Analisis Benchmarking Otoritas Pajak dengan Perusahaan Sektor Industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, Sektor Industri Pengolahan Bukan Migas dan Sektor Industri Perdagangan, Jasa, dan Investasi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011 Alice Setiawan dan Arja Sadjiarto Program Akuntansi Pajak Program Studi Akuntansi Universitas Kristen Petra ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adakah perbedaan antara rasio-rasio benchmark yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan Perusahaan-perusahaan dalam sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan; Industri Pengolahan Bukan Migas; dan Industri Perdagangan, Jasa, dan Investasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011. Rasio-rasio benchmark yang menjadi variabel penelitian ini adalah Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, rasio gaji/penjualan, rasio bunga/penjualan, rasio sewa/penjualan, rasio penyusutan/penjualan, rasio penghasilan luar usaha/penjualan, rasio biaya di luar usaha/penjualan, dan rasio input lainnya/penjualan. Kata kunci: benchmarking otoritas pajak, rasio benchmark ABSTRACT The purpose of this research was to find out whether there are any benchmark ratio differences between the one set by General Directorate of Taxes and Agricultural, Livestock, Forestry, Fishery Industrual Sector Companies; Non-Oil and Gas Processing Industrial Sector Companies; and Trade, Service, and Investment Industrial Sector Companies registered in Indonesia Stock Exchange in 2011. Benchmark ratios used in this research were Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, salary/sales ratio, interest/sales ratio, rent/sales ratio, depreciation/sales ratio, income from non-business/sales ratio, expenses from nonbusiness operation/sales ratio, and other input/sales ratio. Keywords: tax authorities benchmarking, benchmarking ratio PENDAHULUAN Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan (Prof. Dr. P. J. A. Adriani). Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah sistem Self Assessment System, di mana Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan tanggung jawab untuk berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
2 TAX & ACCOUNTING REVIEW, VOL.1, NO.1, 2013 Menghitung berarti Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung sendiri pajak penghasilan (PPh) yang terutang. Memperhitungkan berarti Wajib Pajak berhak memperhitungkan pajak yang telah dibayar, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sendiri maupun pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain. Membayar berarti Wajib Pajak membayar PPh yang kurang bayar, dan melaporkan yaitu Wajib Pajak memiliki tanggung jawab untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, serta harta maupun kewajiban sesuai dengan peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku. Sesuai dengan fungsi utamanya yaitu fungsi budgetair, pajak merupakan sumber penerimaan terbesar bagi setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2011 mencapai sekitar Rp 878,7 triliun, atau 75,4% dari total penerimaan negara sekitar Rp 1.165,3 triliun (Suara Pembaruan, 2011). Dari total target penerimaan pajak tersebut pajak penghasilan, yang diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008, masih menjadi penyumbang terbesar, yaitu mencapai Rp 431,97 triliun dan sisanya disumbang oleh pajak-pajak yang lain. Penerimaan negara yang bersumber dari PPh tersebut ditargetkan dapat diterima mayoritas dari WP Badan. Apabila dilihat dari data pembagian sektor usaha berdasarkan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha tahun 2011 (Badan Pusat Statistik), dari total PDB tahun 2011 sebesar Rp 7.427 miliar, terdapat sembilan jenis sektor usaha dalam perputaran bisnis di Indonesia, di mana Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, menyumbang 14,7%, Industri Pengolahan, menyumbang 24,3%, dan Perdagangan, Hotel, dan Restoran, menyumbang 13,8%, merupakan tiga sektor yang memberikan sumbangan tertinggi pada PDB 2011. Benchmark Pajak
