Statuta Roma
HUKUM ACARA DAN PEMBUKTIAN
BAB 1 KETENTUAN UMUM Aturan 1 Pemakaian Istilah Dalam dokumen ini: • Kata “Pasal” mengacu pada pasal Statuta Roma [yang sejajar dengan kata “Aturan” dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.]; • Kata “Sidang” mengacu pada Sidang Mahkamah; • Kata “Bagian” mengacu pada Bagian dari Statuta Roma [yang sejajar dengan kata “Bab” dalam dokumen Hukum Acara ini, penj.]; • “Hakim Ketua” mengacu pada Hakim Ketua Sidang [Mahkamah]; • “Ketua” mengacu pada Ketua Mahkamah; • “Peraturan” mengacu pada Peraturan Mahkamah; • “Aturan” mengacu pada Aturan dalam dokumen Hukum Acara dan Pembuktian ini. Aturan 2 Naskah Autentik Aturan-aturan dalam Hukum Acara ini telah diadopsi dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 40, Ayat 1. Semua teks atau naskah yang tertulis dalam bahasa-bahasa tersebut sama autentiknya. Aturan 3 Amandemen 1
2
3
Amandemen terhadap aturan dalam hukum acara ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 51, Ayat 2, harus diajukan kepada Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak. Ketua Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua amandemen yang diajukan telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa resmi Mahkamah dan disampaikan kepada Negara-Negara Pihak. Prosedur yang telah digambarkan pada sub-aturan 1 dan 2 di atas berlaku juga bagi aturan dalam hukum acara sementara sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 51, Ayat 3
BAB 2 SUSUNAN DAN ADMINISTRASI MAHKAMAH Bagian I Ketentuan Umum Berkaitan dengan Susunan dan Administrasi Mahkamah Aturan 4 Sidang Umum 1. Para hakim harus mengadakan pertemuan dalam forum sidang umum tidak lebih dari dua bulan terhitung sejak mereka dipilih. Pada sidang pertama tersebut, setelah mereka melakukan sumpah jabatan, dalam kesesuaiannya dengan aturan 5, para hakim harus: (a) Memilih Ketua dan Wakil Ketua (Mahkamah) (b) Membagi dan menempatkan para hakim berdasarkan divisi-divisinya 2. Para hakim harus mengadakan sidang umum, setelah sidang umum pertama, sekurangkurangnya sekali setahun untuk menguji apakah pelaksanaan tugas dan fungsi mereka sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta, aturan-aturan dalam Hukum Acara, dan peraturan-peraturan dalam Tata-Tertib (Tatib), dan, jika dianggap perlu, mengadakan sidang umum khusus yang dipimpin oleh Ketua atas mosinya sendiri atau atas permintaan setengah dari keseluruhan jumlah hakim Mahkamah. 3. Kuorum yang memenuhi syarat untuk setiap sidang umum adalah dua per tiga dari keseluruhan jumlah hakim 4. Sepanjang tidak ditetapkan lain daripada yang telah termaktub dalam Statuta atau Hukum Acara, keputusan dalam sidang umum harus diambil berdasarkan moyoritas jumlah hakim yang hadir. Jika terjadi kesamaan jumlah suara, Ketua, atau hakim yang bertindak atas nama Ketua, harus mengambil keputusan berdasarkan kewenangan yang ada padanya. 5. Tata Tertib harus diadopsi sesegera mungkin dalam sesi sidang umum. Aturan 5 Sumpah Jabatan di Bawah Ketentuan Pasal 45 1. Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 45, sebelum melaksanakan tugas dan fungsi mereka berdasarkan ketentuan Statuta, pengambilan sumpah jabatan harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan seperti berikut: a. Untuk hakim, ia harus mengucapkan sumpah seperti ini: “Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai hakim Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan dan kerahasiaan pengambilan keputusan.”; b. Untuk Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera dari Mahkamah ini: “Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan
pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan.” 2. Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan disaksikan oleh Ketua atau seorang Wakil Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak harus diarsipkan bersama Berita Acara dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. Aturan 6 Sumpah Jabatan oleh Staf Kantor Penuntut Umum, Kepaniteraan, Penafsir dan Penerjemah 1. Dalam kaitan dengan tugas sesuai jabatan masing-masing, setiap staf dari Kantor Penuntut umum dan Kepaniteraan harus melakukan pengambilan sumpah sebagai berikut: “Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan melaksanakan tugas-tugas saya dan menjalankan wewenang saya sebagai (sebut sesuai jabatan masing-masing!) dari Mahkamah Pidana Internasional dengan penuh hormat, mengedepankan pengabdian, tidak memihak, dan dengan penuh kesadaran, dan bahwa saya akan menghormati kesahihan hasil penyelidikan dan penuntutan.”; Sumpah, yang telah ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah tersebut dan disaksikan, sebagaimana seharusnya, oleh Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. 2. Sebelum melaksanakan berbagai tugasnya, orang yang bertindak sebagai penafsir atau penerjemah dalam sidang Mahkamah harus mengucapkan sumpah seperti berikut: “Dengan tulus saya menyatakan bahwa saya akan melaksanakan segala tugas saya dengan penuh pengabdian, tidak memihak dan dengan segala rasa hormat pada kewajiban menjalankan tugas dengan penuh kebenaran dan kesahihan.”; Sumpah, yang ditandatangani oleh orang yang mengucapkan sumpah dan disaksikan oleh Ketua Mahkamah atau orang yang mewakilinya, harus diarsipkan bersama Berita Acara di Kepaniteraan dan disimpan dalam rekaman proses persidangan Mahkamah. Aturan 7 Hakim Tunggal di Berdasarkan Ketentuan Pasal 39, Ayat 2 (b) (iii) 1. Jika Sidang Pra-peradilan menetapkan seorang hakim sebagai hakim tunggal sesuai ketentuan pasal 39, ayat 2 (b) (iii), hal itu harus dilakukan dengan berdasarkan pada kriteria objektif yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Hakim yang telah ditentukan tersebut harus membuat keputusan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan dalam Sidang Pra-peradilan, yaitu pertanyaanpertanyaan yang di atasnya keputusan yang diambil oleh Sidang lengkap [Sidang yang terdiri dari seluruh hakim yang bertugas untuk persidangan suatu kasus] tidak secara tegas diungkapkan dalam ketentuan Statuta atau aturan Hukum Acara.
3. Sidang Pra-peradilan, berdasarkan mosinya sendiri atau, jika dipandang tepat, berdasarkan permintaan salah satu pihak, boleh memutuskan bahwa tugas hakim tunggal perlu diuji atau diperiksa oleh Sidang lengkap. Aturan 8 Kode Etik Jabatan 1. Ketua, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, harus menetapkan sebuah draf Kode Etik Jabatan bagi jasa konsultasi hukum, setelah dimintakan persetujuan dari Penuntut Umum. Dalam penyiapan proposal tersebut, Panitera harus melakukan konsultasi dengan berbagai pihak sebagaimana ditetapkan dalam aturan 20, sub-aturan 3 dari Hukum Acara dan Pembuktian ini. 2. Draf Kode Etik tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Negara-Negara Pihak, agar diadopsi, sesuai dengan ketentuan pasal 112, ayat 7. 3. Kode Etik tersebut harus mengandung ketentuan tentang prosedur yang bisa diambil jika diperlukan adanya amandemen. Bagian II Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum) Aturan 9 Kegiatan Kantor Kejaksaan (Penuntut Umum) Dalam menjalankan tugasnya dalam hal manajemen dan administrasi di Kantor Kejaksaan, Penuntut Umum harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya tugas institusi tersebut. Dalam penyiapan ataupun amandemen terhadap peraturan-peraturan tersebut, Penuntut Umum harus merundingkannya dengan Panitera terutama menyangkut hal-hal yang mungkin akan mempengaruhi kinerja kerja Kepaniteraan. Aturan 10 Penahanan Informasi dan Bukti Penuntut Umum harus bertanggung jawab terhadap penahanan, penyimpanan, dan keamanan informasi dan bukti-bukti fisik yang diperoleh selama penyelidikan oleh Institusi Kejaksaan tersebut. Aturan 11 Pendelegasian Tugas Penuntut Umum Kecuali wewenang inheren Penuntut Umum sebagaimana termaktub dalam Statuta, antara lain, ketentuan-ketentuan yang terdapat pada pasal 15 dan 53, Penuntut Umum atau Deputi boleh menguasaan atau melimpahkan wewenang kepada seorang anggota staf Kantor Kejaksaan, di luar yang telah ditetapkan dalam pasal 44, ayat 4, untuk mewakilinya dalam menjalankan tugas [sejauh bisa diwakilkan]. Bagian III Kepaniteraan Sub-bagian 1
Ketentuan Umum Berkaitan dengan Kepaniteraan Aturan 12 Persyaratan dan Pemilihan Panitera dan Deputi Panitera 1. Segera setelah terpilih, Dewan Ketua harus menyusun daftar para kandidat yang memenuhi kriteria sebagaimana ditegaskan dalam pasal 43, ayat 3, dan harus menyampaikan daftar tersebut kepada Dewan Negara-Negara Pihak disertai permintaan untuk mendapatkan rekomendasi. 2. Setelah menerima berbagai rekomendasi dari Dewan Negara-Negara Pihak, Ketua harus segera, tanpa penundaan dengan alasan apa pun, menyerahkan daftar tersebut bersama dengan rekomendasinya ke hadapan sidang umum. 3. Sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 43, ayat 4, Mahkamah, yang mengadakan rapat dalam sidang umum, harus, sesegera mungkin, memilih Panitera dengan sistem pemilihan mayoritas absolut, dengan mempertimbangkan segala rekomendasi yang telah diberikan oleh Dewan Negara-Negara Pihak. Dalam hal bahwa tiada satu pun kandidat yang mendapatkan suara mayoritas absolut pada pemilihan pertama, maka pemilihan susulan harus segera diadakan lagi sampai seorang kandidat mendapatkan suara mayoritas absolut. 4. Jika ternyata ada kebutuhan kuat akan seorang Deputi Panitera, maka Panitera bisa membuat rekomendasi kepada Ketua untuk maksud tersebut. Ketua kemudian harus meminta diadakannya sidang umum untuk membahas dan memutuskan hal tersebut. Jika Mahkamah, yang mengadakan rapat atau sidang umum tersebut, memutuskan dengan suara mayoritas absolut bahwa seorang Deputi Panitera akan dipilih, maka Panitera harus mengusulkan atau menyerahkan daftar sejumlah kandidat deputi tersebut kepada Mahkamah. 5. Deputi Panitera harus dipilih oleh Mahkamah, yang mengadakan sidang umum tersebut, dengan cara yang sama seperti pemilihan Panitera. Aturan 13 Tugas Panitera 1. Tanpa melanggar wewenang Penuntut Umum sesuai ketentuan Statuta untuk menerima, memperoleh dan menyediakan informasi dan untuk membangun saluransaluran komunikasi untuk tujuan ini, Panitera harus menjalankan tugas sebagai saluran komunikasi itu sendiri kepada Mahkamah. 2. Panitera juga harus bertanggung jawab untuk keamanan internal Mahkamah berdasarkan hasil kesepakatan atau konsultasi dengan Dewan Ketua dan Penuntut Umum, juga dengan Negara tuan rumah. Aturan14 Kegiatan Kepaniteraan 1. Dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk organisasi dan manajemen Kepaniteraan, Panitera harus menetapkan peraturan-peraturan untuk menjaga jalannya kegiatan Kepaniteraan. Dalam menyiapkan atau melakukan amandemen terhadap berbagai peraturan ini, Panitera harus mengkonsultasikan dengan Penuntut Umum berbagai hal yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas Kantor Kejaksaan. Peraturan-peraturan termaksud harus disahkan oleh lembaga Dewan Ketua.
2. Peraturan-peraturan tersebut harus memberikan kemungkinan dan kemudahan bagi tim pembela untuk memiliki akses terhadap bantuan administratif yang tepat dan masuk akal dari Kepaniteraan. Aturan 15 Rekaman 1. Panitera harus menyimpan database yang berisikan semua hal khusus dari masingmasing kasus yang dibawa ke hadapan Mahkamah, hal-hal yang melahirkan keputusan hakim atau Sidang menyangkut berbagai dokumen atau informasi yang belum diungkapkan, dan hal-hal yang menyangkut perlindungan data personal yang sensitif. Informasi tentang database harus tersedia bagi publik dalam bahasa kerja Mahkamah. 2. Panitera juga harus membuat berbagai rekaman lainnya dari kerja Mahkamah. Sub-bagian 2 Unit Korban dan Saksi Aturan 16 Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Korban dan Saksi 1. Dalam kaitannya dengan korban, Panitera harus bertanggung jawab terhadap beberapa kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan-ketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini: (a) Menyediakan catatan atau pemberitahuan kepada korban atau kuasa hukum mereka. (b) Membantu mereka [para korban] dalam memperoleh nasihat hukum dan mengorganisir pemwakilan kuasa hukum mereka, dan memberikan kuasa hukum mereka dukungan, bantuan dan informasi yang tepat dan sesuai, termasuk fasilitasfasilitas yang secara langsung dianggap penting bagi pelaksanaan kewajiban mereka, dan bagi perlindungan hak-hak mereka selama berlangsungnya tahap-tahap persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91 dari Hukum Acara ini; (c) Membantu mereka untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai fase berbeda dari proses persidangan sesuai dengan aturan 89 sampai 91; (d) Mengedepankan pertimbangan sensitif jender dalam memfasilitasi keterlibatan atau partisipasi korban-korban kekerasan seksual pada semua tahap proses persidangan. 2. Berkaitan dengan korban, saksi dan pihak lainnya lagi yang sama-sama menduduki posisi riskan karena kesaksian yang mereka berikan, Panitera harus bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan berikut sesuai dengan ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini: (a) Memberikan informasi kepada mereka tentang hak-hak mereka yang termaktub dalam ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini, selain juga tentang eksistensi, tugas dan ketersediaan Unit untuk Urusan Korban dan Saksi; (b) Menjamin bahwa mereka sadar, dalam setiap tahap dan sepanjang proses persidangan, terhadap keputusan Mahkamah yang mungkin mendatangkan dampak bagi kepentingan mereka, sesuai ketentuan-ketentuan yang berlaku. 3. Sebagai bagian dari pemenuhan tugas dan tanggung jawabnya, Panitera boleh membuat dan menyimpan sebuah daftar khusus bagi korban yang telah mengekspresikan maksud mereka untuk berpartisipasi dalam dan kalau ada kasus-kasus khusus. 4. Persetujuan terhadap relokasi dan ketentuan soal pelayanan pendukung di wilayah sebuah Negara tempat tinggal korban yang traumatis dan merasa seperti selalu
terancam, para saksi dan pihak lain yang riskan oleh kesaksian yang diberikan para saksi tersebut bisa dinegosiasikan dengan Negara-Negara Pihak oleh Panitera yang bertindak atas nama Mahkamah. Persetujuan seperti ini boleh saja diperlakukan sebagai hal yang rahasia. Aturan 17 Tugas Unit 1. Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan pasal 43, ayat 6. 2. Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus, antara lain, menjalankan tugas-tugas, sesuai dengan ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara, dan dirundingkan dengan Sidang, Penuntut Umum dan pembela, seperti secara tepat digambarkan berikut ini: (a) Berkenaan dengan para saksi, korban yang dihadirkan di hadapan Mahkamah, dan pihak lain yang menanggung risiko yang mungkin oleh kesaksian yang diberikan oleh saksi, dalam kaitan dengan kebutuhan dan lingkungan atau kondisi khas mereka: (i) Menyediakan mereka fasilitas [berupa peraturan atau standar lainnya] perlindungan dan keamanan yang tepat dan memformulasikan rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk perlindungan mereka itu; (ii) Memberikan rekomendasi kepada badan-badan Mahkamah untuk mengadopsi berbagai standar atau peraturan yang memberikan perlindungan kepada korban dan saksi dan pihak yang terkena risiko atas kesaksian yang disampaikan itu dan juga memberikan nasihat yang relevan kepada NegaraNegara Pihak menyangkut standar semacam itu; (iii) Memberikan bantuan kepada mereka dalam memperoleh bantuan medis, psikologis, dan bantuan lainnya yang tepat dan relevan; (iv) Menyediakan bagi Mahkamah dan para pihak training menyangkut isu trauma, kekerasan seksual, keamanan dan kerahasiaan; (v) Memberikan rekomendasi, setelah berkonsultas dengan Penuntut Umum, tentang elaborasi kode etik jabatan, memberikan tekanan pada hakikat vitalnya keamanan dan kerahasiaan bagi para penyelidik dari Mahkamah dan tim pembela dan semua organisasi pemerintahan maupun non-pemerintahan yang bertindak atas permintaan Mahkamah, dengan cara yang setepat mungkin; (vi) Bekerja sama dengan Negara-Negara [Pihak], sejauh dipandang penting dan perlu, dalam menyediakan berbagai fasilitas atau pertimbangan sebagaimana ditetapkan secara stipulatif dalam aturan ini; (b) Berkenaan dengan para saksi: (i) Memberikan nasihat kepada mereka di mana bisa memperoleh bantuan hukum berupa nasihat atau pertimbangan hukum lainnya untuk melindungi hak-hak mereka, khususnya berkaitan dengan kesaksian yang mereka berikan; (ii) Membantu mereka ketika mereka dipanggil untuk dimintakan keterangan atau kesaksiannya oleh Mahkamah; (iii) Mengedepankan pertimbangan yang sensitif gender ketika memfasilitasi kesaksian korban kekerasan atau kejahatan seksual pada setiap tahap proses persidangan.
3. Dalam menjalankan tugas atau fungsinya, Unit ini harus menyediakan kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, para manusia lanjut usia (manula), dan orangorang tertentu yang cacat fisik. Dalam dan untuk memfasilitasi partisipasi dan perlindungan terhadap anak-anak sebagai saksi, Unit ini boleh meminta atau membuat usulan mendesak, sebagai mana seharusnya, dan dengan persetujuan orang tua atau pemegang hak asuh, untuk menghadirkan orang yang bertugas membantu anak-anak (saksi anak) tersebut pada seluruh tahap proses persidangan. Aturan 18 Tanggung Jawab Unit Agar bisa menjalankan tugas dan pekerjaannya secara efektif dan efisien, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi harus: (a) Menjamin bahwa staf dalam Unit tersebut tetap menjaga kerahasiaan sepanjang waktu; (b) Sembari tetap mengakui kepentingan khusus dari Kantor Kejaksaan, pembela dan saksi, harus menghormati kepentingan saksi, termasuk, sejauh dipandang perlu, mengupayakan pemisahan yang tepat dari pelayanan yang ditujukan bagi penuntutan dan pelayanan bagi saksi-saksi yang membela, dan juga harus bertindak tidak memihak ketika menjalin kerja sama dengan semua pihak dan ketika menjalankan tugas yang bersinggungan dengan berbagai peraturan dan keputusan Mahkamah; (c) Harus memiliki bantuan administratif dan teknikal yang tersedia bagi saksi, korban yang hadir di persidangan Mahkamah, dan pihak lain yang berisiko oleh adanya kesaksian yang diberikan oleh para saksi, selama semua tahap proses persidangan dan seterusnya, sebagaimana seharusnya; (d) Menjamin diadakannya pelatihan bagi para stafnya berkenaan dengan keamanan, integritas dan martabat korban dan saksi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sensitivitas gender dan kultural; (e) Selain itu, kapan dan di mana perlu dan dipandang tepat, harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi antar-pemerintahan maupun organisasi non-pemerintah. Aturan 19 Keahlian dalam Unit Sebagai tambahan bagi staf seperti yang disebutkan dalam pasal 43, ayat 6, dan mengikuti ketentuan pasal 44, Unit untuk Urusan Korban dan Saksi boleh mempekerjakan, sejauh dipandang tepat, orang-orang dengan keahlian, antara lain, dalam hal-hal berikut: (a) Perlindungan dan keamanan saksi; (b) Hal-hal yang berkenaan dengan hukum dan administratif, termasuk bidang hukum humanitarian dan hukum pidana; (c) Administrasi logistik; (d) Psikologi yang berkenaan dengan proses atau acara persidangan tindak pidana; (e) Keanekaragaman gender dan kultural; (f) Masalah anak-anak, khususnya masalah anak-anak yang mengalami trauma; (g) Masalah orang tua atau manusia lanjut usia, khususnya berkenaan dengan masalah orang tua yang mengalami trauma karena konflik bersenjata dan pembuangan atau pengasingan; (h) Masalah orang-orang yang cacat atau tidak mampu melakukan hal-hal yang seharusnya mampu ia lakukan; (i) Kerja sosial dan bimbingan dan penyuluhan;
(j) Masalah pemeliharaan kesehatan; (k) Penafsiran (interpretasi) dan penerjemahan. Sub-bagian 3 Tim Pembela Aturan 20 Tanggung Jawab Panitera Berkaitan dengan Hak atas Pembelaan 1. Berkenaan dengan ketentuan pasal 43, ayat 1, Panitera harus mengorganisir staf Kepaniteraan dengan cara yang mengedepankan promosi hak-hak pembela, yang konsisten atau sejalan dengan prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) sebagaimana ditegaskan dalam Statuta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Panitera harus, antara lain: (a) Memfasilitasi perlindungan kerahasiaan, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 67, ayat 1 (b); (b) Memberikan dukungan, bantuan, dan informasi kepada semua tim penasihat hukum atau pembela yang hadir di hadapan Mahkamah dan, sejauh dipandang tepat, memberikan dukungan bagi penyelidikpenyelidik profesional yang perlu bagi efisiensi dan efektivitas kinerja pembela; (c) Membantu orang-orang yang ditahan, orang-orang yang sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 55, ayat 2, dan orang-orang yang didakwa untuk mendapatkan bantuan hukum baik berupa nasihat maupun bimbingan; (d) Memberikan nasihat kepada Penuntut Umum dan Sidang Mahkamah, sejauh dianggap perlu, tentang isu-isu yang berkaitan dengan pembelaan; (e) Menyediakan bagi pembela semua fasilitas sepanjang dianggap perlu bagi kemudahan kerja dan kegiatan yang menjadi kewajiban pembela; (f) Memfasilitasi diseminasi atau penyebaran informasi dan berbagai keputusan Mahkamah [yang bisa dijadikan sebagai preseden bagi keputusan hakim dalam perkara selanjutnya] kepada dewan penasihat atau pembela terdakwa dan, sejauh dipandang tepat, bekerja sama dengan asosiasi pembela dan advokat tingkat nasional atau badan-badan perwakilan independen lainnya dari berbagai asosiasi bantuan hukum yang dirujuk pada sub-aturan 3 untuk mempromosikan spesialisasi dan pelatihan para pengacara dalam hal prosedur hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Statuta dan Hukum Acara ini. 2. Panitera harus menjalankan tugas sebagaimana termaktub dalam sub-aturan 1, termasuk administrasi keuangan Kepaniteraan, dengan suatu cara yang sebisa mungkin menjamin kebebasan profesional dari dewan penasihat hukum atau tim pembela. 3. Untuk tujuan semacam manajemen bantuan hukum dalam kaitan dengan aturan 21 dan pengembangan suatu Kode Etik Jabatan dalam kaitan dengan aturan 8, Panitera harus membicarakannya dengan, sebagaimana seharusnya, berbagai badan perwakilan independen dari asosiasi-asosiasi lembaga bantuan hukum atau asosiasi pembela, termasuk berbagai badan serupa yang didirikan atau dimaksudkan memang untuk tujuan seperti itu oleh Dewan Negara-Negara Pihak. Aturan 21 Penyediaan Bantuan Hukum
1. Berdasarkan ketentuan pasal 55, ayat 2 (c), dan pasal 67, ayat 1 (d), kriteria dan prosedur untuk penyediaan bantuan hukum harus ditetapkan dalam Tata Tertib, berdasarkan proposal yang dibuat oleh Panitera, dengan mengedepankan konsultasi atau perundingan dengan badan-badan perwakilan independen baik dari dewan pembela maupun dari asosiasi bantuan hukum lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam aturan 20, sub-aturan 3. 2. Panitera harus membuat dan menyediakan sebuah daftar kumpulan para pembela atau pengacara yang memenuhi kriteria sebagaimana digariskan dalam aturan 22 dan Tata Tertib. Orang [yang menjadi terdakwa atau tertuduh] harus diberi kebebasan untuk memilih pengacara atau pembelanya dari daftar tersebut atau dari referensi lain yang memenuhi kriteria yang diperlukan dan yang tidak berkeberatan dicantumkan dalam daftar pengacara atau pembela untuk tujuan ini. 3. Seseorang [terdakwa atau tertuduh] boleh meminta dari Dewan Ketua suatu tinjauan ulang atas sebuah keputusan untuk menolak permintaan akan penyediaan jasa pengacara atau pembela. Keputusan dari Dewan Ketua harus bersifat final. Jika sebuah permohonan ditolak, maka dimungkinkan pengajuan permohonan lebih lanjut oleh orang tersebut kepada Panitera, dengan memperlihatkan perubahan yang terjadi dalam situasi atau keadaan yang berkembang. 4. Seorang yang memilih hadir sendiri tanpa bantuan kuasa hukum atau pihak lain harus memberitahukan hal itu kepda Panitera secara tertulis pada kesempatan pertamanya. 5. Jika terjadi seseorang menyatakan bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk membayar jasa bantuan hukum dan kemudian hal itu diketahui ternyata tidak benar, maka Sidang (Mahkamah) yang menangani kasus tersebut bisa membuat perintah kepadanya untuk memberikan kontribusi menutupi biaya penyediaan jasa bantuan hukum atau pengacara selama kasus itu diproses hingga selesai. Aturan 22 Penunjukkan dan Syarat-Syarat bagi [Dewan] Pembela 1. Orang yang menjalankan tugas pembelaan harus sudah memiliki kompetensi dalam hukum internasional atau hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk juga berbagai pengalaman relevan lainnya, entah sebagai hakim, Penuntut Umum, advokat atau pengacara dan pembela yang sudah bisa disetarakan dengan advokat, dalam proses acara persidangan kasus kejahatan pidana. Pembela harus memiliki pengetahuan yang baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya, Mahkamah, berbagai ketentuan hukum dan sistem hukum yang relevan dengan kasus yang ditangani Mahkamah itu, dan pengetahuan lainnya yang relevan, dan harus lancar dalam paling kurang salah satu dari bahasa kerja Mahkamah. Pembela boleh dibantu oleh orang lain, termasuk profesor di bidang hukum, dengan keahlian yang relevan. 2. Pembela yang diminta oleh seseorang yang sedang berupaya memenuhi haknya berdasarkan ketentuan Statuta untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan pilihannya sendiri harus memasukkan bukti kewenangannya sebagai pengacara kepada Panitera pada kesempatan paling pertama. 3. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pembela harus tunduk pada ketentuan Statuta, aturan Hukum Acara, Tata Tertib, Kode Etik Jabatan bagi Pembela yang diadopsi berkenaan dengan aturan 8 dan berbagai dokumen lain yang juga diadopsi oleh Mahkamah yang berkemungkinan relevan bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban mereka.
Bagian IV Keadaan-Keadaan yang Bisa Mempengaruhi Pelaksanaan Tugas Mahkamah Sub-bagian 1 Pemberhentian Jabatan dan Sanksi Disipliner Aturan 23 Prinsip Umum Seorang hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera dan Deputi Panitera harus segera dipindahkan dari kantor atau dilepas dari jabatannya atau harus dikenakan sanksi disipliner berkenaan dengan kasus-kasus yang membuat mereka harus dikenakan tindakan seperti itu sesuai ketentuan Statuta dan Hukum Acara ini dan harus disertai dengan jaminan sebagaimana digariskan juga dalam Statuta dan Hukum Acara ini. Aturan 24 Batasan Pelecehan Berat dan Penyelewengan Berat terhadap Kewajiban 1. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), “pelecehan berat” harus dinyatakan demikian jika memenuhi kriteria berikut: (a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu berarti tidak sesuai dengan fungsi jabatan, dan menyebabkan atau sepertinya menyebabkan pelanggaran serius terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti: (i) Membongkar fakta atau informasi yang ia perlukan dalam kaitan dengan tugasnya atau berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sub judice, di mana pembongkaran tersebut akan memberikan dampak prejudisial yang serius terhadap proses peradilannya atau terhadap orang lain; (ii) Menutupi informasi atau keadaan-keadaan dari suatu hal yang sangat serius yang menghalangi dia dalam menjalankan tugas dan kewajibannya; (iii) Penyelewengan terhadap kegiatan lembaga peradilan supaya mendapatkan perlakuan menyenangkan yang tak ada jaminannya dari berbagai pemegang otoritas, pemegang jabatan atau para profesional; atau (b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka itu berarti suatu pelecehan serius yang menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius pada keberadaan Mahkamah. 2. Sesuai ketentuan pasal 46, ayat 1 (a), suatu “penyelewengan berat terhadap tugas dan kewajiban” terjadi ketika seseorang secara nyata-nyata menolak atau mengabaikan kewajibannya untuk menjalankan tugasnya atau diketahui bertindak justru bertentangan dengan kewajiban-kewajiban atau tugasnya itu. Ini bisa mencakupi, antara lain, situasisituasi di mana orang tersebut: (a) Gagal memenuhi kewajiban untuk meminta pengampunan, kendatipun ia tahu bahwa ada dasar atau alasan untuk melakukan hal itu; (b) Berulang-ulang menyebabkan penundaan tanpa jaminan dalam hal inisiasi (memulai), penuntutan atau pengadilan sebuah kasus, atau dalam hal penggunaan kewenangan judisial. Aturan 25 Batasan Pelecehan terhadap Hal yang Kurang Serius
1. Sesuai ketentuan pasal 47, “pelecehan terhadap hal yang kurang serius” harus dinyatakan demikian jika memenuhi kriteria berikut atau jika melakukan hal-hal berikut: (a) Jika hal itu terjadi dalam kaitan dengan tugas-tugas jabatan, maka hal itu akan menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran terhadap proses pencarian keadilan di hadapan Mahkamah atau melanggar tugas-tugas internal Mahkamah, seperti: (i) Mencampuri pelaksanaan tugas seseorang yang ditunjukkan dalam pasal 47; (ii) Berulang-ulang gagal memenuhi atau mengabaikan permintaan yang diajukan oleh Hakim Ketua atau oleh Dewan Ketua berkenaan dengan pelaksanaan kewenangan hukum mereka; (iii) Gagal melaksanakan ketentuan disipliner yang kepadanya Panitera atau Deputi Panitera dan pejabat-pejabat lainnya dalam tubuh Mahkamah tunduk ketika seorang hakim mengetahui atau seharusnya mengetahui penyelewengan serius terhadap tugas yang menjadi bagian dari kewajibannya; atau (b) Jika hal itu terjadi di luar tugas-tugas jabatan, maka hal itu menyebabkan atau berkemungkinan menyebabkan pelanggaran serius terhadap keberadaan Mahkamah. 2. Tak satu pun dari aturan dalam Hukum Acara ini mencegah kemungkinan terjadinya tindakan sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 1 (a) yang menetapkan “pelecehan serius” atau “penyelewengan berat terhadap kewajiban” sesuai dengan maksud yang termaktub dalam pasal 46, ayat 1 (a) Aturan 26 Penerimaan Pengaduan 1. Sesuai dengan ketentuan pasal 46, ayat 1, dan pasal 47, berbagai pengaduan mengenai berbagai tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam aturan 24 dan 25 harus mencakupi dasar-dasar yang menjadi alasan pengaduan tersebut, identitas pengadu dan, jika tersedia, berbagai bukti yang relevan. Pengaduan tersebut harus tetap dijaga kerahasiaannya. 2. Semua pengaduan harus diajukan kepada Dewan Ketua, yang bisa juga memulai dilakukannya persidangan atas mosinya sendiri, dan yang akan, mengikuti ketentuan dalam Tata Tertib, mengesampingkan pengaduan yang tidak jelas siapa pengadunya atau pengaduan yang tidak jelas pendasarannya dan menyerahkan pengaduan lainnya kepada badan yanag lebih berkompeten. Dewan Ketua harus dibantu dalam menjalankan tugas ini oleh seorang atau lebih hakim, yang ditunjuk berdasarkan rotasi jabatan yang automatis, sesuai dengan ketentuan Tata Tertib. Aturan 27 Ketentuan Umum tentang Hak atas Pembelaan 1. Dalam hal adanya pertimbangan untuk pemberhentian jabatan berdasarkan ketentuan pasal 46 atau adanya sanksi disipliner berdasarkan ketentuan pasal 47, maka orang yang dimaksud harus dipastikan mendapatkan pemberitahuan resmi melalui pernyataan tertulis.
