HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA TUNA SUSILA DI PANTI REHABILITASI SOSIAL WANITA JAWA BARAT DENGAN PENGETAHUAN MEREKA TENTANG HIV/AIDS
SUDARYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila Di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat Dengan Pengetahuan Mereka Tentang HIV/AIDS adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2007
SUDARYAT NRP. P.051020161
ABSTRACT SUDARYAT. Correlation Between the Characteristic of Prostitutes in the Rehabilitation Program in West Java and Their Knowledge of HIV/AIDS, under the guidance of AMRI JAHI as team leader and H PRABOWO TJITROPRANOTO as members. The characteristics of prostitutes (age, marital status, formal education, income, instrinsic and extrinsic motivation to become prostitutes, perception of ideal life, period of being prostitutes, sexual harassment, family’s economic condition, obedience to norms, influence of social environmental origin, distance to prostitution location, relationship intensity with other prostitutes, who teaches sex, relationship intensity with costumers, and perception that sex is only for pleasure) were predicted to be related to their knowledge of HIV/AIDS. For this reason, this reseach took the following objectives: 1) to identify the characteristics of prostitutes in the Social Rehabilitation Center in West Java, 2) to identify their knowledge of HIV/AIDS and its danger to human health, and 3) to measure the relationship between the characteristics of prostitutes and their knowledge of HIV/AIDS and its danger to human health. The reseach was designed as a descriptive survey involving 100 respondent/prostitutes from the Rehabilitation Center, selected through a Proportional Random Sampling. The collected data were put into a descriptive-qualitative analysis and the test Concordation Kendall W. The reseach has the following result: the average age of prostitutes is 26, they are widow, have the formal education of an elementary level, a high level of income, medium intrinsic motivation, low extrinsic motivation, have a perception of an ideal life for woman, long working experience, never have violent sexual treatment, medium economic condition, low level of obedience to social norm, no social effect of origin, long distance to workplace, medium intensity of interaction with other prostitutes, moderate sexual teaching, high intensity of contact with costumers, and low perception of hedonism sex. In general the prostitutes know about HIV/AIDS. There is degree of similarity among them concerting the various characteristics of 10 ranking areas of HIV/AIDS knowledge, in which they are interested. As a conclusion, of the ten knowledge areas, there are three main areas of knowledge considered the most important: 1) the dager of HIV/AIDS, 2) method of transmission, and 3) preventing method. Its a suggested that a further study be conducted on the prostitutes’ knowledge of HIV/AIDS. Key word : knowledge, characteristic, prostitutes and rehabilitation
RINGKASAN SUDARYAT. Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan Pengetahuan Mereka tentang HIV/AIDS. Dibimbing oleh: AMRI JAHI dan H. PRABOWO TJITROPRANOTO Masalah HIV/AIDS bukan sekedar masalah penyakit dan kesehatan, melainkan sudah merambah hingga masalah lainnya, seperti masalah ekonomi, budaya dan masalah sosial. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah pencegahan penularan penyakit tersebut kepada masyarakat dengan menyadarkan wanita tuna susila (WTS). Hal ini penting karena para WTS itu dapat berperan sebagai penular yang sangat potensial menyebarkan kuman penyakit tersebut kepada orang-orang yang belum terinfeksi. WTS yang sadar akan bahaya HIV/AIDS hendaknya melakukan tindakan untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Pertama, menjaga dirinya agar tidak tertular kuman HIV/AIDS. Kedua, memeriksakan dirinya kepada dokter atau petugas kesehatan secara berkala, dan Ketiga, jika sudah terinfeksi virus HIV, segera memberitahukannya kepada orang lain terutama orang-orang yang dekat dengannya. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengidentifikasi karakteristik individu para wanita tuna susila yang sedang direhabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat, 2) Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan para wanita tuna susila itu tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia dan 3) Untuk menghitung tingkat keeratan hubungan karakteristik para wanita tuna susila itu dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia. Penelitian dirancang sebagai penelitian survey deskriftif, dengan jumlah populasi 140 WTS di panti rehabilitasi sosial wanita di Jawa Barat, yaitu di panti sosial Bina Karya Wanita (BKW) Marga Rahayu di Kecamatan Nagrak Kabupaten Sukabumi dan di Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila (BPSWTS) Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Sampel diambil secara acak (Proportional Random Sampling) sebanyak 100 responden. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2006. Analisa data dipergunakan uji Koefisien Konkordansi Kendall W. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa: Umur dewasa, menikah, pendidikan formal rendah, rata-rata tingkat pendapatan Rp 2.180.900, motivasi instrinsik menjadi WTS dalam kategori sedang, motivasi ekstrinsik rendah, persepsi hidup sebagai wanita ideal, lamanya menjadi WTS rata-rata setahun, tidak pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual, keadaan ekonomi keluarga sedang, kurang patuh terhadap norma, tidak ada pengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak ke tempat bekerja jauh, intensitas hubungan dengan WTS lain sedang, rata-rata diajari hubungan seksual, intensitas hubungan dengan pelanggan tinggi, dan rendah persepsi seks hanya untuk kesenangan. Pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia, berdasarkan skor tertimbang dan prosentase, terdapat tiga karakteristik yaitu: a) Karakteristik WTS pertama, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai skor 51,44 atau 51,44 %. b) Karakteristik WTS kedua, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai dengan skor 52,74 atau 52,74 %, dan c) Karakteristik WTS ketiga, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai dengan
skor 55,53 atau 55,53 %. Skor tertinggi bidang-bidang: 1) Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara Pencegahan. Tingkat keeratan hubungan karakteristik WTS dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia, berdasarkan Nilai W, antara 0,83 - 0,93, rata-rata Nilai W = 0,87. Artinya terdapat hubungan sangat nyata positif antara karakteristik WTS dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS.
HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA TUNA SUSILA DI PANTI REHABILITASI SOSIAL WANITA JAWA BARAT DENGAN PENGETAHUAN MEREKA TENTANG HIV/AIDS
SUDARYAT
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat Dengan Pengetahuan Mereka Tentang HIV/AIDS
Nama
: Sudaryat
NRP
: P051020161
Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Amri Jahi,M.Sc
Dr. H.Prabowo Tjitropranoto,M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Lala M Kolopaking, M.S
Tanggal Ujian: 30 Nopember 2007
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodipuro, M.Sc
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Drs. Benny Setia Nugraha, M.Si
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus dan September 2006 ini ialah, Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan Pengetahuan Mereka tentang HIV/AIDS Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc, dan Bapak Dr. H Prabowo Tjitropranoto, M.Sc, selaku pembimbing, serta kepada Bapak Drs. Benny Setia Nugraha, M.Si selaku penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Dani Dudin Margani dan Bapak Drs. Dadang Slamet Heryana beserta staf di Panti Sosial BPSWTS Palimanan Cirebon dan Panti Sosial BKW Marga Rahayu Nagrak Sukabumi, yang telah membantu selama pengumpulan data, para Responden (Peserta Diklat/Kelayan angkatan II tahun Diklat 2006) di kedua panti sosial tersebut. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, isteri Henny Suniarti, ketiga anak, Sonia L Adriati, Joan Fauzan M Mahdi, dan Mohamad Meldy Giebran atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, maka sewajarnya kekurangan tersebut menjadi kendala dan kekurangsempurnaan dalam penyusunan Tesis ini. Demi kesempurnaan Tesis ini selanjutnya, penulis sangat, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 30 Nopember 2007 Penulis
Sudaryat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 04 Mei 1962 dari ayah Iri Suhanda (alm) dan ibu Sukarsih. Penulis merupakan anak ke empat dari sepuluh bersaudara. Tahun 1982 penulis lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Bogor, tahun 1991 tamat program Diploma III Jurusan IPA, dan menyelesaikan program Strata Satu (S-1) pada Sekolah Tinggi Agama
Islam Syamsul’Ulum
Gunungpuyuh Sukabumi, jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 1997. Tahun 2002 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Strata Dua (S2) Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN). Sejak tahun 1984 hingga saat ini penulis bekerja pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, disamping itu bekerja pula sebagai Dosen Luar Biasa pada Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi dari tahun 1997 sampai sekarang
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Masalah Penelitian .............................................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
3
1.4 Kegunaan Hasil Penelitian .................................................................
3
1.5 Definisi Istilah ....................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
9
2.1 Wanita Tuna Susila ............................................................................
9
2.2 Karakteristik Wanita Tuna Susila ......................................................
9
2.2.1 Umur .......................................................................................
9
2.2.2 Status Perkawinan ..................................................................
10
2.2.3 Pendidikan Formal .................................................................
11
2.2.4 Tingkat Pendapatan ................................................................
13
2.2.5 Motivasi Menjadi WTS ...........................................................
15
2.2.6 Persepsi Hidup Ideal WTS .....................................................
16
2.2.7 Lamanya menjadi WTS...........................................................
17
2.2.8 Mendapat Perlakukan Kekerasan Seksual .............................
17
2.2.9 Keadaan Ekonomi Keluarga ...................................................
19
2.2.10 Kepatuhan Terhadap Norma susila ........................................
20
2.2.11 Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal.............................
20
2.2.12 Jarak ke Tempat Sebagai WTS ............................................
22
2.2.13 Intensitas Interaksi dengan WTS Lain ..................................
23
2.2.14 Yang Melatih/Mengajari tentang Seksual .............................
24
2.2.15 Intensitas Hubungan WTS dengan Pelanggan ......................
24
2.2.16 Persepsi Hedonisme ..............................................................
24
2.3 Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................
25
2.3.1 Definisi HIV/AIDS ...............................................................
26
2.3.2 Penyebab AIDS dan Infeksi Sekunder Sebagai Akibat AIDS ..
27
2.3.3 Cara Penularan HIV/AIDS...................................................... ..
29
2.3.4 Cara Pencegahan HIV/AIDS .................................................. ..
29
2.3.5 Pengetahuan Kesehatan alat reproduksi dan PMS ..................
31
2.3.6 Bahaya HIV/AIDS Pada Kesehatan Manusia ........................ .
32
2.3.7 Akibat HIV/AIDS ................................................................... .
33
2.3.8 Hubungan Sosial dengan Penderita HIV/AIDS ..................... .
34
2.3.9 Dampak Sosial Ekonomi AIDS .............................................. .
35
2.3.10 Hubungan Narkoba dengan AIDS ......................................... .
35
2.4. Hubungan Karakteristik WTS dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
36
2.4.1 Hubungan Umur WTS dengan Pengetahuan HIV/AIDS ....... ...
36
2.4.2 Hubungan Status Perkawinan dengan Pengetahuan HIV/AIDS
36
2.4.3 Hubungan Pendidikan Formal dengan Pengetahuan HIV/AIDS
37
2.4.4 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Pengetahuan HIV/AIDS
37
2.4.5 Hubungan Motivasi Menjadi WTS dengan Pengetahuan HIV/AIDS .............................................................................. ...
38
2.4.6 Hubungan Persepsi Hidup Ideal dengan Pengetahuan HIV/AIDS
38
2.4.7 Hubungan Lama menjadi WTS dengan Pengetahuan HIV/AIDS
39
2.4.8 Hubungan Mendapat Perlakuan Kekerasan Seksual dengan pengetahuan HIV/AIDS .......................................................
39
2.4.9 Hubungan Latar Belakang Keluarga dengan Pengetahuan HIV/AIDS ............................................................................
40
2.4.10 Hubungan Kepercayaan terhadap Norma Susila dengan Pengetahuan HIV/AIDS .......................................................
40
2.4.11 Hubungan Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal dengan 2.4.12 Pengetahuan HIV/AIDS .......................................................
41
2.4.13 Hubungan Jarak tempat bekerja dengan Pengetahuan HIV/AIDS .............................................................................
42
2.4.14 Intensitas Interaksi dengan WTS Lain terhadap Pengetahuan HIV/AIDS .............................................................................
42
2.4.15 Hubungan Yang Mengajari/melatih Seksual dengan Pengetahuan HIV/AIDS ......................................................
43
2.4.16 Hubungan Intensitas Hubungan dengan Pelanggan dengan Pengetahuan HIV/AIDS .......................................................
43
2.4.17 Hubungan Persepsi Hedonisme dengan Pengetahuan HIV/AIDS .............................................................................
43
III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................
46
3.1 Populasi Dan Sampel .........................................................................
46
3.2 Rancangan Penelitian ........................................................................
47
3.3 Data dan Instrumentasi .......................................................................
47
3.3.1 Data ..........................................................................................
47
3.3.2 Instrumentasi ............................................................................
53
3.3.2.1 Uji Validitas (Validity Test) ........................................
53
3.3.2.2 Uji Reliabilitas (Reliability Test) .................................
54
3.4 Pengumpulan Data ..............................................................................
55
3.5. Analisis Data ......................................................................................
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
57
4.1 Pendahuluan ........................................................................................
57
4.2 Distribusi Karakteristik Responden ..................................................
57
4.2.1 Distribusi Responden berdasarkan Umur...................................
57
4.2.2 Distribusi Responden berdasarkan Status Perkawinan ..............
58
4.2.3 Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan Formal ...........
58
4.2.4 Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan ...........
59
4.2.5 Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Instrinsik..............
60
4.2.6 Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Ekstrinsik ............
61
4.2.7 Distribusi Responden berdasarkan Persepsi hidup ideal............
61
4.2.8 Distribusi Responden berdasarkan Lama bekerja ....................
62
4.2.9 Distribusi Responden berdasarkan Mendapat perlakuan kekerasan seksual ...................................................................... 4.2.10 Distribusi Responden berdasarkan Keadaan Ekonomi keluarga
63 64
4.2.11 Distribusi Responden berdasarkan Kepatuhan terhadap Norma Susila ........................................................................................
65
4.2.12 Distribusi Responden berdasarkan Pengaruh Lingkungan Sosial daerah Asal ..............................................................................
65
4.2.13 Distribusi responden berdasarkan jarak tempat bekerja ..........
66
4.2.14 Distribusi Responden berdasarkan Intensitas Interaksi dengan WTS lain .................................................................................
67
4.2.15 Distribusi Responden berdasarkan Orang yang mengajari/ melatih tentang seksual ..........................................
68
4.2.16 Distribusi responden berdasarkan Intensitas hubungan dengan pelanggan ................................................................................
69
4.2.17 Distribusi Responden berdasarkan Persepsi hedonisme ..........
69
4.3 Pengetahuan Responden Tentang HIV/AIDS .....................................
70
4.4 Hubungan Karakteristik Responden dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS ...........................................................................................
71
4.4.1 Hubungan Hubungan Umur Responden dengan pengetahuan HIV/AIDS ................................................................................
72
4.4.2 Hubungan status perkawinan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS .................................................................................
73
4.4.3 Hubungan pendidikan formal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS .................................................................................
74
4.4.4 Hubungan Tingkat pendapatan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS .................................................................................
75
4.4.5 Hubungan Motivasi Instrinsik dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS ................................................................................
77
4.4.6 Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS ................................................................................
78
4.4.7 Hubungan Persepsi hidup ideal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS ................................................................................
79
4.4.8 Hubungan lama bekerja menjadi WTS dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS ................................................................................ 80 4.4.9 Hubungan mendapat perlakuan kekerasan seksual dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS ..............................................
82
4.4.10 Hubungan keadaan ekonomi keluarga dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS ............................................................................... 83 4.4.11 Hubungan kepatuhan terhadap norma susila dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS .............................................
84
4.4.12 Hubungan pengaruh lingkungan sosial daerah asal dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS .............................................
86
4.4.13 Hubungan jarak tempat bekerja dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS ...............................................................................
87
4.4.14 Hubungan Intensitas Interaksi dengan WTS lain dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS .............................................
88
4.4.15 Hubungan yang mengajari hubungan seksual dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS .............................................
90
4.4.16 Hubungn Intensitas hubungan dengan pelanggan terhadap pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS .................................
91
4.4.17 Hubungan persepsi hedonisme dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS ...................................................................
92
4.5 Pembahasan ..........................................................................................
94
4.5.1 Karakteristik responden ............................................................
94
4.5.2 Pengetahuan responden tentang HIV/AIDS ..............................
98
4.5.3 Hubungan karakteristik WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS .................................................................................
100
V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
101
5.1 Simpulan ...........................................................................................
101
5.2 Saran-saran ........................................................................................
102
DAFTARA PUSTAKA ...................................................................................
103
LAMPIRAN ....................................................................................................
105
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Populasi WTS yang mengikuti pendidikan dan latihan ................
46
Tabel 2
Distribusi responden berdasarkan umur .........................................
58
Tabel 3
Distribusi responden berdasarkan status perkawinan ....................
58
Tabel 4
Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal ....................
59
Tabel 5
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan ...................
60
Tabel 6
Distribusi responden berdasarkan motivasi Instrinsik ...................
60
Tabel 7
Distribusi responden berdasarkan motivasi ekstrinsik ...................
61
Tabel 8
Distribusi responden berdasarkan persepsi hidup ideal .................
62
Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan lama bekerja ........................... Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan mendapat perlakuan
63
kekerasan seksual dan kekerasan lainnya ......................................
63
Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan keadaan ekonomi keluarga ......
64
Tabel 12
65
Distribusi responden berdasarkan kepatuhan terhadap norma susila
Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan pengaruh lingkungan sosial daerah asal .................................................................................................
66
Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan jarak tempat bekerja.................
67
Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan intensitas interaksi dengan WTS lain 67 Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan yang mengajar atau melatih seksual
68
Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan intensitas hubungan dengan pelanggan .......................................................................................
69
Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan persepsi hedonisme ..................
70
Tabel 19 Pengetahuan respondeng tentang HIV/AIDS.................................
71
Tabel 20 Hubungan umur responden dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
72
Tabel 21 Hubungan status perkawinan dengan Pengetahuan HIV/AIDS .....
73
Tabel 22 Hubungan pendidikan formal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS 74 Tabel 23 Hubungan tingkat pendapatan responden dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................................................
76
Tabel 24 Hubungan motivasi instrinsik dengan pengetahuan HIV/AIDS ....
77
Tabel 25 Hubungan Motivasi ekstrinsik dengan Pengetahuan HIV/AIDS ...
78
Tabel 26 Hubungan persepsi hidup ideal dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS .....................................................................................
80
Tabel 27 Hubungan lama bekerja dengan Pengetahuan HIV/AIDS .............
81
Tabel 28 Hubungan Mendapat perlakuan kekerasan dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................................
82
Tabel 29 Hubungan Keadaan ekonomi keluarga dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................................................
83
Tabel 30 Hubungan Kepatuhan terhadap norma dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS ......................................................................................
85
Tabel 31 Hubungan Lingkungan sosial daerah asal dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS .....................................................................................
86
Tabel 32 Hubungan jarak tempat bekerja dengan pengetahuan HIV/AIDS .
87
Tabel 33 Hubungan Intensitas Interaksi dengan WTS lain Dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ....................................................................... Tabel 34
89
Hubungan mengajari/melatih seksual dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................................................
90
Tabel 35 Hubungan Intensitas Hubungan dengan pelanggan Dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS...................................................
91
Tabel 36 Hubungan persepsi seks hedonisme dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS ......................................................................................
93
DAFTAR GAMBAR Halaman Bagan Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS...
45
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KARAKTER WANITA TUNA SUSILA DI PANTI REHABILITASI SOSIAL WANITA JAWA BARAT DENGAN PENGETAHUAN MEREKA TENTANG HIV/AIDS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NAMA
: SUDARYAT
NOMOR POKOK
: P051020161
PROGRAM STUDI
: ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN (PPN)
JUDUL
: HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA TUNA SUSILA DI PANTI REHABILITASI SOSIAL WANITA JAWA BARAT DENGAN PENGETAHUAN MEREKA TENTANG HIV/AIDS
KOMISI PEMBIMBING
: Dr. Ir. AMRI JAHI, M.Sc Dr. H. PRABOWO TJITROPRANOTO, M.Sc
KELOMPOK BIDANG ILMU: ILMU-ILMU SOSIAL HARI /TANGGAL
: SENIN, 5 NOVEMBER 2007
WAKTU
: 09.00 – 10.00
TEMPAT
: RUANG KULIAH B1 LANTAI 1 DEPT SOSEK KAMPUS IPB DRAMAGA
Daftar pustaka Alan Agresty 1986 : 175) Atmaja 2001: 31 Atmaja, 2001 (18 Berita Negara tahun 1950 Nomor 8 Blackenburg (1981) Bryan & White, 1982 :206 Cohen & Uphof 1977 :3 Evelyn Wood dalam Kurukshetra (1962 :37) Goldsmit dan Blustin dalam T Ndraha (1990 : 119) Hamijoyo (1974:6) Hamijoyo (1986 : 51) Hamijoyo, 1961(dlm Subrata 2001:7) Hulme (1993 ) Huneryagar & Heckman, 1967 :617) Johnston & Clark (1982 :170) Kartasapoetra, 1988 (2 Kartini Kartono (1983 :200) Kep Mendagri No 64 Th 1999 Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa Kep Menteri Dagri No 63 tahun 1999 PP Istilah Pemerintahan Desa Keputusan Presiden No 44 Tahun 1999 ttg Teknik Penyusunan PP dan Rancangan Kep Pres Lembaran Negara Th 1999 Nomor 60 M Sudomo, 1986 (58) Mardikanto, 1993 (16 Margono 1978 Margono Slamet, 2003 (32/19) Mohamad Ali (1982 :120) Mubyarto (1984 :35) Mubyarto (1984 36) Narain (1959 :275) Mednnick,Higgins & Kirchenbaum 1975 :585;Cecco& Crawford, 1977 :140 PBB,1956)Young,1968, Bryan & White 1982, dalam Ndraha Perda Kab Bogor No 2 Th 1990 ttg Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa. Perda Kab Bogor No 3 Thn 2000 Ttg Pedoman Org dan Tata Kerja Pem Desa Perda Kab Bogor No 4 tahun 2000 ttg BPD dan tata cara pembentukannya Perda Kab Bogor No 6 tahun 2000 Ttg tata Cara Pencalonan, Pemilihan atau Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat desa Perda Kab Bogor No 8 thn 2000 ttg Sumber Pedapatan Desa Perda Kab Bogor No 9 thn 2000 Ttg Penyusunan Anggaran Pendapatan dan tata Cara Pencalonan Pemilihan atau pengangkatan dan Belanja desa Perda Kab Bogor, No 7 2000 ttg Peraturan Desa Poerwadarminta, 1976 (1100) Raudabaugh,1973 (6 Rogers dalam Staud (1979 :21) Rolling (1977) Sanders, 1958 Santoso Sasoeputro (1986 : 13) Siegel 1992 :253 Soerjono Soekanto, 1990 (454 Subrata Konkon, 2001 (6 Sudijanto, 1972 (20 Sudjana, 2000 (261/266 Suryadi (1973 ) Taliziduhu Ndraha, 1990 (11/62 ) 1987 (110 UNO,1955/1957 ( UU No.22 tahun 1999 Vitayala (1986 :18) Wiinarno Surakhmad (1982 :131) Wojowasito (1958 :243)
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menyadarkan para wanita tuna susila tentang bahaya HIV/AIDS itu perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Hal ini penting karena para wanita tuna susila itu dapat berperan sebagai penular yang sangat potensial untuk menyebarkan kuman penyakit tersebut kepada orang-orang yang belum terinfeksi. Wanita tuna susila yang sadar akan bahaya HIV/AIDS hendaknya melakukan beberapa tindakan untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Pertama, menjaga dirinya agar tidak tertular kuman HIV/AIDS. Tindakan seperti ini dapat dilakukan antara lain dengan hanya melayani pelanggan yang menggunakan kondom pada saat mengadakan hubungan seksual. Melayani pelanggan yang menggunakan kondom selama hubungan seksual, akan meminimalkan kemungkinan wanita tuna susila tertular HIV/AIDS. Penggunaan kondom juga dilakukan agar pelanggan yang belum terinfeksi kuman-kuman HIV tidak tertular oleh kuman-kuman tersebut dan kuman penyakit menular seksual lainnya yang mungkin telah ada pada diri wanita tuna susila itu. Kedua, tindakan preventif lain yang perlu dilakukan wanita tuna susila, baik yang merasa atau diduga telah terinfeksi virus ini adalah memeriksakan dirinya kepada dokter atau petugas kesehatan secara berkala dengan melakukan tes darah, urine atau sel pipi untuk mengecek adanya antibodi HIV/AIDS dan menentukan gejala, apakah dirinya telah tertular kuman tersebut atau tidak. Jika ternyata hasil tes tersebut menunjukan HIV positif, artinya telah terinfeksi. Upaya tindak lanjut yang penting dilakukan oleh wanita tuna susila yang sudah terinfeksi virus, adalah memberitahukannya kepada orang lain terutama orang-orang yang dekat dengannya. Upaya ini dilakukan guna mencegah penularan HIV/AIDS lebih luas. Demikian pula seandainya mereka telah terjangkit penyakit kelamin lain seperti genital warts atau chlamidia, seharusnya untuk sementara tidak melakukan hubungan seksual dengan siapapun, sampai penyakitnya dinyatakan sembuh oleh dokter atau petugas kesehatan. Hal ini perlu dilakukan karena penyakit kelamin lain yang diderita oleh wanita tuna susila itu
2 akan memperbesar kemungkinan tertular kuman-kuman HIV/AIDS jika melakukan hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS. Kesadaran ini sangat penting dimiliki oleh para wanita tuna susila, baik yang sudah terinfeksi HIV maupun belum. Mereka perlu berkonsultasi secara berkala dengan petugas kesehatan, melaporkan gejala-gejala penyakit tersebut dan mendapatkan nasihat (conselling) dari dokter atau petugas kesehatan itu. Dengan demikian mereka dapat menjaga kesehatan dirinya, dan mencegah penularan HIV/AIDS lebih lanjut. Tindakan paling baik dilakukan oleh wanita tuna susila yang tahu tentang kesehatan alat reproduksi (kespro), penyakit menular seksual (PMS), dan bahaya penyakit HIV/AIDS adalah berhenti melakukan praktek hubungan seksual diluar pernikahan (ekstramarital) dan meninggalkan pekerjaan sebagai wanita tuna susila. Namun maukah mereka melakukan hal tersebut, dan mampukah mereka melakukannya dengan mengisolasi diri terhadap penularan HIV/AIDS ? Maukah para wanita Tuna Susila itu melaksanakan tanggung jawab sosial pada tindakan mereka yang berdampak buruk pada masyarakat luas ? Pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan-pertimbangan semacam inilah yang memiliki dampak yang luas pada kesehatan masyarakat, yang mendorong dilakukannya penelitian ini.
