CLIENT-CENTERED COUNSELING DALAM MENGUATKAN KONDISI PSIKOLOGIS PARA PENDERITA HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang)
SKRIPSI Diajukan pada Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom, I)
Oleh: WULANSARI NIM : 123400161
FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH DAN ADAB INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI “SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN 2016 M/ 1437 H
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Konseling Islam dan diajukan pada Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten ini sepenuhnya asli merupakan karya tulis ilmiyah saya pribadi. Adapun tulisan maupun pendapat orang lain yang terdapat dalam skripsi ini telah saya sebutkan kutipannya dengan jelas dan sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku di bidang penulisan karya ilmiyah. Apabila kemudian hari terbukti bahwa sebagian atau seluruh skripsi ini merupakan hasil perbuatan plagiatisme atau mencontek karya tulis orang lain, saya bersedia untuk menerima sanksi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang saya terima ataupun sanksi akademik yang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Serang, 11 Februari 2016
Wulansari NIM : 123400161
i
ABSTRAK Nama: Wulansari, NIM: 123400161, Judul Skripsi: Client Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang), Jurusan: Bimbingan dan Konseling Islam, Fakultas: Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Tahun 2016 Odha merupakan sebutan bagi penderita HIV/AIDS baik baru terinfeksi HIV maupun sudah memasuki fase AIDS. Berdasarkan catatan di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, untuk tahun 2015 telah tercatat 101 pasien yang positif mengidap HIV dengan jumlah 53 untuk laki-laki dan 48 untuk perempuan, dari golongan usia 5-49 tahun. Dari jumlah pasien yang HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka melakukan kunjungan sebanyak 5012, 1461 untuk laki-laki dan 3551 untuk perempuan. Sebagai pendamping Odha Klinik Teratai juga bertujuan untuk menemukan kasus HIV yang baru karena semakin cepat ditemukan maka akan semakin cepat untuk melakukan penanganan sehingga bisa menjaga kesehatan Odha. Adapun prinsip dari Klinik Teratai yaitu menyediakan tempat jasa pelayanan untuk orang yang perilakunya beresiko tertular HIV dan orang yang sudah positif terinfeksi HIV. Untuk mengetahui seseorang terinfeksi HIV/AIDS adalah mengikuti tes yag sering disebut dengan VCT. Klinik Teratai menyediakan layanan Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan tes HIV secara sukarela yaitu dukungan layanan bagi mereka yang merasa beresiko dan menginginkan pemeriksaan HIV. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. 2) Mengetahui penguatan kondisi psikologis penderita ODHA dengan penerapan metode Client-Centered Counseling. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara sebagai pengumpulan data dan observasi sebagai penunjang. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pertama-tama membaca kembali keseluruhan teks yang ada sambil meringkas dan menghilangkan duplikasiduplikasi. Dilanjutkan dengan membuat pengkodean (coding) atau klasifikasi. Hasil koding ini akan menelorkan pola-pola umum atau tema-tema. Kesimpulan penelitian ini: pertama, dalam pelaksanaan VCT adalah pemberian informasi terkait HIV/AIDS. Konselor HIV mendampingi klien sejak pertama akan dites sampai klien mendapatkan hasil tesnya. Hubungan konselor HIV dengan klien bisa berlanjut apabila klien masih membutuhkan bimbingan atau konseling dari konselor. Kedua, upaya yang dilakukan konselor dalam menguatkan kondisi psikologis Odha adalah menjaga kualitas teknik dan etika konseling serta melakukan pendampingan pada proses perubahan prilaku yang dilakukan Odha. Client-Centered Counseling dalam terapi untuk Odha yaitu lebih kepada informasi-informasi signifikan yang diberikan konselor kepada klien sesuai dengan kebutuhannya, karena dalam Client-Centered Counseling pemaknaan pemberian informasi akan menambah wawasan pengetahuan Odha untuk melakukan tindakan. Kata kunci: Odha, Voluntary Counseling and Testing, dan Client-Centered Counseling
ii
ABSTRACT Name: Wulansari, NIM: 123400161, Thesis Title: Client Centered Counseling for the Strengthening Conditions Psychological People with HIV / AIDS (Case Study in Clinical Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang), Department of: Guidance And Counseling Islam, Faculty: Ushuluddin, Da'wah and Adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 2016 HIV-positive people is a term commonly used to describe to people suffering from HIV / AIDS both newly infected with HIV and AIDS has entered phase. According to records at the Clinic Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang, for the year 2015 has recorded 101 HIV-positive patients with a number of 53 for men and 48 for women, from age group 5-49 years. Of the number of patients who are HIV positive, in the past year they visited as many as 5012, in 1461 for men and 3551 for women. As a companion of people with HIV Clinic Teratai also aims to find new HIV cases as quickly found the faster to handling so that it can maintain the health of people with HIV. The principle of Teratai Clinic is providing a service for people who behavior risk of contracting HIV and people who are already HIV positive. To know someone is infected with HIV / AIDS is to take the test yag often called VCT. Clinic Teratai provide Voluntary Counseling and Testing services or counseling and voluntary HIV testing services that support for those who feel at risk and want HIV testing. The results of the research are: 1) Knowing the implementation of Voluntary Counseling and Testing (VCT) or counseling and voluntary HIV testing. 2) Determine the strengthening of the psychological condition of people living with HIV patients with the adoption of Client-Centered Counseling. The research methodology used was a qualitative study using the interview as material collection and observation as a supporter. The collected material were then analyzed by first reading the entire text of existing back while summarizing and eliminate duplication. Followed by making coding or classification. The results of this coding will be instituted for common patterns or themes. From the material obtained that the counselor's role in the implementation of VCT is the provision of information related to HIV / AIDS. A counselor assisting clients since HIV is the first to be tested until the client gets the test results. HIV counselor relationship with the client could continue if the client still need guidance or counseling from a counselor. And the efforts of the counselor is to maintain the quality of engineering and ethics counseling and guidance on the process of behavioral change that made people living with HIV. Client-Centered Counseling in therapy for people with HIV are more significant to the information provided counselor to clients according to their needs, because in Client-Centered Counseling meaning of the provision of information will broaden knowledge of HIV-positive people to take action. Keywords: AIDS, Voluntary Counseling And Testing, and Client-Centered Counseling
iii
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH DAN ADAB INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) “SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN Nomor Lampiran Hal
: Nota Dinas : Skripsi : Pengajuan Ujian Munaqasah
Kepada Yth Dekan Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN “SMH” Banten Di Serang
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dipermaklumkan dengan hormat, bahwa setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudari Wulansari, NIM: 123400161, yang berjudul Client Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis Para Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang). Telah diajukan sebagai salah satu syarat untuk melengkapi ujian munaqasah pada Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Institut Agama Islam Negeri “SMH” Banten, maka kami ajukan skripsi ini dengan harapan dapat segera dimunaqasahkan. Demikian, atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Serang, 11 Februari 2016 Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum NIP : 19760704 200004 1 002
AM. Fahrurozi, M. A NIP : 19750604 200604 1 001
iv
CLIENT-CENTERED COUNSELING DALAM MENGUATKAN KONDISI PSIKOLOGIS PARA PENDERITA HIV/AIDS
(Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang)
Oleh:
WULANSARI NIM : 123400161
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum NIP : 19760704 200004 1 002
AM. Fahrurozi, M. A NIP : 19750604 200604 1 001 Mengetahui,
Dekan Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab
Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam
Prof.Dr. H. Udi Mufrodi Mawardi, Lc. M.Ag NIP : 19610209 199403 1 001
Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum NIP : 19760704 200004 1 002 v
PENGESAHAN Skripsi WULANSARI, NIM: 123400161 yang berjudul Client Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang) telah diujikan dalam sidang munaqasah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten. Pada hari Rabu tanggal 14 April 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri “SMH” Banten. Serang, 14 April 2016 Sidang Munaqosah, Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
H. Agus Sukirno, M.Pd NIP : 19730328 201101 1 001
Hj. Azizah Alawiyah, B.Ed., M.A NIP : 19771215 201101 1 001 Anggota
Penguji I
Penguji II
Mohamad Rohman, M. Ag NIP : 19741111 200312 1 003
Lalu Turjiman Ahmad, M.A NIP : 19820911 200912 1 005
Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum NIP : 19760704 200004 1 002
AM. Fahrurozi, M. A NIP : 19750604 200604 1 001
vi
PERSEMBAHAN
“Alhamdulillah, sekecil tanda baktiku ini kuharapkan
membawa kebahagiaan yang mendalam pada keluargaku. Skripsi ini ku hadiahkan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Sukta yang tak pernah lelah memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, ibunda Akah yang senantiasa melantunan do’anya untukku, kalian adalah guru pertama dihidupku. Kakakku Iin Indah Fajarwati, adikadikku Angga Murodatullah, dan Rahma Hidayani yang selalu membakar semangatku. Sahabat-sahabat tercinta yang senantiasa menemaniku namun tak bisa ku sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan dan segala perngorbanannya dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal dan selalu mendapatkan keridhaan-Nya. Amin”.
vii
MOTTO
“Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?” (QS: Ar-Rahman 13)
Di belakangku ada kekuatan tak terbatas Di depanku ada kemungkinan tak berakhir Di sekelilingku ada kesempatan tak terhitung Mengapa aku harus takut? (Stella Stuart)
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Wulansari,
lahir pada tanggal 07
November 1994 di Ciomas Serang Banten, tepatnya di Jl. Raya Pasar Ciomas, Desa Cisitu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Jenjang Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Siketug 1 kecamatan Ciomas, lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan ke MTs Negeri Model Padarincang kecamatan Padarincang lulus pada tahun 2009. Untuk sekolah menengah penulis melanjutkan ke Madrasah Al-Hidayah Cilongkrang kecamatan Ciomas lulus pada tahun 2012. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten pada Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi tenaga pengajar disalah satu SMP Terbuka tepatnya di Kampung Peuteuy, Desa Ujung Tebu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, yang diberi nama SMP Cahaya Ilmu. Penulis dipercaya memegang mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VII, VIII, dan IX.
ix
KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya kepada segenap makhluk-Nya, sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman. Dengan kasih sayang Allah SWT dan usaha yang sungguhsungguh, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ClientCentered
Counseling
dalam
Menguatkan
Kondisi
Psikologis
Penderita HIV/AIDS” (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang). Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M. A, selaku Rektor IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk bergabung dan belajar di lingkungan IAIN “SMH” Banten. 2. Bapak Prof. Dr. H. Udi Mufradi Mawardi, Lc., M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri
“Sultan
Maulana
Hasanuddin”
Banten
yang
telah
mendorong penyelesaian studi dan skripsi penulis. 3. Bapak Ahmad Fadhil, Lc., M. Hum selaku Ketua Jurusan dan Bapak Agus Sukirno M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
x
4. Bapak Ahmad Fadhil, Lc., M. Hum selaku pembimbing I dan Bapak AM. Fahrurozi, M.A selaku pembimbing II, yang telah membimbing penulis dengan sepenuh hati sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, terutama yang telah mengajar dan mendidik penulis selama kuliah di IAIN “SMH” Banten. Pengurus Perpustakaan Umum, Iran Corner serta staf Akademik, yang telah memberikan bekal pengetahuan selama penulis kuliah di IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten. 6. Bapak Tb. Sake Pramawisakti, S.Psi selaku konselor di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara yang telah banyak membantu dalam penggarapan skripsi ini. Ibu Nita Stela selaku staf di Klinik Teratai, Mpo Yana, Bang Awan dan Bapak Iqin yang telah memberikan bantuan informasi dalam proses penelitian. Serta para Odha yang telah memberikan keramahan dan keterbukaan selama wawancara. 7. Keluarga, sahabat serta rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang selalu menemani dan telah banyak memberikan motivasi selama menyusun skripsi. Harapan penulis semoga seluruh bantuan yang berupa moril dan materil kepada penulis menjadi amal shaleh serta mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Serang, 11 Februari 2016
Penulis xi
DAFTAR ISI PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................
i
ABSTRAK ............................................................................................
ii
NOTA DINAS .......................................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN MUNAQOSAH .....................................
v
PENGESAHAN ....................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .................................................................................
vii
MOTTO .................................................................................................
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................
ix
KATA PENGANTAR ..........................................................................
x
DAFTAR ISI .........................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ................................................................................
xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................
4
C. Tujuan Penelitian .............................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...........................................................
5
E. Studi Pustaka ....................................................................
5
F. Kerangka Pemikiran .........................................................
7
G. Metode penelitian .............................................................
14
H. Sistematika Pembahasan ..................................................
17
PROFIL
KLINIK
VCT
TERATAI
RSUD
DR
DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG A. Sejarah Klinik VCT Teratai RSUD Dr Dradjat Prawiranegara Serang ...................................................... xii
19
B. Tujuan
Klinik
Teratai
RSUD
Dr.
Dradjat
Prawiranegara Serang ......................................................
20
C. Profil Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang ..............................................................................
21
D. Model-Model Pelayanan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara......................................................
24
E. Profil Konselor dan Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang ........................
32
BAB III VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING DI KLINIK VCT TERATAI RSUD DR. DRADJAT RAWIRANEGARA A. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara......................................................
35
B. Prosedur Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau Konseling dan Tes HIV Secara Sukarela ................. C. Peran
konselor
dalam
pelaksanaan
40
Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. ........................................................
44
BAB IV PENGUATAN KONDISI PSIKOLOGIS PENDERITA ODHA DI KLINIK VCT TERATAI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA A. Kondisi Psikologis Penderita Odha di Klinik Teratai ......
58
B. Upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis penderita Odha dengan penerapan metode ClientCentered Counseling. .......................................................
xiii
63
C. Evaluasi konseling untuk Odha ....................................... BAB V
75
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................
81
B. Saran-saran .......................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
DAFTAR BAGAN, TABEL, DAN GAMBAR
Bagan I
Bayi terinfeksi HIV ......................................................
Bagan II
Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat
30
Prawiranegara ...............................................................
34
Tabel
Kunjungan Pasien tahun 2015 ......................................
39
Bagan III
Konseling Tes secara Sukarela .....................................
57
Gambar
Spiral Tahapan Perubahan Perilaku ..............................
65
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Odha merupakan istilah bagi orang yang menderita HIV/AIDS. Baik yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) maupun yang sudah mencapai fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pada orang yang tidak tertular HIV, berbagai jenis penyakit bisa ditangkal karena tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik yang akan menghasilkan antibodi untuk melumpuhkan setiap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. HIV menggandakan diri pada sel-sel darah putih yang dijadikan “pabrik” oleh HIV rusak sehingga sistem kekebalan tubuh berkurang dan lama kelamaan akan melemah. Akibatnya berbagai kuman, virus atau penyakit akan semakin mudah menyerang
tubuh,
bahkan
penyakit
yang
seharusnya
tidak
menimbulkan gangguan jika terjadi pada orang yang tidak mengidap HIV/AIDS, akan menyebabkan gangguan yang cukup berarti bagi Odha.1 Tes HIV merupakan “pintu masuk” yang terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Setelah sekian lama ketersediaan tes antibodi HIV di Indonesia, dan dengan peningkatan cakupan tes HIV di Indonesia ternyata masih juga belum cukup menjangkau masyarakat untuk mengetahui status HIV mereka. Tes dan Konseling HIV akan mendorong seseorang dan pasangan
1
Syaiful W. Harahap, dkk, Info HIV/AIDS, Media Relations Office (September, 01, 2011),p. 2.
