AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK Piper retrofractum VAHL. DAN Tephrosia vogelii HOOK. F. TERHADAP Crocidolomia pavonana (F.) DAN Plutella xylostella (L.) SERTA KEAMANAN EKSTRAK TERSEBUT TERHADAP Diadegma semiclausum (HELLEN)
AGUSTIN ZARKANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK Piper retrofractum VAHL. DAN Tephrosia vogelii HOOK. F. TERHADAP Crocidolomia pavonana (F.) DAN Plutella xylostella (L.) SERTA KEAMANAN EKSTRAK TERSEBUT TERHADAP Diadegma semiclausum (HELLEN)” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumber rujukannya. Tesis ini belum pernah digunakan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 19 Agustus 2008
Agustin Zarkani NRP A451060051
ABSTRACT
AGUSTIN ZARKANI. Insecticidal Activity of Piper retrofractum Vahl. and Tephrosia vogelii Hook. f. Extracts on Crocidolomia pavonana (F.) and Plutella xylostella (L.) and the Safety of the Extracts to Diadegma semiclausum (Hellen). Under the direction of DJOKO PRIJONO and PUDJIANTO. The active fractions of ethyl acetate extract of Piper retrofractum (Pr) fruits and hexane extract of Tephrosia vogelii (Tv) leaves and their mixtures were evaluated for their insecticidal activity on second-instar larvae of Crocidolomia pavonana and Plutella xylostella as well as for their safety to the adults of Diadegma semiclausum parasitoid. Fraction (fr) 2 of Pr from vacuum liquid chromatography (VLC) and fr 2-4 of Tv from column chromatography (CC) had strong insecticidal activity on C. pavonana and P. xylostella. In the test with C. pavonana, the two fractions were more active by feeding than by contact. Based on LC50 at 72 hours since treatment (HST), fr 2 VLC Pr was 3.8 times more toxic than fr 3 VLC to C. pavonana. Besides, fr 2 VLC Pr was 2.4 times more toxic to C. pavonana than to P. xylostella. On the contrary, fr 2-4 CC Tv was 1.8 times more toxic to P. xylostella than to C. pavonana. The mixture of fr 2 VLC Pr and fr 2-4 CC Tv at concentration ratios of 8:5 and 5:1 was antagonistic to C. pavonana and P. xylostella, respectively. The mixture of fr 3 VLC Pr and fr 2-4 CC Tv, however, had additive to weak synergistic joint action against C. pavonana. Fr 2 VLC Pr had weak antifeedant effect, whereas fr 2-4 CC Tv showed strong antifeedant effect against C. pavonana larvae. At equal test concentrations, the treatment with fr 2-4 CC Tv and its mixture with fr 2 KVC Pr caused much lower mortality in D. semiclausum parasitoid adults than in its host larvae, P. xylostella. This suggests the selectivity of the test extracts in favour of the parasitoid. In contrast, an organophosphate profenofos, included in this study as a positive control, was much more detrimental to D. semiclausum than to P. xylostella. In the semifield experiment, fr 2-4 CC Tv had comparable effect with profenofos and bioinsecticide Bacillus thuringiensis in reducing the population of C. pavonana larvae on broccoli plants. Thus, T. vogelii extract preparation and, to a limited extent, its mixture with P. retrofractum extract hold the potential as alternatives to conventional insecticides for the control of Brassica pests. Keywords: Botanical insecticides, lethal effect, antifeedant effect, insecticidal joint action, safety, brassica pests, parasitoid.
RINGKASAN
AGUSTIN ZARKANI. Aktivitas Insektisida Ekstrak Piper retrofractum Vahl. dan Tephrosia vogelii Hook. f. terhadap Crocidolomia pavonana (F.) dan Plutella xylostella (L.) serta Keamanan Ekstrak tersebut terhadap Diadegma semiclausum (Hellen). Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO dan PUDJIANTO. Piper retrofractum dan Tephrosia vogelii merupakan dua jenis tanaman yang memiliki potensi sebagai insektisida nabati. Meskipun sifat insektisida masingmasing tanaman telah dilaporkan, evaluasi campuran P. retrofractum dan T. vogelii sebagai insektisida nabati masih perlu dilakukan untuk menentukan keefektifannya terhadap ulat kubis Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella serta keamanannya terhadap parasitoid Diadegma semiclausum. Penelitian ini bertujuan menguji (1) efek racun perut dan kontak komponen ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii serta campurannya terhadap larva C. pavonana; (2) efek antifeedant fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap larva C. pavonana; (3) efek racun perut fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap larva P. xylostella; (4) keamanan fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap imago parasitoid D. semiclausum; dan (5) keefektifan fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap larva C. pavonana pada tanaman brokoli dalam polybag di lapangan. Ekstrak P. retrofractum diperoleh dari perkolasi serbuk buah dengan pelarut etil asetat sedangkan T. vogelii diperoleh dari maserasi serbuk daun dengan pelarut heksana. Fraksinasi ekstrak P. retrofractum dilakukan dengan kromatografi vakum cair (KVC), sedangkan fraksinasi ekstrak T. vogelii dengan KVC yang dilanjutkan dengan kromatografi kolom (KK). Semua fraksi yang didapat diperiksa kehomogenan dan kemurniannya dengan kromatografi lapisan tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Uji aktivitas ekstrak dan fraksi insektisida nabati dilakukan dengan metode residu pada daun dan metode kontak terhadap larva instar II C. pavonana. Setiap ekstrak/fraksi diuji pada lima taraf konsentrasi berdasarkan uji pendahuluan. Selain diuji secara terpisah, fraksi aktif diuji dalam bentuk campuran. Setiap perlakuan dan kontrol diulang lima kali. Hubungan antara konsentrasi bahan uji dan tingkat kematian serangga diolah dengan analisis probit. Sifat aktivitas campuran komponen ekstrak yang sama dan berbeda masing-masing diolah berdasarkan model kerja bersama serupa dan bebas. Uji pengaruh fraksi aktif terhadap aktivitas makan larva C. pavonana dilakukan dengan metode residu pada daun dengan pilihan pada konsentrasi yang setara LC10 sampai LC70. Selain itu, fraksi aktif dan campurannya juga diuji toksisitasnya terhadap larva instar II P. xylostella dan imago parasitoid D. semiclausum serta diuji secara semilapangan terhadap larva C. pavonana. Data aktivitas makan larva C. pavonana dan uji semilapangan yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%. Pemisahan dengan teknik kromatografi menghasilkan fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii sebagai fraksi teraktif terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Komponen fraksi 2 KVC P. retrofractum bersifat lebih nonpolar dibandingkan senyawa standar piperin sedangkan komponen fr 2-4 KK Tv
iii bersifat lebih polar dibandingkan dengan standar rotenon berdasarkan KLT dan KCKT. Fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan efek racun perut yang kuat dan efek racun kontak lemah. Berdasarkan LC50 pada 72 jam sejak awal perlakuan (JAP), fraksi 2 KVC P. retrofractum 3,8 kali lebih toksik daripada fraksi 3 KVC-nya terhadap larva C. pavonana. Selain itu, fraksi 2 KVC P. retrofractum 2,4 kali lebih toksik terhadap larva C. pavonana daripada terhadap larva P. xylostella. Sebaliknya, fraksi 2-4 KK T. vogelii 1,8 kali lebih toksik terhadap larva P. xylostella daripada terhadap larva C. pavonana. Campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii pada perbandingan konsentrasi 8:5 dan 5:1 masing-masing bersifat antagonis terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Fraksi 2 KVC P. retrofractum memiliki efek antifeedant lemah, sedangkan fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki efek antifeedant kuat terhadap larva C. pavonana. Campuran fraksi 3 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii bersifta aditif sampai sinergis lemah terhadap larva C. pavonana. Fraksi 2-4 KK T. vogelii pada 1,5 x LC95 terhadap larva P. xylostella relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum, sedangkan fraksi 2 KVC P. retrofractum pada 1 x LC95 terhadap larva P. xylostella mengakibatkan kematian imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum lebih dari 50%. Pada uji semilapangan, kemampuan fraksi 2-4 KK T. vogelii dalam menurunkan populasi larva C. pavonana pada tanaman brokoli sebanding dengan kemampuan insektisida sintetik profenofos dan bioinsektida Bacillus thuringiensis sehingga fraksi T. vogelii tersebut layak dikembangkan lebih lanjut. Kata kunci: Insektisida nabati, efek letal, efek antifeedant, kerja bersama insektisida, keamanan, hama Brassica, parasitoid.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun dan tanpa izin IPB.
AKIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK Piper retrofractum VAHL. DAN Tephrosia vogelii HOOK. F. TERHADAP Crocidolomia pavonana (F.) DAN Plutella xylostella (L.) SERTA KEAMANAN EKSTRAK TERSEBUT TERHADAP Diadegma semiclausum (HELLEN)
AGUSTIN ZARKANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis : Akivitas Insektisida Ekstrak Piper retrofractum Vahl. dan Tephrosia vogelii Hook. f. terhadap Crocidolomia pavonana (F.) dan Plutella xylostella (L.) serta Keamanan Ekstrak tersebut terhadap Diadegma semiclausum (Hellen) Nama
: Agustin Zarkani
NRP
: A45060051
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Pudjianto, MS. Anggota
Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. Ketua
Diketahui,
Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc.
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2008
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dadang, MSc.
PRAKATA Bismillahirrahmaanirrahiim. Puji syukur kepada ALLAH SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya yang dicurahkan dengan tiada terhingga kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tesis ini berjudul “Akivitas Insektisida Ekstrak Piper retrofractum Vahl. dan Tephrosia vogelii Hook. f. terhadap Crocidolomia pavonana (F.) dan Plutella xylostella (L.) serta Keamanan Ekstrak tersebut terhadap Diadegma semiclausum (Hellen)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Tosikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dari Maret hingga Juli 2008. Pelaksanaan penelitian ini didukung oleh Research Grant Program B kepada Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. sebagai ketua komisi pembimbing dan guru yang telah memberikan keteladanan mendalam akan arti sebuah ilmu pengetahuan. Terima kasih juga disampaikan atas segala arahan, bimbingan, motivasi, dan ide-ide cerdas yang diberikan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penelitian. 2. Dr. Ir. Pudjianto, MS. sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, dan masukan selama pelaksanaan penelitian ini. 3. Dr. Ir. Dadang, MSc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji tamu juga atas masukan-masukannya pada perbaikan tesis. 4. Mak, Abah, Apah, dan Amah selaku para orang tuaku yang telah memberikan doa, nasehat, dan semangat untuk terus berprestasi dalam beramal. 5. Istriku tersayang Silvia Gandarosa, SSi, Apt., untuk semua cinta, kesabaran, keikhlasan, dan pengorbanannya selama penulis menyelesaikan studi, juga pada para ‘mujahid kecilku’ Iffah dan Fathi, keberadaanmu telah membangkitkan semangat jihadku untuk terus belajar dan berkarya. 6. Teman-teman Entomologi/Fitopatologi 2006-2008, para laboran yang terlibat dalam penelitian ini, serta semua pihak yang begitu banyak dan tidak tersebut dalam tesis ini atas segala bantuan intelektual dan teknisnya dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan terutama di bidang entomologi.
Bogor, 19 Agustus 2008
Agustin Zarkani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 4 Agustus 1980 sebagai anak kedua dari pasangan Hazairin Bahari dan Ratna Wilis. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Farmasi Bhakti Nusa di Kota Bengkulu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu dan lulus pada tahun 2003. Sejak tahun 2004 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Pada tahun yang sama penulis menikah dengan Silvia Gandarosa dan telah dikaruniai dua orang putera yaitu Iffah Izzatun Niswa dan Muhammad Fathi Abdillah. Pada tahun 2006 penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama menempuh pendidikan S2 penulis aktif dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh Forum Mahasiswa Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi IPB dan kegiatan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ... ..........................................................................
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ...............................................................................
1
Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
5
Manfaat Penelitian .........................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA Potensi P. retrofractum sebagai Insektisida Nabati .......................
6
Potensi T. vogelii sebagai Insektisida Nabati .................................
8
Potensi Campuran Beberapa Jenis Insektisida dalam Pengendalian Hama Tanaman .....................................................................
9
Crocidolomia pavonana sebagai Hama Tanaman Brassicaceae ....
12
Plutella xylostella sebagai Hama Tanaman Brassicaceae ..............
14
Diadegma semiclausum sebagai Musuh Alami P. xylostella ........
16
Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan terhadap Parasitoid ...........
17
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan ....................................................
19
Penanaman Brokoli ........................................................................
19
Perbanyakan Serangga Uji .............................................................
19
Crocidolomia pavonana ....................................................... Plutella xylostella .................................................................. Diadegma semiclausum .......................................................
19 20 20
Bahan Uji .......................................................................................
20
Ekstraksi dan Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii ................
21
Ekstraksi P. retrofractum dan T. vogelii ............................... Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii ..............................
21 21
Metode Percobaan .........................................................................
22
Percobaan 1. Uji Toksisitas Ekstrak dan Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva C. pavonana .......................................
22
xi Halaman Percobaan 2. Uji Antifeedant Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap Larva C. pavonana ................ Percobaan 3. Uji Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva P. xylostella ..................................................................... Percobaan 4. Uji Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Imago Parasitoid D. semiclausum .......................................... Percobaan 5. Uji Semilapangan Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva C. pavonana ......................................
28 29 30 31
HASIL DAN PEMBASAHAN Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii ......
32
Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi P.retrofractum ..................... Hasil Fraksinasi Ekstrak Daun T. vogelii ..............................
32 33
Toksisitas Ekstrak dan Fraksi Aktif P. retrofractum terhadap C. pavonana ..............................................................................
36
Metode Residu pada Daun .................................................... Metode Kontak Permukaan Gelas ........................................
36 39
Toksisitas Fraksi Aktif T. vogelii terhadap C. pavonana ...............
42
Metode Residu pada Daun .................................................... Metode Kontak Permukaan Gelas ........................................
42 43
Toksisitas Campuran Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap C. pavonana ...........................................................
44
Pengaruh Antifeedant Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap Larva C. pavonana ................................................
45
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap P. xylostella ....................................
46
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap D. semiclausum ..............................
49
Uji Semilapangan terhadap C. pavonana ......................................
49
Pembahasan umum .........................................................................
53
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................
58
Saran ...............................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
60
DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil fraksinasi ekstrak etil asetat ekstrak buah P. retrofractum dengan kromatografi vakum cair serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. pavonana ...............................................................
33
2 Hasil fraksinasi ekstrak heksana daun T. vogelii dengan kromatografi vakum cair serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. Pavonana .........................................................................................
35
3 Hasil pemisahan fraksi 2 dan 3 dari Tabel 2 dengan kromatografi kolom serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. pavonana .....
35
4 Penduga parameter toksisitas ekstrak dan fraksi KVC P. retrofractum terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun ...................................................................................
40
5 Mortalitas larva instar II C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak/fraksi aktif P. retrofractum dengan metode kontak ...............
41
6 Penduga parameter toksisitas fraksi 2-4 KK T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun ......................
43
7 Mortalitas larva instar II C. pavonana yang diberi perlakuan fraksi KK T. vogelii dengan metode kontak ..................................................
44
8 Penduga parameter toksisitas campuran fraksi aktif ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun ........................................
45
9 Toksisitas campuran fraksi aktif ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun .............................................................................................
46
10 Aktivitas penghambat makan fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana ............
47
11 Penduga parameter toksisitas fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 24 KK T.vogelii, dan campurannya terhadap larva instar II P. xylostella dengan metode residu pada daun ........................................
50
12 Mortalitas imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campurannya dengan metode kontak permukaan daun ...
51
13 Persentase larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campurannya pada uji semilapangan .......................................................................................
52
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema prosedur ekstraksi dan fraksinasi ekstrak buah P. retrofarctum ..........................................................................................
23
2 Skema prosedur ekstraksi dan fraksinasi ekstrak daun T. vogelii .......
24
3 Kromatogram standar piperin (A) dan fraksi 2 KVC P. retrofractum (B) yang dideteksi dengan UV λ 275 nm ............................................
34
4 Kromatogram standar rotenon (A) dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (B) yang dideteksi dengan UV λ 295 nm ..................................................
37
5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak etil asetat (A), fraksi 2 KVC (B), dan fraksi 3 KVC (C) buah P. retrofractum ....................................................................................
38
6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan fraksi 2-4 KK T. vogelii .......................................................................
42
7 Perkembangan mortalitas larva P. xylostella yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum (A), fraksi 2-4 KK T. vogelii (B), dan campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (5:1) (C) ...............................................................................................
48
8 Data curah hujan di daerah Darmaga Bogor selama berlangsungnya percobaan semilapangan terhadap C. pavonana (Stasiun Klimatologi Darmaga-Bogor 2008) .........................................................................
53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) dan Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) merupakan hama penting tanaman famili Brassicaceae seperti kubis, kubis bunga, petsai, dan lobak baik di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah (Sastrosiswojo & Setiawati 1992; Talekar & Shelton 1993). Kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua jenis hama tersebut beragam dari sedang hingga berat (Uhan et al. 1995). Serangan oleh kedua jenis hama tersebut secara bersama-sama dapat menyebabkan gagal panen jika pengendalian tidak dilakukan, khususnya pada musim kemarau (Kalshoven 1981; Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Cepatnya pertumbuhan dan perkembangan C. pavonana dan P. xylostella dengan daya makan yang tinggi serta keterbatasan keefektifan pengendalian nonkimia di tingkat petani menjadi alasan petani menggunakan insektisida sintetik dalam mengendalikan kedua jenis hama tersebut (Smith 1975; Setiawati & Sastrosiswojo 1995). Namun demikian, penggunaan insektisida sintetik secara terus-menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti resistensi dan resurjensi hama, ledakan populasi hama sekunder, serta keracunan pada hewan ternak dan manusia (Metcalf 1982; Matsumura 1985; Rush et al. 1997). Karena itu, sebagai upaya untuk mengurangi berbagai dampak negatif tersebut perlu dikembangkan sarana pengendalian alternatif yang efektif terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu sarana pengendalian hama alternatif yang layak dikembangkan ialah insektisida nabati karena senyawa insektisida dari tumbuhan mudah terurai di lingkungan (Coats 1994; Isman 1995; Kaufman et al. 2006) dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran (Bentz & Neal 1995; Schmutterer 1997; Dono et al. 1998). Selain itu, insektisida nabati tertentu juga relatif lebih murah dan mudah diperoleh dibandingkan dengan insektisida sintetik, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar,
2 komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan penggunaannya dapat dipadukan dengan teknik pengendalian hama lainnya (Prijono 1999). Dua jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati ialah Piper retrofractum Vahl. (Piperaceae) dan Tephrosia vogelii Hook. f. (Fabaceae). P. retrofractum dikenal sebagai tanaman penghasil bumbu masak dan tanaman obat yang memberikan efek karminativa dan afrodisiak (Heyne 1987). T. vogelii dikenal sebagai tanaman agroforestry, reklamator tanah, pengendali erosi, penahan angin, tanaman pembatas, tanaman hias, pupuk hijau, penutup tanah, dan insektisida alami, selain juga dapat digunakan sebagai bahan racun untuk menangkap ikan seperti akar tuba (Heyne 1987; Gathumbi 2004). Prijono et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak metanol buah P. retrofractum memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana. Ekstrak air buah segar P. retrofractum bersifat larvasida pada nyamuk Culex quinquefasciatus Say (Diptera: Culicidae) dan Aedes aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) (Chansang et al. 2005).