2. Orang yang dimaksud harus diberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menghadirkan atau menerima bukti, membuat pengajuan tertulis dan memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diarahkan kepadanya. 3. Orang yang dimaksud boleh diwakili oleh pengacara selama berlangsungnya proses penerapan ketentuan sebagaimana dimaksudkan aturan ini. Aturan 28 Pembebastugasan dari Kewajiban Jika sebuah tuduhan terhadap seseorang yang menjadi alamat atau sasaran pengaduan ternyata sangat serius, maka orang tersebut boleh dibebastugaskan dari kewajiban dengan menunda keputusan final dari badan yang berkompeten. Aturan 29 Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan Pemberhentian Jabatan 1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, persoalan pemberhentian jabatan harus diambil dengan pemungutan suara di sidang umum. 2. Dewan Ketua harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak dalam menulis berbagai rekomendasi yang diadopsi dalam hal untuk seorang hakim, dan berbagai keputusan yang diadopsi dalam hal untuk seorang Panitera atau Deputi Panitera. 3. Penuntut Umum harus memberi nasihat Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak dalam menulis berbagai rekomendasi yang ia buat dalam hal untuk seorang Deputi Penuntut Umum. 4. Jika sebuah tindakan ditemukan ternyata bukanlah sebuah tindakan pelecehan serius atau bukan sebuah penyelewengan serius terhadap kewajiban, maka hal itu boleh diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 47 bahwa orang yang dimaksud telah dimasukkan dalam kategori melakukan pelecehan yang kurang serius dan telah dikenakan sanksi disipliner. Aturan 30 Prosedur dalam Hal Adanya Permintaan untuk Dikenakan Sanksi Disipliner 1. Dalam hal seorang hakim, Panitera atau seorang Deputi Panitera, berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi disipliner harus diambil oleh Dewan Ketua. 2. Dalam hal Penuntut Umum, berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi disipliner harus diambil dengan suara mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak. 3. Dalam hal seorang Deputi Penuntut Umum: (a) Berbagai keputusan untuk memberikan teguran keras harus dilakukan oleh Penuntut Umum; (b) Berbagai keputusan untuk menjatuhkan sanksi denda harus diambil dengan suara mayoritas absolut oleh Biro Dewan Negara-Negara Pihak berdasarkan rekomendasi dari Penuntut Umum. 4. Teguran keras harus direkam dalam tulisan dan harus diserahkan kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak. Aturan 31 Pemberhentian Jabatan
Sekali pemberhentian jabatan diumumkan, maka hal itu akan berlaku segera setelah atau sejak saat diumumkannya. Orang yang dimaksud (yang terkena pemberhentian jabatan) harus menghentikan diri menjadi bagian dari Mahkamah, termasuk dari kasus-kasus yang belum terselesaikan di mana ia sebelumnya ia mengambil bagian di dalam prosesnya. Aturan 32 Sanksi Disipliner Sanksi disipliner yang boleh diberikan adalah berupa: (a) Teguran keras; atau (b) Sanksi berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh melebihi enam bulan gaji yang dibayar oleh Mahkamah kepada orang yang terkena hukuman tersebut. Sub-bagian 2 Pembebastugasan, Pemberhentian, Meninggal Dunia dan Pengunduran Diri Aturan 33 Pembebastugasan Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum 1. Seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum yang meminta pengunduran diri dari tugasnya atau meminta pembebastugasan harus membuat permintaan tertulis kepada Dewan Ketua, dengan mengemukakan hal-hal yang menjadi dasar atau alasan mengapa ia mengundurkan diri. 2. Dewan Ketua harus memperlakukan permintaan-permintaan pengunduran diri tersebut secara rahasia dan tidak boleh mengatasnamakan kepentingan umum sebagai landasan penyebaran kepada publik tanpa izin atau persetujuan dari orang yang dimaksud. Aturan 34 Pemberhentian Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum 1. Sebagai tambahan pada dasar yang termaktub dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat 7, dasar pendiskualifikasian seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum harus mencakupi, antara lain, hal-hal seperti berikut ini: (a) Adanya kepentingan atau hubungan pribadi dalam penanganan suatu kasus, termasuk hubungan suami dan istri, hubungan orang tua dan anak atau hubungan keluarga lainnya, hubungan pertemanan atau hubungan kerja (profesional), atau hubungan bawahan dan atasan, dengan pihak-pihak mana pun yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani itu; (b) Adanya keterlibatan, dalam kapasitas pribadinya, dalam berbagai tahapan upaya hukum yang dimulai jauh sebelum ia dilibatkan dalam penanganan kasus tersebut, atau yang kemudian dimulai olehnya, di mana orang yang sedang diselidiki atau dituduh adalah pihak yang musuh; (c) Adanya pelaksanaan tugas, sebelum memangku jabatan, selama ia diharapkan telah membentuk opini terhadap kasus yang sedang ditangani, terhadap pihak-pihak atau terhadap wakil atau kuasa hukum mereka yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud;
(d) Adanya ekspresi pemikiran, melalui media komunikasi, dalam bentuk tertulis atau bentuk publikasi lainnya, yang, secara nyata-nyata, sangat mempengaruhi atau mengganggu sikap ketidakberpihakan dari orang yang dimaksud. 2. Tunduk pada ketentuan yang digariskan dalam pasal 41, ayat 2, dan pasal 42, ayat 8, permintaan pendiskualifikasian harus dibuat dalam bentuk tertulis segera setelah diketahuinya ada dasar atau alasan cukup untuk melakukan hal itu. Permintaan itu harus menyertakan dasar atau alasan dan dilampiri dengan bukti-bukti relevan, dan harus diberikan kepada orang yang dimaksud, yang kemudian diharuskan mengajukan surat pengunduran diri. 3. Berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan pendiskualifikasian Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum harus diputuskan dengan suara mayoritas oleh hakimhakim di Tingkat Sidang Banding. Aturan 35 Kewajiban Seorang Hakim, Penuntut Umum atau Deputi Penuntut Umum untuk Meminta Pengampunan Jika seorang hakim, Penuntut Umum atau seorang Deputi Penuntut Umum memiliki alasan untuk percaya bahwa ada suatu dasar atau alasan bagi pendiskualifikasian terhadapnya, maka ia harus segera membuat permohonan untuk dibebastugaskan dan sebaiknya tidak boleh menunggu permintaan untuk didiskualifikasi oleh pihak lain sesuai ketentuan pasal 41, ayat 2, atau pasal 42, ayat 7, dan aturan 34. Permohonan tersebut harus dibuat dan Dewan Ketua harus mempertimbangkan hal itu sesuai dengan ketentuan aturan 33. Aturan 36 Kematian Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis, kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak tentang kematian seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau seorang Deputi Panitera. Aturan 37 Pengunduran Diri dari Jabatan Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera 1. Seorang Hakim, Penuntut Umum, Deputi Penuntut Umum, Panitera atau Deputi Panitera harus mengkomunikasikan kepada Dewan Ketua, secara tertulis, tentang pengunduran dirinya. Kemudian, Dewan Ketua harus menginformasikan, secara tertulis pula, hal tersebut kepada Ketua dari Biro Dewan Negara-Negara Pihak. 2. Seorang hakim, Penuntut Umum, seorang Deputi Penuntut Umum, Panitera atau seorang Deputi Panitera harus berupaya optimal untuk memberitahukan waktu atau tanggal persisnya pengunduran dirinya itu mulai berlaku untuk sekurang-kurangnya enam bulan ke depan. Sebelum keputusan tentang pengunduran diri seorang hakim mulai berlaku, ia harus membuat segala upaya untuk tetap menjalankan tanggung jawabnya sesuai tugas dan jabatannya itu. Sub-bagian 3 Penggantian dan Hakim Pengganti
Aturan 38 Penggantian 1. Seorang hakim dapat diganti dengan alasan yang objektif dan sah, seperti antara lain: (a) Pengunduran diri; (b) Diterimanya permintaan pembebastugasan; (c) Diskualifikasi; (d) Pemberhentian jabatan; (e) Kematian. 2. Penggantian harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya dalam ketentuan-ketentuan Statuta, aturan dalam Hukum Acara, dan Tata Tertib. Aturan 39 Hakim Pengganti Jika seorang hakim pengganti telah ditetapkan oleh Dewan Ketua untuk suatu Sidang Pengadilan dengan mengikuti ketentuan pasal 74, ayat 1, maka ia harus menduduki jabatannya sebagai hakim dalam persidangan tersebut pada keseluruhan proses dan pertimbangan untuk mencapai keputusan terhadap sebuah kasus yang disidangkan itu. Akan tetapi, dalam posisi sebagai hakim pengganti seperti itu, ia tidak boleh mengambil bagian apa pun dan tidak boleh melakukan fungsi apa pun yang merupakan wewenang dari anggota Sidang Pengadilan yang seharusnya menangani persidangan kasus tersebut [hakim yang digantikannya], kecuali dan jika ia memang diperlukan untuk menggantikan seorang anggota Sidang Pengadilan jika anggota Sidang tersebut tetap tidak bisa hadir untuk seterusnya. Hakim pengganti harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan prosedur sebagaimana telah diputuskan atau digariskan oleh Mahkamah. Bagian V Publikasi, Bahasa dan Terjemahan Aturan 40 Publikasi Keputusan dalam Bahasa Resmi yang Digunakan Mahkamah 1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 1, maka keputusan-keputusan berikut harus dipertimbangkan sebagai pemecahan terhadap isu-isu fundamental: (a) Semua keputusan dari Divisi Banding; (b) Semua keputusan dari Mahkamah menyangkut jurisdiksinya atau menyangkut dapat diterimanya sebuah perkara sesuai dengan ketentuan pasal 17, 18, 19, dan 20. (c) Semua keputusan dari suatu Sidang Pengadilan atas bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa, pemberian hukuman terhadap terdakwa, dan pemulihan kepada korban sesuai dengan ketentuan pasal 74, 75, dan 76; (d) Semua keputusan dari Sidang Pra-peradilan sesuai dengan ketentuan pasal 57, ayat 3 (d). 2. Keputusan-keputusan menyangkut konfirmasi atas dakwaan sesuai ketentuan pasal 61, ayat 7, dan menyangkut pelanggaran terhadap administrasi pengadilan [Mahkamah] sesuai dengan ketentuan pasal 70, ayat 3, harus dipublikasikan dalam semua bahasa
resmi Mahkamah ketika Dewan Ketua menentukan bahwa keputusan-keputusan tersebut merupakan isu-isu fundamental. 3. Dewan Ketua bisa memutuskan untuk mempublikasikan keputusan-keputusan lain dalam semua bahasa resmi Mahkamah jika keputusan-keputusan tersebut menyangkut isu-isu utama yang berkaitan dengan penafsiran atau implementasi Statuta atau jika menyangkut suatu isu utama dari kepentingan umum. Aturan 41 Bahasa Kerja Mahkamah 1. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 50, ayat 2, Dewan Ketua harus menetapkan dan mengesahkan penggunaan salah satu bahasa resmi Mahkamah sebagai bahasa kerja jika: (a) Bahasa tersebut dimengerti dan bisa digunakan sebagai bahasa lisan oleh mayoritas semua orang yang terlibat dalam proses sebuah perkara di hadapan Mahkamah dan berbagai peserta dalam proses persidangan perkara yang dimaksud; atau (b) Penuntut Umum dan pembela yang menangani perkara tersebut. 2. Dewan Ketua bisa menetapkan dan mengesahkan penggunaan suatu bahasa resmi Mahkamah sebagai bahasa kerja jika Dewan Ketua menganggap bahwa bahasa kerja tersebut akan membantu meningkatkan efisiensi proses persidangan sebuah perkara. Aturan 42 Layanan Penerjemahan dan Penafsiran Mahkamah harus mengatur adanya layanan penerjemahan dan penafsiran yang perlu untuk menjamin pengimplementasian kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuanketentuan Statuta dan aturan-aturan Hukum Acara ini. Aturan 43 Prosedur yang Dapat Diterapkan untuk Publikasi Dokumen-Dokumen Mahkamah Mahkamah harus menjamin atau memastikan bahwa semua dokumen yang akan diterbitkan sesuai ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara tetap menghargai kewajiban untuk melindungi kerahasiaan dan keterpercayaan proses persidangan dan keamanan korban dan saksi.
BAB 3 JURISDIKSI DAN SOAL DAPAT DITERIMANYA SUATU PERKARA Bagian I Deklarasi dan Penyerahan Berkaitan dengan Pasal 11, 12, 13, dan 14 Aturan 44 Deklarasi yang Dibolehkan dalam Pasal 12, Ayat 3 1. Panitera, atas permintaan Penuntut Umum, bisa menanyakan pendapat sebuah Negara yang bukan merupakan Negara Pihak dari Statuta atau yang sudah menjadi Negara Pihak dari Statuta setelah mempunyai kekuatan berlaku, dengan dasar argumentasi yang sahih, tentang apakah Negara tersebut bermaksud menyatakan deklarasi sebagaimana diatur dalam pasal 12, ayat 3. 2. Ketika sebuah Negara mengajukan, atau menyatakan kepada Panitera tentang maksudnya untuk mengajukan, suatu deklarasi kepada Panitera sesuai dengan ketentuan pasal 12, ayat 3, atau ketika Panitera bertindak mengikuti ketentuan subaturan 1 dari Hukum Acara ini, Panitera harus memberitahukan kepada Negara termaksud bahwa deklarasi berdasarkan ketentuan pasal 12, ayat 3 tersebut berlaku baginya, dalam arti mendatangkan konsekuensi diterimanya jurisdiksi berkaitan dengan kejahatan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 5 tentang relevansinya dengan situasi dan ketentuan Bagian 9 Statuta, dan berbagai aturan lain berkaitan dengan NegaraNegara Pihak. Aturan 45 Penyerahan Kasus kepada Penuntut Umum Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum harus dalam bentuk tertulis. Bagian II Dimulainya Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15 Aturan 46 Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan bagi Penuntut Umum Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 1 dan 2 Jika suatu informasi diserahkan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 1, atau ketika kesaksian lisan atau tertulis diterima dengan mengikuti ketentuan pasal 15, ayat 2, di hadapan Mahkamah, maka Penuntut Umum harus melindungi kerahasiaan informasi dan kesaksian semacam itu atau mengambil langkah-langkah yang perlu, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan Statuta. Aturan 47 Kesaksian (Testimoni) Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 2 1. Ketentuan aturan 111 dan 112 dari Hukum Acara ini harus berlaku, secara mutatis mutandis, untuk kesaksian yang diterima oleh Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 2.
2. Jika kemudian Penuntut Umum mempertimbangkan bahwa akan ada risiko yang sangat serius yang membuat tidak mungkin dilakukannya dengar kesaksian (testimoni), maka ia boleh meminta Sidang Pra-peradilan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin efisiensi dan integritas proses penanganan perkara tersebut dan, secara khusus, untuk menunjuk seorang penasihat hukum atau seorang hakim dari Sidang Praperadilan tersebut untuk hadir selama dilakukannya dengar kesaksian untuk melindungi hak-hak tertuduh. Jika kesaksian tersebut kemudian dihadirkan dalam acara persidangan, maka kedapat-diterimaannya harus diputuskan berdasarkan ketentuan pasal 69, ayat 4, dan harus diberikan bobot semacam itu sebagaimana ditentukan oleh Sidang yang bersangkutan. Aturan 48 Pembatasan Dasar yang Masuk Akal untuk Melanjutkan Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 3 Dalam menentukan apakah ada suatu dasar yang masuk akal untuk memproses sebuah perkara dengan melakukan penyelidikan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 3, Penuntut Umum harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana termaktub dalam pasal 53, ayat 1 (a) sampai (c). Aturan 49 Keputusan dan Catatan Berdasarkan Ketentuan Pasal 15, Ayat 6 1. Jika suatu keputusan berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 6, diambil, Penuntut Umum harus serta merta mengeluarkan pemberitahuan atau pengumuman, termasuk alasan atas keputusannya itu, dengan suatu cara yang bisa mencegah adanya ancaman atas keselamatan, keamanan, dan kerahasiaan pribadi dari orang-orang yang telah memberikan informasi kepadanya berdasarkan ketentuan pasal 15, ayat 1 dan 2, atau integritas penyelidikan atau proses penanganan perkara. 2. Pengumuman tersebut juga harus berisikan ketentuan tentang kemungkinan dibolehkannya pengajuan informasi lebih lanjut tentang hal atau kasus yang sama jika terdapat fakta-fakta dan bukti-bukti baru. Aturan 50 Prosedur Otorisasi oleh Sidang Pra-peradilan tentang Mulai Dilaksanakannya Penyelidikan 1. Jika Penuntut Umum bermaksud mencari atau mendapatkan otorisasi dari Sidang Praperadilan untuk memulai dilakukannya penyelidikan sesuai ketentuan pasal 15, ayat 3, maka Penuntut Umum harus memberitahukan kepada korban, yang dia kenal, atau kepada Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, atau kepada wakil atau kuasa hukum mereka. Akan tetapi, Penuntut Umum dibolehkan untuk tidak mengambil langkah seperti itu jika ia berkeyakinan bahwa mengambil tindakan seperti itu justru mendatangkan bahaya atau ancaman bagi integritas penyelidikan atau keamanan dan kenyamanan hidup dari korban dan saksi. Penuntut Umum boleh mengeluarkan pemberitahuan dengan cara-cara umum supaya mudah mencapai kelompok-kelompok korban jika ia berkeyakinan bahwa, terutama berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan khusus atas kasus yang sedang ditangani, pemberitahuan seperti itu tidak akan mendatangkan bahaya atau ancaman pada integritas dan efektivitas pelaksanaan
2. 3.
4.
5.
6.
penyelidikan atau pada keamanan dan kenyamanan korban dan saksi. Dalam melaksanakan tugas-tugas ini, Penuntut Umum boleh meminta bantuan dari Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, sejauh dipandang perlu. Permintaan Penuntut Umum untuk mendapatkan otorisasi dari Sidang Pra-peradilan harus dalam bentuk tertulis. Mengikuti informasi yang diberikan dalam kaitannya dengan sub-aturan 1 di atas, korban boleh membuat pernyataan atau kesaksian secara tertulis pada Sidang Praperadilan dalam waktu yang sangat terbatas sebagaimana diatur dalam Tata Tertib. Sidang Pra-peradilan, dalam membuat keputusan terhadap prosedur yang harus diikuti, bisa meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum dan dari para korban yang sudah membuat pernyataan tertulis di hadapan Sidang Pra-peradilan tersebut, dan, jika dianggap perlu dan tepat, boleh meminta diadakannya acara dengar pendapat. Sidang Pra-peradilan harus mengumumkan keputusannya secara resmi, termasuk alasan-alasannya, tentang, misalnya, entah untuk mengotorisasi soal mulai dilaksanakannya penyelidikan dalam kaitan dengan pasal 15, ayat 4, yang bersesuaian dengan semuanya atau hanya pada bagian tertentu dari permintaan Penuntut Umum. Prosedur di atas harus juga berlaku jika ada permintaan baru kepada Sidang Praperadilan sesuai dengan ketentuan pasal 15, ayat 5.
Bagian III Keberatan-Keberatan dan Keputusan Pendahuluan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17, 18, dan 19 Aturan 51 Informasi-Informasi yang Perlu Disediakan Berdasarkan Ketentuan Pasal 17 Dalam mempertimbangkan masalah-masalah yang dimaksudkan dalam pasal 17, ayat 2, dan dalam hal konteks dari kasusnya, Mahkamah boleh mempertimbangkan, antara lain, informasi yang dirujuk oleh Negara dalam pasal 17, ayat 1, boleh memilih untuk meminta perhatian Mahkamah atas kasus tersebut yang memperlihatkan bahwa pengadilan di Negaranya telah menerapkan norma-norma dan standar-standar yang diakui secara internasional dalam hal penuntutan yang independen dan tidak memihak atas tindakan yang sama, atau memperlihatkan bahwa Negaranya telah memberikan konfirmasi secara tertulis kepada Penuntut Umum bahwa terhadap kasus tersebut telah dilakukan penyelidikan dan penuntutan. Aturan 52 Pemberitahuan Sesuai Ketentuan Pasal 18, Ayat 1 1. Tunduk kepada pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18, ayat 1, pemberitahuan harus mengandung informasi tentang ketentuan-ketentuan hukum yang menetapkan batasan kejahatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 5, sesuai dengan tujuan dari ketentuan dalam pasal 18, ayat 2. 2. Suatu Negara boleh meminta informasi tambahan dari Penuntut Umum untuk membantunya dalam hal penerapan pasal 18, ayat 2. Permintaan semacam itu tidak boleh berakibat pada terlanggarnya ketentuan tentang batasan waktu satu bulan sebagaimana disebutkan dalam pasal 18, ayat 2, dan harus diberikan jawaban oleh Penuntut Umum dengan mengedepankan pertimbangan kesegeraan juga.
Aturan 53 Penangguhan Sesuai Ketentuan Pasal 18, Ayat 2 Ketika sebuah Negara meminta penangguhan sesuai ketentuan pasal 18, ayat 2, maka Negara tersebut harus membuat permintaan tersebut secara tertulis dan menyertakan informasi berkaitan dengan penyelidikannya, dengan memasukkan ketentuan pasal 18, ayat 2, sebagai dasar pengajuannya. Penuntut Umum boleh meminta informasi tambahan dari Negara tersebut. Aturan 54 Pengajuan Permohonan oleh Penuntut Umum Berdasarkan Ketentuan Pasal 18, Ayat 2 1. Permohonan yang diajukan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan dalam kaitan dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, harus dalam bentuk tertulis dan harus berisikan dasar atau alasan mengapa permohonan tersebut dibuat. Informasi yang diberikan oleh Negara sesuai ketentuan pasal 53 harus dikomunikasikan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan. 2. Penuntut Umum harus menginformasikan secara tertulis juga kepada Negara tersebut ketika ia [Penuntut Umum tersebut] mengajukan permohonan kepada Sidang Praperadilan sesuai dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, dan harus menyertakan juga di dalam pemberitahuan itu ringkasan atau uraian singkat tentang alasan dibuatnya permohonan tersebut. Aturan 55 Prosedur Beracara Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 18, Ayat 2 1. Sidang Pra-peradilan harus memutuskan tentang prosedur yang akan diikuti dan bisa mengambil langkah-langkah yang sesuai dalam pelaksanaan proses persidangan secara tepat. Sidang tersebut bisa melakukan acara dengar pendapat. 2. Sidang Pra-peradilan harus memeriksa permohonan Penuntut Umum tersebut dan berbagai hasil observasi yang diajukan oleh suatu Negara yang meminta dilakukan penangguhan berkaitan dengan ketentuan pasal 18, ayat 2, dan harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana tersebutkan dalam pasal 17 dalam memutuskan apakah akan memberikan otorisasi atau tidak terhadap suatu hasil penyelidikan. 3. Keputusan dan alasan dikeluarkannya keputusan tersebut oleh Sidang Pra-peradilan harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepda Penuntut Umum dan kepada Negara yang meminta penangguhan terhadap suatu penyelidikan. Aturan 56 Pengajuan Permohonan oleh Penuntut Umum yang Menindaklanjuti Peninjauan Berdasarkan Ketentuan Pasal 18, Ayat 3 1. Mengikuti peninjauan yang dilakukan oleh Penuntut Umum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18, ayat 3, Penuntut Umum bisa meminta kepada Sidang Pra-peradilan untuk mendapatkan otorisasi berkaitan dengan pasal 18, ayat 2. Permohonan kepada Sidang Pra-peradilan harus dilakukan secara tertulis dan harus memuat dasar atau alasan bagi diajukannya permohonan tersebut.
2. Berbagai informasi lebih lanjut yang diberikan oleh Negara sesuai ketentuan pasal 18, ayat 5, harus dikomunikasikan oleh Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan. 3. Prosedur beracaranya harus dilakukan sesuai ketentuan aturan 54, sub-aturan 2, dan aturan 55 dari Hukum Acara ini. Aturan 57 Tindakan-Tindakan yang Khusus Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 18, Ayat 6 Surat permohonan dari Penuntut Umum kepada Sidang Pra-peradilan berkaitan dengan halhal yang terkena ketentuan pasal 18, ayat 6, harus dipertimbangkan secara ex parte [secara sepihak oleh Sidang tersebut] dan secara in camera [rahasia atau tertutup]. Sidang Pra-peradilan harus memperlakukan permohonan dari Penuntut Umum itu dengan mengedepankan aspek atau dasar kesegeraan. Aturan 58 Prosedur Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19 1. Suatu permintaan atau permohonan yang dibuat atau diajukan sesuai ketentuan pasal 19 harus dalam bentuk tertulis dan mengandung alasan diajukannya permohonan tersebut. 2. Ketika sebuah Sidang [Mahkamah] menerima permintaan atau permohonan yang berisikan pengajuan keberatan atau pertanyaan menyangkut jurisdiksinya atau soal dapat diterimanya sebuah perkara berkenaan dengan ketentuan pasal 19, ayat 2 atau 3, atau jika Mahkamah melakukanny atas mosinya sendiri sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19, ayat 1, maka Mahkamah [dalam hal ini Sidang yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut] harus memutuskan prosedur yang akan diikuti dan bisa mengambil langkah-langkah yang sesuai bagi pelaksanaan proses beracara secara tepat. Sidang tersebut boleh melakukan acara dengar pendapat. Sidang tersebut juga bisa ikut mengajukan keberatan atau pertanyaan terhadap sebuah konfirmasi atau proses sidang pengadilan selama hal tersebut tidak menyebabkan penundaan yang tidak dibolehkan, dan dalam hal seperti itu Sidang tersebut harus mendengarkan dan memutuskan soal keberatan atau pertanyaan tersebut lebih dahulu. 3. Mahkamah harus meneruskan permintaan atau permohonan yang diterima berdasarkan ketentuan sub-aturan 2 di atas kepada Penuntut Umum dan kepada orang sebagaimana ditunjuk dalam pasal 19, ayat 2, yang telah diajukan ke Mahkamah atau yang telah datang secara suka-rela atau datang karena mengikuti perintah pemanggilan, dan harus memberikan mereka kesempatan untuk mengajukan observasi secara tertulis atas permintaan atau permohonan dalam suatu jangka waktu yang ditentukan oleh Sidang yang menangani perkara tersebut. 4. Mahkamah harus menangani pengajuan keberatan atau pertanyaan soal jurisdiksi tersebut lebih dahulu dan kemudian baru menangani keberatan atau pertanyaan menyangkut dapat diterimanya perkara tersebut oleh Mahkamah. Aturan 59 Peran-serta dalam Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19, Ayat 3 1. Sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pasal 19, ayat 3, Panitera harus menginfomasikan kepada pihak-pihak tersebut di bawah ini tentang pertanyaan atau keberatan soal jurisdiksi atau dapat diterimanya sebuah perkara yang muncul mengikuti ketentuan pasal 19, ayat 1, 2, dan 3:
(a) Mereka yang telah merujuk pada keadaan yang sesuai dengan ketentuan pasal 13; (b) Para korban yang telah melakukan komunikasi dengan Mahkamah berkaitan dengan kasus tersebut atau, kalau tidak kepada korban, kepada kuasa hukum korban. 2. Panitera harus menyediakan bagi orang atau pihak-pihak yang ditunjukkan dalam subaturan 1 di atas, dalam cara yang tetap konsisten dengan kewajiban Mahkamah dalam hal kerahasiaan informasi, perlindungan atas siapa pun dan pengamanan atas buktibukti, dengan suatu penjelasan singkat tentang dasar atau alasan yang mengesahkan jurisdiksi Mahkamah atau dapat diterimanya sebuah perkara yang terhadapnya telah diajukan keberatan. 3. Pihak-pihak yang telah menerima informasi tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 1 di atas, bisa membuat pernyataan tertulis kepada Sidang yang berkompeten dalam jangka waktu terbatas yang ditetapkan oleh Sidang yang bersangkutan. Aturan 60 Badan-Badan yang Berkompeten untuk Menerima Keberatan Jika suatu keberatan terhadap jurisdiksi Mahkamah atau terhadap dapat diterimanya sebuah perkara dibuat atau diajukan setelah adanya konfirmasi soal tuduhan atau tuntutan tetapi sebelum pembentukan atau penentuan sebuah Sidang Pengadilan [yang akan menangani perkara tersebut], maka keberatan tersebut harus diajukan kepada Dewan Ketua, yang kemudian akan meneruskan pengajuan keberatan tersebut kepada Sidang Pengadilan segera setelah Sidang Pengadilan tersebut dibentuk atau ditentukan sesuai dengan ketentuan aturan 130 dari Hukum Acara ini. Aturan 61 Tindakan-Tindakan yang Khusus Berkaitan dengan Ketentuan Pasal 19, Ayat 8 Ketika Penuntut Umum membuat permohonan kepada Sidang yang berkompeten dalam hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19, ayat 8, maka aturan 57 dari Hukum Acara ini berlaku. Aturan 62 Prosedur Beracara Berdasarkan Ketentuan Pasal 19, Ayat 10 1. Jika Penuntut Umum mengajukan permintaan berdasarkan ketentuan pasal 19, ayat 10, maka ia harus mengajukan permintaan tersebut kepada Sidang yang membuat keputusan paling akhir tentang hal dapat diterimanya sebuah perkara. Dalam hal ini pula, ketentuan-ketentuan dari aturan 58, 59, dan 61 dalam Hukum Acara ini harus diberlakukan atau diterapkan. 2. Negara, baik satu maupun lebih dari satu, yang keberatannya terhadap soal dapat diterimanya sebuah perkara sesuai ketentuan pasal 19, ayat 2, dengan didorong oleh adanya keputusan tidak dapat diterimanya sebuah perkara berdasarkan ketentuan pasal 19, ayat 10, harus diberitahu berdasarkan permintaan Penuntut Umum dan harus diberikan kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk membuat representasi atau pernyataan di hadapan Mahkamah.
BAB 4 KETENTUAN-KETENTUAN BERKAITAN DENGAN BERBAGAI TAHAP ACARA PERSIDANGAN Bagian I Pembuktian Aturan 63 Ketentuan Umum Berkaitan dengan Pembuktian 1. Aturan tentang pembuktian yang digariskan dalam bab ini, bersama dengan pasal 69 Statutaa, harus berlaku dalam prosedur beracara di hadapan semua Sidang. 2. Suatu Sidang harus mempunyai kewenangan, dalam kaitan dengan keleluasaan untuk memutuskan sebagaimana termaktub dalam pasal 64, ayat 9, untuk melakukan penilaian dengan bebas terhadap semua bukti yang diajukan untuk menentukan relevansinya atau soal dapat diterimanya dalam kaitan dengan pasal 69. 3. Suatu Sidang harus memutuskan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak atau berdasarkan mosinya sendiri, yang dilakukan dengan mengikuti ketentuan pasal 64, ayat 9 (a), hal yang berkaitan dengan soal dapat diterimanya sebuah perkara ketika perkara tersebut didasarkan di atas alasan-alasan sebagaimana digariskan dalam pasal 69, ayat 7. 4. Tanpa melanggar ketentuan pasal 66, ayat 3, suatu Sidang tidak boleh memaksakan persyaratan-persyaratan legal bahwa dukungan atau kesepakatan diperlukan untuk membuktikan berbagai kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah, khususnya, kejahatan berupa kekerasan seksual. 5. Sidang tidak boleh menerapkan hukum-hukum nasional [negara manapun] menyangkut pembuktian, selain daripada yang telah ditetapkan dalam pasal 21. Aturan 64 Prosedur Berkaitan dengan Soal Relevansi atau Dapat Diterimanya Bukti 1. Persoalan atau pembahasan menyangkut soal relevansi atau dapat diterimanya bukti atas suatu perkara harus dikemukakan pada saat ketika bukti-bukti diajukan ke hadapan Sidang. Perkecualiannya, jika persoalan-persoalan tersebut tidak diketahui pada saat ketika bukti-bukti diajukan, maka persoalan tersebut bisa dikemukakan segera setelah masalahnya telah diketahui. Sidang bisa meminta supaya hal tersebut diajukan secara tertulis. Mosi tertulis harus dikomunikasikan oleh Mahamah kepada semua orang yang berpartisipasi dalam acara atau prosesnya, kecuali jika tidak diputuskan oleh Mahkamah. 2. Suatu Sidang harus memberikan alasan untuk berbagai tindakan hukum yang diambilnya terhadap masalah-masalah bukti dan pembuktian. Alasan-alasan tersebut harus ditempatkan dalam rekaman proses persidangan jika belum dimasukkan dan disatukan di dalam catatan lengkap mengenai proses persidangan tersebut dalam kaitannya dengan pasal 64, ayat 10, dan aturan 137, sub-aturan 1. 3. Bukti-bukti yang dinyatakan tidak relevan atau tidak dapat diterima tidak boleh dipertimbangkan lebih lanjut lagi oleh Mahkamah. Aturan 65
Penghadiran Saksi 1. Seorang saksi yang dihadirkan di hadapan Mahkamah diharuskan oleh Mahkamah untuk memberikan kesaksian, kecuali jika tidak ditentukan dalam Statuta dan Hukum Acara ini, khususnya aturan 73, 74, dan 75. 2. Aturan 171 berlaku untuk seorang saksi yang hadir di hadapan Mahkamah yang diharuskan untuk memberikan kesaksian dengan mengikuti ketentuan sub-aturan 1 di atas. Aturan 66 Pengambilan Sumpah 1. Selain seperti yang dinyatakan dalam sub-aturan 2 di bawah ini, setiap saksi harus, berkaitan dengan pasal 69, ayat 1, melakukan pengambilan sumpah seperti berikut ini sebelum memberikan kesaksian: “Dengan tulus saya bersumpah bahwa saya akan bicara tentang kebenaran, kebenaran seutuhnya dan tiada lain selain kebenaran.” 2. Seseorang yang berusia di bawah umur 18 tahun atau seseorang yang sudah lemah secara mental dan yang, menurut pendapat Sidang, tidak memahami nilai hakiki pengambilan sumpah yang tulus dapat dibiarkan untuk memberikan kesaksiannya tanpa perlu mengucapkan sumpah jika Sidang berpandangan bahwa orang tersebut dapat menggambarkan masalahnya yang ia ketahui itu dan bahwa orang tersebut memahami makna kewajiban untuk berbicara tentang kebenaran. 3. Sebelum memberikan kesaksian, saksi harus diinformasikan tentang pelanggaran sebagaimana dinyatakan dalam pasal 70, ayat 1 (a). Aturan 67 Kesaksian secara Langsung dengan Menggunakan Peralatan Teknologi Audio atau Video 1. Sesuai dengan ketentuan pasal 69, ayat 2, suatu Sidang bisa mengizinkan seorang saksi untuk memberikan kesaksiannya secara viva voce (lisan) di hadapan Mahkamah dengan menggunakan media teknologi audio atau video, dengan asumsi bahwa teknologi semacam itu bisa memudahkan saksi diperiksa oleh Penuntut Umum, pembela, dan oleh Sidang itu sendiri, pada saat bersamaan ketika saksi memberikan kesaksian. 2. Pemeriksaan saksi dengan mengikuti ketentuan aturan ini harus dilakukan dengan tetap melihat kesesuaiannya dengan aturan-aturan relevan lainnya dalam bab ini. 3. Sidang, dengan bantuan dari Panitera, harus menjamin bahwa tempat yang dipilih untuk pelaksanaan dengar kesaksian dengan menggunakan hubungan audio atau video memang kondusif bagai tercapainya pengungkapan kebenaran dan kesaksian yang jujur dan terbuka serta kondusif pula bagi keamanan, kenyamanan fisik dan ketenangan jiwa, tetap terjaganya martabat dan hal-hal pribadi (privacy) saksi. Aturan 68 Kesaksian yang Direkam Lebih Dahulu
Jika Sidang Pra-Peradilan belum mengambil langkah-langkah sesuai dengan ketentuan pasal 56, maka Sidang Pengadilan bisa, dengan memperhatikan kesesuian dengan pasal 69, ayat 2, mengizinkan dihadirkannya kesaksian seorang saksi yang telah direkam sebelumnya melalui media audio atau video, atau transkrip atau bukti-bukti lain dari dokumentasi kesaksiannya, dengan syarat atau ketentuan bahwa: (a) Jika saksi yang memberikan kesaksian yang sudah direkam sebelumnya itu tidak hadir di hadapan Sidang Pengadilan, maka baik Penuntut Umum maupun pembela mempunyai kesempatan memeriksa saksi selama proses perekaman kesaksian itu berlangsung; atau (b) Jika saksi yang memberikan kesaksian yang sebelumnya telah direkam itu hadir di hadapan Sidang Pengadilan, maka ia tidak boleh berkeberatan atas pengajuan kesaksian yang sudah direkam tersebut dan Penuntut Umum, pembela dan Sidang yang bersangkutan mempunyai kesempatan untuk memeriksa saksi tersebut selama proses persidangan berlangsung. Aturan 69 Kesepakatan Soal Bukti Penuntut Umum dan pembela bisa menyetujui bahwa sebuah fakta yang dituduhkan, yang termuat juga dalam dakwaan, isi suatu dokumen, kesaksian yang diharapkan dari seorang saksi atau pembuktian lain tidak diuji silang dan, karena itu, Sidang bersangkutan bisa mempertimbangkan fakta-fakta tuduhan semacam itu sebagai telah terbukti, kecuali kalau Sidang berpikiran bahwa pengajuan bukti atau kesaksian yang lebih lengkap tentang faktafakta yang dituduhkan itu masih diperlukan demi kepentingan keadilan, secara khusus demi kepentingan korban. Aturan 70 Prinsip-Prinsip Pembuktian dalam Kasus Kekerasan Seksual Dalam kasus kekerasan seksual, Mahkamah harus mengikuti tuntunan dan, sejauh dianggap perlu, sebaiknya menerapkan prinsip-prinsip berikut: (a) Faktor kesediaan atau suka rela [melakukan hubungan seks] tidak boleh dijadikan sebagai alasan pembenar berdasarkan kata-kata atau tindakan apa pun dari korban di mana unsur pemaksaan, ancaman yang memaksa, penekanan atau pengambilan keuntungan dari lingkungan yang menekan telah melemahkan kemampuan korban untuk menyatakan kesediaan atau kerelaan yang sejati; (b) Faktor kesediaan atau suka rela [melakukan hubungan seks] tidak boleh dijadikan sebagai alasan pembenar berdasarkan kata-kata atau tindakan apa pun dari korban di mana korban memiliki ketidakmampuan dalam memberikan atau menyatakan kesediaan atau kerelaan tersebut; (c) Faktor kesediaan atau suka rela [melakukan hubungan seks] tidak boleh dijadikan sebagai alasan pembenar berdasarkan ketidakmampuan korban untuk menolak, atau kurangnya daya resistensi atau pertahanan diri dari korban atas, kekerasan seks yang dituduhkan tersebut; (d) Kredibilitas, karakter atau kecenderungan perilaku seksual [yang potensial merangsang gairah seks orang lain] dari korban atau saksi tidak dapat dijadikan alasan pembenar berdasarkan perilaku seksual sebelumnya atau sesudahnya [sesudah kasus yang diadukan tersebut] dari korban atau saksi.