1
2
untuk mengambil langkah pencegahan penularan infeksi HIV.2 Kegiatan bimbingan dan konseling dengan konselor sebagai pemandu, tidak hanya dibutuhkan dan dikenal hanya untuk orangorang dalam ruang lingkup pendidikan, akan tetapi Odha pun sangat membutuhkan panduan dari seorang konselor. Selain perawatan medis yang mereka terima, Odha pun membutuhkan sosok yang bisa diajak berkeluh kesah. RSUD dr. Dradjat Prawiranegara yang terletak di Serang Banten, sejak tahun 2006 menyediakan jasa pelayanan tes dan konseling (sukarela) atau Voluntary Counseling and Testing disingkat VCT untuk orang-orang yang prilakunya berisiko tertular HIV. Untuk tahun 2014 di Klinik Teratai telah tercatat 111 pasien yang positif mengidap HIV dengan jumlah 62 untuk laki-laki dan 49 untuk perempuan, dari golongan usia 5-49 tahun. Dari jumlah pasien yang HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka melakukan kunjungan sebanyak 4839, 1189 untuk laki-laki dan 3653 untuk perempuan. Menurut Sake Pramawisari,
yang merupakan konselor di
Klinik Teratai, bahwa upaya seorang konselor untuk Odha salah satunya adalah konseling dan tes HIV secara sukarela atau Voluntary Counseling and Testing (VCT). Sake pun menyebutkan salah satu teknik konseling yang digunakan untuk konseling ini adalah client centered counseling atau konseling terpusat pada klien.3 Berbagai reaksi muncul ketika seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Kecemasan, takut, mencoba menyangkal, menyesal, 2
Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan AIDS (Jakarta: Depkes RI 2013), p. 11. 3 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
3
bingung apa yang akan dilakukan, bahkan kehilangan tujuan untuk hidup. Kenyataan bahwa penyakit tersebut telah ditemukan obatnya yaitu obat Antiretroviral namun tidak menyembuhkan, membuat Odha semakin takut bahwa kematian akan segera menjemput. Odha beranggapan bahwa penyakit tersebut adalah “surat perjanjian kematian” dari Tuhan. Sehingga tidak ada lagi semangat untuk menjalani kehidupan bahkan mencoba bunuh diri. Hal ini cukup beralasan, menurut salah satu pasien Odha di Klinik Teratai dengan nama yang berinisial A, umur 34 tahun. Dia bercerita bahwa sebelum didiagnosis HIV A menyalahgunakan narkoba menjadi suatu hobi dengan menggunakan alat suntik yang bergantian dengan temannya. Suatu hari A terkena diare dan tak kunjung sembuh. Ketika A mencoba memeriksa kesalah satu puskesmas terdekat, A dirujuk ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara untuk dites darah. Hasil tes darah tersebut membuat A takut, tidak percaya, cemas bahkan ingin mencoba
mengakhiri
hidupnya
dengan
alasan
tidak
sanggup
menanggung penyakit yang tidak bisa disembuhkan seumur hidup.4 Odha selain dihadapkan pada permasalahan HIV/AIDS itu sendiri, diapun harus menerima respon masyarakat yang beraneka ragam. Diskriminasi bahkan stigma masyarakat bahwa penyakit tersebut adalah penyakit balasan dari Tuhan. Masyarakat beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS identik dengan pekerja seks, pengguna narkoba, seks bebas dan homoseksual. Padahal korban dari penyakit ini sebagian orang-orang yang tidak bersalah. Mereka tertular
dari
transfusi darah, ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya, dan anak 4
Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015.
4
kecil yang tertular dari ibunya. Namun sulit untuk menghilangkan diskriminasi dan stigma dari masyarakat untuk para Odha. Menurut Sake, terapi yang sesuai dengan untuk Odha adalah Client Centered Counseling, karena terapi ini fokus terhadap klien jadi klien dapat memutuskan sendiri hal apa yang akan dia pilih. Posisi konselor hanya sebagai pemandu dan tidak mengatur apa yang seharusnya klien pilih. Sake pun menambahkan seorang konselor harus mampu menerima klien dengan tangan terbuka dan tanpa adanya diskriminasi. Rogers berpendapat bahwa ada sikap-sikap tertentu pada pihak terapis (ketulusan, kehangatan, penerimaan yang nonposesif, dan empati yang akurat) yang membentuk kondisi-kondisi yang diperlukan dan memadai bagi keefektifan terapeutik pada klien.5 Tujuan dari penelitian ini bukan terfokus pada pengobatan untuk Odha, tetapi lebih kepada mendeskripsikan peran konselor untuk pemberian informasi dalam pelaksanaan VCT dan upaya yang dilakukan konselor untuk menguatkan mental para Odha.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara? 2. Bagaimana penguatan kondisi psikologis penderita Odha di klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara dengan penerapan metode Client-Centered Counseling?
5
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT Refika Aditama 2013), p.93.
5
C. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengetahui pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. 2. Mengetahui penguatan kondisi psikologis penderita ODHA dengan penerapan metode Client-Centered Counseling.
D. Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini dilakukan bermanfaat untuk 1. Manfaat Teoritis Penelitian
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
untuk
pengembangan Bimbingan dan Konseling Islam, khususnya memambah pengetahuan terhadap calon konselor, lebih khusus terkait dengan AIDS karena umat islam banyak yang perilakunya beresiko dan mengidap HIV/AIDS. 2. Manfaat Praktis Memberikan informasi tambahan bagi penelitian-penelitian di masa akan datang serta memberikan gambaran utuh tentang kualitas dan kualifikasi konselor.
E. Studi Pustaka Banyak
literatur
yang
membahas
mengenai
penderita
HIV/AIDS, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Namun sepengetahuan penulis belum ada yang secara spesifik membahas tentang peran serta upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis penderita HIV/AIDS. Akan tetapi ada pembahasan tentang penderita HIV/AIDS yang bisa dijadikan rujukan serta
6
perbandingan penulis dalam menyusun skripsi ini. Literatur yang terkait yang ditemukan penulis di antaranya, skripsi yang berjudul “Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada Konseling HIV/AIDS”,6 ditulis oleh Agung Prambudi Himawan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2010. Penelitian ini menggambarkan efektifitas komunikasi interpersonal yang terjadi dalam pelayanan konseling, antara konselor dan pasien pada proses konseling di bagian VCT Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto. Skripsi yang berjudul “Hubungan Konseling VCT dan Dukungan Sosial dari Kelompok Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support”,7 ditulis oleh
Rihaliza mahasiswa Universitas Andalas Fakultas
Kedokteran jurusan Ilmu Keperawatan tahun 2010. Skripsi ini membahas terdapatnya hubungan yang signifikan antara konseling VCT dan dukugan sosial dari dukungan kelompok dukungan sebaya dengan kejadian depresi pada pasien HIV/AIDS. Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Prilaku Pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga Harapan RSUD Banyumas”,8 ditulis oleh Hestri Sumarlin mahasiswa Agung Prambudi Himawan, “Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada Konseling HIV/AIDS”, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu komunikasi (2010), 29 Mei 2015. 7 Rihaliza, “Hubungan Konselng VCT dan Dukungan Sosial dari Kelompok Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support”, Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Kedokteran jurusan Ilmu Keperawatan (2010). 29 Mei 2015 8 Hestri Sumalin, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga Harapan RSUD Banyumas”, Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan jurusan Keperawatan (2013), 29 Mei 2015 6
7
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Purwokerto jurusan Keperawatan tahun 2013, yang membahas perlunya perubahan prilaku pada pasien penderita HIV/AIDS berupa prilaku pencegahan penularan HIV/AIDS, agar tidak terjadi peningkatan kejadian HIV/AIDS. Faktor dukungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh pada perubahan prilaku HIV/AIDS. Berangkat dari penelitian di atas yang hanya meneliti dari sisi penderitanya, maka penulis ingin memfokuskan penelitian terhadap peran serta upaya konselor di Klinik VCT Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang.
F. Kerangka Pemikiran 1. Pengertian HIV dan AIDS HIV atau Human Immunodeficiency Virus. HIV menyerang selsel darah putih yang merupakan bagian penting dalam sistem kekebalan tubuh. HIV membunuh satu jenis sel darah putih yang disebut sel CD4 (Cluster of Differentiation 4) yakni anggota sel darah putih yang disebut limfosit. Sel ini adalah bagian penting dari sistem kekebalan tubuh, dan jika ada jumlahnya yang kurang, sistem tersebut menjadi terlalu lemah untuk melawan infeksi. HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak` sel tersebut, dan kemudian menjadikannya ‘pabrik’ yang membuat miliaran tiruan virus. Ketika proses tersebut selesai, tiruan HIV itu meninggalkan sel dan masuk ke sel CD4 yang lain. Sel yang ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini hancur, maka sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
8
tubuh kita dari serangan penyakit, keadaan ini membuat kita mudah terserang berbagai penyakit.9 Jika jumlah CD4 turun dibawah 200, ini menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh kita sangat lemah, tubuh kita tidak dapat lagi membunuh kuman penyebab penyakit. Kuman ini sangat umum ditubuh kita, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit, karena dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat. karena kuman tersebut memanfaatkan kesempatan (oportunity) yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh yang rusak, penyakit yang disebabkannya disebut Infeksi Oportunistik (IO). ini berarti sudah sampai pada masa AIDS.10 Acquired Immune Deficiency Syndrome atau disingkat AIDS. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh selama lima hingga sepuluh tahun lebih. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya.11Infeksi Oportunistik disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit. Penyakit yang muncul dapat mempengaruhi berbagai bagian tubuh kita, termasuk kulit, paru, mata, dan otak. Beberapa jenis kanker juga dapat diakibatkan oleh infeksi oportunistik. 12
9
Suzana Murni, et al, Hidup Dengan HIV (Jakarta: Yayasan Spiritia 2013),
p. 8. 10
Murni, Hidup Dengan HIV..., p 11. Murni, Hidup Dengan HIV..., p 7. 12 Murni, Hidup Dengan HIV..., p 10. 11
9
2. Penularan HIV HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu, yaitu darah, air mani (cairan, bukan sperma), cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Kegiatan yang dapat menularkan
HIV
adalah,
hubungan
seks
tidak
aman/tanpa
kondom/berganti-ganti pasangan, penggunaan jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril secara bergantian, tindakan medis yang memakai peralatan yang tidak steril (misalnya peralatan dokter gigi), penerimaan transfusi darah yang mengandung HIV, ibu HIV-positif pada bayi yang dikandungnya, waktu dalam kandungan, ketika melahirkan atau menyusui. HIV
tidak
menular
melalui,
bersentuhan,
berciuman
(bersalaman dan berpelukan), peralatan makan dan minum, penggunaan kamar mandi, berenang dikolam renang, gigitan nyamuk, tinggal serumah bersama Odha.13
3. Sekilas Tentang Tes HIV Tes awal ini sering dilakukan dengan cara yang sederhana, dengan
memakai alat yang disebut dipstik. Jika hasil tes pertama
positif, darah kita biasanya dites sekali atau dua kali lagi dengan alat yang lebih canggih sebagai konfirmasi. Tes ini biasanya dilakukan dengan alat yang disebut ELISA. Jika tes pertama dilakukan dengan ELISA, tes kedua dan ketiga (jika perlu) harus pakai reagen (alat kimia) yang berbeda. Syarat untuk tes HIV yaitu, tes harus dilakukan sepengetahuan dan dengan izin klien, klien juga harus paham mengenai HIVAIDS 13
Chris W. Green, HIV & TB (Jakarta: Yayasan Spiritia 2006), p. 5-9.
10
sebelum tes dilaksanakan konseling diberikan kepada klien sebelum tes untuk membantunya membuat pertimbangan yang bijaksana sebelum memutuskan: mau dites atau tidak, tes HIV harus dirahasiakan oleh dokter dan konselor hasilnya tidak boleh dibocorkan kepada orang lain kecuali oleh klien sendiri, dan setelah tes, konseling harus diberikan lagi agar klien dapat memahami hasil tes dan untuk membantu klien menyusun rencana serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil tesnya. Adapun kegiatan konseling dilakukan dengan berbincangbincang antara konselor dengan klien. Klien akan mendapatkan pengetahuan mengenai HIV dan AIDS. Klien bisa menceritakan permasalahan yang kita hadapi. Konselor akan membantu untuk mencari jalan keluar atau membantu menentukan keputusan, dalam hal ini tentang HIV/AIDS. Konseling sifatnya menjelaskan pilihan klien. Orang yang memberikan konseling tidak boleh memaksakan kehendak atau nilai-nilai pribadinya pada klien. Dalam konseling, kerahasiaan klien harus dijunjung tinggi.14 4. Teori “Client-Centered Counseling” Carl Rogers Rogers
memandang
kesehatan
mental
sebagai
proses
perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, sebagai penyimpangan dari kecenderungan alam. Teori Rogers berdasarkan pada satu “daya hidup” yang dia sebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat diartikan sebagai
14
12-14.
Suzana Murni, et al, Pasien Berdaya (Jakarta: Yayasan Spiritia 2003), p.
11
motivasi yang menyatu dalam setiap diri makhluk hidup yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi-potensinya sebaik mungkin.15 a. Konstruk (Aspek-Aspek) Kepribadian Jurang yang memisahkan antara diri riil dengan diri ideal, antara “saya sebagai adanya” dengan “saya sebagaimana yang seharusnya” disebut ketidaksebidangan. Semakin lebar jarak antara keduanya, semakin besar pula ketidaksebidangan ini. Semakin besar ketidaksebidangan ini, semakin besar pula tekanan dan penderitaan yang dirasakan. Ketidaksebidangan inilah yang sesungguhnya disebut Rogers sebagai neurosis, yaitu ketidakselarasan dengan diri sendiri.16 Hubungan antara “real self” dengan “ideal self” terjadi dalam dua kemungkinan yaitu “congruence” atau “incongruence. Contoh yang inkongruence: anda mungkin meyakini bahwa secara akademik anda seorang yang cerdas “ideal self”, namun ternyata nilai-nilai yang anda peroleh sebaliknya “real self”. b. Peran dan Fungsi Konselor pada Client-Centered Counseling Hubungan konselor-klien sangat penting. Kualitas konselor seperti
kehangatan,
empati,
kepedulian,
dan
kemampuan
mengkomunikasikan sikap-sikap tersebut sangat ditekankan pada pendekatan ini.17Sikap konselor inilah yang memfasilitasi perubahan pada diri klien. Konselor menjadikan dirinya sebagai instrumen perubahan. Konselor bertindak sebagai fasilitator dan mengutamakan
15 George C. Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia (Yogyakarta: Prismasophie 2010), p. 288-289 16 Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia..., p. 292-293 17 Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik (Jakarta: Prenada Media Group 2011), p. 62.
12
kesabaran dalam proses konselingnya. Seperti yang dikatakan Perez dalam buku Muhammad Surya yang berjudul Psikologi Konseling, “temuan penelitian menunjukan bahwa pengalaman, orientasi teoritis dan teknik yang digunakan bukanlah penentu utama bagi kefektifan seorang terapis, akan tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidikan dan pelatihannya sebagai kriteria dalam evaluasi keefektifannya. Beberapa karakteristik kualitas kepribadian konselor yang terkait dengan kefektifan konseling yaitu, pengetahuan mengenal diri sendiri
(self-knowledge),
kompetensi
(competence),
kesehatan
psikologis yang baik, dapat dipercaya (trustworthtness), kejujuran (Honest), kekuatan atau daya (Strength), kehangatan (warmth), pendengar yang aktif (Active Responsiveness), kesabaran, kepekaan (sensitivity).18 Dari definisi yang dikemukakan oleh Baruth dan Robinson dalam buku Lubis yang berjudul memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik bahwa peran adalah apa yang diharapkan dari posisi
yang dijalani seorang konselor dan persepsi dari orang lain terhadap posisi konselor tersebut.19Peran konselor meliputi, untuk mencapai sasaran intrapersonal dan interpersonal, mengatasi divisit pribadi dan kesulitan perkembangan, membuat keputusan dan memikirkan rencana tindakan untuk perubahan dari pertumbuhan, dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.20
18
Muhammad Surya, Psikologi Konseling (Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy 2003), p. 57-66. 19 Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik..., 31. 20 Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik..., 33.
13
c. Tujuan Client-Centered Counseling Terapis dalam Client-Centered Counseling berfungsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan membantu klien dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan
masalah-masalah.
Pendekatan
Client-Centered
Counseling menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.21 Melalui teprapi client centered ini diharapkan klien yang mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai tujuan terapi yaitu: keterbukaan pada pengalaman, kepercayaan terhadap diri sendiri, menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku dan bersikap lebih matang dan teraktualisasi.22 d. Teknik-Teknik Client-Centered Counseling Rogers mengajukan tiga kondisi utama yang akan memudahkan perkembangan
pribadi
klien
yaitu,
Empati
(empathy)
adalah
kemampuan untuk memahami perasaan klien. Bagian penting dari tugas konselor yang berpusat pada individu adalah mengikuti dengan tepat perasaan klien dan menyampaikan kepada klien bahwa konselor memahami apa yang dirasakannya. Kongruen disebut juga ketulusan (genuineness). Maksudnya, tidak seperti ahli terapi psikodinamika yang umunya mempertahankan peran sebagai ‘kertas kosong’ dan tak banyak mengungkapkan kepribadiannya sendiri, ahli terapi yang menganut gagasan-gagasan Rogers giat memberikan kesempatan pada klien agar merasakan ahli terapinya sebagai pribadi yang sesungguhnya. 21 22
p.157.
