BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia kian memprihatinkan. Ketika angka kematian akibat AIDS dan kasus baru infeksi HIV di dunia berangsur turun, tidak demikian halnya dengan Indonesia. United Nations Program on HIV and AIDS (UNAIDS) melaporkan jumlah kematian akibat AIDS pada tahun 2011 mengalami
penurunan
hingga
5.000
orang
dibandingkan
tahun
2005
(http://health.kompas.com). Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh keberhasilan pengendalian penyakit ini di benua Afrika. Terjadi penurunan jumlah kasus baru secara signifikan di kawasan Sub Sahara Afrika yang merupakan salah satu kawasan paling rawan di dunia. Namun di Indonesia, berdasarkan laporan dari tahun ke tahun kasus HIV/AIDS masih menunjukkan tren peningkatan yang terus-menerus. Menurut laporan Ditjen Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan, jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sampai dengan akhir September 2014 adalah sebanyak 55.799 kasus dan 9.796 kasus diantaranya mengakibatkan kematian (Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, 2014). Permasalahan HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es, artinya data yang ada merupakan data kasus HIV/AIDS yang hanya muncul di permukaan. Masih banyak kasus yang belum terdeteksi karena ada banyak orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi tidak terbuka untuk melakukan pemeriksaan di klinik. Hal ini disebabkan karena perasaan takut dan malu untuk memeriksakan diri yang muncul karena adanya stigma dan diskrimininasi dari masyarakat bahkan keluarga sebagai lingkungan terdekat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Untuk mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak. Mulai dari kampanye yang informatif dan edukatif pada masyarakat awam, pendampingan untuk menumbuhkan
1
kepercayaan diri bagi ODHA dan kelompok terdampak AIDS, hingga penerbitan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Berdasarkan kondisi yang berkembang saat ini, dapat dipahami bahwa HIV/AIDS adalah sebuah isu yang sangat rumit. Hal ini bukan hanya menjadi masalah kesehatan semata, tetapi sekaligus telah menjadi masalah sosial. Mengingat kompleksitas permasalahan tersebut, penyelesaiannya pun menjadi tidak mudah. Selain upaya-upaya dari bidang kesehatan, juga dibutuhkan pendekatan secara sosial yang cenderung lebih sulit. Salah satu pendekatan sosial dilakukan melalui kampanye publik. Dalam melakukan perlawanan terhadap HIV/AIDS, hal utama yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah informasi yang tepat dan akurat mengenai HIV dan AIDS itu sendiri. Setelah itu, hal yang tak kalah penting adalah menciptakan pemahaman bahwa perlawanan yang seharusnya dilakukan ialah terhadap virusnya, bukan kepada pengidapnya (ODHA). Pesan-pesan inilah yang berusaha disampaikan oleh IAC kepada khalayak luas melalui kampanye publik yang mereka lakukan. Kampanye publik yang dikelola IAC dengan tujuan mendistribusikan informasi yang benar dan lengkap tentang HIV/AIDS bernama ODHA Berhak Sehat (OBS). Kampanye OBS pada mulanya merupakan sebuah gerakan masif melalui media sosial Twitter yang digagas oleh ODHA yang tergabung dalam berbagai organisasi dan jaringan HIV. Gerakan ini lahir dari keprihatinan para aktivis atas mode penyebaran informasi HIV/AIDS. Sangat sulit untuk memperoleh informasi terkait HIV/AIDS saat itu. Kalau pun ada hanya bersifat medis dan ilmiah yang justru mengakibatkan kebingungan bahkan ketakutan bagi masyarakat awam terutama bagi mereka dengan HIV positif. Maka, tujuan dari gerakan ini awalnya adalah untuk menyebarkan informasi seputar HIV/AIDS kepada masyarakat luas secara lebih bersahabat, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami agar menciptakan pemahaman yang lebih baik dan tidak menimbulkan ketakutan bagi pengidap HIV/AIDS.
2
Gerakan tersebut dimulai sejak bulan Juni tahun 2010. Namun dalam perjalanannya, gerakan ini mengalami berbagai kendala hingga akhirnya meredup bahkan sempat vakum untuk beberapa waktu. Baru pada tahun 2011, setelah IAC terbentuk, inisiatif pengelolaan gerakan tersebut diambil alih oleh IAC dan meluas menjadi kampanye OBS. Untuk kepentingan administrasi dan teknis IAC memanfaatkan website www.odhaberhaksehat.org serta media sosial Facebook, Twitter, dan Instagram sebagai sarana berkampanye. Selain itu, kampanye OBS juga dilengkapi dengan aplikasi mobile AIDS Digital yang mendukung kegiatan kampanye. Pada tahun 2013, kampanye OBS memperoleh penghargaan Indonesia MDG Award 2013 dari pemerintah sebagai program unggulan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Menelusuri perkembangan kampanye OBS sejak kelahirannya hingga sampai pada pencapaiannya saat ini, membuat kampanye ini menarik untuk disoroti. Kampanye yang dilakukan IAC sesungguhnya merupakan bentuk pemasaran ide dan gagasan yang bertujuan menanggulangi permasalahan HIV/AIDS di Indonesia. Demi tercapainya tujuan kampanye dibutuhkan strategi yang matang dan penuh perhitungan. Strategi tersebut tidak ubahnya seperti strategi pemasaran produk pada umumnya. Adapun konsep pemasaran dalam konteks ini dinamakan pemasaran sosial. Berangkat dari pemikiran tersebut, penelitian ini bermaksud untuk mengkaji strategi pemasaran sosial IAC dalam ‘menjual’ gagasan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia melalui kampanye ODHA Berhak Sehat.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana strategi komunikasi pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dalam kampanye ODHA Berhak Sehat periode 2011-2014?
3
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis strategi komunikasi pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dalam kampanye ODHA Berhak Sehat periode 2011-2014.
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi
terkait komunikasi pemasaran, khususnya tentang strategi pemasaran sosial yang dilakukan oleh organisasi non-profit. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang dianggap masih relevan dengan permasalahan yang dikaji.
2.
Manfaat Praktis Memberikan pemahaman praktis terkait penyelenggaraan kampanye
dengan menggunakan prinsip-prinsip pemasaran sosial. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi Indonesia AIDS Coalition sebagai bahan masukan dalam mengevaluasi dan meningkatkan kegiatan kampanye mereka sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran Setiap penelitian memerlukan landasan berfikir dalam memecahkan atau mengkaji permasalahan yang diteliti. Untuk itu perlu disusun kerangka pemikiran yang memuat teori-teori yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan disorot. Bagian ini merupakan kerangka berpikir peneliti tentang strategi komunikasi pemasaran sosial yang diterapkan dalam penyelenggaraan kampanye sosial oleh organisasi non-profit. Adapun yang menjadi poin-poin penting dari kerangka pemikiran ini adalah kampanye dalam perspektif pemasaran sosial dan strategi komunikasi pemasaran sosial dalam kampanye.
