AKTIVITAS ANTIOKSIDAN JAMU GALOHGOR PADA TIKUS PUTIH (Rattus sp)
ROSALIN RAVENSCA LEATEMIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis “Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor pada Tikus Putih (Rattus sp)” adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rosalin Ravensca Leatemia NIM I151080101
ABSTRACT ROSALIN RAVENSCA LEATEMIA. Antioxidant Activity of Galohgor Herbs in Rats (Rattus sp). Under the direction of SRI ANNA MARLIYATI and BUDI SETIAWAN. Galohgor is a traditional Sundanese herbs containing of 56 ingredients, consist of leafs, roots, stems, seeds, and beans that consumed by postpartum women in Bogor to increase breast milk production for breastfeeding. The survey showed empirically that Galohgor herbal medicine has some benefits: to increase breast milk production, to accelerate healing uterus and improve stamina of postpartum women. The aim of the study was to determine Antioxidant Activity of Galohgor Herbs in Rats. Thirty-two female rats were divided into four groups, with one control group, and the other groups got three different dosages (0.375 g/kgBW; 0.75 g/kgBW; and 1.5 g/kgBW) for 14 days continuously. The rats were fed and given water as they need. Antioxidant activity assay was done by measuring levels of malondialdehyde (MDA) and activity of Superoxide dismutase (SOD) enzyme in plasma. The study results showed that Galohgor herbs decreased levels of MDA (p <0.05) and increased activity of SOD (p<0.05) enzyme in plasma. The decrease of MDA level accompanied with increased antioxidant activity of SOD enzyme in plasma showed that the Galohgor herbs was efficacious in warding off free radicals and improve stamina of postpartum women. Keywords: Galohgor, antioxidant activity, superoxide dismutase, malondialdehyde
RINGKASAN ROSALIN RAVENSCA LEATEMIA. Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor pada Tikus Putih (Rattus sp). Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan BUDI SETIAWAN. Jamu postpartum atau sering disebut jamu habis bersalin, adalah jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan dengan tujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi air susu. Jamu habis bersalin yang banyak dikenal oleh suku Sunda adalah jamu Galohgor. Jamu Galohgor biasanya dikonsumsi 2 kali sehari (pagi dan sore) selama 40 hari semenjak persalinan. Roosita (2003) melakukan penelitian untuk melihat efek jamu Galohgor pada tikus postpartum terhadap involusi uterus dan produksi susu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jamu Galohgor dapat meningkatkan produksi air susu dan mempercepat involusi uterus pada tikus postpartum. Sebelumnya Pajar (2002), telah meneliti kandungan gizi dan senyawa aktif yang terkandung dalam jamu Galohgor kaitannya dengan kesehatan ibu melahirkan dan menyusui. Senyawa aktif yang telah diteliti adalah alkaloid, flavonoid, dan terpeneoid (fenol hidrokuinon, triterpenoid/steroid, saponin, tanin). Selain penelitian yang sudah dilakukan, survey menunjukkan bahwa jamu Galohgor secara empirik memiliki manfaat untuk meningkatkan produksi air susu, mempercepat penyembuhan rahim dan menguatkan tubuh atau meningkatkan stamina ibu (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005). Jamu Galohgor merupakan jamu yang terdiri dari 38 jenis tumbuhan obat dari bagian daun, Akar dan batang, 6 jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian dan 5 jenis rempah-rempah. Menurut Winarsi (2007), tanaman herbal dan rempah-rempah mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah datangnya penyakit dan menguatkan tubuh atau meningkatkan stamina tubuh. Menyikapi hasil survey yang menyatakan bahwa jamu Galohgor secara empiris meningkatkan stamina ibu (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005), maka peneliti tertarik untuk menganalisis aktivitas antioksidan dari jamu Galohgor pada tikus putih (Rattus sp). Tujuan khususnya adalah: (1) Mengetahui kadar mineral Zn, Fe, Cu, Mn, dan senyawa aktif yang terkandung dalam bubuk jamu Galohgor, (2) Mengkaji efek pemberian jamu Galohgor terhadap kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tikus betina dewasa, dan (3) Mengkaji efek pemberian jamu Galohgor terhadap status Superoxide Dismutase (SOD) plasma tikus betina dewasa. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Maret hingga April 2010 dan dilaksanakan di Laboratorium Hewan Pusat Studi Biofarmaka IPB. Analisis kadar MDA dan SOD plasma dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis kandungan Fitokimia dan mineral Zn, Fe, Cu, dan Mn dari jamu Galohgor dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan 1 (satu) faktor perlakuan pemberian jamu Galohgor, 4
(empat) tingkatan dosis jamu Galohgor, masing-masing 4 (empat) kali ulangan. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus sp) betina dewasa galur Sprague-Dawley yang sehat, berusia 3 bulan dengan berat antara 180238 gram. Sebanyak 24 ekor tikus betina dewasa, 8 ekor tikus diambil secara acak untuk dibedah dan diambil darahnya sebagai sampel untuk dianalisis kadar Malondialdehyde (MDA) dan aktivitas Superoksida dismutase (SOD) plasma yang digunakan untuk menggambarkan kondisi awal kadar MDA dan aktivitas SOD tikus sebelum diberi perlakuan. 16 ekor tikus betina dewasa yang tersisa dibagi secara acak ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif yang diberi aquades, kelompok yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 0,375 gr/kgBB (dosis normal pada manusia), kelompok yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 0,75 gr/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia), kelompok yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 1,5 gr/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia), masing-masing diberi perlakuan selama 14 hari. Jenis data yang dikumpulkan meliputi kadar mineral Zn, Fe, Cu, dan Mn jamu Galohgor yang dianalisis menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), kandungan senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam jamu Galohgor yang ditentukan secara kualitatif, kadar Malondialdehyde (MDA) dan aktivitas enzim antioksidan Superoksida dismutase (SOD) ditentukan dengan metode Spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jamu Galohgor mengandung zat besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan senyawa-senyawa bioaktif seperti glikosida, triterpenoid, dan alkaloid. Setelah 14 hari pemberian jamu Galohgor pada tikus betina, kadar rata-rata MDA plasma kelompok jamu Galohgor dosis 0,375 g/kgBB tikus, dosis 0,75 g/kgBB tikus, dan dosis 1,5 g/kgBB tikus, pada akhir penelitian nampak turun jika dibandingkan dengan kadar MDA tikus pada kondisi awal penelitian, sedangkan pada tikus kontrol, di akhir penelitian kadar MDA plasma nampak naik. Sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jamu Galohgor memberikan pengaruh yang nyata (p=0.019 atau p<0.05) terhadap turunnya kadar MDA plasma pada akhir penelitian. Uji lanjut Least Significant Different (LSD) menunjukkan bahwa kadar MDA plasma pada akhir penelitian dari kelompok perlakuan jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB tikus, maupun dosis 1,5 gr/kgBB tikus berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kontrol. Sementara kadar MDA plasma antar kelompok pemberian jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB tikus, maupun dosis 1,5 gr/kgBB, saling tidak berbeda nyata satu sama lain Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa setelah 14 hari pemberian jamu Galohgor pada tikus betina dimulai dari dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB tikus, dan dosis 1,5 gr/kgBB tikus, aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma pada akhir penelitian nampak naik jika dibandingkan dengan kondisi awal aktivitas enzim antioksidan SOD plasma, sedangkan aktivitas enzim SOD plasma tikus kontrol di akhir penelitian nampak turun jika dibandingkan dengan aktivitas enzim SOD plasma tikus pada kondisi awal penelitian. Sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jamu Galohgor memberikan pengaruh yang nyata
terhadap aktivitas enzim SOD. Uji lanjut LSD menunjukkan bahwa aktivitas enzim SOD kelompok perlakuan jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus dan dosis 0,75 gr/kgBB tikus pada akhir penelitian berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kontrol, sedangkan pemberian jamu Galohgor dosis 1,5 gr/kgBB tikus, tidak memberikan pengaruh nyata (p=0.64) pada aktivitas enzim SOD terhadap kontrol. Aktivitas enzim SOD antar perlakuan pemberian jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB dan dosis 1,5 gr/kgBB tikus tidak saling berbeda nyata Simpulan dari penelitian ini adalah : (1) Jamu Galohgor mengandung empat mineral penting seperti zat besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), dan mangan (Mn), selain itu, jamu Galohgor secara umum juga mengandung senyawa-senyawa aktif seperti senyawa alkaloid, triterpenoid, dan glikosida yang berperan sebagai antioksidan, (2) Kadar MDA antar ketiga perlakuan dosis (dosis normal, 2 kali normal, dan 4 kali normal) tidak berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi jamu Galohgor dengan dosis normal (0,375 g/kgBB), sudah cukup optimal dalam menurunkan kadar MDA plasma., (3) Ketiga perlakuan dosis (dosis normal, 2 kali normal, dan 4 kali normal) yang digunakan saling tidak berbeda nyata satu sama lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi jamu Galohgor dengan dosis normal (0,375 g/kgBB) sudah cukup optimal dalam meningkatkan aktivitas enzim antioksidan SOD plasma tikus.
Kata kunci: Galohgor, aktivitas antioksidan, superoksida dismutase, malondialdehyde
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN JAMU GALOHGOR PADA TIKUS PUTIH (Rattus sp)
ROSALIN RAVENSCA LEATEMIA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor Pada Tikus Putih (Rattus sp).
Nama
: Rosalin Ravensca Leatemia
NIM
: I151080101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.S
Dr. Ir. Budi. Setiawan, M.S
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Drh.M.Rizal M. Damanik, M.Rep.Sc.Ph.D
Tanggal Ujian : 28 Juli 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Katrin Roosita, SP, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kekuatan, rahmat, dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan April 2010 ialah Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor pada Tikus Putih (Rattus sp). Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan doa, dukungan, semangat, arahan, bimbingan, dan kerjasama dengan berbagai pihak. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Ibu Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MSi dan Bapak Dr. Ir. Budi. Setiawan, MS selaku komisi pembimbing, yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran dan dorongan kepada penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merahmati dan memberikan kebaikan, kesehatan, dan kesuksesan bagi Bapak dan Ibu. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua atas doa, dukungan, semangat, pengorbanan, dan limpahan kasih sayang yang setiap saat selalu dapat penulis rasakan, juga kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Kepada Semby Singadji, S.Kom, penulis sampaikan banyak terima kasih atas doa, semangat, dan pendampingannya selama penulis menempuh studi di Bogor, juga kepada teman-teman pascasarjana Gizi Masyarakat Angkatan 2008, khususnya dr. Madya Wicaksono, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Kepada teman-teman Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) di Bogor, penulis mengucapkan terima kasih atas doa, dukungan, dan kebersamaannya. Kepada semua pihak yang telah membantu memberikan saran, ide dan informasi yang namanya tidak disebutkan satu per satu, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan Bapak/Ibu dan Sdr/i sekalian.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2010
Rosalin Ravensca Leatemia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon, pada tanggal 16 Agustus 1984, sebagai anak tunggal dari pasangan Agustinus Chornelius Leatemia dan Elizabeth Sihasale. Tahun 2002 Penulis lulus dari SMUN I Saparua dan melanjutkan studi di Program Sarjana Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon, dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. viii DAFTAR GAMBAR………………………………………………………….
ix
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. x PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 Tujuan .................................................................................................... 3 Manfaat .................................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….. 4 Jamu ........................................................................................................ 4 Klasifikasi Antioksidan ........................................................................... 7 Superoksida Dismutase (SOD) ................................................................ 11 Malondialdehyde (MDA) ....................................................................... 15 METODE ……………………………………………………………………… 17 Waktu dan Tempat ................................................................................. 17 Materi Penelitian .................................................................................... 17 Metode Penelitian ................................................................................... 18 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………… 25 Kandungan Mineral dan Bahan Aktif Jamu Galohgor ………………… 25 Kandungan Mineral …………………………………………………… 25 Kandungan Senyawa Aktif ……………………………………………. 29 Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor ………………………………… 32 Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma Tikus ………………………. 33 Aktivitas Enzim Superokside Dismutase (SOD) Plasma Tikus ………. 38 Berat Badan Tikus … ………………………………………………….. 44 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………….. 47 Kesimpulan …………………………………………………………… 47 Saran …………………………………………………………………. 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
49
LAMPIRAN ...................................................................................................... 59
DAFTAR TABEL Halaman 1 Distribusi jumlah tikus berdasarkan kelompok perlakuan ………………….. 19 2 Parameter yang diukur dan metode pengukuran …………………………….. 24 3 Kandungan senyawa aktif jamu Galohgor………………..………………….. 30
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tikus percobaan ……………………………………………………………..
17
2 Kandang tikus percobaan …………………………………………………....
17
3 Bahan-bahan jamu Galohgor………………………………………………...
21
4 Pencekokan jamu Galohgor pada tikus ……………………………………..
22
5 Pembedahan tikus …………………………………………………………...
23
6 Sampel darah tikus ………………………………………………………….. 23 7 Grafik kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tikus pada awal Penelitian …………………………………………………………………… 34 8 Grafik kadar malondialdehyde (MDA) (µmol/mL) dalam plasma darah Tikus pada akhir penelitian …………………………………………………. 35 9 Grafik aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada kondisi awal penelitian ……………………………………………………… 39 10 Grafik kadar enzim Superokside dismutase (SOD) (U/mL) dalam plasma darah tikus pada akhir penelitian ……………………………………………. 40 11 Grafik berat badan tikus pada kondisi awal penelitian ……………………….. 44 12 Grafik berat badan tikus pada akhir penelitian ……………………………… 45
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar Nama Bahan dan Komposisi Jamu ……………………………………. 59 2 Hasil sidik ragam kondisi awal kadar MDA plasma tikus …………………………. 61 3 Hasil sidik ragam kadar MDA plasma tikus pada akhir penelitian ……………………61 4 Hasil uji lanjut Least Significant Difference (LSD) kadar MDA plasma tikus pada akhir penelitian ………….………………………….. 61 5 Hasil sidik ragam kondisi awal aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma tikus ………….………………………62 6 Hasil sidik ragam aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada akhir penelitian ……………………..………………62 7 Hasil uji lanjut Least Significant Difference (LSD) aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada akhir penelitian …………………………………………………………..…………..62 8 Hasil sidik ragam berat badan tikus pada awal penelitian………….…….…….63
9 Hasil sidik ragam berat badan tikus pada akhir penelitian ……………………. 63 10 Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7148-2005 tentang Minuman khusus menyusui…………………………………………………………………...…. . 64 11 Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 bagi orang Indonesia ………….... 65 12 Prosedur analisis penetapan kadar dan Zn, Fe, Cu, dan Mn dalam jamu Galohgor dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (Apriyantono, et al 1989) ………………………………………….…. 66 13 Prosedur analisis senyawa aktif secara kualitatif ………………………… …. 67 14 Prosedur penetapan kadar MDA plasma tikus dilakukan dengan penentuan peroksida lipid (Wills ED 1987) ……………………………………………... 68 15 Prosedur penetapan aktivitas enzim SOD plasma tikus (Chen et al. 1996)…… 69
PENDAHULUAN Latar Belakang Obat tradisional atau jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM 2004). Secara umum jamu dianggap tidak beracun dan tidak menimbulkan efek samping. Khasiat jamu telah teruji oleh waktu, zaman dan sejarah, serta bukti empiris langsung pada manusia selama ratusan tahun (Winarno 1997). Sandra dan Kemala (1994) menyatakan bahwa pengadaan dan pemanfaatan obat tradisional di Indonesia dilakukan secara terbatas oleh pemakai dalam lingkungan keluarga. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, kuatnya budaya pemanfaatan obat tradisional, kesadaran masyarakat untuk melestarikan
budaya tersebut, dan harga jual jamu yang lebih terjangkau oleh golongan masyarakat menengah ke bawah dibanding dengan obat modern, serta masih terbatasnya jangkauan obat modern di pelosok pedesaan, maka pengadaan dan pemanfaatan jamu terus meningkat. Salah satu jenis jamu yang digunakan adalah jamu untuk masa nifas (postpartum). Jamu postpartum atau sering disebut jamu habis bersalin, adalah jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan dengan tujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi air susu. Jamu habis bersalin biasanya diberikan selama 40 hari setelah melahirkan dalam bentuk satu paket perawatan (Tilaar 1994). Jamu habis bersalin tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi ASI, namun juga bertujuan untuk melangsingkan tubuh (Soekotjo 2010; Tilaar 1994). Jamu habis bersalin yang banyak dikenal oleh suku sunda adalah jamu Galohgor. Di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, ibu yang baru melahirkan memiliki kebiasaan mengkonsumsi jamu Galohgor. Jamu Galohgor biasanya dikonsumsi 2 kali sehari (pagi dan sore) selama 40 hari semenjak persalinan. Roosita (2003) melakukan penelitian untuk melihat efek jamu Galohgor pada tikus postpartum terhadap involusi uterus dan produksi susu. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jamu Galohgor dapat meningkatkan produksi air susu dan mempercepat involusi uterus pada tikus postpartum. Sebelumnya Pajar (2002), telah meneliti kandungan gizi dan senyawa aktif yang terkandung dalam jamu Galohgor kaitannya dengan kesehatan ibu melahirkan dan menyusui yang dibuat dengan menggunakan cara Drum Dryer. Senyawa aktif yang telah diteliti adalah alkaloid, flavonoid, dan terpeneoid (fenol hidrokuinon, triterpenoid/steroid, saponin, tanin). Selain penelitian yang sudah dilakukan, survey menunjukkan bahwa jamu Galohgor secara empirik memiliki manfaat untuk meningkatkan produksi air susu, mempercepat penyembuhan rahim dan menguatkan tubuh atau meningkatkan stamina ibu (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005).
