eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (3) 747-762 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
ALASAN PENUNDAAN RATIFIKASI STATUTA ROMA 1998 OLEH PEMERINTAH INDONESIA Maulidin1 Nim. 0902045082 Abstract The study research has a purpose to describe the reasons for ratification delay Rome Statute in 1998 by the Indonesian government. This is a descriptive study, which aimed to find out what are the reasons to postpone the Indonesian government ratified the Rome Statute of 1998. This study used quslitative research methods. In this study the authors use the concept of National Interest and Asian Value concept that are used is to perform the analysis in this study. Data analysis technique is qualitative analysis. The results showed that the Indonesian government reason to postpone ratifying the Rome Statute of 1998 is based on the national interests of Indonesia, where the Indonesian government considers that there are some provisions in the Rome Statute of 1998 quite burdensome with regard to economic, political, legal, social and historically Indonesia. Keywords : Rome Statute of 1998, Delay Ratification Pendahuluan Pasca Perang Dunia II (tahun 1939-1945) telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I (tahun 1914-1919). Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, serta perbuatan genosida telah menandai adanya perang global. Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Pada abad 20 ada 4 pengadilan internasional yang sudah dibentuk untuk mengadili pelaku dan mengupayakan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat. Diantaranya adalah International Military Tribunal (IMT) tahun 1945 dan International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) tahun 1946 yang mana pembentukannya didasarkan karena inisiatif sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II. Kemudian ada pengadilan yang terbentuk pasca Perang Ddingin yaitu, International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia (ICTY) tahun 1993 dan International Criminal Tribunal For Rwanda (ICTR) tahun 1994. Pembentukan ICTY dan ICTR didasarkan pada resolusi Dewan Keamanan PBB No. 827 tanggal 25 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unversitas Mulawarman. Email :
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Mei 1993 (ICTY) dan No. 955 tanggal 8 November 1994.Namun keempat mahkamah tersebut masih bersifat Ad Hoc (sementara) serta masih memiliki kelemahan. Atas dasar itu PBB telah menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan internasional untuk menuntut kejahatan – kejahatan seperti pemusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok atau genosida. Kemudian atas dasar resolusi PBB No. 51/207 tahun 1996 dan resolusi No. 52/160 tahun 1997 diselenggarakanlah United Nations Diplomatic Conference of Plenopotentiries tentang pembentukan Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan dari International Criminal Court (ICC) yang berlangsung dari tanggal 15 – 17 Juli 1998 di Markas Besar FAO, Roma, Italia. Sesuai yang tertuang dalam Mukadimah Statuta Roma tentang ICC bahwa statuta ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan global (Global Justice), memutus rantai kekebalan hukum (Impunity), mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, serta kejahatan agresi.2ICC merupakan Independepent Institution yang memiliki struktur organisasi sendiri terlepas dari PBB demikian halnya dengan anggaran operasionalnya yang didasarkan atas kontribusi dari negara – negara pihak Statuta Roma 1998. Meskipun Indonesia belum menjadi Negara pihak Statuta Roma 1998, namun secara domestik Indonesia telah mengadopsi beberapa ketentuan Statuta Roma 1998 ke dalam hukum nasional antara lain dengan menyempurnakan hukum acara pidana untuk perkara pelanggaran HAM berat. Upaya-upaya itu dilakukan untuk menunjukan bahwa Indonesia memiliki tekad dalam mengahapus impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM berat.Dalam pembentukan Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti konferensi diplomatik di Roma. Pada saat itu Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan Pembentukan ICC serta menyatakan niatnya untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Akan tetapi sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Dari pembahasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang alasan Indonesia menunda ratifikasi Statuta Roma 1998.Karena dari masa pemerintahan Habibie sampai sekarang pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Konsep Kepantingan Nasional Konsep kepentingan nasional (National Interest) adalah tujuan – tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita – citakan Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua bangsa/negara adalah keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dari kesejahteraan (Prosperity).Kepentingan nasional
748
