AGRESIVITAS TOKOH DALAM ROMAN THÉRÈSE RAQUIN KARYA EMILE ZOLA
SKRIPSI Dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1 Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh: Nama
: Relianedo Surya Dirgantara
Nim
: 2350402018
Prodi
: Sastra Prancis
Jurusan
: Bahasa dan Sastra Asing
FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi.
Semarang,
Januari 2007
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dra. Conny Handayani, M. Hum NIP 130354837
Suluh Edhi Wibowo, S. S NIP 132233484
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pada hari : Selasa Tanggal : 30 Januari 2007
Panitia Ujian Skripsi
Ketua
Sekretaris
Prof. Dr. Rustono, M. Hum NIP. 131281222
Drs. Sudarwoto, M. Pd NIP. 131281217
Penguji I
Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA NIP. 131813669
Pembimbing II/Penguji II
Pembimbing I/Penguji III
Suluh Edhi Wibowo, S.S NIP. 132233484
Dra. Conny Handayani, M. Hum NIP. 130354837
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakkan dari hasil karya orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat di dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang,
Januari 2007
Relianedo Surya Dirgantara 2350402018
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO :
Orang yang lemah adalah orang yang diperbudak oleh adatistiadat dan selalu menentukan keputusannya dalam segala urusan dengan tradisi-tradisi terkenal walaupun kebodohan tersebut membawanya kepada kesusahan dunia dan akhirat. (Muhammad Al-Ghazali)
Persembahan : Skripsi ini dipersembahkan untuk ; F Bapak dan Ibu, yang menggajarkan kearifan hidup, sopan santun dan akhlak dalam kehidupanku. F Almamater Unnes tercinta.
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Agresivitas Tokoh dalam Roman Thérèse Raquin karya Emile Zola” dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sastra. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan bimbingan semua pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada Dra. Conny Handayani M. Hum, pembimbing utama dan Suluh Edhi Wibowo, S. S, pembimbing II dengan segala kesabaran dan perhatiannya tercurah kepada penulis. Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungan semua pihak selama penyusunan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan terima kasih kepada ; 1. Rektor Universitas Negeri Semarang. 2. Dekan Fakultas Bahasa dam Seni. 3. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. 4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. 5. Adik dan sepupuku tercinta ---Vera, Revi, Anggi, Rizki, dan Feri--dengan segala guyon dan do’anya mendorong penulis untuk terus berfikir. 6. Seluruh sahabat-sahabatku Sastra Prancis angkatan 2002.
vi
7. Teman-temanku di kos “Shiegade Cost” yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh keluarga besar Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang tidak dapat penulis sebut satu per satu. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Untuk itu, penulis berharap pembaca dapat menindak lanjuti penelitian ini dengan model penelitian yang lain.
Semarang, Penulis
vii
Januari 2007
SARI Dirgantara, Relianedo Surya. 2007. Agresivitas Tokoh dalam Roman Thérèse Raquin Karya Emile Zola. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I. Dra. Conny Handayani, M. Hum. Pembimbing II. Suluh Edhi Wibowo, S. S. Kata kunci : Agresivitas, tokoh, karakter. Agresi manusia atas sesamanya dalam berbagai bentuk tidak menunjukkan gejala mereda, tetapi cenderung meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya program-program acara di media cetak dan media elektronik yang menyuguhkan agresivitas manusia. Agresivitas manusia yang ada dalam realitas kehidupan memungkinkan terrefleksikan dalam karya sastra. Hal ini dikarenakan karya sastra dapat dimasukkan dalam konteks mimetis. Roman Thérèse Raquin karya Emile Zola merupakan roman naturalisme pertama yang menggambarkan agresivitas manusia. Roman ini merupakan gambaran pikiran Zola mengenai karakter manusia dalam kehidupan. Berdasarkan hal tersebut, ada empat permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu : (1) bagaimanakah tipe-tipe agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola, (2) bagaimanakah faktor pencetus agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola, (3) bagaimanakah dampak agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola, dan (4) bagaimanakah wujud-wujud agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu, pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Pendekatan teoritis yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra, sedangkan pendekatan metodologis yang digunakan adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Data yang digunakan adalah teks dalam roman dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pustaka. Kemudian data dipilih dan dianalisis dengan tehnik Pilah Unsur Penentu (PUP). Hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini adalah, (1) tipe agresi yang meliputi : (a) agresi antarjantan, (b) agresi ketakutan, (c) agresi tersinggung, dan (d) agresi instrumental, (2) Faktor pencetus agresi yang meliputi : (a) frustasi, (b) stres, (c) kekuasaan dan kepatuhan, (d) efek senjata, dan (e) provokasi, (3) dampak agresi yang meliputi : (a) depresi, (b) cidera, dan (c) kematian, (4) wujud agresi yang meliputi : (a) agresi di ruang publik yang meliputi : bullying dan pembunuhan terencana (murder), (b) kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi : penganiayaan dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap anak, penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan, penganiayaan dan penelantaran orang lanjut usia, dan (c) agresi seksual yang meliputi : pelecehan seksual, (5) pendeskripsian agresivitas tokoh dalam
viii
roman Thérèse Raquin ini menunjukkan kepada kita bahwa agresivitas manusia hanya menimbulkan pengaruh yang negatif, (6) roman Thérèse Raquin menggambarkan tentang kesedihan hidup, membeberkan kekejian dan kesengsaraan manusia, dan (7) roman Thérèse Raquin merupakan gambaran pikiran Zola mengenai kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Penelitian ini mengambil objek agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dalam memahami karakter manusia, khususnya agresivitas pada manusia, setiap manusia dapat mengendalikan sifat agresifnya agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, memberikan kontribusi dalam menelaah karya sastra khususnya masalah agresivitas manusia. Penelitian ini masih dapat dikembangkan pada bidang sastra lain, misalnya pada roman lain yang berbobot, dengan kajian yang berbeda misalnya kajian mengenai nilai-nilai moral kemasyarakatan, yang berkaitan dengan agresivitas manusia.
ix
RESUME Dirgantara, Relianedo Surya. 2007. L’Agressivité des Personnages dans le Roman Thérèse Raquin d’Emile Zola. Département de la Langue et de la Littérature Etrangères. Faculté de la Langue et des Arts. Université d’Etat de Semarang. Directeur/trice: (I). Dra. Conny Handayani, M. Hum, (II). Suluh Edhi Wibowo, S. S. Mots clés : L’agressivité, les personnages, les caractères humains.
A. L’Introduction. Aujourd’hui, la destruction et l’agressivité humaine augmentent de plus en plus. Dans la vie réelle, il se passe souvent des violences faites par certaines personnes, par exemple l’assasinat, la querelle de famille, la guerre, etc. Presque tous les jours, certains programmes de télévision en Indonésie présentent l’agressivité humaine, par exemple Brutal, Jejak Kasus, Patroli, et Buser. Dans la Deuxième Guerre Mondiale, les malheurs de Nagasaki et Hiroshima ont prouvé que l’agressivité humaine était une évidence terrible (Koeswara 1998:1-2). L’agressivité d’après Buss (cité par Krahé 2005 :15) est une réaction empoisonnée envers les autres, qui a pour but de blesser les autres physiquement (par ex : le meurtre) et spirituellement (par ex : la moquerie). Le roman Thérèse Raquin d’Emile Zola est un roman naturaliste. Le naturalisme reproche la brutalité par ses descriptions, par l’étalage des vices et des passions, par sa haine des classes dirigeantes surtout la classe bourgeois, par son pessimisme et par sa fausse science. Le naturalisme a libéré la littérature des dernières conventions pour chercher la vérité nue, il a achevé de tuer le romantisme
x
et la conception idéaliste de la littérature que l’on croyait destinée à embellir la vie ; il a poussé les écrivains à regarder le monde avec pénétration, il a enrichi la littérature en y faisant entrer la classe ouvrière et en imposant avec force l’étude des questions sociales : il montre un effort lucide pour pénétrer la vie (Bornecque 1957 : 545). Le naturalisme est la tendance littéraire qui décrit la réalité de la vie surtout de façon négative (Fananie 2000 :59), comme par exemple l’histoire de concubinage dans le roman Thérèse Raquin d’Emile Zola. Mais Zola n’avait pas envie de décrire la pornographie. Dans ce roman, il a voulu étudier les tempéraments et non les caractères des personnages. Il a choisi des personnages souverainement dominés par leurs nerfs et leur sang, dépourvus de libre arbitre, entraînés à chaque acte de leur vie par les fatalités de leur chair. En vérité, Il a choisi des personnages souverainement dominés par leurs nerfs et leur sang, dépourvus de libre arbitre, entraînés à chaque acte de leur vie par les fatalités de leur chair. Il vous assure que les amours cruels de Thérèse et Laurent n’avaient rien d’immoral, rien qui puisse pousser aux mauvaises passions. Les amours de Thérèse et Laurent sont le contentement d’un besoin ; le meurtre qu’ils ont commis est une conséquence de leur adultère (Zola 1979 :21). Dans ce cas là, je m’intéresse à l’agressivité des personnages dans le roman Thérèse Raquin d’Emile Zola, de plus, ce roman est un oeuvre littéraire d’Emile Zola qui est considéré comme pionnier du naturalisme (Rampan 2005: 62).
xi
B. Les Théories de l’Agressivité 1. Les types d’agressions Moyer (cité par Koeswara 1988 : 6) dit qu’on aperçoit sept types d’agression, ils sont :‘‘ l’agression de la prédateur, l’agression de la virilité, l’agression de la défense, l’agression de la peur, l’agression vexante, l’agression maternelle, et l’agression instrumentale.’’ 2. Les facteurs de la responsabilité d’agressivité Selon Koeswara (1988 : 82-113), il existe huit facteurs de responsabilité d’agressivité, ils sont : ‘‘ la frustration, le stress, la dépersonnalisé, le pouvoir et l’obéissance, l’arme, la provocation, l’alcool et la drogue, et la température.’’
3. Les conséquences d’agressivité Selon Sarwono (2002 : 197) et Breakwell (1998 : 96-101), on compte au moins quatre conséquence d’agressivité : ‘‘ la dépression, l’infirmité, la dispute, et la mort.’’ 4. Les formes d’agressivité Selon Krahé (2005 :195-300), il y a trois formes d’agressivité, elles sont : ‘‘le public, la famille, et le sexe.’’
C. La Méthodologie de la Recherche Emile Zola avait un but scientifique avant tout. Il a tenté d’expliquer l’union étrange qui pouvait se produire entre deux tempéraments différents. Il a montré les
xii
troubles profonds d’une nature sanguine au contact d’une nature nerveuse. Qu’on lit le roman Thérèse Raquin avec soin, révèle que chaque chapitre est l’étude d’un cas curieux de psychologie d’humaine : les caractères humains. Dans ce cas là, j’ai choisi la méthode de la psychologie de la littérature pour mon mémoire. J’ai aussi utilisé la méthodologie descriptive-qualitative dans ce mémoire, parce que mon but est de décrire l’agressivité des personnages dans le roman Thérèse Raquin d’Emile Zola. Les corpus utilisés dans ce mémoire sont les textes du roman Thérèse Raquin d’Emile Zola. Les donnés sont notées sur des cartes de données, alors elles sont analysées en utilisant la technique Pilah Unsur Penentu (Triage de Constituant Déterminant) (Sudaryanto 1993 :21). D. L’Analyse Avant d’aborder de l’analyser de l’agressivité des personnages dans le roman Thérèse Raquin, nous parlons premièrement de : 1. Les caractères des personnages dans le roman Thérèse Raquin Dans ce cas-là, on parle de caractères des personnages afin de comprendre la situation de ces personnages eux-mêmes. Exemple : paresseux. ‘Il venait, en quelques mots, de conter une histoire caractéristique qui le peignait en entier. Au fond, c’était un paresseux, ayant des appétits sanguins, des désirs très arrêtés de jouissances faciles et durables. Ce grand corps puissant ne demandait qu’à ne rien faire, qu’à se vautrer dans une oisiveté et un assouvissement de toutes les heures. Il aurait voulu bien manger, bien dormir, contenter largement ses passions, sans remuer de place, sans courir la mouvaise chance d’une fatigue quelconque.’ (TR/V/60)
xiii
L’analyse ; Emile Zola décrit le caractère de Laurent, un homme paresseux qui a des appetits sanguins et qui n’aime pas travailler. 2. L’agressivité des personnages dans le roman Thérèse Raquin Dans cette partie, on parle des types, des facteurs de la responsabilité, des conséquences et des formes d’agressivités des personnages dans ce roman. a.
Les types d’agression Exemple : l’agression instrumentale L’agression instrumentale est celle qui est faite par une personne dont le but
est de se servir de quelqu’un pour parvenir à ses projets finaux. Laurent a fait subir une agression instrumentale à Camille, en le tenant en l’air pour ensuite le lancer dans la rivière. ‘Laurent secouait toujours Camille, en le serrant d’une main à la gorge. Il fini par l’arracher de la barque à l’aide de son autre main. Il le tenait en l’air, ainsi qu’un enfant, au bout de ses bras vigoureux. Comme il penchait la tête découvrant le cou, sa victime, folle de rage et d’épouvante, se tordit, avança les dents et les enfonça dans ce cou. Et lorsque le meurtrier, retenant un cri de souffrance, lança brusquement le commis à la rivière, les dents de celui-ci emportèrent un morceau de chair.’ (TR/XI/112) Laurent avait dans l’esprit l’idée de tuer Camille parce qu’il voulait être le mari de Thérèse et voulait hériter les biens de Madame Raquin. ‘Au contraire, Camille mort, il épousait Thérèse, il héritait de Mme Raquin, il donnait sa démission et flânait au soleil. Alors, il se plut à rêver cette vie de paresseux.’ (TR/IX/93) b. Les facteurs de la responsabilité de l’agressivité :
xiv
Laurent était l’amant de Thérèse. Ils s’aimaient. Laurent rêvait de devenir son mari. Mais c’était un chose impossible du fait que Thérèse était la femme de Camille. Laurent, qui était frustré de ne pas pouvoir réaliser son rêve a tué le mari de Thérèse : Camille, les instincts prudents du jeune homme se sont réveillés. ‘- Tu as raison, dit-il, il ne faut pas agir comme des enfants. Ah ! Si ton mari mourait… - Si mon mari mourait…, répéta lentement Thérèse. - Nous nous marierons ensemble, nous ne craindrions plus rien, nous jouirions largement de nos amours… Quelle bonne et douce vie !’ (TR/IX/91) c. Les conséquences de l’agressivité Dès le commencement, Laurent et Thérèse se trouvaient leur liaison nécessaire, fatale, et toute naturelle. Ils avaient en projet de se marier après la mort de Camille. Laurent avait noyé Camille à la rivière, ce qui a entraîné sa mort. Son cadavre a été ensuite retrouvé à la Morgue. ‘Laurent regardait Camille. Il n’avait pas encore vu un noyé si épouvantable. Le cadavre avait, en outre, un air étriqué, une allure maigre et pauvre.’ (TR/XII/129-130)
d. Les formes de l’agressivité. Les amours de Thérèse et Laurent sont le contentement d’un besoin ; le meurtre qu’ils ont commis est une conséquence de leur adultère. Laurent avait en tête de tuer Camille afin qu’il ait pu épouser Thérèse. Laurent murmurait : ‘En s’endormant, Laurent décida qu’il attendrait une occasion favorable, et sa pensée, de plus en plus fuyante, le berçait en murmurant : » Je le tuerai, je le tuerai. ». cinq minutes plus tard, il reposait, respirant avec une régularité sereine.’
xv
E. La Conclusion La description de l’agressivité des personnages dans le roman Thérèse Raquin prouve que l’agressivité ne provoque que des mouvaises conséquences pour les acteurs (la dépression) et les victimes (la mort) d’agression. Ce roman montre la tristesse humaine dans la vie. Zola présentait soi-même son œuvre à ses juges. Il montrait un des brutes humaines, c’est l’agressivité. Le roman Thérèse Raquin s’appuie sur une connaissance objective et détaillée de la réalité. Mais l’écrivain veut révéler aussi une étude scientifique des conditions psychologique et sociale qui déterminent l’homme.
