3 Air Informasi tentang aspek air yang disajikan cukup banyak. Untuk mempermudah pemahaman terhadap muatan aspek air, susunan bahasan bab ini adalah sebagai berikut : 3.1 Kuantitas Air 3.1.1 Status / Kondisi ketersediaan air 3.1.1.1 Air permukaan 3.1.1.2 Air tanah 3.1.2 Tekanan terhadap ketersediaan air tanah dan permukaan 3.2 Kualitas Air 3.2.1 Status / kondisi kualitas 3.2.2 Tekanan terhadap kualitas air permukaan 3.3 Response
3.1
Kuantitas Air
Air merupakan sumber kehidupan yang vital bagi makhluk hidup termasuk manusia. Luas permukaan air di permukaan bumi ini sebesar 71% sedangkan daratan luasnya 29%. Walaupun luas permukaan air sangat besar dan berlimpah dengan volume seluruhnya mencapai 1.4 trilyun km3, namun kurang lebih 97% merupakan air laut (air asin) yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung dalam kehidupan manusia. Dari 3% sisanya, 2% berupa gunung es di kedua kutub bumi dan sekitar 0,75% merupakan air tawar yang mendukung kehidupan makhluk hidup di darat baik berupa mata air, air sungai, danau, maupun air tanah dan selebihnya uap air. Daur hidrologi secara alamiah terjadi proses self purification yang didukung oleh ekosistem lingkungan. Jawa Barat sebagai daerah tropika umumnya mengalami evaporasi atau penguapan yang besarnya 200 cm/tahun (7 mm/hari). Sedangkan data debit (run-off) cenderung menjadi perhatian yang berhubungan dengan ketersediaan air karena dari kedua data diatas
1
tampungan air yang secara jelas dan berdampak umumnya pada badan air penerima (sungai) yang memiliki kondisi yang berbeda-beda pada tiap wilayah terkait dengan aktivitas manusia dan tata ruangnya. Jawa Barat merupakan wilayah yang berdampingan sangat dekat dengan ibukota mengalami percepatan pembangunan ekonomi yang sangat besar. Kontribusi terbesar dalam pembangunan ekonomi Jawa Barat secara makro didominasi oleh sektor industri pengolahan (60% industri pengolahan berlokasi di Jawa Barat), yang akhirnya dapat berimplikasi pada terganggunya sistem hidrologi dan ini ditunjukkan oleh beberapa kejadian yang berhubungan dengan buruknya kualitas air ataupun kuantitasnya. 3.1.1 Status / Kondisi Ketersediaan Air 3.1.1.1 Air Permukaan A. Sungai Karakteristik dari ekosistem akuatik di Jawa Barat secara garis besar ditentukan oleh interaksi antara iklim, curah hujan dan kontur tanah yang melalui aliran air. Ketersediaan air pada musim penghujan mencapai sekitar 81,4 milyar m3/tahun sedangkan pada musim kemaran tinggal sekitar 8,1 milyar m3/tahun. Hal ini mengakibatkan kelebihan air pada saat musim penghujan dan kekurangan air pada musim kemarau. Berdasarkan data Puslitbang Pengairan tahun 2001, sungai-sungai di Jawa Barat dibagi menjadi 40 DAS dimana 18 DAS mengalir ke utara dan 22 DAS mengalir ke selatan.
2
Gambar 3.1 Pengelompokan DAS di Jawa Barat
Sumber: Puslitbang Pengairan
Ketersediaan aliran rata-rata adalah potensi air yang ada pada suatu DAS yang dihitung berdasarkan curah hujan tahunan dan luas DAS dan kebutuhannya. Ketersediaan aliran dasar adalah debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada meskipun pada musim kemarau dan dihitung berdasarkan penggunaan lahan (land use) yang ada, dimana untuk setiap land use dapat ditentukan nilai run off (base flow index) masing-masing. Ketersediaan air di Jawa Barat pada musim penghujan mencapai sekitar 81,4 milyar m3/tahun sedangkan pada musim kemaran tinggal sekitar 8,1 milyar m3/tahun.
3
Gambar 3.2 Base Flow Kondisi Eksisting Aliran Mantap & Aliran Rata-rata DAS di Jawa Barat
Sumber Data : Laporan RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Gambar 3.3 Rasio Ketersediaan & Kebutuhan Air di 40 DAS di Jawa Barat
Sumber Data : Laporan RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2010
Berikut adalah beberapa pengertian dari kategori nilai pada grafik di atas: Aliran dasar DAS:
kategori DAS sangat kritis : kebutuhan air di DAS tersebut sudah melebihi aliran dasar atau debit sungai yang diharapkan selalu ada meskipun pada musim kemarau.
Kategori DAS kritis : kebutuhan air di DAS tersebut sudah berkisar 76% - 100% dari aliran dasar yang ada. Kategori DAS mendekati / agak kritis : kebutuhan air masih berkisar 51% - 75% dari aliran dasar yang ada,.
Kategori DAS tidak kritis : kebutuhan air masih 50% atau kurang dari aliran dasar yang ada.
4
Aliran rata-rata DAS:
DAS potensi air tidak tersedia : kebutuhan air sudah melebihi aliran rata-rata atau potensi air yang ada.
DAS potensi air hampir tidak tersedia: kebutuhan air sudah berkisar antara 76% 100% aliran rata-rata yang ada.
DAS potensi air kurang tersedia: kebutuhan air masih berkisar 51% - 75% dari aliran rata-rata di DAS yang ada, dan DAS potensi air cukup tersedia: kebutuhan air hanya kurang dari 50% dari aliran rata-rata yang ada.
Peranan sungai Citarum dan Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, sangatlah penting bagi pembangunan Jawa Barat dan kesejahteraan penduduknya, antara lain untuk air rumah tangga, air irigasi pertanian (300.000 ha di pantura), peternakan, perikanan dan air industri. Bahkan tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur sangat penting sebagai sumber daya listrik nasional (sekitar 2.000 MW total kapasitas terpasang untuk interkoneksi Jawa-Bali). Waduk Jatiluhur juga mengalirkan air baku dan air penggelontor ke DKI Jakarta (3.000 m3/detik). B. Waduk / Situ Waduk atau situ merupakan sekumpulan air yang menempati suatu daerah lekukan di permukaan tanah. Karena waduk memiliki outlet maka bila terdapat polutan masuk ke dalam waduk maka masih memungkinkan terjadi self purification walaupun sangat lambat. Data waduk yang tersedia adalah data tentang bendung tahun 2002 - 2005 yang memperlihatkan kondisi bendung tetap di Jawa Barat. Jumlah bendung yang kondisinya baik terus menurun antara tahun 2002 sampai 2005, sementara bendung dengan kondisi rusak ringan dan rusak berat terus meningkat. Itu artinya bendung yang tadinya dalam kondisi baik kemudian berubah menjadi rusak. Ditinjau dari luasan dan potensinya, antara tahun 2002 - 2005 telah terjadi penurunan luas waduk / situ yang diikuti dengan penurunan potensi volume airnya. Walaupun jumlah situ dan waduk pada tahun 2005 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2002, namun luasnya mengalami penurunan sampai 2.877 ha dan potensi debitnya berkurang menjadi 115,3 juta m3 pada tahun 2005.
5
Gambar 3.4 Kondisi Bendung Tetap di Jawa Barat 2002 - 2005
Sumber : Diolah dari data Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa Barat, 2006
Gambar 3.5 Kecenderungan Penurunan Potensi Situ / Waduk di Jawa Barat Tahun 2002 - 2005
Sumber : Dinas PSDA Jawa Barat, 2006
6
Kotak 3.1 Situ Umar Diuruk, Massa Unjuk Rasa Sedikitnya 30 orang warga RW 05 Kp. Situ Umar, Desa Lembang, Kec. Lembang mengeluh karena terancam kehilangan sumber air di Situ Umar. Danau atau situ itu kini telah diuruk sebuah perusahaan air kemasan dan hanya disisakan 10%-nya saja. Mereka khawatir masyarakat kekurangan sumber air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sekitar Situ Umar terdapat sekitar 500 kepala keluarga. Ada masyatakat yang bisa langsung menikmati air dari Situ Umar, ada pula masyarakat yang air sumurnya berisi karena ada Situ Umar. Jadi masyarakat khawatir sumur masyarakat pun menjadi kering karena tidak ada lagi resapan air," kata Aneng lagi. Masyarakat menyatakan bahwa mereka sudah mengirimkan surat kepada Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat, yang juga ditembuskan kepada Ketua DPRD Jabar, Gubernur Jabar, Kapolda Jabar, Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Dalam surat tersebut diungkapkan warga merasa keberatan dengan pembangunan pabrik air mineral itu. Alasannya karena masyarakat memahami betul bahwa kekayaan alam yang berkenaan dengan kepentingan rakyat banyak dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Masyarakat juga khawatir jika izin berdirinya perusahaan tersebut diberikan akan menimbulkan kekeringan bagi warga. "Yang lebih penting lagi, perusahaan tersebut sebelumnya tak pernah meminta izin prinsip persetujuan warga," katanya. Aneng juga menyesalkan tindakan perusahaan yang merekrut orang-orang bergaya preman dan melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap warga. Warga bahkan diminta tidak mendekati kawasan Situ Umar oleh orang-orang tersebut. "Kalau mendekat, mereka menghalang-halangi," kata Aneng. Galamedia, 20 SEPTEMBER 2008
3.1.1.2 Air Tanah Air tanah merupakan sumberdaya alam yang potensinya, menyangkut kuantitas dan kualitasnya, tergantung pada kondisi lingkungan tempat proses pengimbuhan (groundwater reacharge), pengaliran (groundwater flow), dan pelepasan air tanah (groundwater discharge) berlangsung pada suatu wadah yang disebut cekungan air tanah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horizontal Cekungan Air Tanah di Pulau Jawa dan Madura, bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat 27 buah cekungan air tanah yang terdiri dari 8 cekungan lokal, 15 cekungan lintas kabupaten / kota dan 4 cekungan lintas provinsi. Total luas cekungan airtanah di Jawa Barat sekitar 26.307 km2, sedangkan jumlah total potensi airtanah bebas (Q1) sekitar 15,377 milyar m3/tahun, sedangkan jumlah airtanah tertekan sekitar 985 juta m3/tahun. Sebaran CAT di wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut.
7
Gambar 3.6 Peta Cekungan Air Tanah Jawa Barat
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
Berdasarkan kondisi geologi dan morfologi serta dikaitkan dengan sistem CAT-nya, Jawa Barat dapat dikelompokkan ke dalam beberapa mandala Air Tanah (AT) (groundwater province) sebagai berikut di bawah ini (DGTL, 2000). Mandala AT Dataran : Umumnya menempati daerah pantai utara dan bagian selatan, dan setempat pada daerah bantaran banjir (flood plain). Secara hidrogeologi, daerah ini umumnya menunjukkan kandungan air tanah bebas (free groundwater) atau air tanah tidak tertekan (unconfined groundwater) yang cukup potensial. Mandala AT Kerucut Gunungapi: Sebaran umumnya di bagian tengah Jawa Barat. Secara umum pola aliran air tanah secara radial dari arah puncak menuju kaki gunungapi, dengan produktivitas akuifer semakin meninggi ke arah bagian kaki gunungapi tersebut. Mandala AT Perbukitan: Pada mandala ini air tanah dijumpai secara terbatas, misal di daerah lembah. Daerah dengan timbulan tajam mencerminkan tingkat resistensi yang tinggi sehingga aliran permukaan (surface run-off) lebih dominan dibandingkan proses peresapan.
