Al-QUR’AN SEBAGAI WAHYU DAN SUMBER HIDAYAH BAGI MANUSIA
Umar Latif Fakultas Adab IAIN ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected]
ABSTRACT Al-Qur’an merupakan sumber bacaan yang dipandang begitu bernilai, yang dengan tingkat sakralitasnya telah menghadirkan pemahaman tanpa batas. Pemahaman ini bisa dilacak berdasarkan sejumlah peristiwa yang berkembang dalam konteks sosial masyarakat, dan konteks tersebut tampaknya begitu terikat dengan tanda-tanda empiris berdasarkan kalam Allah, dan manusia sebatas menerima sebagai nilai kebenaran (tashdiq) atau menolaknya sebagai kepalsuan (takdzib). Tanda-tanda yang dimaksudkan dalam al-Qur’an, merupakan ungkapan kongkret bertujuan membimbing manusia ke jalan yang benar, karenanya alQur’an adalah hidayah yang perlu diikuti bagi mereka yang mau merasakan dan memikirkan tanda-tanda dalam al-Qur’an. Kata Kunci: Al-Qur’an, Wahyu, Hidayah Pendahuluan Islam merupakan salah satu agama yang memiliki risalah penyampaian wahyu yang paripurna (bukti keotentikan dan kelengkapan ajaran). Kesempurnaan risalah yang diterima Nabi didasari pada fakta empiris dan tingkat kelogisan antar waktu, dan ini tentu saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maksud ini mengindikasikan bahwa ajaran Islam, yaitu al-Qur’an sebagai pedoman sejak peristiwa turunnya (senin, 17 Ramadhan/ 5 Agustus 610 M) adalah sama dan serupa dalam pengamalannya hingga saat ini tanpa mengalami evolusi dan distorsi. Apa yang menjadi penegasan di atas menandakan bahwa al-Qur’an menunjukkan fungsi keberadaannya sebagai “hudan li al-nas wa bayyinatin min al-huda wa al-furqan” (QS. al-Baqarah: 185). Ungkapan ini sebagaimana dimaksud dalam al-Thabari, di mana kalimat “hudan li al-nas” adalah petunjuk bagi umat manusia menuju jalan kebenaran, dengan penekanannya bahwa manusia mau berpikir. Adapun kata “bayyinatin” adalah berbagai penjelasan terhadap sesuatu yang datang dari petunjuk tersebut, berupa penjelasan yang menunjukkan pada batas-batas, ketentuan-ketentuan dan tentang hukum halal dan
124
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia
haram. Sementara kata “al-furqan” dimaksudkan sebagai pemisah di antara hak dan batil.1 Berdasarkan keterangan tersebut, berarti al-Qur’an dapat ditarik pemaknaannya sebagai sebuah “dokumen penting” bagi umat manusia. Bahkan kitab ini sendiri menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia ( )ﻫﺪى ﻟﻠﻨﺎسdan berbagai julukan lain yang senada di dalam ayat-ayat lain; QS. al-Baqarah: 129, QS. al-Jumu’ah: 2 dan QS. Ali Imran: 164. Setiap muslim sejak datangnya Islam telah meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi, dan kepercayaan ini dapat menjadikan seorang muslim yang sempurna. Ada tiga komponen untuk mencapai “hudan” dan “bayyinat”, yang kemudian berujung pada “al-furqan”, sebagaimana Nabi telah melakukannya, di antaranya adalah: pertama, tilawah (bacaan yang membuahkan pada sikap mengikuti pesan yang ada dibaliknya); kedua, tazkiyah (bersih diri dan senantiasa menjunjung tinggi akhlak karimah); dan ketiga, ta’lim (pembelajaran tentang alkitab dan al-hikmah).2 Al-Qur’an dengan segala konsekwensi bagi kaum muslimin adalah firman Tuhan (kalam Allah) yang terniscayakan. Nabi juga betul-betul yakin bahwa beliau adalah penerima pesan dari Allah, Zat yang sama sekali lain sedemikian rupa hingga ia menolak dengan kekuatan kesadaran ini sebagian dari klaim-klaim historis yang paling fundamental dari tradisi Judea Kristiani tentang Ibrahim dan nabi-nabi yang lain. Zat yang lain ini melalui suatu saluran mendiktekan al-Qur’an dengan otoritas yang mutlak. Suara yang datang dari dasar kedalaman hidup itu berbicara dengan jelas sekali, tak bisa dikelirukan dan mendesak. Bahkan kata “qur’an” yang berarti bacaan, dengan jelas menunjukkan hal ini, tetapi teks al-Qur’an itu sendiri pada beberapa tempat