AKLIMATISASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA
NIDYA MARISCA
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 i
AKLIMATISASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA
NIDYA MARISCA C14080035
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
AKLIMATISASI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN YANG BERBEDA DALAM AKUARIUM DI RUMAH KACA adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
Nidya Marisca C14080035
iii
ABSTRAK NIDYA MARISCA. Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam Akuarium di Rumah Kaca. Dibimbing oleh IRZAL EFFENDI dan ERINA SULISTIANI. Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan di Indonesia yang memiliki pangsa besar, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keberhasilan budidaya rumput laut salah satunya dipengaruhi oleh pengunaan bibit rumput laut yang unggul. Ketersediaan bibit unggul dapat dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Bibit hasil kultur jaringan terbiasa hidup dengan air laut steril di dalam botol, selain itu masih belum kuat jika harus dipelihara langsung di laut, dan masih memiliki ukuran yang kecil, sehingga perlu dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Aklimatisasi suatu biota mencakup tahapan: 1) bagaimana mempertahankan biota tetap hidup, 2) bagaimana biota bisa tumbuh, dan 3) bagaimana biota bisa berkembangbiak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelangsungan hidup dan pertumbuhan, serta mendapatkan kepadatan yang optimum rumput laut Kappaphycus alvarezii saat aklimatisasi di akuarium. Rumput laut diletakkan di dasar akuarium kepadatan biomassa awal yang berbeda, yaitu 95, 143, 191, dan 238 g/m 3. Jumlah individu yang digunakan 33-137 individu. Individu rumput laut memiliki ukuran dan jumlah talus yang bervariasi. Ukuran panjang bibit awal yang digunakan adalah 1,6-2,2 cm dan bobot 0,15-0,32 g. Rumput laut tersebut diaklimatisasi dalam akuarium kaca (90x30x35 cm, diisi air 81 L) dengan sistem resirkulasi dan pergantian air 50% selama 2 minggu sekali. Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian, pertambahan biomassa dan bobot individu, pertambahan diameter pangkal dan tengah talus, pertambahan panjang dan panjang total talus, penyerapan total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak di perairan. Penyerapan nitrogen dan fosfor pada talus rumput laut dengan analisis proksimat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput laut hasil kultur jaringan pada tingkat kepadatan yang berbeda mampu beraklimatisasi dan bertahan hidup dengan baik yaitu dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 100%. Laju pertumbuhan harian, laju pertumbuhan harian individu dan pertambahan diameter pangkal (y) rumput laut menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan berturut-turut y = 4,600–0,2801x; y = 3,929– 0,1661x; dan y = 0,7883–0,1317x (P<0,2). Pertambahan biomassa (y) rumput laut semakin meningkat hingga kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 191 g/m 3, dan selanjutnya mengalami penurunan pada kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 238 g/m3 mengikuti persamaan y = 23,73+54,99x–8,440x2 (P<0,2). Kepadatan yang optimum pada penelitian ini adalah rumput laut dengan kepadatan 95 g/m 3 jika ditinjau dari jumlah kandungan nitrogen dan fosfor yang berada dalam rumput laut, sedangkan jika ditinjau dari efisiensi penggunaan wadah dan media air laut, maka kepadatan rumput laut optimum yaitu pada kepadatan 143 dan 191 g/m3. Kata Kunci : Rumput laut, bibit unggul, kultur jaringan, aklimatisasi, akuarium, kepadatan.
iv
ABSTRACT NIDYA MARISCA. Acclimatization of Tissue Cultured Seaweed Kappaphycus alvarezii with Different Stocking Density in the Greenhouse Fisheries Aquarium. Supervized by IRZAL EFFENDI and ERINA SULISTIANI. Seaweed is one leading commodity of Indonesian, which has a large market, both domestically and exports. The successful cultivation of seaweed must be support by the use of supreme seeds seaweed. Availability of supreme seeds can be helped with breeding techniques through tissue culture. Seeds produce by tissue culture accustomed alive with sterile sea water in the bottle, beside that the seeds is not strong enough to live at sea directly, and still has a small size, so it needs to be done acclimatization. Acclimatization is the process of adaptation to the new environment. The stages of Acclimatization includes: 1) How to keep biota alive, 2) How can the biota growth, 3) How the biota can breeding. This research aimed to examine the survival and growth, as well as getting the optimum density Kappaphycus alvarezii during acclimatization in the aquarium. The seaweed placed at the base of the aquarium with early biomass density of, 95, 143, 191, and 238 g/m3. The number of individuals were used are 33-137 individuals. Seaweed has variation in individual size and number of the talus. The length of the seeds were used are 1.6-2.2 cm and weights 0.15-0.32 g. The seaweed were cultivation in the aquarium of 90x30x35 cm filted seawater 81 L with water recirculation systems and water exchange of 50% for 2 weeks once. The parameters were measured during the study i.e., survival rate, specific growth rate, biomass and individual weights, base and middle diameter growth of thallus, length growth and total length of the thallus, the total absorption of phosphate, nitrate, orthophosphate, nitrite, and ammonia in the water. The nitrogen and phosphorus absorption by seaweed thallus were analyzed by with proximate analysis. Results of the study showed that from seaweed tissue culture at the level of different early density biomass are able to adaptation in the aquarium system and survive well with rate reaches 100%. The specific growth rate, individual specific growth rate and base diameter growth of seaweed (y) was decreases parallel with increasing initial biomass density (x) of seaweed followed consecutive equations y = 4.600–0.2801x; y = 3.929–0.1661x; dan y = 0.7883–0.1317x (P<0.2). The growth of seaweed biomass (y) was increasing up to the initial density biomass (x) of seaweed 191 g/m3, and then decline in initial density biomass (x) of seaweed 238 g/m 3 follows the y = 23.73+54.99x–8.440x2 (P<0.2). Based on the highest level of nitrogen and phosphorus contens in seaweed, the optimum density is 95 g/m3, while based on the space efficiency and sea water medium, the optimum density is 143 and 191 g/m3. Keywords: Seaweed, supreme seed, tissue culture, acclimatization, aquarium, density.
v
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam Akuarium di Rumah Kaca
Nama Mahasiswa : Nidya Marisca Nomor Pokok
: C14080035
Program Studi
: Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen
: Budidaya Perairan
Disetujui, Pembimbing II
Pembimbing I
Ir. Irzal Effendi, M.Si
Ir. Erina Sulistiani, M.Si
NIP.19640330 198903 1 003
NIP. 19680308 200701 2 002
Diketahui, Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Sukenda NIP. 19671013 199302 1 001
Tanggal Lulus:
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi
yang berjudul
“Aklimatisasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Kultur Jaringan dengan Kepadatan yang Berbeda dalam Akuarium di Rumah Kaca” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan terimakasih kepada : 1.
Ir. Irzal Effendi, M.Si dan Ir. Erina Sulistiani, M.Si yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penyusunan skripsi penelitian ini, Dosen Penguji Tamu Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., dan Komisi Pendidikan Ir. Dadang Shafruddin, MS., serta Dr. Sukenda selaku Pembimbing Akademik.
2.
SEAMEO
BIOTROP
yang
menyediakan
fasilitas
penelitian
serta
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan penelitian. Staff dan karyawan Laboratorium Kultur Jaringan Services Laboratory SEAMEO BIOTROP (Pak Syamsul, S.Si, Pak Dede, Teh Rina, Pak Iwan, dan Pak Iyus) serta Laboratorium Air dan Udara (Mbak Gita, Pak Uus, Pak Dika). 3.
Melati, Widayati, Aminah, Erriza, Riska, Fatima, Adithia, Randi, Joseph, dan teman-teman BDP 45 lainnya, serta kakak kelas Fristy R. dan Hedra A. yang telah memberikan dukungan, semangat, dan bantuan persiapan wadah, sampling, pengukuran kualitas air, pergantian air, dan pengolahan data, serta kebersamaannya dalam penyusunan skripsi ini. Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orang tua Siti Maryani dan Naih
yang selalu memberikan doa, dukungan moral maupun material. Adik-adik Natasha Dara Marsheila, Satria Ikrar Aulia, Anisa Gadis Ramadhani, dan Nasywa Munnyka Sandra yang telah mendukung dan membantu dalam skripsi penelitian ini. Semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Februari 2013 Nidya Marisca
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bogor pada 12 Juni 1990, dan merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan Naih dan Siti Maryani. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Sejahtera pada 1996 dan melanjutkan ke tingkat sekolah dasar di SD Negeri Kebon Pedes 1 Bogor. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 5 Bogor, dan pada 2005 di SMA Negeri 2 Bogor. Tahun 2008 Penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan mengikuti masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), dan pada 2009 masuk di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi dan kepanitiaan di kampus selama masa perkuliahan. Beberapa kepanitian yang pernah diikuti Penulis adalah Fieldtrip Oseanografi Umum dan Biologi Laut sebagai Anggota Divisi Medis, Pekan Olah Raga Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (PORIKAN) IPB sebagai Anggota Divisi Konsumsi, Buka Bersama FPIK IPB (Pari Hitam) sebagai anggota Divisi Publikasi dan Dekorasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh Penulis yaitu HIMAKUA (Himpunan Mahasiswa Akuakultur) dan Penulis menjadi Sekretaris Divisi ORKES (Olah Raga dan Kesenian) dari 2011-2012. Selama mengikuti perkuliahan, Penulis pernah melakukan praktik magang pembenihan dan pembesaran ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis di CV. Laut Biru Persada, Tanjung Putus, Lampung pada 2010. Penulis juga melakukan praktik kerja lapangan pembesaran udang vaname Litopenaeus vannamei pada 2011 di Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB), Karawang, Jawa Barat. Prestasi yang pernah dicapai oleh Penulis yaitu lolos pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk kategori PKM-P Tahun 2010 dan PKM AI Tahun 2011. Penulis juga memperoleh Beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM) sejak Semester III hingga VIII.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv I.
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2 Tujuan dan Manfaat ................................................................................ 4
II.
BAHAN DAN METODE .............................................................................. 5 2.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 5 2.2 Rancangan Percobaan ............................................................................. 5 2.3 Persiapan Ruangan, Wadah, dan Air ...................................................... 5 2.4 Pemeliharaan Rumput Laut .................................................................... 6 2.5 Pengamatan ............................................................................................. 7 2.5.1 Tingkat Kelangsungan Hidup ........................................................ 8 2.5.2 Pertambahan Bobot, Biomassa, dan Laju Pertumbuhan Harian .... 8 2.5.3 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus....... 9 2.5.4 Pertambahan Diameter Talus ........................................................ 9 2.5.5 Penyerapan Nitrogen ................................................................... 10 2.5.6 Penyerapan Fosfor ....................................................................... 10 2.6 Analisis Data ........................................................................................ 11
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 12 3.1 Hasil ...................................................................................................... 12 3.1.1 Morfologi dan Kelangsungan Hidup ........................................... 12 3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian dan Pertambahan Biomassa ............. 12 3.1.3 Laju Pertumbuhan Harian Individu dan Pertambahan Bobot ..... 14 3.1.4 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus .... 16 3.1.5 Pertambahan Diameter Pangkal dan Diameter Tengah Talus .... 18 3.1.6 Penyerapan Nitrogen ................................................................... 20 3.1.7 Penyerapan Fosfor ....................................................................... 21 3.1.8 Suhu, Salinitas, Intensitas Cahaya, pH, dan DO ......................... 22 3.2 Pembahasan .......................................................................................... 30
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 38 4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 38 4.2 Saran ..................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39 LAMPIRAN .......................................................................................................... 42
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Penyerapan nitrat, nitrit, dan amoniak oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan .......................................................20
2.
Penyerapan total fosfat dan ortofosfat oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ......................................................22
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan ............................... 5
2.
Individu rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan ................. 6
3.
Rumput laut Kappaphycus alvarezii awal dan akhir pemeliharaan pada setiap perlakuan kepadatan biomassa awal (A) 95 g/m3, (B) 143 g/m3, (C) 191 g/m3, (D) 238 g/m3............................................................................ 12
4.
Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 13
5.
Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ................................................................................................ 13
6.
Pertambahan biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 14
7.
Laju pertumbuhan harian individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ...................................................................... 15
8.
Bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ................................................................................................ 15
9.
