ANALISA DETERMINAN PILIHAN REZIM NILAI TUKAR : KASUS ANTAR NEGARA Analysis of Exchange Rate Regime Choice Determinant : Cross Countries Study Dessy Minarni Bonita, I Kadek Dian Sutrisna Artha Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Universitas Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menganalisa determinan pilihan rezim nilai tukar menggunakan variabel Optimum Currency Area, Political Economy, dan krisis selama periode 19912008. Dengan menggunakan metode probit cross-countries ditemukan bahwa untuk negara di dunia, tingkat keterbukaan, pembangunan ekonomi, pembangunan sektor keuangan, inflasi, cadangan devisa dan kediktatoran signifikan sementara hasil untuk negara berkembang menunjukkan bahwa variabel tingkat keterbukaan negara, pembangunan sektor keuangan, inflasi, cadangan devisa dan kediktatoran berpengaruh secara signifikan dalam pemilihan rezim nilai tukar negara. Hasil yang jauh berbeda didapat dari hasil regresi negara maju. Pada estimasi ini, hanya pembangunan ekonomi, pembangunan sektor keuangan dan kekuatan kelompok produser sektor tradable yang secara signifikan mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar. Kata Kunci : Rezim Nilai Tukar, Optimum Currency Area, Political Economy, Bipolar View Abstract This study examines the determinant of exchange rate regime choice with Optimum Currency, Political Economy dan crisis approach in a span of year 1991-2008. Using cross-countries probit method, this study find that for world, openness, economic development, financial development, inflation, reserve, dictatorship are the significant determinant and for developing countries, openness, financial development, inflation, reserve and dictatorship are influenced significantly the countries exchange rate regime choice. Meanwhile, for developed countries, only economic development, financial development and power of tradable sector producer are the significant determinan of exchange rate regime choice. Keyword : Exchange Rate Regime, Optimum Currency Area, Political Economy, Bipolar View Klasifikasi JEL : F31, F33
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Pendahuluan Semenjak Perang Dunia II berakhir, kebijakan terkait rezim nilai tukar sebagian besar negara industri diatur oleh sistem Bretton Woods. Sistem ini mewajibkan negaranegara anggota untuk mempertahankan nilai tukarnya terhadap dolar Amerika Serikat. Namun di akhir tahun 1960an, tekanan inflasi dan lemahnya kebijakan moneter Amerika Serikat membuat negara ini memutuskan keterikatan dolar-nya dengan gold standard (Bordo, 1993). Kebijakan ini menyebabkan negara-negara anggota lainnya terpaksa ikut menghentikan kebijakan nilai tukar tetapnya demi menjaga tingkat cadangan devisa negaranya. Levy-Yeyati dan Sturzenegger (2003) menyatakan bahwa dalam laporan International Monetary Fund (IMF) tahun 1997 untuk negara maju, jumlah rezim nilai tukar tetap mengalami penurunan dari 86 di tahun 1976 menjadi 45 di tahun 1996. Perubahan rezim dari nilai tukar tetap ke nilai tukar yang lebih bebas diikuti oleh negara-negara lain, baik negara emerging market maupun negara berkembang. Runtuhnya sistem Bretton Woods ini menciptakan fenomena baru bagi ekonomi internasional. Pilihan sistem nilai tukar bagi dunia menjadi semakin bervariasi. Selain rezim nilai tukar tetap dan mengambang, negara-negara, khususnya negara berkembang juga mengadopsi rezim nilai tukar antara1. Dalam proses pemilihan rezim nilai tukar, pemerintah dihadapkan pada trade-off antara kredibilitas, fleksibilitas dan stabilitas (Frieden, Ghezzi dan Stein, 2000). Penggunaan rezim nilai tukar tetap akan menciptakan kredibilitas kebijakan moneter, melalui inflasi yang stabil, dan stabilitas terhadap nilai tukar nominal dan riil. Di sisi lain, nilai tukar tetap membuat pemerintah kehilangan fleksibilitas dalam menggunakan kebijakan moneter sebagai upaya mengatasi guncangan riil dalam perekonomian dan merugikan sektor tradable melalui apresiasi riil. Literatur-literalur empiris terdahulu (Heller, 1978 dan Dreyer, 1978) menggunakan pendekatan Optimum Currency Area (OCA) sebagai panduan penelitian rezim nilai tukar. Variabel-variabel makroekonomi dijadikan sebagai landasan pembuatan keputusan terkait pemilihan rezim nilai tukar. Penelitian dengan pendekatan variabel OCA disempurnakan menggunakan variabel lain, seperti guncangan pada pasar barang dan uang (Boyer, 1978), cadangan devisa (Holden et al., 1979), money shock dan foreign price shock (Melvin, 1985), mobilitas modal (Savvides, 1990).
1
Rezim antara merupakan istilah untuk rezim nilai tukar selain rezim nilai tukar tetap dan rezim nilai tukar
mengambang bebas, dimana meliputi rezim soft peg sampai rezim tightly managed floating
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Analisa pilihan rezim nilai tukar semakin berkembang dengan digunakannya pendekatan political economy. Beberapa variabel politik terbukti mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar. Di beberapa literatur, kelompok kepentingan domestik, institusi negara, sistem pemilihan pemerintahan menjadi determinan yang penting (seperti Bernhard and Leblang, 1999 ; Eichengreen, 1994 ; Frieden, 1994). Variabel lain yang juga penting adalah kediktatoran (Frieden, Ghezzi, dan Stein, 2000), dan ketidakstabilan politik (Poirson, 2001; Edwards, 1996; Frieden, Ghezzi, dan Stein, 2000). Secara khusus, L.J. Ruland dan J.M. Viaene (dalam Collihan, 2009) menyatakan bahwa ada tiga kelompok agen ekonomi yang terlibat dalam proses penentuan rezim nilai tukar; importir, eksportir dan spekulan. Pada pertengahan 1990an, terkait dengan terjadinya krisis keuangan eksternal oleh negara emerging markets, frekuensi transisi rezim nilai tukar diantara negara-negara ini kembali meningkat. Krisis tersebut diantaranya krisis mata uang Meksiko (1994), Asia (1997), Rusia (1998), dan Argentina dan Turki (2000). Krisis mata uang ini banyak terjadi pada negara dengan rezim nilai tukar antara. Kondisi ini sesuai dengan bipolar view3, dimana corner solution4 untuk rezim nilai tukar menjadi pilihan terbaik bagi negara-negara yang ada. Menurut Stanley Fischer (2001), adanya tren corner solution terjadi karena peningkatan mobilitas modal. Semakin meningkatnya mobilitas modal, rezim nilai tukar antara tidak dapat dipertahankan. Perubahan tren dari rezim nilai tukar antara menuju pada corner solution menunjukkan bahwa krisis mempengaruhi pilihan rezim nilai tukar di suatu negara. Dengan demikian, kompleksitas dalam pilihan rezim nilai tukar menjadi semakin tinggi. Meskipun penelitian terkait rezim nilai tukar semakin berkembang, namun pilihan akan rezim nilai tukar tetap menjadi pertanyaan besar dalam ekonomi makro internasional. Menurut Mundell (1961), tidak ada satupun kebijakan rezim nilai tukar yang memberikan performa terbaik baik seluruh negara. Selama negara-negara memiliki perbedaan karakteristik, maka tidak mungkin ada satu rezim nilai tukar yang tepat untuk seluruhnya (Heller, 1978). Dengan kata lain, teori yang didapat dari hasil penelitian rezim nilai tukar di
3
Teori bipolar view muncul akibat meningkatnya transaksi pada pasar modal internasional. Rezim antara
menjadi pemicu terjadinya krisis sehingga disimpulkan bahwa rezim selain hard pegs dan mengambang bebas tidak akan berkelanjutan. 4
Bipolar view menyebabkan munculnya istilah corner solution, yang pada dasarnya digunakan untuk
menjelaskan bahwa rezim ekstrim, rezim nilai tukar tetap dan rezim nilai tukar mengambang bebas, adalah pilihan terbaik untuk diadopsi suatu negara
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
suatu negara atau kawasan sangat sulit digeneralisir untuk negara atau kawasan lain, bahkan untuk jangka waktu relatif lama dari periode penelitian (Juhn dan Mauro, 2002). Penelitian ini akan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan rezim nilai tukar di dunia secara keseluruhan maupun di negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Dengan menggunakan pendekatan variabel Optimum Currency Area, political economy dan krisis, penelitian ini mampu membandingkan perbedaan driving variable antara ketiga individu ini dikarenakan penggunaan metode dan model yang sama. Selain itu penelitian ini juga akan mengikutsertakan pengaruh terjadinya krisis terhadap pemilihan rezim nilai tukar. Literatur terkait hal ini masih sangat sedikit, jika tidak bisa dikatakan belum ada. Variabel krisis merupakan variabel yang secara analisa tren signifikan mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar, bahkan menciptakan tren baru yaitu bipolar view.
