i
Al-Risalah Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Volume V, No. 1, Januari 2015 ISSN 2085-5818 Penasihat: Tutty Alawiyah AS Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Penanggung jawab: A.Ilyas Ismail Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Dewan Pakar: Achmad Mubarok, A. Wahib Mu’thi, Ahmad Satori, Ahmad Murodi Pemimpin Redaksi: Ahmad Zubaidi Dewan Redaksi Neneng Munajah, Masykuri Qurtubi, Sarbini Anim, Abdul Hadi Sekretaris Redaksi: Khalis Kohari Staf Redaksi: Sodikin Diterbitkan oleh: Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede Jakarta Timur 13070 Telp/Fax. 021-84990143; email:
[email protected] Jurnal Al-Risalah terbit setahun dua kali, setiap bulan Desember dan Juni. Redaksi menerima tulisan dengan ketentuan: Kajian teoritik atau hasil penelitian yang relevan dengan dakwah dan pendidikan. Panjang tulisan 15-25 halaman. Diketik di atas kertas A4 dengan spasi ganda. Tulisan harus orisinil dan disertai footnote dan daftar pustaka.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
ii
DAFTAR ISI Volume V, No. 1, Januari 2015 Editorial ...........................................................................................................
iii
Efektivitas dan Kecenderungan Penggunaan Hukuman Mati Muhajir Purwodirekso ........................................................................................
1
Revolusi Membangun Kesejahteraan Umat Melalui Waqaf Ahmad Zubaidi .................................................................................................
19
Al-Rukhshah La Tunatu Bil Ma’ashi, Dasar Dan Kaidah Penerapannya Al-Rukhshah La Tunatu Bil Ma’ashi Dra. Hj. Na’imah Fathoni, Lc, MA. ..............................................................
53
Sistem Dan Praktek Pembiayaan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Husnul Khatimah, M.Si.....................................................................................
75
Dzunnun Al-Misri: Al-Ma’rifah A. Faqihuddin ...................................................................................................
109
Strategi Dasar Team Work Untuk Meningkatkan Kualitas Total Quality Managemen Di Lembaga Pendidikan Marliza Oktapiani .............................................................................................
121
Kelompok Keagamaan dalam Komunitas Dakwah A.Choliq Aly Ma’mur ................................................................................................................................................................
137
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
iii
EDITORIAL Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan pertolongan-Nya rencana penerbitan Jurnal Dakwah dan Pendidikan AlRisalah dapat terlaksana. Semoga langkah ini menjadi awalan yang baik dan terus berkelanjutan. Karena keberadaan sebuah jurnal ilmiah di tengah dunia akademik merupakan suatu keniscayaan untuk menopang keberlangsungan dunia akademis yang dinamis. Dinamika dunia akademik tidak hanya ditentukan oleh berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, tetapi juga oleh peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang ditransformasikan dari pendidik ke peserta didik. Melalui jurnal ini para dosen diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman. Pada edisi pertama ini dimuat 7 (Sembilan) artikel ilmiah yaitu Efektivitas dan Kecenderungan Penggunaan Hukuman Mati ditulis oleh Muhajir Purwodirekso, Revolusi Membangun Kesejahteraan Umat Melalui Waqaf ditulis oleh Ahmad Zubaidi, Al-Rukhshah La Tunatu Bil Ma’ashi, Dasar Dan Kaidah Penerapannya Al-Rukhshah La Tunatu Bil Ma’ashi ditulis oleh Dra. Hj. Na’imah Fathoni, Lc, MA, Sistem Dan Praktek Pembiayaan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah ditulis oleh Husnul Khatimah, M.Si., Dzunnun Al-Misri: Al-Ma’rifah ditulis oleh A. Faqihuddin, Strategi Dasar Team Work Untuk Meningkatkan Kualitas Total Quality Managemen Di Lembaga Pendidikan ditulis oleh Marliza Oktapiani, dan Studi Kelompok Keagamaan Dalam Komunitas Dakwah ditulis oleh A.Choliq Aly Ma’mur.. Tulisan-tulisan ini akan menjadi wawasan baru dalam pemikiran kita, sehingga kita perlu membacanya dengan seksama dan diharapkan para pembaca budiman dapat memberikan respon pemikiran atas tulisan-tulisan di atas.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
iv
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
1 EFEKTIVITAS DAN KECENDERUNGAN PENGGUNAAN HUKUMAN MATI Oleh: Muhajir Purwodirekso1 Abstrak Akhir-akhir ini mencuat perbincangan mengenai hukuman mati bagi pelaku kejahatan, utamanya kejahatan kerah putih, terorisme dan pemerkosaan dan narkoba, akan tetapi para pakar dan akademisi masih berselisih karena studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Tulisan ini bermaksud akan menjawab pertanyaan apakah konsep hukuman mati tidak efektif, padahal Tuhan menunjukkan bahwa pelaku kejahatan ada yang diberi ganjaran hukuman mati. Dengan metode kualitatif dan library research, tulisan ini berusaha mengemukakan pendapat beberapa ahli baik yang pro maupun kontra terhadap hukuman mati. Hasil penelitian penulis disimpulkan bahwa hukuman mati tidak melanggar hak azasi manusia selama dilaksanakan dengan seadil-adilnya selama proses penyidikan dan persidangan sehingga terbukti secara benar yang bersangkutar melanggar hukum yang layak diberi hukuman mati. Serta dalam banyak studi terbukti bahwa hukuman mati efektif untuk mencegah kejahatan yang lebih serius. Keyword : Mati, Jera, Pencegahan, Pendidikan, danPerbaikan A. PENGANTAR Akhir-akhir ini mencuat perbincangan mengenai hukuman mati bagi pelaku kejahatan, utamanya kejahatan kerah putih, terorisme dan pemerkosaan, akan tetapi para pakar dan akademisi masih berselisih karena studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya.
1
Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
2 Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.2 Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak jera, dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban, keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban. Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas. Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negaranegara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.3 Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak diberikan penerjemah selama proses persidangan.4 Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa agama-agama memiliki konsep hukuman mati atau sekurang-kurangnya tidak menolak konsep hukuman mati sebagai sarana untuk penyadaran, membuat jera para pelaku kejahatan. Maka pertanyaannya adalah “Apakah konsep 2http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurutperspektif-ham-internasional/ 3 http://id.wikipedia.org/wiki/hukuman_mati 4 Opcit: http://ayub
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
3 hukuman mati tidak efektif, padahal Tuhan menunjukkan bahwa pelaku kejahatan ada yang diberi ganjaran hukuman mati”? B. Pembahasan 1. Pengertian Hukuman Mati Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.5 “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu Memberlakukan qishash atas pembunuhan. ‘‘nyawa’’ Orang merdeka bayar dengan merdeka, budak bayar budak, perempuan bayar Perempuan. Dan jika engkau memaafkan, maka lakukanlah dengan cara yang terbaik, sesungguhnya yang demikian (memaafkan itu) merupakan bentuk kasih sayang dan rahmat-Nya.....’’.6 2. Bentuk-Bentuk Eksikusi Mati Adapun bentuk-bentuk hukuman mati dalam praktinya dialksanakan dengan cara: a. Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala b. Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi c. Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan d. Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh e. Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.7 8 f. Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati
5
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati QS. [2] 178 7 Ibid 8 Ahmad Shafaat”Hukuman Rajam Dalam Islam” Sebuah Kajian Detil P.2 6
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
4 3. Pengertian Hukuman Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai ”siksa dan sebagainya”. Atau ”keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.” Hukuman-hukuman dilaksanakan di dunia bagi pelanggar yang tertangkap oleh petugas yang berwewenang dan hukuman ini disebut ‘Uqubah. Sedang bagi pelanggar yang tidak tertangkap maka ia akan mendapat hukumannya nanti di akherat dan ini disebut ‘Iqab (kata-kata ‘Iqab ini dapat dilihat pada ayat-ayat berikut ini: Surat Shod ayat 14.9 Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut : َ ْ ُ ُ َْ َ ْ َ اَ ْ ﺮا ﺸﺎر ِع ﻋ ْﺼﻴَﺎن َ َ ا َ َﻤ ﺎﻋ ِﺔ ِ َﻤﺼﻠ َﺤ ِﺔ ا ُﻤﻘﺮ ُر ا َ َﺰ ُء ِ َ اﻟ ُﻌﻘﻮ َﺔ ِ ِ ِ ِ ”Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’.”10 4. Tujuan Hukuman Menurut Syari’at Islam Tujuan hukuman menurut syara adalah untuk pencegahan dan perbaikan terhadap pelaku maupun kepada masyarakat dengan penjelasan sebagai berikut: ) ﱠ a. Pencegahan (واﻟﺯﺟْ ُﺭ اَﻟﺭﱠ ْد ُع Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimanya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang 9
Muhajir Drs. “Hukuman Dalam Islam” Majalah Spektra No.002/VII/98 Penerbit
UIA.P.94 10 ‘Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri’ Al Jina’iyah Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby.
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
5 sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena perbuatan yang diancam dengan hukuman adakalanya pelanggaran terhadap larangan (jarimah positif) atau meninggalkan kewajiban maka arti pencegahan pada keduanya tentu berbeda. Pada keadaan yang pertama (jarimahpositif) pencegahan berarti upaya untuk menghentikan perbuatan yang dilarang, sedangkan pada keadaan yang kedua (jarimah negatif) pencegahan berarti menghentikan sikap tidak melaksanakan kewajiban tersebut sehingga dengan dijatuhkannya hukuman diharapkan ia mau menjalankan kewajiba. Contohnya seperti penerapan hukuman terhadap orang yang meninggalkan shalat, atau tidak mau mengeluarkan zakat. b. Perbaikan dan pendidikan (ح ُ َ)وﺍﺍﻟ ﱠﺗ ْﮭ ِﺫﯾْﺏُ ﺍَﻹِﺻْ ﻼ َ Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini,diharapkan akan timbul dalamdiri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja merupakan alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah. Karena seseorang sebelum melakukan suatu jarimah, ia akan berfikir bahwa tuhan pasti mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik perbuatannya itu diketahui oleh orang lain atau tidak. Demikian juga jika ia dapat ditangkap oleh penguasa negara kemudian di jatuhi hukuman di dunia, namun pada akhirnya ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari hukuman akhirat. 11 Dapat disimpulkan bahwa disamping kebaikan pribadi perilaku, sayriat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan 11 http://klungsur-senjamagrib.blogspot.com/2011/01/tujuan-hukuman-danterapi-sosial.html
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
6 mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Oleh karena itu sebenarnya “Kemaslahatan masyarakat adalah tujuan utama hukuman”. 5. Tujuan Hukuman Pada Hukum Positif Tujuan pemidanaan menurut konsep KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah sebagai berikut: a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang baik dan berguna. c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana12 6. PANDANGAN TENTANG HUKUMAN MATI a. Menurut HAM terhadap UUD45. Life is very precious & very human being has a right to live with dignity, and life of umen beings must be respected and protected (Ban Ki Moon. Sekjen PBB) Hidup adalah sesuatu yang sangat berharga dan setiap manusia memiliki hak untuk hidup secara bermartabat dan karenanya hak untuk hidup mesti dihormati dan di lindungi . Hak utuk hidup dituliskan dalam pasal 28 A UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahakan hidup dan kehidupan. Selanjutnya “ Hak untuk hidup “ ini oleh Pasal 28i ayat (1) dirumuskan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, atau apa
12http://www.google.com/search?q=tujuan%20hukuman%20pada%20hukum%20 positif&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefoxa&source=hp&channel=np
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
7 yang dalam literatur hak asasi manusia Human Rights. 13
sebagai Non-derogable
Rumusan pasal 28i ayat (1) ini bersifat absolute karena pramers of the constitution melihat hak untuk hidup sebagai salah satu fundamental human rights yang paramountly Important. Dengan demikian pembatasan pasal 28j ayat (2) yang mensyaratkan pelaksanaan hak asasi manusia untuk tunduk pada ketentuan peraturan UU yang berlaku tak dapat diberlakukan .14 Menerapakan pasal 28j ayat (2) untuk pasal 28i ayat (1) sama artinya dengan membunuh pasal 28i ayat (1) yang artinya membunuh makna Non-Derogable Human Rights. Kalau pasal 28j ayat (2) harus diberlakukan maka pasal 28i ayat (1) tak perlu ada dalam BAB XA UUD 1945.15 Pada dasarnya UU45 masih menyetujui adanya hukuman mati, akan tetapi dengan penafsiran pasal 28j dinilai bertentangan dengan jiwa pasal 28i yang dijiwai HAM,karena Indonesia sudah meratifikasi ICCPR akibatnya timbul ikhtilaf, apakah tunduk kepada HAM atau independen dengan tetap melaksanakan isi pasal 28j UUD 45. b. Pandangan PBB Belakangan ini, seiring dengan kedatangan wakil ketua International Federation For Human Rights atau Federasi internasional bagi hak asasi manusia Siobhan Ni Chulachain ke Taiwan, didepan presiden Chen Shui Bian ia mengimbau pihak berwenang Taiwan semestinya mengikuti trend HAM dunia, menghapuskan hukuman mati, sehingga masalah penghapusan hukuman mati kembali menjadi topik perhatian.16
13
Todung Mulya Lubis “Kontroversi Hukuman Mati” Penerbit PT. Kompas Media Nusantara Januari 2009, Jakarta.10270 P.301 14 Ibid P.302 15 Ibid 16 Radio Taiwan International No.55 Pei An Road Taipei, Taiwan. R.O.C. www.rti.org.tw E-mail:
[email protected]/ http://indonesian.rti.org.tw/indonesian/special/Perspektif/Perspektif_8.htm
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
8 c.
Menurut ICCPR.
Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights), meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi)17
d. Menurut PROTOKOL TAMBAHAN KEDUA Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan18 e. Menurut Tafsir progresif Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati19
17
Pasal enam ayat (1) menyatakan “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.” 18 Protokol Tambahan Kedua masih memungkinkan Negara Pihak-nya untuk mereservasi Pasal 2 (paragraf 1) yang artinya masih membenarkan penerapan hukuman mati pada masa perang atas suatu kategori kejahatan militer paling serius. 19 Hingga kurun waktu sekitar penyusunan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik ini, masih banyak negara yang menerapkan hukuman mati yang cakupan kejahatannya sangat luas dari kriminal biasa hingga kejahatan politik, yang sering kali digunakan oleh rezim otoriter untuk menumpas oposisi politiknya. Hukuman mati juga sering digunakan justru untuk melawan upaya penegakan normatif HAM. Untuk bahasan ini lihat William A. Schabas, The Abolition of The Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, 1997.
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
9 f. Kecenderungan Mayoritas Negara di Dunia Mayoritas negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompok abolisionis20 g. Konvensi HAM Eropa th.1950. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)21 h. Pandangan Masyarakat Global Berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111 negara telah menentang penerapan hukuman mati, lebih 84 negara yang masih mempertahankannya. Ini
20
Pada dekade 1950-an negara-negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh jenis kejahatan baru berjumlah 10 atau sekitar 12,4%. Negara-negara yang menghapus hukuman mati hanya untuk jenis kejahatan biasa baru berjumlah 19 atau sekitar 23,6%. Sementara itu hingga Juni 2006, total negara yang sudah melakukan penghapusan (abolisi) hukuman mati dengan berbagai bentuk adalah 129 atau sekitar 65%. Sementara jumlah negara yang masih menerapkan hukuman mati adalah 68 atau 35%. 21Kedua Statuta ICTY dan ICTR memiliki ketentuan mengenai penghukuman/penalties yang sama, yaitu ”The penalty imposed by the Trial Chamber shall be limited to imprisonment”. Lihat Statuta ICTY di http://ohchr.org/english/law/itfy.htm dan Statuta ICTR di http://ohchr.org/english/law/itr.htm.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
10 mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global22 Jadi dapat disimpulkan bahwa mayoritas Negara didunia cenderung untuk menghapus hukuman mati. 7. Hukuman Mati Menurut Agama-Agama a. Agama BUDDHA Mengenai hukuman mati, memang sebenarnya dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum tatanegara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma. Dalam kitab suci Dhammapada bab I ayat 17, Sang Buddha kembali bersabda sbb : Di dunia ini ia menderita, Di dunia sana ia menderita, Pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu. Ia akan meratap ketika berpikir, “ Aku telah berbuat jahat, “ dan ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara.23 b. Agama YAHUDI Menganiaya seorang Yahudi Sama Dengan Menghujat Tuhan dan Hukumannya ialah Mati. Sanhedrin 58b, “Jika seorang kafir menganiaya seorang Yahudi, maka orang kafir itu harus dibunuh”.24 22
Lihat Usman Hamid, “Kontra Terorisme; Menghukum Teroris dan Melindungi Hak Asasi Manusia” 23 Mettadewi W., S.H., Ag. Hukuman Mati Ditinjau Dari Agama Buddha/ BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan) Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, JakartaCetakan pertama, Juli 1999 24
sep2sip.blogspot.com
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
11 “Karakterisasi kaum ‘goyyim’ yang dinyatakan secara hakiki jahat dan dari segi kerohanian maupun biologis lebih inferior dari kaum Yahudi, belum pernah diralat dalam ajaran abad masa kini”.25 Di samping merumuskan jenis kejahatannya, hukum agama Yahudi juga mengatur jenis dan bentuk hukumannya. Ada empat, yaitu hukuman (a) rajam; (b) bakar; (c) penggal kepala; dan (d) gantung.26 Dalam Perjanjian Baru, Tuhan tidak menghalang-halangi hukuman mati yang dijatuhkan atas diri Yesus, memanfaatkannya untuk merealisasikan rencana-Nya. 27 Dari itu Syari’at Yahudi Menuntut bahwa Kaum Kristen Wajib Dihukum Mati: Para ulama Taurat menetapkan, bahwa, “Taurat mewajibkan bahwa ummat yang benar akan mendapatkan tempatnya di Hari Kemudian. Tetapi, tidak semua kaum ‘goyyim’ akan memperoleh kehidupan yang abadi meskipun mereka taat dan berlaku shaleh menurut agama mereka … Dan meskipun kaum Kristen pada umumnya menerima Kitab Perjanjian Lama Ibrani sebagai kitab yang diwahyukan dari Tuhan, namun mereka (disebabkan adanya kepercayaan pada apa yang disebut mereka ketuhanan pada Jesus) sebenarnya kaum Kristen adalah penyembah berhala menurut Taurat, oleh karena itu patut dihukum mati, dan mereka kaum Kristen itu sudah dipastikan tidak akan memperoleh ampunan di Hari Kemudian.” c.
Agama KRISTEN
Dalam Perjanjian Lama, paling sedikit ada sembilan kategori ”kejahatan besar” yang pelakunya dipandang patut dihukum mati. Yaitu: (a) membunuh dengan sengaja; (b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan; (c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain; (d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia; (e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting; (f) menculik; (g) mencaci atau melukai orang tua sendiri; (h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual; serta (i) melanggar akidah atau aturan agama. 25 The New Republic’, Edisi 4 May 1992; juga Roman A.Foxbrunner, ‘Habad: The Hasidism of Shneur Zalman of Lyadi’, Jason Aronson, Inc., Northvale, New Jersey, 1993, h. 108-109. 26 Sinar Harapan, Sabtu 4 Oktober 2003, 27 Ibid
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
12 d. Agama ISLAM Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Dalam pandangan Islam, hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja merupakan ketentuan dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian hukuman qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”. (QS Al-Baqarah [2]: 178). Karena itu, penolakan atas hukuman mati, termasuk hukuman mati atas pelaku pembunuhan disengaja, jelas-jelas bertentangan dengan ayat ini. Sanksi pidana Islam, termasuk qishâsh, berfungsi sebagai jawâbir (penebus dosa di akhirat) bagi pelakunya sekaligus sebagai zawâjir (pencegah) karena memiliki efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Sistem pidana Islam juga berpihak kepada pelaku, korban atau keluarganya, serta masyarakat secara umum. Semua itu terlihat jelas dalam hukuman atas pembunuhan.28 Dapat disimpulkan Agama-agama didunia memiliki konsep hukuman mati.
28
http://galerikotak.wordpress.com/2011/05/09/hukuman-mati-dan-pelanggaran-
ham/
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
13 8. Dinamika Sosial, POLITIK & HUKUM. a. Kontra Hukuman Mati 1) Gerakan penghapusan hukuman mati telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Beberapa tokohnya antara lain: Montesquieu menulis Lettres-persanes (1721), Voltaire membela Jean Callas yang terlanjur dihukum mati, Cesare Beccaria (1738-1794) menerbitkan buku An Essay on Crimes and Punishment.29 2) Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengungkapkan, Pemerintah Indonesia akan segera menghapus hukuman mati. Terlebih lagi, 140 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menandatangani moratorium penghapusan hukuman mati.30 3) Berdasarkan fakta, terdapat peningkatan tajam dari kebijakan pemerintah internasional untuk menghapuskan hukuman mati karena tidak sesuai dengan HAM. Indonesia sendiri sudah menuju ke arah sana (penghapusan hukuman mati)," kata Marty dalam Konferensi Pers Rapat Paripurna Tingkat Menteri di Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (16/10/2012). Marty menjelaskan, 97 negara dari 140 negara anggota PBB telah sepakat untuk menghapuskan hukuman mati. Sementara itu, negara lainnya masih melakukan hukuman mati dengan berbagai pertimbangan.31 4) Dari sisi keadilan tentu saja hukuman mati tidak adil dari sudut pandang terdakwa kasus narkoba karena mereka merasa mempunyai hak untuk hidup sedangkan dari sudut pandang masyarakat umumnya pantas karena hal ini dapat mencegah meluas narkoba pada generasi berikutnya sebagai penerus generasi bangsa.32 5) Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”33 29
Ibid http://mediaberitabaru.blogspot.com/2012/10/penyebab-indonesia-akan-hapushukuman.html#_ 31 Ibid 32http://viendriz.blogspot.com/2012/10/pantaskah-hukuman-mati-diindonesia.html 33 Bab XA Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28A Amandemen kedua UUD 1945. 30
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
14 b. Pro HUKUMAN MATI Kelompok masyarakat yang pro hukuman mati 1) Norma agama-agama di dunia memiliki konsep hukuman mati yakni agama Buddha, Yahudi, Kristen dan Islam, setidaknya tidak menolak seperti dalam agama Buddha. (Kesimpulan pembahasan hukuman mati menurut Agama-agama) 2) Penolakan grasi enam orang terpidana mati oleh Presiden Megawati dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Pasal 28 A dan 28 i menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Maka Pasal 28j UUD45 yang membuat pengecualian pelaksanaan pasal 28i.UUD 45, dianggap tidak berlaku.34 3) Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati.35 4) Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau: a). Emmanuel Kant mengatakan bahwa hukuman adalah suatu pembalasan berdasarkan atas pepatah kuno “siapa membunuh harus dibunuh”. Pendapat ini biasa disebut “teori pembalasan” (vergelding-theorie) Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan berbuat jahat. Teori ini biasa disebut “teori mempertakutkan” (afchrikkings-theorie). b). Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut “teori memperbaiki” (verbeterings-theorie). c). Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud-maksud lainnya (mencegah, menakut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memperbaiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka 34 A. Luluk Widyawan, "Mempersoalkan Hukuman Mati", dlm. Hidup, 6 April 2003 http://etikahidup.blogspot.com/2008/10/mempersoalkan-hukuman-mati.html 35 (Inggris)Indonesian activists face upward death penalty trend (http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati)
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
15 adalah penganut teori yang disebut “teori gabungan” (verenigings-theorie).36 9. Analisa Dari bahasan diatas Nampak bangsa Indonesia terpecah menjadi dua: a. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk menghapus hukuman mati atas alasan ketidak adilan, tidak efektif mencegah mengulangi kejahatan yang sama / tidak jera bagi pelaku kejahatan maupun masarakat, serta menghindari eksikusi hukuman mati terhadap orang yang benar dengan keputusan salah. b. 75 persen masyarakat Indonesia setuju adanya hukuman mati untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, Pengedar pemasok ganja dan terorisme,. Muncul pertanyaan mengapa hukuman mati tidak efektif membuat jera dan takut kepada orang yg akan melakukan kejahatan yang dihukum dengan hukuman mati ? Orang-orang yang mau mengambil resiko mati ada dua GOLONGAN yang masing-masing dengan alasan yang berbeda: a. Golongan Putus Harapan. Orang yang putus harapan adalah orang yang merasa tidak ada jalan lain kecuali jalan yang beriko mati, seperti putus asa karena cinta, putus asa tidak ada jalan untuk menyelesaikan masalah kecuali hanya dengan menempuh jalan yang beriko mati, baik untuk maslah ekonomi atau karena kehilangan harga diri. Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. 37 Pemikiran hopeful mencakup tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun jika individu memiliki keyakinan 36http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurutperspektif-ham-internasional/ 37
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29484/4/Chapter%20II.pdf
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
16 untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless.38 Teori harapan juga menekankan peran dari hambatan, stressor, dan emosi. Ketika menjumpai hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan, individu menilai kondisi tersebut sebagai sumber stres. Snyder & Sympson, dalam Snyder, 2000).39 Jadi hukuman mati tidak efektif bila diterapkan dalam masyarakat yang hopeless bahkan mati bisa menjadi pilihan bagi orang hopeless. Oleh karena itu hukuman mati menjadi efektif bila diterapkan pada masyarakat yang memiliki ekonomi yang baik (dapat memenuhi minimal kebutuhan dloruriyatnya). b. Golongan ada Harapan. Dalam ajaran agama dikenal ajaran mati sahid, dimana orang yang mati sahid "memiliki harapan" untuk mendapat rida Allah, sehingga kematian bukan lagi menakutkan akan tetapi membahagiakan, karena akan bertemu dengan sang khalik, dan akan mendapat tempat yang sangat terhormat disisi-Nya. C. Kesimpulan Dari pembahasa di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kecenderungan kebanyakan Negara untuk mengahapus hukuman hukuman mati dengan alasan melanggar hak azazi manusia saya kira kurang tepat, karena kejahatan berat biasanya sudah didahului dengan melanggar hak azazi orang lain. Maka pertimbangkanlah hak azazi yang sudah dilanggar itu sebagai dasar hukuman. 2. Ketakutan salah menghukum orang yang tidak bersalah tidak cukup dengan menghapus hukuman mati karena seharusnya yang ditingkatkan adalah profesionalisme para penyidik dan teknologi penyidikannya, untuk menghilangkan keraguan dalam menghukum. Maka bila ragu lebih baik dilepas, sesuai dengan filosopi pembuatan keputusan yang di sambdakan oleh Rasullullah Saw. "Tinggalkan apa-apa yang membuat kamu ragu". 38 39
Ibid. Ibid
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
17 DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan (et. all.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtra Baru Van Hoeve, 1996. Ahmad Fathi Bahansi, Nazhariyat fi al-Fiqh al-Jinâi al-Islâmiy, Mesir: AsySyirkah al-Arabiyyah li Tibaah wa an-Nasyr, 1963. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya: 1990. Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. 'Audah, Abdul Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri' Al Jina'iyah Al-Islamy. Beirut: Dar Al-Kitab Al-'Araby. Badri Yatim, Soekarno Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. David F. Forte, Islamic Law and the Political Order, Oxford: Austin and Winfield Publisher, 1999. Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Putra Harapan, 1990. Imam as-Suyuthi, Tarîkh al-Kulafâ’ (terj), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Muhammad bin Isa At-Turmudzi, Al-Jami’ al-Shahîh Sunan At-Turmudzi, Mesir: Mushthafa al-Babî al-Halabî, t.t., Juz IV. Tahir Mahmood, “Criminal Law in Muslim Countries: Glimpses of Tradisional an Modern Legislation”, dalam Criminal Law in Islam and the Muslim World, a comparative Perpective, Delhi: Institute of Objective Studies, tt. Todung Mulya Lubis "Kontroversi Hukuman Mati" Penerbit PT. Kompas Media Nusantara Januari 2009, Jakarta.10270 Toto Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 113 Usman Hamid, "Kontra Terorisme; Menghukum Teroris dan Melindungi Hak Asasi Manusia”
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
18 William A. Schabas, The Abolition of The Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, 1997. Zaenal Arifin Jamaris, Islam: Aqidah dan Syariah, Jakarta: PT Grafindo, 1996. Website http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurutperspektif-ham-internasional/ http://id.wikipedia.org/wiki/hukuman_mati http://klungsur-senjamagrib.blogspot.com/2011/01/tujuan-hukuman-danterapi-sosial.html ttp://www.google.com/search?q=tujuan%20hukuman%20pada%20hukum %20positif&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a&source=hp&channel=np Mettadewi W., S.H., Ag. Hukuman Mati Ditinjau Dari Agama Buddha/ BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan) Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, JakartaCetakan pertama, Juli 1999 The New Republic', Edisi 4 May 1992; juga Roman A.Foxbrunner, 'Habad: The Hasidism of Shneur Zalman of Lyadi', Jason Aronson, Inc., Northvale, New Jersey, 1993, h. 108-109. http://galerikotak.wordpress.com/2011/05/09/hukuman-mati-danpelanggaran-ham/ http://mediaberitabaru.blogspot.com/2012/10/penyebab-indonesia-akanhapus-hukuman.html#_ http://viendriz.blogspot.com/2012/10/pantaskah-hukuman-mati-diindonesia.html http://etikahidup.blogspot.com/2008/10/mempersoalkan-hukumanmati.html http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati http://ayub.staff.hukum.uns.ac.id/artikel-artikel/hukuman-mati-menurutperspektif-haminternasional/http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/294 84/4/Chapter%20II.pdf
Volume V, No. 2, Juli 2014
Al-Risalah
19 REVOLUSI MEMBANGUN KESEJAHTERAAN UMAT MELALUI WAQAF Oleh: Ahmad Zubaidi∗ Abstrak Wakaf merupakan salah satu instrumen yang sangat penting untuk membangun kesejahteraan umat Islam. Apalagi, kini pemahaman harta benda yang dapat diwakafkan tidak hanya harta benda yang tidak bergerak saja, melainkan juga harta-harta bergerak lainnya sejauh memiliki manfaat, seperti uang. Didukung fatwa MUI yang membolehkan wakaf uang, diharapkan umat akan lebih mudah memberikan kontribusi dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi waqif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf uang. Juga dengan adanya perubahan paradigma tatakelola harta benda wakaf, dari pengelolaan harta benda wakaf secara tradisional, seperti diperuntukkan untuk pembangunan makam, masjid, madrasah, dan bangunan lain yang tidak bernilai ekonomi, ke pengelolaan secara modern; yaitu pengelolaan wakaf produktif, membuka peluang besar manfaat wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Yang terpenting adalah adanya pengelolaan yang benar, yaitu dengan menggunakan managemen modern yang profesional. Di mulai dari nazhir profesional sampai dengan managemen yang profesional pula. Jika hal itu dilakukan, maka kemiskinan yang masih mendera sekitar 13% umat Islam di Indonesia akan dapat diatasi Keyword : Revolusi, Kesejahteraan, Wakaf, Wakaf Produktif, Wakaf Uang, Wakaf khair, Wakaf Ahli A. PENGANTAR Umat Islam adalah penduduk terbesar di Indonesia. Sementara salah satu problem kependudukan di Indonesia adalah masih tingginya ∗
Dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk. FAI Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
20
jumlah penduduk miskin. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Jumlah ini tergolong masih cukup tinggi, karena berarti masih ada 31,02 juta penduduk miskin di Indonesia. Andaikata jumlah umat Islam yang kategori miskin tersebut 80 persen dari jumlah penduduk miskin Indonesia, maka berarti jumlah penduduk muslim miskin di Indonesia berjumlah 24,9 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar. Kemiskinan yang mendera umat Islam Indonesia ini berdampak luas terhadap masalah sumber daya manusia (SDM) umat Islam Indonesia. Mengingat umat Islam sebagai penduduk terbesar di Indonesia, maka untuk melihat kualitas SDM umat Islam Indonesia dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia yang hanya menempati posisi ke- 124 dari 187 negara (HDR 2011 UNDP), dengan perincian sebagai berikut: Indeks Kesehatan (Health Index) Indonesia berada pada rangking 114, Indeks Pendapatan (Income Index) Indonesia berada pada rangking 122, Indeks Pendidikan (Education Index) Indonesia berada pada rangking 119. Ini menggambarkan bahwa persoalan yang menimpa umat Islam di Indonesia bukan hanya kemiskinan, tetapi juga tingkat kesehatan yang masih rendah, rata-rata pendapatan masih kecil, dan masalah pendidikan. Di bidang kesehatan umat Islam masih banyak yang jauh dari akses pelayanan kesehatan, bukan karena hanya karena tempatnya yang jauh dari tempat layanan tetapi juga karena ketidakterjangakauan biaya kesehatan. Biaya kesehatan di Indonesia tidak sebanding dengan pendapatan penduduknya. Sekarang memang pemerintah sudah menggulirkan BPJS dan JKN, namun dampaknya belum dirasakan secara luas karena program ini baru berjalan hitungan bulan. Di bidang pendiidkan, dapat dilihat juga dari data angka partisipasi sekolah penduduk Indonesia pada tahun 2009; SD (7-12 thn) 97,95 %, SMP (1315 thn) 85,47%, SMA (16-18 thn), 55,16%. (BPS). Angka ini tentu masih tergolong rendah, karena idealnya seluruh anak-anak itu dapat menikmati pendidikan dasar, bahkan idealnya sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun data tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, tingkat partisipasi masyarakat semakin berkurang. Hal ini menunjukkan umat Islam Indonesia masih menghadapi problem kemiskinan dan kualitas sumber daya manusia.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
21 Keadaan ini jika dihubungkan dengan jumlah keseluruhan umat Islam di Indonesia, yang sampai saat ini, kira-kira mencapai 190 juta1 jiwa, maka sesungguhnya jumlah umat Islam yang miskin tersebut bukanlah jumlah yang fantastik, yaitu sekitar 13% dari keseluruhan penduduk muslim di Indonesia. Artinya, jika penduduk muslim yang mampu mau berbuat sesuatu yang dapat mensejahterakan umat Islam yang lain adalah hal yang ringan. Karena masih ada 100 juta lebih penduduk muslim yang kaya. Dan kita tahu bahwa Islam sangat menganjurkan seorang muslim mau menolong muslim lainnya dalam segala hal kebaikan, terutama dalam hal ekonomi seperti melalui perintah Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf. Khususnya wakaf mempunyai peluang besar untuk dijadikan instrumen ekonomi yang dapat mengangkat kesejahteraan umat Islam Indonesia. Karena pengelolaan wakaf menunut azas manfaat pada harta benda wakaf sedangkan harta wakafnya harus terjaga. Di Indonesia, pengembangan wakaf saat mempunyai peluang besar untuk dapat mensejahterakan umat dengan telah adanya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan berdirinya badan resmi pemerintah yang mengatur perwakafan di Indonesia, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). Peluang ini didukung pula dengan potensi wakaf yang ada di masyarakat. Hanya saja, potensi yang besar ini belum dimaksimalkan dalam gerakan menyesejahterakan rakyat, tetapi lebih kepada penyiapan infrastruktur. Sebagai contoh wakaf tanah di Indonesia menurut data dari Dirjen Bimas Islam kementerian agama RI tahun 2007 dari luas tanah wakaf sejumlah 1.849.771.348,42 m2 sebagian besar dipergunakan untuk masjid seluas 747.679.698 m2 (40%), untuk langgar seluas 492.173.408 m2 (26.61%), sedangkan yang dipergunakan untuk sarana pendidikan sekolah / madrasah seluas 223.715.185 m2 (12.09%), untuk pondok pesantren seluas 31.791.105 m2 (1.72%), musholla seluas 188.391.735 m2 (10.18%), pemakaman 24.726.415 m2, pertanian 51.807.727,14 m2 (2,80%). Sisanya seluas 87.131.177.46 m2 (4-71%) untuk sarana dan prasarana sosial2 Kini dengan adanya paradigm baru perwakafan di Indonesia, di mana wakaf tidak hanya menggunakan benda tetap tetapi juga boleh dengan uang serta pengelolaannya diarahkan kepada wakaf produktif,
1 Sensus Penduduk Tahun Penduduk 2010 adalah sebesar 237.556.363 orang. Jika penduduk muslim di Indonesia 80% dari jumlah penduduk Indonesia, maka penduduk muslim berjumlah sekitar 190 juta jiwa. 2 Bimas Islam dalam angka, hal : 67
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
22 maka potensi peningkatan kesejahteraan umat semakin besar jika wakaf dikelola dengan manajemen yang professional. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang wakaf dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan modern di Indonesia dalam mensejahterakan umat Islam Indonesia. B. Wakaf Perspektif Fikih 1.
