[EMBARGO: 28 Oktober 1999]
Public
amnesty international TIMOR TIMUR Tuntutan Keadilan 28 Oktober 1999
RINGKASAN
INDEKS Al: ASA 211191199 DISTR: SCICOIGR
Sejak penyerbuan Indonesia ke Timor Timur pada tahun 1975, banyak terdapat pola pelanggaran hak asasi manusia serius di wilayah tersebut. TentaraNasional Indonesia (TNT) dan kelompok-kelompok paramiliter serta militer yang dipersenjatai dan dilatih oleh TNI, bertanggungjawab atas berbagai tindak kekerasan dan intimidasi termasuk hukuman mati diluar proses hukurn dan penyiksaan terhadap sebagian besar rakyat Timor Timur. Selama berlangsung jajak pendapat di Timor Timur, berbagai kelompok milisi yang bekerjasama dengan TNT dan aparat polisi, melakukan kampanye sistematis untuk mengacaukan penentuan pendapat dan/atau mengintimidasi rakyat untuk memilih otonomi khusus sebagai bagian dan Indonesia. Setelahjajak pendapat yang menentukan masa depan Timor Timur berlangsung pada tanggal 30 Agustus 1999, kelompok-kelompok milisi dan TNI melakukan serangkaian aksi kekerasan sistematis terhadap rakyat Timor Timur. Di seluruh wilayah Timor Timur, rumah rumah dan berbagai bangunan Iainnya dihancurkan dan ratusan ribu warga Timor Timur melarikan din ke daerah-daerah perbukitan untuk menghindari din dan aksi kekerasan. Lebih dan 200.000 orang melarikan din atau diusir dan Timor Timur oleh TNT dan para anggota milisi. Mereka sekarang mengungsi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah-wilayah Indonesia Iainnya. Meskipun berita mengenai keadaan para pengungsi sulit dipastikan, Amnesty International menerima berbagai laporan yang dapat dipercaya bahwa para pengungsi terus menerus mengalami tindak kekerasan, intimidasi dan ancaman dan anggota-anggota milisi. Tindakan-tindakan tersebut termasuk penculikan dan hukuman mati diluar proses hukum. Serangan-serangan terhadap rakyat Timor Timur yang terjadi secara luas dan sisternatis tersebut yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok milisi, termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Para pelaku kejahatan tersebut harus dibawa ke pengadilan. Menurut undang-undang internasional, para individu di dalam tubuh pemerintah Indonesia dan jajaran komando militer bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang yang dilakukan orang-orang yang berada dibawah mereka, jika mereka mengetahui bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut terjadi dan tidak mengambil tindakan untuk mencegahnya. Azas tanggungjawab kriminal mi mencakup kejahatan yang dilakukan oleh para anggota milisi yang bukan merupakan bagian resmi struktur militer tetapi bertindak dibawah kendali
militer. Upaya mengadili para individu agar mereka bertanggungjawab penuh atas kejahatan yang dilakukan sangat penting bagi masa depan Timor Timur.
Apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan?
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalab tindakan-tindakan tidak manusiawi yang ditujukan kepada rakyat sipil yang dilakukan secara sistematis atau dalam skala besar. Kejahatan tersebut adalah hal yang dikhawatirkan masyarakat internasional karena sangat mengejutkan hati nurani manusia. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui oleh undang-undang internasional termasuk pembunuhan, penyiksaan (termasuk pemerkosaan), ‘penghilangan”, penahanan sewenang-wenang, penganiayaan politik, pengusiran dan pemindahan paksa yang dilakukan secara sistematis atau secara luas. Tindak kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan baikjika dilakukan dalam keadaan perang maupun damai. Tindakan-tindakan tersebut tidak dapat dikecualikan atau diijinkan oleh undang-undang nasional negara manapun, dan semua negara wajib mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Apa yang dimaksud dengan kejahatan perang?
Secara umum kejahatan perang bisa diartikan sebagai pelanggaran undang-undang dan normanorma keadaan perang yang dikenal sebagai undang-undang kemanusiaan internasional, yang diberlakukan selama berlangsung konflik bersenjata internasional atau dalam negeri. “Pelanggaran-pelanggaran berat” terhadap Konvensi Jenewa tahun 1949 adalah kejahatan perang. Pelanggaran-pelanggaran tersebut termasuk (tetapi tidak terbatas pada): pembunuhan dengan sengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi; menyebabkan penderitaan berat atau menyebabkan luka berat pada tubuh atau kesehatan dengan sengaja; pengusiran atau penahanan tidak sah terhadap masyarakat sipil; penolakan untuk menjalankan pengadilan yang adil; penyanderaan; dan penghancuran serta penjarahan benda hak milik secara luas yang tidak punya keperluan dan segi militer dan dijalankan secara tidak sah serta tanpa alasan. Selain itu pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Protokol I dalam Konvensi Jenewa juga merupakan kejahatan perang, yaitu: meluncurkan serangan tanpa pandang bulu yang mempengaruhi masyarakat sipil atau sasaran-sasaran sipil karena sadar serangan semacam itu akan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa, melukai rakyat sipil atau menyebabkan kerusakan; pengusiran atau pemindahan seluruh atau sebagian dan masyarakat di wilayah yang diduduki; dan menunda pembebasan para tahanan perang atau rakyat sipil tanpa alasan.
Tanggungjawab kriminal perorangan
‘Kejahatan yang nzelanggar undang-undang Anternasional dilakukan ok’h manusia, bukan oleh pelaku yang absircik, clan hanya a’engan menghukum pam individu yang melakukan ke/aharan tersehia ketetapan undang-undang iniernasional dapat dilaksanakan. “(Ketetapan Mahkarnah Milker Internasional di Nurem berg tahun 1946)
Semua individu di dalam tubuh pemerintah atau jajaran komando militer yang dengan sengaja melibatkan din dalam kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dikenai tuntutan kriminal untuk bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Kekebalan dan tuntutan pengadilan yang dimiliki para kepala negara dan pejabat pemerintah lainnya tidak berlaku bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Para kornandan militer dan pejabat sipil bisa dinyatakan bertanggungjawab secara kriminal jika mereka mengeluarkan perintah, menganjurkan, terlibat dalam persekongkolan untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang. Merekajuga dapat dinyatakan bertanggungjawab secara kriminal jika sengaja membiarkan kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berada dibawah perintah mereka, atau jika tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau menghukum para pelaku pelanggaran. Para bawahan tidak boleh menggunakan alasan menerima perintah dan atasan mereka atau dan pemerintah untuk menghindari tanggungjawab kriminal. Satu hal yang sangat penting dalam kasus Timor Timur adalah tanggungjawab kriminal komandan militer dan para pejabat sipil mencakup kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kelompok bersenjata yang tidak menjadi bagian resmi militer tetapi beroperasi dibawah wewenang militer, baik dengan atau tanpa perintah khusus atau langsung dan pasukan yang resmi.
Yurisdiksi universal Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang termasuk dalam yurisdiksi universal. Semua negara wajib mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang serta bekerjasama dalam menahan, menangkap, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Semua negara boleh dan hams mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan tersebut, terlepas dan di mana kejahatan itu dilakukan, kewarganegaraan orang yang bertanggungjawab dan kewarganegaraan korbannya. Meskipun sebuah negara tidak berhasil memasukkan undang-undang internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang ke dalam undang-undang kriminal nasional, menurut undang-undang internasional negara itu tetap memegang tanggungjawab untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan kejahatan tersebut. Selain itu tanggungjawab terhadap pelanggaran yang dilakukan tidak berkurang berdasarkan kapan kejahatan pertama kali dilakukan pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang tidak dapat dicegah oleh faktor batas waktu antara saat terjadinya pelanggaran dengan saat pengadilan diputuskan. Orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap —
kemanusiaan dan kejahatan perang tidak berhak meminta perlindungan atau suaka di negara lain.
Pembebasan dan hukuman Pembebasan dan hukuman adalah kegagalan untuk menegakkan keadilan dan membawa orang orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan. Pembebasan dan hukuman berarti mengabaikan keadilan bagi para korban dan menciptakan keadaan dimana para individu bisa terus melanjutkan pelanggaran tanpa ancaman penahanan, penuntutan atau hukuman. Menurut undang-undang internasional, semua negara terikat tugas untuk mengambil segala langkah dalam menghargai dan melindungi hak asasi manusia serta memerangi pembebasan hukuman. Bila kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi, semua negara punya kewajiban internasional untuk: • • •
memeriksa semua fakta dan menemukan kebenaran; menegakkan keadilan dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab; dan menyediakan ganti rugi bagi para korban.
Karena kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sangat serius, maka pengampunan tidak bisa diberikan. Kebenaran tentang kejahatan yang terjadi harus ditemukan dan diumumkan, para korban harus diberi ganti rugi dan proses peradilan harus boleh dilanjutkan agar dapat menghasilkan keputusan bersalah atau bebas yang jelas. Keberadaan pembebasan hukuman adalah suatu faktor yang membantu menetapkan tanggungjawab bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ketika aparat tertinggi suatu negara tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut dan membawa para pelakunya ke pengadilan serta menghukum mereka, maka orang orang yang berada di pucuk pemerintahan dianggap ikut terlibat dalam kejahatan tersebut.
Tiba saatnya bagi keadilan 7HcitJ yang sangat panting sthe1urn inetnh icarakan perujukan, adalah keadilan harus dicapai. Keadilan harus dprakrekkan terlebih dahulu. Orang-orang yang merasa bersalah, yang rnernbunuh saudara-saudara mereka sendiri...’ang membakar rurnah-rumah mereka, harus inengakul kesalahan mereka kepada rakyat Timor Tim
[Uksup Carlos Belo yang dianggap sebagal pemimpin spriritual rakyat Timor Timur, berbicara di reruntuhan tenipat kediamannya di Diii, Reuters (12 Oktober 1999)]
Kejahatan yang terjadi di Timor Timur tidak dapat dibebaskan dan hukuman. Semua negara beserta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) hams memastikan agar orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Timor Timur diadili.
Langkah pertama adalah penyelidikan. dan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan tengah dalam proses mendirikan Komisi Penyelidikan Internasional bagi Timor Timur. Amnesty International telah mengirim surat terbuka kepada Sekretaris Jenderal PBB yang memuat usulan terperinci, meminta susunan, mandat, wewenang dan metodologi yang paling kuat dan paling efektifbagi Komisi tersebut.’ Komisi Penyelidikan diharapkan dapat mengumpulkan bukti dan membuat masukan berdasarkan temuan mereka guna memastikan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau kejahatan perang diadili. Akan tetapi sampai saat mi pembentukan Komisi Penyelidikan sudah cukup lama mengalami penundaan, dan para ahli Komisi saat laporan mi dikeluarkan, masih juga belum mengunjungi Timor Timur. Untuk sementara waktu, muncul resiko besar bahwa bukti penting akan hilang atau dirusak dan bahwa para korban serta saksi akan terus menghadapi aksi intimidasi, pelecehan atau serangan. Peranan penyelidikan yang dilakukan secara paralel oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih tidakjelas. Langkah kedua adalah penuntutan. Ada dua cara untuk menuntut orang-orang yang bertanggungjawab, yaitu melalui pengadilan nasional dan melalui pembentukan suatu mahkamah internasional. Semua negara wajib untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang dengan melakukan proses pengadilan kriminal di pengadilan nasional menurut azas yurisdiksi internasional. Selain itu setiap negara harus saling bekerjasama dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum siapa saja yang bertanggungjawab atas kejahatan semacam itu. Mereka harus bekerjasama penuh dengan penyelidikan PBB serta dengan pengadi Ian di negara negara lain, dan tidak boleh menyediakan suaka bagi orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Amnesty International merasa PBB hams membentuk sebuah mahkamah kriminal internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di Timor Timur guna memastikan orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut dibawa ke pengadilan. Operasi PBB di Timor Timur, termasuk pasukan multi-nasional (INTERFET), pasukan penjaga perdamaian PBB dan misi PBB di Timor Timur, UNTAET (UN Transitional Administration for East Tim or), harus bekerjasama penuh dengan Komisi Penyelidikan Internasional, pengadilan nasional yang beroperasi dibawah azas yurisdiksi universal dan mahkamah kriminal intemasional apapun di masa depan. Mereka harus memastikan bahwa semua bukti dijaga dengan baik dan para individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Timor Timur ditemukan, ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Dalam beberapa pekan belakangan, terdapat banyak pernyataan yang menekankan pentingnya perujukan bagi masa depan stabilitas sosial di Timor Timur. Perujukan antara kelompok-kelompok yang bertikai memang menjadi faktor penting dalam membangun masa depan yang stabil bagi masyarakat Timor Timur. Akan tetapi faktor tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membebaskan tanggungjawab orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius selama proses transisi. Untuk membangun ketentraman sosial dan peradilan di Timor Timur yang didasari oleh azas-azas hak asasi manusia yang kuat dan undang-undang, harus diakui bahwa keadilan dan perujukan adalah dua faktor yang saling
‘Lihat Timor Timur: Usulan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Timor Timur (Indeks Al: ASA 2 1/186/99).
menunjang dan masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Orang-orang yang dinyatakan bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau kejahatan perang harus diadili. Laporan mi merupakan ringkasan dokumen setebal 33 halaman yang berjudul: TIMOR TIMUR Tuntutan Keadilan (Indeks Al: ASA 21/191/99) yang dikeluarkan oleh Amnesty International pada tanggal 28 Oktober 1999. Siapa saja yang ingin mendapat rincian Iebih lanjut atau ingin ikut mengambil langkah dalam masalah mi sebaiknya membaca dokumen lengkapnya. Kumpulan lengkap bahasan dan tulisan kami mengenai masalah mi dan berbagai masalah lainnya dapat ditemukan di: http://www.amnestv.org dan berita-berita dan Amnesty International dapat anda terima melalui email: http://www.amnesty.org/news/emailnws.htm INTERNATIONAL SECRETARIAT, I EASTON STREET. LONDON WCIX ODW, UNITED KINGDOM
Public
amnesty international TIMOR TIMUR Tuntutan Keadilan
28 Oktober 1999 Al Index: ASA1191199 Distr: SCICOIPO INTERNATIONAL SECRETARIAT, I EASTON STREET, LONDON WCIX ODW, UNITED KINGDOM
DAFTAR ISI
Pengantar: “Mata dunia”
2
1.
