SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
1 LANGKAH KECIL
Mobil biru bergerak pelan menelusuri Jalan Kusuma meninggalkan Kantor PCNU1 Kebumen. Di pertigaan Pasar Koplak, mobil menuju ke barat menelusuri sesaknya terminal colt lurus mengarah ke alun-alun. “Medal2 jalur Sempor, Mas?”, sapaku pada Mas Limi sang sopir. Mas Limi adalah sopir SMK3 Ma’arif 1 Kebumen yang ditugasi PCNU untuk mengantar aku dan empat kawan seperjalanan. Empat kawan seperjalananku adalah Dakir, Hatir, Befa, dan Imah. Kami akan menuju Kabupaten Banjarnegara untuk mengikuti kegiatan penanggulangan HIV/AIDS sebagai utusan PCNU. “Njih, Mas”4, jawab singkat Mas Limi. “Kita lewat alun-alun, meluncur ke arah Gombong, terus Sempor, Mandiraja, kota Banjarnegara, langsung ke lokasi”, jelas Mas Limi. Aku hanya mengangguk tanda memahami penjelasan Mas Limi. Sementara mataku asyik menikmati lalu lintas yang ramai. Mas Limi menyopir lincah menerobos himpitan colt telungprapatan5, becak, dan dua pit jengki6. Lalu mobil pun menuju ke arah alun-alun Kebumen. “Mas Amin …”.
1
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, kepengurusan NU di tingkat kabupaten. Lewat, melalui 3 Sekolah Menengah Kejeuruan. 4 Iya, Mas 5 Angkutan jenis colt dengan kapasitas 20 tempat duduk. 6 Sepeda. 2
1
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Terdengar suara lelaki memanggil namaku. Aku hafal suara itu, suara Dakir. Aku yang duduk di samping sopir pun memiringkan badanku dan menengok ke arah jok belakangku. “Kepriye, Kang Dakir?”7, tanyaku. Mataku menatap mata Dakir sebentar. Lalu aku kembali duduk normal kembali. Kang merupakan panggilan umum di wilayah ngapak8 yang berarti Kakak, Saudara, Kak, atau Mas. “Jare siki alun-alun wis akeh kutis, Mas?”9, tanya Dakir. Aku agak kaget. Aku merasakan bahwa pertanyaan Dakir bernada meminta konfirmasi saja. Sementara itu penumpang yang lain juga merespons kalimat Dakir dengan cekikikan. Dua gadis – Befa dan Imah – malahan merespon dengan nada keengganan. “Ah, Mas Dakir … Saru10”, sela Imah. Suara sedikit dilengkingkan. “Iya, ah !”, imbuh Befa mendukung respons Imah. “Ya ora lah… giye khan deket-deket karo AIDS”11. Aku dengar suara Dakir dengan nada membela diri. “Kowe mbela awak dhewek apa agi mbela si lutis, Kang?”12. Aku dengar Hatir bersuara. Dia minta konfirmasi sekaligus mencoba meledek. Namun mendengar kata-kata Hatir, aku dan penumpang lainnya pun tidak dapat menahan tawa. Kami ngakak13. Ya, Hatir memelesetkan kata kutis14 dengan kata lutis15. Pemelesetan kata inilah yang kemudian membuat syaraf tawa orang yang mendengarnya jadi tidak bisa menahan tawanya. “Oke, oke …”, kataku sambil terkekeh.
7
Bagaimana, Mas Dakir Logat Jawa Banyumasan 9 Katanya sekarang alun-alun sudah banyak pelacur, Mas. 10 Tidak etis 11 Ya tidak lah … Ini khan dekat-dekat juga dengan soal AIDS 12 Kamu membela diri apa lagi membela si pelacur, Kang 13 Tertawa lebar. 14 Pelacur 15 Makanan dari irisan aneka buah-buahan yang disantap dengan sambal. Sambalnya terbuat dari cabai dan gula merah serta tambahan air matang yang digerus halus . 8
2
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Anggap saja Kang16 Dakir lagi berhipotesa. Lha hipotesa Kang Dakir nanti kita buktikan ramai-ramai besok setelah pulang dari Banjar17. Bagaimana?”, kataku mencoba menengahi “keributan” kecil teman-teman. Aku sengaja memakai kata hipotesa biar nampak ilmiah. Entoch kawankawanku para mahasiswa yang minimal sudah pernah mendengar kata itu. “Setuju …”, seru Dakir dan Hatir hampir bersamaan. “Imah karo Befa kudu melu!”18 , kata Hatir setengah berteriak sambil terkekeh. “Weh, nyong ya isin … Lanang-lanang baen”19. Aku dengar Befa mencoba berkelit menolak. Dan aku dengar mereka berempat kemudian ramai-ramai berdebat soal rencana ke alun-alun bersama. Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum-senyum. Aku lirik Mas Limi yang tengah asyik menyopir. Dia nampak tersenyum-senyum. Aku biarkan mereka asyik dengan kesibukan masing-masing sambil mencoba mendengarkan alunan musik dari tape mobil. Mataku pun menembus kaca mobil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan sembari mendengarkan alunan lagu Demi Masa dari grup nasyid Raihan. Lamunanku
terbang.
Aku
teringat
kata-kata
terakhir
Ketua
Tanfidziyah20, Kyai Masykur, yang aku temui beberapa menit sebelum berangkat ke Banjarnegara. “Ya wis kana mangkat. Bismillah. Bocah-bocah dituwani”.21 Aku pun jadi meraba diri. Yah, mau tidak mau aku harus bisa mengawal teman-teman seperjalanan untuk suksesnya tugas mengikuti
16
Mas, panggilan akrab sesama teman Sebutan singkat untuk Banjarnegara 18 Imah dan Befa harus ikut 19 Wah, aku ya malu … Yang pria-pria saja 20 Ketua Pelaksana 21 Ya sudah silahkan berangkat. Bidmillah. Itu anak-anak muda dikawal. Kata “dituwani” adalah Bahasa Jawa yang mengandung makna implisit “dipimpin sebab kamu yang lebih tua atau lebih senior”. 17
3
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
kegiatan berkait dengan penanggulangan HIV/AIDS22. Apalagi aku sekarang dipercaya untuk terlibat langsung dalam kepengurusan NU, sementara empat teman itu merupakan para aktivis Banom23 NU. Lalu aku jadi mencoba menggali simpanan memori dalam otakku menyangkut HIV/AIDS. Ya, aku coba membongkar-bongkar memoriku untuk membantu agar tugas ini lebih lancar. Aku coba pula untuk mencari-cari nama-nama teman yang aktif atau pernah aktif dalam isu HIV/AIDS. Ini penting, batinku. Yah, minimal biar aku tidak kayak kethek ketulup24. Aku cari nama-nama di hapeku. Aku temukan satu nama, Manan. Ya, Mas Manan, teman lama yang beberapa bulan yang lalu pernah bertemu dan berbincang sekilas tentang HIV/AIDS. Tanpa pikir panjang akupun segera meng-SMS25 dia. Aku pun segera menulis pesan. Pa kbr Kang? Aku lg mg Banjar, mo sosialisasi soal HIV/AIDS. Help!26 Aku kirim pesanku ke nomor hape Manan. Aku pastikan pesan terkirim. Lalu kutunggu dengan harapan pesanku segera terbaca dan segera mendapatkan balasan. Aku butuh bantuan, batinku. Beberapa detik kemudian, aku dengar hape di tangan kiriku bergetar dan berdenting.
Aku bungah27. Manan rupanya membalas cepat. Segera
kubuka saja isi pesannya. Siap bos ! What can I do 4 U?28 22
HIV singkatan dari Human Immunodefeciency Virus, yakni virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh; AIDS singkatan dari Acquired Immune Defeciency Syndrome, yakni gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV. 23 Banom singkatan dari Badan Otonom NU, antara lain Ikatan Pelajar NU (IPNU), Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU), Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Fatayat, Muslimat. 24 Kena kena tulup, ungkapan untuk menggambarkan kebingungan. Kethek ketulup merupakan ungkapan terhadap orang yang bingung yang digambarkan seperti kera kena tulup celingukan tidak karuan. 25 Short Message Service, pesan pendek melalui telpon genggam. 26 Apa kabar Mas? Aku lagi ke Banjarnegara, mau (mengikuti) sosialisasi soal HIV/AIDS. Bantu aku! 27 Gembira, senang
4
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku tersenyum saat membaca pesan Manan. Dasar anak muda, batinku. Lalu aku baca dua-tiga kali isi pesannya. Aku tersenyum puas, tak mampu aku menutupi kegembiraanku. Jawabannya menyiratkan bahwa dia masih tertarik berbicara soal penanggulangan HIV/AIDS. Aku bangga dengan teman lamaku. Tanpa sadar aku memuji dirinya. Anak muda slengekan29 yang peduli, batinku lirih. Aku pun jadi sedikit instrospeksi. Aku koreksi diri. Aku membatin. Wah, wong slengekan aja peduli HIV/AID , masa’ inyong malah adhem ayem30. Aku segera menyusuli balasan pesannya. Lalu aku segera menulis pesan baru. Biar lebih akrab dan tak kalah gaya, aku pun menulis pesan dengan Bahasa Inggris. I hope U should help me whenever31 Pesanku terbang entah kemana.
Bahkan
aku tidak sempat
menanyakan dia ada dimana. Hah ! For HIV/AIDS, siap !!32 Aku baca balasannya. Aku semakin merasa yakin bahwa Manan concern33 dalam kerja-kerja penanggulangan HIV/AIDS. Aku senang bahwa aku tidak sendirian sebatas teman-teman seperjalanan ini. Aku senang bahwa di luaran sana masih ada orang-orang yang dapat bersama-sama bekerjasama dan saling membantu. Aku yakin banyak “Manan-manan” yang lain di luaran sana; dan aku pun yakin banyak teman-teman seperjalanan 28
Siap kawan ! Apa yang bisa aku lakukan untuk (membantu) kamu? Sedikit urakan, norak 30 Wah, orang sedikit urakan saja peduli HIV/AIDS,moso’ aku dingin-dingin dan santai saja. 31 Aku harap kamu sudi membantuku kapan saja 32 Untuk (urusan) HIV/AIDS, siap !! 33 Perhatian 29
5
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
yang lain yang masih nunak-nunuk34
soal penanggulangan HIV/AIDS
sebagaimana diriku. Aku terdiam. Aku jadi semakin dalam merenungi perjalanan yang tengah aku jalani sekarang ini. Aku pun jadi yakin bahwa kerja-kerja dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS insyaallah35 merupakan bagian kegiatan keagamaan, bagian dari ngibadah36. Semoga langkah kecilku ini bagian dari penerjemahan ta’awanuu ‘alal-birri wat-taqwa37; semoga tugas ini berbuah kebaikan, batinku sembari berdoa.
*****
34
Meraba-raba, tidak tahu, bingung Dengan izin Allah 36 Beribadah, berbakti, menjalankan perintah agama 37 “Bertolong-menolonglah kamu semua dalam (mengerjakan urusan) kebaikan dan ketaqwaan”. Nukilan dari ayat Al-Qur’an Surat Al-Maidah (QS. 5:2), “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan [391] haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya , dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka [393] mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. 35
6
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
2 MERINDING
Mobil memasuki kota Banjarnegara. Jalanan naik turun. Rupanya wilayah kota ini berada di wilayah pegunungan sebagaimana Wonosobo dan Temanggung, batinku. Aku pun membayangkan hawa dingin yang akan menyergapku beberapa hari ke depan. Mobil bergerak ke arah barat kota menuju lokasi kegiatan sesuai dengan surat undangan, menuju Hotel Surya Yudha. Aku membayangkan sebuah hotel biasa-biasa saja sebagaimana umumnya hotel-hotel di wilayah kabupaten kota yang jauh dari kota besar. Namun begitu masuk Jalan Rejasa, aku harus mengubah pemikiran awalku tentang hotel ini. Aku dibuat terkejut dengan keberadaannya. Rupa-rupanya hotel ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang relatif komplit. Ada café, karaoke, kolam renang, lapangan futsal, lapangan volleyball, dan sejumlah balai ruang pertemuan yang megah. Aku yakin luas lokasinya mencapai tiga hektar. Aku penasaran adanya fasilitas arung-jeram juga. Aku pun mencoba mendekati lokasi arung-jeramnya. Ow, rupanya kawasan hotel ini berada di pinggir Sungai Serayu. Sungguh cantik kawasan hotel ini, batinku. Aku pun sempatkan menikmati riak-riak air sungai yang meliuk-liuk di antara bebatuan. Mataku pun menelanjangi kawasan hutan di seberang sungai. Suara burung-burung bernyanyi riang seakan menyambut kedatanganku
dengan
gembira.
Terimakasih
Tuhan,
Engkau
telah
memberikan kesempatan padaku untuk menikmati karya cipta-Mu di Banjarnegara. Aku sematkan sederet doa. Bi-barakati habiibillah sayyidinaa Muhammad
shallallaahu
‘alayhi
wa-sallam,
khususan
li-jami’i
ahli
7
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Banjarnegara, al-faatikhah.38 Aku pun terdiam larut dalam Kuasa-Nya sambil khusyu’ melafadzkan ayat-ayat dari Surat Al-Faitkhah. Merinding aku dalam pelukan Serayu-Mu.
*****
Aku menempati kamar yang representatif di sebelah timur kolam. Kamar ini di ujung utara. Aku sekamar dengan Dakir. Sementara temanteman yang lain berada di sebelah selatan kamarku. Aku bertemu temanteman baru dari Semarang, Wonosobo dan Magelang. Aku juga bertemu teman-teman Jakarta. Aku pun jadi kenal banyak pegiat, baik dari kalangan nahdliyyin39 maupun yang lain. Aku merasa tidak sendiri. Usai upacara pembukaan dan satu-dua penyampaian materi awal, kegiatan dihentikan untuk istirahat dan shalat maghrib. Aku kembali ke kamar. Jarak tempat kegiatan dengan kamarku sekitar limapuluh meter. Aku berjalan menyusuri halaman hotel bersama Mas Heri, seorang pegiat dari Wonosobo. Dia tepat sebelah selatan kamarku. Aku amati sekilas dia lebih muda dariku, mungkin selisih lima tahunan. “Mas Heri dari Wonosobo yah? Bagaimana soal HIV/AIDS di sana, Mas?”, tanyaku memulai perbincangan ringan. Aku yang awam soal gerakan peduli HIV/AIDS mencoba belajar padanya. “Kami sudah jalan, Mas”, jawab Mas Heri singkat.
38
Dengan limpahan keberkahan Kekasih Allah Sayyidina Muhammad SAW, secara khusus bagi segenap ahli Banjarnegara, al-fatikhah. 39 Sebutan untuk orang-orang NU
8
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Paling Wonosobo ya mung kutis ya, Mas?”40, tanyaku mencoba mencari tahu tentang kondisi HIV/AIDS di Kabupaten Wonosobo. “Wah mboten, Mas. Kados Kebumen, Wonosobo ugi kumplit, Mas”41, jawab Mas Heri serius. Aku terkejut dengan kalimat Mas Heri. Kados Kebumen?, batinku. Ah, apa iya Wonosobo dan Kebumen itu lengkap dengan berbagai komunitas orang yang beresiko kena HIV/AIDS?, tanyaku dalam hati.
Ada banyak
pertanyaan berkeliaran di dalam ruang otakku. Bahkan ada rasa tidak terima mendengar kalimat Mas Heri. Kata-kata “kados Kebumen” – seperti Kebumen – membuatku sedikit tersinggung. Kebumen khan kota kecil, kota pinggiran dan biasa-biasa saja, kataku dalam hati dengan hawa memprotes. Sebagaimana Wonosobo, Kebumen kayaknya adhem ayem42 saja, kataku lagi. “Mas Amin mboten pitados?”43, tanya Mas Heri. Dia mencoba bertanya. Rupanya dia mengamat-amati rasa galauku. Aku kembali terkejut dengan pertanyaan Mas Heri. Pertanyaan itu ibarat sebuah tang raksasa yang menganga siap menjepit kepalaku. Aku benar-benar tidak berkutik dengan pertanyaan sederhana itu.
Namun,
beruntung Mas Heri justru meneruskan bicara. Dia bertanya sendiri, seakan dia sendiri yang menjawab pertanyaannya. “Kebumen sampun wonten pegiatipun, Mas. Mas Amin waged taken piyambak”44, kata Mas Heri. “Ada sejumlah nama yang saya kenal”, imbuhnya. Mendengar kalimat terakhir Mas Heri, aku jadi ingat Manan teman lamaku. Aku pun segera merespons kalimatnya. “Siapa saja, Mas. Apa juga termasuk Mas Manan?”, tanyaku sedikit memburu. Rasa penasaranku terhadap Manan dan Mas Heri membuat aku cepat-cepat bertanya apakah mereka berdua saling kenal. 40
Paling Wonosobo ya hanya pelacur ya, Mas? Wah tidak begitu, Mas. Seperti Kebumen, Wonosobi juga lengkap, Mas. 42 Dingin, santai, biasa-biasa saja 43 Mas Amin tidak percaya 44 Kebumen sudah ada pegiatnya, Mas. Mas Amin dapat bertanya sendiri. 41
9
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Manan?”, tanya Mas Heri sambil mendongakkan kepalanya berpikir. “Ya, betul. Orangnya agak kecil, sedikit urakan”, jawabku sekenanya. “Ow,
apa
bukan
Ozzy,
Mas?”,
tanya
Mas
Heri
mencoba
mengkonfirmasi. “Dia pakai nama fesbuk Ozzy, Mas”, imbuhnya. Ingatanku tertuju pada sosok temanku, Manan. Ya, dia memang pakai nama Ozzy untuk fesbuknya, kataku dalam hati. “Saya punya nomor hapenya, Mas”, responsku sambil merogoh sakuku untuk menjawab kebuntuan soal sosok Manan. “Saya juga punya”, balas Mas Heri. “Oke. Coba kita cocokkan saja”, pintaku. Aku kalah gesit dengan Mas Heri. Aku kalah cepat mencari nama Manan dari hape. Mungkin ini faktor umur, batinku. Aku dengar dia menyebutkan tiga angka belakang dari nomor hape Manan. Aku cocokkan tiga angka itu dengan nomor hape Manan dari hapeku. “Iya, Mas. Betul. Sama”, kataku sambil melihat ke
layar monitor
hapeku. “Nah, Mas Manan itu tahu banyak, Mas. Silahkan njenengan45 kontak saja Mas Manan”, kata Mas Heri semangat. “Apalagi njenengan sudah kenal. Pasti dia mau membantu”, imbuhnya. “Apa iya dia mau membantu?” Aku bertanya untuk meyakinkan diri. “Jangan-jangan dia malahan terganggu dengan kehadiranku, Mas?”, tanyaku kemudian. “Ha-ha, ada-ada saja Mas Amin …”, jawab Mas Heri sembari tertawa renyah. “Saya yakin dia justru akan terbantu dengan kehadiran teman-teman dari Nadotul Ngulama46 , Mas”, katanya dengan meyakinkan. Ucapannya
45 46
Anda Maksudnya Nahdlatul Ulama (NU). Pada masyarakat tertentu nama NU dilafadzkan dengan sebisanya.
10
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
melafadzkan Nahdlatul Ulama terdengar lain, dan membuatku tersenyum memaklumi. Aku jadi teringat saat berangkat tadi pagi. Ya saat aku mencoba mengontak Manan melalui SMS. Aku teringat respons Manan yang siap membantu. “Oke, Mas Heri. Saya nanti coba menghubungi Mas Manan”, kataku sesampainya di depan kamarku. Aku sekedar berbasa-basi saja. Pikiranku bukan pada Manan. Pikiranku larut pada keadaan bahwa kotaku ternyata sudah rawan penyebaran HIV/AIDS. “Ya, Mas. Kalau butuh bantuan, saya siap, Mas”, balas Mas Heri dengan senyuman lebar. “Assalamu’alaikum”47, katanya berpamitan sambil melangkah menuju kamarnya. “Wa’alaikumussalam”48, jawabku dengan hati senang. Aku senang dengan kesigapan Mas Heri yang semedulur49.
*****
Sepergian Mas Heri, aku segera membuka pintu kamar. Di dalam sudah ada Dakir tengah duduk santai bersama Hatir. Mereka berdua
47
Ucapan salam khas orang Islam. Lengkapnya, assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh. 48 Ucapan balasan salam khas orang Islam. Lengkapnya, wa’alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakatuh. 49 Seperti saudara sendiri
11
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
nampaknya tengah memperbincangkan sesuatu. Yang jelas di hadapan mereka berdua terdapat sebuah buku yang terbuka. “Wah, Mas Amin … kebeneran banget, Mas”50, celetuk Dakir begitu melihatku masuk kamar. Aku pandang dia sekilas, dan juga Hatir. “Ana apa pernae?”51, tanyaku sambil meletakkan tas di tepi ranjang empuk. “Ini lho, Mas … . Soal Al-Qur’an. Soal kaum Nabi Luth52”, jelas Hatir sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah halaman buku modul pelatihan yang terbuka. “Iya, neng apa?”53, tanyaku sambil memelototkan mataku ke halaman buku itu. Aku menyadari bahwa mereka berdua ingin mendapatkan kepastian atas permasalahan yang mereka mungkin tengah perdebatkan. “Ya, nyatanya kaum Nabi Luth nekad begitu, lelakinya suka sama lelaki. Mau diapakan?”, tanyaku kemudian. Aku mencoba memancing pembicaraan agar lebih eksploratif. Mereka khan mahasiswa, mereka harus eksploratif, batinku. “Aku tidak memasalahkan kutukan atas mereka, Mas”, jawab Dakir dengan ekspresi mantap. “Lalu?”, tanyaku sedikit mengejar. Aku pandang Dakir sambil kuangkat sedikit bahuku. “Ini lho, Mas. Dalam buku ini ditulis kalimat yang membuat aku sedikit protes, Mas”, jelas Hatir tidak mau kalah. Kalimatnya agak meninggi. 50
Wah, Mas Amin … kebetulan sekali, Mas Ada apa gerangan 52 Yang dimaksud adalah Al-Qur’an Surat Asy-Syu’ara (26:160-168), yang artinya “(160)Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, (161)Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: “mengapa kamu tidak bertakwa?". (162)Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, (163)Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. (164)Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. (165)Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, (166)Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (167)Mereka menjawab: "Hai Luth, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu Termasuk orang-orang yang diusir". (168)Luth berkata: "Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu". 53 Iya, ada apa 51
12
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Tangannya
mengekspresikan
kegalauannya
dengan
menunjuk-nunjuk
sebaris kalimat dalam halaman buku itu. “Nich, Mas … . Aku bacakan saja, ya?”, kata Hatir kemudian. “Monggo”54, jawabku pendek. Lalu Hatir membacakan kalimat-kalimat yang dia maksudkan. “Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa HIV dan AIDS bukan hanya menimpa orang-orang yang secara seks melanggar ajaran agama. Tetapi juga ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV karena mereka melakukan hubungan seks dengan suami yang lebih dulu terinfeksi HIV, anak-anak dan bayi yang tidak berdosa bias tertular HIV dan AIDS. Bahkan karena jarum suntik yang tidak steril, seorang yang baik pun bisa saja tertular penyakit ini”. Hatir membacakan intonasi yang pelan dan mantap sehingga aku dan Dakir dapat mendengar dan memahami dengan baik. Bahkan pada kata-kata tertentu dia membacanya dengan nada lebih mantap dan meyakinkan. “Nah, artinya itu apa, Mas Hatir?”, tanyaku kemudian. “Artinya …”, respons Hatir sambil memandang langit-langit kamar. “Artinya persoalan HIV dan AIDS merupakan persoalan serius”, jawab Hatir mantap dengan sedikit membusungkan dada. Nampak Dakir manggut-manggut mengiyakan jawaban Hatir. Dia mengekspresikan sesuatu. Lalu … “Artinya kita kudu55 peduli. Iya khan, Mas?”, imbuh Dakir sambil menatapku minta dukungan. “Ini soal keberlangsungan umat manusia”, kata Hatir setengah mendesah. Aku amati sekilas tatapan Hatir mengarah ke arah tembok kamar. Namun pikirannya jauh melampaui sekat-sekat kamar. Jauh menerawang jauh. Dalam hati aku berkata, aku bangga dengan mereka yang lebih muda dariku namun pemikirannya sudah menunjukkan kematangan. 54 55
Silahkan harus
13
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Apa ada yang ingat informasi tadi waktu pembukaan dan pemaparan materi? Soal distribusi kasus AIDS menurut jenis pekerjaan di Jawa Tengah tahun ini? Ada yang ingat?”, tanyaku sedikit mencerocos. “Seingatku memang ibu-ibu rumah tangga banyak yang kena”, jawab Dakir sambil memijit-mijit jidatnya. Rupanya dia mencoba mengingat-ingat dengan cara memijit-mijit jidatnya. Aku tersenyum melihat ekspresinya. “Sebentar … kayaknya aku tadi mencatatnya, Mas”, jawab Hatir sambil mengambil notesbook56 di depannya. Aku lihat dia membolak-balik halaman kuku catatannya. “Nah ini dia !! Ada delapan belas persen lebih adalah ibu rumah tangga”, kata Hatir mantap. “Yang anak-anak?”, tanyaku mengejar. “Aduh, aku ra nyathet57”, jawab Hatir cepat. “Tapi aku lihat ada korban dari anak-anak”, kata Dakir serius. “Sebentar, Mas …”, kata Hatir menyela. Dia menatapku sebentar. “Ada apa, Mas?”, tanyaku cepat. “Aku, aku jadi merinding …”, jawab Hatir serius. Bahkan aku lihat dia menggigil-gigilkan tubuhnya. Melihat Hatir berekspresi agak lucu, Dakir terkekeh. Aku pun ikut terkekeh. Lucu juga Hatir, batinku. “Merinding kenapa, Mas?”, ledekku sambil terkekeh. “Aku tidak bisa membayangkan jika sepuluh tahun yang akan datang, Mas. Jika tidak ada upaya-upaya serius, penyebaran HIV dan AIDS semakin meluas dan tidak terkendali, ya?”, jelas Hatir sekaligus meminta dukungan atas hipotesa sederhananya. “Ya, genah … Bisa-bisa kowe mbojo karo cewek sing ngidap HIV ora kewenangan, Tir”58, respons Dakir meledek sambil terkekeh-kekeh.
56
Buku kecil untuk mencatat Tidak mencatat 58 Ya jelas … Bisa jadi kamu (besok) menikah dengan gadis yang mengidap HIV yang tidak ketahuan, Tir 57
14
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Hus, rika aja ndonga ala, Kang”59, bentak Hatir kepada Dakir. Aku lihat dia memelototi Dakir sambil muncu-muncu.60 “Ora, ora … Tapi ya aja karo muncu-muncu. Mbok mulur lambemu”61, balas Dakir sambil tertawa terpingkal-pingkal. Aku melihat mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Aku pun tak dapat menahan tawa.
*****
Usai shalat maghrib berjamaah, aku, Dakir, Hatir, Befa, Imah, dan teman-teman muda Wonosobo berjalan bersama-sama menuju ke lokasi kegiatan. Kami akan melanjutkan kegiatan sekaligus makan malam. Aku, Mas Heri dan Hatir berjalan bertiga, sementara yang lainnya berjalan agak jauh di depan. “Mas Amin”, sapa Hatir sambil berjalan menapaki halaman balai pertemuan yang menanjak. “Ada apa, Mas?”, tanyaku santai. “Soal ayat Al-Qur’an, Mas”, katanya kemudian. Aku tengok ke arah Hatir yang berjalan di sebelah kananku. Aku lihat dia memandangku sekilas, dan kemudian melepas pandangannya ke arah depan jauh. “Itu lho, Mas … Ayat yang menyangkut soal zina”, jelasnya.
59
Hus, kamu jangan mendoakan jelek, Mas Memaju-majukan bibirnya tanda serius, memonyongkan bibir. Entar bias memanjang bibirmu. 61 Tidaklah, tidak … Tapi ya jangan kamu memonyong-monyongkan bibirmu 60
15
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku tengok Hatir lagi. Aku mencoba menunggu kalimat berikutnya. Aku juga tengok Mas Heri di sebelah kiriku. Nampak sejenak pandangan Mas Hari mengarah ke arah Hatir. “Ayat yang mana, Mas?”, tanya Mas Heri menyela. “Ya, ayat yang mana?”, tanyaku menimpali. “Apa ayat wa-laa taqrabuw-z-zinaa62, Mas?”, tanyaku mencoba membantu Hatir. “Iya, Mas”, jawab Hatir cepat. “Lha yang ingin dipahami yang mana, Mas?”, tanyaku. “Ya, soal zina itu sendiri mbok, Mas?”, tanya Mas Heri. Rupanya Mas Heri tertarik juga memperbincangkan soal zina. “Sepengetahuanku, zina dalam ayat itu lebih bersifat umum”, kataku mencoba membantu Hatir dan Mas Heri. “Zina adalah masuknya secara bersengaja kemaluan laki-laki atau bagiannya ke dalam kemaluan wanita yang bukan mahram”, kataku sambil menggambarkannya dengan gerakan kedua tanganku. Aku tidak bermaksud jorok. Aku
hanya bermaksud memudahkan pemahaman saja. Aku lihat
sekilas Hatir dan Mas Heri terkekeh lirih dengan gerakan tanganku. “Apa itu mahram, Mas?”, tanya Mas Heri kemudian. Dia memburu. “Mahram itu orang-orang yang haram dinikahi. Misalnya ibu kandung, kakak kandung, adik kandung, dan lainnya”, jelasku sambil memandang ke arah Mas Heri. Nampak dia manggut-manggut dengan penjelasan ringanku. “Kembali ke soal zina, Mas. Bagaimana dengan sekedar mencium pacar, Mas?”, tanya Hatir dengan sedikit cengengesan. “Wah, Mas Hatir ini mau testimony63 yah?”, ledek Mas Heri sambil terkekeh. Aku dan Hatir pun jadi terkekeh dengan ledekan Mas Heri.
62
Yang dimaksud adalah “wa-laa taqrabuw-z-zinaa inaahu kaana faahisyatan wa saa-a sabiilaa”, yang artinya: “Dan janganlah kamu semua mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra’ 17:32) 63 Melakukan pengakuan
16
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ora kayak guwe, he-he”64, kata Hatir mencoba membela diri. Dia gerakkan tangannya ke depan dadanya dengan gerakan seakan menangkis serangan pukulan. “Itu tetap zina, Mas. Jenisnya zina kecil”, kataku kemudian. “Dan yang besar itu yang bersetubuh itu ya, Mas?”, kata Mas Heri mencoba membuat kesimpulan tentang jenis zina besar. “Sepengetahuanku demikian, Mas … . Kalau kurang marem65, ya silahkan bertanya kepada kyai. Insyaalaah para kyai kersa66 menjelaskannya sesuai kitab-kitab yang ada”, jawabku santai. “Tapi senajan cilik … ngambung pacar ya tetep kena hukum dosa, Mas”67, tambahku sambil menepuk pundak Hatir. Hatir terkekeh. Aku juga. “Ya, Mas” respons Hatir. “Lalu berkait dengan ayat Al-Qur’an tadi, bagaimana, Mas?”, tanya Mas Heri. “Jujur, saya awam, Mas … . Buta soal dalil-dalil”, imbuhnya. “Sepemahamanku, ayat itu khan memberikan semacam peringatan, Mas … . Allah sayang sama kita … ”, kataku mencoba mengawali penjelasan. Aku lihat sekilas Hatir dan Mas Heri menunggu penjelasan berikutnya. “Ayat itu khan melarang kita untuk tidak dekat-dekat dengan berbuat zina”, jelasku kemudian. “Lha kalau zina itu berupa zina besar, berarti ayat itu sebatas hanya jenis zina besar saja, Mas?”, tanya Hatir. “Dan, sepanjang saya dan pacar saya tidak bersetubuh khan amanaman ya saja, Mas?”, cerocos Hatir lagi memburu dengan pertanyaan. Aku lihat sekilas dia menunjukkan raut muka serius. “Ya, bagaimana itu Mas?”, tanya Mas Heri menimpali.
64
Tidak seperti itu maksudnya Puas 66 Mau 67 Tapi walaupun (zina) kecil, mencium pacar ya tetap terkena hukum dosa, Mas 65
17
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ya, ya … aku paham … . Maksudmu, sepanjang kamu tidak memasukkan penis ke lobang vagina berarti aman-aman saja? Dan jika dosa, ya dosa kecil saja. Begitu?”, tanyaku mencoba menyelaraskan pemahaman materi pembicaraan. “Ya, Mas”, jawab Mas Heri dan Hatir hampir bersamaan. “Sebentar, ini ada dua persoalan, dan masing-masing butuh jawaban sendiri-sendiri”, jawabku sambil menunjukkan jari tanganku, dua jari. “Yang pertama, prinsip hukum berupa dosa, ya tetap dosa. Mau masukin68 penis atau tidak … prinsip dosa ya tetap dosa … . Mau jenis zina kecil atau zina besar, prinsip yang namanya zina ya tetap dosa. Oke? Paham?”, kataku dengan nada agak serius. “Ya, paham”, jawab Mas Heri dan Hatir bersamaan. “Oke. Lha yang kedua, soal aman-aman saja. Tadi Hatir beranggapan bahwa sekedar pegang tangan pacar … sekedar cium pacar … itu aman-aman saja. Entoch tidak bersetubuh, tidak bersenggama”, kataku mengawali penjelasan persoalan ‘aman-aman saja’. “Sekarang justru aku mau tanya sama Mas Hatir”, kataku kemudian. “Apa itu Mas?”, sahut Hatir cepat. “Ente69 menjamin apa tidak, bahwa sekedar pegang-pegang tangan dan payudara … cium bibir dan leher … itu semua tidak merembet kepada perbuatan zina besar?”, tanyaku. “Apakah Mas hatir menjamin dirinya yang sudah bergairah menciumi pacarnya, dan pacarnya juga sama saja, itu semua tidak menghanyutkan Mas Hatir untuk memasukkan kemaluannya ke lobang vagina pacarnya?”, tanyaku kemudian. “Iya ya”, respons Hatir pelan. “Wah, nek aku yang bablas, Mas”70, respons Mas Heri sambil terkekehkekeh. Aku juga ikut terkekeh. 68
Memasukkan Kamu 70 Wah kalau aku ya langsung bablas saja. 69
18
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Bablas kepriben, Mas?71, ledekku kepada Mas Heri. “Lha wis kadung, ya sekalian mawon kula lebokaken”72, jelas Mas Heri. “Nah itulah kenapa Allah melarang kita untuk dekat-dekat berbuat zina walau jenis zina kecil … Allah sayang sama kita”, tandasku dengan nada datar-datar saja. “Umume cah nom nek wis dolanan sing cilikan, suwe-suwe ya kepengin nglakoni sing gedhe sisan … Suwe-suwe gatel”73, celetuk Hatir sambil nyengenges.74 “Sing uwis-uwis kaya guwe, Mas”75, kata Mas Heri menimpali. “Oke, sekarang kita makan dulu … “, kataku menaiki tangga lantai menuju tempat makan malam. “Ya, kita makan dulu”, sahut Mas Heri dengan semangat. Kami bertiga memasuki tempat makan malam disediakan. Nampak sudah banyak orang berlalu-lalang dan asyik makan malam. Aku mempersilahkan Mas Heri dan Hatir untuk mengambil suguhan prasmanan makan malam duluan. Sementara aku mengambil cangkir berlemek. Aku ingin mengambil air kopi dulu saja. Kangen ngopi.76
*****
71
Langsung bablas bagaimana itu Mas Lha sudah kepalang tanggung, ya sekalian saja saya masukkan (penis ke vagina) 73 Pada umumnya anak muda kalau sudah main-main dengan (zina) kecil, lama-lama ya berhasrat melakukan (zina) yang besar sekalian … Lama-lama gatal. 74 Meringis lebar 75 Yang sudah-sudah (biasanya) begitu, Mas 76 Minum kopi. 72
19
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku menuangkan kopi hitam panas ke dalam cangkir putih. Lalu aku menambahkan gula sebanyak empat sendok kecil, mengaduk-aduk,
dan
melarutkannya. Sepanjang aku sendirian, aku melamun dalam diam. Perbincangan bersama Mas Heri dan Hatir soal zina membuat kenangan masalaluku menyeruak. Kenangan lama yang sudah bertahun-tahun. Untung saja sepanjang pembicaraan tadi mereka tidak melihat betapa aku tersergap pucat. Aku mencoba berlama-lama mengaduk-aduk gula dalam air kopi. Aku merasa dan yakin, bahwa sebenarnya gulanya sudah melarut. Namun aku ingin memperlambat semuanya. Aku ingin berlama-lama. Aku ingin sergapan masalaluku segera berlalu meninggalkan ruang ingatanku. Haruskah aku melakukan pengakuan? Aku testimony?, batinku. Ah, tidak. Tidak perlu ! Apa pentingnya?, sergahku sendiri dalam hati. Hah ! Kenapa aku ke Banjarnegara malahan bermasalah sendiri?, keluhku dalam hati. Lalu bayangan lelaki itu berkelebat masuk dalam anganku. Hah ! Aku mendesah cepat. Aku sangat benci bayangan itu. Aku pejamkan sebentar mataku dengan cepat dan kasar. Aku berharap tindakanku mampu mengusir kelebatan bayangan lelaki itu. Aku agak menggigil. “Bajingan!” Aku berteriak dalam hati. Dan teriakanku itu terekspresi dengan hentakan kaki kananku secara tiba-tiba. “Mas Amin melamun ya?” Terdengar suara perempuan di dekatku. Aku terkejut. “Eh, Mbak Rina. Eh, hem, ngopi, Mbak?!?”, kataku agak gagap. Rupanya
Mbak Rina sudah di
dekatku.