Pengertian wakaf Kata wakaf berasal dari bahasa Arab ً ْ َو- ُ ِ َ - َ َ َوyang berarti 3 berhenti, persamaannya adalah َ َ َ 4,atau ً َ ْ َ َ ْ ً َو- ُ ِ ْ َ - َ َ َ .5 Pada zaman Nabi saw dan para sahabat dikenal istilah habs, tasbil, atau tahrim. Belakangan baru dikenal istilah waqf. Kata wakaf bagi orang Arab digunakan untuk objek (isim maf’ul), yaitu sebagai mauquf. Hal yang sama biasanya dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk objek yang diwakafkan.6 Pendapat yang identik tentang wakaf dari segi etimologi ialah; “Waqf from Arabic term (plural, awqaf), refers to the act of dedicating property to a Muslim foundation and, by extention, also means the endowment thus created. The meaning of Arabic word is “stop”, that is, stop from being treated as ordinary property. The property is the said to be mauquf”.7 Pengertian yang senada juga diungkapkan oleh al-Sayyid Sabiq sebagai berikut: ا: ا ـ ـ و أو ـ و، ل.8 (Wakaf secara etimologi berarti menahan (habs) dikatakan waqafa, yaqifu, waqfan artinya habasa, yahbisu, habsan). Makna 3Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1984), hal. 1683. 4Ibid., hal. 249. Lihat Hasanah, Op. Cit., hal. 4. 5Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alām, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), hal. 114. Lihat Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Syaukāni, Nail al-Autārjuz 6, (Dār alFikri, tt.), hal. 127. Lihat juga ar-Rāgib al-Asfahāni, Mu‘jam Mufrodāt al-Alfāzil al-Qur`ān, (Bairut: Dār al-Fikri, 1992), hal. 576. 6 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Bandung: Yayasan Piara, 1995), 6. Lihat juga M. Muhammad Fadhlullah dan B. Th. Brondgest, Kamus Arab-Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1925), 1011. Lihat pula Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), 80. 7 John Alden Williams, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: T.pn. 1943), 337. Artinya: wakaf berasal dari bahasa Arab, waqf [jamaknya, awqaf] dengan makna menyerahkan harta milik dengan penuh keikhlasan dan pengabdian, yaitu berupa penyerahan sesuatu sebuah lembaga Islam, dengan menahan benda itu. Sesuatu yang diwakafkan itu disebut mauquf. 8 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet. 44, Jilid 3, (Beirut: Taba’at wa al-Nasyar, 1983), 378.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
23 wakaf secara etimologi lainnya yaitu: !" و ا ا: ا ا.9 Khusus kata habs atau ahbas biasanya dipergunakan oleh masyarakat di Afrika Utara yang bermazhab Maliki dengan makna wakaf.10 Dalam konteks kajian ini, wakaf dalam pengertian “menahan” yang identik dengan kata al-tahbis dan al-tasbil. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ulama fiqih yang mendefinisikannya: menurut ulama Hanafiyah, wakaf adalah menahan substansi harta pada kepemilikan wâqif dan menyedekahkan manfaatnya.11 Menurut ulama Malikiyah wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemberinya, meskipun hanya perkiraan.12 Menurut ulama Syafi’iyah, wakaf berarti menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan.13 Adapun menurut ulama Hanabilah, wakaf adalah menahan yang asal dan memberikan hasilnya.14 Sedangkan definisi yang merepresentasikan ulama kontemporer adalah definisi yang dikemukakan oleh Mundzir Qahaf. Ia mengusulkan definisi wakaf Islam yang sesuai dengan hakekat hukum dan muatan ekonominya serta peranan sosialnya, menurutnya wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, umum maupun khusus. 15 Dari definisi definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan suatu benda yang kekal zat nya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan. 2. Dasar Hukum Wakaf Wakaf merupakan bagian dari hukum Islam yang telah diamalkan oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai saat ini. 9
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syahsiyyah (Beirut: Dar al-Ilmy alMalayin, 1964), 378. Artinya wakaf menurut bahasa adalah menahan dan menghalangi. 10 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi…, 80. 11 Burhanuddin Ali bin Abu Bakar al-Marghinany, al-Hidayah, (Mesir: Musthafa Muhammad, 1356 H), 40. 12 Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hathab, Mawahib al-Jalil, (Mesir: Dâr al-Sa’adah, 1329 H), 18. 13 Syihabuddin Ahmad bin Sulamah al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, (Mesir: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tth.), 97. 14 Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, (Mesir: al-Manar, 1348 H), 185. 15 Mundzir Qahaf, Al-Waqf Al-Islâmy, op.cit., 52.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
24 Masalah yang berkaitan dengan wakaf ini tidak terdapat dasar hukumnya secara jelas di dalam al-Quran. Landasan wakaf di dalam al-Quran, hanya diambil dari ayat-ayat yang memerintahkan berbuat baik dan mengeluarkan infak, seperti surat al-Baqarah (2): 267, surat Ali ‘Imran (3): 92, al-Mȃ`idah (5): 2, al-Hajj (22): 77, dan lain-lain. Dasar Hukum Wakaf diambil dari Al-Qur’an, yang artinya, ”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92). Wakaf merupakan philanthropi Islam yang dalam Quran berakar pada kata al-khair (QS. al-Hajj [22]: 77). Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menjelaskan bahwa perintah untuk melakukan al-khair berarti perintah untuk melakukan wakaf.16 Pendapat alDimasqi relevan (munasabah) dengan firman Allah tentang wasiat (QS alBaqarah [2]: 180. Dalam ayat tersebut, kata al-khair berarti “harta atau benda.” Oleh karena itu, perintah melakukan al-khair berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi (maliyah).17 Menurut fukaha di dalam as-Sunnah dasar hukum wakaf, di antaranya ada yang mendasarkan pada sadekah secara umum, yaitu sebagai berikut:18 َ َ ْ ُ َ َ ََ َ َْ َُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ ُُ َ ﺴﺎن إِ ﻘ َﻄ َﻊ َﻤﻠﻪ إِﻻ ِﻣ ْﻦ ﺛﻼﺛ ِﺔ#اﻹ ِ ِ اﷲ ﻋﻠﻴ ِﻪ و2ْﻦ أ ِ ْ ﻫ َﺮ َﺮة " أن ا ِ ﺻ ِ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل إِذا ﻣﺎت,آ َ َ ُ ََُْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ْ .ﺨﺎرى واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪEﻤﺎﻋﺔ اﻻ اF" رواه ا,ُ َﺻﺎ ِﻟ ٍﺢ ﻳَﺪ ُﻋ ْﻮ: ٍ ﺎر ٍﺔ أ ْو ِﻋﻠ ٍﻢ ﻳ>ﺘﻔﻊ ِﺑ ِﻪ أ ْو َو ِ أﺷﻴﺎء ﺻﺪﻗ ٍﺔ ﺟ Artinya, dari Abū Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “apabila manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jāriah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya”. (Hadis Riwayat al-Jamā‘ah, kecuali al-Bukhāri dan Ibn Mājah). Para Ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud as-sadaqah al-jāriyah pada hadis tersebut adalah wakaf.19 Hal ini disebabkan benda yang 16Taqi
al-Din Abi bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, Kifayat al-Akhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar (Semarang: Taha Putra. t.th), juz I, hlm. 319; dan lihat Abi Abd alMu‘thi Muhammad Ibn Umar Ibn Ali Nawawi, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in (Semarang: Thaha Putra. t.th), hlm. 268. 17Di antara ulama ada juga yang mengidentifikasi bahwa perintah wakaf terkandung dalam kata al-birr (kebaikan maliyah); yaitu QS Ali Imran (3): 92. Lihat Muhammad Syatha al-Dimyathi, I‘anat al-Thalibin (Semarang: Thaha Putra. t.th), vol. III, hlm. 157. 18Al-Syaukāni, Op. Cit., hal. 127. 19Ibid. Lihat al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dār al-Fikr, 1983), hal. 378.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
25 diwakafkan oleh seseorang, misalnya berupa tanah milik, pahalanya akan terus mengalir bagi wakif sepanjang tanah tersebut dimanfaatkan sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya fuqahā mendasarkan hukum wakaf pada hadis riwayat Ibn ‘Umar yang berbunyi sebagai berikut:20 َْ ُ َ َ َ َ َ ََْ َ َْ َ ُ ً َْ َ َ َ َ ُ َ َ ُ ْ َ َْ ْ َو َﺳﻠ َﻢ,آ 2ﷲ َﺻ ِ ِ اﷲ ﻋﻠﻴ ِﻪ َو ِ ﻘﺎل ﻳﺎ رﺳﻮل اI Jَوﻋ ِﻦ اﺑ ِﻦ ﻤ َﺮ" أن ﻤ َﺮأﺻﺎب أرﺿﺎ ِﻣﻦ أر ِض ﺧﻴ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ََ ْ ُ ُ َْ َ َ ُْ ْ ْ ََْ َ ً ْ ُ َ ََْ َ ً ْ َ ُ ْ َ َ ﺖ أﺻﻠ َﻬﺎ ﺴPﻘﺎل إِن ِﺷﺌﺖ ﺣI ؟Uِ ﺮV ﻤﺎ ﺗﺄI _ ْﻢ أ ِﺻﺐ َﻣﺎ ﻻ ] [ﻂ أ ﻔ َﺲ ِﻋﻨ ِﺪى ِﻣﻨﻪJ ﺎ`ﻴ ِ أﺻﺒﺖ أرﺿ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ُ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ َ ﺒَﺎع َوﻻ ﺗ ْﻮﻫd أن ﻻe ﺘﺼﺪق ﺑﻬﺎ َﻤ ُﺮI ﺖ ﺑ َﻬﺎ َ َْوﺗَ َﺼﺪﻗ َوh اﻟﻔﻘ َﺮا ِء َوذ ِوى اﻟﻘ ْﺮiِ ﺐ َوﻻ ﺗ ْﻮ َرث ِ ِ ْ ََ َ َ ُ َ ْ َs ْ َ ْ uَ َﻞ ِﻣﻨْ َﻬﺎ ﺑﺎ_ ْ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو ِف َو ُ ْﻄﻌ َﻢnُ َ َﻬﺎ ا َ ْن ﻳَﺄoِ َﻣ ْﻦ َوe "ﻮ ٍلs ُﻣﺘَ َﻤt ﻴ ِﻞ ﻻ ﺟﻨﺎحPِ ﺎب َوا_ﻀﻴ ِﻒ َواﺑ ْ ِﻦ ا_ﺴ ِ ِ ا_ﺮﻗ ِ ً َْ َّ َْ َ .ﻤﺎﻋﺔF ِﺛ ٍﻞ َﻣﺎﻻ "رواه اxَ ُﻣﺘt u" ﻟﻔ ٍﻆwِ َو Artinya, dan dari Ibn ‘Umar bahwa ‘Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar kemudian ia bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah aku mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kudapat sama sekali, yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?” Jawab Nabi, “Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya”. Kemudian, ‘Umar menyedekahkannya dengan tidak boleh dijual, tidak boleh diberikan, dan tidak boleh diwariskan, yaitu untuk orang-orang fakir, keluarga dekat, memerdekakan hamba, menjamu tamu, dan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, serta tidak berdosa orang yang mengelolanya untuk makan sebagian hasilnya dengan cara yang wajar dan memberi makan (keluarganya) dengan tidak dijadikan hak milik. Pada satu riwayat dijelaskan: Dengan tidak dikuasai pokoknya (Hadis riwayat al-Jamā‘ah). Hadis lain yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh fuqahā adalah hadis riwayat ‘Usmān sebagai berikut:21 َ َ َْ ُ ْ َ ْ َْ َ ُ َ ْ َ ْ َ ٌ َ َ َ َْ َ ََْ َْ َ َ َ َ َ َ َْ َ ُ َ َ ُر ْو َﻣﺔz { t u ب ﺬ ﻌ ﺘ ﺴ } ﺎء ﻣ ﺎ ﻬ ﺑ ﺲ • ﻟ و ﺔ ﻨ € ﺪ ﻤ _ا م ﺪ ﻗ ﻢ ﻠ ﺳ و ,آ و ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ اﷲ 2 ﺻ ا ن َو ﻦ ﺜﻤﺎن " أ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ْ َ َ ْ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ُْ َ َ َ ََُْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ َْ َ َْ ْ َ َ ََ َ َ ﺎﺷ … ْﺘُ َﻬﺎ ِﻣ ْﻦ ﻨ ِﺔ ﻓF اiِ ِﻣﻨ َﻬﺎ,ُ t ٍ `ِ ‚ﻴﻬﺎ د_ﻮه ﻣﻊ ِدﻻ ِء ا_ﻤﺴ ِﻠ ِﻤIِ ﻴﺠﻌﻞI روﻣﺔz…ى ِﺑ ِ ﻘﺎل ﻣﻦ }ﺸI ْ ُ . واﻟ…ﻣﺬى وﻗﺎل ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦŠﺐ َﻣ ِﺎˆ" رواه اﻟ>ﺴﺎ ِ ﺻﻠ Artinya, dan dari ‘Usman, dia menceritakan bahwa Nabi saw telah datang ke Madinah, sedangkan di sana tidak ada air kecuali sumur Rūmah kemudian Nabi saw bersabda, “Siapakah yang mau membeli sumur 20Al-Syaukāni, 21
Op. Cit., hal. 127. Ibid., hal. 127-128.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
26 Rūmah?” Selanjutnya ia memasukan timbanya ke dalam sumur itu bersama dengan timba-timba kaum muslimin yang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sumur itu kelak di surga lalu aku membeli sumur itu dari hartaku. (Hadis riwayat an-Nasā`i dan al-Tirmiżi). Dalam hadits yang lain juga disebutkan: َ ُ َ َ َ َ ْ ََ ْ َ Œِ •ِ ا• َﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠ َﻢ إِن ا_ ِﻤﺎﺋﺔ َﺳﻬ ٍﻢ اﻟ 2 َﺻs ِ ﻗﺎل ُ َﻤ ُﺮ _ِﻠﻨ: ْﻦ اﺑ ْ ِﻦ ُ َﻤ َﺮ ﻗﺎل َ ََ َ ََ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ [ َ َ ْ ُ ْ َ ََْ َ 2ﻘﺎل ا ِ ّ َُﺻI ِﻣﻨ َﻬﺎ ﻗﺪ أ َردت أن أﺗ َﺼﺪق ِﺑ َﻬﺎ ؟Œِﺐ إ _ﻢ أ ِﺻﺐ ﻣﺎﻻ ]ﻂ أﻋﺠJِ`ﻴ َ َ َْ ُ 22 ( َﻬﺎ )رواه ا ﺨﺎرى و ﺴﻠﻢdﺲ أﺻﻠﻬﺎ وﺳﺒﻞ • َﻤ َﺮP اﺣ: ا• َﻋﻠﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﻢ “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia mengatakan : “Umar (bin Khoththob) mengatakan kepada Nabi Saw : “Seratus bagian untuk saya di Khaibar adalah harta yang paling saya sukai (kagumi). Saya be-lum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi Saw. mengatakan ke-pada Umar : “Tahanlah (jangan jual, jangan hibahkan dan jangan wariskan) asalnya (kebunnya) dan jadikan buahnya sedekah fi sa-bilillah”. Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw. memberikan penjelasan kepada Umar r.a. tentang apa yang harus dilakukannya pada mauquf (harta yang diwakafkan), yaitu : َ َ َﻬﺎdﺲ أﺻﻠﻬﺎ وﺳﺒﻞ • َﻤ َﺮPاﺣ “Tahanlah “ashlaha” dan jadikan buahnya sedekah fi sabilillah” Yang dimaksud ( اtahan) adalah sebagaimana dalam riwayat yaitu رث% ع و% (tidak dijual dan tidak diwariskan). Artinya tidak dijadikan milik pribadi manusia sia-papun, baik melalui jual beli atau waris. 23 Tujuannya ialah agar dapat meman-faatkannya. Sedangkan yang dimaksud ' (( أtahan ashlaha) adalah sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar yaitu tanah yang menpunyai ghallah. Arti ghallah ialah penghasilan atau pemasukan dari tanah. Tetapi kata ghallah dipakai juga untuk penghasilan atau pemasukan dari yang lain seperti sewa dari rumah).24
22
Ibid, hal. 88 Hajar, Fat-hu Al bari (Kairo : Mushthofa Al Halabi), VI hal. 329 24 Ibid., VI hal. 321 23 Ibnu
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
27 Az-Zuhaili berpendapat bahwa hukum wakaf hanya sedikit diatur oleh as-Sunnah dan kebanyakan ditetapkan oleh ijtihad para fuqahā.25 Demikian juga Syaikh Mustafā Az-Zarqā, sebagaimana dikutif oleh Munzhir Qahaf, menyatakan bahwa rincian hukum wakaf dalam fiqh keseluruhannya berdasarkan hasil ijtihad dan qiyas karena akal berperan dalam hal ini.26 3. Wakaf dalam Sejarah Sebenarnya wakaf sudah dikenal dalam masyarakat Arab kuno di Makkah. Di Makkah, terdapat bangunan Ka’bah yang dijadikan sarana peribadatan bagi masyarakat setempat. Al-Quran menyebutnya sebagai tempat ibadah pertama bagi manusia, yakni Q.S. Ali Imran ayat 96: ∩∉∪ tÏϑn=≈yèù=Ïj9 “Y‰èδuρ %Z.u‘$t7ãΒ sπ©3t6Î/ “Ï%©#s9 Ĩ$¨Ψ=Ï9 yìÅÊãρ ;MøŠt/ tΑ¨ρr& ¨βÎ) Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia adalah Baitullah (Ka’bah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” Oleh itu, bisa dikatakan, Ka’bah merupakan wakaf pertama yang dikenal manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama. Demikian pula dengan Masjid al-Haram di Mekkah dan Masjid al-Aqsha, telah dibangun di atas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah SWT. Kedua Masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Masyarakat sebelum Islam telah mengenal praktik sosial diantaranya adalah praktik memberikan sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.27 Praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusikannya kekayaan secara adil dan kemudian ditujukan untuk kesejahteraan bersama. Dalam sejarah dunia Islam, banyak sumbangan diberikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan temporal kaum Muslim. Dana yang diperoleh dari sumbangan tersebut digunakan untuk membangun dan merawat tempattempat ibadah, mendirikan sekolah dan rumah sakit, menafkahi para ulama
25
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa AdillatuhuJuz VIII, Mesir: Dȃr al-Fikri, 1989, hal. 157. 26 MunzirQahaf, Munzir,Al-waqf al-Islami Tatawwuruhu, Idāratuhu, Tanmiyyatuhu, Damsyiq: Dār al-Fikri, 2000, hal. 137. 27 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, cet. IV. (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), 6-7.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
28 dan da’i, mempersiapkan kuburan kaum miskin dan memasok senjata bagi para pejuang yang berperang di jalan Allah.28 Tradisi wakaf juga telah dirintis oleh Rasulullah SAW. Wakaf difungsikan untuk sarana dan prasarana ibadah serta aktivitas sosial. Hal tersebut ditandai dengan dibangunnya masjid Quba’ di awal kedatangan Beliau di Madinah. Nabi mewakafkan tanah untuk dibangun Masjid di atasnya.29 Sebagaimana keterangan yang diriwayatkan oleh ’Umar bin Syabah dari ‘Umar bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: ّ وروي ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ّ ﺳﺄ ﺎ ﻋﻦ: ﺷﺒﻪ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﻣﻌﺎد ﻗﺎل ﺲ “ اﻹﺳﻼم ﻓﻘﺎلPأول ﺣ ّ . 30 اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ2ا–ﻬﺎﺟﺮون ﺻﺪﻗﺔ ﻋﻤﺮ وﻗﺎل اﻷﻧﺼﺎر ﺻﺪﻗﺔ رﺳﻮل اﷲ ﺻ Peristiwa ini bukti adanya wakaf pertama di Islam untuk kepentingan peribadatan dalam agama. Selain itu, Nabi juga membangun masjid Nabawi yang berdiri di atas tanah anak Yatim dari bani Najjar. Tanah itu dibeli Nabi dengan harga delapan ratus dirham. Langkah ini menunjukkan, bahwa Nabi telah mewakafkan tanah untuk masjid sebagai sarana peribadatan umat Islam.31 Hal tersebut kemudian ditetapkan sebagai ibadah, yang diteladani umat Islam. Maka tak heran kalau kini banyak ditemukan masjid hasil wakaf. Di antara masjid di dunia yang dikelola dengan wakaf, antara lain, masjid alAzhar dan masjid al-Husain di Mesir, masjid Umawi di Syria, dan masjid alQairawan di Tunis. Masjid-masjid itu tak hanya digunakan sebagai sarana ibadah, tapi juga sebagai tempat dakwah dan pendidikan Islam serta pelayanan umat dalam bidang-bidang lainnya. Pada tahun ke-3 hijriah Nabi SAW juga mewakafkan kebun kurma di Madinah, diantaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya.32 Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang terjemahannya: “Apabila mati anak adam, 28
Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi (cet., I; Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), xi-xii. 29 Departemen Agama RI, Pedoman …, 8. Bandingkan dengan asy-Syaukani, 1374 H, 129. 30 Artinya: Diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Mu’ad berkata: “Kami bertanya tentang awal mula wakaf dalam Islam? Menurut orang-orang Muhajirin adalah wakafnya Umar, sedang menurut orang Anshar adalah wakafnya Nabi Muhammad SAW”. 31 Dituturkan oleh Masykuri Abdillah, Kepala Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia dengan tema Filosofi dan Hikmah Wakaf, Kamis, 05 Februari 2009 pukul 11:11:00 di Republika Newsroom. 32 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, cet. II (Jakarta: Rajawali, 1992), 25.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
29 maka terputuslah daripadanya semua amalnya kecuali tiga hal yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakannya”. Hadits tersebut dikemukakan dalam bab wakaf, karenanya ulama menafsirkan sadaqah jariyah dengan wakaf.33 Ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang mempraktikkan syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab.34 Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf, kemudian menyusul sahabatsahabat yang lain. Argumentasi ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra: _ﻢ أﺻﺐ ﻣﺎﻻ ﻗﻂ ﻫﻮ أﻧﻔﺲ ﻋﻨﺪي ﻣﻨﻪ ﻓﻤﺎJ أﺻﺎب أرﺿﺎ `ﻴ: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ر— اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎل ّ ّ ّ أﻧﻬﺎ،ﺴﺖ اﺻﻠﻬﺎ وﺗﺼﺪق ﺑﻬﺎ ﻋﻤﺮP إن ﺷﺌﺖ ﺣ، اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ2 رﺳﻮل اﷲ ﺻ, ﻓﻘﺎل.ﺮ˜ ﺑﻪVﺗﺄ ّ ّ š وh اﻟﻘﺮšوﺗﺼﺪق ﺑﻬﺎ “ اﻟﻔﻘﺮاء و ﻴﻞ اﷲ واﺑﻦP ﺳšا_ﺮﻗﺎب و ﻗﺎل.ﻻﺗﺒﺎ ع وﻻﺗﻮﻫﺐ وﻻﺗﻮرث ّ ّ ّ ّ ﻣﻦe وا_ﻀﻴﻒ ﻻﺟﻨﺎح .35 ﻣﺘﻤﻮل tﻞ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﺎ–ﻌﺮوف و ﻄﻌﻢ ﻏnﻬﺎ أن ﻳﺄoو ﻴﻞPا_ﺴ Al-Qur’an sendiri menilai kegiatan wakaf merupakan bukti pengabdian dan kesempurnaan kebajikan seseorang di sisi Allah SWT. Sebagaimana yang termaktub dalam QS. Ali Imran, ayat 92:
∩⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ϵÎ/ ©!$# ¨βÎ*sù &óx« ÏΒ (#θà)Ï Ζè? $tΒuρ 4 šχθ™6ÏtéB $£ϑÏΒ (#θà)Ï Ζè? 4®Lym §É9ø9$# (#θä9$oΨs? s9 Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. Bahkan ayat lain menopang keutamaan aktivitas tersebut dalam QS. AlBaqarah, ayat 261: 33 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004), 25. 34 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, cet. V (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), 4-5. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir Juz I, 381; Fiqh al-Sunnah, jilid III, 381; Subul al-salam, 87. 35 Artinya: Dari Ibnu Umar ra. Berkata: “Bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar ra. berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu dan engkau sedekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidak dilarang bagi nazhir makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim).
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
30 Ÿ≅Î/$uΖy™ yìö7y™ ôMtFu;/Ρr& >π¬6ym È≅sVyϑx. «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû óΟßγs9≡uθøΒr& tβθà)Ï ΖムtÏ%©!$# ã≅sW¨Β ∩⊄∉⊇∪ íΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 â!$t±o„ yϑÏ9 ß#Ïè≈ŸÒムª!$#uρ 3 7π¬6ym èπs)($ÏiΒ 7's#ç7/Ψß™ Èe≅ä. ’Îû Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah36 adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Kedua ayat tersebut mengindikasikan bahwa ‘menafkahkan harta’ (baca: wakaf) menjadi bukti keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Fuqoha` menggunakan teks-teks normatif sebagai dasar merumuskan konsep ‘Fiqh Wakaf’. Hal ini ditegaskan Ali Ahmad al-Jurjani, bahwa tuntunan wakaf itu bersandar pada al-Qur`an, al-Sunnah, Ijma` dan al-Qiyas yang menjadi alat untuk memahami dalil-dalil bagi ulama Mujtahid.37 4. Fungsi Wakaf Secara garis besar jangkauan manfaat wakaf itu ada dua; pertama adalah yang ditujukan kepada kelompok khusus, yaitu keluarga. Dan kedua, wakaf yang kemanfatannya ditujukan untuk masyarakat umum. Karena itu, wakaf pada umumnya dibedakan menjadi dua: wakaf ahli (keluarga); yaitu wakaf yang tujuannnya untuk membantu keluarga dari pihak yang mewakafkan; dan wakaf khairi (umum); yaitu wakaf yang tujuannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat umum.38 Wakaf ahli dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.39 Namun, pada perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan
36
Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan perguruan/sekolah, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lainlain. 37 ‘Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmah al-Tasyri` wa Falsafatuhu (Mesir: Dar al-Fikr, 1997), 135. 38Antara lain lihat H. Tulus (Pengarah), Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005), hlm. 14-17. 39 Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 244
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
31 kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Sedangkan wakaf khairi atau wakaf umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum, atau sering kita kenal dengan wakaf sosial. Wakaf jenis ini jelas sifatnya sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial dalam bentuk masjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit dan rumah yatim piatu.40 Wakaf khairi atau wakaf sosial inilah yang yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia meninggal dunia selama wakaf itu masih dapat dimanfaatkan. Dalam penggunaannya wakaf khairi jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan wakaf ahli. Karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang mengambil manfaatnya. Dalam jenis wakaf ini wakif dapat mengambil manfaatnya dari harta yang diwakafkan itu, seperti halnya masjid maka wakif boleh mempergunakannya (mengambil manfaatnya).41 Perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk berbuat baik; dan perintah wakaf juga berarti perintah untuk menggunakan harta atau benda yang sesuai dengan perintah Allah yang bersifat universal yang manfaatnya tidak hanya terbatas pada umat Islam, tapi kepada semua manusia tanpa membedakan agama dan keyakinannya. Akan tetapi, wakaf dari segi fungsinya secara empirik bisa dibedakan menjadi dua: wakaf yang berguna bagi semua orang (termasuk non muslim) seperti wakaf tanah untuk jalan; dan wakaf yang digunakan hanya oleh umat Islam, seperti wakaf untuk masjid dan taman pemakaman Muslim.42 Di antara fungsi wakaf adalah dapat dijadikan sarana untuk mensejahterakan masyarakat. Karena itu, yang dimaksud wakaf dalam tulisan ini adalah wakaf khairi, yaitu wakaf yang mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial wakaf bisa dijelaskan dari dua kerangka: 1) kerangka yang menunjukkan kekhususan wakaf dari sebagai ibadah maliyah; dan 2) kerangka dari segi hubungan secara akademik antara wakaf dan institusi pendidikan. Selain diberi nama sedekah jariah, wakaf juga disebut al-habs (alahbas, jamak). Secara bahasa, al-habs berarti al-sijn (penjara), diam, cegahan,
40
Muhammmad Daud Ali, Op Cit, hlm. 90 34 Departemen Agama, op Cit, hlm. 17 42Lihat Zufran Sabri, “Wakaf,” dalam Mimbar Hukum, Nomor 305, Thn. VIII, 1997, hlm. 57-58; dan Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek (Jakarta: CV Rajawali. 1989), hlm. 15. 41
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
32 rintangan, halangan, tahanan, dan pengamanan. Gabungan kata al-habs dengan al-mal (harta) berarti wakaf (habs al-mal).43 Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang menjelaskan bahwa Umar Ibn al-Khathab datang kepada Nabi Saw. meminta petunjuk mengenai pemanfaatan tanah miliknya di Khaibar. Nabi Saw. bersabda: “Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya (manfaatnya).”44 Juga dalam riwayat Nafi’ disebutkan bahwa Umar menyedekahkan buah- nya. 45 Jadi yang disalurkan Umar r.a. kepada mauquf ‘alaihi ialah hasilnya, bukan harta yang diwakafkan itu sendiri yaitu tanah dan pohonnya. Harta yang diwakafkan itu tidak boleh dibagi-bagi. Karena itu tidak ditemukan dalam kisah wakaf Umar r.a. bahwa Umar r.a. membagi-bagikan tanah kebunnya be-gitu pula pohon-pohonnya kepada mauquf ‘alaihi. Sebab itulah Ibnu Hajar menegaskan bahwa pemanfaatan harta wakaf tidak mungkin diperoleh tanpa penahanan wujud harta wakaf. Dari Hadits di atas tersirat menunjukkan kekhususan institusi wakaf; yaitu dalam wakaf terdapat tiga pihak (sementara ibadah maliyah lainnya hanya terdapat dua pihak): 1) wakif (pihak yang mewakafkan hartanya); 2) nadzir/mauquf ‘alaih (pengelola harta wakaf yang relatif sepadan dengan Mudharib dalam akad mudharabah atau Manajer Investasi pada Aset Manajemen atau Dana Reksa); dan 3) mauquf lah (penerima manfaat wakaf). Hal ini menunjukkan paradigma wakaf dari segi ibadah maliyah, yaitu harta wakaf (mauquf bih) berkedudukan semacam modal usaha (semisal ra’s al-mal) yang harus dikelola/diinvestasikan oleh nadzir (mauquf ‘alaih) yang keuntungannya menjadi hak penerima manfaat wakaf (mauquf lah). Di sinilah fungsi manfaat harta wakaf dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Dalam konteks Indonesia, peruntukkan harta benda wakaf tersebut telah dirumuskan secara komprehensif dalam undang-undang wakaf yang baru di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (UU) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (PP). Pasal 22 UU ini menetapkan dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya diperuntukkan bagi : 43Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997), hlm. 490. 44 Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari (Semarang: Thaha Putra. 1981), juz III, hlm. 196; lihat pula Imam Muslim, Shahih Muslim (Bandung: Dahlan. t.th), vol. II, hlm. 14. 45 Ibid., VI hal. 329
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
33 a. b. c. d. e.
sarana dan kegiatan ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
5. Persyaratan harta benda wakaf Ulama sepakat bahwa harta benda ditetap dapat dijadikan sebagai harta benda wakaf sebagaimana dalam pendefinisian wakaf ditegaskan bahwa yang diwakafkan berupa benda tetap dan bermanfaat. Namun para ulama tidak menjelaskan kebolehan wakaf menggunakan harta benda yang tidak bergerak. Karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang wakaf benda bergerak. Ada tiga pendapat besar46yaitu: a. Para Pengikut Mazhab Hanafiah (Ulama Hanafiyah) Mazhab Hanafiyah Berpendapat bahwa pada dasarnya benda yang diwakafkan adalah benda tidak bergerak. Karena obyek wakaf itu harus bersifat tetap 'ain (dzat/pokok) nya yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus. Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya al Mudlarat fi al Awqaf bahwa menurut mazhab Hanafi banda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa kondisi: 1) Hendaknya benda bergerak itu selalu menyertai banda tetap. Hal seperti ini ada dua hal: Pertama, hubungannya sangat erat dengan benda tetap, seperti bangunan dan pepohonan. Kedua. Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda tetap, misalnya alat untuk membajak tanah. 2) Boleh mewakafkan benda bergerak berdasarkan astar (perilaku) sahabat yang membilehkan mewakafkan senjata, baju perang dan binatang yang digunakan untuk perang. 3) Boleh mewakafkan benda bergerak yang mendatangkan pengetahunan dan merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan 'urf (tradisi), seperti mewakafkan kitab-kitab dan mushhaf al-Qur'an.
