http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
AKUNTANSI DAN NEILIBERALISME - DALAM PERSPEKTIF INDONESIA Muhammad Suyudi (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak
MUHAMMAD SUYUDI : Telah lama mengungkapkan bahwa akuntansi merupakan salah satu faktor penting bagi perkembangan kapitalisme, karena akuntansi mampu menyediakan alat (device) bagi prinsip dasar kapitalisme yaitu memaksimalkan laba dan rasionalitas ekonomi, Sombart (1919) (dalam Kam, 1990). Setelah berkembang selama lebih dari seratus tahun, adalah masih relevan untuk mengatakan bahwa akuntansi tetap menjadi technological device bagi varian terbaru kapitalisme yaitu neoliberalisme. Akuntansi telah dijadikan salah satu alat untuk mendorong pelaksanaan agenda neoliberalisme di negara sedang berkembang. Namun hal ini baru bisa dipahami jika kita mau berpikir secara kritis atas realitas ini. Paradigma radikal humanis dapat dijadikan pijakan dalam menyadari dan mengkritisi realitas akuntansi modern sebagai alat neoliberalisme. Kata Kunci
: Kapitalisme, Liberalisme, Neoliberalisme, Akuntansi, Radikal Humanis.
PENDAHULUAN Dalam sejarahnya, berbagai bangsa di Asia seperti Indonesia, India, Malaysia, serta bangsa-bangsa di Afrika merupakan daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa. Hal itu merupakan bagian dari sejarah penjelajahan samudra bangsabangsa Eropa dengan semboyannya Gold, Gospel, and Glory. Mengingat kedatangan bangsa-bangsa Eropa ini adalah untuk menguasai, maka sudah tentu terjadi eksploitasi terhadap bangsa-bangsa yang didatanginya tersebut. Untuk melihat bagaimana eksploitasi oleh bangsa-bangsa Eropa itu terjadi, kita bisa melihat sejenak ke dalam sejarah bangsa kita sendiri, Indonesia. Pada awal abad ke17, Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC), sebuah perusahaan dagang dari Belanda, mulai menancapkan kekuasaannya di nusantara yang merupakan cikal bakal dari negara Indonesia. Beroperasinya VOC di Nusantara mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Belanda, dukungan tersebut antara lain berupa hak monopoli dagang di Hindia Timur (Nusantara), wewenang untuk menduduki wilayah manapun yang dikehendaki dan menjajah penduduk asli di wilayah tersebut demi kepentingan VOC (Rais, 2008:4).
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
VOC yang didukung oleh pemerintah Belanda berhasil menguasai kepulauan Nusantara dan menguras kekayaannya berupa hasil bumi seperti rempah-rempah dan hasil perkebunan. Ketika VOC bangkrut pada tahun 1799, kegiatannya di Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda (Rais, 2008:4). Mulai saat itu pemerintah Belanda melanjutkan menjajah nusantara ini. Salah satu bentuk kolonialisasi yang dilakukan pemerintah Belanda di Indonesia adalah sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sistem tanam paksa yang mulai dilaksanakan di nusantara khususnya di Pulau Jawa pada tahun 1830 ini telah mengakibatkan merosotnya kesejahteraan masyarakat akibat eksploitasi demi kepentingan penjajah Belanda (Arief, 2006:12-15). Kolonialisasi oleh Pemerintah Belanda ini terus berlanjut sebelum akhirnya muncul Jepang sebagai kekuatan besar di Asia yang kemudian mencoba menguasai nusantara. Bahkan setelah Jepang takluk kepada sekutu dan negara Indonesia resmi berdiri setelah diproklamasikan kemerdekaannya oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Belanda kembali mencoba menguasai Indonesia, sebelum akhirnya mengakui kedaulatan
Riset / 2086
negara Indonesia pada tahun 1949. Sekarang, proklamasi kemerdekaan berlalu lebih dari enam dasawarsa, timbul sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik, yaitu apakah Indonesia sudah benarbenar merdeka dan benar-benar berdaulat sebagai sebuah Bangsa dan Negara? Beberapa pemerhati ekonomi dan politik secara lantang menyuarakan dan berusaha menyadarkan kita bahwa Indonesia belum benarbenar merdeka. Arief (2006) menguraikan secara gamblang apa yang disebutnya sebagai ilusi kemerdekaan. Baginya Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena masih ada penjajahan bentuk baru dalam struktur ekonomi-politik di negara ini. Penjajahan bentuk baru yang disebutnya sebagai neokolonialisme. Dengan nada yang sama, Rais (2008:1) secara tegas menyatakan bahwa kemerdekaan dan kedaulatan yang dimiliki Indonesia masih semu dan belum sepenuhnya kita miliki. Rais mengingatkan bahwa kondisi yang terjadi sekarang ini merupakan pengulangan dari apa yang dialami oleh bangsa ini pada masa penjajahan Belanda dahulu. Perbedaannya adalah jika di masa lalu kita dijajah secara fisik dengan bercokolnya kekuatan militer Belanda di negara ini, maka saat ini Indonesia telah kehilangan kemandirian dan kedaulatan politik, ekonomi, militer, dan pertahanan karena dalam berbagai hal kebijakan pemerintah Indonesia masih bisa dikendalikan oleh pihak asing. Rais (2008) mengungkapkan secara detail fakta-fakta yang menjadi alasan baginya mengapa Indonesia masih bisa dikatakan belum sepenuhnya merdeka. Dari segi kebijakan ekonomi, Indonesia masih mengikuti resep-resep International Monetary Fund (IMF), yang sering kali kebijakankebijakan tersebut lebih menguntungkan pihak asing, bukannya Indonesia. Beberapa di antara kebijakan di bidang ekonomi tersebut adalah beralihnya kepemilikan sejumlah BUMN ke tangan pihak asing, kontrak karya di bidang pertambangan yang jelas-jelas lebih menguntungkan korporasi asing, serta dibukanya pasar bebas tanpa perlindungan regulasi yang cukup. Di bidang politik, pemerintah seakan memiliki ketakutan tersendiri untuk berhadapan dengan Amerika Serikat sehingga sering muncul pendapat bahwa banyak kebijakan politik pemerintah merupakan pesanan pemerintah Amerika Serikat. Di bidang pertahanan, perjanjian kerja sama pertahanan Indonesia-Singapura juga telah menunjukkan bahwa kedaulatan bangsa Indonesia juga sudah digadaikan karena telah membuka ruang wilayah Indonesia untuk kepentingan Singapura. Kuatnya pengaruh pihak asing dalam kehidupan politik dan ekonomi Indonesia sesungguhnya memang dirancang sedemikian rupa untuk
Riset / 2087