Ferdi (2008) melaporkan bahwa ekstrak
heksana buah P. retrofractum memiliki sifat racun perut yang baik dengan sifat racun kontak lebih terbatas terhadap larva C. pavonana, sedangkan ekstrak metanolnya hanya aktif sebagai racun perut. Sekitar 20 senyawa amida tak jenuh telah diisolasi dari P. retrofractum, di antaranya guininsin, pelitorin, piperisida, piperin, piperlonguminin, dan retrofraktamida A (Ahn et al. 1992; Kikuzaki et al. 1993; Parmar et al. 1997). Keenam senyawa amida tersebut juga terdapat dalam beberapa spesies Piperaceae lainnya dan telah dilaporkan bersifat insektisida (Miyakado et al. 1989; Parmar et al. 1997; Scott et al. 2008). Sebagai contoh, Miyakado et al. (1989) melaporkan bahwa guininsin dan piperisida bersifat racun kontak terhadap kumbang Callosobruchus chinensis (L.) (Coleoptera: Bruchidae). Beberapa senyawa amida dari Piperaceae, yang akhir-akhir umum dikenal sebagai piperamida, bekerja sebagai racun penghambat aliran impuls saraf pada akson dan/atau bekerja dengan menghambat fungsi enzim polysubstrate monooxygenase (PSMO) yang dapat menguraikan senyawa lain termasuk insektisida (Miyakado et al. 1989; Scott et
3 al. 2008). Cara kerja yang terakhir dapat memberikan efek sinergis bila senyawa piperamida tertentu dicampurkan dengan senyawa aktif lain. Ekstrak daun T. vogelii telah dilaporkan dapat membunuh, menghambat makan, dan menolak larva P. xylostella (Morallo-Rejesus 1986). Tepung daun T. vogelii bersifat insektisida terhadap kumbang Caryedon serratus (Oliver) (Coleoptera: Bruchidae) (Delobel & Malonga 1987) dan repellent pada kumbang Callosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera: Bruchidae) (Boeke et al. 2004). Wulan (2008) melaporkan bahwa fraksi heksana dan fraksi etil asetat dari ekstraksi bertahap serta ekstrak metanol daun T. vogelii aktif terhadap larva C. pavonana pada pengujian dengan metode pemberian pakan, sedangkan pada pengujian dengan metode kontak hanya fraksi heksana yang aktif. Daun T. vogelii mengandung senyawa rotenoid yang bersifat insektisida termasuk rotenon, deguelin, dan tefrosin (Delfel et al. 1970; Hagemann et al. 1972; Marston et al. 1984; Lambert et al. 1993). Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat transfer elektron dalam NADH–koenzim ubikuinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Sifat insektisida sediaan P. retrofractum dan T. vogelii telah banyak diketahui, namun evaluasi potensi campuran P. retrofractum dan T. vogelii sebagai insektisida nabati masih perlu dilakukan untuk mendapatkan dosis yang tepat sehingga penggunaan kedua jenis bahan tersebut dapat lebih efektif dan efisien.
Beberapa penelitian tentang pengaruh campuran ekstrak tumbuhan
memberikan hasil yang beragam. Campuran serbuk daun T. vogelii dengan biji Azadirachta indica bersifat sinergis dan lebih toksik terhadap kumbang C. chinensis daripada serbuk biji Piper nigrum dan biji A. indica yang diaplikasikan secara terpisah (Reuben et al. 2006). Rejeki (1996) melaporkan bahwa campuran ekstrak biji Annona squamosa dan minyak Sesamum indicum bersifat sinergis terhadap imago betina C. maculatus pada taraf LC50. Campuran ekstrak metanol P. retrofractum dan T. vogelii serta campuran ekstrak heksana T. vogelii dan ekstrak metanol T. vogelii bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana pada LC50 dan LC95 (Saryanah 2008). Perlakuan campuran fraksi etil asetat biji Aglaia
4 harmsiana dan tangkai daun Dysoxylum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada taraf LC50, namun bersifat antagonis pada LC95 (Yuswanti & Prijono 2004). Dadang et al. (2008) melaporkan bahwa campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa serta A. indica dan A. squamosa bersifat sinergis sedangkan campuran ekstrak A. odorata dan A. muricata bersifat antagonis terhadap larva C. pavonana. Penggunaan campuran dua jenis insektisida atau lebih dapat dilakukan bila komponen campuran digunakan pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis komponennya secara terpisah sehingga lebih efisien dalam penggunan insektisida (All et al. 1977; Stone et al. 1988). Ascher et al. (1986) menyatakan bahwa bila komponen campuran dua atau lebih insektisida memiliki spektrum aktivitas yang berbeda, penggunaan campuran insektisida dapat mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus sehingga dapat meningkatkan efisiensi aplikasi dari segi waktu. Pemanfaatan campuran insektisida dengan cara kerja yang berbeda juga dapat menunda terjadinya resistensi hama (Georghiou 1983).
Oleh karena itu, informasi tentang aktivitas campuran ekstrak P.
retrofractum dan T. vogelii diharapkan berguna sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan pemanfaatannya dalam pengendalian hama C. pavonana dan P. xylostella. Salah satu komponen penting pengendalian hama terpadu (PHT) pada tanaman kubis-kubisan ialah parasitoid Diadegma semiclausum (Hellen) (Hymenoptera: Ichneumonidae), yang merupakan musuh alami utama hama P. xylostella (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Sementara itu, C. pavonana tidak memiliki musuh alami yang efektif sehingga petani mengandalkan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama tersebut.
Di pihak lain, penggunaan
insektisida yang intensif dapat mengganggu kerja parasitoid D. semiclausum. Karena itu, insektisida nabati yang akan digunakan untuk mengendalikan hama pada tanaman kubis-kubisan juga perlu dievaluasi keamanannya terhadap parasitoid tersebut.
5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengevaluasi potensi komponen ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii serta campuran komponen kedua jenis ekstrak tersebut untuk mengendalikan hama C. pavonana dan P. xylostella pada tanaman Brassicaceae.
Ruang Lingkup Penelitian 1. Pengujian efek racun perut dan kontak komponen ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii serta campurannya terhadap larva C. pavonana. 2. Pengujian efek antifeedant fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap larva C. pavonana. 3. Pengujian efek racun perut fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap larva P. xylostella. 4. Pengujian keamanan fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap imago parasitoid D. semiclausum. 5. Pengujian semilapangan keefektifan fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta campurannya terhadap larva C. pavonana.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan campuran komponen ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii yang efektif dan bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella serta relatif aman terhadap musuh alami D. semiclausum, sehingga aplikasi campuran ekstrak tersebut akan lebih efektif dalam mengendalikan populasi kedua jenis hama tanaman kubis-kubisan tersebut.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi P. retrofractum Sebagai Insektisida Nabati Piper retrofractum merupakan tanaman tahunan, merambat dan berkayu. Tinggi tanaman dapat mencapai 5 m, berbunga dan berbuah sepanjang tahun bila dilakukan pemangkasan secara teratur. Tanaman akan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 0–600 m dpl dengan curah hujan 850–2700 mm dan suhu ratarata harian 12–27 ºC (Heyne 1987; Sudiarto 1992). Buah P. retrofractum merupakan bahan yang sering digunakan sebagai rempah, berbau harum dengan rasa yang lebih tajam dibandingkan dengan lada hitam. Selain itu, buahnya juga dikenal sebagai bahan obat yang memberikan efek karminativa, menyembuhkan gangguan usus dan pencernaan, antipendarahan, dan antiiritasi (Heyne 1987; Sudiarto 1992). Di Indonesia seduhan buah P. retrofractum sering digunakan sebagai obat kumur untuk mengurangi sakit gigi, sedangkan di Filipina rebusan buahnya digunakan sebagai obat sakit perut. Di Malaysia akar P. retrofractum yang tumbuh liar digunakan sebagai penawar racun (CABI 2005). Evaluasi potensi buah P. retrofractum sebagai bahan insektisida telah dilaporkan. Prijono et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak metanol buah P. retrofractum memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana. Fraksi heksana buah P. retrofractum memiliki sifat racun perut yang baik dengan sifat racun kontak lebih terbatas terhadap larva C. pavonana (Ferdi 2008). Ekstrak air buah segar P. retrofractum bersifat larvasida pada nyamuk Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti (Chansang et al. 2005). Sekitar 20 senyawa amida tidak jenuh telah diisolasi dari P. retrofractum (Ahn et al. 1992; Kikuzaki et al. 1993; Parmar et al. 1997), yaitu (2E,4E)-Neikosadienoil piperidin, (2E,14E)-N-eikosadienoil piperidin, filfilin, guininsin, (2E,4E,14E)-N-isobutileikosatrienamida,
(2E,4E,12E)-N-isobutilokta-dekatrien
amida, (2E,8E)-N-9-(3,4-metilendioksifenil)nonadienoilpiperidin, 1-(2E,4E,12E)N-oktadekatrienoil-piperidin, 1-(2E,4E)-N-oktadekatrienoil-piperidin, pelitorin,
7 pipereikosalidin,
piperisida,
piperin,
piperlonguminin,
piperoktadekalidin,
piplartin, retrofraktamida A, retrofraktamida C, retrofraktamida D, dan silvatin (Parmar et al. 1997). Kikuzaki et al. (1993) dan Parmar et al. (1997) melaporkan senyawa lain yang terdapat dalam P. retrofractum seperti sesamin (lignan), sitosterol (steroid), dan metil piperat (ester). Di antara senyawa-senyawa tersebut di
atas,
guininsin,
pelitorin,
piperisida,
piperin,
piperlonguminin,
dan
retrofraktamida A umum terdapat dalam tumbuhan Piperaceae dan telah dilaporkan bersifat insektisida (Miyakado et al. 1989; Parmar et al. 1997; Scott et al. 2008). Piperisida dan guininsin telah dilaporkan dapat mematikan imago kumbang C. chinensis (Miyakado et al. 1989). Senyawa-senyawa amida dalam famili Piperaceae sering disebut dengan nama piperamida (Scott et al. 2008).
Beberapa senyawa piperamida yang
memiliki gugus isobutilamida dan metilendioksifenil, seperti guininsin dan piperisida, bekerja sebagai racun saraf dengan menghambat aliran impuls saraf pada akson sehingga mengakibatkan ketidakteraturan gerakan dan kejang, yang akhirnya dapat mengakibatkan kematian pada serangga sasaran (Miyakado et al. 1989; Morgan & Wilson 1999). Senyawa piperamida yang memiliki gugus metilendioksifenil juga dapat menghambat fungsi enzim polysubtrate monooxygenase (PSMO) yang mampu mengoksidasi senyawa asing termasuk insektisida. Terhambatnya fungsi enzim tersebut memungkinkan insektisida lain yang dikombinasikan dapat tetap bekerja (Matsumura 1985; Scott et al. 2008). Interaksi campuran senyawa piperamida yang diperoleh langsung dari P. retrofractum belum pernah diteliti.
Beberapa senyawa tersebut juga terdapat
dalam spesies Piper lainnya dan sifat aktivitas campurannya telah dilaporkan. Sebagai contoh, campuran tiga senyawa amida tak jenuh dari P. nigrum, yaitu piperisida, dihidropiperisida, dan guininsin, bersifat sinergis terhadap kumbang C. chinensis (Miyakado et al. 1989).
Pada penelitian lain, Scott et al. (2002)
melaporkan bahwa campuran senyawa piperamida 4,5-dihidropiperlonguminin, 4,5-dihidropiperin, piperin, dan piperlonguminin yang diisolasi dari P. tuberculatum bersifat sinergis terhadap larva nyamuk Aedes atropalpus L. Efek
8 sinergisme dapat terjadi karena adanya senyawa yang mengandung gugus metilendioksifenil yang merupakan ciri penting dari sejumlah sinergis insektisida, yang cara kerjanya menghambat enzim PSMO (Scott et al. 2008).
Selain
piperisida dan guininsin, buah P. retrofractum juga mengandung senyawa lain yang memiliki gugus metilendioksifenil, termasuk piperin, retrofraktamida A, C dan D, sesamin, dan metil piperat (Parmar et al. 1997). Berdasarkan hal tersebut, pencampuran ekstrak P. retrofractum dengan insektisida lain diharapkan dapat bersifat sinergis.
Potensi T. vogelii Sebagai Insektisida Nabati Tephrosia vogelii tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 0−2100 m dpl dengan curah hujan 850−2700 mm dan suhu rata-rata harian 12−27 ºC (Heyne 1987; CABI 2005). T. vogelii biasa digunakan sebagai bahan racun alternatif untuk menangkap ikan pengganti akar tuba, sebagai tanaman agroforestry, pembatas, pengendali erosi, penahan angin, tanaman hias, pemulih kondisi tanah, dan insektisida alami (Heyne 1987; Gathumbi 2004). Sifat insekstisida T. vogelii telah lama diketahui. Tepung daun T. vogelii biasa digunakan oleh petani di Afrika Timur untuk melindungi biji-bijian di penyimpanan dari serangan hama (Koona & Dorn 2005). Serbuk T. vogelii yang dicampur dengan kacang tanah dengan perbandingan 1:40 (w/w) dapat mengakibatkan kematian penggerek kacang tanah C. serratus (Oliver) (Coleoptera: Bruchidae) setelah 13 hari di penyimpanan (Delobel & Malonga 1987). Tepung daun T. vogelii bersifat repellent terhadap kumbang C. maculatus (Boeke et al. 2004). Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat membunuh, menghambat makan, dan menolak larva P. xylostella. T. vogelii yang diekstrak dengan pelarut kloroform dapat mematikan larva P. xylostella dengan LD50 11,0 mg/g. T. vogelii dilaporkan mengandung rotenon dan senyawa rotenoid lain seperti tefrosin dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert 1993). Di antara senyawasenyawa tersebut, rotenon, tefrosin, dan deguelin telah dilaporkan memiliki
9 aktivitas sebagai insektisida (Prakash & Rao 1997; Dev & Koul 1997). Rotenon bersifat sebagai racun respirasi sel yang bekerja dengan cara menghambat transfer elektron dalam NADH–koenzim ubiquinon reduktase (kompleks I) dari sistem transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingwoth 2001). Akibatnya aktivitas sel terhambat dan serangga menjadi lumpuh dan mati. Delfel et al. (1970) melaporkan bahwa senyawa rotenoid pada T. vogelii paling banyak ditemukan di bagian daun, selain juga terdapat di tangkai daun, batang, dan akar dalam jumlah yang lebih sedikit. Lebih lanjut Delfel et al. (1970) melaporkan adanya perbedaan komposisi kadar rotenon dan deguelin pada daun dari tujuh varietas T. vogelii. Lambert et al. (1993) melaporkan bahwa senyawa rotenoid pada kultur jaringan T. vogelii lebih banyak terakumulasi pada daun. Akumulasi rotenon dan deguelin terjadi pada kultur sel fotomiksotropik T. vogelii, sedangkan pada kultur sel heterotropik diproduksi deguelin dan tefrosin. Sumber insektisida lainnya yang berbahan aktif rotenon dari famili Fabaceae dan telah banyak digunakan adalah Derris elliptica (Prakash & Rao 1997), namun penggunaan ekstrak tumbuhan ini kurang praktis dan ketersediaan bahan baku relatif lebih sedikit karena bagian yang digunakan adalah akar. Berbeda dengan D. elliptica, bagian T. vogelii yang digunakan adalah daun sehingga lebih praktis dalam penyiapannya.
Potensi Campuran Beberapa Jenis Insektisida dalam Pengendalian Hama Tanaman Campuran beberapa jenis insektisida dapat digunakan untuk membunuh beberapa jenis hama sasaran dalam waktu yang bersamaan sehingga dapat meningkatkan efisiensi aplikasi (All et al. 1977; Ascher et al. 1986). Efisiensi aplikasi dapat lebih meningkat bila komponen campuran bersifat sinergis sehingga dosis yang digunakan lebih rendah daripada dosis masing-masing komponen pada aplikasi terpisah (Stone et al. 1988). Penggunaan campuran insektisida juga dapat menunda terjadinya resistensi akibat penggunaan tunggal bahan aktif insektisida secara terus menerus (Georghiou 1983).
MacDonald et al. (1983) melaporkan bahwa aplikasi
10 permetrin dan diklorovos secara tunggal pada Musca domestica selama delapan generasi menimbulkan resistensi 73 kali, sedangkan aplikasi kedua jenis insektisida tersebut dalam bentuk campuran hanya menimbulkan resistensi enam kali. Campuran insektisida dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu campuran yang terdiri atas dua jenis komponen yang memiliki cara kerja yang sama dan campuran yang komponennya memiliki cara kerja yang berbeda. Campuran yang mengandung dua jenis atau lebih insektisida dengan cara kerja yang
berbeda
lebih
sering
digunakan
karena
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan beberapa jenis hama sekaligus selain dapat diterapkan untuk pengelolaan resistensi hama terhadap insektisida (Georghiou 1983). Campuran yang komponen-komponennya memiliki cara kerja berbeda biasanya memiliki kerja bersama bebas (independent joint action) dan campuran yang komponenkomponennya memiliki cara kerja yang sama biasanya memiliki kerja bersama serupa (similar joint action) (Robertson & Preisler 1992). Sifat aktivitas campuran dua atau lebih senyawa aktif tumbuhan beragam, dapat sinergis, aditif, atau antagonis. Contoh efek sinergis yang telah dikenal adalah campuran sesamin dengan insektisida piretrum (Matsumura 1985). Sesamin mengandung gugus metilendioksifenil yang berperan penting dalam proses penghambatan kerja enzim pengoksidasi PSMO. Contoh lainnya adalah campuran piperisida, dihidropiperisida, dan guininsin dari biji lada yang bersifat sinergis terhadap kumbang C. maculatus (Miyakado et al.1989). Yuswanti & Prijono (2004) melaporkan bahwa perlakuan campuran fraksi etil asetat biji Aglaia harmsiana dan tangkai daun Dysoxylum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada taraf LC50, namun bersifat antagonis pada LC95.
