i
Al-Risalah Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Volume II, No. 1, Januari 2012 ISSN 2085-5818 Penasihat: Tutty Alawiyah AS Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Penanggung jawab: A.Ilyas Ismail Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Dewan Pakar: Achmad Mubarok, A. Wahib Mu’thi, Utomo Dananjaya, Ahmad Murodi Pemimpin Redaksi Ahmad Zubaidi Dewan Redaksi: Hamdani Djamil, Neneng Munajah, Masykuri Qurtubi Sarbini Anim Sekretaris Redaksi: Khalis Kohari Staf Redaksi: Agus Supriatna dan Sodikin Diterbitkan oleh: Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede Jakarta Timur 13070 Telp/Fax. 021-84990143; email:
[email protected] Jurnal Al-Risalah terbit setahun dua kali, setiap bulan Januari dan Juni. Redaksi menerima tulisan dengan ketentuan: Kajian teoritik atau hasil penelitian yang relevan dengan studi agama dan pemikiran Islam. Panjang tulisan 15-25 halaman. Diketik di atas kertas A4 dengan 11/5spasi. Tulisan harus orisinil dan disertai abstrak, key word, pendahuluan, pembahasan, kesimpulan, footnote dan daftar pustaka.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
ii DAFTAR ISI Volume II, No. 1, Januari 2012 Editorial ...........................................................................................................
iii
Da`i Sebagai Pengembang Masyarakat Islami A. Ilyas Ismail..................................................................................................
1
Penerapan Hukum Adat (Al-‘Urf) dalam Istinbat Hukum Islam Dewan Syariah Nasional (DSN) Ahmad Zubaidi ...............................................................................................
19
Pengaruh Aristotelian Terhadap Pemikiran Islam (Ilmu Kalam dan Falsafat Islam) Neneng Munajah ............................................................................................
40
Implikasi Dakwah dan Pemikiran Tauhid Syaikh Muhammad Al-Sanusi Khalis Kohari ..................................................................................................
51
Pengorganisasian Dakwah Dalam Perspektif Islam (Tanzhim Al-Da’wah Fi Al-Islam) Hamdani Djamil .............................................................................................
73
Muhammad Iqbal dan Ide Dinamisme Islam Sarbini Anim ...................................................................................................
97
Dakwah Islam Melawan Ideologi Sosialisme dan Kapitalisme Dahrun Sadjadi ...............................................................................................
112
Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Naimah Fathoni ..............................................................................................
131
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
iii EDITORIAL
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan pertolongan-Nya penerbitan Al-Risalah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Volume II, No. 1, Januari 2012 dapat terlaksana. Semoga langkah ini menjadi kelanjutan yang baik bagi terciptanya suasana ilmiah di kalangan dunia akademik. Karena, disadari bahawa dinamika dunia akademik tidak hanya ditentukan oleh berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, tetapi juga oleh peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang ditransformasikan dari pendidik ke peserta didik. Melalui jurnal ini para dosen diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman. Pada edisi kedua ini dimuat 9 (sembilan) artikel ilmiah, yaitu: Da`i sebagai pengembang masyarakat Islam oleh A. Ilyas Ismail, Penerapan Hukum Adat (Al-‘Urf) Dalam Istinbat Hukum Islam Dewan Syariah Nasional oleh Ahmad Zubaidi, Pengaruh Aristotelian Terhadap Pemikiran Islam (Ilmu Kalam Dan Falsafat Islam) oleh Neneng Munajah, Implikasi Dakwah Dan Pemikiran Tauhid Syaikh Muhammad Al-Sanusi oleh Khalis Kohari, Pengorganisasian Dakwah Dalam Perspektif Islam (Tanzhim AlDa’wah Fi Al-Islam) oleh Hamdani Djamil, Muhammad Iqbal Dan Ide Dinamisme Islam oleh Sarbini Anim, Dakwah Islam Melawan Ideologi Sosialisme & Kapitalisme oleh Dahrun Sadjadi, dan Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam oleh Naimah Fathoni Artikel pertama, Ilyas Ismail menuliskan bahwa sebagai subjek (pelaku) dakwah, da`i menyumbang peran terbesar dalam menentukan kesuskesan dakwah karena itu da`i perlu memiliki kapasitas dan kapabilitas (kompetensi) yang unggul, baik kompetensi profesional maupun personal, sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan sukses. Artikel kedua, Ahmad Zubaidi mengelaborasi bahwa adat isti adat (al-urf) secara nyata digunakan sebagai salah satu dalil hukum dalam formulasi hukum Islam baik oleh ulama madzhab maupun dalam ijtihad ekonomi syariah kontemporer oleh Dewan Syariah Nasional. Artikel ketiga, Neneng Munajah menggambarkan bahwa Ilmu Mantiq yang kini menjadi materi dasar dan ilmu bantu dalam penguasaan garamatikal bahasa Arab di dunia pesantren di Indonesia, diambil dan dimodifikasi dari logika Aristoteles. Artikel keempat, Khalis Kohari menuliskan adanya pengaruh pemikiran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi terhadap ulama-ulama periode berikutnya, bahkan
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
iv
mereka pada umumnya selain sebagai ulama besar, pada disisi lain mereka juga sebagai teolog, filosofis dan pengarang kitab. Artikel kelima, Hamdani Djamil menuliskan pentingnya pengorganisasian dakwah agar dapat mencapai sasaran. Dakwah yang tidak terorganisasi dengan baik tidak akan berhasil dan sebaliknya kejahatan yang terorganisasi dengan baik dapat mengalahkan kebenaran. Artikel keenam, Sarbini Anim menggambarkan peranan Muhammad Iqbal dalam membangkitkan kembali semangat Ummat Islam untuk melawan penjajahan Erofa dan dalam pengembangan dan pembaharuan pemikiran-pemikiran hukum Islam. Artikel kedelapan, Dahrun Sadjadi membandingkan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis dengan sistem Islam. Ia berkesimpulan bahwa kedua ideologi tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia, sedangkan ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia secara jasmani maupun ruhani. Artikel kesembilan, Naimah Fatoni mengungkapkan pentingnya seorang guru Pendidikan Agama Islam memahami metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Redaksi
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
1 DA`I SEBAGAI PENGEMBANG MASYARAKAT ISLAM Oleh: A. Ilyas Ismail∗ Abstrak Sebagai subjek (pelaku) dakwah, da`i menyumbang peran terbesar dalam menentukan kesuskesan dakwah. Da`i tidak identik dengan penceramah. Ia sejatinya adalah pejuang dan pengembang masyarakat Islam. Sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, da`i perlu memiliki kapasitas dan kapabilitas (kompetensi) yang unggul, baik kompetensi profesional maupun personal, sehingga mampu melaksanakan tugasnya dengan sukses. Ada tiga kompetensi atau kekuatan (power) yang tidak bisa tidak harus dimiliki seorang da`i. Pertama, kekuatan intelektual, berupa wawasan dan pemahaman yang luas mengenai Islam dalam semua aspeknya, termasuk sejarah, pemikiran, dan perkembangan-perkembangan kontemporer. Kedua, kekuatan moral (akhlak), terutama kasih sayang (rahmah), integritas, kesungguhan, kejujuran, dan rasa tanggung jawab (al-shidq wa al-amanah). Ketiga, kekuatan spiritual mencakup kekuatan iman, ibadah, dan perjuangan. Dengan kekuatan-kekuatan ini, da`i sebagai pejuang dan pengembang msyarakat Islam, diharapkan mampu bekerja dan melaksanakan tugas-tugas dakwah dengan baik, serta mampu melewati ujian dan cobaan berat yang mungkin dihadapi dalam perjalanan panjang mengokohkan sistem Islam dalam realitas kehidupan. Key Words: Da`i, masyarakat Islam, kompetensi, intelektual, moral, dan spiritual A. Pendahuluan Dari unsur-unsur utama dakwah, da’i merupakan unsur paling pokok dan penentu keberhasilan dakwah. Da’i, seperti dikemukakan
∗
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi`iyah Jakarta
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
2 banyak pakar,1 identik dengan dakwah itu sendiri. Maksudnya, pikiran, sikap, dan prilaku da’i dengan sendirinya membawa implikasi dakwah, positif maupun negative. Oleh sebab itu, sebagai subjek (pelaku) dakwah, da`i bukan hanya penitng, malahan menjadi variable atau factor penentu (determinant factor). Keberhasilan dan kesuskesan dakwah. Sebenarnya, unsure-unsur utama dakwah yang lain, seperti, materi (al-maudhu`), metode (al-thariqah), dan media (al-washilah), melekat dan menempel pada da`i. Sering dikatakan, “al-Thariqah ahamm min al-Madda” (metode itu lebih penting dari materi). Ungkapan ini, pada tingkat tertentu memiliki kebenaran, karena materi yang mungkin sederhana bila disampaikan dengan cara yang menarik dan persuasive, dapat membuat dakwah lebh efektif. Namun, perlu disadari bahwa metode dan materi dakwah itu tidak berdiri sendiri. Ia bergantung dan terikat kepada da`i. Maka ungkapan, “al-Thariqah ahamm min al-maddah” harus dilanjutkan dengan pernyataan “wa al-da`i ahamm min al-thariqah wa al-maddah.” Discourse mengenai da`i pada umumnya menyangkut tiga persoalan besar. Pertama, menyangkut visi da`i. Masalah ini mempersoalkan siapa hakekat da`i itu? Jawaban para pakar mengenai masalah ini sangat dipengaruhi oleh filsafat (paradigma) dakwah yang dianut antara paradigma tabligh, pengembangan masyarakat Islam, harakah atau cultural. Masing-masing madzhab ini, memiliki visinya sendiri mengenai da`i. Kedua, menyangkut soal syarat-rukun da`i. Masalah ini memperdebatkan siapa dengan kapasitas dan kapabilitas apa seorang dapat melaksanakan tugas dakwah dengan baik? Dengan bahasa yang lain, masalah kedua ini membicarakan kompetensi da`i baik kompetensi keras (hard competence) maupun kompetensi lunak (soft competence). Ketiga, menyangkut masalah ujian (al-ibtila’) dan kemenangan da`i (al-nashr). Masalah ketiga ini merupakan kelanjutan logis dari masalah pertama dan kedua. Tulisan ini akan membicarakan tiga masalah pokok mengenai da`i seperti dikemuakakan di atas dimulai dari visi da`i, lalu syarat-rukun (kompetensi) da`i, serta ujian dan kemenangan da`i. Karena terbatasnya space, uraian lebih lengkap bisa dirujuk pada sumber (refernsi) yang ditunjuk dalam tulisan ini. 1Uraian lebih lanjut dalam soal ini, lihat A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Pena Madani, 2008), h. 271-290.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
3 A. Visi Da`i Da`i (Arab: al-da`i, al-da`iyyah, al-du`ah) menunjuk pada pelaku (subjek) dan penggerak (aktivis) kegiatan dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan Islam dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, umat dan bangsa. Sebagai pelaku dan penggerak dakwah, da`i, tak pelak lagi, memiliki kedudukan penting, bahkan sangat penting karena ia bisa menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan dakwah.2 Da`i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar panjipanji Islam, dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan umat manusia (mujahid al-da`wah).3 Oleh karena itu, da`i tak identik dengan penceramah (mubaligh). Jadi, di sini, visi da`i tak hanya sebagai penceramah. Sayyid Qutuhb menetapkan visi da`i sebagai pengembang atau pembangun masyarakat Islam. Ini sejalan dengan pandangannya bahwa dakwah pada hakekatnya adalah usaha orang beriman untuk mewujudkan sistem Islam (al-manhaj al-islami) dan masyarakat Islam (al-mujtama` al-Islami), serta pemerintahan dan negara Islam (al-daulah al-islamiyyah).4 Seperti Sayyid Quthub, `Abd al-Badi` Saqar, memandang da`i sebagai arsitek sosial Islam (muhandis al-mujtama` al-Islami). Da’i, tegas Saqar, bukan aktor panggung yang hanya mengharap perhatian dan tepuk tangan para penonton. Ia juga bukan pemain sandiwara yang tujuannya hanya memberi hiburan kepada mereka. Sungguh keliru, demikian Saqar, bila seoang da`i mempunyai anggapan bahwa dengan menyampaikan pidato atau ceramah, ia menyangka sudah melaksanakan tugas dakwah, yaitu mengubah manusia dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih baik.5 Ini berarti, Saqar memiliki pendirian yang sama denagn Quthub, tentang visi da`i sebagai pengembang dan pembangun masyarakat Islam. Dalam visi ini, para da`i, jauh dari sekedar penceramah, dituntut untuk 2
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonsturksi Pemikiran Dakwah Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2008), cet.ke-2, h. 271. Lihat juga A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media Grroup, 2011), h. 73-75. 3 Ibid. 4 Ibid. h. 271-272 5 Abd al-Badî ` Shaqr, Kaifa Nad`u al-Nas, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1979), cet. ke-6, h. 12-13.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
4 memiliki pemahaman (knowledge) dan keterampilan (skill) yang baik tentang rekayasa sosial Islam (Islamic social engineering) sebagai perwujudan dari sistem Islam dalam dimensi ruang dan waktu yang menjadi inti dari dakwah.6 Sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, da`i menurut Abdullah Nasih `Ulwan, harus memerankan skurang-kurangnya enam tugas atau misi, yaitu sebagai tutor (muhaddits), edukator (mudarris), orator (khathib), mentor (muhadhir), dialog (munaqisy wa muhawwir), budayawan (adib), dan penulis (katib) sekaligus.7 Sementara al-Huli menetapkan pula enam misi da`i sebagai pengembang masyarakat Islam, yaitu menjadi ideolog (mu’min bi fikrah), dokter sosial (thabib ijtima`i), pengamat dan pemerhati masalah-masalah agama dan sosial (naqid bashir), pelindung masyarakat (akh al-faqir wa al-ghani), pemimpin agama dan pemimpin politik sekaligus.8 B. Kompetensi Da`i Kompetensi berasal dari kata competence yang secara harfiah berarti kemampuan atau kesanggupan.9 Kompetensi da`i berarti kemampuann dan kecakapan yang harus dimilki oleh seorang da``i agar ia mampu bekerja dan melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya sebagai pembangun dan pengembang masayarakat Islam. Kompetensi ini merupakan kumpulan dari berbagai kebisaan dan kekuatan (power) yang dimiliki seorang da`i, meliputi kekuatan intelektual (knowledge), keterampilan (skill), sikap dan moral (attitude), dan lalu kekuatan spiritual (spiritual power).10 1. Kekuatan Intelektual (Wawasan keilmuan) Dalam pandangan ulama besar dunia, Yusuf al-Qardhawi, seorang da`i perlu melengkapi diri dengan tiga senjata, yaitu senjata iman (silah al-iman), akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah), dan ilmu 6
Ibid. Abdullah Nasih ulwan, Silsilah Madrasat al-Du`at: Fushul al-Hadifah fi Fiqh al-Da`wah wa al-Da`iyah, kairo: Dar al-salam, 2001, cet,ke 9, juz I, h. 44-45 7
8Selengkapnya mengenai visi dan peran da’I, lihat Al-Bahî al-Khulî, Tadzkirat alDu`âh, (Kuwait: Maktabah al-Falâh, 1979), cet. ke-6, h. 7-8. 9 Lihat Ensiklopedi, 10Lihat Stephen R Covey, The8th Habit: Melampaui Efektivitas Menggapai Keagungan, terj, Wandi S Brata (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet.ke-1, h.33-40.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
5 pengetahuan dan wawasan. Senjata iman dan akhlak disebut Qardhawi sebagai bekal spiritual, sedang ilmu dan wawasan disebut sebagai bekal intelektual. Jadi, secara umum seorang da`i harus melengkapi diri dengan dua bekal, bekal spiritual dan bekal intelektual sekaligus. Menurut Qardhawi ada enam wawasan intelektual yang perlu dimiliki seorang da`i. Pertama, wawasan Islam, meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, fiqih dan ushul fiqih, teologi, tasawuf (tashawwuf), dan nizham Islam. Kedua, wawasan sejarah, dari periode klasik, pertengahan hingga modern. Ketiga, sastra dan bahasa. Keempat, ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora, meliputi sosiologi, antroplogi, psikologi, filsafat, dan etika. Kelima, wawasam ilmu pengetahuan dan teknologi. Keenam, wawasan perkembangan-perkembangan dunia kontemporer, meliputi perkembangan dunia Islam, dunia Barat, perkembangan agama dan madzhab-madzhab pemikiran, serta perkembangan pergerakan Islam kontemporer.11 2. Kekuatan Moral (Akhlak Da`i) Di samping wawasan dan kekuatan intelektual seperti ditekankan Qardhawi di atas, Sayyid Quthub menekankan tiga kekuatan lain yang juga penting dan wajib dimiliki oleh para da’I dan aktivis pergerakan Islam, yaitu kekuatan moral (quwwat al-akhlaq)), kekuatan spiritual (quwwat al-`aqidah wa al-`ibadah), dan kekuatan perjuangan (quwwat al-jihad)12 Kedua kekuatan yang disebut terakhir ini, yakni kekuatan iman dan jihad diidentifikasi oleh Musthafa Masyhur sebagai karakter dan ciri dari dakwah pergerakan (dakwah harakah).13
11 Yusuf Qardhawi, Tsaqafat al-Da`iyyah, (Beirut: al-Mu’assasat al-Risظlat, 1979), cet. ke-2, h. 7-144. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Da`wat al-Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al`Arabi, 1973), cet. ke-1, h. 293-295. `Abd al-Ghani Muhammad Sa`ad Barakat Uslub alDa`wah al-Qur’aniyyah Balaghatan wa Manhajan, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1983), cet. ke- 1, h. 17. Zuhair al-A`raji, al-I`lam al-Islami: Mafahim wa Tajarub, (Beirut: Dar al-Ta`aruf li alMathba`ah, 1982), cet. ke-2, h. 11-43. Sayyid `Abd al-Hamid al-Mursi, Mafhum al-Qiyadah fi Ithar al-`Aqidah al-Islamiyyah, (Makkah al-Mukarramah: Rabithat al-`Âlam al-Islami, 1986), h. 103-133. Sa`id Hawwa, Jund Allah Tsaqafah wa Akhlaq, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1980), cet. Ke-3, h. 45-208. 12A. Ilyas Ismail, ParadigmaDakwah Sayyid Quthub, op.cit., h. 314-268. 13 Lihat Musthafa Masyhur, al-Jihâd Huwa al-Sabîl, (Iskandaria: Dâr al-Da`wah, 1985), cet. ke 1, h. 10.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
6 Dengan merujuk kepada da`i pertama, yaitu Rasulullah saw, dan da’i dari generasi Tabi`in seperti imam Hasan al-Bashri, pakar ilmu dakwah, Abu Bakar Zakri menegaskan bahwa seorang da’i harus melengkapi diri dengan ilmu dan sifat-sifat mulia atau akhlak yang terpuji. Di antara sifat-sifat itu, ialah sifat memelihara diri dari keburukan (`iffah), benar atau jujur (shidq), berani (syaja`ah), tulus (ikhlash), rendah hati (tawadlu`), bersih hati, adil, luwes, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Seorang da’i, menurut Zakri, harus memiliki kualifikasi moralitas dan keluhuran budi pekerti seperti Rasulullah saw atau paling tidak mendekatinya. Tidak bisa tidak!14 Keluhuran budi pekerti ini menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (mad`u) dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan sang da’i. Sifat-sifat yang mulia itu adalah sifat-sifat yang harus dimiliki semua kaum Muslim. Namun, bagi seorang da`i, sifat-sifat itu haruslah memiliki nilai lebih. Dengan perkataan lain, sifat-sifat yang mulia itu bagi seorang da`i harus tampak lebih mantap, lebih sempurna, dan lebih menonjol, sehingga ia dapat menjadi dakwah yang hidup dan menjadi teladan yang bergerak.15 Jadi, dalam soal ini, ada semacam tuntutan yang lebih tinggi kepada seorang da’i dibandingkan dengan kaum Muslimin pada umumnya. Tuntutan ini logis, karena da`i adalah orang yang berusaha mewujudkan sistem Islam bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain (umat). Untuk itu, keimanan seorang da`i harus memiliki semangat melimpah. Dalam jiwanya harus ada kadar yang melimpah dari keyakinan, komitmen keislaman, dan kemuliaan, yang dapat mengalir kepada orang lain. Dengan begitu, orang lain dapat mengambil manfaat dan faidah dari padanya.16 Ini berarti, keluhuran budi pekerti (al-akhlaq al-karimah) merupakan salah satu unsur penting dari kualifikasi yang secara mutlak harus dimiliki seorang da’i. Keharusan ini, menurut Quthub, dapat dipahami, antara lain dari penegasan Allah bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia dengan pribadi yang agung (Q.S. alQalam: 4). Dalam surah ini pula, Allah swt memberikan pujian kepada orang-orang yang beriman (Q.S. al-Qalam: 34-36) dan sebaliknya 14Muhammad Abu Bakar Zakri, al-Da’wah ila al-Islam, (Kairo: Maktabah Dar al“Arubah, 1962) h. 79-83. 15 A. Hasjmi, op.cit. h. 195. 16 Ibid.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
7 memberikan kecaman kepada musuh-musuh Islam (Q.S. al-Qalam: 816).17 Nabi Muhamad saw sendiri, menurut Quthub, menegaskan bahwa salah satu misi utama kerasulannya ialah membangun moralitas manusia (al-akhlaq al-karimah). Dengan begitu, beliau telah menetapkan misi kerasulannya hanya untuk tujuan yang mulia ini. Dalam hadits-hadits dapat ditemukan dorongan agar manusia menghiasi diri dengan budi pekerti luhur. Sejarah hidup Nabi sendiri menjadi saksi hidup dan lembaran suci, bahkan menjadi semacam profil yang amat tinggi yang karenanya Allah swt berhak untuk mengatakan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah manusia dengan pribadi yang agung.” (Q.S. al-Qalam: 4).18 Akhlak da`i, seperti telah dikemukakan, adalah akhlak Islam secara keseluruhan yang perlu diwujudkan secara sempurna dalam realitas kehidupan. Namun, menurut Sayyid Quhtub, ada tiga akhlak yang sungguh penting bagi da`i agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai pembangun dan pengembang masyarakat Islam, yaitu kasih sayang (tahmah), integritas alias adanya kesatuan antara kata dan perbuatan (muthabaqah bayn al-qaul wa al-fi`l), dan kerja keras (al`amal al-jiddi). 3. Kekuatan Spiritual Selain kekuatan intelektual dan moral, da`i memerlukan kekuatan lain yang dinamakan kekuatan spiritual (spiritual power). Kekuatan spiritual bersumber dari tiga kekuatan pokok, yaitu iman, ibadah, dan takwa. Ketiganya dapat dipandang sebagai bekal amat penting bagi da`i. Berikut disajikan ketiga bekal yang membentuk kekuatan spiritual di atas. a. Bekal Iman Sebagaimana telah dikemukakan, untuk dapat melaksanakan amanat dan kewajiban dakwah, para da`i membutuhkan persiapanpersiapan dan bekal perjalanan yang cukup, terutama persiapan dan bekal spiritual (rohani) yang mantap. Untuk itu, sebelum melaksanakan tugas yang berat itu, para da`i harus mempersiapkan diri, memperkuat jiwa dan mental mereka dengan iman dan takwa 17 18
Al-Risalah
Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an , (Beirut: Dar al-Syuruq, 1984), h. 3657. Ibid.
Volume II, No. 1, Januari 2012
8 kepada Allah swt. Iman, tak pelak lagi, merupakan bekal utama bagi para da`i. Menurut Quthub, sumber kekuatan da`i berasal dari Allah swt. Ia tidak mungkin mengembangkan kekuatannya, kecuali dari kekuatan-Nya. Penguasa atau orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi tidak mungkin membantu perjuangan da`i tanpa dukungan dan pertolongan dari Allah. Suatu ketika aktivis dakwah boleh jadi dapat menaklukkan hati penguasa dan kelompok elite. Lalu, mereka menyediakan diri sebagai pembela dan pendukung dakwah. Namun demikian, menurut Quthub, dakwah tidak akan sukses, bila hanya mengandalkan kekuatan mereka.19 Pernyataan Quthub ini, menegaskan kembali pentingnya bekal spiritual, iman dan takwa, bagi para da`i. b. Bekal Ibadah Dalam pandangan Quthub, bekal spiritual yang diperlukan da`i seperti dikemukakan di atas, dapat diupayakan melaui pemberdayaan ibadah. Keharusan tentang pemberdayaan ibadah ini dengan jelas dapat dibaca dalam ayat-ayat pertama surah alSurah ini, menurut Quthub, memperlihatkan Muzammil.20 lembaran sejarah dakwah Nabi, dimulai dengan seruan agung untuk melaksanakan tugas dakwah dan memberi gambaran tentang persiapan-persiapan rohani yang harus dilakukan oleh Nabi. Persiapan-persiapan itu, antara lain, berupa keharusan bagi Nabi agar melakukan shalat malam (qiyam al-layl), membaca alQur’an, dzikir, dan berserah diri kepada Allah swt.21 Semua ibadah yang disebutkan di atas, menurut Quthub, merupakan bekal bagi Nabi dan juga bagi para da`i sesudahnya untuk dapat melaksanakan tugas dan perjuangan yang sungguh 19 Bagi Quthub, sumber kekuatan dakwah, tidak lain, adalah Allah swt. Para da`i tidak mungkin mengembangkan kekuatannya, kecuali dari sumber ini. Ibid., h. 2247. 20 Lihat Ibid., h. 3742. Bandingkan dengan Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid IV, h. 523-524. Muhammad `Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim Jami` bain al-Ma’tsur wa al-Ma`qul Mustamidd min Autsaq Kutub al-Tafsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.), jilid III, h. 465. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), cet. ke-2, h. 161-162. 21 Sayyid Quthub, op. cit. h. 3742.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
9 amat berat. Berbagai ibadah itu dimaksudkan pula sebagai penerang hati Nabi dalam perjalanan dakwah yang amat panjang dan melelahkan. Untuk keperluan ibadah ini, Nabi perlu menyediakan waktu khusus dalam waktu mana beliau dapat melepaskan diri dari hiruk pikuk kehidupan dunia dan dengan sepenuh hati memusatkan pikiran dan perhatian menuju Allah swt.22 Di antara ibadah yang penting dilakukan dalam proses pembekalan jiwa ini adalah shalat malam atau ibadah di malam hari (qiyam al-layl). Ibadah ini merupakan suatu keharusan bagi Nabi dan kaum Muslim di awal periode Islam sesuai perintah dalam penggalam pertama surah al-Muzammil. Atas dasar itu, Nabi dan kaum Muslim selalu melakukan ibadah malam hari itu dalam waktu 2/3 malam, 1/2 malam, atau paling sedikit 1/3 malam sehingga kaki mereka bengkak-bengkak karena terlalu lama berdiri dalam melakukan shalat dengan bacaan al-Qur’an yang sangat panjang.23 Keadaan ini, menurut Quthub, dan menurut pendapat yang paling diunggulkan (arjah al-aqwal) telah berlangsung selama satu tahun. Allah telah mengetahui ketulusan mereka dalam melaksanakan ibadah malam hari ini. Allah, tentu tidak bermaksud mempersulit mereka dengan kewajiban ini, tetapi ingin memberikan bekal kepada mereka agar mampu mengemban tugas berat yang akan mereka hadapi seanjang hidup mereka. Untuk itu, Allah kemudian memberikan keringanan dengan diturunkannya bagian kedua (bagian terakhir) surah al-Muzammil yang menyatu dalam satu ayat yang sangat panjang (Q.S. al-Muzammil: 20). Ayat ini, menurut Quthub, merupakan salah satu bentuk kasih sayang Tuhan (rahmah), kemudahan, dan ketenangan, diberikan setelah pelaksanaan dakwah berlangsung selama satu tahun. Allah swt berkenanan memberikan kemudahan dan keringanan bagi kaum Muslim. Dengan kemudahan ini, maka ibadah malam hari (qiyam al-layl) bukan merupakan ibadah wajib, melainkan ibadah sunah (tathawwu`). Namun demikian, Rasulullah saw sendiri tetap melaksanakan ibadah malam hari ini sebagaimana sedia kala. Belaiu selalu malaksanakannya tidak kurang dari 22 23
Al-Risalah
Ibid., h. 3745. Ibid., h. 3743-3744.
Volume II, No. 1, Januari 2012
10 sepertiga malam. Dalam keheningan malam yang teduh ini, Rasulullah saw ber-munajat dan berdialog secara intens dengan Tuhan. Dari munajat semacam ini Rasulullah saw memperkuat dan memperbanyak bekal perjalanan hidup dan bekal perjuangan (jihad).24 Dalam surah al-Isra‘ ayat 79, terdapat pula perintah agar Nabi melaksanakan shalat tahajjud. Shalat Tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan setelah bangun tidur. Shalat ini merupakan jalan yang akan mengantar Nabi menggapai “Kedudukan Terpuji” (maqaman mahmuda). Apabila untuk menggapai “Kedudukan Terpuji” itu Nabi diperintahkan agar melakukan shalat Tahajjud, maka menurut Quthub, perintah itu tentu lebih penting lagi bagi yang lain untuk memperoleh kedudukan terhormat yang diizinkan dan disediakan Tuhan untuk mereka. Inilah, menurut Quthub, jalan (Tuhan) dan bekal perjalanan (menuju Tuhan).25 Ibadah malam hari seperti telah dikemukakan di atas tampak begitu penting. Hal ini, karena ibadah malam hari dinilai amat kondusif bagi pembinaan rohani manusia. Malam hari yang hening dan sunyi, terbebas dari hiruk-pikuk kehidupan dunia, merupakan waktu yang sangat tepat untuk ibadah dan munajat kepada Tuhan. Pada malam yang sepi dimana manusia kebanyakan sedang tertidur pulas, seorang Muslim, terutama para da`i, dapat dengan leluasa berdialog dan ber-munajat secara langsung dengan Allah swt baik melalui shalat maupun membaca al-Qur’an. Dengan cara ini, mereka diharapkan dapat menangkap pancaran cahaya dan sinar petunjuk-Nya sehingga mereka memperoleh kekuatan dan bekal baru yang diperlukan dalam melaksanakan amanah dan perjuangan dakwah.26 Ibadah shalat, terutama shalat malam (tahajjud), seperti telah dikemukakan merupakan senjata yang ampuh bagi kaum Muslim. Sebelum melengkapi diri dengan senjata yang lain-lain, kaum Muslim generasi pertama terlebih dahulu memperkuat diri mereka dengan senjata shalat. Mereka bahkan menghadapi musuh-musuh mereka dengan shalat. Sebagai senjata, shalat memiliki kekuatan dan keunggulannya sendiri. Itu sebabnya, kaum Mu`min 24
Ibid., h. 3749. Ibid., h. 2247. 26 Ibid., h. 3746. 25
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
11 diperintahkan oleh Allah swt agar memperkuat diri dan meminta pertolongan kepada sabar dan shalat. (Q.S. al-Baqarah [2]: 45). Ibadah lain yang perlu dilakukan sebagai bekal bagi da`i ialah dzikir dan do`a. Termasuk dalam pengertian dzikir dan do`a ialah tasbih, tahmid, dan takbir. Sayyid Quthub memhami dzikir dan tasbih sebagai usaha manusia untuk menghubungkan diri dengan Allah swt (‘ittishal bi Allah). Usaha ini, menurut Quthub, dapat membuahkan ketenangan jiwa dan kepuasan rohani. Dengan kepuasan ini, seorang tidak akan merasa lelah dan kepayahan meskipun tugas dan perjuangan begitu berat. Oleh karena itu, bekal ini juga penitng bagi para da`i dan para aktivis pergerakan Islam.27 c. Bekal Takwa Bekal lain yang diperlukan da`i ialah bekal takwa. Takwa diperlukan sebagai penyempurna semua bekal yang telah dikemukakan. Takwa disebut oleh Allah sebagai bekal yang paling baik. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-KU hai orang-orang yang berakal (ulu al-Albab).”28 Takwa dari kata Arab waqa, yaqi, wiqayat (taqwa),29 secara harfiah berarti memelihara diri dari sesuatu yang membahayakan. Takwa berarti melindungi diri dari sesuatu yang ditakuti atau menakutkan, dan terkadang takwa diartikan takut (khauf) itu sendiri. Dalam takwa terdapat sifat hati-hati dan waspada sehingga seorang terhindar dari keburukan atau dari sesuatu yang menjerumuskan.30 Dalam suatu riwayat, `Umar Ibn al-Khathab bertanya kepada Ubay ibn Ka`ab tentang takwa. Katanya, “Pernakah kamu berjalan di jalan yang berduri?” “Ya” jawab Ubay. “Apa yang kamu lakukan”? tanya Umar lagi. “Aku siaga dan hati-hati.” jawabnya. “Itulah takwa” tegas Umar. Secara syar`i, takwa diartikan sebagai sikap memelihara diri dari dosa-dosa (hifdz alnafs `an ma yu’tsim). Ini dapat dilakukan 27
Ibid., h. 2357. Ibid., h. 442. Bandingkan dengan Ahmad Fa’iz, op.cit., h. 215. 29 Lihat Ibn Mandzur, op.cit., jilid XV, h. 402. 30 Ashfahani, op.cit., h. 530-531. 28
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
12 dengan meninggalkan perkara yang dilarang (tark al-mahdzur). Bahkan menurut Ashfahani, takwa menjadi lebih sempurna dengan meninggalkan sebagian dari perkara yang diperbolehkan atau perkara yang samar-samar (syubuhat). Ashfahani mendasarkan pendapatnya pada sabda Nabi, “Perkara yang halal sudah jelas, perkara yang haram juga demikian. Namun, di antara keduanya terdapat beberapa perkara yang samar-samar. Barangsiapa mengembala di sekitar tempat yang terlarang, ia berpeluang jatuh ke tempat terlarang itu.”31 Menurut Sayyid Quthub, takwa adalah kesadaran agama yang tinggi, yaitu suatu kesadaran yang berusaha memenuhi hak Allah secara optimal. Takwa adalah kesadaran yang menuntut seorang tidak pernah lalai dan lupa kepada Allah sepanjang hidupnya. Semakin tinggi takwa seorang, makin besar kesadarannya untuk berada lebih dekat lagi di sisi Tuhan. Ia akan berusaha menggapai kedudukan atau tingkatan yang lebih tinggi, suatu tingkatan di mana hati selalu sadar dan ingat kepada Tuhan, tiada pernah tidur atau lelap.32 Dalam proses dakwah, Quthub menyebut takwa sebagai bekal yang akan mengawal dan menlengkapi semua perbekalan dakwah yang lain.Takwa disebut sebagai penjaga yang tidak pernah lengah (al-haris al-yaqadz) dalam diri seorang. Dengan begitu, takwa dapat menjaga seorang dari lalai, lemah, dan melampaui batas. Takwa dapat pula mengendalikan seorang dari kecenderungan keluar atau menyimpang dari jalan yang benar, ke kanan atau ke kiri.33 Takwa tak pelak lagi diperlukan para da`i dalam menghadapi berbagai tantangan dan godaan yang datang silih berganti di tengah-tengah perjalanan dakwah yang panjang dan berliku-liku. Bahkan Quthub menyebut takwa sebagai sebagai salah satu bekal yang memungkinkan da`i mampu melaksanakan dakwah di atas jalannya yang jelas dan lurus, yakni bahwa dakwah merupakan tugas dari Allah, dan merupakan proses perjuangan menuju Allah, serta harus dilakukan dengan tulus karena Allah.34 31
AshfahnI, op.cit., h. 531. Sayyid Quthub, FI ZhilAl, op.cit., jilid I, h. 442. 33 Ibid., h. 553. 34 Ibid., h. 2823. 32
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
13 Menurut Quthub, apa yang dikemukakan di atas, meski merupakan kebenaran, tidak mudah dimengerti, keculai oleh orang yang pernah merasakannya. Kebenaran itu sendiri sesuangguhnya bukan sesuatu yang asing bagi fitrah manusia. Namun, hawa nafsu seringkali merusak kesucian fitrah itu sehingga sulit menerima kebenaran. Berbagai faktor yang merusak kesucian jiwa dan fitrah manusia itu, menurt Quthub, tidak dapat dihilangkan dengan logika, argumentasi, dan perdebatan. Semua itu hanya dapat dihilangkan dengan takwa, takut kepada Allah dan selau mengingat-Nya.35 Dengan takwa, lanjut Quthub, pikiran menjadi cerah, kebenaran menjadi terang, dan jalan dakwah menjadi lapang. Takwa membuat hati menjadi tenang dan tentram. Tekad menjadi kuat dan pendirianpun menjadi teguh. Inilah makan takwa sebagai bekal dakwah, sebaik-baik bekal, yang akan mengantar da`i menuju kemenangan dan keberhasilan, tentu dengan izin dan pertolongan dari Allah swt. C. Kesimpulan Dakwah sebagai usaha membangun sistem Islam pada dasarnya merupakan suatu proses perjuangan yang amat panjang. Dalam proses ini da`i tidak saja memerlukan berbagai kekuatan dan bekal seperti telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan komitmen perjuangan yang amat tinggi. Hal ini, karena dakwah pada dasarnya identik dengan perjuangan itu sendiri. Dalam kaitan ini, cukup beralasan bila Quthub memposisikan da`i sebagai pejuang (mujahid). Sebagai mujahid, da`i tentu harus bekerja dan berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hayatnya.36 Dalam pemikiran Quthub, perjuangan da`i dapat dilihat, antara lain, dari tiga bentuk. Pertama, dari kesaksian (komitmen) yang ia tunjukkan kepada Islam. Kedua, dari pengorbanan dan kesanggupan menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Ketiga, perjuangan itu pada akhirnya harus mencapai kemenangan, tentu dengan izin dan pertolongan dari Allah swt. Wallahu a`lam!
