ALTERNATIF KEBIJAKAN BAGI PEMECAHAN MASALAH TANAH GAMBUT BINTANG SITORUS Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN Perkembangan dalam bidang pertanian telah menunjukkan kemajuan namun secara kwantitatif pertambahan penduduk jauh lebih meningkat. Kebutuhan akan pangan setiap tahun menunjukkan sekala naik akan tetapi luas lahan pertanian justru menurun yang diserab oleh banyak bidang yang mendukung kemajuan umat manusia itu sendiri. Dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan tersebut dan bagi pertahanan bangsa (stok beras nasional), Pemerintah mengambil langkah kebijaksanaan untuk memberdayakan lahan gambut yang terdapat hampir diseluruh pulau besar di Indonesia. Pengelolahan lahan gambut relatif baru dan masih sedikit yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki lahan gambut itu sendiri. Kebijaksanaan nasional yang dilakukan pemerintah melalui proyek pembukaan lahan gambut sejuta hektar, disampaikan dalam pidatonya oleh presiden Soeharto di Roma (Italy) tanggal13-17 Nopember 1997 yang lain dalam rangka KTT Pangan sedunia. Kebijakan ini menjadi perbincangan serta ajang penelitian bagi banyak ahli di Indonesia, baik bidang keahlian tanah, iklim/klimatologi, ekonomi, sosial, dll. Faktor penghambat yang dimiliki tanah gambut begitu kompleks, antara lain: bila tanah dalam kondisi basah dengan muka air yang tinggi, kemasaman tanah cukup tinggi disebabkan oleh dekomposisi bahan organik yang cukup lama sehingga tidaksemua tanaman dapat tumbuh. Sebaliknya pada kondisi kering dapat bersifat irreversible sehingga rentan terhadap kebakaran dan tanaman tidak dapat lagi tumbuh. Hal-hal yang menjadi penghambat dalam pengelolahan lahan gambut akan dicoba dibahas dan dicari upaya pemecahan masalah tanah gambut tersebut. I. LAHAN GAMBUT Lahan gambut adalah hasil dekomposisi sisa/bagian tanaman baik yang tumbuhan air (paku, lumut & ganggang) atau rumput maupun tanaman keras (tumbuhan tingkat tinggi). Proses ini berlangsung cukup lama, bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Gambut merupakan deposil bahan organik dalam keadaan tergenang sehingga desintegrasi bahan organik (sisi tumbuhan) lebih dominan dari pada proses
©2003 Digitized by USU digital library
1
mineralisasi dan lingkungannya.
hasil
akhir
memberikan
kemasaman
yang
tinggi
pada
Di Indonesia, gambut menjadi tantangan sebab lahan ini mempunyai penyebaran diseluruh kepulauan ini. Luas lahan gambut mencapai ± 22 Juta hektar dengan penyebaran, sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5.
Wilayah/Pulau Sumatera Kalimantan Irian jaya Sulawesi Jawa / Bali Jumlah
Luas (Ha) 12.578.600 4.942.700 4.697.700 149.900 3.000 22.371.900
Catatan: PLG Kalteng ± 1,3 Ha Sumber : Kompas, 12-2–1999 Usaha mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara lumbung beras maka Presiden Suharto pada acara KTT Pangan sedunia di Roma 1997 menyampaikan kebijaksanaan untuk mengelola lahan gambut. Lewat Inpres 8 Juni 1995 dan Keppres No.82 Tanggal 26-12–1998 menetapkan pelaksanaan megaproyek gambut sejuta hektar diKalimantan Tengah. Namun demikian pemanfaaian lahan gambut ini bukan hanya dilakukan di Kalimantan saja. Dipulau yang lain juga secara tradisional pertanian lahan gambut telah ada dilakukan oleh masyarakat. Proses terjadinya tanah gambut memerlukan waktu yang cukup lama, jika penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya dikhawatirkan akan mengancam kelestarian gambut. Hal ini sangat merugikan dan itu perlu dipelajari kemampuan maksimal yang dimiliki oleh tanah gambut. Kata gambut diambil dari bahasa daerah Kalimantan