Analisis DPSIR terhadap Sumber Daya Air di Kota Yogyakarta dan Sekitarnya Oleh: Bosman Batubara
Yogyakarta, Oktober 2014 Draft Kertas Kerja I Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Dokumen ini dibuat sebagai respons terhadap gerakan warga menolak pembangunan mal, hotel, dan apartemen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, yang dalam berbagai kesempatan menempatkan permasalahan krisis air di jantung argumentasi penolakan. Dokumen ini lahir dari tengah proses penolakan tersebut. Sebagai bagian dari dinamika temporal dan spasial proses penolakan itu, maka dokumen ini adalah organ yang hidup, dalam artian, ke depan perubahan sangat mungkin terjadi kalau ditemukan perspektif, data, dan fakta yang lebih kuat.
I.
Daftar Isi
I. DAFTAR ISI II. RINGKASAN EKSEKUTIF III. PENGANTAR IV. ORGANISASI DOKUMEN V. DRIVER V.1. SOSIAL V.2. EKONOMI V.3. LINGKUNGAN V.4. POLITIK V.5. INSTITUSI VI. PRESSURE VI.1. SOSIAL VI.2. EKONOMI VI.3. LINGKUNGAN VI.4. POLITIK VI.5. INSTITUSIONAL VII. STATE VII.1. KUANTITAS AIR VII.2. KUALITAS AIR VII.2.A. NITRAT VII.2.B. BAKTERI COLI VII.3. INTITUSIONAL VIII. IMPACT IX. RESPONSE X. REKOMENDASI X.1. PEMERINTAH PROVINSI D.I. YOGYAKARTA X.2. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DAN LEMBAGA ANTIKORUPSI X.3. KOMNAS HAM X.4. UNIVERSITAS X.5. WARGA XI. TENTANG PENULIS XII. ACUAN
Halaman 2 dari 27
5 7 8 8 8 9 9 11 12 13 13 17 17 18 18
22 22 22 22 23
2 3 4 5 5
9
13
20 21 22
24 25
II.
Ringkasan Eksekutif
Dokumen ini menganalisis kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan kerangka Driving force-‐ Pressure-‐State-‐Impact-‐Response (DPSIR). Hasil analisis menunjukkan driver berasal dari sektor populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan individu, serta manajemen data. Faktor-‐faktor driver yang disebutkan di atas memberikan tekanan (pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air. Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari pemerintah daerah justru kontraproduktif karena memicu mobilisasi permohonan izin pendirian hotel yang baru. Hal ini berarti penambahan pressure terhadap sumber daya air. Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan individu di sektor ini yang lemah. Tekanan-‐tekanan di atas pada gilirannya menghasilkan kondisi (state) berupa penurunan muka air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta kontaminasi nitrat dan bakteri e-‐coli. Di bidang institusi, terlihat bahwa tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola akuifer Merapi sebagai sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di ketiga daerah ini juga sangat lemah. Tekanan-‐tekanan di atas pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh. Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi. Tanggapan (response) kreatif terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan sekitarnya. Sementara, dalam skop lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas, tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani lahan pasir di sekitar Yogyakarta. Ke depan, dokumen ini merekomendasikan berbagai hal untuk para pihak terkait, yaitu pembatalan pembangunan mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta; pendirian badan otoritatif untuk mengurus akuifer Merapi; pengusutan (indikasi) korupsi di sektor sumber daya air; pemenuhan hak asasi manusia atas air; menggalakkan riset di sektor air; serta melakukan pendidikan ideologis untuk membangun kesadaran warga tentang posisi warga sebagai subyek dan kemelekan terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan institusional di sektor ini.
Halaman 3 dari 27
III.
Pengantar
Pada 2010, Perserikatan Bangsa-‐Bangsa (PBB) memasukkan air dalam poin hak asasi manusia (HAM). “... equitable access to safe and clean drinking water and sanitation as an integral component of the realization of all human rights (akses yang setara terhadap air minum dan sanitasi yang bersih dan aman adalah bagian tak terpisahkan dari realisasi hak asasi manusia),” demikian PBB (Resolusi 64/292, 2010). Sekitar 55–78% tubuh manusia terdiri dari air, tergantung ukuran badan. Agar berfungsi baik, tubuh manusia membutuhkan antara 1 sampai 7 liter air per hari untuk menghindari dehidrasi. Jumlah ini dinamis. Tergantung pada, antara lain, tingkat aktivitas, suhu, dan kelembaban. Dewasa ini, krisis air terjadi di mana-‐mana, termasuk di Provinsi Daerah Istimewa (D.I.) Yogyakarta. Karena itu, perubahan yang lebih sistemis dalam tata kelola air sangat dibutuhkan. Sebuah cekungan air memiliki fungsi yang bermacam-‐macam. Karena itu, isu tata kelola air harus jelas, terdokumentasikan, dan memiliki prioritas agar road map tata kelola yang dibutuhkan dapat dibangun dengan baik. Hubungan antara berbagai isu dalam manajemen sumber daya air dapat dicek dengan menggunakan kerangka Driving force-‐ Pressure-‐State-‐Impact-‐Response (DPSIR). Bagan di bawah menampilkan kerangka DPSIR yang diadopsi dari European Environment Agency (EEA). Uni Eropa sendiri menjadikan kerangka DPSIR sebagai analisis menentukan tekanan dan dampak dalam kebijakan di bidang air, Water Framework Directive/WFD (Kagalou et al., 2012). Hubungan antara elemen dan definisi tiap terminologi dijelaskan dalam bagan pada Figure 1 dan Tabel 1. Response
Driving force
Pressure s
Impact
State
Figure 1: Kerangka Driving Force–Pressure–State–Impact–Response (DPSIR) (Sumber: EEA, 2011)
Table 1: Definisi Terminologi DPSIR Terminologi Driver
Halaman 4 dari 27
Definisi
Aktivitas antropogenik yang mungkin memiliki efek terhadap lingkungan (misalnya: pertanian, industri)
Terminologi
Definisi
Pressure
Efek langsung yang muncul dari driver (contoh: perubahan pada aliran atau komposisi kimia)
State
Kondisi tubuh air yang dihasilkan, baik karena faktor alamiah maupun antropogenik (misalnya: karakter fisik dan kimia)
Impact
Dampak lingkungan karena adanya pressure (misalnya: ekosistem berubah)
Response
Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kondisi tubuh air (misalnya: membatasi ekstraksi dan menyediakan panduan praktis di sektor pertanian) Sumber: Quevauviller (2010)
Kerangka DPSIR mengasumsikan bahwa kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah hal-‐hal yang saling berhubungan. Keterhubungan ini diperlihatkan oleh driving force yang secara konseptual menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan dengan jalan menciptakan pressure terhadap lingkungan. Pada gilirannya, hal ini akan memengaruhi kondisi lingkungan. Impact yang muncul ini dapat berupa dampak terhadap ekosistem, ekonomi, dan juga komunitas. Sebuah dampak negatif yang muncul akan ditanggapi oleh masyarakat dengan berbagai cara, misalnya, dengan penyusunan kebijakan tata kelola dan perlindungan sumber daya air. Kalau kebijakan yang dihasilkan ini kelak memberikan akibat (yang diinginkan atau tidak), maka ia akan memengaruhi balik driving force, pressure, state, dan impact, seperti disajikan dalam gambar di atas. Dengan respek terhadap pertimbangan inilah dokumen ini akan membahas masalah sosial, politik, ekonomi, lingkungan, dan institusional yang berpengaruh terhadap manajemen sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Selanjutnya, dokumen ini menyajikan beberapa rekomendasi yang mungkin dilakukan dalam kontribusinya yang lebih utuh terhadap manajemen sumber daya air. IV.
Organisasi Dokumen
Dokumen ini terdiri dari tujuh bagian. Bagian pertama adalah pengantar; dilanjutkan secara berturut-‐turut dengan bagian driver, pressure, state, impact, dan response. Semua elemen analisis DPSIR ini dirancang untuk secara khusus melihat permasalahan sosial, politik, ekonomi, lingkungan, dan institusional dalam manajemen sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Bagian ketujuh adalah rekomendasi yang dihasilkan dari berbagai analisis atas data yang disajikan. V.