4
1.
Kampanye dalam Perspektif Pemasaran Sosial Paisley (1981) mendeskripsikan kampanye komunikasi publik sebagai
upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi keyakinan atau sikap orang lain dengan menggunakan pendekatan komunikasi. Penekanan terhadap kegiatan komunikasi dalam sebuah kampanye dipertegas oleh Snyder (dalam Venus, 2012:8) yang menyatakan kampanye merupakan sebuah aktivitas komunikasi yang terorganisir dengan audiens, waktu, serta tujuan tertentu yang spesifik. Secara tersirat pendapat ini memberikan pemahaman bahwa sebuah kampanye akan selalu dilaksanakan dengan tahap dan proses yang terperinci. Dengan demikian, implementasi kegiatan kampanye akan terfokus hingga tercapainya hasil yang diharapkan. Tujuan kampanye secara lebih spesifik diuangkapkan oleh McGuire (1981) yaitu “public communication campaigns are designed to manipulate human behaviour by inducing people to do something other than what they are initially inclined to do.” Dalam definisi tersebut, McGuire menekankan kampanye pada tujuan untuk menggerakkan perilaku manusia dan secara spesifik menggunakan kata membujuk (inducing) sebagai upaya komunikasinya. Batasan yang paling lengkap tentang kampanye dikemukakan oleh Rogers dan Storey (1987) yang berpendapat bahwa kampanye merupakan serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu (dalam Venus, 2012:7). Definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi, serta mencakup keseluruhan proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi di lapangan. Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Motivasi yang melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye menentukan ke arah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Larson (1992) membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori berikut (dalam Venus, 2012:11):
5
1) Product oriented campaigns. Merupakan kegiatan kampanye yang berorientasi komersial, seperti peluncuran produk baru, biasanya sekaligus bermuatan kepentingan
untuk
membangun
citra
positif
terhadap
produk
yang
diperkenalkan ke publiknya; 2) Candidate oriented campaigns. Adalah kampanye yang bertujuan untuk memperoleh dukungan politik atas kandidat yang diajukan agar memperoleh kekuasaan politik, seperti kampanye calon presiden dan kepala daerah menjelang Pemilu; dan 3) Ideological or cause oriented campaigns. Biasa juga disebut kampanye sosial (social change campaigns) yaitu kampanye yang berorientasi pada tujuan yang bersifat khusus dan berdimensi sosial atau perubahan sosial. Dalam penelitian ini, kampanye HIV/AIDS yang dilakukan oleh IAC merupakan kampanye yang masuk dalam kategori kampanye sosial. Meskipun memiliki orientasi yang berbeda, kampanye pada dasarnya dilakukan dalam upaya untuk mengubah aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behaviour) masyarakat (Pfau & Parrot, 1993). Ostergaard (2002) menyebut ketiga aspek tersebut dengan istilas 3A, singkatan dari awareness, attitude, dan action (dalam Venus, 2012:10). Pada tahap pertama kegiatan kampanye biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan sehingga mengakibatkan munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau meningkatnya pengetahuan tentang isu tertentu. Tahap berikutnya diarahkan pada perubahan dalam ranah sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye. Sementara tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara konkret dan terukur. Tahap ini menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat sebagai sasaran kampanye. Segala tindakan dalam kegiatan kampanye dilandasi oleh prinsip persuasi yang mengajak dan mendorong publik untuk menerima gagasan tertentu atau melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan. Perloff (1993)
6
mengungkapkan “campaigns generally exemplify persuasion in action” (dalam Venus, 2012:7). Pfau dan Parrot (1993) menyatakan bahwa “campaign are inherently persuasive communication activities”. Dengan demikian kampanye pada dasarnya adalah contoh tindakan persuasi secara nyata. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan setiap aktivitas kampanye selalu melekat dengan kegiatan komunikasi persuasif. Jika dicermati lebih jauh, kampanye merupakan bentuk pemasaran terhadap ide dan gagasan tertentu sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga dalam melaksanakan kampanye, konsep-konsep pemasaran yang berlaku di bidang komersial kiranya dapat pula dimanfaatkan dalam kegiatan kampanye. Pemasaran pada mulanya hanya digunakan untuk tujuan yang berorientasi pada profit. Namun seiring perkembangan zaman, konsep pemasaran mulai digunakan secara meluas untuk kepentingan yang bersifat nirlaba termasuk kampanye publik. Wiebe (dalam Kotler & Roberto, 1989:11) mengatakan semakin banyak kampanye sosial menyerupai kampanye komersial, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilan kampanye tersebut. Kampanye OBS yang menjadi kajian dari penelitian ini merupakan kampanye sosial yang fokus pada bidang kesehatan. Pengaplikasian prinsip pemasaran sosial dalam kampanye sosial bidang kesehatan telah terbukti mendorong keberhasilan kampanye, misalnya kampanye EPODE dalam menanggulangi masalah obesitas pada anak di Perancis (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011) dan kampanye kesehatan tulang (osteoforosis) di Amerika (Lefebvre, 2006). Pemasaran merupakan aktivitas sosial yang persuasif sehingga dapat digunakan selain pada organisasi komersial (Kotler & Roberto, 1989:10). Penerapan prinsip pemasaran dalam ranah sosial inilah yang kemudian dikembangkan sebagai konsep pemasaran sosial. Nasution (1988) mengatakan pemasaran yang diterapkan dalam bidang sosial disebut sebagai pemasaran sosial, dimana hal ini merupakan suatu cara yang didesain untuk memotivasi masyrakat
7
agar dapat mengubah perilaku (yang dianggap kurang menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan) menuju kehidupan yang lebih baik dengan tetap menggunakan prinsip bauran pemasaran (dalam Larasati, 2014). Kotler dan Zaltman dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan konsep pemasaran sosial untuk menjelaskan pengaplikasian prinsip-prinsip pemasaran dalam konteks mencapai tujuan sosial (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Kotler dan Zaltman (1971) mendefinisikan pemasaran sosial sebagai suatu desain, implementasi, dan kontrol dari sebuah program yang dibuat untuk memberikan
pengaruh
terhadap
penerimaan
suatu
ide
sosial
dengan