Selatan yang berarti longgokan bahan organik dalam jumlah yang banyak dan berada pada keadaan tertentu (Poerwidodo, 1990) Tingkat kematangan gambut perlu diperhatikan karena dengan tingkat kematangan ini sifat fisik dan kimia tanah akan lebih baik bila sudah lanjut (Munir, N., 1995) II. PERMASALAHAN Beberapa permasalahan yang potensial pada lahan gambut adalah : 1. Tingkat kemasaman yang tinggi sebagai akibat dekomposisi bahan organik yang telah berlangsung lama. Pada tanah gambut kemasaman tanah mencapai pH 3-5. Gambut yang terjadi pada hutan rawa pH-nya rendah sekali da pada hutan rumput pH agak rendah (Sutedjo, 1991) 2. Serbuan pasang air dari laut. Pada periode/waktu tertentu muka air laut naik ataupun surut. Hal ini langsung diterima oleh lahan gambut dan akan
©2003 Digitized by USU digital library
2
memepengaruhi daerah perakaran. Jumlah air yang datang dan kandungan air laut yang masuk tidak semua jenis tanaman dapat mengadaptasinya. 3. Sifat tanah yang tidak stabil dimana permukaan air tanah akan naik pada saat pasang dan turun bila jumlah air berkurang. Namun tingkat toleransi kekeringan terbatas dan bersifat irrvensible. Gambut akan mengkerut apabila keadaannya menjadi kering, permukaannya akan turun dan ketebalan berkurang serta mudah terbakar. 4. Karakteristik tanah gambut yang tidak merata diseluruh Indonesia. Setiap daerah memiliki tipe hutan dan kematangan gambut tersendiri. Ketebalan dan letak topografik lahan gambut juga perlu dipertimbangkan dalam penanganannya. 5. Kesuburan lahan gambut rendah sehingga supply hara bagi tanaman sulit diharapkan. III. PEMECAHAN MASALAH Setelah memahami permasalahan tanah gambut yang cukup kompleks, maka pendekatan atau usaha penanganan dapat diurut dari kondisinya. Alternatif pemecahan dapat dibagi dalam dua (2) bagian yaitu : A. Penanganan Dalam Skala Luas B. Penanganan Dalam Skala Kecil A. Penanganan Dalam Skala Luas Alternatif ini digunakan oleh Pemerintah dalam arti aplikasi satu bentuk kebijaksanaan yang meliputi areal yang cukup untuk mendukung peta kebutuhan dalam negeri (baik secara fisik bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun secara politik bagi ketahanan nasional). Dalam menjalankan maupun usaha membangun kebijaksanaan akan tersita banyak waktu sebab melibatkan banyak pihak seperti para peneliti dari institusi/ perguruan tinggi, pihak Pemeritah atau aparat dari wilayah gambut yang bersangkutan. Balai penelitian, dinas pertanian, BPPT, pihak swasta yang menaruh minat ataupun pihak lain. Tahapan kerja sama dimulai dari riset yang mendata kondisi, sifat, potensi dan hambatan yang dimiliki oleh tanah gambut dan usaha penanggulangannya. Kemudian akan dilanjutkan dengan pembahasan dari pihak peneliti dengan para pengambil keputusan, konsep-konsep yang dapat dilakukan dengan pertimbangan dari beberapa segi akan dituangkan menjadi suatu kebijaksanaan oleh Pemerintah. Untuk penanganan lahan gambut beberapa konsep yang telah diperoleh antara lain: a. Konsep Netralisasi Konsep netralisasi atau penanganan kemasaman tanah melalui pemberian baru gamplng atau kapur. Proses pengapuran dimaksudkan untuk mengusir besi (pmt). Laban yang akan digunakan untuk bercocok tanaman padi sawah akan bergantung terhadap pengapuran yang terus menerus. Namun hal ini harus dibantu dengan drainase yang benar. Alternatif lain yang telah dicoba adalah penggunaan lumpur laut. Lumpur laut mempunyai kejenuhan basa 9-13 %. Hal percobaan di Pontianak memakai lumpur laut 8.8 ton/Ha untuk tiga musim tanah menghasilkan 3 ton kedelai/Ha
©2003 Digitized by USU digital library
3
b.
c.
d.
e.