Hermawati (2004) melaporkan bahwa campuran ekstrak Annona
glabra dan A. squamosa dengan perbandingan konsentrasi 1:1 dan 3:7 masingmasing pada dosis 80 dan 50 µg/serangga memiliki aktivitas insektisida lebih tinggi terhadap kumbang Callosobruchus sp. dibandingkan dengan ekstrak tunggalnya. Yunia (2006) melaporkan bahwa keefektifan ekstrak A. squamosa
11 meningkat bila dicampur dengan ekstrak P. retrofractum, Swietenia mahogani, atau A. odorata terhadap larva C. pavonana. Campuran serbuk daun T. vogelii dengan A. indica bersifat sinergis dan dapat mengendalikan C. chinensis lebih efektif daripada serbuk P. nigrum dan A. indica yang diaplikasikan secara terpisah (Reuben et al. 2006). Campuran ekstrak A. odorata dan A. squamosa serta A. indica dan A. squamosa bersifat sinergis sedangkan campuran ekstrak A. odorata dan A. muricata bersifat antagonis terhadap larva C. pavonana (Dadang et al. 2008).
Baru-baru ini, Saryanah (2008) melaporkan bahwa campuran ekstrak
metanol buah P. retrofractum dan ekstrak metanol daun T. vogelii serta campuran ekstrak heksana T. vogelii dan ekstrak metanol T. vogelii bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana. Efek aditif adalah efek dari kombinasi dua atau lebih senyawa aktif yang tidak berbeda nyata dengan penjumlahan efek masing-masing komponennya secara terpisah.
Pada LC50 dan LC95 72 jam sejak awal perlakuan (JAP)
campuran ekstrak heksana buah P. retrofractum dan ekstrak etil asetat daun T. vogeleii (2:5) pada uji residu pada daun serta campuran ekstrak heksana buah P. retrofractum dan ekstrak heksana daun T. vogelii (1:1) pada uji kontak bersifat aditif terhadap larva C. pavonana (Saryanah 2008). Kasus-kasus efek aditif juga dilaporkan pada perlakuan dengan insektisida sintetik, misalnya campuran insektisida deltametrin dan aminokarb terhadap larva Christoneura occidentalis (Robertson & Smith 1984). Efek antagonis adalah penurunan efek kerja senyawa aktif akibat penambahan senyawa lainnya. Koziol & Witkowski (1982) melaporkan efek antagonis antara insektisida malation dan permetrin. Efek antagonis juga terdapat pada campuran insektisida deltametrin dan metomil yang diujikan pada larva C. occidentalis (Robertson & Smith 1984). Saryanah (2008) melaporkan pada LC50 72 JAP perlakuan campuran ekstrak heksana P. retrofractum dan ekstrak heksana T. vogelii (1:1) dengan metode residu pada daun bersifat antagonis.
12 Crocidolomia pavonana Sebagai Hama Tanaman Brassicaceae C. pavonana (sin. C. binotalis Zeller) merupakan hama penting tanaman Brassica spp. seperti kubis, kubis bunga, petsai, dan lobak di daerah dataran tinggi dan rendah (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Di Indonesia C. pavonana lebih dikenal dengan istilah ulat krop kubis karena ulat ini menyerang bagian krop tanaman kubis. Hama ini menyerang tanaman pada fase vegetatif dan generatif serta serangannya dapat terjadi sepanjang tahun (Kalshoven 1981). Serangga betina C. pavonana meletakkan telur secara berkelompok pada permukaan bawah daun dengan jumlah 30−40 butir per kelompok. Telur akan menetas setelah 4–5 hari pada suhu 25–28 °C (Prijono & Hassan 1992). Menurut Othman (1982), lama stadium telur rata-rata 4 hari (3–6 hari) pada suhu 26,0–33,2 °C dengan persentase penetasan 92,4% (69,2%–100%). Larva C. pavonana melalui empat instar sebelum membentuk pupa dengan lama perkembangan larva selama 8 hingga 12 hari, rata-rata 8,7 hari. Larva instar I biasanya hidup berkelompok di permukaan bawah daun, berukuran 2,1–2,7 mm, dengan lama stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II berwarna hijau kekuningan, panjang 5,5 hingga 6,1 mm, dengan lama stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau dengan panjang tubuh 11–13 mm dan lama stadium rata-rata 1,5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis keputihan longitudinal pada bagian dorsal dan satu garis di setiap bagian lateral tubuhnya. Bagian dorsal tubuh larva instar IV akan berubah warna dari hijau menjadi kecokelatan yang mencirikan larva sudah tidak makan lagi untuk memasuki fase pupa.
Pupa
biasanya terbentuk 2–6 cm di dalam tanah dengan lama masa pupa sekitar 11–12 hari. Imago berwarna cokelat keabu-abuan, terdapat dua bintik pada sayap depan. Imago betina biasanya mempunyai abdomen yang lebih besar daripada imago jantan. Imago jantan dapat dibedakan dengan adanya rambut-rambut cokelat tua pada tepi anterior sayap depan (Prijono & Hassan 1992). Siklus hidup imago betina berkisar 23-28 hari (rata-rata 24,8 hari) dan imago jantan 24-29 hari (ratarata 25,1 hari) (Prijono & Hassan 1992). Selama 2–4 minggu masa hidupnya,
13 imago betina mampu menghasilkan telur sekitar 75–300 butir dalam 2-10 kelompok telur (Kalshoven 1981). Pengendalian C. pavonana dapat dilakukan secara mekanis, kultur teknis, biologi, dan kimiawi. Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan memungut kelompok telur dan larva instar awal yang ditemukan di pertanaman dengan menggunakan tangan (Setiawati & Sastrosiswojo 1995). Pengendalian secara kultur teknis dengan sistem tumpang sari tanaman kubis dengan tanaman perangkap sawi jabung (Brassica juncea) dan rape (Brassica napus) dapat mengurangi serangan C. pavonana pada tanaman kubis (Prabaningrum & Sastrosiswojo 1996). Srinivasan & Moorthy (1991) melaporkan penggunaan B. juncea sebagai tanaman perangkap dapat menarik hama C. pavonana hampir 80%. Di alam, C. pavonana diserang oleh berbagai jenis musuh alami termasuk parasitoid larva Eriborus sp., Apanteles obliquae, Enicopilus xanthocephalus, Palexorista solennis, dan Diplazon orientalis (Raich 1976; Singh & Rawat 1980; Nagarkatti & Jayanth 1982). Sastrosiswojo dan Setiawati (1992) melaporkan bahwa tabuhan parasitoid Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Palexorista inconspicuoides Baranov (Hymenoptera: Tachinidae) telah ditemukan menyerang larva instar III atau IV C. pavonana di Indonesia, namun kemunculan imago E. argenteopilosus pada larva C. pavonana relatif rendah, yaitu hanya sekitar 7,23% (Othman 1982). Selain itu, toksin dari bakteri Bacillus thuringiensis juga efektif mematikan larva C. pavonana (Krishnaiah et al. 1981). Dalam kerangka PHT kubis, pengendalian C. pavonana secara kimia dapat dilakukan bila populasi hama telah mencapai ambang pengendalian, yaitu 3 kelompok telur per 10 tanaman. Insektisida yang dapat digunakan dalam PHT kubis ialah insektisida selektif termasuk bioinsektisida B. thuringiensis dan insektisida yang bekerja sebagai penghambat perkembangan serangga (IGR: insect growth regulator) dari golongan asilurea (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).
14 Plutella xylostella Sebagai Hama Tanaman Brassicaceae P. xylostella merupakan hama tanaman Brassicaceae yang bersifat kosmopolit (Kalshoven 1981).
Selain itu, P. xylostella juga dilaporkan
menyerang tanaman famili Capparidaceae seperti Cleome rutidosperma dan C. invisa sebagai inang alternatif (CABI 2005).
Larva P. xylostella menyerang
tanaman pada fase vegetatif dan generatif (Kalshoven 1981). Imago betina P. xylostella meletakkan telurnya secara tunggal atau berkelompok tiga atau empat butir. Satu ekor imago betina selama hidupnya dapat memproduksi telur 33–209 butir (Harcourt 1961; Kalshoven 1981). Telur berukuran 0,44 mm x 0,26 mm dan umumnya berwarna kekuning-kuningan (Harcourt 1961).
Masa inkubasi telur P. xylostella bergantung pada suhu
lingkungannya. Harcourt (1957) melaporkan masa inkubasi telur sekitar 4–8 hari di Ontario, Kanada, sedangkan di Malaysia rata-rata 5,6 hari, namun umumnya sekitar 3 hari (Ooi & Kelderman 1979). Larva P. xylostella melewati empat instar dan yang pertama biasanya hidup mengorok jaringan dalam daun.
Larva instar II bersifat surface-feeder dan
memakan tanaman dengan rakus. Larva yang tumbuh normal biasanya berwarna hijau dengan lebar kapsul kepala sekitar 0,24 mm (Vos 1953). Larva instar III berwarna hijau dengan rambut berwarna hitam dan memiliki bercak cokelat dengan dasar kekuningan pada bagian kepala. Larva instar IV selain memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, juga memiliki warna hijau lebih jelas dan cerah dibandingkan instar III (Luter 1987). Vos (1953) melaporkan bahwa lebar kapsul kepala larva instar III dan IV larva P. xylostella masing-masing sekitar 0,37 mm dan 0,59 mm. Rata-rata lama fase larva 15–21 hari di Ontario (Harcourt 1957), 10–30 hari di New South Wales, Australia, tetapi hanya 6 hari di Malaysia (Ooi & Kelderman 1979), dan 5–11 hari di Indonesia (instar I, 1–2 hari; instar II, 1–3 hari; instar III, 1–3 hari; dan instar IV, 2–3 hari) (Luter 1987). Larva membentuk pupa pada permukaan bawah daun, diliputi kokon yang terbuat dari sejenis benang sutera. Lama stadium pupa 3–5 hari. Imago berupa ngengat berukuran kecil, berwarna cokelat kelabu, dan pada anterior sayapnya terdapat pola seperti
15 berlian (diamond). Imago jantan memiliki lama hidup 5–9 hari sedangkan imago betina 1–14 hari. Secara umum P. xylostella memiliki siklus hidup 12–15 hari di daerah dataran rendah dan 20–25 hari di dataran tinggi (Kalshoven 1981). Berbagai teknik pengendalian terhadap P. xylostella telah dilakukan yaitu pengendalian secara kultur teknis, feromon seks, tanaman tahan, biologi, dan kimiawi.
Pengendalian secara kultur teknis dilakukan dengan cara tumpang
sari/intercropping (Magallona 1986), penggunaan sprinkler irrigation (Talekar & Lee 1985), tanaman perangkap (Luther et al. 1996; Charleston & Kfir 2000), rotasi tanaman (Theunissen et al. 1996), dan pembersihan lahan (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Feromon seks yang dapat digunakan dalam pengendalian P. xylostella mengandung komponen (Z)-11-heksadekenal, (Z)-11-heksadekenil asetat, dan (Z)-11-heksadekenil alkohol (Mitchell et al. 1997).
Penggunaan
kultivar kubis normal-bloom cabbage dan glossy-leaf cabbage di Amerika Serikat terhadap P. xylostella telah dilaporkan mampu mengurangi kerusakan tanaman akibat serangan hama tersebut (Dickson et al. 1990). Pengendalian P. xylostella secara biologi dilakukan dengan menggunakan parasitoid dan mikroorganisme entomopatogen. Di Indonesia, pengendalian P. xylostella dengan parasitoid Diadegma semiclausum telah dilakukan sejak tahun 1950 dengan tingkat parasitasi 79%–88% (Sastrosiswojo & Setiowati 1993). Selain itu, berbagai jenis mikroorganisme entomopatogen efektif membunuh larva P. xylostella, antara lain Beauveria bassiana (Yoon et al. 1999), Metarhizium anisopliae (Amiri et al. 1999), Zoopthora radicans (Furlong & Pell 1997), Baculovirus (Kadir et al. 1999), dan beberapa spesies nematoda entomopatogen (Yang et al. 1999; Baur et al. 1998). Sistem PHT terhadap hama P. xylostella telah lama dikembangkan. Penggunaan insektisida dapat dilakukan bila populasi larva P. xylostella telah mencapai ambang pengendalian, yaitu 5 larva per 10 tanaman, dengan mempertimbangkan tingkat parasistisasi oleh parasitoid D. semiclausum. Seperti pengendalian terhadap hama C. pavonana, insektisida yang dapat digunakan terhadap hama P. xylostella dalam kerangka PHT kubis ialah insektisida selektif
16 termasuk bioinsektisida B. thuringiensis dan insektisida kelompok IGR (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).
Diadegma semiclausum sebagai Musuh Alami P. xylostella D. semiclausum (sin. Diadegma eucerophagum Horstmann) merupakan parasitoid yang memiliki sifat partenogenesis arenotoki, yaitu telur-telur yang dibuahi (diploid) akan menghasilkan individu betina, sedangkan yang tidak dibuahi (haploid) menghasilkan individu jantan (Godfray 1994). Ooi (1980) dan Fitton & Walker (1990) menyatakan bahwa inang D. semiclausum sebagian besar adalah mikrolepidoptera.
Parasitoid D. semiclausum bersifat endoparasit dan
dapat memarasit semua tingkat instar larva P. xylostella dengan tingkat keberhasilan tertinggi pada inang larva instar III (Sieglaff et al. 1998). Sampai saat ini di Indonesia belum ditemukan inang D. semiclausum selain P. xylostella (Kalshoven 1981; Ooi 1990). Penggunaan D. semiclausum sebagai parasitoid untuk mengendalikan hama P. xylostella telah dilakukan sejak tahun 1950 oleh Vos (1953) dengan cara mengintroduksikan serangga parasitoid tersebut dari daerah bagian utara Selandia Baru. Pada tahun yang sama parasitoid tersebut berhasil dikembangkan di Pacet, Jawa Barat (Sastrosiwojo 1984) dan selanjutnya dilepaskan ke daerah-daerah lainnya seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera (Kalshoven 1981). Parasitoid D. semiclausum saat ini telah berkembang baik terutama di Jawa Barat dengan tingkat parasitasi 79%–88% (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Kartosuwondo (1987) telah melaporkan biologi D. semiclausum.
Telur
bertipe hymenopteriform dengan ukuran sekitar 0,6 mm x 0,06 mm. Masa telur sekitar 1,7–1,8 hari. Larva membutuhkan waktu perkembangan 6–7 hari dan melewati tiga fase instar yaitu instar pertama, instar pertengahan, dan instar terakhir. Pupa D. semiclausum bertipe eksarata, berada dalam kokon berbentuk kapsul yang terbuat dari benang sutera yang terjalin rapat. Imago berwarna hitam dengan lama hidup berkisar 8,7–9,2 hari sedangkan masa oviposisinya sekitar 5–
17 10 hari. Siklus hidup D. semiclausum 16,2–16,5 hari. Serangga betina dapat dibedakan dari yang jantan dengan adanya ovipositor yang mudah terlihat.
Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan terhadap Parasitoid Senyawa kimia tumbuhan dapat memberikan efek positif dan negatif terhadap parasitoid. Pengaruh positif yang telah diketahui di antaranya ialah peran senyawa fitokimia sebagai penarik (antractant) dalam menemukan serangga inang serta kemampuannya memperbaiki kualitas hidup parasitoid. Senyawa dari kelompok terpenoid yang terdapat pada tanaman jagung berperan sebagai sinomon yang menarik parasitoid Cotesia marginiventis (Cresson) (Hymneptera: Braconidae) dalam menemukan serangga hama Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Nocuidae) (Turling & Tumlinson 1991).
Perlakuan azadiraktin
terhadap larva instar II Bactrocera dorsalis (Hendel) dan Ceratitis capitata (Wied.)
(Diptera:
Diachasmimophora
Tephritidae), longicudata
masing-masing
(Asmead)
dan
inang
parasitoid
Diachasmimorpha
tryoni
(Cameron) (Hymenoptera: Braconidae) cenderung berpengaruh positif terhadap kemunculan, lama hidup, dan reproduksi imago parasitoid (Stark et al. 1992). Imago E. Argenteopilosus yang muncul dari larva inang C. pavonana yang telah diberi perlakukan fraksi aktif ekstrak biji A.. harmsiana pada konsentrasi 0,044% (LC25) cendrung mempunyai bobot tubuh, panjang sayap, panjang tibia tungkai belakang, lama hidup, dan kapasiats reproduksi lebih baik daripada imago parasitoid yang muncul dari inang tanpa perlakuan fraksi aktif ekstrak tersebut (Dono et al. 1998). Pengaruh negatif senyawa fitokimia terhadap parasitoid antara lain bersifat racun (Kester & Barbosa 1991; Gauld et al. 1992) dan menurunkan kualitas hidup parasitoid (Campbell & Duffey 1979). Ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L.) pada konsentrasi 0,06–0,1% cukup toksik terhadap imago D. semiclausum (Istiaji 1998).
Kandungan α-tomatin dalam pakan buatan Heliothis zea Boddie
(Lepidoptera: Noctuidae) mengakibatkan berkurangnya kelangsungan hidup, kecilnya ukuran tubuh, dan rendahnya masa hidup imago parasitoid Hyposoter
18 exigua (Viereck) (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Campbell & Duffey 1979). Barbosa et al. (1991) melaporkan bahwa pemberian pakan alami yang mengandung senyawa nikotin dan rutin pada larva Manduca sexta (L.) (Lepidoptera: Sphingidae) menurunkan pertumbuhan, lama perkembangan, dan sintasan parasitoid Cotesia congregata Say (Hymenoptera: Braconidae). Tingkat parasitisasi Hyposoter didymator Thurnberg (Hymenoptera: Ichneumonidae) terhadap Helicoperva armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman kapri (Pisum sativum L.) menurun karena adanya eksudat asam di permukaan daun tanaman (Murray et al. 1995). Price dan Schuster (1991) melaporkan bahwa aplikasi ektrak biji mimba (Azadirachta indica) dapat menurunkan jumlah parasitoid yang menyerang Bemisia tabaci (Genn.) (Homoptera: Aleyrodidae).
19
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Kebun Percobaan Cikabayan IPB mulai Maret 2008 hingga Juni 2008. Penanaman Brokoli Benih brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck cv. Liberty; Petoseed, Oxnard, California) disemai pada nampan plastik yang berisi tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Bibit yang telah berumur 3 minggu dipindahkan ke polybag kapasitas 5 L sebanyak satu bibit per polybag. Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan, dan pemupukan. Tanaman dipupuk dengan NPK (15:15:15) sebanyak 0,4 g per polybag pada saat tanaman berumur 3-4 minggu. Daun yang diambil dari tanaman yang berumur 2 bulan digunakan sebagai pakan larva Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella.
Perbanyakan Serangga Uji Crocidolomia pavonana Larva C. pavonana diperbanyak di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Larva tersebut diberi pakan daun brokoli dalam wadah plastik (13 cm x 11 cm x 5 cm) yang bagian atasnya berjendela kasa sampai larva menjelang berpupa. Pemeliharaan dilakukan setiap hari dan pakan diganti dua hari sekali atau sesuai kebutuhan. Menjelang berpupa, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik lain yang berisi serbuk gergaji sebagai medium berpupa. Pupa yang terbentuk dikeluarkan dari wadah dan dipindahkan ke dalam kurungan plastik-kasa berbingkai kayu (40 cm x 40 cm x 40 cm). Imago yang muncul diberi pakan larutan madu (10%) yang diserapkan pada gumpalan kapas. Dua hari setelah kemunculan imago, ke dalam kurungan dimasukkan daun brokoli yang ditempatkan dalam botol film berisi air sebagai tempat peletakan telur. Telur yang menempel di permukaan daun dipindahkan ke dalam kotak
20 plastik (5 cm x 25 cm x 5 cm) sampai menetas. Larva dipelihara seperti di atas sampai beberapa generasi.