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
diidentikan dengan “tujuan Nasional”.Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.Kepntingan nasional sering dijadikan tolak ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing – masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (foreign policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai “kepentingan nasional”. (T. May Rudy, 2002:116). Dalam hubungan internasional yang berperan untuk suatu kepentingan antara Negara internasional adalah sebuah aktor, yang dimana kasus ini aktor tersebut adalah Indonesia yang didasari oleh kepentingan – kepentingan yang ingin dicapai negara tersebut, dimana pengimpelmentasiannya disalurkan melalui pemerintah Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma 1998. Konsep HAM Nilai-Nilai Asia (Asian Values) Nilai-nilai Asia pada awalnya dianggap sebagai kekuatan dibelakang keajaiban pertumbuhan ekonomi di beberapa negara-negara Asia.Konsep ini tidak hanya digunakan oleh politisi tapi juga oleh para sarjana.Hal mana pada umumnya konsep ini ditujukan untuk memblokade serangan Barat atas praktek-praktek nondemokratis.Tapi, dengan kehancuran finansial 1998 nilai-nilai Asia juga ikut mengalami kehancuran. Disini kita tidak akan menghakimi validitas nilai-nilai Asia dalam kaitannya dengan penyelenggaraan ekonomi tapi terkait dengan HAM. Setidaknya, analogi dengan persoalan ekonomi tersebut makin memperkuat apabila pada dasarnya persoalan yang dihadapi oleh umat manusia adalah sama. Konsep nilai-nilai Asia dalam praktek negara-bangsa modern diterjemahkan sebagai negara paternalistik.Di mana dalam prakteknya, pemerintah berlaku sebagaimana layaknya orang tua yang bertindak sebagai pendidik dan pengayom anakanaknya.Dalam menjalani perannya tersebut, negara menerapkan prinsip-prinsip komunitarian yang penekanannya pada penjagaan tatanan sosial, harmoni dan disiplin. Sebagai tambahan peran pemerintah dalam bidang ekonomi membimbing para pengusaha swasta yang jadi pilihannya untuk berlaku sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional. Ini berbeda dengan praktek pengelolaan negara-bangsa modern atau Barat yang menuntut efisiensi, transparansi dan akuntabilitas dalam upaya pencapaian good governance dan clean government.Dalam budaya Barat pun menekankan pada individualisme sebagai kebalikan dari komunitarianisme yang lebih mendahulukan kepentingan bersama di atas individu.Dalam pengelolaan ekonomi, Barat condong memilih ekonomi pasar yang menuntut adanya pasar sempurna, yang diantaranya meliputi kompetisi bebas dan anti-monopoli, sebagai prasyarat bagi tumbunya ekonomi. (Pranoto Iskandar, 2010:140-142)
749
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Asian Values merupakan konsep nilai yang berkembang sebagai bentuk perlawanan terhadap nilai demokrasi Barat yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Asia. Konsep Asian Values mengemukakan bahwa budaya Asia khususnya Asia Timur telah mempengaruhi tatanan sosial-politik yang dapat dijelaskan melalui hal-hal berikut : a. Pencapaian stabilitas politik melalui tatanan, harmoni, dan penghormatan terhadap otoritas. b. Kemajuan ekonomi yang diperoleh melalui kerja keras, hemat dan rajin menabung. c. Kohesi sosial berupa komunitarianisme Selain hal-hal tersebut, Asian Values dijelaskan memiliki dasar lainnya, yaitu : a. Menempatkan kepentingan atau prioritas masyarakat diatas kepentingan individu. b. Mementingkan adanya ikatan emosional yang berdasarkan hubungan timbal balik hak dan kewajiban seperti dalam keluarga. c. Power as legitimed by virtue. Hal ini menyebabkan ketiadaan dari mekanisme umpan balik dalam sistem politik dan sistem check and balances yang dilembagakan. d. Asian Values mendasarkan pada etika Konfusianisme yang beranggapan bahwa mereka yang berkuasa terpilih karena alasan-alasan moral sehingga tidak ada alasan untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara jelas apa saja faktor Indonesia sehingga menunda meratifikasi Statuta Roma 1998 tersebut. Hasil Penelitian Pandangan Indonesia Tentang HAM Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi, oleh Negara, Hukum dan Pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (pasal 1 angka 1 UU Nomor 39 Tahun 1999). Konsep HAM secara prinsip adalah Universal, tetapi dalam pelaksanaan sistemnya berbeda pada masing-masing negara, menyesuaikan dengan kondisi politik adan sosial budaya masing masing negara. Konsep HAM negara-negara barat sifatnya individualisme, menitik beratkan pada Hak Hak individu sehingga melahirkan Liberalisme dan Kapitalisme. Konsep HAM Negara Komunis, menitik beratkan pada hak hak masyarakat, sehingga HAM individu menjadi terbatas. Sementara Konsep HAM Indonesia, dari perspektif keperibadian dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila, maka konsep HAM Indonesia menjaga keseimbangan antara Hak-hak individu dan Hak-hak masyarakat.
