BAB I PERMASALAHAN A. Latar Belakang Penelitian Sejak AIDS ditemukan pertama kali pada tahun 1981, saat ini HIV/AIDS telah menyerang jutaan penduduk di dunia, lelaki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak. Dalam laporan yang dikeluarkan pada Desember 2004, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan PBB untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) memperkirakan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di seluruh dunia mencapai 39,4 juta orang (Media Indonesia, 31 Maret 2005). Kelompok umur yang paling rawan adalah remaja. Dari jumlah itu, 2,2 juta di antaranya adalah anak-anak usia 15 tahun ke bawah. Diperkirakan 700.000 remaja terinfeksi setiap tahunnya di wilayah Asia Pasifik. HIV/AIDS telah menyebar ke seluruh dunia. Sebagian besar kasus HIV terjadi di negara berkembang, terutama di Asia. Negara yang paling parah terkena virus ini antara lain Thailand, India, Myanmar, dan China, tidak terkecuali Indonesia. Kasus HIV pertama di Indonesia ditemukan pada tahun 1987, dan tujuh tahun kemudian dilaporkan ODHA sudah berjumlah 55 orang dan jumlah mereka yang positif terinfeksi HIV mencapai 213 orang. Namun jumlah itu ibarat fenomena gunung es, jadi jumlah yang kelihatan hanya sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Menurut estimasi WHO/UNAIDS yang sudah diakui pemerintah, jumlah sebenarnya pengidap HIV/AIDS di Indonesia sudah memasuki kisaran 90.000-130.000 orang (Media Indonesia, 31 Maret 2005). Jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam 10 tahun terakhir dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan jika upaya penanggulangan tidak dipercepat dan diperluas. Diperkirakan akan ada 1 (satu) juta infeksi HIV
baru termasuk 350 ribu orang meninggal karena AIDS dalam 10 tahun ke depan. (www.groups.google.co.id, 5 Februari 2007) Serupa dengan pola penyebaran di negara-negara lain, di Indonesia kasus AIDS yang pertama kali muncul bersumber dari orang-orang homoseks, kemudian kelompok orang berperilaku risiko tinggi, seperti pecandu narkoba, dan para pekerja seks komersial (PSK) beserta para pelanggannya. Dari mereka, HIV/AIDS akhirnya menyebar ke seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, pria dan wanita, bahkan ibu rumah tangga biasa. Perkembangan penderita HIV/AIDS di Indonesia semakin lama makin memprihatinkan. Setiap tahun, terjadi peningkatan jumlah penderita sekitar 30 persen. “Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sangat-sangat mengkhawatirkan. Bahkan, negara ini bisa menjadi episentrum HIV/AIDS menggantikan negara Thailand,” kata seksolog dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS. (www.surya.co.id, 5 Desember 2007). Khususnya Jawa Barat yang menempati urutan ketiga se-Indonesia (www.depkes.go.id, 30 November 2007) dengan jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 940 kasus sampai dengan Desember 2006. Kota Bandung sendiri menempati urutan pertama di Jawa Barat dengan kasus HIV/AIDS pada tahun 2007 (Dinas Kesehatan Jawa Barat, 2007). Hingga saat ini jumlahnya terus bergerak dan tidak pernah menurun. Pengidapnya bukan hanya kaum homoseksual atau pekerja seks, tapi juga orang-orang yang tidak berdosa bahkan anak-anak. Sebagian besar penularan adalah melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik di kalangan pecandu narkoba (IDU/Injection Drug User). Dilihat dari jumlah kasus, yang perlu diwaspadai adalah cepatnya peningkatan jumlah orang yang terinfeksi dan luasnya penyebaran. Akan semakin banyak laki-laki dan perempuan yang akan jatuh sakit dan meninggal karena epidemi ini. Sebagian besar dari mereka adalah penopang hidup keluarga dan kaum muda penerus bangsa yang berada pada usia remaja. Bahkan
kasus terbanyak pengidap HIV/AIDS adalah kelompok usia 20-29 tahun sebanyak 55 % dan usia 30-39 tahun sebanyak 27 %. (www.depkes.go.id, November 2007). Untuk
negara
berkembang seperti
Indonesia,
epidemi
HIV/AIDS
merupakan
