ANALISIS EKONOMI RENCANA PENGEMBANGAN AIR BAKU BAGI MASYARAKAT KRITIS AIR DI DESA SANGGALANGIT KABUPATEN BULELENG I Ketut Alit1 , IGN Alit Wiswasta2, I Nyoman Suparsa2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected]
ABSTRACT Tukad Barak river flows in the village of Buleleng Grokgak expected to meet the water needs for agriculture, domestic and non-domestic through the development plan of raw water distribution system (piping). Raw water development plan will be analyzed according to the economic analysis, in order to determine whether the proposed development of raw water in the village of Buleleng Sanggalangit is feasible. The purpose of this research is to understand the feasibility of the development plan of raw water distribution networks Sanggalangit village, and a library for researchers specializing in the construction of the raw water pipeline networks that exist in the source water flowed into the village of Barak Tukad Sanggalangit The results of the study found that long-planned raw water distribution piping network 12 km, with an area of 19.5 km2 Sanggalangit village or 1.950 hectares, divided into 4 Sanggalangit village hamlet, with a population of 1160 households with 4372 inhabitants. Development plans raw water distribution piping network will be accommodated through a tank / reservoir capacity 4500 M3 principal and 3 (three) pieces of each distribution reservoir for reservoir distribution Taman Sari 150 M3 Hamlet, Hamlet Wana Sari 80 m3 and reservoir distribution 100 m3 of Dusun Kayu Putih Village. The method used in researching the feasibility of the project associated with the investment criteria of the current net present value benefits and costs (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B / CR), payback period (PBP) and Inflation .Based on the results of economic analysis in a row, the value of NPV> 0, the value of 11% IRR, B / CR of 1.0032, PBP for 9 th and 7% inflation rate (the cash value of the investment Rp.10.355.235.341 above the value of the initial investment Rp.4.136.64.300). The results of this analysis indicate raw water development project is feasible because it would benefit if the project is built. Keywords : economic analysis, the raw water PENDAHULUAN Air adalah merupakan kebutuhan paling penting bagi seluruh makhluk hidup yang ada dimuka Bumi ini untuk dapat bertahan hidup terutama bagi Manusia. Betapa tidak manusia tidak akan dapat hidup tanpa air, manusia membutuhkan air untuk minum, memasak, mandi dan mencuci, minum ternak dan menyiram/mengairi 1
tanaman. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan luas wilayah 5.634,40 km², mempunyai topografi yang berbukit-bukit dengan pegunungan yang membentang dari barat sampai timur. Di Bali terdapat 401 buah sungai, 4 danau dan 500 mata air . Jumlah cadangan air di Bali sebanyak 13.523,61 juta M3/tahun yang terdiri dari air permukaan 5.656,65 juta M3/tahun, air tanah 401,13 juta M3 dan curah hujan 7.465,83 M3/tahun ( Rencana Aksi Daerah, 2009). Perkembangan pembangunan di kabupaten buleleng telah memberikan konsekwensi tersendiri bagi perkembangan sektor-sektor lain di daerah tersebut, dan penyediaan sarana/prasarana penunjangnya. Salah satunya adalah kebutuhan akan ketersediaan sumber air baku untuk melayani kebutuhan air bersih bagi masyarakat miskin terutama yang ada dipedesaan dan juga untuk kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, industri dan rekreasi serta aktivitas sosial budaya. Pada saat ini daya dukung sumber daya air di Kabupaten Buleleng mulai menurun, sehingga penyediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat merupakan prioritas utama diatas semua kebutuhan lainnya. Upaya pemenuhan kebutuhan air baku telah memunculkan persoalan dalam kaitannya dengan pembangunan prasarana dan sarana penyediaan air baku yang memadai. Kondisi pelayanan air bersih di Kabupaten Buleleng, dimana PDAM Kabupaten Buleleng sampai dengan tahun 2005 telah mengelola dan membina 25.650 instalasi sambungan rumah dan 175 instalasi kran umum untuk pelayanan masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Instalasi pelayanan air bersih tersebut tersebar di 8 (delapan) Kecamatan yang ada di kabupaten buleleng sampai tahun 2005 adalah 393 liter/detik dan melayani 145.840 jiwa penduduk atau 24,43% dari seluruh penduduk di kabupaten buleleng. Penurunan debit sumber air yang ada, sehingga menurunnya kapasitas produksi yang dikelola saat ini, rendahnya tingkat pelayanan air bersih pedesaan dan banyaknya desa yang belum terlayani. Penambahan kapasitas produksi pada system yang ada berbenturan dengan subak untuk kepentingan air irigasi, potensi sumber air cukup, tetapi keterbatasan kapasitas sistem penyediaan air baku yang ada. Keterbatasan sumber air yang dimiliki Kecamatan Grokgak menyebabkan tingkat pemenuhan kebutuhan air bersih sangat rendah. Desa Sanggalangit Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng yang terletak di daerah perbukitan dengan kemiringan 30o – 50o derajat sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai Petani Perkebunan, Peternak, sebagai Pedagang, PNS dan ABRI. Luas wilayah Desa Sanggalangit 19,5 KM2 atau 1950 Ha yang dibagi dalam 4 Dusun, dengan jumlah penduduk tahun 2008 sebanyak 1160 KK dengan 4.372 jiwa. Letak geografisnya Desa ini berada di daerah perbukitan maka sangat sulit bahkan tidak ada sumber air bersih (mata air) yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari terutama pada saat musim kemarau. Sementara sekarang ini masyarakat mengambil air bersih di daerah pesisir pantai atau dari desa tetangga yang letaknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka, sedangkan untuk pertanian masyarakat setempat hanya mengandalkan air hujan sehingga pada musim kemarau praktis tidak dapat bercocok tanam karena tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik. Kondisi saat ini desa Sanggalangit mengalami permasalah an pemenuhan kebutuhan air baku. Berdasarkan keadaan tersebut di atas dipandang sangat perlu dibuat sebuah Rencana Pengembangan Air Baku yang diharapkan mampu mensuplai air dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan air baku bagi masyarakat Desa Sanggalangit khususnya Dusun Taman Sari, Wana Sari, Kayu Putih
dan sekitarnya sampai kemarau berakhir. Lokasi Rencana Pengembangan Air Baku ini terletak di Desa Sanggalangit Kecama tan Grokgak Kabupaten Buleleng, sedangkan sumber airnya diambil dari Tukad Barak yang hulunya berada dikawasan hutan lindung Desa Grokgak Kecamatan Grokgak Kabu paten Buleleng dan bermuara di Kabupaten Jembrana. Debit aliran sumber air pada saat musim kemarau adalah 12 liter/detik, sedangkan penggunaan air bervariasi pada saat musim hujan hanya untuk konsumsi domestik sebesar 4,71 lt/dtk dan pada saat musim kemarau air diperlukan untuk minum, mandi/cuci, menyiram tanaman kebutuhan airnya meningkat menjadi 19,28 lt/dtk. Ketersediaan air tersebut perlu dibuatkan Reservoir untuk menampung kelebihan supplay air pada musim hujan dan dialirkan pada musim kemarau, melalui Sistem Distribusi Air Baku Desa Sanggalangit. Penelitian ini dibatasi mulai dari Tempat Penampungan Air Baku (intake) dari Tukad Barak Hulu kemudian dibuatkan Bak Penampung (Reservoir) selanjutmya pipa distribusi ke Bak Penampung (Reservoir) ke Dusun Taman Sari, Dusun Wanasari dan Dusun Kayu Putih dengan sistim pola distribusi jaringan perpipaan. Penelitian awal dimulai dengan pemetaan desa Sanggalangit, kemudian dilanjutkan dengan pendataan jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat dari kegiatan rutin sehari-hari untuk selanjutnya dari data-data pemetaan desa dibuatkan rencana anggaran biaya untuk distribusi air dari Tukad Barak (intake). Masyarakat juga mengharapkan agar angka pengangguran tidak semakin meluas, berupaya untuk melaksanakan eko nomi kerakyatan agar benarbenar menjadi realita serta melaksanakan konsep pemerataan, baik antar masya rakat, antar daerah/kota maupun antar sektor. Daerah yang akan diteliti adalah Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Melalui Rencana Pengembangan Air Baku ini diharapkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan secara aktif dalam mengamankan dan memelihara hasil-hasil pembangunan, sehingga pemanfaatannya dapat diperoleh secara optimal. METODE PENELITIAN Tujuan Kajian Ekonomi adalah untuk memberikan keuntungan terma-suk kemampuan untuk mengem-balikan nilai investasi seperti yang diinginkan. Setiap pengambilan keputusan untuk berinvestasi biasanya mengandung resiko,dalam rangka menekan atau memperkecil resiko, selain mempertimbangkan faktor-faktor atau kajian non ekonomis seperti tersebut diatas diperlukan suatu perhitungan (penilaian ekonomis) sebelum memutuskan apakah suatu rencana investasi layak dilaksanakan (setelah hasil kajian non ekonomisnya dianggap sudah baik). Hasil suatu Projek adalah pertambahan jumlah barang dan jasa dalam masyarakat sehubungan dengan adanya projek tersebut, dengan kata lain hasil produksi suatu proyek adalah perbedaan jumlah persediaan barang dan jasa termaksud dalam masyarakat dengan adanya projek dibanding tidak ada projek. Disamping tujuan peningkatan barang dan jasa untuk konsumsi, pendirian projek dapat mempunyai tujuan-tujuan sosial yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus suatu projek dapat tercermin, misalnya dalam hal penyediaan kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan. Dalam perencanaan dan pelak-sanaan suatu projek diharapkan akan memperoleh manfaat (benefit). Manfaat projek itu ada yang dihitung atau dinilai
dengan uang baik secara langsung dapat diterima dari kegiatan projek (direct benefit) maupun manfaat yang secara tidak langsung diterima dari kegiatan proyek (indirect benefit) dan ada pula manfaat yang sulit dihitung atau dinilai dengan uang (intangible benefit). Alat ukur untuk menentukan secara menyeluruh mengenai layak tidaknya suatu projek dilaksanakan adalah dengan menggunakan kriteria investasi (Gittinger, 1997). Ada beberapa kriteria investasi yang dapat digunakan dalam evaluasi proyek yaitu : (1) Net Present Value (NPV); (2) Internal Rate of Return (IRR); (3) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), (4) Payback Period. Adapun formula yang digunakan dalam analisis data (Menurut Clive Gray dkk) adalah sebagai berikut : (a) Net Present Value ( NPV ) , merupakan selisih present value penerimaan (benefit) dengan present value pengeluaran ( cost ), Bila NPV lebih besar dari pada 0 ( nol ) proyek jalan terus dan bila NPV lebih kecil dari pada 0 ( nol ) projek tidak jalan. (b) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara present value net benefit dari tahun-tahun yang bersangkutan (pembilang/bersifat positif) dengan present value arus biaya dalam tahun dimana Bt-Ct (penyebut/bersifat negatif). (c) Internal Rate of Return (IRR) Merupakan tingkat bunga atau nilai discount rate (i) yang menyamakan present value pene rimaan (benefit) dengan present value pengeluaran (cost) atau tingkat bunga yang menyebab kan NPV dari proyek sama dengan 0. (d). Inflasi, Inflasi terjadi karena pengaruh terlalu banyaknya uang yang beredar dibandingkan dengan arus barang dan jasa dan pengaruh kenaikan biaya produksi, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif angkutan, kenaikan upah/gaji dan semua jenis komponen biaya hingga mendorong kenaikan harga produk. (e).Metode Payback Period (PBP) adalah bertujuan untuk mengetahui seberapa lama (periode) investasi akan dapat dikembalikan saat terjadinya kondisi pulang pokok break event point menurut (M Giatman 2005) lebih lanjut dijelaskan, lamanya periode pengembalian (k) saat kondisi BEP. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Rencana Anggaran Biaya-Pembangunan (Investasi Projek) 2. Biaya Operasi dan Pemeliha raan (O&P) 3. Rencana Penerimaan Projek (benefit) 4. Peningkatan pendapatan pendu duk dengan pemanfaatan air baku. HASIL PEMBAHASAN Hasil penelitian yang sduah dilaksanakan terutama terkait dengan analisa usaha disajikan npada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Ekonomi
I.
II.
NET PRESENT VALUE BIAYA INVESTASI PROYEK : 1 Total Biaya Konstruksi 2 Biaya Operasional dan Maintenance per tahun. F 3 Total Biaya Investasi (Cost). P
= 4.136.964.301 = 41.369.643 = 4.178.333.944
Rp Rp Rp
PENDAPATAN PROYEK : 1 Jumlah penduduk yang dilayani 2 Luas Areal Pertanian Lahan Kering yang dilayani 3 Tingkat bunga per tahun, i 4 Lama periode 3 Harga Air per m 5 6 Jumlah Produksi Air Baku (Netto) per Tahun 7 Jumlah Pendapatan dari Air Baku Per Tahun 8 Jumlah Produksi Air untuk Pertanian per Tahun 9 Jumlah Pendapatan dari Pertanian per Tahun 10 Total pendapatan per tahun
= = = = = = = = = =
Jiwa Ha % Tahun Rp
NPV
= 13.315.897
5.257 19 11 25 2.100 153.504 322.358.400 81.337 170.807.700 493.166.856
m3 Rp
m3 Rp Rp Rp
3
Jadi dengan tingkat suku bunga i = 11% dan harga air Rp. 2.100/m Nilai NPV = ’Positif’ berarti proyek layak untuk dilaksanakan = 1,0032 BCR Nilai BCR > 1, berarti proyek layak untuk dilaksanakan
Berdasarkan Tabel analisis di atas dapat dilihat hasilnya sebagai berikut : a. Harga air per m3 Rp. 2.100,- Melayani Penduduk 5.257 Jiwa. b. N P V hasilnya adalah Positip > 0. c. I R R tingkat bunga 11 % dibawah suku bunga pinjaman 15% dan di atas SBI 6,5%. d. Nilai B C R adalah 1,0032 atau > 1. e. Nilai Payback Period (PBP) = 9,15 tahun atau 9 tahun.. f. Inflasi 7% nilai tunai investasi Rp. 10.355.235.341 di atas investasi awal (layak) Hasil analisis tersebut di atas menunjukkan projek rencana pengembangan air baku layak untuk dilaksanakan karena dengan nilai investasi sebesar Rp.4.136.964.300,-, biaya operasi dan pemeliharaan sebesar Rp. 41.369.643,- per tahun dan penerimaan (pendapatan setiap tahun dari hasil penjualan air untuk rumah tangga dan pertanian sebesar Rp.493.166.856,-. Hasil analisis ekonomi yaitu berturut-turut hasil NPV > 0 (positif), IRR sebesar 11% masih dibawah standar
bunga kredit bank 15 % diatas bunga SBI 6,5% dan nilai B/C R sebesar 1,0032 diatas 1, nilai payback period (PBP) tingkat pengembalian investasi 9 tahun, umur proyek 25 th ini berarti menguntungkan, rekomendasi proyek layak untuk dilaksanakan. Rencana pembangunan air baku desa sanggalangit ini juga mendapat dukungan dari responden sebanyak 93 orang mewakili penduduk desa Sanggalangit, dari tenaga kerja pertanian dan non pertanian, mereka menginginkan agar projek ini segera dibangun, agar masyarakat lebih mudah mencari air dan masyarakat juga bisa ikut berpartisipasi dalam pembangunan projek air baku ini. Hasil penelitian terhadap 93 responden dari 4 (empat) dusun sangat mendukung dan menyatakan bahwa ingin berpartisipasi dalam pembangunan projek air baku desa sanggalangit. Investasi (Juta Rp) Safety margin 4.136 4000
3000
BEP Keterangan : Pengembalian investasi 9 tahun Umur ekonomis proyek 25 tahun Keuntungan diatas 9 tahun
2000 1000
Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gambar 1. Break Event Point (Pay Back Period)
Gambar 2. Lokasi Rencana Pengembangan Air Baku
KESIMPULAN 1. Rencana Pengembangan Air Baku Bagi Masyarakat Kritis Air akan dapat mengatasi kekurangan air baku di Desa Sanggalangit dengan persediaan air setahun sebesar 248.832.000 liter (248.832 M3).. 2. Hasil analisis ekonomi pengembangan air baku adalah NPV > 0 positif, IRR 11% lebih kecil dari bunga kredit (diskonto) bank 15%, B/C R >1 yaitu 1,0032 dan tingkat pengembalian pinjaman (Payback Period) 9 dan tingkat Inflasi 7% (Rp. 10.355.235.341,-), Rencana Pengembangan Air Baku Desa Sanggalangit menguntungkan dan layak untuk dilaksanakan. 3. Rencana pengembangan air baku Desa Sanggalangit akan dapat meningkatkan pendapatan, meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat, pengembangan pertanian, peternakan dan usaha industri rumah tangga masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim, 2008, Analisis Kelayakan Investasi Bisnis, Edisi Perdana, Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Bappeda Kabupaten Buleleng. 2004. Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kabupaten Buleleng tahun 2004-2014. HM. Burhan Bungin. 2004. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Suad Husnan & Suwarsono Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi ke Empat. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Kadariah. 2001. Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Edisi Dua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Kuswadi. 2006. Analisis Ke Ekonomian Proyek, Penerbit Andi. Yogyakarta. Mankiw. N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta. M. Giatman, 2005... Ekonomi Teknik, Editor H. Arsan Aliludin Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Sugiyono, 2009, Statistika untuk Penelitian, Cetakan Kelima, Penerbit CV. Alfabeta. Bandung. Sukanto Reksohadiprodjo, 2002, Ekonomi Lingkungan Suatu Pengantar, Edisi 2. Penerbit BPFE. Yogyakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Departemen Pekerjaan Umum RI.
EFEKTIFITAS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR Dewa Made Puspa1, Deden Ismail2, AA Putu Agung2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected].
ABSTRACT Hospital waste can contain hazardous material because it can be poisonous, infectious and either can be radioactive. Hospital waste as other waste, also contain organic and anorganic substance which component can be measured by liquid waste test such as BOD, COD, TSS, pH, microbiologic and others. The result quality of liquid waste processed, depend on support system of the liquid waste process. Good liquid waste processed is needed in supporting result quality of “effluent” therefore liquid waste value will not over the standard that have been determined by government and it would not pollute the environment. This research will be observational which can be done by observing the quality of liquid waste before and after IPAL processed. From this observation result, then it will be compared between waste quality data before and after IPAL processed with dependent T test. For analyzing quality of liquid waste (effluent) can be done by calculating mean of each parameter, then it will be compared with standard value of liquid waste as in the Bali Government Law No. 8 year 2007 (Pergub Bali No 8 Tahun 2007). From dependent T test can be interpreted when all of the parameter of sig. (2-tailed) 0,000 value which means there is difference quality from liquid waste before and after processed. From the quality “effluent” compared with the standard value ; it found that the majority of the parameter has fulfill the standard quality except for BOD5 and NH3.As a conclusion, the processed of liquid waste is not yet fulfill all the parameter of standard quality. This is due to the mechanism of liquid waste processed is not yet optimum, biologically at aeration tank and biodetox tank. Therefore, evaluation on the effectiveness on aeration and biodetox process need to be enhanced to ensure the quality of liquid waste to fulfill standard quality. Keywords : liquid waste, treatment, hospital PENDAHULUAN Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi segala permasalahan kesehatan masyarakat. Kegiatan tersebut nantinya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, Namun disisi lain dapat menimbulkan dampak negatif antara lain adalah limbah medis maupun non medis yang dapat menimbulkan penyakit dan pencemaran yang perlu perhatian khusus. Oleh karenanya perlu upaya penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan karyawan akan bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit.
Limbah rumah sakit dapat mengandung bahan berbahaya karena dapat bersifat racun, infeksius dan juga radioaktif. Selain itu, karena kegiatan atau sifat pelayanan yang diberikan, maka rumah sakit menjadi depot segala macam penyakit yang ada di masyarakat, bahkan dapat pula sebagai sumber distribusi penyakit karena selalu dihuni, dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-orang yang rentan dan lemah terhadap penyakit. Di tempat ini dapat terjadi penularan baik secara langsung (cross infection), melalui kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector borne infection) sehingga dapat mengancam kesehatan masyarakat umum (Dirjen PPM & PL.2002). Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas (Menkes.2004). Apabila dibandingkan dengan kegiatan instansi lain, maka dapat dikatakan bahwa jenis sampah dan limbah rumah sakit dapat dikategorikan kompleks. Secara umum sampah dan limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu limbah klinis dan non klinis baik padat maupun cair. Limbah klinis adalah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinari, farmasi atau sejenis, pengobatan, perawatan, penelitian atau pendidikan yang menggunakan bahan-bahan beracun, infeksius berbahaya atau bisa membahayakan kecuali jika dilakukan pengamanan tertentu. Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari kantor/administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, TTS, pH, mikrobiologik, dan lain-lain. Pada tahun 1992, di Perancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV, 2 dianta-ranya menimpa petugas yang menangani limbah medis (WHO. 2005). Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pengelolaan limbah yang baik tidak hanya pada limbah medis tajam tetapi meliputi limbah rumah sakit secara keseluruhan. Namun, berdasarkan hasil Rapid Assessment, sebanyak 648 rumah sakit dari 1.476 rumah sakit yang ada, yang memiliki insinerator baru 49% dan yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebanyak 36%. Dari jumlah tersebut kualitas limbah cair yang telah melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat baru mencapai 52% (Dirjen PPM & PL.2002). Telah terjadi pencemaran posphat pada air sungai dan air sumur di sekitar RSUP Sanglah. Sampel air sungai yang diambil dua kali yaitu pada bulan Februari dan bulan Juli tahun 2008 menunjukan indikasi pencemaran (Status Lingkungan Hidup.2008). Air selokan memiliki nilai BOD dan COD melebihi baku mutu limbah sedangkan air sumur masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Namun indikasi pencema-ran amoniak terjadi baik pada air sungai maupun air sumur penduduk. Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan pengelolaan limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam
mendukung hasil kualitas efluent, sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitar. Terkait masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi yang berkelanjutan untuk mengetahui efektifitas pengolahan limbah cair di RSU Sanglah Denpasar. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional, yaitu dengan mengobservasi kualitas limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan IPAL. Kemudian dari hasil obervasi dilakukan perbandingan antara data kualitas limbah cair sebelum dengan sesudah mengolahan IPAL. Pengambilan sampel dilakukan selama 7 hari dan masing-masing 7 kali pengambilan pada bak inlet dan bak oulet air limbah RSUP Sanglah. Untuk pemeriksaan fisika dan kimia diambil sampel sebanyak 2 liter sedangkan untuk pemeriksaan mikro-biologi diambil sampel sebanyak 0,5 liter. Untuk memperoleh perbandi-ngan kualitas limbah cair awal dan akhir maka dilakukan uji t dua sampel berpasangan. Uji t dua sampel berpasangan merupakan uji perbandingan (komparatif) yang bertujuan untuk membandingkan apakah dua varibel tersebut sama atau berbeda. Secara umum persamaan uji t dua sampel sebagai berikut (Suparman.1994). Lalu data dianalisa menggunakan bantuan program SPSS versi 17. Analisa SPSS menggunakan uji t dengan tingkat signifikansi (α) adalah 5% atau 0,05. Bila t hitung > 0,05 artinya tidak ada perbedaan, sedangkan bila ≤ 0,05 artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan atau disimpulkan pengelolaan limbah cair sudah efektif. Sedangkan untuk menganalisa kualitas limbah cair (effluent) yakni dengan menghitung nilai rata – rata masing-masing parameter, lalu diban-dingkan dengan nilai baku mutu limbah cair sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Bali No. 8 Tahun 2007. Bila kadar parameter limbah cair lebih besar dari baku mutu yang ditetapkan artinya sistem pengolahan limbah cair belum berjalan dengan baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sistem IPAL di RSUP Sanglah memiliki teknologi pengolahan yang berbeda. IPAL Mahotama menggun-akan teknologi biodetox, merupakan bantuan dari Austria sejak tahun 1996. Daya tampungnya adalah 240 m3 atau sekitar 240.000 liter per delapan jam (satu kali trip). Sehari bisa melakukan dua kali trip. IPAL ini menampung seluruh limbah cair mulai dari instalasi gizi, laboratorium, ruangan rawat inap (kecuali IRD dan Poliklinik). Sementara IPAL yang terletak di belakang UGD menggunakan teknologi lumpur aktif (activated sludge). Menampung limbah cair yang datang dari IRD seperti Ratna, MS, IRD dan Poliklinik. Daya tampungnya 70 m3 atau sekitar 70.000 Liter per delapan jam (satu trip). Pada tulisan ini peneliti memfokuskan pada IPAL Mahotama karena merupakan IPAL utama RSUP Sanglah. Air limbah dari unit-unit penghasil limbah cair sebelum masuk ke bak penampungan (septic tank) dilakukan pretreatment berupa penyaringan dan dengan sistem over flow kemudian air limbah mengalir melalui pipa-pipa menuju IPAL. Namun seringkali muncul permasa-lahan penyumbatan pada perpipaan IPAL oleh
sampah-sampah yang dibuang pada saluran air. Sehingga limbah cair tersumbat dan akhirnya mengalir keluar saluran. Pada awalnya air limbah dialirkan ke dalam influent chamber. Dalam proses penyaluran ke influent chamber ini, bahan padat dapat masuk ke sistem penyaluran. Jika bahan padat masuk ke sistem penyaluran dan mencapai unit pengolahan maka proses pengolahan limbah cair dapat terganggu. Oleh karena itu, pada influent chamber dilakukan pengolahan pendahuluan yaitu melalui proses penyaringan dengan basket screen. Air limbah dialirkan melalui saringan besi untuk menyaring sampah yang berukuran besar. Sampah yang tertahan oleh saringan besi secara rutin diangkut untuk menghindari terjadinya penyumbatan. Kemudian air limbah dipompa-kan menuju bak equalisasi dan aerasi, guna menstabilkan limbah yang akan masuk instalasi pengolahan. Namun sebelumnya limbah cair melalui bak penyaring (grease trap) guna menyaring lemak atau minyak. Kemudian lemak yang tersaring akan terapung dan diambil secara berkala. Air limbah lalu dialirkan menuju bak equalisasi dan aerasi. Di dalam bak equalisasi, air limbah dibuat menjadi homogen dan alirannya diatur dengan flow regulator. Flow regulator yang terdapat pada bak equalisasi ini dapat mengendalikan fluktuasi jumlah air limbah yang tidak merata, yaitu selama jam kerja air diperlukan dalam jumlah banyak, dan sedikit sekali pada malam hari. Flow regulator juga dapat mengendalikan fluktuasi kualitas air limbah yang tidak sama selama 24 jam dengan menggunakan teknik mencam-pur dan mengencerkan. Dengan dibantu oleh diffuser, air limbah dari berbagai sumber teraduk dan bercampur menjadi homogen dan siap diolah. Selain itu, diffuser juga dapat menghilangkan bau busuk pada air limbah. Jadi pada dasarnya equalisasi berguna untuk meredam fluktuasi air limbah sehingga dapat masuk ke dalam IPAL secara konstan. Pada bak aerasi terjadi proses oksidasi secara biologis dan biokimia. Proses oksidasi secara biologis dan biokimia terjadi akibat penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri pengurai. Proses pengolahan secara biologis terjadi di dalam bak aerasi dengan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah didekom-posisikan oleh mikroorganisme menjadi produk yang lebih sederhana. Sehingga menyebabkan bahan organik semakin lama semakin berkurang. Dalam hal ini bahan buangan organik diubah dan digunakan untuk perkembangan sel baru (protoplasma) serta diubah dalam bentuk bahan-bahan lainnya seperti karbondioksida, air, dan ammonia. Proses ini berjalan secara aerobik dan sangat cepat akibat penambahan oksigen secara terus-menerus ke dalam air limbah. Kemudian air limbah beserta lumpur hasil proses biologis tadi dialirkan kedalam bak sedimentasi (clarifier tank) agar dapat mengendap. Lumpur dialirkan menggunakan pompa menuju bak pengering lumpur (sludge bed dryer). Sedangkan lumpur-lumpur yang mengendap di dasar bak dibuang secara berkala ke bak lumpur (sludge tank). Air limbah selanjutnya dialir-kan menuju bak biodetox guna menjalani proses pengolahan. Biode-tox merupakan seperangkat alat pengolahan air limbah buatan Jerman dan alat ini menggunakan sistem pengolahan FBK (Fixed Bed Kascade), bioreaktor berteknologi microbiologi aerob. Pada bak biodetox terjadi proses biological treatment. Teknologi biodetox sendiri meng-gantikan fungsi dari lumpur aktif.
Setelah menjalani proses biodetox air limbah mengalir menuju holding tank dan dilakukan treatment menggunakan klorin. Pemberian klorin bertujuan untuk mendeinfeksi bakteri seperti e.coli yang pada kadar tertentu berbahaya bagi manusia. Pada bak klorin ini kadar klorin diatur sedemikian rupa secara otomatis menggunakan pompa yang bertujuan mengatur jumlah klorin yang dialirkan ke holding tank. Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi (saringan pasir). Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyera-pan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan oleh saringan pasir dan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Selanjutnya air limbah mengalir secara overflow menuju bak penampungan akhir. Sebagian kecil air tesebut digunakan untuk menyiram tanaman di sekitar IPAL dan sisanya mengalir menuju Tukad Badung melalui saluran air got. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 7 kali pada inlet dan outlet IPAL RSUP Sanglah. Setelah data hasil laboratorium didapat maka untuk mengetahui efektifitas sistem IPAL RSUP Sanglah Denpasar dilakukanlah uji perbandingan. Dari hasil uji t berpasangan diketahui bahwa seluruh parameter nilai sig.(2-tailed) 0,000 artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair antara sebelum dan sesudah pengolahan (tabel 1). Sehingga dapat disimpulkan pengelo-laan limbah cair di RSUP Sanglah sudah efektif. Dari hasil perhitungan prosentase efektifitas, seluruh parameter limbah cair mengalami penurunan dan total coliform yang nilainya paling tinggi yaitu 96,6% (tabel 2). Dilihat antara kualitas effluent dibandingkan dengan baku mutu, sebagian besar parameter sudah memenuhi baku mutu yang ditetapkan kecuali BOD5 dan NH3 (tabel 3). Tabel 1 Uji t Parameter Limbah Cair di RSUP Sanglah NO
1 1 2 3 4 5 6 1
PARAMETER FISIKA Temperatur KIMIA pH BOD5 COD TSS NH3 PO4 MIKROBIOLOGI Total coliform
t
df
Sig. (2tailed)
Keterangan
9
6
0,000
Signifikan
11 7 12 13 3 14
6 6 6 6 6 6
0,000 0,000 0,000 0,000 0,021 0,000
Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
107
6
0,000
Signifikan
Kadar BOD5 limbah cair hasil pengolahan IPAL sebesar 66,7 mg/l dari 30 mg/l yang disyaratkan. Sedangkan kadar amoniak limbah cair hasil pengolahan IPAL (effluent) masih jauh di atas baku mutu yaitu 18,7 mg/l dari 0,1 mg/l yang disyaratkan. Tabel 2 Efektifitas Pengelolaan Limbah Cair di RSUP Sanglah
NO
PARAMETER
@ Setelah Pengolahan IPAL
Kadar Maksimum PerGub Bali No. 8 Tahun 2007
29 °C
30
6,9
6-9
FISIKA Temperatur
1
KIMIA 1
pH
2
BOD5
66,7 Mg/L
30
3
COD
19,6 Mg/L
80
4
TSS
10,2 Mg/L
30
5
NH3
18,7 Mg/L
0,1
6
PO4
1,5 Mg/L
2
815,7/100mL
10.000
MIKROBIOLOGI 1
Total coliform
Tabel 3 Perbandingan Limbah Cair di RSUP Sanglah NO
1 1 2 3 4 5 6 1
PARAMETER
FISIKA Temperatur KIMIA pH BOD5 COD TSS NH3 PO4 MIKROBIOLOGI Total coliform
Rata-Rata Sebelum Pengolahan
Rata-Rata Sesudah Pengolahan
Prosentase Penurunan (%)
29.5
29.0
1.4
7.5 85.7 40.0 50.6 32.9 4.2
6.9 66.7 19.6 10.2 18.7 1.5
6.9 22.2 51.1 79.9 43.1 64.8
24000.0
815.7
96.6
Keterangan
RSUP Sanglah secara rutin sudah melaksanakan monitoring kualitas limbahnya cairnya setiap 3 bulan sekali. Sedangkan setiap harinya petugas secara
rutin mengecek proses pengolahan limbah cairnya di unit IPAL nya. Kegiatan yang dilakukan petugas antara lain mengangkat sampah, lemak yang tersaring pada inlet dan grease trap. Selain itu juga mengontrol kadar clorin di bak clorin agar fungsi desinfeksi effluent berjalan dengan baik. Namun karena jumlah tenaga yang sangat terbatas yaitu sebanyak 3 orang yang bertanggung jawab pada seluruh kegiatan sanitasi rumah sakit sehingga terkadang fungsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bila ini tidak segera disikapi maka akan mempengaruhi kinerja sehingga fungsi kontrol dan monitoring tidak berjalan dengan baik. Bila berlanjut akan berdampak pada efektifitas kerja IPAL dan akhirnya berdampak negatif pada kualitas effluent yang akan dibuang ke badan air (Dirjen PPM&PL.2002). Tingginya nilai efektifitas IPAL tidak menjadi penentu bahwa IPAL telah memiliki unit operasi dan unit proses yang baik. Keberhasilan kinerja IPAL sangat ditentukan dengan hasil analisis kualitas outlet IPAL dengan cara membandingkan dengan baku mutu air limbah. Apabila prosentase efektifitas IPAL tinggi, sementara kualitas outlet berada di atas baku mutu air limbah, maka IPAL dinilai gagal memenuhi persyaratan (kinerja buruk) dan sebaliknya (Djunaedi.H.2007). Hasil dari kualitas pengolahan limbah cair tidak terlepas dari dukungan pengelolaan limbah cairnya. Suatu pengelolaan limbah cair yang baik sangat dibutuhkan dalam mendukung hasil kualitas effluent sehingga tidak melebihi syarat baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitar. Kualitas limbah yang dibuang ke sungai oleh rumah sakit yang telah memiliki IPAL sangat ditentukan oleh kinerja IPAL yang digunakan, Standar Operating Prosedure, dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai operator IPAL yang merupakan faktor penentu kinerja pengolahan limbah (Djunaedi.H.2007). KESIMPULAN a. Pengelolaan limbah cair di RSUP Sanglah sudah efektif hal ini dapat dilihat dari hasil uji t berpasangan diketahui bahwa seluruh parameter nilai sig.(2-tailed) 0,000 artinya terdapat perbedaan kualitas limbah cair antara sebelum dan sesudah pengolahan. Dari hasil perhitungan prosentase efektifitas nampak parameter total coliform yang nilainya paling tinggi yaitu 96,6%. b. Perbandingan antara kualitas effluent dengan baku mutu sebagian besar parameter sudah memenuhi baku mutu yang ditetapkan kecuali BOD5 dan NH3 atau amoniak. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya pengolahan limbah cair secara biologis pada bak aerasi dan bak biodetox.