menguntungkan pihak-pihak tertentu yaitu korporasi besar yang notabene berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, serta sekutu-sekutu mereka yang juga ada di Asia. Dalam melancarkan strateginya, korporasi-korporasi asing tersebut juga memanfaatkan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank. Sebut saja dalam kasus kontrak karya pertambangan minyak di Blok Cepu yang jelas-jelas pihak yang diuntungkan adalah perusahaan asing yaitu Exxon Mobil (Rais, 2008:164-165). Begitu juga kontrak pertambangan yang dilakukan oleh Freeport, sebuah perusahaan dari Amerika Serikat yang beroperasi di Irian Jaya, yang jelas-jelas mengeruk keuntungan yang besar bagi diri mereka dan hanya menyisakan sedikit hasil bagi pemerintah Indonesia ditambah kerugian besar berupa kerusakan lingkungan yang sangat parah serta kerugian sosial berupa tergusurnya hak-hak masyarakat lokal di sekitar daerah operasi Freeport. Dua contoh ini hanya sebagian kecil dari upaya-upaya korporasi asing untuk mengeksploitasi kekayaan bangsa Indonesia demi kepentingan mereka dan negara-negara maju. Begitu gencarnya upaya korporasi asing yang dengan segala cara berusaha untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari semangat kapitalisme yang hingga saat ini masih dianut oleh hampir semua korporasi asing terutama yang berasal dari Barat. Ciri dari kapitalisme yang sangat tampak dari kegiatan korporasi asing adalah terjadinya penghisapan surplus ekonomi (nilai tambah dari perkembangan produksi) secara terus menerus oleh kaum kapitalis (pemilik modal) terhadap pihak lain, terutama terhadap kaum buruh (Rizky dan Majidi, 2008:220-221). Ciri ini telah berkembang di mana penghisapan surplus ekonomi tidak lagi sekadar atas tenaga kerja, tetapi juga atas kekayaan alam di berbagai negara (Rizky dan Majidi, 2008:221). Kapitalisme ini sendiri memiliki mendasarkan pada konsep liberalisme yang memiliki tiga ciri utama yang meliputi pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas, diakuinya kepemilikan pribadi, dan pembentukan harga barang melalui mekanisme pasar yang sepenuhnya bebas (Rizky dan Majidi, 2008:231). Gagasan liberalisme ini saat ini telah disempurnakan menjadi neo-liberalisme yang menekankan perlunya campur tangan negara dalam pembentukan harga pasar. Namun campur tangan pemerintah ini harus dilakukan melalui penerbitan peraturan perundangan sehingga mekanisme pasar bisa segera terbentuk secara operasional dan tidak terintangi oleh faktor-faktor kelembagaan (Rizky dan Majidi, 2008:233). Telah banyak diungkap bahwa sistem kapitalisme dengan gagasan neoliberalisme ini bisa menjadi sebuah kekuatan yang dominan untuk
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id menyerang negara-negara berkembang karena gagasan ini dipaksakan dengan memanfaatkan momentum krisis ekonomi yang terjadi di negaranegara tersebut, serta memanfaatkan ujung tombak kelompok neoliberal seperti IMF, World Bank, dan WTO yang bersembunyi di balik tema globalisasi (Rizky dan Majidi, 2008:233). Hal ini mendorong para pemerhati ekonomi-politik di Indonesia untuk menyuarakan perlawanan terhadap korporasi asing dan organisasi-organisasi internasional yang berupaya untuk mengeksploitasi kekayaan negara ini. Di samping itu, terdapat suatu faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menyukseskan neoliberalisme di berbagai negara. Neoliberalisme yang merupakan suatu varian dari kapitalisme ini tentunya tetap mempertahankan ciri dasarnya yaitu penghisapan surplus ekonomi secara terus menerus oleh kaum kapitalis (pemilik modal) atas pihak lain. Untuk bisa berjalannya proses ini maka tentunya diperlukan suatu mekanisme atau sistem yang mampu menjamin kelancaran arus surplus ekonomi ke tangan pemilik modal. Sistem yang dimaksud ini adalah mekanisme pencatatan surplus yaitu akuntansi. Peran akuntansi dalam mendukung kelahiran kapitalisme akhir abad ke-18 di Barat sesungguhnya telah lama diungkap Sombart (1919, dalam Kam, 1990:24 dan Chiapello, 2003) yang menyatakan akuntansi (double-entry) merupakan salah satu teknologi yang mendorong perkembangan kapitalisme karena akuntansi memengaruhi dua ciri penting dari kapitalisme yaitu memaksimalkan laba (profit making) dan rasionalitas ekonomi (economic rationality). Sekarang, di abad 21 di mana kapitalisme telah berkembang ke dalam wujud neoliberalisme yang tidak hanya diterapkan di Barat tetapi juga “dipaksakan” di negara berkembang, akuntansi sesungguhnya tetap digunakan sebagai alat untuk memperluas penyebaran gagasan neoliberalisme ini. Tujuan Penelitian Dari pandangan normatif bila akuntansi memiliki peran sangat sentral dan luhur dalam membantu lancarnya aktifitas ekonomi dan upaya menciptakan kesejahteraan sosial. Bagaimanapun peran akuntansi dalam kemajuan ekonomi telah terbukti memberikan kontribusi menciptakan konflik antara yang kaya dan miskin tidak saja pada tataran nasional namun juga dunia, pada tingkatan sosial ada negara kaya (maju) maupun negara dunia ketiga. Berangkat dari keinginan untuk memahami perkembangan neoliberalisme di negara berkembang, paper ini berusaha untuk menelaah bagaimana dan sejauh mana akuntansi digunakan sebagai alat untuk mendorong pelaksanaan agenda neoliberalisme di negara sedang ber-
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