oleh
Direktorat
Jenderal
Dalam kenyataannya, tidak semua Wajib Pajak melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku, atau ada faktor-faktor lain seperti perencanaan pajak (tax planning) yang menyebabkan kewajiban pajak Wajib Pajak tidak sesuai dengan yang semestinya. Oleh
karena itu, Direktur Jenderal Pajak melakukan benchmarking terhadap rasio-rasio perusahaan untuk membantu menilai kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini diwujudkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE DJP) Nomor SE96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya serta didukung dengan SE DJP Nomor SE11/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap II, SE-68/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap III, SE-105/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap IV, dan SE139/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap V. Dalam peraturan tersebut, pemerintah menggunakan rasio total benchmarking per sektor tersebut agar dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh WP. Benchmark sebagai Supporting Tools Total benchmarking tersebut hanya merupakan suatu alat bantu (supporting tools) yang dapat digunakan oleh aparat pajak dalam membina wajib pajak dan menilai kepatuhan perpajakannya serta tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak (SKP), setiap perusahaan yang tergolong dalam sektor tertentu harus mulai memperhatikan informasi keuangan terkait sektor tersebut. Setiap informasi sektoral tersebut nantinya akan dievaluasi oleh otoritas pajak untuk menentukan kewajaran penerimaan pajak dari perusahaan apabila dibandingkan dengan di mana sektor usaha tersebut digolongkan. Otoritas pajak pada akhirnya juga akan menggunakan informasi benchmarking tersebut untuk menentukan sektor mana sajakah yang memberikan sumbangan PPh terbesar. Berdasarkan kondisi yang disebutkan di atas, dapat kita lihat bahwa sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran merupakan tiga jenis sektor usaha yang menyumbang paling besar bagi PDB di Indonesia. Dari fakta tersebut, penelitian ini mencoba untuk menganalisa benchmark yang ditetapkan DJP dengan benchmark perusahaan-perusahaan di ketiga sektor tersebut yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)/go public.
3 Total Benchmarking bertujuan sebagai pedoman dan pembanding dengan kondisi SPT Tahunan yang dilaporkan wajib pajak, serta untuk membantu pengawasan kepatuhan wajib pajak terutama menyangkut kepatuhan materialnya. Sedangkan manfaat total benchmarking yaitu untuk alat pembantu bagi program intensifikasi/penggalian potensi pajak, dan alat bantu dalam penghitungan tax gap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau Median Gross Profit Margin, Operating Tax Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, rasio gaji/penjualan, rasio bunga/penjualan, rasio sewa/penjualan, rasio penyusutan/penjualan, rasio penghasilan di luar usaha/penjualan, rasio biaya di luar usaha/penjualan, rasio input lainnya/penjualan yang ditetapkan otoritas pajak dengan sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di BEI relatif tidak sama. Rasio-rasio Benchmark Rasio-rasio yang digunakan dalam total benchmarking meliputi 13 rasio, yang terdiri dari rasio-rasio yang mengukur kinerja operaisonal, rasio input, rasio PPN, dan rasio aktivitas di luar usaha di mana angka-angka yang dipakai berasal dari laporan komersial perusahaan. Pemilihan 14 rasio tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sebisa mungkin mampu memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional perusahaan dalam suatu periode dan berkaitan dengan semua jenis pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak. Rasio-rasio tersebut meliputi: 1. Gross Profit Margin (GPM) 2. Operating Profit Margin (OPM) 3. Pretax Profit Margin (PPM) 4. Corporate Tax To Turn Over Ratio (CTTOR) 5. Net Profit Margin (NPM) 6. Dividend Payout Ratio (DPR) 7. Rasio Gaji/Penjualan (g) 8. Rasio Bunga/Penjualan (b) 9. Rasio Sewa/Penjualan (s) 10. Rasio Penyusutan/Penjualan (py) 11. Rasio Penghasilan Luar Usaha/Penjualan (pl) 12. Rasio Biaya Luar Usaha/Penjualan (bl) 13. Rasio Input Lainnya/Penjualan (x)
Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl, akan didapatkan gambaran mengenai kegiatan/operasi perusahaan dalam suatu tahun pajak seperti yang tercantum dalam laporan laba/rugi perusahaan. Pengukuran tersebut diperlukan agar aparat pajak dapat melakukan diagnosa secara tepat apabila terjadi indikasi ketidakwajaran. Pada prinsipnya, rasio-rasio tersebut merupakan rasio yang dihasilkan dari analisis suatu laporan laba/rugi perusahaan. Pembagian Sektor Usaha Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bursa Efek Indonesia (BEI) masing-masing memiliki pembagian sektor usaha yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengelompokkan sektor-sektor usaha yang dibahas ke dalam pengelompokkan yang sama. Dalam sektor usaha yang tercantum di BPS, sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan digabung menjadi satu sektor. DJP, dalam lampiran SE-68/PJ./2010, menguraikan KLU nya menjadi Pengusahaan Hutan Alam. Sedangkan BEI mengelompokkannya ke dalam sektor Pertanian (Agriculture) sub sektor Kehutanan (Plantation). Berikutnya, BPS mengelompokkan Industri Pengolahan menjadi dua bagian yaitu Industri Pengolahan Migas dan Industri Pengolahan Bukan Migas (yang digunakan dalam penelitian ini adalah Industri Pengolahan Bukan Migas, karena cara-cara penghitungan dalam Industri Pengolahan Migas dibedakan dengan sektor lainnya), di mana DJP dalam SE-11/PJ./2010 mengelompokkannya ke dalam Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau, dan BEI menggolongkan sektor ini ke dalam sektor usaha Industri Barang Konsumsi (Consumer Goods Industry) sub-sektor Makanan dan Minuman dan Tembakau (Food and Beverages and Tobacco Manufactures). Sektor berikutnya adalah sektor yang dikelompokkan BPS sebagai sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran. DJP dalam SE-68/PJ./2010 memecah sektor ini ke dalam KLU yang salah satunya Perdagangan Eceran Berbagai Macam Barang yang Utamanya Bukan Makanan/Makanan, Minuman, atau Tembakau di Toserba (Department Store). BEI menggolongkan sektor ini ke dalam sektor Perdagangan, Jasa, Investasi (Trade, Service,
4 TAX & ACCOUNTING REVIEW, VOL.1, NO.1, 2013 Investment) sub-sektor Perdagangan Eceran (Retail Trade). METODE PENELITIAN Skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dengan skala ordinal, yang mencerminkan nilai perbedaan dari variabel yang diukur dalam penelitian ini. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka, yaitu laporan keuangan perusahaan di sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Bursa Efek Indonesia. Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data dari Bursa Efek Indonesia dan Laporan Keuangan Perusahaan, jurnal yang diperoleh dari internet, studi literatur dan buku-buku teks dan Undang Undang Perpajakan yang menjadi sumber landasan teori, sedangkan populasi yang digunakan yaitu perusahaan di sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011. Perusahaan-perusahaan dalam sub-sektor Perkebunan, Makanan dan Minuman, Tembakau, dan Perdagangan Ritel memiliki jenis kegiatan bisnis yang bervariasi, yang akan dijelaskan pada tabel berikut. Tabel 1. Nama Perusahaan dan Jenis Kegiatan Perusahaan Sektor Pertanian Sub-sektor Perkebunan
Tabel 2. Nama Perusahaan dan Jenis Kegiatan Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi Sub-sektor Makanan dan Minuman, Tembakau
Tabel 3. Nama Perusahaan dan Jenis Kegiatan Perusahaan Sektor Industri Perdagangan, Jasa, dan Investasi Subsektor Perdagangan Ritel
