ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERAT BAYI LAHIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 11 BULAN DI SUMATERA
ARPANSAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 bulan di Sumatera adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Juni 2010 Arpansah NRP : I 151 080 211
ABSTRACT ARPANSAH. Analysis of Factors Related to Birth Weight and Their Effect on 6 - 11 Months old Infants Nutritional Status In Sumatra. Under direction of HADI RIYADI and DADANG SUKANDAR.
More than 20 million infants worldwide, representing 16% of all births, are born with low birth weight, 90% of them are in developing countries. Based on the results of Riskesdas 2007 the prevalence of Low Birth Weight (LBW) in Indonesia was 11,5%. Low birth weight infants generally have slow growth and development. The condition may get worse if they lack energy and nutrient intake, get improper rearing pattern and often suffer from infection. In the long run LBW infants tend to have poor nutrition status and malnutrition. The aim of this study was to analyze factors related to birth weight and their effects on 6 - 11 months old infants nutritional status. This study used Riskesdas data, 2007. The datas collected by surveys method, located in 10 provinces in Sumatra with a total sample of 1.749 households that have 6 - 11 months old infants. The results showed prevalence of low birth weight was 4,7% and nutrition problems in infants of 6 – 11 months were severe under nutrition 4,8%, severe wasting 16% and severe stunting 18,8%. Childrens born with low birthweight are more likely to undernutrition, wasting and stunting compare to children born with normal weight. Factors influencing birth weight are antenatal care, maternal education, maternal age and parity. Factors influencing the infant nutritional status are growth monitoring, birth weight, environmental sanitation, infection diseases, maternal nutritional status, health services utilization, access to health services and household expenditure. Keywords : birth weight, nutritional status, infants
RINGKASAN ARPANSAH. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 Bulan di Sumatera. Dibimbing oleh : HADI RIYADI dan DADANG SUKANDAR. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yaitu rendahnya kualitas kesehatan penduduk karena tingginya angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak balita (AKABA) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta tingginya prevalensi balita yang mengalami gizi kurang. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi BBLR di Indonesia yaitu 11,5%. Di wilayah Sumatera BBLR tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan (19,5%) dan Bangka Belitung (13,5%) (Depkes RI 2008). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika usia 6 – 11 bulan di Sumatera. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak dalam merumuskan kebijakan untuk intervensi dan pencegahan BBLR serta masalah gizi pada anak. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2007 dengan metode survei. Lokasi penelitian yaitu wilayah Sumatera yang terdiri dari 10 provinsi (DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau). Jumlah rumah tangga sampel yang mempunyai anak usia 6 – 11 bulan yaitu 1.749 rumah rangga. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 2007 dan SAS. Penentuan nilai Z score berdasarkan berat badan, tinggi badan dan umur anak menggunakan software Anthro WHO versi 3.0.1 2009. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dan menentukan faktor faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak berdasarkan indikator BB/U, BB/TB dan TB/U dilakukan analisis Regresi Linier Berganda dan dalam proses estimasi parameter menggunakan metode Stepwise. Hasil penelitian menunjukan prevalensi bayi dengan berat lahir (BBLR) < 2.500 gram yaitu 4,7% dan rata-rata berat bayi lahir 3.153 gram. Prevalensi bayi lahir dengan BBLR paling tinggi di Provinsi Bangka Belitung yaitu 13,2% sedangkan prevalensi BBLR terendah di Provinsi Sumatera Utara yaitu 2,4%. Prevalensi gizi buruk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu 7,5% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau yaitu 1,3%. Prevalensi sangat kurus tertinggi di Provinsi Sumatera Utara yaitu 22% dan terendah di Bangka Belitung yaitu 8,5%. Prevalensi sangat pendek tertinggi di Provinsi DI Aceh (24,8%) dan terendah di Provinsi Sumatera Barat (12,5%). Secara keseluruhan di wilayah Sumatera masalah gizi pada anak usia 6 – 11 bulan ; gizi buruk 4,8%, sangat kurus 16% dan sangat pendek 18,8%. Sumatera menghadapi masalah gizi akut-kronis, dimana prevalensi balita wasting 24,7% (> 5%), balita stunting mencapai 28,9% (> 20%) dan balita underweight sebesar 13,7% (> 10%). Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap berat bayi lahir adalah pemeriksaan kehamilan, paritas, umur ibu saat hamil dan pendidikan ibu. Pemeriksaan
kehamilan memberikan kontribusi pengaruh yang paling kuat diantara variabel yang lainnya yaitu 6,43%. Secara keseluruhan keempat variabel memberikan kontribusi terhadap berat bayi lahir sebesar 8,45%. Umur ibu pada saat hamil memberikan pengaruh negatif terhadap berat bayi lahir artinya semakin tua umur ibu saat hamil semakin rendah berat bayi lahir. Pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu yang lebih baik dapat meningkatkan berat bayi lahir. Sedangkan anak yang lahir pada urutan ke dua atau tiga mempunyai berat bayi lahir yang lebih baik dibandingkan anak pertama. Semakin baik berat bayi lahir maka akan semakin baik status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan. Faktor – faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator BB/U adalah pemantauan pertumbuhan, sanitasi lingkungan, berat bayi lahir, penyakit infeksi pemanfaatan pelayanana kesehatan dan status gizi ibu. Penyakit infeksi dapat menurunkan/memperburuk status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak 2,87% dan secara keseluruhan keenam variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 8,75% Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak indikator BB/TB secara signifikan adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, status gizi ibu dan penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak dapat menurunkan atau memperburuk status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak paling besar dibandingkan variabel lain yaitu 2,34% dan secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 3,96%. Faktor – faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator TB/U yaitu sanitasi lingkungan, pemantauan pertumbuhan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Adanya perbaikan pada setiap variabel tersebut dapat memperbaiki atau meningkatkan status gizi anak usia 6 – 11 bulan. Secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi sebesar 1,65%. Diharapkan agar meningkatkan kepedulian dan investasi dalam upaya pencegahan masalah berat bayi lahir rendah karena akan berpengaruh terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan. Cara yang harus dilakukan yaitu motivasi agar ibu hamil memeriksakan kehamilan, merencanakan kehamilan saat berumur 20 s/d 35 tahun dan meningkatkan pengetahuan ibu. Upaya yang dapat dilakukan untuk mecegah masalah gizi pada adak ; memberikan perhatian dan pelayanan secara khusus kepada bayi BBLR, meningkatkan motivasi dan kesadaran masyarakat agar memantau pertumbuhan anak secara rutin dan melakukan revitalisasi posyandu, meningkatkan akses dan pemanfaatkan pelayanan kesehatan serta perbaikan sanitasi lingkungan. Kata kunci : berat bayi lahir, status gizi, bayi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindumgi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERAT BAYI LAHIR DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 11 BULAN DI SUMATERA
ARPANSAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS
Judul Tesis
Nama NRP
: Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 bulan di Sumatera : Arpansah : I 151 080 211
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Ketua
Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc,PhD
Tanggal Ujian : 03 Juni 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Special for
My parent :
Dahammid & Syainur My son :
Livia Fildzahira Muhammad Naufal Muzakki and My wife :
Ratna Mustika
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul
"Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan
Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 Bulan di Sumatera” Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Gizi Masyarakat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc
yang telah banyak meluangkan waktu dan
mencurahkan ilmu dalam membimbing saya menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima ksih juga disampaikan kepada drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc, PhD selaku ketua Program Studi Gizi Masyarakat. Terima kasih kepada semua pihak yang terkait ; Kepala Badan Puslitbangkes Depkes RI beserta Staf, Ibu Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang, NICE Project yang telah mendanai penulis mengikuti pendidikan. Ayahanda dan Ibunda, pendamping setia dan buah hati tercinta, yang begitu sabar dan selalu mengharapkan keberhasilan penulis, maafkan atas kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan karena sibuk mengikuti kuliah. Teman sejawat, khususnya “NICE GROUP” terimakasih atas bantuan dan dukungannya, serta semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari dalam penyusunan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juni 2010
Arpansah NRP: I 151 080 211
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Air Itam Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 11 Juni 1974 dari Bapak Dahammid dan Ibunda Syainur. Penulis adalah putra keenam dari tujuh bersaudara. Tahun 1993 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muara Enim, tahun 1996, lulus dari Akademi Gizi Depkes Palembang dan tahun 2004 lulus S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Bina Husada Palembang. Pada tahun 2008 penulis diterima di Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat IPB Beasiswa dari dana ADB melalui NICE Project Departemen Kesehatan RI. Sejak tahun 1999 - 2000, penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung. Seiring dengan terbentuknya Provinsi BABEL dan otonomi daerah tahun 2001 penulis hijrah dan bertugas di Dinas Kesehatan Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan sampai sekarang. Selain itu penulis juga sebagai dosen tidak tetap pada beberapa Sekolah Tinggi Kesehatan yang ada di Kota Palembang dan Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi Palembang. Penulis menikah dengan Ratna Mustika pada bulan February 2004. Tanggal 19 Desember 2004 penulis mendapat anugrah seorang putri Livia Fildzahira dan tanggal 8 September 2007 hadir putra kedua Muhammad Naufal Muzakki, yang melengkapi kebahagiaan keluarga penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xvii
PENDAHULUAN................................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................... Perumusan Masalah ..................................................................................... Tujuan ......................................................................................... Tujuan Umum ...................................................................................... Tujuan Khusus .................................................................................... Pertanyaan ......................................................................................... Manfaat .........................................................................................
1 3 3 4 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
5
Bayi Berat Lahir (BBL) dan Berat Bayi Lahir Rendah Rendah (BBLR) ... Faktor Penyebab BBLR ............................................................................... Pertumbuhan Bayi setelah Lahir ................................................................. Status Gizi Balita ........................................................................................ Penilaian Status Gizi .................................................................................. Faktor faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi ................................ Hubungan Berat Lahir dengan Status Gizi .......................................... Asupan Gizi ........................................................................................ Pendapatan Keluarga ........................................................................... Besarnya Keluarga .............................................................................. Pendidikan Ibu ..................................................................................... Penyakit Infeksi .................................................................................. Sanitasi Lingkungan ............................................................................ Pemantauan Pertumbuhan Anak .......................................................... Pelayanan Kesehatan Dasar ................................................................ Penaggulangan Masalah Kurang Gizi ......................................................
5 7 10 11 13 17 18 19 23 24 25 26 30 32 34 36
KERANGKA PEMIKIRAN ..............................................................................
38
Kerangka Pemikiran ................................................................................... Hipotesis .........................................................................................
38 40
METODE .............................................................................................................
41
Sumber Data................. ............................................................................... Desain Lokasi Riskesdas................. .....................................................
41 41
xii
Populasi dan Sampel Riskesdas............................................................ Cara Pengumpulan Data Riskesdas................. ..................................... Desain, Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian.................................. Pengolahan Data ......................................................................................... Analisis Data ......................................................................................... Definisi Operasional ...................................................................................
41 42 42 43 45 46
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
49
Karakteristik Sampel................. .................................................................. Berat Bayi Lahir................. ......................................................................... Status Gizi Anak................. ......................................................................... Berat Badan menurut Umur.................................................................. Berat Badan menurut Tinggi Badan................. .................................... Tinggi Badan menurut Umur ............................................................... Faktor-Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir ................................. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak .................................
49 52 55 55 61 66 72 76
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... Kesimpulan ......................................................................................... Saran ............................................................................................................
89 89 90
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
92
LAMPIRAN .......................................................................................................
96
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Angka Kecukupan Gizi bagi Anak Usia 0 – 6 tahun (per hari) ....................
23
2
Pengkategorian Variabel Penelitian ...............................................................
43
3
Karakteristik Responden (Berat Bayi Lahir dan Anak 6 – 11 bulan) ...........
49
4
Karakteristik Ibu dan Keluarga .....................................................................
50
5
Karakteristik Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan ......................
51
6
Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Provinsi ..............................
52
7 Sebaran Anak menurut Pelayanan Kesehatan, Sanitasi Lingkungan dan Kebiasaan Merokok menurut Berat Bayi Lahir ...................................
53
8
Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi menurut Berat Bayi Lahir ..............
54
9
Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U dan Provinsi di Sumatera .............................................................................
56
Sebaran Anak menurt Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U .....................................................................
57
Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U ..............................................................
58
12 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/UB..................................
59
13 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U .....................................
60
10
11
14
15
16
17
Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator \ BB/TB dan Provinsi di Sumatera ..............................................................
61
Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB U ..................................................................
62
Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TBB ........................................................
63
Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB U ..............................
64
xiv
18
Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TBBB\............................
65
Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U dan Provinsi di Sumatera ...............................................................
66
Sebaran Anak menurt Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U..........................................................................
67
Sebaran Sosio Ekonomi Demografi menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U..........................................................................
68
Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi Anak berdasarkan TB/U ....................................................
69
Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U....................................
70
24
Faktor – faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir .................................
72
25
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator Berat Bandan menurut Umur (BB/U) ...........................................
77
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) ..............................
78
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) ..........................................
79
19
20
21
22
23
26
27
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
2
Kerangka Pemikiran Faktor faktor yang berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak ketika Berusia 6 – 11 Bulan ......................................................................................
39
Besaran Masalah Gizi di Sumatera Berdasarkan Indikatot BB/U, BB/TB dan TB/U .........................................................................................
71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Skoring Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan .................................................
96
2
Skoring Akses terhadap Pelayanan Kesehatan ..............................................
97
3
Skoring Sanitasi Lingkungan ..........................................................................
98
4
Faktor-faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir (SAS) .......................... 100
5
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U (SAS)..................................................................................... 101
6
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB (SAS) .................................................................................. 102
7
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U (SAS) ..................................................................................... 103
xvii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Berdasarkan
Undang-Undang
nomor
17
tahun
2007,
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) memberikan arah pembangunan bagi bangsa Indonesia. Arah pembangunan kesehatan dalam 20 tahun ke depan sampai dengan tahun 2025, ditetapkan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan yaitu ibu, anak, manusia usia lanjut (manula) dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yaitu rendahnya kualitas kesehatan penduduk karena tingginya angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak balita (AKABA) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta tingginya prevalensi balita yang mengalami gizi kurang (Depkes RI 2009). Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu penyebab kematian bayi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), persoalan pokok pada BBLR adalah angka kematian perinatalnya sangat tinggi dibandingkan dengan angka kematian perinatal pada bayi normal. Penelitian Puffer (1993) menunjukan bahwa risiko kematian perinatal bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2.000 gram adalah 10 kali lebih besar. Kematian bayi dengan berat badan antara 2.000 gram sampai 2.399 gram adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan kematian perinatal bayi dengan berat badan normal. Angka kejadian BBLR dianggap sebagai indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari. Menurut WHO, BBLR merupakan penyebab dasar kematian (underlying cause) dari dua pertiga kematian neonatus. Sekitar 16% dari kelahiran hidup atau 20 juta bayi pertahun dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan 90% berasal dari negara
2
berkembang (McCormick et al 1990). Peneliti lainnya menyebutkan bahwa di negara berkembang diperkirakan setiap 10 detik terjadi satu kematian bayi akibat dari penyakit atau infeksi yang berhubungan dengan BBLR (Siza 2002). BBLR disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor biologis, perilaku dan sosial ekonomi. Hasil penelitian Siza di Medical Center Tanzania tahun 2002, menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR adalah penyakit infeksi (HIV), pendidikan ibu yang rendah, ibu yang tidak menikah, hipertensi, pre eklampsia, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia), premature rupture, plasenta previa, kelahiran < 37 minggu dan kurang gizi. Penelitian Singh et al (2007) di Amerika Serikat, melaporkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum hamil < 20, pemeriksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan maternal faktors yang signifikan menyebabkan BBLR, sedangkan kadar Hb, umur ibu dan paritas tidak berhubungan dengan BBLR. Ada juga penelitian di India yang melaporkan bahwa kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang, ANC yang terlambat, kehamilan pada umur belasan dan sosial ekonomi yang rendah memberikan dampak yang besar terhadap BBLR (Velankar 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 11,5%. Lima provinsi mempunyai persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua (27%), Papua Barat (23,8%), NTT (20,3%), Sumatera Selatan (19,5%) dan Kalimantan Barat (16,6%).
Di
wilayah Sumatera BBLR tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan (19,5%) dan Provinsi Bangka Belitung (13,5%) sedangkan provinsi yang lainnya masih dibawah angka nasional. Perumusan Masalah Masalah gizi terjadi pada setiap siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dalam kandungan, bayi, anak balita, remaja dan dewasa. Berbagai penelitian menunjukan bahwa kekurangan gizi pada salah satu siklus akan mempengaruhi kejadian kekurangan gizi pada siklus berikutnya.
3
Anak saat lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi sehingga pada akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk. Masih tingginya prevalensi BBLR di Indonesia pada tahun 2007, serta masih terbatasnya penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir yang berskala luas di Indonesia juga penelitian yang mempelajari pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak setelah usia 6 bulan sehingga perlu dilakukan kajian dan analisis faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
Tujuan Tujuan umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor - faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera. Tujuan khusus 1
Menganalisis pengaruh
berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika
berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera. 2
Menganalisis hubungan penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta sanitasi lingkungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
3
Menganalisis hubungan sosial ekonomi - demografi dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
4
Menganalisis faktor faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir, meliputi ; umur ibu, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok dan sosial ekonomi.
5
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
4
Pertanyaan 1
Apakah ada pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera ?
2
Apakah ada hubungan penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta sanitasi lingkungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
3
Apakah ada hubungan sosial ekonomi - demografi dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
4
Apakah ada hubungan umur ibu, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok dan sosial ekonomi dengan berat bayi lahir ?
5
Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
Manfaat 1
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan dan program perioritas untuk mencegah dan menurunkan angka BBLR serta memperbaiki status gizi masyarakat khususnya balita.
2
Penelitian dan pengembangan ilmu dibidang gizi yang sudah ada dalam upaya penanganan masalah kesehatan masyarakat terutama upaya pencegahan dan penanggulangan BBLR serta meningkatkan status gizi balita khususnya anak usia 6 – 11 bulan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Berat Bayi Lahir (BBL) dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Seorang bayi yang sehat dan cukup bulan, pada umumnya mempunyai berat badan lahir 3.000 gram. Seorang bayi dikatakan mempunyai berat bayi lahir rendah (BBLR) apabila berat lahirnya kurang dari 2.500 gram. Kelompok BBLR ini menunjukkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi sehingga dianggap bayi dengan risiko tinggi. Angka kejadian BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari (Alisyahbana 1990). Bayi yang lahir BBLR tergolong kelompok bayi yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami sakit bahkan meninggal karena itu faktor-faktor yang berpengaruh perlu diperhatikan. Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat-alat tubuh bayi yang BBLR belum sempurna, akibatnya bayi yang BBLR sering mengalami komplikasi yang berakhir dengan kematian (Alisyahbana 1990). Bayi dengan BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah, sehingga mudah terkena infeksi. Risiko meninggal sebelum usia 1 tahun adalah 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan BBLR cenderung mempunyai pertumbuhan fisik yang terhambat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa risiko untuk menjadi gizi kurang 8 – 10 kali lebih besar dari anak normal. Tingkat kecerdasan rendah karena adanya gangguan pada tumbuh kembang otak sejak dalam kandungan (Alisyahbana 1990). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, secara keseluruhan prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) di Indonesia sebesar 11,5%. Prevalensi ini sebanding dengan persentase ibu yang mempunyai persepsi bahwa ukuran bayi pada saat lahir kecil yaitu sebesar 13,4%. Lima provinsi mempunyai prevalensi BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua (27%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%), Sumatera Selatan (19,5%) dan Kalimantan Barat (16,6%). Lima provinsi dengan prevalensi BBLR terendah adalah Bali (5,8%), Sulawesi Barat (7,2%), Jambi (7,5%), Riau (7,6%) dan Sulawesi Utara (7,9%) (Depkes RI 2008).
