No.31/Th.2/ Rajab 1429H/Agustus 2008
Jum’at – I
FIGUR AL-AMIN Dia adalah sesosok insan yang telah membuat “sebuah noktah” pada peradaban dunia. Dia yang lahir dari kalangan bangsawan pada jamannya. Dia yang dibesarkan dalam asuhan orang-orang terpandang dan dihormati kaumnya. Dia yang dibesarkan dengan naungan kasih sayang kakek dan pamannya. Dia yang membekali diri dengan kejujuran, kecerdasan dan kemuliaan pribadinya. Dia yang dipundaknya telah terpikul tugas yang amat besar, untuk membuka mata manusia, menuntun, memberi kabar gembira (bashir) dan memberi peringatan (nadzir). Dia membawa lentera dalam gelapnya kehidupan. Dia sang pemimpin ummat, panutan ummat, dan teladan ummat. Dialah Al-Amin, pembawa “Amanah”, Muhammad Rasullulah. Pada masa jahiliyahnya, orang arab pada umumnya memandang Muhammad bin Abdullah sebagai pribadi yang mulia. Mereka menghormati beliau karena perangai dan budi pekertinya yang benar-benar menunjukkan keagungan sebagai manusia sempurna (insan kamil). Pada saat itu, mereka tidak pernah membayangkan bahwa hari depan umat manusia akan berjalin dengan hari depan beliau. Tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka, bahwa hikmah, kearifan, dan “Ilmul yaqin” akan memancar dari ucapan dan tutur kata beliau hingga merata diseluruh jagat raya. Mereka hanya memandang Muhammad bagaikan seorang anak kecil yang memandang lautan, mereka hanya asik memandang keindahannya, tanpa menyadari bahwa lautan itu amat dalam. Sejak masa mudanya, Muhammad telah dibekali dengan kemuliaan akhlaq dan budi pekerti yang luhur. Kejujuran, keuletan, kecerdasan dan ketabahan tercermin dari pribadinya yang pendiam dan bersahaja. Hingga tak aneh bila masyarakat sekitarnya menggelarinya “Al-Amin” manusia yang “dapat dipercaya”. Al-amin yang disandangnya, bukan karena kebangsawanannya. Tidak pula terkait dengan kemuliaan leluhurnya, atau harta benda yang dimilikinya. Al-amin, bukan pula gelar karena ia dapat meramal masa depan dengan gemilang atau kemampuannya mengabstraksi alam ghaib. Al-amin adalah gelar yang melekat pada pribadi Muhammad, sosok manusia yang mempunyai kelebihan karena kemuliaan pribadi yang dimilikinya. Bahkan setelah bi’tsah kerasulan itu terpikul di pundaknya, masyarakat jahiliyah tak kuasa untuk mencopot gelar tersebut dari lekatan pribadi Muhammad. Hingga ketika seseorang mengusulkan untuk mengganti gelar tersebut dengan “Al-Kadzab” (sang pendusta), Abu jahal dengan serta merta menolaknya, karena ia tahu bahwa gelar tersebut tak dapat merubah opini publik mengenai Muhammad sebagai pribadi 1
mulia. Ini membuktikan bahwa Muhammad sebagai sosok pribadi manusia biasa tetap dihargai di kalangan manapun. Lantas mengapa sikap mereka, setelah bi’tsah kerasulan, berubah kepada Muhammad ?, mereka memusuhi Muhammad bukan karena sosoknya yang memuakkan, tetapi hanya karena Muhammad yang sekarang telah digelari Rasullullah dan memikul risalah yang maha agung. Mereka menyakiti, mengisolir, bahkan mengusir Muhammad dan para pengikutnya dari negri itu, hanya karena usaha “pendzahiran kalimat-Nya- Kalimat Laa Ilaha Illallah” yang mereka anggap sebagai upaya untuk menyaingi “hak otoritas” dan pengaruh (kewibawaan) mereka kepada ummat manusia saat itu. Tapi, sekali lagi, sosok Muhammad sebagai pribadi tetap merupakan figure AlAmin yang diakui oleh kalangan manapun. Karena ia tetap dapat menjaga eksistensi pribadi yang dinilai positif oleh masyarakat. Ya, sang Al-Amin itu terus melaju bagai kafilah yang tak surut melangkah walaupun anjing-anjing itu terus menggonggong. Bila kita simak lebih jeli, Al-Amin itu boleh dikatakan