Jamu Galohgor merupakan jamu yang terdiri dari 38 jenis tumbuhan obat dari bagian daun, akar dan batang, 6 jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian, dan 5 jenis rempah-rempah. Menurut Winarsi (2007), tanaman herbal dan rempah-rempah mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah datangnya penyakit dan menguatkan tubuh atau meningkatkan stamina tubuh. Hermani dan Raharjo (2006) mengatakan bahwa antioksidan dapat dihasilkan dari produk alami seperti rempahrempah, herbal, sayuran dan buah. Menyikapi hasil survey yang menyatakan bahwa jamu Galohgor secara empiris meningkatkan stamina ibu (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005), maka Peneliti tertarik untuk menganalisis aktivitas antioksidan dari jamu Galohgor pada tikus putih (Rattus sp). Parameter yang digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan jamu Galohgor ini adalah kadar Malondialdehyde (MDA) plasma dan status Superoksida Dismutase (SOD) plasma.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum untuk mempelajari aktivitas antioksidan jamu Galohgor pada tikus putih (Rattus sp). Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar mineral Zn, Fe, Cu, Mn, dan senyawa aktif yang terkandung dalam bubuk jamu Galohgor secara kualitatif. 2. Mengkaji efek pemberian jamu Galohgor terhadap kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tikus betina dewasa. 3. Mengkaji efek pemberian jamu Galohgor terhadap status Superoxide Dismutase (SOD) plasma tikus betina dewasa. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan aktivitas antioksidan jamu postpartum tradisional (jamu Galohgor) Desa Sukajadi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan untuk mengetahui efek jamu postpartum tradisional (jamu Galohgor) pada tikus, yang diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan memperoleh ethical clearance untuk dilanjutkan pada manusia.
TINJAUAN PUSTAKA Jamu Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) mengklasifikasikan obat tradisional sebagai jamu, obat herbal terstandar, dan sediaan fitofarmaka. Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM 2004). Jamu sendiri mempunyai senyawa-senyawa, sehingga khasiat jamu mungkin terjadi dengan adanya interaksi antar senyawa yang mempunyai pengaruh yang lebih kuat (Nurhayati 2008). Dalam sejarah perkembangan jamu, rakyat Indonesia telah mengenal jamu sejak ratusan tahun yang lalu. Jamu tidak sepenuhnya berfungsi sebagai obat, tetapi dapat mempertahankan tubuh agar tetap sehat, dan melindungi tubuh terhadap pengaruh luar yang kurang baik. Namun demikian terdapat pula jamu yang berfungsi sepenuhnya sebagai obat (Agoes 1993). Di tengah gegap gempitanya promosi obat
modern, sebagian besar bangsa Indonesia masih beranggapan bahwa jamu lebih tepat untuk mengobati berbagai penyakit, seperti sariawan, pegal linu dan kegemukan, bahkan untuk mempercantik diri dan kesegaran tubuh (Afdhal 1996). Menurut Agoes (1993) terdapat empat teori yang menghubungkan kesembuhan seseorang dengan penggunaan tanaman obat, yaitu : 1) sugesti (autohipnosis); 2) prinsip homeopati; 3) peningkatan daya tahan tubuh; dan 4) unsur farmakoterapeutika. Survey yang dilakukan menunjukkan bahwa jamu Galohgor secara empirik memiliki manfaat untuk menguatkan tubuh atau meningkatkan stamina ibu setelah melahirkan (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005). Menurut Agoes (1993), secara fisiologis jamu dapat meningkatkan nafsu makan, memperbaiki enzim, memperlancar pengaliran cairan empedu, memperlancar pembuangan kotoran, air seni dan keringat. Herbs medicine (jamu) dikenal sebagai pelengkap (complementary) dari obat terapeutik yang dipergunakan dalam pengobatan konvensional. Dalam satu dekade terakhir, penggunaan jamu semakin meningkat secara dramatis, yang keseluruhannya diperkirakan mencapai jumlah 20.000 jenis produk. Penggunaan secara luas menumbuhkan kebutuhan akan adanya penelitian ilmiah untuk dapat mendukung manfaat, keamanan dan efektivitas (efikasi) jamu. Sejak Oktober 1994, Amerika Serikat telah menetapkan Dietary Supplement Health and Education Act (DSHEA) yang menggolongkan jamu bersama vitamin dan mineral dalam kategori suplemen. DSHEA tidak mensyaratkan perlunya pembuktian dalam hal keamanan, efektivitas (efikasi) dan kualitas jamu selama label jamu tidak menyatakan claim terhadap pengobatan untuk suatu penyakit, misalnya dengan mengatakan bahwa suatu jamu dapat menyembuhkan penyakit sembelit, melainkan hanya menjelaskan claim efek terhadap organ atau fungsi fisiologisnya, sebagai contoh; jamu dapat membantu melancarkan buang air besar (BAB) (Darmansjah 2002). Jamu habis bersalin adalah jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan dengan tujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi air susu. Jamu habis bersalin biasanya diberikan selama 40 hari setelah melahirkan dalam bentuk satu
paket perawatan (Tilaar 1994). Jamu Galohgor adalah jamu habis bersalin yang banyak dikenal oleh suku Sunda. Jamu Galohgor diramu dari 56 jenis tanaman obat. Daftar nama bahan dan komposisi jamu Galohgor dapat dilihat pada Lampiran 1. Komposisi jamu Galohgor bervariasi antar waktu dan tempat, tergantung pada ketersediaan bahan baku, namun memiliki rumus umum yang hampir sama, yaitu terdiri dari kelompok serealia, kacang-kacangan, temu-temuan dan daun-daunan yang dikeringkan dengan panas matahari, kemudian disangrai dan ditumbuk. Cara mengkonsumsinya pun cukup unik, yakni tidak diseduh air panas namun dimakan sebagaimana halnya cemilan (makanan ringan). Jamu ini umumnya dikonsumsi sehabis melahirkan sampai 40 hari pasca melahirkan. Ibu yang mengkonsumsi jamu ini umumnya mengungkapkan bahwa efek yang dirasakan adalah peningkatan produksi air susu ibu, mempercepat pengeluaran darah nifas dan pemulihan kebugaran setelah proses persalinan. Efek yang ditunjukkan jamu Galohgor dari desa Sukajadi diduga karena berbagai bahan yang digunakan dalam pembuatan jamu tersebut mengandung senyawa bioaktif dan zat gizi yang berfungsi sebagai antioksidan. Jamu Galohgor terbuat dari 56 jenis bahan dibandingkan dengan jamu yang hanya terbuat dari beberapa jenis bahan
memiliki kelebihan dan juga keterbatasan yang perlu
diwaspadai. Kelebihan yang dimiliki jamu ini antara lain adanya efek sinergis dari berbagai jenis zat gizi dan bioaktif yang dapat saling memperkuat efek jamu. Sedangkan keterbatasan yang perlu diwaspadai antara lain semakin banyaknya zat yang memiliki peluang bersifat toksik yang terdapat dalam jamu yang mungkin terakumulasi. Namun sebaliknya efek toksik yang terdapat dalam beberapa tanaman juga diduga dapat ternetralisir oleh zat anti toksik yang ada dalam tanaman lain. Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa berbagai bahan yang dugunakan dalam jamu Galohgor
telah diakui memiliki efek antioksidan yang ditunjukkan
dalam penelitian. Bahan-bahan jamu tersebut diantaranya : Jahe (Zingiber officinale Rosc) telah diidentifikasi sebagai tanaman rempah-rempah yang mengandung antioksidan tinggi. Ekstraknya terbukti menghambat peroksidasi lipid (Shobana &
Naidu 2000; Halvorsen et al. 2002). Kikuzaki dan Nakatani (1993) mengatakan bahwa dalam jahe terkandung senyawa fenolik yang bersifat antioksidan seperti; gingerol, oleoresin, dan shogaol. Kunyit (Curcuma domestica,Val) mengandung senyawa kurkumin yang berefek sebagai antiproliferatif dan bersifat toksik terhadap sel kanker (Tang dan Eisenbrand 1992). Ketumbar (Cariandrum saripun LINN) mengandung senyawa linalool, yakni suatu terpene senyawa alkohol tersier yang merupakan senyawa fitokimia utama kadar tinggi, yang berpotensi sebagai antioksidan (Krishnakantha & Lokesh 1993). Menurut Anilakumar et al. (2001), ketumbar dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD. Panglaihideung/temuireng (Curcuma aeruginosa Roxb), mengandung senyawa aktif seperti tannin, kurkumol, kurkumenol, dan kurkumin, memiliki khasiat mempercepat proses melahirkan dan membersihkan darah, menghilangkan batuk berdahak dan sesak napas, juga meningkatkan nafsu makan (Darwis et al. 1991). Beluntas ( Plucea indica Less) mengandung senyawa aktif seperti saponin, polifenol, flavonoid dan alkaloid (Mangoting et al. 2005). Tanaman ini di Malaysia juga digunakan sebagai obat sakit perut, pelancar ASI dan menguatkan kondisi tubuh setelah sakit (diare) (de Padua et al. 1999). Kibeling/Kejibeling (Strobilanthes crispus L) memiliki zat antioksidan tinggi karena mengandung senyawa alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, K, Ca, Mg, P, dan triterpenoid (Suganda et al. 2007). Kencur (Kaempferiaa galanga L) sebagai tonikum untuk perempuan yang baru melahirkan, menyembuhkan luka di perut dan penambah nafsu makan (Darwis et al. 1991). Kapulaga (Amomun cardamomun Wild.) tanaman ini memiliki manfaat antara lain sebagai penawar racun, radang perut dan radang tenggorokan (Darwis et al. 1991). Mengandung senyawa aktif seperti; saponin, flavonoid, polifenol, sineol, terpineol, dan borneol. Kahitutan (Paedoria foefida Linn), tanaman ini dimanfaatkan sebagai obat diuretika, inflamasi (radang) uretra dan meningkatkan fertilitas. Penelitian terakhir tanaman ini juga bersifat mempertahankan stabilitas membran dan dapat bersifat antagonis terhadap kondisi hipotonis yang menyebabkan hemolisis, serta
dapat mencegah migrasi leukosit ke jaringan yang mengalami peradangan (de Padua et al. 1999). Kicantung (Gonio thalamus maerophyllus Ht) digunakan dalam proses kelahiran, mulai dari abortus hingga postpartum. Senyawa yang banyak terdapat dalam tanaman ini adalah lactones dan acetogenins; kedua zat tersebut memiliki efek toksik terhadap beberapa sel tumor (de Padua et al. 1999). Koneng gede/Temulawak (Curcuma xanthorrhisa Roxb) kaya akan antioksidan. Temulawak bisa menghilangkan oksidator di tubuh yang berpotensi memicu sel kanker. Senyawa aktif yang terkenal di dalamnya adalah alfatokoferol dan flavonoid (Zulfikar 1996). Klasifikasi Antioksidan Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi 2007). Keseimbangan oksidan dan antioksidan sangat penting karena berkaitan dengan berfungsi sistem imunitas tubuh. Kondisi seperti ini terutama untuk menjaga integritas dan berfungsinya membran lipid, protein sel, dan asam nukleat, serta mengontrol tranduksi signal dan ekspresi gen dalam sel imun. Komponen terbesar yang menyusun membran sel adalah senyawa asam lemak tak jenuh, yang diketahui sangat sensitif terhadap perubahan keseimbangan oksidan-antioksidan. Membran merupakan barrier penting demi berfungsinya sel, demikian juga membran sel imun terhadap serangan berbagai benda asing (antigen). Oleh sebab itu, sel imun memerlukan antioksidan dalam kadar lebih tinggi dibandingkan dengan sel-sel lain. Defisiensi antioksidan yang berupa vitamin C, vitamin E, Se, Zn, dan glutation, dalam derajat ringan hingga berat, sangat berpengaruh terhadap respons imun (Meydani et al. 1995). Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang
bersifat sebagai oksidator. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat dari rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan. Status antioksidan dalam tubuh dapat diamati dalam berbagai parameter. Menurut Zakaria et al. (2000), parameter status antioksidan yang baik dapat diamati dengan aktivitas enzim antioksidan dan disertai dengan menurunnya kadar Malondialdehyde (MDA) plasma. Antioksidan enzimatis adalah antioksidan primer yang terdapat di dalam tubuh. Suatu senyawa dapat disebut antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera diubah menjadi senyawa yang lebih stabil (Belleville-Nabet 1996). Secara umum antioksidan dikelompokan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim Superoksida dismutase (SOD), Katalase, dan Glutation peroksidase (GSH-Px). Antioksidan nonenzimatis masih dibagi dalam 2 kelompok lagi, yaitu : kelompok antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin. Kelompok berikut adalah kelompok antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme. SOD merupakan salah satu jenis antioksidan enzimatis. SOD terdapat pada semua organisme aerob yang mampu membentuk oksigen teraktifasi, karenanya SOD berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap serangan stres oksidatif (Scandialis 1993). Antioksidan enzimatis dan non-enzimatis bekerja sama memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatis. Menurut Belleville-Nabet (1996), secara fisiologis terdapat 2 sistem pertahanan tubuh. Sistem pertahanan preventif, dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder. Pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau jika sudah terbentuk, senyawa itu dirusak. Pengkelatan metal terjadi dalam cairan ekstrasel, sedangkan perusakan senyawa oksigen reaktif terjadi di dalam sel, terutama oleh
sistem enzim. Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal bebas berantai, dilakukan oleh kelompok antioksidan primer. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan Primer (Antioksidan Endogenus) Menurut McCord (1979), Aebi (1984), dan Urisini et al. (1995), antioksidan primer meliputi enzim Superoksida dismutase (SOD), Katalase, dan Glutation peroksidase (GSH-Px).
Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis.
Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hydrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Belleville-Nabet (1996) menyebutkan bahwa antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Sebagai antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil. Antioksidan dalam kelompok ini disebut juga chain-breaking-antioxidant. Enzim Katalase dan Glutation peroksidase (GSH-Px) bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2, sedangkan SOD bekerja dengan cara mengkatalisis reaksi dismutase dari radikal anion superoksida menjadi H2O2. Antioksidan Sekunder (Antioksidan Eksogenus) Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Pengkelatan metal terjadi dalam cairan ekstraseluler (Belleville-Nabet 1996). Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Kerja
sistem antioksidan non-enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya. Akibatnya radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler (Lampe 1999). Menurut Soewoto (2001) dan Lampe (1999), antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, -karoten, flavonoid, bilirubin, dan albumin. Senyawa antioksidan enzimatis ini bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. Ketika jumlah radikal bebas berlebihan, kadar antioksidan non-enzimatik yang dapat diamati dalam cairan biologis menurun. Antioksidan Tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan Metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand, baik gugus non-basa maupun basa (Demple & Harrison 1994; Friedberg et al. 1995). Superoksida dismutase (SOD) Superoksida dismutase (SOD) pertama kali diisolasi oleh Mann dan Kleilin pada tahun 1938. Enzim ini dikenal sebagai protein yang yang mengandung Cu, dan diidentifikasi dalam berbagai sebutan, seperti eritrocuprein, indofenol oksidase, dan tetrazolium oksidase (McCord & Fridovitch 1969). Enzim SOD juga berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutase dari anion superoksida menjadi hydrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Enzim SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Enzim ini telah berada dalam tubuh, namun memerlukan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja. Enzim SOD terdapat dalam semua organisme aerob, dan sebagian besar berada dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob
selalu membutuhkan oksigen untuk keberlangsungan hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas oksigen. Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh, terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stress oksidatif (Beyer et al. 199; Bowler et al. 1992; Scandalias 1993). Berdasarkan adanya logam yang berperan sebagai kofaktor pada sisi aktif enzim, enzim SOD dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu Cu/Zn-SOD, Mn-SOD, dan Fe-SOD (Bannister et a.1987). Secara subseluler, isoenzim-isoenzim ini terdistribusi di tempat-tempat yang berbeda. Mn-SOD ditemukan dalam mitokondria sel eukariot, sedangkan beberapa Cu/Zn-SOD ditemukan dalam sitosol dan kloroplas tanaman tingkat tinggi. Sering kali Fe-SOD tidak terdeteksi, namun ketika dicermati lebih lanjut ditemukan berikatan dengan bagian kloroplas (Bowler et al. 1992).