Kelompok-kelompok milisi: perangkat penteror
8
II.
Kejahatan yang terjadi A. Kejahatan terhadap kemanusiaan B. Kejahatanperang
III.
Peranan tanggungjawab kriminal perorangan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang 18 A. Hilangnya Kekebalan bagi para kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggungjawab 19 B. Tanggungjawab komandan militer dan pejabat tinggi lainnya 22 C. Tanggungjawab kepatuhan dan kejahatan terhadap kemanusiaan 25
13 13 16
....
IV.
Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang ditentukan oleh yurisdiksi Intemasional
27
V.
Tugas mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang meskipun kejahatan yang dilakukan tidak dilarang oleh undang-undang nasional negara 28
VI.
Tidak berlakunya pembatasan berdasarkan waktu
29
VII.
Pelarangan suaka
30
VIII.
Undang-undang pembebasan hukuman dan pengampunan
30
IX.
Tiba saat bagi keadilan: tanggungjawab masyarakat interriasional Tanggungjawab Setiap Negara Tanggungjawab Perserikatan Bangsa Bangsa
36 36 38
Lampiran: Azas-azas PBB mengenai kerjasama internasional dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan
40
TIMOR TIMTJR Tuntutan Keadilan “..kesirnpu1an yang tidak hisa die/ak/can ada/u/i perdarnaian di masa depan nwrnbutuhkan keadilan. clan keudilan di,nidui cIengun inenetn u/can kebenaran”
Komisi Para Ahli yang dibentuk uniuk mcmeriksa pelanggaran berac terhadap Undang-undang Kemanusiaan Iriternasional di hekas wilayah Yugoslavia.
Pengantar: “Mata dunia” Seperti yang diutarakan kepada para wartawan pada tanggal 10 September 1999, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Kofi Annan setuju dengan masyarakat internasional tentang kekejaman yang “terjadi di depan mata dunia, rakyat Timor Timur mengalami teror dan pembantaian karena menjalankan hak untuk menentukan nasib sendiri” dan Sekretaris Jenderal mengakui bahwa pelanggaran-pelanggaran yang ten adi bisa dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan orang-orang yang melakukannya harus bertanggungjawab.’ Hukuman mati diluar proses hukum, pemerkosaan dan kekerasan seksual, “penghilangan”, pemindahan secara paksa serta serangan-serangan lainnya terhadap masyarakat sipil dan petugas sejumlah organisasi internasional yang tidak bersenjata, dan berbagai pelanggaran lainnya, dilaporkan terjadi di Timor Timur dalam beberapa bulan belakangan. Pria, wanita dan anak-anak menjadi korban dalam aksi kekerasan tersebut. Serangan-serangan itu dilakukan dalam skala besar atau secara sistematis oleh kelompok kelompok milisi yang menentang kemerdekaan Timor Timur, oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dalam beberapa kasus, oleh angkatan kepolisian Indonesia. Sampai hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999, pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Timor Timur terjadi di depan mata dunia. Setelah tanggal itu, orang-orang yang mungkin bisa menjadi saksi termasuk para pembela hak asasi manusia, wartawan dan sebagian besar stafmisi PBB di Timor Timur (UNAMET) yang dibentuk untuk mengaturjalannya jajag pendapat —juga menjadi sasaran dan diusir dan wilayah tersebut. Menyusul pengumuman hasil referendum, T.JNAMET mencatat aksi kekerasan yang terjadi di Timor Timur bersifat serius dan sistematis, melanggar hak asasi —
‘Jumpa pers yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 10 September 1999 (Pengumuman Berita PBB SG/SM/7 124). Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
2
Tuntutan Keadilan
manusia dan undang-undang kemanusiaan dan dilakukan oleh para anggota milisi dengan dukungan TNT. Pada tanggal 11 September 1999, IJNAMET mengeluarkan laporan tentang pembunuhan masal, penghancuran secara luas serta pemindahan paksa, dan menyimpulkan bahwa “tampak jelas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi adalah bagian dan kebijakan bumi hangus”. 2 Laporan misi Dewan Keamanan yang mengunjungi Jakarta dan Diii antara tanggal 8 sampai 12 September 1999 menyatakan bahwa “terdapat bukti utama yang kuat bahwa pelanggaran undang-undang kemanusiaan internasional terjadi sejak hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September.” 3 Pada tanggal 17 September 1999, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengeluarkan laporan tentang keadaan hak asasi manusia di Timor Timur. Laporan tersebut memberi rincian sejumlah laporan pembunuhan masal, pemindahan paksa dan pengusiran, “penghilangan” serta berbagai pelanggaran undang-undang hak asasi manusia internasional dan undang-undang kemanusiaan. Komisaris Tinggi PBB menggambarkan aksi-aksi tersebut sebagai bagian dan “kampanye pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran yang disengaja, kejam dan 4 sistematis.’ Pelanggaran yang terjadi di Timor Timur dalam beberapa pekan mi bukanlab pelanggaran baru maupun spontan, tetapi berakar pada pola kekerasan yang sudah lama terjadi, termasuk hukuman mati di luar proses hukum, “penghilangan”, penahanan dengan sewenang-wenang, penyiksaan dan pemerkosaan yang banyak dilaporkan terjadi di Timor Timur sejak tahun 1975. Amnesty International terus-menerus menegaskan bahwa tindak kekerasan yang terjadi di wilayah itu disebabkan oleh bertahannya praktek pembebasan hukuman, yang dengan beberapa pengecualian, mencegah orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia diadili. Pola pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur dan masalah pembebasan hukumanjuga dibahas dalam beberapa tahun belakangan oleh berbagai mekanisme khusus PBB. Misalnya, dalam sebuah laporan yang dikeluarkan di bulan Juli 1994 setelah lawatan Pelapor Khusus PBB tentang hukuman mati di luar proses hukum, hukuman mati cepat atau hukuman mati sewenang-wenang di Timor Timur. Laporan tersebut menyebutkan bahwa terdapat “pola kekerasan dalam menangani masalah seputar ketidaksepakatan politik” dan
2
UNAMET, “Penghancuran Timor Timur sejak 4 September 1999’, laporan tanggal 11 September 1999, paragraf 8. Laporan Misi Dewan Keamanan di Jakarta dan Diii, 8-12 September 1999, S11999/976, paragraf2l.
Laporan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengenai keadaan hak asasi manusia di Timor Timur, 17 September 1999, paragraf 47. Al Index: ASAJ19I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
3
para personil pasukan keamanan yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia “menikmati pembebasan dan hukuman”. 5 Tiga tahun sebelum laporan tersebut dikeluarkan. Pelapor Khusus tentang penyiksaan melaporkan kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB bahwa di Timor Timur terjadi berbagai kasus penyiksaan dan penahanan 6 Di tahun 1998, Kelompok Kerja tentang Penghilangan Secara Paksa sewenang-wenang. melaporkan jumlah tuduhan penghi1angan” yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia meningkat drastis dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. 7 Pada tahun yang sama, Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuanjuga melaporkan bahwa dia menerima “jumlah pengaduan yang besar mengenai kekerasan seksual di Timor Timur yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia” dan pembebasan hukuman bagi pelanggaran terhadap hak asasi manusia tetap bertahan. 8 Setelahjajag pendapat berlangsung di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, pola pelanggaran hak asasi manusia tersebut meningkat disaat ke1ompokke1ompok milisi dan INI melancarkan gelombang kekerasan sistematis terhadap rakyat Timor Timur. Di seluruh wilayah rumah-rumah dan bangunan-bangunan lainnya dirusak dan ratusan orang melarikan din ke wilayah perbukitan untukmenghindari kekerasan yang terjadi. Lebih dan 200,000 orang melarikan din atau dipindahkan secara paksa oleh TNI dan milisi keluar dan Timor Timur. Mereka menjadi pengungsi di Nusa Tenggara Timur dan berbagai wilayah Indonesia Iainnya. Meskipun kurangnya akses menemui para pengungsi menyebabkan kebenaran tentang apa yang terjadi sulit diperiksa, Amnesty International menerima laporan-laporan yang bisa dipercaya bahwa para pengungsi terus menerus menderita akibat kekerasan, intimidasi dan ancaman, termasuk penculikan dan hukuman mati di luar proses hukum yang dilakukan oleh para anggota milisi. 9
Dokumen PBB E/CN.4/1995/61/Lampiran 1, paragraf 43. 6
Dokumen PBB E/CN.4/1992/17/Lampiran 1. Dokumen PBB E/CN.4/1998/43, paragraf2l8-225.
S
Dokumen PBB E/CN.4/1998/54, paragraf 27.
Sejak awal bulan Oktober, proses pemulangan kembali para pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan wilayah-wilayah Indonesia lainnya dibawah bantuan LFNHCR dan Organisasi Migrasi Internasional (TOM) menyebabkan pemulangan kembali beberapa ribu pengungsi. Pada tanggal 14 Oktober 1999, pemerintah Indonesia dan UNCHR menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) yang mengatur proses pemulangan mereka. Akan tetapi Amnesty International tetap merasa khawatir IJNHCR dan badan-badan kemanusiaan lainnya rnasih tidak berhasil mendapat akses penuh dan tanpa dihalangi untuk menemui para pengungsi di NTT, dan sebagian besar kamp dilaporkan masih berada dalam kekuasaan milisi dan TNI. Amnesty International juga khawatir aparat Indonesia memulai proses pencatatan warga untuk program transmigrasi yang bertujuan menempatkan Amnesty International 28 Oktober 1999
A/Index: ASA!191/99
4
Tuntutan Keadilan
Serangan-serangan secara luas dan sistematis terhadap warga Timor Timur yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok milisi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Para pelaku kejahatan tersebut hams dibawa ke pengadilan. Menurut undang-undang internasional, para individu di dalam tubuh pemerintah Indonesia dan di dalam struktur komando militer bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang yang dilakukan oleh para anak buah mereka,jika mereka mengetahui bahwapelanggaran-pelanggaran semacam itu terjadi dan tidak ada tindakan pencegahan yang diambil. Azas tanggungjawab kriminal mencakup berbagai kejahatan yang dilakukan oleh milisi yang bukan menjadi bagian resmi struktur militertetapi beroperasi secara efektif dibawah kendali militer. Hal yang sangat penting bagi masa depan Timor Timur adalah mengadili secara tuntas para individu yang bertanggungj awab atas kej ahatan tersebut. Suatu masyarakat tidak dapat dibangun berdasarkan pembebasan hukuman karena hal itu berarti undang-undang dan keadilan tidak ditegakkan. Di saat akhir abad duapuluh semakin mendekat,pandangan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dapat lepas dan genggaman keadilan, akan mengejutkan umat manusia. Semua negara dan PBB harus memastikan bahwa orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Timor Timur diadili. Masyarakat intemasional mengambil langkah penting menuju arah tersebut, ketika pada tanggal 27 September 1999, Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR) memberlakukan resolusi S-4 yang diantaranya mengimbau kepada Sekretaris Jenderal “untuk membentuk komisi penyelidikan intemasional...untuk bekerjasama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan para pelapor dalam masalah mi, guna mengumpulkan dan menyusun informasi sistematis tentang kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan-tindakan yang mungkin melanggar undang-undang kemanusiaan internasional di Timor Timur sejak pengumuman jajag pendapat di bulan
sebagian pengungsi di wilayah-wilayah Indonesia Iainnya. Karena berlakunya keadaan yang
menyebabkan perasaan tidak aman, takut dan intimidasi, kecil kemungkinan para pengungsi dapat membuat keputusan bebas dan jelas mengenai keikutsertaan mereka dalam program pemulangan kembali atau transmigrasi. Jika seorang individu menyatakan keinginan untuk kembali ke Timor Timur, mi kemungkinan diartikan sebagai tanda pro-kemerdekaan, jadi beberapa orang mungkin merasa ragu untuk membuat pilihan mi. Selain itu juga terdapat kekhawatiran lainnya tentang perjalanan ke kantor-kantor pendaftaran dan lokasi-lokasi keberangkatan, baik dan segi keamanan maupun kemudahan. Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
5
Januari 1999, serta untuk mengajukan kesimpulan kepada Sekretaris Jenderal agar dapat membuat berbagai usulan bagi tindakan-tindakan di masa depan...”° Komisi Penyelidikan diharapkan akan mengumpulkan bukti dan memberi masukan berdasarkan temuan mereka guna memastikan para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau kejahatan perang diadili. Amnesty International yakin langkah tersebut harus termasuk pembentukan mahkamah kejahatan internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Timor Timur. Akan tetapi sampai saat mi pembentukan Komisi Penyelidikan sudah cukup lama mengalami penundaan, dan para pakar Komisi saat laporan mi dikeluarkan, masihjuga belum mengunjungi Timor Timur. Untuk sementara waktu, muncul resiko besar bahwa bukti penting akan hilang atau dirusak dan bahwa para korban serta saksi akan terus menghadapi aksi intimidasi, pelecehan atau serangan. Peranan penyelidikan yang dilakukan secara paralel oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masib tidakjelas. Dalam beberapa pekan belakangan, terdapat banyakpernyataan yang menekankan pentingnya perujukan bagi masa depan stabilitas sosial di Timor Timur. Perujukan antara kelompok-kelompok yang bertikai memang menjadi faktor penting dalam membangun masa depan yang stabil bagi masyarakat Timor Timur. Akan tetapi faktor tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membebaskan tanggungjawab orang-orang yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius selama proses transisi. Untuk membangun ketentraman sosial dan peradilan di Timor Timur yang didasari azas-azas hak asasi manusia yang kuat dan undang-undang, harus diakui bahwa keadilan dan perujukan adalah dua faktor yang saling meriunjang dan masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Orang-orang yang dinyatakan bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau kejahatan perang harus diadili. Pembebasan dan hukuman mungkin dilihat sebagai pilihan pantas bagi orang-orang yang bersalah melakukan pelanggaran ringan, tetapi pengampunan semacam itu tidak boleh ditawarkan sebelum kebenaran tentang kekerasan yang terjadi diketahui. Seperti yang tertulis dalam Seksi VIII dalam laporan mi, undang-undang pengampunan yang diberlakukan sebelum proses peradilan dirampungkan. dan kebenaran serta pembayaran ganti rugi dipenuhi, bertentangan dengan undang-undang kemanusiaan internasional. Semua pelaku kejahatan harus dituntut untuk bertanggungjawab atas tindakan yang mereka lakukan melalui proses peradilan yang sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional mengenai pengadilan yang adil. Segala sanksi atau pengampunan harus diberikan dengan adil dan objektif, berdasarkan skala atau bobot pelanggaran hak asasi
Resolusi S-4, diberlakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB (CHR) pada Sidang Khusus mengenai Timor Timur pada tanggal 27 September 1999 (Dokumen PBB E/CN.4/S-4/L.1!Tinjauan 1). Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
6
Tuntutan Keadilan
manusia yang dilakukan. Faktor-faktor lainnya seperti, ras, kewarganegaraan, latar belakang geografis atau ernis, tidak boleh digunakan untuk mencegah beberapa pelaku pelanggaran dihukum atau diadili. Dokumen mi menyediakan catatan singkat tentang pola pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur, sebelum mengusulkan bagian undang-undang kriminal dan hak asasi manusia internasional yang mengatur kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Dokumen mi diakhiri dengan serangkaian usulan bagi pemeriritah dan PBB dengan merincikan langkah yang akan membantu memastikan kebenaran, keadilan dan ganti rugi bagi rakyat Timor Timur.