Hasil percobaan Dr. Bambang Setiadi adalah pemberian bahan pugas sebagai penyubur tanah sebelum diolah yakni campuran abu vulkanik dan pupuk KCL (Kalium Clorida) dan Urea (Kompas, Feb 1999) Konsep Penanganan Tata Air Melalui Kanalisasi Managemen air pada lahan gambut dikaitkan dengan upaya penurunan kemasan tanah. Sirkulasi air yang teratur untuk pencucian lahan gambut agar menurunkan kemasan sehingga ph tanah meningkat. Pada wilayah ini dibangun saluran primer dan saluran induk yang berfungsi sebagai reservoir dan sekaligus dapat menjadi alat transportasi air. Saluran sekunder dan seterusnya beserta pintu-pintu air disesuaikan dengan keadaan wilayah. Namun harus diingat pada lahan gambut harus dipertahankan muka air pada elevasi tertentu (water stand) sesuai dengan kebutuhan masingmasing pemanfaatan lahan mengingat lahan gambut dapat bersifat irreversible bila mencapai tingkat kekeringan tertentu Slamet Setyono 1986 (dalam Munir, 1998), menyatakan permukaan air tanah untuk tanah organik adalah sekitar 4060 cm dari atas permukaan tanah kebawah. Konsep pengayaan tanah gambut melalui proses mineralisasi. Ide ini timbul dari penelitian institusi di Jawa dengan sistem pertanian konservatif. Bahan yang dianjurkan adalah pemberian gamping insitu dari Gunung Merapi yang diperkaya dengan Urea dan KCL. Bahan mineral diaduk dibawah lapisan gambut kemudian disedot dan disemburkan kesekitar lahan gambut kemudian disabur dengan gamping atau bahan sejenis. Untuk pekerjaan ini dipakai alat rotavator. Perlakuan ini diikuti penanamann varitas yang dikehendaki dan dilanjutkan dengan pemberian pupuk mineral, misal melalui pupuk cair daun. (Soepandi G. Kompas, Feb 1997) Konsep pemilahan tanah yang cocok untuk tujuan penggunaan tertentu (persawahan, perkebunan, pemukiman dll) Lahan gambut dengan ketebalan yang berbeda berkisar dari kedalaman 30 -200 cm atau mempunyai daya dukung yang berbeda bagi tiap jenis pendaya gunaannya. Pada ketebalan yang dalam tidak memungkinkan dibangun areal penduduk atau tanaman perkebunan yang berakar dalam dengan beban berat. Pemerintah memilih lahan yang dangkal bagi lokasi perumahan dan tanaman pekarangan. Untuk kedalaman yang lebih besar dapat dipilih tanaman keras. Ketebalan gambut yang diinginkan untuk tanaman pangan adalah antara 30-130 cm dan pada dasar tanah tidak ada faktor pembatas seperti cat clay atau pasir kwarsa (Munir, 1995) Konsep pemilihan atau penggiliran jenis tanaman Ketebalan gambut ada hubungannya dengan tingkat pelapukan. Setelah diadakan drainase permukaan gambut akan menurun, demikian juga bila lahan gambut telah diusahakan selama beberapa tahun. Pada awal pembukaan tanaman berumur pendek seperti sayuran dapat diusahakan, namun untuk tanaman tahunan (tanaman perkebunan seperti kelapa dan kelapa sawit telah dapat diusahakan pada areal yang cukup luas di daerah Riau. Penggunaan yang lain oleh pemerintah dalam skala luas adalah untuk media tumbuh bibit/semaian. Untuk menunjang program pembangunan Hutan Tanaman lndustri (HTI) seluas 4,4 juta hektar di butuhkan 1.500 bibit/Ha. Maka untuk program Hutan Tanaman lndustri yang ditargetkan selesai tahun 2000 ini, harus disediakan sebanyak 6.6 milyar bibit bermutu. Jika pembibitan dilakukan pada tanah mineral maka akan terjadi kesulitan dalam hal beratlbeban sehingga menyulitkan dalam teknis pengangkutan.
