AKHLAK BELAJAR DAN KARAKTER GURU (STUDI PEMIKIRAN SYEKH AZ-ZARNUJI DALAM KITAB TA’LIM MUTA’ALLIM)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
MUZTABA NIM: 109011000096
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
ABSTRAK Muztaba, NIM 109011000096 “Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Pemikiran Syekh Az-Zarnuji Dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas tentang akhlak belajar dan karakter guru atas pemikiran Syekh Az-Zarnuji dalam kitabnya yaitu Ta’lim Muta’allim. Pembahasan skripsi ini bertujuan untuk menyingkap ahlak belajar bagi pelajar dan karakter guru dalam pandangan Az-Zarnûjî yang terdapat dalam karyanya Ta’lîm al-Muta’allim. Untuk memperoleh ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu lainnya, sudah barang tentu kita harus memperhatikan adab (tata krama) yang seharusnya kita ikuti agar ilmu yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya Dan salah satu unsur terpenting dalam proses pendidikan adalah guru. Eksistensi guru memiliki peran yang amat penting dalam pendidikan. Skripsi ini mencoba mennjawab persoalan tentang karakter guru agama Islam yang telah digagaskan oleh Az-Zarnûjî. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan memakai teknik content analisis yaitu teknik analisis dari berbagai sumber informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Akhlak belajar atau etika pembelajaran yang harus dimiliki oleh para pelajar Islam adalah: pertama, niat saat belajar, kedua,memilih guru ketiga, menghormati guru, keempat,keseriusan ketekunan dan cita-cita luhur, kelima metode belajar, keenam tawakal dan ketujuh wara . Sedangkan karakter atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru agama Islam adalah: pertama, al-a’lam atau lebih alim (profesional), kedua, al-awra’ atau lebih wara’ (yang dapat menjauhi diri dari perbuatan tercela) ketiga, al-asanna atau lebih tua (lebih tua umur dan ilmunya), keempat, berwibawa, kelima, al-hilm (santun) dan keenam, penyabar.
iii
Abstract Muztaba, NIM 109011000096 “ Behavior of learning and teacher’s character (a study of Syekh Az-Zanruji’s idea in the book Ta’limmuta’lim)”, it is a skripsi – the major of Department of Islam Religion at Faculty of Tarbiyah and teacher’s training of State Islamic University Syarif HIdayatulah Jakarta. This skripsi researches about behavior of learning and teacher’s character which is Syekh Az-Zarnuji’s idea in the his book namely Ta’lim-Muta’lim. The study of this skripsi aims to tell behavior of learning for students, and teachers in Az-Zarnuji’s opinion being in his creation, Ta’lim-Muta’lim. To get knowledge, both religion knowledge and others, of course we have to pay attention which we had better to follow, so that knowledge studied can be useful for ourselves and others. Good attitude is barometer to happiness, security, and correctness in our life, it can be called that behavior is pillar of the members of a religious community the same as Shalat as post of Islam religion, in otherwise it is if behavior of members of a religious community was broken, would it’s the nation be broken, and the one of element most important in education process is a teacher. Teacher’s existence has vitally role in the education. The skripsi tries to answer problems about teacher’s character of Islam religion which was identified by Az-Zarnuji. The method used in this research is analyses descriptive, content analyses, that analyses technic from various source information which are related to problem of reseach. Behavior or attitude learning which have to be have by all Islam’s students are: the first, moment intention study, second choosing the teacher, third respecting the teacher, fourth seriously, diligence, and good ambition, fifth start of size measurement and discipline learning, sixth tawakal and wara’. It is while character or attitude that have to be have by teacher’s Islam religion are: firt al’a’lam, smartest, (professional), second al-awra’ –-most wara’—which can avoid self from bad behavior, third al-asanna, older, both knowledge and old, fourth authoritative, fifth al-hilm (good manners), sixth be patient.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang telah mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari penulis sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Nurlena Rifa’i, Ph.d, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Majid Khon, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Marhamah Saleh ,Lc, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Dr. Zaimuddin, M.A. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.
v
6. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada penulis selama penulis menempuh studi di UIN Jakarta ini. 8. Untuk kedua orang tua tercinta H. Naseri dan Hj. Hayati, yang tiada hentihentinya mengucurkan semua pengorbanan baik materi, semangat, dan yang terpenting do’a. Semoga beliau selalu diberkahkan hidupnya. 9. Ucapan terima kasih kepada H. Zainal Arifin S.Ag. H. Syamullah M.Pd. Muhammad Ali S.pd.I. H. Rahman Hakim. Robiatul Adawiyah S.Pd.I. Syarifah Mudaimah SS. Siti Wahdah. Selaku kakak-kakak dan adik-adik ku yang telah membantu secara materil. Syahril Aziz S.Pd.I. Triana Wiranti, Agil Syahrial, Ahmad Fauzi S.pd.I. teman-teman
yang tiada
henti memberikan semangat, dan selalu mendo’akan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di UIN Jakarta. 10. Untuk teman-teman PAI C 2009 tercinta, yang selalu mengobarkan api semangat dalam keputusasaan penulis dan telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung dengan penuh toleransi ikut serta memberikan sumbangan yang amat berharga dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan terima kasih penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka, dan akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 27 Maret 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ……………………………………………… i SURAT PERNYATAAN ILMIAH …………………………………………………. ii ABSTRAK …………………………………………………………………………... iii KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..v DAFTAR ISI ……………………………………………………………………..…. .vii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………… . ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................. 7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 8
BAB II
KAJIAN TEORI A. Akhlak Belajar ...................................................................................... 9 1. Akhlak ................................................................................................ 9 2. Belajar ............................................................................................... 13 B. Karakter Guru yang Diharapkan dalam Islam .................................. 17 C. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................... 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian ............................................. 22 B. Metodologi Penelitian ............................................................................. 22 C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelohan data...................................... 22 D. Pengecekan Keabsahan Data ................................................................. 23 E. Analisa Data ............................................................................................. 24 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ......................................................................................... 26 1. Riwayat Hidup Az-Zarnuji ................................................................ 26
vii
2. Pendidikan Az-Zarnuji ...................................................................... 28 3. Karya-karya Az-Zarnuji ................................................................... 30 A. Latar Belakang Penyusunan Kitab Ta’limul Muta’allim .......... 31 B. Sistematika Penulisan Kitab ..................................................... 33 C. Urutan-Urutan Penjelasan ......................................................... 36 D. Komentar Para Ahli Tentang Kitab Ta’limul Muta’allim ........ 37 B. Pembahasan ............................................................................................. 39 1. Akhlak Belajar......................................................................................... 39 a. Niat saat belajar .................................................................................. 41 b. Memilih Ilmu, Guru dan Teman ........................................................ 43 c. Menghormati Ilmu dan Ahli Ilmu ...................................................... 47 d. Keseriusan, Ketekunan dan Cita-Cita Luhur .................................... 52 e. Metode Belajar ................................................................................... 54 f. Tawakal .............................................................................................. 58 g. Wara ................................................................................................... 60 2. Karakter Guru......................................................................................... 62 a. al-A’lam (lebih alim) .......................................................................... 64 b. al-Awra’ (Menjaga diri) ..................................................................... 68 c. al-Asanna (Kebapakan)...................................................................... 70 d. Berwibawa ......................................................................................... 72 e. al-Hilm (Santun) ................................................................................ 75 f. Penyabar ............................................................................................. 82 BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................................. 89 B. Implikasi ................................................................................................. 89 C. Saran ....................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 91
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2.
Surat Pernyataan Jurusan
Lampiran 3.
Surat Uji Referensi
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat. Demikianlah sabda Rasulullah Saw. Mengenai pentingnya belajar, belajar tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan. Karena jika itu dilakukan, pencarian ilmu menjadi aktivitas yang sia-sia karena tidak menghasilkan apa-apa. Kalau pun mampu menguasai ilmu, ilmu tersebut tidak akan memberinya kemanfaatan. Ilmu hanya sekedar wacana, ilmu menjadi fashion yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan peradaban, tidak untuk kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu tidak mampu menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka.1 Untuk memperoleh ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu lainnya, sudah barang tentu kita harus memperhatikan adab (tata krama) yang seharusnya kita ikuti agar ilmu yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Dan usaha yang intens harus dilakukan agar kita dapat menjadikan adab tersebut sebagai pakaian yang melekat dalam diri kita, keluarga kita saudara kita dan di manapun kita berada. Akhlak harus diapresiasikan dalam bentuk riil, baik itu di sarana pendidikan formal maupun informal. Akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan, keamanan, ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa ahklak merupakan tiang berdirinya umat, sebagaimana shalat sebagai tiang agama Islam. Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya. Penyair besar Syauqi pernah menulis:
1
Ahmad Mujib El-Shirazy dan Fahmi arief Al-Muniry, Landasan Etika Belajar Santri, (Ciputat: Sukses Bersama, 2007), Cet. II h. 62. 2 Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), Juz II, h. 2.
1
2
“Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini.” Untuk mencapai akhlak yang baik, manusia bisa mencapainya melalui dua cara. M. Yatimin Abdullah menjabarkannya sebagai berikut. Pertama, melalui karunia Tuhan yang menciptakan manusia dengan fitrahnya yang sempurna, akhlak yang baik, serta nafsu syahwat yang tunduk kepada akal dan agama. Manusia tersebut dapat memperoleh ilmu tanpa belajar dan tanpa melalui proses pendidikan. Manusia yang tergolong ke dalam kelompok ini adalah para nabi dan rasul Allah. Kedua, melalui cara berjuang secara bersungguh-sungguh (mujahadah) dan latihan (riyadhah), yakni membiasakan diri melakukan akhlak-akhlak mulia. Ini yang dapat dilakukan oleh manusia biasa, yaitu dengan belajar dan terus-menerus berlatih.3 Sejak manusia dilahirkan ke alam dunia, tak pernah luput dari dirinya hak dan kewajiban yang selalu menyertainya dalam mengarungi kehidupan di dunia. Salah satu hak dan sekaligus kewajiban yang manusia kerjakan adalah menuntut ilmu (belajar). Belajar merupakan hak yang patut dimiliki oleh manusia, karena dengan belajar manusia akan mendapatkan ilmu, dimana ilmu merupakan salah satu bentuk nikmat yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Adapun belajar dikatakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, karena tanpa belajar manusia tidak akan pernah dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban lain yang harus dia tunaikan di muka bumi ini. Bahkan bagi seorang muslim kewajiban belajar ini sangat ditekankan sekali, karena ada Hadist yang menerangkan bahwa
“Menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, menceritakan kepada kami Hafsu bin Sulaiman, menceritakan kepada kami katsir bin Syindhir dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik dia berkata: Rasulullah Saw. Telah 3
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah, 2007),
h. 21.
3
bersabda: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan orang yang meletakkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (orang yang enggan untuk menerimanya dan orang yang menertawakan ilmu agama) seperti orang yang mengalungi beberapa babi dengan beberapa permata, dan emas. (HR. Ibnu Majah). 4 Hadis itu wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin, karena merupakan suatu tuntutan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Yang patut kita turuti sebagai suatu bentuk ketaatan kita terhadap rasul setelah ketaatan yang dilakukan kita kepada Allah. Islam sebagai agama samawi yang terakhir, dikenal sebagai agama yang paling universal di antara agama-agama samawi lain yang ada sebelum Islam. Keuniversalan Islam dikarenakan ajarannya yang bersifat universal terhadap semua sendi-sendi kehidupan. Sehingga akhlak dalam menuntut ilmu (belajar) pun ikut tercakup dalam ajaran Islam. Sejak manusia mengenal peradaban, belajar adalah proses mengenai peradaban itu sendiri. Dengan demikian, belajar menjadi sebuah aktivitas yang harus dijalani oleh manusia yang menginginkan nilai peradaban dinamis, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungannya. Dalam kaitannya dengan perkembangan manusia, belajar adalah merupakan faktor penentu proses perkembangan; manusia memperoleh hasil perkembangan berupa pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai, reaksi, keyakinan dan lain-lain tingkah laku yang dimiliki menusia adalah diperoleh melalui belajar. 5 Pendidikan Islam sangat peduli terhadap hak dan kewajiban para murid (anak didik) sebagaimana ia juga sangat peduli terhadap hak dan kewajiban para guru termasuk di dalamnya etika-etika yang harus menjadi pedoman bagi para murid.6 Berangkat dari kesadaran ini, upaya menciptakan belajar yang mempercepat dan menjamin kesuksesan belajar menjadi sebuah pemikiran tersendiri di
4
Imam Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Darussalam, 609-673), h.34. 5 Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2007), Cet. III, h. 54. 6 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, penerjemah: Syamsuddin Asyrafi, dkk., (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), Cet. I, h. 72.
4
kalangan para ilmuan. Sebut saja misalnya Socrates dengan konsep dialektikanya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh lainnya. Dalam sejarah Islam terdapat seorang yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap proses belajar, syaikh Az-Zarnuji, demikian namanya, menuangkan rangkaian pengalaman dan renungannya tentang bagaimana seseorang mestinya sukses belajar dalam sebuah kitab. Kitab tersebut diberi nama kitab Ta’lim Muta’allim. Apa yang beliau tuliskan kemudian menjadi referensi dasar dari para santri (sebutan pelajar bagi siswa di lingkungan pondok pesantren) hingga saat ini. Terutama di pondok pesantren salaf. Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah guru. Oleh karena itu guru mempunyai tanggung jawab mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan tersebut, guru harus memenuhi kebutuhan peserta didik, baik spiritual, intelektual, moral maupun kebutuhan fisik peserta didik.7 Keberhasilan pendidikan tergantung pada banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah sumber daya pontensial guru. Pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai kompetensi personal-religius, sosial-religius, dan profesional religius. Kata religius selalu dikaitkan dengan tiap-tiap kompetensi, karena menunjukan adanya komitmen pendidik dengan ajaran Islam sebagai kriteria utama, sehingga segala masalah pendidikan dihadapi, dipertimbangkan, dan dipecahkan, serta ditempatkan dalam persfektif Islam.8 Guru agama Islam sebagai salah satu komponen proses belajar mengajar memiliki multi peran, tidak terbatas hanya sebagai “pengajar” yang melakukan transfer of knowledge tetapi juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencanaan (the planner of future society).9 Sebagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara: “Tut Wuri
7
Al-Rasyidin dan Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 41. 8 Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, ilmu pendidikan islam, (Jakarta: kencana, 2006), h. 95. 9 Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 88.
5
Handayani, Ing Garso Sung Tolodo, Ing madyo mangun karso". Tidak cukup dengan menguasai materi pelajaran akan tetapi mengayomi murid, menjadi contoh atau teladan bagi murid serta selalu mendorong murid untuk lebih baik dan maju.10 Bagi seorang guru agama, diperlukan syarat lain, di samping syarat-syarat yang biasanya diperlukan bagi seorang guru, yang bukan pengajar agama. Guru agama hendaknya mengetahui sekedarnya ciri perkembangan jiwa agama pada anak dalam tiap tahap umur, serta mengetahui pula latar belakang dan pengaruh pendidikan, serta lingkungan, dimana si anak lahir dan dibesarkan. Dan guru agama hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih keterampilan anak dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas dari pada itu, ia pertama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan pengajaran agama. Pembinaan sikap, mental, dan akhlak jauh lebih penting dari pada pandai menghafal dalil-dalil dan hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Oleh sebab itu pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yang benar-benar tercermin agama dalam hidupnya, atau dengan singkat bahwa pendidikan agama sukses, apabila ajaran agama itu hidup dan tercermin dalam pribadi guru agama itu.11 Bagaimanakah sosok guru yang diharapkan yang bisa diterima oleh setiap pihak, baik dari sudut pandang siswa, pemerintah orang tua maupun masyarakat? Dari sudut pandang siswa, guru idaman adalah guru yang memiliki penampilan sedemikian rupa sebagai sumber motivasi belajar yang menyenangkan. Pada umumnya siswa mengidamkan gurunya memiliki sifatsifat yang ideal sebagai sumber keteladanan, bersikap ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, menguasai materi ajar, mampu mengajar dengan suasana menyenangkan. Dari sudut pandang orang tua murid, guru yang diharapkan adalah guru yang dapat menjadi mitra pendidik bagi anak-anak yang dititipkan untuk dididik. Dari sudut pandang pemerintah, menginginkan agar guru itu mampu berperan secara profesional sebagai unsur penunjang dalam kebijakan. Dari sudut pandang masyarakat luas, pada hakikatnya guru adalah
10
Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia, ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 23. 11 Zakiyah Daradzat, Ilmu Jiwa agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 106.
6
wakil masyarakat di lembaga pendidikan, dan wakil lembaga pendidikan di masyarakat”.12 Banyak para filosof muslim memberikan perhatian yang sangat besar lewat berbagai tulisanya terhadap eksistensi guru, termasuk di dalamnya mengenai hak dan kewajibannya. Mereka banyak menulis tentang beberapa sifat yang harus dimiliki olehnya. Di antaranya adalah Burhanuddin Az-Zarnûjî yang hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 M pada masa Bani Abbasiyah. Az-Zarnûjî adalah sosok pemikir pendidikan Islam yang banyak menyoroti tentang etika dan dimensi spiritual dalam pendidikan Islam. Dalam karyanya AzZarnûjî lebih mengedepankan pendidikan tentang etika dalam proses pendidikan. Beliau mengisyaratkan pendidikan yang penekanannya pada mengolah hati sebagai asas sentral bagi pendidikan. Az-Zarnûjî dalam muqaddimah kitabnya “Ta’lîm al-Muta’allim” menjelaskan latar belakang penyusunan kitabnya. Yaitu diawali karena banyaknya para pencari ilmu yang tidak mendapat ilmu atau dia mendapat ilmu tapi tidak mendapat kemanfaatan dari ilmu tersebut. Itu disebabkan karena kurangnya akhlak atau etika dalam mencari ilmu. Kemerosotan moral para pencari ilmu dan pendidik yang dirasakan Az-Zarnuji pada saat itu, kini masih kita rasakan bahkan jauh lebih mengkhawtirkan. Kemerosotan moral banyak terjadi di dunia pendidikan bangsa ini. seperti beberapa kasus oknum pendidik dan pelajar yang melakukan perilaku tidak bermoral. Seperti kasus siswi SMK di Bandung yang menjadi korban pelecehan kepala sekolah,13 kasus oknum guru SMA di Sanden yang melakukan tindak asusila terhadap seorang siswa SMP di Bambangliporo,14 kasus mantan kepala
12
Mohamad Surya, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004),
h. 21. 13
Oris Riswan, “Kisah Siswi SMK Korban Pelecehan Seksual Kepala Sekolah,” Artikel diakses pada Senin, 03 Juni 2013 12:50 wib dari Okezone.com. 14 M. Nur Huda, “Guru Pelaku Asusila di Bantul Ditolak mengajar oleh Muridnya,” Artikel diakses pada Jumat, 22 November 2013 11:57 wib. Dari Tribun News.com.
7
sekolah SMKN 4 Bandung divonis 3 tahun penjara setelah mencabuli 5 siswinya15 dan kasus 7 siswa SD di Tulungagung yang mencabuli temanya di kelas.16 Dari beberapa kasus tidak bermoral oknum pendidik dan pelajar tersebut, menurut hemat penulis akhlak belajar dan karakter guru yang ditawarkan oleh AzZarnûjî perlu mendapat sorotan yang serius dan sungguh-sungguh. Hal itu diharapkan bisa memberikan solusi alternatif bagi persoalan guru di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenal lebih jauh tentang karakter guru versi Az-Zarnûjî dan diri pribadinya, maka penulis memberi judul “AKHLAK BELAJAR DAN KARAKTER
GURU
(STUDI
PEMIKIRAN
SYEKH
AZ-ZARNUZI
DALAM KITAB TA’LÎM AL-MUTA’ALLIM)”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
maka
penulis
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Banyaknya murid yang kurang memiliki akhlak di dalam belajar. 2. Kurangnya kesadaran guru akan pentingnya akhlak yang mulia. 3. Kurangnya kepribadian guru Pendidikan Agama Islam yang mencakup aspek jasmani, intelektual, sosial dan moral dilihat dari sudut pandang Islam.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Az-Zarnûjî adalah salah satu tokoh pendidikan Islam yang hidup pada zaman pemerintahan Abbasiyah. Pemikirannya dituangkan dalam sebuah karyanya yang diberi judul Ta’lîm al-Muta’allim yang memuat tentang adab atau etika murid dalam mencari ilmu dan di dalamnya terdiri dari tiga belas pasal. Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penelitian ini dibatasi hanya pada seputar akhlak murid dan karakter guru Pendidikan Agama Islam menurut Az-Zarnûjî yang terdapat dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim. Karakter adalah “sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti.”17 Adapun yang dimaksud karakter dalam penelitian ini adalah sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru 15
Oris Riswan, “Cabuli 5 Siswi SMK, Mantan Kepsek Divonis 3 Tahun Penjara,” Artikel diakses pada Selasa, 04 Maret 2014 15:43 wib. Dari Okezone.com. 16 M. Nur Huda, “7 Siswa SD di Tulungagung Cabuli Teman di Kelas,” Artikel diakses pada Selasa, 10 Desember 2013 11:07 wib. Dari Tribun News.Com. 17 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Cet. IV, h. 628.
