Subyek Mata Kuliah WaktuPenyerahan Dosen
: : : :
TugasKelompok Hukum danEtikaBisnis 25 Mei 2012 Prof. Dr. Ir Aida Vitayala
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
PT Dirgantara Indonesia
Ditinjau dari Teori Egoisme Kelompok
DISUSUN OLEH:
ARIE WIBOWO IRAWAN BASUKI RAHMANTO MOCHAMAD MULJANA MUHAMMAD IQBAL PRASETIYO YUNIASTUTI W
(P056110763.40E) (P056110803.40E) (P056110883.40E) (P056110893.40E) (P056110923.40E) (P056111003.40E)
MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang atas seizin-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja pada PT Dirgantara Indonesia ditinjau dari teori Egoisme Kelompok”. Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami berharap akan mendapat masukan dari semua pihak (dosen, rekan-rekan dari kelompok lain, dan pembaca) guna perbaikan di masa-masa yang akan datang. Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis, selaku dosen mata Kuliah Hukum dan Etika Bisnis. 2. Nara sumber yang tulisannya kami jadikan referensi dalam penulisan makalah ini. 3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini. Semoga apa yang telah kami kerjakan dapat bermanfaat bagi pengembangan diri kami dan bagisiapa saja yang membacanya.
Bogor, 24 Mei 2012
1
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................ 1 DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................................... 2 1.
PENDAHULUAN .......................................................................................................................................................... 3 1.1. 1.2.
2.
LATAR BELAKANG ......................................................................................................................................... 3 TUJUAN PENULISAN ...................................................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................................................ 5 2.1. 2.2.
2.3.
2.4. 2.5.
PENGERTIAN EGOISME ................................................................................................................................ 5 TEORI EGOISME PSIKOLOGIS ..................................................................................................................... 5 2.2.1.ARGUMEN PENDUKUNG TEORI EGOISME PSIKOLOGIS .............................................................. 5 2.2.2.TANGGAPAN KRITIS TEORI EGOISME PSIKOLOGIS...................................................................... 6 TEORI EGOISME ETIS ................................................................................................................................... 7 2.3.1.ARGUMEN PENDUKUNG TEORI EGOISME ETIS ............................................................................. 8 2.3.2.TANGGAPAN KRITIS TEORI EGOISME ETIS .................................................................................... 9 TEORI EGOISME KELOMPOK, EGOISME DICERAHI &UTILITARIANISME .......................................... 11 PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) .................................................................................................. 12
3.
PROFIL SINGKAT PERUSAHAAN (PT DIRGANTARA INDONESIA) ................................................................. 14
4.
STUDI KASUS ........................................................................................................................................................... 15 4.1. 4.2.
5.
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................................... 18 5.1. 5.2. 5.3. 5.4.
6.
PENYEBAB TERJADINYA PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)..................................................... 15 KRONOLOGIS KASUS/PERKARA ............................................................................................................... 16
EGOISME KELOMPOK DEWAN DIREKSI DAN PEMERINTAH……………………………………… ....... 18 EGOISME KELOMPOK KARYAWAN YANG DI PHK ................................................................................. 19 EGOISME KELOMPOK KARYAWAN YANG INGIN MEMPERTAHANKAN DAN MELAKUKAN PEMBAHARUAN DI PT DIRGANTARA INDONESIA .................................................................................. 20 EGOISME DICERAHI .................................................................................................................................... 23
KESIMPULAN ............................................................................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................................................... 26
2
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada dasarnya suatu perusahaan dibentuk dalam rangka untuk menciptakan nilai tambah dan
mendapatkan keuntungan. Sebagai entitas bisnis (business entity) banyak orang menganggap bahwa keberadaan perusahaan hanya sekedar sebagai mesin dan sarana untuk memaksimalkan keuntungannya dan melipatgandakan modal yang telah ditanamkan oleh pemiliknya. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, sebuah bisnis terikat dengan etika. Etika dalam bisnis mengikat semua orang yang terlibat di dalamnya, baik secara personal maupun lembaga. Dengan kata lain etika mengikat pemilik, direktur, manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Perusahaan yang hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan semata tanpa mengindahkan etika dan norma bisnis, akan membuat manajemen perusahaan cenderung berpandangan bahwa suatu nilai dianggap baik apabila menguntungkan perusahaan dan sebaliknya dianggap buruk apabila merugikan perusahaan. Modal, mesin dan karyawan hanya dianggap sebagai faktor produksi dan semua aktivitasnya diarahkan untuk mencapai tujuan utama, yaitu memaksimalkan keuntungan. Dalam teori etika bisnis, pandangan seperti ini disebut sebagai egoisme. Karena perusahaan sebagai lembaga yang dikelola oleh manajeman yang terdiri beberapa orang, maka egoisme seperti ini disebut sebagai egoisme kelompok. Ketika perusahaan sudah tidak mendatangkan keuntungan lagi, manajemen perusahaan akan melakukan tindakan yang menurutnya rasional dan baik, misalnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya secara sepihak. Di perusahaan, egoisme kelompok tidak hanya terjadi pada manajemen saja. Dari sisi karyawanpun juga dapat timbul egoisme kelompok, karena pada dasarnya, kepentingan setiap orang yang bekerja di sebuah perusahaan adalah sama, yaitu mendapatkan manfaat dari segi ekonomi. Ketika perusahaan melakukan PHK secara sepihak, namun disisi lain karyawan tersebut masih membutuhkan pekerjaan sebagai sumber nafkah atau mata pencahariannya, maka secara manusiawi ia akan merasa bahwa kepentingannya terganggu. Dalam kondisi seperti ini, karyawan bersangkutan cenderung akan memandang sesuatu dari sudut pandang kepentingannya. Dan tindakan perusahaan yang berlawanan dengan kepentingannya dianggap sebagai tindakan yang tidak benar. Pandangan seperti ini dapat disebut sebagai egosime etis, yaitu pandangan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Apabila PHK dilakukan secara massal, egoisme etis akan meningkat derajatnya menjadi egoisme kelompok, karena semua karyawan yang terkena PHK akan cenderung memiliki pandangan yang sama dan merasa kepentingan mereka terganggu. Egoisme kelompok manajemen dan egoisme kelompok karyawan yang berbenturan akan menimbulkan konflik. PT Dirgantara Indonesia (PT DI), pada tahun 2002 melakuan PHK terhadap ribuan karyawannya. Tindakan perusahaan yang notabene dimiliki oleh pemerintah tersebut menimbulkan konflik yang berlarut-larut 3
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
dan penyelesaiannya memakan waktu sangat lama. Serikat Pekerja PT DI menilai langkah tersebut melanggar Undang-undang Ketenagakerjaan. Keputusan soal pemutusan hubungan kerja sebagian besar karyawan PT DI, membuat kecewa ribuan karyawan PT DI yang diwakili Ketua Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SP FKK) PT DI, Bapak Arif Minaldi. Arif mengingatkan, keputusan sidang kabinet terbatas tersebut makin membuat para karyawan untuk melakukan perlawanan terhadap Direksi PT DI. Arif juga menilai, jika PHK benar-benar dilakukan, berarti direksi telah melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Arif menambahkan, cara-cara yang dilakukan terhadap para karyawan PT DI yang akan di PHK adalah cara-cara biadab dan tidak mengerti kondisi karyawan PT DI.1 Kasus yang terjadi pada PT DI menarik perhatian kelompok kami untuk menganalisa dari sisi etika bisnis, khususnya tentang Egoisme Kelompok. Analisa ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kami terhadap mata kuliah Hukum dan Etika Bisnis. 1.2.
