AKTIVITAS MOHAMMAD HATTA
Dian Safitri Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang E-mail:
[email protected]
Abtrak: Untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Mohammad Hatta, untuk menjelaskan keadaan politik Indonesia pada tahun 1950-1957, untuk menjelaskan aktivitas Mohammad Hatta dan untuk menjelaskan kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejarah. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Ada lima tahap yaitu pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Hasil pembahasan penelitian ini adalah Selama menjadi wakil presiden, Hatta memang tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan kebijakan yang berarti, namun Hatta berusaha untuk membagun negeri ini ke arah yang lebih baik. Ia melakukan tugasnya dengan baik dengan memberikan arahan, saran, bahkan kritikan kepada pemerintah apabila dirasa perlu. Selain aktif dalam pemerintahan dalam menjalankan tugas negara, baik bidang ekonomi, politik luar negeri, militer, sosial dan pendidikan. Hatta juga aktif membangun ekonomi Indonesia dengan terjun langsung ke lapangan mengembangkan koperasi yang dianggap mampu meningkatkan ekonomi Indonesia. Dengan jerih payah dan usaha
untuk
membangun
koperasi
akhirnya
Hatta
berhasil
mengembangkan koperasi. Kata Kunci: Aktivitas, Mohammad Hatta.
Abtrak: To clarify the premises of Mohammad Hatta, to explain the political situation in Indonesia in 1950-1957, to describe the activities of Mohammad Hatta, and to explain the contribution of research to the study of history. The method used in this study is the historical method. There are five stages: topic selection, heuristics, source criticism,
1
interpretation and historiography. Results During the discussion of this research is to be vice president, Hatta did not have the power to make a meaningful policy, but Hatta trying to membagun this country into a better direction. He did his job well by providing guidance, advice, and even criticism of the government if necessary. In addition to active duty in the government in the state, both in economics, foreign policy, military, social and educational. Hatta also actively building Indonesia's economy to go directly to the field to develop cooperatives are considered to improve the economy of Indonesia. With toil and effort to build a cooperative Hatta finally succeeded in developing cooperative. Key word: Activity, Mohammad Hatta.
Hatta merupakan tokoh besar Indonesia yang jasa-jasanya kepada bangsa Indonesia tidak bisa dilupakan begitu saja. Hatta merupakan seorang administrator yang ahli dalam penyelenggaraan negara namun tidak terampil dalam menghadapi massa. Memasuki tahun 1950 kondisi Indonesia terpuruk baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Jatuh bangunnya kabinet, selama periode demokasi liberal keterpurukan tersebut sebagai akibat dari partai-partai politik yang lebih mementingkan golongannya sendiri untuk memperoleh kekuasaan daripada memikirkan keadaan negara. Alasan pemilihan judul didasarkan pada keadaan Indonesia, terutama dalam pemerintahan yang mengalami kebobrokan seperti dalam masalah korupsi dan demoralisasi. Hampir semua pejabat dan politisi terlibat kasus korupsi dari masa kolonialisme hingga saat ini. Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang bisa memimpin Indonesia menjadi lebih baik. Mohammad Hatta adalah seorang demokrat, teguh dan konsekuen dengan pendiriannya (misalnya Mohammad Hatta berketetapan hati tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka, sumpah itu ditepati ketika Hatta menjadi wakil presiden dan tidak segan-segan untuk meninggalkan jabatannya karena prinsip hidupnya tidak mengijinkan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya), jujur, tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri terlihat dari penolakan kenaikan gaji presiden dan wakil presiden pada
2
1951 mengingat perekonomian rakyat belum stabil dan Hatta adalah orang yang sederhana, kesederhanaan itu tercetus dalam keinginannya untuk tidak dimakamkan di Taman Pahlawan (Widjaja, 1990: 15). Selain pejuang dan Proklamator Republik Indonesia Hatta adalah The Guardian of National Conscience, penjaga hati nurani nasional bangsa Indonesia. Hatta adalah tokoh yang berani mengingatkan apabila ada penyimpangan. Hatta sering menegur perdana menteri yang melakukan penyimpangan, misalnya saat menegur dan menolak kebijakan Ali-Baba pada masa Kabinet Ali I yang ditujukan atas Menteri Perekonomian Iskaq Tjokroadisurjo (Yayasan Idayu, 1980: 169).. Gagasan demokrasi mendominasi pemikiran para pemimpin bangsa pada awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sepanjang menyangkut peranan negara dan peranan masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan dari usul serta dukungan atas usul itu di dalam BPUPKI menjelang kemerdekaan. Sejak semula kecenderungan untuk lebih memberi porsi yang lebih besar bagi peranan rakyat lebih mendapat tempat di kalangan pemimpin dan masyarakat Indonesia. Pernyataan konsep kedaulatan rakyat telah tertuang di dalam konstitusi serta pernyataaan bahwa pemerintah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada MPR dapat dianggap sebagai gambaran pemberian posisi penting bagi peranan rakyat ini pada waktu itu (Mahfud MD, 2000: 45). Gagasan parlementarisme segera muncul dari Komite Nasional Indonesia yang sebenarnya berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan berbagai kekuasaan. Dalam rapatnya 16 Oktober 1945 KNIP mengusulkan agar komite tersebut diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Pemerintah supaya menyetujui dibentuknya badan pekerja KNIP untuk melaksanakan fungsinya yang baru sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Atas desakan rapat KNIP itu maka Wakil Presiden Mohammad Hatta yang bertindak atas nama Presiden waktu itu segera mengeluarkan maklumat yang kemudian dikenal sebagai Maklumat No. X Tahun 1945 (Mahfud MD, 2000: 47). Setelah dikeluarkan Maklumat 16 Oktober tersebut, BPKNIP mengajukan usul pembentukan partai-partai politik, pemerintah menyetujuinya dengan mengeluarkan Maklumat 3 November 1945, sistem parlementer terjadi dengan keluarnya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 Maklumat itu
