BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Dewasa ini, HIV telah menjadi epidemi baru di Indonesia. Jumlah kasus yang ditemukan di Indonesia jumlahnya senantiasa bertambah dan korbannya berasal dari kalangan yang beragam, baik kaya maupun miskin, pejabat bahkan pengangguran. Data statistik hingga Maret 2013 menunjukkan bahwa tercatat 103.759 orang positif HIV dari 147.106 penderita HIV/AIDS di Indonesia yang tersebar di 33 provinsi. Seperti yang tersebut dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS dari Ditjen PP & PL, Kemenkes pada priode 1 April 1987 sd 31 Maret 2013 tertanggal 17 Mei 2013 sebagai berikut. Tabel 1.1 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Provinsi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Provinsi Papua Jawa Timur DKI Jakarta Jawa Barat Bali Jawa Tengah Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Banten Riau Sumatera Barat DI Yogyakarta Sulawesi Utara Sumatera Utara Nusa Tenggara Timur Jambi Kepulauan Riau Nusa Tenggara Barat Maluku Kalimantan Timur
HIV 10881 13599 23792 7621 6819 5021 3724 3116 2761 1549 739 1693 1794 6781 1331 490 3176 574 956 1878
AIDS 7795 6900 6299 4131 3344 2990 1699 1467 885 859 802 782 693 515 420 384 382 379 343 332
1
Jumlah 18676 20499 30091 11752 10163 8011 5423 4583 3646 2408 1541 2475 2487 7296 1751 874 3558 953 1299 2210
Persentase (%) 12,70 13,93 20,46 7,99 6,91 5,45 3,69 3,12 2,48 1,64 1,05 1,68 1,69 4,96 1,19 0,59 2,42 0,65 0,88 1,50
2
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Papua Barat Sulawesi Tenggara Bengkulu Kalimantan Selatan Maluku Utara Aceh Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah Gorontalo Sulawesi Barat Jumlah
1254 357 777 1896 134 159 214 194 98 185 136 27 33 103759
322 258 192 187 161 160 134 123 130 127 93 56 3 43347
1576 615 969 2083 295 319 348 317 228 312 229 83 36 147106
1,07 0,42 0,66 1,42 0,20 0,22 0,24 0,22 0,15 0,21 0,16 0,06 0,02 100,00
Sumber: www.aidsindonesia.com, 2013 Kota Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia sekaligus ibukota Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah dengan jumlah penderita baik HIV maupun AIDS terbesar dengan 865 orang positif HIV dan 381 orang positif AIDS, terhitung dari tahun 1993 hingga September 2013 yang tersebar di 16 kecamatan. Berikut kasus kumulatif HIV/AIDS Jawa Tengah dari tahun 1993 hingga September 2013.
Gambar 1.1 Grafik Kasus Kumulatif HIV/AIDS yang Dilaporkan 20 Besar Kab/Kota di Jawa Tengah 1993 s/d 30 Sept 2013 Sumber: KPA Jawa Tengah, 2013 Semarang merupakan kota besar yang banyak dituju perantau-perantau dari kabupaten/kota di sekitarnya. HIV/AIDS merupakan penyakit perilaku yang
3
penularannya sulit diprediksi. Dengan arus migrasi yang tinggi ke Kota Semarang dikhawatirkan akan menyebarkan penyakit tersebut ke daerah-daerah lain melalui perantara para pelaku migrasi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah setempat untuk menanggulangi penyebaran penyakit ini. Namun, hingga saat ini HIV/AIDS masih menjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di Kota Semarang. Pemanfaatan peta dalam bidang kesehatan pertama kali dilakukan oleh John Snow (1854). Dalam prosesnya, Snow melakukan pemetaan semua kasus kematian akibat wabah kolera yang terjadi di London. Berdasarkan pola kasus kematian yang mengelompok di kawasan sekitar sumur Broad Street, Snow menyimpulkan bahwa wabah kolera tersebut disebabkan oleh zat penular yang disebut “germ” yang mencemari air di sumur kawasan tersebut. Pemanfaatan peta untuk kasus HIV/AIDS sendiri pernah dikembangkan oleh Wood pada tahun 1988. Wood melakukan identifikasi pola persebaran AIDS global. Berdasarkan penelitian tersebut, Wood berhasil melakukan klasifikasi tiga pola utama persebaran AIDS secara global. Pola tersebut adalah AIDS Utara, AIDS Selatan, dan AIDS Utara/Selatan. Dari pola-pola itu Wood mengidentifikasi kesamaan karakter wilayah pada masing-masing pola utama, sehingga melalui analisis spasial dapat diketahui faktor-faktor penyebab penyebarannya. Peta merupakan gambaran permukaan bumi yang diperkecil dalam bentuk dua dimensi. Peta dapat memberikan gambaran spasial berbagai macam fenomena yang terjadi di permukaan bumi secara lebih menyeluruh dan sederhana, termasuk fenomena epidemiologi yang terjadi pada suatu wilayah. Dengan menggunakan peta, kasus epidemiologi seperti HIV yang terjadi di suatu wilayah dapat ditampilkan dalam bentuk dua dimensi yang diperkecil sehingga fenomena tersebut lebih mudah dipahami yang selanjutnya dapat diarahkan untuk pemecahan masalah. Peta perlu didesain sedemikian rupa agar menarik dan mudah dipahami sehingga informasi yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan dengan baik ke pengguna peta. Untuk memberikan gambaran yang menarik dan mudah dipahami tersebut, dalam pembuatan peta diperlukan suatu ilmu atau kaidah yang menjadi dasar dalam melakukan visualisasi dunia nyata ke dalam bentuk peta.
