ANALISIS BIOAKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA IKAN NILA MERAH (Oreochromis nilotica) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH BANGKA BELITUNG
ROBIN C 151100171
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ANALISIS BIOAKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA IKAN NILA MERAH (Oreochromis nilotica) DAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH BANGKA BELITUNG
ROBIN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Bioakumulasi Timbal (Pb) pada Ikan Nila Merah (Oreochromis nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) yang Dibudidayakan di Kolong Tua Pasca Tambang Timah Bangka Belitung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
Robin NRP 151100171
ABSTRACT ROBIN. Analysis of Lead (Pb) Bioaccumulation in Red Tilapia (Oreochromis nilotica) and Jambal Catfish (Pangasius djambal) Cultivated in The Old Lake Formated by Tin Mining Activity in Bangka Belitung. Under Direction of Kukuh Nirmala and Enang Harris. The consequences of tin mining activity is the formation large basinshaped holes filled with water in which the local (Bangka Belitung islands) term is a Kolong or Camuy (lake). Heavy metal concentrations are still high in all the pit and endangering human health; is the image that is in today's society so that people refused to eat the fish from or doing aquaculture activities in kolong. The study was conducted from October 2011 to February 2012 in Kolong Grasi, District Sungailiat Bangka Regency, Province of Bangka Belitung Archipelago at coordinates S01052.464 '; E106007.005. Chemical analysis carried out at the Laboratory of Industrial Technology of Agricultural, Aquaculture Environmental Laboratory, Fish Nutrition Laboratory, IPB. Materials used in this study are meats, gills, liver and kidneys of red tilapia and jambal catfish. Organ samples taken each month from October 2011 to February 2012. Chemicals for testing heavy metal Pb is the standard solution at a concentration of 1000ppm Pb from BDH, concentrated nitric acid from Merck and distilled water. The equipment used is the pH meter, DO meter, analytical neraca, a ruler, a set of surgical instruments, two units of floating net cage with the dimension 3m x 3m x 2m of each, and pH-meters, a set of Atomic Absorption Spectrometry tools (AAS) AA 300 P type from Varian Techtron Australia, 50ml beaker glass, 10 ml volumetric flask, 5ml vial size polyethylene, 10-100mL effendorf micro pipettes, analytical balance, furnace, hot plate, Mercury Vaporise Unit (MVU) and other glassware equipment used in labs. The study began with measurements of heavy metals lead (Pb) in water and sediment once at the beginning of the study. Measurement of water quality include physical parameters are: temperature, pH, brightness, and chemical parameters including DO, CO2. Measurements were made directly in the field. Measurement of chemical parameters such as: Total Organic Matter (TOM) and Pb performed in the laboratory at the beginning of the fish culture period and then performed each month at the site of cultivation. Measurement of Pb content in the sediment is also done once in the early of the study. All data was analyzed using the comparison of two mean values (t-test). The results of gut contents identification of fish are presented in tabulated and all the relationships described in the descriptive parameters. Physico-chemical quality of water in Kolong Grasi is ideal for red tilapia aquaculture and jambal catfish. Several parameters such as temperature, brightness decreased and increased levels of TOM in January 2012 and did not occur in previous months dueto the rainy season in January 2012. Pb heavy metal content in the red tilapia was found in the first month of cultivation, the month of November is 0,085µg/g in liver. In the third month (January 2012), lead is found
in almost every organ of red tilapia and exceed safe levels for consumption, ie 8,41 µg/g in the gills, 93,98 µg/g in kidney, 62,14 µg/g in the liver and undetectable in meat. Accumulation of the heavy metal in the meat of red tilapia is found 0,188 µg/g in the mont of fourth (February 2012). The highest content of the heavy metal found in the kidney of red tilapia in the month of third (January 2012) at 93,98 µg/g. Pb heavy metal in the jambal catfish start found in the second month, the month of December 2011 on the kidney and meat measured 0,032 µg/g and 0177 µg/g, respectively. In the third month (January 2012) Pb is found in almost every organ of jambal above safe levels for consumption, ie 55,23 µg/g in the gills, 15,39 µg/g in liver, and 40,56 µg/g in the flesh. The highest content of the heavy metal found in the gills in the third month, i.e 55,23 µg/g. Decrease in water temperature and pH as well as increased brightness in January 2012 impact on increasing the accumulation of Pb in several tested fish organs. Pb was found 8,41 µg/g in red tilapia gills and 55,23 µg/g in the gills of the jambal catfish. Decrease in water temperature and pH also resulted in an increase of Pb accumulation in the meats of jambal catfish, which amounted to 40,56 µg/g, while in the red tilapia were not measurable. Content of lead of red tilapia were 62,14 µg/g in liver, whereas in the liver of jambal catfish was 15,39 µg/g. Content of the heavy metal was also found in the kidneys of red tilapia 93,98 µg/g whereas in jambal catfish jamball in the month of January 2012 (3thmonths)was.not.found. During the four months of cultivation, the accumulation of heavy metals Pb that occur in every organ of observation not had a significant influence to the growth rate of red tilapia. Accumulation number of Pb from the first month to the second month of cultivation in each organ of red tilapia almost no immeasurable followed by increase in the rate of growth of red tilapia because the body is still growing well without being distracted pollutants. Accumulation of Pb which was measured from the second to third month of cultivation in the gills, liver and kidneys, resulting in not decreased growth rate of red tilapia. Decrease in the rate of growth continues to occur from the third month up to four months of cultivation. The results revealed that the increased accumulation of Pb in several organ systems can’t affect the body's metabolism so that the energy of red tilapia from the feed for growth, more used to defend the body from pollutants. During the four months of cultivation, the accumulation of heavy metals Pb that occur in every organ of observation had a significant influence to the growth rate of jambal catfish. Accumulation of Pb in each jambal catfish organs in the first and second months of cultivation is almost immeasurable but still lowering the rate of growth since the first month. The jambal catfish body already polluted with the heavy metals, as evidenced by Pb measured in the meats and kidney in the second month of cultivation. Pb content in sediment trap is not related to the amount of accumulated Lead in tested fish organs and income lines derived from the food chain.
RINGKASAN ROBIN. Analisis Bioakumulasi Timbal (Pb) Pada Ikan Nila Merah (Oreochromis nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) yang Dibudidayakan di Kolong Tua pasca Tambang Timah Bangka Belitung. Dibimbing oleh Kukuh Nirmala dan Enang Harris. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai sekarang (2012) masih merupakan salah satu produsen biji timah terbesar dunia. Perusahaan penambangan bijih timah terbesar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah PT.Timah, Tbk dan PT. Kobatin. Konsekuensi dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lubang bekas galian penambangan timah berbentuk cekungan besar, dalam dan terisi air yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung adalah kolong atau lubang camuy (danau). Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT. Timah di tahun 2000, jumlah kolong pasca penambangan timah oleh PT. Tambang Timah di Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 Ha, yaitu 544 kolong dengan luas 1.035,51 Ha di pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 Ha di pulau Belitung. Kolong yang sudah direklamasi di Pulau Bangka baru sebanyak 108 kolong dan di Pulau Belitung baru sebanyak 54 kolong. Jumlah kolong terus bertambah dengan pesat sejalan dengan maraknya aktivitas tambang inkonvensional yang dikelola oleh masyarakat Bangka Belitung. Karakteristik dari kolong ialah tidak mempunyai aliran masuk dan aliran keluar. Debit air kolong dan kondisi air secara fisik dan kimia sangat dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi. Kondisi galian umumnya berukuran panjang dan lebar sekitar 75-200 m, dengan kedalaman berkisar 2-50 m. Cynthia Henny (2007), mengelompokkan kolong menjadi dua yakni kolong muda dan kolong tua. Wahyu widowati dkk (2008) membagi logam berat kedalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yakni logam dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme, tapi dalam jumlah berlebihan logam tersebut dapat menimbulkan efek toksik, contoh : Zn,Cu, Fe, Co, Mn dan sebagainya. Kedua, logam berat tidak esensial, yakni logam yang keberadaannya didalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, contohnya : Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Tabel 1 menunjukkan urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong. Menurut Puslit Biologi LIPI ditambah data penelitian lain dari Lamidi (1997), ada kecendrungan bahwa pada bekas galian yang sudah ditinggalkan dari kegiatan lebih dari 25 tahun kandungan logam berat pada air menurun sampai dibawah ambang batas dan layak untuk usaha perikanan. Penelitian Brahmana et al. (2004) menunjukkan bahwa, hasil pengukuran kualitas air di kolong muda ditemukan logam berat (Fe, Al, Pb, Mn) dalam jumlah yang berbahaya bagi kesehatan manusia, dengan pH berkisar 2,9 – 4.5. Sedangkan kolong tua mempunyai kualitas air yang lebih baik dengan kisaran pH 5.5 – 8.0 Hasil penelitian Cynthia Henny (2007) pada 40 kolong di Kabupaten Bangka (acak : kolong tua dan kolong muda), menemukan bahwa kandungan logam berat di air
dan sedimen pada kolong muda masih diatas baku mutu aman untuk terkonsumsi manusia. Hasil penelitian ini juga menemukan, terdapat beberapa jenis logam berat di sedimen kolong tua dalam jumlah di atas baku mutu, walaupun di dalam air kandungan logam berat tidak terukur. Beberapa penelitian telah dilakukan berbagai pihak sebagai alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong (terutama di kolong muda), seperti penerapan teknologi sederhana in situ treatment menggunakan limestone (pengapuran) ataupun passive treatment yang dapat menaikkan pH air kolong dengan cepat dan menurunkan kandungan beberapa logam berat berbahaya pada air kolong sehingga kualitasnya lebih baik juga penggunaan Phytoplankton sebagai penyerap alami logam berat (Cynthia Henny, LIPI.2007-2010) dan penggunaan tumbuhan air sebagai penyerap logam berat di kolong oleh Wike, dkk. UBB (2009). Dampak sosial dari keberadaan logam berat di kolong adalah tertanamnya image di masyarakat, tentang konsentrasi logam berat yang masih tinggi di semua kolong dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga masyarakat cendrung menolak untuk mengkonsumsi dan melakukan kegiatan budidaya perikanan tawar di kolong. Keberadaan perairan kolong di Bangka Belitung dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, terutama kolong tua yang berusia di atas 25 tahun. Kemungkinan terlepasnya logam berat dari sedimen ke air dan berakhir terakumulasi di dalam ikan sangatlah besar. Bryan (1976 a) mengemukakan bahwa, dalam keadaan yang sesuai, beberapa logam yang berikatan dengan sedimen dan partikel yang mengendap kembali kedalam air diikuti remobilisasi dan difusi keatas. Forstner (1979 b) : menyimpulkan proses pelepasan logam berat dari sedimen ke air menjadi lima proses, yakni : (1) Kepekatan garam yang tinggi. Pada kepekatan yang tinggi, kation alkali dan alkalin dapat bersaing untuk tempat penyerapan pada partikel padat, dengan cara mengganti ion-ion logam runutan yang telah diserap. (2) Perubahan keadaan redoks. Penurunan potensial oksigen dalam sedimen dapat terjadi karena keadaan seperti eutrofikasi lanjutan. Hal ini mengakibatkan suatu perubahan dalam bentuk kimiawi logam dan dengan demikian perubahan dalam kelarutan air. (3) Perubahan pH. Reduksi pH mengarah pada penguraian karbonat dan hidroksida, begitu pula untuk meningkatkan desorpsi kation logam disebabkan persaingan dengan ion-ion hidrogen. (4) Kehadiran zat-zat pembentuk kompleks. Meningkatnya penggunaan zat-zat pembentuk kompleks yang alamiah dan buatan, dengan logam runutan dapat membentuk kompleks logam yang stabil dan dapat larut yang diserap ke dalam partikel padat lain. (5) Transformasi biokimiawi . Hal ini dapat mengarah pada perpindahan logam dari sedimen ke dalam fase cair atau pengambilannya oleh makhluk hidup air dan kemudian dilepaskan melalui hasil dekomposisi. Bryan (1979) juga menambahkan, perbandingan pengambilan logam dari sumber makanan dengan penyerapan langsung dari larutan merupakan kepentingan dasar bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas, tetapi makanan dan pertikulat merupakan sumber akumulasi penting yang terjadi pada ikan. Prosi (1979) berkesimpulan bahwa, salah satu faktor penentu yang berhubungan dengan pemgambilan dan akumulasi logam berat oleh mahkluk hidup perairan, adalah sebagai berikut : (1) Ketersediaan logam secara biologi hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi, pada umumnya lebih ditentukan oleh perpindahan dari air
dibandingkan dari makanan. (2) Makhluk hidup yang makan dengan cara menyaring, atau ikan penyaring diketahui mengakumulasi logam di dalam jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya sebagian kecil saja pada makhluk predator. Menurut Forstner (1979 b), terdapat tiga proses mikrobial utama yang mempengaruhi pengangkutan logam dari sedimen ke air di lingkungan, yaitu : (1) Degradasi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang berbobot molekulnya lebih rendah, yang lebih mampu membentuk senyawa dengan ion-ion logam. (2) Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimiawi logam oleh kegiatan metabolik, contoh : potensial oksidasi-reduksi dan keadaan pH. (3) Perubahan senyawa anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif. Mekanisme yang ketiga ini melibatkan metilasi sejumlah unsur oleh bakteri, seperti logam berat Timbal (Pb), dimana metilkobalamin muncul sebagai zat pembentuk metil secara biologis yang utama. Pengambilan logam berat oleh makhluk hidup air melalui tiga proses utama, yaitu (1) dari air melalui permukaan pernapasan (misalnya insang); (2) penyerapan dari air ke dalam permukaan tubuh; dan (3) dari makanan, partikel atau atau air yang dicerna melalui sistem pencernaan. Proses pengambilan logam dalam makhluk hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976 b) adalah melalui mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Pada ikan, proses masuknya logam berat ke dalam tubuh dapat bersumber dari air dan makanan. Proses masuknya logam berat ke ikan menurut Bryan (1976 b) melalui mekanisme penyerapan pada permukaan tubuh, yang kemudian diikat oleh ligan organik dan disimpan dalam protein. Pada ikan, penyerapan melalui makanan lebih sering terjadi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan Februari 2012 di Kolong Grasi dengan titik koordinat S01052.464’; E106007.005’, Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Analisis kimia dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Laboratorium Nutrisi Ikan, IPB. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan ikan patin jambal. Sampel organ diambil setiap bulan dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012. Bahan kimia untuk pengujian logam berat Pb adalah larutan standar Pb konsentrasi 1000 ppm buatan BDH, asam nitrat pekat buatan Merck dan air suling. Peralatan yang digunakan adalah pH meter, DO meter, timbangan analitik, penggaris, seperangkat alat bedah, dua unit karamba jaring apung (KJA) masingmasing berukuran 3m x 3m x 2m, dan pH-meter,seperangkat alat atomic absorption spectrometry (AAS) tipe AA 300 P buatan Varian Techtron, Australia, gelas beker 50 ml, labu ukur 10 ml, vial polietilen ukuran 5 ml, mikro pipet effendorf 10 -100 μL, neraca analitik, tanur, Hot Plate, Mercury Vaporise Unit (MVU) dan peralatan gelas lain yang digunakan dalam laboratorium. Tahapan penelitian ini dimulai dengan pengukuran logam berat timbal (Pb) di air dan sedimen satu kali di awal penelitian. Pengukuran kualitas air (parameter fisika : suhu, pH, kecerahan; dan parameter kimia : DO, CO2) dilakukan secara langsung di lapangan. Pengukuran di laboratorium (parameter
kimia : Total Organic Mettler dan Pb) dilakukan untuk mendapatkan data awal dan selanjutnya dilakukan setiap bulan di perairan kolong tempat ikan akan dipelihara. Pengukuran kandungan Pb dalam sedimen juga dilakukan sebanyak satu kali diawal penelitian. Tahapan dan proses penelitian selanjutnya secara sistematis terbagi atas 4 kelompok, yaitu proses budidaya pembesaran selama empat bulan, proses sampling dan proses analisis logam berat di setiap bulan pemeliharaan, serta pengolahan data. Keseluruhan data disajikan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan perbandingan 2 nilai tengah (t-test). Hasil identifikasi isi usus ikan disajikan secara tabulasi dan keterhubungan semua parameter dijelaskan secara deskriptif. Rata-rata parameter fisika dan kimia hasil pengukuran kualitas air di Kolong Grasi menunjukkan kondisi yang ideal untuk kegiatan budidaya ikan nila merah dan patin jambal. Kondisi penurunan beberapa parameter seperti suhu, kecerahan dan peningkatan kadar TOM terjadi di bulan Januari 2012 dan tidak terjadi di bulan-bulan sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada bulan Januari 2012 merupakan musim penghujan. Kandungan logam berat Pb pada ikan nila merah mulai ditemukan di bulan pertama pemeliharaan, yakni bulan November di organ hati sebesar 0,085µg/g. Selanjutnya di bulan ketiga (Januari 2012) logam berat Pb ditemukan hampir di semua organ ikan nila merah tapi belum melebihi ambang batas baku mutu sehingga masih aman untuk dikonsumsi, yaitu organ insang sebesar 8,41 µg/g, ginjal sebesar 93,98 µg/g, hati sebesar 62,14 µg/g dan tidak ditemukan pada organ daging. Kontaminasi logam berat Pb di organ daging ikan nila merah baru ditemukan sebesar 0,188 µg/g di bulan keempat (Februari 2012). Kandungan logam berat tertinggi ditemukan di organ ginjal ikan nila merah di bulan ketiga pemeliharaan, yakni bulan Januari 2012 terukur sebanyak 93,98 µg/g. Kandungan logam berat Pb pada ikan patin jambal mulai ditemukan di bulan kedua pemeliharaan, yakni bulan Desember 2011 pada organ ginjal dan daging masing-masing terukur sebesar 0.032 µg/g dan 0,177 µg/g. Di bulan ketiga (Januari 2012) logam berat Pb ditemukan hampir di semua organ ikan Patin jambal dan juga tidak melebihi ambang batas aman untuk konsumsi, yaitu organ insang sebesar 55,23 µg/g, hati sebesar 15,39 µg/g, daging sebesar 40,56 µg/g. Kandungan logam berat tertinggi ditemukan di organ insang pada bulan ketiga pemeliharaan, yakni sebesar 55,23 µg/g. Penurunan suhu dan pH air serta peningkatan kecerahan kolong di bulan Januari 2012 berdampak pada peningkatan jumlah akumulasi logam berat Pb dibeberapa organ ikan uji. Logam berat Pb ditemukan mengakumulasi sebanyak 8,41 µg/g di organ insang ikan nila merah dan 55,23 µg/g di organ insang ikan patin jambal. Penurunan suhu dan pH air kolong juga berdampak pada peningkatan akumulasi Pb di organ daging ikan patin jambal, yakni sebesar 40,56 µg/g sedangkan di organ ikan nila merah akumulasi tidak terukur. Logam berat Pb terukur di organ hati ikan nila merah sebanyak 62,14 µg/g, sedangkan di organ hati ikan patin jambal sebesar 15,39 µg/g. Kandungan logam berat Pb juga banyak ditemukan di ginjal ikan nila merah, yakni sebesar 93,98 µg/g sedangkan pada ikan patin jambal kandungan logam berat Pb di bulan Januari 2012 (bulan ke-3) tidak ditemukan. Laju penambahan bobot tubuh ikan nila merah selama empat bulan pemeliharaan, didapatkan bahwa akumulasi logam berat Pb yang terjadi disetiap
organ pengamatan, tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hampir tidak terukurnya jumlah akumulasi logam berat Pb dari bulan pertama ke bulan kedua pemeliharaan pada setiap organ ikan nila merah, diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena tubuh ikan nila merah masih tumbuh dengan baik tanpa terganggu bahan pencemar. Akumlasi logam berat Pb yang mulai terukur pada bulan kedua hingga bulan ketiga pemeliharaan, yakni organ insang, hati dan ginjal, tidak mengakibatkan penurunan penambahan bobot tubuh ikan nila merah. Peningkatan penambahan bobot tubuh terus terjadi dari bulan ketiga pemeliharaan hingga ke bulan empat pemeliharaan. Hal ini menjelaskan bahwa, peningkatan akumulasi Pb di beberapa organ tidak menyebabkan terganggunya sistem metabolisme tubuh ikan nila merah. Hal ini dikarenakan rendahnya akumulasi di setiap organ ikan nila merah selama pemeliharaan dan akumulasi yang terjadi masih dalam ambang batas toleransi ikan nila merah, sehingga energi dari pakan dapat digunakan secara optimal untuk pertumbuhan. Laju penambahan bobot tubuh ikan patin jambal selama empat bulan pemeliharaan, didapatkan bahwa akumulasi logam berat Pb yang terjadi disetiap organ pengamatan memberikan pengaruh yang signifikan. Meningkatnya jumlah akumulasi logam berat Pb pada setiap organ ikan patin jambal di bulan ketiga pemeliharaan, memberikan pengaruh melambat terhadap penambahan bobot tubuh di bulan tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa, peningkatan akumulasi Pb di beberapa organ tersebut, menyebabkan terganggunya sistem metabolisme tubuh ikan patin jambal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada keterhubungan antara kandungan logam berat Pb di sedimen kolong terhadap jumlah akumulasi logam berat Pb di organ ikan uji dan jalur pemasukan berasal dari rantai makanan. Kata Kunci : kolong, akumulasi, logam berat Timbal (Pb), keamanan pangan, nila merah dan patin jambal.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................ 6 Tujuan Penelitian .............................................................................. 10 Manfaat Penelitian ........................................................................... 10 Asumsi dan Hipotesis........................................................................ 11 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 11 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Nila Merah (Oreochormis niloticus)... ...................................... 13 Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal)............................................. 13 Logam Berat Timbal (Pb) ................................................................ 14 Mekanisme Pemasukan Pb dan Resikonya Terhadap Ikan ................ 15 Resiko Pb Pada Organ Tubuh Manusia ............................................. 18 Perilaku Pb Dalam Perairan ............................................................... 22 Kriteria Kolong .................................................................................. 24 Kualitas Air ........................................................................................ 26 Pertumbuhan ...................................................................................... 29 Fitoplankton ....................................................................................... 29 Glukosa Darah .................................................................................... 30 Analisa AAS ...................................................................................... 31