8
Gambar 3.7 Peta Hidrogeologi Jawa Barat
Sumber: Pusat Lingkungan Geologi
3.1.2 Tekanan terhadap Ketersediaan Air Tekanan terhadap air bisa ditinjau dari 3 sudut, yaitu :
Permintaan akan air
Sumber Air, Daerah Tangkapan Air dan Pengaliran Air
A. Permintaan / Kebutuhan akan Air Pada saat ini (2008) kebutuhan air untuk keperluan domestik, industri dan irigasi di Jawa Barat diperkirakan sebesar 17,6 milyar m3/tahun dan akan terus tumbuh sekitar 1-1,7 % pertahun. Untuk keperluan domestik, pertanian dan industri sekitar 17,5 milyar meter kubik per tahun (hanya terpenuhi sekitar 50% dari total kebutuhan) sisanya mengambil air tanah. Berdasarkan data laporan penanganan ijin pengambilan dan pemanfaatan air permukaan, pada tahun 2007 terjadi peningkatan pemanfaatan air, baik melalui PDAM, non PDAM, ataupun untuk industri, pertanian, dan niaga dengan rincian sebagai berikut.
9
Gambar 3.8 Pemakaian Air Permukaan per Das di Jawa Barat Tahun 2005 - 2008
Sumber Data : Diolah dari Laporan Penanganan Ijin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan Dinas Pengendalian. Sumber Daya Air Jawa Barat Tahun 2008
Dari data tersebut jelas terlihat bahwa penggunaan air semakin meningkat dari tahun ke tahun, laju peningkatan penggunaan air pada tahun 2008 sebesar 1,7 kali dibandingkan tahun sebelumnya. Dapat dibayangkan bila kondisi air yang secara kuantitas terus menerus meningkat kebutuhannya namun secara kualitas kondisinya mengkhawatirkan. Peningkatan kebutuhan air merupakan salah satu tekanan dalam berlanjutnya suplai air ke berbagai pemanfaatan di Jawa Barat. Dari grafik di bawah dapat terlihat bahwa untuk keperluan industri dan pertanian baik dari SIPA maupun irigasi kebutuhan air semakin meningkat (2002 - 2005). Gambar 3.9 Trend Kebutuhan Air untuk Industri dan Pertanian di Jawa Barat
Sumber : Laporan Penanganan Ijin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan Dinas PSDA Jawa Barat Tahun 2006
10
B. Sumber Air, Daerah Tangkapan Air dan Pengaliran Air Curah Hujan Ketersediaan air yang umumnya dikenal dengan debit (run off ) sungai, merupakan bagian dari proses hidrologi yang terdiri atas proses penguapan atau evaporasi (E), hujan atau presipitasi (P), perjalanan air (run off) ke ke laut. Presipitasi/intensitas curah hujan di Jawa Barat tahun 2008 belum terdata dengan lengkap, namun kondisinya pada bulan Mei 2008 Jawa Barat mengalami curah hujan rendah atau kurang dari 150 mm/bulan. Sebagian besar wilayah Jawa Barat mengalami curah hujan kurang dari 75 mm/bulan. Bahkan di wilayah Pantura dan bagian Selatan Jawa Barat mempunyai curah hujan dibawah 10 mm/bulan. Ini semua sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air dalam bentuk debit sungai. Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan tata guna lahan merupakan tekanan terhadap kontinuitas ketersediaan air permukaan. Perubahan ini berkaitan erat dengan tingkat penyerapan air oleh tanah dan kondisi terbangun diatasnya. Erosi Sebagai indikator dipaparkan beberapa tingkat erosi yang terjadi di beberapa DAS di Jawa Barat sebagai ilustrasi peningkatan sedimen terhadap kondisi sungai. Tingkat erosi ini dikuatkan pula oleh indikator kekeruhan dan suspendid solid yang terpantau pada tiap DAS. Berdasarkan penelitian (Sutono et al, 2003) untuk DAS Citarum mengenai besaran erosi dari berbagai penggunaan lahan ternyata lahan sawah sebagai lahan pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi lahan sawah lebih rendah (0,3 - 1,5 t/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5,7 - 16,5 t/ha/tahun). Erosi terjadi pada setiap penggunaan lahan, terendah adalah pada lahan hutan, diikuti oleh sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran, dan tegalan. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Peningkatan erosi diduga terjadi pada lahan kebun campuran yang semula berupa lahan sawah serta lahan hutan yang dijadikan lahan pertanian. Sebaliknya terjadi penurunan jumlah erosi apabila kebun campuran dan karet dijadikan lahan sawah.
11
Naiknya tingkat sedimentasi selain dari faktor alami juga diperberat oleh aktivitas manusia yang berada di atasnya. Sebagai contoh deforestasi kawasan lindung yang umumnya terdapat di hulu sungai (mata air) bersinggungan dengan aktivitas masyarakat ditempat tersebut. Dibawah ini digambarkan jumlah keluarga yang terdapat di lahan kritis dan kawasan lindung di Jawa Barat. Untuk itu perlu beberapa respon dalam beraktivitas yang mampu mensejahterakan warganya sekaligus melestarikan lingkungan yang ada. Tabel 3.1 Tingkat erosi DAS di Jawa Barat Klasifikasi 0 - 15 Ton/Ha/Thn (Sangat Ringan) 15 - 60 Ton/Ha/Thn (Ringan)
60 - 180 Ton/Ha/Thn (Sedang)
180 - 480 Ton/Ha/Thn (Kritis)
> 480 Ton/Ha/Thn (Sangat Kritis)
Nama DAS *Das Kali Buaran DAS Cipanas DAS Pangkalan DAS Pagadungan DAS Kalisewo *DAS Ciliwung DAS Citarum DAS Cinereng DAS Ciasem DAS Kali Jurang Jero DAS Ciletuh DAS Bangkaderes *DAS Cidurian DAS Kali Bekasi DAS Cilamaya DAS Cilalanang DAS Cimanuk DAS Ciwaringin DAS Cimanggung DAS Cisanggarung DAS Cijulang DAS Cikondang DAS Cilaki DAS Cisadea DAS Cibuni DAS Cikaso DAS Cikarang DAS Cimandiri *DAS Ciujung *DAS Cisadane DAS Cipunagara DAS Citanduy DAS Cimedang DAS Ciwulan DAS Cipatujah
12
Tingkat Erosi 8.74 24.87 34.41 30.76 54.99 169.28 154.99 103.23 175.51 63.84 179.91 140.67 264.4 362.23 279.12 228.33 215.42 367.64 349.16 419.7 439.62 346.3 377.64 342.48 222.44 207.95 297.15 294.4 1076.43 870.28 710.33 535.75 818.45 762.27 804.6
Klasifikasi
Nama DAS DAS Cisanggiri DAS Cimaragang DAS Cipondok *DAS Cimangur DAS Cibareno
Tingkat Erosi 942.51 751.16 802.18 1001.76 1053.66
Sumber : WJEMP, 2004
Gambar 3.10 Jumlah Keluarga di Lahan Kritis dan Kawasan Lindung di Jawa Barat
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat, 2003
Infrastruktur terkait Badan Air Penurunan fungsi sarana dan prasarana tampungan air dalam hal ini diilustrasikan oleh indikator kondisi saluran merupakan salah satu tekanan terhadap ketersediaan air. Dari ilustrasi dibawah dapat dilihat bahwa semua saluran mengalami kondisi rusak ringan dan rusak berat sehingga memerlukan perbaikan agar ketersediaan air menjadi lancar Gambar 3.11 Kondisi Berbagai Saluran di Jawa Barat 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 Saluran Induk
Baik
Saluran Sekunder
Rusak Ringan
Sumber : Dinas PSDA Jawa Barat, 2006
13
Saluran Pembuangan
Rusak Berat
3.2 3.2.1
Kualitas Air di Jawa Barat Status / Kondisi Kualitas Air
Data yang tersedia terkait dengan kualitas air hanya untuk air permukaan saja. Sejauh ini tidak diperoleh data / informasi mengenai kualitas air tanah. 3.2.1.1 Air Sungai Berikut akan diuraikan kondisi kualitas air sungai di 7 DAS utama di Jawa Barat yang perlu mendapat perhatian, yaitu : DAS Citarum, Ciliwung, Cileungsi-Bekasi, Cimanuk, Citanduy, Cisadane, dan Cilamaya. Parameter pencemar kemudian akan dibandingkan dengan baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001 tentang tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk beberapa parameter wajib. Pertimbangan tersebut dilakukan mengingat hingga saat ini Pemerintah Jawa Barat belum menetapkan klasifikasi dan kriteria mutu air sungai untuk masing-masing DAS di Jawa Barat. Berdasarkan hasil pemantauan, terlihat bahwa semua parameter kualitas air di sungai-sungai tersebut menunjukkan nilai atau konsentrasi yang meningkat dan melebihi baku-mutu dari hulu ke hilir dan dari tahun ke tahun (walaupun tidak seluruh lokasi selalu dipantau dari hulu ke hilir) terutama untuk parameter COD dan DO di DAS Cimanuk dan DAS Ciliwung serta DAS Cisadane. Kondisi kualitas air sungai yang sangat parah terjadi di DAS Citarum dimana tidak menunjukkan kecenderungan membaik meski di sungai ini terdapat tiga waduk, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur karena sungai Citarum melalui daerah-daerah yang padat penduduk dan padat industri, sehingga keberadaan waduk yang berukuran besar pun tidak mempengaruhi penurunan konsentrasi bahan-bahan pencemar. Kemungkinan ini juga menunjukkan terlewatinya ambang-batas atas (upper threshold) kemampuan sungai Citarum untuk menurunkan konsentrasi bahan-bahan pencemar karena terlalu beratnya beban pencemar yang dibuang dan kemudian dibawa oleh sungai tersebut. Kondisi sangat parah terdapat pula di DAS Cileungsi - Bekasi yang semakin ke hilir semakin buruk terutama di Cileungsi, Cikarang dan Babelan Bekasi.
14
1. DAS CITARUM a. Kondisi Fisik DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan paling dieksploitasi di Indonesia, mempunyai luas 7.061,77 km2 dan panjang 269 km. DAS ini melewati beberapa wilayah seperti Kab. Sumedang, Kab. Garut, Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Cianjur, Kab. Purwakarta, dan Kab. Karawang. Di bagian hulunya, DAS ini terdiri atas beberapa anak sungai seperti S. Citarik, S. Cikeruh, S. Cikapundung, S. Cipamokolan, dll yang bermuara ke bagian utara Jawa Barat. DAS Citarum berada pada beberapa wilayah administrasi kabupaten dan kota, yaitu : a) DAS Citarum hulu sampai Waduk Saguling berada pada Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Di segmen ini Sungai Citarum banyak menampung beban pencemaran air akibat limbah industri, penduduk dan pertanian b) Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur berada pada Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta. Kedua waduk ini banyak menampung beban pencemaran air akibat limbah perikanan keramba jaring apung. c) Citarum Hilir dari Bendung Curug sampai muara sungai berada pada Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. Beban pencemaran pada segmen Sungai Citarum masih menghadapi masalah beban pencemaran akibat industri. Sebagian besar anak Sungai Citarum mengalir melalui daerah Kabupaten Bandung dan terkumpul pada Waduk Saguling dan Waduk Cirata. Anak sungai tersebut mengalir melalui daerah perkotaan, pedesaan, industri dan persawahan sehinga kualitasnya sangat terpengaruh oleh kegiatan pada daerah aliaran sungai (DAS), khususnya Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Meskipun sebagian besar sungai tersebut sering dilanda banjir pada musim hujan, debit sungai selama musim kering sangat rendah dan tingkat pencemarannya sangat tinggi, terutama induk Sungai Citarum Hulu. Tingkat pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum dan anaknya sangat
15
tinggi sehingga perlindungan dan pengaturan pemanfaatan airnya masih memerlukan peningkatan, terutama aspek pengelolaan kualitas air. b. Kualitas Sungai Trend BOD dan COD dari tahun 2002 - 2008 sangat fluktuatif namun tetap stagnan, dari 10 lokasi yang dipantau hanya satu yang masih baik yaitu di hulu sungai Citarum. Belum pernah terdapat data yang memperlihatkan kondisi BOD dan COD yang turun dibawah ataupun sesuai baku mutu yang dipersyaratkan. Bila lebih detail dilihat maka kategori pencemaran dari parameter COD terlihat dari mulai kondisi tengah (Cijeruk, Dayeuhkolot, Burujul, Nanjung dan Bdg. Curug ) sedangkan pada Hulu (Wangisagara, Majalaya & Sapan) dan Hilir (Bd. Walahar dan Tanjung Pura) relatif dari tahun 2002 2008 berada pada kondisi stabil dan dibawah baku mutu. Bila diindentifikasi maka pencemaran dari limbah industri sangat mendominasi. Penurunan konsentrasi DO dari hasil pemantauan memperlihatkan kondisi yang menurun sejak keluar dari Wangisagara dan mulai kembali naik di Bendung Walahar. Penyebab menurunnya DO disebabkan oleh kandungan zat organik dalam air seperti kandungan phenol, deterjen ataupun buangan industri serta padatan tersuspensi (limbah domestik dan pengaruh erosi) yang bila terlalu tinggi dapat mempengaruhi kehidupan akuatik, mengurangi proses fotosintesis, meningkatkan kebutuhan oksigen dan turbiditas yang secara alami terjadi dalam kondisi sungai. Indikasi dari menurunnya DO ini di DAS Citarum sangat terlihat sekali dan berasal dari berbagai faktor pencemar mulai dari pencemar domestik (koli, deterjen), industri (logam berat, BOD, COD), pertanian (fosfat, nitrit, sulfida), peternakan (fosfat, nitrit, sulfida) serta erosi (TSS dan turbiditas).
