1157
Analisis faktor kondisi kontiunitas ... (Andi Indra Jaya Asaad)
ANALISIS FAKTOR KONDISI KONTINUITAS BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI TELUK LAMPUNG Andi Indra Jaya Asaad, Makmur, Rachmansyah, Muhammad Chaidir Undu, dan Muawanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai faktor-faktor kondisi yang mendukung kontinuitas aktivitas budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009. Cakupan wilayah penelitian meliputi Teluk Hurun, Teluk Ringgung, dan Pulau Puhawang di Kawasan Teluk Lampung. Sasaran penelitian adalah pengusaha KJA sebagai key responden yang berada pada kawasan tersebut. Metode penelitian menggunakan metode wawancara mendalam dan pengisian kuisioner oleh key responden. Sebanyak 12 key responden telah ditentukan secara purposif berdasarkan kepemilikan KJA, lama berusaha dalam kurun waktu lebih dari 3–5 tahun dan masih aktif sebagai pengusaha KJA. Analisis data dilakukan secara statistik analisis multivariat dengan pendekatan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 faktor utama yang menjadi alasan kontinuitas usaha budidaya KJA bagi para pengusaha. Kedua faktor tersebut merupakan hasil pengelompokkan faktor-faktor yang memiliki kedekatan dalam kuadran, yaitu: 1) infrastruktur fisik dan kondisi pasar, dan 2) sumberdaya manusia dan kebijakan.
KATA KUNCI:
keramba jaring apung, analisis faktor, Teluk Lampung
PENDAHULUAN Budidaya keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu usaha budidaya untuk menjawab tantangan kebutuhan global untuk produk perikanan. Budidaya KJA telah berkembang ke arah cluster untuk keberadaan KJA dan pengembangan sistem KJA intensif (Halwart et al., 2007). Budidaya KJA laut di Indonesia khususnya untuk komoditas ikan kerapu berkembang cukup pesat di daerah Bangka, Bengkulu, Kepulauan Seribu, Banten, Jawa, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Lampung. Perkembangan KJA di Lampung menunjukkan hal yang signifikan terutama dalam penyediaan bibit yang berasal dari kegiatan perbenihan (hatchery) (De Silva et al., 2007). Usaha budidaya KJA laut di Lampung merupakan salah satu aktivitas penting dan menjadi kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung untuk pengembangan kawasan budidaya laut dan pengembangan usaha budidaya skala kecil untuk penyerapan tenaga kerja (Sugiyatno, 2008). Pada dasarnya usaha akuabisnis merupakan bagian dan memiliki persamaan dengan usaha agribisnis. Menurut Krisnamurthi & Fausiah (2005) bahwa usaha agribisnis merupakan kegiatan produktif karena mempunyai rentang peluang yang sangat luas yaitu dari penyediaan input hingga pasca panen dan pemasaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa prospektif usaha agribisnis sangat ditentukan oleh kombinasi sumberdaya internal pengusaha dan kondisi pasar yang dijadikan target. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor utama yang mendukung kontinuitas usaha budidaya KJA khususnya komoditas ikan kerapu di Lampung. Budidaya laut di Teluk Lampung sudah menunjukkan eksistensi dan memegang peranan penting dalam kontribusi peningkatan produksi perikanan dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan PAD melalui nilai ekspor ikan kerapu yang umumnya dipasarkan ke luar negeri (Singapura, Hongkong, Taiwan bahkan Amerika Serikat). Berdasarkan hasil pembangunan kelautan dan perikanan Provinsi Lampung 2006–2007, kegiatan budidaya laut menunjukkan peningkatan sebesar 3,32% di mana produksi pada tahun 2006 sebesar 1,692 ton dan pada tahun 2007 mencapai 1,791 ton (Sugiyatno, 2008). Kegiatan usaha akuabisnis KJA dengan komoditas utama yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah berkembang di Lampung sejak tahun 1999 (Sitepu, 2008). Faktor-faktor apa saja yang menjadi mendukung usaha akuabisnis ini hingga saat ini menjadi dasar pertanyaan penelitian ini. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor utama bagi pengusaha KJA di Teluk Lampung yang mendukung kontinuitas usaha tersebut.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