46 Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, op. cit. 43-45. Lihat juga Muhammad Abid Abdillah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, terjemahan dari Ahkam al-Waqf fi Al-Syari'ah Al-Islamiyah, Jakarta: IIMaN Press, 2003, hal. 271-271.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
34 Menurut mazhab Hanafi, untuk menggantikan benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat, seperti mewakafkan tempat memanaskan air, sekop untuk bekerja dan lain sebagainya. b. Ulama Pengikut Mazhab Maliki Mereka berpendapat boleh mewakafkan benda bergerak dengan syarat dapat dimanfaatkan untuk selamanya atatu dalam jangka waktu tertentu. Pendapat ini berdasarkan kepada tidak adanya persyaratan dalam mewakafkan benda tidak bergerak maupun bergerak. Jika dibolehkan mewakafkan benda untuk selamanya, berarti boleh mewakafkan benda sementara. Wahbah Zuhaili dalam bukunya, Al Fiqh al Islami wa Adillatuha: 169, menyatakan bahwa mazhab Maliki membolehkan wakaf makanan, uang dan benda bergerak lainnya. Pendapat ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW: "Tahanlah asal (pokok) nya, dan jalankanlah manfaatnya" (HR. Al Nasa'I dan Ibnu Majah). Dan juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa ia berkata: "suatu ketika Rasulullah SAW ingin menunaikan ibadah haji, ada seorang wanita berkata kepada suaminya:"Apakah engkau menghajikan aku bersama Rasulullah SAW?, suaminya menjawab: "tidak, aku tisak mengizinkanmu", si wanita itu berkata lagi: "apakah engkau membolehkan aku berjanji bersama seseorang mengedarai untamu? Ia berkata: "hal itu adalah wakaf di jalan Allah SWT. Maka datanglah RAsulullah menghampiri seraya bersabda: "jika engkau menghajikan dengan mengendarai untamu sesungguhnya itu adalah ibadah di jalan Allah SWT". (HR. Abu Dawut). c. Mazhab Imam Syafi'I dan Mazhab Hambali. Mazhab Syafi'I membolehkan wakaf berupa benda bergerak apapun dengan syarat barang yang diwakafkan haruslah benda yang kekal manfaatnya, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Sedangkan Mazhab Hambali menyatakan boleh mewakafkan harta, baik bergerak maupun tisak bergerak, seperti mewakafkan kendaraan, senjata untuk perang, hewan ternak dan kitab-kitab yang bermanfaat dan benda yang tidak bergerak, seperti rumah, tanaman, tanah dan benda tetap lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh para fuqaha' bahwa barang yang diwakafkan haruslah bersifat kekal atau paling tidak dapat beratahan lama. Pandangan seperti ini, merupakan konskuensi logis dari konsep bahwa wakaf adalah sedekah jariyah. Sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
35 menerus mengalir sudah barang tentu barang yang diwkafkan bersifat kekal atau bertahan lama. Namun demikian, mayoritas ahli yuriprudensi islam justru menekankan pada aspek manfaatnya, bukan sifat fisiknya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa macam-macam harta 47 wakaf adalah: 1) Benda tidak bergerak48, seperti tanah, sawah dan bangunan. Benda macam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan, karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama. Ini sejalan dengan wakaf yang dipraktekkan sahabat Umar bin Khattab atas tanah Khaibar atas perintah Rasulullah SAW. Demikian juga yang dilakukan oleh bani alNAjjar yang mewakafkan bangunan dinding pagarnya kepada Rasul untuk kepentingan masjid. 2) Benda bergerak49, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau benda lainnya. Yang terakhir ini juga dapat diwakafkan. Anmun, nilai jariyahnya terbatas hingga benda tersebut dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga, apabila benda-benda itu tidak dapat lagi dipertahankan keberadaannya, maka selesailah wakaf tersebut. kecuali apabila masih memungkinkan diupayakan untuk ditukar atau diganti dengan benda baru yang lain. Sementara ulama ada yang membagi benda wakaf kepada benda berbentuk masjid dan bukan masjid. Yang berbentuk masjid, jelas termasuk benda yang tidak bergerak. Untuk yang bukan berbentuk masjid, dibagi seperti pembagian di atas, yaitu benda tidak bergerak dan benda bergerak.50 6. Hukum Wakaf Uang Wakaf uang dalam istilah fuqaha disebut Waqf an-Nuqud . istilah ini bahkan sudah ada yang menulis bukunya. Misalnya, Abu Asu’ud Al Hanafi telah menulis buku yang berju-dul از و ا ! د+ , -( رRisalah tentang wakaf nuqud). Secara etimologi, kata uang dalam terjemahan bahasa Arab nuqud mempunyai beberapa makna: baik, tunda lawan tempo atau tunai, yakni memberikan bayaran segera. Disebutkan dalam hadits: Naqadani al-
47
Ahmad Rofiq, op. cit. hal. 505. Lihat Kompilasi Hukum Islam op. cit. hal. 120, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, pasal 16 ayat (1) bahwa harta benda wakaf terdiri dari: a) benda tidak bergerak dan b) benda bergerak. 48 Lihat pasal 16 ayat (2) yang menjelaskan tentang benda tidak bergerak, Kompilasi Hukum Islam, loc. cit.. 49 lihat pasal 16 ayat (3) yang menjelaskan tentang benda bergerak, termasuk hak atas kekayaan inteletual. Ibid. 50 Ahmad Rofiq, loc. cit.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
36 tsaman ( ا ) yakni dia membayarku harga dengan tunai.51 Kata uang (nuqud/money) tidak terdapat dalam al-Quran maupun dalam al-Hadits. Karena bangsa Arab menggunakan kata dinar untuk mata uang emas dan dirham untuk mata uang perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukan dirham perak dan ’ain untuk dinar emas. Sedangkan kata fulus dipakai untuk menunjukan alat tukar tambahan untuk membeli barangbarang murah.52 Para ulama fikih menyebut mata uang dengan menggunakan kata dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukan dinar dan dirham mereka menggunakan kata naqdain (mustanna). Menurut Al-Sarkhasy, nuqud hanya dapat digunakan untuk transaksi atas nilai yang terkandung, karenanya nuqud tidak dapat dihargai berdasarkan bendanya.53 Jadi definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran dan media simpanan.54 Dengan demikian, nampak jelas bahwa para fakih mendefinisikan uang dari perspektif fungsi-fungsinya dalam ekonomi, yaitu: a. Sebagai standar nilai harga komoditi dan jasa; b. Sebagai media pertukaran komoditi dan jasa; dan c. Sebagai alat simpanan. Para ahli fiqh telah membahas hukum mewakafkan nuqud. Ada yang memperbolehkannya dan ada pula yang tidak memperbolehkannya. a. Pendapat yang memperbolehkan wakaf an-nuqud Beberapa sumber menyebutkan beberapa ahli fiqh yang berpendapat boleh mewakafkan uang, seperti : 1) Az Zuhri yang wafat tahun 124 H. Imam Al Bukhari (wafat tahun 252 H.) menyebutkan bahwa Imam Az-Zhuhri (wafat tahun 124 H.) berpendapat boleh mewakafkan dinar dan dirham. Caranya ialah menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya.55 51
Al-Fairuzabady, Al-Qamus al-Muhith, (Bairut: Al-Muassasah al-risalah, cet. I, 1986), h. 412. 52 Ahmad Hasan, Al-Auraq al-naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami op.cit., h. 2. Dinar, Dirham dan wariq juga disebutkan dalam al Qur’an surat Ali Imran ayat 75, surat Yusuf ayat 20 dan surat al Kahfi ayat 19. 53 Al-Sarkhasy, Al-Mabsuth, (Bairut: Dar al-Marifah, juz II, tt.), h. 14. 54 Ahmad Hasan, Al-Auraq al-naqdiyah fi al-Iqtishad al-Islami op.cit., h. 10 55 Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu Fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut : Dar Ibni Hazm), hal. 20-21). Lihat juga ulasan Abu Al-Asybal dalam buku tersebut pada halaman 13
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
37 Disebutkan dalam buku از و ا ! د+ , - رoleh Abu Asu’ud Al Ha-nafi sbb. : ﻤﺪœ إˆ اﺑﻦ ا_ﺸﻬﺎب ا_ﺰﻫﺮى ﻓﻴﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ اﻹﻣﺎمtﻧﺎﻧ:ﺴﺐ اﻟﻘﻮل ﺑﺼﺤﺔ وﻗﻒ ا# وﻗﺪ ﻓﻴﻤﻦ ﺟﻌﻞ أﻟﻒ: وﻗﺎل ا_ﺰﻫﺮى: ﺣﻴﺚ ﻗﺎل: ﺻﺤﻴﺤﻪi ﺨﺎرىEﺑﻦ اﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ا ، ‚ ﻓﻴﺘﺠﺮ وﺟﻌﻞ ر ﻪ ﺻﺪﻗﺔ _ﻠﻤﺴﻜ، ﺗﺎﺟﺮ, ودﻓﻌﻬﺎ إˆ ﻏﻼم، ﻴﻞ اﷲP ﺳi دﻳﻨﺎر . ‚{واﻷﻗﺮ “Disebutkan bahwa Ibnu Asy-Syihab Az-Zuhri pernah menyebutkan sahnya wakaf dinar, sebagaimana dikutip Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari dalam Shohihnya. Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhari mengatakan : Az-Zuhri mengatakan tentang orang yang menetapkan hartanya sebanyak 1000 dinar fi sabilillah (sebagai wa-kaf), Ia berikan 1000 dinar tersebut kepada budaknya yang bekerja sebagai pedagang untuk dijadikan modal dagang. Lalu budaknya menjadikan uang tersebut sebagai modal dan mengelolanya. Keun-tungannya diberikannya sebagai sedekah kepada orang miskin dan para ahli familinya”. 56
Apa yang disebutkan Abu Asu’ud Al Hanafi tersebut kami temukan dalam Shohih Bukhori. Bukhori menyebutkan dalam Shohihnya (Kitab Al Washoya)َ sbb. : َ َ ُ ْ َ s َ ْ َْ َ ُ ْ ِ ﻜ َﺮ َ I ا_ﺰ ْﻫﺮ [ي ﻴﻤ ْﻦ َﺟ َﻌﻞ أﻟﻒ واب واﻟ:ﺑَﺎب َوﻗ ِﻒ ا ِ اع َواﻟﻌ ُﺮ ِ ِ [ َوﻗﺎل، ﺖ ِ وض َوا_ﺼﺎ ِﻣ ُ َ َََََ َ َُ َدﻳﻨ َ َْ ًَ َ َ َُْ ََ َ َ َ ُ َْ ‚ Pِ ﺎر ِ“ َﺳ ِ ِ ﻴﻞ ِ ﺘ ِﺠﺮ ﺑِﻬﺎ وﺟﻌﻞ ِر ﻪ ﺻﺪﻗﺔ _ِﻠﻤﺴﺎ ِﻛ€ ﺎﺟ ٍﺮ ِ ﺗ, ٍﻌﻬﺎ إِˆ ﻏﻼمIا• ود ٍ ِ َْْ َ َ ْ ْ َ ُ َْ ْ َ ُ ْ َ َ ََْْ َ ُ َ َْ ْ َ ًْ َ َ ْﻦ َﺟ َﻌ َﻞ ر ْ َﻬﺎ¢ ِن _ﻢ ﻳ£ﻞ ِﻣﻦ ِر{ ِﺢ ذ_ِﻚ اﻷﻟ ِﻒ ﺷ•ﺌﺎ وnواﻷﻗﺮ{ِ‚ ﻫﻞ _ِﻠﺮﺟ ِﻞ أن ﻳﺄ ِ ًَ َ َ ْ َُْ ْ َ َ َْ َ َ َ َْ 57 (ﺨﺎرىEﻞ ِﻣﻨ َﻬﺎ )رواه اn أن ﻳَﺄ,ُ ‚ ﻗﺎل ﻟ• َﺲ ِ ﺻﺪﻗﺔ ِ“ ا_ﻤﺴﺎ ِﻛ “Bab tentang wakaf hewan, kura’ (berbagai kuda dari semua jenis-nya), ‘urudh (harta selain emas dan perak) dan ash-shomit (uang emas dan perak). Az-Zuhri berkata tentang orang yang menetapkan 1000 dinar fi sabilillah (wakaf) dan memberikan 1000 dinar tersebut kepada seorang budaknya yang berdagang, lalu budaknya menge- lolannya, Kemudian orang tersebut menetapkan keuntungannya se-bagai sedekah kepada orang56
Ibid. hal. 20-21 Bukhori, Shohih Al Bukhori dengan syarahnya Fat-hu Al Bari oleh Ibnu Hajar (Kairo : Mushthofa Al Halabi), VI hal. 334 57
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
38 orang miskin dan familinya. Apakah orang tersebut boleh makan dari keuntungan 1000 dinar tersebut meskipun ia tidak menyalurkan keuntungannya sebagai sedekah pada orang-orang miskin ? Az Zuhri mengatakan : Ia tidak boleh makan dengan menggunakan keuntungannya tersebut”. Menurut Ibnu Hajar, Bukhori mencantumkan bab ini (yang mengandung penjelasan Az-Zuhri) adalah dalam rangkaian hadis-hadis yang menjelaskan hukum wakaf benda-benda bergerak di antaranya . / ( اyaitu emas dan perak). Ibnu Hajar menjelaskan wakaf benda bergerak itu sah selama memenuhi syarat yaitu hendaklah bendanya dapat ditahan (tidak lenyap ketika dimanfa-atkan). Ibnu Hajar menjelaskan pendapat Az-Zuhri bahwa benda bergerak beru-pa emas dan perak dapat diwakafkan, dengan cara menjadikan emas dan perak itu sebagai modal, Keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alaihi”. 2) Mazhab Hanafi Mazhab Hanafi memperbolehkan wakaf uang dinar dan dirham, sebagai pengecualian. Dasar pengecualiannya ialah karena wakaf dinar dan dirham banyak dilakukan masyarakat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ اﷲ ﺣﺴﻦ، ﻣﺎ رآه ا ﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴﻨﺎ “Apa yang dipandang kaum muslimin itu baik, dipandang Allah baik juga”. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks). Cara mewakafkan uang, menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah atau mubadha’ah. Keuntungannya disedekahkan kepada yang diberi wakaf. 58 Namun Ibnu Abidin berpendapat wakaf dirham itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat Islam di wilayah kaum muslimin di Rumawi saja. Sedangkan di negeri lain tidak menjadi adat kebiasaan. Atas dasar itu, ia memandangnya tidak sah.
58
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hal. 7610.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
39 3) Mazhab Maliki Mazhab Maliki menyebutkan dengan jelas tentang bolehnya mewakafkan nuqud.59 4) Mazhab Syafii Abu Tsaur meriwayatkan dari Syafii bahwa Syafii memperbolehkan wakaf dirham dan dinar (uang). . (tﻧﺎﻧ:رﻫﻢ وا:وروى أﺑﻮ ﺛﻮر ﻋﻦ ا_ﺸﺎﻓ¨ ﺟﻮاز وﻗﻔﻬﺎ )أى ا “Abu Tsaur meriwayatkan dari Syafii tentang bolehnya wakaf dirham dan dinar”. Tetapi kami belum menemukan ahli fiqh mazhab Syafii atau lainnya yang menjelaskan maksud Imam Syafii apakah mewakafkan dirham dan dinar sebagaimana pendapat mazhab Maliki atau mewakafkannya untuk disewakan buat perhiasaan, misalnya. 5) Pendapat masa kini Menurut Dr. Hasan Abdullah Al Amin, wakaf uang banyak diterapkan pada masa sekarang. Namun ia tidak menyebutkan siapa-siapa yang menerap-kannya selain Mesir.60 Dr. Muhammad Abdu Ar-Razzaq AthThobthobai, Dekan Fakultas Syari-ah dan Studi Islam pada Univ. Islam pada Studi Islam Univ. Al Kuwait mendu-kung wakaf uang pada masa sekarang. Bahkan ia mengembangkan wakaf uang tersebut dengan memperluas penerapannya sampai mencakup wakaf uang kertas. Dalil yang digunakannya dalam mengembangkannya dari wakaf dirham dan dinar sampai mencakup uang kertas ialah qiyas (penyamaan hukum). Sehingga ia tidak membatasinya pada uang logam berupa dirham dan dinar saja.61 Caranya, sebagaimana dijelaskan Mahmud Muhammad Abdu Al Muhsin (Mesir), ialah Wakif mewakafkan sejumlah uang yang disebutnya dalam ikrar wakafnya dan menabungnya pada bank Islam untuk
59
Dr. Hasan Abdullah Al Amin, Al Waqfu Fi Al Fiqhi Al Islami (Kumpulan makallah studi wakaf), Bank Islam untuk pembangunan, Jeddah 1404, hal. 98. Lih. juga Jawahiru Al Iklil II hal. 306 60 Ibid., hal. 98 61 Dr. Muhammad Abdu Ar-Razzaq Ath-Thobthobai, Arkanu Al Waqfi Fi Al Fiqhi Al Islami (Au-qof) V hal. 109
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
40 mengelolanya dan menyalurkan keuntungannya kepada mauquf ‘alaihi (pihak yang diberi wakaf)sebagaimana ditentukan dalam ikrar wakaf. 62 Jadi uang yang diwakafkan menjadi modal usaha. Yang disalurkan kepada mauquf ‘alaihi ialah keuntungannya. 63 Ternyata wakaf uang tersebut mulai dikembangkan pula sehingga men-cakup wakaf saham, sebagaimana diterapkan di Mesir. 64 Disamping itu kita sering mendengar pula penerapan wakaf uang di Bangladesh. b. Pendapat yang tidak memperbolehkan wakaf an-nuqud Banyak ahli fiqh yang tidak memperbolehkan wakaf an-nuqud. Di antara pendukungnya ialah mazhab Syafii dan mazhab Hanbali. 1) Mazhab Syafii Banyak ahli fiqh mazhab Syafii yang dengan tegas menolak wakaf an-nuqud (dirham dan dinar).Mawardi, misalnya, tidak memperbolehkan wakaf an-nuqud (dirham dan dinar) dan menjelaskan alasannya. Ia mengatakan: ﻧﺖ ©ﻟﻄﻌﺎمª ﻓ، ﻻ ﺳﺘﻬﻼﻛﻬﺎ، ﻳﻨﺎر ﻻ «ﻮز وﻗﻔﻬﺎ:رﻫﻢ وا:وﻗﻒ ا “Wakaf dirham dan dinar tidak boleh, karena wujud dirham dan dinar menjadi lenyap ketika digunakan. Jadi sama dengan wujud makanan menjadi lenyap ketika dikonsumsi”. Al Bakri, mengemukakan pendapat mazhab Syafii tentang wakaf dinar dan dirham ialah tidak boleh, karena dirham dan dinar akan lenyap ketika di-bayarkan, sehingga tidak ada lagi wujudnya”. 66 Di antara pendukung pendapat yang menolak wakaf uang ialah◌ِ Al Isma’ili. Ia mengatakan : ﻗﺼﺔi ﺎب إﻻ اﻷﺛﺮ ﻋﻦ ا_ﺰﻫﺮى وا¬ﺪﻳﺚE اi _ﻢ ﻳﺬﻛﺮ: ﻓﻘﺎل2واﻋ…ﺿﻪ اﻻﺳﻤﺎﻋﻴ 65
ى أذن ﻓﻴﻪ° وأﺛﺮ ا_ﺰﻫﺮى ﺧﻼف ﻣﺎ ﺗﻘﺪم ﻣﻦ ا_ﻮﻗﻒ ا. ﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻋﻤﺮ ﻓﻘﻂ- ®اﻟﻔﺮس اﻟ د ﻣﻨﻪ± ﺑﻞ ا–ﺄذون ﻓﻴﻪ ﻣﺎ، ﺲ أﺻﻠﻪ و >ﺘﻔﻊ ﺑﺜﻤﺮﺗﻪP² اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻟﻌﻤﺮ ﺑﺄن2 ﺻ³ ا
62 Mahmud Muhammad Abdu Al Muhsin, Kumpulan makallah studi wakaf, Bank Islam untuk pembangunan, Jeddah 1404, hal. 331 63 Dr. Hasan Abdullah Al Amin, op.cit., hal. 98 64Pokok-pokok pembahasan dalam diskusi tentang wakaf yang diadakan Bank Islam Untuk Pembangunan, Jeddah 1404 H., hal. 446 65 Ibid 66 Al Bakri, op.cit., hal. 157
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
41 . ﻼ ﻳ>ﺘﻔﻊ ﺑﻪ إﻻ ﺑﺈﺗﻼف ﻋﻴﻨﻪ ﻓﻼV وأﻣﺎ. ﻤﺮة واﻟﻐﻠﺔ واﻻرﺗﻔﺎق واﻟﻌ‚ ﻗﺎﺋﻤﺔµ© ﻧﻔﻊ ﺑﻔﻀﻞ ﻠﺨﺼﺎV اه Ibnu Hajar tidak menerima sepenuhnya apa yang dikatakan Al Isma’ili tersebut di atas. Namun Ibnu Hajar tetap menolak wakaf alat bayar sebagai-mana dijelaskan Az-Zuhri. Ibnu Hajr mengatakan : ﻦ¢ اﻻﻧﺘﻔﺎع ﺑﺎ_ﺼﺎﻣﺖ ﻟ•ﺲ ﺑﻤﺴﻠﻢ ﺑﻞ ﻳﻤi ى ﺣ·ه°وﺟﻮاب ﻫﺬا اﻻﻋ…اض أن ا 67
ﺴﻪ _ﻠﻤﺮأة ﻓﻴﺼﺢ ﺑﺄنPﺲ ﻣﺜﻼ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ «ﻮز ﻟP² اﻻﻧﺘﻔﺎع ﺑﺎ_ﺼﺎﻣﺖ ﺑﻄﺮ ﻖ اﻻرﺗﻔﺎق ﺑﺄن . أﻋﻠﻢ, واا، ﻪ ﻛﻤﺎ ﺗﻮﺟﻴﻪoﺲ ﻋﻨﺪ ا¬ﺎﺟﺔ إPﺲ أﺻﻠﻪ و >ﺘﻔﻊ ﺑﻪ اﻟ>ﺴﺎء ﺑﺎ_ﻠP² 2) Mazhab Hanbali. 68
Mazhab Hanbali juga berpendapat tidak boleh mewakafkan dirham dan dinar.69 Tetapi Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa mayoritas ahli fiqh mazhab Hanbali melarang wakaf dirham dan dinar. 70 Ini berarti masih ada peluang dikalangan pendukung mazhab Hanbali untuk mengkaji hukum wakaf dirham dan dinar, bahkan wakaf uang secara umum. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa banyak ahli fiqh yang memandang wakaf dirham dan dinar adalah boleh. Pada masa sekarang pendukung pendapat ini telah mengembangkan wakaf dirham dan dinar tersebut lebih luas hingga mencakup wakaf uang kertas dan saham. Alasan boleh dan tidak bolehnya mewakafkan mata uang dirham dan dinar berkisar pada wujud uang setelah digunakan atau dibayarkan menyebabkan ك2'3-ا '!45 (istihlaki ‘ainiha/lenyap bendanya dari tangan yang membayarkannya). Di Indonesia kebolehan wakaf uang sudah didukung oleh Fatwa MUI pada 2002.71 Wakaf uang juga memiliki beberapa manfaat dan keunggulan, yaitu: (1) jumlah wakaf bisa bervariasi memungkinkan lebih banyak orang berwakaf; (2) aset-aset wakaf berupa tanah-tanah kosong bisa dimanfaatkan, baik dengan mendirikan bangunan maupun diolah menjadi lahan pertanian; (3) bisa dimanfaatkan untuk membantu lembaga pendidikan yang
67Ibnu
Hajar, Fat-hu Al bari (Kairo : Mushthofa Al Halabi), VI hal. 334 Hajar, Fat-hu Al bari (Kairo : Mushthofa Al Halabi), VI hal. 334 69 Sebagaimana dikutip Dr. Ath Thobtobai dalam makalahnya Arkanu Al Waqfi, Awqof V hal. 108 70 Sebagaimana dikutip Dr. Ath Thobtobai dalam makalahnya Arkanu Al Waqfi, Awqof V hal. 108 71 Lihat Fatwa MUI tentang Wakaf Uang. 68Ibnu
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
42 kekurangan dana; dan (4) umat Islam bisa mandiri dalam mengembangkan lembaga pendidikannya. C. Pengelolaan Harta Benda Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat Agar harta benda wakaf dapat memberikan manfaat untuk mensejahterakan umat, maka perlu dilakukan dua hal pokok, pertama pemilihan Nazhir Profesional, dan kedua, manajemen pengelolaan wakaf produktif. 1. Pemilihan Nazhir Pengelolaan harta benda wakaf menjadi penentu sejauhmana harta benda wakaf akan mendatangkan manfaat pada umat. Dalam wakaf, pihak yang berkwajiban mengelola harta benda wakaf adalah Nazhir. Nazhir adalah pihak yang diberikan amanah oleh wakif untuk mengelola harta benda wakaf. Nadzir berasal dari kata kerja bahasa Arab nadzara-yandzuru-nadzaran yang mempunyai arti, menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi. Adapun nadzir adalah isim fa’il dari kata nadzir yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas (penjaga). Sedangkan nadzir wakaf atau biasa disebut nadzir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Secara istilah nadzir adalah orang atau sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh waqif (orang yang berwaqaf) mengelola wakaf. Dalam berbagai kitab fiqih nadzir disebut juga mutawalli, orang yang mendapat kuasa mengurus dan mengelola akaf. Dari pengertian nadzir yang telah dikemukakan, tampak dalam perwakafan, nadzir memegang peranan yang sangat penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir wakaf (pengawas wakaf) baik nadzir tersebut wakif sendiri, mauquf alaihnya.72 Adapun syarat-syarat Nazhir adalah harus berakal, baligh, adil, amanah, kompeten, dan Islam.73 Menurut Wahbah Al-Zuhaili, nazhir harus memiliki syarat-syarat:
72
Tahir Azhary, Hukum Islam Zakat dan Wakaf , Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2005,
hal.116 73 Al-Dardir, Hasyiah al-Dasuki ‘ala Syarth al-Kabir, (Kairo: Mathbaah Muhammad Ali Shubh, 1353 H). ljilid , h. 452
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
43 a.
Adil, yaitu menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang syariat. Ini merupakan syarat yang diungkapkan oleh Jumhur ulama. Sedangkan menurut Hanabilah adil bukan syarat Nadzir. b. Mampu, yaitu kekuatan seseorang dan kemampuannya mentasarrufkan apa yang dijaganya atau diawasinya. Menurut Wabbah al-Zuhailli syarat mampu disini menuntut adanya taklif yaitu balig dan berakal. Laki-laki bukan syarat untuk menjadi nadzir karena Umar ra mewasiatkan Hafsah ra sebagai nadzir. c. Islam74 Dari syarat-syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa agar harta benda wakaf dapat bermanfaat sebagaimana diharapkan wakifnya, maka nazhir haruslah seorang yang memiliki tiga standar, yaitu:75 a. Standar personal, yaitu kemampuan untuk melakukan suatu tindakan dan percaya diri. Ini tersirat dari syarat baligh dan berakal. b. Standar profesi, yaitu strata pendidikan dan pengamalan kerja. Ini tersirat dari syarat kompetensi atau adanya kemampuan. c. Standar etis, yaitu amanah dan adil. Adapun kewajiban Nazhir adalah:76 a. Yang wajib dikerjakan oleh Nazhir yaitu memproduktifkan wakaf, melaksanakan syarat-syarat wakif, dan mempertahankan hak-hak wakaf. b. Yang boleh dikerjakan oleh Nazhir, yaitu prosedur-prosedur atau kebijakan-kebijakan yang bisa mewujudkan kemaslahatan bagi harta benda wakaf dan mauquf alaih seperti pola invstasi yang paling baik. c. Yang tidak boleh dikerjakan oleh nazhir, yaitu tindakan-tindakan apapun yang membahayakan eksistenti wakaf maupun maukuf alaih, khususnya menggadaikan harta benda wakaf atau meminjamkannya. Eri Sudewo dari Dompet Dhuafa Republika menjelaskan syarat-syarat nazhir yang munasaabah dengan semangat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu nadzir haru memenuhi tiga syarat: syarat moral, syarat manajemen, dan syarat bisnis; dengan rincian sebagai berikut:
74 Wahbah al-Zuhaili, Al Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid VIII, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, hal. 232 75 Badan Wakaf Indonesia, Manajemen Wakaf di Era Modern, (Jakarta: BWI, 2013), h. 22 76 Ibid., h. 23
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
44 a. syarat-syarat moral bagi nazhir adalah paham tentang hukum wakaf, baik dalam tinjauan syariah maupun peraturan perundang-undangan; jujur, amanah, adil dan ihsan sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf; tahan godaan, terutama menyangkut perkembangan usaha; pilihan, sunggguh-sungguh dan suka tantangan; dan memiliki kecerdasan, baik emosional maupun spiritual; b. syarat-syarat manajemen bagi nazhir adalah mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership, visioner, mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial, dan pemberdayaan, dan professional dalam bidang pengelolaan harta; dan c. syarat-syarat bisnis bagi nazhir adalah mempunyai keinginan, mempunyai pengalaman dan atau siap untuk dimagangkan, dan mempunyai ketajaman melihat peluang usaha seperti layaknya interpreneur.77 Upaya untuk meningkatkan atau memaksimumkan manfaat wakaf tidak lepas dari upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolanya (nadzir). Oleh karena itu, apabila nadzir berkualitas biasa-biasa, maka manfaat harta wakaf akan biasa-biasa saja; sebaliknya apabila kualitas nadzir meningkat dengan baik, maka manfaat wakaf akan meningkat pula; pengaruhnya adalah manfaat yang diterima oleh mauquf lah, termasuk institusi pendidikan Islam, akan meningkat pula. 2. Pengelolaan Wakaf Produktif Agar harta benda wakaf memberikan manfaat yang besar, maka harta benda wakaf harus dikelola secara produktif. Sebagaimana menurut Mundzir Qahaf, wakaf dari segi cara pemanfaatannya dibagi menjadi dua: (1) wakaf yang obyeknya digunakan untuk mencapai tujuan secara langsung; seperti masjid digunakan shalat, dan rumah sakit digunakan untuk pengobatan; dan (2) wakaf produktif; yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi yang hasilnya disedekahkan sesuai dengan tujuan wakaf.78 Melakukan pengelolaan wakaf produktif pada hahekatnya adalah melakukan kegiatan manajemen. Unsur-unsur manajemen yaitu, perencanan, pengorganisasian dan pengawasan. Perencanaan atau planning 77Ahmad Djunaidi (Ket.), Panduan Pemberdayaan Tanah wakaf Produktif Strategis di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depar RI. 2005), hlm. 38-39. 78Achmad Djunaidi (Ketua), Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005). hlm. 162.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
45 adalah kegiatan awal dalam sebuah pekerjaan dalam bentuk memikirkan halhal yang terkait dengan pekerjaan itu agar mendapat hasil yang optimal. Oleh karena itu, perencanaan merupakan sebuah keniscayaan, sebuah keharusan di samping sebagai sebuah kebutuhan.79 Setelah adanya perencanaan yang matang, maka tahapan berikutnya adalah pengorganisasiannya. Dijelaskan oleh Buchari Alma bahwa yang dimaksudkan pengorganisasia adalah sebagai suatu keseluruhan termasuk di dalamnya fasilitas, material, dan orang dengan perilakunya yang diatur menurut posisi berdasarkan tugas pekerjaan.80 Dalam arti pengaturannya dalam sebuah manajemen yang baik. Ada struktur oraganisasi yang jelas dalam pengelolaan harta benda wakaf, sehingga diketahuai siapa bertanggungjawab apa. Organisasi sangat penting, karena planning sebaik apapun jika organisasinya tidak baik maka tidak akan tercapai hasilnya. Pengawasan juga sangat dibutuhkan terutama terhadap nazhir. Hal ini agar pengelolaan harta benda wakaf senantiasa berada pada garis-garis yang telah ditentukan wakifnya serta tercipta akuntabiltas dalam pengelolaannya terutama terkait dengan keuangan dan aset-aset wakaf. Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, aset wakaf nasional mencapai 3,49 miliar meter persegi tanah, pada 420.003 titik di seluruh nusantara. Bila dirupiahkan, dengan asumsi harga tanah hanya Rp100 ribu per meter persegi, nilainya mencapai Rp349 triliun. Akan tetapi masih sedikit sekali yang dimanfaatkan untuk usaha-usaha yang bersifat produktif. Wakaf produktif adalah wakaf yang berorientasi untuk meningkatkan nilai ekonomi asset wakaf. Ini artinya bagaimana asset wakaf yang ada memiliki manfaat tidak hanya bagi kebutuhan langsung institusi pengelola dan masyarakat, tapi juga bisa memproduksi barang dan jasa. Dengan wakaf produktif diharapkan institusi pengelola bisa memperluas fungsi wakaf pada nilai-nilai yang sifatnya ekonomis, seperti pemanfaatan tanah wakaf untuk pembuatan gedung perkantoran, ruko, swalayan, pabrik, dan kontrakan atau bisa juga keuntungan pemanfaat asset wakaf itu mampu menghasilkan pelayanan jasa seperti kesehatan, dengan cara membangun rumah sakit, klinik bersalin, angkutan kota (angkot), jasa travel, dan jasa pendidikan. Perluasan manfaat asset wakaf produktif yang semacam ini walaupun belum begitu populer, karena umumnya wakaf masih dikelola dengan cara yang masih sederhana, tetapi sebagiannya telah dipraktekkan terutama oleh beberapa institusi wakaf yang ada di perkotaan, misalnya memanfaatkan lahan wakaf kosong di dekat 79 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syari'ah dalam Praktik, Jakarta: Gema Insani, Jakarta, 2005, P. 77 80 Buchari Alma, Pengantar Bisnis, (Bandung: Alfabeta, 2006), h. 106-107
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
46 area masjid untuk bangunan kantor cabang bank, mini market, perkantoran, TK, Paud, lahan lapak/ pedagang kaki lima, dan gedung serba guna seperti gedung untuk pernikahan, pertemuan dan lain sebagainya. Institusi wakaf di perkotaan berpotensi untuk memanfaatkan asset yang ada untuk wakaf produktif. Jumlah asset wakaf di Indonesia yang terdata secara administratif kurang lebih berjumlah 420.003 lokasi tanah wakaf dengan luas tanah wakaf 3.492.045.373,754 m2. Umumnya masih digunakan manfaatnya secara langsung dan bersifat sosial. Misalnya, asset wakaf dalam bentuk tanah dikelola nadzir untuk membangun masjid atau musola, ada yang digunakan untuk pemakaman umum dan ada juga yang dibangun untuk pendidikan, seperti sekolah dan majelis taklim. Dari segi pengelolaannya itu terlihat bahwa wakaf umumnya masih diperuntukkan manfaatnya secara sosial. Walaupun itu memang bisa dibenarkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sosial, tetapi gagasan perlunya dilakukan perluasan nilai asset hingga menjadi wakaf produktif sangat mungkin dilakukan di masyarakat perkotaan. Masalah utama yang mudah saja ditemukan adalah soal pengetahuan tentang wakaf. Selama ini wakaf masih difahami sebagai barang yang diberikan oleh si wakif untuk kepentingan yang pahalanya terus mengalir tanpa batas waktu. Nazhir atau pengelola wakaf itu juga memaknai pengelolaan wakaf secara syar’i dan sederhana layaknya sedekah. Artinya, antara pengetahuan tentang apa itu wakaf di kalangan masyarakat dan pengelolaan wakaf oleh nazhir diduga masih saling berhubungan untuk melahirkan model pengelolaan wakaf yang tidak produktif. Oleh karena itu, pengetahuan dan pengelolaan tentang wakaf produktif di masyarakat dan nazhir perlu ditelusuri seperti apa perkembangannya. Masalah lain adalah bagaimana membangun trust masyarakat bahwa wakaf produktif itu tidak melanggar hukum Islam. Karena adanya alasan terikat oleh peruntukkan wakaf yang dimaksudkan oleh wakif, masyarakat tidak yakin bahwa pengelolalaan wakaf akan bisa diperluas fungsinya. Ketidakyakinan ini mempengaruhi trust masyarakat bahwa wakaf bisa diluaskan fungsinya menjadi bernilai ekonomis. Trust masyarakat akan wakaf produktif berarti memiliki kaitan dengan pengetahuan mereka tentang norma-norma yang berkaitan dengan wakaf. Jika norma tentang wakaf itu merujuk pada hadis Nabi yang mengartikan wakaf dengan menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan hasilnya, maka wakaf produktif memiliki dasar hukum yang jelas. Trust masyarakat tentang diperbolehkannya wakaf produktif berarti memiliki kaitan dengan sumber hukum Islam yang mereka yakini.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
47 Sekarang dengan telah digulirkannya wakaf uang di Indonesia dan didukung oleh fatwa MUI dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, masyarakat sekamin dipermudah untuk wakaf. Sehingga diharapkan umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi waqif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf uang. Disebutkan hasil penelitian yang dipublikan PIRAC tahu 2002, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga non keagamaan. Jumlah umat Islam yang terbesar di Indonesia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf uang dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 miliar setiap bulan (Rp 1,2 triliun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa. Menurut asumsi Mustafa Edwin Nasution81 tentang potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim dermawan diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan perbulan Rp500.000 hingga Rp10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul danan sekitar 3 Triliun pertahun dari dana wakaf, seperti perhitungan tabel berikut ini.