4
Ilmu, kaidah, teknologi, dan seni tentang pembuatan peta-peta adalah kartografi. Peta-peta yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan dapat dianalisis lebih lanjut. Salah satu contoh penggunaan peta adalah seperti yang dilakukan Wood dan Snow di atas, yakni untuk mengidentifikasi pola dan faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran HIV. Inilah yang mendasari penelitian tentang kajian kartografis terhadap suatu fenomena menjadi cukup menarik untuk dilakukan, terutama untuk kejadian HIV di Kota Semarang yang cukup kompleks seperti dijelaskan sebelumnya. Dengan kajian kartografis, peta yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan atau analisis lebih lanjut sehingga dapat mengungkap hal-hal yang tidak dapat diungkap hanya dengan analisis data tabuler seperti identifikasi pola persebaran, daerah yang menjadi pusat persebaran HIV, dan analisis lainnya. Semakin berkembangnya kebutuhan informasi pada era modern ini, mendukung semakin berkembangnya Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan SIG memungkinkan dilakukannya integrasi data spasial dari beberapa sumber yang berbeda. SIG mampu memanipulasi, menganalisis, dan memvisualisasikan gabungan dari beberapa data. Inilah yang menjadi salah satu alasan semakin berkembangnya pemanfaatan SIG dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang kesehatan. Dengan adanya SIG, peta tidak lagi menjadi hasil akhir dalam suatu kegiatan karena SIG dapat memudahkan analisis peta-peta yang dihasilkan. Bahkan peta-peta yang dihasilkan dapat digunakan sebagai masukan untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan yang terjadi.
1. 2 Perumusan Masalah Sebagaimana dikemukakan di dalam latar belakang, HIV telah menjadi salah satu epidemi di Indonesia. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah menempati urutan pertama se-Jawa Tengah untuk kasus kumulatif baik HIV maupun AIDS selama dua dekade terakhir, yakni tahun 1993 hingga tahun 2013. Bahkan hingga saat ini HIV masih menjadi salah satu KLB (Kejadian Luar Biasa) di Kota Semarang.
5
Informasi tentang penyakit HIV di Kota Semarang dapat dikatakan cukup lengkap. Melalui Profil Kesehatan Kota Semarang, Dinas Kesehatan telah memberikan informasi mengenai jumlah, persebaran, dan perkembangan penyakit HIV dan AIDS di kota tersebut dengan dilengkapi peta sebarannya. Namun, peta yang dibuat masih sederhana dan belum memenuhi kaidah kartografis seperti tidak ditampilkannya informasi skala, koordinat, inset, sumber, dan lain-lain. Gambar 1.3 berikut adalah peta sebaran HIV yang dibuat Dinas Kesehatan Kota Semarang. Sebaran Kasus HIV di Kota Semarang Tahun 2012
Gambar 1.2 Peta Sebaran Penyakit HIV di Kota Semarang Tahun 2012 Sumber: Profil Kesehatan Kota Semarang, 2012 Peta yang telah dibuat tersebut juga belum dilakukan analisis lebih lanjut. Padahal dengan melihat penelitian yang dilakukan oleh John Snow dan Wood yang memanfaatkan peta persebaran kasus epidemiologi, dapat dilakukan analisis secara lebih mendalam sehingga hal-hal yang tidak terungkap melalui data tabuler seperti pola persebaran, hot spot, dan pengaruh faktor-faktor terkait HIV terhadap persebarannya dapat diungkapkan. Berdasarkan penjelasan di atas, beberapa permasalahan dirangkum dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1.