Dia
adalah pegiat
penanggulangan HIV/AIDS dari Kalandara Semarang. “Aku ambil teh saja, Mas”, kata Mbak Rina setengah berbisik. “Silahkan, Mbak”, balasku dengan gesture77 sedikit merunduk sopan. 77
Gerakan tubuh
20
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ah, Mas Amin … “, responsnya dengan mimik sedikit cemberut dan tangannya dikibaskan lembut. Aku menangkap dia tidak begitu suka sikap sedikit sok-formal yang aku tampilkan. “Eh, Mas Amin koq nampak pucat ya?!”, tanyanya. “Sehat-sehat saja khan?”, imbuhnya kemudian. Kata-katanya meluncur deras laksana ribuan panah beracun menjurus ke arahku. Aku terkejut sekali. “Sehat khan Mas?”, tanyanya mengulang sambil menuangkan air teh. “He-eh, sehat Mbak”, jawabku sekenanya. Aku benar-benar bagai masuk perangkap dan dibuat tidak berkutik. Saat menuangkan air teh,
saat Mbak Rina bertanya, aku melihat sorot
matanya menelanjangi diriku bulat-bulat. Aku yang jarang ditatap perempuan dengan tatapan investigatif pun jadi tertahan nafasku. Sialan benar ini perempuan, batinku. “Mas Amin sudah kenal Mbak Diyah?”, tanya Mbak Rina kemudian. Aku merasa pertanyaan itu diperuntukkan mengalihkan pembicaraan. Aku jadi sedikit longgar78. “Itu tuch”, jelas Mbak Rina sambil menunjukkan jari dan pandangan matanya ke arah meja bundar dengan beberapa kursi. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku lihat seorang perempuan muda duduk sendiri sambil menikmati makanan di depannya. Sekilas aku lihat perempuan itu berjilbab warna biru muda dan berpakaian muslimah motif batik. “Yuk kita bergabung dengan Mbak Diyah, Mas”, ajak Mbak Rina. Aku pun bagai kerbau dicucuk, hanya mengikuti saja ajakannya. Aku benar-benar tidak berkutik. Entah mengapa aku demikian.
***** 78
Lega
21
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lho, Mas Amin tidak makan?”, tanya Mbak Rina sesaat sampai di meja bundar dimana Mbak Diyah telah duduk di sana. “Masih kenyang, Mbak”, jawabku dengan ekspresi serius. Tanganku pun aku gerakkan ke arah perutku. “Cukup ngopi saja, plus
udud79, Mbak”, imbuhku sambil ngecus80
sebatang rokok kesukaanku. Aku lihat Mbak Rina hanya tersenyum mendengar alasanku. Klise, batinku sendiri. “Mbak Diyah, ini Mas Amin dari Kebumen … Mbak Diyah ini dari Wonosobo, Mas Amin … ”, jelas Mbak Rina kemudian. “Ya, ya, Mbak. Aku sudah lihat beliau di ruang pertemuan tadi. Saat sesi perkenalan tadi, aku juga sudah memperkenalkan diri”, jelasku sambil melihat ke arah Mbak Diyah dan sekaligus menganggukkan kepalaku ke arahnya.
Aku melihat Mbak Diyah juga menganggukkan kepalanya
membalas anggukanku. “Mbak Diyah iki spesial eL-eS-eL, Mas”81, kata Mbak Rina kemudian. “Ow”, desahku cepat lagi singkat. Jujur aku terkejut. Gelas di depan bibirku yang akan kuseruput air kopinya pun terguncang sedikit. Hampir saja kopiku tumpah. Menyebutkan tiga huruf, L-S-L, membuatku kaget. . Aku turunkan cangkir kopiku kembali ke lemeknya yang tergeletak di atas meja. Mataku sejenak menatap tajam ke arah wajah Mbak Diyah yang tengah asyik menikmati makan malamnya. “Mbak Diyah ini perempuan yang mengurusi L-S-L, Lelaki Seks Lelaki”, kataku lirih mendesah sambil manggut-manggut.82 “Maaf, Mbak …”, kataku kemudian dengan suara lebih keras. Aku arahkan pandanganku ke arah Mbak Diyah dan Mbak Rina. 79
Dan rokok Menyalakan 81 Mbak Diyah ini spesialnya LSL. LSL singkatan dari Lelaki Seks Lelaki. LSL dapat berupa 1. lelaki dengan orientasi seks berupa homoseks, 2. lelaki biseks (main seks dengan perempuan juga dengan ssama-sama lelaki), atau 3. lelaki yang pernah berhubungan seks dengan sesame lelaki walaupun hanya satu kali. 82 Mengangguk-anggukkan kepala 80
22
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ada dua … dua hal yang … yang menarik perhatianku terhadap … e, kepada Mbak Diyah … . Begitu, ya, Mbak Rina”, kataku pelan-pelan sambil kembali memandang Mbak Rina dan Mbak Diyah secara bergantian cepat. Aku terbata-bata. Gagap. Aku tegang. Kalimatku pun terkesan mbocahi83. Aku sebenarnya tidak ingin kata-kataku mengganggu kenikmatan makan malam mereka. Aku juga tidak ingin aku salah bicara dengan orang yang baru aku kenal. Namun, aku nyatanya tetap gagap-gagap. Bayangan masalaluku mengganggu. “Apa itu Mas Amin?”, tanya Mbak Rina mengejar. Dia nampak cuek bertanya sambil melahap makanannya. Aku lihat matanya tetap konsentrasi pada makanan di piringnya. Sikapnya yang cuek membuatku lebih tenang. “Napa niku Mas?”84, tanya Mbak Diyah sambil tersenyum manis. Matanya sekilas melirik ke arahku. Aku agak malu. Aku mencoba mengatur nafasku lebih teratur. Jujur, jantungku tibatiba berdenyut lebih mengencang. Namun demikian, aku sudah terlanjur membuka pembicaraan. Aku harus berani. “Yang pertama … saya salut … ya, ada perempuan yang … yang mampu menembus komunitas LSL ”, jelasku sambil menatap tajam-tajam ke arah Mbak Diyah. Kalimatku masih terbata. Aku lihat dia malah terkekeh lirih. Aku jadi sedikit tersipu. “Terimakasih, Mas”, respons Mbak Diyah dengan suara terdengar mendesah halus. Senyumannya benar-benar membuat aku malu. “Lalu yang kedua apa, Mas?”, tanya Mbak Rina menyela. Aku terdiam sejenak. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk aku sampaikan. Pada saat bersamaan, aku pun tercekam kembali bayangan lelaki itu. Masalaluku tiba-tiba hadir dan menindih kelu lidahku. “Yang kedua apa, Mas Amin?” Kembali Mbak Rina mengulangi pertanyaannya. Aku jadi tersadar.
83 84
Kayak anak kecil, Apa itu Mas
23
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Yang kedua … aku ingin … aku ingin tahu banyak soal LSL, Mbak”, jawabku reflex saja meski masih terbata. “Ow itu … “, respons Mbak Diyah sambil tersenyum. “Ta pikir arepe ngomong Mbak Diyah ayu”85, kata Mbak Rina sambil tertawa renyah. Mendengar kata-kata Mbak Rina, aku dan Mbak Diyah pun tak dapat menahan tawa. Aku yang sejak tadi gagap-gagap pun jadi ikut tertawa. Kami pun jadi tertawa ramai. Dan tawa kami mengundang perhatian teman-teman lain mengarahkan pandangannya ke arah kami. Tak
ketinggalan,
seorang
lelaki
muda
pun
mengarahkan
pandangannya kepada kami. Bahkan aku lihat kemudian lelaki muda itu mendatangi meja kami. Dia adalah Uday, pegiat dari Lembaga Kesehatan Nahdlatu Ulama (LKNU) pusat Jakarta. Aku tahu namanya sebab di dada kirinya tertera nama “Uday” pada secari kertas. “Ono opo iki … Ngguyu-ngguyu koq ra dibagi-bagi”86, sela Uday sambil duduk di antara Mbak Rina dan Mbak Diyah. Aku lihat dia nampak lebih muda dibandingkan umurku. Aku rasa kalimatnya sekedar untuk mengganti kata-salam saja. Dia bias berbahasa Jawa sebab dia besar di Jawa Timur dan Yogyakarta. “Piye, Mas … Mas Amin?”87, tanya Uday sambil melihat ke arah kertas yang menempel di bajuku sebelah dada kiri. Aku merasa dia mencoba mengakrabkan dirinya denganku. Aku senang. “Iya, Mas Uday”, jawabku sambil mengingat-ingat namanya yang tertulis pada secarik kertas di dada kirinya. “Ini Mas Amin ingin tahu banyak soal LSL lewat Mbak Diyah … . Gitu lho Cak88 Uday …”, jelas Mbak Rina kemudian. “Ow, begitu … Bagus itu”, respons Uday.
85
Kupikir mau bilang (kalau) Mbak Diyah itu ayu Ada apa ini … Ketawa-ketawa koq tidak dibagi-bagi 87 Bagaimana Mas, Mas Amin? 88 Kak, Mas. Panggilan khas Jawa Timuran. 86
24
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ya, dengan seperti inilah kita dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, Mas”, lanjut Uday. Mendengar kata-kata Uday, aku hanya manggut-manggut setuju sambil menikmati rokokku. Dadaku sedikit merasa lega. Aku merasakan hawa segar menyeruak mengusir beban masalaluku. Tiba-tiba tengkukku merinding. Lalu aku rasakan sejenak rambutku tersentuh benda dingin. Aku merasa ada kegaiban menyertai. Aku tidak tahu ini efek dari responsku terhadap kalimat Cak Uday atau ini memang hadir begitu saja. Entahlah. Aku pun berprasangka baik saja. Namun aku jadi sigap. Sebisaku kemudian aku melafadzkan shalawat Nabi dalam hatiku. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad Wa ‘ala aliyhi wa shahbihi ajma’in89 Aku merasakan sentuhan dingin itu merembes menghadirkan ketenangan dalam diriku. Dengan mengumandangkan shalawat, meski dalam hati, aku merasakan kehadiran rasa keberpihakan; ada rasa penjagaan terhadap diriku dari segala sesuatu yang mungkin saja tidak efektif bagi diriku. Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Allah pasti memberikan yang terbaik bagiku. Aku berkata-kata dalam hati sambil merasakan ketenangan yang melonggarkan dadaku. Bayang-bayang lelaki dalam masalaluku pun berangsur pudar menguap. Aku jadi lebih tenang. A’udzubillaahi mina-sya-syaithaani-r-rajiim90. Aku melafadzkan ta’awudz.91 Aku kemudian menarik nafas pelanpelan lagi dalam-dalam. Ya, aku lakukan dengan pelan-pelan sebab aku ingin menikmati kedekatanku dengan Tuhanku sekaligus aku ingin tarikan nafasku tidak menimbulkan reaksi apapun dari teman semejaku. Aku lakukan dengan 89
Wahai Allah semoga limpahan rahmat shalawat dan salam senantiasa tetap tercurah bagi Baginda Muhammad, dan bagi keluarga dan sahabatnya semua. 90 Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. 91 Ta’awudz bacaan permohonan perlindungan dengan membaca a’udzubillaahi mina-sysyaithaani-r-rajiim
25
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
dalam-dalam sebab aku ingin hubungan vertikalku dengan Tuhanku terbangun lurus-lurus lagi khidmat sekaligus aku berharap Tuhanku bersegera memenuhi rongga dadaku dengan karunia-Nya dan menjagaku dari godaan setan-setan dalam bentuk apapun. Aku menikmati tarikan nafasku. “Apa yang menarik Mas Amin soal LSL ?”, tanya Mbak Diyah mengejutkanku. Aku terdiam sejenak. Aku sekilas melihat ke arah Mbak Rina. Dia ternyata malahan tengah memandang ke
arahku. Aku lirik Mbak Diyah
sekilas. Dia pun tengah memandang tenang ke arahku. Pandangan kedua perempuan di hadapanku seakan memaksa aku untuk memberikan jawaban pasti. Sementara itu Cak Uday sekilas juga memandangku. Berbeda dengan kedua perempuan itu, dia lebih santai dengan mengasyikkan diri merokok. Dan terus terang memberikan jawaban pasti inilah yang membuat aku sedikit ragu untuk memulainya. Ada subyektivitas mengemuka. Ada ke-akuan menindih yang membuat pertanyaan itu
menjadi seperti pengadilan
terhadap diriku. Setelah mencoba menetralisir keadaanku dengan menghisap rokok kesukaan, aku mengawali jawaban dengan ekspresi santai. Ekspresi yang sebenarnya lebih sebagai perlawananku sendiri terhadap subyektivitasku sendiri. Aku mencoba mengawalinya dengan membuang asap rokok dari mulutku ke arah langit-langit. Kemudian aku juga mencoba mengawalinya dengan membuang abu rokok dengan menitikkan ke asbak di depanku. “Aku justru ingin bertanya, Mbak Diyah”, kataku merespons pertanyaan Mbak Diyah. Mendengar memandangku
kata-kataku,
sedikit
ketiga
berlama-lama.
orang Bahkan
di
depanku
Mbak
Diyah
serentak nampak
mengernyitkan dahinya sebentar.
26
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku cuek dengan respons mereka. Ada sebaris keberanian dalam diriku untuk mengungkapkan apa yang mengganjal dalam pikiranku selama ini. Aku harus keluarkan masalahku sendiri. Aku harus berani berubah. “Mbak Diyah?”, sapaku. “Gimana, Mas?”, balas Mbak Diyah dengan suara lembut. “Apakah lelaki yang digituin92 lelaki lain walau satu kali itu termasuk LSL ?”, tanyaku serius. Mataku lurus memandang ke arah bola mata Mbak Diyah. Aku butuh jawaban. “Ow, anal to?”93, komentar Mbak Rina. “Ya, ciak wingking, Mbak”94, tandasku cepat sambil terkekeh sebentar. Aku gunakan istilah ciak wingking mengikuti istilah teman-temanku dulu semasa di bangku kuliah. Mbak Diyah tertawa terpekik sebentar mendengar kata-kataku. Dia rupanya geli dengan istilah yang aku lontarkan. “Ada-ada saja istilahnya ya?”, komentar Cak Uday. “Ya, Mas. Itu aku dapatkan dari temen-temen juga”, jawabku jujur. “Mas Amin”, panggil Mbak Diyah. Aku pun segera memalingkan mukaku dari Cak Uday ke arah wajah Mbak Diyah. “Kalau yang nembak secara anal itu dipastikan dia LSL. Lha yang ditembak itu belum tentu”, jelas Mbak Diyah. Aku menangkap Mbak Diyah memperhalus istilah juga dengan kata “nembak” dan “ditembak” untuk persoalan anal itu. “Mungkin Mas Amin bisa menggambarkan kasusnya, Mas”, sela Mbak Rina. Aku lihat dia menatapku meminta gambaran jelasnya. “Ya, misalnya … kita baca koran … adanya kasus anal”, jawabku agak tersendat.
92
Diperbuat seks; kata ini sebenarnya bermakna sangat umum; kata ini dipakai secara verbal biasanya untuk memberikan kesan sopan saja. 93 Ow, anal ya? Anal merupakan istilah hubungan seks melalui dubur/anus 94 Ya, sikat lewat belakang (anus), Mbak
27
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Misalnya seorang anak kecil diperbuat anal sama lelaki dewasa. Begitu maksudnya?”, kata Cak Uday mencoba membantu memperjelas gambaran kasus. “Ya!”, jawabku refleks dibarengi dada yang terhentak kaget. Aku benar-benar kaget dengan kata-kata Cak Uday. Bahkan aku sekilas menatap dia untuk menyelidiki jangan-jangan dia tengah menebaknebak aku. Aku lihat dia cuek sambil merokok. Aku lega campur grogi. Aku pun mematikan rokokku yang tinggal beberapa centimeter. Dan tanpa panjang kata, aku segera mengambil sebatang rokok dari bungkusnya untuk segera aku nyalakan lagi. Aku benar-benar jadi grogi. “Itu bukan LSL, Mas … . Anak kecil itu korban … . Justru yang patut dicurigai si pemerkosa itu … . Lelaki dewasa itu LSL. Lelaki dewasa itu LSL sebab dia ngeseks95 lewat anal walaupun satu kali dengan anak itu”, jelas Mbak Diyah. “Persoalannya dimana, Mas Amin?”, tanya Cak Uday agak mengejar. Aku bingung dengan pertanyaan Cak Uday. Aku gagap. Aku celingukan sebentar. “Yang susah khan kalau pemerkosanya positif HIV … . Lalu anak kecil itu anusnya terluka saat diperkosa … dan virusnya masuk darah”, kata Mbak Rina. Aku tangkap dia mencoba membantuku yang gelagepan. “Artinya anak itu kena HIV, Mbak?”, tanyaku mengejar. Aku jadi
sedikit berkeringat. Aku merasakan keningku mulai
mengeluarkan keringat. Aku jadi panik. “Lho, koq Mas Amin nampak panik nich?”, ledek Mbak Diyah sambil terkekeh. Aku lihat dia mentertawaiku. Dia tertawa sambil meletakkan sendok dan garpu di atas piring yang sudah kosong. “Ha-ha, aku jadi curiga sama Mas Amin”, imbuh Mbak Rina sambil meletakkan sendok dan garpunya menyudahi makan malamnya. Dia pun tertawa renyah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. 95
Melakukan hubungan seks
28
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tenang saja Mas Amin … . Jangan digubris Mbak Rina dan Mbak Diyah. Mbak-mbak ini lagi meledek saja …”, kata Cak Uday membelaku. “Oke, oke … Aku mau fair96 saja. Aku pernah menghadapi persoalan seperti itu. Ada seorang yang testimony curhat padaku. Dia jadi korban pemerkosaan anal”, kata Mbak Rina kemudian sambil menyudahi tertawanya. “Lalu, apa saran Mbak Rina?”, tanyaku mengejar. Aku benar-benar sudah lepas kendali. Rasa
ingin membongkar
masalahku sendiri secara perlahan begitu meledak-ledak. Aku ingin trauma masalaluku segera musnah meski tetap menyisakan luka dalam dada. “Saranku ya VCT97”, jawab Mbak Rina santai. “VCT khan dukungan layanan bagi mereka yang beresiko kena HIV atau yang menginginkan pemeriksanaan HIV”, imbuhnya. “VCT itu bersifat rahasia dan sukarela, Mas”, imbuh Mbak Diyah. “Artinya, sebaiknya anak yang diperkosa itu segera melakukan VCT?”, tanyaku memburu kepastian. “Ya, betul”, jawab Mbak Rina pendek. “Syukur-syukur yang memperkosa juga VCT”, imbuh Cak Uday. Dan penjelasan demi penjelasan itu membuatku menjadi lebih tenang. Ya, VCT. Ya, harus VCT, batinku mantap. Berangsur keteganganku meluruh. Bayangan masalaluku pun mulai tidak jadi hantu mengerikan yang mengejarngejarku lagi. “Tenang saja, Mas Amin … . Besok kita ada acara VCT koq?!”, kata Mbak Rina kemudian. “Lho, koq pakai tenang-tenang segala? Memangnya Mas Amin potensi LSL?”, ledek Cak Uday sambil terkekeh. “Jangan begitu lah”, balasku membela diri. “Mas Amin”, sapa Mbak Diyah. 96 97
Terbuka Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau dikenal juga Konseling dan Testing HIV Sukarela (KTS).
29
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ya, Mbak”, jawabku pendek sambil menatap sekilas Mbak Diyah. Nampak olehku tatapan matanya begitu teduh. “Saya sudah menghadapi hampir 50 LSL”, jelas Mbak Diyah. Aku manggut-manggut menyimak penjelasannya. Aku merasa bangga dan salud terhadapnya yang begitu perhatian terhadap HIV pada komunitas LSL. “Macam Mas Amin 99,99 persen bukan LSL”, jelasnya lagi. “Koq gak 100 persen?”, sela Cak Uday. Dia mencoba meledek sekaligus mencari tahu kenapa tidak 100%. “Ya, Mas … . Sisanya, mungkin Mas Amin ini … kor-ban”, jawab Mbak Diyah pelan-pelan dengan raut muka tertawa. Dia pun kemudian jadi menutupi mulutnya tak mampu menahan tawanya. Dia sebenarnya ingin menjawab dengan serius tetapi dia ingin juga mengemaskan dengan tertawa. Mbak Rina dan Cak Uday pun jadi terbahak-bahak mentertawakan analisa Mbak Diyah. Aku pun jadi ikutan tertawa. Aku tertawa lepas. Di Banjarnegara aku secara fisik berada. Namun, batinku, pikiranku, jiwaku sebenarnya tengah terbang … terbang entah kemana, tak jelas rimbanya. Ya, aku terbayang wajah Kamal kecil dulu. Kamal, seorang korban pemerkosaan. Sambil terbayang mengimbangi
tawa
tipis-tipis
teman-teman
wajahnya, semejaku
aku hanya mampu
walaupun
sebenarnya
perasaanku begitu sedih mengenang masalaluku. Masalalu dimana aku menyaksikan pemerkosaan Kamal tanpa dapat berbuat apapun. Rangkaian kebisuan mengemuka menghanyutkanku.
*****
30
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
3 RANGKAIAN KEBISUAN
Kota kecamatan ini berada sekitar duapuluh kilometer dari pusat kota kabupaten. Kecamatan ini memiliki beberapa desa, dan salah satu desanya adalah Watusari. Di desa inilah aku hanya bisa diam membisu saat aku menyaksikan pemerkosaan itu. Hari itu hari Minggu, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku bermalam di rumah nenek temanku. Teman sekolahku, Binto namanya. Aku dan Binto terpaksa bermalam di desa neneknya sebab kami berdua kemalaman baru plesiran98 ke Pantai Logending Ayah. Kami baru lulus sekolah. Dan tamasya ini menjadi barang wajib buat kami untuk mengisi waktu-waktu luang tanpa bersekolah. Rumah neneknya Binto adalah rumah yang sederhana sebagaimana rumah pada umumnya di desa itu. Ada beberapa kamar. Saat itu aku berada di kamar paling pojok. Kamarku paling selatan di dekat ruang tamu sederhana. Di sebelah utara kamarku terdapat dua kamar berseberangan. Kamar yang tepat di utara kamarku rupanya dihuni oleh Kamal. Kamal adalah adik Binto. Dia masih bersekolah, kelas dua SMP99. Kamar di seberang kamar Kamal adalah kamar neneknya Binto, Mbah Diro nama panggilannya. Mbah Diro seorang janda berumur sekitar enampuluh tahunan yang tinggal hanya dengan Kamal cucunya. Kata Binto, Mbah Diro itu istri kedua dari almarhum kakeknya. Mbah Diro itu bukan nenek asli100 Binto, tapi dia nenek tiri.
Mbah Diro itu nenek asli Kamal dari ibunya yang sudah
98
Rekreasi, tamasya, wisata Sekolah Menengah Pertama (SMP) 100 Nenek kandung 99
31
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
meninggal. Mbah Diro itu neneknya Kamal, bukan nenekku, jelas Binto cuek saat kutanya soal neneknya. Malam itu aku sulit tidur. Yah, maklum. Aku jarang tidur di rumah orang sehingga penyakit sulit tidur pun menghinggapiku kalau aku tidur di rumah orang. Bersyukur aku dapat terlelap tidur sekitar jam sebelas malam setelah mengobrol ngalor-ngidul101 dengan Binto.
Demikian juga Binto
temanku, dia pun berangkat tidur bersama. Kami sekamar, kami seamben.102 Sekitar jam satu malam aku terbangun. Rasa ingin kencing membuatku terbangun dan harus segera ke belakang. Enyong ra bisa ngengken uyuh103, batinku saat itu. Namun, saat aku terbangun, Binto tidak ada di sebelahku. Entah dia ada dimana. Pikirku, paling dia pindah kamar. Aku keluar kamar untuk segera menuju ke dapur dimana ada kamar mandi sederhana di sana. Aku tahu itu sebab aku sudah dua kali mempergunakannya. Lagian aku pun sudah merasa biasa saja berada di rumah itu. Aku bergegas ke kamar mandi untuk kencing. Rasa sakit di bagian bawah perutku membuatku berani saja sendirian. Usai kencing, terlintas aku ingin mencari dimana Binto berada. Aku pun pelan-pelan mencoba melongok ke kamar Mbah Diro. Ah, barangkali dia kangen neneknya dan tidur di sisi neneknya, batinku. Aku melongoknya melalui bambu menyekat kamar yang berlobang kecil-kecil. Aku sebenarnya agak kikuk harus melongok-longok seperti maling. Namun rasa ingin tahu dimana Binto membuatku berani begitu saja. Namun, di kamar itu nampak hanya Mbah Diro yang tidur sendirian. Aku pun berpikir cepat. Berarti Binto tidur di kamar Kamal, pikirku sambil beringsut ke arah kamar Kamal. Diam-diam dan pelan-pelan aku berjingkatan lembut ke arah kamar Kamal. Astaghfirullah!104
101
Kesana-kemari, bermacam-macam Satu dipan. Amben adalah dipan/tempat tidur khas pedesaan yang terbuat dari bahan bambu. 103 Aku tidak bias menahan air kencing. 104 Seruan mohon ampunan. Aku mohon ampunan kepada Allah. 102
32
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku kaget tercekat sambil menarik kepalaku dari lobang bambu kamar Kamal. Tanganku refleks mengarah ke dadaku. Kepalaku menggeleng cepat. Pikiranku buyar. Aku tidak percaya dengan apa yang aku saksikan sendiri. Mataku menangkap jelas Binto tengah menindih Kamal. Binto telanjang. Kamal tidak bercelana. Kamal hanya berbaju yang tersingkap tidak karuan. Dan yang membuat aku kaget dan hampir muntah adalah menyaksikan Binto memasukkan kemaluannya ke anus Kamal. Aku segera berjingkatan lembut menuju ke kamarku. Tangan kananku menutupi mulutku. Aku segera masuk kamarku. Aku tutup pintunya dengan pelan agar tidak menimbulkan suara dan kecurigaan. Aku ganjal pintu dengan kursi tua yang ada di kamar. Aku benar-benar panik. Aku sangat takut. Dan malam itu aku meringkuk sendiri di atas amben sampai pagi. Aku tidak tidur sampai menjelang fajar. Setelah
cukup
terang
dan
Mbah
Diro
sudah
bangun,
aku
memberanikan diri untuk mengeluarkan motor bebekku dari rumah itu. Aku belum
shalat
subuh.
Rasa
takutku
merusak
kesadaranku.
Setelah
mengeluarkan motorku dan menstandarnya agak jauh dari pintu rumah, aku pergi ke dapur menemui Mbah Diro. Kudapati mbah Diro tengah nggodhog wedang105. Aku mendekatinya. Aku berbisik di dekat telinganya. Aku pamit pulang. Aku tidak bercerita padanya soal kejadian di kamar Kamal. Aku takut. Aku bingung. Aku nampak tergesa. Mbah Diro nampak bengong saja. Dan kutinggalkan Mbah Diro dalam kebengongannya. Aku berjalan lembut tanpa suara melewati kamar-kamar, lalu keluar rumah. Bahkan aku sengaja menuntun motorku menjauhi rumah itu. Aku benar-benar waspada jangan sampai kepergianku membangunkan Binto temanku. Hah ! Aku mendengus cepat, secepat rasa ingin aku melupakan apa yang kusaksikan sendiri. Namun pemandangan itu sungguh lengket menempel 105
Menjarang air
33
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
dalam ingatanku. Bahkan hempasan angin dingin pagi tidak mampu menerbangkan bayangan itu. Hingga kemudian aku berhenti halaman masjid Kauman. Aku bergegas berwudlu dan shalat subuh. Aku meng-qadla106, terpaksa.
*****
Kejadian di Watusari itu membuatku bersikap tegas. Aku harus pergi ke luar kota. Hari ini juga aku harus ke Jogja, kuliah atau apalah, yang penting aku pergi menjauh. Dan benar adanya, sehari kemudian aku berangkat ke Jogja untuk melanjutkan kuliah sekaligus melupakan semuanya. Hingga suatu hari, di kantin kampus … Lima tahun kemudian … Aku baru saja selesai konsultasi akhir skripsiku. Rasa hausku membuatku harus bergegas menuju kantin kampus. Aku pun memesan es campur. Kemudian aku mencari-cari kursi kosong untuk mengasokan pantatku yang terasa panas setelah berlama-lama menghadapi cecaran dosen pembimbing skripsiku. Apalagi bayangan ujian skripsi tiba-tiba muncul. Rasa hausku pun semakin memuncak saja. Tiba-tiba seorang pria berbadan kerempeng107 dan bertopi duduk di kursi kosong di depanku. Kulitnya legam. Tangan kanannya memegang mangkok berisi bubur kacang hijau. Tangan kirinya memegang sendok. Dia tersenyum sekilas. Aku pun membalasnya. Aku merasa tidak mengenalnya.
106 107
Melakukan shalat tidak pada waktunya sebab adanya halangan Kurus
34
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Boleh saya duduk di sini, Mas”, kata pria itu berpamitan kepadaku. Terdengar suaranya agak bergetar. Aku menangkap suara itu berbaur dengan menahan sakit. “Ow, silahkan, Mas”, jawabku singkat tanpa melihatnya. Aku melahap es campur dengan cepat. Pria itu sempat tersenyum kecil saat melihat caraku menikmati es campur. Aku cuek dengan senyumannya. Biarin, batinku. Aku haus koq! Lagian, apa urusannya, kataku ketus dalam hati. Setelah menikmati sendokan terakhir, aku mengeluarkan rokokku dan menyulutnya. Aku lihat pria itu mengeluarkan rokoknya dari saku baju kotak-kotaknya. Aku pun jadi mencoba menatap sekilas ke arah wajah pria itu. Melu baen ngetokna rokok108, batinku. Aku tangkap dia juga mencoba menatapku. Sialan, meledekku yah?!, batinku lagi. “Suwe ra ketemu, Min … . Kelalen apa ngelalen?”109, kata pria itu sambil menatapku berlama-lama. Suaranya sedikit dipelankan. Ada intonasi yang tertahan. Aku kaget. Aku mengernyitkan dahiku, sementara dia malahan mrenges-mrenges110 sebentar.
Aku kaget dia menggunakan dialek
Banyumasan sebagaimana biasanya aku berdialek. Lebih lagi dia menyebut nama panggilanku, “Min” alias Amin. Dan yang mengherankan lagi, dia menyampaikan perkataan yang memberikan kesan mencemooh aku yang sudah tidak kenal dengan teman lamanya sendiri. “Aku kancamu. Binto”, katanya memberitahu namanya. Aku kaget. Binto?, pikirku sambil mengamati wajahnya. “Nang Jogja … aku terkenale diundang Bonty”111, katanya lagi menjawab kekagetanku.
108
Ikut-ikutan saja pakai ngeluarin rokok Lama tidak ketemu, Min. Lupa apa sengaja melupa. 110 Meringis-ringis, cengar-cengir. 111 Aku temanmu, Binto. Di Jogja aku terkenalnya dipanggil (dengan nama) Bonty. 109
35
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku tidak terlalu menggubris kalimat terakhirnya. Mau Bonty, mau Bontot, mau Brontol, mau apa saja, terserah. Aku justru kaget dengan kehadiran Binto yang mendadak di kampusku. Aku jadi waspada. Aku amat-amati benar pria di depanku lurus. Sungguh aku pangling dengan Binto temanku dulu. Aku lihat dia sangat kurus dan lebih hitam. Sungguh aku tidak menyangka temanku yang membuatku benci tiba-tiba muncul di hadapanku tanpa diundang. Aku benar-benar tak berkutik. Aku jadi tegang. Wajahku terasa mengeras. Aku memelototkan mataku ke arah Binto dengan tatapan ekspresi rasa tidak suka dengan kehadirannya.
Aku jelas tidak suka dengan cara dia menemuiku di
kampusku. Aku tidak suka. Aku pun jadi tumbuh rasa benci kembali. Aku melupakan hausku. Aku hampir saja beranjak dari kursiku dan kemudian pergi tanpa pamit begitu saja. “Tunggu, Min”, seru Binto. “Please, don’t go … Please”112, katanya lagi dengan wajah memelas. Tangannya
menindih
punggung
telapak
tanganku
tanda
menahan
kepergianku. Aku merasa tindihan itu mengeras. Aku menggeser telapak tanganku untuk beringsut melepas tindihan telapak tangannya. Aku tidak mempedulikan rengekannya. Rasa benciku pada Binto menguasai diriku. Aku berdiri dan segera beranjak pergi meninggalkannya. Setan!, pekikku dalam hati. Aku pun berjalan meninggalkan kantin menuju tempat parkir motorku. Rupanya Binto mengejarku. Dia menguntitku dua langkah di belakangku. “Amin”. Aku dengar Binto menyebut namaku sesaat aku memasuki areal parkiran. Aku tidak menggubris. “Kamu boleh benci aku. Tapi tolonglah Kamal …”, katanya cukup keras. 112
Tolong, jangan pergi … Tolonglah
36
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku tetap tidak menggubris kata-katanya. Apa urusanku?, batinku. Aku terkejut saat melangkah mendekati motorku. Tanganku ditarik dan dipegang kuat oleh Binto. Aku jadi terganggu. Aku pun jadi membalikkan badan
menghadapinya.
Emosiku
memuncak.
Saat
aku
berhadapan
dengannya, tanpa aku sadari aku refleks menampar pipinya. Aku dengar dia mengaduh cukup keras. Aku agak menyesal walaupun rasa marah dan benciku sudah mengalahkan semuanya. “Kamu boleh bunuh aku sekarang, Min”, kata Binto setengah merengek dan mengerang. Tatapannya sesekali mengarah kepadaku. Aku terkejut dengan kalimat Binto. Aku jadi kaku tidak tahu harus berbuat apa. Ada rasa sedikit sesal aku telah menamparnya. Bagaimanapun dia adalah teman lamaku, teman sekolahku. Aku amat-amati sekeliling areal parkiran. Ada sekitar sepuluh orang. Beberapa dari mereka sempat mengamati sebentar ke arahku dan Binto. Dan ketika aku balik mengamat-amati mereka, mereka segera menarik pandangannya. “Apa maumu, Bin?”, tanyaku geram. Aku lihat Binto mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya. Aku amati tangannya sedikit gemetar. “Ini, Min. Lihatlah”, kata Binto dengan tergesa. Binto menyodorkan secarik kertas itu kepadaku. Tangannya bergetar. Namun demikian aku cuek saja. “Moh! Apa guwe?”113, kataku agak membentak. Aku tidak mau serta merta mengambil kertas itu dari tangan kanannya. “Aku meh mati, Min”114, jawabnya pelan dengan nada sedih. Aku lihat matanya berkaca. Aku pun jadi segera menyahut kertas di tangan kanannya. Rasa ingin tahuku membuat aku bergerak cepat.
113 114
Tidak mau ! Apa itu? Aku hampir mati, Min
37
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku amat-amati tulisan dalam secarik kertas itu. Aku tidak paham. Aku hanya melihat kop yang tertera dalam kertas itu saja, kop nama sebuah rumah sakit terkenal di Jogja. “Aku ra paham, Bin. Nyeh kertasmu!”115, kataku kemudian sambil mengembalikan paksa kertas itu ke tangannya. “Kowe arep mati apa modar. Aku ora urus!”116, kataku ketus. Aku bergegas meninggalkan Binto sendirian. Kudengar dia menangis sesenggukan. Aku segera menstarter motorku dan pergi pulang ke kostku. Sepanjang jalan aku menggerutu. Rasa benciku pada kelakuan Binto benarbenar membuatku apatis dengan apa yang menimpanya.
*****
Baru sekitar empat jam aku berada di kamar kostku saat dua orang polisi mendatangiku dengan diantar pemilik rumah kost. Kedua polisi itu memintaku untuk datang ke kantor polisi. Aku terkejut. Sangat terkejut. Rupanya sepeninggalanku, Binto pingsan di areal parkiran di kampusku. Bahkan diketahui kemudian dia terus meninggal dunia. Kampusku pun geger. Pihak kampus membawanya ke rumah sakit terdekat untuk visum. Polisi pun menggali informasi dengan cepat. Dan dari saksisaksi di kampus diperoleh keterangan bahwa Binto baru saja bertemu 115 116
Aku tidak paham, Bin. Nich kertasmu! Kamu mau mati terhormat apa tidak, aku tidak urusan. Kata modar berarti mati dengan cara tidak terhormat atau celaka.
38
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
denganku. Dan aku pun dicari polisi untuk dimintai keterangan. Lebih dari itu, rupanya Binto meninggalkan supucuk surat untukku, surat yang belum sempat diberikan padaku. Untuk Amin Darmawan, sahabat lamaku Aku berharap kamu baca suratku ini saat aku sudah mati saja. Ya, agar aku senyatanya jujur apa adanya.
Aku berhenti sejenak. Berarti surat ini sudah disiapkan Binto sebelum ketemu aku, pikirku. Dan lebih dari itu, dia sudah memantau keberadaanku sejak lama di Jogja … Ya, apa lagi dia sudah berganti nama dan terkenal dengan dengan nama baru, Bonty, pikirku lagi. Yang jelas, aku sekarang positif AIDS. Umurku tidak lama, sobat …
Aku menghentikan membaca surat Binto alias Bonty. Mataku berkacakaca. Maafkan aku, Bin … Aku tidak tahu kalau kamu sakit, kataku dalam hati. Dadaku pun terasa bagai tertindih dan terjepit, rasane mingkup117. Bayangan terakhir pertemuan dengan Binto benar-benar menguras ruang lamunanku. Aku terhanyut perasaan sedihku. “Mas, sehat-sehat saja khan?” Aku dengar seorang polisi bertanya padaku. Aku agak kaget. Aku tersentak dari lamunanku. Aku menengokkan kepalaku ke kanan dimana seorang polisi tekun menungguku. Tengokanku terasa berat sebab kepalaku mulai yer-yeran.118 Aku hanya mengangguk pelan merespons pertanyaan polisi itu. Aku coba melanjutkan membaca surat Binto. Hatiku pun semakin ciut saat aku memandangi kertas surat di tangan kananku. Semakin lama 117 118
Rasanya mengecil menyusut Berkunang-kunang, sakit, seakan buminya bergoyang
39
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
kupandang kertas itu, semakin perdih rasa di dada. Apalagi saat kubaca tulisan di kertas itu …
Bantulah aku menemukan Kamal. Entah dimana dia … Cukup aku saja yang menjadi korban. Cukup aku saja yang mati …
Deg !119 Jantungku terasa berhenti mendadak. Ingatanku melayang ke rumah tua di Watusari. Wajah imut Kamal melintas. Wajah muda Binto mengemuka. Dan pemandangan kejadian pemerkosaan di kamar Kamal pun muncul menyodok. Aku terpekik. Selanjutnya aku lupa … . Yang kuingat kemudian aku sudah di rumah sakit dengan selang infus dan oksigen.
*****
119
Ungkapan verbal ekspresi dari keterhentian/keterkejutan.
