BioSMART Volume 5, Nomor 2
ISSN: 1411-321X Oktober 2003
Halaman: 73-77
Identifikasi Polimorfisme pada Fragmen D-Loop DNA Mitokondria Sapi Benggala Identification of polymorphisme on the D-Loop region mitochondrial DNA of Benggala cattle TINA CHRISTIANTI, SUTARNO, NITA ETIKAWATI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 12 Agustus 2002. Disetujui: 11 Maret 2003
ABSTRACT The objectives of this research were to detect genetic variation on the D-loop region of bovine mitochondrial DNA and know the genetic diversity of Benggala cattle. PCR-RFLP (Polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism) was used to detect polymorphism on the D-loop region of the mitochondrial DNA. DL and DR primers used to amplify the d-loop region of mitochondrial DNA was designed using Primer Designer Program. Amplification of the region using DL and DR primer could produce a specific single band with fragment size of 1142 bp. The digestion was done by PstI restriction enzyme to detect the polymorphic region. The genetic diversity of Benggala cattle was analyzed by Nei. The result of this research showed that there was genetic variation on the Dloop region of mitochondrial DNA. Restriction with PstI restriction enzyme resulted two kinds of haplotype, they were haplotype A which was not cut by PstI restriction enzyme resulted in fragment size of 1142 bp, and haplotype B, that were cut into two fragments by PstI restriction enzyme to produce fragment size of 142 bp and 1000 bp. Genetic diversity of D-loop region of the bovine mitochondrial DNA was 0.4269. This variation occured due to the lost of PstI restriction site at the D-loop region of the bovine mitochondrial DNA. Key words: D-loop region of mitochondrial DNA, PCR-RFLP, genetic variation.
PENDAHULUAN DNA mitokondria merupakan salah satu bentuk DNA yang terdapat di dalam sitoplasma. Mitokondria merupakan pusat dari sintesis energi di dalam sel. Semua reaksi metabolisme sangat tergantung pada ketersediaan energi. Di dalam mitokondria banyak sekali terjadi reaksi metabolisme, sehingga di dalamnya juga banyak terdapat enzim-enzim yang mempengaruhi proses metabolisme dan sebagian enzim itu dikodekan oleh DNA mitokondria (Sutarno, 1999). DNA mitokondria banyak dijadikan penanda untuk mengetahui adanya variasi genetik, karena selain mudah diekstraksi, DNA mitokondria mempunyai ukuran yang relatif kecil sehingga mudah dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh (Shadel dan Clayton, 1997). Selain itu DNA mitokondria mempunyai kecepatan mutasi sepuluh kali lebih cepat dari DNA inti (Hecht, 1990; Rahman et al., 1993; Brown et al., 1979 dalam Ishida et al., 1994). DNA mitokondria hewan mengandung gen-gen yang mengkodekan 13 polipeptida yang terlibat dalam reaksi fosforilasi oksidasi bersama-sama dengan 12S dan 16S RNA ribosom dan 22 transfer RNA yang diperlukan untuk ekspresi mRNA (Hecht, 1990; Rahman et al., 1993; Eledath dan Hines, 1996; Shadel dan Clayton, 1997; Sutarno et al., 2002). Di dalam DNA mitokondria juga terdapat fragmen yang tidak mengkodekan protein yang disebut fragmen Displacement-loop (D-loop). Menurut Andersson et al. (1982), fragmen D-loop mempunyai panjang 1142 bp. Fragmen D-loop ikut bertanggung jawab