Al Index: ASAJI9I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
I.
7
KeLompok-kelompok milisi: perangkat penteror
Kelompok-kelompok milisi Timor Timur yang anti kemerdekaan wilayah itu bertanggungjawab atas banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana dalam setahun belakangan mi. Di saat keikutsertaan iangsung kelompok-kelompok milisi tidak dapat disangkal lagi, berbagai bukti menunjukkan TNI dan angkatan kepolisian juga ikut mendukung atau membantu para anggota milisi, serta ikut serta secara langsung dalam melakukan pembunuhan tidak sah, pemindahan paksa dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia serius Iainnya.” Terdapat bukti kuat bahwa sebagian besar kelompok milisi yang dalam beberapa bulan mi aktif, dibentuk dengan dukungan TNI dan terus beroperasi dengan bantuan TNI, dan tindakan tersebut bukan merupakan reaksi spontan para pendukung integrasi terhadap ancaman serangan kelompok bersenjata lawan mereka yang pro-kemerdekaan, Falintil atau para pendukung pro-kemerdekaan lainnya. Meskipun tidak ada hubungan resmi antara kelompok-kelompok milisi tersebut dengan TNI, mereka diketahui menerima persenjataan dan latihan dan TNI. Para anggota milisi sering beroperasi dan tampaknya mendapat akses mudah ke pos-pos TN! dan orang-orang yang diculik oleh kelompok milisi dalam beberapa kasus diketahui disekap di berbagai pos TNT. Operasi gabungan antara TN! dan kelompok milisi dan terkadang dengan aparat polisi Indonesia, bukan hal yang jarang terjadi. Dalam banyak kasus serangan milisi dimana keterlibatan langsung TNI atau kepolisian yang jelas tidak diketahui. aparat keamanan Indonesia tidak mengambil tindakan apapun untuk mencegah serangan tersebut atau menahan orang-orang yang bertanggurigjawab. Penggunaan kelompok-kelompok milisi sipil di Timor Timur oieh TNI bukan suatu fenomena baru, meskipun sebagian besar anggota milisi yang terlibat dalam operasi yang ditujukan pada para pendukung pro-kemerdekaan dalam beberapa bulan belakangan mi dibentuk di akhir tahun 1998 dan awal 1999. Menurut informasi yang belum ditegaskan yang diterima Amnesty International, para bupati dan pejabat iainnya di Timor Timur secara aktif didorong oieh aparat militer untuk membentuk kelompok-kelompok milisi di distrik mereka. Diantara kelompok-kelompok baru yang dibentuk sejak akhir tahun 1998 adaiah Aitarak (Diii), Besi Merah Putih (Manatuto/Liquica), Laksaur (Suai), Mahidi (Ainaro), Naga Merah (Ermera), BPI 59/75 Junior (Viqueque) dan Sakunar (Oecuesse). Keiompok-keiompok yang dibentuk lebih dulu, yang beberapa tahun yang iaiu diketahui
Untuk keterangan Iebih lanjut tentang peianggaran hak asasi manusia yang teradi menjelang dan seiama penentuan pendapat, lihat Amnesty International, Timor Timur: Serangan Paramiliter Merusak Masa Depan Timor Timur (ASA 21/26/99), Timor Timur: Raih Saat mi (ASA 2 1/49/99), dan Timor Timur: Kekerasan Mengancam Masa Depan Stabilitas (ASA 21/99/99). Amnesty International 26 Oktober 1999
Al Index: ASAJI91/99
8
Tuntutan Keadilan
berkerja sama dengan TNI, beberapa bulan mi juga dilaporkan aktif. MerekatermasukTim Saka dan Tim Sera di Bacau, Makikit di Viqueqeu dan Tim Alfa di Los Palos. Selama jajag pendapat berlangsung, aparat Indonesia berulang kali memberi jaminan kepada PBB dan masyarakat internasional bahwa berbagai Iangkah akan diambil untuk menjaga keamanan rakyat Timor Timur sesuai dengan Kesepakatan 5 Mei 1 999•12 Pada tanggal 30 Agustus 1999, di han jajag pendapat, sekitar 8000 polisi dan 15,000 personil TNI dikerahkan di Timor Timur. Meskipunjumlah personil yang ditugaskan sangat besar, pasukan keamanan Indonesia tidak mampu atau tidak bersedia memenuhi syarat syarat yang dibutuhkan untuk menj aga penentuan pendapat tetap berlangsung. Syarat-syarat tersebut disebutkan dalam memo Sekretaris Jenderal pertanggal 22 Mei 1999 dan isinya termasuk mengendalikan kelompok-kelompok milisi bersenjata dengan keras, melakukan penahanan dan mengadili orang-orang yang memicu atau mengancam menggunakan kekerasan serta memastikan kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi semua kelompok politik. Di bulan Juni 1999, aparat Indonesia menunjukkan tanda-tanda bahwa status sejumlah kelompok milisi akan diresmikan, ketika mengumumkan anggota-anggota milisi BMP dan Aitarak akan ditarik ke dalam pasukan pertahanan sipil suka rela yang disebut PAM Swakarsa. Menurut aparat Indonesia, PAM Swakarsa akan dijadikan pasukan keamanan bantuan selama berlangsung penentuan pendapat. Setelah mendapat tentangan keras dan masyarakat internasional, niat tersebut dibatalkari. Satuan kepolisian yang menurut Kesepatakan 5 Mei 1999 dan Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP) memegang tugas utama menjaga undang-undang dan ketertiban, terus menerus gagal menyediakan perlindungan bagi orang-orang yang menjadi sasaran serangan. Menurut catatan Amnesty International, hanya 7 anggota kelompok kelompok milisi yang ditahan dan diadili. Mereka diadili sesuai dengan Undang-undang DaruratNo. 12/1951 (kepemilikan senjata api gelap) dan Tap 170 KUHP (berkumpul untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau properti) atas serangan yang mereka lakukan terhadap iring-iringan bantuan kemanusiaan di Liquica pada tanggal 4 Juli 1999, dan dijatuhi hukuman 4 bulan penjara. Lima orang lainnya akan diadili karena melakukan serangan terhadap markas UNAMET di Maliana yang terjadi pada tanggal 29 Juni 1999.
2
Kesepakatan yang ditandatangani oleh pemerintah Portugal dan Indonesia dengan bantuan PBB tersebut, berisi: perjanjian utama yang menentukan syarat-syarat dilakukannyajajag pendapat dan konsekuensi politiknya; perjanjian tentang prosedur penyusunan jadwal, penentuan kriteria orang yang berhak memberi suara dan rincian tahap-tahap operasional jajag pendapat; dan kesepakatan tentang keamanan, yang menentukan tanggungjawab penjagaan keamanan di tangan pasukan keamanan Indonesia. Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
Amnesty International sampai saat mi belum dapat memastikan apakah pengadilan terhadap orang-orang tersebut sudah dilaksanakan. Dalam beberapa kasus, polisi dilaporkan berada di lokasi saat serangan terj adi tetapi tidak mengambil tindakan apa pun, dan beberapa kali diketahui berpartisipasi langsung dalam operasi yang dilancarkan milisi. Contohnya pada tanggal 27 Agustus 1999, sejumlah anggota milisi mengadakan unjuk rasa di Maliana, di distrik Bobomaro. Saat tiba di sana mereka mulai melempari para penduduk dengan batu. Di satu saat selama konfrontasi berlangsung, polisi dan para anggota milisi dilaporkan melepaskan tembakan. Sedikitnya satu orang, yaitu Raul dos Santos tertembak, kemungkinan oleb polisi yang kemudian menyangkal bertanggungjawab atas kematiannya. Para penyerang akhirnya berhasil dipukul mundur oleh penduduk desa dengan menggunakan persenjataan darurat, tetapi di sore harinya serangan milisi terjadi kembali. Paling tidak satu orang terbunub dalam serangan kedua. Pada insiden sebelumnya, tanggal 11 Agustus 1999, seorang pelajar dan satu orang lainnya terbunuh di distrik Viqueque saat berlangsung serangan milisi yang disaksikan oleh para personil Brimob. Menurut para saksi mata, sekitar 20 sampai 30 anggota milisi berkeliaran keliling kota sambil melepaskan tembakan dan melempar batu. Para petugas UNAMET yang bertugas menjalin hubungan dengan pihak militer meminta kepada satuan Brimob yang baru saja tiba untuk melindungi kantor UNAMET. Menurut laporan, permintaan itu akhimya ditolak dengan alasan mereka takut ditembaki oleh milisi. Mereka kemudian hanya berbaris dalam formasi di belakang milisi. Dua anggota Brimob dilaporkan hanya berdiri dan menonton saat serangan yang menyebabkan sedikitnya 2 petugas lokal UNAMET tewas di desa Baboe Leten, di distrik Ermera terjadi pada tanggal 30 Agustus 1999. Sekitar 10 anggota milisi didampingi oleh seorang personil TNI tiba di Baboe Leten pada sore harinya, di saat staf UNAMET tengah bersiap-siap mengantar kotak-kotak suara ke kota Atsabe. Staf lokal IJNAMET tersebut dipukuli, ditendang dan diinjak-injak dalam serangan itu. Satu orang dianggap tewas ditempat dan satu orang iainnya tertikam dan meninggal dunia. Nasib petugas IJNAMET yang ketiga masih belum diketahui. Di saat pelanggaran hak asasi manusia serius berlangsung di bulan-bulan menjelang jajag pendapat dan selama jajag pendapat berlangsung, kekerasan yang terjadi mencapai tingkat keseriusan baru dalam beberapa han dan pekan setelah tanggal 4 September 1999, pada saat suara penolakan yang sangat besar (78.5 persen) terhadap paket otonomi yang ditawarkan diumukan. Dalam waktu 3 han setelah pengumuman, UNAMET dipaksa mengungsikan stafnya dan semua distrik di Timor Timur dan pergi ke Diii karena ancaman keselamatan. Di Liquica pada tanggal 4 September, misalnya, kantor UNAMET diserang Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
10
Tuntutan Keadilan
oleh satu kelompok yang terdiri dan sekitar 20 anggota milisi. Dua puiuh personil Brimob yang menjaga kantor UNAMET tidak berusaha mencegah serangan tersebut. StafPBB di kantor itu melarikan din dan pintu belakang dan Ian ke kantor polisi setempat. Dalam perjalanan mereka ditembaki, tampaknya oleh para anggota milisi. Selama serangan beriangsung, seorang polisi sipil PBB tertembak di bagian perut dan harus diterbangkan ke Darwin, Australia, untuk mendapatkan pengobatan darurat. Para pengamat internasional dan wartawan juga terpaksa meninggaikan wilayah di luar Dili dan akhirnya keluar dan Timor Timur. Di Diii, ancaman dan serangan oleh kelompok-kelompok milisi semakin meningkat setelah penentuan pendapat benlangsung. Pada awalnya ancaman tersebut ditujukan pada beberapa sasaran tertentu, misalnya tempat-tempat rakyat Timor Timur yang terusir benlindung dan hotel-hotel ternpat wartawan asing menginap. Contohnya pada tanggal 5 September 1999, sejumlah anggota milisi menyerang dan membakar Hotel Mahkota dan gedung Keuskupan Katolik Diii yang berada tidakjauh dan hotel tersebut. Polisi dan TNI dilaporkan tidak banyak berusaha menangani serangan tersebut. Keesokan harinya, para personil TNI memaksa sejumlah wartawan asing untuk meninggaikan Hotel Turismo di Dili. Para wartawan dilaporkan diberitahu untuk pergi ke kantor UNAMET, konsulat Australia atau bandara Comoro. Pada han yang sama, para anggota milisi bersenjata memaksa staf Komisi Palang Merah Internasional (ICRC) dan sekitar 2000 pengungsi Timor Timur yang beriindung di sana untuk meninggalkan tempat tersebut. Staf asing ICRC kemudian diserahkan kepada aparat Indonesia di kantor polisi setempat. Nasib staf lokal dan para pengungsi masih tidakjeias, meskipun banyak kalangan yang menganggap mereka dipindahkan secara paksa ke Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 6 September, para anggota TNI dan milisi meluncurkan serangan gabungan terhadap kediaman Uskup Belo di Dili. Ribuan pengungsi saat itu berlindung di rumah Uskup Belo ketika serangan terjadi. Setelah serangan tersebut, sekelompok orang dipindahkan dibawah todongan senjata INI dan dipaksa masuk ke truk-truk yang pergi menuju Nusa Tenggara Timur. Uskup Belo diam-diam berhasil melarikan din dan terbang dengan pesawat PBB ke Darwin, Australia. Dia sekarang telah kembali ke Diii. Serangan-serangan khusus itu diikuti dengan gelombang intimidasi umum terhadap penduduk Diii. Mereka dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka dan mencari perlindungan di tempat lain, sering kali di gereja atau di kantor badan-badan internasional. Di sejumlah kasus, milisi mendatangi tempat-tempat para pengungsi berlindung dan kembali mengancam mereka, dan menyuruh mereka pergi ke Komando Polisi Daerah (POLDA) demi keamanan din mereka sendiri. Selama serangan-senangan tersebut terjadi, polisi gagal menjalankan tugas melindungi rakyat dan sening kali ambil bagian dalam penyerangan. Beberapa ribu orang berlindung di kantor POLDA selama masa kritis tetapi polisi memberi para anggota milisi Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