3
dikeluarkan atas usul Badan Pekerja Komite Pusat ini berisi perubahan sistem Kabinet Presidensil menjadi Parlementer, suatu sistem yang sifatya pluralisticliberal (Mahfud, 2000: 48). Dari tiga maklumat tersebut jelas bahwa paham demokrasi yang memberi tekanan pada peranan rakyat daripada peranan negara pada awal-awal kemerdekaan lebih menonjol dan tidak mendapat tantangan dari aliran lain. Kesemuanya itu merupakan pertanda bahwa sistem politik authoriter digeser oleh sistem libertarian (demokrasi liberal) dengan sistem multipartai. (Mahfud, 2000: 48). Sebagai sistem politik yang liberal UUDS 1950 juga menganut sistem parlementarime secara konstitusional serta sistem multipartai seperti yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949. Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui partai politik ini ternyata menimbulkan instabilitas nasional, sehingga dalam masa berlakunya UUDS 1950 tercatat tujuh kali jatuh bangunya kabinet (Rusadi Kartaprawira 1977: 147). Sistem parlementer dianggap kurang cocok untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh bersama menjadi kendur dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif setelah kemerdekaan tercapai. Lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (Budiardjo, 1982: 69). Umumnya kabinet sebelum pemilihan umum yang diadakan dalam tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan dalam hal ini menghambat perkembangan ekonomi politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Setelah pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan antara pemerintah pusat dan beberapa daerah. Terdapat beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubberstamp president” (presiden yang membubuhi capnya) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
4
Faktor-faktor seperti ini ditambah dengan tidak mempunyai anggotaanggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir (Budiarjo, 1982: 70). Tujuan dari penelitian ini Untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Mohammad Hatta, untuk menjelaskan keadaan politik Indonesia pada tahun 19501957, untuk menjelaskan aktivitas Mohammad Hatta dan untuk menjelaskan kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejarah. Pada penelitian ini peneliti berharap, sebagai generasi muda sebagai penerus bangasa yang akan memimpin bangsa ini, agar belajar nilai-nilai yang diajarkan Mohammad Hatta. Pada penelitian selanjutnya dapat mengulas bagaimana kebijakan politik Hatta dari sudut pandang lain, seperti ekonomi terutama ekonomi koperasi yang dikembangkan Hatta di Indonesia atau aktivitas politik Mohammad Hatta setelah mengundurkan diri sebagai wakil presiden karena meskipun Hatta tidak terlibat lagi dalam panggung politik, namun ia tetap melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang.
METODE Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975: 32). Metode penelitian sejarah pada umumnya dilakukan dengan langkah-langkah di antaranya : 1) Pemilihan topik, 2) Pengumpulan sumber (heuristik), 3) Kritik sumber (kritik ekstern dan kritik intern), 4) Interpretasi (sintesis dan analisis), dan 5) Penulisan sejarah (Historiografi) yang dilakukan dengan serius, cermat, dan hati-hati (Suplemen Penulisan Skripsi, 2007: 19). Dalam penulisan skripsi ini, pemilihan topik berdasarkan pada kedekatan emosional dan kedekatan intelektual. Kedekatan emosional dalam penelitian in didasarkan penulis pada ketertarikan penulis terhadap keteguhan hati atau prinsip hidup Mohammad Hatta sebagai founding father bangsa Indonesia. Sedangkan kedekatan intelektual dalam
5
penulisan skripsi ini, adalah penggambaran sejarah kontemporer pada masa 19501957, dalam hal ini aktivitas Mohammad Hatta dengan pemikiran-pemikirannya. Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), buku-buku tulisan Mohammad Hatta sendiri, seperti Ekonomi Terpimpin dan lain-lain dan koran-koran yang terbit pada tahun 1950-an seperti Mimbar Indonesia dan Keng Po Koran-koran yang terbit pada tahun 1950an. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah Sumber sekunder dari penelitian ini adalah: buku-buku penunjang seperti, Pemikiran Politik Indonesia karangan Herbert Feith, Indonesia dan Percaturan Politik Internasional karangan H. Roeslan Abdulgani, sejarah politik Indonesia, pemahaman sejarah Indonesia, foto-foto Hatta , lapiran UUDS tahun 1950. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan, Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu. Dalam penelitian ini, kritik eksternal dilakukan dengan cara melihat latar belakang penulis (sumber buku), seperti pendidikannya serta kepentingan dia menulis. Penulis merasa perlu mengetahui hal ini karena penjelasan yang diberikan oleh pengarang suatu buku akan sangat dipengaruhi oleh subjektifitas pribadinya, misalnya pada buku yang ditulis oleh I Wangsa Widjaja, mantan sekretaris Mohammad Hatta, pendidikan Wangsa Widjaja meskipun tidak terlalu tinggi namun ia menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Hatta dan tulisannya tersebut berdasarkan fakta yang ia alami selama menjadi sekretaris pribadinya. Penulis lain yang merupakan orang-orang dari orang luar lingkungan Hatta, seperti Deliar Noer tetapi memiliki kemampuan akademis dalam menulis kisah sejarah terutama tentang biografi Mohammad Hatta karyanya layak digunakan, karena penulis tersebut menggunakan sumbersumber yang relevan. Tahun terbitan, artinya angka penerbitan tersebut dapat menunjukkan informasi yang sesuai dengan kondisi saat terjadinya peristiwa sejarah serta keaslian sumber, artinya kepustakaan tersebut ditulis oleh orang atau lembaga yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam buku Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, yang terbit pada tahun 1960, buku berisi kritik terhadap kebijakan Soekarno yang dianggap sebagai diktator karena melakukan pelanggaran terdapat asas demokrasi. Buku terbitan tersebut dianggap valid
