ANALISA PENGARUH TARIF CUKAI TERHADAP PENDAPATAN NEGARA DAN KEBERLANGSUNGAN USAHA INDUSTRI ROKOK (SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK) Puja Kristian Adiatma, Budisantoso Wirjodirjo, dan Niniet Indah Arvitrida Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email:
[email protected] ;
[email protected];
[email protected]
Abstrak Cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara dan berkontribusi sangat penting dalam APBN terutama sektor penerimaan dalam negeri. Melihat banyaknya penerimaan yang didapat dari cukai rokok, pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai tiap tahunnya dengan harapan mendapatkan penerimaan cukai yang lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan tarif cukai juga secara tidak langsung akan mengurangi konsumsi rokok para perokok yang mayoritasnya adalah warga miskin sehingga memperbaiki kesehatan mereka. Di sisi lain, peningkatan tarif cukai bila ditetapkan tanpa perhitungan yang cermat dapat menimbulkan dampak negatif pada sektor industri rokok yaitu menjadi bangkrut dan melepas ribuan tenaga kerjanya menjadi pengangguran. Melihat hal ini, kebijakan tarif cukai rokok memiliki dampak sistemik terhadap pendapatan negara dan industri rokok sehingga setiap skenario kebijakan tarif cukai perlu dipikirkan dengan tepat dan menggunakan tools yang tepat pula. Selama ini telaah sistemik atas kebijakan tarif cukai rokok belum pernah terpikirkan dalam usaha memaksimalkan pendapatan negara dan tetap mendukung usaha industri rokok, sehingga dikhawatirkan kebijakan cukai yang diterapkan pemerintah cenderung tidak maksimal atau tidak memihak semua pihak (industri rokok dan pemerintah sendiri). Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini dilakukan dengan permodelan menggunakan pendekatan sistem dinamik. Fungsi dari pendekatan sistem dinamik ini adalah menggambarkan model secara keseluruhan dan melakukan simulasi skenario kebijakan pemerintah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa skenario peningkatan tarif cukai yang tetap memberikan dampak ideal dan mendukung keberlangsungan usaha industri rokok dan penerimaan negara adalah dengan menaikkan tarif cukai per tahun sebesar 5%, 10%, dan 30%. Kata kunci: tarif cukai, sistem dinamis, industri rokok ABSTRACT Excise is one of the source of state revenue and importantly contributes in the state's budget revenues especially in domestic sector. Seeing the number of revenue derived from cigarette taxes, the government plans to raise tax rates every year with hopes of getting a larger tax revenue than the previous year. Increasing excise tax rates will also indirectly reduces cigarette consumption of smoker whom the majority belongs to poor people, thus improving their health. On the other hand, this increasing in excise tax rates if determined without careful calculation may cause a negative impact on the cigarette industries sector which become insolvent and remove thousands of its workforce unemployed. Seeing this, the policy of cigarette excise tax rates has a systemic impact on state revenues and the tobacco industry so any excise tax policy scenarios should be considered appropriately and use proper tools as well. Until now, a systematic study of cigarette excise tax policies have been unthinkable in an effort to maximize revenues and remain supportive of tobacco industry business, so the tax policy applied by the government is feared not to be maximal or impartial of all parties (the tobacco industry and the government itself). Therefore, solving in this problem is done by modeling using system dynamic approach. The function of these system dynamic approach is to describe the overall model and simulate scenarios of government policy. Based on research conducted, it is obtained results that scenarios of increasing tax rates which remain provides an ideal impact of supporting the business continuity of the tobacco industries and state income is to raise excise tax rates per year by 5%, 10%, and 30%. Keywords: excise taxes, system dynamic, cigarette industries