xvi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………………….ii PENGESAHAN KELULUSAN…..…………………………………………………iii PERNYATAAN……………………………………………………………………...iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………………....v PRAKATA…………………………………………………………………………...vi SARI………………………………………………………………………………...viii RESUME…………………………...… ……………………………………………..ix DAFTAR ISI……………………………………………………………………….xvii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..xxi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...……………………………………………………………...1 B. Permasalahan …………………………………………………………………9 C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………..9 D. Manfaat ……………………………………………………………………...10 E. Sistematika Penelitian ……………………………………………………….10 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Psikologi Sastra …………………………………………………12 B. Pengertian Roman …………………………………………………………...15 C. Tokoh dan Penokohan ………………………………………………………16 D. Pengertian Agresi ……………………………………………………………17 E. Tipe-Tipe Agresi …………………………………………………………….18 1. Agresi Predatori .…………………………………………………………19 2. Agresi Antarjantan ……………………………………………………….19 3. Agresi Ketakutan ………………………………………………………...20 4. Agresi Tersinggung ……………………………………………………...20 5. Agresi Pertahanan ………………………………………………………..20
xvii
6. Agresi Maternal ………………………………………………………….21 7. Agresi Instrumental ……………………………………………………...21 F. Faktor Pencetus Agresi ……………………………………………………...21 1. Frustasi …………………………………………………………………..22 2. Stres ……………………………………………………………………..22 3. Deindividuasi ……………………………………………………………22 4. Kekuasaan dan Kepatuhan ………………………………………………23 5. Efek Senjata ……………………………………………………………..24 6. Provokasi …………………………………………………………..........24 7. Alkohol dan obat-obatan ………………………………………………...25 8. Suhu Udara ……………………………………………………………...25 G. Dampak Agresi ……………………………………………………………...25 1. Depresi…………………………………………………………………...26 2. Cacat Fisik……………………………………………………………….26 3. Cidera…………………………………………………………………….26 4. Kematian…………………………………………………………………26 H. Wujud-Wujud Agresi ………………………………………………………..27 1. Agresi di Ruang Publik ………………………………………………….27 a. Bullying ……………………………………………………………...27 b. Kekerasan yang Dimotifasi oleh Etnis dan Politis ………………….28 c. Kekerasan Kolektif ………………………………………………….28 d. Pembunuhan ………………………………………………………...28 2. Kekerasan dalam Rumah Tangga ……………………………………….29 a. Penganiayaan dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap anak…29 b. Penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan …………………..30 c. Penganiayaan dan penelantaran orang lanjut usia. ………………….30 3. Agresi Seksual …………………………………………………………..31 BAB III METODE PENELITIAN A. Sasaran Penelitian …………………………………………………………...32
xviii
B. Pendekatan Penelitian ……………………………………………………….32 C. Sumber data …………………………………………………………………33 D. Metode Pengumpulan Data …………………………………………………33 E. Metode Analisis Data ……………………………………………………….34 F. Langkah Kerja ………………………………………………………………37 BAB IV AGRESIVITAS TOKOH DALAM ROMAN THÉRÈSE RAQUIN KARYA EMILE ZOLA A. Tokoh-Tokoh dalam Roman Thérèse Raquin ……………………………….38 B. Karakter-Karakter para Tokoh dalam Roman Thérèse Raquin ……………..39 C. Tipe-Tipe Agresi …………………………………………………………….66 1. Agresi Antarjantan ………………………………………………………66 2. Agresi Ketakutan ………………………………………………………..67 3. Agresi Tersinggung ……………………………………………………..69 4. Agresi Instrumental ……………………………………………………..71 D. Faktor Pencetus Agresi ……………………………………………………..77 1. Frustasi ………………………………………………………………….77 2. Stres ……………………………………………………………………..79 3. Kekuasaan dan Kepatuhan ………………………………………………80 4. Efek Senjata ……………………………………………………………..80 5. Provokasi ………………………………………………………………..81 E. Dampak Agresi ……………………………………………………………...82 1. Depresi …………………………………………………………………..82 2. Cidera ……………………………………………………………………83 3. Kematian ………………………………………………………………...85 F. Wujud-Wujud Agresi ………………………………………………………..86 1. Agresi di Ruang Publik ………………………………………………….86 a. Bullying ……………………………………………………………...86 b. Pembunuhan terencana (Murder) …………………………………...86 2. Kekerasan dalam Rumah Tangga ……………………………………….87
xix
a. Penganiayaan dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap anak…87 b. Penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan…………………...88 c. Penganiayaan dan penelantaran orang lanjut usia…………………...90 3. Agresi Seksual …………………………………………………………..93 BAB V PENUTUP A. Simpulan …………………………………………………………………….94 B. Saran ………………………………………………………………………...95 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….97 LAMPIRAN ……………..………………………………………………………….99 A. BIOGRAFI EMILE ZOLA ………………………………………………...100 B. KARYA-KARYA EMILE ZOLA …………………………………………104 C. RINGKASAN CERITA ROMAN THÉRÈSE RAQUIN …………………..105
xx
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. BIOGRAFI EMILE ZOLA B. KARYA-KARYA EMILE ZOLA C. RINGKASAN CERITA ROMAN THÉRÈSE RAQUIN
xxi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kenyataan sehari-hari di lingkungan kita sendiri, agresi manusia atas sesamanya dalam berbagai bentuk tidak menunjukkan gejala mereda, tetapi cenderung meningkat. Hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya acara-acara di media elektronik dan media cetak yang menyuguhkan agresivitas manusia atau perilaku agresif manusia. Sebagai contoh Patroli, Buser, dan Jejak Kasus untuk contoh media elektronik dan Meteor untuk media cetaknya. Bom yang diledakkan oleh teroris dan meminta banyak korban, perkelahian antar pelajar yang merisaukan orang tua, penyiksaan istri oleh suami, pelecehan wanita, pembunuhan dan sebagainya. Kiranya tidak ada yang membantah bahwa agresivitas tidak dapat dilenyapkan dari bumi ini karena agresivitas merupakan bagian dari manusia itu sendiri (Sarwono dalam Koeswara 1988 :xi). Lebih lanjut Freud dalam Krahé (2005 :54) berpendapat bahwa manusia memiliki dua macam instink dalam perilakunya, yaitu instink hidup (eros) dan instink kematian (thanatos). Eros yakni instink setiap individu untuk tetap hidup dan memperpanjang ras, seperti makan, minum, dan berhubungan seksual. Thanatos disebut juga instink merusak (destruktif), seperti agresivitas manusia. Lebih lanjut Sarwono (2002:294) berpendapat peranan agresi begitu penting dalam kehidupan manusia, sehingga berbagai metodologi, dongeng, karya sastra, legenda, bahkan agama menggambarkan penuh dengan tokoh-tokoh yang berperilaku agresif (Ken Arok, Rahwana) dan tokoh yang baik dan suka menolong (Sri Rama).
xxii
Hal-hal di atas menarik orang tertentu untuk melakukan kajian teoretis mengenai agresivitas manusia yang salah satunya adalah dalam bidang kajian sastra. Plato (dalam Aminuddin 2004:115) bahwa karya sastra bersifat mimesis, yakni semacam cermin yang menjadi perepresentasi dari realitas itu sendiri. Mimesis merupakan paparan cerita yang diemban oleh tokoh pelaku tertentu, terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu seperti halnya kenyataan terjadinya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, maka terdapat pengisahan yang berkembang dari ilusi pengarang tanpa terikat oleh pelaku. Pelaku dalam karya sastra memainkan realitas kehidupan manusia, salah satunya realita agresivitas. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa. Lebih lanjut, objek penelitian agresivitas manusia dalam karya sastra dapat dilihat dari penokohannya. Pengarang menampakkan perilaku agresif yang terjadi pada tokoh agar para pembaca memperoleh gambaran pikiran dan motif yang mendasari perilaku agresif tersebut. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pengarang. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra (Endraswara 2003:96). Sastra berbeda dengan psikologi jika dikaitkan secara kategori, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya
xxiii
memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Bicara tentang manusia, psikologi jelas terlibat erat, karena psikologi mempelajari perilaku. Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya (Siswantoro 2005:29). Penelitian ini membahas perilaku agresif atau agresivitas manusia dalam karya sastra yaitu di dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Hal di atas membuktikan bahwa pendekatan yang paling cocok dengan penelitian ini adalah psikologi sastra karena karya sastra tersebut merekam gejala kejiwaan yaitu agresivitas manusia yang terungkap lewat perilaku tokoh. Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari kehidupan manusia. Perbedaan antara keduanya, yaitu sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Tuhan secara riil. Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukkan kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, penulis karya sastra sering memanfaatkan hukum-hukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya. Penulis sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-diam (Endraswara 2003:99). Roman Thérèse Raquin karya Emile Zola merupakan roman yang menampilkan tokoh yang berperilaku agresif. Alasan yang mendorong penulis untuk mengkaji roman ini adalah karena pendeskripsian agresivitas tokoh, terutama pembunuhan yang dilakukan tokoh utama yang dibantu pasangan selingkuhnya terhadap suaminya
xxiv
terlihat jelas. Pembunuhan itu dilakukan sebagai tindakan untuk mencapai tujuan tokoh. Emile Zola sebagai pengarang roman ini tidak hanya membahas tentang agresivitas manusia saja, tetapi yang lebih penting dia ingin mengungkapkan masalah moral dan karakter manusia. Roman ini merupakan gambaran pikiran Zola mengenai temperamen manusia. Dia menggambarkan sifat kekerasan manusia melalui dua tokoh yaitu Thérèse dan Laurent. Dia ingin menceritakan bahwa perilaku agresif hanya akan menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan bagi korbannya. Keberanian Zola dalam memaparkan karakter manusia secara nyata ini dianggap memiliki ciri khas tersendiri dalam kesusastraan pada masanya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran situasi kejiwaan perilaku agresif tokoh pada roman Thérèse Raquin karya Emile Zola kepada pembaca dengan cara mendeskripsikan karakter tiap tokoh dalam roman Thérèse Raquin sebelum dan sesudah melakukan agresi. Naturalisme adalah suatu pergerakkan sastra yang muncul di Paris sekitar tahun 1860-1910 yang hanya menyangkut drama dan roman. Isi karya-karya Naturalisme adalah teguran berupa penggambaran terhadap kebrutalan, penggambaran sifat jelek dan hasrat manusia, kebencian terhadap kaum pemimpin terutama kaum borjuis dan penyelewengan ilmu pengetahuan. Naturalisme adalah sebuah kejujuran luapan perasaan yang diungkapkan dalam bentuk drama, dan roman yang merupakan bukti yang benar dari sebuah kenyataan. Naturalisme membebaskan sastra dari aturanaturan yang mengikat untuk mencari kenyataan apa adanya. Aliran ini menyebabkan kematian dari aliran romantis dan pemikiran idealis sastra yang mempercayai takdir agar kehidupan menjadi lebih indah. Naturalisme mendorong para sastrawan untuk
xxv
melihat dunia dengan ketajaman daya pikir. Aliran ini memperkaya sastra dengan membuatnya masuk dalam kehidupan masyarakat kelas bawah dan permasalahanpermasalahan sosial (Bornecque 1957 : 545). Kajian sejenis pernah dilakukan oleh Nunung Setyowati (2003) dalam skripsinya yang berjudul ‘‘Agresivitas Tokoh dalam Kumpulan Cerpen Orang Sakit Karya Hudan Hidayat’’ yang memaparkan agresivitas tokoh-tokoh yang berbeda karena objek kajiannya berupa kumpulan cerita pendek. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitiannya adalah pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teknik analisis sintesis. Lebih lanjut penelitiannya mengkaji tipe-tipe perilaku agresif, faktor pencetus, dan dampak perilaku agresif tokoh dalam kumpulan cerpen Orang Sakit karya Hudan Hidayat. Objek kajian berupa tokoh-tokoh yang berbeda karena dalam kumpulan cerpen. Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Iin Safitri (2005) dalam skripsinya yang berjudul ‘‘Agresivitas Tokoh Kembar dalam Novel Tidak Hilang Sebuah Nama Karya Galang Lufianto’’. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Skripsi ini mengkaji ciri-ciri tokoh kembar, tipe, dampak, dan penyebab agresivitas tokoh dalam novel Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang Lutfianto. Penelitian Iin hanya membahas perilaku agresif tokoh kembar saja. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : 1. Bagaimanakah agresivitas tokoh yang meliputi tipe, pencetus, dan dampak
xxvi
perilaku agresif tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola ? 2. Bagaimanakah wujud agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan agresivitas tokoh yang meliputi tipe, pencetus dan dampak perilaku agresif tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. 2. Mendeskripsikan wujud agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola.
D. Manfaat Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini bersifat confirmatory (membenarkan) bahwa ada hubungan antara psikologi dan sastra dalam aspek agresivitas. Hubungan ini dapat dilihat dari karakter tokoh dengan munculnya perilaku agresif dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola.
xxvii
2. Bagi pengajaran sastra, penelitian ini dapat diterapkan sebagai materi alternatif dalam mata kuliah apresiasi sastra bagi mahasiswa, khususnya agresivitas dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. 3. Dari segi manfaat kehidupan, pembaca dapat menilai baik dan buruknya perilaku agresif sehingga pembaca lebih bijak dalam mengontrol sifat agresif dalam dirinya.
E. Sistematika Penelitian Penulisan penelitian ini terbagi menjadi lima bab, yang disusun dengan sistematika sebagai berikut : Paparan penelitian ini dimulai dengan pendahuluam pada bab I, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Kemudian, pada bab II dipaparkan mengenai landasan teori yang meliputi : (1) pengertian psikologi sastra, (2) pengertian roman, (3) tokoh dan penokohan, (4) pengertian agresi, (5) tipe-tipe agresi, yang terdiri atas : agresi predatori, agresi antarjantan, agresi ketakutan, agresi tersinggung, agresi pertahanan, agresi maternal, dan agresi instrumental, (6) faktor pencetus agresi yang terdiri atas : frustasi, stres, deindividuasi atau depersonalisasi, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, provokasi, alkohol dan obat-obatan, dan suhu udara, (7) dampak agresi, yang terdiri atas : depresi, cacat fisik, cidera, dan kematian, (8) wujud-wujud agresi, yang meliputi : agresi di ruang publik, kekerasan dalam rumah tangga, dan agresi seksual.
xxviii
Selanjutnya, bab III memaparkan metode penelitian atau cara penelitian yang merupakan tahapan strategis untuk menjawab permasalahan yang disajikan, terdiri atas : sasaran penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data yang meliputi : metode pustaka, metode analisis data serta langkah kerja. Uraian ini diharapkan dapar dijadikan sebagai pengantar penbaca untuk memasuki bagianbagian yang merupakan inti pembahasan. Kemudian dalam bab IV, disajikan pembahasan penelitian yang mengemas enam subbahasan masing-masing, yaitu tokoh-tokoh dalam roman Thérèse Raquin, karakter-karakter tokoh dalam roman Thérèse Raquin, tipe-tipe agresi, faktor pencetus agresi, dampak agresi, dan wujud agresi dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Akhirnya, penelitian ini ditutup dengan simpulan dan saran yang disajikan dalam bab V.
xxix
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Psikologi Sastra Abram (dalam Jabrohim 2001 :53) membagi model pendekatan penelitian sastra menjadi empat kelompok besar. Keempat kelompok tersebut dapat dipandang sebagai model yang telah mencakupi keseluruhan situasi dan orientasi karya sastra sebagai berikut : 1. Pendekatan Ekspresif Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam penelitian sastra yang menonjolkan kajian terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra. 2. Pendekatan Mimetik Pendekatan mimetik adalah pendekatan dalam karya sastra yang lebih berorientasi kepada aspek referensial dalam kaitannya dalam dunia nyata. 3. Pendekatan Pragmatik Pendekatan pragmatik adalah pendekatan dalam penelitian karya sastra yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat karya sastra. 4. Pendekatan Objektif
12 xxx
Pendekatan objektif adalah pendekatan dalam penelitian karya sastra yang memberikan perhatian penuh terhadap karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik. Pendekatan yang sesuai dengan penelitian ini adalah pendekatan penelitian karya sastra objektif, karena penelitian memberikan penekanan pada unsur intrinsik karya sastra, yaitu tokoh yang berperilaku agresif dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Perilaku manusia dalam karya sastra dapat dikaji secara langsung dengan pendekatan psikologi sastra. Teori yang lebih lengkap diajukan oleh Wellek dan Warren (1993 :90) yang membagi psikologi sastra menjadi empat bagian sebagai berikut. 1. Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. 2. Studi proses kreatif 3. Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. 4. Penelitian dampak psikologis teks terhadap pembaca. Keempat pengertian di atas yang paling cocok dengan penelitian psikologi sastra dalam karya sastra adalah yang ketiga yakni studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Pengertian Wellek yang ketiga ini menegaskan analisis psikologis yang diarahkan kepada tokoh utama semata, sebab tipe dan hukum psikologis paling intens hadir di dalam tokoh utama yang banyak menerima konflik ketimbang tokoh lain (Siswantoro 2005:86).
xxxi
B. Pengertian Roman Roman yang masuk ke Indonesia kabur pengertiannya dengan novel. Roman mula-mula berarti cerita yang ditulis dalam bahasa Roman, yakni bahasa rakyat Prancis pada Abad Pertengahan, dan masuk ke Indonesia lewat kesusastraan Belanda. Jassin (dalam Nurgiantoro 2005 :15-16) berpendapat roman yakni cerita prosa yang melukiskan pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan. Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan ‘menceritakan tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur’ dan ‘lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku, mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat hidup pelaku roman’. Pengertian roman yang hampir mirip dengan pengertian roman di atas diajukan oleh Surana (1983:25) yang mendefinisikan roman sebagai karangan yang menceritakan kehidupan manusia dengan suka dan duka. Biasanya menceritakan kehidupan-kehidupan pelakunya sejak kecil hingga meninggal.