6
karena sesuai dengan peristiwa sejarah yang terjadi. Meskipun buku tersebut larang terbit oleh rezim Orde Lama namun, terbit kembali pada tahun 1980-an. Kritik internal dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara, melakukan pengklasifisian terhadap sumber-sumber tertulis, berupa buku-buku, arsip surat kabar yang terbit pada tahun 1950-an sehingga dapat diperoleh sumber informasi yang relevan dengan permasalahan penelitian yang akan dikaji. Kritik yang dilakukan oleh penulis adalah melihat isi buku, kemudian membandingkan dengan buku yang lain. Apabila ada perbedaan dalam kedua sumber tersebut, penulis mengambil dari sumber yang paling akurat. Buku yang dijadikan sebagai buku utama bagi penulis antara lain Mohammad Hatta Biografi Singkat 19021980, Bung Hatta, Kumpulan Karangan Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Mohammad Hatta, Biografi Politik, Indonesia Merdeka, Biografi Politik Mohammad Hatta, Mohammad Hatta Kumpulan Pidato III, Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian, Beberapa Fasal Ekonomi Djalan Keekonomi dan Kooperasi, Ekonomi Terpimpin dan lain-lain. Dalam penelitian ini penulis melakukan kritik intern pada buku Deliar Noer, Biografi Politik Mohammad Hatta, isinya tentang aktivitas yang dilakukan Hatta selama menjadi wakil presiden salah satunya melakukan perjalan di dalam maupun luar negeri. Penulis kemudian membandingkan dengan Koran Mimbar Indonesia, 23 Desember 1950, yang isinya tentang perjalanan Mohammad Hatta di Sumatra berarti kedua sumber tersebut relevan karena memuat isi yang sama. Interpretasi adalah melakukan analisa fakta yang diperoleh dari sumbersumber sejarah dengan mengkaitkan dengan kajian pustaka dari beberapa penulisan sejarah yang telah ada sebelumnya dengan tema yang sama, maka dengan begitu tersusunlah sebuah serangkaian fakta-fakta yang menyeluruh. analisis data melalui reduksi data, dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal yang penting, dan membuang hal yang tidak perlu dengan tujuan memberikan gambaran yang lebih jelas. Historiografi, yaitu upaya penyusunan atau merangkaikan fakta yang ditemukan berikut maknanya secara kronologis dan sistematis, menjadi satukesatuan dalam bentuk tulisan sejarah Untuk mendapat gambaran yang jelas
7
mengenai skripsi ini, penulis mencantumkan sistematika penulisannya, antara lain: Bab I, merupakan pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka teoritis dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber, serta sistematika penulisan. Bab II menguraikan tentang Dasar-Dasar Pemikiran Mohammad Hatta berisi tentang riwayat hidup Mohammad Hatta, pemikirannya tentang sosialime, demokrasi, dan bentuk eegara yang kemudian berpengaruh pada kebijakankebijakan Mohammad Hatta baik dalam bidang ekonomi, politik, militer, maupun konstitusi. Bab II berisi tentang Gambaran kondisi Politik di Indonesia tahun 1950 1957, yang menguraikan konsisi politik Indonesia, pemilihan umum, sampai pada pemunduran diri Hatta sebagai wakil presiden Bab IV menguraikan tentang rumusan masalah yang terakhir yaitu tentang Aktivitas Mohammad Hatta pada 1950-1957, baik di bidang ekonomi, militer, politik, dan kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejakan Bab V adalah bab terakhir yang memuat kesimpulan hasil keseluruhan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemikiran-Pemikiran Hatta Hatta termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa perkembangan suatu masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional. Hatta memilih cara yang bertahap tapi nyata. Ini tercermin jauh sebelum Indonesia merdeka. Pemikiran Hatta adalah bukan hanya mencapai Indonesia merdeka, tetapi juga mempersiapkan Indonesia untuk memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan itu sebaik-baiknya. dengan memperhatikan keperluan yang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk membangun suatu sistem perekonomian dan politik yang layak dan handal. Pemikiran Hatta dipengaruhi oleh berbagai latar belakang. Hatta dibesarkan dalam zaman penjajahan, membuat Hatta melihat keprihatihatinan
8
akibat perlakuan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat Indonesia inilah kemudian Hatta menolak keras imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun. Latar belakang pendidikan dan organisasi yang digeluti juga mempengaruhinya menjadi seseorang yang rasional. Hatta menganut ideologi sosialisme demokrat. Ideologinya tersebut
menjadi konsep dari setiap
pemikirannya baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dijalankan dengan konsep kedaulatan rakyat atau yang dikenal dengan istilah demokrasi. Hatta sebagai seorang sosialis, sosialisme yang berhaluan Islam. Ia memberikan pemahaman mengenai sosialisme yang berkaca dari kehidupan di desa yang berupa gotong royong dan azas kekeluargaan yang merupakan kesinambungan
dari
kolektivisme
yang
beraturan.