40
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
4 MENGAJI
Malam terakhir di Banjarnegara terasa dingin dan senyap. Aku sendirian di kamar. Aku tidak melihat Dakir teman sekamarku. Terakhir aku lihat dia asyik bercengkerama dengan teman-teman sebayanya. Ah, paling dia lagi jalan-jalan atau ngobrol di luaran sana, batinku. Aku duduk di kursi menghadapi meja di dalam kamar. Pembahasan demi pembahasan materi tentang sosialisasi bahtsul masail diniyah120 dan pelatihan kader penanggulangan HIV/AIDS sudah selesai. Aku pun mencoba merekam ulang kejadian-kejadian di ruang pertemuan. Aku coba mengkais kembali apa yang aku pandang penting untuk aku review121, sekaligus untuk mengisi waktu luang dan mengusir kesendirianku. Bendelan buku hasil rumusan bahtsul masail diniyah tergeletak diam di depanku. Sambil menikmati rokok dan sebotol air mineral, aku coba pahami kembali rumusan-rumusan itu. Aku pun coba buka-buka bendelan itu. Aku jadi tertarik untuk menemukan beberapa hal penting dalam bendelan buku itu. Ow, rupanya ada enam rumusan. Aku mencoba mengawali simpulan isi bendelan itu. Aku pun jadi ingin mengecek ulang keenam rumusan itu. Pelan-pelan aku teliti keenam rumusan itu. Ya, aku memaksa diri untuk menelitinya dengan seserius mungkin. Minimal aku harus tahu apa saja keenam rumusan itu, pikirku.
120
Pembahasan masalah-masalah keagamaan; sebuah kegiatan yang lazim dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) berkaitan dengan teks, konteks, serta permasalahan yang muncul di dalam masyarakat. 121 Kaji-ulang, lihat kembali, pikirkan kembali
41
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Yang pertama, rupanya berkisar upaya menanggulangi AIDS. Aku baca dari judul besarnya. Lalu aku coba sekilas diskripsi masalahnya. Aku tertegun saat aku baca soal tingginya jumlah angka kasus AIDS pada ibu rumah tangga (IRT). Kemudian aku baca pertanyaan yang dirumuskan berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Ada dua pertanyaan yang ditulis. Aku baca pelan-pelan kedua pertanyaan itu; siapakah yang berkewajiban menghilangkan penyakit HIV? ; dan dimanakah posisi NU dan Negara dalam konteks HIV/AIDS ? Setelah membaca dua-tiga kali kedua pertanyaan itu, aku terdiam sesaat. Aku nikmati isapan rokokku dan juga sebotol air mineral.
Aku
layangkan lamunanku sebentar sebelum aku kembali memahami jawabanjawaban atas kedua pertanyaan itu. Terlintas dalam pikiranku betapa semakin berat saja tugas sosial para pemuka agama. Sejumlah wajah kyai yang aku kenal pun bermunculan. Aku larut dalam lamunanku sendiri. Sambil meletakkan botol air mineral ke atas meja, aku baca dan pahami jawaban-jawaban atas kedua pertanyaan itu. Aku coba baca utuh dulu. Lalu aku baca ulang kembali sambil menemukan beberapa pokok penting dalam jawaban itu. Dan aku menemukannya. Satu, bahwa AIDS dapat dikategorikan sebagai dlarar ‘am122 karena AIDS sudah menimbulkan masalah sosial dan kemanusiaan. Dua, bahwa kewajiban menjaga dari HIV/AIDS itu pertama-tama dan terutama berada pada pribadi masing-masing yang dilarang menjatuhkan diri dalam kebinasaan.123 Tiga, bahwa masyarakat secara kolektif – termasuk jam’iyah NU – wajib mengingatkan warganya dari bahaya HIV/AIDS sesuai porsinya, dan sesama anggota masyarakat wajib menyadarkan betapa bahayanya HIV/AIDS dan pada saat yang sama saling membantu menangani dan
122 123
Bahaya umum Al Qur’an Surat Al Baqarah 195
42
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
menanggulanginya,
dan
pada
gilirannya
Negara
tentunya
harus
memperhatikan persoalan HIV/AIDS untuk kemaslahatan umum.124 Aku kembali menyulut rokok. Bunyi nyala korek memecah keheningan malam di Banjarnegara. Sedotan pertama mengantarkan aku menerawang jauh ke sebuah gambaran ilustrasi dimana para kyai dan pakar duduk bersila bersama melingkar dan membahas persoalan di atas. Mereka membaca-baca teks kitab untuk menjawab persoalan kontekstual. Mereka datang dari berbagai kota dengan latar belakang berbagai pesantren dan kampus. Mereka meninggalkan anak-istri dan bahkan mahasiswa dan santrisantrinya untuk sebuah kepedulian, untuk sebuah nilai kemanusiaan. Berkelebat sekilas wajah Binto alias Bonty teman lamaku yang sudah meninggal sebab penyakit AIDS. Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku merasa kelu dan buntu. Beberapa isapan rokok berlalu begitu saja.
Aku jadi
introspeksi diri. Apa kekeliruanku yah?, gumamku dalam hati. Dan, apa yang harus aku lakukan jika aku keliru selama ini?, gumamku lagi. Al Fatikhah!125 Tiba-tiba aku berseru lirih setengah mendesah. Ingatanku akan Binto membuat kesadaran spiritualku mengantarkanku untuk mengirim doa untuknya; semoga Allah berkenan memberikan kebaikan baginya di alam sana. Dan aku pun membacanya tiga kali untuknya. Aku tidak tahu pasti wujud teknis pengiriman doa itu sendiri. Namun keyakinanku telah menenangkan diriku yang tengah dilanda rasa keliru telah bersikap kasar pada Binto dulu. Bahkan keyakinanku telah menyuguhkan kekuatan baru, bahwa aku memang harus turut peduli dalam penanggulangan HIV/AIDS. Kilatan wajah Kamal muncul menyeruak. Aku jadi sedih. Aku kembali hanyut dalam kenangan masalaluku. Ya, aku jadi ingat dulu aku pernah 124
Kaidah: Tasharrufu-l-imam ‘ala-l-ra’iyah manuwthun bi-l-maslahah (Kebijakan pemimpin/ pengelola Negara atas rakyatnya itu harus mengacu pada prinsip kemaslahatan. Rujukan yang dipakai adalah (1)Jalaludin As-Suyuthi, al-Asybah wa-n-Nadzair, Bairut, Darul Kutub Ilmiyah,1403H, 121-122; (2)Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj,Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1418H, Vol.VIII, 83 125 Bacaan Surat Al Fatikhah, surat yang lazim dibaca berulang untuk maksud dan tujuan tertentu.
43
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
membaca surat Binto sewaktu masih di Jogja, mungkin lima tahun yang lalu. Aku jadi ingat pesan surat Binto untuk mencari Kamal adiknya. Aku menunduk malu. Kamu gila, Min!, bentakku dalam hati. Aku menyumpahi diriku sendiri. Sekian lama kamu ngapain saja? Bukankah kamu diminta Binto untuk mencari dan menyelamatkan Kamal? Laki-laki macam apa kamu? Sahabat macam apa kamu, Min? Serentetan pertanyaan tiba-tiba datang menyerang bertubi-tubi memukuliku. Astaghfirullaha-l-‘adhiim126. Aku beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Aku menyesal. Aku minta maaf dan ampunan atas kebodohan dan kekerasan hatiku selama ini. Akupun jadi terdiam lama. Terdiam dan terpasung dalam sebuah pertanyaan besar, darimana aku harus memulai mencari Kamal? Aku bagai secarik kertas yang terombang-ambing dalam pusaran air sungai yang dalam dan keruh. Aku menghentikan kegiatanku mempelajari hasil rumusan bahtsul masail diniyah. Padahal masih ada lima rumusan yang penting aku pahami, seperti soal kondom, pernikahan orang dengan HIV/AIDS, stigmatisasi dan diskriminasi, penggunaan metadon dan alat suntik, dan soal lokalisasi. Bahkan aku terpaksa membiarkan bendelan kertas di depanku terbuka begitu saja. Putek!127 Aku keluar kamar. Aku merasa perlu ganti suasana, sekaligus menghirup udara segar.
Malam terasa bagai raksasa berwajah dingin.
Pepohonan di hadapanku, juga sejumlah patung, tiba-tiba bagai hidup dan mengancam ketenanganku. Aku pun jadi tercekat. Aku berdehem beberapa kali untuk mengusir ketakutan yang mencoba merembes dan mempengaruhi akal sehat dan kesadaranku. Aku buang beberapa kali asap rokok dengan hempasan nafas.
Aku harus
menemukan kembali diriku sendiri, dimana aku kini? Aku harus menemukan kesadaran, keyakinan, dan sikap dalam diriku sendiri untuk memulai 126 127
Kalimat memohon ampunan, beristighfar, yang lazim diucapkan orang Islam. Pusing, tidak bisa berpikir lagi, suntuk
44
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
langkah-langkah pasti selanjutnya. Pastinya, aku harus membangun kesadaran dan keyakinan, mengambil sikap, dan bertindak untuk bagaimana menemukan Kamal. Meski laksana mengembara di gurun pasir, aku harus menemukan Kamal. Ini bukan pilihan!, bentakku dalam hati. Ini adalah kemanusiaan! Ini bicara tentang bagaimana manusia memanusiakan manusia. Dan aku pun kemudian jadi merasa lebih lega … Jika saja di dekatku ada seseorang, lalu aku menceritakan semuanya, sangat mungkin dia akan terbahak-bahak dengan sikapku soal Kamal. Urusan amat, bung ! Demikian mungkin dia akan mengumpatku. Atau, loe dapet berape? Atau kalimat lain yang memuat cibiran. Atau bahkan aku mungkin dicurigai homoseks, guy, atau pun lelaki seks lelaki (LSL). Aku tersenyum sendiri sambil memandang langit malam yang gelap. Ya, gelap, segelap jalan yang akan kutempuh untuk mencari dan menemukan Kamal. Aku hanya dapat sematkan doa kecil dalam hati. Tuhanku, hanya Engkau penolongku … .
*****
45
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
5 PENTINGNYA BERTEMAN
Ketika teman-teman
seperjalanan menanyakan apa yang akan
dilakukan sesampainya di Kebumen, aku hanya memberikan masukan sederhana saja. Kita sowan128 Kyai Masykur dulu, ya semacam laporan, lalu kita sowan Komisi Penanggulangan Aids (KPA) sekaligus ta’aruf129. Temanteman setuju. Kami setuju. Dan dalam seminggu kemudian, menemui Kyai Masykur – Ketua NU Kebumen – dan berkunjung ke KPA sudah dapat selesai dilaksanakan. Responsnya positif. Kami pun lega. Namun demikian, aku sendiri terpaksa tidak mengatakan apa yang akan aku perbuat sendiri. Enyong kepeksane ora bisa waleh blakasuta.130 Ya, ini soal Kamal. Bagiku ini urusan pribadi. Biarlah ini menjadi rahasiaku sendiri. Yang jelas, aku punya agenda sendiri yang memaksa aku harus melampau batasan-batasan wajar sebagai aktivis organisasi keagamaan. Beruntung aku berteman baik dengan Manan. Dia lebih muda lima tahunan dariku. Beruntung juga aku kemudian jadi tahu bahwa dia ternyata aktif di Forum Peduli Aids (FPA) Bougenville, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang banyak melakukan outreach.131 Melalui dia, aku dapat berharap memulai perjalananku untuk menemukan sosok Kamal. Dan bersama dia, aku merasakan diriku sendiri berubah tanpa sadar. Aku jadi lebih peduli dengan urusan penanggulangan HIV/AIDS. Lebih dari itu aku jadi lebih yakin untuk menemukan Kamal, adik Binto teman sekolahku. Aku
128
Bertemu, berkunjung. Ungkapan kunjungan kepada yang lebih tua/senior Perkenalan, memperkenalkan diri, silaturahim 130 Aku terpaksa tidak bisa terbuka apa adanya 131 Penjangkauan kepada orang-orang beresiko tinggi kena HIV.AIDS 129
46
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
yakin Tuhan telah menjawab doaku. Aku yakin Tuhan tengah memberikan jalan bagiku untuk menemukan takdirku.
*****
Malam di Gunungmujil. Setelah pulang dari Banjarnegara, aku baru sempat bertemu Manan di rumahnya di Gunungmujil. Sebelumnya aku dan dia memang sudah saling berkomunikasi juga lewat SMS, chatting, ataupun telpon. Namun ketemu thuk132 baru sempat malam itu. Setelah berbasa-basi, aku dan dia kemudian berbicara lebih serius. Aku sendiri sudah ingin sekali mencari tahu tentang keberadaan Kamal. Dan kesempatan bertemu Manan menjadi momentum berharga untuk memulai langkah-langkah yang aku pandang perlu dan penting. Aku pun secara runtut berkisah tentang masalaluku. Aku lihat Manan tekun mendengar penuturanku. “Nah, itu cerita yang perlu aku omongkan, Lik133”, pungkasku mengakhiri kisahku. “Berarti siki Binto wis ninggal … . Lha Kang Amin lagi nggoleti bocah sing jenenge Kamal … . Kayak guwe maksude, Wa134?”135, tanya
Manan
mencoba mengkonfirmasi ceritaku.
132
Ketemu secara fisik langsung Paklik, sebutan akrab kepada orang yang lebih muda dan sudah dewasa.. 134 Pakde, sebutan akrab kepada orang yang lebih tua dan sudah dewasa 133
47
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ya, Lik … . Bar bali sekang mBanjar, inyong rasane kemudu-kudu nggoleti si Kamal guwe”136, jelasku sambil memandang Manan yang asyik merokok. Ada perasaan bersalah yang besar kepada Binto. Aku telah menyakiti sahabat sekolahku dulu kenapa aku tidak mau menggubris permintaannya. Aku terlalu kaku, keras kepala, egois. Dan setelah bercerita kepada Manan, aku merasa lebih longgar, lebih plong. Tekanan dalam dada berkurang dragtis. “Kayane ra nana sing jenenge Kamal, utawane Binto”137, kata Manan dengan ekspresi serius. Aku menangkap matanya memandangku dengan tatapan tajam pertanda serius. Aku agak kecewa. Kata-kata Manan bagai gerak pintu menutup yang menyekat pencarianku. Aduh, urung apa-apa wis buntu138!, batinku. Namun demikian aku hanya bisa diam dan bingung. Aku pun jadi terbayang wajah Binto yang lamat-lamat masih tergambar jelas saat dulu bertemu di kampusku. Rasa sesal kembali menindihku. “Soal Kamal madan repot, Kang … . Dhewek jal ngesib-sib sekang si Binto baen ndhisit …”139, kata Manan memecah lamunanku. Aku kaget. Namun aku jadi sedikit punya harapan. Kata-katanya yang datar namun menjanjikan terasa bagai air sejuk menyiram segar kehausanku. “Kepriwe maksude, Kang”140, responsku cepat. Aku balas dia dengan sebutan Kang dengan lebih menghargainya. “Ya, khan sing genah kena AIDS sampe ninggal khan si Binto”,141 jelas Manan.
135
Berarti sekarang Binto sudah meninggal dunia. Lha Mas Amin lagi mencari anak yang bernama Kamal. Kayak begitu maksudnya, Pakde? 136 Ya, Lik. Setelah pulang dari Banjarnegara, aku merasa berkewajiban untuk mencari si Kamal itu. 137 Kayaknya tidak ada yang bernama Kamal, atau Binto 138 Aduh, belum apa-apa sudah buntu 139 Soal Kamal agak repot, Mas. Kita coba mencari-cari dari arah si Binto saja dulu 140 Bagaimana maksudnya, Mas 141 Ya khan yang jelas terkena AIDS sampai meninggal dunia khan si Binto
48
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Si Kamal dhewek khan urung mesti kena, Mas”,142 imbuhnya. “Ow, ya, apa mau jeneng desane ?”143, tanya Manan memburu. “Desa asale Binto pa?”144, tanyaku menkonfirmasi. “Yaiya lah, moso’ desane Bang Haji Rhoma”145, balasnya terkekeh. Aku pun jadi ikutan terkekeh menedengar dia menyebut Bang Haji Rhoma alias Rhoma Irama Si Raja Dangdut. Sialan, batinku. “Watusari”, jawabku cepat. “Watusari ngendi guwe?”146, 49uny Manan. Aku menyebutkan nama kecamatan dimana Desa Watusari berada. Kecamatan ini berada di sisi barat wilayah Kebumen. Bahkan aku sedikit memberikan arah jalan kesana. Nampak olehku Manan mengangguk tanda tahu. “Jal aku ta’ takon Dhamar disit, apa ana sing kenal Binto” 147, kata Manan sambil menjumput hapenya. “Dhamar sapa guwe?”148, tanyaku. “Kanca nang Bougenville. Dheweke khan Gombong, sapatau ngerti”149, jawabnya singkat. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan saja. Aku membiarkan Manan memainkan hapenya. Aku yakin dia tengah meng-SMS Dhamar teman relawan di FPA Bougenville. “Wa, apa rika ngerti Binto Watusari”.150 Manan membacakan tulisan yang akan dikirim kepada Dhamar via SMS. Aku memahami maksudnya. Dan diam-diam tanpa terucapkan aku jadi harus berterimakasih dia mau membantuku. Aku merasa hutang budi.
142
Si Kamal sendiri khan belum tentu kena (HIV/AIDS),Mas Ow, ya, apa tadi nama desanya? 144 Desa asalnya Binto apa? 145 Yaiya lah, moso’ desanya Bang Haji Rhoma (Rhoma Irama) 146 Watusari mana itu? 147 Coba aku ta’ tanya Dhamar dulu, apa dia mengenal Binto 148 Dhamar itu siapa? 149 Teman di FPA Bougenville. Dia khan (dari) Gombong, siapa tahu dia kenal 150 Pakde, apa kamu ngerti/kenal sama Binto (dari) Watusari 143
49
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Kerelaannya dan pengorbanannya meng-SMS temannya untuk membantuku sungguh aku catat dalam hatiku walau sekecil sebuah SMS saja. Thuing !! Tiba-tiba hape Manan berbunyi tanda ada SMS masuk. Aku lihat dia cepat-cepat melongok ke arah layarnya. Dia lalu membacakan apa yang tertera di dalam layar. “Ora. Ana apa? Arep outreach apa? Parani baen, aku melu ya gelem”.151 Ow, rupanya Manan mendapatkan balasan dari Dhamar. Dia membacakan balasan itu dengan senyum-senyum. “Ya, wis”152. Manan membacakan jawabannya untuk Dhamar, lalu dia mengirimkannya. Aku lihat Manan meletakkan hapenya ke atas meja. Kudengar dia menghela nafas panjang. Wajahnya sampak sedikit lesu. “Apike kayane ya diparani, digoleti…”153, kata Manan setengah mendesah. “Ya, aku cocok … tapi kapan ya?”, responsku datar sambil membetulkan tas laptopku yang agak mengganggu kakiku. Aku belum terlintas rencana ke Watusari. Aku masih bingung. Dan saat melihat tas, aku teringat aku membawa oleh-oleh dari Banjarnegara, bendelan rumusan hasil bahtsul masail diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Aku jadi ingin mengambilnya. “Aku nggawa brekat sekang Banjar, Kang”154,
kataku sambil
meletakkan tas di atas pangkuanku. Aku lihat sekilas Manan tergerak tertarik ingin tahu. “Apa guwe?”155. Aku dengar Manan merespons dengan pertanyaan memburu. 151
Tidak. Ada apa? Mau outreach apa? Datangi saja, aku ikut juga mau. Outreach adalah kegiatan penjangkauan terhadap orang-orang yang beresiko terkena HIV/AIDS 152 Ya, sudah 153 Baiknya kayaknya ya didatangi, dicari 154 Aku bawa oleh-oleh dari Banjarnegara, Mas 155 Apa itu?
50
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku mengeluarkan bendelan kertas dari sela-sela tasku. Aku keluarkan bendelan itu dan aku sodorkan ke
arah Manan. Dia segera
meraihnya. “Weh, Arab-araban. Wedi aku!”.156 Aku dengar Manan bereaksi kaget setelah membuka-buka sekilas bendelan kertas itu. Aku dengar dia terkekeh sebentar. Aku pun jadi terkekeh mendengar cara dan gayanya merespons. Dia merespons dengan istilah Arabaraban sebab dia melihat di dalam lembaran bendelan itu banyak tertera kalimat-kalimat berbahasa Arab, entah itu ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi, ataupun nukilan kitab-kitab. “Waduh, gundhulan kabeh!”,157 pekik Manan kemudian. Aku terkekeh melihat ekspresi temanku yang berkata-kata sambil memegang kepalanya yang dicukur pelontos. Aku paham dengan maksud kalimatnya yang menyebutkan istilah gundhulan. Istilah gundhulan adalah istilah tulisan berbahasa Arab yang tanpa hakarat158. “Inyong dinei intine baen lah. Matengane baen”159, kata Manan sambil terkekeh dan menyodorkan kembali bendelan itu padaku. Aku pun mengambil bendelan itu sambil terkekeh lagi. “Soal kondom bagaimana, Mas?”, tanyanya kemudian dengan nada serius. “Ada juga di dalam bendelan ini”, jawabku sambil membuka-buka lembaran bendelan. “Nich, ada pertanyaan. Begini … bagaimana hukumnya penggunaan dan sosialisasi kondom untuk pencegahan HIV/AIDS?”, jelasku merespons pertanyaan Manan.
156
Weh, Arab-araban. Takut aku ! Waduh, gundhulan semua! 158 Tanda-tanda yang menggerakkan huruf Arab dibaca fathah a, kasrah I, dhammah u, atau sukun (mati). Misalnya, huruf ba’, jika diberi tanda fathah maka dibaca ba; jika diberi tanda kasrah maka dibaca bi; jika diberi tanda dhammah maka dibaca bu; jika diberi tanda sukun maka jadi b. 159 Aku dikasih intinya saja lah. Hasil jadinya saja. 157
51
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Kepriwe guwe soal nganggo kondom. Penting guwe”160, tanggap Manan cepat sambil melongok sekilas ke arah lembaran yang terbuka. Aku pun jadi kayak pembaca yang baik. Aku coba
baca kembali
jawaban atas pertanyaan seputar kondom. “Diwaca kabeh baen sing seru. Aku be butuh krungu”161, pinta Manan kepadaku. “Oke. Ta’ baca nich …”, jawabku santai sambil siap-siap membacakan jawaban atas pertanyaan soal penggunaan kondom. “Virus HIV akan menular manakala terjadi kontak langsung dinding tubuh yang terbuka dengan cairan tubuh pengidap HIV. Kontak terbuka ini amat potensial terjadi pada saat berhubungan intim karena adanya gesekan pada saat penetrasi. Gesekan tersebut akan menimbulkan luka yang tidak kasat mata dan bisa menjadi pintu masuk virus HIV. Dalam konteks inilah kehadiran kondom diduga kuat dapat mencegah interaksi cairan vagina dan sperma sehingga penularan virus dapat diminimalisasi”. Aku berhenti membacakan alinea pertama pada jawaban
pada
bendelan itu. Aku lihat Manan mangggut-manggut tanda paham. “Dadi soal kondom guwe ulih ya?”162, respons Manan dengan pertanyaan. “Kalau lihat jawaban di sini, ada dua”, jelasku sambil mencermati teks jawaban. “Apa saja itu, Pak?”, tanya
Manan agak mengejar penjelasan
berikutnya. Tiba-tiba dia menyebutku dengan sebutan “Pak” – Bapak. Sebutan ini aku rasa sebagai sebuah ungkapan bahwa dia bertanya dengan serius dan butuh sekali jawabannya. Untuk menjawab pertanyaan Manan, aku jadi membaca kalimat di alinea kedua. Aku baca dengan pelan-pelan agar mudah dipahami Manan dan aku sendiri. 160
Bagaimana itu soal menggunakan kondom. Penting itu Dibaca semua yang keras saja. Aku juga butuh mendengar. 162 Jadi soal (penggunaan) kondom itu boleh ya? 161
52
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Dengan demikian, di tingkat pemakaian, pada dasarnya hukumnya mubah163. Seseorang yang sehat memiliki hak untuk menggunakan kondom atau tidak itu sesuai kesepakatan dengan pasangannya. Akan tetapi, mubah ini akan berubah menjadi sebuah kewajiban manakala salah satunya mengidap virus HIV …”. “Luar biasaaa …”. Aku dengar Manan berkomentar dengan intonasi bernuansa kekaguman. Aku lihat dia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. “Sedangkan untuk sosialisasi dan distribusinya … soal kondom … hal tersebut hanya boleh dilakukan secara terbatas bagi kalangan beresiko dengan tetap memperhatikan eksesnya bagi masyarakat umum”. Aku membacakan sebagian alinea berikutnya. Aku ingin dia mendengar hasil pembahasan masalah kondom secara praktis namun tetap lengkap. “Sip!”164, kata Manan singkat. “Guwe soal lokalisasi ya ana, Pak?”165, lanjut Manan bertanya. “Ana … Sit tak goletane disit”166, jawabku sambil membuka-buka kembali bendelan di tangan kiriku. Dengan sigap aku mencari halaman dimana terdapat pembahasan soal lokalisasi. Aku jadi semangat, entah kenapa … . Mungkin terbawa suasana saja. Namun yang jelas aku merasa berhutang budi sama Manan yang tadi telah membantu mencarikan informasi tentang Kamal. Dan ini saatnya aku membalas kebaikannya dengan membacakan hasil pembahasan para ulama, kyai, dan pakar Nahdlatul Ulama. “Nah, giye ketemu …”167, pekikku gembira.
163
Diperbolehkan Bagus, bagus sekali 165 Itu soal lokalisasi ya ada, Pak 166 Ada … Sebentar kucari dulu 167 Nah, ini ketemu 164
53
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Wacakna, Pak … Tulung, intine baen”168, kata Manan sambil ngecus udud169. “Sit, aku ya dadi kepengin ngudud…”170, jawabku sambil meletakkan bendelan ke atas meja. Lalu aku mengambil sebatang rokok kesukaanku dan menyalakannya. “Sisan, guwe kopine disruput”171, sahut Manan. Dia mempersilahkan aku menikmati segelas kopi panas yang disuguhkan istrinya. “Ya. Maturnuwun, Mbak”172, jawabku sekalian berterimakasih kepada istrinya yang menaruh dua cangkir kopi di atas meja. Aku lihat istri Manan tersenyum, mengangguk, dan mempersilahkan. “Monggo …. Wedang kendel”173, kata istri Manan mempersilahkanku sebelum berlalu ke dalam rumahnya. Setelah beberapa hisapan rokok, aku menyeruput kopi jatahku. Rasa kemepyar174 pun merasuki syarafku. Lalu aku mengambil bendelan itu. Aku pun membacakan dua alinea yang aku rasa penting untuk diperdengarkan bersama Manan. Aku membaca dengan santai. “Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan ditutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun”.
168
Tolong bacakan,Pak … Tolong intinya saja Menyulut rokok 170 Sebentar, aku ya jadi kepingin merokok 171 Sekalian, itu minuman kopinya diseruput 172 Ya, terimakasih, Mbak. Mbak sebutan untuk perempuan dewasa 173 Silahkan … Wedang kendel. Wedang kendel (minuman berani) merupakan ungkapan khas orang Jawa untuk mengekspresikan suguhan hanya air minum saja tanpa adanya makanan ringan/snek sebagai teman minum 174 Segar, cerah, gembira setelah minum atau makan 169
54
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku menghentikan pembacaan satu alinea. Setelah satu hisapan rokok dan melepaskan asapnya jauh-jauh, aku membacakan alineai berikutnya. Aku lihat Manan asyik merokok sambil berpikir. “Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara serius untuk menyelesaikan inti masalahnya … . Kemiskinan, ketimpangan sosial, penyelewengan aturan dan ketaatan hokum juga harus diatasi. Mereka yang melakukan praktek perzinahan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu mafsadah175-nya lebih ringan dibandingkan kondisi yang kita lihat sekarang”. Aku lihat Manan manggut-manggut lama. Rupanya dia tengah berpikir panjang, atau mungkin juga tengah mencerna sedikit demi sedikit. “Sekilas kesimpulane soal lokalisasi ya ulih-ulih baen ya Pak?”176, kata Manan
mencoba
menarik
kesimpulan
sendiri
sekaligus
mencoba
mengkonfirmasi kesimpulannya kepadaku. Aku jadi terkekeh lirih mendengar perkataan Manan. Aku lihat dia hanya cengar-cengir mendengar kekehanku. Rupanya dia merasa terpojok sedikit. “Lha iya?! Daripada pating tletek ora nggenah, ya mending dilokalisir baen mbok?”177, katanya sambil terbahak-bahak. Aku menambah kekehanku. Aku tidak dapat menahan tawa dengan argument yang Manan bangun. Dan ketika aku malah terkekeh, dia jadi memperpanjang tawanya. “Uwalah, dunya … dunya … “178, gerutunya kemudian. “Aku dadi kelingan si Friska”,179 katanya sambil geleng-geleng.
175
kerusakan Sekilas kesimpulannya soal lokalisasi ya boleh-boleh saja ya Pak? 177 Lha iya? Daripada malahan tercecer tidak terkendali tidak jelas, ya mendingan dilokalisir saja khan? 178 Walah-walah, dunia (oh) dunia 179 Aku jadi ingat si Friska 176
55
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Sapa maning guwe?”180, tanyaku sambil meletakkan bendelan ke atas meja. “WPS181, tapin wis mulai tobat…”182, jawabnya singkat. “Dia ta’ tanya , kenapa tidak berhenti saja dari WPS? Jawabnya enteng saja … Ya, tolong donk aku carikan pekerjaan lain”, jabarnya sambil terkikik. “Artinya apa, Kang?”, tanyaku sambil terkekeh ringan. “Nggedhandhul … ora rampung-rampung masalahe”183, jawabnya enteng sambil cengar-cenggir. “”Lho? Khan tugas ente184 tidak sejauh mencarikan pekerjaan baru?”, tanyaku mengejar dan sekaligus mencari kejelasan. “Sebatas outreach185 dan mengajak VCT saja”, jelas Manan singkat. “Kalau yang positif HIV nanti sudah ada yang membantu sendiri. Di Kebumen ada LSM macam Moving On, dan di Semarang ada Peduli Kasih”, jelasnya lagi. Ow, begitu to?, batinku sambil manggut-manggut. Aku jadi semakin tahu bahwa soal HIV/AIDS sebenarnya banyak orang yang masih mau peduli. Aku jadi ingat seorang perempuan bernama Geisha yang testimony terkena HIV positif. “Aku jadi ingat Geisha”, kataku setengah bergumam. “Weh, sapa guwe? Barang anyar pa?”186, tanya Manan meledek. “Randa, positif … Dheweke testimony wektu nang mBanjar”187, jawabku singkat saja. Aku benar-benar jadi sedih. Aku menundukkan kepala. Terbayang wajah seorang wanita muda yang positif HIV. “Lho? Ketone rika kaya nelangsa?”188, tanya Manan.
180
Siapa lagi tuch Wanita Penjaja Seks, pelacur 182 WPS, tetapi sudah mulai tobat 183 Menggantung, memutar-mutar… tidak rampung-rampung masalahanya 184 Kamu 185 Penjangkauan 186 Weh, siapa tuch. Barang baru apa? 187 Janda, positif kena HIV … Dia (kemarin) testimony saat acara di Banjarnegara 188 Lho? Kelihatannya kamu sepertinya sedih? 181
56
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Iya, aku nelangsa, Kang … Si Geisha guwe wong Kebumen”189, jawabku jujur. Lalu Manan mengejarku dimana dia berada. Aku pun menyebutkan nama kecamatan dimana Geisha berada. Dan saat aku menyebutkan nama kecamatan itu, terbayang wajah-wajah orang kampung yang lugu dan jauh dari hiruk-pikuk penyakit kota. Namun, bayangan itu hanya tinggal bayangan, berganti dengan rasa kasihan. “Aku sempat menawari Geisha untuk testimony dalam acara yang dapat aku buat di Kebumen. Namun dia menolak. Dia belum siap mental”, kataku. “Ya, aku paham”, respons Manan. “Maksudmu?”, tanyaku sambil melihat ke arah Manan. “Soal stigma … Soal cap jelek !”, jawabnya. Aku hanya dapat menghela nafas saat mendengar jawabannya. Aku mengiyakan jawaban Manan. Soal stigma, soal cap jelek terhadap orang dengan HIV/AIDS, soal cap buruk terhadap ODHA190, kataku dalam hati. Aku masih ingat saat di forum Banjarnegara. Aku bertanya apakah Geisha siap jika aku mengundangnya untuk testimony di sebuah forum para kyai, guru, ibu-ibu, atau apalah sebutannya. Dan aku masih ingat betul ekspresi wajahnya yang nampak tegang. Aku masih ingat bagaimana dia menggelengkan kepalanya dengan cepat dan bergetar. Aku masih ingat katakata dia yang menolak. Maaf, saya belum siap, saya tidak siap, katanya. Aku agak kecewa dengan responsnya. Namun aku menyadari bahwa tidak gampang membangun mental seseorang untuk berani. Melawan stigma191 dan membongkar diskriminasi192 merupakan pekerjaan berat dan masif, batinku.
189
Iya, aku sedih, Mas … Si Geisha itu orang Kebumen Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) 191 Cap buruk, cap jelek 192 Pengucilan 190
57
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku jadi ingat bagaimana dulu orang biasa buang air besar di pekarangan, lalu berubah di kamar kecil; aku jadi ingat bagaimana dulu orang bertentangan soal Keluarga Berencana (KB) dengan slogan ‘dua anak cukup’; aku jadi ingat betapa sulit
pekerjaan mengubah ‘ulat jadi kupu-
kupu’. “Seseorang … apalagi wanita yang positif HIV itu akan mengalami banyak masalah”, kata Manan memecah keheningan. Aku lihat Manan berbicara dengan tatapan jauh dan terkesan kosong. Dia juga menghempaskan asap rokoknya jauh-jauh. “Ya, begitulah … Biasanya dia akan menghadapi masalah fisik, kejiwaan, sosial, dan spiritual yang hebat”, sahutku. “Tanggapan Geisha saat aku tanya nampaknya menggambarkan begitu”, imbuhku mencoba meyakinkan kata-kataku sendiri. “Ya. Bahkan ada juga yang mencoba bunuh diri”, sahut Manan sambil mengangkat cangkir kopinya. Melihat Manan mengangkat cangkir kopinya, aku pun jadi terangsang ikut mengambil cangkir kopi jatahku. Aku seruput pelan-pelan kopi dari cangkir berwarna putih. “Itulah pentingnya relawan kelompok dukungan sebaya macam Moving On yang membantu merehabilitasi ODHA”, kata Manan kemudian. “Dan juga penguasa … pemerintah!”, cetusku refleks. “Sebentar … Ada qaul193 yang mendukung ini”, imbuhku sambil mengambil bendelan dari atas meja. Aku membuka-buka lembaran bendelan hasil bahtsul masail. Aku mencari qaul yang aku maksudkan. “Nah, ini dia”, kataku senang. “Innallaha la-yazi’a bi-s-sulthani maa laa yuzi’u bi-l-qur’aan”194.
193 194
Perkataan, pendapat Dari Bahauddin Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub al-Jundi al-Kindi dalam Kitab as-Suluk fi Thabaqat al-‘Ulama wa al-Muluk, tahqiq, Muhammad bin Ali bin Husain al-Akwa al-Hawali, Shan’a-Maktabah al-Irsyad, 1995M, Volume I, h.640
58
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku mencoba membacakan teks berbahasa Arab dari bendelan itu. Aku membacanya dengan nyaring. “Sesungguhnya Allah mengatur dengan kekuasaan atau pemerintah, sesuatu yang tidak diatur dengan Al-Qur’an”. Aku membacakan teks artinya dalam Bahasa Indonesia. Aku kembali membacanya dengan nyaring. “Giye malah pengendikane Sayyidina Utsman”195, imbuhku kemudian. “Artinya, dalam usaha membendung cap buruk dan pengucilan terhadap ODHA, pemerintah harus terlibat penuh. Pemerintah harus berani membendungnya”, jelasku menarik kesimpulan. “Artinya, tidak ada alasan untuk mengucilkan ODHA khan?”, tanya Manan mencoba mengkonfirmasi apa yang aku katakan. “Mestinya begitu … ”, kataku singkat sambil membolak-balik lembaran dalam bendelan itu. “Nich, aku bacakan penjelasan Wahbah al Juhaily”196, kataku kemudian. Lalu aku membacakan arti dalam Bahasa Indonesia dari penjelasan Wahbah al-Zuhaily. Aku membacanya pelan-pelan. “Berdasarkan atas keterangan yang telah lalu, maka tidak ada alasan yang dibenarkan mengisolasi para siswa atau pekerja atau lainnya yang terjangkit penyakit AIDS dari teman-teman mereka yang sehat”. “Jal aku tek maca dhewek, Wa. Aku dadi penasaran giye”197, sahut Manan merespons apa yang aku baca dari bendelan itu. Mendengar sahutan Manan yang memuat keinginannya untuk membaca sendiri, aku pun segera menyodorkan bendelan itu kepadanya. Dia mengambil bendelan dengan cepat dari tanganku. Aku biarkan dia
195
Ini malah perkataan dari Sayyidina Utsman (sahabat Nabi SAW, Khalifah ketiga) Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Bairut Dar al-Fikr, cetakan ke-31, 1430H/2009M, Vol.VIII, h.822 197 Coba aku ta’ membacanya sendiri, Pakde. Aku jadi penasaran nich 196
59
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
mencermati apa-apa yang tertera dalam lembaran bendelan itu. Dahinya nampak mengernyit tanda dia serius. “Wah, giye si ODHA ya malah haram nularaken maring wong liya”198, katanya sambil mencermati teks di dalam lembaran bendelan itu. “Ana apa?”199, tanyaku sambil melongok ke arah lembaran. “Lha giye, malah keputusan muktamar nang Abu Dhabi”200, jelas Manan sambil menunjukkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah deretan teks. Aku jadi serius melongokkan kepalaku ke arah bendelan di tangan Manan. Aku membaca sekilas. Ya, yang dimaksudkan Manan adalah keputusan Muktamar ke-IX Rabithah al-‘Alam al-Islamiy tahun 1995 di Abu Dhabi. Aku amati keputusan ini dinukil oleh Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu. “Giye malahan ODHA mlebu kaum dhu’afa sing perlu ulih bantuan”201, tutur Manan menyimpulkan kemudian. “Ulih hak pengobatan karo perawatan mbireng”202, imbuhnya. Aku hanya mengangguk-angguk tanda cocok dengan apa yang dibaca Manan sekaligus cocok dengan apa yang dihasilkan muktamar itu. Aku jadi bungah203
dengan
langkah
Lembaga
Kesehatan
NU
yang
berhasil
merumuskan persoalan HIV/AIDS. Lebih dari itu, aku merasa punya teman seperti Manan untuk berbagi dalam
upaya peduli persoalan HIV/AIDS.