Larva instar II digunakan untuk percobaan dan
selebihnya digunakan untuk perbanyakan selanjutnya.
Plutella xylostella Perbanyakan P. xylostella dilakukan seperti cara perbanyakan C. pavonana di atas. Setelah larva memasuki instar IV akhir, larva dibiarkan berpupa pada daun pakan. Selanjutnya pupa dipindahkan ke dalam kurungan plastik bening berbentuk tabung (garis tengah 20 cm, tinggi 50 cm) hingga terbentuk imago. Larva yang digunakan untuk percobaan adalah larva instar II.
Diadegma semiclausum Perbanyakan parasitoid D. semiclausum menggunakan larva instar III P. xylostella sebagai inangnya. Satu ekor imago betina D. semiclausum dipajankan pada 20-25 ekor larva P. xylostella dalam kurungan plastik (diameter 7,5 cm dan tinggi 20 cm) selama 24 jam. Setelah itu parasitoid dikeluarkan dari kurungan dan diberi larva inang baru. Larva inang dipelihara hingga terbentuk imago parasitoid. Imago D. semiclausum yang berhasil keluar dari kokon dipindahkan ke dalam kurungan plastik berbentuk tabung dengan garis tengah 10 cm dan tinggi 25 cm. Imago D. semiclausum diberi makan madu 10% yang diserapkan pada gumpalan kapas. Imago D. semiclausum yang berumur 2-3 hari setelah keluar dari kokon digunakan untuk percobaan.
Bahan Uji Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak ialah buah cabai jawa (Piper retrofractum) dan daun kacang babi (Tephrosia vogelii), yang masing-masing dibeli dari kios obat tradisional di Bogor dan Lembaga Pertanian Sehat, Dompet Dhuafa Republika di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor (636 m dpl, 60 44’ 44,7” LS dan 1060 49’ 57,5” BT). Sebagai insektisida pembanding digunakan formulasi yang mengandung bahan aktif Bacillus thuringiensis (Turex
21 WP, delta-endotoksin B. thuringiensis var. aizawai strain GC-91 3,8%, 25.000 IU/mg) dan profenofos (Curacron 500 EC, kadar bahan aktif 499,53 g/l), yang masing-masing diperoleh dari PT. Tanindo Subur Prima dan PT. Syngenta Indonesia, Jakarta.
Ekstraksi dan Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii Ekstraksi P. retrofractum dan T. vogelii Simplisia bahan uji dihaluskan dengan blender dan diayak dengan pengayak bermata 0,5 mm. Serbuk P. retrofractum 150 g diekstrak dengan pelarut etil asetat dengan teknik perkolasi. Perendaman ulang dilakukan hingga larutan hasil perkolasi tidak berwarna.
Hasil perkolasi ditampung dalam labu penguap,
kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 °C dan tekanan 337 mbar. Pelarut yang diperoleh kembali dari penguapan digunakan untuk perkolasi ulang ampas ekstrak tersebut. Ekstrak T. vogelii diperoleh dengan cara maserasi 300 g serbuk dengan pelarut heksana. Pemilihan jenis pelarut tersebut berdasarkan tingkat keaktifan yang lebih tinggi pada ekstraksi bertahap (Wulan 2008). Setelah cairan ekstrak disaring dengan menggunakan corong kaca (diameter 9 cm) beralaskan kertas saring Whatman No. 41, ampas direndam ulang lima kali masing-masing dengan 1,5 l heksana. Perendaman ulang dilakukan hingga larutan hasil penyaringan tidak berwarna.
Hasil saringan ditampung dalam labu penguap, kemudian
diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 °C dan tekanan 335 mbar. Pelarut yang diperoleh kembali dari penguapan digunakan untuk merendam ulang ampas ekstrak tersebut. Semua ekstrak yang diperoleh disimpan di dalam lemari es dengan suhu ± 4 oC sampai digunakan untuk pengujian.
Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii Ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii difraksinasi secara terpisah dengan kromatografi vakum cair (KVC) dengan penjerap Silica Gel 60 F254 (40-63 µm) seperti yang dikemukakan oleh Coll & Bowden (1986). Pelarut yang digunakan
22 adalah dikorometana dan etilasetat dengan perbandingan berturut-turut 1:0, 9:1, dan 0:1. Fraksi aktif KVC T. vogelii dipisahkan lebih lanjut dengan kromatografi kolom (KK) menggunakan eluen berturut-turut diklorometana-etilasetat 9:1, etilasetat, dan metanol. Fraksi yang diperoleh diperiksa kehomogenannya dengan kromatografi lapisan tipis (KLT) menggunakan pelat aluminium berpenjerap Silica Gel 60 F254 dan pelarut pengembang kloroform-dietil eter (19:1). Bercak komponen fraksi pada pelat KLT dideteksi menggunakan sinar ultraviolet (UV) λ 254 nm. Fraksi dengan retention factor (Rf) sama disatukan dan setiap fraksi atau fraksi gabungan diuji aktivitasnya terhadap larva C. pavonana dengan cara seperti yang diuraikan pada uji toksisitas. Fraksi yang aktif selanjutnya diperiksa kemurniannya dengan KLT dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kondisi KCKT: kolom C18, pelarut bergradien metanol:air dari perbandingan 50:50 menjadi 95:5 dalam waktu 15 menit, deteksi dengan sinar UV pada λ 275 nm untuk fraksi aktif P. retrofractum dan 295 nm untuk fraksi aktif T. vogelii. Prosedur ekstraksi dan fraksinasi ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii secara skematis ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.
Metode Percobaan Percobaan 1. Uji Toksisitas Ekstrak dan Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva C. pavonana Metode residu pada daun. Ekstrak atau fraksi dilarutkan dalam campuran pengemulsi metanol, aseton, dan Tween 80 (5:5:2) kemudian diencerkan dengan akuades hingga volume yang diinginkan (konsentrasi akhir metanol + aseton + Tween 80 1,2%). Pada pemantauan fraksinasi ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii dengan KVC, setiap fraksi diuji pada konsentrasi 0,1%–0,5% dan pada pemisahan fraksi aktif T. vogelii dengan KK, setiap fraksi diuji pada konsentrasi 0,01%- 0,1%. Daun brokoli berukuran 4 cm x 4 cm dicelupkan dalam emulsi ekstrak perlakuan dan kontrol (campuran akuades, pelarut, dan pengemulsi) hingga basah
23
Serbuk buah Piper retrofractum (150 g)
+ EtOAc, disaring, diuapkan Ekstrak kasar (15,86 g) Ekstrak kasar 13 g
Fraksi CH2Cl2 (1,8884 g)
Fraksi CH2Cl2: EtOAc (6,9401 g)
* KVC, CH2Cl2; CH2Cl2: EtOAc (9:1); EtOAc; MeOH Fraksi EtOAc (1,2748 g)
Fraksi MeOH (1,0149 g) *KLT, kloroform:dietil eter (19:1) * Penggabungan bercak dengan Rf sama
Fr 1
Fr 2
Fr 2
Gambar 1
Fr 2+
Fr 3
Fr 4
Fr 5
Fr 6
Fr 3
Skema prosedur ekstraksi dan fraksinasi ekstrak buah P. retrofarctum
24 Ekstrak heksana daun Tephrosia vogelii (9 g)
* KVC, CH2Cl2; CH2Cl2: EtOAc (9:1); EtOAc; MeOH
Fraksi CH2Cl2 (6,7877 g)
Fraksi CH2Cl2: EtOAc (0,3954 g)
Fraksi EtOAc (0,4090 g)
Fraksi MeOH (1,2867) *KLT, kloroform:dietil eter (19:1) *Penggabungan bercak dengan Rf sama
Fr 1
Fr 3
Fr 2
Fr 5
Fr 4
* Kromatografi kolom, CH2Cl2, CH2Cl2:EtOAc (9:1), EtOAc, MeOH
Fr 2-1
Fr 2-2
Fr 2-3
Fr 2-4
Fr 2-5
Fr 3-1
Fr 3-2
Fr 3-3
Fr 3-4
Fr 3-5
*KLT, kloroform:dietil eter (19:1) *Penggabungan bercak dengan Rf sama Fr 2-4 & Fr 3-3
Gambar 2 Skema prosedur ekstraksi dan fraksinasi ekstrak daun T. vogelii
25 merata. Setelah dikeringanginkan, daun brokoli perlakuan atau kontrol diletakkan dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang dialasi tisu, kemudian 15 ekor larva instar II C. pavonana dimasukkan ke dalam cawan tersebut. Setiap perlakuan dan kontrol diulang lima kali. Setelah 48 jam daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Jumlah larva yang mati dicatat setiap hari hingga hari ke-3. Fraksi dianggap aktif bila perlakuan dengan fraksi tersebut dapat mengakibatkan kematian larva uji > 80% (kematian kumulatif pada hari ke-3). Fraksi yang aktif, yaitu fraksi 2 dan 3 KVC P. retrofractum serta fraksi 24 KK T. vogelii, diuji lebih lanjut terhadap larva C. pavonana pada lima taraf konsentrasi yang diharapkan dapat menyebabkan kematian serangga uji antara 0% dan 100% (eksklusif). Untuk setiap taraf konsentrasi digunakan 15 ekor larva instar II dengan lima ulangan. Mortalitas larva diamati dan dicatat setiap hari hingga hari ke-3. Hubungan antara konsentrasi bahan uji dan tingkat kematian serangga uji diolah dengan analisis probit (Finney 1971) menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). Uji toksisitas campuran fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap larva C. pavonana dilakukan dengan cara yang sama seperti di atas. Campuran yang diuji ialah fraksi 2 + fraksi 3 KVC P. retrofractum (2:5), fraksi 2 KVC P. retrofractum + fraksi 2-4 KK T. vogeliii (8:5), dan fraksi 3 KVC P. retrofractum + fraksi 2-4 KK T. vogelii (2:5). Perbandingan konsentrasi dalam campuran berdasarkan perbandingan LC50 komponen masing-masing. Toksisitas insektisida pembanding profenofos (Curacron 500 EC) terhadap larva C. pavonana juga diuji dengan cara yang sama seperti di atas. Pengujian dilakukan pada lima taraf konsentrasi berdasarkan uji pendahuluan.
Untuk
pengujian, formulasi profenofos diencerkan dengan akuades yang mengandung Tween 80 0,2% sesuai konsentrasi yang diinginkan.
Air yang mengandung
Tween 80 0,2% digunakan sebagai larutan kontrol. Metode kontak. Metode ini dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut sifat racun kontak ekstrak kasar, fraksi 2, 5, dan 3 KVC P. retrofractum, fraksi 2-
26 4 KK T. vogelii serta insektisida sintetik profenofos terhadap larva C. pavonana. Konsentrasi tertinggi setiap bahan uji dalam pengujian ini setara dengan lima kali konsentrasi yang dapat mengakibatkan kematian larva C. pavonana sekitar 80% pada uji pendahuluan dengan metode residu pada daun. Setiap bahan uji dilarutkan dalam aseton sesuai konsentrasinya masingmasing.
Setiap larutan uji dipipet sebanyak 0,5 ml ke dalam tabung gelas
berdiameter 2,2 cm dan tinggi 5,8 cm. Tabung gelas ditutup dan diputar-putar pada posisi miring untuk menyebarkan larutan bahan uji secara merata pada permukaan dalam tabung gelas tersebut. Kelebihan larutan ekstrak dibuang, lalu pelarut diuapkan dengan meletakkan tabung gelas tersebut di dalam kamar asap. Setelah pelarut menguap, tabung dikeluarkan dari dalam kamar asap dan ke dalam setiap tabung dimasukkan 15 larva C. pavonana instar II yang berumur sekitar 3-4 jam setelah ganti kulit. Selanjutnya tabung diletakkan terbalik di atas cawan petri yang bagian permukaannya telah ditetesi dengan bahan uji yang sama serta diuapkan pelarutnya. Sebagai kontrol, larva uji dimasukkan ke dalam tabung gelas yang diberi perlakuan aseton saja.
Setelah 2 jam kontak, larva uji
dipindahkan ke dalam cawan petri yang dialasi tisu dan berisi potongan daun brokoli (4 cm x 4 cm) tanpa perlakuan. Setiap perlakuan diulang lima kali. Jumlah larva yang mati dihitung pada 24 jam setelah perlakuan (setelah pemindahan ke cawan petri). Analisis sifat aktivitas campuran. Senyawa aktif ekstrak P. retrofractum dan T. vogelii memiliki cara kerja yang berbeda sehingga dalam analisis sifat aktivitas campuran digunakan model kerja bersama bebas (Prijono 2002). Hasil analisis probit pada perlakuan fraksi tunggal maupun campuran manghasilkan nilai a (intercept), b (slope), LC50, dan LC95. Untuk campuran, LC50 atau LC95 yang diperoleh disebut LC50 atau LC95 percobaan. Untuk campuran ekstrak yang berasal dari jenis tumbuhan yang sama, sifat aktivitas campuran dianalisis berdasarkan model kerja bersama serupa dengan menghitung nisbah ko-toksisitas pada taraf LC50 dan LC95 (Wadley 1945 dalam
27 Kosman & Cohen 1996).
LCx(campuran) yang diperoleh dari pengujian
campuran ekstrak disebut LCx(campuran) percobaan. LCx(campuran) harapan dihitung dengan rumus berikut (Wadley 1945 dalam Kosman & Cohen 1996): LCx(campuran) harapan = 1/[(p1/LCx(1)) + (p2/LCx(2))] p1 dan p2 masing-masing proporsi konsentrasi komponen 1 (fraksi 2 KVC P. retrofractum) dan komponen 2 (fraksi 3 KVC P. retrofractum) dalam campuran; LCx(1) dan LCx(2) masing-masing LCx komponen 1 dan komponen 2. Nisbah kotoksisitas (NK) campuran komponen tersebut dihitung dengan rumus:
NK =
LCx(campuran) harapan LCx(campuran) percobaan
Kategori sifat interaksi campuran berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh Kosman & Cohen (1996) dan Gisi (1996): (1) bila NK < 0,7, komponen campuran bersifat antagonistik; (2) bila NK 0,7–1,3, komponen campuran bersifat aditif; (3) bila NK > 1,3–2, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; (4) bila NK > 2, komponen campuran bersifat sinergistik kuat. Untuk campuran ekstrak yang komponennya berasal dari jenis tumbuhan yang berbeda, sifat aktivitas campuran dianalisis berdasarkan model kerja bersama berbeda dengan menghitung indeks kombinasi pada taraf LC50 dan LC95. Indeks kombinasi (IK) pada taraf LCx tersebut dihitung dengan rumus berikut (Chou & Talalay 1984): 1( cmp )
IK =
LC x 1 LC x
2 ( cmp )
+
LC x 2 LC x
1( cmp )
+
LC x 1 LC x
2 ( cmp )
x
LC x 2 LC x
LCx1 dan LCx2 masing-masing LCx komponen fraksi 2 atau 3 KVC P. retrofractum dan fraksi 2 KK T. vogelii pada pengujian terpisah; LCx1(cm) dan LCx2(cm) masing-masing LC komponen fraksi 2 atau 3 KVC P. retrofractum dan
28 fraksi 2 KK T. vogelii dalam campuran yang mengakibatkan mortalitas x (misal 50% dan 95%).
Nilai LC tersebut diperoleh dengan cara mengalikan LCx
campuran dengan proporsi konsentrasi komponen fraksi 2 atau 6 KVC P. retrofractum dan fraksi 2 KK T. vogelii dalam campuran. Kategori sifat interaksi campuran diadaptasi dari Kosman & Cohen (1996) dan Gisi (1996) berdasarkan kebalikan nilai nisbah ko-toksisitas: (1) bila IK < 0,5, komponen campuran bersifat sinergistik kuat; (2) bila IK 0,5–0,77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah; (3) bila IK > 0,77–1,43, komponen campuran bersifat aditif; (4) bila IK > 1,43, komponen campuran bersifat antagonistik.
Percobaan 2. Uji Antifeedant Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap Larva C. pavonana Fraksi tunggal yang aktif pada uji toksisitas diuji pengaruhnya terhadap aktivitas makan larva instar II C. pavonana dengan metode pilihan. Setiap jenis fraksi diuji pada lima taraf konsentrasi yang setara dengan LC10, LC25, LC40, LC55, dan LC70 berdasarkan hasil pengujian dengan metode residu pada daun. Setiap perlakuan diulang lima kali. Cara pemberian perlakuan pada daun pakan sama seperti pada pengujian toksisitas dengan metode residu pada daun. Potongan daun brokoli (2,5 cm x 2,5 cm) dibuat dari bagian lembaran daun brokoli di kedua sisi tulang daun utama. Potongan daun dari salah satu sisi tulang daun digunakan untuk perlakuan dan potongan daun dari sisi lainnya untuk kontrol. Sebelum diberi perlakuan, semua daun diukur dengan menggunakan milimeter blok untuk mendapatkan luas daun awal.
Untuk memperkirakan
proporsi bobot epidermis, diambil 10 potongan daun lain dengan ukuran yang sama, kemudian bagian mesofil daun dikelupas hingga tersisa bagian epidermisnya saja. Proporsi bobot epidermis terhadap bobot awal daun sebelum dikelupas digunakan untuk memperkirakan proporsi epidermis bila pada bagian daun yang dimakan tersisa epidermis.
29 Dua potongan daun perlakuan dan dua potongan daun kontrol diletakkan secara berselang-seling di dalam cawan petri yang dialasi tisu. Selanjutnya 10 ekor larva instar II awal C. pavonana dilepaskan di bagian tengah arena makan. Setelah 24 jam, luas daun yang dimakan dan perkiraan luas total daun akhir diukur dengan menggunakan milimeter blok. Proporsi luas daun yang dimakan kemudian dikalikan dengan luas total daun awal untuk mendapatkan data luas daun yang dimakan. Pengukuran luas total daun awal dan akhir dilakukan untuk memperhitungkan penyusutan luas daun selama periode pengujian (24 jam). Persentase penghambatan makan (efek antifeedant) dihitung berdasarkan data luas daun perlakuan dan daun kontrol yang dimakan larva menggunakan rumus berikut: AF =
Dk − Dp x 100% Dk + Dp
AF : efek antifeedant Dk : luas daun kontrol yang dimakan larva (mm2) Dp : luas daun perlakuan yang dimakan larva (mm2) Data perbedaan luas daun kontrol dan daun perlakuan yang dimakan diolah dengan uji-t berpasangan. Pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap efek antifeedant diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan untuk pembandingan nilai tengah antarperlakuan.