1. Pendahuluan Cukai merupakan salah satu sumber penerimaan negara dan berkontribusi sangat penting dalam APBN, terutama sektor Penerimaan Dalam Negeri. Cukai rokok memberi proporsi sumbangan yang paling besar terhadap penerimaan negara dibanding dua jenis cukai lainnya yaitu: etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol. Data tahun 2010 menunjukkan sekitar 95% total penerimaan cukai tembakau yang diperoleh dari produk rokok sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan dan rokok sigaret putih mesin. Jenis cukai ini berkontribusi sekitar 8-9% total penerimaan negara dari seluruh sektor (Majalah Neraca, 2010). Menurut Rachmat (2010), menyimak Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2008 dan Laporan Dana Bagi Hasil Cukai dan 2010,menunjukkan bahwa nilai pendapatan negara dari cukai rokok mulai tahun 2001 hingga tahun 2010 terus meningkat dengan laju rata-rata sebesar 18% per tahun, dan mencapai sekitar Rp 56 triliun pada tahun 2010 dari Rp. 11,1 triliun pada tahun 2001. Penerimaan pendapatan negara berasal dari cukai pada tahun 2010 ini bernilai 8-9% dari total penerimaan negara, dan nilai ini lebih tinggi 1% dibandingkan terhadap penerimaan cukai pada tahun 2008. Namun, bila dihitung berdasarkan total penerimaan seluruh cukai, persentase pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2010 (95%) lebih rendah dari tahun 2008 (98%). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai dampak reaksi masyarakat yang mulai sadar akan bahaya rokok dan menentang segala bentuk layanan dari produk rokok termasuk mengkonsumsi rokok tersebut. Pemerintah juga merespon dengan mengeluarkan kebijakan sosial yang mendukung reaksi masyarakat ini, seperti adanya larangan merokok di tempat umum (Tanjungsari, 2009). Menyadari akan pentingnya penerimaan negara dari sektor cukai rokok yang memberi kontribusi yang besar terhadap kas negara setiap tahunnya, maka pemerintah berencana untuk menaikkan tarif cukai pada tahun 2011. Seperti yang tertuang dalam Publikasi Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2011 (2011), kebijakan peningkatan tarif cukai ini dibuat dalam rangka mencapai target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011
dari sektor cukai hasil tembakau, yakni sebesar Rp. 60,07 triliun. Kebijakan tarif cukai ini hanya berlaku pada dua golongan pabrik hasil tembakau, yaitu jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan jenis sigaret kretek tangan (SKT). Golongan pabrik hasil tembakau lain (tembakau iris, cerutu, klobot, kelembak menyan, dan lainnya) tidak dikenai kebijakan ini karena pemerintah ingin melindungi mereka, yang cenderung kecil dalam proporsi tenaga kerja serta pertumbuhan usahanya (Peraturan Menteri Keuangan, 2011). Walaupun alasan pemerintah dalam membuat kebijakan tarif cukai tersebut sebagian besar adalah untuk mencapai target APBN 201, secara tidak langsung kebijakan ini akan berimbas pada pengurangan konsumsi rokok dan perbaikan taraf kesehatan masyarakat. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, diketahui sekitar 34,7% penduduk Indonesia menjadi perokok aktif yang kebanyakan adalah penduduk yang tinggal di pedesaan, tingkat pendidikan rendah, dan status ekonomi rendah. Dalam kekuatan perekonomian, memang benar bahwa warga miskin sangat sensitif terhadap harga (Ross & Chaloupka, 2006). Dengan peningkatan cukai ini, maka sebagian besar konsumen rokok yang tergolong warga miskin akan cenderung mengurangi atau tidak mengkonsumsi rokok lagi. Hal ini sekaligus akan memperbaiki kesehatan mereka. Saat ini, kebijakan pemerintah selain peningkatan cukai rokok dalam mengendalian dampak buruk bahaya rokok terhadap kesehatan baru dalam tahap mengingatkan masyarakat akan bahaya tembakau/rokok. Langkah lain pemerintah adalah dengan disahkannya Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, yang menyatakan bahwa nikotin merupakan zat adiktif. Selain kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, makin banyak kalangan peduli kesehatan dan lingkungan yang melakukan penentangan dengan mengeluarkan kebijakan sendiri. Contohnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa bahwa rokok haram bagi anak anak dan wanita. Namun, fatwa tersebut dinilai masih tidak tegas dan bersifat anti gender karena tidak melarang untuk laki-laki dewasa (Rachmat, 2010). Berbagai kebijakan peraturan tersebut baik dari pemerintah ataupun dari organisasi/kalangan memang bertujuan
2
positif untuk mengurangi dampak bahaya dari rokok, namun kebijakan peningkatan tarif cukai tetap lebih efektif dikarenakan kebijakan ini bersifat merata semua pihak (mengenai semua golongan baik usia, ekonomi, dan gender) serta berpengaruh langsung kepada demand yakni konsumen rokok. Kebijakan tarif cukai rokok memang berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat dan pendapatan negara, namun akan berdampak negatif pada seluruh sektor industri rokok tak terkecuali industri rokok skala kecil. Sejak tahun 1980-an, industri rokok di Indonesia cenderung padat karya yang dimana banyak merekrut sumber daya manusia untuk bekerja melakukan bisnis inti industri tersebut, seperti pelintingan, pemasangan filter, pengemasan, dan pelekatan pita cukai. Wibowo (2003) dengan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 1997 jumlah perusahaan rokok sebanyak 226 