Apalagi aku tengah punya pe-er204 untuk menemukan Kamal adik Binto. Malam bergulir semakin larut dan mendingin. Aku merasakan angin malam bertiup sejuk membelai pori-pori dengan lembut. Aku merasakan pertanda baik bagiku untuk menemukan jawaban atas permasalahanku sendiri, tentang Kamal.
198
Wah, ini si ODHA ya malah haram menularkan kepada orang lain juga Apa ada? 200 Lha ini, malah (merupakan) keputusan muktamar di Abu Dhabi. 201 Ini malahan ODHA termasuk kaum dhu’afa yang perlu mendapatkan bantuan 202 Dapat hak pengobatan dan perawatan juga 203 Senang, gembira 204 Pekerjaan rumah, kewajiban, urusan 199
60
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Ya Allah, semoga Engkau mempertemukan aku dengan Kamal adik sabahatku. Aku berdoa dalam hatiku. Lirih merasuk. Aku pun mengamini doaku sendiri.
*****
61
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
6 JUST DO IT
Pagi itu aku bangun agak kesiangan. Shalat Subuh pun jadi jatuh qadha205. Usai shalat aku mencoba duduk bermalasan di ruang tamu. Sinar matahari sudah menghangatkan ruangan. Secangkir kopi sudah nongkrong di atas meja. Istriku sudah bikin kopi rupanya, batinku. Dan aku pun segera mengambil cangkir itu untuk menyeruput isinya. Terasa kopinya sudah tidak panas, hanya hangat-hangat kuku saja. Lumayan lah, bisa menghangatkan tenggorokan dan memantik syaraf, batinku sambil menyeruputnya beberapa kali. Aku lihat koran hari kemarin masih terkapar di atas meja di sebelah toples isi roti. Aku malas untuk menjamahnya. Aku lagi tidak ingin menambah beban pikiran dengan berita ini-itu. Apalagi aku lihat headlinenya soal penangkapan pejabat oleh KPK.206 Ah, bikin nambah pusing, batinku sambil mengalihkan pandanganku ke arah rak buku kecil di sampingku. Melihat rak kecil yang dibelikan istri, aku jadi ingat buku baru yang diberi oleh Bung Jay temanku. Aku pun jadi teringat kata-katanya saat bertemu. Ini buku baru, cobalah dibaca untuk penyegaran, katanya. Aku jadi berhasrat untuk melihatnya, syukur-syukur mau membacanya. Kata “penyegaran” membuatku beranjak dari duduk jegang207-ku.
205
Shalat qadha adalah shalat wajib yang dikerjakan di luar waktu yang telah ditentukan sebab tertidur, pingsan, atau yang lain. 206 Komisi Pemberantasan Korupsi 207 Duduk dengan kaki diangkat satu ke kursi yang diduduki.
62
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku ambil buku semangat Tanpa Batas208 Warna cover
karya Imam Robandi.
yang dominan hitam membuatku geleng-geleng penasaran
isinya. Melihat judulnya aku tertarik untuk mengikis kemalasanku pagi itu. Aku pun langsung membukanya mencari halaman daftar isinya. Melihat begitu banyak chapter209 yang ada, aku agak malas membaca utuh dari awal. Aku hanya mencoba mencari judul yang mampu menggugah semangatku. Aku lagi butuh dorongan mengusir kemalasanku, membuang penatku, dan sekaligus membakar semangatku kembali. Yang jelas, persoalan HIV/AIDS membuatku bingung harus berbuat apa; apalagi soal pencarian Kamal juga masih buntu. Aku butuh dorongon, kataku dalam hati. Aku tertarik untuk membaca saat aku lihat Chapter 10, Melihat Masa Depan. Aku pun membuka halamannya sesuai petunjuk halaman pada daftar isinya. Aku coba cek juga berapa banyak halaman untuk bagian itu. Ow, rupanya hanya empat halaman, batinku bersemangat untuk membacanya. “Kabupaten Magelang dan Kabupaten Sleman sangat berdekatan secara georgrafis. Kab Magelang ikut wilayah Propinsi Jawa Tengah, sedangkan Kab Sleman ikut wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara cultural tidak jauh berbeda, sedangkan dari segi bahasa saya juga sulit membedakan. Ini kesan saya di awal. Pertumbuhan sekolah Muhammadiyah …”210.
Aku berhenti membaca. Aku kaget dengan kata “Muhammadiyah” di dalam tulisan itu. Rasa sentimen ke-NU-an tiba-tiba menggodaku. Ada setitik rasa gamang untuk melanjutkan bacaan. Lho? Koq kamu berhenti membaca?, tanyaku dalam hati. Aku bertanya pada diriku sendiri. Ah, moso’
kamu begitu? Belajar dari teman
208
Imam Robandi, Semangat Tanpa Batas, CV. Tangan Emas, Juli 2013 Bab, bagian 210 Imam Robandi, 2013, h.55-58. Dalam buku ini disebutkan bahwa beliau adalah Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 209
63
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Muhammadiyah khan gak papa211? Aku pun mentertawakan diriku sendiri yang tiba-tiba dihinggapi rasa sentimen. Aku jadi teringat Hadits Nabi212, uthlubuw-l-‘ilma walau bi-ts-tsiin; carilah olehmu semua ilmu walaupun sampai di negeri China. Aku pun jadi tertawa lirih mentertawai diri sendiri. Lha Nabi baen prentah sampe China, ngaji maring Muhammadiyah koq kowe ribut?213, kataku dalam hati, mengkata-katai diri sendiri sambil memulai membaca kembali. Lalu aku memulai membacanya lagi. “Pertumbuhan sekolah Muhammadiyah di dua kabupaten ini, terutama di Magelang sangat dinamik. Dr. Suliswiyadi (saya sebut Pak Sulis), Ketua Majelis Dikdasmen Kab Magelang sering menelpon dan meng-sms saya untuk menceritakan tentang prestasi-prestasi sekolahnya. Pak Sulis sangat bangga bahwa di Kab Magelang jumlah sekolah Muhammadiyah-nya sangat banyak, dan hebat-hebat. Bu Ida, Principal214 SDM215 Bandongan sering disebut karena sekolahnya cukup positioning, tetapi saya juga belum tahu sekolah ini kecuali letaknya yang kata banyak orang di bawah Gunung Sumbing. Saya sudah mengenal sendiri Bu Ida dan kawan-kawan, yang ethos kerja kerasnya sangat kelihatan, terbukti pada saat saya mengisi di Wonosobo, dia membawa satu rombongan guru-guru mudanya untuk mengikuti acara smart parenting di SDM Sudagaran Wonosobo. Sekolah Muhammadiyah di Magelang apalagi Gunungpring juga sering dibanggakan oleh pak Sulis, juga SMKM216 Borobudur-nya yang sudah dapat merakit mobil niaga dan mobil panggung. Semangat untuk membesarkan sekolah Pak Sulis adalah termasuk langka, karena hampir setiap minggu menelpon saya untuk ngobrol masalah kemajuan sekolah-sekolah Muhammadiyah di Magelang. Atas provokator Doktor Sulis, pokoknya saya harus dating di Kabupaten Magelang, 16 Februari 2012, pagi hari itu di kampus SMKM Borobudur”.
Aku menghentikan pembacaanku. Terbayang sebuah sekolah di kaki Gunung Sumbing yang aku sulit membayangkan seperti apa sekolahannya. 211
Tidak apa-apa Perkataan Nabi Muhammad SAW 213 Lha Nabi Muhammad SAW saja memerintahkan (mencari ilmu) sampai (negeri) China, belajar sama Muhammadiyah saja koq kamu rebut? 214 Kepala 215 Sekolah Dasar Muhammadiyah 216 Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah 212
64
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Bayanganku hanya mewujud pada gambaran sekolah yang terpelosok. Lalu aku terbayang sebuah sekolah kejuruan dengan luas lahan yang luar biasa. Terasa kontras, pikirku sejenak. Ah, yang penting bukan lokasinya. Aku merenung sendiri. Yang penting khan bagaimana sang kepala sekolahnya mau bekerja keras untuk memajukan sekolahnya, kataku dalam hati. Ya, yang penting kemauan untuk maju dan bekerja keras, kataku mengambil kesimpulan sendiri. Ya, semangat dan kemauan keras, kataku lagi. Dan begitu aku berkata-kata sendiri dalam hati, dadaku terasa hangat terpompa semangat. Meski aku muallaf217 dalam soal HIV/AIDS, meskipun aku nol besar218 bagaimana harus mencari Kamal, asal ada kemauan keras aku pasti akan mendapatkan bantuan. Ya, aku harus semangat, kataku dalam hati sambil kembali melanjutkan pembacaan.
“Betul, tanggal 16 Februari saya datang di kompleks Perguruan Muhammdiyah Borobudur. Area sekolahnya sangat luas, mungkin lebih dari empat hektar. Yang jelas sangat panoramik, pegunungan di sekitarnya sangat menjulang dan berkabut. Acara siang itu cukup menggetarkan, lebih dari 3000 orang mendatangi auditorium baru milik SMKM Borobudur. Kata Pak Sulis, maju dan melihat ke depan adalah pilihan wajib, melihat kaca spion kadang-kadang saja. Banyak kepala sekolah dan pengurus yayasan yang hanya bangga dengan menceritakan kesuksesan masa lalu, tetapi selalu gagal melihat hari ini dan masa depannya. Silahkan kalau mau melihat spion terus, kata Pak Sulis mengakhiri statemennya yang brilian itu. Ingat, tidak sedikit yang masuk jurang karena terlalu sering melihat spion, kata saya, mengakhiri”. Deg !
217
Makna asli Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam. Dalam soal HIV/AIDS, di kalangan sebagian aktivis NU kata muallaf dipakai sebagai guyonan untuk teman-teman yang masih awam soal HIV/AIDS. 218 Awam, tidak tahu
65
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku deleg-deleg219 sendiri. Kata-kata soal spion membuatku terkejut terbengong-bengong. Aku coba membangun pemahaman sambil meletakkan buku ke atas rak. Aku coba merangkai kesimpulan yang tersembunyi dari bacaan itu. Dan kesimpulanku adalah just do it, lakukan saja! Alah uwis, mlaku baen!220, kataku dalam hati sambil beranjak dari kursi di ruang tamu. Namun tiba-tiba … Thuing !221 Hapeku yang tergeletak di meja ruang tamu berbunyi nyaring mengagetkanku. Aku jadi mengurungkan langkahku yang sudah berniat mau mandi. Aku jumput hapeku. Ada SMS masuk, siapa ya?, batinku. Rupanya Manan meng-SMS
aku. Aku pun segera membuka dan
membacanya. Tak chatting gak mbalas … Mas, kalo sekarang sempet, aku tunggu di …. . Ketemu temen2 Aku tersenyum membaca SMS-nya. Rupanya Manan men-chatting aku lewat facebook. Sorry, agi ra OL,222 batinku. Dan aku membaca lagi SMS Manan sambil menerawang ke alamat yang disebutkan dalam SMS. Alamat itu ada di dalam kota dan mudah dijangkau. Oke, bos. Aku tulis SMS dan segera kukirimkan sebagai balasan. Pikiranku bergerak cepat. Artinya, aku harus segera mandi,
dan terus meluncur ke
alamat yang dimaksud Manan. Dalam benakku aku berkata lirih, Alhamdulillah223… . Kalau yakin, Tuhan pasti memberi jalan.
*****
219
Terbengong-bengong Alah udahlah, jalan saja! 221 Bunyi denting hape 222 Maaf, lagi tidak Online (OL) 223 Segala puji bagi Allah; bacaan pujian khas orang Islam. 220
66
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
7 DI MARKAS BOUGENVILLE
“Assalamu’alaikum…”, sapaku saat memasuki sebuah ruangan sempit ukuran tiga kali delapan meteran. Meskipun terkesan sesak, ruangan ini bersih terawat sebab berada di kompleks SPBU Kota. “Waa’alaikumussalam…”. Aku pandang sekilas semua orang menjawab salamku. Ada tiga orang. Aku lihat Manan sudah ada di antara mereka dengan topi khas anak reggae. Aku pun segera mengajak berjabatan tangan, dan mereka pun menyambut ajakanku dengan senyuman. “Dhamar !”, kata pria berbadan tinggi atletis dengan rambut tebal dan berjenggot tipis. Aku dengar dia memperkenalkan dirinya sembari melempar senyum. “Amin!” Aku membalas memperkenalkan diriku. Aku pun
balas
senyumannya. “Sugeng rawuh Mas Kyai”224, kata Dhamar kemudian. Aku kaget dia menyebutku dengan sebutan yang kurang nyaman ditelingaku. Aku bukanlah kyai, batinku. “Kyai? Waduh !”, responsku cepat sambil menggelengkan kepalaku. “Lho, kalau dari NU khan kyai semua, Mas”, katanya mencoba menampik responsku. Dia tertawa lirih. Aku pun jadi ikut terkekeh. Bagiku sebutan kyai sangat berat di hati. Aku memiliki alasan bahwa kyai itu orang suci penganjur ke jalan yang lurus, sedangkan aku hanyalah manusia biasa dan banyak dosa. Ah, Dhamar pasti menyebut itu sebab dia 224
Selamat dating Mas Kyai
67
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
mendapatkan masukan dari Manan, lalu dia mengambil pilihan dan sikap sendiri, demikian aku pikir-pikir. Emang gue pikirin, batinku. Lalu aku berpindah tangan untuk menjabat
pria di samping kiri
Dhamar. Dia adalah Manan. Orangnya kecil dan agak slengekan225. “Kula Manan, Mas”226, kata Manan sambil tersenyum menggoda. Aku paham dia tengah meledekku dengan ikut-ikutan memperkenalkan diri. “Kula Rhoma”.227 Aku membalas ledekannya sambil terkikik. Aku bergaya dengan mengaku-aku bernama
Rhoma. Maksudnya, ya Rhoma Irama Si Raja
Dangdut. Bahkan aku suaraku pun aku buat mirip-mirip suara Rhoma Irama. Dengan ledekan Manan dan balasan ledekanku, terasa suasana kemudian menjadi lebih cair. Dhamar pun aku lihat sekilas tertawa lebar. “Wah, Mas Amin ini rupanya fans Bang Haji, ya?”, tanya Dhamar menyela. “Dudu fans, tapi adhi beda rama beda biyung”228, kata Manan menjawab pertanyaan Dhamar sambil terkekeh. Mendengar perkataan Manan, semua tertawa ngakak229, termasuk seorang perempuan di sisi kiri Manan. Dia duduk agak jauh. “Nich, kenalin Mas … Cewekku”, kata Manan sambil menengokkan kepalanya ke arah perempuan di sisi kirinya. Aku lihat Manan berkata-kata sambil nyengir. Glewehan! Dasar slengekan230, batinku. “Kula Amin, Mbak”, kataku memperkenalkan pada perempuan itu. Tanganku kujabatkan pada tangannya yang sudah duluan kadung siap berjabatan. Yah, batal dech wudluku, batinku begitu tanganku menyentuh tangannya. 225
Urakan Saya Manan, Mas 227 Saya Rhoma 228 Bukan fans, tapi adik (yang) beda ayah dan beda ibu. 229 Terbahak-bahak 230 Bergurau ! Dasar urakan 226
68
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Helen, Mas Kyai”. Aku dengar dia menyebutkan namanya dan memanggilku dengan kyai.
Hah ! Kenapa ini perempuan ikut-ikutan Dhamar menyebut kyai,
batinku. Namun lebih dari itu, aku tiba-tiba teringat saat Manan bilang punya teman bernama Helen. Hah, jangan-jangan Helen ini yang dimaksud Manan yah?, tanyaku dalam hati. Helen perempuan bertubuh subur namun nampak tetap modis. Melihat sekilas cara berpakaian menunjukkan bahwa dia perempuan punya gaya. Apalagi sebagian rambutnya nampak disemir dengan warna kuning keperakan. Dan melihat raut mukanya, dia masih sangat muda. Kayaknya sekitar duapuluh lima tahunan, batinku sambil melepas tanganku. “Silahkan duduk, Mas Amin …”, kata Dhamar kemudian. “Dan selamat datang di Markas Bougenville”, imbuhnya. “Njih, Mas. Maturnuwun231 atas sambutannya”, jawabku sambil mengangguk sopan. “Kami biasanya kumpul di sini. Kadang juga di Nanda Motor”, kata Manan menimpali. Saat Manan menyebut nama Nanda Motor, pikiranku melayang ke sebuah bangunan tempat cucian mobil dan motor di Jalam Sarbini. Aku teringat soal keluarga pemiliknya. “Nanda Motor? Milik …”, kataku merespons timpalan Manan. Aku berkata-kata sambil mengingat-ingat sebuah nama. Namun aku kurang cepat dan cenderung gagal. “Mas Ato”, jawab Manan cepat. Dia menjawab sekaligus melengkapi kalimatku yang tidak sempat aku lengkapi dengan cepat. Maklum, aku lupa. Ya, aku paham dan jadi ingat siapa Mas Ato. Salud. Aku merasa senang, ternyata ada masih ada orang yang cukup punya uang yang peduli terhadap HIV/AIDS. Buktinya, Mas Ato mempersilahkan kedua tempatnya menjadi semacam markas bagi pegiat HIV/AIDS di kotaku. Diam-diam aku merasa iri 231
Ya, Mas. Terimakasih
69
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
dengan kepeduliannya. Diam-diam aku agak mencemooh diriku sendiri yang selama ini banyak diam dan tidak peduli persoalan HIV/AIDS. Diam-diam aku mempertanyakan diriku sendiri soal kesalihan sosialku. “Dan beliau tidak sempat bersama kita hari ini, Mas. Beliau tengah luar kota. Dan tadi beliau aku kabari via telepon, dan beliau titip salam”, jelas Manan. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”232, jawabku cepat merespons penjelasan Manan sekaligus menjawab titipan salam Mas Ato. Seiring menjawab salam, aku jadi merasa semakin punya banyak teman untuk semakin peduli pada persoalan HIV/AIDS.
Dan aku pun
semakin punya banyak kesempatan untuk mencari tahu keberadaan Kamal. Alhamdulillaah, batinku memuji Allah. Aku berterimakasih pada-Mu, Ya Allah. Dan aku semakin yakin semakin dekat saja aku akan menemukan Kamal. Insyaallah.
*****
Siang menyambut dalam damai. Aku, Manan, Dhamar, dan Helen bercerita sekedarnya. Mereka juga menanyakan bagaimana oleh-oleh dari pelatihan di Banjarnegara. Mereka senang mendengar aku bercerita banyak kegiatan di Banjarnegara. Aku pun jadi merasa semakin kerasan bersama mereka. Dan
beberapa
saat
kemudian,
tiba-tiba
Manan
membuka
pembicaraan. Aku sempat terkejut dibuatnya. 232
Dan atas kalian keselamatan dan kerahmatan Allah dan juga keberkahan-Nya
70
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Begini, Mas Dhamar …”, kata Manan membuka pembicaraan lain yang serius. “Mas Amin punya sedikit masalah yang mungkin kita sebagai teman baru bisa membantunya”, imbuhnya dengan sesekali melihat ke arahku dan ke arah Dhamar. “Apa itu?”, tanya Dhamar sigap. Tatapannya tertuju beberapa saat ke
arahku. Aku membalas
tatapannya sebagai bentuk respons reflektif sebab dia menimpali kalimat Manan. Aku lihat matanya memicing sedikit mengekspresikan tanda tanya dan sekaligus kekagetan. “Silahkan Mas Amin bercerita saja … Silahkan, Mas”, bujuk Manan kepadaku agar aku bersegera saja menceritakan masalahku. “Wah, cerita Pak Kyai pasti seru”, sela Helen dengan suara sedikit melengking. Aku jadi agak sungkan untuk bercerita. Aku masih merasa asing dengan Dhamar dan Helen. Kami baru bertemu pertama kali. Aku sendiri merasa agak bimbang untuk memulai cerita masalaluku. “Monggo, Mas Kyai. Sante mawon”233, bujuk Dhamar sambil lalu menyodorkan rokoknya ke arahku. Aku jadi ingat kalau aku sendiri juga membawa rokok dan lupa belum mengeluarkannya dari sakuku. Namun aku paham dengan sodorannya. Dia mencoba membangun keakraban lebih, sekaligus mencoba mencairkan sedikit kebekuan dan kebimbangan yang terasa menysup ke dalam ruangan pertemuan. “Matur nuwun, Mas”, responsku sambil mengeluarkan rokokku dari sakuku. Lalu aku mengambilnya sebatang, dan menyulutnya dengan korek gas milik Dhamar. Aku lalu nikmati rokokkku beberapa saat sambil mengatur kata-kata yang luwes aku sampaikan. 233
Silahkan Mas Kyai. Santai saja
71
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Pesan terakhir Binto soal Kamal sudah bertahun-tahun mengendap hitam dalam hatiku, dan aku hampir melupakannya begitu saja. Bantulah aku menemukan Kamal. Entah dimana dia … Cukup aku saja yang menjadi korban. Cukup aku saja yang mati …
Kata-kata Binto dalam suratnya itu tiba-tiba hadir dan begitu jelas. Aku sempat tergagap sejenak. Aku hempaskan asap rokok dari mulutku, jauh da cepat seiring keinginan hatiku untuk cepat-cepat menyelesaikan masalah yang kuhadapi, dan jauh-jauh jangan sampai masalah ini melarut mempengaruhi hidup dan kehidupanku. Aku tidak ingin dikejar-kejar dosa, batinku. “Baiklah, saya ta’ bercerita …”, kataku memulai kisah masalaluku yang selama ini bersemayam dan berkarat. Aku memulai cerita dengan harapan Dhamar, Helen, Manan, atau siapa saja nantinya dapat membantuku untuk menemukan dimana Kamal berada dan bagaimana keadaannya sekarang. Minimal apa yang mengganjal berat di dadaku selama ini ada ruang untuk memuntahkannya secara tuntas. “Saya dulu punya teman sekolah. Namanya Binto … . Kini dia sudah meninggal dunia, sebab AIDS …”, kataku membuka cerita. Aku lihat sekilas tiga orang di sekitarku serius mendengarkan. “Dia punya adik satu kakek … . Kamal namanya”, kataku kemudian. Dan clap !! Tiba-tiba bayangan bagaimana Binto memperkosa Kamal saat di Watusari kembali menyeruak. Aku mendesah cepat. “Binto memperkosa Kamal … di Watusari. Dan, dan, eh, aku sendiri menyaksikannya!” Aku tiba-tiba tanpa sadar berkata-kata. Aku kaget sendiri dengan kalimatku. Aku gagap. Aku celingukan. Aku lihat sekilas ketiga orang di
72
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
sekitarku
masih
tetap
mengikuti
ceritaku.
Mereka
rasa-rasanya
memandangiku dengan pandangan mata yang menyelidik lurus kepadaku. Menusuk tajam. Aku menelan ludah beberapa kali. Keningku terasa berkeringat. Aku mengambil cangkir kopi hangat yang disodorkan Manan di depanku. Tanpa berterimakasih, aku segera saja menyeruputnya beberapa kali. “Maaf, Mas Amin … Watusari itu nama desa ya?”, tanya Dhamar mencoba
mengisi kekosongan cerita yang terputus dengan pertanyaan
sederhana. Aku sekilas memandang ke arah Dhamar sambil meletakkan kembali cangkir kopi ke atas lambar di meja. Dan aku hanya mengangguk saja merespons pertanyaannya. Beruntung kemudian Manan menjelaskan soal Watusari. Aku dengar dia mengiyakan bahwa Watusari itu nama desa. Bahkan dia menjelaskan dimana lokasi desa itu. Aku senang Manan membantuku. “Watusari itu desanya Jay, Mas”, kata Helen sambil memandang ke arah Dhamar. Dhamar nampak melihat dan tercenung ke menangkap
Dhamar
meragukan
kata-kata
Helen.
arah Helen. Aku Nampak
dahinya
mengernyit sebentar. “Betul, Mas. Aku sudah pernah ke rumah Jay”, kata Helen dengan ekspresi serius. Aku tangkap dia ingin meyakinkan Dhamar. “Siapa Jay, Mbak?”, tanyaku memburu. “Dia LSL, Mas”, jawab Helen sambil menatapku tajam. Nampak bola matanya mengembang cantik. Dan aku jadi memujinya. Helen cantik, batinku. Namun aku segera mengernyitkan dahi saat Helen mengucapkan tiga huruf, L-S-L.
Aku jadi tertarik untuk mengejarnya. Aku jadi merasa
nyambung. “Mas Amin, Mas Jay itu LSL”, kata Dhamar menimpali jawaban Helen. “Dia relawan kami, Mas”, imbuh Dhamar dengan suara merendah. 73
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Nich, aku baru SMS Jay”, sela Manan sambil melihat layar hapenya. “Aku tanyakan apa dia kenal Binto atau Kamal di Watusari …. Dan … ”, jelasnya lagi. “Dan apakah dia sudah membalas, Mas?”, tanyaku kembali memburu cepat. Wajahku kutatapkan penuh ke arah Manan. “Nich jawaban Jay … Aku ora ngerti. Maksude apa Mas?”234, lanjut Manan sambil membaca tulisan di layar hapenya. “Ya sudah … . Soal Jay kita lupakan dulu”, pinta Dhamar kemudian. “Maaf, Mas Amin”, katanya dengan suara lembut. “Saya justru ingin tahu dari Mas Amin. Desa Watusari itu desanya Binto? Kamal? Atau dua-duanya?”, tanya Dhamar. “Bukan. Binto aslinya Kebumen. Watusari itu desanya Kamal. Di desa itu Kamal kecil hidup bersama neneknya yang juga neneknya Binto”, jelasku sambil mengingat-ingat. “Kamal kecil, Mas?”, tanya Helen. “Ya, Mbak … . Saat diperkosa, Kamal baru kelas dua SMP … . Aku dan Binto baru lulusan SLTA”, jawabku lancar. “Lho berarti ini kejadian sudah lama banget ya, Mas?”, tanya Dhamar menyelidik. “Sebentar, Mas. Aku hitung mundur saja”, jawabku sambil kemudian menatap langit-langit ruangan. “Lima tahun yang lalu aku ketemu Binto di kampusku. Ya, betul. Tahun itu juga Binto meninggal, di Jogja”, jelasku pelan-pelan. “Nah, kejadian pemerkosaan itu lima tahun sebelumnya, Mas. Ya, betul. Aku lulusan sekolah”, jawabku pasti. “Berarti khan sepuluh tahun yang lalu”, kata Manan sambil memainkan jari-jari tangannya untuk membantu menghitung. “Iya, betul”, timpal Helen.
234
Aku tidak mengerti. Maksudnya apa Mas
74
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Okey, okey … Sebentar, soal Kamal … Kalau Kamal itu kelas dua SMP, berarti sekitar usia 14-15 tahunan ya?”, kata Dhamar. “Artinya, Kamal diperkosa berusia 14-15 tahun. Dan sekarang dia berarti umur 24-25 tahunan. Iya khan?”, kata Dhamar mencoba menghitung umur Kamal. “Okey, okey … Kembali ke pembicaraan soal Watusari saja, Mas Amin. Berarti Mas Amin pernah kesana khan?”, cerocos Dhamar kemudian. “Ya. Satu kali”, jawabku singkat. “Masih ingat jalan, atau, apa ya? Yah, lokasi rumah neneknya itu?”, tanya Dhamar mengejar. “Maksudnya, Mas?”, tanyaku balik. “Maksudnya kita secepatnya outreach ke Watusari. Begitu khan, Mas Manan?”, jawab Dhamar sambil mencoba mengkonfirmasi kepada Manan. Nampak dia menatap lama ke arah Manan untuk meminta jawaban cepat. “Siap!”, jawab Manan sigap. “Apa itu outreach, Mas?”, tanyaku kepada Manan. “Penjangkauan, Mas”, jawabnya singkat saja. “Kita cari Kamal mulai dari Watusari, Mas”, jelas Dhamar. “Aku ikut!”, sela Helen serius sambil melihat ke arah Dhamar. “Besok?”, tanya Dhamar. “Jika perlu sekarang saja. Mumpung masih banyak waktu”, jawab Manan. “Setuju!”, timpal Helen. “Silahkan, kalau mau sekarang. Aku tidak bisa ikut”, jelas Dhamar. “Aku jam satu siang ada job235”, imbuh Dhamar. “Bagaimana Mas Amin? Kalau mau ikut hari ini, silahkan … Tidak ikut pun, tidak masalah”, kata Dhamar sambil menatapku dengan tatapan mata sejuk.
235
Pekerjaan, tugas
75
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ikut. Ini khan masalahku. Aku malahan berhutang budi nich”, jawabku sambil tersenyum. “Sama-sama, Mas Amin”, respons Dhamar. “Kita juga memandang penting untuk ke Watusari. Jangan-jangan Kamal itu terinfeksi juga”, imbuhnya dengan nada meyakinkan. Tangannya bergerak-gerak mengimbangi kalimat-kalimatnya. “Kalau misi Mas Amin adalah menyelamatkan Kamal, sesuai dengan permintaan terakhir Binto …. Artinya …”, sela Helen. “Artinya, kita harus outreach”, sambung Dhamar dan Manan hampir bersamaan.
*****
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, sampailah aku di halaman sebuah rumah sederhana di tengah perkampungan. Ow, ini rumah keluarganya Jay, batinku. Aku lihat Helen bergegas menuju pintu utama rumah. Nampak dia mengetuk pintu. Manan mengikutinya. Aku sendiri masih terbengong sendiri sambil meletakkan helm di atas spion motorku. Aku merasa sangat asing di Watusari. Sesekali aku menyapu pemandangan
perkampungan
di
sekitarku
untuk
mengikis
rasa
keterasinganku. Lima menit yang lalu aku masih agak hafal rute jalannya. Namun, begitu masuk gang di perkampungan, aku semakin tidak tahu kemana aku. Aku hanya menyimpulkan kemudian bahwa rumah Jay tidak sekompleks dengan rumah nenek Binto. Rasaku, rumah Jay di sebelah timur dari rumah nenek Binto, entah berapa jauhnya. 76
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Mas Amin !” Terdengar suara perempuan memanggil namaku. Helen memanggilku dari arah pintu utama rumah. Dia nampak berdiri tersenyum. Tangannya melambai ke arahku, mengajakku mendekat masuk rumah Jay.
Aku pun
hanya tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala tanda mengiyakan ajakan lambaian tangannya. Begitu memasuki rumah, seorang pemuda bermata bendul236 tersenyum ke arahku. Dia mengajakku bersalaman. “Ini Jay, Mas”, kata Helen memperkenalkan. “Jay”, kata pemuda itu memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangan
kanannya.
mrenges237.
Senyumnya
mengembang
sedikit,
lebih
terkesan
Gerakan mulutnya yang mengembang membuat
matanya
semakin menutup. Aku lihat dia memakai celak.238 “Amin”, jawabku pendek sambil menanggapi juluran tangannya. Aku pun bersalaman sejenak dengan Jay. Ya, Allah, aku bertemu dan bersalaman dengan LSL, kataku dalam hati. Aku agak merinding. Rasa takut dan bayangan pemerkosaan Kamal berkelebat cepat, semakin membuatku kaku terdiam. “Sini duduk, Mas”, kata Manan mengejutkanku. “Ya, ya”, jawabku tergagap sedikit. Aku merasakan rumah Jay begitu sepi. Terkesan samun239. Aku jadi refleks saja melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam hati. “Maaf, ya … . Rumahku kotor. Yang di rumah hanya aku dan ibuku. Ibu udah ke pasar”, jelas Jay sambil mengiringi aku duduk. Matanya mengarah ke Helen. Suaranya terkesan medok.240 Gerakan tubuhnya sedikit gemulai. “Ra papa lah … . Wis kene baen, omong-omongan”241, kata Helen. 236
Sipit agak keliahatan bengkak seperti habis menangis Meringis 238 Penghias mata berwarna hitam 239 Mengerikan, angker, senyap. 240 Dibuat-buat seperti perempuan. 241 Tidak apalah. Sudah sini saha, bincang-bincang 237
77
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku terkesan dengan kata-kata Helen. Aku senang dengan langkah Helen. “Ada apa sich Mbak?”, tanya Jay. Aku lihat Jay sedikit merapat ke arah Helen. Aku tersenyum kecut. “Gini, Mas Jay …”, sahut Manan mencoba menjawab pertanyaan Jay. “Soal yang aku SMS tadi … Soal Binto dan Kamal”, kata Manan to the point. “Ow, itu … Aku dah pikir-pikir, Mas … . Sapa tuch Binto dan Kamal. Tapi aku gak tahu, Mas …”, jelas Jay dengan nada medok. “Rumahnya sebelah sana, Mas”, kataku menimpali sambil mengangkat tanganku mengarah ke arah barat laut. Aku merasa agak tidak sabar. “Mas Amin hafal jalannya?”, tanya Helen. Pertanyaan Helen itu terkesan mengejar. Aku dapat menangkap matanya yang fokus tajam menatapku. “Seingatku, setelah sekolahan itu, dulu aku ke kiri”, jelasku sambil mengingat-ingat. “Ow, itu masuk Watusari Plered, Mas …”, sahut Jay. “Kalo sini Watusari Sawahan …”, imbuhnya. “Satu desa beda dusunnya yah?”, komentar Manan. Aku paham dengan maksud kalimatnya. Berarti, rumah nenek Binto ada di wilayah desa Watusari dusun Plered, sedangkan Jay di dusun Sawahan, pikirku. “Tapi aku koq gak paham yah? Nama itu koq rasanya gak ada, Mas”, kata Jay sembari melihatku sekilas. Mendengar kalimat Jay, aku jadi merasa jengkel. Moso’ sich sekampung saja gak paham?, batinku protes. “Ya, maklum, Mas … Aku sendiri baru di sini, paling setengah tahun”, kata Jay kemudian.
78
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tapi, ngomong-ngomong punya teman di kampung sini gak, Mas?”, tanyaku mengejar. Mataku mengarah lurus ke
arah bola mata Jay. Dia
nampak berpikir cepat. “Syukur-syukur yang dari Watusari … Plered”, imbuh Manan mendukung pertanyaanku. “Ada. Si Lambo. Teman baru. Aku kenal di stasiun Gombong”, jelas Jay. “Sebentar ya, aku ta’ telpon Lambo saja”, imbuhnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Dia nampak mengambil hapenya di atas buffet tua, lalu kembali duduk ke kursi semula. “Lambo? Lambo ndower pa, Jay?”, ledek Manan sambil terkikik. Mendengar kata-kata Manan, aku, Helen dan Jay pun tertawa ringan. Aku sendiri tertawa sedikit ngakak. Aku paham dengan plesetan kata dari Manan. Lambo ndower maksudnya lambe ndower, bibir besar. “Lambo tuch baru pulang dari Jakarta. Mungkin sebulan. Dia LSL”, jelas Jay setengah berbisik. Dia celingukan, takut ada orang lain mendengar. Lalu … . “Hallo? … Hallo?”, sapa Jay. Aku lihat terus Jay yang tengah menelpon Lambo temannya. “Iya, ini Jay … Kamu lagi ngapain?”, kata Jay kemudian. “Apa? Kamu sakit … Aduh, kasihan …”, kata Jay lagi. “Aku kesitu … Eh, gimana ya? Aku lagi ada tamu”, kata Jay. “Gak, aku lagi gak ngejob242 … . Tamu teman dari Kebumen”, jelas Jay. “Ya, ya … Oke dech. Ntar aku kesitu dech …”, kata Jay kemudian mengakhir pembicaraannya via hape dengan Lambo. Aku terdiam. Aku tidak memperhatikan lagi pembicaraan Jay, Manan, dan Helen. Sekilas mereka hanya ingin bersama ke rumah Lambo. Aku tidak tertarik. Rasa malas menghantuiku. Ya, malas kenapa justru aku terjerumus pada kesibukan mereka. Kalau ke rumah Lambo, aku sama saja akan bertemu
242
Kerja
79
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
dengan LSL yang lain. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kepentinganku untuk mencari Kamal. Aku nanti malahan lelah sendiri. “Mas Amin”, kata Manan tiba-tiba mengagetkanku. “Ya, Mas”, jawabku santai sambil menyulut rokok dengan malas. “Ini Mas Jay mengijinkan kita ikut bezuk Mas Lambo … Yuk, kita bareng-bareng243 ke sana”, kata Manan mengajak. “Boleh”, jawabku datar. Rasa malasku menguasaiku. “Mas Amin”, sapa Helen sambil beranjak berdiri dari tempat duduknya. “Ya, Mbak”, jawabku sambil berdiri juga. “Niki sing namine outreach”244, katanya. Nada suaranya agak menohok kesadaranku. Aku kaget. Aku agak tercengang. Aku merasa disindir. “Begini, Mas Amin …”, kata Manan mencoba meredam situasiku. “Informasi Jay soal Lambo yang sakit patut kita jangkau, Mas. Apalagi tadi Jay bilang Lambo juga LSL”, jelas Manan. “Ya, anggap saja Mas Amin lagi jalan-jalan sambil mencari Kamal”, katanya dengan nada merayu. Tangannya memegang pundakku. “Oke, Bos”, jawabku mantap. “Sip!”, sahut Manan gembira. Aku menyalahkan diriku sendiri yang tiba-tiba merasa malas. Aku menyalahkan kenapa aku tiba-tiba tidak mau peduli dengan penderitaan orang lain walaupun orang itu belum aku kenal seperti Lambo. Kepedulianmu tengah diuji, kataku dalam hati. Aku berkata-kata pada diriku sendiri.
