PROPOSAL DISERTASI
AKAR ISRA<‘ILI
A. Latar Belakang Masuknya Isra>‘ili>ya>t ke dalam Islam memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari pembauran masyarakat muslim dengan komunitas Ahl al-Kita>b disekitar jazirah Arab. Tafsir dan hadis, keduanya dipengaruhi oleh kebudayaan Ahl
al-Kita>b yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Isra>‘iliyya>t juga dianggap mempunyai pengaruh yang buruk. Isra>‘iliyya>t dijadikan sumber rujukan dalam penafsiran al-Qur’an oleh sebagian Ulama tafsir tanpa mengadakan penelitian terdahulu tentang kualitas dan kebenarannya. Padahal itu semua merupakan hal yang dapat merusak akidah sebagian besar kaum muslimin, serta menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.1 Pengutipan Isra>‘iliyya>t oleh sebagian mufassir sebagai salah satu sumber penafsiran al-Quran terjadi semenjak pengkodifikasian tafsir hingga sekarang. 1
Muh}ammad H}usain al-Dhahabi, al-Isra>iliya>t fi> al-Tafsi>r wa al-Hadi>th (Kairo: Majma‘ Buhu>th alIslami>yah, 1971), 14.
Persoalan Isra>‘iliyya>t menjadi isu penting bagi mufassir modern. Sebab Isra>‘iliyya>t tidak hanya berkaitan dengan aspek teologis Islam yang mengklaim sebagai agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi merujuk pada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani, juga pernyataan al-Quran yang menyatakan kedua kelompok itu telah melakukan penyimpangan terhadap kitab suci mereka, tetapi juga Isra>‘iliyya>t pada umumnya berisi khurafat-khurafat yang merusak akidah umat Islam. Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa Isra>‘ili>ya>t sudah ada di Jazirah Arab sebelum Nabi Muhammad saw diutus. Hal ini dipengaruhi oleh kepindah Bangsa Yahu>di> ke Jazirah Arab secara besar-besaran pada tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus dan pindah ke jazirah Arab bersama kebudayaan yang mereka ambil dari kitab-kitab agama mereka. Uraian-uraian kitab itu mereka terima dan wariskan dari generasi ke generasi ke dalam suatu tempat yang diberi nama Midras.2 Pada waktu itu, bangsa Yahu>di> sudah mendiami Yaman, berkelana ke arah Timur menuju Babilonia dan sekitarnya, ke arah Barat menuju Mesir, dan kembali ke negeri asal mereka dengan membawa bermacam-macam berita keagamaan yang dijumpainya di negara-negara yang mereka singgahi. Berita tersebut selanjutnya sampai kepada umat Islam ketika umat Islam berinteraksi dengan mereka dalam misi dagang.
2
Midras adalah pusat kajian kebudayaan warisan yang diterima Yahudi dari generasi ke generasi. Yahudi juga memiliki tempat khusus untuk beribadah dan menyiarkan agama.
Perdagangan yang dilakukan umat Islam pada masa tersebut yang didominasi oleh suku Quraish, termaktub dalam Firman Allah,
Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.3 Di dua daerah ini banyak sekali orang-orang Yahu>di> berdomisili dan bertahan hidup. Sehingga persinggungan umat Islam dengan orang-orang Yahu>di> menjadi pendorong masuknya budaya Yahu>di> ke dalam bangsa Arab.4 Maka wajarlah jika kebudayaan bangsa Arab banyak dipengaruhi kebudayaan-kebudayaan Yahu>di>, walaupun hanya sedikit. Pada masa Rasulullah Saw, riwayat Isra>‘ili>ya>t tidak berkembang dalam penafsiran al-Qur’an, karena penafsiran yang berhubungan dengan al-Qur’an langsung bersumber dari Rasulullah saw. Meskipun demikian, Rasulullah tidak melarang para sahabat untuk menerima atau menyebarkan informasi dari Bani Israil. Salah satu bukti adanya persinggungan Rasulullah dengan Ahl al-Kita>b (Yahu>di>) adalah riwayat yang bersumber dari al-Bukha>ri. Diceritakan oleh alBukha>ri dari Abd Alla>h bin ‘Umar bahwa sesungguhnya orang Yahu>di> membawa seorang laki-laki dan perempuan dari golongan mereka yang telah melakukan perzinaan, lalu Nabi saw bersabda pada mereka: “Apa yang akan kamu lakukan pada
3 4
Al-Qur’an, 106: 1-2. Ahmad Shadalri dan Ahmad Rofi’i, Ulu>mul Qur’a>n, Vol. I (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 238.
orang yang berbuat zina dari golongan kamu?”, mereka menjawab: “kami akan menyiram air panas pada keduanya lalu memukulinya”, maka Rasulullah saw bertanya kepada mereka: “Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam kitab Taurat?”, mereka menjawab: “kami tidak menemukan hukum apa-apa disana”, maka Abd Alla>h bin Sala>m berkata pada mereka: “kalian telah berdusta, bawalah kitab Taurat dan bacalah, jika kalian termasuk orang-orang yang benar”. Pada masa sahabat, riwayat Isra>‘ili>ya>t semakin tersebar. Hal ini disebabkan karena Rasulullah yang berposisi sebagai penjelas kandungan al-Qur’an telah wafat. Untuk mendapatkan informasi sebagai alat bantu pemahaman al-Qur’an, sahabat menerima informasi dari Ahl al-Kita>b, karena adanya persamaan antara kandungan yang ada dalam al-Qur’an dengan riwayat Isra>‘ili>ya>t. Para sahabat hanya mengambil terma-terma Isra>‘ili>ya>t yang tidak berhubungan dengan aqidah dan hukum, semisal tentang kisah-kisah para Nabi terdahulu. Para sahabat bersifat ketat dalam periwayatan Isra>‘ili>ya>t, jika mereka mendengar sesuatu yang tidak sesuai dengan syari‘at Nabi saw dari orang-orang Yahu>di> maka mereka akan segera menolaknya, namun disisi lain, orang-orang Yahu>di> selalu menampakkan kebudayaan mereka terhadap orang-orang Islam. Inilah yang menjadi awal terserapnya kebudayaan
Isra>‘ili>ya>t terhadap kebudayaan Islam. Di samping itu, al-Qur’an banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injil yang berhubungan dengan kisah para Nabi dan berita umat terdahulu, namun al-Qur’an menjelaskan cerita-cerita tersebut dengan global. Hal ini menjadikan sahabat yang ingin mengetahui cerita-
cerita Nabi mereka (Nabi sebelum Muhammad saw) secara detail, datang kepada
Ahl al-kita>b yang telah masuk Islam untuk menjelaskannya secara terperinci. Pada masa tabi’in, banyak dari Ahl al-Kita>b yang memeluk agama Islam, mereka membawa kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Islam. Oleh karena itu, orang-orang tertarik untuk mendengar dan mempelajari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Maka lewat hal ini, riwayat-riwayat Isra>‘ili>ya>t semakin tersebar di kalangan umat Islam, kemudian hal itu digunakan dalam penafsiran al-Qur’an. Pada masa tabi’in dan sesudahnya, riwayat Isra>‘ili>ya>t sudah tidak begitu diteliti. Mereka tidak begitu selektif dalam menerima riwayat-riwayat tersebut untuk dijadikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Para mufasir sesudah tabi’in memporsikan riwayat Isra>‘ili>ya>t semakin besar bahkan ketergantungan.5 Para
mufassir tidak lagi mengoreksi terlebih dahulu kutipan cerita-cerita Isra>‘ili>ya>t yang mereka ambil, padahal diantaranya terdapat cerita yang tidak benar. Umat Islam terpengaruh kebudayaan Yahu>di> dan Nas}ra>ni> pada porsi yang sangat besar. Pengaruh yang sangat menonjol dari kebudayaan ini adalah tentang sejarah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya sejarawan yang menceritakan tentang sejarah Bani Israil dan Nabi-Nabi mereka serta kejadian-kejadian dan peristiwaperistiwa yang terjadi pada Bani Israil yang tidak ada dasarnya sama sekali, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jari>r al-T}abari> dan Ibn Kathi>r.
