RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN GURU DI LEMBAGA PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN (LPTK) SEBAGAI STRATEGI MENCETAK GURU BERKUALITAS SIAP ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Anafi Nur ‘Aini1, Egy Adhitama2 1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Indonesia Email:
[email protected] 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Indonesia Email:
[email protected] Abstrak Asean Economic Community menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi yang mampu bersaing di kancah global. Guru menjadi faktor utama dalam penentu kualitas pendidikan. Selain itu guru memegang peran yang sangat besar disamping menjadi jendela ilmu pengetahuan bagi para murid juga sebagai panutan tutur tingkah lakunya. LPTK sebagai institusi pencetak guru profesional mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya professional saja tetapi juga berkualitas ditengah era Asean Economic Community. Oleh karena itu dilakukanlah restrukturisasi pendidikan guru di LPTK dengan tujuh upaya.Pertama, kembali memperjelas arah pendidikan yaitu untuk membangun manusia Indonesia berkarakter.Kedua,ada pembenahan pada tubuh LPTK mulai dari awal penyeleksian calon mahasiswa. Ketiga, LPTK yang terintegrasi program PPG (Pendidikan Profesi Guru). Keempat, yaitu pola pembelajaran dengan pendekatan berdasarkan riset (research-based teacher education) dan berdasarkan pengalaman mengajar (school-based teaching experience). Kelima, pembekalan wawasan ilmu budaya. Keenam, penguasaan bahasa asing. Ketujuh, pembekalan peraturan-peraturan yang terkait dengan peningkatan keprofesian serta kode etik guru. Dengan tujuh upaya tersebut diharapkan LPTK mampu mencetak guru yang berkualitas sehingga kualitas pendidikan di Indonesia pun akan meningkat. Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan generasi-generasi yang berkualitas pula. Akhirnya, Indonesia pun semakin maju serta mampu bersaing di era Asean Economic Community. Kata kunci: Guru, LPTK, Asean Economic Community
Pendahuluan Sesuai blue print, Asean Economic Community akan dimulai tahun 2015. Ini berarti arus lalu lintas barang, jasa, investasi, aliran modal, dan tenaga kerja terampil semakin bebas dan padat. Adanya Asean Economic Community menuntut masing-masing negara di Asean untuk siap dalam menghadapi era tersebut. Tak dipungkiri bahwa kebutuhan akan tenaga kerja yang unggul, terampil, dan memiliki skill pun semakin tinggi. Dampak Asean Economic Community tidak hanya dirasakan di sektor-sektor ekonomi, tetapi juga sektor pendidikan. Hal ini dikarenakan sektor pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembangunan sumber daya manusia, terutama dalam rangka menyongsong Asean Economic Community. Kualitas pendidikan turut menjadi menjadi penentu keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Para tenaga kerja yang memiliki skill, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kompetensi yang lebih tinggi tentu lebih mudah dalam bersaing dan lebih besar dalam mendapatkan kesempatan dan keuntungan. Guru sebagai kunci kualitas pendidikan Kualitas pendidikan dipengaruhi beberapa faktor, antara lain guru, proses pembelajaran, sarana prasana, kurikulum, dan tata kelola sekolah. Akan tetapi, dalam hal guru merupakan kunci utama mutu pendidikan (Depdiknas, 2008 : 1). Guru merupakan sosok yang berpengaruh terhadap perkembangan peserta didik yang dalam hal ini merekalah para penerus bangsa. Sebagai sosok yang selalu “digugu dan ditiru”, peran guru menjadi sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik, serta mental dan pola pikir peserta didiknya. Guru turut ikut andil dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, terampil, dan skill yang tinggi. Guru yang profesional menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan di sekolah karena gurumerupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Apalagi ditengah keterbatasan sarana dan prasarana sekolah sebagaimana dialami oleh daerah-daerah terpencil, peran guru benar-benar menjadi hal yang utama. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang menyiapkan gurunya dengan baik dan menempatkan mereka dalam posisi yang terhormat. Dengan demikian, tidak ada istilah simsalabim sebagai mantra sihir untuk menyulap orang menjadi guru profesional dalam sembilan hari atau tiga minggu pelatihan. Harus dipahami pula bahwa sehebat apa pun kurikulum itu dirancang, kunci keberhasilan pendidikan tetap terletak di tangan guru yang cerdas dan kreatif, serta yang mengajar dengan
sepenuh hati. Ibarat kendaraan, kendaraan dengan merk Mercedes Benz, BMW, atau Lexus tetap akan sia-sia jika si sopir tidak ahli mengemudi. Maka, tidak diragukan lagi bahwa guru berperan penting dalam seluruh proses pendidikan. Dalam banyak hal, mutu pendidikan ditentukan oleh kualitas guru.Kurikulum, hanyalah faktor sekunder.Sebab, pelaksanaan kurikulum pun bergantung pada guru.Sungguh, peran guru sedemikian vital dalam kegiatan pembelajaran, yang berpengaruh langsung pada tinggi-rendahnya kinerja pendidikan. Filsuf pendidikan terpandang, John Dewey (1938), suatu kali berujar: buku merupakan sumber ilmu pengetahuan, tetapi melalui gurulah ilmu pengetahuan dapat ditransmisikan kepada peserta didik. Tamsil klasik mengatakan buku adalah rumah ilmu, sedangkan guru adalah kunci pembukanya.Sering pula dikatakan guru adalah jendela ilmu pengetahuan bagi para murid. Jelas, guru dengan kompetensi tinggi berpengaruh langsung pada hasil belajar murid-muridnya, yang tecermin pada pencapaian akademik tinggi. Sebab itulah, dibutuhkan guru-guru yang berkualitas dan profesional serta memiliki grade level yang tinggi. Ini adalah modal sekaligus awal bagi negara ini untuk bersiap menghadapi Asean Economic Community. Kesiapan guru tentu lebih diutamakan sehingga diharapkan kelak para siswa sebagai penerus bangsa sudah siap dalam menghadapi segala tantangan. Restrukturisasi pendidikan guru menjadi salah satu kunci pengembangan sumber daya manusia, dimana hal ini harus dilakukan secara bersamaan dalam skala nasional. LPTK sebagai wadah mempersiapkan guru profesional Restrukturisasi pendidikan guru tentu membutuhkan proses, tidak secara instan. Proses ini dimulai dari penyiapan guru-guru profesional sebagai investasinya. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi satu-satunya wadah guna mencetak guru-guru dengan skill dan grade level yang tinggi. Di era AEC ini, banyak perubahan yang dilakukan dalam pola pembelajaran di LPTK. Hal ini dilakukan untuk meningkakan standar guru guna menghadapi persaingan di era AEC karena sangat dimungkinkan guru dari wilayah luar Indonesia yang berasal dari negara anggota ASEAN, dapat bekerja di Indonesia. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Sofia Hartati mengungkapan bahwa untuk menghadapi persaingan tersebut, lulusan perguruan tinggi harus mempersiapkan diri dengan baik. Hal itu sejalan dengan pernyataan Dr. Sarwanto, dosen Pendikan Fisika UNS yang menyatakan
bahwa lulusan LPTK harus memilki kemampuan dan keterampilan berpikir serta softskill yang baik. Wagner yang dikutip dalam Sudira (2011) mengatakan bahwa dalam memasuki “new world of work” pada abad 21 diperlukan tujuh survival skill yaitu: (1) critical thinking and problem solving; (2) collaboration across networks and leading by influence; (3) agility and adaptability; (4) initiative and entrepreneuralism; (5) effective oral and written communication; (6) accessing and analyzing information; dan (7) curiosity and imagination. Maka dari itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memberikan perhatian yang serius supaya LPTK dapat meluluskan guru-guru yang cakap dan berkarakter.Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan lembaga pendidikan tingkat universitas yang tanggung jawab utamanya menyelenggarakan pendidikan calon pendidik atau guru. Sudah 58 tahun pendidikan tinggi kependidikan di Indonesia berlangsung, sejak didirikannya empat Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) pada 1954 di Bandung, Malang, Batusangkar, dan Tondano. Kini, lebih dari 370 LPTK ada di Indonesia. Di Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) lah guru-guru menempa diri untuk kemudian mendidik anak-anak bangsa. Kemajuan guru sangat bergantung pada cara LPTK mendidik mereka. LPTK mengemban misi penting dalam mewujudkan warisan nilai-nilai keadilan, demokrasi, keharmonisan, kesehatan lingkungan, pewarisan nilai-nilai kultural, dan bertanggung jawab dalam menuntun bangsa ke jalan nilai-nilai moral dan spiritual, serta mendidik warga negara bertanggung jawab atas kemaslahatan masyarakat, dunia, dan lingkungan alamnya. .Hal yang lebih penting yaitu LPTK harus menyiapkan tenaga pendidik yang profesional dalam rangka menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam setting pembudayaan Indonesia. Tujuh Poin Upaya Restrukturisasi Dalam tataran praktis, ada tujuh poin upaya yang kami rekomendasikan dalam proses restukturisasi proses pendidikan guruyang mampu dilakukan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) antara lain: Pertama, mendefinisikan ulang implementasi arah pendidikan. Semangat pendidikan harus dikembalikan untuk membentuk manusia Indonesia yang erkarakter kuat dan cerdas dan bukan semata terperangkap jargon ”daya saing”. Dunia pendidikan harus lepas dari mental postkolonial yang cenderung meninggalkan jati diri dan kearifan lokal.Sungguh ironis ketika para “pejabat” yang umumnya berpendidikan tinggi, justru melakukan hal yang tidak pantas, seperti
korupsi, saling menyalahkan, mengkambinghitamkan, dan menjatuhkan posisi satu sama lain demi lembaran rupiah, pangkat dan
jabatan yang tinggi. Perangkap “daya saing” telah
membelenggu dan mengesampingkan nilai-nilai luhur, sekaligus melemahkan kecerdasan emosial, dan seolah karakter benar-benar luntur. Oleh sebab itu, sejak awal dimulai dari guru, pendidikan karakter menjadi pondasi utama dan kearifan lokal lah yang menjadi salah satu sumber nilai-nilaikarakter yang luhur serta menjadi jati diri dari setiap guru. Kedua, perlu ada pembenahan pada tubuh LPTK mulai dari awal penyeleksian. Hal tersebut didasarkan pada adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand nya. Tidak semua siswa yang masuk di LPTK berniat menjadi guru sehingga penerimaan jumlah mahasiswa LPTK harus dibatasi sesuai kebutuhan. Banyak dari mereka yang masih menempatkan jurusan keguruan dipilihan kedua dan ketiga. Berdasarkan hasil kuesioner nasional yang kami lakukan selama 7 hari, sebanyak 54% dari mereka menempatkan jurusan keguruan di pilihan pertama dan 46% di pilihan kedua dan ketiga.
Pilihan Saat SNMPTN Satu
Dua
Tiga
Kosong
2%
23%
54% 21%
Grafik 1. Hasil kuesioner penempatan jurusan keguruan pada SNMPTN 2015 (dokumen pribadi) Analisa yang dapat diambil yaitu mereka mencari jalan aman apabila di pilihan pertama tidak lolos. Berdasarkan data dari beberapa lembaga bimbingan belajar, passing grade jurusan keguruan terhitung rendah bila dibanding dengan jurusan kedokteran maupun teknik di universitas favorit. Itu menjadikan jurusan keguruan sebagai opsi kesekian bagi siswa sekolah menengah. Dengan input yang tidak 100% memiliki passion menjadi guru, harus ada proses seleksi yang ketat untuk para calon mahasiswa keguruan, dimana selain prestasi akademik dan