menyatakan bahwa al-Qur’an diwahyukan secara verbal dan bukan hanya dalam makna dan ideidenya saja. Istilah al-Qur’an untuk pembukaan (rahasia) adalah wahyu yang berdekatan artinya dengan inspirasi, dengan syarat bahwa yang kedua ini tidak perlu harus mengesampingkan model verbal. Maksud ini mengisyaratkan di mana al-Qur’an berasal dari Allah dalam bentuk “ide-ide kata” dan tidak dalam bentuk “kata-kata yang bersuara”. Selanjutnya, dalam al-Qur’an juga bersatunya dua unsur, yakni al-Qur’an seluruhnya merupakan “kata-kata” Tuhan, dan dalam pengertian yang biasa ia merupakan “perkataan Nabi”. Sumber asal proses kreatif terletak di luar capaian biasa agensi manusia, tetapi proses itu timbul sebagai suatu bagian integral dari pikiran Nabi. Dengan kata lain, ide-ide dan kata-kata lahir di dalam dan dapat dikembalikan kepada pikiran Nabi, sementara sumbernya tetap berasal dari Allah.3 Perbandingan tersebut akan memperjelas sudut letak bahwa pandangan manusia di kemudian hari merespon bimbingan (huda) Ilahi dalam bentuk sebagai petunjuk (ihtida’: dibimbing) dan bukan bertujuan untuk disesatkan (dhallah; _____________ Al-Thabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. III (Beirut: Dar al-Kitab al‘Ilmiyah, 1992), 448 2 Al-Thabari, al-Jami’ al-Bayan... 448 3 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap AlQur’an, (peng.) Machasin (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), 153-156 1
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
125
takdzib). Petunjuk ini menggambarkan di mana upaya manusia tidak lagi bebas menentukan pilihan-pilihannya, kecuali tetap mengikuti bimbingan Ilahi. Secara ontologis, apa yang tersurat dalam al-Qur’an sebagaimana maksud Allah, dengan tingkat relevansi kemurnian dan kelengkapan sistematikanya tentu tidak muncul begitu saja. Al-Qur’an yang mempunyai ajaran lintas ruang dan waktu itu bersifat eksternal dan dicirikan dengan ketakterbatasan, sehingga dapat dipastikan bukan “bikinan manusia” yang serba serbi terbatas. Ini menandakan ada keterlibatan unsur lain yang memiliki kekuatan eksternal yang begitu kuat untuk “menerangkan” tentang status adanya al-Qur’an. Ironinya, apa yang dipahami demikian menjadi bukti pembenaran, meski kemudian menimbulkan tanda tanya ketika kekuatan eksternal tadi “berpindah” dan memasuki alam dimensi kemanusiaan yang penuh keterbatasan ruang dan waktu. Untuk itu, kronologis turunnya al-Qur’an secara tadarruj merupakan perwujudan responsitas Ilahi menuju kepada hidayah dan bukan bertujuan menyesatkan. Bahkan secara bersamaan pula diperoleh penjelasan bahwa alQur’an itu diterima Nabi dalam suasana historikal dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Atau dengan kata lain, di mana penegasan setiap al-Qur’an itu turun merupakan isyarat dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan, dengan tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang menjadi bukti empiris sebagaimana uraian di atas adalah mata rantai di mana al-Qur’an, dalam sudut pandang apapun tidak dapat ditiru (mu’jiz), karena itu Allah dengan tegas menyebutkan status al-Qur’an dalam penjagaannya, sebagaimana dalam QS. al-Hijr: 9: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan alQur’an dan Kami pula yang akan memelihara-Nya”. Jaminan ayat tersebut menegaskan betapa al-Qur’an menempati posisi yang khas dan berdiri sendiri di antara semua kitab-kitab suci, lantaran teks wahyunya yang masih asli, sementara pada Taurat, Zabur dan Injil, nabi-nabi menerima wahyu hanya dalam bentuk gagasan semata, dalam artian mengalami perumusan dan ungkapan dengan katakata sendiri.4 Al-Qur’an sebagai Wahyu Sejak pertama kali al-Qur’an diturunkan, berarti menimbulkan pemahaman yang berkembang, serta ikut menandakan suatu era baru, yang kemudian dikenal eranya Muhammad. Di era yang baru, posisi Muhammad tentu sebagai nabi dan rasul dengan tingkat konfigurasi pada Islam sebagai sebuah agama. Risalah nubuwwah5 adalah salah satu misi yang ditawarkan dan dipandang penting, yang secara substansial ikut memperbaiki perilaku dan akhlak manusia. Upaya ini secara tegas disebutkan melalui hadis Nabi sebagai berikut: 6
