KO-168
0196: Yohanis Ngili dkk.
ANALISIS DNA MITOKONDRIA MANUSIA MELALUI KARAKTERISASI HETEROPLASMI PADA DAERAH PENGONTROL GEN 1)
Yohanis Ngili,1,*) Hendrikus M.B.Bolly,2) dan Richardo Ubyaan3) Jurusan Kimia, Faklutas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Cenderawasih Jl. Kamp Wolker Kampus Baru Waena, Jayapura, Papua Telp/Fax. 0967-572115, e-Mail:
[email protected] 2) Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih 3) Program Studi Kimia, FKIP, Universitas Cenderawasih Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Pengungkapan mutasi penyebab penyakit akibat mutasi mtDNA (mitochondrial cytopathies) serta ekspresi biokimia dan manifestasi kliniknya akan meletakkan dasar-dasar pendekatan kelainan mitokondria, termasuk menentukan kriteria untuk membedakan mutasi mtDNA penyebab penyakit dari polimorfisme nukleotida tunggal (SNP/single nucleotide polymorphisms). Tujuan dari riset ini adalah menentukan varian genom manusia Indonesia pada daerah pengkode gen melalui pendekatan kloning dan karakterisasi mtDNA, penentuan genotype mutasi tertentu sehingga dapat melengkapi data varian mtDNA yang berkaitan penyakit maternal. Konsep penting mengenai heteroplasmi mtDNA muncul dari hasil riset bahwa pada kasus-kasus CPEO ini, spesies mtDNA yang membawa delesi besar tersebut bersama (co-exists) dengan mtDNA normal di dalam sel. Proporsi mtDNA termutasi relatif ke mtDNA normal merupakan salah satu faktor yang menentukan ekspresi mutasi di jaringan manusia. Contoh lain mutasi penyebab penyakit pada manusia adalah mutasi mtDNA penyebab LHON. Mutasi penyebab LHON pada gen penyandi subunit ND4 kompleks respirasi I (G11778a, G3460a), yang merupakan cacat molekul mtDNA. Riset ini dimulai dengan pengambilan sampel individu dengan kriteria yang diinginkan yang memenuhi kriteria eksklusi pasien mengalami mutasi dan bersifat heteroplasmi. Hasil riset ini, kami laporkan bahwa variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel yang sama menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu tertentu, yang juga dikenal sebagai heteroplasmi. Fenomena ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya sekuen daerah HVSI D-loop yang memiliki poli-C melalui metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya beberapa subpopulasi yang berbeda dalam satu sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa nukleotid mtDNA akibat perbedaan panjang rangkaian poli-C. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang mengandung urutan poli-C melalui direct sequencing dengan variasi komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting dalam mempelajari mutasi-mutasi mtDNA yang berhubungan dengan penyakit (disease-related mutations). Kata kunci: Kloning, mtDNA, Heteroplasmi, Mutasi, Penyakit
I. PENDAHULUAN Riset DNA mitokondria dan aplikasi-aplikasinya dalam berbagai bidang penelitian telah memberikan banyak manfaat. Salah satu tonggak penting yakni berhasilnya penentuan urutan nukleotida mtDNA manusia secara lengkap dengan ukuran 16.569 pasang basa (pb) yang tersusun dalam bentuk lingkaran (sirkuler) dan urutan revisinya [1-2]. Penemuan Anderson dan Andrews ini berdasarkan konvensi, selanjutnya dijadikan standar dalam berbagai studi genetika molekul terutama yang berkaitan dengan polimorfisme mtDNA manusia. Organisasi mtDNA
manusia terdiri atas gen-gen penyandi rRNA 12S dan 16S, 22 tRNA, dan 13 protein sub unit kompleks enzim rantai respirasi. MtDNA juga memiliki urutan nukleotida non penyandi (non-coding region) yang disebut dengan daerah Displacement-loop (D-loop) [3-4]. Mitokondria memiliki genomnya sendiri yang berbeda dengan genom inti yang terdapat pada matriksnya, yang dikenal sebagai DNA mitokondria [5-6]. MtDNA berbentuk sirkuler dan memiliki untai ganda yang terdiri atas untai Heavy (H) dan untai Light (L). Penamaan ini didasarkan pada perbedaan densitas tiap untai dalam
