Analisis Akses terhadap Properti Rumah Sakit di Kota Bogor Tahun 2008 Accessibility Analysis to Hospital Property in Bogor City, 2008 Maslani 1 dan Wakhid. Slamet Ciptono 2 Program Studi Magister Ekonomika Pembangunan Fakultas Ekonomika dan Bisinis Universitas Gadjah Mada National Conference on Management Research 2008 RC-CCH PPM School of Management Jakarta & MM Program UNHAS Makassar: 27 November 2008 This research explores accessibility to hospital properties in Bogor City. The first part of the research is aimed to measure the availability of hospital properties and to analyze the spatial accessibility to hospital properties; the second part is aimed to identify the advantage aspects of hospital properties based on consumer/patient preferences. Provider to population (P-to-P) ratio is used to measure the availability of hospital properties. Data needed are hospital beds (classified into the classes) and the population (total and the poor). Joseph and Bantock gravity model is used to measure spatial accessibility each village to hospital properties. Data needed are the same as used by p-to-p ratio plus the distance data. Relative accessibility (RA) is used to measure spatial accessibility each village compared to total villages spatial accessibility. The data is from Joseph and Bantock gravity model calculation. The advantage aspects of hospital properties (that give Askeskin service) based on consumer/patient preferences of access dimensions are analyzed by Likert scale, validity and reliability test, statistical test (Z and t), and the competitive benchmarking analysis. The data is gathered form questionnaire distributed to 3 hospital’s patients in Bogor City. This research’s results show that hospital to total population ratio is 4:500.000 (below Health Affairs Department standard), beds to total population ratio is 104:100.000 (over the standard), and beds to the poor population is 176:100.000 (over the standard). Joseph and Bantock gravity model results that there are 45 villages (66,18 percent) that suffer from spatial accessibility shortage, while for the poor population, there are 35 villages (51,47 percent) that have low spatial accessibility. RA shows that the majority area that have low spatial accessibility are located in Bogor Selatan, both for total population and the poor; while the high spatial accessibility area are located in Bogor Tengah. Generally, using statistical Z test, patients argue that they feel “statisfied enough” to 6 indicators of the hospital property advantages (access dimension). Using statistical t test, the most favourite hospital based on consumer opinion is Hospital PMI. Using competitive benchmarking analysis, the hospital that have the most advantage indicators is also Hospital PMI. Key words: access, spatial access, advantage indicators, hospital 1
Lulusan Magister Ekonomika Pembangunan (MEP)-FEB UGM
2
Dosen MEP Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu jenis properti khusus (special purpose property) (Standar Penilaian Indonesia, 2002:83), yang mempunyai pasar terbatas, termasuk struktur bangunannya dengan desain fisik yang unik, material konstruksi khusus, atau tata ruang yang membatasi penggunannya (American Institute of Real Estate Appraissal/AIREA, 2001:21). Properti rumah sakit hampir mirip dengan hotel dalam hal short stay rental market. Pasien potensial memperoleh utilitas dari tempat tidur dan ketersediaannya. Demand atas tempat tidur rumah sakit dan occupancy-nya tergantung pada pendapatan konsumen, harga, dan syarat-syarat yang ditetapkan pemberi asuransi (Benjamin, et. al., 2007: 113, 119). Kecenderungan rumah sakit sekarang menjadi properti yang diharapkan menghasilkan pendapatan (income-producing property) walaupun masih memiliki fungsi sosial. Saat ini makin banyak properti rumah sakit yang dimiliki dan dikelola oleh pihak swasta. Oleh sebab itu, pengelolaan properti rumah sakit harus ditangani secara lebih profesional. Investasi di bidang properti rumah sakit semakin terbuka. Keputusan investasi di bidang properti rumah sakit merupakan sebuah realty project/program yang mengikuti pola Life-Cycle Asset Management (lihat gambar 1.1). Keputusan ini harus mempertimbangkan peluang pangsa pasar—terlihat dari tingkat demand dan supply— dengan studi kelayakan (feasibility study) terlebih dahulu. Analisis pasar (market analysis) harus dianalisis dalam studi kelayakan. Realty project/program juga memiliki aspek intangible, yaitu value in use. Rumah sakit yang memiliki keunggulan relatif lebih banyak konsumennya. Preferensi konsumen dalam memilih properti rumah sakit harus diperhatikan oleh manajer properti tersebut, baik dalam rangka pengambilan keputusan investasi baru maupun meningkatkan kapasitas realty project/program yang sudah ada.