Fe-SOD Kelompok Fe-SOD adalah jenis SOD yang pertama kali dikenal orang. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan Fe sebagai logam kofaktor pada sisi aktif, yang teridentifikasi sebagai Fe dalam bentuk Fe++ terlarut dalam jumlah berlebihan (Bannister
et al. 1991). Ketersediaan O2 dalam jumlah berlebihan dapat
menyebabkan mineral Fe++ menurun, akan meningkatkan penggunaan logam Mn++. Isoenzim Fe-SOD ditemukan dalam prokariot dan eukariot. Dalam hal ini terdapat dua jenis Fe-SOD yang berbeda. Fe-SOD1 merupakan homodimer dari dua subunit protein 20 kDa yang identik, dan mengandung 1-2 atom Fe dalam pusat aktifnya. Jenis ini telah diisolasi dari Escherichia coli (Yost & Fridovich 1973), Photobacterium sepoa, dan P. leiognathi (Puget & Michelson 1974). Jenis kedua adalah Fe-SOD2. Enzim jenis ini paling banyak ditemukan dalam tanaman tingkat tinggidan merupakan tetramer dengan empat subunit yang sama dan berat molekul 80-90 kDa, serta memiliki 2-4 atom Fe dalam pusat aktifnya. Protein dalam kelompok ini telah diisolasi dari 3 prokariot, seperti Mycrobacterium tuberculosis (Kusunose et al. 1976), Thermoplasma acisophilum (Searcy & Searcy
1981), dan Methanobacterium bryantii (Kirby et al. 1981); serta dalam eukariot seperti Tetrahymena pyriformis (Barro et al. 1990). CuZn-SOD Ketika atmosfer dipenuhi oksigen, Fe++ tidak berguna sama sekali, sementara Cu+ tidak terlarut diubah menjadi Cu++ terlarut. Pada keadaan demikian, Cu++ mulai digunakan sebagai kofaktor pada sisi aktif SOD. Pada saat Fe-SOD dan Mn-SOD memiliki kesamaan sifat listrik, Fe mengalami transisi, yaitu berganti ke Mn sehingga struktur protein SOD sedikit berubah. Oleh sebab itu Mn-SOD dan Fe-SOD memiliki struktur yang sangat mirip. Akan tetapi, tidak demikian pada struktur Cu/Zn-SOD karena struktur Cu/Zn-SOD sangat berbeda dari Fe-SOD maupun Mn-SOD. Perubahan struktur protein ini terjadi setelah Cu berfungsi sebagai kofaktor (Bannister et al. 1991). Cu/Zn-SOD ditemukan dalam beberapa bakteri seperti Pseudomonas, Photobacterium leiognathi, dan Caulobacter crescentus. Namun demikian, Cu/ZnSOD juga terdapat dalam semua sel tanaman, dalam 2 bentuk Cu/Zn-SOD yang berlainan. Jenis pertama memiliki bentuk homodimer, terdapat dalam sitoplasma dan periplasma. Bentuk kedua homotetramer, meliputi Cu/Zn-SOD kloroplas dan Cu/ZnSOD ekstraseluler (Bordo et al. 1994). Bila subunit-subunit enzim ini dipisahkan, kemudian digabung dengan subunit inaktif, akan terbentuk enzim baru dengan aktivitas tinggi. hal ini membuktikan bahwa interaksi di antara subunit meningkatkan aktivitas katalis enzim (Fridovich 1986). CuZn-SOD disebut juga SOD1. Enzim ini merupakan homodimer yang terdapat pada sitoplasma eukariot, peroksisom, kloroplas, dan periplasma prokariot (Scandalias 1993). Enzim tersebut berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap oksidan. Satu unit CuZn-SOD didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang diperlukan untuk menghambat 50% otooksidasi pirogalol (Marklund & Marklund 1974). Dalam CuZn-SOD ini, mineral Cu penting untuk berfungsinya katalitik enzim, sedangkan Zn penting bagi fungsi struktural (Fridovich 1998).
Mn-SOD Peningkatan kadar O2 lingkungan akan menurunkan penggunaan Fe++ karena terjadi peningkatan ketersediaan Mn+++. Akibatnya, Mn-SOD menjadi enzim kedua karena jumlah Fe-SOD menurun. Mn-SOD terdapat dalam mitokondria dan peroksisom. Setiap subunit Mn-SOD hanya memerlukan 1 atom logam. Enzim-enzim ini tidak dapat berfungsi tanpa adanya atom Mn pada sisi aktif. Mn-SOD dan Fe-SOD memiliki struktur primer, sekunder, yaitu dalam hal ketidakmampuan Fe++ merestorasi aktivitas Mn-SOD (Fridovich 1986). Mn-SOD bekerja dengan cara menarik muatan negatif radikal superoksida -
(O2 .) sehingga berubah menjadi positif pada sisi aktifnya. Selanjutnya, sisi aktif logam memberikan 1 elektron langsung kepada O2-. sehingga mengurangi 1 molekul O2-. dan 1 proton, untuk diubah menjadi bentuk H2O2 (Asada 1994; Bowler et al. 1994). Mn-SOD dikenal sebagai enzim mitokondria eukariot, namun juga terdapat dalam peroksisom. Keberadaanya dalam peroksisom maupun mitokondria dapat diketahui dengan immunolocalization assay (del Rio et al. 1992). Mn-SOD disebut juga SOD2, merupakan homotetramer yang terdapat pada matriks mitokondria dekat rantai transport elektron dan kloroplas (Fridovich 1998). Sintesis enzim Mn-SOD ini diinduksi oleh beberapa faktor seperti hiperoksia, penyinaran, TNF-, IL-1, IFN-, LDL teroksidasi, dan keadaan sel yang mengalami oksidasi (Asikin 2001). SOD merupakan enzim yang mengkatalisis dismutase radikal anion superoksida (O2.-) menjadi hydrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen (O2). Enzim ini merupakan metaloenzim. Aktivitasnya dapat ditetapkan dengan beberapa cara, namun sebagian besar pengukurannya dilakukan secara tidak langsung. Salah satu cara adalah dengan menggunakan sistem yang menghasilkan superoksida dan indikator. Selanjutnya indikator akan bereaksi dengan anion superoksida. Warna yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometer. O2.- + 2H+
H2O2 + O2
Penurunan kadar SOD berimplikasi pada beberapa kondisi dan penyakit seperti rheumatoid arthritis, anemia fanconi, infeksi saluran pernapasan, katarak, dan
infertil. Peningkatan kadar SOD juga berkaitan dengan penyakit sehingga, pengukuran SOD dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit seperti kanker, jantung koroner, hepatitis, diabetes, distrofi muskuler, abnormalitas hemoglobin, schizophrenia, depresi, dan down syndrome. Mates et al. (2000) mengukur kapasitas antioksidan plasma dan sel mononuclear pada penderita alergi, dan ternyata terjadi peningkatan aktivitas SOD. Demikian pula pada sel darah merah, ditemukan peningkatan aktivitas SOD sehingga 2 kali dibandingkan dengan kelompok kontrol. Aktivitas CuZn-SOD pada sel darah merah orang dewasa sebesar 4 U/gHb dan Mn-SOD sebesar 0,4 U/gHb. Sebagai metaloenzim, aktivitas SOD tergantung adanya logam Cu, Zn, dan Mn. Aktivitas EC-SOD pada 25 wanita postmenopuse berusia 65 tahun juga meningkat setelah mendapat suplementasi Zn sebanyak 50 mg/hari selama 90 hari (Davis et al. 2000). Peningkatan aktivitas SOD intraseluler juga terjadi pada 11 wanita premenopause yang berusia 43-52 tahun, setelah mendapat suplementasi 8 mg Zn yang dikombinasi dengan 100 mg isoflavon kedelai (Winarsi 2004). Bub et al. (2000) menyatakan bahwa aktivitas SOD eritrosit pada kaum pria yang diberi jus tomat selama seminggu juga meningkat dari 816 U/g Hb menjadi 961 U/g Hb (p<0,05). Peningkatan SOD ini disebabkan oleh kandungan antioksidan likopen pada tomat yang dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi, didukung oleh menurunnya konsentrasi TBARs plasma dari 1,62 µmol/l menjadi 1,40 µmol/. Penemuan ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan enzimatis sangat dipengaruhi oleh asupan antioksidan non-enzimatis. Malondialdehyde (MDA) Menurut Pryor
et al. (1976), MDA adalah senyawa dialdehida yang
merupakan produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2 (Frankel & Neff 1983; Pryor et al. 1976). MDA juga merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentosa, dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk
samping biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran. Menurut Conti et al. (1991) serta Halliwell dan Gutteridge (1991), MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Disamping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Zakaria et al. 2000; Winarsi et al. 2003). Menurut Wasowicz et al. (1993), kadar MDA kondisi normal pada manusia adalah sebesar 1,01 µmol/L. MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat, dan aminofosfolipid secara kovalen. MDA dapat menghasilkan polimer dalam berbagai berat molekul dan polaritas (Favier 1982). Efek negatif senyawa radikal maupun metabolit elektrofil ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang berupa zat gizi seperti vitamin A, C, E, dan albumin, ataupun antioksidan nongizi seperti flavonoid dan gingerol (Belleville-Nabet 1996; Lunec 1990). Oleh karena itu, tinggi rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh seseorang. Winarsi et al. (2005) menemukan bahwa dalam tubuh wanita premenopause banyak terbentuk radikal bebas. Ini diketahui melalui kadar MDA plasma. Tingginya produk MDA ini merupakan bukti rendahnya status antioksidan tubuh sehingga tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Di sisi lain, tingginya MDA plasma membuktikan kerentanan komponen membran sel terhadap reaksi oksidasi (Wijaya 1996). Namun demikian, kadar MDA tersebut dapat ditekan dengan suplementasi isoflavon kedelai dan Zn (Winarsi et al. 2003). Penurunan produk MDA plasma juga dilaporkan oleh Young et al. (1999), setelah 4 wanita dan 1 laki-laki mengkonsumsi jus buah apel dan kismis yang mengandung quercetin selama satu minggu. Bub et al. (2000) juga melaporkan bahwa penurunan thiobarbituric acid reactive (TBAR) dalam plasma 23 laki-laki
sehat setelah mengkonsumsi 330ml/hari jus tomat selama 2 minggu. Penurunan kadar MDA sebagai TBAR ini diduga karena komponen antioksidan likopen.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian
berlangsung mulai bulan Maret hingga April 2010 dan
dilaksanakan di Laboratorium Hewan Pusat Studi Biofarmaka IPB. Analisis kadar Malondialdehyde (MDA) dan Superokside dismutase (SOD) plasma dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Analisis kandungan Fitokimia dan mineral Zn, Fe, Cu, dan Mn dari jamu Galohgor dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Materi Penelitian Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus sp) betina dewasa galur Sprague-Dawley yang sehat, berusia 3 bulan dengan berat antara 180-238 gram, setiap tikus ditempatkan di masing-masing kandang yang berbeda (Gambar 1). Tikus tersebut ditempatkan dalam wadah khusus yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air. Wadah tikus terbuat dari plastik dengan tutup yang terbuat dari kawat ram, dan bagian bawah wadah dialasi dengan sekam yang diganti setiap 4 hari (Gambar 2). Selama perlakuan, tikus diberi minum dan
pakan komersial standar dengan kadar protein sebesar 18%, sesuai dengan kebutuhan tikus dewasa, secara ad libitum (Kusumawati 2004).
Gambar 1 Tikus percobaan
Gambar 2 Kandang tikus percobaan
Ruangan tempat pemeliharaan tikus adalah ruangan laboratorium dengan pencahayaan yang cukup, yaitu 12 jam per hari. Suhu ruangan berkisar antara 1827°C dan kelembaban ruangan 40-70% (Malole dan Pramono 1989). Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan menggunakan rancangan Completely Randomize Design atau Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 1 (satu) faktor perlakuan pemberian jamu Galohgor, 4 (empat) level dosis jamu Galohgor, masing-masing 4 (empat) kali ulangan. Adapun bentuk umum dari model linier aditif dapat dituliskan sebagai berikut :
Yij = µ + τi +
Dimana : i
ij
= 1,2,..., t dan j = 1,2,...,r
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i = µi - µ ij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-i
Pada penelitian ini tikus dibagi secara acak menjadi empat kelompok, yaitu kelompok percobaan dengan 3 (tiga) perlakuan pemberian dosis jamu dan 1 (satu) kelompok kontrol sebagai pembanding. Setiap kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diulang sebanyak 4 (empat) kali. Sebanyak 24 ekor tikus betina dewasa, 8 ekor tikus diambil secara acak untuk dibedah
dan
diambil
darahnya
sebagai
sampel
untuk
dianalisis
kadar
Malondialdehyde (MDA) dan aktivitas Superoksida dismutase (SOD) plasma yang digunakan untuk menggambarkan kondisi awal kadar MDA dan aktivitas SOD tikus sebelum diberi perlakuan. Untuk menggambarkan kondisi awal MDA dan SOD masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol, maka 8 data hasil analisis MDA dan SOD dari 8 ekor tikus tersebut akan diambil 4 data secara acak yang dianggap sebagai 4 ulangan sebagai gambaran awal MDA dan SOD tikus untuk setiap kelompok perlakuan dan kontrol. 16 ekor tikus betina dewasa yang tersisa dibagi secara acak ke dalam empat kelompok tersebut, yaitu kelompok I disebut kelompok kontrol adalah tikus betina yang diberi aquades selama 14 hari berturut-turut sebagai kontrol. Kelompok II adalah tikus betina yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 0,375 gr/kgBB (dosis normal pada manusia) selama 14 hari berturut-turut. Kelompok III adalah tikus betina yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 0,75 gr/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia) selama 14 hari berturut-turut. Kelompok IV adalah tikus betina yang diberi jamu Galohgor dengan dosis 1,5 gr/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia) selama 14 hari berturut-turut. Penentuan dosis dilakukan berdasarkan kapasitas lambung tikus putih (Rattus sp), yang mampu menampung cairan semisolid dengan jumlah maksimal 10 ml/kgBB (McConnell et al. 2008; Bull and Pitts 1971). Tikus dengan berat 180-238 gram, jamu harus dapat dilarutkan dalam 1,8-2,38 ml aquadest tanpa menyumbat spuit dan sonde, sehingga didapatkan dosis jamu yang dapat digunakan berturut-turut adalah 0,75 g/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia); 1,5 g/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia); dan 2,22 g/kgBB (6 kali dosis normal pada manusia). Namun pada penelitian ini, dibatasi hingga dosis 1,5g/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia). Distribusi jumlah sampel (tikus percobaan) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi jumlah tikus berdasarkan kelompok perlakuan
Kelompok Kontrol (Pemberian aquades) Perlakuan jamu dosis normal Perlakuan jamu 2 kali dosis normal Perlakuan jamu 4 kali dosis normal Total
Jumlah sampel (ekor) Digunakan Sebagai Diberi perlakuan kondisi awal MDA maupun sebagai kontrol dan SOD selama 14 hari 2 4 2 4 2 4 2 4 8 16 24
Lama waktu perlakuan dalam penelitian ini adalah 14 hari, dimana tikus betina dewasa diberi jamu selama 14 hari dan pada hari ke 15 tikus dibunuh dan diambil darahnya untuk dianalisis kadar Malondialdehyde (MDA) dan aktivitas Superoksida dismutase (SOD). Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, lama perlakuan 14 hari telah mampu menggambarkan aktivitas antioksidan suatu herbal terhadap hewan percobaan seperti tikus. Menurut Edyson (2003), Rattus norvegicus yang diberi kombinasi vitamin C dan E selama 14 hari dapat menurunkan kadar MDA tikus. Siddique (1993) peneliti Aligar Muslim University, mengatakan bahwa dengan pemberian 50 mg/kg/hari ekstrak pegagan selama 14 hari, dapat meningkatkan
enzim
antioksidan
Superoksida
dismutase
(SOD),
Katalase,
Glutathione peroxidase (GSH-Px), dan antioksidan glutathione (GSH). Selain itu oleh Dwiyatmoko (2003) yang meneliti tentang pengaruh pemberian infus daun jamblang (Syzygium cumini) terhadap kadar MDA dan aktivitas SOD pada tikus, menyimpulkan bahwa selama 6 hari pemberian infus daun jamblang tidak meningkatkan aktivitas SOD tikus secara nyata meskipun ada kecenderungan peningkatan aktivitas SOD. Aryati et al. (2002), yang meneliti tentang aktivitas antioksidan beberapa ekstrak air rimpang tumbuhan suku Zingiberaceae, dengan lama perlakuan 14 hari, menyimpulkan bahwa semua ekstrak pada konsentrasi uji yang diberi pada hewan coba menunjukkan aktivitas antioksidan yang berarti (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol. Dengan mengacu pada beberapa hasil
penelitian diatas, maka penelitian aktivitas antioksidan dari jamu Galohgor ini dilakukan selama 14 hari, dan diharapkan dengan lama waktu perlakuan tersebut mampu menggambarkan aktivitas antioksidan jamu Galohgor. Persiapan Percobaan Penelitian ini diawali dengan pembuatan jamu Galohgor berdasarkan resep ramuan tradisional dari pembuat jamu lokal di desa Sukajadi Kabupaten Bogor. Jamu tersebut terbuat dari 56 jenis bahan, terdiri dari 38 jenis tumbuhan obat dari bagian daun, akar dan batang, 6 jenis temu-temuan, dan 7 jenis biji-bijian, dan 5 jenis rempah-rempah (Gambar 3). Bahan dan komposisi jamu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Teknik pembuatan jamu tersebut yaitu dengan metode drum dryer, karena dengan metode ini diperoleh jamu yang bertekstur lebih halus dibandingkan dengan metode tradisional, sehingga mudah diberikan pada tikus saat pencekokan (Pajar 2002).
Gambar 3 Bahan-bahan jamu Galohgor
Bahan-bahan yang berupa kacang-kacangan dan biji-bijian direndam dalam air mendidih selama 4 jam, ditiriskan, kemudian dihancurkan menggunakan quencher. Sedangkan bahan-bahan yang berupa daun-daunan, rempah-rempah dan temu-temuan dicincang menggunakan chopper. Kemudian keduanya dicampur sehingga berbentuk pasta. Pasta tersebut dimasukkan kedalam drum dryer dengan volume 1 kilogram dengan suhu 80oC selama 1 jam dan keluar dalam bentuk lempengan. Lempengan tersebut kemudian dihancurkan menggunakan blender dan diayak menggunakan ayakan mekanis dengan ukuran 60 mess. Sisa jamu yang tidak tersaring kembali dihancurkan menggunakan blender dan diayak kembali. Hal ini dilakukan terus menerus hingga seluruh jamu habis. Tikus yang dijadikan sampel adalah tikus betina dengan berat badan, usia dan kesehatan awal yang homogen, yaitu tikus dengan berat badan awal 180-238 gram dan berumur 3 bulan. Masing-masing tikus untuk setiap kelompok perlakuan (kelompok II-IV) dan kelompok kontrol (kelompok I) masing-masing ditempatkan dalam kandang yang berbeda. Pelaksanaan Percobaan dan Pengamatan Pemberian jamu pada tikus putih dilakukan dengan cara melarutkan jamu dalam air dan dicekokan dengan menggunakan sonde (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Pencekokan
jamu dilakukan satu kali sehari, hal ini dilakukan untuk
mengurangi stres akibat pencekokan jamu, yaitu pada pagi hari (jam 9-10 pagi) dengan dosis yang telah ditentukan (Pajar 2001; Roosita 2003). Dosis yang digunakan adalah 0,375 g/kgBB (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 gr/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia), dan dosis 1,5 gr/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia).
