G.,Santosa, B.,Maiwan,M. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit IMPAC. Suryahadi, A. dan Sumarto, S. 2003. Poverty and vulnerability in Indonesia before and after the economy crisis. Asian Economic Journal. Vol 17. number 1, March 2003. Blackwell Publishing. Suyono, H. 2003. Memotong Rantai Kemiskinan. Jakarta: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri.
75
Syarief, H. & Hartoyo. 1993. Beberapa Aspek dalam Ketahanan Keluarga. Seminar Keluarga Menyongsong Abad 21 dan Peranannya dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB dan BKKBN. Bogor: Institut Pertanian Bogor. UNDP. 2002. UN millenium development www.undp.org [27 September 2007]
goals.
[terhubung
berkala].
UNDP. 2006. Millenium Project. [terhubung berkala]. www.undp.org. [27 September 2007] Yusuf, A.A. 2006. Kemiskinan dan efektivitas BLT. Pusat data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial. [terhubung berkala]. http://www.pikiranrakyat.com/cetak.htm. [23 April 2008] Zastrow, C. 2000. Introduction to Social Work and Social Welfare. Seventh edition. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Zikrullah. 2007. Struktur ekonomi dan pengentasan kemiskinan. [terhubung berkala]. www.google.com. [9 Nopember 2007]
LAMPIRAN
77
Lampiran 1 Indikator Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kategori keluarga Pra sejahtera dan Keluarga Sejahtera I digolongkan ke dalam keluarga miskin. Pra-Sejahtera (PS) Keluarga yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai keluarga sejahtera I. Keluarga Sejahtera I (KS I) Keluarga yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Anggota keluarga menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber-KB dibawa ke sarana kesehatan. Keluarga Sejahtera II (KS II) Kecuali harus memenuhi syarat 1 samapi 5 maka harus pula memnuhi syaratsyarat 6 sampai 13 sebagai berikut : 6. Paling kurang seminggu menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk untuk makan keluarga. 7. Paling kurang mempunyai satu stel pakaian baru selama setahun terakhir. 8. Luas lantai rumah paling kurang 8m2 per orang. 9. Seluruh anggota keluarga kurang dari 60 tahin bisa membaca tulisan latin. 10. Seluruh anak 6-12 tahun sekolah pada saat ini. 11. Paling tidak terdapat satu anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas yang mempunyai pekerjaan tetap. 12. Seluruh anggota keluarga dalam keadaan sehat selama sebulan terakhir. 13. Seluruh anggota kleuarga melakukan ibadah secara teratur. Keluarga Sejahtera III (KS III) Memenuhi persyaratan nomor 1 sampai 13 dan syarat dibawah ini. 14. Anak hidup paling banyak 2 orang atau lebih, bila lebih dari 2 orang dan sekarang masih Pasangan usia subur menggunakan kontrasepsi. 15. Sebagian penghasilan digunakan untuk tabungan keluarga.
78
16. Keluarga ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. 17. Keluarga mengadakan rekreasi paling kurang dalam 3 bulan. 18. Memperoleh berita dari surat kabar/radio/majalah. 19. Seluruh anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi. 20. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. Keluarga Sejahtera III plus (KS III Plus) Keluarga yang memnuhi syarat-syarat 1 sampai 20 dan juga syarat-syarat dibawah ini: 21. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan secara sukarela pada kegiatan sosial kemasyarakatan. 22. Salah satu anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan.
Sumber : Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Kelurga Berencana Nasional 1997 dalam Raharto&Romdiati 2000.
79
Lampiran 2 Hasil uji beda t karakteristik sosial ekonomi keluarga responden Levene’s Test (Sig.)