Driver
V.1. Sosial Driver di bidang sosial adalah populasi. Yogyakarta bukanlah kota yang besar bila dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Medan. Namun, beberapa tahun belakangan ini terjadi aglomerasi antara Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul, di mana ketiga kawasan ini semakin lama semakin menyatu membentuk sebuah kota. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2013), populasi Kota Yogyakarta sebanyak 394.012 jiwa pada 2012, sementara Sleman memiliki penduduk sebanyak 1.114.833 jiwa dan Bantul sebanyak 927.958 jiwa. Perkembangan penduduk di ketiga kawasan ini pada periode 2007–2012 dapat dilihat pada Figure 2. Halaman 5 dari 27
Dalam grafik terlihat bahwa dalam rentang waktu 2007–2012, ada perbedaan antara dinamika populasi di Bantul dan Sleman dengan di Yogyakarta. Di Bantul, terjadi kenaikan sebanyak 55.092 atau sebanyak 6,3%. Di Sleman, terjadi kenaikan sebanyak 79.801 atau sebanyak 7,7%. Di Yogyakarta, terjadi kenaikan sebanyak 2.191 atau sama dengan 0,5%.
Figure 2: Dinamika Populasi Yogyakarta, Sleman, dan Bantul 2007–2012 (Sumber: BPS, 2013)
Populasi menjadi driving force karena manusia butuh air. Tabel 2 berikut adalah tabel kebutuhan minimum dan menengah manusia terhadap air per orang per hari (WHO, tanpa tahun). Table 2: Kebutuhan Air Manusia Per Hari Air minum yang dibutuhkan per orang per hari Tingkat alokasi
Kegunaan
Jumlah
[liter/orang/hari]
Air minum Kebutuhan minimal untuk hidup Makanan dan kebersihan (hanya akan bertahan hidup beberapa hari dengan konsumsi ini) Total
Alokasi sedang (bisa berlanjut sampai beberapa bulan)
2–3 5–7
Air minum
3–4
Makanan dan kebersihan
2–3
Kebersihan personal
6–7
Mencuci pakaian
4–6
Total Sumber: WHO (tanpa tahun)
Halaman 6 dari 27
3–4
15–20
V.2. Ekonomi Yogyakarta terkenal sebagai kota turisme. Pada 2012 terdapat 54 hotel bintang di Yogyakarta dengan 5.150 kamar dan 8.171 tempat tidur. Selain itu, ada 1.100 hotel melati dengan 13.309 kamar dan 21.720 tempat tidur. Ditinjau dari segi wisatawan, pada tahun yang sama tercatat ada 3.546.331 orang berkunjung ke Yogyakarta, dengan sekitar 95,81% adalah wisatawan domestik dan sisanya (4,19%) adalah wisatawan asing. Wisatawan domestik rata-‐rata menginap di Yogyakarta selama 1,58 hari, sementara turis asing rata-‐rata 2,23 hari (BPS, 2013). Secara konsisten pada rentang 2003–2006, sektor “perdagangan, hotel, dan restoran” menjadi penyumbang terbesar (selalu lebih dari satu per empat) untuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Yogyakarta seperti tertera dalam grafik di Figure 3 (Walikota Yogyakarta, 2007). Kampanye Yogyakarta sebagai kota budaya diperkirakan akan membuat jumlah wisatawan akan terus meningkat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005–2025, terlihat bahwa ada tiga visi yang akan menarik semakin banyak orang dengan menjadikan Yogyakarta sebagai: (1) pusat pendidikan terkemuka di Asia Tenggara, (2) pusat budaya terkemuka di Asia Tenggara, dan (3) daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara (Perda D.I. Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2009).
Figure 3: Sumber PDRB Yogyakarta yang menunjukkan sektor perdagangan, hotel, dan restoran selalu menyumbang di atas 25% dalam rentang 2003–2006 (Sumber: Laporan Walikota Yogyakarta, 2007)
Sektor ekonomi lain yang tak kalah penting bagi perkembangan ekonomi Yogyakarta adalah industri batik. Industri ini sudah menjadi salah satu ciri khas Yogyakarta, meski dalam tiga dekade terakhir ini kuantitas industri ini menurun di Yogyakarta. Tercatat pada 1970-‐an terdapat 1.200 unit usaha batik di Yogyakarta dan hanya tersisa 400 unit usaha pada 2008 (Nurainun et al., 2008). Pada 2012 tercatat nilai output sektor industri yang berlisensi untuk jenis sandang dan kulit di Kota Yogyakarta mencapai 2,568 miliar rupiah dan 4,579 miliar rupiah untuk daerah Sleman (BPS, 2013). Halaman 7 dari 27
V.3. Lingkungan Variabel lingkungan yang akan diberi perhatian adalah perubahan iklim. Pada dasarnya iklim memiliki kekhasan tersendiri. Beberapa elemen yang berinteraksi di dalam komponen iklim membuat manusia semakin susah memprediksi iklim. Iklim memengaruhi hampir semua yang ada di Bumi, seperti biodiversitas ekosistem, dan tipe tumbuhan dan hewan yang secara esensial tergantung pada, dan beradaptasi dengan, kondisi iklim lingkungan. Sistem hidrologi pun sangat tergantung pada kondisi iklim. Sebagai contoh, presipitasi sangat determinan dalam siklus hidrologi karena dia menentukan seberapa banyak air yang masuk ke dalam sebuah sistem hidrologi di Bumi. Sementara itu, evapotranspirasi sangat berpengaruh karena dia menentukan seberapa banyak fraksi air yang menguap dari Bumi. Orang percaya bahwa perubahan iklim akan memperparah momen ekstrem hidrologi. Maksudnya, di musim penghujan, total air akan semakin banyak, dan ini berarti banjir. Sementara itu, di musim kemarau, total air akan semakin sedikit, dan ini berarti kekeringan (Ntegeka et al., 2008). V.4. Politik Tata kelola air agak susah untuk berdampak bagus kalau tidak memiliki dukungan politik yang kuat. Sebab, sistem tata kelola air secara langsung pasti terhubung dengan sistem politik yang ada. Karena itu, langkah-‐langkah dalam memperbaiki tata kelola air juga berarti berhubungan dengan kekuatan politik dan belajar bagaimana melakukan gerakan-‐gerakan dalam konteks yang sangat politis. Dukungan politik yang lemah, tata kelola yang buruk, dan politik anggaran yang tidak berpihak pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas infrastruktur perairan dan berujung pada tidak terlayaninya warga dengan baik (UN Water, 2006). Politik dan hukum yang benar juga sangat penting dalam manajemen air. Para politisi harus membuat kebijakan-‐kebijakan yang secara sosial dan lingkungan dapat diterima serta memperhitungkan siapa yang menanggung dampak baik atau buruk dari sebuah kompromi politik yang dibuat. Sebuah keputusan dalam berbagai sektor atau level pemerintahan pada akhirnya dapat berdampak sangat buruk terhadap sumber daya air. V.5. Institusi Data hidrometereologi sangat penting dalam kajian tentang air. Sebagai contoh, untuk sebuah studi perubahan iklim, semakin banyak seri data curah hujan yang dimiliki, maka akan semakin bagus karena terdapat rekaman perubahan/variasi iklim historis. Sebaliknya, semakin pendek data time series yang dimiliki, maka akan semakin tidak terlihat variasi/perubahan curah hujan historis yang pernah terjadi. Dengan kata lain, akan semakin kurang akurat model yang dihasilkan. Permasalahannya, dalam konteks Yogyakarta, siapa (institusi mana) yang memiliki data metereologi dengan time series, misalnya, 30 tahun? Permasalahan institusional yang lain muncul melalui tumpang tindih/kekosongan badan otoritas. Misalnya, siapa (institusi mana) yang bertanggungjawab terhadap manajemen akuifer Merapi yang menjadi sumber bagi mayoritas air tanah di Yogyakarta? Apakah Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta? Kalau iya, apakah mereka memiliki kapasitas (instusi dan personal) untuk melakukan monitoring air tanah?
Halaman 8 dari 27
VI.