TujuanPenulisan
Tujuan dari penulisan analisis kasus ini antara lain : 1. Untuk mengetahui bagaimana relevansi antara tindakan PT Dirgantara Indonesia dalam melakukan pemutusan hubungan kerja dengan etika, norma bisnis dan hukum ketenagakerjaan. 2. Untuk mengetahui apakah tindakan pemutusan hubungan kerja oleh manajemen PT Dirgantara Indonesia didasarkan oleh faktor egoisme kelompok atau ada faktor lain yang lebih sesuai dari sisi etika dan norma bisnis. 3. Untuk mengetahui apakah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh karyawanPT Dirgantara Indonesia didasarkan oleh faktor egoisme kelompok semata atau karena faktor lain yang bersifat normatif.
1
Dikutip dari sumber : TEMPO Interaktif, terbit di Jakarta pada Kamis, 15 Januari 2004
4
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PengertianEgoisme
Egoisme adalah tingkah laku yg didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Biasanya teori egoism mengemukakan tentang segala perbuatan atau tindakan yang disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Sebelum berbicara lebih jauh tentang teori-teori egoisme (egoisme kelompok dan egiosme etis), kita perlu memahami tentang teori Egoisme Psikologis sebagai dasarnya. 2.2. PengertianEgoisme Psikologis
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya terjadi, hal itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta diri. 2.2.1.
Argumen Pendukung Teori Egoisme Psikologis Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk
melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, dan yang memakainya untuk menonton film juga tidak dapat dikatakan bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial,
5
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
maka hati nuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi. Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya. Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita berada dalam situasi macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran bahwa penderitaan atau kemalangan yang sama mungkin saja suatu saat nanti menimpa dirinya. 2.2.2.
Tanggapan Kritis Teori Egoisme Psikologis Pendapat berbeda diungkapkan oleh beberapa ahli tentang egoisme psikologis. Salah satunya seperti
yang dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian. Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat dipertahankan. Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis. Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest), keduanya tidaklah sama. Sebagai ilustrasi, apabila saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri. Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat atau bernilai) untuk diri saya sendiri. Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure). Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya. Tetapi kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul 6
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
berdasarkan motif egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Sebagai contoh, apabila ada orang yang suka menghisap rokok kretek setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme. Namun apabila dalam menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang terganggu dengan asap rokok, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois. Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain. Tentu saja anggapan ini keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Walaupun memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain. Namun hal ini tidak dapat digeneralisasikan dan diartikan bahwa kita mendahulukan kepentingan diri sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya membuktikan bahwa dalam berbuat seseorang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme. Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks. Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas tersebut. Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguhnya menjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain. 2.3. Teori Egoisme Etis
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.
7
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what really is to his or her own best advantage, over the long run”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”. 2.3.1. Argumen Pendukung Teori Egoisme Etis Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak. Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing individu akan menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu] secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masingmasing orang sendiri lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campur tangan ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong. Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis dibandingkan dengan Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup masing-masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral yang menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia, Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia ini. Etika Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang “hidupmu hanyalah sesuatu yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan,” dapat dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini) bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat membuat orang kurang menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal mungkin. Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
8
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya. 2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain. 3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia. 4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dikatakan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu. 5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima. Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelaskan macammacam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari. 2.3.2. Tanggapan Kritis Teori Egoisme Etis Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Apabila Egoisme Etis kita asumsikan konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. 9
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik. Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbankannya demi kepentingan orang lain wajib dipenuhi. Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebahagiaan hidup sejati manusia tidak lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut samasekali diabaikan, karena nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati. Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku seharihari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Terkadang dalam kenyataannya, orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri sendiri. Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena bukan kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, 10
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja. Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri, namun ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima. 2.4. Egoisme Kelompok, Egoisme Dicerahi &Utilitarianisme
Egoisme kelompok (in group egoism) adalah egoisme yang hanya melihat kepentingan/kenikmatan atau kebahagiaan kelompok. Sedangkan kelompok adalah kumpulan individu yang saling memiliki hubungan dan saling berinteraksi sehingga mengakibatkan tumbuhnya rasa kebersamaan dan dan rasa memiliki. Menurut Soerjono Soekarto adanya kesadaran sebagi anggota kelompok yang bersangkutan, adanya hubungan timbal balik antara anggota dengan anggota yang lainnya dalam kelompok tersebut. Adanya faktor pengikat yang dimiliki bersama misalnya kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dll. Memiliki struktur, kaidah, dan pola prilaku yang sama dalam bersistem dan berproses. Sedangkan egoisme dicerahi (enlightened egoism) adalah egoisme yang mengikuti standar moral yang didasarkan pada pengejaran kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain melalui negosiasi untuk kepentingan bersama. Selangkah lebih maju dari egoisme dicerahi adalah universalisme etis atau utilitarianisme (utilis = berguna; utility=kegunaan) yaitu "the greatest happiness of the greatest number of the people". Disebut universalisme karena yang menjadi norma moral bukanlah hasil atau akibat baik bagi si pelaku sendiri, melainkan juga bagi semua atau sebagian besar orang. Utilitarianisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa manfaat terbesar untuk paling banyak orang haruslah menjadi tujuan utama tindakan manusia. Utilitarianisme itu sendiri dibedakan menjadi utilitarianisme hedonistik (mengukur tingkat kesenangan dan ketidaksenangan) dan utilitarianisme eudaimonistik (jumlah kebahagiaan tertinggi di antara pihak yang terlibat).