1.2. Masalah Penelitian
Terdapat beberapa faktor kerawanan dalam penularan HIV/AIDS di kalangan wanita tuna susila, antara lain pengetahuan dan sikap mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia. Perlu adanya upaya untuk mengubah perilaku mereka dari perilaku yang buruk menuju kepada perilaku yang semestinya dilakukan wanita. Hubungan karakteristik individu yang dimiliki akan berkaitan dengan pengetahuan para wanita tuna susila dalam upaya melakukan pencegahan terhadap HIV/AIDS. Dengan demikian peranan pendidikan dan latihan sangat menentukan dalam menghentikan penyebaran HIV/AIDS di kalangan wanita tuna susila,
3 sebelum jumlah wabah penyakit ini semakin membesar yang pada akhirnya semakin sulit ditangani. Oleh karena itulah penelitian diarahkan untuk membuktikan secara empirik tentang hubungan karakteristik wanita tuna susila di panti rehabilitasi sosial wanita di Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS Adapun masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa karakteristik individu para wanita tuna susila yang sedang direhabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat ? 2. Seberapa jauh para wanita tuna susila itu mengetahui HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia ? 3. Seberapa jauh tingkat keeratan hubungan antara karakteristik para wanita tuna susila itu dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia ?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui karakteristik wanita tuna susila di panti rehabilitasi sosial “Bina Sosial Wanita” (BSW) Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS, maka dirumuskan tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk mengidentifikasi karakteristik individu para wanita tuna susila yang sedang direhabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat. 2. Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan para wanita tuna susila itu tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia. 3. Untuk menghitung tingkat keeratan hubungan antara karakteristik para wanita tuna susila itu dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan akan mempunyai manfaat dan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
4 (1) Bahan masukan untuk penelitian selanjutnya di bidang yang sama atau yang ada kaitannya. (2) Memberikan kontribusi informasi bagi ilmuwan penyuluhan mengenai hubungan karakteristik wanita tuna susila dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS. (3) Sebagai bahan masukan bagi para pengelola diklat dan penyuluh dalam memberikan penyuluhan kepada para pesertanya, khususnya yang terkait dengan program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, serta untuk dapat melihat beberapa karakteristik yang berhubungan dengan pelaksanaan pemberian informasi dan kompetensi kognitif kepada para peserta diklat tentang HIV/AIDS melalui pendidikan dan latihan tersebut.
1.5. Definisi Istilah Untuk memberikan batasan yang jelas dan memudahkan pengukuran, terlebih dulu dibuat definisi istilah yang akan dipergunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini. Definisi dan istilah yang dipergunakan tersebut, adalah sebagai berikut : I. Responden, adalah wanita tuna susila yang terpilih untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. II. Wanita Tuna Susila, adalah wanita yang tercatat sebagai kelayan pada pendidikan dan latihan di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Kecamatan Nagrak Kabupaten Sukabumi dan Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila (BPSWTS) Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon Jawa Barat. III. Karakteristik Wanita Tuna Susila, adalah ciri-ciri yang melekat pada diri wanita tuna susila yang diduga berhubungan dengan pengetahuan tentang Human Immunodeficiency Virus dan Aquaired Immunodeficiency Virus (HIV/AIDS) yaitu: Umur, status perkawinan, pendidikan formal, tingkat pendapatan, motivasi menjadi WTS, persepsi untuk hidup yang ideal, lamanya menjadi WTS, mendapat perlakuan kekerasan, keadaan ekonomi keluarga, kepatuhan terhadap norma susila, pengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak tempat menjadi WTS, intensitas hubungan dengan WTS lain, yang
5 melatih/mengajari seks, intensitas hubungan dengan pelanggan, dan persepsi hedonisme. (1) Umur, yaitu usia wanita tuna susila yang dihitung sejak lahir sampai saat menjadi responden dalam penelitian, diukur dalam tahun. Muda, sedang, dan tua. (2) Status perkawinan, adalah status marital yang disandang oleh responden yaitu: belum menikah, menikah, dan pernah menikah (janda cerai atau janda ditinggal mati). (3) Pendidikan Formal, yaitu lamanya responden duduk di bangku sekolah formal yang telah diselesaikan sebelum menjadi responden, pendidikan formal itu berupa: (1) SD, (2) SMP, (3) SMA, dan (4) Perguruan Tinggi. (4) Tingkat Pendapatan, Adalah ukuran besarnya pendapatan yang diperoleh responden dari usaha yang dilakukan, dan anggota keluarga lainnya dari berbagai sumber penghasilan dalam waktu satu bulan, yang dihitung dengan rupiah. (5) Motivasi instrinsik, yaitu dorongan yang berasal dari dalam diri responden sehingga menjadi wanita tuna susila. (6) Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan yang berasal dari luar diri responden sehingga menjadi wanita tuna susila. (7) Persepsi untuk hidup yang ideal, yaitu persepsi hidup ideal wanita umumnya, bahwa wanita harus bisa mengatur lima hal 1) mengatur suami, 2) mengatur anak, 3) mengatur rumah, memasak, membersihkan rumah, 4) mengatur kekayaan atau ekonomi rumah tangga, 5) mengatur hubungan dengan tetangga. (8) Lamanya menjadi WTS, yaitu lamanya hari, bulan dan tahun responden menyandang atau terjun sebagai Wanita Tuna Susila sampai penelitian ini dilakukan. (9) Mendapatkan perlakuan kekerasan, responden mendapatkan perlakuan kekerasan, berupa kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya, yang berasal dari pelanggan. (10) Keadaan Ekonomi Keluarga, yaitu keadaan ekonomi keluarga responden dalam hal sandang, pangan, papan dan faktor pendidikan
6 (11) Kepatuhan Terhadap Norma, yaitu kesungguhan responden untuk menjalankan atau mematuhi kebiasaan-kebiasaan (norma-norma) yang telah diakui dan dijalankan dalam kehidupan di masyarakat. (12) Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal, yaitu pengaruh lingkungan sosial asal tempat lahir, dibesarkan dan bergaul, yang mempengaruhi perilaku sehingga menjadi WTS. (13) Jarak tempat menjadi WTS, yaitu jauhnya jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi responden menjadi WTS. (14) Intensitas Hubungan dengan WTS lain, frekuensi responden berhubungan dengan WTS yang lain dalam kurun waktu satu minggu. (15) Yang melatih / mengajari tentang seks, yaitu informasi dan pengetahuan tentang seks yang dimiliki responden dari orang yang mengajari/melatih tentang seks tersebut. (16) Intensitas hubungan dengan Pelanggan, yaitu frekuensi hubungan responden dengan pria pelanggan (tamu) dalam kurun waktu satu minggu. (17) Persepsi hedonisme, yaitu tanggapan responden bahwa melakukan seks hanya untuk pemuasan kesenangan, atau melakukan hubungan seks hanya untuk mendapatkan kepuasan seksual. IV Pengetahuan Wanita Tuna Susila Tentang HIV/AIDS, yaitu tingkat kemampuan kognitif responden tentang penyakit HIV/AIDS yang terdiri atas pengertian, penyebab AIDS dan infeksi sekunder sebagai akibat AIDS, cara penularan, cara pencegahan, pengetahuan kesehatan reproduksi seksual yang sehat (kespro), bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan manusia, akibat HIV/AIDS, hubungan sosial dengan penderita AIDS, dampak sosial ekonomi AIDS, dan hubungan narkoba dengan HIV/AIDS, dengan uraian sebagai berikut: (1) Pengertian HIV/AIDS, Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penyebab sindroma AIDS, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (sekumpulan gejala penyakit, yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh) (2) Penyebab AIDS dan Infeksi Sekunder sebagai Akibat AIDS, Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penyebab terjangkitnya HIV, yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderita dan dapat
7 menyebabkan penyakit AIDS. AIDS merupakan suatu kumpulan gejala berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus yang mempengaruhi sistem kekebalan. Sistem kekebalan menjadi tidak mampu memerangi infeksi. (3) Cara penularan, HIV bisa menular lewat 3 cara, (1) melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai kondom, (2) melalui transfusi darah, transplantasi organ tubuh, pemakaian alat-alat yang telah tercemar HIV, (3) melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau kepada bayi yang disusuinya. (4) Cara Pencegahan, Tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah penularan HIV adalah : (1) tidak melakukan hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS atau orang yang termasuk kelompok perilaku resiko tinggi, (2) tidak melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, (3) menggunakan kondom dari awal sampai selesai, apabila melakukan hubungan seksual dengan pasangan baru atau anggota kelompok beresiko tinggi, (4) mengobati penyakit kelamin secara tuntas. (5) Pengetahuan
Kesehatan
Reproduksi
(Kespro),
yaitu
pengetahuan
kesehatan seksual, organ reproduksi dan fungsinya, penyakit menular seksual (PMS), perilaku seksual yang menyebabkan kehamilan, aborsi, dan penyakit kelamin. (6) Bahaya HIV/AIDS bagi Kesehatan manusia, adalah bahaya yang mengancam
pada
kesehatan
jasmani
penderita
HIV/AIDS
dan
menimbulkan masalah-masalah psikologis (kecemasan, depresi, rasa bersalah, dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri) sehingga dapat menyebabkan kematian. (7) Akibat HIV/AIDS, Akibat sekunder dari penderita HIV/AIDS adalah dikucilkan oleh rekan-rekan/masyarakat, diskriminasi, dirumah diusir dan dikantor diberhentikan dari pekerjaan (8) Hubungan Sosial dengan Penderita AIDS yaitu Kontak sosial dengan penderita HIV/AIDS, misalnya berbagi (memakai) baju, handuk dan toilet, penggunaan peralatan yang sama (misalnya telepon), makan dari perkakas yang sama, kolam renang bersama-sama pengidap HIV dalam satu tempat,
8 merawat orang yang terinfeksi HIV, mencuci kloset, sprei dan lainnya yang digunakan pengidap HIV. (9) Dampak Sosial Ekonomi AIDS yaitu, Dampak Sosial Ekonomi HIV/AIDS adalah kemiskinan. Karena mahalnya biaya perawatan, berkurangnya usia produktif, kehilangan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat menjadi faktor penyebab kemiskinan (10) Hubungan Narkoba dengan AIDS, yaitu Bahaya penggunaan narkoba dalam menyebarkan penyakit HIV/AIDS, bila narkobais tidak peduli terhadap penggunaan jarum suntik yang berisiko menyebarluaskan virus HIV/AIDS.
9 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wanita Tuna Susila
Wanita Tuna Susila adalah wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian pasangan diluar perkawinan yang syah dengan mendapat imbalan uang, materi atau jasa (Depsos, 2003:100). Beberapa sebutan lain yang diberikan kepada Wanita Tuna Susila adalah pekerja seks komersil (PSK), wanita penjaja seksual (WPS), kupu-kupu malam, penjaja cinta, lonte, ublag, perek, cabo (Mahardika, 2004:2). PSK disebut juga pelacur (Depkes,2003). Dalam penelitian ini wanita tuna susila yang dimaksud adalah WTS yang tercatat sebagai peserta pendidikan dan latihan (Diklat) pada panti rehabilitasi sosial Bina Sosial Wanita (BSW) di Jawa Barat.
2.2 Karakteristik Wanita Tuna Susila Karakteristik merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakteristik berkaitan dengan tingkah laku, moral dan sosial serta etis seseorang (Arifin, 2000:103). Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifatsifat yang ditampilkan seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dalam lingkungannya sendiri.
2.2.1 Umur Hanafi (1993:58) mengemukakan umur seseorang merupakan salah satu karakteristik individu yang besarannya mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Hubungannya dengan kegiatan belajar, umur seseorang dikaitkan dengan kapasitas dan efisiensi belajar serta kemampuan dalam menerima pengetahuan. Padmowiharjo (1999:89) semakin banyak umur seseorang secara langsung akan semakin matang fisiknya, karena fungsi ototnya semakin sempurna. Semakin tua seseorang ada kecenderungan semakin matang mentalnya, karena pengalaman hidupnya semakin banyak. Umur seseorang berkaitan dengan kapasitas belajarnya, kapasitas belajar terus naik semenjak anak
10 mengenal lingkungan, kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa, yaitu sekitar umur 25 tahun terkadang 28 tahun, kemudian menurun drastis setelah umur 50 tahun. Sejalan pendapat di atas, Soekartawi (1988:91) menyatakan bahwa umur seseorang biasanya akan sejalan dengan pengalaman dan pengetahuannya sesuai dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikhisnya. Padmowiharjo (1999:90) berkaitan dengan hal umur, semakin muda umur seseorang biasanya mempunyai semangat ingin tahu yang makin besar terhadap hal-hal baru yang belum dialaminya, sehingga ada kesan mencoba-coba. Orang yang lebih tua kelihatannya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada kesan mereka
responsif
dalam
menerima
pengetahuan
disebabkan
banyak
pengalamannya. Penjelasan di atas umur seseorang merupakan variabel yang signifikan terhadap persepsi mengenai suatu obyek atau informasi.
2.2.2 Status Perkawinan Nasution (1995:438). Perkawinan merupakan lembaga yang mengikat seseorang di dalam keluarga. Perkawinan dalam adalah perjanjian, aqad atau kontrak, dan perjanjian hanya tercapai antara dua pihak yang telah saling kenal dan saling tahu. Sabiq (1993:9) Perkawinan juga merupakan salah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan bagi ummat manusia untuk mempunyai keturunan demi kelestarian hidupnya yang positif dalam merealitaskan tujuan perkawinan Menurut Wignjodipuro (1982:22) perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarganya masing-masing. Ridha (1986:21) tujuan perkawinan adalah saling menjaga antara suamiistri dalam berumah tangga. Uraian di atas wanita semestinya bersuami agar tidak melakukan hal-hal negatif, sehingga norma-norma dalam kehidupan sosial dan rumah tangga akan
11 tetap terjaga. Wanita tanpa suami diduga akan berusaha mencari nafkahnya sendiri, meskipun dalam berusaha ada hal lain yang dilakukan tidak semestinya harus dilakukan.
2.2.3 Pendidikan Formal Menurut Houle (1975:89) pendidikan merupakan proses pengumpulan pengetahuan, keterampilan maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan tarap hidup. Hasil penelitian Baker dan Frio (Harun,1987:21) menemukan bahwa semakin tinggi pendidikan formal seseorang akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang dikenal kepadanya. Pendidikan formal adalah sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang. Subroto (1982:42) pada dasarnya hampir identik antara pendidikan formal dengan pendidikan non formal, namun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam pendidikan formal, banyak ditekankan pada aspek sikap (afektif) selain dari domain lainnya yaitu pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor). Azahari (1988:11) pada umumnya seseorang yang mempunyai pendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik. Menurut Djatnika (1996:188) kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat rohani harus dipenuhi, yaitu: kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas dan rasa sukses. Semua itu sebagian besar didapat dalam pendidikan informal, termasuk pendidikan agama memberikan obyektivitas kepada nilai-nilai moral, karena nilai-nilai itu banyak mengenai perorangan, kalau timbul dari perorangan akan menjadi subyektif. Kekhawatiran akan subyektif itu akan hilang karena seseorang mencari sumber nilai yang lebih tinggi, dan sumber itu dari agama. Moral menurut Djatnika (1996:48,60) berasal dari kata mores sinonim dengan akhlak, etika yang berarti kebiasaan. Dalam hal ini ialah bagaimana suatu
12 perbuatan dari perbuatan-perbuatan manusia itu sesuai dengan moral/ akhlak atau tidak. Suatu perbuatan yang sesuai dengan etika dianggap baik oleh masyarakat, sedangkan yang tidak sesuai dengan etika akan dipandang buruk. Djatnika (1996:62) yang menyebabkan seseorang mempunyai moral sense adalah: Pertama, aliran intuition, yang berpendapat bahwa tiap-tiap manusia itu mempunyai kekuatan instink (naluri) yang dapat membedakan antara baik dan buruk. Kekuatan inilah terkadang berbeda-beda karena perbedaan masa dan milieu, akan tetapi instink itu telah berurat/berakar pada tiap-tiap manusia; Kedua, aliran evolusi, mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang baik dan buruk adalah seperti halnya pengetahuan kita tentang yang lain-lainnya, yaitu tergantung kepada pengalaman dan pengetahuan. Hal ini tumbuh karena pergantian zaman dan peningkatan pemikiran. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa perasaan akhlaki bukan instink yang ada pada diri manusia melainkan hasil pengalaman. Ajaran-ajaran agama menyatakan bahwa segala bentuk penyimpangan terhadap ajaran agama tidak boleh berkembang, seperti halnya 5 M, yaitu mencuri, minum (minuman keras, mentol), main (main judi), madat (pecandu narkoba), dan madon (suka menjajakan cinta atau berzina). Dalam ajaran Islam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 (Kailan,1998:683) memberikan peringatan keras terhadap pemeluknya yang berzina, perempuan dan laki-laki yang berzina hendaklah keduanya didera, masing-masing seratus dera; janganlah menaruh sayang terhadap keduanya dalam menjalankan agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah diperlihatkan hukuman keduanya kepada kaum muslimin. Dalam agama Hindu dikenal adanya Rwa Bineda artinya; baik dan buruk di dunia ini selalu berdampingan. Tujuan agama Hindu “Moksarttam Jagathha Ya Ca Iti Dharma”, maksudnya sangat dalam dan luas yakni tujuan hidup ini adalah untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Disebutkan pula dalam tubuh manusia ada yang disebut “Panca Hama Buta” yang terdiri dari: 1) Unsur Apah (zat cair), 2) Unsur Teja (unsur panas/api), 3) Unsur Bayu (pernafasan), 4) Pertiwi (pori-pori) dan 5) Akassa (segala yang kosong dalam tubuh, rongga dada, pori-pori atau seluruh jenis lubang).
13 Dalam agama Buddha dikenal dengan Kamesumichacara; kama yang artinya nafsu inderawi; micha: artinya salah; dan cara: yang artinya perilaku atau perbuatan. Kamesumichacara artinya perbuatan seksual yang menyimpang. Sejalan dengan sila ketiga dari ajaran Buddha tindakan seperti ini disebut tindakan asusila (Priastana,2004:54). Pandangan agama Buddha mengenal istilah “Pamadatthama”, yang menjadi dasar kelengahan, terdiri dari tiga hal yang tak pernah membuat kenyang yaitu: mabuk, tidur dan seks. Ajaran Kristen menyatakan bahwa masalah perjinahan merupakan tanggungjawab umat Kristiani, pemerintah dan masyarakat: hal ini disebutkan dalam Mathius (25:14-25) Hal Talenta yaitu: Tuhan memberikan setiap orang talenta yang berbeda, ada yang diberi lima talenta, dua talenta, dan satu talenta. Masing-masing wajib mengembangkan talenta itu dengan bekerja. Menurut Djatnika (1996:143) pengetahuan harus dimiliki agar jangan sampai jatuh kedalam kebodohan dalam masalah keduniaan dan menjadikannya seorang bodoh yang biasanya menjadi sapi perahan dari orang pandai yang tidak berperikemanusiaan. Untuk kepentingan dirinya dan tanggungannya ia harus mempunyai ilmu praktis keterampilan yang memudahkan berusaha mencari nafkah untuk hidupnya. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terrencana, terorganisir dan sistematik untuk memberikan serangkaian pelajaran tertentu agar memperoleh pengetahuan, keahlian dan sikap yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan agama dan moral termasuk didalamnya. Dalam pendidikan agama dan moral terjadi interdependen (saling bersandar), sebab moral bersumber dari agama. Dengan agama orang menjadi tenang, tentram dan merasa bahagia. Besarnya pengaruh pendidikan formal terhadap pengetahuan, keterampilan dan sikap termasuk jiwa seseorang supaya seseorang tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan.
2.2.4 Tingkat Pendapatan Hubeis (2000:9) kenyataan yang dihadapi masih banyak dijumpai pada masyarakat pedesaan masalah rendahnya tingkat produktivitas, sehingga tingkat
14 pendapatan menjadi rendah. Sjahrir (1988:188) tingkat pendapatan merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Husein (1995) menyatakan kondisi penghasilanlah yang memungkinkan dapat lebih optimal dalam melaksanakan peranannya secara baik. Carner dalam Sjahrir (1988:188,197) Tingkat pendapatan rendah merupakan fungsi produktivitas yang rendah. Apabila kebutuhan pangan tidak terpenuhi secara memadai ada beberapa cara yang dilaksanakan dalam rumah tangga untuk menanggulanginya. Seperti dilakukan anggota rumah tangga dengan menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka, bahkan pekerjaan yang paling merendahkan kedudukanpun diterima, kendati upahnya rendah. Gonzales dalam Jahi (1988:42) sementara itu semakin banyak wanita yang didorong keluar dari barisan tenaga kerja pertanian. Sjahrir (1988:189) mengemukakan bila kegiatan-kegiatan semacam ini masih tidak memadai mereka akan berpaling ke sistem lain. Akhirnya, apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertahan hidup
menurun hingga titik
penentuan, maka rumah tangga itu menghadapi pilihan yang menentukan. Kadang-kadang keputusan yang diambil yaitu seorang anak laki-laki atau anak perempuan dikirim atau pergi ke kota besar tanpa memiliki modal keterampilan yang relevan dengan kondisi yang ada. Ditegaskan Raharjo dalam Galba (1981:291) untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim rumah tangga petani terpaksa memobilisasi hampir seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak, kedalam pasaran tenaga kerja. Mereka banyak terjun pada kegiatan ekonomi yang tidak semata-mata menggantungkan diri pada usaha pertanian. Pendapat-pendapat di atas, pola hidup konsumtif masyarakat disebabkan oleh pengaruh lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Berkaitan dengan tingkat pendapatan, akan berpengaruh pada perilaku seseorang untuk lebih kreatif dalam berpikir. Pendapatan yang lebih tinggi cenderung mempunyai posisi lebih terhormat, demikian pula kemandirian perempuan dalam bidang ekonomi cenderung perempuan tersebut mempunyai kehormatan yang lebih tinggi.
15 2.2.5 Motivasi menjadi WTS Padmowiharjo (1999:154) motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Setiap tindakan manusia pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan ini ada dibelakang setiap tindakan manusia, sedangkan motif adanya didalam tubuh manusia. Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Namun demikian timbulnya motif bisa dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Purwanto (1984:28) menyatakan bahwa motif ialah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu, yang berfungsi mengarahkan tingkah laku atau perbuatan pada suatu tujuan atau rangsangan. Wahjosumijo (2001:174) motivasi merupakan proses psikologis yang terjadi pada diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinksik atau faktor diluar diri yang disebut faktor ektrinksik. Maslow dalam Gibson et.al (1994:92) mengemukakan bahwa ada lima macam kebutuhan dasar manusia yang dapat menumbuhkan motivasi pada diri seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan yaitu: (1) kebutuhan pisiologis (physiological-needs), (2) kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman (safetyneeds), (3) kebutuhan untuk memiliki dan dicintai (need for belonging and love), (4) kebutuhan untuk memperoleh penghargaan (need for esteem), dan (5) kebutuhan mengaktualisasikan diri (need for actualization). Dengan demikian hubungan kebutuhan manusia dengan motivasi merupakan hal yang dinamis sehingga mendorong tumbuhnya motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan usaha mencapai kepuasan. Mahardika (2004:6) terjerumusnya Melati (nama samaran) karena tidak mempunyai keterampilan, pengalaman, menganggur dan hidup menggelandang setelah minggat dari rumahnya, akhirnya terdampar di dunia jual beli pemanjaan syahwat dengan mendapatkan bayaran.
16 Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa motivasi mempunyai jalinan yang erat dengan kebutuhan yang dirasakan (felt-need), dan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi pula yang menyebabkan wanita terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Baik dilihat secara instrinsik maupun secara ekstrinsik. Motivasi awal wanita tuna susila melakukan suatu tindakan asusila adalah karena adanya daya pendorong yang menyebabkan mereka berbuat maupun tidak berbuat sesuatu guna terpenuhi dan terhindarnya kebutuhan yang dirasakan, atau berkurangnya rasa terancam atau tertekan.
