Appreciative Inquiry : Metode Berfokus pada Strength dan Opportunity bagi pengidap HIV/AIDS Yang penting bukanlah yang sudah hilang Yang penting adalah yang masih ada Ketika kita pikir kita telah kehilangan segalanya Ingatlah, masih tertinggal masa depan Jangan hilang semangat untuk menjalaninya, kawan (Suzana Murni) A. PENDAHULUAN Pengidap HIV/AIDS sangat rawan dengan tindakan diskriminasi dan stigma yang buruk. Di sisi lain, Pengidap HIV/AIDS sangat memerlukan dukungan yang lebih agar mampu survive melawan penyakitnya. Appreciative Inquiry merupakan suatu metode yang berfokus pada kekuatan dalam menghadapi persoalan. Kekuatan ini berasal dari diri sendiri (Strength) dan dari orang lain (Opportunity). Metode ini diharapkan mampu mengubah paradigma Pengidap HIV/AIDS untuk berfokus pada kekuatan yang dimiliki dalam melawan penyakitnya. Tindakan stigma dan diskriminasi seringkali diperoleh dari lingkungan berupa penghilangan hak-hak dalam menjalankan proses kehidupan. Hak tersebut adalah hak untuk hidup, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan sebagainya. Tindakan ini akan semakin memperberat beban yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS. Fenomena tersebut akan semakin menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan, pekerjaan dan kegiatan lain akan berangsur menurun. Selain itu berbagai kesempatan (opportunity) yang berupa dukungan keluarga, kesempatan pengembangan terkalahkan oleh adanya diskriminasi dan stigma tersebut.
1
Appreciative Inquiry merupakan suatu metode untuk memaksimalkan kekuatan (strength dan Opportunity) yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Metode ini lebih memfokuskan terhadap kekuatan ada dan terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi oleh Pengidap HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya. Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap HIV/AIDS hanya berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative Inquiry lebih menganjurkan agar setiap Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal ini akan membangun citra positif secara pribadi dan bermanfaat bagi lingkungan. Akhirnya metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS untuk menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya.
B. ANTI STIGMA DAN DISKRIMINASI Stigma dan diskriminasi merupakan kelemahan Pengidap HIV/AIDS yang diperoleh dari luar. Pengaruh luar ini akan berdampak pada citra pribadi yang negative bagi Pengidap HIV/AIDS. Nusantara menyatakan bahwa ‘Para [Pengidap HIV/AIDS] itu diingkari haknya untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, serta hak mereka untuk menikah dan membentuk keluarga. Bahkan [Pengidap HIV/AIDS] dibunuh karena serum-positive status’. Tindakan tersebut akan memberikan dampak pengucilan terhadap Pengidap HIV/AIDS. Kehidupan yang dialami oleh Pengidap HIV/AIDS tidak lagi seperti sediakala. Tindakan tersebut memberikan afek negatif yang teramat berat dan semakin memperberat Pengidap HIV/AIDS dalam menghadapi penyakit yang diderita. Bentuk diskriminasi tersebut sangat bertentangan dengan UU HAM (dikutip dalam Nusantara, 2005) yang menyatakan bahwa : Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
2
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pernyataan tersebut merupakan dasar hukum yang legal bahwasannya pengucilan terhadap golongan Pengidap HIV/AIDS dalam bidang pekerjaan dan sebagainnya adalah pelanggaran HAM. Joice Djaelani dari Yayasan Kita menyatakan bahwa ‘Indonesia akan kembali ke taraf kesehatan tahun 1950, di mana TB dan PMS (penyakit menular seksual) meluas kalau stigma dan diskriminasi terus dilakukan.’ Maka tindakan diskriminasi akan semakin memperburuk keadaan kesehatan secara menyeluruh. Adanya kasus AIDS yang semakin meningkat, namun tidak diberengi oleh perhatian yang khusus terhadap penyelesaiannya. Bahkan terdapat diskriminasi terhadap pelayanan kesehatan bagi Pengidap HIV/AIDS. Hal ini terbukti pada diskriminasi dalam perlindungan Asuransi Kesehatan pada Pengidap HIV/AIDS sebagaimana dikutip dalam KOMPAS : JAKARTA, KOMPAS- Akses para Pengidap HIV/AIDS di Tanah Air terhadap jaminan asuransi kesehatan masih sangat minim. Sebab mayoritas pelaku usaha dan perusahaan asuransi tidak memberikan santunan kesehatan bagi penderita. Fakta tersebut menyebabkan proses penyebaran HIV/AIDS akan semakin meluas. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pada penanganan kasus ini. Perhatian tersebut menurun diakibatkan oleh adanya diskriminasi dan stigma terhadap Pengidap HIV/AIDS.