Pertambahan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 16
10. Panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ................................................................................................ 17 11. Pertambahan panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 17 12. Panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ................................................................................................ 18
xi
13. Pertambahan panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ...................................................................... 18 14. Pertambahan diameter pangkal talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ...................................................................... 19 15. Pertambahan diameter tengah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 setelah 7 minggu pemeliharaan ...................................................................... 20 16. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 21 17. Penyerapan fosfor oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan .................................................................................. 22 18. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ...................................... 23 19. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) .................................... 23 20. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ...................................... 24 21. Suhu rumah kaca pada pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi, siang, dan malam hari ...................... 24 22. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ...................................... 25 23. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) .................................... 25 24. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ...................................... 26
xii
25. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.3009.00 WIB) ................................................................................................... 26 26. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.2013.00 WIB) ................................................................................................... 27 27. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.0018.00 WIB) ................................................................................................... 28 28. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) ...................................... 28 29. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) .................................... 29 30. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) ...................................... 30 31. pH media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 ................. 30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jumlah individu dan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan selama pemeliharaan ...............................................................43 2. Fasilitas percobaan : (A) rumah kaca, (B) susunan akuarium, (C) sistem resirkulasi dan komponennya….…………….……………………….……….44 3. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan .........................................................................45 4. Panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ........................................................................46 5. Panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan ................................................................47 6. Kadar total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 ......................................48 7. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan ..........................................................49 8. Pengukuran panjang, panjang total, diameter pangkal, dan diameter tengah rumput laut Kappaphycus alvarezii .......................................................50 9. Standar pengukuran nitrogen pada rumput laut Kappaphycus alvarezii (Kjeldhal Method) (Aoac, 1980) .......................................................................51 10. Prosedur pengukuran fosfor pada rumput laut Kappaphycus alvarezii (Wet Ashing) L.L.Reitz, W. H. Smith, and M. P. Plumlee, Animal Science Department, Purdue University, West Lafayette,Ind ........................52 11. Data yang dianalisis dengan menggunakan ragam Anova pada selang kepercayaan 80% dan diuji lanjut dengan Duncan pada program SPSS 17.0 serta polinomial orthogonal dengan menggunakan Minitab ...................55
xiv
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Rumput laut adalah tanaman yang termasuk dalam suatu kelompok yang
dikenal dengan alga dan kelompok tanaman ini tidak dapat dibagi menjadi batang, akar, dan daun (Duddington dalam Kurniawan, 2006). Tumbuhan ini memiliki bentuk yang hampir sama secara keseluruhan, bentuk-bentuk yang mirip itu dikenal dengan istilah talus (Aslan, 1991). Rumput laut termasuk ke dalam Kingdom: Plantae, Kelas: Rhodophyceae, Ordo: Gigartinales, Famili: Solireacea, Genus: Eucheuma, Spesies: Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii (Doty, 1985). K. alvarezii memiliki talus silindris, licin, cartilogeneus, dan memiliki percabangan ke berbagai arah (Atmadja et al, 1996). Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan di Indonesia. Sesuai dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menargetkan Indonesia menjadi produsen produk perikanan terbesar di dunia tahun 2015, rumput laut merupakan komoditas yang paling diharapkan untuk memenuhi target tersebut. Hal ini disebabkan rumput laut dapat dibudidayakan secara masal dan meluas dan dapat dilakukan oleh segenap masyarakat. Rumput laut dapat dimanfaatkan untuk bahan
baku
industri,
komestik,
kesehatan
dan
obat-obatan. Pemerintah
memproyeksikan pada tahun 2013 produksi rumput laut mampu mencapai 7 juta ton (berat basah) dan mencapai 10 juta ton (berat basah) pada 2014. Pada 2011, produksi rumput laut secara keseluruhan mencapai 4.305.027 ton (KKP, 2012). Jumlah ini melebihi produksi tahun sebelumnya yaitu 3.082.113 ton (Cocon, 2011). Nilai tersebut menjadi salah satu indikator bahwa menuju target 10 juta ton (berat basah) pada 2014 sangat optimis untuk dicapai. Pada 2010 kebutuhan rumput laut Eucheuma cottonii atau Kappaphycus alvarezii dunia mencapai 274.100 ton (berat kering), dan Indonesia mempunyai peluang memberikan kontribusi ekspor sebesar 80.000 ton (berat basah) atau sekitar 29,19% (BPPT dan ISS dalam Cocon, 2011). Peningkatan produksi rumput laut nasional diiringi pula oleh peningkatan volume dan nilai ekspor rumput laut Indonesia ke berbagai negara tujuan utama seperti Cina, Filipina, Vietnam, Hongkong dan Korea Selatan. Perkembangan volume dan nilai ekspor
1
dalam kurun waktu 2005 sampai dengan 2010 secara umum mengalami kenaikan. Pada 2010 volume ekspor rumput laut Indonesia (rumput laut kering, karaginan dan agar) mencapai 126.177,5 ton meningkat sebesar 34% dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 94.003 ton (Statistik Ekspor-Impor Produk Perikanan dalam Cocon, 2011). Keberhasilan budidaya rumput laut tidak lepas dari beberapa faktor seperti lingkungan, kualitas bibit, metode yang digunakan, ketersediaan nutrisi, dan kepadatan atau bobot awal dalam pemeliharaan. Penggunaan bibit rumput laut yang unggul diharapkan bisa mendapatkan hasil panen yang baik dan produksi yang tinggi. Ketersediaan bibit sering menjadi kendala pada musim-musim tertentu, seperti musim hujan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dapat dibantu dengan teknik pengembangbiakan melalui kultur jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu metoda dalam mengisolasi bagian dari tanaman (pada rumput laut adalah talus) serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik dalam wadah tertutup, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap kembali seperti induknya (Gunawan, 1987). Pada kultur jaringan, eksplan dapat beregenerasi menjadi embrio somatik setelah ditanam pada media tumbuh (agar). Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara langsung maupun tidak langsung melewati fase kalus (Gaj, 2001). Embriogenesis somatik yaitu proses terbentuknya embrio somatik, embrio yang terbentuk bukan dari zigot tetapi dari sel biasa tubuh tanaman (Gunawan, 1987). Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Hamama et al, 2001). Keunggulan teknik kultur jaringan adalah perbanyakan secara berkesinambungan dan berkualitas tinggi, mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar dengan waktu yang singkat, memudahkan dalam transportasi ke suatu tempat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, serta bibit dapat tumbuh dengan cepat (Anonim, 2010). Dengan menggunakan botol kaca bibit didistribusikan ke seluruh Indonesia.
2
Bibit rumput laut hasil kultur jaringan berasal dari talus berukuran 2-3 cm yang dikultur dalam botol kaca selama 2 bulan. Media yang digunakan terdiri dari agar, air laut steril dan Provasoli Enriched Seawater (PES) steril. Pemeliharaan dilakukan hingga menghasilkan kalus atau sel yang belum terorganisir menjadi jaringan yang kemudian berkembang menjadi talus atau individu baru. Individu rumput laut hasil kultur jaringan tersebut masih berukuran kecil dan sangat bervariasi jumlah percabangannya. Panjang rata-rata talus berkisar 1,6–2,2 cm dan bobot 0,15-0,32 g. Bibit-bibit tersebut tidak bisa langsung dipelihara di lapangan atau di laut, melainkan terlebih dahulu diadaptasikan melalui proses aklimatisasi di akuarium (skala laboratorium di indoor) dan bak (skala besar di outdoor), lalu kemudian dipelihara di laut, atau dapat langsung dibudidayakan di laut setelah diaklimatisasi di akuarium. Rumput laut hasil kultur jaringan terbiasa hidup dengan air laut steril di dalam botol, sehingga perlu aklimatisasi untuk dipelihara di laut. Selain itu rumput laut tersebut masih belum kuat atau masih rentan dan masih memiliki ukuran yang terlalu kecil untuk dipelihara langsung di laut. Untuk itu perlu mengaklimatisasikan atau membiasakan bibit hidup di media air laut yang tidak steril di akuarium selama kurang lebih 7 minggu. Kondisi lingkungan yang digunakan dalam proses aklimatisasi tersebut dibuat terkendali dan sesuai dengan kebutuhan rumput laut, antara lain dalam akuarium di rumah kaca. Rumah kaca merupakan bangunan dengan struktur yang tertutup oleh bahan transparan yang tembus cahaya sehingga lingkungan di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman (Murniwaty, 2008). Rumput laut yang dibudidayakan di rumah kaca memiliki beberapa keunggulan yaitu salah satunya dapat dijadikan sebagai bibit dasar untuk budidaya skala besar selanjutnya di lapangan. Untuk proses aklimatisasi di akuarium diperlukan informasi dasar. Sejauh ini masih belum diketahui kepadatan biomassa awal bibit rumput laut yang baik (optimum) dalam aklimatsisasi tersebut terkait dengan carrying capacity wadah pemeliharaan. Carrying capacity atau daya dukung lingkungan merupakan kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang (Anonim, 2012). Untuk itu perlu dipastikan kepadatan yang optimum dalam wadah aklimatisasi agar menunjang pertumbuhan dengan baik.
3
Pertumbuhan yang baik akan dicapai jika rumput laut mendapatkan nutrisi yang cukup dari lingkungannya. Nutrisi yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit, ammonium dan amoniak, sedangkan fosfor yang berada di perairan
dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan
ortofosfat. Umumnya unsur fosfor diserap dalam bentuk ortofosfat, sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit dan ammonium (Dawes dalam Kurniawan, 2006). Ketika jumlah nutrisi yang terdapat di lingkungan sedikit atau terbatas, maka sedikit pula nutrisi yang diserap oleh rumput laut. Hal ini akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan rumput laut atau bahkan menghambat dan menurunkan pertumbuhan. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Bujang (2012) (belum dipublikasi) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian rumput laut hasil kultur jaringan yang diaklimatisasikan pada akuarium di rumah kaca dengan biomassa awal 95 g/m3 atau 10 g/105 l air laut dengan sistem resirkulasi tanpa pergantian air adalah sebesar 2,73% per hari. Nilai tersebut diduga karena kurang atau sedikitnya nutrisi di dalam air dan perlu adanya penambahan nutrisi kedalamnya yaitu dengan melakukan pergantian air.
1.2
Tujuan dan Manfaat Menentukan
kelangsungan
hidup
dan
pertumbuhan
rumput
laut
(Kappaphycus alvarezii) hasil kultur jaringan pada kepadatan biomassa awal yang berbeda (95, 143, 191, dan 238 g/m3) dalam akuarium dengan sistem resirkulasi. Mendapatkan kepadatan biomassa awal optimum untuk aklimatisasi bibit rumput laut di akuarium dengan sistem resirkulasi dan pergantian air 50% dalam waktu dua minggu sekali.
4
II.
2.1
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli-September 2012, di SEAMEO
BIOTROP yang terletak di KM 6 Bogor, Jl Raya Tajur, Bogor Jawa Barat. Penelitian berlangsung dalam rumah kaca Laboratorium Kultur Jaringan.
2.2
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak lengkap (RAL).
Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan dipelihara selama 7 minggu atau 49 hari dengan kepadatan biomassa awal yang berbeda dalam akuarium dengan sistem resirkulasi, yakni 95, 143, 191, dan 238 g/m3 atau 10, 15, 20, dan 25 g/105 L. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Jumlah rata-rata individu bibit rumput laut yang digunakan berkisar 33-137 individu (rumpun) (Lampiran 1). Rumput laut yang digunakan berukuran panjang 1,6–2,2 cm dan bobot 0,15-0,32 g diletakkan di dasar akuarium.
Gambar 1. Rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan. 2.3
Persiapan Ruangan, Wadah dan Air Rumah kaca terdiri atas beberapa komponen seperti dinding, lantai semen,
serta atap bertingkat dilapisi oleh kanopi. Atap terbuat dari bahan transparan sehingga bisa ditembus oleh sinar matahari. Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan rumput laut adalah akuarium kaca sebanyak 12 unit dengan ukuran 90x30x35 cm, sedangkan wadah yang digunakan sebagai filter berupa akuarium kaca berukuran 80x45x50 cm sebanyak 4 unit. Akuarium tersebut dicuci hingga bersih dan dikeringkan.
