Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa
GILANG Geugeut Pangestu Sukandawinata
Aminudin T.H. Siregar, M.Sn
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected]
Kata Kunci : cahaya, dialogisme, instalasi
Abstrak Kematian sosok adik adalah tonggak terbesar bagi kehidupan penulis. Mengenyahkan duka dan penerimaan, menulikan diri dan diam mendengarkan, adalah sekian banyak tegangan yang dilalui yang kemudian menggiring pada pemahaman dalam menjalani takdir dan berkehendak bebas. Dalam perubahan pilihan minatnya dari astronomi ke seni rupa, penulis banyak menengarai kesamaan di dalam eksperimen terkait. Mempertanyakan ulang pakem, lalu berkembang menjadi kritik-diri, adalah proses alamiah yang kemudian disadari belakangan sebagai dialogisme. Dialogisme adalah usaha mencari kebenaran objektif melalui tegangan berbagai kebenaran subjektif. Pada akhirnya penulis tersangkut pada “cahaya” yang terinspirasi dari nama adik, sebagai elemen utama karya instalasi interaktif yang memanfaatkan prinsip cetak grafis. Pengunjung karya diposisikan memiliki peran sentralnya sendiri-sendiri, yang senantiasa bersinggungan hingga mustahil terdapat tafsiran mandiri. Melalui karya ini diharapkan dapat tersimulasikan dialogisme di dan diantara pikiran para pengunjung.
Abstract The death of author’s brother was a milestone in the life of the author. Forgeting grief and then accepting, trying so hard to be indifferent about it then trying to listen to it, were some key tensions in threading life’s everlasting duality of fate and free-will. Through the course of life-changing opportunity from astronomy till visual art, the experiments within themselves arisen thereafter new paradigms. Questioning the fixed state of being, growing into self-critizism was an underlying process somewhat latter referred as dialogism. Dialogism itself is a discovering process to seek truth from as many subjectivism in order to become objective. In the end, “light” inspired from the brother’s name is a key visual element in this interactive-installation which utilize the printing-press principle. Audiences, as if each are the main subjects in affecting the artwork further, are engulfed in the conflict-ridden environment between different consciousness to the point of impossibility to see independent interpretation. This artwork hopes to simulate dialogism in and between the consciousness of the audiences.
.
1. Pendahuluan Motivasi, inspirasi, ilham. Dorongan-dorongan yang menuntun laju kehidupan di persimpangan. Pilihan hidup yang satu menelurkan persimpangan yang lain. Kehidupan adalah rangkaian tonggak-tonggak penting yang polanya baru dapat dibaca jika kita menepi sedikit dan menoleh. Menjalani hidup akan dapat dirasakan sebagai takdir sekaligus juga kehendak-bebas. Penulis terutama sekali merasa tonggak terbesar hidupnya sejauh ini adalah kematian sang adik. Perasaan “memiliki kehilangan” awalnya dijawab dengan penghindaran, lalu kemudian penerimaan. Menekuni minat di bidang astronomi dengan serius, bentuk penghindaran ini dijalani semata-mata demi mengenyahkan duka. Akhirnya dalam perjalanan penulis semakin tenang dalam menengarai tonggak tersebut dan mulai melihat kemungkinan-kemungkinan yang pada awalnya tak mungkin terlintas di pikiran. Salah satu penerimaan tersebut adalah dengan meneruskan cita-cita adik untuk menjadi seniman. Menempuh pendidikan tinggi seni rupa membuat penulis menemukan pertanyaan dan jawaban yang siklik, bertumpukberlapis dalam memaknai tonggak besar tersebut dan akhirnya memaknai kehidupan. Tak jarang untuk menerima sesuatu yang baru terlebih dahulu persepsi awal harus diposisikan ulang, ditinjau balik. Proses ini mungkin lebih tepat digambarkan dengan “meluas” alih-alih “maju”, sebab setiap pengalaman terdahulu dan pengalaman terkini bersifat saling memperkaya. Hal yang kini sederhana bisa jadi dengan sedikit sifat kritis dapat menuai pertanyaan, “bagaimana jika sebaliknya?”. Suatu kali dalam sebuah karya penulis pernah menggambarkan hubungan dengan adik, namun kemudian disadari sebagai narasi yang sekadar menjajakan kedukaan. Pantaskah itu? Apa jadinya jika kami nanti dapat berjumpa kembali, dengan saya kini sedang meminjam cita-citanya, hanya itu saja kema(mp)uan saya? Tidak, mungkin saya pernah
meminjam cita-cita, namun kini pilihan itu telah menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk menjalaninya selayaknya pilihan hidup saya yang sebebas-bebasnya tanpa harus dibayanginya. Penulis ingin mengabulkan doa orang tua, jika (pada terjemahan Bahasa Sunda yang paling bebas) “Gilang” berarti “cahaya” dan “Geugeut” berarti “cinta”, maka karya ini dibuat dengan tujuan sebagai pelepasan endapan pemikiran seputar dialogisme pikiran, yang penulis coba sampaikan lewat bahasa rupa—surat “apa kabar” untuk sosok yang tak kan bisa dilupakan.