Aturan 71 Pembuktian Soal Perilaku Seksual Lainnya Berdasarkan pemahaman atas batasan dan hakikat kejahatan di dalam jurisdiksi Mahkamah, dan tunduk pada ketentuan pasal 69, ayat 4, suatu Sidang tidak boleh menerima atau mengakui bukti-bukti menyangkut perilaku seksual sebelum atau sesudahnya [sesudah kasus yang diadukan tersebut] dari seorang korban atau saksi. Aturan 72 Prosedur Rahasia (in camera) untuk Mempertimbangkan Soal Relevansi atau Dapat Diterimanya Bukti 1. Jika ada niat untuk mengajukan atau mengungkap, termasuk dengan cara menanyakan korban atau saksi, bukti bahwa korban ternyata setuju pada kejahatan yang dituduhkan yaitu kekerasan seksual, atau bukti tentang kata-kata, tindakan, sikap diam atau kurangnya daya resistensi (kemampuan menolak) dari korban atau saksi sebagaimana digambarkan dalam prinsip-prinsip (a) hingga (d) dalam aturan 70 di atas, maka pemberitahuan harus diberikan kepada Mahkamah yang akan menggambarkan substansi bukti yang dikehendaki untuk diajukan atau diungkapkan dan menggambarkan relevansi isu yang bersangkutan dengan kasus yang sedang ditanganinya itu. 2. Dalam memutuskan apakah bukti yang dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas relevan atau dapat diterima, suatu Sidang harus mendengarkan secara rahasia pandangan dari Penuntut Umum, pembela, saksi dan korban atau kuasa hukum korban atau saksi, jika ada, dan harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan apakah bukti tersebut memiliki kadar mencukupi dalam hal nilai tuduhannya berkaitan dengan sebuah isu dalam kasus atau perkara yang sedang diproses dan dalam anggapan bahwa bukti semacam itu mungkin menyebabkan, dalam kaitan dengan pasal 69, ayat 4. Untuk maksud ini, Sidang harus mengacu pada pasal 21, ayat 3, dan pasal 67 dan 68, dan harus menjalankan tugas menyelesaikan kasus seperti ini dengan mengikuti prinsip (a) sampai (d) dari aturan 70, khususnya berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada seorang korban. 3. Jika Sidang memutuskan bahwa bukti sebagaimana dimaksudkan dalam sub-aturan 2 di atas dapat diterima dalam proses persidangan, maka Sidang yang bersangkutan harus menyatakan secara publik tujuan khusus dari diterimanya bukti tersebut. Dalam mengevaluasi bukti selama proses persidangan, Sidang harus menerapkan prinsip (a) hingga (d) dari aturan 70 Hukum Acara ini. Aturan 73 Komunikasi-Komunikasi dan Informasi yang Diutamakan 1. Tanpa melanggar ketentuan pasal 67, ayat 1 (b), komunikasi yang dibuat dalam konteks hubungan profesional antara seseorang dengan penasihat hukumnya harus diberikan privilese, dan dengan demikian tidak tunduk pada kewajiban mengungkapkan, kecuali kalau: (a) Orang yang bersangkutan secara tertulis menyatakan persetujuannya pada pengungkapan semacam itu; atau
2.
3.
4.
5.
6.
(b) Orang tersebut secara suka rela mengungkapkan isi komunikasi tersebut kepada pihak ketiga, dan pihak ketiga tersebut kemudian memberikan bukti pengungkapan tersebut. Dengan mengacu pada aturan 63, sub-aturan 5, komunikasi yang dibuat dalam konteks sebuah golongan profesional atau hubungan lain yang terpercaya harus diberikan privilese, dengan demikian tidak tunduk pada kewajiban mengungkapkan, sama seperti ketentuan sub-aturan 1 (a) dan 1 (b) di atas jika suatu Sidang memutuskan berkenaan dengan kelas tersebut bahwa: (a) Komunikasi yang terjadi dalam golongan hubungan seperti itu dilakukan dalam semangat hubungan yang terpercaya yang menghasilkan sebuah harapan yang masuk akal akan privasi dan ketidakterungkapan; (b) Kerahasiaan atau keterpercayaan bersifat esensial pada hakikat dan bentuk hubungan antara orang yang mengungkapkan dan orang yang dipercayai; dan (c) Pengakuan akan privilese hendaknya akan menjadi sasaran Statuta dan Hukum Acara ini. Dalam membuat keputusan menyangkut sub-aturan 2 di atas, Mahkamah harus memberikan pertimbangan khusus untuk mengakui sebagai hal yang bersifat privilese semua komunikasi yang dibuat dalam konteks hubungan profesional antara seseorang dan dokter yang menangani masalah kesehatan medisnya, psikiater, psikolog atau penasihatnya, khususnya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan atau melibatkan korban, atau antar seseorang dan seorang anggota ulama agama tertentu; dan dalam kasus selanjutnya, Mahkamah harus mengakui sebagai hal yang bersifat privilese juga semua komunikasi yang dibuat dalam konteks sebuah pengakuan yang bersifat sakral di mana hal tersebut merupakan bagian integral dari praktik suatu agama tertentu. Mahkamah harus mempertimbangkan sebagai hal yang bersifat privilese juga, dan dengan demikian tidak tunduk pada kewajiban mengungkapkan, termasuk dengan cara pemberian kesaksian dari siapa pun atau dari petugas terdahulu atau dari karyawan Komite Palang Merah Internasional (ICRC), berbagai informasi lain, dokumendokumen atau bukti-bukti lain yang menjadi bagian dari kasus tersebut, atau sebagai konsekuensinya, yang menjadi bagian karena kinerja ICRC berkaitan dengan tugasnya berdasarkan Statuta Palang Merah Internasional dan Gerakan Bulan Sabit Merah, kecuali kalau: (a) Setelah konsultasi-konsultasi yang dilakukan dengan mengikuti ketentuan subaturan 6, ICRC, secara tertulis, tidak menolak pengungkapan seperti itu, atau kalau tidak telah membuang atau mengabaikan privilese tersebut; atau (b) Informasi semacam itu, dokumen atau bukti-bukti lain dimasukkan di dalam pernyataan-pernyataan dan dokumen-dokumen yang bersifat publik dari ICRC. Tak satu hal pun dalam sub-aturan 4 di atas bisa mempengaruhi soal dapat diterimanya bukti yang sama yang diperoleh dari sumber lain di luar ICRC dan petugasnya atau karyawannya jika bukti semacam itu telah pula didapatkan oleh sumber tersebut secara bebas dari ICRC dan petugas atau karyawannya. Jika Mahkamah berkeputusan bahwa informasi ICRC, dokumen atau bukti-bukti lain adalah sangat penting untuk sebuah kasus tertentu, maka konsultasi harus dilakukan antara Mahkamah dan ICRC supaya mencari upaya untuk memecahkan masalah dengan cara-cara yang kooperatif, dengan tetap memperhatikan secara rasional hal-hal lain yang berpengaruh pada kasus tersebut, soal relevansi dari bukti yang dicari, soal apakah bukti dapat diperoleh dari sumber lain di luar ICRC, soal kepentingan pengadilan dan korban, dan perihal pelaksanaan tugas dan kewajiban Mahkamah dan ICRC.
Aturan 74 Penimpaan Tindakan Jahat kepada Diri Sendiri oleh Seorang Saksi 1. Kecuali kalau seorang saksi telah diberitahu dengan mengikuti ketentuan aturan 190, Sidang harus memberitahukan secara resmi kepada seorang saksi tentang ketentuan aturan ini sebelum ia memberikan kesaksiannya. 2. Jika Mahkamah memutuskan bahwa suatu jaminan berkaitan dengan penimpaan tindakan jahat kepada diri sendiri sebaiknya diberikan kepada seorang saksi, maka Mahkamah harus memberikan jaminan berdasarkan ketentuan sub-aturan 3 (c) di bawah ini, sebelum saksi hadir, secara langsung atau dengan mengikuti ketentuan pasal 93, ayat 1 (e). 3. (a) Seorang saksi boleh menolak membuat pernyataan yang mendatangkan kemungkinan penimpaan kesalahan atau kejahatan kepadanya. (b) Jika saksi hadir setelah menerima jaminan berdasarkan ketentuan sub-aturan 2 di atas, maka Mahkamah bisa meminta saksi tersebut untuk menjawab pertanyaan (satu atau banyak pertanyaan). (c) Jika terdapat saksi-saksi lain, maka Sidang boleh meminta saksi-saksi tersebut untuk menjawab pertanyaan (satu atau banyak) setelah memberikan jaminan kepada mereka bahwa bukti yang diberikan sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan: (i) akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan dibuka kepada publik atau negara mana pun; dan (ii) tidak akan digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melawan orang yang bersangkutan dalam penuntutan selanjutnya oleh Mahkamah, kecuali berdasarkan ketentuan pasal 70 dan 71 Statuta. 4. Sebelum memberikan jaminan seperti itu, Sidang harus meminta pandangan dari Penuntut Umum, berdasarkan inisiatifnya sendiri dan bukan sebaliknya, untuk menentukan apakah jaminan perlu diberikan kepada saksi khusus tersebut. 5. Dalam menentukan apakah perlu meminta saksi memberikan jawaban, Sidang perlu mempertimbangkan: (a) Pentingnya bukti yang diharapkan muncul itu; (b) Apakah saksi tersebut bisa (akan) memberikan bukti yang baru dan unik; (c) Hakikat atau sifat penimpaan kejahatan yang mungkin, jika diketahui; dan (d) Kecukupan perlindungan bagi saksi, dalam situasi tertentu. 6. Jika Sidang memutuskan bahwa tidak perlu dan tidak tepat memberikan jaminan bagi saksi tersebut, maka Sidang pun tidak perlu mengharuskan saksi tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan Sidang. Akan tetapi, jika Sidang telah memutuskan untuk tidak perlu mendapatkan jawaban dari saksi, Sidang masih bisa melanjutkan pertanyaan kepada saksi itu menyangkut hal-hal yang lain lagi. 7. Supaya mendatangkan hasil pada jaminan yang diberikan, maka Sidang harus: (a) Memerintahkan bahwa bukti yang diungkapkan oleh saksi diberikan secara rahasia antara saksi dengan hakim saja (in camera); (b) Memerintahkan bahwa identitas dari saksi dan isi dari bukti yang diungkapkannya tidak akan dibuka kepada publik, entah dengan cara apa pun, dan menegaskan bahwa pelanggaran terhadap perintah tersebut akan diberikan sanksi sesuai ketentuan pasal 71;
(c) Secara khusus menasihati atau mengingatkan Penuntut Umum, terdakwa, pembela atau penasihat hukum, wakil atau kuasa hukum korban, dan staf-staf Mahkamah akan adanya konsekuensi jika ketentuan sub-aturan 7 (b) di atas dilanggar; (d) Memerintahkan penyegelan terhadap berbagai rekaman hasil proses acara persidangan; dan (e) Mengambil langkah-langkah protektif berkaitan dengan berbagai keputusan Mahkamah untuk memastikan bahwa identitas saksi dan isi atau kandungan bukti yang diungkapkan saksi tetap terjaga kerahasiaannya dan tidak dibuka kepada publik. 8. Jika Penuntut Umum menyadari bahwa kesaksian yang diberikan oleh saksi bisa mendatangkan hal-hal yang berkaitan dengan penimpaan kesalahan kepada diri sendiri, maka ia harus meminta diadakannya dengar pendapat secara in camera, antara dia dengan saksi saja, dan mengingatkan Sidang akan adanya hal tersebut, untuk mendengarkan kesaksian lebih lanjut dari saksi. Sidang kemudian bisa menerapkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana digariskan dalam sub-aturan 7 di atas untuk sebagian atau seluruh kesaksian yang diberikan saksi. 9. Terdakwa, pembela atau penasihat hukum, atau saksi itu sendiri bisa mengingatkan Penuntut Umum atau Sidang [yang menangani kasus atau perkara tersebut] bahwa kesaksian yang diberikan saksi bisa mendatangkan penimpaan kesalahan kepada dirinya sendiri sebelum ia (saksi) diambil kesaksiannya, dan jika demikian, Sidang bisa menerapkan ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 7 di atas. 10. Jika masalah penimpaan kesalahan kepada diri sendiri muncul selama berlangsungnya proses persidangan, maka Sidang harus menghentikan sementara pengambilan kesaksian dan memberikan kesempatan kepada saksi tersebut untuk mendapatkan bantuan hukum jika ia (saksi tersebut) tetap diminta untuk memberikan kesaksian selanjutnya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara ini. Aturan 75 Penimpaan Tindakan Jahat oleh Anggota Keluarga 1. Seorang saksi yang hadir di hadapan Mahkamah, yang merupakan pasangan (suami atau istri), anak atau orang tua dari orang yang menjadi terdakwa, tidak harus diminta oleh Sidang untuk memberikan pernyataan apa pun yang bisa atau cenderung menimpakan kesalahan atau memberatkan terdakwa. Akan tetapi, saksi boleh memilih untuk membuat dan memberikan kesaksian seperti itu. 2. Dalam melakukan evaluasi terhadap kesaksian seorang saksi, Sidang boleh mempertimbangkan bahwa saksi tersebut, mengacu pada sub-aturan 1 di atas, menolak untuk menjawab pertanyaan yang dimaksudkan untuk melawan pernyataan yang diberikan sebelumnya oleh saksi tersebut, atau saksi tersebut selektif dalam memilih pertanyaan-pertanyaan mana saja yang perlu dijawab dan mana yang tidak. Bagian II Pengungkapan Aturan 76 Pengungkapan Pra-Peradilan Berkaitan dengan Penuntutan terhadap Saksi 1. Penuntut Umum harus menyediakan bagi pembela nama-nama saksi yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum untuk diperiksa dan dimintai kesaksiannya dan
menyediakan juga catatan dari berbagai pernyataan sebelumnya yang dibuat oleh saksisaksi tersebut. Ini harus dilakukan secara memadai agar pembela bisa mempersiapkan segala hal yang perlu dengan tepat. 2. Penuntut Umum selanjutnya mengusulkan kepada pembela nama-nama dari saksi tambahan bagi kepentingan penuntutan dan memberikan catatan dari penyataanpernyataan mereka ketika keputusan dibuat untuk memanggil saksi-saksi tersebut. 3. Pernyataan dari saksi-saksi penuntutan harus disediakan dalam bentuk aslinya dan dalam bahasa yang dapat dipahami sepenuhnya dan dipakai sebagai komunikasi oleh terdakwa. 4. Aturan ini tunduk pada ketentuan soal perlindungan dan privasi korban dan saksi dan perlindungan informasi rahasia sebagaimana ditegaskan dalam Statuta dan aturan 81 dan 82. Aturan 77 Pemeriksaan Bahan-Bahan yang Dimiliki atau di Bawah Pengawasan Penuntut Umum Penuntut Umum harus, tunduk pada ketentuan soal pembatasan (restriksi) pengungkapan sebagaimana ditegaskan dalam Statuta dan dalam aturan 81 dan 82, membolehkan pembela untuk memeriksa berbagai buku, dokumen, foto dan berbagai objek lainnya yang bisa diindrai (tangible) yang berada di bawah kepemilikan atau pengawasan Penuntut Umum, yang merupakan materi-materi persiapan bagi kepentingan pembelaan atau yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum untuk digunakan sebagai bukti bagi tujuan mendengarkan konfirmasi atau sebagai bukti di pengadilan, sebagai hal yang mungkin berasal dari atau yang diperoleh dari, atau dimiliki oleh, orang tersebut. Aturan 78 Pemeriksaan Bahan-Bahan yang Dimiliki atau di Bawah Pengawasan Pembela Pembela harus mengizinkan Penuntut Umum untuk memeriksa berbagai buku, dokumen, foro dan berbagai objek lainnya yang bisa diindrai yang berada di bawah kepemilikan atau pengawasan pembela, yang dimaksudkan untuk digunakan oleh pembela sebagai bukti untuk tujuan mendengarkan konfirmasi atau sebagai bukti di pengadilan. Aturan 79 Pengungkapan oleh Pembela 1. Pembela harus memberitahukan Penuntut Umum soal niatnya untuk: (a) Mengemukakan adanya alibi, yang dengan itu pemberitahuan harus menjelaskan secara spesifik soal tempat atau tempat-tempat yang diklaim oleh terdakwa sebagai tempat di mana dia berada pada saat terjadinya kejahatan yang didakwakan itu dan nama-nama saksi dan berbagai bukti lain yang menjadi sandaran bagi terdakwa yang bersangkutan untuk membangun alibi; atau (b) Mengemukakan suatu dasar atau alasan bagi penghapusan tanggung jawab pidana sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31, ayat 1, yang dengan itu pemberitahuan harus menjelaskan secara spesifik nama-nama dari para saksi dan bukti-bukti lain yang dimaksudkan oleh terdakwa sebagai sandaran dalam membangun alasan. 2. Berkenaan dengan adanya batasan waktu sebagaimana dinyatakan dalam aturan-aturan lain, pemberitahuan sebagaimana dimaksudkan oleh sub-aturan 1 di atas harus
diberikan secara memadai demi memampukan Penuntut Umum untuk mempersiapkan diri secara tepat dan untuk memberikan respon. Sidang yang menangani perkara tersebut bisa memberikan rehat kepada Penuntut Umum untuk memberikannya kesempatan menyimak dan mencermati isu yang dikemukakan oleh pembela. 3. Kegagalan pembela dalam menyediakan pemberitahuan sesuai ketentuan aturan ini tidak akan membatasi haknya untuk mengangkat masalah yang berkaitan dengan subaturan 1 dan untuk menghadirkan bukti-bukti. 4. Aturan ini tidak menghalangi Sidang untuk meminta atau memerintahkan pengungkapan atas berbagai bukti. Aturan 80 Prosedur Penentuan suatu Dasar bagi Penghapusan Tanggung Jawab Pidana Berdasarkan Ketentuan Pasal 31, Ayat 3 1. Pembela harus mengajukan pemberitahuan kepada Sidang Pengadilan dan Penuntut Umum jika ia bermaksud untuk mengemukakan dasar atau alasan bagi penghapusan tanggung jawab pidana berdasarkan ketentuan pasal 31, ayat 3. Hal ini harus dilakukan dengan memadai khususnya sebelum permulaan pengadilan untuk memampukan Penuntut Umum mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya bagi pelaksanaan pengadilan. 2. Mengikuti pemberitahuan sesuai ketentuan sub-aturan 1 di atas, Sidang Pengadilan harus mendengarkan baik Penuntut Umum maupun pembela sebelum memutuskan apakah pembela dapat mengemukakan sebuah alasan atau dasar bagi penghapusan tanggung jawab pidana. 3. Jika pembela diizinkan untuk mengemukakan alasan tersebut, Sidang Pengadilan bisa memberikan kesempatan rehat bagi Penuntut Umum untuk mencermati alasan yang dikemukakan itu. Aturan 81 Pembatasan terhadap Pengungkapan 1. Laporan, memoranda atau dokumen-dokumen internal lainnya yang dipersiapkan oleh salah satu pihak, asistennya, atau wakil/kuasa hukumnya dalam kaitan dengan penyelidikan atau persiapan perkara tersebut tidak perlu tunduk pada ketentuan atau keharusan untuk diungkapkan. 2. Jika materi atau informasinya berada di bawah kepemilikan atau pengawasan Penuntut Umum yang harus diungkapkan berdasarkan ketentuan Statuta, akan tetapi pengungkapan tersebut bisa melanggar penyelidikan lebih lanjut atau penyelidikan yang sedang berjalan, maka Penuntut Umum boleh mengajukan permohonan kepada Sidang yang menangani perkara tersebut untuk memberikan perintah tentang apakah materi atau informasi tertentu itu harus diungkapkan atau dibuka kepada pembela. Masalah tersebut harus didengar secara sepihak (ex parte) oleh Sidang yang bersangkutan. Akan tetapi, Penuntut Umum tidak boleh mengajukan materi atau informasi tersebut sebagai atau menjadi bukti selama acara dengar konfirmasi atau selama pengadilan berlangsung tanpa didahului pemberitahuan secara tepat kepada terdakwa. 3. Jika tahapan-tahapan telah diambil untuk memastikan kerahasiaan dan keandalan informasi, berkenaan dengan pasal 54, 57, 64, 72 dan 93, dan, berkenaan dengan pasal 68, untuk untuk melindungi keselamatan saksi dan korban dan anggota keluarga
mereka, informasi semacam itu tidak boleh ditutup, kecuali jika hal itu berkaitan dengan pasal-pasal sebagaimana disebutkan tadi. Jika pengungkapan informasi semacam itu bisa mendatangkan risiko terhadap keamanan saksi, maka Mahkamah harus mengambil langkah untuk kemudian menginformasikan hal tersebut kepada saksi. 4. Sidang yang menangani perkara tersebut harus, berdasarkan mosinya sendiri atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum, terdakwa atau Negara mana pun, mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjamin kerahasiaan informasi, berkenaan dengan pasal 54, 72, dan 93, dan, berkenaan dengan pasal 68, untuk melindungi keselamatan saksi dan korban dan anggota keluarga mereka, termasuk dengan memberikan wewenang untuk tidak mengungkapkan identitas mereka sebelum persidangan pengadilan mulai dilakukan. 5. Jika materi atau informasi berada di bawah kepemilikan atau pengawasan Penuntut Umum yang berlawanan dengan ketentuan pasal 68, ayat 5, maka materi dan informasi semacam itu untuk selanjutnya tidak boleh diajukan sebagai bukti selama dengar konfirmasi atau selama sidang pengadilan berlangsung tanpa didahului pengungkapan seperlunya dan setepatnya kepada terdakwa. 6. Jika materi atau informasi berada di bawah kepemilikan atau pengawasan pembela yang tunduk pada ketentuan soal pengungkapan, maka materi atau informasi itu bisa tidak diberikan dalam situasi-situasi yang sama dengan situasi di mana Penuntut Umum dibolehkan bersandar pada pasal 68, ayat 5, dan sebagai gantinya mengajukan suatu ringkasan. Materi atau informasi semacam itu untuk seterusnya tidak boleh diajukan sebagai bukti selama acara dengar konfirmasi atau selama proses sidang pengadilannya berlangsung tanpa didahului pengungkapan seperlunya dan setepatnya kepada Penuntut Umum. Aturan 82 Pembatasan terhadap Pengungkapan Bahan dan Informasi yaang Dilindungi Berdasarkan Ketentuan Pasal 54, Ayat 3 (e) 1. Jika materi atau informasi berada di bawah kepemilikan atau pengawasan Penuntut Umum yang dilindungi berdasarkan ketentuan pasal 54, ayat 3 (e), maka Penuntut Umum untuk seterusnya tidak boleh mengajukan materi atau informasi semacam itu sebagai bukti tanpa sepengetahuan pemberi atau pemasok materi dan informasi dan tanpa didahului pengungkapan seperlunya dan setepatnya kepada terdakwa. 2. Jika Penuntut Umum mengajukan materi atau informasi yang dilindungi ketentuan pasal 54, ayat 3 (e) tersebut, sebagai bukti, maka Sidang tidak boleh meminta dihasilkannya bukti tambahan yang diterima dari pemberi materi atau informasi sebelumnya (awal), juga tidak boleh, demi tujuan untuk mendapatkan bukti tambahan lagi, memanggil ke hadapan Sidang pemberi (informasi) yang bersangkutan atau wakil dari pemberi informasi tersebut sebagai saksi atau memerintahkan mereka untuk hadir dalam proses persidangan. 3. Jika Penuntut Umum memanggil seorang saksi untuk mengajukan sebagai bukti berbagai materi atau informasi yang telah dilindungi di bawah ketentuan pasal 54, ayat 3 (e), Sidang tidak boleh memaksa saksi tersebut untuk menjawab berbagai pertanyaan berkaitan dengan materi atau informasi atau asal muasal informasi yang dimilikinya, jika saksi tersebut menampik untuk menjawab berdasarkan asas kerahasiaan.
4. Hak terdakwa untuk mengajukan keberatan atas bukti yang telah dilindungi di bawah ketentuan pasal 54, ayat 3 (e), harus tetap tidak terpengaruh untuk hanya tunduk di bawah batasan sebagaimana terkandung di dalam sub-aturan 2 dan 3 di atas. 5. Sebuah Sidang yang menangani perkara yang bersangkutan boleh memerintahkan, berdasarkan permohonan dari pembela, bahwa, atas nama keadilan, materi atau informasi yang berada di bawah kepemilikan terdakwa, yang telah diberikan kepada terdakwa di bawah syarat-syarat yang sama sebagaimana ditetapkan dalam pasl 54, ayat 3 (e), dan yang akan diajukan sebagai bukti, harus secara mutatis mutandis (dengan penyesuaian atau modifikasi seperlunya) tunduk pada sub-aturan 1, 2, dan 3 di atas. Aturan 83 Pengaturan tentang Pembuktian Tidak Bersalahnya Ketentuan Pasal 67, Ayat 2
Tertuduh
Berdasarkan
Penuntut Umum boleh meminta segera sejauh dapat dipraktikkan sebuah acara dengar pendapat secara ex parte (satu pihak saja) di hadapan Sidang yang memang sedang menangani perkara atau kasus terebut demi tujuan mendapatkan pengaturan berdasarkan ketentuan pasal 67, ayat 2. Aturan 84 Pengungkapan dan Bukti Tambahan untuk Persidangan Agar memampukan pihak-pihak untuk mempersiapkan diri bagi pengadilan dan untuk memungkinkan pelaksanaan secara jujur dan cepat proses persidangannya, maka Sidang Pengadilan tersebut harus, dalam kaitannya dengan pasal 64, ayat 3 (c) dan 6 (d), dan pasal 67, ayat (2), dan tunduk pada ketentuan pasal 68, ayat 5, membuat berbagai perintah yang perlu bagi pengungkapan dokumen-dokumen atau informasi yang sebelumnya tidak diungkapkan dan bagi dihasilkannya bukti tambahan. Untuk menghindari penundaan dan untuk menjamin bahwa dimulainya pengadilan pada tanggal atau waktu yang telah ditetapkan, maka perintah-perintaha yang dimaksud itu harus memasukkan juga soal batasan waktu yang tegas dan tepat yang harus diawasi pelaksanaannya di bawah peninjauan Sidang Pengadilan yang bersangkutan. Bagian III Korban dan Saksi Sub-bagian 1 Batasan dan Prinsip Umum Berkaitan dengan Korban Aturan 85 Batasan tentang Korban Untuk tujuan dari Statuta dan Hukum Acara dan Pembuktian ini: (a) “Korban” berarti orang-orang asli yang telah mengalami derita atau kerugian sebagai akibat dilakukannya berbagai kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah; (b) Korban bisa mencakupi organisasi-organsisasi atau lembaga-lembaga yang benar-benar tertimpa kerugian langsung atas harta milik mereka yang dibaktikan bagi kepentingan agama, pendidikan, seni atau ilmu pengetahuan atau untuk tujuan-tujuan karitatif, dan
atas monumen-monumen sejarah mereka, rumah sakit dan tempat-tempat serta objekobjek lainnya yang diabdikan bagi kepentingan atau misi kemausiaan. Aturan 86 Prinsip-Prinsip Umum Sidang dalam membuat berbagai arahan atau perintah, dan badan-badan lain dari Mahkamah tersebut dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka berdasarkan ketentuan Statuta dan aturan Hukum Acara ini, harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan mereka kebutuhan semua korban dan saksi berkaitan dengan pasal 68, khususnya, anak-anak, orang-orang tua atau manusia lanjut usia, orang-orang yang mengalami cacat atau ketidakmampuan tertentu, dan korban-korban kekerasan seksual dan kekerasan berbiasa gender. Sub-bagian 2 Perlindungan terhadap Saksi dan Korban Aturan 87 Tindakan-Tindakan Perlindungan 1. Berdasarkan mosi Penuntut Umum atau pembela atau berdasarkan permohonan saksi atau korban atau kuasa hukumnya, jika ada, atau berdasarkan mosinya sendiri, dan setelah berkonsultasi dengan Unit untuk Urusan Saksi dan Korban, sejauh dianggap perlu dan tepat, Sidang dapat memerintahkan diambilnya tindakan-tindakan untuk melindungi korban, saksi atau orang lain yang berada dalam posisi riskan berkaitan dengan kesaksian yang diberikan oleh saksi dengan mengikuti ketentuan pasal 68, ayat 1 dan 2. Sidang harus berupaya mendapatkan, jika memungkinkan, persetujuan dari orang yang untuk dia-lah tindakan-tindakan protektif itu diupayakan sebelum dikeluarkannya perintah mengambil tindakan-tindakan protektif itu oleh Sidang. 2. Mosi atau permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas harus tunduk pada ketentuan aturan 134, yang menyatakan bahwa: (a) Mosi atau permohonan seperti itu tidak boleh diajukan secara ex parte [secara sepihak saja, tanpa konsultasi dengan pihak lain]; (b) Permohonan oleh seorang saksi atau oleh seorang korban atau oleh wakil atau kuasa hukumnya, jika ada, harus ditembuskan kepada baik Penuntut Umum maupun pembela, yang masing-masingnya harus diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan; (c) Mosi atau permohonan yang mendatangkan dampak pada saksi tertentu atau korban tertentu harus ditembuskan kepada saksi atau kepada korban tersebut atau kuasa hukumnya, jika ada, juga kepada pihak lain laig, yang masing-masingnya diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan; (d) Ketika Sidang memproses hal tersebut berdasarkan mosinya sendiri, maka pemberitahuan dan kesempatan untuk memberikan tanggapan harus diberikan kepada Penuntut Umum dan pembela, dan kepada saksi atau kepada korban atau kuasa hukumnya, jika ada, yang akan terkena pengaruh atau dampak dari diambilnya tindakan-tindakan protektif tersebut; dan (e) Mosi atau permohonan bisa diajukan berupa dokumen yang disegel, dan, jika demikian, harus tetap dalam keadaan tersegel sampai diperintahkan sebaliknya [segelnya dibuka] oleh Sidang. Jika ada tanggapan terhadap mosi atau permohonan
yang diajukan dalam bentuk dokumen yang disegel, maka tanggapan tersebut harus seperti itu juga yaitu diajukan dalam bentuk dokumen yang disegel. 3. Sebuah Sidang dapat, dengan mosi atau permohonan sesuai ketentuan sub-aturan 1, mengadakan acara dengar pendapat, yang harus dilaksanakan secara in camera [rahasia antara penyampai pendapat dengan Sidang yang bersangkutan saja], untuk menentukan apakah perlu atau tidak memerintahkan diambilnya tindakan untuk mencegah mengumumkan kepada publik atau pers dan agen-agen informasi lainnya, tentang identitas atau lokasi keberadaan seorang korban, saksi, atau orang lain yang berada dalam posisi riskan sebagai akibat dari kesaksian yang diberikan oleh saksi dengan memerintahkan, antara lain: (a) Bahwa nama dari korban, saksi atau orang lain yang berada dalam posisi riskan akibat kesaksian yang diberikan oleh saksi atau informasi lain yang dapat berakibat pada diketahuinya identitasnya, dihapus dari rekaman atau catatan Mahkamah yang diumumkan kepada publik; (b) Bahwa Penuntut Umum, pembela atau siapa pun yang berpartisipasi dalam proses persidangan tersebut dilarang mengungkapkan informasi semacam itu kepada pihak ketiga; (c) Bahwa kesaksian akan dipresentasikan dengan menggunakan peralatan elektronik atau peralatan khusus lainnya, termasuk penggunaan peralatan teknik yang memampukan penggantian gambar atau suara, penggunaan teknologi audio-visual, secara khusus penggunaan videoconferencing dan televisi dengan sirkuit-tertutup, dan penggunaan secara eksklusif media suara; (d) Bahwa nama samaran akan digunakan bagi korban, saksi atau orang lain yang berada dalam posisi bahaya atau riskan akibat kesaksian yang diberikan oleh saksi; atau (e) Bahwa Sidang [yang menangani perkara tersebut] menjalankan sebagian acara atau proses persidangannya secara in camera [hanya antara Sidang yang bersangkutan dengan orang yang dimintai kesaksiannya saja]. Aturan 88 Tindakan-Tindakan Khusus 1. Berdasarkan mosi dari Penuntut Umum atau pembela, atau berdasarkan permohonan saksi atau korban atau kuasa hukumnya, jika ada, atau berdasarkan mosinya sendiri, dan setelah melakukan konsultasi dengan Unit untuk Urusan Korban dan Saksi, sejauh dipandang tepat, sebuah Sidang dapat, dengan memperhatikan dan mencermati pandangan dari korban atau saksi, memerintahkan tindakan-tindakan khusus semisal, tetapi tidak hanya terbatas pada yang disebutkan itu, tindakan untuk memfasilitasi kesaksian dari korban atau saksi yang mengalami trauma anak, orang tua (lanjut usia) atau korban kekerasan seksual, dengan mengikuti ketentuan pasal 68, ayat 1 dan 2. Sidang harus berupaya mendapatkan, jika memungkinkan, persetujuan dari orang yang untuk dia-lah sebenarnya tindakan khusus tersebut diupayakan sebelum ia (Sidang) mengeluarkan perintah pengambilan tindakan-tindakan khusus termaksud. 2. Sebuah Sidang dapat mengadakan acara dengar pendapat berdasarkan mosi atau permintaan sesuai ketentuan sub-aturan 1 di atask, jika dipandang perlu secara in camera atau ex parte, untuk menentukan apakah perlu memerintahkan diambilnya tindakan-tindakan khusus, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, perintah bahwa seorang penasihat, wakil atau kuasa hukum, psikologi (psikiater) atau anggota keluarga diizinkan untuk hadir selama saksi atau korban memberikan kesaksiannya.