atas terjadinya proses transkripsi dan replikasi (Ron et al., 1993; Lindberg, 1989). Fragmen D-loop berpengaruh terhadap fertilitas pada ternak (Sutarno et al., 2002), produksi susu dan prosentase lemak pada susu (Ron et al., 1993; Schutz et al., 1994), dan berpengaruh juga pada kesehatan ternak (Schutz et al., 1994). Polimorfisme pada DNA mitokondria dilaporkan terjadi pada kuda (Ishida et al., 1994), pada biri-biri (Heindleder et al., 1991), pada kambing (Upholt dan Dawid, 1977); pada sapi Eropa, Asia dan Afrika (Loftus et al., 1994) dan pada kerbau (Bhat et al., 1990). Polimorfisme pada DNA mitokondria diketahui mempunyai pengaruh terhadap fenotipe, seperti keterlibatannya dalam berbagai penyakit degeneratif (Wallace et al., 1995; Rahman et al., 1993), proses penuaan (Miquel, 1991; Wallace et al., 1995; Linnane et al.,1992) dan sifat-sifat produksi (Lindberg, 1989; Sutarno et al., 2002; Ron et al., 1993; Schutz et al., 1994; Mannen et al., 1998). Penelitian tentang variasi genetik DNA mitokondria sudah banyak dilaporkan, tetapi penelitian tentang variasi genetik DNA mitokondria khususnya pada fragmen D-loop sapi pedaging di Indonesia masih jarang dilakukan (Sutarno, 1999). BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2002 s.d. Januari 2003 di Laboratorium Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
74
B i o S M A R T Vol. 5, No. 1, Oktober 2003, hal. 73-78
Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Sampel darah sapi benggala sebanyak 50 individu, litium heparin, Wizard Genomic DNA Purification Kit dari Promega (cell lysis solution, nuclei lysis solution, RNAse, protein Presipitat solution, DNA rehidration solution), etanol 70%, isopropanol, PCR Core System I dari Promega (dNTPs, MgCl2, Taq DNA polimerase, 10X buffer Reaction Taq DNA Polymerase), Agarose (Promega), Buffer Tris acetic EDTA 1X, enzim restriksi PstI (Invitrogen), blue loading dye, ethidium bromida, parafilm, distilled water, kertas tissue, primer D-loop yang terdiri dari Primer D-L: 5’-TAGTGCTAATACCAACGGCC-3’ dan Primer D-R: 5’-AGGCATTTTCAGTGCCTTGC-3’, aquadest steril, kristal es, nuclease free water (Promega), Kertas Film instant Polaroid tipe 57, 100 bp DNA ladder dari Promega. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Tabung mikrosentrifus, sentrifus (Hettich), satu set mikropipet (ukuran 20 µl, 200 µl, 1000 µl), microtips 20 µl, 200 µl dan 1000 µl, tabung effendorf 1,5 ml (Axygen), Tabung PCR 0,6 ml, tabung venoject, satu set alat elektroforesis horisontal dan power supply (Consort), inkubator, Gel doc 2000 (Bio Rad), lemari pendingin suhu 4OC, autoclave (Ogawa Saiki Co.), vortek mixer (Gemma Industrial Corp.), microwave, erlenmeyer, freezer suhu -20OC, gelas ukur, sarung tangan, aluminium foil, penangas air (Julabo), Transilluminator, timbangan elektrik (Denver Instrument), GeneAmp PCR System 2400 Thermo Cycler (Parkin Elmer), Polaroid instant camera, alat pembuat kristal es (Cornelius). Cara kerja Ekstraksi DNA DNA diekstraksi dari total darah sapi dengan teknik Wizard Genomic Purification System (Promega, Madison USA). Reaksi PCR DNA yang didapat langsung digunakan untuk reaksi PCR yang dilakukan dengan mesin PCR (GeneAmp PCR system 2400 Thermo cycler, Perkin Elmer). Fragmen Dloop DNA mitokondria diamplifikasi dengan menggunakan primer DL dan DR (Gambar 1.). D-L: 5’-TAGTGCTAATACCAACGGCC-3’ D-R: 5’-AGGCATTTTCAGTGCCTTGC-3’ Reaksi dilakukan pada campuran sebanyak 25 µl yang berisi 200 µM dari masing-masing dNTPs, 2 mM MgCl2, 10X buffer reaksi Taq DNA polymerase, 1.5 unit Taq DNA Polymerase, 0.15 µM dan 200 ng DNA template dalam 0.6 ml tabung PCR. Kondisi reaksi PCR untuk fragmen D-loop DNA mitokondria adalah sebagai berikut: Satu tahap reaksi denaturasi awal pada suhu 94OC selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus amplifikasi yang masing-masing siklus terdiri terdiri dari: denaturasi pada suhu 94OC selama 45 detik, annealing pada suhu 58OC selama 45 detik dan ekstensi pada suhu 72OC selama 1 menit; diikuti satu tahap polimerasi final pada suhu 72OC selama 5 menit.