perusahaan, tahun 1999 naik menjadi 247 perusahaan, dan tahun 2002 turun menjadi 244 perusahaan. Pertumbuhan jumlah industri rokok memicu permintaan akan tenaga kerja. Dari sektor penyerapan tenaga kerja, pada kurun waktu 1997 - 2002 jumlah pekerja yang bergerak dalam industri ini menujukkan peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan pekerja industri rokok sebesar 4,08% per tahun. Pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 1998 dimana jumlah pekerja sebanyak 181,3 ribu orang pada tahun 1997, meningkat menjadi 196,8 ribu orang pada tahun 1998 (peningkatan sebesar 8,56%). Mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 1998 yang buruk, hal ini membuktikan bahwa industri rokok mampu bertahan atau dengan kata lain tidak terpengaruh oleh krisis moneter. Namun, bila kebijakan peningkatan cukai rokok ini tidak dipikirkan secara matang, industri rokok kemungkinan besar akan mengalami bangkrut. Salah satu contohnya adalah di daerah Malang pada tahun 2011, Kantor Pelayanan Pajak Bea Cukai Tipe Madya Cukai Malang mencatat bahwa terdapat 45 pabrik rokok mengalami gulung tikar karena kenaikan tarif cukai. Dari yang semula berjumlah 224 pabrik, kini menjadi 179 pabrik (Sriwijaya Post, 2011). Kebangkrutan industri rokok menyebabkan seluruh tenaga kerjanya berpotensi untuk menjadi pengangguran. Selain
itu, ada ancaman lain yang berpotensi menyebabkan pengangguran, yaitu mekanisasi industri rokok. Terutama untuk industri rokok jenis sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin (SPM), dimana permintaan untuk dua produk rokok jenis ini lebih tinggi dari jenis lain (Tjahjaprijadi & Indarto, 2003). Industri rokok juga menyadari kalau masyarakat semakin lama akan semakin peka terhadap kesehatan dan mulai mengerti akan dampak negatif dari rokok (Antariksa, 2010). Dengan sadarnya masyarakat serta penerapan kebijakan tarif cukai yang menaikkan harga eceran rokok, permintaan akan rokok menjadi berkurang dan berpengaruh terhadap turunnya laju keuntungan perusahaan. Bila keuntungan yang semakin menurun dan mencapai titik bangkrut maka bukan tidak mungkin bila industri rokok melepas banyak tenaga kerjanya menjadi pengangguran. Situasi ini menjadikan kebijakan tarif cukai rokok menjadi kebijakan yang bersifat dinamis dan pro-kontra antar masyarakat dan pemerintah. Yang mana dampak kebijakan ini disatu sisi mampu meningkatkan penerimaan negara, disisi lain dapat memungkinkan bangkrutnya industri rokok yang menyebabkan hilangnya lapangan kerja buruh rokok. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisa terhadap seberapa luas dampak kebijakan tarif cukai terhadap pendapatan negara dan keberlangungan usaha industri rokok agar mampu menghasilkan win-win solution, yang berarti meningkatkan pendapatan kas negara dan tetap mendukung keberlangsungan industri rokok. Karena kebijakan tarif cukai kepada industri rokok serta pendapatan negara memiliki kaitan sistemik, maka setiap skenario kebijakan perlu dipikirkan dengan tepat dan menggunakan tools yang tepat pula. Sehingga tujuan yang ingin dicapai pada penelitian tugas akhir ini adalah memprediksi dampak skenario kebijakan tarif cukai terhadap pendapatan negara dan perilaku industri rokok dan mendapatkan skenario kebijakan tarif cukai yang tepat sehingga tidak mengurangi pendapatan negara dan implikasiimplikasi lain terkait dengan masa depan usaha industri rokok. 2. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data-data sekunder yang berkaitan dengan kondisi
3
perekonomian dan kondisi usaha industri rokok di Indonesia. Data yang dikumpulkan merupakan data sekunder yang didapat dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Perindustrian, laporan penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia, beberapa jurnal internasional, dan lain-lain. Tahap pengumpulan data berjalan paralel dengan tahap identifikasi kondisi eksisting sistem. 3. Metodologi Penelitian Mengacu pada permasalahan dan tujuan penelitian, maka langkah pertama dalam penelitian adalah mengidentifikasi kondisi eksisting dari sistem yang akan diamati. Sebelumnya, untuk memperkuat dasar penelitian digunakan studi literatur sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan penelitian. Setelah mengetahui variabel-variabel dari identifikasi kondisi eksisting yang berpengaruh dalam model, maka dilakukan penyusunan causal loop sesuai dengan batasan sistem. Setelah itu dilakukan pembuatan model simulasi menggunakan perangkat lunak yaitu Ventana Simulation (Vensim). Tahapan selanjutnya adalah melakukan formulasi model yaitu membuat persamaan matematis dari variabel-variabel yang terdapat di dalam model berdasarkan causal loop. Setelah itu model diverifikasi dan divalidasi untuk mengetahui bahwa model sudah mampu mewakili atau menggambarkan sistem nyata. Berdasar pada tujuan penelitian, maka tahap selanjutnya dilakukan penyusunan skenario sistem. Lalu dilakukan simulasi untuk melihat perubahan kondisi sistem yang dilihat melalui output simulasi yang berbeda. Berdasarkan output simulasi dapat dilihat skenario yang seperti apa yang dapat memberikan dampak ideal dalam mendukung keberlangsungan usaha industri rokok dan penerimaan negara dari cukai. Setelah itu adalah menganalisis keseluruhan hasil penelitian dan membuat kesimpulan dan saran. 