2.2.6 Persepsi hidup Ideal WTS McKay & Hind (2004:4,5) Visi masa depan adalah apapun yang kita ingin capai bagi diri kita sendiri (dan dari kita sendiri) selama beberapa tahun kedepan. Pencapaian ini bisa dalam hal pekerjaan, uang, profesi, status, dimana kita ingin tinggal, tipe rumah yang kita inginkan, dan hal-hal serupa lainnya. Menurut Mosher (1965:149) program-program pendidikan bagi wanitawanita pedesaan membantu mereka mengenal cara-cara yang lebih baik dalam mengurus rumah tangga mereka dan mendorong adanya perubahan dalam cara hidup. Setelah perubahan-perubahan itu mereka kenal dan menginginkannya. Depsos (2002) tindakan yang tepat wanita tuna susila yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan adalah: (1) memulihkan rasa harga diri, percaya diri, kecintaan kerja yang layak/ normatif dan kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga lingkungan sosial maupun masyarakat pada umumnya, (2) memulihkan kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Raharjo (1981:302) Wanita harus bisa mengatur lima hal; antara lain: 1) mengatur suami, 2) mengatur anak, 3) mengatur rumah, memasak, membersihkan rumah, 4) mengatur kekayaan atau ekonomi rumah tangga, 5) mengatur hubungan dengan tetangga. Sudjana (1995:19) masa depan mereka sebagai calon ibu dalam keluarganya harus disiapkan secara baik agar supaya mereka dapat tetap bisa berfungsi sebagai tenaga kerja yang potensial tetapi dapat juga melaksanakan tugas-tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik.
17 Secara garis besarnya dikatakan bahwa pilihan yang paling cocok bagi seorang ibu adalah tugas kerumahtanggaan sebagai tugas kodrati. Tugas pokoknya adalah sebagai pemangku keturunan, pendidik anak, pendamping suami, dan pengurus rumah tangga, tanpa mengurangi tugas atau peranan ibu dalam masyarakat, atau sebagai tenaga kerja diluar rumah mengingat adanya peran ganda wanita dalam masyarakat.
2.2.7 Lamanya menjadi WTS Mosher (1965:133) belajar secara terus menerus memang merupakan hal yang mutlak dan perlu. Akan tetapi orang dapat belajar dari pengalaman tanpa diberi pelajaran secara formal. Walker (1973:25) pengalaman seseorang bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan mudah tidaknya seseorang menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, sosial ekonomi, dan teknologi. Pengalaman adalah hasil dari proses mengalaminya seseorang yang selanjutnya mempengaruhi terhadap respon yang diterima guna memutuskan sesuatu yang baru baginya. Tjandra (2004:46) pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa kehidupan yang mempengaruhi pola pikir seseorang. Gagne (1967:32) menjelaskan bahwa pengalaman merupakan akumulasi proses belajar mengajar yang dialami oleh seseorang, yang menjadi satu dasar pertimbangan-pertimbangan dalam menerima ide baru. Berkaitan dengan kegiatan dan status WTS, makin banyak pengalaman pahit yang diderita cenderung WTS beralih profesi ke bidang lain. Demikian juga lama hidup di dunia malam membuat para WTS berpikir dua kali tentang keadaan statusnya. Kecenderungan seseorang untuk berbuat tergantung dari pengalamannya, karena pengalaman itu menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakannya. 2.2.8 Mendapat Perlakuan Kekerasan Hubeis (2000:2) analisis jender tentang peranan wanita, dan proses yang difokuskan pada ketidak setaraan dalam kekuasaan, kekayaan dan beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan masyarakat.
18 Menurut Hamid (2000:112) kaum wanita dimasa lampau ditempatkan sebagai makhluk kedua setelah laki-laki, ia hidup untuk kepuasan dan kenyamanan laki-laki. Di Yunani wanita relatif tak memperoleh apa-apa, di dunia perniagaan dikucilkan laki-laki, di dunia politik kalah dan suara mereka nyaris tak terdengar, dan di dunia intelektual ia dituding intuitif. Di sebagian Eropa, seperti Perancis wanita tidak mempunyai hak milik pribadi. Ridha (1982:139) analisis antropologi dan sejarah kebudayaan primitif mengatakan bahwa poligami yang dilakukan di banyak negara yang oleh penduduknya dianggap sebagai tradisi, adalah merupakan sisa-sisa perbudakan kaum wanita, dimana orang-orang yang berkuasa dan para pemilik harta memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu dan pengabdi dirinya. Oleh karena itu hal ini khususnya dilakukan oleh para raja, para pangeran, para kepala-kepala suku dan para pemilik harta. Praktek ini kebanyakan terjadi di negeri-negeri panas yang penduduknya memiliki nafsu seksual yang tinggi serta seringkali melakukan perjalanan dimana mereka banyak bertemu dengan wanitawanita cantik dan gadis-gadis molek. Pada sementara suku, hal itu semata-mata merupakan perbudakan kemudian muncul praktek poligami dimana seorang pria mengawini wanita merdeka dan sekaligus melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita yang menjadi budaknya. Orang-orang Yunani kuno yang bermukim di Athena memperdagangkan wanita di pasar-pasar, serta membenarkan poligami tanpa batas. Sementara itu Sparta membolehkan poliandri bagi kaum wanita dan tidak poligami bagi kaum pria. Poligami juga dipraktekkan pada zaman kaisar dan dikenal pula dikalangan bangsa Jerman pada pemerintahan Nazi. Di Romawi praktek serupa dijalankan dalam kehidupan nyata tanpa ada undang-undang yang mengaturnya, sampai kelak tiba masa pemerintahan Kaisar Justianus yang melarangnya melalui undang-undang. Menurut uraian diatas, kendatipun dalam kenyataannya poligami ini tetap berjalan, namun sementara wanita bukan hanya sekedar pelepas nafsu belaka, melainkan lebih dari itu hingga pada tindak kekerasan lain, perbudakan, hingga perdagangan perempuan.
19 2.2.9 Keadaan Ekonomi Keluarga BKKBN (1996:19,20) mengkatagorikan keluarga menjadi: keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III dan keluarga sejahtera tahap III plus. Keluarga pra sejahtera yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, sandang, pangan, papan dan kesehatan. Hal ini hampir mendekati miskin, seperti pendapat Sayogyo, keluarga dikategorikan miskin jika pendapatan 320 liter per orang per tahun Keluarga sejahtera tahap I yaitu keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Keluarga sejahtera tahap II yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik dan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan akan informasi. Keluarga sejahtera tahap III yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan fisik, sosial psikologis dan pengembangannya namun belum dapat memberikan sumbangannya secara teratur kepada masyarakat sekitarnya, misalnya dalam bentuk sumbangan materil dan keuangan, serta secara aktif menjadi pengurus lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di lingkungannya. Keluarga sejahtera tahap III plus yaitu yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya serta memiliki kepedulian yang tinggi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga di sekitarnya. Berdasarkan uraian tentang kategori keluarga di atas, keadaan ekonomi berhubungan dengan tingkat kesejahteraan dan stratifikasi sosial keluarga. Tingkat kesejahteraan keluarga pra sejahtera (PS) dan keluarga sejahtera tahap I (KS I) dapat dikategorikan kedalam keadaan ekonomi keluarga rendah, keluarga dengan keadaan ekonomi keluarga sejahtera tahap II (KS II) dapat dikelompokkan kedalam keluarga sedang, dan keluarga sejahtera tahap III (KS III dan KS III plus) dikelompokkan kedalam keluarga ekonomi tinggi. Para WTS tersebut diduga berasal dari kalangan keluarga PS, KS I, KS II dan KS III plus.
20 2.2.10 Kepatuhan terhadap norma Susila Purwanto (1999:28) manusia susila adalah manusia yang hidupnya selalu menuruti dan sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku. Sedangkan menurut Djatnika (1996:48) banyak sebab-sebab yang menjadikan adat kebiasaan antara lain mungkin sebab kebiasan yang sudah ada sejak nenek moyangnya, sehingga dia menerima sebagai sesuatu yang sudah ada kemudian meneruskan hal itu karena peninggalan orang tuanya, mungkin juga karena lingkungan tempat dia bergaul yang membawa dan memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupannya sehari-hari. Dua faktor melakukan adat kebiasaan; pertama, karena adanya kecenderungan hati pada perbuatan itu, merasa senang untuk melakukannya dan tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut. Kedua, menurutkan kecenderungan hati itu dengan praktek yang berulang-ulang, sehingga menjadi biasa. Raharjo (1984:3) tatanan kebiasaan terdiri dari norma-norma yang dekat sekali dengan kenyataan. Bahwa kaidah-kaidah kebiasaan itu tidak lain diangkat dari dunia kenyataan juga. Apa yang dilakukan orang itu yang kemudian menjadi bisa menjelma menjadi norma kebiasaan, melalui uji keteraturan keajegan dan kesadaran untuk menerimanya sebagai kaidah oleh masyarakat. Norma kesusilaan, berpegang kepada ideal yang masih harus diwujudkan dalam masyarakat. Ideal merupakan tolok ukur tatanan ini menilai tingkah laku anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian perbuatan yang dapat diterima oleh norma tersebut hanyalah yang sesuai dengan idealnya tentang manusia. Adanya perubahan nilai perilaku inilah yang dimaksud bertentangan dengan norma. Dengan norma dapat mengetur kehidupan menjadi tenteram, sehingga kehidupan akan tertib dan teratur.
2.2.11 Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal Dirdjosiswono (1990:111) masalah pendidikan yang rendah, teman yang berperilaku buruk dan keretakan keluarga masih dianggap faktor yang berpengaruh timbulnya kenakalan remaja putri yang menjurus ke prostitusi. Hampir di setiap kota besar di Indonesia ditemukan gejala sosial prostitusi laten,
21 dimana ditemukan WTS dengan usia antara 14 hingga 19 tahun yang ditemukan dirumah-rumah bordil. Menurut telaahannya, faktor-faktor yang cukup kuat adalah kondisi daerah asal WTS tadi yang umumnya berasal dari pedesaan dan kota-kota kecil yang mengalami kesulitan ekonomi, dan pandangaan hidup masyarakat pedesaan di beberapa daerah yang telah terpola dalam struktur sosial yang mapan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku WTS, antara lain : 1. Pengaruh Geografi, Iklim dan Luas wilayah Dhakidae (2001:206) sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta Provinsi Jawa Barat memiliki keuntungan sekaligus kerugian. Keuntungan provinsi ini dapat memanfaatkan fasilitas publik metropolitan, berupa tempat-tempat rekreasi pusat komersial yang modern, dan berbagai kemudahan komunikasi canggih. Namun kerugian berdekatan dengan sebuah ibu kota juga ada. Dampak dari kemudahan fasilitas dan pariwisata membawa akibat langsung kepada masalah sosial penduduk Jawa Barat. Terutama bagi penduduk yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut, pertanian dan perkebunan yang semakin menciut, banyak warga yang beralih usaha ke sektor lain. 2. Pariwisata, Tempat Hiburan dan Rekreasi Banyak tempat rekreasi yang dapat dikunjungi seputar Jawa Barat, baik yang berupa taman, pemandangan, pemandian, tempat bersejarah, hutan, tempat pertunjukan kesenian, olah raga, tempat bersantap dan sebagainya. Tempat hiburan terdiri dari gedung kesenian: rumentang siang, nite club, discotik, karaoke, gedung film, dan mainan. Tempat-tempat bersejarah, seperti museum dan peninggalan-peninggalan penjajahan Belanda. Banyak hawa sejuk dan pemandangan alam yang dimanfaatkan sebagai potensi wisata (Pemda,1998:56) Demikian kondisi wilayah yang bernuansa “gurilap” (gunung, rimba, laut dan pantai) tentu menjadi sumber penghasilan (Dhakidae,2001:200) Pada satu sisi tempat hiburan dapat berfungsi memenuhi kebutuhan psikologis keluarga, namun pada sisi lain tempat pariwisata dan hiburan berubah fungsi menjadi tempat praktek mesum.
22 3. Perhotelan (akomodasi) dan restoran Perhotelan merupakan salah satu fasilitas pariwisata yang penting. Apalagi di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Sukabumi dan kota lainnya di Jawa Barat. Karena banyak dibutuhkan oleh kaum pelancong yang ingin berkunjung lama. Di Bandung terdapat 113 fasilitas akomodasi yang terdiri atas 26 hotel berbintang dan 87 rumah penginapan, di Bogor 14 hotel berbintang dan 109 hotel non berbintang. Sukabumi tercatat memiliki 17 hotel berbintang dan 86 melati, yang sebagian besar terdapat di pantai. Jumlah ini belum termasuk vila-vila atau perumahan tempat peristirahatan pribadi atau perusahaan. Potensi wisata, perhotelan dan restoran pun menjadi magnet baru bagi dunia seksual, sehingga sulit memisahkan pariwisata dan perhotelan dengan dunia penjajakan seksual. Pengaruh lingkungan sosial daerah asal diduga dapat mempengaruhi terjadinya praktek prostitusi. Lingkungan tempat tinggal daerah asal yang permisif akan mempengaruhi kehidupan yang ada dalam lingkungannya, kalau ia tidak mempunyai pertahanan yang kuat untuk bertahan atau mengubah sama sekali.
2.2.12 Jarak ke Tempat Sebagai WTS Dhakidae (2003:176) pesatnya industri pariwisata banyak berpengaruh terhadap urbanisasi penduduk. Jumlah tenaga kerja yang besar mengakibatkan tumbuhnya aneka ragam pemukiman, tidak semua tenaga kerja berasal dari kota, sebagian besar berasal dari desa, akibat konsentrasi tenaga kerja ini menimbulkan masalah. Penduduk yang tempat tinggalnya jauh dari tempat bekerja umumnya menyewa rumah untuk kelancaran bekerja. Namun banyak penduduk yang bekerja pada daerah perkotaan, tetapi istirahat dan tempat tinggal pada daerah yang berbeda, penduduk seperti ini kerap disebut komuter. Alam AS dalam Sriwidodo (1987:42) akibat tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat kegiatan pembangunan yang jauh dari perumahan, sehingga banyak kepala keluarga yang terpisah dari keluarganya. Hal tersebut berpengaruh pada perilaku yang cenderung memenuhi kebutuhan biologis (ekstra marital).
23 Menurut penelitian Sriwidodo (1997:49) sebagian besar WTS berasal dari daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah yang mengalami masalah kemiskinan atau kekurangan, seperti Garut dan Sumedang yang tergabung kedalam wilayah Jawa Barat Priangan. Berdasarkan uraian dan acuan hasil penelitian di atas, sebagian besar WTS yang bekerja pada tempat prostitusi seperti: hotel, night club, cape, tempat hiburan, rumah bordil, salon dan lain-lain berasal dari daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah pemasok, umumnya daerah-daerah tersebut adalah daerah yang mengalami kemiskinan atau kekurangan. Dengan demikian ada suatu jarak yang harus ditempuh oleh WTS untuk melakukan kegiatan. Hal ini diduga mereka melakukan semua ini (prostitusi) mengingat pada kenyataan di lingkungannya sendiri tidak banyak orang mengetahui sepak terjang yang dilakukan WTS tersebut. 2.2.13 Intensitas Interaksi dengan WTS lain Mahardika (2004:6) intensitas interaksi antara wanita tuna susila (WTS) dengan WTS lain pengaruhnya seperti dituturkan Mawar (nama samaran), melihat adanya contoh (modeling) penyebabnya faktor psikologis, ia mengikuti jejak sahabat baiknya yang menuai keberhasilan sukses dalam materi, dan ketagihan nonton film porno. Menurut pengakuan Wangi (bukan nama sebenarnya) faktor lingkungan yang terus-menerus merangsang membuat libido menjadi tinggi, akhirnya bibinya sendiri yang menyediakan tempat penyaluran (Mahardika, 2004 :7) Uraian di atas pada dasarnya sesuai dengan teori dorongan dan teori keseimbangan. Karena adanya keadaan tidak seimbang yang menimbulkan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga mendorong terjadinya tingkah laku. Intensitas dan frekuensi berhubungan dengan WTS lain yang telah berhasil, akan semakin terpikat untuk mengikuti jejak rekannya tersebut.
24 2.2.14 Yang Melatih/Mengajari tentang Seksual Kosasih (2004:33-34) pendidikan seksual bertujuan untuk membina agar tidak terjerumus kedalam hawa nafsu yang akan merusak hidupnya. Orang akan memahami masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri mengenai penanganan seks dengan baik, akan tumbuh menjadi seseorang yang memahami problematika kehidupan dan memahami segala sesuatu yang dihalalkan dan diharamkan. Mahardika (2004:65) pengakuan seorang WTS; karena saya pelacur yang otodidak saya perlu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masalah seksual. Saya perlu diajari cara melakukan hubungan seks melalui VCD dan buku-buku porno serta tidak ketinggalan dari buku-buku seksual dan juga buku kesehatan supaya membuat saya menjadi “ready”. Berkaitan dengan pengetahuan tentang seks, para WTS merasa perlu mempelajararinya dalam memenuhi dan memuaskan para pelanggannya.
2.2.15 Intensitas hubungan WTS dengan pelanggan Intensitas hubungan atau frekuensi berhubungan wanita tuna susila dengan pelanggan atau laki-laki hidung belang merupakan salah satu variabel. Banyaknya pelanggan menyebabkan wanita tuna susila akan bertahan dalam profesinya, demikian pula sebaliknya, jika pelanggan sudah tidak lagi menggunakan, cenderung beralih kepada profesi yang lain atau berhenti sebagai wanita tuna susila.
2.2.16 Persepsi Karena Hedonisme Teori Hedonistis David McClelland (Sutarto,1998:321) mengatakan bahwa segala perbuatan manusia, baik disadari maupun tidak, baik itu timbul dari kekuatan luar ataupun dalam, pada dasarnya mempunyai tujuan yang satu, yaitu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan. Hal ini digambarkan pada hasil penelitian di Amerika Serikat tahun 1929, hedonisme sebagai motif yang paling kuat menguasai orang Amerika Serikat pada
25 umumnya. Sebagai ukurannya adalah banyaknya uang yang dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari penelitian itu menunjukkan bahwa orang Amerika Serikat pada waktu itu menggunakan uang paling banyak untuk keperluan hiburan, dua kali lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan untuk kepentingan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang-orang Amerika Serikat pada waktu itu umumnya dikuasai oleh motif mendapatkan hiburan (salah satu dari bentuk motif sosial). Dengan kata lain, motif yang paling kuat bagi orang Amerika Serikat pada waktu itu motif mencari hiburan, yang meliputi banyak hal, misalnya: nonton film, makan-makan di restoran, pestapesta, pertunjukan-pertunjukan dan lain-lain.
2.3 Pengetahuan tentang HIV/AIDS Sudirman (1991:102) pengetahuan (recall) berhubungan dengan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan dapat menyangkut bahan yang luas (teori) ataupun sempit (seperti fakta). Namun apa yang diketahui hanya sekedar informasi yang dapat diingat saja. Menanamkan pengetahuan untuk mencegah menularnya HIV/AIDS dikalangan Wanita Tuna Susila dapat menggunakan pendekatan multi sektoral seperti kesehatan, kesejahteraan sosial dan agama. Depsos (1996) meningkatnya pengetahuan dan kesadaran sasaran tentang pengetahuan HIV/AIDS serta berkemauan bertindak untuk melaksanakan pencegahan penularan HIV/AIDS. Tujuan khususnya adalah sasaran dapat menjelaskan kepada rekan-rekannya tentang HIV/AIDS, sasaran mau dan mampu berperan serta dalam kegiatan pencegahan HIV/AIDS, sasaran mau dan mampu melindungi diri dan atau keluarganya dari penularan HIV/AIDS. Tjandra (2004:57) tindakan yang tidak disertai pengetahuan yang baik dan benar akan sering megalami banyak kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Saparinah (1987:21) mengatakan bahwa perilaku sehat individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diinginkan. Norma-norma sosial dan budaya yang berlaku memegang peranan penting dalam membentuk pola perilaku individu. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek para WTS
26 dalam mencegah HIV/AIDS adalah melaksanakan penyuluhan secara intensif dengan menerapkan metode, teknik dan media penyuluhan yang tepat. Pengetahuan minimal tentang HIV/AIDS yang harus dikuasai oleh para WTS adalah sebagai berikut:
2.3.1 Pengertian HIV/AIDS Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). Virus ini tidak diturunkan secara genetis, tapi diperoleh pengidap melalui infeksi HIV. AIDS merupakan fase akhir dari infeksi HIV. HIV merusak sel-sel genetik yang dimasukinya, sehingga mempengaruhi aktifitas sel-sel tersebut dalam waktu tidak terbatas dan kemudian berkembang biak dalam darah dan cairan tubuh (Muninjaya, 1999:73) Dalam tubuh pengidap HIV/AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel pengidap, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia tetap terinfeksi. Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), amat rentan dan mudah terjangkit bermacammacam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayapun, lama kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah, bahkan meninggal. Orang yang terinfeksi HIV, mula-mula sedikit saja yang menjadi pengidap AIDS pada tiga tahun pertama, kemudian 50 % berkembang menjadi pengidap AIDS sesudah sepuluh tahun, dan sesudah tiga belas tahun hampir semua orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, kemudian meninggal (Depsos, 2003) Menurut Hutapea (1995:65) diagnosis infeksi HIV dapat diperiksa dengan suatu test darah yang disebut ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV didalam aliran darah. Seseorang mulai membentuk antibodi terhadap infeksi HIV lama sebelum menunjukkan gejalagejala dan bertahun-tahun sebelum sampai pada tahap AIDS. Sekalipun test antibodi tidak secara langsung menunjukkan terdapatnya virus, suatu hasil tes yang positif (seropositif) umumnya menandakan bahwa orang itu telah tertular HIV dan bahwa imun tubuhnya telah menghasilkan antibodi terhadap terhadap infeksi tersebut.
27 Suatu test darah yang lebih canggih test western blot dapat dilakukan terhadap orang yang seropositif untuk menjamin bahwa hasil semula itu benar. Test western blot ini menguji adanya pola khusus pada rantai protein yang khas bagi virus tersebut (Hutapea, 1995:65). Adanya antibodi HIV tidak berarti, atau memberi petunjuk waktu bahwa seseorang yang tertular HIV akan memperoleh AIDS. Diagnosa AIDS menuntut adanya penyakit-penyakit indikator tertentu seperti sarkoma kaposi, PCP, atau kanker leher rahim inpansif pada seorang yang seropositif terhadap HIV. Cara lain adalah dengan melihat bahwa pada orang yang terinfeksi HIV tersebut, kadar sel CD4-nya berada di bawah 200 per cc darah.
2.3.2 Penyebab AIDS dan infeksi sekunder sebagai akibat AIDS Gunawan (2003:1) Indonesia sangat memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi HIV dengan pesat, antara lain karena 1) adanya industri seks yang berkembang pesat di daerah perkotaan dan daerah wisata; 2) Prevalensi penyakit kelamin yang tinggi; 3) Pemakaian kondom yang rendah; 4) Urbanisasi dan migrasi penduduk yang tinggi; 5) Perilaku seksual kearah yang lebih bebas; 6) Praktek-praktek injeksi dan sterilisasi alat kedokteran yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan: 7) meningkatnya industri pariwisata dan lalu lintas ke luar negeri yang bebas. Kronologis perjalanan HIV/AIDS terbagi dalam empat stadium: (1) Stadium pertama: HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologik, ketika antibodi terhadap virus tersebut dari negatif berubah menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh, sampai test antibodi terhadap HIV menjadi positif, disebut masa inkubasi, lamanya antara 1 sampai 3 bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai 6 bulan. (2) Stadium kedua: Asimtomatik (tanpa gejala). Didalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rata-rata antara 5-10 tahun. Cairan tubuh ODHA yang nampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
28 (3) Stadium ketiga: pembesaran kelenjar limfe. Fase ini ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata serta tidak hanya pembesaran pada satu tempat, berlangsung lebih dari satu bulan. (4) Stadium keempat: AIDS. Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit antara lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyakit infeksi sekunder. Gejala-gejala klinis pada stadium ini yaitu demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat lebih dari 10% dalam tiga bulan, batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokkan pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh munculnya herpes zorter berulang, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh (Depkes,1997). Selain gejala tersebut, terdapat pula infeksi oportunistik. Seseorang yang dinyatakan AIDS apabila: (1) hasil tes HIV menunjukkan hasil positif, (2) mengidap satu atau lebih penyakit infeksi oportunistik khusus yang kambuh berulang kali atau menunjukkan adanya gangguan yang parah pada sistem kekebalan tubuhnya. Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko tertularnya HIV/AIDS yaitu peningkatan jumlah pasangan seksual, pengguna jarum suntik untuk tato dan penyalahgunaan narkoba, bentuk hubungan seks (anal, oral, vagina) tanpa mempergunakan kondom. Penyalahgunaan narkoba nonsuntik dan alkohol dapat meningkatkan resiko infeksi HIV, karena keduanya mempunyai pengaruh terhadap perilaku seksual. Menurut Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (Depkeskessos) sampai dengan 31 Desember 2002 tercatat sebanyak 3568 kasus. Tingkat penyebaran pada lima provinsi terbesar, yaitu provinsi DKI Jakarta, Papua, Jatim, Riau dan Bali. Kasus HIV paling tinggi (861 kasus) berada di DKI Jakarta dengan penderita AIDS sebanyak 315 kasus. Provinsi yang menduduki ranking kedua yaitu papua sebanyak 527 HIV positif dengan 325 AIDS, disusul oleh provinsi lain seperti Jatim, Riau, Bali yang mempunyai kasus HIV positif dan AIDS diatas 100 kasus. Demikian juga penderita AIDS yang meninggal, banyak ditemukan di provinsi Papua (112 orang), disusul DKI Jakarta (95 orang).