©2003 Digitized by USU digital library
4
Bahan gambut menjadi lebih berpeluang sebagai bahan media semai bibitan (Poermidodo, 1995) B. Penanganan Dalam Skala Kecil Dalam skala kecil, upaya penanggulangan masalah gambut dapat dilakukan oleh banyak pihak, baik pihak swasta maupun penduduk secara kolektif atau eorangan/keluarga. Beberapa tindakan atau kebijakan yang telah berhasil dilakukan antara lain : a. Petani Pontianak (Kalimantan Barat) yang hidup tenang dilahan gambut secara turun temurun telah menangani gambut dengan cara yang sederhana. Dalam skala terbatas lahan dibakar, lalu ditaburi kotoran hewan. Kemudian ditambah dengan abu kayu, lalu dibiarkan 2-3 hari baru ditanami dengan tanaman hortikultura/sayuran. Menurut Cin Shi Ka (44), warga Kelurahan Sian tar Hilir (Pontianak), luas lahan 250 m persegi miliknya, ditanami dengan sawi, kucai, daun bawang, kangkung dan bawang dapat menghasilkan Rp. 300.000,-/bulan. (Kompas, 12-2-1997). b. Dari pihak perguruan tinggi juga ikut berperan. Universitas Palangkaraya melakukan uji coba menanam jagung manis dilahan gambut Kelurahan Kalampayan (Kalimantan Tengah). Jagung manis basil persilangan antara jagung varietas gigi kuda dan mutiara yang ditanam disini menghasilkan buah seberat 1.166,6 gram per tongkol kelobot basah. Jika ditotal produksi jagung ini dapat mencapai 8 ton. Pada masa pertumbuhan jagung manis harus dibantu dengan pemberian kapur dan pupuk kandang secara berimbang dengan jalan menabur diatas permukaan tanah sedalam lapisan olahan (20-25 cm) tiga minggu sebelum tanam. Kemudian diberi pupuk kandang sebagai sumber kara dan menambah kandungan mikro organisme. c. Pihak swasta yang telah berhasil memanfaatkan lahan gambut adalah Grup Sambu. Lahan gambut ditanami dengan kelapa hibrida dan tanaman sela nenas, letaknya di daerah Indragiri Hilir (Riau) dan saat ini telah mencapai areal 100.000 Ha. Menurut pihak Grup Sambu yang perlu mendapat perhatian pada lahan ini adalah pengolahan tanah dengan menggunakan pupuk, baik mikro maupun makro. Sebelum pengembangan lahan perkebunan, untuk menata air dibangun kanal 3 (tiga) bagian, yakni kanal utama, cabang dan tersier. Perkebunan dengan pola PIR- Trans ini menghasilkan bungkil kelapa, santan awet, minyak kelapa dan nanas dalam kemasan kaleng yang diekspor ke negara-negara kawasan Asean dan negara-negara Timur Tengah (Kompas, 6-5-1996). DAFTAR PUSTAKA Darmawijaya, M.I., 1990, Klasifikasi Tanah, Gajah Mada Press. Kuswandi,1994, Pengapuran Tanah Pertanian, Penerbit Kanisius. Munir, M, 1995, Tanah-Tanah Utama Indonesia, Penerbit Pustaka Jaya. Notohadiprawiro, T, 1988, Perincian Gambut di Indonesia Untuk Inventarisasi, Kongres I HGI dan Seminar Gambut I di Yogyakarta. Poerwidodo, 1990, Gatra Tanah Dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Setiadi, B, 1997, Abu Vulkan, (Mungkin) Tidak Mudah Tapi Menyelesaikan Masalah Gambut, Kompas, 20 Feb 1997. Soepardi, G, 1999, Optimisme Pertanian Gambut, Kompas 6 Maret 1999. Sutedjo, M.M., Kartasaputra, A.G., Sastroadmodjo, R.D.S., 1991, Mikrobiologi Tanah, Penerbit Rineka Cipta.
©2003 Digitized by USU digital library
5