Variable Jumlah anggota keluarga
Usia kepala keluarga
Usia istri
Lama pendidikan kepala keluarga Lama pendidikan istri
Pendapatan per kapita
Pendapatan keluarga
Pengeluaran per kapita
Pengeluaran keluarga
Pengeluaran pangan
Pengeluaran non pangan
Aset total
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
T test for equality of means t Sig. (2 tailed) -0.906
0.368
-0.872
0.387
-1.189
0.239
-1.155
0.253
-1.138
0.192
-1.270
0.210
0.020
0.984
0.019
0.985
1.535
0.130
1.569
0.121
1.455
0.150
1.528
0.131
1.130
0.262
1.123
0.266
1.533
0.130
1.453
0.153
0.727
0.470
0.676
0.503
0.284
0.777
0.256
0.800
1.119
0.267
1.154
0.253
2.595
0.012
2.912
0.005
0.305
0.109
0.103
0.321
0.215
0.231
0.579
0.479
0.348
0.091
0.230
0.001
80
Lampiran 3 sebaran responden berdasarkan delapan aspek indikator sosiometrik Aspek Kriteria Kelompok Kelompok non Total budidaya budidaya n % n % n % Sangat Ketahanan 22 55.0 14 46.7 36 51.4 baik pangan Baik 12 30.0 6 20.0 18 25.7 Kurang 5 12.5 7 23.3 12 17.1 Sangat 1 2.5 3 10.0 4 5.7 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Sangat Pendidikan 18 45.0 10 33.3 28 40.0 baik Baik 20 50.0 19 63.3 39 55.7 Kurang 2 5.0 1 3.3 3 4.3 Sangat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Sangat Pelayanan 38 95.0 24 80.0 62 88.6 baik kesehatan Baik 2 5.0 6 20.0 8 11.4 Kurang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sangat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Sangat Peralatan 16 40.0 13 43.3 29 41.4 baik rumah tangga Baik 13 32.5 7 23.3 20 28.6 Kurang 9 22.5 5 16.7 14 20.0 Sangat 2 5.0 5 16.7 7 10.0 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Sangat Modal sosial 11 27.5 13 43.3 24 34.3 baik Baik 25 62.5 8 26.7 33 47.1 Kurang 4 10.0 9 30.0 13 47.1 Sangat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0 Pemberdayaan Sangat 40 100.0 29 96.7 69 98.6 baik Baik 0 0.0 1 3.3 1 1.4 Kurang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sangat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 kurang Total 40 100.0 30 100.0 70 100.0
81
Aspek
Kriteria
Kemampuan baca tulis
Sangat baik Baik Kurang Sangat kurang Total Sangat baik Baik Kurang Sangat kurang Total
Kerawanan
Kelompok budidaya n %
Kelompok non budidaya n %
Total n
%
33
82.5
25
83.3
58
82.9
4 2
10.0 5.0
0 4
0.0 13.3
4 6
5.7 8.6
1
2.5
1
3.3
2
2.9
40
100.0
30
100.0
70
100.0
19
47.5
11
36.7
30
42.9
19 2
47.5 5.0
16 3
53.3 10.0
35 5
50.0 7.1
0
0.0
0
0.0
0
0.0
40
100.0
30
100.0
70
100.0
Lampiran 3 Hasil uji korelasi antar variabel dan antara variabel dengan indikator kesejahteraan Correlations
jumlah kerja
lokasi tmpat tinggal
jumlah anggota keluarga
usia kepala keluarga
usia istri
lama pendidikan kepala keluarga lama pendidikan istri
pendapatan keluarga
total aset (rupiah)