vi
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 32 Pengumpulan Data ............................................................................. 32 Metode Penelitian................................................................................33 Penelitian Pendahuluan .......................................................................34 Penelitian Utama .................................................................................35
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perairan Kolong Grasi Secara Fisika dan Kimia ...................41 Jumlah Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) ....................................43 Analisis Perbedaan Parameter Fisika-Kimia Terukur dan Rasio Isi Usus Terhadap Akumulasi Pb di Organ Ikan Uji...........................47 Dampak Akumulasi Pb Terhadap Penambahan Bobot Tubuh ............50 Uji t-Test .............................................................................................55 Analisis Sumber Akumulasi Pb Berdasarkan Komposisi Isi Usus Ikan Uji................................................................................................56 Analisis Kelayakan Ekonomis Budidaya di Kolong Tua serta Keterhubungan Dampak Stres Terhadap Laju Pertumbuhan ..............64 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................69 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................70 LAMPIRAN ....................................................................................................71
vi
DAFTAR TABEL 1
Urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong .......................................................................................................... 2
2
Rekapitulasi kebutuhan jenis ikan air tawar ukuran konsumsi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008 ................. 7
3
Potensi berwiraswasta untuk mengoptimalkan nilai ekonomis budidaya perairan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ....................... 8
4
Hasil pengukuran kualitas air di bulan Oktober-Desember 2011 hingga Januari-Februari 2012 di kolong Garasi Kec, Sungailiat Kab. Bangka, Prov. Kepulauan Bangka Belitung .............................................. 42
5
Kandungan Pb terukur pada organ ikan patin jambal................................ 43
6
Kandungan Pb terukur pada organ ikan nila merah .................................. 44
7
Hasil hitung t-Test ..................................................................................... 55
8
Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah bulan November 2011 ............................................................................... 56
9
Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah bulan Desember 2011 ................................................................................ 57
10 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah bulan Januari 2012 ..................................................................................... 58 11 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah bulan Februari 2012 ................................................................................... 59 12 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal bulan November 2011.................................................................... 60 13 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal bulan Desember 2011 .................................................................... 61 14 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal bulan Januari 2012 ......................................................................... 62 15 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal bulan Februarai 2012 ..................................................................... 63 16 Analisa usaha ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara system KJA di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung ........... 65 vi
17 Glukosa darah ikan patin jambal dan nila merah selama pemeliharaan bulan November 2011-Februari 2012 ................................. 66
vi
DAFTAR GAMBAR 1
Diagram alir kerangka pemikiran .............................................................. 12
2
Rumus molekul logam berat Timbal (Pb) ................................................. 15
3
Lokasi penelitian ....................................................................................... 32
4
Trend akumulasi Pb pada organ patin jambal ........................................... 44
5
Trend akumulasi Pb pada organ nila merah .............................................. 44
6
Akumulasi Pb disetiap organ pengamatan ikan nila merah dan patin jambal serta keterhubungannya terhadap perbedaan parameter fisika-kimia dan rasio usus ........................................................................ 48
7
Penambahan bobot tubuh ikan nila merah dan ikan patin jambal ............. 50
8
Grafik pertumbuhan ikan nila merah dan patin jambal ............................. 52
9
Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan November 2011 .......... 56
10 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Desember 2011 ........... 57 11 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Januari 2012 ................ 58 12 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Februari 2012 .............. 59 13 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan November 2011 ....... 60 14 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan Desember 2011 ........ 62 15 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan Januari 2012 ............. 62 16 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan Februari 2012 .......... 63
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1
Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan ............................................................................................................ 72
2
Perjalanan logam sampai ketubuh manusia ............................................... 73
3
Kandungan lemak daging ikan nila merah dan patin jambal .................... 74
vi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada 105º – 108º BT dan 03º 30” LS. Memiliki luas total wilayah 81.582 km2 terdiri dari wilayah daratan 16.281 km2 meliputi dua pulau besar, yaitu Pulau Bangka dengan luas 11.481 km2 dan Pulau Belitung dengan luas 4.800 km2 serta 950 buah pulau-pulau kecil. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai sekarang (2012) masih merupakan salah satu produsen biji timah terbesar dunia. Penambangan bijih timah oleh PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah sejak lama dilakukan. Konsekuensi dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas galian penambangan timah berbentuk cekungan besar, dalam dan terisi air yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung adalah kolong atau lubang camuy (danau). Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT. Timah, Tbk di tahun 2000, jumlah kolong pasca penambangan timah oleh PT. Timah di Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 ha. Terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 ha di pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 ha di pulau Belitung. Dari jumlah tersebut, baru 108 kolong di pulau Bangka dan 54 kolong di pulau Belitung yang telah dilakukan reklamasi. Jumlah kolong-kolong tersebut masih terus bertambah dengan pesat seiring dengan semakin maraknya aktivitas tambang inkonvensional yang dikelola oleh masyarakat Bangka Belitung. Salah satu karakteristik dari kolong ialah tidak mempunyai aliran masuk dan aliran keluar. Debit air kolong dan kondisi air secara fisik dan kimia sangat dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi, dimana tinggi-rendahnya permukaan air cukup berfluktuasi pada musim kering yang mengakibatkan terkonsentrasinya kandungan bahan yang ada di air tersebut. Kondisi galian umumnya berukuran panjang dan lebar sekitar 75-200 m, dengan kedalaman berkisar 2-50 m. Sifat fisikokimia air kolong memiliki perbedaan karakter yang sangat menonjol. Secara umum keberadaan perairan kolong ini masih dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, namun hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa
2 tidak seluruhnya dapat dikembangkan untuk budidaya ikan konsumsi, karena menurut hasil analisa menunjukkan adanya pencemaran logam berat sampai diatas ambang batas (Lamidi 1997). Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup (Palar 1994). Berdasarkan sudut pandang toksikologi, Wahyu Widowati et al. (2008) membagi logam berat kedalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yakni logam dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme, tapi dalam jumlah berlebihan logam tersebut dapat menimbulkan efek toksik, contoh : Zn,Cu, Fe, Co, Mn dan sebagainya. Besi dalam jumlah tertentu merupakan logam yang dibutuhkan dalam pembentukan pigmen darah dan zink merupakan kofaktor untuk aktifitas enzim (Wilson 1988). Kedua, logam berat tidak esensial, yakni logam yang keberadaannya didalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, contohnya : Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Tabel 1 berikut ini menunjukkan urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong. Tabel 1 Urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong Tingkatan Toksik LB Bagi Hewan Air Bagi Manusia Tingkatan Jumlah Kandungan LB Logam di Air Kolong Logam di Sedimen Kolong
1
2
3
4
5
Sumber
Hg Hg 1
Cd Cd 2
Zn Ag 3
Pb Ni 4
Cr Pb 5
Wahyu Widowati et al. (2008) Wahyu Widowati et al. (2008) Sumber
Fe Mn
Mn Fe
Zn Pb
Pb Al
Cu Zn
Brahmana et al. (2004) Cynthia Henny (2009)
Keberadaan logam berat dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama, dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk. Kedua, dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri (Connel & Miller 1995). Wittmann (1979) menambahkan, salah satu penyebab terbesar masuknya
3 pencemar logam berat kedalam cekungan-cekungan perairan adalah melalui kegiatan
pertambangan.
Eksploitasi
timbunan
bijih
timah
membongkar
permukaan batuan baru dan sejumlah besar sisa batuan atau tanah untuk mempercepat kondisi pelapukan. Kegiatan proses pengambilan, pemisahan maupun peleburan bijih timah dapat menyebabkan hamburan dan penimbunan sejumlah besar logam runutan seperti Pb, Zn, Cu, As dan Ag ke dalam saluran pembuangan sekelilingnya atau pengeluaran langsung kedalam lingkungan perairan. Cynthia Henny (2007) juga menyatakan aktivitas pembukaan lapisan tanah dalam proses penambangan telah membuat mineral di dalam tanah terbuka. Akibatnya terjadi oksidasi mineral sulfida (pirit-FeS2) yang membawa kandungan-kandungan logam berat berbahaya, seperti timah hitam (Pb), seng (Zn) bahkan arsenik (As). Wardoyo et al. (1998) dan Cynthia Henny (2007), mengelompokkan kolong pasca tambang timah berdasarkan usia menjadi dua. Pertama, kolong muda dengan usia 0-20 tahun. Kedua, kolong tua dengan usia > 20 tahun. Karakteristik secara fisik dan kandungan pencemar kimia di air maupun sedimen kolong, serta kualitas air kolong hampir sama untuk masing-masing kelompok umur kolong, terutama kolong tua. Penelitian Brahmana et al. (2004), kualitas air kolong muda menunjukkan kualitas air yang buruk dengan pH berkisar 2,9 – 4.5. Kandungan logam berat seperti Fe, Al, Pb, dan Mn sangat tinggi. Dalam hasil penelitian tersebut juga dikatakan bahwa, umur kolong sangat berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar logam tersebut. Menurut Puslit Biologi LIPI ditambah data penelitian lain dari Lamidi (1997), ada kecendrungan bahwa pada kolong yang sudah ditinggalkan dari kegiatan pertambangan bijih timah lebih dari 25 tahun, konsentrasi logam berat pada air menurun sampai dibawah ambang batas aman untuk manusia. Beberapa penelitian telah dilakukan berbagai pihak sebagai alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong (terutama di kolong muda). Di antaranya penerapan teknologi sederhana in situ treatment, menggunakan limestone (pengapuran) ataupun passive treatment yang dapat menaikkan pH air. Diharapkan dengan penaikan pH air kolong akan berdampak terhadap menurunnya kandungan beberapa logam berat berbahaya pada air kolong.
4 Penggunaan phytoplankton sebagai penyerap alami logam berat (Cynthia Henny 2007) dan penggunaan tumbuhan air sebagai penyerap logam berat di kolong oleh Wike et al. (2009). Semua rangkaian penelitian yang telah dilakukan merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong pasca tambang timah, agar kolong dapat lebih berdaya guna dan memiliki nilai potensial lebih. Akan tetapi, sifat unsur logam berat yang tidak dapat didegradasi dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia, akan menjadi pekerjaan rumah besar sekaligus pertanyaan mendasar pada hasil penelitian terdahulu dan peneliti mendatang. Sistem pengkapuran yang memakan banyak biaya, kesulitan pengaturan debit air untuk penerapan passive treatment, atau kembali masuknya logam berat ke dalam badan perairan, jika phytoplankton dan tumbuhan air yang dimanfaatkan sebagai penyerap logam berat mati atau habis siklus hidupnya. Arti sebenarnya adalah, belum ditemukannya teknologi yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah kolong ini, sehingga perairan kolong terus menerus dalam kondisi tercemar logam berat. Kolong tua mempunyai kualitas air yang lebih baik dengan kisaran pH 5.5 – 8 (Cynthia Henny 2009). Waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan kualitas air secara alami seperti pada kolong tua memakan waktu 20 – 30 tahun (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004). Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) pada 40 kolong di Kabupaten Bangka (acak : kolong tua dan kolong muda) menunjukkan bahwa, masih ditemukannya kandungan logam berat dalam jumlah cukup tinggi pada air dan sedimen. Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) ini juga menemukan bahwa, pada sedimen kolong tua masih ditemukan kandungan beberapa jenis logam berat (Pb, Al, Fe, Zn, Mn) diatas baku mutu. Walaupun kandungan logam berat di air pada kolong tua menunjukkan hasil yang tidak terukur. Dari hasil penelitian tersebut, pemanfaatan kolong untuk budidaya ikan air tawar atau air minum tanpa pengolahan lebih dulu tidak direkomendasikan, sebab logam-logam berat di kolong diduga dapat terakumulasi di tubuh ikan dan tentu berdampak pada kesehatan manusia. Dampak secara sosial adalah tertanamnya image masyarakat, tentang konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi di semua kolong (kolong tua dan kolong muda) diatas ambang batas aman untuk manusia. Selanjutnya berdampak pada kengganan masyarakat untuk melakukan
5 kegiatan budidaya perikanan tawar di kolong muda maupun di kolong tua, atau mengkonsumsi ikannya. Tentunya keberadaan perairan kolong di Bangka Belitung dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, terutama kolong tua yang berusia diatas 20 tahun. Massa jenis logam berat yang lebih berat dari massa jenis air menjadikan logam berat lebih mudah mengendap dan tersimpan di sedimen daripada yang terlarut di air. Lamanya usia kolong ikut menjadi faktor tidak terukurnya logam berat dalam air tetapi ditemukan dalam jumlah banyak pada sedimen. Tersedianya bahan organik di dasar kolong tua juga dapat menyebabkan logam cendrung lebih banyak terikat didasar kolong daripada di air. Hal ini memperkuat hasil penelitian Connel dan Miller (1995) yang menyimpulkan bahwa pembentukan lapisan organik sangat mempengaruhi kapasitas penyerapan pada sedimen dan bahan yang mengikat. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya di kolong, hampir semua kolong tua masih mengandung logam berat di sedimennya tapi tidak terukur di air (tingkat sensitifitas AAS 0,030 mg/l) (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004; Cynthia Henny 2007). Hasil penelitian juga menemukan bahwa, selain jenis logam yang tercantum di Tabel 1, jenis logam berat Timbal (Pb) hampir ditemui di sedimen semua kolong-kolong tua, (Cynthia Henny 2009). Mengingat salah satu program unggulan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yakni pengembangan sektor budidaya perikanan tawar dengan memanfaatkan
kolong-kolong pasca
penambangan
timah,
karena
mulai
melemahnya sektor pendapatan ekonomi daerah dari hasil bijih timah, maka pengembangan budidaya perikanan air tawar yang memanfaatkan kolong pasca tambang timah harus dikaji dan dikelola secara komprehensif. Pengembangan budidaya perikanan tawar bukan hanya terpusat pada peningkatan produksi, namun juga pada kualitas dan keamanan produk untuk konsumsi. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur jumlah akumulasi Pb dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan selama proses budidaya hingga panen di kolong pasca penambangan timah berusia tua (diatas 25 tahun). Diharapkan hasil dari penelitian ini akan menambah produk penelitian kolong, berupa sistem teknologi dan manajemen budidaya ikan air tawar konsumsi yang aman, di kolong
6 tercemar logam berat. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi tentang keamanan produk yang dapat berdampak hilangnya kekhawatiran masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya dan mengkonsumsi ikan yang dibudidayakan di kolong.
Perumusan Masalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa, perikanan mempunyai peran yang penting dan strategis
dalam
pembangunan
meningkatkan perluasan
perekonomian
kesempatan
nasional,
terutama
dalam
kerja, pemerataan pendapatan dan
peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan. Jumlah kolong di Bangka Belitung hingga saat ini (2012) terdata lebih dari 1000 kolong. Kolong hasil galian PT. Timah, Tbk tersebut baru sebagian kecil saja dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan air tawar. Berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam kegiatan reklamasi adalah akasia, albasia dan jambu mete. Sedangkan sebanyak 142 kolong telah ditimbun kembali setelah diberlakukannya sistem penambangan back filling (1992-1998), dimana setiap galian harus ditimbun kembali. Sisanya, yakni sebanyak 583 kolong belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain purun, rumbia, gelam, nipah, ilalang, cemara, sungkai dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih, sebesar 15,9 persen atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai reservoir dan sumber air, termasuk mandi dan mencuci. Namun, masih sedikit atau sebesar 4,28 persen atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air baku PDAM, dan rekreasi. Sisanya yakni sebesar 79,82 persen belum termanfaatkan sama sekali. Jumlah kolong ini terus bertambah hingga sekarang. Ditambahkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN 2009), bahwa berdasarkan citra satelit tahun 2004, diketahui bahwa 378.042 hektar dari 657.510 hektar kawasan hutan di Bangka Belitung sudah tergolong lahan kritis. Dari yang tersisa tersebut,
7 kawasan hutan yang bervegetasi tinggal 17 persen dari luas daratan Bangka Belitung (1.642.414 hektar). Padahal, idealnya untuk satu pulau paling tidak luas kawasan hutan yang bervegetasi baik mencapai 30 persen. Ditinjau dari luasnya lahan perairan umum yang berpotensi untuk dikembangkan, dan didukung juga dengan tingginya kebutuhan ikan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka Dinas Kelautan dan Perikanan dari tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, membangun kerangka kerja kedepan untuk memanfaatkan kolongkolong tua pasca penambangan timah dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya air tawar, menggunakan metode karamba jaring apung (KJA). Adapun gambaran kebutuhan akan ikan air tawar terutama Nila merah (Oreochormis niloticus) dan Patin jambal (Pangasius djambal) ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi kebutuhan jenis ikan air tawar ukuran konsumsi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008 Kebutuhan Ukuran Konsumsi Tiap Kabupaten Total di Bangka Belitung (2008-2009) (Kg/hari) Kebutuhan Jenis Ikan (Kg)/hari Kab. Kab. Kab. Kab. Pangkal Bangka Bateng Basel Babar Pinang
Total Terpenuhi (Kg/hari)
Lele Dumbo Nila
1.800
1.650
970
800
2.700
7.920
2.043
250
340
134
242
477
1.452
300
Gurame Patin Mas
130 250 90
120 100 102
100 288 161
80 132 85
166 497 256
596 1.267 694
310 100
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008).