5
Manna>‘ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riyadh: Manshu>rah al-‘Asr al-Had>ith, 1973), 492.
Ada faktor yang mendasar sehingga kebudayaan Yahu>di> dan Nas}ra>ni> sangat berpengaruh bagi orang-orang Islam pada waktu itu. Salah satu faktor tersebut adalah kebutuhan akan penjelasan kisah-kisah yang dijelaskan dalam al-Qur’an secara global.6 Begitu juga kebutuhan tentang penjelasan sebab-sebab kosmologi awal penciptaan makhluk, rahasia kejadian alam semesta, dan lain-lain, yang mereka tanyakan kepada Ahl al-Kita>b tanpa mengkroscek kepada sahabat-sahabat yang lain dan langsung mengambil manfaat dari mereka. Perkembangan selanjutnya, riwayat-riwayat isra>ili>ya>t termanifestasi dalam beberapa kitab tafsir yang berkembang pada masa selanjutnya. Kitab-kitab tersebut kemudian banyak di kenal dan diambil rujukan termasuk Ulama’ Indonesia masa awal dalam menjankan misinya sebagai penyebar Agama Islam. Hal tersebut terbukti adanya pengaruh isra>ili>yat dalam tafsir Tarjuman al-
mustafid karya Abd al-Ra‘uf al-Singki>li.7 Riddle dalam telaahnya memberikan kesimpulan tentatif dalam tahun penulisannya, yakni tahun 1675 M. dan menjadikan tafsir ini sebagai tafsir paling konprehensif paling awal.8 Meskipun status kitab tafsir ini masih diperselisihkan akan tetapi jika merujuk pada pendapat Nasharudin
6
Rofi’i, Ulu>mul Qura>n I , 195-200. ‘Abd al-Ra‘u>f ibn Ali al-Ja>wi al-Fansu>ri al-Sinki>lī adalah seorang melayu dari Fansur, Singkil (Singkel). Tahun 1642 ia pergi ke Arabia dan mempunyai guru spritual dan mistis Ahmad al-Qushashi dan Ibra>him al-Kurani> sebagai guru intelektualnya. Setelah pulang ke Nusantara ia tidak terjebak dalam pertikaian antara faham keagamaan Hamzah al-Fansu>ri, Syams al-di>n al-Sumatra>ni dengan Nu>r al-di>n al-Rani>ri sehingga faham keagamaan yang dianutnya dapat diterima secara luas di nusantara. lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1998), 189-191. 8 Peter Riddlell, “Earliest Qur‘anic Exegetical activity in the malay-speaking states”, dalam Archipel, 1989, 108-109. 7
Baidan maka tafsir ini dikategorikan sebagai hasil tafsir utuh dan bukan bentuk pengalihan bahasa dari tafsir al-Baid}awi.9 Kisah isra>ili>ya>t dalam tafsir ini agak banyak ditemukan. Kebiasaannya, kisah ini dimulai oleh pengarang dengan kalimah “kisah”. Meskipun hanya terdapat beberapa kisah isra>ili>yat saja yang disebut dengan agak panjang lebar seperti kisah Nabi Ayub a.s, Nabi Yusuf a.s dan Nabi Sulayman a.s. Ketika mengemukakan kisah-kisah Isra>ili>yat, Abd al-Rauf biasanya memulai dengan perkataan “kisah”, kemudian “tersebut dalam al-Khazin”. Tetapi terdapat juga kisah yang tidak dinyatakan bahawa ia diambil dari al-Khazin seperti cerita Nabi Musa memegang janggut Nabi Harun.10 Beliau hanya berkata: “Kisah pada suatu riwayat ...”. Periwayatan isra>ili>yat dalam kitab ini tidak disertakan status riwayat yang dicantumkan apakah riwayat tersebut ditolak atau diterima. Namun sebagian riwayat yang disandarkan kepada al-Khazin seolah-olah memberi isyarat awal bahawa riwayat tersebut boleh dipertikaikan dari segi kesahihannya. lni memandangkan status tafsi>r al-Khazin yang dipenuhi dengan riwayat isra>ili>yat. Selain itu terdapat juga riwayat isra>ili>yat yang diambil dari tafsir lain seperti tafsir al-Baghawi.11 Namun begitu, tafiir al-Khazin tetap menjadi rujukan utama beliau ketika menukilkan riwayat-riwayat isra>ili>yat ini.
9
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafiir al-Quran di Indonesia (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 62. 10 Abdul Rauf al-Singkeli, Tarjuman al-Mustafid (Singapura: Pustaka Nasional, 1951), 319. 11 Ibid., 270.
Tidak hanya Tarjuman Mustafid yang memiliki riwayat isra>ili>yat, begitu juga dalam mara>h labid karya Nawawi al-Banteni. Misalnya tentang nama anak yang dibunuh oleh Nabi Khidhir. Disebutkan bahwa anak tersebut merupakan putera seorang tokoh di daerah itu. Ayahnya bernama Birran, ibunya Sahwan, sementara anak tersebut bernama Jaisur.12 Begitu juga dengan perahu Nabi Nuh. Dalam tafsirnya, Nawawi menyebutkan bahwasanya Nabi Nuh membuat perahu tersebut selama dua tahun dengan ukuran panjang 300 dhira’, lebarnya 50 dhira’, sementara tingginya 30 dhira’. Kapal itu terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama, ditempati oleh hewan-hewan, lantai dua ditempati oleh manusia, sementara lantai paling atas ditempati oleh burung.13 Nama-nama yang disebut dalam cerita-cerita tersebut merupakan bagian dari riwayat isra>ili>yat.14 Akar pengaruh isra>ili>yat dalam konteks tafsir di Indonesia akan diperoleh bentuk untuhnya jika pembahasan objek dilakukan dengan merujuk pada periodisasi kajian tafsir di Indonesia. Para peneliti kajian tafsir Indonesia yang memaparkan periodesasi penulisan tafsir di Indonesia. Salah Satunya adalah Howard M. Federspiel dalam bukunya yang berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M.