Bagaimana cara penyajian data penyakit HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kota Semarang tahun 2012 dalam bentuk peta sesuai kaidah kartografis dengan bantuan SIG?
6
2.
Bagaimana pola persebaran dan hot spot persebaran penyakit HIV di Kota Semarang tahun 2012 melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG?
3.
Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap persebaran penyakit HIV di Kota Semarang tahun 2012 melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG?
1. 3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Menyajikan data penyakit HIV dan faktor-faktor yang mempegaruhinya di Kota Semarang dalam bentuk peta sesuai kaidah kartografis tahun 2012 dengan bantuan SIG.
2.
Mengetahui pola persebaran dan hot spot persebaran HIV di Kota Semarang melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap persebaran HIV di Kota Semarang melalui analisis peta yang dihasilkan dengan memanfaatkan SIG.
1. 4 Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Tersusunnya peta data penyakit HIV di Kota Semarang tahun 2012.
2.
Termanfaatkannya peta untuk melakukan analisis spasial persebaran penyakit HIV di Kota Semarang dengan bantuan SIG.
1. 5 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan:
7
1.
dapat digunakan untuk mengetahui distribusi dan pola persebaran HIV di Kota Semarang;
2.
dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya penanggulangan HIV;
3.
dapat digunakan untuk pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya terhadap kasus serupa atau kasus epidemiologi lainnya.
1. 6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Telaah Pustaka 1.6.1.1 Kartografi Definisi kartografi menurut ICA (International Cartography Assosiation) adalah ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi dalam pembuatan peta-peta, sekaligus mencakup studinya sebagai dokumen ilmiah dan hasil karya seni (ICA, 1973 dalam Wijayanti, 2005a). Peta adalah suatu representasi atau gambaran unsur-unsur atau kenampakan abstrak, yang dipilih dari permukaan bumi, atau yang ada kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa, dan umumnya digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil/diskalakan (ICA, 1973 dalam Wijayanti, 2005b). Manfaat peta bagi kehidupan sehari-hari dapat dikatakan cukup banyak. Manfaat tersebut di antaranya adalah sebagai sumber informasi keruangan suatu wilayah, alat analisis spasial, alat untuk menjelaskan penemuan dalam penelitian, alat untuk menjelaskan rencana, alat bantu survei, alat memasukkan data, dan alat untuk melaporkan hasil penelitian. Dalam pemetaan, sering pula dikenal adanya istilah peta tematik. Peta tematik peta yang menggambarkan info kuantitatif/kualitatif tentang kenampakan atau konsepkonsep yang spesifik yang ada hubungannya dengan detil topografi tertentu (Bos, E.S., 1997a). Dewasa ini, peta digunakan untuk menggambarkan berbagai fenomena spasial di permukaan bumi dan sebagai alat bantu yang efisien untuk menyajikan data keruangan. Peta perlu disajikan dengan baik agar selain menarik juga mudah
8
dimengerti pengguna peta sehingga informasi yang ingin disampaikan pembuat peta dapat tersampaikan. Untuk menyajikan peta yang baik, pembuatannya harus memenuhi syarat-syarat atau kaidah kartografis. Dalam pembuatan peta yang sesuai dengan kaidah kartografis, terdapat serangkaian proses yang perlu dikerjakan oleh pembuat peta untuk mengubah informasi dunia nyata menjadi peta. Berikut adalah skema proses kartografi yang dikemukakan oleh Muehrcke.
Gambar 1.3 Proses Komunikasi Kartografi Sumber: Map Use, Muehrcke, 1978a. Kegiatan dalam pemrosesan kartografi meliputi proses pembuatan peta hingga penggunaan peta. Kegiatan tersebut meliputi pengumpulan dan pengolahan data. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data adalah sumber data; macam data; cara memperoleh data apakah melalui observasi lapangan, interpretasi citra, maupun data sekunder dari badan/instansi terkait. Data mentah yang telah terkumpul perlu diolah. Pengolahan data tersebut meliputi seleksi data, klasifikasi data, penyederhanaan data, dan simbolisasi atau mentransformasikan elemen-elemen dalam dunia nyata menjadi bahasa peta. Setelah peta dihasilkan, proses selanjutnya dalam pemrosesan kartografi adalah penggunaan peta yang meliputi pembacaan dan penafsiran peta agar pengguna peta dapat memahami dan memperoleh gambaran dunia nyata yang dipetakan.