DAFTAR PUSTAKA Djaja I. M. & D. Maniksulistya 2006, tentang “Gambaran Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit X Jakarta, tersedia pada http:/ www. google. co.id. Diakses tanggal 16 Desember 2009
Djunaedi. H. 2007. “Kajian Efektivitas Pengolahan Limbah Cair Rumah Sakit, Studi Kasus Rumah Sakit di DKI Jakarta” , tersedia pada http:/ www. google. co.id. Diakses tanggal 16 Desember 2009 Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan. Kanisius. Yogyakarta ________, 1993. Pedoman Pemeliharaan Instalasi Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit DepKes Jakarta. ________, 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia, DirJen PPM & PL, YanMed, DepKes.Jakarta ________,2008. Status Lingkungan Hidup (SLH) Kota Denpasar Hefni.E. 2003. Telaah Kualitas Air, Kanisius, Yogyakarta MenLH. UU No. 23 Tahun 2007 Pengelolaan Lingkungan Hidup, Republik Indonesia. MenLH.UU No. 18 Tahun 2008 Pengelolaan Sampah, RI MenLH. KepMenKes No. 1204/Menkes/SK/X/2004 Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit MenLH. KepMenLH. No. 58 TAHUN 1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit Muliartha. 2007 Efektifitas Pengelolaan Limbah Medis di RSUD Wangaya Tesis tidak dipublikasikan Teknik Lingkungan UNUD Nasir. 2009. Sanitasi Rumah Sakit, tersedia pada http:// www. Sanitasirumahsakitku Blogspot.com. Diakses tanggal 16 Juli 2010. Perdana.G. 2008. Sistem Pengolahan Lingkungan dan Limbah Industri, Yrama Widya, Bandung PerGub No. 8 Tahun 2007 Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, Propinsi Bali Pusdiknakes. 1999. Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah pada Institusi Pendidikan Sanitasi/ Kesehatan Lingkungan, DepKes RI Sumiati.S. 2007. Journal Analisis Pengelolaan Air Limbah di Pavililyun Kartika RSPAD Gatot Subroto Jakarta, tersedia pada http:/ www. Google. Co.id. Diakses tanggal 16 Desember 2009. Sugiono. 2003. Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung Said. 2003.”Makalah Lokakarya Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit”. Jakarta Suparman, I. 1994. Makalah Rumus Statistik Induktif Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta Salmin, 2005 Makalah Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan, Oseana, Volume XXX, Nomor 3 Utaminingsih, E. 2007 Pengaruh Luas Permukaan Media Dan Lama Aerasi Terhadap Degradasi Kadar BOD, Amoniak, Nitrat, Nitrit, Dan Padatan Total Tersuspensi Pada Pengolahan Limbah Cair Kantin VEDC Malang Dengan Sistem Biofilm Media Batu Apung Skripsi FMIPA Malang WHO. 2005 Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, EGC Jakarta Wardana, A. W. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Yogyakarta Wicaksono S. 2001. Karakteristik Limbah Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, DepKes RI, Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran no.130.
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI OBYEK WISATA BUDAYA (Studi Kasus tentang Desa Pakraman Penglipuran) Dwi wahyuni1, Sang Putu Kaler Surata2, I Made Legawa2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected] ABSTRACT Research Empowerment Strategy In Efforts To Increase Welfare Society Object In Cultural Tourism (Case Studies on Rural Pakraman Penglipuran) has the objective to identify potency had by Penglipuran Village as special tourism object, studying the condition of internal environment in the form of weakness and strength and also the condition of environment of eksternal in the form of threat and challenge. formulating strategy development of cultural tourism. this Research method is to use field method of research, that is direct researcher dig data in field by observation, direct monitoring and interview in field. This research have the character of qualitative fenomenologi that is research qualitative in giving of meaning and look for my me esensi of society to tourist. Pursuant to result of research, PenglipuranVillage have potency as cultural tourism object. natural potency, culture, security and sociability represent especial for visitor to prevent the happening of deviation in its management need governmental interference in continuation of culture. local government require to promote more impetous so that Peglipuran Village more knowledgeable by tourist. Stipulating of penglipuran Village as cultural tourism object give opportunity to society to increase the quality of life of good society, education and knowledge of society and also earnings of society. according to statistical mountearnings per capita society of penglipuran mount to be compared to earnings per capita society of bangli but the earnings still less competent. Effort government to increase earnings of society of penglipuran require to make balance to with existing regulasi . Keyword : Penglipuran Village, Cultural Tourism
PENDAHULUAN Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanat-kan tatanan perubahan dalam pemerintahan, dimana Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memperoleh kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Implikasi dari undang-undang tersebut, setiap
daerah akan berusaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan alamnya yang bersifat fundamental dan multidimensi, tidak hanya sebatas pada bidang politik, ekonomi, tetapi juga dalam bidang pariwisata. Kesempatan ini memacu masing-masing daerah untuk berlomba menggali potensi pariwisatanya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Paradigma pembangunan pari-wisata yang telah berjalan sekian lama mampu memberikan berbagai macam warna dan corak seiring dengan perkembangannya. Sampai pada akhirnya pariwisata menjadi sektor andalan dalam meraih devisa dari sektor non migas, namun disadari bersama potensi ini sangat rentan terhadap berbagai gejolak sosial yang sering terjadi di masyarakat (Pitana, 2002). Seperti halnya dengan berbagai musibah atau fenomena nyata yang menimpa Indonesia yang datang silih berganti dimana kehadirannya tidak dapat diprediksi sebelumnya. Fenomena ini membawa konsekuensi upaya untuk segera dapat memulihkan kondisi perekonomian terutama jatuhnya pariwisata Bali sebagai salah satu andalan, baik dengan cara promosi meningkatkan kualitas objek wisata dan sarana pendukungnya, dan mengusahakan pengembangan objek wisata yang berbeda sehingga pariwisata Bali mampu bersaing di tingkat internasional. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pro gram pembangunan selama ini kerapkali dilakukan dengan cara top-down. Masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi masukan, masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Bantuan yang diberikan menciptakan ketergantungan yang pada gilirannya akan lebih menyusahkan daripada menolongnya (Deliveri, 2004). Terminologi pemberdayaan masyarakat kadang-kadang sangat sulit dibedakan dengan penguatan masyarakat serta pembangunan masyarakat (community development). Dalam prakteknya seringkali termino-logi-terminologi tersebut saling tumpang tindih, saling menggantikan dan mengacu pada suatu pengertian yang serupa. Cook (1994) mengungkapkan bahwa pembangunan atau secara spesifik pembangunan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya peningkatan atau pengembangan. Ini merupakan tipe tertentu tentang perubahan menuju kearah yang positif. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu tipe tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau pengembangan masyarakat. Sedangkan Giarci (2001) memandang pemberdayaan masyarakat (community empowerment) sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai fasilitas dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Istilah pemberdayaan masya-rakat mengandung arti yaitu “merupakan proses dimana usaha-usaha masyarakat disatukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi, sosial dan kultural masyarakat, menyatukan masyarakat kedalam kehidupan bangsa dan memungkinkan masya-rakat menyumbang secara penuh bagi kemajuan nasional” (Raharjo, 1987 dalam Slamet, 1992:4-5). Bartle (2003) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai alat untuk menjadikan masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan sosial dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh,
kekuatan kolektifnya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya. Meskipun belum ada kesepahaman dan pengertian yang baku tentang pemberdayaan masyarakat atau yang secara umum juga dikenal dengan community empowerment, nampaknya cukup penting dan berguna untuk mengadopsi pengertian pemberdayaan masyarakat yang dirilis oleh Tim Deliveri (2004) sebagai salah satu acuan “Proses pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya sendiri dengan menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin” Proses tersebut menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan (people or community centered development)”. Berdasarkan persinggungan dan saling menggantikannya penger-tian tentang community development dan community empowerment, secara sederhana dapat disarikan beberapa esensi kunci dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam meren-canakan, memutuskan dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya diperlukan perumusan permasalahan sehingga penelitian menjadi lebih terarah. Permasalahan yang cukup penting dan patut untuk di teliti adalah 1. Potensi apa saja yang mendukung serta yang dimiliki oleh Desa Pakraman Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli Kabupa-ten Bangli sebagai wisata budaya? 2. Apakah kebijakan Pemerintah Daerah menetapkan Desa Pakra-man Penglipuran sebagai obyek daya tarik wisata khusus mem-pengaruhi pola pikir masyarakat ? 3. Bagaimana strategi pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masya-rakat oleh Pemerintah Daerah Bangli terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat serta apakah kebijakan tersebut merupakan pilihan bagi masya-rakat setempat? METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan pene-litian lapangan. Studi lapangan dilakukan dengan memilih Desa Pakraman Penglipuran yang memper-tahankan budaya tradisional dalam tantangan arus modernitas. Supaya penelitian yang dilakukan dapat menjawab permasalahan penelitian yang diajukan, tentunya diperlukan penggunaan metode penelitian yang tepat sehingga penelitian dapat menggali data-data yang dibutuhkan sesuai dengan topik penelitian. Desa Pakraman Penglipuran dipilih karena desa adat ini telah ditetapkan sebagai obyek wisata tradisional oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli, sehingga menjadi pertimbangan untuk melakukan pene-litian mengenai perkembangan pendidikan, pola pikir, peningkatan kesejahteraan ditengah-tengah deras nya arus isu kesejahteraan, modernitas dan gobalisasi digunakan metode deskriptif (field research) dengan pendekatan kualitatif. Dengan metode field research, peneliti terjun langsung menggali data dilapangan dengan cara observasi terlibat, wawancara serta melakukan deskripsi di lapangan untuk memelajari masalah-masalah dalam Desa Pakraman Penglipuran tentang perubahan nilai atau
pandangan, prilaku serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (kebijakan Pemerintah Daerah Bangli). Wawancara kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat serta pihak-pihak lain yang terkait dimaksudkan untuk mendengar keterangan dari mereka tentang fakta-fakta, kejadian yang mereka alami dan mereka ketahui. Dalam memaknai penelitian ini, peneliti melakukan studi kepustakaan dengan mengkaji berbagai literatur, dokumen dan karya-karya lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Guna lebih menyempurnakan hasilnya maka selama penelitian maupun penulisannya penulis menggunakan metodologi penelitian sosial yang telah ada. Penelitian ini cakupannya hanya membahas strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di obyek wisata budaya Desa Pakraman Penglipuran, dimana penjelasan dilakukan dengan mengamati hal-hal apa saja dalam pokok-pokok kebijakan seperti yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya, yang sudah dilaksanakan dan temuan-temuan apa yang ditemui di lapangan baik yang menghambat maupun yang mendorong tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Pakraman Penglipuran. Penelitian ini bersifat kualitatif-fenomenologik. Penelitian kualitatif tertarik pada pemberian makna dan mencari esensi yang diperolehnya sendiri dari perilaku masyarakat yang memicu daya tarik wisatawan. Peneliti memahami proses degradasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat sebagai akibat isu kesejahteraan, modernitas dan glo balisasi. Dalam pandangan fenome nologik, penelitian bermakna mema hami peristiwa-peristiwa dalam kaitannya dengan orang dalam situasi tertentu. Dengan karakteristik peneli tian ini maka arah penelitian secara garis besar bermuara mempertemukan atau mendialogkan antara kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bangli dengan pengaruh perkembangan modernitas dan globalisasi. Penelitian ini juga bersifat atau termasuk dalam penelitian “Discriptif Explanatory” dimana peneliti berusaha menjelaskan dari kejadian yang diteliti secara seksama dengan memakai alat analisa SWOT yaitu suatu analisa strategi dengan dasar pada logika dengan memaksimalkan faktor kekuatan dan peluang namun secara bersamaan bisa meminimalkan kelemahan dan ancaman yang datang dari luar. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan untuk ditetapkan menjadi obyek wisata budaya, kekuatan tersebut adalah panorama alam yang indah dan udara yang sejuk, budaya yang unik. Desa Pakraman Penglipuran memiliki kelemahan yaitu rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan per kapita yang masih dibawah standar kelayakan dan upah pungut yang tidak seimbang. Peluang yang dimiliki adalah pemberdayaan masyarakat melalui penetapan sebagai obyek wisata budaya, namun ancaman yang ada yaitu kemajuan teknologi, derasnya arus informasi dan pengaruh era globalisasi yang menyebabkan mulai terjadi pergeseran budaya yang terlihat pada perubahan bentuk fisik bangunan dari tradisional ke arah bangunan modern. Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai obyek wisata budaya, data juga menunjukkan masih ada kelemahan yang perlu diminimalkan. Desa Pakraman Penglipuran juga memiliki peluang untuk pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata budayanya, namun masih perlu adanya dukungan dari Pemerintah Daerah melalui promosi pariwisata dan memberikan
kesem patan Desa Pakraman Penglipuran memperkenalkan budayanya baik di event regional, nasional maupun internasional. Ancaman berupa faktor yang mempengaruhi pariwisata terhadap tercemarnya budaya, sehingga masih perlu strategi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan adanya campur tangan Pemerintah Daerah untuk memperhatikan kelestarian budaya melalui penetapan kebijakan di bidang kebudayaan. Melalui proses internasionalitas ini masyarakat menjadi touristic society. Dengan demikian, masyarakat Desa Pakraman Penglipuran bukan saja mempunyai budaya kecil, budaya besar dan budaya modern, tetapi juga budaya touristik. Proses internasionalitas dan touristifikasi mempunyai dampak yang sangat tinggi terhadap eksistensi kebudayaan lokal, yang mampu mentransformasikan kondisi sosialbudaya masyarakat setempat. Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat secara dinamis dan kreatif telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dan tradisionalisasi untuk melakukan “metamorfosis”. Kalau dilihat dalam kurun waktu yang panjang, jelas manusia dan kebudayaan sudah berubah, namun esensi masyarakat Desa Pakraman Penglipuran masih tetap kuat. Perubahan sosial-budaya yang terjadi melalaui proses dialog antara kekuatan internasionalitas dan tradisionalisasi ini menyebabkan manusia Desa Pakraman Penglipuran seakan-akan melakukan “konversi”. Namun konversi tersebut dilakukan tetap dalam Agama Hindu dengan nuansa Bali yang kental. Berdasarkan hasil penelitian masyarakat masíh merasakan ketidak seimbangan pembagian retribusi antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Menurut SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bangli Nomor 116 Tahun 1993, tentang Penunjukan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Petugas Upah Pungut Retribusi Obyek Wisata, pembagian retribusi terdiri dari 20% untuk ongkos pungut, 10% untuk pemeliharaan kebersihan dan 10% untuk pemeliharaan ketertiban/ keamanan. Rumusan pembagian retribusi yang demikian pada saat ditetapkan keputusan itu mungkin sudah mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, namun pada kondisi saat ini seiring dengan kebutuhan masyarakat rumusan pembagian tersebut sudah tidak sesuai diperlakukan lagi sehingga perlu adanya pembenahan agar lebih seimbang. Berdasarkan hasil penelitian Desa Pakraman Penglipuran memiliki kekuatan untuk dijadikan sebagai obyek wisata budaya, kekuatan yang dimiliki adalah memiliki potensi alam, budaya,keramahan pendududuk dan keamanan. Data juga menunjukkan masih ada kelemahan yang perlu diminimalkan, kelemahan tersebut adalah pergeseran bentuk fisik bangunan. Desa Pakraman Penglipuran juga memiliki peluang untuk pemberdayaan masyarakat melalui pariwisata budayanya, namun masih perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah melalui promosi pariwisata dan memberikan kesempa tan Desa Pakraman Penglipuran memperkenalkan budayanya baik di event regional, nasional maupun internasional. Ancaman berupa faktor yang mempengaruhi pariwisata terhadap tercemarnya budaya, sehingga masih perlu strategi untuk mengatasi ancaman yaitu dengan adanya campur tangan pemerintah daerah untuk memperhatikan kelestarian budaya melalui penetapan kebijakan di bidang kebudayaan. Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai obyek wisata budaya telah memberikan peluang kepada masyarakat mening katkan kualitas hidupnya yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat. Menurut data statistik tingkat pendapatan perkapita
masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memang lebih tinggi dari tingkat pendapatan perkapita Kabupaten Bangli tetapi pendapatan per kapita tersebut masih kurang dari batas layak. Startegi Pemberdayaan masyarakat melalui Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Obyek Wisata Budaya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilaksanakan namun masih perlu diimbangi dengan regulasi yang ada. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memiliki potensi untuk dijadikan obyek wisata budaya. Masyarakat Desa Pakr aman Penglipuran merefleksikan serta mengimplementasikannya melalui tradisi/budaya, struktur bangunan dan penataan lingku ngan. Keharmonisan tersebut menjadikan lingkungannya tetap asri dengan penduduknya ramah tamah. 2. Meskipun budaya dan pariwisata telah menjadi budaya di Desa Pakraman Penglipuran dan telah mengalami proses touristification, identitas budaya masyarakat Desa Pakraman Penglipuran masih tetap, kalau boleh dikatakan menguat. Temuan -temuan lapa ngan juga menunjukkan bahwa kebudayaan Desa Pakraman Penglipuran sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Desa Pakraman Penglipuran dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Meskipun telah lama terjadi kontak yang intensif dengan pariwisata, identitas keasliannya ternyata menguat walaupun arus internasionalisasi semakin derasnya. 3. Penetapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai obyek wisata budaya telah memberikan peluang kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya yang meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan serta pengetahuan masyarakat. Menurut data statistik tingkat pendapatan perkapita masyarakat Desa Pakraman Penglipuran memang lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendapatan perkapita Kabupaten Bangli, tetapi pendapatan perkapita tersebut masih kurang dari batas layak sebagai Daerah tujuan wisata. Strategi Pember dayaan masyarakat melalui Pene tapan Desa Pakraman Penglipuran sebagai Obyek Wisata Budaya dalam upaya peningkatan kesejah teraan masyarakat dapat dilaksa nakan namun masih perlu diimbangi regulasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Pemuda TKI Bali 1991. Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali,1991. Peraturan No. 3 Tahun 1991 Daerah Tingkat I Bali Tentang Pariwisata Budaya,2000. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Statistik Kepariwisataan Kab. Bangli 2008. Bangli : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli. 2008. Informasi Kepariwisataan Kab. Bangli 2008. Bangli : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli.
ANALISIS KELAYAKAN SECARA TEKNIS, LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI USAHA PERTAMBANGAN BATU ANDESIT DI DESA UMA ANYAR SERIRIT – BULELENG I Gede Kardyasa1, Sang Putu Kaler Surata2, I Made Legawa2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected]
ABSTRACT This research aims at analyzing the feasibility of andesitic mining in terms of technical, environmental and economical; calculating the amount of capital required and determining the perception of the society on the environmental consequences of the mining. The research shows that technically, the mining applies open mining method with maximum ladder height and tilt is six meters and forty-five degrees. Primary data was collected from thirty respondents, which are local villagers who lived in Uma Anyar, to determine the perception of the society regarding the andesitic mining. Data processing reveals the investment required for andesitic mining in Uma Anyar village, which includes landscaping, building, taxes, equipments, fuels and workers, is IDR. 4,386,700,000. The production cost and reclamation assurance is IDR. 394.869.836,- and IDR. 76,250,000,- consecutively. The technical analysis result illustrates that the mining applies open mining technique that use combination of shovel-truck equipment, which made it suitable for mining business. The perception of the society regarding the environmental consequences of the mine is positive, 96.7% of the respondents agree since it is considered to be safe. The impact of the mining to the quality of the environment, especially noise level is 93.3%, plant damage is 83.3% and the air quality is only above 60% due to dust and fumes. Nevertheless, the society gives 100% of support towards the reclamation efforts which to be conducted at the end of the mining period and towards the initiative to participate in environmental management. In terms of socio-economic, 96.7% of the respondents are expecting the mining since it would create a field of work for the locals. Based on economical feasibility study, the investment value of IDR. 4,386,700,000 is commendable with Net Present Value (NPV) of IDR. 984.425.921,- (NPV>0), Internal Rate of return (IRR) of 21% and Break Even Point (BEP) of 40 months (less than the period of the mine, 60 months). Keywords: Mining, technical, economical and environmental feasibility PENDAHULUAN Pesatnya pembangunan di daerah Bali terutama pembangunan fisik, perlu ditunjang oleh tersedianya bahan baku batu andesit yang memadai demi kelancaran kegiatan pembangunan tersebut, sehingga tingkat kebutuhan akan material tersebut cukup besar. Keadaan tersebut akan mendorong usaha pertambangan batu andesit
dalam skala besar, yang cepat atau lambat akan membawa dampak terhadap lingkungan, sedangkan dilain pihak potensi batu andesit di Provinsi Bali sangat terbatas/menipis, sehingga keadaan ini perlu perhatian semua pihak. Penelitian yang pernah dilakukan terhadap kelayakan penambangan batu andesit atau deposit bahan tambang lainnya yang ada di Provinsi Bali khususnya di Kabupaten Buleleng belum ada yang menyusun hasil-hasil penelitian itu dalam satu laporan Kelayakan Usaha Pertambangan, laporan seperti ini akan memudahkan instansi terkait untuk mempromosikan potensi alam yang dimiliki.Kebijakan pemerintah daerah Provinsi Bali khususnya ada enam sektor kegiatan yang prospektif ditawarkan untuk penanaman modal besar. Bidang yang direkomendasikan mencakup sektor pertanian, pertambangan (galian C), industri serta pariwisata khususnya obyek wisata. Kegiatan yang direkomendasikan bukan hasil dari studi kelayakan, melainkan hasil yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam memilih bidang usaha prospektif yang selanjutnya harus diikuti dengan pembuatan studi kelayakan. Usaha yang akan dijalankan diharapkan dapat memberikan penghasilan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika dilihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal. Dapat disimpulkan bahwa pengertian kelayakan usaha adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan, usaha, atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan. Memperhatikan kondisi dilapangan dan konsekwensi hal tersebut diatas, kegiatan di bidang pertambangan dipandang perlu untuk ditangani secara lebih baik, antara lain dengan membuat perencanaan yang memadai yang mana sampai saat ini belum ada usaha pertambangan di Provinsi Bali yang membuat analisis kelayakan sebelum beroperasi. Penilaian kelayakan suatu usaha tambang merupakan usaha untuk menjamin agar pengeluaran modal yang ketersediaannya bersifat terbatas, betul-betul mencapai tujuan seperti yang diharapkan, ditinjau dari segi manfaat ekonomi, finansial maupun sosial. Analisis kelayakan memuat keterangan dan data kuantitatif mengenai usaha tambang tersebut. Di sini dapat dilihat apakah penambangan bisa dilaksanakan menurut perbandingan biaya dan hasil yang layak untuk cara kerja dan jangka waktu tertentu. Beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Apakah usaha pertambangan batu andesit layak apabila di eksploitasi?, (b) Berapa besar investasi yang diperlukan untuk usaha pertambangan batu andesit?, (c) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan yang terjadi apabila dilakukan eksploitasi? Sedangkan tujuan penelitian ini: (a). Menganalisis kelayakan usaha pertambangan batu andesit baik secara teknis, lingkungan maupun ekonomi, (b). Menghitung besarnya modal yang diinvestasikan untuk melakukan usaha pertambangan batu andesit (c).Mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan akibat usaha pertambangan batu andsit.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Uma Anyar Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng dengan karakteristik fisik lapangan berbukit dengan kemiringan datar sampai terjal. Dari peta lokasi tersebut akan ditentukan letak bangunan infrastruktur seperti kantor, mess karyawan, bengkel, tempat pengolahan, tempat penyimpanan material (stock file). Untuk mengetahui ketebalan lapisan batu andesit dilakukan dengan pemboran lapisan sebanyak 3 (tiga) titik. Selanjutnya dari luasan dan ketebalan batu andesit akan dihitung potensi batu andestit yang ada Bahan dan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :a) Peta Situasi Provinsi Bali skala 1 : 750.000, b) Bor batuan untuk mengukur kedalaman batu andesit, c) Theodolit untuk mengukur luas daerah penelitian, d) Kompas untuk menentukan azimut tempat penelitian dan e) Kuisioner yang disebarkan dengan pernyataan tertutup sebanyak 30 responden. Pengukuran terhadap kuisioner tersebut menggunakan alat ukur dengan skala likert. Data kuisioner dikatagorisasi sesuai dengan frekuensi atau dominasi pilihan pertanyaan-pertanyaan yang memulai 3 pilihan yaitu setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Variabel-variabel yang dikaji adalah variabel teknis, lingkungan dan sosial-ekonomi. Dalam Penelitian ini dilakukan perhitungan analisis kelayakan dengan metode deskriftif kuantitatif yaitu dengan mengumpulkan data primer dan skunder. Data Primer terdiri dari : (1) luas areal yang diukur dengan theodolit untuk menentukan letak bangunan infrastruktur dan penempatan penyimpanan material (stock file), (2) ketebalan lapisan batu andesit yang didapatkan dari hasil sampel pemboran untuk menghitung potensi atau cadangan yang ada, (3) Harga bibit tanaman untuk menghitung biaya reklamasi, (4) Harga material untuk menghitung evaluasi ekonomi.(5) Data yang diperoleh dari responden melalui kuisioner untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan apabila dilakukan eksploitasi. Data sekunder berupa: (1) Daerah potensi bahan tambang Kab. Buleleng, (2) Data/ informasi menge nai bidang strategis Kab. Buleleng, (3) Peta-peta tata ruang, penyebaran fasilitas dan kepemilikan lahan Kab. Buleleng, (4) Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Buleleng dan (5) Harga-harga alat berat yang digunakan. Analisis Data Analisis menggunakan program yang disebut ”Mining Evaluation Software” yang dirancang berdasarkan perhitungan secara manual. Data yang diproses meliputi : a) untuk kelayakan teknis meliputi peta rencana tambang dan penempatan bangunan infrastruktur, b) untuk kelayakan lingkungan meliputi data jumlah dan harga tanaman yang diperlukan untuk reklamasi, data kuisioner dianalisis dengan menggunakan bantuan tabel-tabel dari berbagai fenomena yang akan dideskripsikan, pembahasan dilakukan menggunakan bantuan prosentase sehingga diperoleh gambaran yang komprehensip atas fenomena yang diamati. c) untuk kelayakan ekonomi meliputi biaya produksi (production cost) yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Terpenting dalam analisis ini adalah suatu data aliran uang tunai didalam perusahaan (cash flow) dengan maksud untuk memperhitungkan tingkat pengemba lian modal yang secara
langsung dapat digunakan sebagai indikator bagi tingkat keuntungan suatu proyek. Lebih lanjut desain penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kelayakan Teknis Untuk menganalis Kelayakan teknis diperlukan data-data luas lahan, peta rencana penambangan meliputi teknik penambangan dan penempatan bangunan infrastruktur. Hasil pemetaan situasi diperoleh luas lahan yang dianalisis 5 Ha. Sesuai peta rencana tambang diperoleh, metode penambangan yang dipakai adalah metode tambang terbuka dengan tinggi jenjang maksimal 6 meter dan kemiringan jenjang maksimal 45º. Kegiatan pertambangan dikatakan layak secara teknis apabila kegiatan tersebut sesuai dengan peta rencana penambangan serta metode penambangan yang digunakan yang tujuan utamanya agar tambang nantinya tidak rawan kecelakaan (aman bagi pekerja) tetapi recovery penambangan dan pengolahannya tinggi (optimal). Metode penambangan yang digunakan adalah tambang terbuka dengan sistem berjebjang. Peralatan yang digunakan adalah kombinasi antara alat bongkar-muat excavator dengan alat angkut dump truck. Sesuai peta rencana penambangan, teknik penambangan dimulai dari level paling atas terus ke level bawah hal ini dilakukan untuk memudahkan pekerjaan dan keama nan para pekerja tambang. Penempatan bangunan infra struktur seperti kantor, mess karya wan, bengkel, tempat pengolahan dan tempat penyimpanan material (stock file) disesuaikan dengan kondisi lapangan sehingga tidak mengganggu kenyamanan aktivitas penambangan. Secara teknis, penambangan batu di Desa Uma Anyar layak dilaksanakan karena sesuai dengan peta rencana penambangan dan peraturan-peraturan yang ada. Analisis Kelayakan Lingkungan Hasil perhitungan jaminan reklamasi yang wajib diserahkan pada usaha pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar adalah sebesar Rp. 76.250.000. Selain dalam bentuk jaminan reklamasi, pengusaha juga mengeluarkan biaya tidak tetap (variable cost) pada saat produksi untuk reklamasi tambang sebesar Rp. 7.500,/m³ atau Rp. 46.875.000,-/bulan. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan yang diakibatkan dengan adanya usaha pertambangan batu andesit, dilakukan pengambilan data primer dari anggota masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan Desa Uma Anyar sebanyak 30 responden. Dari 30 responden yang ada terdiri dari 9 responden petani, 2 responden ibu rumah tangga, 9 responden wiraswasta dan 10 responden pegawai termasuk didalamnya Perbekel Desa Uma Anyar. Untuk mempermudah mendiskripsikan pendapat masyarakat adat terhadap keberadaan penambangan batu andesit, dibuat katagorisasi sesuai dengan frekuensi atau dominasi pilihan pertanyaan-pertanyaan yang memulai 3 pilihan yaitu setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hasil kuisioner dapat dilihat pada tabel berikut ini:
. Tabel 01. Hasil Kuisioner No Pertanyaan Teknis : 1 Ada investor yang melakukan kegiatan penambangan di daerah Uma Anyar 2 Penambangan batu andesit ini tahu dari melihat sendiri 3 Penambangan batu andesit ini tahu dari penjelasan orang lain 4 Secara teknis penambangan batu andesit ini tidak berbahaya bagi masyarakat lingkungan 5 Penambangan batu andesit ini akan menimbulkan kebisingan karena banyak truk pengangkut material 6 Penambangan batu andesit ini banyak menimbulkan debu beterbangan 7 Penambangan ini akan merusak tumbuh-tumbuhan di lokasi tambang 8 Penambangan ini menyebabkan udara menjadi kotor karena asap alat berat 9 Penambangan batu andesit ini akan berpengaruh terhadap daerah aliran sungai 10 Penambangan batu ini mempengaruhi iklim di sekitar lokasi 11 Dalam Penambangan batu andesit ini masyarakat agar di ikutkan dalam proses pengelolaan lingkungan 12 Pada akhir penambangan dilakukan reklamsi oleh perusahaan penambang 13 Reklamasi dilakukan sesuai dengan yang tertera pada dokumen UKLUPL 14 Reklamasi sesuai peruntukan apabila masyarakat menginginkannya 15 Penambangan batu andesit ini dekat dengan perkampungan sehingga mengganggu wilayah Banjar Adat 16 Penambangan berdampak pada
Pilihan
Jumlah
S
KS
TS
29
1
0
30
28
2
0
30
27
2
1
30
20
9
2
30
28
2
0
30
23
7
0
30
23
7
0
30
25
5
0
30
18
12
0
30
19
10
1
30
14
15
1
30
30
0
0
30
30
0
0
30
30
0
0
30
19
11
0
30
14
16
0
30
banyaknya bangunan liar/bedeng di sekitar lokasi 17 Penambangan batu andesit ini tidak akan mengganggu kenyamanan penduduk Sosial ekonomi 18 Penambangan batu andesit ini untuk dijual ke luar lokasi tambang 19 Batu andesit yang ditambang akan dijual sebagai bahan bangunan 20 Batu andesit yang ditambang akan dijual untuk perbaikan jalan 21 Penambangan batu andesit ini nantinya, akan membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar 22 Penambangan batu andesit ini dapat secara langsung menguntungkan perekonomian Desa Uma Anyar 23 Penambangan batu andesit ini menyebabkan sarana dan prasarana Desa bertambah seperti pembangunan jalan 24 Penambangan batu andesit ini akan merusak tatanan Adat, karena banyaknya pendatang 25 Adanya penambangan ini merubah gaya hidup masyarakat desa Uma Anyar menjadi konsumtif 26 Lembaga Adat (Banjar Dinas, Desa Adat) mendapat bantuan rutin dari perusahaan penambangan batuan andesit ini.
