JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Analisa Hambatan Kapal dengan Bulbous Bow dan tanpa Bulbous Bow di Perairan Dangkal Cornelius Tony Suteja, Murdijanto, dan Ketut Suastika Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak— Analisa hambatan perlu dilakukan untuk mengetahui performa kapal saat beroperasi terutama untuk perairan dangkal. Hal ini dilakukan karena semakin dangkal suatu perairan, hambatan yang timbul akan semakin besar.Selain itu, besarnya hambatan ini juga dipengaruhi oleh bentuk badan kapal. Dalam mengurangi hambatan tersebut bentuk haluan kapal didesain dengan tambahan berbentuk tonjolan atau sering disebut bulbous bow sebagai pemecah gelombang. Bulbous bow ini umumnya digunakan di perairan dalam yang mana telah terbukti mampu mereduksi hambatan kapal, namun untuk penggunaan di perairan dangkal masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi. Oleh karena itu, dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu mengetahui efektifitas penggunaan bulbous bow serta estimasi besarnya hambatan kapal khususnya pada perairan dangkal. Penelitian dilakukan dengan memodelkan kapal dengan bulbous bow dan tanpa bulbous bow di towing tank untuk kondisi perairan dalam dan perairan dangkal. Pada perairan dalam dilakukan variasi kecepatan (f(FrL)) : 0.21 - 0.31, sedangkan pada perairan dangkal dilakukan variasi terhadap kedalaman (h/T) : 1.82 - 3.03 dan kecepatannya (f(Frh)) : 0.6 – 0.94. Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa penggunaan bulbous bow di perairan yang mendapat pengaruh perairan dangkal terbukti mampu mereduksi hambatan secara signifikan. Namun, pada kondisi perairan yang semakin dangkal penggunaan bulbous bow akan cenderung memperbesar hambatan kapal. Kata Kunci— bulbous bow, hambatan, perairan dangkal.
I. PENDAHULUAN
P
ERANCANGAN kapal merupakan suatu tahapan atau proses yang dilakukan secara berulang-ulang untuk memenuhi syarat dan ketentuan suatu kapal. Dalam merancang suatu kapal salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah rute pelayaran. Rute pelayaran ini merupakan jarak atau arah yang harus ditempuh kapal dan digunakan sebagai acuan dalam mendesain kapal di mana dengan mengetahui rute pelayaran suatu kapal, maka kondisi perairannya akan dapat diketahui juga. Dengan mengetahui kondisi perairan ini, besarnya hambatan yang dialami oleh kapal dapat ditentukan sehingga akan memudahkan proses perancangan kapal. Kapal sebagai alat transportasi laut merupakan benda terapung yang bergerak di media air dan udara. Pada saat kapal tersebut bergerak maka dengan sendirinya akan
mengalami hambatan dari media yang dilaluinya. Hambatan ini sangat bergantung terhadap kedalaman suatu perairan, di mana semakin dangkal suatu perairan maka hambatan yang ditimbulkan akan semakin besar. Agar kapal dapat bergerak dengan suatu kecepatan yang dikehendaki, maka hambatan yang dialami kapal tersebut harus diatasi oleh gaya lain yang mendorong kapal [12]. Gaya dorong ini dihasilkan oleh mesin induk dimana semakin besar hambatan suatu kapal, maka daya mesin induk yang dibutuhkan untuk mendorong kapal akan semakin besar pula. Di sisi lain, bertambah besarnya daya mesin induk yang dipakai akan berimbas pada jumlah konsumsi bahan bakar yang akan bertambah banyak. Besarnya hambatan kapal ini dipengaruhi oleh beberapa aspek di mana selain kedalaman suatu perairan aspek yang paling menentukan adalah bentuk badan kapal. Dalam memperoleh desain yang baik untuk mengurangi hambatan yang timbul saat kapal beroperasi dilakukan suatu penambahan pada bagian haluan berupa suatu tonjolan yang disebut juga dengan bulbous bow. Bulbous bow merupakan struktur di haluan kapal yang membulat dan berada di bawah permukaan air yang berfungsi menghasilkan gelombang sebelum kapal mendorong air. Gelombang