KO-169
0196: Yohanis Ngili dkk. gradien denaturan cessium chloride (CsCl), di mana untai H memiliki berat molekul yang lebih besar dibandingkan dengan untai L karena untai H memiliki lebih banyak basabasa purin yang memiliki dua buah cincin pada strukturnya. Untai L memiliki komposisi basa sebagai berikut T 24,7%, C 31,2%, A 30,9%, dan G 13,2%. Dapat dilihat bahwa komposisi basa purin (A+G) lebih kecil (44,1%) dibandingkan dengan basa pirimidin (T+C), yaitu 55,9% [78]. MtDNA tidak memiliki intron dan semua gen pengode terletak berdampingan [1,9]. Selain gen pengode tadi, DNA mitokondria memiliki daerah yang tidak mengkode, mulai dari nukleotida 16024 sampai 576 dan terletak di antara gen tRNApro dan tRNAphe. Daerah yang tidak mengode ini mengandung daerah dengan variasi tinggi yang disebut dengan displacement loop (D-loop) [10]. D-loop memiliki dua daerah yang sangat bervariasi, yaitu HVS I pada nukleotida 16024-16383 dan HVS II pada nukleotida 57-372. Selain Dloop, daerah yang tidak mengode juga mengandung origin of replication untuk untai H (OH) dan promoter untuk untai H dan L (PL dan PH), oleh karena itu sering disebut daerah pengontrol (control region). Selain mengandung daerah dengan variasi tinggi, daerah yang tidak mengode juga memiliki tiga daerah yang lestari, yang disebut dengan Conserved Sequence Block (CSB) I, II, dan III. Daerah yang lestari ini diduga memegang peranan penting dalam replikasi mtDNA [11-12].
II. METODE PENELITIAN Strategi pelaksanaan riset untuk mendapatkan data primer/data laboratorium urutan nukleotida terbagi dalam tiga tahapan pelaksanaan utama yakni Isolasi dan PCR dengan metode repli-G, kloning dan rekombinasi mtDNA, dan sekuensing serta analisis mutasi nukleotida pada sampel manusia serta menemukan-pengujian mutasi penyebab penyakit. Pengolahan data sekunder mtDNA terdiri dari sejumlah tahapan proses penyusunan dan penjajaran (alignment) basis data variasi nukleotida pada daerah polimorfik mtDNA manusia serta diakhiri dengan analisis variasi nukleotida berdasarkan basis data yang disusun berdasarkan mutasi mtDNA penyebab penyakit. Tahapan pengolahan data sekunder adalah meliputi: pengumpulan data mtDNA manusia dari GenBank dan konsorsium penyedia data nukleotida lengkap seperti EMBL dan DDBJ; penentuan variasi nukleotida terhadap CRS maupun rCRS; penyusunan basis data variasi nukleotida, pembuatan matriks variasi nukleotida mtDNA penyebab penyakit, penjajaran data variasi nukleotida terhadap CRS; dan analisis variasi mutasi
nukleotida mtDNA manusia dari Indonesia dikomparasi dengan data mutasi pada mitomap.
III.
yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab ketidakberhasilan penentuan urutan daerah HVSI mtDNA manusia yang mengandung poli-C malalui direct sequencing dan keberhasilan sekuensing setelah kloning diduga terjadi karena adanya fenomena heteroplasmi. Pada bagian ini akan disajikan hasil dan pembahasan untuk menguji hipotesis tersebut dalam empat bagian besar yang meliputi (1) Screening klon rekombinan (2) Isolasi DNA plasmid, (3) Sekuensing DNA plasmid dan (4) Analisis urutan secara in-silico daerah HVI dan HV2 DNA mitokondria manusia. A. Screening klon rekombinan Tahapan screening ini dilakukan untuk melihat apakah klon-klon dari dua sampel individu berbeda, yang disimpan dalam stok gliserol mengandung plasmid yang membawa DNA sisipan daerah HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb. Vektor plasmid yang digunakan adalah pGEM-T (Gambar 1). Vektor pGEM-T memiliki beberapa gen yang penting untuk proses screening, di antaranya gen resisten ampisilin (Ampr) yang
mengkode
-laktamase.