ّ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ّ ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ:ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل . ّإﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎرم اﻟﺼﺎﻟﺢ:ﺳﻠﻢ
_____________ 4
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., 199, dan M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 21 5 Istilah ini penulis maksudkan kepada sirah para nabi yang memiliki risalah terhadap nilai-nilai normatif (wahyu) untuk disampaikan kepada umatnya. Mengenai pembahasan lebih lanjut, lihat Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 204 6 Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jil. II (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 281 126
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR. Ahmad bin Hanbal) Pemahaman yang esensial terhadap pesan tersebut dapat melahirkan sikap dan karakter manusia kepada nilai-nilai etika yang bersifat universal. Implementasi norma-etis dalam perspektif keagamaan merupakan cerminan dari keberagamaan seseorang yang diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan. Kehadiran etika menjadi bagian substansial bagi usaha penyelamatan manusia dari keterpurukan berbagai dimensi etis kemanusiaannya. Oleh karena itu, misi penting yang perlu diemban dalam etika bermuara kepada perbaikan perilaku manusia.7 Tawaran pada sisi etika telah meletakkan nilai-nilai kemanusiaan, baik hubungan itu secara personal dan interpersonal dalam masyarakat secara agung dan luhur. Begitu juga sisi lainnya, hilangnya nuansa perbedaan satu sama lain, adanya keadilan dan menciptakan kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Dengan demikian, kehadiran Islam, dengan akar kata pada “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia sekaligus sebagai nilai fitrah. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya diukur dari sudut pandang normativitas, melainkan perlu dilihat dari sisi historisitas.8 Kecenderungan pola pikir yang demikian akan melahirkan celah perbedaan yang saling mengikat. Dari sudut pandang normativitas, perbuatan manusia sesungguhnya telah diatur, dibangun, diramu dan ditelaah melalui pendekatan-pendekatan doktrinal-teologis. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut:
. وﻗﺪ ﺧﺎب ﻣﻦ دﺳﮭﺎ. ﻗﺪ اﻓﻠﺢ ﻣﻦ زﻛﮭﺎ.ﻓﺄﻟﮭﻤﮭﺎ ﻓﺠﻮرھﺎ وﺗﻘﻮاھﺎ
“Maka Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jiwa manusia) yang salah dan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya. Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorinya”. (QS. al-Syams: 8-9) Ayat ini bisa dipahami berlaku umum dan tidak membedakan antara muslim atau bukan, tetap memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Dikarenakan unsur baik dan buruk itu telah melekat pada diri manusia, maka persoalan yang bisa dimunculkan adalah apakah setiap fitrah itu bagian dari wahyu atau bagian dari akal (pengetahuan), karena itu Islam tetap mempertimbangkan titik tekannya pada nilai-nilai historisitas, yang nota bene mengandung nilai pengetahuan. Oleh karena itu, keberadaan al-Qur’an tentu mensinergiskan antara wahyu dan akal (pengetahuan) sebagai bentuk pencapaian nilai-nilai fitrah manusia. Bahkan bagi al-Syafi‘i sendiri memaknakan al-kitab dengan al-Qur’an, sedangkan al-hikmah dimaknai dengan al-sunnah. Adapun sisi pembagian albayan, oleh al-Syafi‘i dibagi pada lima jenis, dan di antaranya adalah: 1) Al-bayan dimaksudkan sebagai tambahan penjelasan, seperti berpuasa tiga hari pada musim haji di Makkah, dan 7 hari setelah pulang dan sampai di tanah air nya.