8
Pendidikan Agama Islam dan kepribadian guru Pendidikan Agama Islam. Seperti wara’, sabar, berwibawa, dan sebagainya. Adapun perumusan masalah dalam pembahasan ini adalah: 1. Bagaimana akhlak belajar siswa yang baik menurut Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim? 2. Bagaimana karakter yang harus dimiliki oleh guru Pendidikan Agama Islam yang baik menurut Az-Zarnûjî dalam kitab Ta’lîm alMuta’allim?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menyingkap akhlak belajar dalam pandangan Az-Zarnuji yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-muta’allim. 2. Untuk menyingkap karakter guru yang diharapkan Islam dalam pandangan Az-Zarnûjî yang terdapat dalam kitab Ta’lîm al-muta’allim. 3. Untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam pemikiran Az-Zarnûjî. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang pendidikan. 2. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh penulis berikutnya. 3. Memberikan
sumbangsih
karya
ilmiah
yang
bermanfaat
untuk
dipersembahkan kepada para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
BAB II KAJIAN TEORITIS A. Akhlak Belajar 1. Akhlak Rasulullah Saw. diutus di muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak. Dalam pergaulan, akhlak sangatlah penting untuk menciptakan kehidupan yang harmonis antar sesama. Untuk lebih memperjelas seyogyanya kita harus mengerti apa itu akhlak. Adapun pengertian akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata khalaqa yang berarti tabi‟at atau budi pekerti.1 Secara linguistik (kebahasaan) kata akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut memang begitu adanya. Kata akhlak adalah jama dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya dalam al-Qur‟an maupun Hadis, sebagaimana terlihat berikut ini :
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. al-Qalam/68: 4)
“(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (QS. asy-Syu‟ara/26: 137)
1
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. XXV, h. 364.
9
10
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Amer, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya.” (H.R. Tirmiżî)
“Menceritakan kepada aku dari Malik bahwasannya benar-benar sampai kepadanya sesungguhnya Rasulallah Saw. bersabda (Aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan akhlak).” (H.R. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).3 Bertitik tolak dari pengertian bahasa di atas, akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam, dan bahwa firman Allah berikut ini dapat menjadi salah satu argumen keanekaragaman tersebut.4 “Sungguh, usahamu memang beraneka macam.”5 (Q.S. al-Lail/92: 4) Ayat pertama di atas menggunakan khuluq dalam arti budi pekerti, ayat kedua menggunakan kata akhlâq untuk arti adat kebiasaan. Selanjutnya hadis yang pertama menggunakan kata khuluq untuk arti budi pekerti, dan hadis kedua menggunakan kata akhlâq, juga untuk arti budi pekerti. Dengan demikian, kata 2
Sunan At-turmidji, Software Mausugul Hadits As-Syrief, (Kitab Rodho‟, No. Hadits
1082). 3
Imam Jalaludin Abdurrahman as-Suyuti, Kitab al- Muwaththa, (Beirut: Dar al-Fikr, 95179), 756. 4 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. IV, h. 253-254. 5 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya…, h. 595.
11
akhlâq dan khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru'ah, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat atau tradisi.6 Akhlak dari segi bahasa ini membantu penulis dalam menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah. Namun demikian, pengertian akhlak dari segi bahasa ini sering digunakan untuk mengartikan akhlak secara umum. Akibatnya segala sesuatu perbuatan yang sudah dibiasakan dalam masyarakat atau nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat disebut akhlak. Demikian pula aturan baik buruk yang berasal dari pemikiran manusia, seperti: etika, moral, dan adat kebiasaan juga dinamakan akhlak. Persepsi ini tidak sepenuhnya tepat, sebab antara akhlak, moral, etika dan adat kebiasaan terdapat perbedaan. Akhlak bersumber dari agama, sedangkan etika, moral, adat kebiasaan berasal dari pemikiran manusia. Perlu dijelaskan pengertian akhlak menurut istilah yang diberikan para ahli di bidangnya. Ibnu Miskawih sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak. Dalam masalah ini, ia termasuk pemikir Islam yang terkenal. Dalam setiap pembahasan akhlak dalam Islam, pemikirannnya selalu menjadi perhatian orang. Hal ini karena pengalaman hidupnya sendiri yang ada waktu usia muda sering dihabiskan pada perbuatan-perbuatan yang sia-sia, telah menjadi dorongan kuat baginya untuk menulis kitab tentang akhlak sebagai tuntunan bagi generasi berikutnya.7
“Sikap yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Dalam konsepnya akhlak adalah suatu sikap mental (halun lin nafs) yang mendorong untuk berbuat tanpa pikir dari pertimbangan. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi dua: ada yang berasal dari watak (tempramen) dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan kata lain tingkah laku manusia mengandung dua unsur: unsur watak naluri dan unsur usaha lewat kebiasaan dan latihan.
6
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : CV. Karya Mulia,2005), Cet. II, h. 26. Ibid., h. 27.
7
12
Sementara itu al-Ghazali yang bergelar sebagai Hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya membela Islam dari berbagai paham yang menyesatkan, lebih luas lagi dengan dikemukakan oleh Ibnu Miskawih di atas. Menurut Imâm al-Ġazâli, akhlak ialah:
“Sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal syara‟, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.” Akhlak dalam konsepsi al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan teori “teori menengah” dalam keutamaan seperti yang disebut oleh Aristoteles, dan pada sejumlah sifat keutamaan akali dan amali, perorangan dan masyarakat. Semua sifat ini bekerja dalam suatu kerangka umum yang mengarah kepada suatu sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Adapun M. Abdullah Diraz mendefinisikan “akhlak sebagai sesuatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan berkombinasi membawa kecenderungan dalam pemilihan pihak yang benar (akhlak baik) atau pihak yang jahat (akhlak rendah)”.9 Sedangkan menurut Ahmad Amin sebagaimana yang dikutip oleh M. Yatim mengatakan “bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya apabila
8
Abû Hâmid al-Ġazâlî, Ihyâ' „Ulûm ad-Dîn, Jilid III, (Beirut: Dâr al-kutub ilmiyah, 1987),
h. 73. 9
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bag. III, (Jakarta: Grasindo, 2007), Cet. II, h. 21.
13
kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlaqul karimah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlaqul madzmumah”.10 Menurut Farid Ma‟ruf sebagaimana yang dikutip oleh M. Yatim mendefinisikan “akhlak sebagai kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.11 Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut diatas tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu suatu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
2. Belajar Untuk memahami apa yang dimaksud dengan belajar, langkah awal harus dipahami apa arti belajar itu sendiri. Kata belajar secara leksikal berarti usaha memperoleh kepandaian atau ilmu.12 Karena belajar merupakan sebuah usaha mencapai ilmu tertentu, maka seseorang yang sedang belajar seharusnya rajin berlatih. Sedangkan secara terminologis, belajar menurut B.F. Skinner sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Belajar berpendapat bahwa belajar adalah “… a process of progressive behavior adaption”, yaitu suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif”.13 Pendapat Chaplin dalam Dictionary of Pschology sebagaimana yang dikutip oleh Muhibbin Syah membatasi belajar dengan dua macam rumusan, yaitu “… acquisition of any relatively permanent change in behavior is a result of practice and experience (perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai 10
M. Yatim Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran, (Jakarta: Amzah 2007), h.
3. 11
Ibid., h. 4. Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008) edisi ke-IV, h. 23. 13 Muhibbin Syah, Psikolgi Belajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. X, h. 64. 12
14
akibat latihan dan pengalaman) dan process of acquiring responses as a result of special practice (proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus)”.14 Menurut James O. Wittaker sebagaimana yang dikutip oleh Wasty Soemanto, “belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.”15 Muhibbin Syah mengutip Hintzman dalam bukunya the psychology of learnning and memory berpendapat bahwa “ learning is a change in organism due to experience whicc can effect the organism‟s behavior (belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut)”.16 Lain halnya dengan Wittig dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai: “any relatively permanent change in an organism behavioral repertoire that accurs as a result experince” (belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman).17 Sedangkan menurut Reber, dalam kamusnya Dictionary Psychology membatasi belajar dengan dua definisi, yaitu: “The process of acquiring knowledge (proses mempeeroleh pengetahuan)”, dan pengertian yang lain menurut Reber adalah “A relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of reinporced practice (suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat)”.18 Banyak sekali macam kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan belajar, seperti mencari arti sebuah kata dalam kamus, mengingat dan menghafal puisi, mengoperasikan mesin ketik, membaca pelajaran, membuat latihan pekerjaan rumah, mendengarkan penjelasan guru, menelaah ulang apa yang sudah dipelajari di sekolah, meringkas, berdiskusi, dan lain sebagainya. Robert M. 14
Ibid., h. 65. Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, (Jakarta, Rineke Cipta 2006), Cet . V, h.104. 16 Muhibbin, loc.cit. 17 Muhibbin, Ibid., h. 66. 18 Muhibbin, Ibid. 15
15
Gagne dalam bukunya “Essential of Learning for Instruction” memberikan definisinya tentang belajar atau yang dikenal dalam istilah lain dengan Learning. “Learning is a process of which certain kind of living organisms are capablemany animals, including human beings, but not plants. It is a process which enable these organisms to modify their behavior fairly rapidly in a more or less permanent way, so that the same modification does not have to occur again and again in each new situation”.19 Dari paparan Robert M. Gagne di atas, dapat dipahami bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan oleh mahluk hidup, kecuali tumbuhan, yang dengan proses itu diharapkan adanya perubahan pada perilaku dan tindakan sehingga mereka siap untuk kehidupan yang baru. Di dalam pendidikan Islam banyak sekali orang-orang yang berperan dalam mengembangkan Pendidikan Islam. Al-Ghazali dan Al-Zarnuji merupakan salah satu tokoh Islam yang peduli dan menyumbangkan pemikirannya tentang aktivitas belajar. Menurut al-Ghazali, belajar adalah usaha orang untuk mencari ilmu20. Belajar sangat berkaitan dengan ilmu, karena dalam proses belajar ada tujuan yang ingin dicapai oleh si-pembelajar dan tujuan itu adalah ilmu, lebih jauh alGhazali menerangkan bahwa pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ta‟lim insani dan ta‟lim rabbani. Lebih lanjut al-Ghazali menerangkan bahwa ta‟lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia21, yaitu pendekatan yang umum dipakai dalam proses pendidikan, baik di lingkungan pendidikan formal ataupun di lingkungan pendidikan non-formal. Sedangkan ta‟lim rabbani yaitu proses belajar dengan bimbingan Tuhan.22 Dalam proses ini dilakukan dengan Tafakkur, yaitu membaca realitas dalam berbagai dimensi kehidupan spiritual. Selain al-Ghazali yang banyak dikenal sebagai praktisi dan pemikir pendidikan dalam Islam, dikenal juga Burhanuddin al-Islam Az-Zarnuji. Beliau
19
Robert M.Gagne, Essential of Learning for Instruction, (Dryden Press. 1974), h. 5. Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,(Jogjakarta: ArRuzz, 2009), cet.II, h. 42. 21 Baharuddin, Ibid., h. 44. 22 Baharuddin, Ibid., h. 48. 20
16
adalah pengarang kitab “Ta‟lim al-Muta‟allim Thuruq al-Ta‟allum”. Di dalam kitab tersebut, Az-Zarnuji membagi ilmu dalam empat kategori. Pertama, ilmu fardu „ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari. Kedua, ilmu fardu kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan hanya pada saat-saat tertentu saja. Ketiga, ilmu haram, yaitu ilmu yang tidak diperbolehkan untuk dipelajari, karena ditakutkan hanya dipakai untuk menipu dan berbuat jahat. Keempat, ilmu jawaz, yaitu ilmu yang boleh dipelajari karena bermanfaat bagi manusia23. Di dunia pendidikan barat kita banyak mengenal tokoh-tokoh yang berperan di dalam pendidikan. Dari tokoh-tokoh inilah kemudian lahir berbagai definisi dari belajar. Menurut teori kognitif, belajar menunjukan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Sedangkan menurut teori psikologi asosiasi atau koneksionisme dengan tokohnya yang terkenal Thorndike. Berangkat dari salah satu hukum belajarnya "law of exercise", ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar. Seperti pepatah "latihan menjadikan sempurna".24 Lebih jauh DR. Prayitno menafsirkan belajar merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang diperoleh melalui pengalaman, melalui stimulus respon, melalui pembiasaan, melalui peniruan, melalui pengalaman dan melalui penghayatan, melalui aktivitas individu meraih sesuatu yang dikehendakinya.25 Berbagai definisi tentang belajar dari bermacam-macam tokoh dengan latar belakang
yang
berbeda-beda.
Tetapi
ada
beberapa
ciri
yang
dapat
diidentifikasikan sebagai kegiatan belajar yaitu bahwa belajar itu adalah suatu proses perubahan di dalam pribadi manusia, dan perubahan tersebut ditampakan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan
23
Baharuddin, Ibid., h. 53. Dimyati Dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h.
24
44-47. 25
Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009 ), h. 203.
17
kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman keterampilan, daya pikir, dan lain-lain26. Dari beberapa pengertian belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan yang menetap dari tingkah laku individu sebagai hasil pengalaman, ilmu pengetahuan, dan interaksi dengan lingkungan. Dari pengertian belajar di atas, dan setelah melihat kembali pembahasan akhlak pada bagian terdahulu tampaknya dapat ditarik satu garis merah bahwa akhlak belajar merupakan sikap dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam proses perubahan yang menetap dari tingah laku individu sebagai hasil pengalaman dan lmu pengetahuan serta interaksi dengan lingkungan. Akhlak belajar berarti juga serangkaian etika yang hendaknya menjadi „pakaian‟ bagi seseorang yang sedang menuntut ilmu. Setiap pelajar senyatanya menginginkan kesuksesan terhadap apa yang sedang dipelajarinya. Aklak belajar tidak lain adalah sikap batin dalam diri sang pelajar yang mendukungnya mencapai kesuksesan dalam belajar. Dengan sendirinya akhlak belajar akan terwujud kedalam metode belajar.
B. Karakter Guru yang Diharapkan dalam Islam Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada abad 18, terminologi ini biasanya mengacu kepada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Namun sebenarnya pendidikan karakter telah lama menjadi inti sejarah pendidikan itu sendiri.27 Menurut Wyyne, istilah karakter berasal dari kata Yunani yang berarti "To Mark" (menandai), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau tingkah laku. Selanjutnya Wyyne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukan bagaimana seseorang bertingkah laku apabila seseorang berperilaku
tidak
jujur,
kejam,
atau
rakus,
tentulah
orang
tersebut
memanifestasikan perilaku buruk, sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur,
26
Thursan Hakim, Belajar Dan Prinsif belajar, (Jakarta: Puspa Suara, 2010), h. 1. Dony Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 9. 27
18
suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan "personality" seseorang baru bisa disebut orang berkarakter "a person of Character" apabila tingkah laku sesuai kaidah moral.28 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter berarti “tabiat, watak; sifatsifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Berkarakter artinya berkepribadian: bertabiat dan berwatak.”29 Karakter memang sulit didefinisikan tetapi lebih mudah dipahami melalui uraian-uraian (describe) berisikan pengertian. Berikut ini beberapa pengertian karakter yang saling isi-mengisi dan memperjelas pemahaman kita tentang arti karakter. Menurut Sigmund Freud: "Character is a striving system which underly behaviour". Karakter dapat diartikan sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandai pemikiran, sikap dan perilaku.30 Sedangkan karakter menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan, karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang hasil interaksi antara faktor-faktor endogin dan faktor eksogin atau pengalaman seluruh pengaruh lingkungan. Pengertian karakter dalam agama Islam lebih dikenal dengan istilah akhlak, seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali: akhlak adalah sifat yang tertanam atau menghujam di dalam jiwa dan dengan sifat itu seseorang akan secara spontan dapat dengan mudah memancarkan sikap, tindakan dan perbuatan. Pengertian karakter menurut Webster New Word Dictionary adalah distinctive trait (sikap yang jelas), distinctive quality (kualitas yang tinggi), moral strength (kekuatan moral), the pattern of behaviour found in an individual or group (pola perilaku yang ditemukan dalam individu maupun kelompok).31
28
Hernowo, Mengobrolkan Kegiatan Belajar Mengajar Berbasiskan Emosi, (Bandung: MLC, 2005), Cet. I, h. 99 & 101. 29 Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), edisi ke-IV, h. 628. 30 Soemarno Soedarsono, Jati Diri Bangsa (Jakarta: Elex Media Komputindo,2007), h.. 15. 31 Soedarsono, Ibid., h. 17.
19
Di dalam bukunya Alisuf Sabri disebutkan bahwa “character is personality evaluated. If by saying some one has “personality” you menat that he is friendly, enthusiastic, moderate, honest, open or loving, you are really refering to character”. Watak merupakan kepribadian yang bernilai (baik menurut standar moral dan kode etik) seperti: ramah tamah, bersemangat, tabah, tulus hati, terbuka, penyayang dan sebagainya.32 Menurut Ibnu Miskawaih, karakter (khuluq) merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.33 Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa karakter pendidik/guru adalah kualitas mental atau kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti pendidik/guru yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada pendidik. Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, melekat sebagai perilakunya serta digunakan sebagai kekuatan moral di dalam hidupnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Guru Agama adalah “guru yang mengajarkan mata pelajaran agama.”34 Menurut Mohammad Natsir seorang guru agama Islam harus memahami dasar dan tujuan pendidikan. Bahwa dasar dari pelaksanaan pendidikan adalah tauhid, dan tujuannya adalah penghambaan kepada Allah li ya'buduni.35. Dalam hal pendidik Islam ini Al-Ghozali mewajibkan kepada para pendidik Islam harus memiliki adab yang baik, karena anak didiknya selalu melihat pendidiknya sebagai contoh yang harus diikuti.36 Dari pengertian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa guru pendidikan agama Islam adalah orang yang telah mengkhususkan dirinya untuk melakukan kegiatan menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam terhadap peserta
32
Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 92-93. 33 Abdullah, op. cit., h. 4. 34 Tim Penyusun Pusat Bahasa. op.cit., h. 377. 35 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 123. 36 Zuhairini Dkk, Filsafat Pendidikan islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. V, h. 170.
20
didiknya sebagai pelaksana dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
C. Hasil Penelitian yang Relevan Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas tentang Syekh AzZarnuji dan karya satu-satunya yaitu kitab Ta‟limul Muta‟allim. Terdapat dalam beberapa buku dan juga terdapat dalam Disertasi dan Skripsi, di antaranya terdapat banyak terjamah kitab ini. Yaitu, buku karangan Drs. H. Aliy As‟ad yang berjudul Terjemah Ta‟limul Muta‟allim, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan. Buku karangan Muhammad Thaifuri yang berjudul Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Secara Islami, buku karangan Drs. M. Ali Chasan Umar yang berjudul Petunjuk Menjadi Cendikiawan Muslim. Buku karangan Ahmad Mudjib dan Fahmi Arief yang berjudul Landasan Etika Belajar Santri. Buku-buku tersebut di samping menerjemahkan kitab Ta‟lim Muta‟allim, juga banyak memuat informasi lain seperti biografi Syekh. Az-Zarnuji, menjelaskan tentang kedudukan hadits yang terdapat di kitab Ta‟lim Muta‟allim dan analisa dari masing-masing pendapat sang penerjemah. Adapun skripsi dan tesis yang relevan dengan kajian penulis yaitu, skripsi mahasiswa IAIN Semarang tahun 2008. M. Mahfuzh yang berjudul Nilai-nilai Pendidikan Akhak dalam Syairan Kitab Ta‟lim Muta‟allim. Yang isinya menelaah syair dalam kitab Ta‟lim Muta‟allim yang berkaitan dengan akhlak. Dalam kitab Ta`lim al-Muta`allim terdapat beberapa syairan yang mempunyai nilai-nilai mengajarkan proses pembelajaran yang baik dan syairan ini merupakan penguat dari isi kitab Ta`lim al-Muta`allim. Reward and Punishment: Sebagai Metode Pendidikan Anak (Studi Pemikiran Ibnu Maskawaih, Al-Ghozali dan Al-Zarnuji): Tesis Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001, yang ditulis oleh Maemonah, yang mana dalam hubungannya dengan metode reward and punishmemnt, dalam kitab ta‟lim menurutnya dapat dilihat melalui hubungan guru dan murid. Skripsi Unun Zumairoh Asri Himsyah yang berjudul Konsep Pendidikan Islam Menurut Perspektif Al-Zarnuji. Dalam skripsi tersebut hanya membahas tentang konsep pendidikan al Zarnuji yang terdiri dari 13 fasal yang
21
terpengaruhi dari budaya tempat dimana al Zarnuji tinggal dan menciptakan tulisannya itu. Adapun skripsi yang akan penulis ajukan ini adalah sebagai lanjutan dan pengembangan dari penelitian yang telah ditulis oleh para peneliti sebelumnya, dengan mencoba menelaah dan mencari tahu tentang signifikansi dari kitab Ta‟lim, untuk mengungkap pemikiran pendidikan al-Zarnuji lebih spesifik tentang akhlak
belajar dan karakter guru yang tertuang dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian Penelitian yang berjudul “Akhlak Belajar dan Karakter Guru (Studi Atas Pemikiran Syekh Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’limul Muta’allim)”. Penulisan skripsi ini dilaksanakan dari bulan Mei 2013 sampai bulan Januari 2014 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Syekh AzZarnuji tentang akhlak belajar dan karakter guru.
B. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dan metode yang
digunakan
Metode
Deskriptif.
Yaitu
penelitian
yang
bermaksud
menggambarkan tentang suatu variabel, gejala atau keadaan “apa adanya”, dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu.1 Ditunjang oleh data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan skripsi ini.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1.
Teknik pengumpulan data Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan
metode
penelitian
studi
dokumentasi,
yaitu
mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan,2 misalnya berupa buku-buku, naskah, catatan kisah sejarah; internet dan 1
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), Cet. 10, h.
234. 2
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: PT Alfabeta, 2008), h. 329.
22
23
sumber lain, yang berhubungan dengan Syekh Az-Zarnuji dan pemikirannya tentang akhlak belajar dan karakter guru. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya. Penelitian skripsi ini dilakukan melalui riset pustaka (library research). Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a.
Data primer Data primer adalah literatur-literatur yang membahas secara
langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu berupa karya dari Az-Zarnûjî, yakni kitab Ta’lîm al-Muta’allim. b.
Data sekunder Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu berupa data-
data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas. 2.
Teknik Pengelolahan data Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan
adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: 1. Kredibilitas data Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut. Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif dan membercheking.
24
2. Transferabilitas. Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang untuk membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian tersebut dalam kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat meningkatkan
transferabilitas
dengan
melakukan
suatu
pekerjaan
mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. 3. Dependabilitas Data Apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang sama untuk kedua kalinya.3 4. Konfirmabilitas Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.4 E. Analisa Data Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi yang lain yang telah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman peneliti mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan peneliti menyajikan apa yang sudah ditemukannya kepada orang lain.5 3
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 79-80. 4 Emzir, Ibid., h. 81. 5 Emzir, Ibid., h. 85.
25
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis) dalam bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu kesimpulan.6
6
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. 3, h. 155-159.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Riwayat hidup Az-Zarnûjî Kata Syaikh adalah panggilan kehormatan untuk pengarang kitab Ta'lim Al-Muta'allim ini. Sedang Az-Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat beliau berada, yaitu kota Zarnuj. Di antara dua kata itu ada yang menuliskan gelar Burhanuddin (bukti kebenaran agama), sehinnga menjadi Syaikh Burhanuddin Az-Zarnuji.1 Namun demikian nama ini masih diperdebatkan kebenarannya, karena masih belum ditemukan data yang valid mengenai nama asli Az-Zarnûjî. Khairuddin al-Zarkeli menuliskan nama AzZarnûjî dengan an-Nu‘mân bin Ibrâhim bin Khalîl al-Zarnûjî Tajuddin.2 Nama akhirnya dinisbahkan dari daerah tempat dia berasal, yakni Zarnûj, yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya.3 Menurut M. Plessner, Az-Zarnûjî hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermadzhab Hanafiyah4, dan tinggal di wilayah Persia. Plessner memperkirakan tahun yang
relatif lebih mendekati pasti
mengenai kehidupan Az-Zarnûjî. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa Az-Zarnûjî hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini 1
Aliy As'ad, Terjemah Ta'limul Muta'allim, (Kudus: Menara Kudus, 2007), hal. ii Khairuddin al-Zarkeli, al-A‟lâm Qâmûs Tarâjum, Juz VIII, (Beirut: Dar al-Ilm), h. 35 3 M. Plessner ―az-Zarnûjî‖ dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934), h. 1218 4 Mazhab Hanafiyah adalah aliran mazhab fiqh yang disponsori oleh Imam Abu Hanifah. Ciri utama mazhab ini adalah mengutamakan ra‘yu dan qiyas di samping al-Qur‘an dan al-Hadits sebagai pedoman. Aliran ini berkembang di Khurasan dan Transoxiana. Lihat, Abû al-A‘la alMaudûdî, al-Khilâfah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1990), Cet. III h. 285-303 2
26
27
didasarkan pada informasi dari Mahmud bin Sulaiman al-Kafrawi dalam kitabnya, al-A‟lâm al-Akhyâr min Fuqahâ' Mażhab al-Nu‟mân al-Mukhđar, yang menempatkan Az-Zarnûjî dalam kelompok generasi ke-12 ulama madzhab Hanafiyah.5 Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan
mengumpulkan
data
kehidupan
sejumlah
ulama
yang
diidentifikasikan sebagai guru Az-Zarnûjî, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah : Imam Burhân al-Dîn ‗Alî bin Abî Bakr al- Farghinanî al-Marghinanî (w.
a.
593 H/ 1195 M). b.
Imam Fakhr al-Islâm Hasan bin Manșûr al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M).
c.
Imam Ẕahir al-Dîn al-Hasan bin ‗Alî al-Marghinanî (w. 600 H/ 1204 M).
d.
Imam Fakhr al-Dîn al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M).
e.
Imam Rukn al-Dîn Muhammad bin Abî Bakr Imam Khawaharzada (573 H/ 1177).6 Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu
kehidupan Az-Zarnûjî lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta‟lîm alMuta‟allim ditulis setelah tahun 593 H.7 Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa Az-Zarnûjî wafat pada tahun 591 H/ 1195M.8 Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, alZarnûjî wafat sekitar tahun 620-an H.
5
M. Plessner ―Az-Zarnûjî‖ dalam Ahmad al-Syantanawî, Dâ‟irât al-Ma‟ârif al-Islâmiyah, Juz. 10, h.345 6 M. Plessner ―Az-Zarnûjî‖ dalam A. J. Wensinck (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII, h. 1218 7 Wensinck. Ibid., h 8 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma‘arif), h. 238.
28
2. Pendidikan Az-Zarnûjî Mengenai riwayat pendidikannya bahwa Az-Zarnûjî menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. Sedangkan guru-gurunya adalah Burhanuddiin Ali Bin Abu Bakar Al-Marghinani, ulama besar bermazhab Hanafi yang mengarang kitab Al-Hidayah, Ruknul Islam Muhammad Bin Abu Bakarpopuler dengan Imaam Zadeh. Beliau ulama besar ahli fikih bermazhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair, pernah menjadi mufti di Bukhoro dan sangat mashur fatwafatwanya. Wafat tahun 573H/1177 M. Ruknuddin al-Firginanî, seorang ahli fiqih, sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/ 1196 M; Hammâd bin Ibrâhim, seorang ahli ilmu kalam di samping sebagai sastrawan dan penyair, yang wafat tahun 594 H/ 1170 M. Syaikh Fakhrudi Al-Kasyani, pengarang kitab Bada-i 'us shana'i wafat tahun 587 H/1191 M. Syaikh Fakhrudin Qadli Khan Al Ouzjandi. Beliau wafat tahun 592 H/1196 M.9 Berdasarkan informasi tersebut, ada kemungkinan besar bahwa Az-Zarnûjî selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, beliau juga menguasai bidang ilmu pengetahuan yang lainnya, seperti sastra, fiqih, ilmu kalam dan lain sebagainya, sekalipun belum diketahui dengan pasti bahwa untuk bidang tasawuf ia memiliki seorang guru tasawuf yang masyhur. Namun dapat diduga bahwa dengan memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqih dan ilmu kalam disertai jiwa sastra yang halus dan mendalam, seseorang telah memperoleh akses (peluang) yang tinggi untuk masuk ke dalam dunia tasawuf. Dalam sejarah pendidikan kita mencatat, paling kurang ada lima tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632 M.), kedua pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M.), ketiga pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M.), keempat pendidikan pada masa Kekuasaan
9
As'ad, op,cit., h. iii
29
Abbasiyah di Baghdad (750-1250 M.), dan kelima pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).10 Jika melihat guru-guru Syaikh Zarnuji tersebut, dan dikaitkan dalam periodisasi di atas, bahwa Az-Zarnûjî hidup sekitar akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640 H./ 1195-1243 M.). Dari kurun waktu tersebut dapat diketahui bahwa Az-Zarnûjî hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, yaitu antara tahun 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan atau kejayaan Peradaban Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya. Pada masa tersebut, kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan dengan tingkat perguruan tinggi. Di antara lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Niẕamiyah yang didirikan oleh Niẕam al-Muluk (457H./106M.), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563H./1234M. di Damaskus dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus, Madrasah al-Mustansiriyah Billah di Baghdad pada tahun 631 H./1234 M.11 Sekolah yang disebut terakhir ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti setiap siswa dibuatkan kamar sendiri (dalam komplek asrama dan diberikan beasiswa bulanan. Pada setiap madrasah, dan di tempat-tempat umum, selalu didirikan perpustakaan. Sebagai contoh di Marv saja, terdapat 10 perpustakaan, dan setiap perpustakaan terdapat 12.000 jilid buku. Setiap peminjaman buku sudah dibatasi waktunya, serta denda keterlambatannya. Guru-gurunya sudag terbagi atas Mudarris (Profesor) dan Mu'ids (asistens). Pengajarnya dalammemberikan pelajaran sudah duduk di kursi.
10
Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Cet. III, h. 7 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2009), Cet. II, h. 51 11
30
Sementara kurikulum pembelajaran diutamakan fikih, hadits, tafsir dan teori-teori keilmuan (umum), matematika dan pengobatan.12 Di samping ketiga madrasah tersebut, masih banyak lagi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman AzZarnûjî hidup. Dengan memperhatikan infomasi tersebut di atas, tampak jelas, bahwa Az-Zarnûjî hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tengah mencapai puncak keemasan dan kejayaannya. Yaitu pada akhir masa Abbasiyah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian. Kondisi
pertumbuhan
dan
perkembangan
tersebut
di
atas
amat
menguntungkan bagi pembentukan Az-Zarnûjî sebagai seorang ilmuan atau ulama yang luas pengetahuannya. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Plessner, seorang orientalist, menyebutkan dalam ensiklopedinya bahwa Az-Zarnûjî termasuk seorang filosof Arab.13
3. Karya-karya Az-Zarnûjî Kitab Talîm al-Muta‟allim, merupakan satu-satunya karya Az-Zarnûjî yang sampai sekarang masih ada. Sebagaimana pendapat Haji Khalifah dalam bukunya ―Kasf al-Dzunûn „an Asmâ' al-Kitâb al-Funûn‖, dikatakan bahwa Ta‟lîm alMuta‟allim merupakan satu-satunya karya Imam al-Zarnûjî. Kitab ini telah diberi catatan komentar (Syarah) oleh Ibnu Ismâ‘il.14 Dua alasan, paling tidak bisa diungkap untuk menjelaskan masalah ini. Pertama, sang pengarang tidak begitu menonjol dalam dunia peradaban muslim, tidak seperti Imam Ghazali, Ibnu Hajar atau Imam syafi‘I, membuat tidak adanya orang yang tertarik untuk membukukan biografi tokoh ini. Kedua, masih berkolerasi dengan alasan pertama, ketidak masyhuran sang pengarang sebagai 12
Muhammad Sholikhin, Menyatu diri dengan Ilahi, (Yogyakarta: Narasi, 2010), Cet. I,
h. 76 13
As'ad, op.cit., h. iv Umar Rida Kahhalah, Mu‟jâm al-Muallifîn: Tarâjim Muannif al-Kutub al-Arâbiyah, Juz III, (Beirut: Dar al-Ihya‘), h. 43. Lihat juga M. Plessner ―Al-Zarnûjî‖ dalam Ahmad al-Syantanawi, Dâ‟irat al-Ma‟ârif al-Islâmiyah, Juz. 10, h.345 14
31
alasan pertama, bisa juga disebabkan karena kurang produktifnya sang pengarang dalam menelurkan karya-karyanya. Buktinya, di Indonesia sendiri kitab dengan pengarang yang sama dengan Ta‟limul Muta‟allim tidak ditemukan.15 Kitab karya Az-Zarnûjî ini telah menarik banyak perhatian yang sangat besar dari berbagai ulama dan peneliti baik dari Islam sendiri maupun dari non Islam/Barat. Di antara ulama yang telah memberikan syarah atas kitab Ta‟lîm ini adalah Ibrâhim ibn Ismâ‘il, Yahya ibn Ali Nașuh, Abdul Wahâb al-Sya‘ranî, alQadhi, Zakaria al-Anșârî, Nau‘I, Ishâq Ibn Ibrâhim al-Anșârî, dan Osman Fazari. 16
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa kitab karya Az-Zarnûjî ini telah
banyak menarik perhatian yang sangat besar dari para orientalis dan para penulis barat. Di antara tulisan yang menyinggung kitab ini dapat dikemukakan antara lain: G.E. Von Grunebaum dan T.M. Abel yang menulis Ta‟lîm al-Muta‟allim Thurûq al-Ta‟allum: Instruction of the Students: The Method of Leaning; Carl Brockelmann dengan bukunya Gescicte der Arabischem Litteratur; Mehdi nakosten dengan tulisannya History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelas dan lebih mengenal karya satu-satunya dari Az-Zarnuji ini, penulis akan memaparkan tentang kitab Ta‘limul Muta‘allim ini.
A. Latar Belakang Penyusunan Kitab
15
Ahmad Mujib El-Shirazy dan Fahmi Arif El-Muniry, Landasan Etika Belajar Santri, (Ciputat: Sukses Bersama, 2007), Cet. II, h, 65 16 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII, h.155
32
Teks di atas pendahuluan dari kitab Ta'lim Al-Muta'allim, yang menjelaskan latar belakang penulisan kitab ini, kitab ini ditulis bermula dari kegundahan pengarangnya, Syaikh Az-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada masanya yang gagal memperoleh apa yang mereka cari, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam pendahuluannya bahwa ―Banyak para pencari ilmu yang ternyata banyak di antara mereka yang mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang diperolehnya‖.17 Menurut Syekh Az-Zarnûjî hal tersebut bisa terjadi, karena mereka salah jalan dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat dan tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana diharapakan.18 Jika dilihat dari latar belakang penulisan kitab Ta'lim al-Muta'allim ini, Syekh Az-Zarnuji menggunakan penelitian eksploratif yaitu seorang peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu.19 Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar. Maka dari itu dalam
kitab
Ta‟lîm
al-Muta‟allim
Az-Zarnûjî
lebih
memfokuskan
pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi para pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi 17
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 2 Az-Zarnûjî, Ibid. 19 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. XIV h. 14 18
33
dalam mencari ilmu agar apa yang mereka harapkan bisa tercapai, yaitu mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa mengamalkannya. Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri Az-Zarnûjî untuk menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ta‟lîm al-Muta‟allim untuk membantu para pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang harus mereka penuhi sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab tersebut dapat membantu mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjuk-petunjuk praktis, seperti bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktu-waktu yang ideal untuk belajar, bagaimana metode belajar yang baik dan sebaginya. Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif belaka, melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama sebelumnya yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di dalamnya. Oleh karena itu kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim sebaiknya perlu kita kaji dan pelajari kembali oleh para penuntut ilmu dan para guru karena isinya masih relevan untuk pendidikan masa kini.
B. Sistematika Penulisan Kitab Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim adalah kitab yang menjelaskan tentang adab atau etika pelajar dalam menuntut ilmu. Kitab ini merupakan karya penelitian atas ulama-ulama sebelumnya yang dianggap berhasil. Dalam kitab Ta‘lîm diterangkan tiga belas bab20, agar berhasil dalam mencari ilmu. Adapun isi kandungannya adalah sebagai berikut: 1.
Bab tentang hakikat ilmu dan fiqih serta keutamaannya. Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu. Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak bias ditawar dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi muslim dan muslimat. Perlu digaris bawahi bahwa dalam bab ini kewajiban 20
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 3
34
yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama. Kemudian setelah meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan mendalam. 2. Bab tentang niat di waktu belajar. Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab dengan niat itu dapat mengantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridaan Allah akan mendapatkan pahala. Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan niat mendapatkan harta banyak. 3.
Bab tentang memilih ilmu, guru dan teman. Dalam bab ini diterangkan bagaimana memilih ilmu, bagaimana cara
memilih guru, dan teman karena hal tersebut bisa mempengaruhi kehidupan peserta didik. 4.
Bab tentang menghormati ilmu dan ahlinya. Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama
dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya juga harus dimuliakan. 5.
Bab tentang tekun, kontinuitas dan minat (cita-cita). Bab ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus
bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu tidak boleh banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh ilmu yang berkah harus menjauhi maksiat. 6.
Bab tentang permulaan, ukuran dan tata tertib belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang
lebih utama adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar sesuai dengan
35
kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan. 7. Bab tentang tawakal. Dalam bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama dalam mencari ilmu. Selama dalam mencari ilmu jangan sering disusahkan mengenai rezeki, hatinya jangan sampai direpotkan memikirkan masalah rezeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat. 8.
Bab tentang masa belajar yang efektif. Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu tidak
terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat (kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan antara magrib dan Isya‘. 9.
Bab tentang kasih sayang dan nasihat. Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah
mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya. 10. Bab tentang mencari faedah. Dalam bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu. 11. Bab tentang wara‟ ketika belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian dari wara‟ adalah menjaga diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar.
36
12. Bab tentang faktor penyebab hafal dan lupa dalam belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, dan prihatin memikirkan perkara dunia. 13. Bab tentang faktor yang mendatangkan dan penghalang rezeki serta faktor penyebab panjang dan pendek umur. Dalam bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah ―Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rezekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan dosa‖. Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, dan sebagainya. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua.
C. Urutan-urutan Penjelasan Penampilan materi kitab ini dikatakan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan urutannya sebagai berikut: setelah basmalah, hamdalah dan shalawat secukupnya, kemudian menyebutkan judul kitab yang sesuai dengan isinya yang diabstraksikan sebelumnya. Sebelum itu pula dikemukakan alasan penyusunannya. Kemudian menampilkan keutamaan dan pengertian ilmu, hukum mempelajarinya sampai kepada bagaimana cara mengagungkan ilmu. 21 Materi yang dibahas di dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim mencakup semua hal yang dibutuhkan oleh para santri dalam menuntut ilmu yang bermanfaat. Ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang pentingnya menuntut ilmu dipaparkan oleh Az-Zarnûjî dengan bahasa yang mudah dipahami dan gamblang. Ujaran-ujaran sahabat dan petuah-petuah para salaf saleh juga menghiasi lembaran-lembaran kitab ini sehingga dapat dijadikan semacam catatan penting atau petunjuk bagi para santri agar meraih ilmu yang 21
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 4
37
bermanfaat. Tidak jarang Az-Zarnûjî juga menyampaikan saran-saran berharga bagi para pelajar serta menyarikan nasihat-nasihat bijak dari para salaf saleh tersebut. Tampaknya Az-Zarnuji mencoba merumuskan methode belajar yang komprehensif holistik; yaitu metodhe dengan perspektif teknis dan moral bahkan spiritual sebagai paradigmanya. Suatu tantangan bagi kita untuk berkompeten di bidang pendidikan untuk memahami dan merumuskan kembali apa yang selama ini kita lakukan.22
D. Komentar Para Ahli tentang Kitab Ta’limul Muta’allim Dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim ini , ada disebutkan tidak kurang dari 21 matan hadits, semuanya hadits mu‟allaq, jika dilihat sanadnya yang ada di situ. Kesemuaanya dikemukakan dalam konteks ke-adab-an, atau sebagai nasehat biasa, bukan sebagai hujjah dalam hukum syar‘iy.23 Namun para ulama sependapat bahwa hadits-hadits tidak shahih boleh dipegang untuk fadhoilul A‟mal, termasuk tata adab dan akhlak, selama isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur‘an.24 Adapun satu hadits yang dicantumkan sebagai hujjah untuk menentukan hukum syar‘I adalah ―Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan”, hadits ini digunakan sebagai dalil untuk menentukan hukum wajib dalam hal menuntut ilmu. Karena itu harus ditentukan status keshahih-annya. Dan Al-Bazzar (215-292H) menyatakan perawi dalam hadits ini semuanya shahih.25 Jadi Ta‟limul Muta‟allim ini adalah kitab adab bukan kitab hukum, artinya penekanannya bukan pada masalah salah dan benar atau shahih dan dha‘if. Kitab ini menjelaskan adab atau etika yang membawa kesuksesan orang menuntut ilmu.