750
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
Bangsa Indonesia terdiri dari atas bermacam suku bangsa yang memiliki karakter, kebudayaan, serta adat istiadat yang beraneka ragam, memiliki agama yang berbeda beda dan terdiri dari beribu ribu pulau di wilayah Nusantara. Dalam proses panjang perjalanan sejarah dan beratus tahun dalam perjuangan untuk mencari jati diri, bangsa indonesia menemukan Kepribadian dan Pandangan Hidup atau Ideologi Bangsa yaitu Pancasila. Keragaman suku bangsa, dan keragaman budaya, adat istiadat, agama, bangsa Indonesia mengikatkan diri dalam suatu persatuan dengan selogan Bhineka Tunggal Ika. Azas kehidupan bangsa Indonesia yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berati nilai nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang religius, yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan Yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjujung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai machluk Tuhan, menjujung tinggi Hak Asassi Manusia, menghargai hak dan martabat tanpa membedakan suku, ras, keturunan,status sosial maupun agama, mengembangkan sikap saling mencintai antar sesama, tenggang rasa, tidak semena mena terhadap sesama manusia serta menjujung tinggi nilai nilai kemanusiaan Dalam Pembukaan UUD 1945. HAM dalam pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan di jabarkan dalam Konstitusi Negara RI yaitu UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, padal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, pasal 31 ayat 1,pasal 32, pasal 33, pasal 34,sudah cukup terkandungan nilai nilai kemanusiaan, atau Hak Asasi Manusia dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era globalisasi sekarang ini, zaman kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi dunia menjadi kecil dan tanpa batas. Informasi budaya, ekonomi, dan lain lain memasuki negara negara tanpa bisa di hambat. Termasuk nilai-nilai HAM yang dikembangkan lebih mengacu ke konsep Barat, secara substansi konsep HAM yang ditawarkan sangat sempit dan terbatas, dengan menafikan kultural yang berlaku pada bangsa-bangsa lain terutama dunia ketiga, seperti kita bangsa Indonesia. Status Universal yang dikembangkan oleh dunia Barat saat ini dianggap tidak fair dan bahkan sebagai upaya pelestarian dominasi Barat di dunia Internasional atau neoimperialisme.Akhir-akhir ini pada masyarakat Indonesia dengan alasan HAM, kebebasan berekpresi, dan kegiatan kegiatan lebih banyak bernuansa sekuler, sedang euforianya, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang berlaku dalam suatu komunitas masyarakat.Pelaksanaan Hak Asasi Manusia sebagai suatu sistem nilai, harus memperhatikan keragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan yang dimiliki suatu bangsa yang bersangkutan. Sebagai contoh : dalam “Universal Declaration of Human Right” 10 Desember 1948, antara lain ; a. Pasal 16 ayat (1) menyatakan Kebebasan dalam melakukan perkawinan. b. Pasal 18 menyatakan adanya “Hak Murtad”.
751
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Dalam akar kebudayaan bangsa Indonesia beratus tahun yang lalu, pengakuan dan penghormatan tentang hak-hak asasi manusia telah ada, baik dalam hukum adat maupun dalam Agama. Dibandingkan Piagam HAM PBB tersebut diatas, Indonesia telah lebih dahulu mengakui HAM dalam keperibadian dan pandangan hidup bangsa, yang dijabarkan pada Ideologi Pancasila dan UUD 1945, sementara Piagam PBB tentang HAM baru tahun 1948. Pancasila sebagai ideology terbuka adalah membuka ruang terbentuknya kesepakatan-kesepakatan masyarakat untuk memusyawarahkan bagaimana cita-cita dan nilai-nilai dasar yang terkandung didalamnya. Pancasila sebagai ideology Negara Republik Indonesia berbeda dengan ideology Liberalisme Kapitalis yang berpaham individulistik, juga berbeda dengan ideology Sosialis Komunis yang berpaham kolektivitas komunal.Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak-hak warga masyarakat, baik dibidang ekonomi maupun politik. Ideologi Pancasila mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan bukan demokrasi di bidang politik semata, seperti dalam ideologi Liberal Kapitalis, akan tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem Kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha.Adapun dalam sistem komunis, negaralah yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara dilihat dari segi struktur tata hukum Indonesia, menempati derajat tertinggi secara hierarki yaitu norma fundamental Negara, ditemukan dalam Mukadimah Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, norma dibawahnya adalah yaitu batang tubuh UUD negara. Penempatan Pancasila sebagai norma fundamental negara berarti kedudukannya di atas UUD, sehingga Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi karena berada di atas konstitusi.HAM dalam perspektif dengan banyak ideologi negara memiliki karakteristik masing-masing. Indonesia sebagai bangsa yang memilih Pancasila sebagai Ideologi negara, memandang HAM sebagai hak-hak kodratiah dan fundamental kemanusiaan, sehingga konsentrasi HAM sifatnya tertuju baik bagi individual maupun kolektivitas manusia sesusai yang tercermin dalam sila-sila Pancasila. (Nurul Qamar, 2013: 92-95) Selain dari pandangan ideologi, HAM di Indonesia juga dapat dilihat dari perspektif militer. Salah satu lemabaga militer yang ada di Indonesia yaitu TNI, dimana Militer sesungguhnya hanya diberi fungsi pertahanan dari serangan musuh, sehingga negara berkewajiban untuk memberikan fasilitas dan pembiayaan dalam rangka mendukung profesionalismenya. Dalam hal ini militer tunduk pada supremasi sipil yang memberikan kekuasaan kepadanya sesuai dengan konstitusi, sebagaimana Winston Churcill berkata bahwa, “Perang adalah hal yang terlalu penting untuk diserahkan kepada jenderal-jenderal.” namun, kaum militer tidak mau menerima supremasi sipil, bahkan cenderung meremehkan. Mereka lupa bahwa profesionalisme mereka
752
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
bukanlah tujuan, namun alat untuk mencapai tujuan dari negara yang dipimpin otoritas demokratik.Militer didesain untuk membantu mencapai tujuan, seperti menjamin keamanan negara, bukan untuk menjawab pertanyaan, “Apakah lebih baik memerangi atau berdamai dengan negara tersebut?”Politisi sipil-lah yang mengambil keputusan setelah mendengar masukan dari para jenderal dan mempertanggungjawabkannya secara konstitusional. (Lance Castles, 1999:xiii-xvi) Dalam konteks Indonesia, ketidakmauan militer mengakui supremasi sipil sangat kentara pada masa pemerintahan Orde Baru yang notabene adalah pemerintahan militer.Orde baru dengan berbagai upaya mencoba menghapuskan dikotomi sipilmiliter dan menempatkan sipil pada posisi yang sub-ordinatif.Doktrin kekaryaan, dwifungsi, manunggal TNI, ABRI masuk desa, pelibatan komando teritorial dalam musyawarah pimpinan daerah, adalah proses TNI (ABRI) mengukuhkan intervensi dan peran dominasinya dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian bertahan sampai + 32 tahun. Pengalaman inilah yang kemudian menghambat proses pengembalian militer pada fungsinya yang menjadi agenda transisional yang direkomendasikan berbagai kalangan sipil paska lengsernya Jenderal Soeharto. Rezim Orde Baru yang tunduk pada kekuatan modal dengan dukungan TNI (ABRI) melakukan screening terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada. Dengan dalih mengembalikan stabilitas keamanan nasional melalui Kopkamtib dan Bakortanas Rezim militer bekerja sebagai mesin-mesin teror,mesin-mesin horor, mesin-mesin parasit, mesin-mesin fasisme dan mesin-mesin dis-informasi. Transisi menuju Orde Baru merusak “perubahan murni” yang membawa agenda kesejahteraan dan konsep negara demokratis.Politik kekerasan dimunculkan, diatur dalam undang-undang dan dipelihara untuk dimunculkan dalam situasi-situasi “ketiadaan kendali” (govermentless). Dengan Doktrin Dwifungsinya TNI bukan sekadar dianggap sebagai kekuatan pertahanan keamanan, namun juga sebagai kekuatan sosial politik, dimana TNI mendapat hak untuk duduk di DPR melalui pengangkatan dengan legitimasi UU Tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/MPR yang mengabsahkan fraksi tersendiri bagi TNI aktif. Transisi dari Orde Lama menuju Orde baru ditandai dengan perubahan orientasi negara dari penekanan atas “revolusi” dan anti-imperalisme serta politik mobilisasi massa dengan memanfaatkan pengaruh Soekarno menjadi prioritas terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi asing dan semangat anti komunisme yang tinggi. TNI (ABRI) berhasil melakukan pengendalian sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.Komando Teritorial Angkatan Darat memastikan kehadirannya sampai ke tingkat desa dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan pemerintah sipil dan bertindak sebagai pengawas politik. (Peter Britton, 1996:126)
753