sebagai salah satu strategi jitu dalam skenario perjalanan hidup manusia. Betapa tidak, dengan ke Al-Aminannya, beliau berhasil dalam tabligh dan dakwahnya kepada masyarakat. Hingga dalam waktu singkat beliau dapat menarik massa yang memang sedang mencari hidayah dalam kuantitas yang cukup besar. Ke Al-Aminan itu pula yang membuat kaum kafir dan musyrik dibuat kewalahan dalam menghalang-halangi laju penyebaran Risalah yang disampaikannya. Muhammad, sang Al-Amin itu selalu hadir dalam gelanggang sosial kemasyarakatan sebagai sosok yang dihargai dan dicintai, hingga beliau berhasil menjadi panutan massa. Dalam kesehariannya, beliau adalah sosok ayah yang patut diteladani. Beliau mendidik, mengarahkan, dan melindungi keluarga dengan aturan yang benar. Hingga dalam keluarganya (ahlul bait) tercipta keharmonisan gerak langkah, kesepadanan pola fikir dan kebersatuan dalam langkah, berjuan dan pengorbanan demi tersebarnya islam ke seluruh umat manusia. Beliau juga adalah figure pendidik yang handal, yang mampu melahirkan muridmurid yag mapan dalam ilmu pengetahuan yang diajarkannya. Dibawah pendidikannya pula telah lahir para mujahid yang siap berkorban jiwa dan raga. Beliaupun seorang sosiolog yang berhasil, hingga mampu mengikat para sahabat yang rela berkorban untuknya dan untuk Risalah yang dibawanya. Beliau juga adalah panglima besar, ahli politik dan strategi yang mampu memimpin pasukan hingga memenangkan beberapa perjuangan sendiri. Dan beliau pun adalah seorang pemimpin yang adil, dengan kearifan dan kebijaksanaannya, beliau berhasil membentuk kelompok (ummat) yang survive. Hingga kekuatan dan eksistensi umatnya sulit ditandingi musuh-musuhnya.
2
Demikianlah, sekilas tentang figure Al-Amin yang telah sanggup membentuk keluarga yang juga berpredikat Al-Amin dan melahirkan kelompok (ummat) yang juga Al-Amin.
MENJADI AL-AMIN DI ERA POSTMODERN Al Amin atau yang dapat dipercaya adalah gelaran yang diberikan pada Nabi Muhammad tatkala beliau masih sebagai pemuda Quraisy, Muhammad bin Abdullah. Sebutan itu disandang karena beliau pemuda yang jujur, energik, cerdas, tidak ambisius, tak pernah ikut kegiatan hura-hura, minum-minum atau judi dan selain itu didukung dengan kebangsawanannya. Ia adalah pemuda turunan keluarga terhormat, bangsawan pengurus tempat suci Kabah, cucu Abdul-Muttalib. Dengan sifat Al-Aminnya, Muhammad tumbuh menjadi sosok individu yang memiliki citra kredibilitas yang tinggi dalam masyarakatnya dan mampu menjadi sosok figur yang baik. Bukti dari adanya sifat ini dapat kita lihat dalam kisah sejarahnya. Pertama sebagai pemuda ia mampu meluluhkan hati seorang wanita bangsawan terhormat yang sekaligus wanita konglomerat pada zaman itu, yaitu khadijah, untuk melamarnya. Yang mana Khadijah adalah figur wanita kaya dan terhormat pada saat itu dan menjadi harapan bagi banyak bangsawan arab. Kedua sebagai anggota masyarakat Muhammad mampu menjadi ‘problem solver’ disaat kritis yang nyaris menimbulkan pertumpahan darah di keluarga suku Quraisy. Yakni peristiwa sumpah La’aqat’d-Damm (jilatan darah), peristiwa peletakkan Hajar Aswad saat Kabah diperbaiki. Ketiga, saat awal kenabiannya, Beliau mampu mengundang dan mengumpulkan keluarga dekatnya untuk didakwahi setelah turun Ayat 26: 214-216. dan kemampuannya mengumpulkan kaumnya bangsa Quraisy di bukit Syafa saat memproklamirkan kerasulannya. Dari ketiga kejadian itu jelas terbukti bahwa muhammad saat itu mempunyai citra kredibilitas dan figuritas yang baik di masyarakatnya. Adapun setelah masa proklamasi kerasulannya, Muhammad kemudian dicaci, dimusuhi, dan diusir oleh masyarakatnya, itu