22
As‘ad, op.cit., h. vii As‘ad, Ibid. 24 As‘ad, Ibid., h. x 25 As‘ad, Ibid., h. viii 23
38
Akan tetapi apa yang disampaikan oleh Az-Zarnûjî, selain mendapatkan apresiasi yang tinggi juga tak dapat dipungkiri ada beberapa kritik dan saran yang diajukan kepada kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim, antara lain: kitab tersebut kurang menumbuhkan minat dan gairah belajar serta tidak memberikan ruang bagi perbedaan pendapat antara guru dan murid. Dalam kitab tersebut, murid sepertinya harus ikut kepada guru dan tidak boleh mengkritiknya.26 Kemudian kita bisa melihat, misalnya komentar Dr. Fuad al-Ahnawi sebagai berikut: Nilai buku kecil ini (Ta‟lîm al-Muta‟allim) menurut saya tidaklah tinggi. Formatnya kecil menyerupai satu pasal tentang pendidikan dalam kitabkitab fiqih. Penulisnya tidak ada membawa soal-soal yang baru. Dia hanya menulis hal-hal yang sudah umum diketahui, dan pendapatnya diselingi dengan hikayat-hikayat, syair-syair dan matsal-matsal. Dia memberi konsumsi kepada masyarakat awam mengenai masalah iktiqadiyah dengan pemikiran-pemikiran imajinatif (waham-waham) yang tidak mempunyai dasar ilmiyah. Mengenai hal-hal yang menghambat rezeki, penulis mengatakan suatu yang tidak patut bagi seorang ulama. Di antara yang menghambat rezeki itu dia mengatakan ―menyapu rumah di malam hari, membakar kulit bawang, bersisir dengan sisir patah dan lain-lain.27 Kemudian komentar dari KH. Kholil Bishri, menurutnya: Pada kurun masa segala aspek tata kehidupan sudah bergeser seperti sekarang ini dan menjelang berlakunya era indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan Ta‟lîm al-Muta‟allim, sebaiknya didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi bertakwa kepada Allah swt belum ada pedoman khususnya selain kitab Ta‟lîm al-Muta'alim.28 Terlepas dari pro dan kontra di atas, kita tetap harus memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Az-Zarnûjî lewat kitab Ta‟lîm-nya karena tujuan dari beliau menulis kitab tersebut semata-mata karena ingin mengungkapkan bagaimana cara
26
Toto Edi, Dkk., Ensiklopedi Kitab Kuning, (Jakarta: Aulia Press, 2007), h.190 Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Ma‘arif), h. 238 28 Kholil Bisri, ―Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,‖ artikel diakses pada 15 November 2010 dari http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholil-bisrikonsep-pendidikan.html 27
39
yang sepantasnya bagi seorang pelajar dalam mencari ilmu. Akan tetapi hal ini perlu kita kaji kembali dan disesuaikan dengan kontekas pendidikan masa kini khususnya di Indonesia.
B. Pembahasan 1. Akhlak Belajar Pencarian pengetahuan tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan. Karena jika itu dilakukan, pencarian ilmu menjadi aktivitas yang sia-sia karena tidak menghasilkan apa-apa. Kalau pun mampu menguasi ilmu, ilmu tersebut tidak akan memberinya kemanfaatan. Ilmu hanya sekedar wacana, ilmu menjadi fashion yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan peradaban, tidak untuk kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu tidak mampu menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka. Oleh sebab itu penulisan kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim bermula dari kegundahan pengarangnya, yaitu Syaikh Az-Zarnûjî, saat melihat banyaknya para pencari ilmu pada masanya yang gagal memperoleh apa yang mereka cari atau di antara mereka yang mendapatkan ilmu, tetapi ternyata tidak bisa mendapatkan manfaat dan buahnya ilmu, yaitu dapat mengamalkan dan menyebarkan ilmu yang diperolehnya. Menurut Az-Zarnûjî hal tersebut bisa terjadi karena mereka salah jalan dalam mencari ilmu dan setiap orang yang salah jalan pastinya akan tersesat dan tidak sampai pada tujuannya. Mereka tidak tahu akhlak dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu sehingga mereka tidak mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang mereka harapakan.29 Belajar sebagai sarana untuk memperoleh ilmu, haruslah melalui jalan dan persyaratan yang benar. Karena jalan yang benar dan persyaratan yang terpenuhi dalam belajar adalah kunci untuk mencapai keberhasilan belajar. Maka dari itu dalam kitab Ta‟lîm al-Muta‟allim Az-Zarnûjî lebih 29
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 2
40
memfokuskan pembahasannya pada jalan atau persyaratan (metode) yang harus ditempuh guna memperoleh keberhasilan belajar. Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi para pencari ilmu harus mengetahui dan memahami syaratsyarat yang harus dipenuhi dalam mencari ilmu agar apa yang mereka harapkan bisa tercapai, yaitu mendapakan ilmu yang bermanfaat dan bisa mengamalkannya. Melihat kenyataan tersebut, terbesit dalam diri Az-Zarnûjî untuk menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ta‟lîm al-Muta‟allim untuk membantu para pencari ilmu agar mereka mengetahui syarat-syarat yang harus mereka penuhi sebagai penuntut ilmu. Harapan dari penulis, kitab tersebut dapat membantu mengarahkan para penuntut ilmu melalui petunjukpetunjuk praktis, seperti bagaimana memilih ilmu, guru dan teman, waktuwaktu yang ideal untuk belajar, bagaimana metode belajar yang baik dan sebaginya. Kitab yang beliau tulis bukan semata-mata hasil renungan spekulatif belaka, melainkan melalui penelitian terlebih dahulu terhadap para ulama sebelumnya yang dianggapnya telah berhasil yang banyak beliau kisahkan di dalamnya. Menurut Az-Zarnûjî akhlak belajar meliputi: Bagimana berniat dalam belajar, bagaimana memilih ilmu, guru, teman, dan ketabahan di dalam belajar, kemudian bagaimana penghormatan terhadap ilmu dan ulama, bagaimana keseriusan, ketekunan, dan minat dalam belajar, permulaan belajar, tata tertib belajar, tawakal dalam belajar, dan wara‟ dalam belajar.30 Itu semua adalah akhlak dan norma-norma serta tata urut belajar menurut AzZarnûjî yang dijelaskan dalam kitabnya Ta‟lîm al-Muta‟allim. Dari batasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak belajar adalah suatu proses dalam mendapatkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan, sehingga ilmu itu bermanfaat bagi kehidupannya, lingkungannya dan bangsanya. Yang merupakan pola belajar yang didasarkan pada niat yang tulus dan ikhlas yang disesuaikan dengan 30
As‘ad, op.cit., h. 16
41
minat dan bakatnya, yang disampaikan oleh guru yang cerdas dan profesional dan teman-teman sebaya yang saling mendukung dalam proses belajar demi tercapainya tujuan belajar. Adapun penjelasannya sebagai berikut; a.
Niat saat belajar
Menurut Az-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menyatakan bahwa belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, mengharap kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri dan dari segenap orang-orang bodoh,31 menghidupkan agama dan melestarikan agama.32
Dan dalam menuntut ilmu hendaklah diniatkan juga untuk mensyukuri atas karunia akal dan kebugaran badan, hendaklah tidak diniati untuk mencari popularitas, tidak untuk kekayaan, juga tidak diniati untuk mencari jabatan dan semacamnya.33 Menurut Az-Zarnûjî, seyogyanya bagi para pencari ilmu harus berpikir dengan serius, supaya ilmu yang mereka cari tidaklah sia-sia. Jangan sampai ilmu yang ia peroleh digunakan untuk tujuan duniawi yang hina.34 Dari pendapat beliau di atas, Az-Zarnûjî sangat mengecam bagi para penuntut ilmu yang hanya bertujuan untuk keduniawiaan belaka. Beliau lebih menekankan pada tujuan ukhrawi karena pada hakikatnya dunia adalah tempat singgah singgah sementara dalam perjalanan menuju akhirat. Namun demikian, Az-Zarnûjî memperbolehkan mencari jabatan dengan pendidikannya dengan syarat hanya untuk menyeru kebaikan dan mencegah
31
Dengan kata lain, niat menuntut ilmu adalah untuk meningkatkan budaya hidup dan membangun masyarakat yang berbudaya atau berperadaban tinggi. 32 As‘ad, op.cit., h. 17 33 As‘ad, Ibid., h. 19 34 Az-Zarnûjî, op.cit., h. 19
42
kemunkaran, menegakkan kebenaran dan mengagungkan agama bukan untuk kepentingan hawa nafsunya.35 Pendapat Az-Zarnûjî di atas sejalan dengan pendapat para pakar pendidikan Islam lainnya. Misalnya Muhammad Athiyah al-Abrasyi, mencari ilmu hendaknya mengorientasikan belajarnya dalam rangka memperbaiki dan menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia, dekat kepada Allah, dan bukan belajar dalam rangka membangga-banggakan diri.36 Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil, manusia yang sempurna, yaitu manusia yang dewasa jasmani dan rohaninya, baik secara intelektual, moral, sosial dan sebagainya. Akan tetapi jika dilihat secara kondisional di zaman sekarang ini, sepertinya jauh dari yang diharapkan oleh para ahli pendidikan Islam tersebut. Karena kebanyakan para pencari ilmu lebih mengutamakan kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Hal ini sulit untuk dipungkiri, karena kebanyakan dari mereka sudah terkontaminasi oleh gemerlap kehidupan dunia. Seperti kekayaan, kehormatan, kedudukan dan sebagainya. Pandangan ini tidak berarti menafikan orang-orang yang secara ikhlas mencari ilmu. Akan tetapi jika dianalogikan maka tepatnya seperti ungkapan ―mencari jarum dalam tumpukan jerami‖. Karena sangat sulit membedakan mana yang mencari ilmu secara ikhlas dan mana yang mencari ilmu karena kepentingan dunia. Akan tetapi kesulitan membedakan mana pencari ilmu yang ikhlas dan mana yang mencari ilmu karena kepentingan dunia sedikit teringankan dengan adanya komentar Imam Nawawi dalam kitabnya at-Tibyân fi adabi Hamalatil Qur‟an menyebutkan riwayat dari Zinnun al-Misri (salah satu ulama shufi) bahwa ada tiga ciri tentang ikhlas: 1. Mensejajarkan pujian dan celaan dari kalangan umum. 2. Tidak melihat amal yang dia lakukan pada segala amalnya. 35
Az-Zarnûjî, Ibid Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, penerjemah: Syamsuddin at.al., (Yogyakarta; Titian Ilahi Press, 1996), h. 73 36
43
3. Mencari pahala untuk diakhirat.37 Maka dari itulah betapa pentingnya pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang sempurna yang tidak hanya bertujuan untuk kebahagian di dunia saja akan tetapi bahagia dunia dan akhirat. Jangan sampai pendidikan Islam yang mulia ini yang berorientasi untuk kebahagian akhirat kita nodai dengan hal-hal yang bersifat keduniawian yang hina.
b. Memilih ilmu, guru dan teman 1. Memilih ilmu Dalam Ta‟lîm al-Muta‟allim sebagaimana karya ulama‘ salaf lainnya, Az-Zarnûjî menempatkan ilmu dalam skala prioritas paling utama, sebab eksistensinya sangat menentukan pola pandang hidup, corak berpikir, sikap dan prilaku seseorang. Beragamnya ilmu pengetahuan yang berkembang, menuntut seorang pelajar harus berhati-hati dalam memilih dan memilah mana di antara bukubuku bacaan ilmiah yang bisa mengantarkannya ke jalan yang lebih positif dan berpikir dengan benar terutama bila menyangkut teologis.
Penuntut ilmu hendaklah memilih yang terbagus dari setiap bidang ilmu – ilmu yang terbagus adalah ilmu pengetahuan yang subtansi maupun illaborasinya jelas, tidak debatable dan tidak konroversial. Hal ini penting dinyatakan karena di sini kita sedang berbicara mengenai proses belajar atau Thuruqut Ta‘allum-, memilih ilmu apa yang diperlukan dalam urusan agama di saat ini, kemudian apa yang diperlukan di waktu nanti.38 Dalam memilih ilmu (mentukan pilihan bidang studi/jurusan) para santri/siswa harus memilih ilmu/bidang studi yang paling baik atau paling cocok
37
Imam Nawawi, At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur‟an. (Software Maktabah Syamilah), Al-Bab Ar-rabi‘ Fi Adabi Muallimil Qur‘an Wa Muta‘allimihi 38 As‘ad, op.cit.,h. 24
44
dengan dirinya.39 Suatu bidang ilmu yang dikaji akan sangat menarik dan menantang bagi mereka yang menyenanginya dan yang merasa cocok dengan bidang ilmu itu, sehingga motivasi berprestasi dari santri/siswa akan mendorongnya untuk tekun belajar, keseriusan dalam mengerjakan tugas-tugas, serta kedisiplinan yang tinggi dalam mengikuti seluruh proses belajar yang mengajar, bahkan proses itu tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah/kampus ataupun pondok saja. Proses itu akan menjadi sumber kekuatan di manapun dan kapanpun, sehingga dalam konteks ini proses belajar mengajar tidak lagi mengenal tempat dan waktu, karena setiap saat dimana saja para santri/siswa dapat terjadi proses belajar mengajar.
Dalam kaitannya dengan memilih ilmu, Az-Zarnuji menganjurkan supaya mempelajari ilmu tauhid terlebih dahulu, kemudian ilmu-ilmu lama (karangan ulama salaf) dan menghindari ilmu-ilmu baru.40 Ilmu-ilmu lama atau kuna adalah ilmu yang diajarkan oleh nabi Muhammad Saw. Sedang ilmu baru adalah ilmu-ilmu yang lahir setelah periode tersebut, semacam ilmu perdebatan dan peramalan nasib. Batasan seperti ini tentu dimaksudkan dalam konteks mempelajari agama, karena dalam belajar ilmu agama memang diperlukan kemurnian atau akurasi ilmu dan faliditas informasinya, sedang akurasi dan faliditas ini bias diperoleh dari sumber asalnya (Nabi) dan generasi terdekat setelahnya (Sahabat dan Tabi‘in). belajar ilmu agama tidak boleh gegabah, sebab akan berakibat nilai-nilai agama terdistorsi dengan pemaksaan logika, sehingga ajarannya tidak murni lagi.41 Belajar adalah kewajiban setiap insan laki-laki dan perempuan. Semenjak dilahirkan hingga akhir hayatnya, orang muslim menurut Az-Zarnūji, tidak diwajibkan menuntut segala cabang ilmu pengetahuan, tetapi diwajibkan menuntut ilmu al-Hal. 39
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 23 Az-Zarnûjî, Ibid., h. 24 41 As‘ad, op.cit., h. 25 40
45
Orang muslim juga diwajibkan menuntut ilmu yang selalu diperlukan setiap saat. Karena orang muslim diwajibkan menunaikan ibadah sholat, puasa dan haji, maka ia diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara perbuatan wajib, wajib pula bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Wajib bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu perdagangan jikalau mereka berdagang. Misalnya bagaimana cara menyingkiri hal-hal yang haram, makruh dan syubhat. Setiap orang yang mengerjakan muamalah, wajib mengetahui ilmuilmu tentang bagaimana cara menyingkiri haram yang mungkin terjadi dalam muamalah tersebut. Termasuk yang wajib diketahui oleh setiap muslim pula, adalah ilmu gerak hati (ahwal al-qalb) seperti tawakkal, ridla, inabah, taqwa dan rendah hati.
2. Memilih Guru Adapun karakter guru yang bisa dijadikan pendidik bagi murid menurut Az-Zarnuji akan dibahas lebih terinci lagi pada bab karakter guru pendidikan agama islam.
3. Memilih Teman Selain peran guru, adalah peran lingkungan teman relasi juga tak kalah besaranya dalam membentuk karakter berpikir, pandangan hidup dan perilaku seorang pelajar. Dalam kaitannya dengan hal ini menurut Az-Zarnuji sebaiknya memilih teman yang rajin belajar, bersifat wara‘ dan berwatak itiqamah (lurus) dan mudah paham (tanggap). Hindarilah orang yang malas, penganggur, pembual, suka berbuat onar dan suka memfitnah.42 Hal ini dianggap sangat penting oleh Az-Zarnûjî dikarenakan banyak orang yang baik-baik berubah menjadi rusak disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memilih teman. Anak yang tumbuh di dalam keluarga yang menyimpang, belajar di lingkungan yang sesat dan bergaul dengan masyarakat yang rusak, maka anak
42
Az-Zarnûjî, op,cit., h. 31
46
akan menyerap kerusakan itu, terdidik dengan akhlak yang paling buruk, di samping menerima dasar-dasar kekufuran dan kesesatan. Kemudian dia akan beralih dari kebahagian kepada kesengsaraan, dari keimanan kepada kemurtadan dan dari Islam kepada kekufuran. Jika semua ini telah terjadi, maka sangat sulit mengembalikan anak kepada kebenaran, keimanan dan jalan mendapakan hidayah. Dari paparan yang telah disebutkan, kita dapat memahami bahwa sepantasnya seorang pencari ilmu memilih ilmu yang akan dipelajari terlebih dahulu dengan melihat kadar kemampuan dirinya dalam belajar, memilih guru yang sesuai dengan ilmu yang ditekuninya dan memilih teman yang dapat mendorong dirinya untuk terus meningkatkan kemampuan belajarnya. Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut bertolak belakang jika dilihat pada saat ini, yaitu banyak pencari ilmu yang hanya mencari ilmu semaunya saja tanpa melihat kadar kemampuannya. Hal inilah yang banyak menyebabkan kejenuhan yang menghantarkan kepada pemberhentian proses belajar tersebut. Hal lain yang bertolak belakang juga adalah proses pemilihan guru dan teman. Tidak sedikit pencari ilmu yang pencarian ilmunya terhambat karena ketidaktepatan memilih guru yang mengajarkan pelajaran yang dia tekuni dan memilih teman yang tepat dalam proses belajarnya. Kedua hal ini jika tidak tepat dalam penempatannya, maka akan menghambat perkembangan keilmuan si pencari ilmu.
c. Menghormati ilmu dan ahli ilmu Dalam melaksanakan pendidikan Islam, peranan guru sangat penting sekali, artinya guru memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu. Bukan pelajar sejati kalau tidak menghormati jasa pahlawannya dan setiap pelajar sejati tentu selalu mendambakan dirinya bisa menyerap pelajaran dengan mudah. Untuk mendapatkannya, seorang pelajar harus menghormati ilmu dan
47
mencintainya. Dengan kecintaannya terhadap ilmu maka akan menjadi sumber segala inspirasi yang sangat potensial membantu daya berpikir. Di antara menghormati ilmu, menurut Az-Zarnuji adalah sebagai berikut:
―Di antara menghormati ilmu adalah memuliakan kitab, seorang pelajar (santri) sebaiknya tidak memegang kitab kecuali dalam keadaan suci dari hadas…hal ini disebabkan ilmu adalah cahay dan wudu juga cahaya. Dengan demikian cahaya ilmu tidak akan bertambah kecuali dengan berwudu.‖43 Bila kecintaan ilmu bisa mengasah otak sedemikian rupa, maka penghormatan siswa terhadap pemiliknya (guru) akan membentuk pribadinya menjadi orang yang santun, tahu diri dan menghargai jasa pahlawannya yang jelas tidak mampu dinilai dengan harta. Az-Zarnuji memberikan kedudukan yang sangat tinggi terhadap guru. Dia harus dihormati dan dimuliakan. Kedudukan guru bagi muridnya tak ubahnya seperti orang tua terhadap anaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Az-Zarnuji:
“Sesungguhnya orang yang mengajarkan padamu satu huruf yang kamu butuhkan dalam urusan agamamu, maka ia merupakan ayahmu dalam kehidupan agamamu.”44 Sehubungan dengan hal di atas, menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip Yusuf al-Qardawi, bahwa: ―Hak guru lebih besar daripada hak kedua orang tua. Orang tua adalah sebab lahirnya seseorang dalam kehidupan fana, sedangkan guru menjadi sebab seseorang berada dalam kehidupan abadi (di akhirat). Kalaulah tidak ada guru, apa yang diterima oleh seseorang dari bapaknya niscaya menjulur
43
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 21 Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu (Terjemah Ta‟lim al-muta‟allim), Penerjemah: Muhammadun Thaifuri, (Surabaya:Menara Suci 2008), h. 36 44
48
kepada kebinasaan. Guru adalah orang yang memberikan makna hidup di akhirat‖.45 Az-Zarnuji memposisikan ahli ilmu (orang yang memiliki ilmu) terutama ahli fiqih jauh tingkatannya lebi tinggi dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah. Beliau mengutip syair Muhammad bin Hasan bin Abdullah sebagai berikut:
―Sesungguhnya seorang ahli fiqih yang wara‟ (teguh) lebih berat bagi setan (untuk menggodanya) dibanding seribu ahli ibadah.‖46 Hal ini sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:
―Telah mnceritakan kepada kami Muhammad bin Ismail, berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada kami Rauh bin Janah, dari Mujahid dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Seorang ahli fiqih itu lebih berat bagi setan (untuk menggodanya) dibanding seribu ahli ibadah.‖ (HR. at-Tirmidzi)47 Keutamaan orang yang memiliki ilmu dan mengajarkannya dijelaskan di dalam hadis Nabi, yaitu sebagai berikut:
―Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdi Al-A‟la As-San‟ani, telah menceritakan kepada kami Salamah bin Raja‟. Telaah menceritakan kepada kami Walid bin Jamil, telah menceritakan kepada kami Qosim Abu 45
Yusuf al-Qardawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: CV Rosda, 1989), h. 117 46 Az-Zarnuji, op.cit., h. 8 47 Abi ‗Isa Muhammad Ibn ‗Isa Ibn Saurah, Sunan at-Tirmidzi al-Jami‟ al-Shahih, (Beirut: Dar el-Marefah, 2002), h. 2681
49
Abdurrahman berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci, malaikat-Nya, penghuni-penghuni langit-Nya dan bumi-Nya termasuk semut dalam lubangnya dan termasuk ikan akan mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang mengajar manusia kepada kebaikan.‖ (HR. at-Tirmidzi)48 Sehubungan dengan
kedudukan guru yang demikian tinggi, al-Ghazali
memberikan penjelasan. Menurutnya ―seorang sarjana yang bekerja mengamalkan ilmunya adalah lebih baik daripada seorang yang hanya beribadah saja, puasa saja setiap hari dan bersembahyang setiap malam.‖49 Sejalan dengan hal itu Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip Abudin Nata mengatakan, ―Seorang yang berilmu dan kemudian ia mengamalkan ilmunya itu, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi pula dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiripun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya itu‖.50 Oleh karena guru adalah orang yang harus dihormati, lalu bagaimana cara murid untuk menghormati guru? Islam sangat menganjurkan agar umatnya menghormati para ulama dan guru. Dalam kitab Ta'lim Muta'allim, kitab tentang sopan santun menuntut ilmu yang banyak digunakan di pesantren salaf (tradisional),
dijelaskan
bagaimana
cara
menghormati
guru.