C. Tokoh dan Penokohan Istilah ‘tokoh’ menunjuk kepada orangnya atau pelaku cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengemban cerita dalam karya fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin sebuah cerita (Aminuddin 2004 :79). Perwatakan, dan karakter menunjuk kepada sifat dan sikap tokoh yang ditafsirkan para pembaca. Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa; pandangan hidupnya,
xxxii
sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebaginya (Suharianto 2005 :20). Penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.
D. Pengertian Agresi Perilaku manusia memiliki kriteria tertentu agar dapat digolongkan sebagai agresivitas atau perilaku agresif. Perilaku manusia yang sama (misalnya menginjak kaki) dapat dianggap tidak agresif (jika terjadi di dalam bus yang penuh sesak), tetapi dapat juga dianggap agresif (jika di dalam bus yang lengang). Dengan demikian, peran kognisi sangat besar dalam menentukan apakah suatu tindakan dianggap agresif atau tidak agresif. Suatu tindakan digolongkan perilaku agresif jika dikaitkan dengan atribusi internal, pelaku dan suatu tindakan dinilai tidak agresif jika ditinjau dalam hal atribusi eksternal. Atribusi internal adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk menyakiti atau merugikan orang lain, misalnya pemain sepak bola yang sengaja menyepak muka lawan mainnya. Atribusi eksternal merujuk kepada perbuatan yang dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak sengaja, misalnya dokter gigi harus mencabut gigi pasiennya untuk mengobati penyakit si pasien (Sarwono 2002 :297). Menurut Myers (dalam Sarwono 2002:297) perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang sengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Baron dan Richardson (dalam Krahé 2005:16) mengusulkan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
xxxiii
menyakiti atau melukai mahluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut. Agresi menurut Baron (dalam Koeswara 1988:5), adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut E. Tipe-Tipe Agresi Pembagian tipe-tipe agresi menurut Myers (dalam Sarwono 2002:298) ada dua jenis yakni sebagai berikut: 1. Agresi Rasa Benci atau Agresi Emosi (Hostile Agression) Agresi rasa benci adalah ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Akibat dari jenis ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak mengakibatkan kerugian dari pada manfaat, contoh adalah seorang membunuh tetangganya sebagai ungkapan kemarahan karena si tetangga sering menginjak-injak kebun ketela miliknya (Sarwono 2002:296). 2. Agresi Instrumental (Instrumental Agression) Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, contohnya polisi menembak kaki seorang tahanan karena si tahanan tersebut mencoba melarikan diri dari penjara. F. Faktor Pencetus Agresi Koeswara (1988 :82-113) membahas faktor pencetus agresi yang menurut para teoretis dan peneliti agresi sangat sering ditemukan sebagai pengarah dan pencetus perilaku agresi, yaitu :
xxxiv
1. Frustrasi. Frustrasi adalah situasi individu yang terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Perilaku individu frustrasi dipengaruhi oleh stimulus negatif yang membuat agresi menjadi pilihan perilaku yang paling menonjol. 2. Stres Hinggga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai definisi stres. Menurut teori Engle, stres merujuk pada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi-kondisi internal maupun kondisi-kondisi eksternal yang menuntut penyesuian atas organisme. 3. Deindividuasi atau Depersonalisasi Deindividuasi dapat digolongkan sebagai faktor pencetus tindakan agresif karena menyingkirkan atau mengurangi peranan beberapa aspek yang terdapat pada individu, yaitu identitas diri dan keterlibatan emosional individu pelaku agresi terhadap korbannya. 4. Kekuasaan dan Kepatuhan Spekulasi filsafat atau uraian-uraian teorits sering menyiratkan keyakinan tentang hubungan antara akekuasaan dengan agresi atau tentang kecenderungan manusia
menggunakan
agresi
sebagai
instrumen
untuk
mencapai
dan
mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Max Weber menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok orang untuk
xxxv
merealisasikan
keinginan-keinginannya
dalam
tindakan
komunal
bahkan
meskipun harus berhadapan dengan perlawanan dari seseorang atau sekelompok orang lainnya yang berpartisipasi dalam tindakan komunal tersebut. Kekuasaan dimasukkan ke dalam faktor-faktor pencetus agresi karena didasari pemikiran yang
dinyatakan oleh
Lord
Acton
bahwa
kekuasaaan
itu
cenderung
disalahgunakan, misalnya Hitler, Mussolini (Koeswara 1988 :100). 5. Efek Senjata Senjata diduga memiliki peranan dalam pencetus perilaku agresif , bukan saja karena berfungsi mengefektifkan dan mengefisiensikan pelaksanaan perilaku agresif, tetapi juga karena efek kehadirannya. Sejarah pun telah mencatat bahwa sejak ditemukan senjata bom nuklir, agresi intraspecies pada manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Tragedi Hiroshima dan Nagasaki merupakan bukti bahwa senjata mampu mengefisiensikan pemusnahan ratusan ribu manusia. 6. Provokasi Peranan provokasi turut mengambil bagian dalam kemunculan agresi. Penelitian Wolfgang (dalam Koeswara 1988 :106) mengemukakan bahwa tiga perempat dari 600 pembunuhan yang diselidikinya terjadi karena adanya provokasi dari korban.
7. Alkohol dan Obat-obatan Krahé (2005 :129) menyebutkan bahwa dalam pengaruh alkohol, waktu yang dibutuhkan individu untuk memperhatikan sesuatu menjadi berkurang, sehingga
xxxvi
hanya stimulus negatif yang paling menonjol yang akan keluar sebagai tindakan agresif. 8. Suhu Udara Suhu udara adalah faktor yang jarang diperhatikan oleh para peneliti agresi meski sesungguhnya ada dugaan suhu udara memiliki pengaruh terhadap tingkah laku, termasuk tingkah laku agresif. Krahé (2005 :147) menyatakan bahwa tindakan kriminal lebih banyak terjadi di daerah yang memiliki temperatur udara tinggi daripada di daerah yang memiliki temperatur udara rendah. G. Dampak Agresi Banyak korban yang terhindar dari kematian akibat dari peperangan, tetapi menderita fisik maupun psikis, atau berupa kerugian materi akibat bentuk-bentuk agresi (Koeswara 1988 :1). Perilaku agresif dapat mengakibatkan berbagai macam penderitaan bagi pelaku agresi maupun yang dikenai agresi. Dampak perilaku agresif menurut Sarwono (2002 :197) dan Breakwell (1998 :96101) adalah sebagai berikut : 1. Depresi Setiap orang dapat mengalami kemunduran, ketidakpuasan, dan putus asa jika perilaku agresif menimpanya. 2. Cacat Fisik Perilaku agresif dapat menimbulkan cacat fisik terhadap korban agresi. Cacat fisik akibat dari perilaku agresi ini dapat berlangsung seumur hidup dan sulit untuk disembuhkan.
xxxvii
3. Cidera Selain cacat fisik, perilaku agresif juga dapat menimbulkan cidera. Cidera yang dialaminya tidak sampai seumur hidup, hanya bagian-bagian tubuh terentu saja yang mengalami cidera dan dapat disembuhkan 4. Kematian Perilaku agresif juga dapat mengakibatkan seseorang atau makluk lainnya langsung meninggal. Kematian dapat terjadi terhadap korban agresi yang sebelumnya mengalami penyiksaan-penyiksaan atau langsung dibunuh oleh pelaku agresi dengan menggunakan alat atau tanpa menggunakan alat.
H. Wujud-Wujud Agresi Krahé (2005 :195-300) membagi wujud-wujud agresi berdasarkan sosial kemasyarakatan menjadi tiga bentuk dasar, sebagai berikut: 1. Agresi di Ruang Publik Agresi ini dapat digolongkan lagi menjadi : a. Bullying Menurut Olwes seseorang dianggap menjadi korban bullying ‘‘apabila dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulangulang dan terjadi dari waktu ke waktu’’. Bullying telah diteliti dalam kaitannya dengan dua konteks utama :anak-anak dan orang dewasa. Dalam lingkungan anak-anak, perilaku bullying sering berupa agresi fisik (perkelahian, tawuran). Dalam dunia orang dewasa, bentuk bullying banyak dimungkinkan dalam bentuk
xxxviii
verbal atau bentuk agresi tidak langsung, contoh menghalangi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Bullying dapat berupa tindakan langsung maupun tidak langsung. Bullying langsung mencakup pelecehan fisik terhadap korbannya, sementara bullying tidak langsung terdiri dari berbagai strategi yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara sosial, seperti mengolok-olok seseorang. b. Kekerasan dimotivasi secara etnis dan politis. Permusuhan terhadap anggota kelompok etnis tertentu merupakan fenomena yang meluas di seluruh dunia, yang memunculkan berbagi perilaku agresif mulai dari penghinaan secara verbal sampai ke bentuk-bentuk kekerasan serius. Dugaan terhadap kelompok luar yang dimaksudkan untuk membenarkan tindakan agresif terhadap kelompok tersebut berpengaruh pada konflik agresi yang dimotivasi tujuan-tujuan politis. c. Kekerasan Kolektif Kekerasan ini seringkali diarahkan kepada kelompok lain dan bukan kepada sasaran individual, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk agresi dalam olahraga, aksi huru-hara, dan kekerasan geng. d. Pembunuhan Pembunuhan
kriminal
dibedakan
berdasarkan
niat
(intensi)
dan
kemungkinannya untuk diperhitungkan sebelum pembunuhan itu benar-benar terjadi, yaitu murder (pembunuhan terencana) dan manslaughter (pembunuhan tanpa rencana).
xxxix
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada bentuk-bentuk yang dilakukan dengan niat menyakiti atau mencederai salah seorang anggota keluarga. Kraus dan Kraus (dalam Krahé 2005 :244) berpendapat bahwa tindakan ini jarang merupakan kejadian tunggal, Kekerasan dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi : a. Penganiayaan dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap anak. Bentuk utama paenganiayaan anak yakni penganiayaan fisik, penganiayaan seksual, dan penanganan psikologis yang tidak semestinya. Penganiayaan secara fisik pada anak menurut Gelles (dalam Krahé 2005 :247) mengacu kepada tindakan yang berpotensi menyakiti anak, seperti meninju, menggigit, mencekik, memukul, menembak, menikam, maupun usaha untuk menembak atau menikam. emosional dari orang yang bertindak sebagai pengasuh. b. Penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan. Sugarman dan Holaling (dalam Krahé 2005 :275) mendefinisikan kekerasan dalam hubungan perkawinan sebagai tindakan atau ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lainnya dalam perkawinan. c. Penganiayaan dan penelantaran orang lanjut usia. Merawat orang lanjut usia yang tergantung kepada orang lain bisa menjadi tugas yang sangat menuntut dan membutuhkan banyak tenaga, sehingga kadang-
xl
kadang menimbulkan perilaku yang disertai penganiayaan oleh perawat terhadap orang tua.
3. Agresi Seksual Abbey (dalam Krahé 2005 :304) menyatakan bahwa agresi seksual meliputi berbagai kegiatan seksual yang dipaksakan dan penggunaan berbagai strategi paksaan, seperti ancaman, atau penggunaan kekuatan fisik, mengeksploitasi ketidakmampuan korban untuk menolak, atau menekan secara verbal. Agresi seksual juga memasukkan perhatian yang tidak dikehendaki dalam bentuk pelecehan seksual, stalking (memperlihatkan penis yang ereksi), dan telepon cabul. Salah satu contoh agresi seksual adalah pemerkosaan. Pemerkosaan, menurut Wieke dan Richards (dalam Krahé 2005 :307) adalah kegiatan seksual apa pun bentuknya, yang dialami seseorang di luar kehendaknya.
xli
BAB III METODE PENELITIAN
A. Sasaran Penelitian Penelitian ini membahas agresivitas tokoh yang meliputi tipe, penyebab dan dampak. Selain itu penelitian ini juga membahas wujud agresivitas dalam roman Thérese Raquin karya Emile Zola.
B. Pendekatan penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Menurut Endraswara (2003 :97) pendekatan psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang sastra hanya sebagai aktivitas kejiwaan. Pendekatan psikologi sastra bukanlah satu-satunya pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan metode pendekatan kualitatif. Moleong (dalam Jabrohim 2001:23) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai penelitian yang tidak mengadakan ‘‘perhitungan’’ atau dengan angka-angka. Pendekatan kualitatif ini akan lebih jelas lagi jika ditambah pendekatan kualitatif milik Subroto (1992:5).
32 xlii
C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman naturalis yang berjudul Thérèse Raquin karya Emile Zola. Pemerolehan data tersebut ditulis dalam kartu data. (1) No Data
(2) Kutipan dari roman
(3) Terjemahan
(4) Analisis
Korpus data penelitian ini berupa kutipan teks dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola kemudian dicatat dalam kartu data. Kartu data berukuran 10x20 cm, komponen-komponen kartu data terdiri empat bagian, yaitu : (1) nomor data yang diambil, (2) kutipan teks dari roman Thérèse Raquin, (3) terjemahan, dan (4) analisis. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan metode pustaka. Metode pustaka adalah metode yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data. Sumber-sumber tertulis tersebut dapat berupa majalah, surat kabar, karya sastra, buku bacaan, karya ilmiah dan buku perundang-undangan
xliii
(Subroto 1992:42). Apabila yang diteliti termasuk kalimat, maka data relevan yang diambil disertakan pada kalimat yang mendahuluinya dan yang mengikuti kalimat data penelitian. Apabila suatu karya sastra akan dianalisis, tidak cukup hanya karya itu saja yang kita jadikan objek kajian, data-data lain di luar karya sastra yang bersangkutan, yang jumlahnya cukup banyak dan sangat penting keberadaannya, akan sangat mendukung jalannya penelitian. Demikian juga di dalam penelitian terhadap agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin ini, data-data lain yang digunakan antara lain teori mengenai penelitian psikologi sastra, teori mengenai agresivitas, teori aliran sastra naturalis dan biografi pengarang (Emile Zola).
E. Metode Analisis Data Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Nawawi (dalam Siswantoro 2005:56) mendefinisikan metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau fakta yang sebagaimana adanya. Metode ini digunakan karena data yang diperoleh berwujud kata-kata, kalimat, dan wacana yang tidak mudah di kerjakan dengan prosedur perhitungan angka statistik. Data itu kaya akan deskripsi tentang orang-orang, tempat-tempat dan konversasi-konversasi dari orang yang diteliti. Penelitian kualitatif dirancang untuk mengkaji orang-orang atau
xliv
fenomena-fenomena dalam konteks kehidupan. Fokus penelitiannya terletak pada pemahaman tingkah laku manusia dari subjek penelitian dan cenderung mengumpulkan data melalui kontak yang terus-menerus dengan orang-orang di dalam setting (latar) orang-orang itu tinggal. Penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif, sehingga peneliti melakukan analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum yang merupakan sistem atau kaidah yang bersifat mengatur atau gambaran subjek penelitian (Subroto 1992:7). Berikut ini contoh analisis wujud agresivitas tokoh yang bernama Laurent terhadap Thérèse dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola. Masing-masing disesuaikan dengan perumusan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini. ‘Puis, d’un mouvement violent, il se baissa et prit la jeune femme contre sa poitrine. Il lui renversa la tête, lui écrasant les lèvres sous les siennes. Elle eut un mouvement de revolte, sauvage, emportée, et, tout d’un coup, elle s’abandonna, glissant par terre, sur le carreau. Ils n’échangèrent pas une seule parole. L’act fut silencieux et brutal.’ (TR/VI/ 69) ‘Kemudian, sebuah gerakan kasar, dia merunduk dan mendekapkan gadis muda itu ke dadanya. Dia menarik kepalanya sendiri, melumat bibirgadis itu dengan bibirnya. Dia melakukan gerakan pemberontakan, liar, marah, tiba-tiba, dia lemas lunglai, terkulai di lantai, di atas ubin. Mereka tidak bertukar kata. Aksi itu berlangsung sunyi dan brutal.’ (TR/VI/ 69) Penggambaran perilaku di atas menggambarkan agresi seksual berupa pemerkosaan. Perilaku agresif ini tergolong pemerkosaan karena terjadi pemaksaan kehendak untuk melakukan hubungan seks. Faktor yang mempengaruhi tindakan agresi seksual tersebut karena pengaruh frustasi. Laurent mengalami frustasi karena sudah lama dia tidak dapat menyalurkan
kebutuhan seksualnya. Laurent tidak
mempunyai cukup uang untuk menyewa seorang wanita penghibur yang biasa dia
xlv
sewa untuk melampiaskan nafsunya. Dia memanfaatkan Thérèse saja karena dia tidak mencintai Thérèse sama sekali. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks berikut ini: ‘Pour lui Thérèse, il est vrai, était laide, et il ne l’aimait pas; mais, en somme, elle ne lui coûterait rien, les femmes qu’il achetait à bas prix étaient certes, ni plus belles ni plus aimées. L’economie lui conseillait déja de prendre la femme de son ami. D’autre part, dépuis longtemps il n’avait pas contenté ses appétits; l’argent étant rare.’ (TR/VI/ 68) ‘Untuknya, memang Thérèse itu jelek dan dia tidak menyukainya, tetapi setidak-tidaknya dia tidak perlu membayar seperti pada gadis-gadis yang pernah dia sewa dengan murah yang tidak cantik dan tidak dicintainya. Hanya perhitungan ekonomi saja dia mengambil istri temannya itu. Di samping itu, sudah lama dia tidak menyalurkan kebutuhannya karena tidak mempunyai uang.’ (TR/VI/ 68)
Data di atas mengkaji faktor pencetus agresi seksual yaitu Laurent ingin melampiaskan nafsu seksualnya karena dia tidak mampu membayar seorang pelacur untuk memenuhi hasrat seksualnya. Laurent menganggap bila dia bercinta dengan Thérèse, dia tidak perlu menggeluarkan uangnya. Kutipan di atas merupakan contoh analisis data berdasarkan rumusan masalah yaitu, wujud dan faktor penyebab agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola yang dikaji dalam penelitian ini. F. Langkah Kerja Beberapa langkah kerja yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah: 1. membaca dan memahami keseluruhan roman Thérèse Raquin secara cermat dan berulang-ulang. 2. menentukan tokoh utama dan tokoh tambahan. 3. mendeskripsikan karakter tokoh dalam roman tersebut.
xlvi
4. menganalisis tipe-tipe, faktor-faktor penyebab, dan dampak perilaku agresif tokoh. Selanjutnya, untuk mendapatkan hasil penafsiran yang tepat dalam penelitian ini ditempuh dengan langkah-langkah : (1) diskusi, (2) pengecekan ulang, dan (3) konsultasi, baik dengan dosen pembimbing, pakar yang terkait dengan bidang tersebut, maupun teman sejawat.
xlvii
BAB IV AGRESIVITAS TOKOH DALAM ROMAN THÉRÈSE RAQUIN KARYA EMILE ZOLA
Pada bab ini penulis akan membahas agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin karya Emile Zola yang meliputi tipe, dampak, dan pengaruh perilaku agresif terhadap tokoh. Selain itu penulis akan menggambarkan wujud-wujud agresivitas tokoh. Sebelum melakukan analisis agresivitas tokoh, terlebih dulu akan disebutkan tokoh-tokoh dan karakter-karakter yang ada roman Thérèse Raquin.