Tinjauan Literatur Semenjak Januari 1999, IMF mulai menggunakan klasifikasi de facto ( didasarkan kepada apa yang sesungguhnya negara praktekan ). IMF mengkombinasikan informasi kerangka nilai tukar, kebijakan moneter, tujuan formal dan informal kebijakan pemerintah dengan data aktual dari pergerakan nilai tukar dan cadangan devisa ( Ghosh et al., 2003). Satu hal yang disayangkan dari klasifikasi IMF adalah tidak adanya data historis secara de facto. Klasifikasi ini hanya tersedia untuk tahun sebelum 1999. Menanggapi hal ini, Bubula dan Robe-Otker (2002) menggunakan data dari IMF untuk membuat data rezim nilai tukar dengan sistem de facto untuk periode tahun 1990- 2001 (Darne dan Ripoll-Bresson, 2004). Dengan adanya literatur Bubula dan Robe-Otker ini, klasifikasi rezim nilai tukar de facto IMF mulai digunakan dalam penelitian terkait rezim nilai tukar. Terkait klasifikasi rezim nilai tukar sendiri, ada 13 kategori rezim nilai tukar, dinyatakan dalam IMF, Annual Report 2000 yaitu : (1) Formal dollarization, (2) Currency union, (3) Currency board arrangement, (4) Fixed pegs – single currency, (5) Fixed pegs – a basket, (6) Horizontal bands, (7) Crawling pegs – forward looking, (8) Crawling pegs – backward looking, (9) Crawling bands – forward looking, (10) Crawling bands – backward looking, (11) Tightly managed floating, (12) Other managed floating, (13) Independently floating. Dalam perkembangannya, bipolar view membuat penelitian-penelitian rezim nilai tukar mengelompokkan ke 13 rezim diatas ke dalam 2 kelompok besar, yaitu rezim nilai tukar tetap dan rezim nilai tukar mengambang.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Bipolar view terjadi dikarenakan rezim nilai tukar antara dirasa tidak mampu bertahan dalam kondisi dunia yang pergerakan modalnya sudah semakin bebas. Rendahnya kredibilitas kebijakan moneter ketika negara menganut kebijakan nilai tukar antara menjadi faktor yang signifikan yang menyebabkan pendeknya usia dari rezim nilai tukar ini (Obstfelt dan Rogoff, 1995). Secara teoritis, pendapat Obstfelt dan Rogoff dapat digambarkan melalui teori imposibble trinity. Teori Impossible trinity (Trilemma) adalah trilema dalam ekonomi internasional yang menyatakan bahwa tidaklah mungkin dalam waktu yang bersamaan untuk mendapatkan ketiga kondisi berikut : (1) Nilai tukar tetap, (2) Mobilisasi modal yang sempurna, (3) Kebijakan moneter yang independen. Dengan kondisi mobilitas modal di pasar internasional semakin tinggi, negara dihadapkan kepada pilihan untuk memilih pelaksanaan kebijakan nilai tukar tetap atau mencapai independensi kebijakan moneter. Tingkat mobilitas modal yang tinggi membuat nilai tukar berubah dengan cepat. Mengusahakan nilai tukar tetap pada tingkat yang ditentukan akan membuat Bank Sentral harus menggunakan cadangan devisa dalam jumlah yang besar. Cadangan devisa akan terus menerus terkuras jika Bank Sentral tidak mengubah kebijakan
moneter.
Untuk
dapat
bertahan,
Bank
Sentral
harus
mengorbankan
independensi dari kebijakan moneternya. Hanya jika Bank Sentral mengadopsi nilai tukar mengambang bebas, negara dapat menghiraukan volatilitas nilai tukar dan menjaga independensi kebijakan moneter. Terkait dengan variabel determinan pilihan rezim nilai tukar, penelitian ini menggunakan
variabel
tingkat
keterbukaan
negara,
pembangunan
ekonomi,
pembangunan sektor keuangan, inflasi, cadangan devisa, kekuatan kelompok produser sektor tradable, ketidakstabilan politik, kediktatoran dan krisis. Variabel ini mewakili tiga pendekatan pilihan rezim nilai tukar yaitu Optimum Currency Area, Political Economy dan krisis. Negara dengan ekonomi terbuka akan menggunakan rezim nilai tukar tetap. Ini karena semakin terbuka suatu negara, respon tingkat upah dan harga domestik terhadap perubahan nilai tukar akan semakin tinggi. Stabilitas rezim nilai tukar dibutuhkan untuk menjaga volatilitas tingkat harga dalam negeri. Frieden, Ghezzi dan Stein (2000) menambahkan semakin terbuka perekonomian suatu negara, guncangan domestik akan semakin mudah disalurkan ke negara lain sehingga tidak diperlukan independensi pada kebijakan moneter, kebijakan rezim nilai tukar tetap dapat dijalankan. Selain itu, kebijakan devaluasi tidak efektif karena tidak serta merta berujung pada devaluasi riil. Bernhard dan Leblang (1999) menyatakan rezim nilai tukar tetap mampu menurunkan resiko volatilitas nilai tukar sehingga proyeksi akan bisnis dapat dilakukan dengan lebih mudah. Investasi akan berkembang dan perdaganganpun meningkat.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Holden et al. (1979) menekankan bahwa semakin berkembangnya perekonomian suatu negara maka kebijakan nilai tukar negara tersebut akan semakin mengarah pada rezim nilai tukar mengambang bebas. Semakin baik perekonomian suatu negara maka pasar barang dan jasa serta faktor produksi akan semakin efisien. Dengan terjadinya hal ini, maka kebijakan rezim nilai tukar tetap akan memberikan kondisi dimana negara tidak membutuhkan biaya yang besar dalam pencapaian stabilitas, dikarenakan volatilitas dari nilai tukarnya sendiri tidak tinggi, dan kalaupun terjadi akan dengan sigap kembali kepada keseimbangannya.