_____________ 7
Yusny Saby, “Etika Agama dalam Wacana Kehidupan Modern”, dalam Seminar (Banda Aceh: Fak. Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, 2002), 1 8 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), v Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
127
2) Al-bayan dimaksudkan untuk menjelaskan bagian-bagian wasa’il dalam beribadah; seperti bersuci atau pembagian waris. 3) Al-bayan dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap pelaksanaan kewajiban ibadah, seperti rakaat salat dan kaifiyah lainnya. 4) Al-bayan bermakna al-hikmah atau al-sunnah. 5) Al-bayan bermakna jiwa atau hati; seperti perintah menghadap kiblat ketika shalat.9 Begitu juga wujud penghargaan terhadap akal (pengetahuan), di mana alQur’an merekam fungsi akal serta keutamaan ilmu sebagai produknya, sebagaimana tersebar dalam berbagai surah, melalui ungkapan: yatafakkarun, ya‘qilun, ya uli al-albab, uli al-nuha dan uli al-absar. Bahkan dalam al-Qur’an sendiri mengandung pesan tentang al-qalam (pena/alat tulis/pembelajaran) yang mengandung maksud tentang apa yang diajarkan, bagaimana pembelajaran itu berlangsung, alat apa yang digunakan sebagai kelengkapan pembelajaran atau apa pula maksud dan harapan dari pembelajaran tersebut.10 Meskipun demikian, dalam al-Qur’an kata wahyu dengan berbagai sighat dan tingkat derivasi maknanya disebutkan sebanyak 58 kali.11 Adapun secara sederhana, dikatakan wahyu berarti petunjuk, tulisan, risalah, perkataan yang samar, suara dan cepat.12 Di antara tingkat pemaknaan ini tidak menunjukkan pertentangan antara satu sama lain, lantaran tertuju kepada maksud yang sama. Substansi dari seluruh makna di atas tidak keluar dari dua hal, yakni tersembunyi dan cepat.13 Sekiranya pemaknaan pada wahyu dapat disepakati dalam artian sebagai sumber pemberitahuan atau informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada seseorang tanpa diketahui oleh orang lain. Apabila dicermati penggunaannya dalam al-Qur’an, term wahyu tertuju setidaknya dapat dibagi ke dalam lima pengertian. Pertama, wahyu yang berarti penyampaian ilham. Biasanya, pendekatan makna pada ilham melalui penekanan pada wahyu tidak harus dipahami sebagai orang yang “dikhususkan” dalam menerima pesan tertentu, seperti harus sebagai nabi atau rasul. Dalam hal ini, al-Qur’an menggambarkan sasaran maksud ini dalam dua surah yang berbeda, yakni QS. al-Maidah: 111 dan QS. al-Qashash: 7. Surah pertama berhubungan dengan kaum Hawariyyin dan surah kedua menyangkut dengan ibu Nabi Musa. Dengan demikian, maka seseorang yang menerima ilham, _____________
Abu Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, jil. I (Beirut: Kitab al Sya’bi, t. th), 26-53. Istilah lain dari al-bayan adalah al-tafsir, maka cakupannya meliputi: a) al-Qur’an ditafsirkan dengan al-Qur’an; b) al-Qur’an ditafsirkan dengan al-sunnah; dan c) al-Qur’an ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan fungsi hati (qalb) dalam al-Qur’an berhubungan dengan pemahaman, perasaan dan penetapan nilai baik dan buruk; bahkan pada sisi yang lain, al-qalb itu dikatakan juga ‘aql al-syawwab (akal yang bercampur/akal berstandar/nilai ganda). Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Qur’an al-Karim Bunyatuhu al-Tasyri’iyah (Damsyik: Dar alFikr, 1993), 48-49 10 QS. al-Alaq: 4-5 dan QS. al-Qalam: 1-4 11 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an (Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th), 914-915 12 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif 1997), 1545 13 Manna’ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1999), 32 9
128
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia
meski penekanannya berada dalam konteks wahyu sebagaimana dimaksud alQur’an tadi tidak mesti dipahami adalah nabi atau rasul. Kedua, wahyu dalam artian sebagai naluri. Secara konseptual, apa yang dimaksud dalam pemaknaan ini berarti al-Qur’an hendak membedakan posisi manusia dengan makhluk lainnya. Pemaknaan wahyu ke arah naluri hendak memberi pertimbangan khusus di mana secara teknis memang tidak sama antara manusia dan binatang. Hal ini tergambar dalam QS. al-Nahl: 68 tentang prioritas Allah kepada lebah, meski binatang lainnya juga memiliki naluri sama seperti lebah. Namun yang menjadi konsekuensi adalah apakah lebah sebagai binatang ber-naluri juga diberi wahyu oleh Allah; dan boleh jadi lebah adalah salah satu binatang yang menjadi skala prioritas Allah (tingkat membawa manfaat) daripada sejumlah binatang lain untuk dibedakan dengan manusia. Ketiga, wahyu digunakan dengan makna isyarat. Pembacaan dalam konteks ini dipahami sesuai dengan nada al-Qur’an QS. Maryam: 11. Penggunaan kata ﻓﺄوﺣﻰsangat mungkin dimaknai sebagai isyarat. Ketentuan tersebut secara substansial, subjek pada ayat ini tertuju hanya kepada seseorang, yakni Nabi Zakaria; dan hal ini berbeda dengan kedua kasus yang telah disebutkan di atas, yang subjek kata kerja dari derivasi makna wahyu adalah Allah itu sendiri. Keempat, wahyu dalam konteks ini adalah bisikan. Pemahaman ini menjelaskan, di mana subjek atas kata kerja dari derivasi makna wahyu, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-An‘am: 112 adalah bukan Allah, sehingga kata ﻳﻮﺣﻲtersebut mengalami pergeseran makna. Adapun yang kelima adalah wahyu dipandang sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada nabi.14 Pembacaan makna wahyu yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana dijelaskan di atas adalah sebagai bentuk “pembukaan rahasia” yang berdekatan artinya dengan “inspirasi”, dengan syarat tidak mengesampingkan model verbal (dengan firman, bukan suara). Alasan ini dikemukakan Rahman dengan merujuk kepada QS. al-Syura: 51-52,15 yakni “Allah tidak berbicara kepada seseorang manusiapun (yakni dengan kata-kata bersuara) kecuali melalui perantara wahyu (yakni dengan inspirasi ide-kata), atau dari balik tabir atau Allah mengutus seorang utusan (malaikat) yang diwahyukan kepadanya dengan se-izin Allah. Dan demikianlah Kami berikan inspirasi (wahyu) kepadamu al-Qur’an dengan perintah Kami”. Penegasan ini berarti ikut memetakan bahwa proses pewahyuan ini tentu saja melalui seorang perantara, di mana al-Qur’an menyebutnya dengan sebutan ruh al-quds dan al-ruh al-amin, yakni Malaikat Jibril. Hal ini bisa dimaknai berdasarkan bukti konkrit al-Qur’an dalam QS. al-Nahl: 102 dan QS. al-Syu‘ara’: 193. Para ahli ilmu al-Qur’an, umumnya memandang Malaikat Jibril sebagai sosok yang berperan aktif dalam melaksanakan tugas pewahyuan sesuai ketentuan Allah.16 Oleh karena itu, apa yang kemudian disampaikan Jibril, keadaan wahyu tetap pada posisi orisinalitas yang demikian terjamin. _____________ 14
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Islam (Jakarta: UII-Press, 1986), 15 Fazhur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Jakarta: Pustaka Izzah, 1997), 32 16 Sebagai catatan, Malaikat Jibril dalam hal ini sebatas menyampaikan pesan Allah dan Jibril bahkan tidak memiliki alternatif lain apakah untuk mengubah, menambah atau mengurangi pesan yang dimaksud Allah, karena malaikat termasuk Jibril selalu dalam keadaan taat; QS. alTahrim ayat 6. 15
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
129