Peduli tidak cukup dikatakan saja. Peduli tidak cukup
digembar-gemborkan dalam seminar dan diskusi. Tidak cukup ! Peduli tidak cukup dibacakan dalam teks-teks kitab, kawan, kataku pada diri sendiri. Kowe kudu obah, kowe kudu mlaku, kowe kudu mudun.245 Aku berkata sedikit
243
Bersama-sama Ini yang namanya outreach, penjangkauan orang-orang beresiko 245 Kamu harus bergerak, kamu harus jalan, kamu harus turun 244
80
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
keras dalam hatiku sendiri. Dan semangatku pun kembali menyala membakar dadaku.
*****
81
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
8 LAMBO
Menjelang pertigaan jalan kampung, Helen yang membonceng Jay menghentikan motornya. Manan yang di belakangnya pun ikut berhenti. Sementara aku yang di belakang sendiri berhenti juga. Aku lihat Manan berbincang dengan Helen dan Jay. Aku sendiri menunggu, tidak peduli dengan apa yang mereka perbincangkan. Aku pasif saja. Aku lebih baik bersikap mengekor saja. Aku lihat Helen turun dari motornya dan membiarkan Jay memegang setirnya. Nampak Jay menguasai motor Helen. Dan aku lihat Jay pergi dengan motor Helen. Manan mendekati aku, meninggalkan Helen sendirian berdiri di dekat motor Manan yang distandar di pinggir jalan. Aku sendiri tengah duduk di jok motorku menunggu Manan mendatangiku. “Mas, Lambo minta ketemuan di Rumah Makan Yunani saja. Jay lagi njemput dia”, jelas Manan kepadaku. “Lalu?”, tanyaku pendek. “Kita langsung saja ke Yunani, sekalian ngopi …”, jelasnya. “Oke. Aku setuju. Yuk!”, kataku sambil memulai menjalankan motorku. Aku meninggalkan Manan dan Helen. Aku segera saja melaju menuju Rumah Makan Yunani. Aduh, jauh juga ya?!, batinku. Tapi tak apalah … kalau memang aku harus ntraktir mereka pun aku siap-siap saja. Anggap saja ini bentuk nyata kepedulianku dan bayar hutang budiku pada teman-teman, batinku sambil melajukan motorku.
82
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Dari kaca spion motor, aku lihat Manan membonceng Helen. Aku berusaha jaga jarak tidak terlalu jauh dengan mereka. Dan begitu menaiki jalan nasional beraspal, Manan melajukan motornya lebih kencang dan menyalipku. Aku hanya tersenyum saja saat dia mengklaksonku dan melihat Helen tersenyum manis. Orang-orang yang langka, batinku sambil mengamati mereka dari belakang. Aku pastikan mereka dapat honor dari kerja sosialnya, entah berapa aku tidak peduli. Namun, kepedulian mereka patut aku acungi jempol. Kepedulian untuk membantuku mencari Kamal sudah membuktikannya walaupun aku belum berhasil menemukannya. Dan karenanya pun aku mengekor saja terhadap apa rencana mereka sekarang. Sekarang harus ke Yunani, aku juga ikut saja. Jika mereka minta aku mentraktir pun aku ikut saja. Hanya saja yang masih mengganjal pikiranku, kenapa Lambo tidak mau didatangi, bahkan minta ketemuan di luar rumahnya. Ada apa ya?, tanyaku dalam hati.
*****
“Mas?”, sapaku pada Manan sambil menunggu hidangan diantar. “Yes?”,sahut Manan singkat. “Kenapa dengan Lambo? Ada apa ini?”, tanyaku langsung pada pertanyaan yang sejak tadi aku simpan. “Ow itu?!”, respons Manan santai sambil menyulut rokok kretek kesukaannya. 83
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lambo yang minta, Mas”, jawab Helen menyela. “Iya, Mbak. Tapi atas dasar alasan apa ya?”, tanyaku mengejar. Mataku mengarah ke bola mata Manan dan Helen bergantian. “Lambo tidak suka didatangi orang yang tidak dikenal. Dia tadi SMS Jay begitu”, jawab Manan menjelaskan alasannya. “Ya, Mas. Dan aku mengusulkan sama Jay agar ketemuan di sini”, imbuh Helen sambil tersenyum. “Lalu?”, tanyaku pendek memburu. “Lambo setuju, asal Jay ikut dan menjemputnya”, jawab Helen. “Ini bicara soal mereka, Mas”, kata Manan mengimbuhi. “Mereka juga punya rasa khawatir ketahuan”, tambahnya. “Maksudmu, Mas?”, tanyaku mengejar penjelasan rinci. “Dengan orang asing, mereka cenderung protected, takut ketahuan”, jelas Helen. “Mereka takut kita ini aparat, Mas”, kata Helen kemudian sambil mengambil bungkusan emping melinjo di depannya. “Dan lebih dari itu … kalau mereka didatangi rumahnya langsung … apalagi baru pertama kali seperti ini … Mereka takut muncul pertanyaan dalam keluarga dan lingkungan mereka”, jelas Manan sambil memainkan batang rokoknya. “Berarti mereka belum diketahui oleh keluarga mereka sendiri?”, tanyaku ingin tahu. Terlihat kerupuk di depanku menggoda nafsu makanku. Lalu aku pun mengambil kerupuk di depanku. Aku merasa perlu mengisi perutku. “Kebanyakan mereka tertutup … menutup diri dari pengetahuan keluarganya”, jawab Helen. Perbincangan terhenti. Pelayan menyajikan minuman. Aku dan Manan memesan kopi hitam, sedangkan Helen memesan juice alpokat. “Berarti soal stigma? Soal cap buruk?”, tanyaku mencoba minta konfirmasi. Aku bertanya begitu pelayan meninggalkan kami. 84
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Betul. Mereka belum siap dengan cap ini-itu terhadap mereka. Mereka juga takut dikucilkan oleh keluarga dan masyarakatnya”, jelas Manan sambil mengangkat cangkir kopinya. Rupanya dia ingin menyeruput kopinya. Aku pun jadi ingin menyeruput kopiku. Tiba-tiba Helen mengeluarkan rokok dari tasnya. Aku kaget. Dan rupanya Helen melihat kekagetanku. “Sorry, Mas. Aku merokok”, jelasnya santai sembari meletakkan sebungkus rokok kretek dan sebuah korek gas di depannya. “Wow, rokok kretek, Mbak?”, tanyaku setengah kaget dengan jenis rokoknya. “Ini rokokku saja, Mbak … Yang pakai filter”, kataku basa-basi menawarkan rokok kesukaanku yang tergeletak di depanku. “Makasih, Mas. Ini rokok kesukaan”, katanya sambil menyalakan korek api. Aku memandangi cara Helen menyulut rokoknya. Aku pun mengawasi cara menikmati hisapan pertamanya. Sudah biasa merokok, batinku. “Aja kaget, Mas”246, kata Manan sambil menepuk pundak Helen yang tebal. “Inilah Helen yang sebenarnya … perokok berat”, imbuhnya “Jangan digubris, Mas Kyai”, sergah Helen serius. Melihat ekspresi Helen yang serius, Manan malahan tertawa terpingkal. Aku jadi sedikit tidak suka dengan kelakuan Manan yang agak berlebihan. Tapi aku senang dengan keakraban yang terbangun bersama mereka berdua. “Oke, oke … Sekarang kita selesaikan urusan Si Lambo dulu …”, kata Manan sambil menengokkan kepalanya ke arah halaman rumah makan. “Tuch, mereka datang …”, imbuh Manan sambil beranjak dari tempat duduknya. Dia rupanya ingin menjemput dua pemuda yang
nampak
celingukan. Dua pemuda, Jay dan Lambo. 246
Jangan kaget, Mas. Helen ini Mamih
85
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku biarkan Manan pergi keluar menjemput Jay dan Lambo. Sementara itu Helen dan aku duduk saja sambil mengawasi mereka. Dan tak lama kemudian aku dan Helen segera berdiri menyambut Jay dan Lambo datang. Aku salami kembali Jay. Aku salami juga Lambo sambil saling memperkenalkan nama diri masing-masing. Sementara itu Manan kembali duduk di sampingku. Jay memilih duduk di samping Helen, sedangkan Lambo duduk di samping Jay. Sejak pertama kali melihat Lambo dari dekat sampai bersalaman, aku benar-benar dibuat tidak percaya. Entah apakah pemuda yang bernama Lambo ini masih ingat aku atau tidak, tapi aku tidak lupa dengan dia. Lambo adalah Kamal. Bentuk batang hidungnya tidak berubah. Hidungnya khas tidak dapat membohongiku. Itu hidung yang masih seperti dulu, mancung. Meskipun sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu, ciri khasnya itu tidak berubah sama sekali. “Mau minum apa, Mas?”, tanya Manan kepada Jay dan Lambo. “Aku es jeruk saja … Kamu apa, Lambo?”, sahut Jay sambil menengokkan kepalanya ke arah Lambo. “Tes panas saja, manis …”, jawab Lambo pelan. Manan pun aktif beranjak dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke kasir rumah makan. Dia memesankan minuman buat Jay dan Lambo. Kemudian dia kembali bergabung sambil berkata santai. “Aku dengar dari Jay, Mas Lambo lagi sakit yah?”, kata Manan. “Iya, Mas … Agak panas badan”, jawabnya setengah menunduk. “Udah lama, Mas?”, sela Helen bertanya. “Lima hari. Ini udah mendingan”, jawabnya santai. Selagi mereka asyik bicara ini-itu, aku pamit. Aku beralasan pergi ke kamar kecil. Padahal aku juga ingin shalat dluhur. Dan usai shalat, diam-diam aku SMS Manan. Aku beritahu dia bahwa Lambo itu Kamal.
Dan dia
menjawab singkat saja, Oke. Aku minta dia bersandiwara untuk menanyakan apakah tahu Binto. Dan dia pun menjawab dengan jawaban yang sama, Oke. 86
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Bagus!, pekikku semangat. Aku berharap Manan dapat bermain sandiwara dengan cantik untuk mengorek keterangan soal Binto dari Kamal alias Lambo. Ini penting. Ya, penting buat aku dan juga Manan. Aku sendiri ingin tahu sedekat apa hubungan Kamal dengan Binto selama ini. Kematian Binto dan pesan terakhirnya perlu mendapatkan jawaban dari Kamal alias Lambo.
*****
“Helen, aku kencot?!”247, sapa Jay dengan suara manja. Aku yang baru saja bergabung dengan mereka merasa sapaan Jay sebagai sebuah permintaan halus. Aku paham itu. “Hih, Jay, nek kencot ya madhang lah”248, sahut Helen dengan mimik gemes. “Eh, lapar ya?”, tanyaku menyambung. “Makan saja, santai … Kalau diijinkan, bolehlah aku sekali-kali ntraktir”, kataku lagi. “Yuk, kita makan … . Aku juga lapar”, lanjutku sambil terus berjalan menuju meja prasmanan. Aku sendiri merasa lapar. Aku ajak saja mereka bersama-sama makan. Nampak Jay dan Helen antusias. Mereka berdua gembira. Sementara itu Manan hanya cengar-cengir dengan ulah Jay dan Helen. Lambo sendiri mengikuti langkah Jay, berdiri dan ikut menuju meja prasmanan. Lambo nampak dingin-dingin saja. Mungkin rasa sakitnya membuat dia tidak banyak tingkah, batinku. 247 248
Helen,aku lapar Hih, Jay. Kalau lapar ya makan lah
87
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Mas Amin?”, sapa Helen saat kami berada di meja prasmanan. “Gimana, Mbak Helen?”, jawabku balik bertanya. “Nich Si Jay ngucapin terimakasih …”, kata Helen sambil terkekeh. Aku tengok Helen yang terkekeh. Nampak Jay tersenyum-senyum tertahan. “Terimakasih soal makan apa?”, tanyaku mencoba menebak. “Iya, Mas …”, jawab Jay dengan suara agak mendesak medok. “Halah, biasa saja Mas Jay … “, sahutku sekenanya. Aku merasa risih dengan ungkapan terimakasih hanya soal nasi sepiring. Lagian, jujur aku justru yang sepatutnya berterimakasih. Namun, aku memahami kejujuran Jay yang mengungkapkan rasa terimakasihnya. Kejujurannya menunjukkan keterbukaannya menerima kehadiranku sebagai teman. Sederhana, namun aku salud dengan sikapnya yang apa adanya. “Mas Amin, eh, ya, Mas Amin”, kata Jay agak kaku. “Gimana, Mas Jay?”, tanyaku sambil mengambil sambel terasi. “Mewakili Lambo, juga terima kasih lho, Mas?!”, jawabnya medok. “Kenapa dengan Anda, Mas Lambo?”, tanyaku refleks saja. “Enggak, Mas”, sahut Lambo pendek. “Halah, Lambo gak jujur”, sergah Jay. “Lho? Kenapa, Mas Jay?”, tanyaku memburu. “Lambo sejak semalam belum makan …”, jawab Jay jujur apa adanya. “Ah, Jay …”, seru Lambo sambil mencubit perut Jay. Mendengar perbincangan ringan di meja prasmanan, kami pun jadi tertawa bersama. Aku lihat Manan dan Helen tertawa terbahak. Jay juga. Hanya Lambo yang tertawa tertahan. “Kalo begitu, silahkan Mas Lambo ambil yang banyak aja sekalian”, sahutku sambil tertawa. “Bila perlu bungkus yah?”, sela Helen sambil terbahak. “Lha, emangnya Mas Lambo sendirian di rumah?”, tanya Manan.
88
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku terkejut sejenak mendengar pertanyaan Manan. Aku lirik dia. Dia juga sekilas memandangku. Bahkan dia mengangkat sedikit kedua kelopak matanya member tanda padaku. Aku paham. Aku biarkan Manan menambah pertanyaan, atau Lambo menjawab pertanyaan Manan. “Iya … Sendiri, Mas”, jawab Lambo pendek. “Waduh, kasihan yah?!?”, respons Helen. “Dulu aku sama nenekku, sudah tua … tapi sudah meninggal”, jelas Lambo. “Ow, kapan nenekmu meninggal, Mas?”, tanya Manan mengejar. Aku suka dengan kesigapan Manan bertanya. Aku butuh informasi itu. “Sekitar setahun yang lalu … Sepeninggalan kakakku, nenek sakitsakitan … Dan aku sendiri merantau ke Jakarta”, jelasnya. Aku berpura-pura sibuk mengambil kerupuk dalam toples besar. Aku mencoba memperlambat diri agar aku dapat mendengar keterangan dari Lambo alias Kamal. “Berarti Lambo belum lama di sini?”, tanya Helen dengan nada ingin tahu. “Sekitar sebulan”, jawab Lambo pendek. “Dan terus ketemu sama Jay?”, kejar Helen menyelidik. “Kami ketemu pertama di stasiun Gombong”, jawab Jay enteng sambil memainkan sendok di tangannya. “Okey, kita lanjutkan ngobrolnya di meja makan saja …”, kata Manan sambil mengambil sambal terasi dan bergegas ke meja makan. “Yuk”, sahutku cepat sambil berjalan pelan menuju meja makan. Aku mengikuti langkah Manan. Namun Manan hanya meletakkan piringnya, lalu dia pergi ke arah timur. Dia mengkodeku cepat dengan gerakan tangan ber-takbiratul ihram, yang maksudnya ‘mau shalat dulu’.
89
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku mengangguk pelan sambil berkata tanpa suara : aku uwis, uwis.249 Ya, aku sudah shalat saat tadi berpamitan pura-pura mau ke kamar kecil dulu.
*****
“Mas Manan meng endi, Mas?”250, tanya Helen padaku. “Kayaknya tadi mau ke belakang … mungkin lagi madhep251”, jawabku sekenanya. “Ya, udah … Yuk kita santap saja”, kata Helen kemudian sambil memandang ke arah Jay, Lambo, dan aku. Nampak Helen langsung melahap makanan di piringnya. Aku lihat Jay dan Lambo pun menyantap makanan masing-masing dengan lahap. Aku merasakan betapa mereka lapar. Terbayang betapa laparnya Lambo karena sejak semalam belum makan. Dan aku sesekali melirik ke arah Lambo yang bersemangat melahap makanannya. Kemudian Manan pun bergabung kembali. Dia pun langsung menyantap makanannya. “Nambah, Mas Lambo …”, kataku sambil melihat ke arah piring Lambo yang tinggal beberapa suap. “Makasih, Mas … Makasih banget …”, jawabnya sambil mengunyah sisa makanan di mulutnya. Kemudian Manan datang. Dia segera bergabung dan makan dengan lahap. Dia juga nampak lapar. 249
Aku sudah, sudah (shalat) Mas Manan kemana, Mas? 251 Menghadap, shalat 250
90
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Maaf, Mas Manan … Mbak Helen … Mas Amin”, sapa Jay satu persatu menyebut nama. Aku, Manan, dan Helen pun segera mengarahkan pandangan mata ke arah Jay. Menunggu kalimat Jay berikutnya. “Nanti aku sama Lambo langsung ke Gombong … Naik angkutan saja”, jelasnya. “Ada kencan yah?”, ledek Helen renyah. “Gak lah … Aku dan Lambo anu … sama”, jawab Jay. “Sama-sama LSL kah?”, tanya Manan pelan berbisik sambil tersenyum manis. Tangan kanannya ditutupkan ke pipi kanannya isyarat berbisik rahasia. “Ah, Mas Manan … Jangan menggoda ah?!? Gaharu cendana pula252 …”, pinta Lambo nyengir. “Aku … Lambo … sama-sama suka top aja”, jelas Jay. “Sama-sama gak mau jadi buttom yah?”, ledek Manan. “Ih, kalo udah click ya sama aja …”, ledek Helen juga dengan nada dan ekspresi gemes. “Vers … Tepatnya aku vers”, kata Lambo tiba-tiba. Aku terkejut sekali dengan kalimat terakhir Lambo. Dugaan bahwa Lambo LSL terjawab sudah dengan pengakuannya sendiri. Dia mengaku dirinya vers. Vers adalah istilah dalam komunitas kaum Lelaki Seks Lelaki (LSL). Vers itu sebutan untuk seorang yang suka bertindak sebagai pihak “pria”-nya, sekaligus juga suka sebagai pihak “wanita”-nya
di dalam
melakukan hubungan seks sesama jenis itu. Kalau top itu sebutan untuk seorang yang hanya suka bertindak sebagai pihak “pria” saja. Sebutan top pada kaum LSL identik dengan sebutan buci pada kaum lesbian. Sedangkan buttom sebagai pihak “wanita” saja. Sebutan buttom identik dengan sebutan fami pada kaum lesbian. Adapun click adalah istilah untuk jadian. Misalnya, Jay click sama Lambo, berarti Jay jadian dengan Lambo. 252
Sudah tahu bertanya pula
91
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Well … Jay, Mas Lambo”, seru Manan mengagetkan. “Sebelum kita berpisah, kayaknya ada dech yang ingin aku tanyakan sama Mas Lambo”, kata Manan sambil mengarahkan pandangannya kepada Lambo. “Apa itu, Mas?”, tanya Lambo terkejut. “Saya harap pertanyaanku tidak membuat Mas Lambo tersinggung”, jelas Manan. “Soal Mas Binto ya, Mas?”, tanya Jay menyela tiba-tiba. “Aku tadi sudah tanya Lambo … Soal Binto dan Kamal, apakah Lambo tahu”, jelasnya. “Ya, betul. Lalu?”, tanya Manan mendesak. “Maaf, Mas Manan”, sela Lambo dengan nada agak mengeras. “Maaf, aku tidak tersinggung … Aku kenal dua-duanya. Namun …”, jelas Lambo. “Namun …”, gumam Helen sambil menatap Lambo. “Namun ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan, Mas”, imbuh Lambo. Wajahnya nampak nanar menatap bola mata lawan bicara, satu per satu, dengan cepat. Ada isyarat kewaspadaan dalam tatapannya. “Kenapa, Mas Jay?”, tanya Manan mendesak ke arah Jay. Rupanya Manan ingin mengorek keterangan dari mulut Jay. “Aku tidak tahu … . Sungguh. Itu rahasia Lambo”, jawab Jay dengan wajah sedikit pucat. “Maaf, Mas Manan … Kayaknya kurang etis Mas Manan mendesak seperti itu”, kataku mencoba mencairkan suasana yang agak tegang sedikit. “Well, maafkan Mas Manan, saya, Mbak Helen … eh, barangkali, eh koq barangkali … Ya, yang jelas, minta maaf jika tadi kurang berkenan di hati Mas Lambo dan Mas Jay …”, kataku nerocos mencoba menguasai keadaan yang aku khawatir akan segera berkembang tidak menguntungkan. “Tidak apa-apa, Mas … . Dan maaf sekali, saya tidak dapat mengatakan apa-apa … “, jawab Lambo sambil tersenyum tipis. 92
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lagian saya dan Jay juga mau ke Gombong …”, kata Lambo kemudian dengan ekspresi lebih semedulur bersahabat. “Saya suka sikap Anda, Mas Lambo”, seruku cepat. Aku bahkan kemudian menyodorkan tangan kananku untuk mengajak berjabatan tangan dengan Lambo. Lambo pun menerima ajakan jabatan tanganku. Lambo menerima jabatan tanganku sambil beranjak berdiri. Aku lihat Jay juga ikut berdiri. Mereka kemudian berpamitan untuk pergi ke Gombong, berdua entah untuk apa … . Sambil mengiringi Lambo pergi, aku membatin. Benarkah Lambo sama sekali tidak ingat dan mengenalku? Atau, jangan-jangan dia tahu tetapi dia memilih diam pura-pura tidak tahu? Ah, entahlah … .
*****
“Nampaknya Lambo punya rahasia, Mas”, kata Helen lirih sambil mengamati angkutan telungprapatan253 yang membawa Jay dan Lambo pergi ke arah Gombong. “Misterius …”, komentar Manan pendek. “Dan Mas Amin yakin Si Lambo itu Kamal yang selama ini dicari-cari?”, tanya Manan kemudian sambil menghabiskan minumannya.
253
Tiga perempatan, minibus
93
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Irunge ra bisa dicolong”254, jawabku singkat sambil menempelkan jari tangan kananku ke hidungku sendiri. “Dan tadi Jay sudah mengisyaratkan juga … Bahwa Lambo mengenal Binto dan Kamal … ”, tambahku. “Tapi kayaknya Lambo sudah tidak mengenal Mas Amin yah?”, komentar Helen setengah bertanya. Dia berkata sambil menikmati rokok kreteknya. “Mungkin pangling … Mungkin lupa-lupa ingat”, jawabku sambil menggelengkan kepala. “Atau sebaliknya, Mas”, tukas Manan cepat. “Dia hafal betul sama njenengan,
tapi dia bungkam”, imbuhnya
dengan nada meyakinkan. Aku sebenarnya setuju dengan kalimat terakhir Manan. Namun aku sanksi. Justru kalau masih hafal, kenapa Lambo memilih bungkam pura-pura tidak kenal, pikirku sambil merokok. “Dia bungkam, mungkin sebab malu identitasnya dikenali Mas Amin”, kata Helen mencoba membuat analisa sederhana. “Tidak, tidak …”, sergah Manan sambil melambaikan tangan kirinya isyarat menolak pendapat Helen “Kalau dia malu, dia tidak mungkin membuka identitas soal orientasi seksnya. Dia tadi mengaku vers …”, jelas Manan serius. Jangan-jangan Lambo memang benar-benar sudah tidak ingat lagi aku yah?, tanyaku dalam hati. Kalau memang dia lupa, berarti suatu saat aku harus mengatakan siapa aku. Yah, suatu saat, entah kapan, kataku dalam hati sambil memandangi lalulintas jalanan di depan rumah makan yang ramai. Lamunanku pun terbang kemana-mana tanpa jelas juntrungnya. “Mas Amin?”, tanya Helen mengejutkanku. “Kita pulang? Apa mau tidur di sini?”, tanyanya lagi meledekku. Aku kaget lagi dengan ledekan pertanyaan Helen. Sialan, batinku. 254
Hidungnya tidak dapat dicuri.
94
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Kita cabut, pulang … Biar aku yang mbayar semua”, jawabku sambil beranjak dari kursiku. Aku segera berjalan menuju kasir. Dan sepanjang langkahku aku berpikir bagaimana caranya aku bertemu dan berbincang dengan bebas dengan Lambo. Ya, memang aku harus bertemu dan bicara banyak dengannya. Aku sungguh merasa bersalah dan berdosa terhadap Binto sahabatku. Dan pertemuan khusus dengan Lambo nantinya aku harap mampu menutup salah dan dosaku. Yah, setidaknya rasa bersalah dan rasa berdosaku berkurang. Selain itu, aku harus berusaha untuk memenuhi permintaan Binto dalam suratnya. Singkatnya, aku harus bisa menyelamatkan Lambo dari petaka kematian sebagaimana Binto dulu. Dan nyatanya Lambo alias Kamal adalah LSL yang suka vers, yang artinya Lambo termasuk lelaki beresiko tinggi terkena HIV/AIDS.
Dengan demikian usahaku untuk memenuhi
permintaan Binto memang sebuah tantangan berat. Ya, Allah … Aku tidak tahu harus berdoa apa pada-Mu … Namun ijinkanlah hamba memohon … semoga Kamal sehat tidak tertular HIV/AIDS. Aku sematkan doa lirih di dalam hatiku. Doaku untuk Kamal.
*****
95
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
9 BIKIN GRUP
Hampir seminggu aku banyak termenung di rumah. Aku merasa tengah menghadapi masa-masa sulit dalam menjalankan ritme kepedulianku soal HIV/AIDS. Memang aku beberapa kali
mencoba berdiskusi dengan
Manan, Dhamar, dan teman-teman NU. Namun, diskusi tanpa aksi justru menambah kering otak dan jadi menyebalkan. Apalagi ambisiku untuk bertemu dan menemui Lambo belum berhasil, dan hasilnya urusan Kamal pun jadi terbengkelai. Sudah beberapa kali aku mencoba membangun komunikasi dengan Manan, Helen, Dhamar, dan Jay untuk bisa bertemu Lambo alias Kamal. Namun hasilnya nihil. Lambo sudah beberapa kali sulit dihubungi dan berada di luar kota. Suntuk, keluhku sendiri. Namun demikian, keyakinan akan karunia Tuhan memang selalu saja aku jadikan andalan. Aku yakin dan yakini, cepat atau lambat, Tuhan pasti akan menolongku. Dan itu benar, hampir tanpa terencana … . Pagi
itu
cerah.
Mentari
bersinar
penuh,
seakan
tengah
mengekspresikan semangatnya untuk menggugah segenap alam semesta untuk tetap semangat menjalani takdirnya. Burung-burung pun asyik berkicauan dan berlompatan di pepohonan di sekitar rumahku, seakan mengingatkan aku untuk bergegas menjalani hari dengan aktif seaktif mereka berkicau dan berlompatan. Langit pun biru seakan mengisyaratkan jalan lempang yang siap membantuku merambah kemana saja.
96
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Ya, memang sejak semalam aku sudah ngincim.255 Begitu aku sampai meja kerjaku, aku harus bergerak cepat. Dan suasana pagi benar-benar yang terasa in
mengisyaratkan dukungan penuh untukku. Alhamdulillah
maturnuwun Gusti256 , gumamku renyah, saat aku selesai secara beruntun menyalakan piranti hotspot257, menghidupkan lappy258 , men-charge hape, dan menghidupkan kipas angin ruangan. Bismillaahi-r-rahmaani-r-rahiim259, ucapku kemudian mengawali memasuki dunia maya online melalui FB260. Hari ini aku akan membuat group melalui FB. Dan hal ini yang kuingat betul sejak semalam, bahwa aku jangan sampai lupa. Dorongan membuat grup tanpa sengaja tanpa rencana. Bahkan aku tidak tahu akan membuat grup macam apa. Ya, ini bermula dari membaca tulisan Roby Muhamad261 yang tiba-tiba terasa pas dengan suasana hatiku yang tengah bingung harus berbuat apa untuk mengekspresikan bahwa aku peduli HIV/AIDS. Ada inspirasi masuk dalam pikiranku. Tulisan itu menyatakan bahwa internet memungkinkan pemerataan informasi. Ya, jujur saja, aku agak tidak peduli dengan isi tulisan itu seutuhnya. Yang membuat aku berpikir sederhana hanyalah bahwa internet dapat membantuku untuk mengekspresikan kepedulian terhadap persoalan HIV/AIDS. Itu saja, dan itu sederhana. Nah, itu pulalah yang aku tanam dalam ingatanku sebagai sebuah ancaman agar aku jangan lupa untuk melakukannya keesokan harinya. Dan benar, usai aku mengurus pekerjaan pagiku di rumah, aku bergegas ke tempat kerjaku. Hanya ada satu tujuan, make a group, and just do it !262
255
Mengancam, mengingat benar Terimakasih Tuhan 257 Istilah untuk area bebas ber-internet-an 258 Laptop 259 Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang; lafadz yang lazim dibaca orang Islam saat memulai suatu pekerjaan. 260 Facebook (FB) 261 Roby Muhamad, Situs Jejaring Sosial atau Situs Nongkrong?, dalam Yus Ariyanto (penyunting), Like This, Kumpulan Tulisan Pilihan 2009-2010, Jakarta, Multimedia Jakartabeat.Net, Cetakan 1, Maret 2011, halaman 375-378 262 Buat grup, dan lakukan saja ! 256
97
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Sungguh beruntung aku bekerja di tempat kerja yang cukup open263 terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi walaupun tempat kerjaku berada di lingkungan pendidikan dan pesantren tradisional. Rekan kerja dari kepala sampai caraka264 semua welcome terhadap internet. Dan rekan-rekan paham kalau aku datang gasik dan membuka laptop, artinya aku memang harus bekerja dengan laptop dan juga internet. Lingkungan kerja telah menyodorkan ruang bagiku untuk berkelana dalam dunia maya, dan ini semua aku manfaatkan betul untuk keperluan yang semestinya. Bahkan aku menjadi terbiasa juga membangun komunikasi dengan banyak murid, santri, alumni, orangtua, dan teman-teman lainnya untuk menyelesaikan satu-dua persoalan yang muncul. Sungguh aku beruntung. Dan sungguh Tuhanku begitu sayang padaku.
Tuhan selalu saja
memberikan kemudahan pada saat sulit. Aku yakin itu. Bagiku, keyakinan adalah kunci. Betapa tidak, begitu aku membuka status FB-ku, beberapa teman sudah ‘say hello’ dengan menulis dalam inbox, tag tulisan dan foto, dan share berita. Tanpa ba-bi-bu265, aku jadi proaktif saja menyapa mereka dengan menuliskan kata-kata update berikut. Salam. Aku mau bikin grup peduli HIV/AIDS What do you think?266 Ada saran?
Kata-kataku itu aku kirim dan share ke teman-teman, termasuk sejumlah saudaraku sendiri. Aku ingin masukan, saran, atau bahkan makian sekalipun secepatnya. Yang jelas aku butuh apresiasi teman-teman. Dan benar !! Update statusku mendapatkan respons dari banyak teman.
Aku
senang teman-teman me-like tulisanku. Aku bangga pada teman-teman yang 263
terbuka Pembantu 265 Banyak bicara 266 Apa pendapatmu? 264
98
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
merespons positif keinginanku membuat grup peduli HIV/AIDS. Dan aku merasa jadi banyak teman berdiskusi melalui chatting
berkait dengan
rencana membuat grup itu. Just do it, bro !! Chatting Manan, juga teman yang lain yang senada lalu menggumpal kental menjadi penguat tekad dalam dadaku. Hari itu juga aku memutuskan membuat group baru dengan nama : AIDS TANPA STIGMA. Lalu aku melengkapi grup dengan mendiskripsikannya dalam ‘About’. Diskripsi ini penting untuk memberikan gambaran sekilas tentang grup yang aku buat. Aku menulis pada ‘About’ . Salam Peduli HIV/AIDS Disadari atau tidak, perkembangan penularan HIV/AIDS ada di sekitar kita, bahkan mungkin saja ia sangat dekat dengan kita. Mari kita berbagi informasi positif dan edukatif untuk sesama manusia … SEHAT ITU MAHAL HARGANYA. Salam. Lalu aku undang banyak teman, limapuluh teman lebih, dari berbagai latar belakang dan daerah yang berbeda. Aku acak saja. Aku berpikir sederhana saja, bahwa persoalan penularan dan penanggulangan HIV/AIDS ini bukan melulu milik satu dua kelompok orang saja. Persoalan ini adalah persoalan semua. Persoalan HIV/AIDS adalah persoalan umat manusia, batinku kemudian. Dan pada saat aku mengundang teman-teman, aku merasa aku hidup kembali dengan kehidupan baru. Aku merasakan bahwa Tuhan tengah mencurahkan kenikmatan yang unmeasurable, kenikmatan yang tidak dapat diukur dengan materi apapun. Aku merasakan hidupku jadi bermanfaat. Aku pun teringat hadits Nabi, khayru-n-naas anfa’uhum li-n-naas
99
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
– sebaik-baik manusia adalah yang memberikan kemanfaatan bagi manusia lainnya. Ya Allah, semoga dengan membuat grup ini, aku semakin bermanfaat sebagai hamba-Mu … . Semoga orang-orang di luaran sana pun semakin bermanfaat bagi sesama manusia … . Aku berdoa dalam hati. Aku pun mengamininya, dalam hati.
*****
Intensitas dan rutinitasku meng-update status dan grup, rupanya harus mengalami tantangan berat. Aku akui aku keliru. Bertindak berlebihan memang kurang baik, simpulku kemudian. Dan aku sangat menyadari setelah dua-tiga hari aku getol memaksimalkan grupku. Aku menyadari saat malam istriku sama sekali tidak mau disentuh olehku. Aku pikir dia bercanda. Aku pikir dia tengah manja. Aku pikir dia tengah guyonan sebagaimana biasa aku dan dia guyonan di kamar. “Moh, ngalih!”267, teriak istriku keras dan membuatku terkejut. “Kae diurusi baen fesbuke!”268, katanya lagi sambil menjauhiku. Bahkan dia memunggungiku. Deg ! Aku terkaget-kaget. Aku terdiam mendengar kalimat terakhirnya. Aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres antara aku, istriku, dan fesbukku. Aduh, ada apa nich?, batinku.
267 268
Tidak mau, sana pergi Sana diurusi saja fesbuknya
100
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku mencoba menguasai diri. Aku coba membaca situasi. Aku dan istriku sudah sepuluh tahun lebih berumah-tangga, bahkan sudah dikarunia dua anak yang manis-manis. Percekcokan, pertengkaran, neng-nengan269 sudah biasa terjadi. Dan aku pun mencoba bersikap manis dan romantis. “Ana apa, sayang…”270, kataku sambil menjulurkan tangan kananku dan menempelkannya selembut mungkin pada ujung pundaknya. “Ngalih!”, teriaknya agak keras sambil menghindari tempelan tangan kananku. Bahkan dengan tangan kanannya, dia membersihkan bekas tempelan tanganku. Aku berpikir cepat. Wah, pasti ini ada yang tidak beres. Istriku cemburu, atau dia mendapatkan informasi yang tidak tepat. “Lagi menstruasi, yah?”, tanyaku kemudian. Aku mencoba mengaitkan keengganan istriku untuk kusentuh dengan kelaziman wanita. Aku mencoba menganalisa cepat, barangkali dia sedang datang bulan. “Aja ngemek aku maning, Mas. Kana njenengan sare njaba baen”271, katanya sambil tetap memunggungiku. “Lho ana apa sich. Ngendika donk, Dik”272, kataku bertanya setengah mencoba merayu. Aku ingin dia blakasuta273. “Jal matur, nek aku salah, ya omongna apa salahe. Aja kaya guwe lah”274, imbuhku dengan nada lembut. “Kana sare njaba bane, Mas!”275, responsnya dengan nada mengusir. “Kae keloni baen kutis apa waria!”276, katanya lagi dengan sengit. “Lho? Deneng ngendikane nglantur, Dik”277, jawabku cepat.
269
Saling mendiamkan Ada apa, sayang 271 Jangan menyentuh aku lagi, Mas. Sana kamu tidur di luar saja. 272 Lho, ada apa sich. Bilang donk, Dik 273 Bilang apa adanya. 274 Coba bilang, kalau aku salah, ya bicaralah apa salahnya.jangan seperti itu lah 275 Sana tidur di luar saja, Mas 276 Sana cumbui saja pelacur atau waria 277 Lho? Koq bicaranya melantur, Dik 270
101
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Sambil menjawab, aku mencoba merangkai jawaban mengapa istriku tidak mau disentuh, lalu menyuruhku mencumbui pelacur atau waria. Aku coba rangkai dengan penolakan awalnya, soal fesbuk. Aku mulai menemukan titik temu. Apa ini berkait dengan grup yang baru aku buat ya?, tanyaku dalam hati. “Halah, ethok-ethok … Pegatan baen ya kena!”278, katanya ketus. Aku kaget campur geli dengan kata ‘pegatan’ yang dia lontarkan. Aneh, batinku. Namun demikian, aku tidak mau gegabah. Aku tidak ingin persoalan kecil mengembang membesar dan sulit dikendalikan. “Anu soal fesbukku ya? Soal HIV/AIDS ya?”, tanyaku pelan-pelan. Istriku
tidak
menjawab
pertanyaanku.
Dia
tetap
diam
memunggungiku. Lalu aku mencoba cepat menarik kesimpulan; istriku ngambek sebab aku ‘main-main’ dengan urusan HIV/AIDS. Aku pun kemudian bersandar pada tepi dipan besar di kamarku. Aku gunakan bantal untuk mengganjal dan memperempuk sandaranku. “Baiklah, Dik …”, kataku kemudian satelah aku coba merangkai katakata yang tepat untuk menerangkan semua. “Pertama, aku minta maaf padamu … Yah, sebab aku membuat grup fesbukan soal HIV/AIDS, dan aku tidak sempat memberitahumu”, jelasku dengan pelan-pelan. Aku berhenti satu-dua detik menunggu respons istriku. Namun istriku tetap diam dan memunggungiku. “Dan yang kedua …”, lanjutku sambil mengawasi punggungnya yang naik-turun sebab bernafas. Aku sengaja menghentikan
kata-kataku sebentar sambil tetap
mengawasi punggungnya. Dan aku amati istriku mengentikan nafasnya. Punggungnya nampak tidak naik-turun. Artinya, istriku menunggu kalimatku berikutnya sambil dia menahan nafas.
278
Halah, pura-pura … Cerai saja ya boleh!