yang dihasilkan bulbous bow berlawanan arah dengan gelombang yang dihasilkan oleh badan kapal, sehingga kedua gelombang tersebut akan saling menghilangkan dan membuat gelombang yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Efek dari pemakaian bulbous bow dapat mengurangi tahanan total kapal hingga 30%. Bulbous bow sendiri sudah digunakan sejak awal abad 20, pada waktu itu kapal yang menerapkannya adalah kapal perang. Baru pada tahun 1920 dua kapal penumpang di Jerman yaitu “Bremen” dan “Europa” di desain dengan menggunakan bulbous bow. Hal tersebut dikarenakan kedua kapal tersebut beroperasi di North Atlantic dengan kecepatan 27,9 knots. Selanjutnya di Amerika, pada tahun 1931 mulai melakukan terobosan dengan mendesain bulbous bow pada dua buah kapal penumpangnya yang memiliki ukuran tidak terlalu besar yaitu kapal “President Hoover” dan “President Coolidge”. Namun hal tersebut hanya sebuah ekserimen dari pemilik kapal dan galangan yang tidak disertai dengan analisa yang mendukungnya. Kemudian pada tahun 1935 kapal “Normandie” didesain dengan menggunakan bulbous bow dan kecepatannya mencapai 30 knots. Begitu juga di Asia, pada
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) tahun 1940 kapal angkatan laut Jepang telah menerapkan penggunaan bulbous bow. Baru pada tahun 1950 dilakukan suatu penelitian yang membuktikan bahwa kapal dengan menggunakan bulbous bow dapat menghemat daya mesin induk sebesar 22,86%, yaitu kapal dengan ukuran dan tipe yang sama berlayar dengan kecepatan yang sama 20 knot ternyata digerakkan dengan daya motor yang berbeda. Yang satu digerakkan dengan daya 13500 HP sedangkan yang lain digerakkan dengan daya 17500 HP. Hal tersebut dikarenakan kapal dengan daya 13500 HP didesain dengan menggunakan bulbous bow sedangkan kapal yang digerakkang dengan daya 17500 HP tidak menggunakan bulbous bow. Meskipun penggunaan bulbous bow ini telah terbukti mampu mereduksi hambatan dan menghemat daya mesin, namun untuk pengaplikasian di perairan dangkal perlu ditinjau lebih dalam lagi. Oleh karena itu, dengan melakukan penelitian ini diharapkan mampu menganalisa besarnya hambatan yang dialami oleh suatu kapal dengan bulbous bow dan tanpa bulbous bow di perairan dangkal yang mana nantinya akan dibandingkan dengan metode yang dikembangkan oleh Schlichting (1934) serta hambatan di perairan dalam. Perbandingan ini dilakukan untuk memperoleh suatu estimasi hambatan yang paling mendekati dengan sebenarnya sehingga tingkat keakuratannya semakin tinggi. Hasil dari analisa tersebut nantinya akan dapat digunakan sebagai acuan atau referensi bagi desainer dalam mendesain suatu kapal yang efisien dan optimum. II. TINJAUAN PUSTAKA Istilah “perairan dangkal” yang digunakan dalam penulisan ini adalah untuk menyatakan perairan yang pembatasnya dekat dari kapal tetapi hanya dalam arah vertikal. Suatu perairan yang dangkal akan menimbulkan hambatan kapal yang lebih besar dibandingkan perairan yang dalam. Sifat gerakan air yang semula tiga dimensi akan berubah mendekati sifat dua dimensi. Tekanan yang ditimbulkan oleh gerakan kapal akan menjadi lebih besar dan tekanan ekstra di perairan yang dangkal ini akan menimbulkan gelombang yang lebih besar daripada gelombang yang ditimbulkan di perairan yang dalam. Di perairan dangkal, gelombang yang mengikuti kapal akan mempunyai panjang gelombang yang lebih besar daripada panjang gelombang di perairan yang dalam pada kecepatan kapal yang sama. Selain itu, perubahan kecepatan aliran yang melalui permukaan kapal ketika kapal berada di air dangkal juga akan sedikit memperbesar hambatan. Untuk kapal baru, bertambah besarnya suatu hambatan kapal akibat pengaruh perairan dangkal dapat diperkirakan dengan metode yang dikembangkan oleh Schlichting (1934) [7]. Efek perairan dangkal pada karakteristik hidrodinamika kapal tergantung pada seberapa dekat kecepatan kapal dengan kecepatan kritis. Untuk kapal cepat berukuran kecil, efek perairan dangkal dapat dialami pada kedalaman kurang dari 10 m, sedangkan untuk kapal berkecepatan tinggi dengan ukuran yang besar efeknya akan terlihat pada perairan dengan