3. Untuk mosi-mosi atau permohonan-permohonan inter partes [antara para pihak yang terlibat] yang diajukan dengan mengikuti ketentuan aturan ini, maka ketentuan aturan 87, sub-aturan 2 (b) sampai (d), harus diterapkan secara mutatis mutandis [dengan disertai penyesuaian atau modifikasi yang perlu dan tepat]. 4. Mosi atau permohonan yang diajukan dengan mengikuti ketentuan aturan ini bisa diajukan dalam bentuk dokumen yang disegel, dan jika demikian maka dokumen tersebut dibiarkan tetap tersegel sampai diperintahkan sebaliknya (dibuka) oleh Sidang. Jika mosi atau permohonan inter partes diajukan dalam keadaan tersegel, maka tanggapan terhadapnya harus diajukan dalam bentuk dan keadaan tersegel pula. 5. Dengan mempertimbangkan bahwa kekerasan atau pelanggaran terhadap privasi dari seorang saksi atau korban dapat mendatangkan bahaya atau risiko bagi keamanannya, maka Sidang harus tanggap dan waspada dalam mengawasi cara-cara pengajuan pertanyaan kepada saksi atau korban demi menghindari berbagai pelecehan atau intimidasi, dengan memberikan perhatian khusus pada terancamnya atau penyerangan terhadap korban kejahatan berupa tindakan kekerasan seksual. Sub-bagian 3 Peran-serta Korban dalam Prosedur Acara Persidangan Aturan 89 Permohonan atau Permintaan bagi Dibolehkannya Peran-serta Korban dalam Prosedur Acara Persidangan 1. Untuk mempresentasikan pandangan dan keprihatinan mereka, para korban harus membuat permohonan tertulis kepada Panitera, yang kemudian akan meneruskan permohonan tersebut kepada Sidang yang relevan. Tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Statuta, khususnya ketentuan pasal 68, ayat 1, Panitera harus menyediakan salinan permohonan tersebut kepada Penuntut Umum dan pembela, yang akan diwajibkan untuk memberikan jawaban dalam batasan waktu tertentu untuk kemudian diproses oleh Sidang yang bersangkutan. Tunduk pada ketentuan sub-aturan 2 di bawah ini, Sidang kemudian akan menentuan secara spesifik soal proses persidangan dan cara yang tepat bagi dimungkinkannya peran serta tersebut, yang bisa saja mencakupi juga pembuatan pernyataan pembuka dan pernyataan penutup. 2. Sidang yang bersangkutan, berdasarkan inisiatifnya sendiri atau berdasarkan permohonan Penuntut Umum atau pembela, dapat menolak permohonan tersebut jika Sidang itu memandang bahwa orang tersebut bukanlah korban atau bahwa kriteria sebagaimana ditegaskan dalam pasal 68, ayat 3, malah tidak terpenuhi. Korban yang permohonannya telah ditolak boleh mengajukan permohonan baru lagi dalam atau proses persidangan tersebut berlangsung. 3. Permohonan yang dimaksudkan dalam aturan ini bisa juga dibuat atau diajukan oleh orang yang bertindak dengan persetujuan korban, atau orang yang bertindak atas nama korban, dalam hal korbannya adalah seorang anak atau, jika dipandang perlu, korbannya adalah seorang yang memiliki cacat atau ketidakmampuan dalam hal tertentu. 4. Jika terdapat banyak sekali permohonan, maka Sidang bisa memperlakukan permohonan-permohonan tersebut dengan suatu cara yang bisa menjamin efektivitas pelaksanaan proses persidangan dan bisa mengeluarkan satu keputusan menyangkut hal tersebut.
Aturan 90 Kuasa Hukum bagi Korban 1. Seorang korban harus bebas dalam memilih wakil atau kuasa hukumnya. 2. Jika terdapat banyak korban, maka Sidang dapat, demi menjamin efektivitas proses persidangan, meminta korban-korban tersebut atau sekelompok tertentu dari para korban tersebut, jika perlu dengan bantuan Kepaniteraan, untuk memilih seorang atau lebih dari satu kuasa hukum yang umum. Dalam memfasilitasi koordinasi terhadap pemwakilan korban di hadapan Sidang, Kepaniteraan bisa menyediakan bantuan, antara lain, dengan memberikan sejumlah atau daftar penasihat kepada korban sebagai rujukan, yang disusun oleh Kepaniteraan, atau mengusulkan satu atau lebih kuasa hukum yang umum. 3. Jika korban (para korban) tak mampu memilih kuasa hukum yang umum dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Sidang, maka Sidang yang bersangkutan bisa meminta Panitera untuk memilih satu atau lebih kuasa hukum yang umum bagi korban tersebut. 4. Sidang dan Kepaniteraan harus mengambil semua langkah yang masuk akal untuk menjamin bahwa dalam penyeleksian kuasa hukum yang umum itu, kepentingankepentingan yang berbeda-beda di antara para korban, khususnya sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 68, ayat 1, tetap terakomodir dan bahwa berbagai konflik kepentingan dapat dihindari. 5. Seorang korban atau sekelompok korban yang kurang mampu membayar kuasa hukum umum yang telah dipilih oleh Mahkamah baginya atau bagi mereka bisa mendapatkan bantuan dari Kepaniteraan, termasuk, sejauh dipandang tepat, bantuan keuangan. 6. Seorang kuasa hukum pihak korban harus memiliki kualifikasi sebagaimana ditegaskan dalam aturan 22, sub-aturan 1. Aturan 91 Peran-serta Kuasa Hukum dalam Prosedur Acara Persidangan 1. Sebuah Sidang bisa mengubah atau menyesuaikan sebuah pengaturan sebelumnya berdasarkan ketentuan aturan 89. 2. Seorang kuasa hukum pihak korban harus diwajibkan untuk menghadiri dan berpartisipasi dalam proses persidangan berkenaan dengan pengaturan yang ditetapkan Sidang dan berbagai penyesuaian atau modifikasi yang diberikan berdasarkan ketentuan pasal 89 dan 90. Ini harus mencakup peran-serta dalam acara dengar pendapat kecuali kalau, dalam situasi-situasi berkaitan dengan kasus tersebut, Sidang yang bersangkutan berpendapat bahwa intervensi wakil atau kuasa hukum sebaiknya dibatasi hanya untuk menuliskan pengamatan atau pengajuan usulan. Penuntut Umum dan pembela harus diizinkan untuk menjawab berbagai hasil pengamatan baik secara tertulis maupun lisan, yaitu pengamatan yang dilakukan oleh wakil atau kuasa hukum korban. 3. (a) Jika seorang kuasa hukum hadir dan berpartisipasi dalam kaitan dengan aturan ini, dan ingin mengajukan pertanyaan kepada saksi, termasuk melakukan pertanyaan dengan mengikuti ketentuan aturan 67 dan 68, maka seorang ahli atau terdakwa, kuasa hukum harus membuat permohonan kepada Sidang yang bersangkutan. Sidang tersebut bisa meminta kuasa hukum tersebut untuk menyediakan catatan tertulis yang berisikan pertanyaan-pertanyaan dan dalam hal tersebut pertanyaan harus dikomunikasikan kepada Penuntut Umum dan, sejauh dipandang tepat,
kepada pembela, yang harus diizinkan untu melakukan pengamatan dalam batas waktu yang telah ditetapkan oleh Sidang. (b) Sidang kemudian harus membuat pengaturan menyangkut permohonan, dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan proses persidangan, hak-hak terdakwa, kepentingan saksi, tuntutan akan kejujuran, pengadilan yang tidak memihak dan cepat, dan untuk kepentingan penerapan ketentuan pasal 68, ayat 3. Pengaturan tersebut bisa mencakupi berbagai arahan menyangkut cara dan perintah atas pertanyaan dan dihasilkannya dokumen-dokumen berkenaan dengan kekuasaan Sidang berdasarkan ketentuan pasal 64. Sidang bisa, jika ia memandang tepat dan sesuai, atas nama atau menggantikan kuasa hukum, mengajukan sendiri pertanyaan kepada saksi, ahli atau terdakwa. 4. Untuk acara dengar pendapat yang terbatas pada reparasi atau pemulihan sesuai ketentuan pasal 75, pembatasan atau perkecualian dalam hal mengajukan pertanyaan oleh kuasa hukum sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 2 di atas tidak berlaku. Dalam hal tersebut, kuasa hukum bisa, dengan mendapatkan izin dari Sidang yang bersangkutan, mengajukan pertanyaan kepada saksi, ahli dan orang yang bersangkutan dengan kasus yang sedang disidangkan itu. Aturan 92 Pemberitahuan kepada Korban dan Kuasa Hukumnya 1. Aturan tentang pemberitahuan kepada korban ini dan kepada kuasa hukum mereka harus berlaku untuk semua proses persidangan di hadapan Mahkamah, kecuali proses persidangan untuk Bagian 2 dari Statuta Roma. 2. Untuk mengizinkan permintaan korban agar bisa berpartisipasi dalam proses persidangan sesuai dengan ketentuan aturan 89, Mahkamah harus memberitahukan kepada korban tentang keputusan Penuntut Umum untuk tidak memulai dilakukannya penyelidikan atau tidak melakukan penuntutan mengikuti ketentuan pasal 53. Pemberitahuan semacam itu harus diberikan kepada korban atau kuasa hukum mereka yang sudah pernah berpartisipasi dalam proses persidangan atau, sejauh memungkinkan, kepada mereka yang telah berkomunikasi dengan Mahkamah berkenaan dengan situasi atau kasus yang sedang ditangani itu. Sidang bisa memerintahkan untuk mengambil tindakan atau pertimbangan dalam sub-aturan 8 di bawah ini jika Sidang bersangkutan menganggap hal tersebut tepat untuk dilakukan dalam situasi-situasi tertentu. 3. Untuk mengizinkan permintaan korban agar bisa berpartisipasi dalam proses persidangan sesuai dengan ketentuan aturan 89, Mahkamah harus memberitahukan kepada korban berkenaan dengan keputusannya untuk mengadakan acara dengar pendapat untuk menegaskan atau menguatkan tuduhan mengikuti ketentuan pasal 61. Pemberitahuan semacam itu harus diberikan kepada korban atau kuasa hukum mereka yang sudah pernah berpartisipasi dalam proses persidangan tersebut atau, sejauh memungkinkan, kepada mereka yang telah berkomunikasi dengan Mahkamah berkenaan dengan kasus yang sedang ditangani itu. 4. Ketika pemberitahuan soal partisipasi sebagaimana diatur dalam sub-aturan 2 dan 3 di atas telah diberikan, berbagai pemberitahuan lanjutan yang mengacu pada ketentuan dalam sub-aturan 5 dan 6 di bawah ini hanya diberikan kepada korban atau kuasa hukum mereka yang boleh atau diizinkan berpartisipasi dalam proses persidangan berkenaan dengan pengaturan yang telah dibuat oleh Sidang yang mengikuti ketentuan aturan 89 dan berbagai modifikasi atau penyesuaian setelah itu.
5. Dalam suatu cara yang sesuai dengan pengaturan yang dibuat di bawah ketentuan aturan 89, 90 dan 91, korban atau kuasa hukum mereka yang berpartisipasi dalam proses persidangan harus, berkenaan dengan semua proses persidangan tersebut, diberitahukan oleh Panitera pada waktu yang telah ditentukan menyangkut: (a) Catatan proses persidangan di hadapan Mahkamah, termasuk tanggal acara dengar pendapat dan berbagai penundaan setelahnya, dan tanggal penetapan keputusan; (b) Permohonan, pengajuan, mosi dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan permohonan, pengajuan, atau mosi tersebut. 6. Jika korban atau kuasa hukum telah berpartisipasi dalam tahap tertentu dari proses persidangan tersebut, Panitera harus memberitahukan kepada mereka sesegera mungkin menyangkut keputusan Mahkamah dalam proses-proses persidangan tersebut. 7. Pemberitahuan sebagaimana diacu dalam sub-aturan 5 dan 6 harus dalam bentuk tertulis atau, jika pemberitahuan tertulis tidak mungkin dilakukan, dalam bentuk lain yang tepat dan sesuai. Kepaniteraan harus menyimpan semua rekaman atau catatan dari semua pemberitahuan tersebut. Kalau dianggap perlu, Panitera bisa mengupayakan kerja sama dari Negara-Negara Pihak dalam kaitan dengan ketentuan pasal 93, ayat 1 (d) dan (l). 8. Untuk pemberitahuan sebagaimana diacu dalam sub-aturan 3 dan kalau tidak seperti yang diminta oleh Sidang, Panitera harus mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menerbitkan catatan-catatan proses persidangan tersebut dengan cara yang tepat. Dalam melakukan hal tersebut, Panitera bisa berupaya menjalin atau mendapatkan, berkenaan dengan Bagian 9 Statuta, kerja sama dari Negara-Negara Pihak yang relevan, dan mencari bantuan dari organisasi-organisasi antar-pemerintahan. Aturan 93 Pandangan dari Korban atau Kuasa Hukumnya Sebuah Sidang bisa meminta pandangan dari korban atau kuasa hukum mereka yang berpartisipasi dengan mengikuti ketentuan autran 89, 90, dan 91 tentang hal-hal, antara lain, dalam kaitan dengan masalah-masalah yang diacu dalam aturan 107, 109, 125, 128, 136, 139 dan 191. Sebagai tambahan, Sidang bisa meminta pandangan dari korban-korban lain, sejauh dianggap tepat dan sesuai. Sub-bagian 4 Reparasi (Tindakan Pemulihan) bagi Korban Aturan 94 Prosedur Berdasarkan pada Permintaan 1. Permohonan korban untuk mendapatkan pemulihan berdasarkan ketentuan pasal 75 harus dibuat secara tertulis dan didokumentasikan dalam arsip Panitera. Permohonan tersebut harus mengandung hal-hal khusus berikut ini: (a) Identitas dan alamat dari orang yang memberikan klaim atau permohonan tersebut; (b) Deskripsi tentang sakit, kerugian atau derita; (c) Lokasi dan tanggal terjadinya insiden atau peristiwa dan, sejauh memungkinkan, identitas orang (atau orang-orang) yang diyakini korban sebagai orang-orang yang bertanggung jawab terhadap rasa sakit, kerugian atau derita yang dialaminya itu;
(d) Deskripsi tentang restitusi atau ganti rugi atas aset, harta mili, atau hal-hal lain yang nyata dan dapat diindrai jika hal-hal tersebut memang dituntut dalam permohonan reparasi tersebut; (e) Klaim atau tuntutan untuk mendapatkan kompensasi; (f) Klaim untuk mendapatkan rehabilitasi dan bentuk-bentuk upaya hukum lainnya; (g) Sejauh memungkinkan, berbagai hal yang mendukung dokumentasi, termasuk nama dan alamat-alamat saksi. 2. Pada permulaan pengadilan dan tunduk pada ketentuan tindakan protektif, Mahkamah harus meminta Panitera untuk menyampaikan pemberitahuan tentang permohonan tersebut kepada orang (atau orang-orang) yang namanya dicantumkan dalam permohonan tersebut atau yang diidentifikasikan dalam tuduhan dan, sejauh memungkinkan, kepada orang-orang yang berminat atau Negara-Negara yang berminat. Semua pihak yang diberitahu tersebut harus memberikan kepada Panitera berbagai dokumen pernyataan yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 75, ayat 3. Aturan 95 Prosedur Mosi Mahkamah 1. Dalam hal di mana Mahkamah bermaksud untuk bertindak atas mosinya sendiri dengan mengikuti ketentuan pasal 75, ayat 1, maka Mahkamah harus meminta Panitera untuk menyampaikan pemberitahuan tentang maksudnya itu kepada orang (atau orang-orang) yang terhadap mereka-lah sebenarnya Mahkamah berikhtiar untuk membuat pembatasan, dan, sejauh memungkinkan, kepada korban, orang-orang yang berminat dan Negara-Negara yang berminat. Semua pihak yang diberitahu itu harus memberikan kepada Panitera berbagai dokumen pernyataan yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 75, ayat 3. 2. Jika, sebagai akibat pemberitahuan berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 di atas: (a) Korban membuat permohonan untuk mendapatkan reparasi, maka permohonan tersebut akan ditentukan seolah-olah permohonan tersebut telah diajukan berdasarkan ketentuan aturan 94; (b) Korban meminta supaya Mahkamah tidak membuat suatu perintah pemberian reparasi, maka Mahkamah tidak boleh membuat perintah yang bersifat individual berkenaan dengan korban tersebut. Aturan 96 Publikasi tentang Reparasi bagi Korban 1. Tanpa melanggar aturan-aturan lain yang menyangkut pemberitahuan tentang proses persidangan, Panitera harus, sejauh dapat dilakukan, memberitahukan soal reparasi kepada para korban atau kuasa hukum mereka dan orang (atau orang-orang) yang berminat. Panitera juga harus, dengan tetap memperhatikan kaitannya dengan informasi yang telah disediakan oleh Penuntut Umum, mengambil semua langkah-langkah atau tindakan yang perlu untuk mempublikasikan dengan cara yang tepat dan memadai hasil proses persidangan menyangkut reparasi yang dilakukan di hadapan Mahkamah, sejauh memungkinkan, kepada korban lain, orang-orang yang tertarik dan Negara-Negara yang tertarik. 2. Dalam mengambil langkah atau tindakan sebagaimana digambarkan dalam sub-aturan 1 di atas, Mahkamah bisa mengupayakan, dalam kaitan dengan Bagian 9 Statuta, kerja sama dengan Negara-Negara Pihak yang relevan, dan mengupayakan bantuan dari
organisasi-organisasi antar-pemerintahan untuk mempublikasikan, sejauh dan seluas mungkin dengan semua cara yang mungkin, hasil proses persidangan menyangkut reparasi yang dilakukan di hadapan Mahkamah. Aturan 97 Penilaian terhadap Reparasi 1. Dengan memperhitungkan cakupan dan jangkauan berbagai kerugian, kehilangan atau penderitaan, Mahkamah bisa memberikan reparasi secara individual atau, jika dipandang tepat oleh Mahkamah, secara kolektif atau kedua-duanya. 2. Berdasarkan permohonan korban atau kuasa hukum mereka, atau berdasarkan permohonan orang yang dinyatakan bersalah, atau berdasarkan mosinya sendiri, Mahkamah bisa menunjukkan ahli yang tepat untuk memberikan bantuan dalam menentukan cakupan, jangkauan kerugian, kehilangan dan penderitaan, demi kepentingan korban dan untuk mengusulkan berbagai pilihan menyangkut bentukbentuk dan modalitas (hal-hal khusus yang menentukan) yang tepat dan sesuai bagi pemberian reparasi. Mahkamah harus mengundang, sejauh dipandang tepat, korban atau kuasa hukum mereka, orang yang dinyatakan bersalah, termasuk juga orang-orang yang berminat dan Negara-Negara yang berminat, untuk melakukan pemeriksaan terhadap laporan-laporan para ahli. 3. Dalam semua hal, Mahkamah harus menghormati hak-hak korban dan orang yang dinyatakan bersalah. Aturan 98 Trust Fund 1. Pemberian reparasi secara individual bagi korban harus dilakukan secara langsung dari orang yang dinyatakan bersalah. 2. Mahkamah bisa memerintahkan bahwa pemberian reparasi dari seorang yang telah dinyatakan bersalah didepositokan bersama Trust Fund jika pada saat perintah itu dibuat tidak mungkin untuk memberikan tindakan reparasi tersebut secara langsung kepada masing-masing korban. Jika demikian, pemberian reparasi yang didepositokan dalam Trust Fund tersebut harus dipisahkan dari sumber-sumber lain di dalam Trust Fund itu sendiri dan harus diteruskan kepada masing-masing korban sesegera mungkin. 3. Mahkamah bisa memerintahkan bahwa pemberian reparasi dari orang yang dinyatakan bersalah dapat dilakukan melalui Trust Fund jika jumlah korban dan cakupan reparasinya, bentuk dan modalitasnya menjadikan pemberian reparasi secara kolektif tampak lebih tepat. 4. Setelah melakukan konsultasi dengan Negara-Negara yang berminat dan Trust Fund, Mahkamah bisa memerintahkan bahwa pemberian reparasi dapat dilakukan melalui Trust Fund kepada organisasi antar-pemerintahan, internasional atau nasional yang dipercayai oleh Trust Fund tersebut. 5. Sumber-sumber lain dari Trust Fund tersebut bisa digunakan untuk kepentingan korban dengan mengikuti ketentuan pasal 79. Aturan 99 Kerja Sama dan Tindakan-Tindakan Perlindungan untuk Tujuan Penebusan Berdasarkan Ketentuan Pasal 57, Ayat 3 (e), dan Pasal 75, Ayat 4
1. Sidang Pra-Peradilan, mengikuti ketentuan pasal 57, ayat 3 (e), atau Sidang Pengadilan itu sendiri, mengikuti ketentuan pasla 75, ayat 4, bisa, atas mosinya sendiri atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum atau atas permohonan korban atau kuasa hukum mereka yang telah membuat permohonan untuk mendapatkan reparasi atau yang telah mengajukan permintaan secara tertulis untuk melakukan hal seperti itu, menentukan apakah tindakan-tindakan harus diajukan atau tidak. 2. Pemberitahuan tidak diperlukan kecuali kalau Mahkamah menentuan, dalam situasisituasi khusus dari kasus tersebut, bahwa pemberitahuan dapat melemahkan efektivitas tindakan-tindakan yang diperlukan itu. Dalam kasus selanjutnya, Panitera harus membuat pemberitahuan tentang proses persidangan tersebut kepada orang yang terhadap dia-lah permintaan itu ditujukan dan sejauh memungkinkan, pemberitahuan itu juga diberikan kepada orang-orang yang berminat atau Negara-Negara yang berminat. 3. Jika sebuah perintah dibuat tanpa pemberitahua lebih dahulu, maka Sidang yang relevan harus meminta Panitera, sesegera dipandang bahwa hal itu konsisten dengan efektivitas tindakan yang diminta itu, untuk memberitahukan mereka yang terhadap mereka-lah permintaan itu dibuat dan, sejauh memungkinkan, juga memberitahukan orang-orang yang berminat atau Negara-Negara yang berminat dan mengundang mereka untuk melakukan observasi atau pemeriksaan apakah perintah tersebut harus dibatalkan ataukah malah dimodifikasi (diubah). 4. Mahkamah bisa membuat perintah menyangkut penentuan waktu dan pelaksanaan berbagai proses acara persidangan yang perlu untuk menentukan isu-isu atau masalahmasalah tersebut. Bagian IV Ketentuan-Ketentuan Lainnya Aturan 100 Tempat Berlangsungnya Acara Persidangan 1. Dalam kasus tertentu, jika Mahkamah berpandangan bahwa demi kepentingan keadilan pengadilan tidak dapat dilangsungkan di Negara di mana Mahkamah tersebut berada, maka Mahkamah boleh memutuskan untuk melangsungkan persidangan tersebut di suatu Negara lain. 2. Pengajuan atau rekomendasi tentang perubahan tempat di mana Mahkamah melangsungkan persidangan bisa diajukan kapan saja setelah dimulainya penyelidikan, entah oleh Penuntut Umum, oleh pembela ataupun oleh mayoritas hakim-hakim Mahkamah. Pengajuan atau rekomendasi semacam itu harus dialamatkan kepada Dewan Ketua. Pengajuan atau rekomendasi tersebut harus dibuat secara tertulis dan harus menjelaskan secara khusus di Negara mana Mahkamah akan melangsungkan persidangan terhadap kasus tersebut. Dewan Ketua harus yakin betul atas apa yang diajukan beserta argumentasi pengajuan itu dari Sidang yang relevan atas kasus yang sedang ditangani itu. 3. Dewan Ketua harus berkonsultasi dengan Negara yang hendak dijadikan Mahkamah sebagai tempat berlangsungnya persidangan oleh Makamah. Jika Negara tersebut setuju supaya Mahkamah bisa melangsungkan persidangan di Negara tersebut, maka keputusan untuk melangsungkan persidangan di Negara tersebut (dan bukannya di Negara asli di mana Mahkamah memang beralamat tetap) harus diputuskan oleh para hakim, dalam sidang umum, dengan ketentuan suara mayoritas dua pertiga.
Aturan 101 Batas Waktu 1. Dalam pembuatan berbagai perintah yang menetapkan batasan waktu berkaitan dengan pelaksanaan berbagai proses persidangan, Mahkamah harus mempertimbangkan kebutuhan untuk memfasilitasi proses persidangan yang jujur, cepat dan efisien, dengan tetap mengutamakan kepentingan khusus akan hak-hak pembela dan korban. 2. Dengan mempertimbangkan hak-hak terdakwa, khususnya berdasarkan ketentuan pasal 67, ayat (1) (c), semua pihak yang berpartisipasi dalam proses persidangan yang kepada mereka-lah semua perintah dialamatkan harus berupaya untuk bertindak secepat dan seefisien mungkin, dalam jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah. Aturan 102 Komunikasi-Komunikasi Lainnya Selain Melalui Tulisan Jika seorang tidak dapat, karena ketidakmampuan atau karena buta huruf, membuat surat permohonan, pengajuan, observasi atau komunikasi-komunikasi lainnya kepada Mahkamah, maka orang yang bersangkutan bisa membuat permohonan, pengajuan, observasi atau komunikasi tersebut dalam bentuk audio, video, atau media elektronik lainnya. Aturan 103 Amicus Curiae dan Bentuk-Bentuk Pengajuan Pertimbangan Lainnya 1. Pada berbagai tahap persidangan, sebuah Sidang bisa, jika dipandangnya bahwa perlu memproses suatu kasus secara tepat dan seakurat mungkin, mengundang atau memberikan kesempatan kepada suatu Negara, organisasi atau orang untuk mengajukan, dalam bentuk tertulis atau lisan, berbagai observasi tentang berbagai isu yang oleh Sidang yang bersangkutan dipandang tepat. 2. Penuntut Umum dan pembela harus mendapatkan kesempatan untuk memberikan respons terhadap observasi yang diajukan berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 di atas. 3. Observasi secara tertulis yang diajukan berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 di atas harus diserahkan kepada Panitera, dan Panitera-lah yang kemudian menyediakan salinannya bagi Penuntut Umum dan pembela. Sidang yang menangani kasus tersebut harus menentukan batas waktu yang tepat bagi pengajuan atau penyerahan observasi termaksud.
BAB 5 PENYELIDIKAN DAN PENUNTUTAN Bagian I Keputusan Penuntut Umum Berkenaan dengan Dimulainya Penyelidikan Berdasarkan Ketentuan Pasal 53, Ayat 1 dan 2 Aturan 104 Evaluasi terhadap Informasi oleh Penuntut Umum 1. Dalam melakukan tindakan yang mengikuti ketentuan pasal 53, ayat 1, Penuntut Umum harus, dalam melakukan evaluasi terhadap informasi yang disediakan kepadanya, menganalisis keseriusan informasi yang diterima tersebut. 2. Untuk maksus sub-aturan 1 di atas, Penuntut Umum bisa mencari informasi tambahan dari Negara-Negara, organisasi-organisasi dalam tubuh PBB, organisasi antarpemerintahan dan organisasi non-pemerintah, atau sumber-sumber lain yang dapat diandalkan yang menurut pandangannya sesuai dan tepat, dan bisa menerima kesaksian tertulis atau lisan di hadapan atau di tempat di mana Mahkamah berkantor tetap. Acara atau prosedur sebagaimana diatur di dalam aturan 47 harus berlaku bagi penerimaan kesaksian-kesaksian tersebut. Aturan 105 Pemberitahuan Keputusan Penuntut Umum untuk Tidak Memulai Penyelidikan 1. Ketika Penuntut Umum memutuskan untuk tidak memulai dilakukannya penyelidikan sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 53, ayat 1, maka Penuntut Umum tersebut tanpa menunda-nunda segera memberikan informasi secara tertulis kepada Negara atau Negara-Negara tentang hal yang mengacu pada keadaan atau situasi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14, atau kepada Dewan Keamanan PBB berkaitan dengan suatu situasi yang tercakup dalam ketentuan pasal 13, ayat (b). 2. Jika Penuntut Umum memutuskan untuk tidak mengajukan kepada Sidang PraPeradilan suatu permintaan untuk otorisasi atau kewenangan penyelidikan, akan aturan 49 berlaku. 3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas harus mengandung kesimpulan dari Penuntut Umum dan, berkaitan dengan pasal 68, ayat 1, harus memuat alasan dari kesimpulan tersebut. 4. Dalam hal Penuntut Umum memutuskan untuk tidak melakukan penyelidikan sematamata berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 1 (c), maka ia harus memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan langsung setelah diambilnya keputusan tersebut. 5. Pemberitahuan tersebut harus memuat kesimpulan dari Penuntut Umum itu dan alasanalasan diambilnya kesimpulan semacam itu. Aturan 106 Pemberitahuan Keputusan Penuntut Umum untuk Tidak Menuntut
1. Jika Penuntut Umum memutuskan bahwa tidak terdapat dasar yang cukup bagi dilakukannya penuntutan berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 2, maka ia harus segera memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan, bersama dengan Negara atau Negara-Negara yang mengalami situasi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 14, atau Dewan Keamanan PBB berkenaan dengan situasi yang dimaksudkan oleh pasal 13, ayat (b). 2. Pemberitahuan sebagaimana diacu dalam sub-aturan 1 di atas harus memuat kesimpulan dari Penuntut Umum dan, berkaitan dengan pasal 68, ayat 1, harus mengandung alasan-alasan diambilnya kesimpulan tersebut. Bagian II Prosedur Berdasarkan pada Ketentuan Pasal 53, Ayat 3 Aturan 107 Permintaan untuk Mengadakan Peninjauan Berdasarkan Ketentuan Pasal 53, Ayat 3 (a) 1. Permintaan berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 3, untuk meninjau sebuah keputusan oleh Penuntut Umum yang tidak untuk memulai dilakukannya penyelidikan atau tidak untuk menuntut harus dibuat secara tertulis, dan didukung dengan alasan-alasan, dalam jangka waktu 90 hari menyusul pemberitahuan yang diberikan dengan mengikuti ketentuan aturan 105 atau 106. 2. Sidang Pra-Peradilan bisa meminta Penuntut Umum untuk menyerahkan informasi atau dokumen yang dimiliki Penuntut Umum, atau minimal ringkasannya, yang oleh Sidang yang bersangkutan dipandang perlu untuk ditinjau atau diperiksa. 3. Sidang Pra-Peradilan harus mengambil langkah-langkah semacam itu sejauh dianggap perlu berdasarkan ketentuan pasal 54, 72, dan 93 untuk melindungi informasi dan dokumen-dokumen yang dimaksudkan dalam sub-aturan 2 di atas dan, berdasarkan ketentuan pasal 68, ayat 5, untuk melindungi keselamatan saksi dan korban dan anggota keluarga mereka. 4. Ketika sebuah Negara atau Dewan Keamanan PBB membuat permintaan seperti dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas, Sidang Pra-Peradilan bisa meminta dilakukan observasi lebih lanjut oleh Negara atau Dewan Keamanan PBB itu. 5. Jika persoalan menyangkut jurisdiksi atau dapat diterimanya suatu kasus diangkat menjadi pembicaraan di tubuh Mahkamah, maka aturan 59 kemudian diberlakukan. Aturan 108 Keputusan Sidang Pra-Peradilan Berdasarkan Ketentuan Pasal 53, Ayat 3 (a) 1. Suatu keputusan Sidang Pra-Peradilan berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 3 (a), harus disepakati oleh mayoritas hakim-hakimnya dan harus memuat alasan-alasan diambilnya keputusan tersebut. Selain itu, keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terlibat di dalam peninjauan atau pemeriksaan tersebut. 2. Jika Sidang Pra-Peradilan meminta Penuntut Umum untuk melakukan peninjauan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, teradap keputusannya bukan untuk memulai dilakukannya penyelidikan ataupun untuk melakukan penuntutan, maka Penuntut Umum harus mempertimbangkan kembali keputusan tersebut sesegera mungkin. 3. Ketika Penuntut Umum telah mengambil keputusan final, maka ia harus memberitahukan secara tertulis tentang hal itu kepada Sidang Pra-Peradilan.
Pemberitahuan ini harus memuat kesimpulan dari Penuntut Umum yang bersangkutan dan alasan-alasan dibuatnya kesimpulan tersebut. Keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terlibat atau berpartisipasi dalam peninjauan tersebut. Aturan 109 Peninjauan oleh Sidang Pra-Peradilan Berdasarkan Ketentuan Pasal 53, Ayat 3 (b) 1. Dalam waktu 180 hari mengikuti pemberitahuan yang diberikan berdasarkan ketentuan aturan 105 atau 106, Sidang Pra-Peradilan bisa memutuskan atas inisiatifnya sendiri untuk meninjau keputusan Penuntut Umum yang telah diambil semata-mata berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 1 (c), atau 2 (c). Sidang Pra-Peradilan harus menginformasikan kepada Penuntut Umum soal maksudnya (Sidang Pra-Peradilan) untuk meninjau keputusannya itu dan harus menetapkan batasan waktu yang bisa digunakan Penuntut Umum untuk mengajukan hasil observasinya dan materi atau bahan lainnya. 2. Jika ternyata sebuah permintaan telah diajukan kepada Sidang Pra-Peradilan oleh sebuah Negara atau oleh Dewan Keamanan PBB, maka baik Negara maupun Dewan Keamanan PBB itu juga harus diinformasikan tentang peninjauan dan bisa mengajukan pendapat dalam kaitan dengan aturan 107. Aturan 110 Keputusan oleh Sidang Pra-Peradilan Berdasarkan Ketentuan Pasal 53, Ayat 3 (b) 1. Sebuah keputusan oleh Sidang Pra-Peradilan untuk mengkonfirmasikan atau tidak untuk mengkonfirmasikan keputusan yang telah dibuat oleh Penuntut Umum sematamata berdasarkan ketentuan pasal 53, ayat 1 (c) atau 2 (c), harus dimufakatkan dengan suara mayoritas hakim-hakimnya dan harus memuat alasan diambilnya keputusan tersebut. Keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terlibat atau berpartisipasi dalam peninjauan tersebut. 2. Ketika Sidang Pra-Peradilan tidak mengkonfirmasikan keputusan yang dibuat oleh Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan sub-aturan 1 di atas, maka Penuntut Umum tersebut harus melakukan penyelidikan atau penuntutan. Bagian III Pengumpulan Bukti Aturan 111 Perekaman (Pencatatan) Tanya Jawab secara Umum 1. Pencatatan harus dibuat untuk pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh siapa pun yang dimintai pendapat atau komentar berkaitan dengan suatu penyelidikan atau dengan proses persidangan. Catatan tersebut harus ditandatangani oleh orang yang mencatat dan memberikan pertanyaan dan oleh orang yang ditanyai dan penasihatnya, jika ada, dan Penuntut Umum atau hakim yang hadir jika dipandang perlu. Catatan tersebut harus memuat tanggal, waktu dan tempat pencatatan, dan semua orang yang hadir selama berlangsungnya tanya jawab tersebut. Harus juga dicatat jika seseorang belum menandatangani catatan tersebut, termasuk alasan atau sebab-sebabnya.