Pressure
VI.1. Sosial Berapa air minum yang dibutuhkan populasi Yogyakarta, Sleman, dan Bantul seperti terdapat dalam grafik pada Figure 2 di atas? Untuk menjawabnya, maka jumlah penduduk dalam grafik di Figure 2 dikalikan dengan kebutuhan air dalam Tabel 2. Hasilnya tertera pada Tabel 3. Untuk mencapai kondisi sedang, 1.114.833 penduduk Sleman membutuhkan air sebanyak 16.722.495-‐22.296.660 liter air per hari. Table 3: Kebutuhan Air Minum Warga Yogyakarta, Bantul, dan Sleman Kebutuhan air minimum dan menengah warga Yogyakarta, Bantul, dan Sleman Daerah
Populasi
Kebutuhan air
[orang]
Minimum
Sedang
(BPS, 2013)
[liter/hari]
[liter/hari]
Yogyakarta
394.012
1.970.060–2.758.084
5.910.180–7.880.240
Bantul
927.958
4.639.790–6.495.706
13.919.370–18.559.160
Sleman
1.114.833
5.574.165–7.803.831
16.722.495–22.296.660
Sampah kotoran manusia juga memperburuk kualitas air. Data penelitian pada 1998 menunjukkan hanya sekitar 9% populasi Kota Yogyakarta yang terhubungkan dengan sistem tata kelola air buangan (waste-‐water treatment). Artinya, lebih dari 90% populasi menggunakan sistem sanitasi yang langsung membuang air dari rumah tangga ke dalam tanah (soil), dalam kasus Yogyakarta dengan menggunakan sistem septictank (Putra dan Baier, tanpa tahun). Dampaknya terhadap kualitas air tergantung pada kualitas air yang menerima, komposisi dan konsentrasi kimia dalam air buangan. Beberapa dampak yang sering dibicarakan adalah peningkatan kandungan nutrient dan polusi bakterial (Owili, 2003). Nutrient adalah salah satu komponen dalam makanan yang dibutuhkan organisme untuk tumbuh. Kelebihan nutrient di dalam air (eutrofikasi) menimbulkan hypoxia (kekurangan oksigen). Hypoxia terjadi karena ekosistem akuatik mengalami kelebihan produksi yang ditandai dengan terjadinya ledakan alga (salah satu contohnya alga biru [Cyanobacteria]). Populasi alga yang tinggi akan menyebabkan laju fotosintesis yang tinggi. Artinya, kebutuhan akan oksigen juga tinggi, sehingga tubuh air mengalami kelangkaan oksigen. Hypoxia dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Selain itu, salah satu genus Cyanobacteria, Mycrocystis, mengandung microcystin yang beracun, baik terhadap manusia maupun ikan. Keracunan microcystin pada manusia dapat menyebabkan penurunan fungsi hati dan tak jarang berujung pada kematian (Smets, 2011; Huisman et al., 2005). VI.2. Ekonomi Sebagai driver di bidang ekonomi, maka perlu dihitung kebutuhan air dari sektor turisme. Berdasarkan data jumlah wisatawan yang datang ke Yogyakarta seperti disampaikan pada bagian “Driver”, maka dengan mengalikannya dengan kebutuhan air manusia dalam Tabel 2 dapat dihasilkan kebutuhan air para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Apa yang ada dalam Tabel 4 berikut hanya kebutuhan terhadap air minum Halaman 9 dari 27
untuk kondisi minimal dan sedang (3–4 liter/hari/orang) yang kemudian pada bagian bawah dikonversi menjadi kebutuhan tahunan. Table 4: Kebutuhan Air Wisatawan yang Datang ke Yogyakarta Jumlah dan kebutuhan air turis di Yogyakarta
Kebutuhan air minum
Minimum
Sedang
[liter/hari]
[liter/hari]
Jumlah turis per tahun [orang] (BPS, 2013)
Hingga
Lokal (%; lama hunian 1,58 hari)
95,81
Dari Hingga Dari 3.546.331 17.700.525 24.780.735 53.101.575 3.397.740 16.988.699 23.784.178 50.966.096
Asing (%, lama hunian 2,23 hari)
4,19
142.365
711.826
996.557
2.135.479
2.847.306
Kebutuhan air turis per tahun
Minimum
Sedang
[liter]
[liter]
Jenis turis
Dari
Hingga
Dari
Hingga
Asing
Total
Lokal
26.842.144 37.579.001 80.526.432 1.587.373 2.222.322 4.762.119 28.429.517 39.801.324 85.288.551
70.802.101 67.954.795
107.368.576 6.349.492 113.718.068
Dengan kebutuhan air untuk wisatawan seperti di atas, maka sangat wajar bahwa pembangunan hotel menjadi salah satu penyebab turunnya muka air tanah di Yogyakarta. Dalam kasus-‐kasus yang memicu gerakan protes terhadap hotel yang sudah ada dan penolakan pembangunan hotel, apartemen, dan mal di Yogyakarta, hotel-‐hotel biasanya mengambil air dari air tanah. Masalah krisis air karena hotel ini bukanlah barang baru. Kasus yang serupa sudah dialami oleh penduduk Bali yang menderita polusi karena air buangan dan salinisasi air tanah akibat ektraksi yang berlebihan. Dalam kasus Bali, hotel bintang lima membutuhkan 2.300 liter air per kamar per hari, bandingkan dengan dengan 400 liter/kamar/hari untuk akomodasi nonbintang, dan 77 liter per orang per hari di rumah tangga penduduk Bali (Warren, 2002: 237). Menurut ahli geologi, Eko Teguh Paripurno, ekstraksi air tanah berlebihan ini terjadi karena “sejumlah hotel berbintang yang menyedot air secara serampangan”. Penyedotan serampangan ini terjadi karena buruknya manajemen air hotel, dan pada akhirnya ini mengganggu ketersediaan air di sumur milik warga. Di sisi lain, hotel tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Memang ada argumentasi bahwa hotel-‐hotel mengebor sumur dalam, jadi tidak mengganggu sumur dangkal milik warga di sekitar hotel (Maharani, 2014). Pendapat bahwa keberadaan hotel dan apartemen menyebabkan turunnya air tanah muncul dalam press release penolakan warga Karangwuni RT01/RW01 di Jalan Kaliurang Km. 5 Yogyakarta terhadap pembangunan apartemen Uttara. Warga menyatakan bahwa “tidak ada jaminan bahwa air tanah di lingkungan didirikannya apartemen tidak terganggu atau tersedot/berkurang (tereksploitasi [sic]).” Sebab, “Berdasarkan narasumber pada kasus serupa, belum sampai dua tahun warga sudah Halaman 10 dari 27
mengeluhkan kekurangan air seperti terjadi pada warga sekitar Hotel Aston, Rich Hotel, dan Jambuluwuk” (Maharani, 2014). Selain pariwisata dan hotel, usaha lain yang memberikan pressure terhadap air dan ekosistem akuatik adalah industri batik. Sebuah studi di Malaysia memperlihatkan bahwa limbah buangan dari pabrik batik mengandung zat pewarna dan material organik serta sering kali dibuang tanpa perlakuan khusus (water treatment) dan langsung ke lingkungan, misalnya tanah dan sungai. Hal ini meningkatkan nilai Chemical Oxygen Demand (COD) air (Subki dan Rohasliney, 2011). COD adalah metode standar yang digunakan untuk pengukuran tidak langsung terhadap jumlah polusi yang tidak bisa dioksidasi secara biologi dalam tubuh air. Uji COD berdasarkan pada dekomposisi kimia dan kontaminan nonorganik yang terlarut atau tersuspensi dalam air. Hasil uji COD menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut dalam air (biasanya dinyatakan dalam part per million) yang dikonsumsi oleh kontaminan dalam dua jam proses dekomposisi dari larutan potassioum dichromate. Intinya, semakin tinggi nilai COD, maka semakin banyak jumlah polutan dalam sampel air yang diuji. Selain tekanan karena adanya pembangunan hotel dan usaha batik, masih ada tekanan yang muncul dari berbagai aktivitas ekonomi, misalnya dari sektor pertanian (penggunaan pupuk kimia buatan dan konversi lahan) dan sektor usaha di perkotaan seperti pom bensin, laundry dan usaha cuci mobil/motor.1 VI.3. Lingkungan Apa yang sudah terjadi dengan perubahan iklim di Yogyakarta? Kecenderungan yang dapat dilihat adalah adanya penurunan curah hujan pada Januari, Februari, Maret sejak 2002–2008 seperti ditunjukkan dalam grafik pada Figure 4. Pada Februari 2004 dan 2005 terjadi penurunan yang sangat dalam, dimana angka curah hujan menurun dari angka 465,1 mm pada 2003 menjadi 159 mm pada 2004 dan 2005. Interval waktu yang ada dalam data ini sangat pendek, sehingga jelas tidak bisa diklaim menjadi sebuah penjelas bahwa telah terjadi perubahan iklim di tingkat lokal di Yogyakarta. Data tersebut hanya menunjukkan kecenderungan curah hujan pada 3 bulan awal di 6 tahun berurutan.