Institusi pemerintah dan ekonomi juga akan semakin sempurma
sehingga “penyerahan diri” terhadap mekanisme pasar tidak akan memberatkan negara tersebut melainkan memberi keuntungan yang lebih besar. Sejalan dengan pembangunan ekonomi, pembangunan pasar keuangan juga diyakini mempengaruhi negara dalam pemilihan rezim nilai tukarnya. Hal ini dijelaskan dengan dasar teori yang juga tidak jauh berbeda dengan pembangunan ekonomi. Negara dengan pasar keuangan yang telah berkembang akan cenderung menggunakan rezim nilai tukar mengambang bebas. Dengan pasar yang telah berkembang maka mekanisme pasar telah mampu dengan baik menjalankan operasai pasar terbuka dan mampu melindungi industri perbankannya dari ketidakstabilan nilai tukar (Hagen and Zhou, 2002). Barro dan Gordon (1983) membuat suatu kesimpulan bahwa rezim nilai tukar tetap dapat dijadikan pilihan kebijakan untuk menciptakan kredibilitas bagi upaya menahan inflasi rendah. Sejalan dengan itu Berhard dan Leblang (1999) juga menyampaikan bahwa dengan adanya mobilitas modal, rezim nilai tukar tetap memaksa pemerintah untuk berkomitmen dengan kebijakan inflasi rendah dari pemerintah negara lain yang disiplin. Sehingga mem-peg mata uang domestik dengan mata uang negara lain yang inflasinya rendah, secara tidak langsung akan menciptakan inflasi yang rendah pula bagi negara tersebut (Ghosh et al., 2003). Namun, negara dengan tingkat inflasi yang tinggi akan sulit untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap (Papaioannou, 2003). Inflasi meningkatkan ketergantungan negara akan kebijakan peg sehingga untuk biaya akibat hilangnya independensi menjadi tinggi. Biaya politik untuk “menyerah” nantinya dari kebijakan peg akan semakin tinggi. Selain itu semakin tinggi inflasi negara membutuhkan intervensi yang semakin besar dalam kebijakan peg-nya. Inilah yang menyebabkan semakin tinggi inflasi, semakin rendah kecenderungan negara menganut rezim nilai tukar tetap (Frieden, Ghezzi, Stein, 2000). Tingkat cadangan devisa yang rendah membuat negara kehilangan kekuatan untuk melakukan kebijakan peg. Negara dengan tingkat cadangan devisa yang rendah akan memiliki probabilitas yang tinggi untuk meninggalkan kebijakan peg (Frieden, Ghezzi dan
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Stein, 2000 ; Markiewicz, 2006). Untuk dapat bertahan dengan komitmen kebijakan peg mata uang domestik, negara diharuskan memiliki cadangan devisa di atas threshold tertentu. Ini agar tidak terjadi serangan spekulasi akibat ekspektasi akan terjadinya devaluasi (Cukierman, Spiegel dan Goldstein, 2004). Semakin besar tingkat cadangan devisa dapat diperkirakan semakin besar kecenderungan negara memakai kebijakan rezim nilai tukar tetap. Frieden,
Leblang
dan
Valev
(2009)
menjadi
salah
satu
literatur
yang
mengikutsertakan kekuatan kelompok kepentingan dari sisi ekonomi sebagai salah satu variabel independennya. Kelompok kepentingan dalam teori Political Economy ini lebih ditujukan kepada kelompok produser sektor tradable. Produser yang outputnya diekspor akan sangat mengandalkan nilai tukar. Produser menjadi kelompok kepentingan yang mempengaruh pemilihan kebijakan nilai tukar dikarenakan kelompok ini memiliki kekuatan untuk mendorong pemerintah memilih kebijakan nilai tukar yang menguntungkan mereka. Produser menghadapi trade-off antara fleksibilitas dan stabilitas. Produser di sektor tradable dapat memiliki preferensi terhadap kebijakan nilai tukar yang memiliki fleksibilitas tinggi. Dengan sifat nilai tukar ini, maka mereka mendapat keuntungan berupa kesempatan meningkatkan daya saing relatif terhadap produksi luar negeri. Namun stabilitas lingkungan ekonomi menciptakan kepercayaan diri bagi pedagang untuk melakukan aktivitas perdagangannya dan mengembangkan skala perdagangan. Pilihan produser sektor tradable untuk memilih stabilitas atau daya saing akan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : elastisitas harga bagi konsumen, kemampuan produser untuk bertahan dari volatilitas/kekuatan bisnis, proporsi input impor terhadap total input dan lainlain. Dari sisi ketidakstabilan politik, Frieden, Ghezzi dan Stein (2000) menjelaskan semakin tidak stabil sistem politik di suatu negara berasosiasi dengan semakin meningkatnya defisit pemerintahan. Dengan menipisnya anggaran pemerintah maka pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kebijakan peg. Di sisi lain, Edwards (1996) berasumsi bahwa pemerintahan yang tidak stabil memiliki discount rate yang tinggi. Implikasinya pemerintahan tidak akan terlalu memikirkan keberlanjutan kebijakan jangka panjang yang mereka lakukan dan meletakkan fokus perhatiannya pada kondisi di masa sekarang. Pemerintahan dengan politik yang tidak stabil akan mendorong negara mengadopsi rezim nilai tukar tetap. Hubungan endogenitas antara ketidakstabilan politik dan kebijakan nilai tukar juga mungkin terjadi. Pilihan rezim nilai tukar mengambang bebas jika disertai dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil akan menyebabkan pemerintah yang memimpin
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
kehilangan
kredibilitasnya.
