Daftar Isi (Content)
1.
ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta..................................................................... 1
2.
AGRIMETA
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING I Ketut Widnyana............................................................................................... 20
3.
ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI I Ketut Arnawa................................................................................................... 32
4.
INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL: An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province Nyoman Utari Vipriyanti.................................................................................. 39
5.
PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI I Made Sukerta................................................................................................... 62
6.
REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED TOURISM Cening Kardi.......................................................................................................70
7.
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN
SELAMATKAN BUMI PERTANIAN MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN
HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan Ni Made Muriati dan Wayan Guwet Hadiwijaya...............................................78
AGRIMETA
Vol. 01
No. 01
Hal. 1 -101
Denpasar Oktober 2011
ISSN 2088-2521
? VOLUME 1
? NOMOR 2
? OKTOBER
AGRIMETA
? 2011
ISSN 2088-2521
AGRIMETA Suatu jurnal ilmiah bidang pertanian dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian atau kajian review pada semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut fisik maupun metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan /organik. Pemimpin Redaksi Ir. Cening Kardi, MMA Sekretaris Redaksi Ir. Made Budiasa, MAgb Mitra Bebestari (Dewan Redaksi) 1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Wijaya, MS Program Magister Bioteknologi Pertanian, Universitas Udayana 2.
Prof. Ir. Ratya Anindita, MS, P.hD Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya
3.
Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS Program Magister Pertanian Lahan Kering, Universitas Udayana
Redaksi Pelaksana 1. Ir. I Dewa Nyoman Raka, MP 2. Prof Dr. Ir. IGN Alit Wiswasta, MP 3. Ir. Ketut Widnyana, MSi 4. Ir. I Made Tamba, MP 5. Drs. I Gusti Gede Jelantik Arya Agrimeta adalah jurnal ilmiah bidang pertanian yang berbasis keseimbangan ekosistem yang diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar. Jurnal diterbitkan 2 kali dalam setahun (April, Oktober) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Makalah yang dikirimkan oleh penulis kepada redaksi akan dievaluasi awal untuk subyek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh pemimpin redaksi, selanjutnya akan dikirimkan kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk evaluasi substansi materi sedangkan tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi. Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam Jurnal Agrimeta. Petunjuk Format Penulisan Makalah terlampir di halaman terakhir dari jurnal ini. Redaksi Agrimeta Sekretariat Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:
[email protected]
PETUNJUK PENULISAN NASKAH Agrimeta adalah jurnal suntingan ilmiah yang secara spesifik difokuskan pada publikasi karya-karya inovatif dari penelitian murni atau terapan yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas , review dan analisis tentang semua aspek agroekoteknologi, agribisnis, sosial dan budaya pertanian (baik yang menyangkut fisik dan metafisik), baik secara alami maupun terkontrol dengan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan/organik. Penyerahan naskah Naskah yang tidak sedang dalam pertimbangan untuk dipublikasikan di redaksi lain dapat diserahkan rangkap 2 (1 asli dan 1 copy) kepada: REDAKSI AGRIMETA Sekretariat Fakultas Pertanian UNMAS Jln . Kamboja No. 11 A Telp. (0361) 265322 Denpasar-Bali e-mail:
[email protected] Naskah yang dinyatakan diterima untuk dipublikasikan, pada penyerahan draft koreksi akhir harus disertakan sebuah disket 3,5”(bebas virus) yang berisi file naskah akhir yang sesuai denga cetakan naskah asli. Naskah diketik dengan menggunakan Microsoft Word for Windows dalam doc format sementara grafik disimpan dalam Microsoft Excel. Surat pernyataan yang ditandatangani oleh penulis utama, yang menyatakan bahwa naskah artikel yang diserahkan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam pertimbangan untuk diterbitkan di redaksi lain harus disertakan pada penyerahan naskah. Hak cetak bagi naskah yang diterima dan semua bahan terbitan lainnya menjadi hak milik redaksi. Kebijakan Redaksi Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah yang diserahkan pada awalnya akan dinilai berdasarkan kesesuaian materi ruang lingkup jurnal dan mutu tulisan secara umum oleh pemimpin redaksi. Makalah yang ditulis dengan jelas dan disusun rapi dan baik sesuai dengan pedoman redaksi lebih dipertimbangkan. Naskah yang dipandang tidak tepat dapat dikembalikan kepada penulis tanpa pengkoreksian lebih lanjut. Bagi penulis naskah berbahasa Inggris sangat dianjurkan untuk memintak bantuan kepada seseorang yang mahir dalam penyusunan naskah bahasa Inggris dengan gaya dan tatabahasa yang baik. Redaksi tidak menerima naskah yang dikirim lewat email. Persiapan Nasakah Naskah berupa ketikan asli (halaman judul hingga lampiran diharapkan tidak melebihi 17 halaman), spasi ganda, batas bingkai penulisan 3 cm dari sisi tepi kertas ukuran A4 dan dengan huruf Times Roman 11 (Program MS Word for Windows). Halam pertama naskah memuat judul artikel, nama dan alamat penulis. Absrak yang ditulis pada lembar ke-2 berisi ringkasan hasil penelitian dan kesimpulan (maksimum 250 kata dan spasi tunggal) dengan diberi maksimum 5 kata kunci. Abstrak harus ditulis dalam dua versi bahasa Inggris dan Indonesia. Isi naskah dimulai pada lembar ke-3 dengan “Pendahuluan” yang berisi latar belakang masalah dan tujuan studi yang hendak dicapai. Bagian naskah berikutnya adalah “Metode”, “Hasil dan Pembahasan”, “Simpulan dan Saran” dan “Daftar Pustaka”. Tabel dan Gambar ditempatkan pada lembaran terpisah dari teks dan berada pada halaman terakhir. Naskah harus diberi nomor halaman secara berurutan. Penggunaan penulisan dengan sistem satuan S1 (misal ml, l, g, kg, mg/l bukan ppm dsb). Penulisan Sumber Pustaka Sitiran sumber pustaka dalam teks dapat ditulis: Panda (2005) atau (Panda, 2005), mensitir 2 penulis sebagai Sujana dan Panda (2005), sedangkan mensitir 3 atau lebih penulis yang ditulis hanya penulis utama ditambah dengan “et al”. Dalam penulisan daftar pustaka, diurutkan berdasar alfabet, jika nama penulis sama diurut berdasarkan tahun penerbitan. Nama /judul jurnal harus ditulis lengkap. Menghindari sitiran pustaka dari jurnal tanpa dewan penyunting, laporan proyek, dan artiklel majalah popular.
ANALISIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR DI KARANGASEM, BALI I Made Tamba dan I Wayan Cipta Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract National program on community self-relience empowerement or PNPM has been introduced by central government as national policy to reduce poverty as well as to achieve MDGs goals. Nevertheless, assessment on effectiveness such a program is lacking. This research is aimed to assess PNPM program on coastal communities in Kubu district Karangasem regency, Bali. Using census and snow ball methods, the community participation was chosen as assessment indicater along with other socio-econoic variables. The results show that PNPM-MKP is performing well judging from community participation with average response of medium level participation, while monitoring and evaluation show higher scores. Overall total score of participation is relatively high. Some factors which correlate with community participation are group of age, education level, number of family members, number of fishing tools owned, and income Keywords: coastal community, empowerment, PNPM-MKP model, community participation.
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan telah banyak dilakukan, seperti: Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan program-program bergulir lainnya. Namun, sebagian besar program tersebut bersifat top-down. Disamping itu, ada beberapa program yang tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena penentuan sasaran secara langsung tanpa melalui proses perencanaan dan tidak melihat kondisi langsung di masyarakat. Beberapa program memiliki prosedur yang sangat rumit sehingga tidak tepat waktu, tidak efektif dan tidak efesien. Usman (1998) menyatakan perlunya pendekatan khusus dalam upaya penguatan perekonomian masyarakat terutama kelompok nelayan kecil seperti: 1) pendekatan teknokratis yaitu pendekatan yang diawali dengan terlebih dahulu menetapkan program-program dan kelompok-kelompok sasaran (target), kemudian dilanjutkan dengan membakukan sistem penyaluran (delivery system) bagi kelompok-kelompok sasaran, mengeluarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, serta mengeluarkan anggaran pendukung pelaksanaan teknis, 2) pendekatan partisipatif yaitu dengan memperkuat kemandirian (community selfreliance). Masyarakat dibantu, didampingi dan difasilitasi untuk melakukan analisis terhadap masalah keuangan yang dihadapi, diberikan peluang memutuskan yang dikehendaki dan inisiatif mereka menjadi basis kegiatan. Peran
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1
pemerintah sebagai fasilitator dan memberikan dukungan inisiatif kepada masyarakat. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M) adalah program nasional yang menjadi kerangka kebijakan dan acuan pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Program PNPM Mandiri adalah program untuk mencapai salah satu sasaran dalam Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Kerangka pemikiran PNPM Mandiri adalah: 1) penanggulangan kemiskinan hanya akan efektif bila dilakukan secara mandiri dan berkelanjutan melalui sinergi dan kemitraan masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli (LSM, swasta, dan lain-lain); 2) kemandirian yang berkelanjutan akan diwujudkan dalam tiga pilar yaitu masyarakat dengan tingkat keberdayaan dan kemandirian yang tinggi, pemerintah dan legislatif yang pro poor, dan dunia usaha dan organisasi masyarakat yang peduli (the caring society); 3) PNPM Mandiri bukan proyek ”bagi-bagi uang”, namun harus dilandasi dengan pembinaan karakter masyarakat yang baik dan beradab seperti: mempunyai citacita dan impian (the power of dream), mempunyai perilaku memberi daripada meminta (the power to give), mempunyai kemantapan mental berpikir positif, selalu mengutamakan dialog dan menghindari kekerasan (democracy at the grass root), dan selalu berusaha dan bekerja bersama kelompok (kegotongroyongan sosial, ekonomi dan budaya). PENYALURAN PROGRAM -PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRA PNPM MANDIRI
Program Program
Program Program
TATARAN PENGELOLA PROGRAM
Program Program
Program Program
PROSEDUR YG. RIBET
KEBANYAKAN MEDIATOR
KOORDINASI LAPANGAN
? BANTUAN SALAH SASARAN
?? ?? TATARAN MASY.
TUMPANG TINDIH DNG PROG LAIN
?? ??
?? ??
?? ??
TERLUPAKAN?
Gambar 1. Program-Program Pengentasan Kemiskinan Sebelum Pola PNPM Mandiri (Sumber: Royat, 2009) Kabupaten Karangasem merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal atau kabupaten miskin. Salah satu kecamatan yang mewilayahi pesisir dan tergolong miskin adalah kecamatan Kubu. Kecamatan Kubu yang memiliki luas wilayah 234,72 km2, terbagi dalam 9 desa yaitu Ban, Dukuh, Kubu, Tulamben, Baturinggit, Sukadana, Tianyar Timur, Tianyar Tengah dan Tianyar Barat. Dari 9 desa tersebut, 7 desa diantaranya (kecuali Ban dan Dukuh) merupakan desa pantai dengan panjang pantai sekitar 24,4 km. Jumlah penduduk di kecamatan Kubu tercatat 67.559 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki 33.731 jiwa dan perempuan 33.828 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut kecamatan Kubu memiliki jumlah Rumah Tangga Miskin 2
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
(RTM) sebesar 7.833 KK atau 27.762 jiwa. Jumlah RTM di kabupaten Karangasem kalau dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh kepala rumah tangganya adalah SD/MI, dan kecamatan Kubu menempati peringkat paling tinggi yaitu sebesar 7.646 RTM (20,71%). Disamping faktor internal yang menjadi penyebab kemiskinan pada masyarakat pesisir, faktor ekternal juga sangat berpengaruh. Selama lebih dari 3 dekade perhatian pemerintah relatif kurang terhadap pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Masyarakat di bidang kelautan dan perikanan sering kali termajinalkan karena kurangnya keberpihakan kebijakan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan secara menyeluruh bagi masyarakat di wilayah tersebut. Permasalahan dan pemanfaatan potensi yang belum optimal pada nelayan meliputi aspek penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran, pengawasan serta sumber daya manusia. Hal ini akan menambah kondisi masyarakat kelautan dan perikanan yang cenderung miskin dan terbelakang. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan permasalahan dalam penelitian ini ini adalah: 1) bagaimanakah pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; 2) bagaimanakah dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem?; dan 3) faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, sehingga nantinya dapat dijadikan model perbaikan pelaksanaan program bagi pemerintah pusat dan perbaikan-perbaikan yang mesti dilakukan oleh Pemda Kabupaten Karangasem khusunya Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)untuk mengetahui pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPMMKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; 2) untuk mengetahui dukungan masyarakat pesisir terhadap model pemberdayaan masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem; dan 3) untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat teoritis yang diharapkan adalah sebagai bahan masukan bagi akademisi dan stake holder di dalam memperkaya teori-teori mengenai pemberdayaan masyarakat, khususnya pemberdayaan masyarakat pesisir, sedangkan manfaat praktisnya adalah untuk dipakai model/acuan untuk proses pemberdayaan oleh pemerintah, dan stake holder yang bergerak pada bidang pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam menentukan arah dan kebijakannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3
2. LANDASAN TEORI 2.1. Analisis Model Analisis Model adalah identifikasi bagian-bagian dalam gambaran suatu sistem yang bertujuan untuk menjelaskan apa yang diinginkan, membangun dasar untuk model baru, dan menetapkan persyaratan dari model yang akan dibangun. Analisis Model membantu mengindentifikasi hal-hal perbaikan penting yang akan dilakukan, serta memberikan strategi positif untuk mengevaluasi diri untuk memahami struktur dan efektifitas dari suatu sistem. Lebih lanjut dijelaskan bahwa analisis model dapat dipakai sebagai alat untuk pembinaan peningkatan pembangunan. 1 2.2. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir 2.2.1. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat meliputi bagian tanah baik kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak, dan gelombang serta perembesan laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan pemukiman serta intensifikasi pertanian. 2 Wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik, yaitu : 1) wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan darat, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2) berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan dan mencari ikan; 3) wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4) memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; dan 5) tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan, baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional. 3 2.2.2.. Permasalahan Masyarakat Pesisir Saad (2006) mengatakan bahwa isu dan permasalahan pokok pengelolaan wilayah pesisir adalah kemiskinan masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan laut, penurunan kualitas sumber daya alam dan lingkungan, potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dimanfaatkan secara optimal, pengelolaan konservasi laut belum optimal, kepastian hukum belum terjamin serta 1
2
3
4
Alistair Cockburn. OO Analisis Model. (Online) http:/training.fws.gov/deo/pdfs/The%20 Interpretive% 20Development%20Model.pdf).diakses 30 Mei 2010 Dahuri, dkk. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. Pradnya Paramita, 2001 Soedarma, D. Karakateristik Ekosistem Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Pemanfaataanya. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Durjen KP3K DKP di Cipayung Bogor, 22-25 Agustus 2006
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
belum maksimalnya peranan lembaga kemasyarakatan di dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan laut. Lebih lanjut dijelaskan penyebab kemiskinan masyarakat pesisir adalah lemahnya akses kepada lembaga keuangan resmi (terlilit utang dengan rentenir), belum adanya keberpihakan lembaga keuangan (persyaratan ketat dan tingkat kepercayaan rendah), lemahnya sistem dan manajemen usaha, dan lemahnya akses informasi iptek dan pasar. 2.2.3.. Pengertian dan Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri. Definisi pemberdayaan (empower) menurut Merriam Webster and Oxford English Dictionary mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority atau sebagai memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua, to give ability to or enable, diartikan sebagai upaya memberikan kemampuan atau keberdayaan. 4 Kurniawan, (2006) mengatakan pemberdayaan adalah suatu proses perubahan dengan menempatkan kata kreatif dan prakarsa masyarakat yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Lebih lanjut dikatakan pemberdayaan mengandung dua unsur pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Kemandirian adalah proses kebangkitan kembali dan pengembangan kekuatan pada diri manusia yang mungkin sudah hilang karena ketergantungan, eksploitasi dan sub ordinasi yang mencakup kemandirian material, intelektual dan manajemen. Sedangkan partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh masyarakat sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara selektif. Partisipasi masyarakat dapat berupa partisipasi pasif, yaitu masyarakat dilibatkan dalam tindakan dalam kegiatan yang telah dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain, serta partisipasi aktif, yaitu proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri dengan cara merefleksikan atas tindakan mereka sebagai subjek yang sadar untuk mengambil keputusan untuk bertindak sendiri. Upaya untuk mengentaskan kemiskinan yang diharapkan mampu untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin tentunya perlu dikaji dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti pelibatan aktif masyarakat sebagai penerima kebijakan dalam suatu kerangka participatory rural apparaisal (PRA). Penumbuhan partisipasi ini sangat penting mengingat masyarakatlah yang secara langsung melaksanakan dan merasakan hasil program yang digulirkan. Partisipasi ini dapat dikembangkan melalui berbagai institusi lokal yang kuat dan benarbenar mampu mewakili kepentingan masyarakat desa. 5 Pembangunan di Indonesia semestinya dituntaskan dengan pemberdayaan masyarakat karena, 1) demokratisasi proses pembangunan (dengan melibatkan setiap warga negara dalam proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi); 2) penguatan peran organisasi masyarakat lokal; 3) penguatan modal sosial; 4) penguatan kapasitas birokrasi lokal; dan 5)
4 5
Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta. Aditya Media. 2004 Soetrisno, R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta. Pholosophy Press. 2001
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
5
mempercepat penanggulangan kemiskinan yang dapat memberikan peluang pekerjaan yang dapat menambah/memberikan penghasilan. 6 Pemetaan Swadaya:
Fasilitator
• Merumuskan kebutuhan dan potensi yang ada. • Memecahkan persoalan dengan potensi yg dimiliki
Refleksi kemiskinan: • Identifikasi kemiskinan • Merumuskan persoalan kemiskinan yang dihadapi • Merumuskan penyebabnya • Identifikasi potensi untuk menanggulanginya
Pengorganisasian Masyarakat: • Lembaga masyarakat dibentuk/ ditetapkan, dimiliki, dan dikelola untuk memenuhi kebutuhan bersama
Penyusunan Rencana: • Identifikasi dan Prioritisasi • Penyusunan Rencana/ Program Penanggulangan Kemiskinan
Pertemuan Masyarakat:
Pelaksanaan Kegiatan:
• Tahap belajar awal menggali kebersamaan • Berdemokrasi • Kesadaran akan eksistensi diri
• Pembentukan/Penetapan kelompok swadaya masyarakat pelaksana kegiatan • Media bersama untuk menyelesaikan masalah secara mandiri
Sosialisasi di Masyarakat: • Pemetaan sosial • Sosialisasi program
Penerima Manfaat: • Kelompok swadaya masyarakat dan masyarakat miskin lainnya
(Sumber : Tim Design PNPM Mandiri Bappenas, 2009) Gambar 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat Tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir adalah: 1) tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan; 2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah dan kualitas baik; 3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif; dan 4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resources based), memiliki pasar yang jelas (markert based), dilakukan dengan cara berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmental based), dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat (local social based), dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian dan penelitian (scientific based).7 2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM-MKP) Kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam PNPM-MKP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat kelautan dan perikanan miskin. Seluruh tahapan pelaksanaan PNPM-MKP berbasis pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek pembangunan. 8 Tujuan Program PNPM-MKP adalah untuk mendukung pengembangan usaha kelautan dan perikanan serta membangun infrastruktur pembentuk struktur ruang di wilayah desa dan pengurangan degradasi lingkungan. 6
Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowinoto, Riant Nugroho. Manajemen Pemberdayaan, Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2007. hlm. 37-41. 7 Pratikno, Widi Agus, op cit. hlm. 9 8 Departemen Kelautan dan Perikanan. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta.Dirjen KP3K. 2009 6
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Sasaran Program PNPM-MKP adalah nelayan, pembudidaya ikan, pengolah, pemasar serta masyarakat pesisir lainnya yang terkait dengan tujuan PNPM-MKP dan tergabung dalam kelompok masyarakat, seperti Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan), Kelompok Usaha Bersama (KUB), Kelompok Pengolah dan/atau Pemasar Hasil Perikanan (KP2HP), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), dan Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Pendekatan penelitian ini didasarkan pada evaluasi kebijakan tentang PNPM kelautan dan perikanan. Kebijakan ini kemudian di kontraskan dengan kondisi masyarakat atau realitas. Dengan kata lain dilakukan gap analysis sehingga dapat diketahui masalah yang terjadi. Hasil ini kemudian menjadi bahan kajian deskriptif kualitatif yang kemudian di uji melalui kajian non-parametrik dengan uji beda nyata. Secara keseluruhan alur pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Teori Kebijakan, Pemberdayaan & Partisipasi
P E M E R I N T A H
K E B I J A K A N
MASYARAKAT PESISIR
PNPMMKP mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera
Fakta : keterbela kangan dan kemiskinan
Permasalahan 1).Bagaimana pelaksanaan PNPM-MKP. 2).Bagaimana dukungan masyarakat pesisir thd PNPM-MKP 3) Faktor apa yang berhubungan dgn PNPM-MKP
M A S A L A H
Pengkajian terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir pola PNPMMKP : 1) Pelaksanaan program 2) Dukungan masyarakat pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan monev program 3) Faktor-faktor yang berhubungan dgn PNPMMKP
Penyem purnaan pola PNPMMKP
Pendekatan Deskriptif Kualitatif INFORMASI
Gambar 3. Bagan Alir Penelitian
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
7
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian ini dilaksanakan pada anggota kelompok nelayan penerima PNPM-MKP Tahun 2009 di 3 (tiga) desa yang kelompok nelayannya ditetapkan sebagai penerima PNPM-MKP yaitu : Desa Tianyar Timur, Baturinggit, dan Kubu di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem selama 2 (dua) bulan kalender yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010. Populasinya adalah anggota dari 10 kelompok nelayan penerima PNPMMKP (99 orang) menggunakan metode sensus. Untuk mengetahui pelaksanaan PNPM-MKP dari pihak eksternal diambil informan dengan metode snow ball. 3.3. Instrumen Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah: 1) pelaksanaan PNPM-MKP; 2) tingkat dukungan masyarakat pesisir; dan 3) faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, sedangkan indikator tingkat dukungan masyarakat meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monev program. Variabel pelaksanaan program PNPM-MKP akan diuraikan dengan deskriptif kualitatif. Sedangkan variabel-variabel tingkat dukungan masyarakat dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat akan diukur dengan kuisioner. Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan program, dan tingkat dukungan masyarakat berbentuk kuisioner dan pedoman wawancara, dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima pilihan jawaban yang bergradasi (5 kategori) dan diberi skor 1-5 (satu sampai lima). 3.4. Jenis dan Bentuk Data Data kualitatif mencakup deskripsi pelaksanaan PNPM-MKP, persepsi masyarakat terhadap PNPM-MKP, dukungan masyarakat pesisir terhadap PNPMMKP, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masayarakat terhadap PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, sedangkan data kuantitatif berupa jumlah kelompok nelayan yang ada di Kecamatan Kubu, jumlah penduduk miskin/RTM di masing masing desa kelompok penerima PNPM, jumlah pendapatan per anggota kelompok, penilaian responden tentang pemberdayaan masyarakat pesisir dengan PNPM-MKP. Data primer bersumber dari hasil observasi langsung peneliti ke kelompok penerima PNPM-MKP di Desa Kubu, Baturinggit dan Tianyar Timur, dan hasil sensus dari kelompok nelayan penerima PNPM-MK, sedangkan data sekunder bersumber dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem tentang jumlah kelompok nelayan di Kecamatan Kubu dengan jumlah anggotanya, jumlah dana PNPM-MKP yang disalurkan kepada kelompok penerima, jumlah dan jenis barang yang dibelanjakan dari BLM PNPM-MKP, serta data monografi dari masing-masing desa tempat kelompok penerima. Teknik pengumpulan data menggunakan menggunakan metode observasi (pengamatan langsung ke lapangan), kuesioner (dengan daftar pertanyaan dan pedoman wawancara) dan dokumentasi (arsip data, foto-foto, dsb).