2
I : Conceptual stage II : Organizational stage III : Operational stage IV : Completion stage
A : Introduction stage B : Growth stage C : Maturity stage (peak) D : Saturation stage
Gambar 1.1 Realty Project/Program and Life-Cycle Asset Management Menurut Millman (2003), akses adalah derajat kemampuan individu dan kelompok untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari sistem yang ada; sementara Komite Pengawasan Akses Pelayanan Kesehatan Amerika dan Andrulls (1998) menyebutkan bahwa akses adalah pemanfaatan tepat waktu pelayanan kesehatan untuk mencapai status kesehatan paling baik dan paling memungkinkan (lihat Susilowati, 2006:14). Kota Bogor dijadikan lokasi penelitian karena Kota Bogor adalah salah satu kota penyangga Ibukota Jakarta—bukan ibukota provinsi—sehingga diharapkan dapat mewakili kondisi pelayanan rumah sakit tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia. Beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini diuraikan berikut ini. 1. Kota Bogor berada di bawah rasio standar yang ditetapkan yang bisa berdampak pada kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat. Rasio rumah sakit terhadap jumlah penduduk Kota Bogor saat ini adalah 8:905.132 (BPS Kota Bogor: 2006 dan Dinas Kesehatan Kota Bogor), sedangkan target Departemen Kesehatan adalah 6:500.000. 2. Distribusi properti rumah sakit—yang diukur dari tingkat ketersediaan (availability) maupun aksesibilitas spasial (spatial accessibility)—tidak merata, terutama bagi golongan masyarakat miskin di wilayah-wilayah yang tidak terdapat rumah
3
sakitnya. Jumlah penduduk miskin kota Bogor cukup besar, pada akhir tahun 2007 sekitar 19,22 persen dari total penduduk, yaitu 173.968 jiwa dari total 905.132 jiwa. 3. tingkat hunian tempat tidur pada rumah sakit di Kota Bogor tidak merata, ada rumah sakit yang bed occupancy rate (BOR)-nya tinggi, ada yang rendah. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa konsumen memilih rumah sakit berdasarkan preferensinya; meskipun ada konsumen yang memilih rumah sakit hanya karena rujukan dokter. Bagian pertama penelitian ini akan menggali tingkat akses terhadap properti rumah sakit per kelurahan yang ada di Kota Bogor dengan acuan indikator “INDONESIA SEHAT 2010” dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Selanjutnya, bagian kedua mengidentifikasi faktor-faktor keunggulan rumah sakit berdasarkan tingkat kepuasan konsumen yang dipertimbangkan dalam memilih properti rumah sakit. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. untuk mengukur tingkat ketersediaan properti rumah sakit di Kota Bogor; b. untuk menganalisis tingkat aksesibilitas spasial properti rumah sakit di Kota Bogor; c. untuk mengidentifikasi aspek yang merupakan keunggulan properti rumah sakit di Kota Bogor berdasarkan preferensi konsumen. 1.3. Tinjauan Pustaka Penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian ini di antaranya berikut ini. Tabel 1.1 Daftar Penelitian dengan Model Gravitasi dan Akses terhadap Rumah Sakit
Studi oleh
Lokasi
Metode
Bayuaji (2007)
Kebumen
Provider to Population ratio dan model gravitasi DGR
Unal, et. al. (2007)
Indiana
Model gravitasi Joseph and Bantock dan Relative Accessibility
Hasil/Temuan Rasio jumlah tempat tidur terhadap jumlah penduduk Kabupaten Kebumen adalah 42:100.000; aksesibilitas spasial rumah sakit di Kabupaten Kebumen yang tertinggi adalah RSUD Kebumen dan yang terendah RS PKU Muhammadiyah Kutowinangun. Aksesibilitas terhadap layanan rumah sakit yang tertinggi terdapat di Marion County, Vanderburgh County, Vigo County, Jefferson County, Allen County, Lake County, St. Joseph County,
4
Studi oleh
Lokasi
Metode
Wang dan Luo (2005)
Illinois
Metode a two-step floating catchment area (FCA) dalam lingkungan GIS
Bagheri, et. al. (2005)
Otago, Selandia Baru
Suryawati, dkk. (2006)
Provinsi Jawa Tengah
Metode waktu tempuh terpendek ke penyedia layanan terdekat Metode confirmatory factor analysis
Wind dan Spitz (1976)
Amerika Serikat
Analisis konjoin
Ryan, et. al. (2001)
Aberdeen, Skotlandia
Discrete Choice Experiments
Hasil/Temuan Madison County, Monroe County, dan Porter County. Adapun wilayah yang relatif paling rendah aksesibilitasnya terhadap rumah sakit terletak di bagian selatan Indiana sepanjang Sungai Ohio. Terdapat daerah yang kekurangan tenaga kesehatan sebanyak 518 tracts (17,5 persen tracts) dalam 24.899,6 km2 (17,1 persen area) dengan jumlah penduduk 1.505.369 jiwa (12,1 persen dari total penduduk). Aksesibilitas spasial layanan kesehatan di bagian utara dan tengah Otago rendah. Teridentifikasinya 8 dimensi pelayanan dengan 52 indikator, yaitu pelayanan pelayanan admisi (6 indikator), dokter (9 dimensi), perawat (9 indikator), makanan (6 indikator), obat-obatan (7 indikator), lingkungan rumah sakit (6 indikator), fasilitas ruang perawatan (4 indikator) dan pelayanan ke luar (5 indikator). Sekitar 68,6 persen sampai 76,24 persen pasien merasa puas dengan pelayanan admisi, dokter, perawat, makanan, obatobatan, fasilitas kamar dan rumah sakit umumnya serta pelayanan menjelang keluar. Reputasi dan prestise dokter merupakan faktor terpenting pasien dalam memilih rumah sakit melebihi faktor biaya kamar per hari. Pasien lebih menyukai perawat spesialis, berkurangnya rasa sakit, sistem phone-in dan waktu tunggu yang lebih pendek.