Al-Zarnuji
menjelaskan tentang penghormatan terhadap guru dalam pasal tertentu, yaitu pasal ke empat tentang mengagungkan ilmu dan ahli ilmu. Yaitu sebagai berikut: a. Memberikan sesuatu berupa hartanya atau apapun berupa sesuatu yang bermanfaat walaupun sedikit. Hal tersebut dilakukan agar anaknya bisa menjadi orang yang alim, jika anaknya tidak berhasil menjadi orang alim maka cucunya yang akan menjadi orang alim.51 b. Tidak berjalan kencang di depannya. c. Tidak duduk di tempat duduk gurunya. 48
Ibn Saurah, Ibid., h. 2685 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 68 50 Abudin Nata, Ibid. 51 Ibrahim Ibn Ismail, Syarah Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), h. 16 49
50
d. Tidak memulai percakapan dengannya kecuali atas izinnya. e. Tidak banyak bicara di hadapan guru. f. Tidak menanyakan sesuatu ketika guru sedang bosan. g. Menjaga waktu dan tidak mengetuk pintu atau kamarnya, tetapi harus menunggu sampai beliau keluar. h. Menjauhi amarahnya dan menjalankan perintah yang baik darinya. Jika guru memerintahkan hal yang bertentangan dengan agama maka tidak boleh patuh kepadanya. i. Menghormati anak-anaknya dan orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengannya.52 Menghormati guru adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. Tanpa menghormati guru proses pendidikan berjalan tidak sesuai dengan koridornya. Proses
pendidikan
dianggap
mengalami
kegagalan.
Pendidikan
hanya
memunculkan generasi yang cerdas tetapi tuna-akhlak. Akibatnya, tidak jarang siswa tidak menghormati guru. Tragisnya beberapa siswa mencaci-maki guru. Padahal, kecerdasan otak dan luasnya cakrawala pengetahuan siswa tidak hadir sendirinya tanpa sentuhan dan doa para guru mereka yang mengajarkan secara ikhlas. Walau demikian guru bukanlah Tuhan yang harus sangat diagung-agungkan. Menghormati guru tidaklah meninggalkan dimensi rasional, ada batas-batas tertentu secara akal terhadap penghormatan kepada guru. Dengan kata lain bukan berarti seorang murid harus meninggalkan proses pembelajaran dan harus selalu menghormati guru saja melainkan murid harus tetap berikhtiar yaitu dengan tetap belajar kemudian menghormati guru yang mengajari kita, maka dari itu ilmu kita akan bermanfaat. Kemudian termasuk dalam menghormati ilmu yaitu menghormati teman. AzZarnuji menjelaskan dalam kitabnya:
52
Az-Zarnuji, op.cit., h. 37-40
51
―Termasuk memuliakan ilmu adalah menghormati teman dan orang yang memberikan pelajaran. Pertalian dan ketegantungan adalah sikap yang tercela kecuali dalam hal menuntut ilmu. Bahkan sebaiknya mengikat pertalian dan ketergantungan dengan guru dan teman-teman belajar.”53 Kaitannya dengan hal ini, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi pelajar
hendaknya menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan antara sesama murid, sehingga terlihat seolah-olah mereka merupakan anak dari satu orang.54 Menghormati ilmu dan ahli ilmu bila diterapkan pada konteks saat ini, berarti harus ada pembatas antara murid dan guru karena ta‘dzim itu berupa akhlak yang mana tidak diperbolehkan seorang murid melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh gurunya tersebut, dan dalam kitab ini pula terdapat pernyataan bahwa seorang murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat kecuali ia bertindak hormat terhadap gurunya. Menurut pengamatan saya, terkait hormat terhadap guru pada saat ini kitab ini masih relevan, akan tetapi mengingat seiring berkembangnya budaya yang bercampur pada budaya barat, maka makna menghormati itu berubah yang dulunya klasik menjadi modern, yang dulunya ketika siswa bertemu guru itu tunduk (patuh), dan ketika dalam pembelajaran siswa hanya menerima pelajaran tanpa bertanya kecuali ditawarkan pertanyaan yang kesemua itu berubah menjadi ketika siswa bertemu guru itu saling menyapa, kemudian dihampiri dan terjadilah percakapan antara guru dan murid layaknya teman dekat dan dalam pembelajaran siswapun bertanya ketika tidak mengerti tanpa ada penawaran dari guru. Hal itu semua menurut konteks pemahaman saya masih dalam batas menghormati. Jadi tergantung kita memaknai konteks memaknai pada masa sekarang.
d. Keseriusan, ketekunan dan cita-cita luhur Pelajar seyogyanya bersungguh-sungguh hati dalam belajar serta tekun. Azzarnuzi menukil ayat alquran berikut untuk memeperkuat pendapat :
53
Az-Zarnuji, Ibid., h. 45 al-Abrasyi, op.cit., h. 74
54
52
―Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) kami, niscaya kami akan berikan mereka kepada jalan-jalan kami‖. (Q.S. Al-Ankabut :29) Selanjutnya Az-Zarnuzi mengarang syair yang isinya menceritakan kesungguhan para penuntut ilmu dalam memanfaatkan waktu belajar mereka. Syair itu sebagai berikut :
:“barang siapa ingin semua maksudnya tercapai” “jadikanlah malam, tunggangan untuk mencapai” “kurangilah makan, agar kau mampu menjaga” “Bila kau idamkan mendapat sempurna”
Mengenai keharusan untuk tekun dalam belajar Az-zarnuzi menjelaskan :
adalah suatu keharusan bagi pelajar untuk tekun atau rutin dalam belajar serta mengulangi pada setiap awal dan akhir malam, karena antara waktu maghrib dan isya serta waktu sahur adalah waktu yang penuh berkah.55 Berkenaan dengan cita-cita luhur, Az-zarnuzi mencatat sebagai berikut :
seorang penuntut ilmu harus memili cita-cita yang luhur dalam berilmu. Karena sesungguhnya seseorang akan terbang dengan cita-citanya sebagaimana burung tebang dengan sayapnya.56
55
Az-Zarnuji, op.cit., h. 55 Az-Zarnuji, Ibid., h. 57-58
56
53
Az-Zarnnuji mewajibkan hal ini karena menurutnya kesungguhan dan citacita tinggi adalah adalah pangkal kesuksesan. Baginya cita-cita tinggi tapi tidak ada kesungguhan berusaha, sungguh-sungguh tetapi tidak ada cita-cita tinggi hanya akan memperoleh sedikit ilmu. Az-Zarnuji menandaskan pendapatya ini dengan syair gubahannya : wahai jiwaku, tinggalkan kemalasan dan penundaan masalah, maka kau jatuhkan aku dalam kehinaan. Tak pernah kulihat sesuatu yang dapat diraih bagi pemalas kecuali penyesalan dan cita-cita yang tak terwujud.57 Karena itu, bagi Az-Zarnuji belum dianggap bersungguh-sungguh seorang penuntut ilmu melakukan aktifitas belajar, kalau belum mencapai kelelahan dan keletihan guna mencapai kesuksessan. Keseriusan, ketekunan dan cita-cita luhur merupakan 3 hal yang harus ada dalam jiwa seorang pencari ilmu. Tapi jika dihubungkan dengan kondisi sekarang ini, rasanya sulit untuk menemui orang yang mencari ilmu dengan kriteria 3 hal ini. Hal ini bukan dikarenakan kurangnya fasilitas dalam belajar, akan tetapi lebih dikarenakan oleh kelabilan jiwa si pencari ilmu. Mereka seolah-olah menganggap remeh persoalan mencari ilmu, maka hal inilah meurut penulis yang sering mengakibatkan timbulnya ketidakseriusan dan berkurangnya ketekunan dalam belajar. Dan satu hal yang sering terlupakan oleh para pencari ilmu, yaitu cita-cita yang luhur. Keseriusan dan ketekunan dapat muncul jika dilandasi oleh cita-cita yang luhur, karena dengan adanya cita-cita yang luhur maka akan muncul semangat yang berimbas pada munculnya keinginan untuk mendapatkan tujuannya tersebut. Jika kita perhatikan cita-cita luhur sepertinya sedikit banyak telah hilang dari jiwa seorang pencari ilmu di masa sekarang ini. Poin ini erat kaitannya dengan poin satu yaitu niat awal disaat melakukan prose belajar.
e. Metode Belajar Dalam proses pendidikan Islam, metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia merupakan sarana dalam menyampaikan materi pelajaran. 57
Az-Zarnuji, Ibid., h. 61-62
54
Secara literal metode berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari dua kosa kata, yaitu meta yang berarti ―melalui‖ dan hodos yang berarti ―jalan‖. Jadi metode berarti jalan yang dilalui.58 Sedangkan metode pendidikan menururt Samsul Nizar adalah ―teknik yang digunakan peserta didik untuk menguasai materi tertentu dalam proses mencari ilmu pengetahuan.‖59 Menurut Ahmad Tafsir, metode pendidikan ialah ―semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.‖ Kemudian menurut Abdul Munir Mulkan, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar metode pendidikan adalah ―suatu cara yang dipergunakan untuk menyampaikan atau mentransformasikan isi atau bahan pendidikan kepada anak didik‖.60 Jadi metode adalah cara guru dalam menyampaikan materi terhadap peserta didiknya. Az-Zarnûjî dalam Ta‟lîm-nya menawarkan kepada para pelajar untuk menggunakan metode-metode sebagai berikut: a. Mengulang dan menghafal Az-Zarnûjî menganjurkan agar selalu mengulang-ulang pelajaran yang telah diperolehnya, karena dengan cara mengulang-ulang maka akan mudah diingat dan dihafal.61 Metode ini diasumsikan untuk belajar tempo dulu, dimana masih amat sulit diperoleh kertas sehingga setiap pelajaran harus dihafalkan di luar kepala. b. Memahami dan mencatat Az-Zarnûjî menganjurkan kepada para penuntut ilmu agar membuat (Ta‟liq pelajaran) catatan sendiri. Akan tetapi sebelum mencatat sebaiknya dipahami terlebih dahulu dan mengulanginya berkali-kali. Karena bila mencatat sesuatu yang belum dipahami akan membuat bosan, menghilangkan kecerdasan dan
58
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h.
65 59
Nizar, Ibid., h. 66 Nizar, Ibid. 61 Az-Zarnûjî, op.cit., h. 74 60
55
menyia-nyiakan waktu. Oleh karena itu anak didik harus bersungguh-sungguh memahami materi pelajaran lalu kemudian membuat catatan sendiri.62 Ta‟liq pelajaran adalah catatan yang dibuat oleh murid sendiri tentang pengertian atau persepsi yang diperoleh dari pelajaran tersebut sesuai dengan penjelasan gurunya. Sekarang mirip dengan notulasi pelajaran. Praktek di pesantren, kebanyakan berujud catatan-catatan kecil yang ditulis pada bagian tepi lembaran-lembaran kitab, biasaya berderet miring. c. Mużakarah Metode mużakarah ini bisa dikatakan metode soal-jawab antara sesama pelajar atau bisa juga dikatakan tukar pendapat untuk saling melengkapi pengetahuan masing-masing. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan ingatannya terhadap pelajaran-pelajaran yang sudah diterimanya.63 d. Munaẕarah Munaẕarah diambil dari kata naẕarun, artinya ―pandangan.‖ Metode ini bisa disebut dengan metode diskusi kelompok yaitu saling mengkritisi pendapat masing-masing Masing-masing anggota mempunyai pandangan atau pendapat tersendiri untuk disampaikan kepada anggota yang lainnya.64 e. Muṯarahah Muṯarahah diambil dari kata ṯarahum, artinya menurut bahasa ―melontarkan.‖ Metode ini dapat dikatakan dengan metode diskusi kelas, anggota yang satu mengkritik anggota yang lain. atau metode adu pendapat untuk diuji dan dicari mana yang benar. Dalam metode ini berbeda dengan diskusi kelompok yang mana dalam diskusi kelompok dipimpin oleh salah seorang anggota sedang pada diskusi kelas dipimpin oleh guru.65 Az-Zarnuji menekankan pendidikan pada hafalan mungkin banyak kalangan yang mengkritisinya, terutama pada era moderen ini. Permasalahannya adalah apakah betul pembelajaran yang menggunakan teknik menghafal menjadikan anak 62
Az-Zarnûjî, Ibid., h.76 Busyairi Madjidi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim (Yogyakarta: Al Amin press 2007) h. 115. 64 Madjidi, Ibid. 65 Madjidi, Ibid., h. 151 63
56
didik yang kurang kreatif, tidak mampu mengembangkan pengetahuan yang dimiliki, dan ada dalam kadar keaktifan mental yang paling rendah sebagaimana dituduhkan. Hal itu mungkin benar jika dalam proses pembelajaran hanya dipraktekan metode hafalan saja tanpa dibarengi dengan aspek-aspek kognitif-rasional dan pengembangan wawasan, seperti yang sering dijumpai dalam proses pengajaran kitab kuning di banyak pesantren. Namun, jika yang terjadi adalah mengkolaborasikan antara keduanya, yaitu metode hafalan yang diberengi dengan aspek-aspek kognitif-rasional, hal ini dapat dikatakan suatu keberhasilan dalam proses pendidikan, karena pada dasarnya hafalan akan memperkuat argumen dalam suatu keilmuan. Sebenarnya kolaborasi antara metode hafalan yang diberengi dengan aspekaspek kognitif-rasional telah digariskan Az-Zarnuji dalam Kitab Ta‘lim alMuta‘allim ini, hal ini tampak dalam kalimat
―Sebaiknya siswa selalu mencatat sendiri mengenai pelajaran yang telah dihafalnya dan banyak mengulang karena sesungguhnya sangat bermanfaat ‖66
―Seorang siswa mutharahah‖67
hendaknya
melakukan
mudzakarah,
munadharah,
dan
Jelas bahwa ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa di satu sisi Az-Zarnuji menganjurkan membuat catatan yang telah dihafal. Sementara itu, di sisi lain bagaimana mudzakarah (saling mengingatkan), munadharah (saling mengadu pandangan), dan mutharahah (diskusi) dijadikan sarana untuk mengembangkan aspek-aspek kognitif-rasional dan pengembangan wawasan. Sebagai ukuran bahwa metode hafalan dalam kenyataannya tidak memasung kreatifitas dan rasionalitas seseorang, mungkin bisa melihat sejarah hidup salah 66
Az-Zarnûjî, op.cit., h.75 Az-Zarnûjî, Ibid., h. 79
67
57
satu dari sekian tokoh besar yang dalam proses belajarnya dilalui dengan hafal menghafal, yaitu Imam Abu Hanifah seorang tokoh yang sering dikutip pendapatnya oleh Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta‟lim al-Muta„allim. Dia tergolong orang yang menganut aliran pemikiran yang rasional. Diceritakan bahwa sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal al-Qur‟an dan beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya dan mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Metode mużakarah, Munaẕarah dan muṯarahah ini memiliki kelebihan dibandingkan metode mengulang-ulang dan menghafal. Dalam metode diskusi ini, Az-Zarnûjî memperingatkan agar dilakukan dengan penuh kesadaran dan kehatihatian dalam berpikir karena fungsi dari metode diskusi ini hanya untuk mencari kebenaran bukan mencari kemenangan.68 Dalam poin ini Az-Zarnûjî menyarankan beberapa metode dalam hal belajar menurut pandangannya. Dalam pendidikan era modern ini ada sebagian pendapat Az-Zarnûjî yang dipakai yaitu metode diskusi, sebagai sarana pengembangan cara berpikir seorang pencari ilmu. Akan tetapi yang sangat disayangkan adalah berkurangnya daya ingat pencari ilmu karena kurangnya kebiasaan menghafal. Sebagaimana yang telah dikatakan Az-Zarnûjî, metode menghafal di era modern ini dianggap metode yang mengurangi kreatifitas seorang pencari ilmu. Menurut penulis, padahal jika dibiasakan menghafal maka kemampuan daya ingat akan semakin meningkat. Jika Az-Zarnûjî mengutamakan memahami dibanding mencatat, maka penulis berbeda pandangan dengan beliau. Dalam hal ini bukan berarti penulis menyalahkan beliau, akan tetapi lebih melihat kepada kondisi daya tangkap para pencari ilmu dimasa sekarang ini.
f. Tawakkal Tawakal terambil dari kata Wakal-yakilu yang berati "mewakilkan", dan dari kata ini terbentuk kata Wakil. Dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa, "Dan Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (Q.S. Al-An'am: 102). dan cukuplah 68
Az-Zarnûjî, Ibid., h. 76, 81
58
Allah sebagai wakil (An-Nisa': 81). Kata wakil bisa juga diterjemahkan sebagai "pelindung".69 Maksdunya menyerahkan kepada Tuhan segala perkara. Bertawakkal adalah akhir dari proses dan ikhtiar seorang mukmin untuk mengatasi urusannya.70 Namun Tawakkal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi dan melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.71 Dalam hal ini Az-Zarnuji mengatakan :
pelajar harus bertawakal dalam menuntut ilmu. Jangan goncang masalah rizki, hatinya pun jangan terbawa kesana. Pendapat Az-Zarnuji
ini merupakan satu hal yang sangat benar, bahwa
serang pelajar harus bertawakkal penuh terhadap Allah ketika sedang melaksanakan proses mencari ilmu atau hal-ha lain. Karena ketika seorang pelajar sudah berkurang rasa tawakkalnya maka lambat laun proses belajarnya pun akan terganggu. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah yang sering mendera seorang pelajar adalah masalah rizqi (keuangan). Oleh karenannya, dalam kondisi seperti inilah peran seorang guru untuk menekankan kepada muridnya agar senantiasa konsisten dan tawakkal dalam menuntut ilmu. Tawakkal bukan berarti mengesampingkan usaha dan bukan juga berpangku tangan. Akan tetapi lebih kepada menyerahkan hasil akhir kepada Allah. Seorang pelajar yang mau bertawakkal hendaknya tidak perlu khawatir terhadap masalah-masalah yang dia hadapi terutama masalah rizqi (keuangan), karena Allah telah menjamin bagi oang mukmin yang mau bertawakkal maka Allah yang akan mencukupi urusannya. Sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Tholaq: 65 69
M. Quraish Sihab, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur'an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), Cet. I h.171 70 Madjidi, op.cit., h. 107. 71 Sihab, op.cit., h. 173
59
Az-zarnuji megingatkan pengaruh urusan dunia dengan penjelasanya sebagai berikut:
Orang yang berakal sehat tidak akan gundah memikirkan urusan dunia, karena kegundahan dan kesedihan tidak akan menghindarkan musibah dan tidak akan memberikan manfaat. Sebaliknya, ia akan membahayakan hati, akal dan fisik serta akan menodai amal kebaikan yang perlu mendapat perhatian adalah urusan akhirat, karena itulah yang akan memberikan manfaat. Dalam komentarnya ini Az-Zarnuji memberkan peringatan kepada para pelajar khususnya dan kalangan umum pada umumnya. Ada beberapa hal yang dapat kita ambil dari komentarnya ini, yaitu untuk orang-orang yang berakal terutama penuntut ilmu hendaknya tidak terbebani dengan urusan-urusan dan masalah-masalah keduniaan, karena merasa sedih dan khawatir terhadap dunia tidak akan menimbulkan manfaat atau keuntungan sedikitpun. Bahkan akan menimbulkan efek yang buruk bagi hati, akal, dan badan, serta bisa mencacati amal-amal kebaikan. Beliau mengharapkan agar urusan akhiratlah yang lebih diutamakan yaitu mencari ilmu agama untuk kepentingan agama, karena hal itu akan memberikan manfaat untuk kehidupannya di dunia maupun akhirat.