Pada
intinya
Hatta
menginginkan tidak adanya pemimpin yang besar yang tidak tekontrol untuk melaksanakan segala keinginannya, sebaliknya menginginkan azas kekeluargaan yang mufakat. Sosialisme yang dianut Hatta tidak lepas juga dari pengaruh Barat, karena ia memang menempuh studinya di Belanda sehingga sedikit banyak terpengaruh. Ia banyak menimba ilmu dari Fabian Society (Inggris) yang merupakan laboratorium yang mengolah masalah-masalah kemasyarakatan. Salah satu pengaruh yang menonjol dalam diri Hatta adalah koperasi yang diterapkannya di Indonesia yang merupakan hasil belajarnya selama di Scandinavia. Dengan koperasi rupanya Hatta ada kecocokan untuk diterapkan di Indonesia, yang merupakan paham sosialis (Noer, 1990:715-716). Sosialisme Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) aliran yaitu dari Barat berupa Marxisme atau sosialisme demokrasi, dari Islam, dan dari dasar hidup asli bangsa Indonesia yang berbentuk kolektivisme. Persamaan yang ada pada diri Hatta dan Soekarno dalam memandang tumbuhnya sosialisme tidak lepas dari adanya cita-cita bersama untuk melawan kolonialisme dan kapitalismeimperialisme untuk mencapai kemerdekaan bersama (Hatta, 1957:106-116). Hatta memberikan nama Kedaulatan Rakyat pada konsepsi demokrasinya yang mengandung arti demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial. Istilah Kedaulatan Rakyat konsepsi Hatta itu tercakup seluruh kehidupan masyarakat untuk mencapai kemakmuran, beliau mengatakan, Volkssouveriniteit, Kedaulatan
9
Rakyat J.J. Rousseau, berlainan dengan Kedaulatan Rakyat konsepsinya. Terdahulu berdasarkan individualisme, sedangkan konsepsi kedaulatan rakyat Hatta berdasarkan rasa bersama atau kolektiviteit. Demokrasi atau Kedaulatan Rakyat konsepsi Hatta bersendi pada demokrasi tua yang ada di Indonesia (Widjaja, 1956:287). Azas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat sehingga semua hukum harus bersandar pada keadilan dan kebenaran hidup dalam hati rakyat banyak. Dengan kata lain, semua perekonomian negeri harus diputuskan oleh rakyat dengan musyawarah. Demokrasi yang ada di Indonesia digolongkan menjadi 3 (tiga) sendi yaitu (1) cita-cita rapat, yang menekankan adanya musyawarah untuk mufakat. (2) cita-cita protes massa, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil (3) cita-cita tolong-menolong, bahwa dalam hati sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektivitas sehingga persekutuan asli di Indonesia memakai asas kolektivisme, tetapi bukan kolektivisme yang berdasarkan sentralisasi (satu pimpinan di atas) melainkan desentralisasi yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri (Hatta, 1957: 252). Pemikiran Hatta tentang keadilan sosial dapat dilihat dan ditelusuri pada saat ia berbicara tentang Pancasila. Salah satu jalan untuk mencapai keadilan sosial ialah kooperasi, yang mewujudkan kerjasama dengan dasar tolongmenolong. Organisasi kooperasi sesuai dengan cita-cita Islam, karena Islam meletakkan tanggung jawab pada individu untuk keselamatan masyarakat seluruhnya. Untuk mencapai keadilan sosial menurut Islam, negara hendaknya merupakan suatu welfare state (yang menjamin kemakmuran bagi semua orang). Bukan hanya kemakmuran jasmani saja melainkan kemakmuran rohani. Kesejahteraan hidup akan tercapai apabila ada keseimbangan antara kemakmuran jasmani dan rohani (Hatta, 1957: 25). Pemikiran Hatta dalam merumuskan pasal-pasal UUD 1945 yang kini tertuang dalam UUD 1945 mencakup beberapa hal. Pertama, mengenai pasal yang menyangkut hak-hak warga negara meliputi pasal 26 (sebelum diamandemen pasal 26 terdiri dari 2 ayat, setelah diamandemen pasal 26 terdiri dari 3 ayat). Pasal 27 ayat 2 (isinya sama dengan UUD 1945 sebelum dan sesudah diamandemen yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi
10
kemanusiaan) dan pasal 28 (tentang Hak Asasi Manusia, yaitu Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang). Kedua, berkaitan dengan jaminan negara untuk masalah kesejahteraan rakyat (demokrasi ekonomi), meliputi pasal 33 (sebelum diamandemen terdiri dari 3 ayat dan setelah amandemen terdiri dari 5 ayat) dan pasal 34 (setelah amandemen terdiri dari 5 ayat). Ketiga, kepiawaian Hatta dalam mempengaruhi tokoh-tokoh Islam agar mencabut tujuh anak kalimat bersyarat dalam naskah pembukaan UUD 1945 yang semula berbunyi, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” Khusus mengenai butir keempat, Hatta memiliki pertimbangan objektif dan subjektif, yang dapat menjadi bahan pemikiran anggota MPR sekarang. Pertimbangan objektifnya karena berdasarkan aspirasi yang berkembang antar lain didukung oleh laporan intelijen Jepang. Di wilayah yang bukan merupakan basis Islam seperti Sulawesi Utara, sebagian Maluku dan Nusa Tenggara Timur, tidak akan menggabungkan diri ke wilayah Indonesia apabila tujuh kata itu tidak dihapus dari pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945 (Bangun 2003: 239240). Hatta lebih mementingkan tujuan, sedangkan persatuan dipandangnya sebagai alat. Hatta menolak negara kesatuan dan lebih menganjurkan dibentuknya negara serikat, sebagai sebuah konsekuensi dari konsep kedaulatan rakyat yang digulirkannya.