8
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3.5. Analisis Data Pelaksanaan program PNPM MKP dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sedang tingkat dukungan masyarakat dianalisis dengan menggunakan analisis kuantitatif dengan memberikan skor menggunakan Skala Likert (5 kategori) sebagaimana disajikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Skala Likert untuk evaluasi PNPM-MKP Kategori dukungan masyarakat terhadap No Rentang Skor program PNPM-MKP 1 20% - 36% Sangat Rendah 2 >36%- 52% Rendah 3 >52% - 68% Sedang 4 >68% - 84% Tinggi 5 >84% - 100% Sangat Tinggi Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM- MKP dianalisis dengan Chi-Square, dengan persyaratan jika X² hitung X² (1- ) (1) , terima H0 dan jika X² hitung X² (1- ) (1), tolak H0 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Pola PNPMMKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Pelaksanaan program PNPM-MKP di Kecamaan Kubu pada tahun 2009 dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan tersebut adalah adalah: 1) Sosialisasi Program; 2) Penentuan Lokasi Sasaran; 3) Perencanaan Pembangunan Wilayah; 4) Peningkatan kapasitas dan sumber daya masyarakat; 5) Peningkatan kapasitas aparatur daerah; 6) Peningkatan akses kredit mikro; 7) Pendampingan masyarakat; 8) Publikasi kegiatan; 9) Proses pencairan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada kelompok masyarakat; 10) Lokakarya PNPM-MKP; 11) Monitoring dan Evaluasi; 12) Realisasi Anggaran; dan 13) Pelaporan Dari jawaban masyarakat penerima BLM dan pendapat pihak eksternal (konsultan dan tenaga pendamping) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009 adalah:1)kemampuan pengelolaan program yang dilakukan oleh satuan kerja; 2) kondisi dan kemampuan kelompok penerima; 3)kondisi wilayah, sosial dan ekonomi dari desa tempat kelompok penerima; 4)tim teknis dan tim pendamping program; 5)proses pencairan dana dan penggunaan dana; dan 6)pelaksanaan, pemanfaatan dan monev program melibatkan kelompok penerima. Sedangkan faktor-faktor yang dianggap menghambat pelaksanaan program adalah: 1)lokasi sasaran yang menyasar hanya 1 kecamatan 3 desa; dan 2)menu dari barang-barang yang boleh diadakan sangat mengikat sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
9
4.2. Dukungan Masyarakat Pesisir Terhadap Model Pemberdayaan Masyarakat dengan Pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu a. Karakteristik Responden Dari hasil tabulasi data menujukkan semua responden (100%) berjenis kelamin laki-laki, dengan karakteristik responden sebagai berikut :1) Umur Responden, menujukkan bahwa 44,45% berumur 21-37 tahun, 42,42% berumur 38-54 tahun, dan 13,13% berumur 55-70 tahun (sasarannya adalah usia muda produktif); 2) Status Perkawinan menunjukkan bahwa 15,15 % lajang (belum kawin), 80,81% kawin dan 4,04 % bersatus duda; 3) Tingkat Pendidikan menunjukkan bahwa 5,05% buta huruf, 32,32% tidak tamat SD, 27,27% tamat SD, 19,19% tamat SMP, 13,13% tamat SMA, dan 3,03 % tamat Perguruan Tinggi. Dengan demikian hampir 64,64% sasaran PNPM-MKP di kecamatan Kubu hanya berpendidikan dasar, 32,32% berpendidikan menengah dan hanya 3,03% berpendidikan tinggi; 4) Pekerjaan Sampingan Responden, menunjukkan 18,18% tidak memiliki pekerjaan sampingan; 51,52% petani; 6,06% peternak, 13,13% buruh (karyawan pariwisata, tukang bangunan dan sopir); 11,11% pekerjaan lainnya (PNS, pegawai asuransi, dan sebagainya); 5) Tanggungan Keluarga Responden, menunjukkan bahwa 39,39 % memiliki tanggungan 0-2 orang, 54,55% memiliki tanggungan 3-4 orang, dan 6,06% memiliki tanggungan 5-6 orang; 6) Penguasaan Tanah, menunjukkan bahwa untuk penguasaan tanah tegalan; 84,85% memiliki tanah 0-50 are, 12,12 % memiliki tanah 51-100 are, 0% memiliki tanah 101-150 are, dan 3,03% memiliki tanah 151-200 are. Untuk penguasaan tanah pekarangan; 65,66% memiliki 0-3 are, 31,31% memiliki 4-7 are, dan 3,03% memiliki 8-10 are. Sedangkan untuk status hak tanah tegalan: 50,51% tidak memiliki tanah tegalan, 43,43% merupakan hak milik, dan 6,06% merupakan sebagai penggarap (nyakap); 7) Sarana Usaha Nelayan, menunjukkan bahwa untuk kepemilikan jukung : 2,02% tidak memiliki jukung, 90,91% memiliki jukung 1 unit, 5,05% memiliki jukung 2 unit dan 2,02% memiliki jukung sebanyak 3 unit. Untuk kepemilikan mesin (mesin motor tempel maupun mesin ketinting) menunjukkan bahwa 2,02% tidak memiliki, 84,85% memiliki mesin sebanyak 1 unit, 11,11% memiliki mesin sebanyak 2 unit dan 2,02% memiliki mesin sebanyak 3 unit. Sedangkan untuk kepemilikan sarana alat tangkap seperti jaring, pancing dan sebagainya: 72,73% memiliki 0-2 set, 17,17% memiliki 3-4 set, dan 10,10 % memiliki 5-6 set; 8) Pendapatan Nelayan, menunjukkan bahwa pendapatan nelayan dari pekerjaan utama (sebagai nelayan) menunjukkan bahwa 12,12% pendapatannya 200.000 – 900.000 per bulan, 44.44% pendapatannya 901.000-1.600.000 per bulan, 28,28% pendapatannya 1.601.000-2.300.000 per bulan, 6,06% pendapatannya 2.301.000-3.000.000 per bulan. Sedangkan pendapatan dari pekerjaan sampingan menunjukkan 75,76% pendapatan sampingannya 0-500.000 per bulan, 19,19% pendapatan sampingannya 501.000-1.000.000 per bulan, 1,01% pendapatan sampingannya 1.001.000-1.500.000 per bulan, dan 4,04% pendapatan sampingannya 1.501.000– 2.000.000 per bulan. Dengan demikian jumlah pendapatan nelayan secara keseluruhan menunjukkan bahwa 55,56% pendapatannya 800.000-1.850.000 per bulan, 35,35% pendapatannya 1.851.000 – 2.900.000 per bulan, 8,08% pendapatnnya 2.901.000 – 3.950.000 per bulan, dan 1,01% pendapatannya 10
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3.951.000-5.000.000 per bulan; 9) Pengeluaran Nelayan, menujukkan bahwa pngeluaran nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok (konsumsi) per bulannya, 13,13% pengeluarannya 200.000-450.000, 39,39% pendapatannya 451.000700.000, 26,26% pengeluarannya 701.000-950.000, 21,21% pengeluarannya 951.000-1.200.000. Untuk pengeluaran non konsumsi (per bulannya) menunjukkan bahwa 95,96% pengeluarannya 100.000-825.000, 3,03% pengeluarannya 826.000-1.550.000, 0% pengeluarannya 1.551.000-2.275.000, dan 1,01% pengeluarannya 2.276.000-3.000.000, untuk pengeluaran operasional usaha nelayan (per bulannya) menunjukkan bahwa 52,53% pengeluarannya 100.000-450.000, 42,42% pengeluarannya 451.000-800.000, 2,02% pengeluarannya 801.000-1.150.000, dan 3,03% pengeluarannya 1.151.0001.500.000. Dengan demikian kalau dilihat secara keseluruhannya, total pengeluaran nelayan (dalam rupiah per bulan) menunjukkan bahwa 50,55% total pengeluarannya 800.000-1.725.000, 43,43% pengeluarannya 1.726.0002.650.000, 5,05% pengeluarannya 2.651.000-3.575.000, dan 1,01% pengeluarannya 3.576.000-4.500.000; 10) Kepemilikan Rumah Nelayan, menunjukkan 74,75% milik sendiri, 24,24% milik orang tua, dan 1,01% dengan menyewa. Sedangkan jenis rumah yang dimiliki menunjukkan 32,32% rumah permanen, 68,68 % rumah semi permanen; 11) Kepemilikan Tabungan, menunjukkan bahwa 77,78% tidak memiliki tabungan, sedangkan 32,32% memiliki tabungan; 12) Organisasi yang Diikuti dan Kedudukan Dalam Organisasi, menunjukkan bahwa 62,63% ikut dalam 1-3 organisasi, 28,28% ikut dalam 4-5 organisasi, dan 9,09% ikut dalam 6-7 organisasi, sedangkan kedudukannya dalam organisasi menunjukkan 37,37% sebagai pengurus, 61,62 % sebagai anggota, dan 1,01% sebagai keanggotaan lainnya (penasehat); dan 13) Partisipasi Terhadap Kegiatan Kelompok, menunjukkan, 0,0% tidak pernah hadir, 2,02% kadang-kadang hadir, 15,15% sering dan 82,83% menyatakan selalu hadir. b. Tingkat Dukungan Masyarakat terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP. 1) Aspek Perencanaan Program, menunjukkan bahwa 12,12 % dukungannya rendah, 67,68% dukungannya sedang, 16,16% dukungannya tinggi dan 4,04% dukungannya sangat tinggi. Tingkat dukungan masyarakat terhadap aspek perencanaan dalam kategori sedang, disebabkan karena masyarakat di dalam merencanakan suatu program masih perlu dituntun oleh pembina (pengelola program) atau program bersifat luncuran dari pemerintah (top-bottom), sehingga peranan masyarakat di dalam merencanakan kegiatan PNPM-MKP perlu ditingkatkan.
Gambar 4. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
11
Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Perencanaan Program 2) Aspek Pelaksanaan Program, menunjukkan bahwa 1,01 % dukungannya rendah, 52,53% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 6,06% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek pelaksanaan program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP) benar-benar dapat melaksanakan kegiatan tersebut. Pelaksanaan program dapat berjalan dengan baik juga disebabkan karena responden mengikuti arahan dari pembina teknis di lapangan.
Gambar 5.
Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Pelaksanaan Program
3) Aspek Pemanfaatan Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya rendah, 53,54% dukungannya sedang, 40,40% dukungannya tinggi dan 4,04% dukungannya sangat tinggi. Sumbangan pemikiran dan tenaga pada aspek ini sudah lumayan tinggi, tetapi dukungan berupa sumbangan materi terhadap pelaksanaaan program masih sedang. Tingginya dukungan pada aspek pemanfaatan program menunjukkan bahwa ada kecendrungan bahwa program tersebut benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok, dan program tersebut mudah untuk diadaptasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Gambar 6.
Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-MKP pada Apek Pemanfaatan Program
4) Aspek Monitoring dan Evaluasi Program, menunjukkan bahwa 2,02 % dukungannya rendah, 43,43% dukungannya sedang, 46,47% dukungannya tinggi dan 8,08% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat pada aspek monev program disebabkan karena masyarakat penerima PNPM-MKP melakukan pengawasan secara ketat, dengan aturan dalam awig-awig kelompok (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga). Pengawasan secara internal kelompok dan pihak antar kelompok dalam wadah Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) Bayu Segara yang ada di Kecamatan Kubu. 12
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Gambar 7. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Monev Program 5). Aspek Dukungan Masyarakat Secara Kumulatif, menunjukkan bahwa 3,03 % dukungannya rendah, 40,40% dukungannya sedang, 55,56% dukungannya tinggi, dan 1,01% dukungannya sangat tinggi. Tingginya dukungan masyarakat secara kumulatif menunjukkan bahwa PNPM-MKP di Kabupaten Karangasem Tahun 2009 mendapat respon dan dukungan yang tinggi oleh kelompok masyarakat. Masyarakat penerima program sudah mampu untuk melakukan perencanaan, melaksanakan, memanfaatkan, dan melakukan monitoring dan evaluasi program secara baik. Tingginya dukungan secara kumulatif ini juga disebabkan karena modal sosial (terutama tingkat kepercayaan dan partisipasi) pada kelompok-kelompok nelayan di kecamatan Kubu relatif masih tinggi.
Gambar 8. Grafik Distribusi Responden Menurut Dukungannya Terhadap PNPM-MKP pada Aspek Secara Kumulatif
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
13
Secara keseluruhan respon masyarakat terhadap beberapa aspek di atas dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9 berikut ini. Tabel 2. Respon masyarakat terhadap aspek penilaian. Respon (%)
Aspek Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan Monev Kumulatif
sangat rendah sedang tinggi tinggi 12,12 67,68 16,16 4,04 1,01 52,53 40,4 6,06 2,02 53,54 40,4 4,04 2,02 43,43 46,47 8,08 3,03 40,4 55,56 1,01
Gambar 9. Respon Masyarakat terhadap PNPM
4.3. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM - MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP yaitu kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pendapatan dari pekerjaan utama dan jumlah kepemilikan alat tangkap.
14
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Tabel 3.
Rekapitulasi Hasil Analisis Khi Kuadrat Terhadap Faktor-Faktor yang Ada Hubungan dengan Dukungan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PNPM-MKP di Kec. Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009 No Jenis Faktor X2-hitung X2-tabel (α=5%) 1. Kelompok Umur 60,48* 9,49 2. Tingkat Pendidikan 42,46* 9,49 3. Jumlah Tanggungan Keluarga 33,88* 9,49 4. Pendapatan dari Pekerjaan Utama 40,53* 9,49 5. Jumlah Kepemilikan Alat Tangkap 23,86* 9,49 Keterangan : ns) = non signifikan, *) = siginifikan Sumber : Data Primer (diolah). 4.3.1 Kelompok umur Kelompok umur dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelompok umur 21-37 tahun, 38-54 tahun, dan 55-70 tahun. Kelompok umur mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada kelompok umur yang lebih muda memiliki dukungan yang lebih tinggi atau responden yang ada pada kelompok umur yang lebih tua memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin muda responden semakin tinggi dukungannnya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor umur mempengaruhi kemampuan sesorang untuk beraktivitas dan berproduktivitas. 4.3.2 Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungan responden terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang ada pada pada tingkat pendidikan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena faktor pendidikan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan logika dan bertindak lebih rasional; 4.3.3 Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu 5-6 anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, dan 0-2 anggota keluarga. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki tanggungan keluarga yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki jumlah Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
15
tanggungan keluarga lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena anggota keluarga dikerahkan secara optimal untuk mendukung dan melaksanakan PNPM-MKP. 4.3.4. Pendapatan dari pekerjaan utama Pendapatan dari pekerjaan utama dibagi menjadi tiga kategori yaitu Rp. 2.300.000-3.000.000 per bulan, Rp. 1.600.000-<2.300.000 per bulan dan Rp. <1.600.000 per bulan. Pendapatan dari pekerjaan utama mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukunganya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kecendrungan dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki pendapatan yang lebih rendah memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Kenyataan ini memberi makna bahwa ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan responden semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP, hal ini terjadi karena tingkat pendapatan akan mempengaruhi jumlah pengeluaran yang dapat dibiayai di dalam meningkatkan taraf hidupnya nelayan. Pendapatan juga akan berpengaruh terhadap kemampuan nelayan untuk lebih berpartisipasi di dalam memberikan sumbangan dalam bentuk material (dana) terhadap suatu program; dan 4.3.5. Kepemilikan alat tangkap Kepemilikan alat tangkap dibagi menjadi tiga kategori yaitu kepemilikan alat tangkap 5-6 set, 3-4 set, dan 0-2 set. Kepemilikan alat tangkap mempunyai hubungan yang signifikan dengan dukungannya terhadap pelaksanaan PNPMMKP di Kecamatan Kubu. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kecenderungan responden yang memiliki alat tangkap yang lebih banyak memiliki dukungan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP atau responden yang memiliki alat tangkap yang lebih sedikit memiliki kecenderungan dukungan yang lebih rendah terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Jadi ada kecenderungan bahwa semakin banyak kepemilikan alat tangkap semakin tinggi dukungannya terhadap pelaksanaan PNPM-MKP. Hal ini terjadi karena kepemilikan alat tangkap akan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan nelayan yang nantinya akan berpengaruh dengan tingkat pendapatan nelayan yang merupakan faktor pendukung dalam pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem.
5. KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI 5.1. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem Tahun 2009 sudah berjalan sesuai dengan pedoman teknis dan prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (bottom up); 2) Tingkat dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP pada aspek perencanaan program masuk kategori sedang, pada aspek pelaksanaan program masuk kategori sedang, 16
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pada aspek pemanfaatan program masuk dalam kategori sedang, pada aspek monitoring dan evaluasi program masuk kategori tinggi, dan dukungan secara kumulatif masuk dalam kategori tinggi; dan 3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MKP di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem adalah kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap, dan tingkat pendapatan dari pekerjaan utama.
5.2. Saran Dari hasil dan pembahasan dapat diberikan saran sebagai berikut : 1) program PNPM-MKP tetap dapat dilanjutkan oleh pemerintah; 2) Pemerintah hendaknya lebih melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring program sehingga program tersebut benar-benar sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat (bottom up). Dalam pedoman teknis PNPM-MKP semestinya tidak ada pembatasan desa/kecamatan calon penerima dan pembatasan menu dari barang-barang yang boleh dibiayai dari program tersebut; dan 3) Untuk meningkatkan tingkat dukungan masyarakat dari kategori sedang ke kategori yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan PNPM-MKP baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring dan evaluasi program, hendaknya memperhatikan faktor-faktor yang berhubungan dengan dukungan masyarakat seperti kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah kepemilikan alat tangkap dan jumlah pendapatan dari pekerjaan utama dari calon penerima program. 5.3. Implikasi Peningkatan dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir dengan pola PNPM-MKP dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat pada kelompok umur muda (usia produktif), meningkatkan pendidikan peserta, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mengupayakan peningkatan kepemilikan alat tangkap nelayan. Oleh karena program PNPM-MKP benar-benar dapat dilaksanakan dan bermanfaat bagi masyarakat, maka pemerintah maupun stake holder terkait dapat menggunakan program tersebut untuk dipakai sebagai salah satu model program pemberdayaan masyarakat pesisir di dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, dan Cepi Safrudin Abdul Jabar. 2007. Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara. Alistair, Cockburn. 2000. OO Analysis Model (Online).(http://training.fws.gov/ deo/pdfs/The%20Interpretive%20Development%20Model.pdf). Diakses 28 Maret 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2009. Proses Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Jakarta: Tim Design.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
17
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2008. Karangasem Dalam Angka. Amlapura:BPS Candiasa. 2004. Statistik Multivariat, Singaraja : Unit Penerbitan IKIP Negeri Singaraja. Dahuri R. J. Rais , S.P. Ginting, dan M.J Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Petunjuk Operasional Kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta :Dirjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Pedoman Teknis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Jakarta : Dirjen KP3K Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2008. Potensi Pesisir Kabupaten Karangasem Tahun 2008 : Karangasem. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2007. Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Statistik Perikanan Kabupaten Karangasem . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Akhir PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Tim Pendamping PNPM-MKP Tahun 2009 . Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Akhir RTRW Pesisir Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Akhir Konsultan Perencanaan Wilayah PNPM-MKP Kabupaten Karangasem. Amlapura : DPKP. Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem. 2009. Laporan Tahunan Sistem Akuntansi Instansi (SAK-SIMAK BMN) Tugas Pembantuan Lingkup KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2009. Amlapura : DPKP. Dinas Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karangasem. 2007. Laporan Pelaksanaan Pemutakhiran Data Rumah Tangga Miskin Kabupaten Karangasem. Kerjasama dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. Fernandes. 1984. Evaluation of Education Programs. Jakarta: Educational and Curriculum Development. Gregory, Robert J. 2000. Psichologycal Testing History, Principles, and Applications. Boston : Allyn and Bacon. Kay R and Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London: E &FN Spon an imprint of Roulledge. Kurniawan, A. 2006. Pemberdayaan Masyarakat. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor: 22-25 Agustus. Lestari P. 2009. Sosialisasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Mandiri Kelautan dan Perikanan, Makalah disampaikan dalam Sosialisasi Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret 18