g. Wara’ Selanjutnya menurut Az-Zarnûjî, seorang pelajar harus bersifat wara‘ (Self Protection) dalam mencari ilmu, Dapatlah dilihat, secara harfiah kata wara‟ berarti ―menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.‖72 Ia juga berarti Iffah yaitu mencegah diri melakukan sesuatu yang tidak pantas.73 Menurut Ibrahim bin Adham, wara‟ adalah ―meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.‖74 Sedangkan menurut Syaikh alHaddad wara‟ adalah 72
Munawwir, op.cit., h.1552 Lalu Heri Afrizal, Ibadah Hati, (Jakarta: Garfindo Media Pratama, 2008), Cet. I, h.179 74 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Amzah, 2005), h. 73
284
60
―Bersikaplah menerima kesederhanaan hidup, dan jangan berpanjang angan-angan, dan bersikaplah waspada (wara‟) terhadap apa yang tidak halal.‖75 Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mendefinisikan wara' sebagai berikut: ―Meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan akan berbahaya ahirat". Sedangkan menurut As-Sayyid Al-Jurjani sebagai berikut: ―Meninggalkan perkara syubhat karena takut terjerumus ke dalam perbuatan haram".76 Jadi wara‟ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat atau samar-samar hukumnya baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan apapun. Meninggalkan apa-apa yang haram merupakan keharusan setiap Muslim. Setiap Muslim juga harus sekuat mungkin meninggalkan apa saja yang makruh. Ini merupakan sikap dasar setiap Muslim. Jika demikian sudah sepantasnya seorang pelajar harus memiliki sifat wara‟. Sikap wara‟ itu tumbuh karena iman yang terus hidup di dada, harapan pada keridaan Allah yang terus bersemi dan rasa takut yang terus menyala terhadap azab-Nya akibat keharaman meski sangat kecil atau sedikit. Ulama membagi wara' menjadi tiga macam. Pertama, wara' wajib, yaitu: mencegah diri dari perbuatan haram, dan ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang. Kedua, Wara Mandub (sunnah), yaitu: mencegah diri dari perkara-perkara syubhat, dan ini biasanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Ketiga, Wara' dari Mubahat (Perbuatan yang boleh dilakukan) yang tidak penting, dan ini sifat dan karakter pribadi para nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.77 Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara‟ adalah kehatihatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah saw bersabda:
75
Jumantoro, Ibid. Afrizal, op.cit., h. 180 77 Afrizal, Ibid., h. 187 76
61
“Menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir: Mengkhabarkan kepada kami Sufyan dari Abi Farwah dari Sya‟bi dari Nu‟man bin Basyir berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: (perkara) yang halal itu jelas dan (perkara) yang haram juga jelas. Sementara itu, (perkara yang ada) di antara keduanya adalah perkara-perkara syubhat (yang samar) yang tidak diketahui oleh bagian besar manusia. Barang siapa yang menhindari (semua perkara) syubhat, maka dia telah menjaga kesucian agama dan dirinya. Namun, barang siap yang terjerumus ke dalam (perkara) syubhat, maka dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)78 Hadis di atas menjelaskan bahwa yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan yang berada di antaranya itu adalah perkara syubhat. Orang yang hatinya bersih dan takut terhadap Allah, dia akan meninggalkan hal-hal yang berada di antara halal dan haram (perkara syubhat), karena bila terjerumus ke dalam perkara yang syubhat (samar-samar hukumnya) maka akan terjerumus ke dalam perkara yang haram pula. Beliau juga bersabda:
―Menceritakan kepada kami Abu Mushir dari Ismail bin Abdillah bin Samaah dari Awza‟I dari Qurroh dari zuhri dari Abi Salamah dari Abi Huroiroh berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.‖ (HR. Tirmidzi).79
78
Abî Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‘il al-Bukhârî, Şahih Bukhâri, (Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008), hadis No. 2051, h. 288. 79 Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmiżi, Juz I, (Mesir: Dar al-Ibnu Al-Jauzi, 2011), Kitab Zuhud, hadis No. 2317, h. 426
62
―Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukan‖. (HR. Bukhari).80 Dengan demikin, sikap wara‟ merupakan sikap kritis dan antisipasi diri terhadap apapun yang bisa menjadi aib; mengedepankan kehati-hatian bertindak; keluar dari yang samar menuju yang jelas; meninggalkan yang meragukan menuju yang tak meragukan; tidak memperturutkan keinginan, tetapi mengambil sesuai yang dibutuhkan atau sekadarnya; mengambil hal mubah untuk menguatkan ibadah, meningkatkan ketaatan, dan manambah taqarrub kepada Allah. Di samping kehati-hatian itu kita juga butuh bekal yang terbaik dalam hidup kita, yaitu ―istighfar‖, karena apabila ada sesuatu yang haram yang tidak sengaja kita makan maka masih ada netralisatornya yaitu ampunan Allah dan untuk mendapatkan ampunan Allah kita harus membiasakan diri ber-istighfar.
B. Karakter Guru Sebagaimana telah diuraikan di bab sebelumnya bahwa dalam ajaran Islam, guru mendapatkan penghormatan dan kedudukan yang tinggi. Sangat logis jika penghormatan dan kedudukan yang tinggi tersebut diberikan kepada guru karena guru sangat berjasa dalam membimbing, memberikan pengetahuan, membentuk akhlak peserta didiknya hingga dia menjadi manusia yang seutuhnya yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Para ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi perangai atau sifatsifat yang baik yang harus dimiliki oleh guru di samping harus mengetahui ilmu atau pengetahuan yang akan diajarkan kepada muridnya. Dengan sifat-sifat yang baik tersebut diharapkan apa yang disampaikan oleh guru bisa didengar dan dipatuhi, tingkah lakunya dapat diteladani dan ditiru dengan baik. Atas dasar ini para ahli sepakat menetapkan sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru. Untuk menjadi orang yang pantas ditaati dan diikuti, tidaklah salah apabila sebagai guru menengok kembali apa yang telah diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa:
80
al-Bukhârî, op.cit., h.228
63
―Adapun dalam memilih guru, hendaknya memilih orang yang lebih alim (pandai), lebih wara‟ dan lebih tua.”81 Az-Zarnûjî juga mengutip pendapat Abu Hanifah mengenai sifat-sifat tertentu yang harus dimiliki oleh guru, sebagai berikut:
―Saya dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Dan beliau berkata “Maka aku menetap di samping Hammad bin Abi Sulaiman, dan akupun tumbuh dan berkembang”.82 Hammad bin Abu Sulaiman Al Asy‘ary, salah seorang ulama‘ ahli fikih yang luas ilmunya, masuk periode Tabi‘in. imam Abu Hanifah berguru kepada beliau dan manetap di sana selama 18 tahun, mengangsu ilmu sangat banyak dan meriwayatkan hadits-hadits beliau. Syaikh Ahmad wafat tahun 120 H/ 738 M.83 Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa „alim, wara‟, dan lebih tua usianya dibanding muridnya, menurut Az-Zarnuji adalah syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru. Sifat-sifat itulah yang dimiliki Hammad bin Abu Sulaiman, sehingga Abu Hanifah memilih menjadi gurunya, karena semata-mata seorang guru yang tua dan berwibawa, murah hati, serta penyabar, sehingga Abu Hanifah menetapkan untuk menimba ilmu kepadanya sampai ―berkembang‖. Kata berkembang, menurut Ibrahim bin Ismail mengandung arti bahwa Abu Hanifah tidak pernah berpindah guru dalam menimba ilmu hingga menjadi seorang Mujtahid kecuali hanya kepada Hammad bin Abu Sulaiman.84 Dengan melihat kedudukan baik guru maupun siswa serta syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat, sebagaimana dikatakan Az-Zarnuji bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, ―tua‖ dapat juga 81
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 13 Az-Zarnûjî, Ibid 83 As‘ad, op.cit., h. 27 84 Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 13. 82
64
berarti orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik. Dalam konteks ini, mungkin sesuai dengan teori revitalisasi budaya yang mengatakan bahwa subyek didik pada hakekatnya adalah orang yang masih perlu mendapat tuntunan, sehingga lebih tepat apabila guru adalah orang yang lebih dewasa.
a. Al-A’lam (lebih alim) Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Alim adalah isim fail dari kata dasar: alima yang artinya ―yang terpelajar, sarjana, yang berpengetahuan, ahli ilmu.‖85 Jadi alim adalah orang yang berilmu dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Sedangkan kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan penjelas tentang kata a‟lam yang dimaksud oleh Az-Zarnûjî, yaitu
Yang dimaksud lebih alim yaitu guru yang ilmunya selalu bertambah. Bila kita menganalisis dari segi bahasa bahwa kata a‟lam merupakan isim tafdhil yang berarti lebih alim. Jadi sosok guru yang diinginkan oleh Az-Zarnûjî adalah guru yang tidak hanya sekedar alim tetapi guru yang lebih alim yang ilmunya selalu bertambah. Di sisi lain, kata ‗alim dapat juga disamakan dengan kata ulu al-albâb, ulu alnuha, al-mudzakki, dan al-mudzakkir. Oleh karena itu, dengan mengacu makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut, guru yang ‗alim sesuai dengan kata ulu al-albâb berarti dia harus memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga mampu menangkap pesan-pesan ajaran, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan, serta memiliki potensi batiniah yang kuat sehingga dia dapat mengarahkan hasil kerja dan kecerdasannya untuk diabdikan kepada Tuhan. Ulu al-nuha, berarti guru harus dapat mempergunakan kemampuan intelektual dan emosional spiritualnya untuk memberikan peringatan kepada manusia 85
Munawwir, op.cit., h. 966. Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 12.
86
65
lainnya, sehingga manusia-manusia tersebut dapat beribadah kepada Allah swt. Al-mudzakki, berarti seorang guru harus dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Adapun arti kata al-mudzakkir, maka seorang guru harus berfungsi sebagai pemelihara, pembina dan pengarah, pembimbing, dan pemberi bekal pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan kepada orang yang memerlukannya.87 Jadi guru harus selalu menanambah pengetahuannya. Jika pengetahuan guru tidak bertambah maka tidak akan mungkin berhasil dengan baik. Jangan sampai ilmu guru lebih rendah dari muridnya apalagi di zaman modern seperti sekarang ini di mana peserta didik bisa mengakses lewat internet seperti google dan sebagainya yang kemungkinan peserta didik sudah tahu terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Oleh karenanya guru harus sudah siap sebelum mengajar dan selalu menambah ilmu pengetahuannya, seperti muṯala‟ah untuk materi yang akan disampaikan kepada muridnya dan sebagainya. Mengapa guru harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan selalu harus menambahnya? Menurut M. Ngalim Purwanto, pertanyaan seperti itu sangat mudah untuk dijawab. ―Guru tidak boleh tradisional. Guru bukannya mesin yang dapat memberikan pengajaran tiap-tiap tahun dengan cara yang sama dan tentang pengetahuan yang itu-itu saja.‖88 Dan memang harus kita akui bahwa dunia sudah berubah dan kebudayaan manusia juga berubah. Bahan bacaan semakin banyak diterbitkan, dan jaringan internet semakin mudah diakses. Jika guru ilmunya ituitu saja maka ada kemungkinan guru bisa tidak dihormati oleh muridnya karena merasa dirinya lebih pintar dibandingkan gurunya. Kemudian
menurut
Abdurrahman
an-Nahlawi
seorang
guru
harus
meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya,89 sebagaimana diserukan Allah kepada para pengikiut Rasul
87
Abudin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazâlî, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. I, h. 44-47. 88 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 147. 89 Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 172
66
Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan kamu mempelajarinya!‖ (QS. Ali Imran/3 :79) Jika banyak kekeliruan yang dilakukan guru maka kepercayaan peserta didik akan berkurang bahkan peserta didik akan menyepelekan ilmu yang diberikan kepadanya serta akan menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka, penambahan wawasan bagi guru akan mendapat simpati dan minat belajar siswa. Kemudian menurut Martinis Yamin, seorang guru yang sukses selalu mengembangkan dirinya terhadap pengetahuan dan mendalami keahliannya, kemudian guru tersebut rajin membaca literatur-literatur, dengan tidak merasa rugi membeli buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan yang digelutinya.90 Seorang guru agama Islam perlu memiliki ilmu tentang pokok-pokok pendidikan yang dibawa oleh syari'at Islam. Menguasai hukum halal dan haram, mengetahui prinsip-prinsip etika Islam, serta memahami secara global peraturanperaturan Islam. Dengan mengetahui semua ini guru akan menjadi seorang yang bijak, meletakkan segala sesuatu pada tempat yang sebenarnya, mendidik anak pada pokok persyaratannya, dan memperbaiki dengan berpijak pada dasar-dasar yang kokoh dari ajaran al-Qur'an. Allah berfirman:
―Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.‖ (QS. az-Zumar/39 :9) Jika batasan arti kata alim di atas yang dipegang, tentu saja bahwa guru yang alim dapat berarti guru yang mempunyai keahlian khusus dalam bidangnya (profesional) yang memegang nilai-nilai moral atau dapat juga berarti guru yang mempunyai kompetensi. Guru yang alim dapat berarti juga orang yang 90
Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia ( Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 23
67
mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga mampu melakukan prilaku-prilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Salah satu ciri lain orang berilmu dalam Al-Qur'an ialah memiliki rasa takut. Ini tertera dalam surat Fathir ayat 28:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Q.S Fathir 28) Adapun tanda-tanda orang yang memiliki rasa takut menurut Ibnu Ibad ialah meninggalkan empat ketergantungan yaitu: pertama,, tidak cinta dunia. Kedua, tidak berharap kepada makhluk. Ketiga. Menahan hawa nafsu. Keempat. Meninggalkan perbuatan syaitan.91 Alim (berilmu) adalah karakter pertama yang disandangkan pada seorang guru oleh Az-Zarnûjî. Guru yang alim dalam konteks pendidikan saat ini dapat diartikan sebagai persyaratan intelektual (akademis) yang termasuk dalam kompetensi profesional, yaitu kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Guru yang berlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang kompetensi tersebut sebagai berikut. 1) Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia. 2) Menunjukan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus. 3) Menguasai mata pelajaran yang diajarkan. 4) Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa.92
91
Sayid Alwi Bin Ahmad As-Segaf, Majmuah Sab'atu Kutubu Mufidah, (Haramain, 2004), Cet. II Hal. 5 92 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 17
68
Yang perlu diperhatikan, bahwa guru sebagai orang yang alim atau berilmu, maka harus melekatkan nilai-nilai moral pada dirinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Az-Zarnûjî bahwa
―Sebaiknya bagi orang yang berilmu, janganlah membuat dirinya sendiri menjadi hina lantaran berbuat tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya, dan hendaknya menjaga dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan para pemegang ilmu, sebaliknya, berbuatlah tawadlu (sikap tengah-tengah antara sombong dan kecil hati) dan iffah‖.93 Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang selalu menghindarkan diri dari segala akhlak dan perbuatan yang tercela memelihara diri dari kenistaan, seperti sifat tamak (mengharap sesuatu dari orang lain secara berlebih-lebihan), sehingga tidak menimbulkan kesan yang hina terhadap ilmu dan sifat ilmuwan. Demikian pula orang yang berilmu hendaknya bersifat tawadu (merendahkan hati tetapi tidak minder) dan jangan bersifat sebaliknya (sombong), dan juga orang berilmu haruslah memiliki sifat iffah (memelihara diri dari beragam barang haram).
b. Al-Awra’ (Menjaga Diri) Selanjutnya, syarat yang kedua, menurut Az-Zarnûjî, bahwa guru harus wara‟ hal ini jelas mengandung muatan moral. Mengenai pengertian wara‘ sudah dibahas pada bab akhlak belajar siswa. Terkait dengan guru, Syekh Ibrâhim bin Ismâ‘il mengungkapkan bahwa guru yang wara‟ berarti guru yang dapat menjauhi dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, senda gurau dan menyia-nyiakan umur atau waktu, menjauhi perbuatan ghibah (menuturkan kejelakan orang lain) dan bergaul bersama orang yang banyak bicara tanpa membuahkan hasil dalam pembicaraan, ngobrol, dan omong kosong.94
93 94
Az-Zarnûjî, op.cit., h. 11 Ibrâhim Ibn Ismâ‘il, op.cit., h. 39
69
Begitu jeli Az-Zarnûjî menguak kepekaan sosial ini, sampai-sampai, sesuatu yang seringkali kita pandang sebagai yang biasa-biasa ternyata memiliki efek yag panjang. Pandangan semacam ini, pasti susah dijumpai dalam epististimologi masyarakat Barat. Bagi mereka persoalan ilmu adalah masalah yang lain, sedangkan kepekaan sosial dalah masalah yang lain lagi. Sehubungan dengan hal ini, seorang guru hendaknya memiliki kepribadian dan harga diri. Ia harus menjaga kehormatan, menghindari hal-hal yang rendah dan hina, menahan diri dari sesuatu yang buruk, tidak membuat keributan, dan tidak berteriak-teriak minta dihormati. Selain itu seorang guru harus memiliki sifat-sifat khusus sesuai dengan martabatnya sebagai seorang guru. Umpamanya dia harus menjaga kehebatannya dan ketenangannya dalam mengajar. Untuk menciptakan situasi seperti ini seorang guru harus mempunyai pretise dan terhormat.95 Karena itu, tidak aneh jika sikap wara‟ melahirkan pribadi-pribadi yang menakjubkan, mendekatkan pemiliknya sedekat mungkin dengan sosok pribadi Rasulullah saw. Rasa takut kepada Allah akan membuahkan wara' dan wara' akan membuahkan Zuhud. berarti masalah ini sangat penting. Adapun wara' itu mempunyai banyak faedah antara lain: 1) Terhindar dari azab Tuhan yang maha pemurah. 2) Terhindar dari hal-hal yang diharamkan. 3) Dijauhkan dari sikap membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berfaedah. 4) Mendatangkan kecintaan Allah. 5) Do'a orang yang bersangkutan dikabulkan. 6) Beroleh keridhaan dari tuhan dan pahala amal kebaikannya ditambah. 7) Manusia berbeda-beda tingkatannya Keuntungan di dalam surga nanti sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka dalam hal ke-wara'an.96 95
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1,
h. 74 96
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qodir AlJailani, (Yogyakarta: Mutira Media, 2009), Cet. I, h. 253
70
Dalam konteks ini, tampak jelas bahwa mensyaratkan guru harus wara‟ berarti bagaimana dimensi moral dikedepankan pada guru. Alangkah indah dan damainya masyarakat terutama dalam lingkungan sekolah atau lingkungan di mana guru mengajar, apabila guru memiliki sifat wara‟, yaitu sikap kehati-hatian dalam makanan, berpakaian, berbicra dan bertindak karena akibat dari sikap wara‟ ini bukan hanya pada hamba yang berhubungan dengan Tuhannya melainkan juga terhadap sesama manusia. Oleh karena itu, penulis berharap kepada Allah agar Dia mengaruniakan kita etika wara‟, dan semoga Dia berkenan untuk mengumpulkan kita bersama golongan orang-orang yang wara‟, terutama Rasulullah saw di surga-Nya, amin.
c. Al-Asanna (Kebapakan) Dalam hal ini Az-Zarnûjî memang tidak memberikan penjelasan yang lebih spesifik, akan tetapi kita bisa menganalisis dari apa yang dimaksudkan oleh AzZarnûjî. Yang pasti guru harus lebih tua atau dewasa dibanding muridnya karena guru yang lebih tua lebih mengerti dan ilmunya lebih luas. Dan di dalam pengertian pendidikan itu sendiri ada unsur bimbingan oleh orang dewasa terhadap peserta didiknya. Oleh karenanya pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan apabila tidak dilakukan oleh orang yang dewasa. Ibrâhim bin Ismâ‘il memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini dalam mensyarahi kitab Ta‟lîm, yaitu sebagai berikut:
Yang dimaksud lebih tua, yaitu guru yang bertambah umur dan kedewasaannya. hal ini mungkin tepat karena mengingat bahwa posisi guru adalah sebagai pendidik, dan mereka adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak atau karena guru mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadian, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Demikian pula, bahwa menjadi guru berarti mereka dituntut harus memiliki keahlian sebagai guru, memiliki kepribadian dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, dan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas.
71
Sebaliknya, siswa atau anak didik adalah manusia yang belum dewasa. Sebagai manusia yang belum dewasa, tentu saja siswa belum dapat ―mandiri pribadi‖ (zelfstanding), dia masih mempunyai moral yang heteronom, dan masih membutuhkan pendapat-pendapat orang yang lebih dewasa (pendidik) sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya97 Tugas mendidik adalah tugas yang sangat penting karena menyangkut perkembangan seseorang. Oleh karena itu, tugas itu harus dilakukan secara bertanggung jawab. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang lebih dewasa. Di negara kita, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau ia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Bagi pendidik asli, yaitu orang tua anak, tidak dibatasi umur minimal; bila mereka telah mempunyai anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. Dilihat dari segi ini, sebaiknya umur kawin ialah 21 bagi laki-laki dan minimal 18 bagi perempuan.98 Kemudian menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi bahwa guru harus memiliki sifat kebapakan—karena seorang ayah sudah bisa dikatakan dewasa-sebelum menjadi guru. Dia harus mencintai murid-muridnya seperti halnya ia mencintai anak-anaknya dan memikirkan mereka sama seperti memikirkan anakanaknya sendiri. 99 Dalam kaitannya dengan hal di atas, al-Ghazali juga berpendapat bahwa guru hendaknya memandang murid seperti anaknya sendiri menyayangi dan memperlakukan mereka seperti layaknya anak sendiri.100 Dalam hal ini jelas dibutuhkan sosok seorang yang sudah dewasa baik dalam umur atau ilmunya. lebih tua usianya maksudnya lebih matang karena telah mengenyam pendidikan dalam waktu yang lebih lama sehingga lebih berpengalaman baik secara teoritis maupun praktek di lapangan. Ada tiga ciri kedewasaan, yaitu: 97
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 297 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 80 99 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, at-Tarbiyah al-Islamiyah, (Qahirah: Dar at-Tarbiyah, 1964), h. 120-121 100 Nata, op.cit., h.162 98
72
1) Orang yang telah dewasa telah memiliki tujuan dan pedoman hidup (philosophy of life), yaitu sekumpulan nilai yang ia yakini kebenarannya dan menjadi pegangan dan pedoman hidupnya. Seorang yang dewasa tidak mudah terombang ambing karena telah punya pegangan yang jelas. 2) Orang yang dewasa adalah orang yang mampu melihat segala sesuatu secar objektif. Tidak hanya dipengaruhi subjektivitas dirinya. Mampu melihat dirinya dan orang lain secara objektif, melihat kelebihan dan kekurangan dirinya dan orang lain. 3) Seorang dewasa adalah orang yang telah bisa bertanggung jawab. Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki kemerdekaan, kebebasan; tetapi sisi lain dari kebebasan adalah tanggung jawab.101
d. Berwibawa
Az-Zarnûjî memasukkan sifat wibawa sebagai karakter guru karena tanpa adanya kewibawaan seorang guru maka pendidikan tidak akan berhasil dengan baik. Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia wibawa berarti ―pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi, dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengundang kepemimpinan dan penuh dengan daya tarik‖.103 Guru yang berwibawa berarti guru yang dapat membuat siswanya terpengaruhi oleh tutur katanya, pengajarannya, patuh kepada nasihatnya, dan mampu menjadi
101
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), Cet. V, h. 254 102 Az-Zarnûjî, op.cit., h. 13-14 103 Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), Edisi ketiga, Cet. IV, h. 1561
73
magnet bagi siswanya sehingga siswanya akan terkesima dan tekun menyimak pengajarannya. Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Guru harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsur kewenangan jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama pada orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua itu bisa dikatakan asli. Karena orang tua langsung mendapat tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Orang tua atau keluarga mendapat hak untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak tidak dapat dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang tua tidak dapat dipisahkan.104 Sedangkan kewibawaan guru berbeda dengan kewibawaan orang tua, karena guru mendapat tugas mendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari pemerintah. Ia ditetapkan dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara dan masyarakat.105 Guru tanpa wibawa akan diremehkan murid tetapi bila tidak bersahabat dengan murid maka murid akan takut, jauh serta benci pada guru. Guru yang berwibawa tapi bersahabat dengan murid yang dimaksud adalah guru yang dekat dengan murid dan komunikasinya juga baik, namun murid tetap hormat dan tidak meremehkan karena kedekatannya itu. Walau antara guru dengan murid dekat, namun masih ada semacam batas di antara mereka, mungkin dari segi bahasa atau dari perilaku saat berbicara.