Gambar 4 Pencekokan jamu Galohgor pada tikus Dosis jamu yang diberikan kepada tikus ini disesuaikan dengan dosis jamu yang dianjurkan bagi ibu nifas, yaitu 1 sendok makan jamu (setara dengan 10 gram) yang dilarutkan dalam segelas air. Anjuran frekuensi minum jamu adalah dua kali sehari sehingga total konsumsi per hari adalah 20 g. Apabila berat rata-rata ibu nifas 54 Kg, maka dosis jamu per hari menjadi 0,375 g/Kg berat badan. Dosis jamu yang diberikan kepada tikus disesuaikan dengan berat badan tikus tersebut. Pengamatan terhadap tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan setiap hari. Untuk melihat perubahan berat badan, tikus ditimbang 2 hari sekali yaitu setiap pagi pada jam yang sama. Untuk melihat aktivitas antioksidan jamu Galohgor tersebut, maka setelah 14 hari perlakuan tikus dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diambil darahnya untuk dianalisis kadar Malondialdehyde (MDA) plasma dan aktivitas Superoksida dismutase (SOD) plasma. Pengambilan darah tikus dilakukan langsung dari jantung tikus, dengan cara pembedahan (Gambar 4). Darah tikus yang diambil dari jantung kemudian diletakkan pada tabung yang sudah mengandung antikoagulan (EDTA) (Gambar 5), kemudian darah disimpan dalam cool box untuk mencegah kerusakan dan darah segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemisahan darah dengan sentrifuse untuk diambil plasma. Plasma
langsung disimpan di tempat gelap ge pada suhu -70 0C hingga sampel s plasma siap dianalisis kadar MDA dan aktivitas SOD.
Gambar 5 Pembedahan tikus
Gambar 6 Sampel darah tikus
Parameter dan Metode Pengukuran Kandungan mineral Zn, Fe, Cu, dan Mn dari bubuk jamu Galohgor ditetapkan dengan metode Atomic Absorption Spectrophotometer
(AAS) (Lampiran 12).
Kandungan senyawa aktif dalam bubuk jamu Galohgor ditetapkan secara kualitatif (Lampiran 13). ). Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah aktivitas akti antioksidan jamu Galohgor pada tikus putih. Metode etode yang digunakan dig untuk mengukur aktivitas antioksidan jamu Galohgor pada tikus adalah dengan mengukur kadar Malondialdehid (MDA) dan aktivitas Superoksida dismutase ismutase (SOD) plasma tikus dengan menggunakan metode Spektrofotometri (Lampiran 14 dan 15) 15). Table 2 Parameter yang diukur dan metode pengukuran Parameter Kandungan mineral : Zn Fe
Sampel
Metode Pengukuran
Bubuk jamu Galohgor AAS AAS
Cu Mn Kandungan senyawa aktif
Bubuk jamu Galohgor
Aktivitas antioksidan Kadar MDA Aktivitas SOD Berat badan tikus
Plasma tikus Plasma tikus Tikus
AAS AAS Kualitatif menggunakan parameter intensitas warna Spektrofotometri Spektrofotometri Penimbangan berat badan tikus
Pengolahan dan Analisis Data Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan komputer dengan program SPSS for Windows. Uji lanjutan Least Significant Different (LSD) dilakukan apabila analisis keragaman menunjukkan pengaruh yang nyata.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Mineral dan Bahan Aktif Jamu Galohgor Jamu Galohgor adalah jamu postpartum yang tidak hanya dikenal di Desa Sukajadi, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Jamu ini juga dikenal di beberapa daerah lain di Jawa Barat seperti di desa Maja, Kabupaten Majalengka dan Damaraja, Kabupaten Sumedang, serta beberapa wilayah di Kabupaten dan Kotamadya Bogor. Komposisi jamu Galohgor bervariasi antar waktu dan tempat, tergantung pada ketersediaan bahan baku, namun memiliki rumus umum yang hampir sama, yaitu terdiri dari kelompok serealia, kacang-kacangan, temu-temuan dan daun-daunan yang dikeringkan dengan panas matahari, kemudian disangrai dan ditumbuk. Cara mengkonsumsinya pun cukup unik, yakni tidak diseduh air panas namun dimakan sebagaimana halnya cemilan (makanan ringan).
Penelitian yang dilakukan ini, secara khusus untuk melihat bagaimana aktivitas antioksidan dari jamu Galohgor, maka selain parameter aktivitas antioksidan yang diteliti juga dilakukan analisis kimia terhadap kandungan zat gizi dan senyawa aktif dari jamu tersebut. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis mineral (Zn, Fe, Cu, dan Mn) serta analisis senyawa aktif secara kualitatif. Kandungan Mineral Kadar seng (Zn). Berdasarkan hasil analisis bubuk jamu Galohgor diketahui kandungan seng 34 ppm atau 34 mg/kg dalam satu gram jamu Galohgor. Dalam SNI 01-7148 (2005) (Lampiran 10) kadar seng maksimal yang berada dalam minuman khusus ibu menyusui (dalam bentuk produk bubuk) adalah 40,0 mg/kg, atau 0,0040% (b/b) yang berarti kandungan seng bubuk jamu Galohgor tidak melebihi batas maksimum dari standar seng SNI minuman khusus ibu menyusui. Kebutuhan seng wanita dewasa menurut AKG tahun 2004 (Lampiran 11) adalah sebesar 9,8 mg, dan kebutuhan tambahan setiap hari untuk ibu menyusui 0-6 bulan adalah 4,6 mg, sehingga total dalam sehari ibu menyusui 0-6 bulan membutuhkan seng (Zn) sebesar 15,4 mg. Menurut Almatsier (2001), absorbsi seng biasanya dipengaruhi oleh status seng dalam tubuh, bila lebih banyak seng yang dibutuhkan maka lebih banyak juga jumlah seng yang diabsorbsi. Daya serap seng berkisar antara 15-40%, artinya setiap gram jamu Galohgor akan menyumbangkan 0,005 mg – 0,014 mg seng. Rata-rata ibu menyusui mengkonsumsi jamu Galohgor 20 g/hari, hal ini berarti jamu Galohgor hanya mampu menyumbangkan Zn sebanyak 0,1 mg – 0,28 mg setiap harinya atau 2,2 % - 6,1 % dari kebutuhan tambahan 4,6 mg. Jumlah tersebut masih kurang sehingga pemenuhan kebutuhan seng tambahan untuk ibu menyusui tidak cukup hanya dengan mengkonsumsi jamu Galohgor. Seng merupakan salah satu mineral mikro yang mempunyai banyak peran, sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, berperan dalam berbagai aspek metabolisme seperti pada sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Almatsier (2001), lebih lanjut menjelaskan bahwa seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan
ikat, penyembuhan luka, dalam kerja vitamin A dan pemusnahan radikal bebas. Seng bertindak sebagai kofaktor pada sisi aktif enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD), dimana aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh, karena mampu melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas (Winarsi 2007). Kadar besi (Fe). Kadar besi bubuk jamu Galohgor yang diperoleh dari hasil analisis yaitu sebesar 221 ppm, atau 0,221 mg dalam setiap satu gram jamu Galohgor atau 22,1 mg/100g jamu Galohgor. Berdasarkan SNI 01-7148 (2005) (Lampiran 10), kandungan besi (Fe) yang wajib ada dalam minuman khusus ibu menyusui minimal adalah 6 mg/100 g. Hal ini berarti, kandungan besi (Fe) dalam bubuk jamu Galohgor melebihi batas minimal yang dianjurkan dalam standar besi SNI minuman khusus ibu menyusui. Kebutuhan besi wanita dewasa menurut AKG tahun 2004 (Lampiran 11) adalah sebesar 26 mg dan kebutuhan tambahan setiap hari untuk ibu menyusui 0-6 bulan sebesar 6 mg, itu artinya dalam sehari ibu menyusui 0-6 bulan membutuhkan zat besi (Fe) sebesar 32 mg. Menurut Almatsier (2001), besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan besi-nonhem dalam makanan nabati. Besi-hem dapat diserap tubuh hingga 25%, sedangkan besi-nonhem mampu diserap tubuh hanya 5%. Berdasarkan perhitungan ini, maka jamu Galohgor yang terbuat dari 100% bahan nabati hanya mampu memberikan sumbangan besi sebesar 0,011 mg untuk setiap satu gram jamu Galohgor. Rata-rata ibu menyusui mengkonsumsi jamu Galohgor 20 g/hari, hal ini berarti jamu Galohgor hanya mampu menyumbangkan Fe sebanyak 0,22 mg setiap harinya atau 3,7 % dari kebutuhan tambahan untuk ibu menyusui sebesar 6 mg. Jumlah tersebut masih kurang sehingga pemenuhan kebutuhan seng tambahan untuk ibu menyusui tidak cukup hanya dengan mengkonsumsi jamu Galohgor. Menurut Krisnatuti dan Hastoro (2000), pada saat menyusui, zat besi dikeluarkan sebesar 0,3 mg/kkal/hari dalam bentuk ASI. Berdasarkan hasil penelitian, volume ASI yang dihasilkan ibu menyusui pada enam bulan pertama adalah 500-800 ml ASI/hari, energi yang terdapat dalam 100 ml ASI adalah 67-70 kkal (Krisnatuti
dan Yenrina 2002). Berdasarkan perhitungan ini maka dapat dikatakan bahwa zat besi yang dikeluarkan ibu saat menyusui kira-kira 100 – 160 mg Fe/hari. Selain itu, pada saat wanita melahirkan terjadi perdarahan yang berlebih sehingga menurunkan kondisi kesehatan serta daya tahan tubuh. Keberadaan besi dengan beberapa fungsi utamanya seperti peran dalam metabolisme energi, sebagai bagian dari hemoglobin yang berperan dalam transpor oksigen, akan sangat penting perannya terutama untuk ibu melahirkan dan menyusui, karena disamping untuk memulihkan kondisi fisik setelah melahirkan juga untuk produksi ASI bagi bayinya (Kalkwarf & Harrast 1998). Meskipun sumbangan besi dari jamu Galohgor bagi ibu nifas berdasarkan hasil analisis relatif kecil atau rata-rata 3,7 % dari kebutuhan tambahan yang ada, namun sangat penting peranannya dalam memulihkan kondisi fisik serta daya tahan tubuh setelah melahirkan (Kalkwarf & Harrast 1998). Menurut Winarsi (2007), Fe bertindak sebagai kofaktor pada sisi aktif enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD). Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh, karena mampu melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Senyawa antioksidan dalam pengertian kimia adalah senyawa pemberi elektron (electron donors) atau disebut reduktan. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat terhambat. Fe merupakan reduktan yang baik, ketersedian oksigen dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan mineral Fe teroksidasi (Takeuchi 2006). Kadar tembaga (Cu). Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa jamu Galohgor mengandung kadar tembaga sebesar 7,67 ppm, atau 0,00767 mg dalam setiap satu gram jamu Galohgor atau 7,67 mg/kg jamu Galohgor. Berdasarkan SNI 01-7148 (2005) (Lampiran 10), batas maksimum tembaga dalam minuman khusus ibu menyusui adalah 20,0 mg/kg, yang berarti kandungan tembaga dalam bubuk jamu Galohgor tidak melebihi batas maksimum dari standar tembaga SNI minuman khusus ibu menyusui. Kekurangan tembaga karena makanan jarang terjadi, oleh
karena itu AKG untuk tembaga di Indonesia belum ditentukan. Amerika Serikat menetapkan jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah sebanyak 1,5 – 3,0 mg/hari (Almatsier 2001). Ibu melahirkan dan menyusui membutuhkan tembaga yang cukup, mengingat pada saat melahirkan ibu banyak kehilangan darah, keberadaan tembaga dan besi dalam jumlah yang cukup di dalam tubuh dapat mencegah anemia. Menurut Almatsier (2001), tembaga yang berasal dari makanan dapat diserap tubuh sebanyak 35 – 70 %. Berdasarkan perhitungan ini, maka jamu Galohgor mampu memberikan sumbangan tembaga sebesar 0,003 – 0,005 mg untuk setiap satu gram jamu Galohgor. Rata-rata ibu menyusui mengkonsumsi jamu Galohgor 20 g/hari, hal ini berarti jamu Galohgor mampu menyumbangkan Cu sebanyak 0,06 – 0,1 mg setiap harinya. Apabila AKG (yang ditetapkan Amerika Serikat) dari tembaga untuk wanita dewasa adalah 1,5 – 3 mg/hari, maka jamu Galohgor hanya mampu menyumbangkan Cu rata-rata 3% - 5% dari kebutuhan yang ada. Tembaga termasuk salah satu zat gizi esensial. Fungsi utama tembaga di dalam tubuh adalah sebagai bagian dari enzim. Enzim-enzim yang mengandung tembaga mempunyai berbagai macam peranan yang berkaitan dengan reaksi yang menggunakan oksigen atau radikal oksigen. Tembaga merupakan salah satu kofaktor enzim SOD yang membantu meningkatkan aktivitas enzim SOD (Bannister et al., 1991). Sebagian besar tembaga di dalam sel darah merah terdapat sebagai metaloenzim Superokside dismutase (SOD) yang terlibat dalam pemusnahan radikal bebas (sebagai antioksidan) (Almatsier 2001). Kadar mangan (Mn). Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa jamu Galohgor mengandung kadar mangan sebesar 29,7 ppm, atau 0,0297 mg dalam setiap satu gram jamu Galohgor. Kebutuhan mangan wanita dewasa menurut AKG tahun 2004 (Lampiran 11) adalah sebesar 1,8 mg, dan kebutuhan tambahan setiap hari untuk ibu menyusui 0-6 bulan adalah 0,2 mg, sehingga total dalam sehari ibu menyusui 0-6 bulan membutuhkan mangan (Mn) sebesar 2 mg. Rata-rata ibu menyusui mengkonsumsi jamu Galohgor 20 g/hari, hal ini berarti jamu Galohgor mampu menyumbangkan Mn sebanyak 0,6 mg setiap harinya
atau 300 % dari kebutuhan tambahan 0,2 mg atau 30 % dari total kebutuhan ibu menyusui. Angka ini kemungkinan masih bisa kurang, karena sampai saat ini belum diketahui dengan pasti mekanisme absorbsi mangan dan kisaran persentasi mangan yang mampu diserap tubuh dari makanan (Almatsier 2001). Jumlah tersebut jauh diatas angka kebutuhan mangan tambahan bagi ibu menyusui, sehingga pemenuhan kebutuhan mangan tambahan untuk ibu menyusui dapat tercukupi dengan mengkonsumsi jamu Galohgor. Almatsier (2001) mengatakan bahwa mangan berperan sebagai kofaktor berbagai enzim dalam membantu proses metabolisme tubuh, salah satunya adalah enzim antioksidan Superokside dismutase yaitu dalam mencegah peroksidasi lipida oleh radikal bebas. Kandungan Senyawa Aktif Hasil analisis senyawa aktif secara kualitatif pada bubuk jamu Galohgor, menunjukkan bahwa secara umum bubuk jamu Galohgor mengandung alkaloid, triterfenoid dan glikosida. Hasil analisis kualitatif kandungan senyawa aktif jamu Galohgor seperti terlihat pada Tabel 3. Menurut hasil penelitian Pajar (2002) diketahui bahwa secara umum bubuk jamu Galohgor mengandung alkaloid, flavonoid dan triterpenoid, sedangkan saponin dan tannin tidak terdeteksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa flavonoid tidak terdeteksi dalam jamu Galohgor, sebaliknya senyawa glikosida dalam jamu Galohgor positif sangat kuat sekali. Tidak terdeteksinya senyawa flavonoid dalam jamu Galohgor bukan berarti jamu Galohgor sama sekali tidak mengandung senyawa flavonoid karena sebagian besar senyawa flavonoida alam terdapat dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoida terikat pada suatu gula (Markham 1988; Duke 2005), sehingga terdeteksi sebagai senyawa glikosida. Tabel 3 Kandungan senyawa aktif bubuk jamu Galohgor. Senyawa bioaktif Alkaloid Saponin Tanin
Hasil pemeriksaan +++ _ _
Flavonoid Triterpenoid Steroid
_ ++++ _
Fenolik Glikosida Keterangan + ++ +++ ++++
_ ++++ : : Negatif : Positif lemah : Positif : Positif kuat : Positif kuat sekali
Analisis kualitatif yang dilakukan menunjukkan bahwa senyawa alkaloid positif kuat terdapat dalam jamu Galohgor (Tabel 3). Alkaloid berperan penting sebagai antioksidan yang mampu mencegah peroksidasi lipid. Benabdesselam et al. (2007) mengatakan bahwa ekstrak alkaloid dari tanaman Fumaria capreolata dan Fumaria bastardii mampu menghambat peroksidasi lipid asam linoleat. Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, senyawa alkaloid yang terdapat dalam jamu Galohgor bersumber dari antawali (Tinospora cripsa mires), alpukat (Persea americana Miler), babadotan (Ageratum cony zades L), beluntas (Plucea indica Less), handeuleum (Graptophyllum pictum Griff), kibeling (Strobilanthes crispus L), memeniran (Phyllanthua urinaria lahan), singgugu (Clerodendron serratum L. Spr), kencur (Kaempferia galanga L), koneng (Curcuma domestica Val), dan ketumbar (Cariandrum saripun Linn) (Suganda et al. 2007; Naik & Juvekar 2003; Dalimartha 1999; Muhlisah 2007; Mangoting et al. 2005). Senyawa glikosida
secara luas berperan sebagai imunostimulan untuk
meningkatkan kekebalan tubuh dan sangat berperan dalam perbaikan kesehatan (Boyer et al. 2005; Lila et al. 2005). Glikosida merupakan senyawa alami yang terdapat dalam tumbuhan yang bersifat antitumor dan antikanker (TRUBUS 2007). Berdasarkan penulusan pustaka yang dilakukan, senyawa alkaloid yang terdapat dalam jamu Galohgor bersumber dari antawali (Tinospora cripsa mires), babadotan (Ageratum cony zades L), handeuleum (Graptophyllum pictum Griff), kiurah (Plantago major Linn), kumiskucing (Orthosiphon aristatus miq), memeniran