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Martasuganda, S., R. Drajat., Nelwan D., Christianto D.S., Daulay, HG., Nugroho, A.S., Setyaningsih, N., 2006. Teknologi Untuk Masyarakat Pesisir Seri Alat Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Meriam-Webster. 2010. Meriam Webster Dictionairy (Online). (http://www. merim-webster.com/ictionairy/analysis). Diakses 30 Maret 2010 Moleong J, Lexi. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nien-Lien Hsueh. 2002. Analysis Model. (Online). (http://publib.boulder. ibm.com/infocenter/rsmhelp/v7r0m0/topic/analysis model.html). Diakses 30 Maret 2010. Pratikto, W.A. 2006 Arah dan Kebijakan Pembangunan Sumberdaya Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peran Serta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor 22-25 Agustus. Royat. S. 2009. Penanggulangan Kemiskinan dan Pengurangan Pengangguran Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPMMandiri). Makalah yang disampaikan oleh Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan/Ketua Tim Pelaksana Pengendali PNPM Mandiri pada Launching Program PNPM-MKP di Yogyakarta, 17 Maret Saad, S. 2006. Peran Lembaga Keagamaan/Adat dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Peningkatan Peranserta Lembaga Keagamaan/Adat oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Dirjen KP3K DKP di Cipayung-Bogor 22-25 Agustus. Soetrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebebasan Kemiskinan, Yogyakarta: Philosophy Press. Sudrajat Sutawijaya. 1999. Statistik Non Parametrik. Bandung: Program Pasca Sarjana Unpad. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito. Suharsimi, Arikunto dan Cepri Safrudin Abdul Jalal. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sunartiningsih, A. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Jogjakarta : Aditya Media. Tasrif, Muhammad. 2005. Analisis Kebijakan Menggunakan Model System Dynamic. Bandung : Program Magister Studi Pembangunan. Institut Teknologi Bandung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) Usman, S. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
19
UPAYA MENINGKATKAN POTENSI KESUBURAN TANAH LAHAN MARGINAL DI KAWASAN BALI TIMUR MELALUI BIOTEKNOLOGI BIOFERTILISASI ANTARA MIKORIZA DENGAN PUPUK KANDANG DAN KASCING I Ketut Widnyana Email :
[email protected] Jurusan Agroteknologi Universitas Mahasaraswati Denpasar
1. PENDAHULUAN Kabupaten Karangasem dengan luas wilayah 83.954 Ha. Hanya memiliki lahan sawah beririgasi teknis seluas 7.059 Ha. (8,41 %) dan lahan kering paling luas di daerah Bali bagian timur yaitu seluas 76.868 Ha. (91,56 %). Kabupaten Karangasem terdiri dari 8 kecamatan dan dari 8 kecamatan yang ada tersebut, kecamatan Kubu dan kecamatan Abang memiliki lahan kering terluas yaitu masing-masing seluas 23.472 Ha. dan 12.658 Ha., selanjutnya disusul dengan kecamatan Rendang seluas 9.987 Ha., kecamatan Karangasem seluas 7.817 Ha., kecamatan Selat seluas 7.200 Ha., kecamatan Bebandem seluas 7.127 Ha., kecamatan Manggis seluas 6.395 Ha., dan kecamatan Sidemen seluas 2.2123 Ha. Lahan kering bermasalah (marginal) dari segi kesuburan dan curah hujan yang rendah sebagian besar ditemukan di kecamatan Kubu, Abang, dan Karangasem (Bappeda Karangasem dan Puslit Teknologi dan Seni UNUD, 2003). Secara agroekosistem lahan kering mempunyai karakter lebih labil dibandingkan lahan sawah. Secara umum beberapa karakteristik lahan kering adalah topografi umumnya tidak datar, rentan terhadap erosi, system usahatani beragam sehingga agak sulit dalam pengelolaan lahan, ketergantungan terhadap iklim sangat besar, unsure hara terbatas. Sumber daya alam di lahan kering dapat pulih dengan beberapa teknologi dan teknik pengelolaan yang benar dan konsisten dari pengelolanya, walaupun memang memerlukan waktu yang relatif agak lama. Disamping itu kondisi penduduk terutama petani yang relatif miskin harus digarap juga dengan cara memberikan pembinaan dan bimbingan secara terus menerus untuk mengelola lahannya dengan baik agar dapat memberikan menfaat yang lebih untuk kehidupan mereka. Salah satu usaha yang dapat dilaksanakan adalah peningkatan kesuburan tanah dengan pemberian pupuk yang mudah tersedia dan berkadar tinggi Akan tetapi pemberian pupuk kimia atau anorganik untuk mempercepat proses peningkatan kesuburan tanah hanya akan meningkatkan kesuburan kimia tanah saja, sedangkan kesuburan fisik tanah akan tetap rendah dan bahkan kesuburan biologi tanah akan tertekan atau aktivitas mikroorganisme tanah yang membantu peningkatan kesuburan tanah akan terhenti dengan adanya pupuk kimia (anorganik) yang tinggi (Food and Fertilizer Technology Center, 2003). Seperti diketahui bahwa lahan marginal adalah lahan yang rendah potensi dan produktivitasnya dari semua segi kesuburan tanahnya baik dari segi kimia,fisik maupun biologi tanah dan disamping itu juga pada keterbatasan tersedianya air 20
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
(Suprapto, dkk, 2000), sehingga untuk menangani kesuburan lahan marginal agar potensi kesuburannya meningkat, maka perlu diambil langkah – langkah yang bijak untuk mengatasi kendala kendala yang ada. Langkah – langkah yang bijak untuk mengatasi ketiga kendala aspek kesuburan tanah lahan marginal tersebut adalah dengan pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang dan kascing serta pupuk hayati mikoriza Paket rekayasa bioteknologi biofertilisasi antara mikoriza dengan pupuk kandang dan kascing untuk meningkatkan potensi kesuburan tanah lahan marginal cukup ideal dapat dilaksanakan karena akan mendukung ketiga aspek kesuburan tanah yaitu kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah. Aplikasi miko-riza, pupuk kandang dan kascing ke dalam tanah lahan marginal akan berpengaruh terhadap (Parr et al., 2003; Herman dan Goenadi, 2003; Pujiyanto, 2001; Wiswasta, 2001): 1. Aspek fisik tanah yang meliputi struktur dan tekstur tanah, tanah akan menjadi gembur. Adanya bahan organik yang cukup dari pupuk kandang dan kascing maka pada tanah yang berkadar pasir tinggi. Air tidak akan mudah hilang meresap karena ditahan oleh bahan organik tersebut dan pada tanah berkadar liat tinggi, air tidak mudah tergenang karena tanah menjadi penuh dengan adanya bahan organik tersebut. Mikoriza juga mempunyai sifat menyimpan air pada musim kemarau. 2. Aspek biologi tanah, tersedianya bahan organik yang cukup di dalam tanah akan meningkatkan aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme tanah yang menguntungkan yang membantu meningkatkan kesuburan tanah. 3. Aspek kimia tanah, aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme akan membantu mendegradasi molekul – molekul bahan organik menjadi unsur – unsur yang dapat meningkatkan kesuburan tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering (marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan ( kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi biofertilisasi 2. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lahan kering di Kubu, Karangasem. Setelah diketahui tingkat kesuburan, potensi dan produktivitas lahan kemudian dilakukan perlakuan pemupukan pupuk organik dikombinasi dengan mikoriza untuk meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Dari penelitian ini juga diharapkan diperoleh peningkatan potensi kesuburan tanah lahan marginal yang memperoleh perlakuan bioteknologi biofertilisasi mikoriza dengan pupuk kandang dan kascing. Dengan diketahuinya potensi tanah lahan marginal melalui studi rekayasa bioteknologi biofertilisasi tersebut maka dapat Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
21
diperoleh informasi dalam penyediaan bahan organik/pupuk kandang dan kascing baik jenis maupun jumlah (dosis) pupuk organik tersebut yang dikombinasi dengan pupuk hayati mikoriza. Hal ini akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan organik (pupuk kandang) baik jenis maupun jumlahnya. Dari segi jenis mudah diperoleh, dari segi jumlah ( dosis ) diperoleh dosis yang tepat, sehingga akan mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Keadaan ini akan dapat meningkatkan pendapatan petani, selanjutnya meningkatkan taraf hidup petani. Sesuai data dan informasi (Badan Pusat Statistik/BPS Propinsi Bali, 2005), di Pulau Bali terdapat lebih kurang 2.181.19 Ha lahan kering yang sebagian besar kurang produktif yang dikatagorikan sebagai lahan marginal karena keterbatasan dari segi kesuburan dan ketersediaan air yang memerlukan penanganan dengan baik dan bijak untuk ditingkatkan potensi dan produktivitasnya. Sumberdaya lahan kering merupakan sumber daya alam yang dapat pulih, tetapi proses pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar. Dari karakteristik lahan kering , maka arah pengelolaan lahan kering unutk bidang pertanian adalah pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable management) yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan, tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan. Pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada intinya diarahkan pada beberapa maksud yaitu 1) meningkatkan produktivitas lahan kering, 2) mengurangi resiko kegagalan, 3) melindungi sumber daya alam, menekan terjadinya gradasi tanah dan air, 4) meningkatkan pendapatan petani, 5) memenuhi kebutuhan sosial. 3. METODE PENELITIAN Percobaan pot (rumah kaca) Percobaan pot (rumah kaca) dilakukan untuk mengetahui perubahan tingkat kesuburan tanah lahan marginal yang diberi berbagai perlakuan sehingga potensi dan produktivitas lahan tersebut meningkat. Percobaan berpola faktorial dengan Rancangan Acak Kelompok /RAK (Gomez and Gomez, 1995). Adapun faktor – faktor perlakuan yang dicoba adalah sebagai berkut : (1) Faktor I Inokulasi mikoriza ( M ). m0 = tanpa inokulan mikoriza m1 = dengan inokulan mikoriza (2) Faktor II pupuk kandang dan kascing ( P ) p0 = Tanpa pupuk p1 = pupuk kandang sapi p2 = pupuk kandang ayam p3 = pupuk kandang babi p4 = pupuk kascing (3) Faktor III dosis pupuk kandang dan kascing ( D ) d0 = 0 ton per ha d1 = 4 ton per ha d2 = 8 ton per ha d3 = 12 ton per ha d4 = 16 ton per ha
22
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Berdasarkan ketiga faktor perlakuan tersebut akan diperoleh 32 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 96 pot percobaan. Tanaman yang ditanam untuk menguji perlakuan tersebut adalah tanaman jagung dan kacang tanah , sehingga jumlah keseluruhan pot yang diperlukan untuk percobaan ini adalah 192 pot . 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Percobaan Pot Kacang Tanah Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa pengaruh kombinasi perlakuan mikoriza, dosis pupuk dan jenis pupukterhadap beberapa parameter hasil seperti jumlah biji, berat kering oven (BKO), pada tanaman kacang tanah menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi semua perlakuan masih belum menunjukkan adanya interaksi. Hal ini dapat dilihat dari grafik kecenderungan hasil yang masih linier. Beberapa perlakuan tunggal (pupuk dan mikoriza) menunjukkankan kecenderungan yang meningkat walaupun masih linier. Hal ini dapat dilihat pada Tabel dan Grafik berikut: Tabel 4. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah Dependent JBJKCTP1 JBJKCTP1 JBJKCTP2 JBJKCTP2 JBJKCTP3 JBJKCTP3 JBJKCTP4 JBJKCTP4
Mth LIN QUA LIN QUA LIN QUA LIN QUA
Rsq ,198 ,229 ,000 ,183 ,321 ,629 ,047 ,067
d.f. F 8 1,97 7 1,04 8 3,0E-03 7 ,79 8 3,79 7 5,94 8 ,39 7 ,25
Sigf ,198 ,402 ,957 ,492 ,088 ,031 ,549 ,783
b0 b1 34,8000 -1,0375 32,0143 ,3554 27,1000 ,0250 30,8143 -1,8321 21,9000 1,2625 13,5429 5,4411 24,2000 ,3625 25,8429 -,4589
b2 -,0871 ,1161 -,2612 ,0513
Dari Tabel 4 – Tabel 7 dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan mikoriza dengan pupuk organik terhadap parameter jumlah biji dan berat kering oven biji kacang tanah menunjukkan pengaruh tidak nyata Hal ini juga dipertegas dengan kecenderungan Grafik 1 sampai dengan Grafik 4, dimana pada kedua parameter kecenderungan masih linier. Walaupun pada perlakuan tunggal baik pupuk maupun mikoriza ada beberapa yang menunjukkan pengaruh nyata. Misalnya seperti perlakuan pupuk kandang babi (P3) dan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata (Tabel 4). JBJKCTP3 50
40
30
20
Observed
10
Linear 0
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 1. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan Pemupukan Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
23
Pada Tabel 5 terlihat bahwa tanpa perlakuan mikoriza maka pemberian pupuk kascing menunjukkan pengaruh yang nyata, walaupun kecenderungannya masih linier. Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. JBJKCTP1 LIN ,320 JBJKCTP1 QUA ,382 JBJKCTP2 LIN ,527 JBJKCTP2 QUA ,564 JBJKCTP3 LIN ,029 JBJKCTP3 QUA ,029 JBJKCTP4 LIN ,002 JBJKCTP4 QUA ,022
8 7 8 7 8 7 8 7
F Sigf 3,76 ,089 2,17 ,185 8,92 ,017 4,52 ,055 ,24 ,641 ,10 ,903 ,02 ,903 ,08 ,924
b0 b1 47,3000 -1,5250 42,7286 ,7607 39,7000 -1,8125 36,4857 -,2054 34,6000 -,3750 34,4571 -,3036 28,6000 ,0625 27,2429 ,7411
b2 -,1429 -,1004 -,0045 -,0424
JBJKCTP2 50
40
30
20
Observed
10
Linear 0
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 2. Trend Pengaruh Pemberian Pupuk Organik terhadap
Jumlah
Biji Kacang Tanah
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah Dependent Mth Rsq d.f. BKOBJKP1 LIN ,224 BKOBJKP1 QUA ,322 BKOBJKP2 LIN ,324 BKOBJKP2 QUA ,428 BKOBJKP3 LIN ,114 BKOBJKP3 QUA ,148 BKOBJKP4 LIN ,007 BKOBJKP4 QUA ,171
24
Agrimeta,
8 7 8 7 8 7 8 7
F Sigf 2,31 ,167 1,66 ,256 3,83 ,086 2,62 ,141 1,03 ,340 ,61 ,572 ,06 ,813 ,72 ,520
b0 17,5800 15,8300 17,1000 15,1143 16,7100 15,5600 13,9400 12,3900
b1 -,3912 ,4837 -,5175 ,4754 -,3137 ,2612 -,0487 ,7262
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
b2 -,0547 -,0621 -,0359 -,0484
BKOBJKP2 20 18 16 14 12 10 8
Observed
6
Linear
4
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 3. Trend Pengaruh Perlakuan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah
Tabel 7. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah Dependent BKOBJKP1 BKOBJKP1 BKOBJKP2 BKOBJKP2 BKOBJKP3 BKOBJKP3 BKOBJKP4 BKOBJKP4
Mth LIN QUA LIN QUA LIN QUA LIN QUA
Rsq ,240 ,256 ,006 ,195 ,134 ,512 ,049 ,239
d.f. 8 7 8 7 8 7 8 7
F 2,53 1,20 ,05 ,85 1,24 3,67 ,41 1,10
Sigf ,150 ,355 ,836 ,468 ,298 ,081 ,539 ,384
b0 b1 16,4100 -,3512 15,8029 -,0477 12,8400 ,0625 15,2829 -1,1589 14,0600 ,3713 9,8529 2,4748 17,4800 -,3338 13,0300 1,8912
b2 -,0190 ,0763 -,1315 -,1391
BKOBJKP3 30
20
10 Observed Linear 0
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 4. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Biji Kacang Tanah Demikian juga apabila dilihat dari parameter berat kering oven biji kacang tanah maka perlakuan mikoriza dan pupuk kandang ayam (P2) menunjukkan pengaruh Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
25
yang nyata, tetapi perlakuan tanpa mikoriza menunjukkan pengaruh nyata pada perlakuan kascing (P4). Interaksi tidak menunjukkan pengaruh nyata, dapat dilihat pada grafik kecenderungan yang masih linier (Grafik 3 dan 4). Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Jagung Dependent JMBJJGP1 JMBJJGP1 JMBJJGP2 JMBJJGP2 JMBJJGP3 JMBJJGP3 JMBJJGP4 JMBJJGP4
Mth LIN QUA LIN QUA LIN QUA LIN QUA
Rsq ,480 ,548 ,003 ,067 ,031 ,047 ,060 ,221
d.f. 8 7 8 7 8 7 8 7
F 7,38 4,23 ,03 ,25 ,26 ,17 ,51 ,99
Sigf ,026 ,062 ,877 ,784 ,626 ,845 ,496 ,417
b0 98,0000 66,6429 250,700 224,629 211,300 227,943 307,100 348,886
b1 12,3375 28,0161 -,8625 12,1732 3,4625 -4,8589 -3,7625 -24,655
b2 -,9799 -,8147 ,5201 1,3058
4.2 Hasil Percobaan Pot Jagung Interaksi perlakuan mikoriza dan pupuk pada parameter jumlah biji, berat pipilan kering, berat kering oven jagung menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Pengaruh pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh nyata, walaupun masih menunjukkan kecenderungan yang linier.(Tabel 8 dan Grafik 5). Pada parameter berat biji pipilan kering perlakuan pupuk kandang sapi (P1) menunjukkan pengaruh yang nyata, tetapi tidak menunjukkan adanya kecenderungan kuadratik (Tabel 9 dan Grafik 6). Pada parameter berat kering oven biji jagung maka pengaruh nyata ditunjukkan oleh perlakuan pupuk kandang sapi (P1), tetapi kecenderungan masih linier (Tabel 10 dan Grafik 7). JMBJJGP1 400
300
200
100
Observed Linear
0
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 5. Trend Pengaruh Perlakuan Mikoriza dan pupuk Organik terhadap Jumlah Biji Jagung Tabel 9. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Pipilan Kering Jagung Dependent Mth Rsq d.f. BPKBJP1 LIN ,259 BPKBJP1 QUA ,323 BPKBJP2 LIN ,021 BPKBJP2 QUA ,047 BPKBJP3 LIN ,008 BPKBJP3 QUA ,085 BPKBJP4 LIN ,029 BPKBJP4 QUA ,175 26
Agrimeta,
8 7 8 7 8 7 8 7
F Sigf 2,79 ,133 1,67 ,256 ,17 ,687 ,17 ,846 ,06 ,809 ,32 ,733 ,24 ,636 ,74 ,510
b0 b1 24,8700 1,6713 19,2629 4,4748 45,6700 -,3575 43,0271 ,9639 45,4500 ,2725 51,2500 -2,6275 53,4000 -,4075 59,5429 -3,4789
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
b2 -,1752 -,0826 ,1812 ,1920
BPKBJP1 70
60
50
40
30 Observed 20 Linear 10
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 6. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Pipilan Kering Jagung Tabel 10. Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Jagung Dependent Mth Rsq d.f. BKOBJP1 LIN ,462 BKOBJP1 QUA ,490 BKOBJP2 LIN ,026 BKOBJP2 QUA ,027 BKOBJP3 LIN ,000 BKOBJP3 QUA ,086 BKOBJP4 LIN ,021 BKOBJP4 QUA ,021
F Sigf 8 6,87 ,031 7 3,36 ,095 8 ,21 ,657 7 ,10 ,908 8 1,2E-03 ,974 7 ,33 ,731 8 ,17 ,689 7 ,08 ,928
b0 b1 10,2000 1,7225 7,3429 3,1511 35,6900 -,3687 35,1257 -,0866 35,5100 ,0300 40,4529 -2,4414 33,5900 ,2550 33,6471 ,2264
b2 -,0893 -,0176 ,1545 ,0018
BKOBJP1 50
40
30
20
Observed
10
Linear 0
Quadratic
-10
0
10
20
DOSISPPK
Grafik 7. Trend Pengaruh Pemberian Mikoriza dan Pupuk Organik terhadap Berat Kering Oven Jagung
Dari hasil analisis terhadap parameter vegetatif, hanya terhadap panjang akar dan berat kering oven akar terjadi pengaruh yang signifikan, (lihat Tabel 8 dan 9). Panjang akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (84 cm), dan berat kering oven akar tertinggi diperoleh pada perlakuan M1P4D4 (35,5 g). Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
27
Tabel 11. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Akar Tanaman Jagung (cm) Perlakuan P1 P2 P3 P4 81 76 72 64 D1 63 68 69 56 D2 78 61 74 73 D3 77 70 79 84 D4 Keterangan: D = perlakuan dosis pupuk P = perlakuan jenis pupuk Tabel 12. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Kering Oven Akar (g Perlakuan P1 P2 P3 P4 23,7 27 22,1 21,2 D1 16,7 23,1 14,5 18,4 D2 21,1 24,2 25,6 20,1 D3 24,9 27,7 21,5 35,5 D4 Keterangan: D = perlakuan dosis pupuk P = perlakuan jenis pupuk
4.3 Pembahasan Tabel 13. Signifikansi Pengaruh perlakuan Mikoriza (M), Dosis (D) dan Jenis pupuk (P) terhadap parameter yang diamati No Parameter M D P MxDx P 1 Jumlah biji kacang tanah * ns * ns 2 Berat Kering Oven Biji Kacang tanah * ns * ns 3 Jumlah biji jagung * ns * ns 4 Berat pipilan kering jagung * ns * ns 5 Berat kering oven jagung * ns * ns 6 Berat basah akar kacang tanah * ns * ns 7 Berat kering oven akar kacang tanah * ns * ns 8 Berat basah akar jagung * ns * ns 9 Berat kering oven akar jagung * ns * ns Keterangan: * = berpengaruh nyata ns = non significant (tidak berpengaruh) Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk terlihat dari Tabel 4 – Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk 28
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan M1D3P4 Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah. Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000) bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman. Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk. (2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 % dibandingkan tanapa mikoriza. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam (Ahiabor dan Hirata, 1995). 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata. 2) Pada semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata tetapi masih menunjukkan kecenderungan yang linier. 3) Pengaruh dosis dan jenis pupuk kandang menunjukkan pengaruh nyata tetapi kecenderungan masih linier. 5.2 Saran Beberapa hal dapat disarankan: 1). Karena percobaan masih dilakukan di pot maka akan dilakukan percobaan lapangan dengan menggunakan kombinasi terbaik dari hasil penelitian ini, sehingga di lapangan akan diperoleh data yang lebih akurat untuk memperoleh rekomendasi perlakuan terbaik. 2) Untuk mikoriza yang digunakan sebaiknya digunakan mikoriza lokal, karena masing-masing mikoriza sebenarnya bersifat khas untuk masingAgrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
29
masing daerah. Dengan menginokulasi sendiri dari sumber di daerah penelitian maka keefektifan fungsi mikoriza lebih akurat. 3) Perlu dilakukan analisis serapan unsur P oleh tanaman dan analisis Ptersedia dalam tanah.
DAFTAR PUSTAKA Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in an Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496. Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering. Universitas Udayana Denpasar. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Bali Bappeda Kabupaten Karangasem dan Pusat Penelitian Teknologi dan Seni, 2003. Kajian Teknis Potensi dan Pemanfaatan Lahan Kering Di Kabupaten Karangasem. Bappeda Kabupaten Karangasem. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2007. . Makalah disampaikan pada Semi Loka nasional Model produksi Beras di Bali. Sindhu Beach Hotel, 21 Nopember 2007 Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2002. Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Edisi VI. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta. Food and Fertilizer Technology Center, 2003. Microbial and Organic Fertilizers in Asia. An International Information Center for Farmers in the Asia Pasific Region. http://www.agnet.org/library/html 1/17/03. Gemma, J.N. and R.E. Koske, 2003. Use of Mycorrhizae in Restoration of Hawaiian Habitats. Departement of Biological Sciences, University of Rhode Island, Kingston. http://www.hawaii.edu/scb/scinativ_mycor.html 1/22/03. Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika Untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan. E. Samsuddin dan J.S. Baharsyah. UI press, Jakarta. Herman dan D.H. Goenadi, 2003. Manfaat dan Prospek Pengembangan Industri Pupuk Hayati Di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp183993.html 1/8/03. Kasno, A. 2003. Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah di Indonesia. Seminar Rutin Puslitbang Tanaman pangan, Bogor, 26 Mei 2003 Muin, A., 2003. Penggunaan Mikoriza untuk Menunjang Pembangunan Hutan pada Lahan Kritis atau Marginal. Mutualisme antara Cendawan dan Tanaman. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/PPs702/ABDURRANI.htm 1/3/03. Munir, M., 2001. Tanah-Tanah Utama Indonesia : Karakteristik, Klasifikasi, dan Pemanfaatannya. Pustaka Jaya, Jakarta.