102
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Aku sama sekali tidak berhubungan seks dengan pelacur, waria, atau siapa saja yang beresiko kena HIV/AIDS”, kataku kemudian. “Na’udzubillaahi min dzaalik !”279, kataku dengan tegas. “Ngapusi, njenengan !”280, katanya sambil membalikkan badan. Aku lihat mata istriku membulat tanda tidak percaya dan marah. Tangan kanannya naik dan menunjuk-nunjuk
ke
arahku. Aku kaget
dibuatnya. “Wallahi !”281, seruku pendek tertahan. Aku bersumpah. “Yakin?”282,
serangnya sambil mendekatkan jari telunjuknya ke
wajahku. Aku terkesirap kaget. “Ya. Demi Allah !”, tegasku. “Kamu jangan ngawur menuduhku begitu”, kataku mencoba menasehatinya sambil menangkap tangan kanannya yang masih menunjuk. “Tapi siapa itu nama-nama perempuan di hape njenengan ? Aku tahu itu nama-nama baru”, bantahnya dengan keras. Tangan kanannya yang menunjuk bergerak turun. Mendengar dia menyinggung soal hape, aku pun secepat kilat mengambil hapeku yang tergeletak di atas lemari kecil di kamar. Aku ambil dan aku bawa mendekat kembali ke arah istriku. “Coba tunjukkan mana nama-nama yang mencurigakan?”, tanyaku setengah menantang sambil menyodorkan hapeku pada istriku. “Itu banyak yang pake
embel-embel AIDS”, jelasnya sambil
memelototiku. “Astaghfirullaha-l-‘adhiim”,
pekikku
beristighfar
beberapa
kali.
Ingatanku jadi mengembang pada sejumlah nama teman-teman pegiat peduli HIV/AIDS. Memang nama-nama itu aku imbuhi kata “AIDS” di belakangnya. Maksudku untuk memudahkanku saja.
279
Aku berlindung kepada Allah dari yang demikian itu. Berbohong kamu ! 281 Demi Allah ! Ini kalimat sumpah yang lazim dipakai di kalangan umat Islam. 282 Yakin? Sungguh? 280
103
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Bu, mereka teman-teman aktivis peduli AIDS, Bu”, jelasku. “Bohong ! Kenapa pakai embel-embel AIDS”, bantahnya lagi. “Itu untuk memudahkan aku saja, sayang …”, jelasku lagi sambil mencari salah satu nama teman perempuan yang aku imbuhi dengan kata “AIDS”. “Nich, ada nama Manan AIDS”, kataku sambil mendekatkan hapeku ke dekat wajah istriku agar mudah terbaca. “Manan. Kamu sudah kenal dia khan?!?”, kataku kemudian. Aku lihat istriku sekilas melihat ke arah layar monitor hapeku. Lalu aku tarik hapeku lagi untuk mencari nama yang lain. “Nich, ada lagi … Rina AIDS”, kataku lagi sambil kembali mendekatkan hapeku ke dekat wajahnya. “Apa perlu aku telpon dia?”, tanyaku kemudian. “Kalau iya, aku telpon Mbak Rina … Silahkan kamu tanya sendiri siapa dia”, imbuhku dengan meyakinkan. “Kalau tidak, besok Manan aku suruh kesini saja sekalian … “, tantangku kemudian. “Silahkan kamu tanya sendiri, dan dia menjelaskan sendiri. Aku ta’ diam saja”, tantangku lagi. Aku lihat istriku sudah mulai mengendur. Dia sudah yakin dengan keteranganku. Aku jadi agak lega. “Tapi, Mas …”, kata istriku lirih sambil kembali merebahkan tubuhnya dan memunggungiku lagi. “Tapi apa, sayang?”, tanyaku sambil mendekatkan tubuhku ke tubuhnya. Aku meletakkan hapeku di dekat bantal dengan tangan kananku. Dan aku meletakkan telapak tangan kiriku ke atas punggung tangan kirinya. Aku pun sempatkan mengelus tangannya.
104
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Aku mencintaimu, Dik. Kita saling cinta. Kamu tidak usah khawatirkan cintaku”, kataku setengah mendesah sambil mendekatkan tubuhku ke tubuhnya sedekat-dekatnya. Istriku bergerak pelan membalikkan tubuhnya. Dia jadi menghadap langsung ke
arahku. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Aku lihat
matanya mengisyaratkan betapa dia sayang padaku; betapa dia takut kehilangan diriku. Aku jadi refleks membelai rambut dan wajahnya. Dan aku pun tak bertahan lama untuk segera mencumbuinya. Aku akan setia padamu, kataku dalam hati. Semakin aku peduli HIV/AIDS, justru aku semakin ingin setia, kataku lagi. Ya, sebab kesetiaan pada pasangan merupakan kunci kebahagiaan, kataku lagi sembari menasehati diri sendiri tentang pentingnya kesetiaan. Sementara itu rasa setiaku pun melebur bersama irama orchestra surgawi yang merembes syahdu mengarungi indahnya lautan asmara. Aku pun semakin menikmati indahnya kesetiaan.
*****
105
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
10 LAPAK
Pagi berdenyut ritmis. Anak-anak sudah pergi ke bangku sekolah untuk menuntut ilmu. Aku dan istriku tengah asyik membersihkan rumah mungil kami saat bel rumah berbunyi. Pagi-pagi ada tamu, siapa ya?, batinku sambil meletakkan hape di atas kulkas. Aku segera beranjak menuju ruang tamu sesaat istriku mengingatkan aku bahwa nanti malam Minggu. Aku mendengar kata-katanya sambil berjalan ke arah pintu utama rumah. Aku segera buka pintu untuk mengecek siapa tamu pagi ini. “Assalamu’alaikum ya nahdliyyin”, ucap lelaki di depan pintu. Ow, rupanya Manan. Nampak dia terkekeh renyah. Aku pun tak tahan untuk menjawab salam yang bernada ledekan dengan menyebutku ‘ya nahdliyyin’ – wahai orang/lelaki NU. “Wa’alaikumussalam …
apa ya? Oke. Wa’alaikumussalam ya
nahdliyyaat … ”, jawabku sembari menimpali ledekannya. Aku ledek saja dia dengan sebutan ’ya nahdliyyat’ – wahai perempuan NU. “Hus, emange inyong wedonan”283, sahut Manan sambil terbahak. “Lha pijer esuk-esuk wis nggawa-gawa nahdliyyin sih … He-he, kene mlebu. Kopi, teh, apa banyu sumur?”284, kataku sekenanya saja sambil mempersilahkan Manan masuk rumah. Aku sekalian saja meledeknya. Entoch kami biasa ledek-ledekan, tanda keakraban. “Kopi baen. Suwe ra ngopi nang kene”285, jawabnya sambil beralasan.
283
Hus, memangnya aku perempuan Lha kenapa pula pagi-pagi sudah bawa-bawa nahdliyyin … Hehe, sini masuk. (Mau) kopi, the, apa air sumur? 285 Kopi saja. Lama tidakminum kopi di rumah ini 284
106
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tenang baen …”286, jawabku. “Ow, Mas Manan … . Waras, Mas?”287, kata istriku dari dalam rumah sambil berjalan mendekat. “Waras, Mbak … . Sing ora waras dompete thok, Mbak?!”288, jawab Manan melucu. “Ha-ha, guwe akeh tunggale, Mas …”289, balas istriku sambil ngakak. “Kopi apa teh giye?”290, tanya istriku kemudian. “Kopi, Bu. Karo aku sisan”291, jawabku. Mendengar jawabanku, istriku bergegas kembali ke belakang, ke dapur. Dia pasti segera membikin kopi nasgithel292, batinku. Sementara itu aku dan Manan pun segera jagongan293 santai di ruang tamu rumahku. “Pernae gasik? Ana apa, Kang?”294, tanyaku mengawali perbincangan santai. “Ya, dolan … Pirang dina ra ketemu ra kontak-kontakan”295, jawabnya santai sambil mengeluarkan sebatang rokoknya. Aku amati Manan memilin-milin batang rokok di tangannya. Bibirnya bergerak-gerak seperti mau bicara. Aku jadi diam menunggu sambil tersenyum melihat gerakan bibirnya yang ndlap-ndlup.296 “Ya mung ngaturi pirsa, engko mbengi malem Minggu … . Nek njenengan qosdu … njenengan ta’ aturi tindak meng alun-alun”,297 jelasnya kemudian.
286
Tenang saja Ow, Mas Manan. Sehat, Mas? 288 Sehat, Mbak. Yang tidak sehat dompetku saja, Mbak 289 Haha, itu banyak yang sama, Mas 290 Kopi apa teh ini? 291 Kopi, Bu. Sama aku sekalian 292 Kopi panas, legi, lan kenthel. Kopi yang disedu air panas, berasa manis, dan dibuat kental. 293 Duduk-duduk 294 Tumben gasik? Ada apa, Mas? 295 Ya, main lah … Beberapa hari tidak ketemu dan tidak saling kontak 296 Maju-mundur 297 Ya hanya memberitahu bahwa nanti malam (adalah) malam Minggu …Kalau Anda berminat, Anda saya minta berkenan pergi ke alun-alun 287
107
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku dengar dia mengucapkan kata ‘qosdu’ dengan intonasi ke-Arabaraban sambil menatapku sebentar. Bahkan dia mengucapkannya dengan nyeklok298. Ya, kata ‘qosdu’ memang berasal dari Bahasa Arab, dan kata ini jarang dipergunakan di kalangan umum. Kata ini bermakna “mau, kersa, berminat”. Aku jadi kaget campur geli saat dia mengucapkan kata ‘qosdu’ itu. Ana-ana baen Manan, nganggo ‘qosdu’ mbireng, kaya Pak Kaum299, batinku sembari mengernyitkan dahiku. Ada apa di alun-alun?, pikirku cepat. “Ana qosdu apa nang alun-alun, Kang?”, tanyaku kemudian sambil terkekeh. Aku pun melafadkan kata ‘qosdu’ dengan lebih fasih, lewih cetha, lebih jelas. Aku sengaja membalas kekhasan yang Manan gunakan. Aku bertanya sambil terkekeh, dan Manan pun ikut terkekeh. Kami mentertawakan diri sendiri yang tiba-tiba tertarik dengan penggunaan kata ‘qosdu’ yang rasanya begitu kuno diperdengarkan. Rupanya tanpa sadar kami mentertawakan diri sendiri yang tiba-tiba merasa kangen dengan istilah-istilah lama. “Lawas banget aku ra tau krungu kata ‘qosdu’, Kang”300, imbuhku kemudian masih sambil terkekeh. “Iya, betul …”, balas Manan sambil terkikik lirih. “Gimana soal alun-alun itu?”, tanyaku kemudian. “Iya, Mas … Begini …”, jawabnya sambil menikmati rokoknya. “Tiap Malam Minggu pertama dan ketiga, kami, Bougenville301 biasa membuka lapak info soal HIV/AIDS”, jelasnya sambil memandangku. Aku lihat dia ingin melihat responsku dengan informasinya.
298
Fasih sekali Ada-ada saja Manan, menggunakan kata qasdu segala, kayak Pak Kaum saja. Pak Kaum sendiri adalah petugas yang biasa mengurusi ritual sosial keagamaan di kampung di wilayah Jawa yang masyoritas beragama Islam, semacam selamatan, tahlilan, kematian, dan lainnya. Figur Pak Kaum itu sendiri sekarang sudah mulai jarang dimunculkan di permukaan sebagai salah satu tokoh masyarakat pedesaan, tergerus oleh sosok-sosok modern seperti Ketua RT, Ketua RW, Kepala Lingkungan, dan lainnya. 300 Lama sekali aku tidak pernah mendengar kata ‘qosdu’, Mas 301 Nama Forum Peduli Aids (FPA) 299
108
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Wah, luar biasa itu”, tanggapku cepat. Aku kagum dengan langkah Manan dan kawan-kawan. “Ya, kami menggelar lapak, kami memberikan informasi seputar HIV/AIDS di alun-alun … . Respons orang-orang bagus …”, jelas Manan kemudian. Aku lihat dia sengaja menghentikan penjelasan komplitnya. Aku tangkap dia ingin membiarkan istriku datang bergabung sambil membawa dua cangkir kopi. “Apa guwe, Mas … AID-AID-an?”, sela istriku. Rupanya istriku mendengar ujung pembicaraanku dengan Manan. Dia jadi ingin tahu juga soal HIV/AIDS, dan mengungkapkannya dengan kata ‘AID-AID-an’. “Ini, Mbak … . Mas Amin ta’ kasih tahu soal adanya lapak info HIV/AIDS di alun-alun Kebumen … Lha, aku memberitahu sekaligus mengajak … kalau sempat, ya, silahkan dikunjungi”, jelas Manan sambil melihat ke arah istriku dan juga ke arahku bergantian. “Mas Manan apa ora kewatir ketularan guwe?”302, tanya istriku dengan suara bergetar. Ada nada sekelumit curiga. “Ketularan kepreben, Mbak?”, tanya balik Manan dengan serius. “Ya mbuh … Aku ra ngerti”303, jawab istriku dengan mimik agak sedikit ketus. Aku merasakan kesinisan dalam kalimat istriku. Namun aku sengaja ingin diam saja. Aku paham. Dan aku sengaja tidak ingin nimbrung. “Begini, Mbak …”, kata Manan dengan ekspresi serius. Aku lihat dia meletakkan sebentar puntung rokoknya di asbak. “HIV itu khan virus … Virus ini menular melalui darah … lalu air mani… lalu cairan vagina … dan air susu ibu”, jelasnya dengan mantap. “Dan virus ini tidak menular sebab gigitan nyamuk, bersalaman, berpelukan, menggunakan sendok makan yang sama, tinggal serumah, dan
302 303
Mas Manan apa tidak khawatir akan tertular ya? Ya, entahlah…Aku tidak paham
109
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
menggunakan kamar mandi yang sama …”, imbuhnya dengan suara meyakinkan. Aku lihat Manan begitu antusias. “Banyu susune ibune bisa guwe, Mas?”304, tanya istriku dengan ekspresi tak kalah seriusnya. “Iya, Mbak … . Seorang ibu yang positif HIV, lalu dia menyusui anaknya, maka anaknya dapat tertular HIV”, jawab Manan mantap. “Lho? Ibu-ibu khan ora ngawur-ngawuran … Dheweke khan ora kayak wong-wong sing kaya kae?”305, kata istriku mencoba menyanggah. Gerakan tangannya ikut memperkuat kata-katanya yang bernada menyanggah. “Iya, paham, Mbak … Ibu-ibu itu sangat menjaga kesucian dirinya khan? Sehingga sangat mustahil dia terkena HIV AIDS”, jawab Manan serius. “Justru data Dinas Kesehatan membuktikan bahwa sekarang banyak ibu-ibu runah tangga yang terkena HIV AIDS, Mbak … . Tahu kenapa bisa begitu, Mbak?”, jelas Manan sambil bertanya. “Wah, ya mbuh …”306, jawab istriku polos sambil terkekeh. “Ya, sebab suaminya suka jajan … suka seks bebas … suka berhubungan seks dengan orang-orang yang beresiko tinggi terkena HIV AIDS, Mbak”, papar Manan sambil terkekeh lirih. “Jangan anggap enteng, Mas Amin … “, kata Manan sambil menatapku serius. “Apa itu, Mas?”, tanggapku dengan pertanyaan pendek. Aku sengaja membatasi diri untuk tidak bergabung dengan perbincangan antara Manan dengan istriku. Aku tidak ingin intervensi. “Lho, njenengan khan aktif di NU … . Jangan anggap enteng bahwa ibuibu muslimat atau yang lainnya itu pasti bebas dari HIV AIDS”, jelasnya dengan nada meninggi.
304
Air susu ibunya bias itu, Mas Lho? Ibu-ibu khan tidak berperilaku sembarangan … Dia/mereka khan tidak seperti orangorang yang kayak gitu. 306 Wah ya entahlah 305
110
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lho? Maksudnya Mas Manan mencurigai ibu-ibu Muslimat atau Fatayat itu? Begitu ? Wah, jangan su’udzon307, Mas”, kataku dengan sedikit mencemooh. “Begini, Mas … Aku tidak buruk sangka … . Sama sekali tidak. Aku yakin ibu-ibu NU pasti orang-orang suci, alim, taat beribadah … Pokoknya mustahil mereka tertular HIV AIDS … . Tapi permasalahannya, apakah suamisuami mereka juga menjaga diri dari tertular HIV AIDS?”, kata Manan panjang lebar dan diakhiri dengan pertanyaan yang menyodok. “Maksudnya bagaimana, Mas?”, tanya istriku. “Maksudnya, kalau bapak-bapaknya suka jajan, suka melacur … lalu dia tertular HIV dari pelacur … lalu dia berhubungan seks dengan ibunya di rumah … . Bisa tidak ibunya tertular?”, jelas Manan kemudian sambil bertanya. “Nah, itu Pak ! Dengarkan penjelasan Mas Manan”, kata istriku dengan nada meninggi sambil melihat sinis ke arahku. Aku kaget dengan perkataan istriku. Aku lihat Manan juga kaget. “Lho? Kenapa Mbak? Emangnya Mas Amin suka macam-macam?”, tanya Manan sambil terkekeh dan melirik ke arahku. “Bapake bocah giye khan melu-melu peduli AIDS … “308, jawab istriku masih dengan nada sinis dan curiga. Mendengar jawaban istriku, Manan tertawa ngakak terbahak-bahak. Aku lihat Manan terguncang tubuhnya sebab tertawa terpingkalnya. Aku lihat istriku agak pasang muka cemberut. “Justru sosok macam Mas Amin inilah yang harus terlibat dalam upaya penanggulangan HIV AIDS, Mbak”, tandas Manan kemudian. “Persoalan HIV AIDS sudah menjadi persoalan umum, bahkan menjadi persoalan yang mendunia … . Tokoh-tokoh agama macam kyai, ulama, ustadz, ibu nyai, pendeta, romo, biksu, dan lainnya perlu sekali turut ambil bagian”, imbuhnya komplit dengan nada serius bagai orator. 307 308
Berburuk sangka Bapaknya anak-anak khan ikut-ikutan kegiatan peduli AIDS
111
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Dan kalau Mas Amin sekedar peduli HIV AIDS dengan membantu penanggulangannya, itu khan malah suatu perbuatan mulia … . Khan begitu, Mbak?”, jelas Manan lagi. “Asal aja nggawa penyakit meng umah, Mas”309, tandas istriku sambil nyengir. “Insyaallah Mas Amin terjaga dan setia …”, kata Manan sambil tertawa lebar. “Jujur ngomong, Mbak … Istriku tadinya juga curiga … cemburu … bahkan berburuk sangka”, jelas Manan kemudian. Rupanya dia mencoba meyakinkan istriku dengan menceritakan dirinya dan istrinya. “Sekarang?”, tanya istriku memburu. “Alhamdulillah, sekarang dia sudah paham … . Dia sudah paham kerja suaminya yang sedang membantu sesama manusia”, jawab Manan sambil terkekeh. “Eh, apa kene ya wis akeh sing kena, Mas?”310, tanya istriku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rupanya istriku ingin mendapatkan banyak
informasi tentang HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Kebumen. Mendengar istriku bertanya topik lain, aku merasa lega. Aku menangkap istriku sudah mulai mengikis kecurigaan dan prasangka buruknya. Aku senang dengan sikapnya. “Dibilang sedikit, ternyata banyak … . Dibilang banyak, ternyata tidak banyak-banyak amat, Mbak … Datanya ada koq, Mbak”, jawab Manan. “Namun …”, kata Manan kemudian. Nampak Manan mencoba memainkan emosi lawan bicaranya. Dia ingin memancing perhatian istriku, dan juga aku. “Gimana?”, kejar istriku bertanya. “Namun, Mbak … Soal HIV AIDS itu ibarat gunung es yang kampulkampul311 di atas lautan … Yang nampak dipermukaan itu sedikit dan kecil … 309
Asal jangan membawa penyakit ke rumah, Mas Apa di sini ya sudah banyak yang terkena, Mas 311 Mengambang 310
112
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Namun, yang di bawah permukaan itu sangat besar … . Artinya, orang-orang yang terdata hanya sedikit … namun sebenarnya masih banyak yang belum terdata …”, jelas Manan sambil mengekspresikan penjelasannya dengan gerakan-gerakan kedua tangannya. Aku
mengangguk-anggukkan
kepalaku.
Aku
suka
dengan
penggambaran Manan. Nampak istriku juga menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Berarti, jika yang tercatat hanya seratus …. Bisa jadi sebenarnya seribu atau bahkan lebih banyak lagi yang belum tercatat … Begitu?”, kata istriku mencoba menarik kesimpulan. “Betul”, jawab Manan singkat. “Kenapa begitu, Mas?”, tanya istriku terkesan memburu jawaban. “Kenapa itu Mas Amin?”, tanya Manan kepadaku sambil menatapku minta bantuan. Mendengar dan melihat
apa yang diperbuat Manan, aku hanya
mengangkat bahuku. Aku mencoba menolak terlibat dalam perbincangan. Aku ingin dia saja yang menjawab. Dan dia terkekeh melihat gerakan tubuhku. “Menurutku ada dua sebab”, jawab Manan. “Pertama, orang dengan HIV AIDS, atau ODHA itu takut mendapatkan cemoohan dari orang-orang dekatnya … Mereka takut dikucilkan, bahkan takut diusir …. sehingga dia tidak mau lapor, dicatat, ataupun didata …”, jelas Manan. “Lalu?”, tanya istriku cepat. “Artinya, kita perlu membangun kesadaran bersama, bahwa si ODHA itu juga manusia, yang perlu ditolong … Masyarakat perlu memberikan kesempatan untuk si ODHA untuk bisa hidup di tengah masyarakat, tanpa dicap jelek, tanpa dikucilkan, tanpa harus diusir, tanpa harus dikeluarkan dari pekerjaannya … Kasihan mereka …“, imbuh Manan seakan tidak menggubris pertanyaan istriku. 113
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lalu?”, tanya istriku lagi. “Jika masyarakat sudah bisa menerima keberadaan si ODHA, insyaallah
orang-orang yang lainnya yang terkena HIV AIDS pun akan
terbuka untuk mengaku dan kemudian berobat secara teratur”, jelas Manan lagi tanpa menggubris pertanyaan istriku. Lalu Manan berhenti sejenak. Aku lihat dia tengah menikmati isapan rokoknya. “Lalu …yang kedua …”, kata Manan kemudian. “Orang yang tidak terkena HIV AIDS … khususnya para tokoh seperti Mas Amin ini … mau aktif dan gencar mengikis cap buruk dan pengucilan itu… Orang macam Mas Amin harus aktif membantu si ODHA dan juga membantu masyarakat luas …”, jelas Manan dengan mantap. Gayanya nampak begitu meyakinkan. Aku pun dibuat mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujuinya. “Judule ngamal sholeh liwat HIV AIDS ya, Mas?”312, komentar istriku mencoba mengambil kesimpulan religius. “Nah, niku …”313, seru Manan menanggapi komentar istriku. “Dalane suwarga mbok werna-werna?”314, kata Manan
sambil
terkekeh panjang. Aku suka dengan gaya Manan memberikan komentar. Aku suka bicaranya yang ceplas-ceplos namun tetap terarah. “Mulane, Mbak … . Aku sowan ngeneh mung ngaturi pirsa Mas Amin, nek nang alun-alun ana lapak info soal HIV AIDS …. Syukur bagi Mas Amin lan Mbakyu kersa tindak alun-alun … melu ngombyongi kanca-kanca sing wernawerna …”315, jelas Manan kemudian. Dia menyampaikan maksud dan tujuannya bertandang ke rumahku. 312
Ini judulnya (berarti) beramal shaleh melalui (kegiatan peduli) HIV AIDS ya, Mas Nah, itu … 314 Jalan menuju sorga khan beraneka macam 315 Makanya, Mbak … Aku bertamu kesini hanya memberitahu Mas Amin, kalau di alun-alun (sekarang) ada lapak info soal HIV/AIDS … Syukur-syukur Mas Amin dan kakak mau pergi ke alun-alun … ikut mendukung upaya teman-teman yang (nyatanya) beraneka macam … 313
114
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Guwe Mas Amin baen, Mas Manan … Aku sing tunggu umah baen … Sing penting aja neka-neka …. men gole ngibadah ngamal sholeh bener-bener mulus lan diqobul Gusti Allah …”316, komentar istriku serius tapi sambil terkekeh. Aku dan Manan tersenyum. Aku dan Manan pun mengamini kata-kata istriku yang bermuatan doa. Istriku pun kemudian ikut mengamini. Dalam hati aku merasa bangga dengan sikap istriku yang penuh kepercayaan terhadap apa yang tengah aku lakukan bersama Manan. Aku gembira dengan ketulusan dan kepercayaannya. Aku pun berjanji pada diriku sendiri akan menjaga kepercayaan itu dengan tetap setia.
*****
Malam Minggu. Usai shalat isya gasik, aku berpamitan pada istriku untuk meluncur ke alun-alun. Apalagi tadi Manan sudah meng-SMS kalau dirinya sudah standby di alun-alun dengan lapaknya. Aku selusuri jalan Sarbini lurus ke barat, dan di pertigaan Dinas Kesehatan aku berbelok kiri ke arah selatan. Aku menjalankan sepeda motorku dengan santai dengan tujuan alun-alun sebelah selatan. Begitu memasuki perempatan pojok timur laut alun-alun, aku belok ke kanan untuk menelusuri sisi utara alun-alun. Suasananya sudah 316
Itu (cukup) Mas Amin saja, Mas Manan … Aku yang tunggu rumah saja … Yang penting janganlah (berbuat) macam-macam …biar laku ibadah beramal shaleh benar-benar mulus dan dikabulkan oleh Gusti Allah
115
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
sangat ramai. Malam Minggu alun-alun Kebumen menjadi pusat rekreasi warga masyarakat dari berbagai lapisan. Berbagai makanan tersedia di sepanjang trotoar yang mengitari lapangan alun-alun. Kemudian aku berbelok ke selatan menelusuri sisi barat alun-alun. Aku pun melewati kompleks Kauman. Nampak Masjid Agung Kebumen dengan menaranya berdiri kokoh di sisi barat jalan. Begitu sampai di pojok barat daya alun-alun, aku berbelok ke kiri menelusuri sisi selatan alun-alun. Aku sengaja menelusuri sisi-sisi alun-alun sambil melihat-lihat kesibukan banyak orang yang beraneka ragam. Aku memarkir sepeda motorku di selatan videotron yang berdiri gagah di sisi selatan alun-alun. Aku ambil hapeku untuk melihat waktu. Pukul delapan malam lebih seperempat. Lalu aku masukkan kembali hapeku dan juga kunci motorku ke dalam saku celana panjangku. Aku amat-amati lokasi yang ditunjukkan Manan dimana lapak itu berada. Ow, lapaknya berada di tengah di antara dua taman dan di antara dua lampu penerangan. Aku tarik lokasi lapak itu ke selatan sampai dengan papan nama Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Lalu aku tarik lurus lokasi itu ke utara sampai dengan pohon beringin yang berdiri angker di tengah alun-alun, terus ke utara lagi sampai di Rumah Dinas Bupati Kebumen. Luar biasa, batinku. Rupanya lokasi lapak tanpa sengaja telah menempatkan pada posisi lurus dari kantor dinas yang menggeluti dunia pendidikan, pohon beringin yang melambangkan pengayoman, dan rumah dinas yang melambangkan keagungan. Luar biasa, rupanya lapak ini telah diatur dan
ditempatkan Tuhan pada posisi yang mulia, batinku lagi.
Subhanallah, aku memuji Tuhanku. Aku cermati siapa saja yang ada di seputaran lapak itu. Ada sebuah banner
kecil di sisi timur gelaran tikar plastik. Ada beberapa orang
berkerumun di sana.
Aku lihat Manan dan Helen berada di antara
kerumunan itu. Aku amat-amati kembali. Rupanya Manan dan Helen tengah melayani pengunjung untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS, 116
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
batinku. Aku pun tanpa sadar mengangguk-anggukkan kepala pelan. Begitu to cara teman-teman berinteraksi dengan masyarakat. Sungguh mulia mereka bekerja tanpa risih dan malu, batinku lagi. Aku jadi bangga dengan pengabdian mereka terhadap kemanusiaan. Aku melangkah mendekat menuju lapak. Namun baru beberapa langkah aku menghentikan langkahku. Tiba-tiba aku terserang rasa risih dan malu. Haruskah aku bergabung dengan mereka?, tanyaku dalam hati. Apakah aku tidak malu jika ada satu-dua orang yang mengenalku?, tanyaku lagi. Apakah aku layak bergabung? Bukankah selama ini aku berada dalam lingkungan yang sangat berbeda?, tanyaku lagi. Aku adalah Pengurus NU, aku adalah kepala keluarga, aku dari keluarga baik-baik, aku …. Hah ! Aku membalikkan badanku membelakangi lapak, lurus menghadap ke selatan. Aku tatap langit malam, tanpa bintang bertaburan. Aku pandangi lalu lintas yang sibuk. Aku pandangi sekilas pemandangan di seputaran sisi selatan alun-alun. Aku coba selidiki beberapa orang di dekatku, barangkali ada yang mengenalku. Aku pun coba sekilas cermati tubuhku sendiri walau sebatas badan dan kaki saja. Aku hanya seorang manusia biasa, batinku kemudian. Bahkan aku hanya seonggok daging yang tidak berarti di tengah belantara alun-alun ini, seruku kemudian. Buktinya? Buktinya aku tidak memberikan kemanfaatan apapun di sini. Aku bukan siapa-siapa lagi, kecuali aku mau memberikan manfaat nyata, kataku dalam hati lirih. Bismillah, kataku lirih hampir tak terucap sambil membalikkan tubuhku kembali menghadap ke utara ke arah lapak. Sedetik kemudian aku pun melangkah maju mendekati lapak. Kata-kata tulus istriku soal beribadah dan beramal saleh dengan peduli HIV/AIDS pun terngiang. Bayangan Binto, Kamal kecil, dan Lambo pun melintas cepat. Aku pun jadi mantap mempercepat langkahku. Dengan langkah tegar aku mendekati
117
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
lapak. Dan jarak beberapa langkah di depan lapak, Manan melihatku. Dia tersenyum sambil mengacungkan jempol tangan kanannya. “Dhewekan?”, tanya Manan sambil menyalamiku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Mas”, sapa Helen sambil menyalamiku juga. Aku mengangguk sambil berjabatan tangan. Lalu aku ditarik Manan untuk berjalan menjauhi lapak ke arah barat, dan meninggalkan Helen sendirian menghadapi enam pengunjung remaja yang nampak antusias. Aku diajak duduk-duduk di tempat duduk taman. Aku pun diperkenalkan dengan sejumlah temannya yang sebelumnya aku belum kenal. Ada Lechan, Tussy, Rassy, Amay, Dolly, dan Atun. Muncul juga mendekat Resti, Sanah, dan Jay. Aku lalu lihat Resti dan Sanah bergabung dengan Helen ke lapak. Aku juga gembira melihat Jay. Aku menanam harapan akan mendapatkan informasi tentang Lambo atau Kamal. Aku duduk di sebelah utara Manan dan di selatan Jay. Lechan tengah asyik bercakap-cakap dengan Tussy, Rassy, dan Amay. Sementara Atun berbicara serius dengan Dolly. “Tussy itu famy. Wadone317lesbi”, bisik Manan ke dekat telingaku. “Rassy?”, tanyaku berbisik balik. “Buci. Lanange318”, jawab Manan singkat. Mendengar jawaban Manan, aku berpikir cepat dan sederhana saja. Ow, berarti Rassy dan Tussy itu pasangan lesbian, batinku kemudian. Rassy lebih bertindak sebagai “pria”-nya atau buci, sedangkan Tussy sebagai “wanita”-nya atau famy. “Amay?”, bisikku bertanya ke dekat telinga Manan. “we-er”, jawab Manan. “Waria?”, tanyaku lagi. Manan mengangguk pelan. “Atun itu pe-el”, kata Manan pelan sambil merokok. 317 318
Lesbi wanitanya Lesbi prianya
118
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Petugas?”, tanyaku sambil mencoba menyulut rokok. “Petugas lapangan, pe-el … Lechan juga … Sanah juga”, jelas Manan. “Dolly el-es-el”, imbuhnya. Aku mengangguk pelan tanda memahami apa yang dikatakan Manan. PL itu singkatan dari petugas lapangan, we-er singakatan dari waria, el-es-el itu ya LSL, Lelaki Seks Lelaki. Tiba-tiba Amay mendekati Manan. Aku merinding. “Mas Manan, temannya koq dibiarin jadi patung sich?”, ledek Amay dengan gaya medok. Aku kaget dengan ledekannya. Aku merasa aku tengah diperbincangkan. Apalagi aku lihat sekilas Amay melirikku menggoda. “Amay, Mas Amin nich dari NU … . Dia teman baru kita”, jawab Manan. “Ada yang bisa aku bantu Mbak Amay?”, tanyaku sekenanya mencoba sok akrab. Aku terkejut sendiri dengan kata-kataku. Aku hampir menyesal dengan pertanyaanku. Namun aku harus tegar dengan apapun yang terjadi. Resiko, batinku. “Ih, sama Pak Kyai yah? Ih, jadi malu …”, kata Amay dengan suara lembut dan gerakan gemulai. Aku pun jadi terkekeh. “Amay, jangan lupa lho?”, kata Manan bernada mengingatkan serius. “Apa Mas?”, tanya Amay. “Obatnya dimakan”, kata Manan setengah berbisik. “Beres, Mas ….”, jawabnya pendek. “Eh, itu Sasya ! Aduh, aku jalan dulu ya?”, kata Amay lenjeh319 sambil mengangkat tumitnya melongok ke arah barat. Longokan Amay membuat aku ikut melongok. Aku ikuti langkah Amay yang berjalan gemulai. Rupanya dia menjemput teman warianya, Sasya. Aku lihat mereka berdua berjalan ke arah barat meninggalkan lapak entah kemana. “Kemana mereka?”, tanyaku kepada Manan setengah berbisik.
319
Kenes, genit
119
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Cari duit”, jawab Manan pendek sambil menyemburkan asap rokoknya. Lalu … Tiba-tiba seorang anak muda belasan tahun duduk mendadak di antara aku dan Jay. Aku kaget. Aku pun segera menengok ke arah anak muda itu. “Assalamu’alaikum, Pak Amin …”, sapa anak muda itu sambil menyalamiku. Suaranya terdengar medok
kayak perempuan kenes. Wajahnya
sengaja menunduk dalam-dalam sehingga aku tidak melihat raut wajahnya. Aku kaget. Sialan ada yang mengenaliku, batinku merintih. “Wa-’alai-kumus-salam …. Siapa ya?”, tanyaku terbata sambil menunggu anak muda itu menampakkan wajahnya. Aku memundurkan kepalaku untuk memudahkan penglihatanku kepadanya. Aku lihat dia mendongakkan kepalanya sedikit sehingga aku dapat melihat jelas siapa dia. Aku kaget bukan kepalang. Astaghfirullah, pekikku dalam hati. Anak muda yang tiba-tiba menyalamiku ternyata orang yang tidak asing. “Tasih tepang kula, Pak?”,320 tanyanya dengan klecam-klecem.321 “Kamu khan … “, kataku sambil setengah mengingat. “Kula tanggane Bapak sing ndalem Kledungsari”322, tukasnya cepat sambil megat-megot323 genit. “Ya, Kamu khan Minanto”, kataku lirih. Aku sengaja lirih sebab takut dia tersinggung kusebut nama aslinya. “Leres, Pak”324, jawabnya pendek masih dengan gerakan genit.
320
Masih ingat saya Pak Malu-malu kucing 322 Saya tetangga Bapak yang rumah Kledungsari 323 Goyang-goyang pinggul 324 Betul, Pak 321
120
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Sampun njih, Pak325 … Assalamu’alaikum”, katanya lagi sambil melepas jabatan tangannya dari tanganku. Dia lalu bergegas pergi menghilang dari hadapanku. “Wa’alaikumussalam …”, jawabku cepat. Aku terkejut dengan gerak cepatnya yang terkesan menghindar dariku. Aku merasa dia malu. “Namanya Minna, Mas”, kata Jay mencoba memberitahu aku nama tenarnya di komunitasnya. “Dia LSL, Jay?”, tanyaku cepat. “Njih, Mas. Dia suka jadi buttom”, jelas Jay. “Dia tetanggaku agak jauh, Mas … . Ya, tetangga di Kledungsari”, jelasku singkat saja. Maksudku, Minanto itu tetanggaku di rumahku yang di Kledungsari, sebuah perkampungan di wilayah utara dekat pegunungan. Kledungsari adalah kampung nenekku, dan aku punya rumah warisan di sana. “Bapaknya Minna itu HRM, Mas”, sela Manan. Aku kaget dengan perkataan Manan. Aku tatap dia sekilas sebelum aku membuang pandanganku ke angkasa jauh. High Risk Man, batinku menyebut kepanjangan dari HRM. Ya, lelaki yang beresiko tinggi terkena HIV/AIDS. “Koq kamu tahu?”, tanyaku pada Manan. “Perasaan bapaknya Minanto baik-baik saja, Mas”, kataku setengah membantah. Aku dengar Manan terkekeh. Aku lihat sekilas Jay juga tersenyum. Aku jadi bingung. “Inilah si es balok itu, Mas”, jelas Manan sambil terkekeh lagi. “Maksudmu?”, tanyaku sambil mengernyitkan dahi. “Yah inilah fenomena si gunung es, maksudku …”, jelas Manan sambil memainkan rokoknya dengan jari-jarinya. 325
Sudah ya Pak
121
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Njenengan udah tahu sendiri khan?! Di sekitar kita pun ternyata banyak orang yang beresiko besar terkena HIV AIDS”, tandasnya. Kata-kata Manan seakan memojokkan di sudut ruangan gelap di mana hanya ada satu lobang kecil dimana sinar masuk dan menerangi. Lobang sinar itu adalah harapan. Artinya, jika aku tidak memperhatikan lobang sinar itu, maka aku bisa kehilangan harapan. Artinya, di sinilah aku mempertaruhkan kepedulianku sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai orang yang mengaku taat beragama. “Kakaknya Minanto juga HRM …”, imbuh Jay. “Ow, yah?”, responsku sekenanya sebab aku hanya bingung dan bingung saja mendengar informasi itu. Jay tidak menjawab sebab berbarengan aku merespons, hapenya berdering. Ada telpon masuk. “Sebentar ya, Mas”, kata Jay berpamitan sambil beranjak menjauhi aku dan Manan. “Ya”, jawabku singkat saja sekedar basa-basi saja. “Mas …. Mas ….”, panggil Manan setengah berbisik. “Apa?”, tanyaku sambil memiringkan kepalaku untuk mendengar apa yang akan dikatakannya. “Tuch lihat ke lapak. Tuch anak muda yang pake celana merah”, kata Manan sambil melihat ke arah lapak. Mendengar kalimatnya, aku pun meluruskan pandanganku ke arah anak muda cakep di depan lapak. Aku menaksir dia berumur belasan tahun. Mungkin dia masih anak sekolahan. Gerakan tubuh anak muda itu agak genit. Aku lihat anak muda itu asyik bercakap-cakap dengan Helen, Resti, dan Sanah. Aku lihat di samping anak muda itu jongkok seorang anak muda dengan kulit agak legam. “Aku taksir dia LSL”, kata Manan sambil menikmati rokoknya. Aku kaget dengan analisa sekilasnya. Moso’ sich?, batinku.