11
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
2.5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Tidak ada jaminan perusahaan selalu berhasil dalam bisnis karena dalam menjalankan operasinya perusahaan dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Dengan keuntungan ini, perusahaan dapat beroperasi normal dan berkembang. Namun, ada kalanya keuntungan tidak selalu diperoleh. Sekalipun biaya telah dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan dan usaha-usaha penghematan telah dilakukan, perusahaaan bisa saja merugi. Pada kondisi ini, pimpinan perusahaan bisa membuat beberapa opsi untuk menyelamatkan perusahaan, dimana salah satu opsinya adalah melakukan PHK dengan alasan efisiensi. PHK itu sendiri diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5, dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk memutuskan hubungan kerja diatur dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta, dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep‐78/Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Nomor Kerja Kep‐150/Men/2000tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan.2 Pemutusan hubungan kerja ialah pemberhentian waktu kerja secara sepihak yang dilakukan oleh perusahaan atau pun tempat kerja. Berdasarkan UU RI No.13 pasal 150 Tahun 2003 yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja, bahwa perusahaan dilarang pemutusan kerja dengan alasan (pasal 153):
Sakit tidak melebihi 12 bulan dengan keterangan dokter.
menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara.
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
pekerja/buruh menikah.
pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
mendirikan, menjadi anggota,pengurus serikat pekerja berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Kep - 150/Men/2000 dengan sumber: http://www.djlk.depkeu.go.id/danapensiun/Data/Peraturan/Kepnaker1502000.pdf 2
12
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
Hak yang diperoleh pekerja dari perusahaan diatur dalam pasal 156,yang berisikan perhitungan pesangon atau uang.Jaminan yang berhak diterima. Pekerja berhak meminta hak–hak nya yang ada pada perusahaan. Apabila Perusahaan menyelewengkan maka pekerja berhak mengadukan kepada pihak berwajib.
Pemutusan hubungan kerja atau PHK dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. PHK demi hukum, hal tersebut terjadi tanpa perlu adanya suatu tindakan, terjadi dengan sendirinya misalnya karena berakhirnya waktu atau karena meninggalnya pekerja. 2. PHK oleh pihak pekerja, hal tersebut terjadi karena keinginan dari pihak pekerja dengan alasan dan prosedur tertentu. 3. PHK oleh pihak pengusaha, hal tersebut terjadi karena keinginan dari pihak pengusaha dengan alasan, persyaratan dan prosedur tertentu. 4. PHK oleh putusan pengadilan, hal tersebut terjadi karena alasan-alasan tertentu yang mendesak dan penting, misalnya terjadi peralihan kepemilikan, peralihan asset atau pailit. Apabila pada kasus PHK telah dilakukan maka pekerja dan pengusaha dapat melakukan mediasi berupa perundingan. Jika perundingan benar‐benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
13
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
3. PROFIL SINGKAT PERUSAHAAN (PT DIRGANTARA INDONESIA) PT Dirgantara Indonesia (DI) atau sering disebut Indonesian Aerospace Inc. merupakan industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT. DI didirikan pada 26 April1976 dengan nama PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000.
Gambar 1. Sikumbang - Pesawat Era Nurtanio PT. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai pesawat tetapi juga helikopter, senjata, menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. PT. Dirgantara Indonesia juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Boeing, Airbus, General Dynamic, Fokker dan lain sebagainya. PT. Dirgantara Indonesia pernah mempunyai karyawan sampai 16 ribu orang. Karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, PT. Dirgantara Indonesia melakukan rasionalisasi karyawannya hingga menjadi berjumlah sekitar 4.000 orang. Pada awal hingga pertengahan tahun 2000-an PT. Dirgantara Indonesia mulai menunjukkan kebangkitannya kembali, banyak pesanan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Brunei, Korea, Filipina dan lain-lain. Meskipun begitu, karena dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari tua kepada mantan karyawannya, DI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2007. Namun pada tanggal 24 Oktober 2007 keputusan pailit tersebut dibatalkan. Tahun 2012 merupakan momen kebangkitan PT. Dirgantara Indonesia. Pada awal 2012 PT. Dirgantara Indonesia berhasil mengirimkan 4 pesawat CN235 pesanan Korea Selatan. Selain itu juga sedang berusaha menyelesaikan 3 pesawat CN235 pesanan TNI AL, dan 24 Heli Super Puma dari EUROCOPTER. Selain beberapa pesawat tersebut PT. Dirgantara Indonesia juga sedang menjajaki untuk membangun pesawat C295 (CN235 versi jumbo) dan N219, serta kerja sama dengan Korea Selatan dalam membangun pesawat tempur siluman KFX.