30
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Parr, J.F., S.B. Hornick, and D.D. Kaufman, 2003. Use of Microbial Inoculants and Organic Fertilizers in Agricultural Production. An International Information Center for Farmers in Asia Pasific Region . Food and Fertilizer Technology Center. http://www.agnet.org/library/article/eb394.html 1/29/03. Pujiyanto, 2003. Pemanfaatan Jasad Mikro Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia : Tinjauan dari Perpektif Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB. http://www.hayatiipb.com/users/rudyct/ indiv2001/pujiyanto.htm 1/28/03. Setiawati, M.R.,B.N. Fitratin dan P. Suryatmana. 2000. Pengaruh Mikoriza dan Pupuk Fosfat terhadap Derajat Infeksi Mikoriza dan Komponen Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB. Hal 92 – 99. Suarna, I W., 2001. Pengaruh Pupuk Organik Kascing terhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kualitas Hijauan dalam Sistem Asosiasi Rumput–Legum serta Dampak-nya terhadap Prestasi Kambing Peranakan Etawah Jantan. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung. Suprapto, I N. Adijaya, I K. Mahaputra, dan I M. RaiYasa, 2000. Penelitian Sistem Usahatani Diversifikasi Lahan Marginal. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Denpasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Wiswasta, I G.N.A., 2001. Pertumbuhan dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput Setaria (Setaria splendida Stapf.) yang Dipengaruhi Nitrogen, Fosfor, Mikoriza, dan Azospirillum. Disertasi Program Pascasarjana UNPAD., Bandung. Yadi Setiadi. 2000. Status Penelitian dan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskular dan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza I. Bekerjasama dengan AMI dan PAU Bioteknologi IPB, Bogor. Hal 11-23.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
31
ELASTISITAS DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN KEDELAI DI TINGKAT INDUSTRI I Ketut Arnawa Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT The main objective of this study was to determine the elasticity and the factors that affect soybean supply in the industry. Study determined the location of sampling porpusive in East Java province. The data used are time series data (1989-2008). The study found the price elasticity of soybean supply is inelastic in the industry, offering soy at the industry level is strongly influenced by the price of soybeans, and time trends. Policy implications that can be recommended in order to support self-sufficiency in soybean prices is the need to establish policies that favor soybean farmers by improving its marketing. Key words: Soybean, markets, elasticity
1. PENDAHULUAN Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting bagi masyarakat. Pertumbuhan permintaan kedelai cukup pesat selama beberapa tahun terakhir, terutama untuk konsumsi, bahan baku industri, seperti industri tahu, tempe, kecap, tauco, dan susu, serta meningkatnya permintaan terhadap pakan ternak sebagai akibat berkembangnya industri perunggasan. Walaupun selama dua warsa terakhir telah terjadi peningkatan produksi dalam negeri, namun belum mampu memenuhi permintaannya. Kebutuhan nasional kedelai dewasa ini telah mencapai 2,3 juta ton tahun -1 , sementara produksi kedelai dalam negeri baru mampu memenuhi kebutuhan 35-40 persen sehingga kekurangannya dipenuhi dari impor. Harga kedelai impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga kedelai lokal sangat merugikan petani. Karena biaya produksi tidak seimbang dengan nilai hasil yang didapatkan, sehingga minat petani menanam kedelai hanya sekedar melanjutkan kebiasaan pola tanam saja. Hal ini diperparah lagi dengan situasi pemasaran kedelai yang kurang menguntungkan petani, pemasaran kedelai dikuasai oleh pedagang besar dan industri (Sudaryanto,dkk.,1992; Zulham,dkk.1993; Zulham dan Yumm,1996). Berdasarkan data statisitik Kementrian Pertanian, (2010) harga kedelai di tingkat petani pada Desember 2009 Rp 4.900 kg -1 , dan harga di tingkat konsumen Rp 6.500 kg -1 . Ini berarti ada perbedaan harga atau marjin pemasaran sebesar Rp 1.600/kg atau 32,65 persen Oleh karena itu pemerintah memprogramkan dan menetapkan jajaran areal tanam yang diharapkan mempunyai produksi yang dapat mencukupi kebutuhan pangan, namun kenyataannya kepastian tersebut selalu mendapat tantangan dari kondisi alam, kondisi praktis seperti penerapan teknologi, dari pelaksana/petani dan hambatan lain seperti perlakuan pasar, kebijakan pemerintah, sehingga pencapaian produksi atau penawaran kedelai sulit diperkirakan secara pasti. 32
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Menyadari bahwa kedelai merupakan komoditas pangan penting bagi masyarakat, maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan penawaran kedelai khususnya yang berasal produksi kedelai petani, dengan mengambil berbagai kebijakan baik di bidang produksi, stabilitas harga maupun investasi, penelitian, penyuluhan dan teknologi. Berdasarkan urain di atas dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar elastisitas dan faktorfaktor yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai, sehingga tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui elastisitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran komoditas kedelai. 2. KERANGKA TEORI Fungsi Penawaran Kedelai Penawaran kedelai adalah jumlah kedelai yang ditawarkan penjual/produsen ke pasar pada berbagai tingkat harga, penawaran kedelai dapat juga dijelaskan dengan daftar, grafik atau persamaan yang menunjukkan komoditas kedelai dimana produsen/petani ingin dapat menjual pada berbagai tingkat harga dalam suatu pasar, pada periode waktu tertentu, cateris paribus. Sedangkan yang dimaksud dengan fungsi penawaran kedelai adalah hubungan antara jumlah produksi atau jumlah kedelai yang dijual disesuaikan dengan perubahan harga. Sehingga untuk membuat persamaan dari fungsi penawaran kedelai dapat dituliskan sebagai berikut : Qs = f(P) …………………………………………………………… ..(1) Dimana : Qs = jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan P = Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan Harga dari komoditas kedelai yang ditawarkan bukanlah satu-satunya yang berpengaruh terhadap jumlah kedelai yang ditawarkan. Selain harga dari kedelai yang ditawarkan, juga dipengaruhi oleh teknologi, harga komoditas alternatifnya, pajak dan subsidi, iklim, dan lain-lainnya yang selanjutnya disebut sebagai supply relation dan dapat dituliskan sebagai berikut : Qs = f(P,T,Pi,Pa,Tx,I)………………………………………………...(2) Dimana : Qs = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan P = Harga komoditas kedelai yang ditawarkan T = Teknologi Pi = Harga input Pa = Harga komoditas alternatifnya Tx = Pajak dan subsidi I = Iklim Salah satu karakteristik yang penting di dalam kurva penawaran adalah derajat kepekaan jumlah penawaran terhadap perubahan salah satu factor yang mempengaruhinya. Derajat kepekaan tersebut adalah elastisitas penawaran, dimana sangat berguna untuk pengetahuan respon penawaran terhadap perubahan harga. Koefisien elastisitas harga dari penawaran (ɛs) mengukur persentase perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan per unit waktu (Q/Q) sebagai akibat adanya persentase perubahan harga komoditas kedelai (P/P) (Salvatore, 1994). Untuk mengetahui tingkat koefisien elastisitas penawaran komoditas kedelai dapat dihitung sebagai berikut : Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
33
s
Q / Q Q P ……………………………………………….(3) . P / P P Q
Dimana : ɛs = Elastisitas penawaran komoditas kedelai P = Harga komoditas kedelai Q = Jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan ∂Q = Q2 – Q1 (Q1 dan Q2 adalah komoditas kedelai yang ditawarkan pada periode 1 dan 2) Elastisitas penawaran kedelai dapat bersifat; elastisitas sempurna, elastis, elastis uniter, tidak elastis dan tidak elastis sempurna. Dikatakan elastis sempurna apabila para penjual/produsen hanya mau menjual semua kedelainya pada suatu harga tertentu, dan kurve penawaran kedelai sejajar dengan sumbu horizontal (S o). Tidak elastis sempurna apabila penjual sama sekali tidak dapat menambah penawaran kedelai walaupun harga bertambah, dan kurve penawarannya sejajar dengan sumbu vertical (S1) sebagai mana ditunjukkan pada Gambar 1a. Sedangkan kurve penawaran yang tidak elastis, elastis uniter dan elastis ditunjukkan pada Gambar 1b. Elastis uniter ditunjukkan oleh garis penawaran (S3) yang membentuk sudut 45o .Kurve penawaran tidak elastis (S2) adalah setiap perubahan harga kedelai menimbulkan perubahan jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan lebih kecil, dan kurve elastis (S4) apabila terjadi perubahan harga kedelai menyebabkan perubahan yang lebih besar terhadap jumlah komoditas kedelai yang ditawarkan S2 S1 P P S3 S4
S2
O
Q
O
Q
(a) (b) Gambar 1. Jenis-Jenis Elastisitas Penawaran Kedelai (Diadaptasi dari Sukirno, 2002) 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi penelitian Lokasi penelitian ditentukan secara porpusive sampling di provinsi Jawa Timur dengan dasar pertimbangan Jawa Timur merupakan daerah penghasil utama kedelai nasional. Data yang digunakan adalah data statistik Time series (1989-2008) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian dan instansi terkait. Data diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square). Sebelum data diestimasi, setiap variabel diuji kondisi stationary-nya dengan menggunakan Uji ADF (Augmented Dickey-Fuller Test). 3.2
Analisis Data Penawaran kedelai responsif terhadap harga. Harga pertanian lain juga mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani. Pada level pedagang besar, penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga pedagang besar. 34
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh industri termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh industri pengolahan kedelai dapat dinyatakan pada(4) : R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) ................................................... (4) dimana : R = penawaran kedelai di tingkat industri Wr = harga kedelai grosiran Rimp = jumlah kedelai yang diimpor Pf = harga eceran pupuk Urea. F = jumlah curah hujan tahunan T = tren waktu e = error term Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan adalah tipe Cobb-Douglas. Penelitian ini mengadopsi bentuk fungsional ini untuk kaitan fungsi penawaran. Persamaan (5) secara eksplisit menunjukkan penawaran pasar biji kedelai di tingkat industri. R ar .wr1.R1mp2 .Pf 3 .F 4 .T 5 .e6 ………………………………(5) Dimana: ar = konstanta α1 = parameter yang terkait dengan penentu penawaran Untuk memudahkan dalam analisis persamaan (5) dimodifikasi menjadi persamaan (6) In(R) = In(ar) + α1.In(Wr) + α2.In(R1mp) + α3In(pf) + α4.In(F) + α5.In (T+e)+e... (6) Hipotesis parameter dugaan: α1, α2, α4, α5 > 0; α3 < 0 Elastisitas harga penawaran diperoleh dengan mengalikan bentukan (6) yang berkaitan dengan harga kedelai (Wr) dengan harga itu sendiri. Persamaan (7) menunjukkan elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri er = α1 ……………………………………………………………….………………………………(7) 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Elastisitas harga terhadap penawaran kedelai diestimasi dari fungsi penawaran kedelai. Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85 persen penawaran kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model. Tabel 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Kedelai (R) Variabel Koefisien Prob (t-statistik) Konstanta 1291,2880 0,0016 Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4333 0,0758 Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0899 0,1231 Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1259 0,5808 Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1595 0,2726 Tren waktu (T) -168,7059 0,0018
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
35
Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu, sedangkan jumlah kedelai impor, harga eceran pupuk urea dan jumlah curah hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel harga kedelai berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan bahwa petani kedelai responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi atau elastisitas harga terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,4333 artinya bahwa peningkatan harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total penawaran kedelai 0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga kedelai diharapkan dapat memberikan dampak positif pada peningkatan penawaran kedelai. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai mempunyai tanda positif e1 = α1 = 0,4333 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase perubahan jumlah yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga. Elastistas harga penawaran kedelai yang inelastis, menunjukkan kekuatan pasar industri mempunyai pengaruh cukup besar terhadap harga kedelai di pasar. Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas harga terhadap penawaran berbanding terbalik dengan kekuatan pasar industri dalam menentukan harga, semakin kecil elastisitas harga semakin besar kekuatan pasar industri dalam mempengaruhi harga. Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai. Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Megel dkk., (1978), meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur, namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas. Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi, pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien. Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan. Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai terus menurun lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai yang dilakukan 36
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering menimbulkan gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan industri kedelai. Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan produksi kedelai. Beberapa hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai pilihan teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada agroekosistem tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama, penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Elastisitas harga penawaran kedelai di tingkat industri bersifat inelastis, dengan nilai elastisitas sebesar 0,4333. Penawaran kedelai di tingkat industri sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, dan tren waktu. Untuk meningkatkan produksi atau penawaran kedelai, maka implikasi kebijakan yang dapat disarankan dalam rangka mendukung swasembada kedelai adalah perlu menetapkan kebijakan harga yang berpihak kepada petani kedelai dengan melakukan perbaikan pemasarannya. DAFTAR PUETAKA Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas. IPB Press Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of Econometrics,19: 287-299 Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc. New York BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS, Jakarta BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di Indonesia (1992-2005), BPS, Jakarta Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition. Addison-Wesley Publishing Company Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company, Singapore Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting: Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O. Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor Megel, B.B., William Segars, and George W.Rehn. 1978. Soil Fertility and Liming Soybean. Wilcox J.R. (Ed.), American Society of Agronomi, M Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus Surabaya Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
37
Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Manwan, I, Sumarno, A.S. Karama, dan A.M. Fagi. 1996. Teknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Laporan Khusus Pus/02/89, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe) Gramedia. Jakarta Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158162. Salvatore, D., 1989. Ekonomi Internasional. Gelora Aksara. Jakarta. Sudaryanto, T., 1992. Gambaran Agegat Ekonomi Kedelai di Indonesia. Agribisnis Kedelai (Buku I). Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4): 990-999 Sukirno, Sadono.,2002. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Statistik Kementrian Pertanian Indonesia, 2010. Perkembangan Harga Kedelai di Sentra Produksi Kedelai di Indonesia. Zulham,A.,Syafa’at, Y Marisa, B. Hutabarat, dan T.B. Purwantini, 1993. Pola Perdagangan Wilayah Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor
38
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
INSTITUTIONAL FRAMEWORK FOR STRENGTHENING SOCIAL CAPITAL : An Empirical Approach at Different Communities in Bali Province Nyoman Utari Vipriyanti Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract The basic premise of this research is that social capital is a productive factor, which impact the regional development, economic growth and poverty differently depend on individual and community characteristics. The aims of this research are (1) generating social capital data especially on dominant component such as trust, network density and collecctive norm of traditional agriculture (subak) community, tourism (HPI, Asita and PHRI) community and desa pakraman community. (2) How to make social capital indicator more strengthen in diferent region and communities. The data is analyzed with Structural Equation Model (SEM). Research shows that norm is the most important indicator to build social capital in underdeveloped region. The other side, the most important indicator for social capital in developed region is trust. Network density is the most important endogenous variable that gives the most contribution to subak’s and desa pakraman's social capital but not in tourism community. Keywords: Economic Development, Social capital, Trust, Norm, Network. 1. INTRODUCTION Social capital concept stated that there is a close relationship between social capital and human resources. Social capital will be established if every person in the group have own contribution. The relationship between social capital and human resources is not a simple one (Glaeser, Laibson and Sacerdote, 2001). Social capital is similar with knowledge that always develops to be productive if used intensively. Therefore the capital should be keep productively. Without spend a lot of time, energy and others resources on the social capital, relationship among individual tend to reduce by the time. Social capital is resulted from changing on relationship among individual that facilitate an action. Therefore, social capital is intangible, different with physical capital. However, together with human capital and physical capital, social capital facilitates productive activities. From the last 20 century to the beginning of 21 century, a large body of social capital research has been carried out particularly in relationship with economic growth of a region. The first research on relationship between social capital and regional economic performance was conducted by Putnam (1993). He suggests that social capital is not only found at micro level, in the form of personal relationship among individual, but also at macro level. He also stated that level of community welfare in north Italy is higher than south Italy due to different social structure. In North Italy, there is a horizontal structure while the south is hierarchy. Putnam measure social capital based on newspaper readership, availability of sport and culture association, institution performance and citizen Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
39
satisfaction. The social capital size is used to explain distinction economic growth for the two regions while difference from others variable is assumed not large enough. Furthermore, Helliwell and Putnam (2000) also shows that social capital will facilitate local government ability to achieve higher economic growth. The research showed that convergence is faster and income equality will be happened on higher level that is in regions with stronger social capital. Even a positive correlation between social capital and growth is proved, social capital’s key components has not identified yet. Different social capital research has used different social capital indicator that meet with researcher’s definition. As so far, there is no agreement on social capital determinant although some theories suggest that trust is moral basis for the establishment of social capital. This paper is trying to analyze dominant social capital component in a community, particularly community in Bali. The objectives is to describe in detail concerning about dominant social capital component to make effective establishment of social capital in a community by considering the dominant component. 2. SUOURCE OF SOCIAL CAPITAL Trust Whole human relationship based on trust as moral aspect where the social capital is established. Morality gives a direction for social cooperation and coordination. Trust building is an integral part of caring process that established since the beginning of a family. Trust each other in family relationship, will develop reciprocity and exchange. Trust reduces transaction cost that is cost as result of exchange process including contact, contract and control cost. The existing sense of trust each other will reduce cost for monitoring activities on other person behavior therefore they have behavior as expected. Trust means that ready to take risk and uncertainty. Casson and Godley (2000) have defined trust as accepting and ignoring any possibility that something will not true. Trust will simplify cooperation. More trust to other person will make strong cooperation among person. Trust each other can be established or destroyed. Sustainable trust, can not build without truth. Trust can be build by the existence of repeated personal interaction (personalized trust), knowledge on population or accepted incentive (generalized trust). Bounded human rationality will effect on efforts to build the trust each other. Therefore, human rationality boundaries should be extended by communication and information that trustable. Many researches show that trust has significant and positive relationship with success achievement of economic growth indicator by more efficient of production process. In other hand, government success to realize better economic development will strengthen social trust on community. Norms (Share Value) Traditional theory on group stated that organization and group are characterized by ubiquitous that resulting from human tendency to joint and build association. Mosca in Olson (1977) stated that human has felling to herding
40
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
together and fighting with other herds. The feeling will increase in certain community by means of moral reason. As so far, there is a general conception that individual group with collective interest, at least including economic goals, will trying to develop collective goals. Individual group is expected tend to stand on the collective interest than individual interest. The opinion is assumed that individual in a group will act beyond the personal interest. In fact, individual in a group will trying to achieve collective goals only if the individual also get benefit, in other words, act to achieve the collective goals is not voluntary. Norms is needed to manage individual in a group therefore benefit for the members is proportional with the efforts in the group. Norms is share values that regulate individual behavior in a community or group. Fukuyama (1999) stated that social capital is instant informal norms that able to develop cooperation among two individual or more. Norm is social capital that constructed from reciprocity among person. Social norms that determine collective behavior in an individual group is known as equity principles that directed the actor to have behavior belonging the own interest. Network Dasgupta (2002) assumed that any person have ability to interact with the others without opportunites to chosen. However in fact, everybody have certain interaction pattern, have an opportunity to select the person with whom to interact and with certain reason. Initially, network is system of communication channel to protect and develop interpersonal relationship. There is a cost to build the communication channel that known as transaction cost. Desire to join with other person, partly is caused by share values. Network is also play to build coalition and coordination. In general, decision to make investment in certain channel is caused by the channel contribution on individual economic welfare. Network is emphasizing on importance of vertical and horizontal organization among people and the intra-organization. Granovetter (1973) stated that strong ties among community are needed to give identity on family, community and collective goals. The idea is also suggest that without community ties (weak ties) that connecting among social organization, the horizontal strong ties will be basis to realize bounded group desire. Social capital is a condition where are the individuals using the membership on a group to obtaining benefit. Social capital is can not evaluated without knowledge about where the individual exist, because social interaction is depends on network and community structures. Coleman (1988) is having notion that Social network density will increase efficiency to strengthen cooperation behavior in an organization. According to him, social capital is sums of "relational capital” of some individual and established on reciprocity norms basis. Social relationship that established in a closure social structure is not only important to build effective norms but also to build trust because the network closure will produce positive economic externality by means facilitation process on collective action. Woolcock (2001) make clear distinction between bonding, bridging and linking social capital. According to him, generally bonding social capital is come from family relationship, neighbor living and friend. Members of the group generally have intensive interaction, face-to-face and support each Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
41
others. Bridging social capital is build from interaction among group in a region with relative lower frequency, such as religion group, ethnic, or certain income level. In general, linking social capital is build from formal relationship between many parties such as bank, health clinic, school, farming, tourism, etc. The previous research is believed that strong social capital is one of supporting factor to achieve higher welfare and reduce gap among area or group in a region (Putnam, 1993; Christoforu, 2003; Grootaert 2001). Measurement of social capital is carried out with differently methods and proxy with variable that meet with the research’s goals, however in general including one of trust, network community and reciprocity norms component. Strong social capital will be reflected by a condition where is a region having high security level, high organization activities and adequate public facilities. This research is trying to test social capital components that has been conducted for others region. Generally, the objective is to study existing difference between social capital level and the component that has largest contribution on social capital in Bali’s community. In detail, the aim of the research are : (1) to study level of trust, network density and community norms in developed region, underdeveloped region and community organization such as subak, banjar/desa pakraman and tourism, (2) to study social capital component in individual level (micro) and group (medium) and finally (3) to analyze each component contribution on establishment of social capital. Measurement of social capital index in Bali is based on regional development and micro, medium and macro level. Social capital at micro and medium level is measured by individual network, helping each other norms and trust where as for macro level is measured by regional network and availability of public facilities. Measurement unit for social capital index in Bali is differentiated on social capital at individual, group and region level. Individual social capital is established from network, norms and trust. Social capital of community group is measured using network group, individual trust on certain group, cooperation activities and benefit that accepted by the group member. Finally, region social capital is measured by availability of public school facilities, community health centre (puskesmas) and number of organization. 3. SOCIAL CAPITAL IN DIFFERENT COMMUNITY IN BALI Individual social capital is measured by means trust to person, each individual network and norms that setting cooperation among the individual. Trust, readiness to make network and obeying the existing norms are responding on conditioned social stimulate. Most of social capital component is person or group attitude on people or certain object such as trust; help each other, courtesy to friend, secure feeling, and network. Therefore, measurement of individual and group social capital is following human attitude measurement method. A measurement method for attitude is carried out by means structured direct interview. For the purpose, many items have drawn up therefore each answer of a question will strengthen other answer in the same social capital component. Two others closure methods for attitude are behavior observation and direct closure particularly to strengthen general answer.
42
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Measurement of individual social capital is divided into two groups. The first group is individual that living in underdeveloped region (Jembrana and Karangasem Regency) and developed region (Badung and Gianyar regency), The second group is individual community having livelihood in agriculture sector and tourism sector and also traditional community of banjar pakraman. Individual with agriculture sector livelihood is member of subak organization while individual from tourism sector is member of tourism organization. The differentiation is carried out to sharpen analysis on former component of social capital in relationship with efforts to improve welfare for individual level. Table 1 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital at Micro Level Latent
Definition
Notation
Variable Trust
Trust to other people or public and private institution
Aware (carefulness behavior) GN Trust (General trust) DT (Dynamic of trust) TAE (Thick Trust or trust to Balinese) TBE (Thin Trust or trust to non Balinese) PEMKAB (Trust to regency government) PEMPROP (Trust to provincial government) POLISI (Trust to police institution or security officer ) GURU (Trust to teaching and learning institution)
Network
Network density in formal an informal, local and regional organization
DN (Kepadatan jaringan kerja) SEXP(Pengeluaran sosial) EMPL (Jumlah anggota keluarga yang bekerja) FRIEND (Jumlah teman)
Norm
Altruism behaviour
HN (Kesediaan saling Bantu) BNTFSK (Bantuan Fisik) CC (Kemudahan menitipkan anak) CHL (Jumlah anak yang sekolah) FR (Jumlah free rider)
Agriculture community represent resident of rural side which have long living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be compared to community that living in tourism sector which most of them represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not existing strong social network will lessen even negate trust as well as social capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
43
culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion influence broadness of network and trust level to people. Table 2 Manifest Variable (Indicator) and Latent Variable of Social Capital at Mezo Level Variabel Trust
Network
Definition
Notation
Trust to other organization
DN
Trust to their leader
LEADSHP
Relationship with similar organization in the region
Bonding1
Relationship with similar organization in different region
Bonding2
Relationship with different organization in the region
Bridg1 Bridg2
Relationship with different organization in different region Norm
Willingness to pay the monthly organization’s fee
DANAKEL DANAWL
Willingness to pay for the first organization’s fee
Agriculture community represent resident of rural side which have long living so have neighbor and family (extended family) which tighter to be compared to community that living in tourism sector which most of them represent new comer group in town. The juxtaposition theoretically have potency to push awaking up of strong trust (strong bonds of trust) and large responsibility among them to keep the living and environment. On the contrary with urban, not existing strong social network will lessen even negate trust as well as social capital (Coleman, 1990). Other factor that affect on forming of social capital are culture and religion. As stated by Line (2001), social group, culture and religion influence broadness of network and trust level to people. Level of community trust is divided into thick trust and thin trust or that widely known as bonding and bridging. The first category is related to trust on known people that established by existing interaction. The second is trust to unknown people which in this research stated as question "how much as person trust to other person from the same ethnic (thick trust) and different ethnics (thin trust). Some researchers have classified this as racial trust as lyer S, Kitson M, and Toh B (2005). The result shows that there is a significant negative relation between thick trust and thin trust where individual thick trust is is higher than thin trust. High thick trust that followed by low thin trust for community in Bali is tends to be caused by culture and institution. In Bali there is a custom institution with significant role to maintain Bali culture and strong ties the member by means 44
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
apply moral sanction. The existence of custom institution (desa adat and banjar adat) is sustain concerning the function has close relationship with religion activities. The higher frequency activities, the higher interaction intensity among individual from the same ethic ad lower interaction intensity among individual from other ethnic. Azwar (2005) confirm this result by statement that personal attitude has close relationship with many factors such as interaction intensity, culture, experience and institution. Independent two sample difference test shows that thick trust in underdevelop region is stronger than developed region. However, thin trust is show not significant difference. However, low trust of community on other ethnic (thin trust) should be taken alert due to the impact on reconciliation among ethnic, group and class that heterogeneous progressively in Bali. As tourist destination that widely known in foreign countries, Bali is also to be migration target for people that searching for better job opportunity. Low thin trust of community will affect on interaction between local community group with migrant community group (both tourist and job seeker) that resulting from high suspicion feeling and finally will reduce openness behavior even though openness community is one of important component in underdevelop Bali’s tourism. The significant difference also showed by trust on regency government and security officer. Individual that settled in developed region have higher trust on residential government performance but lower for security officer performance than in underdevelop region.
Figure 1.