9
1.6.1.2 Visualisasi Kartografi Desain peta merupakan salah satu langkah utama dalam proses pembuatan peta agar peta yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan dan mudah dipahami oleh pengguna peta. Kegiatan desain peta meliputi tiga hal, yakni desain layout atau tata letak peta, desain peta dasar, dan desain simbol atau desain isi peta (Keates, 1973). Dalam melakukan desain peta, hendaknya memperhatikan maksud, tujuan, dan metode pembuatan peta agar peta yang dihasilkan terlihat harmonis, menarik, dan merepresantikan informasi yang mudah dibaca dan dipahami pengguna peta. Untuk itu, agar peta dapat dipergunakan, hendaknya terdapat keterkaitan antara isi dan desain peta dengan fungsi peta (Mas Sukoco, 1984). Selain itu, dalam melakukan desain peta juga perlu memperhatikan skala peta yang akan dihasilkan. Skala peta ini sangat menentukan kedetilan informasi yang akan ditampilkan dalam peta. Salah satu kegiatan dalam desain peta adalah desain simbol. Desain simbol memiliki peranan yang cukup penting dalam pembuatan peta karena simbol merupakan bahasa peta, yang menjadi alat komunikasi antara pembuat peta dengan pengguna peta. Simbol adalah penyajian data dalam bentuk grafis yang digunakan sebagai alat komunikasi (Lukman Aziz dan Ridwan Rachman, 1977a). Bentuk simbol dalam peta dapat berupa titik, garis, dan area sedangkan sifat simbol dapat kuantitatif maupun kualitatif. Cara penggambaran simbol dalam desain peta dapat dengan piktorial (simbol memiliki kesamaan dengan kenampakan asli), geometrik (simbol berbeda dengan kenampakan asli), dan huruf/angka. Menurut Bertin (1983a), dalam memilih dan menentukan simbol yang tepat tidak hanya memperhatikan arti dan bentuk simbol melainkan perlu memperhatikan aspek variabel visual dan persepsi data. Variabel visual merupakan variabel yang digunakan untuk membedakan unsur yang diwakili pada setiap simbol yang meliputi: bentuk, ukuran, kepadatan, warna, posisi, arah, dan nilai. Persepsi pada simbol merupakan kesan yang diperoleh pembaca peta
10
terhadap peta yang dihasilkan, meliputi: persepsi asosiatif, persepsi bertingkat, persepsi selektif, dan persepsi kuantitatif. Agar mudah diinterpretasi, Bertin telah memberikan acuan dalam mendesain simbol berdasarkan dimensi, variabel visual, dan persepsi yang ditunjukkan gambar 1.4 berikut ini.
Gambar 1.4 Penggunaan Variabel Visual dan Persepsi dalam Desain Simbol Grafis Sumber: Semiology of Graphics: Diagram Network Maps, Bertin (1983b) 1.6.1.3 Kajian Kartografis Ruang lingkup informasi dan proses kartografi merupakan hal yang perlu dipahami oleh seorang ahli kartografi dalam melakukan kajian atau pekerjaan kartografi. Untuk memahami lingkup kajian kartografis, dapat diilustrasikan dengan pertunjukan drama yang terdiri dari pemain dan alat. Pemain di sini adalah kartografer dan pengguna peta sedangkan alatnya adalah peta dan domain data. Peran utama kartografer adalah memilih data dari domain dan memprosesnya dalam bentuk peta sedangkan peran pengguna peta adalah untuk memahami dan merespon peta tersebut. Ilustrasi tersebut merupakan gambaran dari proses kartografi sehingga lingkup kajian kartografis dapat dikatakan mencakup keseluruhan proses kartografi (Robinson, dkk., 1984a). Dengan melihat ruang lingkupnya, kajian kartografis tidak hanya berhenti pada pembuatan peta, tetapi mencakup pula pada penggunaan peta, termasuk analisis.