13
14
3
30
22
8
0
30
30
0
0
30
30
0
0
30
30
0
0
30
29
1
0
30
30
0
0
30
29
1
0
30
9
21
0
30
10
20
0
30
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010 Keterangan : S = setuju, KS = kurang setuju, TS – tidak setuju
Untuk meminimalisir dampak lingkungan yang diakibatkan adanya usaha pertambangan, investor diwajibkan untuk menyetorkan jaminan reklamasi kepada pemerintah. Jaminan tersebut akan digunakan apabila pada akhir penambangan investor tidak melaksanakan kewajibannya untuk mereklamasi kembali sesuai dokumen UKL-UPL yang telah disepakati bersama. Besarnya jaminan reklamasi dihitung berdasarkan luas lahan yang direklamasi dan jumlah tanaman yang dibutukan. Dengan adanya jaminan reklamasi yang besarnya telah ditetapkan pemerintah tersebut diharapkan dapat meningkatkan tata guna lahan yang sebelumnya tandus menjadi lahan perkebunan yang produktif. Hasil penelitian lapangan diketahui bahwa semua responden (30) telah mengetahui adanya pertambangan batu andesit, sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Berdasarkan data survai untuk mendapatkan jawaban
responden tentang analisis dampak lingkungan secara teknis usaha pertambangan batu andesit terlihat dalam tabel 02. Dari Tabel 09 dapat dipahami bahwa secara teknis pertambangan sebagian besar masyarakat lokal/adat setuju (96,7 %) ada investor melakukan kegiatan usaha pertambangan dan masyarakat betul-betul mengetahui usaha pertambangan batu andesit didaerah tersebut tidak berbahaya karena sesuai dengan Peraturan-Peraturan di Bidang Pertambangan Umum. Sebagai perbandingkan persepsi masyarakat lokal/adat Desa Candikuning tentang rencana kelanjutan proyek eksploitasi panasbumi sebagian besar berpandangan positif (53,91 %) Tabel 02. Responden Dibedakan Berdasarkan Lingkungan secara Teknis No.
Pendapat
Pertanyaan S
Tentang
Pendapat (%) KS TS
Dampak
Jumlah (%)
Teknis : 1. 2. 3. 4.
Ada investor yang melakukan kegiatan penambangan di daerah Uma Anyar. Penambangan batu andesit ini tahu dari melihat sendiri. Penambangan batu andesit ini tahu dari penjelasan orang lain. Secara teknis penambangan batu andesit ini tidak berbahaya bagi masyarakat.
96,7
3,3
0
100
93,3
6,7
0
100
90,0
6,7
3,3
100
66,7
30,0
3,3
100
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010 Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju
Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha pertambangan batu andesit umumnya berupa kebisingan, debu dan asap yang menyebabkan udara menjadi kotor serta merusak tumbuh-tumbuhan yang berdampak terhadap lingkungan. Berdasarkan data survai untuk mendapatkan jawaban responden tentang dampak lingkungan akibat pertambangan batu andesit, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini. Dari Tabel 03 dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat lokal/adat berpandangan usaha pertambangan berdampak terhadap kualitas lingkungan terutama kebisingan (93,3%), kerusakan tumbuh-tumbuhan (83,3%) dan kualitas udara akibat debu dan asap diatas 60%. Namun demikian pada akhir penambangan masyarakat mendukung sepenuhnya (100%) upaya reklamasi yang dilakukan oleh investor sesuai dokumen UKL-UPL yang ada dan masyarakat setuju (100%) ikut terlibat dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat sangat memahami pertambangan berwawasan lingkungan. Meningkatnya perekonomian masyarakat lokal dengan sendirinya kehidupan sosial juga menjadi lebih baik. Rencana pertambangan batu andesit akan mempergunakan tenaga kerja lokal, sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Kedatangan tenaga kerja dari luar pada waktu kegiatan proyek masih berjalan, tidak menimbulkan gangguan kamtibmas karena mereka tidak mengganggu norma-norma/nilai-nilai budaya masyarakat lokal. terhadap dampak
sosial-ekonomi akibat pertambangan batu andesit, jawaban kuisioner responden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 03. Responden Dibedakan Berdasarkan Pendapat Lingkungan Akibat Pertambangan Batu Andesit No.
1.
2. 3. 4.
5. 6.
7.
8. 9. 10. 11.
12. 13.
Pertanyaan
Penambangan batu andesit ini akan menimbulkan kebisingan karena banyak truk pengangkut material. Penambangan batu andesit ini banyak menimbulkan debu beterbangan Penambangan ini akan merusak tumbuhtumbuhan di lokasi tambang Penambangan ini menyebabkan udara menjadi kotor karena asap alat berat Penambangan batu andesit ini akan berpengaruh terhadap daerah aliran sungai Penambangan batu ini mempengaruhi iklim di sekitar lokasi Dalam Penambangan batu andesit ini masyarakat agar di ikutkan dalam proses pengelolaan lingkungan Pada akhir penambangan dilakukan reklamsi oleh perusahaan penambang Reklamasi dilakukan sesuai dengan yang tertera pada dokumen UKL-UPL Reklamasi sesuai peruntukan apabila masyarakat menginginkannya Penambangan batu andesit ini dekat dengan perkampungan sehingga mengganggu wilayah Banjar Adat. Penambangan berdampak pada banyaknya bangunan liar/bedeng di sekitar lokasi. Penambangan batu andesit ini tidak akan mengganggu kenyamanan penduduk
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010 Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju
Tentang
Pendapat (%) S KS TS
Kualitas
Jumlah (%)
93,
6,7
0
100
63,4
33,3
3,3
100
46,7
50,0
3,3
100
100
0
0
100
100
0
0
100
100
0
0
100
63,3
36,7
0
100
46,7
53,3
0
100
43,3
46,7
10,0
100
73,3
26,7
0
100
76,7
23,3
0
100
83,3
16,7
0
100
60,0
40,0
0
100
Tabel 04. Responden dibedakan berdasarkan Pendapatnya tentang Dampak SosialEkonomi No.
1. 2. 3. 4.
5.
6.
7. 8.
9.
Pertanyaan
Penambangan batu andesit ini untuk dijual ke luar lokasi tambang Batu andesit yang ditambang akan dijual sebagai bahan bangunan Batu andesit yang ditambang akan dijual untuk perbaikan jalan Penambangan batu andesit ini nantinya, akan membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Penambangan batu andesit ini dapat secara langsung menguntungkan perekonomian Desa Uma Anyar. Penambangan batu andesit ini menyebabkan sarana dan prasarana Desa bertambah seperti pembangunan jalan. Penambangan batu andesit ini akan merusak tatanan Adat, karena banyaknya pendatang. Adanya penambangan ini merubah gaya hidup masyarakat desa Uma Anyar menjadi konsumtif. Lembaga Adat (Banjar Dinas, Desa Adat) mendapat bantuan rutin dari perusahaan penambangan batuan andesit ini
Pendapat (%) S KS TS
Jumlah (%)
100
0
0
100
100
0
0
100
100
0
0
100
96,7
3,3
0
100
100
0
0
100
96,7
3,3
0
100
30,0
70,0
0
100
33,3
66,7
0
100
100
0
0
100
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2010 Keterangan : S = Setuju, KS = Kurang Setuju, TS = Tidak Setuju
Dari Tabel 05 dapat dipahami bahwa sebagian besar masyarakat lokal/ adat berpandangan bahwa masyarakat sangat mengharapkan adanya usaha pertambangan batu andesit (96,7%), karena dengan adanya usaha pertambangan batu andesit ini dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. Disamping itu secara langsung menguntungkan perekonomian Desa serta Lembaga Adat akan mendapat bantuan dari perusahaan, walaupun demikian tidak akan merubah gaya hidup masyarakat menjadi konsumtif. Kedatangan tenaga kerja dari luar pada waktu kegiatan proyek masih berjalan, tidak menimbulkan gangguan kamtibmas karena mereka tidak mengganggu norma-norma/nilai-nilai budaya masyarakat lokal Analisis Kelayakan Ekonomi Untuk memperoleh nilai ekonomi tersebut harus diketahui besarnya investasi yang ditanamkan dan biaya produksi yang dikeluarkan sehingga perusahaan bisa menetapkan harga jual produk batu andesit. Dari hasil pengolahan data biaya
investasi usaha pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar termasuk didalamnya biaya persiapan lahan, bangunan, pajak-pajak, peralatan dan bahan bakar minyak serta tenaga kerja sebesar Rp. 4.386.700.000,- sedangkan biaya produksinya sebesar Rp. 394.869.836,Aliran Kas, yang lebih sering disebut ”Cash Flow” merupakan produk akhir dari perhitungan evaluasi tambang. Berdasarkan data lapangan dan data hasil perhitungan yang lain dibuat dalam bentuk tabel yang dihitung setiap tahun (lihat lampiran 08). Tiga indikator dari kelayakan suatu usaha pertambangan, berdasarkan ”Cash Flow Analysis” , diantaranya : a). NPV (Net Present Value) sebesar Rp. 984.425.921,-. b). IRR (Tingkat Pengembalian Suku Bunga) sebesar 21 %. c). Payback Period (periode pengembalian) selama 40 bulan (3 tahun 4 bulan) Hasil perhitungan ini menunjukan dengan IRR 21 % adalah diatas IRR kredit pinjaman bank yang pada umumnya (16-20 %), dan periode pengembalian modal sudah selesai dalam 3 tahun 4 bulan. Dengan umur ijin selama 5 tahun dan umur tambang selama 5 tahun, setelah 3 tahun 4 bulan beroperasi usaha tersebut sudah mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 753.577.674,-/tahun atau Rp. 62.798.139,/bulan, sehingga secara ekonomi usaha pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar layak untuk diusahakan. KESIMPULAN Analisis kelayakan usaha pertambangan pada prinsifnya merupakan perencanaan tambang yang berdasarkan pada indikator-indikator kelayakan. Dari hasil analisis yang telah dilaksanakan, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : a. Secara Teknis pertambangan metode penambangan yang digunakan adalah tambang terbuka yang sesuai dengan rencana penambangan dengan kombinasi peralatan shovel-truck yang dapat bekerja dengan optimal sehingga lokasi/ lahan di Desa Uma Anyar, Kecamatan Seririt, sangat layak untuk dilakukan kegiatan usaha pertambangan. b. Berdasarkan Analisis Kelayakan Ekonomi, Usaha Pertambangan Batu Andesit di Desa Uma Anyar, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng ini, dengan nilai investasi Rp. 4.386.700.000,- layak dilaksanakan berdasarkan indikator kelayakan : 1). Nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp. 984.425.921,- (lebih dari O / positif), 2). Tingkat Suku Bunga (IRR) sebesar 21 % (lebih dari asumsi bunga bank : 12 % ), 3). Periode Pengembalian (BEP) selama 40 bulan (kurang dari dari umur tambang 60 bulan) c. Persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan akibat pertambangan batu andesit di Desa Uma Anyar secara teknis pertambangan masyarakat lokal/adat setuju (96,7 %) ada usaha pertambangan dan sesuai dengan rencana teknis pertambangan. Secara lingkungan, berpandangan usaha pertambangan berdampak terhadap kualitas lingkungan terutama kebisingan (93,3%), kerusakan tumbuh-tumbuhan (83,3%) dan kualitas udara akibat debu dan asap diatas 60%. Namun demikian pada akhir penambangan masyarakat mendukung sepenuhnya (100%) upaya reklamasi yang dilakukan sesuai dokumen UKL-UPL yang ada dan masyarakat setuju (100%) ikut terlibat dalam pengelolaan lingkungan. dan secara sosial ekonomi, berpandangan bahwa masyarakat sangat mengharapkan
adanya usaha pertambangan batu andesit (96,7%), karena dapat membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal. DAFTAR PUSTAKA Adang P. Kusuma, 2008. ”Menambang Tanpa Merusak Lingkungan”. Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Bandung. Biro Ekonomi, 2006. “Sektor Ekonomi Produktif”. Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali, http://www.baliprov.go.id/index.php. diakses 31 Januari 2010. Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia, 1991. ” Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pertambagan Umum” Direktorat Jendral Pertambangan Umum. Jakarta. Davis and Cornwell, 1991. “Introduction to Environmental Enginering” McGrawHill, Inc. New York. Giatman, M, 2006. “Ekonomi Teknik” PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hartman, H.L, 1972. “Surface Mining” The American Institut of Mining, Metallurgical, and Petroleum Engineers, Inc. New York. Haryanto, D, 1987. "Teknik Evaluasi Ekonomi” Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta. Indonesianto, Y, 2000. "Pemindahan Tanah Mekanis" Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta. Kasmir. 2006. Penilaian Kelayakan Usaha. “Kewirausahaan”. Rajawali Pers. Katam, S, 1983. “Perencanaan Penambangan” Sebuah Pedoman ITB, Bandung. Khairul, M, “Pengertian Penilaian Kelayakan Usaha”, http://id.shvoong.com/ business-management/entrepreneurship/1944006.diakses 1 Maret 2010 Kusumodirdjo, K, 1994. “Lingkungan Reklamasi” Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan, Bandung. Maleong, L.J, 2000. “ Metodelogi Penelitian Kualitatif” PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Peurifoy, R.L, 1970. "Contruction Planning Equitment and Method” Me.Graw Hill Book Co. Inc., New York. Pryor, E.J, 1983. “Mineral Processing” Formerly Reader in Mineral Dressing, University of London. Punia Asa, I.D.P, 2000. “Persepsi Penghuni Terhadap Pemukiman Resettlement Bencana Alam”; Study Kasus Resettlement Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami Kabupaten Dati. II Sikka NTT, Thesis MPKD Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Purbohadiwidjojo, M.M, 1998. “Geologi Struktur Indonesia” Direktorat Jendral Geologi Sumber Daya Mineral, Jakarta. Reedman, J.H, 1979. “Techniques in Mineral Exploration” Noranda Exploration Company Ltd, Winnipeg. Canada. Rochmanhadi, 1989. "Alat Berat dan Penggunaanya'' Departemen Pekerjaan Umum, Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Salim, P. dan Y. Salim, 1991. “Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer”. Edisi Pertama, Modern English Press Jakarta.
ANALISIS MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR POLA PNPM MANDIRI KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM I Komang Cenik1 , Nyoman Utari Vipriyanti2, I Made Tamba2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected]
ABSTRACT The research is aim to analyze of model coastal empowerment community design pattern of PNPM-MKP (national empowerment community program – marine and fisheries independence), to know the action of coastal empowerment community, to know coastal community participation levels for the action of PNPMMKP, and to know some factors that relate with community participation in PNPMMKP action at Kubu District, Karangasem Regency. The research is acting at PNPM-MKP user groups, it research use census method and snow ball method. The action of program analyzed by descriptive qualitative, to know community participation level analyzed by quantitative with Likert Score and to know some factors that relate to participation community in PNPM-MKP action, analyzed with Chi Square. The result of the research showed PNPM-MKP action at Kubu District, Karangasem Regency in year 2009, is running well with principal of empowerment (bottom-up), because the community engagement is already in planning, acting, using and monitoring and evaluation of a program. Participation community level at planning program is medium, at acting program is medium, at using program is medium, at monitoring and evaluation is high, and participation accumulative in general is high. Some factors that influence participation community are a group of age, education level, a number of family, a number of fishing tools is owned, and income from main job of community. Keywords: coastal community, empowerment, community participation. PENDAHULUAN Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah banyak dilakukan, seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Tetapi semua program itu bersifat topdown, yaitu program yang langsung diluncurkan dari pemerintah ke masyarakat tanpa memperhatikan partisipasi dan aspirasi masyarakat penerima. Disamping itu ada beberapa program yang tumpang tindih ataupun banyak yang salah sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di masyarakat. Banyak program
yang dibuat dengan prosedur birokrasi yang berbelit-belit sehingga pencapaian program akan terlambat dan tidak efektif dan efesien. Usman (1998) mengatakan diperlukan pendekatan dalam upaya penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti :1) pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target), kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system), bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, dan 2) pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community self-reliance). Masyarakat dibantu didampingi dan difasilitasi untuk melakukan analisis masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang memutuskan apa yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran pemerintah sebagai fasilitasi dan memberikan dukungan inisiatif kepada masyarakat. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat yang tinggi tingkat keberdayaan dan kemandiriannya, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM Mandiri bukan proyek ”bagi-bagi uang”, namun harus dilandasi dengan pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai cita-cita dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif, selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan sosial, ekonomi dan budaya). PENYALURAN PROGRAM -PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRA PNPM MANDIRI
Program Program
Program Program
TATARAN PENGELOLA PROGRAM
Program Program
Program Program
PROSEDUR YG. RIBET
KEBANYAKAN MEDIATOR
KOORDINASI LAPANGAN
? BANTUAN SALAH SASARAN
?? ?? TATARAN MASY.
TUMPANG TINDIH DNG PROG LAIN
?? ??
?? ??
?? ??
TERLUPAKAN?
Gambar 01. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM Mandiri (Sumber: Royat, 2009)
Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang masih termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km2, terbagi dalam 9 desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur, Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya (kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar 24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%). Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3 dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran, pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang. Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem? Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPMMKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima PNPMMKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010. Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPMMKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball. Instrumen Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2) tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monev program. Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat dan faktorfaktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur dengan kuisioner. Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara, dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima). Jenis dan Bentuk Data Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPMMKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu, jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP. Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP, serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima. Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi (pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).
Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dengan memberi kan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori) N Rentang Skor o 1 20% - 36% 2 >36%- 52% 3 >52% - 68% 4 >68% - 84% >84% 5 100%
Kategori dukungan masyarakat terhadap program PNPM-MKP Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square, dengan persyaratan jika X² hitung X² (1- ) (1) , terima H0 dan jika X² hitung X² (1- ) (1), tolak H0 HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Kegiatan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009 adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3) Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4)Peningkatan kapasitas dan sumber daya masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10) Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran; dan 13) Pelaporan Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal (konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009 adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2) kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan, pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.
Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Karakteristik Responden Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut : 1) Umur Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur 38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPMMKP di kecamatan Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya 3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden, menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06% peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir); 11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5) Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06% memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 % memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3 are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02% memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85% memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan 2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17% memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan, menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan) menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 – 900.000 per bulan, 44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya 1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76% pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya 1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04%
pendapatan sampingannya 1.501.000–2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 – 2.900.000 per bulan, 8,08% pendapatnnya 2.901.000 – 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya 3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya, 13,13% pengeluarannya 200.000450.000, 39,39% pendapatannya 451.000-700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya 951.000-1.200.000. Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya) menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03% pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengelua rannya 1.551.000-2.275.000, dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya 100.000-450.000, 42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02% pengelua-rannya 801.0001.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.000-1.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total pengeluarannya 800.0001.725.000, 43,43% penge-luarannya 1.726.000-2.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01% pengeluarannya 3.576.0004.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan, menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan, menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32% memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 % sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13) Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu hadir. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP. 1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04% dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu ditingkatkan.
16.16%
4.04%
0.00%
12.12%
67.68%
Sngt Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Gambar 04. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPMMKP pada Aspek Perencanaan Program (Sumber:Data Primer Diolah). 2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP) benarbenar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari pembina teknis di lapangan . 6.06%
1.01%
0.00%
40.40%
52.53%
Sngt Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Gambar 05. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPMMKP pada Aspek Pelaksanaan Program (Sumber: Data Primer Diolah). 3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04% dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok, dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
4.04%
2.02%
0.00%
40.40%
53.54%
Sngt Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Gambar 06. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPMMKP pada Aspek Pemanfaatan Program (Sumber:Data Primer Diolah). 4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu. 8.08%
0.00%
T
46.47%
Sngt Rendah
2.02%
43.43%
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Gambar 07. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPMMKP pada Aspek Monev Program (Sumber: Data Primer Diolah). 5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03 % dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi) pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.
1.01%
3.03%
55.56%
Sngt Rendah
0.00%
40.40%
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Gambar 08. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPMMKP pada Aspek Secara Kumulatif (Sumber: Data Primer Diolah). Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan jumlah kepemilikan alat tangkap. Tabel 01. Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009 No Jenis Faktor X2-hitung 1. Kelompok Umur 60,48* 2. Tingkat Pendidikan 42,46* 3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan Sumber : Data Primer (diolah).
X2-tabel (α=5%) 9,49 9,49 9,49 9,49 9,49
1) Kelompok Umur; kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37 tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPMMKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas. 2) Tingkat Pendidikan; tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih rasional; 3) Jumlah Tanggungan Keluarga; Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6 anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP. 4). Pendapatan dari Pekerjaan Utama; Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp. 2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp. <1.600.000 per bulan. Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kecendrungan dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki pendapatan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan responden semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena tingkat pendapatan akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat dibiayai di dalam meningkatkan taraf hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk lebih berpartisipasi di dalam memberikan sumbangan dalam bentuk material (dana) terhadap suatu program; dan 5). Kepemilikan Alat Tangkap; Kepemilikan alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan alat tangkap 5-6 set, 3-4 set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki alat tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki alat tangkap yang lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa semakin banyak kepemilikan alat tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan yang nantinya akan berpengaruh dengan tingkat pendapatan
nelayan yang merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang, pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecam atan Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan dari pekerjaan utama. DAFTAR PUSTAKA Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka. Amlapura:BPS Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta : Dirjen KP3K Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2008. Potensi Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2007. Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karang-asem. 2009. Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP. Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and Curriculum Development. Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMMandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor 22-25 Agustus.
PERAN LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPM) DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DI KELURAHAN UBUD KECAMATAN UBUD KABUPATEN GIANYAR Widiantari Ni Wayan1, Deden Ismail2 dan AA. Putu Agung2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email :
[email protected]
ABSTRACT The study is entitled "The Role of the Community Empowerment (LPM) in the Household Waste Management in Urban Ubud, ubud district, Gianyar regency" To determine the role of the LPM and Entrepreneur Group. Target population in this study were community groups and businesses located in the area of Ubud Village, District Ubud, Gianyar, as many as 75 families. Data were collected by questionnaires, interviews and secondary data that has been owned by the Village of Ubud. Data were analyzed using multiple linear regression analysis with SPSS.The results showed that the variable groups, communities (X1) and the employer (X2) significant (real) to the level of quality of the LPM. It is evident from t count each of 2.482 and 5.266, while the t table at 22 degrees of freedom is 2.074 smaller than the numbers. The results of multiple linear regression equations obtained Y = 20 876 + 0.332 X1 + 0.354 X2, with a coefficient of determination (R2) = 0.904, which means 90.4 percent participation variables LPM communities affected by variables and variable groups of entrepreneurs Keywords : Household Waste Management PENDAHULUAN Sampah sebagai barang yang masih mempunyai nilai tidak seharusnya diperlakukan sebagai barang yang menjijikkan, melainkan harus dapat dimanfaatkan sebagai bahan mentah atau yang berguna lainnya. Prinsip asal buang sampah tanpa memilah-milah dan mengolahnya terlebih dahulu selain akan menghabiskan lahan yang sangat luas sebagai tempat pembuangan akhir juga merupakan pemborosan energi dan bahan baku yang sangat terbatas tersedia di alam. Sebaliknya mengolah dan menggunakan sampah sebagai bahan baku sekunder dalam proses produksi adalah suatu penghematan bahan baku energi dan sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan. Idealnya adalah bila sama sekali tidak ada sampah. Sehingga yang terbaik adalah menghindari atau mereduksi timbunan sampah, misalnya dengan memprioritaskan pemakaian botol kemasan isi ulang dari pada botol sekali pakai, tidak membeli barang dalam kemasan eceran yang kecil-kecil, barang-barang hasil produksi harus dibuat sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan dan dapat didaur ulang lagi.
Biaya kerusakan lingkungan yang sudah dan selalu ada ini menjadi minimal di masa yang akan datang. Di Bali kebanyakan sampah rumah tangga dibakar, dibuang ke sungai atau dikubur. Praktek ini dilakukan karena kurangnya pengertian bahwa sampah modern berbeda dengan sampah organik yang dihasilkan di Bali sepuluh tahun yang lalu. Infrastruktur yang disediakan sampah sangat mahal (Rp. 10.000,- per bulan) biaya ekstra yang cukup besar bagi kebanyakan keluarga yang masih harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Faktor-faktor ini adalah dasar dari masalah pengelolaan sampah di Bali, yang menyebabkan meningkatnya degredasi kebersihan lingkungan pada pulau dan penduduk Bali. Namun di Kelurahan Ubud, sampah rumah tangga sudah dikelola oleh lembaga desa yang disebut dengan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) dimana lembaga ini sejak tahun 2002 sudah sangat besar perhatiannya terhadap sampah rumah tangga yang ada di wilayahnya, sehingga LPM ini berupaya untuk mencari jalan bagaimana caranya mengelola sampah rumah tangga yang semakin lama volumenya semakin meningkat. Maka ditemukanlah jalan untuk mengelola sampah rumah tangga tersebut dengan mengangkut sampah tersebut setiap hari dan dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui peran serta LPM dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Ubud. 2. Untuk mengetahui peran serta Kelompok Masyarakat dan Kelompok Pengusaha dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Ubud. 3. Untuk mengetahui hubungan Kelompok Masyarakat dan Kelompok Pengusaha terhadap Peran Serta LPM dalam pengelolaan sampah rumah tangga di Kelurahan Ubud. Kebijakan penentuan teknologi pengolahan sampah sebaiknya ditetapkan dengan memperhatikan keberagaman di dalam masyarakat, misalnya pemberlakuan subsidi silang dalam iuran retribusi kebersihan untuk membantu masyarakat yang terpaksa dikenakan tarif retribusi lebih rendah karena tingkat pendapatan rendah. Prinsip keseimbangan menegaskan pentingnya hubungan diantara sistem dan kebutuhan memelihara proses yang terdapat di dalamnya. Dalam konteks analisis teknologi pengolahan sampah, hal ini membawa implikasi harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, baik yang ditujukan bagi masyarakat maupun lembaga desa itu sendiri. Keseimbangan dalam kebebasan dan kerjasama, keseimbangan antara peran serta LPM sebagai pemegang otoritas publik dengan peran masyarakat sebagai penghasil sampah. Dari uraian tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya input teknologi dalam kegiatan pengolahan sampah hendaknya jangan dipandang sebagai satu-satunya cara dalam mengendalikan pencemaran lingkungan oleh sampah. BAHAN DAN METODE Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat dan pengusaha yang berada di wilayah Kelurahan Ubud, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, sebanyak 75 KK. Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara dan dari data sekunder yang telah dimiliki Kelurahan Ubud. Data
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan bantuan Program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui pengaruh kelompok masyarakat dan kelompok pengusaha terhadap peran serta LPM, baik secara parsial maupun simultan digunakan analisis linear berganda dengan persamaan sebagai berikut. Y = a + b1X1 + b2X2 + e Dimana : Y a b1 X1 b2 X2 e
= = = = = = =
Peran serta LPM Konstanta Koefisien Kelompok Masyarakat Komponen Kelompok Masyarakat Koefisien Kelompok Pengusaha Komponen Kelompok Pengusaha Standar Error
Dengan menggunakan bantuan Program SPSS, maka hasil olahan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.
Rangkuman Hasil Regresi antara Kelompok Masyarakat (X1) dan Kelompok Pengusaha (X2) terhadap Peran Serta LPM (Y)
Model (Constant)
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta 20.87 4.630 6
Kelompok .332 .134 Masyarakat Kelompok .354 .067 Pengusaha a. Dependent Variable : Peran Serta LPM
t 4.509
.000
.315
2.482
.021
.668
5.266
.000
Model Summaryb Model 1
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.951a
.904
.895
.719
a. Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat, Kelompok Pengusaha b. Dependent Variable : Peran Serta LPM
Sig
ANOVAb Model (Constant) Kelompok Masyarakat Kelompok Pengusaha a. b.
Sum of Squares 106.631 11.369 118.000
Mean F Square 2 53.315 103.165 22 .517 24
df
Sig .000a
Predictors : (Constant), Kelompok Masyarakat, Kelompok Pengusaha Dependent Variable : Peran Serta LPM
Berdasarkan rangkuman hasil analisis data di atas maka diperoleh hasil sebagai berikut. a = Konstanta = 20.876 b1 = Koefisien Kelompok Masyarakat = 0,332 b2 = Koefisien Kelompok Pengusaha = 0,354 Persamaan garis linearnya menjadi : Y = 20.876 + 0,332 X1 + 0,354 X2 Persamaan garis linear berganda tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Nilai b1 = 0,332 menunjukkan pengaruh positif antara variabel kelompok masyarakat (X1) terhadap peran serta LPM (Y) sebesar 0,332. Artinya jika kelompok masyarakat naik satu satuan maka peran serta LPM akan naik 0,332 satuan dengan syarat variabel bebas lainnya konstan, meningkatnya kelompok masyakarat mengakibatkan naiknya peran serta LPM. KESIMPULAN Bahwa LPM mempunyai peranan penting dalam pengolahan sampah, di samping peran serta masyarakat dan juga para pelaku pariwisata serta kelompok pengusaha, permasalahan dan manfaat sampah akan mempengaruhi beberapa aspek seperti : Sosial, ekologi, teknologi, ekonomi. Pada tingkat masyarakat dan pelaku pariwisata serta pengusaha mampu meningkatkan pengolahan sampah. Intensitas pengolahan sampah pada dasarnya membutuhkan komitmen masyarakat, pelaku pariwisata, dan pengusaha terutama dalam mengurangi penimbunan sampah, memilih jenis sampah sehingga menjadikannya lebih bermanfaat. Intensitas pembuangan sampah oleh masyarakat dan para pelaku pariwisata telah terorganisir dengan penyuluhan serta pengetahuan terhadap aspek sosial, ekonomi, dan tekhis pengolahan sampah dan sikap perilaku pariwisata dan masyarakat terhadap program pengolahan sampah terutama sampah keluarga, di samping itu terbatas lahan untuk pengolahan sampah baik oleh masyarakat maupun para pelaku periwisata dan juga pengusaha. DAFTAR PUSTAKA Ali dan Snel. 1999. “Lesson from Community Based Initiatives in Solid Waste”. Amirin, T.M. 1991. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Analisis dan Rencana Surabaya.