Pandangan seperti di atas memperlihatkan kesederhanaan proses pemberitaan wahyu. Pembuktian ini dapat dicerna di mana posisi Nabi tampak dalam keadaan sebagai pihak yang “pasif”. Atau dengan kata lain, bahwa proses penyampaian wahyu ini pun sama sekali berada di luar kehendaknya, dan ini dapat dibaca dalam konteks sejarah turunnya wahyu, yang terkadang Nabi begitu “merindukan” meski kemudian wahyu itu tidak turun. Sebagai pihak yang berada dalam keadaan pasif, biasanya, keadaan tersebut memaksa seseorang (nabi) mengalami proses penantian yang panjang. Ini menandakan bahwa proses pemberitaan wahyu menjadi “alat ukur” yang final dan mencakup seluruh komponen ruang dan waktu, dalam artian mampu menjadi kebutuhan dimensional. Oleh karena itu, bisa dipahami pemberitaan wahyu bukan bertujuan untuk keselamatan nabi Muhammad. Dikarenakan wahyu merupakan bagian dari kebutuhan yang integral dan Nabi sebagai pihak penerima pasif (sebatas pendengar) perlu menyampaikan kembali kepada orang lain. Ketika proses penyampaian wahyu dilakukan, keadaan Nabi berubah bukan lagi pihak yang dipandang pasif, melainkan ikut terlibat aktif (pembicara), dan bahkan boleh jadi akan melibatkan proses dialogis dengan orang lain. Kiranya di sini letak urgensitas yang memunculkan persoalan tabligh atau balagh.17 Dengan demikian, maka konsep wahyu dalam Islam bukan merupakan hubungan tiga orang, melainkan konsep hubungan empat orang (Khalik, Malaikat nabi dan manusia). Atas dasar demikian, al-Qur’an yang merupakan elemen wahyu ikut memberikan pengertian yang tampak begitu luas. Oleh karena itu, wahyu yang dipahami sebagai firman (kalam) Allah, yang secara teknis dapat dibedakan dengan bahasa (lisan) adalah suatu fenomena yang berada di luar kebahasaan nonalamiah; pembicaranya adalah Allah dan pendengarnya adalah manusia. Meski kemudian Allah tetap dengan sengaja dan bukan secara kebetulan memilih bahasa Arab atas semua bahasa kultural yang ada pada saat itu sebagai sarana untuk berfirman; dan ini bukan berarti bangsa Arab sebagai bangsa unggulan di mata Allah; dan bagi Allah yang dipandang terbaik apa yang terkandung dalam QS. Ali Imran: 110: “Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia”, yang secara kontekstual merujuk kepada umat Islam dibandingkan dengan umat-umat lain dari Ahli Kitab. Oleh karena itu, apa yang menjadi pilihan atas bahasa Arab, oleh Allah hanya lebih karena nilai instrinsik bahasa semata, yakni tingkat kesakralan. Al-Qur’an Sumber Hidayah Nabi menerima wahyu dari Allah merupakan sebuah hidayah. Dikarenakan sebagai hidayah serta keadaan nabi yang juga sebagai rasul patut disampaikan kepada orang lain. Adapun proses penyampaian hidayah ini, oleh Nabi terkadang dilakukan dengan cara verbal-tekstual, yang pemaknaan ini biasanya dinamakan dengan al-Kitab. Ada juga hidayah yang disampaikan Nabi dalam bentuk nonverbal, yang pemaknaan itu al-Qur’an menyebutkan dengan nama al-Hikmah.18 Pemaknaan al-Kitab sebagai sumber hidayah lantaran diterima oleh semua para nabi yang ditugaskan Allah sebagai pengemban risalah, atau lebih tepatnya mereka adalah nabi dan rasul yang memiliki kitab suci; Taurat, Zabur, _____________ 17
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan…, 197 QS. al-Baqarah: 151
18
130
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia
Injil dan al-Qur’an. Adapun dalam konteks al-hikmah agar manusia dapat memahami dan memikirkan maksud firman Allah. Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, bahwa Allah melalui kalam-Nya telah menurunkan tanda atau isyarat, dan manusia sebagai tujuannya merespon maksud kalam Allah, baik untuk diterima sebagai kebenaran atau ditolak sebagai kepalsuan; diimani atau dikufurkan.19 Dalam al-Qur’an konsep tentang ayat, digantikan dengan konsep “bimbingan”. Ini artinya, Allah mengirimkan ayat sama halnya dengan bimbingan-Nya; ayat tidak lain adalah ungkapan kongkret tujuan Allah membimbing manusia ke jalan yang benar, dan manusia dengan sendirinya dapat memilih sebagai kebenaran atau dipandang sebagai kepalsuan. Meski demikian, penyampaian pada makna ayat dan sesering mungkin Nabi menyeru kepada manusia (al-Kitab), sekiranya manusia tidak mampu memahami dan memikirkannya, maka teks ini tidak memiliki kegunaan. Apa yang tidak dipahami meski Nabi berulang kali menyampaikan, berarti titik temunya berhubungan dengan