1.4 Landasan Teori 1.4.1 Akses terhadap fasilitas kesehatan (rumah sakit) Terdapat lima jenis hambatan masyarakat dalam mengakses fasilitas layanan kesehatan menurut Penchansky and Thomas (Bagheri, et. al., 2006; Bagheri, et. al., 2005; Guagliardo, 2004), yaitu: 1. ketersediaan (availability) 2. aksesibilitas secara fisik (physical accessibility) 3. kemampuan membayar (affordability) 4. akomodasi (accommodation) 5. dapat diterima (acceptability) 5
Hambatan availability dan physical accessibility bersifat spasial, sedangkan affordability, accommodation, dan acceptability bersifat nonspasial. 1.4.2 Ukuran aksesibilitas spasial terhadap fasilitas kesehatan (rumah sakit) 1.4.2.1 Provider-to-population ratios. Provider-to-population ratio adalah rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di suatu wilayah dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut (Guagliardo, 2004:4; Unal, et. al., 2007:4). Pada tahun 2010 rasio jumlah tempat tidur rumah sakit terhadap jumlah penduduk adalah 75:100.000, sedangkan rasio jumlah rumah sakit terhadap jumlah penduduk adalah 6:500.000. Rasio ini merupakan salah satu indikator pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau (Departemen Kesehatan RI, 2002:12). 1.4.2.2 Gravity measures. Model-model gravitasi interaksi spasial diambil dari persamaan Isaac Newton yang digunakan untuk mengukur gaya gravitasi. Selanjutnya Huff Probability Model (Hanink, 1997: 291) digunakan untuk mengukur pangsa pasar retailer dan pusat perbelanjaan. Joseph and Bantock menyempurnakan model gravitasi untuk aksesibilitas spasial fasilitas layanan kesehatan dengan menambahkan population demand sebagai faktor penyesuaian. 1.4.3 Teori preferensi konsumen Preferensi individual atas .alternatif barang-barang konsumsi (Heirshleifer dan Glazer, 1992:56) digambarkan berikut. 1. Aksioma Perbandingan Setiap barang A dan B dapat diperbandingkan semacam preferensi oleh individu yang mengarah pada salah satu dari tiga hal berikut: (a) barang A lebih disukai daripada barang B; (b) barang B lebih disukai daripada barang A, dan (c) Barang A dan B sama saja. 2. Aksioma Transitivitas Apabila ada 3 barang (A, B, dan C), A lebih disukai daripada B dan B lebih disukai daripada C, maka A lebih disukai daripada C. Jika kedua aksioma tersebut digabung, akan berbentuk proporsi pengurutan preferensi yang disebut fungsi preferensi. 1.4.4 Faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen Rumah Sakit
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pasien datang ke rumah sakit sangat terkait dengan kepuasan dan preferensi konsumen. Menurut Jumadi (1991) terdapat 4 aspek terkait dengan kepuasan konsumen, yaitu: 1) aspek kenyamanan, 2) aspek hubungan pasien dengan staf rumah sakit, 3) aspek kompetensi, dan 4) aspek biaya (lihat Sabarguna, 2004: 89). Sukaca (2000) menyebutkan bahwa faktor prioritas dalam memilih rumah sakit dapat dibagi menjadi: (a) fasilitas, (b) lingkungan, (c) petugas, (d) pelayanan, (e) lokasi, dan (f) rujukan yang dirinci dalam 25 indikator (lihat Sabarguna, 2005: 35). Sementara faktor-faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam memilih rumah sakit antara lain (Arifin dan Prasetya, 2006: 3-4): (1) pelayanan dokter (profesional), (2) keamanan (tingkat kehilangan HP, kendaraan, dan barang lain), (3) lokasi (strategis, mudah dijangkau), (4) kebersihan (lantai dan lingkungan rumah sakit), (5) menu makanan (cita rasa makanan pasien), (6) waktu tunggu (menunggu dokter dan menunggu obat), (7) parkir (luas dan akses mudah), (8) pelayanan UGD (respons pelayanan), (9) ketersediaan obat (kelengkapan dan ketersediaan obat-obatan), (10) jam buka (waktu kunjungan sebelum dan sesudah jam kantor). II. Pertanyaan dan Alat Peneltian 2.1 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Apakah tingkat ketersediaan properti rumah sakit di Kota Bogor telah memenuhi standar Departemen Kesehatan? 2. Apakah tingkat aksesibilitas spasial properti rumah sakit di Kota Bogor telah merata? 3. Aspek apa yang merupakan keunggulan properti rumah sakit di Kota Bogor berdasarkan preferensi konsumen? 2.2 Alat Analisis 2.2.1 provider-to-population ratio (P-to-P ratio) P-to-P digunakan untuk mengukur tingkat ketersediaan properti rumah sakit. Rumus provider-to-population ratio (Unal, et. al., 2007) adalah: Prov P to P = Pop 7
P-to-P = provider-to-population ratio Prov = jumlah tempat tidur rumah sakit di suatu wilayah Pop = jumlah penduduk di suatu wilayah 2.2.2 Joseph and Bantock gravity model Model ini dirumuskan (Guagliardo, 2004; Unal et. al., 2007:13).