Aswar, Azrul. 1990. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. Bekin, Caroline, Marylyn Carrigan & Isabelle Szmigin. 2006. Empowerment Waste and New Consumption Communities. http://www.Wastedisposal.htm. Congars, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Suatu Pengantar. Yogyakarta : Gajah Mada University in Focus. Kastaman. 2004. Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Masyarakat. http://www.28%20Tulisan%20di%Mei%20 2004.pdf. Korten, David. 1986. Community Management USA. Marian Press. Mulasari, SA, Haryono & Hasanbasri. 2007. Manajemen Swakelola Sampah Dusun Sukunan dan Gondolayu Lor Provinsi DIY. http://www.seribo.com/doc/11842388/ ManajemenSwakelola-Sampah-Dusun-Sukunan-dan-Gondolayu-Lor. Mubaiwa. 2006. Community Based Waste Management in Urban Areas. http://www:community –based-waste-mgt.pdf. Mulyani. 2004. Studi Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Pekanbaru. http://www.digilib.itb.ac.id/gdl/phpmou=browse8op= reud8.id=jbphtbpp.gdl-mulyani-2959289=urban. Neoloka, Amos. 2008. Kesadaran Lingkungan, Jakarta : Rineka Cipta. Parsons, 1906. Menulis sebuah buku tentang pengelolaan sampah berjudul “The Disposal of Municipal Refuse”. (APK-TS, 1987). Pretty, John. 1995. The Many Interpretation of Participation in Focus. Sarwono. 1997. Perilaku Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara. Triyadi. 2006. Tempat Sampah, Perilaku Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Lingkungan Edisi Khusus Agustus 2006. Tchobanoglous et,al. 1987. American Public Works Association (APK-TS), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Widyatmoko, N.W. Menghindar, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah
ANALISIS PENGELOLAAN LIMBAH CAIR PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR DI KABUPATEN GIANYAR I Putu Sukarianto1, Nyoman Utari Vipriyanti2, I Made Tamba2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email:
[email protected]
ABSTRACT Liquid waste produced by RSUD Sanjiwani Gianyar is resulted by operational process, medical and also non-medical process, which is processed in waste water processing installation (IPAL) which uses HWWTP system. This research aimed at analyzing the quality of waste liquid hospital based on physical parameter, chemistry and bacteriologic, which are appropriate to Balinese Governor Regulation No 8, 2007, and standard quality of profitability or pollution based on Men LH No 115, 2003. It analyzes input stage factor and waste management process that has a connection to pollution profitability and formulates hospital liquid waste management method so that the negative impact of this liquid waste could be minimized. Methods that could be used to analyze the quality of liquid waste are descriptively comparative, to analyze factors that are related to pollution profitability by using bivariate linear correlation test and formulate a method to minimize the negative impact of liquid waste management by using distributive cumulative analysis. The result of analysis showed that the liquid waste management produced by RSUD Sanjiwani Gianyar is not proved optimally yet. It could be seen from the quality of liquid waste produced still has a fluctuation, starting from fulfilling standard quality, light dirty, dirty and heavy dirty. Input stage factor and the process that has a good relation to pollution profitability in terms of managing waste liquid of hospital are considered important to be optimized and also applying waste liquid management method which has been proposed by researcher. Keywords : waste liquid hospital, quality, negative impact PENDAHULUAN Pembangunan di bidang kesehatan merupakan upaya manusia mendayagunakan sumber daya manusia dan lingkungannya untuk tujuan meningkatkan taraf hidupnya. Pesatnya peradaban manusia yang didukung oleh begitu cepat perkembangan teknologi, pada era globalisasi ini telah merambah kepada sektor kesehatan. Rumah sakit merupakan organisasi kompleks maka perlu penanganan manajerial yang khusus dan berbeda dengan organisasi jasa lainnya (Adisasmito, 1998) Rumah sakit sebagai institusi yang mempunyai fungsi dan tugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara paripurna. Kegiatannya tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif. Akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan secara menyeluruh akan menimbulkan pencemaran Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah : 1)
Bagaimana kualitas limbah cair Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar berdasarkan parameter fisik, kimia dan bakteriologik dibandingkan Baku Mutu limbah cair bagi rumah sakit berdasarkan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007; 2) Bagaimana status mutu atau Indek Pencemaran akibat pengelolaan limbah cair Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar menurut Kep Men LH No 115 Tahun 2003; 3) Bagaimana upaya meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan pengelolaan limbah cair rumah saki. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar dipilih secara Purposive, dan Penelitian dilakukan dari Bulan Agustus – Nopember 2009. Populasi dalam penelitian ini dibatasi sebagai keseluruhan limbah cair yang dihasilkan pada RSUD Sanjiwani Gianyar dalam waktu lima tahun terakhir, yakni dari tahun 2005 – 2009. Untuk mengkaji hubungan faktor-faktor (dari kumpulan Input dan Proses pengelolaan limbah ) dengan kualitas limbah cair, digunakan sampel pasangan data hasil pengelolaan limbah cair tahap Input dan tahap Proses dalam 10 kurun waktu, yaitu: Bulan April 2005, Desember 2005, Maret 2006, Oktober 2006, Maret 2007, Oktober 2007, Maret 2008, Oktober 2008, Juni 2009, dan September 2009. Pengukuran kualitas limbah cair pada satu kurun waktu dilakukan pada dua sampel limbah cair yang diambil pada inlet dan outlet Pengumpulan data variabel dan sub variabel yang digunakan sebagai identifikasi faktor-faktor yang mempunyai hubungan dengan hasil pengelolaan limbah cair. Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara Observasi,Wawancara dan Kuisioner. Data yang dikumpulkan untuk dianalisis Pengelolaan Limbah cair Rumah sakit adalah Data primer dan data sekunder dari RSUD Sanjiwani Gianyar. Variabel penelitian analisis pengelolaan limbah cair rumah sakit terdiri dari : a) Faktor Input terdiri dari : Kualitas SDM, Jumlah Anggaran, Peraturan, Peralatan/Sarana, Material limbah cair rumah sakit, Prosedur Tetap , Lingkungan b) Faktor Proses terdiri dari: Sistem Bak Pre Treatmant plant, Sistem Bak Screen pacility, Sistem Bak Fluized Bed Biofilm Reaktor ( FBBR), Sistem Bak Pengendap, Sistem Bak Penyimpan, Sistem Sludge Dewatering Basin, Sistem Bak Air Terolah, Sistem pada Up Flow Filter, Sistem Desinfectan Basin dan Sistem Effluent (Outlet ) c) Output Kualitas Limbah Cair: Indikator kualitas limbah cair antara lain : Suhu, pH, BOD5 , COD , NH3 Bebas, PO4 ( Phospat ), TSS, dan MPNkuman golongan Coli/100 ml
Analisis Data a) Analisis Kualitas Limbah Cair Rumah Sakit Tahap awal untuk dapat mengetahui kualitas limbah cair rumah sakit dilakukan pengambilan sampel, dari data hasil analisis di Laboratorium kemudian dianalisis secara Deskriptif Komperatif selanjutnya dianalisis sesuai Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Langkah terakhir baru dianalisis sesuai Indek Pencemaran ( IPj) menurut Kep. Men LH No 115 Tahun 2003 dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IPj =
(Ci
/ Lij)
2
M (Ci
/ Lij)
2
R
2 Keterangan : IPj = Indek Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij Ci = Kosentrasi parameter Kualitas Air ( i ). Lij = Kosentrasi parameter Kualitas air yang tercantum dalam Baku Mutu peruntukan Air ( j). M = Nilai, Ci/Lij Maksimum. R = Nilai, Ci/Lij rata – rata Evaluasi terhadap nilai IPj adalah sebagai berikut : 0 ≤ IPj ≤ 1,0 Memenuhi Baku Mutu / kondisi baik (4). 1,0 ≤ IPj ≤ 5,0 Cemar Ringan (3). 5,0 ≤ IPj ≤ 10 Cemar Sedang (2). IPj > 10 Cemar Berat (1).
b) Uji Variabel yang Berhubungan dengan Kualitas Pengelolaan Limbah Cair Uji variabel yang berhubungan dengan pengelolaan limbah cair rumah sakit menggunakan Uji Korelasi Linier Bivariat antar Variabel bebas (Xi yang berasal dari 4 variabel input, dan Bi yang berasal dari 12 variabel proses) dengan Variabel terikat Y (Kualitas limbah cair rumah sakit ). Koefisien Korelasi Peringkat Spearman digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antar suatu Variabel bebas Xi dan Bi dengan Variabel terikat Y. Hal ini mengingat Skala pengukuran data untuk Variabel bebas Xi dan Bi dengan Variabel terikat Y menggunakan skala ordinal (peringkat/skor). Koefisien Korelasi Peringkat Spearman tersebut adalah : 6Σdi2 Rs = 1 n(n2 – 1) Sedangkan di adalah selisih antara peringkat bagi Xi atau Bi dan Yi dan n adalah banyaknya pasangan data. Signifikansi Rs diuji dengan thitung = Rs √(n – 1). Bila nilai p-value untuk thitung lebih kecil dari 0,05 maka disimpulkan bahwa Rs signifikan (tidak nol).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Kualitas Limbah Cair RSUD Sanjiwani Gianyar Parameter fisika Analisis kualitas parameter fisika limbah cair di RSUD Sanjiwani Gianyar yaitu mengenai Suhu dari hasil pemeriksaan dari tahun 2005 - 2009 pada tahap output semua hasil pengelolaan limbah cair, kualitasnya memenuhi Persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Parameter Kimia 1). Derajat Keasaman (pH), Analisis parameter Derajat Keasaman ( pH ) pada IPAL RSUD Sanjiwani dapat disampaikan bahwa Analisis parameter Derajat Keasaman ( pH) dari tahun 2005 - 2009 pada tahap output hasilnya semua telah memenuhi persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007( sesuai Baku Mutu). 2). Kebutuhan Oksigen Biologi ( Biochemical Oxygen Demand, BOD5), BOD5 (Biochemical Oxygen Demand, BOD5) menunjukan Oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan – bahan buangan didalam air (fardiaz, 1992). Hasil Analisis Parameter BOD5 pada IPAL RSUD Sanjiwani sebagai berikut : Analisis kebutuhan Oksigen Biologi (Biochemical Oxygen Demand,BOD5) dari tahun 2005 - 2009 ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Adapun yang melebihi standar pada bulan Oktober 2006 dan Juni tahun 2009, tingginya hasil pemeriksaan BOD5 ini mempunyai hubungan dengan : (1). Kurang optimalnya pengopra sian, pengawasan serta evaluasi dari sistem kerja mesin maupun intensitas pembersihan bak Pre Treatment plant. (2). Kurang optimalnya kerja dari proses kerja bak Screen (3). Pada Bak FBBR pelaksanaan operasionalnya perlu ditingkatkan. 3).Chemical Oxygen Demand (COD), Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan kimia dalam air. Hasil Analisis Parameter COD dari tahun 2005 - 2009 pada tahap output ada yang melebihi standart kualitas persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Terjadi bulan Maret dan Oktober 2007, April 2008 dan Juni 2009. Tingginya hasil pemeriksaan COD ini mempunyai hubungan dengan : (1). Kurang optimalnya intensitas pembersihan dan pengawasan kerja pada bak Pre Treatment plant (2). Ada permasalahan terhadap proses kerja pada Bak Pengendapan. (3). Kurang optimal kualitas fungsi dan perawatan pada penyimpanan Sludge. (4). Kurang optimalnya kua litas pelaksanaan operasi onal alat – alat mekanik pada masing – masing unit. 4). Total Suspendid Solid (TSS), adalah merupakan zat padat yang mempunyai ukuran sangat kecil. Padatan ini terdiri dari senyawa anorganik dan organik yang larut dalam air, mineral dan garam – garamnya. Hasil Analisis Parameter Total Suspendid Solid (TSS ) pada IPAL RSUD Sanjiwani tahun 2005 - 2009 ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007, terjadi bulan Maret 2007 dan September 2009. Tingginya hasil pemeriksaan (TSS) ini mempunyai hubungan dengan :
(1). Kurang optimalnya operasional dan pengawasan kerja dari bak Pre Treatmen plant. (2). Kurang optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak Pengendap (3). Ada permasalahan terhadap proses kerja pada Bak Up Flow Filter. (4). Kurang optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak pengendapan. 5). Amonia (NH3) Bebas, Sumber Amonia di IPAL rumah sakit adalah hasil pemecahan Nitrogen organik ( protein dan Urea ) hasil kegiatan rumah sakit dan dari bagian kegiatan dapur rumah sakit oleh mikroba dan jamur (Efendi, 2005). Hasil analisis kandungan Amonia (NH3) Bebas tahun 2005 - 2009 pada tahap output ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. Terjadi pada bulan Maret dan Oktober 2006, bulan Maret 2007, bulan April 2008 dan bulan Juni 2009. Tingginya hasil analisis parameter Amonia (NH3) Bebas ini mempunyai hubungan dengan : operasional dan pengawasan kerja terhadap bak Pre Treatmen plant belum optimal., kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak FBBR, kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak Penyimpanan Sludge 5).Fosfat (PO4), fospat merupakan bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan.1 Dalam air Fosfor merupakan suatu komponen yang sangat penting dan sering menimbulkan permasalahan lingkungan. Analisis kualitas limbah cair rumah sakit terhadap parameter Fosfat (PO4) pada kegiatan pengelolaan Limbah Cair Rumah sakit, Analisis Fosfat (PO4) tahun 2005 - 2009 pada tahap output ada yang melebihi standart kualitas dari persyaratan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007. terjadi pada bulan Maret 2007 , dan bulan Juni 2009. Tingginya hasil Analisis Fosfat (PO4) ini mempunyai hubungan dengan : (1). Kurang optimalnya Intensitas pembersihan dari bak Pre Treatment plant. (2). Ada permasalahan terhadap kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada Bak FBBR (3). Kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak Penyimpanan Sludge (4). Kurang Optimalnya kualitas fungsi dan intensitas perawatan pada bak Pengendapan Analisis Parameter Mikrobiologi Parameter mikrobiologi merupakan parameter untuk mengetahui adanya mikroorganisme yang terdapat dalam air. Hasil analisis kualitas limbah cair rumah sakit pada RSUD Sanjiwani Gianyar ditinjau dari Parameter Bakteriologis sesuai ketentuan Peraturan Gubernur Bali No 8 Tahun 2007 di katagorikan memenuhi syarat. Dari keseluruhan proses analisis kualitas limbah cair di RSUD Sanjiwani Gianyar tahun 2005 - 2009 ada beberapa parameter yang tidak memenuhi persyaratan antara lain : BOD5, COD,TSS,NH3,PO4, hasil analisa tersebut setelah dianalisis dengan Indek Pencemaran (IPj) menurut Kep Men LH No 115 Tahun 2003, dapat disimpulkan sebagai berikut :
(1). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2005 memenuhi syarat Indek Pencemaran ( Memenuhi Indek Baku Mutu ). (2). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2006 Semester I katagori Cemar Ringan dan Semester II katagori Cemar Sedang. (3). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2007 semester I katagori Cemar Sedang dan Semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran ( Memenuhi Baku Mutu ). (4). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2008 semester I katagori Cemar Berat dan semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran ( Memenuhi Baku Mutu ). (5). Kualitas limbah cair rumah sakit tahun 2009 semester I katagori Cemar Berat dan semester II katagori memenuhi syarat Indek Pencemaran (Memenuhi Baku Mutu ). Analisis Variabel dari Kompenen Input dan Proses yang Hubungan dengan Kualitas Limbah Cair Rumah Sakit
Mempunyai
Upaya meningkatkan kualitas limbah cair di Unit IPSRS RSUD Sanjiwani Gianyar dari hasil Analisis data – data, antara Variabel Bebas Input (Xi ) dan Variabel Bebas Proses (Bi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ, dapat disampaikan penjelasannya sbb : Analisis Variabel Bebas Tahap Input Variabel bebas tahap Input yang mempunyai hubungan dengan Kualitas Limbah Cair rumah sakit dianalisis dengan Koefisien Korelasi Bivariat Peringkat Spearman, adapun hasil analisisnya dapat dilihat seperti Tabel 1. Tabel 1: Analisis Variabel Bebas (Input Xi ) dengan Variabel Terikat Y (IPJ). Variabel input X1 X2 X3 X4 Y Korelasi 0.920 0.769 0.810 0.329 (IPJ) p-value 0.000** 0.009** 0.005** 0.354NS Keterangan * Hubungan nyata pada tingkat 0.05 (dwi arah). Hubungan nyata pada tingkat 0.01 (dwi arah ). ** Penjelasan hubungan variabel bebas input (Xi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ) yang mempunyai hubungan nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit adalah sebagai berikut : 1). Material limbah cair yang masuk ke Bak Screen Material limbah cair dapat merusak kerja dari masing – masing peralatan yang digunakan pada tahap proses, mulai pada bak Screen, sistem FBBR , bak air terolah dan sistem kerja pompa dari masing - masing bak. 2). Kualitas dan Kuantitas Peralatan Pengelolaan Limbah Cair Hasil pemantauan parameter BOD,TSS,NH3 Bebas mulai Maret 2007 sampai Juni 2009, salah satu dari parameter tersebut meningkat drastis. Kualitas dan kuantitas peralatan pengelolaan pada IPAL mempunyai hubungan nyata sebesar 0,769 dengan Indek Pencemaran (IPj). 3). Anggaran Pengelolaan Limbah Cair RSUD Sanjiwani Gianyar Analisis anggaran pengelolaan mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran. Katagori cemar ringan yang terjadi pada tahun 2006, 2007 dan
tahun 2008 katagori cemar sedang, ini disebabkan karena beberapa peralatan yang ada tidak dapat difungsikan. Analisis Variabel Bebas Tahap Proses Analisis data - data variabel bebas Proses (Bi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ) yang mempunyai hubungan Indek, secara terperinci hasil analisis dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2: Analisis Variabel Bebas Proses (Bi) dengan Variabel Terikat Y (IPJ). . V. proses B1 B2 B3 B4 B5 B6 Y Korelasi 0.935 -0.195 0.198 0.792 0.840 0.836 (IPJ p-value 0.000** 0.589NS 0.584NS 0.006** 0.002** 0.003** V. proses B7 B8 B9 B10 Y Korelasi 0.759 0.990 0.235 0.946 (IPJ) p-value 0.011** 0.000** 0.513NS 0.000** Keterangan * Hubungan Nyata pada tingkat 0.05 (dwi arah). ** Hubungan Nyata pada tingkat 0.01 (dwi arah).
B11 0.857 0.002**
B12 0.846 0.002**
Penjelasan variabel proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran ( IPj) antara lain sebagai berikut : 1). Pada Bak Pre Treatment Plant, limbah yang mengandung material limbah cair akan mendapat perlakuan penyaringan, kegiatan penyaringan terhadap material limbah dilakukan 24 jam. 2). Pada Bak FBBR( Fluidized Bed Bio- film Reaktor ) merupakan bagian utama, kira – kira 27 % dari Volume reaktor diisi dengan media pengapung ( bio Green) sehingga mikroba mengendap secara gravitasi, disamping itu juga terjadi proses aerobic + anaerobic melalui media dan bak lumpur aktif. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak FBBR(Fluidized Bed Bio- film Reaktor ) dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah sebesar 0,792, hubungan dwi arah ini nyata hubungannya Indek Pencemaran. 3). Pada Bak Pengendapan Didalam bak pengendapan terjadi pemisahan antara padatan dan air. Intensitas perawatan bak pengendapan merupakan variabel proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Pengendapan dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah 0,840. 4). Pada Bak Penyimpanan Analisis kualitas limbah cair terlihat masih tingginya parameter TSS,COD,BOD5, NH3 dan PO4. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Penyimpanan dengan Indek Pencemaran ( IPj) adalah 0,836. hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan kualitas limbah cair rumah sakit. Dengan demikian pelaksanaan SOP pada Bak Pengendapan harus dijalankan dengan ketat, agar Indek Pencemaran sesuai dengan Baku Mutu (memenuhi syarat).
5). Pada Dewatering System Sludge memiliki kandungan air 99%. Setelah diflokulasi ( digumpalkan ) dengan FeCl3 setelah proses dewatering kandungan airnya menjadi 75%. Selama proses Dewatering, air terolah digunakan dalam pembersihan belt. Akhirnya sludge yang telah di Dewatering menjadi bentuk lempengan – lempengan padat yang selanjutnya dibakar pada inchinerator. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Dewatering dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah 0,759, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek Pencemaran limbah cair rumah sakit. 6). Pada Bak Air Terolah Terjadi proses oksidasi secara biologi dan kimiawi. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Air Terolah dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah 0,990, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek Pencemaran limbah cair rumah sakit 7). Pada Bak Desinfektan Hasil Analisis kualitas fungsi dan intensitas perawatan bak Desinfektan adalah merupakan variabel proses yang mempunyai hubungan nyata Indek Pencemaran. Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Desinfektan dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah 0,946, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hubungan dengan Indek Pencemaran. 8). Pada Effluent ( keluaran ) Hubungan kualitas fungsi dan intensitas perawatan Bak Efluent dengan Indek Pencemaran (IPj) adalah 0,857, hubungan dwi arah ini nyata mempunyai hibungan dengan Indek Pencemaran limbah cair rumah sakit. 9). Kualitas pelaksanaan operasional alat – alat mekanik masing – masing unit. Pelaksanaan operasional alat – alat mekanik pada masing – masing unit, tergantung dari sikap dan tindakan dari tenaga pengelola IPAL. Kualitas fungsi dan intensitas perawatan masing – masing bak mempunyai hubungan nyata sebesar 0,846 dengan Indek Pencemaran . Rumusan Methode Meminimalisir Dampak Negatif Karena hasil akhir buangan pengelolaan limbah cair dalam kurun waktu 2005 – 2009 belum seluruh parameter limbah cair yang memenuhi Indek Baku mutu. maka peneliti memberikan usul membantu memecahkan permasalahan tersebut dengan ”Merumuskan Methode Meminimalisir Dampak Negatif ” sebagaimana bagan alur Pengelolaan limbah cair rumah sakit gambar 1. Untuk meminimalisir dampak Negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar, maka langkah – langkah yang perlu untuk dilaksanakan, antara lain : a. Pendekatan Teknologi Pendekatan teknologi dilakukan untuk mengop timalkan penurunan atau pengurangan dampak yang ditimbulkan dari kegiatan dengan menggunakan sarana dan prasarana dengan teknologi tinggi agar sesuai dengan protap dan SOP (Standar Operasionl Prosedur) dari masing –masing peralatan tersebut.
b. Pendekatan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Pendekatan dilakukan dalam rangka mengurangi dampak sosial, ekonomi dan budaya yang ditimbulkan, dilakukan kepada pasien dan penunggu pasien dan masyarakat disekitar lokasi rumah sakit. c. Pendekatan Institusional. Pendekatan institusional dilakukan untuk mewujudkan koordinasi yang berkesinam bungan baik dengan institusi kelembagaan dan pemerintah untuk lebih meningkatkan bimbingan teknis ataupun pengawasannya.
Evaluasi Melaksanakan fungsifungsi Manajemen Methode Meminimal Dampak Negatif Limbah Cair RS
Pendekatan Teknologi
Belum Memenuhi Syarat
Pendekatan Sosekbud Pendekatan Institusional Optimalisasi tahap Input Optimalisasi tahap Proses
Memenuhi Syarat
Buang ke Lingkungan/ Sungai
Gambar 1: Bagan Alur Rumusan Methode Meminimalisir Dampak Negatif Limbah Cair Rumah Sakit d. Melaksanakan fungsi – fungsi manajemen penge-lolaan limbah cair Adapun hal – hal yang perlu mendapat perhatian optimal sesuai dengan fungsi mana jemen adalah sebagai berikut: 1). Perencanaan /planning, Analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair di IPSRS RSUD Sanjiwani ternyata yang telah melaksanakan perencanaan terhadap kegiatan Pengelolaan limbah cair, hanya 7 Orang (61,5%), yang belum yaitu 6 Orang (38,5%). Masih rendahnya kemampuan perencanaan pengelolaan perlu diadakan pelatihan. 2). Pengorganisasian / Organizing, Hasil Analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair pada RSUD Sanjiwani Gianyar yang sudah melakukan kegiatan pengor ganisasian terhadap kegiatan pengelolaan limbah cair rumah sakit mencapai= 56,4%, yang belum sebesar = 43,6 %. Maka dari kegiatan pengorgani sasian dalam pengelolaan limbah cair perlu diting katkan.
3). Penggerakkan / Actuating, Hasil kajian Analisis Actuating pengelolaan limbah cair masih rendah yaitu 39,9%. Sisanya 60,1% belum melaksanakan. Untuk dapat mempertahankan kualitas limbah cair sesuai ketentuan disamping rencana, organisasi maka penggerakan organisasi diperlukan. 4). Pengawasan / Controlling, Hasil analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair pegawai IPSRS yang melaksanakan kegiatan pengawasan dan pertanggung jawaban kegiatan pengelolaan limbah cair hanya =28,6%, sedangkan yang belum sebesar = 71,4%, maka masih perlu ditingkat kan. 5) Evaluasi ( Evalution), Analisis kajian manajemen pengelolaan limbah cair tearhadap kegiatan evaluasi masih rendah sebesar 15,4 %, sedangkan sisanya 84,6% belum. Hal ini merupakan penyebab kualitas limbah cair tidak selalu memenuhi baku mutu ( Indek Pencemaran /IPj). Optimalisasi Operasional Tahap Input, terdiri dari : Tahap pertama kegiatan pengelolaan limbah cair yaitu tahap input sbb :
Evaluasi.1 Optimalisasi Tahap Input
Limbah Cair RS
1.SDM 2.Alokasi Anggaran ** 3. Protap 4.Peralatan ** 5.Peraturan 6. Material Limbah Cair** 7. Lingkungan IPAL
Ambil sampel/ Periksa Lab di Inlet Parameter limbah cair terlalu tinggi Parameter limbah cair Wajar
Dibuang ke Lingkungan atau Sungai
Parameter memenuhi Syarat
Tahap proses
Keterangan : (**) = Variabel input yang mempunyai hubungan nyata Gambar 2: Bagan Alur Optimalisasi Pengelolaan Limbah Cair Tahap Input. Variabel input yang perlu mendapat perhatian lebih dominan dari variabel input lainnya adalah variabel yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek pencemaran ( IPj), antara lain sebagai berikut : 1) Material Limbah Cair. Pengelolaan yang tepat dalam menangani material limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar akan mempengaruhi proses pengelolaan, ataupun output limbah cair yang dihasilkan.
2) Kualitas dan Kuantitas Pemanfaatan, Perawatan Mesin dan Kelengkapannya. Kualitas dan kuantitas pemanfaatan, perawatan mesin dan kelengkapannya mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran. 3) Anggaran Operasional IPAL. Jumlah alokasi anggaran dalam pengelolaan limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran. Optimalisasi Operasional Tahap Proses Pengelolaan Limbah Cair Baku Mutu Limbah cair rumah sakit akan dapat tetap dipertahankan apabila variabel input dan proses mendapat perhatian, adapun variabel tahap proses yang perlu mendapat perhatian antara lain :
Evaluasi 2 Tahap proses
Limbah Cair RS
Tahap Input
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pre Treatmen Plant ** Bak Screen Pacility Bak Buffer Bak FBBR** Bak Pengendapan** Bak Penyimpan Sludge ** Bak Dewatering** Bak Air Terolah** Bak Up Flow Filter Bak Desinfeksi** Effluent**
Ambil sampel/ Periksa Lab di outlet Belum Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Dibuang ke Lingkungan atau Sungai
Keterangan : (**) = Variabel Proses yang mempunyai hubungan nyata, pelaksanaanya perlu dioptimalkan. Gambar 3 : Bagan Alur Optimalisasi Operasional Pengelolaan Limbah Cair Tahap Proses Operasional tiap langkah pada tahap proses perlu diperhatian, tetapi variabel proses yang mempunyai hubungan nyata dengan Indek Pencemaran (IPj) harus mendapat perhatian lebih dari variabel proses yang lainnya, Variabel tersebut antara lain : 1) Bak Pre Treatment Basin, adalah bak yang berfungsi untuk pengolahan awal untuk menghilangkan grease ( lemak) dan busa. 2) Bak FBBR, Sistem Fluidized Bed Bio-film Reactor merupakan bagian utama dari HWWTP ini, kira- kira 27 % dari volume reaktor diisi dengan media mengapung (bio green ) dimana mikroba dibiakkan.
3) Bak Pengendap, Air dan Lumpur dari FBBR mengalir ke bak pengendap dimana terjadi proses pemisahan air dengan Lumpur yang mengendap secara gravitasi. 4) Sludge Storage Basin( Penyimpan ), Sludge akan ditampung sementara di sludge storage basin sebelum distransper ke system dewatering. 5) Sludge Dewatering Basin, Setelah di-flokulasi-kan (digumpalkan ) dengan FeCL3 kandungan airnya menjadi 75%. Dan dipadatkan berupa plak selanjutnya dibakar di Inchinerator. 6) Bak Air Terolah, sebagai penyimpanan sementara dari limbah cair. 7)Desinfektan Basin., Kegiatan optimalisasi operasional pada bagian desinfektan adalah merupakan optimalisasi fasilitas klorinasi limbah cair untuk mensterilkan effluent sebelum dilepaskan ke badan air. 8) Bak Effluent, Pengawasan terhadap aktivitas kegiatan pengelolaan limbah cair pada bagian Effluent sangat diperlukan. KESIMPULAN 1. Kualitas limbah cair RSUD Sanjiwani Gianyar dalam kurun waktu 2005 - 2009 hasilnya berfluktuasi. 2. Faktor – faktor dari kompenen Input dan Proses yang mempunyai hubungan nyata dengan kualitas limbah cair rumah sakit (Indek Pencemaran), perlu mendapat perhatian yang lebih optimal. 3. Methode pengelolaan limbah cair rumah sakit yang dijalankan sekarang belum optimal, sehingga perlu di optimalkan atau direvisi. 4. Hipotesa penelitian terbukti bahwa ”Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit Belum Sesuai Dengan Aturan, maka Indek Pencemaran Selama Kurun Waktu 2005 - 2009 Hasilnya Berfluktuasi dari Memenuhi Syarat, Cemar Ringan, Cemar Sedang dan Cemar Berat, sehingga Dampak Negatif Saat Dikatagori Cemar Berat, Lingkungan Menjadi Tercemar”. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, W.,1998. Program Pencegahan Pencemaran Rumah Sakit. Jakarta: Pelangi Indonesia. Adisasmito, W.,1998. Panduan Audit Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta: Pelangi Indonesia. Depkes RI, 1996. Pedoman Teknis Pengelolaan Limbah Klinis Dan Desinfeksi dan Sterilisasi di Rumah Sakit. Jakarta : Ditjen PPM dan PLP. Djaja , I. M. 1996. Faktor-faktor pendukung terjadinya masalah yang meliputi : Konstruksi bangunan dan ruangan, penyediaan air, pengelolaan tikus, serangga, sampah, limbah dan buangan berbahaya. Jakarta : Pusat Penelitian Kesehatan - Lembaga Penelitian UI. Effendi, 2005. Telaah Kualitas Bagi Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Fardiaz, 1992. Polusi air dan udara, Kanisius, Yogyakarta. Kusnoputranto, H. 1997. Air Limbah dan Ekskreta Manusia/ Aspek Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.
