TUGAS AKHIR -MN 141581
ANALISA RISIKO TERJADINYA KERUSAKAN KAPAL PADA PROSES PENURUNAN DENGAN METODE AIRBAG
TRI SUKRISNA WISNAWA NRP 4112 100 100
Dosen Pembimbing : Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc Imam Baihaqi, S.T., M.T
DEPARTEMEN TEKNIK PERKAPALAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017 i
TUGAS AKHIR -MN 141581
ANALISA RISIKO TERJADINYA KERUSAKAN KAPAL PADA PROSES PENURUNAN DENGAN METODE AIRBAG
TRI SUKRISNA WISNAWA NRP 4112 100 100 Dosen Pembimbing : Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc Imam Baihaqi, S.T., M.T
DEPARTEMEN TEKNIK PERKAPALAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
i
FINAL PROJECT -MN 141581
RISK ANALYSIS OF SHIP DAMAGE DUE TO LAUNCHING USING AIR BAG METHOD
TRI SUKRISNA WISNAWA NRP 4112 100 100 Supervisors : Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc Imam Baihaqi, S.T., M.T
DEPARTMENT OF NAVAL ARCHITECTURE & SHIPBUILDING ENGINEERING Faculty of Marine Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2017 ii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini berisi tentang analisa risiko terjadinya kerusakan kapal pada proses penurunan dengan metode airbag. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir, yaitu : 1.
Bapak Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc dan Bapak Imam Baihaqi, S.T., M.T selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan ilmu dan arahan dalam pengerjaan tugas akhir ini. 2. Bapak Dr. Ir. Heri Supomo, M.Sc yang telah membantu penulis, memberikan ilmu dan masukan untuk terselesaikannya tugas akhir ini. 3. Dosen-dosen Jurusan Teknik Perkapalan khususnya bidang industri perkapalan yang telah turut membantu dalam memberikan ilmu dan bimbingannya selama di bangku perkuliahan. 4. Ir. Wasis Dwi Aryawan, M.Sc., Ph.D selaku ketua Jurusan Teknik Perkapalan yang telah memberikan motivasi dan inspirasi hingga terselesaikannya tugas akhir ini. 5. Bapak Daniel selaku pemilik salah satu perusahaan airbag di Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan inspirasi di dalam mengerjakan tugas akhir ini. 6. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir. 7. Norberta Yekti Setya Nastiti yang senantiasa tiada lelah memberikan moral dan motivasi sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. 8. Seluruh teman-teman P52-Forecastle yang saling mendukung dan memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 9. Teman-teman kontrakan seperjuangan yang selalu memberikan penulis semangat dan memberikan inspirasi bagi penulis. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dalam penyusunan laporan Tugas Akhir ini, penulis masih merasa ada banyak kekurangan pada materi maupun penulisan. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan dalam rangka perbaikan untuk penulis. Penulis juga berharap semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan referensi kepada pembaca maupun penulis sendiri untuk kebutuhan penelitian yang akan datang.
Surabaya, 24 Januari 2017
Penulis
v
ANALISA RISIKO TERJADINYA KERUSAKAN KAPAL PADA PROSES PENURUNAN DENGAN METODE AIRBAG
Nama Mahasiswa
: Tri Sukrisna Wisnawa
NRP
: 4112100100
Departemen/ Fakultas : Teknik Perkapalan/ Fakultas Teknologi Kelautan Dosen Pembimbing
: 1. Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc 2. Imam Baihaqi, S.T., M.T
ABSTRAK Penurunan kapal dengan metode airbag memiliki potensi risiko yang besar terhadap dampak pada kerusakan kapal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan masih adanya kecelakaan penurunan kapal dengan metode airbag. Sehingga sampai saat ini belum ada badan asuransi yang berani menanggung risiko pada peluncuran kapal menggunakan airbag. Oleh karena itu pada tugas akhir ini dilakukan analisa risiko kerusakan kapal pada proses peluncuran dengan metode airbag. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses perhitungan yang benar, risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi dan apa rekomendasi preventif (pencegahan) yang diberikan agar risiko tersebut berkurang atau bahkan hilang pada proses peluncuran kapal dengan metode airbag. Metode yang digunakan dalam menganalisa risiko kejadian didapatkan berdasarkan dari beberapa langkah pengerjaan. Pertama, adalah mengidentifikasi faktor-faktor risiko. Kedua, mengidentifikasi bahaya sehingga dampak risiko dapat diketahui. Ketiga, melakukan evaluasi risiko berdasarkan penilaian kuantitatif pada tingkat probabilitas dan tingkat keparahan. Terakhir, hasil dari penilaian risiko dimitigasi dengan memisahkan mana risiko yang dapat diterima dan mana risiko yang harus diberikan tindakan. Pada proses identifikasi akar permasalahan (root cause) dilakukan dengan bantuan Fault Tree Analysis, dimana identifikasi dilakukan dengan diawali asumsi kegagalan peluncuran (top event) kemudian penyebab kegagalan dirinci hingga sampai pada suatu kegagalan dasar. Rekomendasi preventif diberikan berdasarkan dari akar permasalahan yang muncul. Pada proses perhitungan digunakan kapal kontainer 100 TEUs sebagai referensi kapal yang akan diluncurkan dengan metode airbag. Dengan berat peluncuran 1156.94 ton dibutuhkan airbag sebanyak 20 buah dengan diameter 1 meter dan bearing capacity sebesar 16.66 ton/m. Kapasitas winch yang dibutuhkan untuk menahan kapal tersebut adalah 795.4 kN. Gaya angkat buritan terjadi setelah langkah 7 dan terapung bebas setelah langkah 8. Sedangkan pada identifikasi risiko dilakukan berdasarkan periode peluncuran. Untuk periode 1 pada kondisi kritis kapal bisa anjlok, untuk periode 2 kapal membentur landasan atau badan kapal bisa patah sedangkan untuk periode 3 pada kondisi kritis kapal bisa karam atau kapal bisa mengalami dropping. Dari hasil identifikasi akar permasalahan yang dilakukan dengan Fault Tree Analysis, didapatkan 11 rekomendasi preventif yang harus dilakukan pada proses penurunan kapal dengan metode airbag.
Kata kunci : penurunan kapal, metode airbag, risiko, kerusakan kapal vi
RISK ANALYSIS OF SHIP DAMAGE DUE TO LAUNCHING USING AIR BAG METHOD Name
: Tri Sukrisna Wisnawa
ID Number
: 4112100100
Department/Faculty Technology
: Naval Architecture and Shipbuilding Engineering/ Marine
Supervisors
: 1. Ir. Triwilaswandio W.P., M.Sc 2. Imam Baihaqi, S.T., M.T
ABSTRACT Ship’s launching with airbags method has a big risk potential to cause damages to the ship itself. That fact can be proven with so many accidents while the ship is undergoing the process of ship launching with airbags method. So that, until now there hasn’t been any insurance firm that brave enough to guarantee the risk ship launching with airbags. Therefore, in this final project has a goal to analyze the risk ship’s damage due to launching with airbag method. And also to find out how to calculate the process correctly, what are the risks that can occure and to give preventive recommendations to decrease even depive the risks. The method that has been used to analyze the risks can be obtained based on work steps. Firstly, identify the factors of risk. Secondly, identify hazard so that the impact can be discovered. Thirdly, evaluate the risks based on quantitative assessment at level of probabilities and severities. In the end, the result of risk assesments have to be mitigated and divided which risks can be allowed and which risks shall be prevented. The identification process of root causes can be done with Fault Tree Analysis method, where identification process started with assumption of launching failure, and then the failure causes sorted until the root causes. Preventive recommendation given based on root cause that occurs. The launching calculation process is using container ship 100 TEUs as a reference. With weight of launching 1156.94 ton, needed 20 pcs airbag to launch that ship. The diameter of airbag is 1 m with bearing capacity 16.66 ton/m. The capacity of winch which is needed to hold the ship is 795.4 kN. Stern lift force happened after step 7th and free floating phase happened after step 8th. Meanwhile, the risk identification has been done based on launching period. For first period, critical condition can cause ship plummet from airbag to the ground, for second period the ship hits rampway or causing fracture to the hull, and for third period the ship can be sinkimg or dropping. From root cause identification results that has been done with Fault Tree Analysis, obtained 11 preventive recommendation that shall be done to ship’s launcing with airbags method.
Keywords: Ship launching, airbag method, risk, ship’s damage vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................iii LEMBAR REVISI ..................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ................................................................................................................ v ABSTRAK................................................................................................................................. vi ABSTRACT ............................................................................................................................. vii DAFTAR ISI ...........................................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................. xi DAFTAR TABEL ...................................................................................................................xiii BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
I.1
Latar Belakang ............................................................................................................. 1
I.2
Perumusan Masalah ..................................................................................................... 2
I.3
Tujuan Penelitian ......................................................................................................... 2
I.4
Manfaat Penelitian ....................................................................................................... 2
I.5
Batasan Masalah .......................................................................................................... 2
I.6
Hipotesis ...................................................................................................................... 3
I.7
Sistematika Laporan..................................................................................................... 3
I.8
Sistematika Penulisan .................................................................................................. 4
BAB II II.1
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7 Metode Penurunan Kapal ............................................................................................. 7 Metode Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag ..................................... 8 Perhitungan Jumlah dan Jarak Airbag yang Dibutuhkan ..................................... 9
II.2
Regulasi Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag ........................................ 11 Klasifikasi Airbag ............................................................................................... 11 Material Airbag................................................................................................... 13 Standard Pengujian Airbag ................................................................................. 14 Maintenance Airbag ........................................................................................... 19
II.3
Peluncuran Kapal Menggunakan Airbag ................................................................... 19 Kurva Bonjean .................................................................................................... 20 Perhitungan Peluncuran Kapal dengan Metode Airbag ..................................... 22
II.4
Risiko dan Manajemen Risiko ................................................................................... 25 Pengertian Risiko................................................................................................ 25 Manajemen Risiko .............................................................................................. 29
II.5
Macam-Macam Metode Identifikasi Risiko .............................................................. 32 Job Safety Analysis (JSA) ................................................................................... 32 viii
Hazard and Operability Study (HAZOPS) ......................................................... 33 Risk Based Inspection (RBI)............................................................................... 33 What if / Check List ............................................................................................ 33 Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) ...................................................... 34 Fault Tree Analysis (FTA) ................................................................................. 34 Event Tree Analysis (ETA) ................................................................................. 34 Action Error Area (AEA) ................................................................................... 34 Job Hazard Analysis (JHA) ................................................................................ 34 II.6 BAB III III.1
Metode Identifikasi Risiko dengan Fault Tree Analysis (FTA) ................................ 35 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 39 Tahap Persiapan ......................................................................................................... 39 Identifikasi dan Perumusan Masalah .................................................................. 39 Studi Penelitian ................................................................................................... 39
III.2
Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data................................................................ 40
III.3
Tahap Analisa dan Pembahasan................................................................................. 40
III.4
Tahap Penarikan Kesimpulan .................................................................................... 40
III.5
Flow Chart Metodologi Penelitian ............................................................................ 41 Tahap Persiapan.................................................................................................. 42 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data ........................................................ 43 Tahap Analisis dan Pembahasan ........................................................................ 44 Tahap Penarikan Kesimpulan ............................................................................. 44
BAB IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL DENGAN AIRBAG .................................................................................................................. 47 IV.1 Informasi Teknis Airbag ............................................................................................ 47 Data Spesifikasi Airbag ...................................................................................... 47 Daya Tampung Maksimal Airbag dalam Menahan Beban ................................ 51 IV.2 Informasi Teknis yang Harus Dipenuhi Di dalam Peluncuran Menggunakan Airbag ................................................................................................................................... 52 Pengaturan Pemasangan Airbag ......................................................................... 53 Alat Bantu Peluncuran Kapal Menggunakan Airbag ......................................... 54 IV.3 Perhitungan Peluncuran Kapal Kontainer .................................................................. 56 Gambar Konstruksi Kapal Kontainer 100 TEUs ................................................ 57 Membuat Model Linesplan di Maxsurf .............................................................. 59 Menghitung Luas CSA Kapal Kontainer 100 TEUs .......................................... 65 Perhitungan Peluncuran Kontainer 100 TEUs dengan Airbag ........................... 67 IV.4 Identifikasi Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag ....................... 75 Kondisi Landasan ............................................................................................... 77 Water Level (Kedalaman Air Diujung Landasan) .............................................. 79 ix
Holding System (Sistem Penahan Kapal) ........................................................... 82 IV.5 Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag .......................... 83 Identifikasi Bahaya ............................................................................................. 83 Evaluasi Risiko ................................................................................................... 85 BAB V V.1
ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG ........ 91 Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag ......................................... 91 Simulasi Kondisi Kemungkinan Airbag Mengalami Pecah ............................... 91 Analisa Risiko Penurunan Kapal Pada Saat Airbag Pecah................................. 99 Identifikasi Risiko dengan FTA ....................................................................... 109
V.2
Rekomendasi Preventif Risiko ................................................................................. 114 Periode 1 ........................................................................................................... 114 Periode 2 ........................................................................................................... 117 Periode 3 ........................................................................................................... 119
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 123
VI.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 123 VI.2 Saran ........................................................................................................................ 124 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 125 LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 Skema landasan peluncuran kapal ......................................................................... 8 Gambar II.2. Panjang kontak antara airbag dan alas kapal (Ld) .............................................. 10 Gambar II.3 Airbag yang mendapat tekanan ............................................................................ 11 Gambar II.4 Struktur airbag ..................................................................................................... 12 Gambar II.5 Uji kompresi airbag ............................................................................................. 16 Gambar II.6 Hasil uji kompresi pada airbag QG6 (ø1.2m) ..................................................... 17 Gambar II.7 Hasil uji bearing capacity pada airbag QG6 (ø1.2m) ......................................... 18 Gambar II.8 Contoh kurva bonjean .......................................................................................... 21 Gambar II.9 Kurva bonjean dalam kapal mengalami trim ....................................................... 21 Gambar II.10. Gambaran gaya yang bekerja pada proses peluncuran ..................................... 24 Gambar II.11. Proses manajemen risiko ................................................................................... 30 Gambar II.12 Contoh penggunaan FTA ................................................................................... 38 Gambar III.1 Flow chart tugas akhir ........................................................................................ 41 Gambar III.2 Flow chart tahap persiapan................................................................................. 42 Gambar III.3 Flow chart tahap pengumpulan dan pengolahan data ........................................ 43 Gambar III.4 Flow chart analisa dan pembahasan ................................................................... 44 Gambar III.5 Flow chart penarikan kesimpulan ...................................................................... 44 Gambar IV.1 Beban maksimum airbag ................................................................................... 52 Gambar IV.2 Penyusunan airbag metode cross over ............................................................... 54 Gambar IV.3 Penyusunan airbag metode 2 baris..................................................................... 54 Gambar IV.4 Contoh penggunaan winch pada peluncuran kapal ............................................ 55 Gambar IV.5 General arrangement kontainer 100 TEUs ........................................................ 57 Gambar IV.6 Construction profile kapal kontainer 100 TEUs ................................................ 58 Gambar IV.7 Midship Section kapal kontainer 100 TEUs ....................................................... 59 Gambar IV.8 Sample design yang dipilih ................................................................................. 60 Gambar IV.9 Data kurva hidrostatik sample design................................................................. 61 Gambar IV.10 Tampilan window Frame of Reference Maxsurf .............................................. 62 Gambar IV.11 Tampilan kurva hidrostatik baru ...................................................................... 63 Gambar IV.12 Tampilan window Grid Space pada Maxsurf ................................................... 64 Gambar IV.13 Tampilan Space Stations .................................................................................. 64 Gambar IV.14 Tampilan body plan pada Maxsurf ................................................................... 65 Gambar IV.15 Tampilan window luas station 9 dan 10 pada autocad ..................................... 65 xi
Gambar IV.16 Kurva bonjean kontainer 100 TEUs ................................................................. 67 Gambar IV.17 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 1........................................................... 70 Gambar IV.18 Gaya yang bekerja pada periode 2.................................................................... 71 Gambar IV.19 Gaya yang bekerja pada awal periode 3 ........................................................... 72 Gambar IV.20 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 3 ........................................................... 73 Gambar IV.21 Kuva peluncuran kontainer 100 TEUs ............................................................. 75 Gambar IV.22 Kondisi landasan tidak sesuai standard ........................................................... 78 Gambar IV.23 Haluan kapal menghantam landasan ................................................................ 79 Gambar IV.24 Bagian haluan terangkat ................................................................................... 80 Gambar IV.25 Haluan kapal menghantam landasan ................................................................ 81 Gambar IV.26 Bekas benturan haluan kapal dengan landasan ................................................ 81 Gambar IV.27 Sistem penahan kapal yang buruk .................................................................... 82 Gambar V.1 Simulasi pada kondisi 1 ....................................................................................... 92 Gambar V.2 Simulasi pada kondisi 2 ....................................................................................... 95 Gambar V.3 Simulasi pada kondisi 3 ....................................................................................... 97 Gambar V.4 Ilustrasi airbag pecah pada sistem pemasangan airbag selebar kapal .............. 101 Gambar V.5 Airbag pecah pada kapal yang belum diluncurkan ............................................ 103 Gambar V.6 Airbag pecah saat kapal diluncurkan ................................................................. 104 Gambar V.7 Kapal mengalami jungkit ................................................................................... 105 Gambar V.8 Kapal dropping (haluan menghantam landasan) ............................................... 106 Gambar V.9 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah berurutan) ................................. 107 Gambar V.10 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah satu sisi kapal) ........................ 107 Gambar V.11 Seluruh airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal .................................. 108 Gambar V.12 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA .................... 110 Gambar V.13 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan periode 2) ................................................................................................................................ 112 Gambar V.14 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan periode 3) ................................................................................................................................ 113
xii
DAFTAR TABEL Tabel II.1 Model dan tipe daripada airbag ............................................................................... 12 Tabel II.2 Requirements material karet .................................................................................... 13 Tabel II.3 Parameter performa airbag ...................................................................................... 15 Tabel II.4 Istilah dan simbol dalam Fault Tree Analysis ......................................................... 37 Tabel IV.1 Spesifikasi airbag 3 lapisan (layers) ...................................................................... 48 Tabel IV.2 Spesifikasi airbag dengan 5 lapisan (layers) ......................................................... 49 Tabel IV.3 Spesifikasi airbag dengan 6 lapisan (layers) ......................................................... 50 Tabel IV.4 Spesifikasi airbag dengan 7 lapisan (layers) ......................................................... 51 Tabel IV.5 Jarak minimum antar airbag .................................................................................. 53 Tabel IV.6 Data yang diperlukan untuk perhitungan ............................................................... 56 Tabel IV.7 Ukuran utama kontainer 100 TEUs ........................................................................ 68 Tabel IV.8 Berat peluncuran .................................................................................................... 68 Tabel IV.9 Spesifikasi airbag yang digunakan ........................................................................ 69 Tabel IV.10 Identifikasi risiko pada peluncuran kapal menggunakan airbag ......................... 76 Tabel IV.11 Identifikasi bahaya ............................................................................................... 83 Tabel IV.12 Deskripsi tingkat probabilitas............................................................................... 85 Tabel IV.13 Kriteria tingkat probabilitas ................................................................................. 86 Tabel IV.14 Tingkat severity (keparahan) ................................................................................ 86 Tabel IV.15 Penilaian masing-masing risiko ........................................................................... 87 Tabel IV.16 Peta risiko probabilitas dan severity kejadian ...................................................... 88 Tabel IV.17 Manajemen risiko yang dilakukan ....................................................................... 89 Tabel V.1 Distribusi beban airbag pada kondisi 1 ................................................................... 94 Tabel V.2 Distribusi beban airbag pada kondisi 2 ................................................................... 96 Tabel V.3 Distribusi beban airbag pada kondisi 3 ................................................................... 98 Tabel V.4 Rekomendasi preventif pada periode 1 ................................................................. 114 Tabel V.5 Rekomendasi preventif pada periode 2 ................................................................. 117 Tabel V.6 Rekomendasi preventif pada periode 3 ................................................................. 119
xiii
BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Peluncuran kapal adalah langkah menurunkan kapal dari landasan peluncuran dengan
menggunakan gaya berat kapal atau dengan menggunakan gaya dorong tambahan. Tahapan ini juga termasuk dalam proses pembangunan kapal. Dengan demikian seiring perkembangan ilmu dan teknologi sekarang, galangan kapal telah menggunakan beberapa metode peluncuran kapal yang tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Metode peluncuran yang semakin sering digunakan di dunia perkapalan saat ini adalah fasilitas ship airbags atau peluncuran kapal dengan menggunakan kantung udara. Peluncuran kapal dengan menggunakan teknologi tersebut memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh metode-metode peluncuran kapal yang lain. Kelebihan yang sangat mendorong galangan kapal untuk mengaplikasikannya adalah fasilitas ini sangat hemat waktu, hemat beban kerja, fleksibel, mobilitas tinggi, tidak membutuhkan banyak perawatan dan tidak banyak asset yang tertanam pada galangan serta lebih ramah lingkungan. Airbags System ini pertama kali dikembangkan oleh bidang militer angkatan laut sebagai alat apung transportasi dan lifting peralatan berat. Airbag adalah balon bertekanan udara yang memiliki tekanan kerja tertentu untuk mengangkat beban yang disesuaikan dengan tekanan kerja menurut standar dan regulasi yang ada. Fasilitas ship airbags ini adalah peluncuran yang sangat mudah, sederhana, dan dapat menghemat waktu dan biaya. Tetapi apakah risiko penggunaan fasilitas airbag ini belum dapat ditentukan hingga sekarang. Bagaimana peluncuran kapal yang baik dan tidak baik. Presentase kegagalan peluncuran kapal pasti ada pada fasilitas peluncuran kapal dengan menggukan system kantung udara ini, meskipun dapat dikatakan bahwa metode peluncuran ini lebih aman dari metode peluncuran lainnya. Sebagai contoh kasus adalah terbaliknya Kapal Patroli Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) yang diduga akibat dari ketidakhati-hatian petugas di salah satu galangan kapal yang ada di Indonesia saat meluncurkan kapal dengan menggunakan airbag system. Hal tersebut tentunya akan sangat merugikan banyak pihak, bukan hanya pihak galangan namun pihak owner juga merasakan kerugian akibat dari terbaliknya kapal tersebut karena kapal yang dibangun akan semakin memakan banyak waktu. Ditambah lagi belum adanya pihak asuransi di Indonesia yang mau menanggung risiko dari peluncuran kapal dengan metode airbag ini. Kebanyakan dari perusahaan asuransi di Indonesia 1
hanya mampu menanggung risiko kerusakan badan kapal dan menjamin muatan yang dibawa kapal. Oleh karena itu perlunya memperhitungkan faktor apa saja dan seberapa besar risiko kegagalan yang dapat terjadi apabila menggunakan sistem peluncuran kantung udara. I.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa permasalahan yang aka diselesaikan
adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penurunan kapal yang benar dengan menggunakan metode airbag? 2. Risiko apa saja yang dapat terjadi di dalam peluncuran kapal dengan airbag ? 3. Bagaimana tindakan preventif (pencegahan) yang harus dilakukan pada peluncuran kapal menggunakan airbag ? I.3
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Melakukan perhitungan peluncuran kapal dengan menggunakan airbag. 2. Mengidentifikasi risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi saat peluncuran menggunakan fasilitas ship airbags. 3. Memberikan rekomendasi solusi atas risiko-risiko yang dapat terjadi dengan metode yang sudah ada.
I.4
Manfaat Penelitian Manfaat bagi akademisi : 1. Memberikan informasi teknis peluncuran kapal menggunakan airbag system. 2. Dapat memaksimalkan penggunaan fasilitas Ship Airbags dan meningkatkan produktivitas galangan. 3. Memberikan informasi risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi di dalam peluncuran sistem airbag. 4. Memberikan informasi pencegahan yang harus dilakukan terhadap risiko yang dapat terjadi pada metode penurunan kapal menggunakan airbag.
I.5
Batasan Masalah Pada tugas akhir ini ada beberapa batasan masalah, yaitu sebagai berikut : 1. Tugas akhir ini hanya fokus pada risiko yang dapat menyebabkan kerusakan pada kapal. 2. Pembahasan terbatas pada masalah operasional saja.
2
3. Proses perhitungan peluncuran kapal dengan metode airbag dilakukan berdasarkan pendekatan fisika dan rules yang ada. I.6
Hipotesis Pada proses peluncuran kapal menggunakan airbag terdapat beberapa kemungkinan
risiko yang dapat terjadi antara lain airbag tidak mampu menahan beban kapal atau terkena benda tajam sehingga pada proses peluncuran airbag mengalami pecah, selain itu kondisi landasan yang buruk, kurangnya kedalaman air pada ujung landasan peluncuran dan tidak memperhatikan pentingnya fungsi daripada alat bantu pada proses peluncuran kapal menggunakan airbag juga dapat menyebabkan peristiwa yang tidak diharapkan, yang dapat menyebabkan kerusakan pada kapal. I.7
Sistematika Laporan Sistematika laporan tugas akhir ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini berisi detail latar belakang dilakukannya penelitian tugas akhir ini,
perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya penelitian, batasan masalah yang menyangkut pembatasan serta asumsi yang diberikan, manfaat penelitian baik bagi pihak perusahaan maupun bagi penelitian, hipotesis awal dari penelitian dan sistematika dalam penulisan laporan dalam tugas akhir. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini berisi tentang berbagai referensi terkait proses peluncuran kapal menggunakan metode airbag, teori tentang manajemen risiko dan analisa risiko dan metode penilaian serta mitigasi risiko yang digunakan. Landasan teori yang digunakan untuk membantu pemahaman dalam pengolahan dan analisa data juga dicantumkan dalam tinjauan pustaka. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini berisi tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam mengerjakan tugas akhir, mulai dari tahap persiapan sampai ke penarikan kesimpulan. Dalam bab ini juga terdapat rencana tahapan penelitian atau kerangka pengerjaan dari tugas akhir yang ditampilkan dalam bentuk flow chart atau diagram alir.
3
BAB IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL DENGAN AIRBAG Pada bab ini berisi data-data yang berkaitan dengan objek penelitian yang diolah menggunakan metode tertentu yang sesuai dengan topik pembahasan tugas akhir. Dalam bab ini berisi perhitungan peluncuran kapal menggunakan airbag, identifikasi variabel risiko, pengolahan data menggunakan metode FTA pada proses maupun komponen yang berisiko. BAB V ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG Pada bab ini berisi mengenai analisa risiko terhadap hasil pengolahan data yang telah didapatkan dan dioleh sebelumnya. Analisa risiko ini dilakukan secara detail dan sistemastis mengenai hasil dari data yang yang sudah dikumpulkan dan dilakukan pengolahan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini berisi tentang kesimpulan yang ditarik dari hasil analisa dan pembahasan. Dimana kesimpulan diharapkan dapat menjawab tujuan permasalahan yang dicantumkan pada bab pendahuluan pada penelitian ini. Selain itu pada bab ini juga berisi saran yang dapat diberikan pada penelitian berikutnya supaya lebih berkembang. I.8
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam tugas akhir ini adalah sebagai berikut : Lembar Judul Lembar Pengesahan Kata Pengantar Abstrak Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Batasan Masalah 1.6 Hipotesis 1.7 Sistematika Laporan
4
1.8 Sistematika Penulisan Bab II TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Metode Penurunan Kapal 3.2 Regulasi Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag 3.3 Perhitungan Peluncuran Menggunakan Airbag 3.4 Risiko dan Manajemen Risiko Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Tahap Persiapan 3.2 Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3 Tahap Analisa dan Pembahasan 3.4 Tahap Penarikan Kesimpulan 3.5 Flow Chart Metodologi Penelitian Bab IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL DENGAN AIRBAG 4.1 Informasi Teknis Airbag 4.2 Informasi Teknis yang Harus Dipenuhi Di dalam Peluncuran Menggunakan Airbag 4.3 Perhitungan Peluncuran Kapal yang Diteliti 4.4 Identifikasi Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag 4.5 Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag Bab V ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG 5.1 Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag 5.2 Rekomendasi Preventif Risiko Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
5
Halaman ini sengaja dikosongkan.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
Metode Penurunan Kapal Peluncuran kapal dilakukan setelah pekerjaan kontruksi badan kapal, pemasangan
instalasi permesinan kapal dan pekerjaan di bawah garis air harus sudah selesai. Peluncuran adalah suatu tahapan dari proses pembangunan kapal yang secara potensial berbahaya (penuh risiko) sehingga harus direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Maka dari itu perilaku gerakan kapal selama peluncuran perlu diketahui untuk menjamin bahwa peluncuran tersebut dapat berlangsung dengan baik dan aman. Sistem peluncuran yang digunakan tergantung pada fasilitas yang tersedia pada galangan kapal itu sendiri. Peluncuran kapal pada umumnya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu : 1.
Peluncuran memanjang (end launching)
2.
Peluncuran melintang (side launching) Peluncuran memanjang adalah peluncuran dimana sumbu memanjang kapal tegak lurus
terhadap garis pantai dan biasanya kapal akan diluncurkan dengan buritan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan tujuan : 1. Linggi belakang tidak terbentur pada landasan 2. Pada waktu kapal masuk air, maka dapat mengurangi laju kecepatan luncur kapal. 3. Penambahan gaya angkat ke atas lebih cepat saat diluncurkan. Peluncuran melintang adalah peluncuran dimana sumbu memanjang kapal sejajar terhadap garis pantai. Peluncuran melintang biasanya digunakan saat jarak antara permukaan air dan landasan peluncuran itu sempit. Sedangkan untuk langkah awal dari perhitungan peluncuran adalah perlunya menghitung berat dan letak titik berat kapal yang akan diluncurkan dengan memperhatikan komponen-komponen berat satu per satu dan dengan memakai rumus momen sehingga letak titik berat pada kapal dapat diketahui. Berat ballast dan berat orang-orang dikapal serta berat peralatan juga harus diperhitungkan pada berat peluncuran. Kemudian menentukan letak titik berat kapal secara memanjang (LCG) dan letak titik secara meninggi (KG). Dikarenakan pada perhitungan peluncuran dilaksanakan beberapa langkah untuk menentukan volume displasemen pada bermacam-macam keadaan sarat air maka diperlukan suatu gambar kurva bonjean (Cahyo, 2014).
7
Metode Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag Airbags telah digunakan sejak 21 Januari 1981 pertama kali oleh perusahaan dok dan galangan kapal China yang berhasil meluncurkan kapal 60 DWT. Sampai saat ini, pengembangan teknologi airbags telah mencapai 15 kali dari teknologi airbags yang pertama kali digunakan dan telah mampu meluncurkan kapal dengan bobot 1.000 DWT - 55.000 DWT (Sitepu & Firu, 2012). Selain itu untuk meluncurkan kapal dari landasan dok menggunakan airbag dibutuhkan alat-alat bantu seperti tugboat, compressor, alat-alat angkat seperti crane, forklift, winch dan lain lain. Gambar II.1 adalah bagaimana gambaran daripada landasan peluncuran kapal menggunakan airbag.
Gambar II.1 Skema landasan peluncuran kapal (Sitepu & Firu, 2012) Gambar II.1 menjelaskan bagaimana skema dari landasan peluncuran kapal yang terdiri dari panjang landasan dok yang besarannya bisa mencapai 2-3 kali dari panjang kapal yang akan dibangun atau docking. Pada Gambar II.1 juga dijelaskan bahwa landasan peluncuran perlu dilakukan pengerukan dengan menyesuaikan akan kebutuhan kemiringan daripada landasan. Panjang landasan rampway merupakan jarak yang diperkirakan dari airbag pada ujung belakang (posisi pertama) hingga ujung landasan yang menyentuh air. Sedanngkan Lwe adalah panjang landasan peluncuran yang menyentuh air yang ditopang oleh tiang pancang untuk memastikan kekuatan pada landasan agar tidak jeblos. Kondisi landasan yaitu dari tanah, batu, split dan pasir yang dipadatkan dengan mesin giling (stum) dengan kepadatan minimal 2 kali tekanan kerja (working pressure) airbag sesuai dengan spesifikasi dan tabel performance yang tersedia. Untuk pengujiannya bisa dengan ditempatkannya ballast dengan berat yang dibutuhkan dan luas tanah 1 m 2, apabila tidak terjadi
8
penurunan struktur tanah maka landasan tersebut dapat digunakan atau dilakukannya pengecoran dengan cemen concrete. Untuk kemiringan sudut landasan rampway (α) umum digunakan untuk peluncuran 2.3o-2.6o (tan α > koefisien gaya gesek statis), dengan panjang water edge ke ujung rampway (Lwe) bawah garis air 6-8 m, sebagai tempat untuk peletakan airbag posisi pertama. Leveling kanan dan kiri secara melintang tidak lebih dari 8 cm (Sitepu & Firu, 2012). Perhitungan Jumlah dan Jarak Airbag yang Dibutuhkan Ship airbag adalah balon bertekanan udara yang mempunyai tekanan kerja tertentu untuk mengangkat beban yang disesuaikan dengan tekanan kerja menurut standart dan regulasi yang ada. Airbag terbuat dari bahan karet jenis rubber-elastomers, tahan gesek, tahan panas dengan cycles kelelahan lebih panjang dikombinasi dengan fiber/serat nylon. Kuat tekanan (tensile strength) pada karet ini antara 21-30 KN/helai (Haryani, 2013). Kebutuhan penggunaan airbag untuk berbagai tipe kapal berbeda-beda. Perbedaan penggunaan airbag untuk tipe-tipe kapal sangat dipengaruhi oleh berat kapal, panjang lunas, bentuk alas kapal dan panjang kontak antara airbag dengan alas kapal. Untuk kapal-kapal konvensional, jumlah airbag dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : ൌ ͳ
୕ଡ଼ୋ େଡ଼ୖଡ଼ୈ
ͳ
Persamaan (II.1)
Dimana, N
= Jumlah airbag
K1
= Nilai Konstanta 1.2~1.3
N1
= Tambahan jumlah airbag yang dibutuhkan, biasanya 2-4
Q
= Berat kapal yang akan dinaikkan (ton)
G
= Akselerasi gravitasi (m/s2)
CB
= Koefisien blok kapal
R
= Kekuatan bantalan airbag per satuan meter panjang dari airbag (kN/m)
LD
= Panjang kontak antara airbag dengan alas lambung kapal pada parallel middle body (m).
9
Gambar II.2. Panjang kontak antara airbag dan alas kapal (Ld) (ISO 14409, 2011) Jarak sumbu antar airbag diperhitungkan untuk mendapatkan kekuatan memanjang kapal dan untuk menghindari overlapping dari putaran airbag. Sesuai pada regulasi CB/T 37951996 Shipbuilding Industry Standard, PRC, jarak sumbu antar airbag adalah 2.85 < L/N-1 < 6 m seperti pada persamaan berikut : ିଵ
Persamaan (II.2)
ୈ
Persamaan (II.3)
ିଵ
ଶ
ͲǤͷ
Dimana, L = Panjang Lunas Kapal (m) N = Jumlah Airbag (pcs) D = Diameter Airbag (m) Fleksibilitas airbag terhadap landasan rampway merupakan kemampuan rolling airbag berdasarkan tekanan kerja airbag yang digunakan (CB/T, 1998). Berdasarkan Shipbuilding Industry Standard, PRC, nilai fleksibilitas airbag dapat ditentukan dengan menggunakan berikut : FA = P x Sa Dimana,
10
FA
= Fleksibilitas airbag
P
= Tekanan kerja airbag
Sa
= Kontak area airbag dengan landasan dok
Sa
= 3.14 x 0.5 x (D1-D2)
D1
= Diameter airbag
Persamaan (II.4)
D2 II.2
= Working height maksimal airbag saat menopang kapal
Regulasi Penurunan Kapal dengan Menggunakan Airbag Untuk saat ini regulasi yang mengatur peluncuran kapal menggunakan airbag terdapat
pada ISO 14409:2011. Pada peraturan tersebut dibahas definisi, klasifikasi, bahan dan ukuran (dimensi), item pengujian dan metode untuk airbag yang akan digunakan untuk keperluan peluncuran kapal. Standar Internasional ini dibuat untuk mengatur desain, manufaktur, pengujian dan airbag yang boleh digunakan.
Gambar II.3 Airbag yang mendapat tekanan (ISO 14409, 2011) Keterangan : D
= diameter airbag sebelum mendapat tekanan
H
= tinggi airbag setelah mendapatkan tekanan
W1
= lebar airbag yang mendapatkan kontak langsung dengan badan kapal
Gambar II.3 merupakan kondisi dimana airbag mendapatkan suatu tekanan dari beban yang diberikan. Sehingga menghasilkan working height (H) yaitu perubahan besaran diameter pada airbag. Untuk mengetahui berapa besaran daya tekan maksimal yang dapat ditampung oleh airbag dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang mengacu pada Persamaan IV.1. Klasifikasi Airbag Klasifikasi atau spesifikasi daripada airbag yang berada di lapangan tentunya berbedabeda tergantung dari kebutuhan kapal. Klasifikasi ini dapat dibedakan menjadi beberapa bagian 11
seperti tipe atau model airbag seperti apa dan berapakah dimensi ukuran yang dibutuhkan untuk kapal tersebut. 2.2.1.1 Tipe dan Model Airbag dikategorikan menjadi 2 tipe yang berbeda berdasarkan dari daya tampung kekuatan daripada airbag itu sendiri. Untuk lebih jelas dapat dilihat Tabel II.1: Tabel II.1 Model dan tipe daripada airbag
QP QG
Tipe QP3 QP4 QP5
Model Airbag biasa dengan 3 pelapisan dari susunan kord Airbag biasa dengan 4 pelapisan dari susunan kord Airbag biasa dengan 5 pelapisan dari susunan kord
QG6
Airbag dengan daya kekuatan yang tinggi dengan 6 pelapisan
(ISO 14409, 2011) Keterangan : QP : Airbag biasa / ordinary airbag QG : Airbag dengan daya kekuatan tinggi / high bearing capacity airbag Pada Tabel II.1 dijelaskan untuk kategori airbag biasa dibedakan dengan QP dan untuk airbag yang memiliki kapasitas kekuatan yang tinggi dibedakan menjadi QG. Untuk QG harus memiliki 6 atau lebih pelapisan karet, jadi jika airbag tersebut memiliki 7 pelapisan maka untuk penamaan tipe airbag tersebut adalah QG7. Sedangkan untuk QP diperuntukan untuk airbag yang memiliki pelapisan 3-5 kali. 2.2.1.2 Struktur dan Ukuran Airbag memiliki bentuk berupa silinder dan mempunyai 2 kepala yang berbentuk kerucut (conical) yang terletak dikedua ujung airbag. Gambar dibawah dapat dilihat bahwa ada tiga bagian utama pada airbag yaitu mulut, badan dan badan airbag.
