Al Wajibu La Yutraku Illa Liwajibin Dalam Islam, diantara peninggalan-peninggalan ilmu yang paling besar yang dapat diwarisi oleh semua generasi dan telah dibukukan adalah ilmu Fiqih, karena ilmu ini selain merupakan suatu pedoman yang dapat menjaga amalan-amalan manusia (orang mukallaf) dan memberikan arahan yang harus ditempuh dalam ibadah dan mumalat, ilmu Fiqih juga menunjukkan jalan yang akan membawa kebahagiaan bagi umat manusia. Para kibar mujtahidin telah berusaha keras dalam menggali hukum syara’ dari sumber aslinya dan dari nasnas syara’ itu mereka keluarkan hukum agama yang sangat tinggi nilainya yang menjamin kemashlahatan bagi umat manusia, memenuhi kebutuhan mereka serta dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada bahkan lebih dari itu memuat hukum-hukum yang dapat memberikan jawaban atau pemecahan bagi masalah-masalah yang mungkin akan terjadi. Dalam rangka untuk menghindari kekeliruan
1
dalam mengistimbatskan hukum, para mujtahidin juga telah menyusun kaidah-kaidah tentang metode penggalian hukum dari sumbernya serta syarat-syarat bagi yang akan melakukan istimbats hukum yang hal ini disebut Ushul Fiqih. Hukum Fiqih lapangannya sangat luas meliputi beberapa peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Kholiknya dan hubungan manusia dengan sesama makhluk yang dalam pelaksanaanya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah, dirasa perlu sekali, khususnya untuk menghadapi berbagai persoalan yang muncul dan yang belum pernah terjadi sebelummnya maka para mujtahidin telah berusaha menyusun cabang-cabang ilmu baru dibidang Fiqih-yang sekaligus untuk lebih memposisikan Fiqih Islam-dengan merumuskan hukum-hukum Islam dalam kaidah-kaidah yang disebut ”Al Qowaid al Fiqhiyah”. Tiap kaidah mengandung banyak materi hukum yang sejenis. Dengan adanya kaidah ini maka seseorang
2
akan mudah mengetahui hukum suatu masalah dengan cara menerapkan kaidah tersebut. Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah tasyri’ yang wajib kita ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak menafsirkan nash-nash dari kaidah tersebut, dan juga memperhatikan hukum yang dihasilkan dari nash-nash, baik nash AlQur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari suatu masalah yang ada. Para ulama’ fiqih dalam berijtihad senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah kulliyah yang tidak kurang nilainya dari prinsip undangundang internasional, walupun dalam penggunaan nama dan istilahnya tidak sama. Tujuan dari adanya kaidah-kaidah adalah untuk memelihara jiwa Islam dalam menetapkan sebuah hukum dan juga mewujudkan hukum keadilan, kebenaran, persamaan, kemaslahatan dengan cara memelihara keadaan dharurat yang dibenarkan oleh syara’. Oleh karenanya penting adanya kaidah fiqh dalam rangka pembuatan suatu hukum bagi seorang mujtahid serta para imam
3
madzab, maka penulis akan sedikit gambarkan mengenai macammacam bentuk kaidah yang pokok dalam pembuatan suatu hukum. Pengertian Kaidah Fiqhiyah Untuk memudahkan pemahaman tentang qowaidul fiqhiyah, berikut ini penulis kemukakan pengertiannya dalam segi bahasa maupun pengertian dari segi istilahnya. Qowaidul fiqhiyah menurut bahasa adalah dasar-dasar yang bertalian atau berhubungan dengan permasalahan atau jenis-jenis hukum (fiqih). Sedangkan menurut istilah, ahli ushul mengartikan sebagai Hukum yang biasa berlaku, yang bersesuaian dengan sebagian besar dari bagian-bagiannya. Imam Tajuddin As-Subky mengatakan bahwa qowaidul fiqhiyah adalah Suatu perkara yang kulli yang sesuai dengan juziyyah yang banyak dari padanya serta dapat diketahui hukum-hukum juz’iyyah itu. Adapun secara umum Kaidah Fiqhiyah diartikan kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang diambil dari dalil-dalil yang kulli dan dari maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf dibawah beban taklif dan hikmahhikmahnya. 4