ANALISIS KUALITAS AIR TANAH PADA SUMUR BOR DI KELURAHAN KUTA KABUPATEN BADUNG I Putu Sujana1, I Wayan Wana Pariartha2, I Gede Oka Darmayasa2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to determine the quality of ground water in wells drilled in the Village Kuta based on the parameters of physics, chemistry and biology and compared to regulations on drinking water quality standard applicable. In this study were selected at random points boreholes of 12 existing neighborhoods in the Village area of Kuta and from any point sampling was done three times. Indicators were tested from each sample are temperature, color, odor, dissolved solids, taste, turbidity, pH, content of nitrate, nitrite, ammonia, chloride, hardness, E. coli and total coliform. Terms water quality standard used for comparison was the Minister of Health No. 924/Per/IV/2010.Based on the results obtained that the analysis of the physics parameters yield: borehole water odorless and tasteless, the temperature range between 28.6 ° C to 29.2 ° C, turbidity range is 1:06 to 1:08 NTU, the water color has a range of 5.7 to 7.2 TCU, and dissolved solids have the range of 263.67 mg / l to 1176.67 mg / lt. Chemical parameters of measurement results: borehole water pH range between 6:48 to 7.97, nitrate content between 0 and 0.97 mg / L, nitrite content of between 0 and 12:35 mg / L, the content of Ammonia between 0 to 0, 28 mg / L, Chloride content of between 6:48 to 520.79 mg / L, and water hardness range is between 25.73 to 26.37 mg / L. Measurement of biological parameters provide results that are not found E. coli bacteria in the water but still found Total Coliform with the range between 0 and 0.67/100ml. Compared with the Minister of Health 492/Per/IV/2010 numbers, generally water wells drilled in the Village Kuta has qualified drinking water quality standards. However, some indicators such as dissolved solids (TDS), pH, Chloride and Total Coliform content at some point observations still exceeds the threshold requirement. Keywords: water quality, boreholes, Kuta Village PENDAHULUAN Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010). Oleh karena itu, Tuhan menciptakan bumi ini dengan 2/3 bagiannya adalah perairan. Hal ini dapat
diartikan bahwa pada dasarnya Tuhan telah menyediakan air yang cukup bagi untuk semua mahluk hidup yang ada di bumi. Dewasa ini kebutuhan akan air semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Tidak terkecuali di Kelurahan Kuta yang terletak di kawasan pesisir barat Kabupaten Badung Provinsi Bali dan telah dikenal sebagai daerah pariwisata yang sangat digemari oleh wisatawan baik dalam dan luar negeri. Dari tahun ke tahun Kelurahan Kuta terus mengalami pembangunan fisik baik hotel, restoran, pertokoan, rumah tinggal dan lain sebagainya. Meningkatnya pembangunan diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Monografi Kelurahan Kuta per bulan September 2011 jumlah penduduk di Kelurahan Kuta tercatat 12.548 orang atau 3.464 KK. Pesatnya perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta diikuti dengan meningkatnya pemanfaatan dan kebutuhan air bersih. Air yang digunakan air berbagai aktivitas masyarakat bersumber dari PDAM dan air tanah. Total kebutuhan air hotel dan restoran sebanyak 1.560 s/d 2.900 m³/hari, pemukiman 1.060 s/d 1.780 m³/bulan, perdagangan dan jasa 950 s/d 2.000 m³/bulan, industri 600 s/d 1.200 m³/bulan dan nelayan 92 s/d 176 m³/bulan. (Ecotropic Vol 2 No 1 Mei 2007). Tingginya permintaan air bersih ini tentunya tidak dapat dipenuhi seluruhna oleh pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sehingga mereka mencari cadangan sumber air bersih lainnya dan air tanah menjadi pilihan pertama dalam memenuhi kebutuhan akan air bersih dengan membuat sumur, baik sumur gali ataupun sumur bor. Pemanfaatan air tanah sumur bor di Kelurahan Kuta menurut data Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung yang telah berijin hingga Juli 2011 sebanyak 216 unit. Atas dasar inilah maka menarik untuk diteliti kualitas air dari sumur bor yang ada di wilayah Kelurahan Kuta yang selama ini telah digunakan baik oleh masyarakat ataupun oleh unit-unit usaha. Penelitian kualitas air ini tentunya sangat penting bagi perkembangan pariwisata di Kelurahan Kuta mengingat penggunaan air yang tidak berkualitas akan merugikan pariwisata. METODE PENELITIAN Tempat pengambilan sampel terletak di Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan sampel langsung diuji di tempat (insitu) dan di laboratorium. Secara geografis Kelurahan Kuta terletak antara 08o 36’ 20” - 08o 50’ 80” Lintang Selatan (LS) dan 115o 05’ 00” - 115o 14’ 30” Bujur Timur (BT). Termasuk daerah pantai dengan dataran rendah. Ketinggian rata-rata 5,0 m dari permukaan laut dan kemiringan tanahnya rata-rata 0 – 3 %. Luas wilayah Kelurahan Kuta keseluruhannya mencapai 7,23 km2 / 723 Ha, dengan batas-batas wilayah sebelah utara Kelurahan Legian, sebelah timur Desa Pemogan, sebelah selatan Kelurahan Tuban dan sebelah barat Samudra Indonesia. Kelurahan Kuta terdiri dari 12 Lingkungan yakni : Lingkungan Segara, Lingkungan Anyar, Lingkungan Jaba Jero, Lingkungan Buni, Lingkungan Tegal, Lingkungan Pande Mas, Lingkungan Pering, Lingkungan Pengabetan, Lingkungan Pemamoran, Lingkungan Temacun, Lingkungan Pelasa, dan Lingkungan Abian Base, dengan 3 banjar adat, yakni : Banjar Adat Darma Semadi di Lingkungan Temacun, Banjar
Adat Tebe Sari di Lingkungan Buni, dan Banjar Adat Merta Jati di Lingkungan Anyar.
K1 2 K1 0
K5
K1
K1
K6 K1 K1 K1 K1
K1 1
K1
K7
K1
K1 K1
K3 K1
K1
K1
K4K1
K1 K8
K3
K1
K9
K1
K1
K1
K1
K1
K1 K1
K1
K1
K1
K1
K1
K2 K1 K1 K1
0 K1 Gambar 1. Lokasi Penelitian Terpilih (Kantor Lurah Kelurahan Kuta, 2007). K1 K1
Waktu pengambilan sampel dan pengujian dilakukan selama 35 (tiga puluh lima) hari dan analisis/penyusunan laporan penelitian selama 30 (tiga puluh) hari. Pengambilan sampel dilakukan masing-masing 1 titik di lingkungan yang ada di Kelurahan Kuta sehingga totalnya ada 12 titik. Pada setiap titik akan dilakukan 3 kali pengambilan sampel. Titik-titik yang dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel seperti Gambar 1. Jumlah keseluruhan sampel yang diamati adalah 3 x 12 titik yakni sebanyak 36 sampel. Titik pengambilan sampel air tanah berasal dari air tanah pada sumur bor produksi dengan menggunakan pompa mesin. Sampel air/air tanah diambil dari kran/mulut pompa tempat keluarnya air setelah air dibuang selama lebih kurang 5 (lima) menit. Kualitas air tanah dalam penelitian ini didasarkan atas parameter fisika, kimiawi dan biologi. Indikator-indikator yang akan diteliti disesuaikan dengan parameter wajib baku mutu air minum terbaru yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
Tabel 1. Parameter wajib persyaratan kualitas air minum Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
SATUAN
RENTANGAN HASIL PENELITIAN
KADAR MAKSIMUM YANG DIBOLEHKAN
NO.
PARAMETER
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
FISIKA Suhu Kekeruhan Bau Warna Rasa Padatan terlarut
C NTU TCU mg/L
28,6 – 29,2 1,06 – 1,08 Tidak berbau 5,7 – 7,2 Tidak berasa 263,67 – 1176,67
26 – 32 5 Tidak berbau 15 Tidak berasa 500
B. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
KIMIA pH Nitrat (NO3-) Nitrit (NO22-) Amonia (NH3-) Khlorida Kesadahan
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6,48 – 7,97 0 – 0,97 0 – 0,35 0 – 0,28 6,48 – 520,79 25,73 – 26,37
6,5 – 8,5 50 3 1,5 250 500
o
C. BIOLOGI 13. E. coli Jml/100ml 0 14. Total Coliform Jml/100ml 0 – 0,67 Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010
0 0
Terkait dengan indikator-indikator di atas, metode dan alat yang digunakan untuk menentukan indikator-indikator tersebut disajikan pada Tabel 2. Bahan penelitian yang diperlukan adalah air tanah hasil sumur bor pada masing-masing titik sampel. Bahan ini diambil sebanyak tiga (3) kali yakni pada minggu ke-2, ke-3 dan ke-4 bulan Januari 2012. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian kualitatif, karena data penelitian berupa angka-angka dan permasalahannya sudah jelas. Data yang terkumpul kemudian diolah secara deskriptif komparatif. Metode deskriptif komparatif merupakan gabungan antara metode deskriptif dan metode komparatif. Menurut Whitney (1960), metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, objek, kondisi, system pemikiran, dan peristiwa pada masa sekarang. Dalam penelitian ini, dilakukan deskripsi terhapap indikator-indikator kualitas air dari ketiga parameter. Mengingat untuk satu titik sampel dilakukan tiga kali pengukuran, maka hasil yang disajikan adalah reratanya. Selanjutnya deskripsi indikator kualitas air ini digambarkan dalam suatu kontur dengan menggunakan software Surfer 9.0. yaitu mamasukkan titik koordinat
pada masing-masing lokasi pengambilan sample kemudian besaran masing-masing indikator juga dimasukkan ke dalam software Surfer 9.0 sehingga dapat dihasilkan pola kontur yang menggambarkan sebaran besaran kualitas air pada lokasi penelitian. Sedangkan metode deskriptif komparatif yaitu metode deskriptif yang dalam analisis datanya melakukan pembandingan. Dalam penelitian ini, besaran masingmasing indikator dibandingkan dengan standar kualitas air yakni baku mutu air menurut yaitu Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010. Tabel 2. Metode dan Peralatan Untuk Menentukan Kualitas Air.
NO.
PARAMETER
SATUAN
METODE ANALISIS
PERALATAN
A. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
FISIKA Suhu Kekeruhan Bau Warna Rasa Padatan Terlarut
C NTU TCU mg/L
Pemuaian Spektrofotometri Organoleptik Spektrofotometri Organoleptik Gravimetri
Thermometer Spektrofotometer Spektrofotometer Neraca Analitik
B. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
KIMIA pH Nitrat (NO3-) Nitrit (NO22-) Amonia (NH3-) Khlorida Kesadahan
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Potensiometri Spektrofotometri Spektrofotometri Spektrofotometri Spektrofotometri Titrimetri
pH meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Buret
C. 13.
BIOLOGI E. coli
o
Jml/100ml Most Probable Tabel Most sampel Numbers Probable Numbers 14. Total Coliform Jml/100ml Most Probable Tabel Most sampel Numbers Probable Numbers Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010.
HASIL PENELITIAN Menilik tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air tanah pada sumur bor di Kelurahan Kuta berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi serta untuk menganalisis kualitas air tanah pada sumur bor di Kelurahan Kuta berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi bila dibandingkan dengan peraturan tentang baku mutu air minum yang berlaku. Dengan demikian terlebih dahulu akan dipaparkan tentang besaran indikator untuk masing-masing parameter
kualitas air, dan pada tahap selanjutnya besaran-besaran tersebut akan dibandingkan dengan baku mutu air minum yang berlaku. Telah diuraikan bahwa kualitas air tanah dari sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta dapat dikaji berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi. Indikator-indikator masing-masing parameter kualitas air tanah tersebut disesuaikan dengan baku mutu air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010. Dengan cara ini terpilih 4 indikator kualitas air yang telah diukur besarnya atau kategorinya dan melebihi ambang batas yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 sebagai berikut : Padatan Terlarut Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh hasil padatan terlarut (TDS) pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut ( Gambar 2 ): Grafik Padatan Terlarut Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
Padatan Terkarut (mg/l) )
1400 1200 1000
800 600 400 200 0 K1
K2
K3
K4
K5 K6 K7 K8 Lokasi Pengamatan
K9
K10
K11
K12
Gambar 2. Grafik TDS Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Berdasarkan grafik di atas, TDS air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 263,67 mg/lt hingga 1176,67 mg/lt. Sebaran tingkat padatan terarut air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai berikut ( Gambar 3 ) :
Gambar 3. Kontur Padatan Terlarut Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Jika dibandingkan dengan standar padatan terlarut air menurut Permenkes nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, tampak bahwa belum semua titik di lokasi pengamatan yang memenuhi syarat, di mana masih ada beberapa titik yang nilai
TDS-nya di atas 500. Ini berarti bahwa tidak semua air sumur bor di Kelurahan Kuta memenuhi syarat kesehatan dari segi TDS. Dalam portable water, kebanyakan bahan padat terdapat dalam bentuk terlarut (dissolved) yang terutama terdiri dari garam anorganik, selain gas-gas yang terlarut. Kandungan total solid pada portable water biasanya dalam range antara 201000 mg/L, dan sebagai suatu pedoman, kekerasan dari air akan meningkat dengan meningkatnya total solids. Di samping itu, pada semua bahan cair, jumlah koloid yang tidak terlarut dan bahan tersuspensi akan meningkat sesuai dengan derajat pencemaran. Penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal total solids dapat berpengaruh terhadap kesehatan, yaitu air akan memberi rasa yang tidak enak pada lidah, rasa mual terutama yang disebabkan karena natrium sulfat dan terjadinya ’cardiac disease´ serta toxaemia pada wanita-wanita hamil. Air dengan TDS tinggi mengindikasikan kandungan zat anorganik di dalamnya yang sejatinya tidak dibutuhkan oleh tubuh. Berdasarkan hasil penelitian, TDS air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 263,67 mg/lt hingga 1176,67 mg/lt. Kadar maksimum TDS yang sesuai dengan baku mutu dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menker/Per/IV/2010 adalah 500 mg/L. Terdapat beberapa titik yang airnya melebihi baku mutu air ini yaitu di lingkungan Jaba Jero, Pelasa, Pengabetan, Buni, Pemmoran dan Segara. Kandungan TDS tertinggi ditemukan di lingkungan Pemamoran yang kandunganya mencapai 1176,67 mg/lt. Tentunya air dengan TDS di atas ambang batas normal ini berbahaya jika digunakan sebagai bahan baku air minum sebelum diolah terlebih dahulu. Untuk menurunkan TDS air sumur bor ini, dapat ditempuh beberapa cara seperti reverse osmosis, filtrasi, deionisasi dan distilasi. Langkah lain yang perlu dilakukan juga yakni uji kandungan mineral anorganik yang mungkin ada dalam air sumur bor tersebut sehingga dapat diantisipasi lebih dini. Derajat keasaman (pH) Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh pH pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut ( Gambar 4 ): Grafik pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
9 8 7 6 pH
5 4 3 2 1 0 K1
K2
K3
K4
K5 K6 K7 K8 Lokasi Pengamatan
K9
K10
K11
K12
Gambar 4. Grafik pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012).
Berdasarkan grafik di atas, pH air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 hingga 7,97. Sebaran pH air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai berikut ( Gambar 5 ):
Gambar 5. Kontur pH Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Jika dibandingkan dengan standar pH air menurut Permenkes nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, maka sebagian besar air sumur bor di Kelurahan Kuta berada dalam kondisi aman dan masih diperbolehkan, namun ada satu titik yang pHnya masih bersifat asam. Derajat keasaman (pH) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan. Sebagai satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan atau kehidupan mikroorganisme dalam air, secara empirik pH yang optimum untuk tiap spesifik harus ditentukan. Kebanyakan mikroorganisme tumbuh terbaik pada pH 6,0 - 8,0 meskipun beberapa bentuk mempunyai pH optimum rendah 2,0 (Thiobactillus thiooxidans) dan lainnya punya pH optimum 8,5 (Alcaligenes faecalis). Pengetahuan pH ini sangat diperlukan dalam penentuan range pH yang akan diterapkan pada usaha pengelolaan air bekas yang menggunakan proses-proses biologis. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan dari penyimpangan standar kualitas air minum dalam pH ini yaitu bahwa pH yang lebih kecil dari 6,5 dan lebih besar dari 9,2 akan dapat menyebabkan korosi pada pipa-pipa air dan menyebabkan beberapa senyawa menjadi racun, sehingga mengganggu kesehatan. pH air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 hingga 7,97, sedangkan Kadar rentangan pH yang sesuai dengan baku mutu dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menker/Per/IV/2010 adalah antara 6,5-8,5. Dengan demikian terdapat satu sampel air yang pH-nya di bawah ambang bats yaitu di lingkungan Abianbase yang pHnya sebesar 6,48. Ini menunjukkan bahwa air sumur pada titik ini bersifat asam sehingga agak berbahaya jika digunkan sebagai bahan baku air minum. Untuk menaikkan pH air sumur bor ini dapat dilakukan dengan menyemburkan air ke udara sehingga mengalami kontak dengan Oksigen dan selanjutnya dialirkan ke bak terbuka. Khlorida Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh kandungan Khlorida pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut :
600
Grafik Kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
Kandungan Khlorida (mg/lt)
500 400 300 200 100 0 K1
K2
K3
K4
K5 K6 K7 K8 Lokasi Pengamatan
K9
K10
K11
K12
Gambar 6. Grafik kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Berdasarkan grafik di atas, kandungan Khlorida air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L. Sebaran kandungan Khlorida air sumur bor di lokasi penelitian dapat digambarkan dengan kontur sebagai berikut :
Gambar 7. Kontur Kandungan Khlorida Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Jika dibandingkan dengan standar kandungan Khlorida air menurut Permenkes nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, tampak dua titik yang kadar Khloridanya melebihi ambang batasyang dipersyaratkan, sedangkan titik-titik lainnya masih di bawah ambang batas. Klorida (Cl) merupakan unsur halogen yang memiliki keelektronegatifan tinggi yang berpengaruh pada kereaktifannya. Klorida (Cl) mudah membentuk ikatan dengan unsur-unsur yang bermuatan positif misalnya Na+, sehingga membentuk NaCl yang merupakan suatu senyawa yang tidak beracun. Tetapi, jika Cl- terikat dengan senyawa organik dan membentuk senyawa halogen-hidrokarbon (Cl-CH) toksitasnya tinggi karena dapat menimbulkan kanker, sehingga keberadaannya sebagai senyawa halogen-hidrokarbon di dalam tubuh sangat berbahaya bagi kesehatan. Klorida (Cl) banyak terkandung dalam air tanah, terutama air tanah yang mengalami kontak dengan air bekas atau air limbah rumah tangga. Batas maksimum kadar Cl dalam air minum yang sesuai nilai baku mutu dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 sebesar 250 mg/L. Konsentrasi klorida yang melebihi ambang batas maksimum atau standar dapat mengakibatkan timbulnya rasa asin pada air minum dan merusak pipa-pipa air
dengan proses penggaraman dengan Na+ apabila melebihi ambang batas persyaratan air minum. Kandungan Khlorida air sumur bor yang ada di Kelurahan Kuta berada dalam rentangan 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L, di mana kandungan Khlorida pada dua titik yaitu Lingkungan Buni dan Pemamoran melebihi ambang batas. Oleh karena itu air sumur bor yang terbukti mengandung Khlorida melebihi ambang batas in perlu diberikan tindakan sebelum digunakan, misalnya dengan reverse osmosis. Deionisasi (demineralisasi) atau distilasi. Dari ketiga cara tersebut, metode yang paling cocok untuk perumahan adalah reverse osmosis. Total Koliform Berdasarkan hasil pengukuran pada kedua belas titik diperoleh tingkat kesadahan pada titik lokasi pengamatan sebagai berikut: 0,8
Grafik Kandungan Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta
Total Koliform
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 K1
K2
K3
K4
K5 K6 K7 K8 Lokasi Pengamatan
K9
K10
K11
K12
Gambar 8. Grafik kandungan Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Berdasarkan grafik di atas, tampak bahwa air sumur bor pada beberapa titik masih mengandung Total Coliform, sedangkan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tidak membolehkan adanya coliform dalam bahan baku air minum. Sebaran Coliform di Kelurahan Kuta dapat digambarkan dalam kontur sebagai berikut :
Gambar 9. Kontur Kandumham Koliform Air Sumur Bor di Kelurahan Kuta (Sumber : hasil analisis, 2012). Total Coliform merupakan indikator bakteri pertama yang digunakan untuk menentukan aman tidaknya air untuk dikonsumsi. Bila coliform dalam air
ditemukan dalam jumlah yang tinggi maka kemungkinan adanya bakteri patogenik seperti Giardiadan Cryptosporidium di dalamnya. Hasil analisis dalam penelitian ini meunjukkan bahwa beberapa titik di Kelurahan Kuta air sumurnya terbukti mengandung Total Coliform seperti yang ditemukan di lingkungan Jaba Jero (K2), Pande Mas (K6), Pengabetan (K7), Buni (K8), dan Pemamoran (K9). Hal ini bisa terjadi karena pada lokasi –lokasi tersebut jarak sumur dengan pembuangan limbah domestik dan septic tank dekat. sehingga air tanah mudah terkontaminasi oleh kelompok bakteri Coliform. Adanya temuan seperti ini mengindikasikan bahwa walaupun tidak ditemukan E. Coli, ternyata air sumur bor pada beberapa titik tersebut masih mengandung bakteri patogen lainnya sehingga tidak boleh begitu saja digunakan sebagai bahan baku air minum, namun perlu dilakukan tindakan sebelumnya. Jika air ini langsung dikonsumsi, akan dapat menyebabkan diare dan penyakit pencernaan lainnya. Oleh karena itu air-air sumur yang telah terbukti mengandung Coliform sebaiknya direbus dulu sebelum digunakan sebagai air minum. Berdasarkan hasil penelitian ini tampak bahwa tidak semua air sumur bor di Kelurahan Kuta memenuhi persyaratan sebagai bahan baku air minum. Beberapa indikator seperti jumlah padatan terlarut (TDS), pH, Khlorida, Total Koliform di beberapa titik masih melebihi ambang batas yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010. Namun secara umum air sumur bor di Kelurahan Kuta ini telah memenuhi syarat ambang batas yang ditentukan dalam peraturan menteri ini. Dengan demikian air yang diperoleh dari sumur bor di Kelurahan Kuta hingga saat ini masih memadai dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber air. Namun pemanfaatan air tanah ini harus dikendalikan agar tidak menghadirkan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya. Pembahasan terhadap masing-masing indikator yang melebihi ambang batas sesuai persyaratan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/Menkes/Per/IV/2010 adalah sebagai berikut : KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kualitas air sumur bor di Kelurahan Kuta dapat dianalisis berdasarkan parameter fisika, kimia dan biologi. Hasil analisis pada parameter fisika memberikan hasil: air sumur bor tidak berbau dan berasa, rentangan suhu antara 28,6 oC hingga 29,2 o C, kekeruhan air rentangannya 1,06 NTU hingga 1,08 NTU, warna airnya memiliki rentangan 5,7 TCU hingga 7,2 TCU, dan padatan terlrutnya memiliki rentngan 263,67 mg/L hingga 1176,67 mg/L Pengukuran parameter kimia memberikan hasil : rentangan pH air sumur bor antara 6,48 hingga 7,97, kandungan nitrat antara 0 hingga 0,97 mg/L, kandungan nitrit antara 0 hingga 0,35 mg/L, kandungan Amoniak antara 0 hingga 0,28 mg/L, kandungan Khlorida antara 6,48 mg/L hingga 520,79 mg/L, dan kesadahan air rentanganya antara 25,73 mg/L hingga 26,37 mg/L. Pengukuran parameter biologi memberikan hasil bahwa dalam air ini tidak ditemukan bakteri E.coli namun masih ditemukan Total Coliform dengan rentangan antara 0 hingga 0,67 jml/100 ml sampel.
2. Jika dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010, beberapa sumur (K2, K4, K6, K7, K8, K9) belum memenuhi standar persyaratan baku mutu air minum, karena beberapa indikator seperti padatan terlarut (TDS), pH, kandungan Khlorida dan Total Coliform pada beberapa titik pengamatan melebihi syarat ambang batas. DAFTAR PUSTAKA Achmad, R., 2006. Kimia Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta. Anonim, 2004. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 3, Tambahan Lembar Negara Republik Nomor 4377. Anonim, 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Anonim, 2010. Perturan Menteri Kesehataan nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Asdak, Chay, 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajahmada University Press. Bouwer, Herman, 1978. Groundwater Hydrology. Int. Student Ed., McGraw-Hill, Kogakusha Ltd. Chow, Ven Te, Maidment, David R., and Mays, Larry W., 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book Company, New York. Davis, Stanley, N and DeWiest, Roger,JM., 1966. Hydrogeology. John Wiley & sons, Inc. Effendi H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fetter, C.W., 1994. Applied Hydrogeology. 3rd ed. Prentice Hall, Engelwood Cliffs, NewJersey. Freeze, R. Allan and Cherry, Jhon A., 1979. Groundwater. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Johnson, Edward E., 1972. Ground Water and Wells. Johnson Division, Universal Oil Products Co.: Saint Paul, Minnesota. Hem, J.D., 1959. Study and Interpretation of the Chemical Characteristics of Natural Water. U.S. Geol. Survey Water Survey Paper 1475, 269 pp. Kodoatie, Robert, J., 1996. Pengantar Hidrogeologi. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Manik, K.E.S. 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit Djambatan, Jakarta. Sawyer, C.N., Mc.Carty, P.L., 1994. Chemistry for Environmental Engineering. New York: McGraw Hill. Soemarto, CD., 1989. Hidrologi Teknik. Pusat Pendidikan Manajemen dan Teknologi Terapan. Malang. Sugiono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Alfabeta : Bandung.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN SAPI BETINA PRODUKTIF DALAM UPAYA KESTABILAN POPULASI SAPI BALI Nenohay A. Maryani1, I Ketut Arnawa2, I Made Tamba2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email:
[email protected] ABSTRACT Bali cattle population growth rate is determined by several factors. One of these factors is the availability of productive cows. Productive cows slaughtering action can be one of the factors inhibiting the development efforts of Bali cattle. This study aims to: (1) review the implementation of control policy slaughter productive cows from upstream to downstream, (2) To determine the factors that affect the slaughter of productive cows, and (3) To determine areas of potential development Bali cattle. The study was conducted at three different locations, namely Farmers Livestock 84 respondents, 30 respondents Bringkit Livestock Market and Slaughter House (RPH) Pesanggaran 30 respondents. The findings of this study are: (1) sufficient knowledge of the Livestock Market traders on Bali cattle slaughter control policy and implementation of productive cows significantly negative effect on the control of productive cows slaughtered. (2) Level parstisipatif businessmen meat providers service users Slaughterhouse positive effect on efforts to control the slaughter of productive cows. 3) The level of knowledge of livestock farmers quite a positive impact on efforts to control the slaughter of productive cows that can be started from the initial steps do not sell or postpone selling productive cows, (4) Based on the calculation of slaughter impact the value of losses due to slaughtering of productive cows in the province Bali in 2010 reached Rp.161.184.000.000, - (one hundred and sixty-one billion, one hundred and eighty four million rupiahs), and (5) Bali province as a whole still has the capacity to accommodate 454,127.58 ST cows scattered nine regencies / cities. Keywords: Policy, Control Cattle slaughter Productive Females PENDAHULUAN Peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani bagi tubuh menjadikan permintaan akan daging sebagai salah satu sumber protein hewani terus meningkat. Terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan Nasional, Pemerintah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau (P2SDK) Tahun 2014 sebagai salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian. Upaya pencapaian swasembada daging nasional bertitik tolak dari
pendekatan peningkatan populasi sapi dalam negeri untuk mencapai angka 90% dari kebutuhan daging nasional (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2010:16) Terkait dengan program Swasembada daging pada 2014 diperlukan adanya ketersediaan 420,3 ribu ton daging asal ternak lokal. Dengan demikian diperlukan tambahan 85,40 ekor sapi bakalan atau setara dengan 15,4 ribu ton daging impor dan 31,2 ribu ton daging beku. Ketersediaan 90% daging lokal tersebut tercapai jika ada 14,2 juta sapi pada 2014. (Ditjenak, t.t-23, Permentan, 2010:11) Guna mencukupi permintaan akan daging yang terus meningkat, diperlukan cukup tersedianya populasi sapi potong sebagai bahan baku produksi daging. Sementara yang menjadi tulang punggung penyediaan daging sapi di Indonesia adalah peternak bersekala kecil. Sejalan dengan hal tersebut, maka kegiatan impor daging sapi dari negara luar masih terus dilakukan. Impor daging sapi bakalan hingga saat ini mencapai 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Semula impor daging sapi bertujuan hanya untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi yang terus meningkat ( Ditjenak, t.t-2). . Hasil kajian Badan Litbang Pertanian (2011:2), dikatakan bahwa kemungkinan Indonesia melakukan Impor sapi potong terjadi disebabkan tiga hal, pertama permintaan daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan produksi. Kedua, permintaan didalam negeri meningkat tetapi produksi didalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat namun produksi daging dalam negeri cenderung berkurang. Melalui Program Swasembada Daging 2014, Pemerintah akan melakukan pengurangan secara bertahap kegiatan impor sapi bakalan maupun daging pada tahun 2014 Peningkatan populasi sapi merupakan salah satu kebijakan yang harus ditempuh guna memperkuat ketersediaan ternak sapi lokal terkait upaya Pemerintah mengurangi impor daging secara berkala. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan populasi adalah adanya fenomena penyembelihan sapi betina produktif yang cukup tinggi. Akibat kebutuhan daging yang meningkat, pengurasan dan penyembelihan terhadap sapi betina lokal produktif juga terus menerus terjadi yang diperkirakan mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menjadi penyebabkan stok bibit nasional semakin berkurang yang pada akhirnya pertambahan populasi sapi lokal menjadi terhambat. Sapi betina produktif merupakan sumber penghasil ternak. Penambahan populasi sangat ditentukan oleh ketersediaan sapi betina produktif (Direktorat Pangan dan Pertanian, 2010:1,38). Pada umumnya penjualan sapi betina cukup tinggi pada musim paceklik atau saat tertentu terkait kebutuhan dana cepat. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali dan kini sudah menyebar dihampir seluruh Nusantara. Sebagai breed sapi asli Indonesia dengan potensi yang besar, diharapkan sapi Bali dapat memenuhi sebagian dari kekurangan akan kebutuhan daging sapi yang hingga kini masih di impor dari negara lain. Jumlah populasi sapi Bali saat ini sudah mencapai 35.000.000 ekor atau sepertiga dari populasi sapi di Indonesia, (Disnak Bali, 2009:1). Populasi sapi Bali di Bali pada tahun 2010 adalah sebesar 683.800 ekor. Angka ini masih berada di bawah angka populasai sapi Bali yang ada di Sulawesi Selatan. Dalam Peta Potensi Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Lokal dan Rencana Pengembangannya, “Sulawesi Selatan menduduki urutan pertama populasi sapi Bali terbanyak yaitu
703.00 ekor yang tersebar di 8 Kabupaten dengan tingkat pertumbuhan mencapai 4,1 sampai 5,1 persen. Provinsi Bali berada diurutan kedua dengan potensi populasi sapi Bali adalah 668.000 ekor, dengan tingkat pertumbuhan 5,5 sampai 5,7 persen melebihi tingkat pertumbuhan Sulawesi Selatan. ( Ditjenak, 2011) Terkait tingkat pertumbuhan sapi Bali yang lebih tinggi dari Sulawesi Selatan, maka idealnya angka populasi sapi Bali di Bali semestinya lebih tinggi dari Sulawesi Selatan namun kenyatannya tidaklah demikian. Hal ini disinyalir bahwa laju pertumbuhan sapi Bali di pengaruhi oleh banyak faktor yaitu, baik kelahiran, pengeluaran sapi ke luar Pulau Bali yang dilakukan secara resmi atau dengan cara penyelundupan maupun penyembelihan sapi betina produktif yang memberikan kontribusi pada stabil tidaknya pertumbuhan sapi Bali. Tabel 1.1. Perkembangan Populasi Sapi Bali Tahun 2006-2010 (Ribu ekor) Tahun Jagiran Jantan Godel Induk Betina Godel No Muda Jantan Muda Betina 1. 2010 94.813 101.287 89.482 215.440 96.370 86.354 2 2009 94.727 102.823 89.065 210.919 92.340 85.386 3 2008 90.947 101.752 88.418 207.360 93.837 84.499 4 2007 87.466 96.985 82.951 199.978 87.045 78.502 5 2006 85.351 94.750 76.946 196.047 82.922 76.721 Sumber : Disnak Bali 2010 Sehubungan dengan upaya menstabilkan populasi sapi Bali, berdasarkan Peraturan Gubernur No. 54 Tahun 2009 tentang penetapan jumlah ternak potong sapi Bali antar pulau tahun 2010, sebanyak 62.000 ekor dari tahun 2009 sebesar 55.000 ekor pertahun. Memasuki tahun 2011, berdasarkan Pergub No. 46 Tahun 2010 Pemerintah Daerah menaikan jumlah ternak sapi potong yang diantar pulaukan dari jatah 62.000 ekor dalam tahun 2010 menjadi 64.573 ekor di tahun 2011. Pembatasan kuota pengeluaran dimaksud untuk menjaga keseimbangan antara yang dikeluarkan dengan kebutuhan daerah. Berikut adalah tabel perkembangan pengeluaran ternak sapi potong antar pulau. Tabel 1.2. Perkembangan Pengeluaran Sapi Potong ke Luar Bali Tahun 2006-2010 (Ribu ekor) No
Tahun
1. 2010 2. 2009 3. 2008 4. 2007 5. 2006 Sumber: Disnak Bali, 2010
Pengeluaran 66.607 58.993 74.995 75.000 67.970
Berdasarkan Tabel 1.2, jumlah pengeluaran ternak sapi potong antar pulau dalam lima tahun mengalami fluktuasi. Tahun 2006 ke 2007 menujukan pengeluaran keluar pulau naik namun menurun pada tahun 2008 sampai ke 2009 dan kembali naik pada tahun 2010. Fluktuasi pengeluaran yang naik turun jumlahnya, tentu saja dipengaruhi oleh ketersediaan stok sapi potong yang ada di Bali. Jumlah pengeluaran yang tinggi dapat memberikan indikasi bahwa ketersediaan sapi potong cukup untuk memenuhi permintaan dari luar pulau Bali dan juga untuk kepentingan daerah. Dengan mengetahui tingginya permintaan ternak sapi potong dari luar Pulau Bali, sudah seharusnya para peternak mampu mempersiapkan diri untuk bisa menjawab permintaan pasar, sehingga apabila ada permintaan maka petani memiliki cukup sapi potong yang siap untuk dilepas ke pasaran guna memenuhi kebutuhan bahan baku daging sapi untuk tingkat baik lokal maupun keluar Pulau Bali. Berikut adalah data pemasukan dan pengeluaran daging sapi Propinsi Bali. Tabel 1.3. Pemasukan dan Pengeluaran Daging Sapi Beku Tahun 2006-2010 di Propinsi Bali (Kg) No Tahun Pemasukan 1. 2010 1.946.461,00 2. 2009 1.435.075,00 3. 2008 1.467.420,00 4. 2007 958.325,00 5. 2006 365.651,00 Sumber: Disnak Bali, 2010
Pengeluaran 340.145,00 1.171.090,00 687.730,00 116.256,00 32.524,00
Berdasarkan data Tabel 1.3, menujukkan selain pengeluaran sapi potong, Propinsi Bali juga terbuka untuk memasukan daging sapi beku ke Bali dengan tujuan untuk konsumsi tamu hotel dan restoran yang pada umumnya berasal dari manca negara sesuai peruntukan khusus. Daging sapi Bali tetap digunakan juga oleh hotel dan restoran yang ada di Pulau Bali namun dengan peruntukkan yang berbeda dengan daging impor. Tinggimya pengeluran sapi potong keluar Pulau Bali menunjukkan bahwa peminat sapi sapi Bali cukup tinggi dan lebih menyukai daging sapi yang berasal dari sapi bali yang asal Pulau Bali. Kondisi ini disatu sisi memberikan peluang bisnis yang sangat bagus pagi para pelaku usaha, namum disisi lain, permintaan yang cukup tinggi dan pengeluran yang terus-menerus dapat berdampak positif maupun negatif. Selain mengancam populasi sapi Bali, justru memicu persoalan baru yaitu adanya penyembelihan sapi yang belum layak sembelih (godel muda) maupun sapi betina produktif untuk memenuhi konsumsi pasar lokal. Menyikapi permasalahan yang muncul sehubungan dengan masih adanya kegiatan penjualan dan penyembelihan sapi betina produkitif, kebijakan-kebijakan lain yang dilakukan Pemerintah Propinsi Bali adalah melalui SK Gubernur Nomor 46 tahun 2011 yang memberikan kesempatan pengeluaran bibit sapi Bali keluar Pulau Bali. Salah satu butir pertimbangan diizinkannya pengeluaran sapi bibit adalah untuk meningkatkan harga dan mengairahkan usaha peternakan sapi Bali dan mempertahankan populasi sapi serta mutu genetik sapi Bali ( Disnak Bali, 2011).