non akademik, tetapi juga mempunyai kemampuan bahasa asing (Inggris) untuk minimal pasif dan bahasa Arab untuk guru jurusan agama islam serta memiliki minat yang tinggi untuk menjadi guru. Ketiga, perubahan LPTK terkait dengan Pendidikan Profesi guru (PPG). Selama ini PPG seolah menjadi pengganggu yang harus segera dimusnahkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dr. Sarwanto (10 April 2015), PPG justru menjadi pelindung LPTK, dimana tidak sembarang orang bisa menjadi guru dengan mudah, mengingat ketika tidak ada PPG, mahasiswa yang berasal dari non LPTK dapat bekerja sebagai guru. Melihat fenomena tersebut, akan lebih efisien ketika pendidikan di LPTK diintegrasikan dengan PPG sehingga ketika mahasiswa lulus sudah sah menjadi seorang guru dan mendapat sertifikat sebagai pengajar meskipun harus menambah lama masa studi. Keempat, guna mendukung langkah ketiga, pola pendidikan keguruan haruslah diubah. Pola pembelajaran yang ada sekarang dinilai kurang tepat, karena pada semester atas, mahasiswa diterjunkan ke sekolah guna melakukan praktek mengajar dan belajar dari guru yang ada disekolah. Jika hal ini terus dilakukan, tidak akan ada perubahan yang signifikan, karena hanya sekedar meng-copy dari guru lama. Pola pembelajaran ini harus diubah menjadi pembelajaran yang bertumpu pada kombinasi dua pendekatan, yaitu pendekatan berdasarkan riset (researchbased teacher education) dan berdasarkan pengalaman mengajar (school-based teaching experience). Research-based teacher education - Calon-calon guru melakukan sebuah riset, dimulai dariditerjunkan ke sekolah guna mengobservasi dan mencari permasalahan yang ada disekolah, kemudian permasalahan tersebut dibawa ke kampus guna didiskusikan dan dicari solusinya. Dalam proses pencarian solusi tersebut, calon mahasiswa tentu saja mahasiswa akan belajar banyakmengenai bidang keilmuannya,ilmu pedagogik, ilmu didaktik, dan ilmu metodik. Ilmu pedagosis adalah ilmu bagaimana membesarkan dan mengasuh anak; ilmu didaktik adalah ilmu tentang hal ikhwal membuat persiapan mengajar, dan ilmu metodik adalah ilmu tentang hal ikhwal cara mengajarkan ilmu-ilmu tertentu, seperti kesenian, menyanyi, menggambar, atau pekerjaan tangan.Adanya perkembangan iptek, membuat ilmu didaktik dan metodik semakin maju dimana metode pembelajaran pun semakin berkembang, Dewasa ini banyak temuan media dan metode pembelajaran yang lebih inovatif, dan kreatif.
Tidak hanya itu, akan sangat baik ketika hasil riset tersebut dihilirisasi. Hasil pembelajaran di LPTK tidak hanya berhenti di skripsi atau jurnal saja, tetapi benar-benar dapat diimplementasikan di sekolah sebagai solusi dari permasalahan yang ditemukan.benar-benar diaplikasikan sehingga diperolehlah pengalaman mengajar. Disamping itu, sesuai sambutan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2015 pada Sabtu, 2 Mei 2015 dinyatakan bahwahilirisasi hasil penelitian diperguruan tinggi menjadi semakin mungkin dilakukan untuk memajukan suatu universitas. Dalam konteks ilmu pendidikan, hilirisasi dapat berwujud pengaplikasian temuan-temuan inovatif dalam pengelolaan pendidikan. Untuk memulai itu, sekolah laboratorium (labschool) dapat menjembatani riset pendidikan dengan masyarakat luas. School-based teaching experience- Adanya labschool sangat mendukung proses pembelajaran di LPTK karena disanalah tempat mereka mendapatkan pengalaman mengajar. Pengalaman menjadi barang mahal dan menjadi guru profesional adalah proses tak berkesudahan, maka guru tidak boleh berhenti belajar; membaca dan praktik. Untuk mendukung proses tersebut tentu perlu dukungan dari pemerintah dan sekolah guna menyediakan lingkungan yang nyaman bagi calon guru untuk melahirkan karya kreatif dan inovatif. Kelima, guru perlu banyak dibekali wawasan ilmu budaya. Indonesia terdiri atas ribuan pulau, adat, bahasa, suku, dan budaya. Masih terkait dengan poin pertama, kearifan lokal menjadi kekuatan tersendiri dalam pembentukan karakter. Selain itu, kekayaan lokal yang ada juga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen pendukung dalam penyampaian materi di kelas. Jika menguasai ilmu budaya, guru tidak saja mampu mentransfer informasi (lewat buku, lembar kerja