6
Masalah gizi memang terjadi pada setiap siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dalam kandungan, bayi, anak balita, remaja dan dewasa. Berbagai penelitian menunjukan bahwa kekurangan gizi pada salah satu siklus akan mempengaruhi kejadian kekurangan gizi pada siklus berikutnya. Kekurangan zat gizi pada janin diberbagai usia kehamilan dapat dihubungkan dengan pola tertentu pada masa pertumbuhan. Adaptasi janin terhadap keadaan kekurangan gizi berhubungan dengan pertumbuhan konsentrasi hormon janin plasenta, perubahan kadar sekresi hormon dan ambang rangsang jaringan terhadap perubahan tersebut yang sifatnya menetap. Keadaan tersebut kemungkinan merupakan penghubung antara kekurangan zat gizi pada janin dengan terjadinya struktur fungsi dan penyakit yang abnormal setelah dewasa (Barker 1998). Penilaian terhadap BBLR dilakukan dengan cara menimbang bayi pada saat lahir atau dalam 24 jam pertama. Dalam beberapa hari pertama, berat bayi akan turun kemudian akan naik sesuai dengan umur bayi. Pada bayi BBLR, penurunan berat badan dapat terjadi pada setiap saat, biasanya disebabkan karena ada masalah dalam pemberian Air Susu Ibu (ASI), bayi menderita penyakit seperti infeksi bakteri, diare, kelainan bawaan dan lain-lain (Barker 1998). Puffer (1993), menyatakan bahwa angka kematian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) kurang dari 2.500 gram lebih tinggi dibandingkan dengan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN) yaitu berat badan sama dengan atau lebih besar dari 2.500 gram. Hal tersebut disebabkan oleh karena bayi dengan BBLR mempunyai kemungkinan meninggal sebelum berumur satu tahun yaitu sebesar 5% - 13% dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Semakin kecil dan semakin prematur bayi makan semakin tinggi risiko gizinya. Kelompok BBLR menunjukan angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Angka kejadian BBLR dianggap sebagai indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari. BBLR merupakan determinan yang utama pada kematian perinatal dan neonatal. Menurut WHO, BBLR merupakan penyebab dasar kematian (underlying cause) dari dua pertiga kematian neonatus.
7
Ada dua keadaan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yaitu : a.
Bayi lahir kecil karena kurang bulan (premature) yaitu bayi baru lahir pada umur kehamilan antara 28 – 36 minggu. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosisnya juga memburuk.
b.
Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi lahir kecil akibat retardasi pertumbuhan janin dalam rahim. Organ dan alat-alat tubuh bayi kecil masa kehamilan cukup sudah matang (mature) dan berfungsi lebih baik dibanding dengan bayi lahir kurang bulan, walaupun berat badannya sama. Bayi kecil umur kehamilan cukup bulan, umumnya adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram dan umur kehamilan ≥37 minggu dan berat lahir kurang dari standar deviasi dibawah rata-rata untuk umur kehamilan.
Faktor Penyebab BBLR Terjadinya BBLR merupakan hasil interaksi antara sosio-demografi, status gizi ibu hamil, status obstetrik, sosial ekonomi keluarga dan faktor intriksi janin. Jadi secara garis besar BBLR dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor maternal dan faktor janin. Faktor maternal yang mempengaruhi kejadian BBLR adalah : usia ibu, paritas, status sosial ekonomi yang rendah, penyakit kronik atau akut ibu hamil, perdarahan antepartum, serviks yang tidak kompeten, kelainan bentuk uterus, kelainan placenta, jarak kehamilan, aktifitas fisik ibu, kebiasaan buruk ibu (merokok dan konsumsi narkoba), status gizi ibu hamil yang kurang, pendidikan ibu yang rendah dan akses terhadap pelayanan kesehatan kurang. Sedangkan faktor janin yang berperan pada kejadian BBLR adalah jenis kelamin, etnik/ras dan kelainan kongenital (Depkes RI 1999). Hasil penelitian Siza di Medical Center Tanzania tahun 2002, menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR ; penyakit infeksi (HIV), pendidikan ibu yang rendah, ibu yang tidak menikah, hipertensi, pre eklampsia, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia), premature rupture, plasenta pervia, kelahiran < 37 minggu dan malnutrisi.
8
Penelitian Singh et al (2007) di AS, melaporkan bahwa IMT sebelum hamil < 20, periksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan maternal faktors yang signifikan menyebabkan BBLR, sedangkan kadar Hb, umur ibu dan paritas tidak berhubungan dengan BBLR. Ada juga penelitian di India yang melaporkan bahwa kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang, ANC yang terlambat, kehamilan pada umur belasan dan sosial ekonomi yang rendah memberikan dampak yang besar terhadap bayi lahir dengan BBLR (Velankar 2008). Pertumbuhan janin merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dengan lingkungan. Ibu yang mulai memasuki masa kehamilan dengan kondisi kesehatan yang baik dan tidak mengalami
masalah
pada organ-organ
reproduksinya, berpeluang melahirkan bayi yang lebih sehat dibandingkan ibu yang mengalami masalah kesehatan dan gizi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan sejak dini akan memungkinkan diketahuinya kelainan atau masalah kesehatan yang dihadapi ibu selama proses kehamilannya, sehingga dapat diambil langkah langkah yang dapat menyelamatkan janin dan ibunya (Ebrahim 1985). Pemeriksaan kehamilan merupakan pemeriksaan yang diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan selama kehamilannya, dengan jumlah standar kunjungan selama hamil minimal 4 kali. Adapun jenis pemeriksaan kehamilan yaitu pemeriksaan kehamilan yang diperoleh oleh ibu hamil dari tenaga kesehatan meliputi ; pengukuran tinggi badan, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus, pemberian tablet Fe, pemberian Imunisasi TT, penimbangan berat badan, pemeriksaan Hb dan pemeriksaan urine (Depkes RI 1999). Salah satu jenis pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan adalah memperoleh tablet tambah darah (tablet Fe). Ibu hamil memerlukan zat besi lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak hamil sehingga harus mendapatkan tambahan berupa suplemen tablet Fe berhubungan dengan peningkatan kadar haemoglobin dalam darah yang berfungsi mengikat dan mendistribusikan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh, termasuk ke dalam sel jaringan janin. Apabila kadar Hb < 11 gr% (anemia) pada saat hamil, maka distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang
9
sehingga metabolisme jaringan menurun, termasuk pada janin pertumbuhan akan terhambat dan berakibat berat badan bayi rendah (Depkes RI 1999). Faktor usia yang muda cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati. Kehamilan di bawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi. Masa reproduksi wanita pada dasarnya dibagi dalam 3 periode yaitu kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun) dan reproduksi tua (36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa risiko kehamilan rendah pada kurun reproduksi sehat dan meningkat lagi secara tajam pada kurun reproduksi tua (Depkes RI 1999). Usia ibu menentukan efisiensi reproduksinya, ibu yang terlalu muda mungkin tidak memiliki kematangan fisiologis untuk menanggung tambahan beban saat hamil. Secara psikologis sikap perasaan ambivalen remaja usia kurang dari 16 tahun tentang kehamilan membuat ibu tidak memperhatikan pentingnya perawatan kehamilan selama trimester pertama dan kurang memungkinkan untuk menerima perawatan kehamilan yang memadai. Diidentifikasikan bahwa mendapatkan perawatan kehamilan sejak dini berhubungan dengan hasil yang lebih baik pada wanita yang melahirkan pada minggu ke 37 sampai 42 masa kehamilannya (Worthinghton & Williams 2000). Risiko melahirkan bayi pada usia kehamilan kurang, dihubungkan dengan beberapa faktor yang berhubungan dengan kehamilan remaja, yaitu perawatan kehamilan yang tidak memadai dan pertambahan berat badan yang tidak cukup. Ibu remaja muda (usia < 16 tahun) berisiko tinggi melahirkan dengan usia kehamilan kurang dibandingkan ibu lebih tua. Sebaliknya wanita yang lebih tua mulai menunjukkan pengaruh proses penuaannya dan menentukan outcome. Kejadian BBLR dan kematian neonatal meningkat pada ibu usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 35 tahun. Ibu yang berusia antara 25 sampai 35 tahun mengalami kehamilan yang terbaik (Worthinghton & Williams 2000).
10
Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko BBLR, seperti penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2007)
menjelaskan bahwa
program kunjungan rumah dengan fokus pada dukungan sosial, pendidikan kesehatan dan akses terhadap pemberi layanan promosi dapat menurunkan risiko bayi lahir dengan BBLR.
Pertumbuhan Bayi setelah Lahir Bayi yang lahir cukup bulan, berat badannya akan menurun dan kembali menjadi berat badan pada waktu lahir setelah 10 hari. Berat badan, pada umur 5 bulan menjadi 2 kali lipat berat lahir, pada waktu 1 tahun menjadi 3 kali lipat berat lahir dan pada umur 2 tahun, menjadi 4 kali lipat berat lahir. Kenaikan berat badan anak pada tahun pertama kehidupan bayi, apabila bayi mendapat gizi yang baik pertumbuhannya adalah sebagai berikut : - Triwulan I
Kenaikan berat badan 700 – 1.000 gram/bulan
- Triwulan II
Kenaikan berat badan 500 – 600 gram/bulan
- Triwulan III
Kenaikan berat badan 350 – 450 gram/bulan
- Triwulan IV
Kenaikan berat badan 250 – 350 gram/bulan
Pada abad ke 18 Count Philibert de Monbeillard, mencatat tinggi badan anak laki-laki setiap 6 bulan sejak lahir sampai umur 18 tahun. Pada umur 4 – 5 tahun laju pertumbuhan dengan cepat berkurang (deselarasi) dan secara perlahanlahan berkurang hingga umur 5 – 6 tahun. Sejak umur ini laju pertumbuhan bersifat konstan, pada umur 6 – 8 tahun ada kenaikan kecil pertumbuhan, tetapi tidak selalu ada. Pada umur 13 – 15 tahun terjadi percepatan pertumbuhan (akselerasi). Tinggi badan rata-rata pada waktu lahir 50 cm. Diperkirakan secara garis besar, tinggi badan anak sebagai berikut : - Usia 1 tahun
= 1,5 x tinggi badan lahir
- Usia 4 tahun
= 2 x tinggi badan lahir
- Usia 6 tahun
= 1,5 x tinggi badan setahun
- Usia 13 tahun
= 3 kali tinggi lahir
- Dewasa
= 3,5 x tinggi lahir (2 x tinggi badan 2 tahun)
11
Menurut Behrman dikutip dari Yongky (2007), perkiraan tinggi badan dalam sentimeter adalah sebagai berikut : - Lahir
: 50 cm
- Umur 1 tahun
: 75 cm
- Umur 2 – 12 tahun
: umur (tahun) x 6 + 77
Status Gizi Balita Status berarti tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan. Sedangkan gizi adalah hasil proses organisme dalam menggunakan bahan
makanan
melalui
proses
pencernaan,
penyerapan,
transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan dan fungsi organ tubuh, serta produksi energi, sehingga status gizi dapat diartikan tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan gizi disatu pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain (Gibson 1990). Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan serta penggunaan zat gizi (Suharjo 2003). Status gizi adalah keadaan fisiologis sebagai akibat dari keseimbangan antara intake dengan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Selain itu juga status gizi seseorang pada dasarnya merupakan hasil dari proses pencernaan dan penyimpanan zat-zat gizi dalam tubuh untuk digunakan di kemudian hari, memelihara struktur dan susunan jaringan tubuh serta fungsi yang normal. Keadaan tersebut berhubungan dengan keadaan kesehatan tubuh, jika persediaan zat gizi tidak cukup di dalam tubuh, maka akan terjadi kurang gizi, oleh karena keadaan tersebut diperlukan suatu penilaian sebagai dasar penentuan tingkat gizi seseorang (Almatsier 2004). Jus’at dkk (2000) menyebutkan bahwa status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Status gizi lebih
12
terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih. Status gizi balita yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak tersebut kurang gizi (underweight), kurus (wasted), pendek (stunted) atau gizi lebih (overweight). Status gizi erat kaitannya dengan malnutrisi yaitu suatu keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Ada empat bentuk malnutrisi (Supariasa et al 2002) : 1
Under nutrition : kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu.
2
Specific defisiency : Kekurangan zat gizi tertentu misalnya kekurangan vitamin A, yodium dan sebagainya.
3
Over nutrition : kelebihan konsumsi untuk periode tertentu.
4
Imbalance : karena disproporsi zat gizi, misalnya : penimbunan kolesterol terjadi karena tidak seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
Menurut Soetjiningsih (1998), ada 2 faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan anak, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan ini jauh lebih besar dibandingkan faktor genetik. Selanjutnya, untuk faktor lingkungan, dirinci menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial, faktor keluarga dan adat istiadat. Khusus faktor keluarga, diidentifikasi beberapa variabel yang berpengaruh, yaitu jenis kelamin, besar keluarga, pendapatan keluarga, umur ibu, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak balita dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah serta ibu, norma / tabu, agama, urbanisasi dan kebijakan politik. Sedangkan Soekirman (2000) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi itu dalam 2 kategori besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor dalam tubuh manusia sendiri, seperti kemampuan tubuh untuk menyerap bahan makanan yang masuk, faktor keturunan atau kelainan-kelainan tubuh. Faktor eksternal meliputi : tingkat pendidikan dan
13
pengetahuan orang tua, latar belakang sosial budaya, daya beli keluarga dan jumlah anggota keluarga. Hadi (2002) juga mencatat, bahwa faktor pendidikan ibu berhubungan dengan baik tidaknya pertumbuhan anak. Faktor distribusi makanan dalam keluarga sebagai salah satu penyebab kurang energi protein, selain kemiskinan dan penyapihan yang tidak tepat. Skema penyebab masalah gizi yang sudah diadaptasi oleh Depkes RI (Azwar 2004), karakteristik keluarga terletak pada pokok permasalahan yang ada di masyarakat. Pada dimensi ini, karakteristik keluarga tercermin pada tingkat pendidikan yang kurang, pengetahuan dan keterampilan yang kurang yang pada awalnya didorong oleh kurangnya pemberdayaan wanita serta keluarga. Menurut pakar gizi dikatakan bahwa penurunan status gizi sudah mulai terjadi sejak usia dini, hal ini disebabkan oleh praktek pemberian ASI eksklusif yang salah dan terlalu dini memberikan makanan pendamping air susu ibu (MPASI). Selanjutnya dikatakan bahwa MP-ASI adalah makanan pelengkap ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi, dan diberikan setelah ASI Eksklusif sampai usia 24 bulan. Karena pada masa itu suplai zat gizi dari ASI tidak memenuhi kebutuhan gizi dan sekaligus memperkenalkan bayi dengan makanan keluarga. Selanjutnya dikatakan bahwa status gizi terbukti berpengaruh pada pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan intelektual, meningkatkan produktivitas, menurunkan angka kesakitan dan kematian (Azwar 2004).
Penilaian Status Gizi Penentuan status gizi dapat dilakukan berbagai cara antara lain secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Salah satu cara termudah untuk menilai status gizi di lapangan adalah dengan cara antropometri, karena praktis dan teliti. Antropometri adalah ukuran dari bermacam-macam dimensi tubuh manusia yang ukurannya relatif berbeda-beda menurut jenis kelamin, umur, dan keadaan gizi (Jelliffe 1996). Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh. Pengertian ini bersifat sangat umum sekali. Jellife (1996) mengungkapkan bahwa
14
: “Nutritional anthropometry is measurement of the variations of the physical dimensions and the gross composition of the human body at different age levels and degree of nutriton”. Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik pengertian bahwa antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkaran lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit. Metode atau cara dalam menilai status gizi, secara garis besar dibedakan menjadi 2 jenis yaitu : 1 Penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari : biokimia, klinis, antropometri dan biofisik. 2 Penilaian status gizi secara tidak langsung terdiri dari : survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Penggunaan metode penilaian status gizi dengan pertimbangan tujuan, unit sampel, jenis informasi tingkat reliabilitas dan akurasi, ketersediaan fasilitas dan peralatan, tenaga dan waktu penilaian (Supariasa et al 2002).
Penilaian secara langsung 1 Metode Biokimia Penilaian status gizi secara biokimia disebut juga dengan metode pemeriksaan laboratorium, adalah mengukur kadar zat gizi di dalam tubuh dan atau ekskresi tubuh kemudian dibandingan dengan suatu nilai normatif yang sudah ditetapkan. Misalnya menilai status zat besi (Fe) dengan mengukur kadar hemoglobin. Bila kadar hemoglobin < 11 mg% maka disebut anemia (Depkes RI 2002). Untuk penilaian biokimia disebut juga pemeriksaan laboratorium, spesimen yang biasa digunakan adalah darah, faces, kelenjar tubuh, urin dan biopsi jaringan tubuh. 2 Penilaian Klinis Penilaian status gizi secara klinis adalah mempelajari gejala yang muncul dari tubuh sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah satu zat gizi tertentu. Setiap zat gizi memberikan tampilan klinis yang berbeda, sehingga cara ini
15
dianggap spesifik namun sangat subjektif. Contoh penilaian status gizi secara klinis adalah kekurangan vitamin A menyebabkan buta senja (xerophtalmia) 3 Penilaian Biofisik Penilaian secara biofisik adalah dengan mengukur elastisitas dan fungsi jaringan tubuh. Cara ini jarang digunakan karena membutuhkan peralatan yang canggih, mahal dan tenaga terampil. Salah satu cara penilaian status gizi secara biofisik adah untuk mengukur komposisi tubuh dengan metode bioelectrical impedance. 4 Penilaian Antropometri Cara yang paling mudah, tidak membutuhkan peralatan yang mahal adalah pengukuran antropometri. Antropometri dapat diterapkan secara luas di lapangan. Sebagai contoh tiap bulan dilaksanakannya penimbangan balita di posyandu. Pengukuran antropometri mengandung 2 maksud; pertama untuk mendeskripsikan status gizi (penilaian dilakukan pada satu titik waktu) dan kedua pemantauan status gizi yaitu untuk melihat trend/ perubahan ukuran tubuh dari waktu ke waktu. Penimbangan balita di posyandu yang diplot hasilnya ke dalam KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah salah satu contoh pemantauan status gizi (nutritional monitoring).
Pengukuran status gizi secara antropometri adalah pengukuran keadaan sebagai hasil penggunaan bahan makanan di dalam tubuh. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan oleh Ahli Gizi. Ambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu persen terhadap median, persentil dan standar deviasi (Supariasa et al 2002). Menurut Gibson (1990) salah satu metode untuk menilai status gizi secara langsung adalah dengan antropometri. Antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk 3 indikator antropometri, yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk menilai
16
status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut : 1
2
3
Berdasarkan indikator BB/U : Kategori Gizi Buruk
Z-score < - 3,0
Kategori Gizi Kurang
Z-score ≥- 3,0 s/d Z-score < -2,0
Kategori Gizi Baik
Z-score ≥- 2,0 s/d Z-score ≤2,0
Kategori Gizi Lebih
Z-score > 2,0
Berdasarkan indikator TB/U : Kategori Sangat Pendek
Z-score < -3,0
Kategori Pendek
Z-score ≥-3,0 s/d Z-score < -2,0
Kategori Normal
Z-score ≥-2,0
Berdasarkan indikator BB/TB : Kategori Sangat Kurus
Z-score < -3,0
Kategori Kurus
Z-score ≥-2,0 s/d Z-score < -3,0
Kategori Normal
Z-score ≥-2,0 s/d Z-score ≤+2,0
Kategori Gemuk
Z-score > 2,0
Berat Badan menurut Umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat dapat menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003). Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini dijadikan indikator kekurusan. Status gizi indikator berat badan menurut umur (BB/U) lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap
17
perubahan mendadak, misalnya terserang peyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Sebaliknya indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mengambarkan pertumbuhan skletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan umur (Riyadi 2003).
Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Menurut teori H.L Blum (1981), status kesehatan masyarakat dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Konsep itu menunjukan bahwa status kesehatan termasuk status gizi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku , pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Faktor lingkungan antara lain lingkungan fisik, boilogis dan sosial memegang peranan yang terbesar dalam menentukan status kesehatan dan gizi. Selanjutnya faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor perilaku yang berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan yang menentukan perilaku seseorang atau kelompok untuk berperilaku sehat atau tidak sehat. Faktor pelayanan kesehatan memegang peranan yang lebih kecil dalam menentukan status kesehatan dan gizi dibandingkan dengan kedua faktor tersebut, sedangkan faktor keturunan mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibandingkan faktor lingkungan, perilaku dan pelayanan kesahatan. Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF 1998, gizi salah (malnutrition) disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas; sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Azwar 2004). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi
18
terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (BAPPENAS 2007). Faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan lebih rendah dan index masa tubuh yang kurang, sedangkan yang tidak berperan nyata adalah haemoglobin. Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi kurang berperan nyata dalam risiko gizi kurang. Pengetahuan yang berperan nyata hanya pengetahuan tentang sumber vitamin dan mineral, sedangkan yang tidak berperan nyata adalah tentang manfaat oralit, larutan gula garam, pengetahuan tentang sanitasi lingkungan, pengetahuan gizi tentang sumber zat tenaga dan pembangun, pengetahuan komposit tentang kesehatan (Sandjaja 2001).
Hubungan Berat Lahir dengan Status Gizi Berat bayi lahir merupakan faktor penentu pertumbuhan selanjutnya, perbedaan yang tampak pada waktu lahir akan tetap bertahan kalau pada masa bayi (masa perinatal, neonatal dan postneonatal) tidak mampu mencapai percepatan tumbuh yang baik sesuai dengan standar pertumbuhan. Keadaan gizi bayi tidak dapat dipertahankan atau ditingkatkan karena pemberian makanan bayi yang tidak memenuhi syarat-syarat gizi dan adanya pengaruh lingkungan yang miskin. Faktor faktor yang secara langsung mempengaruhi keadaan gizi anak adalah konsumsi makanan dan ada atau tidak adanya penyakit infeksi (Worthinghton & Williams 2000). Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai reserva zat besi lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga reserva zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan, kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal (Hussaini et al 1997). Anak saat lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit
19
infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan gizi buruk. Bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram, pertumbuhan dan faal (function) dari seluruh anggota badannya belum sempurna dan daya tahan tubuh terhadap bermacam-macam ransangan (iklim, kuman) di sekitar masih rendah (Worthinghton & Williams 2000).