Gambar II.4 Struktur airbag (ISO 14409, 2011) 12
Keterangan : 1. Mulut Airbag 2. Kepala Airbag 3. Badan Airbag Untuk ukuran diameter airbag (D) yang tersedia bermacam-macam yaitu 0.8 m, 1.0 m, 1.2 m, 1.5 m, 1.8 m, dan sebagainya tergantung kebutuhan. Begitu juga dengan panjang airbag (L) dipertimbangkan berdasarkan dari lebar kapal yang akan diluncurkan, hingga saat ini di lapangan untuk panjang airbag sudah ada yang mencapai sekitar 20 meter. Material Airbag Sebelum airbag diproduksi, bahan material baik lapisan luar ataupun dalam harus diuji terlebih dahulu berdasarkan Tabel II.2. Tabel II.2 merupakan standar klasifikasi atau spesifikasi yang terdapat pada Standard Internasional ISO 14409:2011. Untuk sementara hanya satu sampel material yang diperlukan untuk pengujian nomor 1 sampai 3, untuk pengujian yang lainnya yaitu dari nomor 4 sampai 9 dilaksanakan setiap 1 tahun sekali (annually). Jika sampel pertama tidak memenuhi kriteria atau persyaratan, maka harus digunakan 2 sampel tambahan yang akan diujikan. Jika kedua sampel tersebut dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan maka material tersebut dianggap berhasil melewati pengujian. Jika tidak, maka material tersebut dianggap gagal dalam pengujian dan harus menggunakan material lain untuk dilakukan pengujian ulang. Berikut ini adalah Tabel II.2 yaitu persyaratan material karet daripada airbag beserta item-item pengujiannya. Tabel II.2 Requirements material karet No.
Item Pengujian
1 2 3 4 5
Kuat tarik (tensile strength), Mpa Batas elongation, % Kekerasan (hardness), 0 Tahan sobekan (tear strength), N/cm Kompresi set, % (70 0C ± 1 0C, 22h) Ketahanan pertambahan Setelah dipanasi pada panjang, % suhu 70 0C ± 1 0C, Perubahan Kekerasan 96h (hardness), 0 Penuaan ozon statis pada suhu 400 C x96 h (konsentrasi ozon (50 ± 5) 10-8
6 7 8
Harga yang Disyaratkan ≥ 18 ≥ 400 60 ± 10 ≥ 400 ≤ 30
Metode Pengujian ISO 37 ISO 37 IS0 7619-1 ISO 34-1 ISO 815
≥ 80
IS0 188
≤8
ISO 7619-1
no crack
ISO 1431-1
(ISO 14409, 2011)
13
Tabel. II.2 menjelaskan bahwa item-item apa saja yang perlu diujikan pada material airbag yang akan digunakan. Pengujian ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa airbag tersebut aman untuk digunakan jika sudah mencapai dari harga yang disyaratkan. Untuk pengujian kuat tarik, material ini setidaknya dapat mencapai minimal 18 Mpa dengan besaran elongation minimal 4 kali dari panjang sebelumnya. Lalu untuk kekerasan pada material harus berada diantara 600-700 sehingga material tersebut diharapkan tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek. Sedangkan untuk besaran tear strength (tahan sobekan) setidaknya harus mencapai harga minimal 400 N/cm. Setelah dilakukan semua pengujian material dilakukan pengkondisian airbag yang dilakukan pada Tabel II.2 poin 5 s/d 8. Pada suhu yang dikondisikan sebesar 700 C ± 10 C dalam jangka waktu 22 jam untuk pemuaian material tidak boleh lebih dari 30%. Sedangkan untuk jangka waktu 96 jam dengan kondisi suhu yang sama ketahanan dari pertambahan panjang atau batas elongation saat ingin putus besarannya harus lebih dari 80 % dengan perubahan kekerasan (hardness) tidak lebih dari 80. Pengujian dilanjutkan dengan memberikan konsentrasi ozon sesuai dengan Tabel II.2 poin 9 pada suhu yang dikondisikan 400 dalam jangka waktu 96 jam material tersebut tidak boleh terdapat crack. Selain persyaratan pada Tabel II.2 permukaan daripada airbag juga harus lembut (smooth) dan licin tanpa adanya cacat seperti crack, delaminasi ataupun lubang (bocor). Standard Pengujian Airbag Standard dan metode pengujian pada airbag mengacu pada peraturan ISO – 14409. Pada ISO – 14409 disebutkan bahwa kondisi pengujian airbag harus dilakukan pada temperature (suhu) antara 100 – 350 C tidak kurang dan tidak lebih agar hasil yang didapat lebih akurat karena sesuai dengan kondisi saat meluncurkan kapal menggunakan airbag. Pengujian ini biasanya dilakukan 1 tahun sekali atau sebelum akan digunakan, untuk mengetahui kondisi airbag itu sendiri. Media yang digunakan untuk pengujian adalah udara dan air yang mana dibutuhkan untuk pengujian ketahanan ledakan (bursting test). Untuk peralatan pengujian termasuk alat pengukur tekanan (pressure gauge) dan mesin pengujian (testing machine) semuanya sudah dalam kondisi dikalibrasi. Pengujian airbag harus dilakukan pada ukuran penuh airbag. Jika airbag yang ingin diuji sangat besar sehingga tidak bisa dipasang pada mesin uji, maka pengujian dapat dilakukan pada airbag yang sudah diskala dari ukuran sesungguhnya. Namun pada airbag yang akan diskala untuk diameternya tidak boleh kurang dari setengah diameter airbag sesungguhnya, dan untuk panjangnya tidak boleh kurang dari 3 kali besar diameter airbag yang akan diuji. 14
Adapun parameter performa airbag yang digunakan sebagai acuan pengujian dapat dilihat pada Tabel II.3 : Tabel II.3 Parameter performa airbag
Tipe
Diameter (m)
Internal pressure (kPa)
Tekanan Kerja, Pe (kPa)
Bearing capacity Ph (setelah mengalami deformasi 70%)
Tekanan minimum ledakan (burst pressure) (kPa)
0.8 25 130 114 1 18 100 110 QP3 1.2 15 85 112 1.5 13 70 115 1.8 11 60 118 0.8 35 170 149 1 25 130 143 QP4 1.2 20 110 145 1.5 16 90 148 1.8 14 80 158 0.8 48 210 184 1 35 170 186 QP5 1.2 28 140 185 1.5 20 110 181 1.8 16 90 178 0.8 56 245 215 1 45 200 219 QG6 1.2 32 165 217 1.5 25 130 215 1.8 20 110 218 Margin yang diberikan untuk tekananan kerja ± 5% Internal pressure dijadikan sebagai nilai referensi awal
390 300 260 210 180 510 390 330 270 240 630 510 420 330 270 740 600 490 390 330
(ISO 14409, 2011) Tabel II.3 merupakan suatu parameter yang digunakan untuk pengujian airbag. Untuk penjelasan tipe airbag dapat dilihat kembali pada Tabel II.1. Pada table II.3 parameter spesifikasi yang diberikan adalah diameter, tekanan awal (initial pressure), tekanan kerja airbag, daya tampung maksimal (bearing capacity) yang harus dicapai dan minimum tekanan (burst pressure) yang harus dicapai airbag pada saat airbag pecah/meledak. Sebagai contoh penjelasan untuk airbag yang memiliki tingkat pelapisan 3 layer (QP3) dengan diameter 1 m pada saat mencapai tekanan kerja (P e) 100 kPa harus dapat mencapai 15
besaran bearing capacity (Ph) 110 kN/m setelah airbag ditekan hingga mengalami deformasi diameter airbag sebesar 70%. Selain itu pada proses pengujian ledakan (bursting testing) dengan air, airbag tersebut harus mampu menampu tekanan hingga 300 kPa atau lebih sesaat sebelum terjadi ledakan. A. Uji Kompresi (Compression Test) Pengujian kompresi pada airbag dilakukan dengan media udara dan peralatan mesin untuk memberi tekanan pada airbag yang ingin diuji. Sebelum dilakukan pengujian pastikan seluruh badan airbag masuk ke mesin uji untuk menghasilkan data yang valid. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar II.5.
Gambar II.5 Uji kompresi airbag ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar II.5 dapat dilihat bahwa proses dimana kondisi airbag sebelum dan setelah dilakukan kompresi pada mesin uji/kompres. Pada saat airbag mulai dikompresi maka akan terjadi deformasi diameter karena tekanan yang diterima oleh airbag tersebut. Tentunya pada proses tersebut ada tahapan-tahapannya. Berikut ini tahapan pengujian kompresi pada airbag : 1. Isi airbag dengan udara hingga mencapai internal pressure yang terdapat pada Tabel II.3 dengan menyesuaikan tipe airbag yang dilakukan pengujian. 2. Selanjutnya pengujian kompresi dapat dimulai dengan menekan airbag pada mesin press hingga ukuran diameter airbag mencapai deformasi sebesar 70%. 3. Setelah itu kompresi pada airbag dapat dihentikan, lalu biarkan bentuk airbag kembali pada sesaat sebelum airbag dilakukan kompresi hingga mencapai ukuran sebenarnya. Lalu catat internal pressure airbag tersebut. 4. Lakukan kembali kompresi yang dilakukan seperti pada poin 1 yaitu kompresi airbag hingga mencapai deformasi sebesar 70% kemudian catat tekanan kerjanya. Tekanan 16
kerja ini harus sama dari tekanan kerja yang ada pada Tabel II.3 dengan margin yang diberikan ± 5 %. Jika tidak, maka airbag tersebut tidak sesuai standard spesifikasi.
Gambar II.6 Hasil uji kompresi pada airbag QG6 (ø1.2m) (ISO 14409, 2011) Gambar II.5 merupakan contoh hasil dari pengujian kompresi pada airbag bertipe QG6 dengan diameter 1.2 m. Pada Gambar II.5 Y adalah tekanan yang dihasilkan (kPa), X adalah presentase deformasi airbag (%), 1 adalah besaran internal pressure airbag sebelum diuji kompresi dan 2 adalah besaran rated working pressure (tekanan kerja) yang dicapai pada saat terjadi deformasi sebesar 70%. B. Uji Pembebanan (Bearing capacity Test) Pada uji pembebanan proses pengujian yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada pengujian kompresi airbag. Bedanya hanya terletak pada data yang diambil sehingga dihasilkan bearing capacity airbag yang diuji. Tahapan yang harus dilakukan pada pengujian ini adalah : 1. Isi airbag hingga mencapai tekanan internal pressure pada Tabel II.3. 2. Tekan airbag dengan mesin uji hingga mencapai deformasi 70% dan catat tekanan kerja yang dihasilkan. Jika tekanan kerja yang dihasilkan tidak sama dengan besaran pada Tabel II.3 maka proses pengujian tidak dapat dilanjutkan (airbag tidak sesuai standard spesifikasi). Namun jika tekanan kerja yang dihasilkan sama (dengan margin ± 5 %) maka proses pengujian dapat dilanjutkan. 3. Kompresi airbag dibiarkan minimal 5 menit. 4. Setelah 5 menit, catat internal pressure yang dihasilkan (P1) dari airbag yang diujikan. Ukur panjang kontak antara airbag dengan mesin uji (W1). Maka bearing capacity (Ph) daripada airbag dapat dihitung dengan rumus : 17
୦ ൌ ଵ ൈ ଵ
Persamaan (II.5)
Dimana, Ph = bearing capacity airbag (kN/m) W1 = panjang kontak antara airbag dengan mesin uji (m) P1 = internal pressure airbag yang diuji (kPa) Bearing capacity yang harus dicapai harus sama atau lebih dengan yang terdapat pada Tabel II.3. Jika tidak maka airbag tersebut tidak lolos inspeksi atau tidak layak digunakan.
Gambar II.7 Hasil uji bearing capacity pada airbag QG6 (ø1.2m) (ISO 14409, 2011) Gambar II.7 merupakan contoh kurva dari hasil pengujian bearing capacity pada airbag bertipe QG6 dengan diameter 1.2 m. Y adalah besaran bearing capacity dalam kN/m, X adalah deformasi ukuran dalam persen (%) dan 1 adalah besaran bearing capacity yang dicapai airbag QG6 pada deformasi 70%. C. Uji Ketahanan Ledak (Bursting Test) Pada pengujian bursting test ini dilakukan dengan bantuan media air. Proses pengujian yang dilakukan sangat simple yaitu hanya mengisi airbag dengan airbag hingga airbag tersebut tidak mampu menampung lagi dan pecah/meledak. Pada saat itu tekanan yang dicapai airbag harus dicatat dan besarannya harus lebih besar dari burst pressure minimum yang telah ditentukan dan terdapat pada Tabel II.3.
18
D. Uji Kerapatan (Gastightness Test) Pada proses pengujian ini dilakukan tanpa dilakukan kompresi ataupun pembebanan pada airbag. Cukup hanya mengisi airbag dengan udara hingga mencapai tekanan kerja Pe (rated working pressure) dan biarkan hingga 1 jam. Setelah 1 jam, catat internal pressure airbag tersebut. Tekanan yang hilang tidak boleh lebih kurang dari 5% tekanan kerja Pe. Maintenance Airbag Maintenance airbag yang dimaksud bukan hanya maintenance yang dilakukan pada saat penyimpanan. Pada peraturan ISO – 14409 juga dijelaskan bahwa pada proses pengiriman tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan. A. Proses Pengiriman Pada proses pengiriman, airbag harus dalam kondisi tidak terisi udara dan dilipat kemudian ditumpuk satu per satu. Untuk perjalanan pendek airbag bisa langsung disimpan dan pengangkatan langsung dengan bantuan crane. Sedangkan untuk perjalanan jauh airbag harus dipersiapkan dengan baik. Airbag dibersihkan dan diberikan talc powder (bubuk talek) yang fungsinya untuk melindungi kondisi airbag dari segala kemungkinan yang dapat mengurangi kualitas airbag. Pada kontainer penyimpanan harus ada ventilasi udara. B. Penyimpanan (Storage) Ketika airbag tidak akan digunakan pada periode waktu yang lama, maka airbag tersebut harus dikosongkan dari udara, dibersihkan, diberikan talc powder baik pada bagian luar ataupun dalam airbag. Selain itu juga pada tempat penyimpanan airbag harus kering, terdapat ventilasi udara dan terhindari dari sinar matahari langsung. Airbag yang disimpan harus bebas dari segala bentuk pembebanan yang dapat menyebabkan deformasi pada airbag dalam jangka waktu yang lama. Selain itu juga airbag yang disimpan harus terhindar dari sumber panas, hal-hal yang bersifat asam (acid) atau bahan organik yang dapat merusak airbag. II.3
Peluncuran Kapal Menggunakan Airbag Peluncuran kapal dengan mengandalkan airbag sebagai sarana peluncuran adalah
sebuah inovasi teknologi yang memiliki jaminan prospek pada pembangunan kapal dewasa ini. Teknologi peluncuran dengan menggunakan airbag merupakan sebuah teknologi yang fleksibel yang mana pantas untuk dipertimbangkan karena peluncuran kapal menggunakan airbag dinilai dapat menghemat biaya, lebih fleksibel, memiliki keandalan dan tingkat keamanan yang tinggi.
19
Sehingga benefit yang didapatkan dapat lebih besar dibandingkan dengan menggunakan metode peluncuran lainnya. Peluncuran kapal adalah menurunkan kapal dari landasan peluncur ke air yang disebabkan oleh gaya berat kapal pada bidang miring (Cahyo, 2014). Tahap-tahap yang dilakukan dalam peluncuran kapal adalah sebagai berikut : 1. Perhitungan peluncuran 2. Perencanaan perlengkapan peluncuran 3. Pemasangan perlengkapan peluncuran 4. Pelaksanaan peluncuran. Untuk meluncurkan kapal dengan metode airbag tentunya dibutuhkan airbag dan winch sebagai alat bantu untuk menjaga kesimbangan daripada kapal. Kedua item tersebut wajib dilengkapi sebelum meluncurkan kapal dari landasan. Pada umumnya terutama untuk metode airbag kapal diluncurkan dengan cara peluncuran memanjang. Langkah awal dari perhitungan peluncuran adalah menghitung berat dan letak titik berat kapal yang akan diluncurkan. Dengan menghitung komponen-komponen berat satu per satu dan menghitung momen sehingga letak titik berat kapal saat diluncurkan dapat ditentukan. Berat ballast, berat orang-orang dan berat peralatan peluncuran harus diperhitungkan dalam berat peluncuran. Selanjutnya menentukan letak titik berat kapal secara memanjang (LCG) dan letak titik berat secara vertical (KG). Perhitungan peluncuran dilakukan berdasarkan beberapa langkah peluncuran. Hal ini dimaksudkan agar volume displasemen dan letak titik gaya angkat memanjang kapal (LCB) pada bermacam-macam keadaan sarat air dapat ditentukan. Semuanya itu dapat ditampilkan dengan gambar kurva bonjean (bonjean curves) (Cahyo, 2014). Kurva Bonjean Kurva bonjean adalah lengkungan yang menunjukkan luas station sebagai fungsi sarat. Bentuk lengkungan bonjean yang dihasilkan tergantung dari bentuk gading-gading kapal. Lengkung ini pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh sarjana Perancis pada abad ke sembilan belas (Cahyo, 2014). Pembuatan lengkung bonjean yang paling umum adalah dengan membuat berdasarkan potongan memanjang kapal. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menggambarkan garis dasar, linggi haluan, linggi buritan, garis di tepi kapal, letak station dan garis air. Pada tiap station digambarkannya lengkung bonjean yang merupakan luasan kapal tiap station.
20
Gambar II.8 Contoh kurva bonjean (Cahyo, 2014) Gambar II.8 merupakan contoh dari gambar kurva bonjean kapal. Garis merah merupakan letak station kapal, hijau merupakan sarat kapal dari berbagai kondisi, dan biru adalah garis lengkung kapal dan lengkung station (luasan tiap station kapal). Gambar kurva bonjean perlu dilengkapi dengan skala sarat di AP dan FP. Selain itu untuk mendapatkan gambar bonjean yang benar, ujung-ujung lengkung bonjean pada garis geladak di tepi kapal dapat dikoreksi dengan garis selaras. Kurva bonjean memiliki keuntungan dalam hal menentukan luasan station dari berbagai macam kondisi garis air baik itu pada kondisi even keel (sarat depan dan belakang sama) ataupun trim (ada selisih antara sarat depan dengan sarat belakang) dengan sangat mudah. Selain luas tiap station diketahui maka volume displasemen dan titik gaya angkat memanjang kapal (LCB) juga dapat ditentukan.
Gambar II.9 Kurva bonjean dalam kapal mengalami trim (Cahyo, 2014) Gambar II.9 merupakan contoh kondisi kapal yang sedang mengalami trim haluan. Pada saat terjadinya trim yang perlu dilakukan adalah mengukur besaran sarat pada buritan dan 21
haluan kapal dan dikalikan dengan skala pada gambar. Kemudian tarik garis air antara sarat belakang dan depan kapal. Sehingga didapatkan garis air pada saat kondisi trim. Harga luas dari tiap station dapat diperoleh dengan mengukur garis horizontal. Garis horizontal ini diperoleh dari perpotongan antara garis air dengan garis tegak station dan garis air dengan garis lengkung bonjean. Besaran garis horizontal dikalikan dengan skala gambar yang memanjang kapal maka didapatkan besaran asli luasan tiap station dari kapal. Perhitungan Peluncuran Kapal dengan Metode Airbag Pada peluncuran kapal menggunakan airbag juga dibutuhkan adanya perhitungan teknis demi memastikan bahwa kapal tersebut dapat diluncurkan dengan aman. Referensi standard yang digunakan untuk perhitungan peluncuran ini mengacu pada peraturan yang terdapat di CB/T 3837-1998. Sebelum masuk ke perhitungan pada standard tersebut dijelaskan bahwa perlu adanya persiapan sebelum melakukan peluncuran. Dimana komponen yang perlu diperhatikan dalam hal ini dibagi menjadi 4 yaitu, kapal yang akan diluncurkan, kondisi landasan, airbag dan alat bantu tarik (winch) untuk memastikan bahwa peluncuran kapal dapat berjalan dengan aman. Berikut ini akan dijelaskan ke 4 komponen tersebut : 1. Kapal x
Semua pekerjaan kapal dibawah garis air harus selesai, terutama peralatan-peralatan, katup-katup dan lainnya yang berhubungan dengan instalasi bukaan pada bagian bawah air. Seluruh instalasi statusnya telah disetujui oleh pihak yang dapat dipercaya.
x
Semua sisa-sisa gerinda dan las-lasan pada bagian bawah kapal ataupun tonjolan (appendages) dipastikan sudah halus dan tidak kasar.
x
Segala bentuk las-lasan pada kulit pelat (las-lasan baru pada kapal yang direparasi) harus melewati inspeksi dan pengujian yang ketat.
x
Ukuran utama kapal harus diukur dan tanda pada loadline juga harus diperiksa dengan ketat.
x
Semua pengerjaan pengecatan pada kulit pelat harus sudah selesai.
2. Landasan x Landasan yang akan ditempati oleh airbag harus benar-benar bersih dan terhindar dari benda-benda tajam seperti paku-paku besi. x
Levelling pada kapal tidak boleh lebih besar dari 80 mm (dari kiri ke kanan ataupun sebaliknya)
22
x
Ketahanan pada landasan setidaknya lebih besar 2 kali lipat dibandingan dengan working pressure pada airbag.
x
Panjang landasan harus diperpanjang hingga beberapa meter setelah menyentuh air.
3. Airbag x
Jumlah akan kebutuhan akan airbag harus dihitung dengan menggunakan rumus : ൌ ͳ
x
୕ଡ଼ୋ େଡ଼ୖଡ଼ୈ
Persamaan (II.6)
ͳ
Untuk jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 m. Atau dapat diperiksa dengan menggunakan rumus : ିଵ ିଵ
Persamaan (II.7)
ୈ
Persamaan (II.8)
ଶ
ͲǤͷ
4. Winch x
Pada umumnya yang memiliki tingkat perputaran rendah yang dipilih yakni sekitar 913 m/min
x
Gaya dorong kapal dan ketahanan tarik daripada winch dapat dihitung dengan rumus :
ൌ Ǥ Ǥ Ƚ െ ɊǤ ǤǤ
Ƚ ൌ Ǥ Ǥ Ƚ ɊǤ Ǥ Ǥ
Ƚ
Persamaan (II.9) Persamaan (II.10)
Dimana,
x
Fc
= Gaya dorong kapal , kN
Fd
= Gaya tarik winch, kN
Q
= Berat kapal peluncuran, ton
g
= Gaya gravitasi bumi, m/s2
α
= Sudut kemiringan landasan, (0)
μ
= koefisien gaya gesek pada landasan
V
= Kecepatan luncur kapal, m/s
T
= Waktu yang dibutuhkan untuk menghentikan kawat winch, s.
Analisa gaya-gaya yang terjadi di dalam peluncuran kapal menggunakan airbag dapat dilihat pada Gambar II.5 :
23
Gambar II.10. Gambaran gaya yang bekerja pada proses peluncuran (CB/T, 1998) Gambar II.10 menunjukan gaya-gaya yang dihasilkan pada proses peluncuran kapal menggunakan airbag. Kapal meluncur dikarenakan adanya berat dari kapal itu sendiri sehingga menghasilkan gaya dorong sebesar Fc (kN) yang dipengaruhi oleh adanya kemiringan dari landasan (α). Berat daripada peluncuran kapal dinotasikan dengan simbol Q yang jika dikalikan dengan gaya gravitasi (g) maka akan dihasilkan besaran gaya berat dari kapal itu sendiri. Pada peluncuran kapal menggunakan airbag diperlukan alat bantu winch sebesar F (kN) untuk memastikan bahwa kapal dapat meluncur dengan aman. Besaran F dipengaruhi dari sudut yang dihasilkan oleh arah tali dengan landasan (β). x
Pada kasus ini ketahanan tarik daripada kawat winch tidak boleh kurang dari yang diperhitungkan. Berikut ini adalah tegangan minimal yang harus dimiliki oleh kawat winch :
Ǥୡ ୡǤୡ୭ୱஒ
Persamaan (II.11)
Dimana, F
= Tegangan kawat winch, kN
Fc
= Gaya dorong kapal, kN
K
= Faktor keamanan, K= 1.2 - 1.5.
Nc
= Jumlah kawat winch
β
= Sudut yg dihasilkan antara gaya tarik winch dengan landasan, (0) β ≥ 60
24
II.4
Risiko dan Manajemen Risiko Pengertian Risiko Risiko memiliki banyak pengertian, salah satu ahli risiko mendefiniskan bahwa risiko
didefinisikan sebagai probabilitas kejadian yang menyebabkan kerugian dan potensi besarnya kejadian (Muhlbauer, 2004). Berdasarkan definisi tersebut, risiko meningkat ketika salah satu dari probabilitas kejadian kerugian meningkat atau ketika besarnya potensi kehilangan (penyebab kejadian) meningkat. Definisi dari risiko ditunjukan dengan hubungan matematika seperti di bawah ini : Risk = Event likelihood x event consequence
Persamaan (II.12)
Pendapat mengenai pengertian risiko juga dikemukan oleh (Alijoyo, 2016) risiko merupakan kesempatan akan terjadinya sesuatu yang akan membawa dampak dan tujuan (event likelihood). Dalam pengertian tersebut, risiko seringkali dikaitkan dengan sebuah peristiwa dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi karenanya (event consequence). Risiko diukur dengan kombinasi dari konsekuensi dari suatu peristiwa dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi karena peristiwa tersebut. Risiko dapat membawa dampak yang positif atau dampak negatif. Menurut (Silalahi, 1997) beberapa pengertian risiko disajikan di bawah ini : x
Risiko adalah kesempatan timbulnya kerugian.
x
Risiko adalah probabilitas timbulnya kerugian.
x
Risiko adalah ketidakpastian.
x
Risiko adalah penyimpangan aktual dari yang diharapkan.
x
Risiko adalah probabilitas suatu hasil akan berbeda dari yang diharapkan. Risiko timbul karena adanya ketidakpastian, yang berarti ketidakpastian adalah
merupakan kondisi yang menyebabkan timbulnya risiko, karena mengakibatkan keragu-raguan seorang mengenai kemampuannya untuk meramalkan kemungkinan terhadap hasil-hasil yang akan terjadi dimasa dating (Djojosoedarso, 2003). Djohanputro, B. (2006). Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: PPM. Masih mengutip dari Djojosoedarso, kondisi yang tidak pasti itu disebabkan oleh, antara lain :
25
1. Tenggang waktu antara perencanaan suatu kegiatan sampai kegiatan itu berakhir atau menghasilkan,
dimana
makin
panjang
tenggang
waktunya
makin
besar
ketidakpastiannya. 2. Keterbatasan informasi yang tersedia diperlukan dalam penyusunan rencana. 3. Keterbatasan pengetahuan/ kemampuan/ teknik pengambilan keputusan dari perencanaan. Menurut Djohanputro (2006) menjelaskan bahwa risiko yang ditanggung oleh perusahaan dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu risiko finansial, risiko operasional, risiko strategis dan risiko eksternalitas. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing jenis risiko : a.
Risiko finansial Risiko finansial ini meliputi beberapa risiko yaitu sebagai berikut :
9
Risiko keuangan: fluktuasi target keuangan atau ukuran moneter perusahaan karena gejolak berbagai variable makro.
9
Risiko lekuiditas: ada dua pengertian lekuiditas, pengertian pertama adalah ketidakpastian atau kemungkinan perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran jangka pendek atau pengeluaran tidak terduga. Pengertian kedua adalah kemungkinan penjualan suatu aset perusahaan dengan diskon yang tinggi karena sulit mencari pembeli.
9
Risiko kredit: risiko bahwa debitur atau pembeli secara kredit tidak dapat membayar hutang dan memenuhi kewajiban seperti yang tertera dalam kesepakatan.
9
Risiko permodalan: risiko yang dihadapi perusahaan berupa kemungkinan tidak dapat menutupi kerugian.
9
Risiko pasar: berkaitan dengan potensi penyimpanan hasil keuangan karena pergerakan variabel pasar selama periode likuidasi dan perusahaan harus secara rutin melakukan penyesuaian terhadap pasar (mark to market). Risiko pasar dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko komuditas dan risiko ekuitas.
b.
Risiko operasional Risiko operasional berkaitan dengan potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan
karena tidak berfungsinya suatu sistem, SDM, teknologi atau faktor lainnya. Risiko operasional dibedakan menjadi 5 yaitu : 9 Risiko produktivitas: berkaitan dengan penyimpangan hasil atau tingkat produktivitas yang diharapkan karena adanya penyimpangan dari variabel yang mempengaruhi produktivitas, termasuk di dalamnya adalah teknologi, peralatan material dan SDM. 26
9 Risiko teknologi: potensi penyimpangan hasil karena terjadinya teknologi yang digunakan tidak lagi sesuai kondisi. 9 Risiko inovasi: potensi penyimpangan hasil karena terjadinya pembaharuan, moderenisasi atau tranformasi dalam beberapa aspek bisnis. 9 Risiko sistem: merupakan bagian dari risiko proses yaitu penyimpangan hasil karena adanya cacat atau ketidaksesuaian sistem dalam operasi perusahaan. 9 Risiko proses: risiko mengenai potensi penyimpangan dari hasil yang diharapkan dari proses karena adanya penyimpangan atau kesalahan dalam kombinasi sumber daya (SDM, keahlian, metode, peralatan, teknologi dan material) dan karena perubahan lingkungan. c.
Risiko strategis Risiko strategis adalah risiko yang dapat mempengaruhi eksposur korporat dan eksposur
strategis sebagai akibat keputusan strategis yang tidak sesuai dengan lingkungan eksternal dan internal usaha. Risiko strategis dapat dibedakan menjadi : 9 Risiko usaha adalah potensi penyimpangan hasil korporat (nilai perusahaan dan kekayaan pemegang saham) dan hasil keuangan karena perusahaan memasuki suatu bisnis tertentu dengan lingkungan industri yang khas dan menggunakan teknologi tertentu. 9 Risiko transaksi strategis adalah potensi penyimpangan hasil korporat maupun strategis sebagai akibat perusahaan melakukan transaksi strategis. 9 Risiko hubungan investor adalah risiko yang berhubungan dengan potensi penyimpangan hasil dari eksposur keuangan karena ketidaksempurnaan dalam membina hubungan dengan investor, baik pemegang saham maupun kreditur. d.
Risiko eksternalitas Risiko eksternalitas adalah potensi penyimpangan hasil pada eksposur korporat dan
strategis dan bisa berdampak pada potensi penutupan usaha karena pengaruh dari faktor eksternal. Yang termasuk faktor eksternal, antara lain reputasi, lingkungan, sosial dan hukum. 9 Risiko reputasi adalah potensi hilangnya atau hancurnya reputasi perusahaan karena penerimaan lingkungan eksternal rendah bahkan hilang. 9 Risiko lingkungan adalah potensi penyimpangan hasil bahkan potensi penutupan perusahaan karena ketidakmampuan perusahaan dalam mengelola polusi dan dampaknya yang ditimbulkan oleh perusahaan. 9 Risiko sosial adalah potensi penyimpangan hasil karena tidak akrabnya perusahaan dengan lingkungan tempat perusahaan berada. 27
9 Risiko hukum adalah kemungkinan penyimpangan karena perusahaan tidak memenuhi peraturan yang berlaku. Sedangkan macam-macam risiko menurut Djojosoedarso (2003) dibedakan menjadi berbagai macam, antara lain : 1.
Menurut sifatnya risiko dapat dibedakan ke dalam : a. Risiko yang tidak disengaja (risiko murni), adalah risiko yang apabila terjadi tentu menimbulkan kerugian dan terjadinya tanpa disengaja; misalnya risiko terjadinya kebakaran, bencana alam, pencurian, penggelapan, pengacauan dan sebagainya. b. Risiko yang disengaja (risiko spekulatif), adalah risiko yang sengaja ditimbulkan oleh yang bersangkutan, agar terjadinya ketidakpastian memberikan keuntungan kepadanya, misalnya risiko utang piutang, perjudian, perdagangan berjangka (hedging), dan sebagainya. c. Risiko fundamental, adalah risiko yang penyebabnya tidak dapat dilimpahkan kepada seseorang dan yang menderita tidak hanya satu atau beberapa orang saja, tetapi banyak orang, seperti banjir, angin topan dan sebagainya. d. Risiko khusus, adalah risiko yang bersumber pada peristiwa yang mandiri dan umumnya mudah diketahui penyebabnya, seperti kapal kandas, pesawat jatuh, tabrakan mobil dan sebagainya. e. Risiko dinamis, adalah risiko yang timbul karena perkembangan dan kemajuan (dinamika) masyarakat di bidang ekonomi, ilmu dan teknologi, seperti risiko keusangan, risiko penerbangan luar angkasa. Kebalikannya disebut risiko statis, seperti risiko hari tua, risiko kematian dan sebagainya.
2.
Dapat-tidaknya risiko tersebut dialihkan kepada pihak lain, maka risiko dapat dibedakan ke dalam : a. Risiko yang dapat dialihkan kepada pihak lain, dengan mempertanggungkan suatu objek yang akan terkena risiko kepada perusahaan asuransi, dengan membayar sejumlah premi asuransi, sehingga semua kerugian menjadi tanggungan (pindah) pihak perusahaan asuransi. b. Risiko yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (tidak dapat diasuransikan): umumnya meliputi semua jenis risiko spekulatif.
3.