Sj
Ai = ∑ j Vj =
β
dij Vj Pi
∑
β
dij
i
Ai = aksesibilitas spasial rumah sakit dari lokasi penduduk di lokasi i terhadap rumah sakit di lokasi j Sj = kapasitas rumah sakit di lokasi j Pi = jumlah penduduk di lokasi i dij = jarak antara penduduk di lokasi i dan rumah sakit di lokasi j β = koefisien gravity decay , dengan nilai 2 (Bintarto, 1983:87). Kapasitas rumah sakit diukur dengan proxy jumlah tempat tidur, sedangkan jumlah penduduk diklasifikasikan menurut kelurahan. 2.2.3 Relative Accessibility (RA) RA dirumuskan berikut: Ai -
min Ai i =1,…, n RAj = max Ai - min Ai i =1,…, n i =1,…, n RA merupakan bentuk transformasi nilai aksesibilitas yang diperoleh dengan rumus Model Gravitasi Joseph and Bantock. RA=1 adalah kelurahan dengan tingkat aksesibilitas spasial tertinggi terhadap properti rumah sakit, sedangkan RA=0 menunjukkan kelurahan dengan
tingkat
aksesibilitas
spasial
terendah terhadap
properti rumah sakit (Unal et. al., 2007:14). 2.2.4 Uji validitas dan reliabilitas Uji validitas dilakukan dengan korelasi korelasi bivariate antara skor masing-masing butir pertanyaan. Uji signifikansi juga dilakukan lewat uji t (Santoso, 2002:278): 8
thitung =
r
(1− r )/(N − 2) 2
Jika thitung > ttabel maka butir pertanyaan dinyatakan valid. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Cronbach Alpha.
∑ Sj 2 ⎛ k ⎞⎛ ⎟ ⎜⎜ 1 − Sx 2 ⎝ k − 1 ⎠⎝
α =⎜
⎞ ⎟⎟ ⎠
di mana:
α
:
koefisien reliabilitas
k
:
banyaknya belahan tes
Sj2
:
variansi belahan j; (j = 1, 2 ...)
Sx2
:
variansi skor tes
Bila koefisien Cronbach Alpha mendekati 1, makin tinggi tingkat konsistensi reliabilitas suatu
alat
ukur. Menurut Nunally (1967) suatu konstruk atau variabel dikatakan
reliabel jika nilai Cronbach Alpha > 0,6 (lihat Ghozali, 2006:42). 2.2.5 Uji statistik (Z dan t) Pengujian pada penelitian ini dilakukan dengan model satu sisi. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa hasil yang akan diperoleh dari pengamatan sampel yang berupa nilai rata-rata statistik ( X ) tersebut akan memberikan hasil yang lebih besar dari µ atau lebih kecil dari µ. Untuk jumlah sampel besar (≥ 30) dilakukan pengujian Z, dengan rumus (Saleh, 2001:198-216): Z hitung =
X −μ S/ n
Sementara untuk jumlah sampel kecil (< 30) dilakukan uji t dengan rumus:
t hitung =
X −μ S/ n
Kemudian, hasil Zhitung dan thitung dibandingkan dengan Ztabel dan t tabel. Jika Zhitung > Ztabel atau thitung > t tabel, maka kesimpulannya menolak H0 dan sebaliknya. 2.2.6 Competitive benchmarking analysis Tahapan
yang
perlu
dilakukan dalam competitive benchmarking analysis
adalah (Arifin dan Prasetya, 2006: 3): 9
1. menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pasien datang ke rumah sakit; 2. menyebarkan kuesioner kepada responden; 3. membuat preferensi hasil kuesioner untuk menentukan bobot nilai faktor (dimensi akses) yang mempengaruhi keputusan pasien datang ke rumah sakit; 4. melibatkan tenaga ahli dalam memberikan penilaian faktor tersebut untuk menentukan skor faktor yang mempengaruhi keputusan pasien datang ke rumah sakit (dimensi akses) yang merupakan keunggulan rumah sakit; 5. mengolah data hasil survai untuk melihat kinerja rumah sakit berdasarkan dimensi akses; dan 6. memetakan posisi masing-masing rumah sakit berdasarkan faktor yang dinilai. Adapun kinerja rumah sakit dapat diukur dengan rumus berikut ini. K
j
=
∑W
ij
X
S
ij
K= kinerja/keunggulan rumah sakit j = rumah sakit ke-j i = faktor ke-i yang dinilai W = bobot nilai 1 s.d. n sebanyak jumlah faktor yang dinilai
III. ANALISIS DATA 3.1 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada rumah sakit yang menyelenggarakan minimal 4 layanan kesehatan spesialis dasar, yaitu layanan kandungan dan kebidanan, bedah, penyakit dalam, dan anak (Departemen Kesehatan, 2003:19, 33). 3.2 Jenis dan sumber data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kapasitas rumah sakit menurut kelas tempat tidur, jarak tempuh, dan data yang diperoleh melalui kuesioner kepada konsumen di rumah sakit masing-masing. Data sekunder meliputi data rumah sakit dan lokasinya, data jumlah penduduk Kota Bogor, data penduduk miskin di Kota Bogor, Peta jaringan jalan Kota Bogor, dan Peta Kota Bogor, serta jarak tempuh kelurahan-rumah sakit di Kota Bogor. 3.3 Cara memperoleh data 10