Asupan Zat Gizi Masalah gizi timbul karena dipengaruhi oleh ketidak seimbangan asupan makanan. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Kecukupan zat gizi seseorang akan mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan (Apriantono 2005). Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk peningkatan kualitas fisik, mental dan kecerdasan. Oleh karena itu asupan pangan masih perlu dipelajari sebab berhubungan dengan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat atau individu di suatu wilayah (Prihatini et al., 2005). Status gizi buruk pada anak balita akibat dari asupan gizi yang jelek, cenderung meningkat seiring dengan menurunnya kemampuan masyarakat memperoleh pangan (Aritonang 2004). Tingkat konsumsi energi dan protein termasuk gizi makro yang sering digunakan sebagai salah satu indikator yang dipakai untuk menentukan kesejahteraan masyarakat (Soekirman 2006). Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 menetapkan rekomendasi rata-rata kecukupan energi untuk usia 7 - 11 bulan sebesar 650 kkal/kapita/hari dan kecukupan protein 16 gr/kapita/hari. Makanan yang ideal harus mengandung cukup energi dan semua zat gizi esensial (komponen bahan makanan yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sendiri akan tetapi diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan) harus tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan sehari-harinya. Jumlah energi dan protein yang diperlukan untuk pertumbuhan normal tergantung dari kualitas zat gizi yang dimakan, bagaimana zat gizi dicerna (digestibility), bagaimana zat gizi diserap (absorbsi) dan penggunaan oleh tubuh itu sendiri (Pudjiadi 2003).
20
Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain : 1
Tidak tersedianya makanan secara adekuat, tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah kurang gizi. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
2
Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena kurangnya pengetahuan.
3
Pola makan yang salah, pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya kurang gizi. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang bersih, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi kurang ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi kurang. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
21
pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup. 4
Penyakit infeksi (frequent infection) Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygiene yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik seperti misalnya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kebutuhan Energi Kebutuhan energi dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat masukan energi yang diperoleh dari makanan yang akan mengimbangi pengeluaran atau pemakaian energi oleh tubuh seseorang yang sehat. Penggunaan energi seseorang sangat dipengaruhi oleh basal metabolisme, penggunaan energi untuk aktivitas tubuh dan beban energi untuk pengolahan dan penggunaan makanan. Semua kebutuhan energi harus dihitung secara akurat dar semua komponen diet yang dikonsumsi.
Kebutuhan Protein Protein dalam tubuh merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu : 1
Pembentukan dan pembentukan protein dalam serum, hemoglobin, enzim, hormon dan antibodi.
2
Menggantikan sel – sel yang rusak
3
Memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh
4
Sumber energi.
22
Kebutuhan protein bayi dan anak relatif lebih besar bila dibandingkan dengan orang dewasa. Angka kebutuhan protein bergantung pada mutu protein. Semakin baik mutu protein, semakin rendah angka kebutuhan protein. Mutu protein tergantung susunan asam amino yang membentuknya terutama asam amino esensial. Kecukupan protein yang dianjurkan untuk bayi dan anak berkisar antara 2 – 2,5 gr/kg berat badan.
Kebutuhan Lemak Lemak merupakan sumber kalori konsentrasi tinggi (1 gram lemak menghasilkan 9 kkal). Tiga fungsi penting lemak yaitu : sebagai sumber lemak essensial, zat pelarut vitamin A, D, E, K dan pemberi rasa sedap pada makanan. Kebutuhan akan lemak tidak dinyatakan dalam angka mutlak. Dianjurkan 15 – 20% energi total berasal dalam dari lemak, 1 – 2% energi total berasal dari asam lemak esensial (asam linoleat) (Almatsier 2004).
Kebutuhan Karbohidrat Karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi (1 gr karbohidrat menghasilkan 4 kkal). Dianjurkan 60 – 70% energi total berasal dari karbohirat. Pada ASI dan sebagian besar formula bayi, 40 – 50 % kandungan kalori berasal dari hidrat arang, terutama laktosa. Salah satu keuntungan adanya laktosa dalam makanan bayi adalah terjadinya pembentukan flora yang bersifat asam dalam usus besar yang meningkatkan absorbsi kalsium dan menurunkan absorbsi fenol.
Angka Kecukupan Gizi (AKG) Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) adalah pedoman kuantitatif untuk mikronutrien, energi dan protein yang penting, khususnya dalam mencegah defisiensi gizi pada berbagai subkelompok populasi (Gibney et al., 2009). AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, barat badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan fisiologis seperti hamil atau menyusui. Angka kecukupan gizi berbeda dengan angka kebutuhan gizi. Angka kebutuhan gizi menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat.
23
Angka kecukupan energi dan protein untuk balita umur 0 - 6 tahun berdasarkan SK Menkes RI Nomor : 1593/ Menkes/ SK/XI/ 2005 tanggal 24 November 2005, tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi bagi Anak Usia 0 – 6 tahun (per hari)
1
Kelompok Umur 0 – 6 bulan
2
7 – 11 bulan
8,5
71
650
16
3
1 – 3 tahun
12,0
90
1.000
25
4
4 – 6 tahun
17,0
110
1.550
39
No
Berat Badan (Kg) 6,0
Tinggi Badan (Cm) 60
Energi (Kkal) 550
Protein (gram) 10
Sumber : LIPI (2004)
Pendapatan Keluarga Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang cukup. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik tetapi mutu makanan tidak selalu membaik. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling dipengaruhi oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi anak (Suhardjo 2002). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan
24
nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil (Todaro & Smith 2009). Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al 1990).
Besarnya Keluarga Besarnya anggota keluarga adalah jumlah semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tinggal satu atap dan makan dari satu dapur. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orang tua. Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
25
keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2002). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anakanak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suhardjo 2002).
Pendidikan Ibu Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengusahaan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI 1999). Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah di alami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang
dalam
kesehatan terutama pada pola asuh anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya. Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator sosial dalam masyarakat karena melalui pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah citra sosialnya. Disamping itu tingkat pendidikan dapat juga dijadikan sebagai cermin keadaan sosial ekonomi didalam masyarakat. Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya adalah untuk menghilangkan faktor-faktor perilaku dan sosial budaya yang merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menumbuhkan perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga baik individu maupun masyarakat itu dapat meningkatkan sendiri taraf kesehatan masyarakat (Soekirman 2000).
26
Pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi penambahanan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, akan tetapi juga merupakan bekal atau sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih baik taraf kesehatannya. Peran organisasi wanita seperti PKK untuk menjangkau kelompok wanita yang lebih dalam peningkatan kesejahteraan termasuk taraf gizi dan kesehatan yang lebih baik. Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga seharihari, perilaku higienis ibu. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pola pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
Penyakit Infeksi Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang,
pakaian atau
barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor 1997). Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi 2003). Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan
27
mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu : 1
Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorbsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
2
Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus.
3
Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi dimana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang lebih berat, dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut (Supariasa et al 2002). Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Anak yang menderita sakit infeksi juga akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes RI 1999). Menurut John Rohde dkk, kematian bayi sebesar 57% dan 54% kematian anak di Jawa disebabkan karena kurang gizi yang disertai penyakit infeksi yang sebenarnya bukanlah penyakit berbahaya apabila penyakit ini menyerang anak yang status gizinya baik (Rohde et al 1978). Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak antara lain :
28
Diare Bayi dan balita dinyatakan menderita diare, apabila buang air besar tidak normal atau bentuk tinja encer dengan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi kronis. Diare akut yaitu diare yang berlangsung secara mendadak, tanpa gejala gizi kurang dan demam serta berlangsung beberapa hari. Sedangkan yang dimaksud diare kronik yaitu diare yang berlanjut sampai lebih dari 2 minggu, biasanya disertai dehidrasi (penderita banyak kehilangan dan elektrolit tubuh) (Sulistijani & Maria 2003). Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui bahwa sulit menentukan kelainan yang mana yang terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya. Akibat diare yaitu tubuh banyak mengeluarkan cairan (dehidrasi) dan mineral, terjadi gangguan gizi karena makanan yang diserap kurang, sedangkan pengeluaran energi bertambah, kadar gula darah dalam tubuh menurun (dibawah normal) atau hipoglikemia dan sirkulasi darah terganggu (Sulistijani & Maria 2003).
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut. Salah satu penyebab kematian bayi dan anak balita disebabkan oleh ISPA yang diakibatkan oleh penyakit pnemonia (infeksi paru yang berat). Pneumonia adalah penyakit karena infeksi pada bagian saluran pernafasan (paru-paru), yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Tanda-tandanya, batuk, pilek, nafas cepat, dan kesulitan bernafas (Sulistijani & Maria 2003). Pemeliharaan gizi anak harus diperhatikan sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi. Pemberian imunisasi terhadap beberapa penyakit seperti penyakit tuberkulosa, campak, polio dan sebagainya harus dilakukan sesuai waktu. Disamping itu pemeliharaan hygiene dan sanitasi lingkungan sangat penting sebagai upaya pencegahan infeksi (Moehji 2003)
29
Tuberkolosis Paru (TB Paru) Tuberkulosis Paru adalah penyakit paru akibat infeksi kompleks organisme M tuberkulosis. Semua infeksi paru disebabkan oleh inhalasi tetes berinti yaitu partikel kecil (1-5 µm) dari sekresi saluran pernafasan yang berisi sedikit (1-3) basilus tuberkel. Tetes berinti biasanya dihasilkan bila individu dengan penyakit saluran pernafasan yang diakibatkan M tuberkulosis mengalami batuk, bersin atau bicara. Sekresi ini tetap mengambang diudara sampai terhisap, kemudian dapat mencapai ruangan alveolus dalam paru karena ukurannya yang kecil. Penyakit tuberkulosis atau lazim disebut TBC merupakan suatu penyakit menular yang dapat menyerang semua kelompok masyarakat. Semua orang dari berbagai golongan umur, status sosial ekonomi, ras maupun suku bangsa dan tempat tinggal memiliki resiko untuk terkena penyakit TBC (Prabu 1996). Individu dengan nutrisi buruk atau dibawah standar, kehidupan yang penuh sesak dan penderita dengan silikosis, kanker, diabetes melitus atau infeksi bersama HIV dan orang-orang yang mendapat imunosupresif kartikosteroid atau obat sitotoksik terutama rentan terhadap tuberkulosis. Insiden kematian yang disebabkan tuberkulosis sudah jauh menurun sesudah ditemukannya kemoterapi. Akan tetapi akhir-akhir tahun ini cenderung mengalami peningkatan kematian. Hal ini disebabkan oleh memburuknya keadaan sosial ekonomi dan kesehatan individu seperti kemiskinan dan nutrisi yang kurang memadai. Infeksi tuberkulosis jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi tuberkulosis yang berat dan progrsif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup biasanya ditemukan infeksi tuberkulosis dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu keadaan undernutrisi selama 2 – 3 mingu berikutnya. Dengan demikian keadaan gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran baksil TBC dalam tubuh sehingga terjadi TBC miliaris.
30
Sanitasi Lingkungan Perilaku dapat diartikan sebagai suatu respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam yaitu bentuk pasif dan aktif. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap bathin dan pengetahuan. Sedangkan bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, misalnya ibu membawa anaknya ke puskesmas (Notoatmodjo 2003). Hygiene adalah cara atau kebiasaan hidup seseorang untuk menjaga kesehatannya sebagai salah satu cara pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya maupun pada orang lain. Lebih khusus lagi higiene perorangan adalah semua hal yang berhubungan dengan kebersihan badan.
Higiene perorangan
penting karena bagian-bagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung dan mulut merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari makanan selama penyiapan, pengolahan dan penyajian melalui sentuhan dan pernafasan (Kamus Gizi 2009). Range et al (1997) dalam Yuliati (2008) menyatakan bahwa pola asuh kesehatan tidak terlepas dari praktek hidup bersih yang diterapkan oleh ibu. Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes RI (1999), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini, antara lain memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci rambut (keramas), mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggunakan alas kaki saat berada di luar rumah dan sebagainya. Pola asuh kesehatan anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Hasil penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Klemesu dan Margaret (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu sangat berhubungan dengan pola asuh kesehatan. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo 2003).
31
Sarana Pembuangan Air Limbah Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainya, dan pada umumnya mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah kombinasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada. Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa air buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik kegiatan rumah tangga maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan, dan sebagainya. Meskipun merupakan air sisa, namun volumenya besar, karena lebih kurang 80% dari air yang digunakan bagi kegiatan-kegiatan manusia sehari-hari tersebut dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor (tercemar). Selanjutnya air limbah ini akhirnya akan mengalir ke sungai dan laut dan akan digunakan oleh manusia lagi. Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola secara baik. Pegolahan air limbah dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup terhadap pencemaran air limbah tersebut. Secara ilmiah sebenarnya lingkungan mempunyai daya dukung yang cukup besar terhadap gangguan yang timbul karena pencemaraan air limbah tersebut. Namun demikian, alam tersebut mempunyai kemampuan yang terbatas dalam daya dukungnya, sehingga air limbah perlu dibuang.
Air Bersih dan Sanitasi Sumber air meliputi : a. Air permukaan Air permukaan terdiri dari air sungai, air danau dan air waduk. Apabila ingin dikonsumsi maka diperlukan pengolahan terlebih dahulu. Air sungai dapat terjadi melalui air dipermukaan bumi (misalnya dari air hujan), air tanah (air dari mata air), campuran dari keduanya. Karakteristik air sungai pada umumnya dimusim penghujan debitnya cukup besar akan tetapi kualitas airnya jelek. Sedangkan pada musim kemarau debit air sedikit dengan kualitas yang baik, kecuali air sungai di kota yang terpopulasi.
32
b. Air tanah (dangkal dan dalam) Air tanah merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi dan meresap ke dalam tanah. Pada saat proses pengaliran dan peresapan, mengalami proses penyaringan alamiah, sehingga jumlah dan jenis mikroba maupun kadar kimia yang terkandung didalam air tersebut berkurang, tergantung dari lapisan tanah yang dilaluinya. c. Air angkasa. Air angkasa terdaftar di atmosfir, meliputi air hujan, embun dan salju. Pada umumnya kualitas cukup baik, tapi dapat pula terkontaminasi oleh polutan di udara sehingga dapat mengakibatkan kerusakan terhadap logam yaitu timbulnya karat. Air hujan bersifat lunak karena tidak sedikit mengandung garam dan zat mineral sehingga kurang segar. Air hujan mengandung beberapa zat yang ada di udara seperti NH3, SO3 dan CO2 agresif sehingga bersifat korosif. Darisegi bakteriologis relatif lebih bersih tergantung tempat penampungan. Air hujan bisa dijadikan sumber air bagi masyarakat.
Pemantauan Pertumbuhan Anak Kejadian gizi buruk tidak terjadi secara akut tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup selama beberapa bulan sebelumnya yang bisa diukur dengan melakukan penimbangan setiap bulan (Depkes RI 2005). Penimbangan balita setiap bulan yang dilakukan di Posyandu merupakan sarana efektif untuk memantau pertumbuhan dan melakukan aksi koreksi secara dini jika terjadi gangguan pertumbuhan sehingga tidak berkembang menjadi gizi buruk. Namun, kinerja pemantauan pertumbuhan di posyandu dilaporkan belum optimal, sehingga kasus-kasus gizi buruk lebih banyak ditemukan diluar mekanisme posyandu (Depkes RI 2005). Posyandu adalah suatu forum komunikasi dan alih teknologi pelayanan kesehatan oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan manusia sejak dini. Berdasarkan Inmendagri nomor 23/1989 tentang Kelompok Kerja Operasional Posyandu (Pokjanal Posyandu), secara
33
konseptual posyandu adalah kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan bantuan teknis dari petugas (Depkes RI 2005). Pembentukan posyandu pada awalnya, berdasarkan instruksi bersama Mendagri, Menkes dan Kepala BKKBN tertanggal 22 April 1985, posyandu adalah penyatuan atau penyerasian paling sedikit dua program. Pada perkembangan berikutnya, dikenal 5 program prioritas di posyandu, yaitu program gizi, kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), imunisasi dan penanggulangan diare. Kelima program ini sering disebut K5P atau keterpaduan 5 program (Depkes RI 2005). Selain kelima program tersebut, posyandu mempunyai kegiatan penunjang lainnya, seperti : dana sehat, koperasi simpan pinjam dan arisan. Program gizi yang dilaksanakan di posyandu adalah : pemantauan pertumbuhan balita atau yang dikenal dengan penimbangan bulanan balita (meja 1 sampai 3), penyuluhan gizi di meja 4, pemberian makanan tambahan (PMT), pemberian paket pertolongan gizi (PPPG) dan kegiatan penunjang lainnya sesuai kemampuan pengelola posyandu. Kegiatan penunjang ini antara lain : demo pembuatan makanan pendamping ASI untuk anak, praktek masak non beras, penyuluhan tanaman pekarangan, pembagian MP-ASI (pabrikan) dan lain-lain. Penimbangan bulanan balita pada hakekatnya adalah upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita disertai kegiatan promosi. Dalam beberapa literatur disebut growth monitoring and promotion (GMP). Bank Dunia menggunakan istilah growth promotion.
Selanjutnya dalam tulisan ini
diterjemahkan menjadi program promosi dan pemantauan pertumbuhan balita atau disingkat P3B. Dalam program P3B tercakup kegiatan menimbang (weighing), pencatatan hasil penimbangan di KMS (charting), identifikasi masalah pertumbuhan
(identifying),
dan
promosi
atau
penyuluhan
terkait
hasil
penimbangan (responding to promote). Seorang anak yang mengikuti secara rutin (teratur) pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat terlindungi dari kemungkinan
gangguan
pertumbuhan yang serius, seperti gizi buruk. Panduan surveilans gizi dijelaskan, seorang anak yang mengalami 3 kali tidak naik berat badan atau berat badan
34
berada di bawah garis merah, maka dikatakan mengalami gangguan pertumbuhan dan harus segera mendapat penanganan (treatment) agar tidak berkembang menjadi gizi buruk. Peranan ibu atau pengantar anak (caretaker) sangat menentukan. Proses pemantauan pertumbuhan yang tidak melibatkan mereka (dalam penyuluhan gizi, misalnya) merupakan proses yang gagal (Grant , 1987). Hal terpenting bagi keberhasilan pemantauan pertumbuhan adalah pemahaman ibu terhadap KMS (growth charts). Menurut Morley (1993), diperlukan waktu sampai 9 bulan (9 kali kunjungan) bagi seorang ibu untuk memahami dengan baik kurva pertumbuhan.
Pelayanan Kesehatan Dasar Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit atau klinik lainnya. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan karena hambatan ekonomi maupun non ekonomi seperti jarak yang jauh, tidak mampu membayar, kurang pengetahuan dan penyebab lainnya merupakan masalah dan kendala masyarakat/keluarga dalam memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia yang pada akhirnya akan berakibat pada kondisi status gizi anak. Pelayanan kesehatan dasar antara lain meliputi pemantauan pertumbuhan anak, pemberian imunisasi, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi status kurang gizi pada anak balita (UNICEF 1998). Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemantauan pertumbuhan anak di posyandu, pelayanan kesehatan lainnya di polindes, puskesmas dan rumah sakit.
35
Peran pelayanan kesehatan telah lama diadakan untuk memperbaiki status gizi balita. Akses pelayanan kesehatan sangat dibutukan dalam penanganan cepat kasus masalah kekurangan gizi teutama gizi buruk. Akses yang tersedia dan mudah dijangkau masyarakat akan sangat membantu dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan sub sistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan) (Notoatmodjo 2003). Akses kesehatan dibedakan menjadi 3 bentuk pelayanan yaitu : 1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care). Pelayanan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Bentuk pelayanan ini misalnya, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, dan Balkesmas. 2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health service). Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan oleh kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan menginap, yang sudah tidak bisa ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Bentuk pelayanan ini misalnya, rumah sakit tipe C dan tipe D. 3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health service). Pelayanan kesehatan ini diperlukan oleh sekelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder. Pelayanan yang sudah kompleks, misalnya rumah sakit tipe A dan B (Notoatmodjo 2003). Sistem akses kesehatan, ketiga strata atau jenis pelayanan tersebut tidak berdiri sendiri, namun berada dalam suatu sistem, dan saling berhubungan. Apabila akses kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer, maka menyerahkan tanggungjawab tersebut kepada pelayanan diatasnya.
36
Penyerahan tanggungjawab dari suatu akses kesehatan ke akses kesehatan yang lain ini disebut rujukan, ialah suatu sistem penyelenggaraan akses kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggungjawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani, atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya (Notoatmodjo 2003).