28
Menurut sumber atau penyebab timbulnya, risiko dapat dibedakan ke dalam :
a. Risiko intern yaitu risiko yang berasal dari dalam perusahaan itu sendiri, seperti kerusakan aktiva karena ulah karyawan sendiri, kecelakaan kerja, kesalahan manajemen dan sebagainya. b. Risiko ekstern yaitu risiko yang berasal luar perusahaan, seperti risiko pencurian, penipuan, persaingan, fluktuasi harga, perubahan kebijakan pemerintah dan sebagainya. Cara lain mengklasifikasikan risiko adalah sejauh mana ketidakpastian berubah karena perubahan waktu. Risiko stastis, mungkin sifatnya murni atau spekulatif, asalnya dari masyarakat yang tidak berubah yang berada dalam keseimbangan stabil. Contoh risiko murni statis adalah ketidakpastian dari terjadinya sambaran petir, angin topan dan kematian secara acak (secara random). Menjalankan bisnis dalam ekonomi stabil adalah contoh risiko spekulasi statis. Sebaliknya, risiko dinamis adalah timbul karena terjadi perubahan dalam masyarakat. Risiko dinamis mungkin murni mungkin juga spekulatif. Contoh sumber risiko dinamis adalah urbanisasi, perkembangan teknologi yang komplek dan perubahan undang-undang atau perubahan pemerintah. Manajemen Risiko Manajemen risiko memiliki berbagai pengertian dan definisi yang didasarkan dari berbagai pendapat dari para ahli. Seperti yang telah dikemukakan oleh salah satu ahli, menurut Basyaib (2007) menajamen risiko dalam pengertian luas adalah seni pembuatan keputusan dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Manajemen risiko adalah bagian penting atau titik sentral manajemen strategis suatu organisasi. Manajemen risiko merupakan sebuah pendekatan proaktif, bukan reaktif. Manajemen risiko merupakan proses preventif yang dirancang untuk memastikan bahwa risiko dikurangi dan bahwa konsekuensi negatif karena peristiwa yang tidak diinginkan diperkecil. Untuk menerapkan manajemen risiko yang baik salah satu referensi yang dapat digunakan adalah ISO 31000. Langkah-langkah untuk menerapkan manajemen risiko sesuai dengan ISO 31000 dijelaskan pada flowchart pada Gambar II.6 :
29
Risk Assesment Identify Risk Analyze Risk Evaluate Risk
Monitor and Review
Communicate and Consult
Establish The Context
Treat Risk
Gambar II.11. Proses manajemen risiko (Sumber : Australian Standard/New Zealand Standard 4360, 2004) Berikut adalah penjelasan mengenai proses manajemen risiko menurut ISO 31000 : x
Establish Context (Membuat Hubungan) Pada tahap ini terdiri atas beberapa konteks diantaranya konteks eksternal, konteks
internal dan konteks proses manajemen risiko. Pada tahap ini dilakukan penetapan ruang lingkup dari organisasi, hubungan organisasi dengan lingkungan eksternal dan internal, tujuan dan strategi organisasi, serta parameter aktivitas organisasi sehingga proses manajemen risiko dapat berjalan lebih terarah dan tepat sasaran. Penetapan ruang lingkup ini berisi deskripsi perusahaan yang diamati, produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, faktor-faktor krisis yang berada di lingkungan yang ikut mempengaruhi perusahaan, stakeholder perusahaan dan kriteria evaluasi perusahaan. x Identify Risk (Mengidentifikasi Risiko) Pada tahap ini dilakukan identifikasi risiko apa saja yang dihadapi dan bagaimana risiko tersebut dapat terjadi. Identifikasi risiko dapat dilakukan dengan pertanyaan where, when, why and how kejadian yang dapat mempengaruhi dan menghambat pencapaian tujuan. Alat dan teknik yang dapat digunakan dalam identifikasi risiko antara lain checklist, penilaian berdasarkan pengalaman dan dokumen yang sudah ada, observasi serta wawancara dan interaksi langsung dengan obyek yang akan diidentifikasi risikonya. Melakukan identifikasi secara terstruktur dapat memudahkan dalam menemukan risiko-risiko yang terjadi. Secara lebih jelas, pada tahap ini dilakukan identifikasi apa, bagaimana dan mengapa suatu risiko dapat
30
timbul dan kemudian dari hasil identifikasi ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis lebih lanjut. x
Analyze Risk (Menganalisa Risiko) Pada tahap ini merupakan proses untuk membandingkan risiko dan melakukan
perhitungan level dari risiko. Level dari risiko ini didapat dari sebab, konsekuensi dan kemungkinan tingkat risiko. Untuk setiap konsekuensi positif dan negatif dari risiko serta kemungkinan kejadian dari risiko akan dilakukan pengukuran. Risiko dapat dianalisa dengan menggunakan penaksiran terhadap peluang terjadinya dan konsekuensi jika terjadi. Jika peluang (likelihood) dan dampak (consequence) telah diidentifikasi, maka dilakukan evaluasi dan memprioritaskan risiko yang paling signifikan untuk di atasi terlebih dahulu. x
Evaluate Risk (Mengevalusi Risiko) Tujuan dari evaluasi risiko adalah untuk membantu dalam membuat keputusan pada
hasil analisa risiko tentang risiko mana yang perlu dilakukan penanggulangan dan prioritas untuk dilakukan implementasi penanggulangan. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan perkiraan level risiko terhadap kriteria ketetapan pendahuluan dan mempertimbangkan keseimbangan antara potensi keuntungan dan hasil yang merugikan. Hasil dari evaluasi risiko juga perlu mempertimbangkan tujuan dari organisasi dan kesempatan yang mungkin muncul. Jika risiko ada pada kategori low, maka risiko tersebut dapat diterima dan dilakukan penanggulangan secara minimal. x
Treat Risk (Memperlakukan risiko) Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah prioritas dan menangani risiko-risiko yang
telah teridentifikasi. Penanggulangan risiko dilakukan dengan memilih satu atau lebih pilihan untuk modifikasi risiko dan mengimplementasikan pilihan penanggulangan tersebut. Berikut adalah beberapa pilihan dalam penanggulangan risiko : a. Transfer : salah satu penanggulangan risiko dengan mentranfer risiko ke pihak lain (seperti kontrak dan badan pembiayaan risiko) b. Avoid : salah satu penanggulangan risiko dengan cara menghindari dengan memutuskan untuk tidak memulai atau meneruskan aktivitas yang memberikan risiko. Penanggulangan ini mengahpus segala hal yang berpotensi sebgai sumber risiko. c. Mitigate : salah satu penanggulangan risiko dengan mengurangi kemungkinan peluang (likelihood) dan dampak (consequence) dari risiko. d. Accept : salah satu penanggulangan terhadap risiko dengan menerima risiko yang ada dan menahan risiko dengan memberikan keputusan. 31
Pada penelitian ini penanggulangan risiko dilakukan dengan mitigasi atau dengan mengurangi tingkat kejadian dan dampak dari risiko yang ada. x
Communicate and Consult (komunikasi dan konsultasi) Untuk setiap langkah-langkah manajemen risiko mulai dari establish risk hingga treat
risk maka haruslah dilakukan komunikasi dan konsultasi. Komunikasi dan konsultasi dilakukan dengan stakeholder internal maupun eksternal sehingga sesuai pada masing-masing tahap dari proses manajemen risiko dan memperhatikan proses secara keseluruhan. x
Monitoring and Review (pengawasan dan peninjauan) Pengawasan dan peninjauan setiap kegiatan manajemen risiko diperlukan untuk
memonitor efektivitas semua langkah dan proses manajemen risiko. Hal ini penting untuk peningkatan terus menerus. Risiko dan efektivitas dari pengukuran perlu dimonitor untuk meyakinkan perubahan keadaan tanpa merubah prioritas. Manfaat penerapan manajemen risiko yang akan diperoleh, yaitu : a. Perusahaan memiliki ukuran kuat sebagai landasan dalam mengambil setiap keputusan, sehingga para manajer menjadi lebih berhati-hati (prudent) dan selalu menempatkan ukuran-ukuran dalam berbagai keputusan. b. Mampu memberikan arah bagi suatu perusahaan dalam melihat pengaruh pengaruh yang mungkin timbul baik secara jangka pendek dan jangka panjang. c. Mendorong para manajer dalam mengambil keputusan untuk selalu menghindari risiko dan menghindari dari pengaruh terjadinya kerugian khususnya kerugian dari segi finansial. d. Memungkinkan perusahaan memperoleh risiko kerugian yang minimum. e.
Dengan adanya konsep manajemen risiko (risk management concept) yang dirancang secara detail artinya perusahaan telah membangun arah dan mekanisme secara suistainable (berkelanjutan).
II.5
Macam-Macam Metode Identifikasi Risiko Job Safety Analysis (JSA) Merupakan identifikasi sistematik dari bahaya potensial di tempat kerja agar dapat
dikendalikan, dianalisa dan direkam. Tahapan dari JSA yaitu mengidentifikasi potensi bahaya yang ada pada setiap tahapan pekerjaan, menentukan alat atau langkah yang diperlukan untuk setiap potensi bahaya yang diidentifikasi, dan merekomendasikan cara paling aman untuk melakukan pekerjaan yang berisiko. JSA dilakukan secara kualitatif. 32
Hazard and Operability Study (HAZOPS) Merupakan metode kualitatif yang banyak digunakan oleh industri proses untuk mengidentifikasi bahaya pada tahap desain rekayasa. Tujuannya untuk menganalisis sistem per bagian dan menjelaskan bagaiman kondisi ideal suatu sistem bekerja (Wachyudi, 2010). HAZOPS digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dari operasional proses yang dapat mempengaruhi efisiensi produksi dan keselamtan. HAZOPS merupakan metode identifikasi risiko yang berfokus pada analisis terstruktur mengenai operasi yang berlangsung. Dengan menggunakan HAZOPS, setiap tahapan proses harus dipelajari untuk mengidentifikasi semua penyimpangan dari kondisi operasi yang normal, mendeskripsikan bagaimana bisa terjadi dan menentukan perbaikan dari penyimpangan yang ada. Dengan melihat kompleksitas proses yang harus diidentifikasi, metode HAZOPS ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya. Risk Based Inspection (RBI) Risk Based Inspection merupakan metode identifikasi bahaya yang berfokus pada penilaian risiko yang berkaitan dengan pengoperasian mesin atau peralatan. RBI memastikan bahwa peralatan harus dalam kondisi prima saat digunakan, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan. Setelah RBI dilaksanakan, maka dapat dijadikan dasar untuk merencanakan jadwal inspeksi dan pemeliharaan peralatan. Pendekatan RBI dilakukan dengan cara kualitatif dengan menyediakan dasar analisis untuk memprioritaskan program inspeksi berdasarkan risiko. RBI sangat cocok untuk memperhitungkan kerugian dalam hal finansial (biaya) dengan pertimbangan peralatan mana saja yang mengalami kerusakan. What if / Check List Dalam metode ini, setiap proses dipelajari melalui pendekatan brainstorming untuk memformulasikan setiap pertanyaan meliputi kejadian yang akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Masing-masing pertanyaan dibagi ke dalam tahapan operasi, teknik, pemeliharaan dan inspeksi. Setiap pertanyaan tersebut harus mempertimbangkan skenario terjadinya insiden, identifikasi konsekuensi, penilaian kualitatif untuk menentukan tingkat keparahan konsekuensi, kemungkinan dari semua risiko yang ada dan pembuatan rekomendasi untuk mengurangi bahaya. Metode what if / checklist dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya potensial dari setiap tahapan proses. Metode ini akan efektif apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman untuk evaluasi suatu proses. Metode what if / checklist merupakan metode identifikasi bahaya secarah kualitatif yang tertua di dunia. 33
Failure Modes and Effect Analysis (FMEA) FMEA merupakan metode identifikasi risiko dengan menganalisis berbagai pertimbangan kesalahan dari peralatan yang digunakan dan mengevaluasi dampak dari kesalahan tersebut. Kelemahan metode ini adalah tidak mempertimbangkan kesalahan manusia. Dalam hal ini, FMEA mengidentifikasi kemungkinan abnormal atau penyimpangan yang dapat terjadi pada komponen atau peralatan yang terlibat dalam proses produksi serta konsekuensi yang ditimbulkan. Fault Tree Analysis (FTA) Fault Tree Analysis (FTA) merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk memprediksi atau sebagai alat investigasi setelah terjadinya kecelakaan dengan melakukan analisis proses kejadian. FTA merupakan metode yang paling efektif dalam menemukan inti permasalahan karena dapat menentukan bahwa kerugian yang ditimbulkan tidak berasal dari satu kegagalan. FTA juga merupakan kerangka berpikir terbalik di mana evaluasi berawal dari insiden kemudian dikaji penyebabnya. Event Tree Analysis (ETA) Event Tree Analysis (ETA) adalah metode yang menunjukkan dampak yang mungkin terjadi dengan diawali oleh identifikasi pemicu kejadian dan proses dalam setiap tahapan yang menimbulkan kecelakaan (kebalikan dari metode FTA). Dalam melakukan ETA, perlu untuk mengetahui pemicu dari kejadian dan fungsi sistem keselamtan atau prosesdu gawat darurat yang tersedia untuk menentukan langkah perbaikan terhadap dampak yang ditimbulkan. Action Error Area (AEA) AEA digunakan untuk menganalisis tindakan kesalahan yang dapat terjadi. Tujuan utam dari melakukan AEA adalah untuk mengidentifikasi kesalahan manusia selama operasi kritis dan mengurangi risiko ke tingkat yang dapat diterima melalui tindakan pengurangan risiko. Hal ini dicapai dengan mengidentifikasi mode kegagalan manusia dalam prosedur, penyebab, konsekuensi, risiko dan kebutuhan untuk pengurangan risiko. Job Hazard Analysis (JHA) JHA adalah teknik yang berfokus pada tahapan pekerjaan sebagai cara untuk mengidentifikasi bahaya sebelum suatu kejadian yang tidak diinginkan muncul. Metode ini lebih fokus pada interaksi antara pekerja, tugas/pekerjaan, alat dan lingkungan. Setelah
34
diketahui bahaya yang tidak bisa dihilangkan, maka dilakukan usaha untuk menghilangkan atau mengurangi risiko bahaya ke tingkat level yang bisa diterima. (Foster, 2004) JHA dapat diterapkan dalam berbagai macam jenis pekerjaan, namun terdapat beberapa prioritas pekerjaan yang perlu dilakukan JHA, antara lain : x
Pekerjaan dengan tingkat kecelakaan yang tinggi
x
Pekerjaan yang berpotensi menyebabkan luka, cacat, atau sakit meskipun tidak terdapat insiden sebelumnya
x
Pekerjaan yang bila terjadi sedikit kesalahan kecil akan dapat memicu terjadinya kecelakaan parah atau luka
II.6
x
Pekerjaan yang baru atau mengalami perubahan dalam proses dan prosedur
x
Pekerjaan yang cukup kompleks untuk ditulis instruksi pelaksanaannya.
Metode Identifikasi Risiko dengan Fault Tree Analysis (FTA) Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada sub bab II.5, untuk metode identifikasi
risiko yang digunakan pada penelitian tugas akhir ini adalah Fault Tree Analysis (FTA). Metode FTA dianggap paling efektif dalam mengidentifikasi risiko pada penelitian tugas akhir ini. Pertimbangan tersebut dilakukan berdasarkan dari tujuan penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya yaitu mengidentifikasi risiko-risiko apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan kapal pada proses peluncuran dengan metode airbag. Pada intinya kemungkinan insiden yang terjadi sudah ditentukan, lalu dicari penyebab-penyebabnya mengapa insiden tersebut dapat terjadi. Oleh karena itu FTA dipilih dan dianggap metode yang paling cocok untuk mengidentifikasi risiko kejadian pada penelitian tugas akhir ini. Fault Tree Analysis adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko yang berperan terhadap terjadinya suatu kegagalan. Metode ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat top down, yang diawali dengan asumsi kegagalan atau kerugian dari kejadian puncak (top event) kemudian merinci sebab-sebab mengapa top event terjadi sampai pada suatu kegagalan dasar (root cause). FTA merupakan teknik untuk mengidentifikasi kegagalan (failure) dari suatu sistem yang berorientasi pada fungsi atau lebih dikenal dengan top down approach karena analisa ini berawal dari sistem level (top) dan meneruskannya ke bawah (Priyanti, 2000). Fault Tree Analysis merupakan metode yang efektif dalam menemukan inti permasalahan karena memastikan bahwa suatu kejadian yang tidak diinginkan atau kerugian 35
yang ditimbulkan tidak berasal pada satu titik penyebab kegagalan. Fault Tree Analysis mengidentifikasi hubungan antara faktor penyebab dan ditampilkan dalam bentuk pohon kesalahan yang melibatkan gerbang logika sederhana. FTA adalah sebuah teknik untuk menghubungkan beberapa rangkaian kejadian yang menghasilkan sebuah kejadian lain, metode ini menggunakan pendekatan deduktif yang mencari penyebab dari sebuah kejadian. Metode ini dipakai untuk investigasi kecelakaan kerja itu sendiri. Fault Tree Analysis juga dapat didefinisikan sebagai analytical tool yang menerjemahkan secara grafik kombinasi-kombinasi dari kesalahan yang menyebabkan kegagalan dari sistem. Teknik ini berguna mendeskripsikan dan menilai kejadian di dalam sistem (Foster, 2004). Menurut Priyanti (2000) terdapat 4 tahapan untuk melakukan analisa dengan Fault Tree Analysis, yaitu sebagai berikut : 1. Mendefinisikan masalah dan kondisi batas dari suatu sistem yang ditinjau 2. Penggambaran model grafis FTA 3. Mencari minimal cut set dari analisa FTA 4. Melakukan analisa kuantitatif dari FTA Langkah pertama diatas bertujuan untuk mencari top event yang merupakan dari definisi kegagalan suatu sistem yang ditentukan terlebih dahulu dalam menentukan sebuah model grafis. Model grafis FTA memuat beberapa simbol yaitu simbol kejadian, simbol gerbang dan simbol transfer. Simbol kejadian adalah simbol yang berisi kejadian pada sistem yang digambarkan dengan bentuk persegi, lingkaran dan lainnya yang mempunyai arti masingmasing. Contoh dari simbol kejadian adalah intermediate event dan basic event. Sedangkan simbol gerbang menyatakan hubungan kejadian input yang mengarah pada kejadian output. Hubungan tersebut dimulai dari top event sampai ke event yang paling mendasar. Contoh dari simbol gerbang adalah AND dan OR lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel II.3. Berikut ini adalah Tabel II.3 adalah istilah-istilah dalam metode Fault Tree Analysis :
36
Tabel II.4 Istilah dan simbol dalam Fault Tree Analysis
Simbol
Istilah
Keterangan
Top Event
Kejadian yang dikehendaki pada puncak yang akan diteliti lebih lanjut ke arah kejadian dasar lainnya dengan menggunakan gerbang logika untuk menentukan penyebab kegagalan
Logic Event OR
Hubungan secara logika antara input dinyatakan dalam AND
Logic Event AND
Hubungan secara logika antara input dinyatakan dalam OR
Transferred Event
Segitiga yang digunakan sebagai simbol transfer. Simbol ini menunjukkan bahwa uraian lanjutan kejadian berada di halaman lain
Undeveloped Event
Kejadian dasar (basic event ) yang tidak akan dikembangkan lebih lanjut karena tidak tersedianya informasi
Basic Event
Kejadian yang tidak diharapkan yang dianggap sebagai penyebab dasar sehingga tidak perlu dilakukan analisa lebih lanjut (Haris, 2016)
Manfaat dari metode fault tree analysis adalah : 1. Dapat menentukan faktor penyebab yang kemungkinan besar menimbulkan kegagalan 2. Menemukan tahapan kejadian yang kemungkinan besar sebagai penyebab kegagalan 3. Menganalisa kemungkinan sumber-sumber risiko sebelum kegagalan timbul. 4. Menginvestigasi suatu kegagalan.
37
Contoh penggunaan fault tree analysis secara sederhana dapat digambarkan pada skema Gambar II.12 :
Gambar II.12 Contoh penggunaan FTA (Haris, 2016) Gambar II.12 merupakan contoh sederhana dari analisa risiko menggunakan metode FTA. Pada top event masalah utama mobil itu tidak bisa dinyalakan dengan tiga kemungkinan penyebab yaitu pertama karena sistem pembakaran yang tidak berfungsi dengan baik (fuel system), kedua karena terjadinya kegagalan transmisi (not in park) atau yang ketiga dikarenakan aki pada kendaraan abis (dead battery). Ketiga penyebab itu dihubungkan dengan logic event OR. Pada penyebab sistem pembakaran dapat diturunkan lagi untuk mencari penyebab dasar (basic event) mengapa sistem pembakaran mobil tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian ini menjelaskan bagaimana langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam menyelesaikan tugas akhir. Penelitian tugas akhir ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan dan pengolahan data, tahap analisa dan pembahasan, serta tahap penarikan kesimpulan dan saran. Tahap pertama adalah tahap persiapan yang meliputi kegiatan identifikasi dan perumusan masalah, serta studi penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan. Tahapan kedua adalah pengumpulan dan pengolahan data yang meliputi kegiatan identifikasi informasi teknis airbag yang tersedia dan komponen peluncuran yang berisiko, kejadian pada proses peluncuran kapal dengan airbag yang berisiko, identifikasi variabel risiko pada proses penurunan kapal tersebut, selanjutnya dilakukan pengolahan data. Tahapan ketiga adalah analisa dan pembahasan yang meliputi kegiatan analisa hasil dari tahap kedua dan dilakukan pembahasan lebih lanjut yaitu adalah analisa risiko pada proses peluncuran kapal menggunakan airbag. Tahap terakhir yaitu tahap empat yang merupakan penarikan kesimpulan dan saran, pada tahap ini meliputi kegiatan penarikan kesimpulan sesuai dengan tujuan awal dan saran dari hasil penelitian. III.1
Tahap Persiapan Identifikasi dan Perumusan Masalah Pada tahap ini dilakukan identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami
pokok permasalahan yang dijadikan objek penelitian yaitu analisa risiko penurunan kapal dengan metode airbag. Pada tahap ini juga ditetapkan tujuan dari penelitian. Studi Penelitian Setelah dilakukan penentuan rumusan masalah dan tujuan penelitian kemudian dilakukan studi literatur dan studi lapangan yang terkait dengan penelitian tugas akhir ini. Penggunaan studi literatur dan studi lapangan bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai konsep penelitian yang akan dilakukan. Studi literatur diarahkan pada kajian terhadap objek penelitian melalui beberepa literatur seperti buku, jurnal, penelitian terdahulu terkait manajemen risiko dan metode penurunan kapal menggunakan airbag. Literatur mengenai manajemen risiko proyek peluncuran kapal menggunakan airbag digunakan untuk 39
memahami langkah-langkah dalam melakukan analisa manajemen risiko peluncuran kapal dengan metode airbag. III.2
Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data Tahap pengumpulan dan pengolahan data ini sangat penting untuk dilakukan karena
berkaitan dengan kelanjutan daripada penelitian. Pada tahap ini dilakukannya pengumpulan data yang dibutuhkan untuk mendukung proses penelitian. Untuk data apa saja yang diperlukan dan bagaimana mengolah data yang ada akan dijelaskan di dalam flow chart tahap pengumpulan dan pengolahan data. III.3
Tahap Analisa dan Pembahasan Pada tahap ini adalah dilakukannya analisa dari hasil yang didapatkan pada pengolahan
data yaitu penilaian risiko dan memberikan suatu rekomendasi solusi agar risiko tersebut tidak terjadi lagi atau setidaknya dapat mengurangi dampak yang diakibatkannya. Penyusunan rekomendasi solusi ini dilakukan dengan diskusi dengan pihak-pihak yang dianggap expert dibidangnya. III.4
Tahap Penarikan Kesimpulan Tahap penarikan kesimpulan dan saran adalah tahapan terakhir dalam penelitian tugas
akhir ini. Kesimpulan yang ditarik nantinya dapat menjawab tujuan dari penelitian tugas akhir ini. Sedangkan saran diberikan untuk perbaikan penelitian selanjutnya. Berikut adalah Gambar 3.1 merupakan diagram atau flowchart metodologi penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir ini.
40
III.5
Flow Chart Metodologi Penelitian Berikut merupakan flow chart yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini : Mulai
Identifikasi Masalah
Perumusan Masalah
Studi Literatur
Studi Lapangan
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisa dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
SELESAI
Gambar III.1 Flow chart tugas akhir Pada Gambar III.1 merupakan flow chart metodologi tugas akhir yang dilakukan, ada empat tahapan dalam flow chart. Pertama adalah tahap persiapan yaitu meliputi perumusan masalah hingga studi penelitian, kedua adalah tahap pengumpulan dan pengolahan data terkait dengan informasi spesifikasi airbag yang tersedia, metode dan perhitungan peluncuran dengan menggunakan airbag hingga identifikasi risiko yang dapat terjadi dengan menggunakan metode FTA. Ketiga adalah tahap analisa dan pembahasan dimana hasil dari pengolahan data akan 41
dilakukan analisa lebih lanjut. Terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan, dimana hasil dari analisa dibuat suatu kesimpulan sehingga dapat menjawab setiap rumusan masalah yang telah ditetapkan pada bab sebelumnya. Untuk lebih memahami empat tahapan tersebut maka perlu dijelaskan sebagai berikut: Tahap Persiapan Tahap persiapan merupakan tahap awal metodologi yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian lebih lanjut. Untuk lebih jelas Gambar 3.2 menjelaskan secara detil bagaimana tahap persiapan yang harus dilakukan.
Gambar III.2 Flow chart tahap persiapan Gambar III.2 merupakan flow chart pada tahap persiapan, pada tahap ini telah ditetapkan beberapa rumusan masalah dan tujuan. Kemudian dilakukan studi penelitian yang terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka merupakan kegiatan untuk mengumpulkan literatur yang terkait penelitian meliputi: pembahasan penelitian terdahulu yang sudah dilakukan yang terkait penelitian tugas akhir ini, metode penurunan kapal menggunakan
42
airbag, regulasi-regulasi yang mengatur, dan menggunakan metode penilaian dan mitgasi risiko apa. Sedangkan untuk studi lapangan dilakukan dibeberapa perusahaan baik galangan kapal ataupun perusahaan airbag yang ada di sekitar Surabaya. Untuk studi lapangan ini bermaksud untuk memenuhi segala kebutuhan akan data yang akan digunakan di dalam pengerjaan tugas akhir ini. Data yang dibutuhkan meliputi perhitungan peluncuran kapal dengan menggunakan metode airbag, data kegagalan maupun kesuksesan di dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag, informasi teknis, dan standart regulasi yang mengatur. Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data Berikut ini adalah flow chart daripada tahap pengumpulan dan pengolahan data :
Gambar III.3 Flow chart tahap pengumpulan dan pengolahan data Pada Gambar III.3 dapat dilihat bahwa pada proses pengumpulan data diperoleh beberapa data meliputi : spesifikasi airbag yang tersedia pada galangan kapal yang diteliti, fasilitas-fasilitas pendukung apa saja yang diperlukan di dalam meluncurkan kapal dengan menggunakan metode airbag, informasi ketahanan beban dan tekanan airbag yang tersedia sesuai dengan spesifikasi, identifikasi risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi di dalam proses meluncurkan kapal menggunakan airbag, informasi tentang mitigasi risiko dengan menggunakan metode FTA (Fault Tree Analysis). Dalam proses mengumpulkan data dapat dilakukan dengan wawancara kepada beberapa orang yang dianggap ahli dibidangnya ataupun dengan mencari dokumen yang telah ada.
43
Setelah proses pengumpulan data dilakukan dapat dilanjutkan dengan mengolah data yang ada, kegiatan-kegiatan ini meliputi: mengidentifikasi risiko berdasarkan fasilitas pendukung yang tersedia di galangan dan kondisi airbag serta tempat peluncuran rampway, melakukan evaluasi risiko dengan tujuan dapat dilakukannya rekomendasi solusi. Tahap Analisis dan Pembahasan Pada tahap analisis dan pembahasan ini merupakan lanjutan dari tahap pengolahan data. Berikut gambaran kegiatan dalam tahap analisa dan pembahasan :
Gambar III.4 Flow chart analisa dan pembahasan Dari Gambar III.4 dapat dilihat tahapan kegiatan pada analisa dan pembahasan antara lain menyusun masing-masing tingkat risiko yang dapat terjadi, menyusun rekomendasi risiko dan menuliskan rekomendasi tindakan control atau pengendalian risiko. Tahap Penarikan Kesimpulan Setelah dilakukan analisa dan pembahasan tahap selanjutnya adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini harus sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan awal penelitian. Dimana kesimpulan harus bisa menjawab tujuan yang telah dijelaskan. Berikut adalah Gambar 3.5 yang merupakan langkah dalam penarikan kesimpulan yang dilakukan dalam penelitian :
Gambar III.5 Flow chart penarikan kesimpulan
44
Pada tahap penarikan kesimpulan ini merupakan hasil dari segala proses yang dilakukan. Pada tahap ini risiko yang telah diidentifikasi diberikan tindakan preventif apa yang harus diambil dalam mencegah ataupun mengurangi dampak daripada risiko. Selain itu juga disisipkan saran yang berkaitan dengan pengembangan dari penelitian ini untuk diteliti lebih lanjut. Setelah semua itu didapatkan dapat dilakukannya pembuatan laporan untuk hasil dari penelitian dan juga sebagai bukti fisik bahwa penelitian ini telah dilakukan.
45
Halaman ini sengaja dikosongkan
46
BAB IV PERHITUNGAN DAN IDENTIFIKASI RISIKO PELUNCURAN KAPAL DENGAN AIRBAG IV.1
Informasi Teknis Airbag Informasi teknis daripada airbag yang akan digunakan sangat penting peranannya. Pada
peluncuran kapal dengan metode airbag diperlukan informasi teknis airbag yang tepat agar proses peluncuran dapat berjalan dengan lancar. Dari informasi teknis tersebut dapat diketahui berapa jumlah airbag yang dibutuhkan untuk menurunkan kapal. Setelah jumlah airbag yang dibutuhkan diketahui, maka jarak antar airbag dapat ditentukan dengan membagi besaran panjang lunas kapal dengan jumlah airbag yang dihasilkan dari proses perhitungan. Oleh karena itu diperlukan data informasi teknis airbag yang akan digunakan dengan akurat. Jika perlu dilakukan kembali pengujian sebelum menggunakan airbag tersebut demi memastikan bahwa spesifikasi yang terdapat pada informasi teknis sesuai dengan yang diberikan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jarak antar airbag tidak boleh melebihi 6 meter (Persamaan II.6). Jika jarak antar airbag yang dihasilkan lebih dari 6 meter maka perlu mengganti airbag yang akan digunakan dan dilakukan perhitungan kembali. Hal tersebut bisa terjadi karena dipilihnya spesifikasi airbag yang melebihi dari kapasitas beban yang diberikan oleh kapal, sehingga jumlah airbag yang dibutuhkan sedikit sehingga menghasilkan perhitungan jarak antar airbag yang besar. Terdapat bermacam-macam spesifikasi teknik dari airbag yang berada dipasaran. Namun untuk airbag yang digunakan harus disesuaikan dengan kondisi lahan dan kapasitas yang ada di galangan tersebut. Hal ini berkaitan dengan efisiensi di dalam penggunaan airbag. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya spesifikasi airbag dapat dibedakan berdasarkan dari jumlah lapisan kulit yang digunakan (Tabel II.1). Jumlah daripada lapisan yang digunakan mulai dari 3 lapisan hingga 6 atau lebih tergantung dari kebutuhan kekuatan yang dibutuhkan. Data Spesifikasi Airbag Berikut ini adalah Tabel IV.1 s/d Tabel IV.4 daftar data spesifikasi airbag yang ada di salah satu perusahaan airbag Indonesia. Data spesifikasi airbag dapat dijadikan sebagai acuan dalam menghitungkan peluncuran kapal menggunakan airbag. Data ini berupa besaran diameter airbag, tekanan kerja (working pressure), working height dan ketahanan (bearing capacity) daripada airbag tersebut. 47
Tabel IV.1 Spesifikasi airbag 3 lapisan (layers) Diameter
Tekanan Kerja
D= 0.8m 0.13 Mpa (18.85 (D= 2.62 ft) psi)
D= 1.0 m (D= 3.28 ft)
0.1 Mpa (14.50 psi)
D= 1.2 m ( D= 4.92 ft)
0.09 Mpa (13.05 psi)
D= 1.5 m 0.07 Mpa (10.15 (D= 4.92 ft) psi)
48
D= 1.8 m (D= 5.90 ft)
0.06 Mpa (8.70 psi)
D= 2.0 m ( D= 6.59 ft)
0.05 Mpa (7.25 psi)
Working Height (H) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.2 m (3.936 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft)
Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang kN/m t/m 1b/ft 61.31 6.25 4200 81.72 8.33 5599 102.22 10.42 7004 122.63 12.5 8402 62.88 6.41 4308 78.58 8.01 5384 94.27 9.61 6459 110.07 11.22 7541 125.76 12.82 8617 70.73 7.21 4846 84.86 8.65 5814 98.98 10.09 6782 113.21 11.54 7756 127.33 12.98 8724 141.46 14.42 9692 66.02 6.73 4523 77.01 7.85 5276 88 8.97 6029 98.98 10.09 6782 110.07 11.22 7541 121.06 12.34 8294 132.04 13.46 9047 143.03 14.58 9800 61.61 6.28 4221 70.34 7.17 4819 79.26 8.08 5431 88 8.97 6029 96.82 9.87 6634 105.56 10.76 7232 114.38 11.66 7837 123.21 12.56 8442 132.04 13.46 9047 140.77 14.35 9645 62.88 6.41 4308 70.73 7.21 4846 78.58 8.01 5384 86.43 8.81 5921 94.27 9.61 6549 102.12 10.41 6997 110.07 11.22 7541 117.92 12.02 8079 125.76 12.82 8617 133.61 13.62 9154 141.46 14.42 9692
Tabel IV.2 Spesifikasi airbag dengan 5 lapisan (layers) Diameter
Tekanan Kerja
D= 0.8m 0.21 Mpa (30.46 (D= 2.62 ft) psi)
D= 1.0 m 0.17 Mpa (24.66 (D= 3.28 ft) psi)
D= 1.2 m ( 0.14 Mpa (20.31) D= 4.92 ft)
D= 1.5 m 0.11 Mpa (15.95 (D= 4.92 ft) psi)
D= 1.8 m 0.09 Mpa (13.05 (D= 5.90 ft) psi)
D= 2.0 m ( D= 6.59 ft)
0.08 Mpa (11.60 psi)
Working Height (H) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.2 m (3.936 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft)
Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang kN/m t/m 1b/ft 98.98 10.09 6782 132.04 13.46 9047 165 16.82 11305 198.06 20.19 13570 106.93 10.9 7326 133.61 13.62 9154 160.3 16.34 10983 187.08 19.07 12818 213.86 21.8 14652 110.07 11.22 7541 132.04 13.46 9047 154.02 15.7 10552 175.99 17.94 12058 198.06 20.19 13570 220.04 22.43 15076 99.08 10.58 7111 121.06 12.34 8294 138.32 14.1 9477 155.59 15.86 10660 172.85 17.62 11843 190.22 19.39 13033 207.48 21.15 14216 224.75 22.91 15398 99.08 10.1 6788 113.21 11.54 7756 127.33 12.98 8724 141.46 14.42 9692 155.59 15.86 10660 169.71 17.3 11628 183.94 18.75 12602 198.06 20.19 13570 212.19 21.63 14538 226.32 23.07 15506 100.65 10.26 6896 113.21 11.54 7756 125.76 12.82 8617 138.32 14.1 9477 150.88 15.38 10337 163.43 16.66 11198 175.99 17.94 12058 188.55 19.22 12918 201.2 20.51 13785 213.76 21.79 14646 226.51 23.09 15519
49
Tabel IV.3 Spesifikasi airbag dengan 6 lapisan (layers) Diameter
Tekanan Kerja
D= 0.8m 0.21 Mpa (30.46 (D= 2.62 ft) psi)
D= 1.0 m 0.17 Mpa (24.66 (D= 3.28 ft) psi)
D= 1.2 m ( 0.14 Mpa (20.31) D= 4.92 ft)
D= 1.5 m 0.11 Mpa (15.95 (D= 4.92 ft) psi)
D= 1.8 m 0.09 Mpa (13.05 (D= 5.90 ft) psi)
D= 2.0 m ( D= 6.59 ft)
50
0.08 Mpa (11.60 psi)
Working Height (H) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.2 m (3.936 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft)
Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang kN/m t/m 1b/ft 117.92 12.02 8079 157.16 16.02 10768 196.49 20.03 13463 235.73 24.03 16151 125.76 12.82 8617 157.16 16.02 10768 188.65 19.23 12925 220.04 22.43 15076 251.53 25.64 17233 133.61 13.62 9154 160.3 16.34 10983 187.08 19.07 12818 213.76 21.79 14646 240.44 24.51 16474 267.22 27.24 18309 122.63 12.5 8402 143.03 14.58 9800 163.43 16.66 11198 183.94 18.75 12602 204.34 20.83 14000 224.75 22.91 15398 245.15 24.99 16797 267.81 27.3 18349 120.96 12.33 8287 138.22 14.09 9470 155.59 15.86 10660 172.85 17.62 11843 190.22 19.39 13033 207.48 21.15 14216 224.75 22.91 15398 242.01 24.67 16581 259.38 26.44 17771 276.64 28.2 18954 125.76 12.82 8617 141.46 14.42 9692 157.16 16.02 10768 172.85 17.62 11843 188.64 19.23 12925 204.34 20.83 14000 220.04 22.43 15076 235.73 24.03 16151 251.43 25.63 17227 267.13 27.23 18302 282.92 28.84 19384
Tabel IV.4 Spesifikasi airbag dengan 7 lapisan (layers) Working Height (H) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) 0.7 m (2.296 ft) D= 1.5 m 0.163 Mpa (23.63 0.6 m (1.968 ft) 0.5 m (1.64 ft) (D= 4.92 ft) psi) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) 1.1 m (3.608 ft) 1.0 m (3.28 ft) 0.9 m (2.952 ft) 0.8 m (2.624 ft) D= 1.8 m 0.14 Mpa (15.95 0.7 m (2.296 ft) 0.6 m (1.968 ft) (D= 5.90 ft) psi) 0.5 m (1.64 ft) 0.4 m (1.312 ft) 0.3 m (0.984 ft ) 0.2 m (0.656 ft) Diameter
Tekanan Kerja
Jaminan Daya Tahan Airbag Per Satuan Panjang kN/m t/m 1b/ft 132.63 13.53 9092 153 15.6 10483 173.4 17.6 11827 193.9 19.7 13238 214.3 21.8 14649 234.75 23.9 16060 255.15 26.03 17492 277.81 28.34 19044 130.5 13.31 8944 148 15.1 10147 165.3 16.86 11329 182.5 18.62 12512 200.1 20.41 13715 217.3 22.17 14898 234.5 23.92 16074 252 25.71 17277 269.3 27.47 18459 286.5 29.23 19642
(Hage, 2014) Pada Tabel IV.1 s/d Tabel IV.4 dijelaskan bagaimana spesifikasi airbag yang ada dipasaran. Dimulai dari airbag yang hanya memiliki 3 lapisan hingga pada airbag yang memiliki 7 lapisan atau dapat disebut sebagai airbag yang memiliki daya kekuatan tinggi ( high bearing capacity). Pada Tabel IV.1 hingga Tabel IV.4 terdapat penjelasan besaran diameter, tekanan kerja, working height dan daya kekuatan yang dapat ditampung airbag. Diameter airbag tentunya akan sangat memengaruhi kekuatan airbag yang dihasilkan, contoh saja dapat dilihat pada Tabel IV.4 (airbag dengan 7 lapisan). Pada working height sama-sama 0.9 meter bearing capacity yang dihasilkan airbag yang berdiameter 1.5 meter adalah 13.53 ton/m sedangkan untuk airbag yang berdiameter 1.8 meter adalah 16.86 ton/m. Begitu juga pada working height 0.8 meter dan seterusnya, airbag yang berdiameter 1.8 meter akan selalu lebih besar bearing capacitynya dibandingkan dengan airbag yang berdiameter 1.5 meter. Daya Tampung Maksimal Airbag dalam Menahan Beban Sebelum masuk ke perhitungan peluncuran kapal menggunakan airbag perlu diketahui terlebih dahulu berapa besaran daya tampung maksimal dari airbag di dalam menopang suatu beban. Untuk menghitung besaran beban maksimum yang dapat ditampung airbag adalah sebagai berikut.