Relationship between individual trust from the same (Thick trust) and different ethnic (Thin trust) in Bali, 2007
Generally, community respond on question about carefulness attitude is strengthen the previous analysis where is 83.62 percent of community stated that they should taking a care on other people or in other words they can not trust all of people in their living activities. The attitude statement is not only showed by community in developed region (Badung and Gianyar) but also in underdevelop region (Jembrana and Karangasem). Carefulness attitude is showed by some activities that aimed to strengthen monitoring on new comer (migrant) and as result is increasing monitoring cost.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
45
Table 3 Community Trust (Social Trust) in Bali Trust* (%)
Region Developed underdevelop Total
Total
Trustable
Always take care
8.91
42.53
51.44
7.47
41.09
48.56
16.38
83.62
100.00
Source : Primary Data, 2007 * Percent of respondent that answer "most people can be trusted" for question" in general, do most people can be trusted or you need not too taking a care to others.?"' Basically, trust is built by repeated positive interaction. In underdevelop region, the frequency of interaction with stranger people more lower than people in develope region. So that weakneses of trust. Generally individual-individual who settled in developed region has higher trust for every one. One alternative for this situation is the kind of individual activities. In developed region such as Regency of Badung and Gianyar as two tourism center area in Bali, is very depended on tourist arrival and intensively interacted with the tourist. Therefore, the attitude on other people is more openness. However, indication of reducing interaction is indicated by lower density of organization. Trust is resulting from some factors including norm, experiences, and interaction intensity. Since the last five years, community in Bali confessing has experiences individual trust dynamics. About 59.41 percent of community in developed region stated that trust has changing with detail 30 percent stated changing to better condition and 29.41 percent feel that trust among the community is progressively weaken. Contrary with underdevelop region, most of community (63.01 percent) stated that trust is not changing among community; 19.18 percent stated that the trust is changing to better direction and the rest (17.81 percent) stated that trust is worse. Large number of community in developed region that feel trust changing is related to their experiences. Generally, socio-economic activities in developed region is relative larger therefore give more experiences. This experience affect on trust that has established in the past. Beside the past experiences, difference of trust between developed region and underdevelop region happened because in developed region there is high interaction intensity between the communities with other ethnics. This interaction intensity give positive or negative impact on trust that has been developed in the past. According to Artadi (1993), Bali’s community is a tolerant community, easy to adapt and having openness system therefore interaction intensity among community is easy to change. Interview result shows that changing tendency is not the same among community. This is supported by data that indicate number of community that feeling trust changing is equal with number of community that feel weakness of trust. In underdevelop region, collective norms are still strongly bound and act as shield for new values which do not desire. Different with community in developed region, generally, in Bali, it is known menyamabraya concept that deeply rooted in community living. The concept implies that family is not only 46
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
extended family (batih family) but also neighbor and other banjar members. Menyamabraya means help each other in face of problem of having the character of material and also non material.. The norm’s power should be based on trust attitude and reciprocally. Trust is not only keep sustainability of norms that contain wisdom value but also as basis for individual decision to joint into a group or loose from group which has been followed previously. Therefore, trust has critical effect on organization density in a region. It can be said that a group or community whom the member has high trust level is rich with social capital. Sociologist, anthropologist and politician stated that trust has significant role for implementation of collective action. Strong (weakness) of social capital in a community is measured by high (low) trust level among community which indicated by participation of each member in collective activities and the activities intensity. Therefore, it can be said that trust or social capital is a public good, each member has opportunity to take benefit but often feel having no responsibility to maintain. One effort to keep the social capital is through help each other attitude among community member. On trust community category basis in Bali, it can be stated that community which has high trust is ready to help however only 23.53 percent that always help, 29.11 percent stated usually help and the rest stated almost help. The same situation will occur in community with low trust or community group with carefulness attitude. Most of person stated ready to help and only a few of them (2.26 percent) that stated even not helping other people. This is show that efforts to maintain social capital still performed by each individual in Bali. The carefulness attitude is not reducing help each other attitude or in other words help each other attitude for Bali’s community is tend to altruism than reciprocal. Any support that giving to other individual or group is caused by trust on karma law. Besides the trust, social capital also indicates by community organization density. Grootaert (1999) has defined organization density as number of existing organization in a community where someone involves in it. The highest average of community organization density is in Regency of Gianyar while the lowest in Regency of Jembrana. At least 2 organizations that followed by community in Regency of Jembrana and Karangasem (banjar adat and subak) while in Regency of Badung and Gianyar there are some member of community which only following in one organization namely banjar adat. Trust community is not shows the same tendency on level community organization density in Bali. Community decision to be organized is not result of owned social trust but from other factors. On research’s result basis, it was shows that the most important organization for most community is banjar adat. The two results is support each other because banjar adat is a organization that should be followed by whole community in Bali as Hindu follower. This imply that readiness to organize is not needed trust establishment however by sanction that should be accounted if not involved in banjar adat. According to the result, trust is not shows relationship with community participation level in decision making on the most dominant organization. Community which has low or high trust level is still participating on every decision making that related to the group. This is shown by number of community that actively participates in every group activities, weather on low trust level or Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
47
high. Adherences at norms going into effect in banjar adat organization push every member to give contribution according to agreed decision. Norms having the character of reciprocal become other reason which pushes community to participate in every activity of banjar adat. Any expenses for social activities are one social capital indicator that used in this research. There is a significant correlation between social cost with organization density, participation and number of free rider. In underdevelop region, higher social cost is positive correlated with organization density, negative with participation and number of free rider. The logics are the higher organization density of an individual the higher cost should be paid. In the underdevelop region, generally much of community member is inactive because having job or house in developed region therefore they should pay more social expenses. However participation both in activities and decision making is very low. The Individuals is known as free rider. In developed region, social expenditure also have significant correlation with organization density, free rider and participation but the correlation have positive sign for participation, negative for rider free and density organization. The two result indicate that there is a understanding difference between underdevelop region and developed region in participation. Physical Participation more emphasized at underdevelop region while developed region tend to esteeming nominal participation. Generally it can be stated that each indicator and variable of latent trust have positive correlation. This matter indicates that the stronger social trust will strengthen thick trust, trust to organizer of governance, organizer of security and education. Indicators of latent norm variable are readiness to help and readiness takes care of child by neighbor, and also the amount of child which go to school. Most of network indicator is showed negativity except the organization density. It means that better network with the lower amount of individual which behave as free rider, smaller expenditure required for social activity and lower amount of person who work in family. Goodness of model indicator (Gof) indicate that the established model have value of AGFI above 0.8 that is 0.897 although has significant value of chi-square but the RMSE smaller than 0.08. The two indicators of goodness is sufficient to indicate that the model is valid. On aggregate, the analysis result concerning about effect of trust endogenous variable, network and norms on social capital show that only trust that have significant and positive impact, it means that the higher trust, the stronger social capital in Bali. 4. SOCIAL CAPITAL COMPONENT: Individual Social capital in developed region and Underdeveloped region As stated earlier, the province of Bali is grouped on regency basis that is Developed Region and underdeveloped region. Indicator that used to differentiate are level growth of PDRB, PAD and also income per capita. According to the indicator, it can be stated that regency of Badung, Gianyar and Denpasar City are classify as developed region while other regency is underdevelop region. In this research, selected purposively, Regency of Badung, Gianyar and also Regency of
48
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Jembrana Karangasem as 2 developed regencies (WM) and two regencies as underdeveloped (WBB). Social capital indicator is used to measure latent variable of trust, carefulness attitude, custom trust, dynamics of trust, and participation. Latent variable of norm is consisted of possibility indicator to entrust child at neighbor, existing individual free rider, and also giving physical aid. Norm defined as readiness to share, to do collective action with and without intending to take benefit from others. Network Indicator is consisted of closeness of network, expenditure for social activity and amount of friend bellying ache. Reason in using latent variable indicator that different with general social capital analysis is significance of each indicator with residence location. Determination of social capital component for each region and also in each community is conducted by using analysis of structural equation model that available in Lisrel program. The analysis is carried out in two phases that is indicator determination phase that determine latent trust variable, norm and network; following determine latent variable which have largest contribution to strengthening social capital. 4.1 Individual social capital in underdeveloped region Criterion for underdeveloped region in this research is more emphasized at economics growth indicator such as lowering of PDRB, PDRB per capita, and also PAD level. Other Indicator which also becomes consideration is the amount of poor household but do not include income distribution. Generally, underdeveloped region reside in location which relative far from governance center as Regency of Jembrana Karangasem. The two regencies located in tip of west and east of Bali province. Result of research also shows that there is significant and positive correlation between amount of friend and organization density; it means that more organization followed, more and more friend invited to discuss any matters. Significant and positive correlation also showed between variable of organization density with trust to others (general trust). Thereby, in other words, the higher personal interaction intensity that showed by amount of friend variable, the higher organization density and finally improving trust to others. Differ from Grootaert ( 2001), result of this analysis indicate that there is no significant correlation between personal density organization, trust, and norm to the income level. Income level has significant correlation with social expenditure and individual participation in organization. The higher income, the larger social expenditure but the lower participation in individual decision making. This research also show tendency that carefulness attitude of community have positive and significant relation with amount of individual free rider and physical aid readying to be given but do not relate to participation and network on organization. According to correlation analysis, it is also indicated that carefulness attitude have correlation with social cost that should be paid. Result of SEM analysis indicate that latent trust variable can be measured by indicator of trust [common/ public], dynamics of trust, and participation . the Highest contribution for trust latent variable is come from participation. It means that the higher trust, the higher individual participation in organization. Negative Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
49
sign of trust dynamics indicator and participation is caused by applying inversed scale at expected answer. Reason to entering participation on latent trust variable is refer to Azwar (2005) expressing that research concerning attitude is better carried out by direct asking and behavior observation. This research assumes participation as strengthen behavior of a person trust statement. Individual which have high trust should have active participation. Result of analysis give implication that high trust level in underdevelop region is shown by trust to any people (general trust) and high participation. Indicator of latent norm variable is amount of free rider (-), taking care a child by neighbor and readiness to give physical aid and for latent network variable is network density, expenditure for social activities and amount of friend.
-0.081
A WA RE
0.993
GN TRUST
0.946
DT
0.969
PA RTSP
0.452
CC
0.841
FR
0.859
BN TFSK
0.930
NW
0.913
SEXP
0.931
FRI EN D
0.907
0.233
TRUST
-0.176 -0.741
0.402 1.000
SC
0.454
NORMA
0.399 -0.376
0.431
0.264
NETWORK 0.295 0.263 0.306
Chi-Square=38.26, df=29, P-value=0.11671, RMSEA=0.044
TRUST
0.839
NORMA
0.794
0.402 1.000
SC
0.426
0.454
0.431
0.180
NETWORK
Ch i- Sq ua re =3 8.2 6,
1.209
d f= 29 ,
0.815
P-v al ue =0 .1 16 71,
R MS EA =0 .0 44
Figure 2 Diagram Path of Social capital structural model for underdevelop region in Bali There are various indicators to determine goodness fit of a model, among others Goodness of Fit (GoF) values, Chi-Square, RMSE, AGFI and others. The obtained model is fulfill all indicator Goodness fit of model as well as AGFI value 50
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
(0.821) that larger than 0.8 therefore the model is assumed sufficient fit to figure relationship between latent variable and observed variable indicator. P-Value is 0.11671 larger than 0.05 RMSE and smaller than 0.08. The three latent variables give significant – positive contribution on establishment of capital social in underdeveloped region. The result indicate that to develop, build or strengthen capital social specially in underdeveloped region cannot be conducted only by improve one of component because the three variable shows equal significant and large contribution. Development and reinforcement of capital social can be carried out by improving trust , participation, reducing opportunity of individual to behave as free rider, maintain norm to reciprocate physical aid, extending network (organization living) Table 4 Latent Variable and Significance of each Indicator on latent Variable of Social capital in underdeveloped region in Bali Latent Indicator Coefficient t-hit Variable Trust* (0.402) 1. Aware to carefulness -0.081 -1.128 2. General trust 3. Dynamic of trust 4. Participation Norm* (0.454) 1. Entrusting child 2. Amount of free rider 3. Physical aid Network* 1 . Organization density (0.431) 2. Social expenditure 3. Amount of friend Source : Analysis result of primary data
0.2330 -0.176 -0.741 0.399 -0.376 0.264 0.295 0.263 0.306
3.015* -2.371* -3.640* 3.018* -2.497* 3.353* 2.918* 2.295* 3.353*
4.2 Social capital in developed region Definition of developed region in this research is a region with high PDRB, PAD and relative large of income gap. According to the definition, in province of Bali that classify as developed region are Regency of Badung and Gianyar. There is a significant difference of general trust, participation and thick trust among individual that settled in underdeveloped region and developed region. Correlation analysis of spearman indicates that there are no significant correlation between organization density (network) with carefulness attitude and also general trust. This is contrary with amount of friend variable invited to belly ache. Trust and helping each other norm show significant relationship especially between carefulness attitude with observation of child by neighbor or between general trust with individual that behave as free rider. The significant correlation is also showed by social expenditure variable as proxy of income with network, trust, carefulness attitude, amount of friend and number of free rider. The higher social expenditure has positive correlation with trust and amount of owned friend, having negative correlation with carefulness attitude, Number of free rider and organization density. Result of structural equation analysis with Lisrel indicate that trust is figured by carefulness indicator, general trust, dynamics of trust, and Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
51
participation. The trust indicator shows the largest contribution. Variable of latent network is shown by closeness network indicator, social expenditure and amount of friend with largest contribution and social expenditure while norm variable is indicated by number of free rider indicator and physical aid.
0.448
A WA RE
0.800
GN TRUST
0.772
DT
0.940
PA RTSP
0.936
CC
0.999
FR
0.699
BN TF SK
0.462
NW
0.868
SEXP
0.717
F RI EN D
0.935
0.477
TRUST
0.245 -0.253
0.453 1.000
SC
0.104
NORMA
0.027 -0.549
-0.101
0.733
NETWORK 0.363 -0.532 -0.254
Chi-Square=17.81, df=29, P-value=0.94797, RMSEA=0.000 TRUST
1.000
0.508 1.000
SC
0.104
-0.287
NORMA
1.000
-0.101
0.914
-0.901
NETWORK
1.000
Ch i- Sq ua re =1 7.8 1, d f= 29 , P-v al ue =0 .9 47 97, R MS EA =0 .0 00
Figure 3 Diagram Path of Social capital structural model in developed region in Bali Result of SEM analysis show that model can be accepted because fulfilling goodness of fit indicator that is RMSE value smaller than 0.08 and p-value larger than 0.05. In other hand, AGFI value 0.942 is larger than 0.8 thereby the obtained structural equation model have high validity. Differ to underdeveloped region, to develop social capital or strengthen are not must be done by strengthening the three components of social capital because only trust variable which have significant contribution on social capital. Because of general trust indicator has the largest contribution on trust therefore to develop or strengthen social capital can be conducted by activities which can improve individual trust to other individual.
52
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Table 5 Latent variable and significance of each indicator on latent variable of Social capital in developed region in Bali Latent Variable Indicator Coefficient t-hit Trust* 1. Aware to act carefulness 0.448 4.383* (0.453) 2. General trust 0.477 4.509* 3. Dynamics of trust 0.245 3.024* 4. Participation -0.253 -2.997* Norm (0.104)
1 . Entrust Child 2. Number of free rider 3. Physical aid Network 1 . Organization density (-0.101) 2. social expenditure 3. Amount of friend Sources : Analysis result of primary data 5. SOCIAL CAPITAL ORGANIZATION
IN
0.027 -0.549 0.733 0.363 -0.532 -0.254
TRADITIONAL
0.403 -7.238* 6.248* 5.160* -5.409* -4.001*
AND
MODERN
For social capital at group level, it is known bridging social capital tern. On management system basis, community organization that developed in Bali is divided into traditional organization and modern while on establishment process classify as formal and informal organization. Generally, informal organization is established by relationship among family and extended family. On contrary with formal organization, generally membership of formal organization is consisted of specific profession on livelihood basis. In Bali, social organization which coordinates all public administrative activities is recognized by the name of banjar. Especially for Hindu follower have social organization which coordinate all activities related to religious activities that known as banjar adat. Each community which believes in Hindu have the same obligation in banjar adat. Rural Community in Bali, tied in formal traditional organization and also informal like sekaa, dadia, village and subak / banjar adat. Dadia and Sekaa represent informal traditional organization because do not have written awig-awig while subak and banjar adat are formal traditional organization which have written and unwritten awig-awig. Generally, member of Sekaa characterized by temporal membership and have strong consanguinity and formed in line with its activity like sekaa manyi, sekaa nandur, sekaa gong, sekaa suling and others. Dadia is extended family that owning patrilineal relation. Amount of sekaa member is smaller than dadia and village or subak/banjar adat. The established bound among member of subak, sekaa and dadia is based on togetherness feeling and reciprocity. Each member in traditional group will not have hesitating attitude to give aid for other member because existing trust that at the time needed, other member surely will raise a hand to assist them (karma law). As so far, mutually assisting norm that aimed to finish collective activities is still fasten each member of existing traditional social organization. The Norm can be maintained because sanction that applied to each collision member is not in the form of physical sanction and nominal money but in the form of moral like Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
53
excommunication of someone and prohibition order to use public facilities include praying place (Pura) and grave. It is differ from modern formal organization that not knowing moral sanction. Establishment process of modern formal organization is caused by pressure demand of economic factor. Because of economic oriented, modern organization often unable to tied the member emotionally but more individual interest. 5.1 Social capital in Subak Community structure of Bali experienced drastic change. Agrarian community has changing and migrates to urban area to be tourism community. Ethnic composition of resident also become to change, caste of and the resident to be appliance to reach political target. The changes reduce social function of traditional institution. Cooperation and security as product of traditional institution become scarce goods and need high cost to obtain. Tourism sector is weakening because of internal and external factor, Community start to consider again role of agricultural sector. However, development bias during this time tend to side tourism sector that cause land function conversion for large area and automatically negate subak organization which the existence interconnected with availability of agriculture farm. Subak is agriculture irrigation organizer that has been established since a long time ago and until now still play important role in efficacy of agriculture effort in] Bali. During the time, there is no formal contract system which conducted by each member of subak. Division of water carried out based on attitude of trust among member of subak as according to regulation as agreed. The specified norms is recognized by the name of awig-awig, agreed and adhered by all members. The Awig-awig is in the form of written and unwritten order. Even though, the two forms have equal power. Membership of Subak is not based on residence location but rice field location. Therefore, oftentimes member of subak is not neighborhood each other or reside in one administrative rural region and also desa adat. The result indicate that different residence location is not causing the subak member having low trust on others. Thick trust of the subak’s member on other is higher than the thin trust. General trust has positive relation with participation on organization. This implies that improvement of subak’s member participation can be conducted by improving trust among individual in the organization. Dynamics of participation of the subak’s member shows that there is a significant relationship between participation dynamics and thick trust of the member. At lower trust level (80%), it can be concluded that there is negative and significant relation between trust and amount of free rider. It means that higher amount of member behaving as free rider, the lower trust among member. In other side, high trust level (99%) indicated that there is significant and negative relation between amount of member behaving as free rider free with readiness of member ti give physical aid on others ; it means that the higher amount of rider free, the smaller member that readying to give physical aid. Social capital of subak group is described by observed variable including organization density, leadership, relationship with other organization which have the ] same goal in one region and other region, relationship with other 54
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
organization which have different goal in a region and other region, appreciation to funding group and also initial fund. The latent variable is consisted of trust variable, network (norm and network) According to goodness fit of model (AGFI value), the social capital model of subak community can be used to figure relationship between latent variable and observed variable due to AGFI value 0.914 is higher that Segars and Grover (1993) criterion although the chi-square values is significant and RMSE higher than 0.08. Result of SEM analysis shows that indicator for latent trust variable has positive sign, indicate that the higher organization density and more democracy process to choose group leader, the larger community trust. The large contribution of leadership indicator means that efforts to build trust in subak community can be initiated by democratic decision making process to choose group leader or decision making that affected whole member. DN
0.943
LEA DERSH
0.523
BONDI NG1
0.987
BONDI NG2
-5.352
BRI DG1
0.991
BRI DG2
0.998
DA NA K EL
0.679
DA NA A W
-0.177
0.239
TRUST
0.691
0.078 -0.113
SC
1.000
0.580
NETWORK
-2.520 -0.094
0.216 0.046
NORMA 0.567 -1.085
Chi-Square=21.64, df=14, P-value=0.08630, RMSEA=0.083 TRUST
0.994
0.078 1.000
SC
0.580
-0.037
NETWORK
0.663
0.216
-0.764
-0.094
NORMA
0.953
Ch i- Sq ua re =2 1.6 4, d f= 14 , P-v al ue =0 .0 86 30, R MS EA =0 .0 83
Figure 4 Diagram Path of Social Capital Structural Model for Subak inBali On the contrary, most of network indicator has negative sign except for subak organization linkage indicator with other organization which have different goal in other region. Network in this research is defined as binding that facilitate cooperation among subak. The research’s results indicate that subak network will strengthen when interaction with subak or other organization in one region progressively lower however interaction with other organization in different Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
55
region is higher. Result of this research represents logical consequence on reason that agriculture production process does not need delay. Delay of each phase will affect on quality of yielded agriculture product. Because of limited time for farmer, high interaction frequency with other organization will lessen cooperation tying in the subak. Other fact is strong moral sanction in banjar adat organization that causing farmer sacrifices activities in farm. In this case, a norm is defined as readiness of group member to share burden of group donation. Result of analysis indicates that norm indicator that consisted of readiness to pay fund for group activities have positive sign, different with initial fund indicator. Subak is an organization that has been established since Majapahit monarchic era. The Organization do not economic oriented however on collective basis. The stronger norms binding the member, more and more activities that should be done related to upakara to keep safety and efficacy of agriculture effort. This is will increase expense for member. However, member conducted by voluntary basis. Differ from initial funding that in they perspectives should be subsidized by government. In community of subak, effort to build social capital can be conducted by norm and network strengthening because of the latent variable has significant contribution while network has larger value. Development of social capital in subak group can be carried out by improving sense of belonging of subak member as expressed by increasing member contribution in every activity. Larger government interference especially in every activity will lessen member sense of belonging, finally limiting social control of subak member to the existence of subak. Table 6 Latent Variable and Significance of each Indicator on Latent Variable in Subak Community in Bali Latent Variable Indicator Coefficient t-hit Trust 1. Organization density (DN) 0.346 4.534* 2. Leadership 0.893 7.768* Network* 1. Bonding (1) -0. 109 -4.162* 2. Bonding(2) -3.881 -44.596* 3. Bridging(l) -0.075 -2.861* 4. Bridging (2) 0.044 1.705 Norm I . Group donation 0.827 8.430* 2. Initial funding -1.187 -8.871* Source : Analysis Result of primary data Result of this analysis is possible to explain why agriculture in Regency of Badung (developed region) do not expanding though have available potential market in region of South Badung. High regional income (PAD) pushes the government to give aid in large number for farmer by agriculture program. This condition will weaken effort to overcome or avoid failure risk because the crop failure do not cause unprofitable for farmer. The subsidize that given to farmer should do not cause farmer losing of sense of belonging. 5.2 Social capital in Tourism Organization Tourism community consist of some group that differentiated on work field basis that is pramuwisata group (HPI), hotel and restaurant owner (PHRI) and owner of bureau tourism journey (Asita). But the three groups have the 56
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
similar characteristic that represent modern organization with formally character. All its member works in tourism sector as human resources with relative higher quality than subak. Correlation analysis of spearman indicates that there are significant correlation between thin trust and thick trust. The correlation have positive sign, its means the higher trust to known person the higher trust to unknown person. The result is assuring result of previous research that trust is specific component to expanding tourism activity. Mutually assisting norm and readiness to give physical aid have negative and significant relation with amount of rider free. The higher individual which behave as free rider the weaken norm mutually assisting that lessen individual readiness give physical aid to other individual. Income has significant and positive correlation on social expenditure and carefulness attitude, negative correlation to thin and thick trust. The stronger carefulness attitude will progressively lower thin and thick trust with the larger income. The result seems irrational but the reason that income in tourism sector is having business character with trust capital therefore more careful of a person, the higher income will obtain. Pursuant to goodness fit of model criterion, capital social structural model for the tourism community represent valid model because most of goodness criterion fulfill by not significant for Chi-square value (P>0.05), AGFI 0.804and RMSE < 0.08 although AGFI 0.68 (< 0.8). Differ to community of subak, almost all of indicator for capital social of tourism community have positive sign except initial fund for the latent variable of norm. Latent trust variable only consisting of organization density because leadership is not significant. Indicator of network latent variable of consisted of linkage with other existing organization in one region and other and also has linkage with organization with the same goal but on other region. Density Organization is the single indicator giving significant contribution to trust latent variable while variable that significant for latent network and giving largest contribution is interaction indicator among organization with different goal but reside in the same region. Interaction among the same organization in the same region is not significant because Bali only have one organization which centering in Denpasar City. There is no indicator that significantly describe latent norm. According to two phase’s analysis, social capital is influenced significantly by trust variable but norm and network is not significant. Therefore, in order to underdevelop or strengthening capital social in tourism community is only can be carried out by improving trust among individual and group that involved in tourism activities. Furthermore to develop trust is only carried out by improving organization density for each member. Through higher organization density, it was expected that trusting each other or eliminate suspect feeling will be developed.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
57
DN
-6.140
LEA DSHP
0.993
BONDI NG1
0.975
BONDI NG2
0.747
BRI DG1
0.160
BRI DG2
0.930
DA NA K EL
0.808
DA NA WL
0.966
2.672
TRUST
0.081
0.522 0.158
SC
1.000
0.291
NETWORK
0.503 0.917
0.479 0.265
NORMA 0.438 -0.183
Chi-Square=10.63, df=14, P-value=0.71446, RMSEA=0.000 TRUST
0.727
0.522 1.000
SC
0.291
-0.178
NETWORK
0.915
0.479
-0.390
1.099
NORMA
0.770
Ch i- Sq ua re =1 0.6 3, d f= 14 , P-v al ue =0 .7 14 46, R MS EA =0 .0 00
Figure 5 Diagram Path of Social capital structural model for tourism in Bali Table 7 Latent variable and significance of each Indicator on social capital in tourism community in Bali Latent variable Indicator Coefficient Trust* 1. Organization density 2.672 (DN) 2. Leadership 0.081 Network 1. Bonding (1) 0.158 2. Bonding(2) 0.503 3. Bridging(l) 0.917 4. Bridging (2) 0.265 Norm 1 . Group Funding 0.438 2. Initial Funding -0.183 Sources: analysis result of primary data
latent variable of t-hit 12.732* 1.369 1.215 3.026* 3.398* 1 .992* 1.250 -1.183
5.3 Social capital in Banjar/ Desa Pakraman Process modernization has happened everywhere except in Bali. But in this rapid modernization streams, Bali’s community remain have strong religion faith although living and traditional values in progressively changing. Bali’s community is more and more heterogeneous, not only in the case of traditional trust system but also in religion and cultural which have an effect on way of thinking and the behavior (Surata, 1990). Bali, as destination target of 58
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
international tourism, facing various challenge and temptation, internally and externally, represents logical consequence of expanding tourism and global process. One of effort to face external threat is by empowering desa adat. Desa adat or pakraman village are village institution in social filed, culture and religion. It is very difficult to differentiate between culture and religious activities in Bali because have integrated like cloth with the motifs. Jean Couteau ( 1995) stated that rural community in Bali that integrated in course of modernization will experience of threat in social solidarity and sustainability of custom institution as result of moneterization. DN
-0.212
LEA DERSH
0.947
BONDI NG1
0.249
BONDI NG2
0.929
BRI DG1
0.640
BRI DG2
0.913
DA NA K EL
0.946
DA NA A W
0.485
1.101
TRUST
0.230
0.380 1.000
0.867
SC
0.391
NETWORK
0.267 0.600
0.073 0.294
NORMA 0.232 -0.717
Chi-Square=4.24, df=14, P-value=0.99383, RMSEA=0.000 TRUST
0.856
0.380 1.000
SC
0.172
0.391
NETWORK
0.847
0.073
-0.545
NORMA
Ch i- Sq ua re =4 .24 ,
-0.348
df =1 4,
P -va lu e= 0. 99 38 3,
0.995
RM SE A= 0. 00 0
Figure 6 Diagram Path of Social capital structural model for Desa Pakraman in Bali Result of SEM analysis indicates that indicator of latent trust variable is leadership and organization density, but the two indicators is not significant. Latent network variable consist of interaction indicator between desa adat in one region (bonding 1) and also other region (bonding 2) and also interaction between different goal organization in the same region (bridging 1) and the difference one (bridging 2). Indicator of norm variable has significant effect on confidence level 90 %. Result of two phases analysis shows that social capital is significantly affected by variable of trust and network. For the reason, trust should be developed by means improving organization density and building interaction with various organization but interaction with adat village in one region is effort that Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
59
should be prioritized because giving the largest contribution. Structural equation model of capital social in adat village community have some criterion of goodness fit of model that is chi-square value is not significant (>0.5), RMSE lower than 0.08 and AGFI value higher than 0.8. Table 8 Latent Variable and significance of each Indicator on latent Variable of Social capital in Banjar/Desa Pakraman community in Bali Variable laten Indicator Coefisien t-hit Trust* 1 . Organization density (DN) 1.101 1.586 Network*
Norm
2. 1.