Penanggulangan Masalah Kurang Gizi Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita untuk pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak : 1
Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2
Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3
Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4
Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
5
Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan
37
meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia dikemudian hari. Menurut Menteri Kesehatan RI, tanggung jawab pemerintah Pusat dalam hal ini Depkes adalah merencanakan dan menyediakan anggaran bagi keluarga miskin melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat, membuat standar pelayanan, buku pedoman serta melakukan pembinaan dan supervisi program ke provinsi, kabupaten dan kota. Dalam kaitannya dengan gizi buruk, Depkes pada tahun 2005 telah
mencanangkan
Rencana
Aksi
Nasional
(RAN)
Pencegahan
dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005–2009. Pemerintah berusaha meningkatkan aktivitas pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu melalui penambahan anggaran penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk. Paradigma baru dalam penanggulangan masalah gizi sebagaimana disampaikan Soekirman (2001) menekankan pentingnya outcome daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome sesuai dengan yang diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Kebijakan program gizi yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya.
38
KERANGKA PEMIKIRAN Berat bayi lahir merupakan salah satu faktor penentu kelangsungan hidup dan pertumbuhan selanjutnya. Bayi yang dilahirkan dalam keadaan gizi baik (BBLC) dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan dengan gizi kurang (BBLR) cenderung memberikan gambaran yang berbeda dalam kelangsungan hidup dan pertumbuhan selanjutnya. Menurut Ebrahim 1985, anak yang dilahirkan dari ibu dengan gizi kurang di lingkungan miskin akan mengalami gizi kurang dan mudah terkena infeksi dan selanjutnya menghasilkan wanita dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang (Yongky 2007). Terjadinya BBLR merupakan hasil interaksi antara sosiodemografi, status gizi ibu hamil, status obstetrik, sosial ekonomi keluarga dan faktor intriksi janin. Secara garis besar BBLR dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor maternal dan faktor janin. Faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR adalah penyakit infeksi, pendidikan ibu yang rendah, ibu yang tidak menikah, hipertensi, pre eklampsia, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia), premature rupture, plasenta previa, kelahiran < 37 minggu dan kurang gizi. Penelitian Singh et al (2007) di AS, melaporkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum hamil < 20, pemeriksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan maternal faktors penyebab BBLR, sedangkan kadar Hb, umur ibu dan paritas tidak berhubungan dengan BBLR. Ada juga penelitian di India yang melaporkan bahwa kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang, ANC yang terlambat, kehamilan pada umur belasan tahun dan sosial ekonomi yang rendah memberikan dampak yang besar terhadap bayi beat lahir rendah (Velankar 2008). Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF 1998, gizi salah (malnutrition) disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh akses dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan ditingkat rumah tangga.
39
Dari kerangka pemikiran tersebut, dapat disusun bagan hubungan faktorfaktor yang dijadikan peubah pada penelitian. Bagan pada gambar 1 menunjukan faktor faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
Pelayanan kesehatan
Sosial ekonomi-demografi - Pengeluaran perkapita - Pendidikan ibu - Status Gizi Ibu - Jumlah Anggota Keluarga
Pemeriksaan Kehamilan
Akses terhadap Yankes Sanitasi lingkungan Paparan terhadap Polutan : Kebiasan merokok dalam rumah tangga Status Gizi Ibu IMT Sebelum hamil Status Gizi Ibu Hamil Pertambahan BB selama hamil
Ketersediaan Makanan
Berat Bayi Lahir
Konsumsi Gizi
Status Gizi Anak usia 6 – 11 bulan
- Pola Asuh - Pengetahuan Ibu
Penyakit Infeksi saat hamil
Penyakit Infeksi
Karakteristik Ibu Umur Ibu Tinggi Badan Ibu Paritas
Sanitasi lingkungan Pelayanan Kesehatan - Pemantauan pertumbuhan - Akses tehadap Yankes - Pemanfaatan Yankes
Sosial ekonomi Pendidikan ibu Pengeluaran perkapita
Keterangan :
Gambar 1
: Variabel
diteliti
: Variabel
tidak diteliti
Kerangka pemikiran faktor faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan
40
Hipotesis 1
Ada pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera.
2
Ada hubungan penyakit infeksi,
pemantauan pertumbuhan, akses dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan. 3
Ada hubungan sosial ekonomi - demografi dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
4
Ada hubungan antara umur ibu waktu hamil, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok dan sosial ekonomi dengan berat bayi lahir.
41
METODE Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas terdiri dari status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan, perilaku kesehatan dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Data dasar ini, bukan saja berskala nasional, tetapi juga menggambarkan berbagai indikator kesehatan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Riskesdas 2007 adalah riset berbasis komunitas dengan sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat mewakili populasi ditingkat kabupaten/kota (Depkes RI 2008).
Desain dan Lokasi Riskesdas Riskesdas merupakan survei dengan rancangan desain cross sectional dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif. Sampel Riskesdas 2007 di tingkat kabupaten/kota berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota) yang tersebar di 33 provinsi se Indonesia. Kabupaten yang tidak termasuk dalam sampel Riskesdas dikarenakan kabupaten tersebut merupakan pengembangan dari kabupaten baru yang pada saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan yaitu sebanyak 16 kabupaten.
Populasi dan Sampel Riskesdas Populasi pada Riskesdas 2007 adalah seluruh rumah tangga di Indonesia. Sampel adalah rumah tangga dan anggota rumah tangga yang diambil dengan metodologi dan cara penarikan sampel identik dengan two stage sampling yang digunakan dalam Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan dan penarikan sampel dalam Riskesdas : a.
Penarikan sampel blok sensus
42
Riskesdas menggunakan sepenuhnya sampel yang yang terpilih dalam Susenas 2007, jika dalam sebuah blok sensus terdapat lebih dari 150 rumah tangga maka dalam penarikan sampel akan dibentuk sub blok sensus b.
Penarikan sampel rumah tangga Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling) yang menjadi sampel rumah tangga dengan jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut.
c.
Sampel anggota rumah tangga. Selanjutnya, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses penarikan sampel tersebut diambil sebagai sampel individu.
Cara Pengumpulan Data Riskesdas Pengumpulan data dalam Riskesdas 2007 dilakukan dengan teknik wawancara. Kuisioner rumah tangga terdiri atas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan anggota rumah tangga, mortalitas, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan konsumsi. Selain kuesioner rumah tangga, terdapat pula kuesioner individu. Sampel pada kuesioner individu adalah seluruh anggota rumah tangga yang tinggal di rumah. Kuisioner individu terdiri atas identifikasi responden, penyakit, ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap dan perilaku, disabilitas, kesehatan mental, dan pengukuran antropomeri. Riskesdas 2007 melakukan pengukuran biomedis dan pada blok sensus kabupaten/kota terpilih dilakukan pula penarikan sampel pemeriksaan yodium. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian adalah 10 provinsi di wilayah Sumatera. Populasi pada penelitian adalah rumah tangga yang mempunyai anak usia 6 – 11 bulan. Sebagai unit sampel yaitu anak usia 6 - 11 bulan dan ibunya. Sampel awal pada penelitian ini berjumlah 2.822 rumah tangga yang mempunyai anak usia 6 – 11 bulan. Kriteria inklusi penelitian yaitu anak usia 6 – 11 bulan yang mempunyai catatan berat badan lahir dan dilakukan pengukuran berat badan serta panjang badan sehingga sampel yang memenuhi syarat penelitian menjadi 1.749 rumah tangga.
43
Data yang dikumpulkan meliputi ; berat bayi lahir, status gizi anak setelah berusia 6 – 11 bulan, penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi – demografi. Selain itu juga dikumpulkan data karakteristik risiko BBLR yang meliputi ; umur ibu waktu hamil, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan kebiasaan merokok.
Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 2007 dan SAS. Penentuan nilai Z score berdasarkan berat badan, tinggi badan dan umur anak menggunakan software Anthro WHO versi 3.0.1 2009. Sebelum pengolahan dilakukan cleaning data sesuai dengan kriteria yang ditetapkan peneliti. Pengolahan data dilakukan terhadap dua unit sampel yaitu anak usia 6 – 11 bulan dan ibu/orang tua anak. Untuk mempermudah dalam pembahasan maka variabel penelitian dikategorikan sesuai dengan skala pengukuran yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Pengkategorian Variabel Penelitian Variabel
Kategori Pengukuran
Berat bayi lahir
- < 2.500 gram (BBLR) - 2.500 - < 3.000 gram - 3.000 - < 3.500 gram - ≥3.500 gram Berdasarkan indikator BB/U – Gizi Buruk Z-score < -3,0 – Gizi Kurang Z-score ≥-3,0 s/d Z-score <-2,0 – Gizi Baik Z-score ≥-2,0 s/d Z-score ≤2,0 – Gizi Lebih Z-score >2,0 Berdasarkan indikator TB/U: – Sangat Pendek Z-score < -3,0 – Pendek Z-score ≥-3,0 s/d Z-score <-2,0 – Normal Z-score ≥-2,0 Berdasarkan indikator BB/TB: – Sangat Kurus Z-score < -3,0 – Kurus Z-score ≥-3,0 s/d Z-score <-2,0 – Normal Z-score ≥-2,0 s/d Z-score ≤2,0 – Gemuk Z-score >2,0
Status Gizi anak usia 6 – 11 bln
44
Variabel
Kategori Pengukuran
Status Gizi Ibu
-
Pemantauan pertumbuhan Akses terhadap Yankes Pemanfaatan Yankes
Sanitasi lingkungan
Tahun pendidikan
Pemeriksaan kehamilan Penyakit Infeksi Kebiasaan merokok Tingkat paritas
Umur Ibu Tinggi badan ibu Tingkat Pengeluaran perkapita
Jumlah anggota keluarga
Kurus jika IMT < 18,5 Normal jika IMT 18,5 – 25,00 Gemuk jika IMT 25,01 – 27,00 Obes jika IMT > 27,00 Buruk jika tidak pernah melakukan pemantauan Kurang jika 1 - 3 kali dalam 6 bulan terakhir. Baik jika ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir Buruk jika < 60% Kurang jika 60 - 80% Baik jika > 80% Buruk jika < 60% Kurang jika 60 - 80% Baik jika > 80% Buruk jika < 60% Kurang jika 60 - 80% Baik jika > 80% < 9 tahun 9 – 12 tahun > 12 tahun ≥4 kali selama kehamilan Tidak pernah atau < 4 kali selama kehamilan Infeksi jika pernah menderita infeksi Tidak infeksi jika tidak pernah terkena infeksi Merokok Tidak Merokok Kelahiran/anak pertama Kelahiran/anak kedua Kelahiran/anak ≥ketiga Umur Risiko (< 20 s/d > 35 tahun) Tidak Risiko ( 20 s/d 35 tahun) Risiko ( < 150 cm) Tidak risiko (≥150 cm) Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5 Besar jika jumlahnya ≥7 orang Sedang jika 5 – 6 orang Kecil jika ≤4 orang
45
Analisis Data Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel dependen dan independen. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dan agar dapat memperkirakan berat bayi lahir dan status gizi anak serta untuk mengkuantifikasi hubungan variabel dependen dan independen dilakukan analisis
Regresi Linier Berganda dan dalam proses
estimasi parameter menggunakan metode Stepwise. Peubah – peubah yang diduga berhubungan dengan berat bayi lahir yaitu umur, tinggi badan, paritas, jarak kelahiran, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, kebiasaan merokok, sanitasi dan sosial ekonomi (pendidikan ibu dan pengeluaran perkapita). Model persamaan Regresi linier berganda adalah sebagai berikut : Ŷ Ŷ β1, β2,.......... βn € β0 X1,X2 ....... Xn
= β0+β1X1+ β2 X2+ ......................... + βn Xn+ €
: Variabel terikat (Berat Bayi Lahir) : Koefisien Regresi : Galat : Intercept : Variabel bebas
Variabel bebas : X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9
: : : : : : : : :
Pendidikan Ibu Tinggi Badan Ibu Sanitasi Lingkungan Umur Ibu saat hamil Pemeriksaan Kehamilan (ANC Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Paritas Pengeluaran Rumah Tangga Kebiasaan Merokok
Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan juga dilakukan uji Regresi linier berganda dan dalam proses estimasi parameter menggunakan metode Stepwise. Status gizi anak dinilai berdasarkan tiga indikator yaitu BB/U, BB/TB dan TB/U. Peubah-peubah yang diduga berhubungan dengan status gizi anak adalah berat bayi lahir, penyakit infeksi,
46
pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi demografi (pengeluaran perkapita, pendidikan ibu. status gizi ibu dan jumlah anggota keluarga). Model persamaan Regresi linier berganda adalah sebagai berikut :
Ŷ
= β0 +β1X1+ β2 X2+ ........................ + βn Xn + €
Ŷ
: Variabel terikat (Status Gizi Anak Indikator ; BB/U, BB/TB dan TB/U)) β1, β2,.......... βn : Koefisien Regresi € : Galat β0 : Intercept X1,X2 ....... X n : Variabel bebas Variabel bebas : X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10
: : : : : : : : : :
Jumlah Anggota Rumah Tangga Pemantauan Pertumbuhan Berat Bayi Lahir Pendidikan Ibu Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Sanitasi Lingkungan Penyakit Infeksi Akses Terhadap Pelayanan Kesehatan Status Gizi Ibu Pengeluaran Rumah Tanggga
Definisi Operasional Berat Bayi Lahir Berat bayi baru lahir yang ditimbang dengan timbangan bayi segera pada saat bayi lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir. Status Gizi anak usia 6 – 11 bulan Keadaan gizi anak usia 6 – 11 bulan yang diamati berdasarkan indikator berat badan menurut umur, panjang badan menurut umur dan berat badan menurut panjang badan dengan standart antropometri WHO 2005.
47
Penyakit Infeksi Penyakit infeksi yang pernah diderita oleh anak yang dinilai berdasarkan penyakit TB Paru, campak, demam berdarah yang pernah diderita dalam 12 bulan terakhir dan penyakit diare, ISPA, pneumonia, malaria, typoid yang pernah diderita dalam 1 bulan terakhir yang diukur melalui wawancara dengan orang tua anak. Status Gizi Ibu Keadaan gizi ibu pada saat mempunyai anak usia 6 – 11 bulan yang dianalisis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT = BB (kg) / TB2 (m). Pendidikan Ibu Lamanya pendidikan formal yang pernah ditempuh dan ditamatkan oleh ibu balita yang dihitung dalam tahun. Pemeriksaan Kehamilan (ANC) Pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan kehamilan yang diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan secara berkala selama kehamilannya, dengan jumlah standar kunjungan selama hamil minimal 4 kali. Umur Ibu Umur ibu pada waktu hamil terakhir yang dihitung berdasarkan selisih tahun pencatatan/penelitian dibanding tahun lahir yang dihitung dalam tahun penuh. Paritas Urutan kelahiran anak, baik kelahiran hidup maupun bayi mati dengan jumlah bayi yang dilahirkan tunggal atau kembar. Tinggi Badan Ibu Ukuran jarak dari ujung kaki sampai ujung kepala ibu pada posisi tegak berdiri tanpa menggunakan alas kaki dengan posisi kepala lurus kedepan yang diukur dengan microtoice. Pengeluaran perkapita Pengeluaran rata-rata setiap bulan perorang yang dihitung berdasarkan pengeluaran baik untuk keperluan pangan maupun non pangan yang dihitung dari total pengeluaran keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang ada.
48
Pemantauan Pertumbuhan Kegiatan yang dilakukan oleh ibu/pengasuh anak dalam upaya pemantauan status gizi anaknya ke sarana pelayanan kesehatan dalam enam bulan terakhir baik di pelayananan kesehatan maupun UKBM. Sanitasi Lingkungan Kondisi kesehatan lingkungan keluarga responden yang diukur berdasarkan air bersih yang digunakan, pembuang limbah/sampah dan keadaan lingkungan tempat tinggal. Akses Pelayanan Kesehatan Tingkat kemudahan dalam mengakses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang tersedia baik pemerintah maupun UKBM yang ada. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan pemanfaatan pelayanan kesehatan baik untuk memperoleh pengobatan, penyuluhan, imunisasi dan perbaikan gizi balita terhadap pelayanan yang telah tersedia baik pemerintah maupun UKBM yang ada. Jumlah Anggota Keluarga Banyaknya anggota dalam rumah tangga yaitu semua orang yang bertempat tinggal dalam satu rumah, baik berada di rumah ataupun tidak ada pada saat penelitian dan makan dari satu dapur yang sama. Kebiasaan Merokok dalam Rumah Tangga Kebiasaan kepala keluarga (bapak) dalam menghisap rokok di dalam rumah yang dinilai berdasarkan kebiasaan merokok atau tidak merokok.
49
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Hasil pemilahan data dari sebanyak 2.822 rumah tangga yang mempunyai anak usia 6 - 11 bulan yang berasal dari 10 provinsi di Sumatera, hanya 1.749 rumah tangga yang memenuhi syarat untuk dianalisis datanya. Sampel yang dianalisis yaitu mempunyai catatan berat lahir dan dilakukan pengukuran berat badan serta panjang badan ketika anak berusia 6 – 11 bulan. Tabel 3 Karakteristik Responden (Berat Bayi Lahir dan Anak 6 – 11 bulan) No Peubah
n
%
83 461 687 518
4,7 26,4 39,3 29,6
2 Status Gizi Anak (BB/U) - Buruk - Kurang - Normal - Lebih
85 160 1.436 76
4,6 9,1 81,7 4,3
3 Status Gizi Anak (BB/TB) - Sangat Kurus - Kurus - Normal - Gemuk
281 155 1.016 304
15,8 8,9 57,9 17,3
4 Status Gizi anak (TB/U) - Sangat Pendek - Pendek - Normal
330 177 1.250
18,8 10,1 71,1
5 Pemantauan Pertumbuhan - Tidak Pernah - < 1 - 3 kali - ≥4 kali
146 345 1.266
8,3 19,6 72,2
828 929
47,1 52,9
1 Berat Bayi Lahir (gram) - < 2.500 (BBLR) - 2.500 - < 3.000 - 3.000 - < 3.500 - ≥3.500
6 Penyakit Infeksi - Tidak Infeksi - Infeksi
Rata rata ± SD
Minimummaksimum
3.153 ± 505,02
1.300 s/d 5.200
- 0,517± 1,52
-5,6 s/d 5,53
0,35 ± 2,719
-6,96 s/d 6,28
0,022 ± 3,221
-5,95 s/d 6,14
4,62 ± 1,91
0 s/d 11
50
Tabel 4 Karakteristik Ibu dan Keluarga
No Peubah
n
%
150 1.120 164 197
9,2 68,7 10,1 12,1
2 Umur Ibu Saat Hamil - Risiko (< 20 atau > 35 thn) 414 - Tidak Risiko (20 s/d 35 thn) 1.335
23,7 76,3
1 Status Gizi Ibu (IMT) - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas
3 Pendidikan Ibu (tahun) - Rendah (< 9 tahun) - Sedang (9 - 12 tahun) - Tinggi (> 12 tahun)
585 480 692
33,3 27,3 39,4
4 Tinggi Badan Ibu - Risiko ( < 150 cm) - Tidak Risiko (≥150 cm)
401 1.192
25,2 74,8
5 Pemeriksaan Kehamilan - < 4 kali - ≥4 kali
156 1.589
8,9 91,1
6 Paritas - ≥3 orang - 2 orang - 1 orang
670 474 590
38,6 27,3 34,1
7 Pengeluaran (Rp) - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V
472 431 344 299 203
27,0 24,6 19,7 17,1 11,6
8 Jumlah Anggota Keluarga - Besar (≥7 orang) - Sedang (5 – 6 orang) - Kecil (≤4 orang) 9 Kebiasan merokok KK - Merokok - Tidak
319 654 784
18,2 37,2 44,6
1.115 121
90.2 9.8
Rata rata±SD
MinimumMaksimum
22,69 ± 3,69
10 s/d 40
27,66 ± 5,98
14 s/d 49
4,01 ± 1,16
0 s/d 16
152,69 ± 5,81
133 s/d 175
2,54 ± 1,76
1 s/d 12
1.513.150 ± 815.800
188.850 s/d 8.406.400
5,02 ± 1,71
2 s/d 12
51
Prevalensi bayi dengan berat lahir < 2.500 gram (BBLR) yaitu 4,7% dan rata - rata berat bayi lahir 3.153 gram dengan berat lahir paling rendah 1.300 gram dan tertinggi 5.200 gram. Masalah gizi pada anak usia 6 – 11 bulan ; gizi buruk 4,6%, sangat kurus 15,8% dan sangat pendek 18,8%. Masalah gizi akut / wasting yaitu 24,7% (Sangat kurus + kurus), masalah gizi kronis / stunting yaitu 28,9% (Sangat pendek + pendek) dan masalah gizi kurang / underweight yaitu 13,7% (Gizi buruk + kurang). Selain itu terdapat masalah kegemukan pada anak di wilayah Sumatera yaitu 17,3%. Pemantauan pertumbuhan yang dinilai berdasarkan frekuensi penimbangan anak dalam 6 bulan terakhir ternyata 8,3% tidak pernah ditimbang, penimbangan secara teratur < 80% dan status kesehatan yaitu 52,9% pernah menderita penyakit infeksi (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat rata rata usia ibu pada saat hamil 27,66 tahun dan 23,7% hamil pada usia yang berisiko (< 20 atau > 35 tahun). Rata-rata tinggi badan ibu 152,69 cm dan rata-rata paritas 2,54 serta rata rata ibu berpendidikan tingkat sedang (SMP dan SMA). Sebagian besar ibu hamil pernah memeriksakan kehamilan yaitu 91,1%. Rata rata pengeluaran rumah tangga perkapita setiap bulan Rp 1.513.150,- dengan rata rata jumlah anggota keluarga 5 orang dan 90,2% kepala keluarga (Bapak) mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah setiap hari.