permasalahan yang sangat besar dan sanggup mengancam keberlangsungan kehidupan manusia di dunia. Walaupun usaha untuk menghentikan penyebaran epidemi ini telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan dana dan sarana yang tersedia, namun belum mampu menghentikan penyebaran epidemi HIV/AIDS khususnya di Jawa Barat. Hal itu jelas merupakan ancaman terhadap pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia. Pasalnya angka kematian kasar (terutama dari kelompok usia produktif) akan meningkat, dan harapan hidup akan menurun. Ujung-ujungnya jumlah dan produktivitas tenaga kerja menurun drastis, yang secara langsung mempengaruhi produktivitas dan pendapatan nasional. Data statistik di atas diperoleh dari pemeriksaan darah anonym-unlinked yang artinya bahwa darah yang diperiksa tidak diketahui orangnya karena tujuannya memang hanya untuk mengetahui besarnya masalah di suatu populasi dan bukan untuk mengetahui status HIV seorang individu. Karena masa tanpa gejala atau masa inkubasi orang yang terinfeksi HIV amat panjang (sekitar 5-10 tahun) dan masih adanya penolakan pada orang yang terinfeksi HIV, hanya puluhan saja yang mengetahui dirinya telah terinfeksi. Adanya virus HIV dalam tubuh seseorang tidak akan tampak dari penampilan luar. Orang yang telah terinfeksi HIV dapat tidak menunjukkan gejala apapun dalam jangka waktu yang relatif lama. Satu-satunya cara untuk mengetahui status HIV seorang individu adalah melalui tes HIV sukarela rahasia atau HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) salah satunya dengan tes Enzyme Immunosorbent Assay (ELISA) dengan mengambil sampel darah. Untuk itu diperlukan
banyak prasyarat yang diperlukan antara lain tersedianya konselor yang handal, pemasaran sosial yang memadai, akses pada tes HIV serta dukungan pasca tes (psikologis, sosial, ekonomi, dan medis). Bila individu yang HIV+ bisa diketahui, maka hal ini akan mempunyai manfaat ganda, yaitu layanan konseling untuk perubahan perilaku pada mereka dengan tujuan agar tidak menularkan virus HIV terhadap orang lain, penerimaan status diri, dan meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri. Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987, epidemi HIV di Indonesia dianggap cukup lamban berkembang. Selalu dikategorikan prevalensi rendah. Statistik yang rendah (dibawah 1000 orang selama 11 tahun hingga 1999) menyebabkan HIV/AIDS tidak dibicarakan secara gencar dan terbuka, baik oleh masyarakat maupun pembuat kebijakan. Upaya pencegahan menjadi fokus utama dengan penekanan pada isu moral yang kental. Sedangkan dukungan dan perawatan untuk orang yang terinfeksi tidak dianggap isu mendesak. Sebenarnya di Indonesia sudah terdapat komitmen politik untuk menanggulangi HIV/AIDS, yaitu dengan dikeluarkannya Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010 yang menjabarkan paradigma baru dalam upaya penanggulangan AIDS di Indonesia dari upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi oleh semua pemangku kepentingan. Tujuan
umum
penanggulangan
HIV
dan
AIDS
dalam
Strategi
Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2007 – 2010 adalah mencegah dan mengurangi penularan (ODHA)
HIV, serta
meningkatkan mengurangi
pada
individu,
keluarga
area
prioritas,
yaitu:
kualitas
dampak dan
(1)
hidup
sosial
dan
masyarakat,
Pencegahan
orang
dengan
ekonomi yang
Infeksi
akibat
diarahkan Menular
HIV HIV pada
Seksual,
dan
AIDS
dan
AIDS
7 HIV
(tujuh) dan
AIDS;
(2)
Surveilans dan
Perawatan, HIV
riset
dan
pengobatan AIDS
operasional;
serta
(5)
dan
dukungan
Infeksi
Menular
Seksual;
Kondusif;
(6)
Lingkungan
kepada
ODHA; (4)
(3)
Penelitian
Koordinasi
dan
harmonisasi multipihak; dan (7) Kesinambungan Penanggulangan. Strategi Nasional
yang baru
diarahkan
kepada
kelompok
kelompok
yang
beresiko
rentan
penularan
ini menjelaskan
orang
dengan
tertular
(Vulnerable
HIV
dan
(High-Risk
People)
bahwa
upaya
AIDS
(Infected
People),
dan
penanggulangan People),
kelompok