A. Tokoh-tokoh yang berperan dalam roman Thérèse Raquin Tokoh-tokoh yang berperan dalam roman ini dibagi menjadi dua bagian yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Pembagian tokoh ini penting karena menentukan tokoh yang menjadi pelaku agresif dan tokoh yang dikenai agresi. Tokoh-tokoh yang bermain dalam roman ini adalah Thérèse Raquin (istri Camille, keponakan Ibu Raquin), Camille Raquin (anak Ibu Raquin, suami Thérèse yang pertama), Ibu Raquin (pedagang peralatan jahit menjahit), Laurent (pegawai sekantor dengan Camille, selingkuhan Thérèse), Michaud (seorang pensiunan polisi), Grivet (seorang pekerja tua di Fer d’Orléans), Olivier Michaud (pegawai kantor kepolisian, sebagai juru tulis), Suzanne Michaud (istri Olivier Michaud), Kapten Degan (seorang tentara, ayah Thérèse), dan François (kucing milik Ibu Raquin).
38xlviii
Pembagian tokoh utama dan tokoh tambahan ini didasarkan atas segi peranan dan frekuensi munculnya tokoh dalam roman Thérèse Raquin. Jadi tokoh utama dalam roman Thérèse Raquin adalah Thérèse Raquin, Camille Raquin, Ibu Raquin, dan Laurent, sedangkan tokoh pembantu dalam roman ini adalah Michaud (seorang pensiunan polisi), Grivet (seorang pekerja tua di Fer d’Orléans), Olivier Michaud (pegawai kantor kepolisian sebagai juru tulis), Suzanne Michaud (istri Olivier Michaud), Kapten Degan (seorang tentara, ayah Thérèse), dan François (seekor kucing milik Ibu Raquin).
B. Karakter para Tokoh Roman Thérèse Raquin Setelah mengetahui seluruh tokoh yang berperan dalam roman Thérèse Raquin di atas, maka kita dapat menggambarkan karakter-karakter yang terdapat dalam roman tersebut. Penggambaran karakter-karakter ini penting karena penelitian ini adalah penelitian yang didasarkan pada psikologi sastra sehingga
kondisi
kejiwaan tokoh sebelum dan sesudah melakukan perilaku agresif sangat ditonjolkan. Penggambaran karakter tokoh ini diharapkan agar para pembaca mengetahui latar belakang watak tokoh sebelum melakukan perilaku agresif. Karakter-karakter tokoh dalam roman Thérèse Raquin adalah sebagai berikut : 1. Sabar dan penyayang. Karakter sabar dan penyayang dapat kita lihat pada Ibu Raquin. Ibu Raquin adalah seorang ibu yang sabar dan penyayang dalam merawat anak semata
xlix
wayangnya Camille yang penyakitan dan berbadan lemah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan teks roman Thérèse Raquin sebagai berikut : ‘Camille avait alors vingt ans. Sa mere le gâtait encore comme un petit garçon. Elle l’adorait pour l’avoir disputé à la mort pendant une longue jeunesse de souffrances. L’enfant eut coup sur coup toutes les fièvres, toutes les maladies imaginables. Mme Raquin soutint une lutte de quinze années contres les maux terribles qui venaient à la file pour lui arracher son fils. Elle les vainquit tous par sa soins, par sa adoration.’ (TR/II/38) ‘Camille berumur 20 tahun. Ibunya memanjakannya sepeti anak kecil. Dia mencintainya karena telah bertarung dengan kematian sepanjang masa kecilnya yang menderita. Si anak mengalami serangan-serangan demam dan segala penyakit. Ibu Raquin berjuang selama 15 tahun melawan penyakit-penyakit yang datang hendak merenggut anaknya. Dia mengalahkan semuanya dengan kesabarannya, dengan perhatiannya dan rasa kasih sayangnya.’ (TR/II/38)
2.Gelisah Karakter gelisah dapat kita temukan pada Camille. Camille adalah seorang yang tidak tahan menganggur. Camille lebih suka bekerja keras. Dia akan merasa gelisah apabila tidak ada hal yang dapat dia lakukan. Dia akan merasa lebih sehat jika bekerja. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Il était d’un esprit qui lui rendait lui l’oisiveté in supportable. Il se trouvait plus calme mieux portant, dans ce labeur de brute, dans ce travail d’employé qui le courbait tout le jour sur des factures, sur d’énormes additions dont il épelait patiemment chaque chiffre.’ ( TR/II/39) ‘Dia memiliki watak gelisah yang menyerang dirinya bila menganggur. Dia kelihatan tenang dan lebih baik jika sedang bekerja keras, pada pekerjaanya ini, dia merunduk menghadapi faktur-faktur sepanjang hari, penjumlahanpenjumlahan besar yang setiap angka-angka ditekuninya dengan sabar.’ ( TR/II/39)
3. Suka berdiam diri.
l
Karakter suka berdiam diri dapat kita temukan pada Thérèse. Thérèse mengalami perlakuan seperti orang sakit, padahal dia memiliki tubuh yang sehat. Hal ini terjadi karena Ibu Raquin, bibinya, selalu memperlakukan Thérèse seperti orang sakit, sama seperti Camille yang penyakitan. Perlakuan tersebut disebabkan karena dia selalu patuh terhadap semua yang dikehendaki oleh bibinya. Dia selalu menuruti semua hal yang diperintahkan oleh
bibinya. Sikap ini menyebabkan dirinya
menjadi pasif dan selalu diatur oleh sang bibi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Thérèse grandit, couche dans le même lit que Camille, sous tièdes tendresses de sa tante. Elle était une santé de fer, et elle fut soignée comme une enfant chétive, partageant les médicaments que prenait son cousin.’ ( TR/II/40) ‘Thérèse bertambah besar, tidur seranjang dengan Camille , dibawah perawatan yang hangat oleh bibinya. Tubuhnya sehat dan dipelihara seperti anak yang sakit-sakitan, berbagi obat-obatan yang sama dengan yang diminum sepupunya.’ ( TR/II/40) 4. Dapat menahan perasaan. Thérèse mempunyai kemampuan menahan perasaan dalam segala kondisi. Dia dapat menyembunyikan perasaannya terhadap sesuatu sehingga tak seorangpun dapat mengetahui isi hatinya. Contoh : saat Thérèse menyembunyikan rasa gembiranya ketika Ibu Raquin menjual tokonya dan pindah di rumah kecil yang terletak di tepi sungai. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Lorsque Mme Raquin vendit son fonds et qu’elle se retira dans la petite maison du bord de l’eau, Thérèse eut de secrets tressaillements de joie. Sa tante lui avait répété si souvent: “Ne fait pas de bruit, reste tranquille”, qu’elle tenait soigneusement caches, au fond d’elle, toutes les fougues de sa nature. Elle possédait un sang-froid suprême, une apparente tranquillité qui cachait des emportement terribles.’ ( TR/II/40-41)
li
‘Ketika Ibu Raquin menjual tokonya dan dia mengundurkan diri dalam rumah kecil di tepi sungai, Thérèse merasakan kebahagiaan tersembunyi. Bibinya berkata sangat sering agar : “jangan ribut, tetaplah tenang “ sehingga dia dengan hati-hati menyembunyikan gelora dan kegembiraan dalam dirinya. Thérèse mempunyai kemampuan menguasai diri dengan sempurna mempunyai air muka tenang yang dapat menyembunyikan kemarahan yang meledak-ledak.’ (TR/II/40-41)
5. Pendirian kuat. Sifat ini terdapat pada diri Camille. Dia adalah pemuda yang mempunyai pendirian yang kuat bila dia menginginkan sesuatu. Dia akan melawan siapa saja jika ada seseorang yang menghalang-halangi kemauannya termasuk ibunya sendiri, Ibu Raquin. Hal ini dapat diketahui saat Camille ingin meninggalkan Vernon dan pergi ke Paris untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik bersama istrinya, tetapi Ibu Raquin melarangnya. Ibu Raquin menganggap bahwa Camille akan mati bila dia tidak dekat dengannya. Penolakan Ibu Raquin dibantah dengan keras oleh Camille. Camille akan merasa sakit bila ibunya menolak kemauannya ini. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Huit jour après son mariage, Camille déclara nettement à sa mere qu’il entendait quitter Vernon et aller vivre à Paris. Mme Raquin se récria : elle avait arrangé son existence, elle ne voulait point y changer un seul événement. Son fils eut crise de nerfs, il la menaça de tomber malade, si elle ne cédrait pas à son caprice.’ (TR/III/45) ‘Delapan hari setelah menikah, Camille mengatakan dengan terang-terangan bahwa dia hendak meninggalkan Vernon dan tinggal di Paris. Ibu Raquin berteriak karena terkejut: dia telah menyusun cara kehidupannya sendiri dan tidak ingin merubah kejadian yang sudah ada. Anaknya menjadi histeris, dia
lii
mengancam akan jatuh sakit, apabila ibunya tidak meluluskan gerak hatinya tersebut.’ (TR/III/45)
6. Egois Camille memiliki sikap egois yang tinggi. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak mau menemani Ibu Raquin dan Thérèse berjualan di toko. Camille lebih suka mementingkan pekerjaannya di luar daripada harus berkumpul dengan ibu dan istrinya. Pernyataan diatas dapat kita lihat pada kutipan sebagai berikut : ‘-Bah ! répondait Camille, tout cela est très convenable…D’ailleurs, nous ne monterons ici que le soir. Moi, je ne rentrerai pas avant cinq où six heures…Vous deux , vous serez ensemble, vous ennuierez pas. Jamais le jeune homme n’aurait consenti à habiter un pareil taudis, s’il n’avait compté sur les douceurs tièdes de son bureau.’ ( TR/III/48) ‘Bah ! jawab Camille, semua itu sangat pantas….Lagi pula kita hanya akan naik ke sini jika malam. Aku tidak akan pulang sebelum jam lima atau jam enam. Kalian berdua akan selalu bersama, dan jangan merasa bosan. Tidak pernah pemuda itu mau tinggal serumah dengan orang yang sama, jika dia tidak memperhitungkan kesenangan yang hangat dari kantornya.’ ( TR/III/48) Laurent pun memiliki sifat egois. Dia yang sudah terbiasa hidup bermalas-malasan, selalu memikirkan tentang kesenangan dirinya sendiri. Dia tidak pernah memikirkan kepentingan orang lain. Dia selalu memikirkan bagaimana hidup layak, hidup dengan enak tanpa harus bekerja. Dia menginginkan kematian ayahnya agar dapat mewarisi hartanya. Dia juga berencana mengawini Thérèse setelah Camille mati. Dia memikirkan rencana itu agar dapat menguasai harta Ibu Raquin.
7. Iri Hati
liii
Gaji Camille yang sangat kecil sebesar seratus frank sebulan, membuatnya selalu iri dengan temannya yang memiliki gaji yang lebih besar. Camille iri dengan temannya yang bernama Olivier karena memiliki gaji yang lebih besar daripada dirinya, Pernyataan di atas dapat dilihat pada kutipan teks berikut : ‘Olivier occupait à la préfecture de police un emploi de trois mille francs dont Camille se montrait singulièrement jaloux; il était commis principal dans le boureau de la police d’ordre et de sûrété.’ (TR/IV/54) ‘Olivier bekerja di kantor kepolisian wilayah dengan penghasilan tiga ribu frank sebulan. Gajinya membuat Camille merasa sangat iri. Olivier menjadi juru ketik pada kantor polisi pelayanan dan keamanan.’ (TR/IV/54) 8. Suka datang terlambat Olivier dan istrinya, Suzanne, selalu datang terlambat pada pertemuan mingguan malam kamis di rumah Ibu Raquin. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘On attendait Olivier et sa femme qui arrivraient toujours en retard.’ (TR/IV/54) ‘Orang-orang menunggu Olivier dan istrinya yang selalu datang terlambat.’ (TR/IV/54) Pertemuan pada setiap Kamis malam merupakan pertemuan yang rutin. Para sahabat Ibu Raquin akan selalu datang secara otomatis setiap Kamis malam. Mereka bersenang-senang sampai pukul sebelas malam. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks berikut :
liv
‘Un jour sur sept, le jeudi soir, la famille Raquin recevait. On allumait une grande lampe dans la salle à manger, et l’on mettait une bouilloire d’eau au feu pour faire du thé. Cette soirée-là tranchait sur les autres; elle avait passé dans les habitudes de la famille comme une orgie bourgeoise d’une gaieté folle. On se couchait à onze heures.’ (TR/IV/53) ‘Sekali dalam seminggu, Kamis malam, keluarga Raquin menerima tamu. Sebuah lampu besar dinyalakan di ruang makan, dan merebus air dalam ketel untuk membuat teh. Pada malam itu merupakan hari pengecualian dari hari yang lain. Malam itu berlalu sebagai kebiasaan keluarga sebagai pesta gila-gilaan borjuis yang penuh kesenangan. Mereka tidur pukul sebelas.’ (TR/IV/53)
9. Pelamun Selain memiliki kebiasaan berdiam diri, Thérèse juga memiliki sikap yang sesuai dengan kebiasaannya tersebut, yaitu melamun. Thérèse tidak menyukai keramaian dan dia lebih suka menghabiskan waktu menyendiri dan melamun. Hal ini terlihat pada saat Thérèse menghadiri pertemuan Kamis malam. Dia lebih suka berada di toko dan melayani pelanggan daripada harus berada di lantai dua bermain domino bersama dengan teman-temannya. Setelah itu, dia akan duduk di belakang meja kasir dan melanjutkan kebiasaannya yaitu melamun. Peryataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Elle servait la pratique avec lenteur. Quand elle se trouvait seule, elle s’asseyait derrière le comptoir, elle demeurait là le plus longtemps possible, redoutant de remonter, goûtant une véritable joie à ne plus avoir Grivet et Olivier devant les yeux. L’air humide de la boutique calmait la fièvre qui brûlait ses mains. Et elle retombait dans cette rêverie grave qui lui était ordinaire.’ (TR/IV/56) ‘Dia melayani pelanggannya dengan lambat. Ketika dia sendiri, dia duduk di belakang meja kasir, dia duduk di sana selama mungkin, dengan gelisah untuk kembali ke atas, menikmati kesenangan tanpa harus melihat wajah Grivet dan Olivier. Udara lembab dalam ruang toko melemaskan ketegangan-ketegangan
lv
yang terasa pada tangannya. Dia kembali lagi pada kebiasaannya yaitu melamun yang sudah parah.’ (TR/IV/56)
10. Pemalas Karakter pemalas dapat kita temukan pada diri Laurent. Dia memiliki selera makan yang besar dan selalu ingin hidup enak tanpa harus bekerja. Dia selalu membayangkan hidup yang enak, makan enak, tidur nyenyak, dapat memenuhi kebutuhan jasmani sepuas-puasnya tanpa bekerja. Pernyataan ini dapat ditemukan pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Il venait, en quelques mots, de conter une histoire caractéristique qui le peignait en entier. Au fond, c’était un paresseux, ayant des appétits sanguins, des désirs très arrêtés de jouissances faciles et durables. Ce grand corp puissant ne demandait qu’à ne rien faire, qu’à se vautrer dans une oisiveté et un assouvissement de toutes les heures. Il aurait voulu bien manger, bien dormir, contenter largement ses passions, sans remuer de place, sans courir la mouvaise chance d’une fatigue quelconque.’ (TR/V/60) ‘Dia datang, dengan beberapa kata, dia menceritakan cerita karakter yang melukiskan dirinya. Pada dasarnya, ia seorang pemalas dengan selera makan yang besar, penikmat kepuasan yang mudah didapat dan yang berlangsung lama. Tubuh yang besar itu menuntut untuk tidak bekerja, bermalas-malasan dalam menganggur dan hanya meminta berpesta pora dalam kemalasan dan kepuasan yang setiap saat. Dia selalu mendambakan makan dengan baik, tidur nyenyak, memenuhi nafsunya, tanpa bergerak, tanpa mengejar kesempatan yang melelahkan semacamnya.’ (TR/V/60) Sifat pemalas Laurent disebabkan karena dia tidak terbiasa bekerja keras. Dia terbiasa hidup tanpa bekerja dan mengandalkan kiriman uang dari ayahnya dulu saat dia bersekolah. Dia tidak pernah berkeinginan untuk bersekolah. Dia ingin menikmati
hidup
sepuas-puasnya
di
lvi
dalam
sebuah
studio
lukis.