Gambar 1. Diagram yang menunjukkan letak primer D-L dan DR yang digunakan untuk mengamplifikasi Fragmen D-loop DNA mitokondria (Sutarno, 1999)
Analisis RFLP Fragmen hasil reaksi amplifikasi PCR digunakan untuk reaksi digesti dengan enzim restriksi. Daerah D-loop DNA mitokondria hasil amplifikasi dengan PCR didigesti dengan menggunakan enzim restriksi PstI. Hasil amplifikasi DLoop dari DNA mitokondria yang terdiri dari 8 µl dimasukkan ke dalam tabung effendorf yang steril. Master mix dibuat dengan campuran enzim restriksi PstI, buffer REact II dan Nuclease free water. Master mix sebanyak 12 µl (0,5 µl enzim PstI, 2 µl buffer REact II, 9.5 µl Nuclease free water) ditambahkan ke dalam masing-masing tabung yang berisi DNA hasil amplifikasi dan diinkubasi pada suhu 37OC selama 6 jam atau semalam. Elektoforesis Fragmen restriksi kemudian dielektroforesis pada bak elektroforesis dengan menggunakan 1% gel agarose. Ethidium Bromida ditambahkan dengan konsentrasi 0,12 µg/ml sehingga DNA dapat divisualisasi di bawah sinar ultra violet. Elektroforesis dilakukan selama 90 menit pada tegangan 55 volt, lama waktu running tergantung konsentrasi gel dan voltase. Setelah elektroforesis, DNA divisualisasi di bawah sinar ultra violet dalam ruang gelap, dan kemudian diambil gambarnya dengan menggunakan Gel Doc 2000 yang menggunakan filter merah. Analisis data Diversitas genetik pada fragmen D-loop DNA mitokondria dianalisis dengan menggunakan penghitungan menurut Nei (Baker dan Manwell, 1991) dengan rumus: H = 1 - J dan J = ( A2 + B2 ) H = Diversitas haplotipe A = Frekuensi haplotipe A B = Frekuensi haplotipe B
CHRISTIANTI dkk. – DNA mitokondria sapi benggala
PstI. Keterangan: 1: 100 bp DNA ladder (Promega), 6: Kontrol (hasil PCR), 2: Haplotipe B, 3, 5: Haplotipe A.
HASIL DAN PEMBAHASAN Fragmen D-loop DNA mitokondria diamplifikasi dengan menggunakan primer D-L dan D-R. Ketepatan kondisi reaksi PCR serta ketepatan primer yang dirancang (D-L dan D-R) dengan program primer designer memberikan produk PCR yang sangat spesifik dengan hanya terbentuknya satu pita DNA sepanjang 1142 bp sesuai dengan yang diharapkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. 1
2
3
Fragmen hasil restriksi dengan enzim restriksi PstI ada yang tidak terpotong (haplotipe A) dan ada pula yang terpotong menjadi 2 fragmen (haplotipe B), yang masingmasing sebesar 142 bp dan 1000 bp. Situs restriksi yang dihasilkan dari reaksi digesti diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Situs restriksi yang dihasilkan dari reaksi digesti dengan menggunakan enzim restriksi PstI terhadap 1142 bp fragmen Dloop DNA mitokondria sapi benggala. Enzim PstI
1500 bp
1142 bp
75
Allel (Haplotipe) A B
Jumlah situs restriksi 0 1
Ukuran fragmen (Kbp) 1.142 1.00, 0.142
Pengukuran frekuensi haplotipe fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala diperlihatkan pada Tabel 2.
1000 bp
Tabel 2. Frekuensi haplotipe dari sapi benggala. 400 bp
Jenis (breed) Benggala
Gambar 2. Fotograf gel agarosa yang menunjukkan spesifitas hasil PCR fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala yang terdiri dari 1142 bp. Keterangan: 1, 2: Hasil PCR sapi benggala. 3.: 100 bp DNA ladder (Promega).