16
Gambar 3.12 Kondisi Kualitas Air Sungai Citarum Tahun 2002 - 2008 Trend COD di DAS Citarum Tahun 2002 - 2008
Trend BOD di DAS Citarum Tahun 2002 - 2008 150
60
Baku Mutu Kelas II
Baku Mutu Kelas II Wangisagara (hulu)
50
Wangisagara (hulu)
125
Majalaya
Sapan
40
COD (mg/L)
BOD (m g/L)
Majalaya
Cijeruk 30
Dayeuhkolot Burujul
20
Nanjung
Sapan
100
Cijeruk 75
Dayeuhkolot Burujul
50
Nanjung Bdg. Curug
Bdg. Curug 10
25
Bdg. Walahar
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Bdg. Walahar Tanjungpura (hilir)
Tanjungpura (hilir)
0
0
2002
2008
2003
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Trend DO dari hulu ke hilir di DAS Citarum tahun 2007 - 2008
Trend Fecal Coliform di DAS Citarum Tahun 2002 - 2008
8.0 DO (mg/L O 2 )
6.0 5.0
2008
4.0
BM Kelas II
3.0
2006
2.0 1.0 0.0
W
2007
l u) ya an r uk lot u ju ung ru g ha r ilir) ul p a o j r u a (h ( h ajal S a Cije hk Bu a n al ra u .C a N r e M dg . W pu ga ay B dg ng a D s B n ju gi an Ta
Fecal Coliform (jml/100ml)
200000
7.0
Baku Mutu Kelas II Wangisagara (hulu) Majalaya
150000
Sapan Cijeruk
100000
Dayeuhkolot Burujul
50000
Nanjung Bdg. Curug Bdg. Walahar
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tanjungpura (hilir)
Tahun
Trend Total Coliform dari tahun 2005 - 2008 140000
jml/100 mL
BM Kelas II
120000
Wangisagara (hulu)
100000
Majalaya Sapan
80000
Cijeruk
60000
Dayeuhkolot Burujul
40000
Nanjung
20000
Bendung Curug Bendung Walahar
0
Tanjungpura (hilir)
2005
2006
2007
2008
Sumber: Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
17
Tabel 3.2 Kualitas Air Sungai Citarum Tahun 2008 DAS Citarum 2008 BM KLS II Wangisagara (hulu)
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
deterjen (µg/L)
Nitrit (mg/L)
Sulfida (mg/L)
Koli Total (jml/100 mL)
Koli Tinja (jml/100 mL)
TSS (jml/100 mL)
3
25
4
200
0.06
0.002
5000
1000
50
Fosfat total (mg/L) 0.2
3.3
9.2
6.6
59
0.023
0.04
19000
11000
43
0.033
0.054
Majalaya
5.2
14.3
2
83
0.089
0.12
27000
16000
28
0.067
2.56
Sapan
38
112
0
372
0.089
1.06
6000
4200
122
0.15
0.172
Cijeruk
30
72
0
446
0.046
0.74
38000
22000
57
1.24
0.155
Dayeuhkolot
25
65
0
366
0.039
0.78
36000
20000
58
0.73
0.179
Burujul
14
39
0
378
0.017
0.62
33000
17000
38
0.78
0.144
Nanjung
28
72
0
546
0.024
0.55
30000
17000
52
0.18
0.038
Bdg. Curug Bdg. Walahar Tanjungpura (hilir)
6.4
19.3
3.4
47
0.018
0.04
120000
72000
13
0.64
0.006
3.2
8.5
4.4
36
0.051
0.04
90000
56000
36
0.21
0.006
9.2
21
4.1
93
0.117
0.04
62000
44000
64
0.19
0.012
Seng (mg/L) 0.05
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3,2 – 38 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 8,5 – 112 mg/L, hanya sebagian yang sesuai Baku Mutu, trend naik. Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 4200 – 72000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend fluktuatif. total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar antara 6000 – 120000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik Detergen (Baku Mutu = 200 µg/L). Berkisar antara 36 – 546 mg/L, mayoritas tidak sesuai Baku Mutu, trend meningkat. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 – 1,06 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Fosfat (Baku Mutu = 0,2 mg/L). Berkisar antara 0,033 – 1,24 mg/L, mayoritas melebihi Baku Mutu, trend fluktuatif. Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,017 – 0,117 mg/L, sebagian memenuhi Baku Mutu, trend menurun. TSS (Baku Mutu 50 mg/L). Berkisar antara 13 – 122 mg/l, sebagian lokasi tidak memenuhi baku mutu, trend fluktuatif.
18
2. DAS CILIWUNG a. Kondisi Fisik Secara administratif, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kec. Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kec. Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 300 m dpl. DAS ini bermuara ke bagian utara Jawa Barat. Bagian tengah DAS Ciliwung mencakup areal seluas 94 km2, merupakan daerah bergelombang dan berbukit dengan variasi elevasi antara 100 - 300 m dpl. Penggunaan lahan di bagian tengah DAS Ciliwung masih didominasi penggunaan lahan pertanian dan perkebunan (73%).
Secara administratif pemerintahan, bagian tengah DAS Ciliwung
termasuk wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, serta Kota Depok. Sedangkan bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah DKI Jakarta. b. Kualitas Kegiatan Prokasih di DAS Ciliwung dimulai sejak tahun 2003. Hasil pemantauan menunjukkan kualitas air Sungai Ciliwung saat ini dalam kondisi tercemar sejak dari hulunya di Puncak, Kabupaten Bogor, terutama untuk BOD serta fosfat dimana trend dari tahun 2004 - 2008 mengalami kenaikan di daerah hulu namun semakin ke hilir terutama di Jembatan Panus trend BOD mengalami penurunan. Di samping beban pencemaran yang makin tinggi, kawasan konservasi di sepanjang daerah aliran sungai makin berkurang. Secara umum kualitas air DAS Ciliwung untuk parameter total coliform & fecal coliform cenderung menurun setiap tahunnya, hal ini terkait dengan semakin meningkatnya permukiman di wilayah hulu maupun tengah di DAS Ciliwung sehingga tidak memenuhi baku mutu kelas II.
19
Gambar 3.13 Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung Tahun 2004 - 2008 Trend BOD DAS Ciliwung 2004 - 2008 10
BM Kelas II
9
Mesjid Attaawun (Hulu) Cisampay
8 7
BM Kelas II
35
Mesjid Ataawun (Hulu)
m g /L
Katulampa
4
Kebun Raya/Sempur
15
Kedung Halang
10
Pondok Rajeg
0 2004
2005
2006
2007
2008
Kebun raya/sempur Kedung Halang
5
Jembatan Panus (Hilir) Linear (Jembatan Panus (Hilir)) Linear (Mesjid Attaawun (Hulu))
1
Cisarua
20
Katulampa
2
Pasir Angin/Bd.Gadog
25
5 3
Cisampay
30
Pasir Angin/Bd Gadong Cisarua
6 mg/L
Trend COD DAS Ciliwung Tahun 2005 - 2008 40
Pondok Rajeg
0
Jemb. Panus (Hilir)
2005
2006
2007 tahun
Tahun
2008
Linear (Mesjid Ataawun (Hulu)) Linear (Jemb. Panus (Hilir))
Trend Total Coliform DAS Ciliwung 2005 - 2008 BM Kelas II Mesjid Attaawun (hulu)
T o ta l C o lifo rm (jm l/1 0 0 m L )
505000
Cisampay Pasir Angin/Bd Gadong
405000
Cisarua Katulampa
305000
Kebun Raya/Sempur Kedung Halang
205000
Pondok Rajeg
105000
Jembatan Panus (Hilir)
5000
2005
2006
2007
2008
Linear (Jembatan Panus (Hilir)) Linear (Mesjid Attaawun (hulu)) Linear (Kedung Halang)
tahun
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2008, beberapa parameter seperti fosfat total, H2S, Nitrit dan logam berat Zn terpantau melebihi baku mutu pada beberapa wilayah seperti untuk fosfat total di daerah hulu (Mesjid Atta’awun), H2S disemua lokasi dari hulu ke hilir, nitrit di daerah Cisampay, Sempur, Kedung Halang dan Jembatan Panus dan Zn di daerah Kedung Halang. Dari parameter H2S yang sangat tinggi (20 kali dari BM) seharusnya mengisyaratkan kondisi oksigen terlarut yang rendah namun hal ini tidak terjadi karena nilai DO sangat optimum bagi kondisi akuatik yaitu berkisar antara 5,2 - 8 mg/L O2.
20
Tabel 3.3 Kualitas Sungai Ciliwung
DAS Ciliwung 2008
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
BM Kelas II Mesjid Attaawun (Hulu) Cisampay Pasir Angin/Bd Gadong Cisarua Katulampa Kebun Raya/Sempur Kedung Halang Pondok Rajeg Jembatan Panus (Hilir)
3 5.3 2 0.8 1.1 1.6 2.4 2.6 1.2 2.4
25 6.8 5.1 6.8 5.1 6.8 5 6.8 12 5
4 5.8 6.6 7 6.6 8 5.2 5.6 6.8 7
Total Coliform (jml/100mL) 5000 8300 3600 1800 13000 1900 2400 58000 18000 3600
Fecal Coli (jml/100mL) 1000 5200 2200 8000 1100 1200 1500 36000 10000 2100
Fosfat total (mg/L) 0.2 0.23 0.15 0.043 0.092 0.058 0.14 0.19 0.045 0.051
Sulfida (mg/L) 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 0,8 – 5,3 mg/L, hanya satu yang melebihi BM, trend turun. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 5 –12 mg/L, semua sesuai Baku Mutu, trend turun. Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 1100 – 36000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend fluktuatif. total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar antara 1800 – 58000 mg/L, sebagian tempat melebihi baku mutu, trend fluktuatif H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Fosfat (Baku Mutu = 0,2 mg/L). Berkisar antara 0,043 – 0,23 mg/L, sedikit yang melebihi Baku Mutu, trend turun.