Percobaan 3. Uji Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva P. xylostella Fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii serta campurannya (5:1) diuji toksisitasnya terhadap larva P. xylostella dengan metode residu pada daun seperti uji toksisitas terhadap larva C. pavonana. Formulasi profenofos digunakan sebagai pembanding. Pengujian dilakukan pada lima taraf konsentrasi yang diharapkan dapat menyebabkan kematian serangga uji antara 0% dan 100%. Untuk setiap taraf konsentrasi digunakan 10 ekor larva instar II dengan empat ulangan. Mortalitas
30 larva diamati dan dicatat pada hari ke-2 dan ke-3. Hubungan antara konsentrasi bahan uji dan tingkat kematian serangga uji diolah dengan analisis probit (Finney 1971) menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987). Sifat aktivitas campuran fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii dianalisis dengan cara yang sama seperti pada uji toksisitas terhadap larva C. pavonana.
Percobaan 4. Uji Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Imago Parasitoid D. semiclausum Fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii serta campurannya (5:1) diuji toksisitasnya terhadap imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum dengan metode kontak pada permukaan daun.
Konsentrasi
sediaan yang diuji ialah 1 x LC95 dan 2 x LC95 tertinggi berdasarkan hasil pengujian terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Penyiapan bahan uji dilakukan dengan cara yang sama seperti pada pengujian toksisitas terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella dengan metode residu pada daun.
Sebagai
pembanding digunakan insektisida sintetik profenofos (Curacron 500 EC) yang diuji pada konsentrasi formulasi 2% dan 5%. Satu lembar daun brokoli bertangkai dirampingkan helaian daunnya sehingga menyisakan helaian daun berukuran 5 cm x 5 cm. Daun selanjutnya dicelupkan dalam suspensi bahan uji hingga membasahi permukaan secara merata. Setelah kering, 10 ekor imago betina atau jantan parasitoid dimasukkan ke dalam setiap tabung plastik pengujian (tinggi 4,5 cm dan diameter 3,5 cm) dan diberi pakan madu 10% yang diserapkan pada kapas. Agar kesegaran daun uji tetap terjaga, setiap tangkai helaian daun uji dimasukkan dalam botol film berisi air.
Lama waktu pemaparan ialah 72 jam (parasitoid berada dalam tabung
pengujian, kontak dengan bahan uji).
Setiap perlakuan diulang tiga kali.
Pengamatan mortalitas parasitoid dilakukan setiap hari hingga hari ketiga setelah perlakuan.
31
Percobaan 5. Uji Semilapangan Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap Larva C. pavonana Tanaman brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) cv. Winter Harvest — diperoleh dari petani organik Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor — yang berumur 1 bulan dipindahkan ke dalam polybag 5 L dan dipelihara hingga memiliki 5-6 helai daun. Selanjutnya tanaman brokoli tersebut diletakkan di lahan percobaan Cikabayan IPB. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan perlakuan (1) fraksi 2 KVC P. retrofractum 0,138%, (2) fraksi 2-4 KK T. vogelii 0,135%, (3) campuran dua fraksi tersebut (8:5) 0,186%, (4) formulasi Bacillus thuringiensis (Turex WP) 0,0552%, (5) formulasi profenofos (Curacron 500 EC) 0,0900%, dan (6) kontrol. Konsentrasi yang diuji setara dengan 3 x LC95 terhadap larva instar II C. pavonana pada pengujian dengan metode residu pada daun di laboratorium. Tiap unit perlakuan terdiri atas dua tanaman brokoli dengan empat ulangan. Sediaan bahan uji disemprotkan pada tanaman brokoli dengan menggunakan hand sprayer pada permukaan atas dan bawah daun hingga merata. Pada salah satu tanaman brokoli diinfestasikan 15 larva instar II C. pavonana segera setelah cairan semprot mengering dan 7 hari kemudian dilakukan infestasi ulang dengan jumlah larva uji yang sama pada tanaman brokoli kedua. Jumlah larva yang ditemukan pada tanaman dicatat pada 3, 4, dan 7 hari setelah infestasi pertama dan kedua.
Data diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang
berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi P. retrofractum dan T. vogelii Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi P. retrofractum Ekstraksi serbuk buah P. retrofractum sebanyak 150 g dengan etil asetat menghasilkan 15,86 g (10,57%) ekstrak kasar. Pemisahan 13 g ekstrak kasar buah P. retrofractum dengan kromatografi vakum cair (KVC) menghasilkan fraksi diklorometana 1,89 g (14,54%), fraksi diklorometana-etil asetat (9:1) 6,94 g (53,38%), fraksi etil asetat 1,27 g (9,77%), dan fraksi metanol 1,01 g (7,77%). Pemeriksaan fraksi-fraksi dengan kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan penjerap Silica Gel 60 F254 dan pelarut pengembang kloroform-dietil eter (19:1) serta visualisasi sinar UV λ 254 nm menghasilkan tujuh fraksi (Tabel 1). Hasil pemisahan dengan KLT menunjukkan bahwa komponen fraksi 2 KVC P. retrofractum bersifat lebih nonpolar dibandingkan dengan senyawa standar piperin dan fraksi 3 KVC P. retrofractum mengandung bercak yang identik dengan piperin (Rf 0,57). Pemeriksaan kemurnian fraksi 2 KVC P. retrofractum dengan KCKT menunjukkan bahwa fraksi tersebut belum dapat dikatakan murni karena masih memiliki tiga puncak utama (Gambar 3). Pada kromatogram, tiga puncak utama fraksi 2 KVC P. retrofractum muncul lebih akhir dibandingkan dengan standar piperin. Puncak standar piperin muncul pada menit 3,87 sedangkan tiga puncak utama fraksi 2 KVC P. retrofractum muncul pada menit ke 10,54; 14,42; dan ke 15,46. Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi 2 KVC P. retrofractum lebih nonpolar dibandingkan dengan standar piperin dan keseluruhan fraksi 2 KVC P. retrofractum mengandung senyawa utama yang berbeda dengan piperin. Perlakuan dengan ekstrak kasar P. retrofractum 0,12% mengakibatkan kematian larva C. pavonana sebesar 84,6%. Kematian larva akibat perlakuan fraksi 2 dan 3 KVC dari ekstrak tersebut mencapai 100%, dan perlakuan dengan fraksi lainnya mengakibatkan kematian antara 0% dan 31,1% pada 72 jam sejak awal perlakuan (JAP).
Perlakuan dengan fraksi 2 dan 3 KVC pada konsentrasi
0,025% pada pengujian lebih lanjut mengakibatkan mortalitas larva uji masing-
33 Tabel 1 Hasil fraksinasi ekstrak etil asetat buah P. retrofractum dengan kromatografi vakum cair serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. pavonana
1
0,912
0,93
Mortalitas larva C. pavonana (%)b) 14,4
2
0,970
0,79
100,0
2+
0,107
0,79; 0,86
3
2,189
0,57; 0,64; 0,79
4
2,549
0,57; 0,64
5
0,870
0,14; 0,21; 0,29; 0,36
0,0
6
0,825
0
0,0
Ekstrak kasar
10,57
0,14; 0,21; 0,29; 0,36; 0,57; 0,64; 0,79; 0,86; 0,93
Fraksi
a) b)
Hasil (%)a)
Faktor retensi (Rf)
4,4 100,0 31,1
84,6
Bobot fraksi relatif terhadap bobot serbuk buah. Mortalitas pada 72 jam sejak awal perlakuan (JAP), konsentrasi ekstrak/fraksi 0,12% (w/v), metode residu pada daun. Pada kontrol tidak ada kematian larva.
masing 66,7% dan 6,7% pada 72 JAP. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, fraksi 2 KVC digunakan pada percobaan toksisitas dan antifeedant terhadap larva C. pavonana, toksisitas terhadap larva P. xylostella dan imago D. semiclausum, serta uji semilapangan terhadap larva C. pavonana, sedangkan fraksi 3 KVC hanya digunakan untuk uji toksisitas terhadap larva C. pavonana.
Hasil Fraksinasi Ekstrak Daun T. vogelii Pemisahan 9 g ekstrak heksana daun T. vogelii dengan KVC menghasilkan fraksi diklorometana 6,79 g (75,44%), fraksi diklorometana-etil asetat (9:1) 0,40 g (4,44%), fraksi etil asetat 0,41 g (4,56%), dan fraksi metanol 1,29 g (14,33%). Pemeriksaan fraksi-fraksi tersebut dengan KLT dengan penjerap Silica Gel 60 F254 dan pelarut pengembang kloroform-dietil eter (19:1) serta visualisasi sinar UV λ 254 nm menghasilkan lima fraksi (Tabel 2).
34 piperin A
0
5
10
15
20
30 min
25
B
30 min Gambar 3 Kromatogram standar piperin (A) dan fraksi 2 KVC P. retrofractum (B) yang dideteksi dengan UV λ 275 nm 0
5
10
15
20
25
Perlakuan dengan ekstrak kasar, fraksi 2, dan fraksi 3 KVC T. vogelii pada konsentrasi 0,14% mengakibatkan kematian larva uji pada 72 JAP berturut-turut 80%, 100%, dan 100%, sedangkan fraksi lainnya tidak aktif (Tabel 2). Berdasarkan hasil pengujian tersebut, fraksi 2 dan 3 KVC T. vogelii dipisahkan lebih lanjut dengan kromatografi kolom (KK, eluen CH2Cl2:EtOAc 9:1, EtOAc, MeOH), dan diperoleh masing-masing lima subfraksi (Tabel 3). Pengujian aktivitas subfraksi hasil pemisahan fraksi 2 dan 3 KVC T. vogelii dengan kromatografi kolom pada konsentrasi yang sesuai dengan proporsi hasil masing-masing menunjukkan bahwa fraksi 2-4 KK mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi-fraksi lainnya. Berdasarkan hasil tersebut, fraksi 2-4 KK T. vogelii digunakan pada
35 Tabel 2
Hasil fraksinasi ekstrak heksana daun T. vogelii dengan kromatografi vakum cair serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. pavonana
Fraksi
a) b)
Hasil (%)a)
Faktor retensi (Rf)
Mortalitas larva C. pavonana (%)b)
1
16,82
0,93; 0,96
2,2
2
31,83
0,36; 0,57; 0,86; 0,93
100,0
3
24,72
0,36; 0,57
100,0
4
11,02
0; 0,36; 0,46; 0,54
0,0
5
14,30
0
0,0
Ekstrak kasar
-
0; 0,36; 0,46; 0,54; 0,57; 0,86; 0,93; 0,96
80,0
Bobot fraksi relatif terhadap bobot ekstrak daun. Mortalitas pada 72 JAP, konsentrasi ekstrak/fraksi 0,14% (w/v), metode residu pada daun. Pada kontrol tidak ada kematian larva.
Tabel 3 Hasil pemisahan fraksi 2 dan 3 dari Tabel 2 dengan kromatografi kolom serta pengaruhnya terhadap mortalitas larva C. pavonana Fraksi
a)
b)
Hasil (%)a)
Faktor retensi (Rf)
Konsentrasi uji (%)
Mortalitas larva C. pavonana (%)b)
0,037
35,6
0,057
95,6
0,015
0,0
2-1
8,39
2-2
13
2-3
3,41
0; 0,36; 0,57; 0,64; 0,75; 0,86; 0,93 0; 0,36; 0,57; 0,64; 0,75 0,36; 0,64
2-4
4,37
0,57
0,019
80,0
2-5
4,44
0
0,035
0,0
3-1
0,24
0,86
0,035
0,0
3-2
1,45
0,57; 0,64; 0,75
0,035
0,0
3-3
6,18
0,57
0,035
100,0
3-4
0,38
0,36
0,035
0,0
3-5
6,83
0
0,035
0,0
Bobot fraksi relatif terhadap bobot ekstrak daun. Mortalitas pada 72 JAP, metode residu pada daun. Pada kontrol tidak ada kematian larva.
36 percobaan toksisitas dan antifeedant terhadap larva C. pavonana, toksisitas terhadap larva P. xylostella dan imago D. semiclausum, serta uji semilapangan terhadap C. pavonana. Hasil pemisahan dengan KLT menunjukkan bahwa fraksi 2-4 KK T. vogelii bersifat lebih polar dibandingkan dengan senyawa standar rotenon. Subfraksisubfraksi lainnya yang mengandung bercak dengan Rf yang sama dengan fraksi 24 KK adalah fraksi 2-1, 2-2, 3-2, dan 3-3 (Tabel 3). Fraksi 2-4 KK T. vogelii belum dapat dikatakan murni karena selain satu puncak utama (90,01%), masih terdapat satu puncak kecil (8,55%) yang belum terpisah dengan baik pada kromatogram KCKT (Gambar 4). Puncak fraksi 2-4 KK T. vogelii muncul lebih awal dibandingkan dengan standar rotenon. Puncak standar rotenon muncul pada menit 4,01 sedangkan fraksi 2-4 KK T. vogelii muncul pada menit ke 3,55 dan ke 3,87. Hal tersebut menunjukkan bahwa fraksi 2-4 KK T. vogelii lebih polar dibandingkan dengan standar rotenon, dan keseluruhan fraksi 2-4 KK T. vogelii mengandung senyawa yang berbeda dengan standar rotenon. Toksisitas Ekstrak dan Fraksi Aktif P. retrofractum terhadap C. pavonana Metode Residu pada Daun Perkembangan mortalitas larva instar II C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak etil asetat, fraksi 2 KVC, dan fraksi 3 KVC P. retrofractum menunjukkan pola yang serupa.
Kematian larva sebagian besar terjadi pada
pengamatan 24 dan 48 JAP, sedangkan pada pengamatan 72 JAP tingkat kematian larva umumnya hanya sedikit mengalami kenaikan (Gambar 5).
Hal ini
disebabkan pada 48 JAP daun perlakuan sudah diganti dengan daun tanpa perlakuan dan peningkatan kematian larva uji yang rendah pada 72 JAP menunjukkan bahwa residu ekstrak yang tertinggal dalam tubuh larva uji sudah tidak dapat meningkatkan kematian secara nyata. Perlakuan dengan ekstrak etil asetat, fraksi 2 KVC, dan fraksi 3 KVC ekstrak buah P. retrofractum pada konsentrasi tertinggi (masing-masing 0,14%, 0,04%, dan 0,1%) mengakibatkan kematian serangga masing-masing lebih dari
37
A
rotenon
0,0
5,0
2,5
7,5 min B
0
1
2
3
4
5
6
7
min
Gambar 4 Kromatogram standar rotenon (A) dan fraksi 2-4 KK T.vogelii (B) yang dideteksi dengan UV λ 295 nm
90%, 95%, dan 90% (Gambar 5). Peningkatan persentase kematian larva C. pavonana terpaut dengan peningkatan konsentrasi bahan uji.
Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak dan fraksi aktif buah P. retrofractum bersifat aktif secara kuantitatif.
Persentase kematian larva yang meningkat berdasarkan
lamanya pengamatan menunjukkan bahwa kematian larva terjadi secara bertahap dan tidak terjadi segera setelah perlakuan. Dengan demikian ekstrak etil asetat, fraksi 2 KVC, dan fraksi 3 KVC ekstrak buah P. retrofractum bersifat insektisida yang bekerja relatif lambat terhadap larva C. pavonana. Peningkatan mortalitas larva C. pavonana secara bertahap juga tercermin dari hasil analisis probit terhadap data mortalitas larva instar II C. pavonana
38 Mortalitas kumulatif (%)
100
A
Kontrol
80
0,040% 0,065%
60
0,090% 0,115%
40
0,140%
20 0 24
Mortalitas kumulatif (%)
100
48 Waktu pengamatan (JAP)
72
B
Kontrol
80
0,020% 0,040%
60
0,060% 40
0,080%
20
0,100%
0 24
48 Waktu pengamatan (JAP)
72
Mortalitas kumulatif (%)
100
Kontrol
C
0,0100%
80
0,0175% 0,0250%
60
0,0325% 40
0,0400%
20 0 24
`` Gambar 5
48 Waktu pengamatan (JAP)
72
Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak etil asetat (A), fraksi 2 KVC (B), dan fraksi 3 KVC (C) buah P. retrofractum
39 (Tabel 4). Berdasarkan sifat data yang diperoleh, analisis probit dilakukan5 terhadap data kematian pada 24, 48, dan 72 JAP yang mortalitasnya ≥ 50% sehingga kematian larva uji pada 24 JAP untuk perlakuan dengan ekstrak etil asetat tidak diolah dengan analisis probit. LC50 dan LC95 semua ekstrak/fraksi pada 72 JAP cenderung lebih rendah dibandingkan pada 24 dan 48 JAP. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mematikan larva pada 24 JAP dan 48 JAP diperlukan konsentrasi bahan uji yang lebih tinggi. Berdasarkan LC50 pada 72 JAP, fraksi 2 dan 3 KVC P. retrofractum masingmasing sekitar 6 dan 1,6 kali lebih toksik terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak kasarnya, sedangkan berdasarkan LC95–nya fraksi 2 dan 3 KVC tersebut sekitar 4,2 dan 1,9 kali lebih toksik. Bila dibandingkan dengan profenofos, toksisitas fraksi 2 dan 3 KVC serta ekstrak kasar P. retrofractum pada taraf LC50 sekitar 1,3; 5; dan 7,9 kali lebih rendah dan pada LC95 sekitar 1,4; 5,1; dan 6,1 kali lebih rendah (Tabel 4). Fraksi 2 KVC P. retrofractum merupakan fraksi yang paling aktif terhadap larva C. pavonana dengan LC95 pada 72 JAP hanya sekitar 0,046% (batas atas SK 95% dari LC95 tidak melebihi 0,1%), yang mencerminkan bahwa fraksi tersebut memiliki aktivitas insektisida yang kuat dan layak dikembangkan. Ekstrak etil asetat dikatakan masih cukup aktif karena LC95 pada 72 JAP tidak melebihi 0,5%. Fraksi 3 KVC P. retrofractum dapat dikatakan kurang aktif karena batas atas SK 95% dari LC95 melebihi 0,1% dan LC95 fraksi 3 KVC P. retrofractum (0,164%) tidak berbeda nyata dengan LC95 ekstrak kasarnya (SK 95% tumpang-tindih, Tabel 4). Prijono (1999) menyatakan bahwa fraksi dari ekstrak kasar bahan tumbuhan pada konsentrasi lebih besar dari 0,1% dan ekstrak kasar tumbuhan yang lebih besar dari 0,5% kurang efisien digunakan sebagai insektisida karena dalam penyiapannya akan dibutuhkan sumber bahan tanaman yang cukup banyak.