Hasil amplifikasi PCR pada fragmen D-loop DNA mitokondria digunakan untuk reaksi digesti dengan enzim restriksi PstI. Pada sapi benggala ditemukan adanya variasi pada fragmen D-loop DNA mitokondria. Gambar 3 menunjukkan adanya polimorfisme pada fragmen D-loop DNA mitokondria dengan menggunakan enzim restriksi PstI. 1
2
3
4
5
6
1500 bp 1000 bp
1142 bp
142 bp
Gambar 3. Fotograf dari gel agarose memperlihatkan adanya polimorfisme DNA pada 1142 bp fragmen D-loop DNA mitokondria yang dideteksi dengan mengunakan enzim restriksi
Haplotipe A 0.74
B 0.16
Keterangan: A: haplotipe umum, yang tidak terpotong oleh enzim restriksi PstI. B: haplotipe yang jarang ditemukan, yang terpotong oleh enzim restriksi PstI.
Pengukuran diversitas haplotipe standar pada fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Diversitas genetik sapi benggala. Jenis (breed) Benggala
Diversitas haplotipe (d) 0.4269
Analisis polimorfisme pada fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala dilakukan dalam 3 tahap yaitu, ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dengan PCR dan pemotongan DNA target dengan enzim restriksi. DNA mitokondria diekstrak dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System, Promega. Dengan teknik tersebut DNA mitokondria mempunyai kemurnian yang tinggi. Fragmen D-loop DNA mitokondria yang dihasilkan melalui amplifikasi dengan PCR mempunyai spesifitas yang tinggi dengan terbentuknya satu band saja. Hasil PCR yang baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kemurnian DNA hasil ekstraksi, ketepatan pemilihan primer yang digunakan serta ketepatan kondisi PCR. Kontaminasi DNA hasil ekstraksi oleh protein atau zat-zat yang lain bisa menyebabkan gagalnya reaksi PCR. Primer merupakan bagian penting dalam reaksi PCR karena primer merupakan inisiator pada sintesis DNA target. Program Primer designer digunakan untuk mendesain primer D-L dan D-R yang digunakan untuk reaksi PCR. Primer
76
B i o S M A R T Vol. 5, No. 1, Oktober 2003, hal. 73-78
tersebut telah memenuhi syarat-syarat dalam seleksi primer seperti terdiri dari 20 basa, kandungan G/C nya 50%, kemungkinan terbentuknya struktur sekunder dalam primer adalah kecil dan 2 basa pada 3 basa terakhir terdiri dari G/C. Ketepatan kondisi PCR juga sangat mempengaruhi hasil dari reaksi PCR. Ketepatan kondisi PCR ditentukan oleh ketepatan campuran reaksi dan ketepatan kondisi suhu pada masing-masing siklus. Untuk itu diperlukan adanya optimalisasi kondisi PCR sehingga dihasilkan produk hasil PCR yang spesifik sesuai dengan yang diharapkan. Kemajuan di bidang Molekuler telah banyak membantu dan banyak memberikan laporan tentang variasi genetik pada tingkat DNA. PCR-RFLP merupakan teknik RFLP yang memanfaatkan amplifikasi DNA dengan PCR yang mampu mendeteksi adanya variasi genetik dalam waktu yang relatif singkat. PCR sangat spesifik karena hanya DNA target saja yang dihasilkan. PCR dapat menghasilkan DNA dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat. PCR dapat mengamplifikasi DNA beberapa atau bahkan hanya satu molekul DNA saja dalam waktu singkat (White, 1996). RFLP merupakan teknik yang banyak digunakan dalam mempelajari variasi inter maupun antar spesies dengan memanfaatkan enzim restriksi. Gabungan antara PCR dan RFLP dapat mendeteksi adanya variasi genetik dengan akurat (Sutarno,1999). Reaksi digesti dilakukan dengan cara menambahkan enzim restriksi PstI, nuklease free water dan buffer enzim ke dalam tabung yang berisi DNA hasil amplifikasi. Hasil digesti dengan enzim restriksi PstI didapatkan dua macam haplotipe, haplotipe A yang merupakan haplotipe yang sering ditemukan (tidak terpotong