11
Dalam proses kartografi, terdapat lima konsep yang perlu diperhatikan, yakni konsep geometrik, konsep teknologi, konsep presentasi, konsep artistik, dan konsep komunikasi. Masing-masing konsep memiliki komponen yang ditekankan. Konsep geometrik menekankan pada pengumpulan data dan proses konstruksi peta. Konsep teknologi menekankan pada proses konstruksi, dan konsep presentasi menekankan pada kegiatan desain peta. Selanjutnya, konsep artistik menekankan pada tanggapan pengguna peta terhadap peta yang dihasilkan. Dan konsep komunikasi menekankan pada proses desain dan pembacaan peta. Terdapat tiga aktivitas utama dalam penggunaan peta yang meliputi map reading, map analysis, dan map interpretation (Muehrcke, 1978b). Map reading merupakan langkah awal dalam penggunaan peta. Map reading dapat diartikan sebagai proses menerjemahkan simbol-simbol peta menjadi gambaran nyata suatu lingkungan. Tahapan map reading
bertujuan untuk memahami isi peta
berdasarkan simbol-simbol yang dibaca dari legenda peta. Simbol merupakan bahasa peta. Keterangan simbol peta terdapat di dalam legenda. Selain melalui legenda, membaca peta juga dapat dilakukan dengan membaca hal-hal yang digambarkan di dalam peta yang meliputi topik peta yang dapat dilihat dari judul dan pada skala berapa peta tersebut digambarkan. Dari aktivitas map reading tersebut, pembaca peta diharapkan dapat memperoleh hal-hal dasar pada peta seperti posisi, arah, dan jarak. Informasi mengenai posisi, arah, dan jarak yang diperoleh dari map reading sangat berguna untuk tahapan kedua penggunaan peta, map analysis. Map analysis meliputi kegiatan pengukuran objek-objek yang terdapat di dalam peta dan mengaitkan antar fenomena di dalamnya. Kegiatan analisis peta ini bertujuan untuk mencari pola spasial dari suatu fenomena yang digambarkan pada peta. Dalam tujuannya, analisis peta dilakukan secara kuantitatif dengan perhitungan, pengukuran, dan perbandingan pola matematis. Dari aktivitas map analysis ini, pembaca peta mampu mendeskripsikan fenomena yang tergambar di dalam peta. Tahap akhir penggunaan peta adalah map interpretation. Pada tahap ini pembaca peta menyimpulkan dan melakukan prediksi berdasarkan hasil yang
12
diperoleh dari analisis fenomena yang digambarkan pada peta. Map interpretation mengasosiasikan kondisi lingkungan fisik atau sosial ekonomi yang tergambar pada peta dengan pengetahuan masing-masing, peta-peta lain, atau observasi lapangan. Map interpretation dapat dilakukan melalui dua cara. Cara pertama adalah dengan menggunakan satu peta dan melihat polanya. Cara yang kedua adalah dengan membandingkan beberapa peta dengan periode waktu yang berbeda untuk menduga proses yang mungkin menyebabkan perubahan tersebut dari waktu ke waktu. 1.6.1.4 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) mengandung definisi sebagai suatu sistem berbasis komputer yang terdiri atas empat kemampuan menangani data yang meliputi pemasukan, pengelolaan, manipulasi dan analisis, dan keluaran (Aronoff, 1989 dalam Danoedoro, 1996). Dari definisi tersebut diketahui bahwa SIG dapat diuraikan menjadi empat komponen, yakni: pemasukan data, pengelolaan data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran data. Pemasukan data dalam SIG bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber serta mengubah format data-data asli ke dalam format yang dapat dibaca SIG. Pemasukan data ini dapat dilakukan melalui penyiaman, digitasi, dan tabulasi. Penyiaman merupakan proses pengubahan data grafis kontinyu menjadi data grafis diskret melalui suatu wahana. Digitasi adalah pengubahan data analog menjadi data digital. Dan tabulasi dalam SIG merupakan data atribut dalam bentuk tabel. Komponen SIG yang kedua adalah pengelolaan data. Pengelolaan data dimanfaatkan untuk menyimpan dan memanggil kembali data yang ada. Komponen ini berfungsi untuk mengorganisasikan data spasial dan data atribut dalam suatu basisdata agar mudah dipanggil, di-update, dan diperbaiki. Manipulasi dan analisis data merupakan komponen SIG yang berfungsi untuk menghasilkan informasi baru. Komponen ini meliputi penyuntingan untuk pemutakhiran data, interpolasi spasial, overlay data, dan pembuatan model dan analisis. Dengan kata lain, komponen ini merupakan komponen yang menentukan informasi-informasi yang dihasilkan oleh SIG.