2
kedalaman hingga 100 m. Semua kapal dapat dibedakan apakah subkritis ataukah superkritis tergantung dari kecepatan desain kapal tersebut kurang dari atau lebih dari kecepatan kritis di perairan dangkal [8]. Dalam merencanakan kapal, faktor umum yang memegang peranan penting adalah hambatan yang akan dialami oleh kapal pada waktu bergerak. Suatu bentuk kapal dengan hambatan kecil atau sekecil mungkin adalah menjadi tujuan perencana kapal, sebab akan berarti daya yang dibutuhkan akan menjadi semakin kecil dengan begitu akan menghemat penggunaan bahan bakar, berarti mesin penggerak lebih ringan sehingga menambah daya muat kapal tersebut. Pada penelitian ini, hambatan total kapal dihitung berdasarkan pendekatan matematis dari Metode Holtrop pada Principles of Naval Architecture Vol II, Second Revision [7] dengan persamaan sebagai berikut :
R R W 1 ρV 2Stot CF 1 k CA W W 2 W dimana ρ = massa jenis air, V = kecepatan kapal, Stot = total luas permukaan badan kapal yang tercelup di dalam air, CF = koefisien gesek, (1+k) = faktor bentuk, CA = correlation allowance, Rw = hambatan gelombang, W = gaya angkat. III. METODE A. Pengujian Pengujian ini dilakukan di towing tank, model kapal yang digunakan ada dua, yaitu kapal dengan bulbous bow, dan kapal tanpa bulbous bow. Keduanya dilakukan pengujian pada dua kondisi perairan yang berbeda, di mana pada pengujian pertama dilakukan pada kondisi perairan dalam dengan variasi kecepatan [f(FrL)] untuk kapal dengan bulbous bow, antara lain : 0.21, 0.25, 0.30 dan untuk kapal tanpa bulbous bow variasi kecepatannya [f(FrL)], antara lain : 0.22, 0.27, dan 0.31. Untuk pengujian kedua dilakukan pada kondisi perairan dangkal dengan variasi kedalaman (h/T) dan variasi kecepatan [f(Frh)] yang mana variasi kapal tanpa bulbous bow, antara lain : h/T = 1.82 dengan variasi kecepatan 0.74, 0.88, 0.92, pada h/T = 2.27 variasi kecepatannya 0.66, 0.79, 0.92, dan pada h/T = 2.73 variasi kecepatannya adalah 0.60, 0.72, 0.84. Sedangkan untuk kapal dengan bulbous bow variasinya antara lain : pada h/T = 2.02 variasi kecepatan 0.67, 0.80, 0.94, pada h/T = 2.53 variasi kecepatan 0.60, 0.72, 0.84, dan pada h/T = 3.03 variasi kecepatannya 0.55, 0.65, 0.76. Model kapal yang telah siap untuk dilakukan pengujian dimasukkan ke dalam kolam pengujian untuk diuji sesuai dengan prosedur. Pengujian dilakukan pada kedalaman dan kecepatan yang paling tinggi ke terendah, hal ini dilakukan karena pertimbangan lama pengisian air kolam uji di mana membutuhkan waktu yang lama untuk mengisi daripada menguras sehingga hal tersebut dapat mengefisienkan waktu pengujian.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B. Teoritis Analisa mengenai pengaruh perairan dangkal ini mencangkup hal mengenai bertambah besarnya hambatan kapal yang bergerak pada kecepatan subkritis di perairan dangkal yang tidak mempunyai pembatas lateral. Analisa tersebut didasarkan pada pertimbangan teoritis dan percobaan model. Schlichting menganggap bahwa hambatan suatu kapal atau model kapal hanya tergantung pada panjang gelombang dari gelombang melintang dalam sistem gelombang yang ditimbulkan oleh kapal atau model kapal yang bersangkutan. Tetapi besarnya kecepatan yang diperlukan untuk dapat menimbulkan hambatan tertentu tergantung pada kedalaman air. Untuk dapat menimbulkan gelombang melintang yang mempunyai panjang gelombang Lw diperlukan kecepatan kapal sebesar :
V
gL W CW 2π
Untuk perairan yang dalamnya tak terbatas, dan sebesar :
V
gL W 2h C WS tan h 2π Lw