diluar kajian masalah ini. Dari sudut pandang pendekatan sosiologis, sifat Al-Amin yang dapat membentuk citra kredibilitas dan figuritas yang baik bagi penyandangnya akan menguntungkan baginya untuk bersosialisasi, berkomunikasi, yang pada akhirnya mampu membentuk simpatisan bagi dirinya. Kini masalahnya, bagaimana kita mampu memiliki kredibilitas dan figuritas di sekeliling kita untuk tujuan proyek dakwah ini, agar lingkungan kita simpati atau mungkin berempati pada tujuan proyek kita. Kalau kita coba analisa dengan memakai pisau analisa pendekatan masyarakat kontemporer. Kita amati masyarakat sekarang hidup pada masa modern bahkan postmodern, dimana masyarakat hidup dengan spesialisasi-spesialisasi namun juga harus memiliki wawasan yang multi disiplin. Orang yang memiliki spesialisasi keahlian 3
(pakar) dan berwawasan luas, ia akan menjadi figur dan tempat bertanya (memiliki kredibilitas tinggi) di masyarakatnya. Menjadi seorang pakar menurut Prof. Dr. Moedomo (MA) dalam simposium penyiapan kurikulum pendidikan 1992-1997 di Bandung Januari 1992 memerlukan empat komponen pokok yang harus dimiliki, yaitu pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan sikap. Pengetahuan adalah kondisi sadar dalam mengenali sesuatu secara baik, melalui pengalaman atau menghubung-hubungkan; keterampilan adalah kemahiran dalam menerapkan tata cara, tekhnik ataupun metoda yang telah diketahui atau ditetapkan. Sementara itu kemampuan adalah kesanggupan untuk melakukan analisa (memecahkan sesuatu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, serta mengetahui hubungan dan peran kerja antara bagian yang ada), diagnosis (mengenali keadaan sesuatu dengan mengamati gejala-gejala luarnya), penyelesaian masalah, mencari tahu tentang sesuatu, dan komunikasi. Yang terakhir mengenai sikap, yaitu perilaku yang ditampilkan dalam hal menerima/menolak sesuatu, belajar seumur hidup, dan etos kerja yang dianut. Dari analisa sederhana ini, seorang muslim saat ini, harus memiliki keahlian di bidangnya, ia harus menjadi pakar agar memiliki kredibilitas dan figur di masyarakatnya untuk kepentingan projek dakwahnya. Seorang wiraswasta jadilah seorang profesional pengusaha, seorang mahasiswa jadilah mahasiswa terbaik, seorang guru, engineer, namker, akuntan, programmer komputer, sales executive milikilah kredibilitas dengan prestasi. Singkatnya kita yang hidup di zaman ini raihlah pengetahuan, tingkatkan prestasi agar menjadi muslim yang dapat berperan dan berperan.
HIKMAH Kamaludin, SE 1. Mencintai Allah dan Rasul melebihi segalanya. Contoh : Mendahulukan Yaa Siinan dari pada sinetron. Sabda Nabi SAW yang artinya “ Ada tiga perbuatan untuk dapat merasakan manisnya Iman yaitu : a. Mencintai Allah dan Rasul melebihi segalanya. b. Mencintai sesamanya hanya karena Allah c. Membenci perbuatan kafir sesudh Allah membebaskannya seperti halnya benci, jika dirinya dilemparkan ke jurang api neraka. (HR. Bukhari-Muslim) 2. IMAN itu telanjang dan pakainnya TAQWA, perhiasannya MALU dan buahnya ILMU. Maksudnya adalah TAQWA sebagai pembersihan hati dari dosa-dosa dengan tujuan menjadi insan yang tawadhu’, qonaah, wara’. MALU diartikan sebagai malu kepada Allah, jika melanggar larangan-Nya. Dan ILMU yang dimaksud adalah ilmu yang disertai dengan amal. Islam Ilmunya : Fiqih 4
Iman
Ihsan
Jurusanya : Syariat Tujuannya : Jasadiyah dan Nafsiyah Gelar/sebutan : Ahli ibadah Ilmunya : Tasawuf Jurusannya : Tariqah Tujuannya : Qalbu/ Nafsiyah Gelar : Zuhudiah Jurusan : Hakekat Tujuannya : Jasadiyah dan Nafsiyah Gelar/sebutannya : Arif Bilah
“Waktu Shalat Dhuhur adalah 12:01”
5