“KETIDAKADILAN GENDER PADA PEREMPUAN PENGIDAP HIV/AIDS POSITIF”
Diajukan untuk memenuhi pembuatan karya ilmiah sebagai persyaratan sidang skripsi
Oleh : Hesti Pratiwi 209000339 Erdizal Fajri 205000298
FAKULTAS FALSAFAH DAN ILMU PERADABAN PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS PARAMADINA JAKARTA 2013
Data dari UNAIDS suatu hal yang cukup mengejutkan bagi beberapa kaum, yaitu data yang menunjukkan jumlah perempuan yang teinfeksi HIV/AIDS terus meningkat tiap tahunnya. Menurut Firmanto Sanghyang dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, mengatakan berdasarkan data Kementrian Kesehatan dalam kurun waktu 13 tahun, Indonesia memiliki jumlah kasus AIDS sebanyak 30.430 kasus, 5.484 diantaranya kasus kematian. Hal ini dilaporkan secara kumulatif antara 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2012. Sedangkan kasus AIDS yang dilaporkan 2006 oleh kemenkes juga telah diagresikan berdasarkan jenis kelamin, 6.604 kasus pada laki-laki dan 1.529 pada perempuan. Namun, bila dibandingkan dengan periode 31 Maret 2012, penderita HIV AIDS untuk jenis kelamin lelaki sebanyak 20.665 kasus sedangkan pada perempuan mencapai 8.339 kasus. Dari data tersebut jelas terlihat peningkatan kasus pada perempuan mengalami kenaikan signifikan selama enam tahun terakhir. (www.news.liputan6.com). Menurut data statistik yang bersumber dari laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI per 17 Mei 2013 menjelaskan sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2013, HIV-AIDS tersebar di 345 (69,4%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukan adanya kasus HIV-AIDS adalah Provinsi Bali, sedangkan yang terakhir melaporkan adalah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2011. Di Indonesia, kecenderungan peningkatan kasus HIV dan AIDS juga terlihat pada laporan Nasional Perkembangan Situasi HIV dan AIDS Triwulan I Kemenkes RI dari bulan JanuariMaret 2013 jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.369 kasus, sedangkan jumlah AIDS baru yang dilaporkan sebanyak 460 orang. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2013 sebanyak 103.759 orang, sedangkan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2013 sebanyak 43.347 orang. Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (23.792), diikuti Jawa Timur (13.599), Papua (10.881), Jawa Barat (7.612) dan Bali (6.819) sedangkan jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), Jawa Timur (6.900), DKI Jakarta (6.299), Jawa Barat (4.131), Bali (3.344), Jawa Tengah (2.990), Kalimantan Barat (1.699), Sulawesi Selatan (1.467), Banten (885) dan Riau (859). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1 dan rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 dengan jumlah kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin; laki-laki (24.000 kasus) dan perempuan (12.500 kasus). Berdasarkan laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI mengenai perkembangan HIVAIDS di Indonesia, Triwulan I Tahun 2013 yang telah disebutkan di atas, secara langsung
menggambarkan bahwa perempuan sangat tinggi resiko terjangkitnya HIV/AIDS. Selama ini, masih ada stigma di masyarakat yang menganggap bahwa HIV dan AIDS hanya dialami perempuan penjaja seks atau perempuan penjaja seks komersial adalah sumber penularan HIV, ternyata tidak benar, karena saat ini perempuan yang tidak melakukan perilaku beresiko telah ada yang terinfeksi HIV dari pasangan tetapnya (suaminya). Perempuan dan remaja putri ternyata lebih rentan tertular HIV. Hasil studi menunjukkan bahwa kemungkinan perempuan dan remaja putri tertular HIV 2,5 kali dibandingkan laki-laki dan remaja putra (UNAIDS, 2004). Kerentanan perempuan terhadap HIV lebih banyak disebabkan ketimpangan gender yang berakibat pada ketidakmampuan perempuan untuk mengontrol perilaku seksual atau menyuntik narkoba