masyarakat
umum
yang (general
population). Untuk
mencapai
mengarahkan
(1)
sukarela;
hubungan
seks
Intervetion
yang
penularan
Menular
darah
yang
HIV
Seksual
aman;
komunikasi
(7)
dilakukan
dalam
penggunaan
kondom
pada
mencakup
program
Behaviour
pengurangan Harm
ibu
ke
(IMS);
(6)
Program
(9)
kelompokkan
peningkatan
dari
publik;
baru
dan
atau
Program
di
yang
konseling
Program suntik
Nasional
pelayanan
juga
(3)
Strategi
peningkatan
Program
NAPZA
Infeksi
Program
(2) beresiko,
penyalahgunaan
yang
Program
(BCI);
pencegahan
pencegahan,
kegiatan-kegiatan
program-program: testing
tujuan
anak;
Program
buruk
(4)
Program
Program
penyediaan
peningkatan
dampak
Reduction; (5)
darah
kewaspadaan
pendidikan
Change
penanggulangan dan
produk
universal;
ketrampilan
(8) hidup;
dan (10) Program perlindungan, perawatan dan dukungan pada anak. Sama halnya seperti kebanyakan orang lain, pengidap HIV dan AIDS memiliki hak dan kebebasan untuk memilih tindakan-tindakan dan menentukan arah hidupnya, sekalipun
kebebasan itu sedikit banyak mungkin menjadi semakin terbatas. Dalam kenyataannya, pada bangsa manapun, baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia, banyak masyarakat awam cenderung membatasi atau menghindari diri dari bergaul dengan para pengidap HIV atau AIDS. Stigma dan diskriminasi terhadap para pengidap HIV/AIDS masih melekat di masyarakat kita. Walaupun saat ini, hal tersebut sudah mulai diminimalisir dengan pemberian informasi mengenai HIV/AIDS kepada masyarakat yang disampaikan oleh berbagai lembaga atau media melalui bermacam cara. Dengan masih adanya pandangan yang keliru dari masyarakat terhadap orang yang terinfeksi HIV menyebabkan orang yang telah terinfeksi virus tersebut semakin terpuruk, apalagi bila pengidap berasal dari komunitas tertentu yang telah mendapat cap buruk dari masyarakat, seperti komunitas pekerja seks komersil (PSK) atau waria. Karena selain mendapat penolakan dari masyarakat, kadangkala ia juga ditolak oleh komunitasnya sendiri. Penderita
HIV/AIDS
seringkali
menerima
perlakuan
tak
menyenangkan
dari
lingkungannya. Sejak virus ini populer pada 1982, dan disebut-sebut tidak bisa disembuhkan, dunia terus meminggirkan para penderita HIV/AIDS. Mereka bukan saja dihina, tapi juga dianggap najis dan nista. Bentuk penolakan yang sering kali diterima oleh penderita HIV/AIDS, sangat banyak. Bentuknya bisa berupa penolakan sebagai anggota keluarga, diberhentikan dari pekerjaan, diminta pindah dari lingkungan tempat tinggalnya, ditolak untuk menggunakan layanan rumah sakit, transportasi, atau akomodasi hotel, sampai dikeluarkan dari sekolah. Belum habis guncangan yang dirasakan ODHA begitu mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS, orang-orang di sekitarnya, bahkan orang-orang yang dicintainya, sudah menghukum dengan menjauhinya. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, bukan lagi virus atau penyakit
yang mendera mereka namun justru perlakuan dari masyarakat, termasuk keluarga, yang mungkin terasa jauh lebih menyakitkan. Sikap yang ditunjukkan masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS merupakan cermin dari masih rendahnya pemahaman soal penyakit yang mengerikan ini. Masyarakat justru semakin memberinya masalah, bukannya solusi. Ironisnya, sikap yang diskriminatif terhadap ODHA ini masih banyak ditunjukkan oleh dokter dan para petugas kesehatan. Sungguh bertolak belakang dengan latar belakang pendidikan mereka yang sudah paham tentang HIV/AIDS. Diskriminasi dan pengobyekan seringkali menghambat pengidap HIV/AIDS untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya, seperti untuk melanjutkan studi, mendapatkan pekerjaan, menjalin hubungan intim dengan sesama, bahkan untuk menerima pelayanan kesehatan yang layak. Dengan kondisi seperti ini, dukungan terhadap pengidap HIV/AIDS pun diperlukan. Vonis yang diberikan pada pengidap HIV+ telah membuat hidup mereka berubah. Tidak sedikit yang menjadi depresi dan