Dengan
hilangnya
kepercayaan
masyarakat
terhadap
pemerintah akan terjadi kecenderungan pergantian pemerintah atau rezim pemerintahan dalam waktu yang lebih cepat. Ketidakstabilan politik meningkat ketika kondisi ini terjadi. Variabel terakhir yang akan digunakan dalam penelitian adalah kediktatoran pemerintah di suatu negara. Kediktatoran juga memberikan ekspektasi pengaruh yang ambigu. Di satu sisi, pemerintah yang diktator memiliki kekuatan yang tinggi dalam mengatur kondisi politik di suatu negara. Biaya politik dari kebijakan devaluasi dipastikan akan lebih kecil dibandingkan pemerintah yang demokrasi. Pemerintah memiliki kemampuan untuk mengubah kebijakannya guna melakukan penyesuaian untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap. Di sisi lain, kekuatan interest group akan semakin tinggi pada negara dengan pemerintahan diktator. Pemerintah akan lebih memperhatikan kepentingan agen-agen yang berpengaruh dibandingkan dengan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, pilihan kebijakan rezim nilai tukar akan sangat tergantung pada kelompok apa yang berkontribusi besar bagi kemakmuran pemerintah berjalan (Frieden, Ghezzi dan Stein, 2000). Pendekatan lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah krisis. Penelitian ini secara lebih mendalam ingin melihat apakah terjadinya suatu krisis meningkatkan tendensi suatu rezim nilai tukar tertentu menjadi rezim nilai tukar bagi suatu negara, dan jika memang ada pengaruhnya, rezim nilai tukar tetap atau rezim nilai tukar mengambang bebas yang menjadi rezim nilai tukarnya. Penelitian terkait hal ini belum banyak dilakukan. Namun didasarkan pada pandangan bipolar view yang muncul setelah banyak negaranegara mengalami krisis mata uang, maka diekspektasikan terjadinya krisis akan membawa rezim nilai tukar negara ke corner solution. Dengan ini, maka arah pengaruh terjadinya krisis tidak dapat dihipotesiskan secara pasti. Hipotesis bahwa setelah terjadinya krisis negara akan mengadopsi rezim nilai tukar mengambang bebas dapat dibentuk dari fakta yang didapat oleh Fischer (2001) dan Bubula dan Robe-Otker (2004). Fisher membandingkan rezim nilai tukar negara di tahun 1991 dengan 1999 (periode marak terjadinya krisis), rezim nilai tukar mengambang bebas di dunia meningkat sebesar 19% sementara nilai tukar tetap hanya meningkat 8%. Bubula dan Robe-Otker menyatakan bahwa frekuensi krisis terjadi pada rezim nilai tukar tetap lebih besar, yaitu 1.1%, dibandingkan dengan pada rezim nilai tukar mengambang, yaitu 0.8% Namun Ghosh et al. (2003) mendapatkan fakta yang tidak sejalan dengan penelitian Fischer. Rezim nilai tukar tetap memiliki probabilitas paling kecil untuk terjadinya krisis mata uang sehingga rezim ini baik diadopsi negara setelah terjadinya krisis.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Metode Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh melalui perpustakaan data World Bank, International Monetary Fund, Polity IV dan Klasifikasi De Facto Rezim Nilai Tukar Bubula dan Robe-Otker (2002) untuk periode tahun 1991-2008. Periode waktu tersebut dipilih didasarkan kepada ketersediaan data, dimana data untuk klasifikasi rezim nilai tukar de facto sebelum tahun 1991 dan sesudah tahun 2008 tidak tersedia. Lebih lanjut, periode waktu diatas merupakan rentang waktu yang paling sesuai untuk menjelaskan tren bipolar view seiring dengan marak terjadinya krisis sepanjang periode tersebut. Untuk mencapai tujuan penelitian, data yang akan digunakan bersifat pooled cross section. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi rezim nilai tukar negara. Variabel independen adalah rasio ekspor dan impor terhadap GDP (mewakili
variabel
tingkat
keterbukaan),
PDB
perkapita
riil
(mewakili
variabel
pembangunan ekonomi), rasio broad money terhadap total PDB (mewakili variabel pembangunan sektor keuangan), tingkat inflasi, tingkat cadangan devisa, rasio PDB sektor manufaktur terhadap total PDB (mewakili variabel kekuatan kelompok produser sektor tradable), dummy indeks durabilitas negara, dummy indeks tingkat demokrasi negara dan dummy krisis. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari model yang digunakan oleh Hagen dan Zhou (2002) dan Frieden, Ghezzi dan Stein (2000) yang meneliti determinan pemilihan rezim nilai tukar di Amerika Latin dan Karibia. Sementara metode analisanya yaitu metode probit menggunakan analisa data cross-country, dengan 2 rezim nilai tukar. Penulis melakukan beberapa modifikasi terhadap model. Selain itu, penulis juga menambahkan pendekatan lain, yaitu terjadinya krisis. Adapun sesuai dengan pemaparan penulis sebelumnya, model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: Pr[Yit = 1] = f(αZit + βRit + δCit) = f(α1oit + α2dit + α3fit + α4πit + α5rit + β1sit + β2pit + β3kit + δCit
(3.1)
i melambangkan negara atau kawasan negara yang diteliti ; t merujuk kepada tahun analisa Y = rezim nilai tukar negara ; 1 untuk rezim nilai tukar tetap dan 0 untuk nilai tukar mengambang bebas Z = OCA factors dimana o = tingkat keterbukaan negara ; d = pembangunan ekonomi; f = pembangunan sektor keuangan ; π = inflasi ; r = cadangan devisa R = political economy dimana s = produser sektor tradable ; p = ketidakstabilan politik ; k = kediktatoran C = terjadinya krisis mata uang
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Klasifikasi rezim nilai tukar dalam penelitian ini merupakan rezim nilai tukar de facto. Klasifikasi ini digunakan untuk menghindari ketidaksesuaian antara rezim nilai tukar yang dinyatakan oleh negara dengan kebijakan yang sebenarnya dilakukan yang akan menciptakan bias hasil penelitian. Penelitian ini mengikuti bipolar view dimana 13 kategori rezim nilai tukar dikelompokkan menjadi dua rezim nilai tukar ekstrim atau corner solution. Pembagian mengikuti Bubula dan Robe-Otker (2002) dengan mengkategorikan rezim nilai tukar 1-10 ke dalam rezim nilai tukar tetap dan rezim nilai tukar 11-13 ke dalam rezim nilai tukar mengambang bebas. Kelompok rezim nilai tukar tetap secara nyata diakui dan terbukti memiliki tendensi yang besar terhadap kebijakan peg. Menyatukan rezim nilai tukar tightly managed floats, other managed floats, dan nilai tukar mengambang bebas dilakukan karena bahkan di negara maju sekalipun rezim nilai tukar mengambang bebas tidak pernah secara sempurna lepas dari sejumlah intervensi yang substansial (Frieden, Ghezzi, Stein, 2000). Dengan pembagian rezim nilai tukar kedalam 2 kelompok besar, maka variabel dependen dalam model probit ini akan menggunakan variabel dummy dimana 0 = rezim nilai tukar mengambang bebas dan 1 = rezim nilai tukar tetap. Tingkat keterbukaan negara diestimasi akan memiliki hubungan positif dengan pemilihan rezim nilai tukar tetap. Tingkat keterbukaan negara digambarkan paling tepat dengan variabel aktivitas perdagangan internasional suatu negara. Oleh karena itu, kontribusi negara di pasar dunia diukur dengan rasio import ditambah ekspor terhadap PDB (Juhn dan Mauro, 2002). Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, pembangunan ekonomi dihipotesiskan negatif. PDB perkapita akan digunakan sebagai pengukuran untuk variabel pembangunan ekonomi (Hagen dan Zhou, 2002). PDB perkapita riil digunakan untuk mengeliminasi pengaruh harga yang dapat menyebabkan bias pada tingkat pembangunan ekonomi. Sejalan dengan pembangunan ekonomi, pembangunan sektor keuangan juga diyakini berhubungan negatif dengan pemilihan rezim nilai tukar tetap.