dari suami atau pasangan tetapnya dan kurangnya akses untuk mendapatkan pelayanan pengobatan HIV-AIDS. Menurut Baby Jim Aditya (2005) keberadaan perempuan dalam masyarakat memang belum menguntungkan, karena adanya hambatan cultural maupun agama, misalnya akses informasi yang terbatas dan pendidikan perempuan yang rendah, sehingga tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan reproduksi, termasuk persoalan seputar HIV/AIDS dan pelayanan kesehatan yang menjadi hak perempuan. Stigmatisasi masyarakat terhadap perempuan menjadi lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan dengan status ODHA, khususnya pada perempuan menikah (misalnya dicurigai selingkuh atau tidak setia), sedangkan pada kenyataannya perempuan tertular justru dari suaminya yang mempunyai perilaku berisiko tinggi terhadap HIV/AIDS. Berikut ini ada sebuah contoh kasus nyata yang ditemui peneliti dalam kehidupan sehari-hari. Mba vivi adalah seorang ODHA karena terinfeksi dari suaminya sendiri. Bukan hanya mba Vivi yang terinfeksi HIV/AIDS, anaknya pun terjangkit HIV/AIDS. Cerita di mulai ketika pada saat muda (mba Vivi masih gadis) ia bertemu dengan sosok yang gagah, muda, ganteng, berpenampilan bersih dan rapi, itu adalah suaminya yang sekarang. Begitu terpesonanya mba Vivi dengan penampilan lelaki tersebut sehingga ia pun mulai tidak rasional dalam bertindak. Ibunda dari mba Vivi tidak menyetujui hubungannya dengan lelaki tersebut dikarenakan lelaki tersebut merupakan seorang pengguna narkoba aktif. Hal tersebut telah diketahui mba Vivi, namun cinta telah berkata maka tindakan irrasional pun akan dilakukan. Dilarang menikah dengan lelaki tersebut maka mba Vivi dan suaminya kawin lari dan hidup berjauhan dengan keluarganya. Sampai akhirnya mba Vivi mengetahui
bahwa suaminya menggunakan suntik dalam pemakaian narkoba, mba Vivi tahu akibat dari penggunaan jarum suntik dapat terinfeksi HIV/AIDS. Maka sampai pada kondisi dimana mba Vivi tahu suaminya terinfeksi HIV/AIDS dan selama ini mba Vivi telah berhubungan layaknya suami istri dan mba Vivi sadar bahwa dirinya bisa terjangkit HIV/AIDS. Mba Vivi pun hamil dan menanyakan kepada suaminya mengenai “Kalau kita punya anak, apakah anak kita juga terinfeksi HIV/AIDS juga? Kalau iya, lebih baik digugurkan saja kandungannya. ” si suaminya pun mengatakan bahwa tidak akan terinfeksi si anaknya kelak. Keyakinan yang dikatakan oleh suaminya itu membuatnya yakin bahwa jika punya anak, anaknya tidak terjangkit HIV/AIDS. Hingga anaknya lahir kedunia, pada usia baru beberapa bulan awal kelahiran si bayi sering sakit dan mba Vivi mengetahui bahwa anaknya juga terinfeksi HIV/AIDS. Hal itu membuat mba Vivi sangat sedih. Kondisi suaminya makin lama makin memburuk sampai akhirnya suaminya meninggal karena HIV/AIDS. Hanya tinggal berdua bersama anaknya mba Vivi melanjutkan hidupnya. Kenyataan pahit harus dialami oleh Mba Vivi bahwa keluarga suaminya tidak menerimanya malah lantas seperti memusuhinya. Ibunda dari suaminya sangat menyayangi suami mba Vivi, appaun kehendak si suami selalu dituruti. Bahkan, ketika suaminya meminta uang untuk membeli narkoba pun sang ibunda memberikan uang itu. Saat ini mba Vivi dan anak hidup berdua, mba Vivi sedih melihat keadaan anaknya yang dijauhi oleh lingkungan sosial sekitarnya. Anak-anak yang seumuran anaknya tidak mau bermain dengan anak mba Vivi, masyarakat sekitar rumahnya sudah mengetahui bahwa si anak dan ibunya penderita ODHA. Sikap dari masyarakat yang diterima oleh mba Vivi adalah menjauhinya dan anaknya sampai mba Vivi pun menyebarkan flyer yang berisikan informasi mengenai apa yang bisa menyebabkan individu terinfeksi HIV/AIDS, disana dijelaskan bahwa hanya dengan bermain, mengobrol, berjabat tangan dengan ODHA tidak akan tertular infeksi HIV/AIDS. Sekarang mba Vivi bekerja di salah satu Lapas di Jakarta, ia dan anaknya diharuskan rutin meminum obat dalam dosis yang tinggi sehingga memberikan efek samping yang dideritanya. Sampai pada saat ini virus HIV yang ada di dalam tubuh mba Vivi dan tubuh anaknya sudah tidak terdeteksi lagi, namun virus tersebut masih ada di dalam tubuhnya. Berdasarkan kasus di atas, peneliti ingin mengangkat masalah ketidakadilan gender pada perempuan pengidap HIV/AIDS positif. Sebelum membahas ketidakadilan gender, yang