1 Tekanan
dari usaha laundry dan cuci motor/mobil ini misalnya terungkap dalam rapat warga yang memprotes hotel serta menolak pembangunan hotel, mal, dan apartemen di Yogyakarta pada 29 September 2014 di Pendopo Hijau LKiS, Yogyakarta. Namun, dokumen ini tidak akan masuk lebih jauh ke sana, antara lain, karena keterbatasan waktu. Di masa depan, bersama komentar yang akan muncul, bukan tak mungkin analisis dokumen ini akan disempurnakan dengan poin-‐poin itu. Halaman 11 dari 27
Figure 4: Penurunan Curah Hujan pada Januari, Februari, Maret pada 2002–2008 di Yogyakarta
VI.4. Politik “Menimbang luas wilayah Kota Yogyakarta yang terbatas dan dalam rangka menjaga kualitas pelayanan pariwisata,” maka Walikota Yogyakarta merasa “perlu pengaturan pengendalian pembangunan hotel.” Pertimbangan ini kemudian terwujud dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel (selanjutnya peraturan ini akan disebut “Perwali Yogyakarta 77/2013”). Dalam Pasal 2 ayat (2) Perwali Yogyakarta 77/2013 disebutkan bahwa “Pengendalian ... dilakukan dengan menghentikan sementara penerbitan izin mendirikan bangunan hotel ....” Kemudian dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa “Pasal 2 ayat (2) berlaku sejak 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016.” Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “Permohonan IMB bangunan hotel yang telah terdaftar pada Dinas Perizinan sebelum 1 Januari 2014, maka perizinannya tetap diproses berdasarkan peraturan perundang-‐undangan yang berlaku.” Perwali Yogyakarta 77/2013 ini ditetapkan pada 20 November 2013. Respons terhadap Perwali Yogyakarta 77/2013 ternyata di luar dugaan (atau justru sebelumnya sudah terduga?). Adanya rentang antara penetapan Perwali Yogyakarta 77/2013 (20 November 2013) dan masa berlakunya (1 Januari 2014) menjadi celah bagi masuknya proposal pendirian hotel. Tercatat, “sejak rencana pembatasan hotel di kota Yogya [sic] diumumkan, kalangan investor dari berbagai daerah di Indonesia berlomba-‐lomba memasukkan permohonan izin sebelum tenggat. Jumlahnya mencapai 100 proposal” (Wicaksono, 2014).
Halaman 12 dari 27
VI.5. Institusional Tekanan yang muncul terhadap sumber daya air di Yogyakarta sebagai akibat dari tidak adanya institusi yang memiliki otoritas adalah tidak adanya kontrol terhadap ekstraksi air tanah. Dalam kasus perhotelan, misalnya, seperti disampaikan oleh Eko Teguh Paripurno, pada dasarnya “hotel menyedot air dengan cara mengebor yang sedotan airnya ‘mencuri’ air sumur di sekitar. Hotel-‐hotel itu tidak punya alat ukur sedotan air itu mengakibatkan berkurangnya air sumur’ [sic]. Teknologi pengukur ini bukannya tidak ada, namun hotel tidak mau mengeluarkan investasi untuk menerapkan teknologi ini.” Yang diharapkan, menurut Eko Teguh Paripurno, “Investasi itu seharusnya jujur, tidak merugikan pihak lain” (Maharani, 2014). Tekanan lain muncul dari masalah kurangnya kapasitas (intitusi dan personal). Hal ini menimbulkan masalah yang lain. Berita berikut bisa menjadi contoh: Kondisi muka air tanah di beberapa wilayah di DIY terus mengalami penurunan di setiap tahunnya. Makin tingginya pembangunan fisik dan konsumsi air baku menjadi penyebabnya. “Ada degradasi permanen rata-‐ rata 20 centimeter sampai 30 centimeter per tahun,” ungkap Kepala Bidang Energi Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum DIY, Edi Indrajaya saat ditemui Harian Jogja, Jumat (12/9/2014). Menurutnya, angka itu diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan semenjak 2012. Ia membagi penyebab faktor penurunan muka air tanah itu dari faktor alam dan manusia. Faktor alam karena adanya musim kemarau dan kemudian kemungkinan tertutupnya pori-‐pori tanah karena peristiwa vulkanik Gunung Merapi. Sedangkan faktor manusia karena semakin tingginya volume air yang diambil, belum lagi semakin gencarnya pembangunan fisik, sehingga membuat tergusurnya daerah resapan air. Ia mengatakan, penurunan muka air tanah itu belum mencapai 20% dari panjang kedalaman air tanah, sehingga DIY belum dikategorikan daerah rawan. Misalnya dengan kedalaman air tanah 100 meter, dengan penurunan yang terjadi setiap tahunnya itu belum mencapai 20 meternya sendiri. “Kalau dibiarkan bisa [rawan],” ujarnya. Sumber: http://www.harianjogja.com/baca/2014/09/15/air-‐di-‐jogja-‐ setiap-‐tahun-‐turun-‐30-‐centimeter-‐ini-‐penyebabnya-‐536326
Berita di atas menunjukkan bahwa birokrat yang bersangkutan tidak mengikuti perkembangan, atau sengaja tidak menyampaikan data, karena pada dasarnya air tanah di Yogyakarta sudah turun sejak 2006 (Maharani, 2014). Kalau mau sedikit lebih halus, susah mengharapkan pernyataan otoritatif periodik dari pemerintah yang melaporkan kondisi air tanah di Yogyakarta. Dengan kata lain, kondisi ini dapat terjadi karena tidak beresnya sistem monitoring dan pelaporan terhadap kondisi air tanah yang ada di Yogyakarta. VII.
State
VII.1. Kuantitas Air Dari segi kuantitas, terjadi penurunan terus-‐menerus pada permukaan groundwater (air tanah) di sekitar Yogyakarta. Berbagai angka muncul baik melalui artikel di jurnal Halaman 13 dari 27
ilmiah maupun pernyataan ahli di media. Meskipun tidak dalam semua kesempatan disebutkan bahwa muka air tanah yang turun ini maksudnya adalah akuifer Merapi yang berada di bawah Kota Yogyakarta, tetapi besar kemungkinan inilah yang dimaksud. Akuifer adalah formasi geologi dengan batuan yang mampu melalukan air, dan karena itu dia mampu menghasilkan air untuk digunakan sebagai sumber air (Astriningtyas dan Putra, 2006). Akuifer Merapi itu sendiri secara geomorfologi dapat dibedakan menjadi enam satuan, yaitu kerucut, lereng, kaki, dan dataran vulkanik, serta gumuk-‐pasir (Astriningtyas dan Putra, 2006). Dalam konteks geologi regional, Yogyakarta, Bantul, dan Sleman berada di atas akuifer Merapi. Dalam sistem akuifer Merapi terdapat dua sistem formasi geologi utama, yaitu Formasi Yogyakarta (bagian atas) dan Formasi Sleman (bagian bawah). Korelasi data bor menunjukkan bahwa ada lima lapisan kuarter di bawah kota Yogyakarta. Masing-‐masing lapisan terdiri dari gravel, pasir, pasir lepungan, dan fasies lempung, yang dipisahkan oleh lanau-‐lempung pasiran yang tidak menerus sebagai lapisan impermeable (tidak dapat melalukan air). Sebagai konsekuensi dari ketidakmenerusan lapisan impermeable ini, maka di beberapa bagian lapisan akuifer ini terhubungkan secara suksesif dari atas ke bawah. Artinya, air di bagian atas akuifer bisa mengalir ke bagian bawah (Putra, 2011). Dengan demikian, ia juga berlaku sebaliknya: kalau air di bagian bawah disedot, maka ia akan memengaruhi bagian atasnya. Figure 5-‐ 7 berikut memperlihatkan kodisi ketinggian daerah Yogyakarta dan sekitarnya serta akuifer Merapi.