Tabel 5 Karakteristik Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan No Peubah
n
%
1 Sanitasi lingkungan - Buruk - Kurang - Baik
30 1.158 561
1,7 66,2 32,1
2 Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik
167 1.242 384
9,5 70,7 9,8
3 Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik
359 812 586
20,4 46,2 33,4
Rata rata ± SD
MinimumMaksimum
22,69 ± 3,69
11 s/d 52
10,39 ± 1,78
5 s/d 15
21,95 ± 5,43
8 s/d 42
52
Penilaian terhadap sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan beberapa pertanyaan dan kemudian dilakukan skoring. Hasil penilaian dikatakan buruk jika < 60%, kurang jika 60 - 80% dan baik jika > 80% dari total skor yang diperoleh. Berdasarkan Tabel 5,
sanitasi lingkungan tempat tinggal responden
dengan rata - rata skor 22,69 (60 – 80% dari skor total) artinya pada kondisi lingkungan kategori tingkat kurang. Akses terhadap pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagian besar masih kurang (70,7% dan 46,2%) serta masih ditemukan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang buruk di wilayah Sumatera yaitu masing - masing 9,5% dan 20,4%.
Berat Bayi Lahir
Berat bayi lahir adalah berat bayi yang baru lahir yang ditimbang dengan timbangan bayi segera saat bayi lahir sampai 24 jam pertama setelah lahir. Seorang bayi yang sehat dan cukup bulan, pada umumnya mempunyai berat badan lahir 3.000 gram atau lebih. Bayi dikatakan mempunyai berat bayi lahir rendah jika berat lahirnya kurang dari 2.500 gram (Depkes RI 2009). Tabel 6 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Provinsi di Sumatera Berat Bayi Lahir (gram) 2.500 - <3.000 3.000 - <3.500 ≥3.500 n % n % n %
No Provinsi
< 2.500 n %
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau
8 5,0 10 2,4 19 5,8 6 3,9 4 3,5 5 3,3 5 4,3 9 7,0 14 13,2 3 3,9
42 106 68 40 28 60 25 38 33 21
26,1 25,5 20,7 26,0 24,6 40,0 21,7 29,7 31,1 27,3
70 153 134 70 53 53 45 41 32 36
43,5 36,9 40,7 45,5 46,5 35,3 39,1 32,0 30,2 46,8
41 146 108 38 29 32 40 40 27 17
25,5 35,2 32,8 24,7 25,4 21,3 34,8 31,3 25,5 22,1
Total
83
561
26,4
687
39,3
518
29,6
4,7
53
Prevalensi bayi lahir dengan berat badan < 2.500 gram (BBLR) paling tinggi di Provinsi Bangka Belitung yaitu 13,2% sedangkan prevalensi BBLR terendah di Provinsi Sumatera Utara yaitu 2,4%. Prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan > 3.000 gram paling tinggi di Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Ada 2 provinsi yang banyak bayi lahir dengan berat badan < 3.000 gram yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung (43,3% dan 44,3%) sedangkan di Provinsi Bengkulu paling sedikit bayi yang lahir dengan berat badan < 3.000 gram yaitu 26% (Tabel 6).
Tabel 7 Sebaran Anak menurut Pelayanan Kesehatan, Sanitasi Lingkungan, Kebiasaan Merokok dan Berat Bayi Lahir No Peubah
1
2
3
4
< 2.500 n %
Berat Bayi Lahir (gram) 2.500 - <3.000 3.000 - <3.500 ≥3.500 n % n % n %
Pemeriksaan Kehamilan - Tidak - Ya
50 32,1 33 2,1
49 412
31,4 25,9
34 650
21,8 40,9
23 494
14,7 31,1
Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik
10 59 14
6,0 4,8 4,0
52 316 93
31,3 25,5 26,9
61 485 141
36,7 39,2 40,0
43 377 98
25,9 30,5 28,3
Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik
2 60 21
6,7 5,2 3,7
10 317 134
33,3 27,4 23,9
12 439 236
40,0 37,9 42,1
6 342 170
20,0 29,5 30,3
Kebiasaan Merokok - Ya - Tidak
51 8
4,6 6,6
312 26
28,0 21,5
428 45
38,4 37,2
324 42
29,1 34,7
Berdasarkan Tabel 7, pemeriksaan kehamilan terlihat mempunyai perbedaan dalam persentase berat bayi yang dilahirkan. Ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilan mempunyai prevalensi berat bayi lahir < 2.500 gram (BBLR) lebih tinggi dibandingkan ibu hamil yang memeriksakan kehamilan yaitu 32,1% dan 2,1%. Kelompok bayi dengan berat badan ≥2.500 gram lebih banyak
54
berasal dari ibu yang pada saat hamil melakukan pemeriksaan kehamilan dibandingkan dengan ibu yang tidak memeriksakan kehamilan. Akses
terhadap
pelayanan
kesehatan
yaitu
kemudahan
dalam
memperoleh/menjangkau pelayanan kesehatan. Kelahiran BBLR paling banyak berasal dari ibu yang tinggal dengan akses terhadap pelayanan kesehatan buruk dan kurang dibandingkan ibu dengan akses pelayanan kesehatan yang baik. Berdasarkan sanitasi lingkungan terlihat bahwa pada keluarga dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan kurang memiliki prevalensi BBLR lebih tinggi dibandingkan keluarga dengan sanitasi baik. Prevalensi bayi lahir dengan berat badan
≥ 3.500 gram kebanyakan berasal dari rumah tangga dengan kepala
keluarga yang mempunyai kebiasaan tidak merokok dalam rumah yaitu 34,7%.
Tabel 8 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi dan Berat Bayi Lahir Berat Bayi Lahir (gram) 2.500-< 3.000 3.000-<3.500 n % n %
≥3.500 n %
No
Peubah
1
Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V
25 22 14 15 7
5,3 5,1 4,1 5,0 3,4
112 126 89 79 55
23,7 29,2 25,9 26,4 27,1
190 157 128 115 97
40,3 36,4 37,2 38,5 47,8
145 126 113 90 44
30,7 29,2 32,8 30,1 21,7
Tinggi Badan Ibu - Risiko - Tidak Risiko
28 49
7,0 4,1
106 306
26,6 25,8
158 470
39,6 39,6
107 362
26,8 30,5
Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi
54 13 16
9,3 2,7 2,3
156 141 164 \
26,8 29,5 23,8
217 187 283
37,3 39,1 41,1
155 137 226
26,6 28,7 32,8
Umur Ibu - Risiko - Tidak Risiko
46 11,1 37 2,8
96 365
23,2 27,3
\ 159 528
38,4 39,6
113 405
\ 27,3 30,3
Paritas - Paritas ≥3 orang - Paritas 2 orang - Paritas 1 orang
37 16 30
149 116 191
22,2 24,5 32,4
272 183 229
40,6 38,6 38,8
212 159 140
31,6 33,5 23,7
2
3
4
5
< 2.500 n %
5,5 3,4 5,1
55
Berdasarkan
tingkat
pengeluaran
rumah
tangga,
semakin
tinggi
pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram. Ibu dengan tinggi badan risiko (<150 cm) mempunyai prevalensi berat badan lahir < 2.500 gram dan 2.500 - < 3.500 gram lebih tinggi dibandingkan ibu yang tinggi badan tidak risiko. Sebaliknya bayi lahir dengan berat badan ≥3.500 gram prevalensinya lebih tinggi pada kelompok ibu dengan tinggi badan tidak risiko. Berdasarkan
tingkat pendidikan, ibu yang pendidikannya rendah
(< 6 tahun) mempunyai prevalensi BBLR paling tinggi yaitu 11,3%. Sebaliknya bayi yang lahir dengan berat badan normal prevalensinya lebih tinggi pada ibu dengan pendidikan yang lebih baik yaitu tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Umur ibu pada saat hamil yang tidak berisiko cenderung melahirkan bayi dengan berat badan normal lebih tinggi dibandingkan ibu yang hamil pada unur risiko. Prevalensi BBLR lebih tinggi pada kelompok ibu yang hamil pada umur risiko (umur < 20 tahun dan > 35 tahun) dibandingkan dengan yang tidak risiko (umur 20 – 35 tahun). Sedangkan berdasarkan tingkat paritas prevalensi bayi lahir dengan berat < 2.500 gram (BBLR) paling rendah pada kelompok ibu paritas dua dan prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan ≥3.000 gram paling tinggi pada kelompok paritas ≥3 (Tabel 8).
Status Gizi Anak Status gizi anak diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan/panjang badan (TB). Variabel berat badan dan panjang badan anak ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Untuk menilai status gizi anak maka angka berat badan dan panjang badan serta umur anak dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar Z-score
dengan
menggunakan
baku
antropometri
WHO
2005
dengan
menggunakan Program Anthro 2009. Berdasarkan nilai Z score ini ditentukan status gizi balita pada tiap indikator.
56
Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indikator berat badan menurut umur (BB/U) memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Status gizi indikator BB/U lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya terserang peyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi.
Tabel 9
Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U dan Provinsi di Sumatera
No
Provinsi
Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U Buruk Kurang Baik Lebih n % n % n % n %
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau
12 23 13 9 6 5 2 5 4 1
7,5 5,5 4,0 5,8 5,3 3,3 4,3 1,7 3,9 1,3
21 46 29 12 9 12 9 6 11 5
13,0 11,1 8,8 7,8 7,9 8,0 7,8 4,7 10,4 6,5
124 333 272 123 91 123 100 111 88 71
77,0 80,2 82,7 79,9 79,8 82,0 87,0 86,7 83,0 92,2
4 13 15 10 8 10 4 6 3 0
2,5 3,1 4,6 6,5 7,0 6,7 3,5 4,7 2,8 0
Total
80
4,6
160
9,1
1.436
82,1
73
4,2
Tabel 9 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator berat badan menurut umur di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi gizi buruk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu 7,5% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau yaitu 1,3%. Ada 3 provinsi yang mengalami masalah gizi kurang (buruk + kurang) masih diatas prevalensi rata rata yaitu Provinsi DI Aceh, Sumatera Utara dan Bangka Belitung. Ada 5 provinsi yang
57
mempunyai anak dengan status gizi normal diatas angka rata rata yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Sumatera Barat. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang (underweight) hasil penelitian ini adalah 13,7% sedangkan prevalensi nasional 12,9%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target Mellinium Develoment Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5%, maka untuk wilayah Sumatera target - target tersebut sudah tercapai yaitu < 18,5% tetapi masih ada provinsi yang belum mencapai target tersebut yaitu Provinsi DI Aceh dengan prevalensi kurang gizi 20,5%.
Tabel 10 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U Berat Bayi Lahir (gram)
Buruk n %
- < 2.500
13 15,7
- 2.500 - < 3.000
24
- 3.000 - < 3.500 - ≥3.500
Status Gizi berdasarkan BB/U Kurang Baik n % n %
Lebih n %
9
10,8
58
69,9
3
3,6
5,2
55
11,9
365
79,2
17
3,7
30
4,4
68
9,9
560
81,5
29
4,2
113
2,5
28
5,4
453
87,5
24
4,6
Berdasarkan berat bayi lahir status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan indikator BB/U prevalensi gizi buruk paling tinggi pada kelompok bayi yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram. Prevalensi gizi kurang lebih tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 3.000 gram dibandingkan dengan anak yang lahir dengan berat badan ≥3.000 gram. Semakin tinggi berat badan lahir maka semakin tinggi prevalensi status gizi baik pada anak ketika berumur 6 – 11 bulan. Anak gizi buruk yang berasal dari kelompok dengan berat lahir ≥3.500 gram
paling sedikit dibandingkan kelompok lain yaitu 2,5%.
Hal
tersebut menunjukan adanya hubungan antara berat bayi lahir dengan status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan (Tabel 10).
58
Tabel 11
Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik n % n % n %
No
Peubah
1
Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V
25 21 18 8 8
5,3 4,9 5,2 2,7 3,9
58 38 18 29 17
12,3 8,8 5,2 9,7 8,4
366 355 295 249 171
77,5 82,4 85,8 83,3 84,2
23 17 13 13 7
4,9 3,9 3,8 4,3 3,4
Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi
34 27 19
5,8 5,6 2,8
55 45 60
9,5 9,4 8.7
471 386 579
80,9 80,8 84,0
22 20 31
3,8 4,2 4,5
Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas
9 54 8 3
6,0 4,8 4,9 1,5
16 110 11 13
10,7 9,8 6,7 6,6
124 908 137 173
82,7 81,1 83.5 87,8
1 48 8 8
0,7 4,3 4,9 4,1
Anggota RT - Besar - Sedang - Kecil
18 26 36
5,7 4,0 4,6
34 65 61
10,8 10,0 7,8
251 530 655
79,4 81,4 83,6
13 30 30
4,1 4.6 3,8
2
3
4
Lebih n %
Berdasarkan Tabel 11 di atas, tingkat pengeluaran rumah tangga tidak berhubungan dengan status gizi anak uisa 6 – 11 bulan. Ibu balita dengan pendidikan rendah paling banyak yang menderita gizi buruk dan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin baik status gizi anaknya hal ini menunjukan adanya hubungan status gizi dengan tingkat pendidikan ibu. Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan status gizi anaknya. Hal tersebut terlihat kelompok ibu dengan status gizi kategori kurus mempunyai anak dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi dan semakin baik status gizi ibu terlihat semakin baik juga status gizi anaknya. Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga terlihat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok dengan
59
anggota rumah tangga besar (≥7 orang) dan semakin sedikit anggota rumah tangga prevalensi anak gizi baik semakin tinggi.
Tabel 12 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U No
1
2
Peubah
Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik n % n % n %
n
Lebih %
Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah infeksi
44 36
4,8 4,4
92 68
9,9 8,3
755 681
81,6 82,6
34 39
3,7 4,7
Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik
24 20 36
16,7 5,9 2,8
24 39 97
16,7 11,4 7,7
93 270 1.073
64,6 79,2 84,9
3 12 58
2,1 3,5 4,6
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir sedangkan kelompok anak yang tidak pernah menderita penyakit infeksi mempunyai prevalensi status gizi baik yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara penyakit infeksi yang pernah diderita dengan status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan dalam 6 bulan terakhir berhubungan dengan status gizi anak hal ini terlihat dari prevalensi gizi buruk 16,7% pada kelompok anak yang tidak pernah ditimbang dan prevalensi tersebut paling tinggi dibandingkan kelompok anak yang pernah menimbang 1 kali atau ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir. Pemantauan pertumbuhan dapat mencegah terjadinya penurunan status gizi pada anak karena dengan pemantauan pertumbuhan secara rutin dapat diketahui lebih dini jika ada gangguan dalam pertumbuhan anak. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi baik pada kelompok yang melakukan pemantauan pertumbuhan ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir.
60
Tabel 13 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/U Status Gizi berdasarkan BB/U Buruk Kurang Baik n % n % n %
No
Peubah
1
Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik
4 64 12
13,3 5,5 2,1
5 110 45
16,7 9,5 8,0
20 940 476
66,7 81,2 84,8
1 44 28
3,3 3,8 5,0
Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik
9 58 13
5,4 4,7 3,8
25 110 25
15,1 8,9 7,2
127 1.012 297
76,5 81,8 85,8
5 57 11
3,0 4,6 3,2
Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik
32 36 12
9,0 4,5 2,0
42 72 46
11,6 8,9 7,8
269 665 502
75,4 82,2 85,7
14 33 26
3,9 4,1 4,4
2
3
Lebih n %
Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang paling tinggi pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang buruk (13,3% dan 16,7%) sebaliknya prevalensi status gizi baik paling tinggi pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang baik yaitu 84,8%. Semakin baik sanitasi lingkungan tempat tinggal maka prevalensi status gizi baik semakin tinggi. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan antara sanitasi lingkungan tempat tinggal dengan status gizi anak. Akses terhadap pelayananan kesehatan berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang semakin meningkat pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya akses terhadap pelayanan kesehatan ini berarti dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak. Pemanfaatan pelayanan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang semakin meningkat pada kelompok yang memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang dan
61
buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 13).
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Indikator BB/TB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang singkat. Pada kondisi dengan adanya penyakit infeksi dan kurang gizi berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya sehingga anak menjadi kurus. Indikator BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini dijadikan indikator kekurusan dan kegemukan. Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah indikator sangat kurus yaitu anak dengan nilai Z-score < -3,0 SD.
Tabel 14 Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB dan Provinsi di Sumatera No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Total
Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n % 30 91 43 30 16 24 10 13 9 10
18,6 22,0 13,1 19,5 14,0 16,0 8,7 10,2 8,5 13,0
15 44 37 12 6 12 5 11 7 6
9,3 10,6 11,2 7,8 5,3 8,0 4,3 8,6 6,6 7,8
83 210 207 74 75 87 76 78 77 49
51,6 50,7 62,9 48,1 65,8 58,0 66,1 60,9 72,6 63,6
33 69 42 38 17 27 24 26 13 12
20,5 16,7 12,8 24,7 14,9 18,0 20,9 20,3 12,3 15,6
276
15,8
155
8,9
1.016
58,1
301
17,2
62
Tabel 14 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator berat badan menurut tinggi badan di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi sangat kurus tertinggi di Provinsi Sumatera Utara yaitu 22% dan terendah di Provinsi Bangka Belitung yaitu 8,5%. Ada 9 provinsi yang mengalami masalah gizi kronis (sangat kurus + kurus) merupakan masalah sangat kritis (> 15%) yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, DI Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Lampung. Hasil penelitian ini secara keseluruhan di wilayah Sumatera prevalensi wasting (sangat kurus + kurus) pada anak uia 6 - 11 bulan
adalah 24,7%
sedangkan prevalensi nasional 15,4%. Hal ini menunjukan bahwa masalah kurus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kritis karena sesuai dengan kriteria yang ditetapkan WHO (2005), dikatakan masalah kesehatan kritis jika prevalensi wasting > 15%, 10 – 14,9% masalah serius dan > 5% mengidikasikan adanya masalah kesehatan masyarakat.
Tabel 15 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB Berat Bayi Lahir (gram) -
< 2.500 2.500 - < 3.000 3.000 - < 3.500 ≥3.500
Status Gizi berdasarkan BB/TB Sangat Kurus Kurus Normal n % n % n % 19 88 111 58
22,9 19,1 16,2 11,2
7 47 57 44
8,4 10,2 8,3 8,0
39 259 402 316
47,0 56,2 58,6 61,0
Gemuk n % 18 67 116 100
21,7 14,5 16,9 19,3
Tabel 15 di atas menunjukan bahwa prevalensi status gizi sangat kurus paling tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram (BBLR) sedangkan status gizi kurus paling tinggi pada kelompok anak dengan berat lahir 2.500 - < 3.000 gram. Semakin baik berat badan pada waktu lahir maka prevalensi status gizi normal semakin meningkat. Masalah wasting (sangat kurus + kurus) paling tinggi prevalensinya pada kelompok anak dengan berat lahir < 2.500 gram yaitu 31,2%. Selain itu prevalensi gizi lebih paling tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram yaitu 21,7%.
63
Tabel 16 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal n % n % n %
No
Peubah
1
Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V
67 78 55 42 34
14,2 18,1 16,0 14,1 16,7
46 44 28 21 16
9,7 10,2 8,1 7,0 7,9
284 225 204 183 120
60,2 52,2 59,3 61,4 59,1
Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi
93 87 96
16,0 18,2 13,9
60 47 48
10,3 9,9 7,0
320 268 428
55,0 56,2 62,1
109 18,7 75 15,7 117 17,0
Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas
33 186 20 21
22,0 16,6 12,2 10,7
16 104 16 12
10,7 9,3 9,8 6,1
80 641 97 131
53,3 57,3 59,1 66,5
21 168 31 33
Anggota Keluarga - Besar - Sedang - Kecil
57 94 125
18,0 14,4 16,0
28 60 67
8,9 9,2 8,6
176 377 463
55,7 57,9 59,3
55 17,4 120 18,4 126 16,1
2
3
4
Gemuk n %
75 84 57 52 33
19,9 19,5 16,6 17,4 16,3
14,0 16,8 18,9 16,8
Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga tidak terlihat perbedaan prevalensi status gizi indikator BB/TB antara rumah tangga pada semua kuintil. Hal tersebut dimungkinkan karena pengeluaran yang dihitung adalah pengeluaran total artinya tingkat pengeluaran yang tinggi belum tentu untuk keperluan makanan. Menurut tingkat pendidikan ibu prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan sedang (9 - 12 tahun) dan prevalensi kurus paling tinggi pada kelompok ibu berpendidikan rendah (< 9 tahun). Semakin baik tingkat pendidikan ibu semakin baik juga status gizi anak, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya prevalensi anak gizi normal pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan sedang.