3. DAS CILEUNGSI-BEKASI a. Kondisi Fisik Hulu daerah aliran sungai Cileungsi berada di daerah kabupaten Bogor, sedangkan hilirnya berada di daerah Bekasi. Pengambilan sampel air di DAS Cileungsi ini dilakukan di 8 lokasi, yaitu Pekapuran, Cileungsi, Jonggol, Cikeas / Citeureup, Cikeas Hilir sebelum Bekasi, Cikarang, Babelan, dan Marga Jaya. Hasil analisis pada beberapa lokasi tersebut terdapat parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu sesuai PP No 82 Tahun 2001 kelas 2 sebagai dasar pelaksanaannya serta beberapa ilustrasi dari tahun 2002 sampai 2008 yang memperlihatkan trend yang semakin memburuk dan tidak memenuhi baku mutu untuk kelas 3.
21
Sungai Cileungsi-Bekasi merupakan salah satu sungai besar yang berhulu di bagian tengah Jabodepunjur. Di Bojongkulur, Sungai Cileungsi bertemu dengan Sungai Cikeas dan akhirnya berlanjut menjadi bagian dari Sungai Bekasi yang bermuara di Laut Jawa. Baik Sungai Cileungsi maupun Sungai Cikeas bersumber dari Gunung Kencana yang berada di Wilayah Kabupaten Bogor. Panjang sungai Bekasi mulai dari hulu sungai Cikeas adalah 118 km sedangkan jika dari sungai Cileungsi, panjang sungai adalah 102 km, dengan luas daerah aliran sungai sekitar 521,45 km2. DAS Cileungsi-Bekasi meliputi wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Pada bagian hulu sungai terdapat hutan lindung, hutan produksi, pertanian, tanaman hortikultura dan tanaman pangan. Di sebagian besar hilir sungai terdapat persawahan dan tambak ikan. Pada DAS Bekasi terdapat daerah industri dengan jumlah industri sekitar 170 buah yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Cikeas, Citeureup, Cileungsi di Kabupaten Bogor serta di sepanjang Bekasi di Kabupaten Bekasi. DAS ini bermuara ke bagian utara Jawa Barat. b. Kualitas Sejak tahun 2002, DAS Cileungsi-Kali Bekasi telah menjadi prioritas DAS yang dipantau dalam program Prokasih. Berdasarkan hasil pemantauan Prokasih sungai Cileungsi - Bekasi kualitas air sungai tersebut sudah tercemar sangat berat, kondisi ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan beberapa parameter penting (BOD, Nitrit, Fecal Coliform dan Logam lainnya) dimana setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Gambaran kualitas air DAS Cileungsi - Bekasi tersaji pada tabel dan gambar dibawah ini. Trend peningkatan BOD dari tahun 2002 - 2008 terlihat pada gambar dibawah ini dimana mulai dari hulu sampai hilir terjadi peningkatan untuk baku mutu kelas III hal ini untuk menunjukkan bahwa beberapa segmen sungai sudah tidak terdapat kehidupan akuatik yang aerobik dan menjurus pada kondisi dekomposisi anaerob. Trend peningkatan terjadi pula pada parameter COD dimana daerah hilir mulai mengalami kenaikan konsentrasi. Naiknya konsentrasi terjadi di daerah Cileungsi, Cikarang serta Babelan, karena daerah tersebut merupakan lokasi beberapa industri yang membuang limbahnya pada badan air di DAS Cileungsi.
22
Gambar 3.14 Kondisi Kualitas Air Sungai Cileungsi - Bekasi Tahun 2002 - 2008 Trend COD DAS Cileungsi-Bekasi Tahun 2005 - 2008
Trend BOD di DAS Cileungsi dari Hulu ke Hilir (2002 -2008)
Jonggol
30
Cikarang
20
Babelan (hilir)
10
BM Kelas III
120 100
BM Kelas II pekapuran (hulu)
80
m g /L
40 m g /l
50
Pekapuran (hulu) Cileungsi
Cileungsi
60
Jonggol 40 Cikarang 20
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Linear (Babelan (hilir))
Babelan (hilir)
0
2005
tahun
2006
2007
2008
Tahun
jm l/1 0 0 m L
Trend Total Coliform DAS Cileungsi dari Hulu ke Hilir (2005 - 2008) 255000
BMA Kelas II
205000
Pekapuran (hulu)
155000
Cileungsi Jonggol
105000
Cikarang
55000
Babelan (hilir)
5000
2005
2006 2007
2008
Linear (Babelan (hilir))
Tahun
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
23
Tabel 3.4 Kualitas Sungai Cileungsi-Bekasi BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
Koli Total (jml/100 mL)
Koli Tinja (jml/100 mL)
Deterjen (µg/L)
Sulfida (mg/L)
Nitrit (mg/L)
minyak & lemak (µg/L)
3
25
4
5000
1000
200
0.002
0.06
1000
3.1
7.0
9.1
30000
22000
42
0.04
0.012
50
Cileungsi
18
46.0
0.97
31000
20000
362
0.3
0.032
50
Jonggol
3.3
7.9
5.6
68000
41000
31
0.04
0.013
50
Cikarang
12
27.5
1.9
130000
72000
97
0.04
0.011
50
Babelan (hilir)
25
58.0
0
60000
42000
312
0.62
0.078
800
DAS Cileungsi / Bekasi 2008 BMA Kelas II Pekapuran (hulu)
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3,1 – 25 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 7 – 46 mg/L, hanya sebagian yang sesuai Baku Mutu, trend naik. Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 20000 – 72000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar antara 30000 – 130000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik Detergen (Baku Mutu = 200 µg/L). Berkisar antara 31 – 362 mg/L, mayoritas tidak sesuai Baku Mutu, trend meningkat. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 – 0,3 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,012 – 0,078 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend menurun. Minyak & lemak (Baku Mutu 1000 µg/L). Berkisar antara 50 – 800 mg/l, sebagian besar lokasi memenuhi baku mutu, trend fluktuatif.
24
4. DAS CIMANUK a. Kondisi Fisik DAS Cimanuk membujur dari selatan ke utara, berhulu di Kab. Garut dan Kab. Sumedang dan bermuara di Kab. Indramayu (bagian utara Jawa Barat). DAS Cimanuk merupakan sungai ketiga
terbesar
di Provinsi
Jawa
Barat
yang
merupakan gudang padi setelah DAS Citarum. Saat ini DAS Cimanuk yang memiliki luas sekitar 3.483,66 km2 dengan potensi aliran rata-rata tergolong kritis. Debit sungai dirasakan menurun yang dipantau di bendung Rentang atau pencatat tinggi muka air di pos Monjot. b. Kualitas Kegiatan Prokasih di DAS Cimanuk telah dilakukan sejak tahun 2002. Hasil pemantauan Prokasih menunjukkan bahwa kualitas air DAS Cimanuk dalam kondisi tercemar berat, dimana ada kecenderungan beberapa parameter pencemar seperti (TSS, BOD, COD, DO, Fecal Coliform dan Logam lainnya) yang setiap tahunnya cenderung meningkat dan tidak memenuhi baku mutu kelas II PP 82 Tahun 2001. Parameter BOD yang terpantau dalam grafik mengalami trend kenaikan di arah hulu (Bayongbong) sedangkan di hilir cenderung menurun, namun di semua titik pantau tingkat BOD sangat tinggi, artinya konsentrasi reduktor tinggi dan umumnya didominasi oleh pencemar industri dan buangan domestik. Untuk parameter koli tinja dan koli total, kandungannya di semua lokasi sangat tinggi. Parameter seng terpantau di lokasi sebelah hiilir Sukaregang dan Tomo, kemungkinan disebabkan oleh limbah industri yang terdapat di daerah Sukaregang Garut. Sulfida di semua lokasi konsentrasi di atas baku mutu kelas II, namun lebih merupakan dekomposisi aerobik dimana parameter DO yang masih optimum (4,4 - 7) untuk pertumbuhan akuatik.
25
Gambar 3.15 Kondisi Kualitas Air Sungai Cimanuk 2003 - 2008 Trend COD di DAS Cimanuk Tahun 2003 - 2008
Trend BOD di DAS Cimanuk Tahun 2003 - 2008 45
10
40 8
35
COD (m g/L)
B O D (m g /L )
Baku Mutu Kelas III Bayongbong Garut
6
Setelah Sukaregang Tomo 4
Jatibarang Log. (Bayongbong Garut)
BM KLS II 30
Bayongbong Garut
25
Setelah Sukaregang Tomo
20
Jatibarang 15
2
10 0
5 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2003
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Trend Total Coliform di DAS Cimanuk Tahun 2005 - 2008
Total Coliform (Jm l./100 m L)
35000 30000 BM KLS II
25000
Bayongbong Garut 20000
Setelah Sukaregang Tomo
15000
Jatibarang
10000 5000 2005
2006
2007
2008
Tahun
Sumber: Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
26
Tabel 3.5 Kualitas Sungai Cimanuk DAS Cimanuk 2008
BOD (mg/L)
BM KLS II
COD (mg/L)
Koli Total (jml/100 mL)
Koli Tinja (jml/100 mL)
DO (mg/L)
Seng (mg/L)
Sulfida (mg/L)
Zat tarsuspensi (mg/L) 50
3
25
5000
1000
4
0.05
0.002
Bayongbong Garut
4.0
12.6
24000
17000
5.8
0.029
0.04
81
Setelah Sukaregang
3.5
12.6
25000
19000
4.4
0.068
0.08
114
Tomo
5.0
14.3
20000
14000
7
0.054
0.09
26
Jatibarang
5.2
16
25000
15000
6
0.046
0.09
20
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3,1 – 25 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 7 – 46 mg/L, hanya sebagian yang sesuai Baku Mutu, trend naik. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 4,4 – 5,8 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend turun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar 14000 – 19000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar 20000 – 25000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik seng (Baku Mutu = 0,05 mg/L). Berkisar antara 0,029 – 0,068 mg/L, sebagian tidak sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 – 0,09 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Zat tersuspensi (Baku Mutu = 50 mg/l). Berkisar antara 20 – 114 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend fluktuatif.