3.3.1 Penelitian akses spasial rumah sakit. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan studi kepustakaan dan analisis data. Penelitian ini menggunakan data populasi seluruh rumah sakit yang menyelenggarakan minimal 4 layanan spesialis dasar, data jumlah penduduk per kelurahan di Kota Bogor per Desember 2007, dan data penduduk miskin di Kota Bogor per Desember 2007. 3.3.2 Penelitian preferensi konsumen berdasarkan akses rumah sakit. Pengumpulan data primer dilakukan dengan kuesioner. Sifat pertanyaan adalah tertutup dan disampaikan untuk mengetahui pendapat responden. Alternatif jawaban yang disediakan menggunakan skala Likert yang terdiri atas 5 pilihan jawaban untuk penilaian pengamat (dari Dinas Kesehatan), Sangat Baik (SB) dengan nilai skor (5); sampai Sangat Tidak Baik (STB) dengan nilai skor (1). Adapun skala untuk konsumen/pasien rawat inap diberi skor 1 (sangat tidak memuaskan) sampai dengan 10 (sangat memuaskan). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pada semua kelas di tiga rumah sakit yang melayani Askeskin, yaitu RS PMI, RS Salak, dan RS Marzoeki Mahdi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampling dengan tujuan tertentu, sampel hanya ditujukan pada pasien rawat inap semua kelas pada 3 rumah sakit. Jumlah observasi sampel diambil sebanyak 45, dengan jumlah 15 unit per rumah sakit. Pertimbangannya adalah data tersebut digunakan untuk analisis competitive benchmarking rumah sakit dengan jumlah responden masing-masing rumah sakit sama. Ukuran sampel dengan jumlah lebih dari 30 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian (Sekaran, 2006: 160). Jadi, jumlah keseluruhan unit observasi sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 buah sudah memenuhi. 3.4 Rasio kapasitas rumah sakit (provider) terhadap jumlah penduduk (population) di Kota Bogor Rasio rumah sakit terhadap jumlah penduduk adalah 4:500.000, sehingga Kota Bogor memiliki rasio di bawah standar Departemen Kesehatan. Rasio jumlah tempat tidur terhadap jumlah penduduk Kota Bogor adalah 104:100.000, sehingga saat ini masih terdapat kelebihan tempat tidur 28 buah. Rasio jumlah tempat tidur terhadap penduduk miskin Kota Bogor tahun 2008 adalah 176:100.000 atau terdapat kelebihan 101 tempat tidur. Dengan demikian, secara perhitungan kasar saat ini belum perlu dilakukan penambahan rumah sakit.
11
3.5 Akses spasial terhadap properti rumah sakit di Kota Bogor Berdasarkan hasil analisis menggunakan model gravitasi Joseph dan Bantock maupun Relative Accessibility, aksesibilitas tertinggi secara keseluruhan ditempati oleh kelurahan yang berlokasi di Bogor Tengah, sedangkan aksesibilitas terendah berada pada Bogor Selatan dan sebagian Tanah Sereal. Untuk itu, dalam rangka mengantisipasi kekurangan jumlah tempat tidur rumah sakit di masa yang akan datang, perencanaan pengembangan realty project/program rumah sakit di Kota Bogor dapat dipilih lokasi yang rendah aksesibilitas spasialnya tersebut. 3.6 Analisis preferensi konsumen berdasarkan dimensi akses terhadap properti rumah sakit di Kota Bogor 3.6.1 Uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas menggunakan korelasi bivariate antara skor masing-masing butir pertanyaan dengan skor total menunjukkan hasil signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen dan 10 persen, artinya pertanyaan tersebut valid. Uji validitas dilakukan juga dengan melihat angka korelasi (corrected item-total correlation). Selanjutnya angka korelasi r tersebut diuji dengan uji t. Dengan tingkat signifikansi 5 persen, df=N-2 atau 45-2=43, diperoleh t tabel +1,6811, sedangkan dengan tingkat signifikansi 10 persen, df=N-2 atau 45-2=43, diperoleh t tabel +1,3016. Hasil angka korelasi r dan t hitung juga menunjukkan t hitung > t tabel, sehingga kesimpulannya valid. Selanjutnya, uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai Cronbach Alpha. Menurut Nunally (1967) suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha > 0,6 (lihat Ghozali, 2006:42). Hasil perhitungan nilai Cronbach Alpha sebesar 0,737 > 0,6; kesimpulannya adalah item-item tersebut reliabel. 3.6.2 Uji Statistik Z dan t. Nilai rata-rata matematik tingkat kepuasan konsumen rumah sakit sebesar 6,6016 yang berarti “cukup memuaskan” ( X > 6,500). Untuk itu, perlu diuji apakah pasien juga “cukup puas” secara statistik atau tidak. 3.6.2.1. Uji Statistik Z. Untuk sampel 45 buah (N>30), uji Z dengan tingkat signifikansi 5 persen, uji satu sisi (one-tailed test) diperoleh Z tabel +1,645. Item yang memiliki Zhitung > Ztabel dan menunjukkan bahwa pasein “cukup puas” atas indikator keunggulan rumah sakit, di antaranya (1) asuransi kesehatan (dimensi affordability), (2) kamar dan toilet (dimensi accommodation), (3) lingkungan nyaman 12