Figure 5: Peta 3D Daerah Merapi, Yogyakarta dan Daerah Sekitarnya (Sumber: Putra dan Baier, tanpa tahun)
Halaman 14 dari 27
Figure 6: Profil Akuifer Merapi dengan Formasi Sleman dan Yogyakarta (Sumber: Putra, 2011)
Figure 7: Model Konseptual Akuifer Merapi (Sumber: Karnawati et al., 2006)
Berdasarkan simulasi untuk 10 tahun, Asriningtyas dan Putra (2006) sampai pada kesimpulan bahwa setiap tahun, apabila resapan tidak berkurang, maka batas yang terterima (acceptable) diekstrak dari akuifer Merapi dengan batasan daerah Sleman adalah 28,968 m3/hari (28.968 liter/hari). Dengan catatan, debit ekstraksi di bawah batas “terterima” di atas sangat dianjurkan. Dengan batas yang ada ini, kalau dihitung kebutuhan air minum (saja) per hari, maka angka ini sangat jauh dari cukup (lihat Tabel 5). Perlu dijelaskan bahwa simulasi untuk 10 tahun yang dikerjakan oleh Asriningtyas dan Putra (2006) ditekankan para area Sleman. Di daerah Sleman, untuk kebutuhan air minum saja bagi 1.114.833 orang,
Halaman 15 dari 27
dibutuhkan air sebanyak 3.344.499 hingga 4.459.332 juta liter/hari, sementara angka ekstraksi yang “terterima” dari akuifer Merapi hanya 28.968 liter/hari. Meskipun simulasi untuk 10 tahun yang dihitung oleh Astriningtyas dan Putra (2006) ditekankan untuk daerah Sleman, tetapi dalam Tabel 5 ditampilkan juga kebutuhan air minum di daerah Yogyakarta dan Bantul dengan tujuan memberikan ilustrasi tentang magnitude kebutuhan air minum warga di daerah ini. Angka-‐angka ini semakin dramatik kalau kebutuhan lain di luar air minum seperti yang ada pada Tabel 2 juga dihitung, mengingat kebutuhan untuk air minum lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan lain seperti kebersihan personal dan mencuci pakaian. Kekurangannya terhadap air minum ini ditutup dengan bermacam-‐macam cara, misalnya warga membeli air dalam botol, bukan dari ekstraksi air tanah, atau mengekstraksi air tanah dengan batas yang sudah melewati angka “terterima” di atas. Table 5: Volume air tanah yang mungkin diambil di Sleman dan perbandingan kebutuhan air minum di Yogyakarta, Bantul, dan Sleman Batas volume air yang mungkin diambil dari akuifer Merapi di Sleman dan kebutuhan air minum warga Batas
Kebutuhan air minum
[liter/hari]
[liter/hari]
Daerah
Dari
28.968
Populasi (BPS, 2013) [orang]
Hingga
3
Kebutuhan
Dari
Hingga
4 Yogyakarta
394.012
1.182.036
1.576.048
Bantul
927.958
2.783.874
3.711.832
Sleman
1.114.833
3.344.499
4.459.332
Total
2.436.803
7.310.409
9.747.212
Melihat angka di atas, tanpa data lebih lanjut, maka bisa dilihat betapa besarnya kekurangan sumber daya air untuk air minum saja, kalau mengandalkan akuifer Merapi sebagai satu-‐satunya sumber. Kemungkinan besar pula, data ekstraksi air tanah dari akuifer Merapi (untuk Yogyakarta, Sleman, dan Bantul), baik yang dilakukan oleh industri (PDAM, hotel, rumah sakit, dan sebagainya) maupun oleh rumah tangga, mungkin memang tidak tersedia, atau tidak terkelola dengan baik. Dengan demikian, pernyataan para ahli yang keluar di media maupun di jurnal ilmiah tentang turunnya air tanah di Yogyakarta bukanlah hal yang aneh. Justru data yang agak membingungkan adalah variatifnya angka penurunan muka air tanah yang disebutkan oleh para ahli tersebut, seperti dirangkum dalam Tabel 6. Meskipun secara sains hal ini bisa dijelaskan, bahwa bisa saja ada lokalitas yang khas dari tempat dan waktu mereka melakukan penelitian yang dikutip. Hanya saja, benang merah yang dapat ditarik: telah terjadi penurunan muka air tanah di Yogyakarta secara terus-‐menerus. Table 6: Variasi Angka Penurunan Muka Air Tanah di Yogyakarta Menurut Para Ahli Geologi No. Ahli 1 Eko Teguh Paripurno (Peneliti Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta) 2 Edi Indrajaya (Kepala Bidang Energi Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum DIY) Halaman 16 dari 27
Pernyataan Berdasarkan riset 2006, permukaan air tanah di Kota Yogyakarta terus menurun sebanyak 10-‐50 cm/tahun Berdasarkan penelitian sejak 2012, permukaan air tanah di DIY menurun
Sumber Maharani, 2014 Atmasari, 2014
No. Ahli 3 4
Heru Indrayana (Pakar hidrologi UGM. Catatan: sebenarnya mungkin adalah Heru Hendrayana—Bosman) Karnawati, D., Pramumijoyo, S., dan Hendrayana, H. (Geological engineering, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Pernyataan 20-‐30 cm/tahun Setiap tahunnya permukaan air tanah di DIY mengalami penurunan 30 cm
Sumber
Air tanah di Yogyakarta diperkirakan turun 10 cm per tahun.
Karnawati et al., 2006
Republika Online, 2006
VII.2. Kualitas Air VII.2.a. Nitrat Nitrat menjadi masalah bagi ekosistem akuatik karena dia dapat meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan berujung ke eutrofikasi yang dicirikan dengan munculnya pertumbuhan alga yang masif, dan pada akhirnya akan menyebabkan hypoxia dan hancurnya rantai makanan dalam ekosistem (Huisman et al., 2005). Selain itu, nitrat juga dapat beracun bagi organisme (Camargo dan Alonso, 2006). Jumlah nitrat yang banyak dapat menyebabkan methamoglobinaemia (berkurangnya kemampuan sel darah merah untuk melepaskan oksigen ke otot). Bayi berusia di bawah 3 bulan adalah kelompok yang paling rawan terhadap penyakit ini. Selain itu, nitrat juga dapat menyebabkan kanker pencernaan (Putra, 2010). Kandungan nitrat dalam air tanah di Yogyakarta dalam kerangka waktu memperlihatkan kecenderungan yang meningkat, seperti yang terdapat dalam Tabel 7. Sementara itu, distribusi spasial pada 2005 dapat dilihat pada peta di Figure 8. Table 7: Kandungan Nitrat dalam Air Tanah di Yogyakarta (Sumber: Putra, 2010).
Interval waktu
Konsentrasi nitrat [mg/L] Interval Musim hujan 1970-‐an-‐1980-‐an Tidak ada data–2,8 Musim hujan 1985 di Kota Yogyakarta 0,03–12,9 Musim hujan 1990 di Kota Yogyakarta Tidak ada data–30 1994-‐1996 di Kotagede 20–160 Musim hujan 1997 di Wirobrajan 1,6–35,4 Musim hujan 2005 di Kota Yogyakarta dan 0,28–151 sekitarnya
Halaman 17 dari 27
Rata-‐rata 1,2 2,8 2,1 -‐ 12,9 31,5
Figure 8: Distribusi Spasial Nitrat di Yogyakarta pada 2005 (Sumber: Putra, 2010)
VII.2.b. Bakteri Coli Bakteri e-‐coli pada dasarnya cuma indikator akan tingginya koloni bakteri dalam air. Untuk lebih spesifik soal bakteri apa saja yang berkoloni dengan bakteri e-‐coli tersebut, dibutuhkan penelitian dan data yang lebih detail. Umumnya, bakteri yang berasosiasi dengan bakteri e-‐coli adalah bakteri patogen yang menyebabkan penyakit seperti tifus dan diare. Pada akhir 2013, Pemkab Sleman mengeluarkan hasil penelitiannya. Data itu menunjukkan bahwa kualitas air tanah di Kabupaten Sleman banyak yang tercemar bakteri e-‐coli. Dari 5.270 air sumur milik warga, sebanyak 2.699 air sumur, atau 51,21%, tercemar bakteri e-‐coli (Atmasari, 2013). Sementara di Yogyakarta, pada 2010 ditemukan bahwa 70% air tanah juga tercemar oleh bakteri e-‐coli (Kompas, 2010).