Keadaan Politik 1950-1957 Usaha-usaha untuk kembali ke negara kesatuan disuarakan di berbagai daerah. Rakyat menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungan dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Penggabungan daerah ke daerah yang lain atau negara bagian ke negara bagian yang lain secara konstitusional dimungkinkan oleh Pasal 43 dan 44 Konstitusi RIS dengan ketentuan bahwa penggabungan tersebut dikehendaki oleh rakyat dan diatur dengan Undang-Undang Federal (Sekretariat Negara RI, 1981: 42).
11
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara juga menganut sistem kabinet parlementer sama seperti dalam Konstitusi RIS. Presiden hanya sebagai Kepala Negara (pasal 45) dan bukan kepala pemerintahan. Pemerintahan di tangan Dewan Menteri yang diketuai oleh seorang Perdana Menteri (Joeniarto,1990: 83). Sistem pemerintahan parlementer yang diikuti oleh sistem multipartai, menimbulkan instabilitas pemerintahan. Dalam periode ini ada tujuh buah kabinet, hal ini disebabkan usaha membentuk kabinet seringkali menemui kegagalan dalam membentuk kabinet, sehingga masa demisioner menjadi terulur-ulur. Dengar pendapat antara presiden dengan berbagai pimpinan/tokoh kekuatan politik mengukur waktu dan tidak selalu diakhiri dengan keberhasilan untuk membentuk kabinet. Partai-partai politik yang yang lebih mementingkan partai atau golongannya
daripada
memperjuangkan
kepentingan
rakyat
banyak,
penyalahgunaan kekuasaan seperti pemberian lisensi istimewa kepada kawankawan segolongan atau separtai, baik untuk kepentingan partai maupun untuk kepentingan pribadi, timbulnya demokrasi tanpa batas dalam parlemen. Yang paling memberatkan ialah bahwa belaiau sebahai wakil presiden tidak dapat berbuat apa-apa, karena menurut konstitusi wakil presiden tidak mempunyai kekuasaan, menyebabkan Hatta memundurkan diri sebagai Wakil Presiden.
Aktivitas Mohammad Hatta pada 1950-1957 Selama menjabat sebagai wakil presiden Konstitusional, Hatta tidak aktif dalam mengatur pemerintahan. ia merupakan tempat orang bertanya, baik oleh orang pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Ia juga memberi teguran, saran dan pendapat dalam banyak hal yang dirasanya perlu untuk dikemukakan. Sebagai wakil presiden konstitusional, bila tidak setuju dengan keputusan kabinet, Hatta hanya melayangkan surat mempertanyakan keputusan tersebut, dan tidak mendesak keinginannya. Jika turut dalam sidang kabinet, paling banyak ia hanya memberi saran. Ia juga sering melayangkan saran lewat surat sebagai bahan pertimbangan.