35 Ibid.Uraian lebih dalam tentang Jihad dan perjuangan da`i sebagai pengembang masyarakat Islam, lihat Sayyid Quthub, bukunya yang monumental, Ma`alim fi al-Thariq, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1979), h. 35 dst. 36 Sayyid Quthub, Fi Zhilal, hal.. 2455.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
14 DAFTAR PUSTAKA al-A`raji, Zuhair, al-I`lam al-Islami: Mafahim wa Tajarub, Beirut: Dar al-Ta`aruf li al-Mathba`ah, 1982. Barakat, `Abd al-Ghani Muhammad Sa`ad, Uslub al-Da`wah al-Qur’aniyyah Balaghatan wa Manhajan, Kairo: Maktabah Wahbah, 1983. Covey, Stephen R The Eight Habits al-Dimasyqi, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992. Hawwa, Sa`id, Jund Allah Tsaqafah wa Akhlaq, Kairo: Maktabah Wahbah, 1980 Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonsturksi Pemikiran Dakwah Harakah, Jakarta: Penamadani, 2008. Ismail, A. Ilyas dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Jakarta, Prenada Media, 201. al-Khulî, Al-Bahî, Tadzkirat al-Du`âh, Kuwait: Maktabah al-Falâh, 1979 Masyhur, Musthafa al-Jihâd Huwa al-Sabîl, (Iskandaria: Dâr al-Da`wah, 1985 al-Mursi, Sayyid `Abd al-Hamid, Mafhum al-Qiyadah fi Ithar al-`Aqidah alIslamiyyah, Makkah al-Mukarramah: Rabithat al-`Âlam al-Islami, 1986. Qardhawi, Syekh Yusuf, Tsaqafat al-Da`iyyah, Beirut: al-Mu’assasat alRisalah, 1979. Quthub, Sayyid, Fi Zhilal al-Qur’an, Beirut, Dar al-Syuruq, 1984. ---------------, Ma`alim fi al-Thariq, Beirut, Dar al-Syuruq, 1979. Sabiq, Sayyid, Da`wat al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1973. al-Shabuni Muhammad `Ali, Shafwat al-Tafasir: Tafsir li al-Qur’an al-Karim Jami` bain al-Ma’tsur wa al-Ma`qul Mustamidd min Autsaq Kutub al-Tafsir, Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H. Shaqar, Abd al-Badî `, Kaifa Nad`u al-Nas, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1979 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Ulwan, Abdullah Nasih, Silsilah madrasat al-du`at: fushul al-hadifah fi fiqh alda`wah wa al-da`iyah, kairo: Dar al-salam, 2001. Zakri, Muhammad Abu Bakar, al-Da’wah ila al-Islam, Kairo: Maktabah Dar al-`Arubah, 1962.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
15 PENERAPAN HUKUM ADAT (AL-‘URF) DALAM ISTINBAT HUKUM ISLAM Oleh: Ahmad Zubaidi∗ Abstrak Adat isti adat secara nyata digunakan sebagai salah satu dalil hukum dalam formulasi hukum Islam. Imam Hanafi merupakan ulama yang paling dikenal banyak menggunakan adat-isti adat dalam ijtihadnya, terutama dalam bidang muamalah. Sungguhpun secara nyata, tidak ada satu imam pun yang menolak keabsahan berdalil dengan adat-isti adat. Tradisi ijtihad di Indonesia beberapa decade terakhir ini sedang menguat terutama dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam bidang Fiqih Muamalah, bahkan untuk menspesifikkannya MUI membentuk lembaga fatwa tersendiri, yaitu Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN mempunyai arti penting dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, karena seluruh produk perbankan Syariah harus sesuai dengan fatwa-fatwa DSN, bahkan di masing-masing perbankan syariah ada ulama yang mengontrolnya, yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS). Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional juga menerapkan ’urf dalam ijtihadnya di bidang ekonomi syariah. ’Urf dalam pandangan DSN, hampir sama dengan pandangan Ulama Hanafi, yaitu hukum-hukum yang ditetapkan oleh ’urf sama kedudukannya dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’. Keyword: Al-Urf, Fiqih Muamalah, Ulama Ushul, Hanafiah, Malikiah, Syafiiyah, dan Hanabilah. A. Pendahuluan Adat isti adat (al-‘urf) dalam formulasi hukum Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Sejak awal pembentukannya di masa ∗
Dosen Ushul Fiqih Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Islam AsSyafiiyah
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
16 Rasulullah saw. adat-isti adat bangsa Arab yang baik banyak yang diadopsi ke dalam hukum Islam secara nyata ditunjukkan adanya sunnah taqririyyah yang merupakan legitimasi Nabi terhadap ucapan atau perbuatan sahabat, baik dengan cara diam dan sebagainya. Dari fakta yang ada, banyak budaya yang ada di masa pra-Islam diadopsi dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, seperti qisas, diyat, transaksi jual beli pesanan dan lain-lain. Di masa sahabat, pengadopsian adat-isti adat ke dalam hukum Islam kurang nampak barangkali disebabkan pada masa itu pembentukan hukum di masa Rasulullah secara umum masih dapat menjawab persoalan. Sebagai bukti pada masa itu ilmu-ilmu penggalian hukum Islam juga belum muncul, sungguhpun secara pribadi beberapa sahabat sudah melakukan ijtihad dalam mengatasi persoalan yang baru. Adat isti adat secara nyata digunakan sebagai salah satu dalil hukum dalam formulasi hukum Islam adalah pada masa-masa empat Imam mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Imam Hanafi merupakan ulama yang paling dikenal banyak menggunakan adat-isti adat dalam ijtihadnya, terutama dalam bidang muamalah. Sungguhpun secara nyata, tidak ada satu imam pun yang menolak keabsahan berdalil dengan adat-isti adat. Tradisi ijtihad di Indonesia beberapa decade terakhir ini sedang menguat terutama dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam bidang fiqih muamalah, bahkan untuk menspesifikkannya MUI membentuk lembaga fatwa tersendiri, yaitu Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN mempunyai arti penting dalam pengembangan ekonomi Islam di Indonesia, karena seluruh produk perbankan Syariah harus sesuai dengan fatwa-fatwa DSN, bahkan di masing-masing perbankan syariah ada ulama yang mengontrolnya, yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dalam fatwanya, DSN juga banyak menggunakan adat-isti adat sebagai dalil hukum sehubungan dengan banyak persoalan ekonomi syariah yang secara eksplisit belum diatur dalam Alquran dan Sunnah. Peluang untuk menggunakan adat isti-adat sangat terbuka lebar karena Rasulullah juga telah menyatakan “al-muslimuna inda syuruthihim”, dan para ulama merumuskan kaidah “al-asl fi al-muamalah al-ibahah illa an yadulla dalil ‘ala tahrimiha”.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
17 Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji lebih jauh apa yang dimaksud adat isti adat dalam perspektif hukum Islam dan bagaimana konsepsi adat isti adat yang dijadikan dalil hukum para ulama ushul. B. Pengertian dan Pembagiannya 1. Pengertian ‘Urf ‘Urf ( ) رفsecara etimologi berasal dari kata ( ف- ) فsering diartikan dengan )ا وفdengan arti sesuatu yang dikenal", atau berarti yang baik. Kalau dikatakan ( ن اوSi Fulan lebih dari yang lain dari segi ‘Urf nya), maksudnya bahwa seseorang lebih dikenal dibandingkan dengan yang lain.1 ‘Urf secara terminoligis menurut Abdul Wahab Khallaf adalah:
ﺍﻭﺗﺮﻙ,ﺍﻭﻓﻌﻞ, ﻡ ﻗﻮﻝ,ﻣﺎ ﺗﻌﺎﺭﻓﻪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺳﺎﺭﻭﺍ ﻋﻠﻴﻪ
Segala apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.2 Adapun menurut Wahbah Al-Zuhaily ‘Urf
adalah :
ﺍﻭﻟﻔﻆ ﺗﻌﺎﺭﻓﻮﺍ ﺍﻃﻼﻗﻪ ﻋﻞ,ﻭﺳﺎﺭﻭﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻓﻌﻞ ﺷﺎﻉ ﺑﻴﻨﻬﻢ,ﻣﺎ ﺍﻋﺘﺪﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻻ ﻳﺘﺒﺎﺩﺭ ﻏﲑﻩ ﻋﻨﺪ ﲰﺎﻋﻪ,ﻣﻌﲏ ﺧﺎﺹ ﻻ ﺗﺄﻟﻒ ﺍﻟﻠﻐﺔ
Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan manusia baik berupa perbuatan yang sudah dilakukan banyak orang, atau bahasa yang pengertiannya sudah dipahami menunjuk kepada makna khusus dan tidak menunjuk kepada makna lainnya.3 Sedangkan menurut Ibnu Abidin, ‘Urf adalah: ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻤﺎﻳﺴﺘﻘﺮﰲ ﺍﻟﻨﻔﻮﺱ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺍﳌﺘﻜﺮﺭﺓ ﺍﳌﻌﻘﻮﻟﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻄﺒﺎﻉ ﺍﻟﺴﻠﻴﻤﺔ Ungkapan tentang perkara-perkara yang sudah berulang-ulang pada jiwa manusia, dibenarkan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sehat.4 Wahbah Al-Zuhaili menukil pendapat Ibnu Abidin menegaskan, “Adat adalah berasal dari kata al-mu’awadah, yaitu kebiasaan yang terjadi 1
Amir Sharifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos, 2005), Jilid 2, 363. Abdul Wahhab Khal.laf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Fikr, tth.), 93 3 Wahbah Al-Zuhaili, ‘Ilmu Ushulal-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), Cet I, Juz II, 828. 4 Ibnu ‘Abidin, Majmuah Rasail Ibn ‘Abidin, (ttp.: tp., tth.), Juz II, 114 2
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
18 secara berulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan masyarakat secara terus menerus sehingga melekat dalam hati dan akal masyarakat, serta dapat diterima tanpa harus melakukan kajian relasional dan perbandingan, sehingga menjadi kebiasaan yang benar-benar dilakukan oleh masyarakat.”5 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ‘Urf secara terminologis ialah semua hal yang sudah menjadi adat kebiasaan dan dilakukan masyarakat baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Sedangkan yang dimaksud perbuatan yaitu semua tindak tanduk yang sudah dipahami oleh masyarakat, contohnya kebiasaan masyarakat melakukan jual beli hanya dengan serah terima (tukar menukar) tidak disertai dengan lafal, dan kebiasaan masyarakat memberikan mahar di awal atau di akhir. 2. Pembagian ‘Urf Ulama Ush ul membagi ‘Urf dalam pembagian berikut:6
dilihat dari berbagai seginya ke
a. Dilihat dari sebabnya Dilihat dari sebabnya ‘urf dibagi dua, yaitu: ‘urf ) اdan ‘Urf qauli ( )ا ف ا.7
lafzhi ( ف
ا
lafzhi ( )ا ف ا ‘Urf lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat sungguhpun tidak sesuai dengan makna kebahasaannya secara sempurna.8 Wahbah Al-Zuhaili menyebutnya dengan “bahasa yang secara umum sudah diketahui maknanya oleh masyarakat pada waktu tertentu.”9 Dengan demikian dalam ‘urf lafzhi ada peluang perbedaan makna yang
1) ‘Urf
5
Wahbah Al-Zuhaili, ‘Ilmu Ushulal-Fiqh al-Islami, Jilid 2, 829 Amir Abdul Aziz, UshulFiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Salam, tth), jilid II, 503; lihat Ibn Abidin, Majmuah Rasail Ibn ‘Abidin, 114, Wahbah Al-Zuhaili, ‘Ilmu Ushulal-Fiqh alIslami, Juz II, 829 7 Amir Abdul Aziz, UshulFiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Sala<m, tth), jilid II, 503 8 Ibid., h. 504 9 Wahbah Al-Zuhaili, Ilmu UshulAl-Fiqh Al-Islami Juz II, 829 6
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
19 berkembang di suatu masyarakat dengan penggunaan kata-kata itu dalam makna formalnya. Sebagai contoh kata al-walad dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut anak laki-laki bukan perempuan, sungguhpun dalam Al-Qur’an sendiri kata al-walad untuk menyebut laki-laki dan perempuan sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut: ١٠ ﻦﹺﻴﺜﹶﻴﻆ ﺍﻟﹾﺄﹸﻧ ﱢﺜﹾﻞﹸ ﺣﻠ ﱠﺬﻛﹶﺮﹺ ﻣ ﻟﻛﹸﻢﻟﹶﺎﺩﻲ ﺃﹶﻭ ﻓ ﺍﻟ ﱠﻠﻪﻴﻜﹸﻢﻮﺻﻳ 2) ‘Urf
‘Amali Adapun yang dimaksud ‘urf ‘amali adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat yang berupa perbuatan atau muamalat karena perbuatan tersebut dianggap suatu kebaikan.11 Contohnya seperti kebiasaan masyarakat melakukan transaksi jual beli hanya dengan cara serah terima tanpa diiringi dengan perkataan (al-bai bi al-ta’athi). Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf terutama di kalangan mazhab Hanafi.12
b. Dilihat dari cakupannya Dilihat dari cakupannya, ‘urf dibagi menjadi tiga, yaitu ‘urf ‘am, ‘urf khas, dan ‘urf shar’i.13 1) ‘Urf khash ( )ا ف ا Adalah ‘urf yang berlaku hanya pada suatu tempat, masa dan keadaan tertentu saja, atau kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu saja. Ada kemungkinan suatu kebiasaan yang berlaku di sutau daerah tidak dikenal oleh daerah lainnya. Sebagai contoh penggunaan kata dabbah di masyarakat Irak yang menunjukkan kuda, dan menjadikan buku catatan pedagang sebagai bukti penetapan hutang pada daerah tertentu.14 a. Al-‘Urf Al-‘Amm ()ا ف ا م Adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat di berbagai Negara pada masa tertentu. Kebiasaan ini sudah tersebar 10
QS. Al-Nisa (4): 11. Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Salam, tth), jilid II, 504 12Lihat Ibnu Humam, Fath Al-Qodir, Juz XVIII, 110. 13 Amir Abdul Aziz, UshulFiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Salam, tth), jilid II, 503; lihat Ibn Abidin, Majmuah ‘Risalah Ibn Abidin, 114, Wahbah Al-Zuhaili, Ilmu UshulAl-Fiqh AlIslami Juz II, 829 14 Wahbah Al-Zuhaili, Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Islami Juz II, 830 11
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
20 luas di berbagai penjuru Negara.15 Sebagai contoh dibolehkannya akad istish na’ dalam berbagai barang, seperti akad pembiayaan pembuatan pakaian dan perabotan rumah tangga seperti mebeler, kasur, kitcen set, dan lain-lain.16 Dalam akad istish na barang yang dijualbelikan tidak ada di tempat dan pelunasannya dibayar cicil. b. Al-’’Urf Al-Shar’i ( )ا فا Al-’’Urf Al-Shar’i yaitu lafad yang digunakan syar’i untuk menunjukkan makna yang khusus bukan makna lainnya.17 Makna lughawinya tidak digunakan, yang digunakan adalah makna syar’inya.18 Sebagai contoh kata al-shalat, makna lughawinya adalah doa, tetapi yang dimaksudkan sh alat adalah makna syar’inya yaitu ibadah khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Juga kata al-shaum, makna lughawinya adalah menahan diri dari ucapan, makanan, minuman, jimak, dan lain-lainnya. Sedang makna syar’inya adalah menahan diri dari hawa nafsu perut dan farj sejak terbitnya matahari sampai terbenamnya. 3. Dari segi keabsahannya ‘Urf dipandang dari segi keabsahannya dibagi menjadi dua, yaitu ‘Urf shahih ( )ا ف اdan ‘Urf fasid ( )ا ف ا. ‘Urf shahih adalah apa yang telah menjadi kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara' dan tidak enghalalkan sesuatu yang telah dianggap haram oleh syara' dan tidak membatalkan yang wajib.19 Contohnya mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan pernikahan dengan memberikan hadiah bukan mahar, memberikan hadiah kepada orang tua atau anak yang berprestasi atau mengadakan acara halal bi halal. Semua kebiasaan ini dipandang baik dan tidak bertentangan dengan nash. Al-‘Urf al-Fasid ( )ا ف اadalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tetapi berlawanan dengan ketentuan syariat atau menghalalkan yang haram atau membatalkan yang
15
Wahbah Al-Zuhaili, Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Islami Juz II, 830 Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Salam, tth), jilid II, 504 17 Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, 505 18 Ibnu Abidin, Majmuah Rasail Ibn ‘Abidin, 114 19 Abdul Wahhab Khal.af, Ilmu Ushul Fiqh, 89 16
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
21 wajib20, misalnya perjanjian-perjanjian yang bersifat riba, menarik hasil pajak penjudian dan lain sebagainya. C. URF DALAM PANDANGAN ULAMA USHUL FIQIH Sungguhpun pada prinsipnya mayoritas ulama menerima Urf sebagai salah satu dalil syar’i, namun masing-masing ulama memiliki perbedaan dalam dalam aksentuasinya: 1. Mazhab Hanafi Ulama Hanafiah pada prinsipnya menggunakan urf dalam persoalan-persoalan yang tidak ada dasar hukumnya di dalam AlQur’an dan Al-Sunnah. Adapun penggunaannya adalah sebagai berikut: a. Nash lebih didahulukan daripada Urf Ulama Hanafiah seperti ulama-ulama mazhab lainnya tetap menjadikan nash Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang shahihah sebagai dalil syar’i yang utama. Selama masih ada dalam keduanya, ulama Hanafiah tidak menggunakan sumber-sumber lain termasuk urf dalam istinbat hukumnya. Hal ini dapat dilihat dalam persoalan riba. Ulama Hanafi berpendapat bahwa dalam menentukan kuantitas barang-barang ribawi harus sesuai dengan ketentuan dari Rasulullah SAW, sungguhpun tradisi yang berkembang tidak seperti yang dipraktikkan Nabi. Gandum, jewawut, kurma, dan garam itu harus ditakar sedangkan emas dan perak harus ditimbang. Semua hal yang sudah dinashkan oleh Rasulullah SAW tentang keharamannya jika terjadi ketidakseimbangan, kalau sudah ditentukan untuk ditakar maka hukumnya harus menggunakan takaran selamanya, sungguhpun kebanyakan orang tidak melakukannya seperti dalam menentukan kuantitas gandum, jewawut, kurma dan garam. Sedangkan semua barang yang sudah ditentukan cara mengukur kuantitasnya dengan ditimbang, maka selamanya harus ditimbang sungguhpun kebiasaan mayarakat tidak melakukannya seperti emas dan perak. Keduanya tidak boleh dirubah oleh Urf. Karena Nash lebih kuat daripada Urf dan yang lebih kuat tidak boleh ditinggalkan. Berbeda dengan keenam macam di atas. Maka selain keenam barang di atas yang belum ada ketentuan nashnya cara menentukan kuantitasnya 20
Abdul Wahhab Khal.af, Ilmu Ushul Fiqh, 89.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
22 dikembalikan kepada tradisi masyarakat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Segala sesuatu yang menurut orang mukmin baik, maka menurut Allah pun baik.”21 Dalam kasus ini, Ulama Hanafiah lebih mengedepankan nash daripada adat. Hal ini ditegaskan dalam kaidah: ٢٢
ﻰﻧ ﺑﹺﺎﻟﹾﺄﹶﺩﻙﺮﺘﻯ ﻟﹶﺎ ﻳﺍﻟﹾﺄﹶﻗﹾﻮ ﻭﻑﺮ ﺍﻟﹾﻌﻦﻯ ﻣ ﺃﹶﻗﹾﻮﺺﺍﻟﻨ
Nash lebih kuat daripada adat isti adat, dan yang lebih kuat tidak boleh dikalahkan oleh yang lebih lemah. Jadi dalam mazhab Hanafi sendiri kedudukan nash masih menjadi prioritas, artinya apabila suatu kasus sudah ditentukan hukumnya atau kaifiyatnya maka yang berlaku adalah sebagaimana yang ada dalam nash, sungguhpun ada tradisi masyarakat yang berkembang. b. Urf dapat didahulukan daripada Qiyas Dalam mazhab Hanafi apabila suatu kasus hukum tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan ketika dikembalikan kepada qiyas justru tidak mendatangkan kemaslahatan atau tidak dapat diopersionalisasikan karena mendatangkan kesulitan (masyaqqah), maka dibolehkan menggembalikannya kepada Urf. Praktik ini sering disebut dengan istihsan al-urf 23 atau istihsan yang sandarannya adalah urf. Pernyataan kalangan Hanafiah tentang hal ini tergambar dalam kitab Ushul Al-Sarahsy berikut: Dalil yang bertentangan dengan qiyas yang jelas yang didahului hipotesis sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku di masyarakat dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata dalil yang bertentangan dengan qiyas lebih kuat, karena itu mengamalkan dalil yang lebih kuat itu hukumnya wajib.24
21
Ibnu Humam, Fath al-Qadir, (ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth.), Juz XV, h.309 Ibid. 23 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (ttp.: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, tth.), h. 274 24Abu Bakar Al-Sarahsi, Ushul Al-Sarahsyi, (Makatabah Syamilah edisi 2), Juz II, h. 22
200
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
23 Sebagai contoh lain adanya hadits Nabi SAW yang melarang jual beli dengan persyaratan, tetapi ulama Hanafiah justru memandang kebolehan persyaratan yang dibuat berdasarkan urf seperti dalam aqad istishna. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya qiyas tidak memperbolehkannya, tetapi kami meninggalkan qiyas dan mempraktikkan ishtisna berdasarkan kenyataan tiak ada seorang sahabat, tabiin, dan ulama-ulama di setiap zaman yang mengingkarinya.” Istishna bila diqiyaskan dengan persyaratan dalam jual beli maka hukumnya menjadi tidak boleh, karena dalam istishna sebagaimana halnya dalam salam saat aqad dilangsungkan ma’qud alaih-nya tidak ada. Sementara dalam jual beli, maqud alaih harus ada ketika aqad sedang berlangsung berdasarkan hadis Nabi SAW yang melarang jual beli yang mengandung gharar. Jadi kalangan Hanafiah mendahulukan urf daripada Qiyas manakala hokum yang berdasarkan qiyas itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat yang berlaku, sehingga kalau dipaksakan akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Karena itu, dalam kondisi seperti ini menurut kalangan Hanafiah, Urf didahulukan daripada qiyas. Sebagai contoh penggunaan air dalam kamar mandi umum yang masuknya berdasarkan sewa. Kalau menurut qiyas, maka penggunaan air harus sesuai dengan banyaknya uang yang dibayarkan. Karena hal ini dianggap transaksi jual beli. Namun adat kebiasaan masyarakat berkata lain, bahwa dalam hal penyewaan kamar mandi maka penyewa dapat menggunakannya sesuai kebutuhannya. Dan tradisi masyarakat yang berlaku adalah penyewaan kamar mandi tanpa membatasi penggunaan air dan fasilitas lainnya. Karena itu, menurut kalangan Hanafiah dalam kondisi seperti ini urf lah yang berlaku. c. Urf dapat menjadi muqayyid dan mukhoshish bagi dalil Syar’i Urf menurut mazhab Hanafi dapat menjadi mukhoshish bagi nash-nash yang bersifat umum dan zhonniy, bukan pada nashnash yang qath’iy. Hal ini dapat diketahui dalam kitab Radd AlMukhtar dikatakan: ٢٥
25
ﺍﺪﻘﹶﻴ ﻣﻠﹸﺢﺼ ﻳﺎﻡ ﺍﻟﹾﻌﻑﺮﺇﻥﱠ ﺍﻟﹾﻌ
Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, (ttp.: Maktabah Syamilah Edisi 2, tth,), Juz XVIII,
h. 248
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
24 Sesungguhnya urf yang umum dapat menjadi muqayyid (pengikat) Urf yang berlaku di masyakat dapat menjadi pengikat bagi lafal-lafal yang bersifat mutlak, seperti ketika ada seorang yang menyewa kuda untuk mengangkut sepuluh karung beras, kemudian digunakan untuk mengangkut sepuluh karung pasir dalam ukuran yang sama, maka hal ini tidak diperbolehkan, tetapi jika digunakan untuk mengangkut sepeuluh kantung gabah atau barang-barang yang lebih ringan maka hal itu dibolehkan berdasarkan Urf. Ibnu Abidin dalam kitabnya Radd Al-Mukhtar merumuskan dengan kaidah:
ﺇﻥ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﺍﻟﻌﺎﻡ ﻳﺘﺮﻙ ﺑﻪ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻭﻳﺼﻠﺢ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﳐﺼﺼﺎ ﻟﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ Sesungguhnya urf yang umum dapat meninggalkan qiyas dan dapat menjadi mukhoshshis bagi dalil syar’i. Sehingga kalau ada lafal-lafal yang umum dalam nash dapat ditakhsish dengan urf : (26 )ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻋﺎﻣﺎ ﳚﻮﺯ ﲣﺼﻴﺼﻪ ﺑﺎﻟﻌﺮﻑseperti orang yang bersumpah tidak makan kepala, maka menurut Urf yang dimaksudkan adalah orang tersebut tidak akan makan kepala kambing, kerbau atau sapi karena ini yang biasa dijual di pasar, bukan kepada burung atau sejenisnya.27 Dalam penerapan Urf ini, telah banyak kaidah-kaidah Ushuliah yang dibangun berdasarkan Urf di kalangan mazhab Hanafi yang tersebar di beberapa kitab ushul dan fiqih mazhab Hanafi, di antaranya: ٢٨
ﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻌﺮﻑ ﻛﺎﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ
.١
Hukum yang ditetapkan dengan Urf sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil syar’i. ٢٩
ﺺﻴﹺﲔﹺ ﺑﹺﺎﻟﻨﻌ ﻛﹶﺎﻟﺘﻑﺮﻦﹺ ﺑﹺﺎﻟﹾﻌﻴﻌﺍﻟﺘ-٢
Sesuatu yang ditentukan dengan urf sama kuatnya dengan sesuatu yang ditetapkan dengan nash.
26
Ibid, Juz IV, hal. 84 Ibnu Abidin, Juz IV, hal. 84 28 Al-Sarahsi, Al-Mabsut, 15/278 29 Al-Sarahsi, Al-Mabsuth, juz 15, hal.. 84 27
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
25 ٣٠
ﻁﺮﻠﹸﻮﻡﹺ ﺑﹺﺎﻟﺸﻌ ﻛﹶﺎﻟﹾﻤﻑﺮ ﺑﹺﺎﻟﹾﻌﻠﹸﻮﻡﻌ ﺍﻟﹾﻤ-٣
Sesuatu yang diketahui dengan Urf sama kuatnya dengan sesuatu yang diketahui dengan syarat. ٣١
ﺗﻌﺎﻣﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻏﲑ ﻧﻜﲑ – ﺃﺻﻞ ﰲ ﺍﻟﺸﺮﻉ-٤
Kebiasaan manusia yang tidak diingkari merupakan dasar hokum menurut Syara’ ٣٢ ﻬﹺﻢﻭﻃﺮ ﺷﺪﻨﻮﻥﹶ ﻋﻤﻠﺴ ﺍﻟﹾﻤ-٥ Orang-orang Islam tergantung kepada persyaratan di antara mereka ٣٣
ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ ﻋﺮﻓﺎ ﻛﺎﳌﺸﺮﻭﻁ ﺷﺮﻁ-٦
Sesuatu yang diketahui berdasarkan urf, sama halnya sesuatu yang dipersyaratkan menurut syarat. ٣٤
ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﳛﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﺘﻌﺎﺭﻑ-٧
Perkataan yang mutlak mengandung pengertian yang dimengerti bersama ٣٥
ﻑﺎﺭﻌﺘ ﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤﺮﹺﻑﺼﻨ ﻳﻘﹾﺪ ﺍﻟﹾﻌﻄﹾﻠﹶﻖﻣ-٨
Akad yang mutlak tergantung kepada apa yang dimengerti bersama. ٣٦
ﻑﺮ ﺍﻟﹾﻌﻟﹶﺎﻟﹶﺔ ﺑﹺﺪﺪﻘﹶﻴﺘ ﻳﻘﹾﺪ ﺍﻟﹾﻌﻄﹾﻠﹶﻖﻣﻭ-٩
Akad yang mutlak ditaqyid (diikat) berdasarkan adat kebiasaan. 2. Mazhab Maliki Ulama mazhab Maliki dalam istinbath hukumnya menggunakan urf sebagai dalil syara. Dikalangan Malikiah terkenal kaidah-kaidah yang berdasarkan urf , misalnya: ٣٧
ﺔﹲﻜﱠﻤﺤﺓﹶ ﻣﺎﺩﺍﻟﹾﻌ
30
Ibid., Juz 18, hal. 84 Al-Sarahsi, Al-Mabsut, Juz 13, hal.. 77 32 Ini berasal dari hadits Nabi SAW yang dipakai secara luas di kalangan mazhab Hanafi, hal. ini dapat dilihat dalam Kitab Khasyiah Radd Al-Muhtar, Juz IV, hal.. 345, AlMabsut, juz XIII, hal. 373. Badai’ Al-Shana’i, Juz IV, hal. 103, Fath Al-Qadir, Juz IV, hal.. 133. 33 Muhammad Alauddin bin Ali Al-Hisni, Radd Al-Muhtar, (ttp.; Maktabah Syamilah, tth.), Juz VI, hal. 265. 34 Ibnu Abidin, Hasyiah Radd Al-Mukhtar, Juz IV, hal.. 503 35Al-Sarahsi, Al-Mabsut, jJuz XVIII, hal.. 461 36 Ibid., Juz XIII, hal.. 260 37 Hasyiah al-Dasuki ala Al-Kabir, Juz XV, h. 372 31
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
26 Adat istiadat berdaya hukum ٣٨
ﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﺍﻟﻌﺮﻑ ﻛﺎﺍﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻨﺎﺹ
Hukum yang ditetapkan dengan adat isti adat sama kuatnya dengan hukum yang ditetapkan dengan nash. ٣٩
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭﻻ ﺿﺎﺑﻂ ﻟﻪ ﻭﻻ ﰲ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﺮﺟﻊ ﻓﻴﻪ ﺍﱄ ﺍﻟﻌﺮﻑ
“Semua ketentuan syara’ yang mutlak dan tidak disertai dengan dalil syara’ ataupun kaidah bahasa yang membatasinya, maka hukumnya dikembalikan kepada adat isti adat.” Bahkan ulama mazhab Maliki banyak menggunakan ‘amal ahli madinat (tradisi masyarakat Madinah) sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukumnya.40 3. Mazhab Syafi’i Kalangan Syafiiyah menggunakan Al-Urf dengan sangat hati-hati tidak sebagaimana Malikiah. Kalangan Syafiiyah menggunakan Urf dengan syarat tidak ada pertentangan antara urf dan nash. Di kalangan Syafi’iyah dikenal kaidah: ٤١
ﻓﺎﻟﺮﺟﻮﻉ ﻓﻴﻪ ﺇﱄ ﺍﻟﻠﻐﺔ، ﻭﻫﻮ ﳑﺎ ﳜﺘﻠﻒ ﺗﻔﺼﻴﻠﻪ، ﺩﺪﺤ ﻣﺮﻛﻞ ﻣﺎ ﻭﺭﺩ ﺑﻪ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻏﹶﻴ
“Semua ketentuan syara’ yang tidak dibatasi dan perinciannya berbeda, maka hukumnya dikembalikan kepada bahasa. Dengan tidak adanya ketentuan yang membatasi ini menunjukkan bahwa syari pemberian peluang bagi pemahaman urf dari aspek kebahasaan untuk membatasinya sesuai dengan pemahaman masyarakat sekitar.
ﺇﻥ ﺍﳌﻌﺎﻣﻠﺔ ﺗﺒﲏ ﻋﻠﻲ ﻣﻘﺎﺻﺪ ﺍﳋﻠﻖ ﻻ ﻋﻠﻲ ﺻﻴﻎ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺳﻴﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻋﻢ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﰲ ﺑﺎﺏ ٤٢
ﻓﻬﻮ ﺍﳌﺘﺒﻊ
38 Hammad bin Abdurrahmad Al-Junaidil, Manahij Al-Bahitsin fi Al-Iqtishad Al-Islami, (ttp: Syirkah Ubaikan li Al-thab’I wa Al-Nasyr, 1406 H.), Jilid I, h. 206 39 40
Abdul Wahhab Khal.laf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, h. 90 Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Fiqh Imam Al-Haramain, h. 375 42 Ibid. 41
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
27 Sesungguhnya muamalat itu dibangun berdasarkan tujuan-tujuan kemanusiaan tidak atas bentuk-bentuk lafadz berbeda halnya jika ada urf yang umum maka harus diikuti. ٤٣
ﻣﻦ ﱂ ﳜﺮﺝ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﰲ ﺍﳌﻌﺎﻣﻠﺔ ﺗﻔﻘﻬﺎ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻋﻠﻲ ﺣﻆ ﻛﺎﻣﻞ ﻓﻴﻬﺎ
Barangsiapa tidak mengeluarkan (menggunakan) urf dalam muamalat karena pemahamannya maka pasti tidak akan mendapatkan pemahaman yang sempurna. Ibnu Abdus Salam berkata, mengeluarkan kaidah:
“Fuqaha
Mazhab
Syafii
ﺇﻟﹶﻰﻴﻪ ﻓﻊﺟﺮ ﻳ، ﺔﻲ ﺍﻟﻠﱡﻐﻟﹶﺎ ﻓ ﻭ، ﻴﻪ ﻓﺎﺑﹺﻂﹶ ﻟﹶﻪﻟﹶﺎ ﺿ ﻭ، ﻄﹾﻠﹶﻘﹰﺎ ﻣﻉﺮ ﺍﻟﺸ ﺑﹺﻪﺩﺭﺎ ﻭﻛﹸﻞﱡ ﻣ ٤٤
ﻑﺮﺍﻟﹾﻌ
“Semua ketentuan syara’ yang mutlak dan tidak disertai dengan dalil syara’ ataupun kaidah bahasa yang membatasinya, maka hukumnya dikembalikan kepada adat isti adat.” Juga kaidah:
ﻰﺘﺔﹸ ﺣ ﺍﻟﻠﱡﻐﺕﺠﹺﺮﺇﹺﻥﹾ ﻫ ﻭ، ﺔﹸ ﺍﻟﻠﱡﻐﺮﺒﺘﻌ ﻓﹶﺎﻟﹾﻤ، ﺔﹶﺘ ﺃﹶﻟﹾﺒﻪﺟ ﻭﺔﻲ ﺍﻟﻠﱡﻐ ﻓ ﻟﹶﻪﺲ ﻟﹶﻴﻑﺮﺇﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﹾﻌ ٤٥
ﻑﺮ ﺍﻟﹾﻌﻡ ﻗﹸﺪ، ﺎﺴِﻴﻨﺎ ﻣﻴﺴ ﻧﺕﺎﺭﺻ
“Apabila suatu urf dilihat dari segi bahasa tidak mempunyai sisi ketetapan, maka yang digunakan adalah segi bahasanya, dan apabila sisi bahasanya tidak digunakan bahkan dilupakan masyarakat, maka yang digunakan adalah urf .” Kaidah berkaitan dengan Aiman (sumpah): ٤٦
ﺔ ﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﱡﻐﻮﻉﺟ ﻓﹶﺎﻟﺮﺏﻄﹶﺮ ﻓﹶﺈﹺﻥﹾ ﺍﺿ، ﻄﹶﺮﹺﺏﻀ ﻳ ﺇﺫﹶﺍ ﻟﹶﻢﻑﺮﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻌﺎ ُﺀ ﻋﺍﻟﹾﺒﹺﻨ
(Ketetapan hokum sumpah) dibangun berdasarkan urf apabila tidak ada yang bertentangan, maka apabila ada yang bertentangan kembali kepada bahasa.
43
Ibid. Al-Asbah Wa Al-Nazhair, Juz 1, h. 180 45 Al-Asybah wa Al-Nazhoir, Juz 1, h. 171. 46 Ibid., h. 173 44
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
28 Jadi penggunaan urf di kalangan mazhab Syafi’i sangat terbatas, bahkan dalam kondisi urf satu sama lain bertentangan maka yang dipakai adalah pengertian bahasa. Wahbah Az-Zuhaili bahkan menyatakan bahwa kalangan Syafi’iyah hanya menggunakan urf amali dan menolak urf qauli.47 Namun demikian, dari beberapa kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa kalangan Syafi’I menggunakan urf dalam ijtihadnya manakala tidak ditemukan dalildalil syar’I yang muttafaq fiha.48 4. Mazhab Hanbali Kalangan Hanabilah banyak menggunakan urf di bidang Fikih Muamalah. Seperti dikatakan Ibnu Qayim al-Jauziyah bahwa Urf telah ramai diperbincangkan masyarakat pada lebih dari seratus persoalan di antaranya adalah intervensi negara dalam muamalah, mendahulukan makanan untuk tamu, boleh mengambil makanan yang jatuh dengan tangan kiri, minum langsung dari kran atau pun kotak minuman yang tersedia di jalan-jalan, masuk toilet umum tanpa izin terlebih dahulu, memukul binatang yang disewa jika ia tidak mau berjalan, mengandanginya jika sudah sampai ditujuan atau akan ditinggal pergi….”49 Penggunaan urf di kalangan Mazhab Hanbali ditegaskan dalam Syarh Al-Kabir li Ibn Al-Qudamah:
ﺇﻥ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﺃﺣﻞ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻭﱂ ﻳﺒﲔ ﻛﻴﻔﻴﺘﻪ ﻓﻮﺟﺐ ﺍﻟﺮﺟﻮﻉ ﻓﻴﻪ ﺇﱃ ﺍﻟﻌﺮﻑ
Sesungguhnya Allah SWT menghalalkan jual beli tetapi Allah tidak menjelaskan tata cara jual beli, maka dari itu dalam persoalan ini wajib kembali kepada urf . Dalam kitab Qawaid Al-Ahkam fi Mashalaih Al-Anam, penggunaan urf di kalangan Hanabilah ditegaskan:
47
Wahbah Al-Zuhaili, Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Islami Juz II, h. 831 Dalil-dalil Syar’I muttafaq fiha adalah dalil-dalil yang tidak diperselisihkan oleh ulama dalam penggunaannya. Ada empat yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijmak dan AlQiyas. 49 Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub al-Dimasyqi Abu Abdullah Syamsuddin, salah satu tokoh memelopori pembaharuan dalam Islam, ulama besar, murid Ibnu Taimiyyah. Di antara karya-karyanya adalah, "A`lam al-Muwaqqi`in, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar`iyyah, dan Miftah Dar al-Sa`adah. Dia dilahirkan di Damakus tahun 691 H, wafat di kota yang sama tahun 751 H. (Lihat Syidzrat al-Dhahab, jilid 6, h. 168) 48
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
29 ٥٠
ﺎﺱ ﺍﻟﻨﻓﹸﻪﺎﺭﻌﺘﺎ ﻳ ﺇﻟﹶﻰ ﻣ ﺃﹶﻭ، ﻉﹺﺮﻲ ﺍﻟﺸ ﻓﺮﹺﻑﺎ ﻋ ﺇﻟﹶﻰ ﻣﻴﻪ ﻓﺟﹺﻊﺮ ﻳﻪﻭﺃﹶﻧ
Dan sesungguhnya (persoalan) itu kembali kepada apa yang diketahui syara’ atau kepada apa yang telah dikenal oleh masyarakat. ٥١
ﺍﻟﻌﺮﻑ ﺃﺻﻞ ﻛﺒﲑ ﻳﺮﺟﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﰲ ﻛﺜﲑ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ ﻭﺍﳊﻘﻮﻕ ﺍﻟﱵ ﱂ ﺗﻘﺪﺭ ﺷﺮﻋﺎ ﻭﻻ ﻟﻔﻈﺎ Urf merupakan asal yang besar yang sebagai tempat dikembalikannya berbagai persoalan syarat dan hak-hak yang belum ditentukan oleh syara dan lafadz. Abu Zahrah berkata, “Mazhab Hanbali sebagaimana mazhab Maliki dan Hanafi –yang menundukkan fatwa tidak pada tempat nash dan atsar kepada urf, maka ukuran seorang mufti itu baik jika fatwanya sesuainya dengan kebiasannya masyarakat sungguhpun tidak ada atsar yang membantu atau kemaslahatan yang mendukung untuk menetapkan hokum yang tetap dalam hati, dan menjadikan fatwa layak digunakan untuk masyarakat dan melekat dalam kebiasaan mereka karena fatwa-fawa tersebut dibuat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di masyarakat itu sendiri.”52 Kesimpulannya madzhab Hanbali juga menjadikan urf sebagai dalil syar’i manakala tidak ditemukan dalil-dalil dalam Al-Qur’an, AlSunnah dan indikator-indikator kemaslahatan.