mempertimbangkan perencanaan produk, harga, komunikasi, distribusi, dan riset pemasaran (dalam Niblett, 2005). Pada konsep ini, pemasaran sosial menekankan pada bagaimana mempengaruhi perilaku target audiens melalui pendekatan 4P: product, price, place, dan promotion. Definisi tersebut terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Andreasen (1995) memberikan pengertian pemasaran sosial dengan menekankan pada aspek perubahan perilaku, “social marketing is application of commercial marketing technologies to the analysis, planning, execution, and evaluation of programs designed to influence the voluntary behavior of target audiens in order to improve their personal welfare and that of their society”(dalam Gordon et. al., 2006). Berdasarkan definisi tersebut Gordon et. al. (2006) menyimpulkan bahwa terdapat empat poin kunci yang dapat menjelaskan tentang konsep pemasaran sosial. Pertama, perubahan perilaku secara sukarela dimana pendekatan dilakukan secara persuasif. Kedua, adanya prinsip pertukaran dimana harus jelas bahwa ada manfaat yang diperoleh dari perubahan perilaku. Ketiga, menggunakan teknik pemasaran yang berorientasi pada target. Keempat, tujuan akhir yang ingin dicapai adalah perubahan perilaku, berbeda dengan keuntungan materil yang ingin dicapai dalam pemasaran pada umumnya. Peattie dan Peattie (2009) menambahkan, manfaat pendekatan pemasaran untuk mencapai perubahan sosial adalah sebagai berikut: (1) Customer
8
orientation. Pemasaran sosial mengadopsi penekanan pemasaran komersial tentang mencari, memahami, merespon, dan berkomunikasi dengan konsumen. Dalam konteks permasalahan sosial, pendekatan yang dilakukan dalam pemasaran juga dilakukan dari sudut pandang kelompok yang perilakunya ingin diubah; (2) Emphasis on behavior maintenance. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemasaran sosial adalah mengubah sikap hingga mengubah perilaku, dan memastikan perilaku baru yang diadopsi akan terus bertahan; (3) Flexibility. Pemasaran sosial dapat diaplikasikan pada stakeholder yang berbeda, misalnya target audiens, regulator, dan para pihak yang terkait; (4) Partnership opportunities. Menangani isu-isu sosial memungkinkan kesempatan untuk menjalin kemitraan dengan pihak lain yang terlibat seperti lembaga pemerintah, LSM, perusahaan, dan komunitas; dan (5) Opportunities to de-market unsustainable behaviors. Perusahaan dan organisasi lain dengan kepentingan dalam status quo terus mempromosikan banyak unsur yang tidak berkelanjutan dalam masyarakat. Misalnya, perusahaan rokok terus memasarkan rokok meskipun telah banyak bukti tentang bahaya merokok. Pemasaran komersial terus berinovasi, hendaknya pemasaran sosial juga tidak tertinggal dan terus mengembangkan metode dan teknik bersaing. Perlu dipahami bahwa hal mendasar dari pemasaran sosial adalah upaya pemanfaatan prinsip pemasaran dalam merancang dan mengkomunikasikan aksi sosial secara lebih efektif dalam mempengaruhi khalayak sehingga menimbulkan respon yang diharapkan. Konsep pemasaran sosial juga merupakan cara yang efektif untuk mempersuasi masyarakat agar secara sukarela mengadopsi perilaku yang baru dalam ranah kesehatan, sehingga kampanye HIV/AIDS yang dilakukan oleh IAC dapat ditinjau dari pendekatan pemasaran sosial. Weinreich (2011:4) menyatakan “social marketing is the use of commercial marketing principles and techniques to promote the adoption of a behavior that will improve the health or well-being of the target audience or of society as awhole.” Inti dari pemasaran sosial adalah sebuah usaha terencana yang dilakukan oleh agen perubahan untuk meyakinkan target adopters agar bersedia untuk menerima, memodifikasi atau meninggalkan ide, sikap, praktek dan perilaku
9
negatif tertentu. Dengan melakukan kampanye perubahan sosial, agen perubahan berusaha untuk merubah perilaku target adopters yang pada tahap tertentu akan menunjukan sebuah perubahan positif seiring dengan semakin banyaknya informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh. Kotler dan Roberto (1989:17) berpendapat bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah kampanye perubahan sosial dipengaruhi oleh beberapa elemen penting, yaitu: 1) Cause adalah sebuah tujuan sosial yang dipercayai oleh agen perubahan dapat memberikan jawaban dalam mengatasi masalah sosial. 2) Change agent atau agen perubahan adalah seseorang atau sebuah organisasi atau aliansi yang berusaha untuk melakukan perubahan sosial melalui sebuah kampanye sosial. 3) Target adopters adalah seseorang atau kelompok atau sejumlah populasi yang menjadi target perubahan oleh para pemasar. 4) Channels ialah jalur komunikasi dan distribusi yang digunakan untuk mempengaruhi dan saling bertukar reaksi antara agen perubahan dengan target adopter-nya. 5) Change strategy adalah arahan dan program yang dilakukan oleh agen perubahan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku target adopter. Pada prinsipnya, konsep pemasaran yang digunakan dalam bidang komersial sama saja dengan pemasaran pada bidang sosial. Jika terdapat perbedaan di sana sini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari adopsi ilmu antarbidang. Hal mendasar yang membedakan pemasaran sosial dengan komersial adalah jenis produk yang ‘dijual’. Pemasaran komersial sudah tentu menawarkan barang dan jasa sebagai komoditas, sedangkan produk pemasaran sosial menurut Kotler dan Roberto (1989) terbagi atas ide sosial, praktek sosial, dan objek berwujud. Ide sosial merupakan gagasan yang muncul karena adanya permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ide ini akan membentuk tiga hal, yaitu kepercayaan (belief), sikap (attitude), dan nilai (value). Sedangkan praktek sosial atau pelatihan sosial pada dasarnya bukan produk sosial, melainkan cara untuk mempromosikan ide sosial yang terbagi menjadi act (aksi,
10
misalnya kampanye perubahan sosial) dan perilaku (behavior). Objek berwujud merpakan produk fisik yang mendukung kampanye sosial. Seringkali praktek pemasaran sosial menjadi lebih sulit dibandingkan dengan pemasaran komersil. Menurut Kotler, Roberto, dan Lee (2002:10) kesulitan tersebut muncul sebagai akibat dari perbedaan karakteristik di antara keduanya. Adapun perbedaan karakteristik pemasaran komersial dan pemasaran sosial dapat dirangkum sebagai berikut: Pemasaran Komersial Produk
Barang dan jasa
Perubahan perilaku
Tujuan
Peningkatan finansial
Peningkatan individu atau sosial.
Segmentasi
Individu/kelompok yang mampu meningkatkan penjualan
Individu/kelompok yang memiliki permasalahan sosial.