11
akses bebas untuk memasuki pelataran kantor POLDA. Aparat menambah perasaan tidak aman dengan mengatakan kepada para pengungsi bahwa keamanan mereka tidak bisa dijaminjika mereka tetap tinggal di kantorPOLDA. Karena tidak ada pilihan lain, banyak diantara mereka yang memilih untuk meninggalkan Timor Timur dengan kendaraan militer, kapal dan pesawat sewaan yang disediakan aparat. Diantara mereka juga terdapat orang orang yang dipindahkan secara paksa. Pola intimidasi, pemindahan paksa dan penghancuran semacam itu tampaknyajuga terjadi di wilayah Timor Timur lainnya. Sejumlah laporan dan distrik Aileu, misalnya, menyatakan adanya rencana yang diatur dengan baik untuk memindahkan penduduk setempat suatu daerah bahkan sebelum hasil jajag pendapat diumumkan. Pada tanggal 31 Agustus 1999, personil Brimob tiba di 4 buah desa di sub distrik Liquidoe di distrik Aileu dan mulai melepaskan tembakan ke udara. Kemudian para anggota milisi datang, memerintahkan penduduk untuk pergi dan kemudian membakar rumah-rumah penduduk. Mereka mengumpulkan semua penduduk dan memaksa mereka untuk mengaku memilih kemerdekaan atau tidak. Orang-orang yang memilih kemerdekaan diancam bahwa mereka harus tinggal di Timor Timur dan akan “tewas”. Di kota Aileu, seorang pengamat melaporkan bahwa para personil TN! setempat memerintahkan penduduk untuk meninggalkan rumab mereka, mencatatkan nama-nama mereka dan menyatakan apa yang mereka pilih. Mereka kemudian diperiritahkan untuk mengambil barang-barang hak milik mereka dan bergerak ke arah markas polisi di Aileu. Menurut pengamat tersebut, sekelompok orang mengaku mereka diperintahkan untuk pergi ke Atambua atau Kupang di NTT danjika menolak mereka dianggap telah memilih kemerdekaan dan akan tewas. Para penduduk mulai dipindahkan dan Aileu pada tanggal 3 September dengan menggunakan sejumlah truk. Menurut laporan-laporan pasukan multi-nasional PBB di Timor Timur (INTERFET) setelah melakukan penerbangan pengintaian melintasi Timor Timur di awal bulan Oktober 1999, sebagian besar kota dan desa di Timor Timur hampir seluruhnya kosong dan ribuan rumah serta bangunan lainnya hancur. Lebih dan 200,000 warga Timor Timur dilaporkan melarikan din atau dipindahkan secara paksa ke Nusa Tenggara Timur. Sedangkan yang lainnya mengungsi ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya termasuik Bali, Flores dan Jawa. sementara ratusan ribu orang diperkirakan lan ke wilayah perbukitan di Timor Timur. Akses kepada para pengungsi di NTT yang diberikan pada para pemantau hak asasi manusia, organisasi-organisasi kemanusiaan dan lainnya sangat terbatas bahkan setelah aparat Indonesia menandatangani Memorandum ofUnderstanding (MOU) dengan UNHCR mengenai pemulangan kembali pengungsi yang diantaranya mengijinkan IJNHCR mendirikan keberadaan operasional di wilayah-wilayah tempat para pengungsi Timor Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
Tuntutan Keadilan
12
13 Akan tetapi menurut Timur tinggal untuk memastikan bahwa kesepakatan tetap dihargai. informasi yang bisa dipercaya yang diterima Amnesty International, para pengungsi masih belum lepas dan ketakutan atau intimidasi meskipun telah meninggalkan wilayah Timor Timur. Sebagian besar kamp-kamp di NTT tempat banyak pengungsi menetap dilaporkan dikendalikan oleh kelompok-kelompok milisi dan TNT, dan terdapat laporan yang bisa dipercaya tentang terjadinya pembunuhan tidak sah dan penculikan serta ancaman dan intimidasi baik di dalam maupun di luar wilayah kamp. Pembagian bantuan kemanusiaan juga terganggu akibat kegiatan milisi. Di wilayah-wilayah Indonesia lainnya, muncul beberapa laporan bahwa warga Timor Timur menderita serangan, pelecehan dan 14 intimidasi. Pelanggaran hak asasi manusia dan undang-undang kemanusiaan internasional yang terjadi secara luas dan sistematis di Timor Timur oleh kelompok-kelompok milisi dengan bantuan TNT dan kepolisian, menurut undang-undang internasional termasuk sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
II.
Kejahatan yang terjadi
A. Kejahatan terhadap kemanusiaan Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tindak kejahatan yang melanggar hukum 5 yang berasal dan hukum lokal yang diakui oleh suatu negara (customary internasional’ law) dan yang berasal dan ketetapan traktat/konvensi (conventional law). Kejahatan semacam itu diakui sebagai pelanggaran berat dan sangat mengejutkan hati nurani
Lihat catatan awal 9. Untuk informasi lengkap mengenai keadaan hak asasi manusia bagi para pengungsi Timor Timur di Indonesia, lihat Amnesty International, Timor Timur: Aksi Teror Berlanjut (ASA 21/163/99) dan Timor Timur: Pengungsi dalam Bahaya (ASA 21/180/99).
Pasal VI(c) Azas-azas Komisi Hukum Internasional yang diakui dalam Piagam Mahkamah Nuremberg dan dalam Keputusan Mahkamah Nuremberg (1950). Pokok-pokok yang terdapat dalam Piagam dan Keputusan Mahkarnah Nuremberg diakui sebagai azas-azas hukum oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946, Resolusi Majelis Umum PBB 95(I). Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
13
manusia. Kejahatan terhadap kemanusiaan harus tundukpada norma-norma tertentu yang 16 dibentuk oleh hukum internasional yang telah berlaku selama beberapa dasawarsa. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang diakui oleh hukum internasional termasuk genosida, pembunuhan sistematis atau masal, penyiksaan (termasuk pemerkosaan), penghiLangan secara paksa, pengusiran dan pemindahan paksa, penahanan sewenang wenang, penganiayaan politik dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya. Kejahatan kej ahatan tersebut diakui sebagai kej ahatan terhadap kemanusiaan oleh hukum internasional dalam konvensi internasional atau perangkat hukum internasional lainnya, seperti yang paling akhir adalah traktat yang membuahkan Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC).’ 7 Genosida selain merupakan bentuk kejahatan menurut hukum internasional yang diambil dan hukum lokal suatu negara (customary law), juga merupakan suatu bentuk kejahatan menurut Konvensi bagi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida tahun 1948. 18 Penghilangan secara paksa dianggap sebagai tindak kejahatan terhadap
6
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “tindak kekerasan serius yang melukai manusia dengan melanggar bagian-bagian terpenting bagi manusia: nyawa, kebebasan, kesejahteraan fisik, kesehatan dan/atau martabat mereka. Kejahatan tersebut adalah tindakan yang tidak manusiawi yang tingkatan dan keseriusannya melampaui batasan-batasan yang dapat ditolerir oleh masyarakat internasional, yang karenanya harus dituntut dengan hukuman. Tetapi kejahatan terhadap kemanusiaan tidak hanya mengenai individu karena ketika seorang individu diserang, kemanusiaan secara umum pun ikut terserang dan diremehkan. Karenanya konsep kemanusiaan sebagai korbanlab yang merupakan bagian sangat penting dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. (Penuntut melawan Erdermoni9, Keputusan Penjatuhan Hukuman, Dewan Pengadilan, Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslcwia, 29 November 1996). 7
Lihat, misalnya, Dekiarasi Perancis, lnggris Raya dan Rusia pada tanggal 24 mei 1915; Laporan Komisi Tanggungjawab Penyulut Perang dan Komisi Pelaksanaan Hukuman yang diajukan pada Konfrensi Awal mengenai Perdamaian tahun 1919; Pasal 6(c) pada Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg; Undang-undang Dewan Wewenang Sekutu No. 10 (1946); Pasal 6(c) pada Piagam Mahkamah Militerinternasional di Asia Pasifik (1946); Pasal 2(10) pada Rancangan Kitab Undang-undang tentang Pelanggaran Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia (1954); Pasal 5 pada Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslavia (1993); Pasal 3 pada Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Rwanda (1994); Pasal 18 pada Rancangan Kitab Undang-undang Kejahatan PBB tentang Perdamaian dan Keamanan bagi Umat Manusia (1996); dan Pasal 7 pada Ketetapan Pengadilan Kriminal Intemasional (1998). Resolusi 96(I) Majelis Umum PBB (1946). Juga lihat Syarat-syarat Konvensi bagi Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida, Laporan Pendapat, 1951 I.C.J. Laporan 15. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASAJI9I/99
14
Tuntutan Keadilan
9 Penyiksaan, kemanusiaanjika dilakukan sebagai bagian dan praktek luas atau sistematis.’ baik yang merupakan kasus tunggal atau bagian dan praktek kejahatan terhadap kemanusiaan yang luas atau sistematis, adalah suatu bentuk kejahatan menurut hukum internasional (customary law dan conventional law). Seperti halnya azas-azas keputusan Nuremberg dan Dekiarasi Hak Asasi Manusia Universal, Komisi Anti Penyiksaan PBB menyatakan bahwa “peraturan umum dalam hukum internasional yang harus dipatuhi semua negara adalah mengambil langkah-langkah efektifuntuk mencegah penyiksaan dan ° 2 menghukum para pelaku penyiksaan.” Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan baikjika dilakukan dalam keadaan perang maupun damai. ’ 2 Kejahatan terhadap kemanusiaan dan norma-norma yang mengaturnya membentuk bagian dan jus cogens atau norma-norma pokok. Karenanya kedua bagian tersebut membentuk norma-norma yang menentukan hukum internasional secara umum, seperti yang diakui dalam Pasal 53 pada Konvensi Wina mengenai Undang-undang Traktat (1969), yang tidak dapat diubah atau dicabut oleh traktat atau undang-undang nasional. Pasal 53 menyatakan bahwa “norma yang menentukan hukum internasional secara umum adalah norma yang oleh masyarakat internasional secara keseluruhan diterima dan diakui sebagai norma yang tidak dapat dicela dan hanya bisa diubah dengan jika norma hukum umum internasional berikutnya juga memiliki sifat sama. Larangan terhadap penyiksaan dan genosidajuga “merupakan suatu norma yang bersifatjus cogens (norma pokok) atau norma yang menentukan hukum internasional secara umum”. Dewan Pengadilan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslavia (ICTY) mencatat bahwa “larangan bagi penyiksaan adalah norma yang menentukan ataujus cogens (norma pokok)”. 22
Resolusi AG/Resolusi 666 (XIII-083) dan AG! Resolusi 742 (XVI-O!84) Majelis Umum OAS; Resolusi 828 dan Majelis Dewan Parlementer Eropa 1984; Deklarasi PBB mengenai Perlindungan bagi Semua Orang dan Penghilangan Paksa, yang diberlakukan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 47/133 pada 18 Desember 1992, Preambul, paragraf 4; Preambul Konvensi Inter-Amerika mengenai Penghilangan Paksa; dan Pasal 3 Rancangan Konvensi PBB mengenai Perlindungan bagi Semua Orang dan Penghilangan Paksa. 20
Komisi Anti Penyiksaan PBB, keputusan tanggal 23 November 1989, Komunikasi No. 1/1988, 2/1988 dan 3/1988, Argentina, keputusan bulan November 1989, paragraf 7.2. 21
Ketetapan Roma ICC, Pasal 7; Konvensi mengenai Tidak Berlakunya Pembatasan Secara Hukum bagi Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Pasal 1(b).