Leadership Bonding (1)
0.230 0.867
1.368 4.233*
2.
Bonding(2)
0.267
2.608*
3.
Bridging(l)
0.600
3.492*
4. Bridging (2) 1 . Group Funding
0.294 0.232
2.454* 1.745*
-0.717
-1.794*
2. Initial Funding Sources: Analysis result of primary data 6. CONCLUSION 1. 2.
3.
Result of quantitatively and qualitatively data processing shows that : Thick trust (trust to the same ethnics) is higher than thin trust (trust on other ethnics thin trust). The two trust tend to have negative linkage. Strengthening of social capital in developing region can be implemented by strengthening three component of social capital because give significant and positive contribution. Strengthening of social capital in developed region could be implemented just by improving trust. Strengthening of social capital in subak community could be implemented by means extended group network and norm, strengthening of social capital in banjar could be carried out by trust and network while for tourism community is by improving trust only.
7. RECOMMENDATION Component of capital social builder is different each other pursuant to the type of organization or regional development level. Therefore, effort to conduct revitalization cannot be formulated generally but should be adapted with regional and/or group characteristic. REFERENCES Artadi IK. 1993. Manusia Bali. Bali Post Press. Denpasar. Casson M, A Godley. 2000. Cultural Factors in Economic Growth. Germany. Springer-Verlag Berlin – Heidelberg. Coleman J S. 1990. Foundations of social theory. Cambridge MA : Belknap.
60
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Collier P. 1998. Social capital and poverty. World Bank SCI Working Paper no 4, November. (www.iris.umd.edu/adass/proj/soccap.asp). Cristoforou A. 2003. Social Capital and Economic Growth: The Case of Greece. London School of Economic : Paper for The 1 st PhD Symposium on Social Science Research in Greece of the Hellenic Observatory. European Institute.
[email protected]. Dasgupta P, Serageldin I. 2002. Social Capital: A Multi Faceted Perspective. World Bank, Washington, DC. Dasgupta P. 2005. A Measured Approach: Special Issue. September 2005. ISSN 0036-8733. Scientific American, Inc, 415 Madison Avenue, New York. Fukuyama F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The Free Press, New York. Fukuyama F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Institute of Public Policy. George Mason University. International Monetary Fund. Granovetter MS. 1973. The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology, 78, 1360 – 80. Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia. World Bank Working Paper, unpublished. Grootaert C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. Local Level Institutions Working Paper No. 10, Social Development Department, World Bank, Washington, D.C. Grootaert C, T van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital. A Multidisciplinary tool for practitioners. The World Bank Washington, D.C. Iyer S, M Kitson, B Toh. 2005. Social Capital, Economic Growth and Rgional Development. Regional Studies, Vol 39.8, pp.1011040, November 2005. Olson M. 1982. The Rise and Decline of Nation. New Haven. Yale University Press. Putnam R D. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradition in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Putnam R D. 2000. Bowling alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster, New York, NY.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
61
PERBAIKAN PERTUMBUHAN BIBIT SOKA (Ixora coccinea l.) DENGAN PERENDAMAN SETEK DALAM URINE SAPI I Made Sukerta Jurusan Agreteknologi Universitas Maharaswati Denpasar ABSTRACT The cow urine concentration and soaking duration of the growth of cutting Soka (Ixora coccinea L.)" aims to find out the influence of the concentration of cow urine and soaking duration and the interaction of the growth of Soka slip. Concentration of cow urine treatment and soaking time and the interaction effect is significantly for most of the parameters observed, except for cutting the percentage of fresh, the number and percentage of shoot bud and roots. Concentration of cow urine treatment and duration soaking together signifinatly effect on the oven dry weight of shoots per cutting. Oven dry weight of shoots is the highest of 0.715 g per cutting obtained in the treatment of concentration 10% cow urine and soaking time 15 minutes (P1U4), an increase of 81.01% compared with treatment without the concentration of cow urine with soaking time 60 minutes (P4U0) which weighed 0.395 g per cutting. Based on the regression equation can be suspected: Y = 0.35532539 + 0.07064362 + U P 0.00083333 0.00301326 U2 - 0.00082267 UP, with determination coefficients (R2) = 99% obtained by the oven dry weight of shoot a maximum of 0.65 g per cutting in the concentration of cow urine with a 9.67% long soaking 15 minutes Key word : Soka (Ixora coccinea l.), cow urine, soaking
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Petiga yang berada di Kecamatan Marga, Tabanan, merupakan penghasil tanaman hias, seperti puring, soka, rumput-rumputan dan pucuk. Warga tani di desa ini dulunya menanam rambutan, cengkeh dan vanili. Namun panen tak pernah lebih dari dua kali setahun. Ahkirnya banyak warga tani yang memilih menekuni tanaman hias. Sebagian besar warga mempunyai usaha tanaman hias, ini merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan selain bidang pertanian tanaman pangan. Bahkan ada warga yang memanfaatkan sawahnya untuk lahan tanaman hias karena air yang mengairi sawah sudah berkurang. Soka (Ixora coccinea L.) merupakan salah satu tanaman hias yang berbatang perdu dengan percabangan yang banyak. Sebagai tanaman hias, soka memang mempunyai keistimewaan yaitu bunganya yang elok dan warnanyapun ada yang bermacam-macam seperti merah, kuning, kuning pucat, orange, merah jambu, merah muda, putih dan salem (Anon., 1992). Soka sebenarnya mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, ini terlihat dari peranannya yang cukup menonjol sebagai tanaman hias pagar pada gedunggedung perkantoran, menghiasi taman pada hotel-hotel, menghiasi pertamanan kota. Soka yang ditanam di tanah atau ditanam di dalam pot dapat direkayasa menjadi soka bonsai dan soka kombi. Baik soka bonsai dan soka kombi dapat 62
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
dimanfaatkan sebagai bunga potong, yang banyak diminati orang, sehingga prospek ekonominya cukup cerah (Anon., 1992). Soka dapat dikembangbiakkan secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan soka secara generatif menggunakan bijinya, namun cara ini jarang dilakukan dan hanya terbatas untuk keperluan pemuliaan. Perbanyakan secara vegetatif yaitu dengan menggunakan setek batang atau cabang, tanaman yang dihasilkan dari setek biasanya mempunyai persamaan dalam umur, ukuran tinggi, ketahanan terhadap hama dan penyakit, dan tanaman yang diperoleh akan sempurna yaitu telah mempunyai akar, batang dan daun dalam waktu yang relative singkat. Pembiakan tanaman dengan setek sering dihadang kendala yaitu sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila hal ini bisa diatasi, maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis dan ekonomi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang digunakan dapat berupa zat pengatur tumbuh sintetis maupun zat pengatur tumbuh alami. Untuk mempercepat perakaran setek dapat menggunakan zat tumbuh Rootone F. Begitu pula berbagai jenis zat tumbuh buatan seperti IBA, NAA, IAA dan sejenisnya telah diketahui pengaruhnya sebagai perangsang perakaran setek tanaman. Terlepas dari zat pengatur tumbuh buatan perangsang perakaran, ternyata salah satu zat tumbuh alami yang banyak terdapat di sekitar kita yaitu urine sapi telah pula dicoba pemanfaatannya untuk merangsang perakaran setek tanaman. Prayuginingsih (1986) mengatakan bahwa urine sapi merupakan zat tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh. Urine sapi mengandung auksin a dan auksin b serta IAA. Sebagai herbivora, sapi memakan jaringan tumbuhan yang banyak mengandung auksin. Auksin yang termakan tidak dapat dicerna dalam tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine. BPP Jember telah membuktikan bahwa urine sapi 5% sebagai zat pengatur tumbuh mempunyai pengaruh yang sama dengan IBA 3000 ppm dalam merangsang pembentukan akar pada setek kopi (Suprijadji, 1985 dalam Tjokrosudarmo, 1989). 1.2
Rumusan Masalah Masalah utama yang sering muncul pada pembiakan dengan setek adalah sukar terbentuknya perakaran pada tanaman. Apabila masalah ini bisa diatasi, maka perbanyakan dengan cara setek merupakan perbanyakan yang paling baik, praktis dan ekonomis, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar pada setek adalah dengan pemakaian zat pengatur tumbuh. Urine sapi merupakan salah satu zat perangsang tumbuh alternative yang murah dan mudah diperoleh serta ramah lingkungan. Dengan demikian urine sapi yang dulunya terbuang begitu saja akan dapat bermanfaat atau mempunyai nilai ekonomis khususnya bagi usaha pengembangbiakan tanaman dengan cara setek. 1.3 Tujuan Penelitian 1.Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman serta interaksinya terhadap pertumbuhan setek soka. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
63
2. Untuk memperoleh konsentrasi urine sapi dan lama perendaman optimum bagi pertumbuhan setek soka. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang budidaya tanaman hias bahwa dengan teknologi pemanfaatan urine sapi sebagai zat perangsang tumbuh mampu meningkatkan keberhasilan setek tanaman hias soka. 2. Petani mampu menyediakan bibit secara berkesinambungan sehingga masyarakat tani dapat meningkatkan pendapatan khususnya di desa Petiga, Marga, Tabanan. 2. METODE PENELITIAN Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan susunan faktorial. Terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama perendaman dalam larutan urine sapi (P) dan faktor ke dua konsentrasi urine sapi (U), dengan ulangan dua kali. Adapun perlakuan-perlakuan yang diberikan dalam percobaan ini adalah: 1. Faktor lama perendaman setek dalam larutan urine sapi (P) yang terdiri dari 4 taraf yaitu : P1 = direndam selama 15 menit P2 = direndam selama 30 menit P3 = direndam selama 45 menit P4 = direndam selama 60 menit 2. Faktor konsentrasi urine sapi (U) yang terdiri dari 5 taraf yaitu : U0 = tanpa konsentrasi urine sapi U1 = konsentrasi urine sapi 2,5% U2 = konsentrasi urine 5,0% U3 = konsentrasi urine 7,5% U4 = konsentrasi urine sapi 10,0% Jumlah perlakuan kombinasi yaitu 20 perlakuan sebagai berikut : P 1U0, P1U1, P1U2, P1U3, P1U4, P2U0, P2U1, P2U2, P2U3, P2U4, P3U0, P3U1, P3U2, P3U3, P3U4, P4U0, P4U1, P4U2, P4U3, P4U4. Masing-masing kombinasi diulang 2 kali, sehingga terdapat 40 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan digunakan 10 setek. Percobaan dilakukan di Desa Petiga, Marga Tabanan dari bulan Juni sampai bulan September 2009. Pengamatan dimulai setelah setek berumur 4 minggu dan dilakukan setiap 1 minggu sampai tanaman berumur 12 minggu. Untuk pengamatan ditentukan tanaman contoh sebanyak 6 setek. Peubah yang diamati meliputi : (1) persentase setek segar (%), (2) saat tumbuh tunas (hst), (3) jumlah tunas (buah), (4) panjang tunas (cm), (5) jumlah daun tunas (helai), (6) jumlah akar primer (buah), (7) panjang akar primer (cm), (8) persentase setek bertunas dan berakar (%), (9) berat basah akar per setek (g), (10) berat kering oven akar per setek (g), (11) berat basah tunas per setek (g), (12) berat kering oven tunas per setek (g). Pengamatan jumlah dan panjang akar primer, persentase setek bertunas dan berakar, berat basah akar dan tunas, berat kering oven akar dan tunas dilakukan pada akhir percobaan, dengan jumlah setek setiap peubah sebanyak 3 setek. 64
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Data yang dikumpulkan dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat pengaruh interaksi yang nyata terdapat variabel yang diamati maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan 5% dan jika hanya pengaruh faktor tunggal, dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi urine sapi dengan lama perendaman terhadap berat kering oven tunas per setek dilakukan dengan analisis regresi (Gomez dan Gomez, 1995). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman serta interaksinya berpengaruh nyata sampai sangat nyata (p <0,01) terhadap hampir semua parameter yang diamati kecuali terhadap persentase setek hidup, jumlah tunas dan persentase setek bertunas dan berakar (Tabel 1). Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh sangat nyata dapat meningkatkan berat kering oven tunas setek tanaman soka. Rata-rata berat kering oven tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dengan lama perendaman 15 menit (P 1U4) yaitu sebesar 0,715 g per setek, berarti terjadi peningkatakan sebesar 81,01% bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa urine sapi dengan lama perendaman 60 menit (P4U0) yang menghasilkan berat kering oven tunas terendah yaitu sebesar 0,395 g per setek (Tabel 14). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan bahwa antara konsentrasi urine sapi dengan lama perendaman memberikan pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas dengan persamaan garis regresi : Y = 0,35532539 + 0,070643426U + 0,00083333P – 0,00301326U2 – 0,00082267 UP , dengan koefisien determinasi (R 2) = 90%. Maka dari persamaan tersebut dapat diduga berat kering oven tunas maksimum sebesar 0,65 g per setek, diperoleh pada konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit. Tabel 1. Signifikansi pengaruh konsentrasi urine sapi (U) dan lama perendaman (P) terhadap parameter yang diamati dalam pembibitan setek soka No.
Perlakuan
Parameter yang diamati U
1. Persentase setek segar (%) 2. Saat tumbuh tunas (hst) 3. Jumlah tunas (buah) 4. Panjang tunas (cm) 5. Jumlah daun tunas ( (helai) 6. Jumlah akar primer (buah) 7. Panjang akar primer (cm) 8. Persentase setek bertunas dan berakar (%) 9. Berat basah akar per setek (g) 10. BKO akar per setek (g) 11. Berat basah tunas per setek (g) 12. BKO tunas per setek (g) Keterangan : Agrimeta,
ns ** ns ** ** ** ** ns ** ** ** **
P * * ns ** ** ** ** ns ** ** ** **
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
UxP ns * ns ** ** ** ** ns ** ** ** **
65
ns = tidak berbeda nyata pada taraf 5% * = berbeda nyata pada taraf 5% ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% Meningkatnya berat kering oven tunas disebabkan karena meningkatnya pertumbuhan tunas seperti meningkatnya berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah daun tunas. Hal tersebut didukung oleh adanya hubungan yang nyata antara berat kering oven tunas dengan berat basah tunas, panjang tunas dan jumlah daun tunas dengan nilai r masing-masing sebesar +0,9668**, +0,8483**, dan +0,7113**. Tingginya berat kering oven akar setek soka disebabkan karena pada perlakuan konsentrasi urine sapi 10% dan lama perendaman 15 menit (P 1U4) menghasilkan berat basah akar yang tinggi, jumlah akar primer yang banyak dan mempunyai akar primer yang panjang. Hal tersebut juga tercermin oleh adanya hubungan yang nyata antara berat kering oven akar dengan berat basah akar, jumlah akar primer dan panjang akar primer dengan nilai r masing-mmasing : +0,8917**, +0,9092** dan +0,9498** (Tabel 15). Dengan terbentuknya sistim perakaran yang lebih baik akan menjamin pertumbuhan tanaman yang lebih baik pula, karena akar mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu selain sebagai penyerap air dan mineral dalam tanah, juga sebagai alat untuk bernafas bagi tanaman (Audus, 1963). Dimana air, unsur hara atau mineral merupakan bahan baku dalam pembentukan fotosintat. Untuk memacu pertumbuhan akar tanaman pada pembiakan setek, dapat dibantu dengan pemberian zat tumbuh dalam jumlah tertentu (Rochiman dan Harjadi, 1973). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi urine sapi berpengaruh baik terhadap pertumbuhan akar setek tanaman soka. Hal ini terlihat dari data jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar dan berat kering oven akar per setek (Tabel 2, 8, 9, 11 dan 12). Hal tersebut diduga karena adanya auksin yang terkandung di dalam urine sapi mempunyai efek fisiologis terhadap tanaman, yaitu mendorong pertumbuhan akar. Hasil penyelidikan Kogl et al., (1931 dalam Dwidjoseputro, 1989) menyatakan bahwa urine manusia maupun hewan terutama sehabis makan zat-zat yang berasal dari tumbuhan mengandung auksin a, aksin b dan heteroauksin. Auksin ini sebagian tidak dapat dicerna oleh tubuh sapi sehingga terbuang bersama urine. Lebih lanjut lagi Hartmann dan Kester (1983 dalam Suparman et al., 1990) mengemukakan pendapat para ahli terdahulu yang menyatakan adanya suatu zat spesifik yang bersifat merangsang perakaran yang dihasilkan di daun. Zat yang menyerupai hormon ini mereka sebut ”rhizocaline”. Rhizocaline yang terkandung di dalam daun-daunan yang dimakan sapi juga dapat terbawa bersama urine. Perendaman setek dalam konsentrasi urine sapi 10% dengan lama perendaman 15 menit (P1U4) memberikan pengaruh paling baik terhadap pertumbuhan akar, daripada perlakuan konsentrasi yang lebih rendah pada perendaman 15 menit (P1U1, P1U2 danP1U3). Sebaliknya ditingkatkannya waktu perendaman (P2, P3 dan P4) pada perlakuan urine sapi ternyata menurunkan pertumbuhan akar (baik jumlah akar primer, panjang akar primer, berat basah akar dan berat kering oven akar per setek) (Tabel 8, 9, 11 dan 12). Hal ini sesuai dengan pendapat Rochiman dan Harjadi (1973) bahwa zat tumbuh yang diberikan terlalu sedikit kurang efektif untuk memacu pertumbuhan tanaman namun sebaliknya apabila zat tumbuh yang diperlukan maka akan dapat merusak dasar 66
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
setek, karena pembelahan sel dan kalus berlebihan sehingga dapat menghambat tumbuhnya tunas dan akar. Lamanya setek direndam dalam larutan urine sapi menyebabkan serapan zat tumbuh oleh sel tanaman melebihi jumlah optimum sehingga dapat menghambat pertumbuhan setek soka. Meningkatnya pemberian konsentrasi urine sapi pada lama perendaman 15 menit (P1) menyebabkan makin meningkatnya berat kering oven tunas setek. Dan apabila waktu perendaman ditingkatkan sampai 60 menit (P 4) sesuai perlakuan ternyata terjadi penurunan hasil berat kering oven tunas per setek (Gambar 4). Hal tersebut diduga karena makin lama setek direndam dalam larutan urine sapi, setek akan mengabsobsi zat tumbuh maupun unsur-unsur yang terkandung dalam larutan urine itu telah melebihi jumlah optimum yang dibutuhkan setek untuk pertmbuhan akar dan tunas. Sehingga sifat zat tumbuh yang mendorong pertumbuhan tanaman berubah menghambat pertumbuhan tanaman. Disamping itu pula unsur-unsur yang terkandung dalam urine sapi (Lampiran 13) dalam jumlah yang relatif banyak diserap oleh setek dapat berbahaya atau meracuni tanaman yang sudah tentu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal ini ditegaskan oleh Prawiranata (1981 dalam Tjokrosudarmo, 1989) amoniak bebas (NH3) dan urea dalam jumlah yang banyak dapat bersifat racun (toksin) untuk kebanyakan tumbuhan. Hanya tumbuhan yang mempunyai cairan vakuola bersifat asam dapat menyimpan ion amoniak sebagai garam amonium dalam jumlah yang relatif besar tanpa menimbulkan gangguan pada tumbuhan. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman secara bersamasama berpengaruh nyata terhadap segian besar parameter yang diamati kecuali terhadap persentase setek segar, jumlah tunas, dan persentase setek bertunas dan berakar. 2. Perlakuan konsentrasi urine sapi dan lama perendaman memberikan pengaruh secara bersama-sama terhadap berat kering oven tunas per setek dengan persamaan regresi : Y = 0,35532539 + 0,07064326U + 0,00083333P – 0,00301326U2 – 0,00082267UP, dengan koefisien determinasi (R2) = 99%. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh berat kering oven tunas per setek maksimum sebesar 0,65 g per setek, pada konsentrasi urine sapi 9,67% dengan lama perendaman 15 menit. 4.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan, untuk mendapatkan pertumbuhan setek tanaman soka yang baik pada pembibitan disarankan menggunakan zat tumbuh alami yaitu urine sapi dengan konsentrasi 9,67% (10%) dengan lama perendaman setek dalam larutan sapi tersebut 15 menit.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
67
DAFTAR PUSTAKA Anonimus (1992). Budidaya Tanaman Soka. Liptan. Balai Informasi Pertanian Bali. Rochiman, K. dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen Pertanian. IPB. Bogor. Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa sebagai Zat Tumbuh Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tjokrosudarmo, C. (1989) Pengaruh posisi ruas bahan setek dan urine sapi terhadap pertumbuhan setek kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex Froehner). Laporan Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S., dan Suroyo L., (1980) Tanaman Hias Penting di Indonesia. Balali Pustaka. Jakarta. Francisca R. (1991). Pengaruh Populasi Tanaman Soka Jepang (Ixora chinensis var. aurantiaca) dengan Berbagai Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Sebagai Tanaman Massal. Jurusan Budidaya Pertanian. IPB. Bogor Adriance, G.O. and F.R. Brison, (1955). Propagation of horticultura Plant. Mc. Graw Hill Book Co. Inc., New York. Rismunandar, 1988 Hormon tanaman dan ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Adriance, G.O. and F.R. Brison (1955).Propagation of horticultural plant. Mc. Graw Hill Book Co. Inc., New York. 289 p. Audus, L. J. (1963). Plant Growth Substance. Interscience Publisher. Inc., New York. 553 p. Crockett, J.U. (1978). Plowering House Plants. Time Hill Books. 160 p. Dwidjoseputro, D. (1989). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia.Jakarta. 225 hal. Ida Dwiwarni (1990). Pemanfaatan Urine Sapi pada Setek Lada. Bull. Tan. Industri. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat Natar (5) : 19 – 10 hal. Leopold, A.C. (1963). Auksin and Plant Growth. Univ. California Press. Barkley and Los Angeles. 354 p. Mahlstede, J.P. and E.S. Haber (1957). Plant Propagation John Wiley & Sons Inc. New York. 413 p. Nurhayati Hakim, Nyakpa M.Y., Lubis A.M., Nugroho S.Gh., Soul M.R., Diha M.A., Hong G.B., dan Bailey H.H. (1986). Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 488 hal. Prayuginingsih, H. (1986). Urine Sapi dan Air Kelapa Sebagai Zat Tumbuh Alternatif Untuk Merangsang Perakaran Setek Stevia (Stevia rebaudiana Bortani M.) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB.Bogor (tidak dipublikasikan). 68 hal. Rencana. K. (1988). Pengaruh Panjang Setek dan Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh IBA terhadap Pertumbuhan Bibit Anggur (Vitis vinivera). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 53 hal. 68
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Rismunandar (1988). Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta, 58 hal. Rochiman, K. Dan S.S. Harjadi (1973). Pembiakan Vegetatif. Departemen Pertanian. IPB. 70 hal. Sastrapradja, S., Nasution R.E., Idris S., Imelda M., Roedjito A., Soerohaloko S., dan Suroyo L., (1980). Tanaman Hias Penting di Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta. Stoutemyer, V.T. (1954). Enccuragement of Roots Plant Regulators in : Plant Regulators in Agriculture. H.B. Tukey. Editor. John Wiley and Sons Inc. New York. 245 p. Sukerta (1989). Pengaruh Dosis Pupuk NPK 15.15.15 dan Dosis Dekamon 22,43 L terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabe Besar (Capsicum annuum L.). Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya Pertnian Fakultas Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar. 111 hal. Suparmanm Sunaryo dan Sumarko, (1990) Kemungkinan Penggunaan Kemih Sapi Untuk Merangsang Perakaran Setek Lada (Piper ningrum L.) Bul, Litro Vol. V No.1. Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Natar. 23 – 26 hal. Steenis, C.G.G.J. (1981). Flora. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 400 hal. Syarief, B.S. (1985). Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 182 hal. Timan, K.V. (1969). Auxin in : Fisiologi Tanaman. M.B. Wilkins (ed). (edisi bahasa Indonesia). PT. Bina Aksara, Jakarta. 454 hal. Tjokrosudarmo, C. (1989). Pengaruh Posisi Ruas Bahan Setek dan Urine Sapi terhadap Pertumbuhna Setek Kopi Robusta (Coffea canephora Pierre ex Froehner) Laporan Karya Ilmiah Jurusan Budidaya IPB. Bogor. 62 hal. Widianto (1988). Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 68 hal.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
69
REVITALIZATION OF METAPHYSICAL AGRICULTURE FOR PROMOTING SUSTAINABLE FARMING AND COMMUNITY-BASED TOURISM Cening Kardi Jurusan Agribisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRACT The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is agricultural ritual and practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. It is carried out by subak (institution for water-control-system in Bali). In this case using organic inputs towards sustainable farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The values of traditionreligion-aspiration-culture in subaks were weakened and rather meaningless as the impacts of: neglect to metaphysical agriculture; and capital based tourism development. Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to beautify objects of tourism in villages, likewise their income generating for the population. Subaks were rather not powerful and not authoritative in performing agricultural ritual effectively and meaningfuly, neither in signifying organic techniques in farming. Therefore, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be conducted, with aims: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. A survey method through questionnaire was used to collect data from 42 subaks in 42 different desa adats (customary villages) which were selected using purposive sampling. The all questionnaires used Likert scale. Percentage the total score of a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of the variable on that subak. Regression analysis was used to estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture. Result of the research indicated that the level of success of metaphysical agriculture was medium. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were strongly affected the success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture. Based on the findings in this research, it could be suggested as follows. It needs an assistance process at subaks to revitalize metaphysical agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful agricultural rituals and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks. Key words : metaphysical, subak, revitalization, Rwa Bhineda.