putus asa. Padahal seyogyanya mereka masih dapat berkarya dan membuat sisa hidup mereka lebih berarti. Pendampingan dan perlakuan yang tepat terhadap para pengidap HIV/AIDS ini mutlak diperlukan untuk menumbuhkan kembali semangat hidup dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Salah satu bantuan yang dapat diberikan adalah melalui konseling. Di sinilah peran konselor diperlukan untuk memberikan konseling dan pendampingan terhadap klien yang mengidap HIV/AIDS serta pada keluarganya. Konseling terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bukanlah hal yang mudah, apalagi bila ODHA itu juga merupakan “junkie”
atau pengguna narkoba. Terdapat teknik-teknik
konseling khusus yang digunakan untuk membantu ODHA yang disesuaikan dengan kondisi dan
karakteristik orang yang bersangkutan, namun tetap mengacu pada teknik-teknik dan prinsipprinsip konseling secara umum. Salah satu lembaga yang mengadakan layanan konseling HIV/AIDS di Jawa Barat adalah HiKHA atau Himpunan Konselor HIV/AIDS yang telah bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit dan LSM di Jawa barat dalam upaya menanggulangi HIV/AIDS khususnya di Jawa Barat. HiKHA merupakan wadah dimana para konselor HIV/AIDS atau VCT (Voluntary Counseling and Testing) berhimpun dan membaktikan dirinya kepada masyarakat yang ingin mengetahui status HIV pada dirinya. Melihat semakin berkembangnya jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia, khususnya di Kota Bandung walaupun berbagai cara pencegahan telah dilakukan, hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Terlebih dikaitkan dengan aplikasi konseling di dunia HIV/AIDS. Penelitian yang meliputi faktor-faktor psikososial seperti sakitnya seseorang, strategi untuk mengatasi, dan dukungan sosial sangat menarik, karena hal itu bukan hanya dapat mengungkap faktor-faktor yang dapat mendukung pengidap HIV/AIDS untuk survive lebih lama, tapi juga dapat menyediakan lebih banyak hipotesis umum untuk memahami bagaimana faktor sosial dan psikologis mempengaruhi penyakit tersebut. Permasalahannya tidak semua orang mampu dan boleh memberikan konseling HIV/AIDS, bahkan seorang konselor lulusan program studi bimbingan dan konseling sekalipun, karena dalam konseling HIV/AIDS terdapat muatan-muatan khusus terutama yang berhubungan dengan HIV/AIDS yang harus dipelajari dan dikuasai oleh seorang konselor. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan layanan konseling bagi klien HIV/AIDS dan diharapkan bisa menjadi salah satu referensi bagi konselor khususnya dari
jurusan bimbingan dan konseling dalam menangani kasus atau permasalahan yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Untuk itu, penulis bermaksud untuk mengkaji dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai layanan konseling HIV/AIDS yang dilaksanakan oleh HiKHA dengan judul “Layanan Konseling Bagi Klien HIV/AIDS”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Perumusan Masalah Sistem layanan konseling HIV/AIDS atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Mulai dari raw input atau klien dengan berbagai permasalahannya, pemberi layanan atau konselor, dan dukungan (support system). Individu yang menjadi klien dalam layanan konseling HIV/AIDS ini bukan hanya mereka yang telah dinyatakan positif mengidap HIV, tapi juga mereka yang belum dinyatakan positif tapi memiliki kecenderungan atau beresiko terinfeksi virus HIV. Konselor sebagai pemberi layanan adalah orang yang akan terlibat langsung dalam proses pemberian bantuan kepada klien. Dalam pelaksanaannya, layanan konseling HIV/AIDS (VCT) tidak dapat berdiri sendiri, tapi diperlukan dukungan dari berbagai pihak, seperti keluarga dan masyarakat, laboratorium untuk tes HIV, akses ke fasilitas kesehatan, serta kelompok dukungan (support group). Secara visual faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pelaksanaan layanan konseling HIV/AIDS ini dapat digambarkan pada bagan berikut ini.