Walaupun dukungan dari setiap pemerintah daerah sangat besar dan memiliki potensi kondisi geografis daerah juga besar, kegiatan perikanan budidaya perikanan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih sangat minim. Penyebab utama lesunya kegiatan budidaya perikanan ikan air tawar adalah kekhawatiran masyarakat dengan perairan kolong yang mengandung logam berat. Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung
dengan
kolong-kolongnya,
merupakan potensi besar untuk pengembangan perikanan air tawar dan perluasan kesempatan kerja, walaupun tidak dipungkiri dari hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan sebagian besar kolong-kolong tersebut mengandung unsur logam
8 berat yang sangat berbahaya jika terkonsumsi oleh manusia, terutama Pb. Akan tetapi jika permasalahan logam berat dapat diatasi, maka potensi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal, artinya akan terbuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Kalkulasi kesempatan kerja terhadap potensi perikanan daerah oleh Biro Kepegawaian Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008) ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Potensi berwiraswasta untuk mengoptimalkan nilai ekonomis budidaya perairan di Povinsi Kep. Bangka Belitung Jenis Budidaya Satuan Potensi Peluang Jumlah Lahan Usaha (orang) (orang/satuan) Budidaya Laut Ha 12.000 2 24.000 Budidaya Payau Ha 10.000 2 20.000 Budidaya Tawar Ha 1000 5 5.000 Industri Bioteknologi Unit 30 50 1.500 Industri Pakan Unit 37 50 1.850 Jumlah Total 52.350 Sumber : Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kep. Bangka Belitung (2008)
Dari Tabel 3 tersebut diartikan bahwa, jika semua lahan perairan tawar (terutama kolong pasca penambangan timah) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan, maka kebutuhan ikan air tawar yang tinggi akan terpenuhi, sekaligus sebagai solusi bagi kebutuhan akan sumber mata pencaharian alternatif dan pengangguran. Potensi yang besar dapat dihubungkan menjadi terciptanya sumber peningkatan perekonomian masyarakat yang baru, untuk mengimbangi penurunan perekonomian masyarakat dari sektor tambang timah. Realitanya sekarang adalah sebesar 79,82 % atau 1.367.04 ha dari kolong peninggalan PT. Timah Tbk, belum termanfaatkan karena indikasi tercemar
logam
berat.
Sehingga
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
menghubungkan mata rantai yang terputus seperti yang telah dipaparkan diatas. Maka beberapa permasalahan yang dihadapi adalah : (1) Aspek ekologi, banyaknya genangan-genangan air berupa kolong belum termanfaatkan secara optimal untuk berbagai keperluan, termasuk kegiatan perikanan,
9 (2) Aspek biologi, adanya kandungan logam berat di air dan sedimen kolong diduga menyebabkan ikan hasil budidaya di kolong pasca tambang timah tercemar logam berat, yang jika ikan tersebut terkonsumsi manusia tentu akan sangat berbahaya, (3) Aspek teknologi, hasil penelitian-penelitian sebelumnya belum memberikan dampak yang signifikan untuk diterapkan dalam pemulihan kualitas air kolong, belum adanya teknologi yang mudah (aplikatif) untuk diterapkan masyarakat, serta belum adanya kajian pemanfaatan kolong untuk kegiatan perikanan, (4) Aspek ekonomi, keinginan masyarakat membeli ikan air tawar hasil budidaya di kolong sangat kurang, karena rasa takut ikan tercemar logam berat. Dalam upaya memberikan kontribusi penelitian ilmiah aplikatif bagi masyarakat untuk pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dan fokus penelitian. Beberapa pertanyaan (research questions) yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Berapa jumlah Pb yang terakumulasi ke dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal selama proses pemeliharaan di kolong tua pasca penambangan timah hingga panen. (2) Apakah ada pengaruh kandungan Pb yang bersumber dari sedimen kolong tua, terhadap jumlah akumulasi Pb di organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal. (3) Apakah ada pengaruh akumulasi kandungan Pb di organ ikan nila merah dan patin jambal terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) (4) Bagaimana menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi unsur Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal. Dari hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa akar permasalahan yang sangat mendasar dalam pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah media ( kolong) budidaya mengandung logam berat (terutama Pb) yang selalu ada di setiap kolong) dan membahayakan kesehatan masyarakat secara
10 turun temurun, sehingga perlu dianalisis akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal setiap bulan pemeliharaan sampai panen dan membuat manajemen pola tanam budidaya perikanan yang aman dan dapat meminimalisir laju serapan logam berat kedalam organ-organ ikan tersebut serta mudah diterapkan oleh masyarakat. Tujuan Penelitian (1) Menjawab pertanyaan mengenai keamanan ikan yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung dari Pb untuk dikonsumsi oleh manusia. (2) Menganalisis pengaruh kandungan Pb yang terakumulasi di organ daging, insang, hati dan ginjal serta pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal. (3) Menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal (4) Menganalisis kelayakan ekonomis budidaya ikan nila merah dan patin jambal yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : (1) Bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan
pengembangan dan pembangunan di sektor perikanan budidaya air tawar dan pemanfaatan kolong tua dengan sistem karamba jaring apung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2) Bahan masukan bagi perusahan tambang timah dan masyarakat dalam upaya
pemanfaatan kolong pasca tambang timah. (3) Sumber informasi bagi investor, masyarakat dan stakeholders terkait
teknologi tepat guna dan sistem manajemen budidaya perikanan di kolong tua pasca penambangan, agar aman dari Pb, mudah diaplikasikan dan murah (hemat biaya).
11 (4) Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan menghasilkan
produk perikanan bersih dari Pb walaupun dipelihara di media yang terdapat kandungan Pb. Asumsi dan Hipotesis Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : (1) Tercemarnya air dan sedimen kolong oleh Pb akan menyebabkan ikan budidaya di kolong tersebut ikut tercemar Pb.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada jenis ikan yang berbeda di setiap bulan pemeliharaan. (2) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal antara ikan nila merah dan patin jambal. (3) Keberadaan pencemar Pb akan mempengaruhi pertambahan bobot tubuh, tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal. (4) Terdapat pola akumulasi terhadap depurasi terkait dengan kondisi kolong, yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan pola tanam.
Kerangka Pemikiran Rangkaian proses penelitian ini disusun dalam sebuah kerangka berpikir yang akan menuntun dalam pencapaian semua tujuan penelitian tersebut. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.
12
KOLONG
KARAKTERISTIK KELAYAKAN KOLONG UNTUK BUDIDAYA IKAN
KOLONG TUA - Kualitas Air/Kadar Pb - Kualitas Sedimen/Kadar Pb
KOLONG MUDA - Kualitas Air/Kadar Pb - Kualitas Sedimen/Kadar Pb
KOLONG TUA
PERMASALAHAN : 1. Masih mengandung logam berat (terutama Pb) di sedimen diatas baku mutu 2. Pb merupakan logam berat non esensial yang hampir selalu ditemukan di sedimen kolong tua 3. Image masyarakat (logam berat) dalam pemanfaatan kolong sebagai lahan budidaya perikanan
UJI BUDIDAYA IKAN NILA DAN PATIN Analisis kelayakan usaha
Manajemen budidaya
Analisis keterhubungan Pb di organ ikan terhadap GR,SR,FCR.
Menjawab pertanyaan tentang keamanan pangan
ANALISIS BIOAKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA IKAN NILA MERAH (O. nilotica) DAN PATIN JAMBAL (P. djambal) YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH BANGKA BELITUNG
Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.
13
TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Morfologi Ikan Nila Merah (O. niloticus) Menurut Saanin (1984) secara sistematika ikan nila merah (O. niloticus) adalah : dunia
: Animalia
filum
: Chordata
kelas
: Pisces
ordo
: Perchomorphi
famili
: Perchoiaea
genus
: Oreochormis
spesies
: Oreochormis niloticus
Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi :
bentuk bulat pipih,
punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Sedangkan garis lurus punggung. Ikan nila merah
memanjang ditemukan pada sirip
dapat hidup diperairan tawar dan mereka
menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Ikan nila merah termasuk omnivora. Makanannya berupa hewan-hewan seperti protozoa dan zooplankton serta ganggang, algae yang tersedia di kolam. Persyaratan kualitas air budidaya ikan nila merah dalam KJA suhu 25-30 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6-8,5, kecerahan 20-30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991). Ikan Patin Jambal (P. djambal) Menurut Saanin (1984), sistematika ikan patin jambal (P. djambal) diklasifikasikan sebagai berikut: dunia
: Animalia
filum
: Chordata
kelas
: Pisces
ordo
: Ostariophysi
famili
: Pangasidae
genus
: Pangasius
spesies
: Pangasius djambal
14 Ciri morfologi ikan patin jambal : memiliki warna tubuh putih keperakperakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil. Ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut pendek. Pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Patin jambal tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada terdiri dari 1213 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil. Di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil. Habitat asli ikan ini adalah sungai dan danau air tawar. Pada habitat aslinya ikan Patin jambal bersifat karnivora, namun ketika dipelihara di kolam ikan Patin jambal dapat mengkonsumsi kacang-kacangan dan tumbuhan (Zonneveld et al. 1991). Persyaratan kualitas air budidaya ikan patin jambal dalam KJA suhu 27-32 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6,5-8,5, kecerahan > 30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991). Logam Berat Timbal (Pb) Pb adalah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu-batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Manahan (1997), 95% dari Pb bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik dan kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk Pb organik. Pb organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan Tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid (Miettinen 1977). Waktu keberadaan Pb dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin, dan curah hujan. Pb tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Karena Pb merupakan sebuah unsur sehingga tidak akan mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan. Pemanfaatannya bagi manusia adalah sebagai bahan pembuat baterai, membuat amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan
15 kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit (CB) untuk computer) untuk campuran minyak bahan-bakar untuk meningkatkan nilai oktan. Pb adalah logam berat yang secara alami terdapat di dalam kerak bumi beasosiasi dengan mineral lainnya. Logam ini bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami. Pb memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif.
Gambar 2 Rumus molekul logam berat Timbal (Pb). Kata latin Pb adalah Plumbum, bahasa Inggrisnya Lead. mempunyai berat atom 207,21, berat jenis 11,34, bersifat lunak dan berwarna biru atau silver abuabu dengan kilau logam, nomer atom 82 mempunyai titik leleh 327,4 0C dan titik didih 1620 0C (Gambar 2). Pb termasuk logam berat “trace metals” karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke tubuh melalui makanan akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme (Miettinen 1977). Mekanisme Pemasukan Pb dan Risikonya Terhadap Ikan Ikan patin jambal dan nila merah termasuk ikan yang bergerak lambat, sehingga akumulasi logam beratnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang mempunyai pergerakan lebih cepat. Pemeliharan dengan system karamba jaring apung mengkondisikan ikan pada ruang gerak yang sangat terbatas, sehingga peluang untuk terjadinya akumulasi logam berat ke dalam tubuh ikan budidaya akan semakin besar. Pengambilan logam berat oleh makhluk hidup air melalui tiga proses utama, yaitu (1) dari air melalui permukaan pernapasan (misalnya insang); (2)
16 penyerapan dari air ke dalam permukaan tubuh; dan (3) dari makanan, partikel atau atau air yang dicerna melalui sistem pencernaan. Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan dapat dilihat pada ilustrasi di lampiran 1. Proses pengambilan logam oleh makhluk hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976b) adalah melalui mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Pada ikan, proses masuknya logam berat ke dalam tubuh juga dapat bersumber dari air dan makanan. Proses masuknya logam berat ke ikan menurut Bryan (1976b) melalui mekanisme penyerapan pada permukaan tubuh, yang kemudian diikat oleh ligan organik dan disimpan dalam protein. Pada ikan, penyerapan melalui makanan lebih sering terjadi. Perjalanan logam sampai ke tubuh manusia menurut Klaassen et al. (1986) dan Marganof (2003) dapat dilihat di lampiran 2. Insang ikan, selain sebagai alat pernafasan juga berfungsi sebagai alat pengatur tekanan air, antara air di lingkungan sekitar terhadap air di dalam tubuh (osmoregulasi). Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan adalah enzim karbonik anhidrase dan transportasi ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi sebagai penghidrolisis CO 2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn ini digantikan logam lain, maka fungsi enzim karbonik anhidrase akan menurun. Secara morfologi struktur insang ikan juga akan berubah, seperti terjadinya penebalan sel epitel insang dan insang kehilangan fungsi sebagai pengambil oksigen dari air (hipoksia) dan mengganggu pergerakan renang ikan. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas Pb dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Pb dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Ekskresi Pb melalui bilus dan urin.
17 Menurut Darmono (2008), semua spesies hewan muda (mamalia) lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Palar (1994) melaporkan bahwa, Pb dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus, dan untuk ikan belum diketahui secara pasti. Simkiss dan Mason (1984) diacu dalam Darmono (2008), mendefinisikan logam dalam jaringan organisme akuatik dibagi menjadi dua tipe utama. Pertama, logam tipe kelas A (seperti : Na, Ka, Ca dan Mg) yang bersifat elektrostatik dan pada larutan garam berbentuk ion hidrofilik. Kedua, logam tipe kelas B (seperti : Cu, Zn, Pb dan Ni) yang merupakan komponen kovalen dan jaringan berbentuk ion bebas. Tipe logam yang paling toksik bagi lingkungan adalah kelas B, seperti Cd, Pb dan Hg. Logam kelas B seperti Pb bila masuk ke dalam sel hewan akuatik pada umumnya selalu proporsional dengan tingkat konsentrasi logam berat dalam lingkungannya, sehingga Pb dapat terikat dengan adanya ketersediaan ligan dalam sel. Darmono (2008) menjabarkan bahwa respon sel terhadap masuknya logam berat bergantung pada sel-sel sebagai berikut : a. Sel yang mengandung ligan berlebihan dan sesuai untuk ikatan logam yang masuk, logam dapat terikat sepenuhnya dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme. b. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan kembali bila diperlukan sehingga masih dapat mengikat logam yang masuk dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme. c. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan lagi dengan jalan mengusir logam yang telah terikat untuk keluar sel. d. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dalam proses pengikatannya terjadi kompetisi antara logam itu sendiri. Dilihat dari sifatnya, Pb yang masuk tipe kelas logam berat B sangat mudah dan cepat melakukan penetrasi dalam tubuh organisme air. Nilai ambang batas Pb dalam daging ikan menurut Alaerts dan Santika (1987) adalah 2 mg/kg. Jumlah Pb yang terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang masih aman dikonsumsi oleh manusia yaitu 2 mg/kg (Ditjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 dan WHO 1992). Batas baku mutu kandungan Pb dalam air menurut SK. Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,030 mg/l
18 dan sebesar 5 mg/kg untuk sedimen. Pb adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan. Air sebagai wadah budidaya perikanan yang terkontaminasi oleh Pb dapat menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada ikan atau pada manusia pengkonsumsi ikan tercemar dapat terjadi terutama pada ikan yang ditangkap atau dibudidayakan di daerah tercemar. Keracunan Pb pada ikan menimbulkan gejala khas sebagai berikut: 1. Gastrointeritis. Hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkaan. Gerak kontraksi rumen dan usus terhenti sehingga terjadi diare. 2. Anemia. Dalam darah, Pb berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah. Terjadi gangguan terhadap sintesis Hb dan ditemukannya basofilik stipling pada sel darah, inilah ciri terjadinya keracunan Pb. 3. Encephalopati, yaitu kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler, insang, hati dan ginjal.
Risiko Pb Pada Organ Tubuh Manusia Risiko Pb pada organ tubuh manusia menurut Manahan (1997), adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksisitasnya dibedakan menurut organ yang dipengaruhi yaitu : Risiko Pb pada sistem hemopoietik. Pb mempengaruhi sistem darah dengan cara: a. memperlambat pematangan normal sel darah merah (eritrosit) dalam sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya anemia. b. mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Eritrosit yang diberi perlakuan dengan Pb, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan kelemahan pergerakan. Selain itu juga memperlihatkan penghambatan NaK-ATP ase yang meningkatkan kehilangan kalium intraseluler. Hal ini membuktikan bahwa kejadian anemi karena keracunan Pb disertai dengan penyusutan waktu hidup eritrosit. c. menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim delta-ALAD dan enzim ferroketalase.
19 Proses kehidupan organisme merupakan rangkain proses fisiologis, maka dibutuhkan enzim-enzim untuk kelancaran rangkaian-rangkaian reaksi yang dibentuknya. Enzim adalah katalisator protein (zat yang mempercepat reaksi biokimia dalam sistem biologis). Pada umumnya semua reaksi biokimia dikatalisasi
oleh
enzim.
Sifat
enzim
yang
paling
bermakna
adalah
kesanggupannya untuk mengkatalisis suatu reaksi spesifik, dan pada hakekatnya tidak mengkatalisis reaksi lain. Keberadaan suatu zat racun dapat mempengaruhi aktifitas enzim fisiologis tubuh. Logam berat mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan enzim. Ikatan itu dapat terjadi karena logam berat mempunyai kemampuan untuk menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim. Enzim-enzim tertentu memiliki gugus sulfihidril (-SH) sebagai pusat aktifnya. Enzim-enzim yang mempunyai gugus sulfihidril ini merupakan kelompok enzim yang paling mudah terhalang daya kerjanya. Keadaan ini disebabkan gugus sulfihidril dengan mudah berikatan dengan ion-ion logam berat. Akibat dari ikatan yang dibentuk antara gugus sulfihidril dengan ion logam berat, daya kerja yang dimiliki oleh enzim menjadi sangat berkurang atau sama sekali tidak bekerja. Pb mengganggu sistem sintesis Hb dengan cara menghambat konversi delta aminolevulinik acid dehidrase (delta ALAD) menjadi forfobilinogen dan menghambat korporasi dari Fe ke protoporfirin IX untuk membentuk Hb, dengan cara menghambat enzim delta ALAD dan feroketalase yang akhirnya meningkatkan ekskresi koproporfirin dalam urin dan delta ALA serta mensintesis Hb. Kompensasi penurunan sintesis Hb karena terhambat Pb adalah peningkatan produksi erithrofoesis. Sel darah merah muda (retikulosit) dan sel stipel kemudian dibebaskan. Ditemukannya sel stipel basofil (basophilic stippling) merupakan gejala dari adanya gangguan metabolik dari pembentukan Hb. Hal ini terjadi karena adanya tanda-tanda keracunan Pb. Sel darah merah gagal untuk menjadi dewasa dan sel tersebut menyisakan organel yang biasanya menghilang pada proses kedewasaan sel, akhirnya poliribosoma ireguler pada agregat RNA membentuk sel stipel (Darmono 2008).
20 Risiko Pb pada sistem saraf. Wahyu Widowati et al. (2008) menuliskan bahwa, sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun. Risiko dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat dari keracunan Pb adalah epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak besar dan delirium, yaitu sejenis penyakit gula. Sistem saraf yang kena pengaruh Pb dengan konsentrasi dalam darah diatas 80 μg / 100 ml, dapat terjadi ensefalopati. Hal ini dapat dilihat melalui gejala seperti gangguan mental yang parah, kebutaan dan epilepsi dengan atrofi kortikal, atau dapat secara tidak langsung berkurangnya persepsi sensorik sehingga menyebabkan kurangnya kemampuan belajar, penurunan intelegensia (IQ), atau mengalami gangguan perilaku seperti sifat agresif, destruktif atau jahat. Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelumpuhan saraf lanjutan dikenal dengan lead palsy. Keracunan kandungan Pb dapat merusak saraf mata pada anak-anak dan berakhir pada kebutaan. Centers for disease Control (CDC) menyatakan bahwa kandungan Pb dalam darah 70 μg / 100 ml merupakan batas darurat medis akut pada pasien anak. Selain itu, dapat menurunkan IQ pada anak kecil (manusia) jika terdapat 10-20 µ gr/l dalam darah. Risiko Pb pada sistem ginjal. Senyawa Pb yang terlarut dalam darah dibawa ke seluruh sistem tubuh. Sirkulasi darah masuk ke glomerolus merupakan bagian dari ginjal. Glomerolus merupakan tempat proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa darah. Pb yang terlarut dalam darah akan berpindah ke sistem urinaria (ginjal) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Kerusakan terjadi karena terbentuknya intranuclear inclusion bodies disertai dengan gejala aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urine. Nefropatis (kerusakan nefron pada ginjal) dapat di deteksi dari ketidak seimbangnya fungsi renal dan sering diikuti hipertensi (Darmono 2008). Risiko Pb pada sistem gastrointestinal Gejala awal muncul pada konsentrasi Pb dalam darah sekitar 80 μg / 100 ml. Gejala-gejala tersebut meliputi kurangnya nafsu makan, gangguan
21 pencernaaan, gangguan epigastrik setelah makan, sembelit dan diare. Jika kadar Pb dalam darah melebihi 100 μg / 100 ml, maka kecenderungan untuk munculnya gejala lebih parah lagi, yaitu bagian perut kolik terus menerus dan sembelit yang lebih parah. Jika gejala ini tidak segera ditangani, maka akan muncul kolik yang lebih spesifik. Konsentrasi Pb dalam darah diatas 150 μg / 100 ml penderita menderita nyeri dan melakukan reaksi kaki ditarik-tarik kearah perut secara terus menerus dan menggeretakkan gigi, diikuti keluarnya keringat pada kening. Jika tidak dilakukan penanganan lebih lanjut, maka kolik dapat terjadi selama beberapa hari, bahkan hingga satu minggu (Wahyu Widowati et al. 2008).