harus diketahui masyarakat, gender merujuk pada hubungan antara perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial (Basow, 1992). Menurut Lott & Maluso (1993) gender didefinisikan sebagai kumpulan dari kepercayaan, norma, kebiasaan, sikap, dan praktekpraktek yang menentukan atribut maskulin dan feminin, telah menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan berperilaku, dan pada gilirannya membedakan hak-hak, akses, kontrol, sumber daya, informasi, dan interaksi seksual. Baron & Byrne (2004) mengatakan gender merujuk pada segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin individu, termasuk atribut, tingkah laku, karakteristik kepribadian dan harapan yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seseorang dalam budaya yang berlaku. Sejalan dengan itu Bem (1981), mendefinisikan gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan undifferentiated. Adanya ketidakadilan gender sebagai salah satu masalah yang ikut memperbesar kemungkinan penyebaran HIV/AIDS (Hanifah & Kumala, 2005). Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain (Subiyantoro, 2005). Bagaimanakah ketidakadilan gender menyebabkan perempuan menjadi rentan terinfeksi HIV? Hanifah dan Kumala (2005) mengatakan, penomorduaan perempuan, anggapan bahwa perempuan itu lemah dan pasif menyebabkan perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menempatkan diri secara setara dalam hubungan seksual dengan suami atau pasangannya. Perempuan tidak dapat menolak hubungan seksual ataupun menuntut seks yang aman, misalnya menegoisasikan penggunaan kondom kepada suami atau pasangannya, meskipun
mengetahui bahwa suaminya atau pasangannya menggunakan narkotika dan
memiliki banyak pasangan selain dirinya. Selain itu, ditambahkan Baby Jim Aditya (2005) mengatakan bahwa seorang istri diharapkan untuk selalu setia kepada suami, tetapi tidak dapat meminta kesetiaan dari sang suami. Dian sulistiawati
(2004) mengatakan secara kritis
mengungkapkan bahwa
ketidakadilan gender yang dikontruksi oleh budaya patriarkhi menyebabkan laki-laki merasa tidak perlu berkomunikasi mengenai hubungan seksual dengan perempuan pasangan seksualnya. Sementara itu perempuan tidak berdaya untuk berinisiatif melakukan komunikasi
seksual, termasuk menegoisasikan penggunaan kondom dalam hubungan seksual. Kekuasaan laki-laki dalam hubungan sesual menjadi semakin kuat manakala perempuan tergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Hanifah dan Kumala (2005) mengatakan pula mengenai ketidakadilan gender juga menyebabkan perempuan sulit memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi termasuk HIV/AIDS. Pelanggaran terhadap hak untuk memperoleh pengetahuan berhubungan langsung dengan asumsi kultural mengenai siapa yang terbaik melakukan pertimbangan, pada kurangnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup para perempuan. Kesadaran akan hak perempuan untuk mendapatkan pengetahuan perlu untuk penentuan pilihan dan tindakan perempuan. Jadi secara umum dapat dikatakan epidemi HIV/AIDS telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Perempuan telah dilanggar haknya dalam kesehatan, terutama untuk mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik; akses terhadap pendidikan dan informasi; dan kemandirian ekonomi. Masalah perempuan dengan HIV/AIDS positif ini tidak sebatas pada proses bagaimana perempuan terinfeksi dan adanya