13
Komponen terakhir dalam SIG adalah keluaran. Komponen ini menampilkan seluruh atau sebagian basisdata yang dihasilkan atau disusun baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy. Keluaran SIG ini dapat berupa peta, tabel, grafik, maupun arsip elektronik. SIG dipandang sebagai perkawinan antara sistem komputer dan bidang kartografi. SIG dapat memvisualisasikan dunia nyata ke dalam monitor komputer seperti halnya peta dapat memvisualisasikan dunia nyata di atas kertas. SIG pada dasarnya menyimpan semua informasi sebagai atribut dalam suatu basisdata. 1.6.1.5 HIV HIV singkatan dari Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sama halnya dengan virus influenza. Tetapi, virus HIV dapat bersembunyi di dalam sel tubuh dan menyerang sistem kekebalam tubuh, terutama sel-T dan sel CD4 dalam waktu yang relatif lama dan mengubahnya menjadi tempat perkembangbiakan sehingga semakin lama, sel-T dan sel CD4 akan hancur. Menurut WHO (2007), HIV adalah jenis virus yang mampu menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga membuat orang yang terinfeksi virus tersebut menjadi sangat rentan terhadap berbagai macam infeksi dan penyakit. Terdapat dua jenis virus HIV di dunia ini, yakni virus HIV-1 dan virus HIV-2. Keduanya dapat menyebabkan orang yang terserang virus tersebut menderita AIDS. HIV berbeda dengan AIDS. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrom merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (WHO, 2007). Virus HIV tersebut ditemukan dalam tubuh terutama di dalam darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu ( Depkes RI, 2007 dan Dirjen PPM&PL, 2008). Seseorang yang terkena virus HIV dapat menderita AIDS setelah 5 – 10 tahun infeksi (Texas Department of State Health Services [TSHS], 2009). Karena menyerang sistem kekebalan tubuh, penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian dan hingga saat ini belum ada obatnya. Karena itulah penyakit ini menjadi sangat berbahaya.
14
HIV maupun AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Penularan penyakit ini dapat melalui berbagai media. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eurobarometer (2006) terdapat berberapa cara bagaimana HIV/AIDS dapat menular dari satu orang ke orang lainnya. Cara tersebut adalah disuntik dengan menggunakan jarum suntik yang digunakan oleh penderita HIV/AIDS, menerima darah dari penderita HIV/AIDS, dan berhubungan seks tanpa pengaman dengan penderita HIV/AIDS. Penularan lain HIV/AIDS adalah dari ibu kepada anaknya (Beck-Sague dan Beck, 2004). Selain itu, penularan dari ibu ke anak juga dapat terjadi dari pemberian ASI penderita HIV/AIDS kepada anaknya. 1.6.1.6 Faktor-faktor yang Terkait Persebaran Penyakit HIV HIV merupakan penyakit menular sehingga penyakit ini sangat mudah tersebar ke berbagai wilayah. Penularan HIV dapat terjadi secara langsung dari cairan tubuh manusia baik darah maupun cairan yang dikeluarkan alat kelamin manusia, dan dari ibu ke bayinya, faktor lain yang berpengaruh secara tidak langsung adalah tumbuhnya budaya seks bebas di kalangan masyarakat. Menurut beberapa sumber dari penelitian maupun opini masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran baik HIV maupun AIDS dan perilaku seks bebas di suatu wilayah di antaranya adalah keberadaan lokalisasi atau pusat transaksi seks, mobilisasi penduduk, pengangguran, dan kemiskinan. Keberadaan lokalisasi di suatu wilayah menunjukkan adanya industri seks di wilayah tersebut. Dengan adanya tempat lokalisasi tersebut, kegiatan transaksi seks menjadi lebih mudah dilakukan dan lebih mudah diakses semua orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hugo (2001), berkembangnya industri seks di Indonesia, turut mempengaruhi persebaran HIV. Hal tersebut karena sebagian besar pekerja seks tersebut adalah pekerja migrasi sehingga ada kemungkinan pekerja tersebut membawa virus HIV yang diperoleh dari pelanggan ke kampung halamannya. Mobilisasi penduduk juga dapat mempengaruhi persebaran HIV di suatu wilayah. Semakin tinggi mobilisasi penduduk, semakin mudah seseorang untuk
15
melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Di Indonesia pada umumnya transportasi umum banyak yang berhenti beroperasi di malam hari sehingga pergerakan masyarakat cenderung menurun di malam hari. Namun, dengan kepemilikan kendaraan pribadi, masyarakat akan lebih mudah melakukan pergerakan di malam hari. Kegiatan transaksi seks atau prostitusi terselubung biasanya dilakukan pada malam hari. Dengan kepemilikan kendaraan pribadi ini, kemungkinan masyarakat untuk mengakses tempat-tempat transaksi seks atau prostitusi menjadi tinggi. Akibatnya, potensi persebaran HIV pun menjadi tinggi. Selain kendaraan pribadi, mobilisasi penduduk juga dapat dilihat dari keberadaan pelabuhan di wilayah tersebut. Menurut Hugo (2001), persebaran HIV juga erat kaitannya dengan keberadaan pelabuhan. Pelabuhan merupakan pusat pergerakan baik manusia maupun barang atau jasa. Dengan adanya pelabuhan, perkembangan
wilayah
tersebut
akan
semakin
tinggi
sehingga
dapat
mempengaruhi perilaku masyarakat di sekitarnya sehingga dapat meningkatkan persebaran HIV di wilayah tersebut. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Agyei-Mensah (2006) menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persebaran HIV/AIDS. Seseorang dengan tingkat ekonomi rendah, seringkali terjebak dalam hubungan seks berbayar untuk mendapatkan uang dan meningkatkan status ekonominya. Rendahnya tingkat ekonomi juga mengurangi kemampuan seseorang untuk menuntut hubungan seks yang aman. Selain kemiskinan, tingginya angka pengangguran pun seringkali memaksa seseorang untuk melakukan transaksi seks guna mendapatkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya. 1.6.2 Keaslian Penelitian Penelitian yang memetakan persebaran penyakit dengan memanfaatkan data-data sekunder masih terbatas. Penelitian-penelitian serupa pernah dilakukan sebelumnya baik oleh peneliti lokal maupun peneliti asing. Tabel 1.2 berikut adalah penjelasan mengenai penelitian-penelitian sebelumnya beserta persamaan dan perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan.