kembang khususnya Indonesia. HASIL PENELITIAN: KAPITALISME: DARI LIBERALISME MENUJU NEOLIBERALISME Adalah sulit untuk menentukan secara pasti kapan kapitalisme mulai muncul. Namun demikian secara umum diakui bahwa kapitalisme telah berkembang pada akhir abad ke 18. Populernya konsep kapitalisme juga tidak terlepas dari buku yang ditulis oleh Adam Smith pada tahun 1776 yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Terdapat banyak pengertian yang dikaitkan dengan istilah kapitalisme, yang mencerminkan banyaknya sudut pandang dan fokus yang diberikan terhadap berbagai aspek kapitalisme. Rizky dan Majidi (2008:230) mendefinisikan kapitalisme sebagai tatanan sosial kemasyarakatan yang didominasi oleh para pemilik modal, dimana mekanisme harga (pasar) menjadi cara pemecahan masalah yang utama dalam menentukan produksi, konsumsi, dan distribusi. Dengan pengertian yang serupa, Kam (1990:22-23) melihat bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang fokus terhadap pasar, di mana hampir semua komponen masyarakat terintegrasi ke dalam pasar. Rizky dan Majidi (2008:215) menyebutkan beberapa ide pokok yang menjadi gagasan terpenting dan paling mendasar dalam kapitalisme, yaitu: a. Diakuinya hak milik perorangan secara luas bahkan hampir tanpa batas b. Diakuinya adanya motif ekonomi yaitu mengejar keuntungan secara maksimal pada setiap individu c. Adanya kebebasan untuk berkompetisi antar individu dalam rangka peningkatan status sosial ekonomi masing-masing d. Adanya mekanisme pasar yang mengatur persaingan dan kebebasan tersebut. Rizky dan Majidi (2008:220) juga menegaskan bahwa terdapat satu ciri mendasar dalam kapitalisme yaitu terjadinya penghisapan surplus ekonomi (nilai tambah dari perkembangan produksi) secara terus menerus oleh kaum kapitalis (pemilik modal) atas pihak lainnya terutama kaum buruh. Ciri ini telah berkembang di mana penghisapan surplus ekonomi juga dilakukan di berbagai negara, termasuk atas kekayaan alam negara-negara tersebut. Dengan menelusuri mekanisme dasar dari perolehan surplus ekonomi, maka tahap-tahap perkembangan kapitalisme secara internasional dapat dipahami. Adapun perkembangan cara mendapatkan surplus ekonomi tersebut adalah sebagai berikut (Rizky dan Majidi, 2008:226):
Riset / 2088
a. Masa merkantilisme (abad 16-17) di mana yang diandalkan adalah surplus dari perdagangan barang, baik yang bersifat domestik maupun internasional b. Masa kolonialisme (abad 18-20) di mana selain surplus perdagangan juga dapat diperoleh surplus akibat penyerahan (perdagangan) paksa, tanam paksa, kerja paksa, atau pengurasan sumber daya alam tanpa harus menguras memberikan konsesi c. Masa pasca kemerdekaan (tahun 1950-1970an) ditandai dengan surplus dari perdagangan internasional yang telah disempurnakan di antaranya melalui manipulasi nilai tukar perdagangan serta investasi langsung d. Masa sekarang (yang sudah berlangsung selama tiga dasa warsa) dengan surplus ekonomi dari sektor keuangan melalui transaksi modal dan transaksi moneter namun tidak meninggalkan perdagangan barang yang menguntungkan Pada masa awal kelahirannya, konsep yang mendasari kapitalisme adalah liberalism. Terdapat tiga ide dasar dalam liberalisme (Rizky dan Majidi, 2008: 231), yaitu: 1) pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas sempurna di pasar; 2) diakuinya kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi; dan 3) pembentukan harga barang melalui mekanisme pasar yang sepenuhnya bebas. Pada perkembangannya, sistem kapitalisme yang banyak dianut di berbagai negara khususnya pasca perang dunia II hingga era tahun 1970an tidak sepenuhnya sesuai dengan ide liberalism tersebut, khususnya berkaitan dengan mekanisme pasar yang sepenuhnya bebas. Alihalih, konsep yang banyak dianut adalah mazhab Keynesian yang memperbolehkan peran negara untuk melakukan intervensi ke dalam pasar. Faktor yang mendorong diterimanya konsep Keynesian ini adalah kondisi perekonomian Eropa Barat ketika itu yang memang sedang membutuhkan dorongan negara untuk memulihkan infrastruktur yang hancur akibat perang. Sementara itu di negara-negara yang baru merdeka, para pemilik modal internasional lebih suka berurusan dengan kaum elit (diktator atau oligarki) yang menguasai negara. Mulai awal tahun 1980-an, konsep kapitalisme dengan ide liberalism ala Keynesian ini perlahan mulai digantikan oleh gagasan neoliberalisme. Neoliberalisme ini sesungguhnya telah muncul sejak lama bahkan sebelum munculnya mazhab Keynesian, tepatnya sejak tahun 1930an (Rizky dan Majidi, 2008: 230). Neoliberalisme merupakan kelanjutan dari konsep liberalism, dimana gagasan pokok neoliberalisme dapat dipahami sebagai penyempurnaan dari ide dasar liberalism. Perbedaan yang paling mendasar antara neoliberalisme dan liberalism adalah dalam hal ide
Riset / 2089
tentang pembentukan harga pasar yang ternyata tidak bersifat alami (sepenuhnya pada mekanisme pasar) melainkan memerlukan campur tangan pemerintah. Namun campur tangan yang dilakukan pemerintah ini adalah melalui penerbitan peraturan perundang-undangan. Campur tangan pemerintah ini harus ditujukan agar mekanisme pasar segera terbentuk dan tidak terintangi oleh faktor-faktor kelembagaan. Baswir (2006, dalam Rizky dan Majidi, 2008: 232) menyebutkan beberapa peran negara yang dilakukan dalam konsep neoliberaisme, yaitu: a. Pengaturan persaingan usaha untuk mencegah monopoli dan kartel b. Pengaturan pemungutan pajak untuk mendorong investasi dan pembagian pendapatan c. Pengaturan ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya eksploitasi d. Pengaturan sistem pengupahan, khususnya untuk menetapkan jumlah upah minimum Gagasan neoliberalisme menjadi dominan sejak pertengahan tahun 1990an, baik di negaranegara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Penerapan konsep neoliberalisme di negara sedang berkembang lebih banyak karena pemaksaan atau melalui peran lembaga-lembaga yang menjadi ujung tombak kaum neoliberal seperti IMF, World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Salah satu ide terpenting dari neoliberalisme yang saat ini semakin intensif dilaksanakan adalah pengurangan peran negara dalam perekonomian. Ide ini mendapatkan momentum di negara industri karena dikaitkan dengan membengkaknya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit berkepanjangan, serta berbagai persoalan turunannya seperti birokrasi yang tidak efisien dan efek kontraksi bagi investasi swasta. Sementara itu di negara berkembang, neoliberalisme juga mendapatkan momentum untuk mensosialisasikan konsep-konsepnya dengan memanfaatkan situasi krisis baik krisis ekonomi, krisis utang, krisis neraca pembayaran, dan sebagainya. Dan pada akhirnya, setiap agenda dalam neoliberalisme senantiasa dirancang sedemikian rupa sehingga proses pengalihan surplus ekonomi pada kaum kapitalis (yang notabene berasal dari Barat) tetap terjamin. NEOLIBERALISME BERKEDOK GLOBALISASI: SEBUAH NEOKOLONIALISME Globalisasi merupakan sebuah istilah yang saat ini sangat sering disebut di berbagai bidang kehidupan. Rais (2008:11) mengutip Mac Gillivray (2006) yang menyatakan bahwa globalisasi pada pokoknya berarti proses interkoneksi yang terus meningkat di antara berbagai masyarakat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah negara akan memengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Dunia yang ter-globalisasi merupakan