2. Proses Studi Kreatif Tujuan utama penciptaan karya Tugas Akhir ini dapat dirangkum dalam kalimat tanya, “Bagaimana prinsip reproduksi mekanis seni grafis dapat digunakan untuk meciptakan karya seni interaktif yang dapat memperkuat prinsip ‘kontras’ secara teknis sebagai cahaya-bayangan, dan secara filosofis sebagai hubungan penulis dengan adik?” Ini adalah tahapan di mana penulis mulai menyadari selalu adanya pertanyaan-ulang dinamis, dan pertalian tak-kasat-mata dalam tonggak-tonggak hidupnya, yang membuatnya mulai menyadari dialogisme dalam diri pribadi. Tujuan berikutnya adalah, “Bagaimana potensi karya instalasi-interaktif yang memanfaatkan prinsip reproduksi mekanis tersebut dapat menciptakan iklim bereksperimen dan bermain, sehingga menimbulkan benturan dialogis pemikiran internal dan eksternal pada audiences?” Adalah keinginan penulis untuk membagi pengalaman dialogis itu dengan mencoba memantik pemicu dalam diri tiap-tiap pengunjung karya untuk terlibat dalam instalasi-interaktif yang melibatkan banyak orang sekaligus, hingga dapat dikatakan mustahil berkesempatan menafsir mandiri.
3. Hasil Studi dan Pembahasan
Penulis mencoba merekonstruksi ulang pemahaman teknik cukil kayu yang terbentuk dari narasi diantara garis hitam dan garis putih (terkena tinta atau tidak). Seniman-seniman yang tertarik pada matriks cukilan, biasanya hanya menampilkan matriksnya kembali. Berbeda dengan kecenderungan tersebut, penulis kembali memasukkan potensi trimatra dari garis-garis cukilan dengan memunculkan wujud garis cukilan sebagai “gunung”, alih-alih “palung” dengan menggunakan teknik cetak tekan (meminjam istilah seni keramik). Dalam proses ini, penulis mencoba tetap setia pada teknik grafis dengan hanya menggunakan air dan kertas dalam teknik cetak tekan tersebut, kombinasi dasar dalam pembuatan kertas buatan tangan. Dalam proses ini, penulis merasakan kecenderungan karyanya yang mengarah pada ilusi optik, terutama moire image yaitu distorsi visual yang muncul diantara garis-garis pararel yang saling bertabrakan dan mengganggu satu sama lain. Sebagai upaya pengembangan dari hal tersebut, penulis mencoba mengolah kembali wujud karyanya bukan dengan menaikan prestise media ke kanvas atau kain, tetapi ke plastik yang memiliki perbedaan sifat signifikan dengan kertas. Plastik tidak menyerap tinta, dan tinta yang menempel di plastik justru berfungsi sebagai penghalang dari bagian lainnya yang dapat ditembus oleh cahaya. Ketika cetakan di plastik digabungkan dengan cetakan di kertas dengan cara disusun bertumpuk, muncul gangguan gerak akibat singgungan garis-garis pararel—moire image. Ilusi optik dalam wujud moire image dikembangkan melalui konfigurasi karya untuk mencapai titik pareidolia, yaitu asumsi-asumsi apresiator dalam menangkap wujud visual abstrak. Pareidolia itu sendiri penulis rasa vital, sebab dengan sedari awal membiarkan persepsi audiences tetap berada pada ambang tafsiran (citra yang karya ini sampaikan bisa diandaikan dengan melihat gerumulan awan, misalnya) maka mereka penulis kondisikan sedari awal untuk memupuk rasa ‘keberpengaruhan’ yang setinggi mungkin, demi mempersiapkan pada permainan yang berikutnya. Setelah melakukan berbagai eksperimen serta terus mengasah teknis konvensional, penulis mulai melirik acuan baru dalam mengembangkan proses berkaryanya. Proses eksperimentasi bukan lagi berbicara soal kesetiaan pada teknik atau pengembangan sejauh mana batasan suatu pakem dapat ditarik, melainkan memunculkan penggabungan yang terbaik melalui kombinasi ilmu yang telah didapatkan. Penulis mulai tertarik untuk mencari acuan dalam mengeliminasi teknik maupun wujud visual yang dimunculkan dalam karya. Setelah melakukan berbagai riset, penulis pun menemukan ketertarikan pada cahaya sebagai eliminator dari temuannya.