Dia
menghamburkan uangnya untuk melukis dan merokok bersama seorang temannya. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan teks sebagai berikut : ‘Ma foi non, reprit son ami en riant…Pendant deux ans, j’ai fait semblant de suivre les cours, afin de toucher la pension de douze cents frans que mon père me servait. Je vivais avec un de mes camarades de collège, qui est peintre, et je m’étais mis à faire aussi de la peinture. Cela m’amusait; le métier est drôle, pas fatigant. Nous fumions, nous blaguions tout le jour…’ (TR/V/60) ‘Tentu saja tidak, kawannya menjawab dengan tertawa. Dua tahun lamanya aku seolah-olah mengikuti kuliah, sehingga dapat menerima uang tunjangan seribu dua ratus frank yang disediakan oleh ayah. Aku tinggal bersama seorang kawan satu sekolah. Dia seorang pelukis dan aku mulai belajar melukis. Hal itu sangat menyenangkan. Melukis itu pekerjaan menyenangkan, tidak melelahkan. Kami merokok, kami bergurau sepanjang hari….’ (TR/V/60) 11. Tidak mudah tersinggung dan gampang bergaul Laurent mempunyai sifat tidak mudah tersinggung dan gampang bergaul dengan siapa saja. Hal ini menyebabkan dirinya mudah menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru. Dia tidak merasa tersinggung dengan perlakuan dingin para peserta perkumpulan Kamis malam yang tidak menginginkan tambahan anggota baru dalam perkumpulan tersebut. Pada akhirnya Laurent dapat diterima dalam kumpulan itu karena dia riang dan dapat membuat suasana menjadi lebih gembira. Terlebih lagi dia dapat menjadi sahabat Grivet. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Les hôtes des Raquin ne pouvaient recevoir un inconnu sans quelque froideur. Laurent se comporta en bon enfant. Il comprit la situation, il voulut plaire, se faire d’accepter d’un coup. Il ranconta des histoires, égaya la soirée par son gros rire, et gagna l’amitié de Grivert lui-même.’ ( TR/V/63) ‘Tamu-tamu keluarga Raquin tidak dapat menerima seorang yang tak dikenal kecuali dengan sikap dingin. Laurent berkelakuan seperti anak baik. Dia dapat
lvii
memahami situasi tersebut dan menginginkan kesenagan agar dapat diterima. Dia bercerita macam-macam, membuat suasana menjadi gembira dengan tawanya yang riang, dan membuat Grivert menjadi kawannya.’ ( TR/V/63)
12. Pengkhayal Thérèse yang diperlakukan seperti orang sakit oleh bibinya memiliki kebiasaan melamun dan berkhayal. Dia ingin hidup bebas di luar tanpa ada seorangpun yang mengekangnya. Dia sejak kecil selalu mengkhayal, hidup bebas di jalanan sebagai orang Gypsi. Dia tidak tahan harus hidup di dalam rumah yang dia anggap seperti penjara. Hidupnya seperti dikekang tanpa kebebasan. Oleh karena itu, dia sering mengkhayal bertemu ibunya kembali dan menata hidupnya dari awal. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Je ne leur souhaite pas de mal. Ils m’ont élévée, ils m’ont recueillie et défendue contre la misère…Mais j’aurais préféré l’abandon à leur hospitalité. J’avais de besoins cuisants de grand air ; toute petite, je rêvais de courir les chemins, les pieds nus dans la poussière, demandant l’aumône, vivant en bohémienne. On m’a dit que ma mère était fille d’un chef de tribu, en Afrique ; j’ai souvent songé à elle, j’ai compris que je lui appartenais par le sang et les instincts, j’aurais voulu ne la quitter jamais et traverser les sables, pendue à son dos.’ ( TR/VII/74-75) ‘Aku tidak mengharapkan kemalangan mereka. Mereka telah membesarkan aku, telah merawatku dan menyelamatkanku dari penderitaan….Tetapi sebenarnya aku lebih suka ditelantarkan daripada menerima kebaikkan mereka. Aku membutuhkan udara segar, sejak kecil, aku sudah memimpikan berjalanjalan di jalan yang besar, dengan kaki telanjang di atas debu, meminta sedekah dan hidup sebagai orang Bohemian. Mereka berkata bahwa ibuku seorang putri kepala suku di Afrika. Aku sering berfikir tentang dirinya. Aku mengerti bahwa aku miliknya secara insting dan darahku. Aku sebenarnya tidak mau meninggalkannya dan melintasi padang pasir, menggantung di atas pundaknya.’ ( TR/VII/74-75)
lviii
13. Munafik Thérèse sejak kecil mampu menyembunyikan gelora dalam jiwanya. Dia terbiasa berbohong untuk menyukai sesuatu yang sebenarnya dia benci. Dia menahan nafsunya agar Ibu Raquin dan Camille senang. Dia selalu dapat memasang muka senang di hadapan mereka walaupun dia sebenarnya tidak suka. Ketika Laurent datang berkunjung, Thérèse dapat bersikap seperti biasanya tanpa ekspresi apapun. Thérèse menyembunyikan perasaannya kepada Laurent agar semua orang tidak mengetahuinya. Ketika semua pergi dan hanya ada Thérèse dan Laurent, maka Thérèse begitu bernafsunya menciumi kekasihnya itu. Dia memainkannya dengan sempurna sekali sikap kemunafikan yang sudah biasa dilakukannya sejak kecil. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Thérèse, plus nerveuse, plus frémissante que lui, était obligée de jouer un rôle. Elle le jouait à la perfection, grâce à l’hypocrisie savante que lui avait donnée son éducation. Pendant près de quinze ans, elle avait menti, étouffant ses fièvres, menttant une volonté implacable à paraître morne et endormie.’ (TR/VIII/82-83) ‘Thérèse yang lebih gugup dan lebih tegang dari pada Laurent, terpaksa menjalankan peranannya. Dia dapat memainkannya dengan sempurna sekali berkat kemunafikan yang sudah menjadi kebiasaannya semenjak kecil. Hampir selama lima belas tahun dia terbiasa berbohong, memasang keinginan yang sangat kuat untuk memunculkan wajah yang muram dan membosankan.’ (TR/VIII/8283) Zola memunculkan sifat munafik dari manusia yaitu suka berbohong. Dalam sebuah kecelakaan pastilah ada satu atau dua orang yang mengaku-aku sebagai saksi kecelakaan itu secara rinci. Mereka sebenarnya belum tahu apa-apa tentang kejadian yang sedang berlangsung. Mereka berlagak sebagai pahlawan dan seakan-
lix
akan hanya mereka yang mengetahui kejadian secara pasti dan dapat dipercaya. Hal ini terjadi pada saat Camille tengelam dan ada beberapa pendayung yang lain yang mengaku telah melihat kejadian itu dengan detail. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Il y eut, parmi les canotiers, comme cela arrive toujours, deux ou trois jeunes, gens qui voulurent avoir été témoins de l’accident.’ (TR/XI/113) ‘Ada, selalu ada dua atau tiga orang pendayung yang menghendaki menjadi saksi mata kecelakaan dengan pasti.’
(TR/XI/113)
14. Perhatian Ibu Raquin adalah seorang yang penuh perhatian terhadap Thérèse dan Camille. Dia tidak henti-hentinya menasihati mereka agar selalu berhati-hati dalam perjalanan. Karakter ini dapat dilihat dalam kutipan teks sebagai berikut: ‘Le jour de promenade, Mme. Raquin accompagnait ses enfants jusqu’au bout du passage. Elle les embrassait comme s’ils fussent partis pour un voyage. Et c’étaient des recommandations sans fin, des prières pressantes.’ (TR/XI/101) ‘Pada hari jalan-jalan, Ibu Raquin suka mengantar anak-anaknya sampai sejauh ujung jalan. Dia mencium keduanya seperti mereka hendak bepergian jauh. Setelah itu memberi mereka setumpuk nasihat dan doa-doa penting tanpa henti.’ (TR/XI/101)
lx
15. Pembohong Laurent selalu mengarang sebuah cerita tentang kejadian tengelamnya Camille. Dia melakukan semua kebohongan itu untuk menutupi kejahatannya. Dia selalu dapat menyakinkan semua orang dengan cerita rekaannya. Ketika Laurent mengarang sebuah cerita kepada para pendayung tentang tenggelamnya Camille, dia berdalih bahwa Camille menari-nari di atas sampan sehingga sampannya terbalik. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘C’est ma faute, criait-il, je n’aurait pas dû laisser ce pauvre garçon danser et remuer comme il le faisait …A un moment, nous nous sommes trouvés tous les trois du même côté de la barque, et nous avons chaviré…En tombant, il m’a crie de sauver sa femme…’ (TR/XI/113) ‘Ini salahku,’ teriaknya. ‘Sebenarnya aku tidak boleh membiarkan dia menarinari dan bergerak seperti yang dia lakukan… Pada suatu saat kami bertiga berada dalam sisi perahu yang sama, dan terbalik… Ketika dia tercebur dia berteriak padaku meminta aku menyelamatkan istrinya…’ (TR/XI/113) 16. Setia kawan Michaud, Olivier, Suzanne, dan Grivet tetap datang pada acara Kamis malam walaupun Camille telah mati. Mereka membesarkan hati Ibu Raquin agar tidak terlalu bersedih denghan kematian anaknya. Mereka memberikan dorongan moral kepada Ibu Raquin agar tetap tabah. Mereka mengalihkan perhatian Ibu Raquin ke permainan domino agar dia tidak merasa sedih. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Et comme Mme. Raquin sanglotait plus fort, ne pouvant arrêter ses larmes : - Allons, alllons, reprit Michaud, un peu de courage. Vous comprenez bien que nous venons ici pour vous distraire. Que diable ! ne nous attristons pas,
lxi
tâchons d’oublier…Nous jouons à deux sous la partie. Hein ! qu’en dites-vous ?’ (TR/XV/136) ‘Karena Ibu Raquin menangis tersedu dan air matanya tak kunjung berhenti, Michaud berkata lagi, ‘Ayolah, kuatkan sedikit hati Nyonya! Hendaklah diketahui bahwa kami semua datang kemari justru untuk menghibur Nyonya. Sudah, jangan merusak suasana, berusahalah melupakannya…. Kita bermain taruhan dua sou, Bagaimana pendapat Anda?’ (TR/XV/136)
17. Suka mencari perhatian Setelah rencana pembunuhannya berhasil, Laurent mencoba untuk mendapatkan perhatian dari Ibu Raquin. Laurent datang setiap malam dan membantu menutup toko. Dia menjadi penurut kepada Ibu Raquin. Sehingga dia
mendapatkan
perhatian dari wanita itu. Laurent selalu datang pada pertemuan Kamis malam untuk menyalakan lilin dan bertindak sebagai tuan rumah di rumah Ibu Raquin. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Laurent revint bientôt chaque soir à la boutique, comme par le passé. Mais il n’y mangeait plus, il ne s’y établissait plus pendant des soirées entières. Il arrivait à neuf heures et demie, et s’en allait après avoir fermé le magasin. On eût dit qu’il accomplissait un devoir en venant se mettre au service des deux femmes. S’il négligeait un jour sa corvée, il s’excusait le lendemain avec des humilitiés de valet. Le jeudi, il aidait Mme. Raquin à allumer le feu, à faire les honneurs de la maison. Il avait des prévenances tranquilles qui charmaient la vieille mercière.’ (TR/XVI/138) ‘Laurent segera berkunjung lagi setiap malam seperti dahulu tetapi sekarang tidak lagi makan di sana, dan tidak lagi bertamu sampai jauh malam. Datang pukul setengah sembilan dan pulang setelah toko tutup. Boleh dikatakan datangnya sekarang ini semata-mata hanya untuk menjalankan kewajiban membantu kedua perempuan itu. Apabila sekali waktu dia mengabaikan sehari datang, keesokan harinya segera dia meminta maaf dengan kerendahan hati seorang pelayan. Pada setiap malam Jum’at dia membantu Ibu Raquin menyalakan perapian dan menjadi tuan rumah. Sikapnya sangat penurut, sehingga menyenangkan hati perempuan tua itu.’ (TR/XVI/138)
lxii
18. Cemas Laurent mengalami kecemasan karena sudah lama tidak dapat bertemu dengan Thérèse. Dia mengalami ketakutan akan menemukan seseorang di kolong tempat tidurnya. Dia selalu memeriksa dibawah tempat tidurnya untuk memastikan tak ada seorangpun memasuki rumahnya. Dia tak dapat menjelaskan kecemasannya yang tidak beralasan tersebut. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Quand il fut en haut, il ouvrit sa porte et s’enferma, rapidement. Son premier soin fut de regarder sous son lit, de faire une visite minutieuse dans la chambre, pour voir si personne ne s’y trouvait cache. Il ferma la fenêtre du toit, en pensant que quelqu’un pourrait bien descendre par là. Quand il eut pris ces dispositions, il se sentit plus calme, il se déshabilla, en s’étonnant de sa poltronnerie. Il finit par sourire, par se traiter d’enfant. Il n’avait jamais été peureux et ne pouvait s’expliquer cette crise subite de terreur.’ (TR/XVII/150) ‘Ketika sampai di lantai teratas, Laurent membuka pintu kamarnya dan cepatcepat menutupnya kembali. Perhatian yang pertamanya adalah melihat kolong ranjang, lalu memeriksa sekeliling ruangan dengan teliti kalau-kalau ada orang bersembunyi. Jendela atap ditutupnya, karena berpendapat orang akan mudah turun melalui lubang itu. Setelah melakukan semua susunan itu, perasaannya bertambah tenang. Laurent berganti baju sambil merasa heran akan kepengecutannya. Akhirnya dia tersenyum dan menyebut dirinya seperti anak kecil. Belum pernah Laurent merasa takut seperti itu, namun tidak dapat menjelaskan serangan ketakutan itu.’ (TR/XVII/150)
19. Mudah percaya kepada orang lain. Ibu Raquin sangat bahagia dengan perkawinan Thérèse dan Laurent. Dia tidak mengetahui bahwa merekalah yang sebenarnya telah membunuh Camille. Ibu Raquin terlena dengan kebaikan mereka dan melakukan sebuah tindakan yang
lxiii
tergesa-gesa. Dia memberikan seluruh hartanya sebagai hadiah perkawinan berupa uang sebesar empat puluh ribu dan beberapa ribu frank. Dia mempercayakan kelanjutan hidupnya kepada kebaikan hati mereka dan mengharapkan kehidupan yang bahagia bersama pasangan baru itu. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Mme. Raquin, après avoir lu la lettre de ce père dénaturé, eut un élan de bonté qui la poussa à faire une sotisse. Elle mit sur la tête de sa nièce les quarante et quelque mille francs qu’elle possédait, elle se dépouilla entièrement pour les nouveaux époux, se confiant à leur bon cœur, voulant tenir d’eux toute sa félicité.’ (TR/XIX/178) ‘Ibu Raquin setelah membaca surat dari ayah yang sudah tidak memenuhi kewajibannya terhadap anak, merasakan gejolak kebaikan hati yang menghantarkannya pada sebuah kebodohan. Dia meletakkan kepala pada keponakannya dengan memberikan seluruh hartanya yang empat puluh ribu dan beberapa ribu frank. Ibu Raquin melepaskan semua hartanya untuk pengantin baru itu. Dia percaya kebaikan hati mereka akan memberikannya kebahagiaan.’ (TR/XIX/178)
20. Kasar. Laurent yang terbiasa hidup keras karena dia adalah anak dari seorang petani, memiliki karakter yang kasar. Tubuhnya besar dan kuat. Otot-ototnya menonjol dan memiliki selera makan yang besar. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Laurent était un vrai fils de paysan, d’allure un peu lourde, le dos bombé, les mouvements lents et précis, l’air tranquille et entêté. On sentait sous ses vêtements des muscles ronds et développés, tout un corps d’une chair épaisse et ferme.’ (TR/V/58) ‘Laurent benar-benar seorang anak petani, dengan tingkah laku sedikit kasar, punggung membusung, gerakan yang lamban namun pasti, raut muka tenang dan keras. Kita dapat merasakan di bawah pakaiannya terdapat otot-otot bundar dan
lxiv
mengembang. Semua bagian tubuh terdiri dari otot yang kekar dengan daging yang keras.’ (TR/V/58) ‘Laurent parlait d’une voix tranquille. Il venait, en qulques mots, de contrer une histoire caractéristique qui le peignait entier. Au fond, c’était un paresseux, ayant des appétits sanguins, des désirs très arrêtés de jouissances facile et durable.’ (TR/V/60) ‘Laurent berbicara dengan tenang sekali. “Dia datang, dengan beberapa kata, dia menceritakan cerita karakter yang melukiskan dirinya. Pada dasarnya, ia seorang pemalas dengan selera makan yang besar, penikmat kepuasan yang mudah didapat dan berlangsung lama.’ (TR/V/60)