C. STRENGTH DAN OPPORTUNITY PENGIDAP HIV/AIDS Pengidap HIV/AIDS harus tetap menjalankan peran kehidupan sebagaimana manusia seutuhnya. Peran tersebut perlu didukung oleh adanya Strength dan Opportunity yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Kedua aspek tersebut harus menjadi fokus utama dalam melangsungkan kehidupan bukan sebaliknya.
3
1. STRENGTH Kekuatan strength berasal dari diri sendiri. Pengidap HIV/AIDS harus mampu mengaktifkan kembali sinyal-sinyal positif yang terdapat dalam kepribadiannya. Sinyal positif tersebut berupa potensi yang dimiliki. Potensi tersebut bisa berupa Logis matematis, interpersonal, intrapersonal, musical, bahasa, spiritual, dan sebagainya. Segala potensi yang dimiliki tersebut harus tetap dipertahankan dan mampu dikembangkan sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian pengidap HIV/AIDS harus tetap berfokus pada aktifitas yang dijalani. Berbagai hal yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS seperti pekerjaan, pendidikan, dan sebagainnya harus tetap dikembangkan. Pengembangan kekuatan pribadi tersebut harus dilakukan tanpa memandang kelemahan yang dimiliki. Hal ini akan memberikan sinyal positif berupa tindakan survival dalam menjalankan peran Pengidap HIV/AIDS dalam kehidupannya. Serta pengembangan ini harus didukung pula oleh adanya afek positif yang membuat ketangguhan pribadi Pengidap HIV/AIDS. Dengan demikian, segala kekuatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS diharapkan tidak menghilang, namun tetap dipertahankan dan dikembangkan. 2. OPPORTUNITY Kekuatan strength tersebut harus diperkuat lagi dengan dukungan dari luar. Kekuatan ini dikenal dengan istilah opportunity (kesempatan). Opportunity ini dapat berupa dukungan dari keluarga, teman terdekat dan lingkungan sekitar. Persaudaraan dan persahabatan ini juga semakin bagus apabila diperkuat dengan pembentukan komunitas yang saling mendukung terhadap Pengidap HIV/AIDS. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan dukungan melalui perlindungan Hak Asasi bagi Pengidap HIV/AIDS. Perlindungan ini pun seharusnya diperluas dengan mendukung segala aktifitas lembaga sosial yang berfokus terhadap permasalahan HIV/AIDS.
