BAB II KONSEP DASAR KONSELING HIV/AIDS
A. Konsep Dasar Bimbingan dan Konseling 1. Pengertian Bimbingan Dalam kehidupan sehari-hari, seiring dengan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya, dan dalam hubungan saling pengaruh antara orang yang satu dengan yang lainnya, peristiwa bimbingan seringkali terjadi. Baik secara langsung bertatap muka maupun lewat berbagai media cetak atau elektronik. Namun bimbingan seperti itu seringkali bentuk, isi dan tujuan, serta aspek-aspek penyelenggaraannya tidak terumuskan secara nyata. Seiring dengan tingkat perkembangan budaya manusia, muncullah kemudian upayaupaya bimbingan yang selanjutnya disebut bimbingan formal, yang bentuk, isi dan tujuan serta aspek-aspek penyelenggaraannya memiliki rumusan yang nyata. Rumusan tentang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, sejak dimulainya bimbingan yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak saat itu, rumusan demi rumusan tentang bimbingan bermunculan sesuai dengan perkembangan pelayanan bimbingan itu sendiri. Berbagai rumusan tentang bimbingan tersebut dikemukakan sebagai berikut: Bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik kepada individu-individu setiap usia untuk membantunya mengatur kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri dan menanggung bebannya sendiri. (Crow & Crow dalam Amti dan Prayitno, 1999: 94).
Definisi bimbingan di atas menekankan bahwa bimbingan harus dilakukan oleh orang yang terlatih untuk dapat membantu individu dalam mengembangkan potensinya dan bertanggungjawab atas hidupnya. Definisi yang hampir senada diungkapkan oleh ahli yang lain. Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam membuat pilihanpilihan dan penyesuaian-penyesuaian yang bijaksana. Bantuan itu berdasarkan atas prinsip demokrasi yang merupakan tugas dan hak setiap individu untuk memilih jalan hidupnya sendiri sejauh tidak mencampuri hak orang lain. (Jones, Staffire & Stewart dalam Amti dan Prayitno, 1999: 95). Sementara itu Surya (1988 : 12) merumuskan pengertian bimbingan sebagai berikut: Bimbingan ialah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Moh. Surya dalam definisi bimbingan yang dirumuskannya mengemukakan bahwa bimbingan itu adalah suatu proses yang sistematis dan terus menerus. Hal ini menekankan bahwa untuk mencapai tujuan yang diharapkan, bimbingan tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan dan tidak terencana. Hal yang serupa diungkapkan oleh Dewa Ketut Sukardi (2000: 20) yang mengungkapkan bahwa: Bimbingan adalah merupakan proses pemberian bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang secara terus-menerus dan sistematis oleh guru pembimbing agar individu atau sekelompok individu menjadi pribadi yang mandiri. Kemandirian yang menjadi tujuan usaha bimbingan ini mencakup lima fungsi pokok yang hendaknya dijalankan oleh pribadi mandiri, yaitu: (a) mengenal diri sendiri dan lingkungannya sebagaimana adanya, (b) menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, (c) mengambil keputusan, (d) mengarahkan diri sendiri, dan (e) mewujudkan diri mandiri. Dewa Ketut Sukardi menekankan kemandirian sebagai tujuan bimbingan, sedangkan Jones dalam Amti dan Marjohan (1992: 2) lebih menekankan pada penyesuaian diri dan
pengoptimalan potensi individu sebagaimana yang ia ungkapkan dalam definisinya sebagai berikut: Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu-individu dalam menentukan pilihan-pilihan dan mengadakan berbagai penyesuaian secara bijaksana dengan lingkungannya. Tujuan utama bimbingan adalah untuk mengembangkan setiap individu sesuai dengan kemampuannya. Hal yang hampir senada juga diungkapkan oleh Prayitno dan Amti (1999: 99) berkaitan dengan pengoptimalan potensi individu dengan menambahkan kesesuaian dengan norma dan nilai yang berlaku. Mereka merumuskan pengertian bimbingan sebagai: Proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri; dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan; berdasarkan norma-norma yang berlaku. Walaupun masing-masing ahli merumuskan pengertian bimbingan dengan cara yang berbeda, namun terdapat beberapa hal pokok yang terdapat dalam berbagai rumusan bimbingan tersebut, yaitu: a. Bimbingan merupakan suatu proses. Hal ini berarti bahwa pelayanan bimbingan bukan sesuatu yang “instan”, melainkan melalui liku-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini. b. Bimbingan merupakan suatu proses pemberian bantuan. Bantuan di sini diartikan sebagai bantuan yang bersifat non-materi, yang menunjang pengembangan pribadi bagi individu yang dibimbing. c. Bimbingan merupakan suatu kegiatan yang disengaja, sistematis dan terus-menerus dalam suasana sadar disertai dengan proses penalaran yang penuh.