D. Syarat-syarat berlakunya Urf Para ulama mujtahid sungguhpun mereka menggunakan urf, tetapi dalam penggunaanya tidak dilakukan secara mudah, namun harus memperhatikan syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Sehingga ketika ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka urf tidak dapat dijadikan sebagai dalil syar’i. Adapun syarat-syarat tersebut menurut Hammad bin Abdurrahman Al-Juanidil sebagai berikut:53 1. Kesesuaiannya dengan Kaidah-kaidah Syara’ Urf yang dijadikan sebagai dalil syar’i harus sesuai dengan kaidah-kaidah syara’. Yang dimaksudkan adalah urf tersebut tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan kaidah-kaidah 50
Qawaidul Ahkam fi Mashal.ih Al-Anam, Juz 1, h. 103 Majmuatul Fatawi, 91/34 52 Abu Zahrah, Ilmu Ushul Al-fiqh. 53 Hammad bin Abdurrahman Al-Juanidil, Manahij al-Bahitsin fi al-Iqtishad Al-Islami, 51
h. 207
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
30 kemashlahatan dalam hokum Islam. Apabila urf bertentangan dengan nash-nash syar’I, maka sudah jelas urf tersebut harus ditolak, karena urf seperti itu tidak bisa dijadikan dalil syari. Urf yang dapat ditetapkan sebagai dasar hokum adalah urf yang shahih, adapun jika bertentangan dengan nash syar’i disebut dengan urf fasid. Misalnya jika masyarakat memiliki tradisi makan harta riba atau minum minuman keras, maka kebiasaan semacam itu tidak dapat dijadikan`dalil syar’i dan tidak memiliki nilai apa pun karena bertentangan dengan syara’. Kehujjahannya pun gugur. Imam Suyuthi berpendapat bahwa `urf ada dua macam, pertama urf yang tidak berhubungan dengan hukum syara’. Urf semacam ini dapat digunakan sebagai dalil syar’i. Contohnya jika ada orang yang bersumpah tidak makan daging, maka tidak dianggap melanggar sumpah jika ia makan ikan, belalang, limpa, dan hati, karena adat menyatakan semua itu bukan daging. Karenanya, ia tidak dibebani dan terkena hukum sumpah. Kedua, `urf yang berhubungan dengan hukum. Dalam hal ini hokum syara’ harus didahulukan daripada urf. Contohnya ada seorang yang bersumpah tidak akan shalat, maka sumpahnya tidak berlaku kecuali terhadap ruku’ dan sujudnya itu sendiri, atau jika ada oranga bersumpah tidak puasa, maka tidak dianggap melanggar sumpah dengan menahan diri secara mutlak. 2. Urf tersebut berlaku di tengah masyarakat Urf yang dapat dijadikan dalil syar’I adalah urf yang dipahami, dikenali dan berlaku di tengah masyarakat. Artinya mayoritas masyarakat memahami maksudnya jika ada seseorang melakukan urf tersebut. Sesuatu disebut kebiasaan jika ia terjadi secara terusmenerus atau dilakukan mayoritas (masyarakat).54 Imam Al-Suyuti mengatakan bahwa adat dapat dijadikan dalil syar’i jika sudah berlaku di masyarakat, maka jika terjadi pertentangan di tengah masyarakat urf tersebut tidak berlaku. 55 3. `Urf Harus Berbarengan Urf yang muncul setelah terjatinya kasus tidak boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Urf harus sudah lebih dahulu ada daripada kasus.56 Ibnu Nujaim berkata, 54
Asybah wa Al-Nazhair, h. 101 Asybah wa al-Nazhair, 92 56 Umair Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, h. 513 55
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
31 “Lafadz-lafadz yang dapat dikategorikan sebagai urf adalah yang sudah muncul terlebih dahulu, karena itu ulama berkata, ‘Tidak boleh dijadikan dalil syari urf yang baru muncul, dalam hal ini itu urf dianggap sebagai dalil dalam muamalat tetapi tidak tidak dianggap dalil dalam kasus hokum, maka kasus hokum itu dibiarkan dalam keumumannya dan tidak boleh dikhususkan oleh urf semacam ini.’”57 3. Urf diakui oleh dua orang yang bertransaksi Apabila dua orang yang melakukan transaksi mengingkari `urf yang dipraktekkan masyarakat, maka urf yang berlaku tersebut tidak dapat dijad. Dalam kasus ikan dalil. Al-`Izz bin Abdussalam berkata, "Segala sesuatu yang sudah ditetapkan oleh urf, tetapi kemudian dua orang yang berakad menyatakan keberatan atas urf tersebut, maka hal ini dibolehkan.”58 Syarat-syarat inilah yang disepakati oleh fuqaha madzhab empat. E. APLIKASI URF DALAM FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL Sebagai bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), maka dalam mengeluarkan fatwa Dewan Syariah Nasional mengikuti Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI, yang pada intinya berdasarkan kepada Al-Quran, Al-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas59. Dalam Bab III tentang Metode Penetapan Fatwa dijelaskan lebih detail sebagai berikut: 1. Sebelum fatwa ditetapkan hendalah ditinjau terlebih dahulu pendapat para imam Madzhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut secara seksama berikut dalil-dalilnya. 2. Masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam al-qath’iyyah) hendaklah disampaikan sebagaimana adanya. 3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka: a. penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Tawfiq, dan
57
Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nazhair, h. 101 Al-`Izz bin Abdussalam, Qawa`id al-Ahkam, jilid 2, h. 186 59 Bab II ayat I, Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI 58
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
32 b. Jika usaha penemuan titik pertemuan itu tidak berhasil, maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah al-madhahib dengan menggunakan kaedah Ushul alFiqh al-Muqaran. 4. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan madzhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-dzariah. 5. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (masalih al-‘ammah) dan aqasid al-shari‘ah. Penggunaan urf dalam fatwa Dewan Syariah Nasional terdapat pada metode istishlahi; yaitu metode yang berdasarkan kemaslahatan umum, di antaranya adalah al-maslahah al-mursalah, al-istishab, sadd aldzarai‘ dan ‘urf. Penggunaan urf dalam fatwa DSN hampir pada semua fatwanya, dapat dilihat misalnya dalam fatwa tentang Giro, Tabungan, Salam, Istitsna, Musyarakah, Kafalah, Hawalah, Uang Muka Mudharab, Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah, Syariah Card, Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah, Obligasi Syarhiah, Penyelesaian Utang dalam Ekspor dan Impor, Anjak Piutak Syariah, dan Rahn Tasyjili. Kaidah yang digunakan DSN dalam penerapan urf adalah: ٦٠
ْ ِ ُوط ِ "ُ $َ %ْ ِ َا ْ ُ ْ' ِ ُ ن
Orang-orang Islam tergantung kepada persyaratan di antara mereka Dan kaidah: ع ِ ِ ﱠ# $َ ف ِ ْ ُ ْ ِ ُ!ِ ﱠ# ا ِ َْ ِ ! Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat) Penggunaan kaidah di atas mengindikasikan Dewan syariah Nasional menerima urf sebagai bagian dari sumber hukum Islam, bahkan menempatkannya sejajar dengan syara’ sebagaimana dalam mazhab Hanafi. Penggunaan urf hampir pada semua fatwanya di bidang Fiqih Muamalah juga menandakan dalam Fiqih Muamalah terbuka ruang untuk mengadopsi hukum-hukum adat yang hidup di
60
Ini berasal dari hadits Nabi SAW yang dipakai secara luas di kalangan mazhab Hanafi, hal. ini dapat dilihat dalam Kitab Khasyiah Radd Al-Muhtar, Juz IV, hal.. 345, AlMabsut, juz XIII, hal. 373. Badai’ Al-Shana’i, Juz IV, hal. 103, Fath Al-Qadir, Juz IV, hal.. 133.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
33 tengah-tengah masyarakat sebagai hukum Islam selama tidak bertentangan dengan syara’. Dalam konteks ini, Dewan Syariah Nasional mengaplikasikan kaidah:
ﺎﻬﻳﻤﺮﹺﺤﻠﹶﻲ ﺗﻞﹸ ﻋﻴﻟﻝﱠ ﺍﻟﺪﺔﹸ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺃﹶﻥﹾ َﻳﺪﺎﺣ ﺍﻟﹾﺈﹺﺑﻠﹶﺔﺎﻣﻌﻲ ﺍﻟﹾﻤﻞﹸ ﻓﺍﹶﻟﹾﺄﹶﺻ “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Dengan kaidah tersebut, Dewan Syariah Nasional dapat mengeluarkan fatwa yang cukup banyak di bidang Fiqih Muamalah. Dalam kurun waktu satu dekade, fatwa DSN mencapai 78 fatwa (setidaknya sampai buku kedua Himpunan Fatwa DSN dibukukan). Produktifitas fatwa ini dapat dicapai karena dalam Fiqih Muamalah memiliki keluasan sumber dalil hukum Islam, di antaranya adalah ’urf itu sendiri. F. Kesimpulan Ulama Ushul telah menjadikan ’urf sebagai salah satu dalil syar’i sungguhpun aksentuasi dalam penggunaannya berbeda-beda. Ulama Hanafi dikenal liberal dalam penggunaan ’urf karena mereka menyejajarkan hukum yang berdasarkan ’urf sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’. Hukum-hukum yang ditetapkan dengan ’urf biasanya berkaitan dengan fiqih muamalah. Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional juga menerapkan ’urf dalam ijtihadnya di bidang ekonomi syariah. ’Urf dalam pandangan DSN, hampir sama dengan pandangan Ulama Hanafi, yaitu hukumhukum yang ditetapkan oleh ’urf sama kedudukannya dengan hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara’. DAFTAR PUSTAKA Abd al-Wahhab KHallaf, ‘Ilm al-Ushul al-Fiqh, Ttp.: Dar al-Fikr, 1978 Abdul Azhim Ad-Adib, Fiqh Imam Al-Haramain Khashaisuhu, Atharuhu, wamanziluhu, Manshurah: Dar al-Wafa’, 1988. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Kuwait: Dar Al-Fikr, 1978 Abdullah bin Mahmud bin Maudul Al-Maushuli, Al-Ikhtiyar li ta’lil alMukhtar, ttp.: Maktabah Syamilah, tth.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
34 Abu Bakar Al-Sarahsi, Ushul Al-Sarahsyi, Makatabah Syamilah edisi 2. Al-Baihaki, Al-Sunan Al-Kubra, ttp.: Maktabah Syamilah Edisi 2, tth. Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Sharh al-Minhaj, (ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth.) Jilid 2, h. 416 Al-Kasani, Bada`i al-SHana`i, ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth Malik bin Anas, al-Muwatta’ , Mesir: Dar Ahya al-Turats al-Arabiy, tth. Al-Samarqandi, Tuhfat Al-Fuqaha, ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth. Amir Abdul Aziz, Ushul Fiqh Al-Islami, (ttp.: Dar Al-Salam, tth. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, 2005 As-Syatibi, al-Muwafaqat, Mesir: Makatabah Tijariah al-Kubra, tth. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari fi SHahihil Bukhari, Beirut, Dar alMa’rifah, 1379 M. Hammad bin Abdurrahman Al-Junaidil, Manahij Al-Bakhitsin fi Al-Iqtishad Al-Islami, ttp.: Syirkah Al-Ubaikan Li al-Thaba’ wa Al-Nasyr, 1406 H Ibn Abidin, Majmuah Risalah Ibn Abidin, ttp.: tp., tth. Ibnu Abidin, Hasyiah Radd Al-Mukhtar, (ttp.: Maktabah syamilah edisi 2, tth. Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, ttp.: Maktabah Syamilah Edisi 2, tth, Ibnu Humam, Fath Al-Qodir, ttp.: Maktabah Syamilah Edisi 2, tth Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa An-Nazhair, ttp.: Maktabah Syamilah, tth. Ibnu Qudamah, al-Mughni, ttp., Maktabah Syamilah Edisi 2, tth. Izzudin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalih Al-Anam, Beirut: Dar alMaarif, 1425 Jalaluddin Al-Suyuti, Al-Asbah Wa Al-Nazhair, ttp.: Dar Kutub al-Ilmiah, 1983 Khudari Bik, Tarikh Tasyri' Al-Islami, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub alArabiah, 1981. Muhamad Mahmud Al-Babarti, Al-Inayah Syarhul Hidayah,(ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth. Muhamad Syafii Antonio, Bank Syariah; suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
35 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahab Al-Islamiah, Ttp..: Dar Al-Fikr, tth. Muhammad Alauddin bin Ali Al-Hisni, Radd Al-Muhtar, ttp.; Maktabah Syamilah, tth. Muhammad Alauddin, Radd Al-Mukhtar, ttp.: Maktabah Syamilah, tth. Muhammad bin Arafah Addasuki, Hasyiah al-Dasuki ala Al-Kabir, ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth. Syeikh Zadah, Majma’ al-Anhar fi Sharh al-Multaqi al-Bahr, ttp.: Maktabah Syamilah edisi 2, tth. Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Syuriah: Dar al-Fikr, 1985. Wahbah Al-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986 Zainuddin Ibn Nujaim, Bahrur Roiq 'ala Sharh Kanz Al-Daqaiq, ttp.: Maktabah Syamilah Edisi 2, tth.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
36 PENGARUH ARISTOTELIAN TERHADAP PEMIKIRAN ISLAM (Ilmu Kalam dan Falsafat Islam) Oleh: Neneng Munajah∗ Abstrak Pemikiran dalam Islam khususnya Ilmu kalam dan Filsafat Islam, sangat bercorak Aristotelian. Kedua disiplin keilmuan Islam ini berkembang pada masa Khalifah Al-Ma’mun yang memberi ruang terhadap tumbuh sumburnya kegiatan intelektual seluas-luasnya. Hal ini ditandai dengan masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam. Tulisan ini, ingin menggambarkan bahwa Ilmu Mantiq yang kini menjadi materi dasar dan ilmu bantu dalam penguasaan garamatikal bahasa Arab di dunia pesantren di Indonesia, diambil dan dimodifikasi dari logika Aristoteles Keyword: Filsafat, Aristotelian, Rasionalisme, dan Pemikiran Islam A. PENDAHULUAN Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, tercatat ada dua corak pemikiran. Pertama pemikiran rasional, kedua pemikiran tradisional. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam yaitu antara tahun 650 sampai 1250M. sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam yaitu antara tahun 1250 sampai 1800M. Pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi mengenai bagaimana tingginya kedudukan akal sebagaimana terdapat pada alQur’an dan hadist. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisapur (Irak), Antioch (Syiria) dan Bactra (Persia). Di sana telah berkembang pemikiran rasional Yunani1.
∗ 1
Dosen Pemikiran Islam Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997), lihat Kata Pengantar
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
37 Pertemuan Islam dan peradaban Yunani telah melahirkan pemikiran rasional di kalangan Ulama Islam di zaman Klasik. Hanya saja perlu melihat dengan jeli, sebab ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Jika dalam pemikiran Yunani tidak dikenal agama samawi, tampak pemikirannya sangat bebas tidak terikat sama sekali pada ajaran-ajaran agama. Sedangkan pada zaman Klasik Islam pemikiran rasional ulama tampak sangat terkait pada ajaran-ajaran agama, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadist. Karena itu, di Yunani yang berkembang adalah pemikiran rasional yang sekuler. Sementara dalam Islam zaman Klasik yang berkembang adalah pemikiran rasional yang religius. Pemikiran para filosuf dan saintis sebagaimana halnya para ulama dalam bidang agama sendiri, terikat pada ajaran ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut. Dengan demikian dalam sejarah peradaban Islam, pemikiran para filosuf dan penemuan-penemuan saintis tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadist. Filsafat dan sains berkembang dengan pesat di Dunia Islam zaman Klasik, di samping disiplin keilmuan Islam seperti, tafsir, hadist, aqidah, ibadah mu’amalah, tasawuf dan lain sebagainya. Perkembangan yang pesat ini, bukan saja di Dunia Islam bagian Timur yang berpusat Baghdad, tetapi juga di Dunia Islam bagian Barat Andalusia (Spanyol) dengan kedua kotanya Cordova dan Sevilla. Dari pengamatan atas fenomena di atas, penulis berasumsi bahwa hadirnya pemikiran rasional di zaman Klasik Islam, adalah merupakan pengaruh dari salah seorang Filosuf Yunani Kuno, yaitu Aristoteles melalui ajaran-ajaran dan karyanya. Pada makalah ini, penulis ingin mencoba menelusuri sejauh manakah pengaruh Aristotelian terhadap pemikiran Islam, lebih focus pada Ilmu Kalam dan Falsafat Islam? B. PEMBAHASAN Bait al-Hikmah adalah suatu lembaga penelitian dan penerjemah sekaligus perpustakaan, yang didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 830M. Lembaga ini dijadikan sebagai basis colleksi manuskrip Yunani dan pusat penerjemahan buku-buku sains dari Yunani. Dalam rangka menyediakan dan melengkapi perpustakaan, al-ma’mun mengirim utusan ke Bizantium untuk memperoleh naskah-naskah lama karya Hellenisme, yang kemudian diterjemahkan oleh sekelompok sarjana seperti Yahya bin Masawih yang telah mengabdi kepada al
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
38 Manshur dan Harun al-Rasyid. Wacana-wacana yang dijadikan objek penelitian dan penerjemah adalah karya-karya tulisan dari Plato, Aristoteles, Hipocrates, Galen, Ptolemi dan lain sebagainya. Dari semua karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab2. Hunain bin Ishaq, seorang Kristen Nestorian dan Hirrah telah menerjemahkan karya-karya Yunani, diantaranya karya Aristoteles. Ia menerjemahkan Catagories, Phisic, Magna Moralia, Timeus dan Law serta Metafisika, Filsafat Jiwa, Komentar-komentar Alexander atas karya-karya Aristoteles. Bahkan menurut Stanton sampai abad ke-10 hampir semua karya-karya terkenal yang ada di Museum Hellenistik telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab3. Ali Sami al-Nasysyar mengatakan bahwa orang-orang Islam telah mengenal filsafat Aristoteles sejak abad pertama Hijriyyah. Ia mengemukakan alasan bahwa telah terjadi kontak intelektual antara orang-orang Islam dengan pemuka-pemuka gereja di Syam dan Mesopotamia, sebab pemuka-pemuka agama itu adalah guru-guru filsafat Yunani pada gereja-gereja dan biara-biara4. Demikian pula kata Nasyar, Halid bin Yazid (w.90H) pernah memerintahkan kepada pakarpakar Yunani yang tinggal di Iskandarriyah untuk menerjemahkan Organon (kitab Logika Aristoteles) ke dalam bahasa Arab. Ini berarti, orang-orang Islam telah mengenal Logika Aristoteles pada masa Bani Umayah, yaitu abad pertama Hijriyyah5. Sebagaimana diketahui bahwa sepeninggal Aristoteles pada tahun 322 SM bangsa Yunani mengalami masa kemunduran. Bertepatan dengan itu pula, Iskandar yang Agung membangun kota Iskandarriyah yang sangat berpengaruh besar di Lautan Tengah. Kemudian banyak ahli fikir, dan filosuf lahir bermunculan di kota tersebut sampai pada abad ke-7 M, saat dibebaskan Islam, maka kota inilah yang merupakan kota pusat studi Filsafat, Teologi, dan Sains yang sangat penting6. Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa Filsafat Yunani untuk pertama kalinya sampai ke tangan orang-orang Islam tidak langsung dari para filosuf Yunani sendiri, melainkan melalui daerahdaerah seperti Syam, Irak, dan Mesir dari Filosuf Yahudi dan Kristen. 2Masjid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, terjemah Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal.. 34 3 Philip K. Hitti, History of Arab, London: Mac Millan, Press, Ltd, 174 hal. 311 4 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, hal. 203 5 Ibid. Hal.. 204 6 Madjid Fakhri, op. cit, Hal. 27
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
39 Filsafat Aristotelianisme masuk ke Dunia Islam tidak sekaligus, tetapi melalui beberapa fase. Jamil Shaliba menyebutkan ada 3 fase. Fase pertama, abad ke-1 H (7 M) adalah fase penerjemahan ke dalam bahasa Arab. Fase kedua, abad ke-2 H (8 M) upaya pemberdayaan penerjemahan. Fase ketiga abad ke-3 H (9 M) adalah fase produktif yang merupakan puncaknya. Fase inilah yang akhirnya melahirkan para pakar, dan filosuf yang brilian. Pada masa ini pula, Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah lembaga pusat pengajaran, penelitian, penerjemahan dan sekaligus perpustakaan. Lembaga tersebut, dalam sejarah Islam dikenal dengan Bayt al Hikmah (215 H/ 830 M) yang menurut Harun Nasution lembaga ini memperkerjakan kurang lebih 90 orang ahli-ahli penerjemah7. Dengan demikian kegiatan penerjemahan dan kajian ilmu pengetahuan serta filsafat, telah dipelopori oleh para penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, sehingga dapat menjadi contoh bagi penguasapenguasa dan pejabat-pejabat selanjutnya, untuk terus melakukan penerjemahan dan menciptakan kondisi belajar yang kondusif, yang pada akhirnya membangkitkan motivasi umat Islam untuk mengkaji Warisan Hellenisme8. Dalam literature lain diterangkan bahwa ketika Harun al Rasyid menjadi khalifah (786M), dan sebelumnya ia belajar di Persia di bawah asuhan Yahya Ibn Khalid Ibn Barmak dan dengan demikian banyak dipengaruhi oleh kegandrungan keluarga Barmak pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Dibawah pemerintahan Khalifah Harun al Rasyid penerjemahaan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Beberapa staf dikirim ke Kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuscripts. Pada mulanya yang menjadi prioritas ialah buku-buku mengenai disiplin ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Buku-buku tersebut diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu, kemudian baru ke dalam bahasa Arab. Akhirnya penerjemahan dilakukan langsung ke dalam bahasa Arab.9 Penerjemah-penerjemah terkemuka pada saat itu antara lain adalah Hunain Ibn Ishaq (w. 873 M), seorang Kristen yang pandai bahasa Arab dan Yunani. Ia menerjemahkan sebanyak 20 buku Galen ke 7
Djamil Shal.iba, Tarykh al-Falsafat al-‘Arabiyah, Beirut, Dr al-Kitab al-Libnan 1973
8
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, 1978 hal.. 12 Ibid. hal. 11
hal.. 96 9
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
40 dalam bahasa Siria dan 14 buku lain ke dalam bahasa Arab. Anak Hunayn bernama Ishaq (w. 910 M), Thabit Ibn Qurra (w. 901 M), Queta Ibn Luqa, Hubaysh (kemenakan Hunayn), dan Abu Bishr Matta Ibn Yunus (w. 393 M). Dengan kegiatan penerjemahan ini, sebagian besar dari karangankarangan Aristoteles, sebagian yang lain dari buah tangan Plato, serta tulisan-tulisan tentang neo-Platonisme, sebagian lagi dari karangankarangan Galen serta karangan-karangan di bidang ilmu kedokteran dan pengetahuan Yunani lainnya, sehingga dapat dibaca oleh alim-ulama Islam. Sedangkan tulisan-tulisan mengenai filsafat. Telah banyak menarik perhatian kaum Mu’tazilah, sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan kekuatan akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Abu al-Huzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazzam, Bishr Ibn alMu’tamir dan lain lain banyak membaca literatur-literatur filsafat. Dalam pembahasan mereka tentang teologi Islam, daya kekuatan akal atau logika yang mereka temukan dalam falsafat Yunani, banyak mereka pakai. Tidak mengherankan jika teologi kaum Mu’tazilah mempunyai karakter rasional dan liberal.10 Berlangsungnya kontak intelektual antara Dunia Islam dan Hellenisme, membawa serta pengaruh yang sangat dalam bagi peradaban Islam, khususnya di bidang pemikiran Islam. Penerjemahan terhadap karya-karya Hellenisme tidak hanya meninggalkan karya terjemahan atau saduran belaka. Tetapi justru pada masa awal penerjemahan, telah banyak bermunculan karya orang-orang muslim yang lazimnya berbentuk ikhtisar atau interpretasi buku-buku Yunani. Setelah itu, kemudian lahirlah generasi penulis-penulis muslim yang orisinil. Mereka tidak lagi menerjemahkan, membuat ikhtisar, komentar atau sekedar mengutip, tetapi mereka telah mengembangkannya dengan melakukan refleksi, observasi ilmiah bahkan dapat memadukannya dengan konsep-konsep Islam, sehingga karya tersebut oleh Lapidus dan Bernand Lewis dikatakan sebagai karya umat Islam murni atau asli. Mendudung kedua orang sejarahwan tadi cendikiawan Nurcholish Masjid menegaskan, bahwa mustahil karya-karya orang-orang muslim tersebut dianggap sebagai carbon atau copy paste Hellenisme11.
10 11
Ibid. hal. 12 Harun Nasution, Sejarah Pendidikan Islam, Logos 1997, hal.. 33
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
41 1. Bidang Ilmu Kalam Menurut Ibn al-Nadim dalam al Fishrist, salah satu motif yang mendorong Khalifah al-Ma’mun menerjemahkan kitab-kitab yang berasal dari Yunani, khususnya kitab Logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab adalah bahwa: “al-Ma’mun mengatakan pada suatu kali ia bermimpi melihat seorang laki-laki berkulit putih, berkumis pirang, berkening lebar, berkepala botak, bermata biru, dan berpenampilan tenang. Ia duduk di atas sofa saya, kata al-Ma’mun, lantas ia ingin tahu siapa orang itu, dan saya bertanya: Engkau siapa? Saya adalah Aristoteles, jawab orang itu. Mendengar jawaban itu saya sangat senang sekali, kata al-Ma’mun. lalu saya berkata: hai filosuf besar, boleh saya bertanya pada engkau: silahkan jawab Aristoteles! Baik itu apa? Baik adalah yang baik menurut akal, jawab Aristo: kemudian apa lagi? Apa yang baik menurut Syara’ (agama): kemudian apa lagi? Apa yang baik menurut Jumhur umat…12 Terlepas benar tidaknya riwayat di atas, tapi yang jelas bahwa Khalifah al-Ma’mun benar-benar bersungguh-sungguh melakukan gerakan penerjemahan yang meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku karya Aristoteles secara khusus. Bahkan pernah dikatakan al-Ma’mun membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab dengan emas seberat buku tersebut13. Pada masa ini pula tercatat dalam sejarah, bahwa Islam mencapai zaman keemasannya, dan al-Ma’mun menjadikan aliran teologi rasionalis Mu’tazilah sebagai madzhab Negara, serta aliran ini banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles. Kelahiran kaum rasionalis Islam, Mu’tazilah yang banyak memakai rasio, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh besar Aristoteles. Menurut Ibrahim Mdkour, Mu’tazilah sebagai peletak ilmu kalam (teologi). Sebab ia telah membahas persoalan-persoalan teologi dengan menggunakan argument filosofis14. Pengaruh Aristoteliasme dibidang ilmu Kalam yang amat besar seperti dikemukakan tadi, indikasinya adalah ilmu Kalam yang membahas dasar-dasar kepercayaan terkait erat dengan Logika 12
Ibid. hal. 34 Zainun Kamal, Sellectiva Borrowing, Makalah KKA Paramadina 1992 hal. 7 14 Ibid. hal. 6 13
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
42 Aristo. Jika melihat pertumbuhannya ilmu Kalam sama halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Ilmu ini sangat erat kaitannya dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusuran ke belakang, tepatnya pada peristiwa terbunuhnya Khalifah ke-3 Utsman bin Affan yang dikenal dengan Fitnat al-Kubra. Dari sinilah Ilmu Kalam menjadi suatu bentuk pengungkapan dan penalaran faham keagamaan. Secara etimologi “Kalam” dalam bahasa Arab, berarti pembicaraan. Secara terminologi, kalam bukanlah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, akan tetapi dalam pengertian “pembicaraan yang bernalar”, dengan menggunakan logika Maka cirri utama dari Ilmu Kalam ialah rasionalitas (logika), sebab kata-kata Kalam sendiri difahami sebagai terjemahan kata dari istilah Yunani “Logos” yang juga secara etimologi, berarti “pembicaraan”. Dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani Logos juga disalindan ke dalam bahasa Arab “Mantiq”, sehingga Ilmu Logika, khususnya Logika Formal (Silogisme) karya Aristoteles, kemudian diberi nama Ilmu Manthiq, yang berarti logis. Jadi secara secara singkat dapat dimaklumi bahwa Ilmu Kalam erat kaitannya dengan Ilmu Manthiq (Logika).”, yang juga berarti Ilmu Logika, yang demikian itu setidaknya menunjukkan amat pentingnya metode berfikir logis, termasuk berpikir menurut kaidah logika formal dari Aristoteles.15 Dalam usaha pembuktian rasional suatu aqidah (simpul) keimanan, maka tidak mengherankan jika Abu Hasan al Asy’ari adalah salah seorang tokoh Ilmu Kalam atau bapak Ilmu Kalam Sunni, menulis risalah yang membela kedudukan Ilmu Logika dan bahkan menganjurkan kaum Muslim untuk mempelajarinya16 Perkembangan selanjutnya, Ilmu kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Abu Hasan al Asy’ari seseorang yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah, meskipun kemudian di usia 40 tahun ia mendeklarasikan dirinya ke luar dari faham tersebut, malah justeru ia membidani lahirnya jenis ilmu kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam yang dilahirkan Asy’ari ini, kita kenal dengan sebutan faham Asy’ariyah. Faham ini tumbuh dan 15 16
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 1992, hal. 204 Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
43 berkembang menjadi Ilmu Kalam dunia Islam hingga saat ini.17
yang paling berpengaruh di
Apresiasi yang tinggi terhadap ketokohan Asy’ari, karena solusi yang ditawarkannya dalam polemic klasik antara kaum liberal dari golongan Mu’tazilah dan kaum konservatif dari golongan ahl al Hadits yang dipelopori oleh Ahmad Ibn Hanbal. Kesuksesan Asy’ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan . Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu’tazilah, Asy’ari dinilai sukses mempertahankan dan memperkuat faham Sunni di bidang Ketuhanan. Solusi lain yang ditawarkan Asy’ari ialah mengenai kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, “apakah dia bebas menurut faham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam faham Jabariyyah”. Dengan maksud menengahi antara faham keduanya. Konsep Kasb Asy’ari tak aman dari kritikan lawan-lawannya. Lawan-lawan al Asy’ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu’tazilah dan Syi’ah, tetapi juga muncul dari Ahl al Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Bahkan di bagian-bagian lain dari metodologi Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu kalam versi Mu’tazilah, Ilmu Kalam versi al-Asyari pun banyak menggunakan unsure-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (mantiq) Aristoteles. 2. Bidang Filsafat Islam Dalam bidang Filsafat, tampil sosok al-Kindi sebagai perintis intelektual Islam. Dengan nama lengkapnya Abu Ya’kub bin Ishaq al Kindi (185H/801M-260H/873M), dikenal sebagai filosuf Arab di samping filosuf Muslim yang pertama yang memprakasai proses perumusan vocabulary teknis filsafat dalam Islam, juga melakukan sorotan-sorotan terhadap filsafat dengan ajaran-ajaran Islam18. Selain itu, al-Kindi telah meletakkan konsep-konsep baru dalam memadukan atau menyelaraskan antara filsafat agama menjadi cirri utama filsafat dalam Islam. Ia benar-benar yakin bahwa antara 1717 18
Ibid. hal. 208 Hamun Asroh,of. Cit. hal. 34
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
44 filsafat dan agama selalu harmonis, dan tidak akan pernah bertentangan, karena akal dan wahyu sama-samaa bersumber dari Tuhan19. Upaya al-Kindi tidak berhenti di situ, tapi secara intensif dilanjutkan oleh al-Farabi (258H/870-339H/950M) yang menjadikan landasan dasar filsafat Aristoteles lebih kokoh dalam Islam. Al-Farabi dikenal dengan gelar ‘Guru kedua’, begitu yakin dengan kebenaran filsafat, sehingga ia mengatakan bahwa kebenaran yang dibawa filosuf sebenarnya adalah satu dan sama. Filsafat Plato dan Aristo sebenarnya sama, yang berbeda hanya bentuk lahirnya saja. Demikian juga pada hakekatnya antara ajaran para filosuf dan para Nabi adalah sama, dan tidak bertentangan20 . Satu abad lebih setelah al-Farabi, lahirlah filosuf muslim berikutnya, ia adalah Abu Ali Husein bin Abdillah bin Sina (9801037M) atau sering dipanggil dengan Ibn Sina. Ia luar biasa produktifnya, banyak sekali karangannya sehingga filsafat Islam mencapai puncaknya dan dialah yang terbesar diantara para filosuf yang menuliskan karya filsafatnya dalam bahasa Arab. Ia telah mengorientasikan ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan logika dan bertumpu pada metode silogisme Aristoteles serta berupaya mencapai kebenaran dengan argument rasio. Bagi dia tidak ada yang tidak dapat dikaji melalui akal, sekalipun alam metafisik, alam ghaib atau masalah Ketuhanan. Sebab menurut beliau, antara filosuf dan Nabi tidak akan berbeda, oleh karena setiap Nabi adalah filosuf21. Corak rasionalitik Aristotelisme mencapai puncaknya pada Ibn Rusyd (520H/1126M-595H/1198M). Ia filosuf yang paling berfaham Aristotelian, puncak kesempurnaan dicapai oleh Ibn Rusyd adalah dalam upayanya memadukan antara filsafat dan agama. Bahkan ia mengatakan bahwa agama Islam secara inhern adalah agama yang filosofis, oleh karenanya agama diwajibkan kita berfilsafat22.