104 105
Purwanto, op.cit., h. 49 Purwanto, Ibid., h. 50
74
Bagi siswa guru adalah sosok yang pintar yang tahu tentang segala-galanya. Juga pembawaan guru yang berwibawa akan menjadikan murid untuk selalu hormat dan patuh terhadap guru. Sehubungan dengan sifat wibawa, Zakiyah Darajat berpendapat bahwa guru yang berwibawa itu bukanlah memukul-mukul meja, berteriak saat murid membuat keributan di dalam kelas sehingga suasana menjadi kondusif, karena hal itu bersifat semu. Guru yang berwibawa itu ialah guru yang mampu menguasai muridnya dengan tenang di saat ada keributan sehingga kelas menjadi tenang.106 Jadi kewibawaan seorang guru bukan dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi besar, berbadan gempal, berkumis tebal, bermuka seram dan suara yang menggelegar melainkan dari penyampaiannya yang tenang, santun dan anggun sehingga murid segan untuk melakukan keributan. Berkaitan dengan kewibawaan guru, penulis akan memberikan contoh sebagai berikut: Pada suatu sekolah ada seorang guru A yang sangat disegani oleh muridmuridnya. Mereka sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum guru A masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib ,emamtikan Bapak Guru A itu mengajar. Semua perintah dan larangan serta nasihat-nasihatnya yang diberikan kepada murid-muridnya, diturut dan dipatuhi oleh anak-anak. Anak-anak hormat kepadanya. Sebaliknya, guru B yang ada di sekolah itu kurang disegani murid-muridnya. Setiap guru B itu mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut di dalam kelas, sehingga kelas menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihatnasihat yang diberikannya tidak atau kurang dihiraukan murid-muridnya. Anakanak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang diberikannya sering tidak dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu, guru B sering marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi, anak itu bukan semakin patuh
106
h. 43
atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau
Zakiah Daradjat, at.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. III,
75
mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena mereka insaf atau percaya kepadanya.107 Dari cotoh di atas dapat kita katakan bahwa guru A lebih berwibawa dari pada guru B. Murid-murid lebih segan dan patuh tehadap guru A. peringatan yang diberikan oleh guru A lebih meresap ke dalam jiwa anak-anak dan mereka dengan senang menjalankan perintahnya karena Guru A penyampaiannya lebih tenang dan tidak mudah marah terhadap murid-muridnya. Berbeda dengan guru B yang suka marah sehingga murid mau melakukan perintahnya bukan karena kesadarannya melainkan karena takut dan terpaksa. Hilangnya
kewibawaan
guru
akan
menyebabkan
anak-anak
tidak
menghormati dan mendengar saran-saran dari pendidiknya. Oleh karena itu guru memang harus berwibawa. Karena kewibawaan identik dengan menghormati, menghargai, mengagumi dan sebagainya.
e. Al-Hilm (Santun)
Sifat pokok lain yang menolong keberhasilan pendidik atau guru dalam tugas kependidikannya adalah sifat santun.108 Dengan sifat santun anak akan tertarik pada gurunya sebab anak akan memberikan tanggapan positif pada perkataannya. Dengan kesantunan guru, anak akan berhias dengan akhlak yang terpuji, dan terhindar dari perangai yang tercela. Ciri-ciri santun adalah: lembut dalam katakata, perintah, maupun larangan; penyayang terhadap sesamanya apalagi terhadap orang-orang yang lebih lemah dan orang-orang yang lebih tua; menjadi penolong pada saat orang lain memerlukan pertolongannya. Kita harus mengakui bahwa saat ini kita hidup pada masa-masa krisis kasih sayang. Pembahasan kasih sayang seakan telah tertutup dan hanya menjadi dongeng manis, imajinasi atau kumpulan kisah seribu satu malam. Sifat kasih sayang telah langka dan jarang ditemukan, bahkan di antara kaum muslimin sendiri, kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat Allah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya. 107 108
Purwanto, op.cit., h. 48 Az-Zarnûjî, loc.cit.
76
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia santun berarti ―halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya), sabar dan tenang, sopan, penuh rasa belas kasih, suka menolong.‖109 Az-Zarnûjî dalam kitab Ta‟lîm-nya menginginkan guru yang halîman— jamak dari kata hilm—yang artinya banyak kasih sayangnya, sebagaimana Hammâd bin Abû Sulaiman yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah sebagai gurunya sehingga ia menjadi berkembang ilmu pengetahuaanya berkat kasih sayangnya dalam mengajar dan membimbing.110 Pada dasarnya, sifat ini bermuara dari dalam jiwa manusia, yaitu menyayangi sesama mereka; perasaan yang kemudian mengundang kasih sayang Allah. Hati orang mukmin secara alamiah memiliki sifat kasih sayang kepada orang lain. Ia yakin bahwa dengan menyayangi orang lain, ia akan memperoleh balasan kasih sayang yang jauh lebih besar dan luas di dunia dan akhirat. Hati yang penuh kasih, tidak pernah lama ada isinya, karena kasihnya diberikan. Berati jika kasihnya kosong, maka yang akan mengisi kasih berikutnya adalah Allah. Orang yang mengasihi sesama, hatinya diisi kasih sayang Allah. Allah menyayangi siapa pun yang menyayangi hamba-hamba-Nya. Rasul bersabda:
―Telah menceritakan kepada kami Abdan dan Muhammad keduanya berkata: telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah, telah mengkhabarkan kepada kami Ashim bin Sulaiman bin Abi Usman berkata: telah menceritakan kepada kami usamah bin Zaid beerkata: sesungguhnya Rasullulah Saw bersabda: Allah hanya akan menyayangi hamba yang menyayangi (makhluk-Nya).‖ (HR. Bukhari).111
109
Tim Penyusun Pusat Bahasa, op.cit., h. 1224. Az-Zarnûjî, loc,cit. 111 Ahmad Bin Ali Al-Asqolani, Fathul Bari Bi Syarhi Shohih Al-Bukhori, (Darul Hadits:, 2004) Juz. III hadis No. 1284, h. 78 110
77
―Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Umar, telah menceritakan kepada kami Supyan dari Amru bin Dinar dari Abi Kobusa dari Abdullah bin Amru berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Orang-orang yang menyayangi (orang lain) pasti akan disayang Allah. Sayangilah setiap penduduk bumi, niscaya engkau akan disayangi para penghuni langit,‖ (HR. Tirmidzi)112 Dalam hal sifat kasih sayang ini, Az-Zarnûjî mengungkapkan lewat kitab Ta‟lîm-nya
“Orang yang berilmu hendaknya memiliki rasa kasih sayang, bersedia memberi nasihat tanpa disertai rasa hasud (dengki), karena hasud adalah sifat yang membahayakan diri sendiri dan tidak bermanfaat.”113 Menurut Syaikhul Islam Burhanuddin Rahimahullah, bahwa para ulama banyak yang berkata bahwa putra guru dapat menjadi seorang yang alim, karena guru selalu menghendaki murid-muridnya selalu menjadi ulama dalam bidang alQur‘an. Lantas karena berkah, itikad serta kasih sayangnya, maka anaknya menjadi seorang yang alim.114 Menurut para ahli pendidikan Islam, kasih sayang guru terhadap muridnya sangat ditekankan. Sepertinya pendapat mereka didasarkan atas sabda Rasulullah yang artinya ―Tidak beriman kamu bila tidak mengasihi saudara-saudaramu seperti mengasihi dirimu sendiri.‖ Menurut Imam suhaimi saudara yang dimaksud disini adalah saudara sesama makhluk manusia meskipun dia non muslim.115 Asma Hasan Fahmi menjelaskan sebagai mana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir, bahwa kasih sayang itu dapat dibagi dua: pertama, kasih sayang dalam pergaulan; berarti guru harus lemah lembut dalam pergaulan. Konsep ini mengajarkan agar tatkala menasihati murid yang melakukan kesalahan, hendaknya menegurnya 112
Abî Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Sunan al-Tirmidzi…, Kitab al-Birri hadis No. 1931, h. 371. 113 Az-Zarnûjî, op.cit., h. 53. 114 Az-Zarnûjî, op.cit., h. 53. 115 Muhammad Nawawi, Syarah Qomiut Thugyan, (Darul Ihayail Kutub) Hal. 27
78
dengan cara memberikan penjelasan, bukan dengan cara mencelanya karena celaan akan melukai prestisenya. Kedua, kasih sayang yang diterapkan dalam mengajar. Ini berarti guru tidak boleh memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat dijangkaunya. Pengajaran harus dirasakan mudah oleh anak didiknya. Dalam kasih sayang yang kedua ini terkandung pengertian bahwa guru harus mengetahui perkembangan kemampuan muridnya.116 Syekh Adul Qodir mengatakan, seorang guru mesti memperlakukan murid dengan memberi nasihat dan memperhatikannya dengan kasih sayang dan bersikap lemah lembut ketika merasa berat menanggung proses belajar, serta mendidiknya layaknya pendidikan yang diberikan seorang ayah kepada anaknya. Pendidikan yang penuh dengan kasih sayang, kebijaksanaan, dan kepandaian dalam menghadapi anaknya tersebut.117 Jika benar-benar ingin menghiasi diri dengan sifat kasih sayang ini, guru harus mengambil teladan dari Nabi Muhammad saw karena beliau telah mengisi seluruh sisi kehidupannya dengan kasih sayang. Dengan sifat kasih sayang ini, seorang guru dapat meraih cinta Allah dan cinta manusia. Sifat kasih sayang ini juga menjadi bukti riil kelembutan hati dan keluhuran jiwa. Sifat ini dapat merekatkan hubungan guru dan peserta didik. Sifat ini bisa menyatukan perbedaan-perbedaan dan meningkatkan tingkat peradaban. Sifat kasih sayang ini apabila sudah tertanam dalam diri seorang guru, maka guru akan berusaha sekuat-kuatnya untuk meningkatkan keahliannya karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Selain kasih sayang, Murah hati dan lemah-lembut adalah dua sifat yang sangat mulia. Allah swt dengan kedua sifat ini akan membuka, melembutkan, dan meluluhkan hati manusia, oleh karena itu, setiap guru harus menghiasi dirinya dengan sifat tersebut agar ia bisa meluluhkan hati murid-muridnya. Lemah lembut dalam bahasa Arab diungkapkan dengan kata al-rifqu yang berarti ―keramahan, kelemah-lembutan, kehalusan‖118 dikatakan dalam Al116
Tafsir, op.cit., h. 84-84. Abdul Razak Kailani, Syaikh Abdul Qodir Guru Pencari Tuhan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2009), Cet. I, h. 250 118 Munawwir, op.cit., h. 518. 117
79
Majma': Ar-Rifqu (ra' dibaca kasroh) kebalikan dari ar khurqu, ialah orang itu memperindah atau mempercantik perbuatan. ―lemah lembut atau rifq‖ adalah lawan kata dari ―unf‖ (kekerasan). Kata rafiq juga dimaknai dengan keramahan dan keharmonisan. Dan rifq bermakna layin janib (lemah lembut, ramah tamah).119 Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang dikaruniai sifat Ar-Rifqu (lemah lembut atau kasih sayang), sungguh ia telah diberikan bagiannya dari kebaikan dunia akhirat, demikian pula menghubungkan tali silatur rahmi dan berbudi pekerti yang baik keduanya akan menambah rezeki dan menambah umur. (HR. Ahmad).120 Ar-Rifqu merupakan akhlak yang paling baik. Oleh karena itu, Allah Swt. Memberi pujian di dunia bagi yang melakukan sikap lemah lembut ini, serta pahala yang sangat besar melebihi pahala yang lain. Ketika seorang lemah lembut, berarti dia telah berhias dan mempercantik diri di hadapan setiap orang, jugadi mata Allah Swt. Apabila seorang muslim meninggalkan sikap lemah lembut, berarti dia telah menampakan aib di mata orang lain dan di mata Allah Swt. Sesungguhnya Allah Maha kasih sayang dan mencintai kelemah lembutan.121 Kekejaman bisa disebabkan oleh kamarahan yang tidak terkendali, keinginan untuk berkuasa, dan ketamakan. Sifat-sifat buruk tersebut dapat mengacaukan cara berpikir guru dan menyebabkan tidak bisa mengambil tindakan yang tepat. Jika guru telah berhasil menyikapi setiap perkara dengan lemah lembut, hal itu adalah buah dari perangai yang terpuji. Selain itu, seseorang dikatakan memiliki sifat terpuj dan mulia, jika dia mampu menahan marah dan nafsu syahwat serta menjaga keduanya agar tetap seimbang. Karena itulah, rasulullah memuji orang yang memiliki sifat lemah-lembut. Beliau memerintahkan kita untuk berlemah-lembut, beliau bersabda:
119
M. Ilyas, Insan Ilahiah, (Jakarta: Madani Grafika, 2004), Cet. I, h. 313 Amirulloh Syarbini, Sedekah Maha bisnis Dengan Allah, (Jakarta: Qultum Media, 2012), Cet. I, h. VI 121 Majdi Sayid Ibrohim, Menjadi Muslimah Bahagia Sepanjang Masa, 2010), Cet. I,h. 245 120
80
―Telah menceritakan kepada kami Abu Nuaim dari Ibnu Uyaynah dari AzZuhri dari Urwah dari Aisyah berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: Sesungguhnya Allah itu Maha lemah lembut dan menyukai kelemah-lembutan.‖ (HR Bukhari dan Muslim)122 Lemah-lembut dan selalu berbakti kepada Allah termasuk sifat orang berilmu, sedangkan orang berharta sering kali memiliki sifat takabur dan ingkar kepada Allah. Oleh sebab itu, ilmu lebih istimewa daripada harta.123 Seorang guru sebaiknya jangan bertindak gegabah, ceroboh dan terburu-buru ketika menyelesaikan setiap urusan dan mengambil putusan karena hal itu akan mengakibatkan kerugian dan menghilangkan kemanfaatan. Kebaikan dibangun atas dasar sikap lemah-lembut, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Telah menceritakan kepada kami Usman dan Abu Bakar keduanya anak Abi Syaibah dan Muhammad bin Sabah Al-Bazaz, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Syarik dari Mikdam bin Syuraih dari bapaknya berkata: Rasulullah saw. Bersbda: Sesungguhnya kelemah-lembutan itu ada pada sesuatu, ia akan menghiasinya dan jika kelemah-lembutan itu dicabut dari sesuatu, ia akan menodainya.‖ (HR. Abu Daud).124 Kelemah-lembutan guru dalam berinteraksi dengan murid-muridnya akan membuat roh, hati, dan jiwa murid-murid tunduk dan luluh. Kelemah-lembutan ibarat kunci kebaikan dan keberuntungan. Jiwa pemberontak akan melunak dan hati pendengki akan menyadari kekeliruannya karena tersentuh oleh kelembutan. Para ahli pendidikan sepakat bahwa cinta kasih, kelembutan dan kehangatan yang tulus merupakan dasar yang penting dalam mendidik anak. Kesemuanya itu 122
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, (Darul Hadits: 2004), juz: XII, hadis No. 6927, h. 322. 123 Wawan Susetya, Cermin Hati Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), Cet. I, h. 165 124 Imam al-Hafiẕ Abî Dâud Sulaimân Ibn Asy‘ats al-Sijistanî, Sunan Abû Dâud, (Saudi Arabia: Darul Hadits, 2001), Juz: IIX, Kitab Adab, Bab fi al-Rifqi, hadis No. 4800, h. 201.
81
terpancar dalam kehangatan komunikasi antara orang tua dan anak, guru dan murid. Anak-anak pada usia dini meskipun belum berfungsi daya nalarnya, sudah menangkap getaran lembut kasih sayang yang mengasuhnya.125 Jika guru bersikap sopan dan santun dengan siswa, siswa akan menanggapi dengan cara yang sama, jika guru menggunakan bahasa yang inklusif, siswa akanmengambil pola-pola tersebut dan menggunakannya sendiri.126 Santun juga berarti memaafkan. Al-Qur‘an menyuruh umat manusia untuk santun, menahan amarah, dan memberi maaf ketika ada manusia menyakiti yang lain. Santun (al-Halîm) merupakan salah satu sifat Allah, yang banyak disebutkan dalam al-Qur‘an, di antaranya adalah sebagai berikut:
―Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.‖ (QS. al-Baqarah/2 :263). Rasulullah adalah orang yang sukses dengan mengandalkan akhlak yang baik, di antaranya adalah sifat kelemah-lembutannya, pemaaf dan sebagainya. Firman Allah:
―Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka 125
Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Anak Terhadap Anak Laki-Lak, (Jakarta: Gema Insani, 2005), Cet" III, h. 57 126 Les Parsons, Bullied Teacher Bullied Student Guru Dan siswa yang terintimidasi, (Jakarta: Grasindo, 2012), h. 59
82
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.‖ (QS Ali Imran/3 : 159) Sebagai seorang guru kita harus meneladani kepemimpinan Rasulullah, yaitu pemaaf. Sehubungan dengan sifat ini, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, guru hendaknya memiliki sifat santun terhadap muridnya, mampu mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak bersabar dan tidak marah karena hal-hal yang mengganggunya.127
f. Penyabar Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "sabara", yang membentuk infinitif (mashdar) menjadi ―sabran‖ Dari segi bahasa, sabar berarti ―menahan, tabah hati.‖128 Sedangkan dari segi Istilah, sabar adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi.129 Ar-Raghib berkata, "Sabar adalah kata umum". Nama atau sebutannya bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.130 Sehingga istilahnya pun berbeda-beda. Ketika seseorang mendapatkan musibah, dia harus bersabar yang lawannya adalah jaza'u (keluh kesah). Ketika dia hidup berkecukupan atau berlebihan, dia harus mengendalikan nafsu yang disebut dengan zuhud yang kebalikannya adalah serakah (al-hirshu). Jika dia menghadapi peperangan, kesabarannya disebut syaja'ah (berani), bukan Jubnu (takut, pengecut), jika dia sedang marah kesabarannya adalahlemah lembut (al-hilmu) yang lawannya adalah emosional (tadzammur), jika dia menghadapi bencana, sabarnya adalah lapang dada, jika dia menyimpan perkataan (rahasia), sabarnya
127
al-Abrasyi, op.cit., h. 137 Munawwir, op.cit., h. 760 129 Jumantoro,op.cit., h. 197. 130 Mutawalli Sya'rowi, Kenikmatan Taubat, (Jakarta: Qultum Media, 2006) Cet. I h. 39 128
83
adalah kitmanus sirri, jika dia memperoleh sesuatu yang tidak banyak, sabarnya adalah qona'ah (menerima).131 Adapun macam-macam sabar yang lain adalah sebagai berikut: 1) sabar karena Allah. Allah berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepdaNya dalam (menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itulah jalan yang lurus". (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5). 2) Sabar dengan pertolongan Allah. Allah berfirman, "bersabarlah (hai Muhammad). Tiadalah kesabaran mu itu melainkan pertolongan Allah." (Q.S. An-Nahl: 127) "(mereka berdo'a), "ya tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu). (Q.S. Al-A'rof: 126). 3) Sabar dari Allah. Inilah yang haram. Ini terjadi pada orang yang telah merasakan kenikmatan dekat dengan Allah, kemudian dia terus menjauhi Allah setelah itu.132 Sehubungan dengan sifat sabar ini, Allah berfirman:
―Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.‖ (QS. alBaqarah/2 :153)
―Dan memohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu‟.‖ (QS. AlBaqarah/2 :45). Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, beliau berpendapat bahwa sabar adalah menahan diri dari sesuatu yang tidak berkenan di
131
Ahmad Yani, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, (Jakarta: Al-Qolam, 2007), Cet. I,
132
Sya'rowi, op.cit., h. 40
h. 125
84
hati. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tuntunan agama menghadapi rayuan nafsu.133 Penutup ayat yang menyatakan sesungguhnya Allah bersama orang- orang yang sabar mengisyaratkan bahwa jika seseorang ingin teratasi penyebab kesedihan atau kesulitannya, jika ia ingin berhasil memperjuangkan kebenaran dan keadilan, maka ia harus menyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Ia harus bersama Allah dalam kesulitannya dan dalam perjuangannya. Ketika itu, Allah yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena Dia pun telah bersama hamba-Nya. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tidak akan tertanggulangi bahkan tidak mustahil kesulitan di perbesar oleh setan dan nafsu amarah manusia sendiri.134 Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga banyak sekali sabda-sabda Rasulullah saw yang menggambarkan mengenai kesabaran, di antaranya adalah sebagai berikut:
―Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrohim Ad-Dimiski. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syuaib bin Syabur, telah mengkhabarkan kepada aku Mu‟awiyah bin Salam dari saudaranya, bahwasannya dia telah mengkhabarkan dari kakeknya Abi Salam dari Abdurrahman bin Ghonim dari Abi Malik Al-Asy‟ari. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: Kesabaran merupakan cahaya yang amat terang.” (HR. Ibn Majah).135 Jika kesabaran merupakan cahaya, maka orang yang memiliki sifat sabar akan mampu menyingkap kegelapan.