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi...,p. 91. Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik...,
14
Dalam buku Matt Jarvis yang berjudul teori-teori psikologi: pendekatan modern untuk memahami perilaku Rogers meyakini, agar bisa
berkembang dan memenuhi potensinya, penting artinya bahwa seseorang dihargai sebagai dirinya sendiri. Maka konselor yang berpusat pada individu bersikap hati-hati untuk selalu menjaga sikap yang positif terhadap klien..23
G. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang alamiah.24 Dalam melakukan pengumpulan data setiap kata dan tindakan yang dilakukan oleh subjek memiliki arti penting untuk dipahami dan dimengerti, sehingga dibutuhkan hubungan yang baik antara peneliti dan subjek. Penelitian ini dilakukan di Klinik VCT Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang Banten dari bulan April-Mei 2015. Sumber data yang diperoleh dari Klinik Teratai, konselor Klinik Teratai dan penderita Odha pasien Klinik Teratai. Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, peneliti menggunakan metode pengumpulan data berupa: 23
Matt Jarvis, Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia (Bandung: Nusa Media 2010), p. 100. 24 J Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2013), p 6.
15
1. Pengumpulan data a. Wawancara (interview) Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara semi terstruktur yaitu teknik wawancara yang menggunakan susunan pertanyaan
yang
baku,
sehingga
pertanyaan-pertanyaan
tidak
menyimpang dari penelitian atau berpusat kepada satu pokok tertentu. Meskipun
memiliki
pedoman
pertanyaan
yang
baku,
dalam
pelaksanaannya wawancara tidak hanya terpaku pada pedoman pertanyaan tersebut. Interviewer bisa mengembangkan pedoman pertanyaan menjadi pertanyaan lain sesuai dengan kondisi dan jawaban interviewee. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengungkapkan beberapa hal, antara lain: Pertama, wawancara untuk konselor yaitu, peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela, keterampilan yang diperlukan dalam memberikan konseling termasuk karakteristik dan kepribadian konselor, suasana yang diciptakan konselor selama sesi konseling, prinsip etika dalam melakukan konseling untuk penderita Odha, isi informasi dalam sesi konseling, upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis penderita Odha dengan penerapan metode ClientCentered Counseling, keefektifan metode Client-Centered Counseling dalam kegiatan konseling untuk Odha, dan kendala dalam melakukan konseling untuk Odha. Kedua, Wawancara untuk penderita Odha yaitu, perjalanan hidup penderita sampai didiagnosis HIV, persepsi penderita tentang HIV/AIDS, reaksi emosional dan psikologis penderita saat pertama
16
kali mengetahui dirinya tertular HIV/AIDS, reaksi lingkungan terutama
keluarga dan diskriminasi serta stigma yang diterima,
persepsi penderita tentang konseling yang dilakukan konselor di Klinik Teratai, perubahan yang dialami penderita setelah menerima sesi konseling, kegiatan penderita setelah menderita HIV/AIDS dan menerima konseling dari konselor di Klinik Teratai, dan harapan dan impian penderita setelah didiagnosis HIV/AIDS. b. Observasi Pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung. Observasi ini dilakukan dengan menggunakan rencana terlebih dahulu sehingga sering pula disebut structured observation atau observasi sistematis. Jadi, telah ada stuktur tertentu yang segala sesuatunya telah disistematisasi mengenai hal-hal apa yang akan diobservasi dan telah dibuat kategoti-kategori tertentu. Oleh karena itu observasi ini juga sering disebut sebagai “observasi dengan sistem kategori”.25 Beberapa hal yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu, upaya yang dilakukan konselor untuk pasien yang datang ke Klinik Teratai, kegiatan konseling yang dilakukan konselor untuk pasien yang datang ke Klinik Teratai, dan kondisi psikologis pasien yang positif terkena HIV/AIDS yang memiliki kemampuan komunikasi verbal. 2. Teknik Analisa Data Dalam metode kualitatif, perolehan data biasanya melalui wawancara. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pertama-tama membaca kembali keseluruhan teks yang ada sambil meringkas 25
dan
menghilangkan
duplikasi-duplikasi.
Dilanjutkan
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Studi dan Karier (Yogyakarta: CV Andi Offset 2010), p, 62-63.
17
dengan membuat pengkodean (coding) atau klasifikasi. Hasil koding ini akan menelorkan pola-pola umum atau tema-tema. Dalam buku Conny R. Setiawan yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif Creswell
menggambarkan proses analisis data kualitatif seperti dibawah ini. Data lapangan hasil wawancara Pengetikan data: teks Membaca keseluruhan teks Koding dan klasifikasi Deskripsi, pola, tema Penafisran data biasanya berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, peneliti menafsirkan teks yang disampaikan partisipan. Langkah berikutnya, peneliti menyusun kembali hasil penafsiran tingkat pertama dan mendapatkan tema-temanya. Langkah ketiga yaitu menghubungkan tema-tema tersebut sehingga membentuk teori, gagasan dan pemikiran baru.26
H. Sistematika Penulisan Bab I pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II profil lokasi penelitian Klinik Teratai RSUD Serang, berisi deskripsi Klinik Teratai di RSUD Serang, mencakup deskripsi
26
Conny R. Setiawan, Metode Penelitian Kualitatif 2010), p. 76-77
(Jakarta: Grasindo
18
ruangan, model pelayanan, profil konselor, dan struktur pegawai. Bab III pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) Klinik Teratai RSUD Serang, berisi penjelasan tentang pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela dan peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. Bab IV penguatan kondisi psikologis penderita Odha di Klinik Teratai RSUD dr, Dradjat Prawiranegara Serang berisi penjelasan mengenai kondisi psikologis penderita Odha di Klinik Teratai dan upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis penderita Odha dengan penerapan metode Client-Centered Counseling. Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II PROFIL KLINIK TERATAI RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG A. Sejarah Klinik VCT Teratai RSUD Dr Dradjat Prawiranegara Serang Pada tahun 2006, RSUD Dr Dradjat Prawiranegara Serang sudah menyediakan pelayanan untuk jasa pelayanan tes dan konseling (sukarela) atau Voluntary Counseling and Testing disingkat VCT untuk orang-orang yang prilakunya berisiko tertular HIV. Pada saat itu pihak rumah sakit hanya memfasilitasi sebuah ruangan yang kecil untuk melakukan pelayanan, ruangan tersebut terletak di belakang UGD dan belum diberikan nama yang khusus. Walaupun dengan ruangan yang seadanya pelayanan VCT ini telah dikelola oleh tim yang terdiri dari lima orang konselor, dua orang dokter, satu petugas administrasi, dua orang petugas laboratorium dan satu orang petugas apotek. Jadi dari tahun 2006 RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang telah melakukan konseling sebelum dan sesudah melakukan tes pada orang-orang yang prilakunya beresiko tertular HIV. Akhirnya pada tahun 2010 pelayanan ini mendapatkan ruangan yang memadai dan diberikan nama yang khusus yakni Klinik VCT Teratai. Sebelum dipakai untuk pelayanan VCT, ruangan ini dibangun dengan tujuan untuk membuka poli jiwa namun tidak direalisasikan. Sejak tahun 2010 sampai sekarang Klinik Teratai dikelola oleh tiga orang konselor, dua orang dokter, dua petugas laboratorium, dua orang petugas farmasi, satu orang petugas administrasi dan tiga orang
19
20
konselor dari LSM dengan tugas sebagai konselor pendamping untuk para Odha di Klinik VCT Teratai.1 B. Tujuan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang Narasumber menjelaskan tujuan dari Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang adalah untuk menemukan kasus HIV yang baru karena semakin cepat ditemukan maka akan semakin cepat untuk melakukan penanganan sehingga bisa menjaga kesehatan Odha. Dengan kata lain, tujuan klinik ini adalah untuk menjembatani antara pencegahan HIV dengan perawatan dan dukungan, memfasilitasi rujukan dini ke layanan klinik yang komprehensif dan layanan berbasis masyarakat, layanan perawatan dan dukungan, termasuk akses terapi antiretroviral (ARV) dan memperbaiki kualitas hidup dan memainkan peran yang menentukan dalam penurunan stigma dan diskriminasi. Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai prinsip menyediakan tempat
jasa pelayanan untuk orang yang
prilakunya beresiko tertular HIV dan orang yang sudah positif terinfeksi HIV.
Manfaat dari berdirinya Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara, secara umum dapat memutus mata rantai penularan HIV dalam masyarakat, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap Odha dan dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku beresiko untuk terkena HIV/AIDS.2
1
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 28 April 2015. 2 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
21
C. Profil Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang Dari hasil observasi peneliti di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang bahwa Klinik Teratai terletak di bagian utara dari bangunan RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Klinik ini berdampingan dengan ruang Flamboyan dan kamar Jenazah atau ruang Forensik, tepatnya sesudah ruang Flamboyan dan sebelum kamar Jenazah. Klinik ini sedikit sulit dikenali karena letaknya yang berada diujung utara dari bangunan RSUD. Selain itu, klinik ini mempunyai plang nama yang berbeda dengan ruangan lainnya dan sudah hampir usang, sehingga bisa terbaca apabila sudah berjarak kurang lebih tiga meter. Klinik ini mempunyai ruangan yang berada di lantai dua. Namun, tidak ada keterangan sebagai petunjuk bahwa klinik tersebut berada di lantai dua, sehingga orang yang baru pertama kali berkunjung akan memastikannya dengan bertanya terlebih dahulu pada orang yang berada disekitar atau pegawai dari RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Ketika tiba diruangan Klinik Teratai kita disuguhkan dengan pemandangan poster-poster yang menempel dengan rapi di dinding klinik. Poster-poster tersebut berisi penyebab tertularnya HIV salah satunya melalui seks bebas dan mengkonsumsi narkoba. Poster-poster inilah yang memberikan kesan pada klinik tersebut menyediakan pelayanan untuk orang yang ingin mengetahui statusnya karena telah melakukan prilaku yang beresiko dan orang yang telah positif tertular HIV. Klinik Teratai mempunyai ruangan yang cukup luas, dengan perlengkapan ruangan yang tersusun rapi, agar membuat nyaman petugas klinik dan pengunjung. Dimulai dengan kursi untuk tamu yang
22
disediakan dengan jumlah yang banyak sehingga mampu menampung pasien yang datang berkunjung. Ruangan ini pun dilengkapi dengan kamar mandi. Di dekat pintu kamar mandi disediakan tempat untuk mencuci tangan dan sabun cuci tangan yang bisa dipakai oleh semua yang datang berkunjung. Tidak jauh dari kamar mandi terdapat televisi yang digantungkan di dinding serta perlengkapan administrasi dengan sebuah komputer dan meja yang di atasnya berisi segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh adminitator, terletak sebelum ruangan yang terdapat di dalam Klinik. Di Klinik ini terdapat empat ruangan yang mempunyai fungsi berbeda dan dikelola oleh orang yang tentu mempunyai peran yang berbeda di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara. Ruangan ini masing-masing sangat menjaga privasi para pasien karena dilengkapi dengan kaca yang tidak transparan dan berwarna hitam. Selain itu dari dalam ruangan kaca tersebut dilapisi dengan semacam isolasi sehingga aktivitas yang dilakukan didalam ruangan tidak terlihat dari luar ruangan, tidak hanya itu setiap ruangan memiliki ventilasi udara yang sedikit dan kecil sehingga suara yang ditimbulkan dari dalam ruangan tidak sampai terdengar ke luar ruangan kecuali pasien berteriak. Ruangan tersebut terletak secara berdampingan. Di sisi kiri dari klinik terdapat ruang VCT yang bersebelahan dengan ruang Arsip. Tepatnya di depan Ruang VCT terdapat Ruang CST yang bersebelahan dengan Ruang Psikologi. Jarak dari ruang VCT ke CST atau dari ruang Arsip ke Psikologi kurang lebih satu meter setengah dan di antara jarak ruangan tersebut diletakkan dua timbangan yang digunakan untuk mengetahui perkembangan berat badan Odha yang setiap bulan
23
berkunjung ke Klinik, serta dipermanis dua lukisan dengan corak sama yang digantung tidak sejajar namun rapi ketika dilihat. Adapun keempat ruangan itu meliputi: 1. Ruang VCT Ruangan ini berisi satu set perlengkapan untuk melakukan konseling yang terdiri dari satu meja dan dua kursi. Di meja tersebut
terdapat
buku
panduan
konselor
ketika
mengkonseling pasien dan alat untuk mengetahui tekanan darah. Selain itu ruangan ini dilengkapi dengan AC, kulkas, timbangan untuk bayi, dan kamar mandi serta di dekat kamar mandi terdapat lemari kecil yang menempel di dinding yang digunakan untuk menyimpan konsumsi. 2. Ruang CST Sama halnya dengan ruang VCT, di ruang CST pun terdapat satu meja yang berisi alat untuk mengetahui tekanan darah dan dua kursi. Yang membuat beda ruangan ini dilengkapi dengan satu tempat tidur untuk pasien, kamar mandi, AC dan di dinding ruangan terdapat tombol yang ditekan apabila dalam keadaan gawat darurat gawat darurat. 3. Ruang Psikologi Perlengkapan Ruang Psikologi sama seperti perlengkapan di ruang VCT. Bedanya Ruang ini tidak mempunyai kulkas, dan lemari untuk menyimpan makanan. Di ruangan ini hanya ada satu set meja dan kursi serta AC. Namun, karena ruangan ini jarang dipakai karena kunjungan pasien yang tidak dapat diprediksi, maka ruangan ini dipakai untuk menyimpan obat ARV.