2. Ketika Penuntut Umum atau pejabat yang berwenang di tingkat nasional sebuah Negara menanyai seseorang, hal itu harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pasal 55. Ketika orang tersebut diinformasikan tentang haknya sebagaimana termaktub dalam pasal 55, ayat 2, fakta bahwa informasi tersebut telah diberikan kepadanya harus dicatat dalam catatan atau rekaman proses. Aturan 112 Perekaman (Pencatatan) Tanya Jawab dalam Kasus-Kasus Khusus 1. Kapan pun Penuntut Umum memeriksa atau menanyai seseorang yang terhadapnya-lah pasal 55, ayat 2, berlaku, atau yang untuk dialah surat perintah penahanan atau surat panggilan untuk menghadap telah dikeluarkan sesuai ketentuan pasal 58, ayat 7, maka proses tanya jawab harus dalam bentuk rekaman audio atau rekaman video, dengan mengikuti prosedur berikut ini: (a) Orang yang ditanyai harus diinformasikan, dalam bahasa yang ia pahami dan ia kuasai dalam pembicaraan, bahwa tanya jawab tersebut akan dilangsungkan dalam bentuk rekaman audio atau rekaman video, dan bahwa orang yang dimaksud boleh menolak jika ia menginginkan demikian. Fakta bahwa informasi ini telah disampaikan dan respon yang diberikan oleh orang yang dimaksud harus dicatat dalam catatan proses tersebut. Orang tersebut boleh, sebelum menjawab, berbicara secara pribadi dengan penasihatnya, jika ada. Jika orang yang ditanyai itu menolak untuk direkam dengan media audio atau video, maka prosedur dalam aturan 111lah yang harus diikuti; (b) Penolakan hak untuk ditanyai dengan dihadiri atau disaksikan oleh penasihat hukum harus dicatat secara tertulis dan, jika mungkin, direkam baik dengan media audio maupun media video; (c) Jika terjadi interupsi pada saat berlangsungnya acara tanya jawab, maka fakta bahwa telah terjadi interupsi harus dicatat sebelum perekaman dengan media audio atau video berakhir termasuk juga waktu dimulainya kembali acara tanya jawab tersebut; (d) Pada saat dilakukan penyimpulan terhadap hasil tanya jawab tersebut, orang yang ditanyai itu harus diberikan kesempatan untuk mengklarifikasi segala sesuatu yang telah ia katakan dan menambahkan hal-hal yang dianggapnya perlu sepanjang ia mau menambahkan. Waktu dilakukannya penyimpulan terhadap hasil tanya jawab tersebut harus dicatat juga; (e) Hasil rekaman dengan pita kaset harus ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan sesegera mungkin setelah pengambilan kesimpulan terhadap hasil tanya jawab dan salinan transkripsi tersebut diberikan kepada orang yang ditanyai itu bersama dengan penggandaan atau rekaman dari hasil rekaman dengan pita kaset tadi atau, jika telah digunakan banyak peralatan rekaman yang sejenis, salah satu dari hasil rekaman asli dari pita kaset tersebut; (f) Pita kaset rekaman asli atau salah satu dari pita kaset rekaman [jika terdapat banyak seperti dimaksud dalam sub-aturan 1 (e) di atas], harus disegel dengan disaksikan oleh orang yang ditanyai itu dan penasihat hukumnya, jika ada, dengan ditandatangani oleh Penuntut Umum dan orang yang ditanyai itu dan penasihatnya, jika ada. 2. Penuntut Umum harus melakukan setiap upaya yang masuk akal atau beralasan untuk merekam atau mencatat proses tanya jawab dalam kaitan dengan ketentuan sub-aturan 1 di atas. Sebagai pengecualian, sesorang boleh ditanyai tanpa proses tanya jawab yang
direkam baik dengan media audio maupun dengan media video jika ada situasi atau keadaan yang mecegah atau menghalangi dilakukannya perekaman seperti itu. Dalam hal ini, alasan-alasan untuk tidak merekam tanya jawab tersebut harus dinyatakan secara tertulis dan dengan demikian prosedur dalam aturan 111-lah yang diikuti. 3. Jika, mengikuti ketentuan sub-aturan 1 (a) atau 2, acara tanya jawabnya tidak dalam bentuk rekaman baik audio maupun video, maka orang yang ditanyai itu harus diberikan salinan dari hasil pencatatan pernyataan atau jawabannya. 4. Penuntut Umum bisa memilih untuk mengikuti prosedur dalam aturan ini jika ternyata menanyai orang lain selain yang disebutkan dalam sub-aturan 1, khususnya jika penggunaan prosedur semacam ini bisa membantu mengurangi efek trauma yang dialami korban kekerasan seksual atau kekerasan berbias gender, yang dialami korban anak atau orang yang cacat [atau memiliki ketidakmpuan tertentu terutama secara fisik] dalam hal penyediaan bukti-bukti yang relevan. Dalam hal ini, Penuntut Umum perlu membuat permohonan kepada Sidang yang relevan. 5. Sidang Pra-Peradilan bisa, dengan mengikuti ketentuan pasal 56, ayat 2, memerintahkan bahwa prosedur dalam aturan ini diterapkan untuk semua acara tanya jawab terhadap siapa pun. Aturan 113 Pengumpulan Bersangkutan
Informasi
Berkaitan
dengan
Perihal
Kesehatan
Orang
yang
1. Sidang Pra-Peradilan bisa, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum, maupun atas permohonan orang yang tertuduh/terdakwa atau penasihat hukumnya, memerintahkan bahwa orang yang memiliki hak sebagaimana digariskan dalam pasal 55, ayat 2, diberikan pemeriksaan secara medis, psikologis ataupun psikiatrik. Dalam melakukan tugasnya secara sungguh-sungguh, Sidang Pra-Peradilan harus mempertimbangkan hakikat dan tujuan dari pemeriksaan seperti itu dan apakah orang yang bersangkutan memang menyetujui pemeriksaan tersebut. 2. Sidang Pra-Peradilan harus menunjuk satu atau lebih ahli dari daftar para ahli yang dibuat dan ditunjukkan oleh Panitera, atau seorang ahli yang ditunjukkan oleh Sidang Pra-Peradilan atas dasar permintaan salah satu pihak. Aturan 114 Peluang Melakukan Penyelidikan Khusus-dan-Tertentu Berdasarkan Ketentuan Pasal 56 1. Setelah dan berdasarkan nasihat yang diberikan Penuntut Umum berkenaan dengan pasal 56, ayat 1 (a), Sidan Pra-Peradilan harus segera, dan tak boleh ditunda, melakukan konsultasi dengan Penuntut Umum dan, tunduk pada ketentuan pasal 56, ayat 1 (c), berkonsultasi dengan orang yang telah ditangkap atau ditahan atau yang telah dibawa ke hadapan Mahkamah mengikuti panggilan serta dengan penasihat hukumnya, supaya menentukan langkah-langkah yang akan diambil dan modalitas atau hal-hal khusus yang diperlukan dalam penerapannya, yang bisa mencakup juga tindakan untuk menjamin bahwa hak untuk berkomunikasi berdasarkan pasal 67, ayat 1 (b), dilindungi. 2. Keputusan Sidang Pra-Peradilan untuk mengambil tindakan-tindakan sesuai pasal 56, ayat 3, harus dilakukan dengan suara mayoritas dari para hakim Sidang yang bersangkutan setelah konsultasi dengan Penuntut Umum. Selama konsultasi
berlangsung, Penuntut Umum bisa menasihati Sidang Pra-Peradilan itu bahwa langkahlangkah atau tindakan yang dimaksudkan itu dapat membahayakan atau mengacaukan pelaksanaan penyelidikan. Aturan 115 Pengumpulan Bukti-Bukti di Wilayah Sebuah Negara Pihak Berdasarkan Ketentuan Pasal 57, Ayat 3 (d) 1. Jika Penuntut Umum mempertimbangkan bahwa pasal 57, ayat 3 (d), berlaku, maka Penuntut Umum mengajukan permintaan tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan untuk mendapatkan otorisasi atau kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu dalam wilayah suatu Negara Pihak yang kasusnya sedang ditangani itu. Setelah permintaan tersebut diajukan, Sidang Pra-Peradilan harus, kapan saja sepanjang memungkinkan, menginformasikan dan meminta pandangan dari Negara Pihak yang dimaksud. 2. Ketika sampai pada tahap apakah permintaan tersebut telah diproses dengan baik, maka Sidang Pra-Peradilan tersebut harus mempertimbangkan berbagai pandangan yang diekspresikan oleh Negara Pihak yang dimaksud. Sidang Pra-Peradilan bisa, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum atau Negara Pihak yang dimaksud, memutuskan untuk melakukan acara dengar pendapat. 3. Pemberian otorisasi atau kewenangan berdasarkan pasal 57, ayat 3 (d), harus dikeluarkan dalam bentuk sebuah perintah dan harus menyatakan alasan-alasannya, berdasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam ayat tersebut. Perintah tersebut bisa menjelaskan secara khusus prosedur yang harus diikuti dalam mengumpulkan berbagai bukti yang diselidiki tersebut. Aturan 116 Pengumpulan Bukti-Bukti atas Permintaan Pembela Berdasarkan Ketentuan Pasal 57, Ayat 3 (b) 1. Sidang Pra-Peradilan harus mengeluarkan sebuah perintah atau mengupayakan kerja sama berdasarkan pasal 57, ayat 3 (b), jika hal itu dipandang dapat memuaskan, antara lain: (a) Bahwa perintah semacam itu akan memfasilitasi pengumpulan bukti yang bisa bersifat materiil bagi pelaksanaan sebaik-baiknya masalah yang sedang diproses secara hukum itu, atau bagi persiapan sebaik-baiknya dari pembela seseorang; dan (b) Dalam hal adanya kerja sama berdasarkan ketentuan Bagian 9 Statuta, bahwa informasi yang memadai yang sesuai dengan ketentuan pasal 96, ayat 2, telah disediakan. 2. Sebelum pengambilan keputusan apakah akan mengeluarkan sebuah perintah atau mengupayakan kerja sama berdasarkan ketentuan pasal 57, ayat 3 (b), Sidang PraPeradilan bisa meminta pandangan dari Penuntut Umum. Bagian IV Prosedur Berkaitan dengan Perihal Pembatasan dan Pencabutan Kebebasan Aturan 117 Perihal Penahanan di Negara di Mana Tertuduh untuk Sementara Ditahan
1. Mahkamah harus mengambil tindakan atau langkah-langkah untuk menjamin bahwa Mahkamah telah diberitahukan tentang penahanan seseorang sebagai respon terhadap permintaan Mahkamah itu sendiri berdasarkan ketentuan pasal 89 atau 92. Jika sudah diberitahu, Mahkamah harus menjamin bahwa orang tersebut menerima salinan surat perintah penangkapan/penahanan yang dikeluarkan oleh Sidang Pra-Peradilan berdasarkan ketentuan pasal 58 dan berbagai ketentuan yang relevan dalam Statuta. Dokumen tersebut harus disediakan dalam bahasa yang dipahami sepenuhnya dan dipakai sebagai bahasa wicara oleh orang yang bersangkutan. 2. Kapan saja setelah penangkapan, orang yang bersangkutan bisa mengajukan permohonan kepada Sidang Pra-Peradilan untuk mendapatkan penasihat hukum yang akan membantunya selama berlangsungnya acara persidangan di hadapan Mahkamah dan Sidan Pra-Peradilan harus mengambil keputusan terhadap permintaan tersebut. 3. Protes terhadap perintah penahanan, jika perintah tersebut dikeluarkan tidak dengan cara sebagaimana mustinya seperti yang telah ditetapkan dalam pasal 58, ayat 1 (a) dan (b), harus disampaikan secara tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan. Surat protes tersebut harus memaparkan hal-hal yang menjadi landasan atau alasan protes tersebut. Setelah mendapatkan pandangan atau tanggapan dari Penuntut Umum, Sidang PraPeradilan harus membuat keputusan terhadap hal tersebut segera tanpa penundaan dengan alasan apa pun. 4. Jika pejabat yang berwenang dalam Negara di mana tertuduh untuk sementara ditahan memberitahukan Sidang Pra-Peradilan bahwa permintaan pembebasan telah diajukan oleh orang yang ditahan, sesuai dengan ketentuan pasal 59, ayat 5, maka Sidang PraPeradilan tersebut harus memberikan rekomendasinya dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh Negara tempat tertuduh ditahan sementara. 5. Ketika Sidang Pra-Peradilan telah diberitahukan bahwa orang yang ditahan tersebut telah dilepaskan untuk sementara oleh pejabat yang berwenang di Negara tempat tertuduh tersebut telah ditahan untuk sementara, maka Sidang Pra-Peradilan harus memberitahukan Negara tempat penahanan sementara tersebut tentang bagaimana dan kapan Sidang Pra-Peradilan akan menerima lapran periodik tentang status pembebasan sementara tersebut. Aturan 118 Perihal Penahanan Pra-Peradilan di Tempat Mahkamah Berdiri 1. Jika orang yang diserahkan kepada Mahkamah mengajukan permintaan awal untu mendapatkan pembebasan sementara yang berarti menunda peradilan, entah berdasarkan kehadiran pertama kali dalam kaitan dengan aturan 121 atau kehadiran setelahnya, maka Sidang Pra-Peradilan harus memutuskan berdasarkan permohonan tersebut, tanpa penundaan dengan alasan apa pun, setelah meminta pandangan atau pendapat dari Penuntut Umum. 2. Sidang Pra-Peradilan harus meninjau keputusannya tentang pembebasan atau penahanan terhadap seseorang dalam kaitan dengan pasal 60, ayat 3, sekurangkurangnya setiap 120 hari sekali dan bisa melakukan hal itu kapan pun berdasarkan permintaan orang yang ditahan atau dibebaskan tersebut atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum. 3. Setelah kehadiran pertama kali di hadapan Sidang, permintaan pembebasan sementara harus dibuat secara tertulis. Penuntut Umum harus diberikan pemberitahuan resmi tentang permintaan tersebut. Sidang Pra-Peradilan harus membuat keputusan setelah menerima pendapat secara tertulis dari Penuntut Umum dan orang yang ditahan
tersebut. Sidang Pra-Peradilan bisa memutuskan untuk mengadakan acara dengar pendapat, atas permintaan Penuntut Umum atau orang yang ditahan itu atau atas inisiatifnya sendiri. Acara dengar pendapat seperti itu harus dilakukan sekurangkurangnya setahun sekali. Aturan 119 Pembebasan Bersyarat 1. Sidang Pra-Peradilan dapat menetapkan satu atau lebih syarat yang membatasi kebebasan, yang mencakupi hal-hal berikut: (a) Orang tersebut tidak boleh mengadakan perjalanan melewati batas-batas wilayah yang telah ditetapkan oleh Sidang Pra-Peradilan tanpa persetujuan yang dinyatakan secara eksplisit dari Sidang yang bersangkutan; (b) Orang tersebut tidak boleh pergi ke tempat-tempat tertentu atau berkumpul dengan orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan oleh Sidang Pra-Peradilan itu; (c) Orang tersebut tidak boleh mengontak korban ataupun saksi baik secara lansung maupun tidak langsung; (d) Orang tersebut tidak boleh bergabung dalam kegiatan-kegiatan profesional tertentu; (e) Orang tersebut harus menetap di satu alamat tertentu sebagaimana dinyatakan oleh Sidang Pra-Peradilan; (f) Orang tersebut memberikan respon ketika dipanggil oleh pejabat berwenang atau orang yang berkompeten yang telah ditetapkan oleh Sidang Pra-Peradilan; (g) Orang tersebut harus menyediakan dana jaminan yang jumlah dan jadwal atau cara pembayarannya harus ditentukan oleh Sidang Pra-Peradilan yang bersangkutan; (h) Orang tersebut harus memberikan Panitera semua dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitasnya, khususnya paspor. 2. Atas permintaan orang tersebut atau Penuntut Umum atau atas inisiatifnya sendiri, Sidang Pra-Peradilan bisa, kapan saja, memutuskan untuk mengamandemen persyaratan-persyaratan yang dinyatakan dalam sub-aturan 1 di atas. 3. Sebelum menetapkan atau mengamandemen berbagai syarat yang membatasi kebebasan, Sidang Pra-Peradilan harus meminta pandangan atau pendapat dari Penuntut Umum, orang yang bersangkutan, dan berbagai Negara yang relevan dan para korban kejahatan yang sedang diproses tersebut yang telah melakukan komunikasi dengan Mahkamah tentang kasus tersebut dan orang yang dianggap oleh Sidang sebagai pihak yang mungkin mendapat risiko atas dibebaskannya seseorang yang dituduh itu atau sebagai akibat ditetapkannya suatu syarat. 4. Jika Sidang Pra-Peradilan merasa yakin bahwa orang yang dimaksud telah gagal untuk mematuhi satu atau lebih kewajiban yang telah ditetapkan itu, maka Sidang tersebut dapat, berdasarkan hal yang diyakininya itu, atas permintaan Penuntut Umum atau berdasarkan inisiatifnya sendiri, mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap orang tersebut. 5. Ketika Sidang Pra-Peradilan mengeluarkan surat panggilan untuk hadir di hadapan Mahkamah mengikuti ketentuan pasal 58, ayat 7, dan bermaksud untuk menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan, maka Sidang tersebut harus menemukan ketentuan-ketentuan yang relevan dalam hukum nasional suatu Negara yang menerima panggilan tersebut. Dalam suatu cara yang sesuai dengan hukum nasional Negara yang bersangkutan yang telah menerima panggilan tersebut, Sidang Pra-Peradilan harus melangsungkan proses penanganan kasus tersebut sesuai dengan ketentuan sub-aturan 1, 2, dan 3 di atas. Jika Sidang Pra-Peradilan menerima informasi bahwa orang yang
dimaksud telah gagal mematuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan itu, maka Sidang harus melangsungkan penanganan kasus tersebut dengan mengikuti ketentuan subaturan 4. Aturan 120 Alat-Alat Pengekangan Alat-alat penahanan atau pembatasan yang personal tidak boleh digunakan kecuali untuk mencegah orang yang ditahan melarikan diri, untuk pengamanan terhadap orang yang berada dalam tahanan Mahkamah dan tempat lain atau untuk berbagai alasan keamanan lainnya, dan harus dilepaskan ketika orang yang bersangkutan dihadirkan di hadapan sebuah Sidang [yang menangani atau memproses kasusnya itu]. Bagian V Prosedur Acara Berkenaan dengan Konfirmasi Tuduhan Berdasarkan Ketentuan Pasal 61 Aturan 121 Prosedur Sebelum Acara Dengar-Konfirmasi 1. Seseorang yang menjadi tunduk pada surat perintah penangkapan atau panggilan berdasarkan ketentuan pasal 58 harus hadir di hadapan Sidang Pra-Peradilan, dengan dihadiri oleh Penuntut Umum, langsung setelah sampai di tempat berdirinya Mahkamah. Dengan tunduk atau mengikuti ketentuan pasal 60 dan 61, orang tersebut harus mendapatkan haknya sebagaimana diatur dalam pasal 67. Pada kehadirannya yang pertama tersebut, Sidang Pra-Peradilan harus menentukan tanggal untuk melaksanakan niatnya menyelenggarakan acara dengar konfirmasi menyangkut tuduhan dalam kasus tersebut. Sidang yang bersangkutan harus menjamin bahwa penetapan tanggal atau waktu tersebut, dan berbagai penundaan sesuai ketentuan subaturan 7 di bawah ini, harus diketahui publik. 2. Dalam kaitan dengan pasal 61, ayat 3, Sidang Pra-Peradilan harus mengambil keputusan-keputusan yang perlu berkenaan dengan pengungkapan antara Penuntut Umum dan orang yang untuk dialah surat perintah penahanan atau panggilan untuk hadir di hadapan Sidang yang bersangkutan telah dikeluarkan. Selama pengungkapan: (a) Orang yang bersangkutan bisa dibantu atau diwakili oleh penasihat yang dipilihnya sendiri atau diwakili oleh penasihat yang telah ditugaskan untuk mendampinginya; (b) Sidang Pra-Peradilan harus menyelenggarakan konferensi atau sidang untuk menentukan status perkara untuk menjamin bahwa pengungkapan dilakukan dalam kondisi yang memuaskan. Untuk masing-masing kasus, seorang hakim dari Sidang Pra-Peradilan tersebut harus ditunjuk untuk mengorganisir konferensi atau sidang untuk menentukan status perkara semacam itu, atas mosinya sendiri, atau atas permintaan Penuntut Umum atau orang yang bersangkutan [tertuduh]; (c) Semua bukti yang diungkapkan di antara Penuntut Umum dan orang yang bersangkutan untuk tujuan dengar-konfirmasi harus dikomunikasikan kepada Sidang Pra-Peradilan tersebut. 3. Penuntut Umum harus menyediakan bagi Sidang Pra-Peradilan dan orang yang bersangkutan [tertuduh], antara tidak lebih dari 30 hari sebelum tanggal dilangsungkannya acara dengar-konfirmasi, deskripsi yang detail dari tuduhan yang
dikemukakan itu bersama dengan daftar bukti yang hendak dipresentasikannya pada acara dengar-konfirmasi tersebut. 4. Jika Penuntut Umum bermaksud untuk mengamandemen atau mengubah tuduhan dengan mengikuti ketentuan pasal 61, ayat 4, maka ia harus memberitahukan Sidang Pra-Peradilan dan orang yang dituduh itu tidak lebih lama dari 15 hari sebelum tanggal dilangsungkannya acara dengar pendapat tentang tuduhan yang diamandemen tersebut bersama dengan sebuah daftar bukti yang dimaksudkan oleh Penuntut Umum untuk mendukung tuduhan pada acara dengar pendapat tersebut. 5. Jika Penuntut Umum bermaksud mempresentasikan bukti baru selama acara dengar pendapat tersebut, maka ia harus menyediakan bagi Sidang Pra-Peradilan dan orang yang dituduh itu dengan sebuah daftar bukti-bukti tersebut dalam tempo tidak lebih dari 15 hari sebelum tanggal dilangsungkannya acara dengar pendapat itu. 6. Jika orang yang dituduh itu bermaksud untuk menghadirkan bukti berdasarkan ketentuan pasal 61, ayat 6, maka ia harus menyediakan sebuah daftar dari bukti tersebut kepada Sidang Pra-Peradilan dalam jangka waktu tidak lebih dari 15 hari sebelum tanggal dilangsungkannya acara dengar pendapat itu. Sidang Pra-Peradilan harus meneruskan daftar tersebut kepada Penuntut Umum tanpa penundaan. Orang yang dituduh itu harus menyediakan sebuah daftar bukti yang hendak ia presentasikan sebagai respon terhadap tuduhan yang telah diamandemen tersebut atau sebuah daftar baru dari bukti-bukti yang dihadirkan oleh Penuntut Umum. 7. Penuntut Umum atau orang yang dituduh itu bisa meminta Sidang Pra-Peradilan untuk menunda tanggal dilangsungkannya acara dengar konfirmasi. Sidang Pra-Peradilan juga bisa, atas mosinya sendiri, memutuskan untuk menunda acara dengar pendapat tersebut. 8. Sidang Pra-Peradilan tidak boleh menerima dan mempertimbangkan tuduhan dan bukti yang dihadirkan setelah batas waktu yang telah ditetapkan, atau berbagai kelanjutan setelah itu, telah berlalu. 9. Penuntut Umum dan orang yang dituduh itu bisa mengajukan pertimbangan secara tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan, terhadap hal-hal berkaitan dengan fakta dan hukumnya, yang mencakupi juga alasan penghapusan tanggung jawab pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 31, ayat 1, tidak lebih dari tiga hari sebelum tanggal dilangsungkannya acara dengar pendapat itu. Salinan dari pertimbanganpertimbangan tersebut harus diserahkan dengan segera kepada Penuntut Umum atau orang yang dituduh itu, jika kasusnya itu diproses. 10. Panitera harus membuat dan mengupayakan pencatatan atau perekaman yang akurat dan lengkap dari semua proses persidangan di hadapan Sidang Pra-Peradilan tersebut, termasuk semua dokumen yang diserahkan kepada Sidang tersebut mengikuti ketentuan aturan ini. Dengan tetap tunduk pada berbagai pembatasan menyangkut kerahasiaan dan perlindungan informasi keamanan nasional, rekaman atau catatan tersebut dapat dimintai oleh Penuntut, orang yang dituduh, korban atau kuasa hukum mereka yang terlibat di dalam proses persidangan sesuai dengan ketentuan aturan 89, 90 dan 91. Aturan 122 Prosedur Acara pada Saat Acara Dengar-Konfirmasi Berlangsung dengan Dihadiri oleh Pihak Tertuduh 1. Hakim Ketua dari Sidang Pra-Peradilan harus meminta petugas Kepaniteraan yang membantu Sidang tersebut untuk membacakan tuduhan sebagaimana dinyatakan oleh
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Penuntut Umum. Hakim Ketua harus memutuskan bagaimana acara dengar pendapat dilaksanakan dan, khususnya, bisa membuat aturan dan menentukan syarat-syarat yang dengan itu ia memaksudkan bagaimana bukti yang terkandung di dalam rekaman atau catatan proses persidangan dihadirkan. Jika ada pertanyaan atau sanggahan [protes] berkenaan dengan jurisdiksi atau dapat diterimanya sebuah perkara, maka aturan 58 berlaku. Sebelum mendengarkan hal-hal yang memang pantas dipertimbangkan, Hakim Ketua dari Sidang Pra-Peradilan tersebut harus menanyai Penuntut Umum dan orang yang dituduh itu apakah mereka berniat mengajukan keberatan atau membuat komentar berkenaan dengan isu yang berkaitan dengan pelaksanaan proses persidangan secara semestinya sebelum dilakukannya acara dengar konfirmasi. Tidak ada hal lain selain itu yang dapat menjadi dasar bagi dilakukannya keberatan atau komentar yang dibuat berdasarkan ketentuan sub-aturan 3 di atas atau dibuat lagi dalam acara konfirmasi atau selama proses persidangan berlangsung. Jika keberatan atau komentar sebagaimana dinyatakan dalam sub-aturan 3 di atas diajukan, maka Hakim Ketua dari Sidang Pra-Peradilan tersebut harus mengundang para pihak yang dimaksudkan dalam sub-aturan 3 tersebut untuk mempresentasikan argumen mereka, sesuai dengan aturan yang telah ia buat. Orang yang dituduh itu memiliki hak untuk menjawab. Jika keberatan yang diajukan atau komentar yang dibuat adalah keberatan dan komentar sebagaimana dimaksudkan dalam sub-aturan 3 di atas, maka Sidang PraPeradilan harus memutuskan apakah menggabungkan isu yang dikemukakan itu dengan pemeriksaan terhadap tuduhan dan bukti, atau memisahkannya, yang dengan itu Sidang bersangkutan harus menghentikan acara dengar konfirmasi dan mengedepankan atau mengutamakan keputusan terhadap isu yang dikemukakan itu. Selama acara dengar pendapat menyangkut masalah yang diajukan itu, Penuntut Umum dan orang yang dituduh harus mengemukakan argumen mereka sesuai dengan ketentuan pasal 61, ayat 5 dan 6. Sidang Pra-Peradilan harus mengizinkan Penuntut Umum dan orang yang dituduh itu, sesuai dengan aturan yang telah dibuat oleh Hakim Ketua Sidang bersangkutan, untuk membat komentar final. Sesuai dengan ketentuan pasal 61, maka pasal 69 harus diterapkan secara mutatis mutandis (secara fleksibel) pada acara dengar-konfirmasi.
Aturan 123 Ketentuan-Ketentuan untuk Menjamin Hadirnya Pihak Termaksud pada Acara Dengar-Konfirmasi 1. Ketika surat perintah penahanan atau panggilan untuk hadir di hadapan Sidang sesuai dengan ketentuan pasal 58, ayat 7, telah dikeluarkan untuk seseorang oleh Sidang PraPeradilan dan orang tersebut kemudian ditahan atau memenuhi panggilan tersebut, maka Sidang Pra-Peradilan harus menjamin bahwa orang yang dituduh itu telah diberitahukan tentang ketentuan dalam pasal 61, ayat 2. 2. Sidang Pra-Peradilan bisa melakukan konsultasi dengan Penuntut Umum, berdasarkan permintaan Penuntut Umum atau berdasarkan mosi Sidang Pra-Peradilan itu sendiril, untuk menentukan apakah ada sebab atau alasan untuk melakukan acara dengar konfirmasi terhadap tuduhan di bawah syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pasal 61, ayat 2 (b). Jika orang yang dituduh itu memiliki penasihat hukum yang diketahui oleh Mahkamah, maka konsultasi tersebut harus dilakukan dengan dihadiri oleh
penasihat hukum tertuduh itu kecuali kalau Sidang Pra-Peradilan memutuskan sebaliknya. 3. Sidang Pra-Peradilan harus menjamin bahwa surat perintah penahanan untuk orang yang dituduh itu telah dikeluarkan dan, jika surat perintah penahanan belum dikeluarkan dalam jangka waktu yang masuk akal setelah ada pernyataan soal penangkapan itu, bahwa semua tindakan yang masuk akal itu telah dilakukan untuk menentukan lokasi dan menangkap/menahan orang tersebut. Aturan 124 Penangguhan Hak untuk Hadir pada Acara Dengar-Konfirmasi 1. Jika orang yang dituduh hadir di hadapan Mahkamah tetapi ingin menangguhkan haknya untuk hadir pada acara dengar-konfirmasi atas tuduhan, maka ia harus mengajukan permohonan tertulis kepada Sidang Pra-Peradilan, yang kemudian bisa menggantikannya dengan melakukan konsultasi dengan Penuntut Umum dan orang yang dituduh itu, dibantu atau diwakili oleh penasihat hukumnya. 2. Acara dengar-konfirmasi yang mengikuti ketentuan pasal 61, ayat 2 (a), harus dilakukan hanya ketika Sidang Pra-Peradilan benar-benar yakin bahwa orang yang dituduh itu telah mengerti benar akan haknya untuk hadir pada acara dengar-konfirmasi tersebut dan memahami apa konsekuensinya jika ia menangguhkan haknya itu untuk hadir. 3. Sidang Pra-Peradilan bisa memberikan kewenangan dan membuat ketentuan aturan bagi orang yang dituduh itu untuk melakukan pengamatan atas acara dengar-konfirmasi itu dari luar ruang sidang dengan menggunakan peralatan teknologi komunikasi, jika tersedia dan jika memang dibutuhkan. 4. Penangguhan hak untuk hadir pada acara dengar-konfirmasi tidak menghalangi Sidang Pra-Peradilan untuk menerima hasil pengamatan atau komentar tertulis atas isu-isu yang ditangani Sidang tersebut dari orang yang dituduh itu. Aturan 125 Keputusan untuk Melaksanakan Acara Dengar-Konfirmasi Tanpa Kehadiran Pihak yang Bersangkutan 1. Setelah melakukan konsultasi berdasarkan ketentuan aturan 123 dan 124, Sidang PraPeradilan harus memutuskan apakah ada sebab atau alasan untuk menyelenggarakan acara dengar-konfirmasi atas tuduhan tanpa kehadiran orang yang dituduh itu, dan jika demikian, apakah orang tersebut bisa diwakili saja oleh kuasa hukumnya. Sidang PraPeradilan harus, sejauh dipandang tepat, menentukan tanggal untuk acara dengarkonfirmasi itu dan mengumumkannya kepada khalayak. 2. Keputusan Sidang Pra-Peradilan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum dan, jika memungkinkan, kepada orang yang dituduh itu atau kepada kuasa hukumnya. 3. Jika Sidang Pra-Peradilan memutuskan untuk tidak menyelenggarakan acara dengarkonfirmasi atas tuduhan yang diajukan itu dengan tidak dihadiri oleh tertuduh, dan orang yang dituduh itu pun tidak dapat dihadirkan ke hadapan Mahkamah, aka konfirmasi tuduhan itu tidak boleh dilakukan sampai orang tersebut dapat dihadirkan atau hadir di hadapan Mahkamah [bukan Sidang!]. Sidang Pra-Peradilan bisa melakukan tinjaun atas keputusannya kapan saja, atas permintaan Penuntut Umum atau atas inisiatifnya sendiri.
4. Jika Sidang Pra-Peradilan memutuskan untuk tidak melakukan acara dengar-konfirmasi atas tuduhan yang disampaikan tanpa kehadiran orang yang dituduh itu, dan orang tersebut ternyata telah ada di Mahkamah, maka Sidang bersangkutan harus memerintahkan orang tersebut untuk hadir di hadapan Sidang Pra-Peradilan itu. Aturan 126 Perihal Acara Dengar-Konfirmasi Tanpa Kehadiran Pihak yang Bersangkutan 1. Ketentuan dalam aturan 121 dan 122 harus diterapkan secara mutatis mutandis terhadap persiapan untuk dan penyelenggaraan acara dengar-konfirmasi tuduhan tanpa kehadiran orang yang dituduh itu. 2. Jika Sidang Pra-Peradilan telah menentukan bahwa orang yang dituduh itu akan diwakili oleh kuasa hukumnya, maka kuasa hukumnya itu harus mendapatkan kesempatan untuk menjalankan hak-hak orang yang dituduh itu. 3. Jika tertuduh melarikan diri tetapi kemudian tertangkap dan Mahkamah telah memberitahukan soal tuduhan yang menjadi dasar bagi niat Penuntut Umum membawanya ke pengadilan, maka orang yang dituduh itu harus dibawa ke hadapan Sidang Pengadilan sebagaimana ditandaskan dalam pasal 61, ayat 11. Orang yang dituduh itu bisa meminta secara tertulis supaya Sidang Pengadilan tersebut memeriksa perkara dengan mengacu pada Sidang Pra-Peradilan yang perlu bagi pelaksanaan tugas Sidang secara efektif dan jujur sesuai dengan ketentuan pasal 64, ayat 4. Bagian VI Penutupan Tahap Pra-Peradilan Aturan 127 Prosedur dalam Hal Terjadinya Keputusan yang Berbeda terhadap Tuduhan Berganda Jika Sidang Pra-Peradilan telah siap untuk mengkonfirmasikan beberapa bagian dari tuduhan-tuduhan yang telah diajukan tetapi menghentikan acara dengar-pendapat untuk beberapa tuduhan lainnya berdasarkan ketentuan pasal 61, ayat 7 (c), maka Sidang tersebut bisa memutuskan bahwa pengiriman orang yang dituduh itu ke Sidang Pengadilan berdasarkan tuduhan-tuduhan yang telah siap dikonfirmasikan itu harus ditunda mengikuti penundaan terhadap kelanjutan acara dengar-konfirmasi tersebut. Sidang Pra-Peradilan kemudian bisa menentukan batasan waktu bagi Penuntut untuk memproses perkara sesuai dengan ketentuan pasal 61, ayat 7 (c) (i) atau (ii). Aturan 128 Amandemen terhadap Tuduhan 1. Jika Penuntut Umum berupaya mengamandemen tuduhan-tuduhan yang telah dikonfirmasikan sebelum pengadilan berlangsung, sesuai dengan ketentuan pasal 61, maka Penuntut Umum harus membuat permintaan tertulis kepada Sidang PraPeradilan, dan bahwa Sidang tersebut harus memberitahukan hal itu kepada terdakwa. 2. Sebelum memutuskan apakah upaya amandemen itu disahkan, Sidang Pra-Peradilan bisa meminta terdakwa dan Penuntut Umum untuk mengajukan observasi atau komentar tertulis menyangkut isu-isu tertentu dari segi fakta atau hukumnya.