122
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Belum aku merespons kata-kata Manan, Jay mendekat sambil cengarcengir. “Jay!”, seru Manan setengah memerintah. “Coba kamu lihat anak muda bercelana merah itu”, pinta Manan pada Jay sambil mengkode arah dengan gerakan kepalanya. Aku lihat Jay menuruti permintaan Manan. Wajahnya segera memandang ke arah lapak, tepatnya kepada anak muda itu. “LSL, Jay …”, kata Manan lirih. Aku pandang cepat ke arah Jay. Aku ingin tahu apa jawabannya. Dan aku lihat Jay mengangguk pelan sambil berjalan menuju arah lapak. Astaghfirullah, pekikku dalam hati. Berarti taksiran Manan benar adanya. Ya, Jay itu LSL, dan dia paham benar mana LSL mana bukan. Dan saat aku lihat Jay mengangguk, aku benar-benar terpana dengan kejelian temanteman relawan dalam menjangkau siapa-siapa yang ‘patut’ diduga beresiko tinggi terkena HIV/AIDS. “Gemblung !”326 desahku lirih. “Ada apa, Mas?”, tanya Manan kaget. Rupanya dia mendengar desahanku. “Teman-teman relawan sudah canggih banget … Titis327”, jawabku sambil terkekeh. Aku dengar Manan terkekeh juga sambil terbatuk-batuk. Rupanya dia terbatuk sebab terganggu asap rokoknya sendiri. Aku lihat Jay menimbrung sebentar perbincangan antara dua anak muda itu dengan Helen, Sanah, dan Resti. Mereka nampak asyik berbincang dengan santai. Bahkan aku lihat kemudian si anak muda bercelana merah itu berdua serius bercakap-cakap dengan Jay. Mereka berdua nampaknya nyambung. Aku dan Manan asyik melihat aktivitas mereka. Tiba-tiba ….
326 327
Gila Akurat, tepat dalam menebak
123
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Dari arah utara datanglah Minna alias Minanto. Dia nampak tergopohgopoh meski tetap dengan gaya berjalan lenjeh – genit. “Mas, eh, Pak … Anu, eh, ada yang cari Bapak …”, kata Minna dengan gesture medok. Aku lihat gerakan bibirnya mleat-mleot328 genit. “Tuch … di bawah pohon beringin …”, katanya lagi sambil mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari telunjuknya ke
arah pohon
beringin yang nampak menghitam berdiri kokoh di tengah alun-alun. “Sapa sich Min?”329, tanya Manan serius. “Aku baen tembe kenal …”, jawab Minna. “Tapi kancane Mas Jay … Jenenge, aduch, sapa ya? Ih, kelalen …”330, jelas Minna dengan cepat namun tidak karuan bercampur dengan ekspresinya yang genit. “Cakep wonge …”331, imbuhnya sambil menggigit jari telunjuknya pertanda dia gemes. “Sini, Mas … Duduk dulu …”, pintaku sambil memegang tangannya lalu menariknya untuk duduk di sebelah utaraku. “Ada apa? Sing tuntut, Mas332”, kataku kalem mencoba kebapakan. “Iya … Pak Amin disuruh ke pohon beringin itu sama si … eh, si Lam … Lam …”, jawab Minna sambil mengingat-ingat sebuah nama. “Lambo?”, kataku mencoba membantu ingatannya. “Njih, Pak”333, jawab Minna cepat sambil tersenyum gembira. “Oke … Oke … Dia temanku, Mas …”, kataku mencoba menjawab dengan meyakinkan agar Minna lebih tenang. “Lambo?”, tanya Manan mencoba mengkonfirmasi. “Iya, di bawah beringin …”, jawabku sambil menatap tajam bola matanya. Aku mengharap Manan memberikan saran masukan apa yang 328
Bergerak tak beraturan Siapa sich Min> 330 Aku saja baru kenal … Tapi (dia) temannya Jay … Namanya, aduh, siapa ya? Ih, lupa 331 Cakep orangnya 332 Yang runtut, Mas 333 Iya, Pak 329
124
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
harus aku perbuat walaupun aku ingin memutuskan segera pergi ke tengah alun-alun. “Sit … Sit”334, kata Manan kemudian. Dia mencoba memberikan saran kepadaku untuk tidak tergesa pergi. Aku terkejut. Manan justru beranjak berdiri lalu berjalan ke arah lapak. Aku lihat dia mendekati Jay. Dia nampak berkata-kata
sebentar
kepada Jay. Lalu dia kembali berjalan ke arahku. Aku lihat beberapa langkah di belakangnya Jay membuntutinya. “Wis ya, Pak?!”335, kata Minna. “Ya, Mas … . Makasih”, jawabku sekenanya. Minna berkata sambil berjalan ke utara, menuju tengah alun-alun. Dan aku pun jadi menjawab sambil lalu reflex saja. Dia mungkin mau laporan sama Lambo, batinku. Aku kembali mengarahkan panadanganku kepada Manan dan Jay yang sudah di depanku. Aku tunggu Manan atau Jay mengucapkan sesuatu. “Aduh, maaf yah … Mas Amin, maaf … “, kata Jay tiba-tiba. “Ada apa Jay?”, tanyaku keheranan. “Iya, tadi Lambo telpon aku … Dia minta Mas Amin menemuinya di bawah pohon beringin, di tengah alun-alun… Penting, katanya … Aduh, maaf banget … aku sampai lupa … Habis tadi Mas Manan langsung nyuruh aku nemuin anak itu …”, terang Jay nyerocos. Suara Jay jadi agak parau. Ada seonggok sesal dia terlambat memberitahuku. Dia jadi merasa bersalah padaku dan Lambo. “Sudahlah …” , kata Manan singkat. Dia mencoba menenangkan Jay. “Enggak336, maksudnya … Ini Mas Amin ke sana sendiri atau bagaimana, Jay?”, tanya Manan mencoba memperjelas apa yang harus aku lakukan. Aku setuju dengan pertanyaan yang dilontarkan Manan. “Dia gak nyuruh aku ikut … “, jawab Jay. 334
Sebentar … sebentar Sudah ya, Pak?! 336 Tidak, Gak 335
125
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Yah, kayaknya sich sendiri … Anu, dia bilang penting lagi …”, jelas Jay. Wajahnya agak pucat sisa-sisa semburat kesesalannya. “Oke. Gini saja …”, kataku mencoba menyodorkan solusi. “Aku saja sama Jay yang ke sana. Bagaimana?”, lanjutku dengan ekspresi serius sambil memainkan tanganku menunjuk ke dadaku dan ke arah Jay. “Ya, aku ikut … . Aku gak enak sama Lambo”, kata Jay dengan nada sesal yang mendalam. “Oke. Aku setuju … “, kata Manan kemudian. “Baiklah. Tapi … kalau boleh tahu, Jay … “, kataku kemudian. “Yah?”, respons Jay sambil menatapku sekilas. “Kamu sama Lambo kemarin berdua ke Gombong ngapain? Itu lho, saat setelah kita ketemu di Rumah Makan Yunani … ”, tanyaku sambil mencoba menggugah ingataannya. Aku tatap serius Jay. “Ow, itu … He-he … Hanya main ke Puskesmas Gombong …”, jelas Jay sambil terkekeh sebentar. “Anu, sebenarnya sich mau coba VCT337 …”, katanya lagi. “Lambo ingin VCT …” imbuhnya kemudian. “Jay? Koq pakai kata ‘sebenarnya’ ?”, tanya Manan setengah mengejar cepat. “Tapi gak jadi sich … Udah kesiangan, udah tutup …”, jelas Jay. “Terus?”, tanyaku jadi ikut terpancing dengan keadaan yang tiba-tiba aku merasa kurang bersahabat dengan kondisi darurat. “Ya udah … . Pulang … dan belum VCT sampai sekarang …”, jawab Jay jujur. “Apa malam ini tidak ada VCT mobile338, Mas Manan?”, tanyaku agak gelagepan.
337
Voluntary Councelling and Testing, semacam pemeriksaan dan konseling secara sukarela bagi para orang-orang yang perlu mengecek kondisi dirinya apakah positif/negatif HIV/AIDS. Jika seseorang positif HIV/AIDS maka akan dibantu proses berikutnya. VCT secara medis hanya diambil darahnya saja sekitar 3-5 cc.
126
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku tiba-tiba diserang rasa waswas. Aku mengkhawatirkan kondisi Lambo, jangan-jangan dia positif HIV/AIDS. “Belum ada …”, jawab Manan dengan suara datar namun dalam. Aku menangkap ada rasa sesal dalam diri Manan kenapa koq ya tidak ada VCT mobile malam ini. “Sudahlah … kita selesaikan yang bisa diselesaikan, Mas”, kataku kemudian dengan nada setengah memaksa bergerak cepat saja. “Ya, sudah …”, kata Manan. “Monggo, silahkan saja Mas Amin dan Mas Jay ketemuan sama Mas Lambo … Lebih cepat lebih baik … Kasihan dia menunggu …”, tanggap Manan serius. “Yuk, Mas Jay …”, kataku sambil menepuk pelan pundak Jay untuk segera bergerak menuju tengah alun-alun untuk menemui Lambo. “Yuk …”, balas Jay sambil membalikkan badannya. Pada saat aku dan beranjak pergi meninggalkan Manan beberapa langkah, Manan memanggilku agak keras. “Mas Amin!”, seru Manan sambil melambaikan tangannya. Aku menghentikan langkahku yang hampir menuruni trotoar sisi dalam alun-alun. Aku lihat Jay jadi mendadak menyempatkan duduk sambil menunggu, sementara aku berdiri saja menunggu langkah Manan mendekat. “Sori, aku hanya mau kasih tahu saja …”, bisik Manan agak nyaring. “Yah?”, responsku singkat. “Lihat ke arah Lechan … “, katanya lagi setengah berbisik di dekat telingaku. Mendengar kata-katanya, aku pun segera melempar pandanganku ke arah Lechan dimana aku tadi juga duduk-duduk di sisi pagar taman. Aku lihat dua gadis muda berpakaian seksi nampak tengah bersalaman dengan Lechan dan yang lainnya.
338
VCT yang diselenggarakan khusus di luar rumah sakit/Puskesmas
127
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Dua cewek … ABG?”, kataku mencoba menebak arah perhatian Manan. “Ya, betul”, jawab Manan singkat. “Siapa?”, tanyaku singkat saja. “Kimcil”339, jawab Manan singkat. “Ya, udah … . Ntar lah kita sambung lagi”, kata Manan lagi. “Ya. Lagian aku kayaknya urgen ketemu Lambo, Mas”, kataku mencoba memberikan pengertian. “Sip! Good luck340”, kata Manan sambil membalikkan badan meninggalkan aku dan Jay. Artinya, Manan mempersilahkan aku dan Jay melanjutkan langkahnya untuk bertemu Lambo.
*****
339
Kimcil singkatan dari kimpongan cilik, kempetan cilik, kimpretan cilik, atau ada juga yang menyebutnya kempitan cilik. Kimcil semacam wanita penjaja seks tapi dari kalangan remaja. Motivasi mereka kadang uang, kadang kesenangan dan gaya hidup, atau dua-duanya. 340 Semoga beruntung
128
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
11 DI ALUN-ALUN
Aku dan Jay berjalan menurun trotoar, lalu melintasi jalan ber-paving di sisi dalam alun-alun.
Begitu aku menginjakkan kaki di jalan, aku
sempatkan beruluk salam lirih untuk segenap ahli alun-alun, entah siapa saja sesama makhluk Tuhan. Bahkan kemudian aku mengiringinya dengan melafadzkan al-Fatikhah sekali untuk mereka. Aku sengaja membacanya sebagai kelazimanku saja sesuai dengan petunjuk kyai-ku. Yah, anggap saja berbuat baik untuk sesama, batinku. Enam langkah kemudian kakiku pun menginjak rerumputan, berjalan ke arah utara menuju tengah alun-alun dimana sebuah pohon beringin besar tumbuh lebat di sana. Ringin kurung341, batinku saat sekilas memandang ke arah pohon beringin itu. “Kamu tadi berangkat bersama Lambo, Jay?”, tanyaku sambil melintasi rerumputan yang gersang. Aku amat-amati tanahnya agak naik turun tidak rata sekali. Ada beberapa sampah berserakan di sana-sini. Iseng-iseng pun aku mencoba mengamat-amati sebentar sampah yang ada sepanjang langkah kakiku. Barangkali aku menemukan kondom atau apalah yang bisa menjadi semacam barang bukti.
Tapi rupanya kosong, tidak ada satupun tanda-tanda
kutemukan. Hanya ada plastik bekas dan dedaunan kering. 341
Pohon beringin yang dikurung atau dikelilingi pagar. Tanaman pohon beringin di tengah alunalun merupakan kekhasan di sejumlah daerah di wilayah Jawa. Keberadaan alun-alun mempunyai karakteristik yang hampir sama bahkan bisa dikatakan sama. Semua mengacu pada bentuk alun-alun dari jaman kerajaan masa lalu. Di tengah-tengahnya terdapat satu atau dua pohon beringin besar yang diberi pagar (disebut ringin kurung), yang mempunyai makna filosifis bahwa seorang pemimpin harus bisa memberi pengayoman kepada rakyatnya.
129
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Gak, Mas … Aku sendiri”, jawab Jay singkat. “Kenapa, Mas?”, tanya Jay kemudian. “Artinya, Lambo ke sini sendiri tidak bersama kamu, Mas”, jelasku menjawab pertanyaan Jay. “Aku sebenarnya juga terkejut ada apa Lambo kesini, sendirian lagi…”, kata Jay mencoba mengemukakan apa yang mengganjal dalam hatinya. Aku tidak merespons apapun kata-kata terakhir Jay. Aku asyik menikmati langkahku sambil sesekali menengadahkan pandanganku ke arah pohon beringin di depanku. Dan di langkah ke tiga puluhan, aku menghentikan langkah kakiku. Aku membalikkan badan ke arah selatan untuk menikmati pemandangan lapak dari arah belakang. “Ada apa Mas?”, tanya Jay terkejut dengan tindakanku yang tiba-tiba berhenti dan membalikkan badan. “Tidak ada apa-apa … . Aku hanya ingin melihat lapak dari sebelah sini saja … “ jawabku. “Wow, ramai juga yah ?!”, kataku santai sambil mengangkat tangan kananku menunjuk ke arah lapak, mengekspresikan kegembiraan melihat pemandangan yang mengasyikkan. “Ngomong-ngomong, Mas … Kamu sudah pernah click342 sama … sama Lambo, Mas?”, tanyaku dengan suara pelan sambil kembali melangkah ke arah utara bersama Jay. Aku berusaha hati-hati bertanya pada Jay. Aku agak takut pertanyaanku menyinggung perasaannya. “Belum, Mas … Selain Lambo nampaknya sedang tidak bergairah …”, jawab Jay jujur. “Dan aku sendiri mencoba setia, Mas … Aku dan Lambo hanya tukar pengalaman saja …”, jawab Jay terbuka. Dan aku plong mendengar jawabannya. Ada beberapa alasan yang membuat aku plong dan tenang. Yang pertama, Jay sudah tidak membuat 342
Jadian, berhubungan
130
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
jarak denganku. Artinya Jay terbuka apa adanya saja. Artinya, aku mulai diterima sebagai bagian dari komunitas mereka sendiri. Yang kedua, antara Jay dan Lambo belum click. Entahlah, kenapa aku senang ketika mendengar mereka berdua belum jadian dan berhubungan seks sesama lelaki.
Mungkin rasa kekhawatiranku akan Lambo terkena
HIV/AIDS sebagaimana Binto dulu yang membuat aku jadi merasa gembira mendengar keterangan Jay. “Mas Jay mencoba setia? Maksudnya?”, tanyaku kemudian. Hatiku agak geli mendengar kata ‘setia’ yang dilepaskan Jay dengan santai. “Aku punya pasangan LSL, Mas … . Dan aku dan dia mencoba saling setia”, jawabnya santai. “Mas Jay tidak mencoba berhubungan dengan perempuan? Yah, anggap saja pacaran begitu …”, kataku memburu dengan pertanyaan yang ‘sedikit normal’ berkait hubungan yang lazim antara lelaki dengan perempuan. “Dua bulan yang lalu, aku dan pacar perempuanku putus”, jawabnya enteng saja. Aku terkekeh kegelian mendengar jawaban Jay. Aku menangkap ada secuil kelucuan yang entah apa yang lucu. “Iya, Mas … Lucu ya?”, tanggap Jay ikut terkekeh. “Lucunya, kenapa harus putus, Mas?”, tanyaku kemudian terkesan sekenanya. Aku sebenarnya bingung juga harus ngomong apa. “Aku tidak ingin munafik aja …”, jawab Jay terbuka. “Munafik?”, tanyaku cepat. Aku kaget dengan alasan yang dia kemukakan. “Yaiya lah, Mas … Khan aku gak mau membohongi diriku dan pacar perempuanku …”, jelasnya santai. “Ow, begitu?”, responsku sambil manggut-manggut. Mataku kembali menelanjangi pohon beringin yang semakin dekat.
131
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Aku dan dia putus baik-baik saja …. Dia aku beritahu soal aku …”, jelasnya kemudian. “Lalu?”, tanyaku sambil mencermati bayangan orang-orang yang duduk dan berdiri di sekitaran pohon beringin. Aku mencoba mencari kirakira dimana Lambo berada. “Aku diberi pilihan sama pacarku … Jay pilih aku apa dia? Gitu, Mas”, jelasnya. “Maksudnya pilihan antara pacar perempuan Jay atau pasangan LSL Jay? Begitu? Lalu?”, tanyaku kemudian agak mendesak. “Iya, Mas … Dan aku pilih pasanganku sekarang … Ya, udah … aku bubaran sama pacar perempuanku …”, jelasnya lagi dengan terbuka. “Aku lihat Jay agak dekat juga dengan Helen? Maksudku, Helen khan perempuan? Jay tertarik ingin pacaran juga sama Helen?”, tanyaku kemudian dengan pertanyaan bertubi-tubi. Ya, aku sengaja bertanya terbuka saja sebab sejak ketemu Jay dan Helen, aku melihat Jay nampak berharap Helen mau pacaran dengannya. Aku lelaki dewasa sehingga sedikit-banyak paham psikhologisnya. “He-he …”. Jay tertawa sedikit terbahak. “Ih, Mas Amin suka ngamat-amati yah?”, tanyanya sambil tertawa lirih. “Boleh khan?”, kataku membela diri. “Mauku sich Helen mau menikah dengan aku … Nikah-nikahan … Tapi aku ya tetap saja bersama dengan pacarku…”, jelasnya. “Maksudnya Jay menikahi Helen untuk semacam kedok saja?”, tanyaku mencoba menebak maksudnya. “Hehehe, iya sich … Tapi Helen gak mau …”, jelasnya enteng. Aku geleng-geleng kepala dengan ungkapan perasaaan yang dilontarkan oleh Jay. AKu suka dia jujur. Tapi jujur saja, aku takut juga dengan kejujurannya itu.
132
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Duh
Gusti,
makhluke
Panjenengan
werni-werni343,
Astaghfirullah … a’inuniy wa jami’i ahli-baitiy, amiin344,
batinku.
batinku berdoa
kemudian. “Eh, kira-kira si Lambo sudah lama belum ya jadi LSL?”, tanyaku menecoba mengalihkan pembicaraan ketika sudah mendekati tengah alunalun dimana pohon beringin besar berdiri diam dan terkesan tengah menunjukkan kebesarannya dan keangkerannya. “Kayaknya sich sudah, Mas … . Dia khan lama di Jakarta”, jawab Jay sambil melepaskan pandangan matanya mencari-cari di mana kiranya Lambo berada. “Kita putari saja, Mas …”, kata Jay kemudian mengalihkan pembicaraan. “Baiknya begitu, Mas … Kita mulai dari timur saja …”, jawabku sambil mengamati lingkungan pohon beringin besar itu. Aku dongakkan kepalaku lepas ke atas. Pohon beringin itu seakan menyambutku dengan kangkangan lebarnya. Kangkangannya terasa begitu mantap dan menekan dibalik sorot dua lampu di sisi selatan. Dan dahandahannya yang berjumbai-jumbai seakan bagai jemari raksasa yang siap menerkamku. Sembari menapaki pelataran berlantaikan paving, aku dan Jay bergerak menuju sisi timur pohon beringin. Aku sempatkan mengamati bangunan yang mengitari pohon beringin berdiameter delapan meteran itu. Ada pagar tembok mengelilingi pohon, berbentuk segi enam. Di tiap sudutnya terdapat bangunan model gapura melengkung ke arah luar. Di sini utara pohon nampak juga dua lampu menerangi sisi utara pohon. “Banyak juga yang nongkrong di sini, Mas”, kataku kepada Jay mengomentari puluhan orang yang asyik ngobrol sendiri-sendiri dengan teman mereka masing-masing. “Iyah …”, jawab Jay pendek mengiyakan. 343 344
Duh Tuhan, makhluk-Mu koq ya beraneka ragam perilakunya Aku mohon ampunan-Mu Ya Allah … tolonglah aku dan segenap keluargaku, amin
133
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tuch Minna … Tuch Lambo! Di sisi utara …”, kata Jay kemudian. Jay pun mempercepat langkahnya menuju ke arah utara pohon. Aku mengimbangi jalannya yang agak dipercepat. Mataku jelalatan mencari mana dua orang yang dimaksudkan oleh Jay. Aku sisir sisi utara pohon. Ada sejumlah orang berkumpul di sana. Yang mana sich Minna dan Lambo?, batinku.
*****
Aku memelankan langkahku lebih santai. Ya, santai, bukan karena aku nyata-nyata santai. Namun aku tengah merasa sedikit gemetar melihat Lambo tengah duduk di atas pagar tembok sambil slonjor.345 Aku lihat Minna tengah memijit-mijit kaki Lambo dengan gerakan genit. Dadaku tiba-tiba jadi degdegan. Dalam remang sinar lampu, aku lihat Lambo begitu tertekan. Dalam balutan kaos bermotif kotak-kota hitam-putih, celana jeans, sepatu, bertopi pet, wajah Lambo nampak begitu pucat. Aku jadi tercekat. Aku masukkan tangan kananku ke saku celana panjangku. Aku pegang tasbih yang ada di dalam sakuku. Aku pilin biji tasbihku satu-satu. Aku mencoba semampuku untuk melafadzkan tahlil346 dalam hatiku. Dalam keremangan sorot lampu, aku lihat Lambo menatap sinis ke arah Jay yang berdiri di sebelah kanan Minna. Mata Lambo nampak dipicingkan. Bibirnya merapat ketat.
345 346
Duduk dengan kaki diluruskan ke depan Lafadz laa ilaaha illallaah
134
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Loe udah gak perhatian sama temen apa gimana, Jay?”, tanya Lambo dengan suara agak parau. “Bajingan loe … Dipesenin gue aja gak perhatian …”, katanya lagi. “Jangan begitu, sobat …”.
Jawab Jay dengan suara bergetar. Ada
sedikit ketakutan dalam suara Jay. “Mas Lambo …”, kataku kemudian sambil mengelus rambutnya. “Maafkan Jay … Tapi sebenarnya aku yang salah …. Maaf yah?”, kataku kemudian sambil memperlembut belaianku pada rambut Lambo. Bahkan aku sempatkan memperbaiki rambutnya yang kurang rapi menutupi daun telinganya. Aku biarkan Lambo masih duduk santai. Aku lihat tangan kanannya memegang sebotol minuman botolan. Dalam kilasan lampu, aku lihat botolnya. Botol minuman berkarbonase, batinku. Tapi, koq baunya kayak ciu, batinku lagi. “Kamu mabok yah, Mas?”, tanyaku dengan suara lembut. “Mas Amin …. He-he”, kata Lambo memanggilku sambil terkekeh. Aku tergerak jadi siaga terhadap Lambo sebab aku bertanya dengan baik-baik, namun dia tidak menjawab langsung. Dia malahan memanggilku sambil terkekeh terkesan menyepelekanku. Ada yang tidak beres, batinku reflex. Bahkan aku kemudian meyakini bahwa Lambo mabok berat. “Mas Amin …”, panggilnya. “Mas Binto … tadi menemuiku, Mas …”, katanya lagi tanpa menunggu aku menjawab panggilannya. Deg !! Aku kaget Lambo menyebut nama Binto. Aku terdiam tak bisa berkata apapun. Dugaan bahwa Lambo adalah Kamal terkuak sedikit. Ada apa nich?, tanyaku dalam hati. Kenapa Lambo mengatakan Binto yang sudah lama meninggal?, tanyaku lagi. “Mas Binto tersenyum-senyum memandang aku …”, kata Lambo dengan tatapan mata yang menerawang ke atas jauh. 135
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Dia memanggil-manggilku … Kamal … Kamal … Kamal Marlambo …”, kata Lambo kemudian. Ow, nama lengkapnya Kamal Marlambo, kataku dalam hati. Sialan, aku baru tahu, pekikku jengkel. Tapi apa peduliku sekarang dengan nama itu. Yang penting Lambo itu adik Binto yang harus aku selamatkan sekarang ini. “Mas Kamal … Mas Lambo …”, kataku mencoba membangun komunikasi sadar. Aku panggil sekalian nama kecilnya yang aku kenali dulu dan nama panggilannya sekarang. “Iya, Mas … “, jawabnya setengah mendesah. Aku lihat dia berkata sambil menengok sebentar ke arahku. Bau nafasnya menyerangku hidungku. Bau nafas ciu. “Aku tidak mabok, Mas …”, katanya. “Aku hanya ingin lari … lari … jauuuhh …”, katanya lagi sambil melapangkan kedua tangannya lebar-lebar. “Sudah tidak ada yang peduli aku, Mas …”, katanya lagi sambil memelototi aku dengan tatapan kosong. “Jangan bicara seperti itu? Aku khan ada di sini … Ada Jay …. Ada Minna …. Ada juga yang lain, Lambo …”, kataku setengah merayu lembut. Aku mencoba membantu membangun keyakinan Lambo. Aku rasa dia tengah dalam masalah, entah masalah apa … . Aku menangkap rasa keputusasan menyelinap dalam kalimatnya. “Kalau ada masalah … kita bagi-bagi, Mas …”, kataku kemudian sambil mencoba menfokuskan pembicaraan. “He-he … bagi-bagi? He-he …”. Lambo berkata sambil terkekeh-kekeh. “Aku juga mau …”, sela jay mencoba membantuku. “Apa kamu Jay? Mau apa !?”, tanya Lambo setengah membentak dengan memandang sekilas Jay dengan pandangan mata marah. Aku terdiam sejenak. Situasi sangat mungkin berubah cepat. Aku pun jadi sedikit lebih waspada. Yah, setidaknya aku jaga-jaga, jangan-jangan
136
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Lambo tiba-tiba mengamuk. Dan kemudian aku pun merapalkan asma Allah seketat mungkin. Aku memohon semoga semuanya lancar-lancar saja. Aku peluk Lambo alias Kamal, sebisaku. Tanganku berusaha juga untuk membelainya dengan penuh kasih. Ingatanku pada Binto mengemuka. Tiba-tiba aku dihantui rasa takut kehilangan Lambo. Aku sudah kehilangan sahabat lama, Binto. Aku tidak ingin kehilangan Lambo, adik Binto, yang tiba-tiba aku anggap seperti adikku sendiri. Adik sahabatku, ya, adikku juga, kataku dalam hatiku yang paling dalam. Entahlah ! Ya, entahlah kenapa aku tiba-tiba begitu kasihan terhadap Lambo. Dan aku tiba-tiba begitu ketakutan kalau-kalau Lambo menyusul kematian Binto sebab HIV/AIDS. Rasa berdosaku kepada Binto begitu mengemuka menohok kesadaranku. Kehadiran Lambo sungguh membuatku merasa harus empati seratus persen, bahkan sejuta persen. “Mas Amin …” Tiba-tiba Lambo memanggilku dengan suara pelan. Dan mendengar dia memanggilku, aku semakin memperketat pelukanku padanya. “Lepaskan aku, Mas …”, pinta Lambo sambil menggerakkan tubuhnya. Rupanya dia ingin turun dari tembok pagar. Dia ingin berdiri. Aku pun melonggarkan pelukanku. Aku mengikuti gerakan tubuhnya yang turun dari atas tembok pagar. Aku biarkan dia turun sendiri sambil aku mengukur seberapa besar maboknya. Aku lihat Jay dan Minna juga mencoba berjaga-jaga takut Lambo turun dan jatuh. “Aku tidak mabok, Mas … Hanya sedikit …”, kata Lambo lirih sambil berdiri tegak setengah bersandar pada tembok. “Aku masih sadar Mas”, katanya lagi. “Tapi …”, kataku. “Mas …”, panggil Lambo padaku sambil mengambil sesuatu dari saku bajunya. “Yah?”, jawabku reflex.
137
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Mataku mengikuti gerakan tangannya yang mengambil sesuatu dari sakunya. Ow, rupanya sepucuk surat. “Ini surat dokter Jakarta … . Ada juga suratku, Mas”, kata Lambo sambil menyodorkan amplop putih besar kepadaku. Clap !! Kenanganku dengan Binto di tempat parkir kampusku membayang menganyutkanku. Aku terbayang wajah Binto memandangku tajam. Aku tertegun kaku. Bayangan Binto pun kemudian mulai menguras kesadaranku. Dan aku tidak mampu bergerak merespons apapun atas apa yang diperbuat Lambo terhadapku. Kemudian dalam setengah sadarku, aku hanya merasa Lambo menarik tangan kananku ke depan dadanya. Lalu aku masih merasakan ada kertas yang dipegangkan dengan setengah paksa pada tangan kananku. Dan tak lama kemudian, aku merasakan pipi kananku dicium lembut. Terasa sangat lembut, namun dingin. Dan kesadaranku terkuras. Kemudian aku pun hilang sadar.
*****
Aku membuka pelan mataku. Pelan. Aku dengar bersahutan suara banyak orang di sekitarku. Aku merasakan kakiku dipijit-pijit tangan, entah tangan siapa. Aku mencium bau menyengat. Bau minyak angin dan bau aroma kopi panas. “Aduh”. 138
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku hanya mampu mengaduh merasakan sakit sebab telapak kaki kananku ditekan-tekan. Rupanya aku tengah dipijit Lechan dengan tangan kekarnya. Rupanya aku terlentang ditidurkan di atas gelaran tikar di dekat lapak. “Alhamdulillaah …”. Terdengar suara bertahmid memuji Tuhan di dekat wajahku. Aku semakin tertarik reflex untuk membuka mataku. Ow, rupanya yang bertahmid tadi Manan. “Kang Amin wis sadar …”347, seru Manan kemudian. Wis sadar?, batinku. Aku jadi membelalakkan mataku.
Lho
memangnya kenapa aku?, batinku sambil melihat kanan-kiri dengan bola mataku. Aku lihat Manan, Lechan, Jay, Helen tengah duduk mengelilingiku. Aku lihat juga Resti dan Sanah berdiri gelisah. Aku mencoba mencari jawaban. Ada apa denganku? “Jagongna … Kopeni … Men seger maning”348. Terdengar suara berat Lechan dari arah kakiku. Suaranya menggema memecah keheningan. Aku pun kemudian diangkat untuk dibantu duduk oleh Manan dan Helen. Aku merasakan tubuhku terasa lemas. Dan saat aku cukup untuk duduk, Jay menyodorkan segelas kopi hitam beraroma menggoda. “Minum kopi, Mas …”, kata Jay sambil menyodorkan gelasnya. Tanpa ba-bi-bu, aku pun reflex segera merespons sodoran Jay. Aku jumput gelas kopi dari tangan Jay. Aku angkat dekat ke arah mulutku. Aku pun hati-hati menyeruputnya sedikit. “Nah, Kang Amin wis waras maning …”349, kata Lechan sambil mengawasiku minum. Aku lihat dia berkata sambil tersenyum tipis.
347
Mas Amin sudah siuman Dudukkan … beri minuman kopi … Biar segar kembali 349 Nah, Mas Amin sudah sehat kembali 348
139
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Dua seruputan telah mengembalikan kesadaranku kembali penuh. Aku menyadari, rupanya aku baru saja pingsan. Dan segera pula kesadaranku menuntunku mengenang kembali kejadian sebelum aku tak sadar. “Mas Manan … Mas …”, kataku sambil celingukan mencari Manan dimana berada. Sambil berkata-kata aku berikan gelas kepada Jay kembali. “Ya, Mas ….”, sahut Manan dari arah kiriku. Aku lihat dia mendekat dengan setengah berlari. “Mana Lambo? Yah, mana Lambo?”, tanyaku setengah teriak sambil celingukan mencari-cari Lambo. “Mana kertasnya? Mana amplopnya?”, kataku lagi. “Mas …. Mas …. Tenang dulu … Tenang saja dulu…”, kata Manan kemudian. “Mas Lechan … Yuk kita kumpul saja sekalian. Sini semua kumpul …”, kata Manan memerintah teman-teman yang ada di situ untuk berkumpul mendekati kepadaku. Di atas tikar aku duduk bersila, sementara teman-teman yang masih ada pun segera berkumpul membentuk lingkaran kecil. Aku mencoba meregangkan persendianku dengan menggerak-gerakkan tangan, kepala, dan telapak kaki. Aku juga melihat Manan, Lechan, Jay, Minna, Helen, Resti, dan Atun. Aku lihat juga dua pria ikut bergabung yang kemudian aku ketahui namanya. Yang bertubuh gempal adalah Jack, dan yang kurus tinggi bernama Agus. “Oke, teman-teman … Ini Mas Amin sudah siuman … Mau tidak mau kita harus kumpul …”, kata Manan kemudian mengawali pembicaraan. Aku merasakan nadanya serius. Dan keseriusannya membuat aku agak lama memperhatikan dia bicara. “Begini Mas Amin …” , kata Manan serius di sampingku.
140
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tadi njenengan350 itu pingsan di bawah pohon beringin itu”, jelasnya sambil sekilas memandangkan matanya ke arah pohon beringin di tengah alun-alun. “Yah …”, balasku setengah mendesah sambil mengingat kembali kejadian yang menimpaku. “Nah, njenengan kita angkat ke sini … Dan menurut keterangan Minna dan Jay, njenengan pingsan setelah menerima amplop ini …”, kata Manan sambil mempertunjukkan sebuah amplop putih di tangannya. Melihat amplop putih itu, ingatanku tumbuh mengemuka. Yah, amplop itu milik Lambo, kataku dalam hati. “Itu amplop Lambo”, kataku kemudian. “Betul, Mas … Ini amplop Lambo yang diberikan kepada njenengan”, jelas Manan. “Dan sebelumnya saya dan teman-teman minta maaf, Mas … . Terpaksa amplop ini tadi saya buka tanpa sepengetahuan njenengan …”, katanya lagi. Aku mengangguk-angguk sebagai tanda memaklumi langkahnya. Aku malah salud dengan kesigapannya. “Begini, Mas … Saya harap Mas Amin tidak terkejut”, kata Manan kemudian sambil mengangkat amplop putih itu. “Ada apa, Mas?”, tanyaku balik sambil menatap Manan serius. “Lalu … dimana Lambo sekarang?”, tanyaku kemudian. Ingatanku pada Lambo mendorongku untuk bertanya serius. Aku jadi celingukan kesana-sini untuk mencari-cari Lambo berada. “Nah itulah yang penting, Mas”, jawab Manan. “Lambo pergi ke arah timur … Demikian kata Jay dan Minna”, jelas Manan. “Iya, ke sana …”, kata Jay sambil menunjukkan jari tangan kanannya tinggi-tinggi mengarah ke arah timur laut. 350
Anda
141
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Ow, ya … . Mas Lambo minta tasbih Mas Amin … Gimana ya? Anu, maksudnya, tasbih Mas Amin diminta dan dibawa Lambo …”, imbuh Jay dengan ekspresi serius mencoba meyakinkan para pendengar di sekitarnya. “Soal tasbih, ya sudah ….”, kataku seolah acuh saja. Ya, sudah … Lambo meminta tasbihku, berarti dia memerlukannya. Aku malahan senang, batinku. “Tapi, eh, maaf … Kenapa kepergian Lambo tidak ditahan, Mas?”, tanyaku sambil melihat ke arah Manan, Jay, dan Minna bergantian. “Njenengan pingsan … Itu yang membuat soal Lambo jadi terlupakan begitu saja, Mas …”, terang Manan mencoba menjawab kegalauanku. “Aduh …”, celetukku reflex tanda penyesalanku terhadap apa yang telah terjadi. “Tapi, Mas … .
Tadi Jack dan Agus sudah mencari-carinya …
Sayangnya belum ketemu …”, timpal Lechan mencoba memberikan jawaban. “Iya, aku dan Agus sudah menyusuri sampai Tugu Lawet, terus ke utara sampai Wonoyoso, ke barat sampai Mertakanda … . Tapi, hasilnya nihil”, imbuh Jack sambil memainkan tangannya untuk mendukung penjelasannya. Aku menyesal Lambo pergi dan tidak berhasil diketemukan. Namun aku salud dengan bantuan usaha teman-teman relawan peduli AIDS yang telah bersama-sama mencari Lambo. “Ya, ya sudah … Aku berterima kasih atas semua bantuan temanteman …”, kataku dengan sedikit lesu sebab kehilangan jejak Lambo. Namun aku jujur sangat berterima kasih atas peran aktif teman-teman Bougenville dan yang lainnya. “Nich Mas … suratnya … Silahkan … Ini hak njenengan”, kata manan kemudian sambil menyodorkan amplop putih kepadaku. “Apa isinya, Mas?”, tanyaku sambil menerima amplop putih itu. “Yang sempat aku baca hanya hasil pemeriksaan dokter Jakarta, Mas”, jawab Manan setengah berbisik.