Enzim
ini
akan
mendegradasi ampisilin sehingga bakteri yang membawa plasmid pGEM-T dapat tumbuh pada media yang mengandung ampisilin. Gen penting lainnya adalah gen lacZ yang mengkode
-galaktosidase. Gen lacZ ini diinduksi
oleh senyawa IPTG (isopropylthio-
-D-galactoside). Enzim
-galaktosidase dapat bereaksi dengan X-gal (5-bromo-4-
chloro-3-indolyl- -D-galactoside), yaitu suatu senyawa tidak berwarna, menghasilkan produk 5-bromo-4-kloroindigo yang berwarna biru, sehingga jika bakteri pembawa plasmid ditumbuhkan pada media mengandung IPTG dan X-gal akan terbentuk koloni berwarna biru. Penyisipan daerah Dloop: HVSI mtDNA manusia sepanjang 0,4 kb pada gen lacZ menyebabkan tidak terekspresikannya
-galaktosidase,
sehingga bakteri yang ditumbuhkan pada media mengandung IPTG dan X-gal akan membentuk koloni berwarna putih dan bukan biru. Atas dasar ini, setiap klon sampel ditumbuhkan pada media LBA yang mengandung IPTG dan X-gal. Sepuluh klon sampel Papua WMN dan satu klon sampel Papua TLK membentuk koloni berwarna putih, sementara satu klon sampel Papua TLK lainnya membentuk koloni berwarna biru.
KO-170
Gambar 1.
0196: Yohanis Ngili dkk.
Peta Vektor pGEM-T. Vektor ini memiliki gen-gen yang penting untuk proses screening, diantaranya gen resisten ampisilin (Ampr) dan gen lacZ yang mengkode -galaktosidase. Daerah pengontrol gen D-loop DNA mitokondria manusia: HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb tersisipkan pada gen lacZ. (Promega).
B. Isolasi DNA plasmid Teknik isolasi DNA plasmid dilakukan menggunakan metode Maniatis termodifikasi untuk melihat apakah koloni putih membawa DNA sisipan yang tepat atau tidak pada sampel Papua. Untuk itu, sel bakteri dilisis terlebih dahulu menggunakan larutan pelisis sel. Lisozim yang terkandung dalam larutan tersebut akan menghancurkan dinding sel bakteri. SDS (sodium dodecyl sulphate) akan melarutkan membran sel dan mendenaturasi protein. Adanya NaOH dalam larutan pelisis sel membantu mendenaturasi protein dan menyebabkan dua untai pada DNA non-supercoiled (fragmen linear DNA kromosom) terpisah dan dapat dihilangkan dari larutan. Larutan III yang ditambahkan selanjutnya mengandung CH3COOH yang akan menetralisir kondisi alkali karena NaOH dan K+ menyebabkan SDS, yang berasosiasi dengan protein dan fragmen membran, mengendap. Sentrifugasi akan menghilangkan komponenkomponen sel sehingga dapat diperoleh DNA plasmid. Berhasil atau tidaknya isolasi plasmid yang dilakukan dapat diketahui melalui analisis menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) dengan penanda /HindIII. Hasil isolasi plasmid menghasilkan beberapa pita pada gel elektroforesis. Munculnya beberapa pita menandakan isolasi plasmid berhasil dilakukan karena pitapita tersebut mewakili beberapa konformasi plasmid yang mobilitasnya pada gel agarosa berbeda-beda. Konformasi tersebut adalah superhelical circular, nicked circular, dan linear. Plasmid dengan konformasi superhelical circular memiliki mobilitas paling tinggi karena bentuknya yang kecil dan compact, diikuti oleh plamid dengan konformasi linear, dan yang mobilitasnya paling rendah adalah plasmid dengan