Deskripsi Kaidah “Alwajibu Layutraku illa Liwajibin” Kaidah “alwajibu layutraku illa liwajibin” merupakan salah satu kaidah fiqhiyah yang penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan kaidah ini mengandung satu ketentuan dalam penentuan hukum fiqih. Arti dari kaidah tersebut adalah “sesuatu yang wajib itu tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk memenuhi kewajiban itu sendiri”. Dari arti kaidah ini dapat diperoleh kejelasan bahwa sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan asalkan untuk memenuhi kewajiban itu sendiri. Dalam beberapa kasus, kaidah ini dapat diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan kaidah ini sesuai dengan kondisi yang terjadi. Misalkan beberapa kasus di bawah ini: Kasus pertama, ada seseorang yang mencuri uang 150 jt. Setelah tidak lama melakukan pencurian akhirnya pencurinya tertangkap. Sesuai dengan hukum Islam maka hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong tangannya. Apabila disesuaikan dengan kaidah ini maka adanya potong tangan merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan karena jika ditinggalkan maka akan menyalahi 5
hukuman yang telah ditetapkan. Jadi, dilakukannya hukum potong tangan tidak boleh ditinggalkan karena untuk memenuhi kebutuhan hukuman yang sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam teks atau nash al-Qur’an. Kasus kedua, ada seorang muslimah yang tersesat di tengah hutan dan tidak ada apapun yang bisa dimakan kecuali bangkai babi yang ada dihadapannya. Sesuai dengan hukum Islam yang tertera dalam teks atau nash maka babi tersebut tidak boleh dimakan karena diharamkan. Akan tetapi sesuatu yang diwajibkan itu “tidak makan daging babi karena diharamkan sesuai teks al-Qur’an” dapat ditinggalkan karena perlunya memenuhi kewajiban yang lain yaitu menjaga eksistensi hidup “Khifdzun Nafs” seperti yang sering dicantumkan dalam berbagai literatur yang disebut “Maqasidus Syari’ah al Khamsah”. Hal ini disebabkan juga adanya sebab khusus dimana menyebabkan Suquthul Khukmi. Kasus ketiga, ada seseorang yang dikhitan. Misalkan Namanya Zain. Acara khitannya menggunakan cara-cara tradisional seperti yang 6
terjadi di desa-desa di mana auratnya dibuka. Sesuai dengan hukum Islam, menutup aurat adalah sebuah kewajiban. Akan tetapi hal itu dapat ditinggalkan atau dilanggar dengan alasan memenuhi kewajiban yang lain yaitu untuk melaksanakan khitan di mana hal tersebut dimaksudkan untuk mensucikan “pusaka laki-laki” dari segala bentuk najis yang ada. Selain itu, adanya keharusan untuk itba’ terhadap sunnahnya Nabi Ibrahim as. Ketiga contoh kasus di atas merupakan bentuk penjelasan dari kaidah “alwajibu layutraku illa liwajibin” secara sederhana dan singkat. Oleh karena itu, penulis berharap pembaca dapat memahami kaidah ini hanya dengan memahami contoh-contoh kaidah yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Manfaat Kaidah Ini Adapun manfaat kita memahami kaidah di atas “Al wajibu La Yutraku Illa Liwajibin” adalah sebagai berikut: Pertama, memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidahkaidah tersebut akan menjaga gambaran seorang muslim dari hal-hal 7
yang tidak sesuai dengan syariat dan sekaligus memantapkan pikirannya tentang gambaran tersebut. Telah dimaklumi bahwa seorang muslim apabila menghadapi suatu masalah tanpa kaidah akan terombang-ambing di dalam perbuatannya. Baik terhadap diri, keluarganya,
masyarakat
maupun
umatnya.
Dari
sinilah
kita
mengetahui pentingnya ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah itu karena dia akan mengatur akal seorang muslim atas segala perbuatannya bagi diri, keluarga, ataupun masyarakatnya. Kedua, memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidahkaidah tersebut akan menjaga seorang muslim dari kesalahan. karena kalau dia berjalan hanya dilandaskan atas pendapatnya saja dimungkinkan akan menemui kekeliruan dan kesalahan dalam bertindak. jika telah tampak dan mencari jalan keluar dengan mengandalkan akal pikirannya saja tanpa peduli dengan kaidah-kaidah maka dikhawatirkan akan terjerumus kedalam kesalahan, dan jika itu terjadi maka akan berakibat fatal karena kesalahan ini akan bercabang dan berkembang dan mungkin juga bertambah. 8
Dari paparan penulis di atas, sesuai dengan kaidah yang ada yaitu “alwajibu layutraku illa liwajibin” maka kesimpulan dari paper penulis adalah sesuatu yang wajib tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk memenuhi kewajiban itu sendiri. Wallahu ‘alam bisshawwab.
9
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddeqi, Hasbi. 1993. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang Bahri, Nadzar. 1993. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Hakim, Abdul Hamid. 1991. As-Sulam. Jakarta: Sa’adiyah Putra Hakim, Abdul Hamid. 1992. al-Bayan. Jakarta: Sa’adiyah Putra. Zuhdi, Masfuk. 1978. Pengantar Hukum Syari’ah. Jakarta: CV. H. Mas Agung.
10