oleh enzim restriksi PstI) dan haplotipe B yang merupakan haplotipe yang jarang ditemukan (terpotong menjadi dua buah fragmen oleh enzim restriksi PstI). Frekuensi haplotipe A adalah 0,74 dan haplotipe B adalah 0,16. Besarnya frekuensi haplotipe ini menunjukkan frekuensi kemunculan dari masingmasing haplotipe dari sampel yang diteliti. Diversitas genetik sapi benggala adalah 0,4269, angka ini merupakan indeks keragaman dari fragmen D-loop DNA mitokondria pada populasi sapi benggala yang diteliti. Banyak atau sedikitnya variasi genetik pada populasi sapi benggala ini dapat disebabkan karena tinggi rendahnya perkawinan acak, migrasi dan seleksi dalam populasi sapi benggala. Jika dalam satu populasi prosentase terjadinya perkawinan sekerabat (inbreeding) tinggi maka akan terjadi pembatasan pertukaran gen dari beberapa spesies yang melakukan perkawinan sehingga diversitas genetiknya rendah. Tetapi jika dalam suatu populasi banyak terdapat perkawinan yang tidak sekerabat (outbreeding) maka tingkat diversitas genetiknya akan tinggi karena banyaknya pertukaran gen sehingga individu yang dihasilkan mempunyai banyak variasi. Migrasi menyebabkan banyaknya pertukaran gen pada individu-individu yang melakukan perkawinan dalam suatu populasi, sehingga akan banyak terjadi banyak variasi (gen yang dihasilkan bervariasi). Seleksi bisa menyebabkan rendahnya variasi dalam suatu populasi karena dengan seleksi maka adanya pertukaran gen akan terbatasi. Pengukuran terhadap diversitas genetik pada tingkat haplotipe cukup untuk digunakan dalam mempelajari polimorfisme pada tingkat DNA. Studi tentang variasi
genetik lebih akurat dibandingkan studi protein, karena perubahan basa penyusun asam nukleat belum tentu merubah produk protein yang dihasilkan sebagai ekspresi dari gen, sehingga adanya variasi DNA belum tentu ditunjukkan oleh adanya variasi protein. Polimorfisme ditemukan pada fragmen D-loop DNA mitokondria dengan enzim restriksi PstI, yang mana penemuan ini mengkonfirmasi penemuan yang dilaporkan terdahulu (Sutarno, 1999; Sutarno et al., 2002). Menurut Anderson et al (1982), fragmen D-loop sepanjang 1142 bp terletak pada posisi basa antara 15601 dan 404, dan mempunyai situs restriksi PstI pada posisi basa ke 15743. Apabila didigesti dengan enzim restriksi PstI akan terpotong menjadi 2 fragmen yang terdiri dari 142 bp dan 1000 bp. Variasi yang terjadi pada fragmen D-loop DNA mitokondria disebabkan karena hilangnya situs restriksi PstI sehingga fragmen D-loop DNA mitokondria tidak terpotong oleh enzim restriksi PstI. Variasi pada fragmen D-loop DNA mitokondria dapat muncul karena mutasi, seleksi alam, juga perkawinan. Mutasi gen merupakan faktor penentu timbulnya variasi genetik. Mutasi adalah berubahnya susunan dari gen suatu individu yang meliputi substitusi nukleotida, insersi dan delesi (Sutarno, 1999). Mutasi gen dapat disebabkan oleh adanya pengaruh zat kimia contohnya gas methan, pengaruh fisik seperti suhu yang tinggi, serta radiasi sinar ultra violet. Terjadinya variasi pada fragmen D-loop DNA mitokondria dapat berpengaruh pada fragmen lain dalam DNA mitokondria itu sendiri. Fragmen D-loop merupakan daerah non coding yaitu daerah yang tidak mengkodekan protein, tetapi menurut Lindberg (1989), fragmen D-loop merupakan inisiator terjadinya proses transkripsi dan replikasi, sehingga jika pada fragmen D-loop DNA mitokondria terjadi variasi maka kemungkinan fragmen lain dalam DNA mitokondria juga akan mengalami variasi. Variasi genetik pada jenis yang sama adalah sangat penting, karena berhubungan dengan variasi pada fenotipe. Variasi pada fenotipe bisa terjadi karena adanya variasi