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id sebuah dunia di mana peristiwa-peristiwa politik, ekonomi, budaya dan sosial semakin terjalin erat dan merupakan dunia di mana kejadian-kejadian tersebut berdampak semakin besar. International Monetary Fund (IMF) mendefinisikan globalisasi ekonomi sebagai proses historis yang merujuk pada integrasi ekonomi yang terus meningkat di antara bangsa-bangsa di muka bumi, terutama lewat arus perdagangan dan keuangan. Sementara itu Bank Dunia (World Bank) menyatakan bahwa inti dari globalisasi ekonomi adalah proses sharing kegiatan ekonomi dunia yang berjalan melanda semua masyarakat di berbagai negara dengan mengambil tiga bentuk kegiatan yaitu perdagangan internasional, investasi asing langsung (Direct Foreign Investment) dan aliran pasar modal (Rais, 2008: 12). Joan Aart Scholtc (dalam Rais, 2008:13) menggambarkan secara garis besar lima definisi tentang globalisasi, yang terdiri dari: a. Globalisasi sebagai internasionalisasi, b. Globalisasi sebagai liberalisasi, c. Globalisasi sebagai universalisasi informasi, komunikasi, dan transportasi dan berbagai kegiatan masyarakat dunia lainnya d. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi, e. Globalisasi sebagai deteritorialisasi, Di dunia saat ini terdapat tiga institusi yang menopang proses globalisasi, yaitu International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). Terdapat sebuah ideologi yang menyatukan tiga lembaga ini yang disebut dengan Washington Consensus (Konsensus Washington), maksudnya adalah kesamaan pandangan antara lembaga-lembaga yang bermarkas di Washington yaitu IMF, World Bank, dan US Treasury Stock (Rais, 2008: 15; Rizky dan Majidi, 2008: 234). Washington Consensus ini merupakan sepuluh pandangan yang dirumuskan oleh John Williamson, yang berisi langkah-langkah perbaikan ekonomi bagi negara-negara yang dilanda krisis. Sepuluh rekomendasi Washington Consensus tersebut adalah (Rais, 2008:15): a. b. c. d. e. f. g.
Perdagangan bebas Liberalisasi pasar modal Nilai tukar mengambang Angka bunga ditentukan pasar Deregulasi pasar Transfer aset dari sektor publik ke sektor swasta Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pembangunan sosial h. Anggaran berimbang i. Reformasi pajak j. Perlindungan atas hak milik dan hak cipta Aspek penting dari Washington Consensus di atas adalah liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
belanja negara, dan privatisasi BUMN. Agendaagenda globalisasi berdasarkan Washington Consensus ini pada dasarnya hanya akan menguntungkan kaum kapitalis yang notabene berasal dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa) mengingat agenda-agenda tersebut dirancang agar tetap terjaminnya proses pengalihan surplus ekonomi kepada kaum kapitalis. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa globalisasi yang diagungagungkan pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya termasuk lembaga internasional seperti IMF, World Bank dan WTO sesungguhnya merupakan kedok bagi neoliberalisme. Agenda neoliberalisme yang bersembunyi di balik globalisasi ini merupakan cara yang dilakukan oleh agenagen neoliberalisme agar konsep-konsep neoliberalisme dengan lancar dapat diterapkan di negara-negara sedang berkembang. Untuk memuluskan pelaksanaan agenda neoliberalisme yang pandangan pokoknya berasal dari Konsensus Washington khususnya di negara sedang berkembang, terdapat berbagai cara yang dilakukan oleh agen-agen neoliberalisme, antara lain (Rizky dan Majidi, 2008: 245): a. Melalui penjelasan akademis tentang keuntungan-keuntungannya, mencekoki para ahli ekonomi dan keuangan di negara-negara sedang berkembang dengan berbagai argumen mengenai kehebatan konsensus Washington ini, serta mensosialisasikan gagasannya pada lembaga pendidikan b. Pendiktean kebijakan yang harus dijalankan negara sedang berkembang melalui perjanjian dengan IMF. Perjanjian yang dikenal dengan Letter of Intent (LoI) ini terpaksa disetujui karena negara sedang berkembang membutuhkan pasokan devisa yang disediakan oleh IMF untuk mengatasi krisis keuangan yang dihadapinya c. Rekayasa melalui lembaga-lembaga internasional seperti World Trade Organization (WTO) dan Bank for International Settlements (BIS) untuk menjalankan secara sukarela beberapa bagian dari agenda neoliberalisme yang pada dasarnya adalah liberalisasi sektor perdagangan dan sektor keuangan d. Perbaikan operasional perusahaan-perusahaan multinasional (MNC), yang dilakukan dengan perubahan “wajah” agar MNC bisa bekerja sama dengan simbol-simbol domestik. e. Membangun hubungan yang makin kuat dan saling menguntungkan dengan kaki tangan neoliberalis di negara sedang berkembang, yang meliputi kaum kapitalis domestik, politisi yang sedang berkuasa ataupun ekonom dan bankir yang sedang memegang posisi penting f. Pendekatan kultural, yaitu mengembangkan tema globalisasi yang menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia, dengan berbagai slogan dan media
Riset / 2090