Risiko Pb pada sistem kardiovaskuler. Tahap akut keracuan Pb khususnya pada pasien yang menderita kolik, tekanan darah akan naik. Jika terjadi hal demikian, maka pasien tersebut akan mengalami hipotonia. Kemungkinan kerusakan miokardial harus diperhatikan. Dalam penelitian ditemukan jenis kelainan perubahan elektrokardiografis pada 70 % dari total pasien yang ditangani. Temuan utama dari penelitian adalah takhikardia, atrial disritmia, gelombang T dan atau sudut QRS-T yang melebar secara tidak normal (Wahyu Widowati et al. 2008). Risiko Pb pada sistem reproduksi dan endokrin. Efek reproduktif meliputi berkurangnya tingkat kesuburan bagi wanita maupun pria yang terkontaminasi Pb, logam tersebut juga dapat melewati plasenta sehingga dapat menyebabkan kelainan pada janin. Dapat menimbulkan berat badan lahir rendah dan prematur. Pb juga dapat menyebabkan kelainan pada fungsi tiroid dengan mencegah masuknya iodine (Wahyu Widowati et al. 2008). Risiko karsinogenik. Wikipedia (2006) menyatakan bahwa Pb anorganik dan senyawanya termasuk dalam grup 2B, kemungkinan menyebabkan kanker pada manusia. Tahap awal proses terjadinya kanker adanya kerusakan DNA yang menyebabkan peningkatan lesi genetik herediter yang menetap atau disebut mutasi. Pb diperkirakan mempunyai sifat toksik pada gen sehingga dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan DNA / mutasi gen dalam kultur sel mamalia. Patogenesis
22 kanker otak akibat terpapar Pb adalah sebagai berikut : Pb masuk kedalam darah melalui makanan dan akan tersimpan dalam organ tubuh yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, proliferensi sel yang membentuk nodul selanjutnya berkembang menjadi tumor ganas (Wahyu Widowati et al. 2008; Darmono, 2008).
Perilaku Pb Dalam Perairan Kemungkinan terlepasnya logam berat dari sedimen ke air dan berakhir terakumulasi di dalam ikan sangatlah besar. Bryan (1976a) mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sesuai, beberapa logam yang berikatan dengan sedimen dan partikel yang mengendap akan kembali kedalam air diikuti remobilisasi dan difusi keatas. Forstner (1979b) menyimpulkan bahwa proses pelepasan logam berat dari sedimen ke air menjadi lima proses, yakni : 1. Kepekatan garam yang tinggi. Pada kepekatan yang tinggi, kation alkali dan alkalin dapat bersaing untuk tempat penyerapan pada partikel padat, dengan cara mengganti ion-ion logam runutan yang telah diserap 2. Perubahan keadaan redoks. Penurunan potensial oksigen dalam sedimen dapat terjadi karena keadaan seperti eutrofikasi lanjutan. Hal ini mengakibatkan suatu perubahan dalam bentuk kimiawi logam dan dengan demikian perubahan dalam kelarutan air. Dalam keadaan reduksi, logam runutan dalam air interstisi terdapat berbagai (a) senyawa sulfida untuk Cd, Hg dan Pb ; (b) senyawa organic untuk Fe dan Ni ; (c) senyawa klorida untuk Mn ; dan (d) senyawa hidroksida untuk Cr. Dengan terbentuknya keadaan oksidasi kelarutan ion-ion logam dipengaruhui oleh perubahan yang tiba-tiba dari dari logam sulfide menjadi hidroksida karbonat, oksihidroksida, oksida atau silikat. 3. Perubahan pH. Reduksi pH mengarah pada penguraian karbonat dan hidroksida, begitu pula untuk meningkatkan desorpsi kation logam disebabkan persaingan dengan ion-ion hidrogen. 4. Kehadiran zat-zat pembentuk kompleks. Meningkatnya penggunaan zat-zat pembentuk kompleks yang alamiah dan buatan, dengan logam runutan
23 dapat membentuk kompleks logam yang stabil dan dapat larut yang diserap ke dalam partikel padat lain. 5. Transformasi biokimiawi. Hal ini dapat mengarah pada perpindahan logam dari sedimen ke dalam fase cair atau pengambilannya oleh makhluk hidup air dan kemudian dilepaskan melalui hasil dekomposisi. Bryan (1976a) menambahkan, perbandingan antara pengambilan logam dari sumber makanan dengan penyerapan langsung melalui larutan, merupakan kepentingan dasar bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas, tetapi makanan dan pertikulat merupakan sumber akumulasi penting dan utama yang terjadi pada ikan. Prosi (1979) berkesimpulan bahwa, faktor penentu yang berhubungan dengan pengambilan dan akumulasi logam berat oleh mahkluk hidup perairan, adalah sebagai berikut : 1. Ketersediaan logam secara biologi hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi, pada umumnya lebih ditentukan oleh perpindahan dari air dibandingkan dari makanan. 2. Makhluk hidup yang makan dengan cara menyaring, atau ikan penyaring diketahui mengakumulasi logam di dalam jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya sebagian kecil saja pada makhluk predator. 3. Sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekatan logam tertinggi di dalam sistem yang tercemar dan hewan pemangsa sedimen dan detritus cendrung untuk mengakumulasi logam dalam kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi. 4. Jangka waktu hidup hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi biasanya lebih besar dari pada makhluk hidup pada tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian, penambahan yang berhubungan dengan umur dapat merupakan faktor yang nyata yang mempengaruhi tingkat penambahan logam pada tingkat trofik yang lebih tinggi. 5. Terjadi suatu pemilihan atas dasar kesukaan terhadap pengambilan dan pengeluaran berbagai logam berat dalam bentuk yang berbeda
24 Menurut Forstner (1979b), terdapat tiga proses mikrobial utama yang mempengaruhi pengangkutan logam dari sedimen ke air di lingkungan, yaitu : 1. Degradasi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang berbobot molekulnya lebih rendah, yang lebih mampu membentuk senyawa dengan ion-ion logam. 2. Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimiawi logam oleh kegiatan metabolik, contoh : potensial oksidasi-reduksi dan keadaan pH. Perubahan senyawa anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif. Kriteria Kolong Menurut Cynthia Henny (2007), kolong umumnya dalam dan tanpa zona littotal yang dikelilingi oleh dinding batuan yang terjal/curam, tidak memiliki aliran masuk dan keluar. Batuan buangan, batuan dinding dan dasar kolong bekas penambangan sangat mempengaruhi geokimia air. Espana et al. (2008); Blodau (2006); Brahmana et al. (2004), menerangkan bahwa kolong bekas galian penambangan timah selalu dikaitkan dengan masalah kualitas air, seperti rendahnya pH, konsentrasi logam dan kandungan padatan tersuspensi dan padatan terlarut tinggi. Tipe kolong sangat dipengaruhi oleh mineral pembentuknya. Meskipun dalam waktu lama proses alamiah (biologis/kimia) dapat mengubahnya. Dua macam tipe mineral penyusun kolong di Bangka yakni pyrite dan kaolin. Cynthia Henny (2007) juga mengkelompokkan kolong menjadi dua, yakni kolong muda dan kolong tua. Kolong muda memiliki ciri kandungan logam Fe, sulfat dan kandungan logam lain yang cukup tinggi, proses pemulihan secara alami lambat (>20 tahun), jenis sedimen kolong mineral kaolin kaya akan aluminum dan silika umumnya kisaran pH 4 dan jenis sedimen kolong mineral pirit kaya akan besi dan sulfat umumnya pH berkisar 2. Kolong tua (non aktifitas tambang), cirinya adalah proses pemulihan kualitas air secara alami telah terjadi, umunya berusia >20 tahun dan telah terbentuknya sistem ekosistem, kandungan logam masih tinggi tetapi lebih rendah dari kolong muda tipe Pirit, jenis sedimen mineral kaolin umumnya kisaran pH >6 dengan kandungan logam rendah dan sudah
25 dimanfaatkan dan jenis sedimen mineral pirit umumnya kisaran pH 4 dan masih terdapat kandungan beberapa logam dan belum banyak dimanfaatkan. Hasil penelitian Brahmana et al. (2004); Blodau (2006); Espana et al. (2008) dan Cynthia Henny (2009), untuk kolong muda (usia 0-20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,13-0,422 mg/l dan disedimennya berkisar 32,5-90 mg/l. Sedangkan untuk kolong tua (usia > 20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,010,031 mg/l dan disedimennya berkisar 24,5-66,5 mg/l. Diversitas fitoplankton pada kolong tua cukup tinggi yang menandakan bahwa kolong cukup subur. Namun demikian, kolong umumnya mengandung logam lebih tinggi di bandingkan perairan umum, fitoplankton mengandung logam yang tinggi. Dominansi fitoplankton dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya faktor fisika, kimia dan hidrologi (Darmono 1995b). Kelimpahan dari fitoplankton yang rendah berhubungan dengan kondisi nutrien dan polutan yang terdapat pada kolom air. Fitoplankton di perairan merupakan
produsen
primer
yang
memegang
peranan
penting
dalam
kesinambungan rantai makanan untuk konsumen tingkat kedua dan ketiga (crustacea dan ikan). Nilai beberapa kualitas air seperti konsentrasi nutrien mempengaruhi variasi jenis dan kelimpahan fitoplankton. Nilai TSI (Trophic Status Index) berdasarkan perhitungan TSI Carlson dilihat dari kandungan TP, khlorofil-a dan kedalaman secchi, menunjukkan bahwa kondisi status trophik kolong berkisar dari mesotrophik, eutrophik ringan, eutrophik sedang sampai dengan hypereutrophik (Mason 1993). Kolong Grasi tergolong kolong tua (usia kolong >30) dengan titik koordinat S01052.464’;E106007.005’, terletak di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Telah tersuksesi tumbuhan air dan sistem ekosistem telah terbentuk. Lokasi ini merupakan lokasi yang direncanakan untuk pengembangan perikanan budidaya air tawar terpadu oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan hasil penelitian Cynthia Henny dan Evi Susanti 2009 di kolong Grasi, jenis fitoplankton yang ditemukan yaitu Chlorophyceae
(Staurastrum,
(Trachellomonas),
Cosmarium,
Bacillariophyceae
Scenedesmus),
(Urosolenia
Dinophyceae
longiseta)
dan
Euglonophyceace. Persentase kelimpahan 91,4% di bulan Mei dan 62,0% di bulan
26 Oktober untuk jenis Chlorophyceae. 1,4% di bulan Mei dan 18,8% di bulan Oktober untuk jenis Dinophyceae. 0,2% di bulan Mei dan 0,0% di bulan Oktober untuk jenis Bacillariophyceae. Sedangkan untuk jenis Euglonophyceace dibulan Mei persentase kelimpahan sebesar 0,0% dan di bulan Oktober sebesar 12,5%. Kolong Grasi memiliki indeks diversitas (H) sebesar 0,8370 dan indeks dominansi (C) sebesar 0,2281. Nilai TSI kolong Grasi sebesar 68 dengan status eutrophik sedang. Kualitas Air Suhu berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung seperti terhadap aktifitas enzim, tingkat metabolisme, proses fisiologis maupun kadar oksigen. Tingkat penyerapan racun dapat lebih tinggi dengan adanya kenaikan suhu (Macek et al., diacu dalam Arianti 2002). Suhu juga berperan dalam penyebaran organisme dalam perairan. Kenaikan suhu dapat menurunkan kandungan oksigen serta kenaikan daya toksik polutan yang ada dalam perairan. Suhu berpengaruh langsung terhadap organisme perairan tertentu dalam proses fotosintesis dan siklus reproduksi (Sverdrup et al 1961). Peningkatan suhu juga dapat meningkatkan aktivitas enzim, difusi molekul-molekul kecil, fungsi membran dan kecepatan sistesa protein (Houlihan et al. 1993). Temperatur air kolong di pulau Bangka berkisar antara 29 – 32 0C (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk (Jeffries dan Mills 1996). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Jeffries & Mills 1996). Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Kekeruhan pada perairan tergenang (lentik), lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel halus. Kekeruhan yang tinggi dapat
27 mengakibatkan terganggunya system osmoregulasi, misalnya pernapasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghalangi penetrasi cahaya kedalam air. Kedalaman secchi di kolong-kolong Bangka berkisar dari 0,2 – 1,3 m (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Tingkat keasaman (pH) adalah suatu ukuran untuk menyatakan besarnya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam air (Tebbut 1992, diacu dalam Effendi 2003). Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Nilai pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air mengambil CO2 selama proses fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat di siang hari dan kembali turun pada malam hari (Boyd & Licthkoppler 1982; Zonneveld et al. 1991). Larutan yang bersifat asam (pH) rendah lebih bersifat korosif. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hydrogen sulfide (H2S), ammonia (NH3) dan metana (CH4). Senyawasenyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam dan berpotensi menurunkan pH air. Rendahnya pH juga dapat menyebabkan meningkatnya efek toksik logam berat, ammonia dan sianida (Beveridge 1987). Boyd dan Licthkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan adalah sebagai berikut : pH 4-11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4-6 dan antara 9-10, ikan dapat hidup tapi pertumbuhannya lambat, sedangkan ph 6,5 dan 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Untuk tumbuh maksimal pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil (Stickney 1993). Jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya karbondioksida (Moss 1993). Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat. Bila 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air, akan membentuk asam karbonat (Cole 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hydrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun. Kisaran pH kolong tua pasca penambangan timah di pulau Bangka sebesar 5,5 – 8 (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004). Oksigen terlarut merupakan parameter kimia paling kritis di dalam budidaya ikan. Oksigen dalam air terutama berasal dari udara yang masuk melalui proses difusi dan hasil sampingan fotosintesis tumbuhan akuatik terutama fitoplankton (Mayunar et al. 1995). Menurut Boyd (1996) bahwa pemuatan dan
28 pelepasan hemoglobin dengan oksigen diatur oleh tegangan oksigen. Karena hemoglobin melepaskan oksigen ke dalam jaringan tubuh. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas dan salinitas (Boyd & Licthkoppler 1982). Sumber oksigen dalam perairan berasal dari proses fotosintesis phytoplankton dan difusi dari udara, sedangkan penyebab utama berkurangnya kelarutan oksigen dalam perairan adalah karena aktivitas respirasi plankton, respirasi ikan, respirasi organisme dasar perairan serta difusi ke udara. Oksigen merupakan komponen utama dalam daya dukung lingkungan. Swingle (1969) diacu dalam Boyd (1996) menerangkan pengaruh kadar oksigen terlarut terhadap kelangsungan hidup ikan : jika kadar oksigen terlarut < 0,3 mg/l maka hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat, jika kadar oksigen terlarut 0,3-1,0 mg/l maka pemaparan lama dapat menyebabkan kematian ikan, jika kadar oksigen terlarut 1,0-5,0 maka ikan dapat bertahan hidup tetapi pertumbuhannya terganggu dan jika kadar oksigen terlarut >5,0 maka kondisi ini merupakan kondisi ideal dimana hampir semua organism akuatik menyukai kondisi ini. Kandungan DO di kolong-kolong pulau Bangka sekitar 0,3 – 8,74 mg/l (Cynthia Henny & Evi Susanti 1999). Karbondioksida (CO2) yang terdapat di perairan berasal dari berbagai sumber, yaitu : (1) Difusi dari atmosfer, (2) Air hujan, (3) Air yang melewati tanah organik dan (4) Respirasi tumbuhan (Cole 1988). Pada dasarnya keberadaan CO2 di perairan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas (CO2), ion bikarbonat (HCO3-), ion karbonat (CO32-) dan asam karbonat (H2CO3). Proporsi dari keempat bentuk karbon berkaitan dengan nilai pH. Pada pH air yang rendah (pH = 4) CO2 terdapat dalam bentuk terlarut dan asam karbonat, pada pH antara 7 sampai 10 semuanya membentuk ion HCO3- dan pada pH > 11 karbon berbentuk CO32-(Cole 1988). Boyd (1996) menjelaskan bahwa, perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/l. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditorerir oleh mikroorganisme akuatik asalkan disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Karbon organik total (TOM) terdiri atas bahan organik terlarut dan partikulat dengan perbandingan 10:1. TOM dapat dapat menggambarkan tingkat
29 pencemaran. Pada perairan alami, nilai TOM berkisar antara 1-30 mg/l (McNeely et al. 1979). Perairan alami yang telah menerima limbah baik domestik maupun industry atau perairan pada daerah berawa-rawa dapat lebih dari10-100 mg/l. Pertumbuhan Effendie (1979) mendefinisikan pertumbuhan adalah perubahan ukuran, baik panjang atau berat dalam waktu tertentu. Proses pertumbuhan pada ikan mulanya berlangsung lambat, kemudian cepat dan akhirnya lambat kembali. Pertumbuhan yang demikian disebut autocatalytic. Dengan demikian ikan yang lebih muda akan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan tua. Ikan tua tetap mengalami pertumbuhan walaupun berlangsung secara lambat. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi genetik, seks, umur, daya tahan terhadap penyakit dan parasit. Faktor eksternal meliputi kompetisi pada populasi, makanan, tingkatan trofik, energi matahari dan keadaan fisika-kimia lingkungan. Effendie (1979), menerangkan bahwa Survival Rate atau SR adalah tingkat kelangsungan hidup. Nilai SR digunakan untuk menentukan peluang hidup ikan dalam waktu tertentu. Feed Convertion Ratio atau FCR merupakan perangkat ukur yang digunakan untuk menghitung rasio pakan. Definisi lain untuk FCR adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. FCR diukur untuk melihat tingkat efisiensi pemberian dan penggunaan pakan dalam kegiatan budidaya ikan. Fitoplankton Fitoplankton adalah makhluk hidup yang berupa tumbuhan renik yang melayang-layang di dalam kolom air, tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air (Odum 1993). Secara ekologis fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan, sehingga keberadaannya akan menentukan keberadaan seluruh biota air (Nybakken 1988). Perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh faktor fisika kimia lingkungan perairan, seperti intensitas cahaya matahari, suhu dan nutrient. Wetzel (1983) menyatakan bahwa, danau eutrofik memiliki keanekaragaman yang menurun dan struktur komunitas fitoplankton di dominansi oleh kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae dan Bacillariophyceae. Hal ini
30 terjadi pada danau-danau beriklim tropis dan beriklim sedang. Kuantitas dan kualitas fitoplankton dalam kolom air selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Davis (1955) mengemukakan bahwa disetiap perairan terdapat perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu species dapat lebih dominan dari pada spesies yang lainnya pada interval waktu yang relatif pendek sepanjang tahun, spesies yang dominan pada satu bulan tertentu bias menjadi spesies yang langka pada bulan berikutnya dan digantikan dengan dengan spesies lain yang lebih dominan. Menurut Effendie (1979), metode Frekuensi Kejadian dilakukan dengan cara mencatat jumlah ikan yang ususnya kosong dan mencatat keberadaan organisme pada masing-masing ikan yang ususnya berisi. Indeks Preponderance adalah evaluasi ragam jenis makanan ikan. Indeks Preponderance digunakan untuk mengevaluasi kebiasaan makan ikan dan analisis tingkat kepenuhan komposisi pakan alami dalam lambung atau usus ikan. Nilai Indeks Preponderance (Ii) berkisar antara 0-100%. Dikuatkan lagi oleh Haryadi (1983), jika nilai Ii lebih besar dari 25% maka pakan tersebut merupakan pakan utama, jika nilai Ii antara 4-25% maka pakan tersebut merupakan pakan pelengkap dan apabila Ii bernilai kurang dari 4% maka pakan tersebut merupakan pakan tambahan. Glukosa Darah Mekanisme terjadinya perubahan kadar glukosa darah selama stress dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor stress oleh organ reseptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf. Kemudian hipotalamus memerintahkan sel kromafin untuk mensekresikan hormon katekolamin melalui serabut syaraf simpatik.Adanya katekolamin ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar glukosa darah mengalami peningkatan. Pada saat yang bersamaan hipotalamus otak mensekresikan CRF (corticoid releasing factor) yang meregulasi kelenjer pituitari untuk mensekresikan ACTH (adreno corticotropic hormone). Hormon tersebut akan direspon oleh sel interenal dengan mensekresikan kortisol (Soewondo 1996).