genetik atau variasi lingkungan atau karena keduanya, yaitu variasi genetik dan lingkungan. Adanya variasi pada Dloop DNA mitokondria dapat berefek pada fenotipe. Schutz et al. (1994), melaporkan adanya substitusi pada basa nomer 169 yang berhubungan dengan produksi susu dan prosentase lemak. Variasi pada D-loop juga dapat berpengaruh pada reproduksi (Sutarno et al., 2002). Untuk mempelajari pengaruh DNA mitokondria terhadap fenotipe diperlukan pencatatan data fenotipe dari beberapa generasi. Variasi yang terjadi pada DNA mitokondria juga dapat menyebabkan penyakit dan penuaan (Miquel, 1991). Penelitian-penelitian pada berbagai penyakit degeneratif kronis pada manusia yang melibatkan otak, jantung, otot dan kelenjar endokrin menunjukkan bahwa penyebab terjadinya penyakit-penyakit tersebut adalah mutasi pada DNA mitokondria (Wallace et al., 1995). Mutasi patogenik yang pertama ditemukan yaitu penyakit Leber's Hereditary Optic Neuropathy (LHON) yang diketemukan oleh Wallace et al. (1988) yang terjadi karena adanya mutasi pada NADH dehidrogenase sub unit 4 pada DNA mitokondria. Penyakit Myoclone Ephilepsy and Ragged-
CHRISTIANTI dkk. – DNA mitokondria sapi benggala
Red Fiber (MERRF) terjadi karena adanya mutasi pada salah satu gen yang mengkodekan RNA transfer pada DNA mitokondria. Sedangkan Kearns-Sayre Syndrome (KSS) yang juga disebabkan karena mutasi mengakibatkan penderita kehilangan fungsi penglihatan dan pendengaran (Klug dan Cummings, 1996). Populasi sapi benggala terdapat hampir di semua daerah di Indonesia dan merupakan salah satu ras domestik di Indonesia. Populasi sapi benggala kebanyakan terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Sumatra. Besar populasi sapi benggala adalah 10% dari total populasi sapi di Indonesia (Wiryosuhanto, 1996). Pengetahuan tentang variasi genetik ini mempunyai aplikasi pada penyilangan dan genetika. Aplikasi dari variasi genetik dapat digunakan untuk identifikasi hewan, analisis silsilah, pemetaan gen, juga untuk identifikasi penanda/marker yang mengendalikan sifat-sifat yang diinginkan. Semua sifat yang nampak dipengaruhi oleh informasi genetik yang dibawa oleh DNA, sehingga variasi DNA berhubungan dengan variasi fenotipe. Oleh karena itu variasi genetik dapat digunakan sebagai dasar dalam seleksi hewan melalui teknik yang dikenal dengan Marker assisted selection (MAS) atau seleksi berdasarkan penanda gen (Sellier, 1994; Beattie, 1994). Variasi genetik juga dapat digunakan untuk konservasi jenis pada hewan. Adaptasi yang terjadi terhadap keadaan lingkungan dapat menghasilkan kombinasi allel unik yang spesifik untuk jenis tertentu, dan keadaan ini sangat sulit dibentuk kembali. Jenis-jenis yang sangat berbeda dengan jenis yang lainnya perlu untuk dilestarikan karena gen-gen dan kombinasi gen-gen yang mereka bawa mungkin sekali sangat bermanfaat di masa datang. KESIMPULAN Polimorfisme ditemukan pada fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala dengan mengguna-kan enzim restriksi PstI. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada fragmen D-loop DNA mitokondria sapi benggala. Diversitas haplotipe sapi benggala sebesar 0,4269. DAFTAR PUSTAKA Anderson, S., M.H.L. Debruijn, A.R. Coulson, I.C. Eperon, F. Sanger, and I.G. Young. 1982. Complete sequence of bovine mitochondrial DNA: Conserved feature of mamalian mitochondrial genome. Journal of Molecular Biology 156: 863-717. Baker, C.M.A., and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breed. In: C.G. Hickman (ed.). Cattle Genetic Resources Amsterdam: Elsevier Science Publiser B.V. Beattie, C.W. 1994. Livestock genome maps. Tends in Genetics 10: 334338.