1158
METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Teluk Lampung yang secara khusus dilakukan di Teluk Hurun, Teluk RInggung, dan Pulau Puhawang (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Metode pengumpulan data dilakukan dengan survai pangan yang meliputi kegiatan wawancara dan observasi lapangan serta pengumpulan data sekunder. Penentuan key responden dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kepemilikan keramba jaring apung (KJA), lama berusaha dalam kurun waktu lebih dari 3–5 tahun dan masih aktif sebagai pengusaha KJA. Sebanyak 12 key responden telah ditentukan berdasarkan kriteria tersebut dan diminta untuk memberi nilai (skoring) terhadap pilihan faktor-faktor yang diasumsikan mendukung usaha akuabisnis KJA. Faktor-faktor atau variabel-variabel yang dinilai oleh responden adalah: (1) kondisi fisik perairan, (2) ketersediaan sarana budidaya, (3) ketersediaan pakan yang ekonomis, (4) ketersediaan benih unggul, (5) kemudahan akses ke lokasi budidaya, (6) lokasi budidaya yang strategis, (7) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (8) pengalaman usaha budidaya, (9) ketersediaan tenaga kerja, (10) fluktuasi harga yang positif (11) kondisi pasar yang kondusif. Pemberian nilai berdasarkan skala 1–5 di mana nilai 1 menunjukkan nilai variabel tidak dianggap mendukung sama sekali, sedangkan nilai 5 menunjukkan nilai variabel yang dianggap mendukung usaha akuabisnis KJA. Nilai antara 1 dan 5 merupakan nilai graduasi dari responden. Analisis data dilakukan secara statistik multivariat khususnya dengan pendekatan analisis faktor. Menurut Supranto (2004) dan Yamin et al. (2009), bahwa analisis faktor merupakan suatu prosedur untuk mereduksi data atau meringkas variabel yang banyak menjadi beberapa variabel dalam dimensi baru tetapi variabel atau dimensi baru yang terbentuk tetap mampu merepresentasikan variabel utama. Prinsip utama dalam analisis faktor adalah variabel-variabel yang dianalisis memiliki keterkaitan dan saling berhubungan satu dengan yang lain karena melalui analisis faktor ini akan dicari kesamaan dimensi yang mendasari variabel-variabel tersebut. Perangkat yang digunakan untuk analisis ini adalah SPSS Ver 13.0.
1159
Analisis faktor kondisi kontiunitas ... (Andi Indra Jaya Asaad)
HASIL DAN BAHASAN Keragaan Pembudidaya Keramba Jaring Apung di Teluk Lampung Lokasi penelitian yaitu Teluk Hurun, Teluk Ringgung, dan Puhawang termasuk dalam wilayah perairan Teluk Lampung. Menurut Aminuddin (2003), bahwa secara administratif, Teluk Lampung berada dalam dua wilayah administrasi yaitu Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Bandar Lampung berada di antara Kabupaten Lampung Selatan dan membentang sepanjang Teluk Lampung. Hal ini dapat diasumsikan bahwa aktivitas pembangunan yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan Teluk Lampung dapat berasal dari Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Teluk Lampung mempunyai kedalaman rata-rata 25 m. Di mulut Teluk kedalaman berkisar antara 35–75 m yang ditemui di Selat Legundi. Menuju kepala teluk, perairan mendangkal sekitar 20 m pada jarak yang relatif dekat dengan garis pantai (Proyek Pesisir,—). Menurut Yudha (2009), bahwa