siswa) tapi sekaligus menjadi pemikir dan pekerja budaya. Seandainya guru bisa berperan sebagai pemikir dan pekerja budaya maka ada secercah optimisme bahwa mereka dapat mengembangkan empat hal penting dalam dunia pendidikan sebagaimana disebut Mochtar Buchori (2000), yakni mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; mendukung diseminasi nilai keunggulan; mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan; serta menumbuhkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Bila disederhanakan, seorang guru harus dapat mengakulturasikan budaya dalam mata pelajaran yang diajarkan sebagai media untuk mengantarkan sikap hidup atau pandangan hidup, nilai hidup, serta pengetahuan dan keterampilan hidup. Seorang guru mata pelajaran Fisika
misalnya, tidak saja mengajarkan Fisika sebagai pengetahuan. Namun juga harus bisa membawa peserta didik menjadi insan yang memiliki pandangan hidup, nilai hidup, sikap dan keterampilan hidup, dan sebagainya. Keenam, calon guru juga perlu menguasai bahasa asing. Adanya AEC secara tidak langsung menuntut kita untuk bisa menguasai bahasa asing minimal bahasa Inggis baik aktif maupun pasif, oral maupun writting. Bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan orang asing sedangkan kita tidak bisa berbahasa asing? Alasan lain yaitu bahasa menjadi jendela dunia global, dimana saat ini banyak sekali literatur yang ditulis dalam bahasa inggris. Penguasaan bahasa akan sangat bermanfaat untuk bisa hidup dan bersaing dikancah internasional. Ketujuh, alangkah lebih baik andai calon guru sudah mendapat bekal memadai tentang peraturan-peraturan yang terkait dengan peningkatan keprofesian serta kode etik guru. Jikalau sejak masih menjadi mahasiswa calon guru sudah terbiasa dengan berbagai hal terkait dengan pengembangan profesi, maka saat menjadi guru tidak ada lagi pertanyaan mengapa harus mengembangkan profesi sedangkan ia sendiri sudah dianggap sebagai sorang yang profesional. Pengajar di LPTK harus meng-up date pengetahuan tentang peraturan-peraturan yang terkait dengan kode etik guru, menjadikannya sebagai bagian dari materi proses belajar mengajar sehingga kelak tidak ada lagi pelanggaran kode etik oleh guru profesional Bagian akhir Sesuatu yang besar tentulah bermula dari hal yang kecil. Berdasarkan uraian diatas, mengingat pentingnya peran Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) maka diperlukanrestrukturisasi di tubuh LPTK sehingga bisa menjadi institusi yang diharapakan mampu mencetak guru tangguh yang terampil dan siap era Asean Economic Community. Ketika LPTK mampu melahirkan guru-guru yang berkualitas atau memiliki high grade level tinggi, hardskill dan softskill yang bagus, tangguh, maka kualitas pendidikan di Indonesia pun akan meningkat. Ketika kualitas pendidikan meningkat, maka lahirlah generasi-generasi yang berkualitas dan mampu bersaing di kancah internasional, professional, dan siap membangun negara menjadi lebih maju.
DAFTAR PUSTAKA Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Depdiknas. (2008). Peraturan Pemerintah nomor 74 tentang Guru dan Jaksa. Jakarta: CV Eko Jaya Dewey, J. (1938/1997). Experience and education. Macmillan Hartati Sofia. (2014). Hadapi AEC, Calon Guru Wajib Bisa Bahasa Inggris. Okezone [Online]..http://news.okezone.com/read/2014/06/12/373/997898/hadapi-aec-calon-guruwajib-bisa-bahasa-inggris/. [Diakses: 17April 2015] Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. (2015). Sambutan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun
2015
Sabtu,
2
Mei
2015.[Online].http://dikti.go.id/wp-
content/uploads/2015/04/Sambutan-Menristekdikti-pada-Upacara-Peringatan-HariPendidikan-Nasional-Tahun-2015.pdf?2c7e6.[Diakses: 23 May 2015] Sarwanto. (10 April 2015). Wawancara personal. Sudira, Putu. (2011). Paradigma Pendidikan Vokasi.UNY. [online] http://eprints.uny.ac.id/4653/ [Diakses : 17April 2015]