Tabel1.4. Penyembelihan Ternak Sapi di Propinsi Bali Tahun 2006-2010 (Ribu ekor) No Tahun Penyembelihan 1. 2010 38.878 2. 2009 37.048 3. 2008 36.853 4. 2007 34.640 5. 2006 36.462 Sumber: Disnak Bali, 2010 Tabel 1.4. menunjukkan bahwa angka penyembelihan sapi di Pulau Bali terus mengalami kenaikan. Kenaikan angka penyembelihan sapi dipengaruhi jumlah permintaan yang dapat dipicu pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran amsyarakat akan kebutuhan protein hewani bersumber dari ternak. Menyikapi hal ini, laju pertumbuhan populasi sapi Bali perlu diawasi sehingga ada keseimbangan antara yang lahir, disembelih dan yang dikeluarkan baik dalam bentuk sapi potong maupun sapi bibit. Upaya menstabilkan laju pertumbuhan sapi Bali, tidak cukup hanya dengan mengatur kuota pengeluaran sapi antar pulau. Salah satu faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan populasi sapi Bali adalah, tersedianya cukup induk sapi betina produktif sebagai penghasil ternak. Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah laju pemotongan sapi betina produktif akhir-akhir ini menjadi tidak terkendali. Fenomena penyembelihan sapi betina produktif dengan berbagai alasan merupakan ancaman langsung terhadap populasi sapi Bali. Menyikapi kondisi yang ada , Pemerintah tidak dapat berbuat banyak jika tidak didukung oleh seluruh stakeholder terkait dan para pengusaha yang bergerak dalam bidang usaha peternakan, baik itu petani ternak, para jagal dan masyarakat umum dan yang lebih penting adalah perilaku aparat penegak hukum. Pelarangan Penyembelihan sapi betina produktif sudah sesuai dengan dengan UU.No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Secara sah, pengawasan dan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dicantumkan juga dalam peraturan perundang-undangan antara lain; Ordinasi stbl No.614 Tahun 1936, tentang Pengendalian Ternak Besar Bertanduk Yang Betina, Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 1979 dan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Ins/Um/1979 tentang Pencegahan dan larangan penyembelihan ternak sapi /kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau betina. ( Disnak Provinsi Bali,t.t-2) Berkenaan dengan kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif, telah dialokasikan dana yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2010 kepada kelompok tani ternak yang potensial di lokasi strategis dalam upaya penyelamatan sapi betina produktif dari sektor hulu sampai ke sektor hilir. Upaya penyelamatan sapi betina produktif diharapakan dapat meningkatkan populasi sapi Bali yang pada akhirnya dapat mendukung Program Pemerintah melakukan Swasembada Daging 2014 melalui ketersediaan ternak lokal sebagai bahan baku. Ketersediaan sapi potong yang cukup sebagai bahan baku produksi
daging, nantinya diharapkan akan dapat mensuplai kebutuhan permintaan sapi keluar Pulau Bali, tercukupinya kebutuhan daerah, dan sebagai upaya pelestarian sapi Bali sebagai plasma nutfa sapi asli Indonesia asal Pulau Bali. Penyembelihan sapi betina produktif secara ekonomis akan sangat merugikan baik peternak maupun daerah. Hal ini dikarenakan fungsi sapi betina itu sendiri sebagai penghasil ternak. Menurut perhitungan yang dilakukan Dinas Peternakan Provinsi Bali, kerugian akibat penyembelihan sapi betina produktif dalam lima tahun terakhir dengan menggunakan angka penyembelihan tahun 2000 sampai 2004 dengan data penyembelihan ternak sebanyak 192.261 ekor, jumlah sapi betina produktif yang disembeli sebesar 12,31 % maka dapat dihitung ada sekitar 23.667 ekor sapi betina produktif yang kehilangan kesempatan untuk menghasilkan anak dan nilai kerugian mencapai 196.437 miliyar rupiah dalam kurun waktu 4,5 tahun (Disnak Bali, 2010:7). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif perlu mendapat dukungan seluruh masyarakt maupun stakeholder terkait upaya pengembangan sapi Bali dengan laju pertumbuhan populasi yang stabil. Stabil dalam pengertian adanya keseimbang antara yang lahir, mati, disembelih dan dikeluarkan. Sejauh mana implementasi kebijakan ini dalam pelaksanaanya, diperlukan adanya penelitian secara ilmiah. Implementasi Pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dalam upaya menstabilkan populasi sapi Bali dalam konteks perencanaan wilayah pembangunan peternakan dan mendukung pembangunan Provinsi Bali secara menyeluruh , maka topik ini sangatlah menarik untuk diteliti.
METODO PENELITIAN Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis data, yaitu analisis deskriptif dan analisis regresi logistik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran mengenai responden dan populasi sapi Bali. Analisis regresi logistik (logit) digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel (X1) Pasar Hewan (X2), Rumah Potong Hewan dan (X3), Petani Ternak dalam implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif terhadap kestabilan populasi sapi Bali Analisis Implementasi Kebijakan Alat analisis yang digunakan dalam melihat bagaimana implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif di tingkat pelaksanaan dilakukan secara deskriptif. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden yang meliputi, Pasar Hewan, Rumah Potong dan Hewan Petani Ternak pada implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Kestabilan populasi sapi Bali dideskripsikan aktifitasnya dengan unsur-unsur pengatahuan dan sikap responden di Petani Tani Ternak, Pasar Hewan dan Rumah Potong Hewan terhadap implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Interprestasi dalam analisis ini didasarkan pada ouput analisis yang berupa tabel frekwensi jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif . Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang disusun secara teoritis dalam bentuk skala likert. Penggunaan skala likert dimaksudkan untuk mengetahui aktivitas pemahaman dan sikap petani ternak terhadap pelaksanaan kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dengan pemberian skor masingmasing adalah sebagai berikut : Responden Pasar Hewan dan Petani Ternak adalah : Sangat tahu (ST) = skor 5 Tahu (T) = skor 4 Cukup tahu (CT) = skor 3 Tidak tahu (TT) = skor 2 Sangat tidak tahu = skor 1 Responden Rumah Potong Hewan adalah : Sangat Setuju (SS) = skor 5 Setuju (S) = skor 4 Cukup setuju (CS) = skor 3 Tidak setuju (TS) = skor 2 Sangat tidak setuju (STS) = skor 1 Selanjutnya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap responden dilihat dari persentase tanggapan yang diberikan oleh responden, maka persentase tingkat pengetahuan dan sikap responden Pasar Hewan dan Petani Ternak adalah : 0 % - 20 % : Sangat tidak tahu 20%-40% : Tidak tahu 41%-60% : Cukup tahu 61%-80% : Tahu 81%-100% : Sangat tahu Persentase tingkat pengetahuan dan sikap responden Rumah Potong Hewan adalah : 0 % - 20 % : Sangat tidak setuju 20%-40% : Tidak setuju 41%-60% : Cukup setuju 61%-80% : Setuju 81%-100% : Sangat Setuju Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembelihan Sapi Betina Produktif Alat analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penyembelihan sapi betina produktif adalah dengan menggunakan Analisis Regresi Logistik. Model logit adalah model regresi yang dirancang secara khusus untuk menganalisis regresi dengan variabel dependen berupa variabel probabilitas, yaitu variabel yang nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Model logit memungkinkan estimasi persamaan regresi yang dapat menjaga agar hasil prediksi variabel dependennya tetap berada di rentang nilai 0 hingga 1.
Analisis Dampak Ekonomis Penyembelihan Sapi Betina Produktif Perhitungan dampak ekonomis penyembelihan sapi betina produktif dengan umur penyembelihan sekitar 3,5-8 tahun dan tingkat kesuburan 83% menggunakan metode perhitungan yang bersumber dari Dinas Peternakan Provinsi Bali, sebagai berikut : a. b.
Perhitungan perkiraan jumlah kelahiran Perhitungan perkiraan jumlah kerugian (rupiah).
Analisis Kapasitias Tampung ( Carrying Capasity). Dalam menghitung perkiraan kapasitas tampung untuk ternak ruminansia di Provinsi Bali, maka dapat digunakan model perhitungan sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Menghitung Produksi Hijauan dari Luas Lahan yang Tersedia Menghitung Produksi Rumput ( Rumput Gajah) Menghitung Produksi Hijauan dari Pepohonan Menghitung Produksi Jerami Kebutuhan Ternak akan Hijauan
Kebutuhan ternak akan hijauan untuk 1 tahun adalah sebagai berikut :
Kebutuhan hijauan untuk 1 tahun Ton BK = Total ST x 365 hari x 0,0105 Ton BK HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Implementasi Kebijakan di Pasar Hewan Implementasi kebijakan pengen dalian sapi betina produktif di Pasar Hewan berdasarkan hasil sebar kusioner untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman responden Pasar Hewan memberikan gambaran bahwa responden tahu tentang kebijakan yang berhubungan dengan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Capaian skor dan persentase yang tinggi kemungkinan disebabkan karena beberapa faktor, antara lain: (a) responden yang diwawancarai pada umumnya adalah petani ternak yang sudah bergabung dalam kelompok tani ternak dan biasa menjual ternak sapinya ke Pasar Hewan. (b) Di sekitar lokasi Pasar Hewan Bringkit sudah terpasang Baliho besar berisikan informasi berupa ajakan untuk melestarikan Sapi Bali. (c) Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dari Pasar Hewan Bringkit, pedagang pasar hewan pernah membuat sebuah oragnisasi/ paguyuban hasil bentukan sendiri yang disebut Asosiasi Pedagang Sapi Bali (APSI). Paguyuban ini belum diresmikan Pemerintah, dan tidak memilki Anggatan Dasar /Anggaran Rumah Tangga. Pada awal berdirinya organisasi APSI, pedagang sering mendapat workshop. Namun, sejak tahun 2010 lalu APSI sudah tidak lagi berfungsi karena tidak memiliki pengurus aktif . Hasil analisis Regresi Model Logit yang digunakan untuk mengatahui faktorfaktor yang mempengaruhi penyembelihan sapi betina produktif, memberikan hasil bahwa Pasar Hewan berpengaruh negatif terhadap implementasi kebijakan
pengendalian penyembelihan sapi betina produktif dengan nilai – 3.603 pada α = 0.01. Angka ini mengambarkan bahwa walaupun tingkat pengetahuan responden tinggi, kegiatan penjualan sapi betina produktif tetap terjadi. Responden Pasar Hewan yang terdiri dari petani ternak dan murni pedagang sapi sudah tahu tentang adanya pela rangan penyembelihan sapi betina produktif namun masih melakukan penjualan sapi betina produktif dilokasi tersebut. Kemungkinan transaksi penjualan sapi betina produktif akan tetap terjadi sepanjang ada permintaan dan penawaran. Namun demikian, pengaruh negatif yang diperlihatkan dari lokasi Pasar Hewan, tidak selamanya menunjukkan bahwa penjualan sapi betina produktif yang terjadi diperuntukkan semata-mata untuk disembelih. Pengaruh negatif yang diperli hatkan dari variable ini bisa disebabkan karena beberap hal, yaitu pertama, kegiatan transaksi penjualan sapi betina produktif tidak melihat siapa yang pembelinya. Selama terjadi kesepakatan harga antara pihak penjual dan pembeli, maka setiap saat sapi tersebut bisa saja dijual. Khusus untuk sapi betina produktif, penjual tidak melihat sisi peruntukkannya, apakah diperuntukan untuk sapi bibit atau untuk disembelih. Kedua, tidak semua pembeli sapi di Pasar Hewan mencari sapi semata-mata untuk disembelih. Selain dibeli oleh para pedagang sapi antar pulau untuk dijadikan bibit, ada juga pedagang yang khusus datang ke Pasar Hewan bertujuan mencari sapi betina yang masih produktif untuk dijual ke petani karena permintaan petani itu sendiri. Pengaruh negatif yang diperlihatkan secara signifikan bisa berdampak positf pada kestabilan sapi Bali jika, pembelian sapi tersebut diperuntukkan untuk bibit oleh petani ternak atau pengusaha peternakan lainnya. Sebaliknya jika diperuntukan sebagai bahan baku produksi daging maka tindakan tersebut akan berdampak negatif terhadap kestabilan populasi sapi Bali. Kegiatan penjualan sapi dipasar hewan sulit dikontrol dikarenakan banyak faktor. Salah satu faktor adalah para pelaku tidak tergabung dalam suatu wadah atau paguyuban yang dapat dikumpulkan untuk mendapatkan penyuluhan dan pembinaan sebagaimana kelompok tani ternak. Kekuatan utama dalam mengubah perilaku individu adalah melalui proses partisipasi dalam kelompoknya dibandingkan pengaruh melalui ceramah atau pemaksaan kepada individu untuk berubah. ( Rustiadi .dkk,2011:365). Merujuk pada pandangan ini, maka adalah baik untuk mengumpulkan para pedagang dalam satu wadah dibawah pengawasan Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka sudah saatnya APSI yang pernah ada diaktifkan kembali dengan Dasar Hukum dan AD/ART yang jelas. Implementasi Kebijakan di Rumah Potong Hewan Hasil survey responden Rumah Potong Hewan menunjukan para pelaku usaha penyedia daging yang menggunakan jasa RPH pada prinsipnya setuju dengan adanya Implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku usaha penyedia daging yang menggunakan jasa Rumah Potong Hewan masih dalam pengawasan Pemerintah yang pada dasarnya setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah dengan catatan, selama masih tersedianya sapi potong untuk kebutuhan lokal. Tingkat persetujuan responden ini kemudian dilakukan analisisi. Dengan menggunakan anlisis Model Regresi Logistik, maka didapatkan hasil bahwa RPH memberikan pengaruh positf terhadap implementasi kebijakan pengendalian
penyemb elihan sapi betina produktif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejauh ini, implementasi kebijakan cukup berhasil. Namun, kebijakan tersebut perlu didukung oleh kebijakan lain khususnya dalam hal pengawasan ketat terhadap tindakan penyembelihan sapi betina produktif diluar RPH dan tetap tersedianya stok sapi potong untuk kebutuhan lokal. Dalam melakukan aktifitas penyembelihan, tentu saja ada aturan-aturan hukum yang harus diikuti oleh para pelaku usaha (jagal), yaitu tidak menyembelih sapi betina produktif kecuali karena kecelakaan (patah tulang). Namun, dalam pelaksanaannya tidak semudah yang dikonsepkan. Selama masih ada penawaran, maka selama itu pula masih akan terjadi kegiatan penyembelihan baik di dalam RPH atau di luar RPH ( penyembelihan liar). Pengaruh positif tidak selamanya menunjukkan bahwa kedepannya tidak akan terjadi penyembelihan sapi betina di RPH kecuali, adanya sanksi langsung yang diberikan oleh Pemerintah kepada pihak terkait jika masih ditemukan adanya penyembelihan sapi betina produktif. Sejauh ini, pelarangan penyembelihan sapi betina produktif hanya bermodalkan dasar hukum UU No.18 Tahun 2009 dan belum dikuatkan oleh Peraturan Daerah yang memungkinkan petugas dapat mengambil tindakan tegas dan memberi sanksi kepada pelaku. Keberhasilan untuk menghen tikan kegiatan penyembelihan sapi betina produktif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: (a) Pihak Pemerintah harus benar-benar memfungsikan petugas pemeriksa dalam hal ini Dokter Hewan berwenang di RPH sebelum ternak disembelih (ante mortem) untuk mendapatkan data yang transparan berapa jumlah sapi betina produktif yang masuk ke RPH dan siap untuk disembelih. Dengan demikian tidak ada lagi praduga terhadap jagal, bahwa jagal tidak mengindahkan kebijakan yang diterapkan. (b) Optimalisasi peran Kelompok Tani Ternak Penyelamat Sapi Betina Produktif. (c) Kelompok penyelamat sapi betina produktif melakukan negosiasi pertukaran sapi betina produktif dengan sapi jantan sebelum hari penyembelihan. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat penyem belihan di RPH dilakuan pada malam hari. Jika negosiasi dilakukan 1 jam menjelang penyembelihan, maka akan sulit karena pertimbangan tingkat kesibukan dan konsentrasi dari para jagal dan tukang potong. (d) Pemerintah untuk melakukan pendekatan persuasif, menjadi jembatan penghubung antara jagal dan para peternak baik dengan kelompok penyelamat maupun dengan kelompok pembibitan. Dengan demikian, ketika jagal tidak mendapatkan cukup sapi jantan untuk disembelih, jagal tidak perlu membeli sapi betina produktif tetapi mau bernegosiasi dengan KPSBP untuk mendapatkan stok sapi jantan dari petani. (e) Perlu adanya suatu tindakan nyata bukan hanya dari pihak Pemerintah saja, tetapi dimulai dari diri para pelaku usaha. Setelah tahu bahwa sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Pulau Bali, sudah selayaknya para Pelaku usaha di Bali memiliki beban moril, turut bertanggungjawab terhadap kelestarian Sapi Bali sebagai produk yang memilki keunggulan komparatif (comparative advantage). Implementasi Kebijakan Pada Petani Ternak Berdasarkan hasil analisis skor dan persentase pada tingkat pengetahuan responden petani ternak, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan petani ternak pada implemntasi kebijakan pengendalian penyembelih an sapi betina produktif tinggi. Hasil survey kemudian diuji dengan menggunakan Metode Regresi Logistik maka,
didapatkan hasil bahwa tingkat pengetahuan petani ternak memberikan pengaruh positif terhadap implementasi kebijakan pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini ditingkat petani ternak dapat dikatakan cukup berhasil. Keberhasilan ini dapat disebabkan petani yang bergabung dalam kelompok tani terank, petani mendapatkan cukup informasi melalui pembinaan yang dilakukan dikelompok. Petani tidak menjual sapi betina produktif jika tidak karena terpaksa, karena adanya tekanan ekonomis atau kebutuhan keuangan cepat. Pengaruh positif pada saat survey dilakukan, perlu direspons melalui diversifikasi usaha peternakan berupa tarnak dan pengolahan limbah ternak menjadi gas maupun diversifikasi komoditi peternakan berupa ternak sapi potong dan ternak ruminansia kecil lainya atau ternak ayam yang dapat berfungsi sebagai cadangan ( back up income) ketika petani membutuhkan keuangan. Penguatan permodalan dengan bunga kecil akan mendukung petani dalam pengembangan aneka ragam usaha peternakan bukan saja sapi potong. Perintah-perintah implementasi mungkin sudah diteruskan secara cermat, jelas dan konsiten (Winarno, 2012: 184). Artinya para pelaksana implementasi memiliki sumberdaya manusia yang cukup baik kuantitas maupun kualitas dalam menyampaikan informasi. Tetapi kembali kepada sikap para pelaku usaha dan gejolak ekonomi yang sewaktu-waktu bisa terjadi sebagai faktor pendorongan terjadinya pelanggaran. Teori tentang implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III (cit Widodo, 2006) dapat digunakan sebagai alat ukur, bahwa keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh keempat faktor, yaitu: komunikasi, sumberdaya, kemauan (disposisi) dan struktur birokrasi. Ketika informasi sudah sampai ketingkat publik, maka faktor sumbedaya manusia, sumberdaya anggaran dan sumberdaya peralatan berperan penting dan saling menunjang dalam proses implementasi kebijakan tersebut. Sejauhmana input sumbedaya tersebut berperan aktif dalam mendukung keberhasilan implementasi kebijakan ditingkat pelaksana, memerlukan adanya sebuah kajian khusus. Hasil Analisis Dampak Ekonomis Penyembelihan Sapi Betina Produktif Penyembelihan sapi betina produktif secara ekonomis berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi diwilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai yang terjadi ( Robinson Tarigan, 2009:46) . Data Tabel 4.11 adalah data hasil sidak 1 kali oleh Dinas Peternakan Provinsi Bali. Untuk mendapatkan data 1 tahun , jumlah penyembelihan 46 ekor dikalikan 365 hari, maka didapat perkiraan jumlah penyembelihan sapi betina produktif sebanyak 16.790 ekor. Dengan angka ini dapat dihitung kerugian ekonomis akibat penyembelihan sapi betina produktif adalah sebagai berikut: 16.790 ekor betina produktif, dengan perkiraan umur penyembelihan 3,5 – 8 tahun, tingkat kesuburan 83% maka betina yang seharusnya bisa melahirkan anak sebanyak 83% dikalikan 4 kali beranak dikalikan dengan betina produktif yang disembelih. Dari jumlah ini bila dikalikan harga godel betina, maka ditemukan kerugian sebesar Rp. 161.184.000.000,- (Seratus enam puluh satu miliar seratus delapan puluh empat juta rupiah). Dengan hasil perhitungan diatas dapat dikatakan bahwa kerugian yang ada
menjadi salah satu penyebab kebocoran daerah yang timbul sebagai dampak dari penyemblihan sapi betina produktif. Apapun alasan sapi betina produktif disembelih, akan memberikan dampak kerugian yang sangat besar. Tabel 4.11 Penyembelihan Sapi Betina Produktif di RPH Berdasarkan Hasil Sidak Tahun 2010 Kabupaten/Kota Betina (ekor) Betina Produktif (ekor) Denpasar 21 9 Badung 26 17 Gianyar 3 2 Klungkung 0 0 Bangli 0 0 Karangasam 9 8 Buleleng 17 8 Jembrana 11 2 Tabanan 0 0 Jumlah 87 46 Sumber: Disnak Provinsi Bali,2010 Hasil Analisis Kapasitas Tampung Analisisi perkiraan kapasitas tampung untuk sapi Bali di Bali dilakukan dengan pendekatan perhitungan produksi hijauan dari luas lahan, produksi rumput yang dibudidayakan (Rumput Gajah), produksi hijauan dari pepohonan dan produksi jerami (jerami padi, jagung, kedele, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kacang hijau). Kebutuhan ternak akan hijauan dihitung berdasarkan perhitungan satuan ternak (ST). Satuan Ternak (Animal Unit) merupakan satuan ternak yang didasarkan atas konsumsi pakan. Tabel 4.13. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Provinsi Bali Provinsi
Provinsi Bali
Total Produksi Hijauan (Ton BK/Th) 3.476.721,66
Kebutuhan Hijauan (Ton Bk/Th) 1.736.277,72
Masih Tersedia (Ton Bk/Th)
Masih Menampung (ST)
1.740.443,94
454.127,58
Sumber: Data Sekunder diolah, 2012 Keterangan : BK=Bahan Kering, ST = Satuan Ternak Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa hasil analisis kapasitas tampung (carrying capacity), secara keseluruhan Provinsi Bali masih dapat menampung 454.127,58 ST sapi yang tersebar di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota. Jumlah ini meningkat dari perhitungan yang pernah dilakukan oleh Atmadja yaitu sebesar 64.282,18 ST. Hasil perhitungan produksi hijauan, kebutuhan hijauan dan ketersediaan hijauan per Kabupaten (tidak termasuk Kota Denpasar) sebagaimana tercantum pada Tabel 4.14.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
Tabel 4.14. Hasil Analisis Kapasitas Tampung Ternak Sapi Per Kabupaten di Provinsi Bali Kabupaten/Kota Total Kebutuhan Masih Masih Produksi Hijauan Tersedia Menampung Hijauan (Ton Bk/Th) (Ton Bk/Th) (ST) (Ton BK/Th) Jembrana 250.525,53 103.463,13 147.062,40 38.372,45 Tabanan 732.232,11 169.953,17 245.381,94 64.026,60 Badung 234.943,88 165.517.05 69.426,83 18.118,28 Gianyar 367.968,20 150.139,15 217.829,06 56.837,33 Klungkung 121.427,14 114.472,94 6.954,20 1.814,53 Bangli 484.100,39 255.887,40 228.212,99 59.546,77 Karangasam 568.883,84 383.887.15 184.996,69 48.270,50 Buleleng 989.204,19 369.645,58 619.558,61 161.659,13 Sumber: Data Sekunder diolah, 2012 Berdasarkan data hasil perhitungan produksi hijauan, kebutuhan hijauan dan ketersedian hijauan per kabupaten, terlihat bahwa secara keseluruhan 8 (delapan) Kabupaten yang dianalisis masih bisa menampung. Jika dilihat berdasarkan urutan jumlah terbanyak satuan ternak yang masih dapat ditampung maka wilayah yang masih sangat ideal untuk dilakukan pengembangan sapi Bali dari kemampuan daya dukung hijauan adalah Kabupaten Buleleng sebanyak 161.659,13 ST; kemudian diikuti oleh Kabupaten Tabanan 64.026,60 ST; Bangli 59.546,77 ST; Gianyar 56.837,33 ST; Karangasam 48.270,50 ST; Jembrana 38.372,45 ST; Badung 18.118,28 ST dan terakhir adalah Klungkung sebesar 1.814,53 ST. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian implementasi kebijakan dari ketiga lokasi penjaringan dan penyelamatan sapi betina produktif dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Tingkat pengetahuan responden dari pasar hewan berdasarkan hasil perhitungan nilai skor, adalah cukup tinggi. Namun berdasarkan hasil analisis Regresi Model Logit menunjukkan bahwa lokasi Pasar Hewan berpengaruh negatif secara signifikan terhadap implementasi kebijakan. Hasil analisa logit yang menunjukkan adanya pengaruh negatif sebesar – 3.603 dengan nilai α=0,01. yang menunjukkan bahwa, walaupun pengetahuan responden cukup tahu namun kemungkinan penjualan sapi betina produktif masih tetap terjadi. 2. Tingkat partisipatif pengguna jasa (jagal) RPH berdasarkan hasil perhitungan nilai skor adalah cukup tinggi. Walaupun kenyataanya kegiatan penyembelihan sapi betina produktif di RPH masih terus terjadi, namun hasil analisa Regresi Model Logit menunjukkan bahwa pada prinsipnya para jagal setuju mendukung kebijakan pemerintah dalam pengendalian penyembelihan sapi betina produktif. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisa regresi model logit yang menujukkan pengaruh postif sebesar 15,767 dengan nilai α=0,01. 1
3. Tingkat pengetahuan petani ternak terhadap implementasi kebijakan pengendalian sapi betina produktif berada pada level tinggi. Hasil analisa Regresi Model Logit menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani ternak yang tinggi memberikan pengaruh postif sebesar 29,911 dengan nilai α=0,01. Dengan pengetahuan yang tinggi diharapkan kegiatan penjualan sapi betina produktif karena alasan ekonomi dapat ditekan, atau menunda penjualan dan memberikan kesempatan sapi tersebut berproduksi menghasilkan anak. Berdasarkan hasil analisis dampak dari penyembelihan sapi betina produktif, maka secara ekonomis akan sangat merugikan petani ternak. Dari sisi perencanaan wilayah, penyembelihan sapi betina produktif memberikan kontribusi pada kebocoran wilayah dan sangat merugikan secara ekonomis serta berakibat buruk terhadap pertumbuhan populasi sapi Bali jika tidak ditangani secara serius benar. 4. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model pendekatan untuk menghitung kapasitas tampung dan ketersediaan hijauan, maka dapat diperkirakan bahwa: 1. Provinsi Bali secara keseluruhan kapasitas tampung masih tersediah sebesar 454.127,58 ST Sapi yang tersebar 9 (sembilan) Kabupaten /Kota. 2. Hasil analisis kapasitas tampung untuk 8 (delapan) Kabupaten memberikan kesimpulan bahwa 8 (delapan) Kabupaten tersebut masih bisa menampung ternak sapi sesuai kebutuhan hijauan dan ketersediaan hijauan yang ada pada masing-masing Kabupaten. DAFTAR PUSTAKA Agustinus , Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung :Alberta Astawa, Ari I Putu. 2008. Kecernaan Nutrien dan Produk Fermentasi Rumen Pada Sapi Penggemukan yang diberi Ransum Konsentrat Berbasis Jerami Padi dengan Suplementasi Vitamin-Mneral Mix Unud: Denpasar Atmadja, I.KG, 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali. Dinas Peternakan Provinsi Bali. Disampaikan pada seminar Prospek Pengembangan Agribisnis Sapi Bali di Bali, UNUD: Denpasar. 15 Agustus 2006 Akademika, 2010. Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian Bali. Pers Mahasiswa Universitas Udayana. http:/www.persakabademika.com/ 4 Desember,2010 Bandini, Yusni. 199. Sapi Bali. Jakarta: Penebar Swadaya Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Agro Inovasi.Edisi 30 Maret-5 April . Nomor.3399 Tahun XLI. http:/www.litbang.deptan.go.id/ download/one/927 Badan Pusat Statistik. 2011. Bali dalam Angka. Provinsi Bali Chulsum, Umi. 2006. Novia Windy, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya: Khasiko Dinas Peternakan Provinsi Bali. 2009. Keunggulan Sapi Bali Asal Bali: Denpasar 2006. Potensi dan Dinamika Populasi Sapi Bali di Bali. Disampaikan pada Seminar Prospek Pengembangan Agribisnis Sapi Bali di Bali, 15 Agustus 2006. Denpasar. .Memotong Sapi Betina Produktif Berarti Anda Akan Kehilangan Godel Bali : Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet
.2010. Informasi Data Peternakan Provinsi Bali 2010: Denpasar .2010. Laporan Inventarisir Kelas Kemampuan Kelompok Tani Ternak: Denpasar . 2011. Petunjuk Pelaksanaan Insentif dan Penyelamatan Sapi Betina Produktif. Denpasar. Bali Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar. 2010. Laporan Tahunan: Denpasar Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2010. Statistik Pertanian Tanaman Pangan: Bali Direktorat Pangan dan Pertanian.2010 Naskah Kebijakan (Policy Paper)-Strategi dan Kebijakan dalam percepatan Pencapian Swasembada Daging Sapi 2014. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas: Jakarta Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta. . Pembahasan Ekspor Ternak Sapi Bali oleh Komisi Bibit Ternak Nasional. (online) http// www.ditjenak.go.id/publikasi/eksporsapibali.pdf, diakses 29 Januari 2008:Jakarta .2010. Pedoman Pelaksanaa Penyelamatan Sapi Betina Produktif Tahun. Jakarta: Kementerian Pertanian RI. . Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Kementerian Pertanian. .2011. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung Program Swasembada Daging 2014. Disampaikan dalam Workshop Sapi Bali. UNUD: Denpasar. 25-26 November 2011 .2012 Pedoman Penanggulangan Gangguan Reproduksi .Jakarta: Kementerian Pertanian. .2010. Peta Potensi Wilayah Sumber Bibit Sapi Potong Rencana Pengembangannya. http://www.ditjennak.go.id/publikasi/potensibibit.pdf, diakses 10 Agustus 2011) Gunawan, Ir.M.Sc. Pamungkas Dicky, Affandy Lukam S, 2004 . Sapi Bali Potensi , Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Yogyakarta: Kanisius. Guntoro, Suprio.2002. Membudi-dayakanm Sapi Bali. Yokyakarta: Kanisius Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2009. Pedoman Pengolahan Limbah Kegiatan Rumah Potong Hewan. Jakarta: Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pertanian,2010. Tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Republik Indonesia Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim. Dyah R. Panuju. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah: Crestpern Press dan Yayasan Pustaka Obor :Jakarta Sio, Stefanus. 2007. Penampilan Sapi Bali yang diberi Ransum Berbasis Rumput Gajah (Pennisetum purpereum) dengan Suplementasi Multivitamin dan Mineral. Bali: Universitas Udayana Tarigan, Robinson. 2009. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi.Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN DAN PENINGKATAN EKSISTENSI SUBAK JUWUK MANIS DI KELURAHAN UBUD GIANYAR I Gusti Made Suteja1, Wayan Maba2, I Ketut Widnyana2 1
Master Programme on Regional Planning and Environmental Management Mahasaraswati University of Denpasar. 2 Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected]
ABSTRACT This research aim to study model of community participation in the preservation and improvement of the existence of subak juwuk manis at ubud house of village, Ubud district, Gianyar. The focus of this research are what the participation which have done by society in preserve subak, what the activity which have done by krama/member of subak in order to management and arrangement of rice field irrigating at Subak Juwuk Manis Ubud house of village, and the resistances in preserve Subak Juwuk Manis.This research use descriptive method with inductive approach. Population of this research are apparatus of Ubud Village, manager of Desa Pakraman (custom village), manager of subak, society of Ubud house of village and member of Subak Juwuk Manis. Total sample are 33 people. Determination Sample have done with technique of Purposive Sampling. Data collecting used to technique of observation ( direct perception), interview and the documentation. Technique of data analysis used analysis qualitative, with step of data reduce, data tabulation, data interpretation and take conclusion. Pursuant to result from data analysis indicate that participation society in preserve subak felt still less, since practically society to participate only have the character of at any times. In general participate society have done at the time of religious ceremony in subak temple which in the form of dana punia (contribution in the form of money) and also the offering what the in form of goods which support of ceremony execution. The resistances in preserve Subak Juwuk Manis such as active participation of society in supporting activity have done by subak still less , existence of switchover of farm function from agriculture farm become the non agriculture so that the agriculture farm become progressively narrow, quality of human resource still lower especially in hand the agriculture technology. Keyworld : subak, community, participation, offering
PENDAHULUAN Bali merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat yang sampai saat ini masih melekat dalam kehidupan masyarakatnya. Budaya dan adat istiadat Bali sudah dikenal dikalangan dunia. Hal ini menyebabkan Bali sebagai tempat tujuan wisata bagi para wisatawan dari
mancanegara maupun domestik. Banyak hal-hal unik yang terdapat di Bali, yang menyebabkan para wisatawan ingin mengetahui lebih dekat dan detail tentang Bali. Wisata alam yang ada merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Disamping itu ada wisata buatan, seperti misalnya wisata agraris di daerah Jatiluwih yang menyajikan hamparan sawah yang tersusun dengan pola terasering yang merupakan pemandangan yang menjadi daya tarik wisatawan. Pertanian di Bali cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlebih semenjak terjadinya peristiwa bom di Bali yang mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap sektor pariwisata. Kunjungan wisatawan yang menurun berdampak terhadap kehidupan masyarakat Bali yang bergantung dari sektor pariwisata harus rela kehilangan mata pencahariannya. Meskipun kini kunjungan wisatawan sudah meningkat, tetapi masih belum maksimal, masih jauh dibandingkan sebelum peristiwa bom terjadi di Bali. Masyarakat tentunya tidak bisa hanya bergantung pada sektor pariwisata saja. Pertanian yang merupakan sektor lain yang masih bisa diharapkan tentunya mendapatkan perhatian dari masyarakat. Pertanian di Bali dari dahulu sudah terkenal sampai ke mancanegara. Hal ini disebabkan adanya keteraturan sistem pertaniannya terutama dalam masalah sistem pengairan atau irigasi. Subak yang merupakan sistem irigasi di Bali merupakan warisan budaya turun temurun. Subak yang merupakan suatu wadah organisasi yang bersifat tradisional berada dalam wilayah Desa Pakraman. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Khayangan Tiga merupakan tempat pemujaan masyarakat Desa Pakraman atau yang lazim disebut di Bali dengan Penyungsung Pura. Masyarakat Desa Pakraman yang disebut dengan krama adat inilah yang bertanggung jawab terhadap pura yang merupakan bagian dari Khayangan Tiga tersebut. Anggota subak atau krama subak juga merupakan bagian dari krama adat. Krama subak dipimpin oleh seorang pekaseh. Pekaseh yang menjalankan aturan-aturan dalam pembagian air atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan subak sehingga adanya ketertiban dan keadilan dalam masalah pembagian air yang merupakan masalah riskan dalam menimbulkan konflik. Terlebih saat musim-musim kemarau dimana debit air mulai menurun. Kehidupan masyarakat di Bali yang menerapkan prinsip Tri Hita Karana yang bermakna tiga penyebab kebahagiaan manusia yang bagian-bagiannya antara lain Parhyangan, Pawongan dan Palemahan, juga merupakan prinsip yang digunakan dalam setiap kegiatan subak. Secara implisit, Tri Hita Karana mengandung makna agar kita mengelola sumber daya alam termasuk sumber daya air secara arif untuk menjaga kelestariaanya, senantiasa bersyukur kehadapan Ida Shang Hyang Widi, dan selalu mengedepankan keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Hubungan yang harmonis antara krama subak dengan Ida Shang Hyang Widhi yang disebut dengan Parhyangan, antara krama subak dengan sesama krama subak itu sendiri atau Pawongan dan antara krama subak dengan lingkungannya atau Palemahan. Dalam bidang Parhyangan, subak memiliki pura subak yang disebut dengan pura Ulun Suwi atau pura Dugul. Pura ini sebagai tempat untuk memohon keselamatan dalam bekerja
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
serta hasil panen yang baik. Pura subak merupakan tempat pemujaan bagi seluruh krama subak. Masing-masing krama subak juga memiliki tempat upacara atau pura pada setiap sawah yang dimilikinya. Pura ini disebut dengan Catu. Di bidang Pawongan, krama subak biasanya mengadakan rapat-rapat tentang masalah giliran pembagian air, upacara-upacara di pura subak, maupun masalah lainnya yang berkaitan dengan subak. Penggiliran air dilakukan guna adanya keadilan dalam krama subak. Gotong royong atau saling membantu merupakan wujud dari hubungan yang baik antar krama subak. Misalnya saat menanam benih padi ataupun saat memanen padi. Pada bidang Palemahan, krama subak menjaga dan melestarian lingkungan subak. Hal ini terwujud misalnya dalam pembersihan saluran-saluran air, disamping untuk menjaga lancarnya air untuk irigasi, juga berdampak terhadap pencegahan meluapnya saluran air yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Keberadaan subak yang masih eksis sampai sekarang ini merupakan wujud bahwa subak adalah sebuah lembaga tradisional yang tangguh dan lestari. Walaupun harus diakui bahwa eksistensinya kini sudah mulai terancam. Ancaman terhadap kelestarian subak bersumber dari adanya perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang mengiringi derasnya pengaruh globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali. Banyak lahan produktif yang beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan seperti untuk perumahan yang menggunakan tanah yang cukup luas, sehingga mengurangi wilayah subak yang ada. Pembangunan tempat rekreasi seperti yang sekarang sedang tahap pembangunan untuk Taman Safari II di Gianyar yang menggunakan lahan sawah hektaran. Hal ini tentunya mengancam keberadan subak yang ada disekitarnya. Tingkat kesejahteraan para petani yang rendah yang dipengaruhi oleh biaya produksi yang tinggi dan harga gabah yang murah menyebabkan petani enggan untuk mengolah sawahnya. Banyak yang dialih fungsikan untuk tempat usaha yang memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengaruh dari mahalnya harga tanah juga mendorong para petani untuk menjual tanahnya, dengan asumsi nilai jual tersebut dapat dipergunakan untuk membeli tanah baru yang lebih murah dan luas, meskipun dari segi letaknya kurang strategis. Tentunya hal ini menyebabkan kelangsungan subak terancam, karena biasanya tanah-tanah yang dijual itu digunakan sebagai tempat usaha atau dialihkan fungsinya. Dewasa ini, generasi muda cenderung enggan untuk bekerja sebagi petani. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk mengembangkan sektor pertanian karena dirasakan kurang menjanjikan dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya regenerasi atau penerus krama subak yang lama. Akibat kemajuan teknologi, penggunaan tenaga manusia dan hewan dalam hal penggarapan sawah kini tergantikan. Misalnya adanya traktor sebagai pengganti tenaga sapi dalam membajak sawah. Selain itu penggunaan tenaga mesin lainnya seperti mesin perontok padi dan penanam benih padi memang disatu sisi mempermudah pekerjaan para petani. Namun jika dilihat dari sudut pandang lainnya, hal ini dapat mengurangi rasa kebersamaan diantara para krama subak, karena dapat mengikis budaya gotong royong antar krama subak. Melihat kenyatan bahwa subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi di mancanegara, kelestariannya harus tetap dijaga dan diperkuat.