4. Konseptualisasi Model Setelah mengidentifikasikan variabelvariabel kondisi eksisting sistem, maka langkah selanjutnya adalah konseptualisasi model. melalui diagram input-output dan diagram causal loop. Dalam konseptualisasi model, model dibatasi oleh batasan fokus penelitian yaitu tidak
mengikutsertakan usaha tani tembakau dan cengkeh dalam penelitian, tidak meneliti taraf kesehatan masyarakat secara mendalam, dan sistem tarif cukai yang digunakan adalah sistem tarif cukai tahun 2010 (Tabel 4.1). Input Tak Terkendali - Inflasi - Indeks Harga Konsumen - Produksi tembakau dan cengkeh - Jumlah penduduk
Lingkungan
- Kebijakan tarif cukai pemerintah
Output Dikehendaki - Laba industri rokok tetap meningkat - Pendapatan negara dari cukai tetap meningkat
Sistem Industri Rokok dan Tarif Cukai
Input Terkendali
Output Tak Dikehendaki
- Tarif cukai rokok - Harga jual eceran - Harga transaksi pasar rokok
- Laba industri rokok menurun - Pendapatan negara dari cukai menurun
Pengelolaan
Gambar 4.1 Diagram Input Output
Gambar 4.2 Diagram Causal Loop Tabel 4.1 Sistem Tarif Cukai Tahun 2010
5. Formulasi Model Setelah konseptualisasi model, tahap berikutnya adalah formulasi model dengan
4
menggambarkan diagram stock and flow. Diagram stock and flow akan mampu menggambarkan sistem lebih detail karena akan memperhatikan pengaruh waktu tiap keterkaitan antar variabel, sehingga akan ada variabel yang menunjukkan hasil akumulasi dalam sistem disebut level, serta variabel yang merupakan aktivitas sistem dan mempengaruhi level yaitu rate. Formulasi matematis dilakukan pada tahap penyusunan stock and flow diagram dalam software Vensim. Dengan diberikan formulasi matematis pada model maka model akan dapat disimulasikan. 5.1 Submodel Industri Rokok Submodel ini menggambarkan variabelvariabel yang berpengaruh terhadap akumulasi laba industri rokok, yaitu pendapatan industri rokok dan pengeluaran industri rokok.Akumulasi laba industri rokok yang berbentuk level, didapatkan dengan menghitung selisih antara rate pen-dapatan industri rokok dengan rate pengeluaran industri rokok.
Gambar 5.3 Submodel Produksi Rokok SKM
Gambar 5.4 Submodel Produksi Rokok SKT
5.3 Submodel Permintaan Rokok Jumlah permintaan dipengaruhi oleh harga transaksi pasar, jumlah perokok aktif, besar pengeluaran untuk rokok per kuantil tingkat pengeluaran, dan fraksi jumlah perokok menurut tingkat pengeluaran.
Gambar 5.1 Submodel Industri Rokok
5.2 Submodel Produksi Rokok Submodel ini menggambarkan produksi rokok per jenis rokok, yaitu SKT, SKM, dan SPM beserta tiap golongannya, Golongan I, Golongan II, dan Golongan III. Laju produksi dipengaruhi oleh produktifitas total tenaga kerja (untuk rokok jenis SKT) atau total kapasitas produksi sigaret mesin (untuk rokok jenis SKM dan SPM).
Gambar 5.5 Submodel Permintaan Rokok SKT
Gambar 5.6 Submodel Permintaan Rokok SKM dan SPM
Gambar 5.2 Submodel Produksi Rokok SPM
5.4 Submodel Konsumen Rokok Laju penambahan konsumen rokok dipengaruhi oleh pengaruh besar promosi iklan
5
terhadap penambahan konsumen rokok, jumlah penduduk dan total prosentase calon perokok. Total prosentase perokok merupakan jumlah dari prosentase merokok per kuantil tingkat pengeluaran.
Gambar 5.9 Submodel Sistem Tarif Cukai
5.7 Submodel Penerimaan Negara Submodel penerimaan negara menjelaskan tentang laba yang diterima negara dari industri rokok. Laba yang diterima dari industri rokok berupa penerimaan cukai rokok, yang merupakan penjumlahan dari tiga variabel yaitu penerimaan dari rokok SKT, penerimaan dari rokok SKM , dan penerimaan dari rokok SPM.
Gambar 5.7 Submodel Konsumen Rokok
5.5 Submodel Sumber Daya Industri Rokok Submodel ini menjelaskan tentang sumberdaya produksi industri rokok, yang meliputi tenaga kerja, bahan baku, dan kapasitas produksi sigaret mesin.
Gambar 5.10 Submodel Penerimaan Negara
5.8 Submodel Pertanian Tembakau dan Cengkeh Submodel ini menjelaskan tentang pertanian tembakau dan cengkeh yang merupakan sumber bahan baku utama produksi rokok. Sebagai batas dari penelitian, fokus submodel ini hanya menjelaskan tentang persediaan tembakau dan cengkeh domestik.