77
Bhat, P.P., B.P. Mishra, and P.N. Bhat. 1990. Polymorphism of mitochondrial DNA (mtDNA) in cattle and buffaloes. Biochemical Genetics 28: 331-318. Eledath, F.M., and H.C. Hines. 1996. Detection of nucleotide variation in the D-loop region of bovine mitochondrial DNA using PCR-based methodologies. Animal Genetics 27: 333-336. Hecth, H. 1990. Studies on mitochondrial DNA in farm animal. In: Geldermann, H. and F. Ellendorff (ed.). Genome Analysis in Domestic Animals. New York: VCH. Weinheim. Heindleder, S., W. Hecht, V. Dzapo, and R. Wassmuth. 1991. Ovine mitochondrial DNA: Restiction enzym analysis, mapping, and sequencing data. Animal Genetics 23: 151-160. Heindleder, S., W. Hecht, and R. Wassmuth. 1991. Restriction enzym analysis of cytoplasmic genetic variation in sheep. Journal Animal Breeding Genetic 108. 290-298. Ishida, N., T. Hasegawa, K. Takeda, M. Sakagami, A. Onishi, S. Inameru, and M. Komatsu. 1994. Polymorphic sequence in the D-loop region of equine mitochondrial DNA. Animal Genetics 25: 215-221. Klug, W.S., and M.R. Cummings. 1996. Essential of Genetics. 2nd ed. Prentice-Hall. Inc. New Jersey. Lindberg, G.L. 1989. Sequence Heterogeneity of Bovine Mitochondrial DNA. Iowa; Iowa State University. Linnane, A.W., A. Baumer, C. Zhang, and P. Nagley. 1992. Mitochondrial DNA mutation and the ageing process: Bioenergy and pharmacological intervention. Mutation Research 275: 195-208. Loftus, R.T., A. Baumer, R.J. Maxwell, H. Preston, C. Zhang, and S. Marzuki. 1994. Mitochondrial genetic variation in Europe, Africa and Indian Cattle. Animal Genetics 25: 265-271. Mannen, H., T. Kojima, K. Oyama, F. Mukai, T. Ishida, and S. Tsuji. 1998. Effect of mitochoindrial DNA variation on carcass traits of Japanese Black cattle. Journal Animal Science 76: 36-41. Miquel, J. 1991. An intergrated theory of aging as the result of mitochondrial DNA mutation in differentiated cells. Archipes of Gerontology and Geriatri 12: 99-117. Rahman, S., D.R. Tharburn, R. Blok, and H.M.M. Dahl. 1993. Mitochondrial and human disease. Today Life Science. October: 2028. Ron, M., O. Yoffe, and J.I. Weller. 1993. sequence variation in D-loop mtDNA of cow lineage selected for high and low maternal effect on milk production. Animal Genetics 24: 183-186. Schutz, M.M., A.E. Freeman, G.L. Lindberg, C.M. Koehler, and D.C. Nbitz. 1993. The effect of mitochondrial DNA on milk production and health of dairy cattle. Livestock Production Science 37: 283-295. Sellier, P. 1994. The future role of molecular genetics in the ciontrol of meat production and meat quality. Meat Science 36. 29-44. Shadel, G.S. and D.A. Clayton. 1997. Mitochondrial DNA maintenance in vertebrata. Annual Review of Biochemistry 66: 409-435. Sutarno. 1999. Polimorfisme DNA Mitokondria dari Berbagai Jenis Sapi Pedaging di Western Australia dan Bali. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Sutarno, J.M. Cummins, J. Greeff, and A.J. Lymbery. 2002. Mitochondrial DNA polymorphism and fertility in beef cattel. Theriogenology 6485: 1-8. Upholt, W.B, and I.B. Dawid. 1977. Mapping of mitochondrial DNA of individual sheep and goats rapid evolution in the D-loop region. Cell 11: 571-583 Wallace, D.C., M.T. Lott, M.D. Brown, K. Huoponen, and A. Torroni. 1995. Human mitochondrial genome database. The Human Data Base project. Emory: Department of Gentics and Molecular Medicine Emory. University of Atlanta. GA. USA. Http://www.gen. emory.edu/mitomap.html (15 April 1996). White, T.J. 1996. The future of PCR technology: Diversivication of technologies and application. Trend in Biotechnology 14: 478-483. Wiryosuhanto, S. 1996. Bali cattle- Their economic important in Indonesia. ACIAR Proceeding 75: 34-42.