Lingkungan - Keluarga - Masyarakat
Klien - Latar belakang - Kepribadian - Permasalahan
Konseling HIV/AIDS (VCT)
Perubahan perilaku
Konselor
Dukungan - Laboratorium - Dokter - Fasilitas kesehatan - Kelompok dukungan (support group)
Bagan 1.1 Peta variabel yang berkaitan dengan fokus penelitian
2. Pembatasan Masalah Pada pelaksanaannya, tidak semua faktor yang telah digambarkan dalam peta variabel penelitian akan diteliti, tetapi akan dibatasi pada sejumlah faktor saja agar penelitian lebih fokus. Adapun faktor yang akan diteliti adalah: a. Pelaksanaan layanan konseling
b. Perubahan perilaku sebagai hasil dari pelaksanaan layanan konseling.
C. Fokus Telaahan Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus utama peneliti adalah mengenai layanan konseling terhadap klien HIV/AIDS, khususnya yang dilaksanakan oleh HiKHA Jabar serta dampak dari konseling itu sendiri terhadap perubahan perilaku klien. Konseling adalah proses pemberian bantuan oleh seseorang yang telah terlatih kepada seseorang yang lain. Konselor di sini diartikan sebagai orang-orang yang dilatih untuk membantu orang lain memahami permasalahan yang mereka hadapi, mengidentifikasi dan mengembangkan alternatif pemecahan masalah, dan mampu membuat mereka mengambil keputusan atas permasalahan tersebut. Proses konseling bisa digambarkan sebagai satu dialog antara seseorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan pelayanan konseling (konselor) dengan tujuan untuk memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut (Gunung, 2002 : 3). Klien HIV/AIDS atau ODHA (orang dengan HIV/AIDS) adalah orang yang telah terinfeksi virus HIV secara positif atau mengidap AIDS dan orang yang belum dinyatakan terinfeksi tapi memiliki kecenderungan perilaku yang beresiko terkena virus ini. Keberhasilan konseling berdampak pada perubahan perilaku pada diri klien. Perubahan itu bisa mengarah menjadi lebih baik atau positif maupun menjadi lebih buruk dari sebelumnya atau negatif. Perubahan perilaku pada klien HIV/AIDS bisa dilihat dari pola hidupnya sehari-hari
yang mengurangi atau bahkan meninggalkan sama sekali perilaku yang beresiko tertular maupun menularkan virus HIV. Secara operasional fokus penelitian tersebut dijabarkan ke dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan konseling terhadap klien HIV/AIDS? 2. Bagaimanakah dampak konseling terhadap perubahan perilaku klien?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui pelaksanaan konseling terhadap klien HIV/AIDS, yang meliputi program dan layanan konseling yang diberikan. b. Untuk mengetahui dampak konseling terhadap perubahan perilaku klien.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a. Bagi para konselor HIV/AIDS, sebagai bahan masukan dan umpan balik, khususnya
dalam pelaksanaan konseling terhadap klien HIV/AIDS. b. Bagi jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, untuk memperkaya khazanah
keilmuan dalam bidang HIV/AIDS dan sebagai masukan bagi pengembangan praktek layanan bimbingan dan konseling di luar sekolah.
c. Untuk aplikasi di dunia pendidikan, dapat dijadikan acuan oleh konselor pendidikan
dalam mengembangkan suatu program bimbingan dan konseling di sekolah (preventive education). d. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya
khususnya yang berkaitan dengan permasalahan konseling HIV/AIDS.