Kompetitor
Penyedia barang dan jasa yang sejenis
Perilaku sebelumnya atau perilaku lain yang disukai dan keuntungan yang diperoleh dari perilaku tersebut.
Tabel 1. Sumber: 2.
Pemasaran Sosial
Perbedaan pemasaran komersial dengan pemasaran sosial Diolah dari Kotler, Roberto, dan Lee (2002:10)
Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Kampanye Konsep strategi pada mulanya berasal dari bidang militer yang diadaptasi
ke dalam dunia bisnis dan kemudian meluas ke bidang-bidang lain termasuk komunikasi. Strategi secara umum diartikan sebagai seni dimana melibatkan kemampuan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia secara maksimal dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan komunikasi pemasaran sosial merupakan bentuk komunikasi yang mengakibatkan terjadinya pertukaran pemahaman antara suatu organisasi dengan target audiensnya mengenai isu-isu terkait permasalahan sosial. Maka, secara utuh strategi pemasaran sosial dapat dipahami sebagai seni dalam mengelola sumber daya yang tersedia
untuk
mengkomunikasikan
isu-isu
tertentu
hingga
terciptanya
pemahaman target audiens akan suatu permasalahan sosial. 11
Komunikasi pemasaran menjadi aspek penting dalam keseluruhan misi pemasaran, serta menentukan suksesnya pemasaran. Bahkan telah diklaim bahwa pemasaran di era 1990-an adalah komunikasi dan komunikasi adalah pemasaran, keduanya tidak terpisahkan (Shimp, 2003:4). Perkembangan penting dalam dunia pemasaran menjadi tren dengan munculnya komunikasi pemasaran terpadu (intregrated marketing communication atau IMC) yang menekankan integrasi antara komunikasi dan pemasaran untuk mencapai keberhasilan. Konsep tersebut juga meluas digunakan dalam pemasaran sosial. Peran komunikasi dalam pemasaran sosial dianggap penting dalam menyebarluaskan pesan terkait produk sosial yang ditawarkan. Hoffman, Novak, dan Patrali Chatterjee (2000) mengatakan komunikasi pemasaran sosial memiliki tiga fungsi yaitu untuk menginformasikan, mengingatkan, dan untuk membujuk (dalam Larasati, 2014). Dalam perkembangan bidang pemasaran sosial, dikenal dua aliran pendekatan dalam menciptakan perubahan sosial. Di masa awal kemunculan konsep pemasaran sosial oleh Kotler dan Zaltman (1971) hingga pertengahan 1990-an, sebagian besar pemasaran sosial berfokus pada perubahan perilaku individu atau yang dikenal dengan istilah downstream. Kemudian setelahnya, kajian pemasaran sosial mencoba turut mempengaruhi faktor-faktor yang menciptakan perubahan sosial di level individu seperti pembuat kebijakan, regulator, dan media yang dikenal dengan istilah upstream (Goldberg, 1996; Andreasen, 2006; dalam Gordon 2013). Selanjutnya konsep tersebut dibenarkan oleh Niblett (2005) sebagai upstream strategy dan downstream strategy yang digunakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan dalam pemasaran sosial. Dalam penelitian ini, downstream strategy akan dijadikan kerangka yang menaungi penjabaran strategi kampanye sosial dalam mempengaruhi perubahan sikap di level individu. Sedangkan upstream strategy akan menjadi landasan pemaparan strategi kampanye sosial dalam mempengaruhi para pembuat kebijakan untuk mendukung proses perubahan perilaku individu. Adopsi terhadap konsep ini didasari dengan alasan bahwa dalam kampanye juga dikenal dua pembagian jenis kampanye yang maksud dan tujuannya sama dengan downstream
12
dan upstream pada pemasaran sosial. Coffman (2003:2) membagi kampanye sosial menjadi kampanye perubahan perilaku (individual behavior change campaign) dan kampanye perubahan kebijakan (policy change campaign). Kampanye perubahan perilaku menjadikan individu yang perilakunya ingin dipengaruhi sebagai target kampanye. Sama halnya dengan pemasaran sosial downstream yang secara langsung menyasar individu untuk melakukan perubahan perilaku. Sedangkan sasaran kampanye perubahan kebijakan adalah para pembuat kebijakan atau regulator yang kemudian diharapkan mampu mendorong perubahan perilaku di level individu dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Hal ini senada dengan apa yang menjadi tujuan pemasaran sosial upstream.
a. Downstream Strategy Pemasaran sosial memiliki fokus utama untuk melakukan persuasi terhadap individu agar mengadopsi perilaku yang direkomendasikan, atau dikenal dengan istilah downstream (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Dalam teori perubahan perilaku, diketahui terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perilaku individu. Informasi yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan atau kesadaran tentang pentingnya merubah perilaku atau mengadopsi perilaku tertentu tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Sehingga, kampanye seringkali hanya merupakan proses penyebaran informasi untuk meningkatkan kesadaran atau untuk mempengaruhi aspek lain seperti bagaimana kita berpikir dan bertindak tentang suatu isu. Misalnya, apakah kita memiliki self-efficacy (persepsi) tentang seberapa penting kita melakukan perubahan perilaku, atau persepsi tentang pentingnya perubahan perilaku tersebut dilakukan oleh teman dan keluarga kita, atau keinginan kita untuk melakukan perubahan perilaku (Coffman, 2003:4). Niblett (2005) mendefinisikan downstream sebagai program pemasaran sosial yang secara spesifik dirancang untuk menghasilkan perubahan perilaku individul. Konsep pemasaran yang diaplikasikan secara meluas dalam praktek
13
kampanye sosial adalah konsep 4P, yang terdiri dari product, price, place, dan promotion (Solomon, 1981). Selain empat elemen tersebut, partnership sebagai ‘P’ yang kelima perlu ditambahkan dalam menyusun dan mengimplementasikan kampanye pemasaran sosial (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). 1) Product Produk dalam pemasaran sosial dapat diartikan secara lebih luas daripada produk dalam pemasaran komersial. Bukan hanya sekedar benda berwujud (tangible object), tetapi produk juga dapat berupa benda tidak berwujud (intangible object) seperti ide dan perubahan perilaku. Kotler, Roberto, dan Lee (2002:195) mengatakan bahwa dalam konteks pemasaran sosial produk adalah sesuatu yang dijual, perubahan perilaku yang diinginkan beserta manfaat yang didapat dari perilaku tersebut. Levebfre (2011) menyebut behaviors, products, dan services sebagai produk yang dijual dalam pemasaran sosial. Produk dan service biasanya merupakan pendukung, setelah ide dari perubahan perilaku yang ditawarkan. Misalnya, kondom dibutuhkan untuk pencegahan HIV/AIDS dan kelambu dibutuhkan untuk pengendalian wabah malaria. Namun yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat harus menggunakan produk tersebut dan kemudian mengubah perilaku mereka. Karena produk utama dari pemasaran sosial adalah ide tentang perubahan perilaku (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). 2) Price Pengertian price atau harga dalam pemasaran sosial tidak selalu berkaitan dengan biaya secara finansial. Kotler, Roberto, dan Lee (2002:217) melihat biaya dalam pemasaran sosial dapat berupa moneter maupun nonmoneter. Biaya moneter biasanya dipakai untuk mendapatkan produk tambahan (tangible object) dalam mengadopsi perilaku yang baru. Sedangkan biaya non-moneter merupakan biaya yang tidak nampak tetapi terasa nyata bagi target audiens. Biaya ini termasuk waktu, upaya, dan tenaga untuk menjalankan perilaku, atau dapat pula berupa resiko serta ketidaknyamanan psikologis yang mungkin dialami. Menurut