konformasi nicked circular. Plasmid hasil isolasi ini tidak dapat ditentukan ukurannya melalui perbandingan dengan penanda /HindIII karena bentuknya yang masih sirkuler. Supaya dapat ditentukan ukurannya, plasmid dilinearkan terlebih dahulu dengan cara dipotong oleh enzim restriksi PstI. Enzim PstI mengenali urutan CTGCA/G yang terdapat pada vektor pGEM dan tidak pada fragmen 0,4 kb daerah Pengontrol Gen: HVSI mtDNA. Hasil pemotongan dianalisis dengan elektroforesis gel agarosa 1% (b/v) menggunakan penanda /HindIII. Setelah dipotong dengan enzim PstI, diperoleh satu pita pada gel elektroforesis. Hal ini menunjukkan bahwa restriksi berhasil dilakukan. Pita yang diperoleh terletak di antara pita 4 dan 5 penanda /HindIII yang berukuran 4364 dan 2322 pb. Pita plasmid sampel Papua WMN 2 dan 3 sejajar dengan Papua WMN 1, yang merupakan sampel yang sudah diketahui membawa DNA sisipan daerah HVSI mtDNA sepanjang 0,4 kb, sehingga dapat diketahui bahwa ukuran Papua WMN 2 dan 3 adalah sama dengan Papua WMN 1 yaitu 3,4 kb. C. Sekuensing DNA Plasmid Plasmid yang telah diyakini membawa DNA sisipan berupa daerah HVSI DNA mitokondria sepanjang 0,4 kb pada daerah HV1 kemudian ditentukan urutannya dengan metode Dideoksi Sanger. Plasmid pGEM-T telah dilengkapi sisi pengenalan primer universal T7 forward dan SP6 reverse (Gambar 1). Reaksi sekuensing dilakukan oleh Macrogen menggunakan primer SP6 reverse berukuran 18 nukleotida dengan urutan 5’-ATTTAGGTGACACTATAG-3’ (Gambar
0196: Yohanis Ngili dkk. 2). Prinsip reaksi sekuensing dengan metode Dideoksi Sanger adalah penghentian/terminasi DNA polimerase dengan penambahan dideoksinukleotida trifosfat (ddNTP) yang kehilangan gugus hidroksi pada karbon 3’ dari gula ribosa. Hilangnya gugus hidroksi ini menyebabkan DNA polimerase tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester antara dNTP sebelumnya dengan ddNTP sehingga perpanjangan rantai DNA oleh DNA polimerase terhenti (Sanger et al., 1977). D. Analisis urutan daerah HVSI pengontrol gen mtDNA Pada posisi antara 16184-16193, standar rCRS memiliki urutan yang terdiri atas sembilan C dan satu T. Mutasi substitusi T menjadi C pada posisi 16189 telah banyak dijumpai dan dapat membagi populasi menjadi dua bagian, yaitu 83% dan 17%, masing-masing untuk populasi T dan C. Mutasi ini juga menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C. Hasil perbandingan urutan setiap klon sampel Papua WMN (Papua WMN 1, 2, dan 3) terhadap CRS menunjukkan adanya mutasi T16189C ini. Adanya insersi satu C pada posisi antara 16184 dan 16193 untuk klon Papua WMN 1/2 serta insersi dua C pada posisi yang sama untuk klon Papua WMN 3 memperpanjang rangkaian poli-C yang terbentuk menjadi 11C dan 12C untuk masing-masingnya. Perbandingan urutan sampel Papua WMN dengan CRS ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Hasil sekuensing klon yang berbeda yang dilakukan pada penelitian terdahulu, Papua WMNa juga menunjukkan adanya insersi satu C pada posisi antara 16184 dan 16193. Hasil perbandingan urutan antara klon-klon ini menunjukkan adanya heteroplasmi berupa variasi panjang rangkaian poli-C, yaitu 11C untuk klon Papua WMN 1/2,a dan 12C untuk klon Papua WMN 3 (Tabel 1).
Gambar 2.
Tabel 1.