4
Selain itu kegiatan-kegiatan sosial juga turut membantu memberikan afek positif bagi Pengidap HIV/AIDS. Keaktifan Pengidap HIV/AIDS terhadap kegiatan sosial akan memberikan penerimaan oleh lingkungan. Penerimaan ini akan menghilangkan stigma negatif bagi Pengidap HIV/AIDS dan membuktikan bahwasannya Pengidap HIV/AIDS memiliki berbagai potensi yang bermanfaat bagi masyarakat umum
D. APPRECIATIVE INQUIRY METHOD Dion mengartian bahwa ‘Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode pengembangan diri manusia (atau komunitas) yang dilakukan dengan mencari faktorfaktor terbaik dalam diri manusia dan lingkungan di sekitarnya…’. Kekuatan yang berasal dari diri sendiri (Strength) dan lingkungan sekitar (Opportunity) dijadikan sebagai cara pandang dan pegangan dalam melaksanakan peran kehidupan Pengidap HIV/AIDS. Metode ini dilakukan atas dasar dua alasan. Pertama, cara pandang yang seringkali dilakukan Pengidap HIV/AIDS terhadap persoalannya adalah adanya sisi negatif yang dimiliki, sehingga hal ini cenderung mendasari pemikiran Pengidap HIV/AIDS untuk semakin terpuruk terhadap kelemahan yang dimiliki. Kedua, metode ini mengajak Pengidap HIV/AIDS untuk melihat kembali sisi kekuatan (Strength dan Opportunity) yang dimiliki. Kekuatan tersebut akan memberikan gambaran yang jelas bagi Pengidap HIV/AIDS mengenai apa saja yang membuatnya ‘hidup’ hingga saat ini, dan metode ini berusaha mengaktifkan kembali faktor-faktor yang telah membuatnya hidup. Appreciative Inquiry terdiri atas empat tahap (logan, 2004), yaitu 1. Discovery Tahap ini berusaha menelusuri faktor-faktor Strength dan Opportunity yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. Penelusuran tersebut diperinci secara jelas dan cermat. Hasil penelusuran tersebut akan memberikan kesadaran bahwasannya Pengidap HIV/AIDS masih memiliki beberapa peran yang diperjuangkan dalam kehidupannya dan mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Peran psikolog bisa 5
diperlukan untuk menemukan faktor-faktor tersebut dan berupaya menjauhkan segala afek negatif yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS. 2. Dreaming Faktor-faktor tersebut kemudian memberikan gambaran bagi Pengidap HIV/AIDS untuk melakukan hal-hal sesuai dengan impiannya. Gambaran positif tersebut harus nyata berada dalam pikiran Pengidap HIV/AIDS. Semakin nyata gambaran tersebut muncul pada pikiran Pengidap HIV/AIDS, semakin kuat afek positif yang dimiliki. Hal ini akan membangkitkan semangat bagi Pengidap HIV/AIDS untuk tetap survive. 3. Design Gambaran positif akan mampu mendorong Pengidap HIV/AIDS untuk merancang hal-hal yang bisa dilakukan sesuai dengan kondisinya saat ini. Kondisi ini tercakup dalam Strength dan Opportunity yang dimiliki tanpa harus terlalu terpuruk terhadap kelemahan yang dihadapi. Pada tahap ini, Pengidap HIV/AIDS diharapkan mampu membuat rencana demi mewujudkan impian yang sudah tergambar secara nyata dalam pikirannya. 4. Destiny Tahap akhir, rancangan yang telah ditetapkan tersebut harus mampu dipilah dan dikerjakan secara bertahap. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tujuan ini diharapkan mampu menumbuhkan semangat bagi Pengidap HIV/AIDS untuk tetap survive. Dan Pengidap HIV/AIDS diharapkan menyadari bahwasannya keberadaannya masih sangat diperlukan bagi lingkungan terlepas dari kelemahan yang dimiliki. Berbagai tahap tersebut akan memunculkan sebuah semangat baru bagi Pengidap HIV/AIDS. Semangat tersebut akan menghasilkan tindakan yang mampu memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa ‘yang terpenting bukanlah lamanya hidup, namun hal terbaik yang telah dilakukan semasa hidup’.
6
E. KESIMPULAN 1. Pengidap HIV/AIDS rentan terhadap permasalahan diskriminasi dan stigma 2. Appreciative Inquiry merupakan suatu metode yang berfokus pada kekuatan yang ada di dalam (Strength) dan di luar (Opportunity) 3. Metode Appreciative Inquiry diharapkan mampu memotivasi Pengidap HIV/AIDS untuk tetap survive menjalani peran kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA Cappelo R. 2007. Diskriminasi dan Stigma Dorong Persebaran HIV/AIDS. KOMPAS Oktober 2006. Dion. 2008. Appreciative Inquiry : Melakukan Perubahan dengan Berfokus pada Kekuatan. PERSEPSI Oktober 2008. pp: 9-11 Logan J. 2004. APPRECIATIVE INQUIRY. The Canadian Association. Canada Nusantara AHG. 2005. Perlindungan Hak Asasi Orang Dengan HIV/AIDS.
7