d. Bimbingan itu diberikan kepada individu yang membutuhkannya, baik perseorangan maupun kelompok. e. Bimbingan itu diberikan kepada individu agar dia dapat mandiri dalam menetapkan pilihan-pilihan dan membuat keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan yang dibuat itu harus dapat dipertanggung-jawabkannya sendiri. f. Bimbingan itu diberikan dalam hubungan interaksi antara pembimbing dan individu yang dibimbing. g. Bimbingan dilakukan oleh tenaga ahli, yaitu orang-orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling. h. Bimbingan diselenggarakan berdasarkan prinsip demokrasi, saling menghormati dan menghargai norma serta keberadaan setiap individu. i. Bimbingan dilaksanakan dengan mempedomani norma-norma dan nilai-nilai yang dianut. Pelayanan bimbingan tidak boleh menyimpang atau melanggar norma-norma dan nilainilai yang berlaku justru harus dapat menunjang kemampuan klien untuk mengikuti norma-norma tersebut.
2. Pengertian Konseling Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon istilah konseling berasal dari kata “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”. Konseling merupakan bagian dari bimbingan baik sebagai pelayanan maupun sebagai teknik. Konseling merupakan inti kegiatan bimbingan secara keseluruhan dan lebih berkenaan
dengan masalah individu secara pribadi. Konseling dimaksudkan sebagai pemberian bantuan kepada individu dalam memecahkan masalahnya secara perorangan dalam suatu pertalian hubungan tatap muka. Tidak mudah mendefinisikan istilah konseling secara menyeluruh, karena setiap ahli memiliki batasan sendiri sesuai dengan landasan filsafiah yang mereka anut. Selain itu, istilah konseling pun mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Berikut ini akan diuraikan sejumlah pengertian konseling yang dikemukakan oleh para ahli. Konseling ialah interaksi yang (a) terjadi antara dua individu yang masing-masing disebut konselor dan klien; (b) diadakan dalam suasana professional; (c) diciptakan dan dikembangkan sebagai alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.(Pepinsky dan Pepinsky dalam Amti dan Marjohan, 1992 : 4) Definisi konseling di atas menekankan bahwa interaksi yang terjalin antara konselor dan klien harus dilakukan secara professional untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien. Demikian juga yang dikemukakan oleh Tolbert dalam definisinya berikut ini: Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang, dalam mana konselor melelui hubungan itu dan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar dalam mana konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaan masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat, dan lebih jauh dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert dalam Prayitno dan Amti, 1994 : 101-102) Sofyan S. Willis (2004: 18) menyatakan bahwa dalam era global dan pembangunan, konseling lebih menekankan pada pengembangan potensi individu yang terkandung dalam dirinya, yang meliputi aspek intelektual, afektif, sosial, emosional, dan religius. Sehingga
individu akan berkembang dengan nuansa yang lebih bermakna, harmonis, sosial, dan bermanfaat. Maka definisi konseling yang antisipatif sesuai tantangan pembangunan adalah: Konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seorang pembimbing yang terlatih dan berpengalaman, terhadap individu-individu yang membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Sementara itu, pakar konseling yang lain, Robinson, merumuskan definisi konseling dalam Surya (1988 : 24) berikut ini: …istilah konseling mencakup semua bentuk hubungan antara dua orang di mana yang seorang yaitu klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Suasana hubungan konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan berbagai informasi, melatih atau mengajar, meningkatkan kematangan dan memberikan bantuan melalui pengambilan keputusan dan usaha-usaha penyembuhan (terapi). Dalam definisi di atas diungkapkan berbagai metoda dalam melakukan konseling, diantaranya wawancara dan pemberian informasi. Usaha pemberian bantuan itu harus dilakukan dengan memperhatikan unsure manusiawi dan keunikan dari tiap individu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sukardi (2002 : 22) yang mendefinisikan konseling sebagai berikut. Konseling merupakan suatu upaya bantuan yang dilakukan empat mata atau tatap muka antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku, agar klien memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang. Hakikat konseling menurut Patterson (Nurihsan, 2001 : 10), menampilkan ciri-ciri di bawah ini:
1) Konseling adalah usaha untuk menimbulkan perubahan tingkah laku secara sukarela pada diri klien (klien ingin mengubah tingkah lakunya dan meminta bantuan kepada konselor). 2) Maksud
dan
tujuan
konseling
adalah
menyediakan
kondisi-kondisi
yang
memudahkan terjadinya perubahan secara sukarela (kondisi yang memberi hak individu untuk membuat perilaku, untuk tidak tergantung pada pembimbing). 3) Usaha-usaha untuk memudahkan terjadinya perubahan tingkah laku dilakukan melalui wawancara (walaupun konseling selalu dilakukan dalam wawancara, tetapi tidak semua wawancara dapat diartikan sebagai konseling). 4) Mendengarkan merupakan suatu hal yang berada dalam konseling tetapi tidak semua konseling adalah mendengarkan. 5) Konseling dilaksanakan dalam suasana hubungan pribadi antara konselor, dan klien. Hasil pembicaraan itu bersifat rahasia. Lebih jauh Pietrofesa (Nurihsan, 2001 : 12) menunjukkan sejumlah ciri-ciri konseling professional sebagai berikut. 1) Konseling merupakan suatu hubungan professional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu. 2) Dalam hubungan yang bersifat professional itu, klien mempelajari keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap-sikap baru. 3) Hubungan professional dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor. Berdasarkan definisi dan pengertian konseling yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dirumuskan dengan singkat bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan dalam hubungan tatap muka antara seorang ahli (yaitu orang yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan khusus dan terlatih secara baik dalam bidang bimbingan dan konseling-disebut konselor) dan seorang individu yang sedang mengalami suatu permasalahan (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dialami oleh klien.