Metode Kontak Permukaan Gelas Fraksi 1, 2, dan 3 KVC P. retrofractum serta ekstrak kasarnya diuji dengan metode kontak pada permukaan gelas pada konsentrasi yang setara dengan lima kali konsentrasi yang mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sekitar 80%
40 Tabel 4
Penduga parameter toksisitas ekstrak dan fraksi KVC P. retrofractum terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun
Waktu pengamatan (JAP)a)
a ± GBb)
b ± GBb)
LC50 (SK 95%) (%)b)
LC95 (SK 95%) (%)
24
8,00 ± 1,22
5,76 ± 0,81
48
5,36 ± 0,60
3,24 ± 0,36
72
6,67 ± 0,63
3,76 ± 0,37
0,041 (0,0360,060) 0,022 (0,0170,028) 0,017 (0,0130,020)
0,078 (0,0550,253) 0,071 (0,0480,209) 0,046 (0,0360,075)
24
0,23 ± 0,19
2,41 ± 0,40
48
4,56 ± 0,49
3,96 ± 0,41
72
4,86 ± 0,49
4,09 ± 0,40
0,136 (0,0940,526) 0,071 (0,0570,093) 0,065 (0,0540,081)
0,655 (0,2600,460) 0,184 (0,0570,497) 0,164 (0,1180,350)
0,117 (0,1100,127) 0,103(0,0920,118)
0,184 (0,1610,231) 0,195 (0,1580,302)
0,013 (0,0110,016) 0,013 (0,0100,015)
0,033 (0,0250,055) 0,032 (0,0240,054)
Fraksi 2 KVC
Fraksi 3 KVC
Ekstrak etil asetat 48
7,85 ± 0,90
8,43 ± 0,94
72
5,84 ± 0,60
5,92 ± 0,59
Profenofosc) 48
7,87 ± 0,67
4,20 ± 0,35
72
7,90 ± 0,67
4,18 ± 0,35
a)
JAP = jam sejak awal perlakuan. a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan. c) Konsentrasi dalam % formulasi (v/v). b)
pada uji pendahuluan dengan metode residu pada daun. Tingkat kematian larva tertinggi terjadi pada perlakuan dengan fraksi 3 KVC P. retrofractum pada konsentrasi 0,5% dengan mortalitas 68,9%, sedangkan fraksi 1, 2, dan 3 KVC P. retrofractum dengan konsentrasi masing-masing 0,2%, 1%, dan 0,7% hanya mengakibatkan kematian larva uji berturut-turut 17,8%, 4,4%, dan 28,9%.
41 Sementara itu, profenofos pada konsentrasi yang setara dengan LC95 metode residu pada daun mengakibatkan kematian larva C. pavonana sampai 100% dengan metode kontak (Tabel 5). Tabel 5 Mortalitas larva instar II C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak/ fraksi aktif P. retrofractum dengan metode kontak Bahan uji
Konsentrasi (%)a)
Mortalitas (%)
Ekstrak kasar EtOAc
0,70
28,9
Fraksi 1 KVC
1,00
4,4
Fraksi 2 KVC
0,20
17,8
Fraksi 3 KVC
0,50
68,9
0,25
44,4
0,03
100,0
Profenofos Kontrol a)
-
0,0
Konsentrasi yang diuji setara dengan lima kali konsentrasi yang mengakibatkan kematian larva C. pavonana sekitar 80% pada uji pendahuluan dengan metode residu pada daun, kecuali konsentrasi profenofos yang setara dengan LC95 metode residu pada daun.
Rendahnya mortalitas C. pavonana akibat perlakuan ekstrak/fraksi P. retrofractum dengan metode kontak dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya waktu pemaparan tidak dapat dilakukan lebih dari 2 jam karena serangga uji akan kelaparan. Faktor lain mungkin disebabkan banyaknya bahan aktif ekstrak yang masuk ke dalam tubuh serangga setelah menembus kutikula jauh lebih sedikit dibandingkan dengan banyaknya komponen aktif ekstrak yang masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan makanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak etil asetat buah P. retrofractum, serta fraksi 2 KVC dan fraksi 3 KVC P. retrofractum memiliki efek kontak yang lemah. Apabila bahan tersebut digunakan di lapangan, kematian larva C. pavonana sasaran akan lebih banyak disumbangkan oleh sifat racun perutnya. Insektisida yang memiliki efek kontak yang kuat, misalnya profenofos, pada konsentrasi yang sama (0,03%)
42 dapat mengakibatkan kematian yang tinggi pada larva C. pavonana baik dengan metode kontak maupun dengan metode residu pada daun (Tabel 4 dan 5).
Toksisitas Fraksi Aktif T. vogelii terhadap C. pavonana Metode Residu pada Daun Kematian larva C. pavonana akibat perlakuan dengan fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii sebagian besar terjadi pada pengamatan 48 JAP, sedangkan pada 72 JAP tingkat kematian larva umumnya hanya sedikit mengalami kenaikan (Gambar 6).
Hal ini disebabkan pada 48 JAP daun perlakuan sudah diganti
dengan daun tanpa perlakuan, dan peningkatan kematian larva uji yang rendah pada 72 JAP menunjukkan bahwa residu ekstrak yang tertinggal dalam tubuh larva uji sudah tidak dapat meningkatkan kematian secara nyata.
Mortalitas kumulatif (%)
100 80 30
Kontrol 0,005% 0,010% 0,015% 0,020% 0,025%
40 20 0 24
48 Waktu pengamatan (JAP)
72
Gambar 6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan fraksi 2-4 KK T. vogelii Hasil analisis probit data mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan fraksi 2-4 KK T. vogelii menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 fraksi tersebut pada 72 JAP sekitar 1,4 dan 1,6 dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada
43 48 JAP, walaupun secara statistika tidak berbeda nyata (SK 95% masing-masing tumpang-tindih) (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan pola perkembangan kematian larva uji seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, yaitu pada 72 JAP hanya terjadi peningkatan kematian larva yang relatif rendah. Tabel 6
a) b)
Penduga parameter toksisitas fraksi 2-4 KK T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun
Waktu pengamatan (JAP)a)
a ± GBb)
b ± GBb)
LC50 (SK 95%) (%)b)
LC95 (SK 95%) (%)b)
48
4,31 ± 0,57
2,35 ± 0,31
72
5,17 ± 0,57
2,62 ± 0,30
0,015 (0,0110,020) 0,011 (0,0090,013)
0,074 (0,0420,337) 0,045 (0,0320,092)
JAP = jam sejak awal perlakuan. a = intersep regresi probit. b = kemiringan regresi probit. GB = galat baku. SK = selang kepercayaan.
Metode Kontak Permukaan Gelas Konsentrasi fraksi KK ekstrak daun T. vogelii yang diuji terhadap larva C. pavonana dengan metode kontak sama seperti pada pengujian dengan menggunakan ekstrak/fraksi P. retrofractum, yaitu lima kali konsentrasi yang mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sekitar 80% pada uji pendahuluan dengan metode residu pada daun.
Hasil pengujian dengan metode kontak
menunjukkan bahwa semua fraksi KK T. vogelii tidak mengakibatkan kematian larva uji yang cukup tinggi, yaitu mortalitas larva uji kurang dari 50% (Tabel 7). Perlakuan dengan fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii hanya mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana 11,1%.
Kematian larva tertinggi terjadi pada
perlakuan dengan fraksi 2-5 KK T. vogelii yaitu sekitar 28,9%, namun fraksi ini tidak aktif pada pengujian dengan metode residu pada daun sehingga tidak cukup potensial dikembangkan sebagai insektisida nabati.
44 Tabel 7 Mortalitas larva instar II C. pavonana yang diberi perlakuan fraksi KK T. vogelii dengan metode kontak Fraksi
Konsentrasi (%)a)
Mortalitas (%)
Fraksi 2-3
0,125
0,0
Fraksi 2-4
0,283
11,1
Fraksi 5-5
0,284
28,9
Profenofos
0,03
100,0
Kontrol a)
-
0,0
Keterangan sama seperti catatan kaki Tabel 5.
Toksisitas Campuran Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap C. pavonana LC50 dan LC95 campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (8:5) dengan metode residu pada daun lebih tinggi daripada LC50 dan LC95 kedua fraksi tunggalnya sedangkan campuran fraksi 3 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (4:1) serta campuran fraksi 2 dan 3 KVC P. retrofractum (2:5) memiliki LC50 dan LC95 lebih kecil dari salah satu fraksi tunggalnya yaitu fraksi 3 KVC P. retrofractum (Tabel 8). Berdasarkan perhitungan nisbah ko-toksisitas atau indeks kombinasi, campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii bersifat antagonis pada taraf LC50 48 JAP serta LC50 dan LC95 72 JAP (indeks kombinasi > 1,43), dan bersifat aditif pada LC95 48 JAP (indeks kombinasi > 0,77–1,43). Campuran fraksi 3 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (4:1) bersifat aditif sampai sinergistik lemah.
Campuran fraksi 2 dan 3 KVC P.
retrofractum (2:5) bersifat antagonis pada LC50 dan aditif pada LC95 (Tabel 9).
45 Tabel 8 Penduga parameter toksisitas campuran fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun Waktu pengamatan (JAP)a)
a ± GBb)
b ± GBb)
LC50 (SK 95%) (%)b)
LC95 (SK 95%) (%)
6,33 ± 0,94
6,88 ± 0,93
0,096 (0,0850,107)
0,120 (0,1080,151)
Pr2 + Pr3 (2:5) 72
Pr2 + Tv2-4 (8:5) 48
9,66 ± 1,17
6,24 ± 0,73
0,028
0,052
72
6,75 ± 0,78
4,24 ± 0,47
0,025 (0,0220,029)
0,062 (0,0480,096)
0,044 (0,0360,058) 0,030 (0,0240,035)
0,115 (0,0780,311) 0,070 (0,0550,111)
0,013 (0,0110,016) 0,013 (0,0110,016)
0,033 (0,0250,053) 0,032 (0,0240,054)
Pr3 + Tv2-4 (4:1) 48
5,37 ± 0,57
3,96 ± 0,41
72
6,72 ± 0,56
4,40 ± 0,39
7,87 ± 0,67
4,20 ± 0,35
7,90 ± 0,67
4,18 ± 0,35
Profenofos 48 72 a) b)
JAP = jam sejak awal perlakuan. Pr2 dan Pr3 masing-masing fraksi 2 dan 3 KVC ekstrak buah P. retrofractum, Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
Pengaruh Antifeedant Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii terhadap Larva C. pavonana Fraksi 2 KVC P. retrofractum memiliki efek antifeedant lemah terhadap larva instar II C. pavonana dengan efek penghambatan makan pada perlakuan LC10 sampai LC70 hanya sekitar 27% sampai 30,5% dan antarperlakuan tidak berbeda nyata. Fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki efek antifeedant kuat dengan efek penghambatan makan pada perlakuan LC25 sampai LC70 sekitar 63% sampai 82% dan berbeda nyata dengan efek penghambatan makan pada LC10 (Tabel 10).
46 Tabel 9 Toksisitas campuran fraksi aktif ekstrak buah P. retrofractum dan daun T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana dengan metode residu pada daun Campuran fraksi ujia) Pr2 + Pr3 (2:5) Pr2 + Tv2-4 (8:5) Pr3 + Tv2-4 (4:1)
a) b)
Waktu pengamatan (JAP)b)
Nisbah kotoksisitas atau indeks kombinasic) LC50 LC95
Sifat interaksi LC50
LC95
72
0,375
0,789
Antagonis
Aditif
48
2,063
0,843
Antagonis
Aditif
72
2,570
1,799
Antagonis
Antagonis
48
1,373
0,966
Aditif
Aditif
72
1,116
0,759
Aditif
Sinergistik lemah
Pr2 dan Pr3 masing-masing fraksi 2 dan 3 KVC ekstrak buah P. retrofractum, Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. JAP = jam sejak awal perlakuan.
Hal ini menunjukkan adanya pengaruh zat aktif dari fraksi 2-4 KK T. vogelii terhadap respons alat-alat indera pendeteksi zat penghambat makan sehingga serangga mempersingkat atau menghentikan aktivitas makannya.
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap P. xylostella Perkembangan mortalitas larva instar II P. xylostella yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campuran kedua fraksi tersebut dengan metode residu pada daun selama 72 JAP menunjukkan pola yang serupa. Tingkat kematian larva pada hari pertama tidak dihitung karena kecilnya ukuran larva dan perilaku larva yang diam sehingga sulit ditentukan apakah larva telah mati atau belum. Kematian larva mulai tampak jelas terlihat pada 48 JAP, kemudian konstan atau sedikit mengalami peningkatan pada 72 JAP (Gambar 7).
47 Tabel 10 Aktivitas penghambat makan fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii terhadap larva instar II C. pavonana Konsentrasi ekstrak (%)a)
Luas daun yang dimakan (mm2)
Nilai Pb)
Efek penghambatan makan (%)c)
Kontrol
Perlakuan
LC10 (0,0078)
106,57 ± 54,25
61,26 ± 0,02
0,218
26,99a
LC25 (0,0110)
127,80 ± 50,42
76,73 ± 43,27
0,259
24,98a
LC40 (0,0140)
105,12 ± 23,35
64,04 ± 22,42
0,051
24,28a
LC55 (0,0180)
149,03 ± 53,44
84,15 ± 49,53
0,196
27,82a
LC70 (0,0230)
107,39 ± 47,50
57,23 ± 34,86
0,158
30,47a
LC10 (0,0035)
91,34 ± 44,13
49,89 ± 26,47
0,223
29,35a
LC25 (0,0059)
129,54 ± 29,33
29,39 ± 20,30
0,005
63,01b
LC40 (0,0086)
149,48 ± 49,08
27,80 ± 8,37
0,008
68,63b
LC55 (0,0120)
99,30 ± 37,63
18,31 ± 8,40
0,006
68,86b
LC70 (0,0170)
101,75 ± 90,55
9,94 ± 3,56
0,078
82,20b
Pr2
Tv2-4
a)
Pr2 = fraksi 2 KVC ekstrak buah P.retrofractum, Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. b) Hasil uji-t berpasangan (α = 0,05) menunjukkan penghambatan makan yang nyata bila nilai P ≤ 0,05. c) Rataan yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0,05). Data ditransformasi ke arcsin√% sebelum diolah dengan sidak ragam.
LC50 dan LC95 fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, campuran dua fraksi tersebut, serta insektisida pembanding profenofos terhadap larva P. xylostella pada 72 JAP tidak berbeda nyata dengan LC50 dan LC95 masing-masing pada 48 JAP (Tabel 11). Hal ini mencerminkan sudah tidak terjadi peningkatan kematian larva uji yang nyata antara 48 dan 72 JAP. Fraksi 24 KK T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella dengan LC95 pada 72 JAP hanya sekitar 0,031%. Fraksi 2 KVC P. retrofractum dan campurannya dengan fraksi 2-4 KK T. vogelii juga memiliki
48 A
B
C
Gambar 7 Perkembangan mortalitas larva P. xylostella yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum (A), fraksi 2-4 KK T. vogelii (B), dan campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (5:1) (C)
49 aktivitas yang baik terhadap larva P. xylostella dengan LC95 masing-masing sekitar 0,1% (Tabel 11).
Kedua jenis bahan nabati tersebut dapat menjadi
alternatif pengganti insektisida sintetik seperti profenofos yang sudah tidak efektif lagi terhadap larva P. xylostella (LC95 7,3% [Tabel 11], yang setara dengan > 24 kali konsentrasi anjuran formulasi). Campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (5:1) bersifat antagonis pada taraf LC50 pada 48 dan 72 JAP (IK 2,14 dan 2,64) serta pada LC95 72 JAP (IK 1,79) sedangkan pada LC95 48 JAP bersifat aditif (IK 1,24).
Toksisitas Fraksi Aktif P. retrofractum dan T. vogelii serta Campurannya terhadap D. semiclausum Fraksi 2-4 KK T. vogelii pada konsentrasi sampai 0,090% (3 x LC95 terhadap larva inang P. xylostella dan 2 x LC95 terhadap larva C. pavonana) hanya mengakibatkan kematian imago betina D. semiclausum sekitar 13% (Tabel 12) sehingga fraksi ini cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai bahan insektisida alternatif. Fraksi 2 KVC P. retrofractum pada konsentrasi 0,104% dan 0,208% (1 x LC95 dan 2 x LC95 terhadap larva inang P. xylostella) mengakibatkan kematian imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi 2-4 KK T. vogelii dan campurannya.
Meskipun
demikian, fraksi 2 KVC P. retrofractum dan campurannya masih berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengendalian alternatif dibandingkan dengan insektisida sintetik profenofos yang pada konsentrasi 2% (jauh lebih kecil daripada LC95 terhadap P. xyostella) sudah dapat mengakibatkan kematian imago jantan dan betina D. semiclausum sampai 100%.
Uji Semilapangan terhadap C. pavonana Persentase larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campuran kedua fraksi tersebut pada hari ke-3 dan 4 setelah infestasi pertama berturut-turut 65%, 92,5% dan 90% lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (Tabel 13).
Pada tanaman yang diberi perlakuan dengan insektisida
50 Tabel 11 Penduga parameter toksisitas fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii dan campurannya terhadap larva instar II P. xylostella dengan metode residu pada daun Waktu pengamatan (JAP)a)
a ± GBb)
b ± GBb)
LC50 (SK 95%) (%)b)
LC95 (SK 95%) (%)
48
5,41 ± 0,71
3,94 ± 0,52
72
5,69 ± 0,72
4,11 ± 0,53
0,042 (0,0370,047) 0,041 (0,0360,047)
0,111 (0,0900,155) 0,104 (0,0840,147)
48
0,70 ± 0,33
1,89 ± 0,40
72
5,13 ± 0,88
2,31 ± 0,41
0,008 (0,0060,010) 0,006 (0,0050,007)
0,061 (0,0310,253) 0,031 (0,0210,068)
0,038 (0,0330,043) 0,038 (0,0330,043)
0,101 (0,0770,163) 0,101 (0,0770,163)
4,692 (4,0015,17) 4,359 (3,894,70)
9,225 (7,8412,98) 7,271 (6,608,55)
Fraksi Pr2
Fraksi Tv2-4
Pr2 + Tv2-4 (5:1) 48
5,47 ± 0,85
3,84 ± 0,58
72
5,47 ± 0,85
3,84 ± 0,58
Profenofos
a) b)
48
-3,77 ± 0,72
5,61 ± 0,96
72
-4,73 ± 0,83
7,40 ± 1,14
JAP = jam sejak awal perlakuan. Pr2 = fraksi 2 KVC ekstrak buah P. retrofractum. Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. a = intersep regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
sintetik profenofos dan bioinsektisida B. thuringiensis, larva C. pavonana sudah tidak ditemukan lagi sejak hari ke-3 setelah infestasi pertama.
Hal ini
menunjukkan bahwa profenofos dan B. thuringiensis masih efektif terhadap larva C. pavonana mengingat konsentrasi profenofos yang diuji hanya sekitar 0,3 x konsentrasi anjurannya dan konsentrasi uji untuk B. thuringiensis sama dengan konsentrasi anjurannya.