31 Saat ikan stress kadar glukosa terus naik untuk mengatasi homeostasis akibat stress terhadap perubahan fisiologis. Hiperglisemia akan berakibat buruk bagi ikan. Ini berawal dari naiknya kadar kartisol dalam darah akibat stress yang akan memobilisasi glukosa dari cadangan yang disimpan oleh tubuh ke dalam darah, sehingga glukosa dalam darah mengalami kenaikan. Naiknya kadar glukosa darah tersebut dibutuhkan untuk proses memperbaiki homeostasis selama stress, namun kebutuhan energi dari glukosa tersebut akan dapat terpenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel, dan ini sangat bergantung pada kinerja insulin. Naiknya kadar kortisol akan mengurangi kerja insulin di dalam darah. Saat stress dengan berkurangnya insulin maka kadar glukosa darah terus meningkat karena keterbatasan insulin yang memobilisasi glukosa darah ke dalam sel semakin lambat. Dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah tersebut maka sinyal dari pusat syaraf menandakan bahwa ikan merasa kenyang, dan ikan tidak mau makan (Affandi & Usman 2002; Soewondo 1996). Analisa spektrofotometrik serapan atom (AAS) Analisa Pb dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum Lambert Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu 2000
0
C sehingga terjadi
penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley 1979).
32
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kolong tua pasca penambangan bijih timah oleh PT. Timah Tbk. Kolong yang dipilih sebagai tempat penelitian ini yakni kolong Grasi dengan titik koordinat S01052.464’; E106007.005’, Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kolong Grasi telah berusia lebih dari 30 tahun. Luas kolong Grasi berkisar 2 hektar, kedalaman 9-10 meter dengan letak kolong di tengah kota dan dekat dengan jalan raya. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan Februari 2012. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 3.
Laut Cina Selatan
Sembilang
lokasi Sungsang
Sungai Lumpur
Gambar 3 Lokasi penelitian.
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Parameter yang langsung diukur di lapangan meliputi panjang total dan bobot total ikan, pH air menggunakan kertas indikator pH, suhu air mengunakan
33 thermometer, kecerahan diukur dengan cakram Secchi dan kandungan oksigen terlarut diukur dengan DO meter (YSI). Pengukuran kandungan Pb pada air, sedimen dan organ ikan dilakukan di Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Uji glukosa darah dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Pengukuran nilai TOM dan CO2 dilakukan di laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan identifikasi isi usus dilakukan di laboratorium MIPA Universitas Bangka Belitung. Pengambilan data dilakukan disetiap bulan selama penelitian. Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal dan data-data penelitian terdahulu yang relevan.
Metode Penelitian Rancangan Penelitian Penelitian ini dimulai dengan preparasi sampel (sampling), dari pengukuran sampel air satu kali diawal penelitian sebagai media dan pengukuran Pb pada sedimen kolong satu kali tempat ikan akan dipelihara. Dilakukan juga pengukuran kualitas air (parameter fisika : Suhu, pH, kecerahan. Kimia : DO, CO2) secara langsung dilapangan maupun di laboratorium (parameter kimia : TOM dan Pb) dilakukan untuk mendapatkan data awal. Selanjutnya, pengukuran parameter fisika-kimia dilakukan setiap bulan di perairan kolong tempat ikan akan dipelihara. Pengukuran awal dilakukan saat penebaran di bulan Oktober (bulan ke-0), pengukuran dilanjutkan berurutan pada bulan ke- I (November), II (Desember), ke- III (Januari) dan bulan ke- IV (Februari). Pengukuran kandungan Pb dalam sedimen dan air juga dilakukan sebanyak satu kali diawal penelitian. Selanjutnya tahapan dan proses penelitian yang secara sistematis terbagi atas dua tahapan penelitian. Pertama, penelitian pendahuluan,
yaitu proses
analisis Pb di air dan sedimen di kolong muda dan kolong tua. Mencakupi metode analisis Pb di sedimen dan di air. Kedua, penelitian utama, yaitu proses budidaya pembesaran ikan nila merah dan patin jambal di kolong tua dengan sistem KJA (Karamba Jaring Apung) mencakupi prosedur pengambilan sampel ikan uji,
34 analisis Pb di organ daging, insang, hati dan ginjal ikan uji dan analisis kelayakan budidaya.
Penelitian Pendahuluan
Metode Analisis Pb Dalam Air Kolong Contoh air kolong Grasi diambil di delapan stasiun. Penentuan stasiun secara acak disekitar KJA yang akan ditempatkan. Setiap stasiun diambil tiga titik berdasarkan stratifikasi kedalaman. Titik pertama 0,5 m di bawah permukaan air kolong, titik kedua 4,5 m dari permukaan air kolong dan titik ketiga 0,5 m dari dasar kolong (Kedalaman kolong 9 meter). Air dari setiap titik pengambilan di campur berdasarkan stasiun yang selanjutnya disaring dengan kertas saring 0,45 µm. Pengambilan contoh air kolong menggunakan Water Sampler, kemudian contoh disimpan pada botol 500 ml yang sudah bebas logam dan dibekukan. pH diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan 1 ml dengan HNO3 pekat dan selanjutnya bawa ke laboratorium untuk pengukuran Pb. Pengukuran Pb pada air di laboratorium dengan menambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat kedalam air sampel. Selanjutnya air sampel secara berurutan ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc) lalu dikocok sekitar 5 menit, 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk) lalu dikocok sekitar 3 menit dan dibiarkan ke dua fasa terpisah. Setelah terpisah air sampel dilakukan penampungan fasa air, Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko laboratorium dan standar. Selanjutnya penambahan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dilakukan pengocokan selama 5 detik lalu air diendapkan hingga kedua fasa terpisah. Setelah terjadi dua fase, fasa airnya dibuang. Langkah terakhir adalah penambahan sebanyak 1 ml HNO3 pekat lalu dikocok sebentar dan dibiarkan selama 15 menit yang selanjutnya ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok kembali sekitar 2 menit. Air sampel yang telah ditambahlan air suling siap diukur dengan AAS.
35 Metode Analisis Pb dalam sedimen kolong Sedimen diambil dari dasar kolong Grasi menggunakan Ekman Grab. Titik pengambilan sama dengan stasiun pengambilan sampel air dan berjumlah delapan stasiun. Pengukuran kandungan Pb dalam sedimen adalah dengan memasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. Dilanjutkan dengan peringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 105 0C selama 24 jam. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan alat timbang digital. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 130 0C. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke sentrifus polietilen. Selanjutnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 30 ml dan dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Fasa air yang terbentuk siap diukur dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen. Semua analisa parameter mengikuti prosedur Standard Method (APHA 2005)
Penelitian Utama
Metode Budidaya Pembesaran Proses budidaya pembesaran ikan di karamba jaring apung berukuran 3 x 3 x 3 meter dengan ukuran mata jaring 2,25 cm, kedalaman 2 m. Keramba jaring apung berjumlah 2 buah, satu digunakan sebagai media perlakuan dan karamba lainnya digunakan sebagai stok ikan. Bobot benih awal tebar 4,9 gr/ekor untuk ikan patin jambal dan 6,8 gr/ekor untuk ikan nila merah sebanyak 600 ekor (masing-masing 300 ekor untuk nila merah dan 300 ekor untuk patin) di keramba jaring apung perlakuan. Jumlah, jenis dan bobot ikan yang sama juga di tebar di karamba stok. Pemberian pakan buatan (pellet) ikan dilakukan setiap hari secara at satiation. Selanjutnya ikan dipelihara selama empat bulan. Selama masa pemeliharaan ikan selalu dikontrol pemberian pakannya, kesehatannya, keamanan sarananya seperti jaring jangan sampai robek.
36 Metode Pengambilan Sampel Ikan Uji Pengukuran dan sampling dilakukan setiap bulan (30 hari) dari masa pemeliharaan pembesaran ikan selama empat bulan. Sampel ikan nila merah dan patin yang akan diperiksa diambil dari keramba pemeliharaan (perlakuan) dengan metode sampling purfosif, yaitu sampel diambil secara acak (random) dari populasinya dan dianggap sebagai sampel yang representatif dan homogen, ciri dan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Untuk menghitung laju pertumbuhan, tiap jenis ikan diambil sebagai sampel sebanyak 30 ekor dari KJA, dilakukan pengukuran panjang total, bobot tubuh, lalu dirata-ratakan. Untuk sampel pengukuran logam berat dalam organ, ikan sebanyak 30 ekor yang telah diambil secara acak dari KJA perlakuan dipisahkan berdasarkan jenis ikan, selanjutnya diambil organ insang, hati, ginjal, daging dan darah untuk masingmasing ikan. Selanjutnya setiap organ yang sama digabung menjadi satu dan dipisahkan sesuai jenis ikannya. Organ basah yang telah dipisahkan tersebut lalu dihaluskan dengan blender (untuk daging) dan dibekukan untuk selanjutnya dilakukan pengujian kandungan Pb di laboratorium. (Tata cara pengukuran dan sampling mengacu pada SNI 01-6495.1-2000). Metode Analisis Pb di Organ Ikan Uji Organ yang diukur kandungan Pb adalah organ insang, hati, ginjal dan daging. Di laboratorium, setiap sampel organ ikan uji dimasukkan ke dalam beaker gelas dan siap untuk ditimbang menggunakan neraca analitik. Organ yang dibutuhkan untuk dapat digunakan dalam analisis AAS sebesar 15 gram. Kemudian dilakukan pengabuan kering. Sesudah penghilangan bahan-bahan organik dengan pengabuan kering, residu dilarutkan dalam asam encer. Memindahkan larutan abu ke dalam labu takar. Selanjutnya menambahkan 5-6 ml HCN 6 N ke dalam cawan/pinggan berisi abu, kemudian dengan ginjal-ginjal panaskan di atas hot plate (pemanas) dengan pemanasan rendah sampai kering. Penamabahan 15 ml HCN 3N dan selanjutnya cawan dipanaskan di atas pemanas sampai mulai mendidih. Setelah mendidih, larutan didinginkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring millipore 0,45 mm. Filtrat dimasukkan ke
37 dalam labu ukur 10 ml. Lakukan pencucian cawan dengan air sedikitnya 3 kali lalu saring air cucian dan air dimasukkan ke dalam labu takar. Setelah setiap organ menjadi larutan di dalam labu ukur 10 ml, maka langkah selanjutnya dilakukan pengukuran kandungan logam berat Timbal (Pb) menggunakan alat atomic absorption spectrometry (AAS) tipe AA 300 P buatan Varian Techtron, Australia. Alat AAS di kaliberasi sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut yang selanjutnya pengukuran larutan standar logam dan blanko dan pengukuran larutan sampel. Selama pengukuran standar logam diperiksa secara periodik untuk memastikan nilai standar konstan. Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya digunakan rumus :
K sebenarnya =
KAAS x Vol. Penetapan Berat Kering
Analisis Ekonomis Kelayakan Budidaya Pengamatan pertumbuhan ikan nila merah dan patin jambal dipastikan dengan mengukur bobot tubuh ikan menggunakan timbangan digital merk Osuka AJ 1000, tingkat ketelitian 0,01. Berat awal (Wo), diukur sebelum benih ikan ditebar. Untuk memperoleh data yang akurat pengukuran bobot ikan dilakukan setiap bulan. Berat akhir (Wt), diukur setelah benih ikan dipelihara selama 30 (tiga puluh) hari setelah pengukuran berat awal (Wo). Pertumbuhan ikan, kelangsungan hidup dan konversi pakan dihitung menggunakan persamaan-persamaan sebagai berikut (Effendie 1979) : 1. Pertumbuhan mutlak (W) W = Wt – Wo
Keterangan : W Wo Wt
= Pertambahan berat mutlak (g) = Berat hewan uji pada awal penelitian (g) = Berat hewan uji pada akhir penelitian (g)
38 2. Survival Rate (SR) :
SR = Nt/No x 100 %
Keterangan : SR = Daya tahan hidup ikan Nt = Jumlah akhir (panen) No = Jumlah awal (penebaran)
3. Rumus Food Conversi Ratio (FCR) :
FCR = Keterangan : FCR Σpakan ∆W
Pakan ∆W
= Rasio Penggunaan Pakan = Jumlah pakan yang dihabiskan selama masa pemeliharaan = Rata-rata penambahan bobot tubuh ikan di akhir pemeliharaan
Metode Pengukuran Komposisi Isi Usus Ikan Uji Pengamatan isi usus bertujuan untuk melihat komposisi isi usus ikan. Identifikasi jumlah dan jenis plankton di dalam usus ikan dilakukan dengan beberapa langkah. Langkah pertama adalah mengambil 30 usus dari 30 ekor ikan yang selanjutnya diawetkan dengan formalin 40%. Langkah berikutnya adalah mengukur panjang setiap usus, lalu membersihkan sampel usus ikan dari formalin. Usus satu per satu dikerik dan dilakukan pemisahan isi usus dengan daging usus dan kemudian isi usus diencerkan sekitar 10 cc atau 1 botol film dengan aquadest. Langkah selanjutnya adalah mengambil satu tetes isi usus yang sudah diencerkan dengan pipet tetes kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dengan lima lapang pandang. Langkah terakhir, ialah mengidentifikasi jenis dan mencatat jumlah organisme makanan yang ada dari setiap lapang pandang dengan buku identifikasi alga (Prescott 1970). Remahan
39 pakan buatan dan mikroorganisme yang ditemukan dicatat dan dihitung sesuai rumus Metode Frekuensi Kejadian dan Indeks Preponderance (Effendie 1979). Model rumus Frekuensi Kejadian dan Indeks Preponderance yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Model rumus Frekuensi Kejadian :
Keterangan : n N Vd Vi
= jumlah individu jenis ke-i yang ditemukan pada contoh = jumlah total dugaan individu jenis ke-i dari ikan ke-i = volume pengenceran = volume tetes yang diamati (1 tetes = 0,05 ml)
2. Model rumus Indeks Preponderance :
Ii =
Vi x Oi + 100% Vi x Oi
Keterangan : Ii = indeks preponderance Vi = persentase volume makanan jenis ke-i Oi = persentasi frekuensi kejadian makanan ke-i
Metode Uji Gula Darah Uji glukosa darah ikan untuk melihat tingkatan stres ikan. Melalui cara ini dapat diketahui tingkat stres yang diakibatkan dari adanya penetrasi Pb ke dalam tubuh ikan. Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan jarum suntik steril pada bagian vena caudalis ikan uji. Jarum suntik tersebut sebelum
40 digunakan terlebih dahulu dibasahi dengan Na-Sitrat 3,8% yang berfungsi sebagai anti koagulan. Sampel darah diambil sebanyak 10µml dan dimasukkan kedalam tabung effendorf yang sudah di basahi Na-Sitrat 3,8%. Selanjutnya di sentrifius dengan kecepatan 120 rpm selama 10 menit. Proses selanjutnya ialah memindahkan larutan plasma yang terbentuk dari tabung effendorf ke dalam mikro pipet effendorf 10 -100 μL dengan jarum suntik.
Untuk pengukuran
glukosa darah dilakukan uji glukosa darah di laboratorium (OAC-I 1999).
Metode Uji Kadar Lemak Daging Sampel seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 °C dengan menggunakan pemanas listrik selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3) (OAC-I 1999). Kadar lemak ditentukan dengan rumus :
% Kadar lemak = W3 −W2 W1 × 100%
Keterangan : W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
Metode Analisis Keterhubungan Untuk melihat keterhubungan antara kandungan Pb di sedimen kolong terhadap kandungan Pb di dalam organ ikan yang dipelihara dikolong, dalam penelitian ini digunakan perangkat analisis t-test (Walpole 1995).