(dimensi accommodation), (4) dokter/perawat profesional (dimensi acceptability), (5) petugas ramah (dimensi acceptability); (6) reputasi rumah sakit (dimensi acceptability); dan (7) prosedur mudah (dimensi acceptability). 3.6.2.2 Uji Statistik t. Hasil uji t masing–masing rumah sakit (n=15), uji satu sisi (one-tailed test) diperoleh t tabel (5 persen, df 14) sebesar +1,7613. Nilai thitung masing-masing item indikator per rumah sakit berikut ini. Tabel 3.7 Uji t Item Kepuasan Konsumen Per Rumah Sakit No. Item
Uraian
RS PMI
Item_1 Tempat tidur Item_2 Pelayanan lengkap Item_3 Lokasi strategis Item_4 Lokasi dekat dan mudah dijangkau Item_5 Asuransi kesehatan Item_6 Layanan terjangkau Item_7 Tempat parker Item_8 Kamar dan toilet Item_9 Lingkungan nyaman Item_10 Menu makanan Item_11 Dokter/perawat professional Item_12 Petugas ramah Item_13 Reputasi baik Item_14 Prosedur mudah Sumber: Hasil Penelitian (diolah)
RS Salak
RS Marzoeki Mahdi
Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak
Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak
Ho ditolak
Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak
Konsumen/pasien pada masing-masing rumah sakit di Kota Bogor menyatakan “cukup puas” atas indikator keunggulan rumah sakit dengan kinerja RS PMI berada pada urutan teratas. 3.6.3
Competitive Benchmarking Analysis. Dalam tabel 3.8 masing-masing
indikator bisa dibuat benchmark-nya untuk mengidentifikasi rumah sakit mana yang unggul pada indikator tertentu. Rumah sakit yang lain dapat belajar dari rumah sakit yang memiliki keunggulan tiap indikator. Berdasarkan
tingkat
kendalinya (controllability), keempat belas indikator
tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu controllable, semicontrollable dan uncontrollable. Indikator yang controllable meliputi (1) pelayanan lengkap, (2) asuransi kesehatan, (3) layanan terjangkau, (4) tempat parkir, (5) kamar dan toilet, (6) lingkungan nyaman, (7) menu makanan, (8) dokter/perawat profesional, (9) petugas ramah, (10) reputasi baik, dan (11) prosedur mudah. Indikator yang bersifat semicontrollable adalah jumlah tempat tidur. Adapun indikator yang berada di luar 13
kendali (uncontrollable) masing-masing rumah sakit terdiri dari 2 buah, yaitu: (1) lokasi yang strategis dan (2) lokasi dekat dan mudah dijangkau. Tabel 3.8 Hasil Competitive Benchmarking Analysis Terhadap Properti Rumah Sakit FAKTOR YANG DINILAI
Tempat tidur Pelayanan lengkap Lokasi strategis Lokasi dekat dan mudah dijangkau Asuransi kesehatan Layanan terjangkau Tempat parkir Kamar dan toilet Lingkungan nyaman Menu makanan Dokter/perawat profesional Petugas ramah Reputasi baik Prosedur mudah
TERTINGGI
0,22951 0,07869 0,07869 0,19672 0,39344 0,15738 0,28852 0,36721 0,40656 0,24590 0,62295 0,62295 0,35410 0,30164
RS SEBAGAI BENCHMARK
RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A RS A
RS B RS B RS B RS B RS B
RS C RS C RS C RS C
RS B RS B RS B RS B
RS C RS C RS C
Keterangan: RS A : RS PMI RS B : RS Salak RS C : RS Marzoeki Mahdi Sumber: Hasil Penelitian (diolah)
Dari 3 rumah sakit yang melayani Askeskin, RS PMI (A) memiliki semua indikator keunggulan. RS Salak (B) memiliki 7 indikator keunggulan, dan RS Marzoeki Mahdi (C) memiliki 5 indikator keunggulan. Dari keseluruhan aspek (indikator keunggulan) tersebut, semua rumah sakit harus tetap mempertahankan keunggulan yang ada dan meningkatkan indikator yang masih memerlukan perbaikan. Mengingat Kota Bogor memiliki rasio tingkat ketersediaan properti rumah sakit yang masih memadai, penambahan jumlah tempat tidur tampaknya bukan pilihan yang tepat saat ini. Untuk itu, bila rumah sakit ingin tetap bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat, faktor intangible realty project/program yang merupakan keunggulan rumah sakit (minimal sesuai dimensi akses) di atas harus dipertahankan dan dikembangkan. Hal di tersebut selaras dengan kunci keberhasilan keperawatan kesehatan di Singapura, yang dikenal dengan 3-C (Koran Sindo, 14 Juni 2008) yaitu care quality (kualitas perawatan), convenience (kenyamanan), dan cost (biaya).