29 Bila dilihat dari usia penderita HIV/AIDS kebanyakan berada pada usia produktif, yaitu usia 20-29 tahun (898 orang), dan usia 30-39 tahun pada kasus AIDS 309 orang dan HIV positif 180 orang, sedangkan usia 40-49 tahun ialah 120 kasus AIDS 120 orang dan HIV positif 45 orang.
2.3.3 Cara Penularan HIV/AIDS Muninjaya (1999:11) HIV bisa menular lewat 3 cara, yaitu: (1) melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai kondom, (2) melalui transfusi darah, transplantasi organ tubuh, pemakaian alatalat yang telah tercemar HIV, (3) melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau kepada bayi yang disusuinya. Depsos (2003) HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu. Dalam penularan HIV, dikenal adanya perilaku resiko tinggi tertular HIV, yaitu (1) berhubungan seksual yang tidak aman, termasuk tanpa kondom; (2) bergantiganti pasangan seksual; (3) berganti-ganti jarum suntik atau alat-alat lain yang kontak dengan cairan tubuh orang lain; (4) memperoleh transfusi darah yang tidak ditest HIV.
2.3.4 Cara Pencegahan HIV/AIDS Tindakan pencegahan di kalangan wanita tuna susila yaitu: a) tidak timbul kecenderungan meningkatnya tindak ketunasusilaan, b) meluasnya pengaruh negatif akibat tindak ketunasusilaan, dan c) kambuhnya bekas penerima pelayanan menjadi pelaku tindak ketunasusilaan lagi. Muninjaya (1999:26) untuk mencegah penularan secara seksual, dikenal rumus ABC. Abstinence (pantang berhubungan seks sebelum menikah), be faithful (berhubungan seks hanya dengan pasangan suami-istri yang tetap), dan use condom (menggunakan kondom secara kontinu apabila melakukan hubungan seks). Cara yang paling tepat dilakukan Wanita Tuna Susila untuk mencegah HIV/AIDS adalah use condom. Menurut Muninjaya (1999:27) tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah penularan HIV adalah: (1) tidak melakukan hubungan seksual dengan
30 pengidap HIV/AIDS atau orang yang termasuk kelompok perilaku resiko tinggi, (2) tidak melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, (3) menggunakan kondom dari awal sampai selesai, apabila melakukan hubungan seksual dengan pasangan baru atau anggota kelompok beresiko tinggi, (4) mengobati penyakit kelamin secara tuntas, (5) tidak melakukan suntikan obat-obatan melalui pembuluh darah, jika melakukannya jangan menggunakan satu jarum bersamasama, (6) orang yang termasuk beresiko tinggi tidak menjadi donor darah, organ tubuh, dan sperma, (7) wanita pengidap HIV/AIDS harus meminta nasehat dokter sebelum hamil, karena mungkin akan menularkan kepada bayinya, (8) apabila suntik atau bedah, seseorang berhak menuntut agar memperoleh alat-alat suntik suci hama, (9) jika terpaksa melakukan transfusi darah, harus mendapat darah bebas HIV, (10) bila terluka balut dengan plester, dan (11) tidak menggunakan pisau cukur atau alat tusuk secara bergantian Pencegahan HIV dapat dilakukan dengan realistis yaitu menghindarkan diri dari perilaku berisiko (Djalal,2001) Langkah preventif (pencegahan) dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan penyuluhan berbagai tempat baik di instansi pemerintah lewat program Stop AIDS (ASA), maupun non-pemerintah melalui keaktifan Komite Penanggulangan AIDS. Depsos (2004) upaya-upaya efektif untuk memotong mata rantai penularan HIV/AIDS dimasyarakat meliputi : penjangkauan
lapangan
(outreach)
kepada
IDU,
pengembangan
media
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai HIV/AIDS dan infeksi menular seks (IMS), pelatihan relawan dan penyuluh sebaya. Yang rawan tertular HIV/AIDS selain laki-laki hidung belang, juga seseorang yang sedang bertugas jauh dari keluarga, karena hal itu berhubungan dengan situasi dan kondisi saat bertugas. Kasus ini patut mendapat perhatian, pasalnya seperti 11 tentara kita yang dikirim ke Kamboja sebagai pasukan perdamaian terinfeksi HIV karena mereka tidak dibekali dengan cara-cara pencegahan yang realistis. Ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di Kamboja antara 35-65 persen sehingga risiko tertular pun tinggi. Jika dibandingkan dengan tentara Belanda yang dibekali dengan kondom justru luput dari infeksi HIV dan PMS.
31 Sudah banyak langkah yang ditempuh dalam pencarian metode paling tepat dan masih terus dilakukannya upaya untuk pencegahan tersebut. Apakah upaya preventif sebagai salah satu alternatif terhadap tindakan pencegahan HIV/AIDS kepada orang lain, ataukah isolasi dan pengobatan terhadap orang yang sudah terkena HIV/AIDS. Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dengan memotivasi, terutama bertujuan untuk mengurangi bahaya penyebaran serta penularannya (harm reduction), penyebaran informasi tentang HIV/AIDS, yang disertai dukungan dan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial secara tepat (suportive health and social care). 2.3.5 Pengetahuan Kesehatan alat reproduksi dan Penyakit menular seksual (PMS) Momsen
(Handoko,2003:52)
Kesehatan
reproduksi
secara
sosial
mengandung pengertian pelayanan dan pemeliharaan rumah tangga, serta manajemen rumah tangga. Peran perempuan mengembangkan hubunganhubungan kekeluargaan, membangun jaringan kekerabatan dan keagamaan, upacara dan tanggung jawab sosial dalam komunitas. Dalam hal seksual, wanita tuna susila paling tidak menanggung risiko kerusakan reproduksi biologis dan sosial, kekerasan dan berbagai bentuk pelecehan seksual (sexual
harrashement),
dan lost generation. Menurut Obaid (2005) kesehatan dan hak reproduksi menjadi pusat terpenting, sesuai dengan yang telah disetujui para pemimpin dunia di Kairo pada konferensi internasional kependudukan dan pembangunan. Semua individu mempunyai hak untuk kesehatan reproduksi; untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab dalam hal jumlah, waktu dan jarak memiliki anak dan untuk memperoleh informasi dan cara melakukannya; dan untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Kesehatan dan hak reproduksi adalah kunci untuk pemberdayaan perempuan dan kesehatan gender dan pencapaian tujuan pembangunan internasional. Pelayanan kesehatan reproduksi mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi, infeksi HIV, kematian ibu, bayi dan anak, dan menyelamatkan kehidupan.
32 Rampan (2000:10) mengenai rendahnya pendidikan mengenai kesehatan, umumnya ibu dan anak perempuan tidak memiliki bargaining position dalam proses pengambilan keputusan mengenai pelayanan kesehatan yang selayaknya diperoleh. Keprihatinan terhadap kesehatan perempuan berimplikasi pada kesehatan anak-anak mengingat peran reproduksional dan pengasuhan yang dilakukan sebagai ibu rumah tangga dan ibu keluarga.
2.3.6 Bahaya HIV/AIDS Pada Kesehatan Manusia Warmbrand (1985:105) pola hidup yang salah akan menghadapi tantangan dan penyakit yang berkembang dalam dirinya. Hukum sebab akibat juga berlaku dalam problema lainnya. Perawatan tubuh yang baik dan kebiasaan hidup yang sehat merupakan dasar menuju kesehatan yang baik pula. Sedangkan perawatan yang kurang baik disertai kebiasaan hidup yang buruk akan merusak fungsi tubuh dan merupakan dasar berkembangnya penyakit. Setiap orang harus menghargai kesehatannya sendiri dan merawat diri sendiri dengan demikian akan dapat mempertahankan standar hidup yang tinggi. Depkes (2002:23) sehat adalah hak semua warga negara Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya sekarang ini untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan tidaklah mudah. Akses kesehatan yang sulit tidak diimbangi dengan pengadaan obat. Kita menginginkan agar kesehatan dikembalikan ke hakikatnya sebagai masalah kemanusiaan. HIV/AIDS disebut suatu sindrom karena terdiri dari beberapa variasi gejala. Fase awal dari kasus HIV/AIDS yang matang ditandai dengan gejala lemah, keringat malam, demam yang bandel, kelenjar limfa membengkak, diare dan turunnya berat badan yang tak diketahui sebabnya. (Hutapea,1995:44) HIV dapat juga menyerang susunan syaraf pusat, menimbulkan AIDS Dementia Complex (ADC). Dementia adalah suatu keadaan dimana seseorang nyata sekali kebingungan dan kehilangan arah. Orang-orang dengan ADC sering dengan cepat kehilangan kemampuan berkonsentrasi, komunikasi, belajar, mengingat sesuatu, menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya dan mengendalikan gerakan ototnya. Lebih dari separuh penderita AIDS akan mengalami masalah seperti ini.
33 Hutapea (1995:44) orang dengan HIV/AIDS rentan terhadap beberapa penyakit yang disebut penyakit indikator atau penyakit oportunistik. Penyakitpenyakit ini meliputi sarkoma kaposi (sejenis kanker yang langka), PCP (sejenis radang paru-paru), infeksi parasit di otak (toxoplasmosis), infeksi herpes dengan luka menganga yang kronis, TBC paru, radang paru bakteri yang sering kambuh, kanker ganas leher rahim, dan apa yang disebut ‘wasting syndrome’. Yaitu keadaan dimana seseorang terlihat seperti mendekati sekarat. Mereka mengalami penurunan berat badan tanpa menjalani diet atau senam yang membakar banyak kalori. Penyakit indikator (oportunistik) tidak mungkin muncul apabila tidak diberi kesempatan untuk merajalela dengan lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Dengan demikian risiko dari penyerangan penyakit HIV/AIDS adalah kematian.
2.3.7 Akibat HIV/AIDS Muninjaya (1999:7) human imunodeficiency virus (HIV) adalah virus penyebab penyakit AIDS. Cara kerja virus ini pada manusia adalah merusak sistem kekebalan tubuh (sel putih) sehingga penderita akan meninggal karena tidak mampu lagi melawan serangan penyakit serius lainnya. HIV adalah kelompok virus yang termasuk golongan retrovirus, sangat kecil ukurannya, lebih kecil dari seperseribu tampang sehelai rambut. Virus ini bentuknya seperti binatang bulu babi (bintang laut) yang berbulu tegak dan tajam. Dalam virus AIDS terdapat dua bentuk RNA yang wujudnya seperti ular dan mengandung reverse transcriptase dalam intinya. Inti tersebut berbentuk segi tiga yang hampir bundar dan dasarnya berlekuk ke dalam. Menurut Depsos (2003) berdasarkan faktor risiko penularan HIV/AIDS, ternyata faktor hubungan heteroseksual masih menduduki tingkat yang paling tinggi, disusul dengan intervena drug use (IDU) dan terendah pada biseksual (homo). Dampak terhadap kesejahteraan keluarga, terutama yang berasal dari faktor hubungan heteroseksual, akan menimbulkan makin banyak wanita dan anak-anak menjadi korban. Dampak yang serius bisa terjadi karena wanita di negara berkembang umumnya wanita menjadi perawat bagi anggota keluarga yang sakit dan bertanggungjawab menyediakan makanan, bekerja di ladang dan membesarkan anak-anaknya. Pada keluarga dengan adanya orang dewasa yang
34 menderita AIDS mengakibatkan penurunan pendapatan secara drastis antara lain dapat mengurangi status gizi serta kemampuan membiayai hidup sehari-hari menurun.
2.3.8 Hubungan Sosial dengan Penderita HIV/AIDS Akhir-akhir ini di Indonesia berkembang suatu sikap yang berlebihan dari masyarakat terhadap penderita penyakit HIV/AIDS, yang oleh sementara ahli disebut sebagai “epidemi ketiga” yaitu adanya penolakan, prasangka, stigmati-sasi dan pengucilan terhadap orang, atau kelompok yang tertular HIV/AIDS, bahkan diusir dari lingkungannya “Kasus di Rumah Sakit Kota Bandung, mengusir pasiennya karena belum ada ruangan khusus untuk menangani penyakit tersebut dan takut ketahuan oleh pasien lain sehingga akan berpengaruh terhadap nama baik rumah sakit tersebut (Depsos, 2003:3) Sejalan dengan pesatnya peningkatan ODHA tersebut maka semakin banyak masalah yang akan timbul, terutama yang berhubungan dengan masalahmasalah psikologis dan sosial yang dihadapi ODHA beserta keluarganya (Depsos, 2003:3) Sampai saat ini masih sering dijumpai salah pengetahuan dalam penularan HIV, yang intinya kontak sosial dengan ODHA akan menyebabkan penularan, sehingga menimbulkan ketakutan yang berlebihan pada masyarakat tentang HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan tindakan diskriminasi dan isolasi terhadap ODHA. Diskriminasi dan isolasi ini menyebabkan pengidap terkucil, dijauhkan dan menjauhkan diri dari masyarakat. Hal demikian tidak mendukung dalam pencegahan penularan HIV/AIDS. Muninjaya (1999:25) menyebutkan kontak sosial berikut ini tidak menyebabkan penularan HIV, yaitu melalui rangkulan, ciuman (kecuali mempunyai luka di wilayah mulut), jabat tangan, cium tangan dan pipi, batuk atau bersin, gigitan serangga dan nyamuk, berbagi (memakai) baju, handuk dan toilet, penggunaan peralatan yang sama (misalnya telepon), makan dari perkakas yang sama, kolam renang bersama-sama pengidap HIV dalam satu tempat, merawat orang yang terinfeksi HIV, mencuci kloset, sprei dan lainnya yang digunakan pengidap HIV.
35 2.3.9 Dampak Sosial Ekonomi AIDS Depsos (2003:2)Secara umum penyebaran infeksi HIV/AIDS tidak saja berdampak pada sektor sosial, ekonomi, kesehatan dan kesejahteraan keluarga namun lebih besar lagi mempengaruhi produktivitas dan pendapatan nasional, yang selanjutnya bisa mengakibatkan kerugian besar pada anggaran belanja negara dan menghambat proses pembangunan nasional. Dari sisi ekonomi HIV/AIDS telah menjadi masalah karena mahalnya biaya perawatan walaupun terbukti memberi efek positif mengarah kepada kepulihan. Cara pengobatan juga merupakan bagian tersulit. Akses obat yang sulit dan mahal merupakan suatu kendala, yang pada akhirnya dapat menjadi faktor penyebab kemiskinan.
2.3.10 Hubungan Narkoba dengan HIV/AIDS Handoko (2005:51) selama ini pemakai narkoba merasakan bahwa mereka mengalami kenikmatan dan bisa mencapai tahap fly ketika mereka menggunakan narkoba dan dilanjutkan dengan sexual intercourse baik dengan pasangannya sendiri maupun bukan (perilaku free sex). Sangat erat hubungan antara pecandu narkoba dengan HIV/AIDS. Untuk mendapatkan kegairahan dan kegembiraan semu lewat narkoba, perempuan bahkan rela mengorbankan tubuhnya untuk mendapatkan shabu-shabu, putauw maupun jenis lain. Depkes (2003) Kegemaran untuk berganti-ganti pasangan pada saat pesta seks sesudah mengkonsumsi narkoba secara bersama-sama akan mengakibatkan kondisi kehamilan yang tidak diharapkan, yang mendorong tindakan aborsi. Implikasi lain, tertularnya penyakit HIV/AIDS baik melalui alat suntik untuk menyuntik obat-obatan terlarang tersebut, maupun melalui gonta-ganti pasangan seks. Malloch dalam Handoko (2003:49) mengemukakan bahwa free sex yang dilakukan perempuan pecandu narkoba sebenarnya telah melanggar batas-batas kategori feminin, yang memutar balikan realitas perempuan alamiah dan membentuk citra perempuan yang hidup dalam realitas semu.
36 2.4 Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila dengan Pengetahuan Mereka tentang HIV/AIDS
2.4.1 Hubungan Umur WTS dengan pengetahuan HIV/AIDS Variabel umur merupakan salah satu faktor sosial yang penting dalam mempelajari masalah kesehatan dan sosial karena umur ternyata berkaitan dengan perilaku kebiasaan seseorang termasuk perilaku hubungan seksual. Hasil penelitian Soelistiani (2003:83) menunjukkan bahwa wanita tuna susila pada kelompok umur 15-29 tahun ternyata lebih banyak (66,1%) dibandingkan dengan wanita tuna susila pada kelompok umur 30 tahun (33,9%). Menurut Astawa dan Habasiah dalam Soelistiani (2003:83) bahwa semakin bertambah umur seseorang akan semakin matang dalam mengambil sikap dan berperilaku termasuk perilaku seksual. Variabel umur dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan perilaku wanita tuna susila dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.
2.4.2 Hubungan Status Perkawinan dengan pengetahuan HIV/AIDS Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat mengamanatkan berbagai fungsi kepada anggotanya untuk dilaksanakan melalui tugas-tugas kehidupan didalam keluarga, yang tercakup dalam aspek-aspek: pengaturan seksual, pemenuhan kebutuhan biologis, sosialisasi, penentuan status sosial, pemenuhan kebutuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kasih sayang (Soelaiman,1999:54) Pengalaman berkeluarga akan menambah dan meningkatkan pengetahuan tentang berbagai hal termasuk penyakit, terutama penyakit menular akibat hubungan seksual. Dengan demikian diduga wanita tuna susila yang berstatus menikah tentunya akan mempunyai pengetahuan lebih baik, pengalaman praktis dan penghayatan yang lebih baik, dibandingkan dengan wanita tuna susila yang status perkawinan pernah menikah atau belum menikah.
37 2.4.3 Hubungan Pendidikan Formal dengan pengetahuan HIV/AIDS Pendidikan merupakan suatu proses sosial dimana seseorang mengalami perkembangan sosial maupun individu. Oleh karena itu variabel pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk perilaku seksual. Hasil penelitian Soelistiani (2003:85) menunjukkan bahwa wanita tuna susila lebih banyak yang berpendidikan rendah (94,3%) dibandingkan dengan wanita berpendidikan tinggi (5,7%). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Iskandar (2001) di Jakarta dan Surabaya, bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan keinginan menggunakan kondom. Wanita tuna susila dengan pendidikan rendah berpeluang lebih besar (2,5 kali) tidak mempunyai keinginan menggunakan kondom, dibandingkan dengan wanita tuna susila berpendidikan tinggi (Soelistiani, 2003:85) Uraian
tersebut
menjelaskan
bahwa
variabel
pendidikan
dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap keseriusan suatu penyakit, selanjutnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam mengurangi ancaman dari suatu penyakit. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin mudah menerima perilaku yang positif, dalam hal ini pengetahuan tentang HIV/AIDS
2.4.4 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan pengetahuan HIV/AIDS Mereka meninggalkan rumah karena keadaan ekonomi orang tuanya, walaupun tanpa pendidikan yang memadai, nyaris buta hurup (Media Indonesia, 2005). Kesulitan hidup yang menjerat juga menjadi masalah yang dominan bagi berlangsungnya perselingkuhan. Seorang wanita berusaha setia terhadap suaminya. Cintanya terhadap suami tidak diragukan. Aktifitas didalam kamar keduanya berjalan normal. Kebutuhan nafkah batin keduanya tidak ada masalah. Namun aktifitas diluar kamar berlangsung timpang. Kebutuhan materi tidak terpenuhi, penghasilan suami tidak cukup. Gaji satu bulan hanya cukup dimakan seminggu sementara anak-anak mulai perlu biaya sekolah.
38 Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesesuaian tingkat pendapatan berhubungan dengan tingkat pengetahuan. Pendidikan orang tua yang tinggi menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi berpengaruh terhadap penyediaan alat/media sebagai sumber informasi. Dengan tersedianya berbagai media akan meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.5 Hubungan Motivasi menjadi WTS dengan pengetahuan HIV/AIDS Hubungan motivasi menjadi WTS terhadap pengetahuan HIV/AIDS dijelaskan (Matra,1997) agar tetap bertahan hidup mereka terjebak dalam penjajakan seksual, demi uang dan perlindungan, kemiskinan dan banyak tanggungan memaksa wanita muda harus memilih: bertahan dan mati kelaparan atau melacur dan terkena HIV/AIDS. Kenari (nama samaran) shalat rajin dan sering berpuasa, ia menjadi pelacur demi menghidupi dua anaknya. Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi menjadi wanita tuna susila, diduga akan semakin besar hubungannya dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.6 Hubungan Persepsi hidup ideal dengan pengetahuan HIV/AIDS Sriwidodo (1997:5) idealnya peran wanita adalah melaksanakan fungsi keluarga dengan baik tentunya harus mengerti dan memahami dengan baik fungsi keluarga tersebut, sehingga dengan pemahaman yang baik akan membentuk persepsi yang baik tentang fungsi keluarga. Hubungan wanita tuna susila yang memiliki persepsi hidup ideal tentang keluarga terhadap pengetahuan HIV/AIDS diduga bahwa wanita tuna susila yang memiliki persepsi hidup yang ideal akan memiliki pengetahuan lebih baik tentang HIV/AIDS.
39 2.4.7 Hubungan Lamanya menjadi WTS dengan pengetahuan HIV/AIDS Soelistiani (2003:87) Variabel lama bekerja merupakan salah satu faktor sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai wanita tuna susila lebih dari 14 bulan lebih banyak, sekitar 54,6 % dibandingkan dengan wanita tuna susila yang bekerja kurang dari 14 bulan (45,4%). Sriwidodo (1997:56) waktu terlama menjadi WTS adalah delapan tahun, sedangkan waktu terpendeknya satu tahun. Rentang waktu yang relatif pendek ini dimungkinkan karena secara daya tarik seksual wanita terbatas karena faktor usia. Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menekuni pekerjaannya maka akan merasa semakin rentan terhadap penyakit, sehingga perasaan rentan tersebut menyebabkan seseorang semakin berperilaku berupaya mencegah penyakit.
2.4.8 Hubungan Mendapat perlakuan kekerasan dengan pengetahuan HIV/AIDS Depkes (2000:21) bahwa ketidaksetaraan jender terjadi karena adanya norma di dalam masyarakat yaitu norma yang menerima perilaku pria mengendalikan wanita dan anggapan bahwa keperkasaan pria (maskulinitas) terkait dengan dominasi terhadap wanita. Ditangan penguasa apapun bisa dilakukan, perselingkuhan sebagai suatu aib bisa dilegitimasikan menjadi sesuatu yang biasa. Dalam sejarah kehidupan para raja di Jawa maupun di belahan dunia lainnya, cerita tentang kehidupan seks mereka menjadi bukti bahwa kekuasaan dan jabatan merupakan sarana pendorong untuk melakukan kegiatan seks diluar kebiasaan. Hanya, raja menggunakan cara yang sudah menjadi dunianya, Selir (Kholid, 2004:58) Pada tataran tertentu selir sesungguhnya bagian dari praktek perselingkuhan. Kekuasaan kemudian melegitimasikan. Konsep ini sebagai sesuatu yang lazim, bahkan seakan menjadi suatu keharusan berlaku bagi para raja. Hal seperti ini diikuti oleh para penguasa, terutama yang memiliki materi yang lebih dari
40 cukup. Seorang wanita kadang tidak merasa senang melayani lelaki namun dalam situasi terpaksa, ia harus melayaninya. 2.4.9 Hubungan keadaan ekonomi keluarga dengan pengetahuan HIV/AIDS Soelaiman (2004:65) tingkat pendidikan yang lebih baik akan diperoleh penghasilan yang lebih memuaskan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek sosial dan umunya berpengaruh pada tingkat pendapatan sebagai aspek ekonomi. Demikian juga tingkat pendidikan orang tua turut berperan dalam menentukan pengetahuan anggota keluarga, terutama pendidikan ayah. Sebab ayah sebagai orang tua yang berpendidikan lebih baik senantiasa berusaha mendapatkan informasi-informasi yang dianggap penting, misalnya dengan membeli koran atau majalah sebagai salah satu informasi, atau media lainnya untuk menambah pengetahuannya. Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dalam semua program faktor pendidikan merupakan faktor yang dominan keberhasilan suatu program. Faktor pendidikan diduga berhubungan dengan tingkat penghasilan, tingkat penghasilan berpengaruh terhadap keadaan keluarga, pada akhirnya keadaan keluarga berpengaruh terhadap pengetahuan, yaitu tentang HIV/AIDS.
