Policy Brief No. 001/2014
ANALISIS DAMPAK PENAMBAHAN JUMLAH BANK PELAKSANA (BPD) DALAM PENYALURAN KUR MIKRO Agus Eko Nugroho, Ph.D
Economic Research Center Indonesian Institute of Sciences 4th-5th Fl. Widya Graha LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto 10 Jakarta Telp. +6221 5207120 www.ekonomi.lipi.go.id
Bridging research to policy
POLICY BRIEF No. 001/2014
Economic Research Center Paper Series is published electronically by Economic Research Center, Indonesian Institute of Sciences ©
Copyright is held by the author or authors of each Policy Brief
Economic Research Center Policy Brief cannot be republished, reprinted, or reproduced in any format without the permission of the paper’s author or authors. Note: The views expressed in each paper are those of the author or authors of the paper. They do not necessarily represent or reflect the views of the Economic Research Center, its Editorial Committee or of Indonesian Institute of Sciences.
ISBN 978-979-9165-99-2
The Economic Research Centre - Indonesian Institute of Sciences (P2E-LIPI) is one of the Indonesian Government Research Institutes established in 1967. P2E-LIPI plays a leading role in the field of economic and development policy research. The Centre is previously known as The National Economic and Social Institution (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional/ LEKNAS), then LEKNAS-LIPI was reorganized into the Centre for Economics and Development Studies Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan/PEPLIPI) in 1986. Based on President Decree No. 178/2000 on December 15th, 2000 and LIPI Director Decree No.1151/M/2001 June, PEP-LIPI has been renamed to the Economic Research Center – Indonesian Institute of Sciences (Pusat Penelitian Ekonomi/P2E-LIPI) in 2001. P2E-LIPI consists of three Research Group: Regional Development, Industrial and Trade, Finance and Banking. The main objective of P2E is to advice the government on all economic and development issues, both on national and international economic issues. The focus issues are poverty reduction; economic governance and competitiveness; and infrastructure. The center also carries out joint research, in collaboration with domestic and international research institutions.
ANALISIS DAMPAK PENAMBAHAN JUMLAH BANK PELAKSANA (BPD) DALAM PENYALURAN KUR MIKRO
RINGKASAN EKSEKUTIF Pelaksanaan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sejak tahun 2007 adalah upaya serius pemerintah untuk mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia. Mengingat kegagalan program kredit bersubsidi di masa lalu, program KUR ini adalah solusi alternatif dalam pengembangan UMKM melalui kredit program dengan pendekatan komersial. Melalui pendekatan komersial, bank memainkan peran kunci dalam menyeleksi dan menentukan penerima KUR. Sementara, pemerintah memberikan skim penjaminan kredit melalui PT Jamkrindo dan Askrindo untuk memitigasi tingginya risiko kredit macet. Bank pelaksana akan termotivasi untuk menerapkan prinsip kehati-hatian karena penyaluran KUR bersumber dari dana bank itu sendiri. Program KUR juga secara signifikan berbeda dengan program kredit bersubsidi, dimana bank cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian karena peran mereka hanya sebagai agen penyalur (channeling agents). Penelitian terhadap kinerja KUR di sembilan belas (19) Bank Pembangunan Daerah (BPD) ini menemukan empat permasalahan pokok dalam penyaluran KUR kepada UMKM. Pertama, penetapan target penyaluran KUR yang didasarkan pada besar-kecilnya aset perlu dicermati lebih dalam lagi. BPD berskala besar (misalnya, Bank Jatim dan Bank Jabar-Banten) justru menghadapi tingginya NPL KUR, sebaliknya BPD berskala kecil, seperti Bank Nagari, Bank Bali dan Bank NTT memiliki NPL KUR jauh di bawah 5%. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mengembangkan kriteria-kriteria tertentu untuk menentukan BPD mana yang layak untuk dapat berpartisipasi dalam program KUR Mikro, dan seberapa besar target penyaluran KUR dapat diberikan kepada masingmasing BPD. Kedua, orientasi penyaluran kredit BPD untuk tujuan konsumtif mencerminkan minimnya pengalaman dan kemampuan bisnis BPD dalam membiayai sektor riil. Hal ini menjadi salah satu penyebab kredit bermasalah (Non-performing loan/NPL) dari program KUR mereka. Ketiga, kurang memadainya kapasitas bisnis dan kualitas sumber daya manusia (SDM) menyebabkan ketidakmampuan BPD dalam mengembangkan inovasi managerial, seperti ‘agunan sosial’ (social collateral) sebagai pengganti ketidakmampuan UMKM menyediakan agunan fisik. Agunan sosial ini antara lain berupa kuatnya relasi sosial antara bank dengan debitur UMKM dan kemampuan memanfaatkan kelembagaan sosial/masyarakat (social institutions) sebagai instrumen penting dalam mendorong kelancaran pengembalian kredit. Keempat, kualitas SDM BPD yang kurang memadai juga terkait dengan keterbatasan jumlah staf (account officer/AO) yang berkualitas untuk mengelola program KUR. Ketidak-cukupan pengalaman yang dimiliki analis kredit di beberapa BPD berakibat pada ketidakhati-hatian (imprudent) dalam penyaluran KUR. Penelitian ini mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kinerja BPD dalam menyalurkan KUR. Pertama, pentingnya mengembangkan kriteria-kriteria tertentu untuk menentukan BPD mana yang dapat berpartisipasi dalam program KUR Mikro, seperti kriteria 1|Policy Brief No. 001
kemampuan finansial dan bisnis, kriteria kualitas SDM, kriteria kecukupan skala operasional dan kriteria kapasitas pasar. Kedua, pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) untuk mendukung pengembangan SDM dengan memberikan berbagai pelatihan kepada staf KUR, terutama terkait dengan praktek perbankan mikro. Ketiga, pemerintah sangat penting melakukan kerjasama dengan BI dan OJK untuk mengembangkan database, informasi pemeringkatan (rating information) kualitas bisnis koperasi dan UMKM. Hal ini diperlukan untuk dapat menurunkan biaya transaksi dalam memberikan pinjaman KUR Mikro. Keempat, Pemerintah pusat dan daerah harus mengalokasikan anggaran yang memadai untuk melakukan promosi dan sosialisasi yng lebih intensif terhadap program KUR.
2|Policy Brief No. 001
PERMASALAHAN UTAMA BPD DALAM MENYALURKAN KUR MIKRO Program KUR telah menunjukan kinerja yang signifikan dilihat dari besarnya penyaluran kredit, peningkatan jumlah bank pelaksana dan relatif rendahnya NPL. Penyaluran KUR meningkat dari Rp 11,5 triliun tahun 2008 menjadi Rp 50,3 triliun dengan melayani sekitar 12,1 juta debitur pada bulan Oktober 2014. Sedangkan, jumlah bank pelaksana meningkat dari 6 menjadi 33 bank. BRI menjadi bank terbesar dalam penyaluran KUR dengan nilai mencapai sekitar Rp 31,2 triliun atau 62% dari total pinjaman tahun 2014, dengan NPL rata-rata di bawah 3%. Namun demikian, program KUR ini masih menghadapi empat hambatan utama: Pertama, keterlibatan BPD dalam program KUR sejak tahun 2010 cenderung meningkatkan NPL KUR. Misalnya, sampai dengan bulan Oktober 2014 NPL KUR Bank Jabar- Banten mencapai sekitar 21,2%, Bank Sulteng (28,2%), Bank Sultra (13%), Bank Jatim (11,5%), dan Bank Sulut (11,5%). Akibatnya, rata-rata NPL KUR BPD sebesar 9,9%, NPL ini meningkat dibanding tahun 2012 yang sebesar 7% (Komite KUR 2014). Tingginya NPL KUR di BPD ini dapat menyebabkan besarnya pembiayaan klaim yang harus ditanggung oleh perusahaan penjaminan. Kedua, partisipasi BPD dalam program KUR belum didasarkan kemampuan keuangan dan kompetensi bisnis yang dimiliki. Cukup banyak BPD belum memiliki kemampuan bisnis yang memadai untuk menyalurkan KUR kepada UMKM. Hal ini terutama terkait dengan keterbatasan staf BPD dengan keahlian yang memadai untuk mengelola KUR. Staff analis kredit BPD kurang mampu menyalurkan KUR secara hati-hati akibat mereka hanya terbiasa mengelola kredit konsumtif. Di banyak BPD, staf analis kredit yang mengelola KUR juga