Penelitian ini bersifat komparatif lebih dari dua sampel independen dengan jenis data ordinal dan menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Uji Sampel Bebas: Uji Median. Dalam teknik analisis ini, jumlah sampel tidak harus sama. Ketentuan ini sesuai dengan data penelitian, karena jumlah data dari maingmasing variabel yang dibandingkan tidak sama. Setelah melakukan perhitungan median dan ekspektasi, dilakukan perhitungan Chi Square dengan rumus: X2 = ∑ (Oi – Ei)2 / Ei Keterangan: Oi = frekuensi observasi Ei = frekuensi harapan (expected) Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah:
5 1. Menentukan variabel, yaitu Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, rasio gaji terhadap penjualan, rasio bunga terhadap penjualan, rasio sewa terhadap penjualan, rasio penyusutan terhadap penjualan, rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualan, rasio biaya di luar usaha terhadap penjualan, dan rasio input lainnya terhadap penjualan. 2. Mencari data laporan keuangan perusahaan di sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2011. Kemudian dilakukan penghitungan rasio-rasio benchmark. 3. Melakukan hipotesis Adapun langkah-langkah dalam melakukan uji hipotesis ini adalah sebagai berikut: a. Merumuskan hipotesis b. Menyajikan data Data hasil penelitian selanjutnya disusun, dan dilakukan penghitungan frekuensi yang diharapkan (fn). Taraf nyata yang digunakan dalam pengujian ini, yaitu 0,05. Kemudian dilakukan perhitungan expected dan terakhir yaitu perhitungan Chi Square hitung. Lalu langkah selanjutnya yaitu membandingkan Chi kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Jika Chi kuadrat hitung lebih besar dari Chi kuadrat tabel, maka H0 ditolak, dan melihat angka probabilitas, dengan ketentuan jika probabilitas lebih dari 0,05 maka H0 diterima. Sebaliknya, jika probabilitas kurang dari 0,05 maka H0 ditolak. Untuk tingkat kepercayaan 95% dan derajat kebebasan = k – 1 atau 3 – 1 = 2, didapat nilai chi square tabel adalah 5,991. d. Membuat kesimpulan Kesimpulan diperoleh berdasarkan langkah sebelumnya, yaitu melalui hasil pengujian hipotesis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data rata-rata dari penjualan, laba kotor, laba bersih dari operasi, laba bersih sebelum pajak, pajak penghasilan terhutang, laba bersih setelah pajak, pembayaran dividen tunai, pajak masukan, biaya gaji, beban bunga, beban sewa, beban penyusutan, beban lain-lain, penghasilan dari luar usaha, dan beban dari luar usaha perusahaan-perusahaan di sektor usaha Pertanian sub-sektor
Perkebunan, perusahaan sektor usaha Industri Barang Konsumsi sub-sektor Makanan dan Minuman dan sub-sektor Manufaktur Tembakau, dan perusahaan sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran subsektor Perdagangan Eceran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sampai dengan tahun 2011 yang sudah diolah oleh penulis. Tabel 4. Rata-rata Komponen Untuk Penghitungan Rasio Benchmark Perusahaan
Berikut ini adalah perbandingan antara rata-rata rasio benchmark perusahaan per sektor dengan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tabel 5. Rasio Benchmark Perusahaan Sub-sektor Perkebunan dan DJP
Tabel 6. Rasio Benchmark Perusahaan Sub-sektor Makanan dan Minuman, Tembakau dan DJP
6 TAX & ACCOUNTING REVIEW, VOL.1, NO.1, 2013
Tabel 7. Rasio Benchmark Perusahaan Sub-sektor Perdagangan Ritel dan DJP
Alat uji statistik yang digunakan adalah Uji Median, dengan hasil sebagai berikut.
Gambar 1. Hasil Perhitungan Frekuensi
Gambar 2. Hasil Uji Statistik HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan uji asumsi, ditemukan bahwa terdapat perbedaan Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, rasio gaji terhadap penjualan, rasio bunga terhadap penjualan, rasio sewa terhadap penjualan, rasio penyusutan terhadap penjualan, rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualan, rasio biaya di luar usaha terhadap penjualan, dan rasio input lainnya terhadap penjualan yang ditetapkan DJP dengan perusahaan sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri
7 Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Data perbedaan rasio antara perhitungan perusahaan dengan DJP menjelaskan bahwa perhitungan Operating Profit Margin perusahaan sub-sektor perkebunan dan Perdagangan Ritel, Corporate Tax To Turn Over Ratio perusahaan subsektor Perkebunan dan Perdagangan Ritel, rasio PPN perusahaan sub-sektor Perkebunan, Makanan dan Minuman, Tembakau, dan Perdagangan Ritel, rasio gaji terhadap penjualan perusahaan sub-sektor Perkebunan, rasio sewa terhadap penjualan perusahaan sub-sektor Perkebunan dan Makanan dan Minuman, Tembakau, rasio penyusutan terhadap penjualan perusahaan sub-sektor Makanan dan Minuman, Tembakau, rasio input lainnya perusahaan sub-sektor Perkebunan, Makanan dan Minuman, Tembakau, dan rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualan perusahaan subsektor perdagangan ritel, ternyata menunjukkan angka minus, atau benchmark perusahaan lebih kecil daripada yang ditetapkan oleh DJP. Gross Profit Margin, Pretax Profit Margin, Net Profit Margin, dan rasio bunga terhadap penjualan perusahaan lebih besar, dari angka benchmark yang ditetapkan oleh DJP. Operating Profit Margin perusahaan sub-sektor Perkebunan lebih kecil daripada yang ditetapkan DJP, bisa terjadi karena ada perusahaan yang rugi pada tahun 2011, dan ada perusahaan yang ternyata laba bersihnya jauh di bawah rata-rata OPM untuk sektor tersebut. Begitu pula dengan OPM perusahaan perdagangan ritel, terdapat perusahaan yang ternyata rugi sehingga mempengaruhi hasil OPM. Corporate Tax To Turn Over Ratio perusahaan sub-sektor Perkebunan dan Perdagangan Ritel memiliki nilai yang lebih rendah daripada CTTOR yang ditetapkan DJP untuk sektor tersebut, dapat terjadi karena ada beberapa perusahaan yang tidak memiliki pajak penghasilan terhutang untuk tahun 2011. Hal ini bisa disebabkan karena laporan yang digunakan adalah laporan konsolidasian. Perusahaan induk merugi, namun laba diperoleh dari usaha-usaha perusahaan anak, sehingga tidak ada PPh yang harus dibayar. Selain itu, ada beberapa perusahaan juga yang memiliki pajak penghasilan yang jauh lebih tinggi dan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan rata-ratanya, yang dapat mempengaruhi penilaian CTTOR total. Perusahaan-perusahaan dalam sub-sektor Perdagangan Ritel memiliki tingkat pembayaran dividen memiliki perbandingan jauh satu sama lainnya. Perbandingan ini dapat menyebabkan nilai perbandingan Dividend Payout Ratio rata-rata tidak menyebar secara merata di masing-masing perusahaan. Rasio PPN di ketiga sub-sektor jika dibandingkan dengan rasio PPN yang ditetapkan DJP juga menghasilkan angka minus, di mana rasio PPN hasil perhitungan perusahaan-perusahaan lebih rendah daripada yang ditetapkan DJP. Hal ini bisa saja terjadi jumlah pajak masukan, yang menjadi dasar perhitungan rasio PPN, jumlahnya jauh bila dibandingkan dengan penjualan perusahaan. Rasio biaya gaji terhadap penjualan perusahaan sub-sektor Perkebunan memiliki perbedaan yang cukup jauh dengan yang ditetapkan oleh DJP. Rasio sewa terhadap penjualan memiliki perbedaan yang cukup jauh di sub-sektor Perkebunan dan sub-sektor Makanan, Minuman dan Tembakau. Penyebabnya terjadi karena rasio yang ditetapkan oleh DJP terlalu tinggi, sedangkan sewa oleh perusahaan-perusahaan terkait tidak terlalu banyak atau besar jumlahnya. Rasio penyusutan terhadap penjualan perusahaan sub-sektor Makanan, Minuman, dan Tembakau dari perusahaan lebih rendah daripada yang ditetapkan DJP. Setelah dilihat lagi ke rasio masing-masing perusahaan, perbedaan yang sangat tipis ini disebabkan karena ada satu perusahaan yang memiliki rasio penyusutan terhadap penjualan di bawah ketentuan DJP, yang mempengaruhi angka rasio rata-rata sub-sektor usaha tersebut. Rasio input lainnya terhadap penjualan untuk perusahaan sub-sektor Perkebunan dan Makanan, Minuman, dan Tembakau ternyata di bawah rasio DJP. Penyebabnya, rasio yang ditetapkan DJP ternyata terlalu tinggi, yang tidak sebanding dengan yang terjadi di masing-masing perusahaan terkait. Perusahaan sub-sektor Perdagangan Ritel memiliki rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualan di bawah rasio yang ditetapkan DJP. Karena rasio yang ditetapkan DJP tidak menyebar secara merata ke masingmasing perusahaan dalam sektor tersebut. Rasio masing-masing perusahaan dalam