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Perairan Kolong Grasi Secara Fisika dan Kimia Kondisi fisika dan kimia perairan kolong Grasi Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Sungailiat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, diukur setiap kali sampling. Sampling diambil pada bulan Oktober-Desember 2011 hingga JanuariFebruari 2012. Parameter fisika yang diukur adalah suhu, kecerahan dan parameter kimia yang diukur adalah oksigen (O2) terlarut, derajat keasaman (pH) air, karbondioksida (CO2) terlarut dalam air dan total organik mattler (TOM) perairan. Suhu terukur di tiap bulan pengambilan sampling yaitu 29,40C di bulan Oktober, 29,10C di bulan November, 25,30C di bulan Desember, 24,10C di bulan Januari dan 27,10C di bulan Februari. langsung dilapangan sebesar
Rata-rata suhu dari hasil pengukuran
0
27 C. Kecerahan terukur selama penelitian di
kolong Grasi yakni 90 cm di bulan Oktober dan November, 60 cm di bulan Desember, 30 cm di bulan Januari dan 70 cm di bulan Februari. Rata-rata kecerahan air kolong Grasi yang terukur selama penelitian menunjukkan nilai 68 cm. Untuk derajat keasaman air (pH) terukur dibulan Oktober sebesar 6, di bulan November sebesar 6,5, di bulan Desember pH air terukur 6 , Januari dan Februari pH air terukur masing-masing sebesar 5 dan 6, sehingga rata-rata pH air kolong Grasi yang terukur selama penelitian sebesar 6,1 (Tabel 4). Kandungan oksigen (O2) terlarut dalam air kolong Grasi yang terukur selama penelitian di bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012 rata-rata sebesar 7,8 mg/l. Kandungan 7,2 mg/l di bulan Oktober, 8 mg/l dibulan November dan di bulan Desember. Sebesar 7,8 mg/l di bulan Januari dan selanjutnya terukur sebesar 8 mg/l di bulan Februari. Kandungan karbondioksida (CO 2) terlarut terukur sebesar 2,10 mg/l di bulan Oktober. Selanjutnya secara berurutan 1,82 mg/l, 3,06 mg/l, 4,09 mg/l dan 3,44 mg/l untuk bulan November, Desember, Januari dan Februari. Rata-rata kandungan karbondioksida (CO2) terlarut sebesar 2,90 mg/l. Total organik mattler (TOM) di perairan kolong Grasi Kecamatan Sungailiat didapat angka rata-rata 7,87 mg/l selama penelitian. Kisaran kandungan TOM secara berurutan 5,77 mg/l, 4,18 mg/l, 9,06 mg/l, 12,91 mg/l dan 7,40 mg/l
42 untuk bulan Oktober, November, Desember, Januari dan Februari. Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran kualitas air di bulan Oktober-Desember 2011 hingga bulan Januari-Februari 2012 di kolong Grasi Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tabel 4 Hasil pengukuran kualitas air di bulan Oktober-Desember 2011 hingga bulan Januari-Februari 2012 di kolong Grasi Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Bulan
Oktober 2011 November 2011 Desember 2011 Januari 2012 Februari 2012 Rata-rata/bulan Standar Budidaya untuk Nila Merah
Parameter Kualitas Air pH DO CO2 (mg/l) (mg/l) 6 7,2 2,10 6,5 8 1,82 6 8 3,06 5 7,8 4,09 6 8 3,44
Suhu (0C) 29,4 29,1 25,3 24,1 27,1
Kec. (cm) 90 90 60 30 70
TOM (mg/l) 5,77 4,18 9,06 12,91 7,40
27±2,3
68±24,8
6,1±0,5
7,8±0,3
2,90±0,9
7,87±3,3
25-30
20-30
6-8,5
≥3
<5
-
27-32
> 30
6,5-8,5
≥3
<5
-
Rasio (hari) Hujan : Terang 0 : 30 0 : 30 13 : 17 22 : 8 9 : 21
(SNI 2009)
Standar Budidaya untuk Patin Jambal (SNI 2009)
Keterangan : Kec = Kecerahan air kolong DO = Dissolved Oxygen (Oksigen terlarut) TOM = Total Organik Matter Rasio hujan terang selama tiga puluh hari setiap bulan dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012 di kolong Grasi tempat penelitian dilaksanakan, tercatat tidak terjadi hujan dari bulan Oktober hingga November 2011. Hujan mulai terjadi di bulan Desember 2011 dengan intensitas ringan, rasio hujan : terang sebanyak 13 : 17. Hujan lebih sering turun dengan intensitas lebat, terjadi di bulan Januari 2012 dengan rasio hujan : terang sebesar 22 : 8. Penurunan intensitas hujan di bulan Februari 2012 mengalami penurunan dengan rasio hujan : terang sebesar 9 : 21. Rata-rata hasil pengukuran kualitas air parameter fisika dan kimia di Kolong Grasi, menunjukkan kondisi yang ideal untuk kegiatan budidaya ikan nila merah dan patin jambal. Kondisi penurunan beberapa parameter seperti suhu, kecerahan dan peningkatan kadar TOM terjadi di bulan Januari 2012 dan tidak terjadi di bulan-
43 bulan sebelumnya. Hal
ini dikarenakan pada bulan Januari 2012 intensitas
turunnya hujan lebih sering terjadi dan lebih lebat dimana di bulan ini tercatat 22 hari turun hujan dan delapan hari tercatat cuaca terang. Perbedaan rasio cuaca ini diikuti perubahan parameter kualitas air terukur selama penelitian. Effendi (2003) dan Barus (2002) menjelaskan bahwa, turunnya suhu udara akan diikuti dengan turunnya suhu air. Penurunan suhu air ini menyebabkan menurunya kandungan CO2 terlarut sebaliknya meningkatkan kadar DO dalam air. Kondisi di kolong Grasi justru terjadi sebaliknya. Penurunan suhu di bulan Januari 2012 meyebabkan peningkatan CO2 terlarut dan cendrung menurunkan DO dalam air. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya bahan organik tersuspensi dan terlarut yang diikuti meningkatnya jumlah fitoplankton dalam air yang ditunjukkan dari turunnya nilai kecerahan air dan meningkatnya nilai TOM kolong Grasi. Proses melimpahnya substrat organik di air merupakan makanan bagi bakteri aerob, peningkatan jumlah bakteri tersebut menyebabkan proses pelepasan CO 2 kedalam air lebih banyak dan proses pengambilan DO dari air lebih banyak pula. Perubahan kualitas air secara fisika, kimia dan biologi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah akumulasi Pb di organ ikan uji. Jumlah Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) Hasil budidaya pembesaran yang dilakukan selama empat bulan di kolong Grasi untuk ikan patin jambal dan nila merah menunjukkan terjadi akumulasi Pb di organ ikan. Tabel 5 menunjukkan peningkatan dan penurunan kadar Pb terukur di dalam organ ikan patin jambal selama pemeliharan empat bulan. Tabel 5 Kandungan Pb terukur pada organ ikan patin jambal Kandungan Pb Pada Bulan keOrgan
Metode/Standar
Insang
Oktober (µg/g) < 0,030
November (µg/g) < 0,030
Desember (µg/g) < 0,030
Januari (µg/g) 55,23
Februari (µg/g) 1,50
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Ginjal
< 0,030
< 0,030
0,032
< 0,030
0,917
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Hati
< 0,030
< 0,030
< 0,030
15,39
< 0,030
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Daging
< 0,030
< 0,030
0,177
40,56
0,188
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Formatted: Font: Bold
44 Gambar 4 menunjukkan trend atau pola akumulasi Pb ke dalam masingmasing organ patin jambal. Pada ikan nila merah terjadi akumulasi Pb di setiap organ. Tabel 6 menunjukkan peningkatan dan penurunan kadar Pb terukur di dalam organ ikan nila merah selama pemeliharaan empat bulan di kolong Grasi.
Gambar 4 Trend akumulasi Pb pada organ ikan patin jambal.
Tabel 6 Kandungan Pb terukur pada organ ikan nila merah Organ
Kandungan Pb Pada Bulan keMetode/Standar
Insang
Oktober (µg/g) < 0,030
November (µg/g) < 0,030
Desember (µg/g) 2,77
Januari (µg/g) 8,41
Februari (µg/g) 4,34
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Ginjal
< 0,030
< 0,030
< 0,030
93,98
0,842
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Hati
< 0,030
0,085
< 0,030
62,14
< 0,030
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Daging
< 0,030
< 0,030
< 0,030
< 0,030
0,188
APHA ed 21 th 3111 B, 2005
Gambar 5 menunjukkan trend atau pola akumulasi Pb ke dalam masingmasing organ ikan nila merah selama pemeliharaan.
Gambar 5 Trend akumulasi Pb pada setiap organ ikan nila merah.
45 Jumlah logam berat yang terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang masih aman dikonsumsi oleh manusia yaitu 2 mg/kg (Ditjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 dan WHO 1992). Kandungan Pb pada ikan patin jambal mulai ditemukan di bulan kedua pemeliharaan, yakni bulan Desember 2011 pada organ ginjal dan daging masing-masing terukur sebesar 0.032 µg/g dan 0,177 µg/g. Di bulan ketiga (Januari 2012), Pb ditemukan hampir di semua organ ikan patin jambal dan masih batas aman untuk konsumsi, yaitu organ insang sebesar 55,23 µg/g, hati sebesar 15,39 µg/g, daging sebesar 40,56 µg/g. Kandungan Pb tertinggi ditemukan di organ insang pada bulan ketiga pemeliharaan, yakni sebesar 55,23 µg/g. Meskipun demikian, kandungan Pb di organ daging ikan patin jambal adalah yang tertinggi dibandingkan dengan organ-organ yang lain. Hal ini dikarenakan bobot organ daging lebih besar, jika dibandingkan bobot organ lainnya (Rendemen daging = 45 g/100 g). Jika dikonversikan dengan bobot tubuh total dibulan Januari 2012 sebesar 195,4 g, maka organ daging patin mengandung 3,57 mg/kg. Nilai ini diatas batas aman konsumsi yang hanya memperbolehkan 2 mg/kg. Peningkatan kadar Pb diatas baku mutu aman pangan hanya terjadi dibulan Januari 2012, seiring dengan menurunnya kualitas air dan rasio hujan meningkat dalam 30 hari. Penurunan kandungan Pb dalam organ daging terjadi secara signifikan seirinmg dengan membaiknya kualitas air dan beralihnya musim hujan ke musim panas Pada ikan nila merah, Pb telah ditemukan di organ hati di bulan ke dua pemeliharaan, yakni November 2011 sebanyak 0,085 µg/g. Selanjutnya sebanyak 2,77 µg/g ditemukan di organ insang di bulan Desember 2011. Pada bulan Januari 2012, Pb terukur disemua organ ikan nila merah, kecuali di organ daging. Organ insang terukur Pb sebanyak 8,41 µg/g, organ hati sebanyak 62,14 µg/g dan pada organ ginjal terukur sebanyak 93,98 µg/g di bulan Januari 2012. Penurunan kadar Pb terjadi di bulan Februari 2012, dimana pada organ insang terukur sebanyak 4,34 µg/g, organ ginjal sebanyak 0,842 µg/g. Pada organ hati di bulan Februari 2012 tidak ditemukan lagi kandungan Pb. Sebaliknya terjadi peningkatan pada organ daging nila merah, di organ ini terukur sebanyak 0,188 µg/g. Secara keseluruhan akumulasi yang terjadi di organ ikan nila merah yang dipelihara di
46 kolong usia tua pasca tambang timah masih dibawah batas aman untuk dikonsumsi. Perbedaan jumlah akumulasi di setiap organ berhubungan erat dengan morfologi dan fungsi fisiologis setiap organ seperti insang, hati, daging dan ginjal. Insang ikan selain sebagai tempat pertukaran gas juga merupakan tempat ekskresi (Affandi & Usman 2002). Insang merupakan organ ikan yang langsung bersentuhan dengan air, sehingga organ insang adalah yang pertama untuk terpapar secara langsung pencemar Pb, baik Pb yang terionisasi dengan air maupun yang berikatan dengan partikel. Morfologi insang ikan nila merah yang lebih rapat dari insang ikan patin jambal menyebabkan perbedaan dalam kemampuan menangkap organisme dan partikel yang ada di air sehingga sebagai penyebab perbedaan kandungan Pb terukur pada insang kedua ikan uji. Selain itu perbedaan pola hidup berdasarkan stratifikasi kedalaman, seperti ikan nila merah cenderung dipermukaan perairan dan ikan patin jambal cenderung didasar perairan KJA menyebabkan potensi paparan insang ikan patin jambal dengan air yang tercemar Pb lebih besar. Pb yang telah diabsorbsi akan masuk ke dalam darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi Pb yang tertinggi dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), dalam kedua organ tersebut logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalothionin. Hati berperan penting dalam nutrisi dan pertahanan tubuh sebagai respon dari toksikan yang berasal dari luar tubuh. Selain itu, hati juga merupakan tempat penyimpanan lemak dan karbohidrat (Hutton 1982), sehingga Pb mudah terikat didalam hati. Ginjal berfungsi untuk filtrasi (penyaring) dan mengekskresi bahan yang tidak dibutuhkan (Affandi & Usman 2002). Seberapapun besar Pb yang masuk kedalam darah akan disaring oleh ginjal untuk diekskresikan keluar tubuh. Sehingga keberadaan Pb ditemukan terakumulasi di dalam ginjal ikan uji. Darmono (2008), Pb dapat terikat dengan adanya ketersedian ligan dalam sel. Lemak merupakan ligan yang cocok untuk logam berat. Salah satu fungsi organ daging pada ikan adalah tempat penyimpanan lemak. Darah yang telah tercemar Pb, akan beredar sesuai siklusnya. Darah yang mengandung Pb akan
47 masuk kedalam sel-sel daging melalui pembuluh-pembuluh kapiler, selanjutnya karena sifat logam yang mudah terikat dengan lemak, maka Pb akan cepat terikat ke dalam lemak daging. Pb yang telah terikat akan sulit terlepas, sehingga kecil kemungkinan untuk kembali masuk kedalam aliran darah. Kondisi ini merupakan penyebab kecilnya akumulasi yang terukur didalam organ hati dan ginjal ikan patin jambal di bulan Januari 2012, walaupun di bulan yang sama jumlah akumulasi di organ daging terukur sangat tinggi. Kondisi ini juga terjadi sebaliknya pada ikan nila merah, dimana pada organ daging tidak terukur tetapi pada organ hati dan ginjal jumlah akumulasi relatif tinggi. Hal ini pula merupakan penyebab berbedanya jumlah akumulasi Pb yang terukur antara daging ikan nila merah dengan daging ikan patin jambal. Dimana kandungan lemak pada daging nila merah lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging ikan patin jambal yang dipelihara dikolong Grasi (lampiran 3).
Analisis Perbedaan Parameter Fisika-Kimia Terukur dan Rasio Isi Usus Terhadap Akumulasi Pb di Setiap Organ Ikan Uji Perbedaan akumulasi Pb di setiap organ pengamatan antara ikan nila merah dan patin jambal serta keterhubungannya terhadap perbedaan parameter fisika-kimia air kolong Grasi, ditunjukkan pada Gambar 6. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap semua organ ikan uji, ditemukan akumulasi tertinggi Pb terjadi di bulan Januari 2012 (bulan ke-3 pemeliharaan). Meskipun demikian, akumulasi yang terukur masih dalam batas aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Kandungan diatas baku mutu hanya ditemukan pada organ daging ikan patin jambal di bulan Januari 2012. Penurunan suhu dan pH air, perbedaan cuaca dan peningkatan kecerahan air kolong, serta peningkatan rasio plankton dibandingkan pakan buatan yang ditemukan dalam usus ikan uji di bulan Januari 2012, berdampak pada peningkatan jumlah akumulasi Pb dibeberapa organ ikan uji. Bulan Januari 2012, Pb ditemukan terakumulasi sebanyak 8,4 µg/g di organ insang ikan nila merah dan 55,23 µg/g di organ insang ikan patin jambal. Penurunan suhu dan pH air kolong juga berdampak pada peningkatan akumulasi Pb di organ daging ikan patin jambal, yakni sebesar 40,56 µg/g sedangkan di organ ikan nila merah
48 akumulasi tidak terukur. Pb terukur di organ hati ikan nila merah sebanyak 62,14 µg/g, sedangkan di organ hati ikan patin jambal sebesar 15,39 µg/g. Kandungan Pb juga ditemukan di ginjal ikan nila merah, yakni sebesar 93,98 µg/g sedangkan pada ikan patin jambal kandungan Pb di bulan Januari 2012 (bulan ke-3) tidak ditemukan.
Bulan Suhu (0C) pH Kecerahan (cm) Rasio Hujan:Terang (hari) Rasio isi usus (%) Pellet : Plankton (Patin) Rasio isi usus (%) Pellet : Plankton (Nila)
Oktober 29,4 6 90 0 : 30 -
November 29,1 6,5 90 0 : 30 76,50 : 12.65
Desember 25,3 6 60 13 : 17 71,87 : 28,11
Januari 24,1 5 30 22 : 8 36,48 : 64,48
Februari 27,1 6 70 9 : 21 47,54 : 52,44
-
83,82 : 16,15
42,15 : 57,76
18 : 81,06
21,10 : 78,87
G ambar 6 Akumulasi Pb di setiap organ pengamatan ikan nila merah dan patin jambal serta keterhubungannya terhadap perbedaan parameter fisikakimia terukur dan rasio isi usus.
49
Kondisi perubahan cuaca yang ekstrim dari musim panas ke musim hujan di bulan Januari 2012, dikuti juga penurunan tingkat kecerahan. Fenomena ini mengindikasikan peningkatan kadar TOM dan jumlah plankton di air kolong Grasi. Kondisi ini menunjukkan meningkatnya hamburan partikulat (substrat) dan meningkatnya jumlah plankton dalam perairan kolong Grasi. Pada saat yang sama terjadi penurunan pH perairan menjadi lebih asam. Bryan (1976a) dan Forstner (1979b) mengemukakan bahwa penurunan nilai pH air menyebabkan kelarutan logam berat dalam air meningkat dan dalam keadaan yang sesuai (seperti menurunnya pH air menjadi asam), beberapa logam yang berikatan dengan sedimen dan partikulat
yang mengendap akan kembali ke dalam air diikuti
remobilisasi dan difusi ke atas. Pada saat Pb terlepas kedalam air, maka peluang Pb mencemari plankton sebagai pakan alami ikan uji semakin besar. Proses pengambilan logam dalam makhluk hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976b) adalah melalui mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Peningkatan jumlah plankton dalam air akan memperbesar peluang termakannya plankton yang telah tercemar Pb oleh ikan uji. Fenomena ditemukannya lebih banyak plankton daripada pakan buatan di dalam usus ikan nila merah dan patin jambal di bulan Januari 2012, yaitu rasio (%) pakan buatan : plankton untuk ikan patin sebesar 36,48 : 64,48 dan untuk ikan nila merah sebesar 18 : 81,06, menyebabkan di bulan tersebut (Januari 2012) terjadi peningkatan jumlah Pb di setiap organ ikan uji. Sehingga masuknya Pb kedalam organ ikan nila merah dan patin jambal yang dibudidayakan dikolong pasca penambangan timah Bangka Belitung ialah melalui rantai makanan. Hasil penelitian ini menguatkan pernyataan Bryan (1979), makanan dan partikulat merupakan sumber akumulasi (logam berat) penting yang terjadi pada ikan. Naik turunnya suhu di dalam suatu perairan mempengaruhi kelarutan beberapa jenis gas dalam air serta aktivitas biologis-fisiologis biota di dalam ekosistem air (Barus 2002). Meningkatnya suhu dari bulan Januari 2012 ke bulan Februari 2012 menyebabkan meningkatnya laju aktivitas biologis-fisiologis ikan
50 uji. Peningkatan laju aktivitas biologis-fisiologis
yang disertai dengan
membaiknya kualitas perairan kolong Grasi dapat menyebabkan proses depurasi (pembersihan) organ tubuh ikan terhadap pencemar Pb berjalan cepat. Terlihat dari menurunnya kandungan Pb pada ikan uji di bulan keempat pemeliharaan (Februari 2012) seiring dengan meningkatnya nilai kecerahan, suhu dan pH perairan di bulan tersebut.
Dampak Akumulasi Pb Terhadap Penambahan Bobot Tubuh Penambahan bobot tubuh ikan nila merah dan ikan patin jambal selama pemeliharaan empat bulan di kolong Grasi Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 (A) menunjukkan penambahan bobot tubuh ikan nila merah mengalami peningkatan dari bulan pertama pemeliharaan sampai dengan bulan keempat pemeliharaan. Berat awal ikan Nila merah yakni dibulan Oktober 2011 rata-rata 6,8 g ± 0,3852. Diakhir pemeliharan yakni di bulan Februari 2012 bobot tubuh rata-rata 188,7 g ± 7,2057. Gambar 7 (B) menunjukkan penambahan bobot tubuh ikan patin jambal pada bulan pertama pemeliharaan hingga bulan ketiga (Januari 2012) mengalami peningkatan. Penambahan bobot tubuh hampir terhenti di bulan ketiga pemeliharaan hingga bulan keempat pemeliharaan (Februari 2012). Rata-rata berat awal ikan Patin jambal dibulan Oktober 2011 sebesar 4,9 g ± 0,5172. Bulan Februari 2012 bobot tubuh rata-rata 201,2 g ± 17,7050.
(A)
(B)
Gambar 7 Penambahan bobot tubuh ikan nila merah dan ikan patin jambal.
51 Akumulasi Pb yang terjadi disetiap organ ikan nila merah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penambahan bobot tubuh selama empat bulan pemeliharaan. Hampir tidak terukurnya jumlah akumulasi Pb dari bulan pertama ke bulan kedua pemeliharaan pada setiap organ ikan nila merah, diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhan. Hal ini terjadi karena tubuh ikan nila merah masih tumbuh dengan baik tanpa terganggu bahan pencemar. Akumlasi Pb yang mulai terukur pada bulan kedua hingga bulan ketiga pemeliharaan, yakni organ insang, hati dan ginjal, tidak mengakibatkan penurunan penambahan bobot tubuh ikan nila merah. Kondisi yang sama terus terjadi di bulan ketiga pemeliharaan hingga ke bulan empat pemeliharaan. Hal ini menjelaskan bahwa, peningkatan akumulasi Pb di beberapa organ tidak menyebabkan terganggunya sistem metabolisme tubuh ikan nila merah. Hal ini dikarenakan rendahnya akumulasi di setiap organ ikan nila merah selama pemeliharaan dan akumulasi yang terjadi masih dalam ambang batas toleransi ikan nila merah, sehingga energi dari pakan dapat digunakan secara optimal untuk pertumbuhan. Penambahan bobot tubuh ikan patin jambal selama empat bulan pemeliharaan, didapatkan bahwa akumulasi Pb yang terjadi disetiap organ pengamatan memberikan pengaruh yang signifikan di bulan ketiga pemeliharaan (Januari 2012) hingga bulan keempat pemeliharaan (Februari 2012). Dimana dibulan tersebut, penambahan bobot tubuh hampir tidak terjadi. Kondisi sebalikya terjadi di di bulan pertama hingga ketiga pemeliharaan, dimana penambahan bobot tubuh tetap terjadi tanpa terganggu Pb. Hal ini terjadi karena di bulan pertama hingga bulan ketiga pemeliharaan akumulasi Pb masih sangat kecil. Sedangkan di bulan ketiga pemeliharaan akumulasi Pb mengalami peningkatan disemua organ, terutama organ daging yang sudah melebihi ambang batas aman untuk konsumsi manusia. Selain itu, peningkatan akumulasi di bulan ketiga pemeliharaan juga diikuti peningkatan akumulasi pada organ insang, daging dan hati. Hal ini menjelaskan bahwa, peningkatan akumulasi Pb di beberapa organ tersebut, jambal.
menyebabkan terganggunya sistem metabolisme tubuh ikan patin
52 Gambar 8 menunjukkan perbandingan pertumbuhan normal (penambahan bobot tubuh) ikan nila merah dan patin jambal setiap bulan pemeliharaan selama empat bulan di tempat budidaya terkontrol, terhadap pertumbuhan ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara di kolong tua.