g. Jika dianggap perlu maka dilakukan juga upaya memecah belah komponen masyarakat, dengan tema-tema disintegrasi negara, konflik horisontal, kesenjangan pendapatan, dan semacamnya. Ketika agenda neoliberalisasi-Washington Consensus itu dijalankan, hampir tidak ada negara sedang berkembang yang bisa menghindarinya. Indonesia merupakan salah satu dari negara sedang berkembang yang harus mengikuti agendaagenda Neoliberalisme-Washington Consensus. Sebenarnya konsep neoliberalisme sudah dikenal dan sebagian sudah dijalankan di Indonesia pada pertengahan era 1980an (Rizky dan Majidi, 2008: 281). Ketika itu telah berkembang tema-tema seperti liberalisasi khususnya di bidang perbankan dan keuangan, debirokratisasi dan deregulasi, privatisasi BUMN, upaya memacu ekspor non migas dan sebagainya. Ketika itu IMF sudah secara intens memberikan laporan khusus tentang perekonomian Indonesia dan banyak memberikan bantuan teknis meskipun belum bisa memaksakan sepenuhnya. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara massif baru berlangsung setelah Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997 (Rizky dan Majidi, 2008: 282). Ketika Indonesia meminta bantuan IMF, maka pemerintah secara resmi menjalankan sebagian besar paket kebijakan ekonomi neoliberal yang tercermin dari ditandatanganinya Letter of Intent kepada IMF oleh Presiden RI ketika itu yaitu Soeharto. Paket program IMF dikenal pula dengan sebutan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/ SAP). SAP ini berisi agenda yang dimaksudkan untuk menyesuaikan struktur ekonomi Indonesia agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan (kapitalisme) internasional (Rizky dan Majidi, 2008: 283). Pasca penandatanganan LoI IMF, agenda neoliberalisme yang dijalankan di Indonesia meliputi liberalisasi sektor keuangan yaitu kurs bebas, devisa bebas, dan pengembangan bursa efek; liberalisasi perdagangan dengan cara meratifikasi keputusan WTO; pengetatan prioritas APBN termasuk pencabutan subsidi; privatisasi BUMN; penjualan korporasi domestik kepada modal internasional; perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta); penerapan harga pasar bagi energi; mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja termasuk meminimalkan perlindungan buruh; serta Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti Bassel I dan Bassel II dari Bank for International Settlement (BIS) (Rizky dan Majidi, 2008: 285). Instrumen utama yang dimanfaatkan dalam melaksanakan agenda neoliberalisme di Indonesia meliputi undang-undang/ regulasi, kebijakan ekonomi pemerintah, kebijakan moneter dan perbankan oleh Bank Indonesia, kapitalis kroni, bursa
Riset / 2091
saham, ahli ekonomi; ahli keuangan dan ahli akuntansi; serta opini publik. Jika penerapan agenda-agenda neoliberalisme globalisasi tersebut ditelaah secara kritis, maka pelaksanaan Structural Adjustment Program yang dimotori oleh IMF dan agen-agen neoliberalis lainnya sesungguhnya tidak untuk kepentingan terbaik bagi bangsa Indonesia (not in the best interest of Indonesia). Hal ini terlihat dari berbagai agenda globalisasi-neoliberalisme yang berdampak negatif bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik Indonesia, seperti: a. Privatisasi di sektor perbankan tanpa regulasi mengenai batasan kepemilikan asing yang tegas telah menyebabkan pihak asing mendominasi sektor perbankan di Indonesia. Rais (2008:159) menyebutkan bahwa sangat pantas jika kita mengatakan bahwa lebih dari 50 persen perbankan nasional sudah dikuasai oleh pihak asing. b. Privatisasi di sektor telekomunikasi menyebabkan dikuasainya PT Indosat oleh pihak asing (Temasek-Singapura), padahal PT Indosat merupakan salah satu BUMN yang di bidang telekomunikasi yang strategis. c. Tekanan agen-agen neoliberal dari barat (AS) menyebabkan Indonesia seakan lemah dalam menghadapi Freeport, sebuah perusahaan tambang dari Amerika Serikat yang beroperasi di Irian Jaya. Padahal jelas-jelas kontrak karya dengan Freeport merugikan negara Indonesia, serta kegiatan operasinya memberikan dampak negatif bagi lingkungan alam dan lingkungan sosial di sekitarnya. d. Liberalisasi sektor migas ternyata hanya menguntungkan korporasi asing, seperti dalam kasus Blok Cepu yang hanya menguntungkan ExxonMobil. Padahal Blok Cepu bisa dikelola sendiri oleh Pertamina yang jelas akan lebih menguntungkan bagi negara (Rais, 2008:164-165) e. Persetujuan Kerjasama Pertahanan antara Indonesia dan Singapura yang sesungguhnya menodai kedaulatan Republik Indonesia dan lebih menguntungkan pihak Singapura. Jika kita jeli melihat maka sesungguhnya agenda-agenda neoliberalisme yang berkedok globalisasi telah memuluskan penghisapan kekayaan (surplus ekonomi) bangsa Indonesia oleh kaum kapitalis, terutama di Barat, serta kronikroninya yang juga telah ada di Asia. Proses penghisaan surplus ekonomi ini pada dasarnya serupa dengan apa yang pernah dialami oleh bangsa ini pada jaman kolonialisasi VOC-Belanda, sebagaimana telah disinggung dalam bagian pembuka tulisan ini. Dengan demikian tidak berlebihan kiranya jika neoliberalisme yang berkedok globalisasi ini pada dasarnya merupakan neokolonialisme (penjajahan bentuk baru) yang dilancarkan oleh negara-negara maju terhadap
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id negara sedang berkembang. Sebuah neokolonialisme yang memanfaatkan agen-agen neoliberalisme untuk mengeruk surplus ekonomi dari negara sedang berkembang seperti Indonesia, untuk kepentingan kaum korporasi-kapitalis. Target neokolonialisme yang dilancarkan oleh kaum neoliberal tidak saja Indonesia dan negara-negara sedang berkembang di Asia, melainkan juga meliputi negara-negara di Amerika Latin. Robinson, et al. (2003) dalam bukunya Hantu Neoliberalisme mengungkap secara gamblang bagaimana agenda-agenda neoliberalisme dipaksakan lembaga keuangan internasional untuk diterapkan di Guatemala, Nikaragua, Meksiko, Kosta Rika dan lainnya. Karenanya sangat tepat kalimat pengantar dalam buku tersebut yang menyebutkan bahwa: “Ada hantu bergentayangan di dunia, Hantu Neoliberalisme. Rakyat miskin di seluruh dunia sedang menyatukan diri dalam persekutuan keramat untuk mengusir hantu ini. Masyarakat adat di Chiapas-Meksiko, pengangguran kota di Argentina, gerakan buruh di Eropa, petani penggarap dan kaum buruh di Indonesia, juga para aktivis anti-globalisasi”. AKUNTANSI “MODERN”: SEBUAH TECHNOLOGICAL DEVICE NEOLIBERALISME. Adanya keterkaitan erat antara akuntansi dan kapitalisme sesungguhnya telah lama diungkapkan oleh Sombart (1919) (dalam Kam, 1990; dan Chiapello, 2003). Sombart menyatakan bahwa akuntansi dengan teknik double-entry-nya