81 Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai Dan Sektor Volunteer, dalam Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D dan Dr. Uswatun Hasanah, (Jakarta: PSTTI-UI, 2006), h. 43-44.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
48 Tingkat Penghasilan/bulan Rp500.000 Rp1 Juta-Rp2 Juta Rp2 Juta-Rp5 Juta Rp5 Juta-10 Juta Total
Jumlan Muslim 4 juta 3 Juta 2 Juta 1 Juta
Tarif Wakaf/bulan Rp5000,Rp10.000,Rp50.000,Rp100.000,-
Potensi Wakaf Uang/bulan Rp20 Milyar Rp30 Milyar Rp100 Milyar Rp100 Milyar
Potensi Wakaf Uang/tahun Rp240 Milyar Rp360 Milyar Rp1,2 Triliun Rp1,2 Triliun Rp3 Triliun
Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nazhir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif. Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Kemudian, keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Pengembangan wakaf uang dapat pula dilakukan dengan cara memproduktifkan wakaf tanah yang kekurangan modal untuk pengelolaan dan pengembangannya. Wakaf uang dengan mudah mengembangkan wakaf tanah yang kurang maksimal dalam pengelolaannya, baik di desa atau di kota sesuai dengan potensi ekonominya. Tanah wakaf yang berada di kawasan industri dapat dibangun lahan pertokoan dan perdagangan, seperti tanah wakaf Masjid Al-Ma’un di Tanah Abang, dapat dibangun pertokoan, masjid dan apartemen; di kawasan pemukiman dapat dibangun rumah susun sewa sederhana (rusunawa) yang hasilnya dapat mensubsidi kredit perumahan masyarakat miskin; di daerah wisata yang strategis, seperti tanah yang ada di sebelah Taman Mini Indonesia Indah dapat dikembangkan dengan cara membangun pusat pelatihan, hotel, rumah sakit dan pusat perdagangan. Dengan pengeloaan wakaf produktif, baik terhadap benda wakaf berupa barang tetap, atau wakaf uang, maka potensi manfaat wakaf dalam mensejahterakan umat sangat besar. Hal ini sangat tergantung kepada pola pengorganisasian dan trust masyarakat. D. Kesimpulan Wakaf merupakan salah satu instrumen yang sangat penting untuk membangun kesejahteraan umat Islam. Apalagi, kini pemahaman harta benda yang dapat diwakafkan tidak hanya harta benda yang tidak bergerak
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
49 saja, melainkan juga harta-harta bergerak lainnya sejauh memiliki manfaat, seperti uang. Didukung fatwa MUI yang membolehkan wakaf uang, diharapkan umat akan lebih mudah memberikan kontribusi dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi waqif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf uang. Juga dengan adanya perubahan paradigma tatakelola harta benda wakaf, dari pengelolaan harta benda wakaf secara tradisional, seperti diperuntukkan untuk pembangunan makam, masjid, madrasah, dan bangunan lain yang tidak bernilai ekonomi, ke pengelolaan secara modern; yaitu pengelolaan wakaf produktif, membuka peluang besar manfaat wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Yang terpenting adalah adanya pengelolaan yang benar, yaitu dengan menggunakan managemen modern yang profesional. Di mulai dari nazhir profesional sampai dengan managemen yang profesional pula. Jika hal itu dilakukan, maka kemiskinan yang masih mendera sekitar 13% umat Islam di Indonesia akan dapat diatasi, insya Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab. DAFTAR PUSTAKA Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni, , Mesir, alManar, 1348 H. Abi Abd al-Mu‘thi Muhammad Ibn Umar Ibn Ali Nawawi, Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in, Semarang, Thaha Putra. t.th. Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman al-Hathab, Mawahib al-Jalil, , Mesir, Dâr al-Sa’adah, 1329 H. Achmad Djunaidi (Ketua), Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005. Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta, CV Rajawali. 1989. Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta, Rajawali, 1992. Ahmad Djunaidi (Ket.), Panduan Pemberdayaan Tanah wakaf Produktif Strategis di Indonesia , Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depar RI. 2005.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
50 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 1997. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren “Al-Munawwir”, 1984. Al-Dardir, Hasyiah al-Dasuki ‘ala Syarth al-Kabir, (Kairo, Mathbaah Muhammad Ali Shubh, 1353 H). ljilid , h. 452 Al-Fairuzabady, Al-Qamus al-Muhith, Bairut: Al-Muassasah al-risalah, cet. I, 1986. Ali Ahmad al-Jurjani, Hikmah al-Tasyri` wa Falsafatuhu , Mesir, Dar al-Fikr, 1997. Al-Sarkhasy, Al-Mabsuth, , Bairut: Dar al-Marifah, juz II, tt. Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu Fi Jawazi Waqfi An-Nuqud , Beirut : Dar Ibni Hazm al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, , Bairut: Dār al-Fikr, 1983 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet. 44, Jilid 3, , Beirut: Taba’at wa alNasyar, 1983 ar-Rāgib al-Asfahāni, Mu‘jam Mufrodāt al-Alfāzil al-Qur`ān, , Bairut: Dār alFikri, 1992.. Badan Wakaf Indonesia, Manajemen Wakaf di Era Modern, , Jakarta, BWI, 2013. bnu Hajar, Fat-hu Al bari, Kairo : Mushthofa Al Halabi. Buchari Alma, Pengantar Bisnis, , Bandung, Alfabeta, 2006. Bukhori, Shohih Al Bukhori dengan syarahnya Fat-hu Al Bari oleh Ibnu Hajar (Kairo : Mushthofa Al Halab Burhanuddin Ali bin Abu Bakar al-Marghinany, al-Hidayah, Mesir, Musthafa Muhammad, 1356 H. Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, cet. V , Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007. Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2004.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
51 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, cet. IV. , Jakarta, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007. Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syari'ah dalam Praktik, Jakarta, Gema Insani, Jakarta, 2005. Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Pedoman: Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. H. Tulus (Pengarah), Fiqih Wakaf , Jakarta, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI. 2005.. Hasan Abdullah Al Amin, Al Waqfu Fi Al Fiqhi Al Islami (Kumpulan makallah studi wakaf), Bank Islam untuk pembangunan, Jeddah 1404 Hendi Suhendi, Fiqh Muammalah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002. Ibnu Hajar, Fat-hu Al bari, Kairo : Mushthofa Al Halabi. Ibnu Hajar, Fat-hu Al bari, Kairo : Mushthofa Al Halabi. Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari (Semarang, Thaha Putra. 1981. Imam Muslim, Shahih Muslim , Bandung, Dahlan. t.th. John Alden Williams, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: T.pn. 1943,, Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia , Bandung, Yayasan Piara, 1995. Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alām, Beirut: Dār al-Masyriq, 1986, M. Muhammad Fadhlullah dan B. Th. Brondgest, Kamus Arab-Melayu , Jakarta, Balai Pustaka, 1925, Mahmud Muhammad Abdu Al Muhsin, Kumpulan makallah studi wakaf, Bank Islam untuk pembangunan, Jeddah 1404. Masykuri Abdillah, Kepala Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia dengan tema Filosofi dan Hikmah Wakaf, Kamis, 05 Februari 2009 pukul 11:11:00 di Republika Newsroom. Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, Jakarta, PT Lentera Basritama, 1999. Muhammad Abdu Ar-Razzaq Ath-Thobthobai, Arkanu Al Waqfi Fi Al Fiqhi Al Islami (Au-qof
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
52
Muhammad Abid Abdillah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, terjemahan dari Ahkam al-Waqf fi Al-Syari'ah Al-Islamiyah, Jakarta, IIMaN Press, 2003. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf , Jakarta, UI Press, 1988. Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Syaukāni, Nail al-Autārjuz 6, Dār alFikri, tt Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syahsiyyah , Beirut: Dar al-Ilmy al-Malayin, 1964. Muhammad Syatha al-Dimyathi, I‘anat al-Thalibin, Semarang, Thaha Putra. t.th. Munzir Qahaf, Munzir,Al-waqf al-Islami Tatawwuruhu, Idāratuhu, Tanmiyyatuhu, Damsyiq: Dār al-Fikri, 2000. Mustafa Edwin Nasution, Wakaf Tunai Dan Sektor Volunteer, dalam Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, ed. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D dan Dr. Uswatun Hasanah, , Jakarta, PSTTI-UI, 2006. Syihabuddin Ahmad bin Sulamah al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi,Mesir, Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tth. Tahir Azhary, Hukum Islam Zakat dan Wakaf , Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2005, hal.116 Taqi al-Din Abi bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, Kifayat alAkhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar (Semarang, Taha Putra. t.th Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa AdillatuhuJuz VIII, Mesir, Dȃr alFikri, 1989. Zufran Sabri, “Wakaf,” dalam Mimbar Hukum, Nomor 305, Thn. VIII, 1997
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
53
AL-RUKHSHAH LA TUNATU BIL MA’ASHI, DASAR DAN KAIDAH PENERAPANNYA AL-RUKHSHAH LA TUNATU BIL MA’ASHI Oleh: Dra. Hj. Na’imah Fathoni, Lc, MA.∗ Abstrak Kaedah al-Rukhshah la Tunatu bi al-Ma’ashi adalah bahwa Rukhshah tidak boleh digunakan untuk melakukan maksiat. Rukhshah merupakan keringanan yang diberikan Allah kepada orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan.. Dalam hal ini keringanan tersebut ada beberapa bentuk, yaitu: Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, haji, ‘umrah dan jihad dalam keadaan udzur. Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban; seperti meng-qashar shalat empat raka’at menjadi dua raka’at bagi orang yang berada dalam perjalanan. Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban; seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air; mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk, berbaring atau dengan isyarat dalam keadaan tidak mampu; kewajiban mengganti puasa wajib dengan memberi makan fakir miskin bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa. Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban; seperti membayar zakat fitrah semenjak awal Ramadhan, padahal waktu wajibnya adalah pada akhir Ramadhan. Mendahulukan mengerjakan shalat ashar pada waktu zhuhur dalam jama’ taqdim diperjalanan. Keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban; seperti cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk biasanya yang disebut shalat khauf. Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksanaan shalat zhuhur dalam waktu ashar pada jama’ takhir karena dalam perjalanan, menangguhkan pelaksanaan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya dalam bentuk qadha karena sakit atau dalam perjalanan. Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib karena udzur, seperti ∗
Dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk. FAI Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
54 kebolehan memakan babi atau bangkai karena dalam keadaan terpaksa, Tetapi keringana-keringanan tersebut di atas tidak berlaku bagi orang yang bertujuan melakukan maksiat, misalnya bagi yang melakukan perjalanan untuk tujuan mencuri, maka dia tidak dibenarkan menggunakan rukhshah atau keringanan-keringanan yang diberikan Allah bagi orang mukallaf, karena Rukhshah tidak boleh digunakan untuk melakukan perbuatan maksiat . Kata kunci:
Rukhshah, Ma’ashi, Azimah, Mukallaf, Udzur
A. Pendahuluan Hukum syara diturunkan Allah sebagai rahmat bagi seluruh hambanya tanpa terkecuali, oleh karenanya hukum itu pada asalnya ditujukan kepada semua manusia mukalaf tanpa pengecualian. Dan hukum Allah tersebut mengandung batasan-batasan, perintah-perintah dan larangan-larangan dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakannya, karena Allah tidak membebani hambanya kecuali dalam batas kemampuannya, sebagaimana firmanNya; ( 286 : ة
)ا
ا و
ﷲ
“Allah tidak mambebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupannya”. (Q.S.al-Baqarah: 286) Kemampuan manusia dalam menjalankan hukum berbeda tingkatannya. Dalam keadaan normal mungkin seseorang mampu melaksanakan hukum-hukum Allah. Tapi bagi orang-orang tertentu dan dalam keadaan tertentu mungkin dirasakannya sangat berat dan berada diluar kemampuannya. Maka untuk kemaslahatan manusia, Allah mengecualikannya dari tuntutan yang berlaku umum. Pengecualian tersebut dijelaskan Allah dalam petunjuk yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan sebelumnya. Oleh kerenanya terdapat hukum-hukum yang penerapannya sesuai dengan dalil semula yang disebut dengan hukum azimah, dan ada hukum-hukum yang penerapannya berbeda dengan dalil semula sebagai kemudahan bagi hambanya yang disebut dengan hukum rukhshah.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
55 Dalam kesempatan ini penulis akan membahas Kaidah ke empat belas yaitu ط ا/al-Rukhshah la Tunatu bil Ma’ashi, Dasar Dan Kaedah Penerapannya. Sebelum membicarakan ketitik permasalahan, terlebih dahulu penulis akan membahas masalah rukhshah dan hal-hal yang terkait didalamnya. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Rukhshah Kata rukhshah berasal dari bahasa Arab – رر – ا واyang artinya adalah keadaan murah atau keringanan, dan او ا ذ ن " اي ا اberarti keringanan atau izin, serta1 و ا ا ر، $ % & ا، ' – أي ا اyang berarti yang lunak/lembek, kebalikannya mahal (murah), yang rendah harganya. Jadi Secara etimologi, Rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.2 Rukhshah secara terminologis, Imam al-Baidhawi mengartikan dengan: 3 . ر3 2 ف ا1 . / +, - ا * ) ا “Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur.” Kata “hukum” dalam definisi mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsâbit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya. Kata “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada. Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk 1Ibnu
Munzir, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th., h. 1616. Warson Munawar, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, Edisi II, 2002 M., h. 484. 3Al-Baidhawi, Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul, Mesir: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, h. 87. 2.Ahmad
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
56 melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir; atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb (sunat) sep erti meninggalkan shalat jama’ah karena hujan dan lainnya. Dan penggunaan kata “udzur” dalam definisi yang mengandung arti kesukaran dan keberatan,4 Penambahan kata “berat” dalam sebagian definisi merupakan batasan selanjutnya bagi pengertian rukhshah, karena kata udzur saja dapat berarti kesukaran atau keberatan, sedangkan udzur dengan arti semata-mata kebutuhan tanpa adanya kesukaran tidak disebut rukhshah. Contoh udzur yang tidak berarti rukhshah umpamanya: Ditetapkannya hukum qiradh (investasi modal) yang sebenarnya menyalahi ketentuan syirkah yang mengharuskan persyarikatan dalam modal dan usaha. Tetapi cara ini dinyatakan sah karena ada kebutuhan yaitu ketidak mampuan pemilik modal dalam berusaha, padahal di sini tidak terdapat kesukaran apa-apa5. Begitu juga halnya usaha paroan tanah (mukhabarah), jasa usaha perkebunan (musaqah), jual beli salam, yaitu jual beli yang berlangsung antara dua pihak yang mana waktu berlangsungnya jual beli barang yang dijual belum ada di tempat akad. Semuanya tidak dapat dinamakan rukhshah meskipun berbentuk pengecualian dari prinsip larangan. Dan kadang-kadang digunakan pula kata “rukhshah” untuk sesuatu yang dikecualikan dari prinsip umum yang menghendaki larangan secara umum dan mutlak tanpa memandang pada sifat “udzur besar” yang harus ada padanya seperti contoh di atas; karena dalam salah satu hadits Nabi disebutkan: “Nabi merukhshahkan jual beli salam.” 6 Jadi Rukhshah adalah hukum keringanan yang telah disyariatkan oleh Allah kepada orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan. Atau sesuatu yang telah disyariatkan Allah Swt. karena alasan kesulitan dalam suatu kondisi terrtentu, atau juga membolehkan sesuatu yang dilarang karena adanya dalil, meskipun dalil larangan itu masih tetap berlaku.7
4
Amir Syarifuddin, ushul fiqh, Jil. I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997 M, h.
322. 5
I b i d , h. 323 Ibid.. 7 Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalm,1978 M./1398 H., h.121. 6
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
57 Adapun hukum yang ditetapkan dengan dalil nasakh karena mengandung kesukaran dalam pelaksanaannya tidak dinamakan rukhshah, karena dalil yang di-naskh itu tidak dinamakan dalil kecuali dalam arti kiasan terhadap apa yang pernah berlaku,.yaitu: hukum yang berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang lemah dari hukum itu. Diberlakukannya hukum yang datang belakangan bukan karena memberikan keringanan tetapi memang secara ketentuan harus dikakukan karena kekuatan dalilnya. B. Macam-Macam Rukhshah dan Dasar Penerapannya Pada hakekatnya Rukhshah itu merupakan keringanan yang diberikan Allah kepada mukallaf dalam suatu keadaan situasi tertentu. Hukum keringanan ini menyalahi hukum asalnya. Macam- macam keringanan atau rukhshah dapat dilihat dari beberapa segi: 1. Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu: rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.8 a. Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azîmahnya. Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang itu menjadi boleh hukumnya,umpamanya boleh melakukan perbuatan haram karena keadaan darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa, berdasarkan firman Allah dalam surat alBaqarah (2): 173: * ()ﷲ ' & ا
وا م و ا م ا ( 175 : ة01 ) ا. # . ا-' غ و د “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasmu memakan bangkai, darah dan daging babi serta apa-apa yang disebutkan (waktu menyembelihnya) nama selain Allah. Barang siapa yang terpaksa, tidak aniaya dan tidak pula melampaui batas, tiada dosa atasnya.” (Q.S. alBaqarah: 175)
8
$ # !و اھ
ا
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H./ 1957 M.,
h. 51-52.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
58 Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpama-nya melihat aurat bagi calon suami yang sedang meminang calon istrinya dalam batas tertentu. Pada dasarnya hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat al-Qur’an surat al-Nûr: 30. untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud itu diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan. b. Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum ‘azîmahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya, hukumnya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya.9 Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 184: .
' ة & أ م أ34 5 أو6
ن8 & ' ، ودات
أ
“Beberapa hari yang telah ditentukan, maka siapa diantaramu sakit atau dalam perjalanan, hendaklah ia memperhitungkannya di hari lain”. (Q.S. al-Baqarah (2): 184) Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nisâ (4):101: أن3 ة أن-B وا & اB0 ح أنA
9
? ' >رضl 5' ) وأذا وا38 & C ا 3
I b I d , h. 53.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
59 ““Dan apabila kamu berada dalam bepergian/perjalanan tidak ada halangan bila kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang kafir”. (Q.S. al-Nisa : 101) Rukhshah meninggalkan:
di
bawah
inipun
termasuk
Rukhshah
a. Rukhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum Islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagimana dipahami dari firman Allah surat al-Baqarah (2): 286: 1D & & C ا5 # 8أ ا ! ر و “Wahai Tuhan kami janganlah Engkau pikulkan kepada kami beban berat sebagaimana yang engkau pikulkan kepada umat sebalum kami.” (Q.S. al-Baqarah (2): 286) Umpamanya membayar zakat yang kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sabagai cara untuk tobat; memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang dalam mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh; meskipun demikian dalam artian luas pula disebut rukhshah.10 b. Rukhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya rukhshah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah dengan kurma kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi ketentuan umum dalam tukar-menukar barang yang sejenis dlam ukuran yang berbeda. Contoh lain adalah jual beli salam. Hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan. Kedua bentuk mu’amalah ini dirukhshahkan karena tidak akan menyulitkan dalam kehidupan umat. 11 10 11
I b I d, h. 54. Lihat, Abd al-Wahab Khalaf, Op.Cit., h. 122 I b I d , Lihat: Abd al-Aziz Azim, al-Qawaid al-Fiqh, h. 144- 145.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
60 2. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah berlaku padanya rukhshah: apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Dalam hal ini ulama Hanafiyah membagi rukhshah menjadi dua macam, yaitu: rukhshah tarfih dan rukhshah isqath:12 a. Rukhshah Tarfih ( " 4 ) ر " اialah rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azîmah tetapi hukum ‘azîmah berikut dalilnya tetap berlaku.Hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau mengerjakannya sebagai keringanan baginya. Umpamanya mengucapkan ucapan yang mengkafirkan yang terlarang dalam hukum ‘azîmah, dibolehkan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa selama hatinya tetap dalam keimanan. Hal ini tersebut dalam firman Allah, surat al-Nahl (16): 106 : ﻣﻦ ﻔﺮ ﺑﺎﷲ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ اﻳﻤﺎﻧﻪ اﻻ ﻣﻦ أ ﺮه وﻗﻠﺒﻪ ﻣﻄﻤ ﺑﺎﻻﻳﻤﺎن وﻟ ﻦ ﻣﻦ ح 106 : ﺤﻞ1 ا/ ﺑﺎ ﻔﺮ ﺻﺪرا ﻓﻌﻠﻴﻬﻢ ﻏﻀﺐ ﻣﻦ اﷲ و&ﻢ ﻋﺬاب ﻋﻈﻴﻢ “Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya dan mereka akan mendapat adzab yang besar.” (Q.S. alNahl : 106). Jadi walaupun ada ayat rukhshah namun keharaman mengucapkan kalimat yang mengkafirkan itu tetap berlaku; hanya dalam keadaan terpaksa, pelakunya tidak mendapat kemarahan dan azab dari Allah SWT ( ط ) ر " اatau rukhshah menggugurkan yaitu rukhshah yang menggugurkan hukum ‘azîmah terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu berlangsung. Dalam keadaan rukhshah itu maka hukum yang berlaku bagi yang sedang terpaksa adalah hukum rukhshah, bukan hukum ‘azîmah karena pada waktu itu hukum ‘azîmah tidak berlaku lagi atasnya. Umpamanya meng-qashar shalat
b. Rukhshah
12
isqath
Abd al-Wahab Khalaf , Op.Cit., h. 123-124..
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
61 dalam perjalanan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nisâ’ (4): 101: ﺼﻼة أن ﺧﻔﺘﻢ أن ﻳﻔﺘﻨ ﻢ9وا ﻣﻦ ا: ﻷرض ﻓﻠ?ﺲ ﻋﻠﻴ ﻢ ﺟﻨﺎح أن ﺗﻘB ﺘﻢCD وأذا ﻳﻦ ﻔﺮواFا “Dan apabila kamu berada dalam bepergian/perjalanan tidak ada halangan bila kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang kafir”. (Q.S. al-Nisa : 101) ` Bagi orang dalam perjalanan berlaku qashar shalat dan hilanglah atas mereka kewajiban menyempurnakan bilangan shalat yang empat raka’at. Bagi mereka ditetapkan shalat itu sebanyak dua raka’at; tidak boleh dia melakukan empat raka’at sebagaimana tidak boleh melakukan shalat subuh lebih dari dua raka’at. Selain dari ulama Hanafiyah, dalam hal ini para ulama tidak menganggap hukum ‘azîmah gugur, karena orang dalam perjalanan itu dapat memilih antara qashar atau tidak meskipun memilih qashar lebih utama dari memilih menyempurnakan. 2. Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa apabila dikatakan rukhshah, maka pengertianya bisa tiga macam, yaitu : a. Pengucualian dari hukum kuli yang mengacu kepada tidak ada hukum sama sekali, tanpa ada udzur. Kasus seperti ini, menurut para ahli ushul, termasuk sesuatu yang masyrû’ ‘alâ khilâf al-qiyâs (ف ا س1 . / وع7 ). Artinya, hukum itu disyari`atkan berbeda dengan kaidah umum yamg berlaku dalam syari`at Islam. Contohnya, kebolehan jual beli salâm (pesanan). Menurut kaidah umum yang berlaku dalam jual beli, barang yang dijual mesti ada dan bisa langsung dikuasai, baik secara langsung maupun secara hukum. Akan tetapi, syara` membolehkan jual beli pesanan, sekalipun barang yang akan dijual belum ada. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw: “Rasulullah saw. melarang seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya, tetapi memberi keringanan pada jual beli pesanan.” (H. R. Muslim dan Ahmad ibn Hambal). b. Pembatalan hukum-hukum taklîfî yang memberatkan yang ditetapkan bagi umat sebelum Islam. Misalnya, hukuman
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
62 pembunuhan sebagai petenjuk taubat; shalat ditentukan hanya di tempat ibadah; membayar zakat dari seperempat harta; dan merobek bagian pakaian yang kena najis. c. Hukum-hukum yang memberikan kelapangan bagi umat Islam, seperti bebas memanfaatkan benda-benda mubâh serta mengkonsumsi benda-benda yang lezat. Jenis ini termasuk rukhshah secara majâzî (metafora)13. C. Hukum Menggunakan Rukhshah dan Kaidah yang Terkait Hukum Rukhshah yang ditetapkan berbeda dengan dalil disebabkan adanya uzur, berlaku dalam empat bentuk hukum syara’, yaitu îjâb, nadb, karâhah dan ibâhah,14 misalnya: 1. Rukhshah terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan darurat. Hukum ini wajib menurut Jumhur ulama; 2. Rukhshah bersifat mandûb seperti meng-qashar shlat bagi musafir. Menurut Jumhur ulama fiqh, meng-qashar shalat dalam perjalanan hukumnya mandûb, tetapi menurut ulama Hanafiyah meng-qashar shalat bagi musafir tidak termasuk rukhshah, tetapi termasuk ‘azîmah; 3. Rukhshah bersifat mubâh bagi para dokter yang melihat aurat orang lain, laki-laki atau wanita, ketika berlangsungnya pengobatan. Melihat aurat orang lain pada dasarnya adalah haram, tetapi dibolehkan demi untuk menghilangkan kesulitan bagi umat manusia; 4. Rukhshah bersifat makrûh, apabila seseorang yang karena terpaksa mengucapkan kalimat kufur (mengaku kafir) sedangkan hatinya tetap beriman. Mengaku kafir adalah haram bagi umat Islam,karena hal itu menunjukan bahwa ia telah murtad, tetapi karena ia dipaksa dengan ancaman hukuman untuk mengucapkan kalimat kufur tersebut, sementara hatinya tetap beriman, maka dalam hal ini berlaku rukhshah, tetapi bersifat makrûh. Rumusan ini menunjukan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukan dan ada uzur yang menunjukkan yang menyebabkannya. Dengan demikian, hukum-hukum khusus yang sama sekali tidak berbeda dengan dalil-dalil syara’ secara umum, tidak termasuk 13
Nasrun Harun, Ushul Fiqh , Jil. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 279-280. Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1983 M., h.63. Selanjutnya disebut al-Ghazali . 14
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
63 dalam kategori rukhshah. Misalnya, kehalalan seluruh manfaat, seperti makan, minum, berpakaian yang tidak ada dalil yang melarangnya. Kahalalan memmanfaatkan yang dibolehkan syara’, tidaklah termasuk rukhshah, tetapi tetap sabagai ‘azîmah. Abu Ishak al-Syathibi dalam bukunya al-muwafaqat menggunakan bentuk lain dari pembagian hukum menggunakan rukhshah dari segi tingkat masyaqqah /kesukaran melakukan hukum ‘Azîmah:15 1. Dalam menghadapi kesukaran itu seorang mukallaf tidak mungkin melakukan kesabaran dalam menghadapinya. Umpamanya orang sakit yang tidak mungkin melakukan rukun shalat secara sempurna; atau melakukan puasa karena khawatir akan mencelakan dirinya; orang yang terpaksa memakan daging babi saat tidak menemukan makanan halal lain yang pada waktu itu ia khawatir akan celaka kalau tidak memakan yang terlarang itu Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak Allah dan oleh karenanya menggunakan rukhshah diharuskan. Memakan babi dalam keadaaan seperti ini menurut sebagian ulama adalah wajib. Orang yang tidak mau memakannya lantas ia mati, ia berdosa. 2. Dalam menghadapi kesukaran itu mukallaf dapat berlaku sabar karena secara langsung tidak akan membahayakan diri pelakunya. Rukhshah dalam bentuk ini kembali kepada hak hamba untuk memperoleh kemudahan dari Allah dan kasih sayang-Nya. Rukhshah dalam bentuk kedua ini terbagi kepada dua bentuk: a. Berlaku padanya tuntutan secara umum sehingga persoalan dalam keadaan sukar atau tidak, tidak diperhitungkan. Seperti berkumpul di ‘Arafah untuk sahnya perbuatan haji. Ini berlaku untuk semua pelaksana ibadah haji, bahkan bagi yang tidak mampu fisiknyapun harus ke ‘Arafah agar sah. Dalam hal Rukhshah berhubungan dengan ‘Azîmah ditinjau dari segi hukum ini menjadi tuntutan ‘azîmah secara mutlak. Meskipun demikian dari segi bentuknya tidak keluar dari lingkup rukhshah; karena tuntutan syara’ dalam bentuk rukhshah tidak bertentangan dengan kedudukannya sebagai rukhshah. Sebagian ulama memasukan ke dalam rukhshah bentuk ini, seperti masalah orang memakan daging babi yang terpaksa memakannya.
15 Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syri’ah, jil.1, Beirut: Dar alMa’rifah, 1973, h. 224. Selanjutnya disebut al-Syatibi.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
64 b. Tidak berlaku tuntutan secara khusus, tetapi menurut asal keringanan dan menghilangkan kesulitan; hukumnya boleh. Bagi seorang mukallaf boleh mengambil hukum asal ‘azîmah meskipun ia dalam keadaan menanggung kesulitan dan boleh pula mengambil rukhshah.16 D. Memilih antara Rukhshah dengan ‘Azîmah Dengan membandingkan pengertian ‘azîmah dan rukhshah secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘Azîmah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secara umum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunat, baik larangan itu untuk haram atau makrûh, sedangkan Rukhshah adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan. ‘Azîmah merupakan hak Allah atas hamba dan Rukhshah adalah hak hamba dalam karunia dan kebijaksanaan Allah, dalam bentuk ini antara rukhshah dengan hukum mubâh terdapat kesamaan. Dan untuk menentukan pilihan yang paling afdhal antara rukhshah dengan ‘azîmah terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih ‘azîmah, sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.17 Alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh yang mengatakan bahwa ‘azimah yang afdhal dari rukhshah adalah: 1. ‘Azîmah itu merupakan hukum asal yang bersifat umum untuk seluruh mukallaf, dan bersifat qath’i. Sedangkan al-rukhshah, sekalipun bersifat qath’i tetapi ketika diringankan, statusnya berubah menjadi zhanni. 2. ‘Azîmah sejalan dengan kaidah dasar yang menyeluruh dan berlaku untuk seluruh mukallaf, sedangkan rukhshah merupakan hukum parsial yang berlaku pada mukallaf, tempat, dan waktu tertentu saja. Oleh sebab itu, rukhshah merupakan hukum pengecualian dari ‘azîmah. 3. Mengambil yang rukhshah pada gilirannya bisa menjurus kepada meninggalkan hukum-hukum ‘azîmah dalam beribadah.