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul: ”Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Dan Peningkatan Eksistensi Subak Juwuk Manis Di Kelurahan Ubud Gianyar”. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pedekatan induktif yaitu mencari jawaban dari suatu masalah yang hendak diteliti dengan jalan menggambarkan obyek penelitian sejelas-jelasnya ssesuai dengan fakta-fakta yang ada tersebut ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum yang merupakan jawaban dari permasalahan. Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah Pengurus Subak dan Anggota Subak Juwuk Manis Kelurahan Ubud Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali sebagai responden sedangkan informan dalam penelitian ini adalah Aparat Kelurahan Ubud, Pengurus Desa Pakraman dan Masyarakat Kelurahan Ubud. Penelitian ini mengambil tempat di Kelurahan Ubud, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali Dalam hal ini yang diteliti hanya Subak Juwuk Manis. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Model Partisipasi Masyarakat Untuk Pelestarian Subak Juwuk Manis Partisipasi Masyarakat Berupa Pikiran (Psychological Partici pation) Partisipasi masyarakat berupa pemikiran masih kurang, hal ini disebabkan karena subak organisasi yang berdiri sendiri atau bersifat otonom. Masyarakat diluar anggota subak tidak memiliki hak untuk campur tangan mengenai permasalahan subak, kecuali diperlukan oleh subak itu sendiri. Untuk meningkatkan partisipasi krama subak berupa pikiran Pada tahun 2010 telah dilaksanakan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), dari kegiatan ini diharapkan krama subak dapat memberikan partisipasi aktif dalam pemecahan masalah yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama Pekaseh Subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur pada hari Kamis, 19 Agustus 2010 bertempat di rumahnya banjar Ubud Kaja, Ubud yang menyebutkan bahwa “pada subak juwuk manis telah dilaksanakan Sekolah Lapangan Penyuluhan Tanaman Terpadu (SL-PTT) untuk meningkatkan pengetahuan krama subak dalam pengelolaan tanaman pertanian”. Partisipasi masyarakat berupa pikiran ini sangat berguna sebagai bahan masukan bagi organisasi subak baik untuk pemecahan masalah maupun untuk perkembangan subak serta kelestarian subak dimasa yang akan datang. Partisipasi Masyarakat Berupa Tenaga (Physical Participation) Dengan adanya bantuan tenaga dari masyarakat, dapat meringankan beban dari anggota subak itu sendiri. Partisipasi ini merupakan cerminan kepedulian masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menjaga kelestarian subak, karena dapat memberikan motivasi atau semangat bagi anggota subak untuk tetap eksis berdiri ditengah arus modernisasi ini. Motivasi itu muncul karena subak di
back up oleh masyarakat dalam kegiatannya apabila diperlukan. Namun disisi lain, partisipasi masyarakat masih dirasakan kurang dan perlu ditingkatkan lagi. Partisipasi Masyarakat Berupa Barang (Material Participation) Adapun partisipasi masyarakat yang berwujud barang pada umumnya untuk kepentingan upacara dan sarana irigasi. Untuk perlengkapan bercocok tanam biasanya diusahan oleh anggota subak itu sendiri. Hal ini menunjukan partisipasi masyarakat berupa barang masih kurang. Meskipun demikian, partisipasi masyarakat berupa barang ini dapat menunjang kegiatan subak, tentunya secara tidak langsung dapat ikut menjaga kelestarian subak. Karena pada dasarnya subak dikatakan masih tetap lestari apabila kegiatan subak masih dapat berjalan dengan baik. Partisipasi Masyarakat Berupa Uang (Money Participation) Partisipasi masyarakat berupa uang dirasakan masih kurang. Adanya krisis moneter yang berimbas terhadap penghasilan maupun tingginya biaya untuk kebutuhan hidup, menyebabkan tidak semua orang dapat berpartisipasi dalam bentuk uang. Hanya orang-orang yang mempunyai penghasilan yang memadai dapat berpartisipasi. Dengan adanya sumbangan berupa uang dari masyarakat untuk menunjang kegiatan subak sangat berguna untuk kelancaran kegiatan persubakan, sumbangan uang tersebut tentunya merupakan wujud dari partisipasi masyarakat yang harus ditingkatkan demi kelestarian subak. Model Partisipasi Masyarakat untuk Peningkatan Eksistensi Subak Juwuk Manis Subak Juwuk Manis melaksanakan kegiatan organisasinya dalam rangka pencapaian tujuan subak tersebut. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subak tidak terlepas dari awig-awig subak yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap pelaksanaan kegiatan subak. Dalam pelaksanaannya, anggota subak terikat oleh awig-awig subak dan bila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi yang tegas. Kepatuhan anggota subak terhadap awig-awig sangat membantu dalam pengaturan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan di sawah. Pengurus subak sesuai dengan tugas pokok fungsinya, sangat berperan penting dalam pengawasan kegiatan persubakan, sementara anggota subak merupakan kontrol sosial dari pengurus. Dengan demikian ada suatu aksi dan reaksi antara pengurus dengan anggota subak. Adanya suatu sikap saling kontrol ini menimbulkan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Dengan demikian awig-awig dapat berjalan dengan baik seperti yang diharapkan. Kegiatan Subak Juwuk Manis dapat dilihat dari beberapa aktivitas seperti: Administrasi, Keuangan, Sistem Irigasi dan Sistem Pertanian. a. Administrasi Subak Administrasi merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi, tertib atau tidaknya administrasi suatu organisasi merupakan salah satu gambaran kinerja baik atau buruknya dari organisasi tersebut. Dalam organisasi subak, administrasinya meliputi: sekretariat, urusan administrasi, kekayaan subak, paruman/sangkep subak (rapat subak), dan manajemen subak.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
1). Sekretariat Dalam kegiatan kesekretariatan, pengurus subak memerlukan tempat sebagai kantornya. Dalam hal ini, subak memiliki bale subak yang memiliki fungsi sebagai kantor subak serta tempat untuk mengadakan berbagai sangkepan atau pertemuanpertemuan, penyuluhan dan pembinaan lainnya. Disamping itu, ada bale timbang yaitu sebuah bangunan kecil yang hanya menggunakan dua tiang penyangga. Bale Timbang secara filosofisnya merupakan tempat bagi pengurus subak dalam mengadakan pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan persubakan. 2). Urusan Administrasi Administrasi merupakan hal yang penting dalam suatu organisasi, karena dengan melaksanakan administrasi kegiatan organisasi dapat diatur serta dapat diketahui perkembangannya baik itu bila adanya suatu kekurangan maupun kelemahankelemahan sehingga dapat dipelajari dan ditemukan solusi guna perbaikan yang akan datang untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Administrasi sangat erat kaitannya dengan tulis-menulis yang merupakan bagian dari kegiatan tata usaha. Administrasi pada subak merupakan sumber informasi tentang data-data kegiatan persubakan yang telah tersaji secara sistematis. Dalam penataan administrasi, Subak Juwuk Manis mendapat pembinaan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Kebudayaan mulai dari penulisan buku-buku sampai peraturan-peraturan dalam subak yang dalam hal ini adalah awigawig subak. Hal ini dilakukan karena sudah merupakan program dari Pemerintah Daerah Provinsi Bali untuk penyeragaman administrasi dalam organisasi subak di Bali. 3). Kekayaan Subak Subak sebagai suatu organisasi yang merupakan kumpulan dari krama subak memiliki kekayaan yang dijadikan sebagai sarana pendukung kegiatan persubakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pekaseh Subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis memiliki kekayaan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Pura-pura subak, diantaranya: Pura Masceti Gunung Lebah, Pura Ulun Suwi, Pura Dugul dan Pura Ulun Empelan. b) Bangunan-bangunan subak, diantaranya: Bale Subak, Bale Jineng, Bale Timbang dan lainnya. c) Tanah Druwe Subak (tanah miliki subak), Pecatu, Pelabe Pura dan lainnya. d) Uang Kas Subak. Semua kekayaan subak tersebut harus dikelola dengan baik dan pertanggung jawabannya harus transparan kepada anggota subak melalui rapat anggota subak. Pengelolaan kekayaan subak diserahkan kepada pengurus subak berdasarkan hasil musyawarah. 4). Paruman/Sangkep Subak (Rapat Subak) Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, musyawarah mufakat merupakan suatu ciri khas yang selalu ada dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Dalam kegiatan organisasi subak, paruman atau rapat yang dipimpin oleh Pekaseh dilaksanakan guna memecahkan suatu permasalahan yang timbul maupun guna mengambil suatu keputusan bagi kepentingan subak. Kegiatan rapat dilakukan secara periodik maupun secara insidentil. Menurut keterangan dari I
Wayan Lungsur selaku Pekaseh Subak Juwuk Manis pada hari Selasa 20 Juli 2010 bertempat dirumahnya Banjar Ubud Kaja, Kelurahan Ubud dikatakan bahwa rapat subak dibedakan menjadi: a) Paruman Subak (Rapat Anggota Subak), merupakan rapat yang dilaksanakan oleh subak yang dihadiri oleh seluruh krama subak. Rapat ini biasanya bertujuan untuk mengambil suatu keputusan yang dapat mengikat krama subak untuk melaksanakannya hasil dari rapat ini. Secara umum, dalam paruman krama subak, biasanya membahas tentang jadwal penggiliran air, denda-denda terhadap pelanggaran, rencana kegiatan upacara keagamaan, keadaan kas subak, pola tanam, dan lain-lainnya. b) Paruman Prajuru Subak (Rapat Pengurus), merupakan rapat yang dilakukan oleh para pengurus subak disamping itu juga dihadiri oleh para sesepuh subak. Rapat ini biasanya membahas masalah penting yang sedang dihadapi oleh subak, ataupun membahas rencana kedepan untuk meningkatkan keberadaan subak. Keputusan dari rapat pengurus subak ini tidak dapat langsung diberlakukan pada subak, tetapi harus melalui musyawarah untuk memperoleh persetujuan dari krama subak melalui sangkep subak. c) Paruman Teruna-Teruni Tani (Rapat Pemuda-Pemudi Tani), merupakan rapat yang dilaksanakan oleh para anak-anak anggota subak. Biasa membahas tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan kedepan terkait dengan kreativitas pemudapemudi subak. d) Paruman Sekehe-Sekehe (Rapat Kelompok-Kelompok), merupakan rapat yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok yang ada dalam persubakan seperti halnya Sekehe Manyi (kelompok pemanen), Sekehe Numbeg (kelompok pencangkul), Sekehe Memula (kelompok penanam bibit padi), Sekehe Mejukut (kelompok menyiangi padi), Sekehe Ngulah Kedis (kelompok mengusir burung), dan lain-lain. Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa rapat subak memegang peranan yang penting dalam pemecahan masalah yang ada. Dalam paruman atau rapat subak tentunya ada masukan-masukan dari anggota subak, tentunya masukan-masukan yang bersifat positif tersebut merupakan hal yang berharga guna membangun perkembangan subak kedepannya. Rapat subak juga diatur dalam awig-awig Subak Juwuk Manis palet II pawos 11 sampai pawos 13 (Bab II pasal 11 sampai pasal 13) Berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa subak mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersamanya. Rapat anggota memiliki kekuatan yang besar dalam setiap pengambilan keputusan. Hasil dari rapat atau keputusan yang muncul dari rapat dijadikan pegangan atau pedoman bagi seluruh anggota subak tanpa terkecuali, apabila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi. 5). Manajemen Subak Sistem manajemen yang dilaksanakan oleh subak sangatlah sederhana dengan penerapan manajemen tradisional yang merupakan manajemen berdasarkan pengalaman saja. Meskipun demikian, subak masih tetap lestari sampai saat ini dan menjadi suatu organisasi yang membanggakan. Keberhasilan manajemen Subak Juwuk Manis yang dilakukan sesuai dengan hasil penelitian memenuhi persyaratan manajemen dengan kenyataan dibawah ini:
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
a) Asas dan konsep “Tri Hita Karana” yang menjiwai dalam pelaksanaan manajemen subak, yaitu adanya suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alamnya yang senantiasa tetap terjaga. b) Keterikatan anggota pada kelompoknya sangat tinggi dengan adanya keseimbangan unsur manusia, alam lingkungan dan Tuhannya demi mencapai kesejahteraan materi dan spiritual, yang menyebabkan seluruh anggota merasa bertanggung jawab secara material dan spiritual. c) Perencanaan dengan pola dari atas ke bawah, yang tetap memperhatikan unsur musyawarah untuk pencapaian kata sepakat. Setiap tindakan yang dilakukan pengurus harus mendapat persetujuan rapat anggota sehingga terdapat asas musyawarah mufakat. d) Kekuasaan tertingi berada pada rapat anggota. Tanggung jawab dan disiplin tinggi dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat. Sehingga tumbuh rasa memiliki dan tanggung jawab penuh terhadap subak. e) Kepemimpinan bersifat horisontal karena yang diperintah juga memerintah. f) Pengawasan bersifat vertikal dan horisontal dengan sanksi yang ditetapkan secara musyawarah mufakat. b. Keuangan Subak Masalah keuangan merupakan masalah yang sangat penting dalam suatu organisasi. Uang merupakan suatu hal yang penting dalam menunjang kegiatan suatu organisasi. Perencanaan kegiatan dalam suatu organisasi dilakukan dengan sebaikbaiknya,dalam pelaksanaan kegiatannya agar dapat berhasil tentunya memerlukan dana atau uang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa uang sangat penting dalam merealisasikan sebuah kegiatan. Subak yang merupakan suatu organisasi yang berdiri sendiri, memiliki kewenangan dalam mengatur atau mengelola keuangannya sendiri. Keuangan subak berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Krama Pangowot Krama Pangowot pada Subak Juwuk Manis merupakan krama atau anggota subak yang memiliki sawah, serta melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya sebagai anggota subak. Krama pangowot ini dikenakan suatu iuran wajib yang dijadikan sebagai kas subak yang besarnya ditentukan melalui pasangkepan atau rapat anggota subak. 2) Krama Penaung Krama Penaung adalah krama atau anggota subak yang tidak dapat melaksanakan tugas, hak serta kewajibannya sebagai anggota subak. Krama Penaung ini memiliki lahan pertanian yang masih produktif namun tidak dapat menggarapnya yang disebabkan oleh suatu alasan tertentu misalnya sudah memiliki pekerjaan yang lain, sehingga apabila ada kegiatan subak yang bersifat insidental krama ini tidak dapat mengikuti kegiatan tersebut. Untuk menimbulkan rasa keadilan, krama ini dikenakan sumbangan dana diluar dari dana/iuran wajib yang telah ditentukan. Dana ini sebagai pengganti dari tenaga wajib yang harus diberikannya saat pelaksanaan kegiatan subak yang dimaksud. Dengan demikian tidak terjadi suatu kecemburuan sosial antar sesama anggota subak.