14
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
4. STUDY KASUS
4.1. Penyebab Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT Dirgantara Indonesia adalah BUMN yang didirikan berdasarkan cita-cita founding father Republik Indonesia. Dalam pidato pada tahun 1950-an, berjudul "Meng-Garudalah Bangsaku", Soekarno meminta kesungguhan warga negara Indonesia yang cinta dirgantara untuk menguasai dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia. Dengan semangat itu, Wiweko, Nurtanio dll, dengan peralatan seadanya, mendirikan bengkel pesawat terbang dan pesawat terbang kecil. Kemudian Soekarno mendirikan Industri Pesawat Terbang Berdikari pada tahun 1960-an, yang kemudian dikembangkan oleh Soeharto menjadi industri dirgantara dengan nama PT. Nurtanio yang selanjutnya berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Kini cita-cita, hasil jerih payah, keringat, darah dan airmata putra-putra Indonesia yang cinta dirgantara kandas di tengah jalan. Sebanyak 6.600 karyawan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara, para engineer dan teknisi yang mempunyai keahlian dan pengalaman belasan tahun, akan diberhentikan karena lemahnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh sektor industri. Apakah benar PHK merupakan benar solusi satu-satunya?, ataukah mungkin terdapat alternatif lain untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia sehingga bisa menjadi kebanggaan untuk generasi mendatang. Akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998, pemerintah pada saat itu terpaksa menghentikan investasi tambahan yang diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut dari PT. IPTN, terutama dalam kaitannya dengan investasi pengembangan pesawat N250 yang sangat mahal. Harus pula diakui bahwa sebelumnya, biaya pengembangan dan operasi PT. IPTN sangat tidak efisien terutama terlihat dalam bentuk pembelian peralatan yang serba mahal tetapi tidak tepat guna. Selama kepemimpinan Habibie tersebut, banyak inefisiensi terjadi sehingga dapat dikatakan PT. IPTN merupakan suatu industri serba mahal (high-cost aircraft industry), yang tidak sensitif terhadap permintaan pasar. Padahal banyak kasus di negara lain yang juga memiliki industri penerbangan yang bekerja dengan prinsip efisiensi dan struktur biaya yang kompetitif seperti industri pesawat di China, India, Korea Selatan, Brazil, dll. Selama tahun 1998 sampai akhir 1999, PT. IPTN terus mengalami kesulitan likuiditas dan modal kerja yang berdampak pada operasi perusahaan. Menko Perekonomian pada tahun 2000 berupaya keras mencari solusi untuk menyelamatkan PT. IPTN. Salah satu pilihan adalah penutupan perusahan seperti yang dianjurkan oleh IMF. Namun saat itu Indonesia mempunyai keyakinan lain, kerugian finansial bagi negara jika perusahaan ditutup akan sangat mahal dan investasi sumber daya manusia dalam bentuk belasan ribu pegawai yang terdidik dan memiliki keahlian akan hilang sia-sia. Disamping itu, negara kepulauan yang sangat luas seperti Republik Indonesia jelas memerlukan industri penerbangan dan maritim asalkan kompetitif dan sesuai dengan permintaan pasar. 15
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
Dengan pertimbangan seperti itu, akhirnya pemerintah memutuskan untuk tetap mempertahankan PT. IPTN tetapi dengan melakukan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry (industri penerbangan serba-mahal) menjadi competitive-cost aircraft industry (industri penerbangan kompetitif). Pengembangan produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan Negara atau (power approach). Strategi "technology push" diubah menjadi "market pull". Produksi harus ditentukan berdasarkan analisa permintaan pasar serta kemampuan daya saing. Bukan ditentukan oleh selera managemen yang "hobby dengan teknologi". 4.2. Kronologis Kasus/Perkara Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan Serikat Pekerja Karyawan PT Dirgantara pada Hari Rabu Tanggal 18 Februari 2004.3 Dengan gugatan ini, hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang salah satunya adalah memutuskan ada rasionalisasi karyawan, dibatalkan. Inilah kronologi kasus ini: Tahun 2003
11 Juli PT Dirgantara Indonesia ditutup. Keluar SK Dirut Edwin Soedarmo yang merumahkan semua (9.600) karyawan.
14 Juli Menaker Jacob Nuwa Wea menyatakan tindakan merumahkan karyawan ilegal.
19 Agustus RUPSLB Dirgantara mengukuhkan SK Dirut dan menyetujui PHK 6.000 karyawan. BPPN menjadi pemilik 92,7 persen saham Dirgantara.
21 Agustus Menaker minta SK Dirut dicabut.
3 September Ratusan karyawan Dirgantara unjuk rasa di Jakarta.
1 Oktober Karyawan Dirgantara hanya menerima 10-25 persen gaji.
6 Oktober Dirut Dirgantara mencabut SK merumahkan karyawan. Sebagai gantinya, diterbitkan 2 SK baru: permohonan izin PHK 3.900 karyawan yang tidak mengikuti seleksi ulang dan merumahkan sementara 2.600 karyawan yang menunggu hasil seleksi.
7 Oktober PTUN memerintahkan pencabutan SK 11 Juli.
Dikutip dari TEMPO Interaktif, Bandung dengan Headline: Kronologi Kasus PT Dirgantara Indonesia pada tanggal 19 Pebruari 2004 3
16
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
22 Oktober Karyawan Dirgantara mengajukan gugatan perdata hasil RUPS 19 Agustus 2003 tentang restrukturisasi dan rasionalisasi serta RUPSLB 22 Agustus 2003 tentang penggantian komisaris.
4 November Rapat KKSK memutuskan BPPN akan menalangi pesangon karyawan.
13 November Sidang kabinet terbatas menyetujui PHK 6.600 karyawan. Ditargetkan selesai pada 21 November 2003.
1 Desember Perundingan bipartit karyawan dan manajemen Dirgantara buntu. Depnaker mengambil alih persoalan ini
23 Desember Dirgantara tidak mampu lagi membayarkan gaji karyawan yang terkena PHK. Karyawan memblokir perusahaan.
30 Desember Dirut Dirgantara Edwin Soedarmo menolak anjuran Menaker membayar pesangon 2 kali ketentuan UU.
Tahun 2004
13 Januari Sidang pertama perundingan karyawan dan manajemen Dirgantara di Depnaker gagal.
15 Januari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) meminta manajemen dan karyawan Dirgantara melakukan negosiasi ulang, dan 718 karyawan setuju PHK.