5
Saluran inlet pada akuarium berupa pipa PVC ½ inci yang dibuat sejajar dan diletakkan di tengah tiap akuarium dengan diberi lubang berdiameter 0,5-0,8 cm sebanyak 2 unit, sedangkan saluran outlet berupa pipa PVC ½ inci yang dilengkapi dengan keran untuk tiap akuariumnya. Setiap sistem resirkulasi terdiri dari 3 unit akuarium budidaya dan 1 unit akuarium filter, serta dilengkapi dengan 1 unit talang air. Sistem resirkulasi filtrasi ini digunakan untuk mengurangi kotoran dan menjernihkan air agar cahaya mudah diterima oleh rumput laut, untuk pasokan oksigen, serta untuk mengurangi pertumbuhan lumut yang berlebihan yang dapat mengganggu rumput laut untuk hidup. Setiap akuarium diberi aerasi untuk menambah gerakan air yang dapat membantu rumput laut dalam menyerap nutrien secara difusi dan menyuplai oksigen di perairan. Media pada pemeliharaan adalah air laut, yang diisi ke dalam akuarium sebanyak 81 liter dan ke dalam tiap wadah filter sebanyak 72 liter, sehingga total air yang digunakan untuk pemeliharaan rumput laut pada setiap sistem resirkulasi (3 akuarium budidaya dan 1 akuarium filter) (Lampiran 2) sebanyak 315 liter. Air dari wadah filter dipompa ke akuarium dan disalurkan melalui pipa inlet dengan debit air 0,26 liter/detik. Air yang keluar dari saluran outlet kemudian dialirkan melalui talang air dan selang ke wadah filter, yang dimulai dengan filter fisik berupa kapas, karang, dan filter kimia berupa arang aktif, kemudian kapas lagi, lalu filter biologi berupa bioball.
2.4
Pemeliharaan Rumput Laut Rumput laut Kappaphycus alvarezi hasil kultur jaringan yang memiliki
karakteristik tidak terdapat bercak, tidak terkelupas, talus elastis dan memiliki jumlah cabang yang bervariasi, serta memiliki pangkal yang lebih kecil dari cabangnya, ujungnya berbentuk lurus.
Gambar 2. Individu rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan
6
Rumput laut dipelihara dalam akuarium kaca dengan kepadatan biomassa awal berbeda yaitu 95, 143, 191, dan 238 g/m3. Jumlah rumpun yang digunakan berkisar 33-137 individu. Rumput laut disebar atau dasar untuk memudahkan rumput laut dalam bergerak dan menyerap nutrisi dari air laut. Sistem yang digunakan yaitu sistem resirkulasi dan pergantian air sebanyak 50% yang dilakukan satu kali dalam dua minggu. Sampling bobot individu, biomassa, panjang dan panjang total talus individu dilakukan setiap minggu. Pengukuran diameter pangkal, diameter tengah talus, dan jumlah individu dilakukan pada awal dan akhir pemeliharaan. Salinitas air laut yang digunakan diupayakan pada kisaran 33-35 ppt. Jika salinitas mengalami kenaikan, dilakukan penambahan akuades sehingga kembali ke nilai semula. Suhu air pada media pemeliharaan diharapkan berada pada kisaran 24-30 0C. Nilai pH pada media pemeliharaan diupayakan selalu dalam kisaran 7,3-8,8. Rumput laut membutuhkan oksigen untuk melakukan respirasi. Oksigen terlarut yang baik untuk rumput laut adalah >5 mg/l. Nilai tersebut dapat diperoleh dari difusi udara, pergantian air, hasil fotosintesis, dan aerasi.
2.5
Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah biomassa rumput
laut (Lampiran 3), bobot individu rumput laut, panjang talus (Lampiran 4) dan panjang total talus (Lampiran 5) yang dilakukan setiap minggu. Pengamatan diameter pangkal dan diameter tengah talus diamati saat awal dan akhir pemeliharaan. Pengamatan suhu, salinitas, intensitas cahaya, dan oksigen terlarut dilakukan langsung pada media pemeliharaan setiap harinya. Pengukuran pH media pemeliharaan dilakukan setiap minggu. Pengukuran kadar total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit, dan amoniak dalam wadah pemeliharaan dilakukan pada awal pemeliharaan, sebelum dan setelah ganti air, serta pada akhir pemeliharaan (Lampiran 6) di Laboratorium Air dan Udara SEAMEO BIOTROP. Hal ini dilakukan untuk melihat jumlah nutrisi yang berada diperairan, serta nutrisi mana yang lebih banyak diserap oleh rumput laut beserta jumlahnya. Analisis proksimat dilakukan pada akhir pemeliharaan untuk melihat jumlah N dan P yang terserap oleh talus rumput laut selama pemeliharaan. Analisis ini dilakukan di
7
Laboratorium Nutrisi Pakan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi Teknologi Peternakan, Fakultas Perternakan, Institut Pertanian Bogor. Berikut diuraikan lebih lanjut.
2.5.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) merupakan perbandingan antara jumlah total individu rumput laut yang hidup pada akhir percobaan (Ni) dengan jumlah total individu rumput laut yang ditebar pada awal percobaan (No). Setiap individu rumput laut memiliki berbagai ukuran dan jumlah talus atau percabangan. SR =
Ni × 100 % No
Keterangan : SR = Survival rate (tingkat kelangsungan hidup) (%) Ni = Total individu rumput laut yang hidup pada akhir percobaan (individu) No = Total individu rumput laut yang hidup pada awal percobaan (individu)
2.5.2 Pertambahan Bobot, Biomassa dan Laju Pertumbuhan Harian Pertambahan bobot atau biomassa didapatkan dari hasil selisih antara bobot atau biomassa akhir dengan bobot atau biomassa awal pemeliharaan. Data bobot rumput laut diperoleh dengan mengambil sampel individu yang telah ditandai pada masing-masing perlakuan untuk kemudian ditiriskan hingga tidak ada air yang menetes dan menimbangya serta mencatat hasilnya. Data biomassa rumput laut diperoleh dengan mengambil semua rumput laut yang ada pada akuarium, kemudian ditiriskan hingga tidak ada air yang menetes. Rumput laut tersebut kemudian ditimbang dengan timbangan digital (merk ACIS) dan dicatat nilai biomassanya. Penimbangan dilakukan di tempat teduh yang terlindungi dari sinar matahari langsung, untuk menjaga agar rumput laut tidak kekeringan dan mengalami kerusakan. Laju pertumbuhan harian (α) (Lampiran 7) dapat dihitung dari nilai bobot atau biomassa yang diperoleh selama waktu tertentu menggunakan rumus berikut :
8
α = (( ln Wt – ln Wo )/t) x 100% Keterangan : Wt = bobot atau biomassa basah rumput laut pada waktu t (gram) Wo = bobot atau biomassa basah sebelumya atau awal (gram) t = waktu pengamatan (hari)
2.5.3 Pertambahan Panjang Talus dan Pertambahan Panjang Total Talus Pertumbuhan rumput laut dapat diukur pula dari nilai pertambahan panjang talus dan pertambahan panjang total talus. Data panjang dan panjang total talus diperoleh dengan mengambil individu yang telah ditandai dan mengukurnya menggunakan penggaris setiap minggu. Panjang talus diukur mulai dari pangkal cabang pertama hingga ujung cabang talus, sedangkan panjang total talus diukur mulai dari pangkal utama talus hingga ujung cabang talus (Lampiran 8). Pertambahan panjang talus atau panjang total talus dapat diukur dengan menghitung selisih panjang atau panjang total pada waktu t dengan panjang atau panjang total awal. Pernyataan ini dirumuskan sebagai berikut : ∆L = Lt – Lo Keterangan: ∆L
= Pertambahan panjang talus atau panjang total talus (cm)
Lt
= Panjang atau panjang total pada waktu t (cm)
Lo
= Panjang atau panjang total awal (cm)
2.5.4 Pertambahan Diameter Talus Pertumbuhan rumput laut dapat diukur pula dari nilai pertambahan diameter talus rumput laut. Pengukuran diameter talus ini dilakukan pada dua bagian yaitu bagian pangkal talus atau terbawah percabangan dan pada bagian bagian terbesar talus (Lampiran 8). Pertambahan diameter talus didapatkan dari selisih diameter akhir dengan diameter awal. Data diameter pangkal dan diameter tengah (terbesar) diperoleh dengan cara mengukur menggunakan jangka sorong pada awal dan akhir pemeliharaan. Berikut merupakan rumus pertambahan diameter talus :
9
∆D = Dt – Do Keterangan: ∆D
= Pertambahan diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus (mm)
Dt
= Diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus pada waktu t (mm)
Do
= Diameter pangkal atau tengah (terbesar) talus awal (mm)
2.5.5 Penyerapan Nitrogen Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit dan amoniak. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut dapat dilihat dari hasil pengukuran kualitas air dan analisis proksimat. Jumlah nitrogen (nitrat, nitrit, dan amoniak) yang diserap diperoleh dari selisih kadar nitrogen (nitrat, nitrit, dan amoniak) setelah pergantian air ([N]t) dengan sebelum pergantian air ([N]o) dibagi biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii (W). Tanda mutlak (| |) menunjukkan bahwa nilai yang diserap selalu positif. Dalam hal ini diasumsikan tidak ada organisme lain yang terdapat dalam wadah budidaya, kecuali Kappaphycus alvarezii. Berikut merupakan rumus untuk menghitung nitrogen (nitrat, nitrit, dan amoniak) yang diserap berdasarkan pengukuran kualitas air (Sinaga, 2010): N yang diserap (mg/g) = | [N]t - [N]0 | x 1 kg W (g) Penyerapan nitrogen oleh talus rumput laut berdasarkan hasil analisis proksimat (analisis kandungan nitrogen) dengan metode Kjeldahl (Lampiran 9) yaitu dengan perhitungan sebagai berikut : sejumlah rumput laut melalui analisis proksimat akan diketahui jumlah N yang terkandung didalamnya. Setelah itu dilakukan perhitungan (Zhou et. al 2006) : N uptake (µmol/g/hari) = LPH (%/hari) x N tissue (g/100g) 100
2.5.6 Penyerapan Fosfor Fosfor yang berada di perairan sering melimpah dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan ortofosfat. Penyerapan fosfor oleh
10
rumput laut dapat dilihat dari hasil pengukuran kualitas air dan analisis proksimat. Jumlah fosfor (total fosfat dan ortofosfat) yang diserap diperoleh dari selisih kadar fosfor (total fosfat dan ortofosfat) setelah pergantian air ([P]t) dengan sebelum pergantian air ([P]o) dibagi biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii (W). Tanda mutlak (| |) menunjukkan bahwa nilai yang diserap selalu positif. Dalam hal ini diasumsikan tidak ada organisme lain yang terdapat dalam wadah budidaya, kecuali Kappaphycus alvarezii. Berikut merupakan rumus untuk menghitung fosfor (total fosfat dan ortofosfat) yang diserap berdasarkan pengukuran kualitas air (Sinaga, 2010): P yang diserap (mg/g) = | [P]t - [P]0 | x 1 kg W (g) Penyerapan fosfor oleh talus rumput laut berdasarkan hasil analisis proksimat (analisis kandungan fosfor) (Lampiran 10) dengan menggunakan spektrofotometer yaitu dengan perhitungan sebagai berikut : sejumlah rumput laut melalui analisis proksimat akan diketahui jumlah P yang terkandung didalamnya. Setelah itu dilakukan perhitungan (Zhou et. al 2006) : P uptake (µmol/g/hari) = LPH (%/hari) x P tissue (g/100g) 100
2.6
Analisis Data Parameter yang diuji secara statistik adalah tingkat kelangsungan hidup
rumput laut, laju pertumbuhan harian rumput laut, pertambahan biomassa rumput laut, pertambahan bobot individu rumput laut, pertambahan diameter pangkal dan pertambahan diameter tengah (terbesar) talus, pertambahan panjang dan pertambahan panjang total talus rumput laut, serta penyerapan nitrogen dan fosfor. Data penyerapan nitrogen dan fosfor dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh diolah pada Microsoft Excel 2007 dan dianalisis dengan menggunakan ragam ANOVA pada selang kepercayaan 80% dan program SPSS 17.0 serta polynomial orthogonal dengan menggunakan Minitab (Lampiran 11).
11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1 Morfologi dan Kelangsungan Hidup Pada akhir percobaan, warna rumput laut terlihat lebih muda (hijau muda) dibandingkan dengan saat awal penanaman yang tampak hijau tua. Talus rumput laut terlihat lebih panjang dan lebih berisi pada akhir pemeliharaan. Bentuk percabangan rumput laut yang terlihat yaitu dichotomus atau bercabang dua terus menerus.
(A)
(B)
(C) (D) Gambar 3. Rumput laut Kappaphycus alvarezii awal dan akhir pemeliharaan pada setiap perlakuan kepadatan biomassa awal (A) 95 g/m3, (B) 143 g/m3, (C) 191 g/m3, (D) 238 g/m3 Rumput laut yang dipelihara pada tingkat kepadatan biomasa awal yang berbeda menunjukkan mampu bertahan hidup dengan baik. Nilai tingkat kelangsungan hidup semua rumput laut mencapai 100%.