Kondisi pasar
keuangan di suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar transaksi keuangan yang terjadi di negara tersebut. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan rasio broad money terhadap PDB untuk menghitung variabel pembangunan sektor keuangan. Dapat disimpulkan dari teori yang ada bahwa variabel inflasi merupakan variabel yang dihipotesiskan ambigu pengaruhnya terhadap pemilihan rezim nilai tukar. Mengikuti Juhn dan Mauro (2002), variabel inflasi yang akan digunakan adalah log (1 + inflasi/100). Semakin besar tingkat cadangan devisa dapat diperkirakan semakin besar kecenderungan negara memakai kebijakan rezim nilai tukar tetap, hipotesis hubungannya Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
positif. Data untuk cadangan devisa menggunakan data rasio dari cadangan devisa internasional dikurangi proporsi emas terhadap uang kuasi (M2). Kekuatan kelompok produser tradable memiliki hubungan yang ambigu. Persentase share dari sektor manufaktur terhadap total GDP digunakan untuk melihat kekuatan kelompok produser sektor tradable (Frieden, Ghezzi dan Stein, 2000). Semakin besar nilai tambah sektor manufaktur bagi suatu negara, semakin penting sektor tersebut, semakin besar kekuatan produser untuk memaksa pemerintah dalam kebijakan nilai tukarnya. Pada dasarnya kelompok kepentingan dalam political economy juga terdiri dari sektor pertanian dan sektor mining. Namun, mengagregasikan ketiga sektor ini akan memberikan hasil estimasi yang tidak akurat. Ketiga sektor ini memiliki sifat yang berbeda dalam hubungannya dengan pemilihan rezim nilai tukar. Sektor manufaktur merupakan sektor yang mayoritas dimiliki oleh seluruh negara di dunia, sehingga sektor ini yang dipilih dalam penelitian ini. Hubungan yang ambigu menjadi hipotesis untuk hubungan variabel ini dengan pemilihan rezim nilai tukar tetap. Variabel ini dihitung berdasarkan dummy indeks durabilitas. Indeks ini menunjukkan seberapa lama rezim pemerintahan dapat bertahan disuatu negara. Dummy variabel digunakan untuk variabel ini dimana 1 ketika rezim berganti kurang dari atau sama dengan 5 tahun dan 0 ketika rezim berganti diatas 5 tahun. Kediktatoran negara dihipotesiskan dengan hubungan yang ambigu dan diukur dengan dummy indeks demokrasi. Hipotesis untuk variabel ini juga tidak dapat dipastikan. Dummy kembali dipakai dalam variabel ini, dimana 1 ketika indeks demokrasi di bawah 4 (yaitu ketika negara sangat diktator) dan 0 ketika indeks demokrasi berada di atas 4. Mengacu pada teori yang ada, arah pengaruh terjadinya krisis tidak dapat dihipotesiskan secara pasti hanya saja diekspektasikan terjadinya krisis signifikan mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar. Variabel krisis meliputi variabel dummy dimana 0 ketika negara tidak mengalami krisis dan 1 ketika negara mengalami krisis.
Hasil dan Analisa Dalam rangka menghilangkan bias dari endogenitas maka seluruh variable independen yang digunakan di-lag satu tahun. Tabel 4.1 merangkum hasil regresi pada periode 1991-2008 dengan tiga level kepercayaan (90%, 95% dan 99%).
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Tabel 4.1 Hasil Regresi Penelitian
VARIABEL Tingkat Keterbukaan
HIPOTESIS +
Pembangunan ekonomi
-
Pembangunan sektor keuangan
-
Inflasi
+/-
Cadangan devisa
+
Kelompok Produser
+/-
Ketidakstabilan Politik
+/-
Kediktatoran
+/-
Krisis
+/-
DUNIA 0.1547505** [0.0617026] (.025417) -0.000358*** [- 0.0000143] (1.91e-06) 0.2325907** [0.0927392] (.0415337) -0.6387421*** [-0.2546811] (.089422) 0.489071** [0.0195004] (.0076236) -0.0031243 [-0.0012457] (.0016434) -0.1988466 [-0.0790305] (.1501017) 0.1233911** [0.0491427] (.0244431) -0.0424587 [-0.0169357] (0.0604346)
MAJU 0.2281996 [0.0785074] (.0752595) -0.0000239** [-8.22e-06] (4.05e-06) -2.71062*** [-0.9325334] (.1759273) -3.367995 [-1.15869] (2.312724) -0.0650991 [-0.022396] (.0149122) -0.0381121* [-0.0131117] (0.0078)
0.2601774 [0.0936396] (.1842855)
Observasi 1974 Pseudo R2 0.0357 Prob > chi2 0.0000 Sensitivity 80.51% Specificity 35.28% Correctly 58.56% Classified Keterangan : Level Signifikansi : ***) 1% , **) 5%, *) 10%
285 0.2281 0.0000 52.73% 84.57% 72.28%
BERKEMBANG 0.1669703* [0.0662169] (.0342474) -8.12e-06 [-3.22e-06] (7.41e-06) 0.498833*** [0.1980136] (.0484361) -0.5969615*** [-0.2367425] (.0902146) 0.0670589** [0.0265942] (.0116439) -0.0047199 [-0.0018718] (.0017822) -0.1468385 [-0.0584885] (.1523126) 0.1681703** [0.0665433] (.0264837) -0.0107541 [-0.0042671] (.061037) 1676 0.0214 0.0000 73.29% 34.68% 55.55%
Tingkat keterbukaan negara menggambarkan seberapa besar interaksi negara dengan dunia internasional, dalam penelitian ini dispesifikan kepada pasar barang dan jasa internasional. Dari hasil regresi, didapatkan hasil bahwa tingkat keterbukaan secara signifikan berpengaruh positif. Kenaikan tingkat keterbukaan (rasio ekspor dan impor terhadap GDP) sebesar 1 satuan akan meningkatkan probabilitas negara memakai rezim nilai tukar tetap sebanyak 6,17% di lingkup dunia dan 6,62% di lingkup negara berkembang. Sementara hasil akan tingkat keterbukaan yang berbeda didapat pada regresi untuk negara maju. Variabel ini menjadi tidak signifikan baik pada level 1%, 5% maupun 10%. Hal ini mungkin disebabkan adanya kompleksitas pengaruh tingkat keterbukaan negara dengan pemilihan rezim nilai tukar di negara maju. Secara rata-rata, Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
negara maju termasuk dalam kategori negara dengan tingkat keterbukaan yang tinggi. Dalam kondisi ini pemerintah di negara maju akan berupaya untuk meningkatkan investasi asing dan perdagangan salah satunya dengan menggunakan kebijakan mata uang yang stabil. Volatilitas pada ekspor maupun impor dijaga agar tetap rendah. Namun di sisi lain, negara maju sebagai negara yang sudah “mapan” dalam perekonomian memiliki keunggulan kesempatan yang lebih besar dalam hal meningkatkan daya saing. Pemerintah negara maju berupaya menjaga daya saing dari output domestik yang diekspor menggunakan nilai tukar mengambang bebas (Blomberg, Frieden, Stein, 2005). Variabel pembangunan ekonomi, sebaliknya, signifikan di negara-negara dunia dan negara maju, namun tidak signifikan di negara berkembang. Hubungan antara pembangunan ekonomi di dunia dan negara maju adalah negatif, dimana semakin berkembangnya perekonomian yang ditandai dengan peningkatan GDP per kapita rill sebanyak 1 dolar akan menyebabkan probabilitas negara memakai rezim nilai tukar tetap menurun sebesar 0,00143% bagi negara di dunia dan 0,000822% di negara maju. Kembali lagi, hubungan ini sesuai dengan hipotesis.