3. Jika Sidang Pra-Peradilan menentukan bahwa amandemen yang diajukan oleh Penuntut Umum itu justru menghadirkan tuduhan tambahan atau tuduhan yang lebih serius, maka Sidang bersangkutan bisa memproses, sejauh dipandang tepat, sesuai dengan ketentuan aturan 121 dan 122 atau aturan 123 hingga 126. Aturan 129 Pemberitahuan Keputusan tentang Konfirmasi atas Tuduhan Keputusan Sidang Pra-Peradilan menyangkut konfirmasi tuduhan dan pengiriman terdakwa ke Sidang Pengadilan harus diberitahukan, jika memungkinkan, kepada Penuntut Umum, orang yang bersangkutan [terdakwa] dan kuasa hukumnya. Keputusan seperti itu dan rekaman atau catatan proses persidangan dalam tahap Sidang Pra-Peradilan harus dikirimkan kepada Dewan Ketua. Aturan 130 Penetapan/Pembentukan Sidang Pengadilan Ketika Dewan Ketua menetapkan atau membentuk suatu Sidang Pengadilan dan menyerahkan kasus tersebut kepada Sidang bersangkutan, maka Dewan Ketua harus menyerahkan keputusan dari Sidang Pra-Peradilan dan rekaman atau catatan proses persidangannya kepada Sidang Pengadilan. Dewan Ketua bisa juga menyerahkan kasus tersebut kepada Sidang Pengadilan yang sebelumnya telah terbentuk atau ditetapkan.
BAB 6 PROSEDUR PERSIDANGAN Aturan 131 Rekaman Proses Acara yang Dilaksanakan oleh Sidang Pra-peradilan 1. Panitera harus menyimpan rekaman atau catatan proses persidangan yang diserahkan oleh Sidang Pra-Peradilan, mengikuti ketentuan aturan 121, sub-aturan 10. 2. Dengan tetap tunduk pada berbagai pembatasan menyangkut kerahasiaan dan perlindungan informasi keamanan nasional, rekaman tersebut bisa dikonsultasikan oleh Penuntut Umum, pembela, para wakil Negara jika mereka berpartisipasi dalam proses persidangan tersebut, dan korban atau kuasa hukum mereka yang berpartisipasi dalam proses persidangan mengikuti ketentuan aturan 89 hingga 91. Aturan 132 Sidang untuk Menentukan Status Perkara 1. Langsung setelah pembentukannya, Sidang Pengadilan harus menyelenggarakan sidang untuk menentukan status perkara supaya menetapkan tanggal dilangsungkannya pengadilan. Sidang Pengadilan, atas mosinya sendiri, atau atas permintaan Penuntut Umum atau pembela terdakwa, bisa menunda waktu dilangsungkannya pengadilan. Sidang Pengadilan harus memberitahukan tanggal pengadilan kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam proses persidangan itu. Sidang Pengadilan tersebut harus menjamin bahwa tanggal yang telah ditentukan itu dan termasuk penundaannya diumumkan kepada publik. 2. Untuk mewujudkan pelaksanaan proses persidangan secara adil dan cepat, Sidang Pengadilan tersebut bisa bertukar pikiran dengan berbagai pihak yang terlibat dengan menyelenggarakan sidang penentuan status perkara sejauh dianggap perlu. Aturan 133 Mosi-Mosi Keberatan Perihal Jurisdiksi atau Dapat Diterimanya Sebuah Perkara Keberatan terhadap jurisdiksi Mahkamah atau soal dapat diterimanya sebuah perkara pada permulaan persidangan atau pengadilan, atau setelah itu yaitu dengan mengabaikan keberadaan Mahkamah, harus ditangani oleh Hakim Ketua dan Sidang Pengadilan sesuai dengan aturan 58. Aturan 134 Mosi Berkaitan dengan Prosedur Acara Persidangan 1. Sebelum dimulainya persidangan perkara, Sidang Pengadilan atas mosinya sendiri, atau atas permintaan Penuntut Umum atau pembela terdakwa, bisa menetapkan aturan terhadap berbagai hal berkenaan dengan pelaksananaan persidangan. Berbagai permintaan dari Penuntut Umum ataupun pembela terdakwa harus diajukan dalam bentuk tertulis dan ditembuskan kepada pihak lain yang telibat dalam proses persidangan itu, kecuali kalau pemintaan tersebut dimaksudkan untuk prosedur yang ditetapkan hanya untuk salah satu pihak. Untuk semua permintaan selain yang diajukan untuk tujuan prosedur salah satu pihak saja, pihak lain yang terlibat dalam prosedur
persidangan itu harus mendapatkan kesempatan untuk mengajukan respon atau jawaban. 2. Pada permulaan persidangan, Sidang Pengadilan harus menanyai Penuntut Umum dan pembela terdakwa apakah mereka mempunyai keberatan atau komentar menyangkut pelaksanaan persidangan yang telah berlangsung sejak acara dengar-konfirmasi. Keberatan atau komentar semacam itu tidak boleh diajukan atau dibuat lagi pada kesempatan berikutnya dalam proses persidangan itu, tanpa mengabaikan Sidang Pengadilan bersangkutan dalam proses penanganannya. 3. Setelah dimulainya persidangan awal, Sidang Pengadilan, atas mosinya sendiri, atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum atau pembela terdakwa, bisa menetapkan aturan menyangkut hal-hal yang muncul selama berlangsungnya pengadilan atau persidangan perkara tersebut. Aturan 135 Pemeriksaan Kesehatan terhadap Terdakwa 1. Sidang Pengadilan bisa, demi tujuan pembebasan dirinya dari kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam pasal 64, ayat 8 (a), atau untuk alasan-alasan lain, atau berdasarkan permintaan salah satu pihak, memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan, psikiatrik atau psikologis terhadap terdakwa, berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam aturan 113. 2. Sidang Pengadilan harus mencantumkan alasan-alasan untuk perintah-perintah semacam itu dalam rekaman proses atau catatan. 3. Sidang Pengadilan harus menunjuk satu atau lebih ahli dari daftar para ahli yang dibuat dan diajukan oleh Panitera, atau seorang ahli yang diajukan oleh Sidang Pengadilan atas usulan atau permintaan salah satu pihak. 4. Jika Sidang Pengadilan menerima kenyataan bahwa terdakwa tidak cukup pantas untuk diadili, maka Sidang tersebut harus mengeluarkan perintah agar pengadilan tersebut dihentikan. Sidang Pengadilan bisa, atas mosinya sendir atau atas permintaan Penuntut Umum atau pembela terdakwa, meninjau kembali kasus terdakwa tersebut. Pada berbagai kesempatan, kasus tersebut harus ditinjau setiap 120 hari sekali kecuali kalau ada alasan-alasan untuk melakukan sebaliknya. Jika dipandang perlu, Sidang Pengadilan bisa memerintahkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap terdakwa. Ketika Sidang Pengadilan tersebut menerima atau puas dengan hasil pemeriksaan bahwa terdakwa sudah pantas untuk diadili, maka Sidang tersebut memproses perkaranya berdasarkan aturan 132. Aturan 136 Perihal Sidang Gabungan atau Sidang Terpisah 1. Orang-orang yang dituduh secara bersamaan harus diadili bersama-sama pula kecuali kalau Sidang Pengadilan yang bersangkutan, atas mosinya sendiri atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum atau pembelanya, memerintahkan bahwa pengadilan secara terpisah perlu dilakukan, untuk menghindari prasangka atau prejudis terhadap terdakwa, untuk melindungi kepentingan keadilan atau karena salah seorang yang telah dituduh secara bersamaan itu telah membuat pengakuan bersalah dan dapat diproses untuk mempertentangkannya dengan yang lain sesuai dengan pasal 65, ayat 2. 2. Dalam sidang gabungan, masing-masing terdakwa harus diperlakukan dengan hak-hak yang sama seolah-olah terdakwa diadili secara terpisah.
Aturan 137 Rekaman Proses Acara Persidangan 1. Berkenaan dengan ketentuan dalam pasal 64, ayat 10, Panitera harus mengambil langkah-langkah untuk membuat, dan menjaga atau mengamankan, rekaman yang lengkap dan akurat dari semua proses persidangan, termasuk transkripsi, rekaman dengan media audio ataupun video dan alat-alat lain yang bisa menangkap suara dan gambar. 2. Sidang Pengadilan bisa memerintahkan pengungkapan semua atau sebagian rekaman dari proses persidangan yang tertutup jika alasan-alasan yang membuat rekamanrekaman tersebut tidak boleh diungkapkan tidak ada lagi. 3. Sidang Pengadilan bisa memberikan kewenangan kepada orang selain Panitera untuk membuat foto, rekaman audio atau video dan media-media lain yang bisa menangkap suara ataupun gambar dari proses pengadilan atau persidangan tersebut. Aturan 138 Perihal Pengamanan Bukti Panitera harus menyimpan dan mengamankan, sejauh dipandang perlu, semua bukti dan materi-materi yang diberikan selama acara dengar-pendapat atau konfirmasi berlangsung, dengan tetap tunduk pada perintah Sidang Pengadilan bersangkutan. Aturan 139 Keputusan terhadap Pengakuan Bersalah 1. Setelah melakukan acara atau proses persidangan sesuai dengan ketentuan pasal 65, ayat 1, maka Sidang Pengadilan, supaya memutuskan apakah akan melangsungkan persidangan sesuai dengan ketentuan pasal 65, ayat 4, bisa meminta pandangan dari Penuntut Umum dan pembela terdakwa. 2. Sidang Pengadilan kemudian harus membuat keputusannya atas pengakuan bersalah itu dan harus memberikan alasan dikeluarkannya keputusan tersebut, yang harus dimasukkan dalam catatan atau rekaman resmi. Aturan 140 Arahan tentang Jalannya Prosedur Acara dan Pemberian Kesaksian 1. Jika Hakim Ketua tidak memberikan arahan-arahan berdasarkan pasal 64, ayat 8, maka Penuntut Umum dan pembela terdakwa harus menyepakati bersama soal aturan dan cara bagaimana bukti akan diajukan pada Sidang Pengadilan tersebut. Jika tidak dicapai kesepakatan antara keduanya, maka Hakim Ketua harus mengeluarkan arahan atau petunjuk soal pelaksanaannya. 2. Dalam semua hal, tunduk pada ketentuan Statuta dalam pasal 64, ayat 8 (b) dan 9, pasal 69, ayat 4, dan ketentuan Hukum Acara dan Pembuktian ini dalam aturan 88, subaturan 5, seorang saksi bisa ditanyai dengan ketentuan sebagai berikut: (a) Pihak yang mengajukan bukti berkenaan dengan ketentuan pasal 69, ayat 3, untuk kepentingan saksi, mempunyai hak untuk menanyai saksi tersebut;
(b) Pihak Penuntut dan pembela memiliki hak untuk menanyai saksi tersebut tentang hal-hal yang relevan berkaitan dengan kesaksian saksi tersebut dan reliabilitas kesaksian tersebut, kredibilitas saksi dan hal-hal lain yang relevan; (c) Sidang Pengadilan mempunyai hak untuk menanyai saksi sebelum atau setelah saksi tersebut ditanyai oleh para pihak yang dimaksudkan dalam sub-aturan 2 (a) atau (b) di atas; (d) Pembela harus mendapatkan hak untuk menjadi yang paling akhir memeriksa saksi. 3. Kecuali kalau diperintahkan sebaliknya oleh Sidang Pengadilan, seorang saksi yang bukan seorang saksi ahli, atau seorang penyelidik jika ia belum dimintai keterangan atau kesaksiannya, tidak boleh hadir ketika kesaksian dari saksi lain diberikan. Akan tetapi, seorang saksi yang telah mendengar kesaksian dari saksi lain itu tidak boleh karena alasan itu semata didiskualifikasikan dari proses pengungkapan kesaksian. Ketika seorang saksi mengungkapkan kesaksiannya setelah mendengar kesaksian saksi-saksi lainnya, fakta ini harus dicatat atau dicantumkan dalam rekaman proses dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Sidang Pengadilan ketika mengevaluasi bukti-bukti yang telah disampaikan. Aturan 141 Penutupan Bukti dan Pernyataan Penutup 1. Hakim Ketua harus mengumumkan ketika pengajuan bukti sudah ditutup. 2. Hakim Ketua harus mengundang Penuntut Umum dan pembela untuk membuat pernyataan atau pidato penutup mereka dari keseluruhan proses persidangan yang sudah berjalan. Pembela harus selalu mendapatkan kesempatan untuk berbicara pada kesempatan paling akhir. Aturan 142 Permufakatan Perihal Keputusan 1. Setelah pernyataan penutup, Sidang Pengadilan harus membubarkan persidangan sementara atau beristirahat untuk mengambil keputusan, secara rahasia [dan di ruangan tertutup untuk umum]. Sidang Pengadilan harus memberitahukan kepada semua orang yang terlibat dalam proses persidangan tersebut soal tanggal atau waktu diumumkannya keputusan hasil persidangan tersebut oleh Sidang Pengadilan bersangkutan. Pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu yang masuk akal setelah Sidang Pengadilan beristirahat untuk mengambil keputusan. 2. Jika terdapat lebih dari satu dakwaan, Sidang Pengadilan harus memutuskan masingmasing dakwaan tersebut secara terpisah. Jika terdapat lebih dari satu terdakwa, maka Sidang Pengadilan tersebut harus memutuskan secara terpisah juga dakwaan-dakwaan terhadap masing-masing terdakwa itu. Aturan 143 Acara Dengar-Pendapat Tambahan tentang Hal-Hal yang Berkaitan dengan Soal Hukuman atau Pemulihan Mengikuti ketentuan pasal 76, ayat 2 dan 3, untuk tujuan menyelenggarakan acara dengarpendapat lebih lanjut atas masalah-masalah yang berkaitan dengan penghukuman dan, jika dapat diterapkan, reparasi atau pemulihan, maka Sidang Pengadilan bersangkutan harus menentukan tanggal dilaksanakannya acara dengar-pendapat selanjutnya itu. Acara dengar-
pendapat ini bisa ditunda, jika ada situasi-situasi atau keadaan yang mengharuskannya demikian, oleh Sidang Pengadilan, atas mosinya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum, pembela atau kuasa hukum korban-korban yang terlibat di dalam proses persidangan tersebut dengan mengikuti ketentuan aturan 89 hingga 91 dan, berkenaan dengan acara dengar-pendapat tentang pemulihan, atas permintaan korban-korban tersebut, yaitu yang telah mengajukan permohonan berdasarkan aturan 94. Aturan 144 Pembacaan Keputusan oleh Sidang Pengadilan 1. Keputusan Sidang Pengadilan berkenaan dengan dapat diterimanya sebuah perkara, jurisdiksi Mahkamah, tanggung jawab pidana terdakwa, hukuman dan reparasi harus diumumkan secara publik dan, sepanjang memungkinkan, dengan dihadiri oleh terdakwa, Penuntut Umum, para korban atau kuasa hukum korban yang terlibat dalam proses persidangannya sesuai dengan ketentuan aturan 89 hingga 91, wakil NegaraNegara yang telah berparitisipasi dalam proses persidangan tersebut. 2. Salinan dari semua keputusan yang disebutkan di atas harus diberikan sesegera mungkin kepada: (a) Semua pihak yang telah terlibat dalam proses persidangan itu, dalam bahasa kerja Mahkamah; (b) Terdakwa, dalam bahasa yang sepenuhnya ia pahami dan ia pergunakan sebagai bahasa wicara, jika dianggap perlu untuk mendapatkan hal-hal berkaitan dengan kebutuhan akan keadilan berdasarkan ketentuan pasal 67, ayat 1 (f).
BAB 7 PENJATUHAN HUKUMAN Aturan 145 Penetapan Hukuman 1. Dalam menetapkan hukuman dengan mengikuti ketentuan pasal 78, ayat 1, Mahkamah harus: (a) Benar-benar menyadari bahwa totalitas hukuman berupa pemenjaraan dan denda berupa uang, sebagai hasil dari proses persidangan terhadap kasus yang ditanganinya itu, yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 77 harus mencerminkan kualitas kesalahan dari orang yang dinyatakan bersalah itu; (b) Menyeimbangkan semua faktor yang relevan, termasuk faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan dan mempertimbangkan fakta atau keadaan dari terdakwa sekaligus jenis dan kualitas kejahatannya; (c) Sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang disebutkan dalam pasal 78, ayat 1, memberikan pertimbangan, antara lain, terhadap cakupan kerusakan yang timbul, khususnya derita yang ditimbulkan terhadap korban dan keluarganya, hakikat dari perilaku yang bertentangan dengan hukum yang berlaku dan alat atau sarana-sarana yang digunakan untuk menjalankan kejahatan tersebut; kadar keterlibatan orang yang dijatuhi hukuman itu; kadar niatnya; hal-hal yang menentukan cara, waktu dan lokasi; dan usia, pendidikan, keadaan sosial dan ekonomi orang yang dijatuhi hukuman itu. 2. Sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang disebutkan di atas, Mahkamah harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan, sejauh dianggap tepat dan sesuai, hal-hal berikut: (a) Hal-hal yang meringankan hukuman seperti: (i) Situasi-situasi yang menyebabkan munculnya dasar-dasar pertimbangan bagi dihilangkannya tanggung jawab pidana, semisal cacat mental yang diderita pelaku atau ia melakukan hal yang didakwakan itu karena ada paksaan; (ii) Tindakan orang yang dijatuhi hukuman itu setelah dikeluarkannya putusan, termasuk berbagai upaya oleh orang tersebut untuk memberikan kompensasi kepada korban dan kerja sama yang ditunjukkannya di hadapan dan bagi Mahkamah; (b) Hal-hal yang memberatkan, seperti: (i) Orang yang dijatuhi hukuman tersebut ternyata sebelumnya pernah melakukan kejahatan yang juga termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah atau kejahatan serupa yang pada hakikatnya sama dengan yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah; (ii) Penyalahgunaan kekuasaan atau penyelewengan terhadap kapasitasnya sebagai pejabat; (iii) Kejahatan tersebut dilakukan ketika korban sama sekali tak berdaya; (iv) Kejahatan tersebut dilakukan dengan begitu kejamnya atau dengan akibat jatuhnya korban berlipat ganda [bukan sekadar banyak!]; (v) Kejahatan tersebut dilakukan dilakukan dengan motif yang melibatkan diskriminasi atas berbagai sebab sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 21, ayat 3;
(vi) Hal-hal lain yang, kendati belum dienumerasi atau dirincikan di atas, berdasarkan hakikatnya sama atau serupa dengan faktor-faktor yang disebutkan itu. 3. Hukuman penjara bisa dijatuhkan ketika dijustifikasi oleh tingginya tingkat keseriusan dari kejahatan tersebut dan situasi-situasi individual orang yang dijatuhi hukuman itu, sebagaimana dibuktikan dengan adanya satu atau lebih fakta yang memberatkan. Aturan 146 Pemberian Hukuman Denda Berdasarkan Ketentuan Pasal 77 1. Dalam menentukan apakah akan memberikan hukuman denda berdasarkan ketentuan pasal 77, ayat 2 (a), dan dalam menentukan jumlah pasti denda tersebut, Mahkamah harus menentukan terlebih dahulu apakah hukuman penjara terhadap terdakwa merupakan hukuman yang memadai. Mahkamah harus memberikan dasar pertimbangan menyangkut kapasitas atau kemampuan finansial orang yang dijatuhi hukuman itu, termasuk perintah-perintah untuk memberikan tebusan dalam kaitan dengan ketentuan pasal 77, ayat 2 (b), dan, sejauh dipandang tepat, berbagai perintah menyangkut pemulihan terhadap korban sesuai dengan ketentuan pasal 75. Mahkamah harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan, selain faktor-faktor yang dimaksudkan dalam aturan 145, apakah dan sampai pada taraf manakah sebuah kejahatan dimotivasi oleh dorongan finansial personal. 2. Hukuman denda yang dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 77, ayat 2 (a), harus ditentukan pada taraf yang tepat dan sesuai. Untuk mencapai maksud tersebut, Mahkamah harus, sebagai tambahan terhadap faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, secara khusus mempertimbangkan kerusakan dan derita yang disebabkan termasuk juga perolehan yang proporsional yang didapatkan pelaku dari kejahatan yang diperbuatnya itu. Tanpa dasar atau fakta-fakta lain yang meringankan, total jumlah denda bisa mencapai 75 persen dari keseluruhan nilai aset yang bisa diidentifikasi dari sang terpidana, cair atau teraba, dan properti (harta milik), setelah dikurangi dengan jumlah yang sesuai dengan yang diinginkan oleh terpidana dan tanggungannya. 3. Dalam menjatuhkan hukuman denda, Mahkamah harus memberikan kepada terpidana suatu jangka waktu yang masuk akal untuk membayar hukuman dendanya itu. Mahkamah bisa menyediakan fasilitas pembayaran lump sum [pembayaran tunggal untuk beberapa item yang terpisah-pisah] atau dengan cara terpisah-pisah/berangsur selama jangka waktu yang telah ditentukan itu. 4. Dalam menjatuhkan hukuman denda, Mahkamah bisa, sebagai sebuah pilihan, menghitung denda tersebut sesuai dengan sistem penghitungan denda harian. Dalam hal demikian, durasi minimum harus 30 hari dan durasi maksimumnya adalah lima tahun. Mahkamah harus memutuskan jumlah totalnya sesuai dengan ketentuan subaturan 1 dan 2 di atas. Mahkamah harus menentukan jumlah pembayaran harian sesuai dengan keadaan individual orang yang dihukum tersebut, termasuk keperluan finansial dari tanggungannya. 5. Jika si terpidana itu tidak membayar denda yang telah dijatuhkan sesuai dengan keadaan yang telah ditetapkan di atas, maka langkah atau tindakan yang tepat dan sesuai harus diambil oleh Mahkamah dengan mengikuti ketentuan aturan 217 hingga aturan 222 dan sesuai dengan ketentuan aturan 109. Jika, dalam hal berlanjutnya ketiadaan keinginan membayar, Dewan Ketua, atas mosinya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum, menuntut bahwa semua tindakan pemaksaan yang
memungkinkan dan yang tersedia memang telah dilakukan, maka hal itu tidak boleh, sebagai sesuatu yang memperpanjang masa pemenjaraan untuk suatu jangka waktu tertentu, melampau seperempat dari masa hukuman tersebut atau lebih daripada lima tahun, yang biasanya selalu kurang dari itu. Dalam penentuan jangka waktu penambahan masa hukuman semacam itu, Dewan Ketua harus menjadikan sebagai bahan pertimbangan soal jumlah denda, yang ditetapkan dan yang dibayarkan. Penambahan hukuman semacam itu tidak berlaku bagi kasus yang telah dikenai hukuman penjara seumur hidup. Perluasan atau penambahan hukuman tidak boleh mencapai jangka waktu pemenjaraan lebih dari 30 tahun. 6. Supaya menentukan apakah perlu memerintahkan penambahan masa hukuman dan jangka waktu yang telah dilalui, Dewan Ketua harus melakukannya secara rahasia untuk mendapatkan pandangan atau pendapat dari orang yang dihukum itu dan dari Penuntut Umum. Orang yang dihukum itu harus mendapatkan haknya untuk didampingi atau dibantu oleh penasihat hukumnya. 7. Dalam menetapkan denda, Mahkamah harus mengingatkan orang yang dinyatakan bersalah itu bahwa kelalaian membayar denda sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan di atas bisa berakibat pada ditambahnya masa hukuman penjara terhadapnya sebagaimana digambarkan dalam aturan 146 ini. Aturan 147 Perintah Perihal Pemberian Tebusan 1. Sesuai dengan ketentuan pasal 76, ayat 2 dan 3, dan aturan 63, sub-aturan 1, dan aturan 143, pada berbagai acara dengar-pendapat untuk mempertimbangkan sebuah perintah perihal pemberian tebusan, Sidang harus mendengarkan atau memperhatikan bukti semisal identifikasi dan lokasi dari hasil proses yang spesifik, harta milik atau aset yang telah didapatkan secara langsung ataupun tidak langsung dari hasil kejahatan tersebut. 2. Jika sebelum atau selama acara dengar-pendapat, suatu Sidang menjadi sadar akan berbagai pihak ketiga yang bona fide [dapat dipercayai] yang hadir dengan kepentingan berkaitan dengan hasil yang relevan, properti, atau aset, maka Sidang bersangkutan harus membuat pemberitahuan kepada pihak ketiga tersebut. 3. Penuntut Umum, orang yang dinyatakan bersalah dan berbagai pihak ketiga yang dapat dipercayai yang memiliki kepentingan terhadap hasil yang relevan, properti atau aset bisa mengajukan bukti yang relevan berkenaan dengan masalah tersebut. 4. Setelah mempertimbangkan berbagai bukti yang diajukan itu, suatu Sidang bisa mengeluarkan sebuah perintah perihal pemberian tebusan dalam kaitan dengan hasil proses yang spesifik, properti atau aset jika Sidang yang bersangkutan telah menemukan bahwa hal-hal tersebut telah didapatkan baik secara langsung maupun tidak langsug dari hasil kejahatan yang diperkarakan itu. Aturan 148 Perintah untuk Menyampaikan Denda atau Tebusan kepada Trust Fund Sebelum membuat perintah sesuai dengan ketentuan pasal 79, ayat 2, suatu Sidang bisa meminta wakil-wakil dari Fund [Penyandang Dana] untuk mengajukan observasi atau komentar berdasarkan hasil pengamatan atau analisis mereka terhadap hal tersebut, yang diajukan baik secara tertulis maupun lisan.
BAB 8 UPAYA BANDING DAN PENINJAUAN KEMBALI Bagian I Ketentuan Umum Aturan 149 Aturan yang Menentukan Prosedur Acara dalam Sidang Tingkat Banding Bagian 5 dan 6 Statuta dan ketentuan aturan-aturan dalam Hukum Acara dan Pembuktian ini yang mengatur soal prosedur dan pengajuan bukti dalam Sidang Pra-Peradilan dan Sidang Pengadilan harus diterapkan secara mutatis mutandis terhadap proses persidangan dalam Sidang Tingkat Banding. Bagian II Upaya Banding terhadap Keputusan Bersalah, Keputusan Tidak Bersalah, Perintah Penghukuman dan Perintah Pemberian Reparasi [Pemulihan] Aturan 150 Banding 1. Tunduk pada ketentuan sub-aturan 2, upaya banding terhadap keputusan bersalah atau tidak bersalah berdasarkan ketentuan pasal 74, terhadap hukuman berdasarkan ketentuan pasal 76 atau terhadap perintah pemberian reparasi sesuai dengan ketentuan pasal 75 harus diajukan atau didaftarkan tidak lebih dari 30 hari sejak tanggal pihak yang mendaftarkan banding itu telah diberitahu soal keputusan tersebut, hukuman atau perintah pemberian reparasi tersebut. 2. Sidang Tingkat Banding bisa memperpanjang batas waktu yang ditetapkan dalam subaturan 1 di atas, untuk alasan yang baik, berkenaan dengan permohonan dari pihak yang sedang mengupayakan pendaftaran atau pengajuan upaya banding tersebut. 3. Upaya banding harus didaftarkan pada Panitera. 4. Jika suatu upaya banding tidak didaftarkan dengan cara sebagaimana ditetapkan dalam sub-aturan 1 sampai 3 di atas, maka keputusan, hukuman atau perintah pemberian reparasi dari Sidang Pengadilan harus diberlakukan sebagai sesuatu yang berkekuatan tetap dan final. Aturan 151 Prosedur Banding 1. Berdasarkan pendaftaran banding sesuai dengan ketentuan aturan 150 di atas, Panitera harus menyerahkan rekaman pengadilan kepada Sidang Tingkat Banding. 2. Panitera harus memberitahukan kepada semua pihak yang terlibat atau berpartisipasi dalam proses persidangan di Sidang Pengadilan sebelumnya itu bahwa upaya banding telah didaftarkan. Aturan 152 Perihal Tidak-Diteruskannya Upaya Banding
1. Pihak mana pun yang telah mengajukan upaya banding bisa menghentikan upaya banding tersebut kapan saja sebelum pemeriksaan dilakukan oleh hakim. Dalam kasus seperti itu, pihak tersebut harus mengajukan kepada Panitera suatu pemberitahuan tertulis tentang tidak-diteruskannya upaya banding itu. Kemudian Panitera harus menginformasikan kepada semua pihak bahwa pemberitahuan semacam itu telah diajukan atau didaftarkan. 2. Jika Penuntut telah mendaftarkan atau mengajukan upaya banding atas nama orang yang dihukum sesuai dengan ketentuan pasal 81, ayat 1 (b), sebelum mendaftarkan pemberitahuan tentang tidak-diteruskannya upaya banding itu, Penuntut Umum harus menginformasikan kepada orang yang dihukum itu bahwa ia bermaksud untuk membatalkan upaya banding tersebut supaya memberinya [orang yang dihukum itu] kesempatan untuk meneruskan upaya atau proses banding tersebut. Aturan 153 Pertimbangan Hakim Banding terhadap Perintah Pemberian Reparasi [Pemulihan] 1. Sidang Tingkat Banding bisa mengkonfirmasikan, menentang, atau mengamandemen perintah pemberian reparasi yang dibuat berdasarkan ketentuan pasal 75. 2. Pemeriksaan di Sidang Tingkat Banding harus dilakukan dengan mengikuti ketentuan pasal 83, ayat 4 dan 5. Bagian III Banding terhadap Keputusan-Keputusan Lainnya Aturan 154 Banding yang Tidak Memerlukan Izin Resmi dari Mahkamah 1. Suatu upaya banding bisa didaftarkan berdasarkan ketentuan pasal 81, ayat 3 (c) (ii), atau pasal 82, ayat 1 (a) atau (b), tidak lebih dari lima hari sejak tanggal pihak yang mengajukan banding itu diberitahukan tentang hasil keputusan Sidang Pengadilan. 2. Upaya banding bisa diajukan berdasarkan ketentuan pasl 82, ayat 1 (c), tidak lebih dari dua hari sejak tanggal pihak yang mengajukan banding tersebut telah diberitahukan tentang keputusan Sidang Pengadilan. 3. Aturan 150, sub-aturan 3 dan 4, harus diterapkan pada upaya banding yang diajukan atau didaftarkan sesuai dengan ketentuan sub-aturan 1 dan 2 di atas. Aturan 155 Banding yang Memerlukan Izin Resmi dari Mahkamah 1. Jika satu pihak ingin mengajukan banding terhadap keputusan sesuai dengan ketentuan pasal 82, ayat 1 (d), atau pasal 82, ayat 2, maka pihak tersebut harus, dalam jangka waktu lima hari sejak pemberitahuan soal keputusan tersebut, membuat permohonan tertulis kepada Sidang yang memberi atau mengeluarkan keputusan tersebut [Sidang Pengadilan], dengan mencantumkan alasan-alasan diperlukannya izin resmi untuk banding tersebut. 2. Sidang yang bersangkutan harus membuat keputusan tentang hal ini dan harus memberitahukan semua pihak yang terlibat dalam proses persidangan tersebut yaitu persidangan yang melahirkan keputusan yang dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas.
Aturan 156 Prosedur Upaya Banding 1. Segera setelah upaya banding didaftarkan berdasarkan ketentuan aturan 154 atau segera setelah izin resmi untuk melakukan upaya banding telah diberikan berdasarkan ketentuan aturan 155, maka Panitera harus mengajukan kepada Sidang Tingkat Banding rekaman proses persidangan dari Sidang sebelumnya [Sidang Pengadilan] yang membuat keputusan tersebut yaitu keputusan tentang pokok persoalan yang diupayakan bandingnya itu. 2. Panitera harus membuat pemberitahuan tentang upaya banding tersebut kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam proses persidangan dalam Sidang Pengadilan sebelumnya yang mengeluarkan keputusan yang menjadi pokok persoalan banding itu, kecuali kalau para pihak itu telah diberitahukan oleh Sidang bersangkutan berdasarkan ketentuan aturan 155, sub-aturan 2. 3. Rekaman proses persidangan tingkat banding itu harus dalam bentuk tertulis kecuali kalau Sidang Tingkat Banding itu memutuskan untuk menyelenggarakan acara dengarpendapat. 4. Acara banding itu harus dilakukan secepat dan seefisien mungkin. 5. Ketika mengajukan banding, pihak yang mengajukan banding itu bisa meminta agar upaya banding dengan sendirinya menunda keberlakuan keputusan sebelumnya yang sedang diupayakan bandingnya itu sesuai dengan ketentuan pasal 82, ayat 3. Aturan 157 Perihal Tidak-Diteruskannya Upaya Banding Pihak-pihak yang telah mengajukan upaya banding berdasarkan ketentuan aturan 154 atau yang telah mendapatkan izin resmi dari Sidang untuk mengajukan banding berdasarkan ketentuan aturan 155 bisa membatalkan atau meminta tidak-diteruskannya banding tersebut kapan saja asalkan sebelum para hakim [hakim dari Sidang Tingkat Banding] melakukan pemeriksaan atau membuat keputusan terhadap upaya banding tersebut. Dalma hal seperti itu, pihak yang bersangkutan harus mendaftarkan atau memberikan kepada Panitera surat pemberitahuan tentang tidak-diteruskannya upaya banding itu. Panitera harus menginformasikan para pihak lainnya bahwa pemberitahuan tentang tidakditeruskannya upaya banding tersebut telah diserahkan oleh pihak yang sebelumnya telah mengajukan banding itu. Aturan 158 Pertimbangan Hakim terhadap Banding 1. Sidang Tingkat Banding yang memeriksa soal upaya banding sebagaimana dimaksudkan dalam bagian ini bisa mengkonfirmasikan, menolak atau mengamandemen keputusan sebelumnya yang diupayakan bandingnya itu. 2. Pemeriksaan atau pertimbangan oleh Sidang Tingkat Banding harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pasal 83, ayat 4. Bagian IV Peninjuan Kembali terhadap Keputusan Bersalah atau Penghukuman Aturan 159
Pengajuan Permohonan untuk Peninjauan Kembali 1. Pengajuan permohonan untuk peninjauan kembali sebagaimana dinyatakan dalam pasal 84, ayat 1, harus dibuat secara tertulis dan harus menyertakan dasar-dasar yang menjadi alasan mengapa peninjauan kembali itu diupayakan atau diminta. Pengajuan peninjauan kembali itu sedapat mungkin dilengkapi dengan bahan-bahan pendukung yang relevan. 2. Penentuan soal apakah permohonan tersebut patut dikabulkan harus diambil atau dilakukan dengan suara mayoritas para hakim dari Sidang Tingkat Banding dan harus didukung dengan alasan-alasan yang dinyatakan secara tertulis. 3. Pemberitahuan tentang keputusan tersebut harus dikirimkan kepada yang mengajukan permohonan itu dan, sedapat mungkin, kepada semua pihak yang terlibat dalam proses persidangan yang berkenaan dengan keputusan awal. Aturan 160 Proses Penyampaian Permohonan Peninjauan Kembali 1. Untuk pelaksanaan persidangan atau acara dengar-pendapat sebagaimana dimaksudkan dalam aturan 161 di bawah ini, Sidang yang relevan harus mengeluarkan perintahnya yang dengan tegas mengatur soal dipindahkannya orang yang dihukum itu ke tempat kedudukan Mahkamah, sejauh pandang tepat. 2. Ketentuan dari Mahkamah harus dikomunikasikan tanpa ditunda-tunda kepada Negara yang melaksanakannya. 3. Ketentuan aturan 206, sub-aturan 3, harus diterapkan. Aturan 161 Pembatasan terhadap Peninjauan Kembali 1. Pada tanggal yang merupakan waktu bagi Sidang yang relevan untuk menentukan dan mengkomunikasikan kepada semua pemohon dan semua pihak yang sudah menerima pemberitahuan berdasarkan ketentuan aturan 159, sub-aturan 3, Sidang yang bersangkutan itu harus menyelenggarakan acara dengar-pendapat untuk menentukan apakah keputusan bersalah atau penghukuman harus ditinjau kembali. 2. Untuk pelaksanaan acara dengar-pendapat, Sidang yang relevan harus memeriksa, mutatis mutandis, semua kekuasaan Sidang Pengadilan sesuai dengan ketentuan Bagian 6 Statuta dan aturan-aturan dalam Hukum Acara dan Pembuktian ini yang menentukan acara atau proses persidangan dan pengajuan bukti dalam Sidang Pra-Peradilan dan Sidang Pengadilan. 3. Ketentuan soal peninjauan kembali harus ditetapkan dengan ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat yang dapat diterapkan dari pasal 83, ayat 4.