ketidakdilan gender saja. Masalah perempuan positif ini juga semakin kompleks ketika ia harus menjalani kehidupannya sehari-hari. Dampak dari seorang perempuan yang mengalami ketidakadilan gender persoalan lainnya terus membuntuti, seperti beban ganda, stigma perempuan, masalah keinginan mempunyai anak, dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan kasus mba Vivi di atas, beban ganda seorang perempuan dengan HIV/AIDS positif ini semakin bertambah, mba Vivi merupakan seorang ibu, ia memiliki anak perempuan yang masih kecil yang juga mengidap HIV/AIDS positif. Beban yang ia rasakan setelah mengetahui dirinya seorang ODHA sudah membuat dirinya sangat terpukul, ditambah lagi anaknya juga tertular HIV/AIDS dan masalah lain muncul dikala ia bersosialiasi dengan masyarakat. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Subiyantoro (2005) beban seorang perempuan dengan HIV/AIDS ini tidak hanya terkait masalah medis, tetapi juga masalah kultur sosial bagaimana masyarakat menempatkan posisi perempuan, termasuk stigmanisasi yang terjadi pada masyarakat. Subiyantoro (2005) mengatakan stigma masyarakat mengenai perempuan positif HIV/AIDS ini adalah persoalan yang khas dan masih terus terjadi, terutama stigma sebagai ‘perempuan nakal’. Padahal proses pemaparan HIV pada saat ini tidak hanya berlatar belakang pada persoalan tersebut. Menempelkan stigma ‘perempuan nakal’ atau ‘perempuan
penjaja seks’ bagi perempuan positif HIV/AIDS sudah tidak relevan karena data menunjukkan perempuan dengan positif HIV/AIDS adalah korban akibat perilaku seksual suami yang beresiko tinggi terhadap pemaparan HIV/AIDS. Stigma inilah yang dirasakan oleh mba Vivi dalam kasus di atas dan semakin menambah beban perempuan dengan HIV/AIDS positif dalam menjalani hidup. Wijaksana (2005) mengatakan bahwa secara sosial, masalah perempuan dengan HIV/AIDS positif juga membebani perempuan positif ini ketika berumah tangga. Meskipun sedang mengalami persoalan medis atas tubuhnya, perempuan positif juga tetap melakukan kewajibannya sebagai perempuan yang selama ini telah menjadi bebannya mengurus rumah tangga, anak, suami dan sebagainya. Inilah yang dirasakan oleh mba Vivi dalam kasus di atas, ia masih tetap bekerja dan mengurus anaknya. Mba Vivi dan perempuan positif HIV/AIDS lainnya tidak bisa menolak tuntutan-tuntutan itu karena posisinya sangat lemah terutama berkaitan dengan ketergantungan secara ekonomi. Ketergantungan inilah yang menyebabkan perempuan positif terkadang lebih merelakan dirinya untuk kepentingan yang lain ketimbang diri dan kesehatannya. Seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS bukan berarti hak hidupnya secara layak dicabut. Secara asasi, ODHA seperti halnya masyarakat pada umumnya yang masih mempunyai hak dan kewajiban. Tidak ada alasan apapun yang menyatakan bahwa sebuah virus dapat mencabut hak seseorang, dalam konteks ini maka, sikap-sikap yang mengucilkan ODHA khususnya perempuan dalam masyarakat. Begitu halnya persoalan yang terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS positif. Berangkat dari kasus yang dialami mba Vivi di atas, sangat jelas menunjukkan masalah sosial yang ditimbulkan, lebih banyak dari pada masalah medisnya. Persoalan sosial inilah yang justru menjadi persoalan utama bagi perempuan positif, karena persoalan sosial ini menyangkut interaksinya dengan lingkungan sosial dimana perempuan dengan HIV/AIDS positif ini harus menjalani kehidupannya seperti sewajarnya. Dalam kepentingan ini memang harus ada perubahan persepsi masyarakat terhadap perempuan yang positif. Perubahan persepsi ini menjadi kunci utama dalam mendukung kebutahan-kebutuhan perempuan dengan HIV/AIDS positif lainnya seperti perlindungan hukum, peningkatan keterampilan, penanganan masalah kesehatan reproduksi, meningkatkan ekonomi perempuan dan sebagainya.