kategori kemiskinan BPS
kategori kemiskinan BKKBN kategori sosiometrik
kategori gabungan baru
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
jumlah lokasi tmpat anggota jumlah kerja tinggal keluarga 1 ,423** ,188 ,000 ,119 70 70 70 ,423** 1 ,109 ,000 ,368 70 70 70 ,188 ,109 1 ,119 ,368 70 70 70 ,290* ,131 -,130 ,015 ,280 ,282 70 70 70 ,345** ,084 -,173 ,003 ,488 ,153 70 70 70 -,234 -,002 -,042 ,052 ,984 ,729 70 70 70 -,266* -,183 -,065 ,026 ,130 ,590 70 70 70 -,092 -,136 ,078 ,450 ,262 ,522 70 70 70 -,082 -,300* ,100 ,498 ,012 ,408 70 70 70 -,085 -,357** -,092 ,486 ,002 ,448 70 70 70 -,061 -,140 -,080 ,617 ,247 ,510 70 70 70 -,139 -,233 -,101 ,250 ,052 ,405 70 70 70 -,117 -,389** -,084 ,333 ,001 ,488 70 70 70
usia kepala keluarga ,290* ,015 70 ,131 ,280 70 -,130 ,282 70 1
usia istri ,345** ,003 70 ,084 ,488 70 -,173 ,153 70 ,713** ,000 70 70 ,713** 1 ,000 70 70 -,255* -,138 ,033 ,253 70 70 -,376** -,241* ,001 ,044 70 70 -,073 -,118 ,551 ,332 70 70 ,025 -,009 ,839 ,939 70 70 ,053 ,085 ,662 ,486 70 70 -,107 -,119 ,380 ,325 70 70 -,132 -,021 ,275 ,864 70 70 -,096 ,031 ,430 ,802 70 70
lama pendidikan kepala keluarga -,234 ,052 70 -,002 ,984 70 -,042 ,729 70 -,255* ,033 70 -,138 ,253 70 1 70 ,618** ,000 70 ,412** ,000 70 ,136 ,261 70 ,196 ,105 70 ,375** ,001 70 ,289* ,015 70 ,229 ,057 70
lama pendidikan istri -,266* ,026 70 -,183 ,130 70 -,065 ,590 70 -,376** ,001 70 -,241* ,044 70 ,618** ,000 70 1 70 ,242* ,044 70 ,156 ,198 70 ,233 ,052 70 ,385** ,001 70 ,273* ,022 70 ,255* ,033 70
pendapatan total aset keluarga (rupiah) -,092 -,082 ,450 ,498 70 70 -,136 -,300* ,262 ,012 70 70 ,078 ,100 ,522 ,408 70 70 -,073 ,025 ,551 ,839 70 70 -,118 -,009 ,332 ,939 70 70 ,412** ,136 ,000 ,261 70 70 ,242* ,156 ,044 ,198 70 70 1 ,405** ,001 70 70 ,405** 1 ,001 70 70 ,242* ,225 ,044 ,062 70 70 ,408** ,243* ,000 ,043 70 70 ,209 ,185 ,082 ,125 70 70 ,262* ,230 ,028 ,056 70 70
kategori kemiskinan BPS -,085 ,486 70 -,357** ,002 70 -,092 ,448 70 ,053 ,662 70 ,085 ,486 70 ,196 ,105 70 ,233 ,052 70 ,242* ,044 70 ,225 ,062 70 1 70 ,224 ,062 70 ,667** ,000 70 ,941** ,000 70
kategori kategori kategori kemiskinan gabungan sosiometrik BKKBN baru -,061 -,139 -,117 ,617 ,250 ,333 70 70 70 -,140 -,233 -,389** ,247 ,052 ,001 70 70 70 -,080 -,101 -,084 ,510 ,405 ,488 70 70 70 -,107 -,132 -,096 ,380 ,275 ,430 70 70 70 -,119 -,021 ,031 ,325 ,864 ,802 70 70 70 ,375** ,289* ,229 ,001 ,015 ,057 70 70 70 ,385** ,273* ,255* ,001 ,022 ,033 70 70 70 ,408** ,209 ,262* ,000 ,082 ,028 70 70 70 ,243* ,185 ,230 ,043 ,125 ,056 70 70 70 ,224 ,667** ,941** ,062 ,000 ,000 70 70 70 1 ,100 ,257* ,410 ,032 70 70 70 ,100 1 ,752** ,410 ,000 70 70 70 ,257* ,752** 1 ,032 ,000 70 70 70
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
82
82