Bagi negara berkembang,
ketidaksignifikansian pembangunan ekonomi mungkin disebabkan pula oleh unsur ambiguitas hubungannya dengan pemilihan rezim nilai tukar. Di satu sisi ada hubungan negatif antara pembangunan ekonomi dengan penggunaan rezim nilai tukar tetap (seperti yang dijelaskan dalam hipotesis). Namun negara berkembang masih membutuhkan kestabilan relatif terhadap negara maju. Sehingga negara berkembang masih tetap konsisten pada penggunaan rezim nilai tukar tetap. Selain itu, sebagai negara yang sedang berkembang, negara yang berupaya “catch up” dengan negara maju, negara berkembang cenderung meningkatkan trade link dengan negara lain. Konsekuensinya, negara berkembang akan menjadi semakin exchange rate risk averse. Pembangunan pasar keuangan domestik signifikan mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar negara di dunia, negara maju dan negara berkembang. Pengaruh variabel ini cukup kuat bagi pemilihan rezim nilai tukar, dimana bagi negara maju dan berkembang signifikan di level kepercayaan 1%. Hal ini terkait dengan pasar keuangan sebagai pasar yang memiliki hubungan langsung dan erat dengan pasar uang internasional. Dalam lingkup negara di dunia ditemukan hubungan positif antara pembangunan sektor keuangan dan pemilihan rezim nilai tukar tetap. Kenaikan pembangunan keuangan, melalui peningkatan rasio broad money terhadap GDP, sebesar 1 satuan akan menyebabkan probabilitas negara memakai rezim nilai tukar tetap meningkat sebanyak 9,27%. Hubungan ini dapat dijelaskan karena hubungan kedua variabel ini di negara berkembang bersifat positif, kenaikan pembangunan sektor keuangan sebesar 1 satuan
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
akan meningkatkan probabilitas penggunaan rezim nilai tukar tetap sebesar 19,80%. Dengan proporsi negara berkembang lebih dari setengah anggota negara di dunia, masuk akal jika kondisi di dunia mengikuti karakteristik di negara berkembang. Hal yang perlu diperhatikan lebih dalam adalah hubungan yang didapat dari hasil regresi ini bertentangan dengan teori yang ada. Pada negara berkembang, pembangunan pasar keuangan yang semakin tinggi, pasar keuangan yang semakin kokok dan luas, membuat negara lebih mudah mengupayakan stabilitas ekonomi makronya tanpa mengorbankan banyak biaya stabilisasi. Stabilisasi sebagai tujuan mayoritas negara berkembang membuat negara ini meningkatkan probabilitas pemakaian rezim nilai tukar seiring dengan meningkatnya pembangunan kondisi keuangan domestik. Sementara di negara maju, arah hubungan pembangunan sektor keuangan dengan pemilihan rezim nilai tukar negatif, mengikuti hipotesis yang ada. Kenaikan pembangunan keuangan domestik sebanyak 1 satuan akan menurunkan probabilitas penggunaan rezim nilai tukar tetap sebagai kebijakan di negara maju sebesar 93,25%. Koefisien hubungan inflasi dengan pemilihan rezim nilai tukar di negara maju menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Relatif terhadap negara-negara di dunia, kelompok negara maju memiliki tingkat inflasi yang sangat rendah. Rata-rata inflasi di seluruh negara maju, 1,9%, tidak mencapai setengah dari rata-rata inflasi di seluruh dunia, 6.4% . Dengan melihat kondisi ini, maka meskipun inflasi di satu negara maju meningkat, namun tingkat tersebut masih cukup rendah untuk dapat membuat pemerintah memikirkan pengaruh kenaikan ini kepada kebijakan nilai tukarnya. Sementara untuk negara di dunia, hubungan antara inflasi dan pemilihan rezim nilai tukar adalah negatif. Kenaikan inflasi sebanyak 1% akan menurunkan probabilitas rezim nilai tukar tetap digunakan sebagai kebijakan nilai tukar negara sebanyak 25,46%. Kembali lagi, kondisi ini terkait dengan terjadinya hal yang sama bagi negara berkembang. Dengan arah hubungan yang negatif maka kenaikan 1% inflasi di negara berkembang akan menurunkan probabilitas penggunakan rezim nilai tukar tetap sebesar 23,67%. Negara berkembang relatif memiliki cadangan devisa yang rendah. Tanpa inflasi tinggi, cadangan devisa sudah dimanfaatkan guna melindungi kondisi perekonomian negara dari volatilitas ekspor dan impor yang tinggi, defisit perdagangan dan transaksi keuangan dan modal yang tinggi. Penambahan beban negara untuk melakukan kebijakan peg tidak mampu ditanggung dengan baik. Sehingga sangat memungkinkan negara berkembang dengan inflasi tinggi cenderung menggunakan rezim nilai tukar mengambang bebas. Kenaikan cadangan devisa sebanyak 1 satuan menyebabkan probabilitas nilai tukar tetap digunakan di dunia meningkat sebesar 1,95 persen. Demikian pula yang terjadi di
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
negara berkembang, dimana peningkatan 1 satuan pada cadangan devisa akan membuat probabilitas negara di dunia menggunakan rezim nilai tukar tetap meningkat sebesar 2,65%. Tingkat cadangan devisa yang tinggi membuat negara percayaan diri mengusahakan stabilitas perekonomian. Kecenderungan negara mengalami krisis speculative effect juga tidak ada dikarenakan cadangan devisa dapat menjaga nilai tukar di tingkat yang ditentukan. Di negara maju, cadangan devisa menjadi variabel yang tidak mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar. Negara maju memiliki pendapatan yang cukup besar. Dengan ini, terdapat kemampuan bagi negara maju mengalokasikan income untuk cadangan devisa-nya. Terlepas dari apakah negara ini menggunakan rezim nilai tukar tetap atau mengambang bebas, negara akan menetapkan tingkat cadangan devisa tinggi. Dengan melihat hasil regresi, variabel kekuatan kelompok kepentingan di dunia dan negara berkembang ternyata bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar. Alasan yang mungkin menjelaskan hal ini adalah bahwa karakteristik dari usaha-usaha manufaktur bagi negara-negara di dunia sangat beragam. Manufaktur sendiri terdiri dari banyak jenis barang. Jenis usaha manufaktur dapat berupa capital intensive atau labor intensive. Untuk usaha manufaktur dengan capital intensive, input yang digunakan dapat berasal dari produksi dalam negara ataupun impor. Dari sisi interaksi antar produser, suatu negara dapat memiliki nilai tambah sektor manufaktur yang besar namun produser tidak memiliki suatu perserikatan namun ada negara yang nilai tambah sektor manufakturnya relatif tidak signifikan terhadap perekonomian negara namun perserikatan di antara produsernya cukup kuat. Tingginya keberagaman karakteristik dalam sektor manufaktur negara-negara di dunia ini yang memungkinkan sektor manufaktur tidak signifikan mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar negara. Terkait hal ini, penggunaan variabel relevan lain untuk mengukur kekuatan kelompok kepentingan di masing-masing negara perlu dilakukan. Sektor pertanian dan sektor ekstraktif, meskipun nilai tambahnya relatif sangat kecil bagi suatu negara bahkan meskipun negara tersebut tidak memiliki sektor ini, perlu diperhitungkan sebagai pengukuran bagi variabel kelompok kepentingan. Hal ini yang dijadikan salah satu kelemahan bagi penelitian ini. Dengan menggunakan asumsi bahwa sektor yang digunakan adalah sektor yang berkontribusi bagi seluruh negara-negara di dunia secara umum, penelitian ini tidak mengikutsertakan sektor-sektor lain diluar sektor manufaktur. Sementara di negara maju, variabel ini mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar, meskipun dengan pengaruh lemah. Kenaikan kekuatan kelompok produser sektor tradable sebanyak 1 satuan membuat probabilitas negara menggunakan rezim nilai tukar tetap