21. Suka berzina. Laurent memiliki kebiasaan menyewa seorang pelacur untuk memuaskan nafsunya. Sebelum bertemu Thérèse, dia sudah sering menyewa pelacur, kemudian setelah menikah dengan Thérèse dia masih meneruskan hobinya itu. Laurent meminta uang lima ribu frank untuk bersenang-senang dengan wanita lain kepada Thérèse. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Des que eut de l’or dans ses poches, il se grisa, fréquenta les filles, se traina au milieu d’une vie bruyante et affolée. Il découchait, dormait le jour, courait la nuit, recherchait les emotions fortes, tâchait d’échapper au réel.’ (TR/XXXI/291) ‘Setelah mendapat uang di sakunya, dia bersenang-senang, mengunjungi gadis-gadis, mencoba dalam kehidupan yang ramai dan kalang kabut. Dia tidur di luar, siang hari tidur, malamnya berkeliaran, mencari luapan perasaan yang kuat melarikan diri dari kenyataan.’ (TR/XXXI/291) Setelah menikah dengan Laurent, Thérèse mengalami perubahan perilaku. Thérèse juga memiliki perilaku yang sama dengan suaminya. Dia memiliki hobi suka berzina dengan pria lain. Dia berselingkuh dengan pria berambut pirang di
lxv
sebuah rumah pondokan di jalan Saint-Andre-des-Art. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Lorsque Thérèse eut achevé son absinthe, elle se leva, prit le bras du jeune homme blond et descendit la rue de la Harpe. Laurent les suivit jusqu’à la rue Saint-Andre-Des-Art. Là, il les vit entrer dans une maison meublée. Il resta au milieu de la chaussée, les yeux levés, regardant la façade de la maison. Sa femme se montra un instant à une fenêtre ouverte du seconde étage. Puis il crut distinguer les mains du jeune homme blond qui se glissaient autour de la taille de Thérèse. La fenêtre se ferma avec un bruit sec.’ (TR/XXXI/287) ‘Setelah menghabiskan minuman kerasnya, Thérèse berdiri, memegang lengan pria pirang itu lalu berangkat melalui rue de la Harpe. Laurent mengikutinya sampai ke rue Saint-Andre-Des-Art. di sana dia melihat mereka memasuki sebuah rumah pondokan. Laurent berdiri di tengah jalan, memandang ke atap pondokan. Thérèse terlihat dari jendela terbuka di lantai tiga. Kemudian dia melihat tangan pria pirang itu meluncur ke pinggul Thérèse. Jendela tertutup dengan suara keras.’ (TR/XXXI/287) Sama seperti Thérèse, Laurent juga memiliki pasangan kumpul kebo sendiri. Pasangannya yaitu seorang model. Dia hidup bersama si gadis hampir satu tahun. Si gadis mencintai Laurent karena menganggapnya sebagai pria yang tampan. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Il resta jusqu’au soir, il emmena la femme chez lui. Pendant près d’un an, il la garda pour maîtress. La pauvre fille s’était mise à l’aimer, le trouvant bel homme. Le matin, elle partait, allait poser tout le jour, et revenait régulièrement chaque soir à la même heure.’ (TR/XVI/145) ‘Laurent tinggal sampai malam, lalu membawa perempuan itu pulang ke rumahnya. Hampir setahun lamanya Laurent menjadikannya sebagai gundik. Gadis itu mencintai Laurent karena menganggapnya tampan. Setiap pagi gadis model itu pergi, berpose sepanjang hari, dan secara teratur kembali setiap malam pada waktu yang sama.’ (TR/XVI/145)
C. Tipe-tipe Agresi
lxvi
1. Agresi Antarjantan. Agresi antarjantan adalah agresi yang secara tipikal dibangkitkan oleh kehadiran sesama jantan pada suatu spesies. Agresi ini timbul karena antara korban dan pelaku agresi memilki persamaan jenis kelamin. Hal ini dapat dilihat pada saat Laurent, Thérèse, dan Camille sedang beristirahat di bawah pohon. Laurent hendak menghancurkan wajah Camille dengan sekali tendang. Laurent dan Camille memiliki persamaan jenis kelamin yaitu laki-laki. Laurent tiba-tiba memiliki niat untuk menendang wajah Camille yang sedang tidur. Laurent berniat membunuhnya karena merasa jijik dan dia menganggap Camille sangat hina di matanya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Camille, ainsi vautré, était exaspérant et ignoble. Laurent, qui le regardait, leva le talon, d’un coup, lui écraser la face.’ (TR/XI/105) ‘Camille yang tiduran seenaknya terlihat mengesalkan dan hina. Laurent yang melihatnya, tiba-tiba mengangkat tumitnya. Dia ingin menghancurkan wajahnya.’ (TR/XI/105)
2. Agresi Ketakutan. Agresi ketakutan adalah agresi yang dibangkitkan oleh tertutupnya kesempatan untuk menghindar dari ancaman. Bentuk agresi ini merupakan bentuk pemertahanan diri dari ancaman keselamatan
jiwa individu tersebut. Thérèse
mencoba mempertahankan dirinya dari amukan Camille. Tindakan pemertahanan diri ini dilakukan karena Thérèse merasa terdesak oleh penyerangan yang dilakukan
lxvii
Camille. Thérèse menyerang balik Camille, sehingga membuat Camille ketakutan. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘La jeune fille se releva d’un bond, avec une sauvagerie de bête, et, la face ardente, les yeux rouges, elle se précipita sur lui, les deux bras levés. Camille se laissa glisser à la terre. Il avait peur.’ (TR/II/43) ‘Thérèse bangkit, dengan kebuasan binatang, lalu dengan muka yang marah dan mata menyala-nyala, menjatuhkan diri ke arah Camille, kedua tangannya terangkat. Camille menyuruk ke tanah. Dia takut.’
(TR/II/43)
Agresi ketakutan juga dilakukan oleh Camille. Dia menerima serangan yang tibatiba dari Laurent di atas perahu. Camille semula menganggap agresivitas Laurent hanya sekedar gurauan. Camille terkejut dengan perubahan raut muka Laurent yang ingin membunuh dirinya. Camille melakukan perlawanan terhadap Laurent sebagai pembelaan diri. Camille menggigit leher Laurent sebelum Laurent melemparkan dirinya ke dalam sungai. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Alors Laurent se leva et prit Camille à bras-le-corps. Le commis éclata de rire. – Ah ! non, tu me chatouilles, dit il, pas de ces plaisanteries-là…Voyons, finis : tu vas me faire tomber. Laurent serra plus fort, donna une secousse. Camille se tourna et vit la figure effrayante de son ami.’ (TR/XI/111) ‘Laurent berdiri lalu memegang Camille pada pinggangnya. Camille tertawa. –Ah ! tidak, kamu membuatku geli,’’ katanya, jangan bercanda….ayo berhenti aku bisa jatuh.’’ Laurent memitingnya lalu mendorongnya. Camille berpaling dan melihat muka sahabatnya yang menyeramkan.’ (TR/XI/111)
lxviii
D. Faktor Pencetus Agresi 1. Frustasi. Laurent yang memiliki hobi bercinta dengan pelacur, mengalami frustasi karena tidak dapat menyalurkan hasratnya. Dia tidak memiliki uang untuk menyewa seorang wanita. Pada akhirnya, dia melampiaskan hasrat seksualnya terhadap Thérèse. Thérèse merupakan istri dari sahabatnya sendiri, Camille. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘En somme, elle ne lui coûterait rien, les femmes qu’il achetait à bas prix étaient certes, ni plus belles ni plus aimées. L’economie lui conseillait déja de prendre la femme de son ami. D’autre part, dépuis longtemps il n’avait pas contenté ses appétits; l’argent étant rare.’ (TR/VI/ 68) ‘Tetapi setidak-tidaknya dia tidak perlu membayar seperti pada gadis-gadis yang pernah dia sewa dengan murah, yang tidak cantik dan tidak dicintainya. Hanya perhitungan ekonomi saja dia mengambil istri temannya itu. Di samping itu, sudah lama dia tidak menyalurkan kebutuhannya karena tidak mempunyai uang.’ (TR/VI/ 68) Faktor frustasi muncul dalam agresivitas Laurent terhadap Camille. Laurent menganggap Camille sebagai penghalang percintaannya dengan Thérèse. Dia menganggap Camille hanya sebagai pengganggu yang harus dimusnahkan. Laurent hendak menggantikan posisi Camille sebagai suami Thérèse. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘- Tu as raison, dit-il, il ne faut pas agir comme des enfants. Ah ! si ton mari mourait… - Si mon mari mourait…, répéta lentement Thérèse. - Nous nous marierons ensemble, nous ne craindrions plus rien, nous jouirions largement de nos amours… Quelle bonne et douce vie !’ (TR/IX/91) ‘- Kamu benar, kata Laurent, jangan bertingkah seperti anak-anak. Ah, seandainya suamimu mati…
lxix
- Jika suamiku mati, kata Thérèse mengulangi dengan perlahan. - Kita akan menikah, kita tidak perlu takut akan apapun, kita akan menikmati cinta sepenuhnya. Betapa indah dan manisnya hidup ini.’ (TR/IX/91)
2. Stres. Camille Raquin mengalami stres karena meresa terganggu dengan perawatan ibunya yang sangat menjemukannya. Dia merasa muak dengan segala sikap ibunya yang selau memanjakannya, sehingga pada akhirnya dia menantang Thérèse berkelahi. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘Le soir, en été, les deux jeunes gens se sauvaient au bord de l’eau. Camille s’irritait des soins incessants de sa mère; il avait des révoltes, il voulait courir, se render malade, échapper àux câlineries qui lui donnaient des nauseas. Alors il entrâinait Thérèse, il la provoquait à lutter.’ (TR/II/43) ‘Pada suatu malam di musim panas, kedua anak muda itu pergi menuju pinggir sungai. Camille merasa kesal dengan perawatan ibunya yang tiada hentihentinya. Dia memberontak, dia ingin berlari menghindari dari pemanjaan yang membuatnya mual. Dalam keadaan itu dia menarik Thérèse ke luar rumah. Dia menantangnya bergulat.’ (TR/II/43) Laurent mengalami tekanan batin karena telah membunuh Camille. Dia selalu takut apabila kejahatannya terbongkar. Dia mencurigai siapa saja yang dapat membahayakan dirinya, termasuk kucing Ibu Raquin, François. Laurent mengalami kemunduran pikiran karena menganggap kucing itu suatu saat pasti dapat berbicara dan mengatakan segala kejahatannya kepada orang lain. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Il se disait que le chat, ainsi que Mme Raquin, connaissait le crime et le dénoncerait, si jamais il parlait un jour.’
lxx
(TR/XXX/282)
‘Laurent yakin bahwa François, seperti Ibu Raquin, mengetahui semua kejahatannya dan akan mengadukannya jika dia dapat berbicara suatu hari.’ (TR/XXX/282)
3. Kekuasaan dan Kepatuhan Sebagai seorang suami, Laurent mempunyai kuasa untuk memerintah istrinya yaitu Thérèse. Laurent memerintahkan istrinya untuk mencium bekas gigitan Camille di lehernya. Dia merasa gigitan itu seperti menusuk-nusuk dirinya. Laurent memerintahkan supaya istrinya mau melakukan hal yang diinginkannya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘C’est Camille qui m’a mordu, tu sais, dans la barque, ce n’est rien, c’est guèri…Embrasse-moi, embrasse-moi. Et misérable tendait son cou qui le brûlait. Il désirait que Thérèse le baisât sur la cicatrice, il comptait que le baiser de cette femme apaiserait les mille piqûres qui lui déchiraient la chair. Le menton levé, le cou en avant, il s’offrait.’ (TR/XXI/192-193) ‘Camillelah yang menggigitku dalam perahu, kau tahu itu, tak apa-apa, sudah sembuh…. Cium aku, cium aku. Dan laki-laki malang itu kembali menyodorkan lagi lehernya yang terasa panas. Dia yakin bahwa ciuman Thérèse akan menyembuhkan ribuan tusukan yang mengoyak-oyak di lehernya. Dengan dagu terbuka dan leher terjulur dia menawarkan dirinya.’ (TR/XXI/192-193)
4. Efek Senjata. Kehadiran senjata menjadi faktor pencetus agresi saat Laurent dan Thérèse mencoba saling membunuh. Laurent membawa racun untuk meracuni Thérèse, dan Thérèse menggunakan pisau untuk menikam Laurent. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut :
lxxi
‘Ils se regardèrent. Thérèse vit le flacon dans les mains de Laurent, et Laurent aperçut l’éclair blanc du couteau qui luisait entre les plis de la jupe de Thérèse.’
( TR/XXXII/300)
‘Mereka saling pandang. Thérèse melihat botol berisi racun di tangan Laurent, dan Laurent melihat kilatan pisau diantara lipatan rok Thérèse.’ ( TR/XXXII/300)
E. Dampak Agresi. 1. Depresi. Pada akhirnya, Thérèse dan Laurent dapat menikah, tetapi kehidupan Laurent dan Thérèse tidak mengalami kebahagiaan setelah berhasil mewujudkan mimpi mereka. Mereka selalu dihantui wajah Camille setiap malam yang mengakibatkan mereka tidak berani untuk tidur. Mereka mengalami depresi setiap malam. Depresi mereka mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari. Mereka duduk di dekat perapian dan mengobrol sampai menjelang pagi untuk menghindari tidur. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Ils luttaient d’ailleurs contre le sommeil autant qu’ils pouvaient. Ils s’asseyaient aux deux coins de la cheminée et causaient de mille riens, ayant grand soin de ne pas laisser tomber la conversation.’
(TR/XXII/203)
‘Mereka berusaha untuk tetap terjaga dari tidur. Mereka duduk di dua sisi perapian dan bercakap-cakap tentang seribu macam hal yang tidak berarti. Mereka menjaga agar pembicaraan jangan sampai terputus.’
lxxii
(TR/XXII/203)
2. Cidera Laurent mengalami cidera berupa luka gigitan di lehernya. Dia mengalami cidera itu saat berusaha mengangkat Camille di atas perahu. Pada saat Laurent mengangkat tubuh Camille, Camille sempat menggigit leher Laurent hingga berdarah. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Comme il penchait la tête, découvrant le cou, sa victime, folle de rage et d’épouvante, se tordit, avança les dents et les enfonça dans ce cou.’ (TR /XI/112) ‘Ketika Laurent memiringklan kepalanya, lehernya terbuka. Camille berontak, mencakupkan giginya kepada leher Laurent. Dengan berteriak kesakitan, Laurent melemparkan Camille ke dalam sungai, sebagian daging lehernya terbawa gigi korbannya.’ (TR /XI/112) Ibu Raquin mengalami cidera saat dilempar dengan keras oleh Laurent ke atas ranjang. Wanita itu pingsan. Laurent melempar Ibu Raquin karena Ibu Raquin memandangnya dengan penuh kebencian. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Et il la jeta brutalement sur le lit. L’impontente y tomba évanouie.’ (TR/XXVI/243) ‘Dan dengan kasar dia melempar Ibu Raquin ke ranjang. Perempuan tua lumpuh itu pingsan.’
(TR/XXVI/243)
Thérèse mengalami keguguran pada saat Laurent memukuli perutnya. Thérèse sengaja membiarkan perutnya dipukuli Laurent karena dia tidak mau melahirkan
lxxiii
anak seorang pembunuh Camille. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘…comme il levait le pied contre elle, elle présenta le ventre. Elle se laissa frapper ainsi à en mourir. Le lendemain, elle faisait une fausse couche.’ (TR/XXX/278) ‘…ketika
suaminya
mengangkat
kaki
hendak
menendangnya,
dia
menyodorkan perutnya. Thérèse membiarkan suaminya memukuli perutnya sehingga dia sendiri merasa hampir mati. Keesokan harinya dia keguguran.’ (TR/XXX/278)
Luka cidera dialami oleh François setelah dilempar keluar jendela oleh Laurent. Kucing itu mengalami patah tulang pinggul karena membentur dinding di seberang jalan rumah Ibu Raquin. Kucing itu berjalan sempoyongan menahan sakit di tubuhnya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut: ‘François s’y aplatit, s’y cassa les reins, et retomba sur le vitrage du passage. Pendante toute la nuit, la misérable bête se traina le long de la gouttière, l’échine brisée, en poussant des miaulements rauques.’