KO-171 Standar rCRS pada posisi 16182-16193 memiliki urutan yang terdiri atas dua A, sembilan C, dan satu T. Seperti telah disebutkan di atas, mutasi T16189C menyebabkan terbentuknya rangkaian poli-C sepanjang 10C. Pada sampel Papua TLK, rangkaian ini diperpanjang menjadi 12C dengan adanya mutasi A16182C dan A16183C (Tabel 2). Hasil sekuensing klon lain pada penelitian terdahulu, Papua TLKa menunjukkan adanya mutasi lain selain mutasi-mutasi tersebut di atas, yaitu insersi berupa penyisipan tiga C pada posisi antara 16182 dan 16193 menghasilkan rangkaian poliC dengan panjang 15C. Variasi panjang rangkaian poli-C dua klon ini menunjukkan bahwa sampel Papua TLK mengalami heteroplasmi. Perbandingan elektroforegram setiap sampel Papua TLK dengan CRS ditunjukkan pada Gambar 3. Adanya subpopulasi DNA mitokondria pada individu tertentu atau yang dikenal sebagai heteroplasmi seperti ditunjukkan dua sampel yang dianalisis di duga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya urutan nukleotida setelah rangkaian poli-C melalui direct sequencing. Campuran subpopulasi yang berbeda diduga menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang juga berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa akibat perbedaan panjang rangkaian poli-C tadi, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dua sinyal fluoresens yang berbeda akan terdeteksi pada elektroforegram berupa pita yang tidak tajam, bertumpuk dan intensitasnya sangat rendah. Kloning dapat mengatasi masalah ini karena setiap klon yang disekuensing hanya terdiri dari satu populasi DNA mitokondria tertentu saja.
DNA hasil rekombinan. Plasmid pGEM-T berukuran 3,0 kb yang telah membawa DNA sisipan berupa daerah pengontrol gen mtDNA: HVSI berukuran 0,4 kb sehingga diperoleh DNA rekombinan berukuran 3,4 kb. Perbandingan urutan sampel papua WMN terhadap rCRS dan antarklon. keempat klon Papua WMN memiliki mutasi T16189C dan insersi pada posisi antara 16184 dan 16193 terhadap rCRS.
KO-172
16189
16190
16191
16192
16193
Insersi 1
Insersi 2
Insersi 3
16193
16188
16191
16187
16191
16186
16190
16185
16189
16184
16188
16183
A C C
A C C
C C C
C C C
C C C
C C C
C C C
T C C
C C C
C C C
C C C
C C C
X X C
X X C
X X C
Kedua klon Papua WMN memiliki mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Papua TLKa memiliki insersi 3C pada posisi antara 16182 dan 16193 sedangkan Papua TLK 1 tidak sehingga terdapat panjang poli-C yang berbeda menjadi masing-masing15C dan 12C Adanya subpopulasi pada sampel Papua WMN dikenal dengan heteroplasmi. Mutasi terhadap CRS ditunjukkan dengan warna merah.
2A+9C+T rCRS Gambar 3.
16187
Insersi 2
Catatan:
16182
CRS WMN 1 WMN a
16186
X X X X C
16185
rCRS C C C C C T C C C C X Papua 08001 1 C C C C C C C C C C C Papua 08001 2 C C C C C C C C C C C Papua 08001 a C C C C C C C C C C C Papua 08001 3 C C C C C C C C C C C Tabel 2. Perbandingan Urutan Sampel Papua TLK Terhadap CRS dan Terhadap Antarklon.
16184
Insersi 1
0196: Yohanis Ngili dkk.
12C
Papua TLK 1
15C
Papua TLK a
Rangkaian poli-C setiap klon sampel papua TLK. Perbandingan setiap klon Papua TLK terhadap CRS menunjukkan adanya mutasi A16182C, A16183C, dan T16189C. Panjang rangkaian poli-C Papua TLK 1 dan Papua TLKa berbeda, masing-masing 12C dan 15C, karena pada Papua TLKa terdapat insersi 3C pada posisi antara 16182 dan 16193. Catatan: Ins. adalah singkatan untuk insersi.