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 2
Nama Penulis ke-1
Cahaya digunakan sebagai batasan media interaksi antara apresiator dengan karya penulis. Interaksi yang ingin dimunculkan merupakan perwujudan dari teknologi sederhana. Hal tersebut dipilih sebagai representasi dari teknik dan teknologi dalam tataran seni grafis yang menurut penulis sudah tidak memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi untuk diperjuangkan (sampai batas elitisme tertentu). Terapan teknologi sederhana sepenuhnya memiliki wujud fisik, tidak mengacu pada komputerisasi juga bukan terdiri dari sistem elektronik yang rumit. Kemunculan cahaya dan teknologi sederhana diimplementasikan dengan menggelapkan ruang tempat karya ditampilkan. Dengan menempatkan karya pada ruangan yang gelap, apresiator memiliki pemahaman yang cukup untuk segera sekedar menyalakan senter, yang saat ini bahkan dapat ditemukan dengan mudah pada telepon genggam. Karya penulis tentu saja dapat ditampilkan secara utuh dalam posisi umum di ruang galeri atau ruang lainnya. Namun ketika berada pada ruangan yang gelap, muncul pola interaksi yang baru, yang aneh, dimana kombinasinya saling mengganggu antara yang satu dengan yang lain tetapi tetap (dijaga) bersifat sederhana. Upaya apresiator dalam menerjemahkan interaksi yang dihasilkan dalam ruangan tersebut memiliki batasan, setidaknya hingga menimbulkan “pemahaman” lalu “kemuakan” dalam pengulangan kesederhanaan-kesederhanaan yang ditemukan. Orang-orang yang telah mencapai titik “kemuakan” diasumsikan sebagai orang yang telah menemukan berbagai kesimpulan dalam mempersepsikan karya ini. Penemuan kesimpulan tersebut walaupun dihasilkan dari persepsi pribadi tetap menerima pengaruh dari orang lain karena tidak pernah ada pembacaan yang benar-benar mandiri. Persinggungan pikiran orang-orang tersebut merupakan sebuah dialogisme. Dalam dialogisme tersebut, muncul kombinasi persepsi visual yang seolah-olah tidak terbatas. Namun sejauh apapun asumsi tersebut berkembang, gagasan dalam keseluruhan temuan tersebut masih terbatas dalam “peraturan” yang diciptakan oleh penulis, setidaknya dalam batasan media dan komposisi yang terdapat dalam konfigurasi karya tersebut, dengan memposisikan seni interaktif sebagai platform dari “permainan” tersebut. Kembali pada intinya yaitu mengganggu apresiator dalam memancing pemikiran dialogis, pemeran-pemeran utama pada panggung. Penulis memposisikan tiap-tiap apresiator seolah-olah sebagai pemeran utama dalam karya. Memposisikan apresiator untuk merasa memiliki peranan besar dalam merekonstruksi ulang pemikiran karya dengan memunculkan argumen yang sebenarnya terganggu oleh argumen orang lain. Dialogisme hadir sebagai analogi dari karya penulis. Ibarat penerimaan dari sesuatu yang baru, mereka harus rela menerima varian sudut pandang baru. Penerimaan juga tentu saja penulis miliki, sebab tafsiran atas karya ini, sejauh apapun penulis rencanakan peraturannya, akhirnya harus siap menerima permainan yang sarat unsur ketidak-pastiannya. Penulis harus siap menerima kelemahan melalui kritik atau empiris kepentingan para apresiator. Hal ini merupakan representasi dari kehidupan itu sendiri, yang tidak jelas arah dan tujuan yang sesungguhnya dalam singgungan-singgungan, namun merupakan gabungan dari penerimaan takdir dan kehendak bebas. Penerimaan tersebut merupakan wujud dari menjalani persimpangan hidup.