Gambar 5.8 Submodel Sumber Daya Industri Rokok
5.6 Submodel Sistem Tarif Cukai Sistem tarif cukai yang digunakan adalah sistem tarif cukai tahun 2010, yang membagi jenis pabrik menjadi beberapa golongan. Nilai untuk variabel HJE, ditentukan oleh jenis produksi rokok dan kapasitas produksi pabrik. Gambar 5.11 Submodel Pertanian Tembakau dan Cengkeh
6
Gambar 5.11 Submodel Pertanian Tembakau dan Cengkeh (lanjutan)
5.9 Submodel Taraf Kesehatan Submodel taraf kesehatan yg disusun disini menggunakan acuan Disability Adjusted Life Years (DALY), namun pembahasan tentang DALY dalam penelitian ini hanya bersifat makro dan tidak mendetail. DALY dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui berapa besar tingkat pengeluaran dan tingkat pendidikan per kapita.
7. Analisa Hasil Simulasi Dalam gambar 7.1 terlihat sangat jelas bahwa dalam kondisi eksisting, laba industri rokok akan terus melaju positif setiap tahun. Walaupun secara rata-rata terus mengalami peningkatan, grafik yang ditampilkan sedikit bergelombang mengindikasikan terjadinya naikturunnya laba bersih pada tahun tersebut. Turunnya laba bersih ini, disebabkan oleh laju pendapatan yang lebih kecil daripada besar pengeluaran industri rokok sehingga laba per tahun yang diterima industri rokok menjadi berkurang. Dalam kondisi eksisting, dimana tarif cukai belum mengalami peningkatan, biaya pengeluaran yang paling besar disumbang oleh biaya produksi sektor bahan baku. Industri rokok membeli bahan baku ketika persediaan dalam gudang menipis. Sementara dalam setiap pembelian, industri rokok selalu membeli dalam jumlah besar dikarenakan untuk kebutuhan keamanan persediaan jangka panjang selama tiga tahun. Sehingga pada waktu pembelian bahan baku tersebut, industri rokok harus mengeluarkan biaya yang besar dan sedikit mengurangi pendapatan bersih saat itu. Serta dikarenakan melihat demand yang besar dari industri rokok, maka petani cenderung untuk menaikkan harga komoditas tanamnya.
Gambar 5.12 Submodel Taraf Kesehatan
6. Verifikasi dan Validasi Verifikasi model adalah pengujian untuk menguji kesesuaian logika pada model dan memastikan tidak ada error yang terjadi pada model yang dibangun. Proses verifikasi dilakukan dengan cara pengecekan unit dan pengecekan error pada model. Validasi model merupakan pengujian terhadap model untuk melihat apakah model sudah mampu mewakili atau menggambarkan sistem nyata. Uji validasi dengan cara uji parameter dan uji output model. Uji output dilakukan pada variabel penerimaan negara dari cukai, jumlah tenaga kerja industri rokok, dan produksi industri rokok. Dengan menggunakan metode 2 Sample-T Test, ketiga variabel tersebut memiliki nilai P-Value lebih dari 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) sehingga model dikatakan valid.
Gambar 7.1 Hasil Simulasi Akumulasi Laba Industri Rokok Kondisi Eksisting
Hasil simulasi berikutnya adalah penerimaan negara dari sektor cukai rokok yang dapat dilihat pada gambar 7.2. Hasil penerimaan negara ini cenderung meningkat terus dan tidak menunjukkan penurunan laju penerimaan pada periode tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan kondisi eksisting penerimaan negara dari cukai rokok pada tahun 2030 akan meningkat lima kali lipat dibanding tahun 2010.
7
Gambar 7.2 Hasil Simulasi Penerimaan Negara Dari Cukai Rokok Kondisi Eksisting
Gambar 8.1 Hasil Simulasi Skenario I Akumulasi Laba Industri Rokok
8. Analisa Desain Skenario Tarif Cukai Desain skenario yang telah diterapkan terhadap model eksisting akan memberikan dampak pada variable tertentu yang merupakan tujuan di-lakukan penelitian. Variable tersebut antara lain akumulasi laba industri rokok dan penerimaan negara. Skenario yang disusun dibagi menjadi dua skenario utama dengan tiap skenario memiliki beberapa subskenario.
Pada persentase kenaikan tarif cukai sebesar skenario A, skenario B, dan skenario C, akumulasi laba industri rokok tetap menunjukkan peningkatan, dengan rata-rata hasil yang di tunjukkan oleh skenario A lebih tinggi 22% dari skenario B, dan lebih tinggi 43% dari skenario C. Sementara, skenario D membuat akumulasi laba industri rokok meningkat dengan rate yang lebih rendah dibanding ketiga skenario awal dan mulai tahun 2020 mulai menunjukkan tren menurun. Skenario E dan F, menyebabkan industri rokok mengalami kondisi akumulasi laba bersih bernilai nol rupiah pada tahun 2020 dan 2025. Namun selepas dari tahun tersebut (2020/ 2025), industri rokok masih bertahan dengan kondisi akumulasi laba yang tidak menunjukkan peningkatan. Hal ini dikarenakan, industri rokok mengumpulkan pendapatan dari penjualan rokok yang sebelumnya sudah beredar di pasar. Pendapatan yang dikumpulkan akan menjadi modal untuk produksi berikutnya. Namun produksi ini tidak bisa langsung stabil, dikarenakan tarif cukai masih terlalu tinggi. Sehingga, industri rokok hanya produksi sementara waktu, lalu menunggu pendapatan didapatkan kembali lalu produksi lagi, hingga industri rokok betul-betul tidak dapat produksi lagi.