Papua WMN 1, 2, a AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG AAAACCCCCCCCCCCATGCTTACAAG Papua WMN 3 AAAACCCCCCCCCCCCATGCTTACAA Papua TLK a AACCCCCCCCCCCCCCCATGCTTACA Papua TLK 1 AACCCCCCCCCCCCATGCTTACAAGC Gambar 4.
A
B
Heteroplasmi Berupa Variasi Panjang Rangkaian Poli-C Sampel Papua WMN (A) dan Papua TLK (B). Adanya heteroplasmi menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama (daerah berwarna biru pada gambar) sehingga urutan setelah poli-C tidak dapat lagi ditentukan melalui direct sequencing.
KO-173
0196: Yohanis Ngili dkk. Heteroplasmi pada kedua sampel dapat terdeteksi karena subpopulasi yang berbeda terdapat dalam jumlah yang proporsional. Jika salah satu subpopulasi sangat dominan terhadap yang lain, maka diduga heteroplasmi tidak akan terdeteksi karena sekuensing hanya membaca fragmen yang dominan saja. Untuk membuktikan lebih lanjut hal ini perlu dilakukan sekuensing campuran klon yang mewakili subpopulasi yang berbeda dengan komposisi yang bervariasi. Hal lain yang mendukung pernyataan ini adalah kasus heteroplasmi pada daerah coding DNA mitokondria. Oleh karena daerah ini mengode asam amino, maka perubahan berupa substitusi satu basa dapat mengubah urutan asam amino sehingga dapat menimbulkan penyakit. Tetapi apabila populasi mtDNA yang tidak mengalami mutasi jauh lebih dominan, penyakit tidak terdeteksi pada individu tersebut.
IV.KESIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa variasi panjang rangkaian poli-C pada sampel yang sama menunjukkan adanya subpopulasi mtDNA pada individu tertentu, yang juga dikenal sebagai heteroplasmi. Fenomena ini diduga kuat merupakan penyebab tidak terbacanya sekuen daerah HVSI D-loop yang memiliki poli-C melalui metode direct sequencing. Hal tersebut diduga terjadi karena adanya beberapa subpopulasi yang berbeda dalam satu sampel, yang menyebabkan detektor sekuensing menerima dua sinyal fluoresens yang berbeda pada posisi yang sama. Perbedaan sinyal ini terjadi karena pergeseran basa nukleotid mtDNA akibat perbedaan panjang rangkaian poliC tadi. Dugaan ini telah membuka kesempatan untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara tidak terbacanya urutan daerah HVSI mtDNA yang mengandung poli-C melalui direct sequencing dengan variasi komposisi subpopulasi yang berbeda. Konsep ini penting dalam mempelajari mutasi mtDNA yang berhubungan dengan penyakit (disease-related mutations).
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9] [10]
[11]
[12]
DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
Anderson, S., Bankier, A.T., Barrell, B.G., de Bruijn, M.H., Coulson, A.R., Drouin, J., Eperon, I.C., Nierlich, D.P., Roe, B.A., Sanger, F., Schreier, P.H., Smith, A.J., Staden, R., and Young, I.G., (1981), Sequence and organization of the human mitochondrial genome, Nature, 290 (5806) page 457-467. Andrews, R.M., Kubacka, I., Chinnery, P.F., Lightowlers, R.N., Turnbull, D.M., and Howell, N. (1999), Reanalysis and revision of the cambridge reference sequence for human mitochondrial DNA, Nature Genetics, 23, 147. Crimi, M., Sciacco, M., Galbiati, S., Bordoni, A., Malferrari, G., Del Bo, R., Biunno, I., Bresolin, N., Comi 1, G.P., (2002), A Collection of 33 Novel Human
[13]
[14]