5. DAS CITANDUY a. Kondisi Fisik DAS Citanduy dengan luas 2.590,54 km2, merupakan satu dari 18 DAS di Jawa Barat yang mengalir ke selatan. Curah hujan di DAS tersebut tergolong tinggi, yaitu 2.932,00 mm/tahun sehingga aliran rata-ratanya mencapai 144,16 m3/detik, sedangkan aliran mantap DAS Citanduy pada tahun 2001 mencapai 67,37 m3/detik. DAS ini memiliki tingkat erosi yang tinggi sehingga dikategorikan sebagai DAS dengan tingkat erosi yang kritis. b. Kualitas Hasil pemantauan kualitas air sungai Citanduy selama Program Prokasih yang dimulai sejak tahun 2003 menunjukkan bahwa status mutu Sungai Citanduy sudah tercemar berat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya parameter pencemar yang tidak memenuhi baku mutu kelas II (PP 82 Tahun 2001). Hampir setiap tahun di semua
27
lokasi, parameter BOD, COD dan Fecal/Total Coliform hampir selalu tidak memenuhi baku mutu. Kecenderungan jumlah parameter yang tidak memenuhi baku mutu terus meningkat, pada tahun 2006 pernah muncul parameter Fluorida, Timbal, Belerang, Air Raksa dan Sianida namun pada tahun 2008 logam berat yang terpantau adalah seng di Panumbangan dengan konsentrasi 0,13 mg/L. Dari data terakhir terlihat bahwa sumber pencemar limbah domestik serta aktivitas pertanian dan perikanan mempengaruhi kualitas air di DAS Citanduy ini, terlihat dari naiknya konsentrasi nitrit, sulfida, koli tinja dan koli total. Nitrit merupakan produk antara sebelum ke bentuk stabilnya berupa nitrat dengan kondisi pH yang alkali. Gambar 3.16 Kondisi Kualitas Air Sungai Citanduy 2005 - 2008 Trend BOD DAS Citanduy tahun 2005 - 2008
Trend COD DAS Citanduy tahun 2005 - 2008
25
60
15
Bendung Pataruman
50 C O D (m g /L )
B O D (mg /L )
Panumbangan
20
Baku Mutu Kelas II
Tunggilis
10
Panumbangan
40
Bendung Pataruman
30
Tunggilis
20 BM Kelas II
5
10 0
0 2005
2006
2007
2005
2008
Trend DO DAS Citanduy tahun 2005 - 2008
2007
2008
Trend Total Coliform DAS Citanduy tahun 2005 - 2008
9
Panumbangan
350000
8 7
300000 (jm l/1 0 0 m L )
Bendung Pataruman
6 (mg/L)
2006
Tunggilis
5 4
BM Kelas II
3 2
Panumbangan
250000
Bendung Pataruman
200000 150000
Tunggilis
100000
BM Kelas II
50000
1
0
0 2005
2006
2007
2005
2008
2006
2007
2008
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3.6 Kualitas Sungai Citanduy DAS Citanduy 2008 Baku Mutu Kelas II Panumbangan
BOD (mg/L) 3
COD (mg/L) 25
DO (mg/L) 4
Koli Total (jml/100 mL) 5000
1.4
5
6.7
9557
28
Seng (mg/L) 0,05 0,13
Koli Tinja (jml/100 mL) 1000
Sulfida (mg/L) 0.002
nitrit (mg/L) 0.06
18000
0.16
0.096
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
Bendung Pataruman
7.2
17
2.8
4587
Tunggilis
19.0
47
0.54
183467
DAS Citanduy 2008
DO (mg/L)
Koli Total (jml/100 mL)
Seng (mg/L) 0,036
Koli Tinja (jml/100 mL)
Sulfida (mg/L)
nitrit (mg/L)
9000
0.04
0.01
0,046
15000
0.04
0.02
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 1,4 – 19 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend fluktuatif. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 5 – 47 mg/L, hanya sebagian yang sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 0,54 – 6,7 mg/L, sebagian sesuai Baku Mutu, trend turun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar 9000 – 18000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar 4587 – 183467 mg/L, sebagian besar tempat melebihi baku mutu, trend naik seng (Baku Mutu = 0,05 mg/L). Berkisar antara 0,036 – 0,13 mg/L, sebagian tidak sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 – 0,16 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,01 – 0,96 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend fluktuatif.
6. DAS CILAMAYA a. Kondisi Fisik Sungai
Cilamaya
membentang
memisahkan
Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Subang. Sebagaimana
DAS-DAS
sebelumnya,
data
pemantauan kualitas air sungai dari tahun 2002 untuk
daerah
aliran
sungai
Cilamaya
juga
dilakukan pada beberapa lokasi sampling dengan frekuensi pengambilan tiga kali kecuali untuk tahun 2008 karena masih dilakukan pemantauan (satu kali). Lokasi pengambilan sampel air sungai untuk DAS Cilamaya adalah Wanayasa, Bendung Barugbug, dan Cilamaya Hilir. Seperti halnya daerah aliran sungai sebelumnya, DAS ini merupakan salah satu sumber alternatif irigasi bagi berbagai lahan sawah di wilayah Purwakarta, Subang, serta sebagian Karawang. b. Kualitas Pada DAS Cilamaya hampir sama dengan DAS lainnya dimana parameter yang melebihi baku mutu air kelas II yaitu BOD, COD, Fecal Coli, Total Coli dan H2S, juga parameter logam seperti Cd, Cu, Pb dan Zn pada pemantauan ke-1. Namun untuk daerah hulu di
29
Wanayasa trend BOD mengalami perbaikan dimana dari hasil uji parameter tersebut mengalami penurunan dan dibawah baku mutu yang ditetapkan begitu pula untuk COD dan DO. Kondisi memprihatinkan terdapat di titik pemantauan Barugbug (tengah) dan Sasak Beusi (hilir) dimana dari parameter wajib yang dipantau mengalami peningkatan seperti BOD, COD, DO serta total coliform. Gambar 3.17 Kondisi Kualitas Air Sungai Cilamaya 2005 - 2008 Trend COD DAS Cilamaya tahun 2005 - 2008
Trend BOD DAS Cilamaya tahun 2005 - 2008 35.0 wanayasa
25.0
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
30.0
barugbug
20.0 15.0
sasak beusi / cilamaya hilir
10.0
BM Kelas II
5.0 0.0 2005
2006
2007
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
wanayasa barugbug sasak beusi / cilamaya hilir BM Kelas II
2005
2008
2007
2008
Trend Total Coliform DAS Cilamaya tahun 2005 - 2008
Trend DO DAS Cilamaya tahun 2005 - 2008 350000
9 8
300000
wanayasa
7
wanayasa
250000
6
barugbug
(jml/100mL)
(mg/L)
2006
5 sasak beusi / cilamaya hilir
4 3
BM Kelas II
barugbug
200000 150000
sasak beusi / cilamaya hilir
100000
BM Kelas II
2 50000
1
0
0 2005
2006
2007
2005
2008
2006
2007
2008
Sumber: Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3.7 Kualitas Sungai Cilamaya DAS Cilamaya 2008 Baku Mutu Kelas II
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
Total Coliform (jml/100 mL)
DO (mg/L)
Fecal Coli (jml/100 mL)
Nitrit (mg/L)
Seng (mg/L)
Sulfida (mg/L)
3
25
5000
4
1000
0.06
0.05
0.002
wanayasa
1.4
5.0
11000
6.7
6200
0.016
0.115
0.04
barugbug sasak beusi / cilamaya hilir
7.2
17.0
37000
2.8
24000
0.081
0.044
0.04
19.0
47.0
72000
0.5
48000
0.076
0.006
0.04
30
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 1,4 – 30,3 mg/L, sebagian besar melebihi baku mutu, trend fluktuatif. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 5 – 85,3 mg/L, hanya sebagian yang sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 0,5 – 7,7 mg/L, sebagian sesuai Baku Mutu, trend naik Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 75 – 75000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar antara 6107 – 330160 mg/L, semua tempat melebihi baku mutu, trend naik Seng (BakuMutu=0,05mg/L).Berkisarantara0,006– 0,115 mg/L,sebagian tidak sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,016 – 0,081 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend fluktuatif.
7. DAS CISADANE a. Kondisi Fisik Sungai Cisadane merupakan sungai yang alirannya berasal dari Kabupaten Bogor, masuk ke wilayah Kabupaten Tangerang melalui Kecamatan Cisauk, Serpong dan ke wilayah Kota Tangerang dan akhirnya bermuara
di
teluk
Jakarta.
Sungai
Cisadane
merupakan salah satu sungai lintas provinsi yang melalui wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Menurut peruntukannya (PP No. 82 Tahun 2001) sungai Cisadane harus memenuhi baku mutu kelas 2, yaitu untuk prasarana atau sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan air untuk mengairi pertanaman. Pada kondisi saat ini di sekitar sungai Cisadane telah banyak berdiri kawasan pemukiman dan industri/pabrik yang sangat mempengaruhi kualitas air sungai tersebut. Di daerah aliran sungai Cisadane selain terdapat sebaran penduduk, industri, juga terdapat lahan pertanian yang berpotensi menyumbang limbah. Oleh karena itu, disetiap lokasi pengambilan sampel air DAS Cisadane berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 selama tiga periode pemantauan terdapat parameter uji yang tidak memenuhi baku mutunya. Nilai parameter uji air DAS Cisadane yang berada di atas baku mutu tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah.
31
b. Kualitas Pengambilan sampel pada DAS Cisadane dilakukan pada delapan lokasi sampling dari hulu ke hilir yaitu, Cisalopa, Muara Jaya, Jembatan Pancasan, Jembatan Karya Bhakti, Jembatan Jasmin, Batu Beulah, Karihkil, dan Rumpin. Seperti halnya DAS Citarum dan DAS Cimanuk, pada DAS Cisadane ini parameter Koli Tinja dan Koli Total merupakan parameter yang sering kali tidak memenuhi nilai baku mutunya selain itu parameter nitrit serta sulfida pada beberapa wilayah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Trend pada DAS ini untuk parameter tersebut diatas mengalami penurunan (2008) sehingga diperlukan upaya perbaikan dari hulu sampai hilir DAS Cisadane. Secara umum, jenis polutan penyebab menurunnya kualitas di beberapa lokasi DAS Cisadane dikarenakan adanya limbah domestik, limbah pertanian, peternakan, serta adanya limbah cair industri yang terlarut dalam air sungai. Sedangkan untuk parameter BOD, COD dan DO menuju ke arah perbaikan dimana pada tahun 2008 ini belum terdeteksi melebihi baku mutu yang ada. Gambar 3.18 Kondisi Kualitas Air Sungai Cisadane 2006 - 2008
7
Trend BOD (mg/L) DAS Cisadane tahun 2006 - 2008 Baku Mutu Kelas II
6
Cisalopa
5
Muara Jaya
4
Jbt. Pancasan
3
Jbt. Karya Bhakti Jbt. Yasmin
2
Batubeulah
1
Karihkil
0
Rumpin
2006
2007
2008
32
Trend COD DAS Cisadane tahun 2006 - 2008
Trend DO DAS Cisadane tahun 2006 - 2008
35 Baku Mutu Kelas II
30
Cisalopa Muara Jaya
D O (m g /L )
C OD (m g/L)
25
Jbt. Pancasan
20
Jbt. Karya Bhakti
15
Jbt. Yasmin
10
Batubeulah Karihkil
5
Rumpin
0 2006
2007
Trend Total Coliform DAS Cisadane tahun 2006 - 2008
Muara Jaya Jbt. Pancasan Jbt. Karya Bhakti Jbt. Yasmin Batubeulah Karihkil Rumpin
2007
2008
Baku Mutu Kelas II Cisalopa
70000 (jm l/1 0 0 m L )
Cisalopa
2006
2008
80000
Baku Mutu Kelas II
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Muara Jaya
60000
Jbt. Pancasan
50000
Jbt. Karya Bhakti
40000
Jbt. Yasmin
30000
Batubeulah
20000
Karihkil
10000
Rumpin
0 2006
2007
2008
Sumber: Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2008, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Tabel 3.8 Kualitas Sungai Cisadane DAS Cisadane 2008 Baku Mutu Kelas II
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
Koli Total (jml/100 mL)
Koli Tinja (jml/100 mL)
Nitrit (mg/L)
Sulfida (mg/L)
3
25
4
5000
1000
0.06
0.002
Cisalopa
1.4
3.4
7.2
13600
8000
0.017
0.04
Muara Jaya
1.0
3.4
7.4
7200
4200
0.024
0.04
Jbt. Pancasan
1.8
12.0
6
14000
9300
0.055
0.04
Jbt. Karya Bhakti
1.5
6.8
4.9
15000
8000
0.157
0.04
Jbt. Yasmin
2.4
5.1
5.6
22000
12000
0.068
0.04
Batubeulah
1.0
5.0
7.2
75000
46000
0.013
0.04
Karihkil
1.4
5.0
7.8
26000
16000
0.017
0.04
Rumpin
1.8
8.5
7.2
14200
8000
0.021
0.04
Keterangan : BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3 – 2,4 mg/L, sebagian besar melebihi baku mutu, trend menurun. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 3,4 – 12 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend menurun. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 4,9 – 7,8 mg/L, seluruhnya sesuai Baku Mutu, trend turun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 4200 – 46000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Total Coliform (Baku Mutu = 5000 jml/100mL). Berkisar antara 7200 – 75000 mg/L, semua tempat melebihi baku mutu, trend naik
33
H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,013 – 0, 157 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend fluktuatif
3.2.1.2
Kualitas Air Waduk dan Situ
Informasi mengenai kualitas air waduk hanyalah waduk-waduk yang berada di dalam DAS CItarum, yaitu Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur, dan Waduk CIrata. 1. Waduk Saguling Di semua lokasi Waduk (11 lokasi titik sampling dari Nanjung sampai Bandar Caringin), kualitas air waduk tidak memenuhi Baku Mutu Golongan C (perikanan). Baku mutu golongan C untuk phenol sebesar 0,001 mg/L sedangkan untuk raksa sebesar 0,002 mg/L. Dari hasil pemantauan pada ketinggian 0,2 m dan 5 meter (2006), beberapa parameter seperti Air Raksa, Khlorin Bebas, Senyawa Phenol, Seng (Zn), Amonia (NH3-N) kecuali di Nanjung & Citarum Trash Batujajar, semuanya berada di atas Baku Mutu Golongan C pada parameter . Tabel 3.9 Pemantauan Air Raksa dan Senyawa Phenol Pemantauan Air Raksa
tinggi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0,2 m
0.18
0.12
0.18
0.24
0.18
0.18
0.24
0.18
0.06
0.12
0.18
0.039
0.017
0.007
0.005
0.004
0.003
0.002
0.002
0.003
0.005
0.013
0.008
0.009
0.003
0.003
0.002
0.002
0.002
0.039
0.017
0.007
0.005
0.004
0.003
0.002
0.002
0.003
5m
Senyawa
0,2 m
Phenol
5m
0.046
Keteranga Lokasi Pemantauan Air Waduk: 1. Nanjung
6. Muara cipatik
2.Citarum Trash Batujajar
7. Ciminyak
3. Kampung Cipeundeuy
8. Cijere
4. Cimerang
9. Cijambu
5. Muara cihaur
10. Intake 11. Bantar Caringin
34
0.004
Gambar 3.19 Hasil Pematauan Air Waduk
Sumber Data : Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Air Waduk Saguling, Dinas Pengendalian Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - 2006.