Yunus hingga Quraish Shihab yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al-Quran di Indonesia dari segi generasi. Ia membagi periodisasi tersebut berdasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi ke-1, 12
Muhammad Nawawi al-Banteni al-Jawi, Mara>h Labid, Vol. I (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), 505. Ibid., 285. 14 Muh}ammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. I (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 132. 13
kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan secara terpisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi ke-2, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama yang muncul pada pertengahan 1960-an sampai tahun 1970-an, yang mempunysi ciri diantaranya terdapat beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Sedangkan generasi ke-3 dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan penafsiran lengkap dengan uraian yang sangat luas.15 Menurut Gusmian periodisasi yang diberikan oleh Federspiel ini memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun, dari segi tahun pemilahannya dinilai agak kacau oleh Gusmian. Misalnya, ketika Federspiel memasukkan tiga karya tafsir, yaitu: (1) Tafsi>r al-Furqa>n karya A. Hassan (1962); (2) Tafsi>r al-Qura>n karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.(1959), dan (3) Tafsi>r al-Qur-a>n al-Kari>m karya H. Mahmud Yunus, sebagai karya tafsir yang representatif untuk mewakili generasi ke-2. Padahal menurut Gusmian, ketiga tafsir itu muncul pada pertengahan dan akhir 1950-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun masuk dalam generasi pertama.16 Setelah mengkritisi periodisasi federspiel. Gusmian memaparkan kategori tafsir al-Quran di Indonesia dengan mengacu pada periodisasi tahun, yaitu: (1) Periode ke-1, yakni antara awal abad ke-20 hingga tahun 15
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), 129. 16 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 65.
1960; (2) Periode ke-2, tahun 1970-an sampai tahun 1980-an. (3) Periode ke-3, antara 1990-an hingga seterusnya.17 Selanjutnya Nashruddin Baidan dalam bukunya yang berjudul Perkembangan
tafsir al-Quran di Indonesia memaparkan periodisasi yang agak berbeda dengan Federspiel maupun Gusmian. Baidan membagi periodisasi perkembangan tafsir di Indonesia dalam empat periode, yaitu: (1) periode klasik, dimulai antara abad ke-8 hingga abad ke-15 M. (2) periode tengah, yang dimulai antara abad ke-16 sampai abad ke-18, (3) periode pramodern yang terjadi pada abad ke-19, (4) adalah periode Modern, yang dimulai abad ke-20 hingga seterusnya. Periode modern ini dibagi lagi oleh Baidan menjadi tiga bagian yaitu: kurun waktu pertama (1900-1950), kurun waktu ke-2 (1951-1980), dan terakhir adalah kurun waktu ke-3 (1981-2000).18 Perbedaan periodesasi diatas, bisa terjadi antara lain disebabkan karena terdapat perbedaan data yang diperoleh oleh para peneliti perkembangan tafsir di Indonesia. Selain itu perbedaan sudut pandang tentang objek kajian, bisa menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pemilahan tahun yang terjadi diantara tafsirtafsir diatas. Dalam kajian ini, penulis disini bukan berada dalam posisi sebagai pengkritik terhadap periodisasi yang telah dipaparkan diatas. Tetapi disini penulis mencoba melakukan periodisasi sendiri guna relevansi bagi objek penelitian penulis.
17 18
Ibid., 66-69. Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003), 31-109.
1. Periode Klasik (Sebelum Abad ke- 20) Dari karya-karya tafsir pada periode ini didapati beberapa kecenderungan,
pertama, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah Cambridge misalnya, tidak ada pemisahan ruang antara teks arab al-Quran, terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini menulis surat al-Kahfi dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam tinta hitam. Model seperti ini menurut Feener memang terus diterapkan didunia melayu sampai abad ke-19.19 Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah huruf pegon20 meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Misalnya huruf ini dipakai dalam tafsir
Tarjuma>n al-Mustafi>d serta naskah Surat al-Kahfi dan naskah anonim lainnya yakni Kita>b Fara>id al-Qur’a>n ataupun jam‘u al-jawami‘ al-mus}annafa>t.21 Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai keberislaman penduduk Nusantara —utamanya kawasan Melayu 19
Michael R. Feener, “Notes Towards”, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, 47. Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini, aksara pegon menjadi aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni hurup gundil (hurup gundul). Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab. Untuk melihat secara lengkap sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda. 21 Gusmian, Khazanah Tafsir, 61. 20
(Sumatra) dan Jawa. Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih didomonasi oleh tradisi lisan (oral tradition) dalam melakukan transmisi ilmunya kepada orang lain, sehingga menelusuri diskursus bidang tafsir sulit dilakukan melalui bukti-bukti karya tulis. Faktor lain yang menghambat penemuan karya tafsir sufistik adalah adanya benturan tasawuf heterodoks Hamzah al-Fansu>ri dan Syams al-Di>n al-Sumatra>ni dengan tasawuf ortodoks Nurudi>n ar-Rani>ri yang berujung dengan pembakaran karya-karya tulis. Tetapi, hasil karya persentuhan tasawuf dengan penafsiran al-Qur‘an dapat dilihat dari fregmen sufistik Tasdi>q al-Ma‘a>rif yang tak bertahun.22
Keempat, karya-karya yang ada cukup kaya rincian cerita, tapi cenderung mencampurkan teks-teks al-Qur‘an dengan bahan-bahan (bcerita-cerita) yang tidak sahih. Karya-karya tersebut menampakkan pengaruh Isra>illiya>t yang kental. Bahkan dalam manuskrip su>rah al-Kahf, disana sini terdapat selingan panjang berupa anekdetanekdot yang berasal dari budaya Melayu. Akan tetapi patut diingat, bahwa gambaran tentang sebelum abad ke-20 bahkan awal abad-20 – hingga kini masih belum bisa dianggap selesai. Pasalnya, masih banyak terdapat karya atau manuskrip yang belum diteliti secara seksama seperti halnya Tarjuma>n
al-Mustafi>d atau naskah Cambridge. Seperti naskah anonim Kita>b Fara>idl alQur’a>n dan yang lainnya. 22
A. H. Jons, “Islam di Dunia Melayu” dalam Azyumardi‖ Azra (ed.) Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), 126.