wilayah pantai barat Teluk Lampung termasuk dalam zona pesisir di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada yang terdiri dari beberapa teluk dan pulau-pulau kecil. Teluk Hurun, Teluk Ratai, Teluk Punduh, dan Teluk Pidada merupakan rangkaian teluk-teluk kecil yang terletak di pesisir Padang Cermin dan Punduh Pidada. Beberapa pulau kecil yang berada di perairan tersebut, antara lain: Pulau Kelagian, Pulau Maitem, Pulau Tegal, Pulau Kubur, Pulau Tangkil, Pulau Lahu, Pulau Puhawang, Pulau Legundi, Pulau Balak, Pulau Seserot, Pulau Siuncal, dan Pulau Tanjung Putus. Menurut Sitepu (2008), bahwa secara historis kegiatakan akuabisnis budidaya keramba jaring apung (KJA) mulai di kenal dan dirintis di Lampung untuk pembesaran ikan laut yakni ketika Balai Budidaya Laut Lampung (BBL) berhasil mengembangkan pembenihan ikan kerapu tikus tahun 1999 (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Keragaan pembudidaya KJA dapat dilihat pada Tabel 1. Lokasi perairan yang termasuk dalam lokasi penelitian adalah Pulau Hanura, Pulau Ringgung, dan Pulau Puhawang (Gambar 2). Tabel 1. Status pembudidaya KJA di Teluk Lampung Lokasi perairan/perusahaan/petani Pulau Hanura Pulau Pasaran Pulau Ringgung Pulau Ketapang Pulau Puhawang Pulau Piabung Pulau Tanjung Putus Pulau Siuncal Pulau Pagar Pulau Condong Total keseluruhan
Jumlah KJA Jumlah (unit) petani 10 4 70 19 144 33 245 400 30 60
2 1 16 3 16 4 7 1 1 2
1.015
± 50
Sumber: Sitepu (2008)
Hal yang menarik dari karakteristik usaha KJA ini adalah bahwa 100% responden berkecimpung sebagai pembudidaya KJA sebagai usaha sekunder. Pada umumnya para responden sudah memiliki usaha primer dan sudah tergolong mapan sehingga dari usaha primer tersebut dapat mendukung usaha sekunder. Jenis usaha primer responden bervariasi mulai dari pengusaha properti, transportasi, dan PNS. Umumnya para pengusaha tersebut hanya menginvestasikan modal yang dimiliki dan teknis di lapangan dikerjakan oleh para pekerja yang digaji bulanan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha
1160
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Gambar 2. Situasi KJA di Teluk Hurun dan Ringgung bisnis budidaya KJA memerlukan modal yang cukup besar dengan risiko yang juga besar. Sehingga pelaku usaha menjalankan usaha ini setelah memiliki suatu usaha lain yang sudah mapan dan perputaran modal dianggap mampu mendukung usaha budidaya KJA ini. Faktor-faktor Utama Kontinuitas Usaha Budidaya KJA Pemberian skor terhadap sebelas variabel yang dianggap merupakan faktor utama yang mendorong usaha akuabisnis KJA tetap berjalan ternyata dapat direduksi menjadi 7 variabel utama yaitu: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (4) pengalaman usaha budidaya, (5) ketersediaan tenaga kerja, (6) fluktuasi harga yang positif (7) kondisi pasar yang kondusif. Hal ini didapatkan dari analisis faktor di mana kesebelas variabel tersebut dimasukkan dalam proses perhitungan sehingga didapatkan nilai measure sampling adequacy yang terlihat pada matriks anti image (Gambar 3) Anti image correlation
a
Pakan Benih Kebijakan Akses Fisik Harga Sarana Pengamatan Pasar Tenaga kerja Lokasi
.684a .483 -.023 -.551 -.234 -.318 -.134 .607 .055 -.334 .143
.483 .369a .184 -.547 -.149 .259 -.393 .332 -.067 -.179 .525
-.023 .184 .532a .434 .702 .341 .059 .149 -.724 -.733 .139
-.551 -.547 .434 .325a .656 -.112 .600 -.119 -.415 -.450 -.534
-.234 -.149 .702 .656 .388a -.107 .225 -.005 -.510 -.658 -.456
-.318 .259 .341 -.112 -.107 .646a -.466 -.041 -.483 .200 .715
-.134 -.393 -.059 .600 .225 -.466 .669a .023 -.207 -.304 -.579
Measure sampling adequacy (MSA)
Gambar 3.