alHikmah, yang derivasinya berarti pengetahuan. Acuan ini terlihat dalam QS. al-An‘am: 39 sebagai berikut: “Siapa pun yang dikehendaki Allah, Dia akan menjadikannya tersesat, dan siapa pun yang dikehendaki-Nya, Dia akan menunjukkannya ke jalan yang lurus”. Kombinasi kedua unsur ini, antara jalan yang sesat dan jalan yang lurus, oleh al-Qur’an menunjukkan pada kemampuan psikologis yang disebut lubb (al-bab) atau qalb (fu’ad), bermakna hati. Semua aktivitas mental adalah menifestasi kongkret kemampuan manusia, dan hati adalah sesuatu yang memungkinkan manusia untuk mau memahami atau memikirkan makna ayat Ilahi. Oleh karena itu, hidayah yang diterima Nabi tersebut dimaksud sebagai hidayah yang dalam menyelesaikan masalah untuk selamanya. Artinya, suatu masalah yang sudah ditangani tidak diulang kembali menjadi masalah baru. Jika hal mendasar ini (hidayah) berjalan secara baik dan diterima sebagai pembenaran, dijadikan standar bagi keberagamaan umat, maka apa yang menjadi masalah pelik dalam kehidupan manusia akan mendapat penyelesaian secara komprehenshif dan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.20 Apa yang menjadi mata rantai di mana hidayah merupakan manifestasi petunjuk ke jalan yang benar adalah bukti empiris (al-hikmah) jika dikembalikan pada intrumen-intrumen cara berpikir. Apabila memperhatikan setiap rumusan ayat-ayat al-Qur’an akan nampak cara berpikir yang satu kelanjutan dari cara berpikir lainnya, bahkan sistem kewahyuan menjangkau ke luar batas empiris; dari rekayasa sosial hingga cita-cita dan tujuan akhir hakikat kehidupan ini. Oleh karena itu, hidayah yang dinilai sebagai kemampuan berpikir mesti berada dalam satu keseimbangan yang utuh di antara hubungan sismbiosis dan objektivitas berpikir. Tafsir al-Maraghi ketika menjelaskan surah al-Fatihah ayat 5, ada lima tingkatan hidayah. Ilmu termasuk bagian dari makna hidayah pada aspek intrumentalnya; mulai dari insting/gharizah, indra, akal, agama dan taufiq. Fungsi-fungsi dari masing-masing kelima potensi hidayah tersebut merupakan pemberian Allah kepada hambanya.21 _____________ 19
Toshihiko Izutsu, Machasin, Relasi Tuhan…, 153 QS. al-Shaffat: 99; QS. al-Syu‘ara: 62; QS. al-Taubah: 40. 21 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dan Anshari Umar Sitanggal (Semarang: Toha Putra, 1993) 20
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
131
Begitu juga dengan penawaran yang digambarkan al-Thabari menyampaikan riwayat dari Qatadah tentang makna hudan dalam surah al-Naml: 2; ھﺪى وﺑﺸﺮى ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﯿﻦbahwa orang-orang mukmin bila mendengar bacaan alQur’an, dia menghafalkannya, dan memelihara hafalan itu; kemudian mengambil manfaat oleh sebabnya, dan ia berketetapan hati kepadanya; dia juga membenarkan apa yang dijanjikan Allah yang dikandungnya; dan dia juga berkayakinan karenanya.22 Al-Thabari juga menjelaskan makna ayatin bayyinatin dalam surah alBaqarah: 99; bahwa ayatin dimaksudkan “tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan atas kenabian Muhammad”. Tanda-tanda kenabian Muhammad itu tersembunyi dari pengetahuan orang-orang Yahudi dan dimungkinkan beritanya pada fase awal dirahasiakan dari kalangan Bani Israil. Kisah itu, hanya diketahui oleh para pimpinan dan ulama mereka, setelah pada cerita awalnya dirubah serta pada perjalanan akhirnya diganti. Padahal sebelumnya, telah menjadi ketetapan hukum dalam kitab Taurat. Kemudian Allah mengungkap kembali hukum-hukum itu melalui kenabian Muhammad, karena itu, makna al-ayatin bayyinatin hanyalah bagi orang yang memiliki karakter dalam dirinya.23 M. Quraish Shihab menjelaskan pembagian hidayah yang dimaknakan petunjuk itu kepada beberapa macam tingkatan; masing-masing tingkatan satu sama lain saling berkaitan, dan di antaranya adalah: Pertama, naluri (al-gharizah). Hidayah naluri ini