16
Ibid. Sa’duddin Mas’ud ibn Umar al-Taftazani, Syarh al-Talwib ‘ala al-Tawhih, Makkah: Dar al-Bar, t.th., h.86. Lihat: al-Ghazali, Op.Cit., h. 98. Dan lihat: al-Syatibi, Loc.Cit., h. 224.. 17
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
65 4. Prinsip dasar dalam syar’a adalah taklîf yang mengandung unsure kesukaran dan kesulitan, sehingga dengan kesukaran dan kesulitan itu amalan mukallaf lebih bernilai.18 Adapun alasan yang dikemukan para ulama ushul fiqh yang berpendapat bahwa mengambil rukhshah lebih afdhal dari ‘azîmah 19 adalah: 1. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa banyak hukum yang disyari’atkan dengan cara menghindarkan kesukaran dan kesulitan dari mukallaf, dan dalil-dalil ini mencapai derajat qath’i. Diantaranya firman Allah: a. Q. S. al-Hajj, 22: 78. 78 : F ا/ ا & & ج5' !A و “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”…(Q. S. al-Hajj, 22: 78). b. Firman Allah dalam Q. S. al-Mâ’idah, 5: 6 6: ةH ا/ج & !G ﷲ “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q. S. al-Mâ’idah, 5: 6). c. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 185 .185: ة01 ا/ I ا وI ا ﷲ “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Q. S. al-Baqarah, 2: 185). Allah berfirman dalam surat al-Nisa, 4: 28 . 3 ) نI > اL و J3K ﷲ أن “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”. (Q. S. al-Nisâ, 4: 28) Rasulullah saw. Lebih mengutamakan rukhshah daripada ‘azîmah. Di antaranya sabda beliau:“Sesungguhnya Allah sangat ingin memberikan rukhshah-Nya, sebagaimana juga Ia ingn memberikan ‘azimah-Nya.” (H. R. Ahmad ibn Hanbal, al-Baihaqi dan al-Thabrani). Dan dalam hadits lain Rasulullah saw. Bersabda:“Rasulullah tidak memilih salah satu dari dua persoalan, kecuali beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya.” (H. R. al-Bukhari dan Muslim) 18 19
I b i d. Al-Syatibi, Op.Cit., h. 235.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
66 2. Tujuan Syar’i dalam rukhshah itu adalah untuk memberi keringanan dan menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Oleh sebab itu, siapa yang mengambil rukhshah berarti sejalan dengan maksud Syâr’i di atas. Allah sendiri mengecam orang-orang yang mencari-cari kesulitan dalam amalan agama. Allah berfirman dalam Q. S. Shâd, 38: 86 : 86 : دB أ/ & 3 و ا & اA & أ# M4! أD “Katakanlah (hai Muhammad), “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (Q. S. Shâd, 38: 86) Kemudian dalam surat al-Baqarah, 2: 185; Allah ber-firman: وI ا
ﷲ
،
' ة & أ م أ34 أو6 ﷲ1 !ا ةو
ن8 & و و، I ا
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah.” ( Q.S. al-Baqarah/2, 185) 3. Meninggalkan rukhshah dalam keadaan udzur (ada sebabnya) bisa menjurus kepada kemalasan seseorang untuk melakukan kewajiban. Sikap seperti ini tidak dibolehkan oleh syara’. Dalam kaitan ini Rasululla saw. Bersabda: “Ambillah amalan yang mampu kamu laksankan, sesungguhnya Allah itu tidak pernah bosan sebelum kamu sendiri yang bosan”. (H. R. alBukhari dan Muslim dari ‘Aisyah) Dalam hadits lain, rasulullah saw. mencela orang yang berpuasa dalam perjalanan, dengan mengatakan:”Bukanlah sesuatu yang baik berpuasa dalam perjalanan’’. (H. R. al-Bukhari, Muslim, Abud Daud, Ahmad ibn Hanbal dan al-Nasa’i)
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
67 E. Pandangan Ulama Dalam Menggunakan Rukhshah Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Dengan demikian menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan rukhshah akan mencelakakan dirinya. Hukum rukhshah ada pula yang sunnat seperti berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibâdah seperti jual beli salam.20 Imam al-Syathibi berpendapat bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau ibâdah secara mutlak.21 Untuk pendapat ini Imam al-Syathibi mengemukakan argumentasinya yang menimbulkan polemik dengan jumhur ulama, yaitu: Pertama, Rukhshah itu asalnya hanyalah keringanan atau mengangkat kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan dan pilihan antara menggunakan hukum ‘azîmah atau mengambil rukhshah; hal ini berarti mubâh. Ketentuan ini sesuai dengan dalil juz’i (rinci) seperti “tidak berdosa” memakan bangkai, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 173. Begitu pula ucapan “tidak ada halangan” meng- qashar shalat bagi musafir dalam firman Allah surat al-Nisâ (4): 101 tersebut di atas. Argumen ini disanggah oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa tidaklah mesti dari ucapan Allah “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” berarti perbuatan itu hukumnya mubâh. Dalam al-Qur’an kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” dapat berarti wajib seperti pada firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 158, yang artinya: “Bahwa sesungguhnya sa’i antara safa dan marwa itu adalah syiar Allah; maka siapa yang haji ke baitullah atau umrah tidak ada halangan bila ia thawaf.” Dalam ayat ini untuk thawaf pada haji dan ‘umrah disebut dengan ucapan “tidak ada halangan” padahal thawaf itu hukumnya adalah wajib dalam haji dan ‘umrah tersebut. Kadang-kadang kata “tidak berdosa” itu tidak berarti sunnat seperti firman Allah, surat al-Baqarah (2): 203: & #
. أ-'
20 21
O & و#
. أ-' & N 5' !G & ' ،ودات
أ م5' وا ﷲ8واذ 0 ا
Abd al-Wahhab Khalaf, Op.Cit., h. 124. Al-Syatibi, Loc.Cit.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
68 Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya, barangsiapa memercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya, dan barangsiapa mengakhirkannya tidak ada dosa pula bagi orang yang bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah/2: 203). Bersegera dalam dua hari dalam ayat ini dengan menggunakan kata “tidak berdosa”, padahal bersegera itu hukumnya adalah sunnat menurut ulama, bukan mubâh.22 Atas sanggahan ini al-Syathibi memberikan jawaban bahwa kata-kata “tidak berdosa” atau “tidak ada halangan” dalam penggunaan dan kaidah bahasa Arab bila tidak ditemukan qarinah (keterangan) yang memberi petunjuk bahwa artinya bahkan untuk itu, hanya berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Bila tidak ada petunjuk yang memalingkannya dari penggunaan hukum aslinya, tidak dapat dipahami lebih dari izin. Adapun yang dapat dipahami dari petunjuk lain, maka pemahaman itu hanya semata-mata dari petunjuk itu, bukan dari asal arti lafadznya. Umpamanya hukum thawaf pada haji dan ‘umrah adalah wajib; tetapi dari firman-Nya yang terdapat di pangkal ayat itu, atau dari petunjuk lain. Begitu pula keadaannya hukum sunnat pada menyegerakan dua hari sebagaimana yang difirmankan dalam ayat 203 surat al-Baqarah di atas. Kedua, kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan – baik dalam bentuk wajib atau sunnat – maka hukumnya akan berubah menjadi ‘azîmah, tidak lagi rukhshah; karena hukum wajib itu merupakan keharusan pasti yang tidak mengandung pilihan lain. Dengan demikian berarti menghimpun aturan perintah dan rukhshah. Ini namanya menghimpun dua hal yang berlawanan. Alasan yang dikemukakan al-Syathibi ini disanggah oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa jumhur ulama telah mewajibkan memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatir akan celaka bila tidak memakannya. Sebuah hadits Nabi menjelaskan bahwa Allah SWT lebih senang hambaNya menggunakan rukhshah sebagaimana ia senang hambaNya menggunakan ‘azîmah. Sanggahan ini dijawab oleh al-Syathibi, ia mengatakan bahwa mengumpulkan rukhshah dengan perintah berarti mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Yang demikian adalah mustahil. Oleh karena itu perintah yang wajib itu haruslah dikembalikan kepada asal ‘azîmah dan tidak kepada rukhshah itu sendiri. Bahwa seseorang dalam keadaan terpaksa yang tidak menemukan makanan halal untuk menutupi keterpaksaannya itu diperbolehkan memakan bangkai untuk menolak 22
Amir Syarifuddin, Op.Cit., h. 330.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
69 keterpaksaannya. Kalau dalam keadaan terpaksa itu ia khawatir akan celaka bila tidak memakannya, maka ia diperintahkan untuk memelihara diri atau jiwanya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nisa (4): 38, yang artinya:“Janganlah kamu bunuh dirimu”.Larangan bunuh diri dalam ayat tersebut mengandung arti perintah untuk melindungi kehidupan, hal ini tidak lagi berarti rukhshah karena ia kembali kepada prinsip umum yang semula yaitu kewajiban menjaga diri. Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wâjib, nadb/sunnat dan mubâh dengan menyanggah argumentasi al-Syathibi, jumhur ulama juga mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi, yaitu : 1. Kata “rukhshah” berarti memudahkan atau meringankan, arti ini tidak bertentangan dengan wajib atau nâdb selama perintah yang membawa kepada arti wajib atau nâdb itu lebih mudah dan lebih ringan. 2. Rukhshah dan ‘azîmah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’ ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak. Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azîmah; bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.23 Bila rukhshah itu dibagi menjadi wajib atau mandûb tidak akan keluar dari keadaannya sebagai rukhshah; karena rukhshah itu artinya adalah izin sesudah perbuatan itu dilarang. Izin itu tidak hanya menghendaki ibâhah saja tetapi kadang-kadang berlaku untuk wajib dan kadang-kadang berlaku untuk nâdb. Hal inipun tidak menyalahi dalil naqli yang digunakan oleh al-Syathibi. Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan al-Syathibi dalam menetapkan hukum rukhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam contoh kasus seseorang yang tidak menemukan makanan halal untuk memenuhi kebutuhannya, ia lebih mementingkan mati kelaparan daripada memakan makanan yang haram. Al-Syathibi yang mengatakan bahwa hukum rukhshah hanyalah ibâhah, mengatakan bahwa masalah ini harus dilihat secara rinci karena perintah untuk memelihara jiwa itu bersifat umum. Tidak ada nash yang secara pasti mengharuskan memakan bangkai hingga ia akan fasik atau berdosa jika meninggalkannya. Oleh karena itu bila ia tidak sanggup 23
I b i d., h. 331.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
70 untuk bersabar, maka wajib ia memakannya. Tetapi bila ia sanggup bersabar dengan pertimbangan tidak akan mati kalau tidak memakannya; namun ternyata ia mati karena menahan makan itu, maka ia tidak fasik dan tidak berdosa, karena ia telah berbuat sesuai dengan hukum rukhshah.24 Dan menurut jumhur ulama – yang membagi rukhshah itu kepada wajib, sunnat dan mubâh – orang yang kelaparan itu seharusnya memakan bangkai untuk memelihara jiwanya. Bila ia tidak memakannya lantas ia mati karenanya, maka ia fasik atau berdosa karena meninggalkan wajib. Dalam menanggapi pandangan dan alasan yang dikemukakan kedua kelompok ulama ushul fiqh di atas, Imam al-Syathibi mengatakan bahwa secara realitas, persoalan ini terletak pada kualitas kesulitan dan kesukaran yang dihadapi seseorang, dan hukumnya pun tergantung kepada ijtihad masing-masing, sesuai dengan kondisi keimanan dan ketaqwaannya.25 Akan tetapi, seluruh ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa melakukan berbagai amalan dengan memilih yang rukhshah saja, bisa menjurus kepada beramal sesuai dengan hawa nafsu pribadi, serta menjurus kepada sikap pelarian dari ‘azîmah. Dalam kaitan dengan ini, Ibn Hazm al-Andalusi mengatakan bahwa sikap seperti ini tidak dibenarkan dalam syara’, karena yang menjadi ukuran dalam beramal adalah ketentuan syara’, bukan hawa nafsu seseorang.26. Kemudian disini dapat disimpulkan, bahwa setiap mukallaf bisa memahami kondisi dirinya dan bisa menentukan pilihan antara rukhshah atau pun ‘azîmah. Karena penyebab adanya rukhshah adalah munculnya masyaqqah yang bisa berbeda pada setiap orang, tempat dan waktu. F. Kaedah al-Rukhshah la Tunatu bi al-Ma’ashi Rukhshah (kemudahan) tidak boleh digunakan untuk kepentingan maksiat. Karena itu, orang melakukan perjalanan untuk tujuan berbuat dosa tidak dibolehkan sama sekali memanfaatkan rukhshah, seperti mengqashar dan menjamak shalat, berbuka puasa, menyapu sepatu, meninggalkan shalat Jum’at, memakan bangkai, dan bertayamun. 24
I b i d., h. 332. Al-Syatibi, Op.Cit., h. 235. 26 Ibn Hazm al-Andalusi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jil. V, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., 25
h. 645.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
71 Orang tersebut berdosa meninggalkan shalat seperti orang yang hadir meninggalkan shalat sedangkan dia mampu bersuci. Sebab, dia bisa melakukan sesuatu agar boleh bertayamun, yaitu dengan bertaubat. Yang benar adalah bahwa yang bersangkutan harus bertayamun, karena menghormati waktu shalat, dan dia juga harus mengulang shalatnya karena kelalaiannya tidak bertaubat. Bila seorang yang maksiat/berdosa dalam tujuan perjalananannya, kemudian menemukan air dan dia membutuhkan air untuk minum, maka dia tidak boleh bertayamun, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Sama halnya orang yang mempunyai penyakit sedangkan perjalanannya bertujuan untuk melakukan dosa, juga ia tidak boleh bertayamum, sebab dia mampu untuk bertaubat. Al-Qafal mengatakan dalam Syarh Talkhish bahwa, apabila ditanyakan kenapa anda melarang atau mengharamkan memakan bangkai bagi yang ma’siyat dalam perjalanannya, sedangkan hal itu boleh bagi orang hadir (mukim) yang tidak melakukan perjalanan ketika terpaksa atau darurat? Jawabannya, karena dia melakukan perjalanan untuk melakukan maksiat, jadi diharamkan baginya memakan bangkai walaupun dalam keadaan darurat. Hal sama dengan orang yang melakukan perjalanan untuk merampok, lalu dia terluka, dia tidak dibenarkan bertayamun karena luka tersebut, sementara orang hadir yang terluka dibolehkan bertayamun. Dan apabila ada yang bertanya bahwa melarang yang bersangkutan bertayamun dapat menyebabkan dia meninggal dunia, maka jawabannya adalah bahwa orang tersebut dapat menggunakan tayamun sebagai rukhshah dengan cara bertaubat terlebih dahulu. Juga, apakah orang yang melakukan perjalanan untuk berbuat dosa boleh menyapu sepatu seperti yang orang hadir, ada dua pendapat, yang terkuat adalah membolehkannya, karena hal itu boleh dilakukan tanpa melakukan safar atau perjalanan. Sedangkan hal lain, untuk memberi pelajaran kepadanya, seperti melarang memakan bangkai. Sementara Al-Ishthakhari mengatakan bahwa orang yang bermaksiat dalam keadaan hadir, sama sekali tidak boleh memanfaatkan rukhshah. Sedangkan pihak lain mengatakan bahwa hadir atau iqamah itu sendiri bukanlah maksiat, karena yang bersangkutan tidak melakukan apa-apa, tapi jika ada tindakan dosa yang dilakukannya dalam keadaan hadir itulah yang dianggap maksiat, dengan sendirinya perjalanan yang dilakukan dengan tujuan perbuataan dosa dianggap maksiat.Tetapi kalau seseorang melakukan perjalanan biasa, di tengah jalan dia mabuk dan
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
72 mencuri, maka dia dibolehkan menggunakan rukhshah, karena perjalanan itu sendiri bukan untuk tujuan maksiat. Menyapu sepatu yang dicuri tetap dibolehkan, karena yang dilarang adalah mencuri sepatu, sementara menyapunya tetap dibolehkan. Jadi yang dimaksud dengan kaedah al-Rukhshah la Tunatu bi alMa’ashi adalah bahwa Rukhshah tidak boleh digunakan untuk melakukan maksiat. Maka kaedah-kaidah Rukhshah yang dijelaskan secara panjang lebar di atas, dalam keadaan maksiat ini tidak lagi berlaku. D. Kesimpulan Yang dimaksud dengan kaedah: al-Rukhshah la Tunatu bi al-Ma’ashi, adalah Rukhshah tidak boleh digunakan untuk melakukan maksiat, dengan kata lain bahwa Rukhshah tidak boleh digunakan untuk kepentingan maksiat. Karena itu, orang melakukan perjalanan untuk berbuat dosa tidak dibolehkan sama sekali memanfaatkan rukhshah, umpamanya bagi orang yang melakukan perjalanan untuk mencuri, maka dia tidak dibenarkan menggunakan rukhshah seperti mengqashar dan menjamak shalat, berbuka puasa, menyapu sepatu, meninggalkan shalat Jum’at, memakan daging bangkai, bertayamun. Dia berdosa meninggalkan shalat seperti orang yang meninggalkan shalat sedangkan dia mampu bersuci. Sebab, dia bisa melakukan sesuatu agar boleh bertayamun, yaitu dengan bertaubat. Yang benar adalah bahwa yang bersangkutan harus bertayamun, karena menghormati waktu shalat, dan dia juga harus mengulang karena kelalaiannya tidak bertaubat. Bila seorang pendosa dalam perjalananan menemukan air dan dia membutuhkan air untuk minum, maka dia tidak boleh bertayamun, dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Sama halnya orang yang mempunyai penyakit sedangkan perjalanannya bertujuan untuk melakukan dosa, sebab dia mampu untuk bertaubat. Al-Qafal mengatakan dalam uraian Talkhish: Bila dipertanyakan kenapa anda melarang atau mengharamkan memakan bangkai bagi pendosa dalam perjalanannya, sedangkan hal itu boleh bagi orang hadir yang tidak melakukan perjalanan ketika terpaksa atau darurat? Jawabannya, karena dia melakukan perjalanan untuk melakukan maksiat, jadi diharamkan baginya memakan bangkai walaupun dalam keadaan darurat. Hal sama dengan orang yang melakukan perjalanan untuk merampok, lalu dia terluka, dia tidak dibenarkan bertayamun karena luka tersebut, sementara orang hadir yang terluka dibolehkan bertayamun. Bila ada yang bertanya
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
73 bahwa melarang yang bersangkutan bertayamun dapat menyebabkan dia meninggal dunia, maka jawabannya adalah bahwa orang tersebut dapat menggunakan tayamun sebagai rukhshah dengan cara bertaubat terlebih dahulu. Apakah orang yang melakukan perjalanan untuk berbuat dosa boleh menyapu sepatu seperti yang orang hadir, ada dua pendapat, yang terkuat adalah membolehkannya, karena hal itu boleh dilakukan tanpa melakukan safar atau perjalanan, maka menyapu sepatu yang dicuri tetap dibolehkan, karena yang dilarang adalah mencuri sepatu, sementara menyapunya tetap dibolehkan. Sedangkan hal lain, untuk memberi pelajaran kepadanya, seperti melarang memakan bangkai. Sementara AlIshthakhari mengatakan bahwa orang pendosa dalam keadaan hadir, sama sekali tidak boleh memanfaatkan rukhshah. Sedangkan pihak lain mengatakan bahwa hadir atau iqamah itu sendiri bukanlah maksiat, karena yang bersangkutan tidak melakukan apa-apa, tapi tindakannya yang dilakukannya dalam keadaan hadir itulah yang dianggap maksiat, dengan sendirinya perjalanan yang dilakukan perbuataan dosa dianggap maksiat.Tapi kalau seseorang melakukan perjalanan biasa kemudian di tengah jalan dia mabuk, maka dia dibolehkan menggunakan rukhshah, karena perjalanan itu sendiri bukan untuk tujuan maksiat.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
74
DAFTAR PUSTAKA Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalm,1978 M./1398 H.. Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushul, Beirut: Dar alKutub al-'Ilmiyyah, 1983 M. Ahmad Warson Munawar, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, Edisi II, 2002 M. Al-Baidhawi, Minhaj al-Wushul ila 'Ilm al-Ushul, Mesir: al-Maktabah alTijariyyah al-Kubra. Amir Syarifuddin, ushul fiqh, Jil. I, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997 M. I Ibn Hazm al-Andalusi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jil. V, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ibnu Munzir, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Ma'arif, t.th. M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1377 H./ 1957 M. Nasrun Harun, Ushul Fiqh , Jil. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syri'ah, jil.1, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1973. Sa'duddin Mas'ud ibn Umar al-Taftazani, Syarh al-Talwib 'ala alTawhih, Makkah: Dar al-Bar, t.th.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
75
SISTEM DAN PRAKTEK PEMBIAYAAN BAGI HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH Oleh: Husnul Khatimah, M.Si.1 Abstrak Perbankan syariah muncul karena praktek perbankan konvensional, yang didasarkan pada tingkat suku bunga yang dianggap sebagai riba yang tidak memberikan keadilan kepada rakyat dan hanya memberikan manfaat bagi bank sendiri.Oleh karena itu, perbankan syariah muncul untuk menawarkan profit and loss sharing. Dalam pelaksanaan keuntungan sistem pembiayaan berbagi dalam bank syariah menggunakan mudharabah dan musyarakah. Mudharabah diartikan sebagai kerjasama antara bank dan nasabah di mana modal (100%) dimiliki bank, sementara kontrak musyarakah didefinisikan sebagai suatu kemitraan antara dua pihak di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana. Dalam prakteknya bank dan pelanggan sama akan mendapatkan keuntungan dari usahanya. Dalam rangka untuk memperoleh pembiayaan bagi hasil di bank syariah, maka pelanggan harus memenuhi prosedur yang ditentukan oleh bank. Kata Kunci: Bank Islam, Implementasi, Bagi Hasil, Bunga. A. Pendahuluan Pengertian Bank Syariah secara aspek makro adalah “Sebuah lembaga intermediasi yang mengalirkan investasi publik secara optimal (dengan zakat dan anti riba) yang bersifat produktif (dengan anti judi)”2. Dengan demikian, maka operasi sistem bank syari’ah telah aman dari riba yang larang oleh agama yang tertuang dalam al-qur’an yang menjadi dasar pedoman hidup kaum muslimin, dan aman dari maysir (judi) yang bersifat spekulatif yang dapat merugikan satu dengan yang lainnya. Sedangkan dilihat dari aspek mikro, maka Bank Syari’ah mempunyai makna “Sebuah 1
Adalah Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam Universitas As-Syafiiyah
jakarta 2 Heri Sudarsono, 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonesia, Yogyakarta, hal.29
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
76 lembaga keuangan yang dijalankan sesuai nilai, etika, moral dan prinsip Islam. Maka bank syari’ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tata cara Islam yang mengacu kepada ketentuan alquran dan al hadist. Kemudian pengertian bank syariah menurut bahasa & istilah yaitu, Kata bank dari kata “banque” bahasa prancis, “banco” bahasa italia, yang artinya peti/lemari atau bangku. Dalam Al-Qur’an istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi jika yang dimaksud adalah yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas, sepert zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), ba’i (jual beli), dayn (utang piutanger), maal (harta) dan sebagainya yang memiliki fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi3. Bank Syari’ah menurut istilah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroprasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya. Kegiatan dan usaha bank akan selalu berkait dengan komoditas antara lain :4 1). Pemindahan Uang, 2). Menerima dan membayaran kembali uang dalam rekening koran, 3). Mendiskonto surat wesel, surat order, maupun surat-surat berharga lainnya, 4). Membeli dan menjual surat-surat berharga, 5). Membeli dan menjual cek wesel, surat wesel, kertas dagang, 6). Memberi kredit, 7). Memberi jaminan kredit. Sedangkan menurut para ahli diantaranya adalah, penjelasan menyangkut pengertian atau definisi bank syariah menurut para ahli: 1) Sudarsono (2004), mendefinisikan Bank Syariah sebagai suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip prinsip syariah. 3
Zainul Arifin, (2002), Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Alvabet, Jakarta, h.2 Tim Redaksi, (1994), Ensiklopedi Hukum Islam, PT.Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta, h.194. 4
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
77 Siamat, Dahlan (2004), menguraikan pengertian Bank Syariah merupakan bank yang dalam menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip hukum atau syariah dengan selalu mengacu pada Al-Quran dan AlHadist 3) Schaik (2001), Bank Islam atau Bank Syariah merupakan bentuk dari bank modern yang berdasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam, bank ini menggunakan konsep berbagi resiko sebagai suatu metode utama dan meniadakan sistem keuangan berdasarkan kepastian atau keuntungan yang telah di tentukan sebelumnya. 4) Muh. Syafe'i Antonio dan Perwataatmadja (1992) membagi pengertian terkait hal ini dalam 2 pengertian : Pertama, Bank Islam adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Kedua, Bank Islam adalah bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan AlQur’an dan Hadits. Dari penjelasan kedua definisi ini, disimpulkan bahwa bank syariah merupakan bank yang beroperasi berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah, yakni tata cara beroperasinya mengacu pada aturan Al-Quran dan Hadits. Adapun pengertian bank syari’ah menurut Undang-undang adalah sebagai berikut : 2)
Pengertian bank menurut UU No. 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari’ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari’ah mempunyai pengertian yang sama. 2) Menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari’ah adalah aturan 1)
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
78 perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah. Bank syariah atau bank Islam merupakan sistem perbankan yang berbeda dengan bank konvensional yang telah lama beroperasi menggunakan konsep bunga. Konsep bunga tersebut merupakan unsur riba yang telah dilarang oleh Islam dalam melakukan transaksi bisnis. Riba mengandung unsur eksploitasi juga menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi perbankan yang pasti menerima keuntungan tanpa tahu apakah debitor menerima keuntungan atau tidak5. Riba artinya AzZiyadah yang punya makna tambahan, An-nuwum yang punya makna berkembang, Al-Irtifa’ yang punya makna meningkat, juga sebagai Al-‘uluw yang artinya membesar. Dengan kata lain, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu.6 Riba menurut Sayyid Sabiq adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau banyak7. Sedangkan menurut Ibn Hajar “Askalani, riba adalah kelebihan baik dalam bentuk barang maupun uang. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang riba sangat banyak sekali, diantaranya adalah Surat Al-Baqarah ayat : 2758 zÏΒ ß≈sÜø‹¤±9$# çµäܬ6y‚tFtƒ ”Ï%©!$# ãΠθà)tƒ $yϑx. āωÎ) tβθãΒθà)tƒ Ÿω (#4θt/Ìh9$# tβθè=à2ù'tƒ šÏ%©!$#
4 (#4θt/Ìh9$# tΠ§ymuρ yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨≅ymr&uρ 3 (#4θt/Ìh9$# ã≅÷WΒÏ ßìø‹t7ø9$# $yϑ¯ΡÎ) (#þθä9$s% öΝßγ¯Ρr'Î/ y7Ï9≡sŒ 4 Äb§yϑø9$# yŠ$tã ï∅tΒuρ ( «!$# ’n<Î) ÿ…çνãøΒr&uρ y#n=y™ $tΒ …ã&s#sù 4‘yγtFΡ$$sù ϵÎn/§‘ ÏiΒ ×πsàÏãöθtΒ …çνu!%y` yϑsù ∩⊄∠∈∪ šχρà$Î#≈yz $pκÏù öΝèδ ( Í‘$¨Ζ9$# Ü=≈ysô¹r& y7Íׯ≈s9'ρé'sù
5
Syafi’i Antornio, 2001, bank Syari’ah dari teori ke praktek, Gema Insani, Jakarta,
6
Afzalur Rahman, (1996), Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta,
7
Sayyid Sabiq, (1987) Fiqih Sunah, Al-Ma’arif Bandung, hal. 125 Terjemah al-qur’an, 2010, Sygma Publishing, Bandung
hal.37 h. 83 8
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
79 Artinya; “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al-Baqarah ayat : 275) Dengan adanya larangan riba tersebut maka munculah perbankan syariah, keberadaannya yang mengutamakan sistem bagi hasil dan tidak mengandalkan bunga sebagai prinsip dasar perbankan syariah, diharapkan dapat memicu kesejahteraan masyarakat. Operasional perbankan syariah merupakan perpaduan antara aspek moral dan aspek bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari setiap usahanya serta menghindari bunga, hal ini bertujuan agar para nasabah tidak dirugikan dan adanya unsur keadilan antara pihak perbankan dan nasabah ketika usahanya mengalami kerugian. Pola bagi hasil terdiri dari dua model yaitu akad mudharabah dan akad musyarakah. Mudharabah merupakan kerja sama antara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak menyediakan 100% dana/modal sementara pihak lain mengelola modal dan hasil usaha dibagi menurut rasio kesepakatan diawal. Dan musyarakah merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih yang sepakat untuk samasama mengeluarkan modal dalam suatu usaha serta ikut andil dalam manajerial usaha bersama, risiko dan keuntungan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pola ini merupakan akad bank syariah yang paling penting yang disepakati oleh ulama islam. Masih terkait dengan sistem pembiayaan bagi hasil, tentunya tidak terlepas dengan keterkaitannya dengan masyarakat baik sebagai nasabah maupun non nasabah. Salah satu keterkaitan tersebut adalah bagaimana sebetulnya masyarakat memahami sistem pembiayaan bagi hasil di bank syariah sehingga masyarakat mau menjadi mitra. Dalam sistem pembiayaan bagi hasil akan banyak ditemukan risiko yang akan berakibat pada kerugian bank syariah apabila bank syariah kurang selektif dalam memberikan pembiayaan dengan sistem bagi hasil. Alasan penulisan jurnal ilmiah ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bank syariah dalam melakukan nisbah (%) bagi hasil apakah masih mengikuti perkembangan bunga. Jurnal ilmiah ini akan diarahkan pada permasalahan yang berkaitan dengan analisis praktek pembiayaan bagi hasil
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
80 pada perbankan syariah. Dengan melihat bagaimana bank syariah menerapkan pembiayaan bagi hasil. B. Tinjauan Pustaka Sistem adalah suatu kesatuan tatanan yang mempunyai beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain atau merupakan mata rantai yang tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Arti pembiayaan menurut Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan pasal 1 butir 2 yaitu kegiatan yang berbentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung. Perbedaan kedua istilah tersebut ada pada objek perjanjian yaitu menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 yang menjadi objek adalah uang9, sedangkan menurut Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 Pasal 1 butir 2 yang menjadi objeknya adalah uang dan barang modal. Bank berdasarkan prinsip syariah atau bank syariah adalah bank yang melaksanakan seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, juga berfungsi sebagai suatu lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Bedanya dengan bank konvensional hanyalah bahwa bank syariah melakukan kegiatan usahanya tidak berdasarkan bunga (interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing principle atau PLS principle)10. Tujuan perbankan syariah menurut Handbook of Islamic Banking, ialah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan instrumentinstrumen keuangan (financial instruments) yang sesuai dengan ketentuan 9 Himpunan peraturan perundang-undangan Replubik Indonesia, addenda & corrigeada, PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta, , hal. 1 10 Abdul ghofur anshori, 2007, Perbankan Syari’ah di Indonesia, yogyakarta, Gajah Mada University pres, hal.123
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
81 ketentuan dan norma-norma syariah, perbankan syariah bukan ditujukan terutama untuk memaksimumkan keuntungannya sebagaimana halnya system perbankan yang berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungan-keuntungan sosio-ekonomis bagi orangorang muslim11. Sedangkan para bankir muslim beranggapan bahwa peranan perbankan islam semata-mata komersial dengan mendasarkan pada instrumentinstrumen keuangan yang bebas bunga dan ditujukan untuk menghasilkan keuangan. Dengan kata lain, para bankir muslim tidak beranggapan bahwa suatu bank islam adalah suatu lembaga social. Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi).12 Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syari'ah dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain. Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberi pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumeninstrumen yang digunakan serta pemahaman dalil-dalil hukum Islamnya. Perbankan Syari'ah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi.Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar bunga(riba). Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur'an dan As Sunnah. Kedua sumber ini menyatakan bahwa penarikan bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan hak-hak milik. Pembayaran dan penarikan bunga sebagaimana terjadi dalam sistem perbankan konvensional secara terangterangan dilarang oleh Al-Qur’an, sehingga para investor harus diberi konpensasi dengan cara lain. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan Syari'ah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil. 11 Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dimata hukum perbankan Indonesia, Jakarta, Pustaka utama grafiti, hal.21 12 Heru Sudarsono, (2013), Bank &Lembaga Keuangan Syari’ah deskripsi dan ilustrasi, Ekonesia,Yogyakarta, hal.30-34
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
82 Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi-hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah. Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk "bunga" antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana. Namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut ini13: Tabel 1. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil BUNGA
BAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada Penentuan besarnya rasio/nisbah waktu akad dengan asumsi harus bagi hasil dibuat pada waktu akad selalu untung dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Besarnya prosentase berdasarkan Besarnya rasio bagi hasil pada jumlah uang (modal) yang berdasarkan pada jumlah dipinjamkan keuntungan yang diperoleh Pembayaran bunga tetap seperti Bagi hasil bergantung pada yang dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan proyek yang dijalankan apakah proyek yang dijalankan oleh bila usaha merugi, kerugian akan pihak nasabah untung atau rugi ditanggung bersama oleh kedua belah pihak Jumlah pembayaran bunga tidak Jumlah pembagian laba meningkat meningkat sekalipun jumlah sesuai dengan peningkatan jumlah keuntungan berlipat atau keadaan pendapatan ekonomi sedang “booming” Eksistensi bunga diragukan (kalau Tidak ada yang meragukan tidak dikecam) oleh semua agama, keabsahan bagi hasil termasuk islam. Dilihat dalam pandangan sejarah, sistem bagi-hasil yang diterapkan dalam perbankan Islam dalam bentuk mudharabah sesungguhnya merupakan suatu ciptaan yang baru sekarang ini. Bahkan Bank Islam dalam pengertian sekarang sesungguhnya tidak ada dalam sejarah peradaban Islam lama ataupun pertengahan. Sebab cara kerja bank Islam sama saja dengan cara kerja bank konvensional. Karena itu, bagi hasil yang digunakannya 13
Syafi’i Antornio, 2001, bank Syari’ah dari teori ke praktek, Gema Insani, Jakarta
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
83 berbeda dari bagihasil pada masa Rasulullah ataupun masa kehidupan para pakar hukum Islam lama. Bagi hasil pada masa Islam pertama dan abad pertengahan terjadi secara perseorangan atau antar individu sedangkan bagihasil dalam bank Islam terjadi pada dua tingkat, yakni bagi-hasil investor dengan bank dan bagi hasil bank dengan pengusaha. Perbedan itu lebih dipengaruhi segi kelembagaan bank itu sendiri. Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilainilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Tujuan dari perbankan syariah ini adalah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan instrument-instrumen keuangan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan norma-norma syariah, juga bukan ditunjukan terutama untuk memaksimumkan keuntungan sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungankeuntungan sosio-ekonomis bagi orang-orang muslim. Praktek pembiayaan di perbankan syariah bahwa yang menjadi objek pembiayaan selain uang dan barang modal yakni menentukan besarnya jumlah uang untuk pembelian barang modal.Pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah kegiatan yang berupa penyediaan uang dan barang dari pihak bank kepada nasabah sesuai kesepakatan yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil yang didasari prinsip bagi hasil14. Jika ditinjau tentang masalah tujuan Bank Syari’ah, ada beberapa pandangan tentang tujuan Bank Syari’ah/Islam didirikan, secara garis besar pandangan itu dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu pandangan yang dikemukakan para teoritis dan praktisi ekonomi Islam.15 Ada beberapa tujuan menurut para teoritis ekonomi Islam, sebagai berikut;
14
Muhammad, 2014, Dasar-dasar keuangan syari’ah, ekonisia, Yogyakarta Muslimin H Kara,2005, Bank Syari’ah di Indonesia, Analis kebijakan pemerintah Indonesia tentang perbankan syari’ah, yogyakarta, UII Press,hal.69 15
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
84 1) Sutan Remy Sjahdeini, menurutnya Perbankan Islam adalah perbankan yang menyediakan fasilitas dengan cara mengupayakan instumeninstrumen yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan norma-norma syari’ah16 2) M. Umer Chapra, tujuan didirikannya Bank Islam adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Islam yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu perbankan Islam harus bersungguh-sungguh dalam menyiapkan berbagai perantinya yang menekankan bahwa pembiayaan yang disediakannya tidak akan meningkatkan konsumsi. Sebaliknya para praktisi ekonomi islam atau bankir Islam menganggap bahwa peranan perbankan Islam semata-mata bertujuan untuk komersial dengan mendasarkan pada instrumen-instrumen keuangan yang bebas bunga yang ditujukan untuk menghasilkan keuntungan finasial. Ini berarti para bankir Islam menganggap bahwa perbankan Islam bukan sebagai lembaga sosial semata.17 3) Abdul Ghofur Anshori, bahwa tujuan bank syari’ah secara umum adalah mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, finansial, komersial, dan investasi sesuai kaidah syari’ah. Hal inilah yang membedakan dengan bank konvensioal yang tujuan utamanya adalah pencapaian keuntungan yang setinggi-tingginya (profit maximization)18 Selain itu, bank syari’ah mempunyai ciri yang berbeda dengan bank konvensional. ciri-ciri ini bersifat universal dan kualitatif, artinya bank syari’ah beroperasi dimana harus memenuhi ciri-ciri tersebut. Ciri bank syrai’ah yang bersifat umum adalah sebagai berikut;19 a) Beban biaya yang telah disepakati pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal yang besarnyan tidak kaku dan dapat ditawar dalam batas yang wajar. b) Penggunaan prosentasi dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindarkan, karena prosentase bersifat melekat pada sisa hutang meskipun utang bada batas waktu perjanjian telah berakhir. 16
Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dimata hukum perbankan Indonesia, Jakarta, Pustaka utama grafiti, hal.21 17 Muslimin H Kara, Op cit, hal.70 18 Abdul ghofur anshori, 2007, Perbankan Syari’ah di Indonesia, yogyakarta, Gajah Mada University pres, hal.123 19 Warkum Sumitro, (1996), Ibid, h. 20-22
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
85 c) Didalam kontrak pembiayaan proyek bank tidak menetapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (Fiset Return) yang ditetapkan dimuka. Bank Syari’ah menerapkan system berdasarkan atas modal untuk jenis kontark al mudharabah dan al musyarakah dengan system bagi hasil (Profit and losery) yang tergantung pada besarnya keuntungan. Sedangkan penetapan keuntungan dimuka ditetapkan pada kontrak jual beli melalui pembiayaan pemilkikan barang (al-murabahah dan al-bai’u bithaman ajil, sewa guna usaha (al-ijarah), serta kemungkinan rugi dari kontrak tersebut amat sedikit d) Pegarahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai pernyataan dana pada proyek yang dibiayai oleh bank sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah hingga kepada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti (fixed return). Bentuk yang lain yaitu giro dianggap sebagai titipan murni (al-wadiah) karena sewaktu-waktu dapat ditarik kembali dan dapat dikenai biaya penitipan. e) Bank Syari’ah tidak menerapkan jual beli atau sewa-menyewa uang dari mata uang yang sama dan transaksinya itu dapat menghasilkan keuntungan. Jadi mata uang itu dalam memberikan pinjaman pada umumnya tidak dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk pembiayaan pengadaan barang selama pembiayaan, barang tersebut milik bank. f) Adanya Dewan Syari’ah yang bertugas mengawasi bank dari sudut syari’ah. g) Bank Syari’ah selalu menggunakan istilah-istilah dari bahasa arab dimana istilah tersebut tercantum dalam fiqih Islam h) Adanya produk khusus yaitu pembiayaan tanpa beban murni yang bersifat social, dimana nasabah tidak berkewajiban untuk mengembalikan pembiayaan (al-qordul hasan) i) Fungsi lembaga bank juga mempunyai fungsi amanah yang artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang telah dititipkan dan siap sewaktu-waktu apabila dana ditarik kembali sesuai dengan perjanjian. Selain karakteristik diatas, Bank Syari’ah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1) Dalam Bank Syari’ah hubungan bank dengan nasabah adalah hubungan kontrak (‘akad) antara investor pemilik dana (shohibul maal) dengn investor pengelola dana (mudharib) bekerja sama untuk melakukan
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
86 kerjasama untuk yang produktif dan sebagai keuntungan dibagi secara adil (mutual invesment relationship). Dengan demikian dapat terhindar hubungan eskploitatif antara bank dengan nasabah atau sebaliknya antara nasabah dengan bank. 2) Adanya larangan-larangan kegiatan usaha tertentu oleh Bank Syari’ah yang bertujuan untuk menciptakan kegiatan perekonomian yang produktif (larangan menumpuk harta benda (sumber daya alam) yang dikuasai sebagian kecil masyarakat dan tidak produktif, menciptakan perekonomian yang adil (konsep usaha bagi hasil dan bagi resiko) serta menjaga lingkungan dan menjunjung tinggi moral (larangan untuk proyek yang merusak lingkungan dan tidak sesuai dengan nilai moral seperti miniman keras, sarana judi dan lain-lain. 3) Kegiatan uasaha Bank Syari’ah lebih variatif dibanding bank konvensional, yaitu bagi hasil sistem jual beli, sistem sewa beli serta menyediakan jasa lain sepanjang tidak bertentangan dengan nilai dan prinsip-prinsip syari’ah. Tabel 1.1. Perbedaan Bank Syari’ah dan Bank Konvesional No
Perbedaan Falsafah
Bank Syari’ah
Bank Konvesional Berdasarkan bunga
Tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan ketidakjelasan Operasionalisasi a. Dana masyarakat berupa c. Dana masyarakat titipan dan investasi yang berupa simpanan baru akan mendapatkan yang harus hasil dibayar bunganya jika”diusahakan”terlebih pada saat jatuh dahulu. tempo. b. Penyaluran pada usaha d. Penyaluran pada yang halal dan sektor yang menguntungkan menguntungkan aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama. Aspek Sosial Dinyatakan secara eksplisit
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
87 dan tegas yang tertuang dalam misi dan visi Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas Syari’ah
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syari’ah
Sumber IBI, 2002 B. Praktek Sistem Pembiayaan Bagi Hasil Pada Perbankan Syariah Bagi hasil juga merupakan akad kerjasama antara bank sebagai pemilik modal dengan nasabah sebagai pengelola modal untuk memperoleh keuntungan dan membagi keuntungan yang diperoleh berdasarkan nisbah yang disepakati.Bagi hasil sering orang menyebut pengganti namanya “bunga”untuk menjawab ini kita mencoba menganalisa perhitungan bagi hasilmelalui ilustrasi pada pembahasan berikut ini akan memberikan gambaranriil letak perbedaan antara sistem bagi hasil dan bunga. Berikut ini akan diberikan contoh kecil tentang perhitungan bagi hasil dari dana pihak ketiga berupa tabungan atau deposito masyarakat, antara pola bagi hasildengan pola bunga sebagai berikut20 : Fahrul mempunyai tabungan deposito Rp. 10 juta, jangka waktu satu bulan (1 Desember 2007 s/d 1 Januari 2008) dan keuntungan bagi hasil antara nasabah dan bank 57%:43% jika keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito satu bulan per 31 Desember 2007 adalah Rp. 20juta dan rata-rata deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp. 950 juta, berapa keuntungan yang diperoleh fahrul ? Jawab : Keuntungan yang diperoleh Fahrul adalah (Rp. 10 juta x Rp. 950) x Rp.20 juta x 57% = Rp.120.000, Contoh bunga bank konvensional : Pada tanggal 1 Desember 2007 Fahrul membuka deposito sebesar Rp. 10 juta, jangka waktu 1 bulan dengan tingkat bunga 9% per tahun,berapa bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo? Jawab : Bunga yang diperoleh Fahrul adalah : (Rp. 10 juta x 31 hari x 9%/365 hari = Rp. 76.438,
20 Khusnul, Khatimah (1999), “Studi Terhadap Deposito Mudharabah di BPR Syari’ah Al-Ma’soem Rancaekek Kabupaten Bandung”. Skripsi Program Sarjana Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal .70
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
88 Dari contoh-contoh tersebut diatas memberi pengertian bahwa bank syariah dalam memberikan hasil kepada deposan mempertimbangkan rasio antara dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan, serta pendapatan yang dihasilkan dari perpaduan dua factor tersebut, sedangkan bank konvensional langsung menganggap semua bunga yang diberikan adalah biaya, tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun tersebut. Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu almusyarakah, al-mudharabah, al-muzara‟ah, dan almusaqah. Walaupun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-mudharabah dan al-musyarakah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Maka, produk pembiayaan syariah yang disarankan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut: 1.