berasal dari cikal bakal yang sama dengan kapitalisme. Sombart meyakini bahwa sistem akuntansi double-entry merupakan salah satu alatteknologi (technological device) yang mendukung perkembangan kapitalisme karena akuntansi mempengaruhi dua ciri penting dari kapitalisme yaitu mencari laba dan rasionalitas ekonomi. Lebih jauh, Sombart (dalam Kam, 1990:24) menegaskan beberapa argumen bagaimana akuntansi berperan penting dalam aspek profit making dalam kapitalisme, yaitu sebagai berikut: 1. Perusahaan kapitalis (korporasi) merupakan alat untuk mencapai laba dan akuntansi berperan penting dalam penciptaan perusahaan kapitalis ini melalui dua aspek yaitu: a. pemisahan antara pemilik dan perusahaan yang memungkinkan perusahaan tumbuh menjadi korporasi besar yang penting bagi sistem kapitalis; dan b. akuntansi memungkinkan aliran modal secara penuh melalui entitas bisnis, yaitu dari akun Modal menuju berbagai akun nominal untuk berbagai transaksi kemudian ke Laporan Laba Rugi dan akhirnya kembali ke akun Modal.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
2. Akuntansi berperan dalam memformulasikan konsep modal secara kuantitatif, yaitu modal didefinisikan sebagai jumlah dalam akun Modal. Dalam hubungannya dengan kapitalisme, adanya konsep modal secara kuantitatif ini menyebabkan semakin jelasnya arti memaksimalkan laba Sementara itu, bagaimana akuntansi berpengaruh terhadap aspek rasionalitas ekonomi dalam konsep kapitalisme dijelaskan oleh Sombart sebagai berikut: a. Akuntansi menyederhanakan proses kalkulasi untuk produksi dan konsumsi (penggunaan barang dan jasa) karena hanya transaksi yang memengaruhi perusahaan yang dicatat dan disajikan dalam satuan moneter. b. Akuntansi memungkinkan analisis kegiatan operasi perusahaan dan penyusunan rencana bagi perbaikan perusahaan, atau dengan kata lain akuntansi memungkinkan aspek perencanaan (panning) dan pengendalian (control). c. Akuntansi berperan dalam penyusunan rerangka konseptual untuk menjelaskan sifat sistem ekonomi kapitalis melalui pembentukan istilah-istilah seperti aset, kewajiban, harga pokok produksi, pendapatan, beban, dan laba. Telah disinggung sebelumnya bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis, pasar merupakan titik pusat di mana para pelaku ekonomi membuat pilihan dalam transaksi. Dalam transaksi tersebut para pelaku ekonomi tentunya akan membuat pilihan atau mengambil keputusan yang akan memaksimumkan manfaat bagi dirinya. Sementara Sombart hanya melihat hubungan akuntansi dan kapitalisme dalam tingkat mikro, Kam (1990:25) berpendapat bahwa akuntansi juga memiliki peran dalam pengembangan kapitalisme dalam tingkat makro melalui kontribusinya dalam menyatakan perekonomian dalam satuan mata uang (monetization the economy). Perekonomian kapitalistik adalah perekonomian yang dinyatakan dalam satuan mata uang, yaitu di mana hampir semua barang dan jasa dibeli dan dijual dengan menggunakan uang. Selain itu, akuntansi juga berkontribusi bagi efektifitas pelaksanaan perekonomian kapitalis melalui penyediaan informasi yang relevan untuk alokasi sumber daya secara efisien. Pandangan Sombart mengenai peran akuntansi dalam mendorong perkembangan sistem kapitalisme sebagaimana diuraikan di atas telah disampaikan lebih dari seratus tahun lalu. Dari sini timbul pertanyaan, setelah kapitalisme berkembang hingga saat ini dengan gagasan neoliberalisme, dan begitu pula akuntansi yang selama seratus tahun terakhir telah berkembang pesat dengan rerangka konseptual dan standar akuntansinya, apakah masih relevan jika kita mengatakan bahwa akuntansi berperan dalam perkembangan kapitalisme?
Riset / 2092
Atas pertanyaan di atas dengan tegas dapat diberikan jawaban: Ya. Akuntansi modern yang saat ini diterapkan di berbagai negara pada dasarnya tetap didesain untuk mendukung perkembangan sistem kapitalisme termasuk dalam variannya saat ini yaitu neoliberalisme. Kenyataan bahwa akuntansi merupakan technological device bagi neoliberalisme tidak terlepas dari konsep pengembangan akuntansi modern, baik rerangka konseptual maupun standar akuntansi, yang memang didesain untuk kepentingan kaum neoliberal. Berikut ini merupakan beberapa argumen yang dapat mendukung pendapat bahwa adalah pantas untuk menyebut akuntansi modern sebagai technological device dari neoliberalisme. a. Masih digunakannya teori entitas ekonomi (economic entity theory) sebagai landasan akuntansi modern, b. Ciri mendasar dari neoliberalisme adalah terjadinya pengalihan (penghisapan) surplus ekonomi kepada kaum pemilik modal secara terus menerus, c. Perhitungan laba dalam akuntansi modern mengabaikan faktor tenaga kerja, lingkungan alam, serta lingkungan sosial yang terkena dampak oleh aktivitas korporasi. Pengembangan akuntansi modern saat ini didominasi oleh pakar-pakar di Barat yang notabene merupakan poros pengembangan neoliberalisme. Akuntansi modern yang didesain agar sesuai dengan konsep neoliberalisme ini kemudian dipaksakan untuk diterapkan di berbagai negara, terutama di negara berkembang, sebagai salah satu langkah dalam mendorong pelaksanaan agenda neoliberalisme.. AKUNTANSI-NEOLIBERALISME DI INDONESIA: SEBUAH KRITIK RADIKAL HUMANIS. Rizky dan Majidi (2008: 246) menyebutkan bahwa terdapat suatu cara yang bersifat lebih halus dalam mendorong pelaksanaan agenda neoliberalisme di negara sedang berkembang, yaitu mengembangkan ilmu dan teknik akuntansi yang sesuai dengan agenda-agenda neoliberalisme. Langkah ini telah berlangsung sejak lama (beriringan dengan perkembangan kapitalisme), dan para era neoliberalisme saat ini hanya bersifat penyempurnaan. Mengingat penggunaan akuntansi sebagai pendorong pelaksanaan agenda neoliberalisme di negara berkembang merupakan suatu langkah yang bersifat halus, maka perlu pandangan yang ekstra kritis dalam memahaminya (Rizky dan Majidi, 2008: 246). Untuk bisa berpikir secara kritis dalam melihat realitas bahwa akuntansi telah dijadikan alat neoliberalisme, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah penyadaran setiap pihak bahwa ada yang salah dalam akuntansi.