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Tampilnya TNI sebagai kekuatan dominan dominan di panggung politik sejak awal Orde baru kemudian semakin menghapus wilayah-wilayah wewenang sipil dan militer dalam pemerintahan. TNI (ABRI) yang semakin kuat dan menghempaskan wacana dikotomi sipil-militer masuk ke berbagai domain publik yang dimiliki kalangan sipil seperti birokrasi, bisnis, partai politik, dll., dengan menanggalkan seragam dan mengenakan atribut sipil.(Najib Azca, 1999:31-32). Dari sini diketahui bahwa ketidakmauan tunduk pada supremasi sipil adalah bahaya laten TNI sejak awal kemerdekaan yang kemudian menjadi kenyataan melalui momentum tragedi Gestapu. TNI memberikan jaminan stabilitas politik untuk memungkinkan beroperasinya modal asing.Jaminan adanya stabilitas politik bagi modal mensyaratkan adanya negara yang kuat, sehingga penguatan militer menjadi tujuan sesuai dengan ketentuan persyaratan modal itu.Pada perkembangan selanjutnya, Soeharto yang telah memegang tampuk kekuasaan politik mutlak, semakin memanfaatkan alat-alat represif negara dalam rangka pengamanan kekuasaan politik dan ekonominya. Kepentingan ekonomi-politik telah menyeret Orde Baru menyusun suatu tatanan sosial yang kondusif dan reseptif .Di sinilah proyek rule and order itu bekerja.Aparat teknokrasi bekerja merumuskan karakter masyarakat yang diperlukan untuk kelancaran kepentingan rejim, sementara aparat represif dan ideologis bekerja secara sistematis menghancurkan potensi-potensi kreatif masyarakat baik melalui kekerasan langsung maupun rekayasa-rekaya penghancuran, teror dan intimidasi. Pada kondisi inilah pelanggaran HAM muncul dalam area kehidupan rakyat.Kerakusan kekuasaan ekonomi-politik berjalin begitu rupa dengan institusi militer sendiri, sehingga mereka tidak mampu membedakan mana peran militer profesional dan mana kepentingan ekonomi politik.Tindak kekerasan militer berlangsung sistemik dan lahir dari rahim kebijakan politik yang represif, bukan sekadar insiden atau tindak indisipliner aparat.Dalam banyak peristiwa, militer menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan yang memunculkan pelanggaran HAM tersebut. Militer juga masuk pada konflik-konflik yang sebenarnya bukan merupakan wewenangnya seperti dalam konflik-konflik perburuhan dimana mereka bukan “hanya” berperan sebagai saksi dan penjaga dalam aksi perundingan dan pemogokan buruh, namun juga sebagai peserta/pemain, penengah/mediator, pengintimidasi dan penangkap/penahan. Keterlibatan militer dalam berbagai pelanggaran HAM tidak juga berhenti.Militer sebagai pelanggar HAM ada pada tingkatan sebagai pelaksana kebijakan negara yang berkaitan dengan serangan langsung terhadap penduduk seperti yang terjadi di Aceh, atau terlibat dalam wilayah konflik sipil dimana militer ditempatkan sebagai instrumen yang bertanggungjawab terhadap penghentian konflik.Dalam hal menjalankan fungsi represif negara TNI mengabdikan diri pada prinsip-prinsip stabilitas yang dianut negara. Dalam hal mencari keuntungan di wilayah konflik, TNI memandang bahwa operasi militer pada dasarnya mengandung unsur-unsur bisnis, mulai dari pendapatan dari budget resmi yang disediakan negara pada setiap operasi sampai dengan keuntungan-keuntungan yang dipetik di wilayah operasi, seperti bisnis keamanan, pengawalan hingga jual beli senjata.
754
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
a)
Faktor Nilai/Value Di Asia Timur dan Asia Tenggara, persoalan HAM sempat menjadi aktual seiring dengan munculnya konsep nilai-nilai Asia (Asian Value).Masalah HAM semakin menarik karena beberapa negara Asia yang tidak menerapkan HAM ternyata berhasil dalam mensejahterakan rakyatnya.Hal yang membedakan negara-negara Asia dari negara-negara Barat penganut HAM adalah masalah kedaulatan.Negara-negara di Asia berpendapat bahwa negara harus bedaulat dan tidak didikte dari luar.Disamping itu, negara-negara Asia masih terlalu awam untuk membicarakan HAM, terutama hak sipil dan politik. Dengan kata lain, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya jauh lebih penting dari hak-hak sipil dan politik. Dalam bidang politik, nilai-nilai Asia sering kali digunakan sebagai alat untuk melupakan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dalam pelaksanaan politik sehari-hari.Banyak oposisi negara ditekan karena alasan stabilitas negara.Berangkat dari hal itu, nilai-nilai Asia menjadi pembenaran negara atas pelanggaran yang dilakukan terhadap hak-hak politik masyarakat. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia.Khususnya di Asia Tenggara, sebelum terjadinya revolusi tahun 1998 belum dianggap menjalankan demokrasi secara murni dan masih tergolong menjalankan pemerintahan yang otoriter.sebagai negara yang merdeka pasca Perang Dunia II, maka prioritas utama Indonesia adalah pembangunan nasional dan stabilitas politik serta keamanan untuk mendukung kemajuan ekonomi. Isu-isu lain seperti HAM, tidak begitu mendapat perhatian, walau banyak terjadi kasus pelanggaran HAM pada masa pemerintahan era Orde Baru.Sehingga dalam menjalankan prioritas utamanya, terkadang terjadi pelanggaran.Namun pemerintah seolah-olah seperti membiarkan pelaku pelanggaran HAM tersebut. Pembiaran terhadap kasus pelanggaran masa lalu berupa tidak diadilinya para pelaku pelanggaran HAM tersebut dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas politik.Dikarenakan para pelaku pelanggaran HAM masa lalu tersebut merupakan termasuk elite politik dalam pemerintahan saat ini.