14
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Beberapa kesimpulan dipaparkan di bawah ini. 1. Tingkat ketersediaan properti rumah sakit di Kota Bogor tahun 2008 adalah: a) rasio jumlah rumah sakit terhadap jumlah penduduk sebesar 4:500.000 masih di bawah standar/target Departemen Kesehatan, b) rasio jumlah tempat tidur rumah sakit terhadap jumlah penduduk sebesar 104:100.000, melampaui standar/target Departemen Kesehatan, c) rasio jumlah tempat tidur rumah sakit terhadap jumlah penduduk miskin sebesar 176:100.000, melampaui standar/target Departemen Kesehatan. Artinya, saat ini belum diperlukan penambahan jumlah tempat tidur rumah sakit, baik untuk penduduk secara keseluruhan maupun penduduk miskin. Namun, dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk 2,85 persen per tahun, tanpa penambahan jumlah tempat tidur, Kota Bogor akan kekurangan jumlah tempat tidur rumah sakit pada tahun 2018. Bahkan, dengan asumsi 20 persen dari pasien RS di Kota Bogor berasal dari penduduk luar Kota Bogor, kekurangan jumlah tempat tidur pada tahun 2012. 2. Berdasarkan model gravitasi Joseph dan Bantock, aksesibilitas total penduduk ke-45 kelurahan (66,18 persen) memiliki aksesibilitas spasial yang rendah. Adapun tingkat aksesibilitas spasial penduduk miskin terhadap properti rumah sakit adalah terdapat 35 kelurahan (51,47 persen) memiliki aksesibilitas spasial yang rendah. Hal ini digambarkan juga dengan rumus Relative Accessibility (RA) bahwa distribusi tingkat akses total penduduk secara spasial maupun RA tingkat akses penduduk miskin secara spasial, akses terendah berada di Bogor Selatan, sedangkan akses tertinggi ditempati Bogor Tengah. 3. Dengan uji statistik Z, secara umum pasien “cukup puas” terhadap dimensi akses yang merupakan indikator keunggulan rumah sakit yang melayani Askeskin di Kota Bogor, yaitu indikator (1) asuransi kesehatan, (2) kamar dan toilet, (3) lingkungan nyaman, (4) dokter/perawat profesional, (5) petugas ramah, dan (6) reputasi rumah sakit. Dengan uji statistik t, pernyataan “cukup puas” pasien masing-masing rumah sakit yang paling banyak dimiliki RS PMI.
15
Dengan competitive benchmarking analysis, indikator keunggulan rumah sakit yang controllable juga paling banyak dimiliki oleh RS PMI. 4.2 Saran Berkaitan dengan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan berikut ini. 1. Pemerintah Kota Bogor (Dinas Kesehatan) hendaknya tetap mempertahankan rasio jumlah tempat tidur rumah sakit terhadap jumlah penduduk dan tetap melakukan pengawasan agar rumah sakit tetap menjaga kualitas dan kinerjanya, meskipun rasio tingkat ketersediaan fasilitas rumah sakit telah melampaui target Departemen Kesehatan, termasuk penyediaan tempat tidur yang melayani penduduk miskin juga tetap bermutu. Pengawasan rumah sakit dapat dilakukan dengan cara penerapan standar pelayanan yang dapat mengadopsi dimensi akses yang merupakan indikator keunggulan rumah sakit dan monitoring secara berkala kepada masing-masing rumah sakit oleh Dinas Kesehatan. Pengelola rumah sakit perlu mengembangkan dimensi intangible agar bisa berkompetisi dengan rumah sakit lain karena rasio jumlah tempat tidur saat ini masih memadai. Dimensi yang perlu dikembangkan harus ditujukan untuk meningkatkan kepuasan konsumen dan kepuasan kerja pegawai. Bentuk peningkatan kepuasan konsumen di antaranya kepedulian sosial kepada masyarakat sekitar, sedangkan peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan pemberian insentif bagi pegawai yang berprestasi. Pemerintah Kota Bogor dan pengelola rumah sakit maupun investor perlu mengantisipasi kemungkinan penambahan rumah sakit sebanyak 2 buah dan jumlah tempat tidur 100 buah sebelum tahun 2018. 2. Dalam rangka mengantisipasi kekurangan supply jumlah tempat tidur rumah sakit sebelum tahun 2018, Pemerintah Kota Bogor maupun calon investor hendaknya mempertimbangkan wilayah kelurahan yang memiliki aksesibilitas spasial rendah ketika melakukan pengembangan rumah sakit ke depan sehingga terdapat pemerataan
pelayanan
kesehatan.
Perencanaan
pengembangan
realty
project/program rumah sakit di Kota Bogor dapat dipilih lokasi yang rendah aksesibilitas spasialnya, yaitu wilayah di Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sereal, dengan tetap mempertimbangkan tata kota.