2.4.10 Hubungan Kepatuhan terhadap Norma Susila dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS Kholid (2004:70) Kebebasan yang nyaris menyamai hewan dimulai ketika hiburan erotik marak dipertunjukkan. Ketika foto-foto wanita telanjang atau setengah telanjang bebas terpajang. Ketika goyangan erotis dianggap sebagai kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Ketika kumpul kebo dianggap biasa, jajan dianggap sebagai menghilangkan kejenuhan, kebebasan pergaulan dilihat sebagai contoh kehidupan masyarakat modern. Ketika larangan atau pembenahan terhadap itu semua dianggap sebagai pemasungan prinsip-prinsip demokrasi, pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan pemasungan terhadap kebebasan berekspresi.
41 Uraian tersebut di atas, menyatakan bahwa kebebasan dalam tingkah laku kehidupan kita memang diatur oleh norma-norma yang berlaku. Norma yang mengatur hak dan kebebasan manusia antara lain: norma agama, norma masyarakat, tata cara adat, aturan negara dan lain sebagainya. Kehidupan yang menyerupai hewan itulah ciri-ciri hilangnya normanorma kehidupan. Hilangnya norma-norma kehidupan itu menjadi faktor utama yang mendorong berlangsungnya perselingkuhan berbagai bentuk. Seseorang yang menjalankan norma susila dalam pergaulannya diduga berpengaruh terhadap pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.11 Hubungan Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal dengan Pengetahuan HIV/AIDS Hubungan
pengaruh
lingkungan
pergaulan
terhadap
pengetahuan
HIV/AIDS sebagaimana penjelasan Depsos (2002:17) studi tentang permasalahan HIV/AIDS: nama baik kota wisata berkembang cepat seiring dengan pertambahan sarana pariwisata baru, pusat hiburan, serta hotel dan restoran bertarap internasional. Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang pertumbuhannya paling cepat dan mempunyai banyak peluang untuk terus berkembang. Dengan terus meningkatnya beragam sarana, seperti Jakarta semakin dapat menarik perhatian dunia untuk menyelenggarakan acara-acara internasional yang bergengsi. Ditinjau dari segi sensitifitas terhadap penyakit, sebagai dampak kehidupan ibu kota yang ekstra dinamis dimana sebagian besar warganya melalui perjuangan yang keras mempertahankan hidup, maka hampir tidak terasakan perbedaan antara penyakit yang mematikan dan tidak. Seiring dengan meningkatnya wisata meningkat pula permasalahan yang dihadapi, hubungannya dengan penyakit HIV/AIDS yang tidak dapat terdeteksi jumlah orangnya dengan tepat. Meningkatnya kasus HIV/AIDS karena adanya perubahan nilai perilaku seksual di masyarakat tersebut. Dengan demikian pengaruh lingkungan sosial daerah asal yang kuat akan lebih besar berhubungan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS.
42 2.4.12 Hubungan Jarak Tempat bekerja dengan pengetahuan HIV/AIDS Mahardika (2004:99) Aku mangkal di lokalisasi “S” pinggiran kota Solo, merupakan kawasan prostitusi yang terkenal dari tempat ini aku mengetahui beberapa penyakit kelamin. Faktor yang menentukan daya tarik adalah kedekatan geografis (proksimitas). Semakin berdekatan dua orang secara geografis, semakin besar kecenderungan mereka untuk tertarik terhadap satu sama lain (Tubbs dan Moss dalam Mulyana, 2001:186) Pekerja seks baik wanita maupun laki-laki memang sangat tinggi risikonya terkena HIV/AIDS dari pekerjaannya. Seorang pengidap HIV juga tidak akan memberikan risiko menularkan penyakitnya kepada teman-teman sekerjanya melalui kontak sosial (Muninjaya, 1999:35). Menurut Nuryana (2003:95) Wanita tuna susila, gay/homo dan pecandu narkoba yang berisiko tinggi pada umumnya telah mengetahui tentang virus HIV/AIDS, gejala-gejala si penderita, cara penularan dan upaya pencegahan. Hal ini karena umumnya mereka menjadi anggota suatu wadah (organisasi). Dengan demikian terdapat hubungan antara tempat bekerja terhadap pengetahuan HIV/AIDS karena mereka terhimpun dalam suatu organisasi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa informasi-informasi dari tempat bekerja akan lebih mengetahui tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya. 2.4.13 Intensitas Interaksi dengan WTS lain terhadap pengetahuan HIV/AIDS Menurut pengakuan salah seorang WTS, dalam Mahardika (2004:98,99) di tempat kerjaku, aku menjadi primadonanya, sehingga banyak teman-temanku pada iri. Aku tidak hendak jumawa, namun kecantikan wajahku diatas rata-rata teman-teman seprofesiku. belum lagi bentuk tubuhku, usiaku masih muda merupakan tambahan poin tersendiri, yang menyebabkan aku laris diminati pelanggan. Dengan segala kelebihanku aku sibuk terus menerus melayani para tamu. Setelah menghuni kira-kira tiga tahun aku diserang suatu penyakit yang misterius itulah yang disebut penyakit kelamin.
43 Melihat intensitas hubungannya dengan WTS lain terhadap pengetahuan penyakit kelamin diduga akan meningkat sehingga wanita tuna susila dengan frekuesi hubungan yang tinggi akan lebih mengetahui tentang HIV/AIDS. 2.4.14 Hubungan yang melatih/mengajari seksual dengan pengetahuan HIV/AIDS Menurut Mahardika (2000:40) beberapa hal hasil penemuan penelitian tentang wanita tuna susila, pada umumnya baik secara langsung maupun tidak langsung mereka diajari tentang bagaimana hubungan seksual, baik oleh rekannya sendiri maupun oleh para seniornya yang sudah berpengalaman. Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa wanita tuna susila yang diajari tentang cara melakukan hubungan seksual diduga akan mengetahui tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual. 2.4.15 Intensitas hubungan dengan pelanggan terhadap pengetahuan HIV/AIDS Sriwidodo (1997:56) Intensitas hubungan dengan pelanggan terhadap pengetahuan HIV/AIDS dapat berpengaruh. Sebagaimana dijelaskan, dengan kegiatan seksual yang berlebihan selama mereka menjadi WTS menjadikannya cepat layu dan biasanya ditinggalkan pelanggan yang rata-rata menginginkan yang masih “segar” atau muda usia. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa intensitas hubungan yang frekuensinya tinggi antara wanita tuna susila dengan pelanggan, akan lebih rentan terhadap mengidap suatu penyakit kelamin. Hal ini diduga mereka mengetahui tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya dari banyaknya berganti-ganti pasangan atau tingkat berhubungan dengan para pelanggan yang tinggi. 2.4.16 Hubungan Persepsi hedonisme dengan pengetahuan HIV/AIDS Kholid (2004:75) Ada telepon party line atau sex on the phone. Sarana ini siap membantu para pria lewat “Janda Binal, Janda Kembang, Tante-tante
44 kesepian, Tante genit, Pesona tante muda, Wanita siap saji dan lain-lain. Hanya cukup tekan nomor yang ada dalam jalur-jalur itu, kemudian bisa bicara apa saja yang dapat membantu untuk melepaskan penat hidup dan meraih berahi melalui fantasi. Jika mau, bisa mengajak dia melalui “copy darat” dan meneruskan ke yang lebih hot lagi. Kholid (2004:64-65) ada lagi fasilitas yang mendekati Biro Jodoh namun ini budak jodoh. Dalam arti yang sesungguhnya hal ini tidak diakui oleh norma agama dan masyarakat. Ini jodoh nafsu untuk mendapatkan jodoh sesaat. Disana disediakan kolom khusus bagi mereka yang kesepian, lelaki atau perempuan, untuk mendapatkan orang yang bersedia menghangatkan tubuhnya. Simpelnya mereka mengajak berselingkuh. Mereka bukan wanita panggilan yang sematamata mencari uang. Mereka adalah wanita-wanita bersuami yang tidak puas dengan apa yang didapat dari suaminya. Seorang wanita kesepian dengan mudah memasang iklan untuk mencari siapa saja yang dapat memberinya kehangatan, atau menulis di sebuah tabloid hiburan untuk mendapatkan laki-laki yang diinginkannya dengan imbalan yang menjanjikan, untuk mewujudkan hasrat seksualnya. Karakteristik WTS antara lain: umur, status perkawinan, pendidikan (formal, non-formal dan informal), tingkat pendapatan, motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik menjadi WTS, persepsi hidup ideal, lamanya menjadi WTS, mendapatkan perlakuan kekerasan, keadaan ekonomi keluarga, kepatuhan terhadap norma susila, pengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak tempat bekerja sebagai WTS, intensitas interaksi dengan WTS lain, yang mengajari tentang seks, intensitas hubungan dengan pelanggan, persepsi seks hanya karena hedonisme. Berpengaruh terhadap pengetahuan wanita tuna susila tentang HIV/AIDS. Lebih jelasnya uraian alur pikir penelitian “Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS” dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
45 Gambar 1. Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS
Karakteristik a. WTS 1. Umur b. 2. Status Perkawinan 3. Pendidikan Formal 4. Tingkat Pendapatan 5. Motivasi Instrinksik menjadi WTS 6. Motivasi Ekstrinksik menjadi WTS 7. Persepsi untuk hidup yang Ideal 8. Lamanya Menjadi WTS 9. Mendapat perlakuan kekerasan 10. Keadaan Ekonomi Keluarga 11. Kepatuhan Terhadap Norma Susila 12. Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal 13. Jarak tempat bekerja sebagai WTS 14. Intensitas Interaksi dengan WTS lain 15. Yang melatih/mengajari tentang seksualitas 16. Intensitas Hubungan dengan Pelanggan 17. Persepsi Seks Hedonisme
Pengetahuan HIV/AIDS 1. Pengertian 2. Penyebab AIDS dan Infeksi Sekunder sebagai Akibat AIDS 3. Cara Penularan 4. Cara Pencegahan 5. Pengetahuan Kespro 6. Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan manusia 7. Akibat HIV/AIDS 8. Hubungan Sosial Dengan Penderita AIDS 9. Dampak Sosial Ekonomi AIDS 10. Hubungan Narkoba dengan HIV/AIDS
46 III. METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah semua Wanita Tuna Susila yang menjadi kelayan dan sedang direhabilitasi di panti rehabilitasi sosial wanita Jawa Barat. Panti rehabilitasi sosial yang menangani wanita tuna susila hanya ada di dua kota, yakni Panti Sosial Karya Wanita ”Marga Rahayu” di Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi dan Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila (BPSWTS) “Silih Asih”, di Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, provinsi Jawa Barat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi Wanita Tuna Susila yang mengikuti pendidikan dan latihan di panti rehabilitasi sosial Bina Sosial Wanita Jawa Barat. Periode Juni - September 2006 Nama Lembaga
No
Rehabilitasi
1
PSKW Marga Rahayu
2
Populasi
Sampel
40 orang
30 orang
BPSWTS Silih Asih
100 orang
70 orang
Jumlah
140 orang
100 orang
Sumber: Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 Sampel penelitian ini adalah sebagian Wanita Tuna Susila yang berada di dua panti tersebut di atas. Sampel diambil secara acak dengan jumlah responden sebanyak 100 orang, Keseluruhan sampel tersebut secara rinci yaitu: 30 orang berasal dari Panti Sosial Karya Wanita “Marga Rahayu” dan 70 orang berasal dari Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila “Silih Asih”. Palimanan Kabupaten Cirebon
47 3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai sebuah survai deskriptif, dengan peubah karakteristik Wanita Tuna Susila dan peubah pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS.
3.3 Data dan Instrumentasi
3.3.1 Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data primer yang dikumpulkan meliputi: I. Karakteristik Wanita Tuna Susila adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang ditampilkan Wanita Tuna Susila berhubungan dengan semua aspek kehidupan didalam lingkungannya, yang diduga berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS ialah: umur, status perkawinan, pendidikan formal, tingkat pendapatan, motivasi Instrinsik menjadi WTS, motivasi Ekstrinsik menjadi WTS, persepsi hidup yang ideal, lamanya menjadi WTS, keadaan ekonomi keluarga, kepatuhan terhadap norma, pengaruh lingkungan sosial daerah asal, tempat menjadi WTS, intensitas hubungan dengan WTS lain, intensitas hubungan dengan pelanggan, dan persepsi seks hanya untuk kesenangan (hedonisme).
(1) Umur Umur adalah jumlah tahun yang dihitung sejak lahir sampai menjadi responden. Lamanya (tahun) yang dihitung sejak lahir hingga penelitian ini dilakukan. Data diukur dengan skala interval. Faktor umur diklasifikasikan menjadi: (1) muda, 13 tahun – 23 tahun, (2) sedang, 24 tahun – 28 tahun, dan (3) tua, 29 tahun – 44 tahun.
48 (2) Status Perkawinan Status Perkawinan adalah status marital yang disandang oleh responden yang diklasifikasikan menjadi: (1) menikah, (2) pernah menikah, dan (3) belum menikah. (3) Pendidikan Formal Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan responden yang pernah mengikuti proses belajar di bangku sekolah secara formal Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi, yang dikatagorikan menjadi: (1) rendah 2 tahun – 6 tahun, (2) sedang 6,5 tahun – 10 tahun, dan (3) tinggi 11 tahun – 15 tahun (4) Tingkat Pendapatan Adalah pendapatan keluarga yang diperoleh suami, isteri atau anggota keluarga lainnya dari berbagai sumber penghasilan dalam waktu satu bulan, baik berupa uang maupun barang atau jasa, dengan katagori: (1)rrendah, Rp 450.000,- sampai Rp 1.200.000,- (2) sedang Rp 1.250.000,- sampai Rp 3.100.000,-, dan (3) tinggi Rp 3.150.000,- sampai Rp 7.600.000,(5) Motivasi Instrinsik Menjadi WTS Motivasi Instrinsik yaitu berupa dorongan dari dalam diri responden sehingga melakukan tindakan menjadi wanita tuna susila (WTS), dan terjerumus kedalam dunia pelacuran. Kategorinya: (1) rendah bila berkisar dari skor tujuh sampai skor sebelas, (2) sedang skor dua belas sampai dengan enam belas, dan (3) tinggi skor tujuh belas sampai dengan skor dua puluh delapan (6) Motivasi Ekstrinsik Menjadi WTS yaitu, berupa dorongan dari luar diri responden sehingga melakukan tindakan menjadi wanita tuna susila (WTS), dan terjerumus kedalam dunia pelacuran. Kategorinya: (1) rendah bila berkisar dari skor empat sampai skor delapan, (2) sedang skor sembilan sampai dengan sepuluh, dan (3) tinggi skor sebelas sampai dengan skor dua puluh
49 (7) Persepsi hidup Ideal yaitu idealnya hidup wanita pada umumnya yaitu harus bisa mengatur lima hal yaitu: 1) mengatur suami, 2) mengatur anak, 3) mengatur rumah, memasak, membersihkan rumah, 4) mengatur kekayaan atau ekonomi rumah tangga, 5) mengatur hubungan dengan tetangga. Katagorinya: kurang ideal, ideal dan sangat ideal. Kategori: (1) kurang ideal skor lima sampai skor dua belas, (2) ideal skor tiga belas sampai dengan skor enam belas, dan (3) sangat ideal skor tujuh belas sampai dengan skor dua puluh satu (8) Lamanya Menjadi WTS Lamanya responden menyandang/terjun sebagai wanita tuna susila sampai penelitian ini dilakukan. Kategorinya: (1) tidak lama dua bulan sampai enam bulan, (2) lama dari tujuh bulan sampai dengan tiga belas bulan dan (3) sangat lama empat belas bulan sampai dengan tiga ratus bulan (9) Mendapat perlakuan kekerasan Kuantitas Wanita Tuna Susila mendapatkan perlakuan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya dari pelanggan atau teman kencannya. Kategorinya: (1) tidak pernah, (2) pernah, dan (3) sering (10) Keadaan Ekonomi Keluarga Latar belakang kehidupan keluarga wanita tuna susila adalah keadaan kehidupan dalam keluarganya, yang terdiri dari faktor sandang, pangan papan dan faktor pendidikan. Kategorinya: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. (11) Kepatuhan Terhadap Norma Susila Kepatuhan terhadap norma-norma susila, yang berlaku di masyarakat, kesungguhan untuk menjalankan atau mematuhi kebiasaan-kebiasaan yang telah diakui masyarakat, dan norma susila yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan di masyarakat. Kategorinya: (1) tidak patuh, (2) patuh, dan (3) sangat patuh
50 (12) Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal Pengaruh lingkungan sosial daerah tempat tinggal, sebagai tempat lahir dan pergaulan yang mempengaruhi terhadap perilaku wanita tuna susila (WTS). Kategorinya: (1) tidak berpengaruh, (2) berpengaruh, dan (3) sangat berpengaruh (13) Jarak ke tempat bekerja sebagai WTS Jauhnya jarak responden dari tempat tinggalnya menjadi wanita tuna susila. Data diukur dalam kilometer dengan skala ordinal. Kategorinya: (1) dekat, (2) sedang, dan (3) jauh (14) Intensitas Interaksi dengan WTS lain Kuantitas/frekuensi responden berhubungan dengan WTS yang lain dalam satu minggu: sering, kadang-kadang atau jarang dalam kurun waktu tersebut. Kategorinya: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi (15) Yang melatih/mengajari tentang seksual Pengetahuan yang dimiliki responden tentang cara melakukan hubungan seksual dengan pelanggan, berdasarkan hasil informasi dan kompetensi kognitif dari yang mengajari/melatih tentang seksual. Kategorinya: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi (16) Intensitas Hubungan dengan Pelanggan Adalah frekuensi hubungan antara responden dengan pria pelanggan dalam waktu satu minggu. Kategorinya: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. (17) Persepsi Hedonisme Tanggapan bahwa responden melakukan hubungan seks hanya untuk mendapatkan kepuasan seksual. Kategorinya: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. II. Pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS adalah pengetahuan yang benar tentang materi pencegahan dasar yang terdiri atas: pengertian, penyebab AIDS dan infeksi sekunder sebagai akibat AIDS, cara penularan, cara pencegahan, pengetahuan kesehatan reproduksi (kespro), bahaya HIV/AIDS
51 pada kesehatan manusia, Akibat HIV/AIDS, hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, dampak sosial ekonomi AIDS dan hubungan narkoba dengan HIV/AIDS. Pengukurannya dengan menggunakan skala interval dengan skor masing-masing: 0 – 100; dengan rincian sebagai berikut: (1) Pengertian Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penyebab sindroma AIDS, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (sekumpulan gejala penyakit, yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh) Acquired artinya didapat, bukan merupakan penyakit keturunan, immuno berarti sistem kekebalan tubuh, deficiency artinya kekurangan, sedangkan syndrome adalah kumpulan gejala. AIDS merupakan fase akhir dari infeksi virus HIV. (2) Penyebab AIDS dan Infeksi Sekunder sebagai Akibat AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penyebab terjangkitnya HIV, yang menghancurkan sistem kekebalan tubuh penderita dan dapat menyebabkan penyakit AIDS. AIDS merupakan suatu kumpulan gejala berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus yang mempengaruhi sistem kekebalan. Sistem kekebalan menjadi tidak mampu memerangi infeksi. (3) Cara Penularan HIV bisa menular lewat 3 cara, (1) melalui hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai kondom, (2) melalui transfusi darah, transplantasi organ tubuh, pemakaian alat-alat yang telah tercemar HIV, (3) melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungnya atau kepada bayi yang disusuinya. (4) Cara Pencegahan Tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah penularan HIV adalah : (1) tidak melakukan hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS atau orang yang termasuk kelompok perilaku resiko tinggi, (2) tidak melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, (3) menggunakan kondom dari awal sampai selesai, apabila melakukan hubungan seksual dengan
52 pasangan baru atau anggota kelompok beresiko tinggi, (4) mengobati penyakit kelamin secara tuntas. (5) Pengetahuan Kesehatan reproduksi (Kespro) Pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi dan penyakit menular seksual (PMS), pengetahuan tentang organ reproduksi dan fungsinya, perilaku seksual yang menyebabkan kehamilan, aborsi, dan penyakit kelamin. (6) Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan manusia Selain bahaya yang mengancam pada kesehatan jasmani, penderita HIV/AIDS sering mengalami masalah-masalah psikologis (kecemasan, depresi, rasa bersalah, dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri) sehingga dapat menyebabkan kematian. (7) Akibat HIV/AIDS Dikucilkan oleh rekan-rekan/masyarakat, diskriminasi, dirumah diusir dan dikantor diberhentikan dari pekerjaan. (8) Hubungan Sosial Dengan Penderita AIDS Berbagi (memakai) baju, handuk dan toilet, penggunaan peralatan yang sama (misalnya telepon), makan dari perkakas yang sama, kolam renang bersama-sama pengidap HIV dalam satu tempat, merawat orang yang terinfeksi HIV, mencuci kloset, sprei dan lainnya yang digunakan pengidap HIV. (9) Dampak Sosial Ekonomi AIDS Dari sisi ekonomi HIV/AIDS telah menjadi masalah karena mahalnya biaya perawatan, berkurangnya usia produktif, kehilangan sumber daya manusia yang pada akhirnya dapat menjadi faktor penyebab kemiskinan. (10) Hubungan Narkoba dengan AIDS Bahaya narkoba dalam menyebarkan penyakit HIV/AID, bila narkobais tidak
peduli
terhadap
penggunaan
menyebarluaskan virus HIV/AIDS.
jarum
suntik
yang
berisiko
53 3.3.2 Instrumentasi Instrumentasi atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang akan dijawab oleh responden dan berhubungan dengan peubah-peubah yang akan dikaji dalam penelitian. Selain itu digunakan metode wawancara (interview) untuk memperkuat data hasil penelitian, dengan teknik: (1) secara berkelompok dengan responden yang berisi tentang kehidupan dunia WTS, Pengetahuan tentang HIV/AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan bahayanya pada kesehatan, (2) secara perorangan (untuk lebih akurat) tentang latar belakang kehidupan keluarga, keadaan ekonomi, tempat mereka berasal dan penyakit-penyakit yang pernah mereka derita. Untuk memperoleh proses tabulasi atau rekapitulasi data dan analisis, maka kuesioner dibuat dengan struktur sebagai berikut: a. Berisi petunjuk cara pengisian kuesioner b. Daftar pertanyaan untuk peubah karakteristik Wanita Tuna Susila berbentuk kombinasi antara pertanyaan langsung, tertutup dan tidak tertutup yang terdiri dari: (1) Umur, (2) Status perkawinan, (3) Pendidikan Formal, (4) Tingkat Pendapatan, (5) Motivasi Instrinsik Menjadi WTS, (6) Motivasi Ekstrinsik Menjadi WTS, (7) Persepsi untuk hidup yang Ideal, (8) Lamanya Menjadi WTS, (9) Mendapat perlakuan Kekerasan, (10) Keadaan Ekonomi Keluarga, (11) Kepatuhan Terhadap Norma Susila, (12) Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal, (13) Tempat sebagai WTS, (14) Intensitas Interaksi dengan WTS lain, (15) Yang melatih/mengajari tentang seksual, (16) Intensitas Hubungan dengan Pelanggan, dan (17) Persepsi seks sebagai Hedonisme c. Pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS berbentuk pernyataan langsung dan tertutup. Bentuk pernyataan tersebut terdiri dari 40 butir pertanyaan dengan bentuk “Benar” atau “Salah” (B - S). 3.3.3 Uji Validitas (Validity Test) Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat mengukur apa yang akan diukur. Ada beberapa cara untuk mengukur validitas
54 (kesahihan) alat ukur, yaitu validitas konstruk, validitas isi, validitas eksternal, validitas prediktif, validitas budaya, dan validitas rupa. (Singarimbun dan Effendi, 1999:124-132). Teknik pengujian validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk, yaitu menyusun tolok ukur operasional dari suatu kerangka konsep dan teori. Upaya-upaya yang dilakukan dalam hal ini adalah: (1) konsultasi dengan dosen pembimbing, (2) konsultasi dengan para ahli dan berbagai pihak yang dianggap menguasai materi daftar pertanyaan yang digunakan, dan (3) melakukan uji coba daftar pertanyaan sebelum dilakukan sebagai alat pengumpul data.