51 Tabel 12 Mortalitas imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campurannya dengan metode kontak permukaan daun
Bahan ujia)
Konsentrasi (%)
Mortalitas (%) imago pada waktu pengamatan (JAP)b) Jantan
Betina
24
48
72
24
48
72
0,208
26,7
60,0
93,3
16,7
30,0
70,0
0,104
6,7
30,0
73,3
3,3
10,0
50,0
0,090
13,3
26,7
80,0
10,0
13,33
13,3
0,045
3,3
10,0
33,3
0,0
3,33
6,7
Pr2 + Tv2-4 (5:1)
0,202
13,3
33,3
60,0
6,7
20,0
40,0
0,101
0,0
3,3
30,0
0,0
0,0
20,0
Profenofos
2,000
43,3
96,7
100,0
63,3
100,0
100,0
5,000
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
0,0
0,0
3,3
0,0
0,0
0,0
Pr2
Tv2-4
Kontrol a) b)
-
Pr2 = fraksi 2 KVC ekstrak buah P. retrofractum. Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. JAP = jam sejak awal perlakuan.
Persentase larva yang ditemukan kembali pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan fraksi 2-4 KK T. vogelii dan campurannya dengan fraksi 2 KVC P. retrofractum tidak berbeda nyata dengan persentase larva pada perlakuan profenofos dan B. thuringiensis. Pada tanaman kontrol, jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali hanya 66,7% dari jumlah awal yang diinfestasikan. Penurunan jumlah larva sebesar 33,3% ini mungkin disebabkan oleh faktor musuh alami dan/atau tercuci hujan. Pada hari ke-4 setelah infestasi pertama, perlakuan dengan semua bahan uji tidak mengakibatkan penambahan jumlah larva yang mati per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa residu bahan uji sudah mengalami penurunan keaktifan baik karena penguraian oleh cahaya matahari, pencucian oleh hujan, atau karena larva uji sudah cukup besar dan lebih toleran. Data cuaca yang diperoleh dari Stasiun
52 Tabel 13
Persentase larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman brokoli yang diberi perlakuan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campurannya pada uji semilapangan b)
Perlakuan
Konsentrasi (%)
Persentase larva yang bertahan hidup pada n HSPa) Infestasi I Infestasi II 4 7 3 4 7 3
0,138
23,3a
23,3a
0,0a
45,0a
45,0a
1,7a
0,135
5,0b
5,0b
1,7a
41,7a
41,7a
1,7a
Pr2 + Tv2-4 (8:5) Profenofosc)
0,186
6,7b
6,7b
0,0a
48,3a
48,3a
1,7a
0,090
0,0b
0,0b
0,0a
28,3a
28,3a
1,7a
Btc)
0,055
0,0b
0,0b
0,0a
28,3a
28,3a
1,7a
-
66,7c
66,7c
1,7a
45,0a
45,0a
1,7a
Pr2 Tv2-4
Kontrol a)
Jumlah larva instar II yang diinfestasikan per tanaman adalah 15 ekor. Nilai rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0,05). b) Pr2 = fraksi 2 KVC ekstrak buah P. retrofractum, Tv2-4 = fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii. c) Konsentrasi formulasi.
Klimatologi Darmaga-Bogor selama berlangsungnya percobaan semilapangan menunjukkan curah hujan yang tinggi pada hari kedua dan keempat setelah infestasi pertama, masing-masing 33 dan 34 mm (Gambar 8). Pada hari ke-7 setelah infestasi pertama terjadi penurunan persentase larva C. pavonana yang ditemukan kembali secara drastis pada semua perlakuan termasuk kontrol.
Kemungkinan besar larva C. pavonana yang masih hidup
sudah turun dari tanaman untuk berkepompong di dalam tanah sehingga sudah tidak ditemukan lagi pada tanaman. Di laboratorium, perkembangan larva C. pavonana dari instar II sampai fase pupa umumnya kurang dari 7 hari (Prijono & Hassan 1992). Penurunan aktivitas residu bahan uji juga terungkap dari data persentase larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman brokoli setelah infestasi kedua.
Pada semua perlakuan, jumlah larva C. pavonana yang ditemukan
53 kembali tidak berbeda nyata dengan kontrol baik pada hari ke-3, ke-4, maupun
Curah hujan (mm)
hari ke-7 setelah infestasi kedua (Tabel 13).
Hari setelah penyemprotan Gambar 8 Data curah hujan di daerah Darmaga Bogor selama berlangsungnya percobaan semilapangan terhadap C. pavonana (Stasiun Klimatologi Darmaga-Bogor 2008)
Pembahasan Umum Pemisahan ekstrak etil asetat buah P. retrofractum dengan kromatografi vakum cair (KVC) dan ekstrak heksana daun T. vogelii dengan KVC yang dilanjutkan dengan kromatografi kolom (KK) masing-masing menghasilkan fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii sebagai fraksi yang paling aktif terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Sifat ini didasarkan pada kemampuan fraksi mematikan larva uji ≥ 95% pada konsentrasi ≤ 0,1%. Hasil pemeriksaan dengan kromatografi lapisan tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menunjukkan bahwa senyawa aktif fraksi 2 KVC P. retrofractum berbeda dengan standar piperin dan bersifat lebih nonpolar. Ahn et al. (1992) dan Kikuzaki et al. (1993) telah mengisolasi beberapa jenis senyawa piperamida dari buah P. retrofractum dengan tingkat kepolaran yang meningkat secara berurutan adalah metil piperat, pelitorin, guininsin, piperisida, piperin, dan piperlonguminin. Pemeriksaan dengan teknik yang sama terhadap fraksi 2-4 KK T. vogelii menunjukkan bahwa fraksi tersebut berbeda dengan standar rotenon dan
54 bersifat lebih polar. Cabizza et al. (2004) melaporkan bahwa senyawa rotenoid yang lebih polar daripada rotenon di antaranya adalah β-rotenolon dan tefrosin. Fraksi 2 KVC P. retrofractum mematikan larva C. pavonana dengan efek racun perut yang lebih kuat daripada efek racun kontak dan antifeedant. Lebih tingginya efek racun perut fraksi 2 KVC tersebut akibat perlakuan dengan metode residu pada daun dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya pada pengujian dengan metode kontak pemaparan tidak dapat dilakukan lebih dari 2 jam karena serangga uji akan kelaparan.
Penyebab lainnya mungkin karena rendahnya
kemampuan penetrasi senyawa aktif pada kutkula larva atau senyawa aktif yang masuk ke dalam tubuh larva sebagian langsung diuraikan atau diekskresikan. Insektisida yang memiliki efek kontak yang kuat, misalnya profenofos, pada konsentrasi yang sama dapat mengakibatkan kematian yang tinggi pada larva C. pavonana baik dengan metode residu pada daun maupun dengan metode kontak. Efek racun kontak yang muncul pada pengujian ini mungkin disebabkan bahan aktif fraksi 2 KVC P. retrofractum yang bersifat nonpolar masih dapat masuk ke dalam tubuh dan meracuni bagian sasaran. Senyawa aktif piperamida seperti piperisida dan guininsin yang berasal dari tanaman genus Piper telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai racun kontak (Miyakado et al. 1989) sehingga jika diaplikasikan di lapangan, aktivitas insektisidanya menjadi lebih tinggi karena senyawa aktif yang masuk ke dalam tubuh serangga akan lebih banyak. Senyawa piperamida dapat bekerja sebagai racun saraf dengan menghambat aliran impuls saraf dan atau menghambat enzim sitokrom P450 kelompok polysubstrate monooxygenase (PSMO). Enzim ini berperan mengoksidasi berbagai jenis senyawa racun dari luar tubuh atau limbah metabolisme di dalam tubuh sehingga hambatan terhadap enzim tersebut dapat membuat senyawa aktif lain tetap bekerja (Miyakado et al. 1989; Morgan & Wilson 1999). Berdasarkan LC50 pada 72 JAP, fraksi 2 KVC P. retrofractum 3,8 kali lebih toksik daripada fraksi 3 KVC-nya terhadap larva C. pavonana dengan tingkat toksisitas 2,4 kali lebih rendah dibandingkan terhadap larva P. xylostella. Rendahnya kemampuan fraksi 2 KVC ini dalam mematikan larva P. xylostella mungkin disebabkan oleh adanya resistensi silang larva P. xylostella terhadap
55 senyawa-senyawa aktif yang bersifat racun saraf dengan cara kerja serupa seperti insektisida sintetik piretroid yang banyak beredar di pasaran dan sering digunakan untuk pengendalian hama P. xylostella (Chen & Sun 1986). Matsumura (1985) dan Nation (2002) menyatakan bahwa aplikasi senyawa kimia tunggal atau senyawa dengan cara kerja serupa secara terus-menerus akan memicu resistensi dari sistem organel seluler serangga untuk menoleransi senyawa racun yang ditimbulkan. Kemungkinan lain adalah munculnya resistensi ganda P. xylostella terhadap senyawa aktif yang bersifat racun saraf dengan cara kerja berbeda (Teh et al. 1982). Sebagai contoh, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa insektisida sintetik profenofos yang bersifat racun saraf penghambat enzim asetilkolinesterase memiliki LC95 24 kali lebih besar daripada konsentrasi formulasi yang dianjurkan. Fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki efek racun perut yang kuat, racun kontak yang lemah, dan antifeedant kuat terhadap larva C. pavonana. Fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki toksisitas terhadap larva C. pavonana yang relatif sama dengan fraksi 2 KVC P. retrofractum, namun 1,8 kali lebih tinggi terhadap P. xylostella. Rotenon bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menyekat pemindahan elektron dari Fe-S ke koenzim ubikuinon pada komplek 1 dari rantai transpor elektron sehingga proses respirasi terhambat dan ATP yang dihasilkan menurun (Hollingwoth 2001). Akibat lebih lanjut dari proses peracunan tersebut ialah terhambatnya metabolisme sel dan perkembangan serangga (Matsumura 1985; Nation 2002). Efek antifeedant dapat mengakibatkan serangga sasaran menjadi lemah dan perkembangan tertunda sehingga meningkatkan risiko diserang oleh musuh alaminya. Dengan demikian efek penghambatan makan dapat memberikan sumbangan yang cukup nyata dalam penurunan populasi hama secara keseluruhan bila ekstrak tersebut digunakan di lapangan. Aplikasi campuran dua atau lebih insektisida dapat meningkatkan efisiensi aplikasi insektisida bila bersifat sinergis, namun pada penelitian ini campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii (8:5 dan 5:1) bersifat antagonis baik pada larva C. pavonana maupun P. xylostella sehingga penggunaan campurannya di lapangan kurang dianjurkan dan perlu penelitian lebih lanjut. Sifat antagonis mungkin terjadi karena adanya senyawa tertentu
56 dalam setiap ekstrak tunggalnya yang dapat memicu aktivitas enzim PSMO sehingga, serangga lebih toleran terhadap senyawa aktif lain yang dicampurkan. Fraksi 2-4 KK T. vogelii pada konsentrasi 1-2 kali LC95 48 JAP terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum sehingga fraksi ini cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai insektisida alternatif. Faktor keamanan terhadap musuh alami juga diperlukan sebagai prasyarat yang harus dipenuhi insektisida nabati sebelum dipasarkan secara luas ke masyarakat.
Hal ini juga penting dalam
menunjang keberhasilan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) khususnya dalam menggabungkan penggunaan insektisida nabati dan pengendalian hayati. Kerusakan tanaman oleh serangan larva C. pavonana pada tanaman brokoli di lapangan masih jelas terlihat pada perlakuan dengan fraksi 2 KVC P. retrofractum, fraksi 2-4 KK T. vogelii, dan campurannya. Hal ini disebabkan oleh sifat efek kontak yang terbatas dari bahan tersebut sehingga kematian muncul setelah larva memakan tanaman. Oleh sebab itu pemantauan ambang ekonomi hama tersebut diperlukan agar pengaplikasian insektisida nabati dapat segera dilakukan terhadap larva instar yang lebih awal sehingga akan mematikan hama sasaran lebih cepat dengan tingkat kerusakan yang lebih rendah.
Meskipun
demikian, fraksi 2-4 KK ekstrak daun T. vogelii dan campurannya dengan fraksi 3 KVC ekstrak buah P. retrofractum
8:5 masih dapat dikembangkan sebagai
insektisida nabati alternatif pengendalian larva C. pavonana karena bahan nabati tersebut pada uji semilapangan memiliki kemampuan mengendalikan larva C. pavonana yang relatif sama dengan insektisida sintetik profenofos dan bioinsektisida B. thuringiensis. Prijono (1999) mengemukakan beberapa kekurangan insektisida nabati, antara lain persistensi insektisida nabati rendah, sehingga pada tingkat populasi hama yang tinggi, untuk mencapai keefektifan pengendalian yang maksimum diperlukan aplikasi yang berulang-ulang. Scott et al. (2003; 2004) melaporkan penurunan lebih dari 50% residu piperin akibat penyinaran matahari selama 1 jam. Cabizza (2004) melaporkan bahwa tefrosin dan deguelin dapat didegradasi oleh cahaya matahari setelah dilakukan penyinaran selama 6 jam, sehingga tidak
57 persisten di alam. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara untuk meningkatkan keefektifan insektisida nabati, misalnya dengan menggunakan ajuvan yang dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif ke dalam kutikula serta melindungi senyawa aktif dari faktor-faktor lingkungan yang dapat merusak insektisida nabati tersebut (Prijono 1999).
57
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pemisahan dengan kromatografi vakum cair (KVC) ekstrak etil asetat buah P. retrofractum dan kromatografi kolom (KK) ekstrak daun T. vogelii menghasilkan masing-masing fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii sebagai fraksi yang aktif terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Komponen fraksi 2 KVC P. retrofractum bersifat lebih nonpolar dibandingkan senyawa standar piperin sedangkan komponen fraksi 2-4 KK T. vogelii bersifat lebih polar dibandingkan dengan standar rotenon berdasarkan kromatografi lapisan tipis (KLT) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Fraksi 2 KVC P. retrofractum
dan fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki
aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan efek racun perut yang kuat dan efek racun kontak lemah. Berdasarkan LC50 pada 72 jam sejak awal perlakuan (JAP), fraksi 2 KVC P. retrofractum 3,8 kali lebih toksik daripada fraksi 3 KVC-nya terhadap larva C. pavonana. Selain itu, fraksi 2 KVC P. retrofractum 2,4 kali lebih toksik terhadap larva C. pavonana daripada terhadap larva P. xylostella. Sebaliknya, fraksi 2-4 KK T. vogelii 1,8 kali lebih toksik terhadap larva P. xylostella daripada terhadap larva C. pavonana. Campuran fraksi 2 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii pada perbandingan konsentrasi 8:5 dan 5:1 masing-masing bersifat antagonis terhadap larva C. pavonana dan P. xylostella. Fraksi 2 KVC P. retrofractum memiliki efek antifeedant lemah, sedangkan fraksi 2-4 KK T. vogelii memiliki efek antifeedant kuat terhadap larva C. pavonana. Campuran fraksi 3 KVC P. retrofractum dan fraksi 2-4 KK T. vogelii bersifta aditif sampai sinergis lemah terhadap larva C. pavonana. Fraksi 2-4 KK T. vogelii pada 1,5 x LC95 terhadap larva P. xylostella relatif aman terhadap imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum, sedangkan fraksi 2 KVC P. retrofractum pada 1 x LC95 terhadap larva P. xylostella mengakibatkan kematian lebih dari 50% imago jantan dan betina parasitoid D. semiclausum. Pada uji semilapangan, kemampuan fraksi 2-4 KK T. vogelii dalam
59 menurunkan populasi larva C. pavonana pada tanaman brokoli relatif sama dengan kemampuan insektisida sintetik profenofos dan bioinsektida Bacillus thuringiensis sehingga fraksi T. vogelii tersebut layak dikembangkan lebih lanjut.
Saran Pemilihan bentuk formulasi yang sesuai perlu dilakukan agar fraksi aktif P. retrofractum dan T. vogelii yang telah didapatkan dapat memberikan keefektifan pengendalian yang maksimal terhadap serangga hama sasaran di lapangan. Penelitian lebih lanjut pada tingkat lapangan yang lebih luas diperlukan untuk memantapkan landasan pemanfaatan P. retrofractum dan T. vogelii insektisida alternatif.
sebagai
60
DAFTAR PUSTAKA
Ahn JW, Lee CO, Kim EJ, Zee OP, Kim HJ. 1992. Piperoctadecalidine, a new piperidine alkaloid from Piper retrofractum fruits. Bul Kor Chem Soc 13: 388–391. All JN, Ali M, Hornyak EP, Weaver JB. 1997. Joint action of two pyrethroids with methyl-parathion, methomyl, and chlorpyrifos on Heliothis zea and H. virescens in the laboratory and in cotton and sweetcorn. J Econ Entomol 70: 813–817. Amiri B, Ibrahim L, Butt TM. 1999. Antifeedant properties of destruxins and their potential use with the entomogenous fungus Metarhizium anisopliae for improved control of crucifer pests. Biocon Sci Technol 9: 487–498. Ascher KRS, Eliyahu M, Ishaaya I, Zur M, BenpMoshe E. 1986. Synergism of pyrethroid-organophosphorus insecticide mixtures in insects and their toxicity against Spodoptera littoralis larvae. Phytoparasitica 14: 101–110. Barbosa P, Gross P, Kemper J. 1991. Influence of plant allelochemicals on the tobacco horn-worm and its parasitoid, Cotesia congregata. Ecology 72: 1567–1575. Baur ME, Kaya HK, Tabashnik BE, Chilcutt CF. 1998. Suppression of diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae) with an entomopathogenic nematode (Rhabditida: Steinernematidae) and Bacillus thuringiensis Berliner. J Econ Entomol 91: 1089–1095. Bentz J, Neal JW. 1995. Effect of a natural insecticide from Nicotiana gossei on the whitefly parasitoid Encarsia farmosa (Hymenoptera: Aphelinidae). J Econ Entomol 88: 1611–1615. Boeke SJ, Barnaud CC, Joop JA, Loon V, Dansou K, Kossou, Huis AV, Dicke M. 2004. Efficacy of plant extracts against the cowpea beetle, Callosobruchus maculates. Int J Pest Manage 50: 251–258. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2005. Crop protection compendium [CD-ROM]. Wallingord: CAB International. Cabizza M, Angioni A, Melis M, Cabras M, Tuberoso CV, Cabras P. 2004. Rotenone and rotenoids in cube-resins, formulations, and residues on olives. J Agric Food Chem 52: 288−293. Campbell BC, Duffey SS. 1979. Tomatin and parasitic wasp: potential incompatibility of plant antibiosis with biological control. Science 2005: 700–702. Chansang U, Zahiri NS, Bansiddhi J, Boonruad T, Thongsrirak P, Mingmuang J, Benjapong N, Mulla MS. 2005. Mosquito larvicidal activity of aqueous extracts of long pepper (Piper retrofractum Vahl.) from Thailand. J Vect Ecol 30: 195–200.