64
Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) berhubungan dengan status gizi anaknya. Hal tersebut terbukti dengan semakin baik status gizi ibu prevalensi status gizi normal pada anak semakin meningkat. Prevalensi sangat kurus dan kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan IMT < 18. Berdasarkan jumlah anggota keluarga prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang lebih banyak tetapi prevalensi kurus paling banyak pada kelompok dengan anggota rumah tangga sedang. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak ada hubungan secara langsung jumlah anggota kelurga dengan status gizi anak (Tabel 16).
Tabel 17 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % n % n %
No
Peubah
1
Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah
156 120
16,9 14,6
73 82
7,9 10,0
552 464
59,7 56,3
143 15,5 158 19,2
Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik
52 78 146
36,1 22,9 11,6
20 40 95
13,9 11,7 7,5
52 162 802
36,2 47,5 63,5
20 13,9 61 17,9 220 17,4
2
Berdasarkan Tabel 17 di atas, dapat dilihat bahwa anak dengan status gizi sangat kurus prevalensinya lebih tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir dibandingkan dengan anak yang tidak pernah menderita infeksi. Kelompok anak yang tidak pernah menderita penyakit infeksi mempunyai prevalensi status gizi normal lebih tinggi dibandingkan anak yang pernah menderita penyakit infeksi. Pemantauan pertumbuhan secara rutin berhubungan dengan peningkatan status gizi anak. Hal tersebut terlihat dari anak yang tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir mempunyai prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang rutin dilakukan pemantauan
65
pertumbuhannya. Adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi normal pada kelompok dengan pemantauan pertumbuhan baik (≥4 kali dalam 6 bulan terakhir). Pemantauan pertumbuhan dapat mendeteksi lebih dini jika ada tanda tanda
masalah gizi yang dihadapi anak sehingga dapat dilakukan perbaikan
dengan cepat.
Tabel 18 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator BB/TB Status Gizi berdasarkan BB/TB Sgt Kurus Kurus Normal Gemuk n % n % N % n %
No
Peubah
1
Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik
9 185 82
30,0 16,0 14,6
1 109 45
3,3 9,4 8,0
17 664 335
56,7 57,3 59,8
3 10,0 200 17,3 98 17,5
Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik
29 197 50
17,5 15,9 14,5
17 107 31
10,2 8,7 9,0
90 720 206
54,2 58,3 59,5
30 18,1 212 17,2 59 17,1
Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik
72 132 72
20,2 16,4 12,3
38 69 48
10,6 8,6 8,2
181 470 365
50,7 58,3 62,4
66 18,5 135 16,7 100 17,1
2
3
Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden terlihat prevalensi tertinggi status gizi sangat kurus pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang buruk dan prevalensi tertinggi status gizi kurus pada kelompok dengan sanitasi kurang. Adanya peningkatan prevalensi status gizi normal seiring dengan perbaikan sanitasi lingkungan. Akses terhadap pelayanan kesehatan berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus yang semakin meningkat pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya akses terhadap pelayanan kesehatan ini berarti dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak.
66
Pemanfaatan pelayananan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat kurus dan kurus yang semakin meningkat pada kelompok yang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 18).
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Status gizi berdasarkan indikator tinggi badan / panjang badan menurut umur (TB/U) merupakan gambaran status gizi dalam jangka waktu yang lama (kronis), artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena hygiene dan sanitasi yang kurang baik. Indeks TB/U mengambarkan pertumbuhan skletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan umur (Riyadi 2003).
Tabel 19 Sebaran Anak menurut Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U dan Provinsi di Sumatera No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Total
Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 40 85 41 38 22 20 25 27 19 11
24,8 20,5 12,5 24,7 19,3 13,3 21,7 21,1 17,9 14,4
16 34 35 11 12 17 17 11 10 13
9,9 8,2 10,6 7,1 10,5 11,3 14,8 8,6 9,4 16,9
105 296 253 105 80 113 73 90 77 53
65,2 71,3 76,9 68,2 70.2 75,3 63,5 70.3 72,6 68,8
328
18,8
176
10,1
1.245
71,2
67
Tabel 19 menyajikan prevalensi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator panjang badan menurut umur di 10 provinsi wilayah Sumatera. Prevalensi sangat pendek tertinggi di Provinsi DI Aceh dan terendah di Provinsi Sumatera Barat. Masalah gizi kronis (sangat pendek + pendek) masih diatas angka rata rata yaitu di Provinsi DI Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu dan Kepulauan Riau. Masalah pendek pada anak usia 6 – 11 bulan masih tinggi yaitu 28,9%. Namun jika dibandingkan dengan prevalensi pendek anak usia 6 – 11 bulan masih dibawah angka nasional yaitu 34,2%. Tabel 20 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U Berat Bayi Lahir (gram) -
< 2.500 2.500 - < 3.000 3.000 - < 3.500 ≥3.500
Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n % 26 87 124 91
31,3 18,9 18,0 17,0
6 55 70 45
7,2 11,9 10,2 8,7
51 319 493 382
61,4 69,2 71,8 73,7
Berdasarkan Tabel 20 di atas, prevalensi sangat pendek paling tinggi pada kelompok anak anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram (31,3% tetapi prevalensi pendek paling tinggi pada kelompok anak dengan berat lahir 2.500 – < 3.000 gram (11,9%). Adanya peningkatan prevalensi status gizi normal sesuai dengan peningkatan berat bayi lahir. Kelompok anak yang lahir dengan berat badan ≥3.500 gram setelah berusia 6 – 11 bulan mempunyai prevalensi sangat pendek paling sedikit dibandingkan kelompok yang lahir dengan berat < 3.500 gram.
68
Tabel 21 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U Status Gizi berdasarkan TB/U No
Peubah Sangat Pendek n %
1
2
3
4
Tingkat Pengeluaran - Kuintil I - Kuintil II - Kuintil III - Kuintil IV - Kuintil V
Pendek n %
Normal n %
91 88 64 51 34
19,3 20,4 18,6 17,1 16,7
45 37 48 28 18
9,5 8,6 14,0 9,4 8,9
336 306 232 220 151
71,2 71,0 67,4 73,6 74,4
Pendidikan Ibu - Rendah - Sedang - Tinggi
127 88 113
21,8 18,4 16,4
50 51 75
8,6 10,7 10,9
405 339 501
69,6 70,9 72,2
Status Gizi Ibu - Kurus - Normal - Gemuk - Obesitas
26 221 25 28
17,3 19,7 15,2 14,2
13 108 18 26
8,7 9,6 11,0 13,2
111 791 121 143
74,0 70,6 73,8 72,6
Jumlah anggota keluarga - Besar - Sedang - Kecil
56 133 139
17,7 20,4 17,8
35 54 87
11,1 8,3 11,1
225 464 556
71,2 71,3 71,1
Berdasarkan Tabel 21, dapat dilihat ada perbedaan prevalensi status gizi sangat kurus pada kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga dan terjadi penurunan dengan bertambah baiknya pendapatan/pengeluaran. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam jangka waktu yang lama pengeluaran akan mempengaruhi jenis dan macam bahan makanan yang dipilih dan disesuaikan dengan ketersediaan uang. Menurut tingkat pendidikan ibu prevalensi sangat kurus paling tinggi pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan rendah (< 6 tahun). Semakin baik tingkat pendidikan ibu semakin baik juga status gizi anak, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya prevalensi gizi normal pada kelompok ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan sedang.
69
Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) terlihat prevalensi masalah gizi kronis pada kelompok ibu dengan status gizi normal paling tinggi. Hal tersebut menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi ibu dengan status gizi anaknya. Berdasarkan jumlah anggota keluarga prevalensi sangat pendek paling tinggi pada kelompok rumah tangga dengan anggota rumah tangga 4 - 6 orang (20,4%) dan prevalensi kurus paling banyak pada kelompok dengan anggota rumah tangga kecil dan besar yaitu 11,1%. Berdasarkan Tabel 22 di atas, dapat diihat bahwa anak dengan status gizi sangat pendek prevalensinya lebih tinggi pada kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi dalam 12 bulan terakhir sedangkan prevalensi status gizi normal tidak ada perbedaan antara kelompok anak yang pernah menderita penyakit infeksi maupun yang tidak pernah menderita infeksi.
Tabel 22 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n %
No
Peubah
1
Penyakit Infeksi - Pernah infeksi - Tidak pernah
166 162
19,7 17,9
99 77
9,3 10,7
660 585
71,0 71,4
Pemantauan pertumbuhan - Buruk - Kurang - Baik
31 77 220
21,5 22,6 17,4
18 55 33
12,5 7,3 10,5
99 239 911
66,0 70,1 72,1
2
Pemantauan pertumbuhan berhubungan dengan peningkatan status gizi anak karena dengan memantau pertumbuhan anak dapat dideteksi secara dini jika ada kelainan gizi pada anak. Hasil penelitian terlihat anak yang tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir mempunyai prevalensi masalah gizi kronis (sangat pendek + pendek)
lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak yang
dilakukan pemantauan pertumbuhan secara rutin. Adanya peningkatan prevalensi anak dengan status gizi normal pada kelompok dengan pemantauan pertumbuhan ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir.
70
Tabel 23 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi berdasarkan Indikator TB/U Status Gizi berdasarkan TB/U Sangat Pendek Pendek Normal n % n % n %
No
Peubah
1
Sanitasi Lingkungan - Buruk - Kurang - Baik
5 223 100
16,7 19,3 17,8
2 123 51
6,7 10,6 9,1
23 812 410
76,7 70,1 73,1
Akses Yankes - Buruk - Kurang - Baik
38 228 62
22,9 18,4 17,9
17 120 39
10,2 9,7 11,3
111 889 245
66,9 71,9 70,8
Pemanfaatan Yankes - Buruk - Kurang - Baik
90 144 94
25,2 17,9 16,0
42 78 56
11,8 9,7 9,6
225 584 436
63,0 72,5 74,4
2
3
Berdasarkan sanitasi lingkungan tempat tinggal responden terlihat prevalensi tertinggi status gizi sangat pendek dan pendek pada kelompok dengan sanitasi lingkungan yang kurang.
Akses terhadap pelayanan kesehatan
berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat pendek paling tinggi pada kelompok yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan buruk. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak. Pemanfaatan pelayananan kesehatan juga berhubungan dengan status gizi anak hal ini dapat dilihat dari prevalensi status gizi sangat pendek dan pendek yang semakin meningkat pada kelompok yang memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang dan buruk. Sebaliknya prevalensi status gizi normal semakin meningkat dengan bertambah baiknya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan ini berarti dengan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak (Tabel 23).
71
28,9%
30,0%
24,7%
25,0%
18,8%
20,0% 13,7%
15,0% 10,0% 5,0% 0,0%
9,1%
15,8% 8,9%
10,1%
Wasting
Stunting
< -3 SD < -2 SD (<-3 SD + <-2 SD)
4,6% Underweight
Gambar 2 Besaran Masalah Gizi di Sumatera berdasarkan Indikatot BB/U, BB/TB dan TB/U
Berdasarkan ciri masalah gizi diketahui bahwa di wilayah Sumatera menghadapi masalah gizi akut-kronis, dimana prevalensi balita wasting mencapai 24,7% (> 5%), balita stunting mencapai 28,9% (> 20%) dan balita status gizi underweight sebesar 13,7% (> 10%). Tiga indeks status gizi dapat dijadikan pedoman dalam menentukan ciri masalah gizi di suatu wilayah apakah ciri masalah gizi akut, masalah gizi kronis atau masalah gizi akut-kronis. Depkes RI (2009) membagi 3 (tiga) masalah gizi wilayah berdasarkan WHO (World Health Organization), yaitu : 1) Suatu wilayah memiliki masalah gizi akut, jika banyak balita wasting (gabungan kurus dan sangat kurus) (> 5%), sedikit balita stunting (gabungan pendek dan sangat pendek) (< 20%) dan banyak balita underweight (> 10%) ; 2) Suatu wilayah memiliki masalah gizi kronis, jika balita stunting (> 20%), sedikit balita gizi underweight (< 10%) dan sedikit balita wasting (< 5%); 3) Suatu wilayah memiliki masalah gizi akut-kronis, jika banyak balita wasting (> 5%), banyak balita stunting (> 20%) dan balita underweight (> 10%).
72
Faktor - Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir
Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap berat bayi lahir adalah pemeriksaan kehamilan, paritas, umur ibu saat hamil dan pendidikan ibu. Pemeriksaan kehamilan memberikan kontribusi pengaruh yang paling kuat diantara variabel yang lainnya yaitu 6,43%. Secara keseluruhan keempat variabel memberikan kontibusi terhadap berat bayi lahir sebesar 8,45%. Paritas atau urutan kelahiran memberikan kontribusi terhadap berat badan lahir sebesar 0,4% setelah faktor pemeriksaan kehamilan masuk ke dalam model. Umur ibu ibu pada saat hamil memberikan pengaruh negatif terhadap berat bayi lahir artinya semakin tua umur ibu pada saat hamil akan mengurangi berat bayi lahir. Pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu yang lebih baik dapat meningkatkan berat bayi lahir. Sedangkan anak yang lahir pada urutan ke dua atau tiga mempunyai berat bayi lahir yang lebih baik dibandingkan anak pertama (Tabel 24). Model persamaannya adalah : Ŷ= 3222,19 + 416,99 X5 + 44,56 X7 - 10,98X4 + 39,44 X1 Tabel 24 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir Kode
Peubah
B
X5 X7 X4 X1
Intercept Pemeriksaan Kehamilan Paritas Umur Ibu Pendidikan Ibu
3222,19 416,99 44,56 -10,98 39,44
R2 Parsial
T 1305,90 18,96 70,20 13,01 8,99
N = 1.749
2
R
0,0643 0,0041 0,0090 0,0072
Sig 0,0000 0,0000 0,0001 0,0003 0,0028
0,0845
Pemeriksaan Kehamilan Pemeriksaan kehamilan merupakan pemeriksaan yang diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan selama kehamilannya, dengan jumlah standar kunjungan selama hamil minimal 4 kali. Adapun jenis pemeriksaan kehamilan yaitu pemeriksaan kehamilan yang diperoleh oleh ibu hamil dari tenaga kesehatan meliputi ; pengukuran tinggi badan. pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus, pemberian tablet Fe, pemberian Imunisasi TT, penimbangan berat badan, pemeriksaan Hb dan pemeriksaan urine.
73
Pertumbuhan janin merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dengan lingkungan ibu yang mulai memasuki masa kehamilan. Ibu hamil yang sehat dan tidak mengalami masalah pada organ-organ reproduksinya, berpeluang melahirkan bayi yang lebih sehat dibandingkan ibu yang mengalami masalah kesehatan dan gizi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan sejak dini akan memungkinkan diketahuinya kelainan atau masalah kesehatan yang dihadapi ibu selama proses kehamilannya, sehingga dapat diambil langkah langkah yang dapat menyelamatkan janin dan ibunya (Ebrahim 1985). Selain itu sesuai dengan petunjuk dari Departemen Kesehatan bahwa selama kehamilan seorang ibu hamil minimal harus memperoleh pelayanan antenatal sebanyak 4 kali, masing-masing satu kali pada trimester I dan II, dua kali pada trimester III. Pelayanan yang harus diperoleh pada saat memeriksakan kehamilan adalah pelayanan 5T (timbang badan, periksa tekanan darah, imunisasi TT, ukur tinggi fundus dan memperoleh tablet Fe). Salah satu jenis pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan adalah memperoleh tablet tambah darah (tablet Fe). Ibu hamil memerlukan zat besi lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak hamil sehingga harus mendapatkan tambahan berupa suplemen tablet Fe berhubungan dengan peningkatan kadar haemoglobin dalam darah yang berfungsi mengikat dan mendistribusikan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh, termasuk ke dalam sel jaringan janin. Apabila kadar Hb < 11 gr% (anemia) pada saat hamil, maka distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang sehingga metabolisme jaringan menurun, termasuk pada janin pertumbuhan akan terhambat dan berakibat berat badan bayi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Roudbari et al di Zahedan - Republik Islam Iran tahun 2004 menyebutkan bahwa BBLR
disebabkan oleh tidak
mendapatkan suplemen Fe dan jarak kelahiran < 3 tahun. Penelitian Singh et al (2007) di Amerika Serikat juga menunjukan bahwa pemeriksaan kehamilan < 3 kali merupakan penyebab BBLR dan sejalan dengan penelitian di India yang menghasilkan kunjungan antenatal care (ANC)
yang kurang dan ANC yang
terlambat akan memberikan dampak yang besar terhadap berat bayi lahir (Velankar 2008).
74
Paritas Paritas (urutan kelahiran) merupakanrhubungan dengan berat bayi lahir. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Elshibly E dan Schmalisch G di Sudan yang menyatakan bahwa paritas menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi berat badan lahir. Primiparity dikaitkan dengan peningkatan risiko relatif untuk BBLR sebesar 2,16. Beberapa penelitian lainnya telah menunjukkan bahwa berat lahir meningkat dengan urutan kelahiran.
Hirve et al, di India
menemukan risiko relatif 1,3 lebih tinggi untuk BBLR anak kelahiran pertama dan di Afrika Lawoyin menemukan bahwa bayi yang lahir pertama 3,1 kali memiliki risiko kematian lebih tinggi. Paritas dan umur ibu saling berkaitan sebagai faktor risiko pertumbuhan dan perkembangan anak. Landers (1984) dalam Yongky (2007) mendapatkan bahwa sampai dengan 3 kehamilan pertama, jumlah kehamilan berhubungan dengan berat lahir rendah, sedangkan sesudah itu hubungan tersebut tidak lagi sistematis. Mata dan Wyat (1971) dalam Yongky (2007) menyatakan bahwa paritas pada umumnya menggambarkan jarak dua kehamilan yang manifestasinya nyata pada persediaan energi dan zat gizi ibu serta kemampuan ibu untuk memelihara kehamilan dan memberikan ASI sesudah kelahiran anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kejadian BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Lee, et al (2007) menjelaskan bahwa program kunjungan rumah ibu hamil dengan fokus pada dukungan sosial, pendidikan kesehatan dan akses terhadap pemberi layanan promosi dan kesehatan dapat menurunkan risiko BBLR.
Umur Ibu Umur ibu pada saat hamil mempengaruhi kondisi kehamilan ibu karena selain berhubungan dengan kematangan organ reproduksi juga berhubungan dengan kondisi psikologis terutama kesiapan dalam menerima kehamilan serta berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendidikan. Umur ibu menentukan efisiensi reproduksi. Ibu yang terlalu muda mungkin tidak memiliki kematangan
75
fisiologis untuk menanggung tambahan beban saat hamil. Secara psikologis sikap perasaan ambivalen ibu hamil muda tentang kehamilan membuatnya tidak memperhatikan pentingnya perawatan kehamilan yang memadai. Sebaliknya ibu yang lebih tua mulai menunjukan pengaruh proses penuaannya. Kejadian BBLR dan kematian neonatus meningkat pada ibu yang berumur < 15 tahun dan > 35 tahun. Ibu yang berumur antara 25 dan 35 tahun mengalami kehamilan yang terbaik (Wortington R & Williams 2000). Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi. Angka kesakitan dan kematian ibu demikian pula bayi, 2 – 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan pada wanita yang telah cukup umur (Unicef, 2002). Masa reproduksi wanita pada dasarnya dibagi dalam 3 periode yaitu kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun) dan reproduksi tua ( 36-45 tahun). Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa risiko kehamilan rendah pada kurun reproduksi sehat dan meningkat lagi secara tajam pada kurun reproduksi tua (Depkes RI 1995).
Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan ibu mengenai kehamilan yang sedang berlangsung. Semakin baik pengetahuan ibu maka diharapkan ibu semakin mengerti tentang kesehatannya saat hamil dan berhubungan dengan pemilihan makanan bergizi pada saat hamil serta akan memeriksakan kehamilan secara rutin. Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Beberapa studi memperkuat hasil penelitian ini yaitu Alisyahbana (1990) menemukan hal yang bermakna antara pendidikan dengan kejadian BBLR, ibu
76
yang tidak mendapatkan pendidikan yang cukup mempunyai risiko 1,7 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu yang berpendidikan kurang. Penelitian yang dilakukan oleh Eltahir M dan Schmalisich di Sudan tahun 2007 menyebutkan bahwa usia ibu dan antropometri ibu berhubungan dengan berat bayi lahir. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah (< 9 tahun) dan kurang gizi meningkatkan risiko relatif
BBLR. Prevalensi
BBLR berbeda antara kelompok ibu yang
berpendidikan < 9 tahun (9,2%) dan kelompok ibu dengan pendidikan > 12 tahun (6,0%). Penelitian di Tanzania menunjukan bahwa Ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko 4 kali lebih mungkin untuk melahirkan BBLR daripada pendidikan tinggi (Siza 2002). Sanitasi lingkungan juga berhubungan dengan berat bayi lahir yang dihubungkan dengan penyakit infeksi yang pernah diderita oleh ibu pada waktu hamil. Penelitian ini tidak melihat penyakit infeksi yang pernah diderita oleh ibu hamil karena tidak tersedianya data pada Riskesdas 2007 dan ini merupakan salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Berdasarkan study terhadap beberapa literatur, diindikasikan ibu yang tinggal di lingkungan sanitasi kurang cenderung lebih mudah untuk terkena penyakit infeksi dimana penyakit infeksi akan berdampak terhadap pertumbuhan janin dalam kandungannya. Penelitian Watson-Jones et al (2007), menyebutkan bahwa ibu hamil yang menderita penyakit malaria berisiko 7,76 kali melahirkan anak BBLR dibandingkan ibu yang tidak menderita malaria. Penelitian di Medical Center Tanzania (2002) juga menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR adalah penyakit infeksi (HIV), hipertensi, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia) dan malnutrisi (Siza 2002).
Faktor – Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF 1998, gizi salah (malnutrition) disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas; sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh akses dan kualitas pelayanan
77
kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan ditingkat rumah tangga. Menurut Soetjiningsih (1998), ada dua faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan anak, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan ini jauh lebih besar dibandingkan faktor genetik. Selanjutnya, untuk faktor lingkungan, dirinci menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial, faktor keluarga dan adat istiadat. Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh bahwa faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator BB/U adalah pemantauan pertumbuhan, sanitasi lingkungan, berat bayi lahir, penyakit infeksi pemanfaatan pelayanana kesehatan dan status gizi ibu. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak sebesar 2,87% dan sanitasi lingkungan memberikan kontribusi 2,48% setelah faktor pemantauan pertumbuhan masuk kedalam model. Berat bayi lahir memberikan kontribusi terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan sebesar 2,14% setelah faktor pemantauan pertumbuhan dan sanitasi lingkungan masuk kedalam model. Secara keseluruhan keenam variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 8,75%. Penyakit infeksi memberikan efek negatif artinya jika anak terkena penyakit infeksi dapat menurunkan/memperburuk status gizi anak sedangkan variabel yang lain memberikan efek positif (Tabel 25). Adapun model persamaan yang diperoleh adalah : Ŷ=
- 5,38755+0,110X2+0,055X6+0,00043X3-0,233X7+0,0119X5 + 0,019X9
Tabel 25 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U Kode Peubah
X2 X6 X3 X7 X5 X9
Intercept Pemantauan Pertumbuhan Sanitasi Lingkungan Berat Bayi Lahir Penyakit Infeksi Pemanfaatan Yankes Status Gizi Ibu
B -5,38755 0,11002 0,05505 0,00043 -0,23328 0,01904 0,01915 N= 1.749
T 126,94 31,77 39,76 35,82 10,56 7,74 3,85 2
R
R2 Parsial
Sig
0,0287 0,0248 0,0214 0,0057 0,0046 0,0022
0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0012 0,0055 0,0499
0,0875
78
Berdasarkan Tabel 26, faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak indikator BB/TB secara signifikan adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, status gizi ibu dan penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak dapat menurunkan atau memperburuk status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak paling besar dibandingkan variabel lain yaitu 2,34%. Berat bayi lahir memberikan kontribusi 0,7% terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan setelah variabel sanitasi lingkungan masuk kedalam model. Secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 3,96%. Adapun model persamaan yang diperoleh adalah : Ŷ= - 4,89149 + 0,20745X2 + 0,00044X3 + 0,03455X 6 + 0,03883X9 - 0,27888X7 Tabel 26 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB Kode
Peubah
X2 X3 X6 X9 X7
Intercept Pemantauan Pertumbuhan Berat Bayi Lahir Sanitasi Lingkungan Status Gizi Ibu Penyakit Infeksi
B
T
R2 Parsial
Sig
-4,89149 0,20745 0,00044 0,03455 0,03883 -0,27888
33,14 35,89 11,30 4,65 4,70 4,47
0,0234 0,0077 0,0031 0,0027 0,0026
0,0001 0,0001 0,0008 0,0313 0,0303 0,0346
N= 1.749
2
R
0,0396
Hasil analisis Regresi Linier Berganda pada Tabel 27, faktor – faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak indikator TB/U yaitu sanitasi lingkungan, pemantauan pertumbuhan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Adanya perbaikan pada setiap variabel tersebut dapat memperbaiki atau meningkatkan status gizi anak. Sanitasi lingkungan memberiklan kontribusi paling besar terhadap status gizi anak dibandingkan variabel lain yaitu 0,37%. Secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 1,65%. Adapun model persamaan yang diperoleh adalah : Ŷ=
- 3,44234 + 0,0492X 6 + 0,1357X2 + 0,0347X5 + 0,0974X8 + 1,99989E -7X10
79
Tabel 27
Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U
Kode
Peubah
B
X6 X2 X5 X8 X10
Intercept Sanitasi Lingkungan Pemantauan Pertumbuhan Pemanfaatan Yankes Akses Yankes Pengeluaran Rumah Tangga
-3,44234 0,04917 0,13565 0,03473 0,09736 1,99989E-7
N = 1.749
R2 Parsial
T 12,66 6,52 9,91 5,28 4,81 4,19 2
R
0,0037 0,0036 0,0036 0,0030 0,0025
Sig 0,0004 0,0108 0,0017 0,0217 0,0284 0,0407
0,0165
Berdasarkan ketiga indikator status gizi tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, penyakit infeksi, status gizi ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Ada pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB ketika usia
6 – 11 bulan. Sedangkan berdasarkan indikator
TB/U tidak ada pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak, hal ini karena indikator TB/U menggambarkan masalah gizi kronis akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku, infeksi yang berulang akibat hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak Berat bayi lahir merupakan faktor penentu pertumbuhan selanjutnya, perbedaan yang tampak pada waktu lahir akan tetap bertahan kalau pada masa bayi (masa perinatal, neonatal dan postneonatal) tidak mampu mencapai percepatan tumbuh yang baik sesuai dengan standar pertumbuhan. Keadaan gizi bayi tidak dapat dipertahankan atau ditingkatkan jika pemberian makanan bayi tidak memenuhi syarat-syarat gizi dan adanya infeksi serta pengaruh lingkungan yang miskin. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Husaini (1990) di Bogor, yang menyatakan bahwa bayi yang dilahirkan BBLR yang menderita Kurang Kalori Protein (KKP) pada saat berusia 4 – 6 tahun lebih tinggi (70%) dibandingkan bayi berat lahir cukup (BBLC) yaitu 34,2%.
80
Perbedaan prevalensi tersebut menunjukan adanya kecenderungan anak yang lahir dengan berat rendah menderita kurang gizi pada umur 4 – 6 tahun. Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai reserva zat besi lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga reserva zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan, kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal (Hussaini et al 1989). Menurut Ebrahim (1985) dan Hickey (2000), anak saat lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk. Berbagai studi yang ditela’ah oleh Hardinsyah (2000) menunjukan bahwa BBLR mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan kognitif dan psikomotorik bayi, disamping dampak buruk pada pertumbuhannya. Bayi yang dilahirkan dalam kondisi BBLR berisiko mengalami anemia dan infeksi bahkan kematian bayi (Soetjiningsih 1998). Peneliti lainnya menyebutkan bahwa di negara berkembang diperkirakan setiap 10 detik terjadi satu kematian bayi akibat dari penyakit atau infeksi
yang berhubungan dengan BBLR (Siza 2002).
Penelitian epidemiologi yang dilaksanakan di Negeria 2004 menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram lebih berisiko meninggal pada tahun pertama kehidupan dibandingkan bayi yang lahir normal dengan risiko 1,37 kali (Uthman & Olalekan 2004). Selain berhubungan dengan masalah kurang gizi, BBLR juga berhubungan dengan masalah gizi lebih. Hasil penelitian menunjukan prevalensi gizi lebih paling tinggi pada kelompok anak yang lahir dengan berat badan < 2.500 gram yaitu 21,7%. Penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yliharsila et al (2007) yang menyatakan BBLR diprediksi penyebab tingginya lemak tubuh. Wanita yang lahir dengan berat badan < 3.000 gram sebanyak 43% mempunyai IMT > 30 ketika dewasa sedangkan wanita yang lahir
81
dengan berat badan lahir 3.000 s/d 3.500 gram dan ≥3.500 gram setelah dewasa dengan IMT > 30 lebih sedikit yaitu masing-masing 41,2% dan 40,9%. Peneliti lain menyebutkan bahwa BBLR sebagai faktor risiko penyakit Diabetes Melitus type 2 dan penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab kesakitan dan kematian (Barker 1998).
Pemantauan Pertumbuhan Berdasarkan hasil penelitian ini pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi yang paling besar sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi akut dan kronis. Semakin sering/rutin dilakukan pemantauan pertumbuhan dalam enam bulan terakhir semakin baik status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan merupakan faktor yang berhubungan secara signifikan dengan kurang gizi berdasarkan tiga indikator BB/U, BB/TB dan TB/U. Pada penelitian ini anak yang secara rutin melakukan pemantauan pertumbuhan masih dibawah standart pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (72,2%, yaitu masih < 80%). Penimbangan balita setiap bulan yang dilakukan di Posyandu merupakan sarana efektif untuk memantau pertumbuhan dan melakukan aksi koreksi secara dini jika terjadi gangguan pertumbuhan sehingga tidak berkembang menjadi gizi buruk. Namun, kinerja pemantauan pertumbuhan di posyandu dilaporkan belum optimal, sehingga kasus-kasus gizi buruk lebih banyak ditemukan diluar mekanisme posyandu. Kejadian gizi buruk tidak terjadi secara akut tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup selama beberapa bulan sebelumnya yang bisa diukur dengan melakukan penimbangan setiap bulan (Depkes RI 2005). Seorang anak yang mengikuti secara rutin (teratur) pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat terlindungi dari kemungkinan
gangguan
pertumbuhan yang serius, seperti gizi buruk. Berdasarkan panduan surveilans gizi (Depkes RI, 2001) seorang anak yang mengalami 3 kali tidak naik berat badan atau berat badan berada di bawah garis merah, maka katakan mengalami gangguan pertumbuhan dan harus segera mendapat penanganan (treatment) agar tidak berkembang menjadi gizi buruk.
82
Pemantauan pertumbuhan sebagian besar dilakukan di posyandu. Selain melakukan penimbangan berat badan anak juga diberikan imunisasi, suplemen gizi, MP ASI dan penyuluhan yang berhubungan dengan gizi dan kesehatan. Posyandu adalah suatu forum komunikasi dan alih teknologi pelayanan kesehatan oleh dan untuk masyarakat yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan manusia sejak dini. Berdasarkan Inmendagri nomor 23/1989 tentang Kelompok Kerja Operasional Posyandu (Pokjanal Posyandu), secara konseptual posyandu adalah kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan bantuan teknis dari petugas (Depkes RI 2005). Penimbangan bulanan balita pada hakekatnya adalah upaya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita disertai kegiatan promosi. Bank Dunia menggunakan istilah growth promotion dengan kegiatan menimbang (weighing), pencatatan hasil penimbangan di KMS (charting), identifikasi masalah pertumbuhan
(identifying),
dan
promosi
atau
penyuluhan
terkait
hasil
penimbangan (responding to promote).
Sanitasi Lingkungan Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sanitasi lingkungan mempengaruhi status gizi akut dan kronis. Keluarga yang tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan kurang sebagian besar adalah keluarga miskin dan tingkat pendidikan rendah. Sanitasi lingkungan berpotensi untuk menimbulkan penyakit infeksi dan cenderung keluarga yang sanitasi lingkungannya kurang memadai akan terkena penyakit infeksi yang bisa menyebabkan kurang gizi atau memilki balita gizi kurang akbibat dari daya tahan tubuh yang lemah terhadap infeksi (Pudjiadi, 2003). Sanitasi lingkungan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kejadian kurang gizi kronis pada anak. Temuan ini mendukung penelitian Taylor (2002) yang menyatakan bahwa akibat sanitasi yang buruk, kondisi lingkungan yang kurang memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi yang akan berpengaruh pada status kesehatan seseorang.
83
Penyakit Infeksi Penyakit infeksi merupakan penyebab langsung kejadian kurang gizi pada anak. Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Kurang gizi dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Penyakit infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi di mana adanya penyakit infeksi dan gizi kurang yang terjadi secara bersamaan akan bekerjasama (secara sinergis) hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang lebih berat yang dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle). Kejadian ini banyak
terjadi di negara berkembang dan menyebabkan
tingginya angka kematian. Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi. Penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan, sanitasi lingkungan yang buruk merupakan penyebab mudahnya terkena infeksi. Penyakit infeksi umumnya menimbulkan demam seperti otitis media, bronkhitis, TB paru dan pneumonia yang sering mempengaruhi nafsu makan serta menimbulkan rasa mual dan muntah. Dengan menurunnya nafsu makan maka konsumsi zat gizi menurun, disatu pihak pada keadaan infeksi dibutuhkan zat gizi yang cukup, akibatnya daya tahan tubuh menurun dan infeksi akan semakin berat dan keadaan gizi semakin menurun (Supariasa 2002). Todaro & Smith (2009) mengemukakan bahwa WHO telah menemukan lima kondisi yang menyebabkan 70% kematian balita, yaitu infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, cacar air, malaria dan kurang gizi. Diperkirakan jika tren ini berlanjut, maka pada tahun 2020 kondisi ini akan menyebabkan 30% kematian anak di seluruh dunia. Kekurangan gizi adalah sebuah bentuk penyakit dan keberadaannya merupakan faktor penting yang membuat seorang anak mudah tertular penyakit dan meninggal dunia. Dalam banyak hal kematian tidak akan terjadi tanpa kekurangan gizi sebagai faktor penunjangnya. Kondisi ini menuntut adanya penanggulangan masalah gizi yang lebih intensif dan aplikatif, sehingga betul-betul berdampak pada peningkatan status gizi balita. Temuan lain
84
menyatakan bahwa gizi kurang dan infeksi merupakan masalah kesehatan yang penting pada
anak-anak. Gizi kurang dan infeksi kedua-duanya dapat bermula
dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghasilkan sumber-sumber energi dan protein di tubuh (Puffer 1993).
Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh tidak langsung terhadap status gizi balita (UNICEF 1998). Pelayanan kesehatan dalam penelitian ini adalah akses dan pemanfaatan pelayanan. Akses terhadap pelayanan kesehatan yang dinilai dari jarak, waktu dan sarana yang tersedia untuk sampai ke sarana pelayanan. Sedangkan untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan dilihat dari 5 pelayanan dasar seperti penimbangan, penyuluhan, imunisasi, kesehatan ibu dan anak (KIA) dan pemberian suplemen gizi termasuk diantaranya adalah pemanfaatan polindes atau bidan desa. Pemanfaatan pelayanan kesehatan tergambar dari pemanfaatan pelayanan di posyandu/poskesdes, polindes, penimbangan balita, imunisasi, penyuluhan, pemberian suplementasi gizi dan penggunaan KMS/buku KIA. Akses dan pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan berhubungan dengan masalah gizi kronis pada anak. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan kemudahan dalam menjangkau pelayanan kesehatan akan menunjang peningkatan status gizi anak karena jika anak mengalami masalah kesehatan dengan mudah orang tua membawa anak tersebut ke pelayanan kesehatan sehingga dapat segera diobati serta dapat mencegah terjadinya kurang gizi pada anak. Pemanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia akan mencegah terjadinya penurunan status gizi anak, dimungkinkan selain dijadikan sarana untuk berobat pelayanan kesehatan juga merupakan sarana untuk memantau pertumbuhan balita serta memperoleh penyuluhan dan untuk mendapatkan makanan pendamping ASI. Jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diinginkan mempengaruhi motivasi berobat terutama bagi masyarakat miskin. Anak sakit tidak segera mendapat perawatan dikarenakan jarak dengan pelayanan kesehatan cukup jauh dengan waktu tempuh lebih lama.
85
Pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu akan berdampak pada status gizi anak (UNICEF 2000).
Pendidikan Ibu Pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam mencegah terjadinya masalah underweight pada balita. Seorang ibu dapat menentukan bagaimana pola asuh yang akan dipilihnya terutama dalam pemilihan makanan untuk balitanya. Beberapa penelitian sebelumnya juga banyak menemukan bahwa pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi balita dan pendidikan ibu mempunyai peran yang penting dalam mengurangi prevalensi masalah gizi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan
pendapatan yang merupakan
faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga khususnya balita (Riyadi et al 1990). Pola asuh kesehatan anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Hasil penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Klemesu dan Margaret (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu sangat berhubungan dengan pola asuh kesehatan. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya (Notoadmojo 2003).
Status Gizi Ibu Status gizi ibu yang dinilai berdasarkan IMT berhubungan secara signifivan dengan status gizi anak. Anak yang berusia < 1 tahun status gizinya masih sangat dipengaruhi oleh ibu.
Hal ini disebabkan pada saat bayi anak
sebagian besar zat gizi yang dibutuhkan dipenuhi dari ASI apalagi pada usia < 6 bulan (ASI Ekslusif). Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh kondisi dan status gizi ibu, jika ibu mempunyai status gizi yang baik maka produksi ASI nya akan baik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi anaknya.
Selain itu ibu yang
86
mempunyai status gizi baik dapat diindikasikan mempunyai pengetahuan gizi yang baik juga serta dapat melaksanakan aktifitas untuk mengasuh anak dengan baik. Berbeda dengan ibu yang mempunyai status gizi yang kurang cenderung mudah letih dan lesuh sehingga akan berpengaruh terhadap aktifitas termasuk dalam pengasuhan anak. Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian Sandjaja (2001) yang menyatakan bahwa faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan yang kurang dan indeks masa tubuh (IMT) ibu yang kurang. Riwayat kelahiran juga berperan dalam risiko kurang gizi antara lain berat lahir yang kurang, tempat lahir dan penolong persalinan.
Pengeluaran Rumah Tangga Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Pengeluaran yang rendah dapat diindentikan dengan keluarga miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang cukup. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengeluaran yang rendah merupakan faktor penyebab terjadinya masalah gizi kronis. Menurut Suhardjo (2002), anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling dipengaruhi oleh kekurangan pangan. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al 1990).
87
Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.
Konsumsi Zat Gizi Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai
R2 Square yang diperoleh masih
sangat rendah (Status gizi indikator BB/U = 0,0875, BB/TB = 0,0396 dan TB/U = 0,0165) sehingga variabel pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, penyakit infeksi, status gizi ibu, pemanfaatan pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga memberikan kontribusi kecil sebagai penyebab terjadinya masalah kurang gizi. Faktor yang diduga memberikan kontribusi besar penyebab kurang gizi adalah konsumsi makanan khususnya ASI Eksklusif dan makanan pendamping ASI (MP ASI). Keterbatasan pada penelitian ini konsumsi makanan anak termasuk pemberian ASI dan MP ASI tidak diteliti karena data yang tidak tersedia. Berdasarkan kerangka konsep UNICEF (1998), faktor penyebab utama terjadinya kurang gizi adalah karena konsumsi zat gizi yang kurang. Makanan terbaik bagi bayi yaitu ASI, dan sesudah usia 6 bulan anak harus mendapat MP-ASI yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah serta miskin seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita.
88
Menurut Soekirman (2006), tingkat konsumsi energi dan protein termasuk gizi makro yang sering digunakan sebagai salah satu indikator yang dipakai untuk menentukan kesejahteraan masyarakat. Masalah gizi timbul karena dipengaruhi oleh ketidak seimbangan asupan makanan. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Kecukupan zat gizi seseorang akan mempengaruhi
keseimbangan
perkembangan
jasmani
dan
rohani
yang
bersangkutan. Paradigma baru dalam penanggulangan masalah gizi menekankan pentingnya outcome daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik. Kebijakan program gizi yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing masing berdiri sendiri (Soekirman 2001).
89
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berat Bayi Lahir 1
Prevalensi bayi dengan berat lahir < 2.500 gram (BBLR) sebesar 4,7% dan rata-rata berat bayi lahir 3.153 gram dengan berat lahir paling rendah 1.300 gram dan tertinggi 5.200 gram.
2
Faktor – faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir yaitu pendidikan ibu, umur ibu pada saat hamil dan paritas (urutan kelahiran anak). Variabel tinggi badan ibu, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga tidak berhubungan secara langsung dengan berat bayi lahir.