(Phyllanthua urinaria lahan), tempuyung (Soncuhus arvensis Linn), sembung (Blumea balsamifera Dc), singgugu (Clerodendron serratum L. Spr), bawang merah (Allium cepa Lahan),dan lempuyang (Zingiber zerambet SM) (Suganda et al. 2007; Hariana 2004; Munawar et al. 2003; Ma’at Suprapto 1996; Dalimartha 1999; Muhlisah 2007; Mangoting et al. 2005). Terpenoid adalah komponen-komponen tumbuhan yang memiliki bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati. Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang merupakan hasil metabolit sekunder tumbuhan. Menurut Octavia (2009), triterpenoid merupakan senyawa antioksidan pada tanaman karena mampu menangkap radikal bebas. Analisis kualitatif menunjukkan bahwa bubuk jamu Galohgor mengandung senyawa triterpenoid positif kuat sekali. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka yang dilakukan, senyawa triterpenoid yang terdapat dalam jamu Galohgor bersumber dari jambu batu (Psidium cujavillus), kibeling (Strobilanthes crispus L), sere (Piper betle Linn), siang (Artemisia vulgaris L.), singgugu (Clerodendron serratum L. Spr), biji kapulaga (Amomun cardamomun Wild), panglaihideng (Curcuma aeruginosa Roxb), jahe (Zingiber officinale Rosc), kencur (Kaempferia galanga L), dan koneng (Curcuma domestica Val) (Suganda et al. 2007; Hariana 2004; Dalimartha 1999; Muhlisah 2007; Mangoting et al. 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Ohashi et al. (2003) yang menyimpulkan bahwa benalu teh spesies Scurrula atropurpurea mampu menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas karena mengandung bahan-bahan aktif yang berperan sebagai antioksidan seperti senyawa asam lemak, santin, glikosida flavonol, glikosida monoterpen, glikosida lignan, dan flavon. Windardi dan Rahajoe (1998) dan Achi (2005) menguatkan kesimpulan Ohashi et al. (2003) dengan mengatakan bahwa kemampuan benalu teh Scurrula atropurpurea menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas dikarenakan daun dan batang tanaman ini mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpenoid, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa senyawa aktif seperti glikosida, alkaloid, dan triterpenoid yang terkandung dalam
jamu Galohgor dapat bertindak sebagai antioksidan dan sebagai imunostimulan dalam meningkatkan kekebalan tubuh atau berperan dalam perbaikan kesehatan. Aktivitas Antioksidan Jamu Galohgor Jamu Galohgor umumnya dikonsumsi sehabis melahirkan sampai 40 hari setelah melahirkan. Ibu yang mengkonsumsi jamu ini umumnya mengungkapkan bahwa efek yang dirasakan adalah peningkatan produksi air susu ibu, mempercepat pengeluaran darah nifas, mempercepat pemulihan rahim dan pemulihan kebugaran atau stamina setelah proses persalinan (Roosita et al. 2008a; Roosita et al. 2008b; Dahlianti, Nasoetion and Roosita 2005). Efek
pemulihan
kebugaran
setelah
proses
persalinan
kemungkinan
berhubungan dengan status antioksidan dari jamu Galohgor. Senyawa oksidan adalah penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Radikal bebas terbentuk secara terus menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi mikro seperti mineral, dan akibat respon terhadap pengaruh dari luar tubuh, seperti polusi lingkungan (Winarsi 2007). Antioksidan adalah substansi yang dapat mengurangi, menahan dan mencegah reaksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas maupun oleh oksigen reaktif lain. Kerusakan oksidatif terjadi sebagai akibat dari rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan. Tubuh memerlukan keseimbangan oksidan dan antioksidan karena berkaitan dengan berfungsinya sistem imunitas tubuh. Sesuai dengan Meydani et al. (1995) yang mengatakan bahwa defisiensi antioksidan yang berupa vitamin C, vitamin E, Se, Zn, dan glutation, dalam derajat ringan hingga berat, sangat berpengaruh terhadap respons imun. Status antioksidan dalam tubuh dapat diamati dalam berbagai parameter. Menurut Zakaria et al. (2000) dan Winarsi et al. (2003), parameter status antioksidan yang baik dapat diamati dengan meningkatnya aktivitas enzim antioksidan dan disertai dengan menurunnya kadar Malondialdehyde (MDA) plasma. Maka untuk
mengetahui aktivitas antioksidan dari jamu Galohgor dilakukan pengukuran kadar MDA dan enzim antioksidan SOD plasma dari tikus yang diberi jamu Galohgor. Kadar Malondialdehyde (MDA) Plasma Tikus Menurut Pryor et al. (1976), MDA adalah senyawa dialdehyde yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2 (Frankel & Neff 1983; Pryor et al. 1976). MDA juga merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentosa, dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui reaksi ionisasi dalam tubuh dan produk samping biosintesis prostaglandin yang merupakan produk akhir oksidasi lipid membran. Menurut Conti et al. (1991) serta Halliwell dan Gutteridge (1991), MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tidak jenuh oleh radikal bebas. Disamping itu, MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. Aktivitas non-spesifiknya, MDA dapat berikatan dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat, dan aminofosfolipid secara kovalen. MDA dapat menghasilkan polimer dalam berbagai berat molekul dan polaritas (Favier 1982). Efek negatif senyawa radikal maupun metabolit elektrofil ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang berupa zat gizi seperti vitamin A, C, E, dan albumin, ataupun antioksidan nongizi seperti flavonoid dan gingerol (Belleville-Nabet 1996; Lunec 1990). Oleh karena itu, tinggi rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh seseorang. Analisis kadar MDA dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengevaluasi sejauh mana terjadi kerusakan sel karena reaksi radikal bebas. Kadar MDA yang rendah menunjukkan adanya penghambatan oleh zat antioksidan. Status
antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Zakaria et al. 2000; Winarsi et al. 2003). Sebelum diberi perlakuan jamu Galohgor, beberapa tikus diambil secara acak untuk dibedah dan diambil sampel darahnya untuk dianalisis kadar MDA plasma sebagai gambaran kondisi awal kadar MDA plasma tikus (Gambar 7). 1.2 Kadar MDA (µmol/ml
1a) 1 0.8
0.92a)
0.79a)
0.82a)
0.6 0.4 0.2 0 Kontrol
Dosis Normal Dosis 2x Normal Dosis 4x Normal
Keterangan : Superkrip yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji (p<0.05). Gambar 7 Grafik kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tikus pada awal penelitian. Kondisi awal kadar MDA plasma tikus yang ditetapkan untuk masing-masing perlakuan dan kontrol cukup homogen karena secara statistik tidak saling berbeda nyata (p=0.833 atau p>0.05) (Lampiran 2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 14 hari pemberian jamu Galohgor pada tikus betina, kadar rata-rata Malondialdehyde (MDA) plasma kelompok jamu Galohgor dosis 0,375 g/kgBB tikus (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 g/kgBB tikus (2 kali dosis normal pada manusia), dan dosis 1,5 g/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia), nampak turun jika dibandingkan dengan kadar MDA pada kondisi awal penelitian, sedangkan kadar MDA plasma tikus kelompok kontrol nampak naik pada akhir penelitian jika dibandingkan dengan kadar MDA plasma tikus kontrol di awal penelitian (Gambar 8).
0.90
0.82a)
Kadar MDA (µmol/ml)
0.80 0.70 0.57b)
0.60
0.60b) 0.52b)
0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Kontrol
Dosis Normal
Dosis 2x Normal Dosis 4x Normal
Keterangan : Superkrip yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji (p<0.05). Gambar 8 Grafik kadar Malondialdehyde (MDA) plasma tikus pada akhir penelitian. Gambar 8 menjelaskan bahwa konsumsi jamu Galohgor pada dosis 0,375 g/kgBB tikus (dosis normal pada manusia) mampu menurunkan kadar MDA plasma dari 1,00 µmol/ml menjadi 0,57 µmol/ml. Pada kelompok tikus yang diberi jamu dengan dosis 0,75 g/kgBB tikus (2 kali dosis normal pada manusia), kadar rata-rata MDA juga menurun dari 0,92 µmol/ml menjadi 0,60 µmol/ml, demikian pula dengan kelompok tikus yang diberi jamu dengan dosis 1,5 g/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia), kadar rata-rata MDA juga menurun dari 0,82 µmol/ml menjadi 0,52 µmol/ml. Sebaliknya, kadar rata-rata MDA kelompok kontrol meningkat dari 0,79 µmol/ml menjadi 0,82 µmol/ml. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jamu Galohgor memberikan pengaruh yang nyata (p=0.032 atau p<0.05) terhadap kadar MDA plasma pada akhir penelitian (Lampiran 3). Malondialdehyda merupakan produk akhir dari oksidasi lipid. Tingginya kadar MDA dipengaruhi oleh kadar peroksidasi lipid, yang secara tidak langsung juga menunjukkan tingginya jumlah radikal bebas. Peningkatan jumlah radikal bebas akan meningkatkan pemakaian enzim intraseluler seperti SOD. Penurunan kadar MDA plasma pada tikus yang diberi jamu Galohgor diduga karena efek dari konsumsi jamu
Galohgor selama 14 hari. Menurut Belleville-Nabet (1996) dan Lunec (1990) bahwa tinggi rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena radikal bebas akan dinetralkan menjadi produk yang lebih stabil oleh enzim antioksidan intraseluler, seperti Superoksida dismutase. Uji lanjut Least Significant Different (LSD) menunjukkan bahwa kadar MDA akhir penelitian kelompok perlakuan jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 gr/kgBB tikus (2 kali dosis normal pada manusia), maupun dosis 1,5 gr/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia) berbeda nyata (p<0.05) dengan kontrol (Lampiran 4). Sementara kadar MDA plasma pada akhir penelitian antar kelompok pemberian jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB tikus, maupun dosis 1,5 gr/kgBB, tidak saling berbeda nyata satu sama lain (Lampiran 4). Jamu Galohgor merupakan jamu postpartum yang terdiri dari 56 jenis ramuan, diantaranya ada Jahe (Zingiber officinale Rose), Kunyit (Curcuma domestica,Val), Ketumbar (Cariandrum saripun LINN), Panglaihideung/Temuireng (Curcuma aeruginosa), Beluntas ( Pluchea indica Less), Alpukat (Persea Americana), Kibeling/Kejibeling (Strobilanthes crispus L), Kencur (Kaempferiaa galaga L.), Kapulaga (Amomun cardomomun Wild.), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb), dan masih banyak lagi bahan-bahan lain (Lampiran 1). Beberapa bahan yang disebutkan ini mengandung senyawa-senyawa aktif seperti senyawa polyphenol, alfatokoferol, karotenoid, alkaloid, saponin, gingerol, oleoresin, dan shogaol yang merupakan antioksidan tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara kualitatif jamu Galohgor mengandung senyawa-senyawa bioaktif seperti alkaloid, triterpenoid, dan glikosida (Tabel 2). Hal ini menguatkan hasil penelitian Pajar (2002) yang menyimpulkan bahwa secara kualitatif bubuk jamu Galohgor mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, dan triterpenoid. Menurut Kochhar dan Rossel (1990), senyawa aktif seperti alkaloid dapat bertindak sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi berantai radikal bebas yang terjadi di dalam sel. Dengan demikian dapat menurunkan kadar MDA yang merupakan produk oksidasi asam
lemak karena radikal bebas. Selain itu, komponen bioaktif dalam jahe dapat menurunkan kadar MDA plasma baik secara in vitro maupun secara in vivo (Zakaria et al. 2003). Winarsi et al. (2005) menemukan bahwa dalam tubuh wanita perimenopause banyak terbentuk radikal bebas. Ini diketahui melalui kadar MDA plasma. Tingginya produk MDA ini merupakan bukti rendahnya status antioksidan tubuh sehingga tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Di sisi lain, tingginya MDA plasma membuktikan kerentanan komponen membran sel terhadap reaksi oksidasi (Wijaya 1996). Namun demikian, kadar MDA tersebut dapat ditekan dengan suplementasi isoflavon kedelai dan Zn (Winarsi et al. 2003). Penurunan produk MDA plasma juga dilaporkan oleh Young et al. (1999), setelah 4 wanita dan 1 laki-laki mengkonsumsi jus buah apel dan kismis yang mengandung quercetin selama satu minggu. Bub et al. (2000) juga melaporkan adanya penurunan thiobarbituric acid reactive (TBAR) dalam plasma 23 laki-laki sehat setelah mengkonsumsi 330ml/hari jus tomat selama 2 minggu. Penurunan kadar MDA sebagai TBAR ini diduga karena komponen antioksidan likopen. Turunnya kadar MDA plasma tikus yang diberi jamu Galohgor pada akhir penelitian kemungkinan dikarenakan adanya senyawa-senyawa antioksidan yang terkandung dalam jamu Galohgor seperti alkaloid, triterpenoid dan glikosida, sehingga mampu menghentikan reaksi berantai radikal bebas yang terjadi di dalam sel. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh karena jamu Galohgor mengandung beberapa mineral yang berperan sebagai kofaktor enzim antioksidan primer, yang mampu meningkatkan aktivitas enzim antioksidan primer, sehingga dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Aktivitas Enzim Superokside dismutase (SOD) Plasma Tikus Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hydrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Menurut McCord (1979), Aebi
(1984), dan Urisini et al. (1995), antioksidan primer meliputi enzim Superoksida dismutase (SOD), Katalase, dan Glutation peroksidase (GSH-Px). Belleville-Nabet (1996) menyebutkan bahwa antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Enzim Katalase dan Glutation peroksidase bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2, sedangkan Superoksida dismutase (SOD) merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi dismutasi dari anion superoksida (O2.-) menjadi hydrogen peroksida (H2O2) dan molekul oksigen (O2). O2.- + 2H+
H2O2 + O2
SOD merupakan salah satu enzim yang terdapat dalam semua organisme aerob, dan sebagian besar berada dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob selalu membutuhkan oksigen untuk keberlangsungan hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas oksigen. Aktivitas enzim SOD memiliki peran penting dalam sistem pertahanan tubuh, terutama terhadap aktivitas senyawa oksigen reaktif yang dapat menyebabkan stress oksidatif (Beyer et al. 1991; Bowler et al. 1992; Scandalias 1993). Dengan kata lain enzim SOD dapat melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Sebelum diberi perlakuan jamu Galohgor, beberapa tikus diambil secara acak untuk dibedah dan diambil sampel darahnya untuk dianalisis aktivitas enzim SOD plasma sebagai gambaran kondisi awal aktivitas enzim SOD plasma tikus sebelum diberi perlakuan jamu Galohgor (Gambar 9). Kondisi awal aktivitas enzim SOD plasma tikus yang ditetapkan untuk masing-masing perlakuan dan kontrol cukup homogen karena secara statistik tidak saling berbeda nyata (p=0.833 atau p>0.05) (Lampiran 5).
132
131.2 130.6
131 Aktivitas SOD (U/ml)
130 129 128 127 126
126.2 125.5
125 124 123 122 Kontrol
Dosis Normal
Dosis 2x Normal
Dosis 4x Normal
Keterangan : Superkrip yang sama pada diagram batang menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji (p<0.05). Gambar 9 Grafik aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada kondisi awal penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 14 hari pemberian jamu Galohgor pada tikus betina dimulai dari dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB tikus, dan dosis 1,5 gr/kgBB tikus, aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma nampak naik jika dibandingkan dengan aktivitas enzim antioksidan SOD plasma tikus pada kondisi awal penelitian, sedangkan aktivitas enzim antioksidan SOD tikus kontrol di akhir penelitian nampak turun jika dibandingkan dengan kondisi awal aktivitas enzim antioksidan SOD tikus kontrol (Gambar 10).
200
185.5b) 170.8b)
Aktivitas SOD (U/ml)
180
157.6a,b)
160 140 120
116.7a)
100 80 60 40 20 0 Kontrol
Dosis Normal Dosis 2x Normal Dosis 4x Normal
Keterangan : Superkrip yang sama pada diagram batang menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji (p<0.05). Gambar 10 Grafik aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada akhir penelitian. Gambar 10 menjelaskan bahwa konsumsi jamu Galohgor pada dosis 0,375 gr/kgBB tikus mampu meningkatkan aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma tikus dari 126.2 U/ml menjadi 185.5 U/ml. Pada tikus dengan dosis 0,75 gr/kgBB, aktivitas enzim SOD meningkat dari 131.2 U/ml menjadi 170.8 U/ml. Pada tikus yang diberi dosis 1,5 gr/kgBB, aktivitas enzim SOD meningkat dari 130.6 U/ml menjadi 157.6 U/ml. Pada tikus kontrol, rata-rata aktivitas enzim SOD plasma menurun dari 125.5 U/ml menjadi 116.7 U/ml. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian jamu Galohgor memberikan pengaruh yang nyata (p=0.038 atau p<0.05) terhadap aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD) plasma akhir penelitian (Lampiran 6). Hal ini berarti, jamu Galohgor dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD yang berperan penting dalam melindungi sistem pertahanan tubuh.