3.3.4 Uji Reliabilitas (Reliability Test) Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan, sebagai alat ukur untuk pengumpul data (Singarimbun dan Effendi,1999:125), bahwa yang dimaksud reliabilitas adalah istilah yang dipakai sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Uji Cronbach Alpha, diterapkan untuk menguji reliabilitas instrumen dengan alternatif jawaban per butir pertanyaan dengan rumus sebagai berikut :
α
N =
n-1
1-
Vi Vt
n = Jumlah item Vi = Varian item ke i Vt = Varian total Uji Reliabilitas dilakukan dari data pretest kuesioner Uji coba dilaksanakan pada minggu ketiga bulan Juli 2006. Responden untuk Uji reliabilitas sebanyak 20 orang terdiri dari: 10 orang Wanita Tuna Susila di Panti Sosial Karya Wanita Marga Rahayu Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, dan 10 orang Wanita Tuna Susila dari Balai Pemulihan Sosial Wanita
55 Tuna Susila Silih Asih di Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, yang diambil secara acak. Pengujian instrumen terdiri dari pengujian peubah pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS. Alat ukur cukup reliabel untuk digunakan jika nilai α > 0,500 dan mendekati 1,00 (Arikunto,1989). Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai sebesar α = 0,947
3.3.5 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dari bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan September 2006. Data primer dikumpulkan dari Wanita Tuna Susila yang dijadikan responden dengan menggunakan instrument penelitian berupa daftar pertanyaan (lampiran 2). Data primer tentang karakteristik wanita tuna susila juga diperoleh dengan wawancara terhadap Kepala Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Kecamatan Nagrak Kabupaten Sukabumi, Kepala Balai Pemulihan Sosial Wanita Tuna Susila (BPSWTS) Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, Kepala Seksi Pemulihan, Pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, Dinas Sosial, Puskesmas, dan staf pengajar/Instruktur Bimbingan dan Penyuluhan dari kedua Panti Sosial Wanita PSKW Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi dan BPSWTS Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon, Propinsi Jawa Barat . Data sekunder dikumpulkan melalui tinjauan terhadap catatan-catatan kemajuan wanita tuna susila yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan pencegahan HIV/AIDS bagi Wanita Tuna Susila Jawa Barat .
3.3.6 Analisis Data Data yang dikumpulkan terlebih dahulu ditabulasi dengan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah melakukan analisa deskriftif terhadap data dan hasil pengamatan. Sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan untuk menguji hubungan-hubungan variabel-variabel yang diamati dan dianalisis dengan bantuan program SPSS (Statistical Program for Social Science). Untuk membantu dalam mendeskripsikan peubah karakteristik Wanita Tuna Susila dengan pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS
56 dan bahayanya pada kesehatan manusia, dengan menggunakan teknik korelasi Konkordansi Kendall W pada tarap kepercayaan 0,05 – 0,01 (Siegel,1994:285). Selain itu juga dilakukan analisis kualitatif deskriftif atas dasar hasil-hasil pengamatan dan catatan selama proses pengumpulan data di lapangan. Adapun rumus Konkordansi Kendall W sebagai berikut:
W =
S 1/12 k 2 (N3 – N)
dimana: S = jumlah kuadrat deviasi observasi dari mean Ri k = banyak himpunan ranking penjenjangan N = banyak obyek atau individu yang diberi ranking
57 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendahuluan
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2006, dengan tujuan: (1) mengidentifikasi karakteristik individu para wanita tuna susila yang sedang direhabilitasi di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat. (2) Untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan para wanita tuna susila itu tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia (3) Untuk menghitung tingkat hubungan karakteristik para wanita tuna susila itu dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia Responden dalam penelitian ini adalah wanita tuna susila yang terpilih untuk dijadikan sebagai sampel. Sampel penelitian ini sebanyak 100 orang responden yang menjadi Kelayan di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita di Provinsi Jawa Barat yang diambil secara acak. Adapun data yang dikumpulkan dari keseratus responden tersebut digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian di atas.
4.2 Distribusi Karakteristik Responden
4.2.1 Distribusi Responden berdasarkan Umur Umur yang dimaksud dalam penelitian ini ialah usia responden yang dihitung sejak lahir sampai saat menjadi responden dalam penelitian, diukur dalam jumlah tahun. Pada bagian umur responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) muda, (2) sedang, dan (3) tua. Adapun kategori muda berkisar dari umur tiga belas tahun sampai dua puluh tiga tahun, klasifikasi sedang berkisar dari umur dua puluh empat tahun sampai dengan dua puluh delapan tahun, dan klasifikasi tua berkisar dari dua puluh sembilan tahun sampai dengan empat puluh empat tahun. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan peubah umur dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
58 Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan umur Umur Muda Sedang Tua Jumlah Minimum : 13 tahun
Jumlah 31 37 32 100 Maksimum : 44 tahun
Persentase 31 37 32 100 Rata-rata : 26,4 tahun
Tabel 2 mengungkapkan bahwa 37% responden dalam penelitian ini memiliki umur dalam klasifikasi berumur sedang. 4.2.2
Distribusi Responden berdasarkan Status Perkawinan Status perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah status marital
responden yang berada di panti rehabilitasi sosial saat ini, dengan status: (1) belum menikah, (2) menikah, dan (3) pernah menikah Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan status perkawinan Status pekawinan Belum menikah Pernah Menikah Masih menikah Jumlah
Jumlah 22 56 22 100
Persentase 22 56 22 100
Tabel 3 mengungkapkan bahwa 78 % responden dalam penelitian ini berstatus pernah menikah dan masih menikah.
4.2.3
Distribusi Responden berdasarkan Pendidikan Formal Pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian ini ialah pendidikan
formal tertinggi yang telah diselesaikan oleh responden.
59 Pada bagian pendidikan formal responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari dua tahun sampai enam tahun, atau setara Sekolah Dasar, kategori sedang berkisar dari enam setengah tahun sampai dengan sepuluh tahun atau setara Sekolah Menengah Pertama sampai SLTA kelas I, dan kategori tinggi berkisar dari sebelas tahun sampai dengan lima belas tahun, setara dengan SLTA kelas dua sampai dengan kuliah di semester enam atau setara Diploma 3. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal Pendidikan Formal Rendah Sedang Tinggi Jumlah Minimum : 2 tahun
Jumlah 38 32 30 100
Maksimum : 15 tahun
Persentase 38 32 30 100 Rata-rata : 8,35 tahun
Tabel 4 mengungkapkan bahwa 38% responden dalam penelitian ini berpendidikan formal yang termasuk rendah, setara dengan Sekolah Dasar.
4.2.4
Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan Tingkat Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tingkat
pendapatan tertinggi yang telah dihasilkan responden dalam satu bulan. Pada bagian tingkat pendapatan responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari Rp 450.000,- sampai Rp 1.200.000,-per bulan, kategori sedang berkisar Rpk1.250.000,-
sampai
Rp
3.100.000,-,
dan
kategori
tinggi
berkisar
Rpp3.150.000,- sampai Rp 7.600.000,Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
60 Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan Tingkat pendapatan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Minimum : Rp 450.000,-
Jumlah 32 33 35 100
Maksimum : Rp 7.600.000
Persentase 32 33 35 100 Rata-rata : Rp 2.182.900,-
Tabel 5 mengungkapkan bahwa 35% responden dalam penelitian ini termasuk berpenghasilan tinggi, ialah antara Rp 3.150.000,- – Rp 7.600.000,-
4.2.5
Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Instrinsik Motivasi Instrinsik yang dimaksud dalam penelitian ini ialah motivasi atau
dorongan dari dalam diri responden sehingga melakukan hal ini. Pada bagian motivasi Instrinsik responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah bila berkisar dari skor tujuh sampai skor sebelas, kategori sedang berkisar dari skor dua belas sampai dengan enam belas, dan kategori tinggi berkisar dari skor tujuh belas sampai dengan skor dua puluh delapan. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan Motivasi Instrinsik dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan Motivasi Instrinsik Motivasi Instrinsik Rendah Sedang Tinggi Jumlah Skor minimum: 7
Jumlah 33 35 32 100
Skor maksimum: Skor 38
Persentase 33 35 32 100 Skor rata-rata : 14, 17
Tabel 6 mengungkapkan bahwa 35% responden dalam penelitian ini motivasi instrinsiknya untuk menjadi WTS dalam klasifikasi sedang.
61 4.2.6
Distribusi Responden berdasarkan Motivasi Ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik yang dimaksud dalam penelitian ini ialah motivasi
atau dorongan dari luar diri responden sehingga melakukan pekerjaan menjadi wanita tuna susila. Pada bagian motivasi ekstrinsik responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah bila berkisar dari skor empat sampai skor delapan, kategori sedang berkisar dari skor sembilan sampai dengan skor sepuluh, dan kategori tinggi dengan skor sebelas sampai dengan skor dua puluh. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan Motivasi Ekstrinsik dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan Motivasi ekstrinsik Motivasi Ekstrinsik Rendah Sedang Tinggi Jumlah Skor minimum : 4
Jumlah 35 33 32 100
Skor maksimum : 20
Persentase 35 33 32 100 Skor rata-rata : 9,32
Tabel 7 mengungkapkan bahwa 35% responden dalam penelitian ini mempunyai motivasi ekstrinsik untuk menjadi WTS dalam klasifikasi rendah. 4.2.7
Distribusi Responden berdasarkan Persepsi hidup ideal Persepsi hidup ideal yang dimaksud dalam penelitian ini ialah persepsi
responden terhadap kehidupan kerumahtanggaan, sebagaimana halnya tugas dan peran seorang wanita. Pada bagian persepsi hidup ideal responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) kurang ideal, (2) ideal, dan (3) sangat ideal. Adapun kategori kurang ideal bila berkisar dari skor lima sampai skor dua belas, kategori sedang berkisar
62 dari skor tiga belas sampai dengan skor enam belas, dan kategori tinggi dengan skor tujuh belas sampai dengan skor dua puluh satu. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan persepsi hidup ideal wanita dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Distribusi Responden berdasarkan persepsi hidup ideal Persepsi hidup ideal Kurang ideal Ideal Sangat ideal Jumlah Skor minimum : 5
Jumlah 30 30 40 100
Skor maksimum : 21
Persentase 30 30 40 100 Skor rata-rata : 14,3
Tabel 8 mengungkapkan bahwa 40% responden dalam penelitian ini mempunyai persepsi hidup yang termasuk kategori sangat ideal, ialah hidup secara kodrati tugas pokok sebagai ibu rumahtangga yaitu pemangku keturunan, pendidik anak, pendamping suami, mengurus kekayaan dan ekonomi rumah tangga, serta mengatur hubungan sosial dengan tetangga.
4.2.8
Distribusi Responden berdasarkan Lama Bekerja Lama bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini ialah lamanya
responden terjun sebagai wanita tuna susila. Pada bagian lama bekerja responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak lama, (2) lama, dan (3) sangat lama. Adapun kategori tidak lama berkisar dari dua bulan sampai enam bulan, kategori lama berkisar dari tujuh bulan sampai dengan tiga belas bulan dan kategori sangat lama berkisar dari empat belas bulan sampai dengan tiga ratus bulan, atau sama dengan dua puluh lima tahun. Sebagian responden menyatakan terjun sebagai WTS pada usia antara 13 tahun – 19 tahun. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan lama bekerja sebagai wanita tuna susila dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
63 Tabel 9. Distribusi responden berdasarkan lama bekerja Lama Bekerja sebagai WTS Tidak lama Lama Sangat lama Jumlah Minimum : 2 bulan
Jumlah 33 32 35 100
Maksimum : 300 bulan
Persentase 33 32 35 100 Rata-rata : 12 bulan
Tabel 9 mengungkapkan bahwa 35% responden dalam penelitian ini memiliki pengalaman bekerja yang tergolong kategori sangat lama, sampai 25 tahun tanpa henti, berarti tidak mempunyai minat untuk mencari pekerjaan lain. 4.2.9
Distribusi Responden berdasarkan Mendapat perlakuan kekerasan seksual Mendapat perlakuan kekerasan seksual yang dimaksud dalam penelitian
ini ialah tingkat mendapat perlakuan kekerasan dalam hal seksual dan perlakuan lainnya selama melayani pelanggan. Pada bagian tingkat mendapat perlakuan kekerasan seksual responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak pernah, (2) pernah, dan (3) sering. Adapun kategori tidak pernah adalah tidak pernah sama sekali mendapatkan perlakuan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya selama melayani pelanggan, kategori pernah berkisar dari satu kali sampai dua kali, dan kategori sering mendapatkan perlakuan kekerasan seksual sekitar tiga kali sampai dua puluh kali. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan mendapat perlakuan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan mendapat perlakuan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya Mendapat perlakuan kekerasan Tidak pernah Pernah Sering Jumlah Minimum : 0 kali
Jumlah
Persentase
76 14 10 100
76 14 10 100
Maksimum : 20 kali Rata-rata : 1 kali
64 Tabel 10 mengungkapkan bahwa mayoritas responden dalam penelitian ini tidak pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual dan kekerasan lainnya selama melayani pelanggan.
4.2.10 Distribusi Responden berdasarkan Keadaan Ekonomi keluarga Keadaan ekonomi keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tingkat keadaan ekonomi keluarga responden. Pada bagian tingkat keadaan ekonomi responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah dengan skor lima sampai delapan, sedang dengan skor sembilan sampai sebelas, dan terakhir kategori tinggi berkisar dari skor dua belas dua sampai skor empat belas. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan keadaan ekonomi keluarga dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Distribusi responden berdasarkan keadaan ekonomi keluarga
Keadaan ekonomi keluarga Rendah Sedang Tinggi Jumlah Skor minimum: 5
Jumlah 35 38 27 100
Skor maksimum: 14
Persentase 35 38 27 100 Skor rata-rata: 9,51
Tabel 11 mengungkapkan bahwa 38% responden dalam penelitian ini keadaan ekonomi keluarga yang termasuk kategori sedang. Dari sebanyak itu sebagian berasal dari kalangan keluarga sejahtera tahap I (KS I) dan keluarga sejahtera tahap II (KS II) berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
65 4.2.11 Distribusi Responden berdasarkan Kepatuhan terhadap Norma Susila Tingkat kepatuhan terhadap norma susila yang dimaksud dalam penelitian ini ialah tingkat kepatuhan yang dilaksanakan responden dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Pada bagian tingkat kepatuhan terhadap norma susila responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak patuh, (2) patuh, dan (3) sangat patuh. Adapun kategori tidak patuh dengan skor empat sampai enam, patuh dengan skor tujuh sampai sepuluh, dan terakhir kategori sangat patuh berkisar dari skor dua puluh dua sampai skor tiga puluh satu. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan kepatuhan terhadap norma susila dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Distribusi responden berdasarkan kepatuhan terhadap norma susila Kepatuhan terhadap norma sosial Tidak patuh Patuh Sangat patuh Jumlah Skor minimum: 4
Jumlah
Persentase
38 38 24 100
38 38 24 100
Skor maksimum: 16
Skor rata-rata: 8,17
Tabel 12 mengungkapkan bahwa 76% responden dalam penelitian ini kepatuhan terhadap norma susila yang termasuk kategori tidak patuh, hingga patuh terhadap norma susila. Dengan demikian responden tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan norma-norma kehidupan dalam masyarakatnya. 4.2.12 Distribusi Responden berdasarkan Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal Pengaruh lingkungan sosial daerah asal yaitu, lingkungan tempat responden dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarganya dimana lingkungan tersebut berpengaruh terhadap responden.
66 Pada bagian tingkat pengaruh lingkungan sosial responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) tidak berpengaruh, (2) berpengaruh, dan (3) sangat berpengaruh. Adapun kategori tidak berpengaruh dengan skor delapan enam belas, berpengaruh dengan skor tujuh belas sampai dua puluh satu, dan terakhir kategori sangat berpengaruh berkisar dari skor dua puluh dua sampai skor tiga puluh satu. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan pengaruh lingkungan sosial daerah asal dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Distribusi responden berdasarkan pengaruh lingkungan sosial daerah asal
Pengaruh lingkungan sosial daerah asal Tidak berpengaruh Berpengaruh Sangat berpengaruh Jumlah Skor minimum: 8
Jumlah
Persentase
38 32 30 100
38 32 30 100
Skor maksimum: 31
Skor rata-rata: 18,56
Tabel 13 mengungkapkan bahwa 38% responden dalam penelitian ini tidak terpengaruh oleh lingkungan sosial daerah asal, baik tempat kehidupannya dibesarkan maupun tempat pergaulan sebelum menjadi WTS. 4.2.13 Distribusi responden berdasarkan jarak tempat bekerja Jarak tempat bekerja yang dimaksud dalam penelitian ini ialah jarak tempat tinggal responden dengan tempat bekerja sebagai wanita tuna susila. Pada bagian jarak tempat bekerja responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) dekat, (2) sedang, dan (3) jauh. Adapun kategori dekat berkisar dari seratus meter sampai satu kilo meter, kategori sedang berkisar dari satu setengah kilo meter sampai dua setengah kilometer, dan terakhir kategori jauh berkisar dari tiga kilometer sampai seratus kilometer.
67 Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan jarak tempat bekerja sebagai wanita tuna susila dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan jarak tempat bekerja Tempat bekerja Dekat Sedang Jauh Jumlah Jarak minimum: 0,1km
Jumlah 33 32 35 100
Jarak maksimum: 100 km
Persentase 33 32 35 100 Jarak rata-rata: 7,4 km
Tabel 14 mengungkapkan bahwa 35% responden dalam penelitian ini jarak dari tempat tinggal ke tempat bekerjanya yang termasuk kategori jauh, dengan jarak rata-rata yang ditempuh sekitar 7,4 kilometer. Hal ini menunjukan bahwa mereka benar-benar memerlukan pekerjaan ini. 4.2.14 Distribusi Responden berdasarkan Intensitas Interaksi dengan WTS lain Intensitas interaksi responden dengan wanita tuna susila lain yang dimaksud dalam penelitian ini ialah frekuensi hubungan responden dengan wanita tuna susila lainnya dalam kurun waktu satu minggu. Pada bagian intensitas interaksi responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari dua kali sampai tiga kali, kategori sedang berkisar dari empat kali, dan kategori tinggi berkisar dari lima sampai enam kali dalam satu minggu Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan intensitas interaksi responden dengan wanita tuna susila lain dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini. Tabel 15. Distribusi responden berdasarkan intensitas interaksi dengan WTS lain Intensitas interaksi dengan WTS lain (per minggu) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Minimum : 2 kali
Jumlah
Persentase
34 41 25 100
34 41 25 100
Maksimum : 6 kali
Rata-rata : 4 kali
68 Tabel 15 mengungkapkan bahwa 41% responden dalam penelitian ini intensitas interaksi dengan WTS lain atau rekannya termasuk dalam kategori sedang, yaitu sekitar empat kali dalam satu minggu. 4.2.15 Distribusi Responden berdasarkan Orang Yang mengajari/ melatih tentang seksual Yang mengajar atau melatih seksual yang dimaksud dalam penelitian ini ialah banyaknya responden menerima informasi dan cara-cara melakukan seksual dengan pelanggan sampai saat penelitian dilaksanakan. Pada bagian yang mengajari atau melatih seksual responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari lima sampai enam kali, kategori sedang berkisar dari tujuh kali sampai sepuluh kali, dan terakhir kategori tinggi berkisar dari sebelas kali sampai dengan dua puluh satu kali. Hasil penelitian distribusi responden yang diajari atau dilatih cara melakukan hubungan seksual dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini. Tabel 16. Distribusi responden berdasarkan yang mengajari atau melatih seksual Yang mengajar atau melatih seksual Rendah Sedang Tinggi Jumlah Minimum : 5 kali
Jumlah
Persentase
34 40 26 100
34 40 26 100
Maksimum : 21 kali Rata-rata : 9 kali
Tabel 16 mengungkapkan bahwa 40% responden dalam penelitian ini pernah diajari atau dilatih tentang pengetahuan dan informasi cara melakukan hubungan seksual, dalam kategori sedang, ialah bahwa selama menjadi WTS ratarata diajari sebanyak sekitar 9 kali tentang bagaimana cara melakukan hubungan seksual.
69 4.2.16 Distribusi responden berdasarkan Intensitas hubungan dengan pelanggan Intensitas hubungan dengan pelanggan yang dimaksud dalam penelitian ini ialah banyaknya hubungan yang telah dilakukan responden dengan pelanggan dalam kurun waktu satu minggu. Pada bagian intensitas hubungan responden dengan pelanggan dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari dua kali sampai tiga kali, kategori sedang berkisar dari empat sampai dengan lima kali, dan terakhir kategori tinggi berkisar dari enam kali sampai dengan sepuluh kali. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan intensitas hubungan dengan pelanggan dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini. Tabel 17. Distribusi responden berdasarkan intensitas hubungan dengan pelanggan Intensitas hubungan dengan pelanggan (per minggu) Rendah Sedang Tinggi Jumlah Minimum : 2 kali
Jumlah
Persentase
26 36 38 100
26 36 38 100
Maksimum : 10 kali Rata-rata : 5 kali
Tabel 17 mengungkapkan bahwa 38% responden dalam penelitian ini intensitas hubungan dengan pelanggannya termasuk kategori tinggi, ialah 6 – 10 kali per minggu, atau setiap hari sekali. 4.2.17 Distribusi Responden berdasarkan Persepsi hedonisme Persepsi hedonisme seks yang dimaksud dalam penelitian ini responden melakukan seks hanya untuk kesenangan. Pada bagian persepsi hedonisme responden dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi. Adapun kategori rendah berkisar dari skor empat sampai skor lima, kategori sedang berkisar dari skor enam sampai
70 dengan sepuluh dan terakhir kategori tinggi berkisar dari skor sebelas sampai dengan skor dua puluh satu. Hasil penelitian distribusi responden berdasarkan persepsi hedonisme dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18. Distribusi responden berdasarkan persepsi hedonisme Persepsi hedonisme Rendah Sedang Tinggi Jumlah Skor minimum: 4
Jumlah 59 13 28 100
Skor maksimum: 21
Persentase 59 13 28 100 Skor rata-rata: 7,8
Tabel 18 mengungkapkan bahwa 59% responden dalam penelitian ini memiliki persepsi hedonisme (seks untuk kesenangan) yang termasuk kategori rendah. 4.3 Pengetahuan Responden Tentang HIV/AIDS Yang dimaksud pengetahuan wanita tuna susila adalah tingkat kemampuan kognitif responden tentang HIV/AIDS Pengetahuan tentang HIV/AIDS dibagi menjadi 10 bidang yang harus dikuasai responden, agar mampu menghindari penyakit yang mematikan itu dengan baik. Ke sepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu adalah: 1. Pengertian 2. Penyebab AIDS dan Infeksi Sekunder sebagai Akibat AIDS 3. Cara Penularan 4. Cara Pencegahan 5. Pengetahuan Kesehatan alat reproduksi 6. Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan manusia 7. Akibat HIV/AIDS 8. Hubungan Sosial Dengan Penderita AIDS 9. Dampak Sosial Ekonomi AIDS 10. Hubungan Narkoba dengan AIDS
71 Hasil penelitian hubungan karakteristik wanita tuna susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat tentang pengetahuan HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 19 berikut ini. Tabel : 19 Pengetahuan respondeng tentang HIV/AIDS No Bidang Pengetahuan
Skor
Jenjang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
68,00 60,38 58,50 57,00 56,00 55,50 49,30 45,40 42,00 38,00 53,01
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Pengertian Pengetahuan Kespro Akibat HIV/AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Tabel 19 memberikan gambaran, bahwa skor tertimbang dan jenjang dari ke sepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS yang tergolong tinggi adalah pengetahuan mengenai bidang-bidang: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara Pencegahan, 4) Pengertian, 5) Pengetahuan Kespro, 6) Akibat HIV/AIDS, 7) Hubungan Sosial dengan penderita HIV/AIDS, 8) Penyebab AIDS dan Infeksi sekunder, 9) Dampak sosial Ekonomi AIDS, dan 10) Hubungan Narkoba dengan AIDS.
4.4. Hubungan Karakteristik Responden Dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS Karakteristik terpilih yang dihubungkan dengan pengetahuan responden tentang HIV/AIDS adalah: 1) Umur, 2) Status perkawinan, 3) Pendidikan formal, 4) Tingkat Pendapatan, 5) Motivasi Instrinsik menjadi WTS, 6) Motivasi ekstrinsik menjadi WTS, 7) Persepsi untuk hidup yang Ideal, 8) Lamanya menjadi WTS, 9) Mendapat perlakuan kekerasan, 10) Keadaan ekonomi keluarga, 11) Kepatuhan terhadap norma susila, 12) Pengaruh lingkungan sosial daerah asal, 13) Jarak tempat sebagai WTS, 14) Intensitas Interaksi dengan WTS lain, 15) Yang
72 melatih/mengajari tentang seksual, 16) Intensitas hubungan dengan pelanggan, dan 17) Persepsi seks sebagai hedonisme Hasil penelitian hubungan karakteristik dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat berikut ini.