Pembiayaan Mudharabah
Menurut Abdullah Saeed yang dimaksud mudharabah adalah sebuah perjanjian diantara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al maal atau rabb al-maal). Mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, yaitu pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Sedangkan musyarakah (dari bahasa arab syirkah atau syirikah) berarti suatu bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab bersama.21 Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al muzara’ah, dan al musaqah.22 Mudharabah yang menjadi model kontrak yang utama dalam praktek perbankan disamping beberapa kontrak yang lain. Mudharabah dibedakan dalam: a) Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama Salaf Ash Shalih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar. 21
Ibid, hal 66 Muhammad Syafii Antonio, 2000, Bank Syari’ah suatu pengenalan umum, Jakarta, Tazkia Institute, hal.129 22
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
89 b) Mudharabah Muqayyadah (restricted mudharabah/spesified mudharabah), mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.23 Mudharabah berasal dari akronim”Ad-dhorbu fil Ardhi”, bepergian untuk berdagang. Praktik mudharabah dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi, sedangkan sahabat yang lain tidak membantahnya. Wacana fiqh seputar mudharabah hanyalah pandangan pribadi hasil ijtihad para ahli hukum Islam karena nash tidak mengulas.24 Secara umum, landasan syari’ah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini nampak dalam ayat-ayat al-qur’an dan hadits berikut ini: Dalam surat Al-Muzzamil:20
tÏ%©!$# zÏiΒ ×πx$Í←!$sÛuρ …çµsW=è èOuρ …çµx$óÁÏΡuρ È≅ø‹©9$# Äs\è=èO ÏΒ 4’oΤ÷Šr& ãΠθà)s? y7¯Ρr& ÞΟn=÷ètƒ y7−/u‘ ¨βÎ) * zÏΒ uœ£uŠs? $tΒ (#ρâtø%$$sù ( ö/ä3ø‹n=tæ z>$tGsù çνθÝÁøtéB ©9 βr& zΟÎ=tæ 4 u‘$pκ¨]9$#uρ Ÿ≅ø‹©9$# â‘Ïd‰s)ムª!$#uρ 4 y7yètΒ
ÏΒ tβθäótGö6tƒ ÇÚö‘F{$# ’Îû tβθç/ÎôØtƒ tβρãyz#uuρ 4yÌó÷£∆ Οä3ΖÏΒ ãβθä3u‹y™ βr& zΝÎ=tæ 4 Èβ#uöà)ø9$#
nο4θn=¢Á9$# (#θãΚŠÏ%r&uρ 4 çµ÷ΖÏΒ uœ£uŠs? $tΒ (#ρâtø%$$sù ( «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû tβθè=ÏG≈s)ムtβρãyz#uuρ «!$# È≅ôÒsù
y‰ΖÏã çνρ߉ÅgrB 9öyz ôÏiΒ /ä3Å¡à$ΡL{ (#θãΒÏd‰s)è? $tΒuρ 4 $YΖ|¡ym $·Êös% ©!$# (#θàÊÌø%r&uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ
∩⊄⊃∪ 7ΛÏm§‘ Ö‘θà$xî ©!$# ¨βÎ) ( ©!$# (#ρãÏ$øótGó™$#uρ 4 #\ô_r& zΝsàôãr&uρ #Zöyz uθèδ «!$#
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling 23
Ibid, hal.127 Abd Somad, 2010, Hukum Islam penormaan prinsip syariah dalam Hukum Indoensia, Jakarta, Kencana, hal.364. 24
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
90 besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (“.....dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...” (Q.S. Al-Muzzamil:20)25 Al-Hadits, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas Bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dana nya tidak di bawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut, yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat tersebut pada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya. (H.R. Thabrani) Dari Shalih bin shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(H.R. Ibnu Majah No.2280, kitab At-Tijaroh),26 Pada bank syari’ah mudharabah diaplikasikan pada : Investment Account, Saving Account, dan Project Financing. Filosofi dan sifat dari investasi bagi hasil mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour (skill dan enterpreneurship) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional karena memang sistem tersebut diciptakan untuk menunjang mereka yang memiliki capital (modal). Dalam investasi mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan serta keadilan. Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung kerugian yang dalam proyek dan membagi keuntungan yang membengkak diwaktu ekonomi sedang booming.27 Bentuk penyaluran dana yang ditujukan untuk kepentingan investasi dalam perbankan Islam dapat dilakukan berdasarkan akad bagi hasil secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mudharabah dan musyarakah, termasuk didalamnya sebenarnya terdapat jenis muzara’ah dan musaqah walaupun jarang digunakan oleh bank syari’ah khususnya di Indonesia.28 Muhammad Syafi’i Antonio mendefinisikan, al-mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain (mudharb) menjadi pengelola, sedangan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu 25
Terjemah Alqur’an Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Perbankan Islam & Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan 27 Abd Shomad, Akad Mudharabah dalam perbankan syari’ah, Yuridika, Vol.16.No.4, juli-Agustus 2001, hal.371. 28 Abdul Ghofur Anshori, 2006, Gadai Syari’ah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, hal. 123 26
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
91 diakibatkan oleh kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.29 Dalam bahasa penduduk Irak dinamakan mudharabah sedangkan penduduk Hijaz menyebutnya Qiradh.30 Qiradh berasal dari kata al-qardhu yang berarti Al-Qath’u, artinya pemilik memotong sebagian hartanya untuk dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan, atau berasal dari kata AlMuqaradhah yang artinya Al-Musaawah (persamaan) atau karena modal dari si pemilik modal dan pekerjaan hanya dituntut untuk bekerja saja, maka ia sama seperti mengambil upah (ijarah); maka sipekerja mempunyai hak untuk medapatkan bagian dari keutungan.31 Demikian juga yang dikemukakan oleh Abdur Rahman L.Doi, bahwa mudharabah dalam terminologi hukum adalah suatu kontrak dimana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock) tertentu (Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rab Al-maal) kepada pihak lain untuk membentuk kemitraan (joint partnership) yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib. Perjanjian ini adalah suatu contract of co-partnership.32 Mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi dana masyarakatdan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan, bagi para pengusaha. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam pandual kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian mudharib.Mudharabah juga merupakan suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syariah, yang juga digunakan sebagai transaksi pembiayaan perbankan Islam, yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan kepercayaan.Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, yaitu kepercayaan dari shahib al-maal kepada mudharib33.
29
Muhammad Syafi’i Antonio, Op.cit, hal.135 Tim Courterpart Bank Muamalat, Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah, hasil terjemahan dari buku al-fiqh Aal Islam wa Adillatuhu, karya Wahbah Zuhaili, jakarta, 1999, hal.1/40 31 Ibid 32 Sutan remy sjahdeini, Op.cit,hal.29 33 Rahmat Hidayat, 2014, Efisiensi Perbankan Syari’ah teori dan praktek, Gramat publishing, bekasi, hal. 32 30
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
92 Sedangkan Muhammad Nejatullah Siddiqi menitik beratkan pada syirkah (partnership) dan mudharabah (profit sharing) karena keduanya merupakan pilar dari operasional perbankan Islam aktivitas investasi dalam bank Islam didasarkan pada dua konsep yang legal, yaitu mudharabah dan musyarakah, sebagai alternatif dalam menerapkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing/PLS).34 Teori ini menyatakan bahwa bank Islam akan memberikan sumber pembiayaan (finansial) yang luas kepada peminjam (debitor) berdasarkan atas bagi risiko (baik menyangkut keuntungan maupun kerugian) yang berbeda dengan pembiayaan (finansial) sistem bunga pada dunia perbankan konvensional yang semua resikonya ditanggung oleh pihak peminjam (debitor).35 Menurut perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis lainnya didirikan terutama dengan satu tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama. Mudharabah dan musyarakah adalah dua model profit sharing (bagi hasil) yang lebih disukai dalam hukum Islam, dan diantara kedua model ini maka mudharabah adalah model PLS yang paling umum digunakan (paling tidak dari segi peningkatan dana).36 Kepercayaan merupakan unsur terpenting, karena dalam transaksi mudharabah, shahib al-mal tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudharib dan tidak boleh ikut campur di dalam pengelolaan proyek atau usaha yang notabene dibiayai dengan dana shahib al-mal tersebut. Tanpa adanya unsur kepercayaan dari shahib al-mal kepada mudharib, maka perjanjian transaksi mudharabah tidak akan terjadi. Karena unsur kepercayaan merupakan unsur penentu, maka dalam perjanjian mudharabah, shahib al-mal dapat mengakhiri perjanjian mudharabah secara sepihak apabila shahib al-mal tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap mudharib. Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu37: a. Mudharabah Muthlaqah, adalah bentuk kerja sama antara shahib Al-mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis b. Mudharabah Muqayyadah, adalah kebalikan dari mudharabah muthalaqah. Mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. 34
Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1985, Partnership and profit sharing in islamic low, London, The Islamic Foundation, hal.9 35 Abdullah Saeed, 1996, bank Islam dan Studi kritis larangan riba dan interprestasi kontemporer, yogyakarta, Pustaka pelajar, hal.66 36 Ibid, hal 65 37 Dr.Trisadini P & prof Abd shomad, 2013, transaksi bank syari’ah, Bumi Akasara, jakarta, hal 36
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
93 Faktor-faktor yang harus ada dalam akad mudharabah yaitu38: a. Pelaku (pemilik modal atau pelaksana usaha) Dalam akad mudharabah, harus ada dua pelaku.Pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib almal), sedangkan pihak kedua (mudharib atau „amil) bertindak sebagai pelaksana usaha. b. Objek, objek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. c. Persetujuan faktor ketiga yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). d. Nisbah keuntungan, adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Kontrak mudharabah adalah suatu kontrak yang dilakukan oleh minimal dua pihak. Tujuan utama kontrak ini adalah memperoleh hasil investasi. Besar kecilnya investasi di pengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil di bank syariah ada yang berdampak langsung dan ada yang tidak langsung. 1. Faktor langsung Diantara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio) 1) Investmen rate merupakan prosentase aktual dana yang dapat diinvestasikan dari¬ total dana yang terhimpun. Jika 80 % dana yang terhimpun diinvestasikan, berarti 20 % nya dicadangkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. 2) Jumlah dana yang tersedia untuk diin¬vestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber yang dapat diinvestasikan. Dana tcrsebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode : Rata-rata saldo minimum bulanan; 3) Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk investasi akan¬ menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan. 4) Nisbah (profit sharing ratio)
38 Margono, Slamet (2008), “Pelaksaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah (Tinjauan Umum Pada BTN Syariah Cabang Semarang)”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
94 a) Salah satu ciri al mudharafah adalah nisbah yang harus ditentukan sesuai persetujuan di awal perjanjian. b) Nisbah antara satu bank dengan bank lain dapat berbeda. c) Nisbah antara satu bank dengan bank yang lainnya dapat berbeda. d) Nisbah dapat berbeda dari waktu kewaktu dalam satu bank, misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan 2. Faktor Tidak Langsung Faktor tidak langsung yang mempengaruhi bagi hasil adalah39: 1. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya muddharabah 2. Bank dan nasabah melakukan share pendapatan yang dibagi hasilkan adalah pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya. 3. Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing. 4. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akutansi) Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh jalannya aktivitas yang diterapkan,terutama dengan pengakuan pendapatan dan biaya. Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada : - Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa; - Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk : a. Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa. b. Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank). Ketentuan umum skema pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut: a) Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dan dapat berupa uang atau barang yang
39 Khusnul, Khatimah (1999), “Studi Terhadap Deposito Mudharabah di BPR Syari’ah Al-Ma’soem Rancaekek Kabupaten Bandung”. Skripsi Program Sarjana Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal .76
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
95
dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakti bersama. b) Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan cara, yakni: • Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) • Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing) c) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan atau usaha nasabah. Secara jelasnya kita lihat pada bagan proses pembiayaan mudharabah di bawah ini : Bagan Proses Pembiayaan Mudharabah
Akad Mudharabah BANK
PENGUSAHA
MODAL 100 %
SKILL
KEGIATAN USAHA Bagian Keuntungan X
Bagian Keuntungan Y KEUNTUNGAN
Modal 100%
MODAL
Penerapan mudharabah dalam perbankan syariah, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada. Mudharabah klasik ini memiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya. Modus
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
96 mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank, karena beberapa hal40: a. Sistem kerja bank adalah investasi berkelompok, di mana mereka tidak saling mengenal. b. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratusan ribu shahib al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek tertentu. c. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahib almal dengan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing. Dalam skema indirect financing dibawah, bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaanpembiayaan yang menghasilkan (earning assets).41 + Tabel 2. Neraca Bank Syariah Aktiva Penyaluran Dana Pasiva Sumber Dana (Funding) (Financing & Investment) Non-Earning Assets Current Liabilities • Kas • Giro pada B1 Earning Assets: • Surat Berharga • Pembiayaan: 1. Murabahah,
Dana pihak ketiga: • Giro Wadiah • Tabungan Mudharabah • Deposito Mudharabah
40 Mannan, Muhammad Abdul, 1992, “Ekonomi Islam Teori dan Praktek” Ed.1 Cetakan PT Intermasa, jakarta 41 Khusnul, Khatimah (1999), “Studi Terhadap Deposito Mudharabah di BPR Syari’ah Al-Ma’soem Rancaekek Kabupaten Bandung”. Skripsi Program Sarjana Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal 60
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
97 2. Ijarah, 3. IMBT 4. Mudharabah, 5. Musyarakah Fixed Assets
Stockholder‟s Equity
2. Pembiayaan Musyarakah Syarikah secara bahasa berarti ihktilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta yang lain, sehingga bisa dibedakan antara keduanya. Selanjutnya jumhur ulama mempergunakan kata syarikah untuk label satu transaksi tertentu, meski tidak ada percampuran dua bagian, karena terjadinya sebuah transaksi tertentu, meski tidak ada percampuran dua bagian, karena terjadinya sebuah transaksi merupakan sebab terjadinya percampuran.42Istilah lain dari syarikah adalah musyarakah, yaitu merupakan perkongsian antara dua orang atau lebih dengan membagi keuntungan dan kerugian berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak sehingga dalam pembiayaan musyarakah yang diberikan bank dengan cara membiayai sebagian dari modal perusahaan dan bank dapat ikut serta dalam manajemen perusahaan tersebut, maka perlu adanya perjanjian untuk memberikan kepastian. Dalam pembiayaan musyarakah untuk membagi keuntungan dapat dilakukan menurut besarnya porsi modal atau dapat pula berdasarkan perjanjian, yaitu sesuai dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati para pihak. Sedangkan dalam pembagian kerugian harus ditanggung sesuai dengan porsi modal masing-masing pihak yang bercampur. Perbedaan penetapan ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap (absorpsi) untung dan rugi. Untung sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sedangkan bila rugi, tidak semua pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila terjadi kerugian, maka besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya modal yang diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut.43
42
Tim counterpart Bank Muamalat, Op.cit, hal.1/51 Adiwarman Karim, 2007, Bank islam; Analisis Fiqh dan keuangan, jakarta, Raja Grafindo persada, hal.76-77 43
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
98 Landasan syari’ah dari musyarakah dapat dijumpai dalam Surat Shaad ayat 2444: öΝåκÝÕ÷èt/ ‘Éóö6u‹s9 Ï!$sÜn=èƒø:$# zÏiΒ #ZÏVx. ¨βÎ)uρ ( ϵÅ_$yèÏΡ 4’n<Î) y7ÏGyf÷ètΡ ÉΑ#xσÝ¡Î0 y7yϑn=sß ô‰s)s9 Α$s% $yϑ¯Ρr& ߊ…ãρ#yŠ £sßuρ 3 öΝèδ $¨Β ×≅‹Î=s%uρ ÏM≈ysÎ=≈¢Á9$# (#θè=Ïϑtãuρ (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# āωÎ) CÙ÷èt/ 4’n?tã ∩⊄⊆∪ ) z>$tΡr&uρ $YèÏ.#u‘ §yzuρ …çµ−/u‘ tx$øótGó™$$sù çµ≈¨ΨtGsù Artinya:”Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”. Abdul Ghofur Anshori membedakan secara garis besar syirkah menjadi dua macam, yakni : a) Syirkah Amlak, yaitu kepemilikan barang secara bersama-sama atas suatu barang tanpa didahului oleh suatu akad melainkan secara ijbari/otomatis, misalnya, pemilikan harta secara bersama-sama karena suatu warisan. b) Syirkah Uqud, yaitu serikat yang ada/terbentuk disebabkan para pihak yang memang sengaja melakukan perjanjian untuk bekerja bersama demi tujuan bersama dengan melebihi dahulu para pihak yang terlihat memasukan partisipasi modalnya. Sedangkan didirikannya syirkah tersebut bertujuan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk harta benda.45 Musyarakah akad atau yang disebut juga syarikah/syirkah akad terbagi menjadi 5 bentuk, yaitu : a) Syrikah Al-Inan Syirkah Al-Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja kedua pihak terbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, 44 45
Terjemah al-qur’an Abdul ghofur anshori, 2007, op.cit, hal.73
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
99 porsi masing-masing pihak baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini. b) Syirkah Mufawadhah Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis almusyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak. c) Syirkah A’maal, Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersamaan berbagai keuntungan dari pekerjaan itu. Al-musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sanaa’i. d) Syirkah Wujuh Syirkah Wujuh adalah kontrak dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, kontrak itupun lazim disebut sebagai muyarakah piutang. e) Syirkah Al-Mudharabah Syirkah Al-Mudharabah adalah suatu akad atau kontrak antara dua orang atau lebih dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara al-mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.46 Berbeda dengan akad Mudharabah dimana pemilik dana menyerahkan modal sebesar 100% dan pengelola dana berkontribusi dalam kerja, dalam akad musyarakah, para mitra berkontribusi dalam modal maupun kerja. Keuntungan dari usaha syariah akan dibagikan kepada para mitra sesuai dengan nisbah yang disepakati para mitra ketika akad, sedangkan kerugian 46
Muhammad syafi’i antonio, Op.cit,hal.92-93
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
100 akan ditanggung para mitra sesuai dengan proporsi modal. Menurut Afzalur Rahman, seorang deputi Secretary General in The Muslim School Trust, Musyarakah secara bahasa adalah al-syirkah berarti al-ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua orang atau lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan atau tidak dapat dipisahkan. Menurut Dewan Syariah Nasional MUI dan PSAK No. 106 mendefinisikan Musyarakah sebagai akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana47. Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak bewujud. Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Ketentuan umum pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut.48 • Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Pemilik modal percaya untuk menjalankan proyek musyarakah dan tidak boleh melakukan tindakan seperti: a. Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi b. Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya. c. Memberi pinjaman kepada pihak lain. d. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. 47 Afzalur Rahman, (1996), Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta, 48 Khusnul, Khatimah (1999), “Studi Terhadap Deposito Mudharabah di BPR Syari’ah Al-Ma’soem Rancaekek Kabupaten Bandung”. Skripsi Program Sarjana Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hal.45
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
101
• •
e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila: 1. Menarik diri dari perserikatan 2. Meninggal dunia 3. Menjadi tidak cakap hukum Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka aktu proyek harus diketahui bersama. Proyek yang dijalankan harus disebutkan dalam akad. Bagan Proses Pembiayaan Musyarakah
Akad Musyarakah BANK
PENGUSAHA
MODAL & SKILL
MODAL & SKILL
KEGIATAN USAHA Bagian Keuntungan X
Bagian Keuntungan Y KEUNTUNGAN
Bagian Modal Bank
MODAL
Gambar 3. Skema Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Eksistensi, musyarakah ada dua jenis yaitu musyarakah pemilikan (Syirkah Al Milk) dan Musyarakah akad (Syirkah Al’uqud). Musyarakah pemilikan (syirkah Al Milk) mengandung arti kepemilikan bersama yang keberadaannya muncul apabila dua orang tau lebih memperoleh kepemilikan bersama atas suatu kekayaan (aset). Syirkah Al Milk tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Musyarakah akad (Syirkah Al-uqud) yaitu kemitraan yang tercipta dengan kesepakatan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Syirkah Al’uqud tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
102 mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. . Syirkah jenis ini dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya, karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu kerja sama investasi dan berbagi untung dan risiko. Berdasarkan keterangan diatas bahwa Syirkah Al’uluq dapat dibagi menjadi empat: yaitu, syirkah Abdan, syirkah Wujuh, syirkah, Inan, dan syirkah Mufawwadhah Berdasarkan pernyataan PSAK, jenis musyarakah ada dua yaitu: a. Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan saat akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad (PSAK No. 106 par 04) b. Musyarakah menurun/mutanaqisah adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana salah satu mitra akan dialihkan secara bertahap kepada mitra lainnya sehingga bagian dananya akan menurunn dan pada akhir masa akad mitra lain tersebut akan menjadi pemilik penuh usaha musyarakah tersebut. Unsur yang harus ada dalam akad Musyarakah atau rukun musyarakah ada empat yaitu: a. Pelaku terdiri atas para mitra b. Objek musyarakah berupa modal dan kerja 1) Modal a) Modal yang diberikan harus tunai b) Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, perak, aset perdagangan, atau aset tidak berwujud seperti lisensi, hak paten, dsb c) Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainya terlebih dahulu dan harus disepakati bersama. d) Modal yang diserahkan oleh setiap mitra harus dicampur. e) Dalam kondisi normal, setiap mitra memiliki hak untuk mengelola aset kemitraan. 2) Kerja a) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah b) Tidak dibenarkan bila salah seorang di antara mitra menyatakan tidak ikut serta menangani pekerjaan dalam kemitraan tersebut c) Meskipun porsi kerja antara satu mitra dengan mitra lainnya tidak harus sama
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
103 d) Setiap mitra bekerja atas nama pribadi atau mewakili mitranya e) Para mitra harus menjalankan usaha sesuai dengan syariah c.Ijab qabul/ serah terima adalah pernyataan dan ekspresi saling rida/rela diantara pihakpihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern. d. Nisbah keuntungan 1. Nisbah diperlukan untuk pembagian keuntungan dan harus disepakati oleh para mitra di awal akad sehingga risiko perselisihan diantara para mitra dapat dihilangkan 2. Perubahan nisbah harus berdasrkan kesepakatan kedua belah pihak 3. Keuntungan harus dapat dikuantifikasi dan ditentukan dasar perhitungan keuntungan tersebut misalnya bagi hasil atau bagi laba 4. Keuntungan yang dibagikan tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan 5. Mitra tidak dapat menentukan bagian keuntungannya sendiri dengan menyatakan nilai nominal tertentu karena hal sama dengan riba dan dapat melanggar prinsip keadilan dan prinsip untung muncul bersama risiko (al ghunmu ni al ghurmi). Aplikasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti: a. Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. b. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap. Pengumpulan dana yang dilakukan oleh Bank Syariah yangberasal dari para Nasabah, para pemilik modal atau dana titipan dari pihakketiga perlu dikelola dengan penuh amanah dan istiqomah, denganharapan
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
104 dana tersebut mendatangkan keuntungan yang besar, baik untuknasabah maupun syariah.Prinsip utama yang harus dikembangkan bank syariah dalamkaitan dengan manajemen dana adalah bahwa Bank Syariah harus mampumemberikan bagi hasil kepada penyimpan dana, minimal sama denganatau lebih besar dari suku bunga yang berlaku di bank-bank konvensional dan mampu menarik bagi hasil dari debitur lebih rendah daripada bungayang berlaku di bank konvensional. Oleh karena itu upaya manajemen dana bank syariah perlu dilakukan secara baik. Semakin baik manajemendana bank syariah akan menunjukkan kredibilitas kepercayaan masyarakatuntuk menyimpan dananya, sehingga arah untuk mencapai likuiditas banksyariah akan dapat tercapai. C. KESIMPULAN Bagi hasil pada dasarnya adalah suatu sistem pengelolaan dana atas pembagian hasil usaha antara pihak Bank dan penyimpan dana ataupun pihak pengelola dana, baik berupa keuntungan ataupun kerugian, dengan ketentuan yang berdasarkan kesepakatan/perjanjian dimana pihak pengelola mendapat bagian lebih besar atau lebih kecil dari pada pemilikmodal, tergantung pada kesepakatan dalam akad/perjanjian. Kedudukan pemilik modal dengan pengelola modal adalah sejajar, karenapemilik modal dan pengelola saling berkepentingan dan salingmembutuhkan.Inti daripada sistem bagi hasil terletak pada kesepakatan dalam akad/perjanjian yang harus ditaati oleh kedua belah pihak karena dalam syariah Islam bahwa janji harus ditaati (Al- Hadist). Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, almuzara’ah, dan almusaqah. Walaupun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-mudharabah dan al-musyarakah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam pandual kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian mudharib. Sedangkan musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
105
DAFTAR PUSTAKA A fazlur Rahman, (1996), Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta, Abdul Ghofur Anshori, 2007, Perbankan Syari’ah di Indonesia, Yogyakarta, Gajah Mada University pres Abdullah Saeed, 1996, bank Islam dan Studi kritis larangan riba dan interprestasi kontemporer, yogyakarta, Pustaka pelajar. Adiwarman Karim, 2007, Bank islam; Analisis Fiqh dan keuangan, jakarta, Raja Grafindo Persada Afzalur Rahman, (1996), Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bakti Waqaf, Yogyakarta. Antonio, M. S., 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jilid 1, Gema Insani, Jakarta. Dr.Trisadini & Prof Abd Shomad, 2013, transaksi bank syari’ah, Bumi Akasara, Jakarta. Heri Sudarsono, 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonesia, Yogyakarta. Karim, Adiwarman, 2006, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Ed. 3, Cet. 3, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Khusnul, Khatimah (1999), “Studi Terhadap Deposito Mudharabah di BPR Syari’ah Al-Ma’soem Rancaekek Kabupaten Bandung”. Skripsi Program Sarjana Muamalah Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mannan, Muhammad Abdul, 1992, “Ekonomi Islam Teori dan Praktek” Ed.1 Cetakan PT Intermasa, jakarta Margono, Slamet (2008), “Pelaksaan Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syariah (Tinjauan Umum Pada BTN Syariah Cabang Semarang)”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1985, Partnership and profit sharing in islamic low, London, The Islamic Foundation. Muhammad Syafii Antonio, 2000, Bank Syari’ah suatu pengenalan umum, Jakarta, Tazkia Institute Muhammad, 2014, “Dasar-dasar Keuangan Syari’ah” Ekonisia Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
106
Muslimin H Kara,2005, Bank Syari’ah di Indonesia, Analis kebijakan pemerintah Indonesia tentang perbankan syari’ah, yogyakarta, UII Press Rahmat Hidayat, 2014, Efisiensi Perbankan Syari’ah teori dan praktek, Gramat Publishing, Bekasi Sayyid Sabiq, (1987) Fiqih Sunah, Al-Ma’arif Bandung. Sjahdeini, Sutan Remy, 1999, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Cetakan 1, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Terjemah al-qur’an, 2010, Sygma Publishing, Bandung, Jawa Barat. Tim Courterpart Bank Muamalat, Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah, hasil terjemahan dari buku al-fiqh Aal Islam wa Adillatuhu, karya Wahbah Zuhaili, jakarta, 1999 Tim Redaksi, (1994), Ensiklopedi Hukum Islam, PT.Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta. Zainul Arifin, (2002), Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Alvabet, Jakarta.