3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian dan Pertambahan Biomassa Grafik di bawah ini (Gambar 4) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian (y) rumput laut semakin menurun dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 4,600 – 0,2801x (P<0,2) (Lampiran 11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik tertinggi atau maksimum terdapat pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3, dan setelah
12
itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan titik terendah atau
Laju Pertumbuhan Harian ( %/hari)
minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3. 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = 4,600 – 0,2801x R2 = 0,507
4,16±0,42
4,21±0,32
3,39±0,47
3,83±0,07
A
A
95
A
B
143 191 Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
238
Gambar 4. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Grafik di bawah ini (Gambar 5) menunjukkan bahwa biomassa rumput laut pada setiap perlakuan semakin bertambah setiap minggunya. Pada perlakuan kepadatan biomassa awal terendah yaitu 95 g/m3 terlihat bahwa jumlah biomassa minggu pertama sampai minggu keempat mampu mendekati jumlah biomassa pada kepadatan 143 dan 191 g/m3 dan memiliki jumlah yang lebih sedikit jika dibandingan dengan kepadatan 238 g/m3. Pada minggu kelima hingga minggu ketujuh jumlah biomassa pada perlakuan 95 g/m3 terlihat cukup jauh dengan jumlah biomassa pada perlakuan kepadatan yang lainnya. Biomassa rumput laut (gram)
160
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
140 120 100
95
80
143
60
191
40
238
20 0 0
1
2
3 4 5 Minggu ke-
6
7
Gambar 5. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
13
Grafik di bawah ini (Gambar 6) menunjukkan bahwa pertambahan biomassa (y) rumput laut meningkat seiring meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 23,73 + 54,99x – 8,440x2 (P<0,2) (Lampiran 11). Kurva garis kuadratik menunjukkan peningkatan pertambahan biomassa dari perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 ke perlakuan kepadatan biomassa awal 143 dan 191 g/m3, kemudian mengalami penurunan pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3. Penurunan ini dapat dilihat pada gambar 5 bahwa pada perlakuan kepadatan 238 g/m3 memiliki bentuk yang lebih landai jika
Pertambahan Biomassa (gram)
dibandingkan dengan kepadatan 191 g/m3. 160
y = 23,73 + 54,99x – 8,440x2 R2 = 0,476
140
102,12±23,00
120 100
109,38±33,04 110,59±4,45
69,56±12,82
80 60 40
B
20
A
A
A
143
191
238
0
95
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 6. Pertambahan biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.3 Laju Pertumbuhan Harian Individu dan Pertambahan Bobot Individu Grafik di bawah ini (Gambar 7) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan harian individu (y) rumput laut menurun seiring meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 3,929 – 0,1661x (P<0,2) (Lampiran 11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik tertinggi atau maksimum terdapat pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3, dan setelah itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan titik terendah atau minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3.
14
Laju Pertumbuhan Harian ( %/hari)
4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = 3,929 – 0,1661x R2 = 0,363
3,70±0,17
3,64±0,31
3,53±0,31
A
A
95
143
3,18±0,33
A
B
191
238
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 7. Laju pertumbuhan harian individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Grafik di bawah ini (Gambar 8) menunjukkan bahwa bobot individu rumput laut pada setiap perlakuan semakin bertambah setiap minggunya seiring dengan bentuk kurva garis yang semakin meningkat. Bentuk grafik garis tersebut semakin landai setiap minggunya (minggu 1 sampai minggu 6) dan lebih meningkat pada minggu ke 7. Hal ini menunjukkan bahwa individu rumput laut mengalami peningkatan pertumbuhan mulai minggu pertama hingga minggu ke tujuh, dan masih akan tumbuh hingga waktu tertentu sampai mengalami
Bobot individu rumput laut (gram)
penurunan. 1.6
1
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
0.8
143
1.4 1.2
0.6
191
0.4
238
0.2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
Minggu ke-
Gambar 8. Bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan.
15
Berdasarkan Gambar 8, rumput laut mengalami pertumbuhan yang hampir sama pada semua perlakuan setiap minggunya. Standar deviasi pada setiap perlakuan kepadatan pun bervariasi, terutama pada perlakuan 143 dan 238 g/m3 yang memiliki nilai standar deviasi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepadatan 95 dan 191 g/m3. Hal ini yang menyebabkan pertambahan bobot individu (Gambar 9) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,2) (Lampiran 11). Pertambahan Bobot (gram)
2.00
1,15±0,59
1.50 1.00
0,96±0,17
0,88±0,08
0,96±0,30
0.50
A
A
A
A
95
143
191
238
0.00 Kepadatan Biomassa Awal
(g/m3)
Gambar 9. Pertambahan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.4 Pertambahan Panjang dan Pertambahan Panjang Total Talus Grafik di bawah ini (Gambar 10) menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang talus rumput laut pada setiap perlakuan mengalami peningkatan setiap minggunya. Bentuk grafik garis yang terbentuk semakin landai setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 7 minggu talus rumput laut masih dapat melakukan pertumbuhan yang cukup baik yaitu dengan bertambahnya panjang talus setiap minggunya.
16
Panjang talus (cm)
7
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
6 5 4
143
3
191
2
238
1 0 0
1
2
3 4 Minggu ke-
5
6
7
Gambar 10. Panjang talus rumput laut laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Berdasarkan Gambar 10, talus rumput laut mengalami pertumbuhan panjang talus yang hampir sama pada semua perlakuan setiap minggunya, sehingga pertambahan panjang talus individu rumput laut (Gambar 11) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191,
Pertambahan Panjang Talus (cm)
dan 238 g/m3 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,2) (Lampiran 11). 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3,89±0,15
3,46±0,52
3,55±0,58
3,51±0,58
A
A
A
A
95
143 191 Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
238
Gambar 11. Pertambahan panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Grafik di bawah ini (Gambar 12) menunjukkan bahwa panjang total talus rumput laut pada semua perlakuan mengalami peningkatan pertumbuhan setiap minggunya. Pada kurva kepadatan biomassa awal 95 g/m3 memiliki panjang total talus yang lebih rendah dari panjang total talus kepadatan 238 g/m3 pada minggu ke-1 hingga ke-2, namun pada minggu ke-3 panjang total talus rumput laut mulai
17
mengalami pertambahan yang lebih banyak daripada panjang total talus pada kepadatan biomassa awal 238 g/m3.
Panjang total talus (cm)
7 Kepadatan biomassa awal (g/m3)
6
5
95
4
143 3
191
2
238
1 0 0
1
2
3
4 5 Minggu ke-
6
7
Gambar 12. Panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Berdasarkan Gambar 12, rumput laut mengalami pertumbuhan panjang total talus yang hampir sama pada semua perlakuan setiap minggunya, sehingga pertambahan panjang individu (Gambar 13) yang diperoleh pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai
Pertambahan Panjang Total Talus (cm)
yang tidak berbeda nyata (P>0,2) (Lampiran 11). 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
3,97±0,15
A
95
3,72±0,56
3,54±0,54
3,64±0,64
A
A
A
143
191
238
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 13. Pertambahan panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.5 Pertambahan Diameter Pangkal Talus dan Pertambahan Diameter Tengah Talus Grafik di bawah ini (Gambar 14) menunjukkan bahwa pertambahan diameter pangkal (y) talus rumput laut semakin menurun dengan meningkatnya 18
kepadatan biomassa awal (x) mengikuti persamaan y = 0,7883 – 0,1317 x (P<0,2) (Lampiran 11). Berdasarkan garis linier yang terbentuk terlihat bahwa titik tertinggi atau maksimum terdapat pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3, dan setelah itu menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan dengan titik terendah atau minimum pada perlakuan kepadatan biomassa awal 238 g/m3. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan kepadatan biomassa awal yang berbeda memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan diameter pangkal
Pertambahan Diameter Pangkal (mm)
talus rumput laut. 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0,7883 – 0,1317 x R2 = 0,661
0,68±0,10
0,49±0,07
0,38±0,20 0,28±0,09
A 95
B
BC
C
143
191
238
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 14. Pertambahan diameter pangkal talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Grafik di bawah ini (Gambar 15) menunjukkan bahwa pertambahan diameter tengah talus rumput laut pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 tidak berbeda nyata (p>0,2) (Lampiran 11). Jumlah pertambahan yang hampir sama dan nilai standar deviasi yang bervariasi pada setiap perlakuan dapat menyebabkan nilai yang tidak berbeda nyata ini. Pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 191, dan 238 g/m3 memiliki nilai standar deviasi yang lebih kecil dibandingkan dengan standar deviasi pada perlakuan kepadatan biomassa awal 143 g/m3.
19
Pertambahan Diameter Tengah (mm)
1.4 1.2
0,99±0,28 0,88±0,18
0,95±0,03
1
0,88±0,21
0.8 0.6 0.4
A
0.2
A
A
A
143
191
238
0 95
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 15. Pertambahan diameter tengah talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.6
Penyerapan Nitrogen Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit dan
amoniak. Tabel di bawah ini (Tabel 1) menunjukkan bahwa rumput laut lebih banyak menyerap nitrat dibandingkan dengan nitrit dan amoniak. Jumlah nitrat yang diserap oleh rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 menunjukkan nilai yang paling tinggi yaitu sebesar 0,034684 mg/g, sedangkan pada kepadatan 143, 191, dan 238 g/m3 berturut-turut menunjukkan nilai sebesar 0,028947; 0,020575; dan 0,011600 mg/g. Nitrit yang diserap oleh rumput laut tidak dapat dideteksi, karena nilai kandungan nitrit yang terdapat di perairan <0,005 mg/l. Sementara itu, amoniak yang diserap oleh rumput laut pada kepadatan 191 g/m3 menunjukkan nilai tertinggi yaitu sebesar 0,000449 mg/g, sedangkan pada kepadatan 238 dan 95 g/m3 berturut-turut mampu menyerap sebesar 0,000029 dan 0,000024 mg/g, sedangkan pada kepadatan 143 g/m3 rumput laut tidak melakukan penyerapan terhadap kandungan amoniak karena menunjukkan nilai serapan sebesar 0,000000 mg/g. Tabel 1. Penyerapan nitrat, nitrit, dan amoniak oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Penyerapan (mg/g) Nitrat Nitrit Amoniak Keterangan :
95 0,034684 * 0,000024
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 143 191 0,028947 0,020575 * * 0 0,000449
238 0,011600 * 0,000029
* = tidak terdeteksi
20
Grafik di bawah ini (Gambar 16) menunjukkan bahwa rumput laut dengan perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 melakukan penyerapan nitrogen tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 2,92 µmol/gx103/hari. Perlakuan biomassa awal 143,
191, dan 238 g/m 3 secara
berturut-turut mampu melakukan penyerapan nitrogen sebesar 1,77, 1,40, dan 1,22
Penyerapan N ((µmol/g)x103)/hari)
µmol/gx103/hari. 3.5 3
2,92
2.5 2
1,77 1,40
1.5
1,22
1 0.5 0 95
143
191
238
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Gambar 16. Penyerapan nitrogen oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.7 Penyerapan Fosfor Fosfor yang berada di perairan sering melimpah dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan ortofosfat. Tabel di bawah ini (Tabel 2) menunjukkan bahwa rumput laut lebih banyak menyerap fosfor dalam bentuk total fosfat dibandingkan dengan ortofosfat. Rumput laut pada kepadatan 191 g/m3 melakukan penyerapan total fosfat tertinggi yaitu sebesar 0,048180 mg/g, sedangkan pada kepadatan 95, 143, dan 238 g/m3 mampu menyerap total fosfat berturut-turut sebesar 0,016801; 0,010091; dan 0,016721 mg/g. Sementara itu, rumput laut yang mampu menyerap ortofosfat tertinggi yaitu pada kepadatan 191 g/m3 yaitu sebesar 0,011921 mg/g, sedangkan pada kepadatan 95, 143, dan 238 g/m3 berturut-turut mampu menyerap sebesar 0,009056; 0,007389; dan 0,003181 mg/g.