2. Periode Modern (awal abad 20 Hingga Tahun 1970-an) Pada periode ini penulisan tafsir di Indonesia dari segi tekhnis penulisan lebih sedikit maju dan mencapai produktivitas yang mulai tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 kebijakan politikmakro yang dilakukan oleh Kolonial Belanda yakni politik etis mulai terasa dampaknya. Kebijakan yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi bangsa Indonesia ini, mulai memunculkan kesadaran intelektual dari sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga kaum terdidik yang naik ke permukaan baik dari bidang politik ataupun agama mulai menempati posposnya sebagai motor penggerak pemikiran. Termasuk dalam hal ini banyak
mufassi>r-mufassi>r yang lahir dan mulai menuliskan karyanya. Kedua adalah peranan penting dari dunia percetakan di Indonesia yang memudahkan untuk menulis karya termasuk karya tafsir untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat Indonesia. ketiga dan juga faktor yang paling penting adalah pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh yang mempunyai semboyan ―kembali kepada al-Quran‖ membuat kebutuhan untuk menafsirkan al-Quran semakin diperlukan. Gelombang modernisasi yang sudah mulai menyentuh dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat Islam di Nusantara ini sangat berjasa dalam pembentukan kemajuan penulisan dalam bidang tafsir. Ciri perkembangannya pun seiring dengan ciri perubahan intelektual masyarakat ketika itu. Dari segi teknik
lay-out misalkan, bila dibandingkan teknik lay-out penulisan tafsir pada periode klasik yang belum memisahkan ruang teks al-Quran, terjemah dan tafsirnya, dimana ketiganya masih diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta, maka seiring dengan mode, cetakan di awal abad ke-20 mulai dikembangkan tekhnik lain yang lebih sistematis. Yakni penulisan teks Arab al-Quran agak renggang secara berurutan untuk membagi ruang bagi penulisan terjemahan atau tafsir disela-sela garisnya. Dengan kata lain, teknik yang dikembangkan ini adalah membagi setiap halaman menjadi 2 ruang, yaitu satu teks Arab dan satunya untuk terjemahan.23 Bahkan untuk tahun-tahun selanjutnya dikembangkan penempatan tafsir atas teks terjemahterpisah dalam bentuk catatan kaki atau catatan pinggir. Tafsir yang menggunakan teknik ini salah satu contohnya adalah tafsir Raudat al-‘Irfa>n karya Ahmad Sanusi. Pengaruh lain dari gelombang modernisasi ini adalah mulai dilakukannya terjemahan-terjemahan terhadap al-Quran. sebagai contoh dapat dikemukakan penafsir yang berani melakukan terobosan ini misalnya Mahmud Yunus. Disebut berani karena ia menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab ditengah-tengah
masyarakat
yang
menganggapnya
haram.
Saat
itu
menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur‘an diluar bahasa Arab belum dapat diterima oleh semua ulama. Karyanya adalah tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m (1922)
23
Feener, “Notes Toward”, 55-56.
dalam bahasa Indonesia.24 Tokoh lain yang melakukan hal serupa adalah Ahmad Sanusi yang menerjemahkan al-Qur‘an dalam bahasa Indonesia dalam karyanya
Tamsyiyyat al-Muslimi>n dan dengan karyanya Malja>’ at-Ta>libi>n serta Raudat al‘Irfa>n dalam bahasa Sunda. Selanjutnya ciri dari perkembangan periode modern ini adalah adanya proses penafsiran yang menggunakan hurup Latin yang menggeser kepopuleran hurup pegon. Apalagi setelah diintrodusinya aksara Roman oleh Pemerintah Belanda. Proses Romanisasi atau Latinisasi ini, pada akhirnya menjadi dominan dari pusat hingga daerah, terutama setelah dihapuskannya ―sistem tanam paksa‖ yang kemudian menerapkan― politik etis. Disamping itu munculnya media massa, terutama koran dan majalah pribumi, pada dekade 1900-an seperti media massa Medan Prijaji yang terbit pertama kali 1906 dan al-Isla>m pada tahun yang terbit 1916 juga mendorong romanisasi lebih jauh.25 Hal ini juga selanjutnya diikuti oleh karya-karya tafsir. Diantaranya adalah tafsir al-Furqa>n(1928) karya A. Hassan dan tafsir Tamsyiyyah al-Muslimi>n (1934) karya Ahmad Sanusi. Namun demikian, aksara pegon sebagai pengungkap dalam karya tafsir tidak hilang sepenuhnya dan masih bisa dapati sampai setidak-tidaknya dekade 1980-an. Kita bisa menyebut beberapa karya misalnya: tafsir al-Qur’a>an al-Kari>m (1922) karya Mahmud Yunus; tafsir al-Burha>n (1922), tafsir juz ‘amma karya
24
Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006), 116-117. 25 Gusmian, Khazanah Tafsir, 61-62.
Hamka; tafsir Malja’ at-Tha>libi>n (1931) karya Ahmad Sanusi; dan tafsir al-Ibri>z (1980) karya KH. Mustofa Bisri. Dalam karya-karya periode modern, juga bisa dilihat kecenderungan penafsiran pada surah-surah tertentu. Misalkan, Tafsi>r al-Qura>n al-Kari>m, Yaasin (Medan: Isla>miyah, 1951) karya Adnan Yahya Lubis; Tafsi>r Su>rah Ya>si>n Dengan keterangan (bangil : Persis 1951) Karya A. Hasan kedua Literatur Tafsir ini berkonsentrasi pada Su>rah Ya>si>n. Dari segi aspek teknis lainnya kita juga bisa melihat sudah dimulainya sistem penulisan yang menyertakan cara baca dalam hurup latin beserta terjemah dan tafsirnya, seperti Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimi>n (1934) karya Ahmad Sanusi, Tafsi>r Rahmat (1981), dan Terjemah dan Tafsi>r al-Qur’a>n: Huruf Arab
dan Latin (1978) karya Bachtiar Surin. 3. Periode Kontemporer (Mulai Tahun 1980-an sampai sekarang) Di tahun 1980-an, dapat disaksikan sebuah arah kecenderungan baru dalam bidang tafsir. Yakni satu kecenderungan yang tidak lagi terikat oleh batasan-batasan literer teks al-Qur‘an, akan tetapi lebih menekankan pada penyelesaian sebuah topic tertentu yang dikenal dengan metode Tafsi>r Maudu>‘i>. Bentuk penafsiran tematik ini telah lama dipakai oleh para penulis Islam klasik. Akan tetapi, baru belakangan ini dikembangkan secara sempurna oleh Fazlurrahma>n, seorang tokoh intelektual dunia Islam kontemporer dalam bukunya
Mayor Themes of TheQur’an. Ide pemikirannya banyak diintrodusir di Indonesia
oleh Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif sangat banyak mempengaruhi perkembangan intelaktual di Indonesia, khususnya IAIN. Sebagai contoh dalam priode ini misalnya Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah
Intensif dari Pelbagai Madzhab, karya Mukhtar Adam. Dalam karyanya ini dibahas satu topic tentang ibadah haji dengan memakai perpaduan antara metode penafsiran Maudu‘i> dengan metode perbandingan madzhab.26 Tafsir sejenis yang memakai metode yang hampir serupa adalah Tafsir dan Uraian Perintah-perintah
dalam al-Qur’an, yang ditulis oleh Q.A . Dahlan Saleh. Disamping itu dalam priode kontemporer ini, topik-topik yang dibahas dalam tafsir bertambah melebar. Para penulis tafsir tidak hanya terbatas dari kalangan ahli agama semata namun dari kalangan ahli komunikasi pun seperti Jalaluddin Rahmat dapat menulis sebuah karya tafsir yang berjudul Tafsi>r bi al-
Ma’tsu>r: Pesan moral al-Qur’a>n. Awalnya buku ini berasal dari serial artikel republika. Di dalam buku ini Jalaluddin Rahmat mengadopsi metode Tafsi>r bi al-
ma’tsur atau menafsirkan ayat al-Qur‘an dengan ayat al-Qur‘an yang relevan. Namun ia tidak menafsirkan seperti para penafsir konvensional metode riwayat yang lain yang menjelaskan ayat demi ayat dengan tertib ayat. Akan tetapi, ia menjelaskan secara tematik.27 Masih dalam dekade yang sama muncul karya Dawam Raharjo berjudul
Ensiklopedi al-Qur’a>n. Buku ini ditulis setebal 700 halaman yang semula dimuat 26 27
Burhanudin, al-Qur’an Ala Pesantren, 128. Ibid.