16 Tabel 1.2 Penelitian Sebelumnya
No. 1.
Nama Peneliti dan Judul Penelitian “Pemetaan Data Penyakit Menular yang Dapat Menimbulkan Wabah di Kota Yogyakarta Tahun 2005” oleh Myta Retno Widayanti (2005)
Tujuan Penelitian
Menyajikan data penyakit yang dapat menimbulkan wabah di Kota Yogyakarta tahun 2005 dalam bentuk peta Mengetahui pola persebaran penyakit yang dapat menimbulkan wabah di Kota Yogyakarta dengan analisis peta
Metode Metode pengumpulan data sekunder dan metode analisis peta kualitatif dengan metode komparatif
Hasil
2.
“Pemetaan Data Penyakit Menular di Kota Semarang” oleh Nurwinda Latifah (2012)
Menyajikan data penyakit menular dalam bentuk peta Mengetahui pola persebaran Mengetahui keterhubungannya dengan faktor kondisi lingkungan menentukan tingkat kerentanan
Metode pengumpulan data sekunder dan analisis peta kuantitatif dengan metode kuantitatif berjenjang dan analisis statistik
Peta tingkat persebaran penyakit ISPA di Yogyakarta tahun 2005 Peta tingkat persebaran penyakit DBD di Yogyakarta tahun 2005 Peta tingkat persebaran penyakit campak di Yogyakarta tahun 2005 Peta persebaran penyakit diare di Yogyakarta tahun 2005 Peta kepadatan penduduk Peta tingkat permukiman kumuh Peta tingkat keluarga prasejahtera dan sejahtera I Peta tingkat bangunan yang ada di bantaran sungai Peta tingkat bangunan rumah non-permanen Peta ada/tidaknya polusi udara Peta ada/tidaknya pencemaran air Peta ada/tidaknya air sungai untuk mandi/cuci Peta sumber air bersih Peta tingkat kerentanan wilayah terhadap penyakit yang dapat menimbulkan wabah di Kota Yogyakarta Peta tingkat kualitas lingkungan di Kota Yogyakarta Peta tingkat kejadian penyakit menular Peta tingkat kondisi lingkungan Peta kerawanan penyakit menular
Persamaan
Perbedaan
Sama-sama bertujuan menyajikan data sekunder dalam bentuk peta dan sama-sama menggunakan metode analisis data sekunder
- Data yang akan dipetakan adalah data HIV - Analisis peta yang akan lebih banyak memanfaatkan aplikasi SIG - Daerah kajian
Daerah kajian samasama Kota Semarang Sama-sama menggunakan metode pengumpulan data sekunder dan analisis peta kuantitatif
Data yang dipetakan adalah data HIV
17
3.
4.
5.