21
Tabel 2. Penyerapan total fosfat dan ortofosfat oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Penyerapan (mg/g) Total Fosfat Ortofosfat
95 0,016801 0,009056
Kepadatan Biomasa Awal (g/m3) 143 191 0,010091 0,048180 0,007389 0,011921
238 0,016721 0,003181
Grafik di bawah ini (Gambar 17) menunjukkan bahwa rumput laut dengan perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 melakukan penyerapan fosfat tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 0,11 µmol/gx103/hari. Sementara itu, pada perlakuan biomassa awal 143, 191, dan 238 g/m3 berturut-turut menunjukkan rumput laut menyerap nitrogen sebesar 0,06; 0,05; dan 0,01 µmol/gx103/hari. Penyerapan P ((µmol/g)x103)/hari)
0.12
0.11 0,11
0.1 0.08 0.06 0,06
0.06
0.05 0,05
0.04 0.02
0.01 0,01
0 95
143
191
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
238
Gambar 17. Penyerapan fosfor oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. 3.1.8 Suhu, Salinitas, Intensitas Cahaya, Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) dan pH Grafik di bawah ini (Gambar 18) menunjukkan bahwa suhu media pemeliharaan rumput laut pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) memiliki nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu pada pagi hari selama pemeliharaan yaitu 24-29 0C.
22
Pagi
30
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
Suhu (0C)
29 28
95
27
143
26
191
25
238
24 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 18. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 19) menunjukkan bahwa suhu media pemeliharaan rumput laut pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) memiliki nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu pada siang hari selama pemeliharaan yaitu 26-30,9 0C.
Siang 31
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
Suhu (0C)
30
95
29
143
28
191
27
238
26 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 19. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 20) menunjukkan bahwa suhu media pemeliharaan rumput laut pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) memiliki nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, meskipun suhu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB) menunjukkan nilai yang berbeda setiap harinya. Kisaran suhu pada sore hari selama pemeliharaan yaitu 27-310C. 23
Sore
31
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
Suhu (0C)
30 29
143
28
191 238
27 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 20. Suhu media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 21) menunjukkan bahwa suhu di rumah kaca tempat media pemeliharaan rumput laut menunjukkan nilai yang berbeda-beda setiap harinya. Kisaran suhu rumah kaca pada pagi, siang dan sore hari yaitu berturut-turut 22,5-30,50C, 29,5-340C, 24,5-35dan 0C.
Suhu RK (0C)
35
30 pagi siang 25
sore
20 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 21. Suhu rumah kaca pada pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi, siang, dan sore hari. Grafik di bawah (Gambar 22) menunjukkan bahwa salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada pagi hari menunjukkan nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan salinitas dan kenaikan salinitas. Ketika terjadi kenaikan pada nilai salinitas diatas 35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan air akuades. Kisaran salinitas pada pagi hari selama pemeliharaan yaitu 33-37 ppt.
24
Pagi Salinitas (ppt)
37
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
36 35
95
34
143
33
191 238
32 1
7
13
19
25
31
37
43
49
Hari ke-
Gambar 22. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB). Grafik di bawah (Gambar 23) menunjukkan bahwa salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada siang hari menunjukkan nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan salinitas dan kenaikan salinitas. Ketika terjadi kenaikan pada nilai salinitas diatas 35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan air akuades. Kisaran salinitas pada siang hari selama pemeliharaan yaitu 33-36 ppt.
Siang
Salinitas (ppt)
37
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
36 35
95
34
143
33
191 238
32 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 23. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB). Grafik di bawah (Gambar 24) menunjukkan bahwa salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada sore hari menunjukkan nilai yang bervariasi. Selama pemeliharaan, terjadi beberapa kali penurunan salinitas dan kenaikan salinitas. Ketika terjadi kenaikan pada nilai salinitas diatas 25
35, dilakukan penurunan salinitas hingga mencapai nilai 35 dengan menggunakan air akuades. Kisaran salinitas pada sore hari selama pemeliharaan yaitu 33-36 ppt.
Sore
Salinitas (ppt)
37
35
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
34
143
36
191
33
238
32 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 24. Salinitas media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB). Grafik di bawah (Gambar 25) menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada pagi hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut dan keadaan matahari pada pagi hari. Pada saat cuaca mendung, berawan dan hujan, maka intensitas cahaya yang datang akan rendah, sedangkan pada saat terik intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada pagi hari, matahari baru terbit dan belum berada tepat diatas, sehingga kisaran intensitas cahaya pada pagi hari
Intensitas Cahaya (lux) x 103
selama pemeliharaan yaitu 2713-21933 lux.
Pagi 25
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
20
95
15
143
10
191
5
238
0 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 25. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB). 26
Grafik di bawah (Gambar 26) menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada siang hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut dan keadaan matahari pada siang hari. Pada saat cuaca mendung, berawan dan hujan, maka intensitas cahaya yang datang akan rendah, sedangkan pada saat terik intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada siang hari matahari tepat berada diatas, sehingga kisaran intensitas cahaya pada siang hari selama pemeliharaan
Intensitas Cahaya (lux) x 103
yaitu 4410-37400 lux.
Siang 40 35 30 25 20 15 10 5 0
95 143 191 238 1
7
13
19
25 31 Hari ke-
37
43
49
Gambar 26. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB). Grafik di bawah (Gambar 27) menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada sore hari menunjukkan nilai yang hampir sama pada setiap perlakuan, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini didukung oleh cuaca pada hari tersebut. Pada saat cuaca mendung, berawan dan hujan, maka intensitas cahaya yang datang akan rendah, sedangkan pada saat terik intensitas cahaya yang datang akan tinggi. Pada sore hari matahari mulai turun kembali dan akan mulai terbenam, sehingga kisaran intensitas cahaya pada sore hari selama pemeliharaan yaitu 117-14913 lux.
27
Intensitas Cahaya (lux) x 103
Sore 15
10
95 143
5
191 238
0 1
7
13
19
25
31
37
43
49
Hari ke-
Gambar 27. Intensitas cahaya matahari permukaan media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 28) menunjukkan bahwa DO media pemeliharaan rumput laut pada pagi hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media pemeliharaan rumput laut pada pagi hari selama pemeliharaan memiliki kisaran yaitu 6,58-8,07 mg/l.
Pagi 8.5
Kepadatan biomassa awal (g/m3)
DO (mg/l)
8
95 7.5
143 191
7
238 6.5 1
7
13
19 Hari ke-
25
31
Gambar 28. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada pagi hari (pukul 07.30-09.00 WIB).
28
Grafik di bawah ini (Gambar 29) menunjukkan bahwa DO media pemeliharaan rumput laut pada siang hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media pemeliharaan rumput laut pada siang hari selama pemeliharaan memiliki kisaran yaitu 6,27-7,8 mg/l.
Siang 8
Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
DO (mg/l)
7.5 7
143
6.5
191 238
6 1
7
13
19 Hari ke-
25
31
Gambar 29. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada siang hari (pukul 11.20-13.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 30) menunjukkan bahwa DO media pemeliharaan rumput laut pada sore hari selama pemeliharaan menunjukkan nilai yang hampir sama setiap perlakuannya, namun berfluktuatif setiap harinya. Hal ini dipengaruhi oleh suhu pada perairan. Ketika suhu diperairan meningkat, maka kelarutan oksigen akan berkurang, begitu pula sebaliknya. DO media pemeliharaan rumput laut pada sore hari selama pemeliharaan memiliki kisaran yaitu 6,07-7,32 mg/l.
29
Sore Kepadatan biomassa awal (g/m3)
DO (mg/l)
8 7.5
95 7
143
6.5
191 238
6 1
7
13
19 Hari ke-
25
31
Gambar 30. DO media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 pada sore hari (pukul 15.00-18.00 WIB). Grafik di bawah ini (Gambar 31) menunjukkan bahwa pH media pemeliharaan rumput laut selama pemeliharaan mengalami fluktuasi setiap minggunya. Pada media pemeliharaan rumput laut perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 terlihat pada minggu ke-4 dan ke-5 menunjukkan nilai pH yang lebih rendah
daripada pH media perlakuan lainnya, namun setelah itu pada
minggu ke-6 mulai naik dan hampir sama nilainya dengan perlakuan yang lain. Nilai kisaran pH selama pemeliharaan yaitu antara 8,11-8,38. Kepadatan biomassa awal (g/m3) 95
8.4 8.35 pH
8.3
143
8.25 8.2
191
8.15
238
8.1 1
2
3 4 Minggu ke-
5
6
Gambar 31. pH media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3. 3.2 Pembahasan Aklimatisasi merupakan suatu proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru. Aklimatisasi suatu biota mencakup tahapan: 1) bagaimana mempertahankan biota tetap hidup, 2) bagaimana biota bisa tumbuh, dan 3) bagaimana biota bisa 30
berkembangbiak. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa rumput laut pada semua perlakuan kepadatan mampu menyesuaikan diri dengan baik atau mampu beraklimatisasi dengan baik. Nilai tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan kepadatan mencapai 100%. Kepadatan biomassa awal yang berbeda (95, 143, 191, dan 238 g/m3) yang diadaptasikan dalam akuarium memiliki jumlah individu dan bobot individu yang bervariasi dan setiap minggunya mengalami pertumbuhan yang bervariasi pula (Lampiran 1). Pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu proses perubahan ukuran (panjang, berat, atau volume) pada periode waktu tertentu (level individu), sedangkan pada level populasi pertumbuhan merupakan perubahan jumlah individu atau biomassa pada periode waktu tertentu (Tang dan Affandi, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti lingkungan (unsur hara, suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut, substrat, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan, dan cahaya), dan faktor internal seperti jenis, ukuran, galur dan umur. Pada hasil terlihat bahwa jumlah biomassa dan bobot individu perlakuan kepadatan biomassa awal rendah dengan jumlah individu yang sedikit akan mendekati jumlah biomassa dan bobot individu dari perlakuan kepadatan biomassa awal tinggi dengan jumlah individu yang lebih banyak. Adapula hasil yang menunjukkan bahwa kepadatan yang tinggi dengan jumlah individu lebih sedikit memiliki biomassa dan bobot individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan rendah dengan jumlah individu yang tinggi. Pertumbuhan yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh jumlah individu dan jumlah cabang atau talus rumput laut yang bervariasi setiap individunya. Setiap individu dan setiap cabang atau talus rumput laut memiliki potensi untuk melakukan pertumbuhan, sehingga bobot individu dan biomassa rumput laut dalam suatu wadah pemeliharaan dapat berbeda. Selain dipengaruhi oleh kepadatan biomassa awal, pertumbuhan dipengaruhi pula oleh jumlah dan banyaknya cabang atau talus rumput laut dalam suatu wadah budidaya. Pertumbuhan pada penelitian ini terlihat berdasarkan hasil laju pertumbuhan harian, pertambahan biomassa, hasil pertambahan bobot individu, laju pertumbuhan harian individu, pertambahan panjang dan panjang total talus, serta pertambahan diameter pangkal dan diameter tengah talus. Hasil yang
31