4.4.1
Hubungan Umur Responden dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan umur responden dengan pengetahuan tentang
HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20. Hubungan umur responden dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7
Bidang Pengetahuan
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Pengertian Pengetahuan kespro Cara pencegahan Akibat HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan sosial dengan 8 penderita HIV/AIDS 9 Dampak sosial ekonomi AIDS 10 Hubungan narkoba dengan AIDS
Muda Skor Jj 68,84 1 64,92 2 61,75 3 61,35 4 60,48 5 58,06 6 53,55 7
Umur Sedang Skor Jj 64,03 1 57,77 2 55,21 4 53,22 5 56,76 3 47,29 6 43,24 9
Tua Skor Jj 72,97 1 58,98 3 54,47 5 54,21 6 58,59 4 62,5 2 40 9
50,58 39,78 38,71 55,802
46,89 45,04 37,84 50,73
51,09 7 40,62 8 37,5 10 53,09
8 9 10
7 8 10
W = 0,91**
Tabel 20 menjelaskan bahwa bagi responden yang berumur muda pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengertian tentang HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang berumur sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan. Selanjutnya bagi responden yang berumur tua pengetahuan tentang HIV/AIDS
73 paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Akibat HIV/AIDS, dan 3) Cara penularan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengetahuan Kespro, 2) Cara pencegahan, 3) Akibat HIV/AIDS, 4) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 5) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 6) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.2
Hubungan Status Perkawinan dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil
penelitian
hubungan
status
perkawinan
responden
dengan
pengetahuan tentang HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini. Tabel 21. Hubungan status perkawinan dengan Pengetahuan HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3
Bahaya HIV bagi kesehatan Pengertian Cara penularan Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Cara pencegahan Pengetahuan kespro Akibat HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
4 5 6 7 8 9 10
Status Perkawinan Sudah Pernah Belum Skor Jj Skor Jj Skor Jj 68,18 1 66,13 1 74,32 1 54,55 2 56,89 6 59,74 4 53,98 3 62,05 2 62,5 2 53,14
4
48,23
7
48,55
8
51,14 46,95 45,45 37,27 36,36 34,09 48,111
5 6 7 8 9 10
60,27 58,43 58,04 46,07 47,02 39,29 54,24
3 4 5 9 8 10
61,36 59,14 59,09 51,82 34,85 38,64 55
3 5 6 7 10 9
W = 0,88 **
74 Hasil penelitian hubungan status perkawinan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dikemukakan, responden yang sudah menikah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian, 3) Cara penularan HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang pernah menikah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan. Selanjutnya responden yang belum menikah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 3) Pengetahuan Kespro, 4) Akibat HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,88 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.3
Hubungan Pendidikan Formal dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan pendidikan formal dengan pengetahuan tentang
HIV/AIDS adalah sebagai berikut: responden yang berpendidikan formal rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian tentang HIV/AIDS, 3) Cara Pencegahan, dan 4)cCara penularan. Responden yang pendidikan formalnya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3)ppengertian tentang HIV/AIDS, dan 4) Cara pencegahan. Adapun responden yang pendidikan formalnya tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan, dan 4) Akibat HIV/AIDS. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini.
75 Tabel 22. Hubungan pendidikan formal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6 7
Bahaya HIV bagi kesehatan Pengertian HIV/AIDS Cara pencegahan Cara penularan Akibat HIV/AIDS Pengetahuan kespro Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan sosial dengan 8 penderita HIV/AIDS 9 Penyebab AIDS dan infeksi 10 Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Pendidikan Formal Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 62,32 1 69,81 1 74,53 1 55,26 2 62,05 3 53,82 7 53,29 3 58,59 4 65 3,5 50,99 4 65,63 2 66,67 2 50 5 53,13 6 65 3,5 48,26 6 57,38 5 64,53 5 45,61 7 39,58 9 39,99 10 43,89
8
49,03
7
56,7
6
41,58 35,53 58,943
9 10
44,38 37,5 49,1
8 10
51,33 41,67 54,9
8 9
W = 0,88** Pada kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada enam bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Akibat HIV/AIDS, 2) Pengetahuan Kespro, 3) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan Infeksi sekunder dan 6) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,88 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.4
Hubungan Tingkat Pendapatan dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan tingkat pendapatan dengan pengetahuan tentang
HIV/AIDS dikemukakan, bahwa responden yang tingkat pendapatannya rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi
76 kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang pendapatannya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Akibat HIV/AIDS. Selanjutnya bagi responden yang tingkat pendapatannya tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan dan 3) Pengertan HIV/AIDS. Lebih jelasnya hasil penelitian hubungan tingkat pendapatan responden dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 23 berikut ini. Tabel 23. Hubungan tingkat pendapatan responden dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Pengertian Pengetahuan kespro Penyebab AIDS dan infeksi Akibat HIV/AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Rata-rata
Tingkat Pendapatan Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 56,31 1 75,82 1 72,4 1 56,25 2 60,23 6 64,29 2 50 3 68,94 2 56,43 6 48,22 4 60,61 5 61,63 3 48 5 61,67 4 58,14 5 44,38 6 41,82 9 49,71 7 43,75 7 62,12 3 60 4 40,66
8
57,67
7
49,54
8
34,38
9
40,91
10
38,57
10
34,37 45,632
10
48,48 57,83
8
42,85 55,36
9
W = 0,84** Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Pengetahuan Kespro, 3) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 4) Akibat HIV/AIDS, 5) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 6) Hubungan narkoba dengan AIDS dan 7) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi
77 Kendall W sebesar 0,84 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu. 4.4.5
Hubungan Motivasi Intrinsik dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan motivasi instrinsik dengan pengetahuan
HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 24 berikut ini. Tabel 24. Hubungan motivasi instrinsik dengan pengetahuan HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Akibat HIV/AIDS Cara pencegahan Pengertian Pengetahuan kespro Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Rata-rata
Motivasi Intrinsik Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 64,64 1 65,77 1 75,09 1 55,68 2 59,64 2 66,02 3 54,55 3 51,43 6 60,94 6 52,27 4 56,43 4 67,19 2 51,08 5 56,74 3 63,39 5 48,55 6 56,23 5 63,63 4 46,55 7 49,54 7 52,13 7 44,24 8 47,43 8 44,38 9 34,85 9 38,57 10 40,63 10 32,32 10 45,71 9 47,91 8 48,473 52,75 58,13
W = 0,93** Tabel 24 menjelaskan bahwa responden yang motivasi instrinsiknya rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Akibat HIV/AIDS. Adapun responden yang motivasi instrinsiknya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Pengertian tentang HIV/AIDS. Selebihnya responden yang motivasi instrinsiknya tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Cara penularan HIV/AIDS.
78 Kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Cara pencegahan, 2) Pengertian HIV/AIDS, 3) Pengetahuan Kespro, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan Infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Hubungan narkoba dengan AIDS dan 7) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, Pada kelompok ini meskipun beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,93 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS tersebut.
4.4.6
Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan Motivasi ekstrinsik dengan pengetahuan
tentang HIV/AIDS secara jelas dapat dilihat pada Tabel 25 berikut ini. Tabel 25. Hubungan Motivasi ekstrinsik dengan Pengetahuan HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara pencegahan Cara penularan Pengertian Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Akibat HIV/AIDS Pengetahuan kespro Dampak sosial ekonomi AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Motivasi Ekstrinsik Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 67,66 1 67,73 1 69,84 1 60 2 53,03 6 62,5 3 55 3 63,26 2 63,28 2 54,29 4 57,58 4 59,38 5 53,43 5 46,45 8 47,97 7 51,43 6 57,57 5 57,81 6 50,49 7 58,67 3 59,47 4 48,57 8 40,4 9 36,45 10 42,29 9 48,48 7 45,63 8 38,57 10 37,88 10 37,5 9 52,173 53,11 53,98
W = 0,86**
79 Tabel 25 menjelaskan bahwa responden yang motivasi ekstrinsiknya rendah pengetahuan HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, 3) Cara penularan. Adapun bagi responden yang motivasi ekstrinsiknya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Pengetahuan kespro. Selanjutnya bagi responden yang motivasi ekstrinsiknya tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 3) Akibat HIV/AIDS, 4) Pengetahuan Kespro, 5) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 6) Penyebab HIV/AIDS dan infeksi sekunder, dan 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Meskipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.7
Hubungan Persepsi hidup ideal dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil
penelitian
hubungan
persepsi
hidup
ideal
wanita
dengan
pengetahuan tentang HIV/AIDS dijelaskan sebagai berikut: responden yang persepsi hidup kurang ideal pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, 3) Akibat HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang persepsi hidup ideal pengetahuan HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengetahuan kespro. Selanjutnya responden yang persepsi hidupnya sangat ideal pengetahuan HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengertian HIV/AIDS. Lebih jelasnya hal ini dapat dilihat pada Tabel 26 berikut ini.
80 Tabel 26. Hubungan persepsi hidup ideal dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara pencegahan Akibat HIV/AIDS Cara penularan Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Pengertian Pengetahuan kespro Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Persepsi Hidup ideal Kurang Sangat Ideal Ideal Ideal Skor Jj Skor Jj Skor Jj 64,5 1 67,83 1 71,7 1 56,67 2,5 55 5 62,5 6 56,67 2,5 43,33 8 63,75 4 51,67 4 62,92 2 65 2 49 5 52,27 6 47,5 7 48,57 6 55,24 4 64,64 3 47,83 7 55,63 3 62,55 5 42,67 8 46,67 7 46,5 8 42,22 9 39,99 9 43,33 9 36,67 10 36,67 10 40 10 49,647 51,56 56,75
W = 0,84** Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Cara penlaran, 2) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 3) Pengertian HIV/AIDS, 4) Pengetahuan kespro, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 6)dDampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Hasil penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,84 yang nyata pada α = 0,01 hal ini menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS tersebut.
4.4.8
Hubungan Lama Bekerja menjadi WTS dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan lama
bekerja menjadi WTS
dengan
pengetahuan tentang HIV/AIDS, adalah sebagai berikut: responden yang tidak lama bekerja sebagai WTS pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian HIV/AIDS, dan 3) Cara Penularan
81 HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang lama bekerja sebagai WTS pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan. Selebihnya responden yang sangat lama bekerja sebagai WTS pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengetahuan kesehatan alat-alat reproduksi. Lebih lengkapnya hubungan lama bekerja sebagai WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 27 berikut ini. Tabel 27. Hubungan lama bekerja dengan Pengetahuan HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Pengertian Cara penularan Cara pencegahan Akibat HIV/AIDS Pengetahuan kespro Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Lama Jadi WTS Tidak Sangat Lama Lama Lama Skor Jj Skor Jj Skor Jj 60,64 1 65,89 1 78,14 1 57,58 2 51,34 6 61,63 4 54,55 3 61,72 2,5 64,64 2 52,27 4 61,72 2,5 61,43 5 50 5 59,38 5 57,14 7 49,48 6 55,31 4 62,94 3 43,64 7 47,5 8 45,14 9 40,42
8
47,97
7
59,11
6
35,35
9
43,75
9
46,66
8
34,85
10
39,06
10
40
10
47,878
53,36
57,68
W = 0,90** Kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Cara pencegahan, 2) Akibat HIV/AIDS, 3) Pengetahuan kespro, 4) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 5) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 6) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Kendatipun ketiga kelompok ini membuat penjenjangan dari kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu beragam, koefisien Konkordansi
82 Kendall W sebesar 0,90 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS. 4.4.9
Hubungan Mendapat perlakuan kekerasan seksual dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan mendapat perlakuan kekerasan seksual dengan
pengetahuan tentang HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 28 berikut ini. Tabel 28. Hubungan mendapat perlakuan kekerasan dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Pengertian Pengetahuan kespro Akibat HIV/AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Perlakuan kekerasan Tdk Pernah Pernah Sering Skor Jj Skor Jj Skor Jj 67,6 1 64,29 1 80 1 61,18 2 50,89 4 67,5 5,5 57,89 3 55,36 2 67,5 5,5 56,77 4 46,94 6 72,86 4 54 5 52,5 3 76,7 2 53,95 6 50 5 75 3 49,63
7
45,29
7
53,2
8
47,63 42,1
8 9
31,43 23,81
9 10
48 66,66
9 7
37,5
10
39,26
8
40
10
52,825
45,98
64,74
W = 0,87** Tabel 28 menjelaskan responden yang tidak pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan tentang HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Pengetahuan kespro. Selanjutnya bagi responden yang sering mendapat perlakuan kekerasan seksual pengetahuan
83 tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengetahuan kespro, dan 3) Akibat HIV/AIDS. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Pengetahuan kespro, 3) Akibat HIV/AIDS, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Walaupun beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS pada kelompok ini, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,87 sangat nyata pada α..= 0,01. Hal ini menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu. 4.4.10 Hubungan Keadaan ekonomi keluarga dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan keadaan ekonomi keluarga dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 29 berikut ini. Tabel 29. Hubungan Keadaan ekonomi keluarga dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Pengertian Akibat HIV/AIDS Pengetahuan kespro Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
7 8 9 10
Keadaan Ekonomi Keluarga Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 64,8 1 68,47 1 72,89 1 56,07 2 63,16 4,5 62,04 3 53,57 3 59,87 6 62,96 2 52,65 4 64,29 2 52,38 6 50 5 63,16 4,5 51,85 7 47,69 6 64,05 3 55,67 4 44,83
7
50,03
9
54,37
39,99 37,71 35,71 48,302
8 9 10
50,87 52,63 38,16 57,47
8 7 10
32,09 10 45,19 8 40,74 9 53,02
W = 0,83**
5
84 Hasil penelitian hubungan keadaan ekonomi keluarga dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS, adalah sebagai berikut: responden yang keadaan ekonomi keluarganya rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan. Adapun responden yang keadaan ekonomi keluarganya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian HIV/AIDS, dan 3) Pengertian kespro. Selanjutnya bagi responden yang keadaan ekonomi keluarganya tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Cara penularan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Akibat HIV/AIDS 3) Pengetahuan kespro, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 6) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, dan 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS yang dibuat kelompok tersebut, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,83 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan HIV/AIDS
4.4.11 Hubungan Kepatuhan terhadap Norma Susila dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan Kepatuhan terhadap norma susila dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, adalah sebagai berikut: responden yang tidak patuh terhadap norma susila pengetahuan HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Akibat HIV/AIDS. Responden yang patuh terhadap norma susila pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengetahuan kespro. Responden yang sangat patuh terhadap norma susila pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan.
85 Hasil penelitian Hubungan kepatuhan terhadap norma susila dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 30 berikut ini. Tabel 30. Hubungan Kepatuhan terhadap norma susila dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6 7
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara pencegahan Akibat HIV/AIDS Pengertian Pengetahuan kespro Cara penularan Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
8 9 10
Kepatuhan terhadap norma susila Tidak Sangat Patuh Patuh Patuh Skor Jj Skor Jj Skor Jj 60,55 1 71,97 1 75,08 1 50 2,5 61,18 4 67,71 3 50 2,5 60,53 5 56,25 7 48,87 4 59,78 6 65,48 4 45,68 5 61,44 3 63,96 5 45,07 6 68,42 2 71,88 2 41,22 7 37,72 10 49,99 8 39,5
8
54,45
7
57
6
38,95 31,58 45,142
9 10
51,05 40,79 56,73
8 9
46,67 43,75 59,78
9 10
W = 0,86** Pada tabel di atas, kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Akibat HIV/AIDS, 2) Pengertian HIV/AIDS, 3) Pengetahuan kespro, 4) Dampak sosial ekonomi akibat HIV/AIDS, 5) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 6) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS tersebut.
86 4.4.12 Hubungan Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal dengan Pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan lingkungan sosial daerah asal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dijelaskan sebagai berikut: responden yang tidak terpengaruh lingkungan sosial daerah asal pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan, dan 3) Cara penularan. Adapun responden yang terpengaruh lingkungan sosial daerah asalnya pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengertian HIV/AIDS. Selanjutnya bagi responden yang sangat terpengaruh lingkungan sosial daerah asalnya pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan HIV/AIDS, dan 3) Pengetahuan kespro. Lebih jelas hasil penelitian hubungan Lingkungan sosial daerah asal dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 31 berikut ini. Tabel 31. Hubungan Lingkungan sosial daerah asal dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Lingkungan Sosial daerah asal Sangat Tidak berpengaruh Berpengaruh berpengaruh
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara pencegahan Cara penularan Akibat HIV/AIDS Pengertian Pengetahuan kespro Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
7 8 9 10
Skor 65,76 55,88 52,21 51,47 50,42 48,12
Jj 1 2 3 4 5 6
Skor 64,59 58,59 60,55 54,69 59,82 58,38
Jj 1 4 2 6 3 5
Skor 74,56 61,03 68,38 60,29 60,93 61,82
Jj 1 4 2 6 5 3
45,12
7
50,09
7
52,97
7
44,12 43,13 38,25 49,448
8 9 10
41,88 42,7 35,94 52,72
9 8 10
50,00 40,19 39,71 56,99
8 9 10
W = 0,91**
87 Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Akibat HIV/AIDS, 2)PPengertian HIV/AIDS, 3) Pengetahuan kespro, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.13 Hubungan jarak tempat bekerja dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan jarak tempat bekerja sebagai WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 32 berikut ini. Tabel 32. Hubungan jarak tempat bekerja dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5
Bahaya HIV bagi kesehatan Akibat HIV/AIDS Cara pencegahan Cara penularan Pengertian Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Pengetahuan kespro Dampak sosial ekonomi AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
6 7 8 9 10
Tempat Kerja Sebagai WTS Dekat Sedang Jauh Skor Jj Skor Jj Skor Jj 69,76 1 63,56 1 71,49 1 69,09 2 51,56 6 55,71 5 66,67 3 57,81 3 51,43 6 61,74 4 58,2 2 61,07 2 59,31 5 51,79 5 59,59 3 58,67
6
43,81
8
45,71
7
57,67 48,48 47,88 39,39 57,866
7 8 9 10
54,22 33,33 45 35,94 49,52
4 10 7 9
56,23 43,81 43,43 38,57 52,7
4 8 9 10
W = 0,86**
88 Tabel 32 menjelaskan responden yang jarak tempat bekerjanya dekat pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Akibat HIV/AIDS, dan 3) Cara pencegahan HIV/AIDS. Adapun responden yang jarak tempat bekerjanya sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara pencegahan. Selanjutnya responden yang jauh dengan jarak tempat bekerjanya, pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengertian HIV/AIDS. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Akibat HIV/AIDS, 2)pPengertian HIV/AIDS, 3) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 4)pPengetahuan kespro, 5) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 6) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.14 Hubungan Intensitas Interaksi dengan WTS lain terhadap pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan Intensitas Interaksi responden dengan WTS lain dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dijelaskan sebagai berikut: responden yang intensitas interaksi dengan WTS lain rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian HIV/AIDS, dan 3) Cara pencegahan HIV/AIDS. Responden yang intensitas interaksi dengan WTS lain sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Akibat HIV/AIDS. Selanjutnya responden yang intensitas interaksi dengan WTS lain
89 tinggi, pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Pengertian HIV/AIDS. Hubungan Intensitas interaksi responden dengan WTS lain dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 33 berikut ini. Tabel 33. Hubungan Intensitas Interaksi dengan WTS lain Dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Intensitas Interaksi dengan WTS lain No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6 7
Bahaya HIV bagi kesehatan Pengertian Cara pencegahan Cara penularan Pengetahuan kespro Penyebab AIDS dan infeksi Akibat HIV/AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
8 9 10
Rendah Skor Jj 60,82 1 57,14 2 55,88 3 53,68 4 47,12 5 43,53 6 47,06 7
Sedang Skor Jj 72,41 1 54,36 7 62,19 4 64,33 2 61,83 5 45,85 8 63,41 3
Tinggi Skor Jj 72,04 1 61,14 3 56 5 63 2 58,76 4 47,2 7 54 6
43,18
58,63
6
42,64
8
43,89 39,02 56,59
9 10
38,66 42 53,54
10 9
8
42,15 9 33,82 10 48,438
W = 0,86**
Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Cara pencegahan, 2)cPengetahuan kespro, 3) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 4)aAkibat HIV/AIDS, 5)pHubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 6)pDampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Penjenjangan ketiga kelompok tersebut dari sepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,86 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
90 4.4.15 Hubungan yang mengajari/melatih seksual dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan yang mengajari/melatih seksual dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, dapat dilihat pada Tabel 34 berikut ini. Tabel 34. Hubungan mengajari/melatih seksual dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Pengertian Pengetahuan kespro Akibat HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Yang Mengajari/melatih Kurang Sedang Sering Skor Jj Skor Jj Skor Jj 69,65 1 65,08 1 71,81 1 61,76 2,5 57,19 2 63,46 3 61,76 2,5 55 3,5 59,62 6 54,97
4
45,9
8
47,42
7
54,62 53 52,94 49,41 49,01 38,24 54,536
5 6 7 8 9 10
55 3,5 63,19 4 54,25 5 62,85 5 51,25 7 65,38 2 44 6 42,31 8 40,83 9 34,61 10 36,25 10 40,38 9 50,48 55,1
W = 0,85** Tabel 34 menjelaskan responden yang kurang dalam mempelajari tentang seks, pengetahuan HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan. Adapun bagi responden yang mempelajari seks sedang pengetahuan HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara penularan, dan 4) Pengertian tentang HIV/AIDS. Selanjutnya bagi responden yang berumur tua pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Akibat HIV/AIDS, 3) Cara penularan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada tujuh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 2) Pengertian HIV/AIDS, 3) Pengetahuan kespro
91 4)aAkibat AIDS, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS,
6)
Dampak sosial ekonomi AIDS, 7) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,85 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
4.4.16 Intensitas hubungan dengan pelanggan terhadap pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian Hubungan intensitas hubungan responden dengan pria pelanggan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 35 berikut ini. Tabel 35. Hubungan Intensitas Hubungan dengan pelanggan Dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang Pengetahuan Cara pencegahan Bahaya HIV bagi kesehatan Akibat HIV/AIDS Cara penularan Pengetahuan kespro Pengertian Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Dampak sosial ekonomi AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
Intensitas Hubungan dengan pelanggan Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 71,15 1 50 5 57,89 3 69,35 2 64,83 1 71,08 1 63,46 3 48,61 6 56,58 4 62,98 4 57,29 3 61,51 2 60,31 5 53,75 4 55,34 5 59,34 6 57,94 2 54,51 6 55,19
7
46,33
7
48,29
8
49,99 46,92
8 9
37,03 41,11
9 8
41,22 48,42
9 7
44,23
10
33,33
10
38,16
10
58,292
W = 0,88**
49,02
53,3
92 Tabel 35 menjelaskan Intensitas hubungan responden dengan pria pelanggan tentang pengetahuan HIV/AIDS, responden yang intensitas hubungan dengan pelanggan rendah pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Cara pencegahan, 2) Bahaya HIV bagi kesehatan, Akibat HIV/AIDS. Adapun bagi responden yang intensitas hubungan dengan pelanggan sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Pengertian HIV/AIDS, dan 3) Cara penularan. Selanjutnya bagi responden yang intensitas hubungan dengan pelanggan tinggi pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Akibat HIV/AIDS, 3) Cara penularan, 4) Cara pencegahan. Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada enam bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Cara pencegahan, 2) Akibat HIV/AIDS, 3) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Dampak sosial ekonomi HIV/AIDS, 6) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,91 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara wanita tuna susila dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu. 4.4.17 Hubungan Persepsi hedonisme dengan pengetahuan HIV/AIDS Hasil penelitian hubungan persepsi hedonisme dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, dijelaskan sebagai berikut: responden yang mempunyai persepsi seks sebagai kesenangan rendah, pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting adalah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan. Adapun bagi wanita tuna susila yang mempunyai persepsi seks hedonisme sedang pengetahuan tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Cara pencegahan dan, 3) Pengetahuan Kespro. Selanjutnya bagi wanita tuna susila yang seks hedonisme tinggi, pengetahuan
93 tentang HIV/AIDS paling penting ialah: 1) Bahaya HIV bagi kesehatan, 2) Akibat HIV/AIDS, 3) Cara penularan. Hubungan persepsi seks hedonisme dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel 36 berikut ini. Tabel 36. Hubungan persepsi seks hedonisme dengan Pengetahuan Tentang HIV/AIDS
No
Bidang Pengetahuan
1 2 3 4 5 6
Bahaya HIV bagi kesehatan Cara penularan Cara pencegahan Pengertian HIV/AIDS Pengetahuan kespro Akibat HIV/AIDS Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS Penyebab AIDS dan infeksi Dampak sosial ekonomi AIDS Hubungan narkoba dengan AIDS Rata-rata
7 8 9 10
Persepsi Hedonisme Rendah Sedang Tinggi Skor Jj Skor Jj Skor Jj 69,54 1 79,54 1 60,75 1 59,53 2 63,46 4 60,71 3 57,63 3 65,38 2 57,14 4 56,42 4 61,54 5 56,12 5 55,42 5 64,15 3 53,64 6 54,24 6 53,85 7 58,93 2 52,58
7
49,49 8 48,02 9 37,29 10 54,016
56,54
6
39,32
8
36,92 9 40,71 33,33 10 33,33 38,46 8 39,29 55,32 49,99
7 10 9
W = 0,88** Selanjutnya kelompok ini membuat jenjang yang lebih rendah pada enam bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS lainnya seperti: 1) Pengertian HIV/AIDS, 2) Pengetahuan kespro, 3) Akibat HIV/AIDS, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Hubungan narkoba dengan AIDS. Sekalipun ketiga kelompok tersebut beragam dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu, koefisien Konkordansi Kendall W sebesar 0,88 yang nyata pada α = 0,01 menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi diantara responden dalam penjenjangan kesepuluh bidang pengetahuan tentang HIV/AIDS itu.
94 4.5 Pembahasan
Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan pembahasan mengenai hasilhasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya. Pembahasan mengenai hasilhasil penelitian tersebut dapat dilihat pada beberapa uraian berikut ini.
4.5.1 Hubungan Karakteristik Responden tentang HIV/AIDS
Karakteristik adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang ditampilkan individu berhubungan
dengan
semua
aspek
kehidupan
didalam
lingkungannya.