b) Kepentingan Nasional Indonesia Menunda Ratifikasi Statuta Roma 1998 merupakan sebuah perjanjian multilateral untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court), Statuta Roma 1998 dihasilkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsabangsa di Roma pada tanggal 17 Juli 1998. Dari hasil perjanjian tersebut, 120 negara setuju, 7 negara menolak dan 21 negara abstain termasuk Indonesia. Indonesia sempat berencana meratifikasi Statuta Roma 1998 dengan dimasukannya Statuta Roma 1998 ke dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009. Dalam RANHAM tersebut Indonesia akan meratifikasi Statuta Roma 1998 pada tahun 2008. Serta pada masa pemerintahan SBY melalui Perpres nomor 23 Tahun 2011. Hal ini menunjukan adanya upaya dan komitmen pemerintah Indonesia dalam rangka penegakan
755
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
HAM nasional dan internasional. Namun hingga era kepemimpinan presiden saat ini belum ada aksi untuk meratifikasi Statuta Roma 1998. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mencoba menjabarkan alasan penundaan ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh pemerintah Indonesia. Berikut adalah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia menunda meratifikasi Statuta Roma 1998: 1. Secara Hukum Dampak Secara hukum ratifikasi Statuta Roma 1998 terhadap sistem ketatanegaraan RI pada hakikatnya merupakan “penyerahan kedaulatan hukum NKRI” kepada Statuta Roma 1998 untuk memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat warga Indonesia kepada Pengadilan Pidana Internasional terlepas status hukum pejabat publik yang seharusnya memiliki imunitas diplomatik. Dan yang sangat sensitif, bahwa secara sadar pemerintah tidak menjalankan amanat UUD 1945 yang hanya mengakui dua puncak kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah Agung Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kemudian dampak hukum ratifikasi lainnya adalah terhadap sistem hukum pidana nasional khususnya dalam peristiwa genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi merupakan perubahan mendasar asas-asas hukum, normanorma, kelembagaan dan proses hukum pidana dalam perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia kini dan masa yang akan datang. Sistem peradilan pidana Indonesia ketika pasca ratifikasi akan selalu dibawah “bayang-bayang” Statuta Roma 1998 dalam hal terjadi pelanggaran HAM berat di wilayah Indonesia dan dilakukan oleh warga negara Indonesia baik militer maupun sipil. Meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998, sebenarnya Indonesia sudah memiliki perundang-undangan nasional yang memuat ketentuanketentuan mengenai hak asasi manusia (HAM) yaitu seperti Pasal 28A-28J dalam Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 2. Secara Politik Dampak politik dari ratifikasi Statuta Roma 1998 adalah pengakuan eksistensi Statuta Roma 1998 kedalam yurisdiksi NKRI rentan terhadap ketidakstabilan kehidupan politik nasional dimana pro dan kontra dengan dalih nasionalisme akan berkepanjangan ketika terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat. Sedangkan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu pada beberapa wilayah Indonesia masih belum diselesaikan secara tuntas sehingga kemungkinan tekanan-tekanan internasional dengan dalih “unwilling” dan “unable” akan tetap merupakan isu yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan stabilitas politik, keamanan, ekonomi.
756
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
Kemudian yang menjadi pertimbangan politik adalah peran Dewan Kemanan PBB. Indonesia masih trauma dengan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-timur, dimana Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi dengan Nomor 1264/1999 tanggal 15 September 1999 yang merupakan resolusi yang bersifat memberikan “ultimatum” terhadap pemerintah Indonesia untuk menuntut dan mengadili pelaku yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran HAM berat di Timor-Timur pasca jajak pendapat. Atas dasar resolusi tersebut, dibentuklah Komisi Ahli Independen oleh Sekjen PBB untuk melaksanakan penyidikan dan mencari bukti-bukti pelanggaran HAM di Timor-Timur pasca jajak pendapat. Pada akhirnya 7 Rekomendasi disampaikan oleh Komisi Ahli Independen kepada Pemerintah Indonesia, dimana isinya adalah sebagai berikut : a) Indonesia harus memperkuat kemampuan proses penuntutan dan peradilan dengan memperbantukan ahli-ahli hukum dan peradilan internasional diutamakan dari kawasan Asia. b) Indonesia menyediakan penasehat ahli khusus kepada Jaksa Agung dalam bidang hukum pidana internasional, hukum humaniter internasional dan ahli hukum HAM. c) Agar Kejaksaan Agung Indonesia meninjau kembali secara komprehensif penuntutan yang telah dilaksanakan di Pengadilan HAM Ad Hoc. Jika perlu peradilan HAM Ad Hoc dilakukan di tempat kejadian dan terdakwa diadili kembali. d) Agar Pemerintah Indonesia menyampaikan laporan lengkap kepada Sekjen PBB perihal Hasil penyidikan berkaitan dengan penuntutan oleh Serious Crime Panel Unit Timor Leste dan merinci alasan-alasan penuntutannya atau menentukan juga apakah diperlukan peradilan kembali terhadap mereka yang diadili di pengadilan HAM Ad Hoc. e) Agar Dewan Kemanan PBB mengeluarkan Resolusi dibawah Bab VII Piagam PBB untuk membentuk Pengadilan Ad Hoc untuk Timor-Timur dan bertempat di Negara ketiga. f) Agar juga dipertimbangkan peradilan internasional untuk Timor-Timur. g) Agar Negara anggota PBB sesuai dengan hukum nasionalnya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia di Timor-Timur pada tahun 1999. Sampai saat ini belum diketahui secara terbuka keterangan pemerintah Indonesia menanggapi 7 rekomendasi Komisi Ahli Independen melalui Sekretaris Jenderal PBB yang telah disampaikan pada tahun 2005. 3. Secara Ekonomi Bila suatu negara meratifikasi perjanjian internasional maka negara tersebut akan terikat oleh perjanjian internasional tersebut, sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut akan tunduk pada perjanjian internasional yang telah ditandatangani.