Untuk perairan yang dalamnya terbatas. Penghapusan Lw dari kedua persamaan tersebut menghasilkan hubungan antara kecepatan untuk kedalaman yang terbatas dengan kecepatan untuk kedalaman tak terbatas yang keduanya menghasilkan tahanan gelombang yang sama :
C WS 2ππ 2ππh hg tan tan tan 2 2 CW LW CW 2ππ W V VSS C W C WS Δc atau
VSS V Δc
Kecepatan yang berkurang itu akan menyebabkan berkurangnya tahanan gesek RF. Sebagai pendekatan Schlichting menganggap bahwa tahanan gesek tersebut bervariasi menurut kuadrat kecepatan. Kecepatan kapal juga berkurang karena bertambah besarnya aliran potensial atau aliran displasemen di sekeliling badan kapal sebagai akibat terbatasinya daerah perairan oleh dekatnya dasar air. Aliran potensial mempunyai karakter yang bersifat dua dimensi, akibatnya kecepatan aliran di sepanjang badan kapal menajdi lebih tinggi daripada yang tiga dimensi. Dengan kata lain, tahanan gesek tersebut di atas akan timbul pada kecepatan yang lebih rendah. Sclichting menyelidiki berkurangnya kecepatan demikian itu melalui uji model di air dalam dan di air dangkal dengan menggunakan model yang semuanya mempunyai geometri yang serupa. Ia mendapatkan bahwa faktor utama yang menyebabkan reduksi kecepatan ∆Vp adalah rasio
A X h . Dalam hal ini Ax adalah
penampang melintang terbesar badan kapal. Perlu diperhatikan bahwa metode tersebut hanya dapat dipandang sebagai cara yang baik untuk memecahkan masalah yang rumit dalam lingkup rekayasa saja, bukan sebagai metode teoritis yang benar. Batas pengaruh air dangkal pada tahanan kapal ditentukan oleh jenis, ukuran, dan kecepatan
3
kapal. Untuk melakukan pelayaran percobaan kapal besar berkecepatan sedang atau kapal berkecepatan sangat tinggi umumnya dipilih lokasi yang airnya cukup dalam sehingga dapat dipastikan bahwa pengaruh kedalaman air terhadap tahanan dan kecepatan kapal akan dapat diabaikan atau dalam batas yang dibolehkan. Jika tidak tersedia lokasi yang mempunyai kedalaman demikian itu maka untuk kerja kapal di air yang dalam diperkirakan dengan jalan mengoreksi hasil pelayaran percobaan yang dilakukan di lokasi yang ada. Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan diagram Schlichting [7]. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Eksperimen Setelah melakukan eksperimen, maka diperoleh hasil berupa nilai hambatan model kapal. Besarnya hambatan yang diperoleh dari eksperimen tersebut selanjutnya akan dibandingkan dengan teori yang telah dikembangkan yang mana pada akhirnya nanti akan dilakukan analisa dari segi hambatan untuk mengetahui efektifitas penggunaan bulbous bow khususnya di perairan dangkal. Hasil eksperimen yang akan ditampilkan dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan variasi yang dilakukan. Variasi ini dilakukan dari segi kedalaman perairan serta kecepatan kapal, di mana pada tiap kedalaman dilakukan variasi kecepatan untuk tiap model kapal. Berikut adalah nilai dari hambatan total dari tiap kondisi perairan untuk tiap variasi yang dilakukan. Tabel 1. Nilai hambatan total kapal dengan bulbous bow. V [Knots ]
Perairan Dalam
Perairan Dangkal h/T = 3.03
h/T = 2.53
h/T = 2.02
Rt [kN]
Rt [kN]
Rt [kN]
Rt [kN]
10
51.476
53.546
60.101
92.874
12
87.573
98.096
109.566
347.177
14
108.032
182.636
264.571
813.533
Tabel 2. Nilai hambatan total kapal tanpa bulbous bow V [Knots ]
Perairan Dalam Rt [kN]
Perairan Dangkal h/T = 2.73
h/T = 2.27
h/T = 1.82
Rt [kN]
Rt [kN]
Rt [kN]
10
32.712
56.789
85.554
425.943
12
77.736
137.626
171.186
621.841
14
130.210
519.827
558.181
788.303
Data yang diperoleh tersebut diolah dan disajikan dalam bentuk grafik nondimensional sebagai fungsi antara koefisien hambatan total dengan froude number sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
Gambar 1. Grafik CT kapal tanpa bulbous bow pada kondisi perairan dalam.