29 Januari P4P meluluskan rencana PHK terhadap 6.600 karyawan.
12 Februari Serikat Pekerja Dirgantara mengajukan banding atas putusan P4P ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
18 Februari PTTUN mengabulkan gugatan Serikat Pekerja.
23 Februari Pesangon untuk 6.600 karyawan yang diberhentikan sebesar Rp 440 miliar, akan dibayarkan.
17
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
5. PEMBAHASAN Dalam kasus PT Dirgantara Indonesia, dilihat dari sisi etika bisnis terkait dengan teori egoisme kelompok, melibatkan 3 pihak yang saling berhadapan, yaitu kelompok jajaran direksi dengan dukungan pemerintah yang berkuasa yang ingin menutup dan mem-PHK karyawan, berhadapan dengan karyawan yang terancam di PHK dan memperjuangkan nasibnya agar mendapat pesangon dengan layak, dan pihak ke 3 yang ingin mempertahankan dan melakukan pembaharuan di PT Dirgantara Indonesia. 5.1. Egoisme Kelompok Dewan Direksi dan Pemerintah Selama krisis moneter sejak tahun 1997 kondisi perekonomian nasional mengalami keterpurukan. Kondisi ini sangat berpengaruh besar terhadap iklim usaha di Negara kita. Banyak perusahaan-perusahaan baik kecil, sedang maupun perusahaan besar tidak mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Perusahaanperusahaan banyak melakukan efisiensi usaha untuk tetap dalam kondisi yang survive. Efisiensi tersebut dilakukan untuk mengurangi jumlah biaya produksi, salah satu efisiensi yang dilakukan adalah dengan melakukan Pemutusan Hubungan kerja (PHK) masal. PT Dirgantara Indonesia sebagai suatu Badan Usaha Milik Negara pun juga ikut terimbas permasalahan krisis moneter tersebut. Sesuai anjuran dari IMF, upaya yang dilakukan juga sama, yaitu melakukan PHK masal terhadap jumlah karyawan. Egoisme kelompok yang muncul dari Dewan Direksi dan Pemerintah sebagai alasan utama dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT Dirgantara Indonesia (DI) adalah bahwa Pemerintah sudah tidak sanggup lagi membiayai semua operasional perusahaan misalnya pembelian bahan baku pesawat, dan pembelian barang-barang yang diperlukan perusahaan. Selain itu pemerintah tidak sanggup lagi menanggung beban biaya dan kerugian yang dialami oleh PT Dirgantara Indonesia secara terus menerus. Dengan tidak adanya kemampuan pemerintah ini, maka PT DI tidak sanggup untuk menyelesaikan proyek-proyek yang sudah disepakati dalam pembuatan pesawat yang bernilai besar misalnya pesanan negara Pakistan, Thailand, Malaysia, dan lain-lain. Maka direksi PT DI mengambil keputusan dengan merumahkan semua karyawan sebanyak 9.600 karyawannya. Tanggapan Direksi terhadap PHK PT DI, pihak direksi menganggap bahwa seluruh hak dari karyawan telah dipenuhi PT DI. Dalam hal ini PT DI sudah memenuhi kewajibannya setelah PHK yaitu membayar pesangon, pesangon dibayarkan yaitu dua kali dari ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, kompensasi pensiun, dan jaminan hari tua, berdasarkan rumusan yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Menurut direksi PT DI bila rumusan mengenai pembayaran pesangon tidak tepat, maka MA harus memberikan rumusan baku berapa jumlah jumlah pesangon yang harus dibayarkan ke karyawan, sebab sekarang ini rumusannya memang tidak ada, lagipula perusahaan setelah memPHK-kan karyawannya beberapa waktu kemudian ada seratusan lebih karyawan yang ditarik lagi oleh perusahaan untuk menjadi karyawan kontrak. Karyawan tersebut direkrut sesuai dengan kompetensinya dan kebutuhan proyek serta karyawan inipun bisa 18
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
bertambah sesuai dengan volume bisnis perusahaan. Sehingga dengan pertimbangan-pertimbangan ini direksi PT DI sangat menentang keras pendapat dari mantan karyawan yang menyatakan bahwa dalam proses PHK yang dilakukan tidak sesuai prosedur, sebab dalam beberapa hal direksi telah memenuhi hak-hak karyawan dan bahkan memperkerjakan mantan karyawannya lagi menjadi pekerja kontrakan. Selain itu juga didukung putusan MA yang memenangkan Direksi untuk dalam hal ini berhak dan sah memberhentikan sebagian karyawannya dikarenakan alasan-alasan yang telah diajukan oleh perusahaan. 5.2. Egoisme Kelompok Karyawan yang di PHK Dari kelompok karyawan menyatakan bahwa perumahan karyawan (PHK) ini ilegal, karena menganggap perumahan (PHK) ini tidak sesuai prosedur, sebab belum ada pertemuan bipartit antara serikat pekerja dan direksi. Maka dengan ini bertentangan dengan Pasal 151 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa jika segala upaya telah dilakukan, akan tetapi PHK tidak dapat dielakkan lagi. Maka maksud PHK tersebut harus dirundingkan oleh PT. DI dan serikat pekerja atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja. Bahkan penyebab PHK yang dijadikan alasan oleh direksi PT DI tidak mendasar sesuai dalam ketentuan Pasal 153 UU No.13 Tahun 2003 tidak ada ketentuan yang mengharuskan perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang tidak terdapat dalam Pasal tersebut. Dalam hal inipun tidak ada ketentuan dalam UU ketenagakerjaan tentang istilah perumahan karyawan, maka dengan alasan ini dapat dikatakan bahwa alasan PHK PT.DI tidak sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 9.600 karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang terjadi pada tahun 2003 yang lalu bisa dikatakan pelanggaran HAM, sebab dalam hal ini proses tersebut dimulai dengan perumahan secara mendadak dan tidak disosialisasikan kepada karyawannya, selain itu juga tidak dikonsultasikan dengan komisaris. Seharusnya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh Pemerintah. yaitu masalah hukum berkaitan dengan pemecatan dan masa depan PT DI. Dalam masalah hukum misalnya, direksi melakukan pelanggaran HAM dalam melakukan PHK karyawan sebab dilakukan tanpa dikonsultansikan terlebih dahulu dengan komisaris. PHK massal ini telah mengabaikan hak-hak pekerja yang