Gambar 1 Eksplorasi proyeksi Sumber: dokumentasi pribadi
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 3
Proyeksi bagi penulis adalah langkah awal dalam merangkai sepilihan kombinasi permainan dalam karya ini. Proyeksi secara sederhana merupakan penerusan sebagian cahaya memalui lembar transparan sementara sebagian lagi terhambat pigmen tinta sehingga menimbulkan bayangan. Bayangan yang dihasilkan membesar dan mengecil ukurannya dalam hubungan antara koefisien jarak sumber cahaya – lembar transparan dan jarak lembar transparan – bayangan. Bayangan yang dihasilkan tidak hanya menjadi elemen visusl mandiri karena ia dapat berinteraksi dengan citra pada lembar transparan sehingga menimbulkan efek moire. Efek moire lah yang pada perjalannanya penulis jumpai sebagai kemungkinan estetik pada kombinasi cetakan di atas kertas dan plastik, menyerupai pendekatan berkesenian aliran optic art. Refleksi pada dasarnya merupakan telusuran eksploratif berikutnya dalam memahami sifat plastik. Benda transparan, bagaimanapun ia meneruskan cahaya, sebenarnya juga memantulkan sedikit cahaya. Penulis memperbesar elemen pemantulan dengan mngorbankan sifat proyektif. Tekniknya mirip seperti pembuatan cermin “sepuh belakang” (back silvered). Pada cermin, bayangan terpantul sempurna dikarenakan lembar kaca dilapisi pada bagian belakangnya lelehan alumunium (dan ditambahkan polesan cat). Ini umum dijumpai pada cermin yang beredar di pasaran, dan kualitasnya bervariasi tergantung dari pengurangan kualitas pantulan bayangan yang terganggu bias pada pembentukan kacanya semula. Prinsip itu penulis simulasikan dengan menempelkan plastik bercetakan cukil berukuran 25x25 cm pada lembar gulungan plastik ukuran 1 meter dengan memvariasikan arah penempelan. Area tercetak yang diposisikan menghadap keluar hanya akan memiliki daya pantul pada satu sisi, sementara area tercetak yang diposisikan ke arah dalam akan menghasilkan daya pantul pada dua sisinya sama kuat. Variasi arah penempelan juga diaplikasikan pada area kursi dan tangga di tepi ruangan Permainan kontras pada dasarnya merupakan efek yang dihasilkan ketika cetakan bubur kertas ditembak cahaya dari sudut ekstrim/dramatis. Relung/palung yang tercipta pada papan mdf selama proses mencukil walaupun tidak memiliki efek tertentu pada proses cetak tinggi,dirasakan penulis sebagai citraan visual yang unik tergantung dari bentuk pisau cukil dan metode menoreh. Dalam hal karya ini, penulis menggunakan hanya pisau cukil bentuk “V” dan metode menorehnya menyerupai sapuan kuas, maksudnya dalam menciptakan sapuan/cukilan lebar, penulis menukikkan arah pisau lebih dalam. Hal ini dilakukan agar tidak hanya kontur tebal/lebar area cukil yang diperhatikan, melainkan juga bentuk negatif palung menyerupai segitiga. Bentuk ini apabila ditangkap dengan teknik cetak tekan akan menimbulkan kertas berbentuk ‘alur pegunungan’. Bentuk ini dirasa penulis baik untuk menimbulkan efek kontras. Sisi satu pengunungan akan tersinari, sementara pungggung pegunungan satunya tertimpa bayangan. Efek ini diperkuat dengan pengulangan arah cukil lingkaran konsentris parallel, yang mengarahkan alur baca audiens menyusuri alur pegunungan lalu berpindah jalur, terpengaruh naik turunnya gunung.