757
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Kaitannya dengan Statuta Roma 1998, Negara-negara yang mengikatkan diri akan menentukan anggaran dan ikut membayar iuran suka rela. sebagaimana di dalam Pasal 115 Statuta Roma 1998, menjelaskan bahwa Pengeluaran Mahkamah dan Majelis Negara Pihak, termasuk Biro dan badan-badan bawahannya, sebagai ditetapkan dalam anggaran yang diputuskan oleh Majelis Negara-negara Pihak, akan disediakan oleh sumber-sumber berikut ini: a) Sumbangan yang diperkirakan oleh negara-negara pihak b) Dana yang disediakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tunduk pada pengesahan Majelis Umum, terutama dalam kaitan dengan pembiayaan yang timbul yang disebabkan oleh penyerahan dari Dewan Keamanan. Kemudian dijelaskan dalam pasal 100 ayat 1 Statuta Roma 1998 tentang biayabiaya yang ditanggung oleh mahkamah yaitu: a) Biaya yang berhubungan dengan perjalanan dan kemanan para saksi dan ahli atau penyerahan berdasarkan pasal 93 dari orang-orang yang ditahan. b) Biaya terjemahan, juru bahasa dan traskripsi. c) Biaya perjalanan dan biaya hidup untuk para hakim, Penuntut Umum, para Wakil Penuntut Umum, Panitera, Wakil Panitera, dan staf dari setiap organ Mahkamah. d) Biaya untuk setiap pandangan ahli atau laporan yang diminta oleh Mahkamah. e) Biaya yang berkaitan dengan pengankutan seseorang yang diserahkan ke Mahkamah oleh suatu negara tempat penahanan. f) Setelah mengadakan konsultasi, setiap biaya luar biasa yang mungkin timbul dari pelaksanaan suatu permintaan. Lepas dari itu, Sehubungan dengan meratifikasi Statuta Roma 1998 juga akan memberatkan bagi Indonesia, Jika Indonesia meratifikasi Statuta Roma 1998. Maka Indonesia pasti akan mengalokasikan sejumlah dana untuk memproses pengaplikasian Statuta Roma 1998 tersebut, seperti dana untuk administrasi peratifikasian, memberi pelatihan bagi departemen-departemen dalam negeri terkait seperti tenaga-tenaga ahli di bidang hukum dan HAM, mengalokasikan dana khusus untuk mengusut kasus-kasus yang akan terjaring oleh ketentuanketentuan didalam Statuta Roma yang kemungkinan harus diadili kembali guna menegakan keadilan HAM yang di usung dalam Statuta Roma, serta dana-dana lainnya. Biaya-biaya tersebut pasti akan menguras beberapa persen dari dana APBN sedangkan saat ini pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk memaksimalkan penyerapan ABPN demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Faktor-faktor yang disebutkan diatas yang merupakan menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Statua Roma 1998. Karena kepentingan nasional Indonesia dalam hal menunda ratifikasi Statuta Roma 1998 lebih kepada Primari Interest yang mencakup pelindungan bagi territorial Negara, politik, hukum, dan identitas budaya yang berusaha melawan intervensi dari pihak eksternal.
758
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
4. Secara Historis Secara historis, Indonesia memiliki banyak catatan tentang pelanggaran HAM berat di masa lalu.Pelanggaran HAM yang terjadi lebih sering disebabkan oleh karena adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan di era Orde Baru dimana kebijakan-kebijakan tersebut menjadi pemicu terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Selama pemerintahan orde baru terjadi perubahan politik dan dominasi lembaga eksekutif terhadap semua lembaga lainnya sehingga fungsi check and balance dalam struktur negara tidak berfungsi, hal ini secara massif berdampak bagi penegakan hukum di Indonesia. Terjadi pelanggaran HAM di Indonesia semasa rezim Soeharto yaitu: peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus daerah operasi militer (DOM) Aceh dan Papua. Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM.Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara. Namun sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi
759
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 memberikan perubahan yang sangat besar pada kemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.Bermunculan aktifitas pengkajian HAM terhadap kebijakan pemerintah orde baru yang melanggar HAM, yang diikuti oleh penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenail implementasi HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan masyarakat Indonesia. Proses penegakan HAM pada periode transisi dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. Tahap penentuan telah disahkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang HAM yaitu amandemen konstitusi negara. Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.. Desakan terkuat tertuju pada percepatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timtim. Hak Asasi Manusia sebenarnya bukan istilah baru di Indonesia, masalah ini telah tercantum dalam UUD 1945, dan secara tegas diatur sejak era reformasi bergulir.Produk Hukum yang mengaturnya diantaranya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pencantuman dalam Amandemen II UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Walaupun UUD 1945 telah mengaturnya, namun kesadaran akan pentingnya penegakan HAM tumbuh di saat tumbangnya rezim otoriter. Masa transisi saat ini, telah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada para pejuang HAM.Komnas HAM telah dibentuk dimasa pemerintahan Soeharto, namun dalam era reformasi ini kiprahnya terlihat lebih maksimal. Banyak permasalahan muncul dalam proses penegakan HAM saat ini. Permasalahan itu timbul disebabkan oleh Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas tentang HAM, baik pada Lembaga-lembaga Negara, maupun masyarakat.Pengetahuan yang terbatas menyebabkan pembentukan dan pelaksanaan peraturan perundangan menjadi kurang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.Intepretasi yang berbeda-beda terhadap peraturan perundangan menjadi topik sehari-hari.