3. Tujuan Konseling Sejalan dengan perkembangan konsepsi bimbingan dan konseling, maka tujuan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih komprehensif. Tujuan konseling dapat terentang dari sekadar klien mengikuti kemauan-kemauan konselor
sampai
pada
masalah
pengambilan
keputusan,
pengembangan
kesadaran,
pengembangan pribadi, penyembuhan, dan penerimaan diri sendiri. (Thompson & Rudolf dalam Priyatno & Amti, 1994 : 114) Moh. Surya (1988 : 119-123) mengungkapkan bahwa tujuan dari konseling adalah: a) perubahan perilaku; b) kesehatan mental yang positif; c) pemecahan masalah; d) keefektivan personal; dan e) pengambilan keputusan. a. Perubahan perilaku Hampir semua pernyataan tentang konseling menyatakan bahwa tujuan konseling ialah menghasilkan perubahan pada perilaku yang memungkinkan klien hidup lebih produktif. Rogers (Shertzer & Stone, 1980) menunjukkan bahwa salah satu hasil konseling adalah bahwa pengalaman-pengalaman tidak dirasa menakutkan, kecemasan berkurang, cita-citanya nampak
lebih harmonis dengan persepsi tentang dirinya dan nampak lebih berhasil. Ia lebih dapat menyesuaikan diri dan realistik terhadap kehidupan. b. Kesehatan mental yang positif Salah satu tujuan konseling adalah pemeliharaan dan pencapaian kesehatan mental yang positif. Jika hal itu tercapai maka individu akan mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif dengan yang lainnya. Ia belajar menerima tanggung jawab, berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku. Thorne (Shertzer & Stone, 1980) mengatakan bahwa tujuan utama konseling adalah menjaga kesehatan mental dengan mencegah atau membawa ketidakmampuan menyesuaikan diri atau gangguan mental. Sedangkan Patterson menyatakan bahwa karena tujuan konseling adalah pemeliharaan, pemulihan kesehatan mental yang baik atau harga diri, maka situasi konseling haruslah ditandai dengan tidak adanya ancaman. c. Pemecahan masalah Tujuan konseling kadang-kadang dianggap sebagai pemecahan masalah yang dihadapkan dalam hubungan konseling. Krumboltz (Shertzer & Stone, 1980) menyatakan bahwa alasan utama eksistensi konseling didasarkan pada fakta bahwa orang-orang mempunyai masalahmasalah yang tidak sanggup mereka pecahkan sendiri. Mereka datang pada konselor karena telah percaya bahwa konselor akan dapat membantu mereka untuk memecahkan masalahnya.karena itu tujuan utama konseling adalah membantu setiap klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. d. Keefektifan personal Erat hubungannya dengan pemeliharaan kesehatan mental yang baik dan perubahan tingkah laku adalah tujuan meningkatkan keefektifan personal. Blocher (Shertzer & Stone, 1980) memberikan batasan peribadi yang efektif sebagai berikut.
Pribadi yang efektif adalah yang sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya, dan bersedia memikul resiko-resiko ekonomis, psikologis dan fisik. Ia nampak memiliki kompetensi untuk mengenal, mendefinisikan dan memecahkan masalah-masalah. Ia nampak agak konsisten terhadap dan dalam situasi perananannya yang khas. Ia nampak sanggup berfikir secara berbeda dan orisinil, yaitu dengan cara-cara yang kreatif. Akhirnya ia sanggup mengontrol dorongan-dorongan dan memberikan respons-respons yang layak terhadap frustasi, permasalahan, dan ambiguitas. e. Pengambilan keputusan Bukan tugas konselor untuk menentukan keputusan yang harus diambil oleh klien atau memilihkan alternatif tindakan baginya. Justru konseling harus memungkinkan individu mengambil keputusan-keputusan dalam hal-hal yang sangat penting bagi dirinya dan ia harus tahu mengapa dan bagaimana cara ia melakukannya. Ia belajar mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi. Ia juga belajar memperhatikan nilai-nilai dan ikut mempertimbangkan nilai-nilai yang dianutnya secara sadar dalam pengambilan keputusan.