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
turun sebesar 1,31%. Negara maju dengan industri manufaktur yang mapan akan berupaya mencapai keuntungan daya saing melalui nilai tukar mengambang bebas. Ketidakstabilan politik ternyata tidak signifikan pengaruhnya. Semakin tidak stabil suatu negara, biaya yang diperlukan untuk mempertahankan rezim nilai tukar tetap akan semakin besar. Pemerintah di negara dengan ketidakstabilan politik tidak cukup ignorance terhadap sustainability dari negara untuk dapat memaksakan penggunaan rezim nilai tukar tetap. Sementara negara dengan pemerintah yang kuat mampu menanggung biaya politik dari adanya (kemungkinan) krisis mata uang sehingga lebih bersedia menggunakan nilai tukar tetap. Namun disisi lain, penggunaan rezim nilai tukar mengambang bebas memiliki kecenderungan untuk semakin meningkatkan ketidakstabilan politik. Tidak ada senjata yang dapat digunakan pemerintah untuk mencapai kestabilitan di ekonomi, yang bisa membantu pencapaian kestabilan politik. Di negara maju, seluruh negara berada dalam kategori stabil secara politik meskipun pilihan rezim nilai tukarnya bervariasi. Oleh karena itu, variabel ketidakstabilan politik ini tidak signifikan mempengaruhi pilihan rezim nilai tukar. Bertentangan
dengan
hipotesis
variabel
dengan
nilai
tukar,
kediktatoran
berhubungan positif dengan pemilihan rezim nilai tukar tetap. Negara dengan pemerintah yang diktator akan meningkatkan probabilitas kebijakan rezim nilai tukar digunakan sebesar 4,91 persen. Demikian pula yang terjadi di negara berkembang, pemerintah diktator akan membuat probabilitas negara menggunakan rezim nilai tukar tetap meningkat sebesar 6,65%. Pemerintah yang diktator memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk mengatur politik negara dan kekuatan masyarakat. Biaya politik dari mem-peg mata uang kecil sehingga pemerintah cenderung menggunakan nilai tukar tetap. Kediktatoran menjadi tidak signifikan di negara maju. Adanya kelompok kepentingan yang memiliki preferensi terhadap nilai tukar mengambang bebas (seperti kekuatan kelompok produser sektor tradable) dapat disertai dengan adanya biaya politik rendah dari peg pada negara diktator menjadi alasan yang mendasari pengaruh yang ambigu. Seperti yang telah dihipotesiskan, krisis menjadi variabel yang tidak signifikan pengaruhnya terhadap pemilihan rezim nilai tukar negara. Baik di lingkup dunia, negara maju dan negara berkembang, rezim nilai tukar yang dianut negara tidak dipilih dengan memperhitungkan terjadinya krisis. Pandangan bipolar view, yang sangat didukung oleh bukti-bukti empiris menjelaskan kondisi ini. Krisis tidak memberikan kesimpulan mengenai satu rezim nilai tukar yang pada akhirnya dituju oleh suatu negara. Negara yang telah melewati krisis akan meninggalkan rezim nilai tukar antara menuju baik rezim nilai tukar yang lebih ketat ataupun rezim nilai tukar yang lebih fleksibel.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Simpulan Penelitian ini bermaksud untuk melihat determinan dari pemilihan rezim nilai tukar negara bagi negara-negara di dunia, negara maju dan negara berkembang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Optimum Currency Area, Political Economy dan terjadinya krisis. Variabel-variabel dalam teori OCA dan Political Economy telah digunakan oleh banyak penelitian dan mampu mengikutsertakan variabel-variabel makroekonomi dan politik yang krusial bagi nilai tukar. Sementara krisis sendiri dipercaya memiliki pengaruh terhadap pemilihan rezim nilai tukar, bahkan mampu menciptakan tren baru dalam pemakaian rezim nilai tukar di dunia, bipolar view. Menurunnya proporsi rezim antara menuju rezim nilai tukar tetap atau rezim nilai tukar mengambang bebas membuat penelitian ini mengelompokkan rezim nilai tukar antara kedalam kedua nilai tukar ekstrim. Dengan menggunakan data penelitian selama periode 1991-2008, penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan antara faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar di dunia, negara maju dan negara berkembang. Kemudian penelitian ini menganalisa seluruh variabel baik di dunia, negara maju dan negara berkembang. Tingkat keterbukaan secara signifikan berpengaruh positif di dunia dan negara berkembang. Namun di negara maju variabel ini tidak signifikan. Adanya keinginan pemerintah terhadap peningkatan daya saing menjadikan variabel ini ambigu sifatnya di negara maju. Variabel pembangunan ekonomi signifikan di negara-negara dunia dan negara maju. Hasil ini mendukung hipotesis yang ada dimana semakin berkembang ekonomi, semakin baik tools yang tersedia untuk mekanisme pasar, semakin kecil biaya penggunaan nilai tukar mengambang bebas. Lain halnya di negara berkembang. Variabel ini tidak signifikan. Negara berkembang masih membutuhkan kestabilan dalam perkembangan ekonominya sehingga variabel ini tidak dapat dipakai untuk menentukan rezim nilai tukar yang akan dipakai. Pembangunan sektor keuangan menjadi variabel yang signifikan di seluruh sampel penelitian. Namun, arah dari pengaruh variabel ini di dunia dan negara berkembang berbeda dengan hipotesis yang ada. Peningkatan pembangunan keuangan domestic menyebabkan negara lebih memakai rezim nilai tukar tetap. Kembali lagi, pencapaian stabilitas membuat pemerintah ambigu mempertimbangkan variabel ini dalam pemilihan rezim nilai tukar. Jika di negara maju hasil regresi inflasi mengikuti hipotesis yang ada, di dunia dan negara
berkembang
variabel
ini
signifikan
dengan
hubungan
yang
negatif.