BAB 9 PELANGGARAN DAN PELECEHAN TERHADAP MAHKAMAH Bagian I Pelanggaran terhadap Administrasi Pengadilan Berdasarkan Ketentuan Pasal 70 Aturan 162 Penerapan/Pelaksanaan Jurisdiksi 1. Sebelum memutuskan soal pelaksanaan jurisdiksi, Mahkamah bisa berkonsultasi dengan Negara-Negara Pihak yang mungkin memiliki jurisdiksi atas pelanggaran atau kejahatan yang dituntut itu. 2. Dalam membuat keputusan apakah menerapkan atau melaksanakan jurisdiksinya atau tidak, Mahkamah bisa mempertimbangkan, secara khusus, hal-hal sebagai berikut: (a) Kemungkinan dan efektivitas penuntutan di suatu Negara Pihak; (b) Tingkat keseriusan suatu pelanggaran; (c) Penggabungan yang mungkin dari dakwaan berdasarkan ketentuan pasal 70 dengan dakwaan berdasarkan ketentuan pasl 5 hingga 8; (d) Kebutuhan untuk mempercepat proses persidangan; (e) Kaitannya dengan penyelidikan yang sedang berlangsung atau pengadilan yang sedang diproses di Mahkamah; dan (f) Pertimbangan-pertimbangan soal pembuktian 3. Mahkamah harus membuat pertimbangan yang mengutamakan sebuah permintaan dari Negara “tuan rumah” untuk menangguhkan atau mengesampingkan kekuasaan Mahkamah dalam melaksanakan jurisdiksinya dalam kasus-kasus yang menurut anggapan Negara “tuan rumah” tersebut bahwa penangguhan semacam itu memang perlu karena ada kepentigan khusus. 4. Jika Mahkamah memutuskan untuk tidak melaksanakan jurisdiksinya, maka ia [Mahkamah tersebut] bisa meminta suatu Negara Pihak untuk melaksanakan jurisdiksi yang sesuai dengan ketentuan pasal 70, ayat 4. Aturan 163 Penerapan Statuta dan Hukum Acara 1. Kecuali kalau kebalikan dari yang dimaksudkan dalam sub-aturan 2 dan 3 dalam aturan ini (163), aturan 162, dan aturan 164 hingga aturan 169, ketentuan Statuta dan Hukum Acara dan Pembuktian ini harus berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyelidikan Mahkamah, penuntutan dan penghukuman atas pelanggaran yang digambarkan dalam pasal 70. 2. Ketentuan Bagian 2 dari Statuta, dan berbagai aturan yang ditimbulkannya, tidak boleh diterapkan atau tidak berlaku, dengan pengecualian pasal 21. 3. Ketentuan Bagian 10 dari Statuta, dan berbagai aturan yang ditimbulkannya, tidak boleh diterapkan atau tidak berlaku, dengan pengecualian pasal 103, 107, 109 dan 111. Aturan 164 Batas Jangka Waktu
1. Jika Mahkamah memutuskan untuk tidak menerapkan jurisdiksinya sesuai dengan ketentuan aturan 162, maka ia [Mahkamah] harus memberlakukan batasan jangka waktu yang ditentukan dalam aturan ini. 2. Pelanggaran yang digambarkan dalam pasal 70 harus tunduk pada batasan jangka waktu selama lima tahun sejak tanggal terjadinya atau dilakukannya pelanggaran tersebut, dengan ketentuan bahwa selama jangka waktu tersebut tidak boleh ada penyelidikan ataupun penuntutan yang dilakukan. Batasan jangka waktu harus dipotong jika penyelidikan atau penuntutan telah dilakukan selama jangka waktu tersebut, entah di hadapan Mahkamah atau oleh suatu Negara Pihak dengan jurisdiksi terhadap kasus sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70, ayat 4 (a). 3. Pemberian atau pemberlakuan sanksi yang diberikan berkenaan dengan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70 tersebut harus tunduk pada batasan jangka waktu selama 10 tahun sejak tanggal penetapan final sanksi tersebut. Batasan jangka waktu harus dipotong dengan penghukuman orang yang dinyatakan bersalah atau selama orang yang bersangkutan berada di luar wilayah Negara-Negara Pihak. Aturan 165 Penyelidikan, Penuntutan dan Persidangan 1. Penuntut Umum bisa memulai dan melakukan penyelidikan berkenaan dengan pelanggaran yang dimaksudkan dalam pasal 70 atas inisiatifnya sendiri, berdasarkan pada informasi yang dikomunikasikan oleh suatu Sidang atau sumber-sumber lain yang terpercaya. 2. Pasal 53 dan 59, dan berbagai aturan yang ditimbulkannya, tidak boleh berlaku. 3. Untuk tujuan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 61, Sidang Pra-Peradilan bisa membuat berbagai ketentuan atau penetapan sebagaimana dinyatakan dalam pasal tersebut berdasarkan pengajuan secara tertulis, tanpa acara dengar-pendapat, kecuali kalau kepentingan keadilan menjadi taruhannya. 4. Suatu Sidang Pengadilan bisa, sejauh tepat dan sejauh mempertimbangkan atau mengutamakan hak-hak pembelaan, mengatur bahwa bisa dilakukan penggabungan dakwaan atau tuntutan berdasarkan ketentuan pasal 70 dengan tuntutan berdasarkan ketentuan pasal 5 hingga 8. Atuan 166 Sanksi Berdasarkan Ketentuan Pasal 70 1. Jika Mahkamah memberikan sanksi berkenaan dengan ketentuan pasal 70, maka aturan ini berlaku. 2. Pasal 77, dan berbagai aturan yang ditimbulkannya, tidak berlaku, dengan pengecualian atas perintah pemberian tebusan berdasarkan ketentuan pasal 77, ayat 2 (b), yang bisa diperintahkan sebagai tambahan terhadap hukuman penjara atau denda atau keduanya. 3. Masing-masing pelanggaran bisa didenda secara terpisah dan denda-denda tersebut bisa bersifat kumulatif. Tak satu pun alasan yang membolehkan jumlah total melebihi 50 persen dari nilai keseluruhan aset yang dapat diidentifikasi dari orang yang dinyatakan bersalah itu, cair atau dapat diraba, dan harta milik, setelah pengurangan jumlah yang tepat yang akan memenuhi kebutuhan finansial orang yang bersalah tersebut dan orangorang lain yang menjadi tanggungannya. 4. Dalam menetapkan denda, Mahkamah harus memberikan orang yang bersalah tersebut jangka waktu untuk membayar dendanya itu. Mahkamah bisa menyediakan fasilitas
pembayaran lump sum [pembayaran tunggal untuk beberapa item yang terpisah-pisah] atau dengan cara terpisah-pisah/berangsur selama jangka waktu yang telah ditentukan itu. 5. Jika orang yang bersalah tersebut tidak membayar denda yang telah ditetapkan sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam sub-aturan 4 di atas, maka tindakan yang perlu dan tepat bisa diambil oleh Mahkamah sesuai dengan ketentuan aturan 217 hingga 222 dan sesuai dengan ketentuan pasal 109. Jika, dalam hal berlanjutnya keengganan untuk membayar, Mahkamah, atas mosinya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum, menuntut bahwa semua tindakan penerapan yang tersedia telah dilakukan secara maksimal, maka Mahkamah sebagai sebagai sandaran terakhir menetapkan hukuman pemenjaraan sesuai dengan ketentuan pasal 70, ayat 3. Dalam penentuan soal hukuman pemenjaraan semacam itu, Mahkamah harus mempertimbangkan juga jumlah denda yang dibayarkan. Aturan 167 Kerja Sama Internasional dan Bantuan Hukum 1. Berkenaan dengan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70, Mahkamah bisa meminta suatu Negara untuk menyediakan berbagai bentuk kerja sama internasional atau bantuan judisial yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kerja sama yang ditetapkan dalam Bagian 9 Statuta. Dalam hal permintaan semacam itu, Mahkamah harus menunjukkan indikasi bahwa dasar pengajuan permintaan tersebut adalah soal penyelidikan atau penuntutan atas pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70. 2. Syarat-syarat penyediaan kerja sama internasional atau bantuan judisial tersebut bagi Mahkamah berkenaan dengan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70 itu haruslah berupa syarat yang dimaksudkan dalam pasal 70 ayat 2. Aturan 168 Ne Bis in Idem Menyangkut pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70, tidak seorang pun boleh diadili oleh atau di hadapan Mahkamah berkenaan dengan tindakan yang dibentuk oleh dasar dari suatu pelanggaran yang untuk itu orang tersebut telah dijatuhi keputusan bersalah atau diputuskan tidak bersalah oleh Mahkamah atau pengadilan lainnya. Aturan 169 Penahanan Langsung Dalam hal adanya tuduhan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 70 yang dilakukan di hadapan sebuah Sidang, Penuntut Umum bisa secara lisan meminta Sidang bersangkutan untuk memerintahkan penahanan langsung terhadap orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Bagian II Pelecehan terhadap Mahkamah Berdasarkan Ketentuan Pasal 71 Aturan 170 Perihal Tindakan Mengacaukan Proses Persidangan
Berkenaan dengan pasal 63, ayat 2, Hakim Ketua dari Sidang yang menangani suatu perkara yang sedang dalam proses pengadilannya bisa, setelah memberikan peringatan: (a) Memerintahkan seseorang yang mengacaukan proses persidangan di hadapan Mahkamah itu untuk meninggalkan atau dipindahkan dari ruangan sidang; atau (b) Jika terjadi pengulangan tindakan yang sama, memerintahkan pengucilan atau pencabutan hak orang bersangkutan supaya tidak bisa lagi menghadiri proses persidangan tersebut dan selanjutnya. Aturan 171 Penolakan untuk Mematuhi Petunjuk-Petunjuk Mahkamah 1. Jika tindakan pelecehan mengandung penolakan secara sengaja dalam mematuhi petunjuk-petunjuk Mahkamah baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis, yang tidak tercakup oleh aturan 170, dan petunjuk tersebut dilengkapi dengan suatu peringatan akan sanksi jika terjadi pelanggaran, maka Hakim Ketua dari Sidang yang menangani perkara tersebut bisa memerintahkan pengucilan terhadap atau melarang orang yang bersangkutan agar tidak menghadiri proses persidangan untuk jangka waktu tidak lebih dari 30 hari atau, jika pelecehan yang dilakukannya bersifat lebih serius lagi, Hakim Ketua menetapkan denda baginya. 2. Jika orang yang melakukan tindakan pelecehan sebagaimana digambarkan dalam subaturan 1 di atas adalah petugas atau pegawai Mahkamah, atau seorang penasihat terdakwa, atau kuasa hukum korban, maka Hakim Ketua dari Sidang yang menangani perkara tersebut bisa memerintahkan pengucilan terhadap atau melarang orang tersebut untuk menjalankan tugas dan perannya dalam Mahkamah selama jangka waktu tidak lebih dari 30 hari. 3. Jika Hakim Ketua, dalam hal-hal menyangkut ketentuan sub-aturan 1 dan 2 di atas, mempertimbangkan bahwa pemberian waktu yang lebih lama atas pengucilan atau pelarangan seseorang dipandang lebih tepat, maka Hakim Ketua itu harus membicarakan hal itu dengan Dewan Ketua, yang bisa menyelenggarakan acara dengar-pendapat untuk menentukan apakah perlu memerintahkan pemberian waktu pengucilan atau pelarangan yang lebih lama atau bahkan permanen. 4. Denda yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 di atas tidak boleh melebihi 2.000 euros, atau sebanding dengan jumlah yang sama dalam mata uang lain, dengan syarat bahwa jika terjadi tindakan pelecehan lebih lanjut, maka pemberian denda yang baru bisa ditetapkan setiap hari saat tindakan pelecehan itu terjadi, dan denda seperti itu harus dihitung secara kumulatif. 5. Orang yang dimaksud harus diberikan kesempatan untuk didengarkan sebelum penetapan sanksi atas tindakan pelecehan yang dituduhkan terhadapnya itu, sebagaimana dinyatakan dalam aturan ini. Aturan 172 Perihal Perbuatan atau Tindakan Sebagaimana Termaktub dalam Pasal 70 dan 71 Jika tindakan yang tercakup dalam pasal 71 juga serupa dengan salah satu pelanggaran sebagaimana digambarkan dalam pasal 70, maka Mahkamah harus memprosesnya sesuai dengan ketentuan pasal 70 dan aturan 162 hingga 169.
BAB 10 KOMPENSASI TERHADAP DIJATUHKAN HUKUMAN
ORANG
YANG
DITAHAN
ATAU
Aturan 173 Permohonan Kompensasi 1. Siapa pun yang mencari kompensasi berdasarkan berbagai alasan sebagaimana ditunjukkan dalam pasal 85 harus mengajukan permohonan, secara tertulis, kepada Dewan Ketua, yang akan menugaskan Sidang yang terdiri dari tiga orang hakim untuk mempertimbangkan permohonan atau permintaan tersebut. Hakim-hakim ini tidak boleh, sebelumnya, berpartisipasi atau terlibat dalam proses pemeriksaan Mahkamah terhadap orang yang kemudian membuat permohonan tersebut. 2. Permohonan untuk kompensasi tersebut harus diajukan paling lambat enam bulan setelah tanggal orang yang membuat permintaan tersebut diberitahukan soal keputusan Mahkamah menyangkut: (a) Tidak adanya dasar hukum dari tindakan penahanan atau pemenjaraan berdasarkan ketentuan pasal 85, ayat 1; (b) Perubahan atau pembalikan atas hukuman yang telah dijatuhkan berdasarkan ketentuan pasal 85, ayat 2; (c) Adanya kesalahan yang serius dan mencolok dalam penegakan keadilan dalam proses persidangan berdasarkan ketentuan pasal 85, ayat 3. 3. Permohonan tersebut harus memuat dasar atau alasan dan jumlah kompensasi yang diminta. 4. Orang yang meminta kompensasi tersebut harus dijamin haknya untuk mendapatkan bantuan hukum. Aturan 174 Prosedur untuk Mengupayakan Kompensasi 1. Sebuah permintaan atau permohonan untuk kompensasi dan berbagai observasi atau komentar tertulis lainnya yang diajukan oleh orang yang memasukkan permohonan tersebut harus diteruskan kepada Penuntut Umum, yang kemudian mendapatkan kesempatan untuk merespon secara tertulis. Berbagai observasi atau komentar dari Penuntut Umum harus diberitahukan kepada orang yang memasukkan permohonan tersebut. 2. Sidang yang ditugaskan sesuai dengan ketentuan aturan 173, sub-aturan 1, bisa melakukan acara dengar-pendapat maupun menentukan hal-hal yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut dan berbagai observasi tertulis yang dibuat oleh Penuntut Umum dan orang yang memasukkan permohonan tersebut. Acara dengarpendapat harus dilakukan jika Penuntut Umum atau orang yang mengupayakan kompensasinya itu meminta demikian. 3. Keputusan harus diambil dengan cara suara mayoritas dari jumlah hakim yang ada. Keputusan tersebut harus diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada orang yang memasukkan permohonan tersebut. Aturan 175 Jumlah Kompensasi
Dalam menentukan jumlah berbagai kompensasi yang memenuhi syarat ketentuan pasal 85, ayat 3, Sidang yang ditugaskan berdasarkan ketentuan aturan 173, sub-aturan 1, harus mempertimbangkan konsekuensi dari kesalahan yang serius dan mencolok dalam penegakan keadilan selama proses persidangan yang berdampak pada keadaan atau situasi personal, keluarga, sosial dan profesional dari orang yang memasukkan atau mengajukan permohonan tersebut.
BAB 11 KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN BANTUAN HUKUM Bagian I Permohonan Kerja Sama Berdasarkan Ketentuan Pasal 87 Aturan 176 Badan-Badan Mahkamah yang Bertanggung Jawab dengan Penyerahan dan Penerimaan Berbagai Bentuk Komunikasi yang Berkaitan dengan Kerja Sama Internasional dan Bantuan Hukum 1. Berdasarkan dan menyusul pendirian atau pembentukan Mahkamah, Panitera harus mendapatkan dari Sekretaris Jenderal PBB berbagai komunikasi yang dibuat oleh Negara-Negara (Pihak) sesuai dengan ketentuan pasal 87, ayat 1 (a) dan ayat 2. 2. Panitera harus meneruskan atau menyerahkan permintaan untuk kerja sama yang dibuat oleh Sidang-Sidang di Mahkamah dan harus mendapatkan jawaban, informasi dan dokumentasi dari Negara-Negara yang diminta itu. Kantor Penuntut Umum harus meneruskan atau menyerahkan permintaan-permintaan untuk kerja sama itu yang dibuat oleh Penuntut Umum dan harus mendapatkan jawaban, informasi dan dokumendokumen yang dibutuhkan dari Negara-Negara yang dimintai itu. 3. Panitera harus menjadi pihak penerima berbagai komunikasi dari Negara-Negara menyangkut perubahan-perubahan yang terjadi selanjutnya dalam penentuan saluransaluran nasional yang dituduhkan dengan menerima permintaan kerja sama, juga berbagai perubahan dalam bahasa yang dengan itu permintaan kerja sama harus dibuat, dan harus, berdasarkan permintaan, membuat informasi seperti itu tersedia bagi Negara-Negara Pihak sepanjang diperlukan dan dipandang tepat. 4. Ketentuan sub-aturan 2 di atas diterapkan secara mutatis mutandis di mana Mahkamah meminta informasi, dokumen, atau bentuk-bentuk kerja sama lainnya dan bantuan dari organisasi antar-pemerintahan. 5. Panitera harus meneruskan atau menyerahkan berbagai komunikasi yang dimaksudkan dalam sub-aturan 1 dan 3 di atas, aturan 77, sub-aturan 2, sejauh dipandang tepat, kepada Dewan Ketua atau Kantor Penuntut Umum, atau keduanya. Aturan 177 Saluran Komunikasi 1. Komunikasi-komunikasi menyangkut otoritas nasional yang dituntut dengan menerima permintaan kerja sama yang dibuat berdasarkan ratifikasi, akseptasi (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi harus menyediakan berbagai informasi yang relevan tentang otoritas-otoritas semacam itu. 2. Ketika suatu organisasi antar-pemerintahan diminta untuk membantu Mahkamah berdasarkan pasal 87, ayat 6, Panitera harus, jika dianggap perlu, memeriksa atau menyelidiki saluran-saluran komunikasinya yang telah ditetapkan olehnya dan perlu mendapatkan informasi relevan menyangkut hal tersebut. Aturan 178 Bahasa yang Dipilih untuk Digunakan oleh Negara-Negara Pihak Berdasarkan Ketentuan Pasal 87, Ayat 2
1. Ketika suatu Negara Pihak yang dimintai itu telah memiliki lebih dari satu bahasa resmi, itu berarti bahwa ratifikasi, acceptance, approval atau aksesi yang berkenaan dengan permohonan atau permintaan kerja sama dan berbagai dokumen pendukung lainnya dapat dibuat dalam salah satu bahasa resminya. 2. Jika Negara Pihak yang dimintai itu belum memilih salah satu bahasa untuk komunikasi dengan Mahkamah menyangkut soal ratifikasi, acceptance, approval atau aksesi, maka permintaan kerja sama harus diterjemahkan atau dilengkapi dengan versi terjemahannya ke dalam salah satu bahasa kerja Mahkamah sesuai dengan ketentuan pasal 87, ayat 2. Aturan 179 Bahasa yang Digunakan dalam Membuat Permintaan kepada Negara yang Bukan Negara Pihak dari Statuta Jika sebuah Negara yang bukan Negara Pihak dari Statuta telah menyetujui untuk menyediakan bantuan terhadap Mahkamah berdasarkan ketentuan pasal 87, ayat 5, dan belum membuat pilihan soal bahasa untuk permintaan semacam itu, maka permintaan kerja sama harus diterjemahkan atau dilengkapi dengan versi terjemahannya dalam salah satu bahasa kerja Mahkamah. Aturan 180 Perubahan-Perubahan dalam Saluran Komunikasi atau Bahasa yang Digunakan dalam Membuat Permintaan untuk Kerja Sama 1. Perubahan-perubahan menyangkut saluran komunikasi atau bahasa yang sudah dipilih oleh sebuah Negara untuk digunakan sesuai dengan ketentuan pasal 87, ayat 2, harus dikomunikasikan secara tertulis kepada Panitera pada kesempatan pertama. 2. Perubahan-perubahan yang dimaksudkan dalam sub-aturan 1 di atas harus mendatangkan hasil dalam hal permintaan kerja sama yang dibuat oleh Mahkamah pada waktu yang telah disepakati antara Mahkamah dan Negara yang bersangkutan atau, jika tak ada kesepakatan semacam itu, 45 hari setelah Mahkamah menerima komunikasi dan, dalam segala hal, tanpa prejudis atau pelanggaran terhadap permintaan yang sedang diproses atau permintaan yang akan diajukan. Bagian II Penyerahan, Pemindahan dan Berbagai Permintaan yang Bersamaan Berdasarkan Ketentuan Pasal 89 dan 90 Aturan 181 Keberatan terhadap Diterimanya Sebuah Kasus di Suatu Pengadilan Nasional Jika situasi atau keadaan yang digambarkan dalam pasal 89, ayat 2, muncul, dan tanpa melanggar ketentuan pasal 19 dan aturan 58 hingga 62 tentang prosedur yang diterapkan untuk keberatan terhadap jurisdiksi Mahkamah atau soal dapat diterimanya sebuah perkara, Sidang yang menangani kasus tersebut – jika kewenangan soal dapat diterimanya sebuah perkara tetap ditunda – harus mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan dari Negara yang dimintai itu semua informasi yang relevan tentang keberatan menyangkut ne bis in idem yang diajukan oleh orang tersebut (orang yang didakwa).
Aturan 182 Permintaan Pemindahan Berdasarkan Ketentuan Pasal 89, Ayat 3 (e) 1. Dalam situasi yang digambarkan dalam pasal 89, ayat 3 (e), Mahkamah bisa menyerahkan permintaan tersebut untuk pemindahan dengan media apa pun yang bisa dipakai dalam penyampaian hasil rekaman tertulis. 2. Ketika batas waktu yang telah ditetapkan dalam pasal 89, ayat 3 (e), telah berakhir dan orang yang bersangkutan telah dibebaskan, maka pelepasan tersebut harus dilakukan tanpa melanggar atau tidak bertentangan dengan penangkapan selanjutnya terhadap orang itu dalam kaitan dengan ketentuan pasla 89 atau pasal 92. Aturan 183 Penyerahan Sementara yang Mungkin Mengikuti konsultasi yang dimaksudkan dalam pasal 89, ayat 4, Negara yang dimintai kerja samanya itu bisa sesewaktu menyerahkan orang yang dicari berkenaan dengan syarat-syarat yang ditentukan antara Negara yang dimintai itu dan Mahkamah. Dalam kasus tersebut orang yang dicari itu harus dijaga di negara atau tempat penahanannya yang sementara selama ia dihadirkan di hadapan Mahkamah dan harus dipindahkan ke Negara yang dimintai kerja sama itu ketika kehadirannya di hadapan Mahkamah tidak dibutuhkan lagi, paling akhir ketika proses persidangan telah dilakukan hingga tahap akhir. Aturan 184 Pengaturan untuk Penyerahan 1. Negara yang dimintai kerja samanya itu harus segera menginformasikan kepada Panitera kapan orang yang dicari atau diinginkan Mahkamah itu bisa diserahkan. 2. Orang tersebut harus diserahkan kepada Mahkamah pada tanggal dan dengan cara yang disepakati antara pejabat-pejabat berwenang dari Negara yang dimintai kerja samanya itu dan Panitera. 3. Jika keadaan menghalangi penyerahan orang tersebut pada tanggal yang telah disepakati itu, pejabat yang berwenang dari Negara yang dimintai kerja samanya itu dan Panitera harus menyepakati tanggal dan cara baru bagaimana orang tersebut diserahkan. 4. Panitera harus terus membangun kontak dengan pejabat-pejabat dari Negara “tuan rumah” dalam kaitan dengan pengaturan penyerahan orang tersebut ke Mahkamah. Aturan 185 Pembebasan Seseorang dari Tahanan Mahkamah Kecuali Sedang Memenuhi Hukuman 1. Tunduk pada ketentuan sub-aturan 2, di mana seseorang yang diserahkan kepada Mahkamah dibebaskan dari tahanan Mahkamah karena Mahkamah tidak memiliki jurisdiksi, kasus tersebut tidak dapat diterima berdasarkan ketentuan pasal 17, ayat 1 (b), (c) atau (d), tuduhan-tuduhan belum dikonfirmasikan berdasarkan ketentuan pasal 61, orang yang dituduh tersebut telah dinyatakan tidak bersalah atau diputus bebas pada sidang pengadilan atau sidang tingkat banding, atau karena berbagai alasan lainnya, maka Mahkamah harus, sesegera mungkin, membuat semacam pengaturan yang
dipertimbangkannya sebagai cara yang tepat untuk memindahkan orang tersebut, dengan meminta dan menerima pandangan dari orang yang bersangkutan, kepada suatu Negara yang diwajibkan untuk menerimanya, kepada Negara lain yang setuju untuk menerimanya, atau kepada suatu Negara yang telah meminta ekstradisinya (ekstradisi orang bersangkutan) dengan persetujuan atau izin dari Negara yang menyerahkannya pertama kali. Dalam hal ini, Negara tuan rumah harus memfasilitasi penyerahan dalam kaitan dengan persetujuan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 3, ayat 2, dan pengaturan-pengaturan terkait lainnya. 2. Jika Mahkamah telah menentukan bahwa kasus tersebut tidak dapat diterima berdasarkan ketentuan pasal 17, ayat 1 (a), Mahkamah harus membuat pengaturanpengaturan, sejauh dipandang tepat, untuk pemindahan orang tersebut kepada suatu Negara yang penyelidikannya atau penuntutannya telah membentuk dasar keberatan yang sukses terhadap soal dapat diterimanya sebuah perkara, kecuali kalau Negara yang pertama sekali menyerahkan orang tersebut meminta pengembalian orang yang telah diserahkannya itu. Aturan 186 Berbagai Permintaan yang Bersamaan dalam Konteks Adanya Keberatan Perihal Diterimanya Sebuah Kasus Dalam situasi yang digambarkan dalam pasal 90, ayat 8, Negara yang dimintai kerja samanya itu harus membuat pemberitahuan soal keputusannya kepada Penuntut Umum supaya memampukan dia (Penuntut Umum) mengambil tindakan berkenaan dengan ketentuan pasal 19, ayat 10. Bagian III Dokumen yang Diperlukan untuk Melakukan Berdasarkan Ketentuan Pasal 91 dan 92
Penahanan
dan
Penyerahan
Aturan 187 Penerjemahan Dokumen yang Melengkapi Permintaan untuk Penyerahan Untuk memenuhi maksud ketentuan pasal 67, ayat 1 (a), dan berkenaan dengan ketentuan aturan 117, sub-aturan 1, permintaan berdasarkan ketentuan pasal 91 harus dilengkapi, sejauh dipandang tepat, dengan suatu terjemahan dari surat penangkapan atau pertimbangan yang melahirkan keputusan bersalah dan dengan suatu terjemahan teks berbagai ketentuan yang relevan dari Statuta, dalam suatu bahasa yang sepenuhnya dimengerti dan dipergunakan sebagai bahasa wicara oleh orang yang bersangkutan. Aturan 188 Batas Waktu untuk Mengajukan Dokumen Setelah Penahanan Sementara Untuk memenuhi maksud ketentuan pasal 92, ayat 3, batas waktu untuk penerimaan oleh Negara yang dimintai kerja samanya itu soal permintaan penyerahan orang bersangkutan dan dokumen-dokumen yang mendukung permintaan tersebut harus dalam tempo 60 hari sejak tanggal penahanan sementara itu. Aturan 189 Penyerahan Dokumen yang Mendukung Permintaan
Jika seseorang telah setuju untuk menyerahkan diri berkenaan dengan ketentuan-ketentuan pasal 92, ayat 3, dan Negara yang dimintai kerja samanya itu terus memproses penyerahan orang tersebut kepada Mahkamah, maka Mahkamah tersebut tidak perlu diharuskan untuk menyerahkan dokumen-dokumen yang dimaksudkan dalam pasal 91 kecuali kalau Negara yang dimintai kerja samanya itu menunjukkan indikasi sebaliknya. Bagian IV Kerja Sama Berdasarkan Ketentuan Pasal 93 Aturan 190 Arahan tentang Mengakui Kejahatan Sendiri yang Melengkapi Permintaan untuk Menghadirkan Saksi Ketika membuat permintaan berdasarkan ketentuan pasal 93, ayat 1 (e), berkaitan dengan kepentingan saksi, maka Mahkamah harus menambahkan sebuah perintah, berkenaan dengan aturan 74 tentang mengakui kejahatan sendiri atau tindakan yang memberatkan diri sendiri (self-incrimination), yang ditujukan kepada saksi yang dimintai keterangannya, dalam bahasa yang sepenuhnya dipahami dan bisa dijadikan bahasa wicara oleh orang bersangkutan. Aturan 191 Jaminan yang Diberikan Mahkamah Berdasarkan Ketentuan Pasal 93. Ayat 2 Sidang yang menangani kasus tersebut, berdasarkan mosinya sendiri atau berdasarkan permintaan Penuntut Umum, pembela atau saksi atau ahli berkenaan dengan kasus yang sedang ditangani itu, bisa memutuskan, setelah mempertimbangkan pandangan Penuntut Umum dan saksi atau ahli bersangkutan, untuk memberikan atau menyediakan jaminan sebagaimana digambarkan dalam ketentuan pasal 93, ayat 2. Aturan 192 Pemindahan Seseorang ke dalam Tahanan 1. Pemindahan seseorang yang berada dalam tahanan sementara ke Mahkamah berkenaan dengan ketentuan pasal 93, ayat 7, harus diatur secara bersama atau dengan kerja sama antara pejabat berwenang Negara di mana orang tersebut ditahan sementara, Panitera dan pejabat berwenang di Negara “tuan rumah” (negara di mana Mahkamah berada). 2. Panaitera harus menjamin bahwa pemindahan tersebut dilakukan dengan cara yang telah disepakati itu, termasuk pengawasan terhadap orang tersebut selama ia berada dalam tahanan sementara Mahkamah. 3. Orang yang berada dalam tahanan Mahkamah harus dijamin haknya untuk mempertanyakan masalah-masalah berkenaan dengan kondisi-kondisi penahanannya kepada Sidang yang menangani kasusnya itu. 4. Berkaitan dengan ketentuan pasal 93, ayat7 (b), jika tujuan pemindahan telah diisi atau dicantumkan, Panitera harus mengatur pengembalian orang yang ada dalam tahanan sementara itu ke Negara yang dimintai kerja samanya itu. Aturan 193 Pemindahan Sementara Seseorang dari Negara yang Menuntut
1. Sidang yang menangani kasus tersebut bisa memerintahkan pemindahan sementara dari Negara yang menuntut ke Mahkamah terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman oleh Mahkamah yang kesaksiannya atau bantuan lainnya diperlukan oleh atau di hadapan Mahkamah. Ketentuan pasal 93, ayat 7, harus diterapkan. 2. Panitera harus menjamin bahwa pemindahan tersebut dilakukan dengan cara yang telah ditetapkan, yang dilakukan dalam kerja sama dengan pejabat-pejabat berwenang dari Negara yang menuntut itu dan pejabat-pejabat berwenang dari Negara di mana Mahkamah berada atau Negara tempat dipindahkannya orang tersebut. Jika tujuan pemindahan telah dicantumkan, Mahkamah harus mengembalikan orang yang dihukum tersebut ke Negara yang menuntut itu. 3. Orang yang dijatuhi hukuman itu harus diamankan dalam tahanan sementara selama ia dihadirkan di hadapan Mahkamah. Keseluruhan masa penahanan yang dihabiskan selama kehadirannya di hadapan Mahkamah harus dikurangi dengan masa atau lama hukuman yang masih harus ditempuhnya. Aturan 194 Kerja Sama yang Diminta dari Mahkamah 1. Berkenaan dengan ketentuan pasal 93, ayat 10, dan sesuai dengan ketentuan pasal 96, secara mutatis mutandis, suatu Negara bisa menyerahkan ke Mahkamah permintaan kerja sama atau untuk mendapatkan bantuan dari Mahkamah, yang diajukan dalam bahasa kerja Mahkamah atau bisa juga dalam bahasa asli pengaju permohonan yang dilengkapi dengan terjemahan versi bahasa kerja Mahkamah. 2. Permintaan yang digambarkan dalam sub-aturan 1 di atas dikirimkan kepada Panitera, yang akan meneruskan permohonan tersebut, sejauh dipandang tepat, kepada Penuntut Umum atau Sidang yang menangani perkara itu. 3. Jika tindakan-tindakan protektif yang termasuk dalam cakupan ketentuan pasal 68 telah diadopsi atau diterima, Penuntut Umum atau Sidang, sejauh dipandang tepat, harus mempertimbangkan pandangan dari Sidang yang memerintahkan diambilnya tindakantindakan itu termasuk juga pandangan atau komentar dari korban atau saksi yang relevan, sebelum memberikan keputusan menyangkut permintaan tersebut. 4. Jika permintaan tersebut memiliki kaitan dengan dokumen atau bukti-bukti yang digambarkan dalam pasal 93, paragraf 10 (b) (ii), Penuntut Umum atau Sidang, sejauh dipandang tepat, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Negara yang relevan sebelum memproses permintaan tersebut. 5. Jika Mahkamah memutuskan untuk menerima atau menyetujui permintaan kerja sama atau bantuan dari suatu Negara, permintaan tersebut harus dilaksanakan, sepanjang memungkinkan, dengan mengikuti berbagai prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Negara yang mengajukan permintaan tersebut dan dengan membiarkan atau mengizinkan orang-orang yang disebutkan dalam permohonan tersebut untuk hadir. Bagian V Kerja Sama Berdasarkan Ketentuan Pasal 98 Aturan 195 Ketentuan Perihal Informasi
1. Jika Negara yang dimintai kerja sama memberitahukan kepada Mahkamah bahwa permintaan untuk menyerahkan diri atau permintaan soal bantuan akan menimbulkan masalah eksekusi atau pelaksanaan berkenaan dengan ketentuan pasal 98, maka Negara yang dimintai kerja sama itu harus menyediakan berbagai informasi yang relevan untuk membantu Mahkamah dalam menerapkan ketentuan pasal 98. Negara ketiga yang terkait atau Negara yang mengirimkan hal-hal yang disebutkan dalam aturan ini bisa juga menyediakan informasi tambahan untuk membantu Mahkamah. 2. Mahkamah tidak boleh memproses suatu permintaan untuk menyerahkan seseorang tanpa persetujuan dari Negara yang mengirimkannya jika, berdasarkan ketentuan pasal 98, ayat 2, permintaan semacam itu akan berakibat pada ketidaksesuaian dengan kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam persetujuan internasional yang relevan yang dengan itu persetujuan dari Negara yang mengirimkan itu diperlukan sebelum penyerahan seseorang dari Negara tersebut kepada Mahkamah. Bagian VI Aturan tentang Kekhususan Berdasarkan Ketentuan Pasal 101 Aturan 196 Ketentuan tentang Pandangan atau Pendapat Berkaitan dengan Pasal 101, Ayat 1 Seseorang yang diserahkan kepada Mahkamah bisa memberikan pandangan menyangkut pelanggaran atau kesalahan penafsiran atau pemahaman terhadap ketentuan pasal 101, ayat 1. Aturan 197 Hal-Hal Tambahan bagi Penyerahan Jika Mahkamah telah meminta penangguhan atau penghapusan hal-hal yang menjadi syarat dalam ketentuan pasal 101, ayat 1, maka Negara yang dimintai kerja samanya itu bisa meminta Mahkamah untuk mendapatkan dan menyediakan pandangan dari orang yang diserahkan kepada Mahkamah.