24
4. Ruang Arsip Ruang ini berisi data-data Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang yang terhimpun mulai dari tahun 2006 sampai dengan sekarang. D. Model-Model Pelayanan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Hasil dari wawancara dengan konselor di Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara bahwa Klinik Teratai mempunyai beberapa model atau macam dalam pelayanannya, yaitu: 1. Voluntary Counseling dan Testing (VCT) Layanan konseling dan testing sukarela atau VCT adalah program pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan manajemen kasus (MK) dan CST (perawatan, dukungan dan pengobatan bagi ODHA) layanan VCT harus mencakup konseling prates, tes HIV, dan konseling post-tes. Kegiatan tes dan hasil tes pasien harus dijalankan atas dasar prinsip kesukarelaan dan kerahasiaan.3 Program layanan VCT dimaksudkan membantu masyarakat terutama populasi beresiko dan anggota keluarganya untuk mengetahui status kesehatan yang berkaitan dengan HIV dimana hasilnya dapat digunakan sebagai bahan motivasi upaya pencegahan penularan dan mempercepat mendapatkan pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan. Tujuan dari VCT ini adalah meningkatkan kesadaran populasi beresiko tentang status kesehatan HIVnya, meningkatkan kesadaran
3
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
25
populasi beresiko untuk membuat keputusan dan mempertahankan perubahan perilaku yang aman terhadap penularan HIV, dan membantu mereka
yang
diidentifikasi
terinfeksi
untuk
segera
mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan.4 Menurut narasumber target sasaran dari layanan VCT di Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara, yaitu: a. Pengguna Napza suntik (Penasun atau IDUs). b. Pasangan seks tetap dari IDUs yang bukan IDUs. c. Pekerja seks perempuan langsung. d. Pekerja seks perempuan tidak langsung. e. Pekerja seks laki-laki. f. Gay atau LSL (Lelaki Suka Lelaki). g. Wanita pekerja seks. h. Pelanggan dari pekerja seks perempuan atau laki-laki. i. Pasangan tetap dari pelanggan PSK.5 2. Care, Support and Treatment Narasumber menjelaskan setelah VCT dilakukan, dilanjutkan dengan program perawatan, dukungan dan pengobatan atau Care, Support and Treatment (CST) bagi Odha. CST ini merupakan bagian hilir dari program penanggulangan HIV/AIDS secara komprehensif. Layanan CST juga merupakan layanan lanjutan dari layanan VCT. CST seharusnya tidak dilakukan bila tanpa layanan VCT. Bila Odha yang datang ke fasilitas layanan kesehatan sudah dengan AIDS, sebelum 4
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten), p30-31 5 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015
26
menerima layanan CST, Odha tersebut harus melakukan layanan VCT terlebih dahulu.6 Program perawatan, dukungan dan pengobatan bagi Odha bermaksud memberikan layanan berkualitas bagi Odha agar dapat hidup lebih lama secara positif, berkualitas, dan memiliki aktivitas sosial dan ekonomi yang normal seperti anggota masyarakat lainya dengan kata lain tanpa ada stigma dan diskriminasi. Penjabaran dari program ini meliputi: a. Care (Perawatan) Implemetasi berkesinambungan
perawatan yaitu
perawatan
bersifat yang
komprehensif
melibatkan
jaringan
sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan luas untuk Odha maupun keluarganya dan menghubungkan antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah secara timbal balik sepanjang perjalanan penyakit. Pencapaian hal
tersebut
merupakan tanggung jawab tenaga medis yang berperan pada perawatan di rumah sakit dan keluarga yang berperan pada perawatan di rumah. Tindakan kedua pihak terhadap perawatan Odha harus dimaksimalkan agar pelayanan komprehensif bisa tercapai. Rumah sakit rujukan umumnya sudah memiliki Peraturan Tetap Tindakan Perawatan,
yang
perlu
disosialisasikan
adalah
kesinambungan
perawatan di rumah, seperti pola hidup yang sehat untuk Odha. b. Treatment (Pengobatan) Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologis klinis dan sosial. Pengobatan medis klinis meliputi: 6
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
27
1. Terapi Antiretroviral Terapi Antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV dengan obat-obatan anti virus. Obat tersebut yang disebut ARV tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus diperlambat begitu juga penyakit HIV.7 Menurut narasumber tujuan dari Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara menyediakan terapi Antiretroviral adalah: a. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV. b. Memperbaiki kualitas hidup Odha. c. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan tubuh. d. Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus menerus. e. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat. Pedoman dari ART ini terutama mengatur kapan memulai ART, rejimen yang dipakai sebagai lini pertama, pemantauan ART, alasan untuk mengganti ART dan pilihan rejimen lini kedua. Pedoman juga memberi pengarahan mengenai penggunaan ART oleh kelompok tertentu, termasuk perempuan hamil, pengguna narkoba, anak dan orang yang terinfeksi HIV dan TB.8
7
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten,p.32-34 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015. 8
28
2. Pengobatan Suportif Mencakup penilaian gizi Odha dari awal untuk mencegah gangguan nutrisi yang memperburuk kondisi. Bila nafsu makan sangat menurun pertimbangkan pemberian obat anabolik steroid. c. Support (Dukungan) Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan sosial. Dukungan ini merupakan obat yang ampuh dari pada obat dari medis, karena dari dukungan Odha merasa tidak sendiri dan mampu berpikir positif tentang virus yang dibawa seumur hidup. Upaya dapat berupa konseling pendampingan oleh konselor dari Klinik dan konselor sebaya dari LSM yang bisa melakukan konseling 24 jam serta bisa melakukan home visit (kunjungan).9 Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan RI No. 760/2007, Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai langkahlangkah dalam menyiapkan layanan CST sebagai berikut. a. Membentuk tim koordinasi dibawah koordinasi Komisi Penangulangan AIDS. Tim terdiri dari Wakil Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, profesi kesehatan, Organisasi Odha, dan LSM yang peduli AIDS. b. Membentuk tim/kelompok kerja AIDS, lingkup kerja dari Tim/Pokja AIDS Rumah Sakit meliputi, pelatihan petugas, koordinasi dan manajemen tim AIDS Rumah Sakit, menyusun standar prosedur operasional, pasokan obat,
9
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten,p.33.
29
reagen
diagnostik,
rujukan
kasus,
pencatatan,
dan
pelaporan/monitoring sera evaluasi.10 3. Prevention Of Mother-to-child HIV Transmission (PMTCT) Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang menyediakan
layanan
pencegahan
penularan
pada
bayi
dan
kesehatannya dengan perawatan calon ibu. Konseling yang diberikan pada calon ibu yang terinfeksi HIV meliputi: a. Nasihat
dan
pembahasan
mengenai
cara
mencegah
penularan HIV dari ibu-ke-bayi. b. Informasi mengenai pengobatan untuk HIV untuk ibu saat ini. c. Informasi mengenai pengobatan untuk HIV untuk ibu pada masa depan. Selain konseling, pencegahan penularan dari ibu HIV positif kejanin dalam kandungan dan bayi yang dilahirkan mempunyai asas perawatan yang meliputi: a. Ibu yang terinfeksi HIV berhak untuk mengambil pilihan sendiri mengenai bagaimana menangani kehamilan dan memilih pengobatan sendiri waktu hamil. b. Petugas layanan kesehatan wajib memberikan informasi, bimbingan dan konseling yang bersifat mendukung, tidak memihak, dan tidak menghakimi. c. HIV sebagainya dipantau secara ketat selama kehamilan. Pemantauan semakin penting menjelang waktu persalinan. d. Infeksi oportunistik harus diobati sebagaimana mestinya.
10
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
30
e. ART sebaiknya dipakai untuk mengurangi viral load HIV tidak terdeteksi. f. Calon ibu yang terinfeksi HIV harus diobati dengan cara yang mengurangi kemungkinan virus menjadi resisten (kebal) terhadap ARV. g. Calon ibu yang terinfeksi HIV berhak mengambil pilihan berdasarkan informasi mengenai kapan dan bagaimana bayi dilahirkan.11 Prevention Of Mother-to-child HIV Transmission (PMTCT) yaitu upaya pencegahan penularan dari ibu HIV positif kejanin dalam kandungan dan bayi yang dilahirkan. Belum diketahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan. Selain itu, bayi bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukan dalam bagan berikut:
5-10 bayi terinfeksi dalam kandungan
15 bayi terinfeksi waktu lahir
5-15 bayi terinfeksi melalui ASI
25-40 bayi terinfeksi HIV Bagan I Bayi terinfeksi HIV
11
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015.
31
Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV, yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada didalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi. Seperti ditunjukan pada gambar, penularan dapat terjadi didalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB. Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina iu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan, juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum dapat meningkatkan risiko. Air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, jadi ada resiko penularan HIV melalui menyusui. Faktor resiko lain termasuk kelahiran prematur dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukan satu hal yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.12 Kesehatan dan pengobatan
calon
ibu
adalah
masalah
yang
paling
penting
dipertimbangkan untuk memastikan bahwa bayi yang dikandung sehat. Hal ini yang harus diutamakan. 12
Chris W. Green, HIV Kehamilan dan Kesehatan Perempuan (Jakarta: Yayasan Spiritia 2011), p. 5-6.
32
E. Profil Konselor dan Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang 1. Profil Konselor Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai seorang konselor yang biasanya menangani para penderita HIV/AIDS. Nama lengkap dari konselor tersebut adalah Sake Pramawisakti. Dia dilahirkan di Serang pada tanggal 16 Agustus 1968. Tempat kediamannya yaitu di Komplek Rss Pemda blok A2 No. 50 Banjarsari Cipocok Jaya Kota Serang. Dia memiliki hobi membaca dengan moto hidupnya yaitu tidak ada pensiun dalam hidup. Pendidikan yang telah ditempuh oleh Sake yaitu dimulai dari SD Negeri 11 Serang, lulus pada tahun 1981. Kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 4 Serang lulus tahun 1984 dan dilanjutkan ke SMA Negeri Muhammadiyah Serang tahun 1987. Setelah menyelesaikan studinya di SMA, Sake melanjutkan ke UNISBA (Universitas Bandung) untuk jurusan S1 Psikologi Klinis dan lulus pada tahun 1995. Pengalaman organisasi yang pernah Sake ikuti yaitu aktif di Pramuka
dari
SD-SMA,
menjadi
anggota
MPK
(Majlis
Permusyawaratan Kelas) di SMA Muhammadiyah Serang. Selama kuliah Sakee aktif di organisasi internal mahasiswa, dan untuk organisasi eksternal menjadi kader HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Untuk menunjang profesi yang digelutinya sekarang, Sake bergabung dengan Yayasan Kanker Indonesia tahun 1998-2000. Mengikuti pelatihan konselor Odha pada tahun 2004 yang bertempat di
33
Bogor. Di 2013 Sake mengikuti pelatihan yang sama yaitu pelatihan untuk menjadi konselor Odha di Jakarta. Dan di tahun 2009 Sake mngikuti pelatihan VCT di Jakarta. Sake mempunyai Istri yang bernama
Haryati Sukarti.
Pernikahannya dengan ibu Haryati membuahkan 4 anak. Anak pertamanya yang bernama Rt. Zaika Nur Salma yang berumur 20 tahun. Selang dua tahun lahir anak keduanya yang bernama
Tb.
Muhammad Kafi Idris umur 18 tahun. Dengan jarak 5 tahun lahirlah si kembar Rt. Khadijah Kamila & Tb. Muhammad Kamal pada tahun 2003. Sake mempunyai anak titipan dari saudaranya yang bernama Sekar Mita kelahiran tahun 2001.13
13
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 30 Mei 2015.
34
2. Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang
Bagan II Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
BAB III VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING DI KLINIK TERATAI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA
A. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Berdasarkan catatan di Klinik Teratai, untuk tahun 2014 telah tercatat 111 pasien yang positif mengidap HIV dengan jumlah 62 untuk laki-laki dan 49 untuk perempuan, dari golongan usia 5-49 tahun. Dari jumlah pasien yang HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka melakukan kunjungan sebanyak 4842, 1189 untuk laki-laki dan 3653 untuk perempuan. Bagi pasien yang baru dinyatakan positif mereka mengadakan kunjungan 1-2 minggu sekali untuk berkonsultasi dengan dokter mengenai obat yang harus diminum. Sedangkan bagi yang stabil kondisinya mereka datang berkunjung hanya satu bulan sekali, itu pun hanya untuk mengambil obat. Namun ada saja beberapa pasien yang mengambil obat sambil ingin melakukan konseling.1 Berbeda dengan tahun 2014, di tahun 2015 jumlah pasien yang positif mengidap HIV mengalami penurunan. Tercatat 101 pasien yang positif mengidap HIV dari bulan Januari-Desember tahun 2015, dengan jumlah 53 untuk laki-laki dan 48 untuk perempuan. Namun untuk kunjungan di tahun 2015 lebih banyak dibandingkan kunjungan pada tahun 2014. Tercatat 5012 kunjungan dalam satu tahun, 1461 untuk laki-laki dan dan 3551 untuk perempuan. Dari golongan usia 5-49 tahun. 1
Arsip Klinik Teratai, Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada Tahun 2014 (Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, 02 Mei 2015).
35
36
Jumlah kunjungan lebih banyak dibandingkan pasien yang mengidap HIV dikarenakan setiap pasien yang mengunjungi Klinik Teratai
belum tentu positif dalam hasil tesnya. Maka pihak
administrasi di Klinik Teratai hanya mencatat kunjungan pasien dan hasil pasien yang positif mengidap HIV. Pada bulan Januari 2015 tercatat kunjungan pasien yang berjumlah 560 dengan total 80 untuk laki-laki dan 480 untuk perempuan. Dari kunjungan tersebut tercatat 11 orang yang HIV positif, 4 orang laki-laki dan 7 orang perempuan, dengan golongan usia 20-24 tahun yang berjumlah satu orang dan usia 25-49 berjumlah 10 orang. Pada bulan februari kunjungan mengalami penurunan, begitu pun dengan jumlah pasien yang HIV positif. Di bulan ini tercatat 509 kunjungan dengan total 146 untuk laki-laki dan 363 untuk perempuan, dari hasil kunjungan ini terdapat 8 pasien HIV positif, 3 orang laki-laki dan 5 orang perempuan dengan golongan usia hanya dari 25-49 tahun. Pada bulan Maret kunjungan kembali mengalami penurunan namun terjadi kenaikan pada pasien yang HIV positif. Kunjungan pada bulan ini berjumlah 445, 108 laki-laki dan 363 perempuan. Untuk pasien yang HIV positif 8 laki-laki dan 2 perempuan jadi berjumlah 10 orang. Dari 10 pasien yang HIV positif dari golongan 20-24 tahun 7 orang dan usia 25-49 tahun 3 orang. Pada bulan April kunjungan pun kembali menurun dengan jumlah pasien HIV positif yang ikut menurun. Kunjungan yaitu 73 laki-laki dan 296 perempuan yaitu 73 laki-laki dan 296 perempuan, total 369. Pasien HIV positif 3 laki-laki dan 4 perempuan dengan golongan usia 15-19 tahun dengan jumlah 3 orang, 20-24 berjumlah 1 orang dan 25-49 dengan jumlah 3 orang.
37
Pada bulan Mei terjadi kenaikan pada kunjungan pasien, namun terjadi penurunan pada pasien yang HIV positif. Untuk hasil kunjungan di bulan ini yaitu 370 pasien, 73 untuk jumlah laki-laki dan 299 untuk jumlah perempuan. Dari hasil kunjungan tersebut menghasilkan 2 orang laki-laki dan 4 orang perempuan yang HIV positif. Untuk golongan usianya yaitu 20-24 tahun 4 orang dan 25-49 tahun 4 orang. Pada bulan Juni terjadi kenaikan yang signifikan untuk kunjungan dan kenaikan untuk pasien yang HIV positif. Jumlah dari kunjungan lakilaki yaitu 58 dan perempuan 369. Dari total kunjungan tersebut menghasilkan 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang HIV positif dengan golongan usia 20-24 tahun 2 orang dan 25-49 tahun 4 orang. Pada bulan Juni ke bulan Juli terjadi penurunan yang drastis untuk kunjungan dan pasien yang HIV positif. Kunjungan hanya terjadi sebanyak 248, 87 laki-laki dan 161 perempuan, sedangkan pasien dengan HIV positif hanya berjumlah 3 orang, 1 laki-laki dan 2 perempuan dan hanya terdiri dari golongan usia 25-49 tahun. Pada bulan Agustus jumlah kunjungan dan pasien yang HIV positif mengalami kenaikan. Apalagi untuk pasien yang HIV positif terjadi kenaikan yang sangat tajam yaitu 8 orang laki-laki dan 4 orang perempuan, jumlah ini di hasilkan dari 124 kunjungan laki-laki dan 259 perempuan. Pada bulan ini terdapat 3 golongan usia yaitu 1-4 tahun 1 orang, 20-24 tahun 2 orang dan 25-49 tahun 9 orang. Pada bulan September kunjungan dan pasien HIV positif kembali mengalami penurunan yang drastis dari bulan sebelumnya. Jumlah dari kunjungan yaitu 66 laki-laki dan 119 perempuan jadi berjumlah 185. Pasien HIV positif pada bulan ini seimbang antara laki-
38
laki dan perempuan yaitu masing-masing berjumlah 2 orang, dengan golongan usia 20-24 dan 25-49 tahun dengan jumlah yang sama. Pada bulan Oktober jumlah kunjungan dan pasien HIV positif pun mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya, yaitu 116 laki-laki dan 233 perempuan. Dari jumlah kunjungan yaitu 349 terdapat 6 lakilaki dan 7 perempuan yang positif mengidap HIV dengan yang positif mengidap HIV dengan 3 macam golongan usia yaitu 1-4 tahun 2 orang, 20-24 tahun 1 orang dan 25-49 tahun 10 orang. Pada bulan November ini terjadi kenaikan kunjungan dua kali lipat pada bulan sebelumnya, padahal dari jumlah pasien HIV positif di bulan ini mengalami penurunan. 222 kunjungan laki-laki dan 408 kunjungan perempuan. Untuk pasien HIV positif 8 laki-laki dan 3 perempuan dari golongan usia 20-24 tahun 3 orang dan 25-49 tahun 8 orang. Ketika semua bulan
yang mendominasi kunjungan adalah
perempuan. Pada bulan Desember jumlah kunjungan terbanyak dilakukan oleh laki-laki yaitu 310 dan perempuan hanya 227. Dari jumlah kunjungan sebanyak 557 menghasilkan 5 laki-laki dan 5 perempuan yang mengidap HIV positif, dari golongan usia 20-24 tahun 1 orang dan 25-49 tahun 9 orang.2
2
Arsip Klinik Teratai, Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada Tahun 2015 (Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, 10 Januari 2016).