Ketidakmampuan negara untuk menanggung besarnya biaya dari kebijakan menjaga nilai tukar tetap membuat negara berkembang menganut rezim nilai tukar tetap semakin tinggi
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
inflasinya. Variabel lain, cadangan devisa, siginifikan di dunia dan negara berkembang dengan hubungan positif. Sementara ketidaksignifikanan cadangan devisa di negara maju. Cadangan devisa yang sangat besar di negara maju membuat negara ini indiferen baik menggunakan rezim nilai tukar tetap atau rezim nilai tukar mengambang bebas. Kekuatan kelompok produser sektor tradable tidak berpengaruh dalam pemilihan rezim nilai tukar, baik di dunia dan negara berkembang namun berpengaruh di negara maju. Sektor tradable yang dalam hal ini diwakili oleh sektor manufaktur masih terlalu luas untuk diagregrasikan. Negara berkembang tidak memiliki kesamaan sektor manufaktur yang mampu memberikan pengaruh yang sama dalam pemilihan rezim nilai tukar. Sementara ketidakstabilan politik tidak signifikan. Kediktatoran berpengaruh positif terhadap pemilihan rezim nilai tukar tetap di dunia dan negara berkembang namun tidak signifikan di negara maju. Semakin diktator negara, pemerintah menggunakan rezim nilai tukar tetap. Biaya politik dari kebijakan ini semakin kecil ketika negara semakin diktator. Hasil regresi untuk krisis menunjukkan bahwa variabel ini tidak mempengaruhi pemilihan rezim nilai tukar di dunia, negara maju dan negara berkembang. Hipotesis bahwa krisis membuat negara meninggalkan rezim antara menuju rezim nilai tukar tetap dan mengambang bebas semakin diperkuat dengan hasil ini. Tren yang terjadi tidak memberikan kesimpulan yang jelas rezim nilai tukar ekstrim mana yang menjadi preferensi negara ketika terjadi krisis.
Daftar Pustaka Barro, Robert J., David B. Gordon. (1983). Rules, Discretion and Reputation in a Model of Monetary Policy. Journal of Monetary Economics, 12, 108-121. Bernhard, William., David Leblang. (1999). Democratic Institutions and Exchange-rate Commitments. International Organization 53, 1, 71-97. Blomberg, S. Brock., Jeffry Frieden & Ernesto Stein. (2005). Sustaining Fixed Rates: The Political Economy of Currency Pegs in Latin America. Journal of Applied Economics, VIII (2), 203-225. Bordo, Michael D. (1993). The Bretton Woods International Monetary System : A Historical Overview. National Bureau of Economic Research, 0-226-06587-1, 7379. Boyer, R.S., (1978). Optimal Foreign Exchange Market Intervention. Journal of Political Economy, 86 (6), 1045-1055. Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Bubula, A., Otker Robe. (2002). The Evolution of Exchange Rate Regimes : Evidemce From De Facto Policies. Columbia University, 1-52. Bubula, A., Otker Robe. (2004). Are Pegged and Intermediate Regimes More Crisis Prone?. Essaye in Open-Economy Macroeconomics, 53-93. Collihan, Kathleen M. (2009). The Politic of Exchange Rate Regime Choices : The Role of Polical Entrepreneur. ProQuest Dissertations and Theses, n/a. Cukierman, Alex., Itay Goldstein & Yossi Spiegel. (2004). The Choice of Exchange-Rate Regime and Speculative Attacks. Journal of the European Economic Associations, 2 (6), 1206-1241. Darne, Olivier., Ripoll-Bresson. (2004). Exchange Rate Regime Classification and Real Performances : New Empirical Evidence. France : Lameta Unviversity. Dreyer, J.S., (1978). Determinants of exchange-rate regimes for currencies of developing countries: some preliminary results. World Development, 6, 437e445. Edwards, Sebastian. (1996). The Determinants of the Choice Between Fixed and Flexible Exchange-Rate Regimes. NBER Working Paper Series, 5756. Eichengreen, B. (1994). International Monetary Arrangement for the 21st Century. Washington DC: Brookings Institution. Fischer, Stanley. (2001). Exchange Rate Regimes: Is the Bipolar View Correct/. International Monetary Fund. Frieden, Jeffrey. 1994. Making Commitments: France and Italy in the European Monetary System, 1979–1985. The Political Economy of European Monetary Unification, 25–46. Frieden, J., David Leblang & Neven Valev (2009). The political economy of exchange rate regimes in transition economies. Springer Rev Int Organ, 5 (2010), 1–25. Frieden, Jeffry., Piero Ghezzi & Ernesto Stein. (2000). Politics and Exchange Rates in Latin America. Research Network Working Paper, R-421. Ghosh, Atish., et al. (2003). Exchange Rate Regimes : Classification and Consequences. MIT Press, 1-22.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013
Hagen, Jurgen von., Jizhong Zhou. (2002). The Choice of Exchange Rate Regimes: An Empirical Analysis for Transition Economies. Zentrum fur Europaische Integrationsforschung Center, B 03. Heller, H. Robert. (1978). Determinants of Exchange Rate Practices. Journal of Money, 10 (3), 308-321. Holden, P., et al. (1979). The Determinants of Exchange Rate Flexibility: An Empirical Investigation. Review of Economics and Statistics, 61. Juhn, Grace., Paolo Mauro. (2002). Long-Run Determinants of Exchange Rate Regimes: A Simple Sensitivity Analysis, Kennedy School of Government, Harvard University & Research Department, International Monetary Fund. Levy-Yeyati, Eduardo., Federico Sturzenegger. (2003). Classifying Exchange Rate Regimes: Deeds vs. Words. European Economic Review, 49, 1603-1635. Markiewicz, Agnieszka. (2006). Choice of Exchange Rate Regime in Transition Economies: An Empirical Analysis. Journal of Comparative Economies, 34, 484498. Melvin, Michael. (1985). The Choice of an Exchange Rate System and Macroeconomic Stability. Journal of Money, Credit and Banking, 17 (4), 467-478. Mundell, R. A. (1961). A Theory of Optimum Currency Area. American Economic Review 51, 4, 657 - 664. Papaioannou, Michael G. (2003). Determinants of the Choice of Exchange Rate Regimes in Six Central American Countries: An Empirical Analysis. IMF Working Paper, 03. Poirson, H. (2001). How Do Countries Choose Their Exchange Rate Regime?. IMF Working Paper, 46. Rogoff, Kenneth S., et al. (2004). Evolution and Performance of Exchange Rate Regimes. International Monetary Fund Occasional Paper, 229. Savvides, A., (1990). Real Exchange Rate Variability and The Choice of Exchange Rate Regime by Developing Countries. Journal of International Money and Finance, 9, 440-454.
Analisa Determinan ..., Dessy Minarni Bonita, FE UI, 2013