secara berkala dalam jurnal ‘Ulum al-Qur’a>n. Di sini Dawam membahas tematema besar yang aktual seperti ‘adil‘, agama‘, ‘ilmu pengetahuan‘ dan sebagainya. Karya terakhir dalam generasi ini yang sangat populer adalah karya Quraish Shihab. Ia sangat dikenal melalui koleksi tulisnnya yang dibukukan yang berjudul Membumikan al-Qur’an. Buku ini telah banyak memperkenalkan konsep metode Maudu>‘i> dengan bahasa Indonesia yang lugas. Disamping itu, penerapan praktis terhadap metode tematik ini terlihat dalam beberapa karyanya yang lain seperti: Wawasan al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an al-Karim dan lain-lain. Karya-karya Quraish Shihab ini banyak diakui oleh pemerhati perkembangan tafsir Indonesia sebagai inovator baik dalam segi metode penafsirannya maupun isinya.28 Jelasnya, dapat dikatakan bahwa dimulai abad ke-20 sampai abad yang akan datang, tradisi penulisan tafsir di Indonesia, akan terus mengalami perubahanperubahan bentuk sesuai dengan perkembangan kualitas sosio histioris masyarakat di kawasan ini. Dari pemaparan tersebut penulis menganggap perlu untuk dilakukan penelitaian guna mencari akar atau ketersambungan riwayat-riwayat isra>ili>yat yang terdapat dalam kitab Tafsir Ulama Indonesia dengan riwayat-riwayat Ulama timur tengah sebagai sumber rujukannya.
28
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992).
B. Identifikasi dan Batasan Masalah Dari deskripsi latar belakang penelitian ini dilakukan, dapat ditemukan arah pembahasan dan bingkai permasalahan yang hendak diangkat. Isra>ili>ya>t yang membawa pengaruh yang signifikan dalam khazanah Tafsir dalam Islam. Dengan kandungan kisah-kisah yang simpang siur bahkan mendekati tahayyul dan khurafat yang kecenderungannya tidak rasional dan sebagian tidak sesuai dengan syariat, maka diperlukan sebuah penelitian. Kajian tafsir Nusantara ini kemudian tidak mungkin dilakukan secara keseluruhan. Maka penelitian ini difokuskan pada kitab-kitab Tafsri dalam periode klasik. Dimana Isra>ili>ya>t dalam tafsir di Indonesia banyak di temui dalam tafsir periode klasik. Periodesasi ini didasarkan pada beberapa klasifikasi tafsir di Indonesia yang kemudian disesuaikan dengan objek kajian dalam penelitian ini. Yang dimaksud periode klasik dalam penelitian ini adalah kitab tafsir di Indonesia sebelum abad ke-20. Penyebutan klasik dalam periode ini di dasarkan pada beberapa alasan yakni pertama, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Model seperti ini menurut Feener memang terus diterapkan didunia melayu sampai abad ke-19.29 Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah huruf pegon meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda. Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran
29
Michael R. Feener, “Notes Towards”, 47.
al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai keberislaman penduduk Nusantara —utamanya kawasan Melayu (Sumatra) dan Jawa. Keempat, karya-karya yang ada cukup kaya rincian cerita, tapi cenderung mencampurkan teks-teks alQur‘an dengan bahan-bahan (bcerita-cerita) yang tidak sahih. Sehingga fokus penelitian ini adalah Akar Isra>ili>ya>t dalam tafsir di Indonesia dengan batasan kitab tafsir sebelum abad ke-20. C. Rumusan Masalah Dari fenomena di atas, permasalahan yang akan di jawab oleh penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Kualitas Riwayat-riwayat Isra>ili>yat dalam Tafsir di Indonesia Periode Klasik? 2. Bagaimana Akar (ketersambungan) Riwayat-riwayat Isra>ili>yat dalam Tafsir di Indonesia Periode Klasik dengan Tafsir Ulama Timur Tengah? D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah diatas, maka tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui Kualitas Riwayat-riwayat Isra>ili>yat dalam Tafsir di Indonesia Periode Klasik. 2. Mengetahui Akar (ketersambungan) Riwayat-riwayat Isra>ili>yat dalam Tafsir di Indonesia Periode Klasik dengan Tafsir Ulama Timur Tengah.
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Satu sisi, studi ini diharapkan dapat memberikan koreksi atau memperkuat penelitian terdahulu. Sisi lain, diharapkan dapat menemukan kontruksi teoritis yang original dalam memberikan pandangan baru terhadap hubungan dan keterikatan Ulama Indonesia dengan Ulama Timur tengah dalam hal penafsiran utamanya riwayat yang berhubungan dengan isra>ili>ya>t. Untuk itu, kegunaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : a. Aspek pendekatan. Penelitian ini memberikan alternatif dalam penelitian ilmu-ilmu keislaman (islamic studies) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), yakni berusaha melihat pengaruh dan keterkaitan Ulama Indonesia dengan Ulama Timur Tengah dalam maslah penafsiran al-Qur’an. b. Penyempurnaan. Penelitian ini untuk menyempurnakan dan melanjutkan hasil pemikiran teoretik terdahulu, terutama yang berkaitan dengan studi tafsir di Indonesia. Selama ini, kajian tafsir di Indonesia terfokus pada kajian metodologi dan Historisitas Tafsir tanpa melihat korelasi dan hubungan keterpengaruhan pemikiran tafsir. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan mencapai temuan faktual yang dapat menggambarkan akar intelektual dan jaringan tafsir di Indonesia dan kualitas riwayat-riwayat yang berkenaan dengan cerita-cerita nabi-nabi terdahulu.