3) Pawidanda/Dedosan (Denda) Pawidanda atau dedosan ini merupakan suatu bentuk dari penerapan/pelaksanaan awig-awig yaitu denda bagi anggota subak yang telah melanggar peraturan yang berlaku. Adapun besar dari pawidanda ini telah diatur oleh subak melalui paruman subak yang telah berbentuk pararem atau keputusan bersama dan disesuaikan dengan berat atau ringannya kesalahan yang telah dibuat. Berdasarkan Awig-Awig Subak Juwuk Manis pawos 27 dan pawos 28 pada Bab II dapat diketahui bahwa adanya denda yang berupa harta atau uang yang dikenakan bagi yang melanggar awig-awig. Denda yang berupa uang tersebut dapat dilipatgandakan sesuai dengan kesalahannya. Denda berupa harta atau uang yang telah dikenakan bagi pelanggar tersebut dijadikan sumber keuangan bagi subak. 4) Urunan Krama Subak (Iuran Anggota Subak) Urunan Krama Subak merupakan suatu sumber dana/keuangan subak yang bersumber dari sumbangan suka rela dari anggota subak dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan subak baik itu kegiatan yang merupakan kegiatan rutin ataupun sewaktu-waktu. Adapun besar dari urunan ini tidak ditentukan karena sesuai dengan kemampuan anggota subak dan kerelaannya. Urunan merupakan suatu bentuk dari partisipasi anggota subak dalam menyukseskan pelaksanaan kegiatan subak. 5). Wantuan Guru Wisesa (Bantuan Pemerintah) Subak sebagai warisan peninggalan kebudayaan leluhur yang merupakan aset yang sangat berharga dan perlu dilestarikan oleh segenap lapisan masyarakat begitu pula oleh pemerintah provinsi Bali maupun pemerintah Kabupaten Gianyar yang senantiasa memberikan bantuan berupa dana atau uang kepada subak setiap satu tahun sekali. Dalam hal pengelolaannya, diserahkan kepada subak yang bersangkutan. Pemerintah Kabupaten memberikan bantuan kepada subak secara rutin setiap tahun. Pada tahun 2008, pemerintah kabupaten mengucurkan dana bantuan kepada masingmasing daerah irigasi sebesar dua ratus juta rupiah sedangkan pada tahun 2009 pemerintah memberikan bantuan berupa jembatan senilai delapan ratus lima puluh juta rupiah dan bangunan berupa wantilan dan gubug. Hal tersebut menunjukan perhatian dari pemerintah guna menunjang kegiatan subak dan demi tetap lestarinya keberadaan subak di Bali, khususnya di Kabupaten Gianyar. c. Sistem Irigasi Subak sebagai suatu organisasi yang bergerak dalam bidang pengairan sawah memiliki suatu sistem irigasi yang teratur, yang menyebabkan tetap terjaminnya aliran air meskipun pada musim kemarau. Secara umum, pengaturan dalam pembagian air dilakukan secara bergilir dengan menggunakan batas waktu membuka saluran air. Subak Juwuk Manis menggunakan air irigasi yang berasal dari sungai Yeh Wos Kajanan. Bangunan irigasi yang telah ada dipelihara bersama-sama oleh anggota subak guna menunjang kelancaran aliran air ke masing-masing petak sawah. Berdasarkan wawancara dengan pekaseh subak Juwuk Manis I Wayan Lungsur pada hari Selasa 20 Juli 2010 menyebutkan bahwa Subak Juwuk Manis dalam pelaksanaan pengaturan aliran air dilaksanakan dengan: a) Mengadakan pemeriksaan bergilir dari anggota subak di masing-masing saluran air, dalam pemeriksaan tersebut harus memeriksan jalannya aliran air
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
jika ada saluran air yang tersumbat atau bocor ataupun rusak, sehingga aliran air dapat mengalir dengan lancar ke masing-masing sawah. b) Melaksanakan kegiatan gotong royong membersihkan sungai maupun saluran air baik itu untuk pengairan itu sendiri maupun sebelum dilaksanakannya upacara Magpag Toya. c) Pemeriksaan juga dilaksanakan pada saluran air, sehingga besar kecilnya saluran air tetap berdasarkan luas dari petak sawah yang akan dialiri air. d) Mengadakan pemeriksaan aliran air berdasarkan bagian pengairan. Pengaturan air ini dilakukan agar tetap menjamin tersedianya aliran air meskipun saat musim kemarau. Dengan demikian pada musim kemaraupun para krama subak tetap masih bisa menanam padi. Sistem irigasi subak terdiri dari Empelan (bendungan) yang berfungsi untuk pengambilan air dari sumbernya, Aungan (terowongan), Telabah (saluran primer), Tembuku Aya (bangunan bagi primer), Tembuku Gede (bangunan bagi sekunder), Telabah Pemaron (saluran tersier), Telabah Penyacah (saluran kuarter), Tembuku Penyacah (bangunan bagi kuarter yang terdiri dari saluran untuk petani), Tembuku Pengalapan (bangunan untuk memasukan air ke masing-masing petak sawah). Selain itu, subak memiliki bangunan pelengkap seperti Penguras, Pekiuh, Petaku, Talang serta gorong-gorong. Secara umum, subak memiliki saluran air buangan ke suatu petak sawah yang kemudian disalurkan kembali kesaluran irigasi. Hambatan yang dihadapi dalam melestarikan dan meningkatkan Subak Juwuk Manis
eksistensi
Dalam suatu organisasi hambatan-hambatan itu selalu ada. Demikian halnya dalam organisasi subak di Bali yang semakin hari terancam punah. Berbagai faktor yang mendukung terjadinya kepunahan tersebut merupakan salah satu kendala atau hambatan yang dihadapi subak dalam melestarikan dan meningkatkan eksistensi subak. Salah satu akibat pesatnya peralihan fungsi lahan merupakan pemicu kepunahan subak yang paling utama. Banyak subak yang berada di sisi jalan telah terjual/beralih fungsi sebagai dampak perkembangan pariwisata di Kelurahan Ubud yang berakibat berkurangnya akses jalan untuk subak, baik untuk mengangkut hasil panen maupun membawa traktor untuk mengolah tanah pertanian. Hal ini sesuai hasil wawancara dengan Bapak Made Wijana PPL Subak Juwuk Manis yang mengatakan bahwa “tanah subak di sisi jalan lebih cendrung terjual tanpa menyisakan akses jalan untuk subak itu sendiri sehingga menghambat kegiatan pertanian”. Disisi lain, mahalnya harga pupuk menyulitkan para petani-petani kecil karena mengakibatkan biaya produksi yang semakin besar. Sementara itu para generasi muda sudah tidak peduli dengan sektor pertanian. Mereka cenderung memilih pekerjaan diluar sektor pertanian, misalnya sektor pariwisata. Seperti dapat dilihat disepanjang jalan menuju Subak Juwuk Manis, di kanan maupun kiri jalan rumah-rumah penduduk bagian depannya dijadikan sebagai kios barang-barang kerajinan seperti lukisan, patung, lilin dan lain sebagainya. Mereka cenderung memilih pekerjaan ini karena lebih menjanjikan. Bagi generasi muda, sektor pertanian kurang dapat mensejahterakan. Pandangan seperti ini sangat sulit dihilangkan mengingat kenyataan dilapangan memang demikian adanya. Antara input dan output tidak adanya suatu keseimbangan. Pekerjaan pertanian bukan
merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian masyarakat dewasa ini, karena cenderung dijadikan sebagai pekerjaan sambilan.Selain faktor tersebut diatas, rendahnya harga gabah dan rendahnya sumber daya manusia para petani menjadi permasalahan yang harus segera diatasi. Harga gabah yang rendah tentunya menyulitkan para petani karena hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Kenyataaan inilah yang mendorong rasa putus asa bagi petani. Sumber daya manusia merupakan hal yang penting dalam kemajuan pertanian. Rendahnya sumber daya manusia tentunya berimbas terhadap pengembangan sektor pertanian, karena dari kualitas sumber daya manusia yang baik akan melahirkan ideide kreatif dalam bidang pertanian guna peningkatan hasil pertanian. Subak yang didukung dengan bangunan fisik sebagai faktor pendukung kegiatan persubakan sudah tentu memerlukan pemeliharaan secara intensif. Hal ini memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan subak yang memiliki anggota yang sedikit tidak bisa menanggung beban yang sedemikian berat dirasakan. KESIMPULAN 1. Partisipasi masyarakat dalam pelestarian subak dirasakan masih kurang, karena pada kenyataannya masyarakat berpartisipasi hanya bersifat sewaktu-waktu. Secara umum partisipasi masyarakat dilakukan pada saat upacara keagamaan di pura subak yang berupa dana punia (sumbangan berupa uang) maupun aturan (persembahan) yang berbentuk barang-barang penunjang pelaksanaan upacara. 2. Kegiatan yang dilakukan oleh krama / anggota subak untuk peningkatan eksistensi subak juwuk manis dengan cara pengelolaan dan pengaturan pengairan sawah pada subak Juwuk Manis Kelurahan Ubud antara lain Administrasi Subak, Keuangan, Sistem Irigasi, dan Sistem Pertanian yang dilakukan berdasarkan Awig-Awig Subak yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana. 3. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melestarikan subak Juwuk Manis antara lain: a. Masih kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam menunjang kegiatan yang dilakukan oleh subak guna pelestariannya. b. Adanya peralihan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian, sehingga lahan pertanian menjadi semakin sempit. c. Kurangnya regenerasi dalam subak karena generasi muda cenderung memilih pekerjaan di luar sektor pertanian seperti misalnya sektor pariwisata yang dianggap lebih menjanjikan sehingga untuk ide-ide kreatif dalam bidang pertanian agak kurang karena umur dari anggota subak ratarata diatas 35 tahun. d. Kualitas sumber daya manusia masih rendah, terutama dalam penguasaan teknologi pertanian seperti pengoperasian mesin traktor maupun perontok padi. e. Masih kurangnya bantuan dari pemerintah baik berupa materi atau dana maupun pembinaan yang bertujuan memajukan perkembangan subak.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian, PT Rineka Cipta, Jakarta. Dinas kebudayaan Provinsi Bali, 2005, Pedoman Penilaian Subak, Denpasar. Juliantara, Dadang, 2004, Pembaruan Kabupaten arah Realisasi otonomi Daerah, Pembaruan, Yogyakarta. Khairuddin, 1992, Pembangunan Masyarakat, Liberty, Yogyakarta. Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta. Mandia, I Ketut, et al, 2004, Organisasi Sosial dan Adat Istiadat, Dwi Jaya Mandiri, Denpasar. Mansyur, Kholil, 1987, Sosiologi Masyarakat Desa dan Desa Usaha Nasional, Rineka Cipta, Jakarta. Mardalis, 1999, Metode Penelitian Suatu Pedekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta. Nawawi, H. Hadari, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nazir, Moh, 2005, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Ndraha, Taliziduhu, 1990, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Cipta, Jakarta. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 02 Tahun 1972 tentang Irigasi Daerah Propinsi Bali. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman Pitana, 1997, Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali, Upada Sastra, Denpasar. Priyatmo, Soeganda, 1997, Motivasi, Partisipasi dan Pembangunan (Tinjauan Dari Sisi Komunikasi), UK. Press, Jakarta. Roesmidi dan Risyanti,Riza, 2006, Pemberdayaan Masyarakat, Alqaprint, Jatinangor. Sastropoetro, Santoso, 1988, Partisipasi Komunikasi Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan, Alumni, Bandung. Silalahi, Ulber, 2006, Metode Penelitian Sosial, Unpar Press, Bandung. Suasthawa, I Made Darmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, 106 Denpasar. Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, PT Refika Aditama, Bandung. Soekanto, Soejono, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & B, Alfabeta, Bandung. Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Windia, Wayan, 1999, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Unud, Denpasar. Wiana, I Ketut, 2002, Desa Pakraman Dan Pemerintahan Desa Di Bali, Yayasan Tri Hita Karana Bali, Denpasar.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
DINAMIKAN PEMBANGUNAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN Ni Gst.Ag.Gde Eka Martiningsih Lecuture on Postgraduate Programs of Regional Planning and Environmental Management, Mahasaraswati University Denpasar, Denpasar Bali, Indonesia. *Corresponding author email: :
[email protected]
ABSTRACT Bali is a lush area and once a center of agriculture, but it is currently at a crossroads. Since the transfer of agricultural land on a large scale due to the advancement of tourism, so much productive land displaced turned into luxury hotels and other tourism facilities. The reason for the transfer of land to increase the Balinese economy through income from tourism. But the displacement of farm life most of the people of Bali not only for the tourism sector is more promising, but much more to the notion that being a farmer is dirty, poor and without a future. This phenomenon led to fewer young people are getting into the agricultural sector. In addition, it is also because of the uncertainty caused by the income of the people engaged in the agricultural sector. There is an assumption that being a farmer is the duty of the poor. Nowadays frequent water shortages in several subak in Bali. Subak is a rice farmer group who have the traditional water sharing rules. Due to the reduction in water discharge (lake Buyan) in the upstream city of Tabanan the growing season often experience setbacks that have an impact on farmers' incomes subak members. With the ongoing construction of tourism facilities, the use of over-exploitation of ground water also. Luxury hotels often use excessive groundwater. This violation also caused by the absence of many regulations and strict sanctions for the use of the ground water. As a result, in areas such as southern Bali Jimbaran, Kuta, Nusa Dua in the dry season, water is often difficult, due to the interruption of sea water into the wells of the population. There are still a lot of problems for the people of Bali due to the shift of resources from agriculture to tourism revenue Key words : agriculture, tourism, farmers, subak, revenue PENDAHULUAN Dalam buku Whose Development di dalam salah satu chapternya disebutkan bahwa budaya dikatakan sebagai salah satu penghambat dalam pembangunan. Memang perdebatan antara pembanguan yang diingnkan oleh masyarakat Indonesia dan pembangunan yang didambakan oleh penguasa di Indonesia masih sangat sering terjadi dan malah merupakan salah satu faktor kegagalan dalam pembagnunan masyarakat di Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Kristyanto (2009) dalam salah satu kuliahnya bahwa isu-isu strategis yang saat ini dihadapi oleh Indonesia adalah salah urusnya daerah dan negara yang mengakibatkan keunggulan omparatif seperti sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia tidak mampu mensejahterakan masyarakatnya. Walaupun kondisi pada masing-masing
daerah di Indonesia memiliki cri khas yang berbeda. Hal ini disebabkan karena negara Indonesia terdiri dari banyak kepulauan, banyak suku, agama, kepercayaan, dan juga adat. Masing-masing daerah meimiliki kekhasan dalam menyikapai tujuan pembangunan yang hendak dilaksanakan. Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang sangat terkenal baik di negari sendiri mauoun mancanegara sangat terkenal dengan kekuatan adat dan budayanya. Sehongga banyak pengamat yang menyatakan bahwa salah satu daya tarik Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia adalah karena keberhasilan masyarakat Bali memadukan antara pariwisata dan budaya masyarakatnya dengan haromonis sehingga kelihatan oleh pandangan umum bahwa adat dan budaya Bali adalah sangat kuat. Akan tetapi seiring dengan kemjuan jaman dan perkembangan globalisasi yang semakin menggerus nilai-nilai tradisional, maka bali mulai terlihat kedodoran dalam mengahdapi segala gemburan modernitas akibat dari pengaruh industri pariwisata. Dewasa ini semakin banyak masyarakat Bali mulai merasakan beratnya kewajiban adat dan budaya yang harus dilakukan masyarakat sehingga sebagian masyarakat menganggap bahwa kewajian adat dan budaya serta agama semakin memberatkan kehidupan mereka. Ha ini didukung dari pendapat pengamat budaya dan pemangunan Bali yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Bali yaitu bapak Mangku Pastika bahwa masyarakat Bali sedang berada pada masa transisi, antara melnjutkan kewajiban adat dan buday yang telah dilakukan selama bertahun-tahuan dan mengais rejeki untuk menghidupi keluarga dan melaksanakan kewajiban adat itu sendiri. Transisi disini dimaksudkan adalah adanya kesalah perespsi dalam melaksanakan kewajiban agama yang terlalu ke orientasi pesta dan upacara. Padaha menurut Pendeta Brahmana Ida Pedanda Sebali Tianyar dalam sebuah diskusi di Denpasar bahwa kewajiban adat, budaya dan Agama sebenarnya bersifat fleksibel dan pelaksanaannya tidak kaku. Jadi kalau masyarakat Bali khususnya mampu mengelola dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dengan nalar dan kebijaksanaan maka budaya seperti yang dikemukan oleh Crewe (2000) bukan merupakan penghambat pembangunan, akan tetapi sutau saat Budaya dan Agama akan mampu menjadi pendorong tercapainya pembangunan dan sebagai perekat dari hubungan yang timbal bailk antara masyarakat setempat. Hal ini akan membawa dampak positif bagi kesatuan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan pemaknaan yang benar akan makna dari upakar yang dilakukan maka akan ditemukan suatu tindakan kolektif yang bersal dari hati nurani masyarakat yang tentu saja akan memiliki kekuatan yang lebih besar dalam rangka pelaksanaan pembangunan. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Masih banyak perdebatan diantara para pemikir tentang yang dimaksud dengan pembangunan (development). Pembangunan sering hanya diartikan sebagai cara-cara pragmatis dalam mencapai suatu tujuan. Dan dari seluruh tujuan pemabangunan baik yang dilakukan di negara maju maupun berkembang ternyata yang dimaksudkna dengan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pada tahun 1960-an aras pembangunan ekonomi lebih menekankan pada bagaimana pemerintah atau negara meningkatkan ekonomi rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya (Kahn, 2005). Lebih lanjut dinyatakan
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
bahwa penghitungan keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara hanya berdasarkan penghitungan GDP (Gross Domestic Product), dimana cara ini hanya menekankan pada pembangunan ekonomi yang padat modal. Sedangkan seperti telah diketahui bahwa kondisi di negara-negara yang sedang berkembang modal merupakan hal yang masih sulit diperoleh, artinya negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia memeiliki persediaan modal yang masih terbatas (rendah). Indonesia merupakan suatu negara dengan keunggulan modal (sumber daya alam) yang melimpah. Akan tetapi karena sumberdaya yang lainnya masih rendah maka persoalan kesejahteraan di Indonesia masih jauh dari harapan. Seperti yang dikemukakan pada Gambar Lingkaran kemiskinan pada makalah Kahn (2005) bahwa ada lingkaran yang saling mempengaruhi pada lingkaran tersebut.
Low Income
Current consumption needs Low Saving
Low Investment
Low Productivi ty of Labor Low Capital Stock
Model ini kemudian berkembang dengan terjadinya kerusakan ligkungan (penurunan kualitas lingkungan) akibat kemiskinan di sutu negara. Seperti yang terlihat pada Gambar 2 berilkut ini
Low Income
Current consumption needs Low Saving
Low Productivi ty of Labor
Environ mental Degradati on
Low Investment Low Capital Stock
Dari Gambar 2 ini terlihat bahwa kemiskinan tenyata memiliki pengaruh langsung terhadap kerusakan lingkungan di kawasan tersebut. Dari kedua model tersebut ternyata kemiskinan yang berlanjut yang terjadi di negara-negara yang sedang berekmbang termasuk Indonesia selain karena sumberdaya baik sumberdaya alam, modal, sumberdaya manusia yang masih rendah ternyata juga disebabkan karena perusakan lingkungan (kualitas lingkungan yang menurun secara berkelanjutan). Hal ini menurut beberapa ahli juga sedang berlangsung di Bali. Bali yang merupakan salah satu daerah subur dan dulu merupakan sentra pertanian saat ini sedang berada di persimpangan. Semenjak adanya pengalihan lahan pertanian secara besar-besaran akibat kemajuan pariwisata, maka banyak lahan-lahan produktif tergusur dan berubah manjadi hotel-hotel berbintang dan fasilitas pariwisata lainnya. Alasan pengalihan lahan tersebut dulu memang untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Bali yang selain dikenal dengan daerah agrarisnya juga dapt dikembangkan melalui pendapatan dari sektor pariwisata. Akan tetapi setelah sekian tahun, apakah benar masyarakat Bali lebih sejahtera dengan adanaya industri pariwisata yang maikn berkembang? Pertanyaan ini masih sulit untuk mencari jawabannya, karena pada kenyataannya sebagian besar pelaku bisnis pariwisata di bali adalah orang asing buakn pribumi. Hal ini disadari oleh masyarakat Bali, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat banyak karena memang kualitas sumberdaya manusia Bali dianggap belum mampu utnuk menempati posisi-posisi penting di industri pariwisata. Di samping itu masalah adat dan budaya sering dijadikan alasan untuk menjegal masyarakat Bali menduduki posis-posisi penting di Industri pariwisata. Kemiskinan , Pengangguran dan Kerusakan Lingkungan Dampak pergeseran lahan pertanian ke sektor lain dewasa ini selain berdampak pada semakin sempitnya lahan pertanian, semakin banyaknya
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
pengangguran terutama generasi muda. Karena ternyata sekotr pariwisata yang diharapkan mampu membuka peluang kerja bagi angkatan kerja di Bali masih jauh dari harapan. Sehingga masyarakat yang telah terlanjur menjual lahan pertaniaanya saat ini banyak menajdi pengangguran terselubung. Hal ini tentu saja sering menimbulakn maslah sosial seperti kecembruan anatar warga, persengketaan antar anak muda dan malah sudah ada yang menjrus ke perbuatan yang anarkis. Untuk semua yang terjadi ini yang disalahkan adalah pemerintah. Kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu longgar dalam memberikan ijin dalam pengalihan lahan dan pendirian fasilitas pariwisata. Walaupun sebenarnya sudah ada perncanaan untuk melakukan aturan RTRW (Rancangan tata Ruang dan Wialayah) di Bali secara saklek, akan tetapi masih banyak kendala yang dihadapi. Misalnya pebedaan kepentingan antara pemilik lahan dan pemerintaha melalui aturan RTRW tersebut. Hal ini sering memicu ketegangan anatara aparat pemerintah dengan masyarakat setempat. Masih bersyukur di Bali ada lembaga adat yang memiliki otoritas yang cukup besar dalam penangananpenanganan kasus sengekta lahan anatara mayarakat dan pemerintah. Sehingga konflik tersebut masih dapat diredam dan dihindarkan. Pembangunan Tanpa Perkembangan Seperti sudah dikemukakan dimuka pembangunan di Indonesia mengalami pasang surut, namun pada akhir-akhir ini pembangunan di Indonesia sepertinya menghadapi permasalahan yang besar. Sejumlah pembangunan yang dilaksanakan nampaknya tidak memberikan manfaat langsung untuk rakyat namun lebih memberi manfaat yang besar bagi para pemodal dengan meninggalkan kerusakan alam yang luar biasa. Oleh sebab itu pembangunan di Indonesia bisa disebut sebagai “Pembangunan Tanpa Perkembangan”2. Beberapa ciri dari adanya pembangunan tanpa ada perkembangan diantaranya adalah, sebagai berikut: (1). Ketika kondisi lingkungan alam mengalami kerusakan dan pewarisan lingkungan lestari tidak terjadi. Sejumlah pembangunan terutama pertambangan seringkali memunculkan limbah yang luar biasa besar. Pertambangan yang selalu memperoleh sorotan adalah pertambangan “tembaga” di Tembaga Pura, Timika Papua. Setiap orang yang terbang ke Papua dan mendarat di Bandara Moses Kilangin, Timika akan dengan mudah betapa luasnya limbah tailing yang muncul oleh adanya penambangan tembaga. Demikian pula kasus Indorayon yang terbukti mencemari lingkungan dan memperoleh protes dari masyarakat.3 Dapat pula dikemukakan pembukaan lahan untuk perkebunan Kelapa Sawit, terutama di Kalimantan, selain menyebabkan protes oleh masyarakat adat karena kehilangan lahan karetnya juga menyebabkan rusaknya sumber air, hilangnya plasma nuftah asli kalimantan tertentu, dan munculnya konflik
2
Pada tahun 1973, kondisi yang sama sebenarnya sudah mulai dirasakan oleh Sayogya yang diungkapkan dalam makalahnya “Modernization Without Development in Rural Java”. Paper contribution to Study on Changes in Agrarian Structure. Organized by FAO. 3 Junus Aditjondro: “Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari Gerakan Anti Indorayon” 2005. IRE Press Yogyakarta. Lihat pula tulisan Victor Silaen; ”Gerakan Sosial Baru, Perlawanan Komunitas Lokal pada kasus Indorayon, di Toba Samosir, 2006. IRE Press Yogyakarta.
karena persaingan untuk memperebutkan sumber daya alam. 4 Dengan kondisi alam (lingkungan) yang semakin rusak dan semakin terbatas faktor produksi alam bagi rakyat lokal maka hilang pula lingkungan alam yang lestari, yang dapat diwariskan kepada generasi penerus. (2). Ketika kondisi sosial-ekonomi (kesejahteraan transgeneration) hanya dinikmati sebagian kecil orang (kelompok) atau sebagian kecil wilayah. Proses pembangunan disatu pihak memang dapat meningkatkan devisa, neraca perdagangan yang semakin berimbang, dan keuntungan lain. Namun demikian keuntungan tersebut sering kali hanya dinikmati oleh sekelompok orang yang mempunyai modal (para memodal). Mereka yang tertinggal adalah kaum pekerja (buruh tani atau buruh industri), perempuan, anak-anak, atau kelompok yang tidak menguasai faktor produksi. Dapat pula terjadi bahwa pembangunan kemudian hanya terjadi di Jawa, di wilayah perkotaan, atau di pusat-pusat ekonomi. Wilayah lain yang jauh dari pusat pemerintahan akan mengalami ketertinggalan dalam pembangunan. Dengan demikian maka keberhasilan pembangunan yang hanya dinikamti oleh sejumlah kecil pemodal tentu akan kehilangan makna pembangunannya ketika sebagian terbesar dari rakyat Indonesia atau wilayah Indonesia di luar Jawa tidak menikmatinya. (3). Ketika kondisi kelembagaan pembangunan yang ada tidak memainkan peran kelembagaannya dengan benar. Kelembagaan pembangunan adalah kelembagaan baik yang merencanakan, melaksanakan, maupun mengevaluasi pelaksanaan pembangunan baik di aras nasional, regional, maupun lokal. Di dalam hal ini kelembagaan yang seharusnya melaksanakan pembangunan seringkali bertindak sebagai penguasa yang mengabdikan dirinya pada para pemodal. Lebih dari itu kelembagaan ini bisa saja bertindak secara tidak efisien dan tidak efektif. Korupsi, pemborosan, ataupun premanisme sering menjadi cara yang pada ujungnya akan tidak memberi manfaat bagi rakyat banyak terutama di aras lokal. Dalam kondisi semacam ini maka pembangunan yang terjadi tentu kehilangan makna yang sebenarnya dari pembangunan. (4). Ketika kondisi sosial budaya (solidaritas, kemandirian, semangat dan motivasi) melemah Proses pembangunan selain menimbulkan dampak positif kalau tidak hatihati juga menimbulkan dampak negatif. Beberapa akibat negatif yang bisa muncul oleh adanya program pembangunan yang salah urus diantaranya adalah: adanya ketergantungan kepada pihak lain (seperti dikemukakan dimuka) karena mereka menjadi biasa memperoleh bantuan dan menjadi selalu mengharapkan. Demikian pula dengan begitu banyak pembangunan yang dipaksakan dari atas tanpa adanya kebiasaan untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan menyebabkan mereka itu menjadi kehilangan semangat dan motivasi untuk melaksanakan pembangunan. (5). Ketika kondisi sosial-politik (civil society dan demokrasi) melemah. 4
Hasil penelitian USAID (2007) dalam; “Conflict Timber: Dimensions of the problem in Asia and Africa, Volume II, Asian Case” menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit menjadi sumber konflik karena keterbatasan sumber daya alam dan perusakan lingkungan
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
Proses pembangunan yang diterapkan dengan model nonpartisipatif dan datang dari pihak “atas” dapat menyebabkan kemampuan rakyat untuk menyampaikan aspirasi atau meminta pertanggungjawaban kepada negara menjadi melemah. Dengan demikian maka pembangunan yang dilakukan dengan cara yang salah jelas dapat melemahkan semangat dan kemampuan berdemokrasi bagi rakyat dan melemahnya semangat untuk menjadi masyarakat sipil yang handal. Kondisi Terakhir Indonesia Terlepas oleh adanya kemungkinan munculnya dampak negatif dari suatu proses pembangunan yang menyebabkan proses pembangunan menjadi tidak berarti seperti terurai di atas, maka kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan di Indonesia sebenarnya cukup memprihatinkan dipandang dari sudut rakyat kecil. Sejumlah kondisi saat ini yang dihadapi rakyat Indonesia adalah: (1). Adanya kerusakan lingkungan berkelanjutan yang tidak memungkinkan ada pewarisan kesejahteraan. Beberapa contoh kasus adanya perusakan lingkungan yang muncul oleh adanya proses pembangunan diantaranya adalah: Bencana nasional “lumpur Lapindo” yang disebabkan oleh adanya kecerobohan pengeboran minyak yang tidak hati-hati dan tidak didahului oleh studi kelayakan. Sampai saat ini pemerintah belum berhasil mengatasi permasalahan tersebut, bahkan ancaman kerusakan wilayah akan semakin besar dengan adanya kemungkinan runtuhnya lapisan bagian atas dari wilayah lumpur. Contoh lain adalah pencemaran oleh pembuangan limbah (tailing) oleh penambangan Freeport di Timika yang sampai saat ini nampaknya dianggap biasa; Perusakan lingkungan lain yang akan muncul di masa depan adalah adanya perkebunan monokolture kelapa sawit yang memungkinkan rusaknya struktur, texture, dan kandungan kimia (termasuk keasaman tanah) dari lahan kelapa sawit. (2).
Besarnya perbedaan kekayaan antara si miskin dan si kaya. Pada saat ini semua rang sudah memahami bahwa sebagian kelompok masyarakat mempunyai kekayaan dan sekaligus kekuasaan yang sangat besar dan berhadapan dengan mayoritas masyarakat miskin. Gejala ini, yang apabila tidak hatihati jurang pemisah tersebut akan semakin lebar. Adanya perbedaan yang semakin lebar ini kalau tidak dengan cepat ditangani akan dengan mudah memicu ketidak puasan mayoritas yang memungkinkan gerakan-gerakan perlawanan dan bahkan pemisahan dari NKRI. Sebagai contoh aktual dari gejala diatas adalah maraknya gejala pembentukan daerah otonomi baru (teritorial reform) juga dipicu oleh ketidak puasan daerah (wilayah luar Jawa) terhadap adanya ketidak merataan pembangunan. Ide untuk memekarkan diri (membentuk daerah otonomi baru) sebenarnya sudah diusahakan untuk ditahan oleh pemerintah pusat karena beban anggaran yang semakin besar. Namun demikian pihak daerah yang didukung oleh DPRD dan DPR berkeras untuk memekarkan diri dengan tujuan utama menarik Dana Alokasi Umum sebesar-besarnya ke daerah.5
5
Hasil penelitian Suwondo yang dituangkan dalam “Proses Pemekaran Daerah di Kalimatan Barat” (2008), menunjukkan bahwa pihak daerah sebenarnya menyadari bahwa pembentukan daerah sebenarnya tidak visible namun keinginan itu dipaksakan dengan berbagai macam cara dengan tujuan utama menarik DAU yang sebesar-besarnya ke daerah.
(3).
Maraknya Korupsi dan Pemborosan Dalam Pelaksanaan Pembangunan Hampir setiap hari, media massa TV, surat kabar, radio selalu menayangkan sidang korupsi, penyuapan, permintaan untuk disuap (kalau tidak mau dikatakan pemerasan), pemborosan, dan inefisiensi kebijakan baik yang dilakukan oleh anggota DPR/DPRD maupun oleh birokrat di aras nasional, regional, dan lokal. Tayangantayangan tersebut membuktikan bahwa mereka tidak hanya sebagai saksi atau tertuduh saja namun sebagian besar juga sudah diputuskan bersalah. Gejala ini sebenarnya sangat menyakitkan hati masyarakat banyak karena penghianatan mereka terhadap mandat yang diberikan oleh rakyat. Namun pada kenyataannya adanya degradasi moral pada penguasa tersebut seringkali dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa (bukan sesuatu yang memalukan dan tidak etis) dan akhirnya dilupakan.6 Walaupun kondisi moralitas seperti itu, apabila tidak segera diadakan perubahan, rakyat yang sudah kehilangan kepercayaan akan dapat bertindak secara brutal yang dapat berakibat yang sangat buruk bagi perkembangan Indonesia. (4).
Hilangnya Jati Diri Selaku Bangsa Konflik horisontal di Kalikmantan Barat dan Tengah yang menyangkut etnis Madura, Dayak, dan Melayu, atau konflik horisontal yang “bisa dilandasi sentimen perbedaan agama” di Maluku dan Poso merupakan contoh luar biasa yang sangat mahal karena begitu banyak korban harta dan nyawa dari semua pihak terutama rakyat kecil Selain konflik terbuka, sebenarnya kita bjuga bisa dengan sangat mudah menunjukkan konflik setengah terbuka dan konflik tertutup menyangkut tidak adanya solidaritas dan toleransi baik antar etnis dan terutama pada akhir-akhir ini terjadi antar kelompok pemeluk agama. Pengkotak-kotakan berdasar perbedaan agama sebenarnya sudah sangat jelas terlihat yang mencerminkan hilangnya rasa persaudaraan, toleransi, dan solidaritas sebagai suatu bangsa. Di dalam hal ini maka makna Kebangsaan Indonesia telah mengalami degradasi bahkan pembusukan yang pada ujung-ujungnya akan dapat mempengaruhi keutuhan NKRI. Pengkotak-kotakkan berdasar perbedaan agama mayoritas dan minoritas di suatu wilayah apabila dibarengi dengan tindakan yang bersifat diskriminasi dari pihak penguasa jelas akan menyakitkan hati pihak-pihak yang didiskriminasikan (biasanya kaum minoritas). Kondisi semacam ini kalau tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan segera maka proses balkanisasi akan dapat terjadi di Indonesia. (5). Melemahnya civil society di satu pihak dan menguatnya demokrasi anarkisme. Apa yang ditunjukkan oleh para penguasa dan anggota DPR di aras pusat di dalam proses mengambil kebijakan jelas menggambarkan bahwa makna demokrasi belum dipahami oleh para orang yang seharusnya memahami dan memberi contoh tentang demokrasi. Saling hujat, perkelahian di ruang sidang, konspirasi, korupsi dan penjualan kewenangan untuk memberi keuntungan pada oknum tertentu (pemilihan 6
Bahkan Ketua PSSI (persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang sudah difonis bersalah karena korupsi juga masih dipertahankan sebagai ketua. Padahal dunia internasional (termasuk FIFA) sudah menganjurkan untuk melakukan pemilihan ketua PSSI baru. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang dihukum karena korupsi masih dianggap mulia dan harus dihormati, dibanding seorang yang mencuri ayam karena lapar.
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
Deputu Bank Indonesia, Alih fungsi lahan, dan lain-lain) merupakan kasus-kasus yang menunjukkan tidak mampunya para anggota dewan yang terhormat untuk melaksanakan makna demokrasi dengan benar. Kalau di aras tinggi gambaran demokrasi seperti itu maka sulitlah diharapkan adanya pelaksanaan demokrasi dengan benar di aras lokal. Mulai dengan pemukulan wasit sepak bola, perkelahian antar pemain, unjuk rasa yang selalu diakhiri dengan tindak kekerasan dan pelanggaran hukum, sampai pemukulan saksi di pengadilan merupakan perwujudan demokarsai yang bersifat anarkis. Dalam kondisi semacam ini maka penguatan civil society merupakan jawaban yang dapat dicoba. Menurut Chandoke (1995) civil society adalah suatu public sphere (arena publik) dimana negara dan rakyat dapat bertemu. Di dalam hal ini nilai pertanggungjawaban negara kepada publik dan partisipasi politik publik merupakan syarat yang harus dipenuhi.7 Masalahnya kondisi masyarakat sipil di Indonesia, yang sering juga disebut sebagai masyarakat warga (kewargaan), masyarakat umum, masyarakat madani atau juga disebut sebagai civil society dalam kondisi yang tidak menentu.8 Di satu saat gerakan civil society sangat kuat dan sering berubah menjadi anarkis yang tentu tidak dapat disebut sebagai civil society, namun dipihak lain gerakan civil society hanya menjadi corong negara yang inipun lalu tidak dapat digolongkan sebagai civil society. Ciri lain dari gerakan civil society adalah harus kritis terhadap negara, rational, bersifat counter balance, inclusive, dan non violence. Begitu salah satu dari ciri ini dilanggar maka gerakan tersebut tidak bisa lagi dianggap sebagai gerakan civil society. Dengan demikian maka gerakan civil society seringkali memang timbul dan tenggelam sesuai dengan kondisi dan kehendak anggotanya. Semua kondisi yang tidak baik diatas memang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, namun untuk tulisan ini kondisi yang tidak menguntungkan tersebut disebabkan oleh proses pembangunan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan etika pembangunan. Berikut ini akan dikemukakan kesalahankesalahan praktek pembangunan yang tidak memperhatikan etika pembangunan. Kearifan Lokal sebagai Alternatif Kearifan lokal sebenarnya merupakan kekayaan masyarakat Indonesia umumnya termasuk juga masyarakat Bali. Sangat banyak praktek-praktek tradisional yang dianggap sebagai kearifan lokal masih dilakukan dan praktekan oleh masyarakat Bali khususnya masyarakat Hindu. Semua praktek-prkatek ini kalau dikaitkan dengan pelestarian lingkungan merupakan implementasi dari penelolaan lingkungan berkelnajutan. Misalnya saja adanya organisasi subak yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan pembagian air di wilayahnya. Di samping itu peranan ritual-ritual keagamaan yang menyertai praktek-praktek pertanian di kelompok subak tersebut. Salah satunya adalah adanya ritual yang memiliki makana 7
Menurut Chandoke, Neera (1995) dalam bukunya “State and Society ” Exploration in Political Theory. New Delhi: Sage Publication India Pvt Ltd, selain nilai diatas civil society juga harus memenuhi adanya: representative forum, perlindungan terhadap semua kegiatan, dan kebebsan semua orang untuk menjadi anggota. 8 Lihat Tulisannya Bandingkan pula dengan pendapat Hikam (1996), Magnis Suseno (1992), Schulte Nordholt (1999), Sukidi (1998), Diamond (1994), atau Suwondo (1997).
pelestaraian sumber air bago kelompok subak tersebut. Ritual ini akan dilakukan pada saat kelompok subak sudah memulai mengairi swah mereka masing-masing. Ritual ini biasanya diikuti dengan dilakukannya gotong royong bersama dalam mebersihkan saluran air dan membanguna saluran-saluran agar air mampu terbagi rata pada masing-masing anggota kelompok. Dalam pemberantasan hama dan penyakit dikenal ritual nangluk merana dimana upacara ini ditujukan untuk menanggulangi hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka tanpa menggunakan pestisida kimiawi. Keberhasilan cara-cara ini masih dipercaya dan masih memberikan manfaat yang signifikan bagi anggota kelompok subak. Seperti yang dikemukkan oleh Agus dalam bahan kuliah Isu-isu strategik bahwa penanganan pertanian yang seolah-olah sudah salah urus salah satunya adalah dengan membuat kebijkan yang memperhatikan keunggulan komparatif lokal. Lebih lanjut juga ditambahakan oleh Arifin (2009) bahwa dewasa ini salah satu cara yang memebrikan harapan dalam menangani kerusakan lingkungan yang terus berlanjut dalam rangka mengatasi maslaha panagan adalah mengangkat kearifan lokal masing-masing daerah. Misalnya saja dengan mulai memperkenalkan kembali bahan pangan asli daerah selain padi. Seperti di NTT dan Papua mereka masih punya bahan pangan alternatif seperti sagu, jagung, dan ketela. KESIMPULAN 1. Pembangunan ekonomi harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian alam dan lingkungan 2. Petani harus dihargai sebagai pekerjaan yang mulia, dan dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan pertanian 3. Pemanfaatan kearifan lokal merupakan alternatif yang menjanjikan untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia 4. Pemerintah seharusnya tetap konsern terhadap visi dani misi dari pembangunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, G. Junus (2005). Kultur Batak, Pedang Bermata Dua, Belajar dari Gerakan Anti Indorayon”. IRE Press Yogyakarta. Arifin, B (2009). Wawancara Interaktif Metro TV. 2009 Crewe, E., Elizabeth H (1998). Whose Development? An Ethnography of Aid. Sage Publication. 107 p. Harmaji, T (2009). Who is reponsible for poverty in papua?. Jakarta Post. 24 November 2009 Hasbullah, Jousairi (2006). Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia”. MR-United Press Jakarta
Jurnal Alam Lestari : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan Volume 01 No. 01, Oktober 2012
: Nomor ISSN 2302-5514
Kahn, J.R (2005). The economic approach to environmental and natural resources. Washington and Lee University and Universidade Federal do Amazones. Thmson South Western. pp 587-614. Kristyanto, A.I (2009). Isu-isu strategik. Bahan kuliah Lingkungan dan Pembangunan. S3 Studi Pembangunan UKSW. Salatiga. Suwondo, K. (2008). Forum Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke 10 dan Wisuda STTBNKP SUNDERMANN, pada tanggal 27 September 2008 di Kampus STTBNKP Sundermann.