39
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: \
Tabel Kunjungan Pasien tahun 2015
40
B. Prosedur Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau Konseling dan Tes HIV Secara Sukarela Voluntary (Sukarela), Counseling (Konseling), Testing (Tes HIV), disingkat VCT. Jadi yang dimaksud dengan VCT adalah tes HIV secara sukarela yang disertai dengan konseling. Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya. Dengan mengikuti VCT bisa mengetahui status HIV lebih awal dan bisa menjaga kesehatan. VCT dapat diikuti oleh semua orang dan sangat dianjurkan bagi yang memiliki aktivitas resiko tinggi, seperti: 1. Pengguna atau mantan narkoba suntik. 2. Memiliki lebih dari satu pasangan seks atau sering bergantiganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom. 3. Memiliki pasangan seks dengan perilaku beresiko.3 Dari pengertian dan tujuan dari VCT diatas, maka dapat disimpulkan bahwa semakin cepat diketahui status HIV, semakin banyak hal positif yang bisa dilakukan. Banyak orang yang selama ini tidak menyadari resiko perilakunya terhadap kemungkinan tertular ataupun menularkan HIV dan karena tidak segera menjalani tes HIV, perilakunya tetap saja beresiko tinggi. Hal ini tentu berkaitan, karena tidak menyadari resiko perilakunya terhadap kemungkinan tertular ataupun menularkan HIV dan karena tidak segera menjalani tes HIV, perilakunya tetap saja beresiko tinggi. Hal ini tentu berkaitan erat
3
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten), p10.
41
dengan kesadaran untuk menjaga kesehatan diri sendiri, pasangan, maupun calon anak-anak. Adapun pelaksanaan dalam VCT meliputi: 1. Prinsip dalam VCT atau sifat dari VCT a. Kesukarelaan Sukarela yang berarti bahwa seseorang yang akan melakukan
tes
HIV
haruslah
berdasarkan
atas
kesadarannya sendiri, bukan paksaan atau tekanan dari pihak lain. Ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal yang terdapat dalam tes tersebut, baik mencakup keuntungan, kerugian setelah mengikuti tes HIV, serta apa saja implikasi daari hasil positif ataupun hasil negatif. b. Konseling Segala kebutuhan klien akan terungkap dan bisa dibicarakan dengan konselor, serta dari konseling tersebut klien mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan tes HIV sehingga dapat mengantisipasi keraguan. c. Kerahasiaan Pembicaraan antara klien dan konselor akan dijaga kerahasiaannya,
baik
permasalahan
yang
dibahas,
didiskusikan maupun hasil tes yang diterima. Rahasia artinya apapun hasil tes baik positif maupun negatif, hasilnya hanya boleh diberitahukan kepada orang yang bersangkutan atau klien.4
4
PKBI DKI Jakarta, Voluntary Counseling and Testing (Jakarta, 2011), p, 2.
42
2. Syarat dalam VCT a. Tes harus dilaksanakan sepengetahuan dan dengan izin dari klien. b. Klien harus paham mengenai HIV/AIDS sebelum tes dilaksanakan. Konseling diberikan kepada klien sebelum tes untuk membantu klien membuat pilihan yang bijaksana. c. Tes HIV harus dirahasiakan oleh konselor dan dokter. Hasilnya tidak boleh dibocorkan kepada orang lain tanpa persetujuan dari klien. d. Setelah tes, konseling harus diberikan lagi agar klien dapat memahami hasil tes dan untuk membantu klien menyusun rencana serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil tes.5 3. Tahapan dari VCT a. Konseling Pra Tes Konseling pra tes yaitu konseling yang dilakukan sebelum tes darah klien. Konseling ini sangat membantu klien untuk mengetahui resiko dari perilakunya selama ini dan menentukan sikap setelah mengetahui hasil tes. Konseling prates juga bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap keputusan
untuk
melakukan
tes
atau
tidak,
serta
mempersiapkan diri apabila kemunginan mendapatkan hasil tes yang positif. b. Tes Merupakan paket dari konseling dan tes HIV sukarela. Proses pengambilan darah akan dilakukan oleh petugas medis dan darahnya dibawa ke laboratorium untuk 5
Suzana Murni, dkk. Pasien Berdaya (Jakarta: Yayasan Spiritia 2009), p. 13
43
menjalani pemeriksaan. Sebagian besar tes antibodi HIV mendeteksi antibodi terhadap HIV dalam sampel darah. Jika tidak ada antibodi yang terdeteksi hasilnya adalah seronegatif atau HIV negatif. Sebaliknya jika ada antibodi terhadap HIV berart hasilnya seropositif atau HIV positif. Walaupun demikian, suatu tes bisa saja memberi hasil negatif bila orang yang dites baru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita membutuhkan waktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak terjadinya infeksi. Antibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3-8 minggu setelah terinfeksi dan masa ini disebut periode jendela (window period). Dalam masa ini bisa saja seseorang mendapatkan hasil tes negatif karena anti bodinya belum terbentuk sehingga belum dapat dideteksi, namun dia sudah dapat menularkan HIV pada orang lain melalui cara-cara yang sudah disebutkan diatas.6 Sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, orang yang diperiksa HIV harus dimintai persetujuannya untuk pemeriksaan
laboratorium.
Mereka
harus
diberikan
informasi atau pemahaman tentang proses tes HIV, layanan yang tersedia sesuai dengan hasil pemeriksaannya, dan hak mereka untuk menolak tes HIV tanpa mengurangi kualitas layanan lain yang dibutuhkan. Tes HIV secara mandatori tidak pernah dianjurkan, meskipun dorongan datang dari
6
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten), p. 11-12
44
petugas kesehatan, pasangan, keluarga atau lainnya.7 c. Konseling Post-tes Konseling post tes yaitu konseling yang harus diberikan setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif. Konseling post tes sangat penting untuk membantu mereka yang hasilnya positif agar dapat mengatahui cara menghindari penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalani hidup secara positif. Bagi mereka
yang hasilnya
negatif,
konseling
post
tes
bermanfaat untuk memberitahu tentang cara-cara mencegah infeksi HIV dimasa yang akan datang.8 Semua orang dapat terinfeksi HIV tanpa mengetahuinya, dan mungkin tidak merasakan sakit atau mempunyai keluhan, namun dapat menularkan ke orang lain. Siapapun yang aktif secara seksual atau memakai jarum suntik secara bergantian sebaiknya melakukan ters HIV secara berkala. Ibu hamil pun sebaiknya melakukan tes HIV dilayanan prenatal, agar bisa menghindari resiko penularan terhadap bayi yang dikandungnya.
C. Peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan tes HIV secara sukarela disingkat KTS, adalah dukungan layanan bagi mereka yang merasa berisiko dan menginginkan pemeriksaan HIV. KTS 7
Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan AIDS (Jakarta: Depkes RI 2013), p. 12. 8 Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba..., p, 11.
45
bersifat rahasia dan sukarela. Siapapun tidak boleh memaksa atau menekan seseorang untuk melakukan konseling dan tes hiv. Namun, KTS tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya peran seorang konselor HIV dalam melakukan konseling. Dalam melakukan KTS dibutuhkan seorang konselor yang sudah profesional dan terlatih. Disebut profesional apabila konselor HIV tersebut full time counselor yang berlatar belakang psikologi dan yang sudah mengikuti pelatihan VCT dengan standar WHO.9 Menurut Sake yang merupakan konselor di klinik Teratai, Pasien pertama datang ke klinik baik pasien rujukan maupun keinginan sendiri langsung dilakukan kegiatan konseling atau pasien langsung menemui konselor untuk dikonseling. Sake pun menyebutkan salah satu teknik konseling yang digunakan untuk konseling ini adalah client centered counseling atau konseling terpusat pada klien. Sake beralasan bahwa client centered counseling sangat tepat untuk menangani Odha, karena posisi konselor hanya memberikan pilihan bukan menasihati maka konselor memberikan kepercayaan penuh kepada klien untuk mengambil pilihan yang terbaik. Kunci dilakukannya konseling ini adalah pemberian informasi. Jika sesuai prosedur teknik, satu sesi bisa menghabiskan waktu 40 menit, namun tidak menjamin keberhasilan bahwa klien bersedia untuk dites. Dengan diberikan informasi tersebut klien bisa memutuskan sendiri apa yang akan dia pilih.10 Sake menjelaskan, Voluntary Counseling and Testing (VCT) 9
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (Jakarta, 2006), p 41. 10 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
46
adalah konseling dan tes HIV secara sukarela. Dalam tahapan VCT peran seorang konselor sangat penting, karena tanpa konselor maka konseling untuk klien tidak bisa dilakukan. Adapun tugas dari seorang konselor HIV adalah mendampingi klien sejak pertama akan di tes sampai klien mendapatkan hasil tesnya, tidak sampai disitu saja hubungan konselor HIV dengan klien bisa berlanjut apabila klien masih membutuhkan bimbingan atau konseling dari konselor.11 Konselor
HIV
di
Klinik
Teratai
RSUD
dr.
Dradjat
Prawiranegara, dalam tahapan VCT memiliki peran penting
yang
meliputi: a. Konseling pra tes Pada tahap awal ini atau tahap prates hal yang dilakukan Sake adalah pemberian informasi. Materi dalam pembahasan tersebut sesuai dengan buku pedoman pelaksanaan VCT namun Sake meramu pembahasan tersebut dengan bahasa yang bisa dimengerti dan diterima klien, karena banyak klien yang belum mengerti tentang HIV dan AIDS. Adapun informasi tersebut mencakup: 1. Penjelasan mengenai apa yang disebut dengan Human Immunodeficiency
Virus
(HIV)
yaitu
virus
yang
menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi HIV akan terlihat sehat tanpa gejala selama 5-10 tahun atau lebih. Selama masa tersebut orang yang terinfeksi HIV dapat menularkan virusnya kepada orang lain. Adapun yag disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yaitu suatu kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya 11
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015.
47
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. 2. Cara penularan HIV melalui berganti-ganti pasangan seks, kontak seksual ini dilakukan tanpa kondom dari individu yang terinfeksi HIV. Menggunakan jarum suntik secara bergantian, bebas dan tidak steril. Serta penularan dari ibu ke anak dalam kandungan, pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Informasi pun dilengkapi penjelasan tentang kegiatan yang tidak menularkan HIV yaitu dengan memakai toilet bersama, berenang bersama, terpapar batuk atau bersin, gigitan nyamuk atau serangga lain, berbagi makanan
dan
menggunakan
alat
makan
bersama,
bersalaman, pelukan ataupun berciuman. 3. Periode jendela dan perjalanan HIV menjadi AIDS Pada tahap awal ketika HIV memasuki tubuh, tidak terdapat tanda-tanda khusus sehingga belum dapat diketahui dari tes HIV. Tahap ini disebut dengan periode jendela, berkisar antara 1 hingga 3 bulan, bahkan mencapai 6 bulan (HIV masih “bersembunyi”, belum bias terdeteksi). 12 Pada tahap kedua HIV telah berkembang biak dalam tubuh sehingga dapat diketahui dari tes HIV. Orang yang tertular HIV tetap tampak sehat selama 5 sampai 10 tahun, dikenal dengan masa HIV/AIDS. Pada tahap ketiga sistem kekebalan tubuh semakin menurun, orang yang HIV+ akan mulai menampakan gejala-gejala 12
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 1-10.
48
AIDS.
Misalnya
ditandai
dengan
adanya
pembengkakan kelenjar limfa pada seluruh tubuh. Tahap ini kira-kira berlangsung selama lebih dari 1 bulan. Pada
tahap
akhir,
ketika
sudah
menjadi
AIDS,
penderita akan semakin lemah kondisinya akibat berbagai penyakit yang tidak dapat dilawan oleh sistem kekebalan tubuhnya. Penderita ini, pada akhirnya cepat atau lambat akan meninggal, tergantung dari kondisi penyakit yang dideritanya. 13 Dalam konseling prates ini, Sake menambahkan informasi mengenai pengetahuan tentang manfaat tes, pengambilan keputusan untuk tes, perencanaan atas isu HIV yang dihadapi, makna dari hasil tes positif atau negatif, rencana perubahan prilaku serta dampak pribadi, keluarga dan sosial terhadap hasil tes HIV. Menurut Sake Setelah menguraikan pembahasan dalam konseling sebelum tes ini, tidak menjamin bahwa klien bersedia untuk mengikuti tes. Maka disinilah letak konseling berpusat pada klien karena konselor HIV hanya memberikan pilihan agar bisa memilih yang terbaik untuknya tanpa adanya paksaan. Tujuan dari konseling yaitu tidak menasihati agar klien dapat melakukan apa yang telah dibahas. Namun, menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada klien. Apabila klien bersedia untuk melakukan tes, maka klien diberikan lembar pengisian dan penandatanganan surat persetujuan pengambilan
13
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 12-18.
49
darah dan proses tes HIV secara keseluruhan.14 Untuk mengetahui kebenaran dari wawancara dengan Sake. Peneliti bertanya pada salah satu Odha berinisial D yang bersedia untuk bercerita. D merupakan seorang ibu rumah tangga yang suaminya positif terinfeksi HIV. Ketika peneliti mewawancarai, D baru saja selesai melakukan konseling pra tes. D bercerita apa saja yang telah dijelaskan oleh Sake, ketiga poin diatas telah Sake jelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Selain ketiga poin diatas D pun menambahkan hal yang membuatnya berkesan, yaitu ketika Sake memberikan penjelasan tentang manfaat dan hasil tes yang bisa membuatnya tenang sehingga D paham dan bersedia untuk melakukan tes.15 Untuk memperkuat jawaban dari Odha, peneliti pun kemudian mewawancarai salah satu staf administrasi di Klinik Teratai, bernama Nita Stela yang sudah bekerja di Klinik Teratai sejak tahun 2009. Stela menjelaskan bahwa selama sesi konseling prates, Sake atau konselor di Klinik Teratai selalu menghabiskan waktu selama satu jam atau lebih.16 Jadi dari jawaban narasumber dapat disimpulkan bahwa Sake melakukan konseling pra tes sesuai dengan pedoman pelaksanaan VCT. Sake memyampaikan semua informasi yang dibutuhkan oleh klien dalam sesi konseling pra tes tersebut, sehingga klien mengerti 14
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015. 15 Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015. 16 Nita Stela, Stad Administrasi di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015.
50
dan bisa menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya. b. Konseling Post tes Pada konseling post tes yaitu dilakukan ketika klien sudah di tes. Adapun untuk hasil yang negatif, apabila klien telah melakukan prilaku yang beresiko maka Sake kembali menjelaskan periode jendela, yaitu periode dimana orang yang bersangkutan sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV. Apabila klien mempunyai perilaku beresiko terkena HIV maka dianjurkan
untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya.
Apabila hasil tes yang kedua kali hasilnya negatif maka konselor memberikan pengetahuan agar terhindar dari HIV dan memberikan pilihan untuk meninggalkan prilaku yang beresiko agar terhindar dari penularan HIV. Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada reagen yang digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan konselor. Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya, jika klien membutuhkan terapi antiretroviral (ARV)
ataupun
dukungan
dari
kelompok
sebaya. Selain itu,
konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan bagaimana agar tidak menularkannya ke orang lain.17 c. Pembahasan terapi HIV Pengobatan ARV adalah pengobatan untuk HIV dengan obatobatan Anti Retroviral yang lebih dikenal dengan obat ARV. ARV 17
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 01 Mei 2015
51
sudah terbukti dapat menghambat replikasi HIV sehingga kadar virus (Viral Load) dalam darah yang menginfeksi sel kekebalan tubuh atau CD4 menurun sehingga kekebalan tubuh mulai pulih atau meningkat. Manfaat ARV bagi orang dengan HIV adalah menghambat progesifitas infeksi HIV, meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi kadar HIV dalam darah dan membuat tubuh terasa lebih baik.18 Sesuai dengan pedoman pelaksanaan VCT, apabila klien bersedia untuk mengikuti terapi antiretroviral, maka Sake kembali meramu pembahasan untuk menjelaskan tentang kepatuhan minum obat dan mengenai kunjungan berkala yang dilakukan klien, penilaian kesiapan klien untuk memulai pengobatan serta rencana dan cara memulai pengobatan. Kemudian pada bulan berikutnya diadakan tinjau ulang dan nilai kepatuhan pada bulan yang telah lalu tentang: 1. Obat yang diminum dengan penjelasan bahwa bisa terjadi macam/jenis obat atau dosis, penjelasan mengenai diet/pantangan yang diberlakukan serta cara menyimpan obat sangat penting untuk diperhatikan. 2. Kepatuhan. Dalam sesi ini konselor memberikan banyak pertanyaan kepada klien. Poin dalam pertanyaan tersebut meliputi: apakah minum semua dosis? Bagaimana ketepatan waktunya? Apa alasan terlupa minum obat? Bagaimana jumlah obat? Apa alasan patuh klien minum obat? 3. Efek samping. Dalam terapi ARV ini tentunya ada efek samping yang dirasakan oleh klien. Peran konselor disini 18
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 22-24.