Daftar Pustaka
AVERTing HIV and AIDS, International HIV & AIDS charity (2011). Women, HIV and AIDS – the global picture. Dalam http://www.avert.org/women-hiv-aids.htm, 30 Oktober 2012 pukul 13.15 WIB Baby Jim Aditya. 2005. Kerentanan Perempuan Terhadap HIV/AIDS dalam Jurnal Perempuan No. 43: Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Baron, R.A., & Byrne,D., (2004). Psikologi Sosial, Jilid I, Edisi 10. Jakarta, Erlangga Baron, R.A.,& Byrne,D., (2005). Psikologi Sosial, Jilid II, Edisi 10. Jakarta, Erlangga Basow, Susan A., (1992) Gender, Stereotype and Roles (3rd ed.), California: Brooks/Cole Publishing Company. Bem, S.L. 1981. Gender Schema Theory: A Cognitive Account of Sex Typing. Psychology Review, 88, 354-364. Brigham, J.C (1986). Social Psychology. Boston : Little, Brown & Company Callamard, A. (1999). A Methodology for Gender-Sensitive Research. London: Amnesty International Publications and the International Centre for Human Rights and Democratic Development. Cross, S. E., & Markus, H. R. (1993). Gender in Thought, Belief, and Action: A Cognitive Approach. In A. E. Beal & R. J. Sternberg (Eds.), The Psychology of Gender (pp. 55 98). New York: The Guilford Press. Davidson, L., & Gordon, L. K. (1979). The Sociology of Gender. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. Sulitiawati, Dian. (2004). Kesehatan Seksual dalam Seksualitas: Teori dan Realitas. Jakarta: Ford Foundation dan FISIP UI Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar Family Health International. 2000. Women and HIV/AIDS : Experience and Consequences of Stigmaand Discrimination. Family Health International. Nepal Hanifah, Laily & Kumala, Dwi Sisca.(2005). “Masalah Kesehatan Reproduksi Perempuan, Ketimpangan Gender dan HIV/AIDS” dalam Jurnal Perempuan edisi 43 Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. Jakarta: SMKG Desa Putera Myers, D.G. (1996). Social Psychology. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
McHale, S. M., Crouter, A. C., & Whiteman, S. D. (2003). The Family Contexts of Gender Development in Childhood and Adolescence. Social Development, 12(1), 125-148. Oakley, A. (1972). Sex, Gender, and Society. London: Temple Smith. Lott, B., & Maluso, D. (1993). The Social Learning of Gender. In A. E. Beal & R. J. Sternberg (Eds.), The Psychology of Gender (pp. 99 - 123). New York: The Guilford Press. Saks, M.J.,& Krupat, E . (1998).Social Psychology And Its Application. New York : Harper & Row, Publishers. Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Poortinga, Y.H. (1999). Human Behavior in Global Perspective : An Intoduction to Cross-Cultural Psychology. New York : Perganon Press Subiyantoro, Eko Bambang. (2005). “Tentang Perempuan dan HIV/AIDS Positifnya” dalam Jurnal Perempuan edisi 43 Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. Jakarta: SMKG Desa Putera Wijaksana, M.B. (2005). “Hak Asasi Manusia: Pengalaman Perempuan Positif di Belahan Dunia” dalam Jurnal Perempuan edisi 43 Melindungi Perempuan dari HIV/AIDS. Jakarta: SMKG Desa Putera