14
Levebfre dan Flora (1998) harga dalam perspektif pemasaran sosial tidak hanya dari segi material tetapi juga mencakup aspek psikologis, sosial, geografis, serta reward dan punishment bagi perilaku sehari-hari. Tujuan harga pada pemasaran sosial dapat dijelaskan melalui exchange theory. Pertukaran dalam sistem pemasaran didefinisikan sebagai pertukaran barang, jasa, atau sumber daya antara dua pihak atau lebih dengan harapan atas keuntungan dalam memenuhi kebutuhan. Lefebvre dan Flora (1988) menyatakan bahwa pertukaran dapat tercapai melalui beberapa cara, yaitu ancaman, paksaan, perintah, dan sukarela. Pendekatan pemasaran termasuk pemasaran sosial memfasilitasi terjadinya pertukaran secara sukarela. Pemasaran sosial melibatkan penekanan pada perubahan perilaku sukarela dan biasanya pertukaran fisiologis, sosial, atau menfaat tidak berwujud lainnya yang lebih simbolis seperti perbaikan kesehatan dan kesejahteraan (Gordon, 2013). Kotler dan Andreasen mengatakan apa yang didapatkan target audiens akan sama besar atau lebih besar dibanding apa yang mereka berikan (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:217). Jika manfaat dari perubahan perilaku tersebut dinilai lebih besar daripada ‘harga’ yang harus dibayar, maka penerimaan atas perilaku tersebut juga lebih besar (Gordon, 2013). Maka, dalam menentukan harga terdapat dua langkah yang perlu dilakukan. Pertama mengidentifikasi biaya moneter dan non-moneter terkait dengan adopsi perilaku tertentu. Kedua, membangun strategi untuk meminimalisir biaya dan meningkatkan manfaat sebagai upaya untuk “balance the scale” (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:217). 3) Place Dalam pemasaran sosial, place yang dimaksud berbeda dengan media channel sebagai saluran komunikasi. “Place is where and when the target market will perform the desired behavior, acquire any related tangible objects, and receive any associated services” (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:243). Place lebih merujuk pada dimana audiens dapat memperoleh barang atau jasa yang
15
memfasilitasi perubahan perilaku. Place berarti saluran distribusi yang menjadikan produk, layanan, atau ide tersedia bagi kelompok sasaran. Kemampuan social marketers untuk menjamin aksesibilitas barang dan jasa yang mendukung perubahan perilaku menjadi sangat penting. Sebab, permasalahan akses atas barang dan jasa mendukung promosi kesehatan dapat menjadi penghalang antara keinginan untuk memiliki gaya hidup yang lebih sehat dengan kemampuan untuk mewujudkannya (Lefebvre, 2011). Banyak kampanye sosial mengalami kegagalan karena mereka tidak memiliki sistem distribusi pesan dan produk yang memadai (Solomon, 1981). Place dalam pemasaran harus mempertimbangkan: (1) bagaimana membuat produk tersedia dengan nyaman; dan (2) melakukan manajemen terhadap berbagai perantara (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Seiring perkembangan teknologi, konteks place dalam pemasaran sosial turut berkembang. Yang semula hanya berupa tempat tersedianya barang dan jasa yang mendukung kampanye secara fisik, kini juga meliputi place yang tidak memiliki bentuk fisik melalui pemanfaatan internet atau dapat dikatakan sebagai virtual place. Robinson (2010) menyatakan virtual places tidak mengharuskan users mengunjungi lokasi fisik tertentu untuk mengkonsumsi dan membagi informasi
dan
gaya
hidup
sehat
dan
memungkinkan
orang
untuk
mempersonalisasi dan membagi pengetahuan dan ketertarikan atas hal tertentu (dalam Alden, 2011). 4) Promotion Promosi merupakan serangkaian aktivitas yang menimbulkan kesadaran terhadap produk beserta atributnya, atau pengingat bahwa produk tersebut ada. Tugas komunikator adalah untuk memastikan bahwa target audiens mengetahui tentang apa yang ditawarkan, percaya bahwa mereka akan mengalami benefit yang dijanjikan, dan terinspirasi untuk bertindak (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:264). Dari unsur-unsur pemasaran sosial yang ada, promosi adalah yang paling mendapat perhatian lebih dibanding tiga unsur lainnya. Terutama dalam
16
studi komunikasi, unsur promosi memiliki hubungan langsung dengan proses pembuatan pesan kampanye. Pesan inilah yang kemudian memberikan pembeda yang cukup jelas antara pemasaran sosial dan pemasaran komersial. Promosi dalam pemasaran sosial pada intinya terdiri dari proses produksi pesan melalui komunikasi persuasif yang kemudian dilanjutkan dengan memilih saluran komunikasi yang efektif untuk mendistribusikan pesan perubahan sosial yang dimaksud. Kotler, Roberto, dan Lee (2002:265) merumuskan elemen-elemen penting yang dapat memudahkan dalam penyusunan pesan kampanye perubahan sosial yang terdiri dari: (1) key message; (2) target audience; (3) communication objectives; (4) benefit to promise; (5) support to promise; (6) openings; dan (7) positions. Selain memperhatikan aspek pesan, keberhasilan kegiatan promosi juga ditentukan oleh ketepatan media yang digunakan. Adapun pertimbangan utama dalam memilih media promosi adalah: (1) choosing types of media channel; (2) selecting specific media vehicles, dan (3) determining campaign timing (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:292). Perkembangan budaya dan teknologi yang kita alami dalam berkomunikasi seperti kehadiran media sosial, perangkat mobile, dan website interaktif kemudian menggiring kita untuk mengadopsi model komunikasi modern. Inovasi ini juga mendorong kita agar memikirkan cara untuk menjejali target dengan program dan pesan, serta menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bagi mereka untuk terpapar perilaku, produk, jasa, dan komunikasi yang mengarah pada terwujudnya perubahan perilaku (Lefebvre, 2011). Salah satu media promosi alternatif yang semakin banyak digunakan sekarang adalah media sosial. Dahl (2010) menegaskan ketika media saluran tradisional seperti public service announcement, billboards, poster, media berbayar, dan iklan cetak telah digunakan secara luas sebagai media promosi dalam kampanye pemasaran sosial, media sosial menawarkan kesempatan bagi target audiens untuk berpartisipasi aktif dalam membangun dan menyebarkan iklan dan materi promosi lainnya (dalam Alden, 2011).