52
menanyakan masalah atau pengalaman yang terjadi selama minum obat dan cara mengatasi yang pernah dilakukan.19 Dalam setiap diskusi, klien diajak untuk bersama mencatat kesepakatan yang telah dibicarakan dan disetujui. Hal ini mencegah agar klien tidak lupa isi dari konseling yang telah dilakukannya. d. Rencana terapi obat Tahap pertama Sake melakukan peninjauan ulang rejimen (golongan obat) dan ikuti rencana dengan menanyakan tentang: rejimen pengobatan yang diikuti, efek samping yang dialami dan bagaimana mengatasinya (diskusi efek samping yang sering muncul sebelumya dan ketersediaan obat untuk antisipasi efek samping seperti nausea/mual), rencana tindak lanjut, cara untuk kepatuhan, siapa yang dihubungi ketika ada masalah, dan tujuan klien bila terjadi kepatuhan mengikuti terapi.20 Tahap kedua yaitu pengobatan. Dalam step ini Sake menilai kesiapan klien untuk pengobatan dengan menanyakan: 1. Apakah klien mengerti akan penyakit HIVnya dan status kesehatannya? 2. Apakah klien mengerti akan rejiemen pengobatannya dan tindakan selanjutnya? 3. Apakah klien membuat komitmen untuk pengobatan jangka panjang? 4. Apakah klien mempunyai hambatan kepatuhan yang utama? Apakah pernah disampaikan kepada dokter yang 19
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 01 Mei 2015 20 Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 28.
53
menangani? 5. Seberapa jauh kesiapan klien untuk mulai pengobatan ARV. Tahap ketiga, Sake mendiskusikan kesiapan klien untuk berdialog dengan dokter. Rujuk klien ke rumah sakit yang ditunjuk untuk menerima ARV. Diskusikan bagaimana dapat memonitir kepatuhan klien, misalkan dengan kunjungan lanjutan atau berkala. Menunjukan dan memberitahukan kepada klien bagaimana cara menggunakan agenda obat dan rencana metode yang digunakan. Tahap keempat yaitu tidak lanjut. Dalam tindak lanjut ini Sake membuat perjanjian yang akan datang dengan menyediakan nomor emergensi agar klien dapat melaporkan reaksi berlawanan yang berat. Setelah klien telah mengikuti terapi ARV, maka hal-hal yang dapat terjadi: 1. Menggali informasi kemungkinan hambatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan berobat klien, diantaranya: persediaan obat habis, jenuh dengan pengobatan, lupa minum obat, efek samping, penilaian/cap buruk dari masyarakat dan penjelasan cara menggunakan. 2. Persediaan obat habis. Hambatannya yaitu sakit dan jarak jauh untuk mengambil obat. Yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah kerjasama dengan petugas lapangan atau manajer kasus, bisa juga dengan anggota keluarga. Menggunakan alat pengingat, weker, telepon, teman atau kerabat. Pindah ke tempat penyedia
54
obat yang terdekat.21 Dalam rencana terapi obat ini, dapat disimpulkan bahwa tugas konselor selain memberikan informasi, dia pun menemani klien sampai ke tangan dokter. Konseling ini bisa dinamakan dengan alih tangan kasus. Ketika masalah diluar kemampuan konselor maka konselor bisa mengalihkan pada pihak lain yang menguasai dan mempunyai solusi bagi masalah tersebut. e. Konseling efek samping obat ARV Klien mungkin mengalami beberapa efek samping saat memulai
pengobatan
ARV.
Sesuai
dengan
pedoman,
Sake
memberikan informasi mengenai efek samping obat tersebut agar dapat dikurangi atau dihilangkan. Efek samping tersebut biasanya berupa: 1. Sakit kepala Gejala ini biasanya akan hilang dalam 2-4 minggu. Untuk meredakannya klien bisa melakukan: a. Pijat dengan perlahan, dasar kepala dan pelipis dengan ibu jari. b. Istirahat dikamar yang tenang dan redup dengan mata tertutup. c. Kompres dingin didaerah mata dan dahi. d. Hindari minuman dengan kafein seperti teh atau kopi kental. e. Minum obat sakit kepala seperti patasetamol sesuai dosis. 21
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 02 Mei 2015
55
f. Kunjungi dokter anda untuk konsultasi.
2. Mulut kering Yang harus dilakukan yaitu: berkumur dengan air bersih hangat dan air garam. Minum banyak air matang dan bersih. Hindari makanan yang manis. Hindari minuman dengan kafein seperti teh atau kopi kental dan Kunjungi dokter anda untuk konsultasi. 3. Ruam kulit Setiap obat baru, dapat menyebabkan alergi ruam kulit. Hal yang harus dilakukan yaitu jaga kulit tetap bersih dan kering. Ginakan lotion bila gatal. Hindari sinar matahari, dan minum banyak air putih agar kulit tetap segar. 4. Diare Hal yang harus dilakukan yaitu, makan sedikit tapi lebih sering dalam sehari. Makan makanan yang mudah ditelan sepeti nasi, pisang, dan biskuit. Minum banyak air masak bersih, minum oralit, dan hindari makanan berempah dan digoreng. 5. Anemia Tanda- tanda bila mengalami anemia adalah pucat ditelapak tangan dan kuku-kuku jari. Yang harus dilakukan mengkonsumsi ikan, daging, bayam, asparagus, sayuran hijau tua, kacang-kacangan dan minum tablet zat besi. 6. Gatal atau sakit ditangan atau kaki Hal
yang dilakukan pakai sepatu dan kaus kaki
longgar,biarkan kaki telanjang ditempat tidur, rendam kaki
56
di air hangat, pijat dengan kain. 7. Mual dan muntah Hal yang dilakukan tanyakan ke dokter boleh tidak minum obat ARV bersama makanan. Minum air putih masak, teh encer. Hindari makanan yang digoreng atau rempah 8. Mimpi buruk Coba lakukan sesuatu yang membut gembira dan tenang sebelum tidur. Hindari alkohol, obat karena akan membuat situasi memburuk. Hindari makanan berlemak dan makan berat sebelum tidur dan bercerita ke orang lain tentang perasaan klien. 9. Merasa lelah Hal yang dilakukan yaitu istirahat yang seimbang, hindari alkohol, obat dan rokok. Gerak badan ringan. 10. Kulit menjadi kuning Hal yang harus dilakukan yaitu minum air putih matang yang banyak, istirahat yangbaik dan hindari makanan yang berlemak.22 Melihat dari gejala-gejala fisik yang dialami akibat efek samping obat, menurut peneliti konseling tersebut tidak akan efektif, karena gejala tersebut tidak akan sembuh hanya dengan melakukan konseling saja. Klien membutuhkan obat untuk mengatasi gejalagejala yang timbul akibat efek samping tersebut. Jadi konseling efek samping ini lebih tepat apabila dilakukan oleh seorang dokter yang mempunyai solusi dari gejala efek samping tersebut. 22
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 41-59
57
KTS SEBAGAI PINTU MASUK PENCEGAHAN, PERAWATAN, DUKUNGAN DAN PENGOBATAN Dari hasil wawancara dengan konselor mengenai konseling tes secara sukarela (KTS), maka dapat disimpulkan dalam bagan berikut ini:23
Bagan III Konseling Tes secara Sukarela
23
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing…, p. 73
BAB IV PENGUATAN KONDISI PSIKOLOGIS PENDERITA ODHA DI KLINIK TERATAI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA
A. Kondisi Psikologis Penderita Odha di Klinik Teratai Ketika perubahan status terjadi pada seseorang dari negatif menjadi positif terkena HIV dan harus terbiasa dengan sebutan orang dengan HIV/AIDS atau Odha, mereka harus menyadari bahwa virus HIV akan berada pada tubuhnya untuk selamanya. Progresivitas HIV menjadi AIDS membangkitkan reaksi psikologis dan berdampak pada gaya
hidup
mereka.
Elizabeth
Kubler-Roos
pertama
kali
memperkenalkan tahapan Odha untuk mencapai proses penerimaan yang disebut dengan lima tahapan kedukaan (The Five Stages Of Grief) yang lebih dikenal dengan singkatan DABDA.1 Pada pasien positif HIV di Kinik Teratai, Sake Pramawisari menemukan proses penerimaan Odha terhadap statusnya sesuai dengan lima tahap kedukaan oleh Elizabeth. Kelima tahapan tersebut meliputi: 1. Tahap penolakan (denial) Tahapan ini ketika Odha menunjukan rasa tidak percaya saat menerima hasil diagnosa tes HIV. Perasaan klien selanjutnya
akan
diliputi
kebingungan,
ketakutan,
dan
kekhawatiran. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat
1
Yayasan Spiritia, Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya (Jakarta: Yayasan Spiritia 2014), naskah 10.
58
59
terjadi pada diri mereka.2 Peneliti mendapatkan dua narasumber Odha dalam tahap penolakan. Keduanya merupakan ibu rumah tangga, sebut saja dengan inisial D dan H. Ketika peneliti baru memulai
percakapan,
tanpa
ragu
dan
malu
mereka
menceritakan kronologis perjalanan hidupnya sampai mereka didiagnosis terinfeksi virus HIV. Mereka tertular virus tersebut dari suami yang sangat mereka cintai, sehingga ketika bercerita sambil menahan tangis mereka masih menyangkal dan tidak percaya bahwa hal ini dialami oleh mereka. Mereka bingung untuk mengambil sikap kepada suaminya, mereka ingin sekali menyalahkan sang suami dan menyalahkan dirinya sendiri karena tidak hati-hati dalam mencari pasangan hidup. Mereka pun belum mengerti sepenuhnya virus yang sekarang bersarang ditubuhnya, yang mereka tahu bahwa virus itu bisa merenggut kodratnya sebagai perempuan yakni mempunyai anak yang sehat. Mereka sangat takut dan bingung akan menjadi apa mereka didepan. 2. Tahap kemarahan (anger) Tahapan ini ditandai dengan reaksi emosi/marah pada apa saja dan Odha menjadi peka serta sensitif terhadap masalah-masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan pada dokter, keluarga, atau teman. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam 2
10
Yayasan Spiritia, Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, ...naskah
60
bentuk ungkapan, “tidak adil rasanya…”, “mengapa saya yang mengalami ini?” atau “apa salah saya?”.3 Di Klinik Teratai, peneliti banyak menemukan Odha pada tahap anger dan ini merupakan suatu kendala peneliti, karena sulit untuk mendekati dan berbincang-bincang dengan mereka. Ketika peneliti mencoba memperkenalkan diri respon mereka sangat acuh bahkan mereka pergi begitu saja tanpa pamit. Hal ini cukup beralasan karena Odha pada tahap ini sangat sulit untuk didekati dan cenderung lebih tertutup. 3. Tahap tawar-menawar (bargainning) Tahapan di mana Odha berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti, “mungkin kalau saya sabar, keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berfikir positif tentang upaya yang akan dilakukan untuk membantu proses pemulihan psikisnya.4 Odha pada tahapan ini mencoba mengikuti informasi yang disampaikan oleh konselor, mereka melakukan perubahan perilaku
yang
sesuai
dengan
kebutuhannya.
Peneliti
menemukan dua Odha yang berada pada tahap tawar menawar ini. Mereka umumnya telah merasakan sakit akibat infeksi oportunistik dan harus dirawat di rumah sakit dalam hitungan bulan. Kondisi ini menyadarkan mereka bahwa walaupun mereka terinfeksi virus HIV namun menjaga kesehatan sangat penting. Akhirnya mereka patuh dalam meminum obat, 3
Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, ...naskah 10 4 Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya..., naskah 10
61
melakukan
perubahan
perilaku
yang
sesuai
dengan
kebutuhannya. 4. Tahap depresi (depression) Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan.5 Sake menambahkan kebanyakan Odha pada tahapan ini kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama pada perempuan yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat kelalaian selama hamil atau akibat dosa dimasa lalu. Kadangkala dihinggapi rasa bersalah, karena tidak akan mampu memenuhi hidup keluarganya. Putus asa sebagai bagian dari depresi akan muncul saat klien mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak (jika memiliki anak), terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saat mereka meninggal. Pada tahap depresi, seseorang cenderung murung, menghindar dari lingkungan social terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup. Odha pada tahap ini akan enggan untuk berkunjung ke klinik, bahkan dia sudah merasa lelah untuk meminum obat.6 5. Tahap penerimaan (acceptance) Tahapan di mana Odha telah mencapai pada titik untuk menerima keadaan statusnya dengan tenang. Odha pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan
5
Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, naskah
6
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
10. di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 07 Mei 2015.
62
kapasitas dan kemampuan mereka. Kemampuan penyesuaian diri klien akan mempengaruhi psikologis dari Odha itu sendiri. Odha mulai mampu menyesuaikan diri dengan baik bahwa kondisi psikologis yang sehat akan berdampak positif bagi perkembangan kesehatannya.7 Berdasarkan penelitian di Klinik Teratai, peneliti mendapatkan lima Odha pada tahap ini. Odha tersebut terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki yang berinisial A, W, B, I, dan S. Hasil dari wawancara dengan kelima Odha, peneliti dapat menyimpulkan bahwa mereka telah menerima statusnya sebagai Odha bahkan sudah membuka status kepada orang lain termasuk peneliti. Mereka tidak ragu dan malu untuk memperkenalkan diri bahwa mereka adalah Odha. Mereka pun dengan santai bercerita pengalaman hidupnya sampai mereka pada tahap penerimaan statusnya. Namun perlu ditekankan bahwa Odha yang menerima statusnya belum tentu mau membuka status kepada orang lain. Dari kelima Odha tersebut mereka mempunyai jalan hidup yang berbeda namun mereka sama-sama telah melewati kehidupan yang gelap, kesalahan di masa lalu yang telah memberikan mereka pelajaran bahwa untuk bisa lebih menghargai kehidupan. Untuk mencapai tahap penerimaan ini, tentuya mereka telah melewati keempat tahapan diatas. Diskriminasi, putus asa, marah dan hampir akan bunuh diri telah berhasil mereka lewati. Keluarga, teman dan konselor 7
Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, naskah 10.
63
yang membantu mereka untuk melewati masa-masa tersebut. Kelima Odha sekarang mempunyai rutinitas yang jauh lebih baik dari kehidupannya dulu. A sekarang telah menjadi konselor sebaya untuk para Odha. B, aktif dalam gerakan anti HIV-AIDS dan selalu menjadi narasumber di setiap acara gerakan tersebut dan ketiga Odha yang lain mereka pun aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan HIV-AIDS
B. Upaya
konselor
dalam
menguatkan
kondisi
psikologis
penderita ODHA dengan penerapan metode Client-Centered Counseling. Client-Centered Counseling dalam terapi untuk Odha yaitu lebih kepada informasi-informasi signifikan yang diberikan konselor kepada klien sesuai dengan kebutuhannya, karena dalam ClientCentered Counseling pemaknaan pemberian informasi akan menambah wawasan pengetahuan Odha untuk memberikan tindakan. Dilihat dari prinsip Client-Centered Counseling yaitu klien yang aktif untuk memutuskan alternatif pemecahan masalah atau jalan yang dipilih, sedangkan konselor hanya berusaha memberikan alternatif pilihan, tidak memaksakan, tidak menyuruh dan tidak menasihati. Klien bebas untuk memilih apa yang dia inginkan dan tugas konselor dalam terapi ini hanya sebagai media pemberi informasi, adapun pilihan ditangan klien. Sehingga klien dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan mampu membuat keputusan agar hidupnya lebih nyaman, berkualitas, serta mandiri. Yang dimaksud dengan konselor dalam bagian ini adalah Sake Pramawisari merupakan Konselor Odha di Klinik Teratai. Sembilan
64
tahun merupakan waktu yang cukup untuk mengenal pekerjaannya serta karakter yang dimiliki Odha. Sebagai konselor untuk para Odha, Sake mengetahui kondisi psikologis Odha dan berupaya agar Odha dapat hidup selayaknya orang yang tidak terkena virus. Dia berusaha membantu Odha dengan informasi-informasi terkait virus yang terinfeksi dalam tubuh Odha. Sake menemani para Odha tersebut dari mulai tahap pertama yaitu prates sampai dengan para Odha yang bisa hidup dengan mandiri. Adapun untuk upaya yang dilakukan Sake dalam membantu menguatkan kondisi psikologis para Odha yaitu, 1. Melakukan pendampingan dalam proses perubahan perilaku Dalam perubahan perilaku, konselor sangat dibutuhkan oleh Odha.