51
Gambar IV.1 Beban maksimum airbag ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar IV.1 dijelaskan bahwa airbag yang sedang menopang beban maksimal. Untuk memperoleh berapa beban atau gaya maksimal yang dapat diterima airbag dapat dihitung dengan rumus : F = ߨ/2 x (DെH) x P x b
Persamaan (IV.1)
Dimana,
IV.2
F
= beban/gaya yang dapat ditampung airbag (ton)
D
= diameter airbag (m)
H
= working height (m)
P
= working pressure (ton/m2)
b
= panjang kontak airbag dengan beban yg ditopang (m)
Informasi Teknis yang Harus Dipenuhi Di dalam Peluncuran Menggunakan Airbag Dalam meluncurkan sebuah kapal dengan menggunakan metode airbag, perlunya
informasi-informasi teknis apa saja yang harus diketahui sebelum melakukan peluncuran kapal. Hal ini demi memastikan bahwa peluncuran kapal dapat berjalan dengan lancar dan keselamatan kapal dapat terjamin. Seperti pertimbangan yang perlu dilakukan dalam pemilihan sistem pemasangan airbag dan alat bantu apa saja yang dibutuhkan pada peluncuran kapal menggunakan airbag. 52
Pengaturan Pemasangan Airbag Pengaturan susunan dari airbag sangat penting untuk dilakukan untuk alasan safety baik untuk launching bangunan baru ataupun untuk kapal pada saat docking. Semua kondisi termasuk dari dimensi kapal, penyebaran berat, kondisi tempat peluncuran kapal dan water level dijadikan pertimbangan untuk menentukan bagaimana penyusunan airbag nantinya. Untuk pemasangan airbag dapat disesuaikan berdasarkan panjang dan lebar kapal. A.
Panjang Kapal Semua kantung udara (airbag) harus diletakan pada pusat kapal. Airbag yang
dipasangkan pada kapal makin banyak maka peluncuran kapalpun akan lebih aman dan safety. Maksimal dari jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 meter. Jarak minimal antar airbag dapat ditentukan berdasarkan diameter airbag yang digunakan. Berikut adalah tabel dari jarak minimum antar airbag berdasarkan dari diameter airbag yang digunakan : Tabel IV.5 Jarak minimum antar airbag Airbag Diameters Minimum Spaces
1.0 m 1.5 m
1.2 m 1.8 m
1.5 m 2.2 m
1.8 m 2.8 m
2.0 m 3.0 m
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Dapat dilihat pada Tabel IV.5 bahwa untuk diameter airbag 1 m jarak minimal antar airbag adalah 1.5 m. Begitu juga untuk yang lainnya, semakin besar diameter daripada airbag maka jarak minimal yang diperbolehkan juga semakin besar. Namun data diatas bukanlah merupakan sebuah acuan untuk pemasangan jarak antar airbag, karena hal tersebut juga dibutuhkan suatu perhitungan yang tepat sehingga dapat dipasangnya airbag dengan seefektif mungkin. Jarak antar airbag sangat dipengaruh dengan kondisi dari kebutuhan kapal dan spesifikasi airbag seperti apa yang akan digunakan. Namun yang pasti jarak airbag tidak boleh lebih dari 6 m dan itu sebuah aturan mutlak yang tertulis dalam Standard International (ISO 14409, 2011). B.
Lebar Kapal x
Jika panjang dari airbag lebih panjang dari lebar kapal maka airbag hanya perlu diletakkan pusat/tengah badan kapal.
x
Jika panjang airbag kurang dari lebar kapal namun lebih panjang dari ½ lebar kapal yang seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 maka airbag harus dipasangkan cross over (berseberangan) satu sama lain
x
Jika panjang airbag kurang ½ lebar kapal maka airbag-airbag tersebut harus disusun menjadi dua baris kearah memanjang kapal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. 53
Sangat tidak disarankan menyusun airbag menjadi 3 baris karena akan membahayakan kapal pada saat peluncuran. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ilustrasi gambar dibawah ini :
Gambar IV.2 Penyusunan airbag metode cross over ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
Gambar IV.3 Penyusunan airbag metode 2 baris ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Selain 3 faktor diatas juga perlu diperhatikannya pendistribusian beban kapal. Perlu diketahui pada bagian pada badan kapal yang mana yang memiliki beban yang paling berat, hal tersebut untuk menentukan seberapa banyak airbag harus dipasang. Untuk pada bagian kapal yang lebih berat diperlukan jumlah airbag yang lebih banyak juga. Selain itu juga water level atau tinggi rendahnya permukaan air laut juga dapat mempengaruhi dalam hal penyusunan dan jarak antar airbag. Alat Bantu Peluncuran Kapal Menggunakan Airbag Alat bantu yang harus dipenuhi di dalam peluncuran airbag yang setidaknya tersedia yaitu winch, rigging (kawat baja) dan airbag sendiri. Untuk kapasitas winch ditentukan berdasarkan berat peluncuran dan besaran sudut kemiringan landasan. Untuk gaya gesek yang dihasilkan dari hasil perputaran airbag yang bersentuhan dengan landasan dipengaruhi oleh 54
situasi daripada kondisi landasan peluncuran dan gaya tekan yang diperoleh airbag (bearing force). Biasanya pada peluncuran kapal menggunakan airbag untuk besaran gaya gesek diestimasi sekitar 0.006 s/d 0.01. Untuk menyukseskan meluncurkan kapal dengan metode airbag hal-hal yang harus terpenuhi adalah : 1.
Kapasitas winch memenuhi atau sesuai dengan yang dibutuhkan. Normalnya untuk mendapatkan kapasitas winch yang maksimal perhitungan yang dilakukan dikalikan lagi dengan faktor keamanan sebesar 1.5 s/d 2 kalinya.
2.
Ketahanan daripada landasan harus lebih besar dari besaran inner pressure airbag.
3.
Pilih airbag yang sesuai. Airbag dengan diameter 1 biasanya lebih sering dipilih karena memiliki working height yang cukup besar yaitu hingga mencapai 0.2 m. Untuk bagian depan kapal bisa ditambahkan airbag tambahan, hal ini bersifat opsional biasanya untuk kapal yang memiliki bulbous bow.
4.
Pada umumnya kapal harus ditahan dengan 4 tali kawat baja untuk memastikan kapal tidak oleng atau kehilangan keseimbangan
Gambar IV.4 Contoh penggunaan winch pada peluncuran kapal ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar IV.4 adalah contoh penggunaan winch pada peluncuran kapal menggunakan airbag yang benar. Dengan menggunakan kombinasi 4 tali kawat yang mana sudah sesuai dengan standar dimana tali kawat baja tersebut harus mampu untuk menahan tegangan yang dihasilkan oleh winch dan kapal yang akan diluncurkan. Semakin banyak 55
kombinasi yang digunakan maka akan semakin sedikit tegangan yang dihasilkan, karena tegangan tadi yang dibagi merata kepada tiap kawat baja yang ada. IV.3
Perhitungan Peluncuran Kapal Kontainer Dalam kasus kali ini penulis memilih untuk meneliti kapal container 100 TEUs. Alasan
mengapa penulis memilih kapal tersebut adalah karena kapal ini masih dalam tahap desain dan memiliki gambar konstruksi yang lengkap yaitu berupa general arrangement, construction profile dan midship section. Walaupun ada sedikit kekurangan yaitu gambar lines plan, namun lines plan tersebut dapat dimodelkan dengan bantuan suatu software permodelan Maxsurf. Data-data yang diperlukan di dalam perhitungan peluncuran kapal menggunakan airbag seperti ukuran utama, displasemen kapal, dan daya mesin dapat diperoleh dari data yang dicantumkan pada gambar construction profile ataupun general arrangement. Namun untuk data CSA (curved section area) dan titik berat kapal dapat diperoleh dari Maxsurf setelah dibuatnya model kapal container tersebut. Untuk data-data diatas sudah cukup untuk melakukan perhitungan peluncuran kapal container menggunakan airbag. Hasil akhir daripada proses perhitungan ini adalah berupa gambar Kurva Bonjean dan Kurva Peluncuran. Berikut ini adalah Tabel IV.6 yaitu input data yang dibutuhkan sebelum melakukan perhitungan peluncuran kapal dengan metode airbag. Tabel IV.6 Data yang diperlukan untuk perhitungan Kapal
Landasan
Airbag
Panjang, Lebar, Tinggi Sarat Depan dan Belakang
Kemiringan, Panjang, Lebar
Spesifikasi
Bearing Capability
Initial Pressure
Distribusi Gravitasi
Koefisien Gaya Gesek
Performa
LCG, VCG
Jadwal Air Pasang
Koefisien Blok
Water Survey
( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Tabel IV.6 yang perlu diperhatikan dalam menghitung peluncuran kapal menggunakan metode airbag menurut salah satu perusahaan galangan terbesar di China adalah kapal itu sendiri, landasan dan airbag yang akan digunakan. Untuk kapal data-data yang diperlukan untuk proses perhitungan adalah panjang, lebar, tinggi, sarat depan, sarat belakang, 56
distribusi beban, titik berat LCG dan VCG, dan koefisien blok (CB) pada kapal itu sendiri. Sedangkan untuk kondisi landasan yang perlu diketahui adalah kemiringan, panjang, lebar, bearing capability (ketahanan landasan), keofisien gaya gesek, kapan terjadi air pasang, water level (kedalaman air). Selanjutnya untuk pemilihan airbag, spesifikasinya harus bisa menyesuaikan dengan yang dibutuhkan pada proses peluncuran. Jumlah airbag yang digunakan tergantung dari spesifikasi airbag yang telah dipilih lalu dihitung dengan Persamaan (II.1). Spesifikasi airbag termasuk pada initial pressure dan performa dari pada airbag itu sendiri. Performa yang dimaksudkan disini adalah besaran maksimum bearing capacity (ketahanan) daripada airbag. Gambar Konstruksi Kapal Kontainer 100 TEUs 4.3.1.1 General arrangement Berikut ini adalah contoh gambar rencana umum daripada kapal container yang diteliti :
Gambar IV.5 General arrangement kontainer 100 TEUs Pada gambar rencana umum Gambar IV.5 dijelaskan bahwa kapal memiliki panjang Loa sebesar 74.05 m, Lpp 69.2 m, lebar (B) 17.2 m, tinggi (H) 4.9 m, dan sarat (T) 3.7 m serta 57
kecepatan kapal yang dapat mencapai 12 knots. Jika diteliti lebih lanjut kapal ini memiliki bentuk badan yang sangat gemuk dapat dilihat dari hasil B/H atau perbandingan antara lebar kapal dengan tinggi kapal yang mana memiliki harga yang cukup besar. Jika dilihat dari kondisi kapal, kapal ini sangat cocok diluncurkan dengan menggunakan metode airbag karena memiliki perbandingan lebar yang cukup besar dibandingkan dengan tingginya. Risiko yang kemungkinan terjadipun dapat dikatakan sedikit. 4.3.1.2 Construction profile Berikut ini adalah gambar kontruksi profil daripada kapal container 100 TEUs :
Gambar IV.6 Construction profile kapal kontainer 100 TEUs Dari Gambar IV.6 construction profile tersebut penulis mendapatkan data tambahan berupa daya mesin kapal sebesar 2 x 1400 HP, koefisien blok kapal sebesar 0.78, displasemen kapal sebesar 3327 ton dan notasi dari kapal tersebut. 4.3.1.3 Midship Section Berikut ini adalah gambar midship section daripada kapal container 100 TEUs :
58
Gambar IV.7 Midship Section kapal kontainer 100 TEUs Dari Gambar IV.7 midship section penulis mengetahui detail ukuran pelat-pelat apa saja dan berapa ukurannya yang digunakan dalam pembangunan kapal tersebut. Selain itu gambar dari midship section sendiri dapat membantu penulis dalam permodelan bentuk di Maxsurf sehingga ada acuan akan seperti apa model yang dibuat nanti. Membuat Model Linesplan di Maxsurf Dalam perhitungan peluncuran kapal dengan metode apapun dibutuhkan data kapal yang sangat vital yaitu besaran luas penampang pada kapal per station atau dapat disebut dengan CSA (Curve Sectional Area). Mengapa hal tersebut sangat vital, karena tanpa adanya data tersebut penulis tidak dapat menentukan bagaimana gaya angkat yang dihasilkan oleh kapal tersebut. Karena data CSA pada kapal ini tidak ada penulis harus memodelkan kapal ini di Maxsurf. Hal pertama yang harus dilakukan dalam memodelkan kapal di Maxsurf adalah menentukan pemilihan sample design yang sudah ada. Karena kapal ini container maka sample design yang harus dipilih juga harus container. Sample design yang dipilih adalah ‘Containership.msd’ yang digunakan sebagai desain awal dari model kapal ini.
59
Gambar IV.8 Sample design yang dipilih Pada Gambar IV.8 dapat dilihat bahwa terdapat sample design dari beberapa jenis kapal. Sample design merupakan salah satu fitur yang dimiliki langsung oleh software Maxsurf untuk memudahkan pengguna yang ingin membuat suatu design kapal. Untuk sample design yang dipilih oleh penulis tentunya containership karena data kapal yang didapatkan merupakan kapal jenis kontainer. Setelah sample design dipilih maka spesifikasi yang didapatkan belum pasti sesuai dengan yang diinginkan. Oleh karena itu perlu dilakukannya perubahan spesifikasi dari kapal sesuai dengan yang dibutuhkan. Mengubah spesifikasi kapal hingga dapat sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan dilakukan dengan berbagai cara. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan sarat yang sama dengan kapal yang ingin dihitung. Selanjutnya menyesuaikan panjang, tinggi dan lebar kapal melalui control point yang terdapat pada software Maxsurf. Setiap tahap perubahan yang dilakukan perlu dilakukan pengecekan pada perintah calculate of hydrostatic. Item-item yang perlu diperhatikan kesamaannya adalah koefisien blok kapal (CB), LWL (length water line), Lpp (length between perpendicular), Loa (length overall), sarat, tinggi, lebar, dan volume displasemen kapal. Dari sample design yang telah dipilih didapatkan data yang sangat berbeda dengan data kapal yang dibutuhkan. Berikut ini adalah data dari sample design.
60
Gambar IV.9 Data kurva hidrostatik sample design Dapat dilihat dari gambar IV.9 bahwa displasemen kapal dari sample design yang dipilih memiliki displasemen kapal sebesar 34676 ton sedangkan displasemen yang dibutuhkan adalah sekitar 3400 ton. Selain itu CB (Coefisien Block) pada sample design masih 0.511 sedangkan CB yang dibutuhkan adalah sekitar 0.78. Untuk memperbesar besaran CB yang harus dilakukan adalah dengan cara memperbesar luas penampang daripada kapal. Selain itu Lwl, lebar kapal, tinggi dan sarat kapal pada Maxsurf juga masih berbeda. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah besaran sarat dengan sarat yang dibutuhkan. Sarat bisa diubah dengan cara mengakses Data, lalu pilih Frame Of Reference setelah itu ubah DWL dengan besaran 3700 mm. Berikut ini adalah Gambar IV.10.
61
Gambar IV.10 Tampilan window Frame of Reference Maxsurf Setelah mengubah sarat menjadi ke sarat yang dibutuhkan pada Gambar IV.10 pilih Set to DWL lalu klik OK. Hal ini dilakukan untuk acuan dalam mengubah model kapal untuk dijadikan model yang dibutuhkan. Setelah sarat diubah maka panjang, lebar dan tinggi kapal serta CB dapat diubah secara manual dengan cara menarik control point yang ada lalu ditarik sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Setelah itu kurva hidrostatik kapal yang baru dapat dilihat dengan cara mengakses data, lalu ke calculate hydrostatic maka akan muncul tampilan data kurva hidrostatik kapal yang baru. Berikut ini adalah Gambar IV.11 yaitu besaran kurva hidrostatik setelah dilakukan perubahan.
62
Gambar IV.11 Tampilan kurva hidrostatik baru Pada permodelan di Maxsurf hal terpenting yang harus diperhatikan adalah besaran CB, dimana sebisa mungkin besaran CB harus setidaknya sama dengan yang ada pada gambar konstruksi. Pada Gambar IV.11 bahwa besaran CB sudah mencapai 0.781 dimana yang dibutuhkan adalah sebesar 0.78. Hal ini sudah dapat dianggap bahwa model kapal yang baru sudah pantas untuk dijadikan acuan di dalam menentukan besaran CSA. Setelah perubahan model dilakukan maka untuk berapa station yang dibutuhkan kapal tersebut dapat ditentukan. Untuk mengubah station dapat mengakses data lalu pilih grid spacing maka akan muncul tampilan sebagai berikut.
63
Gambar IV.12 Tampilan window Grid Space pada Maxsurf Gambar IV.12 adalah tampilan window dari grid space yang terdapat pada software Maxsurf. Untuk mengubah berapa station yang dibutuhkan pada tampilan diatas dapat dipilih space. Setelah itu dapat ditentukan berapa banyak station yang ingin digunakan. Berikut ini adalah Gambar IV.13 yaitu contoh tampilan dari space station.
Gambar IV.13 Tampilan Space Stations Setelah tampilan space stations muncul (Gambar IV.13) maka dapat dilakukan perubahan jumlah station sesuai dengan yang diinginkan. Untuk kasus ini penulis memutuskan untuk membuat 20 station lalu dibagi dengan panjang kapal pada model yang baru dengan memilih evenly along the length of the model. Setelah itu dapat dihitung langsung CSA per station dengan mengexport gambar body plan dari Maxsurf ke autocad. Berikut ini adalah tampilan body plan dari maksurf setelah dilakukan pembagian station.
64
Gambar IV.14 Tampilan body plan pada Maxsurf Pada gambar IV.14 dapat dilihat bahwa garis yang berwarna kuning adalah garis DWL atau sarat, sedangkan untuk garis yang berwarna hijau muda adalah station kapal. Setelah itu gambar dari Maxsurf dapat di export ke autocad untuk dicari luasan penampang tiap stationnya. Menghitung Luas CSA Kapal Kontainer 100 TEUs Setelah permodelan pada Maxsurf selesai maka proses perhitungan CSA sudah dapat dilakukan. Body plan yang telah di export ke autocad di pecah setiap stationnya agar lebih mudah dan akurat di dalam menghitung luas. Berikut ini adalah contoh gambar untuk perhitungan luas penampang pada masing-masing station.
Gambar IV.15 Tampilan window luas station 9 dan 10 pada autocad Gambar IV.15 merupakan contoh dalam melakukan perhitungan luas penampang (CSA) pada station 9 dan 10. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemisahan masing-masing station agar lebih mudah dalam menentukan luasannya. Setelah masing-masing station dipisah menjadi satu bagian penulis membagi WL menjadi WL 1, WL 2, WL ,3, WL 3.7 (sarat) dan WL 4.9 (main deck). Agar luas 65
penampang dapat ditentukan hal pertama yang harus dilakukan adalah memberikan hatch pada luasan yang ingin di cari yaitu dengan cara memberikan command hatch pada masing-masing luasan yang ingin diketahui. Setelah pada luasan diberikan hatch maka luasan dapat dilihat dengan menggunakan command list dengan cara klik hatch pada luasan yang ingin diketahui lalu akan muncul tampilan yang menjelaskan bahwa berapa luasan yang telah diberikan hatch/blok. Contoh pada station 10 WL 1 didapatkan besaran luas 7.088 m2, harga tersebut dikalikan dua karena yang di hatch hanya bagian setengah kapal sehingga didapatkan luas pada station 14.176 m2. Setelah masing luas penampang pada tiap station diketahui penulis dapat membuat kurva bonjean yang mana diperlukan untuk proses perhitungan volume kapal sehingga gaya angkat kapal pada masing-masing station dapat diketahui. Untuk membuat kurva bonjean luas penampang tiap station yang telah diketahui di input nilai dan dihitung dengan menggunakan software Microsoft Excel. Luasan masing-masing station di skala dengan tujuan agar pas pada bidang gambar kertas. Untuk kasus kali ini diberi skala 1:2 pada masing-masing luas station dan 1:40 pada tinggi WL. Setelah itu maka koordinat gambar bisa dibuat dengan dengan menentukan (x,y), untuk x adalah luasan station sedangkan untuk sumbu y adalah untuk WL. Setelah koordinat selesai harus ditentukan langkah peluncuran, dalam kasus ini penulis membagi langkah peluncur hingga 10 langkah peluncuran. Langkah peluncuran ini dibagi atas panjang kapal atau LWL. Setelah proses perhitungan selesai maka gambar dapat di plot ke autocad. Berikut ini adalah gambar kurva bonjean daripada kapal container 100 TEUs.
66
Gambar IV.16 Kurva bonjean kontainer 100 TEUs Cara menghitung besaran luas untuk tiap wl (water line) yang ingin diketahui dapat dengan mengukur jarak dari garis station yang lurus dengan yang melengkung (biru) dan dikalikan skala yang dapat dilihat pada Gambar IV.16. Hal ini diperlukan untuk selanjutnya dihitung volumenya untuk kebutuhan perhitungan gaya angkat pada kapal ditiap masingmasing station. Untuk garis miring bidang gambar merupakan garis daripada langkah-langkah peluncuran. Perhitungan Peluncuran Kontainer 100 TEUs dengan Airbag Untuk perhitungan peluncuran kapal dengan menggunakan airbag sebenarnya tidak berbeda jauh dengan peluncuran kapal memanjang menggunakan slipway. Perbedaannya hanya pada sarana peluncuran, jika pada peluncuran kapal dengan airbag menggunakan kantung udara sedangkan untuk peluncuran kapal slipway menggunakan airbag sebagai sarana peluncurannya. Selain itu keuntungan menggunakan airbag untuk sarana peluncuran adalah tidak memberikan tambahan beban melainkan memberikan tambahan gaya angkat. Untuk gaya-gaya yang terjadi pada peluncuran airbag bahwasanya tidak berbeda dengan gaya-gaya yang dihasilkan pada peluncuran slipway. Namun pada peluncuran kapal menggunakan airbag diperlukannya perhitungan kapasitas winch yang pastinya besaran gaya yang dihasilkan winch harus lebih besar jika dibandingkan dengan gaya yang dihasilkan oleh kapal. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa peluncuran kapal dengan menggunakan 67
airbag dapat berjalan dengan lancar dan aman. Sebelum masuk lebih jauh ke proses perhitungan, harus tahu lebih dahulu ukuran utama kapal yang ingin dihitung. Berikut ini adalah Tabel IV.7 ukuran utama kapal container 100 TEUs. Tabel IV.7 Ukuran utama kontainer 100 TEUs
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Item Type kapal Lpp Lwl Bmld Hmld Tmld Cb Vs Displacement LCB hdb MTC LCF dari Midship
Value Container 69.220 72.000 17.200 4.900 3.700 0.780 12.000 3,574.022 -1.410 1.200 211.504 -2.110
Satuan m m m m m knots m3 m m Ton / cm² m
Setelah ukuran utama diketahui dilakukannya perhitungan berat kapal kosong atau LWT untuk mengetahui besar berat peluncuran. Untuk kasus kali ini berat peluncuran yang dihitung ada 3 item yaitu hull, deckhouse dan machinery equipments. Proses perhitungan dilakukan dengan cara pendekatan yang terdapat pada Practical Ship Design ataupun Parametric Design (dapat dilihat pada lampiran). Setelah proses perhitungan selesai didapatkan besaran berat dan titik berat pada masing-masing item. Berikut ini adalah Tabel berat peluncuran. Tabel IV.8 Berat peluncuran
No. 1 2 3
Bagian Kapal Hull Deckhouse Machinery S1 =
Berat (ton) 891.64 39.03 150.58 1081.25
LCG -1.56 -27.66 -25.91 S2 =
Hasil -1390.97 -1079.52 -3901.50 -6371.99
Dari Tabel IV.8 didapatkan bahwa berat dari peluncuran adalah sebesar 1081.25 ton namun karena ada koreksi sebesar 7% sehingga berat peluncuran total menjadi 1156.94 ton dan titik berat terhadap midship dapat dihitung dengan pembagian antara S 2/S1 yaitu pembagian antara momen dengan berat peluncuran yang dihasilkan. Selanjutnya untuk sepesifikasi airbag
68
yang digunakan dipilih airbag yang memiliki diameter 1 m dengan spesifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel IV.9 Spesifikasi airbag yang digunakan Diameter Working Pressure Working Height (m) (Mpa) (m) 0.60 0.50 1.00 0.1 (14.5 psi) 0.40 0.30 0.20
Bearing Capacity per unit length kN/m t/m 1b/ft 62.88 8.33 4308.00 78.58 10.41 5384.00 94.27 12.49 6459.00 110.07 14.58 7541.00 125.76 16.66 8617.00
(Hage, 2014) Tabel IV.9 adalah penjelasan spesifikasi airbag yang telah dipilih. Untuk spesifikasi airbag yang dipilih untuk beban maksimum yang dapat ditampung (bearing capacity) oleh adalah 16.66 t/m dengan working height 0.2 m. Jika bearing capacity airbag diketahui maka jumlah airbag yang dibutuhkan dapat dihitung, dalam kasus ini jumlah airbag yang digunakan sebanyak 20 buah dan volume dari airbag sebesar 10.34 m3 (untuk lebih jelasnya dapat dilihat dilampiran). Selanjutnya jika semua perhitungan pra luncur selesai dilakukan maka sudah dapat mulai ke tahap selanjutnya yaitu analisa tahapan periode yang dibagi menjadi 3 yaitu periode 1, 2 dan 3. 1.
Periode I
: Periode dimana kapal mulai bergerak di atas landasan luncur hingga
kapal mulai menyentuh permukaan air. 2.
Periode II
: Tahap peluncuran yang dimulai dari akhir periode I sampai kapal mulai
mengapung di air karena gaya apung kapal tersebut dan tambahan gaya angkat yang diberikan oleh airbag (mendapat gaya tekan ke atas). 3.
Periode III
: Tahap peluncuran dimulai dari akhir periode II sampai kapal
meninggalkan landasan luncur dan terapung bebas (tidak menyentuh landasan). Pada periode 1 yang perlu dilakukan adalah menganalisa gaya-gaya apa saja yang dapat terjadi pada kapal saat masih berada diatas airbag. Berikut ini adalah gambaran gaya-gaya yang bekerja pada kapal saat masih berada diatas landasan.
69
Gambar IV.17 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 1 Gambar IV.17 menjelaskan bahwa pada periode 1 dapat ditentukan bahwa besaran gaya yang dihasilkan oleh kapal (F1) sebesar berat peluncuran dikalikan sin α (sudut kemiringan landasan terhadap garis air). Selain itu juga pada peluncuran airbag terdapat gaya gesek sebesar (F2), walaupun gaya gesek yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan peluncuran slipway hal ini juga masih harus dihitung besarnya. Untuk kemiringan landasan diambil sebesar 20. Untuk F1 didapatkan hasil perhitungan 49.2 ton dan F3 didapatkan hasil 23.54 ton. Sedangkan untuk kapasitas winch minimal harus sama dengan F1+F3 yang mana kapasitas minimal setidaknya harus dapat menahan 72.75 ton atau 712.92 kN. Pada periode II, gaya apung telah terjadi pada kapal. Reaksi landasan yang tersebar hanya di lihat resultannya saja. Untuk menghitung besar dan letak resultan ini, maka digunakan persamaan keseimbangan sebagai berikut : DL + PL + R = 0
Persamaan (IV.2)
DLlSD + PLlSP + RlSR = 0
Persamaan (IV.3)
x
Keseimbangan gaya : Pada Persamaan (IV.2 )
x
Keseimbangan momen terhadap ujung depan airbag : Pada Persamaan (IV.3)
Dimana : DL
= gaya apung
PL
= gaya berat
lSD
= lengan DL terhadap ujung haluan airbag
lSP
= lengan PL terhadap ujung haluan airbag
R
= resultan reaksi landasan
lSR
= lengan R terhadap ujung haluan airbag
Lengan-lengan dapat dihitung dengan rumus berikut: 70
" SP
LS L A x P dengan x = jarak titik berat dari AP P
Persamaan (IV.4)
" SD
LS L A x D dengan x = jarak titik apung dari AP D
Persamaan (IV.5)
DL dan xD dihitung dengan bantuan kurva Bonjean atau cara lain. Sarat buritan dapat dihitung dengan rumus berikut :
TA
(m s ) tan T
Persamaan (IV.6)
Dimana : m = jarak dari AP ke badan kapal yang paling dulu menyentuh air s = langkah kapal Langkah 0 adalah kedudukan kapal pada saat badan kapal pertama kali menyentuh air. Selanjutnya langkah dihitung dari langkah 0 ke kedudukan kapal pada suatu saat. Jadi ada dua persamaan dengan dua yang tidak diketahui, sehingga besar dan letak resultan dapat dihitung. Setelah itu maka besar intensitas beban di ujung-ujung airbag dapat dihitung dengan rumus qH dan qB di atas. Dapat terjadi bahwa diukur dari ujung airbag, letak resultan kurang dari 1/3 panjang airbag. Dalam hal ini beban tersebar dalam bentuk segitiga yang panjangnya 3 kali jarak resultan ke ujung airbag dan luas segitiga sama dengan besar resultan. Berikut ini adalah gaya-gaya yang bekerja pada periode 2.
Gambar IV.18 Gaya yang bekerja pada periode 2 Dari Gambar IV .18 dapat dilihat bahwa terhadap ujung haluan airbag, gaya berat memutar kapal berlawanan arah dengan jarum jam dan gaya apung memutar kapal searah dengan jarum jam. Jika momen gaya apung terhadap ujung darat airbag sudah sama besar dengan momen gaya berat terhadap titik yang sama, maka buritan kapal mulai terangkat dan reaksi landasan terpusat di ujung darat airbag. Saat ini disebut angkat buritan atau sternlift. 71
Pada saat itu besar reaksi landasan sama dengan selisih DL dan PL dan akan terpusat di ujung haluan airbag, hingga lR = 0. Namun disamping itu juga masih ada gaya angkat tambahan dari airbag yang membantu kapal agar tetap seimbang.
Gambar IV.19 Gaya yang bekerja pada awal periode 3 Pada kapal yang bagian buritannya kurus sekali atau jika sudut kemiringan landasan terlalu kecil, dapat terjadi bahwa sampai titik berat kapal melewati ujung landasan, angkat buritan belum terjadi. Persamaan keseimbangan menjadi: x
Keseimbangan gaya :
x
Keseimbangan momen terhadap ujung landasan :
Lengan-lengan dapat dihitung dengan rumus berikut: " TD
ms
h O xD tan T
" TP
ms
h O xP tan T
Persamaan (IV.7) Persamaan (IV.8)
Dimana : h
= besaran working height airbag
λ
= panjang landasan yang berada di dalam air Dari Gambar IV.19 terlihat bahwa terhadap ujung landasan, gaya berat memutar kapal
berlawanan arah dengan jarum jam dan gaya apung memutar kapal searah dengan jarum jam. Jika momen gaya apung terhadap ujung landasan lebih kecil dari momen gaya berat terhadap titik yang sama, maka kapal akan berputar berlawanan arah dengan jarum jam. Kejadian ini disebut jungkit atau tipping. Pada saat itu besar reaksi landasan sama dengan selisih D L dan PL 72
dan akan terpusat di ujung landasan. Reaksi terpusat ini dapat merusakkan landasan, airbag maupun dasar kapal dan karenanya sebisa mungkin dihindari dan gaya angkat dari airbag sangat membantu dalam hal terhindarnya dari masalah tersebut. Kalau tidak dapat dihindari, jungkit hanya boleh terjadi untuk jarak yang sangat pendek. Setelah jungkit terjadi, gaya apung dan momennya akan terus bertambah (karena kapal masih akan terus bergerak), sehingga kapal akan berputar searah jarum jam dan duduk lagi di landasan sehingga reaksi landasan akan tersebar lagi. Setelah ini biasanya angkat buritan akan terjadi. Setelah kapal mengalami stern lift dan dianggap bahwa kapal masih duduk di landasan, maka didapatkan bahwa momen gaya apung terhadap ujung darat airbag lebih besar dari momen gaya berat terhadap titik yang sama, berarti kapal tidak mungkin masih duduk di landasan. Ini berarti bahwa sarat belakang T A akan lebih kecil dari s.tan E tetapi tidak tahu berapa besarnya.
Gambar IV.20 Gaya-gaya yang bekerja pada periode 3 Untuk mencarinya, dapat dipakai cara berikut : x
Ambil harga TA dari langkah sebelumnya dan beri nama TA3. Hitung sarat TA1 = s tan E dan hitung juga TF1. Kemudian ambil harga satu sarat lagi yaitu TA2 = 0.5*( TA3 + TA1)
x
Untuk mencari TF2 dan TF3 dipakai cara berikut ; Pada sistem koordinat dengan sumbu X melewati bidang dasar kapal (base line) dan sumbu Y melalui AP, maka koordinat titik sarat di AP adalah (0,TA1) dan bidang air memotong sumbu X di ((lAV + s)tan E,0) sehingga persamaan garis dapat ditentukan. Ujung airbag haluan sebagai sumbu putar mempunyai koordinat (lAS + lS,0). Jika persamaan bidang air ditulis sebagai
73
Ax By C 0 dan koordinat sumbu putar adalah (x1,y1) maka jarak sumbu ke bidang air sama dengan jari-jari putar sebesar :
d
Ax1 By1 C A2 B 2
Persamaan (IV.9)
Untuk mencari TF2, tulis persamaan garis yang melalui T A2 dan sumbu putar dan dapat dihitung slope dari garis ini, disebut α2.Lihat segitiga yang dibentuk oleh T A2, sumbu putar dan titik singgung. Jika jarak TA2 ke sumbu putar disebut sebagai l, maka sudut antara garis ini dan bidang air yang menyinggung lingkaran putar adalah yang melalui TA2 adalah H 2
J2
§d · arctan¨ ¸ © l ¹ . Maka slope bidang air
D 2 J 2 dan persamaan garis dapat ditentukan, demikian juga
dengan TF2.Prosedur ini dapat diulang untuk mencari T F3. x
Untuk masing-masing sarat dihitung gaya apung dan momen gaya apung terhadap ujung darat airbag, dan karena garis air yang diambil bukan garis air keadaan setimbang, maka jumlah gaya dan jumlah momen tidak sama dengan nol. Maka:
R.lR DL .lSD PL .lSP x
Untuk tiap Ta akan ada sisa, jadi :
Untuk TA1 ada sisa res 1
Untuk TA2 ada sisa res 2
Untuk TA3 ada sisa res 3
res
Persamaan (IV.10)
Kemudian buat grafik dengan res sebagai absis dan T A sebagai koordinat. Kalau ketiga titik dihubungkan, garis hubung akan memotong sumbu tegak pada T A yang dicari. Dapat juga dipakai interpolasi kuadrat dari tiga titik y
x
( x x2 )( x x3 ) ( x x1 )( x x3 ) ( x x1 )( x x2 ) y1 y2 y3 ( x1 x2 )( x1 x3 ) ( x2 x1 )( x2 x3 ) ( x3 x1 )( x3 x2 ) Persamaan (IV.11)
Langkah-langkah di atas diulang untuk beberapa langkah s sampai DL = PL atau kapal sudah terapung bebas Jika airbag bagian haluan sudah sampai pada ujung landasan dan DL masih lebih kecil
dari PL, maka kapal akan menekan airbag dengan tekanan maksimal. Jika bagian badan kapal di sebelah depan masih panjang, maka waktu jatuh bagian ini akan membentur ujung landasan dan mungkin mengalami kerusakan pada bagian bawah kapal. (Untuk perhitungan lengkapnya dapat dilihat di lampiran). Setelah semua perhitungan peluncuran selesai baik dari periode 1 hingga periode 3 maka kurva peluncuran dapat dibuat dengan skala yang diinginkan. Dalam menggunakan skala 74
penulis harus memperhatikan luas bidang kertas sehingga gambar dari kurva peluncuran dapat pas di bidang kertas tersebut. Berikut ini adalah gambar kurva peluncuran dari kapal container 100 TEUs.