(A)
(B)
(B)
(C)
(D)
Gambar 8 (A) Grafik pertumbuhan ikan nila merah normal (B) Grafik pertumbuhan ikan patin jambal normal (C) Grafik pertumbuhan ikan nila merah yang dibudidayakan di kolong tua (D) Grafik pertumbuhan ikan patin jambal yang dipelihara di kolong tua. Perbedaan terjadi di pertumbuhan ikan patin di bulan Januari ke bulan Februari pemeliharaan. Pada pertumbuhan normal patin jambal (8 B), bulan ketiga dan keempat pemeliharaan bobot tubuh masih terus bertambah, sedangkan pada ikan patin jambal yang dipelihara di kolong tua pertumbuhan di masa tersebut mulai melambat (8 D). Hal ini berhubungan dengan semakin meningkatnya kandungan Pb di organ ikan patin. Terkait dengan fungsi organ insang yang juga sebagai alat pengeluaran, organ daging dan hati sebagai tempat penyimpanan.
53 Melambatnya penambahan bobot tubuh juga terjadi di bulan keempat pemeliharaan seiring dengan meningkatnya akumulasi Pb pada organ ginjal. Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengeksresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan oleh tubuh, seperti bahan logam berat yang toksik. Hal tersebut menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan oleh daya toksik logam. Secara morfologi Pb akan merusak tubulus dan proksimal ginjal. Endapan Pb terjadi di lumen tubulus sehingga menyebabkan epitel sel mati dan lumen tubulus membengkak. Dengan rusaknya sel ginjal ini, maka peranan filtrasi ginjal akan terganggu. Asam amino yang masih berguna tidak tersaring dalam ginjal dan terbuang bersama urin, yang akhirnya juga ikan akan kekkurangan nutrisi dalam tubuhnya dan pertumbuhan menjadi terhambat (Darmono 2008). Keberadaan Pb pada organ ikan uji menyebabkan kerusakan jaringan pada lokasi baik tempat masuknya logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Kerusakan ini menyebabkan tidak berfungsinya secara normal organ-organ ikan uji. Menurut Darmono (2008), Pb yang terakumulasi di insang ikan akan menyebabkan penebalan pada sel insang sehingga menyebabkan insang kesulitan mengambil oksigen di air dan ikan menjadi hipoksia (kekurangan oksigen dalam tubuhnya). Ini ditunjukkan dengan berkurangnya kemampaun renang ikan. Rusaknya fillamen insang insang (nekrosis)
menyebabkancelah
lamella
insang
melebar
(rusak)
sehingga
menyebabkan volume sel darah merah berkurang dari lamella dan fungsi filtrasi insang ikan menurun. Secara enzimatis, pengaruh toksisitas Pb pada insang ikan terjadi di enzim karbonik anhidrase dan transport ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO 2 menjadi asam karbonat. Apabila ikan Zn itu dig anti dengan logam lain, fungsi enzim karbonik anhidrase tersebut akan menurun. Dengan digantinya kedudukan Zn di enzim karbonik anhidrase oleh Pb, maka enzim insang yang berperan sebagai proses respirasi tidak berfungsi. Keadaaan ini akan menyebabkan ikan mengalami keterlambatan tumbuh bahkan dapat menyebabkan kematian.
54 Fungsi hati yang sebagai penghasil enzim pencernaan akan mendapat pengaruh toksik Pb yang masuk, sehingga secara keseluruhan juga akan berdampak penambahan bobot tubuh. Secara morfologis sel-sel hati akan mengalami kerusakan dan secara enzimatis akan menurunkan kinerja enzim aspartat amino transferase. Penurunan enzim pencernaan ini akan menyebabkan terhambatnya deposit vitamin B12 di hati. Jika vitamin B12 yang berperan dalam pemacu proses pertumbuhan ikan tidak diproduksi secara normal, maka akan tentun akan mengganggu proses pertumbuhan. Selanjutnya, Pb di hati juga akan menghambat pembentukan garam-garam empedu. Garam empedu yang berfungsi untuk melarutkan dan membawa lemak dari usus beserta vitamin yang larut dalam lemak (A,D,E,K), jika gagal terbentuk atau terbentuk dalam jumlah sedikit maka lemak dan vitamin yang larut dalam lemak tidak terangkut secara maksimal dari usus, yang akhirnya berdampak pada terganggunya proses metabolisme tubuh ikan dan terhambatnya pertumbuhan. Terukurnya Pb di dalam organ daging, ginjal dan hati ikan patin jambal, mengindikasikan keberadaan Pb di dalam darah ikan. Keberadaan Pb di dalam darah menghambat fungsi hemoglobin darah dalam mengikat oksigen, Pb mengganggu sistem sintesis Hb dengan cara menghambat konversi delta aminolevulinik acid (delta ALAD) menjadi forfobilinogen dan menghambat korporasi dari Fe ke protoporfirin IX untuk membentuk Hb, dengan cara menghambat enzim delta aminolevulinik asid dehidratase (delta ALAD) dan feroketalase yang akhirnya meningkatkan ekskresi koproporfirin dalam urin dan delta ALA serta mensintesis Hb. Kompensasi penurunan sintesis Hb karena terhambat Pb adalah peningkatan produksi erithrofoesis. Sel darah merah muda (retikulosit) dan sel stipel kemudian dibebaskan. Ditemukannya sel stipel basofil (basophilic stippling) merupakan gejala dari adanya gangguan metabolik dari pembentukan Hb. Hal ini terjadi karena adanya tanda-tanda keracunan Pb. Sel darah merah gagal untuk menjadi dewasa dan sel tersebut menyisakan organel yang biasanya menghilang pada proses kedewasaan sel. Akibatnya ikan akan mengalami anemia. Kurangnya Hb darah juga akan menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam darah, diikuti dengan berkurangnya fungsi darah, sehingga peran darah sebagai penyerap dan penghantar sari makanan dan oksigen untuk
55 metabolisme atau pertumbuhan sel menjadi terhambat, yang selanjutnya juga akan menurunkan laju penambahan bobot tubuh secara keseluruhan.
Uji t-Test Uji t-Test dilakukan untuk melihat pengaruh antara kandungan Pb yakni sebesar 16,50 mg/kg di sedimen kolong Grasi Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terhadap akumulasi Pb yang terjadi di setiap organ ikan Uji. Hasil t-Test menyatakan bahwa semua akumulasi logam berat Pb yang terjadi di organ ikan uji tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kadar logam berat Pb di sedimen kolong Grasi. Karena hasil T-hitung setiap organ lebih kecil dari T-tabel, maka dapat disimpulkan tidak terjadi pengaruh yang nyata antara sedimen kolong grasi terhadap organ ikan uji. (Tabel 7). Tabel 7 Hasil hitung t-Test
Insang
Ikan Nila Merah
Ikan Patin Jambal
Organ
Organ
Ginjal
Hati
Daging
Insang
Ginjal
t-hitung 1,9970437
1,2712113
1,0035224
Hati
Daging
1,0097656
1,0131233
t-hitung 1,949
1,0358978
1,172022
t-tabel
t-tabel
2.7764451 05
2.7764451 05
2.7764451 05
2.7764
2.7764451 05
2.7764451 05
2.7764451 05
2.7764451 05
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Terima Ho
Dari tabel diatas dapat didefinisikan bahwa, kandungan Pb pada sedimen kolong Grasi sebesar 16,50 mg/kg (Oktober 2011) tidak memberikan pengaruh terhadap akumulasi yang terjadi di setiap organ insang, ginjal, hati dan daging ikan nila merah dan ikan patin jambal yang dibudidayakan selama empat bulan di kolong tersebut. Hasil ini menyatakan bahwa, akumulasi Pb yang terjadi di setiap organ ikan nila merah dan patin jambal bersumber dari
makanan. Untuk
memperkuat pernyataan tersebut, maka dilakukan uji komposisi usus ikan.
56
Analisis Sumber Akumulasi Pb Berdasarkan Komposisi Isi Usus Ikan Uji
Ikan Nila Merah (O. niloticus) Ada beberapa kelas mikroorganisme yang teridentifikasi didalam usus ikan nila merah selain pakan buatan (pellet) selama pemeliharaan empat bulan di kolong Grasi Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tabel 8 menunjukkan Frekuensi Kejadian dan nilai Indeks Preponderance ikan nila merah di bulan November 2011. Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan nila merah di bulan November 2011 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophyceae dan kelas Chrysophyceae. Masing-masing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 96,6% untuk pellet, 43,20% untuk Chlorophyceae dan sebesar 3,30% untuk Chrysophyceae. Tabel 8 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah (O. niloticus) bulan November 2011 Jenis FK (%) Volume (%) IP (%) Pellet 96,6 53,53 83,82 Chlorophyceae 43,20 43.43 15,99 Chrysophyceae 3,30 3,03 0,16 Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan nila merah di bulan November 2011, yaitu 96,60% untuk pellet, 15,99% untuk Chlorophyceae dan
0,16%
untuk Chrysophyceae. Gambar 9
menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan nila merah di bulan November 2011.
57
Gambar 9 Spektrum komposisi isi perut nila merah di bulan November 2011. Tabel 9 menunjukkan Frekuensi Kejadian ikan nila merah di bulan Desember 2011. Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan Nila merah di bulan Desember 2011 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophyceae, kelas Chrysophyceae dan kelas Bacillariophyceae. Masingmasing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 90% untuk pellet, 100% pada Chlorophyceae. Nilai frekuensi kejadian Chrysophyceae sebesar 10%
dan
Bacillariophyceae sebesar 20%. Tabel 9 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah (O. niloticus) bulan Desember 2011 Jenis FK (%) Volume (%) IP (%) Pellet 90 21,35 42,15 Chlorophyceae 100 59,87 51,53 Chrysophyceae 10 8,85 1,90 Bacillariophyceae 20 9,89 4,33 Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan nila merah di bulan Desember 2011, yaitu 42,15% untuk pellet, 51,53% untuk Chlorophyceae, sebesar 1,90% untuk Chrysophyceae dan sebesar 4,33% untuk Bacillariophyceae. Gambar 10 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan nila merah di bulan Desember 2011.
Gambar 10 Spektrum Komposisi isi perut nila merah di bulan Desember 2011.
58
Frekuensi kejadian di dalam usus ikan nila merah di bulan Januari 2012 didominansi kelas Chrysophyceae dan kelas Chlorophyceae, serta sedikit ditemukan pellet (Tabel 10). Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan Nila merah di bulan Januari 2012 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophyceae, kelas Chrysophyceae dan kelas Bacillariophyceae. Masingmasing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 53% untuk pellet, 100% pada kelas Chlorophyceae, 83% untuk kelas Chrysophyceae, 46,60% untuk kelas Bacillariophyceae. Gambar 11 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan nila merah di bulan Januari 2012. Tabel 10 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah (O. niloticus) bulan Januari 2012 Jenis FK (%) Volume (%) IP (%) Pellet 53,3 19,71 18 Chlorophyceae 100% 36,6 23,19 Chrysophyceae 83% 32,09 48,14 Bacillariophyceae 46,60 11,59 9,73 Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan nila merah di bulan Januari 2012. Sebesar 18% untuk pellet dan 23,19% untuk kelas Chlorophyceae. Kelas Chrysophyceae sebesar 48,14% dan nilai kisaran untuk kelas Bacillariophyceae sebesar 9,73%.
Gambar 11 Spektrum komposisi isi usus ikan nila merah bulan Januari 2012.
Tabel 11 menunjukkan Frekuensi kejadian ikan nila merah di bulan Februari 2012. Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan Nila
59 merah di bulan Februari 2012 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophyceae, kelas Chrysophyceae dan kelas Bacillariophyceae. Masingmasing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 56,6% untuk pellet, 100% pada kelas Chlorophyceae, 3,30% untuk kelas Chrysophyceae dan 33,30% untuk kelas Bacillariophyceae. Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan nila merah di bulan Februari 2012. Sebesar 21,10% untuk pellet dan 66,71% untuk kelas Chlorophyceae. Kelas Chrysophyceae sebesar 0,06% dan nilai kisaran untuk kelas Bacillariophyceae sebesar 12,10%. Tabel 11 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah (O. niloticus) bulan Februari 2012 Jenis FK (%) Volume (%) IP (%) Pellet 56,6 18,77 21,10 Chlorophyceae 100 61,95 66,71 Chrysophyceae 3,30 0,93 0,06 Bacillariophyceae 33,30 18,30 12,10 Gambar 12 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan nila merah di bulan Januari 2012.
Gambar 12 Spektrum komposisi isi usus ikan nila merah bulan Februari 2012.
Ikan Patin Jambal (P. djambal) Ada beberapa jenis mikroorganisme yang teridentifikasi didalam usus ikan Patin Jambal selama pemeliharaan empat bulan di kolong Grasi Kabupaten
60 Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tabel 12 menunjukkan frekuensi kejadian ikan patin jambal di bulan November 2011.
Tabel 12 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal (P. djambal) bulan November 2011 Jenis FK (%) Volume IP (%) (%) Pellet 100 62,13 76,50 Chlorophyceae 36,60 25,24 10,28 Euglenophyceae 13,30 12,61 2,37 Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan Patin Jambal di bulan November 2011 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophycea dan kelas Euglenophyceae. Masing-masing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 100% untuk pellet, 36,60% pada kelas Chlorophycea, 13,30% untuk kelas Euglenophyceae. Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan Patin Jambal di bulan November 2011. Sebesar 76,50% untuk pellet, 10,28% untuk kelas Chlorophycea dan 2,37% untuk kelas Euglenophyceae. Gambar 13 menunjukkan spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal di bulan November 2011.
Gambar 13 Spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal bulan November 2011.
61
Tabel 13 menunjukkan Frekuensi kejadian ikan patin jambal di bulan Desember 2011. Tabel 13 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal (P. djambal) bulan Desember 2011 Jenis FK (%) Volume IP (%) (%) Pellet 100 52,05 71,87 Chlorophyceae 83,20 27,38 20,71 Euglenophyceae 6,60 3,42 0,31 Bacillariophyceae 30 17,12 7,09 Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan patin jambal di bulan Desember 2011 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophycea, kelas Bacillariophyceae dan kelas Euglenophyceae. Masingmasing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 100% untuk pellet, 83,20% pada kelas Chlorophycea, 6,60% untuk kelas Euglenophyceae dan sebesar 30% untuk kelas Bacillariophyceae. Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan Patin Jambal di bulan Desember 2011. Sebesar 71,87% untuk pellet, 20,71% untuk kelas Chlorophycea. Sebesar 7,09% untuk kelas Bacillariophyceae dan 0,31% untuk kelas Euglenophyceae. Gambar 14 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal di bulan Desember 2011.
62
Gambar 14 Spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal bulan Desember 2011. Tabel 14 menunjukkan Frekuensi kejadian ikan patin jambal di bulan Januari 2012.
Tabel 14 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal (P. djambal) bulan Januari 2012 Jenis Pellet Chlorophyceae Euglenophyceae Bacillariophyceae Chrysophyceae
FK (%) 96 74,99 32,14 71,42 85,71
Volume (%) 29,59 7,17 2,01 24,13 37,06
IP (%) 36,68 5,13 0,08 22,25 41,02
Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan patin jambal di bulan Januari 2012 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophycea, kelas Bacillariophyceae, kelas Euglenophyceae dan kelas Chrysophyceae. Masing-masing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 96% untuk pellet, 74,99% pada kelas Chlorophycea, 32,14% untuk kelas Euglenophyceae. Sebesar 85,71 untuk kelas Chrysophyceae dan sebesar 71,42% untuk kelas Bacillariophyceae. Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan patin jambal di bulan Januari 2012. Sebesar 36,68% untuk pellet, 5,13% untuk kelas Chlorophycea. Sebesar 22,25% untuk kelas Bacillariophyceae dan 0,08% untuk kelas Euglenophyceae serta 41,02% untuk kelas Chrysophyceae. Gambar 15 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal di bulan Januari 2012.
63
Gambar 15 Spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal bulan Januari 2012. Tabel 15 menunjukkan Frekuensi kejadian ikan patin jambal di bulan Februari 2012. Tabel 15 Frekuensi Kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin jambal (P. djambal) bulan Februari 2012 Jenis
FK (%)
Pellet Chlorophyceae Euglenophyceae Bacillariophyceae
100 89,30 3 70
Volume (%) 39,13 24,14 3,38 33,33
IP (%) 47,54 23,73 0,41 28,30
Jenis material atau organisme yang ditemukan dari usus ikan patin jambal di bulan Januari 2012 yaitu remahan pellet (pakan buatan), kelas Chlorophycea, kelas Bacillariophyceae dan kelas Euglenophyceae. Masing-masing nilai frekuensi kejadiannya sebesar 100% untuk pellet, 89,30% pada kelas Chlorophycea,
3%
untuk
kelas
Euglenophyceae
dan
untuk
kelas
Bacillariophyceae sebesar 70%. Dengan Metode Indeks Preponderance, didapat kisaran komposisi usus ikan patin jambal di bulan Februari 2012. Sebesar 47,54% untuk pellet, 23,73% untuk kelas Chlorophycea. Sebesar 28,30% untuk kelas Bacillariophyceae dan sebesar 0,41% untuk kelas Euglenophyceae. Gambar 16 menggambarkan spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal di bulan Februari 2012.
64 Gambar 16 Spektrum komposisi isi usus ikan patin jambal bulan Februari 2012. Plankton yang ditemukan mengisi usus ikan nila merah dan patin jambal di bulan Januari 2012 lebih beragam jenisnya. Bulan Januari 2012 persentase plankton lebih besar, mengisi usus ikan nila merah dan patin jambal dibandingkan dengan persentase pakan buatan. Kondisi ini merupakan imbas dari menurunnya kualitas air di bulan Januari 2012, seperti menurunnya tingkat kecerahan. Memperkuat dugaan akumualsi pada organ ikan nila merah dan patin jambal terjadi melalui jalur rantai makanan. Dimana di bulan Januari 2012, peningkatan jenis dan jumlah plankton dalam usus ikan nila merah dan patin jambal, berkorelasi positif terhadap peningkatan akumulasi Pb di setiap organ ikan nila merah dan patin jambal. Membaiknya kualitas air (Februari 2012), seperti meningkatnya nilai kecerahan, diikuti dengan berkurangnya nilai dominansi plankton dalam usus ikan uji secara kuantitas maupun jenis. Kondisi ini juga diikuti dengan menurunnya jumlah Pb terukur di setiap organ ikan uji. Peningkatan jumlah plankton (kuantitas dan jenis) secara bertahap di usus ikan uji selama bulan Oktober 2011 hingga Desember 2011, selalu diikuti dengan peningkatan jumlah akumulasi Pb di setiap organ ikan uji. Fenomena ini memperkuat bahwa, akumualsi Pb pada organ ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara di kolong tua, terjadi melalui jalur rantai makanan.