1. INTRODUCTION Transformation and dynamism are very essential characteristic of community and culture. It is irrefutable fact that ”transformation” denotes phenomenon which always features the passage of community and its culture. There isn’t a statics community in absolutly. Every community always gains 70
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
transformation on time function, so there isn’t a community has same portraits on different periods, neither ”traditional” nor modern community, although they change with varied rapidity (Haferkamp dan Smelser, 1992). The communities with their cultures in Bali are not exception in this case. In other words, Bali always changes from age to age and even from day to day. Something has been worried ” isn’t Bali spoiled?” due to the effect of global population dynamism that has caused intensive and extensive capital-based tourism development as the policy and program for economic improvement of the government, to catch the trend of the world. The capital-based tourism development brought about great batterer energy that caused very structural changes in Baliness society and culture. Tourism in Bali much changed from cultural-based tourism (in the era before 1975) to be competitive and commercial tourism. Unfortunately, these competitive and commercial attitudes and behaviours spreaded to the nearly all of social-traditional-religious institutions in Bali, especially Subaks (institutions for agricultural water-control-system in Bali) and desa adats (customary villages). Actually, subak denotes a technology developing and synergizing with community culture. On that account, subak is known as an institution having socio-cultural characteristic. It is reflected by the activities of subak predominated by mutual assistance and ritual ceremonies (Windia et al., 2010). So much local genius and local wisdoms as the part of subak’s and desa adat’s sermons which they are neglected, mainly in the concepts and implementations of metaphysical agriculture. Finaly the values of tradition-religion-aspiration-culture in subaks are weakened and rather becoming meaningless, whereas tourism sector apparently has been taking benefits from the assets which rooted in tradition-religionaspiration-culture of subaks and desa adats. The agricultural activities in Bali are not only in physical study but also in metaphysical. The embodiment of metaphysical agriculture in Bali is as follows. 1. Agricultural ritual and customary ceremonies. There are two biggest ritual: Nyapah which take place in center village temple (Bale Agung temple) twice in every year; and Usaba in a hill temple of subak (Bedugul temple). These two rituals are very facilitated by desa adat. Various medium and small rituals which are arranged by members (krama) of subak in each their farm fields. 2. Practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. These activities of agriculture concern to keep on the balance of ecosystem in farming land. In this case using organic inputs towards sustainable farming is very appropriately to the philosophy of Rwa Bhineda. The rituals were established and developed as the corollary of sincere characteristics of farmers in subak to possess devotion and sacred deed/karma through giving sacred offering to Goddess Sri (the omnipresent Deity in farming area), after they got crops and exploited some resources for plants farming. it was karma of take and give (Namayudha 1999). Actually the good practices of metaphysical agriculture were able to enrich and to beautify objects of tourism in the villages of Bali, likewise their income generating for population in the villages. But nowadays subaks and desa adats are rather not powerful and not authoritative in performing rituals agriculture effectively and meaningfuly, neither in signifying techniques for organic farming. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
71
Concerning with the weakness owned by subaks, a study on revitalization of metaphysical agriculture should be conducted. The aims of this study were: (1) to determine the level of success of metaphysical agriculture; and (2) to analyze factors of subaks which affecting the success of metaphysical agriculture. These factors were: authority of subak to determine their own life; effectiveness of awigawig (subak’s customary rule); effectiveness of sangkepan (social-religious gathering); social relation of subak to desa adat; and intensity of discussion Weda script in subak. 2. RESEARCH METHODS 2.1 Theoretical Frame of Metaphysical Agriculture Urgency Popper, 1983 explained that every form is natural objective, and every idea is subjective. There is objective truth that unrestricted by space and time, it is in the higher level than both objective forms and subjective ideas and it has metaphysical quality. Orderliness of the cosmos is objective and metaphysical truth, it is in transcendent level and ordered by the God as creator. The steadiness of universe, like there are: noon vs night, prey vs predator; natality vs mortality, and plentifully others are coming into sight the omnipotence of the God. These pairs of two qualities in one (dichotomies) which appear in contrary are some exsamples of Rwa Bhineda. The forms of Rwa Bhineda must be controled to be stable and balance in anyhow, anyplace and particularly in agricultural activities (producing food) which have kept on population to be alive. The universe is pervading by conciousness. The conciousness can be classified to be partial/limited conciousness and super conciousness. When the conciousness takes embodiment through a birth, it becomes partial/limited conciousness. Since the conciousness to be restricted by its body. Sadness, happiness, anger, love, etc., are some impressions/feelings emerged by body. The super conciousness standing firmly and never be dissolved in feeling is named Paramaatma. Paramaatma denotes source of Atma, this Atma dwells within body. The merging of Atma to body performs soul, the efforts of soul continuesly to achieve Paramaatma makes happen metaphysical activities, while Paramaatma permanently in transcendent level (Sri Sathya Narayana, 1996). Tattwamasi (you are essentially me), and Advesta Sarwa Bhutanam (love all creatures) were some sacred directions of Weda script. They were strong believed and done by farmers of subak. Because of revolution on agriculture latter, introduced pesticides that were adopted by farmers. Actually, pesticides gave more dangers to all creatures, those were poison residue in food, damaged ecosystem, resistance and resurgence of plant pests and diseases. Therefore, Tattwamasi and Advesta Sarwa Bhutanam denoted metaphysical practicality should be believed and done. For the present days, practicing organic farming is indicator for metaphysical practicality in agriculture (Geriya et al., 2006). 2.2 Data and Analytical Methods A survey method through questionnaire was used to collect data from 42 subaks in 42 different desa adats (customary villages), which were selected using purposive sampling (in the year 2010). In the region of south Bali were selected 20 desa adats, and the rest 22 desa adats were selected in the region of north 72
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Bali. In every desa adat was taken respondents which consist of 5 men from the board of desa adat, 10 men from the board of subak, 25 men members of subak and 10 men members of desa adat but not members of subak. The variables those were examined can be described briefly as presented in Table 1. The strength of every element of variables was scored as very low (1), low (2), medium (3), high (4) and very high (5). Percentage the total score of a variable that achieved on a subak from its maximum score then indicated the level of the variable on that subak. So, the interval scale of variable could be categorized: 20-36% was very low; 37-52 % was low; 53-68% was medium; 6984% was high; and 85-100% was very high. Regression analysis was used to estimate the effect of factors of subaks to the success of metaphysical agriculture. Table 1. Variables description No Variable (1) (2) 1 The success of metaphysical agriculture
2
3
4
5
Descripton (3) On ritual aspect (Seven elements): 1) understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual; 2) coordination in ritual implementation; 3) solidarity among the followers of ritual; 4) freedom in partaking ritual; 5) orderliness of ritual processing; 6) completeness of facilities for ritual; and 7) creativity in achieving ritual. On the aspect of practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda (seven elements): 1) intensity of pesticide treatment; 2) intensity of chemical fertilizer treatment; 3) wholeness to follow the planting season; 4) intensity of plant rotation; 5) intensity to process waste of livestocks and harvest to be fine compost; 6) intensity to plant greeneries with high level Nitrogen for fertilizer; and 7) quality of integrated crop-livestock system. Authority of Four elements: 1) percentage of land conversion from subak to agricultural to non agricultural; 2) intensity of watter determine their sources for irrigation were changed to be non own life agricultural purpose; 3) Intensity of blockading subak’s groud athway and watter canal by outer force of subak; and 4) intensity of conflict between subak and industry/government. Effectiveness of Four elements: 1) clearness of awig-awig; 2) awig-awig democratic system in establishing awig-awig; 3) awig(subak’s awig socialization; and 4) firmness in executing customary rule) punishment to transgressors of awig-awig. Effectiveness of Six elements: 1) Sangkepan routine; 2) follow-up of sangkepan (social- sangkepan’s decisions; 3) atmosphere in sangkepan; 4) religious percentage of members of subak to attend sangkepan; gathering) 5) sovereignty for giving comments in sangkepan; and 6) sanction for members of subak who absent in sangkepan. Social relation of Three elements: 1) coordination between the board of Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
73
subak to desa adat
3.
desa adat and subak in holding ritual; 2) participation of seke-seke (small grups for special duty in desa adat) in ritual; and participation of desa adat members but not members of subak to attend agricultural ritual.
RESULTS AND DISCUSSION
3.1 The Level of Success of Metaphysical Agriculture The level of success of metaphysical agriculture was assessd from two aspects, ritual aspect and aspect of practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda. From the ritual aspect, the result was decribed as follows. The understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual was low, since most of the people especially in traditional institutions (like subak and desa adat) had no interest to read or to learn manuscripts regarding tattwa of the ritual or religion. They prefered to follow the expressions of tattwa like to make some complicated offerings/sacrifices. Grup dynamism in the most of subaks were becoming weak due to the decreasing productivity and profitability of rice farming, hence coordinations in ritual implementation were not good and subaks had no enough funding to complete facilities and to be creative in achieving ritual. Finally, The level of success of metaphysical agriculture from ritual aspect became low. The success of of metaphysical agriculture from aspect practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda was as follows. The level of its success was categorized as medium, it implied that the farmers and their subaks had adopted slightly organic farming methods. Chemical fertilizers (like UREA, TSP, KCl, Ponska, NPK) were still very intensively to be applicated by the farmers and even they were very dependently on these chemical fertilizers, on the other hand, they were lack of treatments towards producing fine compost from waste of livestocks and harvest. The farmers of subaks were very averse to follow the planting season in the area of subak. It was very potentially to cause pests and diseases continuesly spreaded and attacked the growing plants everywhere, and difficultly to be cut down. All of these poured in decreasing productivity and profitability of rice farming. From the all of these explanations, it could be assessed that the success of metaphysical agriculture was in medium level. Table 2. Description for the elements of ritual aspect Element Min Max Average Category level (%) (%) (%) of success 1) Understanding to the viewpoint (tattwa) of the ritual 21.6 70.4 41.6 Low 2) Coordination in ritual implementation 47.2 88.8 49.6 Low 3) Solidarity among the followers of ritual 52.0 87.2 56.0 medium 4) Freedom in partaking ritual 54.4 97.6 87.2 very high 5) Orderliness of ritual processing 49.6 91.2 80.8 High 6) Completeness of facilities for ritual 24.0 73.6 51.2 Low 7) Creativity in achieving ritual 23.2 72.0 56.8 medium Average 60.4 medium 74
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1) 2) 3) 4) 5)
6) 7)
Table 3. Description for the elements of practicing agriculture based on local genius of Rwa Bhineda Element Min Max Average Category level (%) (%) (%) of success intensity of pesticide treatment 34.5 90.0 56.0 medium intensity of chemical fertilizer treatment 23.5 93.0 44.0 Low wholeness to follow the planting season in the area of subak 27.0 77.0 46.5 Low intensity of plant rotation 42.0 91.5 72.0 High intensity to process waste of livestocks and harvest to be fine compost 29.0 91.5 54.0 medium intensity to plant greeneries with high level Nitrogen for fertilizer 30.0 84.0 61.0 medium quality of integrated croplivestock system 47.0 88.5 58.0 medium Average 55.9 medium
3.2 Factors of Subak Affecting The Success of Metaphysical Agriculture The level of factors: Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule); and Intensity of discussion Weda script in subak were medium. The level of factors: Social relation of subak to desa adat; and Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) were rather high. The result of regression analysis on the factors of subak affecting the success of metaphysical agriculture was as follows (Table 4). The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture. As an institution having socio-cultural characteristics, subak has a power or wisdom and weakness. Some of those indigenous wisdoms are organization having good governance, flexibility, having capability of absorbing or adopting tecgnology developing around them and having capability of absorbing the culture developing in surrouding community. If the all of factors of subak are vigorous and effectively, actually the force in subak can be an indigenous wisdom and social asset that can shore up some government programs, especially the food security program and community-based tourism development. Meanwhile, the weakness of subak as an institution having socio-cultural characteristic is that it could not resist the intervention from external parties. This incapability is reflected in the large number of land undergoing transfer of function to sectors beyond agriculture like to building for hotel and building for hausing complex. In addition, there is relatively a large amount of withdrawing of irrigation water and blockading subak’s groud pathawy by other sectors such as Municipal Waterwork, hotels and other tourism components.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
75
Table 4. The result of regression analysis on factors of subak affecting the success of metaphysical agriculture No 1 2 3 4 5 6
Factor of Subak
Coeficient Constant -8.039 Authority of subak to determine their own life 0.297 Effectiveness of awig-awig (subak’s customary rule) 0.335 Effectiveness of sangkepan (social-religious gathering) 0.227 Social relation of subak to desa adat 0.106 Intensity of discussion Weda script in subak 0.131 R Square = 0.9938 F = 1201.5* Informations:
*
= significantly;
ns
t-ratio -7.731 6.074 4.632 3.731 2.240 1.480
Sig. 0.000* 0.000* 0.000* 0.001* 0.031* 0.147ns
= non significantly
4. CLOSURE 4.1 Conclusions Based on the previous descriptions, it could be concluded as follows. 1. The level of success of metaphysical agriculture was categorized into medium. 2. The factors Authority of subak to determine their own life; Effectiveness of awig-awig; and Effectiveness of sangkepan were strongly affected the success of methaphysical agriculture. The factor Social relation of subak to desa adat was quitely affected the success of metaphysical agriculture, but Intensity of discussion Weda script in subak was not so significantly affected the success of metaphysical agriculture. 4.2 POLICY IMPLICATION Based on the findings in this research, it could be formulated policy implications as follows. 1. It needs an assistance process at subak to revitalize metaphysical agriculture by counseling and demonstrating plots of organic farming with sophisticated technology. First before this program, disseminating explanation regarding: implementation of meaningful ritual for agriculture and perfectly understanding to agricultural based on Rwa Bhineda. 2. More adroitly to decipher sangkepan and awig-awig, and more aggressively to execute punishment to transgressors of awig-awig. 3. It requires pilot project activity, namely by performing assistance for the formation of farmer cooperative at some subaks.
REFERENCES Geriya, W., Yudha Triguna, dan I Nyoman Dhana, 2006. Pola Kehidupan Petani Subak Di Bali. Javanologi: Denpasar. Haferkamp, H. and Neil J. Smelser. 1992. Social Change and Modernity. The University of California Press: Berkeley. Namayudha, I.B., 1999. Upacara Ngusaba Nini. Parisada Hindu: Denpasar. Narayana, S.S. 1996. Discourses on Bhagawad Gita. Sri sathya Sai Book and Publication Trust: Bangalore-India. 76
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Popper, K.R. 1983. Realism and The Aim of Science. Rowman and Littlefied: New Jersey. Windia, W., Ketut Suamba and Wayan Sudarta. 2010. The Development of Food Security Model Based on Subak System In Bali. Jurnal SOCA. Vol. 10. No.1. Februari 2010: 8-14.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
77
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN SENTRA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI DESA KUSAMBA KABUPATEN KLUNGKUNG: Ditinjau dari Perspektif Bisnis dan Lingkungan Ni Made Muriati1) dan Wayan Guwet Hadiwijaya2) 1) Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali 2) Jurusan Agroteknologi Universitas mahasaraswati Denpasar Abstrak Tujuan penelitian yaitu: (1) mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba; (2) mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan; dan (3) merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak terhadap lingkungan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang (50 orang dari unsur pemilik usaha dan 50 orang dari unsur pekerja). Analisis data yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis yang dilakukan secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk. Kata kunci: Hasil perikanan, Pindang, Strategi, Internal dan Eksternal
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Klungkung mempunyai luas wilayah 315 km² yang terletak di antara 115º21’28” - 115º37’43”BT dan 8º 49’00” LS, dengan panjang pantai keseluruhan ± 144 km. Potensi perikanan laut di Kabupaten Klungkung cukup tinggi terutama perikanan tangkap. Potensi tersebut diperkirakan sebesar 4.140,7 ton per tahun yang terdiri atas ikan pelagis 2.898,2 ton dan ikan demersal 1.242,5 ton. Program pembangunan perikanan laut di Kabupaten Klungkung terutama diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas melalui pemberdayaan SDM 78
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
nelayan, pembudidaya pengolah, masyarakat pesisir lainnya, peningkatan nilai tambah dan mutu produk serta pemasaran, menciptakan iklim usaha yang kondusif, peningkatan dan pengembangan kemitraan usaha dan peningkatan kapasitas kelembagaan, meningkatkan dan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan. Produk hasil perikanan merupakan sumber protein hewani yang bermutu dan sangat bermanfaat bagi tubuh manusia dan merupakan komoditas ekspor hasil perikanan yang telah menyumbangkan devisa. Namun di pihak lain kerugian atau kerusakan produk hasil perikanan (losses) mencapai 20 % akibat penanganan yang kurang baik. Penanganan ikan segar merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan karena dapat mempengaruhi mutu yang dihasilkan. Pada sektor kelautan dan perikanan usaha pengolahan hasil perikanan pada umumnya masih didominasi oleh pengolahan ikan berskala usaha mikro, kecil dan menengah. Usaha pengolahan perikanan umumnya masih bersifat tradisional, cendrung dikelola oleh anggota turun-temurun dengan kapasitas produksi yang terbatas, dengan kegiatan usaha bersifat rutinitas. Usaha pengolahan hasil perikanan berskala miro kecil biasanya lemah dalam berbagai dimensinya, lemah dalam aspek permodalan, teknologi dan informasi, lemah dalam manjemen dan pemasaran, umumnya tersebar parsial, sehingga pada umumnya belum memenuhi standar sesuai ketentuan, sehingga hasilnya belum mampu bersaing dengan produk lainya. Mereka juga dihadapkan pada kesulitan melakukan penguatan internal, seperti peningkatan produktivitas, riset pengembangan produk, pelatihan dan bimbingan SDM serta promosi usaha. Dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, yaitu meningkatkan kapasitas usaha bersekala ekonomi dengan kelembagaan yang kuat serta dikelola secara profesional dengan akses dan penetrasi pasar yang kuat dan berdaya saing, serta mampu berproduksi lebih efisien dalam kawasan pengembangan, dan dalam rangka meningkatkan percepatan pemberdayaan dan pembinaan unit-unit pengolahan ikan (UPI) dan revitalisasi industri pengolahan, maka diperlukan penerapan konsep pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan melalui pendekatan pengembangan sentra-sentra pengolahan dan strukturisasi UKM Pengolahan Hasil Perikanan. Upaya ini dilakukan dengan memberikan dukungan kebijakan dan program penyediaan lembaga layanan pengembangan bisnis yang dilakukan secara terpadu di lokasi kawasan produksi perikanan. Salah satu usaha pengolahan ikan yang sudah berkembang di kabupaten Klungkung adalah pengolahan pindang. Usaha pengolahan pindang tersebut berada di Desa Kusamba yang terletak di wilayah Kecamatan Dawan. Usaha ini sudah ada sejak lama dan merupakan salah satu bentuk aktivitas ekonomi masyarakat Desa Kusamba yang berbasis rumah tangga. Pada awalnya kegiatan pengolahan pindang dilakukan di rumah-rumah penduduk, bahan baku hanya diperoleh dari hasil tangkapan para nelayan setempat, proses pengolahan masih dilakukan secara tradisional. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan, karena tercampurnya aktivitas rumah tangga dan aktivitas produksi sehingga lingkungan di rumah menjadi kumuh, kotor dan berbau, produksinya terbatas karena kekurangan bahan baku dan mutu produk belum terjamin. Untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan pengolahan pindang di Desa Kusamba, maka pada tahun 1998 pemerintah Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
79
membangun bangsal pemindangan dengan tujuan untuk penataan kegiatan pengolahan pindang dari lingkungan perumahan ke lokasi khusus pemindangan dan menjadikan lokasi tersebut sebagai Sentra Pemindangan . Pada tahun 2007, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: KEP.01/MEN/2007, tentang Lokasi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Sentra Pengolahan Pindang di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai lokasi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan. Akan tetapi dalam perkembangannya, fasilitas yang disediakan meliputi penyediaan sarana prasarana yang ada tidak berfungsi sesuai dengan harapan, misalnya proses pengolahan ikan belum dilakukan dengan baik, drainase yang penuh dengan sampah dan sisa-sisa pengolahan yang menyebabkan aliran air tidak lancar sehingga menimbulkan bau. Di samping itu konstruksi bangunan belum memenuhi standar karena dari segi sanitasi dan hygienitas kurang memenuhi syarat, sehingga berdampak pada kualitas dan mutu produk. Melihat permasalahan tersebut, maka diperlukan suatu strategi untuk mengembangkan sentra pemindangan di Desa Kusamba. Upaya tersebut bertujuan menjadikan sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan kelayakan unit pengolahan dan kelayakan pengolahan sehingga menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk di konsumsi seta sehat dan nyaman bagi para pelaku usaha. 1.2 Rumusan Masalah Dengan melihat uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan, yaitu. 1. bagaimanakah kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba? 2. bagaimanakah kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba? 3. bagaimana strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak terhadap lingkungan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan sentra pengolahan pindang di Desa Kusamba menjadi sentra pengolahan hasil perikanan yang memenuhi persyaratan unit pengolahan dan dapat menghasilkan produk yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi serta menguasai pasar. Sedangakan tujuan khususnya adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui kondisi faktor-faktor internal yang menentukan kelangsungan hidup sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba. 2. Mengetahui kondisi lingkungan yang merupakan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Desa Kusamba.