35
3.2.2 Tekanan terhadap Kualitas Air Sejauh ini tidak diperoleh data/informasi mengenai kualitas air tanah, sehingga kalaupun ada pencemaran terhadap air tanah, “tekanan”/penyebabnya juga tidak diketahui. Sehingga pembahasan mengenai tekanan terhadap kualitas air hanya ditujukan untuk air permukaan. Menurut pemantauan BPLHD Jawa Barat, faktor yang berpotensi mencemari DAS Citarum terdiri atas: Kegiatan industri di dalam DAS Citarum yang jumlahnya mencapai 542 industri, diindikasi membuang air limbah dalam kondisi kurang memenuhi persyaratan baku mutu. Limbah domestik dari penduduk yang tinggal di dalam DAS Citarum sebanyak + 8,6 juta jiwa. Daerah persawahan seluas 79,8 hektar sawah di DAS Citarum yang diduga juga menyumbang kandungan kimia dari pupuk tanaman . Ditinjau dari lokasinya, sumber pencemaran bisa dikelompokkan dalam tiga zona sebagai berikut : Di DAS Citarum bagian hulu : pencemaran berasal dari limbah domestik, limbah industri, air sawah/pupuk pertanian, limbah tempat pemotongan hewan, erosi. Di DAS Citarum bagian tengah : pencemaran berasal dari akumulasi limbah dan lumpur hulu sungai, limbah ikan dan pakan ikan (di daerah waduk). Di DAS Citarum bagian hilir : pencemaran berasal dari sisa pencemaran di daerah waduk, limbah domestik, limbah industri. Secara lebih rinci, penyebab utama pencemaran air permukaan di Jawa Barat: a.
Aktivitas Domestik Rumah Tangga Pada penjelasan diatas telah disebutkan bahwa semua parameter yang ada termasuk BOD, DO, belerang (H2S), bakteri Koli fekal (fecal coliform) dan deterjen, melebihi baku. Parameter-parameter tersebut mencerminkan pengaruh kegiatan rumah tangga. Di sisi lain jumlah penduduk di Jawa Barat terus mengalami kenaikan, sehingga hal itu akan diikuti dengan meningkatnya buangan (cair maupun padat) domestik yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas air sungai di DAS yang diuji. Berdasarkan kajian pada lingkungan permukiman (lihat Bab 8), sebanyak 39% penduduk membuang kotorannya (tinja)
36
langsung ke sungai / kebun / kolam, sehingga sangat berpeluang menurunkan kualitas air permukaan. b. Aktivitas Industri dan Rumah Sakit Jenis, volume dan daya cemar limbah cair setiap industri berbeda-beda; tergantung pada jenis-jenis dan banyaknya produk yang dihasilkan oleh industri tersebut dan jenis proses produksi yang digunakan. Jumlah limbah cair industri memang tidak sebesar limbah cair domestik dan kegiatan perkotaan, namun limbah dari kegiatan industri umumnya sangat pekat dan mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3). Untuk itu diperlukan pengolahan limbah industri dalam sebuah instalasi pengolahan limbah (IPAL) sebelum dibuang ke badan air. Tabel berikut memperlihatkan jenis limbah yang dihasilkan dari beraneka ragam jenis industri. Aktivitas rumah-sakit umumnya menghasilkan limbah padat dan cair. Beberapa jenis limbah berkategori B3 karena memiliki sifat infeksius, korosif, mudah terbakar dan memiliki kandungan logam berat seperti raksa. Umumnya limbah yang ada memiliki kandungan nitrogen tinggi yang berasal dari proses aktivitas rumah sakit. Tabel berikut menampilkan kualitas air dari efluen rumah-sakit dan industri Tabel 3.10 Kualitas Air di Effluen (outlet) Rumah Sakit dan Industri PARAMETER BOD Rumah Sakit (BM 30 mg/L) Industri (BM 50 mg/L) Industri Migas (Outlet ke Laut)
Kisaran (mg/L)
Jumlah Lokasi Pengukuran
> BMA
Persentase
3.4 - 434
24
6
25.0%
3.45 - 4811.04
33
15
45.5%
45
1
1
100.0%
9
1
11.1%
Industri Perdagangan (BM 50 mg/L) 4.47 - 52.78 Sumber: Laporan SLHD Jawa Barat, 2007
Hasil dari pemantauan menunjukkan bahwa: Sebanyak 25% dari 24 rumah sakit yang dipantau efluen air limbahnya melebihi baku mutu yang ada. Namun rata-rata konsentrasinya 2 kali lipat dari baku mutu yang ditetapkan, bahkan ada yang 12 kali dari baku mutu yang ditetapkan.
37
Sebanyak 48 % industri yang dipantau, air limbahnya melebihi baku mutu dan konsentrasinya rata-rata 10 kali baku mutu. Dari 9 industri perdagangan yang diuji, 2 industri air limbahnya melebihi baku mutu. Gambar 3.20 Hasil Pematauan Sumber Pencemar 100 90
Rumah Sakit
80 70
Industri
60 50 40
Industri Migas
30 20 10
Industri Perdagangan
0
% Sumber: Laporan SLHD Jawa Barat, 2007
Dari hasil yang dipantau didapatkan bahwa sumber pencemar rumah sakit tertinggi pada kadar ammonia bebas, yang akan sangat beracun pada ekosistem akuatik pada kondisi pH cenderung basa 7 - 8 dan temperatur antara 25º - 30º C sehingga persentase toksik ammonia un-ionized sebesar 85 - 95%. Selain itu kadar ammonia yang melebihi baku mutu terdapat pada industri perdagangan (makanan) sebesar 66,7%.
38
Tabel 3.11 Hasil Pemantauan Air Limbah pada Industri dan Rumah Sakit di Jawa Barat Kisaran (mg/L)
Jumlah Lokasi
Rumah Sakit (BM 80 mg/L)
7.97 - 792
24
6
25.0%
Industri (BM 100 mg/L) Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan (BM 100 mg/L)
3.4 - 13944
33
16
48.5%
92.94
1
0
0.0%
10.96 - 149.4
9
2
22.2%
COD
> BMA Persentase
Kisaran ( mg/L)
Jumlah Lokasi
Rumah Sakit
3.47 - 8.5
24
1
4.2%
Industri
2.6 - 11.7
33
5
15.2%
7.09
1
0
0.0%
6.5 - 7.6
9
0
0.0%
pH (6 - 9)
Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan
Kisaran (mg/L)
Amonia Bebas (NH3-N)
> BMA Persentase
Jumlah > BMA Persentase Lokasi
Rumah Sakit (BM 0,1 mg/L)
0.01 - 222.32
24
20
83.3%
Industri (BM 1 mg/L)
0.06 - 25.03
33
13
39.4%
0.35
1
0
0.0%
0.11 - 122.47
9
6
66.7%
Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan (BM 1 mg/L)
Residu Tersuspensi
Kisaran (mg/L)
Rumah Sakit (BM 30 mg/L)
8 - 336
24
12
50.0%
Industri (BM 200 mg/L)
8 - 624
33
8
24.2%
Industri Migas (Outlet ke Laut)
244
1
1
100.0%
Industri Perdagangan (BM 200 mg/L)
8 - 11100
9
4
44.4%
Sumber: Laporan SLHD Jawa Barat, 2007
39
Jumlah > BMA Persentase Lokasi
Berikut adalah uraian tentang jumlah dan jenis industri di setiap DAS di Jawa Barat yang diindikasi memberi kontribusi pada pencemaran air permukaan di Jawa Barat.
Kegiatan Industri di DAS Citarum Dari 542 industri yang ada, jenis industri tekstil merupakan industri terbanyak, yaitu 396 industri (73%), selebihnya industri kimia 26 (4,9%), industri kertas 7 (1,3%), industri kulit 7 (1,3%), cat 6 (1,1%), logam/elektroplating 12 (2,3%), farmasi 13 (2,4%), makanan-minuman 21 (3,9%), pupuk/pestisida 1 (0,1%), deterjen 2 (0,3%), cold storage 7 (1,3%), percetakan uang 1 (0,15 %), minyak goreng 1 (0,1%), karpet 3 (0,65 %), keramik 4 (0,7%), karet 2 (0,3%) dan kawasan industri 33 (6,2%). Meskipun jumlah buangan rumah tangga mencapai 60 % dari total limbah di sungai, kadar limbah bahan berbahaya dan berbahaya tertinggi masih berasal dari pabrik. Gambar 3.21 Trend Peningkatan Industri Besar di Jawa Barat Trend peningkatan Industri Besar Menurut Kabupaten Kota di Jawa Barat 2004 - 2007 3350 3300 3250 3200 3150
(dalam US $
3100 3050 3000 2950 2004
2005
2006
2007
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah 2007, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat
Kegiatan Industri di DAS Ciliwung Sumber pencemaran yang berasal dari penduduk (1.740.208 jiwa) dan industri merupakan kontribusi beban pencemaran yang paling besar pada S.Ciliwung dan anak-anak sungainya. Dari 101 industri yang ada, jenis industri tekstil merupakan industri terbanyak, yaitu 19 industri (26,11%), selebihnya industri kimia 17 (19,32%), industri kertas 1 (1,14%), industri kulit 1 (1,14%), cat 1 (1,14%), logam/elektroplating 11 (12,5%), farmasi 13 (14,77%), makanan-minuman 13 (14,77%), pestisida 1 (1,14%),
40
kosmetik 2 (2,27%), accu/battery 4 (4,55%), karoseri 1 (1,14%), karet 2 (2,27%), keramik 1 (1,144 %), tapioka 1 (1,14%), dan satu kawasan industri.