Gambar IV.21 Kuva peluncuran kontainer 100 TEUs Pada Gambar IV.21 dapat dilihat bahwa kapal container tersebut memperoleh gaya angkat buritan (sternlift) yang terjadi pada akhir langkah 7 dan terapung bebas (free floating) tidak lama setelah itu yaitu terjadi pada akhir langkah 8. Hal ini dapat terjadi karena pada proses peluncuran kapal mendapatkan gaya angkat tambahan dari airbag yang masing-masing airbag memberikan gaya angkat sebesar 10.589 ton atau sekitar 103.86 N untuk satu airbag. Tidak seperti peluncuran slipway yang menggunakan sepatu luncur yang mana justru memberikan tambahan beban lebih besar dibandingkan dengan airbag. (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada sheet lampiran perhitungan peluncuran kapal container 100 TEUs) IV.4
Identifikasi Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag Tidak hanya pada peluncuran airbag, pada peluncuran dengan metode lainnya pun
masih terdapat risiko-risiko penyebab gagalnya kapal meluncur dengan mulus. Bahkan hal 75
tersebut dapat berdampak buruk pada kapal, seperti terjadi kerusakan pada badan kapal akibat dari benturan yang terjadi. Kebanyakan orang menilai bahwa metode peluncuran kapal dengan metode airbag adalah metode yang paling aman dibandingkan dengan metode peluncuran lainnya. Dengan pernyataan ini banyak galangan di Indonesia maupun di dunia yang kurang mengutamakan faktor keamanan dengan analisis dan perhitungan yang matang karena mengganggap dengan menggunakan airbag kapal pasti akan meluncur dengan aman. Tentu hal tersebut salah besar, karena dalam meluncurkan kapal dengan menggunakan airbag juga perlu dilakukan analisis dan perhitungan yang tepat sehingga kapal dapat meluncur dengan mulus dan aman. Pada identifikasi risiko yang dilakukan pada proses peluncuran kapal menggunakan airbag dibagi menjadi 2 berdasarkan risiko yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable risk) dan risiko yang masih dapat dikendalikan (controllable risk). Uncontrollable risk lebih mengacu kepada kondisi alam. Dimana apakah saat meluncurkan kapal kondisi alam ikut mendukung proses peluncuran kapal atau justru mengganggu proses tersebut. Sedangkan untuk risiko yang dapat dikendalikan berhubungan dengan kondisi peralatan dan faktor manusia itu sendiri (human error). Faktor manusia yang dimaksud adalah kemampuan daripada operator peluncuran. Semakin bagus kemampuan yang dimiliki operator peluncuran maka semakin kecil kemungkinan terjadinya kesalahan operasional. Untuk lebih detailnya risiko apa saja yang bisa terjadi dapat dilihat pada Tabel IV.10. Tabel IV.10 Identifikasi risiko pada peluncuran kapal menggunakan airbag Uncontrollable Risk
Controllable Risk
Kondisi Alam
Operator
Kapal
Angin kencang
Tingkat keahlian rendah
Stabilitas kapal buruk
Kedalaman air kurang
Kurang pengalama n
Adanya under spesification pada proses pembangunan
Terjadi gempa bumi
Lalai dalam melaksanak an tugas
76
Kondisi Landasan Masih terdapat sampah (tajam)
Airbag
Winch
Tidak mampu menahan beban
Alat bantu winch tidak tersedia
Kemiringan landasan tidak smooth
Terkena benda tajam
Kapasitas winch tidak memenuhi
Panjang landasan tercelup kurang
Tidak melakukan maintenance airbag
Uncontrollable Risk Kondisi Alam
Controllable Risk Operator
Terjadi tsunami
Kapal
Kondisi Landasan
Airbag
Landasan peluncuran berlumpur
Pemakaian airbag telah melewati umur (batas waktu pemakaian)
Winch
Pada Tabel IV.10 dapat dilihat bahwa faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu uncontrollable risk dan controllable risk. Pada faktor risiko yang tidak bisa dikendalikan yaitu kondisi alam dibagi menjadi terjadinya angin kencang, kedalaman air di ujung landasan serta faktor bencana alam yang dibagi menjadi 2 yaitu terjadinya gempa bumi dan tsunami. Untuk controllable risk dibagi berdasarkan operator peluncuran, kondisi kapal, kondisi landasan, airbag dan faktor alat bantu winch. Untuk semua kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada Tabel IV.10, salah satu perusahaan galangan di China sudah melakukan sebuah penelitian kegagalan peluncuran kapal dengan airbag yang disebabkan oleh 3 faktor yaitu kondisi landasan, kedalaman air (water level) dan kondisi alat bantu winch. Untuk lebih jelasnya bagaimana hasil dari penelitian galangan tersebut akan dijelaskan lebih detail sebagai berikut. Kondisi Landasan Secara teknis meluncurkan kapal dengan menggunakan metode airbag sangat sederhana namun masih membutuhkan persiapan yang cukup matang. Kondisi landasan biasanya yang paling sering diabaikan pada setiap proses peluncuran kapal. Karena dianggap tidak penting dan dalam kondisi apapun airbag akan menopang kapal dan kapal akan meluncur dengan sempurna. Semua anggapan seperti harus dibuang jauh-jauh karena akan membahayakan kapal pada akhirnya dan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Berikut ini adalah contoh peluncuran kapal dengan menggunakan metode airbag dengan kondisi landasan yang buruk.
77
Gambar IV.22 Kondisi landasan tidak sesuai standard ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Dapat dilihat pada Gambar IV.22 merupakan salah satu contoh dari kondisi landasan peluncuran kapal menggunakan airbag yang buruk. Pada ujung landasan terlihat bahwa sudut kemiringan yang dihasilkan terhadap bidang air tiba-tiba curam. Hal-hal seperti ini seharusnya perlu dihindari di dalam meluncurkan kapal dengan metode apapun karena akan menghasilkan bending moment yang cukup besar pada kapal dan dampaknya kapal akan mengalami defleksi atau paling parah kapal tersebut dapat patah. Selain kemungkinan terjadinya defleksi pada kapal juga dapat terjadinya hantaman yang cukup keras pada bagian haluan kapal. Hal ini dapat terjadi karena kapal akan mengalami jungkit yang disebabkan oleh kondisi landasan yang curam sehingga kapal membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan gaya angkat buritan. Namun dalam periode yang bersamaan kapal akan mendapatkan gaya angkat drastis yang membuat bagian daripada haluan kapal dropping dengan sangat cepat dan menghantam landasan dengan keras.
78
Gambar IV.23 Haluan kapal menghantam landasan ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar IV.23 dapat dilihat bahwa bagian haluan kapal menghantam ujung landasan dengan cukup keras. Kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kejadian ini adalah terjadinya defleksi yang cukup signifikan pada bagian haluan kapal atau kemungkinan terburuk yang dapat terjadi adalah terjadinya kebocoran yang mengakibatkan kapal kandas. Oleh karena itu diperlukannya analisis dan perhitungan yang matang sebelum meluncurkan kapal agar halhal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Selain kondisi pada ujung landasan yang tidak smooth juga perlu diperhatikan kebersihan dari landasan. Seperti yang sudah dijelaskan pada standard CB/T bahwa kondisi landasan pada proses persiapan harus bersih dari sisa-sisa pelat pembangunan kapal terutama yang tajam seperti paku-paku baja, bebatuan ataupun hal-hal lainnya yang diperkirakan dapat mengganggu kelancaran peluncuran. Karena peluncuran ini menggunakan airbag, dan airbag terbuat dari bahan karet sehingga rentan pada benda-benda yang tajam yang dapat membuat airbag tersebut bocor. Water Level (Kedalaman Air Diujung Landasan) Kedalam air diujung landasan juga sangat penting diperhatikan karena berhubungan dengan kebutuhan sarat kapal dan gaya angkat yang dibutuhkan pada kapal. Jika peluncuran kapal dilaksanakan pada saat kurangnya kebutuhan kedalaman air (surut) ada dua fenomena yang kemungkinan dapat terjadi, yaitu : 79
1.
Bagian buritan kapal turun dengan sangat cepat dan tidak kunjung mendapatkan gaya angkat mengakibatkan semua beban kapal berpindah dan terpusat ke bagian buritan kapal sehingga haluan kapal terangkat dan hanya airbag bagian buritan kapal yang menopang kapal. Hal ini dapat mengakibatkan airbag tersebut pecah sebelum seluruh badan kapal menyentuh air dan badan kapal bagian buritan menghantam landasan dengan keras.
Gambar IV.24 Bagian haluan terangkat ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar IV.24 dapat dilihat bahwa bagian haluan kapal terangkat dikarenakan kurangnya kedalaman air diujung landasan yang mengakibatkan beban terpusat pada bagian buritan kapal dan airbag pada bagian depan tertinggal. 2.
Saat haluan kapal terangkat dan proses peluncuran kapal masih terus berjalan otomatis bagian haluan kapal tidak lagi ditopang oleh airbag. Pada saat bagian haluan kapal mendapatkan kembali bebannya maka terjadi peristiwa dropping pada haluan kapal yang menghantam dengan sangat keras. Haluan kapal akan menghantam langsung landasan dikarenakan airbag yang tertinggal sebelumnya. Hal ini hampir sama dengan apa yang dapat terjadi pada faktor kondisi landasan. Namun pada kasus ini lebih parah karena bagian haluan kapal langsung menghantam landasan melainkan tidak menghantam airbag terlebih dahulu.
80
Gambar IV.25 Haluan kapal menghantam landasan ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016)
Gambar IV.26 Bekas benturan haluan kapal dengan landasan ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Pada Gambar IV.25 dan IV.26 dapat dilihat merupakan rangkaian proses yang dapat terjadi jika kedalaman air diujung landasan tidak memenuhi. Pada gambar IV.23 haluan kapal menghantam landasan kapal dengan meninggalkan airbag pada bagian depan yang menopangnya sehingga menghasilkan benturan yang sangat keras yang dapat merusak kapal bahkan landasan itu sendiri.
81
Holding System (Sistem Penahan Kapal) Seperti yang sudah dijelaskan sebelum bahwa alat bantu penahan pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag sangat penting peranannya. Hal ini diperlukan untuk menjaga kecepatan kapal dan keseimbangan kapal agar dapat meluncur dengan aman. Oleh karena itu diperlukan perhitungan yang tepat seberapa besar kekuatan dari alat bantu tersebut untuk menahan kapal. Untuk perhitungan dapat digunakan standard dari CB/T pada formula (II.9). Kekuatan dari alat bantu penahan ini tentunya harus lebih besar dari gaya yang dihasilkan kapal pada saat dihitung. Biasanya yang terjadi di lapangan kekuatan maksimal yang harus diperoleh dari alat bantu penahan (winch) diberikan faktor pengali keamanan sebesar 1.5-2 dari hasil perhitungan. Berikut ini adalah contoh gambar dari sistem penahan kapal yang buruk.
Gambar IV.27 Sistem penahan kapal yang buruk ( Qingdao Eversafe Marine Engineering, 2016) Dapat dilihat pada Gambar IV.27 bahwa pada proses peluncuran kapal hanya digunakan 1 buah bulldozer dan tanpa diragukan lagi bulldozer tersebut ikut terbawa kapal kelaut karena tidak mampu menahan gaya yang diterima dari kapal. Terbukti pada proses peluncuran tersebut memiliki analisis dan perhitungan yang buruk. Tanpa memperhitungkan berapa besaran minimal yang harus dimiliki alat bantu penahan justru hanya akan membuat peluncuran kapal tersebut semakin membahayakan kapal. Bulldozer tersebut bisa saja menghantam pada bagian haluan kapal sehingga dapat mengakibatkan defleksi atau paling parah kebocoran. Oleh karena itu sistem penahan kapal juga dianggap sangat penting peranannya di dalam meluncurkan sebuah kapal menggunakan metode airbag. 82
IV.5
Penilaian Risiko Peluncuran Kapal Menggunakan Metode Airbag Langkah-langkah penilaian risiko dibagi berdasarkan 3 tahap yaitu tahap identifikasi
bahaya (hazard), tahap evaluasi risiko, dan tahap pengendalian risiko. Khusus identifkasi bahaya yang dilakukan pada tugas akhir ini dikolektif dari hasil data primer, yaitu wawancara dan data record atas kegagalan peluncuran yang pernah terjadi. Identifikasi Bahaya Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa identifikasi hazard didapatkan berdasarkan data primer. Pada proses peluncuran kapal, kegagalan yang umum terjadi tidak akan keluar dari kasus kapal anjlok, kapal mengalami jungkit dan dropping, kapal karam serta badan kapal menghantam landasan atau badan kapal patah. Hal tersebut tentunya dapat mengakibatkan kerusakan pada kapal. Pada proses identifikasi bahaya (hazard), metode what if analysis digunakan untuk membantu mengidentifkasi dampak yang dihasilkan daripada risiko yang terjadi. Pada what if analysis, proses analisa yang dilakukan adalah bagaimana jika suatu risiko tersebut benar-benar terjadi dan apa dampak kerugian yang akan diterima jika risiko tersebut terjadi. Tabel IV.11 Identifikasi bahaya What if ?
Dampak
Pada Kondisi Ekstrem
1
Angin kencang
Mengganggu proses peluncuran, ada peralatan peluncuran yang terbawa angin. Mengganggu keseimbangan kapal diatas landasan.
Kapal anjlok
2
Kedalaman air di ujung landasan kurang
Butuh waktu lama untuk mencapai gaya angkat buritan (stern lift) sehingga bisa menyebabkan kapal jungkit (tipping)
Badan kapal patah, kapal dropping
3
Terjadi gempa bumi
Landasan peluncuran bergelombang mengakibatkan ketidakseimbangan pada kapal.
4
Terjadi tsunami
Seluruh peralatan peluncuran dan kapal terbawa arus air tsunami
5
Tingkat keahlian operator rendah
Terjadi kesalahan operasional pada proses persiapan dan peluncuran kapal
NO
Landasan peluncuran rusak, Kapal anjlok Kapal terhantam arus air, kapal karam Kapal anjlok, kapal dropping, kapal karam 83
NO
What if ?
Dampak
Pada Kondisi Ekstrem
6
Operator kurang pengalaman
Terjadi kesalahan operasional pada proses persiapan dan peluncuran kapal
Kapal anjlok, kapal dropping, kapal karam
7
Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai standar SOP
Terjadi kesalahan operasional pada proses persiapan dan peluncuran kapal
Kapal anjlok, kapal dropping, kapal karam
8
Stabilitas kapal buruk
Badan kapal tidak bisa mengapung dengan baik di atas garis air
Kapal karam
Kondisi kapal tidak sesuai standar sehingga kualitasnya diragukan terutama pada kemampuan stabilitas
Kapal karam
Airbag pecah
Kapal anjlok, kapal dropping, kapal karam
9
10
Badan kapal pada bagian belakang tidak langsung menyentuh air di ujung landasan, sehingga tumpuan beban terpusat hanya pada bagian tengah dan depan kapal Terlalu cepat mendapat gaya angkat buritan atau proses kapal jungkit ke dropping dengan cepat
11
Kemiringan landasan tidak smooth (ada bagian yang terjal pada ujung landasan)
12
Panjang landasan tercelup kurang
13
Landasan peluncuran berlumpur
Menghambat laju airbag di landasan, disebabkan oleh gaya gesek yang dihasilkan cukup besar.
14
Airbag tidak mampu menahan beban
Airbag pecah
15
Airbag terkena benda tajam
Airbag pecah
16
Tidak melakukan maintenance airbag
Airbag pecah
17
18
84
Adanya under spesification pada proses pembangunan kapal Kondisi landasan masih terdapat sampah (benda tajam)
Pemakaian airbag telah melewati umur (batas waktu pemakaian) Alat bantu winch tidak tersedia
Badan kapal patah, kapal dropping Kapal dropping, menghantam landasan Kapal tidak bertumpu dengan airbag, membentur landasan, atau kapal anjlok Kapal anjlok, kapal anjlok, kapal karam Kapal anjlok, kapal anjlok, kapal karam Kapal anjlok, kapal anjlok, kapal karam
Airbag pecah
Kapal anjlok, kapal anjlok, kapal karam
Kapal meluncur dengan sendirinya.
Kapal anjlok
NO
What if ?
Dampak
Pada Kondisi Ekstrem
19
Kapasitas winch tidak memenuhi
Kapal meluncur dengan sendirinya beserta winch yang terbawa oleh kapal.
Winch menghantam kapal, kapal anjlok
Pada Tabel IV.11 dapat dilihat bahwa setiap kemungkinan risiko diidentifikasi dampaknya dengan bantuan what if analysis. Contoh identifikasi pada nomor 2 yaitu bagaimana jika kedalaman air di ujung landasan kurang dari yang seharusnya, maka dampak akan terjadi adalah butuh waktu yang lama untuk mencapai gaya angkat buritan (stern lift) sehingga kemungkinan kapal mengalami jungkit semakin besar. Pada kondisi ekstrem yang bisa terjadi pada peristiwa tersebut adalah badan kapal bisa patah atau kapal mengalami dropping sehingga menghantam landasan peluncuran. Evaluasi Risiko Pada proses evaluasi risiko hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi tingkat probabilitas (kemungkinan terjadinya risiko) dan tingkat keparahan (severity) yang dihasilkan. Untuk faktor yang digunakan dalam menentukan tingkat keparahan yang dihasilkan dapat mengacu pada Tabel IV.11. Sedangkan untuk tingkat probabilitas kejadian dapat ditentukan berdasarkan persentase kemungkinan kejadian yang dibagi menjadi 4 tingkatan/level. Berikut ini adalah deskripsi yang diberikan pada tiap level tingkat probabilitas. Tabel IV.12 Deskripsi tingkat probabilitas Level 1
2
Kriteria
Probabilitas
Sangat kecil
Kemungkinan terjadi 0 – 10% pada proses peluncuran kapal dengan airbag
Kecil
Kemungkinan terjadi 11% 30% pada proses peluncuran kapal dengan airbag
3
Moderat
4
Besar
Kemungkinan terjadi 31% 50% pada proses peluncuran kapal dengan airbag Kemungkinan terjadi 51% 90% pada proses peluncuran kapal dengan airbag
85
Pada Tabel IV.12 dijelaskan bahwa tingkat probabilitas level 1 kriteria yang diberikan adalah sangat kecil dengan probabillitas kejadian risiko tersebut 0 s/d 10 %. Sedangkan untuk level 4 kriteria tingkat probabilitas yang diberikan adalah besar, dengan probabilitas kejadian (kemungkinan kejadian) 51% s/d 90%. Dengan kata lain pada tingkat probabilitas level 4 kemungkinan risiko hampir pasti terjadi. Selanjutnya setelah dilakukannya deskripsi probabilitas maka proses penilaian risiko dapat dilanjutkan dengan menentukan kriteria kejadian pada tingkat probabilitas dan keparahan. Tabel IV.13 Kriteria tingkat probabilitas Probabilitas Rating 1
Keterangan
Kriteria Sangat kecil
Sangat tidak mungkin terjadi
2
Kecil
Kecil kemungkinan terjadi
3
Moderat
Kemungkinan terjadi
4
Besar
Kemungkinan terjadi besar
Pada Tabel IV.13 adalah dijelaskan bagaimana kriteria tingkat probabilitas yang diberikan. Pada rating/level 1 probabilitas risiko sangat tidak mungkin terjadi, pada rating 2 kecil kemungkinan terjadi, pada rating 3 kemungkinan terjadi dan untuk rating 4 probabilitas risiko yang terjadi besar (hampir pasti terjadi). Tabel IV.14 Tingkat severity (keparahan) Dampak / Severity Rating 1
Kriteria Sangat
Dampak kerusakan yang
rendah
dihasilkan sangat kecil
2
Menengah
3
Tinggi Sangat
4
tinggi / katastropik
86
Keterangan
Dampak kerusakan yang dihasilkan cukup parah Kerusakan kapal yang terjadi parah Kerusakan kapal yang terjadi sangat parah
Tabel IV.14 merupakan penjelasan tentang kriteria tingkat keparahan. Pada rating/level 1 dampak kerusakan kapal yang dihasilkan sangat kecil, pada rating 2 dampak kerusakan kapal yang dihasilkan cukup parah, pada rating 3 kerusakan kapal yang terjadi parah dan pada rating 4 kerusakan kapal yang terjadi sangat parah sehingga masuk dalam kriteria/kategori katastropik. Setelah kriteria pada masing-masing tingkat probabilitas dan tingkat keparahan dilakukan maka proses penilaian risiko dapat dilakukan. Pada proses penilaian ini, metode yang digunakan adalah melalui wawancara 1 responden berdasarkan penilaian expert judgement. Berikut ini adalah penilaian risiko yang dihasilkan. Tabel IV.15 Penilaian masing-masing risiko Probabilitas (P) 2 2 2 2
Severity (S) 3 3 3 4
Level Risiko 6 6 6 8
2
3
6
3
3
9
2
3
6
2
4
8
A9
Adanya under spesification pada proses pembangunan kapal
3
4
12
A10
Kondisi landasan masih terdapat sampah (benda tajam)
2
3
6
A11
Kemiringan landasan tidak smooth
2
3
6
A12
Panjang landasan tercelup kurang
2
3
6
A13
Landasan peluncuran berlumpur
3
2
6
2
4
8
2
4
8
Kode
Risk event
A1 A2 A3 A4
Angin kencang Kedalaman air kurang Terjadi gempa bumi Terjadi tsunami Tingkat keahlian operator rendah
A5 A6 A7 A8
A14 A15
Operator kurang pengalaman Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai standar SOP Stabilitas kapal buruk
Airbag tidak mampu menahan beban Airbag terkena benda tajam
87
Kode
Risk event
Probabilitas (P)
Severity (S)
Level Risiko
A16
Tidak melakukan maintenance airbag
2
4
8
A17
Pemakaian airbag telah melewati umur (batas waktu pemakaian)
4
3
12
A18
Alat bantu winch tidak tersedia
1
4
4
A19
Kapasitas winch tidak memenuhi
3
4
12
Pada Tabel IV.15 tiap kemungkinan risiko yang dapat terjadi (risk event) diberikan kode dimulai dari A1 s/d A19. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya level risiko didapatkan dari hasil perkalian probabilitas dengan severity. Pada Tabel IV.15 dihasilkan A9, A17 dan A19 memiliki nilai level risiko yang paling tinggi dengan nilai 12. Risiko tersebut adalah adanya under specification pada proses pembangunan kapal, pemakaian airbag yang telah melewati umur (batas waktu pemakaian) dan kapasitas winch yang tidak memenuhi (dengan yang dibutuhkan). Setelah penilaian risiko maka hasilnya dapat disajikan dengan tampilan matriks/peta risiko dengan tujuan pembacaan yang lebih mudah dan sederhana. Dari hasil penilaian risiko, berikut ini adalah peta risiko yang dihasilkan. Tabel IV.16 Peta risiko probabilitas dan severity kejadian Severity 1 - Sangat rendah
2Menengah
4Sering
Probabiltas
3Moderat 2Jarang 1Sangat Jarang
88
3 - Tinggi
4Katastropik
A17 A13
A6
A9, A19
A1, A2, A3 A5, A7, A10, A11, A12
A4, A8, A14, A15, A16 A18
Keterangan: Biru Kuning Oranye Merah
Risiko rendah Risiko menengah Risiko tinggi Risiko ekstrem
Tabel IV.16 merupakan peta risiko yang dihasilkan dari perkalian antara probabilitas dan severity risiko. Pada Tabel IV.16 tidak ada satupun risiko yang masuk dalam kategori risiko rendah. Untuk katergori risiko menengah terdapat satu yaitu kejadian A18, sedangkan untuk kategori risiko tinggi terdapat 15 risk event yaitu A13, A6, A1, A2, A3, A5, A7, A10, A11, A12 , A4, A8, A14, A15, dan A16. Lalu pada kategori risiko ekstrem terdapat 3 risk event yaitu A17, A9 dan A19. Untuk keterangan deskripsi risk event dapat dilihat pada Tabel IV.15. Selanjutnya menentukan risk acceptable (risiko mana yang dapat diterima atau tidak). Pendeskripsian risk acceptable ini dilakukan berdasarkan perolehan nilai yang didapat pada Tabel IV.15. Berikut ini adalah untuk penjelasan lebih detailnya. Tabel IV.17 Manajemen risiko yang dilakukan Risk Acceptable Level Risiko
Kriteria Untuk Manajemen Risiko
1-2
Dapat diterima (acceptable)
Lakukan pengendalian yang cukup
3-4
Dilakukan pemantauan
Diberikan tindakan preventif (pencegahan)
6-9
Dilakukan pemantauan
Diberikan tindakan preventif (pencegahan)
12 - 16
Tidak dapat diterima (unacceptable)
Diberikan tindakan preventif (pencegahan)
Pada Tabel IV.17 dijelaskan bahwa untuk nilai level risiko antara 1 s/d 2 maka risiko tersebut masih dapat diterima dengan manajemen yang dilakukan adalah melakukan pengendalian yang cukup. Sedangkan pada level risiko 3 s/d 4 dan 6 s/d 9 perlu dilakukan pemantauan dengan manajemen risiko diberikam tindakan preventif (pencegahan). Hal ini juga berlaku untuk level risiko 12 s/d 16 yang mana risiko yang dapat terjadi tidak dapat diterima 89
sehingga dilakukan tindakan pencegahan agar dampak yang dihasilkan berkurang atau bahkan hilang. Jika dilihat pada Tabel IV.16 risk event yang dihasilkan semuanya harus diberikan tindakan pencegahan karena tidak ada satupun yang menghasilkan level risiko diantara 1 s/d 2.
90
BAB V ANALISA RISIKO PENURUNAN KAPAL MENGGUNAKAN AIRBAG V.1
Analisa Risiko Penurunan Kapal dengan Metode Airbag Pada setiap peristiwa yang terjadi tentunya memiliki suatu risiko yang dapat
mengakibatkan sebuah kejadian yang tidak diharapkan. Hal ini juga berlaku pada peluncuran kapal yang menggunakan metode airbag. Walaupun hingga saat ini peluncuran kapal menggunakan airbag dianggap yang paling aman dibandingkan dengan metode lainnya, namun hal tersebut tidak akan terjadi jika tidak didukung dengan proses perhitungan dan persiapan yang tepat. Karena faktanya hingga sekarang ini masih banyak galangan di Indonesia yang masih kurang memperhatikan hal tersebut. Hal tersebut terbukti dengan masih adanya kecelakaan yang terjadi pada proses menurunkan kapal dengan menggunakan airbag sehingga mengakibatkan kerusakan pada kapal. Oleh karena itu diperlukan identifikasi risiko apa saja yang dapat menyebabkan kerusakan kapal pada proses menurunkan ke laut. Setelah itu hasil dari identifikasi risiko dianalisa dan diberikan suatu rekomendasi preventif agar dampak daripada risiko dapat berkurang ataupun hilang. Simulasi Kondisi Kemungkinan Airbag Mengalami Pecah Simulasi kondisi dimana airbag bisa mengalami pecah ini dilakukan berdasarkan asumsi dengan hasil perhitungan peluncuran kapal kontainer 100 TEUs yang sudah dilakukan sebagai acuan. Untuk simulasi ini dilakukan dengan 3 pengkondisian peluncuran. Kondisi pertama adalah kondisi dimana kapal belum diluncurkan dan jumlah airbag yang dibutuhkan disesuaikan dengan rule yang ada, sedangkan kondisi kedua adalah kondisi dimana kapal mengalami tipping di ujung landasan dan yang terakhir adalah kondisi ketiga yaitu kondisi dimana penggunaan airbag dilakukan dengan memaksimalkan jarak antar airbag yaitu 6 meter (memangkas penggunaan airbag). Dari hasil perhitungan nanti akan didapatkan distribusi beban masing-masing yang ditampung airbag lalu dibandingkan dengan besaran maksimal bearing capacity airbag. Jika besaran distribusi beban yang diterima airbag lebih besar dari bearing capacity (daya tampung maksimal airbag) maka otomatis airbag tersebut akan mengalami pecah. Berikut ini adalah hasil dari simulasi yang dilakukan.
91
A. Kondisi 1 Simulasi yang dilakukan pada kondisi ini dilakukan pada saat kapal belum diluncurkan dengan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan (sesuai peraturan yang ada).
Gambar V.1 Simulasi pada kondisi 1 Pada Gambar V.1 dapat dilihat kondisi peluncuran kapal metode airbag yang menyesuaikan peraturan/rule. P merupakan beban peluncuran yang diasumsikan memiliki berat 1200 ton dengan airbag yang dibutuhkan 21 buah (acuan perhitungan peluncuran kontainer 100 TEUs). Untuk panjang yang ditumpu airbag diberikan simbol S. Sedangkan untuk penamaan airbag yang diberikan ada ax. Sebagai contoh a1 adalah penamaan airbag untuk airbag pada posisi 1 dan begitu seterusnya. Dan untuk panjang kontak antara airbag dengan lunas kapal diberikan simbol Bx, sebagai contoh B21 adalah besaran panjang kontak antara airbag nomor 21 dengan lunas kapal dan begitu seterusnya. Selanjutnya jarak antar airbag disimbolkan sebagai r dan panjang kapal yang ditampung untuk masing-masing airbag disimbolkan sebagai x. Karena pemasangan tiap airbag dilakukan dengan jarak yang sama maka x = r. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari perhitungan yang dilakukan.
92
x
P = 1200 ton
x
S = 60 m
x
N = 21 buah
x
Bearing capacity (qbc): 16.6 ton/m (dari Tabel IV.9) Dimana, P = berat peluncuran (ton) S = panjang kapal yang ditumpu airbag (m) N = jumlah airbag yang digunakan
Untuk mengetahui nilai r dapat dihitung dengan rumus : ୗ
ൌ ିଵ (m) x
r=3m
x
x=r=3m
Persamaan (V.1)
Dimana, r = jarak antar airbag (m) x = panjang kapal yang ditumpu masing-masing airbag (m) Untuk menghitung distribusi beban rata-rata yang diterima tiap airbag secara memanjang (q) kapal dapat dihitung dengan rumus :
ൌ ୗ (ton/m) x
Persamaan (V.2)
q = 20 ton/m
Selanjutnya perlu diketahui berapa besaran beban yang ditampung masingmasing airbag dalam ton (P1) dengan rumus : ଵ ൌ Ǥ (ton) x
Persamaan (V.3)
P1 = 60 ton
Setelah itu distribusi beban rata-rata sesungguhnya yang diterima tiap airbag (q1) dapat dihtung dengan persamaan : ଵ ൌ
భ
(ton/m)
Persamaan (V.4)
Dimana, B = adalah panjang kontak masing-masing airbag dengan lunas kapal (m). 93
Pada kondisi dimana q1 < qbc, airbag tidak pecah. Sedangkan pada kondisi dimana q1 > qbc, maka airbag pecah. Untuk lebih jelasnya bagaimana kondisi airbag yang menumpu kapal pada kondisi 1 dapat dilihat pada Tabel V.1. Tabel V.1 Distribusi beban airbag pada kondisi 1 No
Airbag
B (m)
q1 (ton/m)
Kondisi Airbag
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 a8 a9 a10 a11 a12 a13 a14 a15 a16 a17 a18 a19 a20 a21
5.15 7.2 9.12 11.8 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.1 11.6 6.9 4.75
11.65 8.33 6.58 5.08 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.76 4.96 5.17 8.70 12.63
Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah
Pada Tabel V.1 dapat dilihat bahwa kondisi airbag yang dipasangkan pada kondisi tidak ada yang mengalami pecah. Hal ini dikarenakan proses perhitungan jumlah akan airbag dilakukan berdasarkan rule yang ada, sehingga kondisi masingmasing airbag yang menumpu kapal semuanya aman (tidak pecah). B. Kondisi 2 Simulasi yang dilakukan pada kondisi 2 ini mengumpamakan dimana kapal mengalami jungkit di ujung landasan. Pada kondisi 2 ini, kondisi pemasangan dan jumlah airbag yang digunakan masih mengacu pada kondisi 1. Berikut ini adalah gambaran yang diberikan pada kejadian kondisi 2.
94
Gambar V.2 Simulasi pada kondisi 2 Pada Gambar V.2 dapat dilihat kapal mengalami jungkit pada ujung landasan yang mengakibatkan beban terpusat pada airbag yang menumpu di ujung landasan. Untuk airbag yang sudah meninggalkan landasan (terapung di air) kondisinya dapat diabaikan. Kondisi airbag yang perlu diperhatikan adalah yang menumpu kapal di ujung landasan karena kapal belum mendapatkan gaya angkat buritan. Pada Gambar V.2 jumlah airbag yang menumpu kapal di ujung landasan hanya ada 3 buah yaitu a8, a9 dan a10. Oleh karena itu perlu diperhitungkan berapa distribusi beban yang didapatkan dari ketiga airbag tersebut dan apa yang akan terjadi pada ketiga airbag tersebut (pecah atau tidak pecah) sesuai yang digambarkan pada kondisi 2. Proses perhitungan yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada kondisi 1, perbedaan hanya terletak pada beban peluncuran yang dipengaruhi oleh kemiringan landasan (α) dan panjang yang ditumpu airbag (S) dihitung pada airbag yang menumpu di ujung landasan saja. Untuk badan kapal yang masuk ke dalam air tidak diperhitungkan sebagai panjang yang ditumpu karena kondisi kapal belum mengalami gaya buritan (stern lift). Berikut ini adalah perhitungan yang didapatkan pada kondisi 2. x
α = 20
x
P = 1200 ton
x
P cos α = 1188 ton
x
x=3m
x
S=6m 95
ୡ୭ୱ ఈ
x
q=
x
P1 = q . x = 594 ton
x
qbc = 16.6 ton
ୗ
= 198 ton/m
ଵ ൌ
భ
(ton/m)
Persamaan (V.4)
Dimana, B = panjang kontak antara airbag a8, a9 dan a10 dengan lunas kapal Berikut ini adalah perhitungan detail q1 (ton/m) yang dihasilkan pada kondisi 2 : Tabel V.2 Distribusi beban airbag pada kondisi 2 No
Airbag
B (m)
q1 (ton/m)
Kondisi Airbag
1 2 3
a8 a9 a10
12.6 12.6 12.6
47.14 47.14 47.14
Pecah Pecah Pecah
Pada Tabel V.2 bahwa pada kondisi 2 (kapal mengalami jungkit) untuk kondisi airbag yang menumpu kapal di ujung landasan semuanya pecah. Hal ini dikarenakan distribusi beban yang diterima oleh masing-masing airbag (q1) lebih besar dari bearing capacity (beban maksimal) yang mampu ditampung airbag (q1 > qbc). Dari hasil perhitungan (Tabel V.2) q1 yang dihasilkan untuk masing-masing airbag sangat besar yaitu 47.14 ton/m dan berbanding jauh dengan kapasitas daya tampungnya yang maksimal hanya mampu menampung 16.6 ton/m untuk airbag yang digunakan. Kondisi tersebut (q1 yang dihasilkan sangat besar) diakibatkan karena pada kondisi 2 diasumsikan bahwa kapal belum mendpatkan gaya angkat buritan sehingga besaran (panjang) yang ditumpu hanya terpusat pada airbag di ujung landasan. Selanjutnya untuk kondisi airbag yang sudah masuk ke air dan yang masih tertinggal namun tidak menumpu kapal diabaikan. C. Kondisi 3 Pada kondisi 3 ini penggunaan airbag pada kondisi 1 yang tadinya menggunakan 21 buah airbag dipangkas menjadi hanya 11 airbag. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi jarak antar airbag yang semakin bertambah (semakin renggang) dengan pertimbangan jarak antar airbag tidak melebihi 6 meter (Persamaan II.6). Berikut ini adalah gambaran yang terjadi pada kondisi 3. 96
Gambar V.3 Simulasi pada kondisi 3 Gambar V.3 menjelaskan bagaimana gambaran yang terjadi pada kondisi 3. Spesifikasi airbag yang digunakan pada kondisi 3 masih sama dengan yang dipakai pada saat kondisi 1. Perbedaannya terletak pada penggunaan jumlah airbag yaitu 11 buah. Untuk hasil perhitungan lebih detailnya sebagai berikut. x
P = 1200 ton
x
S = 60 m
x
N = 11 buah
x
Bearing capacity (qbc): 16.6 ton/m (dari Tabel IV.9) Dimana, P = berat peluncuran (ton) S = panjang kapal yang ditumpu airbag (m) N = jumlah airbag yang digunakan
Untuk mengetahui nilai r dapat dihitung dengan rumus : ൌ x
r=6m
x
x=r=6m
ୗ ିଵ
(m)
Persamaan (V.1)
Dimana, r = jarak antar airbag (m) 97
x = panjang kapal yang ditumpu masing-masing airbag (m) Untuk menghitung distribusi beban rata-rata yang diterima tiap airbag secara memanjang (q) kapal dapat dihitung dengan rumus : ൌ x
ୗ
(ton/m)
Persamaan (V.2)
q = 20 ton/m
Selanjutnya perlu diketahui berapa besaran beban yang ditampung masingmasing airbag dalam ton (P1) dengan rumus : ଵ ൌ Ǥ (ton) x
Persamaan (V.3)
P1 = 120 ton
Setelah itu distribusi beban rata-rata sesungguhnya yang diterima tiap airbag (q1) dapat dihtung dengan persamaan : ଵ ൌ
భ
(ton/m)
Persamaan (V.4)
Dimana, B = adalah panjang kontak masing-masing airbag dengan lunas kapal (m). Tabel V.3 Distribusi beban airbag pada kondisi 3 No
Airbag
B (m)
q1 (ton/m)
Kondisi Airbag
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 a8 a9 a10 a11
5.15 9.12 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 12.6 11.6 4.75
23.30 13.16 9.52 9.52 9.52 9.52 9.52 9.52 9.52 10.34 25.26
Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Tidak Pecah Pecah
Pada Tabel V.3 dapat dilihat bahwa airbag pada posisi no 1 (ujung belakang kapal) dan posisi no 11 (ujung depan kapal) yaitu a1 dan a11 mengalami pecah. Hal ini dikarenakan besar q1 yang dihasilkan masing-masing airbag tersebut lebih besar 98
dari qbc dengan masing-masing 23.3 ton/m dan 25.26 ton/m. Besaran q1 pada a1 dan a11 bisa saja diperkecil dengan merapatkan jarak antar airbag yang berada diujung depan dan belakang namun juga harus memperhatikan besaran q1 yang berubah atau semakin besar pada bagian tengah agar tidak melebihi qbc (daya tampung maksimal airbag). Karena jika dilihat pada Tabel V.3 besaran q1 yang dihasilkan pada tengah kapal juga sudah mulai kritis (mendekati qbc) yaitu sudah menyentuh angka 9.52 ton/m. Cara paling ampuhnya adalah menambah jumlah airbag pada ujung depan dan belakang agar q1 yang dihasilkan semakin rendah dan airbag tidak pecah. Simulasi yang dilakukan pada kondisi 1, 2 dan 3 hanyalah merupakan contoh gambaran yang ditentukan oleh penulis, yang mana contoh gambaran yang tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kejadian yang ingin ditentukan. Dengan simulasi yang diberikan maka segala kemungkinan airbag pecah atau tidak, dapat dihitung dengan pendekatan fisika dan rules yang ada. Dengan kata lain, segala kondisi peluncuran dapat dihitung kemungkinan pecahnya airbag. Tentunya sebelum itu, harus diketahui lebih dulu berapa besaran kapasitas daya tamping (bearing capacity) dari airbag yang digunakan. Analisa Risiko Penurunan Kapal Pada Saat Airbag Pecah Pada saat melakukan peluncuran kapal menggunakan airbag segala kemungkinan yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Seperti airbag yang menumpu kapal mengalami pecah sehingga dapat mengakibatkan kerusakan pada kapal. Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa airbag yang menumpu pada proses peluncuran dapat pecah. Menurut (Hage, 2014), hal-hal yang dapat menyebabkan airbag pecah adalah : 1. Terkena benda tajam. 2. Tidak mampu menahan beban. Pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag sangat perlu sekali memperhatikan kondisi landasan yang mana sudah dijelaskan pada sub bab IV.4.1. Karena airbag terbuat dari karet seperti ban kendaraan yang digunakan sehari-hari sehingga rentan sekali dengan bendabenda tajam. Oleh karena itu diperlukan untuk memastikan bahwa landasan peluncuran bersih atau terbebas dari benda-benda tajam yang dapat membahayakan airbag dan kapal. Selain itu juga diperlukan perhitungan berapa jumlah airbag yang dibutuhkan pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag. Pada Persamaan (II.1) dijelaskan bagaimana cara menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan. Persamaan (II.1) merupakan standar yang tercantum pada ISO 14409. Untuk jarak antar airbag dapat menyesuaikan dengan hasil 99
perhitungan jumlah airbag dengan panjang lunas kapal dan tidak boleh melebihi dari 6 m yang diatur pada peraturan CB/T pada Persamaan (II.2). Jika proses perhitungan dilakukan dengan tepat maka dapat dipastikan bahwa airbag dapat menahan beban yang diberikan. Walaupun kenyataan di lapangan jumlah airbag yang digunakan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah airbag yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan oleh pihak yang melaksanakan peluncuran untuk meningkatkan keamanan proses peluncuran kapal dengan airbag. Analisa risiko yang dilakukan pada kemungkinan terjadinya airbag pecah dibagi berdasarkan sistem pemasangan airbag pada saat peluncuran. Sistem pemasangan airbag yang paling sering dipakai di lapangan saat ini adalah sistem pemasangan airbag selebar kapal dan sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. V.1.1.2
Pada Sistem Pemasangan Airbag Selebar Kapal (Linear Arrangement). Peluncuran kapal dengan metode airbag sistem pemasangan airbag selebar kapal
penuh paling sering dilakukan di lapangan. Selain karena perhitungan pada ISO 14409 mengacu pada sistem pemasangan ini, sistem pada pemasangan ini juga dianggap yang paling mudah dibandingkan dengan sistem pemasangan airbag yang lainnya seperti sistem pemasangan airbag dengan metode zig-zag atau cross over. Tentunya untuk sistem pemasangan tersebut diperlukan metode perhitungan yang berbeda. Pada peluncuran kapal menggunakan metode airbag kemungkinan terjadinya airbag mengalami pecah bisa saja terjadi. Hal ini tentunya dapat berakibat fatal pada kapal yang akan diluncurkan. Walaupun keadaan di lapangan biasanya jarak antar airbag yang digunakan adalah 2 meter, sehingga jika hanya 1 airbag yang pecah tidak terlalu mempengaruhi kondisi peluncuran atau tidak menimbulkan masalah yang besar (Hage, 2014). Yang menjadi masalah adalah jika airbag yang pecah ada 2 atau lebih secara berurutan yang mana dapat membahayakan kesalamatan kapal itu sendiri. Untuk melakukan analisa bagian mana airbag yang rentan pecah dapat mengacu pada rumus :
ൌ
Persamaan (V.5)
Dimana P adalah beban yang diterima airbag, F gaya yang diberikan oleh kapal kepada airbag dan A luasan kontak antara airbag dengan lunas kapal. Karena distribusi beban kapal yang tidak merata maka pembebanan yang diberikan kapal kepada airbag pun berbeda-beda. Untuk bagian tengah kapal dianggap memiliki distribusi beban yang lebih baik dibandingkan dengan bagian belakang dan depan kapal, karena pada bagian tengah kapal memiliki konstruksi yang mirip dan luas penampang yang besar sehingga dapat mengurangi beban yang diterima 100
oleh airbag. Sedangkan pada bagian belakang kapal rata-rata memiliki konsentrasi beban paling tinggi jika dibandingkan dengan bagian tengah ataupun depan. Karena kebanyakan kapal yang dibangun, dalam meletakkan sistem permesinannya diletakan pada bagian belakang kapal dan terdapat konstruksi yang lebih berat jika dibandingkan dengan konstruksi yang terdapat pada bagian tengah ataupun depan kapal. Ditambah dengan luas penampang yang lebih kecil pada bagian belakang kapal yang tentunya akan menambah beban yang diterima airbag yang menumpu pada bagian belakang kapal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Persamaan (V.5), apabila luas penampang (kontak) antar airbag dengan kapal semakin kecil dan berat yang diberikan kapal lebih besar, maka beban yang diterima oleh airbag akan jauh semakin besar sehingga kemungkinan terjadinya airbag pecah juga semakin tinggi. Jadi dapat dikatakan bahwa pembebanan yang diterima airbag pada bagian belakang kapal adalah yang paling kritis jika dibandingkan dengan bagian lainnya. Fakta ini juga berlaku untuk peluncuran kapal dengan metode airbag pada sistem peletakkan airbag cross over. Selanjutnya apa yang akan terjadi pada proses peluncuran kapal jika airbag yang digunakan benar-benar pecah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika hanya satu airbag yang pecah tidak akan berdampak besar pada peluncuran karena airbag yang lain masih dapat menampung gaya yang diberikan kapal. Namun hal tersebut belum tentu berlaku jika airbag yang pecah dua atau lebih.