Adapun Myers (Priyatno & Anti, 1994 : 114) mengemukakan bahwa pengembangan yang mengacu pada perubahan positif pada individu merupakan tujuan dari semua upaya bimbingan dan konseling.
4.
Unsur-unsur Pokok yang Menunjang Konseling Kelancaran konseling ditunjang oleh sejumlah unsur tertentu yang dibedakan atas kondisi
eksternal dan kondisi internal. Kondisi lain berkaitan dengan karakteristik klien dan konselor. Kondisi-kondisi ini hendaknya diperhatikan agar tercapai proses konseling yang efektif. a. Kondisi-kondisi Eksternal 1) Penataan fisik
Proses konseling dapat berjalan secara efektif bila dilakukan dalam suasana yang nyaman dan menyenangkan. Ruangan atau tempat untuk konseling haruslah tertata dengan baik. Dapat membuat klien merasa aman dan nyaman. Tidak terganggu oleh keributan dan benda-benda yang dapat mengganggu atau mengalihkan perhatian klien dari pokok pembicaraan dalam konseling. 2) Bahasa non-verbal Banyak perilaku budaya yang terlihat dalam relasi konseling dan mempengaruhi efektivitas konseling. Termasuk ungkapan-ungkapan non-verbal yang biasa muncul. Namun satu hal yang belum banyak disadari ialah betapa bahasa-bahasa non-verbal itu sangat kental bermuatan budaya. Bahasa non-verbal dinyatakan dalam berbagai ekspresi: proxemics (batas-batas jarak untuk berkomunikasi), kinesics (bahasa isyarat badan, muka, mata), chronemics (persepsi tentang waktu), paralanguage (nada suara), silence (arti diam), haptics (sentuhan fisik), cara berpakaian dan penampilan, olfactics (komunikasi melalui indera penciuman), oculesics (isyarat mata). Dalam konseling lintas-budaya, komunikasi nonverbal bisa menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru memperlancarnya bila dipahami dengan baik (Supriadi, 2001 : 17-18). 3) Privacy Suatu hal yang penting berkaitan dengan pengaturan fisik adalah kelesuasaan pribadi. Bila perasaan percaya klien harus dilindungi, persaan aman yang berhubungan dengan keleluasaan pribadi tidak dapat diabaikan. Individu sebagai klien menginginkan dan mempunyai hak yang bersifat pribadi seperti rahasia dirinya untuk tidak didengar atau dilihat orang lain. American Personnel and Guidance Association menyatakan
dalam Code of Ethic mereka bahwa “The counseling relationship and informations resulting there from must be kept confidential consistent with the obligations of the member as a professional person”. Dengan kode etik ini klien mendapat jaminan kemerdekaan dirinya secara pribadi. b. Kondisi-kondisi Internal Kondisi-kondisi internal yang mempengaruhi proses konseling diantaranya: 1) Rapport Tujuan dari hubungan konseling adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan klien dan bukan untuk memenuhi kebutuhan konselor. Untuk dapat mencapai tujuan konseling, maka dalam hubungan konseling harus tercipta rapport antara klien dan konselor. Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik-menarik. Rapport dimulai dengan persetujuan, kesejajaran, kesukaan, dan persamaan. Jika sudah terjadi rapport dalam hubungan konseling, berarti hubungan tersebut kondusif sekali bagi keterbukaan klien. Klien telah mulai membuka selubung resistensinya dan keengganannya, serta memasuki keterbukaan (disclosure). 2) Empathy (Empati) Empathy mempunyai makna sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung khususnya dalam aspek perasaan, pikiran, dan keinginan. Dengan berempati kita berusaha menempatkan diri kita dalam suasana perasaan, pikiran, dan keinginan orang lain sedekat mungkin. Dengan demikian kita tidak hanya memahami perasaan orang lain akan tetapi mampu menghayati bagaimana perasaan kita apabila berada dalam situasi orang lain. Secara psikologis,
empati dapat menunjang berkembangnya suasana hubungan yang didasari atas saling pengertian, rasa diterima dan dipahami, serta kesamaan diri. 3) Genuineness (Keaslian/Kejujuran) Dalam komunikasi konseling konselor harus mampu menunjukkan kejujuran dari apa yang diungkapkannya sehingga dapat memberikan pesan secara obyektif. Dalam hal ini ia harus mampu menyampaikan sesuatu secara terbuka tanpa harus dimanipulasi. Berkomunikasi secara jujur dan asli merupakan keterampilan konseling yang amat penting. Dengan keterampilan ini konselor dapat menyatakan perasaannya mengenai perasaan klien sedemikian rupa tanpa ada rasa ketersinggungan. 4) Attentiveness (penuh perhatian) Dasar dari semua keterampilan konselor adalah attentiveness. Perhatian membutuhkan keterampilan mengamati dan mendengarkan yang dengan itu konselor mengetahui dan mengerti inti, isi, dan apa yang dirasakan oleh klien. Informasi-informasi yang terkumpul dapat digunakan dalam hubungan yang membantu, sewaktu klien menyadari bahwa dia diterima dalam hubungan konseling. c. Karakteristik Konseli/Klien Banyak faktor lain di luar proses konseling itu sendiri yang berpengaruh pada proses konseling. Faktor-faktor itu antara lain: pengalaman klien, latar belakang kebudayaannya, kondisi sosial ekonomi dan lingkungan di mana klien itu tinggal, dan ekspektasinya terhadap konselor. d. Karakteristik Konselor Karakteristik atau kualitas pribadi seorang konselor sangat mempengaruhi proses konseling dan keefektivan konseling yang terjadi. Sikap dan cara pendekatan konselor
terhadap klien dan semua apa yang dikerjakan dalam konseling berpengaruh kepada hubungan konseling karena konselor adalah kunci pemrakarsa dan pengembang hubungan konseling. Beberapa karakteristik kualitas kepribadian konseling yang terkait dengan keefektivan konseling antara lain : 1) pengetahuan mengenai diri sendiri (self knowledge), 2) kompetensi (competence), 3) kesehatan psikologis yang baik, 4) dapat dipercaya, 5) kepercayaan atau keyakinan (belief), dan 6) nilai-nilai (values).