22
ICTY, Dewan Pengadilan, Penuntut melawan Furund ija, Keputusan, Kasus nomor IT-95-17!1-T, paragraf 144. Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
15
Jus cogens (norma pokok) menjelaskan tentang status hukum jenis-jenis kejahatan tertentu menurut undang-undang intemasional, dan kewajiban erga omnes menyangkut implikasi hukum sifat-sifat kejahatan tertentu sebagaijus cogens (norma pokok). Tentu saja Pengadilan Hukum Internasional mengakui pelarangan dalam hukum internasional terhadap tindakan-tindakan seperti yang terjadi di Timor Timur sebagai kewaj iban erga omnes, yaitu kewajiban bagi semua negara untuk mempunyai minat hukum, dalam memenuhi:
“Ferbedaan penting harus ditetapkan antara kewajiban suatu negara terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan dan kewajiban yang muncul dalam hubungan langsung antar negara [.] Dan sfat dasarnya, kewajiban pertama menyangkut semua negara. Men ilai pentingnya hak-hak yang terlibat, semua negarayang berupaya memberiperlindungan bisa dianggap memiliki kepentingan hukum; kewajiban-kewajiban tersebut adalah kewajiban-kewajiban erga omnes (bagi semua negara).” “Kewajiban semacam itu berasal dan, misalnya, hukum internasional moderen, dan menyatakan tindak agresi dan genosida sebagai sesuatu yang melanggar hukum, serta daripokok-pokok dan aturan-aturan tentang hak—hak dasar manusia, termasuk penlindungan dan perbudakan dan diskriminasi berdasarkan ras. Beberapa bentuk hak perlindungan telah dimasukkan ke dalam bagian hukum internasional; dan yang lainnya berikan kepada sejumlahperangkat internasional yang bersfat universal penuh atau tidak. “23
B. Kejahatan perang
Pada dasamya, kejahatan perang bisa digambarkan sebagai pelanggaran undang-undang dan kebiasaan semasa perang, yang menuntut tanggungjawab perorangan. Kejahatan perang
dianggap sebagai suatu bentuk kejahatan menurut hukum internasional baik yang berasal dan hukum lokal suatu negara (customary law) maupun yang berasal dan basil traktat/konvensi (conventional law). Pasal 6(b) pada Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg, menjelaskan kejahatan perang sebagai: ‘pelanggaran undang-undang dan kebiasaan semasaperang. Pelanggaran tersebut bisa termasuk, tetapi tidak tenbatas hanya pada.- pembunuhan, perlakuan bunuk
23
Pengadilan Internasional, Barcelona Traction, Light and Power Company Ltd., Keputusan, di ICJ, Laporan tahun 1972, paragraf 33-34. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
Tuntutan Keadilan
16
ataupemulangan buruh kerjapaksa atauyang berfungsi memulangkan masyarakat sipil lainnya atau di wilayah yang diduduki, pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tahanan perang atau orang-orang yang berada di laut, pembunuhan sandera, penjarahan properti umum dan perorangan, penghancuran kota, atau desa dengan tanpa alasan, ataupenghancuran yang tidak berkepentingan militer.” Definisi mi ditegaskan kembali oleh Komisi Hukum Internasional PBB dalam Azas azas Hukum Internasional yang diakui dalam Piagam Mahkamah Nuremberg dan dalam Keputusan Mahkamah (Pasal VI (b)). Azas-azas yang dimuat dalam Piagam dan Keputusan Nuremberg diakui sebagai azas-azas hukum internasional oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946.24
Kejahatan perang termasuk “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa. Menurut Konvensi Jenewa yang Ke-empat, kejahatan perang termasuk: pembunuhan yang disengaja, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau luka parah pada tubuh atau kesehatan, pengusiran atau pemindahan atau penahanan masyarakat sipil secara tidak sah, memaksa orang yang dilindungi untuk bergabung dengan pasukan yang bermusuhan, atau dengan sengaja mengacuhkan hak-hak orang yang dilindungi untuk mendapat pengadilan umum yang adil, menyandera dan melakukan pengrusakan berat serta melakukan penjarahan properti yang tidak didasari kepentingan militer dan dijalankan secara tidak sab dan dengan tanpa alasan. Menurut Tambahan Protokol I, bentuk-bentuk kejahatan sebagai berikut, diantaranya, termasuk bentuk pelanggaran berat dan karenanya merupakan kejahatan perang: meluncurkan serangan tanpa pandang bulu yang mempengaruhi penduduk sipil atau sasaran sipil dengan pengertian serangan itu akan menyebabkanjatuhnya korbanjiwa besar, melukai warga sipil atau merusak sasaran sipil; meluncurkan serangan terhadap sarana atau instalasi dengan menggunakan kekuatan berbahaya dengan pengertian serangan itu akan menyebabkanjatuhnya korbanjiwa besar, melukai warga sipil atau merusak sasaran sipil; memindahkan beberapa bagian penduduk sipil dan wilayah asal negara agresor ke berbagai wilayah yang diduduki, atau memulangkan atau memindahkan semua atau sebagian penduduk wilayah yang diduduki baik di dalam maupun di luar wilayah tersebut; menunda pemulangan para tahanan perang atau tahanan sipil tanpa alasan kuat; dan melakukan praktek apartheid dan praktek-praktek tidak manusiawi dan merendahkan Iainnya seperti penghinaan martabat pribadi berdasarkan diskriminasi rasial. Meskipun Indonesia belum menyetujui Protokol mi, ketetapan-ketetapan tentang pelanggaran serius secara umum dianggap mencerminkan hukum internasional yang
24
Resolusi 95(I) Majelis Umum PBB (1946)
Al Index: ASAJI9I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
17
diambil dan hukum lokal yang diakui oleh negara (customary law). 25 Konflik di Timor Timur oleh masyarakat intemasional dianggap sebagai konflik internasional bersenjata, mengingat status Timor Timur sebagai wilayah yang tidak menjalankan pemerintahan sendiri dan penggabungan Timor Timur menjadi bagian Republik Indonesia di tahun 975 yang tidak diakui masyarakat internasional. Kalaupun koflik tersebut tidak dianggap sebagai konflik internasional bersenjata, larangan Pasal Umum 3 pada Konvensi Jenewa yang termasuk kejahatan perang, tetap berlaku. 26 Pelanggaran-pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan Protokol I, serta pelanggaran Pasal Umum 3, menetapkan tanggungjawab kriminal perorangan. 27
III.
Peranan tanggungjawab kriminal perorangan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang
Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg menyatakan dalam keputusannya bahwa “Kejahatan yang melanggar hukum internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh pelaku yang abstrak, dan hanya dengan menghukum para individu yang melakukan kejahatan tersebut ketetapan hukum internasional dapat 28 dilaksanakan.” Sejak dibentuknya Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg, azas hukum intemasional adalah setiap individu memiliki hak-hak internasional yang lebih penting dan batasan-batasan nasional, dan bahwa para individu yang bertanggungjawab atas kejahatan
25
Laporan Aithir Komisi Para AhIi yang dibentuk sesuai dengan Resolusi 780 Dewan Keamanan PBB (1992), Dokumen PBB S/i 994/674, paragraf 45. Pasal Umum 3 melarang tindakan-tindakan berikut mi yang dilakukan terhadap warga sipil dan pejuang yang meletakkan senjata mereka atau telah dinyatakan hors de combat atau tidak berkemampuan melakukan perlawanan: (a) Kekerasan terhadap nyawa dan individu, terlebih segala bentuk pembunuhan, penganiayaan, perlalcuan buruk dan penyiksaan;
26
(b) Penyanderaan; (c) Penghinaan martabat pribadi, teriebih melalui perlakuan yang memalukan dan merendahkan; (d) Menjatuhkan hukuman dan menjalankan hukuman mati tanpa didukung oleh keputusan pengadilan umum yang memberi jaminan hukum yang diakui sebagai hak masyarakat beradab. 27
Larangan-larangan tersebut menurut Pasal 8 Ketetapan Roma, masih merupakan yurisdiksi
Pengadilan Kriminal Internasional. 28
Konspirasi dan Agresi Nazi: Pendapat dan Keputusan (Keputusan Nuremberg), Kantor Percetakan
Pemerintah Amerika Serikat 1947, halaman 41. Amnesty International 28 Oktober 1999
A! Index: ASA/191/99
18
Tuntutan Keadilan
internasional seperti kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, penyiksaan dan kejahatan perang harus diadili. Azas tanggungjawab perorangan dan azas hukuman bagi kejahatan menurut hukum internasional sudah ditegaskan oleh berbagai perangkat hukum internasional, termasuk Konvensi mengenai Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan Genosida tahun 1948 (Pasal III dan IV); Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi serta Merendahkan Martabat (Konvensi Anti Penyiksaan); Ketetapan ICTY (Pasal 7.1 dan 23.1); Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Rwanda (ICTY) (Pasal 6.1 dan 22.1); dan Ketetapan Roma ICC (Pasal 25).
Tanggungjawab kriminal perorangan berlaku tanpa pengecualian bagi individu manapun di dalam sususan pemerintahan ataujajaran komando militer yang terlibat dalam pelaksanaan bentuk kejahatan semacam itu. 29
A. Hilangnya Kekebalan bagi para kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggungj awab
Kekebalan umum yang dinik.mati oleh para kepala negara dan pejabat pemerintah lainnya tidak berlaku bagi kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Azas hukum internasional mi diberlakukan sejak Perang Dunia Pertama, ketika terjadi upaya upaya untuk mengadili Kaiser Jerman atas pelanggaran hukum internasional. Pasal 7 pada Piagam Nuremberg menyatakanjika: “Posisi resmi terdakwa, apakah dia sebagai kepala negara atau pejabat yang bertangungjawab dalam departemen pemerintah, tidak boleh dibebaskan dan tanggungjawab atau diberikan kelonggaran hukuman. Mahkamah Nuremberg menyimpulkan bahwa kekebalan yang dimiliki negara tidak berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam hukum internasional: “Telah disampaikan bahwa4ika tindakan yang dipermasalahkan adalah tindakan suatu negara, orang-orangyang menjalankannya tidak bertanggungjawabpribadi, tetapi dilindungi oleh doktrin Kedaulatan Negara. Mahkamah berpendapat [pendirian mi] harus ditolak...Azas hukum internasional, yang dalam keadaan tertentu, melindungi wakil suatu negara, tidak dapat diberlakukan bagi tindakan tindakan yang dikutuk sebagai tindak icriminal oleh hukum internasional. Orang orang yang mengzjinkan tindakan-tindakan semacam itu tidak bisa berlindung
29
Komisi Hukum Intemasional, Laporan Komisi Hukum Internasional PBB pada sidang ke-48, 6 Mei
sampai 26 Juli 1996, dokumen A/51/10, lampiran 10, halaman 34. Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
19
dibelakang kedudukan mereka sebagaipejabatpemerintah guna membebaskan din dan hukuman di pengadilan yang bersangkutan.” ° 5 Seperti yang dinyatakan di atas, azas-azas yang dijabarkan dalam Piagam dan Keputusan Nuremberg, termasuk azas yang menyatakan para kepala negara dapat dituntut untuk bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, secara umum sudah lama diakui sebagai bagian dan hukum internasional. Keputusan pokok hukum internasional bahwa para kepala negara dan pejabat pemerintah tidak mendapat kekebalan dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terus menerus dikukuhkan selama lebih dan setengah abad oleh masyarakat internasional dan menjadi bagian dan hukum internasional yang diambil dan hukum lokal yang suatu negara (customaly law). Komisi Hukum Internasional PBB baru-baru mi menyatakan:
“Seperti yang diakui lebihjauh oleh Mahkamah Nuremberg dalam keputusannya, menurut hukum internasional, orang-orang yang mengfinkan terjadinya tindak kejahatan tidak bisa n2enggunakan kedudukan resmi mereka untuk mengelak dan hukuman di pengadilan yang bersangkutan. Hilangnya semua proses kekebalan dalam pengadilan atau penjatuhan hukuman di pengadilan merupakan akibat penting dan hilangnya segala bentuk kekebalan atau pembelaan.” ’ 5 Azas tanggungjawab kriminal perorangan bagi para kepala negarajuga disebutkan dalam berbagai traktat dan perangkat hukum internasional lainnya sejak Nuremberg. 32 Yurisprudensi internasional telah mengulangi kembali azas tersebut. Dewan Pengadilan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslvia (ICTY) baru-baru mi menekankan mengenai tuduhan penyiksaan bahwa keputusan tanggungjawab kriminal bagi para kepala negara menurut hukum internasional pada Ketetapan ICTY dan pada —
°
—
Keputusan Nuremberg, catatan awal 15, halaman 4 1-42. Laporan Komisi Hukum Internasional, catatan awal 29.
32
Pasal 6 pada Piagam Mahkarnah Militer Internasional bagi Asia Pasifik (1946); Pasal 4(a) Undang undang Dewan Kendali Sekutu No. 10; Pasal IV pada Konvensi bagi Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida (1948); Azas Ketiga dan Azas-azas Hukum yang diakui dalam Piagam Mahkamah Nuremberg dan Keputusan Mahkamah (1950); Pasal 3 pada Rancangan Kitab Undang-undang Pelanggaran Perdamaian dan Hukuman Kejahatan Apartheid; Pasal 7 pada Ketetapan ICTY 1993; Pasal 6(2) pada Ketetapan ICTR 1994; Pasal 14 pada Dekiarasi PBB mengenai Perlindungan Semua Orang dan Penghilangan Paksa; Pasal 7 pada Rancangan Kitab Undang-undang PBB tentang Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia yang diberlakukan oleh Komisi Hukum Internasional pada tahun 1996, dan Pasal 27 pada Ketetapan Roma ICC. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
20
Tuntutan Keadilan
Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional adalah bagian dan hukum intemasional yang mengambil aspek hukum lokal suatu negara (customary law): “Orang-orang yang melakukan penyiksaan, secara pribadi memegang tanggungjawab kriminal...Para individu bertanggungjawab secarapribad4 apapun kedudukan mereka, meskipun jika mereka adalah kepala negara atau menteri pemerintahan: Pasal 7(2) Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslavia dan pasal 6(2) Ketetapan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi Rwanda...adalah deklarasi hukum internasional yang berasal dan hukum lokal suatu negara (customaly law) yang tidak bisa dipungkiri.” 33 Jaksa penuntut ICTY baru-baru mi menyatakan, “Secara hukum, membebaskan tanggungjawab para kepala negara yang berkuasa setelah pecahnya Yugoslavia dan tanggungjawab atas tindakan-tindakan yang terjadi selama perang adalah hal yang salah.” Sebagai tambahan, jaksa penuntut mencacat bahwa “ketetapan Mahkamah sangat jelas...mereka tidak akan membebaskan seseorang yang berkedudukan sebagai kepala negara dan tanggungjawab di hadapan Mahkamah.” 34 Komisi Hukum Internasional PBB menjelaskan mengapa keputusan yang menyatakan para pemimpin negara dan pejabat pemerintah tidak kebal dan kejahatan menurut hukum internasional adalah bagian penting dan sistem peradilan internasional: “...kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia sering kali membutuhkan keterlibatan orang-orang yang memegangjabatan pemerintahan yang mampu membuat rencana atau kebijakan yang melibatkan tindakan-tindakan yang berbobot dan berskala besar. Tindak kejahatan tersebut membutuhkan kekuasaan untuk menggunakan atau mengijinkan diambilnya langkah-langkah yang diperlukan dalam penghancuran dan untuk mengerahkan personil yang melakukan kejahatan tersebut. Seorangpejabat pemerintah yang merencanakan, menghasut, menginkan atau memerintahkan kejahatan semacam itu, tidak hanya memberi jalan dan menyediakan personil yang dibutuhkan untuk melakukan kejahatan tetapi juga menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya. Karena itu dia bisa dianggap lebih bersalah dan para anak buah yang menjalankan tindak kriminal tersebut. Suatu hal yang berlawanan jika para individu yang dalam beberapa kasus memegang tanggungjawab terbesar atas kejahatan [yang dimztat oleh Rancangan Kitab Undang-.undang Kejahatan terhadap Perdamaian dan —
—
Penuntut melawan Furund ija, Keputusan, Kasus No. IT-95-17!1-T, paragraf 140. ‘Para pejabat tertinggi bekas wilayah Yugoslavia tidak kebal dan peradilan: PBB’, Zagreb, AFP, 11 Januari 1999. Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
21
Keamanan Umat ManusiaJ diUinkan menggunakan kedaulatan negara dan bersernbunyi di belakang kekebalan yang diberikan sebagai kemudahan darijabatan mereka terlebih sejak kejahatan berat yang dilakukan mengejutkan hati nurani manusia, melanggar beberapa bagian terpenting dan hukum internasional dan mengancam perdamaian serta keamanan internasional.
B.