Matrik anti image : Nilai Measure Sampling Adequacy (MSA)
.607 .332 .149 -.119 -.005 -.041 .023 .548a -.278 -.485 .025
.065 -.037 -.724 -.415 -.510 -.483 -.207 -.278 .665a .486 -.133
-.334 -.179 -.733 -.450 -.658 .200 -.304 -.485 .486 .596a .277
.143 .525 .139 -.534 -.456 .715 -.579 .025 -.133 .277 422a
1161
Analisis faktor kondisi kontiunitas ... (Andi Indra Jaya Asaad)
Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai MSA yang lebih kecil dari 0,5 terdapat pada variabel ketersediaan benih, akses, kondisi fisik, dan lokasi. Menurut Yamin et al. (2009), bahwa jika nilai MSA <0,5 maka variabel dengan nilai tersebut sebaiknya dikeluarkan dari analisis faktor dan dilakukan analisis ulang. Sehingga setelah analisis faktor pertama telah diketahui bahwa terdapat 4 variabel yang memiliki nilai <0,5; maka pada analisis lanjutan, keempat variabel tersebut dihilangkan. Analisis faktor lanjutan dengan hanya menggunakan 7 variabel yang nilai MSA nya >0,5 menunjukkan nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO) yaitu 0,653 yang lebih besar dari 0,5 sehingga analisis faktor dapat diterima (Tabel 2). Menurut Suprayanto (2004), bahwa nilai KMO merupakan suatu indeks untuk menunjukkan ketepatan analisis faktor. Rentang nilai 0,5–1,0 menunjukkan bahwa analisis faktor tergolong tepat, sedangkan rentang nilai di bawah 0,5 menunjukkan bahwa analisis faktor tidak tepat. Dengan demikian nilai KMO dari analisis faktor 7 variabel sudah tergolong tepat. Hal lain ditunjukkan dengan nilai uji Bartlett’s test dengan signifikansi sebesar 0,00 (<0,05) yang menunjukkan bahwa matriks korelasi yang terbentuk bukan merupakan matriks identitas sehingga terdapat kelayakan hubungan korelasi antara variabel. Dengan demikian prasyarat analisis faktor dapat diterima dan model faktor yang terbentuk layak digunakan. Tabel 2.
Nilai KMO dan Bartlett’s Test
Kaiser-meyer-olkin measure of sampling adequacy Bartlett's test of sphericity
Approx. chi-square df Sig.
.653 52.789 21 .000
Nilai communalities atau jumlah varian suatu variabel awal yang bisa dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Semakin besar nilai communalities sebuah variabel maka semakin erat hubungan variabel tersebut dengan faktor yang terbentuk. Nilai communalities lebih besar daripada 75%, sehingga ketujuh variabel tersebut mempunyai keterkaitan erat dengan faktor yang terbentuk. Nilai terbesar yaitu pada variabel harga sebesar 0,88 yang berarti bahwa 88% faktor yang terbentuk mampu menerangkan varians dari variabel harga (fluktuasi harga yang positif) (Tabel 3). Hal ini berkaitan dengan penjualan ikan kerapu untuk ekspor dalam satuan US dollar. Sehingga faktor harga merupakan pendorong utama pengusaha KJA untuk tetap menjalankan bisnis budidaya tersebut. Komponen faktor yang terbentuk adalah 2 faktor, di mana faktor 1 terdiri atas variabel sarana, pakan, harga, dan pasar. Sedangkan faktor 2 terdiri atas variabel tenaga kerja, kebijakan, dan pengalaman. Pengelompokkan ini berdasarkan nilai korelasi masing-masing variabel terhadap komponen/faktor 1 dan 2. Pada variabel sarana terlihat bahwa nilai korelasi sebesar 0,626 terhadap faktor 1 dan 0,599 terhadap faktor 2, sehingga terdapat kecenderungan pengelompokkan variabel sarana termasuk dalam faktor 1 (Tabel 4). Tabel 3.