didapatkan menunjukkan laju pertumbuhan harian (y) rumput laut memiliki kecenderungan menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 4,600–0,2801x (P<0,2) (Gambar 4). Pada pertambahan biomassa, kurva yang terbentuk merupakan kurva kuadratik yang menunjukkan terjadi peningkatan dan penurunan pertambahan biomassa (y) rumput laut seiring meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 23,73+54,99x–8,440x2 (P<0,2) (Gambar 6). Terlihat bahwa terjadi peningkatan biomassa dari kepadatan biomassa awal 95 g/m3 sampai pada kepadatan biomassa awal 191 g/m3, dan terjadi penurunan pada kepadatan biomassa awal 238 g/m3. Laju pertumbuhan harian individu (y) rumput laut memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 3,929– 0,1661x (P<0,2) (Gambar 7). Pertambahan diameter pangkal (y) rumput laut memiliki kecenderungan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan y = 0,7883– 0,1317x (P<0,2) (Gambar 14). Nilai laju pertumbuhan harian (Gambar 4) yang diperoleh pada penelitian ini termasuk nilai yang baik, karena diketahui menurut Doty (1973) dalam Purba (1991) bahwa laju pertumbuhan harian rumput laut hasil budidaya berkisar antara 1-5% per hari, dan dengan laju pertumbuhan 2-3% per hari dalam waktu 35 hari. Nilai ini sudah menguntungkan karena tanaman menjadi dua kali lipat dari bobot awal tanam. Semua rumput laut pada masing-masing perlakuan kepadatan biomassa awal menunjukkan pertumbuhan yang positif setiap minggunya selama pemeliharaan, disebabkan karena selama pemeliharaan rumput laut mampu menyerap nutrisi dengan baik dari perairan atau media pemeliharaan. Kandungan nutrisi yang terbatas di perairan dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan rumput laut. Nutrisi atau nutrien yang dibutuhkan oleh rumput laut ada yang bersifat makro nutrien dan ada yang bersifat mikro nutrien. Nutrien yang bersifat makro diantaranya yaitu nitrogen, fosfor, kalsium, sulfat, magnesium, potassium, dan karbon, sedangkan mikro nutrien yang dibutuhkan berupa Cu, Fe, Si, Mn, Mo, Zn, Na, dan Cl. Nutrien yang paling penting dan sangat dibutuhkan oleh rumput laut adalah nitrogen dan fosfor, yaitu untuk pertumbuhan, reproduksi dan
32
untuk pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Nitrogen adalah salah satu unsur utama penyusun sel organisme yaitu dalam proses pembentukkan protoplasma, sedangkan fosfor merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi dalam transformasi energi metabolik yang perannya tak dapat digantikan oleh unsur lain (Khul dalam Patadjai (1993)). Sulfat dibutuhkan untuk sintesis protein berupa ikatan sulfat dan produksi polisakarida sulfat (karaginan). Potasium sebagai aktivator enzim, magnesium untuk sintesis klorofil, kalsium untuk pembentukan membran sel dan dinding sel, dan karbon untuk pembentukan karbohidrat (karaginan) (Mamang, 2008). Nitrogen yang berada di perairan umumnya dalam bentuk nitrat, nitrit, ammonium dan amoniak, sedangkan fosfor yang berada di perairan terdapat dalam berbagai bentuk senyawa fosfat, diantaranya total fosfat dan ortofosfat. Nitrat dimanfaatkan oleh algae untuk metabolisme dengan bantuan enzim nitrat reduktase yang dihasilkannya, sedangkan amoniak biasanya dapat digunakan langsung untuk sintesis asam-asam amino. Kandungan fosfor dalam sel algae mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa algae mampu menyerap fosfat melebihi kebutuhannya dan mampu menyerap fosfat pada konsentrasi yang sangat rendah serta mempunyai enzim alkaline fosfatase yang dapat mengubah total fosfat menjadi ortofosfat yang siap pakai. Hal inilah yang merupakan salah satu sebab cepat habisnya kandungan ortofosfat di perairan (Patadjai, 1993). Berdasarkan tabel 1 dan 2, nutrisi yang paling banyak diserap adalah nitrat dan total fosfat. Penyerapan nutrisi pada perlakuan kepadatan awal 95 g/m3 menunjukkan nilai terbesar (Gambar 16 dan 17), meskipun pada tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa kadar amoniak, total fosfat dan ortofosfat lebih banyak diserap oleh rumput laut pada kepadatan 191 g/m3. Diduga terdapat nitrogen dan fosfor dalam bentuk lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh rumput laut, sehingga menyebabkan pertumbuhan pada perlakuan kepadatan 95 dan 143 g/m3 mengalami pertumbuhan yang baik. Setelah dilakukan analisis proksimat, terlihat bahwa rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 merupakan rumput laut yang paling banyak mengandung nitrogen dan fosfor dalam tubuhnya yang dapat dimanfaatkan untuk
33
melakukan pertumbuhan. Semakin banyak rumput laut menyerap nitrogen dan fosfor, maka semakin banyak jumlah nitrogen dan fosfor yang terdapat didalam rumput laut, dan ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitasnya. Selain jumlah nitrogen dan fosfor yang tersedia di perairan, jumlah individu dalam akuarium (Lampiran 1) juga dapat menentukan banyaknya nitrogen dan fosfor yang diserap. Semakin banyak individu dan semakin banyak cabang atau talus rumput laut disuatu wadah pemeliharaan, maka semakin besar tingkat kompetisi dalam melakukan penyerapan terhadap nutrien di perairan. Melihat hasil yang berbeda nyata pada pertambahan diameter pangkal perlakuan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 dengan kepadatan lainnya dan berdasarkan kandungan nitrogen serta fosfor yang paling banyak, maka rumput laut dengan kepadatan biomassa awal 95 g/m3 merupakan kepadatan terbaik yang dapat digunakan dalam aklimatisasi di akuarium. Saat diaklimatisasi ke wadah selanjutnya atau saat dipelihara di laut (pasca aklimatisasi di akuarium) rumput laut 95 g/m3 dapat bertahan dengan baik selama pemeliharaan dibandingkan dengan rumput laut dengan kepadatan biomassa awal yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kandungan nitrogen dan fosfor yang lebih banyak tersebut, bukan berdasarkan hasil pertambahan biomassa yang lebih banyak. Jika ditinjau dari efisiensi penggunaan wadah dan penggunaan air laut dalam pemeliharaan terutama untuk skala yang lebih besar, maka kepadatan rumput laut yang dapat digunakan adalah kepadatan biomassa awal 143 dan 191 g/m3. Nutrien atau unsur hara masuk kedalam tubuh rumput laut dengan cara difusi melalui seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air atau arus diperairan. Semakin banyak difusi yang dilakukan, maka akan semakin mempercepat proses metabolisme, sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan rumput laut tersebut. Umumnya rumput laut mengalami peningkatan pertumbuhan setiap minggunya jika dilihat dari biomassanya, namun laju pertumbuhannya akan terus menurun. Menurut Damar et al. (1992), pada 7 hari pertama pemeliharaan merupakan waktu tanaman untuk beraklimatisasi. Selama aklimatisasi inilah rumput laut menyerap nutrisi yang ada di sekitarnya. Setelah masa aklimatisasi terlewati, maka tanaman segera menggunakan energi untuk pertumbuhannya,
34
yaitu membentuk tunas-tunas muda yang tumbuh dengan cepat serta memperbesar diameter talusnya. Semakin padat rumput laut yang dipelihara maka semakin rendah pertumbuhannya.
Barraca (1989)
dalam
Damar et
al.
(1992)
mengemukakan bahwa perbedaan bobot bibit awal yang dipakai akan memberikan perbedaan pertumbuhan pada alga laut yang dibudidayakan. Penambahan berat (bobot) basah pada talus terjadi akibat adanya pertumbuhan dari talus tersebut. Setiap perlakuan memiliki jumlah individu yang berbeda-beda (Lampiran 1) dimana setiap individu rumput laut memiliki bobot, panjang, dan jumlah talus yang berbeda-beda pula. Semakin hari biomassa tanaman semakin besar nilainya dan densitas semakin padat karena tumbuhnya tunas-tunas baru dan cabang yang membesar. Ruang gerak pun semakin sempit, sehingga terjadi persaingan diantara tanaman untuk memperebutkan zat makanan (nutrien) dan cahaya matahari, pernyataan ini didukung pula oleh Yanti (2007). Faktor persaingan dalam memperoleh unsur hara memang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kecepatan laju pertumbuhan. Semakin besar ukuran tanaman, maka semakin besar pula persaingan dalam memperoleh unsur hara, dan tentu hal itu akan menyebabkan pertumbuhan menjadi terganggu (Damar et al, 1992). Pertumbuhan dapat meningkat jika media dan lingkungan sekitar pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan atau kisaran yang dapat ditoleransi. Hal ini didukung oleh pernyataan Damar et al. (1992) yang menyatakan bahwa semakin sesuai kondisi lingkungan perairan ditempat budidaya, akan semakin baik pertumbuhannya dan hasil yang diperoleh. Kualitas air yang telah diukur selama pemeliharaan ini menunjukkan nilai yang masih pada kisaran baik. Suhu media pada pagi hari selama penelitian ini berkisar antara 24-290C (Gambar 18), pada siang hari berkisar antara 26-30,90C (Gambar 19), dan pada sore hari berkisar antara 27-310C (Gambar 20). Berbeda dengan suhu rumah kaca yang memiliki kisaran suhu lebih tinggi yaitu pada pagi hari berkisar antara 22,5-30,50C (Gambar 21), pada siang hari berada pada kisaran 29,5-340C (Gambar 21), dan pada sore hari berada pada kisaran 24,5-350C (Gambar 21). Secara umum suhu air ini masih cukup baik dan dapat ditolerir oleh rumput laut. Ambas (2006) menyatakan bahwa suhu perairan sangat penting dalam proses fotosintesis rumput laut. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut E. cottonii adalah berkisar 25-300C. Akan
35
tetapi, Eucheuma sp mempunyai toleransi terhadap suhu antara 24-360C. Suhu erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, karena semakin tinggi intensitas cahaya matahari yang masuk, maka semakin tinggi suhu air diperairan. Hal ini juga didukung oleh kedalaman dan volume air pada saat pemeliharaan atau saat terpapar cahaya matahari. Cahaya matahari memiliki peran penting dalam fotosintesis, dimana cahaya digunakan untuk membantu rumput laut dalam proses perombakan bahan anorganik menjadi organik. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima, maka semakin cepat rumput laut melakukan fotosintesis dan semakin cepat rumput laut tumbuh, sebaliknya ketika tumbuhan tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup maka akan mengurangi bahkan menghambat proses pertumbuhan. Menurut Boney dalam Kadi A (2005), kebutuhan intensitas cahaya matahari marga Sargassum lebih tinggi dari pada marga algae merah yaitu berkisar 6500 - 7500 lux. Pada penelitian ini, intensitas cahaya matahari pada pagi hari selama pemeliharaan yaitu berkisar antara 2713-21933 lux (Gambar 25), pada siang hari berkisar antara 4410-37400 lux (Gambar 26), sedangkan pada sore hari berkisar antara 117-14913 lux (Gambar 27). Menurut Doty (1971) jika intensitas cahaya yang diterima terlalu tinggi dapat menyebabkan kandungan protein terdegradasi sehingga mengakibatkan pudarnya warna algae merah. Meskipun nilai kisaran intensitas cahaya pada saat penelitian ini cukup tinggi atau >7500 lux, namun masih dapat ditolerasi oleh rumput laut dan digunakan untuk pertumbuhan serta tidak menyebabkan rusaknya talus rumput laut. Jika terjadi kerusakan pada talus rumput laut, maka akan mengurangi kemampuan talus dalam menyerap nutrien ke dalam tubuhnya. Penyerapan nutrien ini didukung oleh gerakan air pada media pemeliharaan yang dibantu oleh aerasi. Selain itu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut (DO) juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pertumbuhan rumput laut. Salinitas media air laut pada pagi hari selama pemeliharaan berkisar antara 33-37 ppt (Gambar 22), pada siang hari berkisar antara 33-36 ppt (Gambar 23), dan pada sore hari berkisar antara 33-36 ppt (Gambar 24). Salinitas ini terbukti masih baik untuk perkembangan Kappaphycus alvarezii, seperti halnya yang dinyatakan oleh Ambas (2006) bahwa pada rumput laut dapat tumbuh dengan baik
36
pada perairan bersalinitas 30-37 ppt dan menurut Purba (1991) yang menyatakan bahwa salinitas 34,5-38 ppt juga cocok untuk pemeliharaan budidaya rumput laut. pH media air laut selama pemeliharaan berkisar antara 8,11-8,38. Kisaran ini masih dalam kondisi yang baik untuk rumput laut, karena menurut Purba (1991) rumput laut dapat hidup dan tumbuh baik pada kisaran pH 7,3-8,8 (Gambar 31). Menurut Soeseno (1985) dalam Rahman (2004) bahwa perairan yang bersifat basa dapat lebih cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik menjadi garam mineral seperti amoniak, nitrat dan fosfat yang akan digunakan oleh tumbuhan air sebagai makanan. Sementara itu, rumput laut juga memerlukan oksigen untuk melakukan respirasi yang didapatkan dari perairan. Oksigen dalam perairan dapat berasal dari difusi udara akibat pengadukan oleh angin, aerasi, hasil fotosintesis tumbuhan air seperti rumput laut, dan suplai air baru atau pergantian air yang airnya cenderung berkadar oksigen lebih besar. Baku mutu oksigen terlarut untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l (Sulistijo dan Atmadja, 2008), hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal. Oksigen terlarut pagi hari selama pemeliharaan berkisar antara 6,58-8,07 mg/l (Gambar 28), pada siang hari berkisar antara 6,27-7,8 mg/l (Gambar 29), dan pada sore hari berkisar antara 6,07-7,32 mg/l (Gambar 30). Nilai ini menunjukkan bahwa rumput laut berada dalam lingkungan dengan kandungan oksigen terlarut yang melimpah atau tinggi, karena selama pemeliharaan digunakan sistem resirkulasi dan digunakan aerasi, serta dilakukan pula pergantian air dalam dua minggu sekali yang memungkinkan terjadinya difusi udara dan penambahan oksigen dengan baik.