Tanggungjawab komandan militer dan pejabat tinggi lainnya
Komadan-komandan militer dan orang-orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tidak hanya memegang tanggungjawab kriminal karena mengeluarkan perintah, menghasut, berkomplot untuk melakukan atau melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan/atau kejahatan perang, tetapi juga bertanggungjawab karena mentolerir tiridak kejahatan semacam itu atau tidak mengambil Langkah-Iangkah yang dibutuhkari untuk mencegah, menghentikan atau menekannya, ketika mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa anak buah mereka akan melakukan pelanggaran tersebut atau telah melakukannya.
mi adalah azas hukum internasional yang sudah lama terbentuk, diakui oleh Konvensi Den Haag tanggal 18 Oktober 1907 (IV) yang menghormati Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, serta diulangi kembali dalam berbagai perangkat hukum internasional seperti Tambahan Protokol I pada Konvensi Jenewa 1949, bahwa para pemimpin militer bertanggungjawab atas tindakan pasukan dibawah komando mereka dan bertanggungjawab atas orang-orang yang berada di bawah wewenang mereka dan karenanya merekalah yang bertanggungjawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan para anak buah mereka jika hal tersebut berhubungan langung atau tidak langsung dengan terjadinya tindak kejahatan. Komisi Para Ahli mengenai pelanggaran berat undang-undang kemanusiaan internasional yang terjadi di bekas wilayah Yugoslavia menegaskan bahwa, menurut hukum intemasional: “Seseorang yang memberi perintah untuk melakukan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan juga dianggap bersalah seperti orang-orang yang melakukan tindakan tersebut. Azas mi, yang dinyatakan dalam Konvensi Jenewa 1949, berlaku bagi para pemimpin militer, baik yang bergabung dalam angkatan bersenjata normal atau bukan. dan bagi para pejabat sipil.” 36
Laporan Komisi Hukum Internasional 1996, catatan awal 26. 36
Dokumen PBB S/1994/674, paragraf 55.
Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
22
Tuntutan Keadilan
Dewan Pengadilan Mahkamah Kejahatan Internasional bagi bekas wilayah Yugoslavia (ICTY) menetapkan: “tanggungjawab komandan atas tindakan tidak sah anak buah mereka ditentukan dengan jelas oleh hukum internasional (customary law dan convetional law).” 37 Azas mi juga diakui dalam berbagai keputusan peradilan sejak Perang Dunia Kedua, misalnya: dalam kasus Yamashita, Von Leeb “PengadilanKomandan Tinggijerman”dan dalam kasus List (pengadilan sandera), 38 juga oleh yurisprudensi ICTY. —
Dalam kasus List (pengadilan sandera), Mahkamah Militer Amerika Serikat menyatakan: ‘Tugas dan kewajiban menjaga perdamaian dan ketertiban, serta pencegahan kejahatan berada ditangan perwira pimpinan. Dia tidak bisa mengesampingkan fakta-fakta nyata dan mengajukan pembelaan menggunakan alasan tidak tahu menahu.” 39 Komisi Hukum Internasional menegaskan bahwa “komandan militerjuga terlibat dalam tindak kejahatan yang dilakukan anak buahnya jika tidak mencegah atau menekan tindakan yang rnelanggar hukum.” 40 Komisi juga menegaskan bahwa konsep “superior” tidak hanya berlaku bagi “komandan yang bertanggungjawab langsung atas anak buahnya, tetapi juga bagi para perwira atasan lainnya dalam jajaran komando militer atau dalam susunan pejabat pemerintahan. Dengan cara mi “para komandan militer atau aparat sipil lainnya yang berada pada posisi wewenang yang sama dan yang menjalankan tingkat wewenang yang sama dengan dihormati para anak buah mereka” menggenggam tanggungjawab kriminal jika gagal bertugas mencegah atau menekan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan oleh anak buab mereka. 41 Prinsip tanggungjawab kriminal seorang komandan militer atau pejabat tinggi militer lainnya karena tidak memenuhi tugas untuk mencegah dan/atau menghukum
Dewan Pengadilan, Keputusan 16 November 1998, Kasus No. IT-96-21-T, Penuntut melawan Z. Delalic dan Iainnya, paragraf 734. Lihat Laporan-laporan Hukum tentang Pengadilan Pen jahat Perang, Komisi PBB mengenai Kejahatan Perang. Keputusan tanggal 19 Februari 1948, Buku Tahunan Kasus-kasus Hukum Umum Internasional, 1948, halaman 652. °
Laporan Komisi Hukum Intemasional, 1996, Dokumen Tambahan PBB (No. 10) A/SI/b!, halaman 38. Laporan Komisi Hukum Internasional, 1996, Dokumen Tambahan PBB (No. 10) A/S 1/10!, halaman 38. Al Index: ASAJI91/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
23
tindakan melanggar hukum yang dilakukan anak buah, dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, diakui penuh dalam berbagai perangkat hukum 42 Pasal 28 (1) pada Ketetapan Pengadilan Kriminal Internasional (Ketetapan intemasional. Roma) menjelaskan azas tersebut secara menyeluruh dan jelas:
“Menurut Ketetapan mi, sebagai tambahan dasar-dasar tan ggungj awab kriminal lainnya bagi kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan: 1. Seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer harus bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksi Pengadilan, yang dilakukan olehpasukan dibawahpimpinan dan kendalinya, atau dibawah wewenang dan kekuasaan sebagai hasil dan kegagalan komandan memberlakukan pengendalian pasukan dengan benar, dimana: (a) Komandan militer atau orang terse but mengetahui atau, sesuai dengan keadaan berlaku saat itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukannya melakukan atau akan melakukan kejahatan semacam itu; dan (b) Komandan militer atau orang tersebut gagal mengambil semua langkah yang diperlukan dan yang masih berada dalam kemampuannya dalam mencegah atau menekan terjadinya pelanggaran, atau menyerahkan masalah tersebut ke tangan aparat yang layak menyelidiki dan menjatuhkan hukuman.” Azas-azas yang samajuga berlaku bagi para pejabat sipil, seperti yang diakui dalam Pasal 28 (2) Ketetapan Roma: ‘2. Mengenai hubungan atasan dan anak buah yang tidak dUelaskan dalam paragraf(’l), seorangpejabat atasan akan memegang tanggungjawab kriminal atas kejahatan yang terjadi di dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh anak buah yang berada di bawah wewenang dan kendalinya, sebagai hasil dan kegagalan alasan mengendalikan anak buah dengan benar, dimana:
42
Pasal 86(2) Tambahan Protokol I Konvensi Jenewa; Pasal 7.2 Ketetapan ICTY; Pasal 6.3 Ketetapan ICTR; Pasal 2 (2,c) dan 6 Rancangan Kitab Undang-undang PBB tentang Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia (1996); Pasal 28 Ketetapan ICC; Azas 19 pada Azas-azas PBB mengenai Pencegahan dan Penyelidikan EfektifHukuman Mati di luar Hukum, Sewenang-wenang dan Cepat; Pasal 5 Kitab Panduan PBB bagi Para Penegak Hukum; dan Pasal 9.3 Rancangan Konvensi PBB mengenai Perlindungan Semua Orang dan Penghilangan Paksa. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
24
Tuntutan Keadilan
(a) Atasan mengetahui atau secara sadar mengesampingkan informasi yang menyatakan dengan jelas bahwa anak buahnya melakukan atau akan melakukan kejahatan semacam itu; (b) Kejahatan tersebut berupa tindakan-tindakan yang masih merupakan bagian dan tanggungjawab dan kendali atasan secara efektf dan (c) Atasan gagal mengambil semua langkah yang diperlukan dan yang masih dalam kemampuannya dalam mencegah atau menekan terjadinyapelanggaran, atau menyerahkan masalah tersebut ke tangan aparat yang layak menyelidiki dan menjatuhkan hukuman.” Tanggungj awab komandan militer dan pej abat tinggi sipi Ij uga mencakup kejahatan yang di lakukan oleh kelompok-kelompok paramiliter dan/atau kelompok-kelompok bersenjata lainnya yang tidak diatur sebagai bagian dan struktur militer resmi, yang beroperasi dibawah kendali mereka, baik bertindak sesuai dengan instruksi khusus dan darurat dan pasukan yang resmi rnaupun tidak. 43 Hukum Internasional menetapkan bahwa dalam keadaan tertentu, kejahatan yang dilakukan oleh individu tunggal, sebagai de facto suatu negara, bisa menyebabkan komandan militer atau orang yang bertindak secara efektif sebagai komandan militer dituntut tanggungjawab kriminal. Dewan Pengadilan Banding ICTY menyatakan: “Kasus-kasus lainnya juga membuktikan bahwa para individu tunggal yang bertindak di dalam kerangka kerja atau yang berhubungan dengan angkatan bersenjata, atau bekerjasama dengan aparat negara, bisa dianggap secara defacto sebagai alat negara. Dalam hal in mengenai tanggungjawab negara, tindakan para individu terse but dianggap berhubungan dengan negara, dan juga dapat dikenaki tanggungjawab kriminal perorangan. “i’
C.
Tanggungjawab kepatuhan dan kejahatan terhadap kemanusiaan
Ketentuan mi adalah bagian dan undang-undang internasional yang menentukan bahwa alasan mendapat perintah dan perwira atasan atau dan pemerintah dan azas tanggungjawab kepatuhan, tidak bisa digunakan untuk menghindari tanggungjawab kriminal. Semua anak buah yang berperan dalam tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan mengikuti perintah perwira atasan, juga bertanggungjawab atas kejahatan tersebut.
ICTY, Penuntut melawan Tadic, Keputusan 15 Juli 1999. Penuntut melawan Tadic, Keputusan 15 Juli 1999, paragraf 144. A/Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
25
Azas tanggungjawab kriminal anak buah dengan jelas diakui dalam perangkat hukum internasional yang menjelaskan kejahatan menurut hukum internasional, 45 dan azas tersebutjuga diakui dalam beberapa perangkat hak asasi manusia. 46 Azas tanggungjawab kriminal menyatakan setiap orang yang menerima perintah untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang tidak hanya memiliki hak tetapi diaj uga waj ib melanggar perintah tersebut.
Pasal 8 Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg (1945); Pasal 6 Piagam Mahkamah Militer Internasional bagi Asia Pasifik (1946); Pasal II(1)(c) dan II(4)(b) Undang-undang Dewan Kendali Setuku No. 10 (1946); Pasal 7(4) Ketetapan ICTY; Pasal 6(4) Ketetapan ICTR; Pasal 5 Rancangan Kitab Undang-undang Perdamaian dan Keamanan Umat Manusia (1996); dan Pasal 33 Ketetapan Roma ICC. 46
Pasal 2(3) Konvensi Anti Penyiksaan PBB; Azas 19 pada Azas-azas PBB mengenai Pencegahan dan Penyelidikan Efektiftentang Hukuman Mati di luar Hukum, Sewenang-wenang dan Cepat; Pasal 5 Kitab Panduan PBB bagi Para Penegak Hukum; dan Pasal 6(1) Dekiarasi PBB mengenai Perlindungan Semua Orang dan Penghilangan Paksa. Amnesty International 28 Oktober 1999
A/Index: ASA/191/99
26
IV.
Tuntutan Keadilan
Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang ditentukan oleh yurisdiksi Internasional
Menurut azas yurisdiksi internasional, negara manapun boleh dan harus mengadili orang orang yang dicurigai melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang, terlepas dan dimana kejahatan tersebut terjadi. kewarganegaraan pelaku dan korbannya. Azas mi telah diakui oleh undang-undang internasional sejak dibentuknya Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg, yang memiliki yurisprudensi atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terlepas dan lokasi kejahatan yang dilakukan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, azas yang ditetapkan dalam Piagam dan Keputusan Nuremberg mi diakui sebagai azas hukum internasional oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946. Tindak genosida dan penyiksaan, sesuai dengan hukum internasional, merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang juga ditentukan oleh yurisdiksi universal. Kepentingan norma hukum erga omnes (bagi semua negara untuk mempunyai minat hukum) mengijinkan negara manapun untuk memberlakukan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti halnya pembajakan, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang boleh diadili oleh negara manapun. Hak dan kewajiban yang menjamin ditegakkannya hukum intemasional bukan hanya dipegang oleh satu negara tertentu tetapi oleh setiap negara, dengan tujuan menjalankan yurisdiksi universal dan menghukum para 47 pelakunya. Konvensi Jenewa memiliki ketetapan khusus mengenai yurisdiksi internasional. Pasal 146 pada Konvensi Jenewa Ke-empat menyatakan: “Semua pihak wajib mencari orang-orang yang dituduh melakukan, atau mengeluarkan perintah untuk melakukan pelanggaran berat dan harus membawa orang-orang tersebut ke pengadilan nasional, apapun kewarganegaraan mereka. Sesuai dengan ketetapan undang-undang nasional, negara tersebut juga boleh menyerahkan para terdakwa untuk diadili oleh pihak lain, jika badan hukum di negara yang bersangkutan mengajukan kasus prima facie atau kasus yang
“le droit ou le devoir d’assurer I ‘ordre public n ‘appartient a aucun pays [...J tout pays, dans l’intérët, peut saisir elpunir”, Cour Permanente de Justice Internastionale, Affaire du Lotus (France/Turquie), arrët du 7 septembre 1927, Serie A, N° 10, p. 70, opinion individuelle du Juge Moore. Al Index: ASAJI9I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
27
didukung bukti cukup sehingga kasus bisa dijalankan berdasarkan kurangnya bukti yang bertentangan. ir4S Sebagai tambahan, semua negara wajib mengadili dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang dan bekerjasama dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Pada tahun 1973, Majelis Umum PBB memberlakukan azas-azas kerjasama internasional PBB dalam menemukan, menahan. mengekstradisi dan menghukum orang orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Azas-azas tersebut juga membantu penyusunan daftar kewajiban yang Iengkap dan terperinci yang menyatakan semua negara harus mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (lihat lamp iran) Ketetapan Roma oleh Pengadilan Kriminal Internasional menyatakan dalam paragraf 4 sampai 6 pada Preambul-nya “bahwa kejahatan paling serius yang mengkliawatirkan masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan dan upaya pengadilan secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memperkuat kerjasama internasionaP’; Ketetapan berniat “menghentikan hak kekebalan bagi para pelaku kejahatan tersebut” dan menyatakan kembali “bahwa merupakan tugas setiap negara untuk memberlakukan yurisdiksi kriminal terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan yang bersifat internasional.”
V.
Tugas mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang meskipun kejahatan yang dilakukan tidak dilarang oleh undang-undang nasional negara
Kegagalan suatu negara untuk memasukkan undang-undang internasional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang ke dalam undang-undang kriminal negara tidak dapat mengecualikan negara tersebut dan tanggungjawab internasional untuk menjalankan penyelidikan peradi lan. Perj anj ian Internasional
48
Kewajiban mi berlaku sama dengan pelanggaran berat Protokol I.