12
Pada saat Hatta akan menunaikan ibadah Haji ke Mekah, Ia memadukan kunjungan kenegaraan ke Mesir dan Timur Tengah dengan tugas keagamaan) berdasarkan pertimbangan politik, karena menteri agama dikecam akibat mismanajemen dalam mengurus angkutan ibadah haji pada tahun 1951. Hatta mengajukan saran perbaikan kepada pemerintah Saudi Arabia, dalam rangka memperbaiki kelemahan-kelemahan penyelenggaraan ibadah Haji. pembentukan Kabinet Boerhanuddin Harahap (Masyumi), diresmikan oleh Hatta. Bung Hatta dalam melaksanakan salah satu ketentuan (pasal 51) dalam UUD Sementara Republik Indonesia. Selama menjabat menjadi wakil presiden Bung Hatta hanya mendapat sekali kesempatan untuk langsung sendiri memenuhi kewajiban dalam UUD tersebut (Farida, 1980: 436). Bersamaan dengan hasil pemilihan umum, pada Juli 1956 Hatta mengirim surat kepada DPR (hasil pemilihan umum) bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden setelah DPR baru tersusum. Hatta menganggap bahwa dengan pemilihan umum pimpinan negara hendaknya diperbaharui juga (Noer, 2012: 149) Dalam bidang ekonomi Hatta aktif dan terjun langsung dalam koperasi, sehingga memperoleh gelar bapak koperasi, Selain menekuni koperasi, dalam pembangunan ekonomi lainnya, Hatta merasa perlu melakukan pinjaman luar negeri untuk mengusahakan kemakmuran. Dan memberikan nasehat, saran, dan teguran terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa perlu. Keinginan Hatta agar kemerdekaan itu benar-benar diisi dengan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, terlihat dari berbagai anjurannya kepada kabinet atau menteri ataupun pada konferensi-konferensi. Baginya yang utama ialah rakyat banyak. Pemimpin termasuk dirinya sendiri, bisa diminta pengorbanannya. Juga pembangunan gedung yang kurang perlu dikebelakangkan, apalagi kalau gedung yang ada masih bisa dipergunakan. Dalam masalah pembinaan ekonomi selama pemerintah Ali I, Hatta benarbenar tidak dapat mentolerirnya. Terutama kebijaksanaan Menteri Iskaq Tjokroadisurjo ditolaknya. Kebijaksanaan itu merusak tata tertib kepegawaian dalam Kementerian Perekonomian, karena jawatan-jawatan dapat dilangkahi begitu saja oleh pengusaha dalam berhubungan dengan menteri. Pengusaha-
13
pengusaha yang dibina pun merupakan pengusaha-pengusaha aksentas yang bertamengkan pribumi tetapi sekedar menjual lisensi atau diatur oleh pengusaha Cina dari belakang, yang dikenal dengan istilah Ali Baba (Noer, 1990: 420). Pada masalah modal asing , Hatta mencap undang-undang modal asing yang dihasilkan pada masa Kabinet Ali II itu menuju liberalisme, memperkuat inisiatif dan kedudukan pengusaha asing di Tanah Air, pendeknya menempuh jalan kembali ke kapitalisme. Menurut Hatta, politik perekonomian yang lebih efektif dan sepadan dengan UUD kita ialah mengadakan eksploitasi sendiri dengan bantuan kapital pinjaman dan managemen dari luar negeri. Pinjaman ini diangsur membayarnya dari hasil industri yang bersangkutan, sedangkan manajemen yang disewa dari luar negeri diharuskan juga mendidik bangsa kita agar ia (manajemen luar itu) kemudian digantikan oleh orang Indonesia Asli (Noer, 1990: 422). Peran dan pengaruh Hatta sangat mengesankan dalam menggagas politik luar negeri. Hatta termasuk pencetus politik luar negeri, “bebas aktif, dan berlanjut pada masa demokrasi parlementer. Dengan politik luar negeri bebas aktif Indonesia memainkan peranan yang cukup besar di panggung internasional dalam dua dekade pertama kemerdekaan. Indonesia turut menggalang negara-negara Asia dan Afrika untuk meningkatkan daya tawar negara-negara berkembang dalam percaturan global yang didominasi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini sejak awal dianggap sebagai komitmen nasional yang harus dipegang teguh, sehingga pelanggaran terhadap doktrin tersebut mengundang kritik yang tajam. Pemerintahan Perdana Menteri Sukiman Jatuh pada tahun 1952 ketika diketahui bahwa Menteri Luar Negeri Subardjo secara diam-diam sepakat menerima bantuan ekonomi Amerika berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam Mutual Secuity Act Of 1951. Berdasarkan akta ini negara menerima bantuan ekonomi dan teknis dari Amerika Serikat terikat dalam perjanjian pertahanan keamanan dengan negara adidaya tersebut. Dengan demikian Kabinet Soekiman telah menjadikan Indonesia sebagai negara sekutu Amerika Serikat, sehingga secara jelas telah melanggar doktrin politik luar negeri bebas aktif. Hal tersebut mengakibatkan kejatuhan Kabinet Sukiman. Sejak saat itu diputuskan bahwa setiap perjanjian internasional harus
14
diratifikasi parlemen, sehingga eksekutif tidak dapat lagi menjalankan diplomasi rahasia (Bangun, 2003: 264-265). Penandatanganan perjanjian MSA (Mutual Security Act) dengan Amerika Serikat oleh Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman, disalahkan oleh Hatta, menurut kesimpulannya, Subardjo bersalah dalam hal ini, ia telah mengetahui segala implikasi perjanjian tersebut yang diperolehnya dari Duta Besar Amerika Serikat M. Cocchran, dan ia tidak membicarakan perssetujuan itu sebelumnya dengan kabinet, padahal kepada Duta Besar Cochran, Subardjo mengaku telah sudah membicarakannya dengan kabinet. Subardjo telah menjalankan diplomasi rahasia dengan sendirinua (seorang diri) dengan tidak menginsyafi bahwa soal semacam ini tidak dapat dirahasiakan. Ini merupakan kelalaian Subardjo yang kurang periksa dan kurang perhatian seperti biasanya pekerjaan Subardjo (Noer, 1990: 449). Pada tahun 1953, Republik Indonesia menggandengkan politif bebas aktifnya dengan politik bertetangga baik (good neighbor policy). Perkembangan baru dalam pelaksanaan politik bebas-aktif ini terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kabinet ini tidak menitikberatkan hubungannya ke Barat, tetapi lebih mendekatkan diri dengan negara Asia-Afrika yang diwujudkan dengan menggalang solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang bertujuan untuk menghapuskan
kolonialisme dan untuk meredakan ketegangan dunia yang
ditimbulkan oleh ancaman perang nuklir antara kedua negara raksasa Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Indonesia kemudian berhasil menyelenggarajan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada April 1955. Hatta tampak sangat berhati-hati dalam menghadapi masalah tentara.. Pada umumnya dalam soal-soal yang timbul dalam tentara, Hatta tidak turut menyelesaikannya secara langsung, juga tidak secara terbuka. Ia lebih membiarkan pimpinan angkatan dan Kementerian Pertahanan menyelesaikan hal ini, paling-paling ia hanya menyampaikan pendapat, nasihat, atau anjuran. Ia pun tidak ingin tentara campur dalam politik secara langsung. Maka baik dalam hal penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952 yang inisiatifnya diambil oleh sebagian perwira, peristiwa pembangkangan pimpinan Angkatan Darat tehadap keputusan pemerintah mengangkat Kolonel Bambang
15
Utoyo sebagai KSAD tahun 1955 atau pun peristiwa AURI di Cililitan tahun itu juga, ia lebih banyak di belakang dengan menyerahkan penyelesaiannya pada pemerintah/pimpinan
angkatan.