Gambar 2. Grafik koefisien CT kapal tanpa bulbous bow pada h/T =1.82 di perairan dangkal.
Gambar 3. Grafik CT kapal tanpa bulbous bow pada h/T =2.27 di perairan dangkal.
4
Gambar 5. Grafik koefisien hambatan total kapal tanpa bulbous bow.
Gambar 6. Grafik CT kapal dengan bulbous bow di perairan dalam.
Gambar 7. Grafik CT kapal dengan bulbous bow pada h/T = 2.02 di perairan dangkal.
Gambar 8. Grafik CT kapal dengan bulbous bow pada h/T = 2.53 di perairan dangkal. Gambar 4. Grafik CT kapal tanpa bulbous bow pada h/T =2.73 di perairan dangkal.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
5
hambatan total yang terus bertambah tinggi di perairan dangkal tersebut terjadi dikarenakan kapal beroperasi pada rentang kecepatan subkritis dimana pada rentang kecepatan subkritis ini hambatan yang dialami oleh kapal akan terus bertambah tinggi. V. KESIMPULAN
Gambar 9. Grafik CT kapal h/T = 3.03 di perairan dangkal.
Kapal dengan bulbous bow di perairan dangkal mengalami peningkatan hambatan total sebesar 1.04 kali hingga 7.53 kali lebih besar dibandingkan dengan total hambatan di perairan dalam dan kapal tanpa bulbous bow di perairan dangkal mengalami peningkatan hambatan total sebesar 1.73 kali hingga 13.02 kali lebih besar dibandingkan dengan total hambatan di perairan dalam. Hambatan di perairan dangkal cenderung lebih besar dibandingkan hambatan yang ditimbulkan di perairan dalam. Selain itu, penggunaan bulbous bow di perairan yang mendapat pengaruh perairan dangkal terbukti mampu mereduksi hambatan secara signifikan. Namun, pada kondisi perairan yang sangat dangkal penggunaan bulbous bow akan cenderung memperbesar hambatan kapal.