mtDNA Homoplasmic Variants, Human Mutation, Online, Wiley-Liss, inc. Handoko, H.Y., Lum, J.K., Gustiani, Rismalia, Kartapradja, H., Salam, A.M.S., Marzuki, S., (2001), Length Variations in the COII-tRNALys Intergenic Region of Mitochondrial DNA in Indonesian Populations, Human Biology, 73 (2), page 205-223 Lertrit, P., Kapsa, R.M.I., Jean-Francois, M.J.B., Thyagarajan, D., Noer, A.S., Marzuki, S., and Byrne, E., (1994), Mitochondrial DNA polymorphism in disease: a possible contributor to respiratory dysfunction, Hum. Mol. Genet. 3 page 1973-1981. Marzuki, S., Noer, A.S., Lertrit, P., Thyagarajan, D., Kapsa, R.M.I., Uttahanaphol, P., Byrne, E., (1991), Normal variants of human mitochondrial DNA and translation products: the building of a reference data base, Hum. Genet. 88 (2) page 139-145. Mathew, C.K., and Van Holde, K.E., (1999), Biochemistry, The Benjamin/ Cumming Publishing Company Inc., Menlopark, California. Moraes, C.T., Lesley Kenyon, and Huiling Hao, (1999), Mechanisms of Human Mitochondrial DNA Maintenance: The Determining Role of Primary Sequence and Length over Function, Molecular Biology of The Cell, Vol. 10, October, page 3345-3356 Wallace, D.C., (1997), Mitochondrial DNA in Aging and Disease, Scientific American, August, page 22-29. Thyagarajan D., Shanske S., Vazquez-Memije M., de Vivo D., Dimauro S., (1995), A novel mitochondrial ATPase 6 point mutation in familial bilateral striatal necrosis, Ann. Neurol, 38, page 468-472. Wallace D.C., Singh G., Lott M.T., Hodge J.A., Schurr T.G., Lezza A.M., (1988), Mitochondrial DNA mutation associated with Leber’s hereditary optic neuropathy, Science, 242. page 1427-1430 Ngili, Y., Ubyaan, R., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and Noer, A.S., (2012a), Nucleotide Mutation Variants on D-Loop HVS1/HVS2 Mitochondrial DNA Region: Studies on Papuan Population, Indonesian, European Journal of Scientific Research, 72, pp. 64-73. Cheng, S., and Kolmodin, L.A., (1997), XL PCR amplification of long targets from genomic DNA, dalam buku Methods in Molecular Biology: PCR Cloning Protocols, Volume 67, edited by Bruce A. White, Humana Press, Totowa, New Jersey, page 17 – 29. Noer, A.S., Sudoyo, H., Lertrit, P., Thyagarajan, D., Uttahanaphol P., Kapsa, R.M.I., Byrne, E., and Marzuki, S., (1991), A tRNALys mutation in the mtDNA is the causal genetic lesion underlying myoclonic epilepsy and ragged-red fiber (MERRF) syndrome, Am. J. of Hum. Genet. 49 (4) page 715-722.
KO-174 [15]
[16]
[17]
[18]
[19]
Ngili. Y., Bolly, H.M.B., Ubyaan, R., Jukwati, and Palit, E.I.Y., (2012b), Studies on Specific Nucleotide Mutations in the Coding Region of the ATP6 Gene of Human Mitochondrial Genome in Populations of Papuan Province-Indonesia, Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6, pp. 111-118 Cheng, S., Fockler, C., Barnes, M.W., and Higuchi, R., (1994), Effective amplification of long target from cloned inserts and human genomic DNA, Proc. of the Natl. Acad. of Sci. of the USA, 91, page 5695-5699. Ngili, Y., Palit, E.I.Y., Bolly, H.M.B., and Ubyaan, R., (2012c), Cloning and Analysis of Heteroplasmy in Hypervariable Segment I (HVS1) D-loop in Mitochondrial DNA of Human Isolates of Timika and Wamena in Highlands of Papuan Province, Indonesia, Journal of Applied Sciences Research, 8, pp. 2232-2240 Barnes, M.W., (1994), PCR amplification of up to 35kb DNA with high fidelity and high yield from bacteriophage templates, Proc. of the Natl. Acad. of Sci. of the USA volume 91, page 2216-2220. Noer, A.S., (1991), Molecular Genetics of Mitochondrial Encephalopaties, A Thesis Presented for the degree of Doctor of Philosophy Department of Biochem. Monash University, melbourne, Clayton, Victoria, Australia.
0196: Yohanis Ngili dkk.