5.
Fungsi Konseling Banyak ahli yang mengemukakan fungsi konseling dengan cara yang berbeda. Fungsi-
fungsi konseling tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat fungsi pokok, yaitu: a. Fungsi Pemahaman Yang pertama dan paling awal harus dilakukan oleh konselor adalah mengetahui siapa dan bagaimana individu yang menjadi kliennya itu. Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan konseling adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh klien sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta pemahaman tentang lingkungan klien.
b. Fungsi Pencegahan Dalam dunia kesehatan mental, pencegahan didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana atas lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan dan kerugian sebelum kesulitan atau kerugian itu benar-benar terjadi. (Horner & McElhaney dalam Amti & Prayitno, 1999 : 203). Bagi seorang konselor professional yang misi tugasnya dipenuhi dengan perjuangan untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang dapat menghalagi
perkembangan individu, upaya pencegahan merupakan bagian dari tugas kewajibannya yang penting. c. Fungsi Pengentasan/Perbaikan Walaupun fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilakukan, namun masalah terkadang masih juga timbul. Di sinilah fungsi perbaikan itu berperan, yaitu fungsi konseling yang akan menghasilkan terpecahkannya atau teratasinya perbagai permasalahan yang dialami klien. Proses pengentasan masalah dalam layanan konseling tidak menggunakan unsure-unsur fisik di luar diri klien, tetapi menggunakan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri klien sendiri. Kekuatan yang pada dasarnya sudah ada itu dibangkitkan, dikembangkan, dan digabungkan untuk sebesarbesarnya dipakai menanggulangi masalah yang ada. d. Fungsi Pemeliharaan dan Pengembangan Fungsi pemeliharaan berarti memelihara segala sesuatu yang baik yang ada pada diri individu, baik yang merupakan pembawaan maupun hasil-hasil perkembangan yang telah dicapai. Pemeliharaan yang baik tidak hanya sekadar mempertahakan agar hal-hal yang dimaksudkan tetap utuh dan tidak rusak, melainkan juga mengusahakan agar hal-hal tersebut bertambah baik, lebih menyenangkan, dan memiliki nilai tambah daripada sebelumnya. Pemeliharaan
yang
demikian
adalah
pemeliharaan
yang
yang
membangun
dan
memperkembangkan. Oleh karena itu fungsi pemeliharaan dan pengembangan tidak dapat dipisahkan.