Kedudukan
konstitusionalnya
memang
mengikatnya juga. Sumbangan Hatta dalam menciptakan pondasi negara demokrasi pada awal berdirinya Republik Indonesia, sebelum dan sesudah proklamasi. Sejumlah langkah yang memperlihatkan keterlibatan Hatta dalam mendekatkan cita-cita menuju negara demokrasi konstitusional yaitu: a. Mengeluarkan Maklumat X 16 Oktober 1945, yang melepaskan penumpukan kekuasaan MPR, DPR di tangan presiden yang memegang kendali eksekutif, ke lembaga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). b. Manifesto Politik 1 November yang berisi asas-asas dasar negara yang telah disetujui oleh Badan Pekerja KNIP. c. Maklumat 3 November 1945 tentang seruan pembentukan partai-partai politik. d. Dekrit pemerintah 14 November 1945 tentang pembentukan Kabinet Perlementer. e. Janji untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum 1953 yang kemudian diundur pada tahun 1955. Pada masa demokrasi parlementer Hatta dan Soekarno diundang untuk memainkan peran sebagai penasihat. Mereka tidak bisa menghindarkan diri untuk terlibat dalam pertentangan terus-menerus yang muncul antarkelompok politik, agama, militer, dan kedaerahan selama periode ini. Persaingan antar partai dengan mengorbankan pemerintahan yang stabil sangat menyakitkan hati Hatta. “Partaipartai politik dimaksudkan untuk menjadi sarana yang teratur dalam menyalurkan pandangan umum”, kata Hatta pada tahun 1951, “tetapi dalam perkembangan kepartaian kita, partai merupakan tujuan dan Negara menjadi alatnya”. Tetapi Hatta tidak pernah menyarankan agar sistem kepartaian dibubarkan, melainkan sekadar dirampingkam dan direformasikan. “Demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa partai politik, Hatta menegaskan (Rose, 1991: 298-299). Menurut Hatta, dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur, harus disadari secara realistis bahwa diawal kemerdekaan daerah-daerah (terutama di luar Jawa) hampir tak tersentuh secara konkrit oleh kebijakan perekonomian
16
dari pusat. Harus diakui pula bahwa Indonesia muda adalah kawasan yang amat luas untuk ukuran alat transportasi dan komunikasi waktu itu. Akan dengan mudah daerah-daerah itu tercecer dari perhatian para petinggi pemerintah yang juga baru aja mulai dalam mengurus negara. Hatta menekankan bahwa pembangunan masyarakat daerah hanya akan berhasil dengan adanya otonomi dan desentralisasi pada daerah itu. Memberikan otonomi kepada daerah, menurut Hatta, tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya oto-aktivitas, artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya otoaktivitas tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yakni pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi, bagi Hatta, berlawanan dengan dasar sentralisme yang membulatkan segala kekuasaan di tangan Pemerintah Pusat dan DPR. Semakin luas daerah negara, semakin banyak diferensiasi kepentingan hidup, semakin banyak masalah khusus yang mengenai berbagai daerah masing-masing yang semuanya tidak dapat diurus dari pusat pemerintahan negara (Subianto: 2004: 153). Dalam bidang pendidikan, sejak tahun 1951, Hatta memberi kuliah pada Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, kemudian bernama Seskoad) di Bandung. Tahun 1954 Hatta mulai mengajar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hatta juga memberi kuliah pada Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) yang dibina oleh Kementerian Luar Negeri, dan kadang-kadang beliau memberikan ceramah, seperti di Universitas Parahyangan, Bandung. Sejarah dianggap salah satu sarana utama untuk mewujudkan cita-cita nasional, maka pada hakekatnya merupakan sumber kekuatan bagi berfungsinya sarana tersebut dengan efektif. Melalui pendidikan manusia mendapatkan unsurunsur peradaban masa lampau dan memungkinkan baik untuk mengambil peranan dalam peradaban masa kini maupun untuk membentuk peradaban di masa datang. Proses pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa dukungan sejarah, sebab sejarah pada hakekatnya memberikan bahan-bahan agar terlaksanakannya proses pengembangan daya-daya manusia yang menjadi inti pendidikan tersebut (Widja, 1989 : 102).