Karakteristik mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lain (Rogers dan Schoemaker, 1981:26). Faktor umur merupakan salah satu karakteristik yang berpengaruh terhadap perilaku manusia. Sebagian besar responden berusia produktif. Menurut Bakir dan Manning (1984:24) umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya antara 15 – 55 tahun. Kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh tingkat umur. Keadaan ini disimpulkan bahwa responden dapat dikategorikan sebagai orang dewasa muda, sehingga masih berpeluang untuk meninggalkan atau bahkan menekuni pekerjaan ini, bergantung dari situasi dan kondisi ekonomi pada saat tersebut. Dari hasil uji Konkordansi Kendall W antara umur WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah W=0,91 pada alfa 0,01. Hasil analisis tersebut menggambarkan hubungan sangat nyata berpengaruhnya faktor umur pada pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS Status perkawinan memegang peran penting dalam kehidupan wanita. Hal ini terlihat dari sangat berpengaruhnya status perkawinan terhadap pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS. Pernikahan dapat membentuk seorang wanita dan laki-laki dapat menghilangkan sifat-sifat yang buruk pada dirinya (Mazhahiri, 2001:90), tetapi responden dengan status masih menikah dan pernah menikah banyak ditemukan dalam penelitian ini, yaitu tujuh puluh delapan persen, terdiri dari janda cerai hidup empat puluh delapan persen, bahkan dari sejumlah itu, ada yang pernah menikah sampai 7 kali. Hanya sekitar delapan persen janda cerai mati, sedangkan selebihnya hanya dua puluh dua persen WTS dengan status
95 masih menikah. Dengan seringnya kawin cerai menunjukkan pula bahwa mereka sulit mempertahankan rumah tangga seperti seharusnya karena sifat pekerjaannya. Analisis di atas menggambarkan tidak banyak perbedaan antara status pekawinan WTS, baik perempuan tanpa suami maupun masih bersuami banyak ditemukan sebagai WTS. Hal ini diduga ada faktor lain yang mempengaruhi, seperti kebebasan dan keleluasaan dalam rumahtangga untuk bertindak sendiri bagi wanita tanpa suami dengan motif utama adalah faktor ekonomi. Dari hasil uji Konkordansi Kendall W antara status perkawinan WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah W= 0,88 pada alfa 0,01. Hasil analisis tersebut menggambarkan berpengaruh nyata positif faktor status perkawinan pada pengetahuan tentang HIV/AIDS. Pendidikan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan menghasilkan perubahan-perubahan perilaku dan menyadarkan manusia dari sifat-sifat buruk. Hasil analisis rata-rata pendidikan WTS adalah SD, bahkan ada yang tidak tamat tingkat sekolah dasar. Sesuai hasil penelitian Sriwidodo (1997) yang menyatakan disamping pendidikan WTS rendah ada juga yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin. Hasil uji Konkordansi Kendall W antara tingkat pendidikan formal WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah W= 0,88 pada alfa 0,01, yang menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal yang dimiliki WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, atau rendahnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, mungkin karena pendidikannya yang rendah. Tingkat pendapatan yang tinggi sangat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan rataan tingkat pendapatan responden Rp 2.182.000,- per bulan, bahkan lebih, diduga penghasilan responden cukup lumayan. Dengan demikian kebutuhan hidupnya merasa tercukupi. Namun tingkat pendapatan yang tinggi tidak dibarengi dengan tingkat pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS yang masih rendah; mungkin pendapatan yang tinggi ini lebih banyak dibelanjakan untuk keperluan pekerjaannya. Motivasi adalah setiap usaha yang dilakukan untuk menimbulkan motif pada diri seseorang (Padmowiharjo,1999:135) oleh karena itu dikenal ada dua macam motivasi yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik dalam penelitian
96 ini. Motivasi instrinsik responden sedang untuk menjadi WTS, sedangkan motivasi ekstrinsiknya untuk bekerja sebagai WTS terlihat rendah. Hasil uji Koefisien Konkordansi Kendall W antara motivasi instrinsik WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah W= 0,93 pada alfa 0,01, sedangkan Hasil uji Konkordansi Kendall W antara motivasi ekstrinsik WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah W=0,86 pada alfa 0,01. Hasil analisis tersebut menggambarkan terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara motivasi yang dimiliki WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Tingginya persepsi hidup mereka yang masih sangat ideal tentang peranan wanita dalam rumah tangga masih terlihat nyata. Hal ini menggambarkan sekumpulan tugas pokok dan fungsi wanita sebagai ibu rumahtangga yang berhubungan dengan hal-hal kerumahtanggaan, sosial, aspek ekonomis dan kasih sayang sesuai dengan status jender wanita pada umumnya. Dengan nilai W tinggi mengemukakan tingkat kesepakatan yang tinggi tentang bahaya HIV/AIDS pada kesehatan manusia. Pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar yang lebih baik. Lamanya responden bekerja menjadi WTS tergolong sangat lama, rata-rata pengalaman bekerja satu tahun. Pengalaman yang relatif lama menggambarkan bahwa WTS cukup banyak memiliki pengetahuan yang ditekuninya selama ini. Hasil uji Konkordansi Kendall W antara lama bekerja sebagai WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat nyata W= 0,90 pada alfa 0,01. Hasil analisis tersebut menggambarkan terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara lama bekerja yang dimiliki WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menekuni pekerjaan, akan merasa semakin berkurang motivasinya untuk melakukan pekerjaannya, hal ini mereka nyatakan akan sadar dan keluar dari pekerjaannya sebagai WTS apabila keluar dari panti, hal ini sesuai tujuan panti rehabilitasi itu sendiri, untuk menyadarkan mereka, atau karena usianya yang mulai tua, sehingga sulit bersaing dengan yang lebih muda. Faktor pendukung WTS bertahan pada pekerjaannya adalah rendahnya tingkat kekerasan dari pelanggan terhadap mereka. Hasil penelitian, ditemukan sebagian besar atau tujuh puluh enam persen, responden tidak pernah
97 mendapatkan perlakuan kekerasan seksual. Hasil uji Konkordansi Kendall W yang tinggi antara intensitas mendapat perlakuan kekerasan dengan pengetahuan tentang
HIV/AIDS.
Hasil
analisis
tersebut
menggambarkan
terdapat
kecenderungan bahwa ada hubungan antara banyaknya frekwensi mendapat perlakuan kekerasan seksual dari pelanggan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Sebanyak tiga puluh delapan persen WTS berasal dari latar belakang ekonomi keluarga sedang, sebagian kecil dari latar belakang ekonomi rendah dan selebihnya berasal dari keadaan ekonomi keluarga tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Parrinder (2005:97) para pelacur kadang-kadang hidup sangat kaya. Hasil uji Konkordansi Kendall W sangat nyata antara keadaan ekonomi keluarga WTS
dengan
pengetahuan
tentang
HIV/AIDS.
Hasil
analisis
tersebut
menggambarkan terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara keadaan ekonomi keluarga WTS dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Berikutnya tata nilai (norma) yang dianut WTS. Dalam melaksanakan hubungan sosial, banyak aturan dan norma yang mengatur hak dan kebebasan manusia. Norma agama, norma masyarakat, tata cara adat, aturan negara dan lainnya. Seperti hilangnya norma-norma kehidupan itu menjadi faktor utama yang mendorong mereka terjun kedalam dunia prostitusi. Hal ini diduga terdapat hubungan antara kepatuhan terhadap norma dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian, lingkungan sosial daerah asal, WTS tidak berpengaruh terhadap mereka terjun kedalam dunia prostitusi. Sebagian besar responden berasal dari daerah yang tersebar di seluruh daerah di Jawa Barat. Hal ini didukung hasil penelitian Sriwidodo (1997:47) peserta pembinaan berasal dari daerah di wilayah Jawa Barat, tidak dominan pada satu tempat atau daerah. Sebagian responden menempuh jarak dari tempat tinggal ke tempat bekerja sebagai WTS cukup jauh, dengan rata-rata 7,4 kilometer. Hal ini menggambarkan dengan jarak yang cukup jauh responden merasa leluasa untuk berbuat sesuatu atau melakukan kegiatan menjadi WTS, atau mungkin saja mereka sangat memerlukan pekerjaan semacam ini meskipun jauh dari tempat tinggalnya.
98 Semakin tingginya intensitas interaksi dengan WTS lain cukup berpengaruh, minimal 2 kali, maksimal 6 kali pertemuan dengan rata-rata 4 kali bertemu dalam satu minggu, sebab dari interaksi dengan WTS lain yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah masalah pekerjaan. Pekerjaan dalam hal ini adalah pekerjaan sebagai WTS. Hasil penelitian WTS diajari cara berhubungan seksual, sebagian responden (40%) termasuk diajari dalam kategori sedang. Minimum mereka diajari 5 kali, dan maksimum 21 kali. Rata-rata 9 kali selama menjadi WTS diajari cara-cara melakukan hubungan seks. Hal seperti inilah yang diduga para WTS selalu siap untuk memikat dan melayani para pelanggan. Tingginya intensitas hubungan responden dengan pelanggan dalam satu minggu dengan rata-rata 5 kali bahkan ada yang 10 kali dalam seminggu berdampak pada tingkat pendapatan. Dampak negatif lainnya adalah semakin rentan penularan penyakit tersebut terhadap para WTS. Hal ini diduga para WTS bekerja untuk memperoleh penghasilan semaksimal mungkin, meskipun unsur kesehatan kurang diperhatikan. Pada hal lain, hasil penelitian tentang persepsi seks sebagai hedonisme rendah dalam penelitian ini, ditemukan bahwa mayoritas responden (59%) menyatakan hal itu. Dengan demikian responden melakukan pekerjaan ini bukan untuk mencari kesenangan seksual semata, melainkan faktor ekonomi
4.5.2 Pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS Pengetahuan
tentang
HIV/AIDS
merupakan
kemampuan
kognitif
terrendah dari enam kemampuan lainnya, keenam kemampuan kognitif tersebut yaitu: pengertian (pengetahuan), pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Pengetahuan Wanita Tuna Susila tentang HIV/AIDS, terdiri atas: pengertian HIV/AIDS, penyebab AIDS dan infeksi sekunder sebagai akibat AIDS, cara penularan, cara pencegahan, pengetahuan kesehatan reproduksi (kespro), bahaya HIV/AIDS pada kesehatan manusia, Akibat HIV/AIDS, hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, dampak sosial ekonomi AIDS dan hubungan narkoba dengan HIV/AIDS.
99 Setelah dilakukan pengukuran terhadap kemampuan kognitif tentang HIV/AIDS, menggunakan skala interval, dengan skor maksimal = 100, hasil penelitian pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS, ditemukan tiga kategori. Kategori pertama: umur muda, belum menikah, pendidikan formal rendah, tingkat pendapatan rendah, motivasi rendah, persepsi kurang ideal, tidak lama menjadi WTS, tidak pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual, keadaan ekonomi keluarga kurang, tidak patuh terhadap norma, tidak terpengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak ke tempat bekerja dekat, intensitas interaksi dengan WTS lain rendah, diajari seks rendah, intensitas hubungan dengan pelanggan rendah, dan persepsi seks hedonisme rendah, rata-rata pengetahuan tentang HIV/AIDS yang dikuasai skor = 51,44 atau 51,44 % Kategori kedua: umur sedang, pernah menikah, pendidikan formal, tingkat pendapatan, motivasi sedang, persepsi hidup ideal, lama menjadi WTS, pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual, keadaan ekonomi keluarga sedang, patuh terhadap norma, terpengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak ke tempat bekerja sedang, intensitas interaksi dengan WTS lain sedang, yang mengajari seks sedang, intensitas hubungan dengan pelanggan sedang, dan persepsi seks hedonisme sedang, rata-rata pengetahuan tentang HIV/AIDS yang dikuasai dengan skor = 52,73 atau 52,73 % Kategori ketiga: umur tua, menikah, pendidikan formal tinggi, tingkat pendapatan tinggi, motivasi tinggi, persepsi sangat ideal, sangat lama menjadi WTS, sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, keadaan ekonomi keluarga tinggi, sangat patuh terhadap norma, sangat terpengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak ke tempat bekerja sangat jauh, intensitas interaksi dengan WTS lain tinggi, yang mengajari seks tinggi, intensitas hubungan dengan pelanggan tinggi, dan persepsi seks hedonisme tinggi, rata-rata pengetahuan tentang HIV/AIDS yang dikuasai dengan skor 55,53 .atau hanya dikuasai 55,53 % Rata-rata pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS, hanya dikuasai dengan skor = 53,01 (53,01 %). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS masih rendah.
100 4.5.3 Hubungan Karakteristik WTS dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS Hasil
analisis
pengetahuan
WTS
tentang
HIV/AIDS,
diperoleh
kesepakatan yang tinggi, dan paling penting adalah: 1) Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan, 2) Cara penularan, 3) Cara pencegahan, 4) Pengertian HIV/AIDS, 5) Pengetahuan Kespro, 6) Akibat HIV/AIDS, 7) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 8) Penyebab AIDS dan infeksi sekunder akibat AIDS, 9) Dampak sosial ekonomi akibat AIDS dan 10) Hubungan narkoba dengan AIDS. Dari ketujuhbelas bidang karakteristik WTS tentang HIV/AIDS adalah keadaan ekonomi keluarga dengan nilai Konkordansi Kendall W sebesar 0,83 pada alfa 0,01, berada pada tingkat paling bawah sedangkan tingkat keeratan paling tinggi dengan nilai Konkordansi Kendall W sebesar 0,93 pada alfa 0,01 adalah motivasi instrinsik WTS. Hasil rata-rata tingkat keeratan hubungan karakteristik WTS dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS adalah sebesar 0,87 pada alfa 0,01. hal ini mengemukakan karakteristik WTS berhubungan nyata dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS. Selain itu ketujuh belas karakteristik, semuanya terlihat hubungan yang sangat erat pada alfa 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa apapun karakteristik mereka berhubungan secara signifikan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS; berarti bahwa upaya peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS harus dilakukan terhadap semua WTS tanpa memperhatikan karakteristik mereka.
101 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan karakteritik WTS sebagai berikut: 1. Umur dewasa, menikah dan pernah menikah, pendidikan formal rendah, ratarata tingkat pendapatan Rp 2.180.900, motivasi instrinsik menjadi WTS sedang, motivasi ekstrinsiknya rendah, persepsi hidup sebagai wanita ideal, lamanya menjadi WTS rata-rata setahun, tidak pernah mendapat perlakuan kekerasan seksual, keadaan ekonomi keluarga sedang, kurang patuh terhadap norma, tidak ada pengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak ke tempat bekerja jauh, intensitas hubungan dengan WTS lain sedang, rata-rata diajari hubungan seksual, intensitas hubungan dengan pelanggan tinggi, dan persepsi seks bukan untuk kesenangan. 2. Pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia, terdapat tiga karakteristik yaitu: a) Karakteristik WTS pertama, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai skor 51,44 atau 51,44 %. b) Karakteristik WTS kedua, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai dengan skor 52,74 atau 52,74 %. c) Karakteristik WTS ketiga, pengetahuan tentang HIV/AIDS hanya dikuasai dengan skor 55,53 atau 55,53 %. Skor tertinggi bidang-bidang: 1) Bahaya HIV/AIDS bagi kesehatan, 2) Cara penularan, dan 3) Cara Pencegahan. 3. Tingkat keeratan hubungan karakteristik WTS dengan pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia, berdasarkan Nilai W, antara 0,83 - 0,93, rata-rata Nilai W = 0,87. Artinya terdapat hubungan sangat nyata positif antara karakteristik WTS dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS. Semakin tinggi tingkat karakteristik WTS semakin tinggi pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS.
102 5.2. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan kepada semua WTS yang berkaitan dengan kebutuhan karakteristik, yaitu peningkatan kompetensi hidup, dan pemahaman tentang bahaya penyakit HIV/AIDS bagi kesehatan manusia, cara penularan dan cara pencegahan HIV/AIDS. 2. Untuk meningkatkan pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS dan bahayanya pada kesehatan manusia, hendaknya topik-topik yang diberikan disesuaikan dengan karakteristik mereka, seperti: antara tingkat umur, kebutuhan, tingkat kemampuan yang dimiliki oleh wanita tuna susila tersebut, sebab karakteristik mereka berbeda. Materi yang diberikan sebaiknya secara bertahap (sequensi) dan berkelanjutan (kontinu). 3. Perlu ditingkatkan pengetahuan WTS tentang HIV/AIDS lainnya yaitu: 1) Pengertian HV/AIDS, 2) Pengetahuan kesehatan alat-alat reproduksi, 3) Akibat HIV/AIDS, 4) Hubungan sosial dengan penderita HIV/AIDS, 5) Penyebab AIDS dan Infeksi sekunder akibat AIDS, 6) Dampak sosial Ekonomi akibat AIDS, dan 7) Hubungan Narkoba dengan HIV/AIDS.
103 DAFTAR PUSTAKA Agresti, A. & B. Finlay. 1986. Statistical methods for The Social Sciences, 3rd Edition. San Francisco: Dellen Publishing Company. Arifin, M. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Azhari, A. 1988. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Petani Padi. Bogor: AMDC Departemen Pertanian. Foto kopi. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1996. Tabungan Keluarga Sejahtera bagi Suksesnya Gerakan Keluarga Sejahtera. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan. Bakir Z, C. Manning. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: C.V Rajawali Press. Black, J. A & D. J. Champion. 1976. Method and Issues in Social Research. New York: John Wiley & Sons. Cairo, J. 2004. Motivasi dan Strategi Menentukan Tujuan Hidup & Karir Anda, Alih Bahasa Sudarmaji. Jakarta: Prestasi Pustaka. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1997. AIDS dan Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya Karya. [Depsos] Departemen Sosial. 1995. Panduan/petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan AIDS. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________. 1996. Penanggulangan AIDS melalui pendekatan sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________. 1996a. Peran Departemen Sosial dalam penanggulang HIV. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________. 1996b. Pedoman Penyuluhan dan Bimbingan Sosial pencegahan HIV/AIDS. Jakarta: Departemen Sosial RI. _______________. 2002. Studi tentang Permasalahan HIV/AIDS di Kota-kota Besar Indonesia 2002. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial. _______________. 2003. Identifikasi Kebutuhan Pelayanan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Departemen Sosial RI. Dhakidae, D dan Withdarmono H. 2001. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jakarta: Kompas Media Nusantara Djatnika, R. 1996. Sistem Ethika Islami. Jakarta: Pustaka Panjimas. Gibson et.al. 1994. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Erlangga. Hamid, S. 2000. Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amisco. Hanafi,A. 1984. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Usasa Nasional.
104 Handoko. 2003. Jurnal Ilmu Sosial Ilmu Politik. EdisiNopember 2005. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Houle, C.O. 1975. “The Nature of Adult Education.” dalam Bahan Bacaan dan Diskusi Penyuluhan Pertanian: Edisi Kedua. Bogor IPB Hutapea, R. 1999. AIDS & Penyakit Menular Seksual dan Perkosaan. Jakarta: Rineka Cipta. Jahi, Amri. 1993. “Komunikasi dan Pembangunan” Dalam Komunikasi Massa Dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: suatu Pengantar. Disunting oleh Amri Jahi. Jakarta: PT Gramedia Kholid, O. S. 2004. Selingkuh Affair, Trend Baru Perilaku Masyarakat Kontemporer. Jakarta: Sega Arsy. Korten, D. C dan Sjahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mahardika, A. 2004. Tuhan Singgah di Pelacuran, Perjalanan Spiritual Para Penjaja Cinta. Jakarta: Kreasi Wacana. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Marhun, M. 1994. Apa dan Bagaimana Jawa Barat. Bandung: Yayasan Siger Tengah. Mazhahiri,Husain. 2001. Surga Rumah Tangga. Cianjur: Titian Cahaya. McKay, D. & Hinds, R. 2004. A Practical Guide to Mentoring. Alih bahasa oleh: Andre Haryono. Jakarta: PT Elek Media Komputindo. Mosher, A. T. 1965. Menggerakkan dan Membangun Masyarakat Pertanian. disadur oleh Krinandhi dan Bahrin Samad. Jakarta: Yasagung. Muninjaya, G. 1999. AIDS dikenal untuk dihindari. Jakarta: Arcan Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Obaid,T.A. 8 Maret 2005. Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada: Hari Perempuan Internasional. Kompas: 1 (kolom 1dan 2) Padmowiharjo, S. 1999. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Karunika. Panos Institute. 2003. Missing the Message? 20 Years of Learning from HIV/AIDS. [article on-line]; Tersedia dari http://www. Panos.org.uk. [diakses pada 8 Agustus 2003] Parrinder, G. 2005. Sexual Morality. terjemahan oleh: Amirudin dan Asyhabuddin. Yogyakarta: LKIS Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Pemda Jabar). 1998. Bunga Rampai Jawa Barat. Bandung: Yayasan Wahana Citra Nusantara. Purwanto, N. 1998. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
105 Raharjo dan Galba. S. 1981. Perhatian Kasih Sayang Guru,Orang Tua Panutan Penangkal Kenakalan Pelajar. Jakarta: Mass Media. Rampan, K. L. 2000. Karya Perempuan Peneliti di Indonesia. Jakarta: Kelompok Cinta Baca. Ridha, M. R. 1982. Panggilan Islam Terhadap Wanita. Bandung: Penerbit Pustaka. Rogers, E. & Shoemaker, F. F. 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Diterjemahkan oleh Abdillah Hanafi. Surabaya: Usaha Nasional Siegel, S. 1994. Statistika Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia. Singarimbun, M. & S. Efendi. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press Soelaiman. 2001. Pendidikan dalam Keluarga. Bandung: Alfabeta. Soelistiani, D. A. 2003. Hubungan Pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan Perilaku Wanita Penjaja Seks Dalam Penggunaan Kondom di Bali tahun 2000: Analisis Data Sekunder. Tesis Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Sotomo et.al. 1988. Pengembangan Kursus. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sriwidodo, P. S. 1997. Persepsi Wanita Tuna Susila Terhadap Fungsi Keluarga: Studi Kasus di Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Institut Pertanian Bogor. Sudirman, N. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya Sudjana, D. 1991. Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Nusantara Press. Suryosubroto, B. 1983. Beberapa Aspek Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Sutarto. 1984. Dasar dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Tjandra, H. S 2004. Motiv-8, Koleksi Motivasi untuk Karier dan Kehidupan yang Lebih Baik. Jakarta: Elek Media Komputindo. Tubbs, L. S & Sylvia Moss, 2001. Human Communication. Diterjemahkan Oleh: Deddy Mulyana. Bandung: Remaja Rosdakarya. Turabian, L. K. 1996. A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations, 6th Edition. Revised by John Grossman and Alice Bennett. Chicago: The University of Chicago Press. Ulwan, A.N. 1977. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam (terjemahan Saifullah Kamalie). Bandung: Asysyifa. Wahjosumijo. 2001. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Warmbrand, W. 1985. Hidup Bebas dari Rasa Sakit dan Derita. Bandung: Pionir Jaya.
106 [BBC] British Broadcasting Corporation News. 2005. Indians vulnerable to HIV/AIDS. http://www. news. bbc.co.uk/2/hi/asia/4413151.stm [6 April 2005] [BBC] British Broadcasting Corporation. News. 2005. UK Global HIV strategy criticed. http://www. news. bbc.co.uk/2/hi/health/4413925.stm [6 April 2005] [BBC] British Broadcasting Corporation. News. 2005. Dutch police guide to sex and drugs. http://www. news. bbc.co.uk/1/word/europe/721844.stm [Oktober 2005] [BBC] British Broadcasting Corporation. News. 2005. Dutch OK sex for sale. http://www.news. bbc.co.uk/1/word/europe/950689.stm [6 Oktober 2005] [BBC] British Broadcasting Corporation. News. 2005. German prostitutes get new rights. http://www.news. bbc.co.uk/1/word/europe/950689.stm [6 Oktober 2005]
107 SALAH SATU BAHAYA HIV/AIDS Dapat menular dari Ibu yang menyusui kepada bayinya
PENDERITA HIV/AIDS Yang Sudah Tidak Berdaya
108
PENDERITA HIV/AIDS Beserta Aktivis AIDS
DARI PESTA-PESTA RAWAN MENIMBULKAN HIV/AID
109
SUASANA CLUB MALAM Rawan Menularkan HIV/AIDS
WTS DAPAT MENJADI SALAH SATU PENYEBAB MENULARNYA HIV/AIDS
110 SUASANA PENYULUHAN HIV/AIDS KEPADA PARA WTS
PENGGUNAAN NARKOBA DAN JARUM SUNTIK BERISIKO TINGGI TERTULAR HIV
111 PENGGUNAAN JARUM SUNTIK BERISIKO TINGGI TERTULAR HIV
KEKHAWATIRAN PARA LSM DAN PEDULI AIDS TERHADAP PENYEBARAN HIV/AIDS
112 KALANGAN ARTIS IKUT PEDULI AIDS
SUASANA HARI TERAKHIR PARA WTS DI PANTI SOSIAL YANG TELAH DIBERI PENYULUHAN HIV/AIDS