(TR/XXX/282)
‘François sekarat membentur tembok, tulang pinggulnya patah, lalu jatuh ke dinding kaca Passage. Kucing itu berjalan menyusuri atap sepanjang malam, dengan tulang punggung patah sambil mengeong parau.’ (TR/XXX/282) 3. Kematian. Camille akhirnya mati tenggelam setelah dilempar Laurent dari atas perahu. Jasad Camille ditemukan dengan kondisi yang memprihatinkan karena penuh dengan luka-luka akibat berbenturan dengan batu sungai. Tubuh Camille telah membusuk
lxxiv
dan kelihatan sangat kurus. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Laurent regardait Camille. Il n’avait pas encore vu un noyé si épouvantable. Le cavadre avait, en outre, un air étriqué, une allure maigre et pauvre.’ (TR/XII129-130) ‘Laurent menatap Camille. Dia belum pernah melihat mayat orang tenggelam semengerikan itu. Terlebih lagi mayat itu kurus, memberi kesan orang yang kurus dan memelas.’
(TR/XII129-130)
Pada akhirnya Laurent dan Thérèse mengalami kematian setelah meminum racun. Hal ini mereka lakukan untuk menebus dosa karena telah membunuh Camille. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Thérèse prit le verre, le vida à moitié et le tendit à Laurent qui l’acheva d’un trait. Ce fut un éclair. Ils tombèrent l’un sur l’autre, foudroyés, trouvant enfin une consolation dans la mort.’
(TR/XXXII/301)
‘Thérèse mengambil gelas dan meneguknya setengah, kemudian memberikannya kepada Laurent yang segera menghabiskannya. Kejadian itu secepat kilat. Seperti tersambar petir, mereka jatuh saling menimpa yang lain. Mereka akhirnya menemukan pengobat hati dalam kematian.’ (TR/XXXII/301)
F. Wujud-Wujud Agresi. 1. Agresi di Ruang Publik. a. Bullying.
lxxv
Bullying dibagi menjadi dua bagian yaitu bullying anak-anak dan bullying orang dewasa. Camille berkelahi dengan Thérèse saat masih kecil termasuk wujud bullying anak-anak. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Alors il entrâinait Thérèse, il la provoquait à lutter, à se vautrer sur l’herbe. Un jour, il poussa sa cousine et la fit tomber.’ (TR/II/43) ‘Kemudian dia menarik Thérèse ke luar rumah. Dia menantangnya bergulat, bergolek di atas rumput. Suatu hari dia mendorong sepupunya dan membuatnya terjatuh.’
(TR/II/43)
b. Pembunuhan terencana (murder) Laurent membunuh Camile dengan cara menceburkannya ke sungai. Camille tidak dapat berenang akhirnya mati tenggelam. Pembunuhan Camille telah direncanakan oleh Laurent karena dia ingin hidup enak dan dapat mengawini Thérèse. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘En s’endormant, il décida qu’il attendrait une occasion favorable, et sa pensée, de plus en plus fuyante, le berçait en murmurant : Je le tuerai, je le tuerai.’
(TR/IX/95)
‘Ketika mengantuk, Laurent sempat mengambil keputusan menunggu kesempatan yang menguntungkan, dan pikirannya semakin berkecamuk, sambil berguman : Aku akan membunuhnya, aku akan membunuhnya.’ (TR/IX/95)
Laurent merasa terganggu dengan kehadiran François, kucing Ibu Raquin. Pada suatu malam, Laurent melemparkan kucing itu melalui jendela. Laurent ingin
lxxvi
sekali membunuh kucing tersebut. Kekhawatiran Laurent muncul karena seakanakan kucing itu dirasuki roh Camille yang mencoba menuntut balas kepada dirinya. Laurent menyatakan rencana pembunuhan terhadap François lewat dialog dalam roman sebagai berikut : ‘Camille est entré dans ce chat, pensa-t-il. Il faudra que je tue cette bête… Elle a l’air d’une personne.’
(TR/XXI/197)
‘Camille merasuki kucing itu, pikir Laurent. Aku harus membunuh binatang tersebut. Dia menyerupai seseorang.’
(TR/XXI/197)
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga a. Perlakuan dan penganiayaan yang tidak semestinya terhadap anak. Setiap anak berhak untuk hidup dan menjalani semua kehidupannya. Seorang anak dilahirkan suci tanpa menanggung dosa bawaan dari orang tuanya. Dia berhak untuk hidup dan menentukan nasibnya sendiri. Wujud kekerasaan pada anak digambarkan dalam roman ini dengan usaha pengguguran kandungan oleh Thérèse. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘La pensée d’avoir un enfant de Laurent lui paraissait monstrueuse sans qu’elle s’expliquât pourquoi. Elle avait vaguement peur d’accoucher d’un noyé. Il lui semblait sentir dans ses entrailles le froid d’un cavadre dissous et amolli. A tout prix, elle voulut débarrasser son sein du cet enfant qui la glaçait et qu’elle ne pouvait porter davantage. Elle ne dit rien à son mari, et, un jour, après l’avoir cruellement provoqué, comme il levait le pied contre elle, elle présenta le ventre. Elle se laissa frapper ainsi à en mourir. Le lendemain, elle faisait une fausse couche.’ (TR/XXX/278) ‘Pikiran bahwa dia akan mempunyai anak yang menyeramkan dari Laurent mengganggu sekali hatinya, sekalipun dia tidak tahu mengapa. Dia takut melahirkan anak yang sudah mati tenggelam. Seakan-akan dalam rahimnya dia
lxxvii
merasakan dinginnya mayat yang telah larut dan lunak. Tekadnya sudah bulat, dengan jalan apa pun dia akan berusaha menyingkirkan bayi yang dingin dan mendatangkan keuntungan baginya. Dia tidak mengatakan apapun kepada suaminya. Pada suatu hari setelah dia memancing kemarahan suaminya dengan cara yang kejam, dan ketika suaminya mengangkat kaki hendak menendangnya, dia menyodorkan perutnya. Thérèse membiarkan suaminya memukuli perutnya sehingga dia sendiri merasa hampir mati. Keesokan harinya dia keguguran.’ (TR/XXX/278)
b. Penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan. Laurent dan Thérèse akhirnya dapat menikah berkat persetujuan Ibu Raquin. Laurent dan Thérèse mengharapkan kehidupan mereka bahagia sampai mati. Harapan itu tidak dapat dipenuhi karena setelah menikah mereka sering bertengkar. Laurent mengawali pertengkaran mereka saat dia menyuruh Thérèse untuk mencium bekas luka gigitan Camille di lehernya. Thérèse tidak menyanggupinya dan Laurent memaksanya dengan cara mendekapkan kepala Thérèse ke lehernya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘…il lui prit la tête dans ses larges mains, et, de force, lui appliqua les lèvres sur son cou, sur la morsure de Camille.’ (TR/XXI/193) ‘….dia pegang kepala Thérèse dengan kedua belah tangannya yang besar dan memaksa bibir Thérèse mencium lehernya, mencium bekas gigitan Camille.’ (TR/XXI/193) Laurent dan Thérèse selalu bertengkar setiap malam. Pertengkaran mereka selalu dipicu oleh masalah yang sama, yaitu saling menyalahkan tentang kematian Camille. Dalam pertengkaran tersebut selalu terjadi kekerasan fisik.
lxxviii
Mereka saling menuduh dan berusaha menyalahkan satu sama lain. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘C’est toi qui as tué Camille, répéta Thérèse avec une obstination désespérée qui faisait perdre la tête à Laurent.’ ‘Non, c’est toi, je te dis que c’est toi, reprit-il avec un éclat terrible…Vois-tu, ne m’exaspère pas, cela pourrait mal finir…’ (TR/XXVIII/257) ‘Kamulah yang membunuh Camille, Thérèse mengulang lagi dengan kekerasan kepala yang membuat Laurent kehilangan pikiran.’ ‘Tidak, engkau, aku katakan sekali lagi, engkau !’’ jawabnya meledakledak. Awas, jangan membuatku jengkel, hal tersebut dapat berakhir buruk untukmu.’ (TR/XXVIII/257) Pertengkaran
keduanya
tidak
pernah
menemukan
titik
temu
untuk
menyelesaikan masalah. Laurent sering sekali terpicu kemarahannya dan menganiaya Thérèse dengan pukulan. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘C’est cela, criait-elle, frappe-moi, tue-moi… Jamais Camille n’a levé la main sur ma tête, mais toi, tu es un monstre. Et Laurent, fouetté par ces paroles, la secouait avec rage, la battait, meutrissait son corps de son poing fermé.’ (TR/XXIX/269) ‘Baiklah, Thérèse berteriak, pukul aku, bunuh aku… Camille tidak pernah mengangkat tangannya untuk memukul kepalaku, tetapi engkau memang binatang. Dan Laurent, seperti dicambuk oleh kata-kata Thérèse, mengguncangguncangnya dengan kasar, memukulnya, menghantam badannya dengan tinjunya.’ (TR/XXIX/269) ‘Toutes leurs querelles se terminaient par des coups.’
(TR/XXIX/271)
‘Sejak itu pertengkaran mereka selalu berakhir dengan hantaman dan tamparan.’
(TR/XXIX/271)
lxxix
Penganiayaan terhadap Thérèse sering terjadi saat Thérèse menolak memberikan uang lima ribu frank kepada Laurent. Laurent mengancam akan melaporkan kejahatan Thérèse kepada polisi jika keinginannya tidak dipenuhinya. Laurent menakut-nakuti Thérèse dengan gertakannya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Son mari se leva avec violence. Elle eut peur d’être battue ; elle se fit toute petite, décidée à ne pas céder sous les coups. Mais Laurent ne s’approcha même pas, il se contenta de lui déclarer froidement qu’il était las de la vie et qu’il allait conter l’histoire du meurte au commissaire de police du quartier.’ (TR/XXXI/290) ‘Laurent berdiri dengan kasar. Thérèse takut dia akan memukulnya lagi. Dia bersiap-siap, bertekad untuk tidak menyerah terhadap pukulan-pukulan Laurent. Tetapi dia tidak mendekati Thérèse. Dia hanya mengatakan, dia sudah capai menjalani hidup dan dia akan pergi ke pos polisi di wilayah itu untuk melaporkan pembunuhan atas diri Camille.’ (TR/XXXI/290) Sifat kasar Laurent dimanfaatkan oleh Thérèse untuk menggugurkan kandungannya. Thérèse memprovokasi Laurent sehingga memukuli perut Thérèse. Oleh karena itu, Thérèse mengalami rasa sakit yang teramat sangat. ‘Thérèse ne dit rien à son mari, et, un jour, après l’avoir cruellement provoqué, comme il levait le pied contre elle, elle présenta le ventre. Elle se laissa frapper ainsi à en mourir. Le lendemain, elle faisait une fausse couche.’ (TR/XXX/278) ‘Thérèse tidak mengatakan apapun kepada suaminya. Pada suatu hari setelah dia memancing kemarahan suaminya dengan cara yang kejam, dan ketika suaminya mengangkat kaki hendak menendangnya, dia menyodorkan perutnya. Thérèse membiarkan suaminya memukuli perutnya sehingga dia sendiri merasa hampir mati. Keesokan harinya dia keguguran.’ (TR/XXX/278)
lxxx
c. Penganiayaan dan penelantaran orang lanjut usia. Ibu Raquin lumpuh tidak dapat bergerak dan tidak dapat berbicara. Dia hidup berkat belas kasihan dari Laurent dan Thérèse untuk menjaga dan merawatnya. Pada kondisi yang lumpuh tersebut, Ibu Raquin mengetahui bahwa Camille mati karena dibunuh oleh Laurent dan Thérèse. Hati Ibu Raquin hancur dan perasaannya terluka mengetahui kebenaran yang menyakitkan ini. Dia mengalami siksaan batin karena Camille mati oleh orang yang disayanginya sendiri. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Alors, ils balbutiaient, ils laissaient échapper malgre eux des aveux, des phrases qui finir par tout révéler à Mme. Raquin. Laurent eut une sorte de crise pendant laqulle il parla comme un halluciné. Brûsquement, la paralytique comprit.’ (TR/XXVI/239) ‘Kemudian mereka sering bergumam, mereka membuak pengakuan, dengan kata-kata yang akhirnya mengungkapkan semaua kejadian pembunuhan Camille kepada Ibu Raquin. Laurent mengalami krisis sehingga dia sering mengalami halusianasi. Tiba-tiba Ibu Raquin mengerti semua persoalan.’ (TR/XXVI/239) ‘Jamais désespoir n’était tombé plus rudement dans un être. La sinistre vérité, comme un éclair, brûla les yeux de la paralytique est entra en elle avec le heurt suprême d’un coup de faudre.’
(TR/XXVI/240)
‘Belum pernah rasanya kepeduhan menghantam seorang manusia dengan begitu kejam. Kebenaran yang pahit, bagaikan kilat yang menyilaukan, menembus mata orang lumpuh ini lalu menerobos ke dalam hatinya dengan kekerasan halilintar yang tak terkirakan.’ (TR/XXVI/240) Ibu Raquin tidak hanya menderita batin karena kebenaran pembunuhan Camille. Dia lebih tersiksa dengan perawatan pembunuh anaknya. Dia mengalami kekerasan fisik dari Laurent. Laurent menggendong Ibu Raquin dan melemparkan
lxxxi
Ibu Raquin ke ranjang hingga pingsan. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Et il la jeta brutalement sur le lit. L’impontete y tomba évanouie.’ (TR/XXVI/243) ‘Dan dengan kasar dia melempar Ibu Raquin ke ranjang. Perempuan tua lumpuh itu pingsan.’ (TR/XXVI/243)
Ibu Raquin tersiksa batinnya karena harus mendengarkan keluh kesah dari Thérèse. Perawatan Thérèse membuat batin orang tua itu semakin membencinya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Thérèse ne songeait jamais que ses larmes et l’étalage de son repentir devaient imposer à sa tante des angoisses indicibles. La vérité était que, si l’on avait cherché à inventer un supplice pour torturer Mme. Raquin, on n’en aurait pas à coup sûr trouvé de plus effroyable que la comédie du remords jouée par sa nièce.’ (TR/XXIX/263) ‘Thérèse tidak pernah berfikir bahwa air mata dan ulahnya itu sangat memaksa bibinya. Kebenarannya adalah jika seseorang mencoba mencari hukuman untuk menyiksa Ibu Raquin, dia tidak akan menemukan jalan yang lebih kejam daripada komedi penyesalan yang dimainkan keponakannya.’ (TR/XXIX/263) Ibu Raquin mengalami penelantaran saat dia menolak untuk makan dan berniat bunuh diri. Laurent merasa acuh tak acuh dengan keadaan Ibu Raquin itu. Laurent menganggap bahwa keadaan akan jauh lebih baik bila Ibu Raquin mati. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Laurent restait parfaitement neutre et indifférent. Il s’etonnait de la rage que Thérèse mettait à empêcher le suicide de l’impotente. Maintenant que la présence de la vieille femme leur était inutille, il souhaitait sa mort. Il ne l’aurait pas tuée, mais puisqu’elle désirait mourir, il ne voyait pas la nécessité de lui en refuser les moyens.