VII.3. Intitusional Dari segi institusional, status yang teridentifikasi memperlihatkan kelemahan muncul dari tiga titik: (1) tidak adanya institusi yang memegang otoritas mengelola akuifer Merapi; (2) lemahnya kapasitas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam melayani kebutuhan warga; dan (3) lemahnya kapasitas lembaga yang mengelola data hidrometereologi. Sampai saat ini tidak ada lembaga yang bertanggungjawab mengelola akuifer Merapi. Lantas siapa yang bertanggungjawab melakukan monitoring terhadap kuantitas dan kualitas air di akuifer Merapi? Siapa yang memiliki otoritas melakukan pengecekan kalau terjadi “pencurian” yang dilakukan oleh sektor industri seperti yang disebutkan oleh salah satu pakar di atas? Siapa yang akan memantau apakah air buangan (effluent)
Halaman 18 dari 27
dari sektor rumah tangga, industri, dan pertanian tidak mencemari air tanah? Pertanyaan-‐pertanyaan ini menunggu untuk dijawab. Permasalahan selanjutnya adalah lemahnya kapasitas PDAM di Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. PDAM Tirtamartha Yogyakarta, meskipun menjadi PDAM terbaik nasional versi Musyawarah Perusahaan Air Minum Nasional (Mapamnas) 2013 di Palembang, tetapi belum mampu menyediakan koneksi pipa air minum bagi semua warga Kota Yogyakarta. Pada 2013, PDAM Tirtamartha baru memiliki 33.750 pelanggan (Jogjakota.go.id, 2013). Kemungkinan besar kelompok yang dilayani adalah kelompok elite perkotaan. Dengan demikian, kalau mau dilihat secara historis, sebenarnya kondisi ini tidak jauh beda dengan kondisi Batavia di bawah pemerintahan kolonial, dimana diskriminasi terjadi karena yang menjadi prioritas pelayanan adalah masyarakat kelas atas Eropa yang tinggal di Batavia (Kooy, 2008). Padahal, harga air di pengecer sering kali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PDAM, sehingga masyarakat yang tidak memiliki koneksi akan mengeluarkan belanja ekstra untuk kebutuhan airnya dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki koneksi (Kooy, 2014; Swyngedow, 2004). PDAM Kabupaten Sleman pun tidak jauh beda. Pada 2013, dia hanya mampu melayani 60% dari populasi Kabupaten Sleman (Slemankab.go.id, 2013). Sementara itu, PDAM Kabupaten Bantul pada akhir 2008 tercatat memiliki 11.697 pelanggan (Prihtiyani, 2009). Ditinjau dari segi status, berdasarkan penilaian Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (2010), dari ketiga perusahaan ini, hanya PDAM Yogyakarta yang memiliki status sehat, sementara PDAM Bantul berstatus kurang sehat dan PDAM Sleman berstatus sakit. Dalam hal manajemen informasi, tidak satu pun dari ketiga perusahaan ini yang memiliki website yang profesional. PDAM Sleman memiliki laman di blog gratis dan tidak diperbarui secara rutin. Padahal, pada 2012, PDAM Sleman mampu meraih keuntungan sebesar Rp565.000.000 (Slemankab.go.id, 2013). Berdasarkan data bahwa ada 22 PDAM di Indonesia yang terindikasi kasus korupsi (Kautsar dan Aria, 2014), maka sangat wajar hal-‐hal seperti ini mengundang pertanyaan. Di bidang data hidrometereologi, kelemahan juga muncul berupa susahnya mendapatkan data. Padahal, tanpa data yang kuat, sangat mustahil membangun model hidrometereologi yang akurat. Untuk sebuah skenario perubahan iklim, misalnya, dibutuhkan data curah hujan dalam skala catchment selama 30 tahun untuk bisa benar-‐ benar melihat apakah yang terjadi adalah sebuah perubahan atau variasi iklim, karena rentang waktu 30 tahun adalah waktu osilasi siklus iklim (Ntegeka dan Willems, 2008). Dari tiga badan yang mungkin memiliki data ini: (1) Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika; (2) Dewan Sumber Daya Air Yogyakarta; dan (3) Dinas Pekerjaan Umum-‐ Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta, tidak satu pun yang memiliki data curah hujan dalam bentuk time series dan bisa diakses dengan mudah, misalnya melalui website. Sementara itu, model-‐model yang disediakan oleh lembaga seperti International Panel on Climate Change (IPCC) dan bisa diakses di internet adalah data hidrometereologi global. Artinya, untuk bisa dipakai di tingkat lokal (catchment), perlu di-‐downscale. Sangat susah melihat kondisi perubahan lingkungan yang lebih luas yang sedang terjadi di Yogyakarta, terutama karena terbentur masalah data. Misalnya, untuk masalah suhu udara rata-‐rata. Situs BPS menyediakan data, tetapi tidak terlalu banyak berguna. Dalam tautan berikut: [http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=151], Halaman 19 dari 27
ada data suhu udara dan curah hujan tahunan dalam rentang waktu 2000–2011. Namun, data ini juga tidak lengkap. Misalnya, untuk suhu udara (minimum, rata-‐rata, dan maksimum), ada data yang bolong untuk tahun 2005, 2006, dan 2010. Dengan demikian, masih sangat jauh untuk dapat diterima dari sudut pandang statistik dimana dibutuhkan data time series 30 tahun dengan alasan seperti disampaikan pada bagian di atas. VIII.
Impact
Kombinasi dari perubahan iklim yang memperparah momen ekstrim hidrologi seperti kekeringan sehingga memicu krisis air yang semakin parah, serta buruknya kualitas dan kuantitas air yang disediakan oleh perusahaan air milik pemerintah daerah seperti PDAM, berkonsekuensi pada makin tingginya pengeluaran warga. Dalam konteks seperti ini, untuk memenuhi kebutuhan air minum, air botol kemasan adalah pilihan bagi warga karena selain itulah yang ada, ia juga melambangkan kesehatan, modernitas, dan kemajuan di dalam dirinya (Engel, 2006: 30). Dari sisi konsumen, ini adalah sebuah kerugian. Sebab, untuk 1 galon air dalam botol kemasan seperti Aqua berisi 19 liter, konsumen harus mengeluarkan uang sekitar Rp14.000 (tanpa galon). Sedangkan harga air PDAM seperti di Yogyakarta untuk 1 M3 (1.000 liter) berharga Rp2.500 untuk golongan rumah tangga A-‐1, Rp3.500 untuk golongan rumah tangga A-‐2, dan Rp4.000 untuk golongan rumah tangga A-‐3 (Yulianingsih, 2013). Untuk harga paling mahal dari PDAM di Yogyakarta di atas, maka air Aqua galon kira-‐kira 184 kali lebih mahal.2 Sebagai konsekuensi dari miskinnya manajemen data yang baik, maka sangat susah pula menghasilkan sebuah model air (baik air tanah, permukaan, maupun prediksi hidrologi) yang akurat. Dalam kondisi yang sangat miskin data ini, sebenarnya banyak argumentasi yang muncul di publik tidaklah berdasarkan data sains yang kuat. Misalnya, sosialisasi seperti yang dilakukan oleh Fave Hotel dimana perwakilan Hotel menyatakan bahwa aktivitas sumur bor mereka tidak akan menyebabkan turunnya muka air tanah dan menggangu sumur warga,3 dengan demikian, pada dasarnya tidak didukung argumentasi yang kuat. Dalam bahasa seorang pakar, kedua pihak, baik pemerintah melalui Badan Lingkungan Hidup dan pihak Fave Hotel, serta warga yang meyakini bahwa turunnya air sumur mereka dikarenakan oleh aktivitas hotel, sama-‐ sama asumtif. Karena ketidakjelasan data ini, maka langkah yang terbaik adalah tidak ada pembangunan hotel.4
2 Di
kalangan warga Yogyakarta, ada pilihan lebih suka memakai sumur daripada air PDAM. Dengan menggunakan sumur, maka pemenuhan kebutuhan air tidak perlu bayar. Sementara kalau memakai air PDAM, mereka harus bayar setiap bulan. Hal ini diperparah oleh pelayanan PDAM yang buruk, baik dari segi kuantitas maupun kualitas air (Kautsar dan Aria, 2014). Cara pandang seperti ini juga keluar dalam diskusi kalangan yang tergabung dalam aliansi “Jogja Asat”, aliansi warga kota Yogyakarta yang menolak pembangunan mal, hotel, dan apartemen pada 1 Oktober 2014 di Kantor IVAA, Yogyakarta. 3 Informasi tentang sosialisasi yang dilakukan Fave Hotel terhadap warga didapatkan dari Dodok Putra
Bangsa melalui rapat warga yang menolak pembangunan hotel, mal, dan apartemen di Yogyakarta pada 29 September 2014 di Pendopo Hijau LKiS, Yogyakarta. 4 Pendapat ini disampaikan oleh Eko Teguh Paripurno dalam rapat di Pendopo Hijau LKiS, 29 September
2014. Halaman 20 dari 27
IX.