Uji lanjut Least Significant Different (LSD) menunjukkan bahwa aktivitas enzim SOD akhir penelitian kelompok perlakuan jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus dan dosis 0,75 gr/kgBB tikus berbeda nyata (p<0.05) dengan kontrol, sedangkan pemberian jamu Galohgor dosis 1,5 gr/kgBB tikus, tidak berbeda nyata (p=0.64) dengan kontrol. Aktivitas enzim SOD antar perlakuan pemberian jamu Galohgor dosis 0,375 gr/kgBB tikus, dosis 0,75 gr/kgBB dan dosis 1,5 gr/kgBB tikus pada akhir penelitian tidak saling berbeda nyata (Lampiran 7). Enzim SOD adalah salah satu enzim antioksidan yang mampu melindungi selsel tubuh dan mencegah terjadinya proses peradangan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Enzim ini telah berada dalam tubuh, namun memerlukan bantuan zat-zat gizi mineral agar bisa bekerja dengan baik. Meningkatnya aktivitas enzim SOD plasma tikus yang mendapat perlakuan jamu Galohgor pada akhir penelitian diduga berkaitan dengan adanya sumbangan mineral seperti Cu, Mn, dan Zn dari bahan-bahan jamu Galohgor. Enzim SOD merupakan metaloenzim, yaitu enzim yang membutuhkan logam sebagai kofaktor pada sisi aktif enzim SOD. Berdasarkan logam yang berperan sebagai kofaktor pada sisi aktif enzim SOD dikelompokan menjadi 3, yaitu Cu/ZnSOD, Mn-SOD, dan Fe-SOD (Banninster et al. 1987). Banninster et al. (1991) juga mengatakan bahwa bila ketersediaan suatu logam menurun maka akan meningkatkan penggunaan logam yang lain, contohnya bila ketersediaan Fe++ menurun, akan meningkatkan penggunaan logam Mn. Menurut Winarsi (2004) peningkatan aktivitas intraseluler terjadi pada 11 wanita berusia 43-52 tahun setelah mendapat suplementasi 8 mg Zn yang dikombinasikan dengan 100 mg isoflavon kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus yang diberi jamu Galohgor selama 14 hari berturut-turut dengan dosis 0,375 gr/kgBB (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 gr/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia), hingga dosis 1,5 gr/kgBB (4 kali dosis normal pada manusia) pada akhir penelitian menunjukkan aktivitas enzim SOD plasma yang meningkat jika dibandingkan dengan aktivitas enzim SOD pada kondisi awal penelitian, berturut-turut yaitu dari 126,3 U/ml menjadi 185,5 U/ml, dari 131,2 U/ml menjadi 170,8 U/ml, dan dari 130,6 U/ml menjadi 157,6 U/ml. Aktivitas enzim SOD yang meningkat pada akhir penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh
kandungan antioksidan pada jamu Galohgor yang dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi, yang didukung oleh menurunnya konsentrasi MDA plasma dari 1,00 µmol/ml menjadi 0,57 µmol/ml, dari 0,92 µmol/ml menjadi 0,60 µmol/ml, dan dari 0,82 µmol/ml menjadi 0,52 µmol/ml. Selain dari sumbangan mineral, peningkatan aktivitas enzim SOD juga dapat disebabkan oleh senyawa lain yang terdapat dalam jamu Galohgor, seperti senyawa alkaloid dan flavonoid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kualitatif jamu Galohgor mengandung senyawa-senyawa bioaktif seperti alkaloid, triterpenoid, dan glikosida. Hal ini menguatkan hasil penelitian Pajar (2002) yang menyimpulkan bahwa secara kualitatif bubuk jamu Galohgor juga mengandung senyawa alkaloid dan triterpenoid. Hasil studi in vitro menunjukkan bahwa ekstrak polifenolik seperti halnya flavonols, oligomers proantosianidin, dan senyawa triterpenoid yang diisolasi dari buah Vacciniummacrocarpon dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kanker payudara, usus besar, prostat, paru-paru, dan tumor lainnya (Catherine 2007). Sejalan dengan penelitian Windardi dan Rahajoe (1998) dan Achi (2005) bahwa daun dan batang tanaman benalu teh S. oortiana mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpenoid, saponin, dan tanin yang berperan sebagi antioksidan yang mampu menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas. Meningkatnya aktivitas enzim SOD plasma tikus yang diberi jamu Galohgor pada akhir penelitian kemungkinan besar disebabkan oleh terdapatnya 4 jenis mineral seperti Zn, Mn, Cu, dan Fe yang bertindak sebagai kofaktor enzim SOD dan juga beberapa bahan-bahan aktif seperti alkaloid, triterpenoid, dan glikosida yang diketahui berperan sebagai antioksidan yang mampu menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas. Temuan ini membuktikan bahwa aktivitas antioksidan enzimatis seperti SOD sangat dipengaruhi oleh asupan antioksidan non enzimatis. Sesuai dengan hasil temuan Davis et al. (2000) yang menyatakan bahwa aktivitas EC-SOD pada 25 wanita postmenopause meningkat setelah mendapat suplementasi Zn sebanyak 50 mg/hari selama 90 hari. Bub et al. (2000) yang menyatakan bahwa aktivitas SOD eritrosit pada kaum pria yang diberi jus tomat selama seminggu juga meningkat dari 816 U/g Hb menjadi 961 U/g Hb
(p<0,05). Peningkatan SOD ini disebabkan oleh kandungan antioksidan likopen pada tomat yang dapat menghambat terjadinya reaksi oksidasi, didukung oleh menurunnya konsentrasi TBARs plasma dari 1,62 µmol/l menjadi 1,40 µmol/l. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa aktivitas enzim SOD semakin menurun dengan adanya penambahan dosis. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis normal pada manusia mampu meningkatkan aktivitas enzim SOD plasma tikus sampai dengan 185,5 U/ml. Pemberian jamu Galohgor dengan dosis 2 kali normal dan 4 kali normal pada manusia berturut-turut mampu meningkatkan aktivitas enzim SOD plasma tikus sampai dengan 170,8 U/ml dan 157,6 U/ml. Kumulatif dosis dalam penelitian ini khususnya perlakuan pemberian jamu Galohgor dosis 1,5 gr/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan aktivitas enzim SOD jika dibanding dengan kontrol (p= 0.064). Secara statistik pemberian jamu Galohgor dosis 1,5 gr/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia) juga tidak berbeda nyata dengan kedua perlakuan lain yaitu dengan dosis 0,375 gr/kgBB (dosis normal pada manusia) (p= 0.090) dan dengan dosis 0,75 gr/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia) (p=0.488), namun secara deskriptif terlihat bahwa peningkatan aktivitas enzim SOD pada tikus dengan perlakuan dosis 4 kali dosis normal masih berada jauh di bawah dosis normal dan dosis 2 kali dosis normal. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keberadaan zat gizi mikro yang terkandung dalam jamu Galohgor yang aktivitasnya tidak sinergis satu sama lain. Dalam enzim Superokside dismutase (SOD), Zn dan Cu diperlukan dalam perbandingan yang tepat, karena keberadaan Zn dalam jumlah besar dapat mengurangi penyerapan dan efek Cu. Suatu studi dengan asupan Zn 50 mg selama 6-10 minggu menunjukkan menurunnya aktivitas enzim Superokside dismutase (SOD), hal ini disebabkan karena ketersediaan logam Cu sebagai kofaktor enzim SOD yang berfungsi sebagai penangkap radikal dikurangi ketersediaannya oleh Zn (Tjay & Rahardja 2002).
Berat Badan Tikus
Menurut Tilaar (1994), Jamu habis bersalin yang diberikan kepada ibu selama 40 hari setelah melahirkan bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi air susu. Jamu habis bersalin tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menguatkan tubuh, mempercepat keluarnya darah nifas, mempercepat pemulihan rahim dan meningkatkan produksi ASI, namun juga bertujuan untuk melangsingkan tubuh (Soekotjo 2010). Tikus yang digunakan dalam percobaan ini memiliki berat badan (BB) rataan di awal penelitian adalah 203,1gram, dengan berat badan (BB) minimum 180 gram, dan berat badan (BB) maksimum 238 gram (Gambar 11). 220 213.5
Beart Badan Tikus (gram)
215 210 205.5 205 201 200 195
192.25
190 185 180 Kontrol
Dosis Normal
Dosis 2x Normal
Dosis 4x Normal
Gambar 11 Grafik berat badan tikus pada kondisi awal penelitian Berat badan tikus percobaan pada kondisi awal penelitian yang ditetapkan untuk masing-masing perlakuan dan kontrol cukup homogen karena secara statistik tidak saling berbeda nyata (p= 0.381 atau p>0.05) (Lampiran 8). Rataan berat badan tikus di akhir penelitian adalah 212,6 gram, dengan berat badan (BB) minimum 189 gram, dan berat badan (BB) maksimum 260 gram (Gambar 12). Rataan berat badan (BB) tikus selama perlakuan menunjukkan adanya
peningkatan jika dibandingkan dengan data berat badan tikus pada kondisi awal penelitian, namun berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berat badan (BB) tikus antar perlakuan pada akhir penelitian tidak berbeda nyata (p=0.731 atau p>0.05) (Lampiran 9).
Berat Badan Tikus (g)
225.00
221.50
220.00 214.25
215.00 210.00
206.50
208.00
205.00 200.00 195.00 Kontrol
Dosis Normal
Dosis 2x Normal
Dosis 4x Normal
Gambar 12 Grafik berat badan tikus pada akhir penelitian Secara deskriptif terlihat bahwa tikus yang mendapat perlakuan jamu Galohgor cenderung mengalami peningkatan berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan tikus kontrol. Menurut Roosita (2003), produksi air susu tikus laktasi yang diberi jamu Galohgor meningkat disebabkan karena meningkatnya metabolisme kelenjar mamae dan penurunan konsentrasi hormon tiroksin (T4). Rendahnya konsentrasi T4 di dalam darah mengindikasikan peningkatan laju pelepasan metabolisme basal, sehingga tidak mempengaruhi peningkatan berat badan pada tikus yang diberi jamu Galohgor. Peningkatan berat badan yang lebih rendah pada tikus yang diberi jamu Galohgor mengindikasikan bahwa jamu Galohgor memiliki potensi untuk melangsingkan tubuh sebagaimana jamu habis bersalin komersial lainnya. Penelitian ini belum bisa dengan ekstrim mengatakan bahwa jamu Galohgor berkhasiat
menurunkan berat badan, namun dapat dikatakan bahwa dengan mengkonsumsi jamu Galohgor laju peningkatan berat badan tikus dapat diperlambat.
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Jamu Galohgor mengandung empat mineral penting yaitu zat besi (Fe), seng (Zn), tembaga (Cu), dan mangan (Mn) yang berperan sebagai kofaktor enzim Superokside dismutase. Selain itu, jamu Galohgor juga mengandung senyawasenyawa aktif seperti senyawa alkaloid, triterpenoid, dan glikosida yang berperan sebagai antioksidan. Konsumsi jamu Galohgor selama 14 hari pada tikus percobaan dengan dosis 0,375 g/kgBB (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 g/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia), dan dosis 1,5 g/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia) nyata mempengaruhi kadar MDA plasma tikus. Kadar MDA plasma tikus yang diberi jamu Galohgor pada akhir penelitian berbeda nyata dengan kontrol, namun diantara ke-tiga perlakuan dosis tersebut tidak saling berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi jamu Galohgor dengan dosis normal, sudah cukup optimal dalam menurunkan kadar MDA plasma. Pemberian jamu Galohgor pada tikus percobaan dengan dosis 0,375 g/kgBB (dosis normal pada manusia), dosis 0,75 g/kgBB (2 kali dosis normal pada manusia), dan dosis 1,5 g/kgBB tikus (4 kali dosis normal pada manusia) selama 14 hari nyata mempengaruhi aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma tikus. Aktivitas enzim antioksidan SOD plasma tikus yang diberi jamu Galohgor pada akhir penelitian berbeda nyata dengan kontrol, namun diantara ke-tiga perlakuan dosis tersebut tidak saling berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi jamu Galohgor dengan dosis normal sudah cukup optimal dalam meningkatkan aktivitas enzim antioksidan SOD plasma tikus. Meningkatnya aktivitas enzim antioksidan SOD plasma yang disertai dengan menurunnya kadar MDA plasma tikus menunjukkan bahwa jamu Galohgor memiliki aktivitas antioksidan yang baik dalam meningkatkan sistem pertahanan tubuh secara enzimatis dari serangan radikal bebas.
Saran Analisis fitokimia secara kualitatif dari jamu Galohgor perlu dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif apa saja dari golongan alkaloid, glikosida, dan triterpenoid yang secara spesifik memberikan efek antioksidan sebagaimana telah dibuktikan dalam penelitian ini. Jamu Galohgor memiliki aktivitas antioksidan yang baik, hal ini tergambar dari adanya penurunan kadar MDA plasma yang disertai dengan peningkatan aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD). SOD merupakan salah satu dari tiga enzim antioksidan primer, sehingga pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh jamu Galohgor terhadap enzim antioksidan primer lain yaitu Katalase, dan Glutation peroksidase (GSH-Px). Jamu
Galohgor
memiliki
manfaat
penting
bagi
ibu
postpartum,
pemanfaatannya perlu diregenerasikan sehingga mampu dikenal oleh masyarakat luas. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memodifikasi bentuk jamu Galohgor sedemikian rupa sehingga tidak hanya dalam bentuk bubuk namun dimodifikasi dalam bentuk biskuit dan dikemas rapih dan higienis sehingga dapat dikomersilkan tanpa harus mengurangi komposisi bahan yang biasanya digunakan oleh masyarakat Sunda. Selain itu, perlu dilakukan identifikasi bahan-bahan jamu Galohgor sehingga lebih mudah untuk dikenal oleh masyarakat daerah lain sesuai nama lokal untuk masing-masing daerah. Jamu Galohgor mempunyai aktivitas antioksidan yang baik, sehingga perlu dilakukan uji efikasi dari jamu Galohgor yang dapat dicobakan pada tikus postpartum maupun dicobakan langsung pada ibu menyusui.
Selain itu, pada
penelitian selanjutnya dapat membandingkan jamu Galohgor dengan antioksidan non enzimatis seperti vitamin dan mineral-mineral yang berperan sebagai antioksidan.
DAFTAR PUSTAKA Achi OK. 2005. The upgrading of traditional fermented foods through biotechnology. Afr. J. Biotechnol. 4: 375-380. Aebi HE. 1984. ”Catalase in Vitro.” dalam: Methods Enzymol. 105: 121-126. Afdhal AF, Welsch RL. 1996. The rise of the modern jamu industry in Indonesia: a preliminary overview. In The context of medicines in developing countries: studies in pharmaceutical anthropology Edited by: Van der Geest S, Whyte SR. Dordrecht: Kluwer Academic publishers: 149-172. Agoes HA. 1993. Farmakokinetika obat dalam hubungannya dengan pemberian air susu ibu. Di dalam: Agoes HA. Kapita Selekta Famakologi dan Obat Tradisional. Penerbit Angkasa, Bandung. Hlm 8-9. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anilakumar KR, Nagaraj NS, Anthanam K. 2001. ”Effect of Coriander Seeds on Hexachlorocyclohexane Induced Lipid Peroxidation in Rat Liver.” dalam: Nutrition Research. 21: 1455-1462. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati S, dan Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Aryati FT, Yulinah E, dan Adnyana IK. 2002. Studi Aktivitas Antioksidan Beberapa Ekstrak Air Rimpang Tumbuhan Suku Zingiberaceae. Skripsi. Departemen Farmasi ITB. http://bahan-alam.fa.itb.ac.id/. Asada K. 1994. ”Production and Action of Active Oxygen Species in Photosynthetic Tissue.” dalam: Causes of Photooxidative Stress and Amelioration of Defense Systems in Plants. C.H. Foyer dan P.M. Mullineaux (Eds.). Boca Raton: CRC Press, 77-104. Asikin N. 2001. ” Antioksidan Endogen dan Penilaian Status Antioksidan.” dalam: Kursus Penyegaran dan Pelatihan Radikal Bebas dan Antioksidan: Dasar, Aplikasi, dan Pemanfaatan Bahan Alam. Jakarta: Fak. Kedokteran UI. Bannister JV, Bannister WH, dan Rotils G. 1987. ”Aspects of the Structure, Function and Applications of Superoxide Dismutase.” dalam: CRC Critical Reviews in Biochemistry. 22: 110-180. Bannister WH, Bannister JV, Barra D, Bond J, dan Bossa F. 1991. ”Evolutionary Aspects of Superoxide Dismutase: the Copper/Zinc Enzyme.” dalam: Free Radical Research Communications. 12-13:349-361. Barro D, Schinina ME, Bossa F, Puget K, dan Durosay P. 1990. ”A Tetrameric Iron Superoxide Dismutase from the Eucaryote Tetrahymena pyridornis.” dalam: Journal of Biological Chemistry. 265:17680-17687.
Belleville-Nabet F. 1996. ” Zat Gizi Antioksidan Penangkal Senyawa Radikal Pangan dalam Sistem Biologis.” dalam: Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan: Reaksi Biomolekuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. CFNS-IPB dan Kedutaan Besar Prancis-Jakarta. Benabdesselam M.F, Chibane M, Madani K, Max H, Adach S. 2007. “Determination of isoquinoline alkaloids contents in two Algerian species of Fumaria (Fumaria capreolata and Fumaria bastardi).” dalam: African Journal of Biotechnology Vol. 6 (21): 2487-2492. Beyer W, Imlay J, dan Fridovich I. 1991. ” Superoxide Progress in Nucleic Acid Research. 40: 221-253.
Dismutases.” dalam:
Bordo D, Djinovic K, dan Bolognesi M. 1994. ”Conserved Patterns in the Cu, Zn Superoxide Dismutase Family.” dalam: Journal of Molecular Biology. 238: 366-386. Bowler C, van Montague M, dan Inze D. 1992. ”Superoxide Dismutase and Stress Tolerance.” dalam: Annual Review of Plant Physiology. Plant Molecular Biology. 43: 83-116. Bowler C, van Camp W, van Montague M, dan Inze D. 1994. ”Superoxide Dismutase in Plants.” dalam: Critical Reviews in Plant Science. 13: 199-218. Boyer J, Brown D, Liu RH. 2005. Invitro digestion and lactase treatment Influence uptake of quercetin and quercetin glukosida by the caco-2 cell monolayer. Nutr J Doi 10.1186: 1491. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Jakarta: BPOM. Brownson DM, Nicolas GA, Brie KF, Su FD, and Tom JM. 2002. “Flavonoid Effects Relevant to Cancer.” dalam : The Journal of Nutrition. 132: 3482S–3489S Bub A et al. 2000. ”Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable Products Reduces Lipid Peroxidation in Men.” dalam: Journal of Nutrition. 130: 22002206. Bull SG and Pitts GC. 1971. Gastric Capacity and Energy Absorption in the Forcedfed Rat. J. Nutr. 101:593-596. Catherine C. 2007. “Cranberry and Its Phytochemicals: A Review of In Vitro Anticancer Studies1–3. ” dalam : The Journal of Nutrition. 137: 186S–193S. Chen HM, Muramoto K, Yamauchi F. 1996. Structural Analysis of Anti-oxidative Peptides from Soybean ß-Conglicinin. J Agria Food Chem 43:574-578. Conti M, Morand PC, Levillain P, dan Lemonniera A. 1991. ”Improve Fluorometric Determination of Malonaldehyde.” dalam: Journal of Clinical Chemistry. 37: 1273-1275.