harus bertanggung-jawab untuk mengelola skim kredit lainnya. Akibatnya, staf analis kredit tersebut tidak dapat memberikan perhatian penuh dalam penyaluran KUR sehingga berpotensi mengabaikan prinsip kehati-hatian. Belajar dari pengalaman BRI, penyaluran KUR harus dikelola oleh staf khusus, yang dikenal sebagai ‘Mantri KUR’. Untuk dapat mengimplementasikan prinsip kehati-hatian, Mantri KUR ini diberikan berbagai pelatihan dalam pengelolaan KUR. Ketiga, kelemahan SDM BPD dalam pengelola program KUR karena minimnya pelatihan yang diberikan kepada staf analis kredit untuk mengelola dan memasarkan KUR. Karena pertimbangan biaya, BPD juga enggan untuk merekrut staf baru, yang secara khusus ditujukan untuk mengelola program KUR. Hal ini karena BPD memahami program KUR hanya sebagai program skim kredit mikro biasa. Mereka belum memandang program KUR ini sebagai kesempatan baik untuk mengembangkan divisi bisnis mikro. Masih banyak BPD belum memiliki rencana bisnis (business plan) untuk program KUR, yang dikaitkan dengan pengembangan divisi mikro, termasuk penetapan prosedur operasional standar (SOP), pengembangan SDM, pelatihan, status pekerjaan, insentif dan jenjang karir yang baik untuk staf KUR mereka. Belajar dari pengelolaan program KUR di BRI-unit, mereka mengembangkan SOP yang jelas, memberikan status permanen kerja dengan jenjang karir yang bagus untuk menjadi seorang ahli pengelolaan perbankan mikro. Hal ini terbukti penting untuk meningkatkan produktivitas staf KUR. Keempat, ketidak-mampuan BPD dalam memperluas jangkauan pelayanan KUR kepada UMKM. Selain ketidak-cukupan jumlah staf dengan kualifikasi yang memadai, banyak BPD menghadapi keterbatasan jangkauan operasional. Hal ini terutama terkait dengan terbatasnya jumlah kantor cabang dan belum adanya divisi mikro, kantor kas keliling, dan pos pelayanan untuk menyalurkan 3|Policy Brief No. 001
KUR. Sebagian besar BPD hanya memiliki kantor cabang di ibukota kabupaten dan propinsi. Dalam satu propinsi, masing-masing kantor cabang rata-rata menjangkau 2-3 kecamatan. Di luar Jawa, kantor cabang BPD biasanya kurang mampu untuk melayani UMKM di wilayah terpencil. Operasional BPD di kota-kota besar propinsi juga menghadapi tekanan persaingan dari bank-bank lain, termasuk BRI. Hal ini mungkin tidak menjadi masalah, jika BPD memiliki jumlah staf yang memadai untuk memberikan pelayanan yang baik kepada UMKM. Namun demikian, hal ini menjadi masalah serius ketika tekanan persaingan tersebut memunculkan masalah moral hazard yang menyebabkan ketidak hati-hatian dalam penyaluran KUR. Hal ini sangat mungkin terjadi karena adanya skim penjaminan mendorong analis kredit BPD untuk menyalurkan KUR secara kurang hati-hati.
TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBIJAKAN PROGRAM KUR SAAT INI Sebagai upaya mempercepat penyaluran kredit, kebijakan untuk menyertakan semua BPD dalam program KUR harus dicermati terkait dengan tingginya NPL KUR. Para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa pendekatan komersial dalam program KUR memiliki kompleksitas permasalahan. Pertama, adanya kendala operasional BPD yang menghambat jangkauan pelayanan kepada debitur berskala mikro kecil (UMKM). Misalnya, trade-off muncul antara tujuan memaksimumkan keuntungan (profitability objective) dengan upaya memperluas pelayanan kepada UMKM (outreach objective). Untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, BPD akan lebih memfokuskan pada pelayanan kepada UMKM yang prospektif sehingga mengabaikan UMKM yang kurang prospektif dan belum bankable. BPD cenderung memandang bahwa penyaluran KUR kepada UMKM yang kurang prospektif, meskipun belum bankable, akan meningkatkan risiko kredit macet. Kedua, dari sudut pandang BPD, trade-off juga berpotensi terjadi akibat adanya skim penjaminan kredit dalam program KUR. Skim penjaminan ini, di satu sisi, dapat menurunkan risiko kredi macet, tetapi di sisi lain berpotensi