Response
Hampir tidak ada respons struktural dari pemerintah terhadap permasalahan krisis air yang melanda Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Respons seperti Perwali Yogyakarta 77/2013 justru kontraproduktif karena memicu lebih banyak proposal pendirian hotel. Terlepas dari payahnya manajemen data hidrometereologi sehingga mudah diakses dan digunakan, kelompok masyarakat seperti warga kota dan petani di tingkat lokal yang langsung berhadapan dengan masalah ini memberikan respons kreatif. Masalah pendirian mal, hotel, dan apartemen disambut dengan munculnya berbagai gerakan penolakan dari warga kota seperti penolakan apartemen Uttara, protes terhadap Fave Hotel (Prima, 2014), dan “Jogja Asat”. Respons lain, misalnya, dengan tujuan membangun sistem pertanian yang mandiri, muncul dari gerakan Permablitz di Yogyakarta yang menanam bahan makanan di lahan kosong di Kota Yogyakarta (Reza, 2013). Meskipun yang disebut terakhir tidak secara tegas menyatakan bahwa gerakan mereka adalah tanggapan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta, tetapi praktik berkebun bahan pangan di lahan kota bisa dilihat sebagai bagian dari respons terhadap perubahan lingkungan, misalnya iklim dan tata guna lahan. Secara langsung, kegiatan berkebun bisa berkontribusi terhadap kondisi sumber daya air di Yogyakarta karena area perekbunan bisa memperluas area serapan air di tengah kota. Di tingkat petani, dampak siginifikan perubahan iklim terhadap petani adalah gagal panen, menurunnya produksi pertanian, dan degradasi kualitas lingkungan pertanian (Subejo dan Supriyanto, 2012). Dalam kasus petani lahan pasir di Kulonprogo, ada banyak strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yang muncul, misalnya: pembibitan varietas tertentu, diversifikasi produk pertanian, menanam tanaman yang memecah angin, mempertahankan semak yang bisa mengikat pasir, pemanfaat lahan maksimum, pemakaian sistem pengairan yang efektif, modifikasi jadwal tanam, pengorganiasian kelompok tani untuk penyediaan bahan pertanian, dan mengembangkan pasar dengan sistem lelang (Subejo dan Supriyanto, 2012). Sama seperti gerakan Permablitz, memang sependek yang dapat diakses dalam penulisan dokumen ini, tidak ada pernyataan spesifik dari kelompok petani lahan pasir di Kulonprogo bahwa praktik pertanian mereka adalah respons terhadap krisis sumber daya air di Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, bila kita sudah mencermati analisis dan data yang disampaikan di atas, dimana krisis air tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perubahan iklim yang berskala global, maka dengan perspektif seperti ini praktik pertanian di Kulonprogo secara otomatis menjadi respons (sadar atau tidak) terhadap krisis air yang menjadi permasalahan yang dibahas dalam dokumen ini.
Halaman 21 dari 27
X.
Rekomendasi
Dari analisis DPSIR di atas, dokumen ini menghadirkan beberapa rekomendasi kepada: X.1. Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta 1. Hentikan pembangunan mal, apartemen, dan hotel di Yogyakarta karena tidak ada data sains yang cukup tentang kondisi air tanah. Meskipun ada argumentasi bahwa penurunan muka air tanah terjadi karena pemanasan global (Republika Online, 2006), justru hal itu seharusnya dilihat dalam konteks pemanasan global yang sedang berlangsung. Maksudnya, pembangunan hotel, apartemen, dan mal menambah tekanan (pressure) terhadap ketersediaan air dan eksosistem akuatik di sekitar Yogyakarta. 2. Dirikan badan khusus yang mengurusi permasalahan air tanah dengan tugas utama: a. Monitoring terhadap akuifer Merapi b. Mengonsolidasikan data hidrologi yang ada dan terserak di berbagai instansi sehingga mudah diakses, termasuk di sini adalah data yang ada di semua hotel yang sudah ada di Yogyakarta. Yang disebut terakhir ini mengandaikan hotel-‐hotel memiliki sumur bor sendiri. Contoh lain, perusahaan seperti Aqua-‐Danone memiliki stasiun pencatat curah hujan (rain gauge station) di daerah Gunung Merapi; data dari sektor swasta seperti ini juga harus dikonsolidasikan oleh badan ini. c. Mengonsolidasikan dan mengoordinasikan semua “development projects” dan donor di bidang air yang ada di Yogyakarta. d. Membuat indikator hotel, aparteman, mal, dan kondominium yang ramah lingkungan dengan mengeluarkan “indeks air”. e. Membangun sistem “interface” antara sains dan kebijakan, dimana produk sains bisa dipahami dengan mudah oleh pembuat kebijakan, dan sebaliknya kebutuhan di sektor kebijakan bisa masuk menjadi agenda riset (Batubara et al., 2014). X.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Antikorupsi 1. Investigasi semua proses pembangunan hotel, apartemen, dan mal di Indonesia dengan memakai Yogyakarta sebagai kasus pertama (mengingat ketersediaan data dan gerakan warga sudah muncul di Yogyakarta). Indikasi korupsi di sektor ini sebenarnya sudah terdeteksi oleh Wakil Ketua KPK (Radar Jogja, 2014). 2. Investigasi 402 entitas penyedia air di Indonesia karena ada 22 PDAM yang terindikasi korupsi pada 2014. Rendahnya kualitas pelayanan PDAM, salah satunya, terjadi karena korupsi. X.3. Komnas HAM Pastikan bahwa pemenuhan HAM atas air bisa berjalan dengan baik melalui kerjasama dengan berbagai instansi di atas. X.4. Universitas Galakkan penelitian tentang kualitas dan kuantitas air serta dampak perubahan iklim terhadap status air.
Halaman 22 dari 27
X.5. Warga Perkuat gerakan ideologis warga yang sadar bahwa air adalah HAM serta, sadar akan posisi mereka sebagai subyek dalam tata kelola sumber daya air, serta sadar akan kondisi sosial, lingkungan, ekonomi, dan institusi di bidang air.
Halaman 23 dari 27
XI.
Tentang Penulis
Bosman Batubara adalah alumnus Jurusan Teknik Geologi UGM (2005) dan Interuniversity Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussel, Belgia (2012) dengan predikat cum-‐laude. Pernah bekerja sebagai exploration geologist di PT KPC. Terlibat advokasi akar rumput beberapa kasus agraria, seperti Lumpur Lapindo di Porong, konflik tambang emas PT Sorikmas Mining di Mandailing Natal, dan konflik lahan petani versus TNI AD di Urutsewu, Kebumen. Sejauh ini sudah terlibat dalam menulis beberapa buku: (1) Zuber, M. 2010. Titanic Made by Lapindo (diterjemahkan dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris oleh B. Batubara dan S. Masykur). Lafadl Initiatives dan Taiwan Foundation for Democracy. Yogyakarta. Indonesia; (2) Prasetia, H. dan Batubara, B. (editor dan kontributor), 2010. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil, Desantara Foundation, Depok; (3) Batubara, B. dan Utomo, P.W., 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, INSIST PRESS, Yogyakarta; (4) kontributor dalam Novenanto, A. (editor) 2013. Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial Atas Kasus Lapindo (Sebuah Bunga Rampai). Kanisius dan MediaLink. Indonesia; (5) Batubara, B., (akan terbit). Mengusir PT Sorikmas Mining. Komunitas Kembang Merak; dan (6) Batubara, B. (editor, akan terbit). Komitmen Sosial Seni dan Sastra dalam Menegakkan Kedaulatan Tanah Petani Urutsewu, Kebumen, Jawa Tengah. Selain itu, beberapa tulisannya dimuat dalam publikasi nasional dan internasional. Email:
[email protected]
Halaman 24 dari 27
XII.