Gambar 10. Grafik koefisien hambatan total kapal dengan bulbous bow. B. Pembahasan Dari hasil pengujian yang dilakukan pada kapal dengan bulbous bow dan tanpa bulbous bow di perairan dangkal serta di perairan dalam terlihat bahwa hambatan kapal di perairan dangkal cenderung lebih besar dibandingkan di perairan dalam. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa kedalaman suatu perairan merupakan faktor yang mempengaruhi hambatan kapal, di mana semakin dangkal suatu perairan maka hambatan yang ditimbulkan akan semakin besar. Analisa tersebut didasarkan pada percobaan yang dilakukan oleh seorang peneliti yang mana salah satu peneliti pertama yang melakukannya adalah Kapten A. Rasmussen (1899). Pada kapal tanpa bulbous bow koefisien hambatan total semakin bertambah besar seiring bertambahnya bilangan froude, namun ada grafik yang tidak bertambah tinggi tetapi menurun atau bertambah kecil. Hal tersebut terjadi karena pengaruh dari hambatan gelombang yang timbul saat kapal bergerak baik akibat pola gelombang yang ditimbulkan kapal maupun aliran gelombang atau air di sekitar badan kapal dimana saat kapal bergerak semakin cepat dan mendekati nilai tertentu yang disebut dengan kecepatan kritis maka hambatan akan bertambah dengan cepat dan akan menurun lagi ketika meninggalkan rentang kecepatan kritis tersebut. Pada kapal dengan bulbous bow koefisien hambatan total kapal cenderung terus bertambah tinggi seiring bertambah besarnya bilangan froude akan tetapi di perairan dalam koefisien hambatan total ini cenderung bertambah kecil. Hal tersebut terjadi karena pengaruh dari bentuk bulbous bow pada bagian haluan kapal sehingga hambatan kapal dapat berkurang. Sedangkan kecenderungan grafik koefisien
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis C.T. mengucapkan terima kasih kepada bapak Ir. Murdijanto dan bapak Dr. Ir. I Ketut Suastika, M.Sc. selaku dosen pembimping, kedua orang tua khususnya ibu yang telah memberikan dukungan dan doa tanpa lelah, saudara tercinta Maria Yuliastuti, Stefany Julya, dan Felixia Kartika yang telah memberikan semangat dan motivasi, bapak Condro, bapak Eli, dan mas Rudi yang telah banyak membantu selama berlangsungnya pengujian, semua rekan di Laboratorium hidrodinamika yang telah menjadi keluarga kedua bagi penulis, serta para sahabat yang sangat luar biasa. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3] [4]
[5]
[6]
[7]
[8]
Anggara, Sony. 2013. Thesis. Studi Komparatif Performa Hidrodinamik Kapal Bertipe Shallow Draft Barge pada Kondisi Perairan Dangkal, Sedang, dan Dalam. Surabaya, Indonesia : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Centre for Marine Technology and Engineering. Bulbous Bow Design. Retrieved August 24, 2010, from CENTEC web site : http://www.mar.ist.utl.pt Harvald, Sv. Aa. 1992. Tahanan dan Propulsi Kapal. Surabaya : Airlangga University Press. Jachowski, Jacek. 2008. Assessment of Ship Squat in Shallow Water Using CFD. Archives of Civil and Mechanical Engineering (Vol. VIII, pp. 30). Gdansk University of Technology. Koh, K.K. and Yasukawa, H. 2012. Comparison study of a pusher–barge system in shallow water ,medium shallow water and deep water conditions. Journal of Ocean Engineering, 46 (2012), 9-17. Larsson, Lars and Raven, C. Hoyte. 2010. Ship Resistance and Flow. Jersey City, New Jersey : The Society of Naval Architects and Marine Engineers. Lewis, V. Edward. 1988. Principles of Naval Architecture Second Revision Volume II. USA : The Society of Naval Architects and Marine Engineers. Lyakhovitsky, Anatoly. 2007. Shallow Water and Supercritical Ships. USA : Backbone Publishing Company.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) [9]
[10]
[11] [12] [13] [14]
Nugroho, A. C. Prasetyo Tri. Tugas Akhir. Pengaruh Bentuk Bulbous Bow terhadap Hambatan dan Aliran Fluida pada Kapal Uji LHI-072-1 dengan Menggunakan Simulasi CFD. Surabaya, Indonesia : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Perwira, Bias Ari. 2013. Tugas Akhir. Analisa Perbandingan Hambatan Kapal antara Ulstein X-Bow dan Bulb Konvensional dengan Studi Eksperimen. Surabaya, Indonesia : Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Syaifuddin Saleh. 2010. Tahanan dan Propulsi Kapal. Retrieved February 18, 2014, from web site : http://www.scribd.com W, Mahardjo. 1982. Lecture Handout. Propulsi Kapal. Surabaya : Fakultas Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Watson, David G.M. 1998. Practical Ship Design. Oxford : Elsevier. Wikipedia Enxsiklopedia Bebas. Bulbous Bow. Retrieved February 18, 2014, from Wikipedia web site : http://id.wikipedia.org
6