Volume V, No. 1, Juli 2015
Al-Risalah
107
DZUNNUN AL-MISRI: AL-MA’RIFAH Oleh: A. Faqihuddin Abstrak Adalah Abu Al-Faiz Tsauban Ibn Ibrahim Al-Misri seorang sufi yang terkenal dengan julukan Dzunnun Al-Misri. Nama Al-Misri merupakan gelar yang diberikan kepadanya karena ia dilahirkan di Mesir. Masa hidupnya bertepatan pada kejayaan Bani Al-Basiyah yaitu pada masa Harun Al-Rasyid dan pada masa itu ilmu pengetahuan, kebudayaan dan tradisi keilmuan Islam mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa Dzunnun Al-Misri berkembang pula bidang keilmuan terutama ilmu tasawuf. Sifat Dzunnun yang wara’, zuhud, dan akhlak yang mulia mendukung teori-teori tasawuf yang dikembangkannya. Ia merupakan orang pertama yang meletakkan dasar-dasar teori tasawuf dan pengertian-pengertian yang khusus. Ia meletakkan dasar tasawuf dengan ma’rifah sehingga didunia Islam ia dijuluki sebagai Bapak Paham Ma’rifah. Ma’rifah adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan, dan Ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Dari pengertiannya Ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sanubari. Keyword : Ma’rifah, Melihat Tuhan, Qolbu, Ruh, Sir. A. BIODATA DZUNNUN AL-MISRI 1. Riwayat Hidup Dzunnun Al-Misri Dzunnun Al-Misri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faiz Tsauban Ibn Ibrahim Al-Misri. Dia lahir di Ekhmim yang terletak di kawasan Mesir Hulu pada tahun 180 H/796 M. Banyak guru-guru yang telah didatanginya dan banyak pengembabaraan yang telah dilakukannya baik di negeri Arab maupun di Syria. Pada tahun 214 H/829 M dia ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar dia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kita ini dia meninggal tahun 246 H/861 M. Kuburannya sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
108 dianggap sebagai seorang ahli kimia yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. Sejumlah syair dan risalah diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakan masih diragukan1. Ayah Dzunnun Al-Misri adalah seorang keturunan Quraisy dan Dzunnun sendiri seorang murid Imam Malik bin Anas, pendiri salah satu mazhab ahli Sunnah. Dia membaca buku Imam Malik termasyhur Muaththa bersama Imam dan mengikuti alirannya. Dia juga memperoleh pelajaran dari Israfil yang dikenal sebagai seorang suci dan sufi. Hubungan Dzunnun dengan ahli hadis serta ulama-ulama besar lainnya pada waktu itu sangat membantunya untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pengertian yang lebih dalam perihal Al-Qur’an dan Hadis yang membawanya ke dalam pengertian dan meditasi2. Dzunnun Al-Misri hidup pada masa kejayaan bani Abasiyah yaitu pada Harun Ar-Rasyid (170 H/ 847 M), dimana pada masa itu ilmu pengetahuan, kebudayaan dan tradisi keilmuan Islam mengalami kemajuan yang pesat. Dan Dzunnun Al-Misri dikenal dan berkembang selama dan sesudah pemerintahan Al-Ma’mun3. Bahkan pada masa pemerintahan AlMutawakil Dzunnun Al-Misri dipenjarakan selama 40 hari 40 malam, kemudian dia dibebaskan karena tidak terbukti kesalahannya. Kehidupan Dzunnun Al-Misri sepenuhnya bergemilang dalam bidang keilmuan terutama ilmu tasawuf dan sifat-sifatnya yang wara’, zuhud dan akhlakul karimah mendukung teori-teori tasawuf yang dikembangkannya. Ia merupakan orang pertama yang meletakkan dasardasar teori tasawuf dan pengertian-pengertian yang khusus4. Ia meninggal pada usia 66 tahun. Mengenai pertaubatan Dzunnun si orang Mesir dikisahkannya dalam buku Tadzkirah al-Aulia Fariduddin al-Attar berkisah sebagai berikut5: Suatu aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertpa, maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya disana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri, “Wahai tubuh, bantulah aku dalam menaati perintah Allah. Kalau
1
Areberry, A. J. 1976. Muslim Saints and Mystics. London, 87. Nadvi, Muzaffarudin. Muslim Thought and Source. Terjemahan oleh Adang Affandi. 1984. Pemikiran Muslim dan Sumbernya. Bandung: Pustaka, 88. 3 Ibid, 96. 4 Mansur, M. Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting, 79. 2
5 Fariduddin al-Attar. Tadzkirah al-Aulia. Terjemahan Kisah Teladan Kehidupan Para Wali, 105.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
109 tidak, akan kubiarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan.” Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisanku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanyalah ia, “Siapakah itu yang telah menaruh belas kasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?” Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya, “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?” Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk menaati perintah Allah,” jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkrama dengan manusiamanusia lain.” Tadi aku mengira bahwa telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu. Si pertapa melanjutkan, “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka sesuatu dapat terjadi?” “Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!” kataku kepadanya. “Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih dari padaku?” tanyanya kepadaku. “Ya,” jawabku. “Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Disitulah engkau akan menemuinya,” si pertapa menjelaskan. Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukkannya. Di sana kujumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkutung putus dan dilemparkannya keluar, cacingcacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian kutanyakan perihal dirinya. Si pertapa berkisah kepadaku: “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruang pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan: ‘Setelah mengabdi dan menaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syetan dan mengejar seorang wanita lacur?’ Karena menyesal kupotonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini.”
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
110 Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang drinya. Seseorang mengisahkan kepadaku, “Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama menagbdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantahbantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhrinya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian member madu kepadanya.” Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barang siapa memasrahkan diri kepada Allah, niscahya Allah akan memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan menderitaannya. Didalam perjalanan menuruni gunung itu, aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati “Darimanakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?” Seketika itu juga burung melompat turun. Dengan mematukkan paruhnya, dicukilnya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang yang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzunnun sangat heran menyaksikan keadaan itu. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa raganya dan benarbenar bertaubat kepada Allah. Setelah beberapa lama berjalan, Dzunnun dan para sahabatnya di sebuah padang pasir. Di sana mereka menemukan sebuah guci berisi keeping-kepingan emas dan batu permata dan diatas tutupnya terdapat yang tertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi emas dan permata itu diantara sesame mereka sedangkan Dzunnun hanya meminta: “Berikanlah kepada ku papan yang bertuliskan nama sahabatku itu!” Papan itu diterimanya siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatau malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya, “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih namaku yang lebih berharga dari pada emas dan permata. Oleh karena itu, Aku bukakanuntukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan.”
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
111 Setelah itu Dzunnun kembali ke kota. Kisahnya berlajut pula sebagai berikut. Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sungai, di situ kulihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang ke loteng itu. Di atas balkon sedang berdiri seorang dara jelita. Karena ingin mempertegasnya aku pun bertanya, “Upik siapakah engkau ini?” Si dara menjawab, “Dzunnun, dari kejauhan kukira engkau orang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat kukira engkau seorang mistitkus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.” Aku bertanya, “Mengapa engkau bertanya demikian?” Si dara menjawab, “Seandainya engkau gila niscahya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscahya engkau tidak memandang yang tidak booleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikus pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain Allah.” Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar diriku. Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai. Sesampainya di pantai, aku melihat orang-orang sedang naik ke atas kapal. Aku pun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu per satu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulang kali mereka menyiksa dan memperlakukan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru, “Wahai sang pencipta, sesungguhnya engkaulah Yang Maha Tahu.” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala keatas permukaan air dan masing-masing membawa sebuah permata dimulutnya. Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini, semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf kepadaku. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzunnun (Manusia Ikan). 2. Corak Sufi Al-Misri Dzunnun Al-Misri merupakan tokoh Tasawuf abad ke tiga Hijriyah yang meletakkan dasar tasawufnya dengan makrifah, sehingga Harun
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
112 Nasution (1990 : 76) menyatakan bahwa dasar tasawuf Dzunnun Al Misri (w. 860 M) yang dipandang sebagai bapak paham makrifah. Dari konsep makrifah ini, yang dapat mewarnai corak pemikiran Dzunnun Al-Misri sebagai sufi amali, ia mengatakan bahwa amaliah dasar tasawuf terdapat empat perkata: Pertama, mencintai Allah yang Maha Agung. Kedua, menjauhi yang sedikit yaitu dunia. Ketiga, mengikuti AlQur’an. Keempat takut akan terjadi perubahan (dari taat kepada maksiat)6. Kemudian ia mengatakan lagi “Janganlah engkau bersahabat di jalan Allah, kecuali dengan nasihat-menasihatkan! Janganlah berhubungan dengan hawa nafsu, kecuali dengan pertentangan dan janganlah berhubungan dengan setan, kecuali dengan permusuhan”7. 3. Karya Tulis Dzunnun Al-Misri Dzunnun Al-Misri merupakan sosok seorang sufi yang mempunyai banyak pengalaman ruhaniyah dan karamah. Dia juga tergolong kelompok sufi yang bergelar “Qawwaliin”. Kelompok yang dapat melepas akal dengan dendang lagu dan suka ria, bahkan ia bisa hidup dengan kekuatan itu pula. Harap diketahui bahwa, pada suara manusia sebenarnya masih tersimpan setumpuk rahasia8. Ia juga sebagai sufi yang alim yang telah membuahkan karya tulisnya, seperti Al Ruhn al Akbar dan Al Siqat fi al Sunnah9. Dari karya-karyanya itu dapat diketahui ajaran tasawuf Dzunnun al-Misri sebagai tasawuf amali yang mengembangkan konsep ma’rifah. B. PEMIKIRAN MARIFAH 1. Pengertian Makrifah Kata Makrifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, makrifah artinya pengetahuan atau pengalaman, sedangkan dalam istilah sufi, makrifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui sanubari. Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu 6
Mansur, M. Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting, 80. Al-Kalabazi, Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yaqub Al-Bukhari. Al Taarruf Li Madzabi Ahl Al Tashawwuf. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dalm 1990. Ajaran Kaum Sufi. Bandung: Mizaan, 183 7
8 Surur, Thaha A. Baqi. Syakhshiyah ash Shufiyah. Terjemahan oleh M. Nur Mufid dan Mahfudz Saad Salam. 1996. Syariat dan Penembaraan Ruhani. Surabaya: Pustaka Progesif, 188. 9 Mahmud, Abd. Al Halim. Tanpa Tahun. Dzunnun al-Misri. Kairo: Dar Al-Qur’an Sa’b, 31.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
113 dengan yang diketahuinya itu10. Sedangkan menurut Harun Nasution bahwa makrifah berarti mengetahui Tuhan dengan dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan11. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan: a. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu dilihatnya hanya Allah. b. Makrifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. c. Yang dilihat orang arif sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah. d. Sekiranya makrifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikkan serta keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping keindahan yang gilang-gemilang. Adapun makrifah menurut Dzunnun adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya makrifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi. Makrifah dimasukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya12. Dari beberapa pengertian tersebut dapat diketahui bahwa makrifah adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan hati sanubari, sehingga akan bertambah dekat pada Tuhan. 2. Klasifikasi Makrifah Dzunnun Al Misri dipandang sebagai bapak pembawa paham makrifah. Ia mengklasifikasi makrifah menjadi tiga macam: a. Makrifah orang awam, yaitu mengetahui Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat. b. Makrifah para mutakallimin dan failasuf, yaitu mengetahui Tuhan menurut logika akal. c. Makrifah para auliya dan muqarrabin, yaitu mengetahui Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
10
Proyek Pembinaan Pengurus Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf, 128. 11 Nasution, Harun. 1990. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 175. 12
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press, 27.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
114 Jenis pengetahuan pertama dan kedua menurut Harun Nasution belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan13. Keduanya disebut ilmu ( ) bukan makrifah. Pengetahuan dalam arti ketigalah yang merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan dan pengetahuan ini disebut makrifah. Makrifah hanya terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Dari ketiga macam makrifah atau pengetahuan tentang Tuhan di atas. Jelas bahwa pengetahuan tingkat auliya dan muqarrabin yang paling tinggi tingkatannya, karena mereka bisa mencapai tingkat musyahadah, sehingga ia mengenal Tuhannya dengan Tuhannya. Sedangkan bagi Mutakallimin dan failasuf belum bisa mencapai maqam ini, sebab mereka masih terbatas pada penggunaan akal untuk mengetahui Tuhan. Menurut An Nuri bahwa akal itu lemah dan yang lemah itu hanya bisa menunjuk pada yang lemah seperti dia juga. Sedangkan menurut Ibn Atha bahwa akal itu merupakan alat untuk mencapai segala sesuatu yang berhubungan dengan hamba, bukan untuk mencapai Tuhan14. Walhasil bahwa akal mempunyai keterbatasan untuk mencapai Tuhan, kecuali dengan makrifah auliya dan muqarrabin yang dapat menyingkap dan menganal Tuhan dengan hati sanubari. 3. Makrifah Sebagai Maqam Tertinggi Makrifah merupakan maqam tertinggi dalam ajaran tasawuf karena menuntut Al Ghazali bahwa makrifah ialah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh sufi. Maka sufilah yang mampu mencapai makrifah, hal itu pernah ditanyakan kepada Dzunnun Al Misri dengan jalan apa tuan mencapai makrifah ini? ia menjawab “Aku mencapai makrifah dengan karunia dari Tuhanku, maka akupun tidak memperoleh makrifah”15. Ini menunjukkan bahwa makrifah tidak diperoleh begitu saja, melainkan harus melalui maqam dan ahwal. Menurut Dzunnun Al Misri bahwa makrifah dapat diperoleh melalui mahabah dan taubat. Taubat menurut Dzunnun Al Misri adalah taubat orang awam adalah taubat dari dosanya, taubat orang terpilih adalah taubat dari kekhalifannya dan taubat 13
Nasution, Harun. 1990. Falsafat dan Mistisme dala+m Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
76. 14 Al-Kalabazi, Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yaqub Al-Bukhari. Al Taarruf Li Madzabi Ahl Al Tashawwuf. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dalm 1990. Ajaran Kaum Sufi. Bandung: Mizaan, 72. 15 Zahri, Mustafa. 1983. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 230.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
115 para nabi adalah taubat dari kesadaran mereka akan ketidakmampuan mencapai apa yang telah dicapai orang lain16. Sedangkan orang yang sudah berada pada tingkat mahabah itu adalah orang-orang yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya, karena tanda orang yang cinta kepada Allah pasti mengikuti kekasih Allah (Nabi Muhammad SAW) di dalam ahlaq, perbuatan, dan sunnahnya17. Makrifah yang benar kepada Allah kata Dzunnun Al-Misri alakn membawa sinar dalam hati hingga terang dan jelas sebagaimana matahari membawa sinar hingga terang benderang, buat orang selalu, buat orang selalu mendekat kepada Allah hingga menjadi fana dalam keesaan-Nya18. Dalam keadaan demikian, maka akan menjadikan kehidupan seseorang akan jernih (tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencahariannya akan bersih dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya. Rasa takut kepada sesame makhluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung untuk diri dalam ibadah kepada Allah19. Oleh karena itu, untuk mencapai makrifah harus dilandasi dengan tiga tahap menurut Faiz Almath adalah takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan cinta Allah20. Sedangkan yang dapat mencapai makrifah itu adalah para sufi yang sudah mencapai syahadah dengan hati sanubari, karena makrifah merupakan ahwal menurut Dzunnun Al-Misri, yaitu pemberian karunia Tuhan dan karunia Tuhan dapat dicapai melalui maqam-maqam, yaitu dengan derajat amalan-amalan. 4. Ciri-ciri yang Memperoleh Makrifah Alat untuk memperoleh makrifat menurut Mustafa Zahri21 ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan orang sufi dalam hubungan mereka dengan Tuhan adalah: a. Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. b. Ruh untuk mencintai Tuhan. c. Sir utnuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari ruh dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb sebagai alat untuk merasa dan alat untuk berfikir, hal ini berbeda dengan qalb dan akal, akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang 16
Al-Kalabazi, op cit, 114. Mansur, op cit, 80. 18 Ibid, 81. 19 Almat, M. Faiz. 1996. Puncak Ruhani Kaum Sufi. Surabaya: Pustaka Progressif, 46. 20 Ibid, 45. 21 Zahri, op cit, 172 17
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
116 Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada dan jika Tuhan melimpahkan cahaya kepada qalb, bisa ia mengetahui segala apa yang ketahui Tuhan. Sir bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalb , dan sir timbul dan dapat menerima limpahan rahmat dari Allah, jika ruh dan qalb telah suci sesuci-sucinya dan sekosong-kosongnya. Pada ketika itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi dan yang dilihat oleh sufi itrupun hanyalah Allah. Dari ketiga alat itulah ia dapat mecapai makrifah, dan makrifah yang ia dapati dapat diketahui ciri-cirinya, sebagaimana dikatkan oleh Syekh Syathiby: bahwa cirri-ciri ahlul makrifah ialah orang yang hatinya bagaikan cermin yang dapat terlihat di dalamnya hal-hal yang ghaib daripada selain dia, dan sinar hatinya tiada lain kecuali Nurul Iman dan Nurul Yaqin. Maka atas sekedar kekuatan imannya, maka bersinarlah nur hatinya dapatlah ia bermusyahadah dengan Al-Haqqu Taala, dan atas kadar kekuatan musyahadah, maka dapatlah ia bemakrifahdengan Asmaullah, Sifatullah. Dan atas kadar kekuatan makrifatullah dengan keduanya itu, maka dapatlah ia mencapai makrifah Zatullah yang Maha Agung22. Oleh karena itu, Dzunnun Al-Misri memberikan cirri-ciri kepada seorang yang arif yaitu ada tiga: Cahaya makrifahnya tidak memudar cahaya sifat wara’nya, secara batiniah tidak memeggangi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah, dan banyak karunia Allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai larangannya23. Walhasil bahwa yang mendapatkan makrifah itu adalah para sufi yang disinari dengan cahaya makrifah sehingga hati sanubarinya dekat dengan Tuhan. C. KESIMPULAN Dari uraian diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dzunnun Al-Misri adalah seorang sufi besar dari Mesir, yang hidup dan tumbuh pada masa kejayaan Bani Abasiyah, hal ini yang akan mempengaruhi perjalanan sufinya, sehingga ia terkenal sebagai tokoh sufi peletak teori makrifah. 2. Inti ajaran makrifah Dzunnun Al-Misri adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga sanubari dapat melihat-Nya tanpa hijab, pengetahuan ini merupakan anugerah dan rahmat Tuhan yang diterimakan kepada orangorang yang muqarrabin. 3. Untuk mencapai maqam makrifah yang tertinggi seseorang harus melalui taubat dan mahabbah serta latihan-latihan rohani, sebagai amalan-amalan 22 23
Ibid, 22. Asmaran As. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press, 282.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
117 yang akan mengantarkan kepada Makrifah, sehingga makrifah itu akan menjelmakan pada dirinya kearifan dan cahaya hati yang suci dan terang sehinga hati sanubarinya dekat dengan Tuhan. DAFTAR KEPUSTAKAAN Al-Qusyairi, Abu Al-Qasim Abd Al-Karim T.T al-Risalah Al-Qusyairiyah Beriut: Daar al-Khair. Al-Kalabazi, Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yaqub AlBukhari. Al Taarruf Li Madzabi Ahl Al Tashawwuf. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dalm 1990. Ajaran Kaum Sufi. Bandung: Mizaan. Almat, M. Faiz. 1996. Puncak Ruhani Kaum Sufi. Surabaya: Pustaka Progressif. Ansari, Muhammad Abd. Haq Sufism and Shariah: a Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism. Terjemahan oleh Achmad Nashir Budiman dalam. 1990. Antara Sufinisme dan Syraiah. Jakarta: Rajawali Press. Areberry, A. J. 1976. Muslim Saints and Mystics. London. Asmaran As. 1994. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press. Goldziher, Ignaz. Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh Andras dan Ruth Harmori. 1991. Pengantar Teologi dan Hukum Islam. Jakarta: INIS. Hamka. 1986. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas. Departemen Agama RI. Tanpa Tahun. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta. Mahmud, Abd. Al Halim. Tanpa Tahun. Dzunnun al-Misri. Kairo: Dar AlQur’an Sa’b. Mansur, M. Laily. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Srigunting. Nadvi, Muzaffarudin. Muslim Thought and Source. Terjemahan oleh Adang Affandi. 1984. Pemikiran Muslim dan Sumbernya. Bandung: Pustaka. Nasution, Harun. 1990. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. _________, (Ed) 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. Nata, Abuddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press. Naisaburi, AbiQasim abdilkarim In Hawajin Al Qusyairi. Tanpa Tahun. Risalah Al Qusyair. Dar Al Khair.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
118
Proyek Pembinaan Pengurus Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara. 1981/1982. Pengantar Ilmu Tasawuf. Surur, Thaha A. Baqi. Syakhshiyah ash Shufiyah. Terjemahan oleh M. Nur Mufid dan Mahfudz Saad Salam. 1996. Syariat dan Penembaraan Ruhani. Surabaya: Pustaka Progesif. Syukur, M. Asywadie. Tanpa Tahun. Ilmu Tasawuf II. Surabaya: Bina Ilmu. Zahri, Mustafa. 1983. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
121 STRATEGI DASAR TEAM WORK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TOTAL QUALITY MANAGEMEN DI LEMBAGA PENDIDIKAN Oleh: Marliza Oktapiani 1⃰ Abstrak Total quality adalah sebuah ide yang harus dikomunikasikan. Dengan menggunakan kata "pelanggan" dan "kepuasan pelanggan" sangat diperlukan ketika membicarakan tentang TQM untuk menegaskan hubungan pelayanan suatu institusi dengan mereka yang membutuhkan pelayanan.Ini merupakan hal yang sederhana, tapi memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi kelangsungan suatu organisasi. Peningkatan mutu harus bertumpu pada lembaga pendidikan untuk secara terus-menerus dan berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasinya guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam manajemen peningkatan mutu terkandung upaya, antara lain (1) mengendalikan proses yang berlangsung di lembaga pendidikan, baik kurikuler maupun administrasi, (2) melibatkan proses diagnosis dan proses tindakan untuk menindaklanjuti diagnosis, (3) peningkatan mutuharus didasarkan atas data dan fakta, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) peningkatan mutuharus dilaksanakan secara terusmenerus dan berkesinambungan, (5) peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di lembaga pendidikan, dan (6) peningkatan mutu memiliki tujuan yang menyatakan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orangtua, dan masyarakat. Kata Kunci: Strategi, Team Work, Total Quality, Manajemen A. Pengantar Salah satu tantangan penting yang dihadapi sekolah, perguruan tinggi maupun universitas adalah bagaimana mengelola sebuah mutu.Tujuannya adalah untuk mempersiapkan tenaga pendidikan 1 Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam As-syafi’iyah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
122 profesional yang sangat menguasai isu-isu TQM dan teknik-teknik manajemen mutu. Total quality adalah sebuah ide yang harus dikomunikasikan. Dengan menggunakan kata "pelanggan" dan "kepuasan pelanggan" sangat diperlukan ketika membicarakan tentang TQM untuk menegaskan hubungan pelayanan suatu institusi dengan mereka yang membutuhkan pelayanan.Ini merupakan hal yang sederhana, tapi memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi kelangsungan suatu organisasi. Dalam pemahaman tentang mutu yang diperoleh dari pengalaman dunia pendidikan, namun pengalaman ini membutuhkan suatu proses adaptasi yang tinggi untuk menyesuaikan antara kondisi khusus dari masing-masing sekolah, perguruan tinggi, dan universitas. Pengelolaan TQM dapat dilihatberdasarkan suatu makna dan standar mutu dalam pendidikan. la memberikan suatu filosofi perangkat alat untuk memperbaiki mutu. la dicapai dengan ide sentral yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan. Prinsip dasar dalam TQM adalah bahwa pelanggan dan kepentingannya harus diutamakan.Suatu ide yang mudah dipahami, namun orang yang mengimplementasikannya membutuhkan tingkat komitmen yang tinggi.Tidak ada spesifikasi tunggal dalam TQM.Beberapa organisasi berbeda dalam menangkap TQM menurut pandangan dan metode mereka sendiri-sendiri.TQM sangat fleksibel dan dapat diadopsi untuk memenuhi kebutuhankebutuhan khusus maupun institusi, baik secara luas maupun sempit.Oleh karena itu, tidak ada buku yang dapat menyampaikan pada sebuah institusi tentang bagaimana memperoleh mutu terpadu (total quality) hanya pelanggan yang dapat memberi tahu kita.Dalam beberapa tahun terakhir isu tersebut semakin meningkat.Masyarakat dari semua sektor pendidikan sekarang telah menunjukkan minatnya.Beberapa institusi mulai mewujudkan filosofi TQM ke dalam praktek.Perkembangan minat ini telah memberikan stimulan pada tuntutan publikasi isu-isu TQM dalam dunia pendidikan.
B. Kendala-kendala dalam mengenalkan TQM TQM adalah sebuah kerja keras. Untuk mengembangkan sebuah kultur mutu, diperlukan waktu. Kerja keras dan waktu adalah dua hal penting yang harus
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
123 diperhatikan. Karena jika dua hal tersebut tidak berjalan dengan baik, maka perjalanan mekanisme kerja mutu akan terhambat. TQM membutuhkan mental juara vyang mampu menghadapi tantangan dan perubahan dalam pendidikan. Peningkatan mutu merupakan proses yang membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian. Karena, diam di tempat di saat para pesaing terus berkembang adalah tanda-tanda kegagalan.2 Kendala-kendala yang terjadi dalam dunia pendidikan salah satu contohnya di sekolah antara lain : 1. TQM mengharuskan kesetiaan jangka panjang guru, Tu dan staf senior lain terhadap sekolah. Keberadaan guru senior di sekolah sangat penting karena dari mereka sekolah dapat terus menjalankan visi dan misi dari sekolah itu di bangun. 2. Kekhawatiran kepala sekolah dalam mengadopsi metode dan pendekatan yang baru adalah kendala utamanya. Adanya ide-ide baru yang tidak disertai dengan pelaksanaan dan penyelesaian masalah dengan benar akan membuat kepala sekolah tidak bisa menjalankan ide baru tersebut. 3. Volume tekanan eksternal juga bisa menghalangi upaya sebuah sekolah dalam menerapkan TQM. Sekolah tidak dapat mengikuti semua keinginan dari siswa yang beragam. Hanya keinginan yang sesuai dengan tujuan dari sekolah untuk menciptakan sekolah yang berkualitas dan bisa diterima. 4. Dalam hal ini, perencanaan strategis memiliki peranan penting, untuk membantu staf memahami misi sekolah dan menjabatani jurang dalam komunikasi. 5. Manajemen senior harus mempercayai stafnya untuk bersama-sama mengusung visi institusi mereka ke depan. Kepercayaan dengan sesama guru sangat diharapkan demi perkembangan sekolah yang lebih baik lagi. Tetapi tidak menyalah gunakan kepercayaan yang diberikan hanya untuk kepentingan pribadi. 6. Ketakutan kepala sekolah untuk mendelegasikan bawahannya, maka peningkatan dan pengembangan mutu akan menjadi suatu hal yang mustahil. 7. Kepala sekolah harus konsisten dalam bersikap dan bertindak ketika menganjurkan dan mengkomunikasikan pesan peningkatan mutu. 8. Beberapa staf yang terlalu khawatir salah terhadap konsekuensi perbedaaan juga bisa menghalangi mutu. 2Edward
Al-Risalah
Sallis. 2008, TQM In Education, PT IRCiSoD,Jogjakarta.