133
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, V. I, (Jakarta: Lentara Hati, 2010), cet. Ke 10, h. 221. 134 Shihab, op.cit., h. 221 135 Ibn Mâjah al-Qazwaini, Sunan Ibn Mâjah…, Kitab Ţaharah bab al-Wudlu‘u Syaṯ ru al-Iman, h. 46
85
Kalau kita kaitkan makna sabar dengan pendidikan, maka akan tergambar satu relasi yang cukup kuat antara keduanya, karena makna sabar tidak akan terlepas dari yang namanya pendidikan. Az-Zarnûjî bukan hanya mensyaratkan guru harus sabar melainkan beliau menggunakan kata Shabûran yang bentuk jamak dari kata al-Sabru yang berarti banyak kesabarannya. Karena menjadi guru pasti bergaul dengan anak muridnya, dengan watak dan pemikiran yang berbeda. Ada di antara mereka yang baik dan ada pula yang lemah. Hal itu merupakan suatu kewajaran bagi seorang guru ketika ia hadir dan mengajar mereka sehari-hari. Bersamaan dengan itu, begitu banyak problem yang dipikul oleh murid ataupun hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan guru. Karena itulah seorang guru sangat dituntut untuk bisa bersabar dan bertanggung jawab. Kesabaran tidak gampang diraih, ia butuh kontinuitas hingga bisa terbisaa. Tidak adanya kesabaran bagi seorang guru akan berdampak negatif pada psikologinya. Sifat ini juga yang membuat Imam Abu Hanifah berkembang ilmu pengetahuannya saat ia berguru kepada Hammad yang sangat penyabar. Sehubungan dengan hal ini, menurut Abdurrahman an-Nahlawi bahwa guru hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. Dengan begitu, ketika ia harus memberikan latihan yang berulang-ulang kepada anak didiknya, dia mlakukannya dengan kesadaran bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Denga begitu, dia tidak tergesa-gesa dan memaksakan keinginannya kepada siswa serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.136 Pekerjaan mendidik dan mengajar tidaklah mudah dan hasilnya tidak dapat ditunjukkan seketika itu, maka dari itu dibutuhkan kesabaran agar tujuan pendidikan tercapai. Menurut M. Ngalim Purwanto, pekerjaan mendidik tidaklah seperti membuat roti yang hasilnya dapat dilihat beberapa jam kemudian. Akan sia-sialah jika guru ingin lekas dapat menikmati datau membanggakan hasil pekerjaannya, seperti hasil hukumannya atau nasihatnya yang telah diberikan kepada seorang anak. Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak yang belum 136
An-Nahlawi, op.cit., h. 171
86
bisa kelihatan hasilnya sampai anak itu kelaur dari sekolah. Dan banyak juga usaha guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah anak itu menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat.137 Sifat sabar tersebut akan ada apabila guru juga mempunyai rasa cinta kasih terhadap anak didiknya. Guru harus mengetahui bahwa sabar adalah salah satu sifat keutamaan jiwa dan akhlak yang menjadikannya pada puncak kesopanan (tata krama), puncak kesempurnaan dan pada tingkatan akhlak yang paling tinggi. Ini semua bukan berarti seorang guru harus menerima dan berdiam diri saat menghadapi masalah, seperti ketika ada keributan di dalam kelas dan sebagainya, melainkan bagaimana cara guru untuk menghadapi hal tersebut dengan tanpa menimbulkan sifat marah dan emosi. Seorang guru pasti berhadapan dengan rasio anak murid yang beragam, baik dalam menyerap, menerima ataupun merespon pelajaran. Banyak kasus ketika seorang guru menyampaikan materi pelajaran dengan waktu yang lama, tiba-tiba ada seorang murid yang mengaku tidak paham sama sekali pelajarannya. Atau ketika seorang guru mendapatkan pertanyaan yang melenceng dari pembahasan, juga ketika ia sedang mengajar, tiba-tiba anak muridnya ada yang tidur. Bahkan yang lebih parah lagi, ketika seorang murid mengeluarkan kata-kata yang kasar terhadap guru. Kendatipun watak dan karakter mereka berbeda, namun bukan berarti seorang guru harus menghindar atau menolak perbedaan tersebut. Perlu diketahui, kesanggupan menguasai amarah merupakan tanda kekuatan seorang. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
‖Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengkhabarkan kepada kami Malik dari bin Syihab dari Sa‟id bin Musayab dari Abi Hurairah RA. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Kekuatan bukanlah ketika ia mampu 137
Purwanto, op.cit., h.144-145
87
menguasai manusia, akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai dirinya ketika ia marah.‖ (HR. Bukhari).138 Anak bukanlah seperti malaikat Allah, yang ketika diperintahkan lalu ia menurutinya dan tidak membangkang, akan tetapi ia adalah makhluk Allah yang lemah, yang memiliki keragaman pola pikir dan sikap, sehingga dalam pengaturan dan pembinaannya dibutuhkan jiwa yang sabar dan keilmuwan yang luas dalam mengatasinya. Saat ini masih banyak guru yang kurang memperhatikan sifat sabar dalam mendidik, yang terpenting baginya kewajibannya telah selesai. Padahal seorang guru tidak hanya dituntut memiliki kompetensi profesionalisme melainkan juga harus memiliki kompetensi kepribadian. Tidak salah apabila Az-Zarnûjî mensyaratkan agar guru harus memiliki sifat sabar karena begitu pentingnya sifat sabar bagi seorang guru. Setiap orang memiliki rasa sifat sabar, apakah ia orang baik atau tidak, beriman atau tidak. Hanya saja, sifat mana yang lebih awal muncul ketika dihadapi masalah, apakah sabar yang akan menghadapi masalah tersebut atau emosi. Jika ia memiliki keimanan yang kuat disisi Allah, dengan menjauhi segala larangan-Nya dan mengerjakan segala perintah-Nya, maka kesabaranlah yang akan lebih dahulu muncul ketika dihadapi cobaan, begitu pula sebaliknya. Sifat-sifat guru seperti di jelaskan di atas sangat banyak dijumpai di bukubuku pendidikan. Walaupun sifat-sifat guru yang disebutkan oleh Az-Zarnûjî tidak sespesifik para ahli pendidikan yang lainnya, hal ini bukan berarti apa yang disampaikan oleh Az-Zarnûjî melalui Ta‟lîm-nya sudah tidak relevan lagi. Alim (berilmu) yang dimaksud oleh Az-Zarnûjî tidak bisa kita artikan secara sempit, melainkan harus kita artikan secara luas dan mendalam sesuai dengan konteks keadaan saat ini. Alim bila kita kaitkan dengan konteks pendidikan saat ini bisa kita masukkan ke dalam dua kompetensi guru, yaitu kompetensi paedagodik yakni kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik dan 138
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari (Darul Hadits, 2004), Juz; 10 Kitab Adab bab al-Hadzari min al-Ghadab, hadis No. 6114, h. 584
88
kompetensi profesional yakni penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam. Dengan melihat kedudukan guru serta syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika menjadi guru tersebut, tentu saja akan lebih tepat, sebagaimana dikatakan Az-Zarnûjî bahwa guru sebaiknya orang yang lebih tua umurnya dibanding muridnya. Dalam arti yang lebih luas lagi, kata tua dapat diartikan tidak sekedar lebih tua dalam umur, namun sebagaimana ditambahkan, ―tua‖ dapat juga berarti orang yang banyak pengalamannya dalam segala hal maupun dalam menghadapi anak didik. Sedangkan sifat-sifat yang lainnya, seperti wara‘, sabar, berwibawa, santun bisa kita golongkan ke dalam kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantab.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari rangkaian pembahasan dan beberapa uraian di atas, maka akhlak belajar siswa dan karakter guru dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Akhlak belajar dalam kitab Ta’lim Al Muta’allim merupakan kumpulan sikap dan perilaku yang harus dijalani oleh para pelajar dalam menjalani proses pembelajaran. Dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa akhlak belajar atau etika yang harus dimiliki oleh para pelajar Islam adalah: pertama, niat saat belajar, kedua,memilih guru ketiga, menghormati guru, keempat, keseriusan ketekunan dan cita-cita luhur, kelima metode belajar, keenam tawakal dan ketujuh wara
2. Dan adapun karakter guru dalam penelitian kitab Ta’limul muta’allim ini ialah Kepemimpinan kepribadian guru yang ditawarkan oleh al-Zarnûjî melalui kitab Ta’lîm-nya seperti lebih alim, lebih wara’, Kebapakan, berwibawa, santun dan penyabar tidak bisa ditawar lagi karena hal tersebut merupakan dua kompetensi, yaitu kompetensi professional dan kompetensi kepribadian yang harus dimiliki oleh guru.
B. Implikasi Dari beberapa kesimpulan di atas, adapun implikasinya adalah pemerintah dan
lembaga
pendidikan
hendaknya
membuka
diri,
mau
melakukan
pengembangan karakter baik secara metode, kurikulum, maupun keilmuwan. Sehingga krisis kemerosotan moral yang terjadi di Negara ini dapat diminimalisir dengan diadakannya pembinaan akhlak di sekolah-sekolah untuk peserta didik dengan dituntun oleh guru yang berkarakter. Dan perlu juga diadakan pembinaan tujuan belajar bagi para penuntut ilmu. Karena pada saat ini ilmu hanya menjadi fashion yang diperbincangkan dari mulut ke mulut, ilmu tidak menjadi berguna sama sekali. Tidak untuk perkembangan peradaban, tidak untuk kesejahteraan manusia, apalagi mengubah dunia. Ilmu tidak mampu menolong pemiliknya untuk semakin mendekat kepada tuhan. Justru
89
90
sebaliknya, ilmu demikian bisa menjadi petaka. Dan sekarang ini, itu semua sudah terjadi dengan banyaknya orang-orang berilmu yang melakukan perbuatan tidak terpuji seperti, seorang guru melakukan pelecehan seksual dan para pejabat yang melakukan praktik korupsi.
C. Saran 1. Bagi para pelajar sebaiknya harus memperhatikan akhlak yang harus ia miliki ketika belajar, Karena Akhlak belajar tidak lain adalah sikap batin dalam diri sang pelajar yang mendukungnya mencapai kesuksesan dalam belajar. 2. Pemerintah sebaiknya tidak mengesampingkan etika atau akhlak yang dimliliki para pelajar dan tidak pula mengesampingkan karakter yang dimiliki guru dari pada kapasitas keilmuan guru dalam merekrut tenaga kependidikan. 3. Bagi lembaga pendidikan juga perlu memperhatikan karakter atau akhlak yang dimiliki oleh pelajar yang dididiknya dan memperhatikan karakter atau akhlak yang dimiliki oleh guru dalam merekrut tenaga pendidik. 4. Bagi guru agama Islam sebaiknya lebih memperhatikan karakter atau akhlak yang harus ia miliki ketika menjalankan profesinya, karena segala gerak gerik dan tingkah laku guru akan dijadikan patokan tingkah laku semua murid. 5. Akhlak belajar dan karakter guru yang dikembangkan oleh al-Zarnûjî perlu adanya kontekstualisasi dengan keadaan sekarang. 6. Untuk civitas akademika, penulis berharap agar dapat melanjutkan dan mengembangkan pemikiran serta menjalankan gagasan Syekh. Az-Zarnuji, untuk berperan yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam. 7. Bagi pembaca kitab Ta’limul Muta’llim ini hendaknya tidak menyalahkan sebelum adanya pengkajian yang mendalam terhadap kitab ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdillah Muhammad Ibn Ismâ‟il al-Bukhârî, Abî, Şahih Bukhâri, Saudi Arabia: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2008. Abdullah, M. Yatim, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Amzah 2007. Abdurrahman as-Suyuti, Imam Jalaludin, Kitab al- Muwaththa, Beirut: Dar alFikr, 95-179 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah , Imam Hafidz, Riyadh: Darussalam, Afrizal, Lalu Heri, Ibadah Hati, Jakarta: Garfindo Media Pratama, Cet. I, 2008. Ahmad Baraja, Umar , Akhlak lil Banin, Surabaya: Ahmad Nabhan, tt, Juz II. al-Ġazâlî, Abû Hâmid, Ihyâ' ‘Ulûm ad-Dîn, Jilid III, Beirut: Dâr al-kutub ilmiyah, 1987. al-Hafiẕ Abî Dâud Sulaimân Ibn Asy‟ats al-Sijistanî, Imam, Sunan Abû Dâud, Saudi Arabia: Darul Hadits, Juz: IIX, Kitab Adab, Bab fi al-Rifqi, hadis No. 4800, 2001. al-Maudûdî, Abû al-A‟la, al-Khilâfah wa al-Mulk,Terj. Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, Cet. III, 1990. al-Qardawi, Yusuf, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, penerjemah: Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: CV Rosda, 1989. Al-Rasyidin dan Nizar, Syamsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005. Alwi Bin Ahmad As-Segaf, Sayid, Majmuah Sab'atu Kutubu Mufidah, Haramain, Cet. II, 2004. al-Zarkeli, Khairuddin, al-A’lâm Qâmûs Tarâjum, Juz VIII, Beirut: Dar al-Ilmi.
91
92
an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah: Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 1995. Ardani, Moh, Akhlak Tasawuf, Jakarta : CV. Karya Mulia, Cet. II, 2005. Arikunto, Suharismi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, cet. XIV, 2010. Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 10, 2007. As‟ad, Aliy, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Menara Kudus 1978. As‟ad, Aliy, Terjemah Ta’limul Muta’allim Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Kudus: Menara Kudus, 2007. Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, at-Tarbiyah al-Islamiyah, Qahirah: Dar atTarbiyah, 1964. Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 1996. Athiyah al-Abrasyi, Muhammad, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, penerjemah: Syamsuddin at.al., Yogyakarta; Titian Ilahi Press, 1996. At-turmidji, Sunan, Software Mausugul Hadits As-Syrief, Kitab Rodho‟, No. Hadits 1082 Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Bagi Penuntut Ilmu Terjemah Ta’lim al-muta’allim, Penerjemah: Muhammadun Baharuddin dan Nur Wahyuni Esa, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz, cet.II, 2009. Bisr,i Kholil, “Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan Relevansinya dengan Dunia Pendidikan Masa Kini,” artikel diakses pada 15 November 2010 dari http://www.thohiriyyah.com/2010/09/kh-m-kholilbisrikonsep-pendidikan.html
93
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial hLainnya, Daradjat, Zakiah, at.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1996. Daradzat, Zakiyah, Ilmu Jiwa agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Dimyati Dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Edi, Toto, Dkk., Ensiklopedi Kitab Kuning, Jakarta: Aulia Press, 2007. El-Shirazy, Ahmad Mujib dan arief Al-Muniry, Fahmi, Landasan Etika Belajar Santri, Ciputat: Sukses Bersama, , Cet. II . 2007 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2011. Esti Wuryani Djiwandono, Sri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2009. Fuad al-Ahwani, Ahmad, al-Tarbiyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Ma‟arif. Hakim, Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2009. Hakim, Thursan, Belajar Dan Prinsif belajar, Jakarta: Puspa Suara, 2010. Hasan Shalih Baharits, Adnan, Tanggung Jawab Anak Terhadap Anak Laki-Lak, Jakarta: Gema Insani, Cet" III, 2005. Hernowo, Mengobrolkan Kegiatan Belajar Mengajar Berbasiskan Emosi, Bandung: MLC, Cet. I, 2005 Ibn Ismâ‟il, Ibrâhim, Syarah Ta’lîm al-Muta’allim, Surabaya: al-Hidayah, t.th. Ilyas, M., Insan Ilahiah, Jakarta: Madani Grafika, 2004. Isa Muhammad Ibn „Isa Ibn Saurah, Abi „, Sunan at-Tirmidzi al-Jami’ al-Shahih, Beirut: Dar el-Marefah, 2002. Isa Muhammad Ibnu Isa Ibnu Saurah, Abî, Sunan al-Tirmiżi, Juz I, Mesir: Dar alIbnu Al-Jauzi, 2011. Jumantoro, Totok dan Munir Amin, Samsul, Kamus Ilmu Tasawuf, Amzah, 2005.
94
Koesoema, Dony, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007. M.Gagne, Robert, Essential of Learning for Instruction, Dryden Press. 1974. Madjidi, Busyairi, Konsep Pendidikan para Filosofi Muslim Yogyakarta: Al Amin press 2007. Madjidi, M. x, Secerah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur'an, Bandung: Mizan Pustaka, Cet. I , 2007. Mudjib, Abdul dan Mudzakir , Jusuf, ilmu pendidikan islam, Jakarta: kencana, 2006. Mujib El-Shirazy, Ahmad dan Arif El-Muniry, Fahmi, Landasan Etika Belajar Santri, Ciputat: Sukses Bersama, Cet. II 2007. Munawwir, A. W., Kamus al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, cet. XXV, 2002. Nata Abudin, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. 1, 1997. Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Nata, Abudin, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid: Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazâlî, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001. Nawawi, Imam, At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an. (Software Maktabah Syamilah), Al-Bab Ar-rabi‟ Fi Adabi Muallimil Qur‟an Wa Muta‟allimihi Ngalim Purwanto, M., Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XVII, 2006. Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: PT. Ciputat Press, Cet. II, 2005. Parsons, Les, Bullied Teacher Bullied Student Guru Dan siswa yang terintimidasi, Jakarta: Grasindo, 2012.
95
Plessner, M. “az-Zarnûjî” dalam Wensinck, A. J. (Eds.), The Encyclopedia of Islam, Vol. VIII (Leiden: E. J. Brill, 1913-1934. Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-IV, 2008. Pusat Bahasa Depeartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke-IV, 2008. Quraish Shihab, M., Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, V. I, Jakarta: Lentara Hati, cet. Ke 10, 2010. Razak Kailani, Abdul, Syaikh Abdul Qodir Guru Pencari Tuhan, Bandung: Mizan Media Utama, Cet. I, 2009. Rida Kahhalah, Umar, Mu’jâm al-Muallifîn: Tarâjim Muannif al-Kutub alArâbiyah, Juz III, Beirut: Dar al-Ihya. Sabri, Alisuf , Psikologi Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. III, 2007. Sabri, Alisuf, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993. Sayid Ibrohim, Majdi, Menjadi Muslimah Bahagia Sepanjang Masa, Cet. I, 2010. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, Cet. IV, 1997. Sholikhin, Muhammad, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, Yogyakarta: Mutira Media, Cet. I 2009. Sholikhin, Muhammad, Menyatu diri dengan Ilahi, Yogyakarta: Narasi, Cet. I, 2010. Soedarsono, Soemarno, Jati Diri Bangsa, Jakarta: Elex Media Komputindo,2007. Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta, Rineke Cipta, Cet . V 2006. Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: PT Alfabeta, 2008.
96
Surya, Mohamad, Bunga Rampai Guru Dan Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka, 2004. Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Susanto A., Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009. Susetya, Wawan, Cermin Hati Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Cet. I, 2006. Syah, Muhibbin, Psikolgi Belajar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. X , 2010. Syaodih Sukmadinata, Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. V, 2009,. Syarbini, Amirulloh, Sedekah Mahabisnis Dengan Allah, Jakarta: Qultum Media, Cet. I, 2012. Sya'rowi, Mutawalli, Kenikmatan Taubat, Jakarta: Qultum Media, Cet. I, 2006. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. II , 1994. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bag. III, Jakarta: Grasindo, Cet. II, 2007. Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. IV , 2008 Umar, Bukhori, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2010. Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Yamin, Martinis, Sertifikasi Profesi Keguruan Di Indonesia, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007. Yani, Ahmad, Be Excellent Menjadi Pribadi Terpuji, Jakarta: Al-Qolam, Cet. I , 2007.
97
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet. VII, 1992. Zuharini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1992.