19
Zainun Kamal, op. cit. hal. 8 Ibid 21 Harun Nasution, op. cit. hal. 34 22 Zalmun Kamal, op. cit, hal.. 12 20
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
45 Ibn Rusyd dikenal sebagai pengikut termurni Aristoteles diantara para filosuf Muslim. Ia adalah komentator terbesar abad pertengahan mengenai Aristoteles. Digelari komentator berkenaan dengan upayanya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan filsafat Aristoteles kepada kemurniannya yang semula, setelah falsafat itu sampai ke tangan orang-orang Islam bercampur dengan berbagai aliran, faham dan berbagai pikiranj serta pemahaman. Ibn Sab’in pernah mengatakan bahwa Ibn Rusyd asli pengikut pemikiran Aristo dengan penuh kesadaran, dengan akal dan perasaan, seakanakan Aristo sebagai seorang laki-laki yang bersifat Ilahi yang tidak pernah salah23. Lebih lanjut lagi Ibn Rusyd mengatakan, bahwa ajaran Aristoteles adalah kebenaran tertinggi (al-Haq al-A’la) dan suatu tujuan tertinggi yang pernah dicapai oleh seorang manusia paripurna24. Ajarannya adalah kebenaran absolute (al-Haqiqah alMuthlaqah), yaitu ajaran yang pernah dicapai oleh tingkatan akal manusia yang tertinggi. Aristo termasuk orang yang disebutkan dalam Al-Qur’an 57:21: “Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya”25. Kenyataan bahwa kaum Muslimin banyak memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (Silogisme) Aristoteles. Sebagai bukti betapa besar pengaruh ajaran Aristoteles di kalangan orang-orang Islam. Sampai saat ini logika Aristo tetap merupakan pelajaran pokok pada pesantren-pesantren dan perguruan tinggi. Pengaruhnya tidak hanya terbatas di kalangan para filosuf dan teolog, tapibmasuk lebih jauh lagi ke kalangan ulama Fiqih dan Tafsir. Kata Simon van der Berg dalam Terjemah Inggris buku Ibn Rusyd. Tanpak tidak berlebihan mengatakan : budaya barat adalah budaya Kristen yang didirikan di atas mitologi Yunani-Romawi. Bahwa Islam pun yang dilambangkan dalam bangunan kuil-kuil. Dengan perkataan lain van der Berg berkata: sebagaimana budaya Eropa merupakan hasil peleburan Yunani-Romawi, budaya Islam pun sangat kental terpengaruh oleh Hellenisme. Pada kenyataannya memang dalam beberapa disiplin keilmuan Islam, khususnya 23
Ibid Ibid. hal.. 13 25 Ibid. hal. 13 24
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
46 Filsafat, Kalam dan Tasawuf terdapat pengaruh kuat dari Hellenisme tersebut. C. KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa unsure-unsur Hellenisme (Kebudayaan Yunani) yang telah menyebar ke berbagai Kawasan di Timur dekat, filsafat Aristoteles adalah yang paling berpengaruh. Dari filsafat rasionalisme Aristoteles ini, terutama logika formalnya. Falsafat dan Ilmu Kalam, juga berturut-turut yang terbanyak menyerap sylogisme Aristoteles, di kalangan umat Islam dikenal dengan Ilmu Manthiq (al-Manthiq al-Aristhi). DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I UI Press, Jakarta tahun 1985 -------------- Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta -------------- Islam Rasional, Mizan, Bandung Tahun 1997 Nurcholish Masjid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta Cet ke2 th. 1985 -------------- Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta 1997 Masjid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, terjemahan Mulyadi Kartanegara Pustaka Firdaus Jakarta, tahun 1966 Philip K. Hitti, History of Arab, London Mac Millan Press. Ltd. 1974 Ali Sami al-Nasysyar, Manjhaj al-Bahts inda Munfakkiri al-Islam, Kairo, Dr-al-Ma’arif, 1978 Djamil Shaliba, Tarykh al-Falsafah al- Arabiyyah, Bairut, Dr-al-Kitab al-Libnany, 1973 Zainun Kamal, Sellectiva Barrowing, Makalah Paramadina th. 1992
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
47 IMPLIKASI DAKWAH DAN PEMIKIRAN TAUHID SYAIKH MUHAMMAD AL-SANUSI Oleh: Khalis Kohari∗ Abstrak Dakwah Syaikh Muhammad al-Sanusi yang mengimplikasikan ajaran-ajaran tauhid memiliki pengaruh yang sangat besar dan luas. Ajaran-ajaran tauhidnya yang merupakan inti dakwahnya itu sangat rasional, argumentatif, obyektif dan mudah dimengerti (berdasarkan hal tersebut banyak ulama besar dari golongan mutaklimin yang terpengaruh dengan prinsip-prinsip ajarannya. Bahkan mereka menjadikan ajaran-ajaran tauhidnya sebagai inspirator dan sumber utama dalam kajian-kajian tauhid terutama dalam karya-karya mereka dibidang ilmu tauhid. Mereka pada umumnya selain sebagai ulama besar, pada disisi lain mereka juga sebagai teolog, filosofis dan pengarang kitab. Key Word: Tauhid, dakwah, akal, pemikiran, mazhab, ulama, dan taqlid A. Pendahuluan Proses penyelenggaraan dakwah tidak terlepas dari materi dakwah. Tanpa adanya materi dakwah proses tersebut tidak akan berjalan dengan biak, oleh karena itu materi dakwah merupakan bagian penting dari unsur dakwah. Menurut Abd Karim Zaidan materi dakwah termasuk unsur-unsur dakwah lebih lanjut ia melengkapi bahwa unsur-unsur dakwah itu terdiri dari materi dakwah (al-Maudhu'), subyek dakwah (alDa'i), objek dakwah (al-Mad'u) dan media dakwah (al-Wasa'il).1 Dalam konteks materi dakwah, Syaikh Muhammad al-Sanusi menempatkan tauhid sebagai materi dakwahnya. Dari berbagai aktivitas dakwahnya baik itu menulis maupun mengajar semuanya itu terfokus terhadap penyampaian ajaran-ajaran tauhidnya, sehingga hal ini yang mengindikasikan bahwa tauhid merupakan materi dakwahnya. ∗
Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI UIA al-Karim Zaidan. Ushul al-Dakwah, (Dakwah: Dar Umar al-Khattab, 1976),
1Abdul
h. 5
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
48 Tauhid sebagai mana dakwahnya, hanya terlingkup pada formulasi hukum akal (wajib, mustahil dan jaiz). Dengan formulasi hukum akal itu seseorang obyek dakwah dikatakan oleh Syaikh Muhammad untuk mengenai Allah dan Rasul-Nya melalui kajian-kajian sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya. Secara global materi dakwahnya (tauhid) meliputi pembahasah mengenai ilahiyat (ketuhanan), nabawiyyat (kenabian) dan sam'iyyat (perkara-perkara yang berdasarkan pendengaran).2 Pembahasan ilahiyat (ketuhanan dan nabiwiyyat (kenabian) berisi mengenai sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan jaiz bagi Allah dan rasulNya kemudian pembahasah sam'iyyat (berisi mengenai keyakinan adanya azab dan nikmat kubur, adanya surga dan neraka, hisab, nizam, shirat, syafa'at dan yang lainnya yang hanya dapat diketahui melalui dalil naqli. Tauhid sebagai materi dakwahnya menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad al-Sanusi mendahulukan penanam aqidah kepada umat dari pada hal-hal yang lain dalam berdakwah. Hal ini dimaksudkan agar seseorang mengena akal (ma'rifat Allah) lebih dahulu sebelum ia melakukan ibadah, sebab melakukan ibadah tanpa mengenal Allah sebagai Tuhannya, maka ibadahnya akan menjadi sia-sia bahkan tertolak. Oleh karena itu ma'rifat Allah (mengenal Allah) merupakan kewajiban pertama yang harus dilaksanakan bagi seseorang sebelum melaksanakan kewajiban-kewajiban yang lain. Penjelasan yang mengatakan "Pertama yang wajib bagi manusia adalah mengenal Allah (ma'rifat Allah) dalam keyakinan,,.3 Juga sependapat dengan komentar Habib Thahir bin Abdullah yang mengatakan "Ketahuilah wahai saudara, bahwa pokok dan dasar adalah mengenal Tuhan yang disembah sebelum beribadah sehingga hal itu yang dimaksud dengan hakekat pengertian syahadat.4 Pemikiran tahuid Syaikh Muhammad Al-Sanusi telah berpengaruh kepada ulama-ulama besar lain, bahkan banyak di antara mereka yang menjadikan ajaran-ajaran tauhidnya sebagai inspirator dan sumber utama dalam kajian-kajian tauhid terutama dalam karya-karya mereka dibidang ilmu tauhid. Mereka pada umumnya selain sebagai ulama besar, pada disisi lain mereka juga sebagai teolog, filosofis dan pengarang kitab. 2 Muhammad al-Fudhal.i, Kifayat al Awam, terjemahan Mujiburrahman, (Surabaya: Mutiara I1mu, 1997), h.7-10 3Usman bin Abdullah, Sifat Dua Puluh, (Indonesia, Madaniya, tt) h. 9 4Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
49 B. Pengaruh Pemikiran Tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi 1. Pengaruh Pemikiran Syaikh Muhammad terhadap para Ulama Besar Dakwah Syaikh Muhammad al-Sanusi yang mengimplikasikan ajaran-ajaran tauhid memiliki pengaruh yang sangat besar dan luas. Ajaran-ajaran tauhidnya yang merupakan inti dakwahnya itu sangat rasional, argumentatif, obyektif dan mudah dimengerti (berdasarkan hal tersebut banyak ulama besar dari golongan mutaklimin yang terpengaruh dengan prinsip-prinsip ajarannya. Bahkan mereka menjadikan ajaran-ajaran tauhidnya sebagai inspirator dan sumber utama dalam kajian-kajian tauhid terutama dalam karya-karya mereka dibidang ilmu tauhid. Mereka pada umumnya selain sebagai ulama besar, pada disisi lain mereka juga sebagai teolog, filosofis dan pengarang kitab. Mereka adalah para penerus dakwahnya Syaikh Muhammad al-Sanusi, karena melalui mereka-merekalah ajaran tauhidnya dikembangkan dan disebar luaskan. Diantara mereka itu adalah sebagai berikut: a. Syaikh Ibrahim al-Bajuri Syaikh Ibrahim al-Bajuri adalah seorang Syaikh al-Azhar (Guru Besar Universitas al-Azhar, Cairo), ulama terkenal di dunia internasional dan pengarang kitab di era tahun 1800 M. Pemikiran Syaikh Ibrahim al-Bajuri banyak di ilustrasikan dan dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi terutama dalam bidang ilmu kalam (teologi Islam) dan tauhid. Nama lengkap Syaikh Ibrahim al-Bajuri adalah Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri al-Syafi’i.5 Syaikh Ibrahim al-Bajuri dilahirkan di al-Bajur, yaitu suatu daerah yang dapat ditempuh 12 jam dari kota Cairo Mesir, pada tahun 1194 H atau 1783.6 Syaikh Ibrahim Al-Bajuri mulai belajar di Universitas al-Azhar pada tahun 1216 H/1797 M, dan tidak beberapa lama kemudian sempat berhenti masa belajarnya karena faktor kekacauan politik akibat jajahan Perancis di masa itu.7 5Umar Ridha Kahal.ah, Mu’jam al-Mu’alifin (Damsyik : Ihya al-Turats al-'Arabi, tt), jilid 1, h.84 6Muhammad Sabit al-Fandi, Da-irat al- Ma'arif al-Islamiyah (Dar Al-Firk : Bairut, tt), jilid III, h.261 7Ibid.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
50 Kemudian setelah situasi normal Syaikh al-Bajuri kembali belajar di al-Azhar pada tahun 1216 H/1801 M.8 Pada tahun 1847 tepatnya pada bulan Sya'ban 1263 H, Syaikh Ibrahim al-Bajuri dilantik dan dikukuhkan sebagai Syaikh al-Azhar dan gelar tersebut disandang hingga wafat pada bulan Zul Qo'dah tahun 1288 H atau bulan Juni 1861 M.9 ketika dimasa akhir hayatnya sempat para pembesar negara mengusulkan bahwa perlunya ada asisten yang membantu tugas Syaikh Ibrahim al-Bajuri, maka ketika itu juga pemerintah menugaskan 4 orang asisten untuk membantu tugas-tugas Syaikh Ibrahim al-Bajuri.10 Karya-karya Syaikh Ibrahim al-Bajuri begitu banyak meliputi berbagai bidang studi juga sangat terkenal di abad pertengahan, sehingga para ulama moderat banyak yang menggunakannya sebagai referensi.11 Dalam ilmu kalam dan tauhid Syaikh Ibrahim lebih cenderung mengikuti pendapat-pendapat Syaikh Muhammad alSanusi. Diantara karya-karya Syaikh Ibrahim al-Bajuri dalam ilmu kalam tauhid yang sangat terkenal ini hingga dimasa sekarang adalah: (1)Khasyiyat 'ala Syarh al-Sanusi atau yang dinamakan juga "Umm alBarahin" (2)Khasyivat 'ala Syarh Ibrahim al-Laqani atau yang dinamakan juga "Jauharoh al-Tauhid' (3)Kifayat al-Awam fi ma yajibu 'alaihim min 'ilm al-kalam, yaitu sebuah kitab merupakan syarh dari kitab yang ditulis oleh gurunya Syaikh Imam Muhammad al-Fudholi.12 Ketiga karya Syaikh Ibrahim al-Bajuri tersebut diatas, adalah merupakan penjelas atau komentar dari kitab induk aslinya yaitu Umm al-Ibrahim yang ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Sanusi. Dalam tiga karyanya tersebut Syaikh Ibrahim al-Bajuri memperjelas kembali istilahistilah teologi yang rumit dan kadang kala menimbulkan skeptis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga seseorang yang membacanya terhindar dari skeptis. Dalam karyanya Khasyiyat 'ala Syaikh al-Sanusiyah, Syaikh Ibrahim al-Bajuri memuji tentang keunggulan pemikiran dan kealiman Syaikh Muhammad al-Sanusi dalam menyampaikan dakwahnya untuk 8Ibid 9Ibid 10Ibid 11Ibid 12Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
51 mengantisipasi bahayanya taqlid mulai usia 19 hingga beliau wafat pada bab pendahulunya dari karyanya tersebut.13 Dalam karya itu juga Syaikh Ibrahim al-Bajuri memuat pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai pembahasan sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz bagi zat Allah SWT dan rasul-Nya yang disertai dengan dalil-dalil tafsili maupun dengan dalil ijmali yang telah dijelaskannya secara detail dan mendalam. b. Syaikh Muhammad al-Fadhali Syaikh Muhammad al-Fudhali adalah seorang ulama dan teolog Islam di Mesir yang hidup pada tahun 1246 H atau 1820 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Syafi al-Fudhali. Dia adalah guru Syaikh Muhammad Ibrahim al-Bajuri dan penulis kitab Kifayat al'Awam fi Ma Yajibu 'Alaihim Min Umi AI-Kalam. Kitab Kifayat al-Awam merupakan kitab yang berisi kajian tauhid yang ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Fudhali. Kitab tersebut mengimplikasikan pemikiran-pemikiran Syaikh Muhanimad al-Sanusi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemikiran Syaikh Muhammad alFudhali dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi dalam bidang ilmu kalam dan tauhid. Dalam kifayat al- 'awam Syaikh Muhammad al-Fudhali menuangkan pendapat Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai masalah hukum taqlid dalam aqidah. Syaikh Muhammad al- Fudhali menerangkan apa yang dimaksud oleh Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai hukum taqlid sebagai berikut : "Adapun taqlid yaitu mengetahui akidah-akidah yang 50 dan tidak mengetahui akan dalilnya yang ijmali atau tafsili maka Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berkata : tidak mencukupi taqlid itu dan orang yang bertaqlid adalah kafir. Ibn 'Arabi dan Sanusi mengikuti pendapat ini. Dan di dalam kitab Syarh al-Kubra, Sanusi memperpanjang pembicaraan dalam hal penolakannya atas orang yang berkata dengan kecukupan taqlid. Akan tetapi kami tidak pernah melihat dalam kitabkitabnya kecuali perkataan dengan ketiadaan eukupnya taqlid itu".14 Atas dasar hukum taqlid ini, Syaikh Muhammad al-Fudhali menambahkan pendapat dalam kifayatul 'awam bahwa tidak sah 13Ibrahim
al-Bajuri, Khasyiat al-Bajuri, (Penerbit Menara Kudus, tt) h. 22 Muhammad al-Fudhal.i. Kifayat al-'Awam (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt), h. 16-18 14Syaikh
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
52 wudhunya orang yang tidak tahu atau tidak mantap dengan segala aqidah. Menurutnya ; maka hukum itu tidak mensyahkan wudhunya seseorang atau shalatnya, kecuali jika dia mengetahui dengan akidahakidah ini atau dia mantap dengannya berdasarkan perbedaan pada yang demikian.15 Pengetahuan. sifat-sifat Allah dan rasul dalam kifayat al awam dijelaskan dalam oleh Syaikh Muhammad al-Fudhali secara analisis dan argumentatif Dalam menguraikan sifat-sifat Allah dan rasul, Syaikh Muhammad al-Fudhali sangat inovatif sebagai upaya untuk mempermudah pemahaman. Meskipun Syaikh Muhammad al-Fudhali disisi lain mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai pengetahuan 50 'Aqaid. Namun terdapat perbedaan yang signifikan antara Syaikh Muhammad al Fudhali dengan Syaikh Muhammad alSanusi. Kalau dalam Umm Al-Barahin, Syaikh Muhammad al-Sanusi menjelaskan setiap sifat dari 50 aqaid itu secara definitif dan dalildalitnya dipisahkan dan ditempatkan pada bab yang lain. Sedangkan dalam kifayat al 'awam, Syaikh Muhamad al-Fudhali menjelaskan setiap sifat dari 50 aqaid itu, secara definitif dan dalil-dalilnya disertakan langsung tanpa dipisahkan dan ditempatkan pada, bab yang lain. Hal ini dimaksudkan juga untuk mempermudah pemahaman.16 Inovasi pemikiran Syaikh Muhammad al-Fudhali yang lain juga terdapat dalam kifayat al-'Awarn, yaitu ketika Syaikh Muhammad alFudhali menjelaskan mengenai formulasi huduts al-'aradh (baharunya 'aradh) dalam pembahasan dalil adanya Allah. Formulasi ini ditemukan langsung oleh Syaikh Muhammad al-Fudhali sebagai kelanjutan dari pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai hudutsul al-alam (baharunya alam). Dalam kifayat al-'awam, Syaikh Muhammad alFudhali menjelaskan secara spesifik mengenai formulasi hudust al'aradh yang dikenal dengan istilah "mathalib al-sab'ah" sebagai berikut : “Perkara yang lebih itu tidak berdiri dengan sendirinya, dia tidak berpindahpindah, dia tidak bersembunyi, dia tidak terlepas, tidak ada 'adam bagi yang qadim dan tidak ada segala yang baru itu yang tidak mempunyai permulaan baginya ".17 c. Syaikh Muhammad al-Dasuqi Syaikh Muhammad al-Dasuqi adalah seorang ulama dan 15Ibid,
h. 24
16Ibid 17Ibid,
h. 32
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
53 pengikut ajaran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi. Nama lengkap Syaikh Muhammad al-Dasuqi adalah Muhammad bin Ahmad bin 'Arafah al-Dasuqi al-Maliki.18 Syaikh Muhammad al-Dasuqi dilahirkan, di Desa Dasuq, yaitu suatu desa yang terdapat di negara Mesir, dan ia banyak mempelajari ilmu di al-Azhar, kemudian wafat di Cairo pada 21 Rabiu al-Tsani 1230 W 1815 M.19 Karya-karya tulisnya meliputi bidang ilmu pengetahuan. Diantara hasil karya tulisnya adalah kasyiyah 'ala mughni al-labib li Ibn Hisyam al-Anshari (dalam bidang ilmu nahwu), khasyiyah al-Syarh Muhammad al-Sanusi ala um al-Barahin (dalam bidang aqidah), kasyiyah 'ala syarh al-Dardir li mukhtasar khalil (dalam bidang flqh mazhab, maliki) kasyiyah 'ala syarh sa’d al-Din dan kasyiyah 'ala al-Burdah li jalal alDin al-mahalli. Dalam bidan ilmu kalam dan tauhid, pemikiran Syaikh Muhammad al-Dasuqi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi, indikasi terpengaruhnya oleh pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi adanya kitab khasyiyah 'ala Syarh Umm al-Barahin yang dibuat langsung Syaikh Muhammad al-Dasuqi. Penulisan kitab khasyiyah tersebut diselesaikannya pada hari Jum'at tanggal 27 Sya'ban 1214 H ketika negara Mesir dalam masa penjajahan Perancis.20 Kitab Khasyiyah 'ala Syarh Umm al-Barahin merupakan kitab penjelasan atau ulasan dari pemikiran tauhid Syaikh Muhammad alSanusi yang dimuat dalam kitabnya yaitu Umm al-Barahin atau Syarh al-Shughra. Dalam kitab khasyiyahnya itu Syaikh Muhammad alDasuqi telah menjelaskan paradigma tauhidnya mulai pemberdayaan akal dan kewajiban menggunakannya untuk mengenai Allah SWT. Sampai dengan pembahasan mengenai sifat-sifat Allah dan rasul yang disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Hanya dalam kitab khasyiyatnya Syaikh Muhammad al-Dasuqi, memperluas dan menyimpulkan paradigma ketauhidan Syaikh Muhammad al-Sanusi, namun tidak keluar dari apa yang dimaksudnya.21 Di antara persoalan yang diperluas oleh Syaikh Muhammad alDasuqi dalam khasyiatnya adalah persoalan mengenai kecukupan 18Umar
Ridha Kahal.ah, Mu’ jam al Mu'alifin, Jilid 8, h. 293
19Ibid 20Ibid 21Muhammad
al-Dasuqi, Khasyiyah al-Dasuqi 'Ala Umm al-Barahin, (Jakarta: Dasar al-
Makkah, tt), h. 238
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
54 taqlid dalam beriman. Dalam Umm al-Barahin, Syaikh Muhammad alDasuqi berpendapat bahwa orang yang taqlid dalam aqidah adalah kafir. Sedangkan Syaikh Muhammad al-Dasuqi memperluas hukum taqlid tersebut dalam khasyiatnya menjadi tiga hal pendapat hukum. Adapun ketiga hal pendapat hukum taqlid tersebut menurutnya adalah sebagai berikut : (1) Bahwa ma'rifah (mengenal Allah SWT dan Rasul) dalam aqidah hukumnya wajib furu' bagi setiap orang, baik ia itu mampu berfikir atau tidak. Maka orang yang taqlid adalah mukmin yang berdosa (mukmin 'ash) (2) Bahwa ma'rifah hukumnya wajib furu' bagi orang yang mampu berfikir. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu berfikir, hukumnya tidak wajib. Maka menurut pendapat ini, orang yang bertaqlid tetapi ia mampu berfikir adalah mukmin yang berdosa, sedangkan orang yang taqlid tetapi ia tidak mampu berfikir adalah mukmin yang tidak berdosa. (3) Bahwa ma'rifah dalam aqidah hukumnya wajib ushul, oleh sebab itu orang yang taqlid adalah kafir.22 Syaikh Muhammad al-Dasuqi mengikuti pendapat yang kedua, sedangkan Syaikh Muhammad al-Sanusi berpendapat yang ketiga dan menetapkannya dalam kitabnya Syarh al-Kubra, tetapi orang yang taqlid tersebut menurut Syaikh Muhammad al-Sanusi tidak muslim. Adapun pendapat yang pertama menurut Syaikh Muhammad alDasuqi adalah bahwa pendapat tersebut memberikan kesan bahwa orang yang taqlid adalah orang yang berdosa secara mutlak dan juga menetapkan membebankan taklif bagi orang yang tidak mampu.23 Kemudian Syaikh Muhammad al-Dasuqi menyimpulkan dalam kasyiyahnya mengenai implikasi pemahaman syahadat atau yang dikenal dengan istilah mu'taqad al-khamsin (50 aqaid) yang merupakan paradigma tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi yang telah tercatat dalam Syarh al-Kubra dan Syarh al-Shugra. Dalam khasyiyahnya, Syaikh Muhammad al-Dasuqi menyimpulkan implikasi 50 aqaid sebagai pemahaman syahadat tauhid. Secara global pemahaman syahadat tauhid menurut Syaikh Muhammad al-Dasuqi terbagi menjadi dua bagian, yaitu pemahaman 22Muhammad
al-Dasuqi, Khasyiyah al-Dasuqi 'Ala Umm al-Barahin, (Jakarta: Dasar al-Makkah, tth), h. 238 23Ibid, h. 54
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
55 iftiqar yaitu muftaqirun ilaihi kullu ma'adahu (berhajat kepada-Nya segala sesuatu yang selain-Nya), dan pemahaman istighna, yaitu: mustaghniyun 'an kulli ma siwahu (tidak berhajat kepada segala sesuatu yang selain Nya). Menurutnya secara terinci dan sismasis pemahaman ifriqan meliputi pengertian sifat wandaniyah, qudrat, iradah, ilmu hayat, qadiran, muridan, 'aliman, hayyan-dan dua pemahaman aqidah yaitu huduts al-alam bi-asrihi (barunya alam dengan segala prosesnya) dan la ta'sira lisyain min al-kainat bi thab7hi (tidak ada yang memberi bekas kepada sesudah yang mumkin menurut naturalnya) dan dua aqidah tersebut adalah kesemuanya berikut dengan lawannya sehingga berjumlah 22 aqidah.24 Sedangkan pemahaman istighna menurutnya secara terinci dan sistematis meliputi pengertian sifat wujud, qidam, baqa, mukhalafah lil hawadis, qiyamuhu binafsihi, bashar, sam'un, kalam, sami'un, bashirun, mutakallimun dan tiga pemahaman aqidah yang meliputi, tanazzuhu ta'ala 'an al 'aradh (terlepas Allah SWT dari segala tujuan), la yajibu 'alaihi fi'lh sya'in min al mumkinat wa la tarkuhu (tidak wajib bagi Allah untuk berbuat terhadap segala yang mumkin atau meninggalkannya) dan la to 'sira Ii syai-in min al ka nati bi quwalihi (tidak ada yang memberi bekas kepada sesuatu yang mumkin menurut potensinya), kesemuanya sifat-sifat tersebut berikut dengan lawannya, dan ketiga aqidah berikut lawannya, maka berjumlah 28 aqidah.25 d. Syaikh Muhammad Nawawi al Jawi Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi adalah seorang ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, Jawa Barat, yang bermukin di Mekkah.26 Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dilahirkan di Banten, Jawa Barat pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di Mekkah pada tahun 1314 W 1987 M.27 Nama aslinya adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al-Bantani. Dikalangan keluarga, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dikenal dengan sebutan Abu Abdul alMu’thi. 28 Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih kurang 30 tahun, Syaikh Muhammad Nawawi setiap hari 24
Ibid, h. 214 Ibid 26Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), jilid 4, h. 23 27Ibid 28Ibid 25
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
56 mengajar di Masjid al-Haram. Murid-muridnya berasal dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari Indonesia seperti K.H Khalil (Bangkalan, Madura), K.H Asy'ari (Bawean, Madura), K.H Hasyim Asy'ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang berasal dari Malaysia seperti K.H Daud (Perak). la mengajarkan pengetahuan agama secara mendalam kepada murid-muridnya, yang meliputi hampir seluruh bidang.29 Kelebihan Syaikh Nawawi telah terlihat sejak kecil. la hafal alQur'an pada usia 18 tahun. Sebagai seorang Syaikh, ia menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikh, ahlak, tarikh dan bahasa arab. Pendirian-pendiriannya, khususnya dalam bidang-bidang ilmu tersebut dapat dilihat melalui karya-karya tulisnya yang cukup banyak. Menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 45 buah, sedangkan menurut cumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu agama.30 Dalam bidang ilmu kalam dan tauhid, Syaikh Muhammad Nawawi cenderung lebih banyak mengikuti pemikiran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi. Pemikiran pemikiran tauhid Syaikh Muhammad al. Sanusi banyak dituangkan ke dalam karya-karyanya dalam bidang ilmu tauhid diantaranya adalah kitab Fath al-Majid (Pembuka Bagi Yang Mulia), yang merupakan Syarh al-Durr al-Farid fi al-Tauhid dan kitab Tijan al-Darori yang merupakan Syarh f al-Tauhid al-Bajuri .31 Pengaruh pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi tampak jelas ketika ia menerangkan mengenai sifat wandaniyah dalam karyanya Syarh Tijan al-Darori. Dengan mengikuti pendapat Syaikh Muhammad al-Sanusi. la telah menjelaskan mengenai sifat wandaniyah sebagai berikut : "Kesimpulannya adalah bahwa sifat esa Allah SWT yang meliuti esa zatNya, esa perbuatan-Nya, dan esa sifat-Nya meniadakan kam-kam yang lima macam, yaitu : (1) Kam muttasil fi zat, yaitu tersusunnya zat Allah dari bagian-bagian yang banyak. (2) Kam munfusil fi zat, yaitu berbilangnya zat Allah SWT dimana terdapat Tuhan kedua atau selebihinya 29Ibid 30Ibid 31Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
57 (3) Kam muttusil fi sifat, yaitu berbilangnya sifat-sifat Allah dari jenis yang satu, seperti Allah mempunyai dua sifat qudrat atau lebih. (4) Kam munfasil fi sifat, yaitu bahwa ada pada selain Allah SWT sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah SWT (5) Kam munfashil fi afal yaitu bahwa sesuatu selain Allah SWT mempunyai satu kekuatan untuk berbuat sesuatu, atas dasar mampu menjadikan32 Disamping itu pula, hampir seluruh pembahasan mengenai sifat-sifat Allah dan Rasul beserta dengan dalil-dalilnya, Syaikh Muhammad Nawawi mengikuti pemikiran-pimikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi 2. Pengaruh Pemikiarn Tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi terhadap Pembaharuan Teologi Syaikh Muhammad 'Abduh Syaikh Muhammad 'Abduh dilahirkan pada tahun 1265 H yang bertepatan dengan tahun 1849 M disalah satu Desa Propinsi alGharbiah Mesir.33 la adalah seorang pemikir, teolog, mufti dan pembaharu Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20. ia ingin menyegarkan kembali ajaran Islam di dunia. modem. Sebagai mufti, ia banyak memperbaharui hukum Islam. la mencoba mencairkan kekakuan dogma Islam dan memperbaharuhi sistem pendidikan Islam, khususnya di universitas al-Azhar.34 Pembaharuan teologi Syaikh Muhammad 'Abduh cenderung bercorak ahl sunnah. Menurut Adams dalam buku Islam and Modernism in Egypt bahwa ajaranajaran teologi Muhammad 'Abduh termasuk dalam teologi ahl al sunnah.35 Begitupun pendapat horten dalam buku Beitrage Zur Kenntnissdes Orients, Muhammad 'Abduh dalam banyak hal mengikuti ahl al-sunnah secara ekstrim. 36
Disisi lain, Syaikh Muhammad 'Abdul mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi, yang mempakan seorang tokoh dan ulama dari golongan ahl sunnah wal jama'ah dan pengikut faham 'asy'ariyah. Dalam menuangkan ide-ide pembaharuan teologinya, Syaikh Muhammad 'Abduh banyak mengambil pendapat-pendapat 32Muhammad
Nawawi al-Jawi, Syarh Tijan al-Darori (Semarang: Penerbit Toha Putra, tt), h.4 33Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah (Jakarta: UIPress, 1987) h. 11 34Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve), h. 12 35Harun Nasution, Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah (Jakarta: UIPress, 1987) h. 3 36Ibid
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
58 Syaikh Muhammad al-Sanusi terutama sekali mengenai hukum akal, sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT dan masalah taqlid. Selama beberapa abad, ajaran Syaikh Muhammad al-Sanusi menjadi sumber utama dan inspirator dalam kajian taqlid. Bahkan Syaikh Muhammad Abduh wring memujinya sebagai salah satu sumber gerakan pembaharuan sosial budaya salaf. Menurutnya: Syaikh Muhammad al-Sanusi telah banyak memberikan kontribusi mengenai hukum akal yaitu: wajib, mustahil dan jawaz. Pemikiranya tersebut menjadi salah satu sumber doktrin salafiyah.37 Karya-karya Syaikh Muhammad 'Abduh cukup banyak, namun yang sangat terkenal diantara karya-karyanya itu adalah Risalah alTauhid, buku ini ditulis oleh Syaikh Muhammad 'Abduh pada tahun 1885 M, yang merupakan kandungan dari ceramah-ceramah yang diberikannya di Beirut kepada siswa Madrasah al Sultaniah.38 Dalam Risalah Tauhid, Syaikh Muhammad 'Abduh memuat pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi mengenai hukum akal, yaitu wajib, mustahil dan jawaz.39 Hanya saja istilah jawaz diganti dengan istilah mumkin, namun tidak keluar dari pengertian yang dimaksud oleh Syaikh Muharrimad al-Sanusi. Menurutnya mumkin adalah sesuatu yang boleh dan boleh pula tidak adanya zat ini.40 Hukum akal yang merupakan produk pemikiran Syaikh Muhammad al-Sanusi di jadikan sebagai inspirator pembaharuan teologinya. Mengingat begitu pentingnya kedudukan dan fungsi hukum akal dalam beriman kepada Allah clan rasul-Nya serta keakinannya dengan adanya kehidupan akhirat, maka Syaikh Muhammad 'Abduh dalam melaksanakan pembaharuan teologinya mengharuskan bagi tiap-tiap seseorang untuk menggunakan akal dalam hal beriman. Hal ini dimaksudkan agar seseorang terhindari dari taqlid, karena keimanan tidak bisa dengan cara taqlid. Tindakan Syaikh Muhammad 'Abduh untuk menggunakan akal dalam hal beriman, maka tindakan seperti ini juga pernah dilakukan oleh Syaikh Muhammad al-Sanusi. Dalam Umm al-Barahin Syaikh Muhammad al-Sanusi mengharuskan menggunakan akal (nazhar) 37C.E Bosworth, E.Van Donzel, W.P Henrich G. Lecomte, The Encyclopedia of 1slam (Leiden: E. J Brill's, 1997), vol IX, h. 21 38Harun Nasution, Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah (Jakarta: UIPress, 1987) h. 3. 39C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam h.21 40Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.19
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
59 untuk beriman kepada Allah SWT, karena menurutnya beriman kepada Allah tidak bisa dilakukan dengan cara taqlid, dengan alasan kalau beriman kepada Allah bisa dengan cara taqlid, maka mukallad (ikut-ikutan) yang satu tidak lebih utama untuk diikuti dan dituruti daripada mukallad lainnya, padahal pendapat inereka Baling berbeda dan bertentangan.41 Akibat pengaruh forulasi hukum akal tersebut, maka minimal pendapat dua hal yang menjadi agenda pembaharuan teologi Syaikh Muhammad 'Abduh. Di antara kedua hal tersebut adalah: a. Urgensi Akal Akal menurut Syaikh Muhammad 'Abduh adalah sesuatu yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan days akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.42 Akal dalam sistem teologi Syaikh Muhammad 'Abduh mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Baginya, dengan akal dapat diketahui adanya Tuhan serta sifat-sifat-Nya, adanya hidup diakhirat, kewajiban terhadap Tuhan, kebaikan serta kejahatan, kewajiban berbuat baik serta menjauhi perbuatan jahat, dan cara perkataan halus. Meskipun dengan akal dapat diketahui banyak pokok masalah keagamaan, Syaikh Muhammad 'Abduh tetap mengakui perlunya wahyu diturunkan. Menurutnya, wahyu mempunyai dua fungsi utama, yaitu menolong akal untuk mengetahui secara terperinci kehidupan akhirat dan menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup suara damai dalam lingkungan sosialnya.43 Bagi Syaikh Muhammad 'Abduh, Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran rasional, dalam pendapatnya adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempuma, kalau tidak didasarkan atas akal, iman harus berdasar beda keyakinan, bukan pada mendapat, dan akallah yang menjadi sumber keyakinan 41Muhammad
al Dasuqi, Khasyiyah al-Dasuqi 'Ala Umm al Barahin, h. 60 Nasution, Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, h. 44 43Ensiklopedia Islam, h. 14 42Harun
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
60 pada Tuhan, ilmu serta kekuasaan-Nya dan dari pada Rasul.44 Oleh karena itu, dalam islamlah agama dan akal buat pertama kalinya menjalin hubungan persaudaraan. Di dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terberat dan wahyu studinya yang terutama. Antara akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan.45 Keharusan manusia mempergunakan akalnya, bukanlah karya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran al-Qur'an. Kitab suci ini, kata Syaikh Muhammad 'Abduh, memerintahkan kita untuk berfikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taqlid. Al-Qur'an tidak semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi mendorong manusia berfikir. Ayat menyebut sifat-sifat Tuhan, tetapi manusia tidak diminta percaya begitu. saja; argumen dibawa untuk memperkuat apa yang disebut ayat.46 b. Serangan Terhadap Taqlid Melihat kedudukan yang begitu penting diberikannya kepada akal, tidak mengherankan kalau ini amat keras menentang taqlid. Taqlid, menurut pendapatnya, adalah salah satu sebab penting yang membawa kemunduran umat Islam abad kesembilan belas dan abad kedua puluh. Ia mengkritik kaum ulama yang mengajarkan bahwa umat Islam zaman belakangan wajib mengikuti ajaran-ajaran hasil ijtihad ulama masa silam, sehingga pemikiran berhenti dan akal tidak berfungsi lagi dikalangan umat Islam. la amat menyesalkan timbulnya sikap taqlid yang mencakup tiap aspek kehidupan umat. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembagalembaga pendidikan dan lain sebagainya menjadi terhambat. Ia mencela sikap umat yang memakai taqlid, bukan hanya dalam soal keyakinankeyakinan, tetapi juga dalam hal argumen yang dimajukan. Ia juga menolak kebiasaan memakai hadist (al-Naqo menjadi somber hukum iman, sungguhpun hadis itu lemah dan tidak dikenal. Sikap umat islam zaman kemudian yang menerima rukun iman tertentu sebagai benar, karma dikatakan ada ulama yang mengatakan demikian, dianggap Syaikh 44Harun 45Ibid.,
Nasution, Muhammad 'Abduh dan Teologi Rasional Mzt'tazilah h.45 h. 46
46Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
61 Muhammad 'Abduh amat berbeda dengan, sikap umat Islam masamasa permulaan.47 Ia berpendapat bahwa ajaran Islam sendiri menentang taqlid. Ia banyak membicarakan hal ini dalam risalah al-Tauhid. Sikap mengikuti pendapat ulama masa silam, demikian is katakan, oleh ajaran Islam dicap sebagai bodoh. Nabi, dalam dakwah beliau mendesak hamba-hamba tradisi dan taqlid meleaskan jiwa mereka dari perbudakan dan memutuskan rantai yang mengikat tangan mereka sehingga tidak dapat berbuat dan tidak mempunyai harapan. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam sebenarnya menghancurkan penguasaan taqlid atas jiwa manusia dan mencabut akarnya yang bertanam dalam pikirannya, melepaskan akal dari segala apa yang mengikatnya, membebaskannya dari taqlid yang membuatnya menjadi hamba dan mengembalikannya menjadi raja di daerah kekuasaannya.48 3. Pengaruh Karya-Karya Syaikh Muhammad al-Sanusi Pada dasarnya pokok-pokok pemikiran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi hanya terbatas pada lingkup hukum akal, yaitu: wajib, mustahil dan. jaiz. Berdasakan pandangannya tersebut. Syaikh Muhammad al-Sanusi membagi sifat sifat Allah menjadi tiga bagian yaitu sifat yang wajib bagi Allah (berbagi lagi menjadi sifat nafsiyah, salbiyah, sifat ma'ani dan sifat ma'nawiyah), sifat yang mustahil bagi Allah dan sifat yang jaiz bagi Allah. Metode ini juga digunakannya dalam menentukan sifat-sifat Nabi.49 Pembahasan mengenai hukum akal, sifat-sifat wajib, sifat-sifat mustahil dan sifat-sifat jaiz bagi Allah SWT dan Rasul dituangkan ke dalam karya-karyanya. Adapun karya-karyanya itu hampir mencapai 45 buah.50 Namun dalam cumber yang lain, mengatakan, karya-karyanya mencapai 29 buah, 27 buah dalam bidang ilmu tauhid dan hanya dua buah dalam bidang ilmu fiqh.51
47Ibid.,
h. 46-47
48Ibid 49Muhammad al-Sanusi, Aqidat al-Sanusiyah: Main Umm al-Barahin Surabaya: PT Bungkul Indah, tt), h. 4 50Ibrahim al-Bajuri, Khasyiyat al-Bajuri, h. 2 51M. Asywadi Syukur, Pemikiran-Pemikiran Tauhid Syaikh Muhammad alSanusi, (Surabaya PT Bina I1mu, 1994), h. v
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
62 Dari beberapa karyanya mengenai ilmu tauhid, namun yang terkenal dan menjadi induk dan pedoman dala kajian tauhid adalah kitab Syaikh al-Kubra dan kitab Syarh al-Shugra. Kitab Syarh al-Kubra dinamakan juga dengan nama kitab 'Umdah ahl al-Taufiq wal alTasdid, sedangkan kitab Syarh al-Shugra dinamakan juga dengan nama kith Umm al-Barahin. Keberadaan kedua kitab Syarh tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dan lugs, sehingga banyak ulama, pemikir barat, santri clan mahasiswa yang tertarik dengan keberadaan kedua kitab Syarh tersebut. Kalangan ulama tertarik dengan kedua kitab itu, karena mengingat kedua kitab itu berisi ajaran-ajaran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi, dimana ajaran-ajaran sangat rasional, argumentatif dan sangat penting dipelajari guna untuk menguatkan keimanan. Maka atas dasar ini diperlukan penjelasan terhadap kedua kitab itu. Oleh sebab itu banyak ulama yang memberikan syarh (komentar) dan hasyiyah (penjelasan komentar) terhadap kedua kitab ini, yang tujuannya memudahkan pemahaman bagi para pembaca di masa yang akan datang. Kemudian kalangan pemikir barat tertarik dengan kedua kitab tersebut, karena ajaran-ajaran tauhidnya yang terdapat dalam kedua kitab itu mengandung nilai-nilai pembaharuan dan pemberdayaan akal, sehingga banyak dari kalangan mereka yang menerjemahkannya ke dalam bahasa asing. Para santri dan mahasiswa juga tertarik kepada kedua kitab itu, karena ajaran-ajaran Syaikh Muhammad al-Sanusi yang terdapat dalam kedua kitab ini adalah mudah dimengerti disamping pemikirannya yang bebas, jujur, asli, luas dan mendalam. Ulama yang memberikan syarh (komentator) dan khasyiyah (penjelasan komentar) terhadap kedua kitab tersebut adalah tergolong ulama besar, teolog (mutakalim), mufti dan filosof. Pada umumnya mereka adalah figur-figur yang berpengaruh dan memiliki daya tark dalam berdakwah, seingga melalui mereka juga ajaran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi disebar luaskan lewat penulisan Syark dan. Khasyiyah keseluruh pelosok dunia. Begitu pun juga pada umumnya mereka mempunyai banyak murid, sehingga dari murid-murid mereka itu juga telah terlaksana estafeta dalam penyebaran ajaran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi. Diantara mereka itu adalah sebagai berikut :
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
63 a. Syaikh Ismail bin Musa bin 'Atman bin Muhammad al-Hamidi al'Asy'ari al-Maliki al-Abasi. Seorang ulama. Al-Azhar dari keturunan Abbas bin 'Abdul Muthalib (paman nabi SAW), yang lahir di Mesir pada tahun 1245 H,52 dan wafat pada 11 Rajab 1316 H. 53 la telah memberikan khasyiyah (penjelasan komentator) terhadap kitab, syarh al-Kubra yang diberi judul "Khasyiyah jalilah 'ala Syarh al-Imam al-Sanusi 'ala Aqidatihi al-Kubra". Penulisan kitab ini diselesaikannya pada hari Kamis, 14 Dzulqa'dah 1403 H. 54 b. Ahmad Baba, yang memiliki nama lengkap adalah Abu al-Abbas Ahmad Baba bin Ahmad bin Ahmad bin Ahmad bin Umar bin Muhammad Agit bin Umar bin Ali bin Yahya al-Takrawi alTambukti, yang dilahirkan di desa Arwan, pada malam ahad 21 Dzulhijah 960 H yang bertepatan pada tanggal 28 Nopember 1553 M. 55 la seorang ulama Tambuktu yang telah memberikan Syarh terhadap al-Sanusi yang dinamakan dengan "Syarh al-Shugra 1i alSanusi"56 c. Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri (498 H/1783 M1277/1861 H). Ia adalah seorang ulama dan teolog al-Azhar yang telah memberikan khasyiyah terhadap kitab Umm al Barahin yang dikenal dengan nama "khasyiyah 'ala Syarh al-Sanusi.57 e. Syaikh Muhammad al-Fudhali, seorang ulama clan teolog di Mesir (1236/1820 M). Ia telah memberikan syarh terhadap kitab Umm alBarahin dengan judul; kifayat al-Awam fi ma yajibu 'alaihim min Umm al-kalam.58 f. Syaikh Muhammad al-Dasuqi, seorang ulama al-Azhar yang memberikan khasyiyah terhadap kitab Umm al Barahin yang diberi judul, khasyiyah 'ala syarh Umm al Barahin. 59 g. Syaikh 'Abdullah bin Hijazi al-Syarqawi, seorang ulama yang telah memberikan khasyiyah terhadap kitab Umm al-Barahin yang dinamakan dengan al-Syurqawi 'ala al-Hudhudi60 52Ismail bin Musa bin 'Atmanal Hamidi, Khawasy 'ala Syarh al-Kubra li al-Sanusi, (Masir: Mustafa al-Bani al-Hal.abi, 1936), h. 2 53Ibid, h. 8 54Ibid, h. 6 55Muhammad Sabit al Fandi, Da'irat al-Ma'arif al-Islamiyah, Jilid I, h. 457 56Ibid, h. 458 57Muhammad Sabit al-Fandi, Da'irat al-Ma'arif al-Islamiyah, Jilid III, h. 261 58Asywadi Syukur, Pemikiran-Pemikiran Syaikh Muhammad al Sanusi, h.vi 59Ibid 60Ibid