37
IV.
4.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah rumput laut hasil kultur jaringan pada
tingkat kepadatan yang berbeda mampu beraklimatisasi dan bertahan hidup dengan baik yaitu dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 100%. Laju pertumbuhan harian, laju pertumbuhan harian individu dan pertambahan diameter pangkal (y) rumput laut menurun seiring dengan meningkatnya kepadatan biomassa awal (x) rumput laut mengikuti persamaan berturut-turut y = 4,600– 0,2801x; y = 3,929–0,1661x; dan y = 0,7883–0,1317x (P<0,2). Pertambahan biomassa (y) rumput laut semakin meningkat hingga kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 191 g/m3, dan selanjutnya mengalami penurunan pada kepadatan biomassa awal (x) rumput laut 238 g/m3 mengikuti persamaan y = 23,73+54,99x– 8,440x2 (P<0,2). Kepadatan yang optimum pada penelitian ini adalah rumput laut dengan kepadatan 95 g/m3 jika ditinjau dari jumlah kandungan nitrogen dan fosfor yang berada dalam rumput laut, sedangkan jika ditinjau dari efisiensi penggunaan wadah dan media air laut, maka kepadatan rumput laut optimum yaitu pada kepadatan 143 dan 191 g/m3.
4.2
Saran Sebaiknya pada penelitian berikutnya menggunakan jumlah rumpun atau
individu rumput laut yang sama dan seragam bobot serta jumlah cabangnya, untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan atau carrying capacity dalam wadah budidaya (akuarium). Selain itu, untuk aplikasinya sebaiknya dalam melakukan aklimatisasi rumput laut hasil kultur jaringan di dalam akuarium menggunakan kepadatan biomassa awal 95, 143 atau 191 g/m3.
38
DAFTAR PUSTAKA Ambas I. 2006. Budidaya Rumput Laut. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab Selayar). Yayasan Mattirotasi. Makasar. Anonim. 2010. Kultur Jaringan. http://www.docstoc.com/docs/24951553/kultur jaringan. [30 April 2012]. Anonim. 2012. Daya Dukung Lingkungan. http://www.werdhapura.penataanruang net/pusat-informasi/isu_strategis: daya dukung_lahan. [12 Oktober 2012]. Aslan LM. 1991. Budiddaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. 96 hal. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, dan Satari A. 1996. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseonologi Lipi. Jakarta. Bujang A. 2012. Aklimatisasi dan Uji Budidaya Lapang Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Hasil Perbanyakan Secara in Vitro. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. [Belum dipublikasi] Cocon. 2011. Status Rumput Laut Indonesia, Peluang dan Tantangan. Artikel.http://www.Informasi Sumberdaya Laut Jepara. [24 Juli 2012] Damar A, Wardiatno Y, Yuli N, Nyoman MNN, dan Unggul A. 1992. Studi Kemungkinan Budidaya Algae Laut Gracilaria lichenoides di Tambak di Perairan Pantai Selatan Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor. Doty, MS. 1971. Measurement of Water Movement in Reference to Benthic Algae Growth. Botanica Marina. p 32-35. Doty, MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp. Nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia dalam. Abbot I.A dan Norris J.N. (Edior). Taxonomy Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program. Gaj MD. 2001. Direct Somatic Embryogenesis as a Rapid and Efficient System for in Vitro Regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture, 64: 39-46. Gunawan LW. 1987. Tekik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252p Hamama L, Baasiz M, dan Letouze R. 2001. Somatic Embryogenesis and Plant Regeneration from Leaf Tissue of Jojoba. Plant Cell and Organ Culture, 65: 109-113.
39
Kadi A. 2005. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum di Perairan Indonesia. Oseana, 4: 19-29. KKP.
2012. KKP Targetkan Produksi Rumput Laut http://kkp.go.id/index.php/arsip/.[30 Januari 2013].
5.1
Juta
Ton.
Kurniawan AD. 2006. Studi Kemampuan Penyerapan Unsur Hara (N dan P) oleh Gracillaria sp. dalam Skala Laboratorium. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Mamang N. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma Cattonii dengan Perlakuan Asal Thallus terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. [Skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Murniwaty. 2008. Analisis Sudut Datang Radiasi Matahari pada Atap Gelombang dan Pendugaan Temperatur Udara dalam Greenhouse Menggunakan Prinsip Pindah Panas dan Artificial Neural Network. [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Patadjai RS. 1993. Pengaruh Pupuk TSP terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Gracilaria gigas Harv. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Purba SB. 1991. Laju Pertumbuhah dan Mutu Rumput Laut Eucheuma Alvarezii (Doty) yang Ditanam pada Sistem Monoline dan Multilines Lepas Dasar di Perairan Pantwi Geger, Nusa Dua, Bali. [Skripsi]. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Rahman FA. 2004. Pengaruh Umur Bibit dan Frekuensi Perendaman Berbeda terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottoni dengan Menggunakan Metode Rakit. [Skripsi]. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya.Malang. Sinaga IAW. 2010. Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezi yang diberi Pupuk Komersil dengan Dosis Berbeda dalam Rumah Kaca. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sulistijo dan Atmadja WS. 1996. Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta.
Sulistijo MS. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut Algae Makro di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
40
Tang UM, Affandi R. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru: UNRI PRESS. Yanti A. 2007. Studi Pertumbuhan Beberapa Alga Merah Genus Gracilaria dari Pantai Batunampak Kabupaten Sukabumi. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Zhou Y, Yang H, Haiyan H, Ying L, Yuze M, Hua Z, Xinling X, dan Fusui Z. 2006. Bioremediation Potential of the Macroalga Gracilaria lemaneiformis (Rhodophyta) Integrated Into Fed Fish Culture in Coastal Waters of Nort China. Aquaculture, 252: 264-276.
41
LAMPIRAN
42
Lampiran 1. Jumlah individu dan bobot individu rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan selama pemeliharaan
Akuarium 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3) 95
143
191
238
Jumlah Individu 58 91 102 33 48 105 137 85 78 109 88 115
Bobot Individu (g) Awal 0.21 0.16 0.15 0.32 0.15 0.21 0.17 0.23 0.23 0.20 0.32 0.23
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Hari ke-35
Hari ke-42
Hari ke-49
0.46 0.39 0.43 0.80 0.34 0.43 0.39 0.47 0.48 0.39 0.73 0.60
0.76 0.57 0.63 1.11 0.46 0.59 0.58 0.75 0.64 0.49 0.94 0.81
0.94 0.74 0.83 1.38 0.57 0.69 0.72 0.89 0.75 0.55 1.08 0.99
1.02 0.83 0.89 1.58 0.65 0.80 0.84 1.01 0.84 0.64 1.21 1.12
1.08 0.94 0.93 1.78 0.75 0.86 0.90 1.12 0.88 0.71 1.35 1.18
1.12 0.96 0.95 1.88 0.80 0.91 0.96 1.17 0.93 0.75 1.41 1.24
1.18 0.99 0.99 2.16 0.92 1.06 1.08 1.37 1.04 0.82 1.51 1.31
43
Lampiran 1. Fasilitas percobaan : (A) rumah kaca, (B) susunan akuarium, (C) sistem resirkulasi dan komponennya.
(A)
(B)
1
2 3
4
(C)
Keterangan : 1. Pipa inlet 2. Pipa outlet
3. Talang air 4. Filter (karang, arang aktif, dan bioball)
44
Lampiran 2. Biomassa rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan. Perlakuan (g/m3)
No.
Biomassa (g) Minggu ke-
Akuarium
0
1
2
3
4
5
6
7
1
10.00
20.4
39.4
51.7
57.4
66.3
70.6
77.5
2
10.00
20.7
35.9
47.8
53.9
61.5
65
67.9
3
10.01
23.7
48.7
71.6
81.8
88.1
89
93.3
Rata-rata
10.00
21.60
41.33
57.03
64.37
71.97
74.87
79.57
4
15.03
35.7
54.2
70.3
80.4
95.6
103
123.2
5
15.01
34.1
51.6
68.9
80.2
101
111.5
136.5
6
15.01
29.8
42.4
52.9
59.1
71.5
77.6
91.7
Rata-rata
15.02
33.20
49.40
64.03
73.23
89.37
97.37
117.13
7
20.03
37.5
59.7
76.3
89.3
107.1
114.6
129.1
8
20.00
36.8
61.4
79.2
88.2
107.7
119.6
135.6
9
20.00
41
61.5
74.2
84.6
101.9
112.3
127.1
Rata-rata
20.01
38.43
60.87
76.57
87.37
105.57
115.50
130.60
10
25.02
47.5
67.2
79.2
88.5
100
106.1
113.9
11
25.03
54.2
72.8
85
92.8
107.1
113.3
116.8
12
25.00
61.3
88.9
110.2
126.2
149.3
159.9
172.5
Rata-rata
25.02
54.33
76.30
91.47
102.50
118.80
126.43
134.40
95
143
191
238
45
Lampiran 3. Panjang talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Panjang Talus (cm) minggu keawal
1
2
3
4
5
6
7
95
2.06
2.96
3.80
4.55
4.90
5.40
5.63
5.95
143
1.64
2.49
2.95
3.38
3.76
4.19
4.48
5.10
191
1.66
2.55
3.24
3.64
4.04
4.42
4.74
5.21
238
2.27
3.30
3.91
4.40
4.80
5.14
5.46
5.78
46
Lampiran 4. Panjang total talus rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3 selama 7 minggu pemeliharaan. Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Panjang Total Talus (cm) minggu keAwal
1
2
3
4
5
6
7
95
2.33
3.26
4.12
4.86
5.26
5.74
5.97
6.30
143
1.86
2.73
3.20
3.73
4.20
4.61
4.95
5.58
191
2.06
2.91
3.51
4.03
4.45
4.83
5.17
5.60
238
2.69
3.70
4.31
4.84
5.30
5.65
5.93
6.32
47
Lampiran 5. Kadar total fosfat, ortofosfat, nitrat, nitrit dan amoniak media pemeliharaan rumput laut Kappaphycus alvarezii pada perlakuan kepadatan biomassa awal 95, 143, 191, dan 238 g/m3. Parameter (mg/l)
Total Fosfat
Ortofosfat
Nitrat
Nitrit
Amoniak
Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
Awal
SP0
SP1
SP0
SP1
SP0
SP1
Akhir
95
0.75
0.46
0.46
0.523
0.169
0.616
0.385
0.158
143
0.499
0.47
0.34
0.181
0.169
0.558
0.531
0.14
191
3.24
0.48
0.38
0.388
0.397
0.593
0.295
0.158
238
1.33
0.37
0.25
0.172
0.158
0.429
0.33
0.164
95
0.54
0.31
0.2
0.04
0.04
0.04
0.04
0.12
143
0.45
0.16
0.12
0.04
0.04
0.04
0.04
0.09
191
0.55
0.21
0.56
0.04
0.04
0.04
0.04
0.09
238
0.26
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.04
0.09
95
1.61
0.26
0.17
0.04
<0.01
<0.01
<0.01
0.06
143
1.76
0.33
0.22
<0.01
<0.01
<0.01
<0.01
0.03
191
1.45
0.33
0.24
0.05
<0.01
<0.01
<0.01
0.39
238
1.26
0.38
0.27
<0.01
<0.01
<0.01
0.12
0.03
95
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
143
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
191
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
238
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
<0.005
95
0.009
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
143
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
191
0.008
0.012
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
0.058
238
0.008
0.008
0.011
0.008
0.008
0.008
0.008
0.008
Keterangan : SP0 = Sebelum Pergantian Air SP1 = Setelah Pergantian Air
48
Lampiran 6. Laju pertumbuhan harian rumput laut Kappaphycus alvarezii hasil kultur jaringan selama 7 minggu pemeliharaan. Kepadatan Biomassa Awal (g/m3)
95
143
191
238
No.