Gambar 2 Eksplorasi releksi Sumber: dokumentasi pribadi
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 4
Nama Penulis ke-1
Gambar 3 Eksplorasi kontras Sumber: dokumentasi pribadi
Kertas cetak tekan pada kesempatan lain berfungsi ganda. Tak hanya memiliki permainan kontras dengan pencahayaan sudut ekstrim, ia juga berfungsi sebagai ‘pengontras’ bayangan permainan proyeksi dan refleksi. Sebab inti dari permainan bayangan adalah penciptaan permainan (hitam-putih) kontras dari cahaya da ketiadaan cahaya, maka titik terbaik adalah membiarkan bayangan (hitam) jatuh pada permukaan putih. Jika sudut pencahayaan frontal tegak lurus terhadap cetakan kertas, maka kontras testur tidak akan tercipta (sudut pegunungan segitiga memungkinkan seluruh permukaan nyaris tegak lurus sepenuhnya terhadap arah datang cahaya). Permainan proyeksi menekankan pada terhalangnya sebagian cahaya oleh citra cukilan pada plastik, sementara permainan refleksi menekankan pada terbiasnya sudut cahaya pantul kearah yang tidak merata. Permainan proyeksi menciptakan selisih terang-gelap yang flat seperti siluet, sedangkan refleksi akan menimbulkan konsentrasi cahaya pantul dibeberapa titik dan ketiadaan di titik-titik sisanya, menyisakan citraan riak atau gelombang putih. Sifat kontradiktif, yang satu dominan hitam sedangkan satunya putih ini berpotensi untuk saling menggaggu.
4. Penutup / Kesimpulan Dalam menekuni astronomi dahulu dan kini seni rupa, banyak perbedaan-perbedaan yang serupa, pengalamanpengalaman yang senantiasa memperkaya. Yang berlawanan, kontradiktif, adalah yang berdialog. Dialog yang berdamai, yang ada jika kita mau menepi di derasnya lajur kehidupan. Pemilihan “cahaya” kali ini adalah tahap evaluatif terhadap perjalanan hidup penulis umumnya dan perjalanan kekaryaan khususnya. Sebagai tanggung jawab terhadap keputusan meminjam cita-cita adik, penekunan di bidang senirupa-seni grafis membuat penulis dapat menarik hubungan tak-kasat-mata antar tonggak-tonggak hidupnya. Pemahaman ini diadaptasikan, baik secara teknis maupun filosofis, ke dalam karya rupa instalasi interaktif yang menggunakan unsurunsur seni grafis, untuk mensimulasikan dialogisme di dan diantara audiences (juga penulis). Akhirnya peraturan yang penulis tetapkan mampu menimbulkan permainan yang senantiasa segar, baik dalam dialog visual maupun dialogdialog lain. Pada akhirnya, jika seseorang berkata “apa kabar?”, maka sungguh ia menantikan jawaban. Sahutilah! Bersahutsahutanlah…
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 5
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa. FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Aminudin T.H. Siregar, M.Sn. .
Daftar Pustaka McQuillan, Melissa. 1989. Van Gogh. Thames and Hudson Inc. Maxwell, William C. 1977. Printmaking: A Beginning Handbook. Prentice-Hall Inc. Ross, John, Clare Romano, dan Tim Ross. 1990. The Complete Printmaker: Techniques, Traditions, Innovations: Revised and Expanded Edition. The Free Press. Sabana, Setiawan. Setiawan, Hawe. Legenda Kertas. PT Kiblat Buku Utama Sennett, Richard.. 2008. The Craftsman. New Haven & London Yale University Press. Susanto, Mikke.2011. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. DictiArt Lab & Djagad Art House
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 6
Nama Penulis ke-1
SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING TA Bersama surat ini saya sebagai pembimbing menyatakan telah memeriksa dan menyetujui Artikel yang ditulis oleh mahasiswa di bawah ini untuk diserahkan dan dipublikasikan sebagai syarat wisuda mahasiswa yang bersangkutan. diisi oleh mahasiswa
Nama Mahasiswa
Geugeut Pangestu Sukanawinata
NIM
17010017
Judul Artikel
GILANG
diisi oleh pembimbing
Nama Pembimbing 1. Dikirim ke Jurnal Internal FSRD
Rekomendasi Lingkari salah satu
2. Dikirim ke Jurnal Nasional Terakreditasi 3. Dikirim ke Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi 4. Dikirim ke Seminar Nasional 5. Dikirim ke Jurnal Internasional Terindex Scopus 6. Dikirim ke Jurnal Internasional Tidak Terindex Scopus 7. Dikirim ke Seminar Internasional 8. Disimpan dalam bentuk Repositori
Bandung, 27 /3/ 2015 Tanda Tangan Pembimbing : _______________________ Nama Jelas Pembimbing
: Aminudin T.H. Siregar, M.Sn
Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1 | 7