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
64 h. Syaikh Zainal Abidin al-Fatani (1308 H), seorang ulama yang telah memberikan Syarh terhadap kitab Umm al-Barahin yang diberi judul Aqidat al-Najin fi ‘Ilm Ushul al-Din.61 Kitab Syarhal Kubra dan al-Shugra yang memuat ajaran tauhid Syaikh Muhammad al-Sanusi di samping berpengaruh bagi kalangan ulama untuk memberikan syarh dan khasyiyah tetapi juga berpengaruh untuk dijadikan sumber pada disiplin ilmu lainnya. Disisi lain, ajaran Syaikh Muhammad al-Sanusi menjadi sumber puisi Ibn Amsayib (W. 1190 H/1768 M) yang dikuburkan disamping makamnya. Disamping itu pula ajarannya menjadi cumber penafsiran al-Quran yang dilakukan oleh Ibn Badis pada awal abad ke 20 M.62" Kalangan pemikir barat yang tertarik dengan keberadaan kitab Umm al-Barahin dan menerjemahkannya ke dalam bahasa acing, maka diantara mereka itu adalah: a. Wollf, seorang pemikir Jeman yang menerjemahkan kitab Umm al Barahin ke dalam bahasa Jerman dengan judul El-Senusi 's Begriffentwichlung d Mohammedanis Chen Glaubekenntnisses yang dicetak di Leipzig pada tahun 1848 M63 b. Luciani, seorang pemikir Perancis mener emahkan kitab Umm al Barahin ke dalam bahasa Jerman dengan judul; Petit Traite Theologie Musulmano, yang diterbitkan di Al-Jazair pada tahun 1896 M.64 c. Dolphin menerjemahkannya juga ke dalam bahasa Perancis yang dimuatnya dalam majalah Jurnal African dengan judul Philpsophie du Sheiks Senousi d'apres son aqida es sorra. Terjemahannya ke dalam bahasa Perancis di muat oleh Luciani ke dalam majalah Revue African dengan judul A Propos de la Tradition de la senoussia.65 Selanjutnya, keberadaan Umm al-Barahin juga memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi kalangan mahasiswa dan santri, sehingga mereka pelajari dan meneliti pemikiran pemikiran tauhid Syaikh Muhaininad al-Sanusi yang terdapat di dalamnya. Para pelajar Maroko banyak mengkaji karya-karya Syaikh Muhammad al-Sanusi, khususnya kitab 'Aqaid yang telah diberikan Syarh oleh al-Dasucti, dan Mukhtasar al-Kalam.66 Di Mesir juga, karyakarya al-Sanusi di ajarkan di 61Ibid 62C.E
Bosworth, The Encyclopedia of Islam, h.21 Zaki Khursid, Da'irat al-Ala'arif al-Islamiyah (Beirut: Dar al-Fikir, tt), jilid 12, h. 290 64Ibid 65Ibid 66C.E Bosworth, The Encycplopaedia of Islam, h. 21 63Ibrahim
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
65 Universitas al Azhar khususnya yang disyarahkan oleh al-Fudhali (w. 182i M) dan muridnya al-Bajuri (W. 1861 M). 67 Ajaran Syaikh Muhammad al-Sanusi melalui karya-karyanya tersebar luas hingga Asia, khususnya Malaysia dan Indonesia. Kitabnya yang bejudul Umm al-Barahin yang juga dikenal dengan alDurrah banyak digunakan dikalangan pesantren yang mayoritas adalah penganut paham Asy'ariyah dan kitab ini juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Jawa. Karya-karya Syaikh Muhammad al-Sanusi beserta dengan beberapa syarh dan khasyiyahnya banyak dipelajari oleh para santri di beberapa pondok pesantren yang terdapat di Indonesia. Menurut hasil penelitian Martrin Van Bruinessan dalam bukunya Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, bahwa syarhsyarh dan khasyiyah-khasyiyah dari karya-karya Syaikh Muhammad al-Sanusi yang diajarkan oleh para Kiyai dan dipelajari oleh para santri di sejumlah daerah berikutnya dengan pesantrennya adalah sebagai berikut: a. Umm al-Barahin di kaji pada 2 pesantren di Sumatera, 2 Pesantren di Jawa Barat dan 1 Pesantren di Jawa Timur. b. Al-Sanusiah di kaji pada 2 Pesantren di Sumatera, 3 Pesantren di Jawa Barat, 3 Pesantren di Jawa Tengah dan 3 Pesantren di Jawa Timur. e. Al-Dasuqi di kaji pada I pesantren Kalimantan Selatan 1 Pesantren di Jawa Barat dan 5 Pesantren di Jawa Timur d. Al-Syarqawi di kaji pada I Pesantren di Sumatera, 1 Pesantren di Kalimantan Selatan dan I Pesantren di Jawa Timur e. Kifayat al-Awam di kaji pada 4 Pesantren di Sumatera, I Pesantren di Kalimantan Selatan, 2 Pesantren di Jawa Barat, 2 Pesantren di Jawa Tengah dan 8 Pesantren di Jawa Timur. f. Tijan al-Darari di kaji pada 1 Pesantren di Sumatera, 5 Pesantren di Jawa Barat, 2 Pesantren di Jawa Tengah dan 3 Pesantren di Jawa Timur. C. Kesimpulan Pemikran tauhid Al-Sanusi telah berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran ulama besar seperti Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh Muhammad al-Fadhali, Syaikh Muhammad al-Dasuqi, Syaikh Muhammad Nawawi al Jawi, Syaikh Muhammad 'Abduh. 67Ibid
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
66 Ajaran Syaikh Muhammad al-Sanusi melalui karya-karyanya menyebarkan luas hingga Asia, khususnya Malaysia dan Indonesia. Kitabnya yang berjudul Umm al-Barahin yang juga dikenal dengan alDurrah banyak digunakan dikalangan pesantren yang mayoritas adalah penganut paham Asy'ariyah dan kitab ini juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Jawa. Karya-karya Syaikh Muhammad al-Sanusi beserta dengan beberapa syarh dan khasyiyahnya banyak dipelajari oleh para santri di beberapa pondok pesantren yang terdapat di Indonesia. Menurut hasil penelitian Martrin Van Bruinessan dalam bukunya Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, bahwa syarh-syarh dan khasyiyah-khasyiyah dari karya-karya Syaikh Muhammad al-Sanusi yang diajarkan oleh para Kiyai dan dipelajari oleh para santri di sejumlah daerah. DAFTAR PUSTAKA al-Dasuqi. Muhammmad, Khasyyiah 'ala Umm al-Barahin, Indonesia, AIHaramain, tth. al-Baijuri. Ibrahim, Khasyyiah al-Syaikh Ibrahim 'ala Matn al-&nusiyah, Menara Kudus, tth. Assaqaf. Abdurrahman bin Sagaf bin Husain, Durus al-aqaid al-Diniya, Surabaya, Maktaba Muhammad bin Husain, tth juz 3. AI-Khawarazami. Jamaludin, Mufid al-"um, Mesir, Dar al-Kutub al-Arabiyah alKubra, 1330 H. Amin Abdul Azis. Jum'ah. Fiqih dakwah, Solo, Era Intermedia,2005, cet ke-5. AIBayanuni. Muhammad Abi al-Fath, al-Madkhal ila 11mi al-Da'wah, Beirut Muassat al-Risalah, 1991. al-Fandi. Muhammad Sabit, Da7rat al-Ma'arif al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, tth, Jilid 5. al-Sanusi. Muhammad, 'Aqidat al-Sanusiyah : Matn Umm al-Barahin, Surabaya, Bungkul Indah, tth. al-Syarqawi. Abdullah, Khasyiyah al-Syarqawi 'ala Syarh al-Hududi 'ala alSanusiyah, Menara Kudus, tth. Abduh Muhammad, Risalah al-Tauhid, Jakarta Bulan Bintang. al-Fathani, Zain al-'Abidin bin Muhammad, 'Aqidat al-Najin fi '11m Ushul alDin, ttp, ttpn, tth. al-Fudhali, Muhammad, Tahgiq al-Maqam 'ala Kifayat al- 'Awwamfi '11m alKalam, Indonesia, al-Haramain, tth.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
67 al-Kurdi, Muhammad Amin, Tanwir al-Qulub fi Mu'amalat 'Allam al-Ghuyub, Indonesia, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tth. al-Qus-airi- 'Abd Abu al-Qasim Karim Ibn Hawazin, al-Risalah alQusyairijyah.fi Ilm al-Tasmi•qf, Beirut, Dar al-Jilli, 1990. al-Sanusi. Muhammad, 'Aqidat al-Sanusiyah, Matn Umm al-Barahin, Surabaya, Bungkul Indah, tth. al-Sanusi. Muhammad, 'Umdat AN al-Tauftq wa al-Tasdid, Kuwait, Dar al Qalam, 1982. cet ke I. al-Usairy Ahmad Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Akbar Media Eka Sarana, 2004. al-Hamidi Ismail bin 'Atman, Hawasy 'ala Syarh al-Kubra li al-Sanusi. Mesir, Nfusthafa al-Bang al-Halaby, 1936. Abbas Sirajuddin, Ptiqad Ahlusunnah Wal Jama'ah, Jakarta Pustaka Tarbiyah 1992. a]-Ahx,,-ani. Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997. alFaruqi, Ismail Raji, Tauhid, Bandung, Pustaka, 1988 cet ke I. Ali Yunasrit Manusia Citra Ilahi : Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi oleh al-Jilli, Jakarta, Paramadina, 1997, cet ke 1. AI-Manzur Ibn Lisan al-'Arab, Beirut, Dar Lisan al-'Arab, 1970 Jilid 3. alTabari, Tarikh al- Tabari, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1963, jilid 4. al-Hujwiri, 'Ali tbn Usman, Kasyf al-Mahjub : Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, Terj. Suwarjo Muthary clan Abdul Hadi WM. Bandung, Mizan 1993, cet ke 2. al-Ihwani Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Terj. Pustaka Firdaus, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1985, cet ke I. al-Shawi Ahmad, Syarh 'Ala Jauharat al-Tauhid, Beirut, Dar Ibn Kasir, 2005. Bosworth, E.C. et. al. The Encyclopaedia of Islam. Leiden, E.J.Brill's, 1997. Vol IX. ,al-Shawi, Ahmad, Kasyiyat al Allamah al Shawi, Beirut : Dar al Fikr, tth, jilid 4. Buchari, Tauhid, Jakarta, Akademika Pressindo, 2005, Edisi Pertama. Beheshti, Sayyid Muhammad Husain, Tuhan Menurut al-Qur'an Sebuah Kajian Metafisika, terj Arif Mulyadi, Jakarta, al-Huda 2003, cet ke I. Bertens, Kess, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta, Penerbitan Yayasan Kanisius 1981. Bruinessan Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dam Tarekat, Bandung, Mizan, 1994. Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994, Jilid 4. Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapore, pustaka nasional PTE L TD 2005.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
68
Hotsman. M.Th. et.al. First Encyclopedia of Islam: 1913-1936, Leiden, E.J.Brill's. 1937. Vol VII. Husain bin Muhammad, Menuju Jama'atul Muslimin, Jakarta : Rabbani Press, 1991, Cetakan ke 2. Ilyas IsmaiI.A, Paradigms Dakwah Sayyid Qutub, Jakarta, PT Paramadani, 2006, Cet ke 1. Imam Zaidallah, Strategi Dakwah, Jakarta, Kalam Mulia, 2005, Cet Ke 2. Isa Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001 cet ke I. Khalid Hasan, Mu jam al-Mufasirin, Beirut, Muassasat Nahwadh al-Saqafiyah, 1986, Cet ke 2, Jilid II. Kahalah Umar Ridha, Mu jam al-Mu'alifin, Damsyik, Ihya al-Turats al-'Arabi, tth, jilid I. Kahalah Umar Ridha, Mu jam al-Mu'alifin, Damsyik, Ihya al-Turats al-'Arabi, tth, jilid 8. Khurshid, Ibrahim Zaki, Da-irat al-Ma'arif al-lslamiyah, Beirut, Dar al-Filer, tth, Jilid 12. Munawir.AW, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, Edisi ke 2. Muthahari, Murthadha, Filsafat Kenabian, Jakarta, Pustaka Hidayah, 1991. Nasution. Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, Jakarta, UI-Press, 1987, Cet ke I. Nasution. Harun, Akal dan Wahyu, Jakarta UI-Press, 1986, Cet ke I. Nawawi. Muhammad, Syarh Tijan al-Darari, Semarang, Toha Putra, tth. Proyek Penegaclaan Kitab Suci AI-Qur'an, Dep. Agama, AIQur'an dan Terjemahnya, 1979. Ramayulis. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh, Jakarta : Kalam Muka, 1989. Rifai. M, Ushul Fiqih, Bandung, PT. AI-Ma'arif, 1983, Cet ke 3. Rosvacl Saleh. A, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987. ShaNvi. Ahmad, Kasyiyah al-'Alamah al-Shawi, Dar al-Fikr, Jilid IV. Syukur M Asywedie, Pemikiran-pemikiran Tauhid Syaikh Muhammad alSanusi, Surabaya, PT. Bina Ilmu. 1994. Zaidan. Abdul Karim, Ushul al-Da'wah. Baghad, Dar Umar al-Khatab, 1976, Cet ke 3.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
69 PENGORGANISASIAN DAKWAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM (TANZHIM AL-DA’WAH FI AL-ISLAM) Oleh: Hamdani Djamil∗ Abstrak Pengorganisasian dakwah dalam perspektif Islam yang mengacu pada Qur’an surat Shaf ayat 4 merupakan langkah pertama pelaksanaan program dakwah yang telah tersusun sebelumnya. Pengorganisasian dakwah itu mutlak harus dilaksanakan baik oleh da’i individu maupun da’i. pengorganisasian aktivitas dakwah menyangkut enam unsur, yaitu: da’i, mad’u, maddah, washilah, thariqah, dan atsar. Pengorganisasian aktivitas dakwah bagi da’i kolektif/kelembagaan dapat dilaksanakan melalui empat tahapan: (1) Pengklasifikasian dan pembagian kegiatan dakwah dalam suatu organisasi. (2) Merumuskan dan menentukan tugas dari masing-masing kesatuan. (3) Memberikan wewenang dan pendelegasian kepada masingmasing da’i. (4) Menetapkan adanya jalinan satu dengan yang lainnya dengan cara bappen up system. Untuk mencapai sasaran yang tepat dan penyusunan strategi dalam menghadapi sebuah tantangan, maka kerja sama yang sulit sangat penting dan pemimpin dakwah harus menciptaklan sebuah linkungan yang kondusif disertai komunikasi yang aktif dan efektif antara bawahan dan atasan. Ada tiga peran komunikasi dalam organisasi yaitu, peran antar pribadi, peran informal dan peran pengambilan keputusan. Dan ada empat macam hambatan yang sering terjadi dalam komunikasi, yaitu hambatan proses, hambatan fisik, hambatan sematic dan hambatan psiko-sosial. Key Words: pengorganisasian, dakwah, da’i individu, da’i kolektif, kerja sama komunikasi, sasaran dan hambatan A. PENDAHULUAN Dewasa ini salah satu fenomena yang sehari-hari dinikmati oleh public Islam di Indonesia adalah banyaknya aktivitas dakwah Islam. ∗
Dosen Ilmu Dakwah pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
70 Dakwah tidak lagi hanya berada di tempat-tempat konvensional dakwah, seperti masjid, pesantren dan majlis-majlis ta’lim. Akan tetapi dakwah kini marak diadakan di hotel-hotel, rumah sakit, kantor-kantor pemerintahan maupun swasta, radio, tv bahkan melalui media internet. Fenomena tersebut merupakan perkembangan yang menggembirakan sekaligus tantangan bagi praktisi dakwah untuk tampil tetap dinamis, kreatif dan selalu meningkatkan intensitas, kejelasan visi dan pemahaman serta bertindak lebih professional. Kemajuan teknologi dan permasalahan umat yang begitu cepat bagaikan deret ukur, tidak mungkin ditanggapi dengan metode dakwah konservatif yang bergerak bagaikan deret hitung merayap dan lambat. Globalisasi menentang para praktisi dakwah untuk memberikan jalan dan alternatif pemecahan masalah hidup umat yang semakin konflik. Dengan adanya tantangan-tantangan dakwah Islam tersebut di atas maka kegiatan dakwah dewasa ini harus dilaksanakan secara professional dan sesuai dengan prinsip-prinsip management, yakni: planning, organizing, actuating dan controlling. Pepatah Arab mengatakan ﺍﳊﻖ ﺑﻼﻧﻈﺎﻡ ﻳﻐﻠﺐ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﺑﺎﻟﻨﻈﺎﻡ Kebenaran (al-Haq) bila diorganisir (dengan prinsip-prinsip management) akan dapat dikalahkan dengan kebatilan yang diorganisir Dalam masalah ini penulis akan membahas salah satu prinsip management yang dikaitkan dengan dakwah, yaitu pengorganisasian dakwah dengan terlebih dahulu penulis menguraikan mengenai pengertian pengorganisasian dan dakwah. langkah-langkah pengorganisasian dakwah, desain pengorganisasian dakwah, strategi dan struktur dakwah, tujuan pengorganisasian dakwah, komunikasi organisasi dakwah, penyelenggaraan komunikasi dan kesimpulan. B. PENGERTIAN PENGORGANISASIAN DAKWAH (TANZHIM AL-DA’WAH) Kalimat pengorganisasian dakwah terdiri dari dua kata, pengorganisasian dan dakwah. pengorganisasian berasal dari bahasa Inggris organizing, merupakan unsure kedua manajemen setelah planning. Unsur-unsur manajemen yang oleh Prof. Dr. HM. Yunan Yusuf disitilahkan “’Amaliyah al-idariyyah” merupakan sebuah kesatuan yang utuh yang terdiri dari Takhthith (perencanaan strategis) Thanzhim
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
71 (pengorganisasian Tawjih (penggerakkan) Riqabah (pengawasan atau evaluasi)1. Sedangkan kata dakwah secara etimologi berasal dari bahasa Arab Da’a Yad’u Da’watan yang berarti menyeru, memanggil dan mengajak2. Adapun pengertian dakwah secara terminology para ulama bervariasi memberikan definisi sebagai berikut: 1. Menurut Syaikh Ali Mahfuzh dalam karyanya “Hidayat al-Mursyidin” menyatakan dakwah adalah: ﺣﺚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺍﳋﲑ ﻭﺍﳍﺪﻯ ﻭﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻟﻴﻔﻮﺯﻭﺍ ﺑﺴﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﻌﺎﺟﻞ ﻭﺍﻷﺟﻞ Dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), meyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat3. 2. Nasarudin Latif berpendapat bahwa dakwah adalah setiap usaha aktifitas dengan lisan maupun tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manuasia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak Islamiyah4. 3. Prof. Dr. M. Quraish Shihab mendefinisikannya sebagai seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau usaha mengubah situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik dan sempurna baik terhadap pribadi manusia maupun masyarakat5. 4. Menurut Prof. Dr. M. Yunan Yusuf dakwah adalah upaya mengajak manusia kepada agama Allah dengan mentaati segala petunjuk-
1
M. Yunan Yusuf, “Kata Pengantar dalam manajemen Dakwah” (Jakarta, Kencana Pernada Media Grup, 2009) Hal.. 14 2
Mahmud Yunus, “Kamus Arab Indonesia”, hal.. 127
3 Syeik Ali Mahfuzh, “Hidayat Al-Mursyidin ila Thurq al-Waizi wa al-Khitauba”, (Beirut: Dar al-Maarif, tt.), hal.. 17 4
Nasarudin Latif, “Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah”, (Jakarta: PT. Firmadara,
tt.), hal.. 11 5
M. Quraish Shihab, “membumikan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan, 1992), hal.. 194
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
72 petunjuk-Nya, yakni agama Islam itu sendiri. Dengan tujuan untuk membahagiakan manusia. Baik dalam kehidupan di dunia sekarang ini, maupun dalam kehidupan di akhirat nanti6. Dari pengertian-pengertian dakwah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dakwah adalah suatu kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk beriman dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan demikian dapat dipahami pula bahwa secara kualitatif dakwah Islam bertujuan untuk mempengaruhi dan mentransformasikan sikap batin dan prilaku warga masyarakat menuju suatu tatanan keshalehan individu dan keshalehan social. Dakwah pada tataran praktek, baik yang dilakukan oleh da’i individu maupun oleh da’i kolektif/lembaga harus mengandung dan melibatkan 6 (enam) unsur dakwah. Yaitu da’ (pelaksana dakwah), mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wahilah (media dakwah), thariqah (metode dakwah) dan atsar (efek dakwah). Dengan demikian menurut M. Munir dan Wahyu Ilaihi dalam karyanya “Manajemen Dakwah” dapat dikemukakan bahwa pengorganisasian dakwah (tanzhim al-Da’wah) adalah proses pengelompokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung-jawab dan wewenang sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan7. Menurut Ahmad Fadli dalam karyanya “Organisasi dan Administrasi” yang dikutip oleh M. Munir ia mengatakan bahwa definisi tersebut menunjukkan bahwa pengorganisasian merupakan langkah pertama kearah pelaksanaan rencana yang telah tersusun sebelumnya. Dengan demikian suatu hal yang logis apabila pengorganisasian dalam sebuah kegiatan akan menghasilkan sebuah organisasi yang dapat diterapkan sebagai suatu kesatuan yang kuat8. Pengorganisasian (al-Tanzhim) dalam pandangan al-Qur’an bukan semata-mata merupakan wadah, akan tetapi lebih menekankan bagaimana pekerjaan itu dapat dilaksanakan secara teratur, sinergi dan 6 M. Yunan Yusuf, “Kata Pengantar Manajemen sebagai Problematika dalam Dakwah”, (Jakarta: Kencana Prenada, 2006), hal.. IX 7 M. Munir, “Manajemen Dakwah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009, cet. Ke-2), hal.. 117 8 Ahmad Fadli, “Organisasi dan Administrasi”, (Kediri: Manhal.un Nasyiin Press, 2002), hal.. 30
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
73 sistematis. Hal ini sebagaimana difrimankan oleh Allah SWT, dalam suratash-Shaff ayat 4: ﻢ ﺑﻨﻴﺎﻥ ﻣﺮﺻﻮﺹﺍﻥ ﺍﷲ ﳛﺐ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﺎﺗﻠﻮﻥ ﰲ ﺳﺒﻴﻠﻪ ﺻﻔﺎ ﻛﺎ “Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan seperti bangunan yang tersusun rapih”. Pengorganisasian dakwah ini akan menghasilkan sebuah rumusan struktur organisasi dan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Oleh karena itu tugas para da’i adalah merancang sebuah struktur organisasi yang memungkinkan program dakwah dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien mencapai sasaran dan tujuan. Ada dua poin yang harus diperhatikan oleh da’i dalam pengorganisasian dakwah yaitu: (1). Desain organisasi, (2). Strukur organisasi. Desain organisasi ini bisa mengambil bentuk organisasi mekanik atau organisasi organik, tergantung kesepakatan mereka. Struktur organisasi adalah kerangka kerja formal organisasi yang dengan kerangka itu tugas-tugas jabatan-jabatan dibagi-bagi dikelompokkan dan dikoordinasikan. Ketika para manajer menyusun struktur organisasi, maka mereka terlihat dalam suatu kegiatan dalam desain organisasi, yaitu suatu proses yang melibatkan keputusankeputusan mengenai spesialisasi kerja. Dengan demikian dapat dikatan bahwa pengorganisasian dakwah pada hakekatnya adalah sebagai tindakan mengelompokkan seperti subjek, objek dakwah dan lain-lain. Sementara itu Rosyad Shaleh dalam bukunya “Manajemen Dakwah” yang dikutip oleh M. Munir, Ia mengatakan mengatakan bahwa rumus pengorganisasian dakwah itu adalah “rangkaian aktifitas menyusun suatuu kerangka yang menjadi dakwah bagi segenap kegiatan usaha dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan, serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisasi-organisasi atau petugasnya9. Dalam konteks ini hadits Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan sandaran dalam sebuah pengorganisasian, yang artinya sebagai berikut: “Dua orang itu lebih baik dari pada satu, tiga orang lebih baik dari dua orang dan empat orang itu lebih baik dari pada tiga orang, maka berjamaahlah kamu sekalian
9
M. Munir, Ibid, hal.. 120
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
74 sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umat kami, melainkan kepada-Nya ada petunjuk” (HR. Bukhari) C. LANGKAH-LANGKAH PENGORGANISASIAN DAKWAH Menurut A. Rosyad Shaleh dalam karyanya “Manajemen Dakwah” untuk kegiatan dakwah yang bersifat lembaga/institusi/da’i kolektif, sekurang-kurangnya ada 4 (empat) langkah dalam pengorganisasian dakwah yang dapat penulis ringkas sebagai berikut: 1. Mengklasifikasikan dan membagikan kegiatan-kegiatan dakwah dalam kesatuan organisai. Hal ini menyangkut materi dakwah dan tugastugas pelaksana dakwah (da’i kolektif) 2. Meneruskan dan menempatkan da’i (pelaksana) untuk melaksanakan tugas tersebut. Hal ini menyangkut da’i kolektif, mad’u, metode dakwah dan media dakwah serta atsar. 3. Menetapkan jalinan hubungan satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini menyangkut bentuk-bentuk wewenang dan pendelegasian yang jelas dari pimpinan lembaga dakwah kepada para pelaksana dakwah (da’i kolektif). 4. Menetapkan jalinan hubungan satu dengan yang lainnya10 Dalam hal ini menyangkut pentingnya komunikasi organisasi. Dewasa ini komunikasi organisasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan IT seperti internet, face book, email, HP dan lain-lain. Rosyad Shaleh lebih lanjut menyatakan bahwa langkah pertama itu dapat dirumuskan dan diklasifikasikan hal-hal yang terkait dengan materi dakwah sebagai berikut: Materi dakwah tentang pendalaman ajaran Islam (baik yang menyangkut ibadah ritual maupun ibadah social). Materi dakwah peningkatan kehidupan aspek pendidikan. Materi dakwah peningkatan kehidupan apek social. Materi dakwah peningkatan kehidupan aspek ekonomi. Materi dakwah peningkatan kehidupan aspek sains dan penelitian terhadap perkembangan masyarakat11. Dan selanjutnya menurut dia yang dapat penulis simpulkan adalah menentukan kesatuan-kesatuan da’i (pelaku dakwah) sebagai berikut: 10
Ibid, hal.. 79
11
Ibid, hal.. 30
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
75 a. b. c. d. e.
Kesatuan tugas da’i pendalaman ajaran Islam. Kesatuan tugas da’i peningkatan aspek pendidikan. Kesatuan tugas da’i peningkatan aspek social. Kesatuan tugas da’i peningkatan kehidupan aspek ekonomi. Kesatuan tugas da’i peningkatan aspek kehidupan ilmu pengetahuan (sains) f. Kesatuan tugas da’i penelitian terhadap perkembangan masyarakat (mad’u) Langkah kedua adalah merumuskan tugas-tugasnya sebagai
berikut: a. Materi dakwah bidang pendalaman ajaran Islam, pelaksana dakwah (da’i) memberikan penjelasan dan menanamkan kebenaran dan kebaikan ajaran Islam serta manfaat yang akan dicapai oleh mad’u dengan metode bil hikmah, mauidhat al-Hasanah bila perlu dengan metode mujadalah. Para pelaksana dakwah (da’i) memberikan bimbingan ajaran Islam kepada mad’u dengan uswat alHasanah, dan lembaga dakwah itu menyediakan sarana beribadah seperti masjid dan mushalla sebagai media dakwah. Serta pelaksana dakwah mempersiapkan materi dakwah yang relevan dengan keadaan mad’unya. b. Materi dakwah bidang pendidikan, pelaksana dakwah (da’i) setiap memberikan pengertian dan dorongan kepada masyarakat/mad’u tentang pentingnya pendidikan dengan metode Hikmah dan mauidhat al-Hasanah, maka da’i melalui lembaga dakwah itu mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal sebagai media dakwah. Dan mempersiapkan serta membina tenaga-tenaga pendidik dan da’i professional (dosen, guru, da’i, dan mubaligh) c. Materi dakwah bidang social, para da’i memberikan bimbingan penyuluhan tentang kesehatan jasmani dan mental spiritual dengan metode mujadalah, maka para da’i mengusahakan sarana-sarana kesehatan seperti balai pengobatan, rumah bersalin dan pos kesehatan sebagai media dakwah. para da’i melalui lembaga dakwah tersebut menyediakan dan memberikan dana social dan lain-lain.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
76 d. Materi dakwah bidang kesejahteraan ekonomi. Bidang ini para da’i berusaha memberdayakan masyarakat dalam usaha perekonomian sehingga masing-masing anggota masyarakat (mad’u) dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, seperti mendorong dan mengembangkan home industry, peternakan, pertanian dan lain-lain dengan pendekatan metode bil hikmah. e. Materi dakwah bidang ilmu pengetahuan dan budaya. Dalam bidang ini para da’i mempunyai tugas menggali dan mengembangkan sains untuk kesejahteraan masyarakat (mad’u) serta menghidupkan dan membina kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Di samping itu para da’i berusaha membendung pengaruh kebudayaan asing yang merusak keyakinan dan akhlak mulia. Hal ini dapat dilakukan oleh para da’i seperti menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat (mad’u). mengganti dan mengembangkan kebudayaan yang Islami. Mengusahakan tenaga-tenaga ahli muslim dalam berbagai disiplin ilmu dan kebudayaan. Dan para da’i memberikan pemahaman tentang bahayanya kebudayaan asing yang merusak kehidupan masyarakat (mad’u). f. Materi dakwah bidang penerbitan dan pustaka. Bidang ini para da’i mempunyai tugas menyelenggarakan penerbitan bahan-bahan dakwah dan ajar, buku-buku, majalah, brosur dan lain-lain tentang ajaran Islam dan pengetahuan serta menyebarkannya ke masyarakat luas (mad’u) dengan menggunakan IT dan mesin percetakan modern. Dari uraian empat langkah dari pengorganisasian tersebut di atas, maka dapat penulis tegaskan bahwa pengorganisasian dakwah itu telah mencakup dan melibatkan enam unsure dakwah, yaitu: Da’I koleksi (pelaksana dakwah), mad’u (mitra dakwah, madda (materi dakwah), washila (media dakwah), thariqah (metode dakwah) dan atsar (aspek dakwah) Sebagai contoh, lembaga-lembaga dakwah yang telah melaksanakan pengorganisasian dakwah adalah ormas-ormas Islam yang kini telah menjadi yayasan, seperti: Perguruan As-Syafi’iyah yang didirikan oleh alm. KH. Abdullah Syafi’i. Perguruan Atthahiriyah yang didirikan oleh alm. KH Thahir Rahili. Perguruan Attaqwa Ujung
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
77 Harapan yang didirikan oleh alm. KH. Noor Ali. KOORDINATOR DAKWAH ISLAM (KODI) DKI JAKARTA. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang didirikan oleh alm Dr M. Nasir. Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT) Indonesia yang didirikan oleh Prof. Dr. H. Tutty Alawiyah AS. Ittihad Al-Mubalighin Indonesia yang didirikan oleh alm. KH. Ahmad Syaikhu Dewan Masjid Indonesia (MDI) dan lain-lain. Pengorganisasian dakwah dapat terwujud bilamana dilandaskan pada perencanaan dakwah yang telah ditetapkan sebelumnya. Dan senantiasa digerakkan dan diarahkan pada sasaran dakwah yang telah ditetapkan. Di samping itu pelaksanaan tugas-tugas operasional akan efektif bilamana dikendalikan pelaksanaannya. Kesemuanya itu memperlukan tindakan-tindakan manajemen yang bagus12 Langkah ketiga, yaitu menyerahkan tugas kepada para pelaksana dakwah dan pemberian wewenang atau kekuasaan dari pimpinan lembaga dakwah tertinggi kepada para pelaksana dakwah agar sejak tugas yang diberikannya itu dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Langkah keempat. Agar kekuasaan dan tanggung jawab antara manajer, pimpinan bagian, pimpinan seksi dan para pelaksana tidak menimbulkan masalah maka seluruh da’i yang terlibat harus diberi pengertian bahwa sebenarnya perbedaan tugas dan besarnya wewenang serta tanggung jawab adalah dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan yang sama. Menurut Sayyid Kutub yang dikutib oleh A. Ilyas Ismail dalam bukunya Paradigma Dakwah Sayyid Kutub, ia mengatakan bahwa ada tiga hal penting yang harus ada dalam pengorganisasian dakwah yaitu: (1). Harus ada asas pengorganisasian dakwah yaitu aqidah Islam, (2). Harus ada jamaah inti, pendukung utama atau para pelaksana dakwah dan (3). Harus ada rambu-rambu atau karakteristik dan aturan main. Dengan demikian bahwa pengorganisasian dakwah ini tidak boleh didasarkan pada ikatan-ikatan lain, seperti darah, keturunan, etnik, ras dan bangsa. Aqidah Islam harus menjadi satu-satunya ikatan yang menyatakan seluruh anggota pengorganisasian dakwah. Dengan demikian pengorganisasian dakwah menjadi terbuka bagi setiap orang dari suku dan ras manapun juga13. Adapun pengorganisasian dakwah yang dilakukan oleh da’i individu, menurut hemat penulis bahwa pengorganisasian dakwahnya 12 13
Ibid, hal.. 91 A. Ilyas Ismail, “Paradigma Dakwah Sayyid Kutub”, (Jakarta: Permadani, 2006) cet.
I hal.. 255
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
78 relative lebih mudah, yaitu mempersiapkan diri sebagai seorang da’i baik yang menyangkut kesehatan, kesiapan pisik, mental dan spiritual. Lalu ia mempersiapkan materi yang relevan dengan mad’unya, actual dan moderat dengan menggunakan pilihan metode dakwa yang tepat. Kemudian selanjutnya ia menguasai media yang digunakan serta ia berusaha memahami latar belakang, pendidikan dan kompleksitas mad’u yang dihadapi. D. DESAIN PENGORGANISASIAN Menurut para pakar yang dikutip oleh M. Munir dalam bukunya Manajemen Dakwah yang dapat penulis rangkum sebagai berikut: desain pengorganisasian tergantung pada tiga komponen, yaitu strategi, teknologi dan derajat ketidakpastian lingkungan organisasi tersebut. Desain pengorganisasian itu terdiri dari: 1. Organisasi Mekanik Struktur organisasi mekanistik adalah sebuah struktur organisasi yang disirikan oleh spesialisasi yang tinggi, departemen yang luas, rentang kendali yang sempit dan partisipasi yang kecil dalam pengambilan keputusan dari pekerja di bawahnya. Dalam struktur mekanik, spesialisasi tugas atau kerja menciptakan pekerjaan-pekerjaan sederhana, rutin dan dibakukan. Departemen yang luas meningkatkan impersonalitas dan banyak memerlukan lapisan manajemen untuk mengkoordinasi departemen khusus, dimana setiap da’i diawasi oleh para manajer. 2. Organisasi Organik Organisasi organik adalah suatu struktur pengorganisasian yang sangat adaptif dan fleksibel dengan spesifikasi kerja yang sedikit, formalisasi yang minimal, dan supervise langsung kepada pekerja junior. Dalam organisasi organic ini dilakukan pembagian kerja bagi para da’i dan mereka diberikan kuasa penuh untuk menangani masalah yang terjadi pada mad’u.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
79 E. STRATEGI DAN STRUKTUR DAKWAH Struktur organisasi dakwah adalah sarana untuk menolong para manajer dakwah dalam mencapai sasaran, karena sasaran dakwah itu dirumuskan dari strategi organisasi. Tegasnya struktur organisasi dakwah harus mengikuti dakwah.Strategi dan dtruktur dalam organisasi dakwah difokuskan pada unsure-unsur sebagai berikut: 1. Inovasi para pelaku dakwah yang akan mencerminkan usaha organisasi untuk mengejar inovasi menghadapi mad’u. 2. Minimalisasi biaya yang mencerminkan usaha organisasi untuk melakukan pengendalian biaya secara ketat dalam aktivitas dakwah. Dalam menentukan desain strategi dan struktur dakwah, maka para manajer dakwah harus jeli dalam melihat mad’u, sehingga aktivitas dakwah akan lebih mantap, efisien, serta mampu melakukan kendali ketat yang ada dalam segala aktivitas dakwah. Factor yang mempengaruhi strategi dan struktur organisasi dakwah dalam pengorganisasiannya adalah: a. Takaran struktur Besar kecilnya dakwah akan mempengaruhi strukturnya. Organisasi yang besar dengan banyak anggota di dalamnya akan lebih cenderung memiliki lebih banyak spesialisasi, departemen, peraturan dan tatanan disbanding organisasi yang skalanya kecil. Di samping itu tambahan wilayah dakwahnyapun lebih luas dan komplek. b. Teknologi dan struktur. Dakwah era modern bukan hanya sebatas dakwah bil-lisan saja, tapi juga harus menggunakan suatu bentuk teknologi untuk mengimbangi kemajuan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar sasaran aktivitas dakwah dapat tercapai, maka organisasi dakwah harus mampu memberdayakan peralatan, bahan-bahan, pengetahuan atau para da’i professional yang kemudian diformalisasikan dalam bentuk kegiatan dakwah. struktur organisasi dakwah akan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang berkembang dalam masyarakat, karena arus globalisasi informasi dan teknologi akan membawa dampak
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
80 yang sangat signifikan terhadap komunikasi, aktivitas dan desain dakwah. c. Ketidakpastian lingkungan Pada tataran aplikasi, sering kali orgnisasi dakwah akan menghadapi kondisi ketidakpastian lingkungan. Oleh karenanya, salah satu cara untuk mengantisipasi kondisi tersebut adalah melalui penyesuaian dalam struktur. Di samping adanya factor eksternal, ketidakpastian lingkungan juga disebabkan oleh faktoe internal, penataan structural yang tidak tepat. Misalnya semakin rendah sumber daya da’i disatu sisi dan semakin kompleks problem yang terjadi dalam mad’u. artinya semakin jelas ketidakpastiannya disisi lain, maka akan semakin besar tuntunan fleksibelitas yang ditawarkan oleh desain organisasi. F. DESAIN ORGANISASI DAKWAH Dalam mendesain struktur organisasi yang memungkinkan para pelaku dakwah dapat mengerjakan tugasnya secara efektif dan efisien, baik da’I dalam satu tim atau perorngan, maka memerlukan informasi untuk mengambil keputusan dan menentukan strategi dakwah. Penggunaan teknologi sangat mempengaruhi cara anggota organisasi dakwah dalam berkomunikasi, menyampaikan informasi dan dalam melaksanakan aktifitas mereka. Komunikasi dan penukaran informasi diantara para anggota organisasi tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Kondisi ini berarti, bahwa organisasi-organisasi dakwah tidak lagi harus dalam struktur hanya untuk menopang dan mempermudah arus informasi dan kegiatankegiatan kerja dakwah secara horizontal dan vertical. Dengan kata lain para da’i dapat mengakses informasi kapan dan dimanapun dengan menggunakan IT, berupa internet, face book, Hp dan email. Dan komunikasi organisasi dakwah yang paling bagus dan modern dewasa ini adalah dengan cara buppen up system (system inforamsi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas) tidak lagi dengan cara top down (system informasi hanya terus menerus dari atasan).
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
81 G. TUJUAN PENGORGANISASIAN DAKWAH Bahwa pengorganisasian itu memiliki arti bagi proses dakwah, dan dengan pengorganisasian rencana dakwah akan lebih mudah aplikasinya. Untuk itu pada dasarnya tujuan dari pengorganisasian dakwah adalah sebagai berikut: 1. Membagi kegiatan dakwah menjadi defisi-defisi dan tugas-tugas yang terperinci dan spesifik. 2. Membagi kegiatan dakwah serta tanggung jawab yang berkaitan dengan masing-masing tugas dakwah. 3. Mengkoordisikan berbagai tugas organisasi dakwah 4. Mengkelopokkan pekerjaan-pekerjaan dakwah ke dalam unit-unit. 5. Membangun hubungan dikalangan da’i baik secara individual, kelompok maupun secara departemen. 6. Menetapkan garis-garis wewenang formal. 7. Mengalokasikan dan memberikan sumber daya organisasi dakwah. 8. Dapat menyalurkan kegiatan-kegiatan dakwah secara logis dan sistematis. H. KOMUNIKASI ORGANISASI DAKWAH Organisasi dakwah merupakan sebuah organissi yang berbentuk sebuah tim atau kelompok (dua individu atau lebih yang berinteraksi dan saling bergantungan untuk mencapai sasaran tertentu), di mana semua kegiatannya akan bersentuhan langsung dengan para anggotanya. Definisi dari sebuah tim adalah sebagai dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi kearah tujuan bersama. Untuk itu diperlukan sebuah jalinan hubungan yang harmonis antara semua elemen yang terkait dalam aktivitas dakwah. Sebuah tim merupakan kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Akan tetapi tidak sekumpulan orang dapat dikatakan tim, untuk dapat dianggap sebuah tim, maka sekumpulan orang tersebut harus memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Ada berbagai kesepakatan terhadap misi tim. Agar suatu kelompok dianggap sebuah tim yang dapat bekerja dengan efektif, maka semua anggotanya harus memahami dan menyepakati misinya. 2. Semua anggota harus mentaati peraturan tim yang berlaku. Suatu tim harus mempunyai peraturan yang berlaku, sehingga dapat membentuk kerangka usaha pencapaian misi. Suatu kelompok dapat menjadi tim
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
82 manakala ada kesepakatan terhadap misi dan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku. 3. Ada pembagian tanggung jawab dan wewenang yang adil. Keberadaan sebuah tim tidak meniadakan struktur dan wewenang. Sebuah tim dapat berjalan dengan baik apabila tanggung jawab dan wewenang dibagi, dan setiap anggota diperlakukan secara adil. 4. Orang beradaptasi terhadap perubahan. Oleh karena itu, anggota im harus dapat saling beradaptasi terhadap perubahan yang positif.14 Secara tradisional, tim dalam sebuah organisasi dibagi menjadi dua bagian yang memiliki karakteristik tersendiri, yaitu sebuah tim yang bekerja secara formal dan sebuah tim yang bekerja secara informal. Secara mendasar terdapat beberapa alasan mengapa diperlukan sebuah hubungan antar kelompok, yaitu: 1. Keamanan. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, individu dapat mengurangi rasa kecemasan, akan merasa lebih kuat – perasaan ragu akan terkurangi, dan akan lebih tahan terhadap ancaman bila mereka merupakan bagian dari suatu kelompok. 2. Status. Termasuk dalam hubungan kelompok yang dipandang penting oleh orang lain memberikan sebuah perasaan berharga yang mengikat pada anggota-anggota kelompok itu sendiri. 3. Pertalian. Hubungan tersebut dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan social dengan interaksi yang teratur yang mengiringi hubungan tersebut. 4. Prestasi baik. Ketika diperlukan lebih dari satu orang untuk mencapai suatu tugas tertentu, maka ada kebutuhan untuk mengumpulkan bakat, pengetahuan, atau kekuatan agar suatu pekerjaan dapat terselesaikan, sehingga dalam kepentingan sebuah manajemen akan menggunakan suatu tim formal. Tim formal adalah suatu kelompok kerja yang ditandai dengan didefinisikan oleh struktur organisasi yang dibentuk secara sengaja oleh pimpinan dan diberi tanggung jawab untuk melakukan tugas tertentu guna membantu organisasi mencapai tujuan. Dalam kelompok ini yang paling menonjol adalah tim komando yang di dalamnya termasuk seorang pimpinan dan semua anggota yang bertanggung jawab penuh terhadap pimpinan tersebut. 14
M.N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta: Galia Indonesia, 2011) hal..