F. Penelitian Terdahulu Berbicara mengenai kajian isra>ili>yat dalam Tafsir, merupakan pembahasan yang tidak asing dalam dinamika khazanah tafsir. Hal ini tidak terlepas dari pentingnya untuk mengklasifikasi jenis-jenis riwayat yang digunakan dalam menjelaskan kandungan al-Qur’an terutama mengenai kisah nabi terdahulu. Hal ini bisa dilihat dari kitab Muh}ammad H}usain al-Dhahabi, al-Isra>iliya>t fi> al-Tafsi>r wa al-
Hadi>th yang pembahasannya berkisar pada riwayat isra>iliya>t dalam tafsri di Timur Tengah. Mengenai pembahasan isra>iliya>t dalam Tafsir di Indonesia, sepanjang pengetahuan penulis, pembahasannya hanya bersifat parsial dan bekisar pada kualitas tanpa diteliti lebih lanjut sumber pengambilan riwayat-riwayat tersebut. Misalnya, dalam penelitian Ali Imron. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini bertemakan Kategorisasi isra>iliya>t dalam tafsir al-Munir karya Nawawi al-Bantani. Kategorisasi yang ditempuh dalam skripsi ini hanya berkisar pada kategorisasi yang disampaikan oleh al-Dhahabi dalam kitabnya. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dalam segi keterkaitan riwayat-riwayat ini dengan sumber pokoknya. Skipsi Achmad Syaefuddin dengan judul Kisah-kisah isra>iliya>t dalam Tafsri
al-Ibriz Karya K.H. Bisyri Musthofa. Skripsi IAIN Sunan Kalijaga 2003 ini hanya memfokuskan pada pemaparan kisah-kisah isra>iliya>t tanpa memberikan klasifikasi
kualitas maupun sumber pengambilannya. Sehingga dapat disimpulkan penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Sedangkan dalam kajian tafsir Indonesia, para peneliti tafsir Indonesia telah banyak memberikan karya yang nantinya akan menjadi rujukan penulis untuk memperjelas cakupan sejarah tafsir di Indonesia. Penelitian tersebut diantaranya, Howard M. Federspiel dalam bukunya Popular Indonesian Literature of The Qur’an yang dalam terjemahan Indonesianya berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M.
Yunus hingga Quraish Shihab. Buku ini memaparkan corak dan jenis penafsiran yang digunakan oleh para mufassir Indonesia yang pada dasarnya berasal dari karya penulis Muslim Mesir, serta latar belakang baik secara politis maupun sosiologis dalam penyusunan tafsir mereka. Meskipun dalam buku ini tidak disinggung tafsir klasik dalam periodesasi penulis, akan tetapi buku ini dapat membantu penulis untuk mengetahui alur pemikiran dan konteks historis penulisan tafsri di Indonesia. Begitu juga dengan buku Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika
hingga Ideologi dan Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia. Jika dilacak lebih jauh lagi tentunya masih banyak pembahasan tentang tafsir di Indonesia, akan tetapi sesuai dengan penjelasan di atas belum ada kajian yang secara konprehensif membahas Akar Isra>ili>yat dalam Tafsir Nusantara. Dengan demikian, penelitian ini memberi peluang untuk melakukan eksplorasi data sesuai dengan tujuan penelitian ini.
G. Kerangka Teoritik Secara etimologi Isra>‘ili>ya>t memiliki makna hikayat atau kisah yang disebutkan. Kata Isra>‘ili>ya>t adalah bentuk jama’ dari kata Israiliyah yang dinisbatkan kepada Bani Israil (keturunan Israil). Israil berasal dari bahasa Ibrani.
Isra bermakna hamba atau seorang pilihan, dan Il bermakna Tuhan. Jadi Israil memiliki makna sama dengan Abdulla>h atau hamba Allah.30 Sedangkan secara terminologi Isra>‘ili>ya>t menunjukkan arti sebuah kabar yang tidak terdapat sumbernya (di dalam ajaran Islam) dan diadopsi dari kebudayaan Bani Israil. Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa Isra>‘ili>ya>t adalah kisah-kisah bernuansa Yahu>di> yang terserap masuk ke dalam tradisi Islam melalui tafsir alQur’an yang banyak terjadi di zaman tabi’i>n. Bahkan sebagian ulama tafsir dan hadis mendefinisikan Isra>‘ili>ya>t sebagai kisah-kisah yang sengaja diciptakan dan disusupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir al-Qur’an dengan tujuan untuk merusak kesucian Islam dan al-Qur’an,31 yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber al-Qur’an dan hadis.32 Terdapat pendapat lain yang menyebutkan bahwa kata Isra>‘ili>ya>t dinisbatkan pada Nabi Ya’qub putra Nabi Ishaq bin Ibrahim. Israil adalah sebutan
30
Muh}ammad Farid Wajdi, Da>’irah al-Ma‘a>rif, Vol. I (Beirut: Da>r al-Ma‘a>rif, 1964) 14. Lihat juga Ahmad Dimyati Badruzzaman, Kisah-Kisah Israiliyat Dalam Tafsir al-Munir (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), 46. 31 Muh}ammad H}usain al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, Vol. I (Beirut: Dar al-Kutub, 1990), 13. 32 al-Dzahabi, Israiliya>t fi al-Tafsi>r, 102.
lain bagi Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan Isra>‘ili>ya>t adalah sebuah julukan bagi keturunan Nabi Ya’qub As (Bani Israil). Sedangkan dalam tinjauan Kristen, nama Isra>‘ili>ya>t ada hubungan yang sangat erat dengan nama Ya’qub ketika mengadakan perjalanan bersama seluruh keluarganya. Di tengah perjalanan malam hari, dia bertemu Tuhan yang mengajak berseteru (bergumul) melawannya hingga waktu subuh. Ya’qub memenangkan pergumulan tersebut hingga disebut Israil, sebagaimana yang termaktub dalam kitab kejadian 32;28: “Namamu bukan Ya’qu>b lagi, tetapi Israil karena engkau bergumul melawan Allah”.33 Versi lain mengatakan bahwa Isra>‘ili>ya>t adalah kata ‘ajam; bahasa yang bukan asli bahasa Arab, sehingga ketika ditulis bersama dengan bahasa Arab lainnya tidak mempunyai arti, tetapi hanya sebagai salah satu istilah yang masuk dan diserap ke dalam bahasa Arab. Kata Isra>‘ili>ya>t pada dasarnya digunakan untuk ungkapan hikayat atau cerita yang bersumber dari orang-orang Israil yang dinisbatkan pada bani Israil. Namun dalam perkembangannya, istilah ini mengalami perluasan makna sehingga tidak hanya mencakup hikayat atau cerita yang bersumber dari bani Israil saja, akan tetapi juga mencakup hikayat dan cerita-cerita dari orang-orang Nas}ra>ni>, Majusi, dan lainnya. Dengan kata lain Isra>‘ili>ya>t bisa juga disebut kisah atau dongeng kuno yang
33
Imam Mukhlas dan Mashud Sm, Alquran Berbicara Tentang Kristen (Tt: Pustaka Da’i, 2001), 30.
menyusup dalam tafsir dan hadis yang sumber periwayatannya kembali kepada sumber Yahu>di>, Nas}ra>ni>, dan lain sebagainya. Jamal Mustofa Abdul Hamid Abdul Wahhab al-Najjar, dalam Us}ul> al-Dakhi>l
fi> Tafsi>r A>yi al-Tanzi>l berpendapat bahwa Isra>‘ili>ya>t merupakan salah satu jenis penyimpangan (al-Dakhil) dalam tafsir yang paling buruk (sharr).34 Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang ditimbulkan Isra>‘ili>ya>t yang dapat merusak kebudayaan umat Islam, menyesatkan kitab-kitabnya sehingga pandangannya dipenuhi oleh hikayat, takhayyul, serta hal-hal lain yang cenderung tidak masuk akal.