E. Kerangka Acuan Konseptual 1. Pengertian Konseling Mortensen (Surya, 2003 : 1) mendefinisikan konseling sebagai suatu proses antar pribadi, di mana satu orang dibantu oleh satu orang lainnya untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan menemukan masalahnya. Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorangseorang, meskipun kadang-kadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup hidupnya sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya Tujuan utama konseling pada hakekatnya adalah membantu setiap klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Untuk mencapai tujuan konseling dengan efektif, seorang konselor harus mampu : (1) menangkap isu sentral atau pesan utama klien; dan (2) utamakan tujuan klien-tujuan konseling. (Willis, 2004 : 20). Faktor yang mempengaruhi konseling yang efektif diantaranya adalah kemampuan (skill) konselor professional, fasilitas yang memadai, teknik yang tepat dalam menangani kasus, dan interaksi antara konselor dengan klien (Hayati, 2003 : 3).
2. HIV dan AIDS
HIV (Human Immnunodeficiency Virus) termasuk ke dalam familia retrovirus. Sel-sel darah putih yang diserang oleh HIV adalah sel-sel limfosit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. HIV memperbanyak diri dalam sel limfosit yang diinfeksinya dan merusak sel-sel tersebut, sehingga mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur menurun. Sebaliknya, akibat daya tahan tubuh yang melemah, mengakibatkan risiko timbulnya penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat. Hal-hal ini tidak akan terjadi dalam keadaan daya tahan tubuh yang normal. Infeksi yang timbul oleh daya tahan tubuh yang menurun itu disebut infeksi opprtunistik (opportunistic infections). Sedangkan AIDS (Acquired Immnunodeficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala-gejala yang dijumpai pada fase akhir dari infeksi HIV. Gejala-gejala tersebut tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertai infeksi HIV tersebut. Penurunan daya tahan tubuh akibat kerusakan sistem imun oleh HIV sampai pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu beberapa tahun (bisa sampai 15 tahun). Obat-obat antiretroviral (ARV) dapat membantu mencegah perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS, atau dapat memperbaiki kondisi penderita AIDS.
3. Konseling HIV/AIDS Konseling HIV berbeda dengan konseling yang lain, walaupun keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik karena (Gunung, 2002 : 7) : a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) dan
HIV/AIDS. b. Membutuhkan pembahasan mengenai praktek-praktek seks yang sifatnya pribadi. c. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.
d. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan nilai yang
mungkin sangat bertentangan dengan nilai konselor itu sendiri. e. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil tes HIV yang positif. f.
Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun anggota keluarga klien. Pada dasarnya konseling HIV mempunyai 2 tujuan utama (Gunung, 2002: 7), yaitu :
a. Untuk mencegah penularan HIV. Untuk mengubah perilaku, ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan sekedar informasi belaka, tetapi yang jauh lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka. Misalnya dalam hal perilaku seks aman, penggunaan jarum suntik yang steril, dan lain sebagainya. b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medik, psikologik, sosial,
dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif. Dalam hal lain konselor juga diharapkan dapat membantu dalam hal penerimaan diri akan serostatus HIV, mengatasi rasa putus asa, rasa duka yang berkelanjutan, kemungkinan stigma dan diskriminasi, menyampaikan serostatus pada keluarga dan pasangan, pemutusan hubungan kerja dan lain sebagainya.
Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur efektivitas konseling adalah adanya perubahan perilaku, kesehatan mental yang positif, pemecahan masalah, mencapai keefektivan pribadi, dan pengambilan keputusan (Shertzer and Stone dalam Juntika, 2001: 14-15) Dalam kaitannya dengan klien HIV/AIDS, perubahan perilaku lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup klien yang salah satunya terlihat dalam perilaku atau pola-hidupnya
sehari-hari yang beresiko untuk menularkan virus HIV kepada orang lain. Kesehatan mental yang positif dapat dicapai bila individu/klien mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif atas status ke-HIV-annya. Ia belajar bertanggungjawab, berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku. Seperti halnya orang lain, klien HIV pun banyak menghadapi masalah yang timbul berkenaan dengan status dirinya atau yang lainnya. Pemecahan masalah berkaitan dengan kemampuan klien untuk mengenal, mendefinisikan, dan mencari solusi atau jalan keluar dari permasalahan yang timbul secara sehat dan efektif. Pribadi yang efektif adalah pribadi yang sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya dan bersedia memikul resiko atau tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini klien memiliki kemampuan untuk mengontrol doronfgan-dorongan dan memberikan respons-respons yang wajar terhadap frustasi, depresi, dan penolakan. Dalam hal pengambilan keputusan, klien mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya atau memilih alternatif dari tindakannya serta mengestimasi konsekuensikonsekuensi yang mungkin terjadi atas keputusan yang diambilnya dengan memperhatikan nilainilai dan norma-norma yang dianut. Konseling terhadap klien HIV memfokuskan pada masalah kualitas hidup, bahwa klien harus memahami makna kualitas hidup dalam status HIV positif atau hidup positif dengan HIV/AIDS. Dalam penelitian ini, fokus penelitian adalah pelaksanaan konseling HIV yang dilakukan oleh konselor HIV/AIDS serta dampak konseling terhadap perubahan perilaku klien HIV/AIDS.