166-167
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
83 Sedangkan tim informal adalah suatu kelompok yang tidak terstruktur secara formal atau ditetapkan secara organisatoris; muncul sebagai tanggapan terhadap kebutuhanakan kontak social. Pada dasarnya sebuah kelompok dalam organisasi yang terbentuk secara tersendiri akan memiliki fungsi sebagai penyambung hubungan yang harmonis antara sesame anggota organisasi tersebut. Fungsi dari terbentuknya sebuah tim secara tidak langsung dalam organisasi dakwah adalah: 1. Dapat mempertahankan dan memperkuat norma atau etika tingkah laku yang diharapkan dan nilai-nilai yang dimiliki bersama oleh para anggotanya. 2. Memberikan sebuah kepuasan, status, serta kenyamanan social oleh para anggotanya. 3. Membantu kelompok organisasi dalam menjalin komunikasi. Dari sinilah para anggota dapat belajar secara informal mengenai hal-hal yang mempengaruhi kerja dakwah dengan mengembangkan serana informasi secara informal mereka sendiri sebagai nilai plus pada saluran yang lebih formal. Pada kelompok informal juga dapat dimanfaatkan oleh pimpinan dakwah untuk menyampaikan informasi secara tidak resmi, sehingga apa yang diinginkan dapat dikomunikasikan secara rileks. 4. Dari kelompok ini diharapkan dapat membantu menyelasaikan permasalahan organisasi. Para anggota organisasi dapat mengoreksi hasil kerja serta memberikan masukan sesama anggota dalam lingkungan yang lebih kondusif dalam usaha perbaikan bersama. Namun pada dasarnya tim bersifat formal maupun informal dalam sebuah organisasi dimaksudkan agar terjadi sebuah kekompakan dan keharmonisan dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Karena sebuah kerja sama yang solid sangat penting dalam organisasi dakwah untuk mencaai sasaran dan menyusun sebuah strategi dalam menghadapi sebuah tantangan. Dalam kaitan ini, seorang pemimpin dakwah harus mampu menciptakan sebuah lingkungan yang kndusif di antara semua anggota organisasi. Ada beberapa cara untuk menciptakan sebuah lingkungan tersebut, yaitu: 1. Meningkatkan ketertarikan pribadi. Orang akan cenderung untuk bergabung dan bekerja dengan tim yang anggotanya mereka kenal dan memiliki karisma. Dengan demikian, seorang manajer dakwah harus mampu mengembangkan dan menarik simpati dengan nilai-nilai
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
84 tertentu yang cenderung memiliki sebuah kesamaa, yang kemudian bisa dikembangkan dalam sebuah pelatihan, seminar dan sebuah kebijakan yang mendorong kebanggaan dalam mencapai sasaran organisasi bersama, yaitu dengan menciptakan sebuah iklim yang kondusif atau nyaman di antara sesama anggota organisasi tersebut. 2. Meningkatkan interaksi. Walaupun pada realitasnya manusia jarang menyukai semua orang yang bekerja sama dengannya, namun dengan meningkatnya interaksi, maka diharapkan dapat memperbaiki sebuah persahabatan dan komunikasi yang baik. 3. Menciptakan sebuah tujuan bersama dan rasa seperjuangan.15 Menurut Richardo Guzzo dan Grogory Shea bahwa; efektivitas sebuah kelompok dalam sebuah organisasi merupakan suatu fungsi dari tiga variable, yaitu: a. Interpendensi tugas, yaitu sejauh mana pekerjaan kelompok menurut para anggotanya untuk saling berinteraksi. b. Rasa potensi, yaitu sebuah keyakinan kolektif dari suatu kelompok bahwa kelompok itu bisa efektif dan akan maju. c. Interpendensi hasil, yaitu beberapa dari pekerjaan suatu kelompok yang memliki konsekuensi yang dirasakan oleh para anggotanya. Untuk menciptakan sebuah kerja sama yang solid dalam organisasi atau lembaga dakwah, maka dituntut sebuah kecerdasan dan kerja sama yang baik oleh para pemimpin dakwah. Dalam hal ini para pemimpin dakwah harus mampu memberikan seperangkat tujuan dakwah yang memungkinkan untuk dicapai, juga dapat dijadikan tujuan untuk ke masa depan. Oleh karena itu, para anggota ata kelompok harus diberikan sebuah fleksibelitas dalam mengatur tindakan mereka sendiri. Di samping itu, para anggota harus memiliki sebuah keoptimisan, bahwa ia mampu melakukan tugas-tugas yang telah ditentukan dengan sebuah usaha kerja sama yang baik. Betapa tidak, dalam sebuah organisasi kadang-kadang sebuah tim tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan salah satu factor utamanya adalah manusia yang bekerja dalam tim tersebut. Untuk itu harus diperhatikan oleh para pemimpin tentang aspek penghambat kesuksesan kerja sama tim. Di antara aspek penghambat tersebut meliputi: 15
Rasa seperjuangan ini didasarkan atas dasar persamaan (musawah), persaudaraan (ukhuwah), cinta kasih (mahabbah), damai (silm), tolong menolong (ta’awun) dan toleransi (tasamuh)
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
85 a. Identitas pribadi anggota tim; b. Hubungan anggota tim; dan c. Identitas tim dalam organisasi I. PENYELENGGARAAN KOMUNIKASI Dalam proses kelancaran dakwah komunikasi, yakni suatu proses yang digunakan oleh manusia dalam usaha untuk membagi arti lewat transmisi pesan simbolis merupakan hal yang sangat penting. Karena tanpa komunikasi yang efektif antara pemimpin dengan pelaksana dakwah, maka pola hubungan dalam sebuah organisasi dakwah akan mandek, sebab komunikasi akan mempengaruhi seluruh sendi organisasi dakwah. Dari sinilah kerangka acuan dakwah, yaitu untuk menciptakan sebuah opini yang sebagian besar diperoleh dari informasi melalui komunikasi. Dalam proses komunikasi ini akan terjadi sebuah proses yang melibatkan orang, yang mencoba memahami cara manusia saling berhubungan. Komunikasi ini juga termasuk ke dalam sebuah kesamaan arti agar manusia dapat berinteraksi, yang dapat berupa sebuah simbol gerakan badan, suara, huruf, angka dan kata yang dapat mewakili atau mendekati ide yang mereka maksudkan untuk dikomunikasikan. Kinerja komunikasi sangat penting dalam sebuah organisasi termasuk organisasi dakwah. Adapun manfaat dari penyelenggaraan komunikasi sebagai sarana yang efektif dalam sebuah organisasi adalah: 1. Komunikasi dapat menempatkan orang-orang pada tempat yang seharusnya; 2. Komunikasi menempatkan orang-orang untuk terlibat dalam organisasi, yaitu dengan meningkatkan motivasi untuk menghasilkan kinerja yang baik dan meningkatkan komitmen terhadap organisasi; 3. Komunikasi menghasilkan hubungan dan pengertian yang lebih baik antara atasan dan bawahan, mitra, orang-orang di luar organisasi dan di dalam organisasi; dan 4. Menolong orang-orang untuk mengerti perubahan.16 Dalam aktivitas dakwah, komunikasi yang efektif dan efisien dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi tindakan manusia (mad’u) kea rah yang diharapkan.
16
Ron Loudlow, Fergus Panton, The Essense of Effective Comunication; Komunikasi Efektif, (Yogyakarta: Andi, 2000), hal.. 4-5
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
86 Paling tidak, ada dua alasan mengapa diperlakukan sebuah komunikasi yang efektif para pemimpin dakwah terhadap para anggotanya, yaitu: 1. Komunikasi akan menyediakan sebuah chanel umum dalam proses manajemen, yaitu dalam merencanakan, mengorganisasikan pemimpin, serta mengendalikan. Pemimpin dakwah dapat mengembangkan sebuah rencana dan strategi dakwah yang baik kepada anggotanya dalam sebuah organisasi dalam mendistribusikan wewenang dan pekerjaan dengan memastikan bahwa kewajiban tersebut menumbuhkan sebuah motivasi yang kemudian diaktifkan lewat kegiatan dakwah secara sistematis. 2. Keterampilan komunikasi yang efektif dapat membuat para pemimpin dakwah menggunakan berbagai keterampilan serta bakat yang dimilikinya dalam dunia organisasi. Terlebih aktivitas dakwah sangat diperlukan dalam akses komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Semakin baik komunikasi yang dilakukan oleh seorang manajer dakwah atau seorang da’i sendiri, maka akan semaikin baik pula/Job performance dan hasil pekerjaan mereka. Dalam proses organisasi ternyata hamper separuh pekerjaan dari pemimpin dakwah adalah untuk berkomunikasi, baik dalam proses presentasi rencana, memberikan arahan, serta menyampaikan informasi. Komunikasi yang berimbang dalam kegiatan manajemen akan dapat menyalurkan dan mempertukarkan informasi diantara semua pihak yang terlibat dalam proses manajemen ini. Dalam proses aktivitas dakwah komuni-kasi yang berimbang akan lebih mudah untuk diterima dalam proses empati17 dan disebarluaskan kepada para anggota masyarakat lainnya. Menurut Minzeberg, ada tiga komponen peran komunikasi dalam manajerial, yaitu: 1. Dalam peran antar pribadi mereka, pemimpin bertindak sebagai tokoh dari unit organisasi, berinteraksi dengan karyawan, pelanggan, dan rekan sejawat dalam organisasi. 2. Dalam peran informal mereka, manajer mencari informasi dari rekan sejawat karyawan dan kontak pribadi yang lain mengenai segala sesuatu yang mungkin mempengaruhi pekerjaan dan tanggung jawab 17Proses seorang dalam mengeluarkan tangan pada orang lain dan kemudian untuk mengadakan sebuah hubungan. Lihat, Uda’I Pareek, Prilaku Organisasi kearah Pemahaman Proses Komunikasi antar-pribadi danmotivasi kerja, (Jakarta: Pustaka Binaman Persindo, 1994) hal.. 5-6
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
87 mereka. Sementara pada waktu yang lain untuk menyebarkan informasi yang penting serta menarik. 3. Dalam peran mengambil keputusan mereka, manajer mengimplementasikan proyek baru, menangani gannguan, dan mengalokasikan sumber daya kepada anggota unit departemen. Beberapa dari keputusan yang dibuat oleh manajer dapat dilakukan sendiri, tetapi itu berdasarkan informasi yang dikomunikasikan kepadanya. Manajer pada gilirannya harus menyampaikan keputusan tadi pada orang lain18. Walaupun demikian, ada Kendala-kendala yang harus diperhatikan oleh organisasi atau lembaga dakwah dalam pemanfaatan komunikasi. Karena itu melihat, bahwa apa yang terjadi pada masyarakat (mad’u) cenderung akan lebih selektif, lebih aktif, kritis dalam menerima pesan-pesan yang akan diajukan kepadanya. Karena masyarakat tidak lagi terus menjadi sasaran objek, tetapi akan menjadi mitra, setara dengan komunikator. Oleh karenanya komunikator harus menyadari bahwa tidak akan selalu menjadi pemanah melainkan akan menjadi pelayan pesan dan komunikan harus aktif memilih pesan yang ditawarkan oleh organisasi berdasarkan kebutuhan, minat, selera, tingkat intelektualitas dan pendidikan, profesi, system nilai, agresi pengalaman hidup, serta lingkunagan. Dalam perkembagan yang seperti di atas, efektifitas komunikasi antara organisasi atau lembaga dakwah dan mad’u tidak hanya tergantuing kepiawaian komunikator (da’i) melainkan juga pada semua unsur yang terkait dalam komuniksi, yakni komunikator, isi pesan, komunikan, dan saluran komunikasi. Dari sini diperlukan sebuah proses yang efektif. Perbedaan komunikasi yang efektif dan tidak efektif dalam aktivitas dakwah dapat dilacak melalui : 1. Perbedaan persepsi hal ini merupakan suatu hambatan komunikasi yang umum dijumpai dalam aktivitas dakwah. ini mungkin bisa terjadi akibat dari sifat heterogen manusia yang berlatar belakang pengetahuan serta pengalaman yang berbeda ; sering menerima pengalaman yang sama namun dalam perspektif yang berbeda, mungkin disebabkan perbedaan bahasa, perbedaan gender, budaya,
18
Henny Mintzberg, The Manager’s Job; Folklore and Fa (Harvard: Bussiness Review, No. 4 Juli-Agustus 1975)
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
88 dan lain sebagainya. Dalam konteks ini diperukan kemampuan para da’I dalam mempelajari latar belakang para mad’u yang akan diajak berkomunikasi. Di samping itu, harus mampu berempati-melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dan menunda reaksi sampai mempertimbangkan informasi yang releven yang akan mengurangi keraguan. 2. Reaksi emosional ini bisa dalam bentuk marah, benci, mempertahan persepsi, malu, takut-yang kan mempengaruhi cara da’i dalam memahami pesan yang disampaikan dalam mempengaruhi mad’u pendekatan yang terbaik untuk berhubungan dengan emosi adalah menerimanya sebagai bagian proses komunikasi dan mencoba untuk memahaminya ketika emosi menimbulkan masalah. Dalam kepemimpinan dakwah, jika para anggota berlaku agresif atau tersinggung, maka pemimpin dakwah harus mampu berbicara kepada mereka mengenai apa yang mereka pikirkan serta memberi perhatian pada apa yang mereka katakan. Setelah manajer dakwah memahami reaksi anggotanya, merekla mungkin dapat merpebaiki suasana dengan mengubah tingkah laku mereka sendiri. Sebelum terjadinya krisis, pimimpin dakwah harus mampu mencoba mengantisipasi reaksi emosional anggotanya dan bersiap-siap menghadapinya. Di samping itu mereka dapat berpikir mengenai perasaan mereka sendiri dan bagaimana sense itu mempengaruhi orang lain. 3. Ketidak konsistenan komunikasi verbal (bahasa yang diucapkan) dan non verbal (mencakup semua stimulus dalam suatu peristiwa komunikasi, baik yang dihasilkan oleh manusia maupun oleh lingkungan dan yang tidak termasuk stimulus verbal yang memiliki pasang potensial bagi si pengirim maupun penerima).19 Medium utama komunikasi adalah secara lisan dan tertulis, namun pesan yang diterima atau dikirim amat dipengaruhi oleh factor nonverbal seperti gerakan tubuh, pakaian, gaya bicara atau expresi dan lain sebagainya. Kunci utama untuk menghilangkan hal ini adalah dengan mewaspadainya dan selalu berhati-hati dalam mengirimkan sebuah pesan atau dalam berkomunikasi. Di samping itu, juga harus mampu menelaraskan antara komunikasi verbal dan nonverbal, Para manajer dakwah dan da’i harus mampu menganalisis komunikasi nonverbal
19Samovar,
Lerri A. Porter, Richard E and Jain, Nemi C, Understanding Intercultural Communication, (Belmont, California : Wedswort,Publishing Company 1981) hal.. 151
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
89 dari orang lain dan menerapkannya kepada diri sendri dan ketika berkomunikasi dengan mad’u. 4. Kecurigaan. Seorang penerima mempercayai atau mencurigai suatu pesan pada umumnya merupakan fungsi kredibilitas dari pengirim dan pemikiran dari penerima pesan. Kredibilitas pengirim dalam hal ini adalah para pelaku dakwah sangat dipengaruhi lingkungan dalam konteks dia mengirim pesan. Dalam dunia organisasi, kredibilitas seorang manajer akan tinggi jika ia dianggap oleh orang lain berpengetahuan dan berwawasan luas, dapat dipercaya, dan tulus menyangkut kesejahteraan orang lain.20 Kredibilitas merupakan hasil dari proses jangka panjang yang mana kejujuran seseorang, keadilan, dan maksud baik dikenal oleh orang lain. Hubungan yang baik dengan orang lain hanya dapat dikembangkan lewat tindakan konsisten. Sebagai konsekuensi logis dari komunikasi itu sendiri, menurut R. Kreitner menyatakan, bahwa terdapat empat macam hambatan yang sering terjadi dalam komunikasi, yaitu: 1. Hambatan proses (process barriers), ini terjadi karena komunikasi yang berlangsung melalui beberapa tahap yang merupakan sebuah proses yang disebabkan factor pemberi (sander barrier), hambatan ungkapan bahasa (encoding barrier), hambatan sarana (medium barrier), hambatan memahami ungkapan (receive barrier), serta hambatan umpan balik (feedback barrier). 2. Hambatan fisik (physical barriers), ini bisa terjadi karena disebabkan factor jarak, media yang tidak memadai dan lain sebagainya. 3. Hambatan semantic (semantic barrier), hampir semua proses kegiatan komunikasi itu tidak dapat menghindari dari penggunaan kata-kata. Hambatan semantik biasanya timbul disebabkan karena salah memahami atau mengartikan kata-kata yang dipergunakan. 4. Hambatan psiko-sosial (psyco-social barriers), hambatan inilah yang cenderung lebih banyak terjadi dibandingkan dengan hambatanhambatan lainnya. Ini dilatarbelakangi oleh sifat heterogen dari masing-masing orang yang disebabkan oleh latar belakang, persepsi, nlai-nilai, kecenderungan, kebutuhan, serta harapan yang berbeda. Semua factor di atas, baik yang berkaitan dengan komunikasi antarpribadi maupun komunikasi dalam organisasi merupakan 20Barbara
Cofky, Degital’s Self-Managed Accunting Teams, (Harper Collins Publisher,
tt) hal.. 30-31
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
90 konsekuensi logis dari sebuah penyampaian pesan secara akurat dari satu orang kepada orang lain. Karena komunikasi yang terbuka dan efektif memiliki makna yang signifikan dan sangat membantu perkembangan sebuah organisasi dakwah. G. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Pengorganisasian dakwah merupakan langkah pertama kearah pelaksanaan rencana yang telah tersusun sebelumnya. Rencana dakwah akan dapat terlaksana dengan baik bilamana fungsi manajemen bersentuhan langsung dengan pelaku dakwah. 2. Bahwa pengorganisasian dakwah itu mutlak harus dilaksanakan baik aktivitas dakwah individu maupun aktivitas dakwah kelembagaan atau da’i kolektif. 3. Pengorganisasian aktivitas dakwah individu dan aktifitas dakwah kelembagaan dapat dilaksanakan oleh da’i yang bersangkutan terutama yang menyangkut 6 (enam) unsure dakwah yaitu: da’I, mad’u, maddah, washilah, thariqah dan atsar. 4. Pengorganisasian aktivitas dakwah kelembagaan dapat dilaksanakan melalui empat tahapan: (1). Pengklasifikasian dan pembagian kegiatankegiatan dakwah dalam suatu organisasi, (2). Merumuskan dan menentukan tugas dari masing-masing kesatuan, (3). Memberikan wewenang dan pendelegasian kepada masing-masing da’i (4). Menetapkan adanya jalinan hubungan satu dengan yang lain dengan cara buppen up system, tidak lagi dengan cara top down. 5. Sebuah kerjasama yang solid sangat penting dalam organisasi dakwah untuk mencapai sasaran dan menyusun sebuah strategi dalam menghadapi sebuah tantangan. Maka seorang pemimpin dakwah harus mampu menciptakan sebuah lingklungan yang kondusif diantara sesama anggota organisasi dengan meningkatkan keterkaitan pribadi, meningkatkan interaksi dan komunikasi serta menciptakan sebuah tujuan bersama dan rasa seperjuangan. 6. Manfaat berkomunikasi sebagai sarana yang efektif dalam sebuah organisasi dakwah adalah: dapat menempatkan orang-orang pada tempat yang sebenarnya, dapat menempatkan orang-orang untuk terlibat aktif dalam organisasi, menghasilkan hubungan dan pengertian yang lebih baik antara atasan dan bawahan dan mendorong orangorang untuk mengerti perubahan.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
91 7. Ada tiga peran komunikasi dalam manejerial. Yaitu: peran antar pribadi mereka, peran informal mereka dan peran mengambil keputusan mereka. 8. Ada empat macam hambatan yang sering terjadi dalam komunikasi: hambatan proses, hambatan pisik, hambatan sematic dan hambatan psiko-sosial. DAFTAR PUSTAKA Ali Mahfuzh Syaikh, Hidayah al-Mursyidin Ila Turuq al-Wa'zh wa al-Khithabah (Beirut, Dar al-Ma'arif, tt) Cofky Barbara, Digital's Self-Managed Accunting Teams, (Harper: Collins Publisher, tt) Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penfsiral-Qur'an, 1971) Fadli Akhmad, Organisasi dan Administrasi (Kediri Jatim, Manhalun Nasyiin Press, 2002) Henny Mintz Berg, The Manager's Job; Folklore and Fa (Harvard: Bussiness Review, 1975) IAIN Syahid Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi dan Disertasi (Jakarta, Syahid Indek, 1989) Ismail A. Ilyas, DR. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, (Jakarta, Paramadani, Cet I, 2006) Latif Nasarudin, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta, PT Firmadara) Ma'arif Bambang S, DR, Komunikasi Dakwah; Para digma Untuk Aksi, (Bandung: Remaja Rosdakarya Bandung, 2010) Munir M, MA. Manajemen Dakwah (Jakarta, Kencana Pernda Media Group, 2009) Nasution M.N., Manajemen Mutu Terpadu, (Jakarta Galia Indonesia, 2001) Ron Loudlow, Fergus Panton, The Essense of Effective Communication; Komunikasi Efektif, (Yogyakarta: Andi, 2000)
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
92 Samovar, Lerri A. Porter, Richarrd E and Jain, Nemi C, Understanding Intercultural Communication, (Belmont, California: Wedsworth Publishing Company, 1981) Shaleh A. Rosyad, Drs., Manajemen Dakwah, (Jakarta, Bulan Bintang, Cet. III, 1993) Shihab M Quraish, Prof. DR., Membumikan Al-Qur'an, (Bandung, Mizan, 1992) Syahputra Iswandi, Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan, (Bandung, Refika offset, 2007) Uda'i Pareek, Perilaku Organisasi ke Arah Pemahaman Proses Komunikasi antarPribadi dan Motivasi Kerja, (Jakarta: Pustaka Binaman Persindo, 1994) Yunus Mahmud, Prof., Kamus Arab Indonesia, (Yayasan Penyelenggara penerjemah Penafsir al-Qur'an, Departemen Agama RI, 1973)
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
93 MUHAMMAD IQBAL DAN IDE DINAMISME ISLAM Oleh : Sarbini Anim∗ Abstrak Muhammad Iqbal adalah seorang penyair, pujangga dan filosuf besar. Iqbal berasal dari keturunan keluarga menengah dan keturunan brahma, Ayahnya bernama Muhammad Nur, adalah seorang sufi yang terkenal. Iqbal juga seorang pemikir Isalam, sebgai pemijir, Iqbal banyak bergelut di alam filsafat, Iqbal membangkitkan kembali semangat Ummat Islam penjajahan Erofa, Iqbal sangat intens dalam pengembangan dan pembaharuan pemikiran-pemikiran hukum Islam. Key Word: Penyair, pembaharuan, idiologi, sufi, dan ijtihad A. Pendahuluan Muhamad Iqbal adalah seorang penyair, pujangga filosof besar abad ke 20, bahkan Muhammad Iqbal termasuk seorang pembaru dalam Islam. Dalam membicarakan Muhammad Iqbal sekalipun sepintas lalu, kita tidak dapat lepas dari bicara tentang sejarah sastera dan latar belakangnya. Iqbal yang lahir sebagai penyair dan ahli pikir, pembicaraan tentang kepenyairan dan pikirannya sekalipun hanya sepintas. Iqbal sebagai seorang muslim sosial, juga paham pahamnya yang sangat reaksioner bisa mendapatkan bait – bait puisinya untuk mendukung idiologi – idiologi yang satu sama lain saling bertentangan, namun demikian, pada azasnya ia pemikir yang sangat kuat yang tidak terkait oleh adat kebiasaan dan lebih menghadap kedepan dari pada ke belakang. Iqbal seorang penyair, ia menempatkan potensi intelektualnya ini sebagai pengabdian bagi tujuan – tujuan Islam. Puisi – puisinya yang revolusioner dalam bahasa Urdu telah diterjemaahkan kedalam bahasa Arab dan bahasa persi tanpa kehilangan daya tarik epic dan emosionalnya. Dalam kepastiannya sebagai seorang pemikir Islam. Iqbal ∗
Dosen Pemikiran Islam pada Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
94 banyak bergulat dengan alam filsafat. Ia membangkitkan kembali semangat umnat Islam yang terlena akibat penjajahan eropa yang cukup lama. Lewat syairnya, Iqbal berusaaha membangunkan kembali dari kebodohannya untuk merebut kembali kemerdekaan yang telah dirampas barat. Namun demikian, tak banyak orang yang melihat iqbal sebagai tokoh mujtahid dan mujaddid. Padahal, bila ditelesuri perjalanan karirir dan kehidupannya ternyata iqbal sangat intens dalam pengembangan dan pembaharuan pemikiran dalam hukum Islam. Pemikiran – pemikiran pembaharuannya tentang hukum Islam lebih mengkristal dalam karya monumentalnya tentang hukum Islam lebih mengkeristal dalam karya monumentalnya The Reconstruktion of Religious Thought in Islam. Yang diterjemaahkan kedalam bahasa Indonesia dalam dua versi, yaitu oleh Osman Raliby dan oleh Taufik Ismail bersama Gunawan Muhammad dan Ali Abduh.1 Penulis akan menjelaskan riwayat hidup dan keberhasilan Iqbal dalam menumbuhkan kembali semangat umat Islam yang melemah akibat penjajahan. Serta menjelaskan gagasan – gagasan Iqbal dalam pemikiran hokum Islam. B. RIWAYAT HIDUP MUHAMMMAD IQBAL 1. Kelahiran dan Keluarganya Iqbal dilahirkan 22 februari 1873. Menurut Willfred cant Well Smit mengemukakan bahwa kelahiran Iqbal tepatnya pada tahun 1876, sementara itu ada pula yang berpendapat bahwa hari lahir Iqbal pada tanggal pada tanggal 9 November 1877 atau 2 Dzulqo’dah 1294.2 Kemudian, setelah sekian lama Iqbal hidup sebagai seorang pemikir dan penyair, akhirnya. Pada 21 April 1938 Iqbal dipanggil Allah SWT, setelah mendrita penyakit kencing batu dan kehilangan suara sejak 1935. Waktu meniggal dunia, usia Iqbal 60 tahun, satu bulan dua puluh enam hari atau enampuluh tiga tahun hijri.3 Jenazah Muhammad Iqbal dimakamkan dekat pintu gerbang masjid Shahi di Lahore, Pakistan pada akhir petang dengan upacara yang luar biasa besarnya, ditengah – tengah ribuan para pengantar. Setengah jam 1Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ,. Studi tentang kontribusi gagasan iqbal dalam pembaharuan hukum Islam ( Jakarta Kalam Mulia, 1994 ), cet kre1.h. 3 2Muhammad Iqbal Rkonstruksi Pemikiran Islam ,Ibid,. Hal. 44 3 Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
95 sebelum menghembusan nafas terakhirnya, masih sempat ia membisikan sajaknya yang terkenal.4 Melodi perpisahan boleh mengema atau tidak Bunyi nafiri bertiup lagi dari hijaz atau tidak Saat si fakir telah sampai ke batas trekhir pujangga lain boleh dating atau tidak Muhamad Iqbal berasal dari keluarga menengah dan keturunan berahma yang memeluk Agama Hindu, dan keluarga Iqbal hidup di Kashmir ( kawasan yang terletak di bagian India ). Salah satu kakek Muhammad Iqbal masuk Islam sebelum tiga abad pada masa pemerintahan Zainal Abidin Ilyas Badsyah (814 H/1421 M-877 H/1472 M ).Keluarga Muhammad Iqbal masuk islam melalui seorsng sufi. Syeikh Hamdani. Slah seorang ulama muslim pada masa pemerintahan Negara Monggol yang berdiri di India.5 Kakek Iqbal telah hijrah dari Kashmir ke Pujab kemudian menetap di kota Sialkot, keturunan keluarga kakeknya Iqbal masih menetap di Kashmir, yang dikenal dengan sapru ( tempat bagi orang yang belajar al-Qur’an atau orang yang akan memeluk Islam ).6 Ayahnua bernama Nur, adalah seorang sufi yang terkenal karena kesalehan dan ketakwaanya. Sejak kecil Ayahnya yang mengajar dan mendidiknya ilmu – ilmu agama, menghafal al-Qur’an dan ilmu – ilmu lainya. Kakek Iqbal, Muhammad Rafiq adalah seorang sufi yang terkenal. Ayahnya, Muhammad Nur, jugaseorang muslim yang sangat disiplin dalam kehidupan sufi, sebagai mana diajarkan dan diamalkan oleh kakeknya. Demikian pula ibunda Iqbal, ia seorang muslimah yang sangat religious. Ayah Iqbal meninggal dunia pada 17 Agustus 1930, dalam usia 100 Tahun. Sedangkan Ibunya peninggal 16 Tahun sebalumnya, yaitu 14 November 1914 dalam usia 78 tahun.7
4Muhammad Iqbal, Membangun kembali pikiran Agama dalam Islam, ( Jakarta Tinta Mas 1982). Hal. XXXV1 5Muhammad al-Arabi al Azizy, Fiqruhu al-diny wa-alfasafy. ( Bairul :Daar Al-Fikri, 1999 ). Cet .1 hal.. 59 6Ibid 7Muhammad Iqbal, Rekonstruksi pemikiran Islam, hal. 45
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
96 2. Pendidikan Sebagai seorang sufi, ayah Iqbal mendidiknya dengan agama. Kemudian pada usia sekolah, Iqbal dibawanya ke Maktab untuk belajar Al-Qur’an pada masa kanak – kanak. Iqbal sudah bannyak menghafal Al -Qur’an yang kelak menjadikan rujukannya dalam mengembangkannya. Muhammad Iqbal setelah belajar al-Qur’an di Maktab, kemudian Iqbal dimasukan ke Scottish School, di Sialkot. Disini ia bertemu dengan guru ternama yang juga teman karib ayah Iqbal, namanya sayid Amir Hasan. Dialah yang mendidik dan membimbing Iqbal serta memompakan semangat keagamaan padanya, dan semangat ini sangat membekas dan menjadi spirit ketika Iqbal melanjutkan setudi ke Eropa.8 Setelah pendidikan dasarnya di Sialkol Iqbal masuk Government College ( Sekolah Tinggi Pemerintah ) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Si Thomas Arnild yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Governmnt College Lahore. Iqbal lulus pada tahun 1899.9 Sebagai mana halanya SirHasan di Sialkot, sir Thomas Arnold juga melihat kecermelangan kejeniusan Iqbal dengan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mendorongnya untuk lebih mendalami ilmu pengetahuabn secara intens. Bahkan Armold mendorong iqbal untuk lebih jauh melanjutkan pendidikanya ke Eropa.10 Kemudian Iqbal berangka belajar ke Eropa selama tiga tahun, Iqbal memilih melanjutkan pendidikan tingginya di Cambridge University Ingeris. Disana ia belajar filsafat pada MC. Target setelah selesai di Cambridge Universiti Iqbal mengambil gelar doctor di Munigh;Jerman pada tahun 1908 Iqbal berhasil memperoleh gelar doctor ( Ph.D ) dengan desertasi berjudul The Development of Methapyska of Persia.11 Selama tiga tahun belajar di Eropa, Iqbal banyak terpengaruh ajaran tasawuf panteisme yang memandang kesatuan alam dan Tuhan. Disini Iqbal tumbuh menjadi seorang panties.
8Ibid.,
hal.. 46 Ali , Alam Pikiran Islam Moderen di India Pakistan , ( Bandung : Mizam, 1993) Cet.IV,. hal.174 10Mikti Ali, op. cit, hal. 46 11Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, hal.. 47 9Mukti
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
97 Kecendrungan terhadap kehidupan sufisme ini dilatar belakang oleh keluarga Iqbal yang disiplin di dalam tradisi kesufian.12 Setelah menyelesaikan pelajarannya, Iqbal kembali kepakistan pada 1908 M. Di negaranya ( Pakistan ) Iqbal menjalankan peropesi sebagai pengacara, guru besar di Universiotas dan penyair sekaligus. Namun setelah mengalami pergumulan batin yang hebat dalam dirinya Iqbal meninggalkan perofesinya sebagai pengacara dan guru besar . Akhirnya Iqbal lebih memperlihatkan jati dirinya sebagai seorang penyair sejati.13 Pada waktu itu Iqbal mulai menulis bukunya dalam bahasa Urdu yang pertama kali ditulis mengenai ekonom. Namun sebelum itu, ia telah mulai mengambil bagian pada syimposium syair local, dan telah menarik perhatian para penyair senior.14 3. KARYA KARYANYA Dalam kepastianya sebagai seorang pemikir, Iqbal banyak menulis puisi yang menyentuh dan menggerakan emosional Umat Islam untuk bangkit dalam keterbelakangan dan kebodohan mereka. Bagi mereka yang ingin menelaah Iqbal lebih jauh, selain membaca karya karya Iqbal sendiri, baik sekali kita membaca karangan – karanga orang tentang Iqbal.15 a. Karya Karya iqbal sediri: Tulisan pertamanya adalah Stary Reflctions yang mulai ditulisnya pada 27 April 1910 m. Buku ini merupakan catatan lepas tentang hal – hal yang dilihat dan dialaminya, isinya singkat, luas dan alinea – alineanya sangat pendek serta mencakup berbagai permasalahan. Lima tahun berikutnya Iqbal menulis asrari Khudi ( Rahasia Peribadi ). Selanjutnya berturut turut lahir buku buku Rumuz’IBekhudi ( 1918 ), payem-IMasyrik (1923 ), Bang-I Dara (1924 ) dan zaburi’I Ajam (1927 ). Semua karya ini berbentuk puisi kemudian pada 1930 M terbit karya filosofinya yang monumental yang berjudul. The Reconstructtion of Religius Though in Islam ( pembangunan kembali Alam pikiran Islam ). Pada tahun berikutnya Iqbal menulis karya – karyanya javid Namah ( 1923 ) 12Ibid,
hal.. 50 hal. 41 14Mukti Ali, Mencari Islam Autentik , hal..147 15Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Islam, hal. 51 13Ibid,
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
98 Musafir ( 1933 ), Bal’I – Jibril (1935 ). Karya terakhir Iqbal adalah Armagha-ni Hijaz yang terbit pada bulan November 1938, beberafa bulan setelah Iqbal wafat. 16Karya yang paling dapat dianggap mewakili penggeseran pemikiran Iqbal ini adalah askar –I Khudi I yang terbit pada 1915 M. Istilah Khudi ( diri atau makluk individual ) diciptakan oleh Iqbal untuk menunjukan pusat kesadaran dan kehidupan kognitif yang aktif,yang dalam pandangannya menjadi dasar bagi wujud esensial makhluk individual.17 b. Karangan Orang Tentang Iqbal Ishrat Hasan Enver, the Metaphysics of Iqbal. K.G Saiyadain; Iqbal ‘s Education to the Tought of Iqbal. S.A Vahid; Iqbal , His Art & Tought Eminent Scholars, Iqbal as a Thinker, A. Anwar Beg, The poet of the East, Najib kailani, Iqbal asy-Sya’irus sair (bahasa Arab ), A. II,amNadawi, Syirul Islam Muhammad Iqbal ( bahasa Arab ) Arab Eminent Scholares Muhammad Iqbal ( bahasa Arab ).18 Mazharuddin Sidiqqi, The Imege of the, West in Iqbal, Bashir Ahmad Dar, Iqbal and Post-kantian Volumtarisin,”Sanlo Samloo” ( Penyusun ), Speeches and setatement of Iqbal Javid Iqbal, ( editor Setral Reffektions dan Letters of Iqbal tujuan kata pengantar oleh M,A Jimah ).19 c. Selain itu buku – buku Iqbal yang telah diterjemaahkan dan diberikata pengantar atau catatan kaki seperti. Asrar-I Khudi, terjemahan bahasa Indonesia dan dan pengatar Bahrum kangkuti Asrar-! Khudi, terjemahan bahasa ingeris dan pengantar oleh Altaf Husain./ Payam –I Mashriq, terjemaahan bahasa arab dan pengantar oleh A. Wahib Azzam. Persian psalm, terjemaahan bahasa inggris dan pengantar oleh A.J Arberry, Javidnama, terjemaahan bahasa inggeris dan catatan oleh perofesor Arberry.20 C. GAGASAN POKOK PIKIRAN MUHAMMAD IQBAL TERHADAP SUMBER HUKUM ISLAM Muhammad Iqbal menegaskan bahwa Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian 16Ibid,
hal.. 52 hal. 53 18Membangun Kembali, hal.. XXXI 19 Ibid, Hal.. XXXVII 20Ibid 17Ibid,
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
99 akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti: matahari, bulan, pertukaransiang menjadi malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda – tanda itu akan tertinggal dan buta terhadap masa yang akan dating.21 Dalam syair syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Beliau mengatakan bahwa intisari hidup adalah gerak, sedangkan hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal berseru kepada Umat Islam agar bangun menciptakan dunia baru. Terhadap suasana demikian Iqbal mengutif pandangan Said Hakim Pasya, repormer Tutkiuntuk memberikan resep satu – satunya yaitu mengembangkan dan menggalakan kembali ijtihad.22 Oleh karena itu bagi Iqbal, ijtihad dalam kenyataan merupakan motor yang menggerakan mesin Islam.23 Muhammad Iqbal dipandang sebagai seorang pelopor reformasi didunia Islam yang ide – ide reformasinya melewati batas batas Negara asalnya. Pemikiran – pemikiran pembaharuannya tentang hukum Islam lebih mengkeristal dalam karya monumentalnya The Reconstruktion of Religius Thuoht in Islam.24 Barangkali cukup menarik dan berharga, untuk dibicarakan dan diketahui tentang pemikiran Muhammad Iqbal. Diantara ide dan pemikiran Muhammad Iqbal: 1. Tentang Sumber Hukum Islam a. Al-Qur’an Iqbal menyakini kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW fungsinya adalah sebagai petunjukbagi kehidupan manusia untuk memperoleh kebahaggiaan dunia dan akhirat. Al-QUr’an juga sebagai sumber utama dalam hukum Islam, Iqbal mengatakan bahwa; tujuan alqur’an dalam Islam ialah untuk membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungan tuhan dengan alam semesta.25 Dari gagasan Iqbal tentang semangat Al-Qur’an yang menghargai gerak dan perubahan, ia begitu berobsesi untuk menyadarkan umat Islam agar bergerak merubah keadaan statis dan setgnan ( beku ) 21Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, ( Jakarta Bulan Bintang, 1975 ) hal..192 Iqbal, Rekontruksi Daslam Islam, hal.. 85 23Muhammad Mukhahari, Gerakan Islam abad XX, ( Jakarta Rineka Cipta,.t.t ) hal.. 85 24Muhammad Iqbal, Rekonstruksi pemikiran Islam, hal..3 25Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, hal. 68 22Muhammad
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
100 menjadi dinamis dan progresif didalam menjalani kehidupan duniawi. Oleh sebab itu menurut Iqbal Al-quran memandang perlu menyatukan agama dan Negara, etik dan politik dalam satu wahyu saja, karna berdasarkan pengalaman, agama yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi adalah karena terlalu mementingkan segi segi realita dan kehidupan duniawi. Sedangkan keristen gagal dalam memberikan nilai nilai kepada pemeliharaan Negara, undang undang dan organisasi, karena lebih mementingkan aspek ritual dan sepiritual saja.26 Daslam kegagalan kedua agama itu Al-Qur’an berdiri ditengah tengah dan sama sama mementingkan kehidupan individual dan sosial, ritual dan moral, al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut tanpa membeda – bedakanya. Pandangan Iqbal ini, merupakan basis bagi Iqbal dalam mengembangkan gagasan gagasan teori politik Islamnya. Bagi Iqbal antara politik pemerintahan dan agama tidak terdapat pemisahan sama sekali. Ini lah yang kemudian dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas penduduknya Hindu. Hanya dengan adanya pemerintahan yang tersendiri bagi umat Islam, mereka akan dapat melaksanakan perinsip – perinsip ajaran al-Qur’an di dalam kehidupan mereka.27 b. Al-Hadits Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an kajian Iqbal tentang hadits Nabi SAW didasarkan pada situasi dan kondisi sosial masyarakat Islam ketika itu, disamping untuk merespon setudi yang gencar dilakukaan para orientalis barat. Sejak dulu hadits memmang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Umat Islam meneliti hadits didasarkan rasa tanggung jawab yang begitu dalam terhadap ajaran Islam, Sedangkan orientalis mengkajinya hanya kepentingan ilmiah.28 Sementara itu, dikalangan orientasi yang pertama kali melakukan studi tentang hadits adalah 26Ibid 27Ibid 28Ibid,
hal.. 74
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
101 Ignaz Goldziher. Ia mengemukakan bahwa hadits sejak masa awal Islam dan masa- masa berikutnya mengalami proses evolusi. Hadits Nabi pada awal Islam telah tersebar dan menjadi norma dikalangan shabat, setelah Nabi wafat, materi hadits semakin berkembang sejalan dengan perkembangan doktrin mazhab – mazhab Fiqh. Iqbal menyimpulkan bahwa Goldziher akhirnya tidak percaya pada seluruh hadits yang dikoleksi para ahli hadits. Iqbal setuju dengan pandangan Syaikh Waliytentang hadits. Menurut wilayah, cara Nabi menyampaikan dakwah Islam adalah dengan cara umum membawakan hukum – hukum dan memperhatikan kebiasaan, cara – cara dan keganjilan umat yang dihadapi ketika itu. Pendapat Iqbal tentang pembedaan antara hadits hukum dan hadits bukan hukum, agaknya sejalan dengan pemikiran ahli usul yang mengakatan bahwa hadits adalah penuturan perbuatan dan ketetapan Nabi yang berkaitan dengan hukum, Sedangkan hadits – hadits yang tidak mengandung hukum, seperti kebiasaan – kebiasaan Nabi bersifat khususnya tidak wajib diikuti dan diamalkan.29 Iqbal setuju dengan syeikh Waliyullah bahwa hadits Nabi yang beliau hasilkan sebagai peroses intraksi dengan masyarakat Arab dimaksudkan untuk mengantisipasi setiap permasalahan yang berkembang ketika itu, dari pemikiran diatas, Iqbal menyimpulkan pada dasarnya keberlakuan hadits tersebut belum tentu dimaksudkan untuk setiap generasi umat tertentu.30 Dengan demikian, dalam pemahaman terhadap hadits Nabi SAW yang perlu diperhatikan adalah menagkap visi dinamis yang universal dari kandungan hadits sebagai sumber kedua hukum Islam. Inilah kemudian yang dijabarkan dan dikembangkan dalam masyarakat muslim. Sebab, kalau kita hanya memperhatikan situasi dan kondisi objektif masyarakat yang berkembang, kita akan terjebak kedalam sikap setatis, stagnasi dan beku serta cendrung konservatif, tidak realistis menghadapi dinamika masyarakat.31 2. IJTIHAD Ijtihad secara etimologi adalah mashdar dari kata ijtihad yajtahidu – ijtihadan. Artinya adalah bersungguh – sungguh. Sedangkan 29Ibid,
hal.,. 77
30Ibid 31Ibid,
Al-Risalah
hal.. 80
Volume II, No. 1, Januari 2012
102 ijtihad secara termology menurut Abdul Hamid Hakim adalah mengerakan segenap kemampuan untuk memperoleh hukum syara dengan cara istimbath terhadap kitab Allah dan sunah Rasul-nya.32 Iqbal sendiri merumuskan pengertian ijtihad sebagai” Expert With a view to from an independent judgement on legal question” ( bersungguh sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum ). Ide ijtihad dipagari dengan persyaratan ketat yang hamper tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu system hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami setagnasi dan tidak mampu berkembang. Iqbal mendeteksi tiga factor yang merupakan penyebab kebekuan hukum Islam, yaitu, gerakan rasionalisme yang liar, perkembangan sufisme yang pesat dan kejatuhan kota Bagdad.33 Terhadap suasana demikian, Iqbal mengutip pandangan said Halim pasya, reformer Turki untuk memberikan resep satu –satunya yaitu mengembangkan dan menggalakan kembali ijtihad untuk menghadapi tantangan modernis.34 Iqbal yakin, hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat di negri – negri muslim, kalau umat Islam berani mendekatinya dengan semangat Umar Ibn al-Khatab, otak kritis yang pertama didalam Islam. Dalam sejarah awal Islam, Umar adalah tokoh yang telah mengadakan pemikiran – pemikiran kereatif dan inovatif terhadap persoalan – persoalan sosio religious yang dihadapinya.35 Bagi Iqbal, satu – satunya upaya untuk membuang kekakuan hukum Islam yang dihasilkan periode kemunduran Islam adalah menggalakan kembali ijtihad dan ijma.36 3. POLITIK Dalam aspek politik, iqbal memperjuangkan demokrasi, beliau sangat menjungjung kebebasan, persamaan dan persaudaraan, dengan kebebasan, dia memaksudkan otonomi manusia, kemampuannya untuk memilih keburukan kebebasan adalah tanggung jawab tindakan
32Ibid,
hal..81
33Ibid 34Ibid 35Ibid 36Ibid
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
103 seseorang dihadapan Tuhan ketimbang kebebasan di dalam hukum yang dibuat atau ditafsirkan manusia. Dengan persamaan, dia maksudkan persamaan martabat, dia sangat membenci pembedaan ras, bangsa atau kelas. Dia mencela monarki menghargai hukum.37Dengan persaudaraan, dia tentu saja tidak hanya merujuk pada kaumberiman, tetapi juga pada makluk manusia yang menyadari kesatuan fundamentalisnya dengan tuhan dan alam.38 Disamping kebebasan, persaudaraan dan persamaan, Iqbal juga sangat menjungjung solidaritas muslim. Namun demikian hal itu tidak menyebabkan konflik dengan sesama rakyat se-negrinya, dan kenyataannya ( sebagai mana lebih banyak lagi dapat dilihat pada dukungan Gandhi kepada gerakan Khilafat ) kaum nasional Hindu telah membuat keuntungan politik sementara – mendukung satu bentuk pan Islam yang memudahkan pembentukan front bersama melawan inggeris.39 Sambil mengemukakan pandanganya tentang demokrasi dalam sajaknya dan dalam tulisan – tulisannya Iqbal mempertahankan pendekatan ganda yang sama,yakni memuji satu aspek dan mencela aspek yang lain.40 Dari sudut mencela misalnya, Iqbal telah menyindir beberapa kekuranga demokrasi yang bersifat ajali dimana jumlah kepala hanyalah dihitung dan bukan dinilai atau dihargai, dengan akibat bahwa sebagian energy dari mereka yang dipilih dibuang dalam memelihara jumlah kelompok yang mendukung setiap anggota sebagai peribadi. Dalam bentuk demokrasi yang paling baik, ia hanya menguntungkan sekelompok orang – orang tertentu dari suatu bangsa.41 Dari sudut memuji misalnya, Iqbal melihat kepada demokrasi yang diterapkan Islam, sebab visi demokrasi Islam tidak mengabaikan rakyat jelata akan tetati menumbuhkan dal;am diri mereka suatu karakter yang mempunyai tujuan yang lebih tinggi dalam kehidupan. Jadi, Islam merobah asas demokrasi dari penindasan ekonoki ke penyucian ruhani dan pengaturan ekonomi yang lebih baik. Asas 37Robert
D. Lele, Mencari Islam Autentik ( Bndung Mizan, t.th. ) hal. 86
38Ibid 39Mukti
ali. Op. cit hal..180 . H Bilgerami, Sekilas tentang hidup dan pikiran – pikirannya, ( Jakarta Bulan Bintang 1982 ). Cet 1 hal.. 79 41Ibid, hal. 79 40H
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
104 demokrasi Islam ini dengan baik telah diungkapkan oleh Sayyid Ameer Ali dalam bukunya “ the sepirit of Islam “ dan oleh Farid Jafar dalam bukunya “the sfirit of Pakistan “ menurut mereka, asas itu terletak dalam kata – kata Nabi sendiri ketika beliau mengucapkan khotbah dihadapan jama’ah yang sangat besar pada tanggal 8 Dzulhijjah yang bertempatan pada tanggal 7 Maret pada tahun 632 Masehi.42 Terhadap gagasan tentang persamaan dan persaudaraan, kebebasan dan kemerdekaan, keadilan sosial dan peri kemanusiaan ini Iqbal mempunyai perinsip dasar dari konsepsi Iqbal mengenai demokrasi Islam: a. Landasan asasi demokrasi Islam adalah tuhid keesaan Illahi .” kekuasaan tertinggi dan kedaulatan terakhir dalam demokrasi adalah kekuasan dan kedaulatan tuhan.” Hanya petunjuknya yang diikuti dan hanya ia yang dipatuhi. b. Masalah penting dala teori Iqbal mengenai demokrasi Islam adalah kepatuhan kepada hukum, sebagai mana diberikan dari masa ke masa pada umat manusia melalui Nabi- Nabi yang disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW c. Masalah ketiga yang memberikan karakter khusus pada demokrasi Islam adalah masalah toleransi, Iqbal tidak percaya pada toleransi akibat kelemahan, sebab teorinya mengenai demokrasi Islam didasarkan pada anggapan, bahwa seluruh kehidupan pada asalnya adalah bersifat rohani, ia tidak bisa mengabaikan asfek penting dari kemanusiaan yang hakiki ini. Dalam demokrasi Islamnya, Iqbal mengatakan bahwa semua orang akan memperoleh kesenangan, keamanan hidup dan kekayaan, kehormatan, dan kemerdekaan agama, kemerdekaan mengeluaarkan pendapat dan kemerdekaan bergerak. d. Konsep Iqbal mengenai demokrasi Islam tidaklah dibatasi pada suatu ikatan geografis,. Ras, ataupun bahasa tertentu. 4. FILSAFAT Muhammad Iqbal sebagai seorang filosof, beliau banyak mendukung paham dinamisme, sesuai dengan Islam yang pada hakekatnya mengajarkan dinamisme demikian pendapat Iqbal. AlQur’an senantiasa menganjurkan pemakaiyan akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, pertukaran siang 42Ibidhal.