8.1 Skenario I Skenario pertama (I) adalah memberikan perlakuan perubahan pada tarif cukai. Skenario ini dimulai pada tahun 2010 dengan setiap tahunnya terjadi penambahan tarif cukai yaitu 0% (eksisting), 5%, 10%, 30%, 57%, dan 100% dari nilai dasar. Nilai dasar menggunakan tarif cukai 2010. Subskenario yang disusun dalam skenario I adalah sebagai berikut: Tabel 8.1 Penamaan Subskenario Pada Skenario I
Pada skenario ini akumulasi laba industri rokok akan semakin turun bila tarif cukai semakin dinaikkan (gambar 8.1). Hal ini wajar dan sesuai logika, dimana semakin tinggi tarif cukai maka semakin besar biaya pengeluaran industri rokok. Semakin besarnya biaya pengeluaran terkait dengan semakin besarnya harga bahan baku dan biaya pelunasan cukai itu sendiri. Walaupun laba industri rokok semakin turun dan menyebabkan rugi sesaat, mereka masih dapat bertahan sehingga tidak sampai bangkrut total.
Gambar 8.2 Hasil Simulasi Skenario I Penerimaan Negara Dari Cukai Rokok
8
Semakin tinggi tarif cukai yang digunakan, akan memicu untuk semakin besar biaya pengeluaran pelunasan cukai yang dikeluarkan oleh industri rokok sehingga semakin besar penerimaan negara yang didapat melalui cukai. Dari gambar 8.2, terlihat bahwa skenario F dan E memberikan penerimaan negara yang lebih tinggi diantara empat skenario lainnya, walaupun penjualan rokok semakin menurun seiring tingginya tarif cukai yang diterapkan. Namun, hal ini hanya berlangsung selama 10 tahun dari penerapan skenario F dan E yang setelah itu menunjukkan tren menurun. Hal ini menunjukkan bahwa, pada tahun dimana skenario F dan E mulai menunjukkan tren penurunan, industri rokok merugi sesaat, dan menghentikan produksinya. Ketika akumulasi laba sudah terisi dan tidak bernilai nol, industri rokok produksi kembali. Siklus ini akan terus terjadi hingga industri rokok benar-benar tidak bisa berproduksi. Sementara, empat skenario lain akan terus menunjukkan peningkatan penerimaan cukai. Bahkan sanggup melebihi penerimaan cukai yang dihasilkan oleh skenario E dan F.
8.2 Skenario II Skenario II ini merupakan kelanjutan dari Skenario I. Skenario ini memiliki jumlah subskenario yang sama dengan Skenario I, dengan nama subskenario yang berbeda dan dapat dilihat pada tabel 5.3. Perbedaan skenario ini dengan Skenario I adalah adanya pengembangan kondisi pembatasan produksi rokok pada model. Pembatasan produksi rokok ini dimulai pada tahun 2015 sebesar maksimum ± 260 miliar batang. Penambahan kondisi ini, dikutip dari Roadmap Industri Pengolahan Tembakau yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian (Departemen Perindustrian, 2009) Tabel 8.2 Penamaan Subskenario Pada Skenario II
Gambar 8.4 Hasil Simulasi Skenario II Total Produksi Rokok. Gambar 8.3 Hasil Simulasi Skenario I DALY per orang.
Tingkat kesehatan ditunjukkan dengan variabel DALY per orang. Semakin tinggi tarif cukai yang diterapkan, konsumsi rokok akan semakin menurun, sehingga besar DALY per orang akan semakin turun. Dengan semakin berkurangnya DALY maka orang tersebut akan memiliki waktu produktif yang lebih banyak sehingga bisa memiliki tingkat pendapatan yang besar dan diikuti tingkat pengeluaran yang semakin besar. Pada gambar 8.33, terlihat bahwa skenario F (grtafik warna biru) mampu membuat DALY per orang menurun 65% dari kondisi eksisting (grafik warna coklat).
Dengan pemberlakuan pembatasan produksi rokok oleh pemerintah, maka mulai tahun 2015, industri rokok akan mengalami produksi yang konstan. Namun, dikarenakan industri rokok memiliki laju peningkatan kapasitas produksi yang besar setiap tahunnya, industri rokok akan mencapai nilai produksi sebesar 260 miliar batang sebelum tahun 2015. Sehingga pada tahun tersebut, produksi akan dijaga tetap stabil hingga memenuhi pembatasan produksi memasuki tahun 2015. Skenario G dan H menampilkan kondisi produksi yang flat pada tahun 2015 hingga akhir periode simulasi. Skenario J, K, dan L, menampilkan kondisi produksi yang mulai menurun sebelum tahun 2015 sementara skenario I menampilkan kondisi
9
penurunan produksi sebelum tahun 2020. Hal ini, dikarenakan berkurangnya kapasitas produksi, yang dipicu oleh bangkrutnya industri rokok pada tahun tersebut. Dilihat dampaknya terhadap akumulasi laba industri rokok, skenario G, H, dan I, tetap menampilkan hasil yang selalu positif dan meningkat per tahun. Hasil yang ditampilkan ketiga skenario lainnya, memberikan dampak berupa penurunan. Hasil simulasi Skenario II pada akumulasi laba industri rokok terlihat pada gambar 8.5.
pemerintah akan mendapatkan penerimaan cukai yang besar.