lxxxii
- Eh ! laisse-la donc, criait-il à sa femme. Ce sera un bon débarras…Nous serons peut-être plus heureux, quand elle ne sera plus là.’ (TR/XXX/274) ‘Laurent bersikap netral dan tidak perduli. Dia heran melihat usaha Thérèse mencegah Ibu Raquin bunuh diri. Sekarang, karena kehadiran perempuan tua itu sudah tidak ada gunanya lagi baginya, dia mengharap perempuan itu mati. Dia tidak bermaksud membunuhnya, tetapi karena wanita itu ingin mati, Laurent tidak mencegah kehendaknya. - Biarkan dia !, teriaknya kepada istrinya. Aduh lega rasanya !… Mungkin kita akan lebih bahagia jika dia mati.’ (TR/XXX/274) 3. Agresi seksual Wujud dari perilaku agresif ini berupa pelecehan seksual yang dipaksakan terdadap korbannya. Hal ini dapat dilihat saat Laurent melakukan pelecehan seksual terhadap Thérèse. Laurent mencoba mendekapkan tubuh Thérèse untuk memenuhi hasratnya. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan teks sebagai berikut : ‘Puis, d’un mouvement violent, il se baissa et prit la jeune femme contre sa poitrine. Il lui renversa la tête, lui écrasant les lèvres sous les siennes. Elle eut un mouvement de revolte, sauvage, emportée, et, tout d’un coup, elle s’abandonna, glissant par terre, sur le carreau. Ils n’échangèrent pas une seule parole. L’act fut silencieux et brutal.’ (TR/VI/ 69) ‘Kemudian, sebuah gerakan kasar, dia merunduk dan mendekapkan gadis muda itu ke dadanya. Dia menarik kepalanya sendiri, melumat bibirgadis itu dengan bibirnya. Dia melakukan gerakan pemberontakan, liar, marah, tiba-tiba, dia lemas lunglai, terkulai di lantai, di atas ubin. Mereka tidak bertukar kata. Aksi itu berlangsung sunyi dan brutal.’ (TR/VI/ 69)
lxxxiii
BAB V
A. Simpulan Berdasarkan analisis di atas, sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tipe-tipe agresivitas dalam roman Thérèse Raquin memiliki berbagai variasi, yaitu : agresi antarjantan, agresi ketakutan, agresi tersinggung, dan agresi instrumental. Tipe agresivitas yang banyak ditemukan adalah tipe agresi instrumental. 2. Faktor pencetus agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin adalah : faktor frustasi, stres, kekuasaan dan kepatuhan, efek senjata, dan provokasi. Faktor pencetus agresivitas tokoh yang paling sering ditemui adalah faktor provokasi. 3. Dampak agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin adalah : depresi, cidera, dan kematian. Dampak yang paling sering ditemukan adalah cidera. 4. Wujud-wujud agresivitas tokoh dalam roman Thérèse Raquin adalah: (a) agresi di ruang publik yang meliputi : (1) bullying, dan (2) pembunuhan, (b) kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi : (1) penganiayaan dan perlakuan yang tidak semestinya terhadap anak, (2) penganiayaan dan penyiksaan terhadap pasangan, (3) penganiayaan dan penelantaran orang
94 lxxxiv
lanjut usia, (c) agresi seksual yang meliputi : pelecehan seksual. Wujud agresi yang paling sering ditemukan adalah kekerasan dalam rumah tangga. B. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dalam memahami karakter manusia, khususnya tentang agresivitas manusia. 2. Semua manusia pasti memiliki instink agresif, maka setiap individu diharapkan mampu mengontrol perilaku agresifnya tersebut agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menelaah karya sastra khususnya masalah agresivitas manusia. 4. Penelitian ini masih dapat dikembangkan dari berbagai bidang kajian karya sastra, misalnya pada roman-roman lain yang berbobot. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dengan kajian yang berbeda, seperti agresivitas dilihat dari segi nilai-nilai moral kemasyarakatan. 5. Emile Zola ingin menunjukkan bahwa perilaku agresivitas manusia dapat berakibat buruk bagi korban agresi dan bagi pelaku agresi itu sendiri.
lxxxv
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Agresindo. Brekwell, Glynis. M. 1988. Mengatasi Perilaku Agresif. Yogyakarta : Kanisius. Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama. Fananie, Zainudin. 2000. Telaah Sastra. Universitas Muhamadiyah Surakarta : Muhamadiyah University Press. Jabrohim, Ed. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta : Hanindita. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002. Jakarta : Balai Pustaka. Krahé, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Safitri, Iin. 2005. Agresivitas Tokoh Kembar dalam Novel Takkan Hilang Sebuah Nama Karya Galang Lutfianto. Skripsi. Semarang UNNES. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka. Setyowati, Nunung. 2003. Agresivitas Tokoh dalam Kumpulan Cerpen Orang Sakit Karya Hudan Hidayat. Skripsi. Semarang UNNES. Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra : Analisis Psikologis. Universitas Muhamadiyah Surakarta : Muhamadiyah University Press. Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Universitas Sebelas Maret Surakarta : Sebelas Maret University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tehnik Analisis Bahasa. Jakarta : Duta Wacana University Press. 97
lxxxvi
Suharianto, S. 2005. Dasar-dasar Teori Sastra. Universitas Negeri Semarang : Rumah Indonesia. Surana, F. X. 1983. Himpunan Materi Seni Sastra. Solo : Tiga Serangkai. Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya – PT Giri Mukti Pasaka. Wellek, Rene, &Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Zola, Emile. 1979. Thérèse Raquin. Gallimard : Folio Clasique.
lxxxvii
lxxxviii
BIOGRAFI EMILE ZOLA Emile Zola lahir di Paris tanggal 2 April 1840 dari pasangan François Zola, seorang insinyur berkebangsaan Italia dengan Emilie, seorang gadis kebangsaan Prancis. Kemudian pada tahun 1843 keluarga Zola tinggal di Aix-En Provence dimana François Zola menjadi tehnisi dalam pembuatan jembatan dan kanal. Ketika Emile Zola berusia tujuh tahun, tepatnya tahun 1847 ayahnya meninggal dunia. Kematian ayahnya ini membuat hidupnya susah. Tahun 1852, Zola bertemu dengan Paul Cézanne dan mereka menjalin persahabatan yang akrab sampai 1886. Semasa sekolah di Aix-En Provence, Zola dikenal sebagai murid yang pandai. Pada tahun 1858, Zola kembali lagi ke Paris bersama ibunya. Di sana, Zola meneruskan sekolahnya, tetapi dia gagal dalam ujian akhir. Dalam keadaan miskin, Zola merasa putus asa. Belajar dari kegagalan, dia kemudian banyak membaca buku dan mencoba menulis karya sastra seperti novel, puisi, dan essai untuk menyambung hidupnya. Pada tahun 1862, Zola memulai kariernya di penerbit Hachette. Dia bekerja pada devisi penelitian, lalu beralih pada devisi pelayanan iklan dimana dia menjabat sebagai kepala divisi. Pada divisi ini, Zola menyadari pentingnya iklan, uang, dan surat kabar dalam dunia sastra. Setelah resmi menjadi warga negara Prancis, tepatnya setelah tujuh belas tahun dari kematian ayahnya, Zola memulai bekerja di surat kabar. Tahun 1864 Contes à Ninon diterbitkan meskipun kurang terkenal. Tahun berikutnya, La Confession de Claude diterbitkan walaupun tidak meraih sukses. Roman La Confession de Claude
lxxxix 100
merupakan roman semi auto biografi bercorak romantis. Pada tahun 1865, Zola bertemu dengan Gabrielle Alexandrine Meley, mereka menikah tahun 1870. Sayangnya, pasangan ini tidak dikaruniai seorang anak. Tahun 1866, Zola keluar dari penerbit Hachette. Dia memulai menulis artikel tentang seni, sastra, dan pengetahuan secara berkala. Pada bualan Juni 1866, dalam Mes Haines, artikel sastra dan seni pertamanya, Zola menulis : ‘‘Sebuah karya seni adalah suatu sudut penciptaan yang dilihat dari sudut pandang lain.’’. Sejak setahun sebelumnya, Zola tertarik pada Le Germinie La Certeaux karya Goncourt bersaudara. Kemudian di sisi lain, dia menerbitkan Le Vœu d’une Morte meskipun tidak meraih sukses, Thérèse Raquin ; sebuah karya dengan gaya baru, sebuah roman bersambung ; Les Mystères de Marseille. Zolapun semakin terkenal di masyarakat dengan memulai kariernya sebagai jurnalis yang aktif dan modern. Dia berteman dengan kelompok anti republik dan seniman avant-garde. Mereka sering berkumpul di kafé Geurbois di daerah Batigolles. Tahun 1871, Zola meninggalkan Paris selama perang antara Prancis melawan Prusia. Dia mengungsi ke Estaque lalu pindah ke Bordeaux. Pada tahun itu juga La Curée diterbitkan. Jatuhnya kekaisaran kedua semakin memantapkan langkah Zola untuk memantapkan seri Les Rougon-Macquart. Hal ini disesuaikan dengan keinginannya yang tertera dalam kata pengantar La Fortune de Rougon : melukiskan dunia dengan segala permasalahannya pada suatu masa tertentu. Zola sering mengadakan pertemuan dengan Flaubert, Daudet, Goncourt, dan Tourgeuniv. Mereka bertemu setiap minggu di rumah Flaubert untuk berdiskusi
xc
mengenai kesusastraan. Pada 16 April 1877, Trapp, Flaubert, Zola, dan Goncourt dinobatkan sebagai bapak kesusastraan modern oleh para penulis muda : Huysmans, Céard, Hendrique, Alexis, Maupassant, dan Mirbeau. Pada tahun ini juga L’Assommoir diterbitkan dan meraih sukses besar. Kesuksesan roman ini semakin membuat Zola terkenal. Keuntungan dari penjualan roman tersebut memungkinkan Zola meninggalkan profesinya sebagai jurnalis dan penulis lepas dipenerbit terkenal itu. Pada tahun 1878 dengan uang keuntungan itu, Zola membeli rumah kecil di Medan di pinggir sungai Seine dekat Poissy, ujung kota Paris. Pada usia 40 tahun, Zola dikenal sebagai tokoh baru beraliran naturalis. Dia mengemukakan teorinya dalam roman eksperimental yang diinsopirasikan dari Médicine Expérimental karya Claude Bernard, yaitu penulis roman berlaku sebagai observator dan eksperimentator. Eksperimentator menggerakkan masyarakat dalam sejarah pada umumnya untuk menunjukkan kepada mereka bahwa rentetan kejadian merupakan bagian kecil dari fenomena untuk dipelajari. Sebagai penggagas aliran naturalis, Zola memimpin redaksi majalah bernama La Soirée de Medan. Majalah tersebut berisi tentang kumpulan cerpen-cerpen sahabat Zola, salah satunya adalah Boule de Suif , karya besar Guy de Maupassant. Bagi Zola, tahun 1880 merupakan tahun gemilang. Sayangnya tahun ini diwarnai peristiwa duka akan kematian ibunya dan sahabatnya Gustave Flaubert. Pada tahun 1886, L’œuvre diterbitkan. Setelah penerbitan roman itu, persahabatan antara Paul Cézanne dan Zola terputus. Tahun 1887 saat La Terre diterbitkan, lima penulis muda (Bonnetain, Rosny, Descaves, Marguerite, dan Guiches) menentang
xci
Zola dan Naturalisme melalui panflet dalam Le Figaro. Bagi mereka, La Terre merupakan roman penipuan terhadap karya sastra yang sebenarnya.
xcii
KARYA-KARYA EMILE ZOLA Artikel pertama Zola adalah mengenai roman Don Quichotte yang muncul dalam Le Journal Populaire de Lille edisi Desember 1863. Les Mystères de Marseille adalah salah satu cerita bersambung yang ditulisnya. Romannya Thérèse Raquin menjadi roman pertamanya yang mampu menarik perhatian publik. Roman ini diterbitkan pada bulan Desenber 1867. Seperti yang telah dikemukakan pada halaman sebelumnya, pada tahun 1868, Zola memulai rencana penulisan kisah sebuah keluarga yang mendapat pengaruh heredias, di bawah pemerintahan kekaisaran kedua yang berjudul Les Rougon-Macquart. Les Rougon-Macquart terdiri atas 20 roman sebagai berikut : La fortune de Rougon (1870) ; La Curée (1871) ; Le Ventre de Paris (1873) ; La Conquête de Plassans (1874) ; La Faute de l’Abbé Mouret (1875) ; Son Excellence Eugène Rougon (1876) ; L’Assommoir (1877) ; yang membuat Zola terkenal ; Une Page D’Amour (1878) ; Nana (1880) ; Pot Bouille (1882) ; Au Bonheur des Dames (1883) ; Germinal (1885) ; L’œuvre (1886) ; La Terre (1887) ; Le Rêve (1888) ; La Bête Humain (1890) ; L’Argent (1891) ; Le Débâcle (1892) ; Le Docteur Pascal (1893).
xciii
RINGKASAN CERITA ROMAN THÉRÈSE RAQUIN KARYA EMILE ZOLA Ibu Raquin adalah seorang pedagang peralatan jahit menjahit di Vernon. Ibu Raquin mempunyai seorang putra bernama Camille Raquin dan seorang keponakan bernama Thérèse Raquin. Camille Raquin merupakan seorang pria yang penyakitan sejak kecil, sehingga tubuhnya kecil dan kurus. Thérèse Raquin merupakan anak kakak Ibu Raquin yang bernama Kapten Degan. Dia adalah seorang tentara. Kapten Degan menitipkan Thérèse kepada Ibu Raquin karena tidak tahu cara mengurus anak. Setelah menitipkan Thérèse kepada Ibu Raquin, kapten Degan tewas saat berdinas di Afrika. Thérèse dan Camille tumbuh dewasa bersama di bawah perawatan Ibu Raquin yang tiada henti. Ibu Raquin merawat keduanya dengan penuh kasih sayang. Pada suatu hari, Ibu Raquin menjodohkan Thérèse dengan putranya sendiri, Camille. Wanita itu yakin bahwa Thérèse dapat merawat dan menjaga Camille nantinya. Mereka tidak menolak pernikahan tersebut dan akhirnya Thérèse dan Camille menikah. Sebenarnya, Camille tidak memiliki perasaan khusus terhadap Thérèse. Dia menganggap Thérèse sebagai saudaranya sendiri, walapun dia sekarang telah menjadi suaminya. Setelah keduanya menikah, keluarga Raquin pindah ke Paris. Mereka meninggalkan Vernon dengan membawa uang hasil penjualan toko di Vernon sebesar 40.000 frank untuk menetap di Paris. Di Paris, mereka tinggal di sebuah rumah di Passage du Point-Neuf. Ibu Raquin kembali membuka usaha toko peralatan jahit
xciv
menjahit dibantu oleh Thérèse, sedangkan Camille bekerja di perusahaan kereta api fes d’Orleans. Seminggu sekali di rumah Ibu Raquin mengadakan acara pertemuan sahabat setiap Kamis malam yang dihadiri oleh para sahabat keluarga Raquin. Mereka adalah Michaud, Olivier, Suzanne, dan Grivet. Mereka selalu berkumpul pada kamis malam untuk bermain domino dan pulang pada pukul 11 malam. Pada suatu hari Kamis, Camille memperkenalkan temannya sekantor yang bernama Laurent kepada keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Laurent adalah teman Camille saat masih kanak-kanak di Vernon. Mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Laurent menunjukkan sikap yang menyenangkan sehingga dia dapat langsung diterima oleh keluarga Raquin dan para anggota pertemuan Kamis malam. Pada saat itu juga, Laurent bertemu pertama kali dengan Thérèse. Thérèse diam-diam jatuh cinta lewat pandangan pertama kepada Laurent. Laurent memiliki hobi melukis. Dia bermaksud melukis wajah Camille. Laurent memiliki niat jahat terhadap Thérèse. Dia bermaksud menjadikan Thérèse sebagai kekasih untuk memuaskan nafsunya saja. Pada suatu hari saat Laurent tinggal sendiri dengan Thérèse di kamar Camille, Laurent berhasil memperkosa Thérèse. Semenjak peristiwa pemerkosaan itu, Thérèse berselingkuh dengan Laurent. Mereka menjadi pasangan kumpul kebo. Mereka sering bercumbu di kamar Thérèse tanpa sepengetahuan Ibu Raquin dan Camille. Laurent selalu berdalih untuk pergi dari kantornya pada siang hari untuk bertemu Thérèse. Mereka merasa bahagia dapat saling memiliki satu sama lain.
xcv
Pada saat Laurent, Thérèse dan Camille pergi untuk bersantai, Laurent menemukan kesempatan untuk membunuh Camille. Kesempatan itu didapatinya saat Laurent, Thérèse dan Camille berada di atas perahu sewaan. Dia berhasil membunuh Camille
dengan cara menceburkannya ke sungai dan disaksikan oleh Thérèse.
Camille mati tenggelam karena tidak dapat berenang. Laurent berhasil menipu semua orang tentang kematian Camille. Dia berkata bahwa Camille mati karena perahu terbalik dan dia hanya mampu menyelamatkan Thérèse saja. Kematian Camille membuat Ibu Raquin terpukul dan shok berat. Setelah hidup menjanda selama dua tahun, Thérèse dinikahi oleh Laurent atas persetujuan dari Ibu Raquin. Setelah menikah, kehidupan rumah tangga Laurent dan Thérèse tidak berjalan mulus seperti apa yang mereka idamkan dulu. Mereka selalu dihantui perasaan bersalah setelah membunuh Camille. Mereka sering bertengkar mulut dan saling menyalahkan tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas kematian Camille. Perkawinan mereka selalu diwarnai dengan selisih faham dan tidak jarang terjadi kerasan fisik. Pertengkaran mereka sering didengar oleh Ibu Raquin yang terserang penyakit lumpuh. Wanita itu tidak dapat bergerak sedikitpun dan tidak dapat berbicara. Lambat laun, Ibu Raquin akhirnya mengetahui bahwa kematian Camille disebabkan oleh Laurent dan Thérèse melalui perkataan mereka saat bertengkat mulut. Wanita itu shok untuk kedua kalinya. Perasaannya hancur mengetahui kenyataan yang pahit ini. Hidupnya terasa tersiksa karena harus tinggal satu atap dengan pembunuh putranya.
xcvi
Pada suatau malam mereka saling mengetahui bahwa mereka akan saling membunuh. Mengetahui hal tersebut, mereka memutuskan untuk mati bersama sebagai balasan atas kehidupan kotor yang telah mereka jalani. Keduanya merasa letih, kesal, dan jemu terhadap diri sendiri dan timbul keinginan untuk beristirahat melupakan segala-galanya. Akhirnya keduanya mati saling berpelukan setelah menenggak racun yang dibawa Laurent. Mereka menemukan kedamaian dalam kematian. Ibu Raquin merasa menerima kemenangan yang tidak terkira karena musuh besarnya telah mati. TAMAT
xcvii