3
Faktor faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir adalah pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu, umur ibu pada saat hamil dan paritas
4
Ada Pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) dan indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) sedangkan berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur tidak berpengaruh. Semakin baik berat bayi lahir maka akan semakin baik status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
Status Gizi Anak 1
Masalah gizi pada anak usia 6 – 11 bulan ; gizi buruk 4,6%, sangat kurus 15,8% dan sangat pendek 18,8%.
2
Wilayah Sumatera menghadapi masalah gizi akut-kronis, dimana prevalensi balita wasting 24,7% (> 5%), balita stunting mencapai 28,9% (> 20%) dan balita status gizi underweight sebesar 13,7% (> 10%).
3
Faktor - faktor yang berhubungan dengan status gizi anak yaitu penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan
pelayanan
kesehatan serta sanitasi lingkungan. 4
Berdasarkan Sosio Ekonomi Demografi ada tiga variabel yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan yaitu berat bayi lahir, pendidikan ibu dan status gizi ibu.
90
5
Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator BB/U adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, penyakit infeksi dan status gizi ibu.
6
Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator BB/TB adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, penyakit infeksi dan status gizi ibu.
7
Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia 6 – 11 bulan berdasarkan indikator TB/U adalah pemantauan pertumbuhan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga.
Saran
1
Perlu ditingkatkan kepedulian dan investasi dalam upaya pencegahan masalah berat bayi lahir rendah karena akan berpengaruh terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
2
Meningkatkan motivasi dan kesadaran ibu hamil agar pemeriksaan kehamilan, merencanakan kehamilan pada saat berumur 20 – 35 tahun dan mengikuti program keluarga berencana (KB) yaitu mempunyai anak tidak lebih dari 3 orang agar dapat melahirkan anak yang tidak BBLR.
3
Meningkatkan
motivasi
dan
kesadaran
masyarakat
agar
memantau
pertumbuhan anak secara rutin dengan melakukan revitalisasi posyandu, meningkatkan akses dan pemanfaatkan pelayanan kesehatan, perbaikan sanitasi lingkungan agar dapat mencegah masalah gizi pada anak. 4
Anak yang lahir dengan BBLR diberikan perhatian dan pelayanan yang khusus untuk memperbaiki status gizi anak selanjutnya.
5
Meningkatkan berbagai upaya keberhasilan program ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan dan pemberian MP ASI pada saat anak berumur 6 bulan sesuai dengan kebutuhan anak.
91
6
Diperlukan keterlibatan dan kerjasama semua pihak dalam mengatasi masalah BBLR dan kurang gizi pada anak balita.
7
Riskesdas yang akan datang sebaiknya juga dikumpulkan data berat bayi lahir untuk semua anak balita dan umur kehamilan pada saat ibu melahirkan anak terakhir serta data pemberian ASI dan MP ASI karena diduga sebagai faktor yang mempengaruhi status gizi anak.
92
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Alisyahbana, A. et al. 1990. Perinatal Mortality and Morbidity, and Low Birth Weight. Final Report V. The Rural Area Ujung FK-UNPAD. Bandung. Ariani, M. 2007. Wilayah Rawan Pangan dan Gizi Kronis di Papua, Kalimantan Barat dan Jawa Timur. Pusat Analisis dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Aritonang, I. 2004. Penyebab Gizi Buruk dan Kematian pada Anak Balita. Buletin Nutrisia Vol 5 (1): 1-4. Apriantono, A. 2005. Revitalisasi Pertanian dan Pemantapan Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Prossiding Temu Ilmiah Kongres PERSAGI : 11-20. Azwar, A. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan tantangan di Masa Datang. disampaikan pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi. Jakarta. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta. Barker, DJP. 1998. Mother Badies and Health in Later Life, Churchill, Livingstone, Endnburgh, London, New York, Philadelphia, San Franscisco, Sydney, Toronto. Chapt. I Page 2 – 3. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Ibu Sehat, Bayi Sehat. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Direktorat Bina Gizi Masyarkat. Jakarta [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jakarta. Ebrahim, GJ. 1985. Social and Comunity Paediatric in Developing Countries, Caring for Rural and Urban Poor. London.
93
Elshibly, M.E and Schmalisch G. 2007. The effect of maternal anthropometric characteristics and social factors on gestational age and birth weight in Sudanese newborn infants. BMC Public Health 2008, 8:244. Gibson, RS. 1990. Prinsiples of Nutrition Assessment. Oxford University Press. New York. Hadi, H. 2002, The Age Pattern and Socio-Economic Determinants of Growth Retardation In Preschool Children, Berita Kedokteran M. Vol. XVIII (1). Hardinsyah. 2000. Studi Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Hastono, S. P. 2001. Analisis Data. Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia. Hirve SS, Ganatra BR. 1994. Determinants of Low Birth Weight : a Community Based Prospective Cohort Study. Indian Pediatr. 1994 (31):1221-1225. Hickey CA. 2000. Sociocultural and Behavioral Influences on Weight Gain during Pregnancy. Am J Cin Nutr. 2000.71:1364S-70S. Husaini, KS. 1990. Karakterisasi Wanita Hamil dalam Hubungnnya dengan Berat Lahir dan Pertumbuhan Bayi selanjutnya. Lawoyin TO: Infant and Maternal Deaths in Rural South West Nigeria: a Prospective Study. Afr J Med Med Sci. 2007 (36):235-241. Jelliffe, D.B. 1996. Kesehatan Anak di daerah Tropis (Terjemahan). Bina Aksara. Jakarta. Jus’at, I. Jahari, A.B. Achmadi, R.L. H.S.A. Soekirman. 2000. Penyimpangan Positif Masalah KEP di Jakarta Utara dan di Pedesaan Kabupaten Bogor Jawa Barat, Prosiding WNPG VII, Jakarta : Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Lee, Herzfeld, Lowenfels, Greene, Dorabawila, DuMont. 2007. Reducing Low Birth Weight Through Home Visitation. American Journal of Preventive Medicine. 2008; 36(2): [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.17 – 19 Mei 2004. Jakarta. McCormick. 1985. The Contribution of low birth-weight to Infant Mortality and Childhood Morbidity. New England Journal of Medicine. 312: 82-90. Moehji, S. 2003. Gizi Dalam Daur Hidup. Bharata Jakarta. Notoadmodjo, S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
94
Puffer, R. 1993. Mortality Infancy and Childhood. MJAF. 64:322-341. Riyadi, H. 2003. Metode Penilaian Status Gizi secara Antropometri (A Student Book: Method of Anthropometric Nutritional Assessment). Departemen of Community Nutrition and Family Resources. Faculty of Agriculture. Bogor Agriculture University. Bogor. Roudbari M, Roudbari M M, Yaghmaei M and Soheili M. 2006. The Prevalence and Risk Factors of Low Birth Weight (LBW) in Zahedan city, Islamic Republic of Iran. Sandjaya. 2001. Penyimpangan Positif (Positive Deviance) Status Gizi Anak Balita dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. NIHRD, Litbangkes. Jakarta. Sandjaya, dkk. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Kompas. Jakarta. Siddiqui A, Gold E, Yang X, Lee K, Brown K and Bhutta Z. 2008. Prenatal Exposure to Wood Fuel Smoke and Low Birth Weight. Environmental Health Perspectives.2009;116(4): Singh, Chouhan and Sidhu. 2007. Maternal Factors for Low Birth Weight Babies. MJAF. 2009; 65:10-12. Siza, J.E. 2002. Risk Factors Associated with Low Birth Weight of Neonates among Pregnant Women Attending a Referral Hospital in Northern Tanzania. Tanzania Journal of Health Research. 2008;10(1):1-8. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta. Soekirman. 2001. Paradigma Baru Penanggulangan Masalah Gizi di Indonesia. http :/www. gizi.net/ Prof-soekirman.htm. 24:31:06. [2 Nov 2009]. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kemang Anak. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. Suhardjo, 2002. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Supariasa, I, Bakri, Bachyar, Fajar, Ibnu. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC Jakarta Todaro, Michael P. & Smith, Stephen C. 2009. Economic Development. Tenth Edition. Pearson Education. Inc. Boston. USA. UNICEF. 1998. The State of the World’s Children 1998. UNICEF. Oxford University Press. Oxford. UNICEF. 2000. Challenges for a New Generation. The Situation of Children and Women in Indonesia.
95
Uthman, Olalekan A. 2004. Effect of low birth weight on infant mortality: Analysis Using Weibull Hazard Model. Internet Journal of Epidemiology, 15402614. 2008; 6: Velankar. 2008. Maternal Factors Contributing to LBW Babies in an Urban Slum Community of Greater Mumbai. Bombay Hospital Journal. 2009; 51(1):26-53. Yliharsila H, Kajantie E, Osmond C, et al. 2007. Birth Size, Adult Body Composition and Muscle Strength in Later Life. International Journal of Obesity. 2007 (31) : 1392–1399. Yongky. 2007. Analisis Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil Berdasarkan Status Sosial Ekonomi dan Status Gizi serta Hubungannya dengan Berat Bayi Baru Lahir. Disertasi Pascasarja Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB. Bogor. Watson-Jones D, Changalucha J, Gumodoka B, et al. Adverse Birth Outcomes in United Republic of Tanzania Impact and Prevention of Maternal Risk factors. Bulletin of the World Health Organization 2007;85:9-18. World Bank. 2004. Millenium Development Goals (MDGs). Wotington R, Williams SR. 2000. Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth Edition, MC Graw-Hill International Editions. North America.
96
Lampiran 1
No 1
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Macam dan Indikator Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan pelayanan Posyandu / Poskesdes dalam 3 bulan terakhir? - Ya - Tidak Penimbangan - ≥4 kali - 1 – 3 kali - Tidak pernah Penyuluhan - Ya - Tidak Imunisasi - Ya - Tidak KIA - Ya - Tidak Suplementasi Gizi (Vit A, Fe, Multigizi Mikro) - Ya - Tidak Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan pelayanan Polindes/ Bidan Desa dalam 3 bulan terakhir? - Ya - Tidak Dalam 6 bulan terakhir, apakah anak ditimbang ? Ya Tidak tahu Tidak pernah Apakah dalam 6 bulan terakhir anak mendapatkan kapsul vitamin A Ya Tidak Apakah mempunyai KMS/Buku KIA Ya Tidak
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Total skor paling tinggi = 30 -
Baik Jika > 80% dari total yaitu total nilai ≥24
-
Sedang Jika 60 – 80% yaitu total nilai 18 – 23
-
Buruk Jika < 60 % yaitu total nilai < 18
Skor
3 1 3 2 1 3 1 3 1 3 1 3 1
3 1 3 2 1 3 1 3 1
97
Lampiran 2 Akses terhadap Pelayanan Kesehatan
No
Macam dan Indikator
1
Berapa jarak yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (RS, Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan Praktek)? - < 1 KM - 1 – 5 KM - > 5 KM Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Rumah Sakit, Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan Praktek)? - ≤15 menit - 16 – 30 menit - > 30 menit Berapa jarak yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes)? - < 1 KM - 1– 5 K - > 5 KM Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes)? - ≤15 menit - 16 – 30 menit - > 30 menit Apakah tersedia angkutan umum ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat ? - Ya - Kadang kadang - Tidak
2
3
4
5
TOTAL SKOR PALING TINGGI 15 -
Baik Jika > 80% dari total yaitu total nilai ≥12
-
Sedang Jika 60 – 80% yaitu total nilai 9 – 11
-
Buruk Jika < 60 % yaitu total nilai < 9
Skor
3 2 1
3 2 1
3 2 1
3 2 1
3 2 1
98
Lampiran 3 Sanitasi Lingkungan No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
15
Macam dan Indikator Berapa jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga ? - ≥100 liter - 50 – 99,9 liter - 20 – 49,9 liter - < 20 liter Berapa jarak untuk memperoleh air (pulang pergi) ≤1 KM > KM Berapa lama waktu untuk memperoleh air (pulang pergi) - < 30 menit - ≥30 menit Apakah di sekitar sumber sumber air dalam radius < 10 meter terdapat sumber pencemaran (air limbah/tangki septik/sampah) ? - Tidak Tidak ada sumber air - Ya Apakah air untuk semua kebutuhan rumah tangga diperoleh dengan mudah sepanjang tahun - Ya (mudah) - Sulit dimusim kemarau - Sulit sepanjang tahun Number Air yang digunakan Keruh - Tidak - Ya Air yang digunakan Berwarna - Tidak - Ya Air yang digunakan Berasa - Tidak - Ya Air yang digunakan Berbusa - Tidak - Ya Air yang digunakan Berbau - Tidak - Ya Apakah jenis sarana / tempat penampungan air minum sebelum dimasak ? - Wadah/tandon tertutup - Wadah/tandon terbuka - Tidak ada/langsung dari sumber Dimana tempat penampungan air limbah dari kamar mandi / tempat cuci/dapur ? - Penampunagn tertutup di perkarangan / SPAL - Penampungan terbuka di perkarangan - Penampungan di luar perkarangan, Tanpa penampungan/ ditanah/Langsung ke got / sungai Bagaimana saluran penampungan air limbah dari kamar mandi / tempat cuci /dapur ? - Tertutup - Terbuka - Tanpa saluran Tempat sampah tertutup - Ya - Tidak
Skor 3 2 1 0 3 1 3 1
3 2 1
3 2 1 3 0 3 0 3 0 3 0 3 0 3 2 1 3 2 1
3 2 1 3 1
99
No
Macam dan Indikator
16
Apakah tersedia tempat penampungan sampah basah (organik) di dalam rumah - Ya - Tidak Tempat sampah tertutup - Ya - Tidak Apakah buang air besar di jamban Ya Tidak
17
18
TOTAL SKOR PALING TINGGI = 54 -
Baik Jika > 80% dari total yaitu total nilai ≥ 43
-
Sedang Jika 60 – 80% yaitu total nilai 32 - 42
-
Buruk Jika < 60 % yaitu total nilai < 32
Skor 3 1 3 1 3 1
100
Lampiran 4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Bayi Lahir (Hasil Olahan SAS) Stepwise Selection: Step 4 Variable x1 Entered: R-Square = 0.0845 and C(p) = 3.8618 The SAS System 19:19 Saturday, December 30, 1995 3 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: y y Stepwise Selection: Step 4 Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
DF 4 1148 1152 Parameter
Variable Intercept x1 x4 x5 x7
Estimate 3222.19690 39.44245 -10.97802 416.98899 44.56330
Sum of Squares 25836020 279910481 305746501
Mean Square 6459005 243824
F Value 26.49
Pr > F <.0001
Standard Error 89.16543 13.15597 3.04370 49.76912 10.23561
Type II SS 318411264 2191591 3171908 17116167 4621729
F Value 1305.90 8.99 13.01 70.20 18.96
Pr > F <.0001 0.0028 0.0003 <.0001 <.0001
Bounds on condition number: 1.644, 21.485 --------------------------------------------------------------------------------All variables left in the model are significant at the 0.0500 level. No other variable met the 0.1500 significance level for entry into the model.
Step 1 2 3 4
Summary of Stepwise Selection Variable Variable Number Partial Model Entered Removed Label Vars In R-Square R-Square C(p) x5 x5 1 0.0643 0.0643 23.2268 x7 x7 2 0.0041 0.0684 20.0898 x4 x4 3 0.0090 0.0773 10.8413 x1 x1 4 0.0072 0.0845 3.8618
F Value 79.03 5.06 11.18 8.99
Pr > F <.0001 0.0246 0.0009 0.0028
101
Lampiran 5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Berdasarkan Indikator BB/U (Hasil Olahan SAS)
Stepwise Selection: Step 6 Variable x9 Entered: R-Square = 0.0875 and C(p) = 5.3451
Source
DF
Model Error Corrected Total
Variable Intercept x2 x3 x5 x6 x7 x9
Analysis of Variance Sum of Squares Square
6 1623 1629
Parameter Estimate -5.38755 0.11002 0.00042608 0.01904 0.05505 -0.23328 0.01915
324.69918 3387.11605 3711.81522 Standard Error
54.11653 2.08695
Mean F Value
Pr > F
25.93
<.0001
Type II SS
F Value
Pr > F
264.92334 66.30619 74.75301 16.15414 82.97549 22.02806 8.03654
126.94 31.77 35.82 7.74 39.76 10.56 3.85
<.0001 <.0001 <.0001 0.0055 <.0001 0.0012 0.0499
0.47817 0.01952 0.00007119 0.00684 0.00873 0.07180 0.00976
Bounds on condition number: 1.0785, 37.171 ---------------------------------------------------------------------------------All variables left in the model are significant at the 0.0500 level. No other variable met the 0.1500 significance level for entry into the model . The SAS System
19:19 Saturday, December 30, 1995
12
The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: y y
Variable Variable Step Entered Removed 1 2 3 4 5 6
x2 x6 x3 x7 x5 x9
Summary of Stepwise Selection Number Partial Model Label VarsIn R-Square R-Square C(p) F Value x2 x6 x3 x7 x5 x9
1 2 3 4 5 6
0.0287 0.0248 0.0214 0.0057 0.0046 0.0022
0.0287 0.0535 0.0749 0.0807 0.0853 0.0875
99.7158 57.6348 21.6298 13.4314 7.1920 5.3451
48.17 42.65 37.60 10.15 8.23 3.85
Pr > F <.0001 <.0001 <.0001 0.0015 0.0042 0.0499
102
Lampiran 6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Berdasarkan Indikator BB/TB (Hasil Olahan SAS)
Stepwise Selection: Step 5 Variable x7 Entered: R-Square = 0.0396 and C(p) = 3.8633 Analysis of Variance
DF
Sum of Squares
Mean Square
5 1624 1629
471.10341 11433 11904
94.22068 7.04016
Source Model Error Corrected Total
Variable Intercept x2 x3 x6 x7 x9
Parameter Estimate -4.89149 0.20745 0.00043948 0.03455 -0.27888 0.03883
Standard Error Type II SS 0.84972 0.03463 0.00013072 0.01603 0.13188 0.01791
The SAS System
233.29859 252.68139 79.57351 32.70849 31.48390 33.10215
F Value
Pr > F
13.38
<.0001
F Value
Pr > F
33.14 35.89 11.30 4.65 4.47 4.70
<.0001 <.0001 0.0008 0.0313 0.0346 0.0303
19:19 Saturday, December 30, 1995
16
The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: y y Stepwise Selection: Step 5 Bounds on condition number: 1.0146, 25.213 --------------------------------------------------------------------------------All variables left in the model are significant at the 0.0500 level. No other variable met the 0.1500 significance level for entry into the model . Summary of Stepwise Selection
103
Step 1 2 3 4 5
Variable Entered
Variable Removed Label
x2 x3 x6 x9 x7
Number Vars In
Partial R-Square
1 2 3 4 5
0.0234 0.0077 0.0031 0.0027 0.0026
x2 x3 x6 x9 x7
Model R-Square 0.0234 0.0311 0.0342 0.0369 0.0396
C(p)
F Value
23.1192 12.1907 8.8986 6.3295 3.8633
39.07 12.86 5.28 4.57 4.47
Pr > F <.0001 0.0003 0.0217 0.0328 0.0346
Lampiran 7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Berdasarkan Indikator TB/U (Hasil Olahan SAS)
Stepwise Selection: Step 5 Variable x10 Entered: R-Square = 0.0165 and C(p) = 3.4150 Analysis of Variance
Source Model Error Corrected Total
Variable Intercept x2 x5 x6 x8 x10
Parameter Estimate -3.44234 -0.13565 0.03473 0.04917 0.09736 1.99989E-7
DF
Sum of Squares
Mean Square
5 1624 1629
277.10908 16516 16793
55.42182 10.17012
Standard Error Type II SS 0.96735 0.04309 0.01511 0.01926 0.04439 9.766019E-8
SAS System
128.78590 100.80127 53.72581 66.31141 48.92716 42.64843
F Value
Pr > F
12.66 9.91 5.28 6.52 4.81 4.19
0.0004 0.0017 0.0217 0.0108 0.0284 0.0407
F Value
Pr > F
5.45
<.0001
19:19 Saturday, December 30, 1995 The REG Procedure Model: MODEL1 Dependent Variable: y y Stepwise Selection: Step 5
7
104
Bounds on condition number: 1.0784, 25.852 ---------------------------------------------------------------------------------All variables left in the model are significant at the 0.0500 level . No other variable met the 0.1500 significance level for entry into the model .
Summary of Stepwise Selection
Step 1 2 3 4 5
Variable Variable Number Entered Removed Label Vars In
Partial R-Square
x6 x2 x5 x8 x10
0.0037 0.0036 0.0036 0.0030 0.0025
x6 x2 x5 x8 x10
1 2 3 4 5
Model R-Square
C(p)
0.0037 0.0074 0.0110 0.0140 0.0165
16.4659 12.4900 8.5235 5.6018 3.4150
LAMPIRAN
F Value Pr > F 6.10 5.94 5.95 4.92 4.19
0.0136 0.0149 0.0148 0.0267 0.0407