80
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3. Merumuskan strategi pengembangan usaha yang paling sesuai bagi sentra pengolahan hasil perikanan dalam merespon persaingan pasar dan dampak terhadap lingkungan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut; 1. Memberikan informasi dan masukan pada bidang kajian perencanaan dan pengembangan wilayah khususnya yang berkaitan dengan pembangunan atau pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan 2. Memberikan masukan kepada Pemerintah atau pengambil kebijakan, sebagai kebijakan dalam upaya pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan
2. METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba Kabupaten Klungkung dengan pertimbangan Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba Kabupaten Klungkung merupakan salah satu pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan di Provinsi Bali. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 2.2
Penentuan Responden Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pelaku usaha pengolah hasil perikanan di Sentra Pengolahan Pemindangan Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung yang berjumlah 50 unit usaha. Pada setiap unit usaha diambil masingmasing satu orang responden dari unsur pemilik, dan satu orang dari unsur pekerja. Sehinga seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang. Khusus untuk pemberian rating atau peringkat untuk masing-masing faktor internal maupun eksternal, diajukan kepada beberapa responden yang berkompeten dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu: para pemilik usaha pemindangan yang paling maju (10 rang), Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan dua orang pakar agribisnis perikanan di Bali. 2.3
Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berwujud kuantitas atau angka yang merupakan hasil membilang atau mengukur, seperti luas lahan usaha, kapasitas produksi, jumlah produksi, biaya produksi dan besarnya pendapatan usaha. Data kualitatif yaitu berupa keterangan atau uraian yang berkaitan dengan objek penelitian dan tidak dapat dihitung atau tidak berupa angka melainkan keterangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Wawancara, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan langsung kepada responden melalui daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
81
2) Wawancara mendalam, yaitu pengumpulan data dengan cara meminta keterangan langsung kepada para informan melalui pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. 3) Observasi, yaitu suatu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di lapangan untuk menguji dan melengkapi data lainnya. 4) Dokumentasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang telah tercatat pada berbagai dokumen tentang berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian. 2.4
Metode Analisis Data Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah pendekatan konsep manajemen strategis. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk uraian. 2.4.1 Analisis lingkungan internal dan eksternal Langkah ringkas untuk mengidentifikasi faktor internal adalah dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) yang meringkas dan mengevaluasi faktor internal yakni kekuatan dan kelemahan perusahaan di bidang-bidang fungsional (David, 2001). Tujuan dari penilaian faktor eksternal adalah mengembangkan daftar terbatas peluang yang dapat dimanfaatkan perusahaan dan ancaman yang harus dihindari. Langkah yang ringkas dalam melakukan penilaian faktor eksternal adalah dengan menggunakan matriks EFE (Eksternal Faktor Evaluation). Matriks ini mengarahkan perumus strategi untuk mengevaluasi informasi dari luar perusahaan. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap varibel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus (Kinnear, 1996) : Xi αi = n ∑ Xi 1 Dimana: αi = bobot variabel ke-i Xi = nilai variabel ke-i i = 1,2,3…n n = jumlah variabel Penilaian setiap variabel baik yang merupakan faktor internal maupun eksternal perusahaan menggunakan skor skala empat, di mana kekuatan masing-masing variabel tersebut dinilai sebagai sangat lemah (skor 1), lemah (skor 2), kuat (skor 3) dan sangat kuat (skor 4). Berikan rating atau peringkat (dalam kolom 4) untuk masing-masing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi perusahaan yang bersangkutan (seperti contoh matriks evaluasi faktor internal pada Tabel 1). Pemberian nilai rating kekuatan pada matriks IFE dengan skala yang digunakan, yaitu: 1 = sangat lemah; 2 = lemah; 3 = kuat; dan 4 = sangat kuat. Sedangkan faktor yang menjadi kelemahan pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya. Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor
82
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). Tabel 1. Contoh Matriks evaluasi faktor internal No Kekuatan Bobot Rating Skor 1 SDM yang terampil, disiplin dan ulet ….. ….. ….. 2 Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. Kelemahan ….. Tidak aktif dalam kelompok usaha yang ada ….. ….. ….. ….. Tidak melakukan promosi ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. Pemberian nilai rating peluang pada matriks EFE dengan skala yang digunakan, yaitu: 1 = rendah (respon kurang); 2 = sedang (respon sama dengan rata-rata); 3 = tinggi (respon di atas rata-rata); dan 4 = sangat tinggi (respon jauh di atas ratarata). Sedangkan untuk faktor yang menjadi ancaman pemberian nilai rating dilakukan sebaliknya (seperti contoh matriks evaluasi faktor eksternal pada Tabel 2). Selanjutnya kalikan setiap bobot (kolom 3) dengan rating (kolom 4) untuk memperoleh faktor pembobotan atau skor (kolom 5). Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi, mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). Tabel 2. Contoh Matriks evaluasi faktor eksternal No Peluang Bobot Rating Skor 1 Permintaan terhadap pindang yang tinggi ….. ….. ….. 2 Kepercayaan dari pihak Bank ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. Ancaman ….. Mahalnya harga ikan dan bahan bakar ….. ….. ….. ….. Banyaknya pesaing ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. ….. …..
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
83
2.4.2 Matriks i-e (internal-eksternal) Sumbu horizontal pada matriks IE menunjukkan skor total IFE, sedangkan pada sumbu vertical menunjukkan skor total EFE. Pada sumbu horizontal skor antara 1,00 – 1,99 menunjukkan posisi internal lemah. Skor 2,00 – 2,99 menunjukkan posisi internal rata-rata, dan skor 3,00 – 4,00 menunjukkan posisi internal kuat. Begitu pula pada sumbu vertikal yang menunjukkan pengaruh eksternal (lihat Gambar 1) Tinggi Rata-rata Lemah 4,0 1,0 3,0 2,0 4,0 I II III Tinggi 3,0 IV V VI Sedang 2,0 VII VIII IX Rendah 1,0 Gambar 1. Matriks Internal-Eksternal (IE) Diagram tersebut dapat mengidentifikasikan sembilan strategi pengembangan perusahaan, tetapi pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama, yaitu a. Sel I, II dan IV disebut strategi tumbuh dan bina. Strategi yang cocok adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk) atau strategi integratif (integrasi ke belakang, kedepan dan horizontal). b. Sel III, V dan VII disebut strategi pertahankan dan pelihara. Penetrasi pasar dan pengembangan produk merupakan dua strategi yang banyak dilakukan apabila perusahaan berada di dalam sel ini. c. Sel VI, VII dan IX disebut strategi panen dan diversifikasi. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan serta Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Faktor-faktor yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan serta peluang dan ancaman perusahaan pada Sentra Pengolahan Hasil Perikanan berasal dari identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang telah digunakan di atas. Hasil identifikasi ini kemudian digunakan untuk menyusun matriks IFE dan EFE . 1. Identifikasi Kekuatan dan Kelemahan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Identifikasi faktor internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden. Hasil ringkasan faktor strategis internal disajikan pada Tabel 3
84
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
Tabel 3. Faktor Strategis Internal Sentra pengolahan hasil perikanan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kode A B C D E F G H
9.
I
10.
J
11. 12. 13. 14. 15.
K L M N O
Kekuatan SDM yang terampil, disiplin dan ulet Sistem agribisnis perikanan yang cukup baik Teknologi pemindangan yang mudah dikuasai Dekat dengan tempat pendaratan ikan Memiliki mobil operasional Sistem pemasaran (jalur distribusi) yang jelas Modal cukup besar Lahan usaha yang cukup luas Kelemahan Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah Letak sentra pengolahan hasil perikanan dekat dengan pemukiman penduduk Tata letak bangunan dan jalan/gang antar unit pengolahan Produk mudah rusak/tidak tahan lama Masih menggunakan modal pribadi Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif Tidak melakukan promosi
2. Identifikasi Peluang dan Ancaman Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Sejumlah peluang dan ancaman yang dihadapi oleh perusahaan pada sentra pengolahan hasil perikanan yang diperoleh dari hasil diskusi dengan responden masyarakat pengolah pindang, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Hasil ringkasan faktor strategis eksternal disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Fakator Strategis Eksternal Sentra pengolahan hasil perikanan No Kode Peluang 1. A Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi 2. B Kepercayaan dari pihak Bank 3. C Infrastruktur jalan yang baik 4. D Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung 5. E Pangsa pasar untuk Bali cukup prospektif 6. F Kondisi ekonomi masyarakat Bali yang sangat baik 7. G Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan mumpuni Ancaman 8. H Cuaca yang tidak menentu sehingga dapat mengurangi ketersedian bahan baku 9. I Mahalnya harga ikan dan bahan bakar 10. J Banyaknya pesaing 11. K Gangguan kesehatan para pengolah 12. L Keamanan lingkungan dari gangguan luar
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
85
3. Tahap Masukan Skala Besar dan Kecil 1) Matriks Evaluasi Faktor Internal Berdasarkan analisis yang telah dilakukan terhadap faktor-faktor internal, selanjutnya dilakukan pembobotan untuk melihat derajat kepentingan atau pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan serta pemberian rating untuk mengetahui kemampuan perusahaan menjalankan usahanya. Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi perusahaan, yaitu: a) SDM yang terampil, disiplin dan ulet b) Memiliki mobil operasional c) Lahan usaha yang cukup luas Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu: a) Sanitasi yang buruk b) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah c) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan d) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif e) Tidak melakukan promosi Jumlah skor 2,67 menunjukkan bahwa sentra pengolahan hasil perikanan berada sedikit di atas rata-rata (2,50) dalam kekuatan internal keseluruhannya. Hal ini menunjukkan posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. Tabel 5. Matriks Evaluasi Faktor Internal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan No Kode Bobot Rating Skor 1. A 0.08 4 0.33 2. B 0.06 3 0.17 3. C 0.06 3 0.17 4. D 0.08 4 0.33 5. E 0.05 4 0.20 6. F 0.06 4 0.23 7. G 0.08 4 0.32 8. H 0.08 2 0.16 9. I 0.08 2 0.15 10. J 0.05 1 0.05 11. K 0.08 2 0.16 12. L 0.05 1 0.05 13. M 0.05 1 0.05 14. N 0.07 2 0.15 15. O 0.08 2 0.15 Total 2.67 2) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Hasil analisis yang ditunjukkan pada Tabel 6 diperoleh total skor 2,58 (sedikit di atas rata-rata 2,50). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sentra 86
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategi-strategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan berpengaruh terhadap perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu: a) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi b) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung c) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu: a) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar b) Gangguan kesehatan para pengolah c) Keamanan lingkungan dari gangguan luar. Tabel 6. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal Sentra Pengolahan Hasil Perikanan No Kode Bobot Rating Skor 1. A 0.10 4 0.40 2. B 0.06 2 0.13 3. C 0.07 3 0.20 4. D 0.10 4 0.40 5. E 0.10 3 0.31 6. F 0.07 3 0.21 7. G 0.09 3 0.26 8. H 0.07 1 0.07 9. I 0.09 2 0.17 10. J 0.08 1 0.08 11. K 0.09 2 0.18 12. L 0.09 2 0.17 Total 2.58 3.2 Strategi Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Setelah proses pengumpulan informasi internal dan eksternal yang dimasukkan dalam matriks IFE dan EFE, selanjutnya informasi-informasi ini menjadi input untuk perumusan strategi pengembangan yang dapat diwujudkan dalam bentuk matriks I-E dari analisis SWOT. Dalam tahap perumusan strategi pengembangan ini, perencana strategi dapat melakukan perpaduan antara sumberdaya dan keterampilan internal dengan peluang dan ancaman yang diciptakan oleh faktor-faktor eksternal. Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan para pelaku usaha pada sentra pengolahan hasil perikanan secara umum dapat dilakukan seperti berikut. 1. Biaya input ikan hasil tangkapan dan bahan bakar yang mahal sementara harga jual pindang itu rendah, maka diimbangi dengan meningkatkan efisiensi produksi. Lebih mengaktifkan dan meningkatkan efektifitas kelembagaan kelompok pengolahan hasil
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
87
perikanan dalam menetapkan harga produk serta penanganan input dan promosi produk. 2. Diperlukan perencanaan usaha dengan pertimbangan faktor waktu mengingat sifat produk yang tidak tahan lama, termsuk dibutuhkannya teknologi preservasi. 3. Diperlukan kerja sama antar unit usaha pengolahan perikanan berskala besar dan kecil untuk bersama-sama maju dan berkembang, misalnya untuk memenuhi tingginya permintaan akan produk hasil pengolahan perikanan. 4. Lebih membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang mantap serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari daerah lain atau luar Bali. 5. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para pelaku usaha pengolahan perikanan dalam mengelola limbah hasil kegiatan produksi yang kini terlihat masih sangat lemah dan kurang. Termasuk didalamnya mengenakan sanksi-sanksi yang tegas kepada unit-unit usaha pengolahan perikanan yang mengabaikan upaya pengelolaan limbah yang dapat mencemari lingkungan. 6. Menetapkan standar kelayakan unit pengolahan hasil perikanan yang tepat yang dapat memperbaiki sanitasi, kenyamanan kerja serta mencegah mewabahnya penyakit yang mengancam kesehatan para pengolah hasil perikanan. 7. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya dalam memberikan kredit ringan untuk meningkatkan produksi dan kualitas pengelolaan limbah, yang dilakukan baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama. Termasuk dukungan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Focus strategi yang tepat untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan dengan menggunakan matriks I-E dapat dijelaskan seperti pada uraian berikut ini. 1. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Matriks I-E digunakan untuk melihat strategi mana yang tepat diterapkan untuk pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan. Matriks I-E melibatkan semua komponen unit-unit usaha dalam sentra pengolahan hasil perikanan ke dalam diagram skematis sehingga disebut matriks portofolio. Setelah mendapatkan nilai total skor bobot dari faktor internal (IFE) dan faktor eksternal (EFE) sentra pengolahan hasil perikanan, nilai-nilai tersebut kemudian dimasukkan ke dalam matriks Internal-Eksternal (I-E). Berdasarkan hasil analisis faktor internal menggunakan IFE diperoleh skor 2,67 dan hasil analisis faktor eksternal menggunakan EFE diperoleh skor 2,58 yang menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V (lihat Gambar 2). Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan memiliki kondisi internal pada level rata-rata dan kondisi eksternal pada level sedang, sehingga sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara. Artinya perusahaan sentra pengolahan hasil 88
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk. Tinggi Rata-rata Lemah 1,0 4,0 2,0 3,0 I II III Tinggi 3,0 IV VI V Sedang 2,0 1,0 VII VIII IX Rendah Gambar 2. Matriks I-E Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Berdasarkan posisi sel V, maka tipe strategi utama yang dapat diterapkan adalah strategi intensif dalam bentuk penetrasi pasar, pengembangan produk dan pasar, perbaikan kelayakan unit pengolahan serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan. Penetrasi pasar atau pertumbuhan terkosentrasi dapat dilakukan dengan: 1. Menambah tingkat penggunaan pelanggan lama melalui: menambah jumlah pembelian, mengiklankan penggunaan lain, dan memberi insentif harga untuk penggunaan lebih banyak. 2. Memikat pelanggan pesaing melalui mempertajam diferensiasi merk, meningkatkan promosi dan menurunkan harga. 3. Memikat bukan pengguna untuk membeli produk melalui: merangsang keinginan mencoba produk contoh (sampling), insentif harga dan mengiklankan penggunaan baru. Strategi pengembangan pasar yang dapat dilakukan yakni dengan menambah daerah pasar sasaran. Selama ini produk sentra pengolahan ikan di Kusamba hanya dipasarkan di wilayah Klungkung, Denpasar dan Badung. Perlu dilakukan ekspansi pasar dengan menembus seluruh wilayah Bali serta Lombok Barat. Strategi pengembangan produk berkaitan erat dengan pencitraan produk. Tidak sulit bagi perusahaan sentra pengolahan perikanan untuk melakukan pengembangan produk dalam bentuk selain pindang, seperti pepes, otak-otak atau produk setengah jadi untuk dipasarkan ke restoran dan super market. Selain itu yang harus dipertahankan adalah adanya perlakuan sebelum produk dipasarkan, yaitu dengan seleksi, standarisasi atau grading. Sehingga didapatkan produk pengolahan ikan yang berkualitas tinggi. Penggunaan merk yang selama ini tidak dilakukan, sebaiknya dibrikan merk untuk membangun citra produk dan memudahkan pelanggan untuk mengingat produk sentra pengolahan perikanan yang telah beredar. Perbaikan kelayakan unit pengolahan dapat dilakukan dengan membangun layout/tata letak bangunan unit pengolahan sedemikian rupa agar efisien, murah, praktis, memudahkan dalam bekerja, memudahkan dalam pengelolaan limbah dan tampak indah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dicapai dengan pemberdayaan kelompok pekerja dan pelaku usaha pengolahan ikan, yaitu melalui restrukturisasi kepengurusan, penguatan modal kelompok serta pola pembinaan Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
89
dan pengembangan dapat dilakukan dengan kombinasi Pola Empu dan Pola Pemasaran Bapak Angkat. Hal ini dapat diupayakan dengan membuat kesepakatan dan kerja sama dengan pihak terkait berdasar MoU. Pola Empu dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dengan menempatkan seorang pakar, di mana secara berencana dan berkesinambungan melaksanakan pembinaan dan membantu pengembangan. Pola Bapak Angkat lebih ditekankan pada bantuan modal kerja dan penjaminan resiko usaha serta membantu dalam pendekatan akses pasar untuk menjual produk dalam hal ini dilakukan dengan mengundang pengusaha mitra, badan atau LSM. Peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan adalah melalui memberi bantuan dana pembangunan IPAL dan bahan penetralisir limbah. Pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap unit-unit usaha pengolahan ikan pada sentra pengolahan perikanan dalam hal pengelolaan lingkungan masih sangat perlu ditingkatkan. Di antaranya dengan menjadi agensia teknologi dan fasilitas pengelolaan limbah cair hasil kegiatan pengolahan ikan, serta dengan memberikan kontrol, pengawasan dan sanksi yang lebih ketat terhadap pelaku usaha yang melakukan pencemaran lingkungan.
4. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan: 1) Hasil perhitungan matriks IFE untuk perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor kekuatan utama bagi perusahaan, yaitu: (1) SDM yang terampil, disiplin dan ulet; (2) Memiliki mobil operasional; dan (3) Lahan usaha yang cukup luas. Sedangakan faktor internal yang menjadi kelemahan utama bagi perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan, yaitu: (1) Sanitasi yang buruk; (2) Pengetahuan dan sikap terhadap pengelolaan limbah usaha pemindangan masih rendah; (3) Kelayakan unit pengolahan hasil perikanan; (4) Kelembagaan kelompok pengolahan perikanan kurang aktif; dan (5) Tidak melakukan promosi. Posisi internal perusahaan cukup kuat di mana perusahaan cukup mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dan mengatasi kelemahan yang ada. 2) Posisi ekternal perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan masih cukup kuat dalam usahanya melaksanakan strategistrategi untuk memanfaatkan peluang yang ada dan mengatasi ancaman yang dihadapi. Beberapa faktor eksternal yang menjadi peluang terpenting dan berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu: (1) Permintaan terhadap pindang ikan yang cukup tinggi; (2) Dukungan pemerintah karena usaha pengolahan perikanan merupaka sector unggulan Kabupaten Klungkung; (3) Perkembangan ilmu dan teknologi pengelolaan limbah yang cukup tinggi dan mumpuni. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman yang paling berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan, yaitu: (1) Mahalnya harga ikan dan bahan bakar; (2) Gangguan kesehatan para pengolah; dan (3) Keamanan lingkungan dari gangguan luar. 3) Matriks I-E menempatkan perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan pada sel V. Posisi ini menggambarkan bahwa perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan sebaiknya menerapkan strategi pertahankan dan pelihara. 90
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
4.2 Saran Berdasarkan beberapa temuan dalam penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut. Perusahaan sentra pengolahan hasil perikanan harus menjaga dan mempertahankan posisi yang berada dalam kondisi yang cukup baik serta melakukan perbaikan-perbaikan internal baik yang menyangkut bidang produksi, pemasaran, kelembagaan, serta pengelolaan lingkungan demi tercapainya kapabilitas yang tinggi bagi perusahaan dan kelangsungan hidup (sustainable) sentra pengolahan hasil perikanan serta memiliki keunggulan kompetitif dalam pengembangan produk.
DAFTAR PUSTAKA Dahuri, 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan untuk Kesejahteraan Rakyat. Penerbit LISPI, Jakarta. David, FR., 2001. Manajemen Strategik. Prenhallindo, Jakarta. Downey, W.D. dan S.P. Erickson, 1992. Manajemen Agribisnis. Diterjemahkan oleh Ganda S. dan A. Sirait dari Agribusiness Management. Erlangga, Jakarta. Hadiwiyoto,S., 1993. Teknik pengolahan Hasil Perikanan. Liberty, Yogyakarta. Kinnear, TL. dan Taylor, 1996. Marketing Research An Aplied Approach 5th Edition. Mc Graw Hill, New York. Kotler, P., 1991. Prinsip Pemasaran. Edisi Bahasa Indonesia. Terjemahan Jaka Warsana. Airlangga, Jakarta. Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT TehNPK Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Resssohadiprojo, S., 1992. Manajemen Strategik . BPFE UGM, Yoyakarta. Rustam, 2002. Pendapatan Menurut Standar Akutansi Keuangan. Digilib Usu, Medan. Suparta, N., 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. CV Bali Media Adhikarsa, Denpasar. Suwarsono, M., 2005. Manajemen Strategik. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Agrimeta,
JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
91