Riset / 2093
Dalam hal ini paradigma radikal humanis sangat tepat untuk dijadikan pijakan. Seperti dinyatakan oleh Burrell dan Morgan (1979:306), paradigma radikal humanis berfokus pada kesadaran manusia (human consciousness) dalam konteks totalitas yang menjadi ciri dalam formasi sosial tertentu. Dalam konteks penggunaan akuntansi sebagai alat neoliberalisme di Indonesia, paradigma radikal humanis dapat dijadikan pijakan dalam memahami bahwa agen-agen neoliberalisme sering kali memberikan argumen tentang pelaksanaan program mereka dengan mendasarkan pada konsep akuntansi yang memang didesain sesuai dengan prinsip kapitalisme/ neoliberalisme. Sebagai contoh dalam kasus privatisasi, agen-agen neoliberalisme selalu memberikan argumen bahwa rendahnya laba BUMN merupakan alasan utama bagi privatisasi BUMN. Jika kita kritis dan sadar, maka kita akan bisa melihat bahwa laba yang dimaksud itu adalah laba yang diukur dengan akuntansi neoliberalisme yang lebih menekankan surplus ekonomi bagi pemilik modal (kapitalis), dan bukannya menekankan pada value added bagi stakeholder. Begitu pula dalam kasus “pemaksaan” standar akuntansi agar seragam dengan akuntansi di dunia Barat, maka terlalu naif jika kita tidak menyadari dan mengkritik hal itu sebagai salah satu bagian dari agenda neoliberalisme. ISLAMIC ACCOUNTING PARADIGM : MENUJU DEKONSTRUKSI KONSEP DAN PRAKSIS AKUNTANSI ISLAM Melihat uraian akuntansi mainstream, maka perlu ada sebuah dekonstruksi tentang konsep dan praktek akuntansi alternatif untuk melahirkan sebuah konsep akuntansi yang lebih baik. Dalam konteks ini ditwarkan dekonstruksi akuntansi Islam untuk menjawab persoalan diatas. Sudah banyak ahli yang melakukan dekonstruksi konsep akuntansi alternatif tersebut dengan Islam antara lain dilakukan oleh Harahap (1997); Triyuwono (1996,1997,1998); Karim dan Gambling (1986); Belkaoui (1995); Hayashi (1995). Dalam hal ini coba merangkai lagi dalam suatu paparan singkat bagaimana dekonstruksi akuntansi alternatif tersebut seharusnya dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh banyak ahli tersebut.Inilah yang saya sebut sebagai Islamic Accounting Paradigm, yang selanjutnya akan banyak dipaparkan pada penjelsan berikut ini. Berangkat dari pemahaman akan realitas akuntansi mainstream yang sangat mengedepankan nilai rasio yang sangat profan (keduniaan) dan memarginalkan aspek nilai sosial dan spritual, maka alternatif pengembangan akuntansi dengan pendekatan Islam, yaitu sebuah akuntansi yang mengandung keharmonisan nilai-nilai rasio dan wahyu sebagai bentuk integralitas yang menyeluruh, ini disebut sebagai bentuk akuntansi
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Islam. Kita telah mengetahui bahwa dalam aspek. ontologis, akuntansi mainstream sangat dipengaruhi oleh realitas objektif (realisme), yang mensyaratkan adanya keterpisahan yang ketat antara berbagai sisi-sisi kehidupan dan bersifat biner (dualistik, dikotomis). Maka dalam konsep filosofis akuntansi Islam memandang realitas tidaklah tunggal, tetapi merupakan susunan hirarkis dari yang terendah hingga Tertinggi, yang meliputi: realitas materi, realitas psikis, realitas spritual, dan realitas absolut, keseluruhannya merupakan satu kesatuan dan bukan merupakan realitas yang saling berdiri sendiri. Melalui penggunaan wahyu dalam hal ini akan menyadarkan akuntan bahwa ia tidak lagi berada terpisah dengan lingkungannya. Artinya, ia harus merubah orientasinya dari shareholders oriented ke stakeholders oriented. Karena kepedulian terhadap lingkungan merupakan salah satu prinsip wahyu. Berarti pula akuntansi tidak lagi bebas nilai tetapi ia harus mengindahkan nilai-nilai etis. Dari sini kita dapat mengangkat beberapa nilai wahyu dalam konsep epistemologis akuntansi Islam yaitu kualitatif, holistik, subjektif dan spritual. Rajutan keterkaitan entitas dengan lingkungannya sebagai perwujudan akuntabilitas ketuhanan juga akan menyadarkan akuntan bahwa kekayaan/laba bukanlah tujuan. Kekayaan/laba hanyalah titipan atau amanah dari Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk kemudian dipertanggungjawabkan. Pemanfaatan kekayaan oleh entitas harus diletakkan dalam kerangka manfaat bersama. Artinya, dalam penggunaannya selain harus mengindahkan nilai-nilai etika dan moral agama, pemanfaatannya juga harus dapat dinikmati oleh masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Dalam konsep akuntansi Islam, manfaat bersama ini dituangkan dalam apa yang dinamakan dengan zakat. Zakat mengisyaratkan dua hal utama yang harus dipenuhi para akuntan yaitu: 1. Ketaatan terhadap syariat atau hukum agama. Zakat merupakan perintah agama yang wajib dilaksanakan oleh manusia. Zakat dalam pelaksanannya memiliki beberapa aturan yang harus dipenuhi. Aturan-aturan tersebut antara lain: a. penilaian berdasarkan. current exchange value (nilai tukar sekarang) atau harga pasar, b. harta yang dikenai zakat harus berumur satu tahun dan memenuhi ukuran atau jumlah tertentu (nisab), c. zakat diambil dari harta bersih atau. 2. Tanggung jawab sosial. Hal ini terlihat bahwa zakat merupakan bagian harta yang harus dibagikan kepada pihakpihak lain atau masyarakat. Dengan adanya zakat, laba bukanlah lagi merupakan ukuran bagi keberhasilan suatu entitas. Adanya dua implikasi diatas, dengan adanya zakat menimbulkan dua ukuran yang dapat dikenakan bagi keberhasilan suatu entitas, yaitu: 1. Ketaatan terhadap syariat yang mensyaratkan auditing Islam
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
dan pengukuran secara kualitatif"; 2. Besarnya zakat sebagai bukti tanggung jawab sosial perusahaan. Zakat merupakan perpaduan dari unsur wahyu dan nilai rasio materi keduniaan merupakan konsep yang paling tepat dalam nengekspresikan akuntansi Islam. Sebab adanya zakat mengandung nilai materi yang berupa laba dan berupa tanggung jawab sosial. Hal ini menunjukkan bahwa baik entitas maupun pemilik tidaklah terpisah dari lingkungannya, melainkan hanya salah satu anggota ekosistem sebagaimana anggota-anggota ekosistem lainnya, Zakat menunjukkan adanya distribusi kekayaan yang mengandung prinsip keadilan sosial. Zakat membuktikkan bahwa dalam Islam, entitas merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan, artinya akuntansi Islam merupakan akuntansi yang berorientasi sosial, yang tentu saja bertolak belakang dengan akuntansi mainstream yang berorientasi individual. Zakat sebenarnya mengandung nilai-nilai universal yang dapat diadopsi oleh semua pihak terutama pelaku bisnis. Zakat menuntut akuntan untuk mengubah orientasinya dari shareholders oriented menjadi stakeholders oriented. Perubahan ini akan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesadaran transendental. Kita sadar bahwa kepedulian terhadap lingkungan merupakan sesuatu yang