Isra>‘ili>ya>t dapat dibagi menjadi 3 bagian,35pertama, Isra>‘ili>ya>t yang sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an. Isra>‘ili>ya>t ini dapat diterima dan harus membenarkannya. Kedua, Isra>‘ili>ya>t yang tidak sesuai dengan syari‘at Islam.
Isra>‘ili>ya>t yang semacam ini telah menafikan aqidah Islam dan merusak keimanan umat Islam, maka keberadaan Isra>‘ili>ya>t yang seperti itu harus ditolak. Ketiga,
Isra>‘ili>ya>t yang dimauqufkan karena tidak ada dalil yang menguatkan kebenarannya dalam syari‘at Islam dan tidak ada bukti dalam agama yang menetapkan tentang kedustaannya. Sedang jika ditinjau dari segi kesahihannya, Isra>‘ili>ya>t dapat diklasifikasikan dengan Isra>‘ili>ya>t yang dikategorikan s}ah}i>h}; yaitu Isra>‘ili>ya>t yang sanadnya 34
Jama>l Must}ofa Abd al-Hami>d Abd al-Waha>b al-Najja>r, Usu>l al-Dakhi>l fi> Tafsi>r A>yi al-Tanzi>l (Kairo: Jami’ah al-Azha>r, 2001), 45. 35 Abu> Shuhbah Muh}ammad bin Muh}ammad, al-Isra>iliya>t wa al-Maud}u>‘a>t fi> Kutub al-Tafsi>r (Mesir: Maktabah Sunnah, 1408) 11.
berurutan lengkap serta perawinya sahih. Isra>‘ili>ya>t yang dikategorikan d}a‘if; yaitu
Isra>‘ili>ya>t yang sanadnya tidak bersambung, tidak berurutan lengkap, dan perawinya d}a‘if.36 Pengaruh isra>ili>ya>t dalam penafsiran di Indonesia tidak terlepas oleh jaringan Ulama Nusantara dengan Ulama yang berada di pusat Islam. Dalam akar sejarah Ulama Indonesia, hubungan keilmuan Ulama Indonesia dengan pusat Islam mulai intensif pada abad XVII dan XVIII, dua imperium Sunni (Utsmani, yang menguasai hampir seluruh tanah Arab, dan Moghal di India) telah memiliki jaringan-jaringan madrasah besar yang berada di bawah pengendalian pemerintah dan menetapkan kurikulum baku. Namun Generasi pertama orang Indonesia yang belajar di tanah Arab hanya menyerap sebagian tradisi keilmuan yang ada, khususnya tasawuf falsafi, kosmologi, tarekat dan ilmu-ilmu gaib terkait, tetapi juga ilmu fikih. Dalam perjalanan waktu, makin banyak dimensi tradisi itu yang menjadi bagian dari tradisi Islam Indonesia, yang sedikit demi sedikit makin kaya, meskipun terjadi pemiskinan tradisi intelektual Islam di pusatnya, tanah Arab.37 Pemikiran ulama Nusantara awal ini diabadikan dalam berbagai karya tulisnya, khususnya karya keagamaan. Karya ini ditulis oleh sejumlah ulama
36
al-Dhahabi>, Isra>iliya>t fi> al-Tafsi>r, 60. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 32. 37
Nusantara dari berbagai daerah. Karya-karya itu menjadi rujukan penting para santri dan pelajar di Nusantara pada zamannya.38 H. Metode Penelitian Secara filosofis, apa yang dinamakan dengan metodologi penelitian adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari kerangka kerja dalam mencari kebenaran. Kerangka kerja mencari kebenaran dalam filsafat dikenal sebagai filasafat epistimologis.39 Kualitas kebenaran yang diperoleh dalam berilmu pengetahuan terkait langsung dengan kualitas akan kerangka kerjanya sekaligus menguraikan secara akurat metodologi yang digunakan dalam merefleksikan pengetahuan teoritiknya sebagai praktek operasional. 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
jenis
penelitian
kualitatif
yang
menempatkan riset pustaka (library research) sebagai eksplorasi sumber datanyanya. Penggunaan jenis penelitian kualitatif ini digunakan dalam rangka memahami aspek dalam yang tidak dapat diakses oleh instrumen survey anonim.40 Sejalan dengan jenis penelitian kualitatif, jendela untuk melihat realitas dalam penelitian ini adalah menggunakan paradigma kritis yang
38
Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia,The Umma Below the Winds (London and New York: RoutledgeCurzon, 2003), 22-24. 39 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 119. 40 Ben Arger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), 358.
menempatkan realitas bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tinggal mengambil begitu saja. Paradigma ini meyakini adanya historical realism yakni realitas yang teramati (virtual reality) sesungguhnya merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh nilai-nilai sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender.41 Dengan demikian paradigma ini berbicara tentang kaitan ketersilauan, semacam selubung menyeluruh yang membutakan manusia terhadap kenyataan yang sebenarnya, pada gilirannya, perlu disobek lantaran yang nyata telah dibentuk dan dipengaruhi oleh tarik menarik berbagai kekuatan sosial yang ada. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, paradigma ini ingin mengenal lebih jauh proses produksi dan reproduksi pemikiran secara komprehensif dan kritis terhadap jaringan Ulama Nusantara dalam bidang Tafsir terutama riwayat isra>ili>ya>t. 2. Pendekatan Penelitian Sedang jenis analisis yang sesuai dengan paradigma kritis ini penulis memanfaatkan pendekatan sejarah. Pendekatan ini menempatkan fokus pembahasan pada cara pandang yang digunakan untuk merekomendasikan masa lalu yang melihat suatu peristiwa dari segi kesadaran sosial yang mendukungnya.
Sejalan
dengan
pendekatan
tersebut,
penelitian
memanfaatkan geneologi sebagai cara bacanya.
41
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2003), 3-46.
ini
Mengikuti apa yang dilakukan Yudi Latif dalam penelitian disertasinya, genealogi dapat didefinisikan baik dalam antrian konvensional maupun artian Foucauldin. Dalam artian konvensional, mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional, geneologi bisa didefinisikan sebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep geneologi konvensional ini berguna untuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan mata rantai tumbuhnya pemikiran pendidikan di Indonesia. Dalam artian Foucauldian, pertama-tama yang diperhatikan dalam pendekatan semacam ini adalah bagaimana sebuah pengetahuan atau wacana menjadi bagian integral dari cara berkuasa dan mnguasai (dalam bahasa Nietszchean, the will to power) yang kemudian dari sana melahirkan kehendak untuk benar (the will to truth).42 Dalam konteks inilah, geneologi dipersepsikan sebagai upaya menulis atau mencari aspek sejarahnya “sejarah” atau sejarah pernyataan yang mengklaim kebenaran menjadi kebenaran dan dari kebenaran ini menjadi sebuah ideologi dengan prosedur-prosedurnya.43 Kongkritnya, geneologi di sini adalah mencari hubungan timbal balik antara sistem kebenaran yang membentuk ideologi dengan mekanisme percaturan kuasa yang menempatkan kebenaran itu diproduksi dan diperebutkan. Penggunaan pendekatan geneologi dalam penelitian ini adalah berusaha menemukan awal 42
Ahmad Baso, Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme (Bandung: Mizan, 2005), 39. 43 Nur Kholik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Prees, 2002), 17.