Kegiatan Industri di DAS Cileungsi-Kali Bekasi Dari 181 industri yang ada, jenis industri makanan-minuman merupakan industri terbanyak, yaitu 36 industri (19,86%), selebihnya industri tekstil 28 (15,47%), industri kertas 11 (6,08%), industri kulit 6 (3,31%), cat 7 (3,87%), logam/elektroplating 13 (7,18%), farmasi 8 (4,42%), kimia 28 (15,47%), pupuk/pestisida 2 (1,10%), deterjen 6 (3,31%), karpet 1 (0,55%), kosmetik 5 (3,31%), battery 3 (1,66%), karet 9 (4,79), keramik 9 (4,79%), sumpit 5 (2,98%), dan industri karoseri 2 (1,10%), dan minyak goreng 1 (0,55%). Sumber pencemaran yang berasal dari penduduk dan industri merupakan kontribusi beban pencemaran yang paling besar pada Sungai Cileungsi dan anak-anak sungainya.
Kegiatan Industri di DAS Cimanuk Dari 312 industri yang ada, jenis industri kulit merupakan industri terbanyak, yaitu 263 industri (84,29%), selebihnya industri makanan 38 (12,8%), industri tapioka 2 (0,64%), industri gula 3 (0,96%), keramik 1 (0,32%), garmen 2 (0,64%), batik/tekstil 1 (0,32%), kimia 1 (0,32%) dan cool storage 1 (0,32%). Gambar 3.22 Peta Sebaran Kawasan Industri di Jawa Barat
Sumber: WJPES, Tahun 2004
41
c. Sampah (Limbah padat) Pada tahun 2000 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di Indonesia meningkat menjadi 1 kg. Diperkirakan dalam tahun 2020 meningkat menjadi 2,1 kg perkapita perhari (KLH 2002). Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tahun 2004, aktivitas yang paling potensial untuk menimbulkan sampah adalah dari kegiatan domestik (permukiman) sebesar 20.195,09 m3/hari, kegiatan komersial 9.873,15 m3/hari, dan industri 5.404,54 m3/hari. Tabel 3.12 Kualitas Air Seputar TPA (Depok) TDS
TSS
pH
BOD
COD
DO
Kualitas Air seputar TPA (Depok)
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
1000
400
6-9
6
50
3
TPA Cipayung (Kali Sebelah TPA) TPA Cipayung (Jembatan SesudahTPA)
46
31
7.31
18.93
28.49
7.39
142
41
7.31
12.89
24.16
7.47
Sumber: Laporan SLHD Kota Depok,Tahun 2007
Di tingkat lokal, TPA merupakan sumber leachate (air lindi) yang mencemari badan air tanah. Pembentukan leachate merupakan proses alamiah yang terjadi di TPA. Ketika tumpukan sampah di TPA terdegradasi, senyawa-senyawa produk dekomposisinya dapat terbawa oleh air yang bermigrasi dari bagian atas ke bagian paling bawah dari lapisanlapisan tumpukan sampah. Kandungan padatan yang tersuspensi dan terlarut tersebut yang tadinya tidak berbahaya kemudian berubah menjadi leachate yang memiliki karakter seperti limbah cair industri. Jika di dasar TPA tidak ada proteksinya, maka leachate tersebut akan masuk ke dalam tanah dan keluar dari tumpukan sampah. Migrasi leachate ke luar area TPA dapat menyebabkan pencemaran air tanah dan air permukaan dengan meningkatkan kadar BOD dalam air seperti terlihat pada tabel diatas. Infiltrasi leachate ke dalam air tanah menyebabkan tercemarnya sumur-sumur penduduk di sekitar TPA.
42
Tabel 3.13 Kandungan Kimia Leachate TPA
No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
BOD COD TDS (total padatan terlarut) Nitrogen Organik Nitrat Total Phospor pH Alkalinitas Kalsium Magnesium Potasium Sodium Chloride Sulfate
TPA Baru (kurang dari 2 tahun) Tipikal Rentang (mg/L) (mg/L) 2.000 - 30.000 10 3.000 - 60.000 6 200 - 2.000 500 10 - 800 200 4 - 40 25 5 - 100 30 4,5 - 7,5 6 1.000 - 10.000 3 200 - 3.000 1 50 - 1.500 250 200 - 1.000 300 200 - 2.500 500 200 - 3.000 500 50 - 1.200 60
TPA Lama (lebih dari 10 tahun) (mg/L) 100 - 200 100 - 300 100 - 400 80 - 120 5 -10 5 - 10 6,6 - 7,5 200 - 1.000 100 - 400 50 - 200 50 - 400 100 - 200 100 - 400 20 - 200
Sumber : Prosiding Simposium Sehari Rehabilitasi DAS Citarum, Pusat Penelitian Geoteknik LIPI, 2004
Kasus Waduk Jatiluhur Waduk Jatiluhur dibebani limbah sisa pakan dari aktivitas Jaring Apung. Berdasarkan penelitian hanya sekitar 15 - 30 % pakan yang terpakai sedang sisanya terbuang. Namun umumnya para petani ikan melakukan intensifikasi untuk ikan berdasarkan optimum kehidupannya. Pertumbuhan Keramba Jaring Apung (KJA) di Jatiluhur tahun 2008, hanya sejumlah 5% kegiatan jaring apung yang berijin. Padahal PAD yang diperoleh tidak sebanding dengan rusaknya lingkungan akibat sisa pakan yang terbuang. Dari parameter wajib yang dipantau maka dapat dilihat bahwa semua lokasi pemantauan melebihi baku mutu untuk BOD dan beberapa nilai COD, namun untuk kehidupan akuatik situ ini masih dapat digunakan karena memiliki nilai DO yang tinggi. Sebaiknya beberapa parameter lain seperti ammonia, nitrit serta phenol dilakukan pemeriksaan sehingga dapat diketahui kemungkinan peruntukannya.
43
Gambar 3. 23 Pertumbuhan Keramba Jaring Apung di Jatiluhur Tahun 2008
Sumber : Disnakan Kabupaten Purwakarta, Tahun 2008
Tabel 3.14 Kualitas Situ di Sekitar Depok no
Situ Studio Dalam - Depok
TDS mg/L 1000
TSS mg/L 400
Ph mg/L 6-9
BOD mg/L 6
COD mg/L 50
DO mg/L 3
1
Situ Studio Dalam
140
25
6.19
24.96
59.22
7.62
2
Situ Cilodong
86
6
7.31
9.88
14.2
7.54
3
Situ Cilangkap
116
42
7.19
15.91
19.83
7.54
4
Situ Jemlung
18
9
7.05
9.88
13.77
7.47
5
Situ Asih Pulo
92
22
7.71
21.94
41.48
7.09
6
Situ Citayam
328
17
7.31
18.93
37.15
7.24
7
Situ Pengasinan
114
18
7.43
82.27
158.36
7.47
8
Situ Bojong Sari
104
4
7.5
11.8
8.15
7.47
9
Situ Jatijajar
132
28
6.95
18.7
37.15
7.01
10
Situ Rawa Kalong
196
34
7.99
66.96
91.26
7.09
11
Situ Taipar
362
38
7.46
48.86
94.72
7.24
12
Situ Gadog
954
38
6.59
66.96
202.52
7.09
13
Situ Pladen
380
187
7.27
63.94
176.11
7.62
14
Situ Universitas Indonesia
270
20
7.63
30.76
210.75
7.47
15
Situ Pedongkelan
370
25
7.16
27.75
50.13
7.77
16
Situ Pancoran Mas
364
22
7.27
12.67
19.83
8.37
17
Situ Citayam
266
27
7.43
15.68
37.15
8.07
18
Situ Rawa Besar
274
19
7.38
39.81
67.88
7.47
19 Situ Bahar 448 15 Sumber : Laporan SLHD Kota Depok, Tahun 2007
7.28
18.7
58.79
7.84
44
Kotak 3.2 Tercemar Limbah, Petani Rancaekek Rugi Rp 20 Miliar Kasus pencemaran di Rancaekek telah berlarut-larut sehingga mengakibatkan rusaknya lahan produktif sawah oleh limbah industri sejak tahun 1998. Beberapa kali penelitian terhadap rusaknya lahan sawah yang dilakukan UNPAD dan Walhi Jawa Barat pada tahun tersebut positif diakibatkan dari limbah industri yang mempengaruhi produksi padi di daerah Rancaekek, hal ini diperkuat pula oleh analisis air limbah yang dibuang PT Kahatex mencapai 56.000 meter kubik setiap hari. Penelitian itu juga mengungkapkan lahan pertanian Rancaekek telah terkontaminasi zat pencemar berupa logam berat Pb (timbel), Co (Cobalt), dan lain-lain. Pihak Bapedalda Jabar sebelum berubah nama menjadi BPLHD Jawa Barat telah mengumumkan bahwa unsur logam pada limbah buangan sudah melewati Baku Mutu Limbah Cair (BMLC). Pada tahun 2008, areal sawah yang tercemari mencapai 1.500 ha di wilayah Kabupaten Bandung sedangkan pencemar merupakan industri yang wilayah administrasinya berada di Kabupaten Sumedang. Perbedaan kondisi tata ruang yang berbeda pada wilayah hulu dan hilir sungai tersebut menjadi pemicu terjadinya pencemaran yang ada selain itu pemantauan dan pengawasan aparat terhadap kondisi lingkungan yang terjadi cenderung lemah karena tidak memantau sampai ke bagian hilir dari badan air sungai. Bandung - Tercemarnya sawah di Rancaekek, Kabupaten Bandung, oleh limbah industri menimbulkan kerugian yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh petani. Para petani merugi hingga lebih dari Rp 20 miliar setiap tahun. Jika biasanya setiap hektare sawah mampu berproduksi hingga 5 ton, setelah tercemari limbah produksi berkurang hingga tinggal antara 1-2 ton saja. Bahkan, ada areal sawah yang tidak dapat lagi ditanami sehingga tidak berproduksi. Sementara itu, luas lahan yang kini tidak dapat ditanami lagi mencapai 100 ha. Ada sekitar 500 keluarga yang menggarap lahan tersebut yang kini kehilangan mata pencaharian. Kasus pencemaran areal persawahan di Rancaekek sesungguhnya telah terjadi sejak tahun 1997 lalu. ”Tapi sampai sekarang tak pernah bisa diselesaikan. Malah semakin parah kerusakannya,” ujar Rudi. Kasus ini bahkan sudah sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, tetap saja tidak ada solusi yang menguntungkan petani. Pencemaran limbah industri di areal persawahan tidak akan terjadi jika Pemkab Bandung tidak gegabah dalam mengeluarkan izin untuk industri di daerah Rancaekek. Pemberian izin untuk industri dianggap menyalahi tata ruang dan wilayah. Pada awalnya kawasan Rancaekek hanya diperuntukkan bagi sektor pertanian. Selanjutnya dikeluarkan izin untuk industri sehingga wilayah Rancaekek beralih fungsi. Pencemaran lahan pertanian ternyata tak hanya terjadi di Rancaekek. Pemprov Jabar melarang pembukaan industri baru di kawasan Rancaekek Kabupaten Bandung. Peruntukan Rancaekek harus difokuskan sebagai areal pertanian. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menghendaki kawasan Rancaekek dipergunakan sebagai kawasan pertanian. Rancaekek saat ini menjadi salah satu sentra industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Jabar. Dari limbah industri yang ada itulah areal pertanian di Rancaekek tercemari hingga mengalami kerusakan. Untuk industri yang terlanjur beroperasi di Rancaekek, Pemprov tidak bisa menutupnya. Industri diminta untuk memperhatikan limbahnya dengan memanfaatkan instalasi pengolahan limbah (IPAL). Dalam waktu dekat Gubernur akan melakukan pertemuan dengan kalangan pengusaha di Rancaekek. Diharapkan melalui pertemuan ini dihasilkan solusi untuk mengatasi kasus pencemaran yang merugikan petani. Disadur dari berbagai sumber.