D. Pendekatan dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni dengan mengamati langsung kegiatan orang lain dalam lingkungannya serta berinteraksi untuk memahami bahasa maupun tafsiran mereka mengenai dunia di sekitar tempat penelitian. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode studi kasus, yaitu telaah atas suatu lembaga, seseorang, kelompok atau peristiwa aktual di lapangan (tempat penelitian) yang mengintegrasikan penggunaan banyak teknik. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan dan menganalisis secara alamiah suatu peristiwa/proses yang sedang berlangsung, serta dapat memberikan pandangan yang lengkap, komprehensif dan mendalam mengenai sumber yang diteliti, sehingga dapat ditarik suatu makna terhadap proses yang sedang diamati. Studi kasus ini dianggap relevan digunakan dalam penelitian ini, untuk memahami teknik yang digunakan konselor HIV/AIDS secara lengkap dan mendalam. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi, studi dokumenter dan studi literatur.
E. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah orang-orang yang menjadi klien VCT (Voluntary Counseling and Testing) serta konselor yang tergabung dalam HIKHA Jabar dengan objek penelitian berupa pelaksanaan konseling yang dilakukan terhadap klien HIV/AIDS.
F. Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian akan dianalisis berdasarkan pentahapan, yaitu :
1. Reduksi data, yaitu penulisan atau pengetikan data yang diperoleh di lapangan ke dalam bentuk bentuk uraian atau laporan yang rinci dan sistematis, sehingga dapat memeberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. 2. Display data, dimaksudkan untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagianbagian tertentu dari penelitian. Cara ini dapat dilakukan dengan membuat berbagai macam grafik, matriks atau chart. 3. Mengambil kesimpulan dan verifikasi. Tahap ini merupakan suatu kegiatan untuk mencari makna data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan, persamaan, atau hipotesis. Proses analisis data berlangsung sejak setelah data terkumpul sampai dengan akhir penelitian, dengan arahan dari pertanyaan penelitian yang dilengkapi data yang diperoleh.
G. Prosedur Penelitian Prosedur atau langkah-langkah dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Tahap persiapan, yang meliputi : perumusan masalah penelitian, perizinan, penyusunan instrument penelitian, dan orientasi lapangan. 2.
Tahap pelaksanaan, yang meliputi : adaptasi awal (studi pendahuluan) dan proses pengumpulan data.
3. Tahap analisis data 4. Penyusunan laporan penelitian
I. Garis Besar Penulisan Skripsi Garis besar pengerjaan skripsi ini akan tersusun dengan sistematika sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN berisi Latar belakang penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, fokus telaahan, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka acuan konseptual, pendekatan dan metode penelitian, objek dan subjek penelitian, analisis data, serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA / KERANGKA TEORITIS yang berisi pemaparan mengenai teori dari penelitian yang sedang dikaji. BAB III : METODE PENELITIAN berisi penjabaran lebih rinci tentang metode penelitian yang secara garis besar telah disinggung pada Bab I. Terdiri dari semua prosedur dan tahap-tahap penelitian mulai persiapan hingga penelitian berakhir, termasuk instrumen dan teknik pengumpulan data yang digunakan. BAB IV : PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN berisi pemaparan mengenai temuan penelitian dan analisis data. BAB
V :
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI/REKOMENDASI berisi penafsiran atau
pemaknaan
penelitian
berupa
kesimpulan
dari
hasil
penelitian
serta
implikasi/rekomendasi terhadap para pembuat kebijakan, pengguna hasil penelitian maupun bagi penelitian selanjutnya.