terdapat dalam UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta telah melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati dahulu antara karyawan dengan direksi PT DI. Selain itu akibat PHK itu juga muncul masalah-masalah kemanusiaan, ekonomi, sosial, keamanan, dan lain-lain yang akan dihadapi pekerja dan keluarganya. Hal ini terlihat dari konflik horizontal yang terjadi antara pekerja dengan jajaran manajemen. Akibat perselisihan itu, terjadi pengahancuran barang-barang milik karyawan yang berbeda pendapat. Sedang mengenai masa depan PT DI sebaiknya Pemerintah mempertahankan perusahan penerbangan tersebut karena ini adalah aset nasional dan proyek yang strategis bagi masa depan bangsa. Tanggapan Karyawan PT DI atas PHK Menanggapi keputusan MA tersebut (tentang sahnya PHK), sebagian besar karyawan PT DI menyatakan bahwa tetap pada pendirian mereka bahwa PHK itu merupakan 19
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
pelanggaran HAM, dan pelanggaran UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Para karyawan bukan hanya mendapatkan prosedur pemutusan hubungan kerja tidak manusiawi, akan tetapi juga kompensasi dana pensiun secara penuh sesuai PP No.8 Tahun 1981 tentang Pengupahan. Menurut karyawan PHK ini tidak memalui pengkajian yang matang, maka mereka menolak prosedur PHK yang dilakukan direksi dan menuntut melalui jalur hukum, meskipun dalam hal ini karyawan kalah dan PHK tetap berjalan. Bahkan setelah putusan PHK ini sah berdasarkan hukum dan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap pun, karyawan tidak mendapatkan pesangonnya secara penuh, terutama kompensasi pensiun, ada yang kurang 75%, ada yang 25% atau 10% akan tetapi rata-rata kekurangannya adalah 50% sehingga karyawan tetap menuntut agar hak-hak mereka dipenuhi oleh perusahanan guna menjamin kehidupan keluarga mereka. Karyawan mengakui memang pada saat ini perusahaan sedang merugi akan tetapi bukan berarti perusahaan mesti melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan tanpa mengorbankan karyawan, seperti meminimalisasi pengeluaran-pengeluaran perusahaan yang tidak perlu, dan yang paling penting adalah promosi yang harus dilakukan pemerintah Indonesia terhadap negara lain agar membeli pesawat terbang hasil buatan PT DI. Lebih lanjut, diperlukan kucuran dana yang besar ke PT. DI agar proyek-proyek yang sudah ada dapat dilaksanakan, dengan asumsi nantinya dana yang diberikan oleh pemerintah akan terganti pada saat perusahaan menjual pesawat-pesawatnya ke negara lain. Dengan skema seperti ini PT.DI akan mendapatkan keuntungan yang signifikan serta dapat menutupi pengeluaran rutin perusahaan, sehingga pada akhirnya PHK tidak perlu dilakukan. 5.3. Egoisme Kelompok yang Ingin Mempertahankan dan Melakukan Pembaharuan di PT DI. Kelompok ini beranggapan kasus PT Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari ketidakmampuan pemerintahan yang berkuasa saat itu dalam menangani berbagai masalah sektor riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, sehingga terjadi peningkatan pengangguran menjadi 40% pada akhir tahun 2003. Peningkatan pengangguran tersebut terjadi karena tidak adanya visi, lemahnya kepemimpinan dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit di sektor riil, salah satunya adalah PT. Dirgantara Indonesia. Kelompok ini juga menganggap kasus PT Di merupakan penghianatan terhadap cita-cita founding father Republik Indonesia (Soekarno) untuk mendirikan industri pesawat terbang mengingat wilayah indonesia yang luas. Idealnya, PT Dirgantara Indonesia sebagai simbol BUMN yang merefleksikan kecintaan warga negara Indonesia terhadap dirgantara. Ironisnya, ada sebanyak 6.600 karyawan PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara, para insinyur dan teknisi yang mempunyai keahlian dan pengalaman belasan tahun, akan diberhentikan karena kepemimpinan yang tidak memiliki visi dan lemahnya kepemimpinan untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit yang dihadapi oleh sektor industri. Menurut kelompok ini, hal ini sangat menyedihkan, mengingat masih ada alternatif lain untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia sehingga bisa kembali menjadi kebanggaan untuk generasi mendatang. Kelompok ini menganggap bahwa PT DI perlu diselamatkan 20
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
dengan melakukan pembaharuan secepatnya. Yaitu dengan melakukan perubahan paradigma dari high-cost aircraft industry (industri penerbangan serba-mahal) menjadi competitive-cost aircraft industry (industri penerbangan kompetitif). Pengembangan produk tidak boleh dilakukan atas dasar pengaruh kekuasaan Negara atau (power approach). Strategi "technology push" diubah menjadi "market pull". Produksi harus ditentukan berdasarkan analisa permintaan pasar serta kemampuan daya saing. Bukan ditentukan oleh selera manajemen yang "hobby dengan teknologi". Perubahan paradigma tersebut diperlukan agar PT. IPTN dapat bertahan dan berkembang dikemudian hari. Dengan persetujuan Presiden pada waktu itu, pihak manajemen mengambil langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mempertahankan visi pendirian industri penerbangan, tetapi mengubah cara kerja dan modus operandi dari industri bersangkutan sesuai dengan paradigma baru yaitu industri penerbangan yang harus kompetitif. Sebagai bagian dari perubahan paradigma tersebut, kami mengubah nama PT. IPTN menjadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). 2. Menetapkan bahwa periode tahun 2000-2003 sebagai periode konsolidasi dan survival bagi PT DI. Jika periode ini dilewati dengan selamat, maka setelah tahun 2004 PT DI baru dapat memasuki periode pengembangan selanjutnya. Selama periode konsolidasi dan survival perlu dilakukan reorientasi bisnis, restrukturisasi SDM, restrukturisasi keuangan dan peningkatan kinerja perusahaan. 