Volume V, No. 1, Januari 2015
124 Kendala- kendala yang dihadapai dilembaga pendidkan salah satunya di sekolah dapat menyebabkan kegagalan dalam mutu pendidikan yang dapat disebabkan antara lain: a. Kegagalan system ( prosedur dan aturan yang tidak diikuti atau ditaati) b. Desain Kurikulum yang lemah c. Bangunan yang tidak memenuhi syarat d. Lingkungan kerja yang buruk e. Jadwal kerja yang serampangan f. Sumber daya yang kurang g. Anggota individu staf yang tidak memiliki skill, pengetahuan dan sifat yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru atau manajer. Masalah yang sering dialami pula oleh banyak institusi adalah peran yang dimainkan oleh kesatuan tim yang sudah terbentuk . Mereka memiliki peran penting karena mereka adalah petugas operasional harian institusi dan bertindak sebagai petugas komunikasi yang sangat penting. Mereka bisa saja menjadi penghalang terjadinya perubahan, atau sebaliknya, menjadi pemimpin, jika ketua timmengkomunikasikan kepada mereka visi dari sebuah masa depan baru. Ketua timharus konsisten dalam bersikap dan bertindak ketika menganjurkan dan mengkomunikasikan pesan peningkatan mutu. Mereka tidak bisa menganjurkan sesuatu dan mengerjakan hal lain dan kemudian berharap dapat menimbulkan antusiasme di antara stafnya atau loyalitas dan komitmen ketua tim . Mereka harus meyakinkan yang lain, bahwa sebuah metode kerja yang ia maksud betul-betul akan memberikan keuntungan. Banyak kendala TQM yang melibatkan elemen kekhawatiran dan ketidakpastian. Ketakutan terhadap hal yang belum diketahui atau ketakutan untuk melakukan sesuatu yang berbeda, mempercayai orang lain, dan melakukan kesalahan, merupakan mekanisme resistensi yang sangat kuat. Staf tidak akan bisa memberikan kemampuan terbaik mereka kecuali jika mereka merasa bahwa mereka dipercaya dan pandangan mereka didengar. C. Kerja Tim Bagi PeningkatanMutu Kerja tim dalam sebuah lembaga pendidikan merupakan komponen penting dari implementasi TQM.mengingat kerja tim ini akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi dan mengembangkan kemandirian. Mengapa penting kerja tim dalam pendidikan, karena sebuah organisasi yang terlibat
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
125 dalam TQM akan memperoleh manfaat dengan memiliki tim-tim yang efektif di semua tingkatan Dalam beberapa sektor pendidikan, tim telah dikembangkan sebagai unit dasar dari penyampaian kurikulum, dengan demikian pendidikan memiliki sebuah awal yang baik mengingat kerja tim adalah sebuah fakta yang sudah terbukti berhasil. Langkah awal tersebut memungkinkan institusi pendidikan memiliki pondasi kuat untuk membangun TQM.Namun, aplikasi dari kerja tim seringkali dibatasi hanya sebatas fungsi kurikulum dan manajemen. Untuk membangun kultur TQM yang efektif, kerja tim harus difungsikan dalam institusi dan harus mendapatkan kesempatan yang seluasluasnya dalam situasi-situasi menentukan, seperti ketika harus membuat keputusan dan memecahkan masalah. Kerja tim juga harus ada di semua tingkatan dan harus melibatkan semua staf, akademik maupun pendukung. Dalam penegakan TQM, tim tidak hanya berfungsi menjalankan sebuah tugas tertentu. Di samping menjalankan fungsi tim yang memang sangat penting tersebut, tim juga bisa digunakan untuk mencapai proyek yang spesifik. Proyek dan berjangka pendek serta tim peningkatan merupakan elemen kunci dalam meningkatkan mutu. Dengan melibatkan jumlah maksimum orang dalam proses mutu terpadu, sebuah tim memiliki sebuah nilai tambah. Tim harus menjadi motor peningkatan mutu. Perlu diingat bahwa TQM adalah sebuah kumpulan tim yang saling melengkapi. Peningkatan mutu digerakkan oleh sekelompok tim yang didesain untuk menyelesaikan masalah, meningkatkan proses yang sudah ada atau merancang sebuah proses baru. Tugas-tugas kecil dan dapat diatur akan mempermudah pencapaian sukses. Dan meskipun gagal, tugas-tugas kecil tersebut tidak akan membahayakan kredibilitas dari keseluruhan proses. Rangkaian proyek kecil yang sukses bisa mendatangkan kesuksesan yang lebih besar.Meskipun demikian, proyek-proyek tersebut harus memiliki sebuah tujuan umum, sehingga ada koleransi dan arah yang jelas dengan hasil akhirnya adalah manfaat bagi pelanggan, baik internal maupun eksternal.oleh karena itu perlu adanya kekuatan untuk membangun strategi dari pihak tim yang mana bisa digunakan sebagai usaha sadar untuk meningkatkan kualitas mutu di lembaga pendidikan salah satunya peningkatan mutu di sekolah. 1. Tim sebagai dasar bangunan mutu Sebagaimana yang kita ketahui, sebuah sinergi tim kerja yang harmonis dibutuhkan dalam upaya meningkatkan mutu. Peningkatan mutu adalah sebuah kerja keras, dan mendapatkan dukungan semua pihak adalah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
126 pendekatan terbaik dalam menangani hal tersebut3. Sebagai contoh, sebagian besar kerja-kerja peningkatan mutu dalam pendidikan terpusat pada pengembangan tim penyusun mata pelajaran, Strategic Quality Management yang dikembangkan Miller, Dower, dan Inniss telah menjadikan tim penyusun mata pelajaran sebagai dasar bangunan yang penting untuk menyampaikan mutu dalam pendidikan. Tim tersebut dibentuk agar memiliki sejumlah fungsi heating yang mencakup4: • bertanggungjawab pada mutu pembelajaran; • bertanggungjawab pada pemanfaatan waktu para guru, material serta ruang yang dimanfaatkan; • menjadi sarana untuk mengawasi, mengevaluasi dan meningkatkan mutu; • bertindak sebagai penyalur informasi kepada pihak manajemen tentang perubahan-perubahan yang diperlukan dalam proses peningkatan mutu. Tim adalah ‘sebuah cara yang solid dalam membuat perubahan’. Tim tidak hanya menjadi instrumen pengumpulan data, tapi juga harus menggunakan kumpulan data yang dikumpulkan untuk meningkatkan kesempatan-kesempatan bagi pelajarnya. Meskipun tim penyusun mata pelajaran merupakan elemen penting, akan tetapi energi dari sebuah kerja tim tidak boleh hanya terbatas pada rnereka saja. Sebuah institusi yang berfungsi dengan baik harus terdiri dari tim-tim yang saling melengkapi satu sama lainnya. Gabungan staf akademik dan staf non akademik dalam sebuah tim memiliki sebuah peran penting yang harus mereka mainkan. Beberapa tim bertugas melakukan tugas-tugas jangka panjang, sementara sebagian yang lain melakukan tugas-tugas jangka pendek. Walaupun demikian, kerja tim tidak muncul begitu saja. Seperti yang dikatakan oleh Philip Crosby5: “Menjadi bagian dari sebuah tim bukanlah sebuah fungsi alami manusia, hal itu harus dipelajari.” Pelatihan untuk memiliki ketrampilan memecahkan masalah dalam sebuah kerja tim adalah hal yang sangat dibutuhkan. Seluruh anggota tim tersebut harus belajar bekerjasama. Tim merupakan kumpulan individu yang memiliki perbedaan kepribadian, ide, kekuatan, kelemahan, tingkat antusiasme, dan kebutuhan terhadap kerjanya. Di dalam dunia pendidikan manapun, kerja tim seringkali 3Syahu
Sugian O. 2006, Kamus Manajemen (Mutu), PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 4 Miller,John, Dower, Allison and Inniss, Sonia, 1992,Strategic Quality Management, Ware, Herts 5 Chorby,Philip B, 1986, Quality Is Free, New York, Mentor Books.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
127 dianggap sebagai sebuah hal yang bisa muncul begitu saja. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bahwa kita seringkali menyebut sekelompok orang yang bekerja dalam program yang sama dengan istilah ‘tim’. Kerja tim harus didasarkan rasa saling percaya dan hubungan yang solid. Ketika tim memiliki identitas dan tujuan, maka ia dapat secara efektif menjalankan fungsinya. Tim tidak terbentuk begitu saja.la harus melalui proses pembentukan yang sangat penting agar bisa berfungsi dengan sebaikbaiknya. Tim membutuhkan waktu untuk tumbuh dan dewasa.Tuckman menyebut tahap pertama dari yang dilalui tim dengan istilah ‘perkembangan’. Pada tahap ini tim belum lagi sebuah tim. la hanyalah sekumpulan individu-individu. Ada beberapa tingkat emosi yang diasosiasikan dengan tahap ini, dari kehebohan, optimisme, idealisme, kebanggaan, dan antisipasi terhadap kekhawatiran, kecurigaan, dan kegelisahan.6 Pada tahap ini tim masih mudah kehilangan perhatian dan mulai menghadapi masalah-masalah yang sebenarnya berada di luar kepentingan mereka. Beberapa anggota bisa jadi berusaha keras untuk melekatkan identitas mereka pada tim dan bukannya melaksanakan tugastugas. Pola-pola sikap yang sedemikian, seringkali dilihat sebagai pemborosan waktu dan usaha.Padahal, sesungguhnya, hal tersebut wajar dan perlu. Itu merupakan proses penting yang harus dilalui tim. Mereka akan berhasil mengatasi tahap tersebut jika seorang manajer senior bisa menyampaikan visi bagi mereka, dan bisa memberikan mereka garis pedoman yang jelas. Tahap kedua ini biasanya merupakan periode yang paling tidak mengenakkan. Ini merupakan sebuah tahap di mana para anggota mulai menyadari skala tugas ke depan dan mereka bisa bereaksi negatif pada tantangan-tantangan yang datang dengan menempatkan agenda-agenda personal masing-masing. Permusuhan interpersonal kemungkinan besar muncul.Kurangnya kemajuan yang dicapai dan waktu yang hilang sia-sia seringkali menjadi alasan munculnya persaingan tersebut. Jika konflik pada tahap ini dapat diatasi, maka tim dengan mudah bisa bertahan tim harus mengetahui sumber konflik dan mengatasinya dengan membantu seluruh anggota menyelidiki sebab-sebab umum konflik tersebut. Ada sisi positif pada tahap tantangan ini. Yaitu periode di mana para anggota mulai memahami satu sama lain. Humor dan kesabaran adalah hal penting bagi timpada tahap ini, demikian pula dengan keteguhan dan kemantapan hati. Tahap selanjutnya adalah penataan norma. Ini merupakan tahap di mana 6
Tuckman,B.M , 1965, Development Sequences in small Group, Joiner Inc.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
128 sebuah tim memutuskan dan mengembangkan metode-metode kerjanya. Tim tersebut mulai menetapkan peraturan dan norma, dan membagi-bagi peran yang harus dijalankan para anggota. Kerja keras adalah tahap keempat dalam proses pembentukan tim . Anggota tim saat ini telah mulai keluar dari perbedaan dan menentukan metode kerja serta mereka mampu memulai proses pemecahan masalah dan meningkatkan proses. Tim yang cukup matang dapat bekerjasama dan menghasilkan sinergi. Tim tersebut akan membangun sebuah identitas dan menentukan ‘kepemilikan’ terhadap proses yang digunakan. 2. Membangun Tim yang efektif Ukuran efektifitas sebuah tim sangat menentukan operasinya di lapangan. bahwa jumlah staf yang terlibat dalam sebuah proses penyampaian mata pelajaran tidak sama dengan banyaknya jumlah staf yang terlibat dalam sebuah tim . Hal ini terutama sekali terjadi pada tim-tim yang berkaitan dengan masalah-masalah ruang kelas.Karena itu, hal terpenting yang harus dilakukan adalah memastikan sebuah parameter efektifitas.Sebuah team berbeda dengan kelompok.Dimana team, biasanya memiliki sebuah sasaran yang ingin dituju, dengan berupaya mencapainya secara bersamasama.Sedangkan dalam kelompok bisa saja eksis atau tidak sesuai dengan kebutuhan dari objek. Oleh karena itu, dimensi team lebih kepada orientasi aksi dari sebuah pelayanan yang dapat diberikan kepada siapapun.Jika dalam sebuah organisasi sudah memulai membangun sebuah teamwork yang bagus, tentunya yang perlu dihindari adalah sifat egositis dan meremehkan orang lain. Karena ada peluang akan menjadi yang egois karena adanya sebab akibat, maka akan melemahkan semangat anggota lain dalam mencapai tujuan. Team harus mampu mengetahui problem solver (pencari solusi masalah) dan memiliki inisiasi tinggi. Dan jangan berlaku sebagai seorang yang bukan menjadi problem solver, atau tidak menjadi inisiasi. Berikut ini ada 9 langkah di dalam organisasi menjadi tim yang solid – Jadilah yang terbaik – Disiplin – Mestimulasi komitmen dan mengurangi kepentingan pribadi – Mempertahankan kebiasaan baik – Membangun komunikasi yang efektif – Menjadi pemandu yang efektif – Membangun sikap team yang kuat – Trust, saling mempercayai
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
129 Motivator dan sabar7 Oleh Karena itu Sebuah tim membutuhkan peran anggota yang telah didefinisikan secara jelas. Ini penting untuk mengetahui siapa yang memimpin tim dan siapa yang memfasilitasi tim. Perbedaan antara pemimpin dan fasilitator ditegaskan dalam TQM.Peranan pemimpin adalah teladan pembuktian diri. Pemimpin adalah orang yang memberikan misi dan rnenyampaikannya pada tim. Fasilitator atau konsultan mutu memiliki peranan yang lebih fiktif. Fasilitator membantu tim untuk menggunakan secara tepat alat pemecahan masalah dan alat pembuat keputusan. Tim membutuhkan tujuan yang jelas. Sebuah tim harus tahu ke mana arah mereka dan harus memiliki tujuan yang jelas untuk dicapai. Sebuah tim perlu membuat statemen dalam misinya dan memandangnya sebagai sesuatu yang dapat yang dikerjakan. Tujuan yang disusun harus dapat dicapai dan dapat diraih.Tujuan juga harus relevan dengan minat dan kepentingan anggotanya. Sebuah metode yang baik dalam membangun tujuan adalah dengan menyelenggarakan sebuah sesi awal yang hanya membahas misi tim tersebut. Sebuah tim membutuhkan sumberdaya-sumberdaya dasar untuk beroperasi. Kebutuhan sumberdaya dasar adalah manusia, waktu, ruang dan energi. Poin terakhir, yaitu energi, merupakan unsur yang penting namun seringkali dilupakan dalam diskusi kerja tim, khususnya dalam konteks tim-tim peningkatan. Tujuan tim yang jelas dan singkat sangat dibutuhkan untuk memulai kerja. Sebuah tim memerlukan rencana kerja. Rencana tersebut mencakup visi, misi, bahkan tentang langkah-langkah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek, serta sumberdaya-sumberdaya bagi tim. Sebuah tim membutuhkan seperangkat aturan untuk bekerja. Aturan-aturan tersebut harus sederhana dan disetujui oleh seluruh anggota.Mereka adalah bagian penting dari tahap penetapan norma, Agar sukses dalam menerapkan TQM, suatu organisasi harus berkonsentrasi pada 8 elemen kunci berikut: 1. Etika 2. Integritas (kejujuran) 3. Kepercayaan 4. Pelatihan (training) 5. Kerja tim (team work) 6. Kepemimpinan (leadership) 7. Penghargaan (recognition) 8. Komunikasi –
7https://bengkelmuslim.wordpress.com/2012/04/07/cara-membangun-organisasiteamwork-yang-solid/ Selasa, 3 Februari 2015
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
130 TQM telah diciptakan untuk menggambarkan sebuah filsafat yang menjadikan mutu sebagai tenaga penggerak di belakang kepemimpinan, desain, perencanaan, dan inisiatif perbaikan.Untuk hal itu, TQM membutuhkan bantuan dari kedelapan elemen kunci di atas.Elemen-elemen ini selanjutnya dapat dikelompokkan lagi ke dalam empat bagian berdasarkan fungsinya dalam membentuk struktur bangunan TQM. Keempat bagian tersebut adalah: I. Pondasi – mencakup: etika, integritas dan kepercayaan II. Batu Bata – mencakup: pelatihan, kerja tim, dan kepemimpinan III. Campuran Semen Pengikat – mencakup: komunikasi IV. Atap – mencakup: Penghargaan 8 Dengan kata lain bahwa pentingnya komunikasi yang baik dalam suatu tim adalah untuk memelihara sifat-sifat yang baik dan bermanfaat .Dasar komunikasi yang baik antar anggota adalah kejujuran dan integritas.Pemimpin memainkan peranan penting di sini. Ini adalah peranan pemimpin tim untuk mencegah tim dari kemandekan serta dari dominasi oleh beberapa orang. 3. Mengarah pada ranah Lingkaran Mutu Lingkaran mutu dipertimbangkan sebagai bagian penting dari proses mutu di Jepang, akan tetapi tidak di Barat. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan kesan sukarela dan lembur yang tidak sesuai dengan budaya industri di Barat. Di Barat, tim dan kerja tim lebih ditekankan dari pada lingkaran mutu. Yang menarik adalah bahwa dalam salah satu dari petunjuk praktis TQM yang paling berpengaruh di Amerika, memandang lingkaran mutu sebagai dasar proses peningkatan mutu dalam perkembangan gerakan mutu dan menggunakan tehnik dan metode kontrol mutu. Satu-satunya perbedaan utama antara tim peningkatan mutu dan lingkaran mutu terletak pada paham kesukarelaan (voluntarism). Prinsip sukarela menghentikan sikap terlalu bergantung pada orang lain.
8https://jonizulkarnain.wordpress.com/total-quality-management/
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
131
Gambar 1. Lingkaran Mutu9 D. Pentingnya Kualitas TQM di lembaga Pendidikan TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terusmenerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya saat ini dan untuk masa yang akan datang (Edward Sallis).10Pentingnya penerapan TQM bagi sekolah, perguruan tinggi atau universitas. Hal yang menjelaskan ide-ide kunci TQM dalam pendidikan ialah: 1. Perbaikan Terus-menerus TQM adalah sebuah pendekatan praktis, namun strategis, dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan dan kliennya.Tujuannya adalah untuk mencari hasil yang lebih baik. TQM bukan merupakan sekumpulan slogan, namun merupakan suatu pendekatan sistematis dan hati-hati untuk mencapai tingkatan kualitas yang tepat dengan cara yang konsisten dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. TQM dapat dipahami sebagai filosofi perbaikan tanpa 9Edward 10
Sallis. 2008, TQM In Education, PT IRCiSoD,Jogjakarta.
Ibid
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
132 henti hingga tujuan organisasi dapat dicapai dan dengan melibatkan segenap komponen dalam organisasi tersebut. Dalam dunia managemen bahwa PDCA sangat banyak diterapkan dalam proses perbaikan berkelanjutan, Siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act) sangat penting dalam aktifitas perbaikan dan pencegahan atau pemeliharaan. Siklus ini akan lebih mudah dipahami jika digambarkan seperti dibawah ini,
PDCA : • Plan Tahap dilakukannya identifikasi peluang untuk perubahan dan rencana bentuk perubahan yang akan dilakukan. • Do Implementasi perubahan dalam skala kecil. • Check Menggunakan data untuk menganalisa hasil dari perubahan dan menentukan apakah perubahan yang dilakukan telah / akan mendatangkan perbedaan yang berarti. • Act Jika perubahan dianggap sukses, implementasikan perubahan tersebut dalam skala yang lebih besar dan pertahankan hasilnya. Jika perubahan belum mendatangkan perbedaan yang berarti, ulangi kembali siklus PDCA.11 Sebagai sebuah pendekatan, TQM mencari sebuah perubahan permanen dalam tujuan sebuah organisasi, dari tujuan 'kelayakan' jangka pendek menuju tujuan 'perbaikan mutu' jangka panjang. Institusi yang melakukan inovasi secara konstan, melakukan perbaikan dan perubahan
11
http://imti.ie.ui.ac.id/?p=102
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
133 secara terarah, dan mempraktekkan TQM, akan mengalami siklus perbaikan secara terus-menerus. 2. Organisasi Terbalik Kunci sukses TQM adalah mata rantai internal eksternal yang efektif antara pelanggan-produsen.Begitu konsep tersebut ada dalam genggaman atau berhasil dijalankan, maka ada implikasi yang luar biasa besar terhadap organisasi dan pola hubungan yang ada di dalamnya.
Gambar 2. Institusi hirarkis dan institusi terbalik dalam pendidikan12 3. Menjaga Hubungan dengan Pelanggan Misi utama dari TQM adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Organisasi yang unggul, baik negeri maupun swasta, adalah organisasi yang, ‘menjaga hubungan dengan pelanggannya’ 12Edward
Al-Risalah
Sallis. 2008, TQM In Education, PT IRCiSoD,Jogjakarta
Volume V, No. 1, Januari 2015
134 dan ‘memiliki obsesi terhadap mutu’.Mutu harus sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan dan klien. Mutu adalah sesuatu yang diinginkan pelanggan dan bukan apa yang terbaik bagi mereka menurut institusi. Tanpa pelanggan, tidak akan ada institusi. 4. Mutu Pembelajaran Pendidikan adalah tentang pembelajaran masyarakat. Jika TQM bertujuan untuk memiliki relevansi dalam pendidikan, maka ia harus memberi penekanan pada mutu pelajar. Itu tidak akan terwujud jika TQM tidak memberi kontribusi yang substansial bagi mutu dalam pendidikan. Pada saat sebagian besar institusi pendidikan dituntut untuk mengerjakan lebih baik lagi, penting baginya untuk memfokuskan diri pada aktititas utama pembelajaran. Semua pelajar berbeda satu sama lainnya, dan mereka belajar dengan model yang cocok dengan kebutuhan dan kecenderungan mereka masingmasing. Institusi pendidikan yang menggunakan prosedur mutu harus menangkap secara serius isu-isu tentang gaya dan kebutuhan pembelajaran untuk menciptakan strategi individualisasi dan diferensiasi dalam pembelajaran. Pelajar adalah pelanggan utama, dan jika model pembelajaran tidak memenuhi kebutuhan individu masing-masing mereka, maka itu berarti bahwa institusi tersebut tidak dapat mengklaim bahwa ia telah mencapai mutu . E. KESIMPULAN Peningkatan mutu pendidikan merupakan tuntunan yang harus dipenuhi oleh setiap madrasah dan sekolah di era globalisasi. Pada saat ini, kehidupan masyarakat dunia telah berubah, akan muncul mega-kompetisi bangsa. Negara-negara maju telah mempersiapkan diri untuk menghadapi mega-kompetisi tersebut dengan melahirkan program-program unggulan yang mendukung peningkatan mutusumber daya manusia. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia di beberapa negara, antara lain melalui pendidikan. Reformasi pendidikan dimulai dari tataran sekolah ke tingkat nasional yang meliputi pendidikan berorientasi pada the goal of broad-based educational outcomes. Kurikulum fleksibel melayani kebutuhan peserta didik sesuai dengan perbedaan kecerdasan, sikap, watak, mendukung keterampilan berpikir, kerja kelompok dan proyek,menyediakan satu komputer untuk dua orang siswa, seluruh sekolah dapat mengakses internet, serta adanya dukungan yang kuat berupa kebijakan pendidikan.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
135 Perbaikan mutu pendidikan, harus diiringi dengan penataan kelembagaan dengan manajemen yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, kerjasama timpendidikan dituntut mampu mengelola lembaganya dengan baik sehingga bisa menjadi lembaga pendidikan yang maju dan kompetitif. Lembaga pendidikan yang maju akan mampu berkembang dengan baik dan bisa menghasilkan output yang berkualitas. Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik.Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan yang dikuasai oleh peserta didik.Keunggulankeunggulan inilah yang harus dijadikan fokus peningkatan umum di lembaga pendidikan.Untuk menciptakan keunggulan tersebut diperlukan kemampuan sekolah dalam mengelola dengan fokus peningkatan mutu secara berkelanjutan.Manajemen peningkatan mutu merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah dalam mengelola peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu harus bertumpu pada lembaga pendidikan untuk secara terus-menerus dan berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasinya guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam manajemen peningkatan mutu terkandung upaya, antara lain (1) mengendalikan proses yang berlangsung di lembaga pendidikan, baik kurikuler maupun administrasi, (2) melibatkan proses diagnosis dan proses tindakan untuk menindaklanjuti diagnosis, (3) peningkatan mutuharus didasarkan atas data dan fakta, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, (4) peningkatan mutuharus dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan, (5) peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di lembaga pendidikan, dan (6) peningkatan mutu memiliki tujuan yang menyatakan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada peserta didik, orangtua, dan masyarakat.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
136 DAFTAR PUSTAKA Chorby,Philip B, 1986, Quality Is Free, New York, Mentor Books. Cortada,J.W. 1993. TQM forSales and Marketing Management,New York: McGraww-Hill International Edward Sallis. 2008, TQM In Education, PT IRCiSoD,Jogjakarta. Fattah, Nanang, 1999. Landasan Manajemen Pendidikan,PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Gordon.J.R Mondy,R.W, Sharplin,A., & Premeaux, S.R. 1990.Managemen and Organitation Behaviour. Boston: Allyn and bacon,Inc. Hanief.A. Ghafur. 2008, Manajemen Penjaminan mutu Perguruan Tinggi di Indonesia” suatu anisa kebijakan”,PT Bumi Aksara, Jakarta. Jerome S. Arcaro. 2007, Quality in Education An Implementation Handbook, Edisi terjemahan, PT Pustaka Pelajar, Jogjakarta. Miller,John, Dower, Allison and Inniss, Sonia, 1992,Strategic Quality Management, Ware, Herts Prim Masrokan Mutohar,Dr,M.Pd.2013, Manajemen Mutu Sekolah,PT ArRuzz media, Jogjakarta. Syahu Sugian O. 2006, Kamus Manajemen (Mutu), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tuckman,B.M , 1965, Development Sequences in small Group, Joiner Inc. https://bengkelmuslim.wordpress.com/2012/04/07/cara-membangunorganisasiteamwork-yang-solid/ http://imti.ie.ui.ac.id/?p=102 https://jonizulkarnain.wordpress.com/total-quality-management/
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
137 KELOMPOK KEAGAMAAN DALAM KOMUNITAS DAKWAH Oleh: A.Choliq Aly Ma’mur* Abstrak Tulisan ini memberikan ilustrasi adanya kelompok-kelompok Islam di era reformasi dalam komunitaf dakwah. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya beberapa faham yang bersifat radikal. Kelompok islam ini menghendaki seluruh tatanan hidup dalam masyarakat bahkan berbangsa dan bernegara didasari islam, negarapun didasari islam untuk Indonesia. Masa orde baru gerakan islam model ini tetap terwariskan meski tidak berkembang terutama karena kebijakan pemerintah sangat tegas untuk mengeliminasi kelompok islam fundamental seperti ini. Di sisi lain muncul juga komunitas dakwah dengan gaya yang berorientasi pada pengayaan batin, pembersihan dengan kadar sufistik yamg kental. Di beberapa tayangan televisi erdapat acara dzikir yang diikuti ribuan masa dengan iringan ratap tangis. permohonan pengampunan dari Allah swt sambil berinterospeksi atas berpagai kekeliruan yang telah dilakukan. Menyusul kelompok islam kritis dari kalangan muda muslim yang berupaya membongkar kebekuan pemahaman keagamaan. Kelompok muda ini menyegarkan kembali nilai-nilai islam dengan makna baru yang kontektual. Misalnya kelompok islam model jaringan islam liberal (jil): pewaris pemikiran pembaruan islam di Indonesia.
Kay word ; radikal, sufistik, kritis, pendidikan pesantren A. Pendahuluan Dakwah di era sekarang menuntut kekuatan dan ketepatan tersendiri baik menyangkut pesan, bahasa maupun pendekatan yang digunakan. pesan-pesan dakwah di zaman seperti sekarang ini, sekurang*
Dosen UIN syarif Hidayatullah Jakarta DPK Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
138 kurangnya ada 4 hal: 1) penguatan nilai-nilai spiritual berbasis keimanan dan ketaqwaan (Q.S.Ali Imran/3:64), 2) penguatan wawasan dan kepribadian berbasis akhlak al karimah (Q.S.Al Qalam/68:4), 3) penguatan kompetensi melalui peningkatan kualitas pendidikan dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi yang dibingkai dengan moral (Q.S.Al-Rahman/55:33), 4) penguatan kapasitas untuk menjawab masalah2 sosial yang menimpa kehidupan masyarakat (Q.S.AlA’raf/7:157). B. Dakwah Kelompok Keagamaan Setelah kekuasaan Orde Baru jatuh dan muncul kekuasaan Orde Reformasi, sistem sosial dan politik mengalami perubahan yang semakin demokratis. Sistem asas tunggal yang dikemas oleh Orde Baru ditiadakan, dan sebagai gantinya adalah memberlakukan sistem asas pluralitas, yang memberikan peluang seluas-luasnya bagi berkembangnya berbagai jenis gerakan sosial, politik dan keagamaan. Momentum inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang ikut mendorong mencuatnya berbagai penganut faham keislaman, dengan berbagai nuansa seperti radikal,† sufistik dan liberal. Tentu saja perbedaan sifat dan nuansa pada masing masing gerakan tersebut, sebagaimana dikemukakan secara tersurat maupun tersirat oleh para penulis dalam hal ini, memiliki cara pandang yang berbeda-beda: 1. Dakwah Politik Kegiatan ini diwakili oleh organisasi-organisasi seperti Majlis Mujahidin Indonesia (MMI)‡, Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad. Organisasi-organisasi Islam tersebut kini berusaha memperjuangkan syariat Islam sebagai ideologi negara. Perjuangan mereka tidak hanya di tingkat parlemen, tetapi juga menyelusup †
Bullock A.atc. The Fontana Dictionary of modern Thought, second edition,London,Fontana Press,1988p.716, Radikal diartikan sebagaitindakan-tindakan dan pandangan-pandangan politis yang cenderung ekstrim. ‡ Irfan Suryahardi (ed),Risalah Konggres Mujahidin dan penegakan syariat islam (Yogyakarta:awhdah Prss,2001), h.142. Sistem Kaderisasi Mujahidin dalam mewujudkan Masyarakat islam , Majalah Sabili no.5, Th. VII, 23 Agustus 2000. “Risalah untu penegakan syariat islam “, Buletin MMI: Irfan Suryahardi, “ sambutan dalam konggres Majlis Mujahidin, dan Fauzan Anshari 28 Nov. 2000 proposal konggres MMI.
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
139 dengan gigih melalui perjuangan sosialisasi pada masyarakat akar rumput; dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu kampus ke kampus yang lain, dari satu rumah ke rumah yang lain, dan dengan kampanye menebar katakata yang terpampang pada spanduk-spanduk di jalanan, mereka pun meyakinkan publik bahwa solusi dari semua permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia hanya dapat diselesaikan jika bangsa ini menjadi negara Islam atau berdasarkan syariat Islam. Selain itu, mereka pun memanfaatkan momentum kebijakan Otonomi Daerah dengan nilai-nilai syariat Islam melalui berbagai Peraturan Daerah (Perda), seperti pelarangan berjudi, minuman keras, pelarangan perempuan keluar malam, diwajibkannya para pegawai negeri perempuan untuk menggunakan jilbab, dan penutupan sejumlah tempat-tempat yang dianggap tempat maksiat. Lebih jauh lagi kelompok Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) sering melakukan demontrasi terhadap fihak-fihak yang mereka anggap telah melanggar syariat, seperd melakukan pengepungan terhadap kelompok- kelompok Islam yang berbeda dengan mereka seperti Jamaah Islam Ahmadiah hingga berakhir pada keluarnya fatwa MUI yang melarang kelompok Islam ini hidup dan berkembang di Indonesia. 2. Dakwah Sufistik Sebuah kelompok keagamaan dengan karakteristik yang lebih berorientasi kepada pengayaan batin, pembersihan diri, perbaikan moral dan cenderung mengurangi keterlibatannya dalam dunia politik praktis. Adalah fenomena baru ketika berbagai tayangan televisi dihiasi oleh sejumlah acara dzikir yang dihadiri oleh ribuan massa sambil beratap tangis meminta pengampunan diri kepada Allah SWT seraya introspeksi diri atas pelbagai kekeliruan yang telah dilakukan. Para jamaah dzikir pun bukan dilakukan oleh kalangan Muslim pedesaan yang terbiasa menyelenggarakan acara tahlil dan dzikir di masjid-masjid, tetapi justru dilakukan oleh masyarakat Muslim perkotaan dari berbagai lapisan sosial, dan tidak jarang dari mereka adalah kalangan profesional. Pemimpin dzikir dilakukan oleh orang yang dianggap tidak memiliki otoritas keagamaan, seperd KH. Abdullah Gymnasdar (Aa Gym) dan Muhammad Arifin Ilham§. Dianggap ddak memiliki otoritas §
Baca: buku Muhammad Arifin Ilham:Dai Kota Penabur Kedamaian Jiwa, (Jakarta: Hikmah Kelompok Mizan, 2005). Baca: Ahmad Dimyati Baadruzzaman, “Amaliyah Zikir Taubah M. Arifin Ilhamditijau dari syariat Islam”. Jakarta, Majlis AzZikra, 2000, h. 3-4
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
140 keagamaan karena mereka tidak berproses lama terlibat dalam ordo tarekat tertentu yang kemudian mempunyai izin (ijazah) dari pemimpin spritualnya untuk memimpin dzikir, di-samping mereka bukan dari latar belakang pendidikan pesantren atau perguruan tinggi Islam. Persyaratan tersebut agaknya mulai luruh seiring dengan "demokradsasi agama", karena dalam kenyataannya, beribu-ribu umat Islam tidak mempersoalkan apakah pemimpin dzikirnya mempunyai otoritas keagamaan atau tidak. 3. Dakwah Kritis Seiring dengan fenomena di atas, dakwah kritispun muncul, sebuah kelompok yang secara umum datang dari kalangan muda Muslim yang mencoba "mendobrak" kebekuan pemahaman keagamaan yang telah sekian lama menjadi orientasi nilai, tetapi hanya merupakan jargon kosong yang mengalami kehampaan makna. Kelompok muda ini mencoba menyegarkan kembali nilai-nilai Islam dengan pemaknaan baru yang kontekstual. Diantara kelompok-kelompok tersebut adalah: Pertama, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok ini menamakan diri sebagai pewaris para pembaru pemikir Islam sebelumnya, seperti Harun Nasudon, Nurcholish Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, dan lain sebagainya yang lebih berorientasi pada pemahaman Islam substan-sialis atau yang mengedepankan makna moralnya daripada teks yang tersurat atau pada aspek verbalnya. Lebih jauh kelompok ini telah merumuskan pemikiran dan pandang-an-pandangan kelslamannya yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk gerakan sosial yang disosialisasikan berbagai media. Sebagai konsekuensi dari pemahaman kelslaman tersebut, JIL menolak penerapan formalisasi syariat Islam yang diperjuangkan oleh kelompok Islam seperti Majlis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan lain-lain, Bahkan Ulil Abshar Abdalla, tokoh utama JIL, menyatakan bahwa kelahiran JIL dimaksudkan untuk menandingi atau melakukan counter terhadap pemikiran dan perjuangan kalangan Islam Radikal. Tak heran, jika dalam arena publik yang menjadi sebaliknya. 4. Dakwah perubahan social Kelompok lain adalah Jaringan Islam Emansipatoris (JIE), sebuah kelompok kaum muda yang secara kultural dekat dengan organisasi Nahdhatul Ulama (NU) dan pemikir utama dari kelompok ini adalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
141 Masdar F. Mas'udi dan Zuhairi Misrawi dengan lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kelompok ini mendasarkan paradigma gerakannya pada empat pilar, yakni: 1) humanis, menempatkan manusia sebagai subyek perubahan dan bukan sebagai obyek. 2) kritis, menumbuhkan kesadaran kritis terhadap pelbagai bentuk penyimpangan, penyelewengan dan penindasan kultural dan struktural yang dilegitimasi ajaran agama.3) transformatik, yakni menjadikan ajaran Islam yang mempunyai muatan transformasi dalam berbagai bentuk perubahan sosial dengan menumbuhkan kepekaan terhadap ketimpangan ekonomi, manipulasi politik dan diskriminasi budaya. 4) praksis, yakni melibatkan masyarakat dalam setiap perubahan untuk melakukan kerja-kerja sosial dan aksi pembebasan. 5. Dakwah pembaharu Paradigma gerakan yang hampir serupa dilakukan oleh Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)** yang merupakan kelompok kritis dari kalangan muda Muhammadiyah. Sebagaimana ditulis Burhani, geliat bangkitnya kelompok ini tidak hanya dipicu oleh keprihatinan mereka terhadap organisasi induknya, yakni Muhammadiyah yang dulu dikenal sebagai organisasi "tajdid" yang belakangan cenderung meredup, dan bahkan mengarah kepada konservatifisme dan fundamentalisme, tetapi juga faktor eksternal lainnya seperti "kecemburuan" terhadap agresifitas kelompok muda NU (Nahdlatul Ulama) dalam mengembangkan gerakangerakan Islam kontemporer seperti LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL (Jaringan Islam Liberal), Lakpesdam NU, P3M, dan Desantara. Mereka berfikir semestinya orang-orang Muhammadiyah yang menjadi pelopor dalam meretas jalan baru bagi pemikiran dan gerakan Islam kontemporer, karena sejak awal organisasi ini telah mengukuhkan dirinya sebagai dakwah pembaharu. JIMM memancangkan tiga pilar dalam gerakannya, yaitu: hermeneutika, teori sosial dan hew social movement. Metode hermeneutika dipergunakan untuk membebaskan pembacaan al-Qur'an dengan pendekatan tekstualis atau skriptural yang selama ini pendekatan tersebut cukup kuat di lingkungan Muhammadiyah. Metode ini pun dipilih sebagai alat analisa (tool of analysis) untuk memunculkan watak-watak **
Lihat Daliar Noer:, “Second Muhammadiyah”, (Jaringan Intelektual muda Muhammadiyah) Republika, 8 Desember 2003
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015
142 emansipatoris dan transformasi dari al-Qur'an menuju pembacaan yang lebih kontekstual dan operatif. Sementara pemanfaatan teori-teori sosial kritis dipilih agar aktor intelektual Muslim tidak hanya berfungsi sebagai mediator, tapi juga sebagai artikulator bagi transformasi sosial. Dengan cara ini, maka teologi tidak semata-mata menjadi ilmu yang hanya membahas ketuhanan yang sama sekali tidak dibutuhkan manusia, tapi bisa menjelaskan Tuhan sebagai kekuatan yang memang tak bisa ditinggalkan oleh kehidupan manusia. Dalam pada itu, konsep the new social movement hendak melihat bahwa seluruh elemen yang terpinggirkan dalam masyarakat, seperti buruh, perempuan, anak jalanan dan kaum marjinal lain, digerakkan oleh teologi untuk bersatu melakukan perubahan bersama. Dalam memahami konsep ini, kaum muda JIMM diwajibkan untuk mengaji globalisasi. Empat hal yang harus dipelajari dalam konsep ini, yaitu: capital on the move, media on the move, people on the move, dan gagasan-gagasan revolusioner. Dengan cara ini, maka ada keharusan bagi anak-anak muda Muhammadiyah untuk menjadi imajinatif dan kreatif. 6. Dakwah pesantren Sebagian dari beragam kelompok keagamaan yang dipaparkan di atas mempunyai "laboratorium" lembaga pendidikan Islam sebagai upaya penggodokan visi kelslamannya dan sekaligus mendesiminasikan pemikiranpemikiran tersebut melalui peserta didik (santri) yang dikenal dengan lembaga "pesantren". Jika dulu pesantren dikenal sebagai kelompok "sarungan", mempunyai banyak materi penge-tahuan tetapi dianggap miskin metodologi dan cenderung berafiliasi kepada organisasi Nahdhatul Ulama, belakangan ini ia telah mengalami pergeseran citranya. Dalam satu dasawarsa terakhir ini telah berdiri lembaga-lembaga pesantren dengan kemegahan gedungnya, kelengkapan fasilitasnya dan beragam aktifitas santrinya sebagaimana yang dilakukan sekolah-sekolah umum lainnya, seperti yang tampak pada Pesantren az-Zaitun, Pesantren Hidayatullah dan Pesantren Ngruki. Faham keagamaan yang diajarkan di pesantren-pesantren tersebut adalah upaya pemurnian ajaran Islam dengan pemahaman al-Qur'an dan as-Sunnah yang difahami secara tekstual atau literal (Salafi). Dari tokoh-tokoh atau para pengajar pesantren-pesantren inilah muncul sebagian aktifis kelompok Islam yang tergabung dalam kelompok apa yang dinamakan sebagai kelompok "Islam Radikal". Sementara pemahaman Islam sufistik terwujud dalam Pondok Pesantren Daarut-Tauhiid, sebuah pesantren yang menanamkan
Volume V, No. 1, Januari 2015
Al-Risalah
143 kepada para peserta didiknya untuk mempunyai jiwa wiraswasta dan kemandirian ekonomi sebagai upaya untuk tidak tergantung kepada pihak diluar dirinya. Ketergantungan ditanamkan hanya kepada Allah dan tidak kepada yang lain. Berdzikir adalah salah satu cara untuk tetap menggantungkan diri kepadaNya seraya tetap tekun berusaha dengan menggali potensi diri seoptimal mungkin. C. Kesimpulan Tulisan di atas menyajikan informasi keragaman kegiatan dakwah di era reformasi ini dengan bebagai dinamikanya masing-masing. Kegiatan dakwah dimaksud adalah : Kegiatan dakwah politik, dakwah sufistik, dakwah kritis, dakwah perubahan social, dakwah pembaharu, dakwah pesantren . Daftar Pustaka Syekh Ali Mahfud, Hidayat al Mursyidin ila thuruqal wa’zhwa al khithabah, (Bairut: Dar al Ma’arifah,tt) h.17-18 Bullock A.atc. The Fontana Dictionary of modern Thought, second edition,London,Fontana Press,1988 Irfan Suryahardi (ed),Risalah Konggres Mujahidin dan penegakan syariat islam (Yogyakarta:awhdah Prss,2001 Majalah Sabili no.5, Th. VII, 23 Agustus 2000 Muhammad Arifin Ilham:Dai Kota Penabur Kedamaian Jiwa, Jakarta, Hikmah Kelompok Mizan, 2005. Ahmad Dimyati Baadruzzaman, “Amaliyah Zikir Taubah M. Arifin Ilhamditijau dari syariat Islam”. Jakarta, Majlis Az-Zikra, 2000. Greg Barton, Gagasan Islam Liberaldi Indonesia, Pemikiran neomodernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effendi,Ahmad Wahibdan Abdurrahman Wahid,terj.Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina 1999. Daliar Noer:, “Second Muhammadiyah”, (Jaringan Intelektual muda Muhammadiyah) Republika, 8 Desember 2003 Daliar Noer: “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, Jakarta, penerbit LP3ES,1980.
Al-Risalah
Volume V, No. 1, Januari 2015