Dahlianti R, Nasoetion A, and Roosita K. 2005. Health Care and Medicinal Herbs Consumption Pattern of Postpartum Mothers at Sukajadi Village, Subdistrict Tamansari, Bogor (Keragaan Perawatan Kesehatan Masa Nifas, Pola Konsumsi Jamu Tradisional, dan Pengaruhnya pada Ibu Nifas di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Bogor). The Indonesian Journal of Community Nutrition and Family Studies, 29(2); 32-37. "(in Indonesian, with English abstract)". Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta: Trubus Agriwidya. Darmansjah I. 2002. Introducing early clinical trials with herbal medicines. Di dalam: Mustafa et al. Journal of The ASEAN Federation of Endocrine Societies, 11th AFES Congress. Indonesian Society of endocrinology c/o University of Indonesia, Faculty of Medicine, Department of Medicine. Hlm 49-51. Darwis SH, Madjoindo ABD, Hasiyah S. 1991. Tumbuhan Obat Family Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Davis CD, David BM, dan Forrest HN. 2000. ”Changes in Dietary Zinc and Copper Affect Zinc Status Indicators of Postmenopausal Women, Notably, Extracellular Superoxide Dismutase and Amyloid Precursor Proteins.” dalam: The American Journal of Clinical Nutrition. 71(3): 781-788. de Padua LS, Bunyaprapphatsara N, Lemmens RHMJ. 1999. PROSEA: Plant Resources of South-East Asia 12. Medicinal and Poisinous Plants I. Backhuys Publisher, Leiden, The Netherlands. Bogor, Indonesia. del Rio LA, Sandalio LM, Palma JM, Bueno P, dan Corpas FJ. 1992. ”Metabolism of Oxygen Radicals in Peroxisomed and Cellular Implications.” dalam: Free Radicals in Biology and Medicine. 13: 557-580. Demple B dan L Harrison L. 1994. Annual Review Biochemistry. 63: 915-948. Duke J. 2005. Phytochemical and Etnobotanical Databases, Maryland, Beltsuille, Agricultural Research Center. Dwiyatmoko B. 2003. Pengaruh pemberian infus daun jamblang (Syzygium cumini (1) skeels) terhadap kadar glukosa plasma, kadar malondialdehid (mda), aktivitas superoksida dismutase (sod) dan gambaran histologis sel 3 pankreas pada tikus yang mendapat streptotatosin. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Edyson. 2003. Pengaruh Pemberian Kombinasi Vitamin C dan E terhadap kadar Malondialdehyde (MDA) pada Eritrosit Rattus Norvegicus Galur Wistar yang diinduksi L-Tiroksin. Jurnal Bahan Pangan. 5:92-96 Favier AE. 1982. Biological Indicators of Oxidative Stress in Humans. Trace Elements and Free Radicals in Oxidative Disease. Champaign Illinois. Frankel EN dan Neff WE. 1983. Biochemistry and Biophysical Acta. 754: 264-270.
Fridovich I. 1986. ”Superoxide Dismutases.” dalam: Advances in Enzymology and Related Areas of Molecular Biology. 58: 61-97. Fridovich I. 1998. ”The Trail to Superoxide Dismutase.” dalam: Protein Science. 7: 2688-2690. Friedberg EC, Walker GC, dan Siede W. 1995. DNA Repair and Mutagenesis. American Society and Microbiology. Washington DC. Halliwell B dan Guteridge JMC. 1991. Free Radical in Biology and Medicine. Oxford: Clarendon Press. Halvorsen BL et al. 2002. ”A Systematic Screening of Total Antioxidants in Dietary Plants.” dalam: Journal of Nutrition. 132: 461-471. Hermani dan Raharjo M. 2006. Tanaman Berkhasiat antioksidan. Penebar Swadaya. Jakarta. Kalkwarf JH and Harrast SD. 1998. “Effects of calcium supplementation and lactation on iron status.” dalam: Am J Clin Nutr 1998;67:1244–9. Kikuzaki H, dan Nakatani N. 1993. “Antioxidant Effects of Some Ginger Constituents.” dalam: Journal of Food Science. 58: 1407-1409. Kirby TW, Lancaster JR, dan Fridovich I. 1981. ”Isolation and Characterization of the Iron-Containing Superoxide Dismutase of Methanobacterium bryantii.” dalam: Archives of Biochemistry and Biophysics. 210: 140-148. Kocchar SP and Rossel JB. 1990. Detection, Estimation and Evaluation of Antioxidants in Food System. BJF Hudson (eds). In Food Antioxidants. London : Elsevier Applied Science Krishnakantha TP, dan Lokesh BR. 1993. ”Scavenging of Superoxide Anions by Spice Principles.” dalam: Indian Journal of Biochemical and Biophysic. 30: 133-134. Krisnatuti D & Hastoro I. 2000. Menu Sehat untuk Ibu Hamil dan Menyusui. Puspa Swara, Jakarta. Krisnatuti D & Yenrina R. 2003. Menyiapkan makanan Pendamping ASI. Puspa Swara, Jakarta. Kusumawati D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kusunose E, Ichihara K, Noda Y, dan Kusunose M. 1976. ”Superoxide Dismutase from Mycobacterium tuberculosis.” dalam: Journal of Biochemistry. (Tokyo), 80: 1343-1352. Lampe JW. 1999. ” Health Effects of Vegetables and Fruit: Assessing Mechanisms of Action in Human Experimental Studies.” dalam: The American Journal of Nutrition. 131: 1195-1201.
Lila MA, Gad GY, Yong J, Connie MW. 2005. Sorting out bioactivity in flavonoid mixtures. Symposium : Relative Bioactivity of Functional Foods and Related Dietary Supplements. J Nutr 135: 1231-1235. Lunec J. 1990. ” Free Radical: Their Involvement in Disease Processes.” dalam: American Clinical of Biochemistry. 27: 173-182. Ma’at S. 1996. Phyllanthus niruri L sebagai imunostimulator pada mencit. Rangkuman Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Mangoting D, Irawan I, dan Abdulah S. 2005. Tanaman Lalap Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. Markham KR dan Padmawinata K. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Academic Press, Bandung. Marklund SL dan Marklund G. 1974. ”Involvoment of the Superoxide Anion Radical in the Autooxidation of Pirogallol and a Convenient Assay for Superoxide Dismutase.” dalam: European Journal of Biochemistry. 47: 469-474. Marklund SL. 1982. ”Human Copper-Containing Superoxide Dismutase of High Molecular Weight.” dalam: Proceedings of the National Academy of Sciences. 79: 7634-7638. Mates JM, Aledo JC, Perez-Gomez C, del Valle AE, dan Segura JM. 2000. ”Interrelationship Between Oxidative Damage and Antioxidant Enzyme Activities: an Easy and Rapid Experimental Approach.” dalam: Biochemical and Education. 25: 93-95. McConnell EL, Basit AW, and Murdan S. 2008. Measurements of Rat and Mouse Gastrointestinal pH, Fluid and Lymphoid Tissue, and Implications for In-Vivo Experiments. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 60:63-70. McCord JM. 1979. ” Superoxide, Superoxide Dismutase and Oxygen Toxicity.” dalam: Reviews in Biochemical Toxicology. E. Hodgson, J.R. Bend, R.M. Philpot (Eds.). Elsevier Amsterdam, the Netherlands. P. 109-124. McCord JM, dan Fridovich I. 1969. ”Superoxide Dismutase, an Enzymatic Function for Erythrocuprein.” dalam: Journal of Biological Chemistry. 244: 6049-6055. Meydani SN, Wu D, Santos MS, dan Hayek MG. 1995. ”Antioxidants and Immune Response in Aged Persons: Overview of Present Evidence.” dalam: The American Journal of Clinical Nutrition. 62 (6 Suppl):1462S-1476S. Muhlisah F. 2007. Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Jakarta: Penebar Swadaya. Munawar ML et al. 2003. Manfaat klinis pemberian Phyllanthus niruri L. Sebagai imunostimulator pada kasus TB paru yang diobati. Jurnal Ilmiah Kesehatan RSPAD Gatot Subroto 2003;4:1-8 Naik AD dan Juvekar AR. 2003. Effects of alkaloidal extract of Phyllanthus niruri on HIV replication. Indian J Med Sci. 2003;57:387.
Nurhayati A. 2008. Pengaruh Konseling Gizi Pada Ibu Keluarga Miskin Terhadap Pemberian ASI Eksklusif. Tesis pada Sekolah Pascasarjana. IPB Ohashi K et al. 2003. Indonesian Medicanal Plants XXV. Cancer cell invasion inhibitory effects of chemical constituents in the parasitic plant Scurulla atropurpurea (Loranthaceae). Chem. Pharm. Bull. 51 (3), 343-345. Oktavia DR. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Ekstrak Petroleum Eter, Etil Asetat dan Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) dengan Metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrihidrazil). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pajar. 2002. Kandungan Gizi dan Senyawa Aktif Jamu Tradisional untuk Kesehatan Ibu Melahirkan dan Menyusui (Produk Jamu dari Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor). Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pryor WA, Stanley JP, dan Blair E. 1976. ” Autooxidation of Polyunsaturated Fatty Acid. II. A Suggested Mechanism for the Formation of TBA-Like Material from Prostaglandin-Like Endoperoxides.” dalam: Lipids. 11: 370-379. Puget K dan Michelson AM. 1974. ”Iron Containing Superoxide Dismutases from Luminous Bacteria.” dalam: Biochimie.56: 1255-1267. Reinehr T and Andler W. 2002. Thyroid Hormone Before and After Weight Loss in Obesity. Arch Dis Child 87:320-323. Roosita K. 2003. Efek Jamu Pospartum Pada Involusi Uterus dan Produksi Susu Tikus (Rattus sp.) (Produk Jamu Tradisional Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor). Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M., Fachrurozi Y, Ohtsuka R. 2008a. Medicinal plants as important bio-resources used for self-treatment of illnesses of rural Sundanese villagers in West Java. In: JSPS-DGHE core university program in applied Biosciences Proceedings of The Final Seminar: “Toward Harmonization between Development and Enviroment Conservation in Biological Production. 28-29 February 2008. The University of Tokyo. Japan. Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Fachrurozi Y, Ohtsuka R. 2008b. Medicinal Plants Used by the Villagers of a Sundanese Community in West Java, Indonesia. Journal of Ethnopharmacology, 115, 72-81. Sandra E & Kemala S. 1994. Tinjauan Permintaan Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. dalam: Zuhud, A.M.E. & Haryanto (Eds), Simposium Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. IPB dan LATIN, Bogor.
Sadow PM et al. 2003. Specificity of Thyroid Hormone Receptor Subtype and Steroid Receptor Coactivator -1 on Thyroid Hormone Action. Am J Physiol Endocrinol Metab 284:E36-E46. Scandalias JG. 1993. ”Oxygen Stress and Superoxide Dismutase.” dalam: Plant Physiology. 101: 7-12. Searcy KB dan Searcy DG. 1981. ”Superoxide Dismutase from the Archaebacterium thermoplasma acidophilum.” dalam: Biochemica et Biophysica Acta. 670: 3946. Shobana S, dan Naidu KA. 2000. ”Antioxidant Activity of Selected Indian Spices.” dalam: Prostaglandins Leukotriene Essentials Fatty Acids. 62:107-110. Siddique YH. 1993. Penelitian Benalau Teh. dalam: TRUBUS : NO. 360 EDISI November 1999. Jakarta: PT. Trubus Swadaya. Smith JB and Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Departemen of Education and Culture. Directorate Generale of Higher Education, DGHE-IDP, Australia. SNI 01-7148. 2005. Minuman Khusus Ibu Hamil dan atau Ibu Menyusui. Badan Standar Nasional. Jakarta. Soekotjo S. 2010. Jamu Habis Bersalin PT. Nyonya Meneer dalam Berita Pers. http://beritapers.com /2010/05/26/jamu-habis-bersalin-nyonya-meneer/. Soewoto H. 2001. ”Antioksidan Eksogen Lini Peertahanan Kedua dalam Menanggulangi Peran Radikal Bebas.” dalam: Materi Kursus Penyegar Radikal Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan: Dasar, Aplikasi dan Pemanfaatan Bahan Alam. Jakarta: FK-UI. Song, Shigeaki, and Takami. 2003. Regulation of type II deiodinase expression by EGF and glucocorticoid in HC11 mouse mammary epithelium. Am J Physiol Endocrinol Metab 284: E1119–E1124. Suganda AG et al. 2007. Serial Tanaman Obat: Kejibeling. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Direktorat Obat Asli Indonesia. Suganda AG et al. 2007. Serial Tanaman Obat: Saga. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Direktorat Obat Asli Indonesia. Suganda AG et al. 2007. Serial Tanaman Obat: Tempuyung. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen, Direktorat Obat Asli Indonesia. Takeuchi Y. 2008. Konsep Reduksi Oksidasi. Iwamani Shoten. Tokyo.
Tang W, dan Eisenbrand G. 1992. ”Chinese Drugs of Plant Origin: Chemistry, Pharmacology and Utility.” dalam: Traditional and Modern Medicine. New York: Springer-Verlag. Tilaar M. 1994. Indonesian Herbs and Its Effect on Health. dalam Persatuan Ahli Gizi Indonesia (hal 257-260), Prosiding “The First Asian Conference on Dietetics”. Tjay HT dan Rahardja K. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya. Jakarta : PT. Elex Media Kompetindo TRUBUS 447-Februari. 2007.”Teripang sang penumpas kista: Glikosida.” Jakarta: PT. Trubus Swadaya. Urisini F et al. 1995. “Diversity of Glutathione Peroxidases.” Dalam: Methods Enzymol. 252: 38-114. Wasowicz W, Neve J, Peretz A. 1993. Optimized Steps in Fluorometric Determination of Thiobarbituric Acid-Reactive Substance in Serum : Importance of Extraction pH and influence of Sample Preservation and Storage. Clin. Chem. 39 : 2522-2526. Wijaya A. 1996. “Radikal Bebas dan Parameter Status Antioksidan.” dalam: Forum Diagnosticum. Lab Klinik Prodia. 1: 1-12. Wills ED. 1987. Evaluation of Lipid Peroxidation in Lipids and Biological Membranes. Biochemical Toxicology. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarsi H, Muchtadi D, Zakaria FR, dan Purwantara B. 2003.”Status Antioksidan Wanita Premenopause yang Diberi Minuman Suplemen ’susumeno’.” dalam: Prosiding Seminar Nasional PATPI. Yogyakarta. 22-23 Juli 2003. Winarsi H. 2004. ”Efek Minuman Fungsional yang Disuplementasi Isoflavon Kedelai dan Zn terhadap Profil Lipid dan Produk MDA Plasma Wanita Premenopause.” dalam: Prosiding Seminar Nasional PBBMI: Peran Biokimia dan Biologi Molekuler dalam Eksplorasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Berkelanjutan. Yogyakarta 2 Oktober. Winarsi H, Muchtadi D, Zakaria FR, dan Purwantara B. 2005.”Kajian Tentang Wanita Premenopause di Purwokerto dan Beberapa Permasalahan dalam Sistem Imunnya.” dalam: Majalah Obstetri & Ginekologi Indonesia. 29(3): 177-183. Winarsi H. 2007. Antioxidan Alami dan Radikal Bebas. Jakarta: Kanisius. Windari FI and Rahajoe JS. 1998. Mistletoes diversity in Java island. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 4: 25-29. Yost FJ dan Fridovich I. 1973. ”An Iron-Containing Superoxide Dismutase from Escherichia coli.” dalam: Journal of Biological Chemistry. 248: 4905-4908.