Analisis Kelayakan Ekonomis Budidaya di Kolong Tua serta Keterhubungan Dampak Stres Terhadap Laju Pertumbuhan Untuk ikan nila merah yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah, jumlah pakan yang dihabiskan selama pemeliharaan empat bulan sebanyak 52,38 kg dengan harga pakan Rp 8.000,00/Kg. Survival Rate (SR) sebesar 91% dan nilai FCR sebesar 2,1 bobot kering. Jumlah pakan yang dihabiskan patin jambal selama pemeliharaan empat bulan di kolong tua pasca tambang timah sebanyak 52,38 kg dengan harga pakan Rp 8.000,00/Kg. Survival Rate (SR) sebesar 87% dan nilai FCR sebesar 1,4 bobot kering (Lampiran 3). Tabel 16 menunjukkan analisa usaha ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara system KJA di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung. Untuk melihat
65 tingkat stress yang terjadi dari dampak akumulasi Pb di setiap organ ikan uji dan pengaruhnya terhadap kelayakan usaha budidaya perikanan tawar, maka dilakukan uji glukosa untuk melihat tingkatan stres pada ikan uji. Dari tabel 16 diatas dapat disimpulkan bahwa, pemeliharaan ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara sebanyak 600 ekor dengan system KJA selama empat bulan pemeliharan di kolong tua, menguntungakan untuk dilakukan. Dengan nilai kelayakan usaha (B/C) 2,7 untuk ikan nila merah dan 2,9 untuk ikan patin jambal. Tabel 17 menunjukkan glukosa darah terukur untuk ikan patin jambal dan nila merah selama pemeliharaan di kolong Grasi Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tabel 16 Analisa usaha ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara system KJA di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung
No.
Uraian
A. ANALISIS LABA RUGI 1. Investasi (4 bulan) Pembuatan karamba 1 kelompok karamba (2 a. petak) b. Alat dan sarana produksi Jumlah 1 2. Biaya 2.1. Biaya Operasional a. Benih ikan @ Rp 350,00 (Patin : 600 ekor). @ Rp 150,00 (Nila : 600 ekor) b. Pakan ikan @ 9.000,00 c. Obat-obatan Jumlah 2.1 2.2. Biaya Tetap a. Penyusutan karamba/4 bln (6,4%) b. Perbaikan karamba/4 bln c. Penyusutan alat/4 bln (6,4%) Jumlah 2.2 3 Total Biaya (2.1 + 2.2) 4 Penerimaan Produksi ikan 5 Laba Operasional (4-2.1)
Biaya (Rp) Patin Nila merah jambal
2.000.000 100.000 2.100.000
2.000.000 100.000 2.100.000
90.000 471.420 561.420
210.000 471.420 561.420
128.000 200.000 6400 334.400 895.820
128.000 200.000 6400 334.400 895.820
2.479.200 1.917.780
2.630.000 2.068.580
66 6 Laba Bersih (4-3) B. ANALISIS BIAYA MANFAAT 1. B/C (>1 layak usaha)
1.583.380
1.734.180
2,7
2,9
Glukosa darah terukur sebanyak 78,74 mg dalam setiap 100 ml darah ikan patin jambal di bulan November 2011 dan menurun menjadi 71,26 mg di bulan Desember 2011. Selanjutnya jumlah glukosa darah meningkat menjadi 90,87 mg di bulan Januari 2012 dan kembali menurun di di bulan Februari, yakni sebesar 87,36 mg. Peningkatan kandungan glukosa darah pada ikan nila merah telah terjadi sejak bulan November 2011 (56,32 mg) menurun menjadi 52,87 mg di bulan Desember 2011. Peningkatan terjadi dibulan Januari 2012 menjadi 87,36 mg dan menurun kembali hingga 82,76 mg di bulan Februari 2012. Tabel 17 Glukosa darah ikan patin jambal dan nila merah selama pemeliharaan bulan November 2011- Februari 2012 PATIN (Bulan) November 2011 Desember 2011 Januari 2012 Februari 2012
Glukosa Darah (mg/100ml) 78,74 71,26 90,87 87,36
NILA (Bulan) November 2011 Desember 2011 Januari 2012 Februari 2012
Glukosa Darah (mg/100ml) 56,32 52,87 87,36 82,76
Ikan lebih sensitif terhadap stres daripada vertebrata lainnya karena homeostasis fisiologisnya terikat erat dan tergantung pada air di lingkungan sekitarnya. Gangguan air dan homeostasis ion selama stres adalah karena hubungan yang sangat dekat antara cairan tubuh dalam insang. Bioavailabilitas bahan kimia yang tinggi dalam air juga merupakan faktor penyebab stress. ikan yang terkena polusi melalui permukaan insang. Ikan merespon stres pada tiga tingkatan. Respon stres tingkat primer, sekunder dan tersier. Respon primer adalah pelepasan hormon stres, corticosteriods dan katekolamin, ke dalam aliran darah. Respons sekunder adalah efek dari hormon-hormon pada tingkat sel termasuk mobilisasi dan realokasi energi, gangguan osmotik dan peningkatan denyut jantung, pengambilan oksigen dan transfer. Respon tersier melampaui tingkat sel untuk seluruh binatang. Ini menghambat respon kekebalan, reproduksi, pertumbuhan dan kemampuan untuk
67 mentolerir stres tambahan. Indikator yang paling banyak diterima dari stres adalah peningkatan glukosa darah (Affandi & Usman 2002). Peningkatan dan penurunan kualitas air kolong tua sebagai wadah budidaya ikan patin jambal dan nila merah, selalu diikuti dengan peningkatan dan penurunan akumulasi Pb dalam organ ikan uji dan selalu disertai dengan peningkatan dan penurunan kadar glukosa dalam darah ikan uji. Pada saat terjadi penurunan kualitas air kolong Grasi secara fisika dan kimia di bulan Januari 2012, maka diikuti dengan penambahan akumulasi Pb ke dalam setiap organ ikan uji. Peningkatan yang terjadi tersebut, mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan ikan patin jambal dari bulan Januari 2012 ke bulan Februari 2012 (Gambar 10 B). Sebaliknya pada ikan nila merah, keterlambatan pertumbuhan tidak terjadi walaupun ditemukan konsentrasi Pb di setiap organ meningkat di bulan Januari 2012. Hasil pengujian glukosa darah pada kedua jenis ikan uji menguatkan bahwa, peningkatan kadar glukosa dalam darah merupakan indikator ikan yang dipelihara di kolong tua dengan akumulsi Pb di organ-organnya, hidup dalam kondisi stress. Kenyataan ini terlihat dari berhentinya laju penambahan bobot tubuh pada ikan patin jambal di bual Januari 2012 ke bulan Februari 2012, besertaan
dengan
peningkatan
jumlah
Pb
dalam
organ.
Kondisi
ini
menggambarkan bahwa ikan patin jambal yang dibudidayakan di kolong Grasi mengalami stress tingkat tersier, dimana ikan telah mengalami keterhambatan dalam pertumbuhan, yang dikarenakan relokasi energi pertumbuhan dari pakan menjadi energi bertahan untuk hidup. Stres yang disebabkan akumulasi Pb ini masih dalam batas toleransi ikan, sehingga kegiatan budidaya tetap dapat dilakukan. Selain itu, kegiatan budidaya tetap bisa dilakukan karena peningkatan stress tidak terjadi setiap bulan. Peningkatan stress hanya terjadi dibulan Januari 2012 saja, dimana kondisi kualitas air memburuk karena rasio hari hujan lebih tinggi dibandingkan dengan hari terang, dan beserta dengan membaiknya kualitas air di bulan Februari 2012 yang diikuti oleh menurunnya konsentrasi Pb dalam organ ikan patin jambal. Perubahan kualitas air di bulan Januari 2012 juga diikuti dengan penambahan konsentrasi akumulasi Pb di setiap organ ikan nila merah. Kondisi
68 ini menyebabkan stres pada ikan nila merah. Hal ini diperkuat dengan hasil pengukuran kadar glukosa dalam darah ikan nila merah yang meningkat di bulan Januari 2012 (Tabel 17). Peningkatan glukosa dalam darah ikan nila merah tidak mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan ikan setiap bulan. Kondisi ini menunjukkan bahwa, ikan nila merah yang dipelihara di kolong tua dengan system KJA mengalami stress, tapi masih dalam tingkatan primer. Kondisi respon stress primer masih dalam tahapan pelepasan hormon stres (corticosteriods dan katekolamin) ke dalam aliran darah, menyebabkan pemecahan glikogen menjadi glukosa kedalam darah sehingga mengakibatkan glukosa darah ikan nila merah meningkat. Pada tahapan ini, kinerja insulin ikan nila merah yang dibudidayakan di kolong tua masih bekerja dengan baik. Terlihat dari belum terjadi keterlambatan penambahan bobot tubuh di setiap bulan pemeliharaan untuk ikan nila merah.
69
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Akumulasi logam berat Pb terjadi di organ hati, insang, ginjal dan daging ikan nila merah dan patin jambal. Akumulasi tertinggi untuk kedua jenis ikan uji terjadi di bulan ketiga pemeliharaan (Januari 2012) yakni pada saat rasio hujan terang dalam 30 hari lebih tinggi kejadian hujan daripada kejadian terang. Konsentrasi Pb yang terakumualasi dalam ikan nila merah dan patin jambal yang dibudidayakan dikolong tua, masih saman untuk dimakan oleh manusia. Jalur masuk logam berat Pb pada ikan nila merah dan patin jambal melalui jalur rantai makanan. Akumulasi logam berat Pb pada ikan nila merah tidak memberikan pengaruh berarti terhadap laju pertumbuhan selama empat bulan pemeliharaan. Pengaruh yang signifikan, berupa melambatnya penambahan bobot tubuh ikan patin jambal ditemukan di bulan Januari 2012 ke bulan Februari 2012, terjadi pada saat akumulasi meningkat disemua organ ikan patin jambal. Terdapat keterkaitan antara kandungan Pb di ikan uji dengan perubahan kualitas air akibat perubahan musim. Depurasi secara alami terjadi sangat cepat pada ikan nila merah dan ikan patin jambal seiring dengan membaiknya kualitas air kolong. Budidaya perikanan tawar dengan pemanfaatan kolong pasca penambangan timah berusia tua di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan system karamba jaring apung layak dan menguntungkan untuk dilakukan.
Saran Pola tanam ikan yang dipelihara di kolong tua pasca penambangan timah dengan metode karamba jaring apung, disesuaikan dengan musim dan jenis ikan. Pola tanam berupa pemanenan ikan ukuran konsumsi dilakukan saat bulan yang sedikit hujan dan jenis nila merah lebih diproritaskan untuk dibudidayakan dari pada ikan patin jambal. Disarankan memilih jenis ikan yang berkadar lemak daging rendah untuk dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah. Perlu dilakukan pengukuran Pb di plankton yang hidup di kolong tua dan pengukuran Pb di air setiap bulannya. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan rentang waktu setahun penuh untuk melihat efek akumulasi jangka panjang.
70
DAFTAR PUSTAKA Affandi R, Usman M T. 2002. Fisiologi Hewan Air. Riau: Unri Press, Pekanbaru, Indonesia. Alaerts G, Santika S S. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Penerbit Nasional. APHA. 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater,19th ed., Washington DC. Arianti F D. 2002. Toksisitas Insektisida Endosulfan Terhadap Ikan Nila (O. niloticus) dalam Lingkungan Air Tawar. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana institut Pertanian Bogor. Barus T A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan: USU Press. Beveridge M C M. 1987. Cage Aquaculture (Eds.2nd). England: Fishing News Books LTD. Farnham, Surrey, BKD dan DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2008. Pemetaan Potensi Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Laporan Tahunan Periode 2008. Pangkalpinang: Penerbit Babel Press. BKPRN. 2009. Kampanye Buangan Limbah Tambang. http:// walhi.or.id [12 Agustus 2011]. Blodau C. 2006. A Review of Acidity Generation and Consumption in Acidic Coal Mine Lakes and Their Watersheds. Science of the Total Environment 369:307-332. Boyd. 1996. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Birmingham Alabama: Birmingham Publishing Co. Boyd C E, and Lichtkoppler. 1982. Water Quality Management in Pond Fish Cultur. Alabama: Auburn University. Brahmana S S, Armaita Sutriati R, Widya S, Sudarna A. 2004. Potensi Pemanfaatan Sumber Air Pada Kolong Bekas Penambangan Timah di Pulau Bangka. LIMNOTEK. Vol. 18: No.53 Bryan G W. 1976a. Heavy Metal Contamination in The Sea. London: Academic Press. Cole G A. 1988. Textbook of Limnology. Third edition. Ilinois, USA : Wavelend Press, Inc.
71 Connel D W, Miller. 1995. Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. New York: A Wiley Interscience Publication. Cynthia H. 2007. Teknologi Perbaikan Kualitas Air Kolong Asam/AMD. http://www.lipi.com/ [14 April 2011]. [Selasa 12 Mei 2009]. Cynthia H, Evi S. 2009. Karakterisasi Limnologis Kolong Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka.LIMNOTEK Vol XVI No.2:119-131 Ditjen POM. 1989. Keputusan Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan tentang batas maksimum cemaran logam berat pada makanan. No.0372/B/SK/VII/89. DKP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2008. Laporan Tahunan, Volume Tahun 2008. Pangkalpinang: Penerbit Babel Press. Darmono. 1995b. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta: UIPress. Darmono. 2008. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta: UI-Press Davis G C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State: University Press. Effendie I M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Bogor : Penerbit Kanisius. Espana J S, Pamo E L, Pastor E S, Ercilla M D. 2008. The Acidic Mine Pit Lakes of The Iberian Pyrite Belt:An Approach to Their Physical Limnology and Hydrogeochemistry. Applied Geochemistry. Vol. 23:1260-1287. Forstner U. 1979b. Metal Transfer Between Solids and Aqueous Phases. Berlin: Springer-Verlag. Haryadi S. 1983. Studi Makanan Alami Ikan Mujair, Nila, Lele dan Ikan Mas di Situ Ciburuy, kabupaten Bandung. Bogor:Fakultas Perikanan IPB. Houlihan D F, Mathers, Fostner U. 1993. Biochemical Correlates of Growth Rate in Fish. Fish ecophysiology, Vol XX 21: 45-71. Hutton M. 1982. Cadmium in The European Community. Monitoring and Assesment Reserch centre. London: MARC Report No 26. Jeffries M, Mills D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications. Chichester, UK: John Wiley and Sons.
72 Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah. Jakarta: KLH Indonesia. Klaassen et al. 1986. Toxicology The Basic Science of Poisons. New York: Machmillan Publishing Company. Lamidi. 1997. Biolimnologi sumber daya perairan galian tambang timah di Kepulauan Riau. Laporan Penelitian kerjasama Badan Perencana Daerah Tingkat II Kabupaten Riau dan Instalasi Penelitian dan Teknologi pertanian Tanjung Pinang, hal 12. Riau: Unri Press. Macek et al. dalam Arianti F.D. 2002. Toksisitas Insektisida Endosulfan Terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dalam Lingkungan Air Tawar. [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Manahan S E. 1997. Environmental Chemistry, 2nd ed. Boston: Willard Grant Press. Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmiun dan Tembaga) di Perairan. [Desertasi]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Mason C F. 1993. Biologi of Freshwater Pollution. Second edition. New York: Longman Scientific and Technical. Mayunar R, Purba, P T Imanto. 1995. Pemilihan Lokasi Untuk Usaha Budidaya Ikan Laut. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Karamba Jaring Apung Bagi Budidaya. Puslitbang Perikanan, Bogor: Badan Litbang Pertanian. McNelly R N, Nelmanis VP, Dwyer L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Water Quality Parameter. Water Quality Branch. Canada: Inland Waters Directorate. Miettinen J K. 1977. Plutonium Foodchains Michigan: Ann Arbor Science. Moss B. 1993. Ecology of Freshwater. Second edition. Blackwell. London: Scientific Publication. Nybakken J W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah : Eidman M, Koesoebiono, Bengen, D.G, Hutomo M, Sukarjo S. Jakarta: PT. Gramedia. Terjemahan dari : Marine Biology an Ecological Approach. OAC-I Pear Verified Methods, Police and Prosedures. 1999. AOAC International th edisi 1999. 2200 Wilson Blvd. Suit 400. Usa: Virgina Arlington
73 Odum E P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Volume ketiga, Penerjemah : Samingan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Terjemahan dari Fundamental of Ecology. Palar. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Prescott G W. 1970. How to Know the Freshwater Algae. Lowa: Mc Brown Co. Publ. Prosi F. 1979. Heavy Metals in Aquatic Organisms. Berlin: Springer-Verlag. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Vol I dan II. Bogor : Bina Cipta Barang. Soewondo Djojosoebagio. 1996. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Jakarta: UI-Press. 501 ha. Subardja, Achmad DJ, Anggoro T, Rhazista N, Dwi Sarah, Arianto, Nining. 2004. Studi Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah di Pulau Bangka dan Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah di Pulau Bangka. Laporan teknis proyek Puslit Geoteknologi-LIPI. Bogor, Indonesia. Simkis, Mason. 1984. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Jakarta : UI-Press Sverdrup H, Johson G, Fleming R H. 1961. The Ocean Their Physics, Chemistry and General Biology. England: Prentice-Hall, Inc. Swingle. 1969. dalam Boyd. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Pond.. Faurth Printing. Alabama, USA: Auburn Anniversity Agricultural Exsperiment Station. Stickney. 1993. Culture of Nonsalmonid Fresswater Fishes. 2nd (eds). Boca Raton, Ann Arbor, London, Tokyo: CRC. Press. Tebbut. 1992. dalam Effendi H.2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Bogor : Kanasius. Tinsley I J. 1979. Chemical Concepts in Pollutans Behavior. New York: John Wiley & Sons. Wahyu Widowati, Astiana Sastiono, Raymond Jusuf. 2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: C.V ANDI. Walpole R E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
74 Wardoyo SE, W Ismail. 1998. Aspek Físika Kimia Dan Biologi Kolong-Kolong Di Pulau Bangka Untuk Perikanan. Journal Penelitian Indonesia. Vol 42: 75-85. Wetzel R G. 1983. Limnology. Philadelphia: W.B. Sounders Company. WHO. 1992. Water Quality Assessments. Edited by Chapman, D. Chapman. London: Hall Ltd.. Wike, Endang B, Umroh. 2009. Pengendalian Logam Berat (Pb, Cu dan Zn) di Kolong Bekas Penambangan Timah Menggunakan Tanaman Air Purun dengan Metode Fitoremidiasi. Akuatik. Vol 4: 7-9. Wikipedia. 2006. Lead, the free enciclopedia. http://en.wikipedia.org. [7 Juli 2006]. [16 Juli 2011] Wilson R C H. 1988. Prediction of Copper Toxicity in Receiving Waters. London: Board Can: J. Fish Resh. Wittmann. 1979. Toxic Metal. Berlin: Springer Verlag. Zonneveld N, Huisman E A, J H Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bangka pada tanggal 2 Januari 1983 dari ayah Alimdin dan ibu Faridah. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sungailiat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sriwijaya. Penulis memilih jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Fisika kimia Perairan dan Limnologi pada tahun ajaran 2003-2004.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2011-Februari 2012 ini ialah logam berat, dengan judul Analisis Bioakumulasi Timbal (Pb) Pada Ikan Nila Merah (Oreochromis nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) Yang Dibudidayakan di Kolong Tua Pasca Tambang Timah Bangka Belitung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S selaku pembimbing dan telah banyak memberikan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak-anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2012
Robin
iii
72
Lampiran 1. Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan.
PENYIMPANAN
ABSORPSI
Permukaan Tubuh
Mulut/ Makanan
Jaringan Tulang
Daging
Darah
Insang
Saluran Cerna
EKSKRESI
Hati
Kulit
Buangan metabolisme
Ginjal
Urine
Usus Besar
Feses
73
Lampiran 2. Perjalanan logam sampai ke tubuh manusia.
74 Lampiran 3. Kandungan lemak daging ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara di kolong tua pasca tambang timah.
Dalam bobot basah (%) Jenis Ikan
Patin Nila
Bulan Januari 2012 Lemak Kadar Air (%/100 gr) (%/100 gr) 12.53 76.71 2.87 74.21
Bulan Februari 2012 Lemak Kadar Air (%/100 gr) (%/100 gr) 8.88 79.24 2.11 76.00
Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan FPIK, IPB.