menyebabkan BPD menurunkan standar kehati-hatian dalam penyaluran KUR. BPD yang tidak kompeten juga terdorong untuk berpartisipasi dalam program KUR karena adanya skim penjaminan ini. Ketiga, dari sudut pandang UMKM, skim penjaminan berpotensi menciptakan moral hazard bagi debitur KUR untuk mengelola kredit secara ceroboh sehingga menyebabkan adanya kredit macet. Pembuat kebijakan yang menganggap bahwa program KUR hanya sebagai program penyaluran kredit kepada UMKM biasa menghadapi masalah interpretasi. Kesalahan interpretasi ini berakibat pada tidak-adanya kriteria-kriteria/persyaratan yang meyakinkan untuk menentukan BPD mana yang dapat berpartisipasi dalam program KUR. Akibatnya, semua BPD dapat berpartisipasi dalam program KUR, dan mengabaikan perbedaan kemampuan masing-masing BPD dalam mengelola kredit mikro. Hasilnya, banyak BPD berskala besar justru menghadapi tingkat NPL KUR yang tinggi. Program KUR semestinya tidak hanya dilihat sebagai praktek penyaluran kredit untuk mendapatkan keuntungan, tetapi dicermati sebagai kesempatan baik bagi BPD untuk mengembangkan divisi bisnis mikro. Oleh karena itu, penelitian ini menyarankan bahwa pemerintah harus mengembangkan kriteria untuk menentukan BPD mana yang layak untuk berpartisipasi dalam program KUR Mikro. Kriteria yang dikembangkan harus dikaitkan dengan upaya meningkatkan kemampuan divisi mikro BPD.
4|Policy Brief No. 001
Implementasi program KUR saat ini juga belum mendukung terjadinya keterkaitan operasional dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), seperti koperasi dan lembaga kemasyarakatan lainnya. Skim linkage dalam penyaluran KUR seperti pola executing dan channeling belum berkembang secara baik. Hanya sebagian kecil BPD telah mengembangkan keterkaitan operasional dengan LKM dalam penyaluran KUR Mikro. Keterkaitan operasional dengan LKM berpotensi meningkatkan peran program KUR dalam melayani masyarakat miskin dengan kredit skala mikro. Seperti diketahui bahwa LKM, seperti koperasi dapat melayani masyarakat miskin dengan pinjaman di bawah Rp 5 juta, dibandingkan dengan besarnya rata-rata pinjaman KUR Mikro sebesar Rp 15 juta - Rp 20 juta per debitur. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengembangkan kriteria untuk mendorong BPD agar memperkuat keterkaitan dengan LKM dalam penyaluran KUR Mikro. Untuk mengurangi biaya dan risiko penyaluran KUR kepada LKM melalui pola executing, pemerintah dapat mengembangkan database dan rating informasi tentang kelayakan dan kemampuan bisnis LKM. Database dan rating informasi yang baik dapat mengurangi masalah asimetris informasi yang dihadapi oleh BPD dalam penyaluran KUR kepada LKM.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan untuk perbaikan program KUR kedepan. Pertama, secara umum, masih banyak pemahaman yang belum seragam tentang berbagai peraturan dari program KUR antara bank peserta, pemerintah, perusahan penjaminan, Badan Auditor Pemerintah (BPKP) yang mengarah ke permasalahan dalam pembayaran premi asuransi (IJP) dan klaim atas kegagalan kredit. Dalam hal ini, pemerintah terlebih dahulu harus melibatkan perbankan dan otoritas moneter (OJK dan BI), BPK, KPK dan BPKP dalam proses amandemen peraturan KUR, untuk meminimalkan permasalahan pelaksanaan KUR di masa yang akan datang. Kedua, untuk memperluas promosi/sosialisasi program KUR Mikro kepada masyarakat umum, pemerintah harus lebih intensif melakukan sosialisasi program. Sosialisasi juga diperlukan untuk memperluas debitur potensial. Program sosialisasi sebaiknya melibatkan kelembagaan masyarakat, seperti asosiasi kemasyarakatan, klub olah-raga dan organisasi bisnis lokal (kelompok petani dan asosiasi pedagang). Namun demikian, skim penjaminan dan persyaratan kredit tanpa agunan dalam program KUR harus disosialisasikan secara hati-hati untuk menghindari munculnya masalah moral hazard bagi debitur UMKM. Rekomendasi kebijakan yang lebih spesifik dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, untuk meminimalkan NPL dan memperluas jangkauan pelayanan, BPD harus secara konsisten meningkatkan kemampuan dan metode pelayanan kepada UMKM. Hal ini dapat dicapai dengan secara konsisten berupaya memenuhi ketentuan tentang kinerja keuangan perbankan menurut Bank Indonesia. Misalnya, NPL di bawah 5%, LDR antara 78%-92%, NIM di atas 8%, BOPO antara 60%-70% dan proporsi kredit UMKM terhadap total kredit di atas 20%. Pelatihan kepada staf KUR dan menerapkan SOP dalam penyaluran KUR Mikro juga sangat penting dilakukan untuk meminimalkan resiko. Dalam pelatihan dan penerapan SOP, staf KUR harus belajar bagaimana membangun dan memanfaatkan hubungan baik dengan UMKM. Hal ini sangat penting karena nilai moral persahabatan, seperti kejujuran dan hubungan timbal balik (reciprocity) dapat berfungsi sebagai agunan sosial. Agunan sosial ini juga harus dicermati sebagai cara memperkuat loyalitas nasabah sehingga berperilaku jujur dan menghindarkan adanya kredit macet. 5|Policy Brief No. 001
Kedua, BPD harus menyadari bahwa adanya skim penjaminan dapat mendorong staf analis kredit menurunkan standar kehati-hatian dalam menyaluran KUR, untuk memenuhi target. Oleh karena itu, pemantauan dan evaluasi kinerja staf analis kredit dan prosedur mereka menerapkan SOP penyaluran KUR harus dilakukan secara rutin. Di sini, kepala divisi mikro harus memantau dan mengevaluasi kinerja staf analis kredit dengan melakukan pemeriksaan/kunjungan langsung secara acak pada debitur KUR. Untuk menghindari masalah moral hazard bagi UMKM, staf pemasaran harus secara hati-hati dalam memberikan informasi tentang adanya skim jaminan. Ketiga, setiap BPD seharusnya diwajibkan mengembangkan rencana bisnis dalam melaksanakan program KUR. Rencana bisnis ini seharusnya mencakup pengembangan divisi mikro, SDM dan program sosialisasi/promosi. Dalam pengembangan divisi mikro, BPD seharusnya menekankan pada struktur organisasi, tata kelola dan jumlah staf yang berkualitas, yang ada di setiap divisi dan disesuaikan dengan kondisi geografis. Hal ini sangat penting terkait dengan kelemahan BPD dalam menjangkau pelayanan kepada UMKM dan masih minimnya ketersediaan kantor bergerak dan pos pelayanan. Pengembangan divisi mikro BPD ini diarahkan untuk melayani setidaknya dua sampai tiga kecamatan. Keempat, dalam pengembangan SDM, penekanan harus diberikan pada keharusan memiliki staf KUR yang secara penuh bertanggung jawab pada pengelolaan KUR Mikro. Hal ini termasuk penentuan standar rasio jumlah debitur yang dapat dikelola oleh masing-masing staf (1 staf melayani 200-300 debitur), target penyaluran kredit per staf (Rp 100-200 juta per bulan per staf), ketentuan status pekerja serta jenjang karir dan sistem bonus dapat diberikan kepada staf yang paling produktif. Training perbankan mikro harus diberikan kepada staf KUR ini untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengimplementasikan SOP penyaluran KUR mikro secara hati-hati. Namun demikian, training ini harus dilihat sebagai pengetahuan dasar, sementara peningkatan kemampuan akan tumbuh seiring dengan pengalaman dalam menangani debitur UMKM. Oleh karena itu, BPD harus mampu memotivasi staf KUR untuk menjadi spesialis perbankan mikro. Kelima, untuk memperluas kapasitas pasar dari program KUR Mikro, BPD seharusnya mengembangkan kerterkaitan dengan BPR/S, koperasi, BMT, LKM dan lembaga sosial kemasyarakatan lainnya, seperti PNPM Mandiri, asosiasi bisnis dan asosiasi keagamaan. Manfaat adanya kerkaitan bisnis akan membantu BPD dalam menilai kelayakan UMKM, dan memperluas jangkauan pelayanan kepada UMKM. Untuk lembaga linkage, mereka dapat memperoleh tambahan modal dan meningkatkan kualitas layanan kepada UMKM. Selanjutnya, untuk mendorong BPD melakukan keterkaitan operasional dalam penyaluran KUR, pemerintah harus mengembangkan database tentang UMKM, lembaga linkage dan skim kredit program.
6|Policy Brief No. 001