.80
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
105 menjadi malam dan sebagainya.43 Faham dinamisme Islam yang ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Dalam Syair syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak. Begitu sangat tingginya ia menghargai gerak sehingga ia menyebut bahwa kafir yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.44 Muhammad Iqbal sangat tidak merespon kepada umat Islam yang tidak dinamis ( bergerak ). Hukum dalam Islam sebenarnya, demikiaan Iqbal, tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup.45 Oleh karena itu, Iqbal mengutip pandangan SaidHalim Pasya, reformer turki untuk memberikan resep satu satunya yaitu mengembangkan dan menggalakan kembali ijtihad untuk menghadapi tantangan modernis. Satu satunya jalan terbaik bagi kita adalah membuka kulit keras yang menyelubungi Islam dan membuat tidak bergeraknya pandangan dasar Islam yang pada dasarnya adalah dinamis. Kemudian menyelidiki kembali orisionalitas dari kemerdekaan, persamaan solidaritas untuk membangun kembali cita – cita moral, social dan politik kita dari kesederhanaan dan universalitasnya yang asli. Iqbal mengatakan, dalam gerak maju ia tidak boleh berhenti apa bila ia ingin mencapai ketinggian yang didamba dambakan, berhenti adalah kehancuran. Iqbal menulis dalam” Zindagi-o Amal “´( Hidup dan Perbuatan ) .46 Dalam perjalaan bulan kepuncak kebesaran, tiada tempat berhenti bagi usahausaha. Pantai yang diam tanpasuara berbicara senantiasa Aku hidup, tapi taktahu siapa aku Gelombang yang tak kenal istirahat buru – buru menjawab Aku ada karena aku bergerak Bila aku berhenti aku pun mati Iqbal yakin, hukum Islam akan mampu berevolusi terhadap perkembangan masyarakat dinegri- negri muslim, kalau umat Islam 43
Op., cit. Harun Nasution hal. 192
44Ibid 45Harun 46Hrun
Al-Risalah
Nasution ,op.cit. hal., 191 Nasution , op cit hal.. 191
Volume II, No. 1, Januari 2012
106 berani mendekatinya dengan semangat Umar Ibn al- Khatab, otak keritis yang pertama didalam Islam. Dalam sejarah awal Islam, Umar adalah tokoh yang telah mengadakan pemikiran – pemikiran kereatif dan inovatif terhadap persoalan - persoalan social religious yang dihadapinya.47 D. Kesimpulan Dari uraian singkat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Menurut Muhammad Iqbal, kalau ingin maju dan tidak statis dalam kehidupan didunia ini hendaklah berpedoman kepada sumber hukum Islam yang pokok, yaitu al- Qur’ah Hadits dan Ijma ( Ijtihad ). Tegas Iqbal, sebab al-Qur’an, hadits serta ijtihad menghargai gerak dan berubah, dan pada akhirnya dengan berpedoman terhadap tiga sumber tersebut dapat merubah kehidupan dari setatis dan stagnan menjadi dinamis. Umat Islam perlu melakukan perubahan dan pembaharuan dan menyesuaikan Islam dan pemeluknya terhadap penemuan sain modern. 2. Iqbal, berpolitiknya beliau menerapkan system demokrasi, dan dalam system demokrasi ini Iqbal selalu menghubungkannya kepada demokrasi Islamkebebasan, persamaan dan persaudaraan benar – benar tercipta sesuai dengan keinginan rakyat. Berbeda dengan demokrasi yang didengung – dengungkan Eropa, ternyata hanya omong kosong belaka (jauh yang diinginkan masyarakat internasiona).
DAFTAR PUSTAKA Muhammad Iqbal, Rekonsteruksi Pemikiran Islam, Studi Tentang Konstribusi Gagasan Iqbal Dalam Pembaruan Hukum Islam, tt:Kalam Mulya, tth Bilgerami, Iqbal sekilas tentang Hidup dan Pikiran – pikirannya Jakarta , Bulan Bintang,1982 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam Sejarah pemikiran dan gerakan, Jakarta Bulan Bintang, 1975 Muthada Muthari, Gerakan Islam Abad XX, Jakarta, Beunebi Cipta, 1986
47Op.
Cit., Rekonstruksi Pemikiran Islam, hal. 87
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
107
Robert D. Lee, mencari Islam Autentik Dari Nalar Puisi Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun, Bandung penerbit Mizan,1977 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modren di India dan Pakistan, Penerbit Mizan, 1993 Muhammad al-Arabi bu Azizy, Fiqruhu al-diiny wa-alfasafy, Bairut, Daralfiqri al-Maashir, 1999. Cet. 1
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
108 DAKWAH ISLAM MELAWAN IDEOLOGI SOSIALISME DAN KAPITALISME Oleh : Dahrun Sadjadi∗ Abstrak Bagi umat Islam umumnya dan aktivis Islam khususnya, studi kritis ideologi-ideologi asing menjadi satu sisi mata uang yang tak terpisah dengan sisi lainnya, yaitu penanaman ideologi Islam ke dalam pikiran dan jiwa umat Islam. Upaya penanaman ideologi Islam tidak akan efektif kalau tidak disertai upaya pencabutan ideologi-ideologi asing tersebut dari pikiran dan jiwa umat Islam. Penanaman dan pencabutan adalah ibarat dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Tulisan ini bermaksud mengemukakan tinjauan kritis mengenai bagaimana upaya dakwah Islam dewasa ini yang senantiasa berbenturan dengan ideologi lain, khususnya kapitalisme dan sosialisme, sekaligus mengalahkan kekuatannya dengan argumen-argumen yang kokoh dan tangguh. Dengan cara demikian akan dapat diketahui dan dibuktikan secara umum bahwa ideologi selain Islam yang dibangun semata-mata berdasarkan pikiran dan selera manusia, adalah lemah dan rapuh. Sedangkan ideology Islam yang dibangun berdasarkan wahyu dan petunjuk dari Sang Maha Pencipta dengan segala ilmu dan kreativitasnya, adalah ideologi yang paling sesuai dengan fitrah kehidupan manusia secara jasmani maupun ruhani. Key Word: dakwah, aqidah, ideologi, fitrah, sosialisme, kapitalisme B. Latar Belakang Di tengah berbagai gejolak politik dan ekonomi praktis yang terjadi dalam skala lokal dan global, pengkajian kritis terhadap ideologi sosialisme dan kapitalisme tetaplah urgen bagi umat Islam. Terhadap ∗
Dosen Ulumul Hadits Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
109 sosialisme, mestilah dinyatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1990-an bukan berarti akhir absolut dari sosialisme. Kematian sosialisme bukanlah kematian biologis seperti kematian hewan yang mustahil hidup kembali. Sosialisme hanya mengalami kematian ideologis. Sosialisme memiliki daya potensial untuk hidup kembali, selama masih ada individu atau kelompok yang "mengimani" sosialisme serta mengupayakan implementasinya dalam praktik kehidupan manusia. Karena itu, studi kritis atas sosialisme bukanlah hal yang tidak kontekstual, melainkan justru urgen untuk memadamkan sisa-sisa api yang kini masih menyala dalam reruntuhan dan puing sosialisme. Adapun kapitalisme, studi kritis terhadapnya tentu lebih urgen lagi, sebab setelah runtuhnya Uni Soviet, hegemoni ideologi kapitalisme semakin menguat dan merajalela tanpa lawan yang berarti dalam panggung politik internasional. Kini kapitalisme telah mewabah dan mendominasi umat manusia di seluruh dunia dengan berbagai implikasi negatifnya. Karena itu, hancurnya kapitalisme bukan sekedar tantangan, melainkan telah menjadi keniscayaan sejarah yang bebannya terpikul pada pundak umat Islam dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari penindasan kapitalisme. Dan studi kritis kapitalisme tak diragukan lagi merupakan langkah pertama dari sekian upaya untuk menghancurkan ideologi tersebut. Dibandingkan dengan manuver ekonomi, politik, dan militer untuk meruntuhkan sebuah negara penganut ideologi tertentu, studi kritis terhadap suatu ideologi haruslah didahulukan, sebab manuver-manuver tersebut hanyalah langkah cabang dari langkah pangkalnya, yaitu kritik terhadap ideologi yang menjadi basis bagi segala praktik implementasinya dalam segenap aspek kehidupan. Makalah ini menjelaskan tinjauan kritis terhadap ideologi sosialisme dan kapitalisme, ditinjau dari segi asas yang mendasari masing-masing ideologi. Metode yang digunakan adalah analisis komparasi terhadap asas-asas ideologi sosialisme, kapitalisme, dan Islam, disertai kritik terhadap asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil aqli) dan bukti imani (dalil naqli). C. Ideologi Secara umum, ideologi (Arab: mabda` [ )] ْا َ( ْ' َأmenurut Muhammad Muhammad Ismail dalam Al-Fikr al-Islami, ideologi atau mabda' adalah "pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun pemikiranpemikiran lain" ( أَ ْ َ* ر+ِ ْ َ, َ -. َ 'ْ ُ/ َ َ ِ ﱡ1) ْا ِ ْ* ُ ْا. Pemikiran mendasar ini
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
110 merupakan pemikiran paling asasi pada manusia, dalam arti tidak ada lagi pemikiran lain yang lebih dalam atau lebih mendasar daripadanya. Pemikiran mendasar ini dapat disebut sebagai ''Aqidah, yang merupakan pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedang pemikiran-pemikiran cabang yang dibangun di atas dasar ''Aqidah َ ◌) tadi, merupakan peraturan ( م2 ِ bagi kehidupan manusia dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Gambar berikut menjelaskan pengertian ideologi secara umum. Agar 'Aqidah tersebut dapat melahirkan aneka peraturan hidup, ia haruslah bersifat 'aqliyyah, atau dapat dikaji dan diperoleh berdasarkan suatu proses berpikir, bukan diperoleh dengan jalan taklid tanpa melibatkan proses berpikir. 'Aqidah semacam ini, disebut 'Aqidah aqliah, yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan. Karena itu, dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi dapat didefinisikan sebagai 'Aqidah 'aqliyah yang melahirkan َ nizham/peraturan kehidupan ( م2ِ 4َ .ْ َ 5 ُ #ِ َ'.ْ َ ٌ7ِ ﱠ,8ْ َ ٌِ ْ َ ة8 َ ). 1 Definisi ideologi sebagai 'Aqidah 'aqliyah yang melahirkan nizham ini bersifat umum, dalam arti dapat dipakai dan berlaku untuk ideologiideologi dunia seperti kapitalisme dan sosialisme, dan dapat berlaku juga untuk Islam. Islam mempunyai ''Aqidah Islamiyah yang bersifa 'aqliyyah, dan mempunyai peraturan hidup (nizham) yang sempuma, yaitu Syari'at Islam. Dari sisi lain, ideologi tersusun dari pemikiran (fikrah, ideas, thoughts) dan tatacara (thariqah, method). Ideologi dari sisi ini ditinjau dari dua segi: 1. Konsep/pemikiran murni, berupa penjelasan konseptual tanpa disertai bagaimana metode menerapkan konsep itu dalam kenyataan. 2. Metodologi yang menjelaskan bagaimana pemikiran/konsep itu diterapkan secara praktis. Tinjauan ideologi sebagai kesatuan fikrah-thariqah ini dimaksudkan untuk menerangkan bahwa thariqah adalah suatu keharusan agar fikrah dapat terwujud. Di samping itu, juga untuk menerangkan bahwa fikrah dan thariqah suatu ideologi adalah unik. Artinya, setiap ada fikrah dalam sebuah ideologi, pasti ada thariqah yang khas untuk menerapkan fikrah 1Taqiyyudin
al-Nabhani, Nizham al-Islam, 1953, h. 22.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
111 tersebut, yang berasal dari ideologi itu sendiri, bukan dari ideologi yang lain. Fikrah merupakan sekumpulan konsep/pemikiran yang terdiri dari 'Aqidah dan solusi terhadap masalah manusia. Sedang thariqah –yang merupakan metodologi penerapan ideologi secara operasional-praktis— terdiri dari penjelasan cara solusi masalah, cara penyebarluasan ideologi, dan cara pemeliharan 'Aqidah. Jadi, ideologi ditinjau dari sisi ini adalah gabungan dari fikrah dan thariqah, sebagai satu kesatuan.2 D. 'Aqidah Karena makalah ini meninjau ideologi dari segi asas, maka akan diperdalam mengenai apa yang dimaksud dengan 'Aqidah yang menjadi asas sebuah ideologi. Dalam kamus Al-Muhith karya Al-Fairuz Abadi, seperti dikutip Muhammad Husain Abdullah dalam Dirasat fi al-Fikr al-Islami, 'Aqidah secara bahasa berasal dari fi’il madhi َ َ8 َ yang bermakna ﺷ ﱠ َ (menguatkan atau mengikatkan). Maka dari itu, kata ‘aqada dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai makna yang intinya mengandung makna ikatan atau penguatan, misalnya ;ِ 'ْ َ ْ ُ ا8ْ َ (mengikatkan tali), <ِ ْ َ'ْ ُ ا8ْ َ (mengadakan 'aqad [ikatan] jual-beli), ◌ِ 4ْ َ ْ ُا8ْ َ (mengadakan 'aqad [ikatan] perjanjian) dan sebagainya.3 Masih secara bahasa, 'Aqidah dapat pula bermakna "sesuatu yang hati manusia terikat padanya" ( =ُ ,ْ 8َ ْ ا+ِ ْ َ, َ َ َ8َ ْ ) َ> ا. (Muhammad Husain Abdullah, 1990).4 Adapun pengertian in’aqada adalah jazama bihi (hati itu memastikannya) atau shaddaqahu yaqiniyan (hati itu membenarkannya secara yakin/pasti).5 Dengan demikian, menurut bahasa, apa yang disebut 'Aqidah itu adalah segala sesuatu pemikiran yang dibenarkan secara pasti oleh hati sedemikian rupa, sehingga hati itu kemudian terikat kepadanya dan memberi pengaruh nyata pada manusia.6 Pemikiran yang demikian 2 Ibid, h. 22-23. Muhammad Husain Abdullah, 1990. 4 Ibid. 5 Taqiyuddin al-Nabhani, 1994, Syakhshiyyah al-Islamiyah, Juz I, h. 191. 6 Ibid. 3
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
112 haruslah berupa pemikiran yang mendasar, atau pemikiran yang tercabang dari pemikiran mendasar. Pemikiran seperti inilah yang mempunyai pengaruh nyata pada seorang manusia. Misalnya pemikiran tentang adanya Hari Kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Pemikiran seperti ini mempunyai pengaruh nyata dalam kehidupan manusia. Orang yang beriman pada Hari Kiamat, misalnya, akan berhati-hati dalam hidupnya, tidak hidup liar dan seenaknya, karena dia yakin bahwa suatu saat kelak semua perbuatannya harus dipertanggungjawabkan pada Hari Kiamat. Sedangkan pemikiran-pemikiran yang tidak mendasar, dengan demikian, tidak disebut dengan 'Aqidah, karena terikatnya hati dengan pemikiran-pemikiran seperti itu tidak memberikan dampak nyata terhadap manusia. Misalnya pemikiran bahwa bumi itu bulat, atau bahwa matahari pusat tatasurnya, dan sebagainya, bukanlah 'Aqidah. Karena terikatnya hati dengan hal-hal tersebut tidak membawa dampak yang nyata terhadap keyakinan atau perilaku manusia. Pengertian 'Aqidah secara bahasa ini menjadi dasar perumusan pengertian 'Aqidah secara istilah. Jika 'Aqidah merupakan pemikiranpemikiran mendasar yang hati itu terikat kepadanya (membenarkannya secara pasti), maka pertanyaan yang muncul adalah, pemikiran apakah yang merupakan pemikiran mendasar itu ? Dari sinilah muncul definisi 'Aqidah secara istilah, yang dalam perumusannya terkandung pemikiran-pemikiran paling mendasar yang tidak ada pemikiran lain yang lebih mendasar lagi. Di atas pemikiran mendasar itulah dibangun pemikiran-pemikiran cabang yang berkenaan dengan kehidupan secara praktis, seperti sistem ekonomi, politik, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran ini adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan serta pemikiranpemikiran lain yang berhubungan dengannya. Karena itu, secara istilah, 'Aqidah adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia.7 Definisi ini adalah definisi umum yang dapat berlaku untuk semua pemikiran mendasar atau 'Aqidah. Ia dapat berlaku untuk 'Aqidah ideologi kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, atau 7
Muhammad Husain Abdullah, loc.cit.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
113 'Aqidah ideologi sosialisme, yaitu materialisme, dan berlaku pula untuk 'Aqidah Islamiyah. Definisi 'Aqidah ini bila diurai secara rinci, mengandung 4 (empat) poin pemikiran : 1. 'Aqidah membahas tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dasar pembahasan tiga unsur ini berasal dari kenyataan bahwa manusia itu hidup di alam semesta ( ِ ْا َ* ْ? ِن-َ ْ◌ َ ُ@ ن َ ْ Aِ ) ْا. Karena itu, 'Aqidah harus menjelaskan hakikat manusia sebagai subjek (pelaku) kehidupan. 'Aqidah harus pula menjelaskan hakikat kehidupan, yang dengan adanya kehidupan itu dalam diri manusia, dia dapat beraktivitas dalam segala macam bentuknya. Yang dimaksud kehidupan di sini adalah sesuatu yang terdapat pada makhluk hidup dengan berbagai tanda-tanda kehidupan yang ada padanya, misalnya pertumbuhan, gerak, kebutuhan akan makanan, peka terhadap rangsang, dan sebagainya. 'Aqidah harus pula menjelaskan alam semesta, karena alam semesta merupakan tempat manusia hidup. Dalam poin pertama ini, 'Aqidah menjelaskan hakikat tiga unsur ini berkaitan keberadaan ketiganya dalam kehidupan dunia. Apakah tiga unsur itu makhluk (diciptakan) ataukah azali? Khusus untuk manusia, poin pertama ini menjawab pertanyaan untuk apa manusia itu menjalani kehidupan dunia? 2. 'Aqidah membahas tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia. Maksudnya, 'Aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada sebelum manusia hadir dalam kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin kedua ini menjawab pertanyaan, dari mana manusia berasal ? Apakah dia ada dengan sendirinya atau ada yang menciptakannya ? 3. 'Aqidah membahas tentang apa yang ada sesudah kehidupan dunia. Maksudnya, 'Aqidah harus menjelaskan sesuatu yang ada setelah manusia mati atau meninggalkan kehidupan dunia. Dengan ungkapan lain, poin ketiga ini menjawab pertanyaan, ke mana manusia menuju setelah kematian? Apakah akan berakhir begitu saja ataukah akan ada pertanggung jawaban ? 4. 'Aqidah membahas hubungan yang ada antara kehidupan dunia (yang di dalamnya ada unsur manusia, alam semesta, dan kehidupan), dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia. Hubungan apakah yang ada antara apa yang ada
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
114 sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia? Hubungan apakah yang ada antara kehidupan dunia sekarang dengan apa yang sesudah kehidupan dunia? Pertanyaan–pertanyaan inilah yang dijawab dalam poin keempat ini. Berikut bagan tentang empat pertanyaan tersebut. Dengan demikian, dalam definisi 'Aqidah, terdapat penjelasan-penjelasan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini disebut juga dengan istilah "simpul-simpul besar" (al-‘uqdah al-kubra/ َ ةُا ْ ُ* ْ' َ ى8ْ ُ ْ )ا, yakni pertanyaan-pertanyaan besar dan mendasar tentang dari mana manusia (juga kehidupan dan alam semesta) berasal, untuk apa manusia hidup, dan ke mana nanti manusia setelah mati.8 Jawaban-jawaban terhadap al-'Uqdah al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah disebut dengan "pemikiran menyeluruh" (ٌ7ﱢ ﱠ,$ُ ٌ ) ِ ْ* َ ةkarena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan), di samping mencakup ketiga fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiga fase kehidupan itu. Jawaban itu disebutnya juga sebagai "pemikiran yang mendasar" ('Aqidah) dan "landasan pemikiran" (qa’idah fikriyah). Disebut 'Aqidah, karena memang jawaban terhadap al-'uqdah al-kubro merupakan pemikiran yang mendasar. Lalu disebut qa’idah fikriyah, karena jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan. E. 'Aqidah Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam Definisi 'Aqidah yang telah diuraikan di atas, dapat digunakan sebagai kerangka umum untuk menganalisis 'Aqidah dari masing-masing ideologi. 'Aqidah sosialisme adalah materialisme, 'Aqidah kapitalisme adalah sekularisme, sedang 'Aqidah Islam adalah 'Aqidah Islamiyah. Perhatikan gambar berikut. 'Aqidah sosialisme, termasuk komunisme, adalah materialisme, yaitu pandangan bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan 8
Ibid.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
115 materi belaka, dan bahwasanya materi menjadi asal dari segala sesuatu. Dari perkembangan dan evolusi materi inilah benda-benda lainnya menjadi ada. Tidak ada satu zat pun yang terwujud sebelum alam materi ini.9 Oleh karena itu, penganut ideologi ini mengingkari kalau alam ini diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta. Mereka mengingkari aspek kerohanian dalam segala sesuatu, dan beranggapan bahwa pengakuan adanya aspek rohani merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kehidupan. Agama dianggap sebagai candu yang meracuni masyarakat dan menghambat pekerjaan. Bagi mereka tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali hanya materi, bahkan menurutnya, berpikir pun merupakan cerminan/refleksi dari materi ke dalam otak. Materi adalah pangkal aktivitas berpikir dan pangkal dari segala sesuatu, yang berproses dan berkembang dengan sendirinya lalu mewujudkan segala sesuatu. Ini berarti mereka mengingkari adanya Sang Pencipta dan menganggap materi itu bersifat azali, serta mengingkari adanya sesuatu sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Yang mereka akui hanya kehidupan dunia ini saja. Sedangkan kapitalisme, 'Aqidah-nya adalah sekularisme, yaitu pemisahan antara agama dari kehidupan. Atas dasar 'Aqidah ini, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak membuat peraturan hidupnya. Ideologi ini menetapkan adanya pemeliharaan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan ber-'Aqidah, berpendapat, hak milik, dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini dihasilkan sistem ekonomi kapitalisme, yang merupakan hal yang paling menonjol dalam ideologi ini. Oleh karena itu, ideologi tersebut dinamakan ideologi kapitalisme. Sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi itu. Demokrasi yang dianut oleh ideologi ini, berasal dari pandangannya bahwa manusia berhak membuat peraturan hidupnya, sebagai konsekuensi logis dari ide pemisahan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, menurut keyakinan mereka, rakyat adalah sumber kekuasaan. Rakyatlah yang membuat perundang-undangan. Rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang telah dibuatnya. Rakyat berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari 9
Taqiyuddin al-Nabhani, 1953, loc.cit.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
116 kepala negara, sekaligus menggantinya, termasuk mengubah undangundang sesuai dengan kehendaknya. Hal ini karena kekuasaan dalam sistem demokrasi adalah kontrak kerja antara rakyat dengan kepala negara yang digaji untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat. Sekularisme yang merupakan 'Aqidah kapitalisme dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka --dengan mengatasnamakan agama-- dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide sekulerisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak memberikan peran dalam pengaturan kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain hanya memisahkannya dari kehidupan. Sekularisme pada hakekatnya merupakan pengakuan secara tidak langsung akan adanya agama. Mereka mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta mengakui adanya Hari Kebangkitan. Sebab, semua itu adalah dasar pokok agama, ditinjau dari keberadaan suatu agama. Dengan pengakuan ini berarti telah diberikan suatu ide tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, sebab mereka tidak menolak eksistensi agama. Tapi ketika ditetapkan bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, maka pengakuan itu akhirnya hanya sekadar formalitas belaka, karena sekalipun mereka mengakui eksistensinya, tetapi pada dasarnya mereka menganggap bahwa kehidupan dunia ini tidak ada hubungannya dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Sedangkan Islam, tegak atas dasar 'Aqidah Islamiyah, yaitu iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar baik dan buruknya dari Allah SWT. 'Aqidah ini menerangkan bahwa di balik alam semesta, manusia, dan kehidupan, terdapat Al-Khaliq yang menciptakan segala sesuatu, yaitu Allah SWT. Asas ideologi ini adalah iman akan adanya Allah. Iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW, berikut risalahnya; juga bahwasanya Al-Quran itu adalah kalamullah dan juga harus ada iman
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
117 terhadap seluruh apa yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, 'Aqidah Islamiyah menetapkan bahwa sebelum kehidupan ini ada sesuatu yang wajib diimani keberadaannya, yaitu Allah SWT, dan menetapkan pula bahwa sesudah kehidupan dunia ada yang harus diimani, yaitu Hari Kiamat. Juga bahwasanya manusia dalam kehidupan dunia ini terikat dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, yang merupakan hubungan kehidupan ini dengan sebelumnya. Manusia terikat pula dengan pertanggungjawaban atas kepatuhannya memenuhi semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang hal ini merupakan hubungan kehidupan dunia dengan sesudahnya. 'Aqidah dari masing-masing idelogi yang telah diuraikan di atas dapat dibandingkan secara ringkas dalam bagan berikut. No
1
Aspek Pertanyaan
MATERIALISME
SEKULARISME
Dari mana manusia berasal?
-Manusia berasal dari materi (tidak diciptakan Tuhan)
-Manusia diciptakan Tuhan (secara formalitas)
- Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (karena tidak mengakui eksistensi Allah)
-Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (kecuali secara parsial dan personal)
'AQIDAH ISLAMIYAH
-Manusia dicipta oleh Allah SWT -Mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia
2
Untuk apa manusia hidup?
--Mencari kebahagiaan jasmaniah yang sebesar-besarnya (tidak mengakui eksistensi agama)
-Mencari kebahagiaan jasmaniah yang sebesar-besarnya (mengakui eksistensi agama, tapi tidak mengakui peran agama mengatur kehidupan)
-Ibadah kepada Allah SWT (menjalani kehidupan dlm segala aspeknya sesuai Islam)
3
Ke mana manusia
-Manusia akan kembali menjadi
-Kebangkitan pada Hari Kiamat
-Kebangkitan pada Hari Kiamat
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
118 setelah mati?