“Spatial Pattern Analysis and Hot spot of HIV/AIDS in Phayao Province, Thailand” oleh Phaisarn Jeefoo (2012)
“A Geographical Analysis of HIV/AIDS Infection in Nigeria, 1991 – 2001” oleh Chinekwu Azuka Obidoa (2012) “The Use of GIS in Mapping, Analysis, and Evaluation of HIV/AIDS Occurrence Patterns” oleh Amstrong Kamadi Indusa (2002)
Mengetahui variasi spasial kasus HIV/AIDS tahun 2006 – 2010 Mengetahui pola persebaran kasus HIV/AIDS Menentukan Hot spot kasus HIV/AIDS
Mengetahui pola geografis kasus HIV/AIDS tahun 1991 – 2001 Mengetahui hubungan persebaran HIV/AIDS terhadap faktor transportasi Mengetahui pola persebaran HIV/AIDS Menunjukkan pola kejadian HIV/AIDS dalam bentuk peta Menentukan lokasi geografis area dengan permintaan program intervensi Membangun pertanyaanpertanyaan yang mampu dan kemampuan memperoleh jawaban cepat Mengetahui pola persebaran HIV/AIDS Manipulasi data yang mydah dan efektif
korelasi Analisis peta kuantitatif meliputi analisis autokorelasi spasial, analisis local indicators of spatial association (LISA) dan kernel density, analisis peta multitemporal Analisis kartografi deskriptif, analisis peta kuantitatif meliputi analisis autokorelasi spasial, analisis data komparatif Analisis SIG pendekatan hibrid
Peta persebaran HIV/AIDS tahun 2006 – 2010 Grafik pola persebaran HIV/AIDS tahun 2006 – 2010 Peta Hot spot kasus HIV/AIDS Deskripsi variasi perubahan kasus HIV/AIDS tahun 2006 – 2010
Sama-sama mengkaji HIV secara spasial Sama-sama menggunakan analisis peta kuantitatif
Peta kejadian HIV/AIDS tahun 1991 – 2001 Deskripsi hubungan kejadian HIV/AIDS dengan jaringan jalan Grafik pola persebaran HIV/AIDS tahun 1991 – 2001
Sama-sama mengkaji HIV secara spasial Sama-sama menggunakan analisis peta kuantitatif
Peta penduduk terinfeksi HIV Peta kejadian AIDS Peta kasus meninggal karena AIDS Deskripsi pola persebaran HIV/AIDS Sistem Informasi HIV/AIDS
Penelitian yang akan dilakukan dimuali dari proses pembuatan peta-peta dan juga mengkaji faktor pengaruhnya
Penelitian yang akan dilakukan dimuali dari proses pembuatan peta-peta dan juga mengkaji faktor pengaruhnya Variabel pengaruh HIV yang akan diteliti lebih bervariasi Sama-sama mengkaji HIV Metode yang digunakan secara spasial
18
1.7 Kerangka Penelitian Persebaran HIV di suatu wilayah dapat ditunjukkan oleh distribusi penderitanya. Persebaran suatu fenomena, yang dalam hal ini adalah penderita HIV memiliki elemen spasial berupa lokasi yang dapat dipetakan dan dapat diklasifikasikan. Peta tersebut dapat dianalisis pola persebarannya dan dapat dikaitkan dengan fenomena lain sehingga dapat diidentifikasi pengaruh dengan faktor-faktor yang terkait dengan fenomena tersebut. Penularan HIV dapat terjadi melalui beberapa faktor. Dari faktor-faktor tersebut ada yang mempengaruhi penularan secara langsung dan ada pula yang secara tidak langsung. Faktor yang berpengaruh secara tidak langsung ini umumnya merupakan faktor yang mempengaruhi berkembangnya seks bebas di suatu wilayah mengingat HIV merupakan penyakit perilaku yang penularannya sebagian besar diakibatkan hubungan seks. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi berkembangnya seks bebas di suatu wilayah di antaranya adalah jarak dari lokalisasi, jarak dari pelabuhan, jumlah pengangguran, jumlah penduduk miskin, dan kepemilikan kendaraan pribadi. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem yang memungkinkan dilakukannya analisis terhadap peta-peta yang dihasilkan. Dengan analisis peta-peta yang dihasilkan maka akan dapat diketahui hal-hal yang sulit atau tidak dapat diungkapkan data tabuler, seperti pola persebaran dan hot spot. Selain itu, peta-peta yang ada dapat dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor yang terkait HIV terhadap persebaran HIV dan faktor yang berpengaruh paling signifikan. Berikut adalah diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian ini sehingga dapat menjelaskan alur pemikiran yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian agar mudah dipahami.
19
Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Persebaran HIV
Perkembangan seks bebas
Lokalisasi
Pelabuhan
Kend. Pribadi
Kemiskinan
Pengangguran
Kajian kartografis
Peta faktor pengaruh
Peta HIV
Pemanfaatan SIG
Pola
Hot spot
Faktor yang Berpengaruh Signifikan
Gambar 1.5 Kerangka Pemikiran Sumber: Primer, 2013
Pengaruh