17
5) Partnership Sebagai ‘P’ yang kelima, partnership memainkan peran signifikan dalam serangkaian kegiatan pemasaran sosial. Seringkali masalah sosial yang ingin diselesaikan melalui pemasaran sosial sangat rumit dan tidak dapat ditangani sendiri, sehingga perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Permasalahan sosial dan kesehatan biasanya menjadi sangat kompleks, oleh karena itu dibutuhkan kemitraan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan isu yang dikampanyekan (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Hal ini penting untuk memudahkan penyampaian pesan yang lebih efektif. Pada dasarnya social marketing adalah strategi menjual gagasan untuk mengubah pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat tentang isu sosial tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak. Partnership merupakan kunci keberhasilan dari hampir semua proyek pemasaran sosial, bahkan lebih penting dari pemasaran komersial (Niblett, 2005). Prinsip pemasaran sosial tidak ada artinya apabila kemitraan tidak dijadikan tujuan organisasi. Menurut Ayadi dan Young (2006), partnership adalah elemen pemasaran sosial yang paling esensial, karena permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan melalui upaya yang terintegrasi dengan beberapa stakeholder (dalam Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). “A partnership is a voluntary collaboration between two or more private sector, non-profit (or government) institutions that has: 1) a written agreement. 2) goal of mutual benefit; 3) resource transfer; and 4) substantive purpose” (AED dalam Niblett, 2005). Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa kemitraan dapat terjalin dengan adanya kesepakatan tertulis, persamaan persepsi terhadap tujuan, dan transfer sumber daya di antara organisasi dengan tujuan yang sama. Pada akhirnya, kemitraan diharapkan dapat saling mendukung pencapaian tujuan. Dalam memilih mitra yang dapat diandalkan, setiap organisasi baik nonprofit maupun privat, harus mempertimbangkan aspek segmentasi pasar, kesamaan visi dan nilai, citra (image) yang baik, serta kesamaan reputasi dan sumber daya yang memadai (Lefebvre, 2006).
18
b. Upstream Strategy Menurut Andreasen (2003), pemasaran sosial bertujuan untuk merubah pengetahuan dan sikap yang pada akhirnya merubah perilaku individu atau kelompok (Gordon, 2013). Kampanye dalam advokasi kebijakan juga ditujukan untuk menciptakan atau mengubah persepsi dan membangun dukungan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan (Cohen dkk., 2010:7). Kampanye dalam advokasi kebijakan dilakukan untuk mengedukasi dan memobilisasi publik atas isu sosial. Aktivitas kampanye bisa dengan mempromosikan isu sosial/kebijakan serta mengorganisasi dan mempromosikan aktivitas advokasi lainnya seperti petisi, demonstrasi, dan aksi turun ke jalan. Upaya mempromosikan berbagai aktivitas berbagai aktivitas tersebut bisa dilakukan melalui berbagai macam cara dan beragam media. Pemasaran sosial tidak hanya mencakup downstream yaitu perubahan perilaku di tingkat individu semata, namun juga upstream yang merupakan perubahan kebijakan kesehatan, legislasi, dan infrastruktur yang menciptakan kondisi dimana komunitas dan populasi mengadopsi perilaku kesehatan (Alden, 2011). Pemasaran sosial upstream masih mencakup perubahan perilaku tetapi menyasar pada pembuat kebijakan, legislatif, regulatif, dan manajemen keputusan yang mempengaruhi individu, kelompok, dan organisasi dalam masyarakat (Hastings & Donovan dalam Gordon, 2013). Tidak ada artinya upaya mengubah perilaku melalui pemasaran sosial apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan upaya mendorong tersusunnya sebuah kebijakan. “Upstream social marketing is used to change policies, laws, regulations, and physical environments in order to facilitate individual behavior change” (Niblett, 2005). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pemasaran sosial upstream bekerja sebagai alat advokasi kebijakan dalam mencapai perubahan sosial di masyarakat. John Hopkins mendefinisikan advokasi sebagi usaha mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasif (dalam Maulana, 2009:75). Pemahaman lebih lengkap tentang advokasi
19
disampaikan oleh Pelletier, et al. (2013) bahwa advokasi merupakan intervensi ke dalam sistem sosial-politik yang kompleks, dinamis dan sangat kontekstual, di mana strategi dan taktik harus disesuaikan secara terus menerus mengingat kondisi yang berubah dengan cepat, reaksi dari aktor dan umpan balik. Upaya advokasi kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas baik yang secara langsung ditujukan kepada pembuat kebijakan, maupun secara tidak langsung. Adapun kegiatan-kegiatan advokasi tersebut menurut Mosley (2006:20) termasuk mengadakan atau berpartisipasi dalam demonstrasi, mengorganisasi anggota komunitas untuk mengambil tindakan terkait isu kebijakan, melobi (mengadakan pertemuan dengan pejabat publik, memberikan testimoni publik), atau menulis surat kepada editor, merilis laporan kebijakan, berpartisipasi dalam koalisi yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan publik, dan mengedukasi publik tentang isu-isu kebijakan. Advokasi memainkan peranan penting dalam menyuarakan kepentingan masyarakat dalam kebijakan kesehatan dan mendorong perubahan (Alden, 2011). Advokasi kesehatan menurut Departemen Kesehatan RI diartikan sebagai advokasi yang dilakukan untuk memperolah komitmen atau dukungan dalam bidang kesehatan, atau yang mendukung pengembangan lingkungan dan perilaku sehat (dalam Basuki & Topobroto, 2007). Chapman (2003) menyatakan tujuan kesehatan masyarakat yang dapat diatasi dengan advokasi antara lain (dalam Basuki & Topobroto, 2007): 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Mengubah “political will” untuk kepentingan kesehatan masyarakat Mengubah “social climate” untuk mendukung kesehatan masyarakat Menerbitkan atau memperbaharui undang-undang atau peraturan Pelaksanaan undang-undang yang seolah-olah tertidur Mengubah alokasi sumberdaya serta pendanaan Mengubah pelaksanaan serta prioritas suatu institusi Meningkatkan pengawasan pelayanan bagi publik Mempercepat modifikasi produk. Perlu diingat bahwa advokasi merupakan suatu strategi, bukan merupakan