Young JF et al. 1999. ”Effect of Fruit Juice Intake on Urinary Quercetin Excretion and Biomarkers of Antioxidative Status.” dalam: The American Journal of Clinical Nutrition. 69(1): 87-94. Zakaria FR, Susanto H, dan Hartoyo A. 2000. ”Pengaruh Konsumsi Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Kadar Malonaldehida dan Vitamin E Plasma pada Mahasiswa Pesantren Ulil Albaab Kedung Badak, Bogor.” dalam: Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 11(1): 36-40. Zulfikar. 1996. Uji Efek Antimikroba Ekstrak Rimpang Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza Roxb) terhadap Dua Spesies Bakteri gram positif dan gram negatif. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Nama Bahan dan Komposisi Jamu Kelompok 1 Tumbuhan Obat dari Bagian Daun, Akar dan Batang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Nama Tradisional Nama Ilmiah Antawali Tinospora cripsa mires Babadotan Ageratum cony zades L Beluntas Plucea indica Less Giranediuk Selaginella plana Hieron Giranelalap Selaginella wildenowii Handeuleum Graptophyllum pictum Griff Harendong Astronia spectabilis Bl Hadas palasari * Jambu batu Psidium cujavillus Alpukat Persea americana Miler Jawerkotok Scutellaria discolor colebr Jukut bau Hyptis suaveolus Poit Kahitutan Paedoria foefida Linn Karastula Chlorantus elatior R.Br Kikarugrag Hyptis suaveolus Poit Kiremek daging Hemigraphie colorate Hall Kiremek tulang * Kiurah Plantago major Linn Kibeling Strobilanthes crispus L Kicantung Gonio thalamus maerophyllus Ht Kiclenceng * Kikanceh Ficus edelfelhi king Kimulas Desmodium heteraphyllum Dc Kumiskucing Orthosiphon aristatus miq Mangkokan Micromelum pubescen Bl Manglit Magnolia montana blume Marame Glochidion arborescens Bi Memeniran Phyllanthua urinaria lahan Saga (daun) Abrus prekaterius Lahan Sariawan usus Symplocos odoratissima chosy Sembung Blumea balsamifera Dc Seputuher * Sere Piper betle Linn Siang Artemisia vulgaris L. Singgugu Clerodendron serratum L. Spr Srikuning Nyctanthes arbor-tristis L. Suruha * Tempuyung Soncuhus arvensis Linn Jumlah Keterangan : * Belum ada penamaan secara ilmiah
Berat (g) 3.36 1.74 5.63 3.33 1.33 2.85 2.55 5.75 7.46 2.48 5.96 0.69 2.60 3.80 0.79 10.09 3.62 5.63 2.01 3.05 3.36 1.15 3.36 3.36 6.67 2.19 2.90 2.94 1.35 0.21 11.25 3.39 3.16 7.26 4.26 3.77 4.21 6.37 145.88 g
Kelompok 2 Rempah-rempah No 1 2 3 4 5
Nama Tradisional Bawang merah Kapulaga (biji) Ketumbar Lada Pala Jumlah
Nama Ilmiah Allium cepa Lahan Amomun cardamomun Wild Cariandrum saripun Linn Piper nigrom Lahan Myristica fragrans. Hout
Berat (g) 19.09 50 3.03 1.31 4.49 77.92 g
Nama Ilmiah Curcuma aeruginosa Roxb Zingiber officinale Rosc Kaempferia galanga L Curcuma domestica Val Curcuma xanthorrhisa Roxb Zingiber zerambet SM
Berat (g) 7.57 13 7.08 7.38 5.98 60.54 101.55 g
Kelompok 3 Temu-temuan No 1 2 3 4 5 6
Nama Tradisional Panglaihideng Jahe Kencur Koneng Koneng gede Lempuyang Jumlah
Kelompok 4 Biji-bijian No Nama Tradisional 1 Jaat 2 3 4 5 6 7
Nama Ilmiah Psophocarpus tetrayonolobus Dc Phaseolus radiates L Vigna sinensia ENDL Glicine max Arachis hypogaea Linn Oryiza sativa Zea mays
Kacang ijo Kacang dadak Kacang kedelei Kacang tanah Beras Jagung Jumlah TOTAL Sumber : Pajar (2001) dan Roosita (2003)
Berat (g) 21.30 197.32 50.40 76.90 39.70 122.36 500 1007.98 g 1333.33 g
Lampiran 2 Hasil sidik ragam kondisi awal kadar MDA plasma tikus.
Jumlah Kuadrat
Derajat Beda
Rata-rata Kuadrat
F
Signifikan
Antar Kelompok
.065
3
.022
.289
.833
Dalam Kelompok
.905
12
.075
Total
.970
15
Lampiran 3 Hasil sidik ragam kadar MDA plasma tikus pada akhir penelitian.
Jumlah Kuadrat
Derajat Beda
Rata-rata Kuadrat
F
Signifikan
Antar Kelompok
2.340
3
.780
4.094
.032
Dalam Kelompok
2.287
12
.191
Total
4.627
15
Lampiran 4 Hasil uji lanjut Least Significant Difference (LSD) kadar MDA plasma tikus pada akhir penelitian. (I) Dosis Kontrol
(J) Dosis
Rata-rata Perbedaan (I-J)
Standar Kesalahan
Signifikan
1 .87000(*) .30868 .016 2 .84750(*) .30868 .018 4 .92500(*) .30868 .011 1x Kontrol -.87000(*) .30868 .016 2 -.02250 .30868 .943 4 .05500 .30868 .862 2x Kontrol -.84750(*) .30868 .018 1 .02250 .30868 .943 4 .07750 .30868 .806 4x Kontrol -.92500(*) .30868 .011 1 -.05500 .30868 .862 2 -.07750 .30868 .806 * Rata-rata berbeda secara signifikan pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Batas atas bawah .1974 1.5426 .1749 1.5201 .2524 1.5976 -1.5426 -.1974 -.6951 .6501 -.6176 .7276 -1.5201 -.1749 -.6501 .6951 -.5951 .7501 -1.5976 -.2524 -.7276 .6176 -.7501 .5951
Lampiran 5 Hasil sidik ragam kondisi awal aktivitas enzim antioksidan Superokside
dismutase (SOD) plasma tikus.
Antar Kelompok
Jumlah kuadrat 104.958
Derajat beda 3
Rata-rata kuadrat 34.986
Dalam Kelompok
9001.615
12
750.135
Total
9106.573
15
F
Signifikan
.047
.986
Lampiran 6 Hasil sidik ragam aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase
(SOD) plasma tikus pada akhir penelitian. Jumlah kuadrat
Derajat beda
Rata-rata kuadrat
F
Signifikan
Antar Kelompok
10515.793
3
3505.264
3.856
.038
Dalam Kelompok
10908.632
12
909.053
Total
21424.425
15
Lampiran 7 Hasil uji lanjut Least Significant Different (LSD) aktivitas enzim antioksidan Superokside dismutase (SOD) plasma tikus pada akhir penelitian. (I) Dosis Kontrol
(J) Dosis
Rata-rata perbedaan (I-J)
Standar Kesalahan
Signifikan
1x -68.84450(*) 21.31962 .007 2x -54.13871(*) 21.31962 .026 4x -40.90200 21.31962 .079 1x Kontrol 68.84450(*) 21.31962 .007 2x 14.70579 21.31962 .503 4x 27.94250 21.31962 .215 2x Kontrol 54.13871(*) 21.31962 .026 1x -14.70579 21.31962 .503 4x 13.23671 21.31962 .546 4x Kontrol 40.90200 21.31962 .079 1x -27.94250 21.31962 .215 2x -13.23671 21.31962 .546 * Rata-rata berbeda secara signifikan pada taraf 0,05
Selang Kepercayaan 95% Batas Batas atas bawah -115.2960 -22.3930 -100.5902 -7.6872 -87.3535 5.5495 22.3930 115.2960 -31.7457 61.1573 -18.5090 74.3940 7.6872 100.5902 -61.1573 31.7457 -33.2148 59.6882 -5.5495 87.3535 -74.3940 18.5090 -59.6882 33.2148
Lampiran 8 Hasil sidik ragam berat badan tikus pada awal penelitian
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
Jumlah Derajat Rata-rata kuadrat beda kuadrat 944.188 3 314.729 3382.750 12 281.896 4326.938 15
F Signifikan 1.116 .381
Lampiran 9 Hasil sidik ragam berat badan tikus pada akhir penelitian.
Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
Jumlah Derajat Rata-rata kuadrat beda kuadrat 561.188 3 187.063 5142.750 12 428.563 5703.938 15
F Signifikan .436 .731
Lampiran 10 Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7148-2005 tentang minuman khusus ibu menyusui. Kandungan mineral yang wajib ada dalam minuman khusu ibu menyusui.
No 1 2 3
Kriteria Kalsium (Ca) Besi (Fe) Seng (Zn)
Satuan mg mg mg
Persyaratan Produk berbentuk Produk berbentuk cair bubuk (per 100 g) (per 100 ml) 150-800 26,25 - 140 Min. 6 Min. 1,05 Min. 4,6 Min. 0,8
Kandungan mineral yang dapat ditambahkan dalam minuman khusus ibu menyusui.
No 1 2 3 4 5
Kriteria Magnesium (Mg) Mangan (Mn) Iodium (I) Selenium (Se) Fluor (F)
Satuan mg mg mcg mcg mg
Persyaratan Produk berbentuk Produk berbentuk bubuk (per 100 g) cair (per 100 ml) 50 – 240 9 – 42 0,8 – 1,8 0,14 – 0,32 50 – 150 8,75 – 26,25 5 – 30 0,88 – 5,25 0,2 – 2,5 0,04 – 0,44
Batas maksimum cemaran logam1 dalam minuman khusus ibu menyusui. Persyaratan Produk Produk berbentuk berbentuk bubuk cair 1 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1 Maks. 0,1 2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,3 Maks. 0,3 3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 4 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0 Maks. 20,0 5 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 2 (250,00) (250,00)2 6 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03 1 Keterangan : Dihitung terhadap produk yang siap dikonsumsi 2 Untuk produk yang dikemas dalam kaleng No
Kriteria
Satuan
Lampiran 12 Prosedur analisis penetapan kadar dan Zn, Fe, Cu, dan Mn dalam jamu Galohgor dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) (Apriyantono et al. 1989). Peralatan 1. Spektrofotometer Absorbsi Atom (SAA) 2. Alat-alat gelas yang sebelumnya telah dicuci dengan HNO3 encer. Persiapan sampel dengan metode pengabuan basah Sejumlah sampel yang mengandung + 3 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan 20 ml HNO3 10 ml H2SO4 ditunggu hingga semalam untuk menghilangkan zat organik. Larutan ditambahkan 10 ml air bebas ion (larutan akan menjadi tidak berwarna atau menjadi kuning muda jika mengandung Fe) dan panaskan sampai berasap dengan hati-hati. Larutan didiamkan sampai dingin kembali kemudian tambahkan 5 ml air bebas ion, didihkan sampai berasap. Larutan didinginkan dan diencerkan sampai volume tertentu. Preparasi sampel Larutan abu berasal dari pengabuan basah dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan air bebas ion, campur merata. Larutan disaring kemudian dimasukkan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang dilengkapi tutup ulir untuk kemudian dilakukan pembacaan dengan dilakukan pula penetapan blangko. Perhitungan Kadar Logam (mg/100g)
(a - b) V 10 W
Kadar Logam (mg/1000g)
(a - b) V W
Berat sampel (g)
=W
Volume ekstrak
=V
Konsentrasi larutan sampel (µg/ml) = a Konsentrasi larutan blanko (µg/ml) = b
Lampiran 13 Prosedur analisis senyawa aktif secara kualitatif 1. Identifikasi Penentuan adanya Alkaloid a. 1 gram contoh digiling halus bersama-sama pasir sambil dibasahi 5 ml kloroform yang mengendung beberapa tetes amoniak (± 3 tetes). b. Ditambahkan lagi 5 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak (± 5 tetes), kemudian disaring ke dalam tabung reaksi tertutup. c. Ekstrak kloroform dalam tabung reaksi dikocok dengan 10 tetes H2SO4 2 M, kemudian dipisahkan lapisan asamnya ke dalam tabung reaksi lain. d. Spot diteteskan pada spot plate dan ditambahkan 3 pereaksi Dragendorf, Mayer, dan Wagner yang akan menimbulkan warna berturut-turut: merah jingga, putih, dan coklat. 2. Identifikasi Adanya senyawa Flavonoid dan Senyawa Fenol Hidrokuinon
a. 1 gram contoh ditambahkan methanol sampai semua sampel terendam dan dipanaskan. b. Larutan dipipet dan diteteskan pada 2 plat tetes masing-masing 5 tetes. Pada plet tetes pertama ditambahkan NaOH 10 %. c. Timbulnya warna merah menandakan adanya senyawa fenol hidrokuinon. Pada plat tetes yang kedua ditambahkan 1 tetes H2SO4 pekat. Timbulnya warna merah menendakan adanya senyawa flavonooid. 3. Penentuan Adanya Triterpenoid/Steroid a. 1 gram contoh ditambahkan 12,5 ml etanol dan dipanaskan, lalu disaring. Filtrate diuapkan dan ditambahkan eter. b. Lapisan eter yang terbentuk dipipet dan diteteskan pada plat tetes, lalu ditambahkan pereaksi LB (3 tetes asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat). c. Adanya triterpenoid ditandai dengan timbulnya warna merah dan ungu, sedangkan adanya steroid ditandai dengan timbulnya warna hijau. 4. Penentuan Flavonoid, Saponin, dan Tanin a. 1 gram sampel dimasukkan ke dalam gelas piala lalu ditambhakan 12 ml air panas dan dididihkan selama 5 menit. 3 ml larutan dimasukkan ke dalam 2 tabung reaksi. b. Ke dalam tabung tabung reaksi pertama dimasukkan serbuk Mg dan 0,2 ml HCl pekat lalu ditambahkan amil alkohol. Campuran dikocok dan dibiarkan memisah. c. Adanya flavonoid ditandai ditandai adanya warna merah coklat pada lapisan amil alkohol. Pada tabung reaksi kedua dilakukan pengocokan secara vertical 10 detik dan dibiarkan 10 menit. Adanya saponin ditandai dengan adanya busa yang stabil. Untuk tannin, sisa campuran dididihkan lagi 10 menit, lalu disaring. Filtrate ditambahkan beberapa ml larutan FeCl3 1 %. Adanya tannin ditandai dengan adanya warna biru tua/hijau kehitaman.
Lampiran 14 Prosedur penetapan kadar MDA plasma tikus dilakukan dengan penentuan peroksida lipid (Wills ED 1987) Bahan 1. TCA 72% (72 g/100 ml H2O) 2. Thiobarbituric acid (TBA) 0.67% Cara kerja 1.
Mengencerkan TCA 72% menjadi 20% dengan cara 50 ml TCA 72% ditambahkan dengan 130 ml H2O
2.
TBA 0.67%
3.
Standar MDA : 80.000 kali diencerkan (1.5 nmol/60 ul) Blanko
0,625
1,250
1,875
2,500
3,125
3,750
5,000
Standar 0
25
50
75
100
125
150
200 λ
H2O
1975
1950
1925
1900
1875
1850
1800λ
2 ml
Total : 2 ml -------------------------------------------------------------------------------------------- > Pengujian 2 ml sampel (Standar) ditambahkan 1 ml TCA 20% dan kemudian ditambahkan 2 ml TBA 0,67%, kemudian dipanaskan dalam boiling waterbath selama 10 menit. Setelah dipanaskan selama 10 menit kemudian lakukan pembacaan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.
Lampiran 15 Prosedur penetapan aktivitas enzim SOD plasma tikus (Chen et al. 1996) Prinsip pemeriksaan Metode ini menggunakan xanthine dan XOD untuk menghasilkan radikal superoksid yang bereaksi dengan INT untuk membentuk warna merah formazen.
Aktivitas SOD kemudian diukur dengan derajat inhibisi reaksi ini. Satu unit SOD adalah unit yang menyebabkan 50% derajat inhibisi reduksi INT selama pemeriksaan. Penyiapan sampel Gunakan sampel darah lengkap (whole blood) yang telah diberi heparin atau EDTA. Disarankan untuk mencuci eritrosit sebanyak 4 kali menggunakan larutan NaCl 0,9%. Sentrifus 0,5 ml darah selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm dan pisahkan plasmanya. Eritrosit yang telah dicuci dan disentrifus kemudian ditambahkan dengan aquabidest dingin hingga 2 ml, dikocok dan didiamkan pada suhu +4oC selama 15 menit. Kemudian lysate dilarutkan dengan 0,01 mol/l buffer fosfat pH 7,0 sehingga persen inhibisi turun antara 30% hingga 60%. Stabilitas dan penyiapan reagen R1a. Substrat campuran Tambahkan 1 vial substrat campuran R1a dengan 20 ml buffer R1b. Stabil selama 10 hari bila disimpan pada suhu +2oC hingga +8oC. R1b. Buffer Siap digunakan. Stabil hingga kadaluarsa bila disimpan pada suhu +2oC hingga +8oC. R2. Xanthine oksidase Tambahkan 1 vial xanthine oksidase R2 dengan 10 ml aquabidest. Stabil selama 2 minggu bila disimpan pada suhu +2oC hingga +8oC. CAL Standar Tambahkan 1 vial standar (CAL) 10 ml aquabidest. Larutan standar ini sebaiknya disiapkan dengan pelarut Ransod. Disarankan larutan-larutan berikut terbuat dari standar CAL (atau S6) untuk menghasilkan kurva standar:
Prosedur Panjang gelombang :
505 nm
Panjang Cuvet :
1 cm
Suhu :
37oC Berlawanan dengan udara
Perhitungan Pipet dan masukan ke dalam cuvet
Pengenceran sampel
Sampel yang diencerkan -
Standars S2 – S6 -
Pengenceran sampel 0,05 ml
-
0,05 ml
-
0,05 ml
-
-
1,7 ml
1,7 ml
1,7 ml
0,25 ml
0,25 ml
Standard Sampel Ransod yang diencerkan Substrat campuran (R1)
Lakukan pencampuran dengan baik Xanthine oksidase (R2)
0,25 ml
Lakukan pencampuran kemudian baca inisial absorbans A1 pada spektrofotometer setelah 30 detik dan dimulai serentak pada waktu yang sama. Lanjutkan dengan membaca absorbans A2 setelah 3 menit
Perhitungan A2 – A1 ÷ 3 = ∆A/ min dari standard atau sampel
Rataan sampel yang diencerkan (S1) = rataan dari reaksi yang tidak inhibisi = 100% Semua rataan standard dan rataan sampel yang diencerkan harus diubah dalam bentuk persentase dari rataan sampel yang diencerkan, dan disubstrat dari 100% untuk memberikan presentase inhibisi. 100 −
∆Astandar/ min X 100 = % inhibisi (∆AS1/min)
100 −
∆Asampel/ min X 100 = % inhibisi (∆AS1/min)
Tentukan persentase inhibisi untuk beberapa standard berlawanan Log10 (konsentrasi standard SOD dalam unit/ml) Gunakan persentasi inhibisi dari sampel untuk memperoleh unit SOD dari kurva standard. SOD unit/ml dari darah lengkap (whole blood) = SOD unit/ml dari kurva standard dikali faktor pengenceran.