universal, bersifat hakiki, dan merupakan masalah yang berkaitan dengan etika. Kerusakan lingkungan terjadi karena manusia baik ilmuwan, pengusaha, akuntan, dan masyarakat mengalami krisis etika atau krisis spritual. Mereka tidak mengenal norma etika melainkan hanya mengenal prinsip materialisme. Wahyu yang mendasari bangunan konsep teori akuntansi Islam mengajarkan kita beberapa prinsip kesadaran transendental yang harus kita kenali, yaitu: tauhid, amanah, halal, haram, adil, ishtihsan, dan ishtihlah (Butt, 1996,78). Prinsip-prinsip itu terpancar dalam zakat. Kesembilan prinsip tersebut merupakan pilar etika yang harus menjadi agenda para akuntan. INTISARI Globalisasi yang didengungkan oleh dunia Barat, termasuk organisasi internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO pada dasarnya merupakan kedok bagi pelaksanaan agenda neoliberalisme, terutama di negara sedang berkembang. Terdapat berbagai cara yang dilakukan untuk melancarkan pelaksanaan agenda neoliberalisme negara berkembang seperti Indonesia meliputi pemanfaatan kalangan akademis, pendiktean kebijakan negara oleh IMF, rekayasa organisasi internasional, pendekatan kultural, bahkan memecah-belah komponen bangsa Tidak cukup sampai di sana, akuntansi ternyata juga dimanfaatkan dalam membangun
Riset / 2094
sistem neoliberalisme. Namun hal ini baru bisa dipahami apabila kita mau menyadarinya secara ekstra kritis. Paradigma radikal humanis bisa digunakan sebagai pijakan dalam menyadari dan mengkritisi bagaimana akuntansi digunakan sebagai alat dalam memuluskan agenda neoliberalisme. Tentu saja penggunaan paradigma radikal humanis dalam mengkritisi neoliberalismeakuntansi ini hendaknya didukung oleh eksplorasi yang mendalam melalui riset. Bila kita menganalisa secara jujur dan teliti tentang paradigma modernisme yang menjadi mainstream pemikiran Barat yang secara diametral mewarnai secara kental akuntansi konvensional yang diterapkan saat ini, akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa paradigma tersebut mengandung nilai-nilai yang pincang. Karena kita akan mengetahui secara jelas bahwa akuntansi konvensional merupakan produk paradigma modernisme yang paling kental menunjukkan kepincangannya. Dimana akuntansi konvensional ini merupakan bahasa sosial dan konstruktor sosial dari sebuah lingkungan, komunitas, dan kesadaran yang mempresentasikan kepincangan nilai yang bertumpu pada satu nilai saja yaitu nilai materi yang menurut klaim akuntansi ini sangat objektif, rasional, reduksionis, materialis, egoistik, impersonal, kuantitatif, dan memarginalkan nilainilai lain seperti altruistik, spiritual, humanis, kualitatif, holistik, dan lain sebagainya. Dari uraian diatas akuntansi mainstream memerlukan langkah-langkah penyeimbangan atau dekonstruksi. Dalam artian, mengangkat nilai-nilai yang menjamin adanya harmonisasi antara nilai materi dan nilai spritual atau tanggungjawab sosial. Paradigma akuntansi Islam atau yang saya sebut sebagai Islamic Accounting Paradigm merupakan salah satu alternatif dalam mendekonstruksi akuntansi mainstream, penyebabnya antara lain: tradisi Islam sangat menekankan keseimbangan dan keharmonisan antara berbagai hal dalam kehidupan, pandangan tentang realitas yang holistik, saling kait mengait, menekankan sifat altruistik sekaligus egoistik, menekankan rasio sekaligus intuitif, kuantitatif sekaligus kualitatif. DAFTAR PUSTAKA Arief, Sritua. 2006. Negeri Terjajah: Menyingkap Ilusi Kemerdekaan. Yogyakarta: Resist Book. Arsjah, Regina, dan Jan Hoesada. 2007. Akuntan Indonesia, Mitra dalam Perubahan. Edisi No.1, tahun I/Agustus 2007. 30-32. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan Methodologis kea rah penguasaan Model Aplikasi. Jakarta. Penerbit Grafindo Persada
Riset / 2095
Belkaoui, Ahmed Riahi. 1996. Accounting, A Multiparadigmatic Science. Quorum Books. London. Burrell, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann. Christiawan, Y.,J. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Journal Akuntansi dan Keuangan. 4 (2). September: 79-92. Chwastiak, Michele, dan Joni J. Young. 2003. Silences in Annual Reports. Critical Perspectives on Accounting 14: 533-552, Chiapello, Eve. 2003. Accounting and the Birth of the Notion of Capitalism. Tersedia di http://www.mngt.waikato.ac.nz/ejrot/ cmsconference/2003/proceedings/criticalacco unting/Chiapello.pdf. Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review LXI (4), pp.601-32. Departemen Agama RI. (Depag). 2002. Al-Qur’an Digital dan Terjemahannya, Versi 3.2. Ernawan, R. Erni. 2007. Business Ethics, menuntun anda secara komprehensif memahami konsep serta faktor-faktor terkait termasuk beberapa contoh praktis. Penerbit, Alfabeta, Bandung. Gorz, Andre. 2003. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Cetakan Kedua. Yogyakarta. Insist. Press. Harahap, Sofyan S. 2007. Krisis Akuntansi Kapitalis, dan Peluang Akuntansi Syariah, Jakarta. Penerbit Pustaka Kuantum. Harahap, Sofyan S. 2004. Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Penerbit Buku Baik. Hines, Ruth D. 1982. The Usefulness of Annual Report: the Anomaly between the Efficient Market Hypothesis and Shareholder Surveys. Accounting and Business Research. Autum, pp.296-309. Hines, R.,D. 1988. Financial Accounting: In Communicating Reality, We Construct Reality. Accounting, Organization and Society, vol. 13. No. 3, pp. 251-61. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.01 Tentang Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan. Jakarta. Salemba Empat. Kam, Vernon. 1990. Accounting Theory (2nd edition). Canada: John Wiley & Sons.
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Kerap, A. Sonny. 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan relevansinya. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Miles, M., B. dan A., M., Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Cetakan Pertama. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Rohidi) dari Qualitative Data Analysis. Jakarta: Penerbit UI. Letiche, Hugo. 2006. Relationality and Phenomenological Organizational Studies. Tama ra Journal Vol 5 Issue 5.3 2006: 7-18. Rais, Amin. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta:PPSK Pres Robinson, William I., et al. 2003. Hantu Neoliberalisme. Jakarta: C-Books Rizky, Awalil & Majidi. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: E-Publishing. Sukoharsono, E.G. 1998. Accounting in a „new‟ History: A Diciplinary Power and Knowledge of Accounting International Journal of Accounting and Business Society, Vol 6, No. 2. Triyuwono, Iwan. 1996. Teori Akuntansi Berhadapan Nilai-nilai ke-Islaman. Ulumul Qur’an VI (5)4561. Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Bandung. Mizan Pustaka. #
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
Riset / 2096