pembentukan riwayat-riwayat isra>ili>ya>t maupun pembentukan model dan cara penafsiran. 3. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data Terkait dengan sumber data sebagai bahan dasar dalam penelitian ini, riset pustaka (library research) dilakukan dengan cara merujuk pada kitab-kitab yang ditulis dengan patokan periode yang telah dijelaskan. Kitab-kitab yang menjadi bahan rujukan dalam penelitian ini adalah tarjuma>n mustafi>d karya Abd al-Rauf al-Singkili>, jam‘u al-jawa>mi‘ al-mus}annafa>t dengan editor Ismail ibn `Abd al-Mut}allib al-Ashi yang memuat delapan kitab dan salah satunya adalah kitab fara>id al-Qur’an yang menurut beberapa tokoh kitab ini anonim, mara>h}
labid karya Nawawi al-Bantani al-Jawi, dan al-ibriz karya Bisri Mustafa. Metode pengumpulan data dalam riset pustaka dilakukan dengan pencatatan sumber-sumber referensi yang ada hubungannya dengan materi yang dibahas.44 4. Analisa Data Adapun konsep dasar adanya analisa data, maka proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja atas pembacaan terhadap data.45 Untuk memenuhi konsep dasar analisa data ini peneliti mengikuti Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman yang menawarkan metode analisis interaktif yakni melakukan analisa data secara simultan dan terus menerus sejak 44 45
Soerjono Sukanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), 66. Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2002), 103.
pengumpulan data dilakukan hingga selesainya pengumpulan data dalam waktu tertentu melalui proses reduksi data (data reduction), penyajian data (data
display) dan penarikan kesimpulan (conclution).46 Dalam proses reduksi data (data reduction), peneliti akan merangkum, memilih hal-hal yang pokok dari data yang sementara diperoleh untuk kemudian dicari tema atau kategorisasi. Dengan proses ini akan didipatkan gambaran yang lebih jelas untuk menentukan langkah pengumpulan data selanjutnya bahkan sampai menentukan cara mengumpulkannya. Proses selanjutnya berupa penyajian data (data display) yakni data penelitian yang sudah direduksi, dilakukan proses penarasian data dalam bentuk teks. Pada saat display data inipun peneliti akan melakukan analisis data dan dibangun teori-teori yang telah siap untuk diuji kebenarannya dengan tetap mengacu pada kerangka teori yang telah disusun. Langkah berikutnya berupa penarikan kesimpulan yang bersifat sementara. Sebab dari kesimpulan sementara ini akan ditindaklanjuti dengan proses verifikasi dengan mengumpulkan data yang kurang, reduksi, display dan penarikan kesimpulan lagi. Proses ini akan berlangsung secara berurutan, berulang-ulang, terus-menerus sampai penelitian ini sampai pada tingkatan jenuh dan akurat. Setelah dirasa hasil penelitian telah akurat, barulah disusun sebuah teks naratif dari keseluruhan hasil penelitian.
46
Mathew B.Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Prees, 1992), 20.
I.
Sistematika Pembahasan Sistematika penulisan yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi menjadi
lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan. Bab pertama ini merupakan titik awal memahami isi penelitian secara komprehensif berdasarkan matrik yang telah tertuang dalam bab ini yaitu latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, jenis penelitian, sumber data dan pengumpulan data, analisis data dan sistematika pembahasan Bab kedua adalah kajian tentang isra>ili>ya>t. Pembahasan ini mencakup pengertian isra>ili>ya>t, asal-usul isra>ili>ya>t, macam-macam isra>ili>ya>t, dan pendapat Ulama tentang isra>ili>ya>t. Bab ini kemudian berisi juga tentang isra>ili>ya>t dalam Tafsir. Bab ketiga adalah realitas jaringan Ulama Tafsir Nusantara. Pembahasan dalam bab ini berkisar tentang sejarah terbentuknya jaringan Ulama Indonesia, jaringan Ulama Tafsir Indonesia, jaringan Ulama Tafsir dan akar integrasi keilmuan dalam tafsir di Indonesia. Bab keempat adalah kajian isra>ili>ya>t dalam penafsiran beserta status riwayatnya. Dalam bab ini juga akan dipaparkan akar riwayat isra>ili>ya>t dalam tafsri di Indonesia periode klasik. Bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan, implikasi teoritik dan rekomendasi.
DAFTAR RUJUKAN
Arger, Ben. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII. Bandung: Mizan, 1998. Badruzzaman, Ahmad Dimyati. Kisah-Kisah Israiliyat Dalam Tafsir al-Munir. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005. Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafiir al-Quran di Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai, 2003. Banteni (al), Muhammad Nawawi al-Jawi. Mara>h Labid. Surabaya: al-Hidayah, t.t. Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan, 2005. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. Burhanuddin, Mamat S. Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten. Yogyakarta: UII Press, 2006. Dhahabi (al), Muh}ammad H}usain. al-Isra>iliya>t fi> al-Tafsi>r wa al-Hadi>th. Kairo: Majma‘ Buhu>th al-Islami>yah, 1971. Dhahabi (al), Muh}ammad Husein. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta: LkiS, 2003. Federspiel, Howard M. Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul. Bandung: Mizan, 1994. Feener, Michael R. “Notes Towards”, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003. Jons, A. H. “Islam di Dunia Melayu” dalam Azyumardi Azra (ed.) Perspektif Islam Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia,The Umma Below the Winds. London and New York: RoutledgeCurzon, 2003. Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2002. Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Prees, 1992. Muh}ammad, Abu> Shuhbah Muh}ammad bin. al-Isra>iliya>t wa al-Maud}u>‘a>t fi> Kutub al-Tafsi>r. Mesir: Maktabah Sunnah, 1408. Mukhlas, Imam dan Mashud Sm, Alquran Berbicara Tentang Kristen. Tt: Pustaka Da’i, 2001. Najja>r (al), Jama>l Must}ofa Abd al-Hami>d Abd al-Waha>b. Usu>l al-Dakhi>l fi> Tafsi>r A>yi al-Tanzi>l. Kairo: Jami’ah al-Azha>r, 2001. Qat}t}a>n (al), Manna>‘ Khali>l. Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riyadh: Manshu>rah al‘Asr al-Had>ith, 1973. Riddlell, Peter. “Earliest Qur‘anic Exegetical activity in the malay-speaking states”, dalam Archipel, 1989. Ridwan, Nur Kholik. Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia. Yogyakarta: Galang Prees, 2002. Shadalri, Ahmad dan Ahmad Rofi’i. Ulu>mul Qur’a>n. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1992. Singkeli (al), Abdul Rauf. Tarjuman al-Mustafid. Singapura: Pustaka Nasional, 1951. Sukanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Taimiyah, Taqiy al-Di>n Ah}mad bin. Majmu‘a>t al-Fata>wa. Jeddah: Maktabah Taufiqiyah, Tt. Wajdi, Muh}ammad Farid. Da>’irah al-Ma‘a>rif. Beirut: Da>r al-Ma‘a>rif, 1964.