760
Alasan Penundaan Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia (Maulidin)
Perbedaan intpretasi peraturan tertulis menimbulkan polemik tentang proses penegakan HAM. Polemik yang berkembang berkisar pada beberapa masalah, diantaranya: Keabsahan pembentukan KPP HAM, Kewenangan memaksa KPP HAM dalam memanggil saksi dan tersangka, Penetapan Jaksa dan Hakim ad hoc yang independen dan penolakan intervensi pihak asing dalam proses pengakan HAM. Kesimpulan Indonesia sampai saat ini masih menunda meratifikasi Statuta Roma 1998.Sikap pemerintah Indonesia yang menunda ratifikasi Statuta Roma 1998 disebabkan oleh dampak dari ratifikasi tersebut. Ada beberapa dampak yang menjadi pertimbangan jika Pemerintah Indonesia meratifikasi Statuta Roma antara lain dampak secara hukum, politik, sosial, historis, dan ekonomi.Secara hukum karena khawatir akan menyerahkan kedaulatan hukum nasional kepada Statuta Roma 1998 dan dapat mengenyampingkan amanat UUD 1945 yang mengakui dua pucak kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Serta Indonesia juga sudah memiliki insturmen HAM sendiri.Secara politik, pengakuan Statuta Roma 1998 ke dalam yurisdiksi Indonesia rentan terhadap ketidakstabilan politik nasional dimana pro dan kontra dengan dalih nasionalisme berkepanjangan apabila terjadi pelanggaran HAM berat. Serta peran Dewan Keaman PBB yang biasa kurang berpihak pada Negara berkembang.Secara Sosial, akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah ketika pengambil-alihan peristiwa pelanggaran HAM oleh Statuta Roma 1998.Secara Historis, kebijakan pada masa Orde Baru yang mengakibatkan banyaknya terjadi pelanggaran HAM. Serta belum tuntasnya pemerintah dalam mengadili pelaku kejahatan di masa lalu.Secara Ekonomi, Indonesia akan diberatkan pada pengalokasian sejumlah dana untuk membenahi sistem peradilan nasional dan membayar iuran kas untuk Statuta Roma 1998 jika Pemerintah Meratifikasi. Referensi Buku Azca, Najib. 1999. “ABRI dan Kekerasan”. Interfidei : Yogyakarta. Britton, Peter. 1996. “Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat”. LP3ES: Jakarta. Castles, Lance. 1999. Pengantar dalam buku “ABRI dan Kekerasan”. Interfidei: Yogyakarta Iskandar, Pranoto. 2010.”Hukum HAM Kontekstual”. IMR Press: Cianjur.
Internasional:
Sebuah
Pengantar
Mauna , Boer. 2005. Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global Edisi ke – 2, Bandung Qamar, Nurul. 2013. “Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi”. Sinar Grafika : Jakarta.
761
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 747-762
Rudy, T.May. 2002. “Study Strategis dalam Transformasi system Internasional Pasca Perang Dingin”., Refika Aditama: Bandung Jurnal Kittichaisaree, Kriangsak (2001), Report of the ILC on the Work of Its 46th Sess, UN GAOR, 49th Sess, Supp No. 10(A/49/10). International Criminal Law, Oxford University Press, di akses 11 April 2016 Sumber dari Jurnal Febbie Ardilla Antriksa, Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Fakultas ISIPOL, Universitas Udayana yang berjudul Demokrasi Semu di Singapura Pada Masa Lee Kuan Yew (1959-1990). Dalamhttp://ojs.unud.ac.id/index.php/hi/article/view/9391/6983, diakses pada tanggal 11 April 2016 Internet Ratifikasi Statuta Roma 1998 dalam http://docs.perpustakaanelsam.or.id/icc/files/fileKK.07.pdf, diakses pada tanggal 23 Maret 2015 Yurisdiksi ICC terhadap Negara dalamhttp://www.slideshare.net/MertaTriyadi19/1070-19072pb tanggal 24 Maret 2015
Non-Anggota diakses pada
Ramidi, “Komnas HAM: Lima Pelanggaran HAM Berat di Masa Soeharto”, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2004/01/23/05538767/Komnas-HAM-LimaPelanggaran-HAM-Berat-di-Masa-Soeharto, pada tanggal 26 Juli 2016
762