Maka
upaya
yang
dilakukan
konselor
adalah
mendampingi Odha pada tahapan perubahan perilaku. Adapun yang dimaksud dengan perubahan perilaku adalah sebuah proses bertahap dalam melakukan perubahan perilaku yang merugikan menjadi perilaku yang berkualitas. Penting diketahui bahwa tidak ada perubahan yang mutlak, sesuai perkiraan. Seseorang dapat berubah-ubah tahapannya naik/turun sampai pada suatu saat dapat menerima.8 Berikut ini adalah spiral mengenai perubahan perilaku:
8
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, kamis, 07 Mei 2015.
65
Gambar Spiral Tahapan Perubahan Perilaku
Dari spiral di atas dapat disimpulkan: pada saat perubahan perilaku terjadi, ketika tahap prakesadaran Odha belum mengerti dan menyadari terhadap perilakunya yang beresiko, maka dari itu diberikan informasi-informasi mengenai virus HIV dan perilaku beresiko sehingga terinfeksi virus tersebut. Setelah Odha paham dan mengerti mulailah dia untuk mempersiapkan rencana-rencana untuk perubahan perilaku. Kemudian ketika persiapan dirasa cukup maka Odha melakukan tindakan untuk perubahan perilaku tersebut. Namun walaupun Odha sudah melakukan tindakan, hal ini terkadang membuat dia ragu akan apa yang dia lakukan, maka Odha kembali ketahap kesadaran. Ketika di tahap kesadaran Odha akan melakukan tahap persiapan kembali untuk melakukan tindakan, hal ini akan dilakukan
66
berulang-ulang sampai dia mempertahankan perilaku baru yang berkualitas. Untuk lebih jelas dan disertai dengan satu kasus Odha yang telah melewati tahapan dalam perubahan perilaku. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: a. Tahap pra kesadaran (unaware) Tahap pra kesadaran adalah tahap ketika klien tidak peduli atau tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dalam kaitan HIV AIDS klien tidak menyadari atau mengetahui adanya resiko, bisa juga disebut klien belum sadar akan statusnya. Maka upaya yang dilakukan konselor dalam tahap ini adalah untuk memberikan informasi-informasi yang jelas mengenai HIV AIDS. Sehingga mitos atau informasi yang salah diluruskan agar klien dapat menerima dan memahami bahwa perilaku mereka dapat menyebabkan terinfeksi HIV.9 Sake memberikan kasus pada tahap ini yaitu ada seorang klien, dia merupakan seorang pekerja seks dari Kali Jodo Jakarta. Pertama kali Sake bertemu dengan klien ini ketika klien dirawat di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Pada saat itu kondisi klien sedang sakit, kemudian pihak rumah sakit merujuk klien tersebut ke Klinik Teratai, lalu Sake pun melakukan konseling pra test kepada klien yang masih terbaring lemah. Ketika hasil tes sudah keluar dan hasilnya positif, maka Sake pun melakukan konseling post tes. Pada saat konseling buka hasil dan Sake memberitahu klien yang positif mengidap HIV, maka klien syok 9
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya Naskah untuk Peserta (Jakarta: Yayasan Spiritia 2009), naskah 4.
67
dan tidak percaya pada apa yang dia dengar. Klien tersebut merasa penderitaannya lengkap karena pada saat itu bukan hanya fisiknya yang sakit namun kondisi psikologisnya pun sangat sakit lebih dari kondisi fisik yang dideritanya selama dirawat. Walaupun klien menyadari inilah resiko dari pekerjaannya selama ini, karena di antara teman-teman PS-nya dia merupakan yang paling dicari oleh pelanggan PS. Klien tersebut merasa kecewa dan tidak percaya bahwa hal ini terjadi padanya dan harus dia yang terinfeksi virus itu. Klien menyalahkan lingkungan pekerjaannya karena teman-teman PS lainnya tidak terinfeksi virus yang sekarang bersarang ditubuhnya. Padahal teman-temannya pun belum diperiksa, jadi belum bisa diketahui apakah teman-temannya pun terinfeksi atau tidak. Dari mulai keterputusasaan, pemahaman akan virus HIV yang belum ditemukan obatnya sampai saat ini, hingga kekhawatiran terhadap masa depannya yang akan hancur membuat klien tersebut menjadi semakin depresi. Dia ingin sekali mengakhiri hidupnya, dia tidak bisa membayangkan akan menjadi seperti apa dia dengan infeksi yang ada ditubuhnya. Dia pun marah, kecewa, merasa tidak adil karena hanya dia yang terinfeksi, tidak dengan teman-temannya. Selama dirawat kurang lebih satu bulan, Sake sering mengunjungi klien tersebut untuk memberikan dukungan dan menguatkan kondisi psikologisnya yang ikut lemah. Sake berkunjung dua hari sekali. Isi konseling dari kunjungan mengenai pemberian informasi yang jelas terkait virus HIV. Pemberian informasi tidak dilakukan satu kali saja tetapi secara berulang-ulang agar klien tidak salah persepsi mengenai virus HIV dan bisa mengilangkan rasa iri pada
68
teman-temannya yang belum melakukan tes untuk mengetahui statusnya. Selama kunjungan Sake tidak bosan untuk memberikan dukungan dan informasi. Untuk memperkuat dukungan dan informasi yang diberikan Sake mendatangkan Odha yang berlatar belakang sama dengan klien, yang sudah bisa menerima statusnya menjadi Odha dan telah merubah perilakunya menjadi perilaku yang berkualitas. Tujuan Sake membawa model tersebut adalah salah satu teknik metode client centered-nya agar bisa memberikan dukungan pada klien yang depresi, serta dengan disuguhkan bukti yang otentik, Sake berharap klien bisa mengambil pilihan yang terbaik tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Model Odha ini bisa membuktikan bahwa seorang Odha bisa hidup dengan normal, dan semua informasi bahkan dukungan dari Sake adalah benar adanya, juga tidak dibuat-buat. Sake selain memberikan dan dukungan yang berkesinambungan kepada klien serta menghadirkan model yang dapat memberikan dukungan yang positif pada klien. Dia pun mencoba mendekati keluarga yang merawat klien. Sake memberikan informasi yang jelas mengenai virus HIV, terutama cara penularannya, dengan tujuan agar keluarga klien tidak menghindar dan mendiskriminasi klien. Dukungan dan informasi pun terus diberikan kepada keluarga klien sampai keluarga tersebut mau menerima dan dengan ikhlas merawat klien yang tidak berdaya dengan penyakitnya yang diakibatkan oleh infeksi oportunistik. Sake berpendapat bahwa dukungan keluarga sangat membantu untuk menguatkan kondisi psikologis klien yang rapuh. Sake melihat semenjak keluarga klien merawat dengan penuh kasih sayang, klien
69
menjadi bersemangat untuk hidup dan kondisi fisik maupun psikologisnya berangsur-angsur pulih. Akhirnya setelah klien merasa lebih baik, dia pun pulang.10 b. Tahap kesadaran (informed, concerned, knowledgeable, motivated) Keadaan ketika klien mulai memikirkan gagasan untuk perubahan perilaku. Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian ulang atau pengidentifikasian terhadap resiko atas gaya hidup dan perilaku yang dilakukan sehingga terinfeksi virus. Karena dalam tahap ini klien sudah menyadari perilaku beresiko yang dilakukannya, maka klien mulai membuat keputusan dalam melakukan sesuatu untuk perubahan perilaku beresiko.11 Dari kasus di atas, dua bulan kemudian klien kembali menemui Sake. Dia mengalami penurunan kondisi fisik, dan akhirnya dia kembali mengalami depresi. Pertanyaan yang selalu diajukan klien kepada Sake adalah apakah dia bisa kembali sembuh. Sake pun menjawab pertanyaan dari klien dengan informasi tentang perubahan perilaku. Salah satu perubahan perilaku tersebut, sebagaimana dijelaskan Sake apabila klien ingin kembali sehat kuncinya yaitu kesungguhan minum obat. Selain itu Sake kembali memberikan model Odha yang patuh minum obat sehingga fisiknya sehat. Setelah mendengar informasi yang diberikan Sake, akhirnya klien mulai sadar akan perubahan perilaku yang harus dia lakukan.12
10
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015. 11 Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4 12 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
70
c. Tahap persiapan (ready to change) Pada tahapan ini klien mulai menyadari akan manfaat dan kerugian bila berubah perilaku kemudian mempelajari keterampilan bernegoisasi dan praktek perilaku. Maksud dari bernegoisasi yaitu suatu rencana perubahan yang dilakukan klien secara bertahap. Dalam tahap persiapan ini konselor memberikan klien keterampilan praktis, spesifik, dan mampu dikerjakan. Klien melakukan permainan peran yang mengacu pada penguatan. Konselor dan klien pun membuat kontrak perilaku yang akan dilakukan serta mempertimbangkan tentang hambatan yang ada dan bagaimana cara untuk mengatasinya.13 Dari kasus di atas, walaupun klien sudah dihadirkan bukti yang otentik namun klien masih meragukan apakah dia bisa kembali sehat dan memiliki tubuh yang indah. Maka Sake kembali memberikan informasi mengenai perubahan perilaku yang bisa dilakukan oleh klien. Hal yang bisa dilakukan klien adalah melakukan pola hidup yang sehat, makan makanan yang bergizi, dan apabila akan melakukan seks, maka dengan cara yang aman yaitu memakai kondom. Namun, dengan kondisinya yang sakit, dia sementara meninggalkan pekerjaan yang selama ini digelutinya. Setelah sadar akan perubahan perilaku yang harus dilakukan, klien merencanakan persiapan. Klien bertanya aktif kepada Sake terkait obat apa yang sesuaikan dengan kesehatannya. Sake mengarahkan klien untuk mengonsultasikan hal tersebut kepada dokter Klinik Teratai.14
13
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4 Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015. 14
71
d. Tahap tindakan Pada tahapan ini, setelah merasa rencana persiapan sudah maksimal maka klien secara nyata mencoba perilaku yang baru dan mulai dipraktekan.15 Dalam tahapan ini klien diatas setelah melakukan persiapan yang matang, klien tersebut melakukan tindakan patuh meminum obat dan meninggalkan kehidupan yang telah memberinya virus untuk seumur hidup. Pada tahap ini klien mulai melakukan perubahan perilakunya. e. Tahap mempertahankan Tahapan dimana perilaku baru dipertahankan sepanjang waktu secara alamiah dan berkesinambungan.16 Klien di atas sampai pada tahap mempertahankan perilakunya namun ketika tahap tindakan perubahan perilaku telah dilakukan, klien merasa jenuh dengan kepatuhannya untuk minum obat. Dia kembali meragukan akan hidupnya yang monoton dan tidak bergairah, karena klien harus tinggal di desa kelahirannya dengan aktivitas kesehariannya yaitu bercocok tanam di sawah. Kehidupannya yang baru ini sangat berlawanan dengan kehidupan lamanya di kota, selama di kota klien bisa mendapatkan uang dengan mudah bahkan kebutuhan seksualnya pun terpenuhi, berbeda dengan hidup didesa untuk mencari uang klien harus memeras keringat dan hasilnya pun tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Maka dari itu klien belum bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya dan mengalami kejenuhan.
15 16
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4. Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4.
72
Akhirnya setelah klien merasa cukup sehat, dia memutuskan untuk kembali ke kehidupannya yang dulu. Sake tidak bisa memaksa atau menasihati klien untuk meninggalkan kehidupannya yang dulu, namun yang bisa Sake lakukan adalah memberikan informasi agar klien melakukan seks yang aman, sehingga tidak menularkan virus ke orang lain dan juga untuk menjaga kesehatan klien. Namun di Jakarta klien hanya bertahan lima hari, akhirnya dia kembali ke desanya dan berusaha menerima kehidupan barunya sebagai petani sampai dengan sekarang. Klien masih sering mengeluh kepada Sake tentang kejenuhannya. Dan Sake tidak pernah bosan untuk memberikan
dukungan,
bahkan
Sake
menyinggung
tentang
kebermaknaan hidup. Sake menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup itu tidak harus kita selalu berkecimpung di kehidupan yang lama, namun apabila kita bisa bermakna bagi orang-orang terdekat, itu merupakan hal yang sangat berarti. Sake pun mengajak klien mengulas aktivitas
kesehariannya
yang
baru,
sehingga
menumbuhkan
kebermaknaan untuk diri klien bahwa dia memang mempunyai makna dalam lingkungannya. Sake berpendapat perubahan perilaku adalah proses yang rumit. Penyediaan informasi saja oleh konselor sebagai intervensi utama pada umumnya tidak cukup untuk memfasilitasi klien berubah perilaku. Edukasi klien yang efektif dapat dilakukan melalui layanan konseling tatap muka maupun melalui telepon atau media sosial, di mana klien secara terbuka membahas hambatan dan tantangan dalam perubahan perilaku serta mengambil keputusan yang tepat.17 17
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
73
Dari deskripsi mengenai kasus ini diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kasus tersebut belum selesai dan masih berlanjut sampai sekarang. Klien masih mengalami naik turun dalam kesadarannya, namun klien tersebut masih berusaha mempertahankan perubahan perilaku yang telah dilakukannya. Untuk kasus yang masih berlanjut ini Sake akan terus berusaha memberikan pelayanan yang memuaskan untuk kliennya, dengan tidak menyuruh, menasihati bahkan memaksa kliennya untuk ikut pada apa yang dia katakan. 2. Menjaga kualitas teknik dan etika konseling Menurut Sake upaya yang dilakukan agar bisa menjalin hubungan yang baik dengan Odha, Sake selalu menanamkan tiga aspek dasar yang harus selalu dimilkinya. Ketiga aspek tersebut adalah: a. Mendengarkan
secara
aktif.
Sake
menjelaskan
bahwa
mendengar aktif merupakan cara merespon yang efektif. Sebagai konselor dia mampu hadir secara fisik, mental dan emosioal
menggunakan
verbal
dan
nonverbal
dalam
mendengarkan apa yang diucapkan dan tidak diucapkan klien. Cara mendengarkan memiliki peran yang besar untuk mendorong
klien
dapat
meneruskan
dan
menghentikan
pembicaraan. Sake berpendapat bahwa mendengarkan aktif membuat klien merasa diperhatikan oleh konselor, mendorong pembicaraan,
dan
klien
merasa
konselor
menghargai
perasaannya. b. Empati merupakan kemampuan dan keterampilan konselor dalam mencoba memahami perasaan dan pikiran yang dialami klien tanpa terlibat secara emosional. Dengan sikap empati ini Sake berpendapat bahwa klien merasa konselor adalah orang
74
yang baik sehingga mampu mengerti apa yang dialami oleh klien. c. Menjaga kerahasiaan adalah poin penting dalam konseling pada Odha. Menurut Sake kebanyakan dari Odha tidak ingin statusnya diketahui oleh orang lain, maka Odha hanya percaya pada konselor yang bisa menjaga rahasianya ketika mereka belum berkeinginan untuk membuka statusnya kepada orang lain. Maka seorang konselor harus bisa menjaga asas kerahasiaan.18 Prinsip yang dipertahankan Sake diatas merupakan teknik dari konseling terpusat pada klien. Menjadi pendengar yang baik menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian dan merangsang serta memberanikan klien untuk bereaksi secara spontan terhadap konselor. Sedangkan, dapat dipercaya mempunyai makna bahwa konselor bukan sebagai satu ancaman bagi klien dalam konseling akan tetapi sebagai pihak yang memberikan rasa aman. Sikap konselor inilah yang memfasilitasi perubahan pada diri klien. Konselor menjadikan dirinya sebagai instrumen perubahan. Konselor bertindak sebagai fasilitator dan mengutamakan kesabaran dalam proses konselingnya. Maka Sake dalam melakukan konseling yang berpusat pada ini, bertindak hati-hati untuk selalu menjaga sikap yang positif terhadap klien.