45
3.3 Respon terhadap Permasalahan Air Respon yang telah dilakukan untuk menjaga serta meningkatkan kuantitas dan kualitas air di Jawa Barat melalui: Pemantauan dan monitoring yang kontinue melalui PROKASIH serta peningkatan modelmodel monitoring serta aplikasi berbasis GIS dalam menentukan sumber pencemar dan titik pantau melalui sistem informasi lingkungan berbasis GIS Prokasih Jawa Barat. Program Superkasih di Jawa Barat dilaksanakan pada 3 DAS prioritas, yaitu DAS Citarum, Cileungsi/Kali Bekasi dan Cilamaya, yang meliputi 7 Kabupaten Kota yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang, Purwakarta, Subang, Bekasi, Kota Bandung dan Cimahi gambar 3.1. Peserta Program Superkasih sebanyak 74 industri dengan jumlah masing-masing kabupaten/ kota. Program EPCM (Environmental Pollutan Control Managers) yaitu peningkatan manajemen pengolahan limbah melalui peningkatan kemampuan pengelola (manajer) limbahnya . Melakukan reboisasi di bagian hulu . Menerapkan Studi AMDAL dan UKL/UPL. Normalisasi sungai. Kesepakatan membangun megapolitan yang ramah lingkungan yang kemudian menjadi Peraturan Presiden tentang Penataan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) yang merupakan kerja sama Pemprov Jabar, Banten, dan DKI Jakarta. Kerja sama itu bertujuan untuk konservasi air, mengatasi banjir, masalah sampah, dan transportasi di Jabodetabekjur. Dibentuk tim bersama dari Pemprov Jabar, Banten, dan DKI Jakarta yang dikooordinasi oleh Departemen Pekerjaan Umum (PU). Tugas tim antara lain menghidupkan kembali situ-situ (telaga) yang sudah mati dan membuat situ baru. Pemerintah pusat merehabilitasi dan membuat situ, sementara Pemprov Jabar merawat situ yang ada. Di daerah Puncak sampai Jakarta terdapat sedikitnya 150 situ. Departemen PU telah membuat 72 situ, sedangkan 78 situ lain dalam pengerjaan. Implementasi Program PROKASIH dan SUPERKASIH adalah :
Pengembangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpadu bagi sektor Industri dan IPAL Komunal untuk limbah domestik.
Pengembangan program cleaner production dan program-program minimalisasi limbah lainnya.
Pengembangan embung-embung dan situ.
46
Peningkatan kualitas laboratorium lingkungan dan laboratorium rujukan.
Pengelolaan daerah tangkapan air (watershed management).
Pengelolaan daerah sempadan sumber-sumber air (sungai dan situ).
Relokasi industri pada kawasan tertentu.
Penerapan konsep one river basin, one plan dan one integrated management.
Usulan : Peningkatan kualitas dan kuantitas air di Jawa Barat dilakukan dengan cara :
Memulihkan kondisi DAS dengan usaha merekayasa pengembangan sumber daya air, dilakukan untuk memperbesar kapasitas akumulasi DAS baik akumulasi air permukaan dan akumulasi air tanah, dengan memperkecil run off sampai batas optimal. - Cara alami dengan merehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) di hulu DAS dengan 1) memperkecil kecepatan aliran run off, 2) memperbaiki porositas permukaan tanah DAS, 3) mencegah erosi permukaan tanah DAS. - Cara artifisial dengan mengisi ulang akifer dengan 1) sumur injeksi (sumur Rainey), 2). Sumur resapan air untuk menginjeksi air hujan dengan memperhatikan kemiringan < 40º, 3) membuat kolam-kolam, waduk injeksi pada lahan porous. - Pembuatan IPAL komunal, Septik Tank dan aktivitas pengelolaan limbah domestik pada 7 DAS prioritas. - Perbaikan kinerja IPAL Air Limbah Industri dan lakukan penindakan hukum industriindustri, rumah sakit yang tidak mengikuti aturan . - Pembuatan mekanisme hukum yang mempercepat dan mempermudah dalam pembuktian kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Peningkatan peran PPNS dan Kepolisian dalam menindak pencemaran lingkungan.
Strategi pengendalian pencemaran air yang dilakukan di masing-masing DAS adalah : 1. DAS Citarum Pengendalian terpadu Kab. Sumedang, Kab. Bandung, Kota Bandung & Kota Cimahi, meliputi pengendalian pencemaran limbah penduduk & industri (jumlah/volume dan pengetatan baku mutu). 2. DAS Ciliwung Pengendalian pencemaran air terpadu pemerintah Kota Bogor, Kab. Bogor & Kota Depok.
47
Sub DAS Cileungsi: pengendalian pencemaran diarahkan pada industri yang berlokasi di sekitar Cileungsi. 3. DAS Cimanuk Pengelolaan air limbah industri di Kab. Sumedang, Majalengka, Indramayu, -
Pengurangan beban pencemaran (jumlah/volume dan pengetatan baku mutu).
-
Pengaturan titik pembuangan limbah cair pada ruas sungai sesuai daya tampungnya.
-
Pembatasan perijinan pembuangan limbah baru pada darah yang sudah tidak memiliki daya tampung.
-
Melestarikan lingkungan tata air untuk meningkatkan daya tampung sungai.
-
Peningkatan partisipasi masyarakat untuk memelihara sungai. Tabel 3. 15 Analisis State, Pressure dan Response Untuk Aspek Air
1. Air Permukaan No 1
Pressure Pencemaran Air Permukaan /Sungai & Ketersediaan Air
Perubahan Tata Guna Lahan Selain menyebabkan penurunan kemampunan menyerapkan air ke dalam tanah, perubahan guna lahan menjadi daerah terbangun juga meningkatkan erosi yang berdampak pada kekeruhan (suspended solid) dan sedimentasi. Aktivitas Domestik Rumah Tangga Parameter yang mencerminkan pengaruh kegiatan rumah tangga ini adalah kebutuhan oksigen biologik (BOD), oksigen terlarut (DO), belerang (H2S), bakteri Koli fekal (fecal coliform) dan deterjen. Aktivitas Industri Jenis limbah buangan industri tergantung dari jenis industri. Jumlah limbah cair industri memang tidak sebesar limbah cair domestik dan kegaitan perkotaan, namun limbah dari kegiatan industri ini umumnya sangat pekat dan mengandung bahanbahan berbahaya dan beracun (B3).
State
Response
A. Kondisi Umum DAS di Jawa Barat Kategori DAS
Aliran Mantap
Aliran Ratarata
Sangat Kritis Kritis Mendeka ti Kritis Tidak Kritis Potensi Air Tidak Tersedia Potensi Air Hampir Tidak Tersedia Potensi Air Kurang Tersedia Potensi Air Cukup Tersedia
Rasio Kebutuhan air dan ketersediaan air
DAS Utara (buah) Jml
DAS Selatan (Buah)
%
Jml
> 100 %
15
100
-
-
76% - 100%
2
1
51% - 75%
3
0 – 50%
2
67 37, 5 14, 3
33 62, 5 85, 7
> 100 %
7
100
-
-
76% - 100%
3
100
-
-
51% - 75%
3
100
-
-
0 – 50%
9
33
16
67
5 12
%
IMPACT/DAMPAK Pencemaran air sungai secara langsung akan meningkatkan beban nutrient dalam air, berdampak terhadap kesehatan manusia dengan efek yang langsung (aestetik) ataupun menahun dan akumulatif (logam berat seperti air raksa) dan akhirnya berakibat kematian, selain itu berdampak terhadap perekonomian terutama pengguna air seperti perikanan, pertanian dan aktivitas pariwisata dan terjadi pula kenaikan nutrien yang mengakibatkan Eutrofikasi dan berlimpahnya jumlah plankton di laut. Sedangkan dampak tidak langsung pencemaran air sungai bisa berupa :
48
Response yang sudah dilakukan : Pemantauan dan monitoring melalui PROKASIH Program Superkasih di Jawa Barat dilaksanakan pada 3 DAS prioritas, yaitu DAS Citarum, Cileungsi/ Kali Bekasi dan Cilamaya, Program EPCM (Environmental Pollutan Control Managers) yaitu peningkatan manajemen pengolahan limbah melalui peningkatan kemampuan pengelola (manajer) limbahnya Melakukan reboisasi di bagian hulu Menerapkan Studi AMDAL dan UKL/UPL Normalisasi sungai Kesepakatan membangun megapolitan yang ramah
No
Pressure Aktivitas Pengelolaan Sampah (Limbah padat) Pembuangan sampah (limbah padat) secara langsung ke sungai akan menimbulkan pencemaran air sungai dan banjir.
State
Response lingkungan.
Berkurangnya jenis keanekaragaman hayati di perairan Mengubah ekosistem perairan dan ekohidrologi Menurunkan jumlah persediaan air bersih Waterborn desease
Usulan : Peningkatan kualitas dan kuantitas air di Jawa Barat dilakukan dengan cara : Memulihkan kondisi DAS dengan usaha merekayasa pengembangan sumber daya air, dilakukan untuk memperbesar kapasitas akumulasi DAS baik akumulasi air permukaan dan akumulasi air tanah, dengan memperkecil run off sampai batas optimal
Pengelolaan sampah di TPA dengan system open dumping juga berpotensi menimbulkan pencemaran air permukaan maupun air tanah dari leachete (air lindi) yang cenderung beracun dan berbahaya. Aktivitas Pertanian Parameter kualitas air yang mencerminkan dampak kegiatan pertanian seperti kandungan Nitrogen dan Fosfat berasal dari penyemprotan pestisida terhadap tanaman.
Peningkatan peran PPNS dan Kepolisian dalam menindak pencemaran lingkungan. Strategi pengendalian pencemaran air di masing-masing DAS .
Aktivitas Pertambangan Limbah tailing mengandung berbagai material beracun terutama logam berat yang terkandung dalam bijih tambang. Pembuangan tailing ke badan air akan menyebabkan terjadinya sedimentasi dari endapan tailing dan penyebaran tailing ke wilayah sungai dan laut yang lebih luas
2. Air Tanah No 1
Pressure Cekungan Air Tanah (CAT)
Pengambilan air tanah untuk berbagai kebutuhan terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai alternative akibat terbatasnya ketersediaan air permukaan baik secara kuantitas maupun kualitas dan kontinuitas. Debit pengambilan air bawah tanah di Jawa Barat trendnya meningkat sejak tahun 2002 sampai tahun 2005, tapi mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 debit pengambilan air tanah di Jawa Barat mulai stabil pada kisaran 153.704.229 m3.
State
Response
Total luas cekungan airtanah di Jawa Barat sekitar 26.307 km2, sedangkan jumlah total potensi airtanah bebas (Q1) sekitar 15,377 milyar m3/tahun, sedangkan jumlah airtanah tertekan sekitar 985 juta m3/tahun.
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam pengelolaan Air Tanah:
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah
Muka air tanah dalam mengalami penurunan di beberapa daerah.
Terjadi intrusi air laut di dataran rendah Jawa Barat bagian utara sampai 20 km.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
49
Strategi dan kebijakan tersebut di atas selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk kegiatan operasional sebagai berikut :
Pengurangan debit melalui Syarat Teknis Daftar Ulang Ijin (SIPA)
Penertiban pengambilan air tanah
Sosialisasi upaya penghematan dan konservasi air tanah
Koordinasi dan Kerjasama