Laju Pertumbuhan harian (%/hari)
Akuarium
1
2
3
4
5
6
7
1
10.18
9.40
3.88
1.49
2.06
0.90
1.33
2
10.39
7.87
4.09
1.72
1.88
0.79
0.62
3
12.31
10.29
5.51
1.90
1.06
0.15
0.67
Rata-rata
11.00
9.27
4.60
1.73
1.59
0.56
0.87
4
12.36
5.96
3.72
1.92
2.47
1.07
2.56
5
11.72
5.92
4.13
2.17
3.29
1.41
2.89
6
9.80
5.04
3.16
1.58
2.72
1.17
2.39
Rata-rata
11.33
5.68
3.71
1.92
2.84
1.22
2.64
7
8.96
6.64
3.50
2.25
2.60
0.97
1.70
8
8.71
7.31
3.64
1.54
2.85
1.50
1.79
9
10.25
5.79
2.68
1.87
2.66
1.39
1.77
Rata-rata
9.32
6.57
3.28
1.89
2.70
1.28
1.76
10
9.16
4.96
2.35
1.59
1.75
0.85
1.01
11
11.04
4.21
2.21
1.25
2.05
0.80
0.43
12
12.81
5.31
3.07
1.94
2.40
0.98
1.08
Rata-rata
11.08
4.85
2.59
1.63
2.11
0.89
0.87
Rata-rata
4.21
4.16
3.83
3.39
49
Lampiran 7. Pengukuran panjang, panjang total, diameter pangkal, dan diameter tengah rumput laut Kappaphycus alvarezii.
Diameter pangkal Panjang total Panjang Diameter tengah/terbesar
50
Lampiran 8. Standar pengukuran nitrogen pada rumput laut Kappaphycus alvarezii (Kjeldahl Method) (Aoac,1980).
Reagen yang digunakan: 1. Asam Sulfat Pekat 2. Campuran Selenium 3. 50% Larutan NaOH (setiap 100 ml 50% NaOH + 25ml 8% Sodium tiosulfat ditambahkan sebalum digunakan) 4. 2% Asam Boric 5. 0.01 N HCl 6. Indikator (larutkan 80 ml 0.1% metilen merah dalam 95% ethanol dengan 20 ml 0.1% larutan BCG dalam ethanol 95% atau 0.08 gr MR+0.02 gr Methylene Blue dalam 100 ml ethanol) Prosedur kerja yang dilakukan: 1. Sampel sebanyak 0.2-0.3 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl. 2. Campuran selenium ditambahkan dan dicampur dengan 20 ml H2SO4 (p) 3. Kemudian ditempatkan di saluran pencampuran sampai larutan menjadi jernih. 4. Secara hati-hati tambahkan air akuades sampai tanda ukur (120ml) 5. Setiap 5 ml sampel diambil dengan pipet dan ditambahkan pada alat penyaring. 6. Larutan NaOH 10 ml ditambahkan ke alat ukur dan dibilas dengan air akuades. 7. Tabung erlenmeyer 100 ml terdiri dari 5 ml asam boric dengan indicator dan ditempatkan dibawah outlet kondensor sampai 30 ml. 8. Larutan yang telah tersaring dititrasi dengan 0.01 N HCl sampai warna berubah dari hijau menjadi pink. 9. Preparasi blanko memiliki prosedur yang sama dengan di atas tanpa menggunakan sampel. Perhitungan : % N=(Volume titration sample-Blanko)x14xNormality HClx24x100 Weight of sample (mg)
51
Lampiran 9. Prosedur pengukuran fosfor pada rumput laut Kappaphycus alvarezii (Wet Ashing) L.L.Reitz, W. H. Smith, and M. P. Plumlee, Animal Science Department, Purdue University, West Lafayette,Ind.
1. ± 1 g sampel pakan/rumput/ lainnya dimasukkan kedalam erlenmeyer ukuran 125 ml/100 ml ditambahkan 5 ml HNO3 (p) didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam, dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam), dibiarkan semalam (sampel ditutup). 2. 0.4 ml H2SO4 (p) ditambahkan, lalu dipanaskan diatas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya ± 1 jam. 3. Ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4: HNO3 (2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat
kuning tua
kuning
muda
(biasanya ± 1 jam), setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. 4. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 ml aquades dan 0.6 ml HCl
(p),
dipanaskan kembali agar sampel larut(±15 menit) kemudian masukkan kedalam labu takar 100 ml, apabila ada endapan disaring dengan glass wool. 5. Hasil pengabuan basah bisa di analisa di AAS atau spektrofotometer untuk analisa berbagai mineral. Tapi sebelumnya dipreparasi dulu dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan dan penambahan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O)
52
Analisa Fosfor
Analisa Ca, Mg, K, Na, Zn, Fe, dll
100 ml
0.5 ml
100 ml
+
Aquades (up to3 ml)
Di dipipet 0.5 ml
+
+
2 ml lar. C Di kocok
0.05 ml Cl3La.7H2O Aquades (5 ml)
divortex Spektro (λ = 660 nm)
AAS
Preparasi Larutan Larutan A : (Asam Trikhloro acetat= TCA 17%) 17 gram TCA dilarutkan dalam aquadest sampai 100 ml. Larutan B ((NH4)6Mo7O24.4H2O 10%=ammonium molibdat 10%) -
10 gram ammonium molibdat ditambah 60 ml aquadest
-
Tambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara bertahap
-
Buat larutan sampai 100 ml dengan menambah aquadest
-
Dinginkan larutan tersebut dalam suhu kamar
Larutan C (dibuat sesaat sebelum analisis) -
10 ml larutan B + 60 ml aquadest + 5 gram FeSO4.7H2O
-
Buat larutan sampai 100 ml dengan menambah aquadest
Larutan standar untuk P -
Larutkan 4.394 gr KH2PO4 dalam aquadest sampai 1000 ml (untuk mendapatkan konsentrasi P=1000 ppm)
53
Perhitungan: BM : KH2PO4=136.09
BA: P = 30.9738
136.09/30.9738 X 1000 mg X 1000 ml/1000 ml = 4.394 gram KH2PO4 Larutan pengikat anion-anion pengganggu (Cl3La.7H2O) : -
Larutkan 6.6838 gr Cl3La.7H2O dalam aquadest sampai 25 ml
-
Larutan Cl3La.7H2O berfungsi mengikat anion-anion pengganggu seperti anion sulfat(SO4) dan fosfat (PO4)
Perhitungan : BM Cl3La.7H2O=371.38
BA: La = 138.91
371.38/138.91 X 100 gr X 25 ml/1000 ml = 6.6838 Cl3La.7H2O (Konsentrasi La dalam larutan = 100.000 ppm) Prosedur Kerja Buat konsentrasi larutan standar P = 2,3,4 dan 5 ppm dalam 5 ml sehingga diperlukan :
2 ppm = 2 ppm/25 ppm X 5 ml = 0.4 ml KH2PO4
3 ppm = 3 ppm/25 ppm X 5 ml = 0.6 ml KH2PO4
4 ppm = 4 ppm/25 ppm X 5 ml = 0.8 ml KH2PO4
5 ppm = 5 ppm/25 ppm X 5 ml = 1.0 ml KH2PO4
Masing-masing volume tersebut ditambah 2 ml larutan C dan aquadest sampai volume akhir 5 ml. Filtrat sampel dipipet kedalam tabung (ukuran volume sampel yang dipipet tergantung kadar P pada sampel,oleh karena itu sebelumnya dilakukan pemipetan berbagai volume, kita tetapkan apabila warna sampel ada didalam range warna standar), kemudian di tambah 2 ml larutan C. Baca segera ( 5 menit-2 jam) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm. Untuk Plasma/Serum; 1ml aquadest + 0,2 ml plasma/serum, kemudian + larutan A Larutan dikocok dengan vortex,disentrifuge 2500 rpm selama 10 menit Filtrat larutan dipipet 3 ml kedalam tabung,kemudian ditambahkan larutan C Baca segera (5menit-2jam) pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 660 nm.
54
Lampiran 10. Data yang dianalisis dengan menggunakan ragam Anova pada selang kepercayaan 80% dan diuji lanjut dengan Duncan pada program SPSS 17.0 serta polinomial orthogonal dengan menggunakan Minitab. ANOVA Tabel sidik ragam laju pertumbuhan harian (%/hari) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.293 1.029 2.322
df
Mean Square 3 .431 8 .129 11
F 3.353
Sig. .076
Berbeda nyata Duncana perlakuan 238.00 191.00 143.00 95.00 Sig.
Subset for alpha = 0.2 1 2 3.3929 3.8276 4.1641 4.2146 1.000 .240
N 3 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Uji lanjut polynomial orthogonal laju pertumbuhan harian (%/hari) Sumber Keragaman Perlakuan -Linier -Kuadratik -Kubik
Derajat Bebas 3 1 1 1
Jumlah Kuadrat 1.29320 1.17718 0.11072 0.00529
Kuadrat Tengah 0.431065
Galat
8
0.02852
0.128564
Total
11
2.32171
F
P
3.35 10.29 0.96 0.04
0.076 0.009 0.352 0.844
Berbeda nyata Persamaan garis : y = 4.600 – 0.2801x S = 0.338308 R-Sq = 50.7% R-Sq(adj) = 45.8%
55
ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan biomassa (gram) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3340.948 3610.283 6951.231
df
Mean Square 3 1113.649 8 451.285 11
F 2.468
Sig. .137
Berbeda nyata Duncana perlakuan 95.00 143.00 238.00 191.00 Sig.
Subset for alpha = 0.2 1 2 69.5633 102.1167 109.3833 110.5900 1.000 .652
N 3 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Uji lanjut polynomial orthogonal pertambahan biomassa (gram) Sumber Keragaman Perlakuan -Linier -Kuadratik -Kubik
Derajat Bebas 3 1 1 1
Jumlah Kuadrat 3340.95 2455.04 854.80 31.10
Kuadrat Tengah 1113.65
Galat
8
3610.28
451.29
Total
11
6951.23
F
P
2.47 5.46 2.11 0.07
0.137 0.042 0.180 0.800
Berbeda nyata Persamaan garis : y = 23.73 + 54.99x – 8.440x2 S = 20.1146 R-Sq = 47.6% R-Sq(adj) = 36.0%
56
ANOVA Tabel sidik ragam laju pertumbuhan harian individu (%/hari) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .481 .658 1.139
df
Mean Square 3 .160 8 .082 11
F 1.948
Sig. .200
Berbeda nyata Duncana perlakuan 238.00 191.00 143.00 95.00 Sig.
Subset for alpha = 0.2 1 2 3.1835 3.5295 3.6411 3.6999 1.000 .505
N 3 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Uji lanjut polynomial orthogonal laju pertumbuhan harian individu (%/hari) Sumber Keragaman Perlakuan -Linier -Kuadratik -Kubik
Derajat Bebas 3 1 1 1
Jumlah Kuadrat 0.48063 0.413811 0.061884 0.004940
Kuadrat Tengah 0.160211
Galat
8
0.65788
0.082235
Total
11
1.13851
F
P
1.95 5.71 0.84 0.06
0.200 0.038 0.383 0.813
Berbeda nyata Persamaan garis : y = 3.929 – 0.1661x S = 0.269203 R-Sq = 36.3% R-Sq(adj) = 30.3%
57
ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan bobot individu (gram) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .120 .953 1.073
df
Mean Square 3 .040 8 .119 11
F .335
Sig. .801
.478
Sig. .706
.386
Sig. .767
F 5.648
Sig. .022
Tidak berbeda nyata ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan panjang talus (cm) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .348 1.942 2.290
df
Mean Square 3 .116 8 .243 11
F
Tidak berbeda nyata ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan panjang total talus (cm) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .301 2.082 2.384
df
Mean Square 3 .100 8 .260 11
F
Tidak berbeda nyata ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan diameter pangkal talus (mm) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .267 .126 .393
Df
Mean Square 3 .089 8 .016 11
Berbeda nyata
58
Duncana perlakuan 238.00 191.00 143.00 95.00 Sig.
Subset for alpha = 0.2 1 2 3 .2800 .3833 .3833 .4900 .6833 .343 .329 1.000
N 3 3 3 3
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Uji lanjut polynomial orthogonal diameter pangkal talus (mm) Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Perlakuan -Linier -Kuadratik -Kubik
3 1 1 1
0.267158 0.260042 0.006075 0.001042
0.0890528
Galat
8
0.126133
0.0157667
Total
11
0.393292
F
P
5.65 19.52 0.43 0.07
0.022 0.001 0.528 0.804
Berbeda nyata Persamaan garis : y = 0.7883 – 0.1317x S = 0.115434 R-Sq = 66.1% R-Sq(adj) = 62.7% ANOVA Tabel sidik ragam pertambahan diameter tengah talus (mm) Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .028 .319 .347
df
Mean Square 3 .009 8 .040 11
F .236
Sig. .869
Tidak berbeda nyata
59