3. Dalam rangka re-orientasi bisnis perusahaan selama periode konsolidasi, PT DI diminta untuk lebih memfokuskan diri pada produksi spare parts dan komponen untuk raksasa perusahaan dunia seperti Boeing, Airbus, British Aerospace dll, karena Indonesia kompetitif dalam produksi parts dan komponen. Produksi lainnya hanya dibatasi pada produksi helikopter, pesawat CN-235 dan peralatan pendukung persenjataan. 4. Melakukan perombakan direksi dan komisaris dengan kriteria integritas, kepemimpinan, kemampuan teknis, dan dikenal dikalangan industri penerbangan dunia. Kriteria yang terakhir sangat diperlukan karena dalam periode penyelamatan manajemen harus mampu mendapatkan order pekerjaan dari Boeing, Airbus, British Aerospace. Disamping itu, dilakukan pengurangan jumlah direksi dari 9 menjadi 5 orang, dan menunjuk kepala staf Angkatan Udara sebagai Komisaris Utama (Ex-Officio). 5. Meminta PT DI diaudit dari segi finansial maupun prospek masa depan. Audit finansial dilakukan oleh Ernst & Young, sementara audit prospek masa depan dilakukan oleh Deloitte Touche. Kesimpulan audit Deloitte Touche adalah bahwa PT DI memiliki infrastruktur, permesinan dan produk yang mampu dijadikan modal untuk membangun masa depan PT DI yang lebih baik. 6. Melakukan restrukturisasi hutang dan pengurangan beban finansial. Berdasarkan hasil proses due dilligence Ernst & Young dan Deloitte Touche, dan komitmen jajaran Direksi Baru untuk melakukan restrukturisasi perusahaan, rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang kami pimpin memutuskan program restruturisasi hutang, dengan pola "debt to equity swap", hutang PT Dirgantara Indonesia dijadikan 21
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
Penyertaan Modal Sementara. PT Dirgantara Indonesia berubah status, dari Debitur menjadi "anak perusahaan" BPPN. Untuk meningkatkan efisiensi lalu lintas bahan baku dan komponen, serta untuk mengurangi beban biaya untuk produksi pesawat terbang dan helikopter, Menteri Keuangan memberi status Kawasan Berikat kepada PT Dirgantara. Hasil Program Penyelamatan PT DI Periode 2000-2002 adalah dikeluarkannya laporan audit keuangan PT Dirgantara Indonesia oleh Ernst & Young untuk tahun buku 2001 - 2002, dengan status wajar tanpa pengecualian. Berdasarkan audit Ernst & Young tersebut, terbukti kinerja PT DI menunjukkan hasil yang menggembirakan, antara lain : 1. Penjualan meningkat dari Rp. 508 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 689 milyar tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi Rp. 1,4 triliun tahun pada 2001. 2. Merubah perusahaan dari keadaan rugi menjadi untung. Tahun 1999 perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 75 milyar, sementara pada tahun 2000 kerugian menurun menjadi Rp. 73 milyar dan pada tahun 2001 kerugian berubah menjadi keuntungan sebesar Rp. 11 milyar. 3. Diversifikasi bisnis menghasilkan segmen pasar baru seperti bisnis jasa rekayasa dan rancang bangun pesawat terbang (Engineering & Technology Services) sebesar 3 %, jasa pembuatan perangkat lunak sistim antariksa dan teknologi informasi sebesar 5 % dan bisnis rekayasa interior pesawat terbang 0,5%. 4. Penurunan beban biaya produksi seperti diperlihatkan oleh peningkatan efisiensi tenaga kerja. Rasio penjualan per tenaga kerja meningkat dari 66 juta rupiah pada tahun 2000 menjadi 137 juta rupiah pada 2001. 5. Kepercayaan pelanggan luar negeri mulai kembali meningkat, ditandai dengan keberhasilan memperoleh kontrak penjualan 2 buah pesawat terbang CN 235 versi VVIP untuk digunakan oleh Presiden Korea Selatan, 2 buah pesawat terbang CN 235 versi VIP yang akan digunakan untuk pejabat tinggi Kementerian Pertahanan dan Angkatan Udara Malaysia, serta 2 buah pesawat CN 235 untuk Angkatan Udara Pakistan. Disamping itu, PT DI memperoleh kontrak jangka panjang 10 tahun untuk pembuatan komponen sayap untuk pesawat terbang penumpang terbesar di dunia super jumbo Airbus A380 dari British Aerospace. Selain itu Angkatan Udara Turki juga telah menunjuk konsorsium kerjasama PT DI dan Thales Perancis untuk mengembangkan pesawat CN 235 tipe patroli maritim. Demikian juga Pemerintah Iran memberikan kepercayaan kepada tenaga ahli PT Dirgantara Indonesia untuk mengerjakan proyek konversi pesawat terbang Rusia menjadi pesawat kargo untuk operasi pasukan militer. Tampak jelas bahwa upaya penyelamatan PT DI pada periode 2000-2002 berhasil mencapai target perbaikan kinerja perusahaan seperti terlihat dalam bentuk peningkatan penjualan, kontrak baru, keuntungan operasi dan pengurangan kerugian netto dari Rp. 73 milyar pada tahun 2000 menjadi 22
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
keuntungan sebesar Rp. 11 miliar pada tahun 2001. Ternyata jika ada visi yang jelas, dan kepemimpinan yang memahami aspek teknis, PT DI dapat diselamatkan. Komponen yang paling sulit dalam penyelamatan tersebut adalah perubahan budaya kerja perusahaan. Budaya serba mahal, jor-joran tanpa memperhatikan aspek kompetitif sangat sulit untuk berubah. Upaya manajemen untuk memperbaiki budaya kerja tersebut agar berdasarkan prinsip kompentensi dan beban kerja, bukan senioritas ternyata mendapatkan perlawanan dari sejumlah karyawan senior. Manajemen saat itu tidak melakukan sosialisasi yang memadai untuk mengubah budaya kerja dan efisiensi perusahaan. Sementara itu, sebagian tokoh pekerja, tanpa memahami tujuan konsolidasi dan survival perusahaan, menuntut kenaikan gaji pada saat kondisi perusahaan belum terlalu baik. 5.4. Egoisme Dicerahi Titik temu antara Karyawan dan Direksi PT DI, akhirnya tercapai setelah terjadi banyak perdebatan dalam pertemuan-pertemuan antara direksi mantan-mantan karyawan dengan serikat pekerja karyawan dalam hal ini diwakili oleh SP-FKK. Dalam hal ini sebagian besar karyawan anggota dari SPF-KK PT DI meminta surat pemutusan kerja di kantor PT DI, pasalnya karyawan