materi
(secara formalitas)
--Tidak mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu almuhasabah)
-Tidak mengakui hubungan perhitungan amal atau membuat hubungan itu tidak jelas
-Mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah)
F. Kritik Terhadap 'Aqidah Sosialisme dan Kapitalisme Yang menjadi indikasi benar atau salahnya suatu ideologi adalah 'Aqidah ideologi itu sendiri, apakah 'Aqidah itu benar atau salah. Sebab, kedudukan 'Aqidah ini adalah sebagai asas bagi setiap pemikiran cabang yang muncul. 'Aqidah jugalah yang menentukan pandangan hidup dan yang melahirkan setiap pemecahan problema hidup serta pelaksanaannya (thariqah). Jika 'Aqidahnya benar, maka ideologi itu benar. Sebaliknya, jika 'Aqidahnya salah, maka ideologi itu dengan sendirinya sudah salah dari akarnya.10 Dalam masalah ini Al Qur`an mengisyaratkan bahwa: َ َ ٍةPَ َ $َ ً7َ'ط ﱢ َ ً7(َ ِ,$َ ً َ#>َ ُﷲ َ َب ﱠH (٢٤) @ َ( ِء ْ َ أ7ٍ َ'ط ﱢ ِ ا ﱠ4َ ُ ْ َ َ ِ!ٌ َوM 4َ ُ,N َ َIْ $َ َ َ/ Jْ َ َأ ب ﱠ ;ُ َ#>َ ( َو٢٥) َ ُون$ ﱠSَ َTَ Jْ 4ُ ﱠ, َ َ س ْ َ َو4َ ِ ْذ ِن َر ﱢYِ Zٍ [ِ ; ﱠ$ُ 4َ َ,$ُ ُِ أ/ ْ\ُ/ ُ ِW ِ ﱠ.,ِ َ َل#>ْ َ1ﷲُ ْا (٢٦) َ ا ٍرaَ ْZ>ِ 4َ َ >َ ض ْ 7ٍ َ# ِ'`َ َ ٍةPََ $َ 7ٍ َ# ِ'`َ 7ٍ (َ ِ,$َ ِ َ ْر1ق ْا ِ ?ْ َ ْZ>ِ ْ!ﱠ#ُT_ا (Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya [menjulang] ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. [QS Ibrahim/14: 24-26] ). Ayat di atas menerangkan perbandingan kontras antara Islam dan agama/paham/ideologi yang tidak kuat, diumpamakan oleh Allah ideologi Islam itu seperti pohon yang baik dengan akarnya yang kokoh, 10
Ibid.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
119 sedangkan ideologi yang berakidah selain Islam diumpamakan seperti pohon yang buruk, dengan akarnya yang tercerabut dari tanah. Akar sebuah pohon menjadi penentu tegak tidaknya pohon itu. Lalu apa tolok ukur kebenaran suatu 'Aqidah? 'Aqidah ini apabila sesuai dengan fitrah manusia dan dibangun berlandaskan akal, maka berarti merupakan 'Aqidah yang benar. Sebaliknya, jika bertentangan dengan fitrah manusia atau tidak dibangun berlandaskan akal yang sehat, maka 'Aqidah itu batil adanya. Yang dimaksud 'Aqidah yang benar itu haruslah sesuai dengan fitrah manusia, adalah pengakuannya terhadap apa yang ada dalam fitrah manusia, yaitu kelemahan dan kebutuhan dirinya pada Yang Maha Pencipta. Yang dimaksud 'Aqidah yang benar itu dibangun atas dasar akal yang sehat, adalah bahwa 'Aqidah itu tidak berlandaskan materi ataupun sikap mengambil jalan tengah.11 Dari uraian singkat ini, dapat disimpulkan bahwa standar kebenaran ideologi adalah 'Aqidah ideologi itu sendiri. Sedang standar kebenaran 'Aqidah ideologi adalah: 1. Kesesuaian dengah fitrah manusia. 2. Kesesuaian dengan akal. 1. Kesesuaian dengan Fitrah Ideologi sosialisme tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab meskipun ideologi ini mengingkari adanya Allah dan ruh, akan tetapi ia tetap tidak mampu memusnahkan naluri beragama (gharizah tadayyun) sebagai fitrah manusia. Ideologi ini hanya bisa mengalihkan pandangan manusia kepada suatu kekuatan yang lebih besar dibanding dirinya dan mengalihkan perasaan taqdis (mensucikan/mensakralkan) kepada kekuatan besar tersebut. Menurut mereka, kekuatan itu berada di dalam ideologi dan diri para pengikutnya. Mereka membatasi taqdis hanya pada kedua unsur itu. Berarti, mereka telah mengembalikan manusia ke masa silam, masa animisme; mengalihkan penyembahan kepada Allah ke penyembahan makhluk-makhluk-Nya; dari pengagungan terhadap ayat-ayat Allah kepada pengkultusan terhadap doktrin-doktrin yang diucapkan makhluk-makhluk-Nya. Semua ini menyebabkan kemunduran 11
Ibid.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
120 manusia ke masa silam. Mereka tidak mampu memusnahkan fitrah beragama, melainkan hanya mengalihkan fitrah manusia secara keliru kepada kesesatan dengan mengembalikannya ke masa animisme. Berdasarkan hal ini, ideologi sosialisme telah gagal ditinjau dari fitrah manusia. Malah dengan berbagai tipu muslihat, mereka mengajak orang-orang untuk menerimanya; dengan mendramatisir kebutuhan perut mereka untuk menarik perhatian orang-orang yang lapar, pengecut, dan sengsara. Ideologi ini dianut oleh orang-orang yang bermoral bejat, atau orang yang gagal dan benci terhadap kehidupan, termasuk juga orang-orang sinting yang tidak waras cara berpikirnya yang merasa bangga dengan ide-ide sosialisme yang menurut mereka itu dapat memasukkan mereka ke jajaran kaum pemikir. Semua ini akan tampak tatkala mereka mendiskusikan dengan arogan tentang teori Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme. Padahal kenyataannya, ide-ide ini paling terlihat kerusakan dan kebatilannya, dan dengan sangat mudah dapat dibuktikan oleh perasaan fitri dan akal sehat. Supaya manusia tunduk pada ideologi ini, maka ideologi ini memerlukan paksaan melalui kekuatan fisik. Maka tekanan, intimidasi, revolusi, menggoyang, merobohkan, dan mengacaukan masyarakat merupakan sarana-sarana yang penting untuk mengembangkan ideologi tersebut. Ideologi kapitalisme juga bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Namun bukan berarti bahwa adanya agama dalam kehidupan menjadikan seluruh amal perbuatan manusia terbatas hanya pada aktivitas ibadah saja. Tetapi arti pentingnya agama dalam kehidupan adalah untuk mengatasi berbagai persoalan hidup manusia sesuai dengan peraturan yang Allah perintahkan. Peraturan dan sistem ini lahir dari 'Aqidah yang mengakui apa yang terkandung dalam fitrah manusia, yaitu naluri beragama.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
121 Menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan yang lahir dari suatu 'Aqidah yang tidak sesuai dengan naluri beragama adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, kapitalisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia. Kapitalisme telah menjadikan masalah agama sebagai masalah pribadi (bukan masalah masyarakat), sekaligus menjauhkan peraturan yang Allah perintahkan dari problematika hidup manusia dan pemecahannya. Adapun ideologi Islam, tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Walaupun ia sangat mendalam tetapi gampang dimengerti, cepat membuka akal dan hati manusia, cepat diterima dan mudah dipahami, untuk mendalami isinya --sekalipun kompleks-- dengan penuh semangat dan kesungguhan. Karena memang beragama adalah satu hal yang fitri dalam diri manusia. Setiap manusia menurut fitrahnya cenderung kepada agama. Tidak ada satu kekuatan manapun yang dapat mencabut fitrah ini dari manusia, sebab merupakan pembawaan yang kokoh. Sementara tabi'at manusia merasakan bahwa dirinya serba kurang, selalu merasa bahwa ada kekuatan yang lebih sempurna dibandingkan dirinya, yang harus diagungkan. Beragama merupakan kebutuhan terhadap Pencipta Yang Maha Pengatur, yang muncul dari kelemahan manusia dan bersifat alami sejak manusia diciptakan. Jadi, beragama merupakan naluri yang bersifat tetap yang selalu mendorong manusia untuk mengagungkan dan mensucikan-Nya. Oleh karena itu, dalam setiap masa, manusia senantiasa cenderung untuk beragama dan menyembah sesuatu. Ada yang menyembah manusia, menyembah bintang-bintang, batu, binatang, api, dan lain sebagainya. Tatkala Islam muncul di dunia, 'Aqidah yang dibawanya bertujuan untuk mengalihkan umat manusia dari penyembahan terhadap makhluk-makhluk kepada penyembahan terhadap Allah yang menciptakan segala sesuatu.12 2. Kesesuaian dengan Akal Ideologi sosialisme tidak dibangun atas dasar akal, tetapi bersandar pada materialisme, sekalipun dihasilkan oleh akal, karena ide komunisme menyatakan bahwa materi itu ada sebelum adanya pemikiran (pengetahuan). Di samping itu karena ide ini menjadikan 12
Samih Athif al-Zain, Thariq al-Iman, Beirut: Darul Kitab al-Lubnani, 1983.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
122 segala sesuatu berasal dari materi. Dengan demikian, ide ini bersifat materialistis. Sedangkan kapitalisme bersandar pada pemecahan jalan tengah (kompromi) yang dicapai setelah terjadinya pertentangan yang berlangsung hingga beberapa abad di kalangan para pendeta gereja dan cendekiawan Barat yang kemudian menghasilkan pemisahan agama dari negara. Sosialisme dan kapitalisme telah gagal. Sebab, keduanya bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak dibangun berdasarkan akal. Bukti bahwa ideologi sosialisme dibangun berlandaskan materialisme, bukan akal, adalah karena ideologi ini menyatakan bahwa materi mendahului pemikiran (pengetahuan). Jadi tatkala otak merefleksikan materi, akan menghasilkan pemikiran; kemudian otak akan memikirkan hakikat materi yang direfleksikan ke dalam otak. Sebelum hal itu terjadi, tentu tidak akan muncul pemikiran. Dengan demikian, segala sesuatu, menurut komunisme, haruslah berlandaskan pada materi. Maka dasar 'Aqidah komunisme adalah materi bukan pemikiran. Pendapat di atas adalah salah ditinjau dari dua segi: a. Sebenarnya tidak ada refleksi/pantulan materi ke dalam otak. Otak tidak melakukan refleksi dengan materi. Juga, materi tidak berefleksi dengan otak. Sebab untuk merefleksikan sesuatu dibutuhkan reflektor untuk memantulkan dan memfokuskan, seperti halnya cermin yang memiliki kemampuan untuk memantulkan. Tetapi kenyataannya, hal semacam itu tidak ada, baik di otak maupun pada materinya. Oleh karena itu, tidak ada refleksi materi ke dalam otak secara mutlak. Materi tidak dipantulkan oleh otak dan gambaran tentang materi pun tidak berpindah ke otak. Yang beralih ke otak adalah pencerapan tentang materi (kesannya) melalui panca indera. Hal ini bukan refleksi antara materi dengan otak, dan bukan pula refleksi antara otak dengan materi, melainkan pencerapan tentang materi (melalui panca indera). Tidak ada perbedaan dalam proses tersebut antara mata dengan panca indera yang lainnya. Penginderaan dapat terjadi dengan proses perabaan, penciuman, rasa, pendengaran sebagaimana halnya penginderaan melalui mata. Dengan demikian yang terjadi dari suatu materi bukanlah berupa refleksi terhadap otak, melainkan pencerapan dan
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
123 penginderaan terhadap sesuatu. Manusialah yang merasakan segala sesuatu dengan perantaraan panca inderanya, dan materi tidak direfleksikan. b. Sesungguhnya penginderaan saja tidaklah cukup menghasilkan suatu pemikiran. Sebab kalau hanya sampai di situ, yang terjadi hanyalah penginderaan saja terhadap fakta (materi). Penginderaan yang diulang-ulang meskipun sampai satu juta kali, tetap saja hanya menghasilkan penginderaan dan tidak menghasilkan pemikiran sama sekali. Proses tersebut mengharuskan adanya pengetahuan terdahulu (al ma’lumat as sabiqah) bagi manusia yang akan digunakan untuk menginterpretasikan fakta yang diinderanya itu sehingga menghasilkan suatu pengetahuan. Sebagai contoh kita ambil manusia yang ada sekarang. Manusia, siapapun orangnya apabila diberikan kepadanya buku berbahasa Cina sementara ia tidak memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan bahasa Cina, lalu dibiarkan mencerap tulisan itu baik dengan penglihatan maupun dengan perabaan, diberi kesempatan menginderanya berkali-kali --meskipun sejuta kali-maka ia tetap tidak mungkin mengetahui satu kata pun sampai diberikan kepadanya beberapa pengetahuan tentang bahasa Cina dan apa saja yang berkaitan dengan bahasa tersebut. Pada saat itulah ia baru mulai berfikir dengan bahasa tersebut dan mampu memahaminya. Berdasarkan hal ini, maka akal, fikr (pemikiran), dan idrak (kesadaran), adalah pemindahan (transfer) fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai dengan pengetahuan (informasi) yang diperoleh sebelumnya, yang kemudian digunakan untuk menafsirkan kenyataan tersebut. Oleh karena itu, ideologi sosialisme bertentangan dengan Islam; sebab dia dibangun atas dasar materi, tidak dibangun berdasarkan akal. Ideologi kapitalisme juga tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun berdasarkan jalan tengah antara tokoh-tokoh gereja dengan cendekiawan, setelah sebelumnya terjadi pergolakan dan perbedaan pendapat yang sengit dan berlangsung terus-menerus selama beberapa abad di antara mereka. Jalan tengah itu adalah memisahkan agama dari
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
124 kehidupan, yakni mengakui keberadaan agama secara tidak langsung, tetapi dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu, ideologi ini tidak dibangun atas dasar akal, tetapi dibangun atas dasar kompromi kedua belah pihak sebagai jalan tengah. 13 Dapat dikatakan bahwa pemikiran/keputusan yang diambil berdasarkan jalan tengah merupakan hal yang asasi bagi mereka. Mereka mencampuradukkan antara haq dan bathil, antara keimanan dengan kekufuran, cahaya dengan kegelapan; dengan menempuh jalan tengah. Padahal sesungguhnya jalan tengah itu tidak ada faktanya; sebab masalahnya adalah tinggal memilih tindakan secara jelas dan tegas. Apakah yang haq atau yang bathil, iman ataukah kufur, cahaya ataukah kegelapan. Pemecahan yang berasal dari jalan kompromi yang di atasnya dibangun 'Aqidah mereka ini, telah menjauhkannya dari kebenaran, keimanan, dan cahaya. Oleh karena itu, ideologi kapitalisme adalah rusak, karena tidak dibangun atas dasar akal. Ideologi Islam adalah ideologi yang positif. Karena menjadikan akal sebagai dasar untuk beriman kepada wujud Allah. Ideologi ini mengarahkan perhatian manusia terhadap alam semesta, manusia, dan kehidupan, sehingga membuat manusia yakin terhadap adanya Allah yang telah menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Di samping itu ideologi ini menunjukkan kesempurnaan mutlak yang selalu dicari oleh manusia karena dorongan fitrahnya. Kesempurnaan itu tidak terdapat pada manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ideologi ini memberi petunjuk pada akal agar dapat sampai pada tingkat keimanan terhadap Al-Khaliq supaya ia mudah menjangkau keberadaan-Nya dan mengimani-Nya. Islam dibangun atas dasar akal yang mewajibkan kepada setiap muslim untuk mengimani adanya Allah, kenabian Muhammad SAW, ke-mukjizatan Al-Quranul Karim dengan menggunakan akalnya. Juga mewajibkan beriman kepada yang ghaib dengan syarat harus berasal dari sesuatu dasar yang dapat dibuktikan keberadaan dan kebenarannya dengan akal seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir. Dengan demikian, ideologi ini dibangun atas dasar akal. 13
Hafizh Shal.ih, Al-Nahdhah, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Islamiyyah, 1988.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
125 Ringkasan seluruh uraian di atas dapat dilihat dalam bagan berikut: No. 1
2
Standar Kebenaran 'Aqidah Kesesuaia n dengan fitrah
Kesesuaia n dengan akal
SOSIALISME
KAPITALISME
ISLAM
-Tidak sesuai fitrah, sebab (berusaha) menafikan naluri beragama, atau mengalihkanny a pada objek yang salah (ideologi, pengikut ideologi, tokoh, dll)
-Tidak sesuai fitrah, sebab tidak mengakui ketidakmampua n manusia mengatur kehidupan, sehingga manusia membuat sendiri aturan hidupnya
-Sesuai fitrah, mengakui ketidakmampua n manusia mengatur kehidupan, sehingga mengambil aturan hidup dari Al-Khaliq
-Tidak dibangun atas dasar akal, tetapi atas dasar materi, sebab materi dianggap mendahului pemikiran. Pemikiran dianggap refleksi materi ke dalam otak
-Tidak dibangun atas dasar akal, tetapi jalan tengah, antara yang mengingkari agama secara mutlak, dengan yang mengharuskan tunduknya semua aspek kehidupan pada agama
-Dibangun atas dasar akal, sebab dgn akal dapat dicapai iman kpd Allah, Al Qur`an, dan kerasulan Muhammad, yang kemudian menjadi dasar penetapan adanya dalil naqli, untuk mencapai iman kepada yang gaib
G. Penutup Berdasarkan semua uraian di atas, hanya asas ('Aqidah) ideologi Islamlah satu-satunya yang benar, sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme adalah rusak. Asas ideologi Islam yang dibangun berdasarkan akal, amat berbeda dengan ideologi sosialisme dan
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
126 kapitalisme yang tidak dibangun berlandaskan akal. Di samping itu, asas ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berlawanan dengan fitrah manusia. Daftar Pustaka ‘Abduh, Ghanim, Naqdh al- Isytirakiyah al- Marksiyah, t.p., Al-Quds. 1963. Abdullah, Muhammad Husain, Dirasat fi al-Fikr al- Islami, Beirut: Dar alBayariq, 1990. --------------, Mafahim Islamiyah, Beirut: Dar al-Bayariq, 1994. Al-Qashash, Ahmad, Usus ai-Nahdhah al-Rasyidah, Beirut: Dar al-Ummah, 1995. Al-Nabhani, Taqiyuddin, Nizhamul Islam, tp, Al Quds, 1953. --------------, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I, Beirut: Dar al-Ummah, 1994, ‘Athiyat, Ahmad, Ath Thariq, Beirut: Dar al-Bayariq, 1996. Al-Zain, Samih Athif, Thariq al-Iman, Beirut: Darul Kitab al-Lubnani, 1983. Ismail, Muhammad Muhammad, Al-Fikr al-Islami, Kairo: t.p., 1958 Shalih, Hafizh, Al-Nahdhah, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Islamiyyah, 1988.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
127 METODOLOGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh: Naimah Fathoni∗ Abstrak Monotonnya metode penyajian materi Pendidikan Agama Islam membuat peserta didik jenuh dalam belajar, dan kejenuhan itu membuat hilangnya motivasi belajar yang akhirnya sampai pada tahap kegagalan pencapaian kompetensi. Untuk itu seorang guru Pendidikan Agama Islam harus berusaha secara maksimal untuk menyajikan materi secara variatif. Dan seorang pendidik diharapkan dapat memahami metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Serta peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam. Dan pengelolaan waktu dalam pembelajaran juga merupakan aspek yang penting, karena efektifitas dan efisiensi waktu dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itu pengolahan waktu dalam pembelajaran memiliki alasan teoritislogis untuk tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Apabila waktu sudah terpetakan, peningkatan kualitas pembelajaran harus senantiasa diupayakan secara terus menerus oleh seorang pendidik/guru dengan melakukan persiapan yang matang menyangkut penguasaan materi ajar, metode pembelajaran, pendekatan, media dan model-model pembelajaran, serta hal-hal lainnya yang dapat mendukung pembelajaran. Dengan demikian seorang pendidik/guru dapat melaksanakan pembelajaran secara konsisten, efektif dan efisien, akhirnya tujuan pembelajaran tercapai dengan baik dan menyenangkan. Keyword: Metode, pendidikan, pembelajaran, guru, pendidik ∗
Dosen Desain Pembelajaran Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
128 A. Pendahuluan Metode adalah jalan yang harus kita tempuh dalam rangka memberikan sebuah pemahaman terhadap murid tentang pelajaran yang mereka pelajari. Metode sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang guru sebelum memasuki ruang belajar, dan harus dipakai oleh seorang guru. Metode sangat berpengaruh besar dalam pengajaran dengan metode nilai bisa baik atau bisa buruk, dangan metode pula pembelajaran bisa sukses atau gagal, kebanyakan seorang guru yang menguasai materi akan tetapi bisa gagal dalam pembelajaran karna ia tidak mendapatkan metode yang tepat untuk memahamkan murid. Oleh karena itu metode sangat berperan penting dalam pendidikan, karena metode merupakan pondasi awal untuk mencapai suatu tujuan pendidikan dan asas keberhasilan sebuah pembelajaran. Monotonnya metode penyajian materi Pendidikan Agama Islam membuat peserta didik jenuh dalam belajar, dan kejenuhan itu membuat hilangnya motivasi belajar yang akhirnya sampai pada tahap kegagalan pencapaian kompetensi. Untuk itu seorang guru Pendidikan Agama Islam harus berusaha secara maksimal untuk menyajikan materi secara variatif. Dan seorang pendidik diharapkan dapat memahami methodalogi pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan mengembangkan metode pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Serta peran semua unsur sekolah, orang tua siswa dan masyarakat sangat penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam. Seyoyanya seorang pendidik harus memberikan perhatian penuh kepada metode baik metode secara umum maupun metode khusus dalam pengajaran agar bisa mencapai keberhasilan yang menjadi tujuan dari pendidikan. Sebagaimana seorang pendidik dituntut mengarahkan kepada pokok-pokok pengajaran yang disampaikan dengan gaya pengajaran yang lama maupun baru; agar bisa mengarahkan peserta didik dan bisa menyampaikan materinya dengan metode-metode pengajaran sehingga dapat dipahami dan dimengerti. A. Pengertian Pendidikan Agama Islam “Pendidikan” berasal dari kata “didik”. Dengan diberi awalan “pen” dan akhiran “kan”, ia mengandung arti “perbuatan” hal, cara, dan
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
129 sebagainya.14 Kata ini dalam bahasa Inggris dikenal dengan education yang berasal dari bahasa Latin educare, educatie. Kata educare dalam bahasa Inggris berarti proses menghasilkan, dan mengembangkan, mengacu kepada yang bersifat pisik dan materil.15 Pendidikan Agama atau Religion Education, diartikan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan orang beragama, maka pendidikan harus diarahkan kepada pertumbuhan moral dan karakter. Pendidikan Agama tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tentang agama saja, disamping itu mestilah ditekankan pada feeling attituted, personal ideal, aktifitas, dan kepercayaan.16 Pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta’lim, tarbiyyah,dan ta’dib.17 Pada mulanya pendidikan disebut dengan kata ta’dib, adapun kata ta’dib mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi, dan mencakup unsure-unsur pengetahuan (“ilm) pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Kata ta’dib untuk pengertian pendidikan terus terpakai sepanjang masa semenjak zaman Nabi sampai masa kejayaan Islam, hingga semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh akal manusia waktu itu disebut adab baik yang langsung berhubungan dengan Islam seperti fiqh, tafsir, tauhid, ilmu-ilmu bahasa Arab dan lain-lain, maupun yang tidak berhubungan langsung seperti ilmu-ilmu fisika, filsafat, astronomi, kedokteran, farmasi dan lain-lain.18 Kemudian pengertian adab menyempit, ia hanya dipakai untuk menunjuk kepada kesusasteraan dan etiket (akhlak), konsekuensinya ta’dib sebagai istilah pendidikan hilang dari peredarannya, dan tidak dikenal lagi, sehingga ketika para ahli didik Islam bertemu dengan istilah “education” pada abad modern, mereka langsung menterjemahkannya dengan “tarbiyah” tanpa pemikiran yang mendalam, pada hal maka 14
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 250. 15 Sayyed Muhammad Naquib al-Atas, KonsepPendidikan dalam Islam, Terjemahan Haidar Batir, (Bandung: al-Mizan, 1984), h. 250. 16 Ramayulis, Dr., Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yakarta: Kalam Mulia, 2001) h. 3. 17 King Abdul Aziz University, First World Conference on Muslim Education Recommendation (Jeddah & Mekah al-Munawarah: King Abdul Aziz University, 1997), h. 15. 18 Ramayulis, Dr., Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yakarta: Kalam Mulia, 2001) h. 3.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
130 pendidikan dalam Islam tidak sama (persis) dengan “education” yang dikembangkan di Barat. Dengan demikian populerlah istilah “tarbiyah” di seluruh dunia Islam untuk menunjuk “pendidikan Islam”.19 Definisi ini secara lebih lengkap dijelaskan oleh Sayyed Muhammad al-Naquib al-Attas sebagai berikut: (1) ta’dib adalah yang paling tepat digunakan untuk mengembangkan pengertian pendidikan Islam. Sedangkan istilah ta’lim terlalu sempit karena hanya menunjuk pengertian pengajaran. Adapun istilah tarbiyyah terlalu luas karena istilah ini juga mencakup pengertian pendidikan untuk hewan.20 Dijelaskan pula bahwa istilah ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan.21 Dari kata addaba ini muncul kata adabun yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatan mereka serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasits yang potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengertian adab itu al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsurangsur ditanamkan ke dalam dada manusia, sehingga hal ini mebimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. Al-Attas menempatkan Tuhan sebagai bagian yang paling penting dalam pendidikan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan yang paling penting adalah mengetahui dan mengakui tempat Tuhan di dalam tatanan wujud ini. Definisi ini terkesan bersifat umum sehingga sulit dioperasionalkan. Menurut Abdul Rahman Saleh pengertian pendidikan Islam adalah merupakan usaha sadar untuk mengerahkan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.22
19
Muhammad Naquib al-Atas, KonsepPendidikan dalam Islam, h. 78-79.
20 Syeh Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, Diterjemahkan oleh Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1984), h. 52. 21
Syeh Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam,, h. 35-74.
22
Abd Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 2
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
131 Sejalan dengan itu, Abdul Malik Fajar berpendapat bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karenanya, pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia.23 Marimba memberikan definisi pendidikan Islam secara lebih operasional yaitu terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.24 Kepribadian utama yang dimaksud adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, menentukan, serta berbuat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilainilai Islam. Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa ilmu pengetahuan diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang berpengetahuan bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai , disiplin , harmonis dan produktif, baik personal maupun social. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetensi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional. B. Peran Guru Sebagai Pendidik Peran seorang guru agama mempunyai peran yang penting dalam interaksi edukatif di sekolah yang dapat menjamin tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan, dan harus mampu mencermati kurikulum yang ada dan mengembangkannya sesuai kondisi di lapangan. Disamping mengajar di kelas, guru harus mampu membawa anak didik mencermati lingkungan, tempat-tempat ibadah dan memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran sebagai arena penguat nilai-nilai pendidikan agama pada diri peserta didik.25 Menurut Prof. Zakiah Daradjat: “Tujuan kurikulum tidak akan tercapai jika gurunya tidak memahami, tidak menghayati dan tidak
23
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 35.
24
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1964), h. 19. 25 Ramayulis, Dr.,Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam , h. 25
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
132 berusaha mencapainya dengan keseluruhan pribadi dan tenaga yang ada padanya” 26 Dalam mewujudkan pendekatan keteladanan, guru harus mampu mempersonifikasikan pendidikan yang diajarkan pada dirinya sendiri agar dapat dicontoh oleh peserta didiknya. Dalam pengembangan materi seorang pendidik/guru dituntut harus pandai melakukan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi, situasi dan bahan ajar yang akan disampaikan. Seorang guru juga harus pandai melakukan tahapan pembelajaran yang komunikatif meliputi tahap pendahuluan, tahap penyajian dan tahap penutup agar tercapainya suatu tujuan. Dan seorang pendidik harus mengerti dan memahami istilahistilah dalam sistem pembelajaran, seperti istilah motode pembelajaran, pendekatan, jalan pembelajaran, tehnik pembelajaran, dan model pembelajaran. Kadang-kadang definisi istilah-istilah tersebut bercampuar baur sehingga bingung untuk membedakannya. Seorang pendidik juga harus mengerti strategi Pembelajaran yang merupakan Pola umum yg berisi rentetan kegiatan yang dapat dijadikan pedoman agar kompetensi sebagai tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. C. Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pendekatan pembelajaran (learning approach) adalah kerangka teori yang menjelaskan prinsip-prinsip pembelajaran. Dalam sebuah pedekatan dijelaskan prinsip-prinsip agar terjadi proses belajar yang efektif. Misalnya pendekatan CTL (Contekstual teaching and learning), adalah sebuah landasan teori yang memberi landasan bahwa kegiatan belajar akan berlangsung efektif apabalia tema dan kegiaan pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatam Keterampilan Proses adalah teori yang menjelaskan bahwa belajar akan lebih bermakna apabila dilakukan melalui pengalaman langsung, pendekatan konsep, pendekatan inquiri dsb. Pendekatan Pembelajaran merupakan perspektif teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih model, metode dan teknik pembelajaran. Cakupan materi rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam satu sama lain tak terpisahkan. Oleh karena itu setiap 26
Z akiah Daradjat, Kepribadian Guru,( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 13.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
133 aspeknya dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang terpadu, meliputi beberapa pendekatan antara lain: a. Pendekatan Keimanan, yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman adanya Allah SWT sebagai sumber kehidupan. b. Pendekatan Pengamalan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengalaman pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan. c. Pendekatan Pembiasaan, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi masalah kehidupan. d. Pendekatan Rasional, usaha memberikan peranan kepada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan materi dalam standar materi serta kaitannya dengan perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk dalam kehidupan duniawi. e. Pendekatan Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. f. Pendekatan Fungsional, menyajikan materi Pendidikan Agama Islam (PAI) dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas. g. Pendekatan Keteladanan, yaitu menjadikan figure pribadi-pribadi teladan dan sebagai cerminan dari manusia yang memiliki keyakinan tauhid dan berperilaku mulia.27 Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru dapat memilih salah satu pendekatan atau menggabungkan beberapa pendekatan pembelajaran yang ada, atas dasar ketentuan pendekatan-pendekatan tersebut.
27
Abd. Nashihul Ulwan, Tarbiyatul Aulad fi al-Islam, Jil. I, (Dar al-Salam, 1983), h. 4-
14.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
134 D. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Metode pembelajaran adalah jalan untuk memberikan pengertian kepada anak didik tentang segala macam materi pelajaran, dan cara-cara yang praktis dalam mencapai tujuan pengajaran.28 Seperti cara menyelenggarakan pembelajaran yang menggambarkan jenis kegiaan belajar siswa. Misalnya metode diskusi, metode eksperimen, metode penugasan dan sebagainya. Apabila sebuah pembelajaran menggunakan metode diskusi maka kegiatan belajar siswanya adalah diskusi, apabila mengunakan metode eksperimen maka kegiatan belajar siswa adalah melakukan ekspermen dan seterusnya. Metode Pendidikan Agama Islam, merupakan Ilmu yang membicarakan bagaimana menyajikan bahan pelajaran agama Islam kepada peserta didik. Metode Pendidikan Agama Islam ini penting sekali karena merupakan suatu teori yang dipersiapkan lebih dahulu untuk menghadapi pelaksanaan pembelajatan pendidikan agama Islam, juga merupakan sarana yang dapat memimpin dan menunjukkan arah hingga tercapainya tujuan pendidikan agama Islam.29 Guru dapat menentukan metode pengajaran / pembelajaran yang dianggap tepat dan efektif, antara lain: 1. Metode Ceramah/Bercerita Metode Ceramah, Adalah merupakan suatu cara penyajian atau penyampaian informasi yang berbentuk penjelasan konsep, prinsip, dan fakta melalui penerangan dan penuturan secara lisan oleh seorang pendidik terhadap peserta didiknya. Untuk memperjelas penyajiannya, pendidik dapat menggunakan media pembelajaran yang afektif, dan metode ini dapat divariasikan dengan metode lainnya.30 Kelebihan metode ceramah antara lain: a. Dapat memberikan pengarahan dan petunjuk di awal pembelajaran. b. Dalam waktu yang singkat/terbatas guru dapat menyampaikan materi/informasi yang banyak. 28 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyat wal al-Ta’lim, (Cairo: Isa al-Babi al-Nalabi & Co), h. 257. 29 Ramayulis, Dr., Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yakarta: Kalam Mulia, 2001) h. 4. 30 Drs. H. Martinis Yamin, M.Pd., Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), h. 65
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
135 c. Dapat disampaikan dalam kelas yang besar dengan jumlah peserta didik yang banyak. Sedangkan kekurangan metode ceramah sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Keberhasilan siswa tidak terukur; Perhatian dan motifasi siswa sulit diukur; Peran serta siswa dalam pembelajaran rendah; Materi kurang terfokus; Pembelajaran sering melantur.
2. Metode Demonstrasi dan Eksperimen Istilah demontrasi dalam pembelajaran dipakai untuk menggambarkan suatu cara mengajar pada umumnya penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoprasian peralatan barang atau benda, yang seelumnya telah dieksperimenkan (diuji cobakan) lebih dahulu,. Orang yang mendemontrasikan sambil menjelaskan apa yang dipertunjukkannya. Metode ini sangat efektif menolong siswa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana,terdiri dari apa, cara mana, melalui apa, dan sebagainya.31 3. Metode Sosiodrama/ Metode Bermain Peran Adalah penyajian bahan pelajaran dengan cara memperlihatkan peragaan, baik dalam bentuk uraian maupun kenyataan. Semuanya berbentuk tingkah laku dalam hubungan social, yang diperankan oleh peserta didik. 4. Metode Simulasi Metode simulasi lebih berorientasi pada praktek pelaksanaan untuk memberikan gambaran atau simulasi yang digunakan untuk melakukan proses-proses tingkah laku secara imitasi. Metode ini menampilkan symbol-simbol atau peralatan yang menggantikan proses, kejadian, atau benda yang sebenarnya.32 5. Metode Penugasan Adalah suatu cara mengajar dimana seorang guru memberikan tugas-tugas tertentu kepada peserta didiknya, dan hasilnya diperiksa guru dan peserta didik mempertanggung jawabkannya. 31 32
Drs. H. Martinis Yamin, M.Pd., Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, h. 66. Drs. H. Martinis Yamin, M.Pd., Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, h. 73
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
136 6. Metode Diskusi Adalah suatu cara penyajian/penyampaikan bahan pelajaran, dimana guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengadakan pembicaraan ilmiyah guna mengumpulkan pendapat, membuat kesempulan atau menyusun berbagai alternative pemecahan masalah terhadap masalah yang sedang dibicarakan. . 7. Metode Tanya Jawab Adalah merupakan suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada murid tentang materi yang yang telah diajarkan sambil memperhatikan proses berfikir peserta didiknya. 8. Metode Pembelajaran Menurut al-Qur’an al-Karim: Al-Qur’an dapat pula dijadikan sebagai petunjuk dalam memilih metode khusus pendidikan agama Islam, yang ditempuh melalui tahapan, (1) al-Hikmah, (2) al-Mau’izah hasanat dan (3) Mujadalat bi al-lati hiya ahsan. Sebagaimana Firman Allah SAW surat alNahl ayat 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk”. (QS An-Nahl : 125)33 a. al-Hikmah (dengan bijaksana) Metode pendidikan ini diberikan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, dalam menyampaikan pelajaran dengan tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. sangat cocok untuk mengajak orang agar mempunyai keinginan untuk belajar pendidikan agama Islam hingga menyenangi dan menyukai pendidikan agama islam. b. al-Mau’izah Hasanah (dengan nasihat-nasihat) Setelah tahap pertama berhasil, metode ini baru bisa digunakan untuk memberikan pelajaran dengan nasihat-nasihat yang baik dan berguna, agar dapat diterima oleh peserta didik dengan ikhlas. 33
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya,, Surat al-Nahl : 125.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
137 c. Mujadalat Billati Hiya Ahsan (dengan berdebat). Metode ini diperuntukkan pada peserta didik yang sudah menguasai ilmu pengetahuan yang cukup yang telah melalui tahapan-tahapan diatas, karena untuk berdebat dibutuhkan argumentasi-argumentasi yang kuat dan benar dengan bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Metode Qur’ani tersebut menuntut kepada pendidikan yang berorientasi pada “educational needs” dari anak didik dimana factor ”human nature” yang potensial tiap pribadi anak dijadikan sentrum proses kependidikan sampai pada batas maksimal perkembangannya.34 8. Metode Pembelajaran Menurut Ahli Didik Islam a. Menurut Al-Ghazali: Al-Ghazali menulis beberapa buah karya tulis tentang pendidikan dan pembinaan rohani, antara lain dalam kitabnya terkenal Ihya Ulum al-Din, Fatiha al-Ulum, dengan meletakkan kerangka aturan pendidikan yang sempurna dan menyeluruh serta terperinci dengan jelas. Pendapatnya tentang tujuan pengajaran dan pembinaan rohani adalah kesempurnaan insani yang berpangkal pada pendidikan diri kepada Allah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurut beliau, pendidikan agama seyogyanya diberikan kepada anak sejak usia dini, sewaktu menerimanya dengan hafalan di luar kepala. Ketika ia menginjak dewasa, sedikit demi sedikit makna agama akan tersingkap baginya. Jadi prosesnya dimulai dengan hafalan, diteruskan dengan pemahaman, keyakinan dan pembenaran. Demikianlah keimanan tumbuh pada anak tanpa dalil terlebih dahulu.35 b. Menurut Abdullah Nasihul Ulwan Ada 4 langkah kewajiban orang tua keimanan anak:
dalam mendidik
1) Menyuruh anak semenjak dini membaca Laillahailla Allah 34
Muzzayin Arifin, Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat (Jakarta,Golden Trayon Press, t.t.) hal.. 81. 35 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, jil. I, h. 23.
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
138 2) Memperkenalkan sejak awal tentang pemikiran hukum halal dan haram 3) Menyuruh anak beribadah sejak umur 7 tahun 4) Mendidik anak cinta kepada Rasulullah saw. dan keluarganya serta cinta membaca al-Qur’an 36 c. Menurut Al-Nahlawi Menurut beliau metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dapat menggugah perasaan adalah melalui: 1) Metode Hiwar (Percakapan) Qur’ani dan Nabawi Metode Hiwar (dialog/percakapan) adalah metode percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik dengan diarahkan oleh guru pada tujuan pembelajaran. Metode ini hampir sama dengan metode diskusi dan tanya jawab. 2) Metode kisah Qur’ani dan Nabawi Metode kisah ini identik dengan metode ceramah, kisah yang dikemukakan adalah kisah yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Dalam proses pembelajaran materi apa saja, seorang guru harus mampu menggali kisah-kisah Qur’ani dan Nabawi, kemudian disenerjikan dengan materi materi pelajaran yang diajarkannya. 3) Metode Amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi Metode Amtsal hampir mirip dengan metode sosiodrama, dimana guru mengemukakan perumpamaanperumpamaan yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat banyak, guru bisa membaca teks dan memperagakannya bersama peserta didik. 4) Metode Uswah (keteladanan) Metode Uswah keteladanan bisa juga disebut metode keteladanan, dimana seorang guru ketika mengajar memberikan 36
Abd. Nashihul Ulwan, Tarbiyatul Aulad fi al-Islam, Jil. I, (Dar al-Salam, 1983), h.
150
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
139 keteladanan dalam berbicara, berbuat dan bersikap. Jadi proses pendidikan bukan hanya dalam kelas saja tetapi harus menyentuh seluruh aspek kehidupan peserta didik diluar kelas juga. Oleh karena itu seorang guru harus mempunyai kompetensi keilmuan dan moral yang baik yang dapat menjadi panutan peserta didiknya. 5) Metode pembiasaan Metode pembiasaan ini mirip dengan metode resitasi, guru mengulang dan membiasakan beberapa materi pelajaran yang berguna bagi pengembangan sikap dan kecerdasan peserta didik, dengan tugas lisan dan tulisan. Metode pembiasan ini berintikan pengalaman dan pengulangan, sangat baik untuk mata pelajaran hapalan. 6) Metode ‘Ibrah (pelajaran)
’Ibrah ialah suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan dan dihadapi dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati mengakuinya. Metode ’Ibroh ini identik dengan metode pemecahn masalah, dimana guru menyajikan masalah dan peserta didik menggunakan nalar dan hati nurani untuk mencari solusinya. Metode ini cocok untuk materi pelajaran yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. 7). Mau’izah (peringatan)
Mau’izah adalah nasehat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara penjelasan pahala dan siksa. Dalam pembelajaran, seorang guru dalam memberikan pelajaran harus dengan bahasa yang lembut, menyentuh hati, yang akhirnya menumbuhkan kesadaran belajar pada peserta didik.
8) Metode Targhib (janji) dan Tarhib (ancaman)
Targhib adalah janji terhadap kesenangan dan kenikmatan akhirat yang disertai bujukan, Sedangkan Tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. Metode targhib dan tarhib ini bersandarkan pada ajaran Allah SAW yang
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
140 bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, maka metode ini cocok diberikan pada mata pelajaran yang bersifat religius dan moral.37 Pendidik atau Guru dapat memilih satu diantara metodemetode di atas disesuaikan kebutuhan materi yang diajarkan, atau bila dipandang perlu dan menguntungkan bagi peserta didik, guru dapat memadukan beberapa metode. Di samping metode-metode tersebut, guru juga dapat menggunakan metode lain yang dipandang sesuai dengan tujuan dan materi pembelajaran. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pendekatan dan metode yang dipilih tersebut sesuai dengan tujuan mengajar, materi pelajaran, sarana yang ada dan waktu yang tersedia. E. Faktor-Faktor Yang perlu diingat dalam memilih metode pembelajaran Menurut Ing S. Ulih Karo-Karo, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode pembelajaran adalah: 1. Metode pembelajaran bermanfaat dalam memetakan waktu terhadap kegiatan belajar. Dengan pemetaan ini diharapkan penggunaan jam pelajaran dapat berlangsung secara efisien dan efektif sehingga berpengaruh terhadap kualiotas hasil belajar. 2. Banyak metode pembelajaran yang dapat digunakan. Penggunaan metode pembelajaran sangat tergantung kepada tujuan pembelajaran. 3. Penggunaan metode pembelajaran memerlukan perencanaan yang matang. Sebaik apapun metode pembelajaran apabila digunakan sekenanya maka tidak dapat mencapai sasaran. 4. Tidak ada metode pembelajaran yang paling baik dan paling cocok untuk semua kondisi. Efektifitas dan efisiensi, metode pembelajaran ditentukan oleh keputusan untuk memilih metode tertentu dengan pertimbangan yang matang terhadap berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah: tujuan pembelajar, materi ajar, ketersediaan media dan sumber belajar, kondisi lingkungan belajar, kondisi siswa, dan kemampuan guru.38
37
Ramayulis, Dr., Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam, h. 122-129.
38
Drs. Ing S. Ulih Karo-Karo dkk, Suatu Pengantar ke dalam Metodologi Pengajaran, (Salatiga: CV.Saudara, 1975), h. 92-96.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
141 F. Model-Model Pembelajaran Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas pembelajaran. Dengan model pemelajaran guru dapat memetakan waktu kedalam kegiatan secara relaitis dan akurat sehingga pembelajaran memiliki peluang yang besar unutk dilaksanakan secara efektif dan efisien. Menurut Eggen dan Kauchak Model Pembelajaran adalah pedoman pembelajaran berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran (Eggen dan Kauchak, 1988 : 9). Model pembelajaran dapat digunakan dalam rencana pembelajaran sehinga pembelajaran yang akan diselenggarakan memiliki pola tertentu. Di dalam pola pembelajaran terdapat sistimatika dan karakteristik berupa rentetan atau tahapan kegiatan guru-siswa yang disebut sintaks. Sintaks menyatakan apa yang akan dilakukan guru dan siswa dalam tahapan-tahapan pembelajaran. Dengan adanya sintaks maka pembelajaran akan terencana secara sistimatis dan dapat memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien. Karena dalam model pembelajaran terdapat sintask (langakah-langkah) yang dapat memandu guru dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. Selain itu dalam model pembelajaran terdapat sebuah sistem pembelajaran yang meliputi tujuan apa yang dapat dicapai, lingkungan belajar yang akan tercipta (learning environmenet), apa kegiatan guru, apa kegiatan siswa, bagaimana mengorganisasikan siswa, apa perangkat yang dibutuhkan, bagaimana cara mengevaluasinya dan berapa waktu yang dibutuhkan pada setiap langkah. Dengan karakter itu model pembelajaran berfungsi sebagai pemandu guru dalam melaksanakan proses secara efektif dan efisien. Banyak sekali Model pembelajaran yang dikembangkan, Klasifikasi model pembelajaran diantaranya: 1. Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) yaitu Model Pembelajaran yang konsepnya disampaikan langsung oleh pendidik (bersifat teacher center)..Model pembelajaran langsung ini dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar siswa berkenaan dengan pengetahuan prosedural (melakukan sesuatu)
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
142 dan deklaratif (yang dapat diungkap dengan kata-kata) terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Fase 1: Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa Fase 2: Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan Fase 3: Membimbing siswa berlatih Fase 4: Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Fase 5: Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapannya. 2. Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning adalah Pembelajaran Berdasarkan Masalah merupakan pembelajaran/penyajian kepada siswa suatu masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan. Tujuannya untuk: a. Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah b. Belajar peranan orang dewasa yang autentik c. Menjadi pembelajaran yang mandiri 3. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Cooperative Learning merupakan Cara pengajaran yang memaksimalkan hasil belajar melalui belajar bersama.(Cinneli in Killen, 1996). Dan merupakan, Teknik dalam pembelajaran yang menekankan pada kerjasama dalam melaksanakan tugas agar peserta didik memiliki semangat dalam membantu suatu hal yang dipelajari dan yang mendasari dengan membentuk tim-tim. (Slavin, 1995, Johnson,1994) Tujuannya adalah untuk: a. Meningkatkan kinerja siswa untuk mengerjakan tugas-tugas akademik. b. Meningkatkan kesadaran siswa akan keragaman individu. c. Pengembangan keterampilan sosial.
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
143 4. Model Inquiry Model Inquiry adalah Model pembelajaran yang menggunakan langkah-langkah dalam metode ilmiah sebagai sintaks pembelajaran. Yang dikembangkan oleh Richard Suchman, dirancang untuk membantu siswa secara langsung melakukan proses-proses ilmiah. Sintaks Pembelajarannya sebagaiberikut: 1. Fase Merumuskan masalah, 2. Fase Mengajukan hipotesis, 3. Fase Merancang penelitian, 4. Fase Mengumpulkan data, 5. Fase Mengolah data, dan 5. Fase Merumuskan kesimpulan Sedangkan model pembelajaran yang dikelompokkan berdasarkan karakter proses pembelajaran diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Model Pemprosesan Informasi Menjelasakan bagaimana cara individu memberi respon yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data, memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan non verbal. 2. Model Personal Model pembelajaran yang menekankan pada proses pengembangan kepribadian individu siswa dengan memperhatikan kehidupan emosional. 3. Model Sosial Model pembelajaran yang menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial 4. Model Perilaku Model pembelajaran yang dibangun atas dasar teori perubahan perilaku. Siswa dibimbing untuk memecahkan masalah belajar melalui penguraian perilaku ke dalam unit-unit kecil dan berurutan. Maka model pembelajaran merupakan suatu disain yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
144 memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri peserta didik. G. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Model Pembelajaran 1. Kompetensi dasar yang ingin dikembangkan 2. Life skill yang ingin dikembangkan 3. Materi yg hendak disampaikan 4. Kemampuan guru dalam mengelola sumber belajar 5. Waktu yang tersedia 6. Sarana/ prasarana a. Contoh Strategi Pembelajaran 7. Pendekatan: CTL 8. Model: Cooperative Learning (Jigsaw) 9. Metode: Observasi Lapangan, Diskusi, presentasi 10.Kegiatan: Dalam kelompok kecil siswa melakukan observasi lapangan untuk mempelajari sistem jual beli dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya, menyusun laporan dan presentasi Dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai dan tepat guru akan dapat menentukan langkah-langkah kegiatan belajar siswa dan mengestimasi jumlah waktu yang digunakan pada setiap langkahnya. Karena model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistimastis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar siswa. H. Kesimpulan Dengan menggunakan metodologi pembelajaran yang tepat, Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, takwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup local, nasional, regional maupun global. Oleh karena itu, sangat erat hubungannya dengan keberhasilan seorang pengajar, yang dapat dilihat dari kemampuannya mengembangkan kompetensi diri dan keterampilan dalam melakukan tugas dan tanggung jawab yang berhubungan dengan pembelajaran
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
145 melalui beberapa pendekatan pembelajaran yang sesuai.
dengan memanfaatkan metode-metode
DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Bustami A. Gani dan Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).. ............................ ..., Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979) Al-Atas, Sayyed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terjemahan Haidar Bagir, (Bandung: al-Mizan, 1984). Al-Syaibani, Omara Muhammad al-Thaumy, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).. Drs. Ing S. Ulih Karo-Karo dkk, Suatu Pengantar ke dalam Metodologi Pengajaran, (Salatiga: CV.Saudara, 1975), h. 92-96 Fajar, Abd Malik, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999). Joyce and weil, Model of Teaching, (New Jersey: Prantice Hall, Inc. Second Edition, 1986) King Abdul Aziz University, First World Conference on Muslim Education Recommendation (Jeddah & Mekah al-Munawarah: King Abdul Aziz University, 1997).. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: AlMa’arif, 1964).. Mursi, Muhammad, Al-Tarbiyyat al-Islamiyyat Usuluddin wa Tatawwuruhu fi alBallad al-Arabiyyah (Kairo: ‘Alam al-Kutub, 1977).. Omara Muhammad al-Thaumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976). Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan, …, Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi. Bandung: LP4TK. Ramayulis, Dr., Prof., Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yakarta: Kalam Mulia, 2001).
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012
146 Sagala, Saiful, 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Penerbit Alfabeta Saleh, Abd Rahman , Pendidikan Agama dan Keagamaan (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000). Slavin, Robert E. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1990. Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru,( Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Volume II, No. 1, Januari 2012
Al-Risalah
147
Al-Risalah
Volume II, No. 1, Januari 2012