142
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Lambo positif HIV … Setahun yang lalu”, kata Manan dengan suara parau. Kata-kata Manan bagai halilintar di siang bolong. Berita itu sangat mengejutkanku. “Hah ! Apa?”, kataku terperangah. “Dan kayaknya malam ini kita harus ronda, Mas?”, kata Manan lagi. “Outreach351 …” celetuk Lechan. “Tepatnya … a special outreach …”, balas Manan melengkapi celetukan Lechan. “Dan teman-teman sudah memutuskan untuk bagi-bagi tugas, Mas … Njenengan, Jay, dan Resti tetap di sini … . Yang lain keluar mencari Lambo …”, jelas Manan. Aku sudah tidak menggubris apa yang kemudian diperbuat temanteman dengan bagi-bagi tugas itu. Aku hanyut dalam lamunanku sendiri. Tiba-tiba aku merasa begitu sepi di tengah ramainya teman-teman bergerak ini-itu. Ya, Allah … Lakon apa ini?, batinku lirih. Aku pun menunduk lama merenungi apa yang telah terjadi dan menimpaku. Aku mengenal Binto, lalu aku kehilangan dia begitu saja. Kini aku sudah menemukan adik Binto, si Kamal alias Lambo alias Kamal Marlambo… , dan kini aku akan kehilangan juga?, tanyaku dalam hati. Tidak ! Jangan, jangan … Ya, Allah … Selamatkanlah Lambo … . Aku berdoa lirih dalam hatiku.
*****
351
Kegiatan penjangkauan, pelacakan, pencarian terhadap orang yang dipandang beresiko terkena HIV/AIDS
143
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Pukul sebelas malam lewat. Aku pamit meluruskan badan tiduran di atas tempat duduk taman. Aku biarkan Resti dan Jay bercakap-cakap di dekatku. Aku sudah tidak bisa berpikir apa-apa. Aku bingung. Aku perlu istirahat, tiduran. Dan hanya dengan berbantalkan jaket milik Resti, aku pun tiduran melarutkan diri dalam kesendirianku. Dan tanpa sadar aku pun ngliyep.352 Jam satu lebih, aku dibangunkan Jay. Rupanya pagi sudah luruh bersama sepinya malam berembun tipis. “Mas Amin …”, kata Jay dengan suara pelan dan terdengar rapuh. “Yah?”, jawabku malas. “Tuch ada teman-teman Mas Amin …”, kata Jay sambil melengoskan kepalanya ke arah undak-undakan di bawah videotron. Aku lihat sekilas ada
beberapa lelaki dan perempuan tengah
bercakap-cakap di bawah videotron. Ada tujuh orang. “Hai …”, teriakku ke arah mereka. Dan mereka pun menghentikan aktivitasnya. Bahkan mereka kemudian malahan berduyun-duyun bergerak ke arah aku duduk bertelekan di bangku taman. Ow, rupa-rupanya Dakir, Hatir, Imah, dan Befa. Nampak juga Cahyo dan Alip. “Hai, kalian tau aku disini dari siapa?”, tanyaku pada para “tamu dadakan”-ku. “Lho? Khan ada yang menulis di grup, Bos”, jelas Cahyo sambil menyalamiku. Maksudnya grup fesbuk. “Siapa?”, selidikku. “Mas Manan … Dia bilang njenengan pingsan … dan bla-bla-bla” jelas Imah dengan ekspresi renyah. “Iya, dan ini kebetulan tadi kumpul-kumpul rapat … Jadinya kita sekalian aja kesini”, imbuh Befa. “Okey, sebentar yah … “, kataku sambil mencari-cari dimana Resti dan Jay. 352
Tertidur sejenak.
144
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Ow, mereka tengah duduk berdua di belakangku jarak limapuluh meteran. Aku lihat Jay tengah bercakap-cakap melalui hapenya, sementara Resti lagi duduk asyik SMS-an. “Eh, kalian sudah kenalan sama Mbak Resti dan Mas Jay? Itu lho yang berdua di sono”, kataku sambil menunjukkan tanganku ke arah Jay dan Resti. “Sudah, Mas … . Tadi sambil kita-kita menunggu Mas bangun …”, jelas Dakir. “Ow, ya syukurlah “, jawabku singkat. “Mereka adalah teman-teman relawan peduli HIV/AIDS … Mereka teman-teman kita juga … “, imbuhku mencoba membangun situasi menjadi lebih nyaman. “Sepulang dari Banjarnegara, aku malahan belum sempat ketemu sama sekali”, komentar Befa. “Tidak apa-apa … “, kataku sekenanya saja. “Lha, kemana saja mereka pergi, Mas?”, tanya Alip menyela. “Biasa … outreach …”, jelasku agak lirih. Aku mencoba membatasi informasi. Aku tidak merasa enak saja kalau teman-teman NU tahu soal Lambo. Tiba-tiba ada denting hape. Rupanya hape Cahyo berbunyi tanda ada SMS masuk. Lalu … . “Ana wong mati nang mejid !”353, teriak Cahyo sambil membaca SMS dari layar monitor hapenya. Cahyo adalah mahasiswa sekaligus santri khodam354 Kyai Masykur. Dia biasa juga membantuku untuk mengetik banyak pekerjaan komputer. “Giye … Kang Hamid SMS inyong …”355, tambahnya. “Hamid sapa guwe?”356, tanyaku cepat.
353
Ana orang meniggal di masjid Santri yang biasa membantu urusan rumah-tangga keluarga kyai 355 Ini…Mas Hamid SMS aku 356 Hamid siapa itu? 354
145
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Nggih Hamid-e piyambak …”357, jelas Cahyo menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan nama Hamid adalah Hamid yang biasa thengal-thengul358 membantu kegiatan di kompleks pesantren. Suasana jadi tegang. Aku juga ikut tegang. Pada saat terkuras memikirkan dimana Lambo berada, tiba-tiba ada kabar yang menciutkan hatiku. Aku jadi agak panik. “Mejid endi guwe?”359, tanya Alip serius. “Hamid ora ngomongake”360, jawab Cahyo cepat. “Ana-ana baen yah …”361, kata Imah mengomentari. “Ih, aku dadi mrinding ….”362, balas Befa sambil menangkupkan kedua tangannya ke dadanya. “Jal aku ta’ telpon Kang Hamid baen … Dadi penasaran aku” 363, kataku kemudian sambil mengambil hapeku dari saku celanaku. Selagi yang lain terdiam menunggu apa yang akan aku perbuat, aku memencet hapeku menghubungi Hamid. Biasanya Hamid di kombongan364 pesantren jika tidak di rumah. “Hamid sich dimana, Yo?”, tanyaku pada Cahyo. “Wau sonten teng kombongan …”365, jawab Cahyo dengan sopan. “Kula kepanggih sedela … Mas Hamid namung dogles”366, imbuhnya dengan menggunakan Bahasa Jawa halus. Dia memang anak muda yang terbiasa berbahasa Jawa halus. Mendengar keterangan Cahyo, aku jadi geregetan menunggu untuk segera tersambungkan dengan Hamid. Duh, kenapa Hamid gak cepat-cepat ngangkat hapenya?, batinku. 357
Ya Hamid orang kita Sering nongol 359 Masjid mana itu 360 Hamid tidak menyebutkan 361 Ada-ada saja yah 362 Ih, aku jadi merinding 363 Coba aku ta’ telpon Mas Hamid saja .. Aku jadi penasaran 364 Kamar pondok 365 Tadi sore di kamar pondok 366 Saya bertemu sebentar … Mas Hamid hanya sebentar banget 358
146
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Wis turu apa yah?”367, tanyaku mengeluh sambil menstop hapeku. “Ora nyambung, Mas?”368, tanya Dakir. “Urung … Jal ngko ta’ telpon maning … Limang menitan”369, jawabku sambil membetulkan letak duduk. Tak lama kemudian, tiba-tiba hapeku berdenting tanda ada
SMS
masuk. Aku pun segera melongok ke arah layar monitornya. Rupanya Hamid meng-SMS. “Mas Hamid SMS”, kataku sambil membuka pesan dari Hamid. “Onten dhawuh? Wah, Hamid malah takon …”370, kataku sambil membaca SMS Hamid. Aku segera saja memencet tombol telpon. Aku ingin cepat-cepat saja bicara dengan Hamid melalui hape. “Assalamu’alaikum …”, sapaku mengawali pembicaraan via hape dengan suara keras. Hape juga aku buat loudspeaker agar teman-teman yang lain juga mendengar. “Wa’alaikumussalam … Maaf, Mas. Ini baru mbantu ngurus orang meninggal di masjid … ”. Terdengar kalimat Hamid begitu jelas. “Siapa yang meninggal, Mas?”, tanyaku mengejar. “Identitas belum jelas … Laki-laki berpakaian kotak-kotak … Ditemukan di di sudut masjid … Kayaknya baru shalat atau wiridan … Ada tasbih kecil di dekatnya … Mirip tasbih antum, Mas”. Aku mendengar Hamid memberikan penjelasan cukup detail. Bahkan beberapa item membuat aku degdegan. Dadaku berdenyut mengencang. Mbasanu Lambo?371, batinku. Tapi koq di masjid di kompleks dimana aku biasa beraktivitas?, tanyaku dalam hati. Apa Lambo tahu aku biasa di sana? Tahu darimana?, tanyaku kemudian. “Terus, Mas?”, tanyaku memburu cepat. Aku jadi tegang. 367
Sudah tidur apa yah? Tidak nyambung, Mas? 369 Belum … Coba nanti ta’ telpon lagi … Lima menitan lagi 370 Ada perintah? Wah, hamid malah tanya 371 Jangan-jangan Lambo? 368
147
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Itu sudah dibawa pakai ambulans ke rumah sakit”. Aku mendengar Hamid memberikan kabar kemudian. Ow, mayatnya lagi dibawa ke rumah sakit, batinku. Dan aku pun jadi terserang ingin tahu lebih banyak. Aku pun memutuskan untuk mengecek saja ke rumah sakit. Kegelisahanku menyangkut Lambo yang kini tidak diketahui rimbanya membuatku harus bergerak cepat. Aku harus ke rumah sakit, pikirku kemudian. “Oke, Mas … Kalau ada info penting, aku dikabari yah?”, kataku kemudian mencoba untuk mengakhiri perbincangan. Aku agak limbung. “Ya, Mas … Assalamu’alaikum …”. Aku mendengar Hamid menjawab sekaligus mengakhiri percakapan dengan salam. “Wa’alaikumussalam ..”, jawabku cepat. Aku mengakhiri pembicaraan via hape sambil berdiri. “Kepiye, Mas?”372, tanya Hatir. “Sapa gelem ngeterna aku meng rumah sakit? Motorku digawa Mas Manan”373, kataku kemudian sekaligus menjawab pertanyaan Hatir sambil memasukkan hapeku ke saku celanaku. “Ayuh, bareng-bareng baen”374, jawab Dakir dan Imah hampir bersamaan. Dan Nampak yang lainnya pun menyetujui. Aku pun segera menelpon Manan. Aku memberitahu soal orang meninggal yang dikabarkan Hamid. Aku sekalian saja memberitahu kalau aku akan meluncur ke rumah-sakit. Bahkan aku minta Manan yang tengah di seputaran stasiun kereta api untuk segera meluncur ke rumah sakit saja. Dan setelah menahan Jay dan Resti untuk tetap di lokasi, aku dan teman-teman yang lain segera meluncur menuju rumah sakit yang berlokasi di sisi selatan kota. Pikiranku sudah tidak konsentrasi. Perasaan takut
372
Bagaimana Mas ? Siapa yang mau mengantarkan aku ke rumah sakit? Motorku dibawa sama Mas Manan 374 Ayo, bersama-sama saja sekalian … 373
148
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
kehilangan Lambo menguasaiku. Aku pun jadi duduk gemetaran di belakang membonceng Hatir.
*****
149
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
12 DI RUMAH SAKIT
Begitu sampai teras Unit Gawat Darurat (UGD), aku turun cepat dari boncengan Hatir. Aku lihat Manan dan Helen sudah di sana. Wajah mereka berdua nampak tegang saat melihat aku datang. Bahkan Manan segera menyambutku dengan menjulurkan tangan kanannya, lalu menarikku dalam pelukannya. Aku merasa melemas. “Lambo ninggal, Mas”, bisik Manan di dekat telingaku. Aku tak dapat menahan tangis. Aku pun menangis sesenggukan dengan suara keras. Aku merasa sedih sekali, sangat sedih. Pelukan Manan tidak mampu meluruhkan tangisku. Aku benar-benar terpukul. Sangat terpukul. “Maaf, Mas … Lambo langsung ditangani secara khusus …”, jelas Manan kemudian, masih setengah berbisik di telingaku. “Dan aku sudah memberitahu pihak rumah sakit soal siapa Lambo”, imbuhnya. “Ya, ya …”, jawabku pendek memahami kabar Manan soal status Lambo almarhum375. “Tapi kenapa aku harus kehilangan Binto, lalu Lambo?”, tanyaku sambil menumpahkan sisa-sisa airmata kesedihanku. “Lambo ditemukan di masjid di tempat njenengan … . Aku khusnu-dzdzon376,
Lambo lagi shalat atau wiridan … “, terang Manan sambil
375
Sebutan untuk seorang lelaki yang sudah meninggal dunia. Jika perempuan disebut almarhumah. 376 Berprasangka baik
150
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
mengendurkan pelukannya. Lalu aku diajaknya duduk di bangku panjang di teras UGD. Dan mendengar keterangan Manan soal Lambo, hatiku terasa sedikit dingin. Ada semilir sejuk merasuki dadaku. Aku pun sudah tidak menangis sesenggukan lagi. Hanya airmataku saja yang masih menggenangi pelupuk mataku. Bahkan berangsur-angsur aku sudah mulai menerima kenyataan. Dalam rasa kesendirianku yang kehilangan orang-orang yang aku sayangi, aku berdoa lirih. Ya, Allah … Semoga Lambo-ku khusnul-khatimah, batinku berdoa dengan sedalam-dalamnya doa. “Mas”, sapa Manan pendek setelah duduk berjejeran di kursi panjang bersama Helen. “Amplop milik Lambo masih?”, tanya Manan. “Masih. Nich, aku saku dalam celanaku”, jawabku serius. “Ada apa?”, tanyaku kemudian. “Itu keterangan dokter Jakarta biar ta’ kasihkan sama Dokter Rusdi”, jawabnya sambil mengangkat tangan kanannya menengadah meminta surat yang dimaksud. Aku paham dengan gerakannya. Dan akupun segera mengambil amplop di sakuku. “Siapa Dokter Rusdi, Mas?”, tanyaku menyelidik. “Beliau teman kita, biasa ketemu VCT … . Dia kebetulan berjaga malam ini …”, jelas Manan. Aku mengangguk paham dengan penjelasan Manan sambil aku membuka amplop. Setelah aku jumput isi amplop sesuai dengan permintaan Manan, lalu surat Lambo untukku kumasukkan kembali ke dalam amplop. Surat keterangan dokter itu aku berikan kepada Manan. “Mumpung ada kesempatan, surat Lambo dibaca saja, Mas …”, pinta Manan saat melihat aku memasukkan surat Lambo kembali ke
dalam
amplop.
151
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Iya, Mas … . Sambil kita menunggu urusan rumah sakit selesai, Mas”, kata Helen mendukung usulan Manan. Aku menghentikan gerakan tanganku memasukkan surat Lambo itu. Aku berpikir sejenak. Iya, yah? Kenapa tidak aku baca saja, batinku. Tapi … “Jangan aku … Nich, kamu baca dulu saja, Mbak …”, kataku kemudian sambil menyodorkan amplop dan isinya kepada Helen. Aku lihat Helen kaget. Manan yang akan beranjak menemui Dokter Rusdi pun jadi berhenti sebentar. “Aku belum siap membacanya …”, jelasku sambil memaksa Helen untuk menerimanya. “Lho?”, kata Helen pendek sambil menerima amplop dariku. “Ya, sudah … Helen baca sendiri saja … Tidak perlu keras-keras atau bersama orang lain … Aku ta’ menemui Dokter Rusdi dulu”, kata Manan mencoba berinisiatif mengendalikan keadaan. Pada saat bersamaan Dakir, Hatir, Befa, dan Imah datang mendekat dari arah parkiran motor. Kemudian nampak muncul juga di belakang mereka Joko, Lechan, dan lainnya. Aku segera saja berdiri. Aku merasa sesak. Aku merasa jadi pusing. Perutku merasa kembung. “Teman-teman, ini Mbak Helen … Silahkan bergabung …”, kataku dengan suara datar sambil menyambut kedatangan Dakir dan kawan-kawan. “Sini duduk … Aku ta’ cari rokok dulu”, kataku lagi. “Mas Hatir, temenin aku …”, kataku kemudian sambil merangkul Hatir untuk segera memisahkan diri. “Betul nich, Mas?”, tanya Hatir sambil berjalan mendampingiku. “Sudahlah, nanti kita bicara di warung … Aku butuh kopi … Aku stress”, kataku sambil berjalan bergegas. Setengah jam di warung dekat rumah sakit, aku duduk dan banyak termenung sendiri. Sengaja aku minta kepada Hatir untuk membiarkan aku
152
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
sendirian. Aku lagi butuh sendiri untuk merenung. Dan aku biarkan Hatir asyik menonton tivi. Dia pun membiarkanku menyendiri. Aku lihat jam dinding di warung. Hampir pukul dua pagi. Aku biarkan Hatir asyik menonton tivi. Aku sendiri kemudian menyilangkan kedua tanganku di pinggir meja di depanku. Lalu aku jadikan punggung tanganku untuk meletakkan kepalaku. Aku pejamkan kedua mataku. Rasa lelah dan sedih yang mendalam menyatu. Dalam keadaan yang sangat terpukul, aku benar-benar merasa sendiri. Bayangan gunung es yang mengapung di atas lautan pun mengemuka. Bayangan sudah berapa banyak orang mati sebagaimana Lambo pun melintas, dan bayangan lebih banyak lagi orang yang terkena HIV dan AIDS yang belum terditeksi pun bagai barisan awan hitam mengepungku. Bayangan orang-orang yang sekarat menghadapi kekebalan tubuhnya yang menurun pun berputar-putar seakan terus memenuhi kepalaku. Aku pun jadi semakin larut dalam kesendirianku. Dalam ketidakberdayaan, aku jadi tergagap. Hah !! Dan dalam posisi menelungkup, aku pun mencoba menenangkan diri, mengatur nafas lebih teratur, meluruhkan segala masalah ke lautan kepasrahan, dan menyerahkan semua urusan kepada Sang Pemilik Kehidupan, Tuhan Kuasa Semesta Alam. Laa khaula wa laa quwwata illa billaahi-l-‘aliyyi-l-‘adhiim377 . Ya, Allah … Terima kasih masih Engkau gerakkan hati-hati manusia untuk peduli terhadap HIV/AIDS dan ODHA … Semoga Engkau berkenan melapangkan urusan-urusan itu semua … . Aku pun larut dalam kepasrahanku pada-Nya. Aku pun memfana. Aku kemudian lupa, tertidur. ***** 377
Tiada daya dan kekuatan sedikitpun kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur.
153
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
13 AMPLOP PUTIH
Pagi masih gelap. Aku bangun beberapa menit sebelum adzan shalat subuh berkumandang dari corong mejid378. Usai shalat aku membangunkan anak-anak untuk persiapan bersekolah. Ini bagian dari rutinitas seorang ayah beranak dua bersama dengan istriku yang manis. Tiba-tiba aku ingin beranjak pergi lepas dari rutinitas pagi. Aku pingin jalan-jalan pagi di alun-alun. Lagian aku juga perlu olahraga untuk menjaga kebugaran dan kesehatan, batinku. Aku ajak istriku untuk berduaan, namun dia enggan.
Aku ngurus anak-anak saja, katanya. Ya, sudah. Aku pun
berangkat dengan berkendara motor roda dua. Aku sendirian saja. Alun-alun kotaku menyapa hangat kedatanganku dengan suara kicau burung-burung di pepohonan perindang. Lama aku duduk di atas jok motor di bawah pohon beringin di sisi barat alun-alun. Aku nikmati nyanyian burung-burung di atasku. Bahkan aku sempatkan mengamat-amati mereka bercanda ria di antara dedauan dan ranting. Aku pun jadi menelanjangi pohon beringin yang berdiri diam di depanku jarak lima meter. Di bawah pohon beringin terdapat bangunan pagar rendah setinggi setengah meter. Pagar ini kokoh berbentuk persegi empat mengelilingi pohon itu.
Di hadapanku, di atas pagar itu terdapat seperangkat alat
berdagang makanan kecil dan minuman. Bakule urung teka ngeneh, tapi barang dagangane wis ndisiti379, batinku sambil mengamati sekilas bendabenda berjajaran di depanku. Sementara itu di sebelah selatan pohon beringin penjual bubur ayam sudah datang dan tengah melayani seorang 378 379
Loadspeaker masjid Pedagangnya belum sampai sini, tetapi barang dagangannya sudah datang duluan.
154
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
pembeli. Aku tidak kenal penjual bubur itu, namun demikian sebagai sesama wong ngapak380 aku merasa berani saja untuk menyapanya. Aku pikir dia pun akan senang-senang saja jika aku sekedar bertanya. “Kang, giye dagangane sapa yah? Pernae ngglethak, ra nana sing dodolan?381”, seruku ke arah penjual bubur ayam itu. Mataku mengarah kepadanya lurus. “Ow, niku nggene Pak Rodin”382, jawab penjual bubur itu sambil melihatku sejenak sebelum dia melayani pembeli kembali. “Kajine pa?”383, tanyaku segera dengan bahasa umum kalangan pedagang kaki lima. Pertanyaanku terdengar kurang halus, namun ini aku gunakan untuk lebih mengakrabkan bagi si penjual bubur itu. Dengan pertanyaan umum standar itu, kesan egaliter lebih gampang terbangun. Aku sendiri kenal lama dengan Kajine. Dia teman lama saat dulu awalawal reformasi tahun 1998. Kami sering bertemu untuk diskusi ini-itu bersama teman yang lainnya. Namun setelah itu jarang bertemu, bahkan aku tidak tahu pasti dia bisnis384 apa sekarang ini. “Nggih, Mas”385, jawabnya sopan khas wong cilik386 yang senantiasa membiasakan diri untuk selalu sopan dan santun kepada siapapun. Khas masyarakat Jawa pada umumnya bertutur sopan kepada orang yang belum dikenal. Kesopanan ini terekspresi dalam bentuk bahasa tutur ataupun bahasa tubuh. Meskipun si penjual bubur ayam ini asyik melayani pembelinya, dia tetap menunjukkan kesopannnya dalam bentuk bahasa tutur. Kata nggih sama dengan kata inggih, injih, ya dalam Bahasa Jawa. Ya, sudahlah. Aku parkir saja motorku di sini, insyaallah aman-aman saja, kataku dalam hati. Entoch ini di lapak teman sendiri, kataku lagi. Aku 380
Orang/masyarakat dengan logat bahasa Jawa Banyumasan. Kang, ini dagangannya siapa ya? Koq tergeketak begitu saja (dan) tidak ada yang berjualan. 382 Ow, itu kepunyaan Pak Rodin 383 Pak haji apa? Maksudnya,apa Pak Haji Rodin 384 Berkesibukan, berkegiatan yang sekiranya dapat menopang kelangsungan hidup 385 Ya, Mas. Jawaban sopan. 386 Kawula alit, orang umum, kaum pinggiran, masyarakat umum, proletarian, kelas bawah. 381
155
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
pun menstandar motor, lalu beringsut berjalan ke arah alun-alun menaiki tangga. Sesekali mataku naik-turun menelanjangi pohon beringin itu. Aku mau jalan-jalan dulu, batinku. Gampang nanti kembali ke sini dan menikmati indah pohon beringin, batinku lagi sambil berjalan ke arah selatan untuk mengelilingi alun-alun. Aku ingin sekedar olahraga. Dan aku baru berjalan sebentar ke
arah selatan, baru puluhan
langkah saja. Tiba-tiba mataku terantuk pada pemandangan yang mengejutkanku yang membuatku berhenti. Ya, aku pun jadi berdiri terpaku saat sebuah mobil berjalan pelan dari arah selatan ke utara di seberang jalan di depan gapura Masjid Agung Kauman. Aku hanya bisa terbengong saat aku lihat penumpang yang duduk di belakang sopir. Penumpang itu tersenyum manis dengan mengarahkan pandangan matanya ke arahku. Tangannya melambai. Aku lihat penumpang itu lelaki berkopiah dan berpakaian putih bersih. Aku pun mengikuti gerak mobil itu menuju ke utara lurus. Dan aku masih melihat penumpang itu lamat-lamat masih melambaikan tangannya. Kesadaranku pulih saat mobil itu sudah berada di utara perempatan bergerak agak lebih cepat. Rasa penasaranku menggugahku untuk bertindak cepat. Dan aku pun segera berjalan cepat menuju motorku. Keinginan mengejar mobil itu menguasaiku. Keyakinanku bahwa aku tadi melihat Lambo di dalam mobil itu membuat aku ingin menyusul mobil itu. Bukankah Lambo sudah meninggal? Bukankah Lambo sudah dikubur seminggu yang lalu? Bahkan aku dan teman-teman relawan aktif mengurusi upacara
penguburan
dan
selamatannya?
Serentetan
pertanyaan
menyerangku bertubi-tubi. Ah, entahlah ! Pokoknya aku harus kejar dulu mobil itu, kataku memutuskan. “Gasik, Mas?”, sapa seseorang di belakangku saat aku mencoba untuk menghidupkan motorku. Aku kaget. Aku pun jadi menengokkan kepalaku ke arah suara itu. Ow, rupanya Rodin teman lamaku. 156
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Tumben, ya …”, katanya lagi membuyarkan pikiranku untuk mengejar mobil itu. “Hei, Mas … Tumben apa tuch?”, sapaku sambil bertanya. Aku tidak terlalu perhatian dengan Rodin. Dan sementara aku mencoba memaju-mundurkan motorku untuk bisa segera meluncur mengejar mobil itu, aku pun lihat sekilas mobil itu sudah menjelang pertigaan di ujung utara. AKu lihat sign mobil menyala ke arah kiri, ke arah Mertakanda. “Tumben jalan-jalan …”, kata Rodin enteng. Aku jadi terhenti menggerakkan motorku. Aku lihat Kaji387 Rodin asyik menata-nata dagangannya. Dan aku dihadapkan pada dua pilihan sulit. Aku terus mengejar mobil itu, atau aku melanjutkan percakapanku dengan Rodin. Tidak ! Aku harus mengejar mobil itu dulu, kataku dalam hati memutuskan. Aku pun segera melajukan saja motorku tanpa pamit kepada Rodin temanku. Urusan Rodin nanti saja, batinku kemudian sambil mempercepat laju motorku.
*****
Aku melajukan motorku sampai perempatan Mertakanda. Aku berhenti sebentar untuk memutuskan kemana aku harus memilih jalan. Mungkinkah mobil itu ke utara ke arah Karangsambung?, tanyaku dalam
387
Haji
157
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
hati. Ah, tidak mungkin. Ngapain kesana?, jawabku sendiri dalam hati. Oke, berarti aku tidak perlu memilih ke utara, kataku memutuskan. Ke selatan? Ah, tidak mungkin yah? Moso’ ke selatan? Ke selatan khan sama saja balik lagi ke alun-alun?, tanyaku dalam hati. Tidak mungkin!, kataku kemudian memutuskan untuk tidak memilih ke selatan. Oke, aku harus lurus saja ke barat, kataku dalam hati memutuskan untuk melanjutkan pencarian mobil itu. Dan aku pun kembali menjalankan motorku meluncur ke arah Jembatan Tembana di sisi barat. Aku memacu motorku menembus dingin udara pagi. Mataku tajam memandang ke depan mengejar bayangan mobil itu. Aku berharap sekali dapat melihat mobil itu walau sekilas. Namun, sungguh aku jadi merasa kecewa. Sampai di pertigaan bangjo Pejagoan, aku sama sekali tidak melihat mobil itu. Dan untuk menebus kelambananku, aku putuskan untuk mengejar lebih jauh lagi. Aku pun melajukan motorku kencang menuju simpanglima Sruweng. Aku benar-benar dihantui rasa penasaran yang tak tertahankan. Bayangan lelaki berkopiah dan melambaikan tangannya itu membuat aku tidak berpikir apa-apa lagi. Kilasan wajah Lambo alias Kamal menempel erat dalam ingatanku. Ah, moso’ ya? Moso’ aku kehilangan jejak mobil itu?, gerutuku dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalaku di dekat bangjo simpanglima Sruweng. Aku sudah lari sekencang-kencangnya. Dan ini sudah puluhan kilometer, kataku dalam hati. Haruskah aku kejar sampai Gombong?, tanyaku bimbang. Aku tertindih ribuan kubik sesalku saat aku melajukan motorku pelan-pelan untuk kembali ke alun-alun. Aku tidak lagi mampu berpikir harus bagaimana. Hanya doa yang biasa aku jadikan sandaran pada saat seperti ini. Ya, Allah … . Pertunjukan apa ini semua? Dan pertanda apakah ini semua? Ya, Allah … . Berilah hamba-Mu ini jawaban …
158
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
Aku pun hanya mampu memanjatkan doa dalam hati dengan keadaan yang penuh sesal. Aku berharap Tuhan memberikan secercah jawaban atas apa yang aku alami.
*****
Aku memasuki kawasan alun-alun dari arah barat daya. Aku akan kembali ke tempat semula untuk menemui kembali Rodin. Dan saat aku memasuki Jalan Pahlawan di sebelah selatan Masjid Agung, mataku pun mencoba mencari-cari mobil itu. Jangan-jangan mobil itu balik lagi ke alunalun, batinku kemudian. Aku membatin seakan sebuah doa. Dan saat aku berada di depan gerbang Masjid Agung, mataku tertambat erat pada sebuah mobil yang parkir di dekat lokasi dimana Rodin berjualan. Mataku pun mengamat-amati lebih cermat.
Ya, benar ! Itu
mobilnya ! Yakin, aku tidak pangling!, kataku dalam hati sambil tersenyum gembira. Ya, Allah … . Aku hanya bisa berbisik lirih dalam hatiku. Rasa heranku mengiringi. Begitu aku memarkir motorku di sisi taman, aku segera berjalan mendekati Rodin yang tengah berbincang-bincang dengan seorang lelaki asing. Lelaki itu berpakaian serba putih, berkopiah putih, berbaju koko, dan bersarung putih. Hanya selopnya saja yang berwarna hitam mengkilat. Sementara itu mataku cermat mengamat-amati mobil yang parkir tenang di depanku jarak sepuluh meteran. “Mas Amin … Nich kenalin temanku, Mas Kamil …”, seru Rodin sambil menyambutku datang. 159
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Mas Kamil mencarimu, Mas …”, imbuhnya. Aku pun mendekati mereka sambil tersenyum. Aku menyalami orang asing yang diperkenalkan Rodin. Umurnya mungkin lima tahun lebih tua dariku, kataku dalam hati. Lalu aku pun menyalami Rodin yang belum sempat bersalaman sebelumnya. Dan sepanjang bersalaman, aku membatin. Siapa yah Mas Kamil? Koq aku tidak kenal? “Saya Amin, Mas …”, kataku kemudian. “Saya Kamil, Mas …”, sambut lelaki asing itu. “Mas Ka … Ka … Kamil yang mengendarai mobil itu?”, tanyaku reflex. “Iya, betul … Kenapa, Mas?”, tanyanya kemudian. “Enggak … Bagus mobilnya …”, jawabku sekenanya. Aku tidak ingin membuka peristiwa yang baru aku alami. “Perasaan aku tadi lihat mobil njenengan tadi ke utara apa yah?”, kataku mencoba bertanya. “Iya, betul … Saya dari arah Pejagoan, shalat di Kauman, lalu ke utara sana”, jawabnya sambil mengacungkan tangannya ke arah utara. “Saya ke rumah Mas Rodin … Eh, yang dicari ternyata di sini …” jelasnya sambil terkekeh. Aku terkejut dengan penjelasannya. Berarti betul aku tadi melihat mobil iti bergerak ke utara. Berarti mobil itu tidak meluncur ke arah barat. Mobil itu berarti mengarah ke selatan dari perempatan Mertakanda untuk menuju rumah Rodin yang terletak tidak jauh dari perempatan itu. “Lalu?”, tanyaku reflex. Hampir-hampir aku tidak sadar kenapa aku bertanya seperti itu. “Yah, lalu saya kesini …”, jawab Mas Kamil si lelaki asing itu. “Mas Kamil mencarimu, Mas Amin …”, kata Rodin kemudian. “Oh ya?”, kataku sambil mengerutkan dahiku. “Iya, Mas Amin …”, kata Mas Kamil pendek sambil menepuk pundakku pelan tanda mencoba membangun keakraban.
160
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih, Mas Amin …”, katanya kemudian sambil merangkul pundakku dan mengajakku duduk di sisi trotoar alun-alun. “Oh ya?”, kataku lagi sambil duduk di samping Mas Amin. “Ya, terima kasih atas semua bantuan Mas Amin mengurus Kamal almarhum …”, jawabnya kemudian. “Kamal?”, tanyaku agak bingung campur bengong. “Kamal, atau Lambo …”, katanya sambil melepaskan padangannya jauh ke angkasa. Aku terkejut mendengar kata-katanya. Aneh, siapa ini Mas Kamil?, batinku. “Kamal Marlambo itu adik bungsu saya, Mas …”, katanya. “Dan saya baru tahu Kamal meninggal empat hari yang lalu … “, jelasnya dengan nada penuh sesal. “Saya dan Kamal sebelumnya hidup bersama serumah di Jakarta … Kamal menumpang di rumah saya …” cerita Mas Kamil kemudian. “Dan entah karena apa, tiba-tiba Kamal menghilang … . E, saya dan dia tidak ada masalah … “, imbuhnya lagi. “Saya lapor polisi atas raibnya Kamal … Dan baru empat hari yang lalu saya mendapatkan informasi bahwa adik bungsu saya meninggal …”, jelasnya kemudian dengan suara agak parau. “Saya ikut berbela sungkawa, Mas …”, kataku kemudian. Aku mendengar Mas Kamil mendesah mendengar ucapanku. Terdengar rasa sedih dalam desahannya. Aku jadi menyesal mengucapkan kata-kataku. “Aku sedih, Mas … Aku sedih telah kehilangan adik …”, katanya kemudian. “Tapi … tapi aku terharu ….”, katanya lagi. Aku memandang wajah Mas Kamil. Dia pun kemudian merespons dengan membalas pandanganku. Aku ingin bertanya lebih lanjut, namun aku 161
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
lihat matanya sedikit berkaca. Aku jadi mengurungkan niatku bertanya. Aku pun mengalihkan pandangan mataku ke depan ke arah lalu lintas yang mulai ramai. Aku pun tersergap rasa kehilangan Lambo alias Kamal. Perasaan bersalahku pun mengemuka. Lalu perasaan itu beradu dengan gambaran Lambo berada di masjid tengah duduk bersila dan memutar tasbih di tangan kanannya. Kemudian aku teringat isi surat Lambo. Aku teringat surat pendek yang ditulis sendiri oleh Lambo. Mas Amin, jika aku tiada … Doakan aku dan Mas Binto. Doakan semoga aku dan Mas Binto diampuni salah dan dosanya. Gunakan harta peninggalanku dan Mas Binto untuk membantu sesama.
“Mas Amin …”, sapa Mas Kamil mengejutkan lamunanku. “Ya, ya … Ya, Mas …”, jawabku agak gagap. “Rumah yang di Watusari itu warisan untuk Binto dan Kamal, Mas …”, katanya kemudian. “Dan saya sudah membicarakannya dengan Pak Lurah … dan juga keluarga, Mas … . Rumah itu kami hibahkan untuk membantu …. membantu urusan HIV/AIDS, Mas …” jelasnya. Aku kaget. Aku menolehkan kepalaku cepat. Aku tatap bola mata Mas Kamil yang duduk di sampingku. “Iya, Mas … Dan terimalah surat ini”, kata Mas Kamil sambil mengambil sepucuk amplop dari saku bajunya. Lalu Mas Kamil menyodorkan paksa amplop besar putih ke tanganku. Aku merasa dia memintaku untuk harus menerimanya. Aku pun melihat ke arah amplop itu. Di pojok amplop itu nampak nama seorang notaris yang aku kenal. “Rumah itu kami serahkan kepada Mas Amin … Ini buktinya, Mas”, jelas Mas Kamil sambil menekankan tangannya ke tanganku mengisyaratkan keseriusan kata-katanya.
162
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
“Bantulah para penderita HIV AIDS dengan rumah itu, Mas …”, pinta Mas Kamil. “Surat dalam amplop itu sudah menyebutkan apa saja yang dihibahkan … “, katanya kemudian dengan suara tegar. Aku hanya terbengong. Aku bingung harus berkata apa. Dan aku terharu dengan semuanya. Mataku memandangi amplop putih di tanganku dengan tatapan kosong.
Bayangan Lambo tersenyum sambil melambaikan tangannya
muncul tiba-tiba. Bayangan Binto tengah tertawa senang pun mengemuka. Ya, Allah Dzat Yang Maha Pengasih Maha Penyayang … . Semoga Engkau bahagiakan Binto dan Kamal di sisi-Mu. Semoga amal hibahnya menjadi amal jariyah mereka berdua … . Semoga kebaikan keluarga besarnya pun mendapatkan pahala yang berlipat. Amiin … . Aku berdoa lirih, dalam hati. Kicau burung-burung di pohon beringin di atasku terdengar merdu mengamini doaku. Angin semilir sejuk pun berhembus. Aku yakin doa kecilku dikabulkan Tuhan.
*****
163
SURGA UNTUK ODHA A Novel about HIV/AIDS By HAS Chamidi
164