17
Seperti pengajaran lain, sejarah merupakan salah satu wahana untuk mencerdaskan bangsa dalam arti luas. Dengan sifatnya yang unik, sejarah berpijak pada fakta masa lampau yang dianalisis untuk memahami masa kini. Tujuan sejarah ialah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, idiografis, dan sekali terjadi; sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajeg, nomotetis, dan merupakan pola. Pendekatan sejarah juga berbeda dengan ilmu-ilmu social. Sejarah itu diakronis memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmuilmu sosial menekankan struktur (Kuntowijoyo, 2001:109). Pendidikan tidak hanya melibatkan pengajaran di sekolah tetapi, juga melibatkan pendidikan nilai yaitu penanaman nilai-nilai pada diri seseorang serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menunjukkan pendidikan nilai yang ada dalam diri Mohammad Hatta. Nilai-Nilai Pendidikan dari Sosok Mohammad Hatta antara lain: Nilai cinta tanah air (Patriotisme) pendidikan yang menanamkan nilai-nilai patriotisme secara mendalam. Memperjuangkan kedaulatan Indonesia melaui diplomasi Konferensi Meja Bundar yang dilakukan Hatta merupakan sebuah semangat patriotisme mendalam yang merupakan ekspresi dari cinta tanah air sendiri. Tidak hanya memperjuangkan, tetapi Hatta mengisi kemerdekaan itu sebaik-baiknya, yaitu dengan memperhatikan keperluan yang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk membangun suatu sistem perekonomian dan politik yang layak dan handal. Nilai demokrasi, nilai demokrasi termasuk di dalamnya, kesediaan untuk berdialog, berunding, bersepakat, dan mengatasi permasalahan dan konflik dengan cara-cara damai, bukan dengan kekerasan, melainkan melalui sebuah dialog bagi pembentukan tata masyarakat yang lebih baik.. Kemampuan berunding dalam menengahi konflik, mengutamakan dialog daripada kekerasan senjata, telah menjadi jiwa bagi perjalanan bangsa ini. Nilai demokrasi telah mendarah daging dalam diri Hatta, bahkan dalam pembuatan Undang-undang menganggap bahwa
18
sangatlah penting untuk memasukkan hak-hak individu tersebut. karena usaha gigih Bung Hatta itulah kita memiliki pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang Nilai moral Mohammad Hatta adalah seorang pemimpin yang jujur, antikorupsi, memegang teguh prinsip, tegas, terampil berorganisasi, memiliki intelektual yang taktertandingkan, dan pemegang sosialis yang setia yang berpihak pada rakyatnya. Hatta adalah seorang pemimpin yang sederhana yang mampu mengayomi rakyatnya. Nilai-nilai kemanusiaan seperti loyalitasnya terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keberpihakannya terhadap nasib rakyat, kemudian dituangkan dalam bentuk pemikiran tentang ekonomi kerakyatan, peran daerah, serta masalah hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya keadilan sosial.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan uraian di atas Hatta termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa perkembangan suatu masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional. Riwayat hidup Hatta terutama pendidikan dan organisasi yang ia geluti mempengaruhi pemikirannya-pemikirannya seperti tentang sosialisme, demokrasi, keadilan sosial, ketatanegaraan dan bentuk negara. Pemikirannya merupakan ide yang cemerlang dari seorang pemimpin yang besar dan bisa dijadikan cerminan bagi pemimpin di masa mendatang. Dalam masalah politik masa demokrasi parlementer, banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang berusaha mengejar kekuasaan. Presiden Soekarno juga telah melakukan penyimpangan saat menjadi kepala negara. Hal tersebut yang menyebabkan Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Hatta telah berusaha melakukan tugasnya dengan baik sebagai Wakil Kepala Negara baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan. Kontribusi terhadap pendidikan sejarah dalam penelitian ini, penulis mencoba menunjukkan pendidikan nilai yang ada dalam diri Mohammad Hatta. Nilai-Nilai Pendidikan dari Sosok Mohammad Hatta antara lain: Nilai Cinta Tanah Air (Patriotisme), nilai Demokrasi, nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan.
19
Pada penelitian selanjutnya dapat mengulas bagaimana kebijakan politik Hatta dari sudut pandang lain, seperti ekonomi terutama ekonomi koperasi yang dikembangkan Hatta di Indonesia atau aktivitas politik Mohammad Hatta setelah mengundurkan diri sebagai wakil presiden karena meskipun Hatta tidak terlibat lagi dalam panggung politik, namun ia tetap melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang.
DAFTAR RUJUKAN Bangun, Rikard. (ed). 2003. Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia . Gottschalk, Louis.1983. Mengerti Sejarah. (terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta: UI Press. Hatta, Mohammad. 1957. Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Jakarta: Tintamas. Joeniarto. 1990. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Kartaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia (suatu model pengantar). Bandung: Sinar Baru Algensindo. Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Mahfud MD, Moh. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (studi tentang interaksi dan kehidupan ketatanegaraan). Jakarta: Rineka Cipta. Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakrta: LP3ES. Noer, Deliar. 2012. Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. 2010. Malang: Universitas Negeri Malang. Rose, Mavis. 1991. Indonesia Merdeka, Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
20
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka 19501964. Jakarta: Menteri/Sekretariat Negara Republik Indonesia. Swasono, Meutia Farida. 1980. Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan dan Universitas Indonesia Press. Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
21