Gambar V.4 Ilustrasi airbag pecah pada sistem pemasangan airbag selebar kapal Pada Gambar V.4 dapat dilihat ilustrasi pemasangan airbag selebar kapal yang mengalami pecahnya 2 airbag pada posisi bagian kapal. Jika pecahnya airbag terjadi pada saat kapal belum mulai diluncurkan ada 2 hal kemungkinan penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Pertama kondisi airbag yang memang sudah waktunya diganti namun tetap dipaksa untuk digunakan pada peluncuran (over used) dan yang kedua airbag tidak mampu menahan 101
beban yang diberikan oleh kapal. Namun pada kondisi ini tidak akan berakibat fatal pada kapal karena masih ada alat bantu penahan (winch) yang menjaga keseimbangan kapal. Lain hal jika semua airbag yang menumpu kapal pecah dan balok-balok yang menumpu kapal sudah dilepas sehingga dapat dipastikan kapal akan anjlok dan menghantam landasan dengan cukup keras. Airbag yang pecah akan berakibat fatal pada kapal jika terjadi pada saat kapal sudah dalam proses peluncuran. Karena pada saat ini gaya dan momen yang dihasilkan oleh kapal mulai bekerja. Jika pada proses peluncuran kapal, airbag pada bagian belakang pecah 2 atau lebih maka distribusi beban pada bagian belakang akan semakin bertambah sehingga titik berat kapal juga akan pindah lebih ke belakang mengakibatkan momen gaya berat yang dihasilkan kapal pada bagian belakang terhadap ujung landasan akan semakin besar. Hal tersebut menyebabkan terangkatnya badan kapal pada bagian haluan, pada kondisi ini dapat dikatakan bahwa kapal sedang mengalami jungkit (tipping). Pada saat kondisi ini, hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi, karena pada bagian haluan kapal sudah tidak ditumpu lagi oleh airbag. Tersisa hanya airbag pada bagian tengah ke belakang yang tidak pecah yang menumpu kapal. Pada saat momen gaya berat pada haluan kapal kembali, maka kapal akan mengalami dropping dan haluan kapal menghantam landasan yang mengakibatkan rusaknya badan kapal pada bagian haluan. Namun hal ini bisa tidak terjadi apabila momen gaya berat pada haluan kapal kembali dengan cepat. Untuk lebih jelasnya peristiwa risiko-risiko yang kemungkinan dapat terjadi, dapat dibagi berdasarkan per periode peluncuran. a. Periode 1 Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa periode 1 adalah peristiwa dimana saat kapal mulai bergerak hingga menyentuh air. Pada saat ini analisa risiko dampak dari kemungkinan airbag pecah dapat dimulai pada saat kapal pertama kali dipasang airbag. Sebelum kapal diluncurkan (masih dalam keadaan diam) jika ada airbag yang pecah dan selagi airbag yang lainnya (yang tidak pecah) mampu menahan beban kapal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena pada saat ini kapal masih ditahan oleh alat bantu winch yang menahan dan menjaga keseimbangan dari kapal itu sendiri. Lain hal jika semua airbag pecah, maka sudah dapat dipastikan kapal akan anjlok dan menghantam landasan.
102
Gambar V.5 Airbag pecah pada kapal yang belum diluncurkan Gambar V.5 menjelaskan bagaimana kondisi kapal jika ada beberapa airbag yang pecah pada bagian belakang. Kondisi masih dapat terkendali karena keseimbangan kapal masih dapat dipertahankan berkat bantuan winch yang memiliki kapasitas kekuatan untuk menahan kapal, dengan pengecualian airbag yang tersisa masih dapat menampung beban yang diberikan oleh kapal. Sehingga dapat dilakukan pemasangan ulang. Dampak yang ditimbulkan akan parah jika airbag pecah pada saat kapal sudah mulai meluncur, karena peranan winch pada saat ini sudah tidak ada. Dengan kata lain kapal akan meluncur bebas dikarenakan kemiringan landasan dan berat dari kapal itu sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemungkinan terbesar bagian airbag yang pecah adalah pada bagian airbag yang menumpu bagian belakang kapal. Jika hal tersebut terjadi, maka kemungkinan kapal akan mengalami jungkit. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada saat ini adalah terbenturnya bagian belakang kapal terhadap landasan (terjadinya gesekan antara badan kapal bagian belakang dengan landasan peluncuran), hal ini dikarenakan kapal sama sekali belum menyentuh air (semua badan kapal masih berada di atas landasan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar V.5.
103
Gambar V.6 Airbag pecah saat kapal diluncurkan Gambar V.6 merupakan gambaran yang menjelaskan situasi dimana airbag pecah pada saat kapal sudah mulai diluncurkan. Jika airbag pecah pada bagian belakang kapal melebihi 2, kemungkinan terjadinya tipping pada kapal semakin besar. Hal ini diakibatkan karena semakin renggangnya jarak antar airbag. Berdasarkan ISO 14409 jarak antar airbag tidak boleh melebihi dari 6 meter (Persamaan II.6). Selain itu jika airbag yang menumpu belakang pecah, tentunya akan mengganggu kelancaran laju airbag yang tersisa. Ada 2 kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi yaitu pertama, airbag yang tersisa dapat melewati airbag yang pecah yang mengakibatkan adanya lompatan dari airbag tersebut sehingga dapat membahayakan kapal. Kedua, airbag yang tersisa tidak bisa melewati airbag yang pecah (tersangkut) sehingga kapal terus terseret ke belakang karena kemiringan dan berat dari kapal itu sendiri. Hal ini sangat membahayakan, dapat dibayangkan betapa parahnya kerusakan kapal yang diakibatkan jika peristiwa tersebut benar-benar terjadi. b. Periode 2 Jika peristiwa jungkit berlanjut namun kapal belum mendapatkan gaya angkat buritan, maka badan kapal hanya bertumpu pada ujung landasan sehingga airbag yang menumpu kapal hanya tersisa pada bagian belakang kapal (yang belum pecah) dan ujung landasan (Gambar V.7). Periode 2 adalah peristiwa saat kapal menyentuh air hingga kapal mendapatkan gaya angkat buritan (stern lift). Jadi pada saat kapal masih dalam keadaan jungkit dengan kondisi belum mendapatkan gaya angkat buritan kemungkinan yang dapat terjadi adalah pecahnya airbag yang lain (masih menumpu kapal) dapat dilihat pada Gambar V.2. Hal ini disebabkan karena beban kapal yang terpusat ke ujung landasan, mengakibatkan bertambahnya beban yang diterima oleh 104
airbag (overload) sehingga airbag tersebut pecah. Selanjutnya kapal anjlok dan mengakibatkan kerusakan pada lunas kapal.
Gambar V.7 Kapal mengalami jungkit Pada Gambar V.7 dijelaskan bahwa selain kemungkinan terjadinya airbag yang tersisa juga ikut pecah, ada hal lain yang berhubungan langsung dengan kapal. Pada saat tipping dan kapal hanya bertumpu pada ujung landasan sehingga gaya reaksi terpusat pada bagian kapal yang menumpu ujung landasan. Hal ini akan menghasilkan momen berat terhadap ujung landasan (Pa) dan momen gaya angkat terhadap ujung landasan (Db). Momen-momen tersebut dihasilkan karena adanya berat peluncuran (P) dan gaya angkat yang terjadi karena sebagian badan kapal pada bagian belakang yang sudah masuk ke dalam air (D). Tipping dapat terjadi karena momen Pa > momen Db. Dapat dilihat pada Gambar IV.7 bahwa momen yang dihasilkan Pa dan Db saling berlawanan arah. Hal tersebut dapat mengakibatkan defleksi pada badan kapal sehingga bisa terjadi bending. Pada kondisi ekstrem, hal yang mungkin terjadi adalah badan kapal patah. Agar kondisi tipping pada periode 2 tidak terjadi, maka Db ≥ Pa. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan ditambahkannya besaran kemiringan landasan agar momen gaya angkat terjadi pada waktu yang singkat. c. Periode 3 Periode 3 adalah peristiwa dimana kapal mulai mendapatkan gaya angkat buritan hingga kapal terapung bebas (free floating). Jika kapal mengalami jungkit dan beban kapal hanya bertumpu pada ujung landasan, sedangkan kondisi airbag yang masih mampu menahan beban kapal dan kapal tidak patah maka proses peluncuran akan berlanjut kepada masa dimana kapal akan mendapatkan gaya angkat buritan. Jika proses tersebut terjadi dengan begitu cepat, maka kapal akan mengalami dropping dan haluan 105
kapal akan menghantam landasan. Walaupun masih adanya kemungkinan dimana kapal tidak langsung menghantam landasan melainkan menghantam airbag yang tadinya tertinggal, namun hal tersebut tidak bisa dipastikan jika kapal menghantam airbag dengan sangat keras. Airbag bisa pecah dan haluan kapal akan tetap menghantam landasan yang mana dapat mengakibatkan kerusakan pada badan haluan kapal.
Gambar V.8 Kapal dropping (haluan menghantam landasan) Gambar V.8 merupakan gambaran saat kapal mengalami dropping. Dropping kapal dapat terjadi jika berat peluncuran (P) lebih besar dari gaya angkat (D) (P > D) pada kondisi dimana kapal seharusnya sudah terapung bebas (free floating). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya masih ada kemungkinan bahwa haluan kapal menghantam airbag terlebih dahulu sebelum menghantam landasan. Jadi dapat dikatakan bahwa pada kejadian tersebut kapal diselamatkan oleh airbag yang masih tertinggal di landasan. Namun akan berbeda jika situasinya seluruh airbag sudah meninggalkan landasan peluncuran sehingga pada saat terjadinya dropping, haluan kapal langsung menghantam ujung landasan dan menyebabkan kerusakan hingga kebocoran pada haluan kapal. VI.1.1.2 Pecah Pada Sistem Pemasangan Airbag Cross over Untuk peluncuran kapal menggunakan metode airbag pada sistem pemasangan cross over atau zig-zag, dalam melakukan analisa bagian airbag mana yang rentan pecah tidak terlepas dengan menggunakan Persamaan V.1. Persamaan V.1 berlaku untuk semua pembebanan yang diberikan pada airbag. Bagian mana yang memiliki konsentrasi beban tinggi dan luas penampang kecil, maka pada daerah itulah airbag rawan akan pecah. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk sistem pemasangan airbag dengan metode cross over, bagian belakang kapal masih dianggap paling rawan akan terjadinya suatu airbag pecah. Faktor yang menyebabkan sistem pemasangan airbag dengan metode cross over biasanya dipilih karena lebar kapal yang terlalu besar dan tidak tersedianya panjang airbag 106
yang mampu menampung satu lebar penuh kapal. Pada sistem pemasangan ini sulit untuk diidentifikasi dan dianggap lebih berbahaya jika dibandingkan dengan sistem pemasangan airbag selebar kapal. Hal tersebut dikarenakan memang belum ada standar kalsifikasi yang meneliti pada sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. Termasuk dengan berapa jumlah airbag yang digunakan dan spesifikasi airbag yang seperti apa yang dibutuhkan untuk meluncurkan sebuah kapal.
Gambar V.9 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah berurutan) Gambar V.9 merupakan sebuah ilustrasi gambar dimana airbag pecah pada bagian belakang kapal secara berurutan pada sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. Pada kasus ini dampak yang akan terjadi pada periode 1, 2 dan 3 tidak akan jauh berbeda pada analisa yang dilakukan pada sistem pemasangan airbag dengan metode selebar kapal. Yaitu kapal dapat mengalami jungkit dan berujung dengan dropping pada haluan kapal. Namun akan berbeda kasusnya jika airbag yang pecah hanya pada satu sisi kapal.
Gambar V.10 Sistem pemasangan cross over (airbag pecah satu sisi kapal) 107
Gambar V.10 merupakan ilustrasi airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal pada sistem pemasangan airbag dengan metode cross over. Jika airbag yang pecah hanya satu tidak akan berdampak besar pada proses peluncuran karena masih ada airbag lainnya yang mampu menahan beban kapal. Akan jadi masalah jika airbag yang pecah ada 2 atau lebih pada satu bagian sisi kapal yang sama. Karena pada saat itu akan terjadi ketidakseimbangan pada kapal dan distribusi beban kapal akan bertambah pada bagian airbag yang pecah sehingga titik berat kapal juga pindah dan berpusat pada bagian airbag yang pecah. Ditambah dengan jumlah airbag yang berkurang, maka kondisi paling ekstrem yang dapat terjadi adalah semua airbag pada satu bagian sisi kapal tersebut pecah dan membuat kapal oleng atau anjlok juga pada bagian tersebut. Namun dampak yang ditimbulkan pada peristiwa tersebut dapat berkurang apabila terdapat tambahan winch yang menahan pada kedua sisi kapal. Sehingga apabila peristiwa tersebut terjadi proses peluncuran dapat dihentikan sementara berkat bantuan dari winch yang menahan bagian sisi-sisi kapal. A. Periode 1 Jika pada kondisi ekstrem airbag yang menumpu salah satu bagian sisi kapal semua pecah, dapat dipastikan bahwa kapal tersebut oleng dan anjlok ke bagian samping airbag yang pecah. Selanjutnya pada bagian tersebut akan menghantam landasan yang mana akan menyebabkan kerusakan pada badan kapal.
Gambar V.11 Seluruh airbag pecah pada salah satu bagian sisi kapal Pada Gambar V.11 adalah gambaran yang terjadi pada kapal jika seluruh airbag pecah pada salah satu bagian kapal. Jika hal tersebut terjadi, otomatis tidak ada lagi yang 108
menumpu kapal pada bagian airbag yang pecah. Sehingga kapal anjlok ke arah bagian tersebut dan menyebabkan kerusakan pada badan kapal yang menghantam landasan. B. Periode 2 dan 3 Khusus untuk analisa risiko yang dapat terjadi pada periode 2 dan 3 tidak dapat dilanjutkan lagi, karena pada kasus ini diasumsikan bahwa semua airbag pada bagian salah satu sisi kapal pecah. Sehingga analisa yang dilakukan cukup hanya pada periode 1. Selain itu diperlukan simulasi langsung untuk dapat menentukan kira-kira berapa maksimal jumlah airbag yang boleh pecah khusus pada sistem pemasangan airbag ini agar mendapatkan hasil yang akurat. Identifikasi Risiko dengan FTA Berdasarkan perhitungan dan identifikasi yang dilakukan sebelumnya, maka langkah selanjutnya adalah analisa risiko dengan tujuan mencari akar-akar permasalahan yang menyebabkan risiko tersebut dapat terjadi. Analisa risiko yang dilakukan berdasarkan hasil dari expert judgement, dengan kata lain analisa ini dihasilkan dari hasil diskusi dengan pihak yang dianggap ahli di bidangnya. Karena metode yang digunakan dalam menganalisa risiko adalah Fault Tree Analysis maka analisa terbentuk dalam diagram alir yang membentuk seperti sebuah pohon. Dalam kasus ini diumpamakan kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada proses peluncuran dengan metode airbag sebagai dampak yang dihasilkan dari risiko yang terjadi. Dari suatu rangkaian itu semua penyebab-penyebab risiko dapat diketahui sampai ke akar permasalahan atau awal penyebab kenapa risiko tersebut dapat terjadi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada proses identifikasi akar-akar permasalahan yang dianggap sebagai penyebab terjadinya risiko tersebut dibagi berdasarkan periode-periode peluncuran. Dengan kata lain identifikasi akar permasalahan dibagi atas periode 1, 2 dan 3. Jadi pada tiap periode dilakukan analisa dan dicari penyebab permasalahan mengapa risiko tersebut dapat terjadi. Penyebab permasalahan tadi terus dicari hingga tidak bisa dilanjutkan lagi atau yang biasa disebut dengan akar permasalahan. Dari akar permasalahan tersebut maka tindakan preventif (pencegahan) dapat diberikan agar dampak daripada risiko terus berkurang atau hilang. Berikut ini adalah hasil analisa risiko yang dilakukan dengan metode Fault Tree Analysis :
109
Kemungkinan Terjadinya Kerusakan Kapal Pada Peluncuran dengan Metode Airbag
Periode 1
Periode 2
Kapal Anjlok
Terkena Benda Tajam
Kondisi Landasan Buruk
Landasan Masih Terdapat Sampah Bekas Pembangunan (Pelat,Paku Besi)
Kapasitas Airbag Tidak Memenuhi
Jumlah Airbag yang Terpasang Kurang
Perhitungan Teknis yang Kurang Tepat
Kapal Karam
A
Airbag Pecah
Tidak Mampu Menahan Beban Kapal
Periode 3
Alat Bantu Peluncuran Kurang Memadai Kondisi Airbag Sudah Tidak Layak Pakai Kapasitas Winch Tidak Memenuhi Tidak Ada Maintenance Airbag
Perubahan Spesifikasi Airbag yang Digunakan (Tidak Sesuai Perhitungan)
Angin Kencang
Bencana Alam
Alat Bantu Peluncuran Tidak Tersedia Terjadi Gempa Bumi
Perhitungan Kurang Tepat
Human Error
Faktor Alam
Tidak Melakukan Perhitungan
Terjadi Tsunami
Tingkat Keahlian Operator Rendah
Operator Kurang Pengalaman
Pelaksanaan Peluncuran Tidak Sesuai Standar SOP
Tidak Memperhatikan Faktor Keamanan
Tidak Menghitung Berapa Jumlah Airbag yang Dibutuhkan
Gambar V.12 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA 110
Stabilitas Kapal Buruk
Terjadi tsunami
Kapal Dropping
Terjadi Kebocoran
B
Masih Ada Sistem Bukaan Pada Kapal Dibawah Garis Air yang Terbuka
Pelaksanaan Peluncuran Tidak Sesuai Standar SOP
Perhitungan yang Kurang Tepat
Ada Perbedaan Antara Spesifikasi Kapal Dilapangan Dengan Perhitungan (Under Spesification)
Kurangnya Pengawasan Pada Proses Pembangunan
Pada Gambar V.12 dijelaskan bahwa pada peristiwa kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada peluncuran menggunakan airbag dibagi berdasarkan periode peluncuran yaitu periode 1, 2 dan 3. Dapat dilihat pada Gambar V.12 peristiwa yang dapat menyebabkan kerusakan kapal pada periode 1 adalah kapal anjlok. Hal yang menyebabkan kapal anjlok ada 4 hal yaitu seluruh airbag yang menumpu kapal pecah, alat bantu peluncuran (winch) tidak memadai, faktor alam, atau human error. Selanjutnya hal yang menyebabkan airbag tersebut pecah ada 2 kemungkinan yaitu airbag tersebut terkena benda tajam atau airbag tersebut tidak mampu menahan beban yang diberikan oleh kapal seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan untuk alat bantu peluncuran yang kurang memadai kemungkinan penyebabnya terbagi menjadi 2 yaitu kapasitas winch yang digunakan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan atau memang alat bantu peluncuran (winch) tidak tersedia. Identifikasi risiko tersebut terus dilakukan hingga penyebab kegagalan tidak bisa diidentifikasi lagi apa penyebabnya atau bisa disebut dengan akar permasalahan. Pada periode 1 akar permasalahan yang dihasilkan adalah : 1.
Landasan masih terdapat sampah bekas pembangunan (pelat, paku besi)
2.
Tidak melakukan perhitungan akan jumlah airbag yang dibutuhkan
3.
Perhitungan jumlah airbag yang dibutuhkan tidak tepat
4.
Perubahan penggunaan spesifikasi airbag (tidak sesuai perhitungan)
5.
Tidak ada maintenance airbag
6.
Alat bantu winch tidak tersedia
7.
Tidak memperhitungkan kapasitas winch yang dibutuhkan
8.
Tidak memperhatikan faktor keamanan kapasitas winch
9.
Angin kencang
10.
Terjadi gempa bumi
11.
Terjadi tsunami
12.
Tingkat keahlian operato rendah
13.
Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai standar SOP
14.
Operator peluncuran kurang pengalaman.
Pada periode 2 dilanjutkan pada bagan A. Sedangkan untuk kemungkinan kegagalan yang terjadi pada periode 3 ada dua peristiwa yaitu kapal karam atau kapal mengalami dropping. Pada kapal karam hal yang menyebabkan kenapa peristiwa itu terjadi adalah karena stabilitas kapal yang memang buruk atau terdapat kebocoran pada badan kapal sehingga saat
111
kapal menyentuh air ada yang masuk ke dalam badan kapal sehingga kapal tersebut tenggelam. Dari kedua penyebab utama tersebut dihasilkan 3 akar permasalahan yaitu : 1.
Perhitungan stabilitas kapal yang tidak tepat
2.
Kurangnya pengawasan pada proses pembangunan kapal
3.
Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai dengan standar SOP
4.
Terjadinya tsunami
Sedangkan pada kapal dropping dilanjutkan pada bagan B.
A
Terjadi Benturan Antara Kapal Dengan Landasan
Badan Kapal Terpusat Hanya Pada Sebagian Airbag di Ujung Landasan
Airbag Pecah
Kondisi Landasan Buruk
Landasan Berlumpur
Terkena Benda Tajam
Tidak Mampu Menahan Beban Kapal
Kapasitas Airbag Tidak Memenuhi
Kemiringan Landasan Tidak Smooth Landasan Masih Terdapat Sampah Bekas Pembangunan (Pelat,Paku Besi)
Jumlah Airbag yang Terpasang Kurang
Perhitungan Teknis yang Kurang Tepat
Badan Kapal Patah
Kondisi Airbag Sudah Tidak Layak Pakai
Tidak Ada Maintenance Airbag
Perubahan Spesifikasi Airbag yang Digunakan (Tidak Sesuai Perhitungan)
Kapal Mengalami Jungkit / Tipping
Kapal Tidak Kunjung Mendapat Gaya Angkat Buritan
Kedalaman Air (Water Level) Diujung Landasan Kurang
Tidak Menghitung Berapa Jumlah Airbag yang Dibutuhkan
Gambar V.13 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan periode 2) Gambar V.13 merupakan rangkaian peristiwa kegagalan peluncuran yang terjadi pada periode 2. Pada periode 2 kemungkinan kegagalan peluncuran yang terjadi terbagi menjadi 2 112
yaitu terjadi benturan antara kapal dengan landasan atau kapal badan patah. Pada kejadian yang menyebabkan badan kapal patah bisa diakibatkan karena kapal mengalami jungkit, yang mana jungkit tersebut juga dapat diakibatkan karena terdapat airbag yang pecah. Sehingga akar permasalahan yang dihasilkan pada peristiwa badan kapal patah sama dengan terjadinya benturan antara kapal dengan landasan dengan tambahan kedalaman air di ujung landasan yang kurang.
B
Kapal Mengalami Jungkit / Tipping
Airbag Pecah
Kondisi Landasan Buruk
Landasan Berlumpur
Terkena Benda Tajam
Tidak Mampu Menahan Beban Kapal
Kapasitas Airbag Tidak Memenuhi
Kemiringan Landasan Tidak Smooth Landasan Masih Terdapat Sampah Bekas Pembangunan (Pelat,Paku Besi)
Jumlah Airbag yang Terpasang Kurang
Perhitungan Teknis yang Kurang Tepat
Kondisi Airbag Sudah Tidak Layak Pakai
Tidak Ada Maintenance Airbag
Kapal Tidak Kunjung Mendapat Gaya Angkat Buritan
Kedalaman Air (Water Level) Diujung Landasan Kurang
Perubahan Spesifikasi Airbag yang Digunakan (Tidak Sesuai Perhitungan)
Tidak Menghitung Berapa Jumlah Airbag yang Dibutuhkan
Gambar V.14 Rangkaian analisa risiko peluncuran kapal dengan metode FTA (lanjutan periode 3) Selanjutnya pada Gambar V.14 merupakan peristiwa lanjutan yang menyebabkan kapal bisa mengalami dropping pada periode 3. Dapat dilihat pada Gambar V.14 bahwa akar permasalahan yang dihasilkan sama dengan akar permasalahan yang dihasilkan pada peristiwa 113
kegagalan yang terjadi pada periode 2. Hal ini disebabkan karena peristiwa kegagalan dapat disatukan dalam satu rangkaian peristiwa. V.2
Rekomendasi Preventif Risiko Rekomendasi preventif ini adalah sebuah tindakan pencegahan yang dapat mengurangi
atau bahkan menghilangkan semua kemungkinan risiko yang dapat terjadi dengan melihat akar permasalahan dari risiko yang ditimbulkan. Pada gambar rangkaian pohon analisa risiko yang terdapat pada Gambar V.12, V.13 dan V.14 dapat diketahui akar-akar permasalahan dari setiap risiko yang dapat terjadi. Perumpamaan yang diberikan pada analisa risiko yang dilakukan adalah kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada peluncuran dengan metode airbag. Selanjutnya analisa tersebut diteliti pada tiap-tiap peristiwa risiko yang dapat terjadi pada tiap periode peluncuran yaitu, periode 1, 2 dan 3. Dengan rekomendasi preventif yang diberikan sebagai berikut : Periode 1 Dalam memberikan rekomendasi pencegahan yang perlu dilihat adalah akar permasalahan dari kejadian tersebut.. Untuk rekomendasi preventif yang diberikan pada periode 1 dapat dilihat pada Tabel V.4, sebagai berikut : Tabel V.4 Rekomendasi preventif pada periode 1 Periode 1 No
1
114
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Landasan masih terdapat sampah bekas pembangunan (pelat, paku besi)
Memastikan kondisi landasan bersih/bebas dari sampah bekas pembangunan terutama yang bersifat tajam
Tidak melakukan perhitungan akan jumlah airbag yang dibutuhkan
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan sesuai pada rule ISO 14409
Kapal Anjlok
Periode 1 No
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Perhitungan jumlah airbag yang dibutuhkan tidak tepat
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat sesuai dengan spesifikasi airbag yang digunakan
Perubahan penggunaan spesifikasi airbag (tidak sesuai perhitungan)
Tidak dengan tiba-tiba mengganti airbag yang digunakan saat peluncuran tanpa memperhitungkan lagi dampak yang mungkin terjadi.
Tidak ada maintenance airbag
Memberikan maintenance yang baik pada airbag yang digunakan berulang kali
Alat bantu winch tidak tersedia
Menyediakan alat bantu penahan winch untuk menjaga kesimbangan kapal
Tidak memperhitungkan kapasitas winch yang dibutuhkan
Menghitung kapasitas winch yang dibutuhkan dengan menyesuaikan berat peluncuran
Tidak memperhatikan faktor keamanan kapasitas winch
Pada kapasitas winch terdapat faktor keamanan, yang mana kapasitas winch yang digunakan sebaiknya 2x dari hasil perhitungan
Angin kencang
Pilih lokasi peluncuran yang memiliki intesitas angin rendah.
Terjadi gempa bumi
Hindari lokasi peluncuran yang dekat dengan lempeng gunung atau struktur landasan harus tahan terhadap segala kondisi gempa bumi.
115
Periode 1 No
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Terjadi bencana tsunami
Hindari lokasi peluncuran yang dekat dengan lempeng gunung yang dapat menyebabkan gempa sehingga terjadinya tsunami.
Tingkat keahlian operator rendah
Operator peluncuran harus memiliki standar sertifikasi.
Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai dengan standar SOP
Perlu adanya pengawasan pada saat peluncuran agar sesuai dengan standard yang telah ditentukan.
Operator kurang berpengalaman
Jika memungkinkan, gunakan jasa operator yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag
Pada Tabel V.4 dijelaskan bahwa kemungkinan kegagalan peluncuran yang dapat terjadi pada periode 1 yaitu kapal mengalami anjlok. Hal tersebut dapat terjadi apabila pada kondisi ekstrem seluruh airbag yang menumpu kapal pecah, sehingga dapat dipastikan kapal jatuh ke landasan tanpa adanya tumpuan lagi. Walaupun masih adanya alat penahan winch tidak akan membantu apabila semua airbag mengalami pecah. Oleh karena itu pada Tabel V.4 setiap akar permasalahan yang ditemukan diberikan rekomendasi preventif (pencegahan) dengan tujuan risiko yang ditimbulkan berkurang atau bahkan hilang. Seperti contoh pada akar permasalahan tidak memperhitungkan kapasitas winch yang dibutuhkan, tentunya hal tersebut dapat membahayakan kapal. Dalam menentukan kapasitas winch yang dibutuhkan tidak ada istilah memperkirakan, melainkan kapasitas winch yang dibutuhkan tersebut harus dihitung sehingga winch tersebut jelas dapat menahan gaya yang diberikan pada kapal. Maka oleh karena itu rekomendasi preventif yang diberikan pada akar permasalahan tersebut adalah menghitung kapasitas winch yang dibutuhkan dengan menyesuaikan berat peluncuran. Selain itu juga masih ada risiko yang sifatnya tidak bisa dikendalikan seperti faktor alam atau terjadinya bencana alam yang harus diberikan juga tindakan preventifnya agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak 116
terjadi. Sedangkan untuk faktor kesalahan manusia (human error) dibagi menjadi 3 hal yaitu, tingkat keahlian operator yang rendah, pihak operasional lalai dalam melaksanakan tugasnya dan yang terakhir adalah operator peluncuran kurang berpengalaman dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag. Periode 2 Untuk rekomendasi preventif yang diberikan pada setiap akar permasalahan yang dapat terjadi pada periode 2 dapat dilihat pada Tabel V.5, sebagai berikut : Tabel V.5 Rekomendasi preventif pada periode 2 Periode 2 No
1
Kegagalan Peluncuran
Terjadi Benturan dengan Landasan
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Landasan masih terdapat sampah bekas pembangunan (pelat, paku besi)
Memastikan kondisi landasan bersih/bebas dari sampah bekas pembangunan terutama yang bersifat tajam
Tidak melakukan perhitungan akan jumlah airbag yang dibutuhkan
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan sesuai pada rule ISO 14409
Perhitungan jumlah airbag yang dibutuhkan tidak tepat
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat sesuai dengan spesifikasi airbag yang digunakan
Landasan berlumpur
Landasan peluncuran harus dilapisi cement dengan menyesuaikan kekuatan yang dibutuhkan
Kemiringan landasan tidak smooth (terdapat bagian yang terjal)
Pastikan kemiringan landasan memiliki kemiringan yang tetap (smooth)
117
Periode 2 No
2
118
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Perubahan penggunaan spesifikasi airbag (tidak sesuai perhitungan)
Tidak dengan tiba-tiba mengganti airbag yang digunakan saat peluncuran tanpa memperhitungkan lagi dampak yang mungkin terjadi.
Tidak ada maintenance airbag
Memberikan maintenance yang baik pada airbag yang digunakan berulang kali
Landasan masih terdapat sampah bekas pembangunan (pelat, paku besi)
Memastikan kondisi landasan bersih/bebas dari sampah bekas pembangunan terutama yang bersifat tajam
Tidak melakukan perhitungan akan jumlah airbag yang dibutuhkan
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan sesuai pada rule ISO 14409
Perhitungan jumlah airbag yang dibutuhkan tidak tepat
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat sesuai dengan spesifikasi airbag yang digunakan
Perubahan penggunaan spesifikasi airbag (tidak sesuai perhitungan)
Tidak dengan tiba-tiba mengganti airbag yang digunakan saat peluncuran tanpa memperhitungkan lagi dampak yang mungkin terjadi.
Tidak ada maintenance airbag
Memberikan maintenance yang baik pada airbag yang digunakan berulang kali
Kedalaman air di ujung landasan kurang
Memastikan kedalaman air (water level) di ujung landasan cukup untuk kebutuhan kapal yang akan diluncurkan.
Badan Kapal Patah
Periode 2 No
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Kemiringan landasan tidak smooth (terdapat bagian yang terjal)
Pastikan kemiringan landasan memiliki kemiringan yang tetap (smooth)
Landasan berlumpur
Landasan peluncuran harus dilapisi cement dengan menyesuaikan kekuatan yang dibutuhkan
Pada Tabel V.5 dijelaskan bahwa tragedi kegagalan peluncuran yang dapat terjadi pada periode 2 ada dua jenis kegagalan yaitu terjadinya benturan kapal dengan landasan atau badan kapal mengalami defleksi yang pada kondisi ekstrem dapat patah. Pada terjadinya benturan kapal dengan akar permasalahan yang dihasilkan ada 5 yang masing-masing akar permasalahannya diberikan rekomendasi preventif. Sedangkan pada peristiwa badan kapal patah akar permasalahan yang dihasilkan sama dengan terjadinya benturan kapal dengan landasan dengan tambahan satu akar permasalahan, yaitu kedalaman air di ujung landasan kurang. Periode 3 Untuk rekomendasi preventif yang diberikan pada setiap akar permasalahan yang dapat terjadi pada periode 3 dapat dilihat pada Tabel V.6, sebagai berikut : Tabel V.6 Rekomendasi preventif pada periode 3 Periode 3 No
1
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Kapal Karam
Perhitungan stabilitas kapal yang tidak tepat
Melakukan atau meminta bantuan pihak expert dalam menghitung stabilitas kapal sehingga dihasilkan perhitungan yang tepat
119
Periode 3 No
2
120
Kegagalan Peluncuran
Kapal Dropping
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Kurangnya pengawasan pada proses pembangunan kapal
Membentuk atau memanggil tim pengawas yang dapat dipercaya di dalam mengawasi kapal dari proses mulai dibangun hingga kapal selesai dibangun
Pelaksanaan peluncuran tidak sesuai dengan standar SOP
Perlu adanya pengawasan pada saat peluncuran agar sesuai dengan standard yang telah ditentukan.