Gambar 8.6 Hasil Simulasi Skenario II Penerimaan Negara Dari Cukai Rokok
Gambar 8.5 Hasil Simulasi Skenario II Akumulasi Laba Industri Rokok
Pada persentase kenaikan tarif cukai sebesar skenario G, skenario H, dan skenario I, akumulasi laba industri rokok tetap menunjukkan peningkatan, dengan rata-rata hasil yang ditunjukkan oleh skenario G lebih tinggi 20% dari skenario H, dan lebih tinggi 42% dari skenario I. Sementara, skenario J membuat akumulasi laba industri rokok meningkat dengan rate yang lebih rendah dibanding ketiga skenario awal dan mulai tahun 2020 mulai menunjukkan tren menurun. Skenario E dan F, menyebabkan industri rokok mengalami kondisi akumulasi laba bersih bernilai nol rupiah pada tahun 2022 dan 2027. Namun selepas dari tahun tersebut (2020/2027), industri rokok masih dapat bertahan walaupun kondisinya akumulasi labanya tidak menunjukkan peningkatan. Langkah pemerintah untuk melakukan pembatasan produksi rokok ternyata tidak mempengaruhi besar penerimaan negara dari cukai rokok. Karena terbukti dengan melakukan peningkatan tarif cukai pada kondisi pembatasan produksi rokok, pemerintah tetap memperoleh penerimaan yang semakin besar. Semakin tinggi tarif cukai yang diterapkan per tahun, maka
Namun penerimaan cukai ini akan langsung menurun disaat industri rokok mengalami akumulasi laba industri rokok mencapai titik nol rupiah. Hal ini sesuai logika dimana ketika industri rokok sudah mencapai akumulasi laba bernilai nol, maka industri rokok tidak akan lagi membeli cukai sehingga penerimaan cukai pemerintah akan semakin berkurang dan bernilai nol.
Gambar 8.7 Hasil Simulasi Skenario II DALY per orang
Pada DALY per orang, skenario II menunjukkan perilaku yang sama dengan skenario I. Namun, dikarenakan skenario II menerapkan kondisi pembatasan produksi rokok, maka pada kondisi eksisting skenario II (subskenario G) DALY per orang akan lebih rendah 22% dari skenario I. Pada gambar 8.7, terlihat bahwa skenario L mampu membuat DALY per orang menurun 54% dari skenario G (kondisi eksisting).
10
9. Perbandingan Skenario Dengan melihat bentuk grafik dampak penerapan skenario pada masing-masing variabel, maka terlihat bahwa subskenario peningkatan tarif cukai per tahun sebesar 0%, 5%, 10%, 30% dapat memberikan hasil yang paling ideal pada dua kondisi skenario (pembatasan produksi dan tanpa pembatasan produksi). Kondisi ideal disini berarti dalam periode simulasi, industri rokok tetap memiliki akumulasi laba yang meningkat positif, dan industri rokok tetap mendapatkan penerimaan cukai yang meningkat. Namun, diantara empat subskenario peningkatan tarif cukai tersebut, subskenario peningkatan tarif cukai sebesar 30% (skenario D/J) dapat memberikan efek penurunan nilai pada periode akhir simulasi. Sehingga bisa dikatakan, prosentase sebesar 30% merupakan batas ideal penggunaan besar peningkatan tarif cukai pada keempat subskenario ideal. Sedangkan, dua skenario lainnya akan membuat nilai variabel (akumulasi laba industri rokok dan penerimaan negara) menjadi turun hingga mencapai nilai nol sebelum waktu berakhirnya periode simulasi. 10. Kesimpulan Dalam situasi saat ini, tarif cukai berperan sebagai faktor penentu keberlangsungan usaha industri rokok. Semakin tinggi tarif cukai, mampu mematikan usaha industri rokok melalui besarnya pengeluaran untuk pelunasan cukai yang memberikan penerimaan dari cukai yang besar kepada pemerintah. Namun berdasar penelitian yang dilakukan, penerimaan dari cukai ini tidak akan berlangsung lama karena tingginya tarif cukai tersebut yang menyebabkan berkurangnya produksi rokok, sehingga penerimaan akan semakin lama semakin berkurang. Dengan melakukan running simulasi pada kondisi eksisting selama 30 tahun, kondisi akumulasi laba industri rokok akan tetap mengalami peningkatan dan penerimaan negara dari cukai rokok juga mengalami hal yang sama. Hal ini dikarenakan belum adanya kenaikan tarif cukai pada kondisi eksisting sehingga industri rokok masih dapat berproduksi secara maksimal dan penerimaan negara dari cukai juga akan semakin meningkat (seiring meningkatnya produksi rokok).