6. Prinsip Konseling Prinsip merupakan paduan hasil kajian teoritik dan telaah lapangan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan sesuatu yang dimaksudkan. Dalam pelayanan konseling prinsip-
prinsip yang digunakan bersumber dari kajian filosofis, hasil-hasil penelitian dan pengalaman praktis tentang hakikat manusia, perkembangan dan kehidupan manusia dalam konteks sosial budayanya, pengertian, tujuan, fungsi, dan proses penyelenggaraan konseling. Rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan, dan penyelenggaraan layanan. a. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran pelayanan Sasaran pelayanan konseling adalah individu-individu, baik perorangan maupun kelompok. Individu-individu itu sangat bervariasi, baik dalam hal umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kedudukan, pangkat dan jabatan, keterikatan terhadap lembaga, dan variasivariasi lainnya. Konseling melayani semua individu tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, agama, dan status sosial ekonomi. Bimbingan dan konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku individu yang unik dan dinamis. Bimbingan dan konseling memperhatikan sepenuhnya tahap dan berbagai aspek perkembangan individu dan memberikan perhatian utama kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi pokok pelayanannya. b. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan masalah individu Secara ideal pelayanan konseling ingin membantu semua individu dengan berbagai permasalahannya. Namun, karena keterbatasan yang ada, pelayanan konseling hanya mampu menangani masalah klien secara terbatas. Bidang konseling pada umumnya dibatasi hanya pada hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap penyesuaian dirinya, dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu. c. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan
Layanan konseling dapat dilaksanakan secara “insidental” maupun terprogram. Pelayanan insidental diberikan kepada klien-klien yang secara langsung datang kepada konselor untuk meminta bantuan. Sedangkan untuk lembaga tempat konselor bertugas, perlu disusun suatu program pelayanan. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga. Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan dan konseling perlu adanya penilaian yang teratur dan terarah. Pengembangan program pelayanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui pemanfaatan yang maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian terhadap individu yang terlihat dalam proses pelayanan dan program bimbingan dan konseling itu sendiri. d. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan pelaksanaan layanan Berkaitan dengan pelaksanaan layanan, bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan. Dalam proses bimbingan dan konseling keputusan yang diambil dan hendak dilakukan oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri, bukan karena kemauan atas desakan dari pembimbing atau pihak lain. Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
7. Efektivitas Layanan Konseling Proses konseling yang intensional (mendalam) dan efektif akan membantu klien untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya jika proses konseling berjalan tidak efektif dan kurang mendalam, maka sudah dapat dipastikan akan gagal mencapai tujuan dan bahkan dapat merusak klien.
Keefektivan banyak dipengaruhi oleh berbagai variabel yang saling berkaitan satu sama lain. Beberapa variabel tersebut diantaranya adalah : a. Durasi (rentang waktu), hakekat, dan kualitas gangguan psikologis. b. Motivasi orang dan kualitas dukungan lingkungan. c. Derajat kesehatan yang dimiliki seseorang sebelum menyampaikan masalah. d. Derajat kesehatan mental seseorang pada saat dimulainya konseling. e. Keterampilan umum konselor dan keterampilan khusus konselor berkenaan dengan masalah tertentu. f. Motivasi konselor dan suasana yang mampu dikreasikan oleh konselor. Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur efektivitas konseling adalah adanya perubahan perilaku, kesehatan mental yang positif, pemecahan masalah, mencapai keefektivan pribadi, dan pengambilan keputusan (Shertzer and Stone dalam Nurihsan, 2001: 14-15) Dalam kaitannya dengan klien HIV/AIDS, perubahan perilaku lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup klien yang salah satunya terlihat dalam perilaku atau pola-hidupnya sehari-hari yang beresiko untuk menularkan virus HIV kepada orang lain. Kesehatan mental yang positif dapat dicapai bila individu/klien mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif atas status ke-HIV-annya. Ia belajar bertanggungjawab, berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku. Seperti halnya orang lain, klien HIV pun banyak menghadapi masalah yang timbul berkenaan dengan status dirinya atau yang lainnya. Pemecahan masalah berkaitan dengan kemampuan klien untuk mengenal, mendefinisikan, dan mencari solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang timbul secara sehat dan efektif.
Pribadi yang efektif adalah pribadi yang sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya dan bersedia memikul resiko atau tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini klien memiliki kemampuan untuk mengontrol doronfgan-dorongan dan memberikan respons-respons yang wajar terhadap frustasi, depresi, dan penolakan. Dalam hal pengambilan keputusan, klien mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya atau memilih alternatif dari tindakannya serta mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi atas keputusan yang diambilnya dengan memperhatikan nilainilai dan norma-norma yang dianut.
B. Konseling HIV/AIDS 1. Pengertian HIV dan AIDS HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang menyerang sel-sel limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tapi ditularkan dari satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh atau defisiensi imun yang berat. AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat orang tak berdaya dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV. Penurunan daya tahan tubuh akibat kerusakan sistem imun oleh HIV samapai pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu beberapa tahun. Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala
apapun untuk jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang yang tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV atau tidak. Namun pada saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas status HIV positif pada diri seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
2. Penularan HIV/AIDS HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar jumlah virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak ada dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak. Dalam saliva (air liur/ludah), air mata, urin, keringat dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali. (Wibowo, 2002 : 23). Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan melalui : a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan seorang pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80 – 90 % dari total kasus sedunia. b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ dan jaringan atau jarum suntik: 1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi, sampai lebih dari 90 %. Ditemukan sekitar 3 – 5 % dari total kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu narkotika suntik. Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah terdapat 5 – 10 % dari total kasus sedunia. 3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan. Risikonya sekitar kurang dari 0,5 % dan telah terdapat kurang dari 0,1 % dari total kasus sedunia. c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %, terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia. HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan pengidap HIV, berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui makanan dan minuman, berenang dalam kolam yang sama, menggunakan WC bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak ditularkan melalui gigitan nyamuk dan serangga lainnya. Perilaku berisiko tinggi yang rentan terinfeksi HIV antara lain: a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual, beserta pasangannya. b. Wanita dan laki-laki tuna susila, beserta pelanggan mereka c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat yang tidak diketahui dan melakukan hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual tanpa menggunakan kondom) d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral) misalnya pada homoseksual dan biseksual e. Menggunakan narkotika atau alkohol pada situasi yang memungkinkan terjadinya hubungan seksual
f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik secara bersama (bergantian)
3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS Pencegahan untuk melindungi diri dari infeksi HIV/AIDS meliputi tiga hal, yaitu : a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual b. Pencegahan penularan melalui darah c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan berkembangnya HIV/AIDS lebih lanjut terangkum dalam istilah A B C D E berikut ini. A : Anda jauhi seks bebas atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah (Abstinence). Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan yang sah. B : Bersikap saling setia (Be faithful), yaitu hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri, yaitu suami atau istri sendiri. C : Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan hubungan seksual harus menggunakan kondom secara benar dan konsisten (Condom). D : Tidak menggunakan narkotika dan narkoba suntik (Do not use drugs) E :
Penyuluhan dan pendidikan mengenai HIV/AIDS secara benar kepada masyarakat (Education) Serta dengan mempertebal iman dan takwa agar tidak terjerumus melakukan perilaku-
perilaku yang dilarang oleh Allah dan merugikan diri kita.
4. Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial antara klien dan konselor yang bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi stress dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitasi pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes positif. (World Health Organization/WHO). UNAIDS (2000) mendefinisikan konseling HIV/AIDS dialog rahasia antara seseorang dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang tersebut mampu menyesuaikan diri dengan stres dan membuat keputusan yang sesuai berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan. Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri seseorang mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial maupun spiritual. Selain itu HIV merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus dilakukan seumur hidup. Di lapangan, konseling HIV/AIDS disebut juga dengan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata ‘sukarela’ di sini menekankan bahwa konseling harus berjalan tanpa paksaan serta berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien itu sendiri. Selain itu testing dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program HIV/AIDS. Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan sebagai berikut:
Klien
Testing HIV
Konselor
Hasil
Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini minimum terdiri atas konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan konseling berkelanjutan jangka panjang, konseling dukungan, konseling keluarga dan pasangan hingga konseling kematian.
a. Konseling Pra Tes HIV Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra tes individual dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak. Konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah HIV, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan meluruskan pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya. Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Karena itu layanan VCT senantiasa melindungi klien dengan menjaga kerahasiaan. Peletakan kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar utama bagi terjaganya rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan keterampilan konseling mikro sangat penting untuk membina rapport dan menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien. b. Konseling Pasca Tes HIV
Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil tes, memberitahukan hasil tesnya, dan menyediakan informasi selanjutnya, atau bila perlu merujuk klien ke fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk menurunkan transmisi HIV dan pengurangan risiko. Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil tes positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima klien, secara halus dan manusiawi, serta memperhatikan kondisi individu klien dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif, konselor harus: 1) Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat mengatasi reaksi awal yang timbul. 2) Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes tersebut. 3) Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti, memberikan dukungan emosional, dan membantu mereka untuk mendiskusikan bagaimana mereka akan menghadapi hal itu, termasuk mengidentifikasi dukungan apa yang tersedia di rumah. 4) Merujuk klien ke layanan yang diperlukan, misalnya kelompok dukungan masyarakat atau fasillitas kesehatan. 5) Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga tidak akan ada orang lain yang tahu kecuali atas persetujuan klien. 6) Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu tentang hasil tes itu dan bagaimana cara untuk melakukannya. 7) Menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya termasuk informasi tentang pola hidup, makanan, olah raga, istirahat, dan menghindari infeksi.
8) Memberi tahu klien tentang layanan kesehatan dan terapi jika dibutuhkan. 9) Bila klien adalah wanita hamil, mendiskusikan cara menghindari penularan terhadap bayinya, membantu mereka untuk membuat keputusan yang mereka rasa paling baik dan merujuk untuk knseling lebih lanjut. 10) Mendiskusikan pencegahan cara penularan HIV kepada pasangan-pasangan yang munngkin tidak terinfeksi dan memberikan informasi tentang hubungan seks yang lebih aman. Konseling tetap diperlukan walaupun hasil tes negatif. Di sini konselor dan klien mendiskusikan perasaan yang timbul dari hasil tersebut dan mendiskusikan pencegahan dari infeksi HIV. Meskipun orang akan merasa lega mendapatkan hasil negatif, konselor harus menjelaskan bahwa karena adanya masa jendela (window period), hasil negatif ini tidaklah sepenuhnya menjamin bahwa orang ini tidak terinfeksi HIV. Konselor harus menganjurkan untuk mempertimbangkan datang kembali dan tes ulang setelah 3-6 bulan. Selain itu, konselor dapat membantu klien dalam memformulasikan strategi lain agar tetap dalam hasil tes yang negatif. Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik, maka dapat terbina rapport antara konselor dan klien. Dengan dasar ini, maka akan memudahkan terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Mereka yang menunggu hasil tes HIV berada dalam kecemasan, dan mereka yang menerima hasil tes HIV positif kemungkinan akan mengalami distress. Karena itu disarankan agar konselor yang melakukan konseling pasca tes adalah konselor yang sama dengan konselor yang menjalankan konseling pra tes.