tujuan. Setiap advokasi yang dilakukan harus selalu dipertimbangkan dengan
20
cermat tujuannya serta kemudian dievaluasi seberapa jauh sumbangannya terhadap tujuan kesehatan masyarakat yang akan kita atasi permasalahannya. Berarti setiap langkah advokasi harus direncanakan secara rinci dan cermat, sampai akhirnya dicapai tujuan yang diinginkan. Menurut UNFA dan BKKBN (2002), terdapat lima pendekatan utama dalam adavokasi, yaitu melibatkan para pemimpin, bekerja dengan media massa, membangun kemitraan, memobilisasi masa, dan membangun kapasitas. Strategi advokasi yang dapat dilakukan adalah melalui pembentukan koalisi, pengembangan jaringan kerja, pembangunan institusi, pembuatan forum, dan kerjasama bilateral (Maulana, 2009:78) Aktivitas-aktivitas advokasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan tindakan kebijakan sebagai tujuan utama (output) dari upaya advokasi kebijakan. Pada prosesnya, pencapaian tujuan utama ini didukung oleh outcomes yang dihasilkan oleh aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes yang dihasilkan menunjukkan pengaruh dan perubahan sebagai dampak dari aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes berbeda dengan output. Outcomes menunjukkan measures of effect terkait perubahan yang terjadi dalam target populasi atau komunitas sebagai hasil dari advokasi kebijakan, sedangkan output menunjukkan measures of effort terkait apa dan berapa banyak yang dicapai, distribusi, jangkauan advokasi dan output tidak bercerita banyak tentang efek (Coffman, 2002:20-21). Dalam penelitian ini, upstream strategy dalam pemasaran sosial tidak akan sampai pada terbitnya kebijakan sebagai output dari serangkaian kegiatan advokasi. Karena pembahasan terbatas pada kampanye OBS sebagai pendukung kegiatan advokasi IAC, maka pemaparan akan mencakup bagaimana kampanye OBS memperoleh outcome. Coffman (2003:6) berpendapat outcome yang mendukung pencapaian tindakan dan implementasi kebijakan tersebut antara lain koverasi media, kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan dukungan pembuat kebijakan atau political will. Koverasi media menunjukkan pemberitaan terkait isu atau permasalahan sosial oleh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesadaran publik mengacu
21
pada kemampuan publik untuk mengetahui bahwa ada isu atau permasalahan sosial dan usulan kebijakan atas isu tersebut. Dukungan publik atau public will merujuk pada kesediaan publik untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan. Sedangkan dukungan pembuat kebijakan atau political will didefinisikan sebagai kesediaan pembuat kebijakan untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan kebijakan.
3. Konsep Penelitian Pada penelitian ini, peneliti berupaya menggambarkan strategi pemasaran sosial dalam kampanye sosial yang diselenggarakan oleh IAC. Untuk memberikan batasan dan kerangka yang jelas dalam mendeskripsikan temuan di lapangan, dibutuhkan konsep penelitian. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa kampanye sosial merupakan bagian dari pemasaran sosial. Kampanye adalah implementasi dari strategi komunikasi pemasaran sosial yang digunakan. Kampanye sosial dalam konteks penelitian ini adalah aktivitas persusasi yang dilakukan oleh IAC melalui kampanye ODHA Berhak Sehat dalam rangka mewujudkan pemerataan informasi yang benar dan komprehensif seputar HIV/AIDS. Aktivitas ini dilakukan guna mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi tentang HIV/AIDS sehingga tidak lagi menghambat pencegahan dan penanggulangannya. Kampanye tersebut ditujukan kepada beberapa kelompok sasaran, yaitu masyarakat awam, ODHA dan kelompok terdampak, serta jajaran permbuat kebijakan. Kelompok sasaran yang berbeda tersebut membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Strategi kampanye sosial yang digunakan oleh IAC dijelaskan dengan dua konsep pemasaran sosial, yaitu downstream strategy dan upstream strategy yang diadopsi dari Niblett (2005). Downstream strategy akan dijadikan kerangka yang menaungi penjabaran strategi komunikasi pemasaran sosial kampanye IAC dalam mempengaruhi perubahan sikap di level individu, dimana yang menjadi target adalah masyarakat awam, juga ODHA dan kelompok terdampak. Strategi komunikasi pemasaran
22
sosial IAC dalam downstream strategy kemudian dijabarkan melalui beberapa indikator yang dikembangkan dari konsep bauran pemasaran sosial yang terdiri dari ‘4P’ (product, place, price, dan promotion) dan dilengkapi dengan partnership sebagai ‘P’ yang kelima (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Sedangkan upstream strategy akan menjadi landasan pemaparan strategi komunikasi pemasaran sosial kampanye IAC dalam mempengaruhi para pembuat kebijakan. Pembahasan upstream strategy dikembangkan dari pencapaian outcomes dalam mewujudkan kebijakan yaitu koverasi media, kesadaran publik, dukungan publik, dan dukungan pembuat kebijakan (Coffman, 2003:6). Konsep, definisi, dan indikator secara lengkap tampak dalam tabel berikut: Konsep Downstream strategy
Definisi Strategi pemasaran sosial untuk mewujudkan perubahan perilaku pada level individu.
Upstream strategy
Strategi pemasaran sosial untuk mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung perubahan perilaku individu.
Indikator Produk sosial Harga produk sosial Saluran kampanye Kegiatan pendukung kampanye Kemitraan
Koverasi media Dukungan publik Dukungan pembuat kebijakan
Tabel 2. Konsep penelitian Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan Niblett (2005), Henley, Raffin, dan Caemmerer (2011), dan Coffman (2003).