18
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 Mei 2015.
75
C. Evaluasi konseling untuk Odha 1. Keberhasilan dalam konseling Kasus ini terjadi pada seorang janda beranak dua. Dia terinfeksi virus dari almarhum suaminya. Klien ini sudah mencapai tahap acceptance. Sementara itu, kedua anaknya dengan status negatif. Klien sudah lama berobat ke Klinik Teratai, dan Sake
sudah sangat
mengenalnya. Suatu hari, via telepon dia menyampaikan keinginannya kepada Sake untuk menikah dan ingin melakukan konseling dengan calon suaminya yang masih jejaka. Konseling open status pun dilakukan, Sake terlebih dahulu menanyakan pengetahuan calon suami klien mengenai virus HIV dan cara penularannya. Kemudian calon suami klien menjawab apa yang dia ketahui dari pertanyaan Sake. Sake kembali menanyakan apakah dia sudah tahu status klien dan siap menerima segala hal yang berkaitan dengan klien atau pasangannya. Dia pun menjawab dengan bulat bahwa dia sudah mengetahui status klien dan siap untuk menerima segala hal yang berkaitan dengan klien atau pasangannya. Selain menerima klien sebagai pasangan hidupnya, dia siap menanggung resiko akan penularan yang bisa saja terjadi pada dirinya. Setelah mendengar penjelasan dari calon suami klien yang sudah menerima klien apa adanya, bahkan dia siap untuk tertular. Maka Sake memberikan informasi mengenai pencegahan penularan dari klien ke pasangannya, yaitu melakukan seks yang aman dengan menggunakan kondom. Serta tak lupa Sake memberikan dukungan kepada klien untuk selalu menjalani pola hidup sehat agar klien tidak terpapar infeksi oportunistik.
76
Pernikahan pun terjadi dan sudah berjalan selama lima tahun. Klien kembali menghubungi Sake via telepon dengan maksud ingin mencoba melakukan tes untuk pasangannya. Sake sangat menerima keinginan klien dengan tangan terbuka. Dalam 3 bulan terakhir tes pun akhirnya dilakukan, dan hasil dari tes tersebut adalah negatif. Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa metode client centered yang digunakan Sake berhasil, karena klien dan pasangannya tanpa terpaksa mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Sake. Sehingga dengan pernikahan yang sudah lama tersebut pasangan klien tidak tertular. Mereka melakukan seks yang aman dan klien menjaga pola hidup
sehatnya,
sehingga
tidak
menularkan
penyakit
kepada
pasangannya.19 Untuk mengetahui keberhasilan layanan yang diberikan Sake untuk para Odha, peneliti pun mencoba menanyakan pendapat para Odha mengenai pelayanan yang diberikan oleh Sake, di antaranya: a. Odha yang berinisial H yang berusia 30 tahun. Dia merupakan seorang supir dan H ketika di wawancarai dalam keadaan sakit yaitu kurus, dan pucat. Sakit yang dideritanya yaitu demam dan sariawan disekitar bibir dan lidahnya. H kaget dan cemas ketika pertama kali mendengar terinfeksi virus HIV. Namun, setelah mendapatkan konseling dari Sake, H berpendapat bahwa semenjak mengikuti informasi yang Sake berikan, H bisa kembali menaikan berat badannya, bisa menjaga daya tahan
19
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 Mei 2015.
77
tubuhnya serta yang paling penting H menjadi bersemangat kembali untuk menjali hidupnya.20 b. Odha dengan inisial T yang berusia 32 tahun. Dia merupakan mantan pecandu narkoba. Kondisi fisik T sangat bagus, padat dan berisi, T seperti orang yang tidak terinfeksi virus HIV. Ketika awal-awal mengetahui statusnya T sangat menutup diri, bahkan dia tidak mau bercerita kepada keluarganya. T hanya mau terbuka kepada Sake. Akhirnya Sake memberikan informasi tentang konseling buka status kepada orang lain, Sake pun menambahkan bahwa dukungan keluarga sangat berarti untuk para Odha. T memutuskan untuk meminta bantuan Sake agar membuka statusnya kepada keluarganya. Ketika koseling sudah dilakukan dan keluarga T telah diberikan informasi mengenai
virus
HIV,
T sekarang
merasa
keluarganya
merangkul dirinya dan T sudah tidak merasakan kesendirian lagi. T sangat berterimakasih kepada Sake yang telah membantunya
untuk mendapatkan dukungan dari keluarga,
sehingga T merasa memiliki makna bagi
orang-orang
terdekatnya terutama keluarga.21 c. Odha dengan inisial M, yang berumur 29 tahun. Kondisi fisik M sangat kurus dan kecil, sehingga orang yang pertama kali melihatnya kurang percaya kalau dia hampir berkepala tiga. M enggan bercerita latar belakangnya. Dia menjawab singkat
20
Odha H, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, rabu, 06 April 2015. 21 Odha T, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, kamis, 07 April 2015.
78
bahwa sosok Sake sangat membantu kehidupannya semenjak infeksi HIV itu bersarang ditubuhnya.22 d. Odha dengan A berumur 26 tahun. Dia bekerja sebagai pelayan direstoran. Kondisi fisik A sangat kurus namun dia adalah sosok yang ceria. A bercerita bahwa dia sering bergonta-ganti pasangan seks, dan akhirnya A terinfeksi virus HIV. Pendapat A mengenai pelayanan yang dilakukan Sake sangat positif, karena berkat konseling dari Sake, A menjadi semangat dan termotivasi untuk melakuka perubahan perilaku dengan perilaku barunya yang lebih berkualitas.23 e. Odha dengan inisial N, yang berumur 25 tahun. Dia merupakan seorang ibu rumah tangga. N sudah menjalani pernikahan dengan laki-laki yang dicintainya selama 4 tahun. Tiba-tiba suaminya jatuh sakit dan dokter yang merawat menganjurkan untuk melakukan tes HIV, kemudian hasilnya positif, dokter itu pun kembali mengusulkan N untuk melakukan tes dan hasilnya positif. Awalnya N merasa kecewa dan kecewa karena telah dibohongi oleh pasangannya, namun setelah melakukan beberapa kali konseling dengan Sake, N menjadi lebih tau mengenai virus HIV dan bisa menerima takdir yang sekarang dialaminya. N menjadi termotivasi untuk melakukan perubahan perilaku untuk dirinya dan untuk pasangannya.24
22
Odha M, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015. 23 Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015. 24 Odha N, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, rabu, 13 April 2015.
79
b. Kegagalan dalam konseling Kasus ini terjadi pada seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Serang yang berumur 22 tahun. Dia berpacaran dengan duda beranak satu, mereka berhubungan seksual di luar pernikahan. Ternyata duda tersebut terinfeksi HIV, dan meninggal karena kecelakaan. Klien mengetahui bahwa pasangannya tersebut telah lama terinfeksi HIV, atas dasar cinta klien mau melakukan seks yang tidak aman dengan pasangannya. Setelah pasangannya meninggal klien pun mempunyai prediksi bahwa dia pun terinfeksi HIV. Akhirnya klien pun mengunjungi Klinik Teratai dan langsung menemui Sake. Tidak banyak informasi yang Sake berikan karena klien sudah banyak mengetahui mengenai virus HIV. Tes pun dilakukan dan hasilnya non reaktif atau negatif, karena klien sudah banyak mengetahui tentang HIV dan dia pun sudah mempunyai prediksi karena dia melakukan hubungan seks yang tidak dengan orang yang terinfeksi HIV, maka dia mengatakan tiga bulan kemudian datang kembali untuk melakukan tes. Tes pun kembali dilakukan dan hasilnya positif. Masih dengan alasan cinta terhadap pasangannya, klien sudah memprediksi bahwa hasilnya positif dan menerima dengan ikhlas warisan yang berupa virus yang ditinggalkan pasangannya. Akhirnya Sake memberikan informasi kepada klien untuk tes silifor untuk memulai pengobatan agar menjaga kesehatan klien, karena kondisi fisik klien masih sehat dan dia baru saja terinfeksi HIV, dan klien pun menolak untuk melakukan pengobatan dengan alasan bahwa dia masih baik-baik saja dan kondisi fisiknya pun masih bagus. Maka Sake ikut apa yang dipilih klien tanpa memaksanya untuk mengambil apa yang dia sampaikan. Selain itu Sake memberikan informasi
80
mengenai perubahan perilaku yang bisa klien lakukan untuk menjaga kesehatannya dan tidak menularkan kepada orang lain. Setelah konseling post tes itu dilakukan, klien menghilang tanpa kabar dan cerita. Kemudian satu tahun berlalu, klien menghubungi Sake via telepon memberitahu bahwa dia akan melangsungkan pernikahan. Sake menawarkan “konseling open status” kepada calon suaminya, namun lagi-lagi klien menolak dengan alasan dia sanggup untuk open statusnya kepada pasangannya. Padahal tujuan Sake melakukan konseling adalah untuk memberikan informasi kepada calon suaminya, agar ketika pasangannya tertular tidak menyalahkan klien. Akhirnya pernikahan pun terjadi, namun Sake tidak mengetahui lagi bagaimana perkembangan klien, karena klien menghilang.25 Jadi kesimpulan dari kasus di atas adalah konseling telah dilakukan dan perubahan perilaku tidak terjadi, karena yang memutuskan adalah klien. Konselor tidak mempunyai kewenangan lagi apabila klien sudah menolak untuk diberikan bantuan. Sake menganggap dalam kasus ini dia menemukan kegagalan dalam menerapkanmetodenya.
25
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Voluntary Counseling Testing (VCT) atau Konseling Tes Sukarela (KTS) adalah tes HIV secara sukarela yang disertai dengan konseling. Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya. Dengan mengikuti VCT bisa mengetahui status HIV lebih awal dan bisa menjaga kesehatan. VCT merupakan dukungan layanan bagi mereka yang merasa berisiko dan menginginkan pemeriksaan HIV. VCT bersifat rahasia dan sukarela, siapapun tidak boleh memaksa atau menekan seseorang untuk melakukan konseling dan tes hiv. Adapun tahapan VCT yaitu konseling prates, tes, dan konseling postes. Dalam tahapan VCT peran seorang konselor sangat penting, karena tanpa konselor maka konseling untuk klien tidak bisa dilakukan. Adapun tugas dari seorang konselor HIV adalah mendampingi klien sejak pertama akan dites sampai klien mendapatkan hasil tesnya. Tidak sampai disitu saja hubungan konselor HIV dengan klien bisa berlanjut apabila klien masih membutuhkan bimbingan atau konseling dari konselor. Kedua, upaya konselor Odha Klinik Teratai dalam menguatkan kondisi psikologis penderita ODHA secara umum dengan penerapan
81
82
metode Client-Centered Counseling dengan memberikan informasiinformasi signifikan sesuai dengan kebutuhannya yaitu dengan melakukan perubahan perilaku. Pemberian informasi akan menambah wawasan pengetahuan Odha dan membuka pemahaman baru yang akan mendorong agar melakukan tindakan. Adapun untuk lebih rincinya upaya yang dilakukan konselor Odha Klinik Teratai dalam membantu menguatkan kondisi psikologis para Odha yaitu mencakup dua bagian: pertama, menjaga kualitas teknik dan etika konseling, dengan cara mendengarkan secara aktif, memiliki rasa empati yang tinggi, dan mampu menjaga rahasia. Kedua, melakukan pendampingan dalam proses perubahan perilaku. Tahapan dari perubahan prilaku adalah tahap pra kesadaran (unaware), tahap kesadaran, tahap persiapan (ready to change), tahap tindakan, dan tahap mempertahankan.
B. Saran 1. Bagi responden Responden disarankan untuk bisa melakukan kegiatankegiatan bermanfaat yang sesuai dengan minat agar bisa mendapatkan kehidupan baru yang berkualitas dan mandiri. 2. Bagi Odha yang lain Bagi Odha terutama yang baru mengetahui bahwa dirinya terinfeksi untuk mengikuti konseling yang dapat memberikan informasi yang bermanfaat serta bisa membantu kondisi psikologisnya. Selain itu, Odha juga disarankan untuk mengikuti kegiatan dan pertemua sesama Odha yang biasanya diadakan oleh LSM atau pihak lain yang menangani HIV/AIDS sehingga
83
Odha bisa termotivasi untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. 3. Bagi konselor Bagi
konselor
disarankan
untuk
tetap
menjaga
profesionalisme dengan dilandasi oleh rasa keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi beragam sikap Odha. 4. Bagi Klinik Teratai Bagi Klinik Teratai diharapkan untuk tetap terus memberikan pelayanan yang terbaik untuk para Odha dan untuk pasien lain yang datang berkunjung. 5. Bagi peneliti Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan subjek penelitian yang lebih luas dan didukung oleh informasi-informasi yang relevan dengan kehidupan Odha sehingga akan memperkaya hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Arsip Klinik Teratai. 2016. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada Tahun. Serang: Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara.
Boeree, George C. 2010. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama Green, Chirs W. 2006. HIV & TB. Jakarta: Yayasan Spiritia Green, Chirs W. 2011. HIV Kehamilan dan Kesehatan Perempuan. Jakarta: Yayasan Spiritia Harahap, Syaiful W, et al. 2011. Info HIV/AIDS. Banten: Media Relations Office
Himawan, Agung Prambudi. 2010. “Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada Konseling HIV/AIDS”. Skripsi. Yogyakarta: Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu Komunikasi. 29 Mei 2015
Jarvis, Matt. 2010. Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusa Media
Kementrian Kesehatan RI. Tahun 2013, Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan AIDS. Jakarta: Depkes RI Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba. Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Komisi Penanggulangan Aids. 2006. Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing. Jakarta: KPA.
Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Prenada Media Group
Moleong, J Lexy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Murni, Suzana, et al. 2013. Hidup dengan HIV. Jakarta: Yayasan Spiritia Murni, Suzana, et al. 2003. Pasien Berdaya. Jakarta: Yayasan Spiritia Murni, Suzana, et al. 2009. Pasien Berdaya. Jakarta: Yayasan Spiritia PKBI DKI Jakarta. 2011. Voluntary Counseling and Testing. Jakarta: PKBI.
Rihaliza. 2010. Hubungan Konselng VCT dan Dukungan Sosial dari Kelompok Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support. Skripsi. Minangkabau: Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Kedokteran jurusan Ilmu Keperawatan. 29 Mei 2015
Roey, Jens Van. 2003. Dari Prinsip ke Praktik: Keterlibatan Lebih Besar Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (GIPA). Jakarta: Yayasan Spiritia Spiritia, Yayasan. 2014. Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya. Jakarta: Yayasan Spiritia
Sumalin, Hestri. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga Harapan RSUD Banyumas. Skripsi. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan. 29 Mei 2015
Surya, Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karier). Yogyakarta: CV Andi Offset Willis, S Sofyan. 2013. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta Yusuf, Syamsu, et al. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
WAWANCARA Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 28 April 2015. Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015. Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 04 April 2015. Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015. Odha H, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 06 April 2015. Odha T, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Kamis, 07 April 2015. Odha M, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 April 2015. Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 April 2015. Odha N, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 13 April 2015. Nita Stela, Stad Administrasi di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015.
LETAK KLINIK TERATAI DI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA
KONDISI RUANG TUNGGU PASIEN YANG DATANG BERKUNJUNG KE KLINIK
KONDISI RUANGAN PELAYANAN DI KLINIK TERATAI
INVENTARIS KLINIK TERATAI
RUANG KONSELING
RUANG CST
RUANGAN LAIN YANG ADA DI KLINIK TERATAI
WAWANCARA DENGAN KONSELOR KLINIK TERATAI
WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ODHA
KONSELOR PENDAMPING DI KLINIK DARI KOMUNITAS KOTEK
KUNJUNGAN KETUA JURUSAN BKI KE KLINIK TERATAI
FOTO BERSAMA STAF KLINIK TERATAI