Terjadi tsunami
Hindari lokasi peluncuran yang dekat dengan lempeng gunung yang dapat menyebabkan gempa sehingga terjadinya tsunami.
Landasan masih terdapat sampah bekas pembangunan (pelat, paku besi)
Memastikan kondisi landasan bersih/bebas dari sampah bekas pembangunan terutama yang bersifat tajam
Tidak melakukan perhitungan akan jumlah airbag yang dibutuhkan
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan sesuai pada rule ISO 14409
Perhitungan jumlah airbag yang dibutuhkan tidak tepat
Menghitung jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat sesuai dengan spesifikasi airbag yang digunakan
Perubahan penggunaan spesifikasi airbag (tidak sesuai perhitungan)
Tidak dengan tiba-tiba mengganti airbag yang digunakan saat peluncuran tanpa memperhitungkan lagi dampak yang mungkin terjadi.
Tidak ada maintenance airbag
Memberikan maintenance yang baik pada airbag yang digunakan berulang kali
Periode 3 No
Kegagalan Peluncuran
Akar Permasalahan
Tindakan Preventif
Kedalaman air di ujung landasan kurang
Memastikan kedalaman air (water level) di ujung landasan cukup untuk kebutuhan kapal yang akan diluncurkan.
Kemiringan landasan tidak smooth (terdapat bagian yang terjal)
Pastikan kemiringan landasan memiliki kemiringan yang tetap (smooth)
Landasan berlumpur
Landasan peluncuran harus dilapisi cement dengan menyesuaikan kekuatan yang dibutuhkan
Tabel V.6 menjelaskan bahwa pada periode 3 tragedi kegagalan peluncuran yang dapat terjadi adalah kapal karam atau kapal mengalami dropping. Pada tragedi kapal karam dihasilkan 4 akar permasalahan dengan rekomendasi yang diberikan adalah : 1. Melakukan atau meminta bantuan pihak expert dalam menghitung stabilitas kapal sehingga dihasilkan perhitungan yang tepat. 2. Membentuk atau memanggil tim pengawas yang dapat dipercaya di dalam mengawasi kapal dari proses mulai dibangun hingga kapal selesai dibangun. 3. Perlu adanya pengawasan pada saat proses persiapan peluncuran. 4. Hindari lokasi peluncuran yang dekat dengan lempeng gunung (yang rawan terjadi tsunami) Selanjutnya pada peristiwa kapal mengalami dropping akar permasalahan yang dihasilkan sama dengan akar permasalahan yang dihasilkan pada peristiwa badan kapal patah pada periode 2. Hal ini dikarenakan kedua kejadian tersebut masih dalam satu proses yang sama sehingga akar permasalahan yang dihasilkanpun sama.
121
Halaman ini sengaja dikosongkan
122
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Untuk menurunkan kapal kontainer 100 TEUs yang memiliki berat peluncuran sebesar 1156.94 ton dibutuhkan sekitar 20 airbag dengan diameter 1 m yang memiliki bearing capacity maksimal sebesar 16.66 ton/m. Kapasitas winch yang dibutuhkan untuk menahan kapal sebelum kapal tersebut diluncurkan adalah sebesar 795.40 kN dengan kemiringan landasan 20. Setelah dilakukan perhitungan berdasarkan data yang didapatkan menghasilkan bahwa kapal kontainer tersebut mengalami gaya angkat buritan (stern lift) pada akhir langkah 7 dan terapung bebas (free floating) pada akhir langkah 8. Hal tersebut bisa cepat terjadi dikarenakan adanya bantuan gaya angkat yang diberikan oleh masing-masing airbag sebesar 10.6 ton.
2.
Identifikasi risiko dihasilkan berdasarkan dari analisa yang dilakukan per periode peluncuran. Pada kondisi kritis untuk periode 1, kemungkinan risiko yang dapat terjadi adalah kapal bisa mengalami anjlok. Sedangkan untuk periode 2 pada kondisi kritis badan kapal bisa mengalami benturan dengan landasan atau badan kapal patah. Lalu untuk periode 3, kemungkinan risiko yang dapat terjadi pada kondisi kritis kapal bisa mengalami dropping atau kapal karam.
3.
Setelah akar permasalahan dari setiap identifikasi risiko didapatkan, maka rekomendasi preventif yang diberikan khusus untuk kemungkinan terjadinya kerusakan kapal pada proses penurunan dengan metode airbag adalah : a. Kondisi landasan dipastikan bersih dan terbebas dari sampah bekas pembangunan terutama benda-benda yang tajam. b. Kemiringan landasan harus smooth tidak ada bagian yang terjal. c. Tersedia alat bantu winch sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk menahan kapal jika terjadi hal yang tidak diinginkan. d. Membentuk tim khusus untuk melakukan analisis dan perhitungan dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag. e. Melakukan perhitungan berapa jumlah airbag yang dibutuhkan dengan tepat. f. Menggunakan airbag dengan spesifikasi yang sesuai dengan perhitungan. 123
g. Melakukan maintenance yang benar pada airbag. h. Operator peluncuran harus memiliki standar sertifikasi i. Perlu adanya pengawasan pada saat peluncuran kapal menggunakan airbag. j. Jika memungkinkan, gunakan jasa operator yang sudah memiliki banyak pengalaman dalam meluncurkan kapal menggunakan airbag. k. Landasan peluncuran harus dilapisi cement dengan menyesuaikan kekuatan yang dibutuhkan. VI.2
Saran Proses perhitungan dan analisa risiko dilakukan dengan cara pendekatan fisika dan
expert judgement, dimana hasil yang didapatkan tentunya tidak begitu akurat. Maka diperlukan penelitian lebih lanjut seperti melakukan simulasi langsung di lapangan untuk menghasilkan hasil perhitungan dan analisa risiko yang lebih tepat dan juga akurat.
124
DAFTAR PUSTAKA Alijoyo, A. (2006). Enterprise Risk Management. Jakarta: Raya Indonesia. Basyaib, F. (2007). Manajemen Risiko. Jakarta: Grasindo. Cahyo, I. D. (2014). Fungsi Kurva Bonjean Pada Peluncuran Kapal Secara End Launching. METANA, 25-33. CB/T. (1998). Technological Requirements for Ship Upgrading or Launching Relying on AirBags. Tianjin: China Shipbuilding Industry Technology Research. Djohanputro, B. (2006). Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi. Jakarta: Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. Djojosoedarso, S. (2003). Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta: PT. Salemba Emban Patria. Foster, S. (2004). Managing Quality : An Integrative Approach. New York: Pearson Educational International. Hage, D. T. (2014). Inteso Marine Rubber Airbag Bearing Capacity. In Bearing Rubber Airbag Capacity. Sidoarjo: PT. Inti Teknika Solusi. Haris, M. (2016, 12 24). Kajian Manajemen Fault Tree Analysis. Diambil dari Kajian Manajemen
Fault
Tree
Analysis
Web
Site:
http://muh-
haris.blogspot.co.id/2015/10/kajian-manajemen-fault-tree-analysis-fta.html Haryani, A. O. (2013). Analisa Teknis dan Ekonomis Airbag System Untuk Meningkatkan Produktivitas Reparasi Kapal. Jurnal Tugas Akhir Teknik Perkapalan ITS. ISO 14409. (2011). Ship and Marine Technology - Ship Launching Air Bags. Switzerland: International Standard. Muhlbauer, W. K. (2004). Pipeline Risk Manageent Manual. USA: Gulf Professional Publishing. Priyanti, D. (2000). Keandalan dan Perawatan. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
125
Qingdao Eversafe Marine Engineering. (2016, 12 22). Qingdao Eversafe Marine Engineering Co.,Ltd. Diambil dari Qingdao Eversafe Marine Engineering Co.,Ltd Web Site: http://www.eversafe-marine.com/technology.aspx?cid=71 SAI GLOBAL. (2004). Risk Management Guidelines Companion to AS/NZS 4360. Sidney: Standard Australia International Ltd & Standards New Zealand. Siahaan, H. (2009). Manajemen Risiko pada Perusahaan dan Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia. Silalahi, F. (1997). Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sitepu, H. G., & Firu, L. A. (2012). Kajian Penggunaan Fasilitas Dok Sistem Airbags di PT. Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Galangan II, Jakarta. Jurnal Riset dan Teknologi Kelautan (JRTK), 181-192. Wachyudi, Y. (2010). Identifikasi Bahaya, Analisis, dan Pengendalian Risiko dalam Tahap Desain Proses Produksi Minyak & Gas di Kapal Floating Production Storage & Offloading (FPSO) untuk Proyek Petronas Bukit Tua Tahun 2010. Depok: Universitas Indonesia.
126
LAMPIRAN
LAMPIRAN A : Gambar Konstruksi Kontainer 100 TEUs LAMPIRAN B : Perhitungan Bonjean LAMPIRAN C : Perhitungan Peluncuran Kontainer 100 TEUs dengan Metode Airbag LAMPIRAN D : Kurva Peluncuran Kontainer 100 TEUs LAMPIRAN E : Biodata Penulis
LAMPIRAN A : Gambar Konstruksi Kontainer 100 TEUs
General Arrangement Kontainer 100 TEUs
Midship Section Kontainer 100 TEUs
Contruction Profile Kontainer 100 TEUs
Construction Profile Kontainer 100 TEUs
LAMPIRAN B : Perhitungan Bonjean
Permodelan Body Plan di MAXSURF
Permodelan Sheer Plan di MAXSURF
Permodelan Breadth di MAXSURF
Perhitungan Luas Station Kontainer 100 TEUs
WL/ST 0 1 2 3 3.7 4.9 11 0 14.0360 30.7740 47.8050 59.8020 82.1470
0 0 0 0 0 2.944 20.967
1 0 0.000 3.914 13.967 23.436 44.429
12 0 14.0460 30.7220 47.7330 59.7250 82.0700
2 0 6.858 18.501 32.771 43.788 65.608
13 0 13.9020 30.4860 47.4660 59.4510 81.7960
3 0 10.461 24.640 40.391 51.965 74.096 14 0 13.6920 30.1530 47.0910 59.0650 81.4100
4 0 12.117 27.436 43.792 55.577 77.821 15 0 13.3870 29.6890 46.5710 58.5310 80.8760
5 0 13.009 28.948 45.603 57.483 79.773 16 0 12.8130 28.8540 45.6280 57.6120 79.9310
6 0 13.543 29.858 46.690 58.625 80.941
7 0 13.873 30.419 47.355 59.322 81.667
17 0 11.2170 26.3890 42.7410 54.5110 76.7400
18 0 8.305 21.135 35.600 46.446 67.989
8 0 14.1880 30.9550 47.9940 59.9920 82.3370 19 0 5.872 15.464 26.726 35.515 53.767
9 0 14.1800 30.9470 47.9860 59.9840 82.3290 20 0 0.263 3.225 8.564 13.666 25.472
10 0 14.1760 30.9310 47.9620 59.9570 82.3020
Penentuan Langkah Peluncuran
LANGKAH PELUNCURAN SKALA X SKALA Y
200 25 1) Skala x = Skala y 2) Lwl x 100 = Skala x 3) Point 1 x point 2 =
Lwl = Lwl skala 160 = 8
72 m =
72000 mm -> 360 mm 18 mm 36
Jarak tiap ST Jarak 2 station
36
288
Point 1 = Point 2 = Point 3 =
Tinggi y untuk garis peluncuran : y= point 3) x tan a = 10.05718161 cm
skala x/skala y (Lwlx100)/skala x Point 3 x tan a
tan a = 2 = 0.03492077
SEHINGGA : Skala x = Lwl all = jarak antar station =
200 72
Sudut a = 2 tan a = 0.03492077 3.6 m
(Digambar)
Penentuan Langkah Peluncuran
ST 0 s/d 2 2 s/d 4 4 s/d 6 6 s/d 8 8 s/d 10 10 s/d 12 12 s/d 14 14 s/d 16 16 s/d 18 18 s/d 20
Point 1 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
Lwl (m) 7.2000 14.4000 21.6000 28.8000 36.0000 43.2000 50.4000 57.6000 64.8000 72.0000
Lwl (cm) 720.0000 1440.0000 2160.0000 2880.0000 3600.0000 4320.0000 5040.0000 5760.0000 6480.0000 7200.0000
Lwl (mm) 7200.0000 14400.0000 21600.0000 28800.0000 36000.0000 43200.0000 50400.0000 57600.0000 64800.0000 72000.0000
Point 2 (cm) 3.6000 7.2000 10.8000 14.4000 18.0000 21.6000 25.2000 28.8000 32.4000 36.0000
Point 3 (cm) 28.8000 57.6000 86.4000 115.2000 144.0000 172.8000 201.6000 230.4000 259.2000 288.0000
Panjang Y (cm) 1.0057 2.0114 3.0172 4.0229 5.0286 6.0343 7.0400 8.0457 9.0515 10.0572
Panjang Y (mm) 10.0572 20.1144 30.1715 40.2287 50.2859 60.3431 70.4003 80.4575 90.5146 100.5718
Kurva Bonjean Kontainer 100 TEUs
LAMPIRAN C : Perhitungan Peluncuran Kontainer 100 TEUs dengan Metode Airbag
UKURAN UTAMA KAPAL Berikut ini adalah data ukuran utama kapal yang didapatkan dari optimasi software Maxsurf : No 1 2 3
Item Type kapal Lpp Lwl
Value Container 69.220 72.000
Satuan m m
4
Bmld
17.200
m
5
Hmld
4.900
m
6 7 8
Tmld Cb Vs
3.700 0.780 12.000
m
9 10
Displacement LCB
3,574.022 -1.410
m3 m
11
hdb
12 13
MTC LCF dari Midship
Lpp = LCB from AP = LCF from AP = Maka, LCB from midship = LCF from midship = =
1.200 211.504 -2.110
knots
m Ton / cm² m
69.22 m 33.2 m 32.5 m (Didepan -1.41 midship) (Didepan -2.11 midship) 2.11 (Dibelakang midship)
PERHITUNGAN BERAT KAPAL KOSONG Ukuran utama kapal sebagai berikut : Tipe = Container Lpp = 69.220 m Lwl = 72.000 m B= 17.200 m H= 4.900 m T= 3.700 m Cb = 0.780 D= Ñ xr= 3663.373 ton Merk Mesin Kapal : YANMAR - Engine Model 6EY22AW BHP = 1604.328 Hp Wme = KW 1180 Berat kapal kosong (light weight tonnage) meliputi : - Berat baja kapal kosong - Berat poros baling-baling di luar kamar mesin - Berat kamar mesin A. PERHITUNGAN BAJA KAPAL KOSONG 1. Perhitungan Berat Kapal Berat baja kapal kosong dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Wst = Wst' { 1 + 0,5 (Cb' - 0,7) } (Practical Ship Design(Watson) ; Hal 83) Keterangan : 1,36 Wst’ = K . E (ton) Dimana, E = L (B + T) + 0.85 L (H - T) + 0.85 ∑ l h K = Lihat tabel 4.1 (Practical Ship Design hal 85) Cb'= Cb pada 0.8*H Perhitungan elemen-elemen Wst dan Cb' : E = L (B + T) + 0.85 L (H - T) + 0.85 ∑ l h dimana : E = Parameter steel weight (Watson, Rina 1977 (Lectures on Ship Ship Design And Ship Theory, Herald Poehls; page : 70) ∑ l h = ( l1 x h1 ) + (l2 x h2 ) dimana : l1 = Panjang forecastle deck [(7% - 10%) x lpp dari FP] faktor % = 10% = 6.92 m h1 = Tinggi forecastle [2,2 – 2,4 meter] diambil = 2.2 m = 2.2 m l2 = Panjang poop deck [(15% - 20%) x LPP dari AP ] faktor % = 20% = 13.84 m h2 = Tinggi poop deck [2,2 – 2,4 meter] diambil = 2.2 m = 2.2 m ∑ l h = ( l1 x h1)+(l2 x h2) ∑ l h = (6.92 x 2.20) + (13.84 x 2.20) m2 = 45.685 maka : E = 69.22 x (17.20 + 3.70) + 0.85 x 69.22 x (4.90 - 3.70) + 0.85 x 45.685 = 1556.135 *)
1,36
Wst’ = K . E
(ton)
Wst' = 0.039 x 1556.135^1.36 = 855.557 ton
Nilai K : lihat di tabel 4.1 (Practical Ship Design (Watson) hal 85) Untuk container, yaitu : dimana, K mean = 0.036 K = Kmean ± K range dimana, K range = + 0.003 K = 0.039 Tabel nilai K untuk Tanker :
*) Untuk Cb > 0.7 maka diadakan koreksi sebesar Cb'0.8 H = Cb + (1-Cb){(0.8D-T)/3T} = 0.784
Untuk Cb < 0,7 maka tidak perlu diadakan koreksi maka Cb' yang digunakan = 0.784 Sehingga didapat : Wst = 855.557 x [1 + 0.5 x (0.784 - 0.7) = 891.64 ton
2. Perhitungan Titik Berat Kapal Kosong (Parametrik design Chapter 11 hal 11-25) # Vertical center of the various weight dari basic hull : VCGhull = 0.01 D (46.6 + 0.135 (0.81 - C B)(L/D)2 )+0.008 D (L/B - 6.5)
for L < 120 m
2
= 0.01 D (46.6 + 0.135(0.81 - C B)(L/D) ) for L > 120 m Maka untuk L < 120 m (L=69.22 m) VCGhull = 0.01 x 4.90 x (46.6 + (0.135 x (0.81 - 0.78) x ((69.22/4.90)^2) + 0.008 x 4.90 x ((69.22/17.20) - 6.5)))) = 2.318 m # The longitudinal position of the basic hull weight : LCGhull = -0.15 + LCB LCGhull = -0.15 + 0.731 = -1.560 m B. PERHITUNGAN DECK HOUSE 1. Perhitungan Berat Deckhouse Berat deck house dapat dihitung dengan rumus : Wdh = Berat deck house + Wrd = k . E . 1,36 (1 + 0.5 (CB' - 0.7)) + Wrd Perhitungan elemen-elemen Wdh E = 0.85 L (D' - H) dimana : D' = Tinggi seluruh kapal sampai bangunan atas D' = Ht + H Ht = Tinggi seluruh kapal sampai bangunan atas dikurangi H = tergantung pada perancangan kapal untuk dibuat rencana umum = tetapi sebagai patokan tinggi tiap deck antara 1.9 ~ 2.4 m D' = 16.90 m Ldh = 13.9 m (Layer 2) didapat E = 0.85 x 69.22 x (16.90 - 4.90) = 706.04 (catatan : jika Type Kapal Roro ada tambahan Wrd) Wrd = berat ramdoor atau pintu pada kapal ro-ro yang mana berat ini disesuaikan dengan GT maupun dengan jumlah dan besar truk Untuk : GT < 400 maka dengan berat 3 ~ 4 ton 400 < GT < 800 maka dengan berat 5 ~ 7 ton GT > 800 maka dengan berat lebih dari 7 ton [catatan : jika Type Kapal Roro ada tambahan Wrd] Karena type kapal adalah Bulk Carrier maka Wrd = 0 ton
diambil =
0
ton
sehingga didapat : Wdh = 0.039 x 706.04 x 1.36(1 + 0.5 x (0.784 - 0.7)) + 0.000 = 39.028 ton 2. Perhitungan Titik Berat Deckhouse (Parametrik design Chapter 11 hal 11-25) # Vertical center of the various weight dari deckhouse : 2
VCGdh = 0.01 D' (46.6 + 0.135 (0.81 - C B')(Ldh/D') ) + 0.008 D'(Ldh/B-6.5) + H 2
,for Ldh < 120 m
= 0.01 D' (46.6 + 0.135 (0.81 - C B')(Ldh /D') ) + H ,for Ldh > 120 m Maka untuk L < 120 m (L=86.75 m) VCGdh = 0.01 x 16.90 x (46.6 + 0.135 (0.81 - 0.784)(13.90/16.90^2) + 4.90 + 0.008 x 16.90 (13.90/17.20 - 6.5)+4.90 = 24.306 m # The longitudinal position of the deckhouse : LCGdh = (13.90/2 - 69.22/2) = -27.660 m
C. PERHITUNGAN KAMAR MESIN DAN INSTALASI : 1. Perhitungan Berat Kamar Mesin dan Instalasi W = Wm + ( 0.044 x L + 0.73 ) x le ton dimana, le = panjang kamar mesin = 11.40 m [dari GA] (Parametic Design Chapter 11 Hal 11-23) Wm = berat permesinan = Wme + Wrem dimana : 0.7 *) Wrem = Cm (MCR) Berat Mesin kapal : MCR = BHP mesin (KW) W 1 mesin = 10000 kg = 1180 KW = 10 ton Cm = 0.69 for bulk carriers, cargo vessels, and container ships Wrem = 97.536 ton *) Wme = Berat mesin kapal = 10.000 ton Berat mesin didapat : Wm = 107.5 ton Maka berat mesin dan instalasi : W= 150.579 ton 2. Perhitungan Titik Berat Kamar Mesin dan Instalasi # Vertical center of machinery weight : (Parametic Design Chapter 11 Hal 11-25) VCGM = hdb + 0.35(H’ – hdb) (m) H' = tinggi overhead kamar mesin = 4.90 hdb = 1.20 m [TDK I] VCGM = 1.20 + 0.35(4.90 - 1.20) = 2.50 m # The longitudinal position of the deckhouse : LCG = -25.910 m ( dibelakang midship ) 3+(1/2*le)-(Lpp/2) F. PERHITUNGAN BERAT CADANGAN Wres = (2 - 3) % . (Wst + Woa + Wm) maka : Wres = 19.9836 ton (diambil 2%) Rekapitulasi perhitungan berat : Berat total baja kosong : Berat deckhouse : Berat KM dan instalasi :
Wst = Wdh = Wm&i =
Perhitungan Berat LWT Kapal : LWT = Light Weigth Tonnage ( Ton ) LWT = Wst + Wdh + Wm LWT = 1081.25 ton
891.64 ton 39.028 ton 150.579 ton
PERHITUNGAN PRA PELUNCURAN 1. TABEL BERAT PRA PELUNCURAN No. Bagian Kapal Berat (ton) 1 Hull 891.64 2 Deckhouse 39.03 3 Machinery 150.58 S1 = 1081.25 LWT Kapal Titik berat kapal terhadap Midship = S2 / S1
LCG -1.56 -27.66 -25.91 S2 = = =
Hasil -1390.97 -1079.52 -3901.50 -6371.99 1081.25 -5.89
ton m
=
30.11
2. PERHITUNGAN BERAT DAN TITIK BERAT PELUNCURAN a. Berat kapal kosong (LWT) = 1081.25 ton Titik berat kapal terhadap Midship (LCG) = -5.89 m b. Berat perlengkapan peluncuran Dari "Static And Dynamic of the Ship" oleh Semyonov berat perlengkapan peluncuran adalah 7% - 16% dari berat kapal yang diluncurkan Direncanakan = 7 % LWT perlengkapan = 7 % x LWT Wle = 75.69 ton c. Berat peluncuran (P) P = LWT kapal kosong + LWT perlengkapan = 1081.252 + 75.688 = 1156.94 ton d. Titik berat peluncuran terhadap Midship (LCG) (Lwt kapal kosong x LCG) + (Lwt perlengkapan x 0) LCG = Lwt kapal kosong + Lwt perlengkapan = [1081.252 x -5.89 + 75.69 x 0]/[1081.25 + 75.69] = -5.51 m e. Volume dari perlengkapan peluncuran V = Wle / 0,8 (ρ = 0,8 ) = 75.69/0.8 = 94.61 m³ f. Gaya angkat perlengkapan peluncuran JV = V x ρ air laut = 94.61 x 1.025 = 96.97 ton g. Displacement kapal setelah adanya tambahan perlengkapan peluncuran : Δ= P-γV = 1156.94 - 96.97 = 1059.96 ton 3. Airbag a. Panjang Kapal yang Ditumpu Airbag/Panjang Lunas (S) S = 60.00 m Lpp = 69.22
m
b. Tekanan rata-rata yang diijinkan Tekanan rata-rata yang diijinkan pada airbag merupakan fungsi dari panjang kapal. Bisa didapatkan dari data spesifikasi airbag yg digunakan. Karena airbag telah ditentukan dengan menggunakan yang ada disalah satu perusahaan airbag di Indonesia yang mana memiliki diameter 1m dan tekanan max : ton/m [Pada working height 0.2m] Tekanannya ( s max) = 16.66
c. Lebar yang ditumpu airbag Berdasarkan CB/T 3837-1998 besaran lebar yang ditumpu airbag adalah dapa di ukur dari kontak antara airbag dengan bagian bawah kapal pada midship section. Dari pengukuran yang dilakukan didapat lebar kapal yang ditumpu oleh airbag adalah : Lb = 12.60 m d. Working Height airbag ( h ) Untuk working height maksimum pada airbag yang digunakan adalah : Tinggi tekanan kerja pada airbag adalah = 20 cm = 0.2 m
e. Airbag Penumpu pada kapal Panjang ( S ) = 60.00 Lebar ( b ) = 12.60 Tinggi ( h ) = 0.20 Jumlah ( n ) = 20.00 f. Menentukan ukuran landasan
m m m buah
Keterangan : O: Panjang landasan dibawah garis air D: Sudut kemiringan landasan terhadap air H : Kedalaman air pada ujung landasan
Untuk landasan peluncuran direncanakan sebagai berikut : # Panjang landasan dibawah garis air (l) O= 25.00 m # Sudut kemiringan landasan terhadap air (a) : 0 D= 2.00 # Kedalaman air pada ujung landasan : H = sin DxO m = sin (2.00 x 25.00) m = 0.872 m g. Koreksi H > T P peluncuran = 1156.939 ton LCG = -5.508 m Dapat diketahui beberapa variabel yang diambil dari "Hidrostatic Curve" yaitu MTC, LCB, dan LCF MTC = 211.5040 ton/cm LCB = -1.4100 m LCF = -2.110 m Perbedaan sarat ( DT ) = dimana, Volume = = = Jadi, DT = = DTa = = Ta (sarat belakang) = =
- [(LCG-LCB) x Volume] / [1000 x MTC] P/ρ ;ρ= 1.025 ton/m³ 1156.94/1.025 1128.721 - [(-5.508 - -1.410) x 1128.721]/[1000 x 211.504] 0.0219 m ( Lpp/2 + LCF ) x DT / Lpp 0.010 t + DTa m 0.210 m
Tf (sarat depan) = Ta - DT = 0.200
m
S = Panjang yang ditumpu airbag = 60.000 m m = (Lpp - S) / 2 = 4.610 m X = (Tf x Lpp)/Ta = 65.84 m Y = [Ta x (X+m)] / [X+Lpp] = 0.1097 m Jadi T = Y + Working height airbag = 0.3097 m Karena, H = 0.8725 m T= 0.3097 m maka H > T, sehingga kapal tidak terjadi tipping. h. Spesifikasi airbag yang digunakan Untuk spesifikasi airbag yang digunakan pada akhirnya dipilih salah satu airbag yang ada disalah satu perusahaan airbag di Indonesia sebagai berikut : Diameter Working Pressure Working Height (m) (Mpa) (m) 0.60 0.50 1.00 0.1 (14.5 psi) 0.40 0.30 0.20
Bearing Capacity per unit length kN/m t/m 1b/ft 62.88 8.33 4308.00 78.58 10.41 5384.00 94.27 12.49 6459.00 110.07 14.58 7541.00 125.76 16.66 8617.00
Airbag tersebut memiliki tiga pelapisan karet.