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni penelitian yang
menurut Bodgan dan Taylor (1975) menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang bisa diamatai (dalam Moleong, 2008:4). Jenis penelitian ini adalah deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan strategi pemasaran sosial dalam kampanye sosial. Sedangkan metode yang dipilih adalah metode studi kasus, dengan harapan dapat
23
menjelaskan temuan-temuan di lapangan secara lebih mendalam. Studi kasus dilakukan ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan fenomena (Wimmer & Dominick, 2011:141). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan fenomena kampanye sosial yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan pemasaran sosial. Penelitian ini mengumpulkan informasi terkait bagaimana konsep pemasaran digunakan dalam penyelenggaraan sebuah kampanye sosial. Sebagai sebuah metode, studi kasus terdiri dari beberapa desain penelitian. Stake (1994) menyebutkan tiga jenis studi kasus yakni intrinsic case study, instrumental case study, dan collective case study. Studi kasus intrinsik dipilih ketika peneliti ingin memahami suatu kasus secara mendalam. Sedangkan studi kasus instrumental dilakukan jika sebuah kasus dipelajari untuk memberikan wawasan tentang suatu persoalan dan memungkinkan untuk digeneralisasi. Sementara itu, studi kasus kolektif adalah penelitian dengan jumlah kasus yang banyak. Berdasarkan pembagian tersebut, penelitian ini termasuk dalam studi kasus instrumental, dimana kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen). Artinya, kasus digunakan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman mendalam tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui kasus kampanye HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh IAC, peneliti bermaksud menunjukkan adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari kasus tersebut, yaitu penerapan prinsip-prinsip pemasaran sosial dalam kampanye sosial.
2.
Objek Penelitian Pada penelitian ini, yang menjadi objek adalah Indonesia AIDS Coalition
dengan alamat Jl. Tebet Timur Dalam X D No. 3 Tebet, Jakarta Selatan, 12820.
3.
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu
data primer dan data sekunder. Dengan perbedaan jenis data tersebut, dibutuhkan cara yang berbeda dalam proses pengumpulannya. Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumen.
24
1) Wawancara Teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dalam penelitian ini bersifat tidak terstruktur dan terbuka. Peneliti dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat umum dan hanya akan mencantumkan isu-isu yang harus diteliti tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Proses wawancara ini berkembang menyesuaikan dengan perkembangan pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah antara peneliti dengan informan. Proses menentukan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ayu Oktariani selaku Public Campaign Officer IAC. Kemudian sebagai pelengkap data penelitian, wawancara juga melibatkan informan lain yaitu Bani Risset selaku Program Manager IAC dan Deni Prasetyo sebagai ICT Officer IAC. 2) Observasi Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang dalam penelitian ini dilakukan secara online. Observasi secara online dilakukan melalui pengamatan terhadap media sosial dan website yang dikelola IAC sebagai bagian dari kegiatan komunikasi pemasaran sosial dalam kampanye OBS. 3) Dokumen Dokumen merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian yang tidak pernah dapat ditinggalkan. Dokumen yang digunakan adalah semua data tertulis yang dapat berupa dokumen pribadi maupun dokumen resmi IAC seperti laporan pertanggungjawaban, program kerja, hasil pemeriksaan, surat keputusan, gambar, foto, dan sebagainya yang dapat dijadikan pendukung dalam penelitian.
4.
Teknik Analisis Data Konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi pada penelitian kualitatif
dikembangkan atas dasar kejadian yang diperoleh ketika kegiatan penelitian di lapangan berlangsung (Bungin, 2008:69). Kegiatan pengumpulan data dan proses
25
analisis data menjadi dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan serempak dan berlangsung secara interaktif, seperti yang digambarkan Miles dan Huberman sebagai berikut:
Gambar 1. Sumber:
Analisis data model interaktif Miles dan Huberman dalam Bungin (2008:69)
Masing-masing komponen analisis tersebut secara lebih jelas dapat didefinisikan sebagai berikut : 1) Pengumpulan Data (Data Collection) Berbagai data dikumpulkan melalui hasil wawancara, observasi, dan dokumen yang terkait dengan strategi komunikasi pemasaran sosial kampanye oleh Indonesia AIDS Coalition. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan perbandingan-perbandingan apakah data yang diperoleh dilapangan dapat memperkaya data bagi tujuan konseptualisasi, kategorisasi, ataukah teoritisasi. 2) Reduksi Data (Data Reduction) Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. 3) Penyajian Data (Data Display) Penyajian data dilakukan setelah proses pengumpulan data dan reduksi data dilakukan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
26
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Akan tetapi, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. 4) Penarikan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verifying) Tahap yang terakhir dari teknik analisis ini adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan diambil dari hasil penelitian dan pembahasan yang mempertegas hasil dari temuan dilapangan. Apabila kesimpulan yang dikemukakan didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
5.
Validitas Data Pengujian validitas data sangat penting untuk menjamin kredibilitas hasil
penelitian. Metode triangulasi merupakan salah satu metode yang paling umum dalam uji validitas penelitian kualitatif. Terdapat empat jenis triangulasi (Denzin dalam Patton, 2006:99), yaitu: 1) triangulasi sumber data, menguji konsistensi hasil temuan penelitian dari sumber data yang berbeda didalam metode yang sama; 2) triangulasi pengamat, adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data; 3) triangulasi teori, menggunakan beragam perspektif atau teori dalam menginterpretasikan data; dan 4) triangulasi metode, menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda dalam menguji konsistensi penemuan penelitian yang dihasilkan. Validitas data dalam penelitian ini dilakukan dengan triangulasi sumber data. Peneliti menguji konsistensi data yang diperoleh melalui metode pengumpulan data yang beragam yaitu wawancara, observasi, dan dokumen untuk membantu membangun kredibilitas.
6.
Limitasi Penelitian Limitasi penelitian merupakan batasan-batasan yang harus diberikan
terhadap konteks suatu penelitian. Penelitian ini mendeskripsikan strategi pemasaran sosial dalam sebuah kampanye sosial. Yang menjadi fokus penelitian
27
ini adalah bagaimana Indonesia AIDS Coalition melakukan kampanye sosial dengan dua pendekatan pemasaran sosial, downstream strategy dan upstream strategy. Penelitian ini hanya memaparkan bagaimana strategi pemasaran sosial menjadi dasar bagi organisasi non-profit dalam melakukan kampanye sosial, tetapi tidak menilai sejauh mana keberhasilan atau efektivitas strategi tersebut.
7.
Sistematika Penulisan Peneliti memaparkan strategi pemasaran sosial dalam kampanye sosial
oleh Indonesia AIDS Coalition pada penelitian ini dengan membagi penulisan menjadi empat bab, yaitu: Bab I
: Berisi pendahuluan dan desain penelitian yang mencakup latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, objek penelitian, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. Bab II : Penjelasan mencakup gambaran umum Indonesia AIDS Coalition sebagai penyelenggara kampanye beserta instrumen pendukung kampanye ODHA Berhak Sehat lainnya. Bab III : Peneliti memaparkan temuan di lapangan serta analisis data. Pembahasan strategi pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dijelaskan secara lengkap pada bagian ini. Bab IV : Peneliti membuat kesimpulan akhir dari penelitian untuk selanjutnya dijadikan dasar dalam mengajukan saran. Setelah itu, peneliti juga memberikan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.
28