Azas-azas PBB mengenai kerjasama internasional dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. diberlakukan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 3074 (XXVIII) pada tanggal 3 Desember 1973. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
Tuntutan Keadiian
28
mengenai Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) (Pasal 15(2)) dan Perjanjian Eropa mengenai Hak Asasi Manusia (Pasal 7(2)) menjelaskan bahwa sesorang yang dituduh snelakukan kejahatan menurut hukum internasional bisa diadili sesuai dengan azas-azas yang ditetapkan dan diakui oleh hukum internasional. Dengan menyebutkan azas-azas Keputusan Nuremberg dan Dekiarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Komisi Anti Penyiksaan PBB mempertimbangkan dalam kasus penyiksaan kewajiban bertanggungjawab muncul terlepas apakah suatu negara telah meloloskan Konvensi Anti Penyiksaan PBB atau tidak, karena “peraturan umum hukum internasional mengharuskan semua negara untuk mengambil langkah-langkah efektif guna mencegah penyiksaan dan menghukum tindak peny iksaan.” ° 5 Azas-azas yang diberlakukan oleh Mahkamah Nuremberg juga dicerminkan dalam pengakuan Komisi Hukum Internasional PBB bahwa “hukum internasional mungkin menekankan kewajiban pada setiap individu secara langsung tanpa campur tangan hukum dalam negeri.” ’ 5
VI.
Tidak berlakunya pembatasan berdasarkan waktu
Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dapat dipengaruhi pembatasan berdasarkan waktu. Karenanya, berlalunya waktu tidak dapat menghilangkan tanggungjawab negara untuk mendakwa, mengadili dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang. 52 Dalam keputusan tanggal 26 Januari 1984 pada kasus Touvier, Pengadilan Tinggi (Cour de Cassation) di Perancis menetapkan bahwa azas tidak berlakunya pembatasan berdasarkan waktu bagi kejahatan terhadap kemanusiaan diakui oleh masyarakat dunia.
50
Komisi Anti Penyiksaan PBB, keputusan 23 November 1989, Komunikasi No. 1/1988, 2/1988 dan 3/1988, Argentina, keputusan November 1989, paragraf 7.2. ‘
Laporan Komisi Hukum Internasional mengenai tugas sidang ke-48, 6 Mei-26 Juli 1996, Dokumen PBB A/S 1/10/ halaman 16. Azas mi ditetapkan dalam beberapa traktat: Konvensi mengenai Ketidakberlakuan Pembatasan Berdasarkan Waktu bagi Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, yang diberlakukan oleh Majelis Umum PBB Resolusi 2391 (XXII) tahun 1968; Traktat Dewan Eropa: Ketidakberlakuan Pembatasan Berdasakan Waktu bagi Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Perang, E.T.S. No. 82, diberlakukan pada tanggal 25 Januari 1974, dan Pasal 29 Ketetapan Pengadilan Kejahatan Internasional. 52
Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
VII.
29
Pelarangan suaka
Orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang tidak bisa menikmati suaka atau mengungsi di negara lain. Ketetapan mi ditentukan dalam Azas 7 pada Azas-azas PBB mengenai kerjasama internasional dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan; Pasal 1 (f) Konvensi yang Berhubungan dengan Status Pengungsi; dan Pasal 1(2) Deklarasi PBB mengenai Suaka Teritorial.
VIII.
Undang-undang pembebasan hukuman dan pengampunan
“If/al] vanc sangut f?c’nting sebelurn inembicarakan peru/ukwt. ada/au keadilan hurus dicapui. Keadilan harus diprakwkkan terlebih dahulu. Orang-orwig yang merasa hersak,h. yang membunuh saudara-saudara mere/ca scndiri...vang membakar rumuh-ru,nah niereka, hams inengakui kesu/ahan merc’ka kepada rakvat Tirnor Timur.
Uksup Carlos Belo yang dianggap sebagai pemimpin spiritual rakyat Timor Tirnur, berbicara di reruntuhan tempat kediamannya di Dili, Reuters (12 Oktober [999).
Semua negara tidak hanya memiliki kewajiban internasional untuk tidak melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, tetapi ketika bentuk kejahatan semacam itu terjadi, mereka wajib menyelidiki fakta kejadian, menemukan kebenaran, mengadili dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab sepadan dengan kejahatan yang dilakukan dan menyediakan ganti rugi bagi para korban. mi adalah azas penunjuk dan hukum internasional yang ditetapkan kembali oleh berbagai lembaga internasional. Misalnya, dan seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, Komisi Anti Penyiksaan menganggap azas tersebut sebagai “ketetapan umum dan hukum intemasional yang mewajibkan semua negara untuk mengambil langkah-langkah efektif guna mencegah penyiksaan dan menghukum semua tindak penyiksaan.” 53 Azas mi juga ditetapkan kembali oleh Pengadilan Inter-Amerika mengenai Hak Asasi Manusia: “negara memegang kewajiban hukum untuk mengambil langkah-langkah yang cukup guna mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan siap menggunakan segala cara untuk menjalankan penyelidikan serius tentang pelanggaran yang terjadi di dalam yurisdiksi negara, untuk menemukan para pelakunya, untuk menjatuhkan hukuman yang pantas dan untuk
Komisi Anti Penyiksaan PBB, Keputusan tentang komunikasi 1/1988, 2/1988 dan 3/1988,23 November 1989, paragraf 7(2). Amnesty International 28 Oktober 1999
A/Index: ASA/191/99
30
Tuntutan Keadilan
memastikan para korban mendapat ganti rugi yang cukup.” 54 Komsisi PBB mengenai Hak Asasi Manusia berulang kali mengingatkan negara-negara atas tugas mi dalam berbagai resolusi yang diberlakukan bagi masalah penghilangan paksa. 55 Kewajiban internasional untuk mengadili dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya suatu azas dasar dan undang-undang internasional tetapi juga diabadikan dalam sejumlah traktat hak asasi 56 manusia. Komisi Hak Asasi Manusia mempertimbangkan ‘bahwa pihak negara [dalam konteks ICCPR] memi 1 iki kewaj iban untuk menyel idiki tuduhan-tuduhan pe Ianggaran hak asasi manusia secara tuntas, terlebih mengenai penghilangan paksa serta pelanggaran hak hidup, dan untuk mengadili serta menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut. Kewajiban mi lebihjelasnya berlaku dalam kasus-kasus dimana para 57 pelaku kejahatan sudah diketahui.?t Pembebasan hukuman adalah suatu hal yang melanggar undang-undang hak asasi manusia internasional. Dengan memberlakukan Dekiarasi Wina dan Program Aksi pada Konfrensi Dunia mengenai Hak Asasi Manusia di bulan Juni 1993, masyarakat intemasional menekankan kembali pentingnya ‘membatalkan legislasi yang bertujuan memberlakukan pembebasan hukuman bagi orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia berat seperti penyiksaan dan mengadili pelanggaran semacam itu, dengan demikian menyediakan dasar kuat bagi pelaksanaan undang 58 undang.”
Pengadilan Inter-Amerika mengenai Hak Asasi Manusia, Penjatuhan hukuman tanggal 29 Juli 1988 dalam kasus Velasquez Rodriguez, dalam Serial C: Resolusi melawan Hukuman, N° 4, paragraf 174. Komisi PBB mengenai Hak Asasi manusia, Resolusi 1994/39, paragraf 15 dan 1995/38, paragraf 13. 56
Contohnya: Pasal 4 dan 5 Konvensi Anti Penyiksaan memberlakukan kewajiban bagi negara untuk menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut. Kewajiban mi tidak hanya muncul dalam berbagai traktat; juga lihat Pasal 4 Dekiarasi mengenai Perlindungan bagi Setiap Orang dan Penghilangan Paksa dan Azas 19 pada Azas-azas PBB mengenai Pencegahan dan Penyelidikan terhadap hukuman mati di luar hukum, sewenang-wenang dan cepat yang efektif. Pandangan-pandangan pada tanggal 13 November 1995, Komunikasi No. 563/1993 (Kolombia), Dokumen PBB CCRP/C/5 5/563/1993, paragraf 8(6). 58
Dokumen PBB A/CONF.157/23, paragraf 60.
Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
31
Membiarkan pelanggaran hak asasi manusia lepas dan hukuman bukan hanya melanggar kewajiban intemasional suatu negara untuk menyelidiki fakta kejadian, mengadili dan menghukum para pelakunya. Pembebasan hukuman, sebagaimana ditegaskan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB. menurut pasal 2(3) ICCPR, juga merupakan pelanggaran hak untuk memperbaiki masalah secara efektif. 59 Untuk melindungi hak tersebut set-ta hak memperoleh keadilan, semua negara wajib menghindarkan pembebasan hukuman dan wajib mengambil langkah-Iangkah pencegahan. ° 6 Dalam banyak kasus, langkah-langkah yang diambil suatu negara guna memastikan pembebasan hukuman bagi pelanggaran hak asasi manusia juga melanggar hak untuk mengetahui kebenaran bagi para korban, keluarga mereka dan bagi masyarakat secara umum, serta melanggar hak para korban dan keluarga mereka untuk mendapat ganti rugi. Karenanya, pakar yang ditunjuk oleh Sub Komisi PBB mengenai Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas, yang mempelajari masalah pembebasan hukuman bagi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia, menggambarkan pembebasan hukuman sebagai “kegaa1an negara dalam memenuhi kewaj iban untuk menyel idiki pelanggaran, mengambil langkah-langkah yang diperlukan merigenai para pelaku, terlebih yang menyangkut keadilan dengan memastikan mereka diadili dan dihukum, menyediakan pertolongan dan ganti rugi yang efektif bagi segala bentuk cedera yang dialami korban, dan untuk mengambil langkah-langkah guna mencegah terulangnya kembali pelanggaran tersebut.” ’ 6 Kewajiban internasional semua negara untuk menyelidiki pelanggaran, mengadili dan menghukum para pelaku, menyediakan ganti rugi bagi pada korban dan menemukan kebenaran adalah kewajiban tambahan dan tidak dapat diartikan sebagai kewajiban alternatif atau kewajiban yang dapat digantikan. mi berarti negara-negara yang bersangkutan tidak punya kedudukan untuk memilih kewaj iban mana yang akan dipenuhi. 62 Meskipun jika kewajiban-kewajiban tersebut bisa dipenuhi secara terpisah dan satu sama lainnya, negara tetap wajib memenuhi setiap kewajiban tersebut. Pelapor Khusus PBB
Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Peninjauan dan Kesimpulan April 1999, paragraf 17.
—
Lesotho, CCPRIC/79/Lampiran 106,
°
Pengadilan Inter-Amerika mengenai Hak Asasi Manusia, Penjatuhan hukuman tanggal 22 Januari 1999, ganti rugi dalam kasus Blake Serial C: Resolusi dan Hukuman, N°48, paragraf 64. E/CN.4/Sub.2/1997/20 Tinjauan 1, dokumen kutipan, azas 18.
62
“no es posible que el Estado elija cuál de estas obligaciones habrá du cumplir’, Méndez. Juan, “Derecho a Ia Verdad frente a las graves violaciones a los derechos humanus”, dalam Abreg, MartIn dick. La aplicatión de los tratados sobre derechos humanos por tribunales locales (Buenos Aires: CELS, 1997), halaman 526. Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASAI19I/99
32
Tuntutan Keadilan
mengenai hukuman mati diluar proses hukum, sewenang-wenang dan cepat, memberi penjelasan mi:
“Setiappemerintah menurut hukum internasional wajib menjalankanpenyelidikan panjang dan tidak memihak terhadap tuduhan-tuduhan pelanggaran hak hidup untuk menemukan, mengadili dan menghukum para pelakunya, untuk memberi ganti rugi kepada para korban atau keluarga mereka, dan untuk mengambil langkah-langkah efe kt fguna mencegahpelanggaran semacam itu terulang kembali di masa datang. Dua bagian pertama dan empat rangkap kewajiban merupakan faktor penghalang yang paling efektf untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia [.1 pengakuan hak para korban dan keluarga mereka untuk menerima ganti rugi yang cukup merupakan bentuk pengakuan kewajiban negara atas apa yang dilakukan aparat negara serta merupakan tandapenghormatan bagi sesama umat manusia. Memberikan ganti rugi menandakan pemenuhan kewajiban untuk menjalankanpenyelidikan tentangpelanggaran hak asasi manusia dengan tujuan menemukan dan mengadili parapelakunya. Akan tetapi, ganti rugi keuangan atau lainnya bagipara korban atau keluarga mere/ca sebelumpenyelidikan semacam itu dilakukan aunt dirampungkan, tidak membebaskan suatu pemerintah dan kewajiban tersebut. “
Karena alasan in Komisi Hak Asasi Manusia mempertimbangkan bahwa sangat penting untuk memberlakukan lagkah-langkah ketat dalam menghadapi masalah pembebasan hukuman, dengan memastikan tuduhan-tuduhan pelanggaran hak asasi manusia diselidiki dengan segera dan menyeluruh, para pelakunya diadili dan dihukum dengan cara yang benar dan para korban diberi ganti rugi yang cukup. 64 Ada beberapa cara dimana para pelaku pelanggaran hak asasi manusia mungkin dapat menikmati pembebasan hukuman. Misalnya, aparat suatu negara mungkin gagal menyelidiki pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Terkadang penyelidikan mereka mungkin tidak cepat, tidak menyeluruh atau tidak sesuai dengan standar internasional. Orang-orang yang bertanggungjawab mungkin mendapat pembebasan hukuman ketika negara gagal mengajukan para pelaku pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan, atau ketika hal mi hanya terjadi dalam beberapa kasus tertentu saja. Pembebasan dan hukuman terjadi ketika aparat gagal menyelidiki semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam suatu kasus tertentu, atau gagal mengadili orang-orang
63
Pelapor Khusus PBB mengenai penahanan dengan cepat, di luar proses hukum dan sewenang wenang, Laporan bagi Komisi Hak Asasi Manusia, E/CN.4/1994/7, paragraf 688 dan 711. Komisi Hak Asasi Manusia, Peninjauan dan Usulan bagi Brasil, CCPR/C/79/Lampiran 66, paragraf 20. Al Index: ASAJI9I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
33
yang bertanggungjawab atas semua bentuk kejahatan yang terjadi. Pembebasan hukuman juga terjadi ketika orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran tidak dihukum sesuai dengan keseriusan kejahatan yang dilakukan atau ketika aparat gagal menjamin hukuman dijalankan. Pembebasan hukuman juga nienjadi suatu masalah ketika negara tidak mengakui hak keadilan bagi para korban dengan tidak menjamin dilakukannya pengadilan yang independen dan tidak memihak. Misalnya, suatu negara mungkin menganugerahkan amnesti kepada orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia sebelum mereka dibawa ke pengadilan dan tanggungjawab kriminal mereka ditetapkan oleh pengadilan. Undang-undang amnesti atau Iangkah-langkah lainnya yang diberlakukan sebelum kebenaran kejahatan terungkap dan diumumkan, dan sebelum para korban diberi ganti rugi dan proses peradilan berakhir dengan putusan bersalah atau bebas yang jelas, adalah hal yang bertolak belakang dengan hukum internasional. Masyarakat internasional tidak dapat menerimajika pelanggaran hak asasi manusia dibiarkan berlalu tanpa hukuman dan harus menentang pembebasan hukuman bagi semua kejahatan yang seberat kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Majelis Umum PBB dengan jelas menetapkan bahwa pengampunan tidak bisa diberikan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang: “Semua negara harus tidak mengambil langkah-langkah legislatifatau lainnya yang mungkin melanggar kewajiban internasional yang mengikat mereka dalam menemukan, menahan. mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “65 Sekretaris Jenderal PBB baru-baru mi menetapkan kembali azas mi ketika menyatakan bahwa undang-undang amnesti di Sierra Leone “tidak boleh mencakup kej ahatan-kej ahatan internasional seperti genosida, kej ahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran undang-undang kemanusiaan internasional yang serius 66 Dalam laporan yang sama dia menjelaskan bahwa: lainnya.” “Seperti yang dimuat dalam kesepakatan-kesepakatan damai lainnya, banyak dibw’uhkan komprorni dalam Kesepakatan Darnai Lomé. Sebagai hasilnya,
65
Azas-azas PBB mengenai Kerjasama Internasional dalam Menemukan, Menahan, Mengekstradisi dan Menghukum Orang-orang yang Bersalah Melakukan Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum 3074 (XXVIII) (1973), paragraf 8.