Kerangka model dari prosedur kunci layanan konseling HIV/AIDS atau VCT dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV
Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko individu dan kondisi psikososial, penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan
Beri waktu untuk berpikir
Penundaan pengambilan darah/testing HIV
Pengambilan darah/testing HIV
HIV Negatif
HIV Positif
Mendorong mengubah perilaku ke arah yang positif, hilangkan yang negatif
Sampaikan berita dengan hati-hati, menilai kemampuan mengelola berita hasil tes, sediakan waktu untuk diskusi, bantu agar bisa beradaptasi dengan situasi dan buat rencana yang tepat dan rasional
Mengatakan meski situasinya masih berisiko rendah, tetap harus merawat diri untuk menghindari infeksi dan kemungkinan penularan
Berikan konseling berkelanjutan yang melibatkan keluarga dan teman; menggerakkan dukungan keluarga dan masyarakat; cara dukungan lainnya (support group); tumbuhkan perilaku bertanggung jawab Sarankan untuk melakukan periksa ulang 12 minggu atau 3-6 bulan sesudah tes
Berikan konseling berkelanjutan,
5. Alasan dan Tujuan Konseling HIV/AIDS Masalah HIV/AIDS merupakan masalah sosial yang berdampak besar pada masyarakat. Untuk itu diselenggarakan suatu layanan VCT yang dimaksudkan sebagai usaha pencegahan dan perawatan HIV. Adapun alasan diadakannya VCT adalah: a. Pencegahan HIV Konseling dan tes sukarela HIV berkualitas tinggi merupakan komponen efektif (juga efektif dari sudut biaya) pendekatan prevensi, yang mempromosikan perubahan perilaku seksual dan perilaku berisiko lainnya dalam menurunkan penularan HIV. Dalam laporan mengenai efektivitas VCT di Kenya, Tanzania, dan Trinidad pada tahun 2000, mereka yang menggunakan jasa layanan VCT, di dalam dirinya ada perasaan yang kuat tentang tata nilai, akivitas seksual, dan diagnosis (apakah positif atau negatif) dan seringkali mereka betul-betul menurunkan perilaku berisikonya. VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu status HIV mereka dan perencanaan hidup mereka yang berkenaan dengan hal tersebut. b. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan
VCT telah terbukti sangatlah berperan sebagai pintu gerbang menuju pelayanan medik dan dukungan sesuai yang dibutuhkan. VCT sudah mendesak untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi mereka dari sisi kesehatan masyarakat, karena infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai dampak begitu besar bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan sosial dan produktivitas masyarakat dalam jangka panjang. Konseling HIV/AIDS merupakan suatu proses dengan tiga tujuan umum. Konseling HIV/AIDS bertujuan untuk : 1) Menyediakan dukungan psikologis, sosial dan spiritual seseorang yang mengidap virus HIV. 2) Pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menyediakan informasi tentang perilaku berisiko dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman. 3) Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat. Konselor HIV/AIDS mencapai tujuan di atas melalui : 1) Memungkinkan orang untuk mengenali dan mengekspresikan perasaannya. 2) Menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindakan tentang isu atau permasalahan yang dihadapi. 3) Membangkitkan perubahan perilaku yang sesuai 4) Menyediakan informasi terkini tentang prevensi, terapi dan perawatan HIV/AIDS 5) Memberikan informasi tentang sumber dan institusi (baik pemerintah maupun non pemerintah) yang dapat membantu kesulitan sosial, ekonomi, dan budaya yang timbul berkaitan dengan HIV.
6) Membantu klien memperoleh dukungan dari jejaring sosial, keluarga dan lingkungan mereka. 7) Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi saat ia mengalami sakit, berduka dan kehilangan suami, isteri, pasangan, kawan, atau penghasilan, rumah dan pekerjaan. 8) Mengambil peran advokasi, misalnya membantu klien mengatasi diskriminasi dan mengingatkannya atas hak-haknya. 9) Membantu klien mengendalikan hidupnya dan menemukan arti kehidupannya. Konseling HIV/AIDS lebih terarah kepada kebutuhan fisik, sosial, psikologis dan spiritual seseorang. Oleh karena itu seorang konselor HIV/AIDS harus mempertimbangkan masalah infeksi dan penyakit, kematian dan kesedihan, stigma dan diskriminasi sosial, seksualitas, gaya hidup, serta pencegahan penularan. VCT merupakan komponen kunci dalam program HIV di negara maju, tetapi sampai kini belum menjadi strategi besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena tingginya prevalensi infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat demikian luasnya, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan sosial dan produktivitas di masyarakat.