16
3. Berdasarkan competitive benchmarking analysis, masing-masing rumah sakit dapat belajar dari rumah sakit yang memiliki indikator unggul sebagai benchmark bagi manajer properti rumah sakit yang lain. Secara umum, rumah sakit yang lain dapat belajar banyak dari RS PMI. Tindak lanjut peningkatan indikator keunggulan rumah sakit yang controllable dapat dilakukan sesuai dimensi akses terkait. Pengelola rumah sakit juga dapat belajar kunci keberhasilan keperawatan kesehatan di Singapura, yang dikenal dengan 3-C yaitu care quality (kualitas perawatan), convenience (kenyamanan), dan cost (biaya). DAFTAR PUSTAKA American Institute of Real Estate Appraissal/AIREA, 2001, “The Appraisal of Real Estate”, 12th Edition, Chicago, Illinois. Arifin, Johar dan Heru Adi Prasetya, 2006, Manajemen Rumah Sakit Modern Berbasis Komputer, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2005. Profil Kota Bogor 2004. Bogor ------------. 2007. Kota Bogor dalam Angka 2006. Bogor. Bagheri, Nasser, George L. Benwell dan Alec Holt. 2005. “Measuring Spatial Accessibility to Primary Health Care”, The 17th Annual Colloquium of the Spatial Information Research Centre, University of Otago, Dunedin, New Zealand, 24-25 November 2005, diakses dari (http://eprints.otago.ac.nz/ 349/01/12_bagheri.pdf) ------------. 2006. “Primary Health Care Accessibility for Rural Otago: ‘A Spatial Analysis’”, Health Care & Informatics Review Online, 1 September 2006. Bayuaji, 2007, “Analisis Aksesibilitas Spasial Rumah Sakit di Kabupaten Kebumen”, Tesis S2, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Benjamin, John D., Peter Chinloy and Isaac F. Megbolugbe. 2007. “Hospitals: The Market for Health Care Facilities”, Real Estate Economics, Volume 35:113, 119. Bintarto, R., 1983, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001: Menuju Indonesia Sehat 2010. Departemen Kesehatan, Jakarta.
17
------------. 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat Dan Kabupaten/Kota Sehat: Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003. Departemen Kesehatan, Jakarta. Ghozali, Imam, 2006, Aplikasi Analisis Mutivariate dengan Program SPSS, BP Universitas Diponegoro, Semarang. Guagliardo, Mark F., 2004, “Spatial Accessibility of Primary Care: Concepts, Methods and Challenges”, International Journal of Health Geographics, Volume 3, diakses dari (http://www.ij-healthgeographics.com/ content/3/1/3), 2 Januari 2008. Hanink, Dean M., 1997, Principles and Applications of Economic Geography: Economy, Policy, Environment. John Wiley & Sons, Inc. Hirshleifer, Jack dan Glazer Amihai, 1992, Price Theory and Application, Fifth Edition, Prentice Hall, USA. Koran Sindo, 2008, “Soal Perawatan Kesehatan, Tenang, kita punya 3-C”14 Juni 2008. Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI 2002), 2002, Standar Penilai Indonesia (SPI). Kuncoro, Mudrajad, 2003, Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi, Bagaimana Meneliti & Menulis Tesis, Erlangga, Jakarta. Ryan, M., A. Bate, C. J. Eastmond, dan A. Ludbrook, 2001, “Use of Discrete Choice Experiments to Elicit Preferences”, Quality in Health Care, Volume 10:55-60. Sabarguna, Boy S., 2004, Pemasaran Rumah Sakit. Konsorsium Rumah Sakit JatengDIY, Yogyakarta. ------------ 2005, Analisis Pemasaran Rumah Sakit. Konsorsium Rumah Sakit JatengDIY, Yogyakarta. Saleh, Samsubar, 2001, Statistik Induktif, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Santoso, Singgih, 2002, Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Sekaran, Uma, 2006, Research Methods for Business, edisi keempat, Salemba Empat, Jakarta. Suryawati, C., Dharminto, Zahroh Shaluhiyah, 2006, “Penyusunan Indikator Kepuasan Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Di Provinsi Jawa Tengah,”, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Volume 09:177-184.
18
Susilowati, 2006, “Ketidakmerataan Akses Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan di Indonesia”, Disertasi S3, Ilmu Kesehatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Unal, Eda, Susan E. Chen, and Brigitte S. Waldorf, 2007, “Spatial Accessibility Of Health Care In Indiana”, Dept. of Agricultural Economics Purdue University, Working Paper #07-07 April 2007 di akses dari (http://www. purdue.edu/locate/healthplace), 5 Februari 2008 Wang, Fahui and Wei Luo, 2005, “Assessing Spatial And Nonspatial Factors For Healthcare Access: Towards An Integrated Approach to Defining Health Professional Shortage Areas”, Health and Place, Volume 11: 131-146, diakses dari (http://www.elsevier.com/locate/healthplace), 5 Februari 2008. Wind, Yoram and Lawrence K. Spitz, 1976, ”Analytical Approach to Marketing Decisions in Health-Care Organizations”, Operation Research, 24 (5), 973-990.
19