61 Charleston DS, Kfir R. 2000. The possibility of using Indian mustard, Brassica juncea, as a trap crop for the diamondback moth, Plutella xylostella, in South Africa. Crop Prot 19: 455–460. Chen JS, Sun CN. 1986. Resistance of diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae) to a combination of fenvalerate and piperonyl butoxide. J Econ Entomol 79: 22–30. Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Adv Enzyme Regl 22: 27–55. Coats JR. 1994. Risks from natural versus synthetic insecticides. Annu Rev Entomol 39: 489–515. Coll JC, Bowden BF. 1986. The application of vacuum liquid chromatography to the separation of terpene mixtures. J Nat Prod 49: 934–936. Dadang, Andriani L, Ohsawa K. 2008. Compatibility of Annonaceae and Meliaceae plant extract mixtures in causing mortality effect against the cabbage head caterpillar Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). J ISSAAS 13(suppl.): 5–16. Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions. J Agric Food Chem 18: 379−385. Delobel A, Malonga P. 1987. Insecticidal properties of six plant materials against Caryedon serratus (Ol.) (Coleoptera: Bruchidae). J Stored Prod Res 23: 173–176. Dev S, Koul O. 1997. Insecticides of Natural Origin. Amsterdam: Harwood Academic Publisher. Dickson MH, Shelton AM, Eigenbrode SD, Vamosy ML, Mora M. 1990. Selection for resistance to diamondback moth (Plutella xylostella) in cabbage. Hort Sci 25: 1643–1646. Dono D, Prijono D, Manuwoto S, Buchori D. 1998. Pengaruh ekstrak biji Aglaia harmsiana Perkins terhadap interaksi antara larva Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) dan parasitoidnya, Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae). Bul HPT 10: 38–46. Ferdi. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak buah cabai jawa (Piper retrofractum Vahl.) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Finney DJ. 1971. Probit Analysis. Ed ke-3. Cambridge: Cambridge Univ Press.
62 Fitton M, Walker A. 1990. Hymenopterous parasitoid associated with diamondback moth: the taxonomic dilemma. Di dalam: Talekar NS, editor. Diamondback Moth and other Crucifer Pests. Proceedings of the Second International Workshop; Tainan, 10–14 Desember 1990. Taipei: AVRDC. hlm 225–232. Furlong MJ, Pell JK. 1997. The influence of environmental factors on the persistence of Zoophthora radicans conidia. J Invert Pathol 69: 223–233. Gathumbi SM. 2004. Root recovery of five tropical tree and shrub species by sieves of different mesh sizes. Agrofor Sys 60: 233–237. Gauld ID, Gaston KJ, Janzen DH. 1992. Plant allelochemicals, tritrophic interactions and the anomalous diversity of tropical parasitoids: the ‘nasty’ host hypothesis. Oikos 65: 2. Georghiou GP. 1983. Management of resistance in arthropods. Di dalam: Georghiou GP, Saito T, editor. Pest Resistance to Pesticides. New York: Plenum Press. hlm 769–792. Gisi U. 1996. Synergistic interaction of fungicides in mixtures. Phytopathology 86: 1273–1279. Godfray HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princeton University Press. Hagemann JW, Pearl MB, Higgins JJ, Delfel NE, Earle FR. 1972. Rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii at several stages of maturity. J Agric Food Chem 20: 906−908. Harcourt DG. 1957. Biology of the diamondback moth, Plutella maculipennis (Curt.) (Lepidoptera: Plutellidae), in Eastern Ontario, II. Life history, behaviour and host relationships. Can Entomol 89: 554–564. Harcourt DG. 1961. Design of a sampling plan for studies on the population dynamics of the diamondback moth, Plutella maculipennis (Curt.) (Lepidoptera: Plutellidae). Can Entomol 93: 820–831. Hermawati D. 2004. Pengujian aktivitas biologi campuran ekstrak tumbuhan terhadap Callosobruchus sp. (Coleoptera: Bruchidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Litbang Kehutanan Jakarta, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Palnten van Indonesie. Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D, Hogson E, Reiter L, Ross J, editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2. San Diego: Academic Press. hlm 1169–1227. Isman MB. 1995. Leads and prospects for development of new botanical insecticides. Rev Pestic Toxicol 3: 1–20.
63 Istiaji B. 1998. Pengaruh ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L.) terhadap parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan serangga inangnya, Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kadir HBA, Payne CC, Crook NE, Fenlon JS, Winstanley D, 1999. The comparative susceptibility of the diamondback moth Plutella xylostella and some other major lepidopteran pests of brassica crops to a range of baculoviruses. Biocont Sci Technol 9: 421–433. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesië. Kartosuwondo U. 1987. Biologi parasitoid Diadegma eucerophaga Horstm. (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada inang Plutella xylostella Linn. (Lepidoptera: Plutellidae) yang diberi makan kubis, daun lobak, dan sawi tanah [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kaufman PB, Kirakosyan A, McKenzie, Dayanandan P, Hoyt JE, Li C. 2006. The uses of plant natural products by human and risks associated with their uses. Di Dalam: Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL, editor. Natural Products from Plants. Boca Raton: CRC Press. hlm 441–474. Kester KM, Barbosa P. 1991. Behavioral ecological constaints imposed by plants on insect parasitoids: implications for biological control. Biol Cont 1: 94–106. Kikuzaki H, Kawabata M, Ishida E, Akazawa Y, Takei Y, Nakatani N. 1993. LC-MS analysis and structural determination of new amides from Javanese long pepper (Pipper retrofractum). Biosci Biotech Biochem 57: 1329–1333. Koona P, Dorn S. 2005. Extracts from Tephrosia vogelii for the protection of stored legume seeds against damage by three bruchid species. Ann Appl Biol 147: 43−48. Kosman E, Cohen Y. 1996. Procedures for calculating and differentiating synergism and antagonism in action of fungicide mixtures. Phytopathology 86: 1255–1264. Koziol FS, Witkowski JF. 1982. Synergism studies with binary mixtures of permethrin plus methyl parathion, chlorpyrifos, and malathion on European corn borer larvae. J Econ Entomol 75: 28–30. Krishnaiah K, Mohan NJ, Prasad VG. 1981. Efficacy of Bacillus thuringiensis Ber. for the control of lepidopterous pests of vegetable crops. Entomon 6: 87–93.
64 Lambert N, Trouslot MF, Campa C, Chrestin H. 1993. Production of rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia vogelii. Phytochemistry 34: 1515–1520. LeOra Software. Software.
1987.
POLO-PC User’s Guide.
Petaluma (CA): LeOra
Luter M. 1987. Biologi Plutella xylostella pada kubis, sawi hijau, lobak, dan sawi tanah [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Luther GC, Valenzuela HR, Frank J. 1996. Impact of cruciferous trap crops on lepidopteran pests of cabbage in Hawaii. Environ Entomol 25: 39–47. Magallona ED. 1986. Development in diamondback moth management in the Philippines. Di dalam: Diamondback Moth Management. Proceedings of the First International Workshop; Tainan, 11–15 Maret 1985. Tainan: AVRDC. hlm 423–435. Marston A, Msonthi JD, Hostettmann K. 1984. On the reported molluscisidal activity from Tephrosia vogelii leaves. Phytochemistry 23: 1824−1825. Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides. Ed ke-2. New York: Plenum Press. MacDonald RS, Surgeoner GA, Solomon KR, Harris CR. 1983. Effect of five spray regimes on the development of permethrin and dichlorvos resistance in the laboratory by the house fly (Diptera: Muscidae). J Econ Entomol 76: 417–422. Metcalf Rl. 1982. Insecticides in pest management. Di dalam: Metcalf RL, Luckman WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. Ed ke-2. New York: J Wiley. hlm 215–275. Mitchell ER, Hu GY, Okine J, McLaughlin JR. 1997. Mating disruption of diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae) and cabbage looper (Lepidoptera: Noctuidae) in cabbage using a blend of pheromones emitted from the same dispenser. J Entomol Sci 32: 120–137. Miyakado M, Nakayama I, Ohno N. 1989. Insecticidal unsaturated isobutylamides. Di dalam: Arnason JT, Philogene BJR, Morand P, editor. Insecticides of Plant Origin. Washington DC: ACS. hlm 173–187. Morallo-Rejesus B. 1986. Botanical insecticides against the diamondback month. University of the Phillippines at Los Banos, College, Laguna, Phillippines. http://www.avrd.orgpdf86dbm86DBM23pdf. [20 Juni 2008].
65 Morgan DE, Wilson DI. 1999. Insect hormones and insect chemical ecology. Di dalam: Barton SD, Nakanishi K, Meth-Cohn O, Mori K, editor. Comprehensive Natural Products Chemistry. Vol 8. Amsterdam: Elsevier. hlm 264–364. Murray DAH, Rynne KP, Winterto SL, Bean JA, Lloid RJ. 1995. Effect of host plant on parasitism of Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) by Hyposoter didymator Thurnberg (Hymenoptera: Ichneumonidae) and Cotesia kazak (Telenga) (Hymenoptera: Braconidae). J Aust Entomol Soc 34: 71–73. Nagarkatti S, Jayanth KP. 1982. Population dynamics of major insect pests of cabbage and of their natural enemies in Bangalore District (India). Di dalam: Heong KL, Lee BS, Lim TM, Teoh CH, Ibrahim Y, editor. Proceedings of the International Conference on Plant Protection in the Tropics; Kuala Lumpur, 1–4 Maret 1982. Kuala Lumpur: Malaysian Plant Protection Society. hlm 325–347. Nation JL. 2002. Insect Physiology and Biochemistry. Boca Raton: CRC Press. Ooi PAC. 1980. Laboratory studies of Diadegma cerophagus (Hymenoptera: Ichneumonidae), a parasite introduced to control Plutella xylostella (Lepidoptera: Hyponomeutidae) in Malaysia. Entomophaga 25: 249–259. Ooi PAC. 1990. Role of parasitoids in managing diamondback moth in Cameron Highland, Malaysia. Di dalam: Talekar NS, editor. Diamondback Moth and Other Crucifer Pests. Proceeding of the Second International Workshop; Tainan, 10–14 Desember 1990. Taipei: AVRDC. hlm 255–262. Ooi PAC, Kelderman W. 1979. The biology of three common pests of cabbages in Cameron Highlands, Malayisa. Malay Agric J 52: 85–101. Othman N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyrallidae) and its parasites from Cipanas Area (West Java) [research report]. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Parmar VS, Jain SC, Bisht KS, Jain R, Taneja P, Jha A, Tyagi OD, Prasad AK, Wengel J, Olsen CE, Boll PM. 1997. Phytochemistry of the genus Piper. Phytochemistry 46: 597–673. Prabaningrum L, Sastrosiswojo S. 1996. Penggunaan sawi jabung rape sebagai tanaman perangkap bagi Plutella xylostella L. dan Crocidolomia binotalis Zell. pada tanamn kubis. Di dalam: Duriat AS, Basuki RS, Sinaga RM, Hilman Y, Abidin Z, editor. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran; Lembang, 24 Oktober 1995. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 378–384. Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculturae. New York: Lewis Publisher.
66 Price JF, Schuster DJ. 1991. Effects of natural and synthetic insecticides on sweet potato whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) and its hymenopterous parasitoids. Florida Entomol 74: 60–68. Prijono D. 1999. Prospek dan strategi pemanfaatan insektisida alami dalam PHT. Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, editor. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9–13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hlm 1–7. Prijono D. 2002. Pengujian Keefektifan Campuran Insektisida: Pedoman bagi Pelaksana Pengujian Efikasi untuk Pendaftaran Pestisida. Bogor: Jurusan HPT, IPB. Prijono D, Hasan E. 1992. Life cycle and demography of Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyrallidae) on broccoli in laboratory. Indon J Trop Agric 4: 18–24. Prijono D, Sudiar JI, Irmayetri. 2006. Insecticidal activity of Indonesian plant extracts against the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). J ISSAAS 12: 25–34. Raich KV. 1976. New parasites of cabbage web-worm. Sci Cult 42: 434–435. Rejeki YS. 1996. Aktivitas sinergistik ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L.) dan minyak wijen (Sesamum indicum L.) terhadap Callosobruchus maculatus (F.) (Coleoptera: Bruchidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Reuben SOWM, Masunga M, Makundi R, Misangu RN, Kilonzo B, Mwatawala M, Lyimo HF, Ishengoma CG, Msuya DG, Mulungu LS. 2006. Control of cowpea weevil (Callosobruchus maculatus L.) in stored cowpea (Vigna unguiculatus L.) grains using botanicals. Asian J Plant Sci 5: 91–97. Robertson JL, Preisler HK. 1992. Pesticide Bioassays with Arthropods. Boca Raton: CRC Press. Robertson JL, Smith KC. 1984. Joint action of pyrethroid with organophosphorus and carbamate insecticides applied to western spruce budworm (Lepidoptera: Tortricidae). J Econ Entomol 77: 16–12. Rush M, Rattanadilok N, Poapongsakorn N. 1997. Pesticide use in Thai agriculture: problems and policies. Di dalam: Poapongsakorn N, Meenakanit L, Waibel H, Jungbluth F, editor. A Policy Workshop in Hua Hin; Hua Hin, 3–5 Juli 1997. Hannover: The Institute for Economics in Horticulture, Herrenhäuser. hlm 29–51. Saryanah NA. 2008. Toksisitas campuran ekstrak Piper retrofractum Vahl (Piperaceae) dan Tephrosia vogelii Hook. f. (Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
67 Sastrosiswojo S. 1984. Status pengendalian hayati hama Plutella xylostella oleh parasitoid Diadegma eucerophaga di Jawa Barat. Di dalam: Risalah Seminar Hama dan Penyakit Sayuran; Cipanas, 29–30 Mei 1984. Lembang: Balai Penelitian Hortikultura. hlm 11–18. Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1992. Biology and control of Crocidolomia binotalis in Indonesia. Di dalam: Talekar NS, editor. Proceedings of the Second International Workshop on Diamondback Moth and other Crucifer Pests; Tainan, 10–14 Desember 1990. Tainan: AVRDC. hlm 81–90. Sastrosiswojo B, Setiawati W. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendaliannya. Di dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Kubis. Bandung: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Balai Penelitian Hortikultura. hlm 39–50. Schmutterer H. 1997. Side-effect of neem (Azadirachta indica) products on insect pathogens and natural enemies of spider mites and insects. J Appl Entomol 121: 121–128. Scott IM, Jensen H, Nicol R, Lesage L, Bradbury R, Sanchez-Vindas P, Poveda L, Arnason JT, Philoge`ne BJR. 2004. Efficacy of Piper (Piperaceae) extracts for control of common home and garden insect pests. J Econ Entomol 97: 1390–1403. Scott IM, Jensen HR, Philogene BJR, Arnason JT. 2008. A review of Piper spp. (Piperaceae) phytochemistry, insecticidal activity and mode of action. Phytochem Rev 7: 65–75. Scott IM, Jensen H, Scott JG, Isman MB, Arnason JT, Philoge`ne BJR. 2003. Botanical insecticides for controlling agricultural pests: piperamides and the Colorado potato beetle Leptinotarsa decemlineata Say (Coleoptera: Chrysomelidae). Arch Insect Biochem Physiol 54: 212–225. Scott IM, Puniani E, Durst T, Phelps D, Merali S, Assabgui RA, Sanchez-Vindas P, Poveda L, Philogene BJR, Arnason JT. 2002. Insecticidal activity of Piper tuberculatum Jacq. extracts: synergistic interaction. Agric For Entomol 4: 137–144. Setiawati W, Sastrosiswojo. 1995. Penerapan komponen teknologi PHT pada tanaman kubis di dataran tinggi dan dataran medium. Di dalam: Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran; Lembang, 24 Oktober 1995. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran. hlm 347–354. Sieglaff DH, Mitchell ER, Hu GY. 1998. Evaluation of rearing methods for Diadegma insulare (Hymenoptera: Ichneumonidae), an endoparasitoid of the diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae). Florida Entomol 81: 578–582. Singh OP, Rawat RR. 1980. Natural enemies of cabbage web-worm, Crocidolomia binotalis Zell. at Jabalpur (Madhya Pradesh). Indian J Entomol 42: 324–326.
68 Smith D. 1975. Cabbage pest control investigations. Queensl J Agric Anim Sci 32: 13–18. Srinivasan K, Moorthy PNK. 1991. Indian mustard as a trap crop for management of major lepidopterous pests on cabbage. Trop Pest Manage 37: 26–32. Stark JD, Wong TTY, Vargas RI, Thalman RK. 1992. Survival, longevity, and reproduction of tephritid fruit fly parasitoids (Hymenoptera: Braconidae) reared from fruit flies exposed of azadirachtin. J Econ Entomol 85: 1125– 1129. Stone ND, Makela ME, Plapp FW. 1988. Nonlinear optimization analysis of insecticide mixtures for control of tobacco budworm (Lepidoptera: Noctuidae). J Econ Entomol 81: 989–994. Sudiarto. 1992. Budidaya cabai jawa di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 1: 8–10. Talekar NS, Lee ST. 1985. Seasonality of insect pests of Chinese cabbage and common cabbage in Taiwan. Taiwan Plant Prot Bull 27: 47–52. Talekar NS, Shelton AM. 1993. Biology, ecology, and management of the diamondback moth. Annu Rev Entomol 38: 275–301. Teh PC, Sudderuddin KI, Ng SM. 1982. Toxicological studies of permethrin on the cruciferous pest, Plutella xylostella L. Di dalam: Heong KL, Lee BS, Lim TM, Teoh CH, Ibrahim Y, editor. Proceedings of the International Conference on Plant Protection in the Tropics; Kuala Lumpur, 1–4 Maret 1982. Kuala Lumpur: Malaysian Plant Protection Society. hlm 8. Theunissen J, Schelling G, Finch, Brunel E. 1996. Undersowing crops of white cabbage with strawberry clover and spurrey. Bul OILB-SROP 19: 128–135. Turling TCJ, Tumlinson JH. 1991. Do parasitoids use herbivore-induced plant chemical defenses to locate hosts? Florida Entomol 74: 42–50. Uhan TS, Gunawan OS, Setiawati W, Widjaja W, Soeganda H. 1995. Inventarisasi dan pencarian hama, penyakit, dan nematoda pada kentang dan kubis di dataran tinggi propinsi Jawa Timur. Di dalam: Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayur; Lembang, 24 Oktober 1995. Bandung: Balitsa Lembang. hlm 347–354. Vos HCAA. 1953. Introduction in Indonesia of Angitia cerophaga Grav., a parasite of Plutella maculipennis Curt. Contrib Central Agric Res Sta Bogor No 134: 1–32. Wulan DR. 2008. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii Hook. f. (Leguminosae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
69 Yang P, Liu NX, Lin JY. 1999. Study on application of entomopathogenic nematodes to control the diamondback moth, Plutella xylostella. Nat Enem Insects 21: 107–112. Yoon CS, Sung GH, Park HS, Lee SG, Lee JO. 1999. Potential of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana strain CS-1 as a biological control agent of Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae). J Appl Entomol 123: 423–425. Yunia N. 2006. Aktivitas insektisida campuran ekstrak empat jenis tumbuhan terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yuswanti L, Prijono D. 2004. Pengaruh campuran ekstrak Aglaia harmsiana Perkins dan Dysoxylum acutangulum Miq. terhadap mortalitas dan oviposisi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). JHPT Trop 4: 1–7.