menyadari akan sangat sulit untuk benar-benar mendapatkan haknya secara utuh yang diberikan oleh perusahaan karena sulitnya menghadapi masalah administrasi yang akan membelit mereka. Oleh karena itu, karyawan pasrah dengan uang pesangon yang sekarang sudah disepakati dalam pertemuan direksi yaitu dua kali gaji ditambah dana pensiun yang akan dibayar perusahaan secara diangsur, walaupun mungkin dalam hati kecil sebagian dari meraka masih merasa keberatan dan menginginkan hak meraka dibayar utuh. Selain itu sebagian karyawan juga mengungkapkan rasa senang dengan adanya penarikan lagi beberapa mantan karyawan PT DI sebagai pekerja kontrak, sebab meskipun hanya berstatus karyawan kontrak namun dapat mengurangi beban meraka dalam menghidupi keluarga. Sedangkan bagi karyawan yang tidak dipekerjakan lagi, mereka akan mendapatkan pesangon 25-100 juta bagi karyawan yang sudah bekerja minimal 10 tahun atau yang sudah mempunyai jabatan struktural. Keputusan ini sebetulnya masih menyisakan rasa ketidakpuasan terutama bagi karyawan yang masa kerjanya belum lama, yang berarti hanya mendapatkan sedikit pesangon. Terlepas dari berbagai argumen dan sikap pro-kontra terhadap kesepakatan akhir dari kedua belah pihak, keputusan bersama ini sudah bisa dikatakan adil baik dari segi karyawan maupun direksi. Sampai sejauh ini perusahaan telah mempersiapkan dana sebesar Rp 440 milyar untuk pesangon karyawan yang akan dibayarkan secara bertahap.
23
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
6. KESIMPULAN
Dari kasus PT. Dirgantara Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1) Egoisme kelompok yang muncul dari Dewan Direksi dan Pemerintah sebagai alasan utama dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah bahwa Pemerintah sudah tidak sanggup lagi membiayai semua operasional perusahaan misalnya pembelian bahan baku pesawat, dan pembelian barangbarang yang diperlukan perusahaan. Selain itu pemerintah tidak sanggup lagi menanggung beban biaya dan kerugian yang dialami oleh PT Dirgantara Indonesia secara terus-menerus, sehingga PHK merupakan pilihan terbaik yang dapat diambil untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Namun, PHK terhadap 9.600 karyawan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) yang terjadi pada tahun 2003 yang lalu bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM, sebab dalam hal ini proses tersebut dimulai dengan perumahan secara mendadak dan tidak disosialisasikan kepada karyawannya, selain itu juga tidak dikonsultasikan dengan komisaris. Dalam hal ini seharusnya ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh pemerintah, yaitu masalah hukum berkaitan dengan pemecatan dan masa depan PT Dirgantara Indonesia itu sendiri. 2) Egoisme kelompok dari para karyawan korban PHK tercermin dari sikap mereka yang menolak prosedur PHK yang dilakukan direksi dan menuntut melalui jalur hukum. Meskipun dalam hal ini karyawan kalah dan PHK telah menjadi ketetapan hukum, mereka tetap melakukan berbagai penolakan dan perlawanan hingga masalah menjadi berlarut-larut. 3) Selain dari pihak direksi dan pemerintah, tampak ada egoisme dari pihak ketiga, yaitu kelompok yang Ingin mempertahankan dan melakukan pembaharuan di PT DI. Mereka beranggapan kasus PT Dirgantara Indonesia (DI) merupakan salah satu contoh dari ketidakmampuan pemerintahan yang berkuasa saat itu dalam menangani berbagai masalah sektor riil (salah satunya PT. Dirgantara Indonesia) yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. 4) Dari sisi hukum, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Berdasarkan hukum yang sudah tertulis di dalam UU No 37 tahun 2004 pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (5) beserta penjelasan dalam pasal 2 ayat (5), seharusnya PT. Dirgantara Indonesia dapat dipailitkan. Tetapi oleh MA dibatalkan karena terjadinya perbedaan persepsi terhadap “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” dengan penjelasan yang tedapat di dalam UU No 37 tahun 2004 pasal 2 ayat 5 yaitu BUMN yang seluruhnya milik negara dan tidak terbagi atas saham.
Terdapat pertimbangan oleh MA terhadap kasus pailit PT. Dirgantara Indonesia: 1. Pertambahan pengangguran jika PT. DI dipailitkan karena diprediksi tidak dapat membayar hutang–hutang yang sudah dimiliki,
24
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
2. Potensi dan asset yang dimiliki oleh PT. Dirgantara Indonesia mampu dioptimalisasi dalam penggunaannya demi perekonomian Indonesia.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) memberikan kesempatan bipartit: serikat karyawan dan direksi PT. Dirgantara Indonesia (PT DI), untuk menyelesaikan masalah di perusahaan itu. Keputusan ini diambil, lantaran tidak tercapai kesepakatan pada sidang terakhir, di kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), antara direksi PT DI yang bersikeras melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 6.600 orang karyawan dan pihak karyawan yang menilai proses PHK tidak dilakukan secara benar.
25
Kelompok 2
Analisa Kasus Pemutusan Hubungan Kerja
HEB
7. DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Ketenagakerjaan Republik Indonesia, UU No. 13, Tahun 2003 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep‐150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusanhubungan kerja dan penetapan uang pesangon, uangpenghargaan masa kerja, dan ganti kerugian diperusahaan menetapkan beberapa prosedur tentangpemutusan hubungan kerja dalam suatu perusahaan. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep78/Men/2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan. TEMPO Interaktif, terbit di Jakarta pada Kamis, 15 Januari 2004 dengan Headline: Kasus Dirgantara Indonesia, P4P Putuskan Bipartit. TEMPO Interaktif, Bandung dengan Headline: Kronologi Kasus PT Dirgantara Indonesia pada tanggal 19 Pebruari 2004.
26
Kelompok 2