8 TAX & ACCOUNTING REVIEW, VOL.1, NO.1, 2013 sektor tersebut berkisar antara 0,09% sampai dengan 1,38%, sedangkan rasio yang ditetapkan DJP untuk sub-sektor ini adalah 3,27%. Dari total 17 buah perusahaan, hanya ada dua perusahaan yang rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualannya lebih besar daripada yang ditetapkan DJP. KESIMPULAN Terdapat perbedaan Gross Profit Margin, Operating Profit Margin, Pretax Profit Margin, Corporate Tax To Turn Over Ratio, Net Profit Margin, Dividend Payout Ratio, rasio gaji terhadap penjualan, rasio sewa terhadap penjualan, rasio bunga terhadap penjualan, rasio penyusutan terhadap penjualan, rasio penghasilan di luar usaha terhadap penjualan, rasio biaya di luar usaha terhadap penjualan, dan rasio input lainnya yang ditetapkan DJP dengan perusahaan sektor industri Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan, sektor industri Pengolahan, dan sektor industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Keterbatasan dan Penelitian Selanjutnya
Saran
Untuk
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang sekaligus merupakan implikasi untuk penelitian selanjutnya: 1. Beberapa perusahaan masih belum mempublikasikan laporan keuangan tahunan 2011, sehingga perusahaan yang tidak ada laporan keuangannya, dikeluarkan dari perhitungan. Perusahaanperusahaan tersebut adalah: a. PT Provident Agro Tbk, dari sub-sektor Perkebunan b. PT Tri Bayan Tirta Tbk, dari sub-sektor Industri Makanan dan Minuman c. PT Davomas Abadi Tbk, dari sub-sektor Industri Makanan dan Minuman d. PT Delta Djakarta Tbk, dari sub-sektor Industri Makanan dan Minuman e. PT Mayora Indah Tbk, dari sub-sektor Industri Makanan dan Minuman f. PT Sekar Bumi Tbk, dari sub-sektor Industri Makanan dan Minuman g. PT Global Teleshop Tbk, dari sub-sektor Perdagangan Ritel h. PT Golden Retailindo Tbk, dari subsektor Perdagangan Ritel i. PT Supra Boga Lestari Tbk, dari subsektor Perdagangan Ritel.
2. Laporan keuangan yang dilaporkan perusahaan di Bursa Efek Indonesia adalah laporan keuangan konsolidasian, dengan anak perusahaaan yang memiliki sektor bisnis yang berbeda dengan sektor bisnis perusahaan induk. 3. Benchmark yang digunakan dalam penelitian adalah benchmark yang ditetapkan DJP terakhir pada tahun 2007. Sedangkan penelitian menggunakan laporan keuangan perusahaan tahun 2011. DAFTAR REFERENSI Adiritonga, Eko Sukmono dan Theresia Woro Damayanti. (2011). Ratio Total Benchmarking Sesuaikah Dengan Kondisi Wajib Pajak? (Studi pada Empat Perusahaan Rokok yang Terdaftar di BEI). Oktober 8, 2012. Argapratama, Yudha. (2011). Mengenal Tools Management: Benchmarking. peoplewit.com. Aryanto, Yuda., Primandita Fitriandi dan A.P. Priyono. (2011). Kompilasi UndangUndang Perpajakan Terlengkap, Salemba Empat, Jakarta. Badan Pusat Statistik. (2012). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Oktober 8, 2012. Ikatan Akuntan Indonesia. (2009). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Penyajian Laporan Keuangan. Jackson, S. L. (2006). Research Methods And Statistics, Thomson Higher Education, USA. Sugiyono. (2011). Statistik Nonparametris. CV Alfabeta, Bandung. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-96/PJ/2009. Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2010. Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap II. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-68/PJ/2010. Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap III. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-105/PJ/2010. Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap IV. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-139/PJ/2010. Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap V.