BAB 12 PELAKSANAAN HUKUMAN Bagian I Peran Negara-Negara dalam Pelaksanaan atau Pemberlakuan Hukuman bagi Terpidana dan Perubahan dalam Pilihan Sikap Sebuah Negara dalam Hal Pemberlakuan Hukuman Berdasarkan Ketentuan Pasal 103 dan 104 Aturan 198 Komunikasi antara Mahkamah dan Negara Kecuali kalau konteks mengharuskan sebaliknya, pasal 87 dan aturan 176 sampai 180 harus diterapkan, setepat-tepatnya, terhadap komunikasi antara Mahkamah dan sebuah Negara tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan pemberlakuan hukuman. Aturan 199 Badan yang Bertanggung Jawab Berdasarkan Ketentuan Bagian 10 Kecuali kalau dinyatakan sebaliknya oleh Hukum Acara dan Pembuktian, fungsi Mahkamah berdasarkan Bagian 10 (Statuta) harus diperiksa oleh Dewan Ketua. Aturan 200 Daftar Negara yang Melaksanakan 1. Daftar Negara yang telah menunjukkan indikasi kesediaan mereka untuk menerima orang yang dihukum itu harus dibuat dan diupayakan oleh Panitera. 2. Dewan Ketua tidak boleh memasukkan sebuah Negara ke dalam daftar yang dimasudkan dalam pasal 103, ayat 1 (a), jika Mahkamah tidak setuju dengan kondisi atau syarat-syarat yang diajukan Negara tersebut menyangkut penerimaannya terhadap orang yang dihukum itu. Dewan Ketua bisa meminta informasi tambahan dari Negara tersebut sebelum mengambil suatu keputusan. 3. Negara yang telah mengajukan syarat-syarat penerimaannya bisa kapan pun menarik kembali syarat-syarat tersebut. Berbagai amandemen atau penambahan terhadap syaratsyarat tersebut harus tunduk pada konfirmasi yang dibuat oleh Dewan Ketua. 4. Sebuah Negara bisa kapan pun menginformasikan kepada Panitera soal pengunduran dirinya dari daftar yang telah dibuat oleh Panitera itu. Pengunduran diri tersebut tidak boleh mempengaruhi pemberlakuan hukuman terhadap orang-orang yang telah diterima oleh Negara bersangkutan. 5. Mahkamah bisa menjadi bagian dari kesepakatan bilateral antar-Negara dengan maksud untuk membangun suatu kerangka kerja bagi penerimaan narapidana yang dihukum oleh Mahkamah. Kesepakatan semacam itu harus konsisten atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Statuta. Aturan 201 Prinsip Pembagian yang Sama Prinsip-prinsip distribusi yang adil untuk mewujudkan tujuan yang digariskan dalam pasal 103, ayat 3, harus mencakupi:
(a) Prinsip distribusi geografis yang adil; (b) Kebutuhan untuk mengusahakan tiap-tiap Negara yang ada dalam daftar suatu kesempatan menerima orang-orang yang dihukum itu; (c) Jumlah orang yang dihukum itu telah diterima oleh Negara tersebut dan Negara-Negara lain yang melaksanakan; (d) Berbagai faktor lain yang relevan. Aturan 202 Penentuan Waktu Pengantaran Terpidana ke Negara yang Melaksanakan Pengantaran orang yang dihukum dari Mahkamah ke Negara yang telah ditentukan sebagai Negara yang melaksanakan tidak boleh dilakukan kecuali kalau keputusan bersalah dan keputusan penjatuhan hukuman itu telah final. Aturan 203 Tinjauan atau Pandangan dari Terpidana 1. Dewan Ketua harus memberitahukan secara tertulis kepada orang yang dihukum bahwa Dewan Ketua telah menetapkan pilihan terhadap sebuah Negara yang melaksanakan. Orang yang dihukum itu harus, dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Dewan Ketua, mengajukan pandangannya kepada Dewan Ketua dalam bentuk tertulis menyangkut masalah tersebut. 2. Dewan Ketua bisa mengizinkan orang yang dihukum itu untuk membuat presentasi secara lisan. 3. Dewan Ketua harus mengizinkan orang yang dihukum itu: (a) Untuk dibantu, sejauh dianggap tepat dan perlu, oleh seorang penerjemah/penafsir yang kompeten dan untuk mendapatkan keuntungan dari terjemahan yang perlu untuk mempresentasikan pandangannya; (b) Untuk diberikan waktu yang memadai dan fasilitas yang perlu untuk menyiapkan presentasi atas pandangan atau pendapatnya. Aturan 204 Informasi Berkaitan dengan Penetapan Pilihan Jika Dewan Ketua memberitahukan kepada Negara yang telah ditentukan itu tentang keputusannya, Dewan Ketua juga harus menyerahkan informasi dan dokumen-dokumen berikut ini: (a) Nama, kebangsaan/kewarganegaraan, tanggal dan tempat kelahiran dari orang yang dihukum tersebut; (b) Salinan dari pertimbangan final atas penentuan bersalah tidaknya seseorang dan atas hukuman yang ditimpalkan terhadapnya; (c) Lama dan tanggal permulaan hukuman dan waktu yang masih tersisa untuk menjalankan hukuman; (d) Setelah mendengarkan pandangan dari orang yang dihukum iut, berbagai informasi yang perlu berkenaan dengan keadaan kesehatannya, termasuk berbagai pengobatan atau perawatan medis yang telah dan sedang ia terima. Aturan 205 Penolakan tehadap Penetapan Pilihan dalam Sebuah Kasus Khusus
Jika sebuah Negara dalam kasus tertentu menolak penentuan pilihan oleh Dewan Ketua, maka Dewan Ketua bisa menentukan pilihan pada suatu Negara lain lagi. Aturan 206 Pengantaran Terpidana ke Negara yang Melaksanakan 1. Panitera harus menginformasikan kepada Penuntut Umum dan orang yang dihukum itu tentang penetapan pilihan terhadap sebuah Negara itu untuk melaksanakan hukuman. 2. Orang yang dihukum itu harus diantar ke Negara yang melaksanakan itu sesegera mungkin setelah Negara yang telah ditetapkan untuk melaksanakan itu menyetujui penetapan itu. 3. Panitera harus menjamin pelaksanaan secara tepat dan seharusnya pengantaran orang yang dihukum tersebut yang dilakukan dengan berkonsultasi dengan pejabat berwenang dari Negara yang melaksanakan dan Negara “tuan rumah” (Negara asal orang yang dihukum itu). Aturan 207 Pemindahan (Transit) 1. Otorisasi atau kewenangan tidak diperlukan jika orang yang dihukum itu diangkut dengan transportasi udara dan tidak ada jadwal pendaratan di wilayah Negara transit. Jika terjadi pendaratan yang tidak terjadwal sebelumnya di wilayah Negara transit, maka Negara tersebut harus, sebisa mungkin berdasarkan prosedur hukum nasionalnya, menahan orang yang dihukum itu dalam tahanan sementara hingga permintaan untuk transit atau pemindahan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan sub-aturan 2 di bawah ini atau permintaan berkenaan dengan ketentuan pasal 89, ayat 1, atau pasal 92 diterima. 2. Sedapat mungkin berdasarkan prosedur hukum nasional, sebuah Negara Pihak harus mengotorisasi atau mengesahkan transit atau pemindahan orang yang dihukum itu melalui wilayahnya. Dan ketentuan-ketentuan dalam pasal 89, ayat 3 (b) dan (c), dan pasal 105 dan 108 dan berbagai aturan yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus, sejauh dipandang tepat, diterapkan. Salinan dari petimbangan final soal keputusan bersalah dan penjatuhan hukuman harus dilampirkan pada permintaan soal transit atau pemindahan tersebut. Aturan 208 Biaya 1. Biaya rutin soal pemberlakuan atau pelaksanaan hukuman di wilayah sebuah Negara yang melaksanakan harus ditetapkan atau ditanggung oleh Negara bersangkutan. 2. Biaya-biaya lain, termasuk biaya untuk transport orang yang dihukum itu dan biayabiaya sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 100, ayat 1 (c), (d), dan (e), harus ditanggung oleh Mahkamah. Aturan 209 Perubahan Penentuan Pilihan terhadap Sebuah Negara yang Melaksanakan
1. Dewan Ketua, bertindak atas mosinya sendiri atau atas permintaan orang yang dihukum atau Penuntut Umum, bisa kapan saja bertindak menuruti ketentuan pasal 104, ayat 1. 2. Perminataan orang yang dihukum itu atau Penuntut Umum harus dibuat secara tertulis dan harus menyatakan dasar-dasar yang menjadi alasan dilakukannya atau diupayakannya pemindahan tersebut. Aturan 210 Prosedur Perubahan Melaksanakan
Penentuan
Pilihan
terhadap
Sebuah
Negara
yang
1. Sebelum memutuskan untuk mengubah penentuan pilihan terhadap sebuah Negara yang melaksanakan, Dewan Ketua bisa: (a) Meminta pandangan dari Negara yang melaksanakan; (b) Mempertimbangkan presentasi tertulis atau lisan dari orang yang dihukum itu dan dari Penuntut Umum; (c) Mempertimbangkan pendapat ahli baik secara tertulis maupun lisan menyangkut, antara lain, orang yang dihukum itu; (d) Memperoleh berbagai informasi relevan lainnya dari sumber-sumber yang dapat diandalkan atau sumber terpercaya. 2. Ketentuan dalam aturan 203, sub-aturan 3, harus diterapkan, sejauh dipandang tepat. 3. Jika Dewan Ketua menolak untuk mengubah penentuan pilihan terhadap sebuah Negara yang melaksanakan, maka Dewan Ketua harus, sesegera mungkin, menginformasikan kepada orang yang dihukum itu, Penuntut Umum dan Panitera tentang keputusannya itu dan alasan-alasan dikeluarkannya keputusan seperti itu. Dewan Ketua juga harus menginformasikan hal itu kepada Negara yang melaksanakannya. Bagian II Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pemindahan Berdasarkan Ketentuan Pasal 105, 106, dan 107 Aturan 211 Pengawasan terhadap Pelaksanaan Hukuman dan Kondisi Hukuman Penjara 1. Agar bisa mengawasi pelaksanaan hukuman penjara, Dewan Ketua: (a) Harus, dengan melakukan konsultasi dengan Negara yang melaksanakan, menjamin bahwa dalam mengembangkan pengaturan yang tepat untuk pemeriksaan oleh siapa pun orang yang dihukum itu menyangkut haknya untuk berkomunikasi dengan Mahkamah tentang kondisi hukuman penjara, maka ketentuan pasal 106, ayat 3, harus diindahkan; (b) Bisa, jika diperlukan, meminta berbagai informasi, laporan atau opini ahli dari Negara yang melaksanakan atau dari berbagai sumber yang terpercaya; (c) Bisa, sejauh dianggap tepat, mendelegasikan seorang hakim dari Mahkamah atau seorang anggota staf Mahkamah yang akan bertanggung jawab, setelah memberitahukan Negara yang melaksanakan, untuk bertemu orang yang dihukum itu dan mendengarkan pandangannya, tanpa kehadiran pejabat-pejabat nasional atau Negara yang bersangkutan;
(d) Bisa, sejauh dianggap tepat, memberikan kepada Negara yang melaksanakan suatu kesempatan untuk memberikan komentar terhadap pandangan yang dilontarkan oleh orang yang dihukum tersebut berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 (c) di atas. 2. Jika orang yang dihukum itu pantas untuk mengikuti suatu program penjara atau dijamin mendapatkan keuntungan di bawah hukum nasional/domestik Negara yang melaksanakan yang bisa melibatkan beberapa aktivitas di luar fasilitas penjara, maka Negara yang melaksanakan harus mengkomunikasikan fakta itu kepada Dewan Ketua, bersama-sama dengan berbagai informasi atau observasi yang relevan, untuk memampukan Mahkamah menjalankan fungsi kepengawasannya. Aturan 212 Informasi tentang Lokasi Orang yang Kepadanya Diberlakukan KetentuanKetentuan Perihal Denda, Tebusan ataupun Pemulihan Untuk tujuan pemberlakuan denda dan ketentuan-ketentuan tebusan dan pemberlakuan ketentuan reparasi yang diperintahkan oleh Mahkamah, Dewan Ketua bisa, kapan saja atau paling kurang 30 hari sebelum selesainya jadwal masa hukuman yang masih harus dijalani oleh orang yang dihukum itu, meminta Negara yang melaksanakannya untuk menyerahkan kepadanya [kepada Dewan Ketua] informasi-informasi yang relevan berkenaan dengan maksud dari Negara tersebut untuk mengesahkan orang yang dihukum itu untuk tetap tinggal di wilayah Negara tersebut atau lokasi di mana Dewan Ketua bermaksud mengirimkannya. Aturan 213 Prosedur Berkaian dengan Pasal 107, Ayat 3 Berkenaan dengan ketentuan pasal 107, ayat 3, maka prosedur yang ditetapkan dalam aturan 214 dan 215 harus diterapkan, seperlunya dan sejauh dianggap tepat. Bagian III Batasan terhadap Tuntutan atau Hukuman terhadap Pelanggaran-Pelanggaran Lainnya Berdasarkan Ketentuan Pasal 108 Aturan 214 Permintaan untuk Menuntut atau Memberlakukan Sebuah Hukuman terhadap Tindakan Kejahatan Sebelumnya 1. Untuk penerapan pasal 108, ketika Negara yang melaksanakan berkeinginan untuk menuntut atau memberlakukan hukuman terhadap orang yang dihukum itu untuk berbagai tindakan orang itu sebelum pemindahannya, maka Negara itu harus memberitahukan maksudnya itu kepada Dewan Ketua dan menyerahkan kepadanya dokumen-dokumen berikut: (a) Pernyataan menyangkut fakta dari kasus tersebut dan karakterisasi legalnya atau ketentuan-ketentuan legal yang dilanggarnya; (b) Salinan dari berbagai ketentuan hukum yang dapat diterapkan, termasuk salinan ketentuan yang menyangkut pengaturan soal pembatasan dan hukuman-hukuman yang dapat diterapkan; (c) Salinan dari berbagai hukuman, surat perintah penahanan/penangkapan atau dokumen-dokumen lainnya yang memiliki kekuatan yang sama, atau berbagai
2.
3.
4.
5.
6.
dokumen hukum resmi lainnya yang dimaksudkan oleh Negara tersebut untuk diberlakukan; (d) Dokumen atau instrumen pelengkap (protokol) yang mengandung pandangan dari orang yang dihukum itu yang diperoleh setelah orang itu diberitahukan secara memadai soal proses atau kelangsungan kasusnya itu. Dalam hal terjadi permintaan ekstradisi yang dibuat oleh suatu Negara lain, Negara yang melaksanakan itu harus menyerahkan keseluruhan permintaan itu kepada Dewan Ketua dengan suatu dokumen pelengkap (protokol) yang mengandung pandangan dari orang yang dihukum itu yang didapatkan setelah orang tersebut diberitahukan secara memadai menyangkut permintaan ekstradisi tersebut. Dewan Ketua bisa dalam segala hal meminta berbagai dokumen atau informasi tambahan dari Negara yang melaksanakan itu atau Negara yang meminta ekstradisi tersebut. Jika orang tersebut diserahkan kepada Mahkamah oleh suatu Negara selain Negara yang melaksanakannya atau Negara yang meminta dilakukan ekstradisi, maka Dewan Ketua harus berkonsultasi dengan Negara yang menyerahkan orang tersebut dan mempertimbangkan semua pandangan yang dilontarkan oleh Negara tersebut. Berbagai informasi atau dokumen-dokumen yang diserahkan kepada Dewan Ketua berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 hingga 4 di atas harus diteruskan kepada Penuntut Umum, yang masukan atau komentarnya diperlukan. Dewan Ketua bisa memutuskan untuk melakukan acara dengar-pendapat.
Aturan 215 Keputusan terhadap Permintaan Menuntut atau Memberlakukan Sebuah Hukuman 1. Dewan Ketua harus membuat suatu penetapan atas keputusan akhir sesegera mungkin. Penetapan ini harus diberitahukan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam keseluruhan proses persidangan. 2. Jika permohonan atau permintaan yang diajukan berdasarkan ketentuan sub-aturan 1 atau 2 dalam aturan 214 berkenaan dengan pemberlakuan hukuman, orang yang dihukum itu bisa menjalani hukuman itu di Negara yang telah ditentukan oleh Mahkamah untuk melaksanakan atau memberlakukan hukuman yang telah diumumkannya itu atau orang yang dihukum itu diekstradisikan ke Negara ketiga hanya setelah orang itu telah menjalani secara penuh hukuman yang telah diumumkan oleh Mahkamah, dengan tetap tunduk pada ketentuan pasal 110 Statuta. 3. Dewan Ketua bisa mengotorisasikan atau mengesahkan ekstradisi temporer terhadap orang yang dihukum itu kepada Negara ketiga untuk dilakukan penuntutan hanya jika Dewan Ketua telah mendapatkan jaminan yang dipandangnya memadai bahwa orang yang dihukum itu akan dimasukkan dalam tahanan sementara di Negara ketiga itu dan diserahkan kembali ke Negara yang semula memang bertanggung jawab terhadapnya dalam hal pemberlakuan hukuman yang telah diumumkan oleh Mahkamah, setelah penuntutan tersebut. Aturan 216 Informasi tentang Pemberlakuan atau Pelaksanaan Hukuman Dewan Ketua harus meminta Negara yang melaksanakan hukuman untuk menginformasikan kepadanya tentang berbagai peristiwa atau kejadian penting yang
berkenaan dengan orang yang dihukum itu, dan tentang berbagai penuntutan terhadap orang tersebut menyangkut peristiwa atau kejadian setelah ia dipindahkan. Bagian IV Pelaksanaan [Pemulihan]
Ketentuan-Ketentuan
Denda,
Tebusan,
dan
Perintah
Reparasi
Aturan 217 Kerja Sama dan Ketentuan-Ketentuan untuk Melaksanakan Perintah Pembayaran Denda, Tebusan, atau Perintah Reparasi [Pemulihan] Untuk pelaksanaan atau pemberlakuan perintah pembayaran denda, tebusan atau perintah pemulihan, Dewan Ketua harus, sejauh dipandang tepat, mengupayakan kerja sama dan tindakan-tindakan untuk pemberlakuan dalam kaitan dengan Bagian 9 Statuta, termasuk juga menyerahkan salinan dari perintah-perintah yang relevan kepada Negara-Negara yang dengannya orang yang dihukum itu tampak memiliki hubungan langsung entah menyangkut kewarganegaraan atau kebangsaan, domisili atau tempat tinggal yang biasa atau karena merupakan lokasi di mana aset dan harta milik orang yang dihukum itu berada atau yang dengan Negara itu korban memiliki hubungan seperti itu juga. Dewan Ketua harus, sejauh dipandang tepat, menginformasikan kepada Negara yang bersangkutan tentang berbagai klaim dari pihak-pihak ketiga atau tentang gakta bahwa tidak ada klaim yang dilontarkan oleh seseorang yang telah menerima pemberitahuan tentang prosesproses persidangan yang dilangsungkan dengan mengikuti ketentuan pasal 75. Aturan 218 Perintah untuk Memberikan Tebusan dan Pemulihan 1. Supaya memampukan Negara-Negara dalam melaksanakan perintah pemberian tebusan, maka perintah tersebut harus menjelaskan secara khusus hal-hal sebagai berikut: (a) Identitas dari orang yang menjadi alamat atau sasaran dikeluarkannya perintah tersebut; (b) Uang hasil keuntungan, harta milik dan aset yang telah diperintahkan oleh Mahkamah untuk dijadikan sebagai tebusan; dan (c) Bahwa jika Negara Pihak tidak mampu melaksanakan perintah pembayaran tebusan berkenaan dengan keuntungan uang, harta milik atau aset yang telah ditentukan, maka Negara tersebut harus mengambil langkah-langkah untuk menutupi nilai atau jumlah yang sama dengan yang telah ditentukan itu. 2. Dalam permintaan untuk kerja sama dan tindakan pemberlakuan, Mahkamah juga harus menyediakan informasi yang ada semisal tempat keuntungan berupa uang, harta milik dan aset yang dicakup dalam perintah pemberian tebusan. 3. Supaya memampukan Negara-Negara dalam melaksanakan atau menerapkan perintah pemberian reparasi (pemulihan), maka perintah tersebut harus secara khusus: (a) Menjelaskan identitas dari orang yang menjadi alamat atau sasaran dikeluarkannya perintah tersebut; (b) Menjelaskan, berkenaan dengan reparasi atau ganti rugi berupa sejenis uang, identitas korban yang kepadanya reparasi individual telah diberikan, dan menjelaskan, jika pemberian reparasi (berupa uang) itu harus didepositokan
bersama Trust Fund, hal-hal khusus dari Trust Fund untuk deposito dana reparasi tersebut; dan (c) Menjelaskan cakupan dan hakikat reparasi yang diperintahkan oleh Mahkamah, termasuk, jika dapat diterapkan, harta milik dan aset yang untuknya restitusi telah diperintahkan. 4. Jika Mahkamah memberikan reparasi berdasarkan alasan individual, maka salinan perintah pemberian reparasi harus diberikan kepada korban yang dimaksud. Aturan 219 Ketidak-berubahan Perintah untuk Memberikan Pemulihan Dewan Ketua harus, ketika menyerahkan salinan perintah pemberian reparasi kepada Negara-Negara Pihak berdasarkan ketentuan aturan 217, menginformasikan kepada mereka bahwa, dalam menerapkan perintah pemberian reparasi, para pejabat nasional tidak boleh mengubah atau memodifikasi ketentuan reparasi yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, cakupan atau luasnya kerusakan, kehilangan atau derita yang telah ditentukan oleh Mahkamah atau prinsip-prinsip yang telah dinyatakan dalam perintah itu, dan harus memfasilitasi pemberlakuan perintah semacam itu. Aturan 220 Ketidak-berubahan Keputusan Hakim di mana Denda Telah Ditetapkan Ketika menyerahkan salinan keputusan di mana denda telah ditetapkan kepada NegaraNegara Pihak untuk tujuan pemberlakuannya berkenaan dengan ketentuan pasal 109 dan aturan 217, maka Dewan Ketua harus menginformasikan kepada Negara-Negara itu bahwa dalam memberlakukan denda yang telah ditetapkan itu, pejabat nasional tidak boleh mengubah atau memodifikasinya. Aturan 221 Keputusan Menyangkut Disposisi atau Alokasi Harta Benda dan Aset 1. Dewan Ketua harus, setelah melakukan konsultasi, sejauh dianggap perlu, dengan Penuntut Umum, orang yang mendapat hukuman, para korban atau kuasa hukum mereka, pejabat nasional dari Negara yang melaksanakan atau pihak-pihak ketiga yang relevan, atau wakil dari Trust Fund seperti yang dimaksudkan dalam pasla 79, memberikan keputusan menyangkut semua hal yang berkenaan dengan disposisi atau alokasi harta milik atau aset yang dapat diraba dengan pemberlakuan perintah yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah. 2. Dalam segala hal, ketika Dewan Ketua memutuskan soal disposisi atu alokasi harta milik atau aset yang dimiliki orang yang dihukum itu, Dewan Ketua harus memberikan prioritas pada pemberlakuan tindakan-tindakan yang menyangkut reparasi terhadap korban. Aturan 222 Bantuan untuk Melaksanakan Ketentuan Mengenai Pelayanan atau KetentuanKetentuan Lainnya Dewan Ketua harus membantu Negara yang dalam posisi memberlakukan perintah pembayaran denda, tebusan atau perintah pemberian reparasi, sebagaimana diminta,
dengan membuat pemberitahuan yang relevan menyangkut orang yang dihukum itu atau orang lain yang terkait dalam kasus tersebut, atau melaksanakan berbagai tindakan lain yang perlu untuk pemberlakuan perintah berdasarkan prosedur hukum nasional dari Negara yang melaksanakan itu. Bagian V Peninjauan Ulang Berkaitan dengan Pengurangan Hukuman Berdasarkan Ketentuan Pasal 110 Aturan 223 Kriteria untuk Peninjauan Ulang Berkaitan dengan Pengurangan Hukuman Dalam melakukan peninjauan ulang menyangkut masalah pengurangan hukuman dengan mengikuti ketentuan pasal 110, ayat 3 dan 5, tiga orang hakim dalam Sidang Tingkat Banding harus memperhitungkan kriteria yang terdapat dalam pasal 110, ayat 4 (a) dan (b), dan kriteria berikut ini: (a) Perilaku orang yang dihukum itu ketika berada dalam tahanan atau penjara, yang memperlihatkan kebenaran atau kenyataan sebaliknya dari kejahatan yang dilakukannya; (b) Prospek resosialisasi dan kemungkinan suksesnya pembauran kembali orang yang dihukum itu ke dalam masyarakat beradab; (c) Apakah pelepasan dini atau lebih awal terhadap orang yang dihukum itu akan mendatangkan dampak ketidakstabilan sosial yang signifikan; (d) Berbagai tindakan signifikan yang diambil oleh orang yang dihukum itu yang menguntungkan kepentingan korban dan juga dampaknya pada korban dan keluarga mereka sebagai akibat dari dilepaskannya orang yang dihukum itu lebih awal dari jadwal sebenarnya; (e) Faktor-faktor individual dari orang yang dihukum itu, termasuk keadaan kesehatan fisik atau mental yang memburuk atau faktor umur yang semakin tua. Aturan 224 Prosedur Peninjauan Ulang Berkaitan dengan Pengurangan Hukuman 1. Untuk penerapan pasl 110, ayat 3, tiga orang hakim dari Sidang Tingkat Banding yang ditunjuk oleh Sidang bersangkutan harus melakukan acara dengar-pendapat, kecuali kalau mereka memutuskan sebaliknya dalam kasus tertentu, karena alasan-alasan tertentu yang mengharuskan pengecualian. Acara dengar-pendapat seperti itu harus dilakukan dengan orang yang dihukum itu, yang bisa dibantu oleh penasihat hukumnya, dilengkapi juga dengan fasilitas penafsiran, sejauh diperlukan. Ketiga hakim itu harus mengundang Penuntut Umum, Negara yang memberlakukan atau melaksanakan hukuman berdasarkan ketentuan pasal 77 atau melaksanakan perintah pemberian reparasi berdasarkan ketentuan pasl 75 dan, sampai pada tingkat yang memungkinkan, juga mengundang para korban atau kuasa hukum mereka yang sebelumnya telah berpartisipasi dalam proses persidangan, untuk berpartisipasi dalam acara dengar-pendapat itu atau untuk mengajukan observasi atau komentar berdasarkan hasil observasi, secara tertulis, kepada Sidang bersangkutan. Di bawah situasi atau faktorfaktor khusus yang mengesahkan adanya pengecualian, acara dengar-pendapat ini bisa dilakukan dengan cara konferensi melalui media video (videoconference) atau
2.
3.
4.
5.
di Negara yang memberlakukan keputusan itu dengan dipimpin oleh seorang hakim yang diutus oleh Sidang Tingkat Banding itu. Ketiga hakim yang sama itu harus mengkomunikasikan keputusan dan alasan-alasan dikeluarkannya keputusan tersebut kepada semua pihak yang terlibat dalam proses persidangan peninjauan ulang itu sesegera mungkin. Untuk penerapan pasal 110, ayat 5, ketiga hakim dari Sidang Tingkat Banding yang ditunjuk oleh Sidang bersangkutan harus meninjau ulang permintaan atau pertanyaan soal pengurangan hukuman setiap tiga tahun, kecuali kalau Sidang itu membuat interval yang lebih pendek dalam keputusannya yang dilakukan dengan mengikuti ketentuan pasl 110, ayat 3. Dalam hal terjadinya perubahan yang signifikan terhadap situasi atau faktor-faktor yang memperngaruhi, ketiga hakim itu bisa membolehkan orang yang dihukum itu untuk mengajukan permohonan peninjauan ulang dalam jangka waktu tiga tahun atau jangka waktu yang lebih pendek sepanjang telah ditentukan oleh ketiga hakim tersebut. Untuk berbagai peninjauan ulang berdasarkan ketentuan pasl 110, ayat 5, ketiga hakim dari Sidang Tingkat Banding yang telah ditunjuk oleh Sidang bersangkutan harus mengundang penyampaian pendapat atau representasi secara tertulis dari orang yang dihukum itu atau dari penasihat hukumnya, Penuntut Umum, Negara yang memberlakukan hukuman berdasarkan ketentuan pasal 77 dan berbagai ketentuan perintah pemberian reparasi dengan mengikuti ketentuan pasal 75 dan, sampai pada taraf yang memungkinkan, mengundang korban atau kuasa hukum mereka yang telah terlibat dalam proses persidangan sebelumnya. Ketiga hakim itu bisa juga memutuskan untuk melakukan acara dengar-pendapat. Keputusan dan alasan-alasan dikeluarkannya keputusan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses persidangan peninjauan ulang itu sesegera mungkin.
Bagian VI Melarikan Diri Aturan 225 Pertimbangan-Pertimbangan Berdasarkan Terjadinya Tindakan Melarikan Diri
Ketentuan
Pasal
111
dalam
Hal
1. Jika orang yang dihukum itu telah melarikan diri, Negara yang memberlakukan hukuman itu harus, sesegera mungkin, menasihati Panitera melalui berbagai media yang memungkinkan untuk mengirimkan rekaman tertulis. Selanjutnya Dewan Ketua harus memproses masalah itu dengan mengikuti ketentuan Bagian 9 Statuta. 2. Akan tetapi, jika Negara di mana orang yang dihukum itu berada setuju untuk menyerahkannya kepada Negara yang memberlakukan hukuman, dengan mengikuti ketentuan baik persetujuan internasional ataupun berdasarkan legislasi nasional Negara bersangkutan, maka Negara yang memberlakukan hukuman itu harus memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada Panitera. Orang itu kemudian diserahkan kepada Negara yang memberlakukan hukuman itu sesegera mungkin, jika perlu dilakukan konsultasi dengan Panitera, yang harus menyediakan semua bantuan yang perlu, termasuk, jika diperlukan, presentasi menyangkut permintaan untuk pemindahan ke Negara yang dimaksud, sesuai dengan ketentuan aturan 207. Biaya yang dikenakan terhadap penyerahan orang yang dihukum itu harus ditanggung oleh Mahkamah jika
tidak ada satu pun Negara yang berkemungkinan bertanggung jawab atas biaya-biaya terseut. 3. Jika orang yang dihukum itu diserahkan kepada Mahkamah dengan mengikuti ketentuan Bagian 9 Statuta, maka Mahkamah harus memindahkannya ke Negara yang memberlakukan hukuman itu. Jika tidak, Dewan Ketua bisa, bertindak atas mosinya sendiri atau atas permintaan Penuntut Umum atau permintaan Negara yang memberlakukan hukuman itu pada awalnya dan dengan mengikuti ketentuan pasal 103 dan aturan 203 hingga 206, menetapkan suatu Negara lain, termasuk Negara yang wilayahnya telah dijadikan sebagai Negara tujuan pelarian orang yang dihukum itu. 4. Dalam segala hal, keseluruhan jangka waktu penahanan dalam wilayah Negara di mana orang yang dihukum itu ditahan sementara setelah pelariannya dan, jika ketentuan subaturan 3 di atas dapat diterapkan, masa penahanan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah yang mengikuti penyerahan orang yang dihukum itu dari Negara di mana ia berada (Negara tempat pelariannya) harus dikurangi dengan masa hukuman yang masih harus dijalaninya.