Nilai communalities
Initial Sarana Tenaga kerja Pakan Kebijakan Pengalaman Harga Pasar
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Extraction .751 .796 .829 .796 .785 .885 .866
Extraction method: Principal component analysis
1162
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Tabel 4. Faktor yang terbentuk Komponen
Sarana Tenaga kerja Pakan Kebijakan Pengalaman Harga Pasar
1
2
.626 .499 .908 .235 -.104 .937 .775
.599 .740 .068 .861 .880 .053 .515
Extraction method: Principal component analysis Rotation method : Varimax with kaiser normalization a Rotation converged in 3 iterations
Terdapat 7 variabel yang memiliki kedekatan satu dengan yang lain. Namun berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 4, maka ketujuh variabel tersebut dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu faktor 1: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) fluktuasi harga yang positif (4) kondisi pasar yang kondusif. Sedangkan faktor 2 terdiri atas: (5) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (6) pengalaman usaha budidaya, (7) ketersediaan tenaga kerja. Dari pengelompokkan faktor tersebut, maka dapat dikatakan faktor 1 merupakan faktor infrastruktur fisik dan kondisi pasar sedangkan faktor 2 merupakan faktor sumberdaya manusia dan kebijakan (Gambar 4). Kedua faktor utama tersebut merupakan dasar kontinuitas usaha budidaya KJA di Teluk Lampung. Secara komprehensif terlihat bahwa upaya akuabisnis KJA di Teluk Lampung telah meliputi komponen utama untuk keberhasilan usaha agribisnis yaitu keberadaan sumberdaya manusia (tenaga kerja), infrastruktur sarana budidaya yang memadai termasuk ketersediaan pakan sebagai input utama usaha budidaya, kondisi pasar yang kondusif dan kebijakan pemerintah yang mendukung perikanan budidaya.
Pengalaman Kebijakan
1.0
Tenaga kerja
Komponen 2
0.5
Pasar
Sarana
Pakan
0.0
Harga
-0.5
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
Komponen 1
Gambar 4. Grafik plot komponen/faktor
1.0
1163
Analisis faktor kondisi kontiunitas ... (Andi Indra Jaya Asaad)
KESIMPULAN Faktor utama yang mendukung kontinuitas usaha akuabisnis budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung dapat dikelompokkan menjadi dua faktor. Kedua faktor tersebut adalah faktor infrastruktur fisik dan kondisi pasar yang terdiri atas variabel: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) fluktuasi harga yang positif (4) kondisi pasar yang kondusif. Sedangkan faktor sumberdaya manusia dan kebijakan terdiri atas: (5) kebijakan pemerintah provinsi/ daerah, (6) pengalaman usaha budidaya, (7) ketersediaan tenaga kerja. DAFTAR ACUAN Aminuddin. 2003. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Provinsi Lampung. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. De Silva, S.S. & Phillips, M.J. 2007. A review of cage aquaculture: Asia (excluding China). In Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. (Eds). Cage aquaculture – Regional reviews and global overview, p. 18– 48. FAO Fisheries Technical Paper. No. 498. Rome, FAO, 241 pp. Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. 2007. Cage aquaculture – Regional reviews and global overview. FAO Fisheries Technical Paper. No. 498. Rome, FAO, 241 pp. Krisnamurthi, B., & Fausia, L. 2005. Langkah Sukses Memulai Agribisnis. Penerbit Swadaya. Cimanggis Depok, 107 hlm. Proyek Pesisir Lampung. ————. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Sitepu, B. 2008. Status Budidaya KJA di Lampung. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan Bandar Lampung, 7 Juli 2008. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Tidak dipublikasikan. Sugiyatno, U. 2008. Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya di Provinsi Lampung. Makalah Seminar Sehari Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan Bandar Lampung, 7 Juli 2008. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Tidak dipublikasikan. Supranto. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 359 hlm. Yamin, S., & Kurniawan, H. 2009. Teknik Analisis Statistik Terlengkap Dengan Software SPSS. Penerbit Salemba Infotek., 318 hlm. Yudha, I.G. 2009. Karakteristik Biofisik Perairan Dan Permasalahan Pengembangan Wilayah Pesisir di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan. Disitir dari http:// www.scribd.com/doc/13333321/Biofisik-Dan-Permasalahan-Pesisir-Kecamatan-Padang-Cermin-DanPunduh-Pidada-Lampung-Selatan. (November 2009).