Acuan
-‐, 2014. Press Release Aksi Tolak Apartemen “Uttara” di Jl. Kaliurang Km. 5 Yogyakarta. Astriningtyas, V. and Putras D.P.E., 2006. Ten year groundwater simulation in Merapi Aquifer, Sleman, DIY, Indonesia. Indonesian Journal of Geography, 38(1), pp. 1-‐14. Atmasari, N. (editor), 2014. Air di Jogja: Setiap tahun turun 30 centimeter, ini penyebabnya. Harian Jogja: http://www.harianjogja.com/baca/2014/09/15/air-‐di-‐ jogja-‐setiap-‐tahun-‐turun-‐30-‐centimeter-‐ini-‐penyebabnya-‐536326; diakses pada 30 September 2014. Atmasari, N., 2013. Duh, 51% sumur di Sleman tercemar Bakteri E-‐coli. Sumber: http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/09/pencemaran-‐air-‐sumur-‐duh-‐51-‐ sumur-‐di-‐sleman-‐tercemar-‐bakteri-‐e-‐coli-‐463935; diakses pada 30 September 2014. Batubara, B., Batelaan, O. and Quevauviller, P. (2014), Science-‐policy interfacing on the issue of groundwater and groundwater-‐dependent ecosystems in Europe: implications for research and policy. WIREs Water. Doi: 10.1002/wat2.1041 Biro Pusat Statistik, 2013. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013. Halaman 68. Camargo, J. A. and Alonso, Á., 2006. Ecological and toxicological effects of inorganic nitrogen pollution in aquatic ecosystems: A global assessment. Environment International, 32: 831-‐849. Doi: 10.1016/j.envint.2006.05.002. Engel, L., 2006. Piped dreams drinking water for the urban poor: The management of a common-‐pool resource in Yogyakarta (Master thesis). Faculty of Cultural Anthropology and Development Sociology, Universität Leiden. European Environment Agency, 2011. DPSIR Framework. Dapat diakses di is published in http://www.eea.europa.eu/; diakses pada 20 April 2012. Huisman J, Matthijs H, Visser P. 2005. Harmful Cyanobacteria. Dordrecht, Springer. Jogjakota.go.id., 2013. PDAM Tirtamartha raih penghargaan PDAM kota terbaik. Dapat diakses di: http://www.jogjakota.go.id/news/PDAM-‐TIRTAMARTA-‐RAIH-‐ PENGHARGAAN-‐PDAM-‐KOTA-‐TERBAIK; diakses pada 30 September 2014. Kagalou, I., Leonardos, I., Anastasiadou, C., and Neofytou C., 2012. The DPSIR approach for an integrated river management framework. A pleriminary application on a Mediterranean site (Kalamas River-‐NW Greece). Water Resources Management. Doi: 10.1007/s11269-‐012-‐9980-‐9. Karnawati, D., Pramumijoyo, S. and Hendrayana, H., 2006. Geology of Yogyakarta, Java: The dynamic of volcanic arc city. IAEG2006 Paper number 363. Kautsar, M. dan Aria, N., 2014. Sengketa pelayanan air dan korupsi PDAM. Literasi.co: http://literasi.co/Sengketa.Pelayanan.Air.dan.Korupsi.PDAM; diakses pada 30 September 2014. Kompas, 2010. 70 persen air tanah tercemar. Diakses di: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/03/17/13534566/70.Persen.Air.Tanah.Te rcemar; diakses pada 30 September 2014. Kooy, M. É. 2008. Relations of Power, Networks of Water: Governing urban waters, spaces, and population in (post)colonial Jakarta. Disertasi Ph.D. The University of British Columbia. Halaman 25 dari 27
Kooy, M. É., 2014. Developing Informality: The production of Jakarta’s urban waterscape. Water Alternatives , 7(1), pp. 35-‐53. Maharani, S. 2014. Ahli Geologi: Muka air tanah Yogyakarta terus turun. Tempo Interaktif: http://www.tempo.co/read/news/2014/09/27/058610070/Ahli-‐Geologi-‐ Muka-‐Air-‐Tanah-‐Yogyakarta-‐Terus-‐Turun, diakses pada 29 September 2014. Ntegeka V., Baguis P., Boukhris O., Willems P., and Roulin E., 2008. Climate change impact on hydrological extremes along rivers and urban drainage systems. II. Study of rainfall and ETo climate change scenarios (Technical report). Belgian Science Policy – SSD Research Programme, Technical report CCI-‐HYDR project by K.U.Leuven – Hydraulics Section & Royal Meteorological Institute of Belgium, May 2008, p. 112. Ntegeka V., Willems P., 2008. “Climate change impact on hydrological extremes along rivers and urban drainage systems. III. Statistical analysis of historical rainfall, ETo and river flow series trends and cycles (Technical report). K.U.Leuven – Hydraulics Section & Royal Meteorological Institute of Belgium, May 2008, p. 37. Nurainun, Heriyana dan Rasyimah, 2008. Analisis Industri Batik di Indonesia. Fokus Ekonomi, 7(3), hlm.124-‐135. ISSN: 1412-‐3851. Owili, M.A., 2003. Assessment of Impact Sewage Effluents on Coastal Water Quality in Hafnarfjordur, Iceland (Final Project). The United Nation University. Perda DIY 2/2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-‐ 2025. Bappeda Tahun 2009. Perpamsi, 2010. Peta Masalah PDAM. News letter Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia, Edisi Desmber 2010. Prihtiyani, E., 2009. Pelanggan PDAM Bantul hanya tumbuh 2 persen. KOMPAS: http://travel.kompas.com/read/2009/01/29/17232473/pelanggan.pdam.bantul.hany a.tumbuh.2.persen; diakses pada 30 September 2014. Prima, S.W., 2014. Bahaya sumur kering, warga Karangwuni tolak Apartemen. Media Literasi: http://literasi.co/Bahaya.Sumur.Kering.Warga.Karangwuni.Tolak.Apartemen; diakses pada 1 Oktober 2014. Putra, D.E.P., 2010. Groundwater nitrate concentration under unsewered area og Yogyakarta city—Indonesia. Journal of South East Asian Application Geology, V 2(1), pp. 20-‐7. Putra, D.E.P., 2011. Evolution of groundwater chemistry on shallow aquifer of Yogyakarta city Urban Area. Journal of South East Asian Application Geology, 3(2), pp.116-‐126. Putra, D.P.E. and Baier, K. -‐. Impact of urbanization on grounwater recharege—the Example of the Indonesian Million City Yogyakarta. Quevauviller, P., 2011. Social, environmental, economic, political and institutional aspects of integrated water management (Lecture Notes). IUPWARE, Belgium. Radar Jogja, 2014. KPK cium aroma di balik izin hotel. Radar Jogja: http://www.radarjogja.co.id/blog/2014/09/30/kpk-‐cium-‐aroma-‐di-‐balik-‐izin-‐hotel/; diakses pada 1 Oktober 2014.
Halaman 26 dari 27
Republika Online, 2006. Permukaan air tanah di DIY setiap tahun turun 30 Cm. Dapat diakses di: http://www.republika.co.id/berita/shortlink/87329; diakses pada 30 September 2014. Reza, A., 2013. Makin food politics personal. Inside Indonesia: http://www.insideindonesia.org/current-‐edition/making-‐food-‐politics-‐personal; diakses pada 1 Oktober 2014. Slemankab.go.id., 2013. PDAM Sleman berikan harga propmosi dalam rangka hari jadi Sleman. Dapat diakses di: http://www.slemankab.go.id/4581/pdam-‐sleman-‐berikan-‐ harga-‐promosi-‐dalam-‐rangka-‐hari-‐jadi-‐sleman.slm; diakses pada 30 September 2014. Smets, I., 2011. Water quality assessment, monitoring, and treatment. Laboratory of (Bio)Chmeical Process Technology and Control—KU Leuven. Leuven, Belgium. Subejo and Supriyanto, 2012. Adapting to climate change: Learning from the grassroots. Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/26/adapting-‐climate-‐ change-‐learning-‐grassroots.html; diakses pada 1 Oktober 2014. Subkhi, N.S. and Rohasliney, H., 2011. A preliminary study on batik effluent in Kelantan State: A water quality perspective. International Conference on Chemical, Biological and Environment Sciences (ICCEBS’ 2011). Bangkok. Swyngedow, E. 2004. Social Power and the Urbanization of Water: Flows of power. New York: Oxford University Press. UN Water, 2006. A shared responsibility: The United Nations World water development report 2. United Nation General Assembly, 2010. 64/292. The human right to water and sanitation. Walikota Yogyakarta, 2007. Keputusan Walikota Yogyakarta 617/2007 tentang Rencana Aksi Daerah Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007-‐2011. Walikota Yogyakarta, 2013. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Warren, C., 2002. Tanah Lot: the cultural and environmental politics of resort development in Bali, dalam Hirsch, P., and Warren, C. (editors), “The politics of environment in southeast asia,” London, Rotledge; 229-‐262. WHO, undated. Minimum Water Quantity Needed for Domestic Use in Emergencies (Technical Notes for Emergencies). World Health Organization; dapat diunduh pada: http://www.searo.who.int/LinkFiles/List_of_Guidelines_for_Health_Emergency_Minimu m_water_quantity.pdf; diakses pada 3 April 2012. Wicaksono, P., 2014. Moratorim Hotel di Yogya Terancam Gagal. Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/01/06/198542577/Moratorium-‐Hotel-‐di-‐ Yogya-‐Terancam-‐Gagal; diakses pada 29 September 2014. Yulianingsih, 2013. PDAM Yogya lakukan rasionalisasi. Republika Online: http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-‐tengah-‐diy-‐ nasional/13/08/30/msbj28-‐pdam-‐yogya-‐lakukan-‐rasionalisasi-‐tarif; diakses pada 30 September 2014.
Halaman 27 dari 27