Baik untuk skenario pembatasan produksi rokok dan tanpa batasan produksi rokok, hasil simulasi subskenario penambahan tarif cukai menyatakan bahwa industri rokok akan mengalami penurunan akumulasi laba seiring dengan besarnya tarif cukai yang dikenakan. Bahkan dengan kenaikan tarif cukai sebesar 57% (Skenario E/K) dan tarif cukai 100% (Skenario F/L), industri rokok akan mengalami kondisi akumulasi laba mencapai nol, serta penerimaan negara dari cukai juga akan berkurang. Kondisi ini disebabkan oleh naiknya pengeluaran untuk pelunasan cukai yang semakin membebani biaya produksi industri rokok sehingga industri rokok lama kelamaan akan mengurangi produksinya dan menyebabkan penerimaan negara dari cukai juga akan berkurang. Dari hasil simulasi, diketahui bahwa subskenario peningkatan tarif cukai per tahun yang tetap memberikan keuntungan penerimaan cukai yang besar bagi negara dan tidak mematikan industri rokok (walaupun setiap peningkatan tarif cukai menyebabkan berkurangnya akumulasi laba industri rokok) adalah Skenario A/G (0%), Skenario B/H (5%), Skenario C/I (10%), dan Skenario D/J (30% ). 11. Daftar Pustaka Ahmad, S. dan Billimek, J., 2007. Limiting Youth Access To Tobacco: Comparing The Long-term Health Impacts Of Increasing Cigarette Excise Taxes And Raising The Legal Smoking Age To 21 In The United States. Health Policy, (80), pp.378-91. Ahmad, S. & Franz, G.A., 2008. Raising Taxes To Reduce Smoking Prevalence In The US: A Simulation Of The Anticipated Health And Economic Impacts. Public Health, (122), pp.3-10. Antariksa, Y., 2010. Blog Strategi + Manajemen.http://strategimanajemen.net/201 0/03/15/industri-rokok-indonesia-sedangmenjemput-kematian/. Diakses pada tanggal 2 Februari 2011 Barber, S., Adioetomo, S.M., Setyonaluri, D. & Ahsan, A., 2008. Tobacco Economic In Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FE UI. Borshchev, A. & Filippov, A., 2004. From System Dynamics and Discrete Event to Practical Agent Based Modeling: Reasons, Techniques, Tools.
11
DeCicca, P. & McLeod, L., 2008. Cigarette Taxes And Older Adult Smoking: Evidence From Recent Large Tax Increases. Health Economics, (27), pp.918-29. Departemen Perindustrian, 2009. Roadmap Industri Pengolahan Tembakau. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia Departemen Perindustrian. Hanusz, M., 2000. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes. Jakarta: Equinox Publishing. Hendratmo, W., 2009. Industri Hasil Tembakau Dan Peranannya Dalam Perekonomian Nasional. Media Industri, Februari. pp.5254. Majalah Neraca, 2010. Cukai Tembakau Sumber Penerimaan Cukai Dalam Negeri. http://bataviase.co.id/node/498152. Diakses tanggal 29 February 2011. Peraturan Menteri Keuangan, 2011. Publikasi Kebijakan Cukai Hasil Tembakau 2011. Phillips, C., 2009. What is a QALY ? Health Economics, pp.1-6. Rachmat, M., 2010. Pengembangan Ekonomi Tembakau Nasional: Kebijakan Negara Maju Dan Pembelajaran Bagi Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian , VIII (1), pp.67-83. Ross, H. & Chaloupka, F., 2006. Economic Policies For Tobacco Control in Developing Countries. Salud Pública de México, 48(1). Rumagit, G.A.J., 2007. Kajian Ekonomi Keterkaitan Antara Perkembangan Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Santosa, P.B. & Rifai, B., 2005. Analisis Industri Rokok Kretek Di Indonesia Tahun 1976-2001. Jurnal Ekonomi Pembangunan, VI(2), pp.228-39. Sriwijaya Post, 2011. Home: Bisnis: Finance: 45 Pabrik Rokok di Malang "Gulung Tikar".http://palembang.tribunnews.com /view/57543/45_pabrik_rokok_di_malang_gul ung_tikar. Diakses pada tanggal 1 Juli 2011. Sumarno, B.S. & Kuncoro, M., 2002. Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996-1999. Universitas Gadjah Mada. Tanjungsari, W., 2009. Analisis Pengaruh Penetapan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2003 Terhadap Permintaan Rokok Kretek dan Tenaga Kerja Industri Rokok
Kretek Di Indonesia [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Tjahjaprijadi, C. & Indarto, W.D., 2003. Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan Sigaret Putih Mesin. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 7(4), pp.104-23. van Genugten, M.L.L. et al., 2003. Future Burden and Costs of Smoking-Related Disease in the Netherlands: A Dynamic Modeling Approach. Value in Health, pp.494-99.
12