i. Jumlah Airbag yang Dibutuhkan Untuk menentukan jumlah airbag yang dibutuhkan dapat dihitung dengan aturan yang terdapat pada CB/T yaitu salah satu shipbuilding standard yang berada di China. N = [K1 Q.g/Cb.R.Ld] + N1 K1 = 1.2 - .1.3 Q= 1156.94 ton 2 m/s g= 9.80 Cb = 0.78 R= 94.27 kN/m Ld = 12.60 m N1 = 1 ~ 4
N= N=
18.91 19
j. Volume Airbag
2
2
V= 1/4 ∏ D x L + 2(1/3x1/4 ∏ D x 0.866D) D= 1.00 m L= 12.60 m V=
10.34
m2
PERHITUNGAN PELUNCURAN PERIODE I Periode ini dimulai pada saat kapal dilepas dan berakhir pada saat menyentuh air (Garis AP base line menyentuh permukaan air) a. Syarat kapal bergerak jika F1 > F3
P cos a N F3 = Pf cosa
F1 = P sin a a F2 = P cos a a
P
Keterangan : P = Berat peluncuran = 1156.939 ton a = Sudut kemiringan landasan = 2 derajat Gaya-gaya yang diuraikan pada P adalah : 1. F1 = P sin a = 1156.939 x sin (2) = 46.43 ton 2. F2 = P cos a = 1156.939 x cos (2) = 1156.01 ton 3. F3 = f x F2 Dimana : f = koefisien gesek pada landasan 0.0240 , untuk tekanan : f=
2
30.00
ton/m
, untuk tekanan :
20.00
ton/m
0.0400 , untuk tekanan : f= Tekanan rata-rata pada landasan Tekanan = P/(h . Lb . S)
10.00
ton/m2
f=
0.0320
= Sehingga, f=
2
2
27.557
ton/m
0.0300
[Interpolasi]
F3 = 0.0300 x 1156.01 = 34.73 ton Karena F1 > F3 maka kapal dapat bergerak meluncur sehingga memenuhi persyaratan. [MEMENUHI]
b. Pembebanan pada Periode I Pembebanan rata-rata yang bekerja pada landasan untuk tiap meter ( q ) : q= P/S dimana, P = Berat peluncuran = 1156.939 ton S = Panjang yang ditumpu airbag =
60.000
m
maka, q = 1156.939/60.000 q= 19.2823 ton/m Pembebanan pada landasan dapat digambarkan sebagai trapesium dengan panjang S dan sisi-sisi sejajar qd dan qb. qd qb midship LCG X S Keterangan : X = Jarak titik berat bidang beban terhadap ujung belakang bidang beban = [ S/2 - LCG ] LCG = -5.5076 m [60.000/2 - (-5.508)] = 24.49 m Pembebanan depan (qd) : qd = [2q x (3X - S)] / S = [2 x 19.282 x (3 x 24.492 - 60.000)]/60.000 = 8.66 ton/m Pembebanan belakang (qb) : qb = [2q x (2S - 3X)] / S = [2 x 19.282 x (2 x 60.000 - 3 x 24.492)]/60.000 = 29.90 ton/m c. Jarak yang ditempuh Ap base line kapal menyentuh permukaan air l = Working height (h)/ Tg a = 0.2/tan (2) = 6.70 m d. Kemampuan winch dalam menopang kapal Kemampuan winch dalam menahan kapal agar dapat meluncur dengan sempurna dan aman sehingga gaya yang dihasilkan harus lebih besar dibandingkan dengan gaya yang diberikan oleh kapal yang sedang meluncur. Berdasarkan CB/T kemampuan winch setidaknya harus : F= F= =
P. sin a + f. P cos a 81.16 795.40
ton kN
Perhitungan Periode 2 LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm] langkah 0 AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
langkah 1
langkah 2
langkah 3
langkah 4
langkah 5
langkah 6
langkah 7
langkah 8
langkah 9
langkah 10
0.0120
0.0173 0.732 0.603
0.0202 1.516 1.830 1.432 0.773
0.0214 2.423 3.139 2.917 2.349 1.630 0.835
0.1058 3.455 4.515 4.443 3.951 3.274 2.506 1.706 0.850
0.4184 4.700 6.057 6.097 5.651 4.994 4.231 3.443 2.566 1.704 0.839
0.8995 6.119 7.749 7.890 7.474 6.814 6.037 5.243 4.330 3.440 2.535 1.687 0.832
1.5937 7.707 9.592 9.830 9.447 8.785 7.981 7.161 6.192 5.255 4.292 3.416 2.519 1.644 0.799
2.4988 9.361 11.481 11.817 11.477 10.828 10.012 9.175 8.149 7.152 6.123 5.202 4.251 3.320 2.412 1.520 0.647
3.6196 11.081 13.416 13.848 13.558 12.932 12.119 11.279 10.212 9.165 8.070 7.085 6.064 5.069 4.078 3.077 1.963 0.917 0.315
LUAS STATION DIKALI SKALA [m] skala : skala :
1 cm = 1 mm =
10 2
m2 m2
langkah 0 langkah 1 langkah 2 langkah 3 langkah 4 langkah 5 langkah 6 langkah 7 langkah 8 langkah 9 langkah 10 AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.024
0.0346 1.4636 1.2056 0
0.0404 3.0328 3.6592 2.863 1.5454 0
0.0428 4.846 6.2774 5.8346 4.6984 3.2596 1.6696 0
0.2116 6.9108 9.0306 8.8866 7.901 6.5486 5.0128 3.4118 1.7006 0
0.8368 9.3998 12.1132 12.1946 11.3026 9.9876 8.4612 6.8854 5.1328 3.4084 1.6788 0
1.799 12.2386 15.4976 15.7794 14.9472 13.6284 12.073 10.4862 8.6604 6.8798 5.0694 3.3736 1.6634 0
3.1874 15.414 19.1834 19.6598 18.8944 17.5708 15.961 14.322 12.3846 10.5092 8.5846 6.831 5.0376 3.2876 1.5972 0
4.9976 18.7218 22.9616 23.6332 22.9538 21.655 20.0236 18.3494 16.297 14.3036 12.2466 10.4034 8.5012 6.6394 4.8246 3.0396 1.2938 0
7.2392 22.1628 26.8314 27.6956 27.1156 25.864 24.2386 22.5578 20.4246 18.3296 16.1392 14.1692 12.1278 10.1376 8.156 6.1548 3.9268 1.8344 0.6298 0
jarak station = jarak langkah =
luas [m2] AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
3.6 7.2 langkah 1 fs
0 0.024 0
luas *fs 1 4 1
total 1 volume 1 disp [ton]
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 2) masa jenis air = 1.025 ton/m3 kemiringan = 2 °
m m
0 0.096 0
0.096 0.1152 0.11808
luas [m2] 0.00 0.03 1.46 1.21 0.00
langkah 2 fs
luas *fs 1 4 2 4 1
total 2 volume 2 disp [ton]
0 0.1384 2.9272 4.8224 0
7.9 9.4656 9.7
luas [m2]
langkah 3 fs
0 0.0404 3.0328 3.6592 2.863 1.5454 0
luas *fs 1 4 2 4 2 4 1
total 3 volume 3 disp [ton]
0 0.1616 6.0656 14.6368 5.726 6.1816 0
32.772 39.32592 40.31
luas [m2]
langkah 4 fs
0 0.0428 4.846 6.2774 5.8346 4.6984 3.2596 1.6696 0
luas *fs 1 4 2 4 2 4 2 4 1
total 4 volume 4 disp [ton]
0 0.1712 9.692 25.1096 11.6692 18.7936 6.5192 6.6784 0
78.633 94.35984 96.719
luas [m2] 0 0.2116 6.9108 9.0306 8.8866 7.901 6.5486 5.0128 3.4118 1.7006 0
langkah 5 fs luas *fs 1 0 4 0.8464 2 13.8216 4 36.1224 2 17.7732 4 31.604 2 13.0972 4 20.0512 2 6.8236 4 6.8024 1 0
total 5 volume 5 disp [ton]
146.942 176.3304 180.739
jarak station = jarak langkah =
AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
luas [m2] 0 0.8368 9.3998 12.1132 12.1946 11.3026 9.9876 8.4612 6.8854 5.1328 3.4084 1.6788 0
3.6 7.2 langkah 6 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 6 volume 6 disp [ton]
m m
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 2) masa jenis air = 1.03 ton/m3 kemiringan = 2.00 °
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 3.35 1.80 18.80 12.24 48.45 15.50 24.39 15.78 45.21 14.95 19.98 13.63 33.84 12.07 13.77 10.49 20.53 8.66 6.82 6.88 6.72 5.07 0.00 3.37 1.66 0.00
langkah 7 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
241.85 290.22384 297.479
total 7 volume 7 disp [ton]
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 7.20 3.19 24.48 15.41 61.99 19.18 31.56 19.66 59.79 18.89 27.26 17.57 48.29 15.96 20.97 14.32 34.64 12.38 13.76 10.51 20.28 8.58 6.75 6.83 6.65 5.04 0.00 3.29 1.60 0.00
langkah 8 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
363.61 436.3344 447.24
total 8 volume 8 disp [ton]
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 12.75 5.00 30.83 18.72 76.73 22.96 39.32 23.63 75.58 22.95 35.14 21.66 63.84 20.02 28.64 18.35 49.54 16.30 21.02 14.30 34.34 12.25 13.66 10.40 20.15 8.50 6.58 6.64 6.39 4.82 0.00 3.04 1.29 0.00
langkah 9 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
514.51 617.41152 632.85
total 9 volume 9 disp [ton]
langkah 10 luas *fs luas [m2] fs luas *fs 0.00 0.00 1 0.00 19.99 7.24 4 28.96 37.44 22.16 2 44.33 91.85 26.83 4 107.33 47.27 27.70 2 55.39 91.82 27.12 4 108.46 43.31 25.86 2 51.73 80.09 24.24 4 96.95 36.70 22.56 2 45.12 65.19 20.42 4 81.70 28.61 18.33 2 36.66 48.99 16.14 4 64.56 20.81 14.17 2 28.34 34.00 12.13 4 48.51 13.28 10.14 2 20.28 19.30 8.16 4 32.62 6.08 6.15 2 12.31 5.18 3.93 4 15.71 0.00 1.83 2 3.67 0.63 4 2.52 0.00 1 0.00 689.89 total 10 885.13 827.868 volume 10 1062.15312 848.56 disp [ton] 1088.71
LCB (periode 2) jarak dr AP AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.00 3.60 7.20 10.80 14.40 18.00 21.60 25.20 28.80 32.40 36.00 39.60 43.20 46.80 50.40 54.00 57.60 61.20 64.80 68.40 72.00 total LCB dr AP
luas
langkah 1 momen 0.00 0.00 0.02 0.09 0.00 0.00
0.02
0.09 0.00
luas
langkah 2 momen 0.00 0.00 0.03 0.12 1.46 10.54 1.21 13.02 0.00 0.00
2.70
23.68 8.76
luas
langkah 3 momen 0.00 0.00 0.04 0.15 3.03 21.84 3.66 39.52 2.86 41.23 1.55 27.82 0.00 0.00
11.14
130.55 11.72
luas
langkah 4 momen 0.00 0.00 0.04 0.15 4.85 34.89 6.28 67.80 5.83 84.02 4.70 84.57 3.26 70.41 1.67 42.07 0.00 0.00
26.63
383.91 14.42
luas
langkah 5 momen 0.00 0.00 0.21 0.76 6.91 49.76 9.03 97.53 8.89 127.97 7.90 142.22 6.55 141.45 5.01 126.32 3.41 98.26 1.70 55.10 0.00 0.00
49.61
839.37 16.92
langkah 6 luas momen 0.00 0.00 0.84 3.01 9.40 67.68 12.11 130.82 12.19 175.60 11.30 203.45 9.99 215.73 8.46 213.22 6.89 198.30 5.13 166.30 3.41 122.70 1.68 66.48 0.00 0.00
81.40
1563.30 19.20
langkah 7 luas momen 0.00 0.00 1.80 6.48 12.24 88.12 15.50 167.37 15.78 227.22 14.95 269.05 13.63 294.37 12.07 304.24 10.49 302.00 8.66 280.60 6.88 247.67 5.07 200.75 3.37 145.74 1.66 77.85 0.00 0.00
122.10
2611.46 21.39
LCB (periode 2) jarak dr AP AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.00 3.60 7.20 10.80 14.40 18.00 21.60 25.20 28.80 32.40 36.00 39.60 43.20 46.80 50.40 54.00 57.60 61.20 64.80 68.40 72.00 total LCB dr AP
langkah 8 luas momen 0.00 0.00 3.19 11.47 15.41 110.98 19.18 207.18 19.66 283.10 18.89 340.10 17.57 379.53 15.96 402.22 14.32 412.47 12.38 401.26 10.51 378.33 8.58 339.95 6.83 295.10 5.04 235.76 3.29 165.70 1.60 86.25 0.00 0.00
172.42
4049.40 23.49
langkah 9 luas momen 0.00 0.00 5.00 17.99 18.72 134.80 22.96 247.99 23.63 340.32 22.95 413.17 21.66 467.75 20.02 504.59 18.35 528.46 16.30 528.02 14.30 514.93 12.25 484.97 10.40 449.43 8.50 397.86 6.64 334.63 4.82 260.53 3.04 175.08 1.29 79.18 0.00 0.00 0.00 0.00 230.85
5879.68 25.47
langkah 10 luas momen 0.00 0.00 7.24 26.06 22.16 159.57 26.83 289.78 27.70 398.82 27.12 488.08 25.86 558.66 24.24 610.81 22.56 649.66 20.42 661.76 18.33 659.87 16.14 639.11 14.17 612.11 12.13 567.58 10.14 510.94 8.16 440.42 6.15 354.52 3.93 240.32 1.83 118.87 0.63 43.08 0.00 0.00 295.73 8030.02 27.15
Gaya angkat airbag
tan a Tf Ta
langkah 1 7.20 0.000 -2.263 0.251
langkah 2 14.40 0.035 -2.011 0.503
langkah 3 21.60 0.035 -1.760 0.754
langkah 4 28.80 0.035 -1.509 1.006
langkah 5 36.00 0.035 -1.257 1.257
langkah 6 43.20 0.035 -1.006 1.509
langkah 7 50.40 0.035 -0.754 1.760
langkah 8 langkah 9 57.60 64.80 0.035 0.035 -0.503 -0.251 2.011 2.263
langkah 10 72.00 0.035 0.000 2.514
volume airbag disp. Airbag
20.679 21.196
41.359 42.393
62.038 63.589
82.717 84.785
103.397 105.982
124.076 127.178
144.755 148.374
165.435 169.571
186.114 190.767
206.793 211.963
disp. Kapal [ton] LCB kapal dr AP
0.1152 0.00
9.7 8.76
40.31 11.72
96.719 14.42
180.739 16.92
297.479 19.20
447.243 21.39
632.847 23.49
848.565 25.47
1088.707 27.15
disp. Total [ton] LCB total dr AP
21.31153293 0.000
52.095 8.759
103.898 11.718
181.504 14.417
286.720 16.918
424.657 19.205
595.617 21.389
802.417 23.485
1039.332 25.470
1300.670 27.153
Perhitungan Periode 3 Iterasi 1 LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm] langkah 8 AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.0000 0.4433 9.8385 13.2855 13.7940 13.1938 12.0998 10.7508 9.3433 7.6943 6.0705 4.4080 2.8388 1.2525 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
langkah 9 langkah 10 0.0000 0.9823 12.0093 16.0430 16.8313 16.3915 15.4038 14.1308 12.8080 11.1760 9.5765 7.9050 6.3795 4.7983 3.2445 1.7345 0.2973 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 1.7020 14.3765 18.9748 20.0413 19.7635 18.8765 17.6675 16.4150 14.7880 13.1990 11.5088 10.0078 8.4150 6.8348 5.2823 3.6990 2.0515 0.0000 0.0000 0.0000
LUAS STATION DIKALI SKALA [m] skala : 1 mm = 2 m2 langkah 8 langkah 9 langkah 10
2.5 AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0 0.8865 19.677 26.571 27.588 26.3875 24.1995 21.5015 18.6865 15.3885 12.141 8.816 5.6775 2.505 0 0 0 0 0 0 0
0 1.9645 24.0185 32.086 33.6625 32.783 30.8075 28.2615 25.616 22.352 19.153 15.81 12.759 9.5965 6.489 3.469 0.5945 0 0 0 0
0 3.404 28.753 37.9495 40.0825 39.527 37.753 35.335 32.83 29.576 26.398 23.0175 20.0155 16.83 13.6695 10.5645 7.398 4.103 0 0 0
jarak station = jarak langkah =
AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
luas [m2] 0.00 0.89 19.68 26.57 27.59 26.39 24.20 21.50 18.69 15.39 12.14 8.82 5.68 2.51 0.00
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 3 iterasi 1) 3.6 m masa jenis air = 1.025 ton/m3 7.2 m 2 ° kemiringan = langkah 8 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 8 volume 8 disp [ton]
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 3.55 1.96 39.35 24.02 106.28 32.09 55.18 33.66 105.55 32.78 48.40 30.81 86.01 28.26 37.37 25.62 61.55 22.35 24.28 19.15 35.26 15.81 11.36 12.76 10.02 9.60 0.00 6.49 3.47 0.59 0.00 0.00
624.16 749.00 767.72
langkah 9 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 9 volume 9 disp [ton]
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 7.86 3.40 48.04 28.75 128.34 37.95 67.33 40.08 131.13 39.53 61.62 37.75 113.05 35.34 51.23 32.83 89.41 29.58 38.31 26.40 63.24 23.02 25.52 20.02 38.39 16.83 12.98 13.67 13.88 10.56 1.19 7.40 0.00 4.10 0.00 0.00
891.49 1069.79 1096.53
langkah 10 fs luas *fs 1 0.00 4 13.62 2 57.51 4 151.80 2 80.17 4 158.11 2 75.51 4 141.34 2 65.66 4 118.30 2 52.80 4 92.07 2 40.03 4 67.32 2 27.34 4 42.26 2 14.80 4 16.41 1 0.00
total 10 volume 10 disp [ton]
1215.03 1458.03 1494.48
LCB (periode 3 iterasi 1) jarak dr AP AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.00 3.60 7.20 10.80 14.40 18.00 21.60 25.20 28.80 32.40 36.00 39.60 43.20 46.80 50.40 54.00 57.60 61.20 64.80 68.40 72.00 total 1 LCB dr AP
langkah 8 luas momen 0.00 0.00 0.89 3.19 19.68 141.67 26.57 286.97 27.59 397.27 26.39 474.98 24.20 522.71 21.50 541.84 18.69 538.17 15.39 498.59 12.14 437.08 8.82 349.11 5.68 245.27 2.51 117.23 0.00 0.00
210.03
4554.07 21.68
langkah 9 luas momen 0.00 0.00 1.96 7.07 24.02 172.93 32.09 346.53 33.66 484.74 32.78 590.09 30.81 665.44 28.26 712.19 25.62 737.74 22.35 724.20 19.15 689.51 15.81 626.08 12.76 551.19 9.60 449.12 6.49 327.05 3.47 187.33 0.59 34.24 0.00 0.00 0.00 0.00
299.42
7305.45 24.40
langkah 10 luas momen 0.00 0.00 3.40 12.25 28.75 207.02 37.95 409.85 40.08 577.19 39.53 711.49 37.75 815.46 35.34 890.44 32.83 945.50 29.58 958.26 26.40 950.33 23.02 911.49 20.02 864.67 16.83 787.64 13.67 688.94 10.56 570.48 7.40 426.12 4.10 251.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 407.21 10978.27 26.96
panjang kapal jarak antar langkah panjang yg ditumpu working height lebar yg ditumpu jrk ujung airbag dr AP massa jenis air
tan a Tf Ta
= = = = = = =
72 m 7.2 m 60 m 0.2 m 12.6 m 7.2 m 1.025 ton/m3 langkah 8 langkah 9 langkah 10 57.60 64.80 72.00 0.025 0.024 0.022 LANGKAH 8 LANGKAH 9 LANGKAH 10 -0.455 1.341
-0.198 1.509
0.059 1.676
volume airbag disp. Airbag
165.435 169.571
186.114 190.767
206.793 211.963
disp. Kapal [ton] LCB kapal dr AP
767.720 21.68
1096.533 24.40
1494.481 26.96
disp. Total [ton] LCB total dr AP
937.291 21.683
1287.300 24.398
1706.444 26.960
-18.212 53.638
-7.924 60.343
2.363 67.048
Perhitungan Periode 3 Iterasi 2 LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm] LUAS STATION DIKALI SKALA [m] skala : 1 mm = 2 m2 langkah 8 langkah 9 langkah 10 2.5 langkah 8 langkah 9 langkah 10 AP 0.0000 0.0000 0.0000 AP 0 0 0 st 1 0.8373 0.8610 0.9133 st 1 1.6745 1.722 1.8265 st 2 11.4255 11.5098 11.9445 st 2 22.851 23.0195 23.889 st 3 15.1488 15.4640 16.1893 st 3 30.2975 30.928 32.3785 st 4 15.7145 16.2465 17.2315 st 4 31.429 32.493 34.463 st 5 15.0150 15.8288 17.0533 st 5 30.03 31.6575 34.1065 st 6 13.8188 14.8748 16.3235 st 6 27.6375 29.7495 32.647 st 7 12.3498 13.6405 15.3020 st 7 24.6995 27.281 30.604 st 8 10.8263 12.3555 14.2335 st 8 21.6525 24.711 28.467 st 9 9.0333 10.7688 12.8255 st 9 18.0665 21.5375 25.651 st 10 7.2733 9.2125 11.4453 st 10 14.5465 18.425 22.8905 st 11 5.5688 7.5860 9.9690 st 11 11.1375 15.172 19.938 st 12 3.7763 6.0995 8.6575 st 12 7.5525 12.199 17.315 st 13 2.0605 4.5593 7.2608 st 13 4.121 9.1185 14.5215 st 14 0.3875 3.0455 5.8720 st 14 0.775 6.091 11.744 st 15 0.0000 1.5750 4.4980 st 15 0 3.15 8.996 st 16 0.0000 0.1778 3.1153 st 16 0 0.3555 6.2305 st 17 0.0000 0.0000 1.6800 st 17 0 0 3.36 st 18 0.0000 0.0000 0.4945 st 18 0 0 0.989 st 19 0.0000 0.0000 0.0000 st 19 0 0 0 FP 0.0000 0.0000 0.0000 FP 0 0 0
jarak station = jarak langkah =
AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
luas [m2] 0.00 1.67 22.85 30.30 31.43 30.03 27.64 24.70 21.65 18.07 14.55 11.14 7.55 4.12 0.78 0.00 0.00
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 3 iterasi 2) 3.6 m masa jenis air = 1.025 ton/m3 7.2 m 2 ° kemiringan = langkah 8 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 8 volume 8 disp [ton]
luas *fs luas [m2] 0.00 0.00 6.70 1.72 45.70 23.02 121.19 30.93 62.86 32.49 120.12 31.66 55.28 29.75 98.80 27.28 43.31 24.71 72.27 21.54 29.09 18.43 44.55 15.17 15.11 12.20 16.48 9.12 1.55 6.09 0.00 3.15 0.00 0.36 0.00 0.00
732.99 879.59 901.58
langkah 9 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 9 volume 9 disp [ton]
langkah 10 luas *fs luas [m2] fs luas *fs 0.00 0.00 1 0.00 6.89 1.83 4 7.31 46.04 23.89 2 47.78 123.71 32.38 4 129.51 64.99 34.46 2 68.93 126.63 34.11 4 136.43 59.50 32.65 2 65.29 109.12 30.60 4 122.42 49.42 28.47 2 56.93 86.15 25.65 4 102.60 36.85 22.89 2 45.78 60.69 19.94 4 79.75 24.40 17.32 2 34.63 36.47 14.52 4 58.09 12.18 11.74 2 23.49 12.60 9.00 4 35.98 0.71 6.23 2 12.46 0.00 3.36 4 13.44 0.00 0.99 2 1.98 0.00 4 0.00 0.00 1 0.00 856.35 total 10 1042.80 1027.62 volume 10 1251.36 1053.31 disp [ton] 1282.64
jarak dr AP AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.00 3.60 7.20 10.80 14.40 18.00 21.60 25.20 28.80 32.40 36.00 39.60 43.20 46.80 50.40 54.00 57.60 61.20 64.80 68.40 72.00 total 1 LCB dr AP
LCB (periode 3 iterasi 2) langkah 8 langkah 9 luas momen luas momen 0.00 0.00 0.00 0.00 1.67 6.03 1.72 6.20 22.85 164.53 23.02 165.74 30.30 327.21 30.93 334.02 31.43 452.58 32.49 467.90 30.03 540.54 31.66 569.84 27.64 596.97 29.75 642.59 24.70 622.43 27.28 687.48 21.65 623.59 24.71 711.68 18.07 585.35 21.54 697.82 14.55 523.67 18.43 663.30 11.14 441.05 15.17 600.81 7.55 326.27 12.20 527.00 4.12 192.86 9.12 426.75 0.78 39.06 6.09 306.99 0.00 0.00 3.15 170.10 0.00 0.00 0.36 20.48 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 246.47 5442.14 287.61 6998.68 22.08 24.33
langkah 10 luas momen 0.00 0.00 1.83 6.58 23.89 172.00 32.38 349.69 34.46 496.27 34.11 613.92 32.65 705.18 30.60 771.22 28.47 819.85 25.65 831.09 22.89 824.06 19.94 789.54 17.32 748.01 14.52 679.61 11.74 591.90 9.00 485.78 6.23 358.88 3.36 205.63 0.99 64.09 0.00 0.00 0.00 0.00 350.02 9513.28 27.18
panjang kapal = jarak antar langkah = panjang yg ditumpu = working height = lebar yg ditumpu = jrk ujung airbag dr AP = massa jenis air =
tan a Tf Ta
72 m 7.2 m 60 m 0.2 m 12.6 m 7.2 m 1.025 ton/m3 langkah 8 langkah 9 langkah 10 57.60 64.80 72.00 0.018 0.024 0.023 LANGKAH 8 LANGKAH 9LANGKAH 10 -0.420 0.851
-0.197 1.506
0.059 1.687
volume airbag disp. Airbag
165.435 169.571
186.114 190.767
206.793 211.963
disp. Kapal [ton] LCB kapal dr AP
901.583 22.08
1053.314 24.33
1282.642 27.18
disp. Total [ton] LCB total dr AP
1071.153 22.080
1244.081 24.334
1494.605 27.179
-16.799 34.048
-7.896 60.221
2.357 67.473
Perhitungan Periode 3 iterasi 3 LUAS STATION DARI KURVA BONJEAN [mm] LUAS STATION DIKALI SKALA [m]
AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
langkah 8
langkah 9
langkah 10
0.0000 0.4750 8.9670 12.2393 12.7238 12.1540 11.1143 9.8308 8.4880 6.9208 5.3750 2.8795 2.2960 0.7850 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 0.9493 11.8983 15.9150 16.7028 16.2680 15.2883 14.0245 12.7105 11.0888 9.4990 7.8380 6.3215 4.7495 3.2048 1.7040 0.2755 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0000 1.3475 13.3483 17.8068 18.8663 18.6313 17.8105 16.6810 15.5070 13.9723 12.4713 10.8705 9.4490 7.9380 6.4378 4.9538 3.4593 1.8993
0.597 0.0000 0.0000
2.5 AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
skala :
1 mm =
2
langkah 8
langkah 9
langkah 10
0.000 0.950 17.934 24.479 25.448 24.308 22.229 19.662 16.976 13.842 10.750 5.759 4.592 1.570 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 1.899 23.797 31.830 33.406 32.536 30.577 28.049 25.421 22.178 18.998 15.676 12.643 9.499 6.410 3.408 0.551 3.799 0.000
0.000 2.695 26.697 35.614 37.733 37.263 35.621 33.362 31.014 27.945 24.943 21.741 18.898 15.876 12.876 9.908 6.919 3.799 1.194 0.000 0.000
m2
jarak station = jarak langkah =
AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
luas [m2] 0.00 0.95 17.93 24.48 25.45 24.31 22.23 19.66 16.98 13.84 10.75 5.76 4.59 1.57 0.00 0.00 0.00
DISPLACEMENT TIAP LANGKAH (periode 3 iterasi 3) 3.6 m masa jenis air = 1 ton/m3 kemiringan = 7.2 m 2 ° langkah 8 fs luas *fs luas [m2] 1 0.00 0.00 4 3.80 1.90 2 35.87 23.80 4 97.91 31.83 2 50.90 33.41 4 97.23 32.54 2 44.46 30.58 4 78.65 28.05 2 33.95 25.42 4 55.37 22.18 2 21.50 19.00 4 23.04 15.68 2 9.18 12.64 4 6.28 9.50 2 0.00 6.41 4 0.00 3.41 1 0.00 0.55 3.80 0.00
total 8 volume 8 disp [ton]
558.13 669.76 669.76
langkah 9 fs 1 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 1
total 9 volume 9 disp [ton]
luas *fs 0.00 7.59 47.59 127.32 66.81 130.14 61.15 112.20 50.84 88.71 38.00 62.70 25.29 38.00 12.82 13.63 1.10 15.19 0.00
899.09 1078.91 1078.91
langkah 10 luas [m2] fs 0.00 1 2.70 4 26.70 2 35.61 4 37.73 2 37.26 4 35.62 2 33.36 4 31.01 2 27.94 4 24.94 2 21.74 4 18.90 2 15.88 4 12.88 2 9.91 4 6.92 2 3.80 4 1.19 2 0.00 4 0.00 1 total 10 volume 10 disp [ton]
luas *fs 0.00 10.78 53.39 142.45 75.47 149.05 71.24 133.45 62.03 111.78 49.89 86.96 37.80 63.50 25.75 39.63 13.84 15.19 2.39 0.00 0.00 1144.59 1373.50 1373.50
jarak dr AP AP st 1 st 2 st 3 st 4 st 5 st 6 st 7 st 8 st 9 st 10 st 11 st 12 st 13 st 14 st 15 st 16 st 17 st 18 st 19 FP
0.00 3.60 7.20 10.80 14.40 18.00 21.60 25.20 28.80 32.40 36.00 39.60 43.20 46.80 50.40 54.00 57.60 61.20 64.80 68.40 72.00 total 1 LCB dr AP
LCB (periode 3 iterasi 3) langkah 8 langkah 9 luas momen luas momen 0.00 0.95 17.93 24.48 25.45 24.31 22.23 19.66 16.98 13.84 10.75 5.76 4.59 1.57 0.00 0.00 0.00
0.00 3.42 129.12 264.37 366.44 437.54 480.14 495.47 488.91 448.46 387.00 228.06 198.37 73.48 0.00 0.00 0.00
0.00 1.90 23.80 31.83 33.41 32.54 30.58 28.05 25.42 22.18 19.00 15.68 12.64 9.50 6.41 3.41 0.55 3.80 0.00
0.00 6.83 171.33 343.76 481.04 585.65 660.45 706.83 732.12 718.55 683.93 620.77 546.18 444.55 323.04 184.03 31.74 232.47 0.00
188.50
4000.79 21.22
300.67
7473.29 24.86
langkah 10 luas momen 0.00 2.70 26.70 35.61 37.73 37.26 35.62 33.36 31.01 27.94 24.94 21.74 18.90 15.88 12.88 9.91 6.92 3.80 1.19 0.00 0.00 384.09
0.00 9.70 192.21 384.63 543.35 670.73 769.41 840.72 893.20 905.40 897.93 860.94 816.39 743.00 648.93 535.01 398.51 232.47 77.37 0.00 0.00 10419.90 27.13
panjang kapal = jarak antar langkah = panjang yg ditumpu = working height = lebar yg ditumpu = jrk ujung airbag dr AP = massa jenis air =
tan a Tf Ta
72 m 7.2 m 60 m 0.2 m 2m 7.2 m 1.025 ton/m3 langkah 8 langkah 9 langkah 10 57.60 64.80 72.00 0.025 0.024 0.022 Langkah 8 -0.505 2.039
-0.217 1.779
0.057 1.717
volumeairbag disp. Airbag LCB kapal dr midship disp. Kapal [ton] LCB kapal dr AP
165.435 169.571 -19.866 669.756 21.22
186.114 190.767 -16.356 1078.910 24.86
206.793 211.963 -12.297 1373.504 27.13
disp. Total [ton] LCB total dr AP
839.327 21.225
1269.677 24.855
1585.468 27.129
-20.193 81.558
Langkah 9 -8.677 71.168
langkah 10 2.271 68.685
Lwl H B La Ls hs Lb Lap Ld α
pa nja ng ka pa l tinggi ka pa l l eba r ka pa l Ja ra k ba gi a n ka pl a ya ng pertama ka l i tercel up, di ukur da ri AP pa nja ng yg di tumpu a i rba g worki ng hei ght l eba r ya ng di tumpu ja ra k ujung bel a ka ng a i rba g dr AP pa nja ng a i rba g s udut kemi ri nga n l a nda s a n tan a LWT LCG bera t pel uncura n = LWT + 7% LWT
[1]
LCG dr ujung a i rba g momen s tatis beba n pel uncura n dr ujung a i rba g ba gi a n depa n pa nja ng l a nda s a n tercel up pa nja ng l a ngka h
[2]
72 m 4.9 m 17.2 m 7.2 m 60 m 0.3 m 12.6 m 7.2 m 14.33 m 2°
tan α G LCG P c P.c λ
0.035 1081.25 ton 30.11 m dr AP 1156.94 ton 29.89 m 34584.57 ton.m 25.00 m
∆S
7.20 m
PERIODE 2 langkah 1
langkah 2
langkah 3
langkah 4
langkah 5
langkah 6
langkah 7
langkah 8
langkah 9
langkah 10
jarak gaya angkat ke ujung landasan = λ - (∆s + hs/tanα) + LCB dr AP
[3] [8]
s d b
gaya angkat [ton]
[9]
γ.Vx
momen gaya angkat = γ.Vx * d
[10]
γ.Vx.d
1,432.135
3,044.471
5,828.085
9,580.264
14,416.928
20,381.475
27,286.057
35,077.633
43,371.065
52,088.245
momen terhadap ujung landasan [ton.m]
[11]
γ.Vx.b
-450.583
-1,148.888
-1,326.124
-910.014
503.521
3,418.674
8,341.191
15,857.930
26,483.733
40,912.553
gaya berat [ton]
P 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 P.c 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 a 39.316 32.116 24.916 17.716 10.516 3.316 -3.884 -11.084 -18.284 -25.484 [12] P.a -45,486.179 -37,156.217 -28,826.255 -20,496.293 -12,166.331 -3,836.369 4,493.593 12,823.556 21,153.518 29,483.480 tipping no no no no no no tipping tipping tipping tipping sternlift no no no no no no no sternlift sternlift sternlift Ta 0.251 0.503 0.754 1.006 1.257 1.509 1.760 2.011 2.263 2.514 Tf -2.263 -2.011 -1.760 -1.509 -1.257 -1.006 -0.754 -0.503 -0.251 0.000 Lλ λ / S' 60.000 58.609 51.409 44.209 37.009 29.809 22.509 15.409 8.209 1.009
jarak gaya angkat ke ujung depan airbag [m]
momen G dr ujung blkng airbag jarak LCG ke ujung landasan= λ - (s + hs/tanα) + LCG dr AP momen berat thdp ujung landasan cek tipping cek Sternlift sarat buritan panjang yang ditumpu airbag di atas landasan resultan (ton) keseimbangan thdp ujung depan airbag
tekanan pada ujung depan traplesium
tekanan rata2
14.400 58.441 -12.159
21.600 55.482 -7.918
28.800 52.783 -3.417
36.000 50.282 1.282
43.200 47.995 6.195
50.400 45.811 11.211
57.600 43.715 16.315
64.800 41.730 21.530
72.000 40.047 27.047
42.508
94.488
167.487
266.289
392.702
551.835
743.991
971.988
1,230.099
1,512.634
R Lsr Lλ λ /3
1,114.431 29.748 20.000
1,062.452 29.686 19.536
989.452 29.063 17.136
890.650 28.074 14.736
764.237 26.389 12.336
605.104 23.472 9.936
412.948 17.674 7.503
184.951 -2.666 5.136
-73.160 120.101 2.736
-355.694 49.210 0.336
2Lλ λ /3
40.000
39.073
34.273
29.473
24.673
19.873
15.006
10.273
5.473
0.673
30 29.30456201
25.704562
22.104562
18.504562
14.904562
11.703 26.791 19.247
3.824 36.469 20.146
0.000 47.975 23.988
0.000 63.659 31.829
Lλ λ /2 tekanan pada ujung belakang traplesium
7.200 67.200 -10.600
qf qa q
19.041 18.106 18.574
17.420 18.836 18.128
11.254562 7.70456201 4.10456201 0.50456201 0.000 56.939 28.470
-46.251 0.000 -23.125
0.000 0.436 0.218
0.000 4.920 2.460
l a ngka h = s a ra t buri ta n a wa l = s a ra t ha l ua n a wa l =ta nα.Lpp-Tb = di s pl a cement = ja ra k AP ke LCB =
PERIODE 3 langkah 8 langkah 9 langkah 10 s [m] 57.60 64.80 72.00 Tb0 [m] 2.01 2.26 2.51 Td0 [m] -0.50 -0.25 0.00 [ton] xV [m]
l enga n V thdp ujung s epa tu = momen V = momen G = Σ momen =
β
A
1230.10 25.47 41.73 51331.73 -34584.57 16747.16
1512.63 27.15 40.05 60576.79 -34584.57 25992.22
persamaan garis -0.03 -0.03
-0.03
-1.00 2.26 67.20 -0.30 0.22
-1.00 2.51 67.20 -0.30 0.47
Tb1 [m] tan α 1
-1.00 2.01 67.20 -0.30 -0.04 iterasi 1 1.34 -0.02
1.51 -0.03
1.68 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r =
α 1 [rad]
-0.02
-0.03
-0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = s udut d denga n bi da ng a i r =
d1 [m] γ 1 [rad]
67.22 0.00
67.22 0.00
67.23 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 =
ϕ 1[rad]
-0.02
-0.02
-0.02
tan ϕ 1
-0.02
-0.02
-0.02
-0.46 937.29 21.68
-0.20 1287.30 24.40
0.06 1706.44 26.96
45.52 42662.28 -34584.57 8077.72
42.80 55098.40 -34584.57 20513.84
40.24 68667.34 -34584.57 34082.77
Tb0 = Ls + Lb = -hs = ja ri 2 puta r = (A.x1+B.Z1+C)/s qrt(A^2+b^2)
s a ra t buri ta n 1 = 2/3 Tb0 = ta n α (Tb1,-hs )
ga ya a ngka t [ton] LCB dr AP = l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = momen V = momen G = Σ momen =
B C x1 z1 r [m]
971.99 23.49 43.71 42490.41 -34584.57 7905.84
Td1 [m] V1 [ton]
l SV1 [m] [m] [ton.m] [ton.m] [ton.m]
Tb2 [m] tan α 2
iterasi 2 0.85 -0.02
1.51 -0.03
1.69 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r =
α 2 [rad]
-0.02
-0.03
-0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = s udut d denga n bi da ng a i r =
d2 [m] γ 2 [rad]
67.21 0.00
67.22 0.00
67.23 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 =
ϕ 2[rad]
-0.02
-0.02
-0.02
tan ϕ 2
-0.02
-0.02
-0.02
-0.42 1071.15 22.08
-0.20 1244.08 24.33
0.06 1494.60 27.18
45.12 48330.13 -34584.57 13745.56
42.87 53328.90 -34584.57 20744.33
40.02 59814.86 -34584.57 25230.29
Tb3 [m] tan α 3
iterasi 3 2.04 -0.03
1.78 -0.03
1.72 -0.03
s l ope ga ri s Tb1 dg pus a t puta r =
α 3 [rad]
-0.03
-0.03
-0.03
ja ra k Tb1 ke s umbu puta r = s udut d denga n bi da ng a i r =
d3 [m] γ 3 [rad]
67.24 0.00
67.23 0.00
67.23 0.01
s l ope bi da ng a i r yg mel a l ui Tb1 da n Td1 =
ϕ 3[rad]
-0.04
-0.03
-0.02
tan ϕ 3
-0.04
-0.03
-0.02
Td3 [m] V3 [ton]
-0.50 939.33 21.22
-0.22 1269.68 24.86
0.06 1585.47 27.13
45.98 43185.80 -34584.57 8601.23
42.34 53764.28 -34584.57 19179.72
40.07 63531.95 -34584.57 28947.38
203.9 -50.49 313.11
177.93 -21.7 423.23
171.72 5.68 528.49
mengguna ka n metode newton ra phs on ta n α (Tb1,-hs )
ga ya a ngka t [ton] LCB dr AP = l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = momen V = momen G = Σ momen =
mengguna ka n metode newton ra phs on ta n α (Tb1,-hs )
ga ya a ngka t [ton] LCB dr AP = l enga n V = LCB dr ujung s epa tu = momen V = momen G = Σ momen =
Tb s ka l a 1: Td s ka l a 1: V s ka l a 1:
Td2 [m] V2 [ton]
l SV2 [m] [m] [ton.m] [ton.m] [ton.m]
l SV3 [m] [m] [ton.m] [ton.m] [ton.m] 0.01 0.01 3
, koordi na t Ta koordi na t Tf koordi na t V
157,203.9 157,-50.49 157,313.11
92.2,177.93 92.2,-21.7 92.2,423.23
27.4,171.72 27.4,5.68 27.4,528.49
Periode 2 dan 3 langkah 1 langkah 2 langkah 3 langkah 4 langkah 5 langkah 6 langkah 7 langkah 8 langkah 9 langkah 10 7.200 14.400 21.600 28.800 36.000 43.200 50.400 57.600 64.800 72.000 67.200 58.441 55.482 52.783 50.282 47.995 45.811 43.715 41.730 40.047 -10.600 -12.159 -7.918 -3.417 1.282 6.195 11.211 16.315 21.530 27.047
jarak gaya angkat ke ujung landas an = λ - (∆s + hs /tanα) + LCB dr AP
[3] [8]
s d b
gaya angkat [ton]
[9]
γ .Vx
momen gaya angkat = γ.Vx * d
[10]
γ .Vx.d
1,432.135
3,044.471
5,828.085
momen terhadap ujung landas an [ton.m]
[11]
γ .Vx.b
-450.583
-1,148.888
-1,326.124
jarak gaya angkat ke ujung depan airbag [m]
gaya berat [ton] momen G dr ujung blkng airbag jarak LCG ke ujung landas an= λ - (s + hs /tanα) + LCG dr AP momen berat thdp ujung landas an cek tipping cek Sternlift s arat buritan panjang yang ditumpu airbag di atas landas an res ultan (ton) kes eimbangan thdp ujung depan airbag
tekanan pada ujung belakang traples ium tekanan pada ujung depan traples ium
tekanan rata2
[12]
42.508
94.488
167.487
266.289
551.835
743.991
9,580.264 14,416.928 20,381.475
27,286.057
35,077.633 43,371.065 52,088.245
8,341.191
15,857.930 26,483.733 40,912.553
-910.014
392.702 503.521
3,418.674
939.327
1,269.677
1,585.468
P 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 1,156.939 P.c 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 34,584.568 a 39.316 32.116 24.916 17.716 10.516 3.316 -3.884 -11.084 -18.284 -25.484 P.a -45,486.179 -37,156.217 -28,826.255 -20,496.293 -12,166.331 -3,836.369 4,493.593 12,823.556 21,153.518 29,483.480 tipping no no no no no no tipping tipping tipping tipping sternlift no no no no no no no sternlift sternlift sternlift Ta 0.251 0.503 0.754 1.006 1.257 1.509 1.760 2.039 1.779 1.717 Tf -2.263 -2.011 -1.760 -1.509 -1.257 -1.006 -0.754 -0.505 -0.217 0.057 Lλ λ / S' 60.000 58.609 51.409 44.209 37.009 29.809 22.509 15.409 8.209 1.009 R Lsr Lλ λ /3
1,114.431 29.748 20.000
1,062.452 29.686 19.536
989.452 29.063 17.136
890.650 28.074 14.736
764.237 26.389 12.336
605.104 23.472 9.936
412.948 17.674 7.503
184.951 -2.666 5.136
-73.160 120.101 2.736
-355.694 49.210 0.336
2Lλ λ /3
40.000
39.073
34.273
29.473
24.673
19.873
15.006
10.273
5.473
0.673
Lλ λ /2
30.000
29.305
25.705
22.105
18.505
14.905
11.255
7.705
4.105
0.505
qf qa q q max
19.041 18.106 18.574 100
17.420 18.836 18.128 100
11.703 26.791 19.247 100
3.824 36.469 20.146 100
0.000 47.975 23.988 100
0.000 63.659 31.829 100
0.000 56.939 28.470 100
-46.251 0.000 -23.125 100
0.000 0.436 0.218 100
0.000 4.920 2.460 100
LAMPIRAN D : Kurva Peluncuran Kontainer 100 TEUs
LAMPIRAN E : Biodata Penulis
BIODATA PENULIS
Tri Sukrisna Wisnawa. Penulis lahir di Karawang pada tanggal 24 Januari 1994. Penulis yang akrab dipanggil Krisna ini merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dan merupakan anak dari Ibu Ratna Yunaningsih dan Bapak I Ketut Wirdhana. Penulis memulai studi pendidikan di TK Bhayangkara, lalu melanjutkan pendidikan di SDN Sarimulya IV (2000-2006). Kemudian penulis melanjutkan studi di SMPN 9 Jakarta (2006-2009) dan SMA di SMAN 39 Jakarta (20092012). Setelah itu penulis melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya pada tahun 2012 di Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK). Selama menjalani perkuliahan penulis pernah melakukan kerja praktek (on job training) di perusahaan galangan kapal PT. LMI (Lamongan Marine Industry) dan PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) Cabang Utama Samarinda. Selain aktif dalam dunia perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisai dan kepanitiaan khususnya di bidang UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yaitu PSM ITS (Paduan Suara Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Dari serangkaian kegiatan UKM yang diikuti penulis mengikuti lomba baik di tingkat nasional ataupun Internasional. Di tingkat nasional penulis meraih juara 2 pada kompetisi yang diadakan di ITB (Institut Teknologi Bandung) yaitu Festival Paduan Suara ITB XXIV pada kategori mixed choir dan menjadi finalis pada kategori lagu daerah tahun 2015. Sedangkan di tingkat Internasional penulis meraih prestasi sebagai finalis di kompetisi 54 th International Choral Singing Competition Seghizzi yang dilaksanakan di Gorizia, Italia pada kategori renaissance dan music of 20th century tahun 2015. Pada perkuliahan penulis juga mengikuti berbagai pelatihan yang menunjang kebutuhan akademik antara lain training kepribadian, latihan alam 2014, MAXSURF training, marine coating system dan pelatihan dasar manajemen proyek yang diikuti pada tahun 2016. Selain itu penulis juga mengikuti pelatihan untuk pembentukan soft skill seperti LKKM Pra-TD yang diadakan oleh FTK ITS.
Email :
[email protected] Telp. : +62 812 3039 9122