Laporan Ke-tujuh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Leone, Dokumen PBB S/1999/836, 30 Juli 1999, paragraf 7. Amnesty International 28 Oktober 1999
—
Misi Peninjauan di Sierra
Al Index: ASA/191/99
34
Tuntutan Keadilan
beberapa diantara syarat yang menentukan perdamaian mi, terlebih pemberian amnesti, sulit untuk merujukkan tujuan guna mengakhiri pembebasan hukuman yang membudaya, yang merupakan inspirasi bagi pembentukan Mahkamah PBB bagi Rwanda dan bagi bekas wilayah Yugoslavia, dan masa depan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Karenanyapetunjuk bagi Wakil Khusus saya, untuk mengajukan keberatan ketika dia menandatangani kesepakatan damai, dengan jelas menyatakan bahwa bagi Perserikatan Bangsa Bangsa, amnesti tidak mencakup bentuk-bentuk kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang atau pelanggaran undang-undang kemanusiaan internasional yang serius lainnya.” 6 Selain itu, Komisi HakAsasi Manusiatelah berulang kali menegaskan bahwa segala bentuk undang-undang amnesti yang mengacuhkan hak para korban mendapatkan pertolongan, kebenaran dan ganti rugi efektifdan/atau yang berusaha membebaskan negara dan kewajiban mengadili dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia, adalah bentuk yang tidak sesuai dengan kewajiban negara negara internasional menurut undang-undang hak asasi manusia internasional. 68 Dekiarasi PBB mengenai Perlindungan Semua Orang dan Penghilangan Paksa, secara khusus berhubungan dengan pokok pasal 18(1): “Orang-orang yang dituduh atau pernah dituduh melakukan pelanggaran pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 4, paragraf] diatas, tidak bisa menikmati undang-undang amnesti khusus manapun atau langkah-langkah serupa yang mungkin berakibat membebaskan mereka dan segala bentukperadilan atau sanksi.”
67
Laporan Ke-delapan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Leone, Dokumen PBB S/1999/836, 30 Juli 1999, paragraf 54.
—
Misi Peninjauan di Sierra
68
Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Pandangan tanggal 19 Juli 1994, kasus Hugo Rodriguez, Komunikasi 322/1988, Dokumen PBB CCPR/C/51/D/322/1988; Observasi awal Komisi Hak Asasi Manusia Peru, 25 Juli 1996, Dokumen PBB CCPRJC/79/Add. 67, paragraf 20; Observasi Komisi Hak Asasi Manusia Perancis, Dokumen PBB CCPR/C/79/Add. 80, paragraf 13; Observasi Komisi Hak Asasi Manusia Uruguay, Dokumen PBB CCPR’C/79/Add. 19, paragraf 7; Observasi Komisi Hak Asasi Manusia Argentina, Dokumen PBB CCPRIC/79/Add. 46, paragraf 10; Observasi Komisi Hak Asasi Manusia El Salvador, Dokumen PBB CCPRJC/79/Add. 34, paragraf 7 dan 12, Observasi Komisi Hak Asasi Manusia Chili, Dokumen PBB CCPRJC/79/Add. 104, paragraf 7; Haiti, A/50/40, paragraf224-241; Observasi Komisi Hak Asasi Manusia Libanon, Dokumen PBB CCPRJC/79/Lampiran 78 dan Pendapat Umum No. 20, paragraf 15. —
—
—
—
—
—
—
Al Index: ASAJ19I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutari Keadilan
35
Keberadaan pembebasan hukuman seputar kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, juga bisa menjadi suatu unsur yang membeberkan tanggungjawab atau membuktikan kej ahatan-kej ahatan yang terjadi. Ketika kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang luput dan pemeriksaan, dan ketika aparat tertinggi suatu negara tidak mengambil langkah-langkah untuk menyelidiki kejahatan tersebut, membawa dan mengadili para pelakunya, pembebasan hukuman juga menjadi sebuah unsur yang meletakkan tanggungjawab pada orang-orang yang berada di posisi pimpinan. mi adalab pendapat Komisi Para Ahli mengenai pelanggaran berat undang-undang kemanusiaan internasional yang terjadi di bekas wilayah Yugoslavia ketika mereka menyatakan bahwa: “kegagalan yang terus menerus terjadi untuk mencegah kejahatan semacam itu dan kegagalan yang terus menerus terjadi untuk mengadili serta menghukum para pelakunya, denganjelas menunjukkan adanya keb7akanpenghapusan. Konsekuensi kesimpulan mi adalah tanggungjawab komandan bisa ditentukan. “69
IX.
Tiba saat bagi keadilan: tanggungjawab masyarakat internasional
Tanggungjawab Setiap Negara
Semua negara waj ib mengadili orang-orang yang bertanggungj awab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang dengan menjalankan proses pengadilan kriminal pada tingkatpengadilan nasional masing-masing, sesuai dengan azas yurisdiksi universal. Selain itu. semua negara harus: -
-
-
69
berkerjasama dalam menemukan, menahan, memulangkan dan menghukum orang orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perarig; bekerjasama penuh dengan Komisi Penyelidikan Internasional PBB, dan mekanisme penyelidikan PBB lainnya; bekerjasama penuh, menurut azas yurisdiksi universal, dengan proses peradilan yang dijalankan oleh pengadilan nasional di negara-negara lain, termasukmemberikan semua keterangan dan dokumen rahasia yang tersedia, mengenai pelanggaran dan pelecehan hak asasi manusia serta keterangan tentang orang-orang yang dituduh bertanggungjawab;
Dokumen PBB S/1994/674, paragraf3l3.
Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA/191/99
36
-
Tuntutan Keadilan
tidak memberikan suaka kepada orang-orang yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang serta melanjutkan upaya untuk mengadili atau mengekstradisi mereka ke negara-negara lain yang berniat mengadili mereka, sementara itu juga memastikan orang-orang tersebut tidak akan dikirim ke negara negara dimana terdapat resiko pelanggaran hak asasi manusia berat.
Al Index: ASAJI9I/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
37
Tanggungjawab Perserikatan Bangsa Bangsa
PBB harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut. Mengingat skala pelanggaran yang dicatat oleh Amnesty International dan berbagai organisasi lainnya, terrnasuk PBB, Amnesty International merasa PBB harus membentuk mahkamah kriminal internasional mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di Timor Timur. Pembentukan Komisi Penyelidikan Internasional dengan bantuan Sekretaris Jenderal PBB merupakan langkah pertama yang penting dalam proses mi. Komisi Penyelidikan harus: -
mengumpulkan bukti kejahatan terhadap kemanusiaan atau kejahatan perang di Timor Timur dan memberi usulan berdasarkan temuan-temuan guna menjamin para pelaku kejahatan diadili, kejahatan yang sebenarnya terungkap dan para korban, balk perorangan maupun kelompok, diberi ganti rugi penuh; dijalankan oleh orang-orang yang berpijakan moral tinggi dan diakui berdasarkan pengetahuan dan keahlian mereka dalam bidang hak asasi manusia, undang-undang kemanusiaan internasional dan undang-undang kriminal;
-
-
-
didampingi oleh pakar-pakar forensik dalam penyelidikan mengenai pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran undang-undang kemanusiaan internasional, penyel idikan kriminal, undang-undang, serta dalam penyelidikan dan pengadilan tindak kekerasan yang berdasarkan jenis kelamin; menjalankan penyelidikan yang menyeluruh dan efektif yang harus diakui sebagai penyelidikan independen oleh rakyat Timor Timur serta masyarakat internasional. Kom isi dalam penyel idikannya harus dipandu oleh undang-undang internasional mengenai kejahatan terhadap kenianusiaan dan kejahatan perang; diperbolehkan menjalankan misi-misi penyelidikan ke seluruh penjuru wilayah Timor Timur dan harus mendapat akses ke semua lokasi tanpa dibatasi, bepergian ke negara negara lain untuk mengumpulkan bukti dan kesaksian, dan untuk meminta serta menerima segala informasi dan bahan dan negara manapun dan dan badan-badan PBB yang dianggap penting dan berhubungan dengan penyelidikan.
Pasukan Multi-nasional di Timor Timur (INTERFET) dan pasukan penjaga perdamaian lainnya yang akan bertugas di Timor Timur harus:
Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASA!191/99
38
-
-
-
Tuntutan Keadilan
mendapat semua bantuan yang dibutuhkan untuk memberi perlindungan bagi para anggota Komisi Penyelidikan Internasional, ahli yang membantu mereka, orang-orang yang mendampingi mereka dalam misi, korban, pendakwa, saksi dan orang-orang yang bekerjasama dalam penyelidikan serta keluarga mereka; memberi perlindungan dan bantuan logistik bagi tim-tim penyelidik Komisi di lapangan; bekerjasama dalam menemukan, mengenali, menahan dan memindahkan para tertuduh pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan bekerjasama penuh dengan permintaan dan pengadilan-pengadilan nasional pemerintah asing yang bertindak sesuai dengan prinsip yurisdiksi universal untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, terlebih dalam menangkap dan memindahkan orang-orang yang bersangkutan sesuai dengan permintaan pengadilan-pengadilan tersebut; menyimpan bukti kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, serta melindungi dan membatasi akses ke lokasi-lokasi pembantaian dan berbagai zona atau daerah yang diperkirakan terdapat makam-makam gelap.
Misi PBB di Timor Timur, UNTAET (UN Transitional Administration for East Timor) hams: -
-
harus bekerjasama penuh dengan Komisi Penyelidikan Internasional; memastikan agar kegiatan INTERFET dan pasukan penjaga perdamaian PBB seputar penangkapan, penahanan secara terus menerus dan pemindahan para tertuduh pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, dijalankan sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia dan badan peradilan kriminal internasional.
Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999
Tuntutan Keadilan
39
Lampiran: Azas-azas PBB mengenai kerjasama internasional dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kernanusiaan. ° 7
1. Kejahatanperangdan kejahatan terhadapkemanusiaan, dimanapun terjadinya, harus melaluipemeriksaan dan orang-orang yang menurut bukti telah bersalah melakukan kejahatan tersebut harus ditemukan, ditahan, diaditi dan, jika dinyatakan bersalah, harus dihukum. 2. Semua negara berhak mengadili warganya sendiri atas kejahatan terhadap kemanusiaan. 3. Semua negara harus sating bekerjasama dengan dasar bilateral atau multilateral dengan tujuan menghentikan dan mencegah kejahatanperangdan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan harus mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan, baik di dalam negeri maupun secara internasional. 4. Semua negara harus sating membantu dalam menemukan, menahan dan membawa orang-orang yang dituduh menjalankan kejahatan semacam itu ke pengadilan dan menghukum merekajika dinyatakan bersatah. 5. Sebagaiperaturan umum di negara-negara tempat kejahatan dilakukan, orang-orang yang berdasarkan bukti dituduh melakukan kejahatanperang dan kejahatan terhadap kemanusiaan harus diadili dan dihukum jika dinyatakan bersalah. Berdasarkan hubungan itu, semua negara harus bekerjasama dalam mengekstradisipara tersangka. 6. Semua negara harus sating bekerjasama datam mengumpulkan informasi dan bukti yang akan membantu membawa orang-orang, yang delaskanpadaparagraf5 di atas, ke pengadilan dan semua negara harus sating berbagi informasi. 7.
70
Sesuai dengan pasal] Deklarasi Suaka Teritoriat tanggal 14 Desember 1967, semua negara tidak boleh memberikan suaka kepada siapa sajajika terdapat alasan-atasan serius yang menunjukkan orang tersebut melakukan tindak kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
Catatan awal 49
Amnesty International 28 Oktober 1999
Al Index: ASAJI9I/99
I-
40
Tuntutan Keadilan
8. Semua negara tidak boleh mengambil langkah-langkah legislatfdan langkah-langkah lainnya yang mungkin merugikan kewajiban-kewajiban internasional yang mereka pegang dalam menemukan, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 9. Dalam bekerjasama dengan tujuan menemukan, menahan dan mengekstradisi orang orang yang menurut bukti telah melakukan kejahatanperang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan menghukum merekajika dinyatakan bersalah, semua negara harus mematuhi segala ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa dan mematuhi Dekiarasi mengenaiAzas-azas Hukum Internasional megenai Hub ungan Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Al Index: ASA/191/99
Amnesty International 28 Oktober 1999