diperoleh sejak lahir, seperti tangisan seorang bayi karena ada yang mengganggunya, sehingga diperlukan pertolongan pihak lain. Kedua, pancaindra (al-hawas). Hidayah pancaindra ini sebagai alat komunikasi manusia dengan lingkungannya; mata memandang, tangan meraba, hidung mencium, telinga mendengar dan lidah merasa. Ketiga, akal (al-‘aql). Hidayah akal berfungsi sebagai interpretasi dan pertimbangan terhadap semua yang diinformasikan pancaindra, lalu dilakukan kesimpulan-kesimpulan yang sedikit berbeda dengan informasi panca indra tersebut. Keempat, agama (al-din). Hidayah agama berfungsi menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan akal, seperti keterbatasan akal dalam memahami alam metafisika.24 Dengan demikian, secara filosofis al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah milik Allah dan kembali kepada-Nya seperti dalam surah al-Baqarah ayat 156. Ini bukan anjuran untuk bersikap pesimis dan fatalistis, melainkan sebagai penegasan tentang posisi manusia di hadapan Allah. Oleh karena itu, untuk mencapai kehidupan yang ideal, kepada manusia diberikan petunjuk, yang diformulasikan al-Qur’an sebagai huda. Bahkan al-Qur’an selalu mengulangulang mengingatkan hambanya untuk menjadikan dirinya sebagai petunjuk supaya kehidupan yang dijalani manusia berlangsung dengan baik. Kesimpulan Islam adalah agama yang memiliki risalah penyampaian wahyu yang paripurna. Risalah sempurna yang diterima Nabi Muhammad ini, didasari pada fakta empiris dan tingkat kelogisan antar waktu, dan ini tentu saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Al-Qur’an sendiri dalam ayatnya menunjukkan _____________
Al-Tabari, al-Jami’…, jil. II, 397 Al-Tabari, al-Jami’…, jil. II, 397 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim (Bandung: Mizan, 1997), 46 22 23
132
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia
fungsi keberadaannya sebagai petunjuk bagi umat manusia menuju jalan kebenaran, dengan penekanannya bahwa manusia mau berpikir. Al-Qur’an juga sebagai penjelas terhadap sesuatu yang datang dari petunjuk tersebut, berupa penjelasan yang menunjukkan pada batas-batas, ketentuan-ketentuan dan tentang hukum halal dan haram, demikian juga sebagai pemisah di antara hak dan batil.
Al-Mu‘ashirah Vol. 9, No. 2, Juli 2012
133
DAFTAR PUSTAKA ‘Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an. Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Hanbal, Ahmad bin. al-Musnad, jil. II. Beirut: Dar al-Fikr, t. th Hilal, Ibrahim. Tasawuf antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis, terj. Ija Suntana dan E. Kusdian. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Sementik terhadap AlQur’an, (peng.) Machasin. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003 Al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar dan Anshari Umar Sitanggal. Semarang: Toha Putra, 1993 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progresif 1997 Nasution, Harun. Akal dan Wahyu Islam. Jakarta: UII-Press, 1986 Al-Qaththan, Manna’. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1999 Rahman, Fazhur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Jakarta: Pustaka Izzah, 1997 Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992 _______, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Bandung: Mizan, 1997 Saby, Yusny, “Etika Agama dalam Wacana Kehidupan Modern,” dalam Seminar. Banda Aceh: Fak. Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, 2002 Al-Syafi’i, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris. al-Risalah, jil. I. Beirut: Kitab al Sya’bi, t. th Al-Thabari, al-Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. III. Beirut: Dar al-Kitab al‘Ilmiyah, 1992 Al-Zuhaili, Wahbah. al-Qur’an al-Karim Bunyatuhu al-Tasyri’iyah. Damsyik: Dar al-Fikr, 1993
134
Umar Latif: Al-Qur’an sebagai wahyu dan sumber hidayah bagi manusia